Azam Zaini Mukhtar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EKSISTENSI SYARAT KHUSUS PADA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DALAM UPAYA MEWUJUDKAN TUJUAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK STUDI DI PENGADILAN NEGERI UNGARAN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh Azam Zaini Mukhtar 8111413289



PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017



i



PERSETUJUAN PEMBIMBING



Skripsi berjudul “Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran)” disusun oleh Azam Zaini Mukhtar (8111413289) telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, pada :



Hari



: Senin



Tanggal



: 17 April 2017



Menyetujui,



Pembimbing I



Pembimbing II



Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum NIP. 19640113200312201



Cahya Wulandari, S.H.,M.Hum. NIP. 198402242008122001



Mengetahui Wakil Dekan Bidang Akademik



Dr. Martitah, M.Hum. NIP. 196205171986012001



ii



PENGESAHAN Skripsi berjudul “Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran)” disusun oleh Azam Zaini Mukhtar (8111413289) telah dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, pada : Hari Tanggal



: :



Penguji. Utama



Rasdi S.Pd.,M.H NIP. 196406121989021003



Penguji Anggota I



Penguji Anggota II



Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum NIP. 196401132003122001



Cahya Wulandari, S.H.,M.Hum NIP. 198402242008122001



Mengetahui Dekan Fakultas Hukum



Dr. Rodhiyah, S.Pd.,S.H.,M.Si NIP. 197206192000032001



iii



HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Azam Zaini Mukhtar NIM : 8111413289 menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran)” adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka siap mempertanggungjawabkan secara hukum.



Semarang, 17 April 2017 Yang Menyatakan,



Azam Zaini Mukhtar (8111413289)



iv



HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS



Sebagai sivitas akademik Universitas Negeri Semarang, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama



: Azam Zaini Mukhtar



NIM



: 8111413289



Prodi



: Ilmu Hukum



Jenis Karya



: Skripsi



Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Negeri Semarang Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di pengadilan negeri ungaran)” dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Negeri Semarang berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.



Dibuat di



: Semarang



Pada tanggal : 17 April 2017 Yang menyatakan



Azam Zaini Mukhtar NIM. 8111413289



v



MOTTO DAN PERSEMBAHAN



MOTTO “Bertakwallah kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah perbuatan jahat itu dengan kebaikan supaya terhapus kejahatan, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan budi baik” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)



PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Soim Pranoto S.Pd. dan Ibunda Muntini yang selalu memberikan dukungan serta doa restu untuk menjadi seseorang yang lebih baik 2. Adikku tersayang Artanti Nur Azizah P. yang selalu memberikan dorongan dan semangat. 3. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang Angkatan 2013 4. Almamaterku Tercinta



vi



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran)”. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi serta melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kebijaksanaan, dukungan, bantuan serta bimbingan berbagai pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan terima kasih Kepada : 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang 2. Dr. Rodiyah, S,Pd, S.H, M,Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 3. Dr. Martitah M.Hum, Wakil Dekan 1 Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 4. Rasdi, S.Pd. M.H., Wakil Dekan 2 Bidang Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 5. Anis Widyawati S.H.,M.H., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang



vii



6. Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum Dosen Pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan, motivasi kritik dan saran kepada Penulis dengan sabar dalam penulisan skripsi ini. 7. Cahya Wulandari S.H.,M.Hum Dosen Pembimbing 2 yang senantiasa sabar serta selalu meluangkan waktu di tengah kesibukanya untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran kepada penulis 8. Seluruh Dosen dan Staff Akademik Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 9. Orang tuaku tercinta Ayahanda Soim Pranoto,S.Pd. dan Ibu Muntini yang tiada hentinya memberikan segala kasih sayangnya, dukungan semangat dan doa yang terbaik untuk Penulis. 10. Adikku Tersayang Artanti Nur Azizah P. yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. 11. Sahabatku Kosim, Imam Ashari, Mustajab, Arif Rahman Sutanto, Muhammad Taufik, Arvian Alimul Khaq, Edo Iranda N. Ediet Saputra, Sucma Jantra M. Ricky Cahyo Satrio, Randa Ananda L. yang selalu memberikan keceriaan dan semangat kepada Penulis selama menempuh perkuliahan. 12. Temanku di Penal Study Club kepengurusan tahun 2016, Hanif, Susilo, Randa, Ana Guna, Ismail Khusni yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menimba ilmu khususnya hukum pidana. dan teman-teman di UKM Lex Scientia, Reza, Roihana, Adi, Alef, Rini, Devi, Kunta, serta teman-teman seperjuangan di UKM Fiat Justicia. Fajar,



viii



Didik, Aji, Arvian, dan teman-teman lainya yang tidak bisa penulis tuliskan semua. 13. Seluruh Pihak pada Pengadilan Negeri Ungaran yang telah memberikan izin serta bantuan kepada penulis dalam melakukan penelitian dalam skripsi ini. Akhir kata, Penulis telah menyelesaikan skripsi ini sehingga diharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak, semoga skripsi dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya hukum pidana anak bagi pembaca.



Semarang, Penulis,



Azam Zaini Mukhtar 8111413289



ix



ABSTRAK Azam Zaini Mukhtar. 2017. Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan Terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran). Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, Pembimbing 1 Dr. Indah Sri Utari S.H.,M.Hum, 2.Cahya Wulandari S.H.,M.Hum. Kata kunci: Syarat Khusus,Pidana Bersyarat,Anak, Penjatuhan pidana atau pengenaan tindakan kepada anak pada hakikatnya selalu mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak, untuk itu jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah diatur secara khusus didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 salah satunya adalah ketentuan pidana bersyarat yang mengatur Hakim harus memberikan syarat umum dan syarat khusus kepada anak selama masa percobaan. Namun pada praktiknya di Pengadilan Negeri Ungaran dalam beberapa putusan Hakim yang menjatuhkan pidana bersyarat, tidak semuanya memberikan syarat khusus kepada Anak Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada anak?, (2) Bagaimana kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran? Metode penelitian skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, dengan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer yang berupa hasil wawancara sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pelengkap. Adapun teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dengan wawancara dengan Hakim Anak yang menjatuhkan pidana bersyarat. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan hakim dalam memberikan syarat khusus didasarkan pada pertimbangan yuridis dan non yuridis. Terdapat pertimbangan yang berbeda dalam memberikan syarat khusus yaitu yang pertama didasarkan atas berat ringanya perbuatan dan kedua didasarkan pada upaya perbaikan perilaku anak di masa depan. Kedudukan syarat khusus yaitu, sebagai fungsi special prevention dan general prevention dan harus dicantumkan didalam putusan perbedaan kedudukan perbedaan merupakan berat ringanya pidana, pemberian syarat khusus diberikan dengan cara memberitahukan kepada orang tua. Simpulan dalam penelitian ini terdapat pertimbangan yang berbeda oleh Hakim dalam memberikan syarat khusus yaitu sebagai sarana perbaikan dan berat ringanya perbuatan, belum terdapat kesamaan terkait kedudukan syarat khusus dikarenakan pandangan yang berbeda dari hakim tentang syarat khusus. Saran pertimbangan syarat khusus didasarkan untuk kepentingan terbaik bagi anak, hakim harus mencantumkan syarat khusus terkait dengan pengawasan dan pembimbingan oleh Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan.



x



DAFTAR ISI



Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................................



i



PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................



ii



PENGESAHAN KELULUSAN ...............................................................



iii



PERNYATAAN ORISINALITAS...........................................................



iv



HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..............



v



MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................



vi



KATA PENGANTAR ...............................................................................



vii



ABSTRAK .................................................................................................



x



DAFTAR ISI ..............................................................................................



ix



DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................



xiii



BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................



1



1.1



Latar Belakang ...................................................................................



1



1.2



Identifikasi Masalah...........................................................................



5



1.3



Pembatasan Masalah ..........................................................................



6



1.4



Rumusan Masalah ..............................................................................



7



1.5



Tujuan Penelitian ...............................................................................



7



1.6



Manfaat Penelitian .............................................................................



8



1.7



Sistematika Penulisan Skripsi ............................................................



8



BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ................



11



2.1



Penelitian Terdahulu ..........................................................................



11



2.2



Konsep Eksistensi dalam Pemberlakuan Hukum ..............................



12



2.3



Pidana dan Pemidanaan dalam Perspektif Teori ...............................



15



xi



2.4



Dasar dan Teori tentang Tujuan Pemidanaan ....................................



21



2.5



Pidana Bersyarat dalam Pemidanaan .................................................



42



2.6



Tinjauan Umum tentang Anak dan Pemidanaan terhadap Anak .......



54



2.7



Kerangka Berpikir .............................................................................



70



BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................



71



3.1



Metode Pendekatan ............................................................................



71



3.2



Jenis Penelitian ..................................................................................



72



3.3



Sumber Data ......................................................................................



73



3.4



Lokasi Penelitian ...............................................................................



76



3.5



Populasi dan Sampel Penelitian .........................................................



76



3.6



Teknik Pengumpulan Data ................................................................



77



3.7



Validitas dan Keabsahan Data ...........................................................



78



3.8



Metode Analisis Data ........................................................................



77



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................



81



4.1



4.2



Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak ......................................



82



4.1.1 Pertimbangan Yuridis ...............................................................



82



4.1.2 Pertimbangan Non Yuridis .......................................................



114



Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Di Pengadilan Negeri Ungaran ..........................................................



134



BAB V PENUTUP 5.1



Simpulan ............................................................................................



152



5.2



Saran ..................................................................................................



153



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................



154



xii



LAMPIRAN



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Keputusan Dosen Pembimbing Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian Lampiran 3 Surat Keterangan selesai penelitian Lampiran 4 Pedoman wawancara Lampiran 5 Putusan Pengadilan Negeri Ungaran



xiii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penjatuhan pidana pada hakikatnya adalah suatu reaksi dari adanya pelanggaran terhadap tata hukum atau norma yang telah di atur dalam hukum pidana. dalam hukum pidana reaksi atas pelanggaran tersebut dikenal sebagai sanksi. Adanya sanksi di dalam hukum pidana adalah berfungsi salah satunya adalah sebagai alat pencegahan sesuai dengan fungsi hukum yaitu social control dan social engineering. Sanksi tersebut merupakan penderitaan yang sengaja di bebankan kepada pelaku tindak pidana oleh alat-alat negara dalam hal ini adalah hakim di pengadilan. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana, sanksi dalam pemidanaan diharapkan mempunyai tujuan pemidanaan tersendiri. Yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu atau perbaikan individu pelaku tindak pidana. Dalam pembangunan hukum pidana nasional, Pidana dan Pemidanaan menjadi salah satu persoalan penting. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Muladi (1984:21), khusus mengenai masalah pidana sebagai salah satu masalah pokok hukum pidana, persoalan yang sangat penting ialah mengenai konsep tujuan pemidanaan, yang ingin mencari dasar pembenaran dari pidana, sebagai usaha untuk menjadikan pidana lebih fungsional. Dalam penjatuhan pidana seharusnya memuat tujuan dari pemidanaan itu sendiri, begitu pula seharusnya pemidanaan kepada Anak pelaku tindak



1



2



pidana. Pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak selayaknya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan diupayakan agar anak dapat memperbaiki perbuatannya dan menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam kehidupanya kelak. Hal inilah yang menjadi dasar adanya peraturan khusus yang dijadikan dasar untuk penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 sistem peradilan anak yang telah berlaku selama empat tahun di Indonesia sebagai salah satu wujud implementasi terhadap ratifikasi konvensi internasional hak anak. Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child) menandaskan bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana yang dipisahkan secara khusus bagi anak sehingga anak dapat menikmati perlindungan hukum (due process) dan hak asasi yang melekat padanya. Pemisahan ini menjadi conditio sine quanon karena mereka masih di bawah umur. Perlakuan khusus untuk anak telah tercermin di dalam asas-asas yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain, Perlindungan, Keadilan, non diskriminasi, Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan



hidup



dan



tumbuh



kembang



anak,



pembinaan



dan



pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Oleh karena itu Undang-Undang ini mempunyai ketentuan hukum materil dan formil yang menyimpang dari aturan umum hukum materil dan formil pidana di Indonesia



3



yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana. Ketentuan hukum acara ini berbeda mulai dari tingkat penyidikan hingga pembinaan setelah anak menjalani pidana. selain itu dari segi ketentuan hukum materil terdapat sanksi pidana dan tindakan (Maatregel) yang berbeda dengan Kitab Undang-Undang hukum pidana yang disesuaikan dengan kepentingan terbaik untuk anak berhadapan dengan hukum. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat proses diversi pada setiap tahap peradilan yang harus diutamakan untuk menghindari anak dari penjatuhan pidana dan mencapai perdamaian antara anak dan korban tindak pidana. akan tetapi jika proses diversi tersebut gagal dilaksanakan, maka dilanjutkan kepada proses peradilan hingga pada persidangan dan penjatuhan pidana. penjatuhan pidana kepada anak merupakan upaya terakhir sebagaimana asas ultimum remidium. Istilah "ultimum remidium” artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu Undang-Undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif. (Supeno 2010:53) Penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim dalam sistem peradilan pidana Anak mempunyai straftmaat dan straftmodus yang berbeda dengan Kitab Undang-Undang hukum pidana ataupun Undang-Undang pidana khusus lainya. Salah satu diantaranya adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim apabila masa pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak tidak lebih dari 2 (dua) Tahun. Dalam penjatuhan pidana bersyarat



4



tersebut hakim harus berpedoman kepada tata cara penjatuhan yang diatur didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. Adapun syarat penjatuhan pidana didalam undang-uindang tersebut sangat berbeda dengan tata cara penjatuhan pidana bersyarat yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. apabila di dalam KUHP dalam penjatuhan pidana bersyarat ditentukan syarat umum yang bersifat wajib dan syarat khusus yang bersifat fakultatif maka di dalam Undang-Undang Sistem peradilan anak ditentukan bahwa syarat umum dan syarat khusus tersebut adalah kumulatif. Artinya, Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus yang ditetapkan pada putusan Hakim. Namun berbeda dengan keadaan di Pengadilan Negeri Ungaran dalam beberapa putusan yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada anak. Dalam rentang waktu antara tahun 2014 sampai dengan 2016. Pengadilan Negeri Ungaran telah menjatuhkan pidana bersyarat kepada anak sebagai berikut, Tabel 1.1 Penjatuhan Pidana bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran tahun 2014-2016 Tahun Nomor Putusan Vonis Pidana Bersyarat 2014



1/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Unr



Tidak menyertakan syarat khusus



2015



3/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Unr



Tidak menyertakan syarat khusus



2015



4/Pid.Sus-Anak/2015/PN Unr



menyertakan syarat khusus



Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung Dari tabel tersebut, dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan terhadap putusan hakim mengenai syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat. Padahal apabila kita berpedoman kepada Undang-Undang Nomor



5



11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penjatuhan pidana bersyarat disertai syarat umum dan syarat khusus yang ditetapkan di dalam putusan Hakim. Dengan keadaan yang terjadi di Pengadilan Negeri Ungaran diatas maka menimbulkan pertanyaan tentang penerapan syarat khusus di dalam penjatuhan pidana bersyarat. Dapat dikatakan keberadaan syarat khusus tersebut antara ada dan tiada. Dari permasalahan tersebut, yang menarik untuk dilakukan penelitian adalah kedudukan syarat khusus dalam penerapan pidana dianalisis dengan hukum yang berlaku serta tujuan dari pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang kedudukan syarat khusus dan pertimbangan hukum hakim dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada anak. Untuk itu penulis mengangkat skiripsi dengan judul: Eksistensi Syarat Khusus Pada Penjatuhan Pidana Besyarat Dalam upaya mewujudkan Tujuan Pemidanaan Terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran 1.2 Identifikasi Masalah Dalam Judul Skripsi Eksistensi Syarat Khusus Pada Penjatuhan Pidana Besyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran merupakan penelitian tentang kedudukan syarat khusus dan Penerapan Syarat Khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran. Oleh karena itu, Identifikasi masalah dalam skripsi ini antara lain,



6



1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menerapkan Syarat Khusus dalam Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak. 2. Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak. 3. Hambatan hakim dalam memberikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada anak. 4. Penerapan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak. 5. Problem Pelaksanaan Pidana Bersyarat Kepada Anak. 6. Efektifitas Pemberian Syarat Khusus dalam penjatuhan pidana Bersyarat Kepada Anak. 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas, maka untuk membuat arah penelitian ini lebih fokus, permasalahan di dalam skripsi ini dibatasi pada : 1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menerapkan Syarat Khusus dalam Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak 2. Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran



7



1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi permasalah dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak ? 2. Bagaimana kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran ?



1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok – pokok permasalahan yang penulis kemukakan, maka dapat diketahui tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut, 1. Memahami dasar pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak di Pengadilan Negeri Ungaran 2. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan syarat khusus dalam penerapan pidana bersyarat dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran



1.6 Manfaat Penelitian Dapat kita ketahui bahwa sebuah penelitian tentunya harus mempunyai manfaat yang dapat dipergunakan dalam bidang ilmu



8



pengetahuan yaitu penelitian dan bidang praktek penegakan hukum. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan manfaat dan kegunaan sebagai berikut : 1.6.1



Manfaat Teoritis a. Untuk menambah pengetahuan tentang kedudukan dan Penerapan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat terhada dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak b. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam hukum pidana anak di Indonesia



1.6.2



Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dengan penerapan pidana kepada anak, khususnya dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada anak. b. Dapat dijadikan bahan penelitian terkait dengan pemidanaan anak selanjutnya



1.7 Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika merupakan penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis untuk memahami garis besar penulisan. Sistematika Penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut, 1.



Bagian Awal Skripsi Bagian awal skripsi ini terdiri atas sampul, lembar judul, lembar pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, abstrak,



9



kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran. 2. Bagian Pokok Skripsi Bagian Pokok dari skripsi ini terdiri 5 (Lima) Bab sebagai berikut, BAB 1 PENDAHULUAN, Bab ini Memuat Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan



Penelitian,



Manfaat



Penelitian



dan



Sistematika



Penulisan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini Memuat Penelitian Terdahulu yang berkaitan dengan judul skripsi ini, dan landasan teori yang meliputi Eksistensi dalam perspektif teori, Pidana dan pemidanaan dalam perspektif teori, Dasar dan teori tentang tujuan pemidanaan, Teori tujuan pemidanaan yang integratif, Pidana bersyarat dalam pemidanaan, pidana bersyarat dalam system peradilan pidana anak, pertimbangan dan ukuran dalam penjatuhan pidana bersyarat, Tujuan pidana bersyarat, Tinjauan umum tentang anak dan pemidanaan terhadap anak, serta Instrumen internasional tentang peradilan pidana anak, kerangka berpikir. BAB 3 METODE PENELITIAN, Memuat Jenis Penelitian, Pendekatan Penelitian, Data dan Sumber data serta, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Validitas dan Keabsahan Data, Metode analisis data.



10



BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap a.



Kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada anak



b.



Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap anak



BAB 5 PENUTUP, Bab ini berisi simpulan dari keseluruhan



hasil



penelitian dan saran-saran berkaitan dengan penelitian ini. 3. Bagian Akhir Skripsi Di bagian akhir skripsi ini terdiri dari Daftar Pustaka dan Lampiranlampiran.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu a. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kholiq Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan 2009 dalam skripsinya yang berjudul “Pelaksanaan Pembimbingan dan Pengawasan Anak pada Pidana Bersyarat (Studi di Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang dan Kejaksaan Negeri Semarang)”. Adapun permasalahan dari penelitian tersebut diantaranya adalah bagaimana perbandingan pengaturan pidana bersyarat di dalam Kitab Undang - undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Konsep Kitab Undang – undang Hukum Pidana Nasional Tahun 2012 dan Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pelaksanaan dan pengawasan anak pada pidana bersyarat oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang dan Kejaksaan Negeri Semarang. Sedangkan dalam skripsi penulis yang berjudul Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Studi di Pengadilan Ungaran ini yang menjadi permasalahan diantaranya adalah bagaimana pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dan kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap



11



12



anak, oleh karena itu penelitian ini memiliki perbedaan permasalahan dan objek kajian yang akan diteliti dari penelitian terdahulu. b. Penelitian yang dilakukan oleh Sumadi dalam Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 6, Volume 3, Tahun 2015 yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak dalam Delik Kelalaian Yang Menyebabkan Matinya Orang Lain” dalam jurnal tersebut permasalahan yang di teliti adalah kesesuaian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat sudah sejalan dengan tujuan peradilan anak, serta dampak penjatuhan pidana bersyarat terhadap terpidana yang dilakukan oleh anak. Penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa Penjatuhan pidana bersyarat pada anak sudah sejalan dengan teori tujuan peradilan anak, dimana peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Sedangkan dalam skripsi penulis yang menjadi permasalahan adalah pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat Eksistensi atau kedudukan Syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim, dengan demikian penelitian dalam skripsi ini memiliki perbedaan permasalahan dan objek kajian yang akan diteliti dari penelitian sebelumnya. 2.2 Konsep Eksistensi dalam Pemberlakuan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Selain itu menurut



13



Kamus



Besar



Bahasa



Indonesia



Online



oleh



Kemdikbud



http://kbbi.kemdikbud.go.id/ menyatakan arti dari eksistensi adalah “hal berada; Keberadaan” Ensiklopedia bebas Wikipedia terdapat pengertian dari eksistensi yaitu, berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual. Existere disusun dari ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil atau muncul Sedangkan menurut Abidin (2007:16) Eksistensi adalah adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya Dalam ilmu Filsafat, terdapat istilah eksistensialisme yang disebutsebut sebagai garis besar karya pemikiran Jean-Paul Sartre (1905-1980). Pemikiran Sarte tersebut dikenal dengan teorinya tentang “Ada dan Ketiadaan” atau istilahnya, Being and Nothingness. Menampilkan sebuah teori yang amat menyentuh secara mendalam realitas nyata keberadaan manusia, tentang keberadaanya di dunia, dan pemahaman mereka atas diri mereka sendiri dan sesamanya. (Garvey, 2010:273) Dalam lapangan hukum, Konsep eksistensi di temukan didalam pemberlakuan hukum islam di Indonesia, teori eksistensi merupakan teori



14



Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Reception A Contrario yang dikemukakan oleh Ichtijanto S.A yang menegaskan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional. Bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia adalah : (Ichtijanto, 1991:131) a. Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia. b. Ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional. c. Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia. d. ada dalam arti sebagai bahan utama hukum nasional Indonesia Sedangkan pengertian eksistensi di dalam lapangan atau bidang hukum Menurut Sukamto Satoto (2004:4), sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. Sjachran Basah mengemukakan pengertian eksistensi dihubungkan dengan kedudukan, fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam lingkungan badan peradilan administrasi di Indonesia.



15



Di dalam skripsi ini istilah eksistensi yang digunakan adalah merujuk pada pengertian eksistensi dalam bidang hukum yang dijelaskan oleh Sukamto Satoto diatas yaitu kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. 2.3 Pidana dan Pemidanaan dalam Perpektif Teori Dari beberapa pengertian pidana menurut doktrin para ahli, dapat diketahui bahwa pidana merupakan reaksi berupa penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana atau hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:1), Pidana (Straft), Pada dasarnya merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) Baginya atas perbuatanya yang telah melanggar larangan hukum pidana. secara khusus larangan didalam hukum pidana ini disebut sebagai Tindak Pidana (straftbaar feit). (Chazawi, 2012:2425) Beberapa ahli membedakan istilah pidana dengan hukuman. Menurut Adami Chazawi, Pidana berasal dari kata straft (belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman, istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. (Chazawi, 2012:5)



16



Mengacu pada sebagian besar para sarjana, penjatuhan suatu derita sebagai pembalasan akan terjadinya suatu tindak pidana merupakan ciri khusus dari kata pidana yang membedakanya dengan makna kata hukuman. Pendapat para sarjana yang memberikan pengertian pidana yang berbeda dengan hukuman telah dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagai berikut (Zulfa, 2011:10) : a. Sudharto yang mendefinisikan pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu b. Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana adalah reaksi atas suatu delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu; c. Fitzgerald merumuskan punishment is the authotitative infliction of suffering for an offence d. Sir Ruper Cross mengartikan punishment sebagai The infliction of pain by the state on someone who has been convicted of an offence. Definisi lain dari pidana secara khusus yang diusulkan oleh Garland (1990:132) sebagaimana dikutip oleh Zulfa (2011:10) adalah The legal process whereby violators of criminal law are condemned and sanctioned in accordance with specified legal categories and procedures (suatu proses hukum dimana merupakan suatu celaan dan sanksi terhadap pelanggar hukum pidana sesuai dengan kategorisasi dan aturan hukum yang telah ditetapkan).



17



Perbedaan-perbedaan konsep tentang pidana tersebut telah ada sudah sejak sangat lama sekali hingga sekarang masih terdapat perbedaan tentang definisi pidana seperti yang telah disebutkan diatas. Dalam pandangan teoritis pun, bila dikaji akan terlihat bahwa konsep-konsep tersebut pada dasarnya adalah bagian dari tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Karenanya beberapa interpretasi yang digunakan untuk memakai terminology pidana tersebut pada masa sekarang adalah (Zulfa, 2011:11) : a. Alat penderitaan yang terukur (pain delivery) b. Sarana merehabilitasi seorang pelaku tindak pidana c. Sarana utama bagi upaya perbaikan d. dalam pengertian yang luas, makna penghukuman menyangkut segala hal yang merupakan penghukuman Diberikan oleh otoritas atau lembaga yang berwenang menjadi salah satu kata kunci dari ciri pidana. Dalam ilmu hukum pidana, menurut Sudarto (1990:10) Penjatuhan pidana oleh Negara atau ius poenale ini haruslah sesuai dengan apa yang disebut dengan ius puniendi yaitu hak yang diberikan kepada Negara untuk mengancamkan dengan suatu sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran



peraturan



perundang-undangan



yang



telah



ditetapkan Adapun sanksi atau jenis Pidana yang dijatuhkan kepada seseorang tersebut telah diatur didalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang pidana khusus yang tersebar di luar KUHP, jenis-jenis pidana di dalam Pasal 10 KUHP tersebut juka berlaku untuk delik



18



yang tercantum di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kecuali apabila Undang-Undang tersebut menentukan menyimpang dari aturan umum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana di maksud di dalam ketentuan Pasal 103 KUHP. Jenis pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di kelompokan menjadi dua bagian yaittu 1. Pidana Pokok, terdiri dari : a. Pidana Mati; b. Pidana Penjara; c. Pidana Kurungan; d. Pidana Denda; e. Pidana Tutupan 2. Pidana Tambahan, terdiri dari : a. Pidana pencabutan hak tertentu b. Pidana perampasan barang-barang tertentu c. Pidana pengumuman putusan hakim Adapun penjelasan dari jenis pidana yang diatur didalam pasal 10 KUHP tersebut sebagai berikut, 1. Pidana Mati Di beberapa negara pidana mati telah di hapuskan. Sedangkan di negara Indonesia pidana mati masih tetap dipertahankan, bahkan terdapat beberapa Undang-Undang di luar KUHP mengatur sanksi pidana mati. Pada awalnya di dalam KUHP, cara penerapan pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Akan tetapi telah di ubah dengan penetapan presiden Nomor 2 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38, ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati



19



terpidana. Pidana mati dijalankan dengan dihadiri jaksa sebagai eksekutor dan secara teknis dilaksanakan oleh Brimob dari kepolisian. 2. Pidana Penjara Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana yang merampas kemerdekaan terpidana. Di Indonesia orang yang menjalani pidana penjara di tempatkan di dalam gedung Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Secara umum, Pidana penjara dapat dijatuhkan paling pendek satu hari atau paling lama lima belas tahun berturut-turut. Akan tetapi hakim boleh menjatuhkan pidana penjara 20 (dua puluh) Tahun dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Batasan waktu 15 (lima belas) tahun tersebut dapat dilampaui karena tindak pidana yang dilakukan dengan perbarengan dan pengulangan. 3. Pidana Kurungan Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, namun perbedaanya adalah batas waktu minimal satu hari dan maksimal satu tahun. Namun jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena pengulangan atau perbarengan maka kurungan dapat dijatuhkan paling lama satu tahun empat bulan. Pidana kurungan di ancamkan pada tindak pidana yang dianggap ringan seperti tindak pidana kealpaan dan pelanggaran. Perbedaan lainya dengan pidana penjara adalah pelaksanaan



20



kerja dalam pidana kurungan lebih ringan dari pada pelaksanaan pidana penjara 4. Pidana Denda Pidana denda adalah pidana yang mewajibkan terpidana untuk membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dengan aturan besaran yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pidana denda apabila tidak dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti denda 5. Pidana Tutupan Diantara pidana pokok yang diatur didalam Pasal 10 Kitab UndangUndang Hukum Pidana, pidana pokok merupakan salah satu pidana yang jarang dijatuhkan. Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Hukuman tutupan dapat dijatuhkan Terhadap orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati 6. Pidana Tambahan a. Pencabutan Hak-hak tertentu Pidana tembahan berupa pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk tindak pidana yang tegas ditentukan oleh Undang-Undang bahwa tindak pidana tersebut diancam oleh pidana tambahan. Lamanya jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu adalah pada pidana seumur hidup, lamanya seumur hidup. Adapun pada pidana penjara dan kurungan lamanya minimal dua tahun dan maksimal lima tahun



21



lebih lama dari pidana pokoknya. Dalam pidana denda, lama pencabutan minimal dua tahun dan maksimal lima tahun. Hak-hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUHP, yaitu: hak memegang jabatan tertentu; hak memasuki angkatan bersenjata; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, wali pengawas, pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri; hak untuk menjalankan kekuasaan bapak, perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; dan hak menjalankan pekerjaan tertentu. b.



Perampasan barang tertentu Yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hasil perampasan barang tersebut dapat diserahkan kepada pemerintah dalam hal barang-barang tersebut ditetapkan untuk disitia oleh hakim



c. Pengumuman putusan hakim Pidana pengumuman putusan hakim jarang diterapkan di Indonesia. Pada dasarnya pengumuman putusan hakim ini diumumkan secara luas agar masyarakat berhati-hati terhadap terpidana 2.4 Dasar dan Teori tentang Tujuan Pemidanaan di dalam ilmu hukum pidana terdapat aliran-aliran dari pemidanaan untuk menentukan tujuan pemidanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Muladi



22



(2008:28), Aliran-aliran tersebut berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan dan persepsi masyakat tentang hak asasi manusia. Lebih lanjut di dalam buku yang berjudul Lembaga Pidana Bersyarat, Muladi (2008:21) menjelaskan bahwa Khusus mengenai masalah pidana sebagai salah satu masalah pokok hukum pidana, persoalan yang sangat penting ialah mengenai konsep tujuan pemidanaan, yang ingin mencari dasar pembenaran dari pidana sebagai usaha untuk menjadikan pidana lebih fungsional. Untuk dapat memahami secara luas teori-teori tentang tujuan pemidanaan ini, maka titik tolak pembahasan harus dikaitkan dengan aliran-aliran di dalam hukum pidana, yakni aliran klasik, aliran modern dan aliran neo klasik. aliran aliran yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Aliran Klasik Aliran klasik muncul sebagai reaksi terhadap ancien regime yang arbitrair pada abad XVIII di prancis dan inggris yang banyak menimbulkan ketidak pastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidak adilan. (Hiariej 2014:24) Aliran Klasik ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan kepada perbuatan, perumusan Undang-Undang dan perbuatan melawan hukum pidana. perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas dari orang yang melakukanya. Jadi aliran ini ingin



23



mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku. (Setiady, 2010:36) Dapat di katakan aliran ini sangatlah kaku. Seperti yang dikatakan oleh Muladi (2008:29), Aliran ini sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran-ukuran pemidanaanya. Menurut Sudarto sebagaimana dikutip dalam Sholehudin (2004:25) aliran klasik dalam hukum pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki



hukum pidana



perbuatan dan bukan pada pelakunya (daad strafrecht). Dalam sistem pemidanaan, aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Hugo Grotius menggambarkan teori ini sebagai malus passionis propter malum actionis (an evil to be inflicted because an evil has been commited). Karena pada dasarnya kriteria berhasil dari model seperti ini adalah derita atau kesakitan, karena pidana merupakan bentuk kompensasi atas kejahatan yang telah dilakukan. Hal yang nyata dikutip Muladi dari pandangan Immanuel Kant sebagai berikut: (Zulfa, 2011:51) pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam hal semua harus dikenakan



24



hanya karena orang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi / keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan hal ini dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatanya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang pelanggar yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum Pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip dalam Hiariej (2014:24) Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang. Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa Undang-Undang , tidak ada perbuatan pidana tanpa Undang-Undang dan tidak ada penuntutan tanpa Undang-Undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukanya dengan sengaja atau kesalahan. Ketiga atau yang terakhir adalah asas pembalasan yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat-ringanya perbuatan yang dilakukan. 2. Aliran Modern Apabila pusat perhatian pada teori klasik adalah perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku, maka pada pusat perhatian pada aliran modern ini adalah pelaku itu sendiri. Aliran ini juga disebut aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode



25



ilmu pengetahuan dan bermaksud untuk melakukan pendekatan kepada pelaku. Berbeda dengan aliran klasik hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan, aliran modern dalam hukum pidana bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat (Hiariej, 2014:26) Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:32) berpendapat bahwa, Aliran ini sering juga disebut aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Menurut aliran ini, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukanya,. Tetapi harus dilihat secara konkret bahwa dalam kenyataanya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan masyarakatnya. Jadi, aliran ini bertitik tolak mempunyai kebebasan berkehendak tetapi dipengaruhi oleh watak dari lingkunganya, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Jadi, aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif.



26



Lebih lanjut di dalam buku Lembaga pidana bersyarat, Muladi (2008:33) perpendapat bahwa, aliran ini bertitik tolak pada pandangan determinisme untuk menggantikan doktrin “kebebasan berkehendak”. Karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tapi dipengaruhi oleh watak dan lingkunganya, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Jadi aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban terhadap sipembuat lebih bersifat tindakan perlindungan masyarakat. Kalau toh digunakan istilah pidana, maka, menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana untuk mengadakan resosialisai pelaku. 3. Aliran Neo Klasik Perkembangan lebih lanjut aliran dalam hukum pidana adalah aliran neo-klasik. Jika aliran klasik berorientasi pada perbuatan pidana dan aliran modern berorientasi pada pelaku perbuatan pidana, maka aliran neo-klasik berorientasi pada perbuatan pidana dan pelaku perbuatan pidana atau yang dikenal dengan istilah daad-daderstraftrecht. Aliran neo-klasik berawal dari doktrin kebebasan kehendak sebagaimana yang ada pada aliran klasik, akan tetapi dengan dipengaruhi aliran modern, aliran neoklasik mengenal adanya faktor-



27



faktor yang meringankan dalam pertanggungjawaban pidana. (Hiariej, 2014:28) Pandangan M.P Rossi (1787-1844) sebagaimana dijelaskan oleh Bakhri (2010:67) dengan memperhatilan keadaan individu maupun masyarakat, dalam jajaran teori absolut, maupun aliran klasik, yang mencirikan oleh penerapan sejalan Undang-Undang, metode, asumsi, posisi pidana adalah tetap. Maka pandangan ini, telah mengawali era hukum pidana neoklasik. Bahwa menjatuhkan pidana terutama menerapkan pembalasan, menjalankan keadilan walaupun hidup didalam masyarakat tidak sempurna sehingga tidak mungkin untuk menuntut keadilan yang absolut. Pemidanaan didasarkan atas tertib sosial, etika yang tidak sempurna. Penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat. Maka kebebasan yang luas oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Pentingnya juga prevensi umum, selain pembalasan. Pembalasan dalam hukum pidana tidak boleh melampaui apa yang selayaknya diterima oleh pelaku kejahatan. Ahli teori neoklasik memandang manusia sebagai mahluk rasional



dan



menyukai



kesenangan.



Sasaran



pidana



adalah



menyampaikan suatu pesan kepada masyarakat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada penjahat diharapkan dapat mencegah orang lain yang mendengar atau mengetahui pemidanaan tersebut agar tidak melakukan kejahatan serupa. (Widodo, 2009:66)



28



Disamping aliran klasik dan aliran modern tersebut, terdapat aliran yang dinamakan aliran neoklasik yang berkembang pada abad ke 19. Pokok dari aliran ini adalah, penolakan dari pidana yang dirasakan sangat keras dari aliran neo klasik akan merusak semangat kemanusiaan. Maka dilakukan perbaikan sebagai contoh the french penal code 1791. Yang kemudian diperbaiki pada tahun 1810. Dalam perbaikan tersebut dimungkinkan adanya kebijaksanaan hakim dalam menjatuhkan pidana. dengan merumuskan pidana minimun dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan. Tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran dalam hukum pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan pidana terdiri dari aliran klasik, aliran modern dan neoklasik, maka tujuan pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori absolut, teori relative dan teori gabungan. (Hiariej, 2014:31). Mengenai teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif atau ius puniendi. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak Negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. (Chazawi, 2012:156) Adapun mengenai teori-teori pemidanaan menurut para ahli adalah sebagai berikut,



29



1. Teori Absolut atau Pembalasan Menurut Loewy sebagaimana dikutip oleh Hiariej (2014:31) Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori ini



pembalasan



adalah



legitimasi



pemidanaan.



Negara



berhak



menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Vos dalam leerboek-nya berkomentar “De absolute theorieen, die vooral tegen het eind det 18e euuw opkomen, zoeken de rechtsgrond van de straft in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de dader te bestraffen” (Teori absolut, terutama bermunculan pada akhir abad ke-18 mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku). Pada dasarnya terori pembalasan menitikberatkan kepada unsur pembalasan karena pelaku telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Penganut dari teori ini adalah diantaranya adalah Kant, Hegel, dan Stahl. Menurut Lamintang (2012:12) di dalam teorinya mereka mencari dasar pembenaran dari pidana pada kejahatanya sendiri, yakni suatu akibat yang wajar, yang timbul daru setiap kejahatan. Adapun mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan itu sendiri tidak mendapat perhatiam di dalam teori-teori tersebut. Menurut teori Kant sebagaimana dijelaskan oleh Lamintang (2012:12), dasar pembenaran Suatu Pidana terdapat dalam apa yang disebut kategorischen imperative, yang menghendaki agar setiap



30



perbuatan melawan hukum harus dibalas. Keharusan menurut keadilan dan hukum, merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, hingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada sesuatu tujuan harus dikesampingkan. Sedangkan menurut Hegel sebagaimana dijelaskan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:12) pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum Negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran. Berikut ciri-ciri pokok atau karakteristik teori retributif dikemukakan secara terinci oleh Karl. O. Christianen sebagai berikut: (Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17) a.



Tujuan Pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;



b.



pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;



c.



Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;



d.



pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar



e.



pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuanya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.



31



Menurut Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawai Arief (2005:14), sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Apabila masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan yang modern. Misalnya Van Bemmelen, Pompe, Enschede. Pembalasan disini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana. Maka dapat dikatakan ada asas pembalasan yang negatif. Hakim hanya menetapkan batas-batas dari pidana yang tidak boleh melampaui batas dari kesalahan pembuat. 2. Teori Utilitarian Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan.



Wujud



pidana



ini



berbeda-beda,



yaitu



menakutkan,



memperbaiki atau membinasakan. Sehubungan dengan hal tersebut, ditegaskan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (1984:13) dalam Setiadi (2010:56) bahwa, Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne paccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan) Selanjutnya Karl O. Cristianen sebagaimana dikutip dalam (Priyatno, 2013:26) memberi ciri pokok atau karakteristik teori utilitarian sebagai berikut,



32



a. Tujuan Pidana adalah pencegahan; b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Hanya



pelanggaran-pelanggaran



hokum



yang



dapat



dipersalahkan kepada sipelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu



pencegahan



kejahatan



untuk



kepentingan



kesejahteraan masyarakat. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17) mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara istilah prevensi special dan prevensi general atau sering juga digunakan istilah Special deterrence dan general deterrence. Menurut Von Feuerbach sebagaimana dijelaskan oleh Hiariej (2014:33) prevensi general atau prevensi umum dikenal dengan istilah teori psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat.



33



Lebih lanjut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17) menjelaskan bahwa, Dengan Prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan pidana. Sedangkan dengan prevensi special menurut Th. W. Van Veen dalam disertasinya dengan judul “general preventive” sebagaimana dijelaskan oleh Hiariej (2005:33), menyatakan ada tiga fungsi pencegahan umum. Pertama, menjaga atau menegakan wibawa penguasa, terutama dalam perumusan perbuatan pidana yang berkaitan dengan wibawa pemerintah, seperti kejahatan terhadap penguasa umum. Kedua, menjaga atau menegakan norma hukum. Ketiga, pembentukan norma untuk menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu dianggap asusila dan oleh karena itu tidak diperbolehkan Prevensi special juga dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan reformation atau rehabilitation theory. (Muladi dan Barda Nawawi Arief 2005:17)



34



Van Hamel sebagaimana dijelaskan oleh Chazawi (2012:166) membuat suatu gambaran berikut ini tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini sebagai berikut: a. pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itui agar ia tidak melakukan niat jahatnya. b. akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya. c. apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak berdaya. d. tujuan satu-satunya dari pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat. Selain prevensi special dan prevensi general, Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:19) memasukan juga dalam golongan teori relatif ini apa yang disebutnya “daya untuk mengamankan” (de beveil igende werking). Dalam hal ini dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada didalam penjara daripada kalau dia tidak dalam penjara.



35



3. Teori Gabungan Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti dikemukakan diatas, yaitu teori absolut dan teori relative, ada teori ketiga yang disebut dengan teori gabungan (verenignings theorieen). Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787-1848). Sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi dia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat. Menurut Chazawi (2012:166-167) teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut: a. teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib masyarakat. Pakar hukum pendukung teori gabungan ini adalah Zevenbergen yang berpandangan bahwa makna setiap pidana ialah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.



36



b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada yang dilakukan terpidana. Penganut teori gabungan yang kedua ini adalah Thomas Aquino yang berpendapat bahwa dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus adanya kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan (schuld)itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan dari pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat. Penganut lainya dari teori gabungan ini adalah Vos. Dijelaskan oleh Hiariej (2005:34) bahwa, Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut dengan teori gabungan. Disini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat. Selain titik berat pada pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk melindungi ketertiban hukum. Vos menyatakan titik berat yang sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan masyarakat. Dengan



37



demikian vos memberi bobot yang sama antara pembalasan dan perlindungan masyarakat. 4. Teori Kontemporer Menurut Hiariej (2005:35). Selain teori absolut, teori relative dan teori gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembanganya terdapat teori-teori baru yang disebut dengan teori kontemporer. Bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut diatas dengan beberapa modifikasi. Seperti menurut Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana bertujuan sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Tujuan pidana yang lain adalah rehabilitasi. Artinya, pelaku kejahatan harus diperbaiki kearah yang lebih baik, agar ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima oleh komunitasnya dan tidak lagi mengulangi perbuatan jahat. Pidana juga bertujuan sebagai pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar tindakan berbahaya yang dilakukanya tidak merugikan masyarakat. Dan terakhir menurut lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan keadilan yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.



38



Teori-teori pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana tersebut mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai, di dalam penjatuhan pidana, yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dihayati oleh para sarjana tersebut (Priyatno, 2013:22). Maka dalam hal ini para sarjana berbeda pendapat tentang tujuan dari pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan Tujuan pemidanaan) tercermin dari teori-teori pemidanaan yang dianut oleh para sarjana. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Lamintang (2012:11) Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para pemikir atau di antara para penulis. Namun pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: (Lamintang, 2012:11). 1. 2. 3.



Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan caracara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Penetapan



tujuan-tujuan



pemidananan



ini



oleh



Karl



O.



Christiansen dikatakan sebagai syarat yang fundamental. Selanjutnya dalam masalah ini Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Sholehudin (2003:118) menyatakan bahwa sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut barulah kemudian



39



dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat diterapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan. Mengacu pada pendapat tersebut. Jika kita melihat Didalam Kitab Undang-Undang



Hukum



Pidana



yang



berlaku



sekarang



belum



merumuskan tentang tujuan dari sebuah pemidanaan, akan tetapi berbeda dengan konsep rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang telah menerangkan secara tegas Tujuan Pemidanaan. Dalam Konsep Rancangan Buku 1 KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam pasal 2 sebagai berikut: (1) Maksud tujuan pemidanaan ialah: 1. untuk mencegah dilakukanya tidak pidana demi pengayoman Negara, masyarakat dan penduduk. 2. untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 3. untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana. (2) Pemidananan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia Kemudian perkembangan terbaru dari konsep tujuan pemidanaan di Indonesia tercantum di dalam konsep KUHP tahun 2012,terdapat didalam Pasal 54 ayat (1) menjelaskan bahwa pemidanaan bertujuan : 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, 4. memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan 5. membebaskan rasa bersalah pada terpidana



40



5. Teori Tujuan Pemidanaan yang Integratif (kemanusiaan dalam system Pancasila Menurut Muladi (2008:53) di dalam bukunya yang berjudul Lembaga Pidana Bersyarat berpendapat bahwa dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat social. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana. Pemilihan teori ini telah didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis, sosiologis ideologis. Sebagai berikut, Muladi (2008:53) a. Alasan Sosiologis Secara sosiologis telah dikemukakan oleh Stanley Group, Bahwa kelayakan suatu pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima sesorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut. (Muladi, 2008:54)



41



b. Alasan Ideologis Dalam alasan ideologis pada tujuan pemidanaan ini sebenarnya erat sekali hubunganya dengan alasan yang bersifat sosiologis tersebut ditonjuolkan filsafat keseimbangan (evenwicht, harmonie) di dalam kehidupan masyarakat tradisional Indonesia dengan konsekuensi bahwa tujuan pemidanaan adalah mengembalikan keseimbangan di masyarakat, maka di dalam alasan ideologis akan dibahas sampai berapa jauh filsafat keseimbangan tersebut dijadikan pedoman di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (Muladi, 2008:58) c. Alasan Yuridis-Filosofis Hebert L Packer (1968:62) dalam Muladi (2008:58) menyatakan bahwa hanya ada dua tujuan utama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integrative mensyaratkan pendekatan yang integral terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan – tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak ada satupun tujuan pemidanaan bersifat definitive, maka teori pemidanaan yang integrative ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari berbagai perspektif. Dengan teori tujuan pemidanaan yang integratif ini maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (Individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari



42



seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Menurut Sudarto (1997:571) sebagaimana dikutip oleh Muladi (2008:59) Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan diatas adalah : (1) Pencegahan (umum dan khusus); (2) Perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas masyarakat; (4) pengimbalan/pengimbangan.



2.5 Pidana Bersyarat dalam Pemidanaan 2.6.1 Pengaturan Pidana Bersyarat Pengaturan tentang pidana bersyarat terdapat di dalam kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Perlu di ketahui bahwa Pidana Bersyarat bukan merupakan pidana pokok ataupun pidana tambahan yang terdapat di dalam Pasal 10 KUHP seperti halnya, Pidana Penjara, Denda, kurungan, dan Pidana mati. Pidana Bersyarat bukan merupakan jenis pidana atau Straftsoort. Melainkan merupakan cara pengenaan pidana atau Straftmodus. Di dalam hukum pidana Indonesia pidana bersyarat merupakan perkembangan pidana yang lebih humanis dan memberikan resosialisasi kepada pelaku tindak pidana. hal ini dinyatakan oleh Prof. Muladi (2008:6263) sebagai berikut, dalam hukum pidana Indonesia, perkembangan ini terlihat dengan dimasukanya Pasal-Pasal 14a-14 f kedalam W.v.S. 1915 pada tahun 1926 (S.1926-251 jo. 486) beserta ordonasi pelaksanaanya (S.1926487) tentang pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling).



43



Adapun pengaturan pidana bersyarat di dalam KUHP adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah mengenai ketentuan dalam penjatuhan pidana bersyarat yang terdapat di dalam Pasal 14a ayar (1),(2),(3),(4) dan (5) KUHP. Sebagai berikut, 1. Apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusanya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. 2. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti diatas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula, akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menggunakan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi denda, tidak berlaku ketentuan Pasal 30 ayat 2. 3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan 4. Perintah tersebut dalam ayat 1 hanya diberikan jika hakim, berdasarkan penyelidikan yang teliti , yakin bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, yaitu bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya syarat-syarat itu ada. 5. Perintah tersebut dalan ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.



Di dalam penjatuhan pidana bersyarat tersebut ditentukan suatu masa percobaan oleh hakim. Yaitu dalam waktu tersebut terpidana wajib untuk melakukan atau tidak melakukan syarat-syarat yang diberikan oleh hakim.



44



Kemudian mengenai masa percobaan di atur di dalam Pasal 14b KUHP. Yang pada intinya adalah sebagai berikut, (1) Khusus untuk kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama adalah tiga tahun. Sedangkan untuk pelanggaran yang lain masa percobaan diberikan paling lama dua tahun. (1) Masa percobaan tersebut di mulai sejak saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang diatur oleh UndangUndang, (2) masa percobaan tersebut tidak termasuk selama terpidana dihilangkan kemerdekaanya karena tahanan yang sah. Adapun mengenai syarat-syarat yang harus di penuhi oleh terpidana selama masa percobaan telah diatur di dalam Pasal 14 c KUHP. Yang isinya adalah sebagai berikut, (1) Dalam Perintah yang dimaksud dalam Pasal 14a kecuali jika dijatuhkan denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menentukan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaanya harus mengganti segala kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi. (2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau kurungan, atas salah satu pelanggaran tersebut dalam Pasal 492, 502, 505, 506, dan 536, maka boleh ditetapkan syarat-syarat khusus lainya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. (3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Kemudian dalam hal pengawasan terhadap pidana bersyarat diatur didalam Pasal 14d. dijelaskan oleh Muladi (2008:64) pasal 14d KUHP mengatur tentang pejabat yang diserahi tugas mengawasi supaya syaratsyarat yang dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh



45



menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan. Kemudian didalam pasal 14d ayat (2) ditentukan bahwa untuk memberikan pertolongan atau membantu terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampung atau pejabat negara 2.6.1 Pertimbangan dan Ukuran dalam Penjatuhan Pidana Bersyarat Dilihat dari keberadaan pelaku, maka ukuran – ukuran bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat diantanya sebagai berikut (Muladi, 2008:198-200) : a. Keputusan tentang pidana bersyarat secara umum dikaitkan dengan bentuk– bentuk tindak pidana tertentu atau catatan kejahatan sesorang pelaku tindak pidana, melainkan harus didasarkan atas kenyataankenyataan dan keadaan-keadaan



yang menyangkut



setiap kasus.



Pengadilan harus mempertimbangkan hakekat dan keadaan-keadaan yang menyertai suatu kejahatan, riwayat dan perilaku pelaku tindak pidana, dan lembag–lembaga serta sumber–sumber yang ada di dalam masyarakat. Pidana bersyarat harus mendapatkan prioritas utama di dalam penjatuhan pidana, kecuali pengadilan berpendapat bahwa : 1) Perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana; 2) Pelaku tindak pidana membutukan pembinaan untuk perbaikan dan dengan pertimbangan efektifitas dalam hal ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga; 3) Penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan masyarakat terhadap beratnya tindak pidana tertentu.



46



b. Penentuan penjatuhan pidana bersyarat lebih bersifat normatif berdasarkan penilaian obyektif daripda memperhatikan hal – hal yang bersifat psikologis. Di samping hal – hal yang tersebut, maka ada faktor lain yang dapat dijadikan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat adalah sebagai berikut (Muladi dalam Setiady, 2009:121-122) : 1) Sebelum melakukan tindak pidana tersebut terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana yang lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku; 2) Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun); 3) Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar; 4) Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar; 5) Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar; 6) Terdapat alasan – alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya; 7) Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; 8) Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian – kerugian atau penderitaan – penderitaan akibat perbuatannya; 9) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan – keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; 10) Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; 11) Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya; 12) Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non-institusional; 13) Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; 14) Tindak pidana terjadi karena kealpaan; 15) Terdakwa sudah sangat tua; 16) Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa; 17) Khusus untuk terdakwa yang dibawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orangtua untuk mendidiknya.



47



2.6.2 Tujuan dan Manfaat Pidana Bersyarat Di dalam hukum positif yaitu KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak ditemukan secara eksplisit tujuan-tujuan yang akan dicapai dari pengenaan suatu jenis pidana. Oleh karena hal tersebut, dalam tulisan ini penulis mengutip dari pendapat para ahli hukum pidana tentang tujuan pidana bersyarat. Penerapan pidana bersyarat harus diarahkan pada manfaat-manfaat sebagai berikut (Muladi, 2008:197) : a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut; b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal; c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat – akibat negatif dari perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat; d. Pidana bersyarat mengurangi biaya – biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna; e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana; f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif , dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan umum Penjelasan lain mengenai tujuan pidana bersyarat diungkapkan oleh Marlina (2009: 113) bahwa program pemasyarakatan bagi anak bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah



48



dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehidupannya secara normal. Program yang dibuat dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak di masa depan Dijelaskan oleh Muladi (2008:152) bahwa pidana bersyarat mempunyai manfaat atau keuntungan-keuntungan kepada individu terpidana sebagai berikut: a. Pertama, Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, sepanjang kesejahteraan terpidana dipertimbangkan sebagai hal yang paling utama daripada resiko yang mungkin diderita oleh masyarakat, seandainya terpidana dilepas di Masyarakat. b. Keuntungan



yang



kedua



adalah



bahwa



pidana



bersyarat



memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilainilai yang ada di masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain adalah melakukan tugas pekerjaanya, melaksanakan kewajibankewajibanya didalam keluarga, ikut serta didalam kegiatan rekreasi dan tindakan-tindakan lain yang akan bermanfaat baginya sebagai anggota masyarakat dan sebaliknya hal ini juga sangat bermanfaat bagi masyarakat. c. Manfaat yang ketiga adalah, bahwa pidana bersyarat akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana



49



perampasan kemerdekaan, yang oleh Jerome H. Skolnick disebut sebagai salah satu konsekwensi diluar hukum yang harus diperhitungkan didalam kebijaksanaan para penegak hukum. Stigma ini seringkali dirasakan juga oleh keluarganya. Selanjutnya selain manfaat untuk individu, pidana bersyarat juga mempunyai manfaat kepada masyarakat sebagai berikut: (Muladi 2008:153) a. pertama, didalm menentukan apakah harus dijatuhkan pidana bersyarat ataukah perampasan kemerdekaan, maka salah satu pertimbangan utama adalah sampai seberapa jauhkah unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian pidana bersyarat tersebut. Hal ini dapat diamati dari keikutsertaan terpidana bersyarat didalam pekerjaan-pekerjaan yang secara ekonomis menguntungkan kehidupan masyarakat. b. manfaat kedua bilamana ditinjau dari segi masyarakat adalah, secara finansiil maka pidana bersyarat yang merupakan pembinaan diluar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan didalam lembaga 2.6.3 Pidana Bersyarat dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Ketentuan tentang Pidana Bersyarat telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun sesuai dengan ketentuan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila Undang-Undang mengatur lain atau menyimpang dari aturan khusus maka aturan umum tidak berlaku. Maka dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis.



50



Ketentuan yang khusus tersebut disesuaikan dengan asas yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak salah satunya adalah kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan pidana dengan syarat Pasal 71 ayat (1) huruf b UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 hakikatnya telah dikenal dalam KUHP Indonesia. Pidana dengan syarat ini dikenal sebagai pidana percobaan (voordardelijke verordering), sebagaimana ketentuan Pasal 14 a sampai dengan f KUHP. Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, pidana dengan syarat ini dilakukan melalui pembinaan diluar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan. (Mulyadi 2014:166) Pengaturan pidana bersyarat yang diatur di dalam Pasal 73 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: (1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun (2) dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. (3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. (4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak. (5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum. (6) Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun. (7) Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan.



51



(8) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Apabila dijabarkan lebih lengkap ketentuan pidana dengan syarat sebagaimana ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan beberapa dimensi yaitu : (Mulyadi 2014:168-169) a. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan apabila hakim anak menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Pidana dengan syarat harus memenuhi syarat umum yaitu tidak akan melakukan tindak pidana apapun selama masa pidana dengan syarat. Kemudian syarat khusus yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim anak. Syarat khusus tersebut harus tetap memperhatikan kebebasan anak termasuk untuk kebebasan beragama. b. jangka waktu batas maksimal pidana dengan syarat adalah 3 tahun. Pasal ini tidak menentukan secara spesifik dan khusus apakah tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk masa pidana dengan syarat umum atau syarat khusus. Konsekuensi logisnya, tentu harus diinterpretasikan sebagai masa pidana dengan syarat khusus, mengingat masa pidana yang lebih lama dengan syarat umum. c. pengawasan pidana dengan syarat dilakukan penuntut umum anak, sehingga apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi



52



syarat umum dan syarat khusus, penuntut umum anak berkewajiban meminta hakim anak yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk memerintahkan agar pidana yang telah dijatuhkan putusan terdahulu harus dijalankan. Oleh karena itu, seorang anak dianggap telah gagal memenuhi syarat umum, jikalau anak tersebut telah terbukti melakukan tindak pidana dalam masa pidana bersyarat dengan syarat umum dan hal tersebut dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kemudian seorang anak dianggap telah gagal memenuhi syarat khusus apabila anak tersebut telah terbukti tidak memenuhi syarat khusus, dalam hal ini dibuktikan dengan putusan hakim anak. Berikutnya, untuk membantu anak dalam memenuhi syarat umum dan syarat khusus maka UndangUndang mewajibkan kepada pembimbing kemasyarakatan sebagai pihak yang berkewajiban untuk membantu akan memenuhi syarat umum dan syarat khusus. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, terhadap anak yang dijatuhkan pidana dengan syarat, diwajibkan pula untuk dikenakan salah satu 3 (tiga) kemungkinan pembinaan sebagai berikut : (Mulyadi 2014:170) a. Pertama, pembinaan di luar lembaga. Konteks ini dapat berupa mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan



yang



dilakukan oleh pejabat pembina, mengikuti terapi akibat



53



penyalahgunaan alcohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainya. Masa pembinaan diluar lembaga dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dijalani, dalam hal ini tidak dipenuhinya syarat khusus sebagaimana ketentuan pasal 73 ayat (4) UU SPPA, dan oleh karena itu masa pembinaan diluar lembaga tidak dapat melebihi batas waktu 3 (tiga) tahun, yang merupakan maksimal dari masa pidana dengan syarat. b. Kedua, pidana pelayanan masyarakat. Konteks pidana ini diartikan untuk mendidik anak meningkatkan kepedulianya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan membantu pekerjaan dilembaga pemerintah atau



lembaga



kesejahteraan



sosial.



Bentuk



pelayanan



masyarakat misalnya berupa membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu dan membantu administrasi ringan dikantor kelurahan. Kemudian pidana pelayanan masyarakat dijatuhkan untuk paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam, dan dapat diulang baik seluruhnya maupun sebagian kewajiban. c. Ketiga, pidana pengawasan. Jenis pidana ini hanya dapat dijatuhkan kepada anak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 UU SPPA paling singkat adalah tiga bulan dan paling lama dua tahun. Kemudian anak



54



ditempatkan dibawah pengawasan penuntut umum anak dan dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan. Anak dalam kehidupan sehari-hari dirumah anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. 2.6 Tinjauan umum tentang Anak dan Pemidanaan Terhadap anak 2.7.1 Anak dalam Hukum Positif di Indonesia Menurut Sambas (2013:4) pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis. Ditinjau dari perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan anak dan lainlain. Sedangkan dalam lapangan hukum pidana menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Pengertian anak secara hukum atau yuridis, dimana pengertian anak diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan secara hukum inilah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak. Maulana Hasan Wadong (2010:5) dalam (Reskia, 2013:3). Berikut pengertian anak menurut perundang-undangan di Indonesia, 1. Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP), pengertian anak terdapat di dalam Pasal 45 anak yang belum dewasa apabila



55



belum berumur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan apabila ditinjau batasan umur anak sebagai korban kejahatan (Bab XIV) adalah apabila berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun 2. Undang-Undang



Nomor



12



Tahun



1995



Tentang



Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 ayat (8) ditentukan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil yang dididik di lapas paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun. 3. Undang-Undang



Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan



Anak, menurut ketentuan pasal 1 ayat (2), Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu tahun) dan belum pernah kawin. 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak diberikan batasan bahwa anak yang dimaksud dalam UndangUndang tersebut adalah anak nakal adalah orang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Batasan 8 tahun tersebut merupakan anak



yang dapat



dipertanggungjawabkan atas



perbuatanya berdasarkan Undang-Undang tersebut. 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, penjelasan tentang anak terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 sebagai berikut, Anak adalah seorang yang belum berusia 18



56



(delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan. 6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi, disebutkan



Anak



adalah



seseorang



yang



berumur



18



(delapanbelas tahun) 7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, disebutkan dalam pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) temasuk yang berada didalam kandungan. 8. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUUVII/2010, Tanggal 24 Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frase “8 tahun” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. 9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, tentang perlindungan anak, di dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa, Anak adalah seseorang yang belum berumur delapan belas tahun atau yang masih berada di dalam kandungan 10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan anak. Pengertian di dalam Undang-Undang ini telah merubah



57



Batasan



usia



anak



sebagai



orang



yang



dapat



dipertanggungjawabkan dalam proses peradilan. Disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi sebagai berikut, Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Kemudian penjelasan dari ayat 2 tersebut terdapat di dalam ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut,Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Berkaitan dengan peradilan pidana Anak dan pemidanaan terhadap Anak maka dalam skripsi ini definisi Anak yang digunakan adalah pengertian Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2.7.2 Pemidanaan Terhadap Anak Menurut Sutatiek (2013:2), Subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana dan tindakan adalah setiap pelaku pidana, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Anak-anak pelaku tindak pidana pun dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau



58



mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Pada hakikatnya untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak telah di atur jenis pidana dan tindakan yang telah diatur sedemikian rupa sehingga berbeda dengan jenis pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana. Hal ini terlihat pada konsideran UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012. Jenis-jenis pidana yang dijatuhkan kepada anak diatur di dalam Bab V Pasal 69 Sampai dengan Pasal 81. Kemudian diatur pula mengenai Tindakan (maatregel) Sedangkan Jenis Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak diatur di dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 83. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai



tindakan



berdasarkan



ketentuan



dalam



Undang-Undang.



Sedangkan anak yang belum berusia 12 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Ringanya perbuatan, keadaan pribadi anak atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatanya atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk dapat menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. (Pramukti dan Primaharsya, 2015:87) Pemberian sanksi terhadap anak harus tetap memperhatikan berat ringanya kenakalan yang dilakukan, dapat saja dilakukan pemberian sanksi pidana, atau sanksi pidana dan tindakan maupun pemberian tindakan saja.



59



Namun demikian, mengingat fungsi restoratif dari tujuan penanganan anak, tingkat usia anak, kondisi kejiwaan anak, serta masa depan anak adalah hal yang sangat mendasar menjadi pertimbangan utama. (Sambas, 2010:217) Adapun jenis jenis pidana bagi anak terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan yang telah diatur didalam Bab V Pasal 71 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 sebagai berikut; (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. pemenuhan kewajiban adat. Berikut penjelasan dari tiap-tiap jenis sanski pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut : (Pramukti dan Primaharsya 2015:88-92) a. Pidana Peringatan pidana peringatan adalah pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan hak. Dalam hal ini anak hanya diberikan hukuman berupa peringatan. Sebagai contoh apabila seorang anak yang melakukan pencurian beberapa buah manga yang dimiliki oleh tetangganya. Pada kasus



60



tersebut akan diberikan pidana peringatan saja yang diberikan kepada anak dan tidak sampai ke meja pengadilan. b. Pidana Bersyarat pidana dengan syarat dapat dijatuhkan hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama dua tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat, ditentukan mengenai syarat umum dan syarat khusus. Dan dapat meliputi kegiatan pembinaan diluar lembagam pelayanan masyarakat dan pengawasan. c. Pelatihan kerja pidana pelatihan kerja dilaksanakan dilembaga yang melaksanakan pelatihan kerja sesuai dengan usia anak. Lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja antara lain, Balai Latihan Kerja, lembaga pendidikan vokasi. Pidana iini dikenakan paling singkat selama 3 bulan dan paling lama 1 tahun. d. Pembinaan pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan ditempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Dalam hal ini pembinaan dalam lembaga dilakukan paling singkat 3 bulan



61



dan paling lama 24 bulan. Dalam pasal 80 ayat (4) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa anak yang telah menjalani ½ dari lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. e. Penjara pidana pembatasan kebebasan dilakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana yang disertai kekerasan. Dalam pasal 79 ayat (2) menyebutkan bahwa pidana pembatasan kebebasan dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana penjara yang diancamkan orang dewasa. Selain itu, minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Dalam ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak bertentangan



dengan



Undang-Undang



tentang



Sistem



Peradilan Pidana Anak. Anak yang dijatuhi hukuman pidana penjara ditempatkan di LKPA. Selain pidana pokok yang telah diuraikan diatas. Diatur juga mengenai pidana tambahan. Perihal pidana tambahan diatur dalam pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana . dari merupakan



aspek



teknis-yuridis



terjemahan



dari



terminology perampasan



istilah



belanda



“Verbeurd



62



verklaring”. Sebgaia pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim disamping pidana pokok. (Mulyadi 2005:139) pengertian perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana adalah mencabut dari orang-orang yang memegang keuntungan dari tindak pidana yang diperoleh dari keuntungan Negara. (Pramukti dan Primaharsya 2015:91) b. Pemenuhan Kewajiban Adat yang dimaksud denga kewajiban adat adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan



fisik



dan



mental



anak



(Pramukti



dan



Primaharsya 2015:91) Berangkat dari tujuan pemidanaan dalam upaya memberikan perlindungan demi tercapainya kesejahteraan anak, maka kriteria standar berat ringanya pemberian sanksi bukan hanya dilihat atau diukur secara kuantitatif. Melainkan lebih didasarkan kepada pertimbangan kualitatif. Oleh karena itu pertimbangan berat ringanya sanksi bukan hanya sebatas adanya pengurangan dari ancaman sanksi untuk orang dewasa, melainkan perlu dipertimbangkan juga bobot sanksi yang diancamkan (Sambas 2010:225) Saat ini Tujuan pemidanaan terhadap anak belum tercantum secara tegas di dalam perundang-undangan. Akan tetapi terdapat beberapa asas yang mendasari segala tindakan di dalam proses peradilan anak. Yaitu



63



tercantum di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Antara lain, Perlindungan, Keadilan, non diskriminasi, Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan



dan



pembimbingan



anak,



proporsional,



perampasan



kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak secara eksplisit mengatur tujuan pemidanaan, namun secara umum dapat dilihat dalam konsideranya. Tujuan yang hendak dicapai adalah dalam upaya melindungi dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang (Sambas, 2010:25). Terkait dengan hal tersebut Anis Widyawati dalam jurnal South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, menyatakan bahwa: the punishment which is decided by the judge was not merely punishment, but such penalties should also concern to the interests of the children, that the children are not only deterrent but also has benefits for the child's development in the future that is education Selain



itu



telah



disepakati



oleh



masyarakat



internasional



sebagaimana diungkapkan dalam konvensi hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia, secara tegas dinyatakan bahwa:



64



“In All actions concerning children, wheter undertaken by public or private social welfare institution, courts of law, administrative authorities or legislative bodies, the best interest of the child shall be a primary consideration” (dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaha-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama”. (Sambas, 2010:25). Adapun instrumen hukum internasional lain menyatakan sejalan dengan konvensi hak-hak anak yaitu Standard Minimum Rule Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang di kenal dengan Beijing Rule, menegaskan prinsip-prinsip pedoman dalam mengambil keputusan. Berdasarkan Rule 17.1, menyatakan prinsip-prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan adalah sebagai berikut : (Sambas, 2010:25) a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang di ambil selamanya harus diseimbangkan tidak hanya –pada keadaan-keadaan dan keseriusan berat ringanya tindak pidana (the circumstances and the grafity of the offence), tetapi juga keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan si anak (the circumstances and of the juvenile) serta pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the need of the society)



65



b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang lebih tepat; d) Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, tampak jelas bahwa dalam penjatuhan sanksi terhadap anak, tujuan yang hendak dicapai adalah perlindungan hukum yang harus mengedepankan yang terbaik bagi kepentingan anak, sehingga dapat tercapainya kesejahteraan anak 2.7.3 Instrumen Internasional Tentang Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Sejumlah konvensi internasional yang seharusnya menjadi dasar atau acuan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan atau pelaksanaan peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap anak-anak yang berada dalam system pemasyarakatan adalah sebagai berikut, a. Konvenan



Internasional



tentang



Hak-Hak



Sipil



dan



Politik



(International Covenant on Civil and Political Rights), resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tanggal 16 Desember 1976.



66



Dalam Pasal 10 ICCPR, Terkait dengan hak anak dalam peradilan pidana ditentukan prinsip bahwa pelanggar hukum yang belum dewasa (anak) harus dipisahkan dari yang sudah dewasa dan diberlakukan yang layak bagi usia dan status hukum mereka, serta perlunya diutamakan rehabilitasi. Hal ini berarti peradilan yang menempatkan anak sebagai tersangka ataupun terdakwa harus dipisahkan agar anak yang berkonflik dengan hukum tersebut tidak mendapat hukuman yang bersifat menyakiti tetapi hukuman yang bersifat restorative dan rehabilitative. b. Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi Majelis Umum PBB No. 109 Tahun 1990 Sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat ini konvensi hak anak tersebut diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini mengatur hak-hak anak secara rinci, konvensi ini merumuskan prinsip-prinsip hak anak yang ditujukan untuk melindungi hak anak (Djamil, 2013:58) c. Peraturan-peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 Tahun 1985 The Beijing Rules merupakan salah satu instrument hukum yang sering digunakan sebagai landasan administrasi peradilan bagi anak. Prinsip umum dalam dokumen ini adalah setiap remaja atau anak yang sedang berhadapan dengan peradilan anak berhak atas semua



67



perlakuan yang ditetapkan didalam peraturan ini. Sedangkan prinsip khususnya memuat beberapa rumusan, yaitu bahasa sistem peradilan bagi anak-anak akan mengutamakan kesejahteraan anak. Karena itu mereka diberi kebebasan membuat keputusan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dari pengaturan-pengaturan lanjutanya. (Pramukti dan Primaharsya 2015:56) d. Pedoman



Perserikatan



Bangsa-Bangsa



(PBB)



dalam



Rangka



Pencegahan Tindak Pidana Remaja (United Nations Guideilines for the Preventive of Juvenile Deliquency, “Riyadh Guidelines”), Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 Tahun 1990 Prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam Riyadh Guidelines adalah bahwa program dan pelayanan masyarakat untuk pencegahan kenakalan anak agar dikembangkan dan badan-badan pengawasan sosial yang resmi supaya dipergunakan sebagai upaya akhir. Penegak hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis kelamin, harus dilatih agar tanggap atas kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa dan menerapkan



semaksimal



mungkin



program-program



dan



kemungkinan-kemungkinan penunjukan pengalihan anak dari system pengadilan (Pramukti dan Primaharsya 2015:58) e. Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat



68



manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UU nomor 5 Tahun 1998. Konvensi internasional tersebut merumuskan beberapa prinsip yang juga terkait dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam konvensi tersebut dirumuskan bahwa setiap negara menjamin semua perbuatan penganiayaan merupakan pelanggaran hukum pidana. (Djamil, 2014:60) f. Peraturan



PBB



bagi



Perlindungan



Anak



yang



Kehilangan



Kebebasanya, Resolusi 45/113 Tahun 1990. Resolusi PBB yang dikeluarkan pada tahun 1990 ini cukup rinci merumuskan tentang hak anak terutama yang terkait dengan anak yang kehilangan kebebasanya. Prinsip umumnya adalah bahwa peraturan ini harus diterapkan secara tidak berat sebelah, tanpa diskriminasi, dengan menghormati kepercayaan-kepercayaan, praktik agama dan budaya, serta konsep moral anak yang bersangkutan. Bahkan terkait dengan pengenaan pidana penjara, aturan ini mengharuskan pidana penjara harus digunakan sebagai upaya akhir dan harus menjamin para anak mendapatkan manfaat dari kegiatankegiatan dan program-program yang diadakan lembaga. Mereka harus dipisah dari orang dewasa. (Djamil, 2014:69)



69



g. Aturan-aturan mengenai tingkah laku bagi petugas penegak hukum, resolusi majelis umum PBB No.34/169 Tanggal 17 Desember 1979. Prinsip-prinsip yang terkait dalam penyelenggaraan peradilan dalam dokumen ini adalah bahwa petugas penegak hukum harus melayani masyarakat dengan melindungi martabat manusia dan menjaga serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang dan menggunakan kekerasan ketika benar-benar diperlukan (Pramukti dan Primaharsya, 2015:55)



70



KERANGKA BERPIKIR



Tujuan Pemidanaan (Kepentingan Terbaik Bagi Anak)



Pemidanaan Berdasar UU Sistem Peradilan Pidana Anak



Tindak Pidana Anak



Pidana Bersyarat Teori Tujuan Pemidanaan



(Pasal 73 UU No.11 Tahun 2012)



Syarat Khusus yang di tetapkan hakim dalam putusanya



Syarat Umum



Di Pengadilan Negeri Ungaran Tidak Menyertakan Syarat Khusus



Kedudukan/ eksistensi Syarat Khusus



Pertimbangan dalam Memberikan Syarat Khusus



BAB III METODE PENELITIAN



3.1 Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis yang merupakan “suatu pendekatan selain menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat dan menganalisa masalah yang terjadi” (Soekanto 1997:10).Yuridis Sosiologis adalah pendekatan yang mengutamakan pada aturan hukum/yuridis yang dipadukan dengan menelaah fakta-fakta sosial yang terkait penelitian.



Yuridis



Sosiologis



dilakukan



berdasarkan



dengan



permasalahan-



permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, baik tindakan yang dilakukan oleh manusia dilingkungan masyarakat, maupun pelaksanaan hukum oleh lembaga-lembaga sosial. (Sugono, 2006:101) Selain itu Ronny Hanitijo Soemitro (1990:12) mengatakan bahwa dalam menghadapi suatu permasalahan yang dibahas berdasarkan peraturanperaturan yang berlaku kemudian dihubungkan pada kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini aspek yuridis yang dipahami dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di atur tentang pidana bersyarat dimana di dalam penjatuhan pidana bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus yang dicantumkan dalam putusan hakim. Akan tetapi pada tataran praktiknya



71



72



hakim menjatuhkan pidana bersyarat hanya mencantumkan syarat umum dan tidak mencantumkan syarat khusus yang wajib dilakukan atau tidak dilakukan oleh terpidana. Maka aspek Sosiologisnya adalah dengan meneliti kedudukan Syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran dan Pertimbangan Hakim dalam Menerapkan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Bagi anak. 3.2 Jenis Penelitian Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam skripsi ini, jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Selanjutnya penelitian kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sedangkan menurut Bogdam dan Taylor dalam Moleong (2002:3) kualitatif



adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif



berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaaan atau gejala lainya sesuai dengan dasar jenis penelitian yang telah diuraikan tersebut maka penelitian dalam skripsi ini diharapkan



73



dapat menganalisis permasalahan-permasalahan yang akan di teliti yaitu penerapan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran dan Pertimbangan Hakim dalam menerapkan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat bagi anak, dan kedudukan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada anak di Pengadilan Negeri Ungaran. 3.3 Data dan Sumber Data Dalam suatu penelitian tentunya memerlukan data dari obyek yang di teliti. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menentukan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Ungaran. Berdasarkan jenis penelitian skripsi ini maka data yang penulis gunakan adalah: a.



Data Primer Data Primer adalah Data primer adalah “data yang diperoleh secara langsung dari informan atau masyarakat” (Soemitro 1988:10). Menurut Moleong (2004:157), sumber data utama dapat diperoleh dari “kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai. Sumber utama ini dicatat melalui catatan tertulis atau rekaman video atau audio tape, pengambilan foto atau film. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari



74



1. Responden Responden adalah orang yang menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti, untuk tujuan peneliti itu sendiri (Ashofa, 2004:2).



Lebih



lanjut



Fajar



dan



Achmad



(2013:174)



menjelaskan bahwa responden ini merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan. Maka untuk mendapatkan data primer yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, responden yang dipilih adalah Hakim anak pada Pengadilan Negeri Ungaran yang telah menjatuhkan putusan pidana bersyarat kepada anak. 2. Informan Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2006:132). sebab informan hanya orang yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya dan peneliti tidak dapat mengarahkan jawaban sesuai dengan yang diinginkanya (Fajar dan Achmad 2013:135). Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam skripsi ini maka informan pada penelitian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri Ungaran.



75



b. Data sekunder Data sekunder



adalah data yang diperoleh melalui bahan



kepustakaan (Soemitro 1988:10). Data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah “bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif).” (Ali 2009:47). Dalam penelitian ini bahan hukum primer khususnya peraturan Perundangundangan seperti: 1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah “semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi” (Ali 2009:54). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku teks yang berisi materi tentang sistem Peradilan anak. Dan data-data serta berkas pengadilan Negeri Ungaran 3. Bahan Hukum Tersier



76



Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan sebagai pelengkap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang dipakai adalah kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesi 3.4 Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini lokasi yang dipilih adalah Pengadilan Negeri Ungaran yang berlokasi Jl. Merapi, Bandarjo, Ungaran Barat., Semarang, Jawa Tengah (50517). Alasan penulis memilih lokasi tersebut untuk dilakukan penelitian adalah adanya putusan Pengadilan Negeri Ungaran yang di dalam putusan tersebut terdapat vonis pidana bersyarat, 2 (dua) Putusan tidak memuat syarat khusus dan 1 (satu) putusan tidak memuat syarat khusus. 3.5 Populasi dan Sampel Penelitian 3.5.1 Populasi Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. (Soemitro, 1988: 44). Ashshofa (2007: 79) menyatakan populasi yaitu keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Ungaran 3.5.2 Sampel Menurut Ashofa (2007: 79) menyatakan bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang dianggap



mewakili populasinya. Menurut



Soekanto (2014:172) tata cara pengambilan sampling terdiri atas probability sampling dan non-probability sampling yaitu penerapan sampling apabila



77



peneliti ingin melakukan penelitian yang bersifat eksplanatoris yang dapat dilakukan dengan teknik, quota sampling yaitu pengambilan sampel dengan mendapatkan replika dari populasi yang hendak digeneralisasikan, accidental sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu peristiwa tertentu. Dan purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan menetapkan ciri yang sesuai dengan tujuan. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan purposive sampling yaitu dalam memilih sampel dari populasi dilakukan secara tidak acak dan didasarkan dalam suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Moleong, 2004). Jadi dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Sampel dari penelitian ini adalah Hakim Anak yang telah menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada Anak. 3.6 Teknik Pengumpulan Data 3.6.1 Wawancara Menurut Moleong (2005:186), Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Lebih lanjut Suratman dan Dillah (2012:127) mengatakan bahwa selama ini metode wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap efektif karena interviewer



78



dapat bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan perihal pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat opinion maupun persepsi diri responden dan bahkan saran-saran dari responden. Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini maka wawancara dilakukan kepada Hakim pada Pengadilan Negeri Ungaran yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada anak. 3.6.2 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan kuesioner. (Suratman dan Dillah 2014:123). Penulis melakukan studi pustaka terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini untuk memperoleh acuan dan landasan teoritis yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti di dalam skripsi ini 3.7 Validitas dan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif terdapatnya validitas data yang diambil sangat



penting sesuai dengan penjelasan oleh Moleong (2011: 171)



menyatakan bahwa data merupakan konsep kesatuan validitas dan kendala atau reabilitas versi positifisme dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria dan paradigma



sendiri. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan



dengan tehnik trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2011: 330). Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik



79



derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton,



1987: 331) dalam



(Moleong, 2011: 330). Trianggulasi dengan sumber derajat dicapai dengan jalan: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara; 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; 3. Membandingkan apa yang orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4. Membandingkan keadan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan; dan 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan . (Moleong, 2011: 331). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan trianggulasi dengan sumber derajat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Ungaran serta peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.



80



3.8. Metode Analisis Data Lexy J Moleong (2010:248) Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Nasution (2008:184) Teknik analisis pada dasarnya adalah analisis deskriptif, diawali dengan mengelompokan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberikan makna terhadap sub aspek dan hubunganya satu sama lain, kemudian setelah itu dianalisis atau interpretasi keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran secara utuh.



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



4.1 Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Syarat Khusus Pada Penjatuhan Pidana Bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran 4.1.1 Pertimbangan Yuridis Pada hakikatnya pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terdiri dari dua aspek pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis. Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan Hakim Anak karena pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan Anak tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan jaksa/Penuntut Umum Anak. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar putusan Hakim Anak. (Mulyadi, 2014:297) Untuk



dapat



menjatuhkan



suatu



pidana



maka



harus



terdapat



pertimbangan terhadap pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad, 2007:220)



81



82



Sebelum meninjau pertimbangan Hakim dalam memilih pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Anak maka harus meninjau pertimbangan yuridis mengenai unsur-unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh Anak. Pada putusan mengenai pidana bersyarat kepada Anak di pengadilan Negeri Ungaran Nomor 4/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr. dapat diketahui bahwa Hakim Anak Dalam memutus perkara pidana dan menjatuhkan pidana bersyarat



kepada Anak



khususnya dalam memberikan syarat khusus, pertimbangan-pertimbangan yuridis yang digunakan oleh Hakim yaitu meliputi surat dakwaan, kesesuaian alat bukti dan perbuatan, Tuntutan dari Penuntut Umum dan Pledoi dari penasihat hukum. Adapun Dakwaan dari Penuntut Umum adalah sebagai berikut, DAKWAAN -



-



Bahwa Terdakwa I. TERDAKWA I, Terdakwa II. TERDAKWA II, MNC



(berkas terpisah), MZH (berkas terpisah), FH (berkas terpisah),ND (berkas terpisah), WH (berkas terpisah) , pada hari Minggu tanggal 13 September 2015 sekira jam 03.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain di bulan September tahun 2015, bertempat di Jalan Raya Dusun Xxxxx Blok A Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang atau setidaktidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang di Ungaran, telah mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,yang didahului,disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana terurai diatas, berawal pada hari Sabtu tanggal 12 September 2015 sekira pukul 22.00 wib Terdakwa I. TERDAKWA I, Terdakwa II. TERDAKWA II, MNC (berkas terpisah),



83



-



-



-



-



-



-



-



MZH (berkas terpisah), FH (berkas terpisah), ND (berkas terpisah), WH (berkas terpisah) berkumpul kemudian pesta miras dipemuda Semarang, kemudian setelah itu mempunyai ide untuk pergi ke jogja dengan mengendarai 4 (empat) spm Terdakwa I berboncengan dengan MZH mengendarai Scoopy warna putih, Terdakwa II dengan FH mengendarai Suzuki Satria FU warna hijau putih , WH berboncengan dengan ND mengendarai Mio J wana hijau, sedangkan MNC menggunakan Suzuki Satria FU warna hijau putih kemudian berangkat lewat Lemah Abang kearah Bandungan sesampai di Bandungan berhenti untuk istirahat kemudian sekira pukul 02.30 wib FH bilang “pulang aja dah malam” kemudian bertujuh melanjutkan perjalanan pulang melewati jalan Xxxxx ke arah Xxxxx Kendal sesampai di pertengahan jalan antara Xxxxx dan daerah Xxxxx semua berhenti hendak kencing. Pada saat berhenti dipertengahan jalan Xxxxx-xxxxx kemudian FH berkata “ ayo kerja” selang beberapa menit ada pengendara sepeda motor Mega Pro dengan rombong berisi sayuran lewat kemudian diberhentikan oleh FH, MNC, MZH dan ND setelah pengendara tersebut berhenti MNC dan FH langsung menarik tas model samping yang dibawa oleh saksi SAKSI KORBAN tetapi saksi SAKSI KORBAN melawan dengan mempertahankan tas tersebut kemudian FH dengan menggunakan 1 (satu) buah kayu balok berukuran ± 1 meter memukul pergelangan tangan kanan saksi SAKSI KORBAN, MNC memukul saksi SAKSI KORBAN dibagian wajah dengan menggunakan tangan kosong selanjutnya mencabut kunci motor Mega Pro milik saksi SAKSI KORBAN kemudian membuangnya, 1 (satu) buah helm GIX warna pink digunakan oleh MZH untuk memukul bagian lengan tangan kiri saksi SAKSI KORBAN, 1 (satu) buah helm VOG warna hitam digunakan oleh WH untuk memukul kepala saksi SAKSI KORBAN, ND dengan menggunakan gesper memukul kepala saksi SAKSI KORBAN beberapa kali sedangkan Terdakwa I diatas spm Honda Scopy bertugas mengawasi situasi dan Terdakwa II diatas spm Honda Vario bertugas mengawasi keadaan sekitar diatas motor. setelah saksi SAKSI KORBAN terjatuh dari motor kemudian berteriak “maling... maling” dan situasi jalan mulai ramai kemudian Terdakwa I, Terdakwa II, MNC (berkas terpisah), MZH (berkas terpisah), FH (berkas terpisah), ND (berkas terpisah), WH (berkas terpisah) melarikan diri kearah Xxxxx; Berdasarkan Visum et Repertum Nomor : 445/VER/267/IX/15 tanggal 22 September 2015 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Hery Wahyono Nip. 197502082006041008, dokter yang memeriksa pada UPTD Puskesmas Xxxxx terhadap SAKSI KORBAN dengan kesimpulan bahwa: dari pemeriksaan luar didapat tanda-tanda: luka robek kepala sebelah depan kurang lebih 5 cm, luka lebam dihidung bagian tengah atas, tangan kanan bengkak sebab perlukaan diduga akibat kekerasan dengan benda tumpul dan tidak menyebabkan kematian;



84



Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 1,2 KUHP jo 53 ayat (1) KUHP jo UU RI. No. 11 Tahun 2012; Adapun Pasal 365 ayat (2) ke 1,2



KUHP jo 53



ayat (1) KUHP



yang



didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum tersebut memiliki unsurunsur sebagai berikut: 1. Barangsiapa; 2. Mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum; 3. Yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri; 4. Dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 5. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 6. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya. dalam perkara tersebut penasihat hukum tidak mengajukan eksepsi dan menyatakan menerima dakwaan dari Penuntut Umum. Di dalam tahap pembuktian untuk dapat membuktikan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, Hakim



85



mempertimbangkan segala alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum. Alat bukti didalam perkara tersebut meliputi keterangan saksi-saksi. Keterangan saksi didalam perkara tersebut dipandang dapat membuktikan tiap-tiap unsur tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan Penuntut Umum. Adapun pertimbangan terhadap keterangan saksi tersebut adalah sebagai berikut, -



Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan berawal pada hari Sabtu tanggal 12 September 2015 sekitar pukul 22.00 Wib, para Terdakwa dan MNC, MZH, FH, ND, WH, kumpul-kumpul dan pesta minuman keras di Pemuda Semarang, setelah itu atas ide dari FH mengajak pergi ke Yogyakarta dengan mengendarai empat sepeda motor yaitu Terdakwa I berboncengan dengan MZH mengendarai Scoopy warna putih, Terdakwa II dengan FH mengendarai Suzuki Satria FU warna hijau putih, WH berboncengan dengan ND mengendarai Mio J warna hijau, MNC seorang diri mengendarai Suzuki Satria FU warna hijau putih; Dalam perjalanan, motor yang berada pada posisi paling depan tidak menuju arah Yogyakarta namun mengarah menuju Bandungan dan diikuti oleh motor yang lainnya; Sesampainya di Bandungan para Terdakwa serta teman-temannya berhenti untuk istirahat lalu sekitar pukul 02.30 Wib, FH mengajak pulang karena sudah larut malam selanjutnya para Terdakwa serta teman-temannya melanjutkan perjalanan pulang melalui jalan Xxxxx ke arah Xxxxx Kendal; Dalam pertengahan perjalanan Xxxxx ke Xxxxx Kendal tersebut sekitar pukul 03.00 Wib



86



hari Minggu tanggal 13 September 2015 di jalan raya dusun Xxxxx Blok A, Desa Xxxxx, Kecamatan Xxxxx, Kabupaten Semarang, para Terdakwa dan teman-temannya kembali buang air kecil , ND memberitahu kalau ada orang lewat yang terlihat dari sorot lampu motor yang dikendarai korban, kemudian FH mengatakan “ayo kerja”, setelah itu FH, MNC, WH, ND memberhentikan sepeda motor Mega Pro dengan rombong sayuran yang dikendarai oleh korban (SAKSI KORBAN); Setelah korban berhenti, MNC dan FH langsung menarik tas cangklong yang dikenakan di pinggang korban hingga talinya putus dan bersama-sama dengan MZH dan ND melakukan pemukulan namun korban melakukan perlawanan untuk mempertahankan tas tersebut; -



Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi FH, MNC, MZH, WH,



perbuatan para Terdakwa serta teman-temannya bersifat



spontanitas dan ketika peristiwa terjadi para Terdakwa hanya duduk di atas motor masing-masing yaitu Terdakwa I duduk di atas motor Honda Scoopy dan Terdakwa II duduk di atas motor Honda Vario, tidak ikut merampas tas dan juga tidak ikut serta melakukan kekerasan atau



ancaman



kekerasan



untuk



memperlancar



perbuatannya;



Meskipun para Terdakwa hanya duduk di atas motor saja namun Hakim berpendapat para Terdakwa mengetahui maksud dari perbuatan teman-temannya tersebut, para Terdakwa juga tidak menghindar ataupun mencegah perbuatan teman-temannya yang lain; Hakim juga



87



berpendapat, para Terdakwa meskipun masih tergolong Anak namun karena sudah berusia enam belas tahun lebih tentulah dapat menangkap atau menduga serta menafsirkan suatu peristiwa yang tidak sewajarnya antara lain menghentikan kendaraan orang lain pada dini hari dan juga dari kata-kata temannya yang berupa “ayo kerja”, selain itu kecil kemungkinan perbuatan tersebut dilakukan secara spontanitas karena dengan melihat rangkaian dan cara kerja dalam melakukan



kejahatan,



kemungkinan



perbuatan



serupa



pernah



dilakukan sehingga mereka sudah berpengalaman, dengan demikian Hakim berpendapat terdapat kesatuan niat diantara mereka untuk mengambil tas tersebut tanpa seijin korban dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, selanjutnya hasil kejahatan akan dibuat untuk senang-senang; bahwa terhadap keterangan saksi tersebut, Hakim berpendapat bahwa fakta-fakta yang diungkapkan oleh saksi tersebut dapat memenuhi unsur Mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Berikutnya untuk membuktikan unsur Yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri; Hakim mempertimbangkan keterangan saksi dan alat bukti surat visum et repertum sebagai berikut



88



-



dengan menggunakan tangan kosong selanjutnya mencabut kunci kontak motor Mega Pro milik korban dan membuangnya, 1 (satu) buah helm GIX warna pink digunakan oleh MZH untuk memukul bagian lengan tangan kiri korban, 1 (satu) buah helm VOG warna hitam digunakan oleh WH untuk memukul kepala korban, ND dengan menggunakan gesper memukul kepala korban beberapa kali sedangkan Terdakwa I berada di atas sepeda motor Honda Scopy dan Terdakwa II berada di atas Honda Vario; Atas kejadian tersebut, korban terjatuh dari motor kemudian berteriak maling dan ada orang yang datang terlihat dari sorot lampu kendaraannya sehingga para Terdakwa dan teman-temannya tersebut melarikan diri ke arah Xxxxx;Menimbang bahwa dengan demikian diketahui teman-teman Terdakwa yang lain setidak-tidaknya telah mempergunakan tenaga atau kekuatannya dan tidak dipersoalkan apakah itu kekuatan maksimal atau minimal,artinya ada suatu daya / upaya paksa untuk mengambil tas cangklong tersebut atau lebih tepatnya merampas sehingga barang itu dapat beralih ke dalam kekuasaannya; Artinya dengan kekerasan yang menyertai pencurian tersebut setidak-tidaknya akan mempermudah jalannya pencurian namun karena



ada



perlawanan dari korban maka tas tersebut tidak serta merta lepas dari korban;



Pada diri para Terdakwa sendiri juga tidak ada tindakan



apapun untuk mencegah atau menghentikan tindakan kekerasan tersebut;



89



-



Menimbang bahwa akibatnya korban menderita luka robek kepala sebelah depan kurang lebih lima centimeter, luka lebam di hidung bagian tengah atas, tangan kanan bengkak, sebagaimana hasil visum et repertum Bahwa selanjutnya Hakim mempertimbangkan dari fakta-fakta yang



terungkap dipersidangan yang bersumber pada keterangan saksi, keterangan Terdakwa dan alat bukti surat berupa visum et repertum Hakim menyatakan bahwa perbuatan para Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan tunggal, sehingga Hakim berkesimpulan bahwa para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Percobaan Pencurian dengan Kekerasan Dalam Keadaan Memberatkan”; Adapun



Tuntutan



Penuntut



Umum



dalam



putusan



Nomor



5/Pid.sus/2015.PN.Unr yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa pada pokoknya memohon kepada majelis Hakim agar mengabulkan tuntutan sebagai berikut: 1. Menyatakan masing-masing Terdakwa Terdakwa I. TERDAKWA I dan Terdakwa



II. TERDAKWA II



bersalah melakukan tindak



pidana percobaan pencurian dengan kekerasan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 1,2 KUHP jo 53 ayat (1) KUHP jo UU RI. No. 11 Tahun 2012 dalam Surat Dakwaan; 2. Menjatuhkan pidana terhadap masing-masing Terdakwa I . TERDAKWA I dan Terdakwa II. TERDAKWA II berupa pidana



90



penjara selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan selama 2 (bulan); 3. Menetapkan barang bukti berupa :1 (satu) buah helm biru merk INK; dikembalikan kepada Terdakwa II. TERDAKWA II; 4. Menetapkan agar masing-masing Terdakwa I dan Terdakwa II membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000.- (dua ribu rupiah) Di dalam perkara tersebut Selanjutnya Hakim mempertimbangkan pledoi atau nota pembelaan dari penasihat hukum Terdakwa. Yang digunakan sebagai pertimbangan mengenai keadaan pribadi Terdakwa. Adapun pledoi yang disampaikan Terdakwa dalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr yang memuat syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut, 1.



Memberikan kesempatan kepada Orang Tua untuk mengawasi dan mendidik para Terdakwa di rumah;



2.



Memberikan hukuman bersyarat sebagaimana anjuran/saran dari Bapas; Atau;



3.



Apabila berpendapat lain mohon dalam menjatuhkan putusan kepada para Terdakwa dengan putusan yang seadil-adilnya;



Atas tuntutan dari Penuntut Umum tersebut , Hakim Anak dalam putusan Nomor 4/Pid.Sus.2015/PN.Unr dalam memutus perkara mempertimbangkan unsur-unsur (bestandellen delict) dari tindak pidana yang didakwakan d sebagai berikut -



Menimbang,



bahwa



berdasarkan



pertimbangan-pertimbangan



tersebut, ternyata perbuatan para Terdakwa telah memenuhi seluruh



91



unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan tunggal, sehingga Hakim berkesimpulan bahwa para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Percobaan



Pencurian



Dengan



Kekerasan



Dalam



Keadaan



Memberatkan”; Selanjutnya untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan nulla poena sine culpa. Maka dalam hal ini Hakim harus membuktikan dan menyatakan bahwa Terdakwa adalah seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Seperti didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr sebagai berikut, -



Menimbang,



bahwa



dari



kenyataan



yang



diperoleh



selama



persidangan dalam perkara ini, Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan para Terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan para Terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya; -



Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka para Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya oleh karena itu harus dijatuhi pidana;



Selanjutnya apabila telah terbukti perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah merupakan suatu tindak pidana, serta terbukti unsur kesalahan



92



atau Terdakwa adalah seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan maka selanjutnya Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Sebagaimana diatur didalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila ketentuan pasal tersebut dijabarkan secara detail, dijelaskan bahwa putusan pemidanaan dapat terjadi jika : a. Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan b. Hakim Anak/majelis Hakim Anak berpendapat bahwa: i. perbuatan



Anak



sebagaimana didakwakan



jaksa/Penuntut



Umum Anak dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; ii. perbuatan Anak tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana kejahatan atau pelanggaran; dan iii. dipenuhinya



ketentuan



alat-alat



bukti



dan



fakta-fakta



dipersidangan (Pasal 183, 184 ayat (1) KUHAP c. oleh karena itu kemudian Hakim Anak/majelis Hakim menjatuhkan



putusan



pemidanaan



kepada



Anak



Anak



(Mulyadi



2014:282) Dalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015/PN.Unr Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran mempertimbangkan rekomendasi hasil penelitian pembimbing Pemasyarakatan didalam putusanya sebagai berikut: -



Menimbang bahwa selanjutnya Hakim juga telah membaca dan mempelajari



laporan



Pembimbing terhadap



hasil



penelitian



Kemasyarakatan



dari



Kemasyarakan yang bernama Sudiastuti Rahayu



Terdakwa I. TERDAKWA I yang pada esensinya



93



pembimbing



Kemasyarakatan



(PK)



rekomendasi/saran agar klien tersebut diatas,



aquo



memberikan



diberikan “Pidana



Dengan Syarat” sesuai dengan bunyi Pasal 71 ayat 1 huruf b angka 1 yaitu pidana pengawasan oleh Bapas Klas I Semarang, dengan pertimbangan : 1. Menghilangkan stigma/label napi bagi Anak; 2. Pidana penjara adalah alternative terakhir bagi ABH dengan memberikan syarat khusus: 



Klien tetap melanjutkan sekolah dan diberi pengawasan serta pembimbingan oleh pihak sekolah;







Klien mengikuti konseling dan ekstrakurikuler dari sekolah;







Klien tidak boleh main di malam hari; • Klien tidak bergaul dengan temannya yang membawa pengaruh buruk



bagi



dirinya



(tidak



merokok,



tidak



mengkonsumsi minuman keras dan Napza); 



Pengawasan dan pembimbingan oleh Bapas selama masa pidana bersyarat yang diputuskan oleh Hakim;







Pengawasan dan pembimbingan oleh pamong setempat; Pengawasan dan pembimbingan oleh Peksos;







Syarat umum: Klien tidak melanggar hukum selama menjalani masa pidana bersyarat yang telah diputuskan Hakim;



94



Pertimbangan



Hakim



terhadap



hasil



penelitian



Pembimbing



Kemasyarakatan untuk Terdakwa II dapat diketahui di dalam putusan sebagai berikut, -



Menimbang bahwa Hakim juga telah membaca dan mempelajari laporan hasil penelitian Kemasyarakatan dari



Pembimbing



Kemasyarakan yang bernama Imam Syafii terhadap Terdakwa II. TERDAKWA II yang pada esensinya pembimbing Kemasyarakatan (PK) aquo memberikan rekomendasi/saran agar klien tersebut diatas, diberikan “Pidana Dengan Syarat” sesuai dengan bunyi Pasal 71 ayat 1 huruf b (3) UU RI No.11 Tahun 2012 yang berbunyi “Pidana dengan syarat pengawasan”; 1. Syarat Umum: • Klien tidak mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi; 2. Syarat khusus: •



Tidak bergaul dengan teman-teman yang membawa pengaruh buruk bagi dirinya;







Pengawasan dan pembimbingan oleh Bapas selama masa pidana bersyarat diputuskan oleh Hakim;







Tidak merokok dan minum-minuman keras;







Melanjutkan pendidikannya lewat kejar Paket C;







Pengawasan dan pembimbingan dari pamong setempat;







Pengawasan dan pembimbingan dari petugas Peksos;







Tidak mengendarai sepeda motor sebelum mempunyai SIM



95



-



bahwa



terhadap



Kemasyarakatan



saran/rekomendasi



tersebut



di atas, Hakim



dari



Pembimbing



secara substansial



menyatakan sependapat sepenuhnya dengan pengertian bahwa rekomendasi berupa pidana dengan syarat tersebut merupakan pidana yang dianggap paling tepat untuk diterapkan kepada para Terdakwa aquo, namun saran/rekomendasi tersebut tentulah juga harus mendasarkan kepada ketentuan Pasal 73 ayat (1), (2), (3),(4),(5),(6), (7),(8) dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,



karena pada prinsipnya pidana dengan



syarat tersebut mempunyai sifat-sifat kekhususan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) sampai dengan (8) aquo, sehingga nantinya dalam amar putusan, Hakim selain akan menentukan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana ketentuan persyaratan yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, Hakim juga akan menentukan



lamanya Pidana Penjara yang akan dijatuhkan



terhadap para Terdakwa apabila ternyata ternyata para Terdakwa dianggap melanggar persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam syarat umum dan syarat khusus. Menurut analisis penulis, rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan tersebut menghendaki agar Anak dihindarkan dari pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana paradigma pemidanaan terhadap Anak yang tercantum didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu asas kepentingan terbaik bagi Anak yaitu segala pengambilan keputusan harus



96



selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, asas penghindaran perampasan kemerdekaan yaitu prinsip menjauhkan Anak dari perampasan kemerdekaan yang harus digunakan sebagai upaya terakhir apabila Anak tidak dapat diperbaiki, asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, dan penghindaran pembalasan yaitu penghindaran dari upaya pembalasan dalam sistem peradilan pidana. Rekomendasi hasil penelitian oleh Pembimbing Kemasyarakatan tersebut mendapatkan kekuatan sebagai bahan pertimbangan yang wajib dicantumkan oleh Hakim. Pertimbangan Hakim atas rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menentukan bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mulyadi (2014:300), bahwa Pemberian kesempatan



Hakim Anak kepada Orang Tua/wali dan/atau



pendamping hakikatnya untuk kebaikan, kemanfaatan bagi Anak dalam meneliti kehidupanya kelak karena Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Kewajiban imperatif Hakim Anak mempertimbangkan laporan penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum putusan perkara urgent sifatnya, dan apabila tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim Anak, putusan batal demi hukum dalam artian tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan hal tersebut



97



Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H. dalam wawancara dengan penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB, memberikan tanggapanya tentang kedudukan dari hasil penelitian Pembimbing Kemasyarakatan sebagai pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara Pidana Anak sebagai berikut, “Itu acuan, disitu ada penelitian tentang kehidupan keluarga, lingkungan Masyarakat dan sekolah. Jadi kita bisa tau. Ini tepat apa tidak rekomendasi dari bapas. Tapi Kita lihat lagi dipersidangan. Misalnya sikap Terdakwa dipersidangan. Terkadang ada yang petetang petenteng ya kita jadikan pertimbangan. Misalnya seperti ini, bapas mintanya dikembalikan kepada Orang Tua, namun dalam persidangan keadaan Anak seperti ini, ya apakah kita mau manut bapas, ya kita ada pertimbangan tersendiri.” Berdasar hasil



wawancara tersebut, jika dikaitkan dengan ketentuan



Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, bahwa Hakim dapat menyimpangi atau tidak menggunakan rekomendasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini tentunya didasarkan oleh fakta-fakta dipersidangan dan pertimbangan Hakim itu sendiri dalam memberikan pidana yang dipandang tepat bagi Anak, namun rekomendasi hasil penelitiab oleh Pembimbing Kemasyarakatan tersebut wajib dipertimbangkan, artinya UndangUndang hanya mewajibkan Hakim untuk mempertimbangkan rekomendasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dan tidak wajib



untuk



memakai



rekomendasi



hasil



penelitain



dari



Pembimbing



Kemasyarakatan tersebut apabila memang menurut pandangan Hakim sendiri hasil penelitian tersebut tidak sesuai atau tidak tepat dalam memberikan kepentingan terbaik bagi Anak karena pada dasarnya Hakim memiliki



98



kewenangan sendiri untuk memberikan jenis pidana apa yang cocok untuk kepentingan terbaik bagi Anak. Apabila dikaitkan dengan pertimbangan Hakim mengenai hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2015.PN.Unr tersebut, Bahwa didalam pertimbanganya dalam memperhatikan hasil penelitian lembaga Kemasyarakatan, Hakim berpendapat bahwa hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan tersebut telah sesuai untuk kepentingan terbaik bagi Terdakwa Anak itu sendiri maupun sesuai dengan ketentuan mengenai pidana bersyarat yang terdapat didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Serta Hakim berpendapata bahwa adanya syarat -syarat tersebut memang yang menjadi kekhususan dari UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yuridis yang telah diuraikan diatas, Hakim menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak yang disertai syarat khusus didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015.PN.Unr sebagai berikut, MENGADILI 1.



Menyatakan Terdakwa I. TERDAKWA I dan Terdakwa II. TERDAKWA II telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Percobaan Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Keadaan Memberatkan”;



2.



Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa



dengan pidana



penjara masing-masing selama 2 (dua) bulan; 3.



Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim,



99



bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 3 (tiga) bulan berakhir telah bersalah melakukan sesuatu tindak pidana dan dengan syarat khusus dalam jangka waktu 4 (empat) bulan, • Terdakwa I. TERDAKWA I harus melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa I; b. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; c. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM; • Terdakwa II. TERDAKWA II harus melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa II; b. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; c. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM. Berdasar pada analisis atas putusan Hakim tersebut, dapat diketahui bahwa lama masa percobaan didalam putusan Hakim tersebut melebihi tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut para Terdakwa diberikan masa percobaan selama 2 bulan sedangkan didalam putusan tersebut Hakim memberikan masa



100



percobaan selama 3 bulan untuk syarat umum dan 4 bulan untuk syarat khusus, hal ini merupakan perintah dari ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 apabila Hakim menetapkan syarat khusus maka ditentukan masa percobaan yang lebih lama dari masa percobaan syarat umum terkait dengan putusan pidana bersyarat tersebut, dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat khususnya dalam menentukan syarat khusus kepada Terdakwa Hakim Anak tidak sepenuhnya mendasarkan kepada rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan hal ini terlihat pada perbedaan dari jumlah syarat yang dijatuhkan dan syarat-syarat yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, hal ini merupakan kewenangan Hakim dalam menjatuhkan pidana. Didalam pertimbanganya terkait dengan pemberian syarat khusus yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan tersebut Hakim berpedoman pada ketentuan Pasal 73 ayat (1), (2), (3),(4),(5),(6), (7),(8) dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena pada prinsipnya pidana dengan syarat tersebut mempunyai sifat-sifat kekhususan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) sampai dengan (8). Artinya Hakim melakukan seleksi terhadap syarat-syarat yang ditentukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut Menurut Mulyadi (2014:168-169) syarat khusus yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan Hakim Anak. Syarat khusus tersebut harus tetap memperhatikan kebebasan Anak termasuk untuk kebebasan beragama.



101



Adapun ketentuan tentang syarat-syarat yang dapat diberikan oleh Hakim kepada Terdakwa Anak tersebut adalah sebagai berikut, diatur didalam Pasal 73 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai berikut, Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan Hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak. Menurut analisis penulis, berdasarkan Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim harus memiliki dasar peraturan terhadap jenis pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan ini diatur di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 197 ayat (1) yaitu surat putusan pemidanaan harus memuat Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa. Penjatuhan pidana bersyarat yang disertai syarat khusus pada Putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr, Hakim telah mendasarkan pemidanaan dalam putusanya tersebut pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogate lege generalis. Apabila ketentuan tentang pemidanaan terhadap Anak diatur khusus yaitu didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, maka Hakim harus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum yaitu Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.



102



Sedangkan didalam putusan yang tidak menyertakan syarat khusus yaitu Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr, pertimbangan-pertimbangan yuridis oleh Hakim adalah sebagai berikut, Bahwa Hakim memperhatikan dakwaan dari Penuntut Umum yang disusun dengan dakwaan tunggal sebagai berikut, -



Bahwa



Terdakwa TERDAKWA, pada hari Minggu



tanggal 21



September 2014 sekitar pukul 00.30 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September tahun 2014 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2014, bertempat di jalan dekat hotel Xxxxx Dusun Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx



Kabupaten



Semarang, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang di Xxxxx, mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya



mengakibatkan



kecelakaan



lalu



lintas



yang



mengakibatkan orang lain meninggal dunia, perbuatan Terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut : -



Bahwa Terdakwa TERDAKWA yang masih berumur



17 tahun (



berdasarkan kutipan akta kelahiran no xxxxx tertanggal 19 Mei 2000, lahir tanggal 8 Desember 1996), pada Minggu tanggal 21 September 2014 sekitar pukul 00.30 WIB mengemudikan kendaraan bermotor Honda jazz nopol bernama SAKSI IV



H 9264 ZC bersama terman Terdakwa yang dari Xxxxx hendak pulang ke rumah arah



Lemah Abang, sesampainya di jalan dekat



hotel Xxxxx



Dusun.



103



Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang, jalan menikung kekiri dan Terdakwa mengemudikan kedaraan Jazz berjalan terlalu kekanan hingga melebihi marka jalan, bersamaan dengan itu dari arah berlawanan atau dari arah Lemah Abang berjalan sepeda motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang dikendarai korban KORBAN dan karena jarak sudah dekat maka Terdakwa tidak bisa menghindar lalu menabrak korban KORBAN hingga meninggal dunia, sebagaimana dalam visum et repertum no 445/VER/2956/ 2014 tanggal 23 September 2014 dari Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa yang ditanda tangani oleh dr. Tonari yang menyebutkan penderita datang sudah meninggal dunia habis kecelakaan ,patah tulang dikepala, keluar darah dari hidung,keluar darah dari telinga, patah tulang ditangan kanan. -



Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;



Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang didakwakan oleh Penuntut Umum tersebut memiliki unsurunsur sebagai berikut, 1. Unsur Setiap Orang 2. Unsur mengemudikan kendaraan bermotor;



104



3. Unsur yang karena kelalainnya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas; 4. Unsur mengakibatkan orang lain meninggal dunia; Untuk membuktikan Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut, Hakim mempertimbangkan dari keadaan-keadaan yang terjadi dipersidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa dan alat bukti lain dalam kasus ini adalah visum et repertum. -



Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan Terdakwa tersebut diatas yang apabila dihubungkan dengan barang bukti dan alat bukti yang lain telah diperoleh fakta-fakta sebagai berikut:



-



Bahwa pada hari Minggu tanggal 21 September 2014 sekitar pukul 00.30 WIB Terdakwa mengemudikan kendaraan bermotor Honda jazz nopol H 9264 ZC bersama saksi SAKSI IV



dari Xxxxx hendak pulang ke rumah



arah Lemah Abang, sesampainya di jalan dekat



hotel Xxxxx



Dusun.



Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang, jalan menikung kekiri dan Terdakwa mengemudikan kedaraan Jazz dengan kecepatan 30 km/jam berjalan terlalu kekanan hingga melebihi marka jalan; -



Bahwa bersamaan dengan itu dari arah berlawanan atau dari arah Lemah Abang berjalan sepeda motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang dikendarai korban KORBAN



dan



karena jarak sudah dekat maka



Terdakwa tidak bisa menghindar lalu menabrak korban KORBAN hingga meninggal dunia;



105



-



Bahwa akibat kecelakaan tersebut korban KORBAN berdasarkan Visum et repertum Nomor 445/VER/2956/ 2014 tanggal 23 September 2014 dari Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa yang ditanda tangani oleh dr TONARI yang dalam kesimpulannya menyebutkan Korban datang sudah meninggal dunia habis kecelakaan ,patah tulang dikepala, keluar darah dari hidung,keluar darah dari telinga, patah tulang ditangan kanan;



-



Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut ternyata benar bahwa Terdakwa telah mengemudikan kendaraan bermotor Honda Jazz nopol H 9264 ZC yang pengertian dan spesifikasinya sebagaimana uraian diatas sehingga unsur mengemudikan kendaraan bermotor telah terpenuhi.



Unsur yang karena kelalainnya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas”; -



Menimbang, bahwa sebagaimana fakta-fakta tersebut diatas ternyata pada hari



Minggu tanggal 21 September 2014 sekitar pukul 00.30 Wib



Terdakwa mengemudi kendaraan bermotor Honda jazz nopol H 9264 zc dari xxxxx hendak pulang kerumah arah Lemah Abang, sesampainya dijalan dekat hotel Xxxxx Dusun Xxxxx Desa Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang pada saat jalan menikung kekiri dan jalan gelap tanpa ada penerangan lampu jalan, Terdakwa mengemudikan kedaraan Honda Jazz dengan kecepatan 30-40 km/jam berjalan terlalu kekanan hingga melebihi marka jalan dan dari arah yang berlawanan atau dari arah Lemah Abang berjalan sepeda motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang dikendarai korban KORBAN dengan mengendarai sepeda motor Kawasaki tanpa menyalakan lampu sepeda motor dan



karena jarak sudah dekat



106



maka Terdakwa tidak bisa menghindar lalu menabrak korban KORBAN hingga meninggal dunia; Adapun Pertimbangan terhadap Unsur delik selanjutnya yaitu Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia adalah sebagai berikut -



Menimbang,



bahwa



berdasarkan



keterangan



saksi-saksi



serta



keterangan Terdakwa sendiri yang saling bersesuaian, dipersidangan terungkap



bahwa



kecelakaan



tersebut



mengakibatkan



korban



meninggal dunia, serta adanya barang bukti berupa kendaraan Honda jazz nopol H 9264 ZC yang diperlihatkan fotonya dipersidangan dapat diperoleh fakta bahwa akibat kecelakaan tersebut mengakibatkan korban yakni nama KORBAN meninggal dunia, hal ini dikuatkan dengan Visum et Repertum, dengan hasil pemeriksaan adalah sebagai berikutVisum Et Repertum No.445/VER/2956/2014 tanggal 23 September 2014 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.TONARI selaku Dokter Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa dengan kesimpulan :Menyebutkan Korban datang sudah meninggal dunia habis kecelakan, patah tulang dikepala, keluar darah dari hidung, keluar darah dari telingga, patah tulang ditangan kanan; Menurut analisis penulis bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas yang didasarkan pada alat-alat bukti yang sah maka timbul keyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum Hakim mendapatkan keyakinan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Hakim telah



107



mempertimbangkan fakta-fakta didalam persidangan yang meliputi keterangan saksi, keterangan Terdakwa, alat bukti surat yang saling bersesuaian artinya dapat dijadikan Hakim sebagai alat bukti petunjuk. Selanjutnya seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan pertimbangan Hakim pada perkara sebelumnya. berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, Bahwa setelah terbukti Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka selanjutnya Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim mempertimbangkan tuntutan dari Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut Terdakwa dengan pidana sebagai berikut, -



Menyatakan



Terdakwa TERDAKWA terbukti secara sah dan



meyakinkan



bersalah melakukan tindak pidana “ karena



kelalaiannya



menyebabkan



orang



lain



meninggal



dunia



”.



sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 310 ayat (4) UU RI No. 22 tahun 2009jo UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. -



Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TERDAKWA, berupa pidana penjara selama .6 (enam) bulan, dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan;



Menurut Analisis Penulis, tuntutan Penuntut Umum tersebut Pada pokoknya menuntut agar Terdakwa dijatuhi pidana bersyarat dan didalam tuntutanya tidak menuntut apakah Terdakwa harus diberikan syarat umum dan



108



syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Atas tuntutan pidana bersyarat dari Penuntut Umum tersebut, Hakim mempertimbangkan pembelaan dari penasihat hukum dan permohonan Orang Tua untuk memberikan pendapat tentang segala sesuatu yang bermanfaat bagi Anak. Hal ini diatur didalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada Orang Tua/wali dan/atau pendamping Anak untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak. didalam Putusan tersebut dijelaskan bahwa Orang Tua memberikan permohonan kepada Hakim yang telah dicantumkan didalam putusan tersebut sebagai berikut -



Setelah mendengar Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa dan permohonan Orang Tua Terdakwa yang pada pokoknya memohon agar Terdakwa dikembalikan kepada Orang Tuanya untuk dididik, atau apabila dijatuhi pidana agar dihukum yang seringan-ringannya;



Dari permohonan Orang Tua tersebut, dapat dianalisis bahwa Orang Tua dari Terdakwa telah mengemukakan hal-hal yang bermanfaat bagi Anak, salah satunya adalah meminta agar Terdakwa dikembalikan kepada Orang Tuanya untuk dididik. Permohonan Orang Tua kepada Hakim ini pada dasarnya adalah memohon agar Hakim tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak yaitu hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, Masyarakat, keluarga dan Orang Tua dalam sistem Peradilan Pidana Anak. berdasarkan hal tersebut Hakim telah melaksAnakan ketentuan Pasal ketentuan



109



Pasal 60 ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Yaitu telah memberikan kesempatan kepada Orang Tua/wali untuk mengemukakan hal-hal yang bermanfaat bagi Anak. Pertimbangan lain yang wajib dicantumkan Hakim didalam putusanya adalah pertimbangan terhadap laporan hasil penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana diatur didalam Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa: Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Didalam



Putusan



Nomor



3/Pid.sus/2015.PN.Unr



tersebut



Hakim



mempertimbangkan hasil penelitian Kemasyarakatan sebagai berikut, -



Menimbang, bahwa setelah mempelajari hasil penelitian Balai Pemasyarakatan yang pada pokoknya dalam rekomendasinya untuk kepentingan masa depan Anak serta melindungi Anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia maka jalan terbaik adalah menjauhkan Anak dari sistem Peradilan pidana melalui Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang pada tanggal 09 Oktober 2014, serta rekomendasi Kepala Bapas Klas I Semarang maka



Pembimbing



Kemasyarakatan



menyarakan:



“Klien



Diberikan Pidana Bersyarat”, dan memperhatikan permohonan Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya memohon



untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau



mohon hukuman yang seringan-ringannya, dalam hal ini dengan memperhatikan kepentingan Anak dan dalam usaha memberi keadilan bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan Penuntut



110



Umum, maka akan lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana dengan pidana bersyarat; Terkait dengan kewajiban imperatif Hakim dalam mempertimbangkan hasil penelitian Kemasyarakatan tersebut, Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H. selaku Hakim yang memutus perkara tersebut melalui wawancara wawancara dengan Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB memberikat pendapat sebagai berikut, “dari bapas di pertimbangkan ada hasil penelitian. Nanti kita mempertimbangkan sendiri tergantung nanti sesuai apa tidak. Bisa juga kita beda dengan bapas.” Berdasar



pada



pertimbangan



atas



rekomendasi



Pembimbing



Kemasyarakatan tersebut dapat dianalisis bahwa, berkaitan dengan syarat-syarat didalam pidana bersyarat jika melihat dari hasil penelitian dari bapas tersebut dapat diketahui bahwa rekomendasi dari bapas hanya menjatuhkan pidana bersyarat kepada Terdakwa Anak dan tidak merekomendasikan agar Terdakwa diberikan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Dengan melihat ketentuan Pasal 60 Ayat (3) serta hasil wawancara terkait dengan kewenangan Hakim dalam mempertimbangkan hasil penelitian dari bapas, maka dapat diketahui dalam hal ini apabila Hakim memandang penelitian dari Bapas tidak tepat atau tidak sesuai dengan kepentingan terbaik bagi Anak Hakim dapat menyimpangi hasil penelitian tersebut. terkait dengan pertimbangan Hakim mengenai tepat atau tidaknya penelitian dari bapas untuk diterapkan kepada Terdakwa dapat diketahui didalam pertimbangan diatas yaitu Hakim telah menganggap bahwa rekomendasi penelitian pembimbin Kemasyarakatan adalah tepat serta memperhatikan



111



permohonan Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya memohon untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau mohon hukuman yang seringan-ringannya dalam hal ini dengan memperhatikan kepentingan Anak dan dalam usaha memberi keadilan bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan Penuntut Umum, maka akan lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana dengan pidana bersyarat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Hakim memberikan putusan pidana bersyarat kepada Anak sebagai berikut, Memperhatikan Pasal Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang



Republik



Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta Pasal – Pasal lain dari peraturan perundang – undangan yang bersangkutan dengan perkara ini; MENGADILI 1. Menyatakan Terdakwa TERDAKWA telah terbukti secara sah dan meyakinkan



bersalah



melakukan



tindak



pidana



"Karena



Kelalaiannya Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia" ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TERDAKWA, berupa pidana



penjara



selama .6 (enam) bulan dan denda sebanyak



Rp.1.000.000,-(Satu juta rupiah) 3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali ada putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyangkut



112



perbuatan Terdakwa tersebut sebelum habis masa percobaan selama 10 (Sepuluh) bulan; Dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim harus memiliki dasar peraturan terhadap jenis pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan ini diatur di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 197 ayat (1) huruf f yang berbunyi sebagai berikut, Surat putusan pemidanaan memuat : …. f. Pasal peraturan peruindang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndangUndangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa. Menurut Analisis Penulis, Dasar bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada Anak tersebut adalah Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang



Republik



Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan jo Undang-Undang Republik Indonesia



Nomor



11 tahun 2012 tentang Sistem



Peradilan Pidana Anak. Di dalam Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak ditentukan penjatuhan dalam hal Hakim menjatuhkan pidana bersyarat maka ditentukan syarat umum dan syarat khusus didalam putusanya. Dalam perkara ini Hakim tidak mencantumkan syarat khusus, akan tetapi dalam pertimbanganya Hakim memandang tepat apa yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam penelitianya yaitu dijatuhi hukuman pidana bersyarat. Apabila dianalis, rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan agar hakim menjatuhkan pidana bersyarat tersebut seperti ketentuan yang terdapat didalam Pasal 14 KUHP yang tidak wajib untuk mencantumkan syarat khusus kepada Terdakwa. Penjatuhan Pidana bersyarat memang diatur didalam Pasal 14 KUHP



113



dan Jika untuk Terdakwa Anak diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam hal ini berlaku asas Lex specialis derogat lege generalis, artinya segala hal yang telah diatur oleh Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak tersebut harus dijadikan dasar pertimbangan bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana Bersyarat kepada Anak khususnya dalam rangka memberikan syarat umum dan syarat khusus. berkaitan dengan ketentuan syarat khusus yang diatur kumulatif didalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang merupakan lex generalis tersebut, Informan dalam skripsi ini Bapak Makmur S.H.,M.H Hakim pada Pengadilan Negeri Ungaran memberikan pendapatnya dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut, “Persyaratan khusus maupun umum sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang, kalau memang itu harus diatur oleh Undang-Undang maka harus dicantumkan. Persyaratan membuat putusan yang benar itu harus ditaati oleh Hakim dalam membuat putusan yang benar sesuai dengan perundang-Undangan baik itu Undang-Undang kekuasaan kehakiman, Undang-Undang Peradilan umum maupun Undang-Undang menyangkut kasus konkritnya. Pertimbangan ini merupakan ratio decidendi bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana atau tindakan kepada Anak, dari dasar pertimbangan itu apakah Hakim sudah mempertimbangkan secara komprehensif atau belum.” Menurut analisis Penulis, Dari pertimbangan-pertimbangan Hakim di dalam kedua putusan tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa pertimbanganpertimbangan yuridis didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr yang menyertakan syarat khusus, dalam memberikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak tersebut didasarkan kepada fakta-fakta yuridis didalam persidangan, tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut agar Terdakwa dijatuhi pidana bersyarat, pledoi dari penasihat hukum Terdakwa, Hasil



114



penelitian



Kemasyarakatan



dari



Pembimbing



Kemasyarakatan



yang



merekomendasikan agar Terdakwa dijatuhi hukuman pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus. Pada pemilihan pidana yang tepat bagi Anak, Hakim dapat menyimpangi rekomendasi dari hasil penelitian Pembimbing Kemasyarakatan apabila dipandang tidak tepat namun di dalam putusan tersebut Hakim



berpendapat



rekomendasi



dari



hasil



penelitian



Pembimbing



Kemasyarakatan tersebut adalah tepat. kemudian dalam memilih jenis pidana yang dijatuhkan kepada Anak, Hakim mendasarkan kepada ketentuan Pidana yang terdapat didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam memberikan syarat khusus kepada Anak pertimbangan Hakim didasarkan atas ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memang mengatur adanya syarat umum dan syarat khusus didalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak. Sedangkan pada putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr yang tidak menyertakan syarat khusus, menurut analisis penulis, pertimbangan yuridis yang digunakan oleh Hakim adalah didasarkan kepada fakta-fakta yuridis didalam persidangan, tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut agar Terdakwa dijatuhi pidana bersyarat, pledoi dari penasihat hukum Terdakwa, sedangkan untuk menentukan jenis dan berat ringanya pidana yang akan dijatuhkan Hakim memperhatikan



Hasil



penelitian



Kemasyarakatan



dari



Pembimbing



Kemasyarakatan yang memberikan rekomendasi agar Terdakwa dijatuhi hukuman pidana bersyarat yang dapat disimpangi hakim apabila hakim berpendapat bahwa



115



hasil penelitian tersebut tidak tepat, namun didalam putusan tersebut Hakim berpendapat bahwa hasil rekomendasi tersebut adalah tepat apabila dikaitkan dengan tuntutan Penuntut Umum, dan permohonan Orang Tua Terdakwa. mendasarkan penjatuhan pidana bersyarat tersebut pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak akan tetapi belum sesuai dengan ketentuan Pasal 73 yang mengatur adanya syarat umum dan syarat khusus. 4.1.2 Pertimbangan Non Yuridis dalam memberikan syarat khusus Untuk menentukan sentencing atau straftoemeting Hakim Anak menguraikan



tentang



keadaan



baik



yang



memberatkan



maupun



yang



meringankan. Hendaknya putusan Hakim Anak juga menguraikan pertimbangan selain faktor yuridis seperti faktor non yuridis misalnya berupa faktor psikologis Anak, apakah menderita kleptomania, sosiopatik, gejala skizofrenia atau depresi mental, faktor kejiwaan pada umumnya, kemdian dipertimbangkan faktor sosial ekonomi Anak, faktor edukatif, faktor lingkungan Anak bertempat tinggal dan dibesarkan, faktor religious dan lain sebagainya (Lilik Mulyadi 2014:295). Lebih lanjut Hidayat (2014:93) dalam hasil penelitianya menyatakan bahwa pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan Anak dibawah umur, tanpa ditopang dengan pertimbangan yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur bahwa Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang. Sedangkan Anak yang belum berusia 12 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Ringanya perbuatan, keadaan



116



pribadi Anak atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatanya atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk dapat menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. (Pramukti dan Primaharsya 2015:87) Pemberian sanksi terhadap Anak harus tetap memperhatikan berat ringanya kenakalan yang dilakukan, dapat saja dilakukan pemberian sanksi pidana, atau sanksi pidana dan tindakan maupun pemberian tindakan saja. Namun demikian, mengingat fungsi restoratif dari tujuan penanganan Anak, tingkat usia Anak, kondisi kejiwaan Anak, serta masa depan Anak adalah hal yang sangat mendasar menjadi pertimbangan utama. (Sambas 2010:217) Pertimbangan-pertimbangan non yuridis ini juga diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 197 ayat (1) huruf f yang berbunyi sebagai berikut, Surat putusan pemidanaan memuat : Pasal peraturan peruindang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndangUndangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa. berdasarkan hal tersebut dalam hal Hakim akan menjatuhkan pidana kepada Anak harus mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi Anak. Penegasan tentang aspek ini adalah untuk menentukan berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan kepada Anak. Pada dasarnya baik keadaan memberatkan maupun meringankan tercemin dari diri Anak mengenai perilakunya, kepribadianya maupun untuk kepentingan masa depanya dan lain sebagainya. (Mulyadi 2014:300)



117



bahwa



pertimbangan



tentang



hal-hal



yang



meringankan



dan



memberatkan tersebut digunakan oleh Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran dalam menjatuhkan pidana bersyarat hal ini dapat diketahui di dalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr sebagai berikut, -



Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri para Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan;



Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan para



Terdakwa meresahkan



Masyarakat



dan



juga



membahayakan keselamatan orang lain; Hal-hal yang meringankan: -



Para Terdakwa masih kategori Anak dan masih mempunyai masa depan untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih baik;



-



Korban dan para Terdakwa telah saling memaafkan, pihak Orang Tua para Terdakwa juga telah memberikan bantuan finansial untuk biaya pengobatan korban;



-



Para Terdakwa bersikap sopan di persidangan , serta menyesali perbuatannya;



-



Para Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya;



Menurut analisis Penulis, pertimbangan Hakim didalam putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 70 Nomor Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang yang menentukan bahwa ringanya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan



118



atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Menurut analisis penulis dalam hal ini Hakim Anak mempunyai kewenangan yang sangat luas dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa Anak yang dapat meliputi sikap Terdakwa dipersidangan dan sikap Terdakwa yang menyesali perbuatanya, keluarga korban sudah memaafkan, serta ganti rugi atau bantuan finansial yang telah diberikan oleh Terdakwa kepada korban tindak pidana. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus maka harus diketahui terlebih dahulu pertimbangan



Hakim dalam



menjatuhkan pidana bersyarat. Menurut analisis Penulis, Untuk memberikan kepentingan terbaik bagi Anak dan masa depanya, selain mempertimbangkan halhal yang meringankan dan memberatkan Terdakwa dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak, terdapat alasan-alasan sosiologis lainya yang di pertimbangkan oleh Hakim salah satunya adalah pertimbangan terhadap fungsi dan kemanfaatan dari pidana yang dijatuhkan. alasan sosiologis yang dijadikan Pertimbangan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran dalam menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak tersebut dijelaskan oleh Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H. melalui wawancara kepada Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut, “kalau pidana bersyarat Anak kan tidak perlu masuk kedalam lembaga Pemasyarakatan khusus Anak. Jadi kalau masuk kedalam lembaga Pemasyarakatan disitu kan dibina. Tapi kalau



119



dijatuhi pidana bersyarat kan tidak perlu menjalani, jadi lebih aman atau lebih save dengan Orang Tuanya tetapi tetap dengan pengawasan jaksa”. pertimbangan terhadap segi kemanfaatan dari pidana bersyarat tersebut juga digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H, melalui wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB selaku Hakim Anak sebagai berikut “Pidana bersyarat ini memberikan efek jera juga karena kalau pidana bersyarat kan ada jangka waktunya misalnya dipidana 2 bulan penjara tapi diberi masa percobaan dalam satu tahun tidak boleh melakukan tindak pidana. Tapi kalau dia melakukan tindak pidana dia masuk yang 2 bulan. Jadi dalam jangka waktu persyaratan atau percobaan yang diberikan itu berfungsi untuk mengerem hal hal yang dilakukan. Ada pembelajaran juga disitu tetapi tidak perlu masuk kedalam penjara khusus Anak”. Menurut Analisis Penulis, dari hasil wawancara tersebut Hakim mempertimbangkan sifat-sifat dari jenis pidana yang dijatuhkan beserta keuntungan dan manfaatnya. Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan Hakim



tersebut



sesuai



dengan



manfaat-manfaat



dari



pidana



bersyarat



sebagaimana Dijelaskan oleh Muladi (2008:152) bahwa pidana bersyarat mempunyai manfaat atau keuntungan-keuntungan kepada individu terpidana sebagai berikut: d. Pertama, Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di Masyarakat, sepanjang kesejahteraan terpidana dipertimbangkan sebagai hal yang paling



120



utama daripada resiko yang mungkin diderita oleh Masyarakat, seandainya terpidana dilepas di Masyarakat. Dalam hal ini Hakim berpendapat bahwa dengan menjatuhkan pidana bersyarat, Anak dapat terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang ditetapkan didalam syarat-syaratnya dan hal tersebut menjadi sebuah pembelajaran bagi Anak. e. Keuntungan



yang



kedua



adalah



bahwa



pidana



bersyarat



memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain adalah melakukan tugas pekerjaanya, melaksAnakan kewajiban-kewajibanya didalam keluarga, ikut serta didalam kegiatan rekreasi dan tindakantindakan lain yang akan bermanfaat baginya sebagai anggota Masyarakat dan sebaliknya hal ini juga sangat bermanfaat bagi Masyarakat. Mengenai hal ini Hakim berpendapat bahwa apabila dijatuhi pidana bersyarat maka dipandang lebih aman atau lebih save dengan Orang Tuanya tetapi tetap dengan pengawasan jaksa. Dari pada harus masuk kedalam lembaga Pemasyarakatan Anak. Dalam hal ini Hakim f. Manfaat yang ketiga adalah, bahwa pidana bersyarat akan mencegah terjadinya stigma



yang diakibatkan oleh pidana perampasan



kemerdekaan, yang oleh Jerome H. Skolnick disebut sebagai salah



121



satu konsekwensi diluar hukum yang harus diperhitungkan didalam kebijaksanaan para penegak hukum. Stigma ini seringkali dirasakan juga oleh keluarganya. Berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi Anak tersebut, Informan dalam skripsi ini, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Bapak Makmur S.H.,M.H dalam wawancara dengan Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 10.36 WIB



memberikan



penjelasan sebagai berikut “Putusan itu ada tiga aspek yaitu keadilan kepastian kemanfaatan, bagaimana suatu aspek ini dapat terangkum didalam putusan. Kita lihat keseimbangan antara perbuatan dengan sanksi yang akan dijatuhkan. Kepastian yaitu menjadi dasar hukum yang digunakan oleh Hakim. Kemudian kemanfaatan harus menjamin putusan ini setidak-tidaknya bermanfaat bagi Terdakwa Anak, atau kepada korban ataupun secara luas kepada Masyarakat.. Dalam hal berbicara kemanfaatan kita harus mempertimbangkan segala sesuatu misalnya masa depan Anak, kita harus membuat putusan itu bermanfaat bagi Anak”. Menurut analisis Penulis berdasar hasil wawancara tersebut dikaitkan dengan ketentuan tentang Pemidanaan di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam menjatuhkan pidana kepada Anak Hakim mempunyai pertimbangan yang sangat luas yaitu tidak hanya terkait dengan hal-hal yang meringankan dan memberatkan saja namun juga masa depan bagi Anak. pertimbangan tersebut harus dipakai demi kepentingan terbaik bagi Anak dan Masyarakat. Pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan non yuridis yang bersifat filosofis yaitu sesuai dengan filosofi sistem Peradilan Pidana Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak yang telah digariskan oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012. Hal ini juga sesuai dengan



prinsip-prinsip



122



pedoman dalam mengambil keputusan terhadap Anak yang diatur didalam Standard Minimum Rule Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang di kenal dengan Beijing Rule, yang menegaskan didalam Rule 17.1, menyatakan prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang di ambil selamanya harus diseimbangkan tidak hanya –pada keadaan-keadaan dan keseriusan berat ringanya tindak pidana (the circumstances and the grafity of the offence), tetapi juga keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan si Anak (the circumstances and of the juvenile) serta pada kebutuhankebutuhan Masyarakat (the need of the society) b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi Anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali Anak melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang lebih tepat; d) Kesejahteraan



Anak



harus



menjadi



faktor



pedoman



dalam



mempertimbangkan kasus Anak Dari hasil wawancara dengan Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H tersebut, diketahui bahwa hakim berpendapat pidana bersyarat lebih tepat untuk diterapkan kepada TerPidana Anak, dibandingkan dengan pidana penjara, karena dengan segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada pidana penjara selama ini. Hal



123



ini dijelaskan oleh Aryana (20015:41) dalam Jurnal DIH, Ilmu Hukum yang berjudul Efektifitas Penjara dalam Membina Narapidana. Bahwa Lembaga pemasyarakatan tetap menjadi school of crime bagi warga binaan. Prisonisasi terhadap warga binaan sulit untuk dihindari, terlebih jika pengawasan oleh petugas tidak dilakukan secara optimal. Selain itu stigmatisasi negatif mantan warga binaan oleh masyarakat. Mantan warga binaan seringkali dilabelisasi sebagai penjahat yang harus diwaspadai. Akibatnya, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan melakukan kejahatan sepeti menjadi preman jalanan, terjun ke dunia prostitusi, menjadi penjual narkotika dan sebagainya. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, oleh sebab itu diperlukan upaya untuk memini- malisasi pidana penjara. Tentu saja hal demikian sangat tidak sesuai dengan filosofi Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karenanya Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Memilih untuk menghindari pidana perampasan kemerdekaan dan memilih pidana bersyarat yang dipandang lebih aman untuk TerPidana Anak. Berdasarkan analisis, pertimbangan sosiologis dan filosofis Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh The Beijing Rules dan asas-asas yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun Pertimbangan mengenai pemberian Syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat di ungkapkan oleh Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H



yang memutus



perkara



Nomor



4/Pid.sus/2015/PN.Unr



dalam



124



wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut, “syarat khusus itu saya pandang perlu. Karena untuk kepentingan terbaik bagi Anak saja. Kalau saya di dalam kasus ini. Misalnya saya mencantumkan syarat khusus tidak boleh bergaul dengan teman-temanya. Kan untuk kepentingan dia. Takutnya apabila nanti saya tidak mencantumkan syarat khusus itu dia kembali bergaul dengan teman temanya lagi, nanti dia kembali melakukan tindak pidana lagi atau ada pengaruh temanya. Jadi fungsinya untuk menanggulangi hal seperti itu. Juga untuk efek pengekangan bagi Anak juga. Yang jelas untuk kepentingan terbaik bagi Anak.” Menurut analisis Penulis, salah satu pertimbangan atas segi kemanfaaatan pidana bersyarat yang digunakan oleh Hakim Anak dalam menjatuhkan pidana bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran adalah pidana bersyarat dipandang dapat mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan kemerdekaan yaitu Anak tidak perlu masuk kedalam lembaga Pemasyarakatan khusus Anak hal ini sesuai dengan asas penghindaran dari perampasan kemerdekaan



dan asas pertimbangan terhadap tumbuh kembang serta asas



pembinaan dan pembimbingan Anak yaitu segala upaya untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan pada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan dan keterampilan, professional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 karena Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di Masyarakat melalui syarat-syarat yang diberikan dalam masa percobaan, Mengenai syarat-syarat yang diberikan dalam masa percobaan tersebut, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran mempunyai pendapat perlunya untuk diberikan syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73 ayat



125



(2) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Adapun syarat khusus yang diberikan didalam Putusan tersebut adalah -



Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa I;



-



Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa II;



-



Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza;



-



Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM.



Berdasarkan pendapat Hakim dalam wawancara diatas dengan melihat syarat khusus yang ditentukan didalam putusanya, bahwa syarat-syarat tersebut diarahkan untuk perbaikan diri dari terpidana dengan membatasi perilaku-perilaku Anak, membatasi pergaulan terhadap orang tertentu yang membawa pengaruh buruk terhadap terpidana. Syarat-syarat sedemikian rupa tersebut dapat membantu terpidana agar menjadi orang yang taat pada hukum. Syarat-syarat



tersebut



tidaklah membatasi kebebasan Anak dan tidak bertentangan dengan kebebasan beragama Anak. Sebagaimana dijelaskan oleh Muladi (2008:200) Pemberian syarat-syarat tersebut harus diarahkan untuk membantu terpidana bersyarat mentaati hukum, dalam kerangka rehabilitasi dan tidak terlalu membatasi kemerdekaanya atau bertentangan dengan kebebasanya beragama dan berpolitik. Persyaratan tersebut tidak boleh terlalu samar-samar sehingga tidak jelas. Syaratsyarat tersebut sebaiknya harus berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:



126



a. kerjasama didalam program-program pengawasan; b. pemenuhan tanggung jawab keluarga; c. mempertahankan pekerjaan yang tetap; d. keikutsertaan didalam pendidikan atau latihan keterampilan yang telah ditentukan; e. menjalani



pembinaan



kesehatan



baik



phisik



atau



latihan



keterampilan yang telah ditentukan; f. mempertahankan suatu tempat tinggal disuatu daerah yang telah ditentukan atau disuatu fasilitas tempat tinggal khusus yang disediakan; g. menghentikan



pergaulan



dengan



orang-orang tertentu



atau



kunjungan ke tempat-tempat tertentu; h. memberikan ganti rugi kepada korban kejahatan atau melakukan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana yang dilakukan. Menurut analisis penulis bahwa pertimbangan sosiologis yang digunakan oleh Hakim dalam memberikan syarat khusus kepada Anak adalah menyangkut perilaku Anak yang harus dibatasi pergaulanya dengan teman-teman agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang



tercela membatasi kebiasaan-kebiasaan



buruk Anak memberikan pelajaran bagi Anak agar dapat menjadi seorang yang taat hukum adalah pertimbangan yang memandang pada kebutuhan pelaku pada masa depan dan tidak berdasarkan perbuatan apa yang telah dilakukan. Maka pertimbangan dalam hal ini telah sesuai dengan filosofi tujuan sistem Peradilan



127



Pidana Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak. Apabila dikaitkan dengan aliran



pemidanaan



maka



pertimbangan-pertimbangan



sosiologis



tersebut



mencerminkan paradigma pemidanaan yang digunakan oleh Hakim adalah teori pemidanaan utilitarian yang memiliki ciri diantaranya adalah Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan, Pidana melihat ke muka atau bersifat prospektif, Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan Masyarakat. Dari 3 (tiga) putusan yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak di Pengadilan negeri Ungaran, terdapat 1 (satu) Putusan yang tidak mencantumkan syarat khusus yaitu Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr. Terkait pertimbangan Hakim dalam putusan yang tidak mencantumkan syarat khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dapat diketahui pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terlebih dahulu. Pertimbangan non yuridis yang digunakan Hakim yaitu meliputi sosiologis, kriminologis, dan filosofis. Salah satu pertimbangan non yuridis Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat didalam putusan tersebut meliputi keadaan yang memberatkan dan keadaan yang meringankan sebagai berikut Hal – hal yang memberatkan - Perbuatan Terdakwa meresahkan Masyarakat; Hal – hal yang meringankan -



Terdakwa masih dibawah umur;



-



Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;



128



-



Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya;



Menurut Analisis penulis, pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan tersebut adalah tepat dan sesuai dengan asas kepentingan terbaik bagi Anak dan perhatian terhadap tumbuh kembang Anak, tercermin didalam pertimbangan hal-hal yang meringankan yiatu Anak masih dibawah umur yang sesuai dengan asas proporsional yaitu segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. Oleh karena itu penghindaran terhadap pidana perampasan kemerdekaan adalah suatu hal yang patut dilaksAnakan oleh Hakim sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berkaitan dengan pertimbangan Hakim terkait hal-hal yang meringankan dan memberatkan tersebut, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H melalui wawancara dengan Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB memberikan pendapat sebagai berikut, “Kita dapat melihat lagi dipersidangan. Misalnya sikap Terdakwa dipersidangan. Terkadang ada yang petetang petenteng ya kita jadikan pertimbangan. Misalnya seperti ini, bapas mintanya dikembalikan kepada Orang Tua, namun dalam persidangan keadaan Anak seperti ini, ya apakah kita mau manut bapas, ya kita ada pertimbangan tersendiri. Pertimbangan itu di dipersidangan. Salah satu pertimbangan adalah keluarga korban sudah memaafkan. Ada ganti ruginya atau tidak. Jadi kita melihat kondisi kedua belah pihak dalam persidangan. Dalam kasus Nomor tersebut, keluarga sudah memaafkan namun tetap mau dilanjutkan.”



129



Didalam penjatuhan pidana bersyarat tersebut Hakim tidak memberikan syarat khusus karena Hakim memiliki pertimbangan lain yang dijelaskan oleh Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H melalui wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.45 WIB sebagai berikut, “Tergantung dari fakta persidangan dan berdasarkan kasus. Pasal juga beda, khususnya juga beda. Kalau dalam putusan ini kan saya tidak mencantumkan. Ya pokoknya tergantung pertimbangan. Dilihat dari korban juga pihak korban juga sudah tidak mempermasalahkan ya bagaimana saya mau bagaimana lagi saya mau memberikan syarat khusus. Tergantung. Sebenarnya tidak boleh keluar dari ketentuan Undang-Undang . tapi kalau umpamanya kedua belah pihak tidak bermasalah atau tidak banding mungkin ya tidak masalah.” “Kalau dalam kasus yang saya tangani, biasanya kalau memakai motor kalau korban sampai meninggal ya syarat khususnya sanksinya tidak bias lagi memakai sim. Ini karena Anak-Anak kan tidak mempunyai sim.” Menurut analisis penulis, pertimbangan Hakim tidak memberikan syarat khusus diantaranya adalah didasarkan pada keadaan korban, misalnya korban tidak mempermasalahkan, kemudian selanjutnya adalah keadaan pribadi korban yang belum memiliki surat ijin mengemudi. Pertimbangan-pertimbangan tidak memberikan syarat khusus ini adalah pertimbangan yang menilai bahwa pemberian syarat khusus hanya didasarkan kepada berat ringanya tindak pidana beserta keadaan para korban. Berbeda dengan pendapat muladi tentang pemberian syarat khusus yang pada intinya adalah sebagai unsur edukasi, perbaikan pelaku, sebagai sarana pendidikan pelaku untuk masa depan agar menjadi manusia yang taat pada hukum. Tidak tepat apabila syarat khusus hanya



130



dipandang sebagai imbalan atas berat ringanya perbuatan karena didalam syarat khusus pada undang-undang Terlebih memang syarat khusus tersebut telah ditetapkan didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menjadi ciri khas yang membedakan pidana bersyarat untuk Anak dan pidana bersyarat untuk orang dewasa yang diatur didalam KUHP. Apabila pertimbangan untuk diadakanya syarat khusus itu didasarkan pada berat ringanya perbuatan maka yang terjadi pada Terdakwa hanyalah penghindaran dari upaya perampasan kemerdekaan dan penghindaran pembalasan karena hanya tidak menjalani pidana penjara dan tidak boleh melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis dan tidak diarahkan pada upaya untuk mengubah perilaku Anak. Didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 terkait dengan pentingnya syarat khusus tersebut tercermin didalam ketentuan pengawasan syarat-syarat yang telah diberikan yaitu Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan



pengawasan



dan



Pembimbing



Kemasyarakatan



melakukan



pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Serta ketentuan jangka waktu syarat khusus itu lebih panjang dari pada syarat umum berarti bahwa perlunya perbaikan diri Anak melalui syarat khusus dalam jangka waktu yang lebih lama. Menurut Analisis dari Penulis, terdapat pertimbangan dan pandangan yang berbeda terhadap ketentuan syarat khusus didalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak dipengadilan Negeri Ungaran walaupun telah secara jelas ketentuan mengenai syarat khusus tersebut merupakan syarat yang harus dicantumkan Hakim didalam putusanya. Adapun pertimbangan yang dipakai oleh



131



Hakim didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr tersebut terkait dengan penerapan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak adalah upaya perbaikan perilaku Anak dan memandang syarat khusus untuk mengubah perilaku Anak dimasa depan dan menjadi seseorang yang taat pada hukum dalam hal ini syarat khusus adalah didasarkan pada pertimbangan terhadap perbaikan perilaku Anak dalam waktu kedepan sedangkan pada putusan yang tidak memberikan syarat khusus yaitu putusan Nomor 3/Pid.Sus/2015.PN.Unr, pertimbangan didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan berat dan ringanya perbuatan yang dilakukan serta pihak korban yang tidak mempermasalahkan. Jadi dalam hal ini pandangan Hakim terkait dengan syarat khusus tersebut adalah bukan sebagai alat untuk mengubah dan memperbaiki perilaku Anak di masa depan Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan bentuk dari kewenangan Hakim dan kebijaksanaanya dalam mempertimbangkan segala sesuatu didalam memutus perkara pidana. Dalam hal ini terdapat asas ius curia novit dan res judicata pro veritate harbeur. Menurut analisis penulis terkait dengan perbedaan tersebut, Perbedaan pertimbangan Hakim secara subjektif dalam menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak adalah suatu hal yang wajar karena didalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat belum terdapat pedoman dan aturan yang jelas. Hal ini juga dijelaskan oleh muladi didalam hasil penelitianya terhadap penerapan ketentuan Undang-Undang tentang pidana bersyarat di Indonesia. Sebagai berikut,



132



a. belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencangkup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran didalam penjatuhan pidana bersyarat. b. tidak adanya pedoman penerapan pidana bersyarat tersebut menyebabkan



timbulnya



pertimbangan-pertimbangan



yang



berdasar atas subjektifitas Hakim didalam mengadili suatu perkara. Subjektivitas tersebut kadang-kadang terlalu bersifat psikologis yang sama sekali tidak relevan untuk dijadikan dasar penjatuhan pidana bersyarat. Berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak yang berbeda tersebut, Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran Bapak Makmur S.H.,M.H melalui wawancara yang bertempat di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 10.40 WIB menjelaskan sebagai berikut. “Kewenangan menjatuhkan putusan adalah kewenangan Hakim. Jadi Hakim mempunyai kewenangan untuk menggunakan dasar hukum yang umum maupun yang khusus. Dan putusan harus dianggap benar sepanjang tidak ada upaya hukum atau keberatan dan sanggahan dari pihak pihak yang berkepentingan.” Menurut analisis penulis dalam hal belum adanya peraturan yang menjadi pedoman Hakim dalam memberikan syarat khusus tersebut, berdasarkan asas lex specialis derogate lege generalis Hakim harus menggunakan ketentuan tentang pidana bersyarat yang bersifat khusus dan menyampingkan ketentuan pidana bersyarat didalam KUHP selayaknya Hakim melalui kewenanganya dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang bermanfaat kepada Anak kedepanya



133



dengan berpegang kepada asas-asas Peradilan Anak yang diatur didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena asas merupakan dasar dari adanya suatu peraturan yang konkrit. Dari hasil penelitian dan analisis diatas dapat diketahui bahwa pemberian syarat khusus dipengaruhi oleh pertimbangan soiologis hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat, dalam hal ini terdapat pertimbangan yang berbeda dari hakim untuk memberikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat diantaranya adalah pada putusan yang menetapkan syarat khusus hakim mempunyai pertimbangan untuk perlu menerapkan syarat khusus kepada Anak dengan maksud untuk memberikan suatu efek pembelajaran bagi Anak untuk mengubah perilaku buruknya menjadi perilaku baik di masa depan dalam hal ini syarat khusus tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi Anak. Sedangkan pada putusan yang tidak menetapkan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat adalah hakim mempunyai pertimbangan bahwa pemberian syarat khusus didasarkan pada keadaan yang meringankan dan memberatkan seperti adanya ganti kerugian bagi korban, keadaan pihak korban dalam hal ini syarat khusus seperti halnya berat ringanya pidana maka apabila pihak korban telah mengikhlaskan akibat dari tindak pidana, terdakwa dapat tidak diberikan syarat khusus. Menurut penulis dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak disamping pemberian syarat umum harus pula diberikan syarat khusus karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hal ini merupakan upaya untuk memberikan kepentingan



134



terbaik bagi Anak di masa depan. Pertimbangan dalam memberikan syarat khusus seharusnya didasarkan pada upaya perbaikan perilaku Anak untuk menjadi orang yang berguna dan menjadi Anak yang bertanggungjawab, hal ini untuk menjadikan pidana bersyarat lebih berdaya guna dari pada hanya sebagai penghindaran pembalasan dan selayaknya pertimbangan tidak didasarkan pada keadaan yang meringankan atau memberatkan seperti adanya ganti kerugian. 4.2 Kedudukan Syarat Khusus dalam Upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Terkait dengan tujuan pemidanaan didalam sebuah Putusan yang menjatuhkan hukuman atau sanksi pidana, maka dapat dicari dengan menganalisis tujuan tersebut melalui pertimbangan-pertimbangan Hakim sebelum Hakim menjatuhkan pidana yang terdapat didalam Putusan tersebut. Karena Penetapan tujuan-tujuan pemidananan ini oleh Karl O. Christiansen dikatakan sebagai syarat yang fundamental Sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Sholehudin (2003:118) yang menyatakan bahwa sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut barulah kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat diterapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan. Apabila didalam suatu Putusan kita akan mengetahui paradigma pemidanaan oleh Hakim maka dapat di analisis melalui pertimbanganpertimbangannya. Didalam Putusan penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak



135



yang dibahas didalam skripsi ini maka penulis akan menganalisis pertimbangan Hakim dikaitkan dengan tujuan pemidanaan sebagai berikut, Adapun pertimbangan Hakim tentang tujuan suatu pemidanaan terdapat didalam



Putusan



Nomor



4/Pid.Sus/2015.PN.Unr



adalah



dengan



adanya



pertimbangan Hakim mengenai hasil penelitian dari Bapas tentang segala sesuatu yang bermanfaat bagi Anak dan dinyatakan tepat oleh Hakim dengan pertimbangan bahwa pidana bersyarat akan menghilangkan stigma/label napi bagi Anak; Pidana penjara adalah alternative terakhir bagi ABH dengan memberikan syarat khusus, terkait dengan pertimbangan tersebut Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H selaku Hakim Anak yang memutus perkara tersebut di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.20 WIB memberikan penjelasan sebagai berikut, “Dalam penjatuhan pidana kepada Anak pasti kita mempertimbangkan tujuan pemidanaan, Kita yang pasti tidak ada pembalasan, dan yang ada yaitu pembinaan serta konsep restoratif justice juga kepentingan terbaik bagi Anak” Sedangkan didalam Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr terkait dengan tujuan pemidanaan Hakim memberikan pertimbanganya sebagaimana yang direkomendasikan oleh tim pengamat Pemasyarakatan dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai berikut Menimbang, bahwa setelah mempelajari hasil penelitian Balai Pemasyarakatan yang pada pokoknya dalam rekomendasinya untuk kepentingan masa depan Anak serta melindungi Anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia maka jalan terbaik adalah menjauhkan Anak dari sistem Peradilan pidana dan memperhatikan permohonan Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya memohon untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau



136



mohon hukuman yang seringan-ringannya, dalam hal ini dengan memperhatikan kepentingan Anak dan dalam usaha memberi keadilan bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan Penuntut Umum, maka akan lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana dengan pidana bersyarat Menurut Analisis Penulis bahwa dalam pertimbangan kedua Putusan tersebut tersebut dapat diketahui Hakim mempertimbangkan hal-hal yang bermanfaat bagi Anak kedepan. Apabila pertimbangan-pertimbangan terkait dengan tujuan dari pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim tersebut dianalisis dengan teori teori pemidanaan, maka pertimbangan tersebut sesuai dengan teori utilitarian atau tujuan yang memiliki karakteristik diantaranya adalah, pertama Tujuan Pidana adalah pencegahan mengenai hal ini didalam pertimbangan Hakim yang menetapkan bahwa pemidanaan adalah sarana memperbaiki perilaku Anak dan pembinaan kepada Anak maka hal ini adalah sarana pencegahan pribadi untuk Anak agar tidak menjadi seseorang yang berbuat jahat kembali. Karakteristik selanjutnya ialah Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan Masyarakat bahwa didalam Putusan tersebut serta penjelasan dari Hakim Anak yang memutus perkara bahwa hal terpenting ialah tidak adanya pembalasan melainkan hanya ada pembinaan



yang



memperhatikan



kepentingan



terbaik



bagi



Anak



serta



mempertimbangkan tumbuh kembang Anak maka diharapkan Anak akan tumbuh menjadi seseorang yang berperilaku baik dan pada akhirnya akan kembali ke dalam Masyarakat dengan menjadi seseorang yang bermanfaat. Karakteristik selanjutnya ialah Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan ini jika diartikan secara luas maka memiliki arti pencegahan kejahatan terhadap Masyarakat dan pencegahan



137



kejahatan pada diri pribadi terpidana. Apabila pencegahan terhadap pribadi maka pertimbangan didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015.PN.Unr tersebut telah memenuhi karakteristik ini karena penetapan pidana bersyarat ditujukan agar Anak diawasi oleh Jaksa dan di bimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan untuk pencegahan kejahatan didalam Masyarakat dengan adanya pidana tersebut maka fungsinya adalah untuk menggarisbawahi bahwa perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh Anak tersebut merupakan perbuatan yang bersifat asusila dan tidak patut didalam Masyarakat. Apabila aspek pencegahan agar Masyarakat



tidak



melakukan



pidana



atau



dikenal



dengan



teori



psychologischezwang maka hal ini tidak tepat dikarenakan pertimbangan didalam Putusan tersebut adalah berdasar pada asas-asas yang terdapat didalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak salah satunya adalah asas penghindaran dari perampasan kemerdekaan, dan asas perhatian terhadap tumbuh kembang Anak. Maka pembatasan ini sesuai dengan karakteristik teori tujuan selanjutnya yaitu Pidana melihat ke muka atau bersifat prospektif pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan Masyarakat. Maka paradigma Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran terhadap Tujuan Pemidanaan kepada Anak adalah teori tujuan atau utilitarian dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dimasa depan. Selanjutnya terkait dengan posisi atau kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan



138



kepada Anak tersebut dapat diketahui dari pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus dengan melihat syarat-syarat yang diberikan oleh Hakim kepada Anak. Adanya syarat khusus ini merupakan suatu kekhususan penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak yang diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbeda dengan ketentuan pidana bersyarat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur mengenai keududukan syarat khusus yang diterangkan didalam Pasal 71 ayat (1) huruf b. Pengaturan pidana bersyarat yang diatur di dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah yang menyatakan bahwa dalam Putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Mengenai penjelasan dari syarat khusus tersebut Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasanya tentang syarat-syarat khusus yang bagaimana yang dapat ditetapkan oleh Hakim, kecuali hanya mengatakan bahwa syarat-syarat seperti itu tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk beragama dan tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sah menurut ketatanegaraan (Lamintang 2012:138) Sebagai bahan perbandingan tentang kedudukan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, berikut terdapat Putusan dari Pengadilan Tinggi Bandung Nomor



139



217/Pid.sus/2014.PT.Bdg yang didalam pertimbanganya mengenai kedudukan syarat khusus sebagai berikut, Menimbang, bahwa pidana bersyarat yang dijatuhkan Hakim tingkat pertama kepada Terdakwa, dipandang tidak tepat dan tidak lengkap. Sebab hanya memuat lamanya pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan masa percobaannya selama 1 (satu) tahun. Padahal sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dalam Putusan mengenai pidana bersyarat ditentukan pula syarat umum dan syarat khusus; Menimbang, bahwa oleh karena Hakim tingkat pertama tidak mencantumkan syarat umum dan syarat khusus maka Pengadilan Tinggi akan memperbaiki pidana bersyarat tersebut dengan menambah dan melengkapi syarat umum dan syarat khusus, seperti disebutkan dalam Pasal 73 ayat (3) dan (4) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Syarat umum itu adalah Terdakwa tidak boleh melakukan tindak pidana selama menjalani pidana bersyarat. Syarat umum ini secara normatif, telah tercakup dalam lamanya masa percobaan yang dikenakan kepada Terdakwa. Sedangkan syarat khusus, Terdakwa tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor selama 2 (dua) tahun. Apabila dikemudian hari, ternyata Terdakwa melanggar syarat umum dan syarat khusus maka Terdakwa harus menjalani pidana penjara seperti yang ditentukan dalam pidana bersyarat diatas; Menimbang, bahwa penambahan syarat umum dan khusus tersebut dimaksudkan untuk memberi efek pembelajaran dan pendidikan kepada kepada Terdakwa, agar menyadari kelalaiannya dan selalu mematuhi norma hukum di jalan Menurut analisis Penulis dari Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut mencerminkan bahwa keberadaan syarat khusus didalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak memang wajib dicantumkan. Selain untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang, syarat khusus tersebut tentunya adalah sebagai kepentingan terbaik bagi Anak karena pada pokonya segala hal yang diatur didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah berdasarkan hakikat dari sistem Peradilan Pidana Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak.



140



Berdasarkan data yang diperoleh, di Pengadilan Negeri Ungaran Kedudukan mengenai syarat khusus yang telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak diatas nampaknya belum terealisiasi didalam praktik penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan data berikut,



Tahun



2014



Tabel 1.1 Penjatuhan Pidana bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran tahun 2014-2016 Jumlah Nomor Putusan Vonis Pidana Bersyarat Putusan 1



1/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Unr



Tidak menyertakan syarat khusus



3/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Unr



Tidak menyertakan syarat khusus



4/Pid.Sus-Anak/2015/PN Unr



menyertakan syarat khusus



2 2015



Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung RI Menurut analisis Penulis adanya Perbedaan dari Putusan penjatuhan pidana bersyarat tersebut dikarenakan terdapat pandangan yang berbeda mengenai syarat khusus yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pandangan Hakim yang berbeda tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Hakim Anak yang memutus perkara yang pertama adalah Ibu Fitri Ramadhan di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB yang memberikan penjelasanya sebagai berikut, “Kalau saya di dalam kasus ini. Misalnya saya mencantumkan syarat khusus tidak boleh bergaul dengan teman-temanya. Kan untuk kepentingan dia. Takutnya apabila nanti saya tidak mencantumkan syarat khusus itu dia kembali bergaul dengan teman temanya lagi, nanti dia kembali melakukan tindak pidana lagi atau ada pengaruh temanya. Jadi fungsinya untuk menanggulangi hal



141



seperti itu. Juga untuk efek pengekangan bagi Anak juga. Yang jelas untuk kepentingan terbaik bagi Anak.” Adapun syarat khusus yang diberikan didalam Putusan Nomor 5/Pid.SusAnak/2015.PN.Unr adalah sebagai berikut TERDAKWA I harus melakukan hal-hal sebagai berikut, d. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa I; e. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; f. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM; TERDAKWA II harus melakukan hal-hal sebagai berikut di bawah d. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi Terdakwa II; e. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; f. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM. Menurut Analisis Penulis berdasarkan pendapat Hakim tentang perlunya syarat khusus jika dikaitkan paradigma tujuan pemidanaan yang dianut oleh Hakim yaitu teori tujuan atau utilitarian adalah sebagai berikut, didalam teori tujuan terdapat fungsi perlindungan individu atau individual prevention dan perlindungan Masyarakat atau general prevention. Menurut Barda Nawawi Arief (2005:18), Fungsi perlindungan individu dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi Masyarakat. Pertimbangan Hakim yang menyatakan bahwa perlunya syarat khusus salah satunya memerintahkan Anak agar tidak



142



bergaul dengan teman-teman yang membawa pengaruh buruk adalah bentuk dari usaha untuk memengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Sedangkan untuk mempengaruhi tingkah laku terpidana agar berubah menjadi orang yang lebih baik tercermin dari pemberian syarat seperti larangan untuk tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM. Selain itu dalam fungsinya sebagai pecegahan individu syarat khusus menurut Hakim adalah sebagai pencegahan untuk tidak melakukan pidana kembali yang diatur dalam syarat umum. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Fitri Ramadhan, SH.,M.H di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB “Seperti contoh didalam kasus Nomor 4/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr ini saya memberikan syarat khusus tidak mengendarai sepeda motor sebelum mengendarai sim. Takutnya kalau saya tidak mencantumkan seperti ini nati takutnya dia naik motor terus ditangkap polisi kan bisa masuk mengulangi tindak pidana lagi atau melanggar syarat umum itu” Menurut analisis penulis, Berdarsarkan pendapat Hakim dalam memberikan syarat khusus tersebut apabila dikaitkan dengan fungsi pemidanaan sebagai perlindungan Masyarakat maka tampak bahwa dengan syarat khusus tersebut diharapkan Anak tidak lagi mengulangi tindak pidana didalam Masyarakat. Karena dengan adanya larangan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan tindak pidana yang telah dilakukan, Anak tidak akan mengulangi lagi tindak pidana serupa didalam Masyarakat dengan demikian Masyarakat akan terlindungi dari perbuatan Anak seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul



143



09.17 WIB Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H. memberikan penjelasan sebagai berikut, “syarat umum dan syarat khusus saling sinergi dan saling menguatkan, kan syarat umum diperkuat dengan syarat khusus kan saling sinergi.” Demikian bahwa Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H mempunyai pendapat dan pandangan bahwa kedudukan syarat khusus merupakan hal yang penting dalam penjatuhan pidana bersyarat. Pandangan tersebut adalah sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak syarat khusus berperan sebagai fungsi individual prevention sekaligus sebagai general prevention



sebagaimana pendapat Muladi bahwa apabila kedudukan syarat



khusus tersebut dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, maka tujuan yang paling positif yakni perbaikan terpidana merupakan tujuan yang paling penting sehingga diadakanya syarat-syarat khusus dan pengawasan khusus merupakan hal yang mutlak perlu dipertahankan. Hal ini penting untuk menjadikan lembaga pidana bersyarat berdaya guna, dan tidak menimbulkan kesan merupakan pemberian kemurahan hati. Pemberian syarat khusus tersebut tentunya telah ditetapkan dan di cantumkan pada Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2015.PN.Unr karena memang memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum serta agar Anak dan Orang Tua mengerti dengan jelas apa saja yang disyaratkan oleh Hakim. Hal ini berkaitan dengan



pengawasan



oleh



Kemasyarakatan dalam



Jaksa



dan



pembimbingan



oleh



Pembimbing



rangka pemenuhan syarat khusus oleh Anak.



Sebagaimana pendapat Muladi (2008:205) dalam penjatuhan pidana bersyarat, maka baik hakekat maupun ruang lingkup pidana bersyarat yang akan



144



mengendalikan kegiatan terpidana bersyarat harus benar-benar difahami oleh yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal ini, maka terpidana bersyarat harus diberi turunan keputusan Hakim dan diberi penjelasan baik secara lisan atau tertulis segala pengertian yang bersangkutan dengan pidana bersyarat tersebut, khususnya mengenai



syarat-syarat



yang



melekat



pada



pidana



bersyarat



beserta



konsekuensinya bilamana terjadi pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut Akan tetapi tidak semua Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran memiliki pandangan yang sama terhadap kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak tersebut. hal ini dapat diketahui dari pendapat dan pertimbangan dari Hakim Anak Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H. yang memutus perkara Nomor 3/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB dengan penulis sebagai berikut, “dilihat dari fakta dipersidangan misalkan dalam kasus ini kan percobaan pencurian memberatkan memang dia disertai kekerasan. Tapi kemudian barang itu kan belum diambil. Nah itu dapat kita jadikan pertimbangan jadi bersifat kasuistis.jadi banyak hal yang dijadikan pertimbangan. Jadi kita tidak bisa kaku untuk menerapkan syarat ini dan itu.” Menurut analisis penulis, Hakim berpendapat bahwa kedudukan syarat khusus didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan tidak dijadikan sebagai upaya perbaikan pribadi Anak dan tidak digunakan sebagai upaya untuk mengarahkan tingkah laku atau perbaikan dari Anak akan tetapi syarat khusus dipandang sebagai beban berat atau ringanya pidana sedangkan syarat umum dan syarat khusus didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem



145



Peradilan Pidana Anak tersebut merupakan cara pengenaan pidana atau straftmoodus dan tidak merupakan straftmaat atau berat ringanya pidana. Apabila syarat khusus tersebut ditetapkan sebagai berat ringanya pidana yang akan dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringanya perbuatan maka akan terdapat beberapa putusan nantinya tidak menyertakan syarat khusus yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Apabila penjatuhan pidana bersyarat tidak dicantumkan syarat khusus maka terkait dengan teori tujuan pemidanaan, tujuan yang akan dicapai dari pidana bersyarat hanyalah penghindaran pembalasan dan mencegah Anak tidak melakukan tindak pidana lagi akan tetapi tidak mengarahkan perilaku Anak, membimbing Anak, dan mengubah kebiasaan-kebiasaan Anak seperti kembali lagi bergaul dengan temanya maka yang terpenuhi adalah hanya fungsi negatif dari pidana bersyarat sebagaimana dijelaskan oleh Muladi (2008:237) Pengaruh pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan Masyarakat terlihat pada tujuan negative pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan Masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat, yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan



kemerdekaan,



khususnya



yang



berjangka



pendek.



Dengan



menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan maka Masyarakat akan terlindung dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat. Sedangkan pada hakikatnya fungsi syarat khusus tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki tingkah laku dan fungsi lain yang dijelaskan oleh Muladi (2008:237) Syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih



146



pendek dari masa percobaanya harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya dan syarat khusus lainya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau sebagian dari masa percobaan, merupakan pencerminan dari usaha untuk mengembalikan keseimbangan sosial dalam bentuk solidaritas sosial terpidana. Solidaritas sosial terpidana ini tampak pada kemungkinan, bahwa lembaga-lembaga yang berbentuk badan hukum atau pemimpin suatu rumah penampungan atau pejabat tertentu dapat diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus. Dengan demikian apabila penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak tidak ditetapkan syarat khusus maka yang berfungsi dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan hanyalah fungsi negatif dari penjatuhan pidana bersyarat yaitu penghindaran pembalasan dan pencegahan individu untuk tidak melakukan tindak pidana sedangkan fungsi positif dari pidana bersyarat dengan adanya syarat khusus adalah sesuai dengan asas-asas Peradilan Pidana Anak yang diatur didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 salah satunya adalah asas pembinaan dan pembimbingan Anak pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses Peradilan pidana kurang terpenuhi.



147



Terkait dengan pencantuman keberadaan syarat khusus dalam putusan, Ibu Esni Meriyenti di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB Memberikan jawaban sebagai berikut “Kedudukan larangan-larangan dalam syarat khusus. Bisa untuk memperbaiki. Dan menyesuaikan kepada kasusnya. Umpamanya dikembalikan kepada Orang Tua dan dia tidak boleh lagi memakai kendaraan. Kalau dalam kasus ini saya mengasih tau kepada orangtuanya saja larangan larangan tidak dicantumkan disini.” Menurut Analisis Penulis, jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang tercantum didalam putusan maka kedudukan syarat khusus seperti tersebut seperti tersebut tidak menjamin kepastian hukum terlebih dengan adanya syarat khusus yang jelas tersebut merupakan acuan bagi Pembimbing Kemasyarakatan dan jaksa untuk melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap syarat-syarat apa yang harus dipenuhi oleh Anak didalam



masa percobaanya sebagaimana diatur



didalam Pasal 65 Huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan dan ketentuan Pasal 73 Ayat (3) yang menentukan selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan, hal ini juga diungkapkan oleh Informan dalam skripsi ini yaitu Bapak Makmur S.H.,M.H Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran sebagai berikut, Hal ini juga dijelaskan oleh Informan dalam penulisan skripsi ini yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Ungaran Bapak



148



Makmur S.H.,M.H di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut, “kedudukan syarat khusus dalam putusan itu sebagai peringatan yang mengikat diri Anak tersebut. Jadi tidak akan lupa Anak yang di berikan syarat khusus itu. Apalagi melalui putusan. Dan mempunyai tujuan akhir supaya dia tidak kembali lagi.” Menurut analisis Penulis Hal ini mencerminkan bahwa diperlukan suatu kepastian



hukum



untuk



menjadi



acuan



dan



dasar



bagi



Pembimbing



Kemasyarakatan dan Jaksa. Sehubungan dengan pentingnya diberikan turunan keputusan Hakim dan penjelasan secara jelas tersebut adalah salah satu cara untuk memberikan kepastian dan kejelasan serta pertolongan kepada terpidana memperbaiki dirinya melalui pemenuhan syarat-syarat khusus tersebut. dijelaskan oleh Muladi (2008:88) sebagai berikut, didalam Pasal 14 d ayat (2) KUHP ditentukan, bahwa untuk memberikan pertolongan atau membantu terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus, Hakim dapat mewajibkanya kepada lembaga-lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampung atau pejabat tertentu. Berkat reklasering swasta dengan organisasinya maka pengawas khusus yang pelaksanaanya diamati oleh pengawas khusus ini menjadi mungkin. Jika penjatuhan pidana bersyarat dengan pemberian syarat umum dan syarat khusus di Pengadilan Negeri Ungaran tersebut dikaitkan dengan konsep restorative justice maka pemberian syarat-syarat tersebut belum memenuhi konsep tersebut. Pada hakikatnya salah satu sifat dari keadilan restoratif adalah dengan memberikan fungsi solidaritas kepada Terpidana untuk mengganti



149



kerugian atau memperbaiki segala akibat dari perbuatanya, namun apabila melihat syarat yang diberikan kepada Terpidana tersebut hanyalah untuk perbaikan pelaku sendiri dan tidak mengarah pada pemberian syarat yang berbentuk solidaritas Terpidana kepada segala akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang telah dilakukan. Dari hasil penelitian tentang kedudukan syarat khusus tersebut jika dikaitkan dengan konsep eksistensi dalam pemberlakuan hukum yang merujuk pada pengertian eksistensi dalam bidang hukum yang dijelaskan oleh Sukamto Satoto diatas yaitu kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu, maka kedudukan dan fungsi dari syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran belum dapat dikatakan memiliki kedudukan dan fungsi yang sama didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak, karena terdapat perbedaan-perbedaan terhadap pendapat Hakim, pertama, terdapat perbedaan pandangan Hakim dalam memberikan syarat khusus. Kedua, terdapat perbedaan pandangan terkait dengan kedudukan dan fungsi syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan kepada Anak. Ketiga, terdapat perbedaan pandangan dalam mencantumkan syarat khusus didalam sebuah putusan yang menjatuhkan pidana bersyarat. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan kedudukan syarat khusus didalam Putusan pidana bersyarat kepada Anak belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan demikian, secara teoritis dan normatif keberadaan syarat khusus telah ada dan wajib dicantumkan didalam



150



Putusan Hakim, akan tetapi pada praktiknya ada atau tidaknya syarat khusus tersebut tergantung dari pandangan dan pertimbangan Hakim terhadap fungsi dari syarat khusus itu sendiri. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap anak hakim memberikan syarat khusus sebagai fungsi pencegahan khusus sesuai dengan teori tujuan bahwa pemidanaan mempunyai fungsi salah satunya adalah untuk upaya perbaikan terpidana, hal ini sesuai dengan filosofi sistem peradilan pidana Anak dimana kepentingan terbaik bagi anak selalu diutamakan. Terkait dengan adanya syarat khusus di dalam putusan hakim yang mencantumkan syarat khusus tersebut telah sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akan tetapi belum semua hakim di Pengadilan Negeri Ungaran menempatkan kedudukan syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan sebagai fungsi perbaikan perilaku anak dengan menjadikan syarat khusus sebagai imbalan atas berat atau ringanya pidana. Begitu pula dengan pencantuman syarat khusus di dalam putusan, hakim tidak mencantumkan syarat khusus tersebut dengan alasan bahwa syarat khusus telah diberikan dengan cara memberitahukanya kepada orang tua. Menurut Penulis, kedudukan syarat khusus dalam mewujudkan tujuan pemidanaan dan kepentingan terbaik bagi anak harus difungsikan untuk upaya perbaikan pelaku agar pidana bersyarat dapat lebih bermanfaat dan berdaya guna serta fungsi positif dari pidana bersyarat dapat terpenuhi bukan hanya fungsi



151



negatif untuk penghindaran pembalasan. Terkait adanya syarat khusus di dalam putusan hakim harus dicantumkan karena hal tersebut adalah upaya untuk memberikan kepastian hukum bagi terpidana serta sebagai fungsi kontrol bagi pengawasan pelaksanaan syarat-syarat khusus oleh Jaksa dan pendampingan pemenuhan syarat khusus oleh pembimbing kemasyarakatan. Dengan demikian akan memberikan jaminan bagi terlaksananya syarat khusus yang diberikan oleh hakim.



BAB V PENUTUP



5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut, 1. Dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak didasarkan pada pertimbanganpertimbangan yuridis yang meliputi fakta-fakta yang diperoleh di dalam persidangan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum serta rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana ditentukan didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, adapun pertimbangan non yuridis meliputi pertimbangan terhadap keadaan yang meringankan dan yang memberatkan terdakwa serta pertimbangan terhadap manfaat dan keuntungan dari pidana bersyarat sedangkan dalam memberikan syarat khusus kepada Anak, terdapat perbedaan pertimbangan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran, adapun perbedaan tersebut meliputi, pemberian syarat khusus tersebut sebagai perbaikan perilaku Anak agar menjadi orang yang taat pada hukum di masa depan perbedaanya dengan yang kedua adalah pertimbanganya didasarkan atas berat ringanya perbuatan dan keadaan pihak korban, 2. Kedudukan syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak oleh Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran yaitu, syarat



152



153



khusus dipergunakan sebagai fungsi special prevention yaitu perbaikan perilaku Anak dan dapat berfungsi juga sebagai general prevention pada masa mendatang, akan tetapi kedudukan tersebut belum terlaksana pada beberapa putusan disebabkan karena Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran menggunakan syarat khusus sebagai



berat ringanya pidana



(straftmaat) yang akan diberikan kepada Anak. Selain itu terdapat perbedaan cara memberikan syarat khusus kepada Anak yang pertama adalah dengan mencantumkan syarat khusus tersebut didalam Putusan Hakim yang kedua adalah dengan cara memberitahukan kepada orang tuanya agar Anak tidak boleh melakukan suatu perbuatan tertentu, hal ini tentunya tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang berkaitan dengan pengawasan syarat khusus tersebut oleh jaksa dan pembimbingan untuk memenuhi syarat khusus oleh pembimbing kemasyarakatan. Maka dalam hal ini keberadaan syarat khusus di dalam putusan hakim tidak hanya dipengaruhi dari aspek substansi hukum telah mengatur adanya syarat khusus namun juga dipengaruhi oleh pengetahuan dari struktur hukum tentang fungsi dan manfaat dari syarat khusus 5.2 Saran Berdasar pada hasil penelitian di atas, Penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Selayaknya Hakim membuat putusan yang sesuai dengan tata cara yang diatur didalam Undang-Undang tersebut karena Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur jenis pidana dan tata cara pengenaan pidana yang khusus kepada Anak ketentuan pemidanaan diatur



154



berbeda tujuanya yaitu adalah untuk kepentingan terbaik bagi Anak. Dalam hal memberikan syarat-syarat dalam pidana bersyarat maka selayaknya mengikuti aturan yang diberikan oleh Undang-Undang. Pemberian syarat khusus harus dicantumkan didalam Putusan Hakim karena memang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan demikian akan memberikan unsur kepastian karena berkaitan dengan pengawasan oleh Jaksa dan Pembinaan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap syaratsyarat yang akan dijalani oleh Anak. 2. Pertimbangan pemberian syarat khusus tersebut selayaknya tidak didasarkan atas berat ringanya perbuatan namun didasarkan pada upaya untuk memenuhi kepentingan terbaik bagi Anak dengan memberikan larangan terhadap perbuatan yang dapat merusak kepribadian Anak dan pemberian bentuk solidaritas Anak kepada masyarakat agar pidana bersyarat dapat memberikan fungsi positif dan berdaya guna.



155



DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta Bakhri, syaiful. 2010. Kebijakan Kriminal dalam perspektif pembaharuan sistem peradilan pidana Indonesia. Yogyakarta : totalmedia Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran hukum pidana bagian 1. Jakarta: Rajawali Press Chazawi, Adami. 2012. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada Garvey, James. 2010. 20 karya filsafat terbesar. Yogyakarta: Kanisius Ichtijanto. 1991. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya Lamintang. 2012. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama Mukti, Fajar dan Yulianto Achmad. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan. Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muladi. 2008. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni Muladi dan Barda Nawawi Arief.2005. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Alumni Mulyadi. 2005. Bunga Rampai hukum Pidana. Bandung : Alumni Mulyadi. 2014. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung: Alumni Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja rosda karya. _______.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju



156



Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta : Pustaka Yustisia Priyatno, Dwidja.2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika Aditama Sambas, Nandang. 2010. Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Yogyakarta: graha ilmu. Satoto, Sukamto.2004. Pengaturan eksistensi & Fungsi Badan Kepegawaian Daerah. Yogyakarta: Hangar Kreator Setiady,Tholib. 2010. Pokok-pokok hukum penitensier. Bandung : alfabeta Sholehudin.2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta : Rajawali Press Soemitro, Hanitijo Rony. 1990. metode penelitian hukum dan jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia Supeno, Hadi .2010. Kriminalisasi Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Suratman dan Dillah Phillips. 2014. Metode Penelitian Hukum. bandung : Alfabeta Sutatiek, Sri. 2012. Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam hukum Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo Widodo. 2009. Sistem pemidanaan dalam cyber crime. Malang: Aswaja Preesindo Zulfa, Eva achjani. 2012. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Press Jurnal : Aryana, I Wayan Putu Sucana. 2015, Efektifitas Pidana dalam Membina Narapidana. Jurnal Doktor Ilmu Hukum, Universitas Udayana Vol. 11. Reskia, Citra. 2013. penerapan instrumen hak asasi manusia terhadap anak dalam situasi konflik bersenjata. Jurnal Hukum bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Sumadi. 2015. Tinjauan Yuridis Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak dalam Delik Kelalaian Yang Menyebabkan Matinya Orang Lain.Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 6, Volume 3.



157



Widyawati, Anis. 2013. educative punishment model for children as juvenile delinquency. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, Vol. 2, Issue 3 (June). Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Rights Foundation) dengan judul Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Perundang-undangan : Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Internet : https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pnkabsemarang/direktori/pidana-khusus/anak (diakses : Rabu, 30 November 2016, Pukul : 16.35 WIB.)



158



LAMPIRAN



159



160



161



162