Analisis Antropologi Sastra [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



Analisis Antropologi Sastra-Terhadap Mantra “SEMER MESEM”



Ilham Ruser, Deby Novi Yanti, Siti Nurjanah 40, Maria Kezia T, Yola Yuliani Putri Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Fakultas Bahasa dan Seni-Universitas Negeri Medan Email: [email protected]



Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kebudayaan tradisional kuno yang dilakukan, kebiasaan mengadakan ritual-ritual, kepercayaan terhadap berhala, dan simbol-simbol yang diyakini dalam mantra Pengasihan Semarmesem serta mengetahui apakah kebudayaan tradisional kuno yang dilakukan, kebiasan mengadakan ritual-ritual, kepercayaan terhadap berhala, dan simbol-simbol yang diiyakini masih dilakukan masyarakat sekarang melalui penelitian Antropologi Sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Adapun langkah analisis antopologi sastra diterapkan sebagai berikut: 1) Observasi terhadap data yang terdapat dalam jurnal mantra Semarmesem. 2) Menelaah ide dan gagasan masyarakat terhadap karya sastra mantra. 3) Analisis yang ditujukan pada simbol-simbol ritual serta hal-hal yang berbau tradisi yang mewarnai masyarakat dalam sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan tradisional kuno masih dilakukan oleh masyarakat sekarang dengan tujuan melestarikan ritual sebagai warisa budaya. Selain itu masih banyak masyarakat yang mempercayai sastra mantra sebagai ajian yang mampu berpengaruh terhadap kehidupan saat ini. Terutama soal hubungan percintaan (asmara), memepertahankan eksistensi diri terhadap lingkungan sekitar.



Kata Kunci : Sastra Lisan, Mantra Semarmesem, Antropologi Sastra



Abstract This study aims to reveal the ancient traditional culture, the habit of performing rituals, beliefs of idols, and symbols believed in the Mantra Seminary spell and to know whether the ancient traditional cultures performed, the habits of performing rituals, the belief in idols, and symbols that are believed to still be done by the people now through the research of Literary Anthropology. The method used in this research is descriptive qualitative research method. The steps of anthropological analysis of literature are applied as follows: 1) Observation of the data contained in the journal spell Semarmesem. 2) Reviewing the ideas and ideas of the society towards the literary works of the mantra. 3) Analysis aimed at the symbols of ritual as well as things that smelled of tradition that colored society in literature. The results show that the ancient traditional culture is still done by the people now with the aim of preserving rituals as cultural heritage. In addition there are still many people who believe the mantra literature as a teaching that can affect the current life. Especially about the relationship of romance (romance), memepertahankan existence of yourself to the surrounding environment.



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



2 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Sastra lisan merupakan karya sastra yang dimilki oleh sekelompok masyarakat, beredar dimasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan (mulut ke mulut). Keberadaannya diakui bahkan sangat dekat dengan kelompok masyarakat yang memilkinya. Dalam sastra lisan, isi cerita mengungkapkan keadaan sosial budaya yang berisi gambaran latar sosial, budaya, serta sistem kepercayaan masyarakat. Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris yakni Oral Literature. Sastra lisan (Oral Literature) adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun (Edraswara, 2003:151). H. Martono (2010:1) dalam jurnalnya yang berjudul : “Nilai-Nilai Religius Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal”, mengatakan, “Sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang terdapat masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar”. Isinya mengenai berbagai kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut. Mantra berasal dari Sanksekerta yaitu Manir yang merujuk pada kata-kata yang berada dalam kitab Veda, mantra juga dikenal sebagai serapah, jampi. Mantra sebagai suatu karya sastra yang diwariskan kepada orang yang berhak, merupakan suatu tindakan simbolik yang masih dipercayai oleh masyarakat sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-



sungguh. Adanya kebutuhan terhadap mantra sebagai warna yang menghiasi kehidupan sehari-hari, tidak terlepas dari bagaimana cara untuk melakukan adaptasi terhadap keadaan alam dan bagaimana pula para pelakunya meneguhkan secara spiritual dalam hubungan dengan keberhasilannya dalam sektor mata pencaharian. Mantra biasanya digunakan pada waktu dan tempat tertentu yang memiliki tujuan untuk menimbulkan suatu kemampuan tertentu bagi orang yang menggunakan atau mengucapkan mantra tersebut. Mantra pada umumnya dikuasai oleh orang tertentu, seperti dukun dan pawang hujan. Mantra dibagi menjadi 7 bagian, yaitu jampe (jampi), rajah (kata-kata pembuka jampi), ajian (jampi aji kekutan), dan pelet (guna-guna). Mantra sebagaimana sastra umumnya juga mempunyai bentuk, fungsi dan makna. Mantra sebagai ekspresi manusia yang diyakini mampu mengubah suatu kondisi karena dapat memunculkan kekuatan gaib, estetik, dan penuh mistis. Sedangkan ciri-ciri mantra adalah; (1) mantra merupakan rangkaian kata yang memiliki irama, (2) isi dari mantra berhubungan dengan kekuatan gaib, (3) berbentuk puisiyang isi dan konsepnya menggambarkan kepercayaan suatu masyarakat pada saat itu, (4) mantra dibuat dan diamalkan untuk tujuan tertentu, (5) mantra didapati dengan cara gaib, seperti keturunan, mimpi, atau bisa juga diwarisi dari perguruan yang diikuti, (6) mantra mengandung rayuan dan perintah, (7) mantra mengandung kesatuan pengucapan.



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



3 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



Mantra tersebut masih bertahan sampai saat ini yang dimanfaatkan dalam kehidupan sosial oleh masyarakat. Dari keempat magi yang ada dalam mantra yang sangat menarik untuk dikaji yaitu mantra yang bermagi kuning. Mantra bermagi kuning tidak hanya dimiliki oleh dukun, tetapi dapat juga digunakan oleh kalangan masyarakat. Dalam hal ini mantra bermagi kuning yang terkenal salah satunya adalah mantra Semar Mesem yang masih dipercaya sampai saat ini oleh para pendukung/pengikutnya. Bentuk kepercayaan tersebut dapat di lihat dari perilaku pengikut yang menggunakan Semar Mesem sebagai bekal (cekelan) dalam kehidupan. Hal itu sudah biasa dikalangan masyarakat, apalagi tradisi bermantra sudah digunakan sejak zaman dahulu bahkan sampai sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Kajian antropologi sastra merupakan disiplin baru dalam ilmu sastra. Sudewa (2014: 1) dalam jurnalnya yang berjudul “Sastra Lisan Ke Dalam Seni Pertunjukkan Di Bali : Perspektif Pendidikan” mengatakan bahwa, “Pembicaraan karya sastra dari sudut antopologi sastra merupakan hal yang baru dalam penelitian karya sastra”. Sebagaimana asal-usul dari antropologi yaitu berasal dari kata Yunani, anthropo yang berati “manusia” dan logos yang berarti ilmu pengetahuan”. Dengan demikian, antropologi khususnya antropologi budaya adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya. Kebudayaan dalam arti “keseluruhan sistem gagasan-gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang



dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. (Koentjaraningrat, 2009:144). Dalam konteks antropologi sastra, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap perilaku manusia, sedangkan sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Endraswara (2013:1) mengatakan, “antropologi adalah suatu kajian yang berupaya meneliti sikap dan perilaku manusia yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra”. Purba (2009:27) mengatakan, “Antropologi sastra adalah kajian antropologi terhadap karya sastra”. Sedangkan Payatos (dalam Edraswra 2013:3) mengatakan, “Antropologi sastra adalah ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antar budaya”. Penelitian budaya dalam karya sastra diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa antropologi sastra adalah kajian yang mempelajari kebuadayaan manusia dalam suatu karya sastra. Menurut Endraswara (2013: 60), analisis antropologi sastra semestinya akan mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai berikut (1) kebiasaankebiasaan masa lampau yang berulangulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra, (2) mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan yang terpantul dalam karya sastra, (3) penelitian dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesanpesan yang dalam karya sastra, (4) peneliti memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu, (5) penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra, Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



4 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



(6) Penelitian terhadap simbol-simbol motologi dan pola pikir masyarakat. Dari uraian di atas, penulis mengkaji sastra lisan “Mantra Semarmesem” menggunakan antropologi sastra, yang mengungkapkan kebiasaakebiasaan masa lampau yang berulangulang dilakukan dalam sastra lisan “Mantra Semarmesem” mengungkapkan tradisi dan kepercayaan yang terdapat dalam sastra lisan “Mantra Semarmesem” dan mengungkapkan mitologi dan pola pikir masyarakat dalam sastra lisan “Mantra Semarmese”. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengamati satra lisan Mantra Semarmesem yang dikaji dalam antropologi sastra, dengan judul penelitian: Mantra Semarmesem Dalam Kajian Antropologi Sastra 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: (1) Sastra lisan Mantra Semarmesem memiliki budaya yang tersembunyii dan kaya makna. (2) Sastra lisan Mantra Semarmesem memiliki kebudayaan serta kebiasaan leluhur masa lampau yang sudah mulai terlupakan. (3) Sastra lisan Mantra Semarmesem semakin memudar karena hanya berdasarkan daya ingat penuturnya sehingga mengubah keasilan Mantra Semarmesem. (4) Sastra lisan Mantra Semarmesem memiliki nilai/pesan kepada masyarakat Jawa.



(5) Sastra lisan Mantra Semarmesem adalah sastra lisan yang terpendam sehingga tidak semua individu atau masyarakat Jawa mengenal isi Mantra Semarmesem. 1.3 Batasan Masalah Pembatasan masalah dilakukan untuk membatasi cakupan masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilakukan dengan baik dan terarah, maka penelitian ini dibatasi pada kebudayaan serta kebiasaan pada sastra lisan Mantra Semarmesem. Pembahasan melalui kajian antropologi sastra akan membantu untuk memahami kaian dalam penelitian ini. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Bagaimanakah penggunaan mantra semar mesem sebagai antropologi sastra? 1.5 Tujuan Penelitian Setiap penelitian memiliki tujuan penelitian yang didasari pada rumusan masalah. Tujuan penelitian ini harus dinyatakan dalam bentuk perumusan karena perumusan tujuan sangat membantu penelti dalam memcahkan masalah. Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. (1) Mengungkap kebudayaan masyarakat dalam sastra lisan Mantra Semarmesem yang masih dilakukan oleh masyarakat sekarang. (2) Mengungkap kebiasaan dalam sastra lisan Mantra Semarmesem



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



5 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



yang masih dilakukan oleh masyarakat sekarang. (3) Mengungkap kepercayaan dan tradisi subkultur masyarakat dalam karya sastra lisan Mantra Semarmesem yang masih dilakukan oleh masyarakat sekarang. (4) Mngungkap simbol-simbol mitologi dalam sastra lisan Mantra Semarmesem yang masih dilakukan oleh masyarakat sekarang. 1.6 Manfaat Penelitian Dengan mengadakan penelitian ini, peneliti berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat. Maka, setelah penelitian ini selesai diharapkan hasilnya memberi manfaat. Manfaat ini bertujuan : (1) Memperkaya perbendaharaan kesusastraan Indonesia melalui satra Indonesia yang multilultural yang selama ini tampak kurang diminati. (2) Mengenal lebih luas dan dalam tentang khazanah satra yang terpencil dan terisolasi selama ini. (3) Meningkatkan kepedulian generasi muda terhadapp kebudayaan dan sastra. (4) Sebagai referensi dalam kegiatan penelitian bidang sastra, khususnya yang meneliti satra lisan.mempertahankan dan melestarikan keberadaan sastra lisan khususnya yang ada di daerah Jawa.



BAB II LANDASAN TEORETIS 2.1 KERANGKATEORITIS 2.1.1



Sastra Lisan



Sastralisanadalahkarya yang penyebarannyadisampaikandarimulutkem ulutsecaraturun-temurun (Endraswara, 2003:151). Sastralisanjugadisebutsebagaibagiandarik ebudayaan yang terdapatpadamasyarakatterpelajardanbelu mterpelajar. Sebagiandarikebudayaan, sastralisanmerupakansuatubentukpernyat aankehidupanmasyarakat di masalampau yang diwariskansecaraturuntemurunkepadamasyarakatpendukungsec aralisan (martono, 2001:1). Berbicaramengenaisastralisan, secarateoritissastralisanadaberbagaibentu k, sepertimitos, legenda, dandongeng (I KetutSudewa 2014:3). Ketigabentuksastralisanmemilikicirrikhas nyamasing-masing. Secaraumumsastralisanantaralain; (1) lahirdarimasyarakat yang polos, belummengenalhurufdanbersifattradision al: (2) menggambarkanmilikkolektiftertentu, yang tidakjelaspenciptanya; (3) lebihmenekankanaspekkhayalan, adasindiran, jenakadanpesanmendidik; (4) seringmelukiskantradisikolektiftertentu (Endraswara, 2003:151). Sastralisanada yang murni danada yang tidakmurni. Sastralisanmurni, yaitudongeng, legenda, mite, dancerita yang tersebar di masyarakat. Sedangkansastralisantidakmurni,



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



6 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



biasanyaberbaurdengantradisilisan. Sastralisan yang berbaurhanyaberupapenggalanceritasakra l. Sastralisantidaksepenuhnyaberkembangs ecaralisan (kelisanan). Baikitubahasalisan (orality). Ataupunkomunikasilisan (alatkomunikasi). Oralitybersifatlebihasli, sedangkansastralisan yang “dilisankan” melalui media eloktronik, biasanyatelahberubah-ubah. Sastralisan yang dikajisebaiknyakelisanan yang terdapatdipelosokmasyarakat, Teeuw (dalamEndraswara, 2003:151). Sastralisan di pelosokmasyarakatataudaerahterpencil, biasanyalebihmurni. Karenasastralisandaerahbelummengenala latkomunikasidanteknologicanggih. 2.1.2



Mantra



Mantra dalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu “menciptakan perubahan” (perubahaan spiritual). Jenis dan kegunaan mantra berbeda–beda tergantung mazhab dan filsafat yang terkait dengan mantra tersebut. Mantra berasal dari tradisi Weda di India, kemudian menjadi bagian penting daalam tradisi hindu dan praktik sehari-hari dalam agama Budha, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai gerakan spiritual yang berdasarkan praktis dan tradisi dan agama ketimuran. Dalam kamus besar bahasa indonesia, mantra diartikan sebagai



susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap menggandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menendingi kekuatan gaib yang lain. 2.1.3



AntropologiSastra



Antropologisastramerupakansuatu kajianantropologiterdapatkaryasastra. Kajianantropologi yang dimaksudialahkajiankebudayaandalamil musastra. NyomanKuthadalam (Antilan, 2009:27) mengatakan“ Antropologisastraadalahstudikaryasastra yang relevandenganmanusia”. Antilan (2009:27) berpendapat “AntropologiSastraadalahkajianantropolo giterhadapkaryasastra”. Sepanjang diketahui, isu mengenai antropologi sastra pertamatama muncul dalam kongres “Folklore and Literary Anthropology” (Poyatos, 1988:xi—xv) yang berlangsung di Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Oleh karena itu, tidak secara kebetulan buku yang diterbitkan pertama-tama diberi subjudul “a New Interdisciplinary Approachto People, Signs, and Literature”. Meskipun demikian, Poyatos mengakui bahwa sebagai istilah, antropologi sastra pertama-tama dikemukakan dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam Semiotica (21:3/4, tahun 1977) berjudul “Form and Functions of Nonverbal Communication in the Novel: a New Perspective of the Author-Character- Reader Relationship”. Dalam hubungan ini perlu disebutkan sebuah tulisan singkat berjudul “Towards an Anthropology of Literature” (Rippere, 1970). Di dalamnya



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



7 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



dijelaskan peranan bahasa dalam karya sastra, yaitu bahasa yang lebih banyak berkaitan dengan konteksnya terhadap realitas sehingga makna bahasa jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang diucapkan. MenurutEndraswara (2003:109) pendekatanantropologisastratermasukked alampendekatanarketipal, yaitukajiankaryasastra yang menekankanwarisanmasalalu. Budayatersebutterpantuldalamkaryasastra klasikdan modern yang dikajidalambentukpaparanetnografi. Secaraluasantropologisastraberkai tandenganantropologiculturaldengankary a-karya yang dihasilkanmanusia, sepertibahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat,karyaseni, khususnyakaryasastra (Antilan 2009:27). Berdasarkandaribeberapapengertianantro pologisastradiatas, dapatdisimpulkanbahwaantropologisastra adalahkajianantropologiterhadapkaryasas tra yang menekankanpadakajianaspekaspekbudayaatauwarisanbudayamasalalu. Antropologisastraberkaitandenganantrop ologikulturaldengankarya-karya yang dihasilkanmanusia. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Patricia M. Hudelson, (2004) menjelaskantentang Antropologi sebagai pendekatan yangberbeda untuk budaya. Kebanyakanantropologi akan mendefinisikan budayasebagai satuan bersama (implisit dan eksplisit)nilai-nilai, ide-ide, konsep, dan aturan perilakuyang memungkinkan suatu kelompok socialberfungsi dan mengabadikan diri. Menurut Endraswara (2013: 60), analisis antropologi sastra semestinya akan mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai berikut:



(1) Kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebisaan leluhur, semedi, berpantun, mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya, adalah fokus penelitian dalam antropologi sastra. (2) Peneliti akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seseorang. Dalam kaitan ini, tema-tema tradisional yang diwariskan secara turuntemurun yang akan menjadi perhatian tersendiri dalam kajian antropologi sastra. (3) penelitian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan atau tradisi leluhurnya. (4) peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu. (5) Penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian memegang peran penting dalam sebuah penelitian, karena semua kegiatan yang dilakukan yang dilakukan dalam upaya membuktikan sesuatu dalam penelitian sangat bergantung dengan metode penelitian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif berupa data-data dalam



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



8 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



bentuk kalimat. Endraswara (2013: 53) mengatakan, “Metode kualitatif adalah analisis data yang tidak mempergunakan perhitungan statistik, tetapi berupa katakata. Kualitas data ditentukan oleh pengambilan data secara mendalam. 3.2 Sumber Data



3.5 Teknik Analisis Data Dengan membaca referensi jurnal dan mencoba memahami serta menghubungkan teori mantra dengan antropologi sastra yang dilihat dari persamaan dan perbedaan kajian dalam sastra lisan Jawa. Ajian Semar Messem sebagai berikut,



Sumber data dalam penelitian ini adalah Mantra Semarmesem Dalam Kajian Antropologi. Sumber data Mantra Semarmesem Dalam Kajian Antropologi dapat diambil dari jurnal, buku, skripsi, dan video.



Niat insun Amatek ajiku ki semar mesem Krecek-krecek unyuh’e ki semar ireng Aji pengasihan kang ora ono tombone Ora ono wong bagus kejobo aku Ora biso turu yen during ketemu aku Yen ketemu turu tangek’no Yen ketemu tangi ngadek’no Yen ketemu ngadek lakok’no Durung ngengkleng durung edan lan gendheng Yen during ketemu aku Sido atut katot manut turut lutut Si jabang bayine….(nama tujuan) Saking kersane gusti BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



3.3 Instrumen Penelitian Intrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian. Instrumen yang kami gunakan pada penelitian ini adalah Handphone yang berfungsi untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Dan Laptop yang berfungi untuk mengerjakan data yang telah di dapatkan. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian untuk menghimpun atau mendapatkan hasil penelitian. Oleh karena itu terdapat beberapa langkah yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data. Berikut adalah langkah-langkah dalam pengumpulan data yaitu : a. Mencari data b. Mengumpulkan data c. Menganalisis data d. Menyimpulkan data



4.1



Hasil Penelitian Penelitian ini mengungkapkan kebudayaan dan kebiasaan masa lalu, yaitu kebudayaan tradisional, Kebudayaan yang diwariskan secara turutemurun. Dalam konteks kebudayaan Jawa Timur terdapat beberapa yang terkenal diantaranya seperti kebudayaan Osing yaitu bermantra. Seperti yang dikemukakan oleh Endraswara (2013:60Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



9 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



63), bahwa analisis antropologi sastra semestinya akan mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai berikut. (1) Kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur, semedi, berpantun, mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya adalah fokus penelitian dalam Antropologi sastra. (2) Peneliti akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seseorang . dalam kaitan ini, tema-tema tradisional yang diwariskan secara turun-temurun yang akan menjadi perhatian tersendiri dalam kajian Antropologi sastra. (3) Penelitian juga dapat diarahkan pada spek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan atau tradisi leluhurnya. (4) Peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisonal dari waktu kewaktu. (5) Penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengintari karya tersebut. (6) Perlu dilakuikan penelitian terhadap symbol-simbol mitos dan pola piker masyarakat pengagumnya atau penggunanya.



Dari beberapa uraian diatas yang menjadi focus penelitian adalah mengungkapkan kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang masih dilakukan dalam sastra lisan Semar Mesem mengungkapkan tradisi mantra yang berfungsi untuk menjerat seseorang agar menjalin hubungan baik dengan mempengaruhi kesadaran seseorang. Seseorang yang memanfaatkan mantra Semar Mesem melalui jasa dukun itu artinya untuk memikat lawan jenis sebagai kekasih atau pendamping hidup. Secara kultural, masyarakat Banyuwangi masih sangat kental dengan kehidupan bermagi, salah satunya bermantra. Kepercayaan yang didapat dari warisan Hindu sangat melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Banyuwangi. Kepercayaan masyarakat terhadap hal gaib tercermin dalam tingkah laku masyarakat yang ditandai dengan adanya upacara ritual desa. Tradisi bermantra dalam konteks ini diartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam melakukan aktivitas dengan menggunakan mantra, terutama dalam pemujaan leluhur. Mantra Semar Mesem merupakan mantra santet ilmu pengasihan, yang mempunyai simbolisme tradisi bermantra. Mantra Semar Mesem termasuk puisi lisan yang dimana dalam menggunakan lisan tersebut dilakukan dengan cara menghafal kata demi kata. Salah satu komponen yang cukup penting yang menjadi keutuhan penyajian dalam memanfaatkan mantra adalah praktik upacara ritual (magis). Sebagaimana diketahui mantra memiliki sifat rahasia,



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



10 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



dan tertutup. Pusaka, yang berupa seperti keris berupa wayang Semar terbuat dari logam kuningan. Simbol pusaka jika digunakan seseorang akan menunjukan harapan dan permohonan atau do’a agar diberikan rasa aman, tentram, keselamatan, dan kebahagiaan dalam mencapai tujuan yaitu bagi laki-laki yang menggunakannya. Ikat pinggang yang terbentuk dari tali wol berwarna putih dan merah. Simbol ini dapat dikatakan sebagai identitas penanda bahwa seseorang jika menggunakan ikat pinggang yang mengandung doa mantra Semar Mesem, akan terjaga dalam melindungi kedudukan atas kekuasaan yang di dapat. Bentuk hegemoni yang dilakukan adalah dengan cara-cara pendekatan ideologi, kepercayaan popular, dan common sense dalam eksekusi hegemoni SemarMesem memiliki ideologi untuk membebaskan diri perihal asmara yang ditolak lantaran rasisme. Dalam ideologinya Semar Mesem mendominasi dengan cara pendekatan.Pendekatan terhadap obyekobyek denganmenguniversalkan ideologinya yang kemudianmembentuk suatu kepercayaan. Dalam kaitanya dengan mantra Semar Mesem dapat dikatakan melaluikepercayaan folklor, kepercayaan tersebarmelalui opini-opini, tahayul-tahayul. Sehinggadapat mempengaruhi cara pandang seseorang, maka dari kepopuleran tersebutmasyarakat mempercayai keberadaan mantra Semar Mesem. Karena dari orang ke oranggagasangagasan tersebut tersampaikanyang akhirnya menjadi kepercayaan popularyang bisa dikaitkan dengan



hegemoniGramsci. Maka para penggunanya yangmengikuti kepercayaan tersebut tidak mantra Semar Mesem penyebaran melalui dominasi kebudayaan yaitu kebudayaanOsing yang masih percaya terahadapkekuatan magic. Berdasarkan hasil data yang terkumpul berupa jurnal dan teori, kebudayaan tradisional kuno masih dilakukan dan digunakan oleh masyarakat sekarang seperti masih adanya penyimpanan kris Semar Mesem, dan kebudayaan yang sangat kental dengan mempercayai hal-hal gaib. 4.2



Pembahasan Hasil Penelitian 4.1.1 Semar Mesem 1. Makna Semar dengan Mesem Semar merupakan nama salah satu tokoh yang ada dalam dunia pewayangan punakawan, dalam kisah pewayangan shang Semar inilah yang selalu memberikan solusi yang bijak ketika ada masalah dalam pertikaian antara pandawa dan kurawa. Sosoknya memang aga sedikit aneh, perutnya buncit, rambutnya memiliki kuncir di depan serta memiliki warna kulit yang hitam dan muka yang berwarna putih. Namun dari semua bentuk semar yang sedemikian aneh itu mengandung makna yang sangat dalam. Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa. Dikalangan spiritual Jawa khususnya Banyuwangi ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



11 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa . Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi : Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati. Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”. Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para



penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya. Simpati para penggunanya itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan. Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 ) Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



12 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah. Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 ). Mesem merupakan arti dari bahasa jawa yang artinya senyum. Dalam beberapa hal senyum dapat membuat orang lain terpikat dan biasanya orang yang ramah senyum itu banyak orang yang menyukainya. Dalam alkisah semar yang berwujud jelek ini bisa memikat seorang putri kerajaan yang cantik bagaikan bidadari hanya dengan senyuman. Menurut warga Banyuwangi sosok Semar yang dianggap sebagai tauladan mereka dalam mengemban agama dari Allah atau Tuhannya ia mengajarkan dan member kemudahan dan juga pelajaran bahwa siapa saja berhak mendapatkan cinta bukan karena fisik yang terlihat saja, namun juga dengan senyuman.



Dari hasil penelitian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa makna Semar Messem sendiri dalam mantra Jawa ini yakni symbol Semar yang dianggap sebagai tokoh yang meneladani kebajikan dalam menjalani kehidupan dunia, dan sebagai (Tuhan) sedqangkan Messem dalam bahasa Jawa yakni yang berarti senyum. 2. Ajian Semar Mesem Ajian semar mesem, merupakan bacaan atau sejenis mantra . Apabila di bacakan dengan jumlah tertentu dan disertai puasa maka, ajian atau mantra tersebut bisa di jadikan ilmu pelet atau ilmu pemikat. Konon katanya mantra atau ajian ini paling bagus di antara ilmu pemikat yang lainnya.Ajian Semar Messem sebagai berikut, Niat insun Amatek ajiku ki semar mesem Krecek-krecek unyuh’e ki semar ireng Aji pengasihan kang ora ono tombone Ora ono wong bagus kejobo aku Ora biso turu yen during ketemu aku Yen ketemu turu tangek’no Yen ketemu tangi ngadek’no Yen ketemu ngadek lakok’no Durung ngengkleng durung edan lan gendheng Yen during ketemu aku Sido atut katot manut turut lutut Si jabang bayine….(nama tujuan) Saking kersane gusti Adapun tentang kisah sejarah di Banyuwangi yang menyebutkan orang yang pernah menguasai ilmu semar mesem , adalah Ki ageng Pemanahan Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



13 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



beliau adalah cucu dari Ki Ageng Selo. Dia pernah memiliki pusaka keris semar mesem yang di gunakan untuk memikat hati lawan jenisnya. Tentu saja selain memiliki pusaka keris semar mesem beliau juga memiliki ajiannya. Ajian Semar Mesem (Senyum si Semar) merupakan salah satu mantera pelet dan populer yang banyak dikenal dikalangan masyarakat sebagai mantera untuk menundukkan hati seseorang, meskipun orang itu tidak mempunyai rasa cinta. Tidak heran ajian semar mesem ini sangat marak digunakan sebagai pelet dikalangan masyarakat Banyuwangi yang masih sangat kental dengan Magis dalam kehidupannya. 4.1.2



Antropologi Sastra yang terdapat dalam Ajian(Mantra) Semar Mesem 1. Antropologi Sastra dengan Ajian Semar Mesem Dalam Mantra Ajian “Semar Mesem” ini, kebudayaan masa lalu yaitu kebudayaan yang mempercayai akan hal gaib sebagai media untuk menklukkan hati seseorang yakni menggunakan hal magis berupa mantra atau kata-kata yang diucapkan sebagai symbol magis. Bunyi mantra semar sebagai berikut.



messem



Niat insun Amatek ajiku ki semar mesem Krecek-krecek unyuh’e ki semar ireng Aji pengasihan kang ora ono tombone Ora ono wong bagus kejobo aku



Ora biso turu yen during ketemu aku Yen ketemu turu tangek’no Yen ketemu tangi ngadek’no Yen ketemu ngadek lakok’no Durung ngengkleng durung edan lan gendheng Yen during ketemu aku Sido atut katot manut turut lutut Si jabang bayine….(nama tujuan) Saking kersane gusti Arti dari “Niat insun Amatek ajiku ki semar mesem” Berniat diri dalam perkataanku kepada Ki Semar Messem. ( Mulyono 1978 : 18) berpendapat seseorang berniatkan diri dan meyakini akan kesungguhannya(seperti sumpah) terhadap Ki Semar Messem yang dianggap sebagai suri tauladan atau penuntun mereka selama hidup didunia. Berdasarkan pemaparan arti penggalan mantra diatas dapat dikaitkan pada teori Antropologi sastra yang dikemukakan oleh Endaswara (2013:60-63) pada point ke (3) penelitian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan atau tradisi leluhurnya. Artinya penggelan mantra diatas ada menyebutkan kepercayaannya kepada Ki Semar yang dimana mereka menganggap bahwa ia adalah suri tauladan dalam menjalani kehidupan dibumi, jadi dapat kita temukan jawaban dari teori yang di ungkapkan Endaswara di point ke (3) mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan tradisi leluhurnya dikarenakan mereka menganggap bahwa Ki Semar adalah suri tauladannya yang berarti panutannya dalam menjalani kehidupan dibumi.



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



14 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



Arti dari “Krecek-krecek unyuh’e ki semar ireng” perintah- perintah yang di lakoni orang tersebut dan meminta kepada Ki Semar Hitam, dan dalam Jurnal terbitannya berjudul “ Konseptual Magis Jawa” ( Suseno 1988 : 190 ) berpendapat dimana disini Semar Hitam yang memiliki arti dalam rakyat Banyuwangi, bahwa Semar yang wajahnya berwarna hitam melambangkan suatu Ketentraman, kebangkitan rohani, dan kedewasaan. Berdasarkan pemaparan arti penggalan mantra diatas dapat dikaitkan dengan teori yang diungkapkan oleh Endaswara (2013:60-63) pada point yang ke (6) perlu dilakukan penelitian terhadap symbol-simbol mitos dan pola pikir masyarakat pengagumnya atau penggunanya. Artinya pada penggalan mantra diatas terdapat kalimat yang dimana mereka meyakini adanya Ki Semar Hitam yang melambangkan suatu ketentraman, kebangkitan rohani, dan kedewasaan. Arti dari “Aji pengasihan kang ora ono tombone”Mantra pengasihan yang tidak ada obatnya, Dalam Artikelnya yang berjudul “ Konseptual Magis Jawa” ( Suseno 1988 : 190 ) mengutarakan dimana disini sudah mulai memasuki kalimat-kalimat dimana sesorang memohon agar dapat menarik seseorang, juga bisa dikatakan juga sebagai sarana memelet. Arti dari “Ora ono wong bagus kejobo aku” tidak ada orang lain yang lebih bagus dari pada (Aku), dalam penelitiannya, Prodjosoebroto ( 1969 : 88 ) berpendapat bahwa jadi disini seseoraang ini meminta dan meminta permintaan kepada Ki semar agar



sesorang yang ingin ia tuju menjadi sasaran menganggap bahawa tidak ada yang lebih cantik(wanita) ganteng(lakilaki) dari pada dirinya. Arti dari “Ora biso turu yen during ketemu aku” Tidak bisa tidur jika belum bertemu (Aku), masud dari kalimat ini (Sulitiono 1989 : 31 ) berpendapat dimana Ia meminta agar sesorang yang inginj ia tuju itu menjadi tergila-gila padanya sehingga tidak dapat tidur jika belum bertemu dengan dirinya. Arti dari “Yen ketemu turu tangek’no” Kalau berjumpa didalam tidurnya, Bangunkan, ( Mulyono 1978 : 18) berpendapat bahwa si pengguna ini juga meminta agar sesorang yang ingin ditujunya merasa tidak bisa nyenyak tidurnya, atau dalam artian di hantui seolah-olah sangat benra-benar mencintai si pengguna ini. Arti dari “Yen ketemu ngadek lakok’no”kalau berjumpa berdiri lalu melakukan, ( Mulyono 1978 : 18) mengatakan bahwa disini si pengguna berharap jika saat berpapasan, orang yang dituju merasa sangan tertarik olehnya, Arti dari “Durung ngengkleng durung edan lan gendheng, Yen during ketemeu Aku” Belum diam(tidak nyahut, tanpa ekspresi, setengah sadar) belum gila didalam suatu atap, Dalam penelitian yang dilakukannya bersama merembukkan ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ) mengutarakan bahwa bahwa seorang pengguna ini mencoba membuat orang yang ditujunya akan benar-benar merasakan jatuh cinta seakan-akan menjadi tergila-gila apabila si orang yang



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



15 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



dituju ini belum satu atap atau belum berjumpa dengannya( si pengguna), bisa dikatakan ini pengikat. Arti kata “Sido atut katot manut turut lutut” Jadi pendamai dan juga menurut lutut (tunduk) dan disini (Hazeu 1978:19) memiliki perbedaan pendapat dengan ( Mulyono 1978 : 18) yang mengutarakan bahwa orang yang dituju akan berubah menjadi damai dalam artian disini yakni luluh hatinya terhadap si pengguna ini, dan juga menuruti dengan apa yang dikatakan oleh si pengguna ini tadi. Arti kata “Si jabang bayine….(nama tujuan)” Si manusianya yaitu (nama yang dituju). Dalam Jurnal terbitannya berjudul “ Konseptual Magis Jawa” ( Suseno 1988 : 190 ) menjelaskan bahwa keseluruhan ajian atau mantara yang telah di bacakan urutan atas sampai kebawah ini ditujukan atau diteruntukkan kepada manusia yang dituju agar orang yang dituju merasakan atau mendapat dampak yang dibacakannya. Dari bunyi dan makna yang terkandung dalam mantra diatas, ada peraturan dan hal atau amalan yang harus dilakukan kepada seseorang yang ingin menggunakannya, dari penelitian ditemui sebagai berikut. 1.



2. 3.



Melakukan prosesi buang sengkala yang akan dijelaskan Ki Sabrang Alam memalui panduan. Menjaga diri dari kemaksiatan Pria/wanita berusia diatas 20 tahun



4. 5.



6.



7.



8.



9.



Mempunyai niat dan tujuan yang baik Sangat tidak diperkenankan mengamalkan ilmu ini untuk perilaku yang melanggar norma-norma hokum, agama,dan kesusilaan. Selalu siap menjaga diri dari perbuatan yang mendatangkan kemaksiatan Pada intinya setiap orang boleh mengamalkan ilmu ini. Tanpa membatasi jenis kelamin Tidak terbatas pada latar belakang sosial, suku, agama,ataupun kepercayaan tertentu. Memiliki kris semar messem



Dari pemaparan tingkahlaku atau yang dilakukan seseorang demi menggunakan semar mesem adalah bagian dari kajian antropologi. Sebagaimana dikatakan oleh Endraswara (2013:60-63), bahwa analisis antropologi sastra semestinya akan mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai berikut. 1.



2.



Kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur, semedi, berpantun, mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya adalah fokus penelitian dalam Antropologi sastra. Peneliti akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seseorang . dalam kaitan ini, tema-tema



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



16 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



3.



4.



5.



6.



tradisional yang diwariskan secara turun-temurun yang akan menjadi perhatian tersendiri dalam kajian Antropologi sastra. Penelitian juga dapat diarahkan pada spek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan atau tradisi leluhurnya. Peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisonal dari waktu kewaktu. Penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengintari karya tersebut. Perlu dilakuikan penelitian terhadap symbol-simbol mitos dan pola piker masyarakat pengagumnya atau penggunanya.



Tingkah laku masyarakat Banyuwangi yang masih mempercayai ilmu magis dalam kehidupannya salah satunya yaitu masih menggunakan mantra semar messem yang diturunkan temurun dari nenek moyangnya untuk kepentingan pribadinya, yakni seperti ilmu pengasihan demi mendapatkan jabatan, ataupun juga pendamping hidup untuk mereka yang mngalami kegagalan asmara atau cinta ditolak. Mantra semar messem yang dilakukan didaerah Banyuwangi ini menggunakan unsur magis jika dalam bahasnya dikatakan Mantra bermagi kuning dapat digunakan untuk mempengaruhi daya pikir seseorang tanpa menggunakan jalan yang



jahat, lebih tepatnya untuk mencari jodoh atau lebih terkenalnya masyrakat menyebut ilmu pengasihan. Selain itu mantra bermagi kuning sangat popular dikalangan masyarakat Banyuwangi yang sangat kental unsur kepercayaan magis dalam kehidupannya. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari hasil Mini Riset ini yaitu dapat diambil dari Rumusan Masalah diatas yaitu : 1. Apakah kebudayaan tradisional kuno dalam sastra lisan Mantra Semarmesem masih dilakukan oleh masyarakat sekarang? 2. Apakah kebiasaan mengadakan ritual-ritual dalam sastra lisan Mantra Semarmesem masih dilakukan oleh masyarakat sekarang? 3. Apakah kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Mantra Semarmesem masih diyakini oleh masyarakat sekarang? 4. Apakah simbol-simbol yang ada pada sastra lisan Mantra Semarmesem masih diyakini oleh masyarakat sekarang? Dari uraian diatas, kebudayaan tradisional kuno dalam sastra lisan Mantra Semarmesem masih dilakukan oleh masyarakat sekarang khususnya masyarakat Banyuwangi, seperti masih adanya penyimpanan kris Semar Mesem, dan kebudayaan yang sangat kental dengan mempercayai hal-hal gaib. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



17 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



tingkah laku masyarakat Banyuwangi yang masih mempercayai ilmu magis dalam kehidupannya salah satunya yaitu masih menggunakan mantra semar messem yang diturunkan temurun dari nenek moyangnya untuk kepentingan pribadinya, yakni seperti ilmu pengasihan demi mendapatkan jabatan, ataupun juga pendamping hidup untuk mereka yang mngalami kegagalan asmara atau cinta ditolak. Mantra semar messem yang dilakukan didaerah Banyuwangi ini menggunakan unsur magis jika dalam bahasnya dikatakan Mantra bermagi kuning dapat digunakan untuk mempengaruhi daya pikir seseorang tanpa menggunakan jalan yang jahat, lebih tepatnya untuk mencari jodoh atau lebih terkenalnya masyarakat menyebut ilmu pengasihan. Selain itu mantra bermagi kuning sangat popular dikalangan masyarakat Banyuwangi yang sangat kental unsur kepercayaan magis dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian diatas, kebiasaan mengadakan ritual-ritual dalam sastra lisan Mantra Semarmesem masih dilakukan oleh masyarakat sekarang khususnya masyarakat Banyuwangi. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis Mini Riset yaitu Mantra Semar Mesem merupakan mantra santet ilmu pengasihan, yang mempunyai simbolisme tradisi bermantra. Mantra Semar Mesem termasuk puisi lisan yang dimana dalam menggunakan lisan tersebut dilakukan dengan cara menghafal kata demi kata. Salah satu komponen yang cukup penting yang menjadi keutuhan penyajian dalam memanfaatkan mantra adalah praktik upacara ritual (magis). Sebagaimana diketahui mantra memiliki sifat rahasia, dan tertutup. Pusaka, yang berupa seperti



keris berupa wayang Semar terbuat dari logam kuningan. Simbol pusaka jika digunakan seseorang akan menunjukan harapan dan permohonan atau do’a agar diberikan rasa aman, tentram, keselamatan, dan kebahagiaan dalam mencapai tujuan yaitu bagi laki-laki yang menggunakannya. Ikat pinggang yang terbentuk dari tali wol berwarna putih dan merah. Simbol ini dapat dikatakan sebagai identitas penanda bahwa seseorang jika menggunakan ikat pinggang yang mengandung doa mantra Semar Mesem, akan terjaga dalam melindungi kedudukan atas kekuasaan yang di dapat. Maka dari itu, Ajian semar mesem merupakan bacaan atau sejenis mantra . Apabila di bacakan dengan jumlah tertentu dan disertai puasa maka, ajian atau mantra tersebut bisa di jadikan ilmu pelet atau ilmu pemikat. Konon katanya mantra atau ajian ini paling bagus di antara ilmu pemikat yang lainnya. Dari uraian diatas, kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Mantra Semarmesem masih diyakini oleh masyarakat sekarang khususnya masyarakat Banyuwangi. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis yaitu Secara kultural, masyarakat Banyuwangi masih sangat kental dengan kehidupan bermagi, salah satunya bermantra. Kepercayaan yang didapat dari warisan Hindu sangat melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Banyuwangi. Kepercayaan masyarakat terhadap hal gaib tercermin dalam tingkah laku masyarakat yang ditandai dengan adanya upacara ritual desa. Tradisi bermantra dalam konteks ini diartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam melakukan aktivitas dengan menggunakan mantra, Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



18 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



terutama dalam pemujaan leluhur. Ajian Semar Mesem (Senyum si Semar) merupakan salah satu mantera pelet dan populer yang banyak dikenal dikalangan masyarakat sebagai mantera untuk menundukkan hati seseorang, meskipun orang itu tidak mempunyai rasa cinta. Tidak heran ajian semar mesem ini sangat marak digunakan sebagai pelet dikalangan masyarakat Banyuwangi yang masih sangat kental dengan Magis dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian diatas, simbol-simbol yang ada pada sastra lisan Mantra Semarmesem masih diyakini oleh masyarakat sekarang khususnya masyarakat Banyuwangi. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis Mini Riset yaitu Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 ). Mesem merupakan arti dari bahasa jawa yang artinya senyum. Dalam beberapa hal senyum dapat membuat orang lain terpikat dan biasanya orang yang ramah senyum itu banyak orang yang menyukainya. Dalam alkisah semar yang berwujud jelek ini bisa memikat seorang putri kerajaan yang cantik bagaikan bidadari hanya dengan senyuman. Menurut warga Banyuwangi sosok Semar yang dianggap sebagai tauladan mereka dalam mengemban



agama dari Allah atau Tuhannya ia mengajarkan dan member kemudahan dan juga pelajaran bahwa siapa saja berhak mendapatkan cinta bukan karena fisik yang terlihat saja, namun juga dengan senyuman. Maka dari itu, makna Semar Messem sendiri dalam mantra Jawa ini yakni symbol Semar yang dianggap sebagai tokoh yang meneladani kebajikan dalam menjalani kehidupan dunia, dan sebagai (Tuhan) sedqangkan Messem dalam bahasa Jawa yakni yang berarti senyum. 5.2 Saran Seharusnya sebagai makhluk yang beragama dan berpendidikan, tidak mengamalkan atau mempercayai adanya ilmu gaib dan magis, mantra semar messem ini diteliti hanya sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan. DAFTAR PUSTAKA



Armina. 2014. Structures Of The West Lampung’s Wayak Oral Literature . Jurnal The Second International Conference On Education And Language Vol.2 Istiqomah, Siti. 2015. Fenomena Batu Akik Pada Masa Orde Baru Di Masyarakat Gunung Kidul Dalam Novel Maya Karyaayu Utami Kajian Antropologi Sastra. Semarang: journal.unnes.ac.id. Norma, Mohd. dkk. 2016. Kajian Antropologi Sastra Dan Nilai Pendidikan Karakter



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni



19 Pengajaran Sastra Nusantara Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Reguler A 2017



Religius Dalam Pantun Adat Jambi Serta Relevansi Dengan Pembelajaran Sastra Di Smp. Jambi: jurnal.fkip.uns.ac.id Nyoman, I Kutha Ratna. 2011. Antropologi Sastra: Perkenalan Awalanthropology



Suwandi,Endraswara,Metodologi Penelitian Antropologi Sastra,Medan: Pt Buku Seru Hilmiyatun,dkk. 2015. Rengganis(Kajian Antropologi Levi-Strauss). Jurnal



Dewi Sastra



Education Vol.10 No.2 Hal.449-



Literature: An Early Introduction. Denpasar. Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra : Perkenalan Awal. METASASTRA. Vol.4 Nomor. 2 Wikipedia.org Wulandari, Intan dkk. 2013. Simbolisme Mantra Semar Mesem Terhadap Kekuasaan Di Jawa Tengah. Jawa Tengah.



462 Muhazetty, Barokah. 2017. Mantra Dalam Budaya Jawa (Suntingan Teks Ajian Jawa Dan Kajian Pragmatik). Diponogoro. Sathish, P Chandra dkk . 2005. E-Tailing – The Mantra Of Modern Retailer’s Success. India.



Sehandi, Yohanes. 2014.MENGENAL 25 TEORI SASTRA.Yogyakarta:Ombak Sulistiasi, dkk. 1994. CERITA RAKY AT NUSANTARA Analisis Struktur dan Fungsi Penjelmaan dalam Cerita. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Norma Sampoerna,Mohd.Dkk,2016.Kajian antropologi sastra dan nilai pendidikan karakter religious dalam pantun adat jambi serta relevansi dengan pembelajaran sastra di SM. Ratna.Nyoman Kutha,2011.Antropologi Sastra:Perkenalan Awal:Denpasar. Purba,Antilan.Pengantar Sastra,Medan: USU PRESS



Ilmu



Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni