BAB II (Laporan SObangan) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 UPT. Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan Didirikan pada tahun 2008, UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali yang berlokasi di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung memiliki luas lahan berkisar sepuluh hektar dengan luas bangunan dua hektar dan penanaman pakan hijauan sekitar delapan hektar. Tujuan didirikannya Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali di Desa Sobangan untuk menjaga dan menyelamatkan sapi Bali dari kepunahan, sehingga pembangunan UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kembali populasi ternak sapi Bali di Kabupaten Badung. Untuk Jumlah kandang di sentra pembibitan sebanyak delapan blok dengan kapasitas setiap blok mencapai 24 ekor sapi. Adapun total indukan saat ini kurang lebih mencapai 188 ekor. Pemeliharaan di sentra pembibitan sapi bali di Sobangan menerapkan seleksi ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik yang baik akan dikembangbiakan sedangkan pada ternak Ternak Sapi yang sudah tidak produktif nantinya akan dijual melalui pelelangan. Sistem pemeliharaan ternak di sentra pembibitan sapi bali di Sobangan menunjukan pemeliharaan yang dikandangkan, dimana seluruh akivitas ternak meliputi pemenuhan pakan, produksi, reproduksi dan pasca panen seluruhnya di atur oleh peternak. 2.2 Deteksi Estrus Deteksi estrus merupakan salah satu hal penting dalam pengelolaan reproduksi. Kurangnya pemahaman atau kesalahan dalam mendeteksi estrus akan menimbulkan kesulitan, bahkan kegagalan dalam melakukan perkawinan. Estrus yang serentak pada sejumlah ternak betina akan memudahkan proses perkawinan, sehingga menjadi lebih efektif dan efisien (tenaga dan biaya). Sapi yang sedang estrus akan menunjukkan gejalagejala seperti menaiki sapi lainnya, vulva merah dan bengkak, sering kencing, bersuara khas, menggosok-gosokkan badan, dan keluar lendir dari vulva (Irmaylin, et al.,2011). Siklus berahi (estrus) adalah jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya, sedangkan berahi itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu



sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus estrus pada sapi dewasa berkisar antara 18 sampai 24 hari. Siklus estrus terdiri dari empat fase (Partodiharjo, 1992). 1. Proestrus Proestrus adalah tahap sebelum estrus, dimana Folikel De Graaf



bertumbuh



(Toelihere, 1981). Pertumbuhan folikel tersebut terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH), dengan menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah) Fase ini hanya berlangsung pendek, gejala yang terlihat berupa perubahan-perubahan tingkah laku dan perubahan pada alat kelamin bagian luar. Tingkah laku betina menjadi sedikit gelisah, memperdengarkan suara-suara yang biasa terdengar atau malah diam saja. Alat kelamin betina luar mulai memperlihatkan tanda-tanda bahwa terjadi peningkatan peredaran darah. Meskipun telah ada perubahan yang menimbulkan gairah sex, namun hewan betina masih menolak pejantan karena tertarik oleh perubahan tingkah laku tersebut. 2. Estrus Estrus merupakan fase yang terpenting dalam siklus berahi, karena dalam fase ini hewan betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap-tiap hewan, dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Pada saat itu, keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan peningkatan LH, hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang terlihat pada masa sesudah estrus. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap jangka waktu yang tetap yaitu satu siklus berahi. Pengamatan berahi pada ternak sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore sehingga adanya berahi dapat teramati dan tidak terlewatkan. Ciri dari estrus adalah terjadinya kopulasi, menjadi gelisah, nafsu makan berkurang, vulva bengkak, keluar lendir dan vulva menjadi kemerahan. 3. Metestrus Metestrus ditandai dengan terhentinya berahi, ovulasi terjadi dengan pecahnya folikel, rongga folikel secara berangsur-angsur mengecil, dan pengeluaran lendir



terhenti. Tahap metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Toelihere, 1981). Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut corpus hemoragikum. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan luteal, menghasilkan corpus luteum atau Cl. Fase ini sebagian besar berada dibawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Pogesteron menghambat sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Pada masa ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24 sampai 48 jam sesudah berahi. 4. Diestrus Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada fase ini, corpus luteum berkembang dengan sempurna dan efek yang dihasilkan dari progesteron (hormon yang dihasilkan oleh corpus luteum) tampak dengan jelas pada dinding uterus. Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus luteum yang teraba dengan bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Korpus luteum ini tetap sampai hari ke 17 atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini dalam keadaan relak dan servix dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase diestrus biasanya diikuti pertumbuhan



folikel



pertama



tapi



akhirnya



mengalami



atresia



sedangkan



pertumbuhan folikel kedua nantinya akan mengalami ovulasi. 2.3 Inseminasi Buatan Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan. Teknik IB dilakukan dengan maksud agar diperoleh efesiensi dan efektifitas dalam pengunaan pejantan terpilih, menghindari terjadinya penyebaran penyakit melalui saluran reproduksi, atau untuk mengatasi bila terjadi kendala dalam proses perkawinan alam antara jantan dan betina. Melalui kawin alam seekor ternak atau hewan biasanya hanya mampu mengawini beberapa puluh ekor betina, sementara teknologi IB



memungkinkan seekor pejantan mengawini ratusan ribu ekor ternak yang berada pada lokasi dan waktu yang berbeda dan berjauhan. Faktor utama yang menjadi dasar potensi teknik IB ini adalah bahwa ejakulat seekor hewan dewasa mengandung spermatozoa berlipat ganda lebih banyak dari pada jumlah yang diperlukan bagi keberhasilan fertilisasi dalam seekor betina. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan adalah pada ketersediaan semen beku. Semen beku yang akan digunakan untuk diambil dari container N2cair yang mempunyai suhu -196°C berbentuk padatan, oleh karena itu harus di lakukan thawing (pengenceran kembali) sebelum di laksanakan IB. Suhu dan lama thawing mempunyai pengaruh besar terhadap keadaan spermatozoa. Teknik yang biasa digunakan pada sapi biasanya mengunakan teknik rekto vaginal dengan mengunakan semen beku. Ada 4 hal penting yang harus di ketahui inseminator untuk mendukung keberhasilan inseminasi buatan yaitu: 1. Dapat memahami organ reproduksi sapi betina beserta fungsinya 2. Dapat mengetahui ciri-ciri sapi birahi dan deteksi sapi birahi 3. Harus memahami waktu yang tepat dalam melakukan inseminasi buatan (IB) pada sapi betina 4. Harus memahami prosedur melakukan IB pada sapi betina secara baik dan benar. Waktu optimal dalam melakukan inseminasi buatan Sekitar 7 jam setelah betina standing heat. Estimasi waktu optimal inseminasi buatan berdasarkan pertimbangan berikut : 1. Rataan waktu ovulasi 29 jam dari awal mulai estrus 2. Masa fertil ovum hingga 6-10 jam dari ovulasi (maksimum dalam 2 jam setelah ovulasi) 3. Masa fertil sperma dalam organ reproduksi betina 24-30 jam setelah IB (kapabel fertilisasi 6 jam setelah IB (8-18 jam) (Ndjukaamah, 2019). 2.4 Pemeriksaan Kebuntingan Pemeriksaan kebuntingan (PKB) pada sapi adalah upaya yang digunakan untuk mengetahui dan memperoleh keterangan tentang status reproduksi pada seekor sapi atau sekumpulan ternak sapi. Metode terbaik PKB dilakukan melalui palpasi rektal karena cara ini mudah dan sederhana. Metode ini dapat memberikan banyak keterangan secara cepat dan pasti hewan dalam keadaan bunting atau infertile (Irmaylin, et al.,2011). Pemeriksaan kebuntingan sapi dilakukan melalui palpasi rektal, bertujuan untuk diagnosa kebuntingan maupun diagnosa kejadian patologis seperti seperti korpus luteum



persisten, pyometra, mumifikasi fetus, mucometra, maserasi fetus, tumor, metritis dan mengetahui umur kebuntingan. Untuk diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal paling cepat dapat dilakukan setelah umur 90 hari kawin ataupun inseminasi buatan. Kekeliruan penetapan umur kebuntingan sering terjadi karena peternak lupa mencatat tanggal pada saat dilakukan kawin ataupun inseminasi. Catatan reproduksi yang lengkap sangat membantu dalam menentukan kebuntingan secara cepat dan tepat. Diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal dapat dilakukan secara tepat pada hari ke 35 sesudah kontrasepsi. Sesudah hari ke 45 sampai ke 55, diagnosa kebuntingan pada umumnya mudah dilakukan. Namun pemeriksaan kebuntingan yang aman dilakukan hanya mulai 60 hari sesudah inseminasi. Pada pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal, indikasi ternak bunting ditentukan dari; palpasi cornua uteri yang membesar dan berisi cairan plasenta pada hari ke-30 sampai 90 kebuntingan, palpasi kantong amnion pda hari ke 35-50 jari kebuntingan, palpasi selaput fetal, alantochorion, dan palpasi uterus diantara ibu jari dan telunjuk secara leluasa pada hari ke 40-90 kebuntingan, dan palpasi fetus dengan pemantulan kembali dalam uterus yang berisikan selaput fetus dan cairan plasenta. (Merdana, et al., 2019) Pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal merupakan teknik sederhana namun membutuhkan keterampilan dan latihan agar kita dapat mendiagnosa kebuntingan pada sapi tersebut. Selain itu juga dapat menentukan umur kebuntingan, mengetahui posisi



fetus,



memprediksi



waktu



partus,



atau



secara



keseluruhannya



dapat



memprediksikan kondisi kebuntingan sapi dan mencegah terjadinya kondisi gangguan reproduksi atau gangguan kelahiran saat partus. Dengan melakukan pemeriksaan kebuntingan secara dini dengan tepat akan meningkatkan kemungkinan program inseminasi buatan. Kebuntingan pada sapi dapat dilihat dari indikasi luar dan indikasi dalam. Indikasi dalam pemriksaan kebuntingan berupa palpasi rektal, dan USG. Pemeriksaan kebuntingan yang dapat diperhatikan melalui indikasi luar, seperti berhentinya gejalagejala birahi sesudah IB sudah bisa menandakan adanya kebuntingan, akan tetapi tidak berarti bahwa seratus persen akan terjadi kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dengan USG (ultrasonogaphy) menggunakan perekaman pencitraan struktur tubuh dengan pantulan atau gema gelombang suara dengan frekuensi tertentu (O’toole, 2013), dan



dikenal dengan metode transrektal ultrasonografi (pemeriksaan USG di dalam rektum) pada ternak besar (Purohit, 2010). Alat USG yang digunakan dengan frekuensi 5.0 MHz. setelah melakukan palpasi atau eksplorasi rektal manual, kemudian probe atau transduser yang telah diberikan gel dimasukkan lewat rektum. Uterus akan terlihat pada bagian ventral rektum, di atas vesica urinaria. Hasil USG yang terlihat berupa potongan transversal saat transduser digerakkan kea rah lateral. Mukosa dan organ digambarkan sebagai suatu permukaan hypoechoic (abu-abu) yang bergelombang. Sedangkan hyperechoic (putih) merupakan citra dari tulang dan otot yang padat. Sumber : 



Irmaylin S. M., Madi H., dan Purnama E. S. 2011. Respon Kecepatan Timbilnya Estrus Dan Lama Estrus Pada Berbagai Paritas Sapi Peranakan Ongole (Po) Setelah Dua Kali Penyuntikan Prostaglandin F2α (Pgf2α). Media Neliti https://media.neliti.com/media/publications/233250-respon-kecepatan-timbilnyaestrus-dan-la-70b53e9c.pdf







Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Angkasa







Ndjukaamah, R. S. 2019. Teknik Inseminasi Buatan Pada Ternak Sapi Dengan Metode Rektovaginal Di Balai Pembibitan Ternak Dan Hijauan Makanan Ternak Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Respitori Pertanian. http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/9742/Laporan%20PKL_ %20RANDY%20S.%20NDJUKAAMAH.pdf?sequence=1&isAllowed=y







I.M. Merdana1 , I.W. Sudira2 , K. Budiasa3 dan Samsuri.2019. PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PELAYANAN KESEHATAN HEWAN DI GAPOKTAN NANDA SARI DESA APUAN KECAMATAN SUSUT KABUPATEN BANGLI. Buletin Udayana mengabdo. 18 (4) : 46-52







Purohit, G. 2010. Methods of Pregnancy Diagnosis in Domestic Animals: The Current Status. Webmedcentral.







O’Toole, M.T. 2013. Mosby's Medical Dictionary. 9th ed. Elsevier Inc. St. Louis -Missouri Pierson, R. A., Kastelic, J. P., Ginther, O. J. 1998. Basic Principles and Techniques for Transrectal Ultrasonography in Cattle and Horses. Theriogenology. 29: 1-19