Askep Severe Head Injury [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar belakang Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan dibidang kesehatan yang didasari oleh ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga, paguyuban dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal. Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses profesionalisasi, yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai tuntunan secara global dan lokal/otonomi. Untuk mewujudkannya maka perawat Indonesia harus mampu memberikan asuhan keperawatan secara professional kepada klien dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan bangsa dan Negara Indonesia tercinta, sehingga manusia / masyarakat (masyarakat umum dan masyarakat professional) mengenal dan mengakui eksistensi profesi keperawatan (Nursalam, 2001). Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan Problem-Solving yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga (Nursalam, 2001). Tujuan proses keperawatan secara umum adalah untuk membuat suatu kerangka konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, keluarga dan 1



2



masyarakat dapat terpenuhi. Proses keperawatan juga ditujukan untuk memenuhi tujuan asuhan keperawatan yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan pasien yang optimal, dan jika pernyataan tersebut berubah, untuk membuat suatu jumlah dan kualitas tindakan keperawatan terhadap kondisinya guna kembali ke keadaan yang normal (Nursalam, 2001). Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial, dan spiritual) yang dapat ditujukan pada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat sakit (Hidayat, AA, 2004). Asuhan keperawatan merupakan faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling di inginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah (Shore 2003 dalam Doenges, 2002). Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan membuat bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi (Kusnanto, 2004). Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang dinamis yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi



3



secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup seharihari sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya. Sehat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum adalah hak dan tanggung jawab setiap individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif (Kusnanto, 2004). Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer, A, dkk, 2000). Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2001). Statistik Negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut trauma kepala. Diluar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi



4



karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orangorang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka sampai di rumah sakit, dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% dalam satu minggu perawatan, jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh gangguan perdarahan sebagai yang terkait secara tidak langsung pada trauma, komplikasi berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO 2 arterial atau keseimbangan asam basa (Mardjono & Sidharta, 2004). Menurut Narayan (2001) dalam Saanin (2007), diperkirakan lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas outcome. Pada pasien dengan cedera berganda, kepala adalah yang paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita untuk setiap kematian terhadap dua kasus dengan cacat tetap biasanya sekunder terhadap cedera kepala. Cedera kepala biasanya terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun, pada umumnya rata-rata adalah usia sekitar 30 tahun dan laki-laki 2 kali lebih sering mengalaminya (Kalsbeek, 2000) dalam Saanin (2007). Sedangkan menurut Miller (2002) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih



5



sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh cedera sistematik berat. Di Amerika Serikat, kejadian Head Injury (cedera kepala) setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana, 2009). Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai pasien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi pasien-pasien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi,



6



dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat. Sedangkan data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, diperikan untuk rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%20% cedera kepala sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan cedera kepala berat (CKB), angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat (CKB), dan untuk cedera kepala sedang (CKS) 5%-10%, sedangkan untuk cedera kepala ringan tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009). Menurut data yang didapat dari Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tasikmalaya, jumlah penderita cedera kepala (Head Injury) yang terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2010 mencapai 934 kasus dari 1305 pasien (71,57%) yang masuk Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya, sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2011 mencapai 100 kasus cedera kepala (Head Injury) dari 339 pasien (29,49%) yang masuk Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada usia produktif dan juga sebagian besar karena terjadi kecelakaan lalu lintas, yang membutuhkan pertolongan dan perawatan yang serius. Maka berdasarkan insiden di atas maka penulis tertarik untuk menyusun laporan kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Tn. N



7



dengan Gangguan Sistem Neurologi pada kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya"



B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan yaitu Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Tn. N dengan Gangguan Sistem Neurologi pada kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya ?



C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan laporan studi kasus ini adalah untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai Asuhan Keperawatan pada Tn. N dengan Gangguan Sistem Neurologi pada kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan Laporan ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata tentang : a. Pengkajian data pada klien Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale.



8



b. Diagnosa keperawatan pada klien Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale. c. Rencana asuhan keperawatan untuk masing-masing diagnosa keperawatan pada klien Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale. d. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale. e. Evaluasi asuhan keperawatan pada klien Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale.



D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk dapat mengaplikasikan teori yang didapat di bangku kuliah sehingga mendapat gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis Penulis mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya.



9



b. Bagi RSUD Tasikmalaya Laporan Kasus ini dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada RSUD khususnya di Instalasi Gawat Darurat terutama untuk asuhan keperawatan pada klein dengan kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya. c. Bagi STIKes BP Banjar Makalah ini juga dapat digunakan oleh STIKes Bina Putera, sebagai bahan kajian pustaka untuk pengembangan ilmu pengetahuan program profesi Ners. d. Bagi keperawatan Makalah ini dapat di gunakan sebagai bahan acuan untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan kasus Severe Head Injury dengan Fraktur Basis Cranii dan Occipitale di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya.



E. Sistematika Penulisan Guna memudahkan pembaca memahami tentang apa yang terkandung didalam laporan kasus ini, penulis mencantumkan sistematika penulisan antara lain :



10



BAB I :



Pendahuluan yang berisikan : latar belakang, batasan penulisan, tujuan penulisan (tujuan umum dan tujuan khusus), manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.



BAB II :



Landasan Teoritis yang berisikan : konsep dasar teori medis yang terdiri dari pengertian, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis. Konsep dasar asuhan keperawatan yang tediri dari pengkajian, validasi data, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.



BAB III : Tinjauan kasus yang berisikan : tinjauan kasus yang terdiri dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan, dan catatan perkembangan/observasi. BAB IV : Pembahasan yang berisikan : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. BAB V : Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA



11



BAB II TINJAUAN TEORITIS



A. Konsep Dasar 1. Pengertian Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. (Musliha, 2003) Cedera kepala adalah yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak,dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik dan merupakan



11



12



proporsi epidemik sebagai sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smaltzer & Bare, 2001). Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001). Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) 2. Klasifikasi 1.



Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG) Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow (SKG). a.



Ringan 1.



GCS 14-15



2.



Tidak ada kehilangan kesadaran



3.



Nyeri kepala dan pusing



b.



Sedang 1.



GCS 9-13



13



2.



Kontusio



3.



Amnesia pasca trauma atau muntah



4.



Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS



5.



Kejang.



c.



Berat 1.



GCS 3-8



2.



Koma



3.



Fraktur depresi kranium



4.



Penurunan derajat kesadaran Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana



(2009), klasifikasi cedera kepala menurut SKG : a. Minor 1.



SKG 13-15



2.



Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit



3.



Tidak ada kontusio tengkorak



4.



Tidak ada fraktur serebral



5.



Tidak ada hematoma



b. Sedang 1.



SKG 9-12



2.



Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.



3.



Dapat mengalami fraktur tengkorak



14



c. Berat 1.



SKG 3-8



2.



Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam



3.



Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.



2.



Klasifikasi berdasarkan morfologi Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari : a. Trauma kepala terbuka Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu : 1. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid) 2. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga) 3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) 4. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung) 5. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga) b. Trauma kepala tertutup 1. Komosio a.



Cedera kepala ringan



b.



Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali



15



c.



Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit



d.



Tanpa kerusakan otak permanen



e.



Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah



f.



Disorientasi sementara



g.



Tidak ada gejala sisa



2. Konkusio a.



Ada memar otak



b.



Perdarahan kecil lokal/difusi



c.



Perdarahan Gejalanya :



a.



Gangguan kesadaran lebih lama



b.



Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv



c.



Gejala TIK meningkat



d.



Amnesia lebih nyata



3. Hematoma epidural a.



Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter



b.



Lokasi tersering temporal dan frontale



c.



Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus Gejalanya :



a.



Adanya desak ruang



b.



Penurunan kesadaran ringan saat kejadian



16



c.



Penurunan kesadaran hebat



d.



Koma



e.



Nyeri kepala hebat



f.



Reflek patologik positif



4. Hematoma subdural a.



Perdarahan antara durameter dan arachnoid



b.



Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis 1. Akut a.



Gejala 24-48 jam



b.



Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata



c.



Tekanan intrakranial meningkat



d.



Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat



2. Subakut a.



Berkembang 7-10 hari



b.



Konkusio agak lambat



c.



Adanya gejala TIK meningkat



d.



Kesadaran menurun



3. Kronis a.



Ringan



b.



Perdarahan kecil terkumpul dan meluas



17



c.



Sakit kepala



d.



Lethargi



e.



Kacau mental, kejang



f.



Disfagia



5. Hematoma intrakranial a.



Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih



b.



Selalu diikuti oleh konkusio Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe



trauma kepala tertutup yaitu terdiri dari : 1. Hematoma epidural Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%, hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen media dan pada umumnya berasal dari arteria. Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :



2.



a.



Periode tidak sadar dalam waktu pendek



b.



Peningkatan tekanan intrakranial



Hematoma subdural Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.



18



Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda yaitu : a.



Hematoma subdural akut 1. Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera 2. Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi



b.



Hematoma subdural subakut 1. Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. 2. Perdarahan vena pada ruang subdural 3. Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. 4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.



c.



Hematoma subdural kronik 1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah cedera awal 2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat kedalam ruang subdural



19



3. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma 4. Penderita mengeluh sakit kepala 5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian 6. Hemiparesis Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri dari yaitu : 1.



Fraktur tengkorak a.



Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi



b.



Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS)



2.



Lesi intrakranial a.



Fokal : epidural, subdural, intra serebral



b.



Difus



: konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus



3. Etiologi Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu : a.



Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil



b.



Jatuh



c.



Kecelakaan saat olahraga



20



d.



Anak dengan ketergantungan



e.



Cedera akibat kekerasan Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma



kepala terdiri dari : a.



Benda tajam



b.



Benda tumpul



c.



Peluru



d.



Kecelakaan lalu lintas Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala



yaitu : a.



Olah raga



b.



Jatuh



c.



Kecelakaan kenderaan bermotor.



4. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh



21



kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan



oksigen



melalui



proses



metabolik



anaerob



yang



dapat



menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.



22 Patofisiologi



TIK  oedem  hematom cedera kepala



respon biologi



cedera otak terdapatnya luka



kontusio cerebri primer



kerusakan sekundersel



aliran darak ke otak ↓ O2↓→g3 metabolisme



oedem otak



simpatik ↑tahanan sistemik vaskuler & TD↓ ↓tekanan darah pulmonal ↑tek. hidrostatik



g3 rasa nyaman nyeri



masuknya darah ke jalan nafas



otak ↑ ↑ rangsangan



g3 autoregulasi



asam laktat ↑



kelainan metabolisme



cedera otak



port de entry



resiko terjadi infeksi



Hypoxemia



stress ↑ katekolamin ↑sekresi asam lambung mual, muntah



g3 bersihan jalan nafas



asupan nutrisi kurang



kebocoran cairan



g3 perfusi jaringan kapiler oedema paru→cardiac output↓ cerebri difusi O2 terganggu



G3 perfusi jaringan



terhambat G3 pola nafas→hipoksemia,



perifer



hipercapnea



resiko terjadi aspirasi



23



5. Manifestasi Klinis Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah : a. Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih b. Kebingungan c. Iritabel (perubahan fungsi) d. Pucat e. Mual dan muntah f. Pusing kepala g. Terdapat hematoma h. Kecemasan i. Sukar untuk dibangunkan j. Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila fraktur tulang temporal. Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu : a. Sistem pernafasan 1.



Chyne stokes



2.



Hiperventilasi



3.



Apnea



4.



Edema paru



b. Sistem kardiovaskuler 1. Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel



24



a. Disritmia b. Fibrilasi c. Takikardia 2. Terjadi kontraktilitas ventrikel 3. Curah jantung menurun 4. Meningkatkan tahanan ventrikel kiri c. Sistem metabolisme 1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen 2. Stress fisiologis d. Sistem gastrointestinal (GI) 1. Peningkatan asam lambung 3. Perdarahan lambung 4. Katekolamin meningkat Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : 1. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur 2. Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva 3. Memar otak 4. Battle diatas mastoid



25



5. Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan (rinorhoe) dari hidung 6. Laserasi 7. Kontusi otak Sedangkan menurut Hoffman (2006), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : 1. Tanda dan gejala fisik : a. Nyeri kepala b. Nausea 2. Tanda dan gejala kognitif a. Gangguan memori b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks 3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian a. Kecemasan b. Iritabilitas 4. Gambaran klinis secara umum : a. Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal c. Respon pupil mungkin lenyap d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial e. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK



26



f.



Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat



7. Komplikasi Menurut Engram, B (2003), komplikasi dari cedera kepala adalah : a. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK) b. Perdarahan c. Kejang d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea) e. Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis 8.



Pemeriksaan penunjang a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak b. MRI (Magnetig Resonan Imagin) Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif c. Serebral angiography Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma . d. X-Ray



27



Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang e. CSF, lumbal fungsi Jika diduga perdarahan sub arachnoid f. Kadar elektrolit Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) g. Screen toxicologi Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran h. AGDA (analisa gas darah arteri) Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Mufti, 2009). Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu terdiri dari : a. Scan CT (Compuretized Tenografi Scaning) b. MRI (Magnetig Resonan Imagin) c. Sinar X d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak e. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak



28



f.



Fungsi lumbal, CSS



g. GDA (gas darah arteri) h. Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang 9. Penatalaksanaan Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera kepala (Head Injury) adalah : a.



Pedoman resusitasi dan penilaian awal 1. Menilai jalan nafas a. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan b. Lepaskan gigi palsu c. Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal d. Pasang guedel bila dapat ditolerir e. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi. 2. Menilai pernafasan a. Tentukan pasien bernafas atau tidak b. Jika tidak, berikan oksigen melalui masker c. Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak, pneumothorak tensif, hemopneuthorak



29



d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95% e. Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh anestesi. 3. Menilai sirkulasi a. Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi b. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya c. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau a. dada d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah e. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia f. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA) g. Berikan larutan koloid 4. Obat kejang a. Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang.



30



b. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5. Menilai tingkat keparahan a.



Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) 1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif) 2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 5. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 6. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala



b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang) 1.



Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)



2. Konkusio 3. Amnesia pasca trauma 4. Muntah 5.



Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan CSS).



6. Kejang



31



c.



Cedera kepala berat (kelompok resiko berat) 1) Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)  Penurunan derajat kesadaran secara progresif  Tanda neurologis fokal  Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium



b. Pedoman penatalaksanaan 1) Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7. 2) Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut : a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat : cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri. b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah (glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.



32



3) Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tandatanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini: a. Elevasi kepala 30o b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea



harus



dihindari



sebab



dapat



menyebabkan



vasokontriksi dan iskemia serebri. c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama d. Pasang kateter foley e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe) Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan : a. Dexamethason/kalmethason Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b. Therapy hiperventilasi Untuk mengurangi vasodilatasi



33



c. Pemberian analgetika d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10% e. Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole f. Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. g. Pembedahan h. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP) i. Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen 10. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul a. Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan terjadi trauma b. Gangguan perfusi cerebral sehubungan dengan penurunan O2 ke otak c. Gangguan perfusi jaringanl sehubungan dengan terganggunya difusi O2 d. Gangguan pola nafas sehubungan dengan oedem pada paru e. Gangguan bersihan jalan nafas sehubungan dengan masuknya darah ke jalan nafas



34



f. Gangguan metabolisme sehubungan dengan penurunan O 2 ke seluruh tubuh g. Asupan nutrisi kurang dari kebutuhan sehubungan dengan edanya mual dan muntah h. Gangguan autoregulasi sehubungan dengan terjadi kerusakan sel otak i. Resiko terjadi aspirasi sehubungan dengan masuknya darah ke saluran pernafasan j. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan terdapatnya luka 11. Prognosis Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %. Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, A, dkk, 2000).



35



B. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat 1. Pengkajian Keperawatan a. Primary Survey Hal yang perlu diperhatikan adalah penilaian primary survey dilakukan secara simultan dan terkoordinir. Hal yang mengancam hidup dapat teratasi jika segera ditemukan masalah yang terjadi. Lakukan proteksi diri sebelum menolong pasien. Penilaian tingkat kesadaran pada primary survey menggunakan metode AVPU, karena mudah di ingat dan cepat. A



= alert/sadar pasien dikatakan alert atau sadar apabila pasien dapat berorientasi terhadap tempat, waktu, dan orang.



V



= verbal/respon terhadap suara Pasien ini dalam keadaan disorientasi namun masih dapat diajak bicara.



P



= pain/respon terhadap nyeri Pasien hanya berespon terhadap rangsangan nyeri



U



= unresponsive/tidak sadar



 Circulation 1) Kontrol pendarahan dengan balut tekanatau tindakan pembedahan lebih lanjut



36



2) Pemasangan infus IV dua jalur dengan ukuran kanul yang besar sesuai dengan korban 3) Ambil darah pada saat akses IV untuk pemeriksaan crossmatch 4) Berikan cairan kristaloid seperti ringer laktat 5) Cegah terjadinya hipotermi dengan memperhatikan suhu ruangan hangat, suhu cairan hangat, dan pemberian selimut 6) Jika terjadi patah tulang lakukan pembidaian 7) Perbaikan volume cairan dengan perbandingan 1:3 dari cairan atau darah yang hilang  Airway 1) Proteksi dan persiapan 2) Jaw trust dan Chin lift mungkin dapat dilakukan 3) Nasopharingeal airway jika pasien sadar 4) Oropharingeal airway jika pasien tidak sadar dengan tidak ada gag reflex tindakan bersifat sementara 5) Airway definitive harus dipersiapkan jika pasien sudah tidak dapat mempertahankan jalan nafasnya  Breathing 1) Kontrol airway definitive seperti dipasang endotracheal intubation (faktor yang dapat menahan airway, masalah ventilasi, atau tidak sadar)



37



2) Stabilisasi atau imobilisasi daerah servikal 3) Surgical Airway dapat dilakukan jika ada kontra indikasi pemasangan intubasi baik melalui nasal maupun oral 4) Kasus tension pneumothorax dilakukan dekompresi 5) Semua pasien berikan oksigen baik dengan mask atau endo tracheotube 6) Pulse oksimetri terpasang untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah  Disability 1) Ukur tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale 2) Pupil : ukuran, simetris, dan reaksi terhadap cahaya. 3) Adakah tanda lateralisasi  Exposure 1) Buka semua pakian korban 2) Selimuti untuk mencegah terjadinya hipotermi  Folley cateter 1) Pasang kateter 2) perhatikan adakah kontra indikasi sebelum dilakukan pemasangan (adanya hematoma scrotum, perdarahan di daerah OUE, tidak teraba prostat pada saat rectal touch)



38



 Gastric tube 1) Pemasangan kateter lambung dapat melalui mulut atau hidung 2) Perhatikan kontra indikasi NGT yaitu untuk pasien yang mengalami fraktur basis cranii atau diduga patah, jadi pemasangan kateter lambung melalui mulut  Heart Monitor/ECG monitor Dapat dipasang untuk pasien yang memiliki riwayat jantung ataupun pada kejadian pasien tersengat arus listrik. Untuk mengetahuui disritmia, iskemia, trauma jantung, PEA. b. Secondary Survey 1) Observasi vital sign/tanda-tanda vital 2) Head to Toe Examinitation/pemeriksaan fisik -



B : bentuk



-



T : tumor



-



L : luka



-



S : sakit



Pemeriksaan Head to Toe 1) Kepala Pemeriksaan secara visual bertujuan untuk mencari perdarahan, abrasi, laserasi, kontusio, asimetris tulang kepala dan wajah.



39



Pemeriksaan palpasi bertujuan untuk mengenali adanya krepitasi, deviasi, depresi pada kepala dan wajah. 2) Leher Pada daerah leher terdapat arteri besar dan tulang servikal. Periksalah secara seksama dan hati-hati terutama pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur tulang leher, kesalahan pada pemeriksaan servikal dapat menyebabkan kematian dan kecacatan. 3) Thorax Periksa adanya deformitas, luka terbuka, kontusio dan perdarahan. Jika ada lakukan penanganan sesuai dengan masalah yang ditemukan. 4) Abdomen Periksa pada keempat kuadran abdomen untuk mengetahui adanya perdarahan dalam. 5) Pelvis Usahakan hanya sekali pemeriksaan pada pelvis untuk mengurangi cedera lebih lanjut. 6) Ekstremitas Periksa adanya depormitas, luka terbuka, perdarahan, dan kontusio.



40



3) Riwayat kejadian, meliputi: S A M



: : :



P



:



Sign and symtomps (tanda dan gejala) Allergies (alergi) Medication (obat yang dikonsumsi) Past Illnesses/pregnancy (penyakit



terakhir/yang



diderita/lehamilan) L : Last meal (makanan terakhir dimakan) E : Event/environment related injury (riwayat kejadian) 4) Pemeriksaan tubes and finger in every orifice (pemeriksaan pada semua lubang yaitu lubang hidung dan telinga) 5) Pemeriksaan diagnostic - X-ray daerah thorax (AP) - X-ray daerah pelvic (AP) - X-ray lateral daerah servikal c. Tindakan definitive atau dirujuk untuk dilakukan tindakan definitif



41



BAB III LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. N DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSCULOSKELETAL PADA KASUS FRAKTUR BASIS CRANII dan OCCIPITALE SINISTRA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD KOTA TASIKMALAYA Tanggal 9-12 Februari 2011



A. Pengkajian 1. Identitas a.



Nama



: Tn. N



b. Umur



: 55 tahun



c.



: Laki-laki



Jenis kelamin



d. Status perkawinan : Kawin e.



Pendidikan



:-



f.



Pekerjaan



: Buruh bangunan



g. Agama



: Islam



h. No. Medrek



: 11204647



i.



Tgl. Masuk



: 08-03-2011 jam 08.15



j.



Tgl. Pengkajian



: 08-03-2011 jam 08.15



k. Diagnosa medis



: Fraktur Basis Cranii dan Occipitale Sinistra



l.



: Leuwisari Singaparna



Alamat



41



42



2. Identitas Penanggung Jawab a.



Nama



: Tn. S



b. Umur



: 60 tahun



c.



: Laki-laki



Jenis kelamin



d. Pendidikan



: SD



e.



Hub. dengan klien : Anak



f.



Alamat



: Bojongsari, Kedungreja, Cilacap



3. Riwayat Penyakit a. Keluhan utama : b. Riwayat penyakit sekarang Klien datang ke IGD RSUD Kota Tasikmalaya 08-03-2011 jam 08.15 dengan keadan tidak sadarkan diri ± 15 menit sebelum masuk ke UGD. Klien terjatuh dari lantai 3 setinggi 12 meter ketika sedang bekerja, klien datang dalam keadaan pingsan, perdarahan hidung dan telinga, apneu, dan tidak teraba nadi dan penumpukan darah di saluran pernafasan. Dilakukan pembebasan jalan nafas (airway) dengan suction dan pemasangan guedel dan endotracheal tube (ETT), dilakukan kompresi dada dengan perbandingan 30:2 sebanyak 5 siklus, dilakukan pemasangan neck collar.



43



4. Analisa data a. Primary Survey Jam Pengkajian/Data Keperawatan 08.15 C. Circulation (peredaran darah)  acral dingin  perdarahan di hidung dan telinga  Cyanosis  nadi karotis tidak teraba  kulit lembab dan pucat



Masalah Keperawatan Ganngguan perfusi jaringan perifer



A. Airway (jalan nafas)  penumpukan darah di mulut  pangkal lidah jatuh kebelakang



Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif



B. Breathing (pernafasan)  apneu



Pola nafas tidak efektif



D. Disability  tingkat kesadaran kualitataf : coma kuantitatif : GCS 3 (E1M1V1)  pupil midriasis  respon cahaya (-)  penilaian ekstremitas sensorik (-) motoric (-) 0 0  kekuatan otot 0 0



Gangguan perfusi jaringan cerebral



E. Exposure  adanya trauma pada daerah kepala  lecet di kaki dan tangan  pendarahan di hidung dan telinga



Resiko terjadi infeksi



F. Foley Cateter  distensi kandung kemih (+)



Resiko terjadi infeksi



G. Gastric Tube  distensi abdomen (+)



Resiko terjadi aspirasi



H. Heart monitor 



-



b. Secondary Survey



44



1) Tanda-tanda vital T : tidak teraba nadi P : tidak teraba nadi R : apneu S : 35,2 2) Head to Toe Examination a. Kepala Inspeksi  Ada perdarahan di hidung dan telinga  Bentuk wajah simetris  terdapat krepitasi pada occipital  konjungtiva merah muda Auskultasi Palpasi perkusi b. Leher Inspeksi  trachea simetris Auskultasi Palpasi  tidak ada tanda fraktur tulang cervikal



45



perkusi c. Thorax Inspeksi  tidak ada luka atau jejas didaerah dada  pergerakan dada saat klien bernafas simetris Auskultasi  dada kiri dan kanan terdenganr sonor dengan perkusi Palpasi  tulang iga teraba utuh perkusi d. Abdomen Inspeksi  abdomen terlihat datar Auskultasi Palpasi  seluruh kuadran abdomen teraba lembek  ada distensi abdomen perkusi e. Pelvis Inspeksi  tidak ada jejas di pelvis



46



Auskultasi Palpasi perkusi f. ekstremitas Inspeksi  ada luka lecet di kaki dan tangan  sensasi sensorik (-) dan motoric (-)  kekuatan otot



0 0 0 0



Auskultasi Palpasi perkusi 3) Pemeriksaan Tambahan  Pemeriksaan Foto thorax Hasil dalam batas normal  Pemeriksaan Foto Schedel Hasil Fraktur Occipitale  CT Scan Hasil fraktur basis cranii dan Occipitale sinistra 4) Riwayat Kejadian S (Sign and symtomps)  penurunan kesadaran (E1M1V1)



47



 ada pendarahan di hidung da telinga  trauma bagian occipital A (Allergies) klien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan M (Medication) klien tidak dicuragai sedang dalam pengaruh minuman beralkohol dan obat-obatan yang menyebabkan ngantuk P (Past illnesses/pregnancy) klien tidak memiliki penyakit apapun yang dideritanya sebelum kecelakaan L (Last meal) klien makan nasi sebelum bekerja E (Event/environment related injury) ± 15 menit sebelum masuk RS, klien terjatuh dari lantai 3 proyek bangunan setinggi 12 meter ketika sedang bekerja. Menurut saksi mata, pada saat kejadian klien langsung tidak sadarkan diri 5) Pemeriksaan Tubes and finger in every orifice (pemeriksaaann pada semua lubang) 



ada perdarahan dari lubang telinga kanan







ada perdarahn dari lubanga hidung



48



 Perencanaan DATA Circulation :  acral dingin  perdarahan di hidung dan telinga  Cyanosis  nadi karotis tidak teraba  kulit lembab dan pucat Airway :  penumpukan darah di mulut  lidah jatuh kebelakang Breathing : 



apneu



ACTION  Neck Collar



RESPON Nadi teraba



 Compresi dengan siklus 5 kali dan perbandingan 30:2  Infus NaCl di guyur  suction



Suara nafas vesikuler



 mayo  Intubasi  oksigenasi dengan



15



non



ltr/menit Nafas belum spontan rebreathing



mask Disability :



 Ventilator  Head Up 30º



GCS 3 (E1M1V1)







tingkat kesadaran kualitataf : coma kuantitatif : GCS 3 (E1M1V1)  lateralisasi pupil motoric (-) sensorik (-) Exposure :  adanya trauma pada daerah kepala  lecet di kaki dan tangan  pendarahan di hidung dan telinga Folley cateter : 



Bersihkan luka



 pasang Foley cateter no 16



Distensi kandung kemih



Gastric Tube :



Luka bersih



 DC terpasang  Urin pertama keluar



 pasang OGT



700cc dibuang  Ogt terpasang  Aspirasi tidak ada



49



Heart Monitor :



50



-



Observasi Tindakan Keperawatan Dan Evaluasi per 15 menit Nama pasien : Tn. N No. CM



: 11204647



Tanggal



: 08-03-2011 Observasi



Jam



Data 08.25 C (Circulation) A (Airway) - pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 08.40 C (Circulation) A (Airway) B (Breathing) - pola nafas belum efektif D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor)



Action  mengobservasi keefektifan jalan nafas  terapi O2 masuk 8 ltr/menit  mengkaji TTV



  



Respon  Pola nafas masih belum efektif  hasil TTV T : 130/10 mmHg N : 85x/menit R : 14x/menit S : 36,2 ºC



mengatur posisi  Pola nafas masih belum efektif tidur head up  Hasil TTV 30 T : 140/110 mmHg terapi O2 N : 87x/menit masuk 8 R : 14x/menit ltr/menit S : 35,2 ºC mengobservasi frekuensi, irama pernafasan,



Paraf



Dede Wahyudin



Ai Totoh



51



08.55 C (Circulation) A (Airway) B (Breathing)  pola nafas belum efektif D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 09.10 C (Circulation)  denyyut nadi radialis lemah dan cepat  CRT > 2 detik A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 09.25 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum efektif



suara nafas  Mengkaji TTV  mengobservasi keefektifan jalan nafas  Mengkaji TTV



 mengobservasi keefektifan jalan nafas  terapi O2 masuk 8 ltr/menit  Mengkaji TTV



 Pola nafas masih belum efektif  Hasil TTV T : 140/90 mmHg N : 78x/menit R : 16x/menit S : 35,2 ºC



 Pola nafas belum efektif  denyut nadi masih lemah  Hasil TTV T : 140/110 mmHg N :79/menit R : 14x/menit S : 35,2 ºC



 melakukan  pola nafas belum efektif suction  hasil TTV  mengkaji TTV T : 120/90 mmHg N : 83x/menit



Heru Purnomo



Siwi Tri A.



Deden Herdiana



52



B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) E. Ekposure 09.40 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 10.00 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.00 C (Circulation) A (Airway)



R : 14x/menit S : 35,2 ºC



 mengobservasi - pola nafas belum efektif - hasil TTV keefektifan T : 140/110 mmHg jalan nafas N : 87x/menit  terapi O2 R : 14x/menit masuk 8 S : 35,2 ºC ltr/menit  mengkaji TTV - Hasil Intake & output In : 890 cc  Mengobservasi Out : 600 cc Intake dan output  mengobservasi  pola nafas belum efektif keefektifan jalan nafas  Melakukan kolaborasi dengan radiologi (rontgen dan CT Scan)  mengobservasi  keefektifan 



pola nafas belum efektif hasil TTV



Ali Murtado



Dede Wahyudin



Ai Totoh



53







pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.15 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.20 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor)



jalan nafas terapi O2 masuk 8 ltr/menit  mengkaji TTV



T : 140/80mmHg N : 87x/menit R : 14x/menit S : 35,2 ºC



 mengobservasi keefektifan jalan nafas  terapi O2 masuk 8 ltr/menit  Mengobservasi TTV



 pola nafas belum efektif  hasil TTV T : 140/100 mmHg N : 87x/menit R : 13x/menit S : 35,2 ºC







-



Siwi Tri A.



mengobservasi  pola nafas belum efektif Deden Herdiana keefektifan  Hasil rontgen dan CT scan Fraktur jalan nafas basis cranial sampai middle terapi O2 masuk occipital sinistra tanpa pendarahan 8 ltr/menit  Hasil Mengobservasi intake 950 cc intake dan output 700 cc output - hasil TTV Mengobservasi T : 140/90 mmHg TTV N : 87x/menit R : 14x/menit



54



11.20 C (Circulation) - nadi tidak teraba A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) - apneu D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.40 C (Circulation) Nadi teraba lemah dengan frekuensi 100x/menit A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.45 C (Circulation) A (Airway)  pola nafas belum



-



S : 35,2 ºC terapi O2 masuk - Nadi teraba 8 ltr/menit - Nafas ada RJP dengan kompresi 30:2 dengan 5 siklus Ali Murtado



-



-



mengobservasi  pola nafas belum efektif keefektifan  hasil TTV jalan nafas T : 140/110 mmHg terapi O2 masuk N : 83x/menit 8 ltr/menit R : 14x/menit mengkaji TTV S : 35,2 ºC



mengobservasi  pola nafas belum efektif keefektifan  hasil TTV jalan nafas T : 140/110 mmHg



Dede Wahyudin



Siwi Tri A.



55



efektif B (Breathing) D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.50 C (Circulation) Nadi tidak teraba A (Airway)  pola nafas belum efektif B (Breathing) Apneu D (Disability) E (Exposure) F (Folley cateter) G (Gastric tube) H (Heart monitor) 11.55 Klien meninggal



-



-



terapi O2 masuk N : 87x/menit 8 ltr/menit R : 14x/menit mengkaji TTV S : 35,2 ºC



terapi O2 masuk 8 ltr/menit RJP dengan kompresi 30:2 dengan 5 siklus



Nadi tidak teraba apneu



Ai Totoh



Deden Herdiana



56



BAB IV PEMBAHASAN



Pada bab ini penulis mencoba membahas tentang kasus Tn. N dengan kasus Fraktur basis cranii dan occipital sinistra yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kota Tasikmalaya. Setelah melaksanakan praktek keperawatan secara langsung kepada klien, penulis memahami bahwa proses keperawatan yang dilaksanakan tidak jauh berbeda dengan teori yang didapat. Untuk lebih jelasnya penulis bahas sebagai berikut : A. Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001). Menurut Doenges (1999), pengkajian secara teoritis didapatkan data-data sebagai berikut antara lain pengkajian aktivitas / istirahat :gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopaedi, kehilang tonus otot, otot spastik. Pada tahap pengkajian, penulis dapat melaksanakan pengkajian sesuai dengan teori yang ada.. Dari pengkajian ditemukan bahwa klien memiliki kondisi Fraktur basis cranii dan occipital sinistra, kekuatan ototnya 0 (ekstremitas atas bawah dan ekstremitas kiri atas) sedangkan kesadaran klien dalam kategori koma dengan



55



57



nilai GCS 3. Pada dasarnya gejala dan keluhan klien fraktur pada kasus ini sesuai dengan teori yang ada. B. Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom (Carpenito, LJ, 1998). Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus ini adalah Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif, Pola nafas tidak efektif, Gangguan perfusi jaringan perifer, Gangguan perfusi jaringan cerebral, resiko infeksi, resiko aspirasi. C. Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik dimana



rancangan



intervensi



keperawatan



dituangkan



dalam



rencana



keperawatan (Basford & Slevin, 2006). Pada tahap perencanaan kami merencanakan tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan disesuaikan dengan kondisi, alat-alat yang tersedia dan kemampuan penulis. Tetapi pada prinsipnya rencana tindakan yang kami lakukan tidak terlepas dari teori yang ada dengan tujuan mengatasi masalah yang ada pada klien. D. Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, AA, 2004). Pelaksanaan asuhan keperawatan berdasarkan perencanaan yang disusun dengan cara kerjasama antara tim Kesehatan Rumah Sakit Tasikmalaya khususnya Instalasi Gawat Darurat. Tindakan keperawatan yang dilakukan mengacu kepada



58



rencana yang telah ditetapkan walaupun pada pelaksanaannya ada beberapa rencana yang belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan berbagai hal. E. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001). Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan. Evaluasi mengacu kepada tujuan jangka pendek yang telah ditetapkan sedangkan kondisi klien dievaluasi dalam keadaan koma. Jadi evaluasi dari tindakan keperawatan yang diberikan kurang maksimal dengan keadaan klien.



59



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan Asuhan Keperawatan pada Tn. N dengan keluhan utama pada fraktur basis cranii dan occipital sinistra, melalui proses keperawatan maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penulis mampu melakukan pengkajian yang dilakukan secara komprehensif terhadap klien dengan keluhan utama gangguan bersihan jalan nafas. Selama pengkajian penulis melakukan kerjasama dengan perawat ruangan dan melakukan studi dokumentasi. 2. Berdasarkan hal tersebut masalah keperawatan yang muncul ada lima (Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif, Pola nafas tidak efektif, Ganngguan perfusi jaringan perifer, Gangguan perfusi jaringan cerebral, resiko infeksi, resiko terjadi aspirasi), selanjutnya dirumuskan menjadi enam diagnose keperawatan. 3. Penulis mampu menyusun rencana keparawatan disesuaikan dengan diagnose keperawatan mengacu kepada teori, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada. 4. Penulis mampu melaksanakan tindakan keperawatan yang mengacu pada rencana keperawatan yang telah disusun dan disesuaikan dengan kondisi klien. 58



60



5. Penulis mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan mengacu kapada tujuan jangka pendek, sedangkan catetan perkembangan dibuat dalam bentuk catetan perkembangan yang dibuat dalam waktu per 5 menit.



B. Saran 1. Bagi penulis untuk lebih meningkatkan pemahamannya tentang prinsip keperawatan gawat darurat karena semakin cepat penangannya semakin cepat pula pasien tertolong. 2. Bagi RSU Tasikmalaya, agar dapat menyediakan ruangan khusus berdasarkan jenis kegawatdaruratan pasien di IGD sehingga dalam melaksanakan tindakan lebih terkonsentrasi pada tingkat kegawatannya. 3. Bagi institusi pendidikan agar menyediakan peralatan perlengkapan praktek secara memadai. 4. Bagi keperawatan untuk memfasilitasi kegiatan pelatihan untuk keperawatan gawat darurat.



61



DAFTAR PUSTAKA



Abdale. (2007). Trauma Kepala. (http://www.webcache.googleusercontenabdale. com.htm) Doenges, E & Burley. T.J. (1995) Aplication of Nursing Process and Nrusing Diagnosis. Pennsylvania USA. Eggland, E., Th, (1994) Nursing Documentation; Charting, Recording, Reporting, J.B. Lipppincot Company. http://kuliahperawat.wordpress.com/2008/12/21/dokumentasi-asuhankeperawatan/ Irwana, O. (2009). Cedera Kepala/Head Injury. (http://yayanakyar. wordpress.com. htm) Mufti, A. (2009). Cedera Kepala. (http://moveamura.files.wordpress.com.pdf.) Saanin, S. (2007). Cedera Otak Traumatika. (http://syaiful saanin.wordpress. com.htm) Widyaningrum, D. (2008). Askep Pada Trauma Kapitis. (http://yenibeth. wordpress. com.htm)