Aspek Apriori Dalam Pengetahuan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASPEK APRIORI DALAM PENGETAHUAN



Filsafat Sains & Teknologi UAS 1 (Open Book) By : Anna Melya



Kelemahan Teori Abstraksi Realisme Moderat • Realisme Moderat abad pertengahan mempunyai kelemahan, karena hampir megabaikan sama sekali aspek apriori dalam proses manusia berpikir, mengalami dan mengetahui sesuatu. • Teori abstraksi klasik juga mengabaikan kenyataan bahwa dalam proses konseptualisasi/ memahami secara tepat data yang kita peroleh dari pengalaman, juga terlibat apa yang disebut bingkai konseptual (conceptual frameworks) yang dimiliki oleh subjek penahu. • Dengan kata lain, teori abstraksi klasik tidak melihat betapa besar ketergantungan hasil pengetahuan pada paradigma yang dipakai oleh subjek penahu. • Konseptualisasi bukan sekedar membuat perampatan atau melekatkan konsep umum atas gejala2 individual yang dialami. • Bingkai konseptual : perspektif yang menjadi sudut pandang kita akan realitas.



• Konsep umum bukan sesuatu yang dapat dengan mudah “dibaca” atau “ditarik” begitu saja dari data yang dialami. • Sebaliknya, sering kali kita perlu kerja keras dan perlu belajar dari kekeliruan (trial and error) untuk dapat merumuskan konsep atau pemahaman yang tepat mengenai apa yang kita alami. • Perumusan konsep/ pengertian yang tepat tentang apa yang kita tangkap sebagai data pengalaman, secara apriori pasti diwarnai oleh khazanah pengalaman dan pengetahuan kita sebelumnya.



• Adalah suatu distorsi terhadap pengertian konseptualisasi sebagai proses abstraksi apabila itu dipahami sebagai membuat semacam “tiruan yang mempermiskin” dari objek yang dialami atau melulu merampat dengan menangkap yang hakiki dan menghilangkan hal2 yang remeh. • Anggapan ini keliru karena : a. Mereduksikan pengertian gagasan abstrak melulu sebagai gambaran indrawi b. Tidak memungkinkan penjelasan tentang bagaimana hukum2 ilmiah, baik klasik maupun yang bersifat statistis itu bersifat objektif. Sebaliknya, konseptualisasi selalu memuat konsep abstraksi sabagai kegiatan pengayaan pengalaman indrawi melalui pemahaman.



• Abstraksi sebagai pengayaan pengalaman melibatkan : 1) Suatu antisipasi yang memperkaya dari suatu keterpahamian yang terdapat dalam data terindra, & dengan demikian abstraksi menuntut lebih dari sekadar penyajian data indrawi. 2) Peran wawasan pikiran (insight) yang menyingkapakan apa yang berarti, relevan dan penting dalam data yang tersaji. 3) Suatu perumusan tentang keterpahamian yang terdapat dalam data terindra dan yang tersingkapkan oleh wawasan pikiran.



• Abstraksi sebagai pengayaan pengalaman juga terbuka terhadap kemungkinan adanya sesuatu yang oleh Lonergan disebut empirical residue.



• Empirical Residue, yakni hal-hal yg secara empiris memang ada, tetapi tak tersistematisasikan.



• Seperti sangat ditekankan oleh J.Krishnamurti, kata (sebagai upaya pengonsepan apa yang mau dikatakan) tidak pernah persis = hal/bendanya yang mau dikatakan. Tetapi hal/ benda itu juga tak pernah akan dapat diketahui apa itu, kalau tak pernah dikatakan.



Aspek Apriori Pengetahuan Menurut Kant • Dalam kajian epistemologis Kant, kegiatan manusia mengetahui suatu objek merupakan suatu kegiatan aktif subjek untuk mengkonstruksikan sesuatu dengan memakai kategori2 pemikiran yang bersifat apriori. • Kant amat menekankan peran aktif subjek penahu dalam kegiatan manusia mengetahui. Subjek bukan sebagai penonton pasif yang hanya mencatat apa yang digoreskan dalam pikiran oleh objek dan kemudian melaporkan kembali sebagaimana adanya, tetapi mengkonstituasikan atau membentuk objek sendiri sebagaimana diketahui. • Seluruh unsur formal/ struktural dalam objek berasal dari subjek/ pikiran manusia. Pendapat Kant ini lebih bersifat revolusioner, ia menyebutnya sebagai suatu “revolusi Kopernikan” dalam filsafat.



• Sebagaimana Kopernikus membalikkan pendapat dalam astronomi dengan menyatakan bahwa bukan matahari mengelilingi bumi, tetapi bumi mengelilingi matahari, demikian juga Kant menyatakan bahwa bukan subjek yang tergantung pada objek, tetapi sebaliknya objek tergantung pada subjek. • Objek sejauh menampakkan diri (fenomenon) dan sejauh diketahui, distrukturkan oleh subjek. Objek sebagaimana adanya atau “benda dalam dirinya sendiri”(noumenon) dan yang melulu merupakan “bahan mentah” bagi pengetahuan, tidak dapat diketahui. • Menurut Kant, pembalikkan baru dari peran dominan dalam kegiatan mengetahui tersebut, (yakni dari peran dominan objek dalam menentukan pikiran ke peran dominan subjek dalam menentukan objek sebagaimana diketahui) merupakan jalan satu-satunya untuk menjamin kebenaran.



• Kebenaran baginya : kesesuaian antara objek dengan pikiran. Dalam pandangannya pikiran/ subjek mengkonstituasikan objek sebagaimana diketahui, maka tentu saja objek dan subjek jelas sesuai satu sama lain. Ia menyebut posisi epistemologis nya sebagai suatu bentuk “realisme empiris” (bagi kita benda2 : sebagaimana mereka menampakkan diri kepada kita) dan sekaligus “idealisme transendental” (benda2 sebagaimana diketahui, bagi kita, dikonstitusikan oleh pikiran kita).



• Dengan kata lain, pikiran kita sebagai subjek memang tidak menciptakan objek pada dirinya, tetapi objek sebagaimana kita ketahui, distrukturkan secara apriori oleh pikiran kita. • Bagi Kant, semua unsur formal/ struktural dalam objek yang diketahui, datang dari struktur pikiran. Sedangkan semua unsur material merupakan sesuatu yang pada dirinya tak dapat diketahui.



• Unsur2 formal yang secara apriori berasal dari struktur pikiran, bagi Kant merupakan suatu syarat yang bersifat niscaya bagi dimungkinkannya pengalaman kognitif. • Dalam rumusan Kant, setiap unsur dalam kegiatan manusia mengetahui muncul bersama pengalaman, tetapi tidak setiap unsur di dalamnya berasal dari pengalaman.



• Unsur2 formal muncul bersama pengalaman, karena sebagai syarat bagi dimungkinkannya pengalaman akan objek, unsur2 itu terberi sebagai terpenuhi dalam pengalaman; tetapi unsur2 formal tersebut tidak dapat berasal dari pengalaman, karena persis merupakan syarat2 bagi dimungkinkannya pengalaman. • Menurut Kant, semua unsur formal/ struktural dalam kegiatan manusia mengetahui itu bersifat apriori.



• Kant mengetahui adanya 2 aspek yang tak dapat direduksikan ke satu sama lain, yakni aspek yang secara hakiki bersifat aktif dan aspek yang secara hakiki bersifat pasif/ reseptif.



• Aspek yang aktif ia sebut Pengertian (Understanding), sedangkan yang pasif ia sebut Indra (Sense). • Indra yang bersifat reseptif terhadap rangsangan dari luar, menurut Kant memiliki memiliki unsur formal yang bersifat apriori, yakni struktur Ruang dan Waktu. • Hasilnya adalah intuisi indrawi dari objek fisik yang bersifat spasio-temporal/ berada dalam ruang dan waktu. Kant memahaminya sebagai intuisi karena objek yang tersaji begitu adalah suatu yang bersifat partikular (ini-di sini-sekarang).



• Penangkapan kita atas struktur/ bentuk apriori ruang dan waktu juga merupakan suatu intuisi karena bentuk2 itu sendiri juga bersifat partikular. • Hanya ada satu Ruang dan hanya satu Waktu yang menstrukturkan setiap objek fisik yang tersaji dalam intuisi indrawi. • Objek2 fisik tidak menjadi contoh perwujudan/ pengejawantahan (exemplification) partikular dari Ruang dan Waktu. • Kita memprediksikan konsep2 universal pada objek2 itu dalam pelbagai bentuk pernyataan putusan. • Menurut Kant, konsep universal tidak didasarkan atas objek2 fisik dan juga tidak diabstraksikan dari objek2 tertentu.



• Kategori2 Pengertian adalah syarat2 bagi dimungkinkannya pembuatan atau penegasan pernyataan mengenai objek2 fisik.



• Kant menyatakan, intuisi indrawi (persepsi) tanpa konsep itu buta; konsep tanpa intuisi itu kosong. Hanya kalau keduanya dipadukan akan menghasilkan pengetahuan tentang objek2 fisik. • Kant menarik kesimpulan dari logika formal pada zamannya dan menurunkan 12 Kategori Pengertian sejajar dengan adanya 12 jenis putusan. • Berikut TABEL 12 KATEGORI & 12 PUTUSAN



PUTUSAN



KATEGORI



(a) KUANTITAS



(a) KUANTITAS



1. Universal



1. Kesatuan



2. Partikular



2. Pluralitas



3. Singular



3. Totalitas



(b) KUALITAS



(b) KUALITAS



4. Afirmatif



4. Realitas



5. Negatif



5. Negasi/ Penyangkalan



6. Tak Terbatas



6. Pembatasan



(c) RELASI



(c) RELASI



7. Kategoris



7. Substansi



8. Hipotesis



8. Penyebab



9. Disjungtif/ Memisah



9. Komunitas



(d) MODALITAS



(d) MODALITAS



10. Problematis



10. Kemungkinan



11. Assetoris



11. Eksistensi



12. Apodiktis



12. Keniscayaan



• Penting disadari bahwa Kategori Pengertian = predikat. • Kategori Pengertian : syarat2 bagi dimungkinkannya konsep yang dapat diprediksikan pada benda/ objek fisik. • Dalam arti ini Kategori Kant mirip dengan Kategori yang dirumuskan Aristoteles. Bedanya adalah bahwa 10 Kategori yang dirumuskan Aristoteles adalah klasifikasi jenis predikat (& bukan predikat sendiri), bukan syarat2 yang memungkinkan predikat. Kant tidak mempunyai teori abstraksi sebagaimana Aristoteles. • Syarat2 apriori bagi dimungkinkannya pengetahuan manusia adalah Skematisasi Kategori.



• Skematisasi kategori : syarat2 apriori bagi dimungkinkannya pengetahuan manusia bahwa harus ada sesuatu yang menghubungkan antara intuisi indrawi dan pengertian. • Menurut Kant Skematisasi terjadi berkat Imajinasi.



Aspek Apriori Pengetahuan Menurut Lonergan • Dalam buku Insight, Lonergan memberi perhatian yang wajar pada aspek apriori pengetahuan. Sebagaimana Kant, berusaha menetapakan Kategori Pengertian melalui suatu “deduksi transendental”, demikian juga Lonergan mengambil langkah yang sama. • Lonergan bertanya tentang apa yang membuat tindak pengenalan seperti itu (membuat putusan fakta) dapat dilakukan; sedangkan Kant bertanya tentang apa yang membuat pengetahuan akan objek itu mungkin. • Syarat Apriori bagi putusan mengenai fakta : 1. Penangkapan oleh pikiran akan apa yang secara virtual atau pada prinsipnya tak bersyarat. 2. Tindakan intelegensi yang mendapatkan kesatuan sistematis dengan merujuk pada suatu bidang kondisi yang memenuhi persyaratan, tetapi tidak secara niscaya demikian.



• Dengan demikian aspek Apriorinya dapat mengartikulasikan apa yang secara kabur sudah dikemukakan oleh Thomas Aquinas : Quid quid recipitur, recipitur secundum modum recipientes (Apa pun yang diterima, diterima sesuai dengan cara penerimaan atau kemampuan si penerima). • Lonergan membuat perbandingan antara deduksi yang ia buat dan yang dibuat oleh Kant sbb:



Deduksi Lonergen vs Kant KANT



LONERGEN



1. Mencoba mendeduksikan syarat2 yang memungkinkan sesuatu menjadi suatu objek pengetahuan. 2. Mengasumsikan bahwa pengertian “menjadi suatu objek” dan “objektivitas sebagai pengertian yang cukup jelas untuk mendukung suatu deduksi bagi kemungkinannya. 3. Secara tajam membedakan antara fenomenon dan noumenon. 4. Secara khusus menaruh perhatian pada putusan yang bersifat niscaya (yakni putusan sintetis apriori)



1. Mencoba mendeduksikan syarat2 bagi dimungkinkannya kegiatan menegaskan putusan fakta. 2. Berpikir bahwa persis pengertian itu yang memerlukan penjelasan dengan menjelaskan kegiatan mengetahui yang mengandaikannya. 3. Membedakan antara “benda-bagi-kita” dan “benda-pada-dirinya”. 4. Secara khusus menaruh perhatiannya pada putusan fakta, karena putusan macam itu menambah pengetahuan kita tentang dunia dan menyediakan jalan melalui mana kita dapat bergerak dari proposisi yang melulu analitis ke prinsip analitis yang merupakan padanan dari putusan niscaya dari Kant.



KANT 5. Kant mendasarkan penegasan putusan secara langsung pada skematisme dari kategori2. 6. Yang tak bersyarat bukan suatu yang konstituitif bagi pengenalan akan objek, tetapi hanya bersifat regulatif. 7. Pada tataran pengalaman, Kant hanya mengenal kesadaran empiris. Yakni kesadaran yang menyertai kegiatan mempersepsi, membayangkan, menegaskan putusan dsb. Ia mendeduksikan kesatuan dari apa yang dicerap oleh indra (“saya berpikir”) sebagai suatu syarat apriori dari apa yang memungkinkan semua pengenalan.



LONERGEN 5. Mendasarkan pada penangkapan oleh pikiran apa yang pada prinsipnya tak bersyarat. 6. Yang tak bersyarat itu mendahului dan konstitutif terhadap peneguhan tentang apa yang pada prinsipnya tak bersyarat. 7. Pada tataran pengalaman mengenali bahwa kesadaran itu bersifat polimorfik (berbentuk banyak); artinya, tida hanya sadar akan apa yang secara empiris terberi.



Arti & Peranan Bingkai Konseptual dalam Kegiatan Mengetahui • Secara umum “bingkai Konseptual” : titik pandang/ perspektif kita dalam mengalami, memahami dan bersikap terhadap realitas. • Bingkai Konseptual Linguistik : Perspektif kita atas realitas ditentukan oleh matriks konseptual yang kita gunakan untuk menata pengalaman kita dan untuk mengarahkan tanggapan kita pada dunia di sekitar kita. • Bingkai konseptual dapat lebih terspesialisasi dan membentuk semacam bingkai turunan dalam suatu jaringan budaya yang lebih luas. • Seperti ditunjukkan Thomas Kuhn, dalam praksis sejarah sains ada kemajemukan bingkai konseptual yang pada awalnya saling bersaing “paradigma”/ model dasar yang berlaku, diakui dan diikuti oleh komunitas pelaku sains bidang tertentu.



• Revolusi Sains pada dasarnya : pergantian secara menyeluruh/ sebagian dari paradigma lama dengan paradigma baru. • Ct : dalam ilmu fisika, cukup lam berlaku paradigma Newton dengan fisika klasiknya. Tetapi kemudian muncul parradigma Einstein dengan teori Relativitasnya. Kemudian muncul fisika partikel dari tokoh seperti Schrodinger, Max Planck dan Werner Heisenberg. • Seperti dikemukakan oleh Wilfrid Sellars, kalau diterima adanya bingkai konseptual yang secara apriori ikut menentukan seluruh kegiatan manusia mengetahui, maka sekurang-kurangnya ada 2 persoalan yang muncul.



• Persoalan pertama : hal penentuan arti atau makna kata dan proposisi. • Persoalan kedua : dalam hal penentuan bagaimana konsep terbentuk. • Mengenai persoalan pertama, dalam pendekatan tradisional yang menganut paham empirisme konsep, makna kata selalu merujuk pada benda/ objek yang mau ditunjuk oleh kata tersebut. • Secara dasariah, makna menyangkut suatu hubungan antara kata dari suatu bahasa dan objek fisik di dunia.



• Teori makna seperti ini pada akhirnya didasarkan atas paham definisi dengan menunjuk langsung apa yang mau didefinisikan (ostensive definition). • Kelemahan pokok dari teori ini : bahwa paham definisi seperti itu tidak dapat menjelaskan makna kata sambung seperti “dan”, “atau”, “kalau…, maka…”. • Bingkai konseptual itu tidak dibangun dari bagian2 kecil yang masing2 mempunyai makna secara mandiri, melainkan bagian2 kecil itu baru bermakna dari bingkai konseptual secara keseluruhan.



• Persoalan kedua yang muncul berkaitan dengan empirisme konsep : tidak lagi dapat dipertahankannya pendapat bahwa konsep itu terbentuk melalui proses abstraksi dari kesadaran indrawi yang bersifat prakonseptual dan bahwa bingkai konseptual dibangun sedikit demi sedikit secara bertahap dari proses abstraksi seperti itu. • Pandangan Holistik mengenai Konsep : konsep diperoleh secara bersama-sama dalam suatu keseluruhan sistem, dan hanya dengan mempelajari keseluruhan sistem, maka kita dapat mengerti masing2 konsep. • Erat terkait dengan pengertian ini adalah konsep “permainan bahasa” / “language games” yang dikemukakan oleh Wittgenstein. Sedangkan “language games” sendiri erat terkait dengan apa yang ia sebut “form of life” yakni lingkungan kehidupan dengan sistem bahasa dan budayanya sendiri2.



• Bagaimana dapat mengambil serius bingkai konseptual dalam kegiatan manusia mengetahui tanpa jatuh ke dalam paham relativisme epistemologis? 1. Semua kebenaran manusiawi tentunya merupakan suatu ungkapan yang bermakna, dan dengan demikian dapat diungkapkan dalam suatu bingkai konseptual linguistik tertentu. Ini berarti kita perlu kenali aturan main dalam “permainan bahasa” yang bersangkutan. Tidak ada ungkapan kebenaran yang sama sekali lepas dari semua bingkai konseptual. Tidak ada ungkapan kebenaran yang bersifat universal, tetap dan tak pernah berubah.



2. Ungkapan dalam bingkai konseptual yang berbeda, sebagaimana adanya, tidak dapat dibandingkan dan dengan demikian tidak dapat dikatakan apakah sesuai/ tidak sesuai. 3. Bingkai konseptual linguistik sendiri pada dirinya tidak dapat diakatakan benar/ salah. Yang dapat diakatakan : mungkin yang satu lebih/ kurang kuat, lebih/ kurang memadai untuk suatu maksud/ kepentingan tertentu. 4. Bingkai konseptual linguistik dapat dan memang mengalami perubahan dalam perjalanan waktu. Perubahan tersebut mencerminkan kebutuhan, kemauan dan keinginan orang yang menggunakan bingkai tersebut.



KESIMPULAN • Dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat universal, abadi dan tak berubah.



• Karena Kebenaran : apa yang diungkapakan pernyataan2 dalam bingkai konseptual dan tidak ada satupun yang menghalangi suatu kebenaran universal untuk diungkapkan secara berbeda dan dalam beraneka cara.