Bahan Ajar Kimia Kuantum 2019 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAHAN AJAR/DIKTAT KIMIA KUANTUM KODE 15P01797 2 SKS



PRODI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM



UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2019



2



VERIFIKASI BAHAN AJAR Pada hari ini ......... tanggal ..... bulan ................... tahun ......... Bahan Ajar Mata Kuliah Kimia Kuantum Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Kimia Semarang, 26 Agustus 2019 Ketua Jurusan/ Ketua Prodi ......



Tim Pengampu



Dr. Nanik Wijayati, M.Si



Drs. Kasmui, M.Si



NIP



NIP. 131931625



3



BAB I PERSAMAAN SCHRODINGER 1.1 Mengapa Mempelajari Mekanika Kuantum Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang membicarakan hukum gerak bagi obyek makroskopik. Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa fenomena fisik seperti radiasi benda hitam, efek foto listrik dan efek Compton yang tidak dapat dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah Einstein menerapkan teori kuantum Planck. Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai gerak mikrospik yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton. Sifat-sifat gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-hukum yang disebut mekanika kuantum. Salah satu bidang ilmu kimia adalah Kuantum Kimia yang merupakan aplikasi mekanika kuantum terhadap problem-problem kimia. Pengaruh kimia kuantum ini begitu terasa pada hampir semua cabang kimia. Para ahli kimia fisik menggunakan kimia kuantum untuk melakukan kalkulasi dalam termodinamika gas (disebut mekanika statistik, misal pada perhitungan entropi dan kapasitas kalor), untuk menginterpretasi spektra molekul, yang memungkinkan orang buat melakukan penafsiran eksperimental terhadap sifat molekul (seperti panjang ikatan, sudut ikatan, momen dipole dan lain-lain), untuk melakukan perhitungan terhadap keadaan transisi pada reaksi kimia sehingga orang dapat mengekstimasi tetapan laju reaksi, untuk memahami gaya antar molekul, untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan ikatan pada padatan. Para ahli kimia organik menggunakan kimia kuantum untuk mengestimasi stabilitas relatif molekul, untuk kalkulasi sifat-sifat yang berhubungan dengan intermediate reaksi, untuk menginvestigasi mekanisme reaksi, untuk memprediksi aromatisitas suatu senyawa dan untuk analisis spektra NMR. Para ahli kimia analitik menggunakan kimia kuantum untuk metode spektroskopi secara luas. Frekuensi dan intensitas garis spektrum hanya dapat dipahami dan diinterpretasi melalui mekanika kuantum. Para ahli kimia anorganik menggunakan pendekatan kuantum mekanik untuk menyusun teori medan ligan dalam rangka memprediksi sifat-sifat ion kompleks logam transisi.



4



Meskipun masih dengan kendala yang sangat banyak para ahli biokimia mulai menggunakan pendekatan mekanika kuantum ini buat melakukan studi terhadap molekul biokimia, ikatan enzim-substrat (enzyme substrate binding) dan solvasi terhadap molekul biologi. Dalam rangka menguasai kimia kuantum yang begitu luas dan pentingnya bagi para kimiawan itulah maka kita mau tidak mau harus mempelajari mekanika Kuantum. 1.2 Sejarah Mekanika Kuantum Perkembangan mekanika kuantum diawali ketika Planck melakukan studi terhadap sifatsifat cahaya yang berasal dari sebuah padatan yang dipanaskan. Pada 1801, Thomas Young menyatakan bahwa cahaya mempunyai sifat gelombang dan hal ini dibuktikan dengan adanya sifat difraksi dan interferensi manakala cahaya dilewatkan pada dua buah lubang kecil yang berdekatan. Sekitar 1860, James Clerk Maxwell mengembangkan 4 buah persamaan (disebut persamaan Maxwell) yang menggabungkan hukum-hukum kelistrikan dan kemagnetan. Persamaan Maxwell memprediksi bahwa muatan listrik yang diakselerasi akan meradiasi energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri atas oscilasi selang-seling antara medan listrik dengan medan magnet. Prediksi Maxwell terhadap laju gelombang elektromagnetik tersebut sama dengan laju cahaya yang diperoleh secara eksperimen. Atas dasar ini Maxwell menyimpulkan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Pada 1888, Heinrich Hertz mendeteksi adanya gelombang radio apabila muatan listrik diakselerasi melalui bunga api, sebagaimana diprediksi oleh persamaan Makwell. Hal ini lebih membuat yakin para fisikawan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Semua gelombang elektromagnetik melintas dengan laju c = 2,998 . 108 m/s dalam ruang vakum. Hubungan antara laju (c), frekuensi () dan panjang gelombang () dinyatakan oleh persamaan: .=c



(1-1)



Pada akhir 1800-an fisikawan mengukur intensitas cahaya yang diemisi oleh benda hitam yang dipanaskan pada temperatur tertentu. Benda hitam adalah obyek yang mengabsorpsi seluruh cahaya yang jatuh padanya. Jika para fisikawan menggunakan mekanika statistik dan model gelombang elektromagnetik untuk memprediksi kurva intenlitas-dan-frekuensi bagi emisi radiasi benda hitam, maka mereka memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai dengan kurva eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.



5



Pada 1900, Max Planck mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam. Planck berasumsi bahwa atom-atom dalam benda hitam tersebut dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h, dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang  adalah frekuensi. Nilai h ini memberikan kurva yang sangat sesuai dengan kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen. Hasil kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum. Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas tertentu saja yang dapat diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para fisikawan sebelumnya. Menurut pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan oleh amplitudonya. Karena amplitudo dapat mempunyai sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut pendapat klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang kontinum dari nol ke atas. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah yang sesuai dengan kurva radiasi benda hitam. Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto listrik. Dalam kasus efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada permukaan logam, menghasilkan emisi elektron. Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding dengan intensitasnya dan tidak berhubungan dengan frekuensinya, sehingga gambaran gelombang elektromagnetik seperti ini menuntun orang untuk memperkirakan bahwa energi kinetik elektron meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan frekuensinya. Ini berarti bahwa cahaya dengan frekuensi berapapun seharusnya dapat menghasilkan foto listrik. Tetapi kenyataannya hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang dapat menghasilkan foto listrik. Pada 1905, Albert Einstein menunjukkan bahwa fenomena foto listrik itu dapat dijelaskan melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip materi (dan disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai energi: Efoton = h . 



(1-2)



Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton digunakan untuk melawan gaya yang mengikat elektron dan sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik. Efek foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak cukup untuk melawan gaya yang mengikat elektron. Konservasi energinya adalah:



6



h .  =  + Ekinetik dengan  adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron (biasa disebut fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik maksimum yang diterima oleh elektron yang teremisi. Melalui fenomena foto listrik maka diyakini bahwa cahaya mempunyai sifat partikel selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh eksperimen difraksi dan interferensi. Sekarang marilah kita membicarakan struktur materi. Pada akhir abad 19, percobaan tabung lucutan muatan listrik radioaktivitas natural menunjukkan bahwa atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan. Elektron mempunyai muatan negatif. Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron tetapi berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa elektron. Penyusun atom yang ketiga adalah netron (diketemukan 1932), tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan proton. Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden melakukan serangkaian percobaan yang sangat terkenal yaitu hamburan partikel alfa. Kesimpulan eksperimen ini adalah bahwa sebagian besar dari volume atom adalah ruang kosong (karena sebagian besar alfa tidak mengalami pembelokan arah), sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan positif.. Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang arahnya membelok. Pembelokan arah alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti. Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan hanya terjadi jika inti juga bermuatan positif. Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm, intinya terdiri atas sejumlah netron dan Z proton. Z selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z elektron. Muatan-muatan partikel berinteraksi sesuai dengan hukum Coulomb. Sifat kimia atom-atom dan molekul ditentukan oleh struktur elektronnya. Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom. Tetapi kesulitan muncul sehubungan dengan model ini. Menurut teori elektromagnetik klasik, partikel yang bergerak melengkung dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari waktu ke waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus menerus. Padahal jika partikel bermuatan mengalami akselerasi maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang elektromagnetik, sehingga elektron sepanjang lintasannya akan kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya seharusnya adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam inti.



7



Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan in, diajukan oleh Niels Bohr, ketika ia menggunakan konsep energi terkuantisasi pada atom hidrogen. Bohr berasumsi bahwa energi elektron atom hidrogen terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan tertentu yang diijinkan. Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka akan terjadi emisi atau absorsi foton menurut relasi: Etinggi  Erendah = h 



(1-3)



dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi. Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr, adalah ketika ia menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi gerak elektron dalam atom. Fakta spektra menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit artinya hanya harga tertentu saja yang diijinkan, padahal mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum. Pemaksaan aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan utama model Bohr. Keadaan terkuantisasi terjadi pada gerak gelombang, misalnya frekuensi nada dasar dan overton pada senar gitar. Oleh karena itu, De Broglie pada tahun 1923 mengajukan hipotesis bahwa gerak elektron adalah gerak gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan dengan: =



h h = m v p



(1-4)



dengan p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron. De Broglie mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi dengan foton. Menurut teori relativitas Einstein, energi semua partikel (termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan kecepatan cahaya. Untuk foton, E = h  = h c/Penggabungan keduanya menghasilkan  = h/mc = h/p. Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak elektron. Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan konfirmasi terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi elektron. Pada 1932, Stern, melakukan hal yang sama, kemudian melakukan verivikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah sesuatu yang tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa hukum gerak bagi partikel mikroskopik. Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada peristiwa yang lain menyerupai gelombang. Dengan demikian kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang disebut “dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya). Bagaimana mungkin, elektron



8



dapat berlaku sebagai partikel (yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ? Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan partikel dan bukan pula gelombang tetapi sesuatu yang lain. Pengilustrasian secara akurat terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau partikel adalah sangat tidak mungkin. Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar pengalaman dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia mikroskopis. Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala dualitas, namun keduanya tetap bukan merupakan sesuatu yang sejenis. Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan massa diam nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya tidak nol. Foton harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron yang berkecepatan rendah boleh ditangani secara non relativistik.



1.3 Prinsip Ketidakpastian Sekarang akan kita bahas efek yang ditimbulkan oleh dualitas gelombang-partikel terhadap pengukuran secara simultan posisi dalam koordinat x dengan px (komponen x momentum linear) dari sebuah partikel mikroskopik. Untuk itu ikuti uraian berikut: Berkas partikel dengan momentum p, melintas searah sumbu y melalui celah sempit. Di belakang celah tersebut dipasang plat fotografi. x



 



p



p



y



D



A w B E



Plat Foto



9



Keterangan: A = ujung atas celah



B = Pertengahan celah



E = ujung bawah celah



D = difraksi minimum I bagian atas Gambar 1.1: Difraksi elektron melalui celah Partikel yang melalui celah yang lebarnya w mempunyai ketidakpastian w pada arah koordinat x nya pada saat melintas melalui celah tersebut. Jika ketidakpastian arah x ini secara umum disebut x, maka x = w. Karena partikel mikroskopik mempunyai sifat gelombang, maka mereka didifraksi oleh celah dan menghasilkan pola difraksi yang ditangkap oleh plat foto di balik celah. Ketinggian grafik pada suatu titik di layar foto pada gambar 1-1, diukur berdasarkan banyaknya partikel yang mencapai titik itu. Pola difraksi menunjukkan bahwa ketika partikel didifraksi oleh celah, arah geraknya berubah sehingga partikel yang berubah arah itu momentumnya ditransfer ke arah x. Arah momentum komponen x dinyatakan sebagai proyeksi vektor momentum pada arah x. Partikel yang arahnya membelok ke atas (arah x positif) dengan sudut sebesar , mempunyai px = p sin . Partikel yang arahnya membelok ke bawah (arah x negatif) dengan sudut sebesar , mempunyai px =  p sin . Karena semua partikel mengalami pembelokan dengan rentang antara  sampai  dengan  adalah sudut untuk minimum pertama dalam pola difraksi, maka kita akan mengambil separuh sebaran nilai momentum di pusat puncak difraksi sebagai ukuran ketidakpastian px, jadi px = p sin . Dengan demikian, pada, yaitu tempat dilakukannya pengukuran, x . px = p w sin  



1-5



Besarnya sudut  dapat diketahui lewat pengukuran. Untuk minimum yang pertama,



besarnya sudut  diperoleh melalui pengukuran terhadap sudut yang dibentuk oleh lintasan partikel yang membelok ke minimum pertama bagian atas dengan lintasan partikel yang tidak mengalami pembelokan. Pada kondisi minimum pertama, perbedaan jarak tempuh partikel yang mengalami pembelokan dengan yang tidak mengalami pembelokan adalah 1/2  Untuk melakukan kalkulasi terhadap difraksi minimum pertama perhatikan gambar 1-2. Titik A adalah ujung atas celah, titik D adalah titik minimum difraksi pertama, E adalah ujung D yang diletakkan sedemikian bawah celah, titik B adalah pertengahan celah., titik C adalah titik



rupa sehingga jarak AD = CD dan BC merupakan selisih jarak BD dengan AD. Mengingat jarak



10



antara celah dengan plat foto relatif jauh tak terhingga dibandingkan dengan lebar celah, maka garis AD dan BD relatif hampir paralel. Akibatnya titik C dan B hampir berimpit dan sudut ACB praktis merupakan sudut lurus dan besarnya sudut BAC =  sehingga panjang garis BC = 1/ w 2



sin BC adalah selisih panjang lintasan partikel yang melalui pertengahan celah dan yang



melalui titik atas celah yang menuju ke titik minimum difraksi pertama D. Karena difraksi dapat berlangsung, maka ini hanya mungkin jika selisih panjang lintasan itu yaitu BC = 1/2 , jadi w sin  =  dan persamaan (1-5) boleh ditulis x.px = pKarena  = h/p maka x . px = h. Karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis maka penggunaan tanda = dipandang kurang tepat dan diganti tanda  , dan ketidakpastian itu ditulis: x . px  h



(1-6)



Dalam pasal (5.1) akan kita bahas definisi statitikal terhadap ketidakpastian untuk menggantikan (1-6).



D



A ½W B



 C







E



Gambar 1.2: Kalkulasi difraksi minimum pertama Meskipun yang telah kita tunjukkan untuk memperoleh (1-6) hanya dirancang untuk sebuah eksperimen saja, namun validitasnya adalah general. Untuk materi yang memiliki dualitas gelombang partikel, adalah tidak mungkin melakukan pengukuran secara simultan terhadap posisi dan momentumnya. Artinya jika kita menentukan presisi yang sangat tinggi untuk posisi maka ini akan berakibat berkurangnya akurasi penentuan momentum (Dalam gambar 1.1, sin  = /w, jadi makin kecil lebar celah, makin melebar pola difraksi). Fenomena ini disebut Prinsip Ketidakpastian yang dikemukakan oleh Werner Heissenberg pada tahun 1927. 1.4 Persamaan Schrodinger Bergantung Waktu



11



Mekanika klasik atau mekanika Newton sangat sukses dalam mendeskripsi gerak makroskopis, tetapi gagal dalam mendeskripsi gerak mikroskopis. Gerak mikroskopis membutuhkan mekanika khusus yang disebut mekanika kuantum. Karena gerak partikel mikroskopis adalah gerak gelombang (menurut de Broglie) maka salah satu metode membangun mekanika kuantum adalah dengan pendekatan gelombang, oleh karena itu maka mekanika kuantum juga disebut mekanika gelombang. Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika kuantum adalah bahwa dalam mekanika kuantum state ( posisi, kecepatan, momentum dan gaya yang bekerja) suatu partikel pada saat tertentu dapat ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton. Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran momentum partikel, maka state suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel menempati state tertentu. Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh manakala fungsi gelombang partikel diketahui. Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan gelombang ini diperoleh oleh Schrodinger, maka persamaannya disebut persamaan Schrodinger. Persamaan Schrodinger merupakan jantungnya mekanika kuantum, karena melalui persamaan Schrodinger inilah fungsi gelombang dapat diperoleh.



Untuk itu kita perlu



mengetahui apakah persamaan Schrodinger itu dan bagaimana persamaan Schrodinger itu diperoleh? Persamaan Schrodinger adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara turunan pertama fungsi gelombang terhadap waktu dengan turunan kedua fungsi tersebut terhadap koordinat. Dari definisi itu dapat disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan waktu. Agar pembahasannya tidak terlalu rumit maka kita akan mulai dengan membahas bagaimana persamaan Schrodinger untuk gelombang sebuah partikel satu dimensi. Untuk mendapatkan persamaannya Schrodinger menggunakan fungsi gelombang fisik yang telah dikenal, misal fungsi rambatan gelombang harmonik satu dimensi, yaitu: F(x , t) = A . e i ( kx   t ) dengan:



(1-7)



12



k = 2 / 



dan  = 2   ;  = panjang gelombang



;  = frekuensi gelombang



Turunan pertama terhadap t: ∂F(x,t) /∂t =  i  A . e i ( kx   t ) =  i  F(x,t)



(1-8)



Turunan kedua terhadap x: ∂2 F(x,t) / ∂x2 = k2 .A . e i ( kx   t ) =  k2 F(x,t)



(1-9)



F ( x, t ) i   2 F( x, t ) =  x2 t k2



(1-10)



Jadi:



Sampai saat ini kita masih berada di daerah fisika klasik. Sekarang kita akan masuk ke daerah kuantum yaitu dengan menggunakan hubungan E = h  jadi  = E / h jadi: =2=2E/h=



E 



(1-11)



Kita juga memanfaatkan dualisme de Broglie yaitu p = h /  sehingga: k=2/=2p/h=



p 



(1-12)



Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan: F ( x, t ) E  2 F ( x, t ) =i  t p2 x 2



(1-13)



Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi gelombangnya diganti (x,t) sehingga (1-13) ditulis: 2  ( x, t ) E   ( x, t ) =i  t p2 x 2



(1-14)



E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi: 2  ( x, t ) T  V   ( x, t ) =i  t p2 x 2



(1-15)



2  ( x, t ) T  2  ( x, t ) V   ( x, t ) =i  +i  t p2 p2 x 2 x 2



(1-16)



atau:



Jika T diganti p2/ 2m , maka: diperoleh:



13 2 2  ( x, t ) V   ( x, t ) 1   ( x, t ) =i  +i  2m t p2 x 2 x 2



(1-17)



2 2  ( x, t ) V   ( x, t )  2   ( x, t ) 2 =    i  2m t p2 x 2 x 2



(1-18)



atau:



Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger, tetapi yang lebih lazim



 2  ( x, t ) x



2



di suku kedua ruas kanan diganti dengan  k2  (x,t) yaitu analog dengan (1-9)



sehingga (1-18) boleh ditulis: i 



2  ( x, t ) V 2  2   ( x, t ) =  2 k (x,t) 2 2m t p2 x



(1-19)



dan karena k = p /  , maka (1-19) juga boleh ditulis: i 



2  ( x, t )  2   ( x, t ) =  V (x,t) 2m t x 2



(1-20a)



Persamaan (1-20a) itu adalah persamaan gelombang Schrodinger bergantung waktu untuk sebuah partikel dalam satu dimensi . Kadang-kadang beberapa buku menulis (1-20a) dalam bentuk: 



2  2   ( x, t )   ( x, t ) =  V (x,t) 2m i t x 2



Apakah makna fisik Ruas Kiri Persamaan Schrodinger ? Kita telah tahu bahwa sesuai dengan (1-8) maka:  ( x, t ) =  i   (x,t)  t



Jadi: 



  ( x, t ) =    (x,t)  i t



padahal  = 2   jadi: 



  ( x, t ) = h   (x,t) i t



Karena h  = E, maka:



(1-20b)



14







  ( x, t ) = E  (x,t) i t



(1-21)







 ( x, t ) 1  =E i  ( x, t ) t



(1-22)



atau:



Bagaimana makna fisik Ruas Kanan ? Kita telah tahu bahwa makna fisik ruas kiri persamaan adalah E (x,t). Jadi ruas kananpun = E (x,t) Jadi: 



2  2   ( x, t )   V (x,t) = E (x,t) 2m x 2



(1-23)



dengan demikian maka: 



2 2  V =E 2m x 2



(1-24)



Dalam mekanika kuantum maka 



macam operator energi yaitu 



2 2   V juga disebut operator energi. Jadi dikenal dua 2m x 2



2   2  dan   V. Pada perkembangan berikutnya nanti i t 2m x 2



operator energi yang lebih populer adalah 



2 2   V yang juga dikenal dengan nama 2m x 2



operator Hamilton atau  H . Jadi: 2



 H



=



2  V 2m x 2



(1-25a)



 E



=



2 2  V 2m x 2



(1-25b)



atau:



15



Setelah kita tahu bahwa 



2 2   V adalah operator untuk E padahal kita juga tahu bahwa 2m x 2



E = T + V maka sudah dapat dipastikan bahwa  



1 2 adalah operator untuk T atau 2m x 2



operator energi kinetik. Jadi:  T



=



2 2  2m x 2



(1-26)



Tentang Fungsi Gelombang Kata state suatu sistem mengacu pada kecepatan posisi partikel pada saat tertentu serta gaya yang bekerja pada partikel tersebut. Dalam mekanika klasik, tepatnya menurut hukum Newton, massa tepat state sistem dapat diprediksi secara eksak apabila state sistem saat ini diketahui. Dalam mekanika kuantum, state sistem direpresentasikan oleh fungsi gelombang yang merupakan fungsi koordinat dan waktu. Informasi masa depan suatu sistem dalam mekanika kuantum dapat dikalkulasi dengan menggunakan persamaan Schrodinger, hanya saja karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran posisi dan momentum, maka prediksi secara eksak seperti yang terjadi pada mekanika klasik tidak dapat diberikan oleh fungsi gelombang. Fungsi gelombang memuat semua informasi yang dapat kita ketahui mengenai sistem yang didiskripsinya. Informasi apakah yang diberikan oleh  mengenai hasil pengukuran koordinat x partikel?  tidak dapat memberikan informasi posisi secara tepat seperti yang dilakukan oleh mekanika klasik. Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut diberikan oleh Max Born beberapa saat setelah Schrodinger menemukan persamaan Schrodinger. Born membuat postulat bahwa: 2



(1-27



( x,t ) dx



merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel sepanjang sumbu x yang terletak 2



antara x dengan x + dx. Fungsi (x ,t ) adalah fungsi kerapatan peluang (probability density) untuk mendapatkan partikel di



sembarang tempat sepanjang sumbu x.



Sebagai contoh,



dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel didiskripsi oleh fungsi gelombang a. e



 bx



2



dengan a dan b adalah tetapan real. Jika kita mengukur posisi partikel pada



16



saat t0 , kita dapat memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu 2 2 bx



a e



2



tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik dibandingkan nilai x



yang lain karena di titik asal (x = 0), harga  2 mencapai maksimum. Untuk membuat hubungan yang tepat antara







2



dengan hasil pengukuran



eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem identik yang tidak saling berinteraksi, masing-masing berada dalam keadaan  yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi dalam masing-masing sistem. Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan jika dnx adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel terletak antara x dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan partikel pada posisi antara x dan x + dx. Jadi: dn x 2 =  dx n



dan grafik (1/n)dnx /dx versus x adalah kerapatan peluang  2 . Kuantum mekanik pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal. Dengan memahami keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat memprediksi hasil pengukuran posisi secara pasti. Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang mungkin. Teori Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan yang berjarak pasti dari inti, merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh mekanika kuantum. 1.5 Persamaan Schrodinger Tak Bergantung (Bebas) Waktu Persamaan Schrodinger bergantung waktu (1-20a) tampak sangat menyeramkan. Untungnya, dalam aplikasi mekanika kuantum dalam kimia, ternyata tidak perlu kita berhadapan dengan persamaan tersebut dan sebagai gantinya kita cukup menggunakan persamaan Schrodinger bebas waktu, yang untuk sebuah partikel dalam sistem satu dimensi, persamaannya adalah:



d 2  ( x) dx



2



+



2m 2



(E  V(x) ) ( x)  0



(1-28)



Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui langkah-langkah sebagai berikut: Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan dinyatakan:



17



( x , t ) = x . t



(1-29)



Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:







2   x t  2   x t = + V(x, t)  x t i t 2m x 2



(1-30)



Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x saja dan bebas waktu, maka (1-30) ditulis:







  x t  2  2  x t = + V(x)  x t i t 2m x 2



atau: 



d t d 2 x  2 x = t + V(x)  x  t i dt 2m dx 2



(1-31)



Jika (1-31) dibagi x setelah itu hasilnya dibagi t maka diperoleh: 



2  1 d t 2 1 d x = + V(x) i  t dt 2m  x dx 2



(1-32)



Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu adalah E, jadi (1-32) dapat ditulis:







2 2 1 d  x + V(x) = E atau 2m  x dx 2



2 d 2  ( x ) 2m 2 d x  + V(x)  x = E x atau: + (E  V(x) ) ( x )  0 2m dx 2 dx 2 2



Persamaan diatas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan. Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah berikut: Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka: 



 1 d t =E i  t dt



atau



1 iE dt d t =  t 



yang jika diintegralkan: ln  t  



iEt +c 



jadi:  t  e C .e iEt /  = A. e



 iEt /



18



Konstanta A pada t dapat dilimpahkan pada x pada perkalian (1-29) sehingga: t = e



 iEt /



(1-33)



Jika (1-33) dimasukkan kedalam (1-29) maka kita peroleh bentuk fungsi gelombang sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yaitu: ( x , t ) = e



 iEt /



. x



(1-34)



Tampak bahwa fungsi gelombang partikel merupakan fungsi komplek, padahal kerapatan 2



peluang adalah ( x,t ) . Untuk fungsi komplek harga kuadrat absolutnya adalah hasil kali fungsi itu dengan fungsi konjugatnya. ( x ,t )



2



*



=  ( x , t ) . ( x , t )



(1-35)



*



 ( x , t ) adalah fungsi konjugat dari ( x ,t ) yaitu (x ,t ) yang i nya diganti i.



1.6 Probabilitas Telah kita bicarakan bahwa kerapatan peluang = (x ,t )



2



*



=  ( x ,t ) . ( x ,t ) sedang



peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu dari x sampai x + dx adalah ( x , t )



2



dx =  (*x ,t ) . (x ,t ) dx, maka untuk menentukan peluang untuk rentang tertentu misal



dari a sampai b, adalah menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen sepanjang antara a dan b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya adalah pengintegralan. Jadi: b



P( a < x < b ) =







2



b



( x ,t ) dx =



a







* ( x,t )



. ( x ,t ) . dx



(1-36)



a



Jika interval dari a sampai b tersebut dimulai dari  ~ sampai + ~ maka peluang dijumpai partikel pada interval tersebut pasti = 1 artinya kita pasti menjumpai partikel jika kita mencarinya mulai dari posisi  ~ sampai + ~. Jadi kita boleh menulis: ~



2



~



P( ~ < x < +~ ) =  ( x ,t ) dx =   *( x , t ) . (x ,t ) . dx = 1 ~



(1-37)



~



Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut fungsi gelombang ternormalisasi.



19



Soal-soal Bab 1 1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang melintas dengan kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan kecepatan tersebut, pendekatan relativistik boleh diabaikan). 2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan: a. energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na , jika proses fotolistrik tersebut menggunakan cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 200 nm. b. berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat menghasilkan fotolistrik terhadap Na ? 3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui eksperimen tabung sinar katoda, ia melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan pendekatan mekanika klasik. a. Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan melalui celah yang lebarnya 0,1 cm, berapakah besarnya sudut difraksi dalam gambar 1.1 b. Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi kinetik 1000 eV menghasilkan  = 1o ? 4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi: 2  = a e -i b t e -b m x /  .



a dan b adalah konstanta dan m adalah massa patikel. Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, tentukan fungsi energi potensial bagi sistem tersebut.   Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi: 2 x = b x e c x . Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:



Fungsi energi potensial = V = 2c 2  2 x 2 / m b = konstanta ; c = 2 nm2



; m = 1,00 . 1030 kg



6. Pada saat tertentu, sebuah partikel dalam sistem satu dimensi, dideskripsi oleh  = (2 / b3 )1/2x.ex/ b



. dengan b = 3 nm. Jika pada saat itu diadakan pengukuran



terhadap x , maka: (a) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0,9 dan 0,9001 nm (anggaplah bahwa dx amat kecil dibandingkan dengan 0,9 nm)



20



(b) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0 dan 2 nm. (c) Untuk x bernilai berapakah, probabilitas akan minimum ? (tidak perlu dijawab secara kalkulus) (d) Buktikan bahwa  ternormalisasi. No. 7 sampai dengan selesai adalah tentang bilangan kompleks 7. Plot-lah bilangan kompleks berikut : (a) z = 3 + 4 i



(b) z = 4 i



(c) z =  3 i



(d) z = 4



8. Nyatakan bilangan kompleks berikut kedalam bentuk z = r ei : (a) z = 3 + 4 i



(b) z = 4 i



(c) z =  3 i



(d) z = 4



9. Nyatakan bilangan komplek berikut dalam bentuk z = x + y i dan buat plotnya: (a) z = 4 e 3 i



(b) z = 3 i /4



10. Tentukan komplek konjugasi dari bilangan kompleks berikut: (a) z = 3 + 4 i



(b) z = 4 i



(e) z = 4 e 3 i



(e) z = 3 i /4



(c) z =  3 i



(d) z = 4



11. Buktikan bahwa (a) 1/ i =  i



(b) e i  = cos  + i sin 



(c) sin  = (e i e i  ) / 2 i



12. Di antara bilangan-bilangan berikut, mana yang bilangan komplek: (a) 3 + i4



(b) 5 + 3 i2



(c) i3



(d) 10 + 4 i5



21



Jawab: 1. Gelombang de Broglie : p = h p=m.v Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p sudah diketahui,  dapat dihitung. 2. Dalam fotolistrik berlaku a.



E foton = h .  = h . c =  + Ekinetik



dengan memasukkan harga  dan dan fungsi kerja  maka enegi kinetik dapat dihitung b. Untuk menghirung  ambang gunakan:



h . c > 



3. a. Untuk menghiutng sudut difraksi  kita gunakan relasi: p = p sin  p dihitung dari relasi :



p . x = h dengan x = lebar celah



p dihitung dari energi kinetik elektron, ingat : Ek = p2 / 2m b. solusinya merupakan kebalikan dari a. Kita telah tahu harga p, selanjutnya kita cari harga p melalui p = p sin  Selanjutnya x dapat dihitung. 4. Persamaan Schrodinger bergantung waktu adalah: 2



2  ( x ,t )   ( x , t )  =  + V(x,t) ( x ,t ) i t 2m x 2



(4-6)



Kita selesaikan dulu ruas kiri: 



2  ( x , t )   = a e -i b t e - b m x /   i t i t











2 2  d -i b t    a e - b m x /    a e - b m x /  .  i . b e -i b t  e











2  b  a e - b m x /  . e -i b t  b  



i dt



Dengan demikian persamaan (4-6) menjadi:



i



22



b  ( x, t) = 



2  2  ( x ,t ) + V(x,t) ( x , t ) 2m x 2



Selanjutnya kita selesaikan suku pertama ruas kanan: 2  2  ( x , t ) 2   2m x 2 2m



2 x 2



2 a e -i b t e - b m x /  



2 d 2 bmx 2 /   . a e- i b t e 2m dx 2











 











 



























2  2 2bm - i b t d . ae x . e bmx /   2m  dx















 2 2bm - i b t  bmx 2 /  2b m 2 bmx 2 /   . ae  x e e  2m    















 2 2bm - i b t  bmx 2 /   2b m 2  . ae e x   1 2m    















 2 2bm  2b m 2  . x    1 2m    











  b .  1 



2 d d bmx 2 /   . a e- i b t . e 2m dx dx 2 d 2bmx bmx 2 /   . a e- i b t .e 2m dx 



 



2b m 2  x    



Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:  



2b m 2  x  ( x, t) + V(x, t) ( x , t )  



 



2b m 2  x  ( x, t) + V(x, t) ( x , t )  



b  ( x, t)  b .  1  atau: b  ( x, t)  b .  1  atau:  



b    b .  1 



2b m 2  x  + V(x, t)  



23



Jadi fungsi energi potensialnya adalah:  



= b    b .  1 



V(x, t)



2b m 2  x   



= b    b + 2b 2 m x 2 = 2b 2 m x 2



5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan fungsi x dan t, maka pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya merupakan fungsi x, sehingga untuk menyelesaikannnya kita gunakan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan 5-1) 2



d ( x) dx



2



+



2m 



2



(5-1)



(E  V(x) )  ( x)  0



Jika V kita masukkan akan kita peroleh: d 2 ( x ) dx 2



+



2m 2



(E  2c 2  2 x 2 / m )  ( x ) = 0



Kita selesaikan suku pertama ruas kiri: d 2 ( x ) dx 2







2 2 2 2 d d d d d  e c x  .  e c x   e c x  e c x  . dx dx dx dx dx



2 2 2 d  e c x  e c x  e c x  dx



















 e c x 











 e c x 











 e c x 



2



2



2



Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi: ( 



2m 2



 2c 2  2 x 2 / m 



atau: 



2m 2



 2c 2  2 x 2 / m 



24



2m



 2c 2  2 x 2 / m  2c 2  2 x 2 / m 



2



2  2m



Jadi:  







2 2   m m







2 2 2 2     m m m m



25



BAB II PARTIKEL DALAM BOX 2.1 Pengantar Elektron dalam atom dan molekul dapat dibayangkan (meski tidak persis benar) mirip dengan partikel yang berada dalam box. Dalam kasus ini daerah di dalam box tempat partikel tersebut bergerak, berpotensial nol, sedang daerah diluar box berpotensial tertentu atau tak terhingga, jadi box dibayangkan sebagai ruangan dengan dindingnya adalah energi potensial.. Pada perkuliahan Fisika Modern sebelum ini, kita sudah membahas secara elementer mengenai gerak partikel dalam box ini, sekarang kita akan membahasnya lagi secara lebih mendalam karena banyak aspek filosofis yang belum kita bahas pada perkuliahan tersebut. Selain itu pada bab ini kita juga akan membahas, bagaimana fungsi gelombang partikel yang berada di luar box, dan bagaimana pula fungsi gelombang partikel bebas. Meskipun partikel dalam box yang kita bicarakan ini sangat tidak realistik tetapi ternyata sebagai pola berfikir, ia banyak memberi sumbangan untuk memahami fenomena-fenomena yang selama ini belum terjangkau nalar. Pada uraian mengenai penurunan fungsi gelombang, kita akan membuat penyelesaian persamaan Schrodinger. Karena persamaan tersebut adalah persamaan differensial orde dua maka ada baiknya kita pelajari lagi bagian terpenting dari persamaan orde dua yaitu:



Bentuk umum persamaan orde dua adalah: aY" + b Y' + cY = 0



atau:



d2 d a 2Y +b Y +cY= 0 dx dx



(2-1)



yang boleh ditulis: aD2Y + bDy + cY = 0 atau: (aD2 + bD + c)y = 0



(2-2)



dan aD2 + bD + c = 0 disebut persamaan karakteristik



(2-3)



Penyelesaian umum persamaan differensial orde dua (2-1) tersebut adalah:



26



Y= A.e



D1 x



+ B. e



D2 x



A dan B adalah sembarang konstanta, sedang D1 dan D2 adalah akarakar persamaan karakteristik (2-3)



Contoh: Tentukan bentuk umum penyelesaian 2Y" + 3Y' + 4Y = 0 Jawab: Persamaan karakteristiknya : 2D2 + 3D + 4 = 0, akar-akarnya:



D1 . 2



 3   21 = =/ +5 / i 4 3



4



1



4



Jadi Penyelesaiannya adalah:



  3 / 4  51 / 4 i x 3 / 4  51 / 4 i x Y=A. e +B. e Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa mekanika kuantum melibatkan tidak hanya bilangan real tetapi juga bilangan komplek, jadi sifat-sifat bilangan komplek harus diingat kembali. 2.2 Partikel Dalam Box Satu Dimensi Kita akan memperhatikan sebuah partikel yang bergerak dalam box satu dimensi. Yang dimaksud dengan box satu dimensi adalah penggal garis yang panjangnya a yang terletak pada sumbu x. Sepanjang sumbu x itu fungsi energi potensialnya tak terhingga kecuali pada penggalan sepanjang a yang potensialnya 0. Jadi jika partikel berada di dalam box, maka energi potensialnya adalah nol sedang jika berada di luar box, energi potensialnya tak terhingga.











Vx  I x=0



II



III x=a



27



Gambar 2.1: Fungsi energi Potensial Partikel dalam Box satu Dimensi Dari gb.2.1 tampak bahwa sumbu x terbagi atas tiga area, yaitu area I ( x < 0), area II (0< x a). Tugas kita adalah menentukan fungsi gelombang partikelnya dan menentukan energi partikel pada masing-masing daerah tersebut. Untuk ini kita harus menyelesaikan persamaan Schrodinger bebas waktu atau persamaan (5-1 Bab I)



d 2 ( x ) dx



2m + 2 (E  V(x) ) ( x)  0 



2



(2-4)



Jika partikel berada di luar box (daerah I dan III) , Vx =  , sehingga (EV) =   dan persamaan (2-4) dapat ditulis: d 2x dx 2



(2-5)



 x



Jadi: 2



x =



1 d x  dx 2



atau x = 0



(2-6)



Kesimpulan: Jika berada di luar box, partikel tidak bergerak gelombang. Bagaimanakah jika partikel berada dalam box yaitu daerah II ? Jika berada dalam box, V = 0 sehingga (2-4) dapat ditulis: 2



d x dx



+



2



2 mE 



2



(2-7)



x = 0



Persamaan (2-7) di atas adalah



persamaan differensial orde dua yang persamaan



karakteristiknya adalah: D2 +



2 mE 



2



=0



Sehingga akar-akar nya adalah: D1.2 = + 



2 mE 



2



= + i (2 mE)1/2/ 



Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger satu dimensi: 1/ 2



 = A. e



i ( 2 mE )



x/ 



1/ 2



+ B .e



 i ( 2 mE )



x/



(2-8)



28



Agar bentuknya sederhana (2 mE)1/2 x /  ditulis  sehingga (2-8) ditulis: (x) = A. e i i 



(2-9)



Menurut persamaan Euler : ei = cos  + i sin  dan i = cos   i sin sehingga (2-9) dapat ditulis: (x) = A( cos  + i sin  ) + B. (cos   i sin  = A cos  + A i sin  + B. cos   i sin  = A cos  + B. cos  A i sin   i sin  = (A + B) cos  (A i  i ) sin  



(x) = P cos Q sin 



(2-10)



dengan P dan Q adalah tetapan sembarang yang baru. Dengan mengembalikan harga  maka (210) dapat ditulis:  (x) = P cos {(2 mE)1/2 x /  } + Q sin (2 mE)1/2 x /  }



(2-11)



Untuk menentukan P dan Q kita gunakan kondisi khusus tertentu. Kita postulatkan bahwa  adalah kontinum, artinya tidak ada lompatan nilai  jika x kontinum. Ini berarti  diluar box, nyambung dengan di dalam box ketika  melalui dinding box (pada x = 0 atau x = a). Padahal  diluar box = 0 dimanapun termasuk di dinding box, jadi  di dalam boxpun harus bernilai nol ketika melalui dinding. Jadi, di dinding box ketika x = 0, maka  pada (2-11) adalah nol, jadi: (x) = P cos {(2 mE)1/2 .0 /  } + Q sin{(2 mE)1/2 .0 /  }= 0 Jadi: (x) = P cos 0 + Q sin 0 = 0 P + 0 = 0 jadi P = 0 Kalau P = 0, maka Q tidak mungkin 0 karena sin 0 sudah pasti 0 dan (2-11) menjadi: (x) = Q sin (2 mE)1/2 x / 



(2-12)



Untuk menentukan harga P, kita gunakan x = a. Pada kondisi ini  juga harus = 0. Jadi: Q sin (2 mE)1/2 a /  = 0 Karena Q pasti tidak nol, maka: sin (2 mE)1/2 a /  = 0



sehingga



(2 mE)1/2 a /  = + n  Jika kedua ruas dikuadratkan, maka:



(2-13)



29



2mE a2 /  2 = n22 Dari sini kita peroleh:  2 2 h2 E = n2 = n2 2m a 2



n = 1, 2, ....



8m a 2



(2-14)



Mengapa harga n tidak dimulai dari nol ? Jika n = 0 diijinkan berarti pada keadaan itu E = 0. E = 0 tidak mungkin, karena dengan demikian hanya terjadi jika partikel tidak bergerak. Untuk partikel yang bergerak E = 0 tidak diijinkan, jadi n = 0 juga tidak diijinkan. Jika E pada (2-14) kita masukkan pada (2-12), kita peroleh:



n  = Q sin x a



(2-15)



Untuk memperoleh Q, kita gunakan sifat fungsi ternormalisasi, yaitu bahwa fungsi normal, harga total peluangnya = 1, jadi: l



P( 0 < x < a ) =







2



dx = 1, jadi:



0



a



Q2  sin 2 0



n x dx = 1 a



Jadi:



1/ 2



2 a



Q=   Dengan demikian fungsi gelombang partikel dalam box satu dimensi diperoleh, yaitu: 1/ 2



2 a



(x) =  



sin



n x a



(2-16)



Grafik Fungsi tersebut adalah:







n=1



n=2



n=3



30



Gambar 2.2. Grafik fungsi gelombang  Partikel Dalam Box Satu Dimensi







n=1



n=3



n=2



Gambar 2.3. Grafik  2 Partikel Dalam Box 2.3 Partikel Bebas Satu Dimensi Sekarang kita akan membahas, bagaimana energi partikel bebas. Yang dimaksud dengan partikel bebas adalah partikel yang tidak mendapat gaya sama sekali. Karena gaya adalah turunan energi potensial terhadap koordinat x, berarti energi potensial pada partikel tersebut bukan fungsi x tetapi hanya konstanta saja artinya berapapun harga x energi potensial partikel tidak berubah. Besarnya energi potensial untuk partikel bebas disebut zero level energi yang dengan bebas dapat kita tentukan. Seandainya kita pilih energi potensial V = 0, (Awas zero level energi belum tentu nol joule) maka persamaan (1-28 Bab I) menjadi: 2



d x dx



2



2m



+







2



Ex = 0



Persamaan di atas sama dengan persamaan (2-7), jadi penyelesaiannya: 1/ 2



(x) = A. e



i ( 2 mE )



x/



1/ 2



+ B .e



 i ( 2 mE )



x/



(2-17)



Selanjutnya kondisi batas yang bagaimana yang dapat kita gunakan untuk menentukan energi? Harus kita ketahui, bahwa  harus mempunyai harga tertentu (tidak tak terhingga) berapapun harga x yang kita pilih, atau bahwa untuk   < x <  harga  adalah terhingga. Atas dasar hal ini, maka energi partikel bebas paling kecil adalah nol dan tidak mungkin berharga negatif sebab jika E negatif maka : i(2 mE)



1/ 2



= i( 2 m E )



1/ 2



= i 1(2 m E )



1/ 2



= ( 2 m E )



1/ 2



akibatnya suku pertama persamaan (2-17) di atas akan menjadi  jika pada x =   . Hal ini melanggar ketentuan bahwa berapapun harga x yang kita pilih, harga  harus tidak tak terhingga. Jadi untuk partikel bebas: E 0



(2-18)



31



Berbeda dengan partikel tak bebas yang energinya terkuantiasi (= diskrit = hanya mempunyai harga tertentu saja), maka partikel bebas dapat mempunyai sembarang harga (kontinum) asal tidak negatif. Hal penting lain adalah bahwa fungsi gelombang partikel bebas tidak dapat 



dinormalisasikan karena



  *  dx



tidak mungkin = 1, padahal syarat ternormalisasi adalah



 



  *  dx = 1. 



2.4 Partikel Dalam box satu Dimensi (Lanjutan) Pada pasal 2.2 bab ini kita membicarakan partikel dalam box satu dimensi berenergi potensial nol yang dibatasi oleh dinding energi potensial yang besarnya  . Yang akan kita bicarakan sekarang adalah partikel dalam box satu dimensi berenergi potensial nol yang dibatasi oleh dinding energi potensial yang besarnya tertentu yaitu V0. yang dikenal dengan istilah partikel dalam box (kotak) rektangular satu dimensi atau one dimension rectangular well. Perhatikan gambar 2.4. Energi potensial partikel adalah V = V0 untuk x < 0 (daerah I); V = 0 untuk 0 < x a (daerah III). Persamaan Schrodinger untuk daerah I dan III adalah: d 2 ( x ) dx 2



+



2m 2



(E  V0 ) ( x )  0



sehingga penyelesaiannya adalah: 



(x) = A. e



 2 m( V0  E )1/ 2 x / 



+ B .e



 2 m( V0  E )



1/ 2



x/



Sekedar membedakan antara penyelesaian I dan penyelesaian III maka untuk penyelesaian I kita tulis: (x) = C. e



 2 m( V0  E )1/ 2 x / 



+ D .e



 2 m( V0  E )



1/ 2



x/



(2-19)



sedang penyelesaian III, kita tulis: (x) = F. e



I



 2 m( V0  E )1/ 2 x / 



II



+ G .e



 2 m( E  V0 )



1/ 2



x/



(2-20)



III



Vx



x=0



x=a



(a)



(b )



(c)



32



Gambar 2.4: (a) Energi Potensial Untuk partikel dalam one dimension rectangular well (b) Fungsi gelombang keadaan dasar (ground state) pada potensial tersebut



(c) Fungsi gelombang keadaan eksitasi pertama (first excited



state) pada potensial tersebut



Bagaimana penyelesaian  untuk daerah II ? . Karena V= 0 untuk daerah II maka penyelesaian persamaan Schrodingernya adalah sama persis dengan yang sudah kita bicarakan pada pasal 2.2. Jadi persamaan (2-11) juga merupakan bentuk umum penyelesaian untuk daerah II. Jadi untuk daerah II: (x) = P cos {(2 mE)1/2 x /  } + Q sin (2 mE)1/2 x /  }



(2-21)



Penuntasan (2-19) dan (2-20), sangat ditentukan oleh besar E dibandingkan V0 . Penuntasan untuk E < V0 sangat berbeda dengan penuntasan untuk E > V0 (Inilah bedanya dengan mekanika klasik. Secara klasik, E selalu lebih besar dari pada V sebab E = V + T dengan T = energi kinetik yang selalu positif).



Bagaimana jika E < Vo ? Untuk E < V0 maka (V0E)1/2 adalah bilangan real, positif. Dengan demikian nilai  daerah I akan  jika x =   . Padahal  harus terhingga untuk sembarang harga x. Untuk menghindari hal ini maka D harus nol. Jika D = 0, maka untuk x =  harga  = 0 dan ini diijinkan. Analog dengan itu, pada Y daerah III, F juga harus nol, sehingga persamaan (2-19) dan (2-20) berturut-turut menjadi: 



(x)= C. e



 2 m( V0  E )1/ 2 x / 



(x) = G . e



 2 m( E  V0 )



1/ 2



x/ 



(2-21) (2-22)



33



Untuk memperoleh harga C, maka kita terapkan kondisi batas, bahwa di x = 0, nilai  daerah I =  daerah II, sedang untuk mencari F kita terapkan bahwa di x =a, nilai  daerah II = dengan  daerah III. Jadi: I =  II



( x = 0)



(2-23)



(x =a)



(2-24)



II = III



Ada 4 konstanta yang harus ditentukan yaitu C untuk I, G untuk III serta P dan Q untuk II. Jadi hanya dengan (2-23) dan (2-24)saja, tidak mungkin kita menentukan 4 tetapan. Untuk itu kita gunakan: dI/dx = dII/dx



( x = 0)



dII/dx = dIII/dx



(2-25)



(x =a)



(2-26)  V0  E    E 



Dari (2-23) kita peroleh C = P. Dari (2-25) kita peroleh Q = 



1/ 2



. P . Dari (2-24) kita



peroleh G yang dinyatakan dalam P. Selanjutnya P dihitung dengan normalisasi. Jika P, Q, C dan G sudah diperoleh maka  untuk masing-masing daerah dapat ditentukan dan baik di dalam kotak maupun di luar kotak harga   0. Itu artinya betapapun kecilnya ada kemungkinan menjumpai partikel di luar kotak jika dinding kotak berpotensial tidak tak terhingga. Bagaimana Jika E > V0 Untuk membahas ini marilah kita tulis kembali (2-19) dan (2-20): (x) = C. e (x) = F. e



 2 m( V0  E )1/ 2 x / 



+ D .e



 2 m( V0  E )



1/ 2



x/



 2 m( V0  E )1/ 2 x /  + G .  2 m( E  V0 )1/ 2 x /  e



(2-19) (2-20)



Jika E > V0 maka (V0E) negatif sehingga (V0E)1/2 imajiner, akibatnya:



2mV



0



 E



1/ 2



 = i 2m V



0



 E



1/ 2 



 



 (x) = C. e



1/ 2 x /  + D . e  i2 m ( V0  E) 1/ 2 x/ 



(2-27)



 (x) = F. e



1/ 2 x/  + G . e  i2 m ( V0  E) 1/ 2 x/ 



(2-28)



i 2 m ( V0  E )



i 2 m ( V0  E )



Ternyata bentuk persamaan (2-27) dan (2-28) ini identik dengan persamaan (2-17) yaitu fungsi gelombang partikel bebas. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk energi potensial V0 yang terhingga dan E > V0 ternyata partikel dalam keadaan bebas dan kondisi ini disebut unbound state. Dengan logika sebaliknya maka untuk E < V0 kondisinya disebut bound state.



34



Studi yang detail menunjukkan bahwa banyaknya bound state energi level dinyatakan dengan persamaan: N 



8mVo 1 / 2. a h



dengan m adalah massa partikel, Vo adalah energi potensial a adalah panjang box dan h adalah tetapan Planck



2.5 Efek Terobosan (Tunnel Effect) Untuk partikel dalam rectangular well (pasal 2.4), gambar 2-5 dan persamaan untuk I dan III yaitu persamaan (2-21) dan (2-22) menunjukkan bahwa pada kondisi bound state (yaitu jika energi partikel lebih kecil dari pada energi potensialnya yaitu V0 yang tidak tak terhingga) peluang mendapatkan partikel di daerah I dan III adalah tidak nol. Sifat seperti ini ditolak oleh logika klasik karena kondisi E < V ini sangat mustahil mengingat menurut logika klasik E = T + V dengan T adalah energi kinetik yang selalu positif. Sekarang, marilah kita perhatikan partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan tinggi dan ketebalan dinding tertentu. (Gambar 2.5). Secara klasik, partikel tidak mungkin dapat menerobos dinding box manakala energi partikel itu tidak melebihi energi potensial dinding yang besarnya V0 itu. Namun mekanika kuantum menunjukkan bahwa ada peluang yang besarnya tertentu bagi sebuah partikel yang eneginya < V0 yang dijumpai berada di luar box. Pengertian terobosan (tunelling) merupakan penetrasi partikel terhadap daerah yang secara klasik merupakan daerah terlarang (forbidden region), atau lewatnya partikel melalui penghalang energi potensial yang besarnya lebih dari energinya. Karena tunneling adalah efek mekanika kuantum, maka kejadiannya adalah pada partikel-partikel kecil. Makin kecil massa partikel, makin mudah ia melakukan terobosan. Terobosan elektron adalah yang paling besar kemungkinannya. Terobosan hidrogen lebih mungkin dari pada atom-atom lain. Emisi partikel dari inti radioaktif merupakan efek tunneling yang dimiliki oleh partikel alfa menembus potensial penghalang yang ditimbulkan oleh gaya akibat interaksi antar partikel inti. Mengapa molekul NH3 berbentuk piramid dan tidak planar sedang BF3 berbentuk planar dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap efek ini. Ada sejumlah energi potensial yang menghalangi konversi dari bentuk planar ke piramidal. Atom H nya amoniak (karena massanya kecil dapat menembus potensial penghalang itu sehingga H tidak berada sebidang dengan N



35



sementara itu atom F yang ukurannya besar tidak mampu menembus potensial penghalang. Efek terobosan elektron memberi sumbangan yang signifikan untuk menjelaskan terjadinya reaksi oksidasi reduksi pada proses elektroda. Efek ini juga memberikan sumbangan pada penentuan laju reaksi kimia yang melibatkan hidrogen. (R.P.Bell, 1990)



V0 x



Gambar 2.5: Energi Potensial partikel dalam box satu dimensi dengan ketinggian dan ketebalan tertentu. Mikroskop jenis tertentu (disebut The scanning tunneling microscope yang ditemukan pada 1981) memanfaatkan sifat terobosan elektron melalui ruang antara kumparan kawat logam dengan permukaan padatan yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menghasilkan image atau gambaran masing-masing atom pada permukaan logam.



Soal-Soal Bab 2 1. Selesaikan Persamaan y'' + y'  2y = 0 dengan kondisi batas untuk x = 0, y = 0 dan untuk x = 0, y' = 1 2. Sebuah obyek makroskopik massanya 1 gram melintas dengan kecepatan 1 cm/s dalam kotak satu dimensi yang panjangnya 1 cm. Tentukan bilangan kuantum n. 3. Elektron dalam atom atau molekul dapat secara ekstrim dipandang sebagai partikel dalam box satu dimensi yang panjang boxnya mempunyai order ukuran atom atau molekul. a) Untuk elektron yang berada dalam box yang panjangnya 1 Ao hitunglah selisih dua energi level terendah b) Hitunglah panjang gelombang foton yang setara dengan transisi kedua level energi tersebut. 4. Ketika sebuah partikel yang massanya 9,1 x 1028 gram berada dalam box satu dimensi mengalami transisi dari n = 5 ke n = 2, ia mengemisi foton dengan frekuensi 6,0 x 1014 s1. Tentukan panjang box.



36



5. Ketika sebuah elektron yang berada pada energi level tertentu mengalami transisi ke level dasar dalam sebuah box satu dimensi yang panjangnya 2 Ao , ia mengemisi foton yang panjang gelombangnya 8,79 x 109 m. Tentukan dari energi level ke berapa elektron tersebut berasal ? 6. Elektron pi dalam molekul terkonjugasi, misal 1, 3 butadiena, dapat dipandang sebagai elektron yang bergerak dalam kotak satu dimensi yang panjang sama dengan panjang molekulnya. Dengan menggunakan aturan Pauli yang mengijinkan satu energi level dihuni oleh sepasang elektron yang spinnya berlawanan, tentukan panjang gelombang foton yang diserap jika elektron pi yang berada pada energi level tertinggi berpindah ke energi level terendah yang kosong. (Panjang molekul = 10 Angstroom) 7. Tulis fungsi gelombang partikel bebas satu dimensi bergantung waktu. 8. Buatlah sket  untuk n = 3, 4 dan 5 9. Sebuah elektron yang berada pada box satu dimensi dengan energi potensial 15 eV. Jika panjang box 2 Angstroom, berapakah banyaknya bound state yang diijinkan ? 10. Jawablah betul atau salah pernyataan-pernyataan berikut: a) Partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan energi level dasar (Ground State Energy Level, mempunyai bilangan kuantum n = 0 b) Fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik tertentu. c) Turunan pertama dari fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik tertentu. d) Probabilitas maksimum setiap partikel dalam box selalu terletak di pertengahan panjangnya box. e) Untuk partikel dalam box dengan n = 2, probabilitas pada posisi kuarter kiri probabilitas di kuarter kanan.



BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya



=



37



Sekarang kita akan mempelajari mekanika kuantum dalam tampilan yang lebih umum dari pada sebelumnya. Kita mulai dengan memperhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu yaitu:  2 d2   + V(x)   ( x)  E( x)  2m dx 2 



(3-1)



Suku-suku yang berada di dalam kurung tersebut adalah operator. Operator adalah lambang matematika, yang memberi isyarat untuk mengubah suatu  fungsi menjadi fungsi lain sesuai dengan operator yang dioperasikan. Contoh D adalah operator diferensial yang tugasnya menurunkan suatu fungsi terhadap variabel/koordinat x. Kita  menggunakan tanda sirkumpleks untuk menandai suatu operator. Pengoperasian D terhadap    f(x) adalah D f(x) = f ' (x). Sebagai contoh D ( 2x2 + 5x + 6) = 4x + 5. Jika dijumpai 3 , ini  adalah operator yang melipat tigakan suatu fungsi sehingga 3 (x2 + 5 e2x) = 3x2 + 15 e2x . Selain itu masih ada operator-operator lain seperti operator akar, logaritma, operator trigonometri dan lain-lain yang tugasnya mengubah suatu fungsi menjadi fungsi lain, Secara umum jika operatot   A mengubah f (x) menjadi fungsi g (x), maka kita tulis A f (x) = g (x).   Jumlah dan selisih dua buah operator A dan B didefinisikan oleh persamaan berikut:     A  B f ( x )  Af ( x )  Bf ( x )











(3-2)     A  B f ( x)  Af ( x)  Bf ( x)   Perkalian dua buah operator A dan B didefinisikan oleh persamaan berikut:     (3-3) A . B f (x) = A [ B f (x) ]











Dengan merujuk pada (3-3) berarti, yang beroperasi lebih terhadap fungsi adalah operator yang paling kanan baru kemudian operator yang kiri. Sudah barang tentu jika kita jumpai penulisan:     B . A f(x) maka yang dioperasikan dulu harus A baru kemudian B . Yang perlu dipertanyakan         adalah samakah A B f(x) dengan B A f(x). Pada umumnya A . B  B . A . Tetapi untuk     kasus-kasus khusus, dapat saja terjadi A . B = B . A . Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut:



38



Contoh 1:  Diketahui A = d/dx ;



      B = 3 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A



jika dioperasikan pada f (x) Jawab:



    A . B f (x) = d/dx . 3 ( x2 + 5) = d/dx . [ 3 ( x2 + 5) ] = d/dx ( 3x2 + 15) = 6 x      B . A = 3 . d/dx ( x2 + 5) = 3 . [d/dx ( x2 + 5) ] = 3 ( 2x) = 6 x         Tampak dari perhitungan tersebut A . B = B . A atau A . B  B . A = 0 Contoh 2:        Diketahui A = d/dx ; B = x 2 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A



jika dioperasikan pada f (x) Jawab:     A . B f (x) = d/dx . x 2 ( x2 + 5) = d/dx . [ x 2 ( x2 + 5) ] = d/dx (x4 + 5x2 ) = 4x3 + 10 x      B . A = x 2 . d/dx ( x2 + 5) = x 2 . [d/dx ( x2 + 5) ] = x 2 ( 2x) = 2x3         Tampak dari perhitungan tersebut A . B  B . A atau A . B  B . A  0



Commutator, Commute dan Non Commute       Jika kita mempunyai dua operator misal A dan B maka A . B  B  A disebut commutator     A dan B dan ditulis A, B . Jadi       (3-4) A, B = A . B  B . A   Dua buah commutator disebut commute jika A, B = 0 dan disebut non commute jika   A, B  0.



































Contoh 3:



 Diketahui 3 buah operator yaitu operator A = d/dx (supaya praktis d/dx ditulis D) ; operatot    B = x dan operator C = 3 . Tentukan:   a. Commutekah operator A dan B   b. Commutekah operator A dan C



39



Jawab: Untuk mengetahui commute tidaknya pasangan operator maka harus dicari dulu commutator     pasangan tersebut. Untuk soal (a) harus ditentukan dulu commutator A, B . Untuk ini A, B















dioperasikan terhadap sembarang fungsi gelombang misal fungsi F.



a.



 A, B  F = A.B  B.A  F     = A . B F  B . A F = D. x F  x . DF



Jadi



b.







= F + x DF  x DF = F     A, B = 1  A dan B non commute.







 A, C  F = A.C  C.A  F     = A.C F  C . A F = D . 3 F  3 D F =3 DF  3 D F = 0



   pasangan A DAN C commute



Contoh 4: Tentukan harga kuadrat dari ( d/dx + x ). Jawab: Untuk menentukan ( d/dx + x )2 maka kita operasikan operator tersebut pada sembarang fungsi F, dan supaya praktis d/dx ditulis D. ( D + x )2 F = ( D + x ) ( D + x ) F = ( D + x ) ( D F + x F ) = D2F + D x F + x D F + x2 F = D2F + F Dx + x DF + x DF + x2 = D2F + F + 2 x DF + x2 F = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 ) F Jadi:



( D + x )2 = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 )



Catatan: Dari contoh di atas tampak bahwa kuadrat jumlah operator tidak sama dengan kuadrat jumlah pada operasi aljabar.







40



3.2 Fungsi Eigen dan Nilai Eigen  Jika operator A mengubah fungsi f(x) menjadi fungsi baru yang merupakan kelipatan k kali fungsi asalnya sehingga terdapat hubungan:  A f(x) = k .f(x)



(3-5)



dengan k adalah konstanta, maka f(x) disebut fungsi eigen dari operator  A sedang k disebut nilai eigen. Contoh 5 : Diketahui operator d/dx dan dua buah fungsi yaitu F(x) = sin 3x dan fungsi G(x) = A e3x. Tentukan fungsi yang mana yang eigen terhadap operator d/dx ? Jawab: Kita selidiki dulu: d/dx F(x) = d/dx (sin 3 x ) = 3 cos 3x F(x) bukan fungsi eigen dari d/dx sebab fungsi hasilnya yaitu 3 cos 3 x tidak merupakan kelipatan fungsi asalnya yaitu sin 3x. Selanjutnya kita selidiki operasi d/dx terhadap G(x): d/dx G(x) = d/dx (A e3 x ) = 3 A e3 x = 3 G(x) Karena hasil operasi merupakan kelipatan fungsi asalnya, maka G(x) merupakan fungsi eigen terhadap operator d/dx dengan nilai eigen = 3. Contoh 6:



 Diketahui bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen = c. Buktikan  bahwa fungsi cF(x) juga eigen terhadap operator A dengan nilai eigen yang sama. Jawab : Dari pernyataan bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator  dengan nilai eigen = c maka A dapat ditulis:  A



F(x) = c F(x)



Selanjutnya kita selidiki  A cF(x):  c F(x) = c  F(x) = c . c F(x)  terbukti A A



41



3.3 Operator Mekanika kuantum Beberapa jenis operator mekanika kuantum telah kita kenal di bab I, antara lain operator   Hamilton atau operator energi yaitu H dan operator energi kinetik yaitu T . Menurut persamaan (1-25) dan (1-26) bab I:  2 d2 +V H = 2m dx 2



 2 d2 T =



2m dx 2



Secara lehih umum d2/dx2 biasa ditulis  2 sehingga :



 2 2 H =  +V



(3-6)



 2 2  T =



(3-7)



2m



2m



Bagaimana ekspresi operator energi potensial dalam mekanika kuantum ? Ekspresi energi potensial dalam mekanika kuantum tidak berbeda dengan ekspresinya dalam mekanika klasik, karena energi potensial hanya merupakan fungsi koordinat dan sama sekali tidak berhubungan dengan harga momentum, sehingga energi potensial tidak dipengaruhi oleh prinsip ketidakpastian



Heissenberg.



Hanya



besaran-besaran



yang



dipengaruhi



oleh



prinsip



ketidakpastian saja yang membutuhkan operator mekanika kuantum. Selain dua jenis operator mekanika kuantum yang sudah kita kenal tersebut kita akan membahas operator momentum linear satu dimensi yaitu px . Dalam mekanika klasik kita tahu bahwa px = m vx dengan m adalah massa partikel dan vx kecepatan dalam arah x. Hubungan antara energi kinetik T dengan px dalam mekanika klasik adalah: T= px =



p 2x atau: 2m



(3-8)  Jika kita masukkan T pada (3-7) menggantikan T pada (3-8) maka kita peroleh operator 2mT



momentum linear satu dimensi yaitu:



42 d  px =  i 



dx



(3-9)



Analog dengan (3-9) maka: d  py =  i 



(3-10)



d  pz =  i 



(3-11)



dy



dz



Untuk Apakah Operator-operator Kuantum itu ? Dalam bab I telah kita bahas bahwa fungsi gelombang  dapat memberikan informasi mengenai gerak partikel yang diwakilinya. Bagaimana cara mendapatkannya ? Jika kita ingin mendapatkan informasi mengenai momentum, maka kita operasikan operator momentum terhadap ,. Jika ternyata  merupakan fungsi eigen bagi operator momentum, maka nilai eigennya adalah momentum yang kita cari. Jika kita butuh harga energi kinetik, maka kita operasikan operator energi kinetik terhadap . Jika  ternyata merupakan fungsi eigen terhadap operator energi kinetik maka nilai eigennya adalah energi kinetik yang kita cari. Masalahnya adalah, bagaimana jika  tidak merupakan fungsi eigen bagi operator tertentu ? Untuk ini maka informasi mengenai suatu besaran, dapat dicari dengan menghitung harga rata ratanya. Dipostulatkan bahwa jika Operator p x adalah operator yang berhubungan dengan besaran b, maka rata-rata harga b dinyatakan oleh:  =   * B  d



(3-11)



all space



dengan * adalah konjugate dari . Untuk fungsi real * =  sedang untuk fungsi kompleks, * adalah  yang i-nya diganti i. Contoh 1: Dengan menggunakan fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi, tentukan: a) harga px b) harga rata-rata p 2x c) harga energi kinetik partikel



43



3.4 Persamaan Schrodinger 3 Dimensi Untuk Banyak Partikel Telah kita kenal bahwa Persamaan Schrodinger Bebas Waktu 3 dimensi untuk sebuah partikel adalah: 







2 2   + V  = E  2m



























(3-12)



2 2  + V disebut operator Hamilton  H , jadi: 2m



 2 2  +V H = 



(3-13)



2m



dengan  2 adalah operator Laplace, yang dalam koordinat rektangular adalah: 2 =



2  2



+



2  2y



+



2  2



(3-14)



sedang dalam koordinat polar adalah: 2 =



1  r 2 r



r2



   2 1 1 + sin  + r  r 2 sin   r 2 sin 2   2



(3-15)



Suku pertama ruas kanan persamaan Hamilton (3-14) disebut operator energi kinetik, yaitu:



 2 2  T =  2m



(3-16)



Persamaan Schrodinger yang kita bahas sampai saat ini adalah manakala sistemnya terdiri atas sebuah partikel. Sekarang kita akan membahas sistem yang terdiri atas n partikel. Kita misalkan partikel ke i mempunyai massa mi dan koordinat x i , yi , zi  dengan i = 1, 2, 3, . . . . n. Energi kinetik sistem adalah total dari energi kinetik masing-masing partikel, jadi:



 2 2 2 2 2 2 2 2 1  2  3 . . . . .  n T =  2m1 2m 2 2 m3 2m n



(3-17)



atau: n 2  i2 T=  2m i 1



(3-18)



i



Selanjutnya kita amati fungsi energi potensialnya. Kita tahu untuk 1 buah partikel 1 dimensi, energi potensialnya hanya ditentukan oleh koordinat x, jadi:



V = V(x)



44



Untuk 1 partikel dalam 3 dimensi, energi potensial ditentukan oleh masing-masing sebuah koordinat x, y dan z, jadi: V = V ( x, y, z) Jika sistem terdiri atas n partikel dalam 3 dimensi, maka energi potensialnya tentu ditentukan oleh 3n koordinat, yaitu: V = V( x1, y1, z1 , x2 , y2 , z2 . . . . . . xn , yn zn )



(3-19)



Dengan demikian operator Hamilton untuk n partikel dalam 3 dimensi adalah:  H



n 2



i2 + V (x1 . . . . zn ) 2 m i i 1



= 



(3-20)



Selanjutnya persamaan Schrodinger untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi adalah:  n 2    i2  V (x1 . . . . . . z n )   = E    i 1 2mi 











(3-21)



dengan  adalah fungsi gelombang bebas waktu n partikel dalam 3 dimensi, jadi:  =  (x1 . . . . . . . . . . . . . . . zn )



(3-22)



Sebagai contoh, untuk dua partikel yang koordinatnya (x1, y1 , z1 ) dan (x2 , y2 ,z2) sehingga jaraknya adalah { (x1 – x2 )2 + (y1 – y2 )2 + (z1 – z2 )2 }1/2, maka energi potensialnya (berbanding terbalik dengan jaraknya) adalah V =



c











1/ 2 x1  x 22  y1  y 2 2  z1  z 2 2



, jadi persamaan



Schrodinger bebas waktunya adalah: 



 2  2 2 2          2m1  x 2 y 2 z 2  1 1  1















  2  2 2  2           2m  2 2 z 2  2 x  y 2 2    2



  =E   1 / 2 2 2 2  x1  x 2  y1  y 2   z1  z 2  



 



c











(3-23)



 =  (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 ) Selanjutnya bagaimana ekspresi terhadap probabilitas kerapatannya ? Dipostulatkan oleh Bohr, untuk sistem 1 partikel dalam 1 dimensi, probabilitasnya adalah:



45 2



(3-24)



 ( x, t ) dx



Untuk sistem 1 partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah: 2



(3-25)



 ( x, y, z, t ) dx dy dz



Untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah: 2



(3-26)



 ( x1 , y1 , z1 , x 2 . . . . . z n , t ) dx1 dy1 dz1 dx 2 . . . . . . . dz n



Sedang kondisi normalisasinya adalah: 



 



 



.......



   ( x1 , y1 , z1 , x 2



2



. . . . . z n , t ) dx1 dy1 dz1 dx 2 . . . . . . . dz n = 1



(3-27)



 



Dalam mekanika kuantum, (3-26) biasa ditulis: 2



 d



(3-28)



Sedang (3-27) biasa ditulis:







2



d = 1



(3-29)



Catatan: Penulisan fungsi gelombang dengan psi kapital , berarti fungsi koordinat dan waktu, sedang jika ditulis dengan psi huruf kecil atau , berarti fungsi gelombangnya hanya fungsi koordinat saja dan tidak bergantung waktu. Hubungan antara  dan  adalah:  = e iEt /  



(3-30)



Fungsi gelombang disebut fungsi stasioner, jika: =



(3-31)



3. 5 Partikel Dalam Kotak 3 Dimensi Fungsi Gelombang Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi Dalam bab II kita telah menurunkan fungsi gelombang sebuah partikel dalam satu dimensi yang panjang kotaknya a dengan energi potensial dalam kotak = 0, yaitu:



46 1/2



2 (x) =   a



sin



n x a



dengan (x) adalah fungsi gelombang untuk arah x. Analog dengan ini maka untuk arah y dan arah z yang panjang kotaknya berturut-turut adalah b dan c, fungsi gelombangnya adalah: 1/2



2 (y) =   b



sin



n y b



sin



n z c



1/2



2 c



(z) =  



Sekarang dengan mudah kita dapat membuat fungsi gelombangnya dalam tiga dimensi, yaitu: 1/ 2



`



 8    abc 



(x , y , z) = 



sin



n  a



x sin



n  b



y sin



n  c



z



(3-32)



dengan n = 0, 1, 2 ....... dan seterusnya. Karena n untuk arah masing-masing tidak harus sama, maka persamaan (3-32) sebaiknya ditulis: 1/ 2



`



 8    abc 



(x , y , z) = 



n y n  n  sin z x sin y sin z z a b c



(3-33)



Jika kotaknya berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka persamaan (3-33) dapat ditulis: `



2 a



(x , y , z) =  



3/ 2



n y n  n  sin z x sin y sin z z a a a



(3-34)



Energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi dan Pengertian Degeneracy Untuk menentukan energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi maka yang perlu kita lakukan adalah memasukkan (x , y , z) ke dalam persamaan Schrodinger bebas waktu. Dengan memasukkan V = 0 akan kita peroleh: E=



2   h 2  n 2x n y n 2z    8m  a 2 b 2 c 2   



(3-35)



Jika kotak berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka, persamaan (3-35) boleh ditulis:



E=



h2 8ma 2



n 2x  n 2y  n 2z 



(3-36)



47



Terdapat kebiasaan orang menyatakan nx , ny dan nz sebagai indek  untuk mengetahui state dari fungsi gelombang yang bersangkutan. Sebagai contoh: Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk kubus) 111 dengan energi E =



h2 8ma 2



.3



Jika nx = 2 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk kubus) 211 dengan energi E =



h2 8ma 2



. 6



Jika nx = 1 ; ny = 2 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk kubus) 121 dengan energi E =



h2 8ma 2



.6



Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 2, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk kubus) 112 dengan energi E =



h2 8ma 2



.6



dan seterusnya sehingga kita dapat membuat tabel energi sebagai berikut: Fungsi Gelombang



Energi



Fungsi Gelombang



Energi



 6 Eo 6 Eo  9 Eo 9 Eo 9 Eo  11 Eo 11 Eo



222 123 132 213 231   dan seterusnya



  14 Eo 14 Eo 14 Eo 14 Eo 14 Eo







111 211 121 112 221 122 212 113 311 131







48



Catatan: Dalam rangka kepraktisan maka dalam membuat tabel tersebut yang dimaksud dengan Eo adalah h2/8ma2 Dari tabel di atas tampak bahwa ada fungsi-fungsi gelombang berbeda yang energinya sama. Contoh yang energi levelnya 6 Eo ada 3 fungsi yaitu 112 , dan211 . Energi level 9 Eo dan 11 Eo juga dimiliki oleh 3 fungsi gelombang, sedang energi level 14 E0 terdiri atas 6 fungsi gelombang. Beberapa fungsi gelombang berbeda tetapi energinya sama disebut degenerate. Sedang banyaknya fungsi gelombang untuk energi level tertentu disebut tingkat degenerasi. Jadi tingkat degenerasi untuk energi level 6 Eo adalah 3 dan disebut three fold degeneracy. Jika tingkat degenerasinya = 6 seperti pada energi level 14 Eo maka ia disebut six fold degeneracy.



3.6 Kombinasi linear Fungsi-Fungsi Degeneracy dan Himpunan Linearly Independent Marilah kita bahas, teorema yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dari n fold degenarate energy level. Teoremanya adalah sebagai berikut:



Jika terdapat n buah fungsi gelombang yang saling independen yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n yang mempunyai energi yang sama yaitu misal W. sehingga berlaku:    H 1 = W 1 ; H 2 = W 2 ; . . . . . . H n = W n



(3-37)



maka sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut juga mempunyai energi level W.



Teorema di atas akan kita buktikan. Jika kita mempunyai n buah fungsi gelombang yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n dan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut kita sebut , maka hubungan antara  dengan 1, 2 . . . . . . . . .n adalah:  = c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn



(3-38)



49



Kita harus membuktikan bahwa energi level  juga W yang dalam bahasa mekanika kuantum  kita harus membuktikan bahwa H  = W . Bukti:



  H  = H (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )    = H c11 + H c22 + . . . . . . . . . H cnn    = c1 H 1 + c2 H 2 + . . . . . . . . . cn H n = c1 W1 + c2 W2 + . . . . . . . . . cn Wn = W (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn ) = W  (terbukti) Sebagai contoh, fungsi gelombang stasioner 112 , 121 dan 211 untuk partikel dalam kotak berbentuk kubus adalah degenerate dengan energi level 6E0 dengan demikian maka kombinasi linearnya yaitu c1112 + c2121 + c3 211 juga mempunyai energi yang sama yaitu 6Eo. Karena c1 , c2 dan c3 adalah sembarang bilangan konstan, maka kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya, yang berasal dari ketiga fungsi gelombang tersebut. Meskipun kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya namun secara aktual kita hanya tertarik pada kombinasi fungsi eigen yang linearly independent. Suatu himpunan n fungsi f1, f2 . . . . fn adalah linearly independent jika c1. f1 + c2 f2 . . . . . + cn fn = 0 hanya dapat dipenuhi manakala c1 = c2 = . . . . cn = 0. Dengan perkataan lain himpunan fungsi akan linearly independent jika tidak ada salah satu fungsipun dari himpunan tersebut yang merupakan kombinasi linear dari fungsi yang lain. Contoh: Suatu himpunan fungsi terdiri atas f1 = 3x ; f2 = 5x2x dan f3 = x2 adalah bukan linearly independent karena c1 f1 + c2 f2 + c3 f3 = 0 dapat dipenuhi oleh c1 = 1/3; c2 = 1 dan c3 = 5. Padahal disebut linearly independen jika c1 = c2 = c3 = 0.



3.7 Persyaratan-persyaratan fungsi gelombang dalam Mekanika Kuantum Fungsi gelombang pada dasarnya adalah fungsi matematik, tetapi harus diingat bahwa tidak semua fungsi matematik adalah fungsi gelombang. Salah satu syarat yang harus dipenuhi



50



oleh fungsi gelombang adalah kontinus. Berikut ini akan kita bahas persyaratan-persyaratan yang lain. Bagi partikel yang berada dalam bound system, maka * d adalah probabilitas, yang untuk mengevaluasinya kita harus mengintegralkan. Oleh karena itu harga







 *  d harus



eksis (dapat dihitung). Jika integral tersebut eksis, maka dikatakan bahwa  adalah quadratically integrable, dan ini merupakan syarat yang kedua bagi fungsi gelombang partikel dalam bound system. Dengan logika terbalik, maka dapat dinyatakan fungsi gelombang yang tidak quadratically integrable adalah fungsi gelombang untuk partikel dalam unbound system atau pada partikel bebas. Kita telah tahu bahwa * adalah probabilitas kerapatan partikel, karenanya ia harus bernilai tunggal (singled valued). Akan sangat membingungkan jika diperoleh dua harga berbeda dalam perhitungan probabilitas menjumpai partikel pada titik tertentu. Karena * harus bernilai tunggal, maka sebagai syarat ketiga fungsi  harus bernilai tinggal. Sebagai tambahan, biasanya juga disyaratkan bahwa selain  harus kontinus, turunanturunannya juga harus kontinus. Fungsi gelombang yang memenuhi persyaratan ini disebut well behaved. Jadi suatu fungsi disebut well behaved jika (1) kurvanya dan kurva turunannya kontinus, (2) bersifat quadratically integrable dan (3) bernilai tunggal.          



51



 Soal-Soal Bab 3: 1. Jika g =  A f, tentukanlah g jika: 2 a)  A = d/dx dan f = cos (x + 1)



 b)  A = 5 dan f = sin x



2 c)  A = ( ) dan f = sin x



d)  A = exp dan f = ln x



2 2 e)  A = d / dx dan f = ln 3x



2. Nyatakanlah entitas berikut, termasuk fungsi atau operator ? a)  A f(x)



 b)  B A f(x)



 c)  AB



d) f(x)  A



 e) [  A , B]



 f) f(x)  A B g(x)



  2 2 3) Jika  D = d/dx buktikan bahwa ( D + x ) ( D  x ) = D  x  1  2   2 4) a. Buktikan bahwa untuk sembarang operator berlaku (  A + B) = (B + A ) .  2 2   2 b. Kapan (  A + B) = A + 2 A B + B ?



5) Apakah artinya, jika sebuah operator berpangkat nol ?    6) Buktikanlah commutator identitas [  A , B] =  [B , A ]



7) Tentukanlah: b) [d2/dx2 , ax2 + bx + c ]



a) [ sin z , d/dz ]



c) [d/dx , d2/dx2 ]



8. Manakah di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi-eigen dari d2/dx2 ? a) ex



b) x2



c) sin x



d) 3 cos x



e) sin x + cos x



Tentukan nilai eigennya, jika fungsinya adalah fungsi eigen. 9. Tentukan operator momentum untuk besaran fisik berikut: a) p 3x



b) x py  y px



c) (x py  y px)2



10. Evaluasilah commutator berikut: a) [ x , p x ]



b) [ x , p 2x ]



c) ) [ x , p y ]



2 operator Hamilton; e) ) [ x y  z , px ]



 d) ) [ x ,  H ] dengan H adalah



52



11. Sebuah elektron berada dalam kotak tiga dimensi dengan a = 1 nm , b = 2 nm dan c = 5 nm. Tentukan berapa probabilitasnya agar pada pengukuran posisinya akan dijumpai elektron pada batas-batas 0 < x < 0,4 nm ; 1,5 nm < y < 2 nm dan 0 < z < 5 nm ? 12. Apakah fungsi gelombang partikel dalam kotak tiga dimensi, merupakan fungsi eigen terhadap operator-operator berikut: a) p x



b) p 2x



c) p 2z



d) x



13. Jika  tak ternormalisasi, dan A adalah suatu bilangan konstan yang membuat A menjadi ternormalisasi, maka tentukan A dinyatakan dalam . (Catatan: A disebut faktor normalisasi) 14. Dalam mekanika kuantum istilah state tidak sama dengan istilah energi level. Untuk partikel dalam kotak berbentuk kubus tentukan ada berapa state dan ada berapa energi level yang terletak pada rentang E < 15 h2/8ma2 ? 15. Jika h2/8ma2 disebut Eo, tentukan berapa tingkat degeneracy dari energi level: a. 3 Eo



b) 12 Eo



c) 27 Eo ?



16. Mana di antara himpunan berikut yang merupakan himpunan fungsi independen secara linear (Linearly independent function? a) x ; x2 ; x6



b) 8, x , x2 , 3x21 ;



c) sin x , cos x d) sin x , cos x , eix



===000==== BAB IV OSILATOR HARMONIS 4.1 Osilator Harmonis Satu Dimensi Dalam pasal ini akan kita bahas osilator harmonis yang merupakan model yang sangat penting untuk memahami vibrasi molekul. Pembahasan secara klasik akan diulas lebih dulu sebelum membahasnya secara kuantum. 4.1.1 Tinjauan Secara Mekanika Klasik Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. Gaya itu adalah: F(x) =  k x



(4-1)



53



dengan k adalah tetapan gaya dan F(x) adalah gaya berarah x yang bekerja pada partikel. Jika (41) dikorelasikan dengan Hukum Newton kedua, F = m a, maka: m



d2x dt



2



= k x



atau m



d2x dt



2



+kx=0



 2







 dt







d atau   k / m x = 0



(4-2)



Persamaan (4-2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang persamaan karakteristiknya adalah: D2 + k/m = 0 sehingga akar-akarnya adalah D1..2 = + i (k/m)1/2 Jadi penyelesaian (4-2) 1/ 2



x = A1. e ( k / m)



t



1/ 2



+ A2 . e  i( k / m)



t



= A1{ cos (k/m)1/2t + i sin(k/m)1/2t}+A2{ cos (k/m)1/2t isin(k/m)1/2t } = (A1+A2){ cos (k/m)1/2t }+ i(A1 A2) sin(k/m)1/2t } = (A'){ cos (k/m)1/2t }+ A" sin(k/m)1/2t }



(4-3)



Untuk t = 0, maka pasti x = 0, jadi: 0 = A' cos 0 + A" sin 0 Suku kedua ruas kanan kana pasti 0 karena sin 0 = 0, sehingga A" pasti tidak nol. Karena suku kedua nol, maka suku pertama harus 0. Karena cos 0 adalah 1, maka A' harus 0, sehingga (4-3) ditulis: x = A" sin (k/m)1/2 t Karena A' sudah tidak ada, maka tanda " pada A" boleh tidak ditulis, hingga: x = A sin (k/m)1/2 t



(4-4)



Karena periode fungsi sinus adalah 2, maka akan mudah penerapannya nanti, jika (k/m)1/2 dinyatakan dalam kelipatan 2= kelipatan periode = n . 2). : (k/m)1/2 = n . 2



jadi: n = (1/2)(k/m)1/2



n tersebut adalah banyaknya periode jadi = banyaknya osilasi persatuan waktu, yang dalam bahasa fisik disebut frekuensi dan lazimnya tidak diberi notasi n tetapi . Jadi: (k/m)1/2 = 



(4-5)



Dengan demikian (4-4) ditulis x = A sin 2t



(4-6)



Selain dapat digunakan untuk menentukan x, (4-1) juga dapat digunakan untuk menentukan energi potensial. Kita tahu bahwa hubungan antara gaya dengan energi potensial menurut persamaan (4-5 bab I) adalah:



54 dV =  F(x) =  (k x ) = k x dx



jadi dV = k x dx 



V = 1/2 k x2



(4-7)



Dengan menggunakan (4-5), maka k = 4m, energi potensial V dapat ditulis: V = 22 2 m x2



(4-8)



Selanjutnya bagaimanakah energi kinetik T ? T = 1/2 mv2 dengan v = dx/dt, jadi: T = 1/2 m (dx/dt)2 Dengan menggunakan x pada (4-6) kita peroleh: T = 1/2 m (A 2  cos 2t)2 = 2 m22 A2cos2 2t



(4-9)



Penentuan E (energi total osilator harmonis, diperoleh dengan menjumlah T dan V, jadi: E = T + V = 1/2 m A2 cos2 2t + 1/2 k x2 = 12 m22 A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t = 1/2 k A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t = 1/2 k A2( cos2 2t + sin2 2t) Jadi: E = 1/2 kA2 = 2 m A2



(4-10)



4.1.2 Osilator Harmonis Dalam Tinjauan Mekanika Kuantum Persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu untuk osilator harmonis adalah seperti persamaan (5-1 Bab I) tetapi V dimasukkan 1/2 kx2 (Ingat, bahwa V tidak bergantung pada momentum angular p. Semua besaran fisik yang tidak bergantung pada p, operator kuantumnya sama dengan nilainya dalam mekanika klasik). Jadi: d 2  (x) dx 2



+



2m 2



(E  2    mx  ) ( x )  0



(4-11)



atau: d 2  (x) dx 2



+ (2mE  2  4    m 2   2 x  )( x )  0



Agar penulisannya praktis 2m/  diganti  sehingga (4-12) menjadi:



(4-12)



55 d 2  (x)







dx 2



+ (2mE  2   2 x  ) ( x )  0



(4-13)



atau:  ' ' (x) + (2mE 2   2 x  )( x )  0



(4-14)



Untuk  yang mendekati tak terhingga maka 2mE  2 boleh diabaikan sehingga (x) = 2



e   x merupakan penyelesaian dari (1.2-3). Berapapun harga , tetapi yang jelas (x) pasti 2 mengandung faktor e   x , dan dengan demikian kita boleh memisalkan penyelesaian (1.2-3)



adalah: 2 (x) = e   x . f(x)



(4-15)



2 ''(x) = e   x (f ''  2 x f '   f + 2 x2 f)



(4-16)



Jadi:



Jika (4-16) dan (4-15) dimasukkan ke dalam (4-13) maka akan diperoleh: f ''  2  x f ' + (2mE  2   ) f = 0



(4-17)



Persamaan differensial orde dua di atas (4-17) tidak dapat diselesaikan secara konvensional karena koefisien f ' masih mengandung x. Untuk itu penyelesaiannya menggunakan metode deret.



 



Untuk itu kita misalkan: 



 cn x n



f = c0 + c1 x + c2 x2 . . . . . cn xn =



(4-18)



n 0



jadi: f ' = 0 + c1 + c2 x1 . . . . . ncn xn1 =







 n c n x n 1



(4-19)



n 0



dan: f '' = c2 + . . n (n1) xn2 =







 n (n  1)c n x n  2 = n 2







 (n  2)(n  1)c n  2 x n n 0



Substitusi (4-18) , (4-19) dan (4-20) ke dalam (1.2-6) menghasilkan:



(4-20)



56 











n 0



n 0



n 0



 (n  2)(n  1)c n  2 x n  2  x  n c n x n 1 + (2mE  2   )  c n x n = 0



 atau:















n 0



n 1



n 0



 (n  2)(n  1)c n  2 x n  2   n c n x n + (2mE  2   )  c n x n = 0



 atau: 







 (n  1)(n  2)c n  2  2 n cn + (2mE  2   ) cn  x n



=0



n 0



Karena xn tidak mungkin nol, maka koefisiennya pasti nol, jadi ( n  1)(n  2)c n  2  2 n cn + (2mE  2   ) cn = 0



Sehingga diperoleh: cn2 =



  2n  2mE 2 cn (n  1) (n  2)



(4-21)



Dengan persamaan (4-21), yang disebut relasi recursi, kita dapat menghitung c3 , c5 . . . . dan seterusnya, jika kita tahu c1. Kita juga dapat menghitung c2 , c4 , . . . . dan seterusnya, jika c0 diketahui. Jika kita set c1 = 0, maka c3, c5 . . . dan seterusnya pasti nol, sehingga fungsi gelombang osilator harmonis menjadi: 2 2 (x) = e   x / 2 . f(x) = e   x / 2







 cn x n n  0, 2, 4, . . .







2 = e  x / 2



 c 2 p x 2p



(4-22)



p 0



Jika c0 dibuat nol maka c2 , c4 , c6 . . . . dan seterusnya semua nol sehingga diperoleh penyelesaian lain: 



2 (x) = e   x / 2



2  cn x n = e  x / 2



n 1 , 3 , 5 . . .







 c 2 p  1 x 2 p 1



(4-23)



p 0



Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu untuk osilator harmonis satu dimensi adalah kombinasi linear dari (4-22) dan (4-23) yaitu: 2 (x) = A e   x / 2







 c 2p x 2 p + B p 0



2 e  x / 2







 c 2 p  1 x 2 p 1 p0



(4-24)



57



dengan A dan B adalah tetapan sembarang. Dengan memperhatikan (4-24) maka terlihat bahwa  akan cenderung tak terhingga jika x tak terhingga dan ini tidak diijinkan. Salah satu syarat fungsi matematik dapat diterima sebagai fungsi gelombang adalah mempunyai harga yang tertentu, berapapun harga x nya. Untuk memenuhi syarat ini, maka deret (4-24) harus berhenti pada suku tertentu, misal suku ke v. Jika deret berhenti di suku v, ini berarti koefisien cv harus nol. Dengan menggunakan (4-21) dan indek n diganti v maka (4-21) boleh ditulis: 



cv2 =



  2v  2mE 2 cv (n  1) (n  2)



Jika cv harus nol maka c v  2 juga harus nol, sehingga:   2v  2mE 2 cv = 0 (n  1) (n  2)



E=



atau:



 + 2  v  2 m E  2 = 0, jadi::



2 (2 v  1) 2m



(4-25)



Dengan menggunakan harga  = 2m/  , maka diperoleh: E=(v+ ½)h



(4-26)



yang sering ditulis: Ev = ( v + ½ ) h v = 0, 1, 2, 3 . . . .



(4-27)



dengan Ev adalah energi level osilator harmonis, v = bilangan kuantum vibrasi, h tetapan Planck dan  adalah frekuensi vibrasi. Ada perbedaan antara bilangan kuantum partikel dalam box dengan bilangan kuantum vibrasi. Bilangan kuantum vibrasi mengijinkan harga nol, sedang bilangan kuantum partikel dalam box tidak mengijinkan harga nol. Energi ground state pada gerak vibrasi (osilator) adalah harga E untuk v = 0, yaitu Eo = ½ h  dan ini disebut zero point energy (Awas harga zero point energi tidak nol tetapi ½ h). Zero point energi ini adalah energi masing-masing osilator harmonis yang merupakan bagian dari sekelompok osilator harmonis, pada temperatur nol absolut. Substitusi (4-27) ke dalam (4-21) menghasilkan relasi recursi yang baru, yaitu: cn2 =



2n  v  c n  1n  2 n



(4-28)



58



4.2 Fungsi Genap dan fungsi Ganjil Sebelum membahas fungsi gelombang osilator harmonis secara lebih detail ada baiknya kita mengingat kembali pengertian fungsi genap dan fungsi ganjil. Jika f(x) mengikuti bentuk: f (x) = f (x)



(4-29)



2 maka f(x) adalah fungsi genap dari x. Jadi x2 dan e  b x keduanya adalah fungsi genap karena 2



2



(x) e  b (  x) = e  b x . Grafik fungsi genap adalah simetris terhadap sumbu x. Selanjutnya untuk fungsi genap berlaku: a



a



 f (x) dx = 2 f (x) dx a



(4-30)



0



Jika g(x) mengikuti: g(x) =  g(x) 2 maka g(x) adalah fungsi ganjil dari x. Contoh fungsi ganjil misalnya adalah x , 1/x , x e x . Grafik



fungsi ganjil dicerminkan oleh sumbu y kemudian dicerminkan lagi oleh sumbu x. Untuk fungsi ganjil berlaku:



a



 g (x) dx = 0



(4-31)



a



Hasil kali dua buah fungsi genap atau dua buah fungsi ganjil adalah fungsi genap, sedang hasil kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil.



4.3 Fungsi Gelombang Osilator Harmonis



Menentukan Fungsi Gelombang Dengan Relasi Recursi Marilah kita lihat kembali persamaan (4-23) dan (4.24) 



2 (x) = e   x / 2







 c 2 p x 2p



(4-23)



p 0 2 (x) = e   x / 2







 c 2 p  1 x 2 p 1 p0



(4-24)



59



Kedua fungsi itu adalah fungsi gelombang osilator harmonis genap dan ganjil. Persamaan (423) dan (4-24) berturut- turut dapat ditulis: 2 (x) = e   x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .)



(4-32)



2 (x) = e   x / 2 (c1x + c3 x3 + c5 x5 . . . . . . . .)



(4-33)



Akan berhenti sampai dimana deret tersebut, ternyata ditentukan oleh bilangan kuantum v. Jika v = 0, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c0, sehingga fungsi gelombang osilatornya adalah: 2 2  = e   x / 2 . c0 atau 0 = c0 e   x / 2



Jika v = 1, berarti fungsi ganjil dan berhenti sampai suku c1x, sehingga fungsi gelombang osilatornya adalah: 2  = e   x / 2 . c1x



2 atau 1 = c1 x e   x / 2



Jika v = 2, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c2x2 , sehingga fungsi gelombang osilatornya adalah: 2 2 2  = e   x / 2 . ( c0 + c2x2 ) atau 2 = c0 e   x / 2 + c2x2 e   x / 2



begitu seterusnya. Selanjutnya kita akan memperhatikan 0 yang juga disebut fungsi ground state. Telah kita tahu bahwa: 2 0 = c0 e   x / 2



(4-34)



Harga c0 dapat diperoleh melalui normalisasi, yaitu: 



2   o dx = 1 atau:



(4-35)







1=















0



2  x 2 dx = 2 c 2 e  x 2 dx  co e  o



Dengan menggunakan teknik error function, kita peroleh: c0 = ( /  )1/4



(4-36)



Sehingga fungsi gelombang ground state untuk osilator harmonis adalah: 2 0 = ( /  )1/4 e   x / 2



(4-37)



60



Fungsi gelombang (3-5) di atas juga disebut fungsi Gauss (Gaussian Function) yang grafiknya dapat dilihat pada gambar (4-1a)/ Selanjutnya dengan cara yang sama, kita dapat akan membahas 1, yaitu: 



2 1 = c1 x e   x / 2



(4-38)



Dengan cara yang sama dengan cara menentukan c0, kita peroleh: c1 = (4 3 /  )1/ 4



(4-39)



sehingga diperoleh 1 yaitu: 2 1 = (4 3 /  )1/4x e   x / 2



(4-40)



Setelah harga c0 dan c1 diketahui maka kita dapat menghitung c2, c3, c4 dan seterusnya dengan menggunakan (1.2-15). Dengan demikian kita dapat dengan mudah menentukan 2 , 3 , 4 dan seterusnya.Misal kita akan menentukan 2 . Pertama kita gunakan bentuk umum  genap, yaitu: 2 (x) = e   x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .)



(4-33)



Untuk 2 deret dihentikan pada suku x2, jadi:











x



x



(a) v = 0



(b) v = 1











x



61



(c) v = 2



(d) v = 3



Gambar 4-1: Fungsi Gelombang Osilator Harmonis



2 2 = e   x / 2 (c0x + c2 x2 )



atau



2 2 = (c0x + c2 x2 ) e   x / 2



Dengan menggunakan (1.2-15), maka c2 dapat dihitung, yaitu: cn+2 =



2  (n - v) c dengan memasukkan memasukkan n = 0 dan vs = 2, maka: n  1n  2 n



c2 =



2 0-2  c0 =  2  c0 (0  1) 0  2 



Jadi: 2 2 2 = (c0  2c0 x2 ) e   x / 2 = c0 (1  2  x2 ) e   x / 2



Harga c0 dicari dengan normalisasi (Tidak menggunakan c0 pada persamaan (4-36)), dan diperoleh: 2 2 = ( (2  x2  1) e   x / 2



Menentukan Fungsi Gelombang Osilator Harmonis Dengan Polinomial Hermite Ada cara lain untuk menentukan yaitu dengan memanfaatkan polinomial Hermit. Perlu diingat 2 bahwa sebagian dari faktor e   x / 2 pada fungsi gelombang osilator harmonis polinomial



Hermite yang sudah kita kenal di matematika. Hubungan antara fungsi gelombang osilator harmonis dengan polinomial Hermite adalah:  2 1 / 2   1 / 4  x v . Hv  v (x ) = 2 . v ! e 2  















Dengan H v adalah polinomial Hermite, yaitu:



62



H v =  1 v e z



2



d j z2 e dz j



dengan:



z = 1 / 2 x Dengan cara ini, fungsi gelombang lebih mudah dapat diturunkan. Tentang Harga x yang Mungkin Dalam Osilator Harmonis Jika kita melihat solusi mekanika kuantum untuk osilator harmonis, maka tampak bahwa berapapun harga x harga  dapat diperoleh, artinya bahwa peluang keberadaan partikel ada di sembarang harga x mulai dari x =   sampai x = +  . Padahal dalam mekanika klasik partikel hanya dibatasi berada pada daerah yang energi potensialnya tidak melebihi energi partikel (yaitu antara a sampai + a pada gambar 4-2), sebab dalam mekanika klasik energi kinetik negatif tidak dikenal. Ini berarti bahwa secara tinjauan kuantum partikel dapat berada di daerah terlarangnya mekanika klasik, atau dalam mekanika kuantum bisa saja terjadi energi potensial V > E atau dapat saja terjadi energi kinetik bernilai negatif. Kasus V > E ini sudah pernah kita bahas pada bab II. V



E



-a



a



x



Gambar 4-2: Daerah yang diijinkan ( x < a) dan daerah terlarang ( x > a) untuk osilator harmonis mekanika klasik V



63



Gambar 4-3: Energi Potensial untuk vibrasi molekul (Kurva garis tak terputus-putus) dan untuk osilator harmonis (kurva titik-titik) 4.4 Vibrasi Molekul Diatomik Osilator Harmonis yang telah kita bicarakan, sangat baik untuk dijadikan pendekatan dalam memahami vibrasi molekul. Sudah barang tentu harus diadakan beberapa modifikasi. Karena dalam molekul diatomis terdapat dua partikel dengan massa masing-masing m1 dan m2 maka



m dalam persamaan Schrodinger diganti  atau massa tereduksi dengan  =



m1m2/(m1+m2).  Kita memperkirakan bahwa harga energi level vibrasi Evib sangat mendekati harga energi level osilator harmonis yang sudah kita kenal, yaitu: Evib  (v + ½ ) h e



v = 0, 1, 2, 3, . . . . .



1/ 2



1 k   e = 2    



;



=



m1 . m 2 m1  m 2



;



k=



(4-41) d2U dR 2 R  R e



(4-42)



e disebut frekuensi vibrasi (harmonis) ekuilibrium. Aproksimasi di atas sangat bagus untuk energi level yang rendah. Untuk energi level yang tinggi, energi potensial vibrasi semakin menyimpang dibandingkan dengan energi potensial osilator harmonis (Gambar 4-3). Aproksimasi yang lebih akurat dalam rangka mengantisipasi penyimpangan dari keharmonisan adalah: Evib = (v + ½ ) h e  (v + ½ )2 h e xe



(4-43)



e xe disebut tetapan ketidakharmonisan yang untuk hampir semua kasus harganya positif.



64



Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, kita dapat menentukan bahwa transisi vibrasi yang paling mungkin jika molekul diatomik diekspose ke dalam radiasi elektromagnet adalah v berubah dengan + 1; selanjutnya agar dapat terjadi absorpsi dan emisi dari elektromagnet (foton) maka vibrasi harus mengubah momen dipole molekul. Oleh karena itu, maka molekul-molekul diatomik (H2 , N2 dan lain-lain yang sejenis) tidak mungkin dapat mengalami transisi hanya dengan mengemisi atau mengabsorpsi radiasi (Artinya transisi hanya dapat terjadi melalui tumbukan intermolekuler) Jika terjadi transisi dari energi level tinggi E2 ke energi level rendah E1 maka akan diemisi foton yang relasinya dinyatakan dengan: Efoton = E2  E1



(4-44)



Karena Efoton = h maka: foton = (E2 – E1) / h



(4-45)



Jika kita menggunakan aproksimasi (4-41) maka: 



foton = (E2 – E1) / h(v2 + ½ ) h e  (v1 + ½ ) h e }/ h = (v2 – v1 ) e



Karena perubahan v yang paling mungkin adalah 1, maka: foton = 







Jika aproksimasi energi kita gunakan yang lebih akurat yaitu aproksimasi (4-43) maka akan diperoleh: foton = e  2 e xe ( v1 + 1)



(4-47)



dengan v1 adalah bilangan kuantum vibrasi yang rendah dan j = 1. Populasi relatif dari dua buah energi level molekul dinyatakan oleh distribusi Boltzmann (dapat dilihat pada sembarang literatur Kimia fisik) yaitu: N1 g1 (E1  E 2 ) / k T  e N2 g2



(4-48)



N1 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E1 , N2 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E2 , g1 dan g2 adalah degenerasi masing-masing molekul. Jika molekulnya non degenerate, maka g = 1. Dalam unit SI, satuan untuk frekuensi adalah hertz (Hz) dengan definisi 1 Hz = 1s1. Pada absorpsi infra merah, orang sering menggunakan istilah bilangan gelombang  yaitu banyaknya gelombang persatuan panjang, yang didefinisikan:  = 1/  =  / c



(4-49)



65



dengan  adalah panjang gelombang dalam vakum, dan c adalah laju cahaya  adalah frekuensi foton. Contoh: Gelombang infra merah terkuat dari molekul



12C16O



terjadi pada  = 2143 cm1 . Tentukan



tetapan gaya untuk molekul tersebut ? Jawab: Yang ditanyakan adalah k = 4 2  e2  Infra merah terkuat terjadi pada hubungan v = 0  1. Ini berarti transisi pada level rendah, sehingga kita boleh menggunakan (4-46) untuk menghitung e , tidak usah dengan (4-47). e = . Menurut (4-49),  =  . c jadi: e =  . c = ( 2142 cm1 ) (2,9979 . 1010 cm . s1) = 6,424 . 1013 s1 . Selanjutnya kita hitung  = mC



mC .mO mC .mO



= massa 1 atom C = 12 amu = 12 x 1,661 x 1027 kg = 19,932 . 1027 kg = 1,9932 . 1026 kg



mO



= 15,9949 amu = 15,9949 x 1,661 . 1027 kg = 26.5675 . 1027 kg = 2,65675 . 1026 kg



jadi:  = (1,9932 .1026 kg x 2,65675 .1026 kg )/(1,9932 .1026 kg + 2,65675 .1026 kg  = (5,29543 . 1052 kg2 ) / ( 4,64995 . 1026) = 1,1388143959 . 1026 kg k = 4 2  e2  



= 4 2 (6,424 . 1013 s1 )2 1,1388143959 . 1026 kg



66



= 1854 kg. s2 = 1854 N/m



Soal-soal Bab 4 1. Mana di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi genap ? Mana yang merupakan fungsi ganjil ? a) sin x ; b) cos x



; c) tan x ; d) e x ;



e) 2  2 x



; f) ( 3 + x ) ( 3  x )



2. Buktikan bahwa (a) hasil kali fungsi genap dengan fungsi genap adalah fungsi genap (b) hasil kali fungsi ganjil dengan fungsi ganjil adalah fungsi genap (c) hasil kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil 3. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 2: a ) dengan relasi recursi b) dengan polinomial Hermite 4. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 4: a ) dengan relasi recursi b) dengan polinomial Hermite 5. Sebutkan perbedaan-perbedaan antara fungsi gelombang satu dimensi untuk partikel dalam box dan untuk partikel dalam osilator harmonis. 6 Untuk fungsi gelombang osilator harmonis dengan v = 1, tentukan harga x yang paling mungkin. 7. Dengan analogi bahwa untuk sistem satu dimensi nilai eigen energinya adalah E = ( v + ½ ) h, bagaimanakah energi levelnya jika sistemnya 3 dimensi ?. Dalam sistem 3 dimensi tersebut, tentukan derajad degenerasi mulai energi level terendah sampai ke empat ? 8. Jika Hj adalah polinomial Hermite, tentukan H0 ; H1 ; H2 ; H3 dan H4 ! 9. Untuk osilator harmonis dengan bilangan kuantum v, berapakah rentang x yang diijinkan oleh mekanika klasik ?



67



10. (a) Spektrum absorpsi infra merah dari 1H35Cl mempunyai berkas terkuat pada 8,65 x 1013 Hz. Hitunglah tetapan gaya dari ikatan molekul tersebut. (b) Tentukan zero point energi vibrasi untuk 1H35Cl (c) Prediksilah frekuensi infra merah terkuat untuk molekul 2H35Cl Massa isotop 1H = 1,00783 amu 2H= 2,01410 amu



35Cl



= 34,968853 amu



1 amu = 1,661 . 1024 gram 



11. (a) Buktikan persamaan (4-47) dari (4-43) (b) Turunkan persamaan sejenis untuk transisi dari v = 0  v2 12. (a) Transisi v = 0  1 untuk LiH terjadi pada 1359 cm1 . Hitunglah ratio populasi v = 0 terhadap v = 1, pada temperatur 200o C (b) lakukan persis seperti (a) tetapi untuk molekul ICl yang transisi terkuatnya terjadi pada 381 cm1.   BAB V MOMENTUM ANGULAR 5.1 Pengukuran Simultan Beberapa Properti Pada bab ini kita akan membahas momentum angular dan pada bab berikutnya nanti kita akan menunjukkan bahwa dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. Sebelum membahas momentum angular, kita akan bahas lebih dulu, pengukuran secara simultan beberapa properti dan untuk itu, kita harus mengetahui kriteria yang dapat kita gunakan untuk menentukan properti apa saja dari suatu sistem yang nilainya dapat ditentukan secara simultan. Perlu diingat bahwa dalam mekanika kuantum ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya tidak dapat secara simultan sebagai contoh posisi dan momentum merupakan dua properti pengukurannya tidak dapat secara simultan. Sementara itu ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya dapat secara simultan, karena masing-masing mempunyai hasil pengukuran yang pasti.







Dalam bab III telah kita bahas bahwa jika fungsi  adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen a, maka a adalah nilai properti A. Sebagai contoh jika  adalah fungsi eigen dari operator







energi kinetik T dengan nilai eigen t, maka t adalah nilai dari energi kinetik T. Selanjutnya jika 



68











secara simultan merupakan fungsi eigen dari dua buah operator yaitu A dan B dengan nilai eigen a dan











b sehingga dapat kita tulis A  = a  dan B  = b, maka kita dapat secara simultan mengetahui secara pasti nilai properti A dan B, yaitu a dan b. Kapankah terjadi kemungkinan bahwa  menjadi fungsi eigen dari dua buah operator berbeda ? Fungsi  akan secara simultan merupakan fungsi eigen











dari dua buah operator A dan B jika kedua operator tersebut adalah pasangan operator yang commute



 



atau jika [ A , B ] = 0 (Akan dibuktikan di Bab 7). Dengan logika terbalik dapat dinyatakan bahwa, jika



















dua buah operator A dan B adalah commute atau jika [ A , B ] = 0, maka  dapat menjadi fungsi











eigen bagi A maupun B .







 







 



 



Ingat kembali bahwa commutator A dan B adalah [ A , B ] = A B  B A . Berikut ini diberikan beberapa commutator identitas yang sangat membantu dalam mengevaluasi commutator.



















[ A , B] = = [B , A]



(5-1)



 n [A , A ]=0      [k A , B ] = [ A , k B ] = k[ A ,  B] 











(5-2) (5-3)



 



 



[ A , A+C ] = [ A, B ] + [ A,C ] ;



 















 



[ A+ B ,C ] = [ A , C ] + [ B ,C ]



(5-4)



         [ A , B C ] = [ A, B ]C + B [ A,C ] ;          [ A B ,C ] = [ A,C ] B + A [ B ,C ]



(5-5)



Contoh: Buktikanlah bahwa x dam px tidak dapat diukur secara simultan. Bukti:







Untuk membuktikan kita harus menguji bahwa [ x , p x ]  0















[ x , px ] = [ x px  px x ] Jika dioperasikan pada sembarang fungsi : 















[ x , p x ]  = [ x p x  p x x ]











= x p x  p x x 







Karena p x =  i 



 , maka: x



69











[ x , p x ]  = x ( i 



  )  ( i  )x  x x







i  ( x



    x ) x x







i  { x



    ( x+x ) } x x x







i  { x



   (+x ) } x x







i  { x



    x } x x







i  { x



   x } x x







i  {   }







i  



Jadi:







[ x , p x ] = i 











Karena [ x , p x ] tidak = 0, maka  tidak mungkin merupakan fungsi eigen simultan terhadap x dan p x sehingga pengukuran x dan px harus secara simultan dan mengikuti prinsip ketidakpastian.



5.2 Momentum Angular Sistem Partikel Tunggal Momentum Angular Dalam Mekanika Klasik Jika sebuah partikel bermassa m melintas dan kita tinjau partikel itu dalam sistem koordinat Cartessius dengan r adalah vektor dari titik acuan ke posisi partikel pada saat itu, maka hubungan antara vektor r dengan komponen-komponennya adalah: r=xi+yj+zk



(5-6)



dengan x, y dan z adalah koordinat partikel sedang i, j, k adalah unit vektor berarah x, y dan x. Jika vektor momentum linear adalah p maka hubungan antara vektor p dengan komponen-komponennya adalah: p = px i + py j + pz k dengan px = m vx ;



py = m vy dan pz = m vz



Menurut mekanika klasik, vektor momentum angular L didefinisikan sebagai :



(5-7)



70



L=rxp=



i x px







j y py



k z pz















= y.p z  z.p y i  xp z  zp x  j + xp y  yp x k



(5-8)



Karena hubungan antara vektor L dan komponen-komponennya adalah: L = Lx i + Ly j + Lz k



(5-9)



Maka kita peroleh: L x  y.p z  z.p y



(5-10)



L y  z.p x  x.p z Lz  x.p y  y.p x



Hubungan antara harga L dengan Lx , ly dan Lz adalah: L2 = L2x  L2y  L2z



(5-11)



Operator Momentum Angular Operator momentum angular diperoleh dari persamaan klasik (5-11) dan (2-10) setelah mengganti px , py















dan pz dengan operator p x , p y dan p z yaitu:   px =  i 



x



  py =  i 



(5-12)



y



  pz =  i 



z



sehingga:



     L x =  i   y  z   z



y 



     Ly =  i   z  x   x



z 



     Lz =  i   x  y   y



x 



(5-13)



71 Selanjutnya kita tahu bahwa besarnya harga skalar L adalah: L2 = L2x  L2y  L2z



















Jadi operator L2 = L2x + L2y + L2z



(5-14)



Commutator antara Momentum Angular dengan Komponen-komponennya Selanjutnya karena pasangan commutator sangat penting untuk mengetahui apakah dua buah properti dapat diukur secara simultan atau tidak, maka sekarang kita akan melihat bagaimana harga pasangan-



























pasangan commutator antar komponen momentum angular, yaitu [ L x , L y ] ; [ L x , L z ] ; [ L y , L z ]







dan juga pasangan commutator antara operator momentum angular L2 dengan komponen-komponennya



























yaitu commutator [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ].











Pertama kita akan mengevaluasi commutator [ L x , L y ]. Kita tahu bahwa:











 











[ L x , L y ] = Lx L y  L y L x Jika dioperasikan pada sembarang fungsi F maka:











 











[ L x , L y ] F = Lx L y F  L y Lx F         =   2 {  y  z   z x F  y   x z   z



    x  z z   x



     y  z  F} y   z



            =   2 {  y  z   z F  x F    z x  z   x z  y   x  z



     y F  z F  } y   z



   2 2 2 2 2 2      2  y z F  yx F  z2 F  zx F  zy F  z2 F  xy F  x z F  z x yx yz xz xy z y  z 2 z 2      2 2      2  y z F  zx F  zy Fx z F  z x yz xz z y      F  F  2 F  2 2  2      2  y  z  zx F  zy F  x  z   x  y zx  yz xz zy       



 F  2F 2 2 F  2    2  y  yz F  zx F  zy Fx  xz F  x xx yz xz y zy     F   F       2  y  x  =   2  y  x F = i  L z F  x  y  x  y    



72 Jadi:















[ Lx , L y ] = i  Lz



(5-15)



Analog dengan cara diatas maka diperoleh (Buktikan):   [  Ly , Lz ] = i  L x



(5-16)



  [ Lz , L ] = i  Ly



(5-17)



x



Dari (2-11) tampak bahwa pasangan commutator antar komponen momentum angular adalah non commute. Sekarang akan kita selidiki pasangan commutator antara operator momentum angular dengan



























komponen-komponennya yaitu: [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ]. Pertama akan kita selidiki dulu:











[ L2 , L x ] dengan memanfaatkan sifat commutator identitas pada awal bab ini.



 2 2 2 Karena: L2 =  L x + L y + L z maka: 







2



2



2







  [ L2 , L x ] = [  L x + L y + L z , Lx ] 2 



2 



2 



  = [ L x , L x ] + [ L y , L x ] + [ Lz , Lx ]











Menurut sifat (5-2), [ L2 , L x ] = 0, jadi:



























[ L2 , L x ] = [ L2 , L x ] + [ L2 , L x ] atau:



















 











[ L2 , L x ] = [ L y L y , L x ] + [ L z L z , L x ]



  



  



  



Dengan menggunakan sifat (5-5) yaitu [ A B , C ] = [ A , C ] B + A [ B , C ], maka:



























































[ L2 , L x ] = [ L y , L x ] L y + L y [ L y , L x ] + [ L z , L x ] L z + L z [ L z , L x ]



 



















 



=  i  L z L y  i  L y Lz + i  L y Lz + i  L z L y = 0 Jadi:











[ L2 , L x ] = 0



(5-18)



Analog dengan cara di atas maka diperoleh:











[ L2 , L y ] = 0



(5-19)



73











[ L2 , L z ] = 0



(5-20)







Dari persamaan (5-18) sampai dengan (5-20) tampak bahwa operator momentum angular L2 dan salah











satu komponen-komponen bersifat commute, jadi antara L2 dengan salah satu L x atau



 L y atau



 Lz mempunyai fungsi eigen yang sama. Operator Momentum Angular dalam Koordinat Spherik Persamaan (5-13) dan (5-14) itu adalah operator untuk menghitung Lx , Ly dan Lz dengan menggunakan koordinat Cartessius. Mengingat momentum angular terjadi pada partikel yang bergerak melengkung, maka penggunaan operator kuantum angular dalam koordinat bola, ternyata lebih menguntungkan, oleh karena itu, kita perlu mengetahui, bagaimana pernyataan operator tersebut dalam koordinat bola. Buku ini tidak akan membahas bagaimana penurunan operator tersebut dalam koordinat bola, tetapi bagi yang ingin mengetahui penurunannya dianjurkan untuk membaca literatur mekanika kuantum. Adapun dalam koordinat bola (Hanna, 1969: 137):



     L x =  i   sin   cot  cos   







 



     L y =  i   cos   cot  sin   







 



(5-14)



  Lz =  i 







Telah kita ketahui, bahwa hubungan antara suatu vektor dengan komponen-komponennya adalah kuadrat vektor = jumlah kuadrat komponen-komponennya, jadi: L2  L2x  L2y  L2z



Dengan demikian diperoleh:  1  L2 =   2 



  1 2  sin     sin 2   2   sin   



(5-18)



atau:  2    cot  L2 =   2  2  







2   sin 2   2  1



Fungsi Eigen Dan Nilai Eigen Momentum Angular Orbital Partikel Tunggal



(5-19)



74











Sekarang kita akan menurunkan fungsi eigen dari operator L2 dan L z . Dengan memperhatikan bahwa operator tersebut melibatkan  dan , maka fungsi tersebut kita sebut fungsi (,) yang merupakan fungsi  dan fungsi  dalam relasi: (,) = f() . f()



(5-20)



Jika agar praktis f() ditulis T dan fungsi f() ditulis , maka: (,) = T . 



(5-21)











Jika b adalah nilai eigen untuk L z dan c adalah nilai eigen untuk L2 , maka persamaan eigennya dapat ditulis:



 Lz  = b 



(5-22)



 L2  = c 



(5-23)







Kita selesaikan dulu (5-22). Dengan menggunakan operator L z dan fungsi  ditulis T. maka (5-22) dapat ditulis:  i



T



 T. = b T.atau: 



d = (b/  i ) T.atau: d



1 ib d d  



atau: ln  =



 i T



d = b T.atau: d



ib d = .atau:  d



ib  C 



atau:



 = e ib /   C = e C e ib /  = A e ib / 



(5-24)



dengan A adalah tetapan sembarang.



Apakah setiap  (5-24) dapat menjadi fungsi eigen ? Jawabnya tidak. Karena tidak semua bentuk (5-24) adalah bernilai tunggal (singled valued). Agar (5-24) singled valued maka jika  ditambah 2 harga  tidak berubah. Jadi (5-24) adalah fungsi eigen jika: A e ib /  = A e ib (  2) /  = A e ib /  



e ib 2 /  = 1



e ib 2 /  sehingga:



(5-25)



e ib 2 /  adalah cos 2b/  + i sin 2b/  . Jadi:



cos 2b/  + i sin 2b/  = 1 Untuk memenuhi (5-26) maka :



(5-26)



75 2b/  harus = 2  m dengan m = 0, 1, 2, 3 . . . . . sehingga: b=m 



m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . .



(5-27)



Karena b adalah nilai eigen dari operator  maka harga Lz pasti = b, atau: L z



Lz = m 



m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . .



(5-28)



Jika harga b dimasukkan ke dalam (5-24) maka fungsi eigen  diperoleh, yaitu:  = A ei m 



(5-29) 1/ 2



 1  Dengan normalisasi, harga A diperoleh, yaitu A =    2 



sehingga:



 1/ 2



 1  =    2 



ei m 



(5-30)



dengan m adalah bilangan kuantum magnetik.







Sekarang kita akan menyelesaikan persamaan (5-23) yaitu L2  = c yang dapat ditulis:  2  1 2   2   cot    = c atau:  sin 2   2    2   2  1 2   2   cot    = c atau:  sin 2   2    2  1/ 2 1/ 2  2  1 2   1   1  ei m  = c    ei m atau:  2   cot      2   sin 2   2   2     2 



d 2T d 2



 cot



dT m2 c    T d sin 2  2



(Buktikan !)



(5-31)



Untuk menyelesaikan (5-31) kita lakukan dengan melakukan manipulasi matematika, pertama diadakan perubahan variabel bebas, dengan cara mensubstitusi: cos  = x



(5-32)



Jika cos  = x maka: sin  = (1  x2)1/2 i



cot  = x / (1  x2)1/2



(5-33)



76 Akibat perubahan variabel ini, maka terjadi transformasi fungsi T yang semula fungsi  menjadi fungsi x. Kita misalkan fungsi baru sebagai akibat transformasi itu adalah G(x) Jadi: T = G(x)



(5-34)



sehingga, dengan aturan berantai yaitu: dT dG dx dG d cos  dG dG = =  sin  = (1  x2)1/2  . . d dx d dx d dx dx d 2T



Untuk mengevaluasi



d 2



kita gunakan operator aljabar:



d d = (1  x2)1/2 d dx d 2T d 2



Jadi:



d dG [(1  x2)1/2 ] dx dx



= (1  x2)1/2



= (1  x2)1/2



d dG [ (1  x2)1/2 ] dx dx



= (1  x2)1/2 {



d 2G d dG (1  x2)1/2 . + (1  x2)1/2 ] dx dx dx 2



= (1  x2)1/2 { (1/2) (1  x2)1/2 (2x).



d 2G dG + (1  x2)1/2 ] dx dx 2



= (1  x2)1/2 { (1/2) (1  x2)1/2 (2x).



dG d 2G + (1  x2)1/2 ] dx dx 2



dG d 2G + (1  x2)1/2 ] dx dx 2



= (1  x2)1/2 { x) (1  x2)1/2.



= x







d 2T d 2



d 2G dG + (1  x2) dx dx 2



= (1  x2)



(5-35)



d 2G dx 2



x



Jadi:



dG dx



(5-36)



Dengan menggunakan (5-32) s/d (5-36), maka (5-31) dapat ditulis: (1  x2)



d 2G dx 2



x



dG  c m2 +   dx   2 1  x 2 



dengan x adalah 1 < x < +1 (Mengapa ?)







 G=0 







(5-37)



77 atau:  c m2 (1  x2) G'' x G'+     2 1  x 2







 G=0 



(5-38)







Agar penyelesaiannya tidak rumit ketika kita melakukan penyelesaian dengan menggunakan metode deret penyelesaian, maka kita nyata G kedalam fungsi x yang lain yaitu H(x) dengan relasi:







G = 1 x2



 m / 2H



(5-39)







Dari (5-39) kita cari G' dan G'' untuk disubstitusikan ke (5-38) dan setelah dibagi dengan 1  x 2



 m / 2,



maka (5-38) menjadi: (1  x2 ) H''  2



m



 1 x H' + [ c  2  m



m



 1 H = 0



(5-40)



Sekarang akan kita selesaikan (5-40) dengan metode deret, yaitu dengan memisalkan: 



H=



 a jx j



(5-41)



j0



Turunannya adalah: 



H' =



 j . a j x j1



(5-42)



j0 







j 2



j0



 ( j  1) . j . a j x j 2 =  ( j  1) . j  2 . a j 2 x j



H'' =



(5-43)



Substitusi (5-41) s/d (5-43) ke dalam (5-40) menghasilkan:: 



2 ( j  1) . (j  2) . a 2  2   j j  2    j  j  2 m j  c/  m  m  a j  x = 0     j0







Karena x j pasti tidak nol maka koefisiennya yang nol jadi: 2 ( j  1) . (j  2) . a 2  2   j  2    j  j  2 m j  c/  m  m  a j  = 0    



dan diperoleh: a j 2 =



j  m



 j 



m  1  c/ 2



 j  2 j  1



a j



(5-44)



Sebagaimana dalam osilator harmonis, bentuk umum penyelesaian (5-40) adalah kombinasi linear dari fungsi berpangkat genap (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a0) dan fungsi berpangkat ganjil



78 (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a1). Kedua fungsi penyelesaian ini tampak merupakan fungsi berbentuk deret pangkat sampai tak terhingga, sehingga tidak merupakan well behaved eigenfunctions. Namun seperti halnya yang sudah kita kenal pada osilator harmonis, kita dapat membuat salah satu deret penyelesaian itu berhenti pada suku berpangkat tertentu, yaitu dengan membuat koefisien pada suku tersebut berharga nol. Jika kita misalkan deret penyelesaian berhenti pada suku berpangkat k, artinya jika kita mengganti j dengan k, maka koefisiennya suku itu, yang dapat dihitung dari (5-38) menjadi berharga nol, sehingga kita akan memperoleh: c =  2 k  m



 k 



m  1



(5-45)



dan karena k adalah j, sedang j berharga 0, 1, 2, . . . ., maka k juga berharga 0, 1, 2, . . . .. Selanjutnya karena m juga berharga 0, 1, 2, . . . . maka k  m yang untuk selanjutnya k  m







 juga berharga 0, 1, 2, 3 . . .



disebut bilangan kuantum azymuth atau bilangan kuantum angular



translasi dan diberi notasi  jadi:  = k  m







(5-46)



dan dengan demikian maka (5-45) menjadi: c =  2  (  +1)



(5-47) 2



Karena menurut (5-23), c adalah nilai eigen dari operator momentum  L , maka dapat disimpulkan bahwa harga skalar L2 adalah: L2 =  2  (  +1)



(5-48)



L =    1



(5-49)



atau:



Marilah kita amati lagi persamaan (5-46). Hal penting yang diperhatikan dari persamaan (5-45) itu adalah bahwa harga m tidak melebihi  , sebab jika m melebihi  maka k akan negatif. Padahal harus diingat bahwa k adalah j sedang j adalah pangkat x dari deret penyelesaian persamaan diferensial orde dua, dengan harga paling kecil nol. Karena j paling kecil nol, maka k paling kecil nol. Kalau k paling kecil nol, maka m paling besar =  atau kita biasa menulis: m



111



6. Tentukan < r > untuk 2p0 dari atom mirip hidrogen . 7. Tentukan < r2 > untuk 2p1 dari atom mirip hidrogen . 8. Tulislah fungsi radial 2s dan 2p untuk atom mirip hidrogen. Tulis pula fungsi gelombangnya. 9. Harga  untuk orbital d = 2. Berapakah harga  untuk orbital t ? Catatan :Nama orbital adalah s, p, d, f. Setelah itu alphabetik, dengan j tidak dipergunakan. 10. Untuk atom hidrogen dalam keadaan ground state, tentukan probabilitas mendapatkan elektron pada jarak lebih dari 2a ? 11. Tentukan, berapakah jari-jari ruang 1s atom hidrogen menggunakan batas probabilitas 90 % ? 12. (a) Tentukan < T > untuk atom hidrogen keadaan dasar. (b) Dengan < T > itu, tentukan kecepatan elektron. 13. Tentukan populasi ratio gas atom hidrogen antara n = 2 dan n = 1 pada suhu: (a) 25o C



(b) 1000 K



(c) 10 000 K



14. Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen 3,2,1 15. Fungsi gelombang atom hidrogen didefinisikan sebagai:  = A r2 er / 3a sin2 e2 i  a) tentukan A b) Tentukan n c) Tentukan  d) Tentukan L e) Tentukan Lz ===000=== BAB VII TEOREMA MEKANIKA KUANTUM 7.1 Pengantar Persamaan Schrodinger untuk atom yang hanya mepunyai satu elektron dapat kita selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron dengan elektron lain. Untuk itu kita butuhkan metode lain untuk menyelesaikan persamaan



112



Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita bicarakan pada Bab VIII dan Bab IX, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum. Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan. Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi yaitu fm dan fn biasanya ditulis:     * f A f m A n d = = = f A f f A f m n m n  m n











(7-1)



Notasi (7-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas juga sering ditulis: *  f m A f n d = Am



(7-2)



n



Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis: *



 fm Karena



 f



* m



m n



f n d = f m f n =  f m f n  = m n



f n d *



=f *



* m fn



(7-3)



d, maka:



= m n



(7-4)



dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (7-4) dapat ditulis : m m * = m m . Hal-hal lain yang perlu diingat adalah: 1)



*



 fm



f n d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. *



 fm



f n d = 0 jika fm  fn dan fungsinya disebut ortogonal



(7-5) (7-6)



Catatan: *



 fm



f n d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm  fn dan



berharga 1 jika fm = fn  2) Jika : A  = a  dengan a bilangan konstan, maka  disebut fungsi eigen sedang a disebut  nilai eigen atau: jika  adalah fungsi eigen terhadap operator A , maka berlaku hubungan:



113



 A  = a  dengan a adalah nilai eigen.



(7-7)



7.2 Operator Hermit Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator linear dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran fisik, misal operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-lain.  Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika A adalah operator linear yang mewakili besaran fisik A, maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:  A =   * A  d



(7-8)



dengan  adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real, maka: A = A



*



atau:







*



A  d=







*



  A  



d



(7-9)



Persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi  yang mewakili keadaan tertentu suatu sistem atau persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well behaved function). Operator linear yang memenuhi persamaan (7-9) itulah yang disebut operator Hermit. Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:  * * (7-10)  f Ag d =  g (A f ) d untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri  persamaan (7-10), operator A bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (7-10) akan tereduksi menjadi bentuk (7-9). Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu: Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.



114



 Teorema 2: Dua buah function 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit A dan baik 1  maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator A dengan nilai eigen yang berbeda,



maka 1



dan 2 adalah



ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut



mempunyai nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka selalu ada cara agar dijadikan ortogonal. Pembuktian Teorema I: Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema I yaitu bahwa operator yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (7-9) dan ada pernyataan eigen value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (7-7)  berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena A adalah operator hermit, maka menurut (7-9):







*



A  d =







*



  A 



d



atau: *   A  d =



* *  A  d 



(7-11)



Menurut (7-7) :  A = a  dengan a adalah nilai eigen untuk   A*  * = a*  dengan a* adalah nilai eigen untuk  sehingga (7-11) dapat ditulis: a







*



 d = a*



Menurut (7-5) nilai







*







*



 d



 d =







*



 d = 1, jadi:



a = a* Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real. Pembuktian Teorema II:  Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator A , maka berlaku:   (7-12) A 1 = a1 1 dan A 2 = a2 2



115



 Karena A adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (7-10) berlaku:  * * d =  A   A 1 d 1 2 2  











*



*



atau: *



 1 A2 d =  2 A 1



d



(7-13)



Substitusikan (7-12) ke dalam (7-13), menghasilkan: a2



*



 1 2



*



d = a1



*



 2 1 d



Menurut teorema I, harga a* = a, jadi: a2



*



 1 2



Menurut (7-4),



d = a1 *



 1 2



*



 2 1 d



d =



(7-14)



*



 2 1 d , jadi persamaan (7-14) boleh ditulis:



a2



 1 2



*



d = a1



 1 2



*



a2



 1 2



*



d  a1



 1 2



d



atau: *



d = 0



atau: (a2  a1 )



*



 1 2



d = 0



(7-15)



Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (7-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga: *



d = 0



*



d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.



 1 2 Karena



 1 2



(7-16)



Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama ? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang degenerate atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Dengan demikian,



116



maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak degenerate. Apakah Degenerate itu ? Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih memahami masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak yang telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:  = x y z dengan :  2 x =    Lx 



1/ 2



 2 2n  sin x x ; y =   Lx  Ly 



1/ 2



2 n y



 2 sin y dan y =   Ly  Ly 



1/ 2



sin



2 n y Ly



y



jadi:   8   Lx. Ly. Lz 



1/ 2



= 



sin



2n y  2n y  2nx y sin y x sin Ly Ly Lx



(7-17)



Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka nilai eigennya adalah energi yang besarnya: E = Ex + Ey + Ez dengan : 2 2



2 2 h ny h nx Ex = ; E y= 2 2 8mLy 8mLx



2 2



dan



h nz Ez = 2 8mLz



(7-18)



sehingga: 2 2  2 2 ny h  nx nz  E= + + 2 2 8m  L2 Ly Lz   x



Jika kotaknya kubus dengan rusuk L: E=



2 2 2  2 h  nx + ny + nz  2  8m  L  



(7-19)



117



Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (7-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 = 2   h  6 meskipun eigen function-nya 1-1-2  1-2-1  2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh 8m  L2   



kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 11-2;



1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang masih tak terhingga banyak kasus degenerate untuk fungsi



gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-1-1 dan masih banyak lagi. Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen yang degenerate itu dikombinasi linearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang baru. Contoh: Jika fungsi  adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam bentuk:  = c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1



(7-20)



Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka  pasti merupakan fungsi eigen yang nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya. Yang harus diingat adalah bahwa jika  adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1 sehingga dapat ditulis:  = c1 1-1-2 + c2 1-3-1



(7-21)



maka  bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama. Relasi (7-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (7-21) bukan degenerasi. Jika kepada kita ditanyakan berapa energi  pada (7-20) maka jawabnya adalah E = 2   h  6 . 8m  L2   



Ortogonalisasi



118



Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya sama maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah dapatkah kita membuatnya menjadi ortogonal ? Jawabnya adalah, dapat. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-fungsinya tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai operator  Hermit A dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:   Af = s f ; AG = s G Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut: Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G sehingga membentuk misalnya: g1 = f



g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.



dan



Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi syarat: *



 g1 g 2 d = 0



atau:



f



*



(G + c f ) d= 0



f



*



G d +



f



*



G d + c  f * f d = 0



cf



*



atau :



f d = 0



atau : atau :



Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus: *



c=



 f G d *  f f d



Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu: *



g1 = f



dan



g2 = G + c f dengan c = 



 f G d *  f f d



Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.



119



7.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi - fungsi eigen. Jika kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih singkat ~



kita tulis saja dengan bentuk  a n n , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah: 1 ~



F(x) =  a n n



(7-22)



1



dengan : an =  n* F( x ) dx



(7-23)



all x



Bagaimana mendapat (7-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut: Kedua ruas (7-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh: ~



m* F(x) =  a n m* n



(7-24)



1



Jika kedua ruas (7-24) diintegralkan maka diperoleh: ~



 m* F(x) dx =  a n m* n dx 1







(7-25)



Telah kita ketahui bahwa :



 m* n dx =  m n



(7-26)



sehingga (7-25) dapat ditulis: ~



 m* F(x) dx =



 an .  m n



(7-27)



1



Ruas kanan (7-27) adalah: ~



 a n .  m n = a1. 1



m



1



+ a2  m



2



+ ....a m  m



m



+ a m +1  m



(m+1)



+...



120



= a1.  + a2  + ....a m  + a m +1



.  +...



= am Sehingga (7-27) dapat ditulis:  m* F(x) dx = am



atau



am =  m* F(x) dx



(7-28)



Jika indek m pada (7-28) diganti n maka persamaan (7-23) yang dicari diperoleh yaitu: an =  n* F( x ) dx all x



Contoh: Diketahui:



F(x) = x



untuk



0 < x < a/2



F(x) = 1 x untuk



a/2 < x < a



Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang panjang kotaknya = a. Jawab: Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:  2  a



1/ 2



n =  



sin



n x a



(7-29)



Jadi bentuk ekspansinya menurut (7-22): ~



 2  a



1/ 2 ~



F(x) =  a n n =   1



 a n sin 1



n x a



(7-30)



Menurut (7-23) : an =  n* F( x ) dx all x



=







 2    a



1/ 2



sin



 2  a



1/ 2



 2  a



1/ 2 a / 2



= 



= 



n x F( x ) dx a n



 sin a x F(x) dx  0



x . sin



n  2 x dx +    a a



1/ 2



a



 a/2



(1  x ) . sin



n x dx a



121 3/ 2 2 a  n = 2 2 sin



(7-31)



2



n 



Jadi: a1 =



 2a 3/ 2 ; a = 0 ; a =   2a 3/ 2 ; a = 0 ; a =  2a 3/ 2 ; a = 0 2 3 4 5 6 2 2 2 2 2 



3 



dan



5 



seterusnya. Kita masukkan (7-31) ke dalam (7-30), maka:  2  a



1/ 2 ~



F(x) =    2  a



=



1



1/ 2



n x a



3' 2



1/ 2 



= 



 2 =   a



 a n sin   2a 2   



sin



 2a 3'2 



1







2



2



 1



 x a



sin



 2a3'2



3 sin x 2 2 a 3 



 2a 3'2



 5  sin x  . . . . 2 2  a 5  



  1 3 1 5 x  2 sin x  2 sin x  . . . . a a a  3 5



 4a  1  1 3 1 5  sin x  2 sin x  2 sin x  . . . . 2 2 a a a   1 3 5



Pengertian Complete Set Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk kombinasi linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan fungsi  disebut himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F, jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang merupakan himpunan lengkap saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F. Selanjutnya mengenai himpunan lengkap, dibuat definisi sebagai berikut: Himpunan fungsi  dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti ~



persamaan F(x) =  a n n dengan an adalah tetapan sembarang. 1



Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu bahwa



122



fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n,



l, m )



adalah fungsi r,,, namun jika



seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi



tersebut tidak dapat



diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa  hidrogen hanya berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu ketika elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom Hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita mengekspansi F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang berkorelasi dengan energi kontinum yang biasanya ditulis (E,



l, m).



Jika fungsi gelombang hidrogen sudah dinyatakan



secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspan, yaitu menjadi kombinasi linear fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum. Teorema 3:



 Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator A dan jika fungsi F   juga fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen k (jadi A F = k F) sedang F diekspansi dalam bentuk F =



 a i g i , maka gi yang a i nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga. i



Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai eigen yang sama dengan nilai eigen F. Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 7.2 dan 7.3 dapat dinyatakan bahwa Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal dan nilai eigennya adalah real.



7.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute



 Jika fungsi  secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator A dan  B dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B



menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika  merupakan fungsi   eigen baik terhadap A maupun B .



123



Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen terhadap   A dan B jika kedua operator tersebut commute atau:   Jika : (7-32) A  = ai  dan B  = bi    [ A,B] = 0 (7-33) Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan adalah:   [ A,B ] = 0 Kita tahu:       [ A,B] = A B  B A



(7-34)



Jika dioperasikan pada i :       [ A , B ]i = A B i  B A i     = A ( B i )  B ( A i )   = A bi   B ai i   = bi A   ai B i = bi ai   ai bi i   [ A , B ] = bi ai  ai bi = 0



(terbukti)



(7-35)



Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya   Teorema 4: Jika Operator linear A dan B mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama   maka A dan B adalah commute.     Perlu diingat A dan B yang dimaksud oleh teorema 4 hanya A dan B yang masing  masing merupakan operator linear. Jika A dan B bukan operator linear maka keduanya bisa tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai   contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator L x dan operator L y tetapi kedua operator tersebut non commute.   Teorema 5 : Jika operator Hermite A dan B adalah commute, maka kita dapat memilih himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:



124



 Anggap saja fungsi g i adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen a i maka kita dapat menulis:  (7-36) A gi = ai gi  Jika operator B dioperasikan pada kedua ruas (7-36) di atas, maka:    (7-37) B ( A gi ) = B (ai gi )    Karena A dan B commute dan karena B linear maka:    (7-38) A ( B g i ) = ai ( B g i )  Persamaan (7-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B g i adalah fungsi eigen terhadap operator  A dengan nilai eigen a i , persis sama dengan fungsi g i yang juga fungsi eigen terhadap operator  A dengan nilai eigen a i . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai eigen dari  operator A tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai eigen a i yang diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly independent. Jika ini  benar, maka kedua fungsi eigen g i dan B g i yang mempunyai nilai eigen sama yaitu a i harus linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,  (7-39) B gi = ki gi dengan k i adalah konstan. Persamaan (7-39) itu menyatakan bahwa fungsi g i merupakan  fungsi eigen dari operator B sebagaimana yang hendak kita buktikan.    Jadi, jika A dan B commute dan fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap A maka g i  juga merupakan fungsi eigen dari B (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)  Teorema 6: Jika g i dan g j adalah fungsi eigen dari operator Hermite A dengan nilai eigen    berbeda (misal A g i = a i g i dan A g j = a j g j dengan a i  a j ), dan jika B adalah  operator linear yang commute terhadap A , maka:   < g j  B g i > = 0 atau  g j B g i d = 0 (7-40) s r



dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:



125



   Karena A dan B commute, maka fungsi eigen terhadap A adalah juga fungsi eigen   terhadap B , meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap B , yang jika nilai eigennya dimisalkan ki maka:  B gi = ki gi



(7-41)



dengan demikian (7-40) boleh ditulis:



 g j k i g i d = sr



ki



gj



g i = k i . 0 = 0 (terbukti)



sr



7.5 Paritas Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik, contohnya adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis, kita mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan dengan operator paritas.  Operator paritas,  dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang fungsi. Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh mendefinisikan:   f ( x, y, z ) = f (x, y, z)  Contohnya:  ( x2  2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 } = x2 + 2 x e2y  3z3 Jika seandainya g i adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen a i maka kita dapat menulis:   gi = a i gi



(7-42)



Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:      2 f ( x, y, z ) =   f ( x, y, z ) =  f (x, y, z) = f ( x, y, z )



 Karena f nya fungsi sembarang maka  2 adalah operator satuan (unit Operator), jadi:   (7-43) 2 = 1



126



 Sekarang, bagaimana jika kita gunakan  2 untuk (7-42) ? Hasilnya adalah:       2 g i =   g i =  a i g i = a i  g i = a i2 g i (7-44)  Karena  adalah unit operator, maka (7-44) menjadi:







g i = a i2 g i



(7-45)



ai = + 1



(7-46)



atau:   Karena ai adalah nilai eigen untuk  2 , maka nilai eigen untuk  2 adalah 1 dan 1. Perlu



dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan operator satuan.



Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (7-42)   gi = a i gi Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:   gi = + 1 gi



(7-47)



Jika gi adalah g(x, y, z), maka:   g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z )



(7-48)



atau



g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z )



(7-49)



Jika nilai eigennya +1, maka: g (x, y, z) = g(x, y, z )



(7-50)



jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka: g



(  x ,  y,  z )



= g ( x ,



y, z )



jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: fungsi eigen dari operator paritas adalah semua fungsi well behaved yang mungkin baik genap maupun ganjil.



(7-51)



127



Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ? Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi yang eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil saja  himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator H . Kemudian, jika operator paritas dan Hamilton commute, kita boleh menulis:   [ , H ] = 0



(7-52)



dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,       2 2 2 2  V ),  ] = [ [ H ,  ] = [ ( ,  ] + [ V,  ] 2m x 2



= 



Harga [



2 x 2



[



2 x 2



2m x 2



 2 2 [ ,  ] + [ V,  ]  2m x 2



(7-53)



 ,  ] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:   2 2  ,  ] F(x) = F(x)  F(x)   x 2



=



=



2 x 2 2 x 2



x 2



F(x) 



F(x) 



  F(x)   x    x 



2 x 2



F(x) = 0



Dengan demikian (7-53) dapat ditulis:    [ H ,  ] = [ V,  ]



(7-54)



Sekarang kita evaluasi ruas kanan (7-54):    [ V(x),  ] F(x) = V(x)  F(x)   V(x)F(x) = V(x) F(x)  V(x)F(x)



(7-55)



Nilai (7-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi genap, maka V(x) = V(x), maka (7-55) menjadi:  [ V(x),  ] = 0 sehingga (7-54) menjadi:



128



  [H, ]= 0



(7-56)



Ini berarti:   Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka H dan  adalah commute, sehingga kita dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap maupun ganjil sebagai fungsi eigen dari kedua operator tersebut. Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton dan paritas itu disebut fungsi definit paritas.  Jika semua energi levelnya adalah non degenerate ( umumnya memang benar untuk sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang berhubungan dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus non degenerate, maka fungsi gelombang stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit paritas. Sebagai contoh fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi energi potensialnya ½ kx2 (fungsi energi potensial genap). Jika energi level degenerate, itu berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen yang memiliki energi nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita mempunyai banyak sekali pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu. 7.6 Pengukuran Dan Keadaan Superposisi Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi (x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x + dx dinyatakan oleh (x,t)2 dx Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran A. Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan  untuk menghitung probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas informasi apa saja yang dikandung oleh  yang merupakan jantungnya mekanika kuantum. Subyek pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari koordinat 3n. Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang merupakan kemungkinan hasil pengukuran besaran A. 



129



Dengan menggunakan g i sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis: Â gi( q) = ai gi( q)



(7-57)



Telah kita postulatkan pada sub bab 7.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena g i adalah himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi  dalam suatu deret yang suku-sukunya adalah g i jadi: (q,t) =  ci g i ( q )



(7-58a)



i



Agar dapat menggambarkan bahwa  adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus merupakan fungsi waktu sehingga (7-58a) lebih baik ditulis: (q,t) =  ci (t ) g i ( q )



(7-58b)



i



Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:



∫*  d = 1



(7-59)



Substitusi (7-58a) ke dalam (7-59) menghasilkan: * * * *   ci (t ) g i  ci (t ) g i d =   ci (t ) g i  c j (t ) g j d = 1 i



i



i



(7-60)



j



Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:



  c*j (t )ci (t )  g *jg i(q ) d = 1



(7-61)



j i



Jika i = j, maka:



  c*i( t ) c i( t ) = 1



atau:



i i 2  ci = 1



(7-62)



i



Kita akan menguji signifikansi (7-62) secara singkat: Ingat bahwa jika  fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah: < A > = ∫ *   d Dengan menggunakan (7-58), maka: < A > =    c *j (t ) g *j  c i( t ) g i(q ) d = j i







  c*j( t ) c i( t )  g *j A g i d j i



130



atau: =



  c*j( t ) c i( t )  g *j ai



g i d   c*j( t ) c i( t ) a i  g *j g i d



j i



=



j i



2  ci a i



(7-63)



i



Bagaimana menginterpretasi (7-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran terhadap besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran terhadap besaran A, kita akan memperoleh salah satu harga a i . Kemudian marilah kita ingat kembali teori mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n buah data X dengan rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X adalah : n X  n 2 X 2 ...........n i X i . n n n = 1 1 = 1 X1 + 2 X 2 ..... i X i n n n n



= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi =



Jadi:



 Pi X i



(7-64)



i



Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka rata-rata A adalah: =



 Pi a i



(7-65)



i



dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya ada sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (non degenerate) maka banyaknya eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan (7-65) terhadap (7-63) maka dapat dipastikan bahwa 2



c i  = Pi



(7-66)



yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.



Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan g i adalah fungsi eigen ternormalisasi (  g i = a i g i ) maka, manakala besaran A diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan pengukuran



131



adalah , probabilitas mendapatkan hasil a i adalah c i 2, dengan ci adalah koefisien g i pada ekspansi  = i c i g i . Jika nilai eigen a i degenerate, probabilitas mendapatkan a i pada saat A diukur adalah jumlah dari c i 2 fungsi-fungsi eigen yang nilai eigennya a i . Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat ?. Kita dapat melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi  = i c i g i adalah nol kecuali satu koefisien saja yaitu misalnya c k . Untuk kasus ini maka (7-66) menjadi c k 2 = Pk = 1. Artinya peluang untuk mendapatkan nilai eigen seharga a k = 1, artinya, nilai eigennya pasti a k . Kemudian, untuk selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret  = i c i g i sebagai ekspresi bentuk umum fungsi  yang merupakan superposisi dari fungsi eigen g i dari operator Â. Masing-masing fungsi eigen g i berhubungan dengan nilai eigen a i milik besaran A. Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita dapat menghitung ci 2 ? Caranya kita kalikan  = i c i g i dengan g * j kemudian integralkan ke seluruh ruang, sehingga diperoleh: ∫ g *j  d = ∫g *j i c i g i d = i c i ∫g *j g i .d c i i ∫g *j g i d Jika ortonormal: ∫g *j  d = c i atau: c i = ∫ . g *j d g *j 



(7-67)



Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai eigen non degenerate a i pada pengukuran A adalah [lihat (7-66)]: 2











Pi = c i  = ∫. g *j d  g *j



(7-68)



Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi  maka kita dapat menggunakan (7-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran besaran A. Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen a j dari



132  operator  adalah  2 dan n >  +1. Selanjutnya misal pada pengukuran kedua diperoleh Lz =   . Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari fungsi gelombang hidrogen yang m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n,  ,1) dengan  > 1 dan n >  +1. Jadi tampak adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak akibat adalah pengulangan pengukuran. Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial. Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi  pada saat terjadi pengukuran sungguh sesuatu yang sangat-sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat reduksi  merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain menyatakan bahwa reduksi  merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para ahli saling berbeda pendapat mengenai reduksi  ini (L.E Balentine, 2004). Balentine mendukung interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal terhadap sekelompok sistem (dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka silang pendapat mengenai reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.



136



"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika kuantum yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang belum ada penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum... dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam meng-interpretasi mekanika kuantum secara global " (M. Jammer, 2003) Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung, termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub mekanika kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu di udara. Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan geraknya tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula, gerak elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang dikembangkan oleh Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan menyatakan bahwa hukum mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas fisik. Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum. Dalam teori lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa eksperimen sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan mekanika kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal. Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut obyektivitas) adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya



137



adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang lokalitas adalah keinstan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh terhadap yang lain ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya. Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D. Greenberger, 2004). Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.  7.9 Matrik dan Mekanika Kuantum Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa teori mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan hubungannya dengan mekanika kuantum. Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan untuk elemen baris i kolom j, maka:  a 11 a12 ..... a 1n   a 2n  A =  a 21 a 22 ..... .....  ..... ..... ..... .....  a mv   a m1 a m 2



A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang jika sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik kolom.



138



Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta elemen-elemen yang seletak nilainya sama. Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama. Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau: Jika C = A + B maka cij = aij + bij



(7-73)



Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi: C = kA



maka cij = kaij



(7-74)



Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m xp Sebagai contoh: A =  01 34 1 1/ 2   



 1 0 5 8  3 



B=  2



 2 6 10 



Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu: 1    1 16 25  2   C=    0 23 34     



Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi. Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama, nilai elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut matrik satuan. Contoh matrik satuan orde 3: 1 0 0 0 1 0 0 0 1  



Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum



139



Pada sub bab 7.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis < fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:  A11 A12 .....    A =  A 21 A 22 .....  .....  . . . . . ..... .....   . . . . . ..... 



maka elemen-elemen: A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1*Âf2> A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2*Â f 2>



dan seterusnya



Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis {f i }. Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka matrik order A adalah tak terhingga.   Jika C =  + G maka integral sebagai elemen matrik C adalah:    Cij = < fi* C  f j> = < fi* + G  fj> = ∫ fi* (Â+ G ) fj d   ∫ fi*  fj d∫ fi* G fj dij + Gij



(7-75)



Jadi:



  Jika C = Â + G



maka Cij = Aij + Gij



(7-76)



Dengan menggunakan logika dari (7-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan matrik C = A + B, sehingga:   Jika C = Â + G maka C = A + G



(7-77)   dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear C ,  dan G . Hal yang sama, yaitu :  jika C = k maka Cij = k Aij (7-78)   Selanjutnya jika:  = C G maka:   Aij = ∫ fi*  fj d∫ fi* C G fj d (7-79)  Fungsi G fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut persamaan :



140



  dengan ck = ∫ fk G fj d jadi: G fj = k ck fk    G fj = k∫ fk G fj d. fk = k fk G  fj> fk = k Gkj fk



(7-80)



dan Aij menjadi: `



    Aij =∫ fi* C G fj d∫ fi* C k Gkj fk dk ∫ fi* C fk d Gkj = k Cij Gij



(7-81)



  Jika  = C G maka Aij = k Cij Gij



(7-82)



Jadi:



Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:   Jika  = C G maka A = C. G



(7-83)



Selanjutnya kombinasi (7-79) dengan (7-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat bermanfaat, yaitu:



  k Cij Gij = ∫ fi* C G fj datau:     k < fi* C  fj> < fi* G  fj> = < fi* C G  fj>



(7-84)



Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh: Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi*  fj d Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka: Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi* fj d aj < fi* fj>



(7-85)



Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal operator Â



7. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?  Operator posisi ditulis x yang operasinya adalah x kali atau  x = x.



141



Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:  x g(x) = a g(x) atau: x g(x) = a g(x)



atau



(7-86)



(x  a) g(x) = 0



(7-87)



Dari (7-87) dapat disimpulkan bahwa : untuk x = a  g(x)  0



(7-88)



untuk x  a  g(x) = 0



(7-89)



Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa seandainya fungsi state  = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka kemungkinan hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol untuk x  a agar memenuhi (7-89). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 7-1) H(x)



1 1/  2



x



Gambar 7.1: Fungsi Heaviside step Dari gambar itu tampak bahwa: H(x) = 1



untuk x > 0



H(x) = ½



untuk x = 0



H(x) = 0



untuk x < 0



(7-90)



Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi Heaviside step. (x) = d H(x) / dx Dari (7-90) dan (7-91) diperoleh:



(7-91)



142



(x) = 0



untuk x  0



(7-92)



Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga, jadi: (x) = ~



untuk x = 0



(7-93)



Sekarang kita perhatikan (7-90). Jika x diganti x a, maka (7-90) akan menjadi lebih umum, yaitu dalam bentuk: H(x  a) = 1



untuk (x – a) > 0



H(x  a) = ½



untuk (x - a) = 0



H(x  a) = 0



untuk (x – a )< 0



H(x  a) = 1



untuk x > a



H(x  a) = ½



untuk x = a



H(x  a) = 0



untuk x < a



(7-94)



atau:



(7-95)



Dengan demikian maka: (xa) = 0



untuk x  a ;



(xa) = ~



untuk x = a



(7-96)



Sekarang perhatikan integral berikut:



~  f(x) (x-a) dx ~ Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV  ∫V dU dengan U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (7-91), maka V = H(xa) Jadi:



~ ~ ~ f H  f  dx =  (x) (x-a)   H(xa) f '(x) dx  ( x ) (x - a)   ~ ~ ~ ~ ~  f(x) (x-a) dx = f (~)   H(xa) f '(x) dx ~ ~



(7-97)



Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (7-97) menjadi:



~ ~ f  dx = f (~)  (x) (x-a)   H(xa) f '(x) dx ~ a



(7-97)



143



Suku



~ 



H(xa) f '(x) dx pada (7-97) adalah ∫V dU jadi (7-97) menjadi:



a



~  f(x) (x-a) dx = f(a) ~



(7-98)



Jika kita bandingkan (7-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau sigma. Jadi dapat dipastikan: 



~  (x-a) dx = 1 ~



(7-99)



Sifat (7-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (7-88) dan (7-89), dari fungsi eigen posisi g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi adalah: g(x) = (x-a)



(7-100)



 



144



Soal-soal Bab 7 1. Apakah sama dengan ? 2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan = * ?  3. Diketahui operator  dan G adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real. a) buktikan bahwa c adalah Hermitian b) Buktikan



 bahwa Â+ G adalah Hermitian 4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2 adalah operator Hermitian. 5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum? a) ( )1/2



b) d/dx



c) d2/dx2



d) i(d/dx)



6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:   a) < 2 Âb) < 3 G c) < 3 C    Â adalah operator Lz, G adalah operator momentum angular L2 dan C adalah operator Hamilton. 7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan: a) ekspansi F(x) = n an n b) E1, E2 dan E3



145



c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3   8. Jika  adalah operator paritas, tentukan  N jika n bilangan ganjil positif ? Bagaimana pula  jika n genap positif ? (Note: Terapkan  pada sembarang f(x, y, z)  9. Diketahui  adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator harmonik ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik  ij adalah:    ij =  ψ *i  ψ i d 



buktikan bahwa elemen matrik  ij = 0 untuk i  j dan  ij = + 1 10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â. 11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas adalah hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)   12. Karena operator  adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap  yang mempunyai nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan ! 13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen  6 . Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan probabilitasnya masing-masing. 14. Tentukan: a) 



~  (x) dx ~



1



b)



 ~



1



(x) dx



c)



 (x) dx 1



15. ) Tentukan: a)



~  f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 ~



b)



0



16. Untuk matrik: 2  A=  0 



Tentukan:



1   3  



1  B=  4 



~  f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5



 1   4  



146



a) AB



b) BA



c) A + B



d) 3A



e) A + 4B ===000===







bab viii METODE VARIASI 8.1 Teorema Variasi Problem sentral kimia kuantum sebenarnya adalah menentukan energi suatu sistem yang pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan persamaan Schrodinger. Untuk sistem sederhana seperti partikel dalam box, gerak harmonis satu dimensi atau sistem atom hidrogen penyelesaian persamaan Schrodinger telah pernah kita lakukan dan tidak membutuhkan kalkulasi yang terlalu rumit. Namun untuk sistem yang terdiri atas banyak partikel seperti pada atom berelektron banyak atau pada molekul penyelesaian persamaan Schrodinger untuk sistem tersebut tidak sederhana atau bahkan merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk itu pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode aproksimasi (pendekatan) yaitu metode variasi. Metode variasi ini didasari oleh teorema sebagai berikut:  Telah kita ketahui bahwa jika operator Hamilton H adalah operator penentu energi terendah E1 maka untuk sistem yang fungsi gelombangnya , berlaku: *    H  d  E1 dan untuk sembarang fungsi gelombang ternormalisasi  yang berkelakuan baik dan kondisi boundarynya sesuai dengan kondisi boundary  maka berlakulah: *   ternormalisasi   H  d  E1



(8-1)



dengan  adalah fungsi gelombang partikel yang susungguhnya sedang  adalah fungsi gelombang aproksimasi atau fungsi variasi. ===================================================== Pembuktian teorema (8-1): Untuk membuktikan teorema tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini. Telah kita ketahui bahwa suatu fungsi dapat diekspansi menjadi suatu kombinasi linear yang suku-



147



sukunya merupakan fungsi eigen. Untuk ini kita misalkan  diekspansi ke dalam fungsi eigen



k sehingga: =



 ak k



(8-2)



k



dan karena adalah fungsi eigen maka padanya berlaku:  H k  E k  k  



(8-3)



Substitusi (8-2) ke dalam ruas kiri (8-1) membuat ruas kiri ini menjadi: *  * *    H  d    a k  k H  a j  j d k



j



Dengan menggunakan persamaan eigen (8-3), maka ruas kiri (8-1) menjadi:: *  * *   H d    a k  k  a j E j  j d k



j



karena aj ; ak dan Ek adalah bukan fungsi, maka mereka dapat dikeluarkan dari tanda integral, sehingga: 



* * *   H d    a k a j E j   k  j d = k j



  a*k a jE j  kj k



j



Perlu diingat bahwa  kj berharga 1, jika k = j dan 0 jika k  j sehingga ruas kiri (8-1) menjadi: 







* * * *   H d   a k a k E k ( kita juga boleh menyatakan:   H d   a j a jE j k



karena a *k a k  a k



2



j



maka:







2 *   H d   a k E k



(8-4)



k



Mengingat E1 adalah tingkat energi terendah, maka Ek pasta > E1 sehingga: 2 2 *    H d   a k E k >  a k E1 atau: k



k







2 *   H d > E1  a k



(8-5)



k



Karena  adalah ternormalisasi maka dalam kondisi normalisasi ini maka:







*



 d  1 , dan jika ekspansi (8-2) dimasukkan ke



148



1=



Jika



 ak



 2



*



 d 



*



  a*k a j   k j d =   a*k a j  kj =  ak k



k



j



j



2



(8-6)



k



= 1, dimasukkan pada (8-5) maka diperoleh:



k







^



*  H  d > E1



 ternormalisasi



(8-7)



Dengan demikian (8-1) terbukti. ========================================================



Teorema dengan pernyataan seperti pada persamaan (8-1) adalah jika  ternormalisasi. Bagaimana jika  tidak ternormalisasi ?. Fungsi  yang tak ternormalisasi akan menjadi ternormalisasi, jika dikalikan dengan suatu bilangan yaitu A yang disebut faktor normalisasi, sehingga (8-1) menjadi:  A 2  * H d  E1



(8-8)



Harga A dapat dihitung dari sifat fungsi ternormalisasi yaitu : A2  * d  1 jadi (8-2) dapat ditulis:







*   H d  E 1 *    d



(8-9)



Keberhasilan penggunaan metode variasi ini ditentukan oleh kemampuan memformulasi  berdasarkan data boundary condition. Fungsi  disebut fungsi variasi dan integral (8-1) atau integral (8-9) disebut integral variasional. Untuk dapat memperoleh aproksimasi yang bagus terhadap energi ground state E1 kita harus mencoba beberapa fungsi variasi yang memberikan hasil terendah tetapi tidak lebih rendah dari E1 yang sesungguhnya (yaitu E1 yang diperoleh melalui eksperimen). Salah satu cara untuk mengetahui bahwa fungsi variasi yang kita pergunakan adalah salah, adalah jika fungsi variasi itu menghasilkan integral variasional yang lebih rendah dari E1, manakala harga E1 sesungguhnya dari sistem itu telah diketahui.



149



Marilah kita ambil 1 sebagai fungsi gelombang ground state yang sesungguhnya. Dengan demikian:  H 1  E1 1



(8-10)



Jika secara kebetulan, kita dapat membuat fungsi variasi yang sama dengan 1, maka dengan menggunakan (8-10) ke dalam (8-1) kita akan melihat bahwa integral variasional tepat sama dengan E1. Jadi fungsi gelombang ground state menghasilkan integral variasional terendah untuk suatu sistem. Dalam praktek, orang sering memasukkan beberapa parameter ke dalam fungsi variasi dalam rangka memperoleh integral variasional yang semakin mendekati energi ground state yang sesungguhnya.



Contoh: Turunkan fungsi variasi  jika fungsi eksaknya merupakan fungsi partikel dalam kotak satu dimensi yang panjangnya l, dengan kondisi batas berharga 0 jika x = 0 dan x = l . Aproksimasilah E1. Jawab: Fungsi  harus mempunyai sifat-sifat tersebut. Bentuk paling sederhana untuk  yang memenuhi sifat-sifat tersebut adalah: =x(lx)



untuk



0 E1



(8-13



8.2 Fungsi Variasi Linear (Metode LCAO : Linear Combination Atomic Orbital) Salah satu jenis fungsi variasi yang banyak aplikasinya dalam studi mengenai atom dan molekul adalah fungsi variasi linear. Fungsi variasi linear adalah kombinasi linear dari fungsifungsi f1 , f2 . . . . . fn yang saling independent : n



 = c1 f1 + c2 f2 + . . . . . . cn fn =



 a jf j



(8-14)



j1



dengan  adalah fungsi variasi dan koefisien cj adalah parameter yang akan ditentukan. Fungsi fj harus memenuhi kondisi boundary sistem. Kita akan membuat batasan sendiri yaitu bahwa  adalah fungsi real, sehingga cj dan fj semuanya juga harus real. Sekarang kita akan gunakan teorema variasi persamaan (8-9). Harga: n



n



n



j 1



k 1



n



* * *    d =   c j f j  c k f k d =   c j c k  f j f k d



Supaya praktis integral overlap *    d =



n



*



 f j f k d



ditulis Sjk sehingga:



n



  c j c k S jk



(8-16)



j1 k 1



Perlu diingat bahwa untuk fungsi real berarti Sjk =  f j f k d . Selanjutnya pembilang (8-9) menjadi: 



(8-15)



j 1k 1



n



 n



*   H d =   c j f j H  c k f k d =



j 1



k 1



n



n







  c j c k  f j Hf k d j1 k 1



 Selanjutnya agar praktis  f j Hf k d ditulis Hjk sehingga:



151 *    H d =



n



n



  c j c k Hjk



(8-17)



j1 k 1



Jika ruas kiri persamaan (8-9) kita sebut W (jadi W > 1) maka: n



*    H d



W=



*



n



  c j c k H jk j k n n



=



   d



  c j c k S jk j



n



W



n



  c j c k S jk j



(8-18)



=



k



k



n



n



j



k



  c j c k H jk



(8-19)



Selanjutnya W disebut integral variasional yang pada dasarnya adalah fungsi n buah variabel bebas c1 , c2 , . . . . . . cn jadi: W = W( c1 , c2 , . . . . cn ) Sekarang kita harus meminimalkan W agar W sedekat mungkin dengan E1. Kondisi yang dibutuhkan untuk memperoleh W minimal terhadap variabel tertentu adalah turunan parsial pertamanya terhadap variabel tertentu tersebut harus nol.



W =0 ci



c = 1, 2, 3 . . . . . . . . n



(8-20)



Selanjutnya (8-19) didiferensialparsialkan terhadap ci untuk mendapatkan n buah persamaan: n



n



 j



c j c k S jk .



k



 W +W. c i ci



n



n



 j



c j c k S jk =



k



 c i



n



n



j



k



  c j c k H jk



i = 1, 2, 3 . . . . n



(8-21)



Suku pertama ruas kiri (8-21) hilang karena ∂W/∂ci = 0, jadi: W.



 ci



n



n



  c j c k S jk j



=



k



 ci



n



n



  c j c k H jk j



i = 1, 2, 3 . . . . n



k



Karena ci adalah variabel-variabel bebas satu terhadap yang lain maka: c j c j   0 jika i  j sehingga kalau begitu = ij  ci  = 1 jika i = j ci



Selanjutnya marilah kita evaluasi



 c i



n



n



j



k



  c j c k S jk .



(8-22)



152



 ci



n



 j



n n



n



c j c k S jk =



 c j ck S jk j k ci







k



n n



c j



=   ck S jk



ci



j k n



=



n



 j



n n



+   c j S jk



ck S jk ij +



j k n



n



j



k



ck ci



  c jS jk ik



k



(8-23)



Jika suku pertama ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ij = 1 sedang untuk harga i yang lain ij = 0 sehingga: n



n



n



j



k



k



  ckS jk ij =  c k S ik (8-24) Analog dengan itu jika suku kedua ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ik = 1 sedang untuk harga i yang lain ik = 0 sehingga: n



n



 j



n



c jS jk ik =



k



 c jS ji



(8-25)



j



Dengan memasukkan (8-24) dan (8-25) ke dalam (8-23) maka (8-23) menjadi:  ci



n j



n



n



  c j c k S jk



=



n



+



k



k







 c jS ji



(8-26)



j



n



n



Pada hakekatnya



 c k S ik



c k S ik =



 c jS ji



k



karena baik j maupun k mulai 1 sampai dengan n.



j



Dengan demikian maka (8-26) dapat ditulis:



 ci



n



n



 j



n



c j c k S jk = 2



 c k S ik



(8-27)



k



k



Jika Sjk diganti Hjk maka:  c i



n



 j



n



n



k



c j c k H jk = 2



 c k H ik k



Substitusi (8-27) dan (8-28) ke dalam (8-22) menghasilkan:



(8-28)



153 n



2W







n



c k S ik = 2



k



 c k H ik k



atau: n



n



 c k H ik  W  c k S ik k



=0



k



atau: n



 (H ik  Sik W) ck = 0



(8-29)



k



Persamaan (8-29) tersebut adalah himpunan yang terdiri atas n buah persamaan simultan, linear, homogen dinyatakan dalam n buah variabel tak diketahui yaitu c1 , c2 . . . . . cn. Untuk n = 2, persamaan (8-29) adalah: (H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 = 0 (H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 = 0 Secara umum, untuk n fungsi, persamaan (8-29) menjadi: (H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 . . . . . .+ (H1n – S1nW)cn = 0 (H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 . . . . . + (H2n – S2nW)cn = 0



(8-30)



............................................... (Hn1 – Sn1W)c1 + (Hn2 – Sn2W)c2 . . . . . + (Hnn – SnnW)cn = 0 Penyelesaian (8-30) harus non trivial, artinya c1 sampai dengan cn ≠ 0, untuk itu determinan koefisiennya harus nol, jadi det.(Hij  SijW) = 0 atau: H11  S11 W H 21  S 21 W .................... H n1  S n1 W



H12  S12 W H 21  S 21 W .................... H n1  S n1 W



................... ................... .................... ...................



H1n  S1n W H 2n  S 2 n W ....................



. =0



(8-31)



H nn  S nn W



Untuk n = 2, maka (8-31) menjadi:



H11  S11W H12  S12 W 0 H 21  S 21W H 22  S 22 W



(8-32)



154



Penyelesaian determinan (8-31) akan menghasilkan sebuah persamaan aljabar berderajat n dalam W yang tidak diketahui. Persamaan itu mempunyai n akar yaitu W1 sampai Wn yang jika ditata mulai yang nilainya terendah, urutannya adalah: W1 < W2 < W3 =  x(a – x)   [x(a – x)] dx =



 2m  dx 2  



0 a



S11 = < f1f1 > =



[x(a – x)]2 dx =



 0



6m



a5 30



analog dengan itu kita peroleh: a



H12 = H21 =







 2  d2  x(a – x)   [x2(a – x)2] dx =  2 a5/30m  2m  dx 2  



0







H22 =  2 a7/105m ; H33 =  2 a5/40m ; H34 = H43 =  2 a7/280m S12 = S21 = a7/140



; S22 = a9/630



; S33 = a7/840



; S44 = a11/27720



S34 = S43 = a9/5040 Selanjutnya (8-41) menjadi:  2a 3 a 5  W 6m 30  2a 5 a 7  W 30m 140



 2a 5 a 7  W 30m 140  2a 7 a 9  W 105m 630



=0



(8-43)



Baris pertama dikalikan dengan 420m/a3 , baris kedua dikalikan dengan 1260m/a5 , maka (8-43) menjadi:



157



70 2  14 m a 2 W 42 2  9 m a 2 W



14 2a 2  3m a 4 W 12 2a 2  2m a 4 W



=0



(8-44)



Jadi: m2a4 W2  56 ma2  2 W + 252  4 = 0 sehingga (8-41) menghasilkan 2 harga W yaitu: W = 0,1250018  2 /ma2



dan



1,293495  2 /ma2



Dengan cara yang sama, (8-42) juga menghasilkan 2 macam harga W yaitu: W = 0,5002930  2 /ma2



dan W = 2,5393425  2 /ma2



Jika memperhatikan urutan harga W yang diperoleh, maka (8-41) menghasilkan W1 dan W3 jadi (8-41) pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 1 dan 3, sementara itu juga dapat kita lihat bahwa (8-41) berhubungan dengan f1 dan f2, jadi 1 dan 3 pasti merupakan kombinasi linear dari f1 dan f2 dan kita boleh menyatakannya dengan: 1 = c11 f1 + c 21 f 2



3 = c13 f 1 + c 23 f 2



(8-45)



Sementara itu, harga W yang diperoleh dari (8-42) adalah urutan ke 2 dan ke empat jadi (8-42) menghasilkan W2 dan W4 yang pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 2 dan 4. Tampak pula bahwa (8-42) berhubungan dengan f3 dan f4, jadi 2 dan 4 pasti merupakan kombinasi linear dari f3 dan f4 dan kita boleh menyatakannya dengan: 2 = c 32  f 3 + c 42  f 4



4 = c 34  f3 + c 44  f 4



(8-46)



Catatan: 1) indek koefisien c menunjukkan fungsi f yang bersangkutan sedang superscripnya menunjukkan energi W nya. 2) fungsi 1 adalah fungsi variasi yang berenergi W1 dan seterusnya. Selanjutnya kita akan mengaproksimasi harga koefisien c dalam rangka menentukan fungsi variasi. Persamaan sekular (8-41) yang berkorelasi dengan f1 dan f2 berasal dari kombinasi persamaan:



H11  S11W c1  H12  S12 W c2  0 H 21  S21W c1  H22  S22 W c2  0



(8-47)



Karena (8-47) berasal dari (8-41) maka harga W yang berhubungan adalah W1 dan W3 .



158



Untuk W = W1 maka: (8-47) menjadi:



H11  S11W1 c11  H12  S12W1 c21  0 H 21  S21W1 c11  H 22  S22W1 c21  0



(8-48)



Untuk W = W3 maka: (8-47) menjadi:



H11  S11W3 c13  H12  S12W3 c23  0 H 21  S21W3 c13  H 22  S22W3 c23  0



(8-49)











Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c11 , c 21 dapat diperoleh dari (8-48) dan dari (8-49) kita dapat memperoleh harga c13 dan c 23 sehingga 1 = c11 f1 + c 21 f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan) 



3 = c13 f1 + c 23 f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)



Harga c untuk 2 dan 4 diperoleh dengan cara yang sama tetapi bertolak dari (8-42). Persamaan sekular (8-42) yang berkorelasi dengan f3 dan f4 berasal dari kombinasi persamaan:



H33  S33W c3  H34  S34W c4  0 H 42  S43W c3  H44  S44W c4  0



(8-50)



Karena (8-50) berasal dari (8-42) maka harga W yang berhubungan adalah W2 dan W4 . Untuk W = W2 maka: (8-50) menjadi:



H33  S33W2 c32  H34  S34W2 c42  0 H 42  S43W2 c32  H44  S44W2 c42  0



(8-51)



Untuk W = W4 maka: (8-50) menjadi:



H33  S33W4 c34  H34  S34W4 c44  0 H 42  S43W 4c34  H 44  S44W4 c44  0



(8-52)



Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c 32  , c 42  dapat diperoleh dari (8-51) dan dari (8-52) kita dapat memperoleh harga c 34  dan c 34  sehingga 2 = c 32  f3 + c 42  f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)



159



3 = c 34  f4 + c 34  f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)



8.3 Matrik, Nilai Eigen dan Vektor Eigen Matrik diperkenalkan oleh ahli hukum dan matematisi Arthur Cayley untuk mencari jalan pintas dalam menangani kombinasi fungsi linear dan transformasi linear dari sebuah himpunan variabel menjadi himpunan yang lain. Anggap saja kita mempunyai n buah persamaan linear dengan n buah variabel, yaitu: a11x1 + a12x2 . . . . . . . . . . a1nxn = b1 a21x1 + a22x2 . . . . . . . . . . a2nxn = b2 a31x1 + a32x2 . . . . . . . . . . a3nxn = b3



(8-53)



........................... an1x1 + an2x2 . . . . . . . . . . annxn = bn Dalam bahasa matrik himpunan (8-53) tersebut dapat ditulis:  a 11 a  21  a 31  ....... a  n1



a 12 a 22 a 32 ....... a n2



....... ....... ....... ....... .......



a 1n   x 1   b1  a 2n   x 2   b 2  a 3n   x 3    b 3  .......   .......   .......  a nn   x n   b n 



A x= b



(8-54)



(8-55)



dengan A adalah matrik koefisien sedang x dan b adalah matrik kolom. Kesamaan antara (8-53) dan (8-54) dapat dengan mudah dibuktikan melalui perkalian matrik A dengan x. Matrik A merupakan matrik bujur sangkar, sehingga determinannya dapat ditentukan, Jika det.A  0 maka A disebut nonsingular. Jika A1 adalah invers dari A, maka antara keduanya berlaku hubungan: AA1 = A1A = 1



(8-56)



Jika matrik A nonsingular, maka seandainya (8-55) dikalikan dengan A1 diperoleh A1 (Ax) = A1b. Karena perkalian matrik bersifat asosiatif, maka A1 (Ax) = (A1A) x = x sehingga: x = A1b Persamaan (8-57) merupakan solusi dari himpunan (8-53)



(8-57)



160



Metode variasi linear merupakan metode yang hampir selalu dipergunakan untuk memperoleh aproksimasi fungsi gelombang molekul dan matrik menawarkan cara yang paling efisien untuk mencari penyelesaian terhadap persamaan-persamaan dalam metode variasi. n



Jika fungsi f1 , f2 . . . . fn dalam fungsi variasi linear  = 



 ck fk adalah ortonormal, k 1



maka S1j = ij =



 1 jika i  j sehingga persamaan (8-30) dapat ditulis:  0 jika i  j 



H11c1 + H12c2 . . . . . . + H1ncn = Wc1 H21c1 + H22c2 . . . . . . + H2ncn = Wc2 H31c1 + H32c2 . . . . . . + H3ncn = Wc3



(8-58)



............................. Hn1c1 + Hn2c2 . . . . . . + Hnncn = Wcn dan dalam bahasa matrik (3-6) dapat ditulis:  H11 H  21  H 31  ....... H  n1



H12 H 22 H 32 ....... H n2



....... ....... ....... ....... .......



H1n   c1   c1  c  H 2n   c 2   2  H 3n   c 3   W  c 3  .......   .......   .......  c  H nn   c n   n 



B c = Wc



(8-59)



(8-60)



dengan H adalah matrik bujur sangkar yang elemen matriknya Hij = < fiĤfj > dan c adalah vektor kolom dari koefisien c1 , c2 , . . .cn. Dalam (8-60) H adalah matrik yang diketahui, c dan W belum diketahui dan akan dicari penyelesaiannya. Jika kita mempunyai relasi: Ac=c



(8-61)



dengan A adalah matrik bujur sangkar dan c adalah vektor kolom yang paling tidak ada satu elemennya yang tidak nol, dan  adalah skalar, maka c disebut vektor eigen dari matrik A dan L disebut nilai eigen dari matrik A. Komparasi antara (8-60) dan (8-61) menunjukkan bahwa sebenarnya penyelesaian problema variasi linear dengan Sij = ij adalah problema penentuan nilai eigen dan vektor eigen dari matrik H yang nilai eigennya adalah W dan vektor eigennya adalah c.



161



Catatan: Jika c adalah vektor eigen dari matrik A, maka jelas bahwa k c pasti juga vektor eigen dari A (sudah tentu jika k konstan). Jika k dipilih sedemikian rupa sehingga: n



 ci



2



=1



(8-62)



i 1



maka vektor kolom c disebut ternormalisasi. Dua buah vektor kolom b dab c yang masing-masing mempunyai n elemen disebut ortogonal jika : n



 b *ic i = 0



(8-63)



i 1



Sekarang marilah kita perhatikan persamaan eigen (8-60) yang mempunyai n nilai eigen yaitu W1, W2 . . . . Wn dan mempunyai n vektor eigen yaitu c1 , c2 . . . . . . cn sedemikian rupa sehingga: Hc( i ) = Wic( i )



i = 1, 2, 3, . . . . . . n



(8-64)



dengan c( i ) adalah vektor kolom matrik H yang elemen-elemennya adalah c1i  , c 2i  . . . . c ni  . Selanjutnya marilah kita buat matrik C yang elemen-elemennya adalah vektor eigen matrik H, dan kita buat matrik W yang merupakan matrik diagonal yang elemen diagonalnya nilai eigen matrik H. Jadi:



 c1  1   1  c2  C=  . . . . .    cn1  



c12 ......... c1n     c22 ........ c2n     ..... ..... .....    cn2 ........ cnn    



 W1 0 . . . . . 0   W2 . . . . . 0  W=  0 ..... ..... ..... .....   0 0 . . . . . Wn  



(8-65)



Ternyata Himpunan persamaan nilai eigen (8-64) dapat ditulis: HC = CW



(8-66)



Jika masing-masing ruas (8-66) kita kalikan C1 maka diperoleh: C1HC = W Beberapa Istilah Matrik: 1. Matrik Simetrik



(8-67)



162



Matrik bujur sangkar B adalah Matrik Simetrik jika elemen bij = bji. Contoh: 7 5 



2 3i 5 - 3i



B = 2



5  5  3i  0 



2. Matrik Hermitian Matrik bujur sangkar D adalah matrik Hermitian jika elemen d ij = d*ij . Contoh: 7 5 



 2i 3i 5 - 3i



D =  2i



5  5  3i  0 



3. Matrik ortogonal Matrik ortogonal adalah matrik yang transposenya = inversnya 4. Unitary Matrix Matrik yang inversnya sama dengan konjugate transposenya atau U1 = U† Orang dapat membuktikan bahwa dua vektor eigen dari matrik Hermitian H yang berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda adalah ortogonal (Levine, 1998) Untuk vektor eigen dari H yang nilai eigennya sama, orang dapat membuat kombinasi linear di antara mereka untuk mendapatkan vektor eigen yang ortogonal bagi H. Lebih lanjut, vektor eigen yang tak ternormalisasi dapat dikalikan dengan suatu bilangan konstan agar menjadi vektor eigen ternormalisasi. Dengan demikian, vektor eigen dari matrik Hermitian dapat dipilih dan dijadikan ortonormal. Jika vektor eigen yang dipilih adalah ortonormal, maka vektor eigen matrik C dalam (8-65) unitary matrix, sehingga C1 = C†, sehingga (8-67) menjadi: C† HC = W



jika Ĥ Hermitian



(8-68)



Dengan C† adalah transpose dari konjugate-nya C. Jika Ĥ real dan simetrik maka berlaku hubungan: C HC = W



jika Ĥ real dan simetrik



(8-69)



Berikut ini adalah beberapa istilah dan notasi matrik: Nama Matrik



Notasi



Cara mendapatkannya



Transpose A



A



Mengubah semua baris matrik a menjadi kolom



kompleks konjugasi dari A



A*



Mengganti semua elemen matrik



163



A dengan kompleks konjugasinya Konjugasi transpose atau Konjugasi Hermit



(A dagger)



(A*)  ; Dicari konjugasi A, lalu di transpose.



^



Semua elemen A diganti dengan kofaktornya kemudian ditranspose



A



Adjoint A atau adjugasi A



adj A atau A A1



Inversi A



Bagilah semua elemen dari adj. A dengan det.A



Contoh:  3 2i  Tentukan nilai eigen dari matrik Hermitian: A   - 2 i 0 



  .  



Jawab: Persamaan karakteristik jika nilai eigennya dimisalkan  menurut (8-61) adalah : det ( aij - ij ) = 0. Jadi: 3- 2i = 0 2i 



2   4 = 0  1 = 4



dan 2 = 1



Untuk 1 = 4, himpunan persamaan simultan (8-58) H dan W berturut-turut diganti dengan A dan  adalah: (1)



+ 2 i c2 = 0



(1)



(1)



 1 c 2 = 0



(3  1) c1



(1)



2i c1 atau:



(1)



 c1



(1)



2i c1



(1)



+ 2 i c2 = 0 (1)



 c 2 = 0



sehingga: (1)



c1



(1)



= 2 i c2



Normalisasinya menghasilkan:



164 (1) 2



1 = c1



(1) 2



c2 



(1)



c1



=



(1) 2



+ c2



1 (1) ; c2 5



(1) 2



= 4 c2



(1) 2



+ c2



(1) 2



= 5 c2



(1)



= 1 / 5 ; c 2  1/ 5



(1)



= 2 i c2 = 2 / 5



Dengan cara yang sama untuk 2 = 1, diperoleh: 







( 2)



c1



( 2)



=  i / 5 ; c2



 2/ 5



Matrik vektor eigen ternormalisasinnya adalah:



 2i / 5   i / 5   ; c ( 2)    c (1)     2/ 5   1/ 5    Soal Bab 8 1. Gunakan fungsi variasi  = ecr untuk atom hidrogen; pilihlah parameter c untuk meminimalkan integral variasi dan hitunglah % error integral variasional terhadap energi ground state hidrogen yang sesungguhnya .



 1 / 2 x untuk 0  x   diaplikasikan pada sister



2. Jika fungsi variasi ternormalisasi  = 3 /  3



partikel dalam box, kita akan mendapatkan bahwa integral variasionalnya sama dengan nol, dan ini berarti lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya. Bagaimana dengan hal ini ? 3. Untuk partikel dalam box tiga dimensi yang sisi-sisinya a, b dan c, tulislah fungsi variasi yang merupakan perluasan dari fungsi satu dimensi  = x   x  yang digunakan pada sub bab 8.1. Gunakan integral (8-12) dan persamaan yang menyertainya untuk mengevaluasi integral variasional pada kasus tiga dimensi. Tentukan % error-nya. 4. (a) Diketahui sebuah sistem partikel tunggal satu dimensi dengan energi potensial: V = b untuk ¼   x  ¾  dan



V = 0 untuk 0  x ¼  dan ¾   x   .



dan di luar itu V =  (b konstan). Gunakan fungsi variasi 1 = 2 /  1 / 2 sin x/  untuk 0  x   untuk meng-estimasi energi ground state untuk b =  2 / m 2 dan bandingkan



165



hasilnya dengan energi ground state yang sesungguhnya yaitu E = 5,750345  2 / m 2 .  Untuk menghemat waktu dalam mengevaluasi integral, perlu diingat bahwa =   + , dan jelaskan mengapa persis sama dengan energi



ground state partikel dalam box yaitu h 2 / 8m 2 . (b) Untuk sistem dan kasus yang sama gunakan fungsi variasi  = x   x  . 5. Sebuah partikel berada dalam box sperik yang radiusnya b, energi potensialnya V = 0 dan untuk 0  r  b dan V =  untuk r > b. Gunakan fungsi variasi  = b  r untuk 0  r  b dan  = 0 untuk r > b untuk mengestimasi energi ground statenya dan bandingkan dengan nilai yang sesungguhnya yaitu h 2 / 8mb 2 . 2



6. Sebuah osilator satu dimensi mempunyai V = cx dengan c konstan. Rancanglah fungsi variasi dengan sebuah parameter untuk sistem itu, dan tentukan nilai optimum untuk parameter itu untuk meminimalkan integral variasional, dan estimasilah energi ground state. 7. Untuk partikel dalam box yang panjangnya  , gunakan fungsi variasi  = x k   x k untuk 0  r   . Kita akan membutuhkan integral berikut: 1 s s  t 1 ( s  1) (t  1) t 0 x   x  dx    ( s  t  2)



dimana fungsi gamma mengikuti relasi (z + 1) = z(z). Adanya fungsi gamma tersebut, tidak perlu membuat anda risau, karena fungsi gamma tersebut akan hilang sendiri.















(a) Buktikan bahwa integral variasionalnya adalah  2 / m 2 4k 2  k / 2k  1 (b) Tentukan nilai optimum dari k dan tentukan pula % error terhadap energi ground state untuk nilai k ini. 8. Gunakan fungsi variasi  = 1 /(a 2  x 2 ) pada osilator harmonik satu dimensi. Pilihlah harga a untuk meminimalkan integral variasional dan tentukan % errornya. Beberapa bentuk integral yang dibutuhkan adalah: 







1







0 x2  a2



2



dx 



 4a 3







;







1







0 x2  a2



3



dx 



3 16a 5



166 







x2







0 x2  a2



2



dx 



 4a







;







x2







0 x2  a2



4



dx 



 4a 5



9. Pada tahun 1971, melalui sebuah karya ilmiah dipublikasikan bahwa aplikasi fungsi variasi











2 2 ternormalisasi N. e  br / ao  cr/a o untuk atom hidrogen dengan meminimalkan parameter b



dan c menghasilkan energi 0,7 % di atas energi ground state yang sesungguhnya. Tanpa melakukan kalkulasi apapun berikan penjelasan bahwa pernyataan itu pasti salah. 2 2 10. Untuk atom hidrogen ground state, gunakan fungsi variasi Gauss  = e  cr / ao . Tentukan



nilai optimum c dan % error energinya. 11. Dengan metode Gauss, selesaikan kombinasi persamaan linear berikut: 



 X1  X2 + 4 X3 + 2 X4 = 16







 X1







 X1 + X2 + X3  X4 = 8



 X3 + 4 X4 = 



4 X1 + 6 X2 + 2 X3 + X4 = 3 12. Tentukan A* , A dan A dari:



3 0  7   A   2  1 2i i   1  i 4 2   13. a) Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari:



2  A  2 



2   1  



b) Apakah matrik A real dan simetrik ? c) Apakah matrik A Hermitian ? d) apakah matrik vektor eigen C ortogonal e) buktikan bahwa C1AC adalah matrik diagonal yang elemennya nilai eigen. 14. Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari matrik



167



  1 0  2   A  0 5 0   2 4 2   



===000=== BAB IX METODE PERTURBASI 9.1 Pengantar Sekarang kita akan membahas metode aproksimasi penting kedua dalam mekanika kuantum setelah metode variasi yaitu metode perturbasi atau metode gangguan atau metode Simpangan. Jika seandainya kita mempunyai sistem dengan Hamiltonian bebas waktu Ĥ dan kita tidak mungkin menyelesaikan secara eksak persamaan Schrodinger: Ĥn = En n



(9-1)



untuk mendapatkan fungsi dan nilai eigennya, dan jika Ĥ hanya berbeda sedikit dengan operator Hamilton Ĥ0 dari suatu sistem yang persamaan Schrodinger-nya yaitu: Ĥ0 n(0) = E n(0)  n(0)



(9-3)



yang dapat diselesaikan dengan pasti, maka sistem dengan Ĥ disebut sistem terperturbasi sedang sistem dengan Ĥ0 disebut sistem takterperturbasi. Sebagai contoh sistem perturbasi adalah sistem osilator takharmonis yang Ĥ nya adalah:: Ĥ=



2 d2 + ½ k x2 + c x3 + d x4 2m dx 2



(9-3)



Hamiltonian (9-3) tersebut tidak berbeda jauh dengan Hamiltonian dari sistem osilator harmonis: Ĥ0 = 



2 d2 + ½ k x2 2m dx 2



(9-4)



168



Jika tetapan c dan d pada (9-3) itu kecil, maka diperkirakan bahwa fungsi dan nilai eigen dari osilator takharmonis tidak terlalu jauh dengan yang harmonis. Jika perbedaan antara Ĥ dan Ĥ0 kita sebut Ĥ' . Perbedaan Hamiltonian ini kita sebut perturbasi. Jadi Perturbasi kita definisikan dengan: Ĥ' = Ĥ – Ĥ0



(9-5a)



Ĥ = Ĥ0 + Ĥ'



(9-5b)



jadi:



(Awas tanda ' tidak berhubungan dengan differensial). Untuk contoh osilator takharmonis dengan Hamiltonian (9-3), perturbasinya dikaitkan dengan osilator harmonis adalah: Ĥ' = c x3 + d x4



(9-6)



Yang menjadi tugas kita adalah menyatakan fungsi dan nilai eigen dari sistem yang terperturbasi (yang tidak diketahui) dinyatakan dalam fungsi dan nilai eigen sistem yang takterperturbasi (yang dapat diketahui). Dalam menangani kasus ini, kita akan membayangkan bahwa perturbasi berlangsung secara gradual, artinya perubahan dari takterperturbasi menjadi terperturbasi berlangsung secara continous atau berangsur-angsur (tidak mendadak/spontan). Secara matematika, hal seperti ini berarti memasukkan parameter  kedalam Hamiltonian dalam bentuk relasi sebagai berikut: Ĥ = Ĥ0 +  Ĥ'



(9-7)



Jika  = nol, maka kita mempunyai sistem takterperturbasi. Seiring dengan meningkatnya , maka perturbasi akan tumbuh semakin besar, dan jika  = 1, maka dikatakan perturbasi aktif secara penuh (fully turned on).



9.2 Teori Perturbasi Nondegenerate Teori perturbasi untuk energi degenerate dan nondegenerate adalah berbeda. Sekarang kita akan membahas yang nondegenerate lebih dulu. Jika n(0) adalah fungsi gelombang dari sebuah partikel takterperturbasi nondegenerate dengan energi En(0), dan jika n adalah fungsi



169



gelombang terperturbasi menjadi n(0) , maka untuk sistem terperturbasi, persamaan Schrodinger-nya adalah: Ĥn = (Ĥ0 +  Ĥ') n = En n



(9-8)



Karena Hamiltonian (9-8) tersebut bergantung pada parameter , maka n dan En merupakan fungsi . Jadi: n = n(q) dan En = En() dengan q adalah koordinat sistem. Sekarang n dan En akan kita ekspansi sebagai deret Taylor dalam  (artinya deret pangkat ). n =



 dk  n   k k 0  d 



=  n -0 +



En =



k k!



 



 dkE   kn k 0  d



 -0



d n d



d 2 n



 +



d2  0



 0



(9-9)



 k   k!  -0



= E n -0 +



d En d



 +



d2En



 0



d2  0



 dk n Selanjutnya agar penulisannya ringkas,   dk   d k En   dk 



2  2!



2  2!



(9-10)



 k  ditulis n(k) dan    -0 k !



 k  ditulis En(k) jadi:  k !  -0



Sehingga untuk k = 0, maka: n(0) =



d 0 n



En(0) =



d0En



d0  0



d0  0



0 =  n -0 . 0!



(9-11a)



0 = E n -0 0!



(9-11b)



170



dan k = 1, 2, 3 . . . . . n(k) =



En(k) =



dkn dk



 0



dkEn dk  0



1 k!



k = 1, 2 . . . .



(9-12a)



1 k!



k = 1, 2, . . .



(9-12b)



sehingga (9-9) dan (9-10) dapat ditulis: n = n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . . .kn(4) + . . . .



(9-13)



En = En(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . . . + kEn(k) + . . . .



(9-14)



n(k) dan En(k)



disebut koreksi order k terhadap fungsi gelombang dan energi. Kita akan



mengasumsikan bahwa deret (9-13) dan (9-14) adalah konvergen untuk  = 1 dan kita berharap bahwa untuk perturbasi (simpangan) yang kecil, suku-suku awal deret akan memberikan aproksimasi yang bagus bagi fungsi gelombang dan energi yang sesungguhnya. Kita ambil n(0) ternormalisasi, jadi < n(0) n(0)> = 1. Tanpa harus menganggap bahwa n ternormalisasi, kita mensyaratkan agar: < n(0) n> = 1 Jika n tidak mengikuti < n(0)n> = 1, maka hasil kali n dengan konstanta 1/ akan menghasilkan fungsi gelombang terperturbasi yang jauh dari properti seharusnya. Kondisi < n(0) n> = 1 ini disebut normalisasi intermediate. Perlu dicatat bahwa hasil kali n dengan konstanta tidak akan mengubah harga energi dalam persamaan Schrodinger : Ĥn = Enn sehingga penerapan normalisasi intermediate tidak berpengaruh terhadap hasil koreksi energi. Substitusi (9-13) ke dalam normalisasi intermediate < n(0) n> = 1 menghasilkan: 1 = < n(0) n(0) > + < n(0)n(1) > + 2< n(0) n(2) > + . . . . . Karena < n(0) n(0) > pasti = 1, maka < n(0)n(1) > + 2< n(0) n(2) > + . . . . .= 0. Karena  pasti tidak nol, maka: < n(0)n(1) > = < n(0) n(2) > = 0 dst



(9-15)



171



Dari (9-15) itu tampak bahwa koreksi pada fungsi gelombang n(k) adalah ortogonal terhadap n(0) jika normalisasi intermediate dipergunakan. Substitusi (9-13) dan (9-14) ke dalam (9-8) menghasilkan: (Ĥ0 +  Ĥ' ) (n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .) = (En(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . .) (n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .) Suku-suku yang pangkat nya sama dikumpulkan, hingga menjadi: Ĥ0 n( 0) +  ( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) + 2 ( Ĥ'n(2) + Ĥ0n(1) ). . . = En(0)n(0) +  (En(1)n(0)+ En(0)n(1) + 2 (En(2)n(0) + En(1)n(1) + En(0)n(2) ) . . . (9-16) Sekarang (dengan asumsi konvergen) maka suku-suku yang berderajat sama dari kedua ruas persamaan (9-16) bernilai sama untuk sembarang harga . Dari suku 0 diperoleh: Ĥ0 n( 0)= En(0)n( 0)



(9-17)



Dari suku  diperoleh: ( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) = (En(1)n(0)+ En(0)n(1) atau: Ĥ0n(1)  En(0)n(1) = En(1)n( 0)  Ĥ'n(0)



(9-18)



Koreksi Energi Order Pertama Untuk mendapatkan harga En(1)



, kita kalikan (9-18) dengan m(0)* kemudian



diintegralkan ke seluruh ruang, sehingga menjadi: m(0)Ĥ0n(1) >  En(0) = En(1) 



172



atau: Em(0)  En(0) ) = En(1) 







atau:



En(1)  (baca: r besar) adalah r2 sedang r



pada rentang r2 sampai tak terhingga, r> adalah r1, jadi I dapat ditulis: r2















r12 e







2Z r1 ao 



1   r2



0 r2



=



 0



2Z



  dr1 + 



r12  ao r1 e dr1 + r2















2Z r1 ao 



1   dr1  r1 



r2







 r1 e r2



r12 e







2Z r1 ao



dr1



187



Subtitusi I ke dalam (9-53d) menghasilkan:



E



(1)



=



16 Z 6 e' 2 a o6











r22 e







2Z  r r2  2 r12 ao







  



0



0



r2







e



2Z r1 ao











dr1   r1 e



2Z r1 ao



r2



  dr1 dr2  



atau:



E



(1)



=



16 Z 6 e' 2 a o6



+











 r2 e



2Z  r r2  2 ao







  



0



16Z 6 e' 2







a 6o



0







2Z r1 ao



0







2



r12 e



 r2 e



2Z  r2  ao 



  dr1 dr2   



r e  1 r 2



2Z r1 ao



  dr1 dr2  



(9-54)



kita sederhanakan bentuknya menjadi:



E (1) =



16 Z 6 e' 2 a o6



+



dengan I 1 











 r2 e



2Z r2 ao



I1 dr2



0



16 Z 6 e' 2







a 6o



0



2Z r2  r1 2 r1 e ao 0







2



 r2 e







2Z r2 ao



I 2 dr2







dr1 dan I 2   r1 e







2Z r1 ao



(9-54a)



dr1



r2



Dengan menggunakan:



 2  2 e bx dx = e bx  x  2 x  2  , diperoleh: x   b b 2 b 3       2 Z 2 Z r2 2  r1   r1  r 2r1 2  I1   r12 e ao dr1 = e ao  1   2 3 2Z    2Z   2Z  0          a  o  ao   ao      2Z r  1   = e a o      



=e



2Z  r2  ao 



 r12 a o r1a o2 a 3o     2Z 2Z 2 4Z 3  



r2



0



r22 a o r2 a o2 a3   a3    o    o    2Z 2 Z 2 4 Z 3   4 Z 3   



188



2Z 2Z 2Z    r2 a o2 a o3  ao r2 a o3   a o 2  ao r2 ao = r2 e  r2 e  e   2Z 2 4Z 3 4Z 3   2Z   1 Dengan menggunakan  xe bx dx = e bx bx  1 , diperoleh: b2











I 2   r1 e



2Z r1 ao



r2



2Z r1 2 ao ao dr1 = e 4Z 2 



  2Z      r  1   a o  1    



  2Z r  a o2   a o 1  a o = e =  r   2Z 1 4Z 2        r2



= e



2Z   r2   a o2 ao  a o 0  e  r    2 Z 2 4Z 2   



2Z 2Z   r2 r2 2  a a a a o o 2 o o   r2 e  e a a 2  o r2  o  =  2 Z 4 Z  2Z 4Z 2   



2Z  r2  ao 



     



    



Selanjutnya I1 dan I2 dimasukkan ke dalam (9-54a): 2Z  2Z 2Z 2Z    r2  r2 a o2 a o3  ao r2 a o3   a o 2  ao r2 16 Z 6 e' 2 ao ao (1) E = r e  r e  r e  e  dr  2Z 2 2 2 2 3 3 2 a o6 2 Z 4 Z 4 Z   0  



+



=



16 Z 6 e' 2 a o6



E



a 6o







2



 r2 e







2Z  r2  ao  a o



 2Z 



0



4Z











r2 e



2Z r2 ao



2Z



a o2







4Z 2







e



2Z  r2  ao 



 



4Z



dr2 2Z



 r2  r2 a o2 2  ao r2 a o3 a o3  a o 3  ao r2 ao  r e  r e  r e ao    2Z r2 e 2 2 3 2 3 2 2Z 4Z 4Z 0 



+



(1)



16 Z 6 e' 2



16 Z 6 e' 2 a 6o



 







4Z



ao 3 a   2Z r2 e o 0 



r2







a o2



r22 e 2 4Z



4 3 a o2  a o  a o3 16 Z 6 e' 2  a o  a o  =  3! 2!     a o6  2 Z  4Z  2 Z 2  4Z  4Z 3







2Z  r2  ao 



 



  dr2  



dr2



2 2 a o3  a o    ao  .     4 Z 3  2 Z    4Z 



4 3 a o2 16 Z 6 e' 2  a o  a o   a o   + 3! 2!     a o6  2Z  4 Z  4 Z 2  4 Z  



189



E



(1)



5 5 5 5 16 Z 6 e' 2  1  a o  1  ao  1  ao  1  a o   =  3.      6   4  a o6  2 8  Z  26  Z  2  Z  2  Z   5 5 16 Z 6 e' 2  1  a o  1  a o   .3.   +   a o6  2 8  Z  2 7  Z  



5



E (1) =



16Z 6 e' 2  a o   1 1 1 1          a o6  Z   2 6 2 6 2 4 2 7  5



=



16 Z 6 e' 2  a o   2 2 8 1          a o6  Z   2 7 2 7 2 7 2 7 



=



16 Z 6 e' 2  a o   5      a o6  Z   2 7 



5



Jadi:



E (1) =



5Z 8



 e' 2  a  o



   



(9-55)



Jika diaplikasikan pada helium, Z = 2, persamaan (9-55) menjadi:



E



(1)



=



10  e' 2 8  a o



 10  e' 2  =    2a 4   o



 10 = .13,606 eV = 34,0 eV  4 



Jadi aproksimasi untuk helium ground dengan memperhitungkan sampai dengan koreksi order pertama adalah:



E (o)  E (1) = 108,8 eV + 34,0 eV = 74,8 eV



(9-56)



Dengan koreksi seperti itu, kesalahannya terhadap energi ground state yang sesungguhnya adalah 5,3 %. Kita telah berhasil menghitung koreksi order pertama untuk gelombang. Untuk menghitung koreksi energi kedua dibutuhkan koreksi order pertama untuk fungsi gelombang, yang dapat diperoleh melalui evaluasi terhadap elemen matrik dari 1/r12 mulai dari ground state tak terperturbasi sampai dengan seluruh state tereksitasi termasuk state kontinum dan melakukan penjumlahan serta integrasi. Tidak seorangpun yang telah berhasil menggambarkan bagaimana mengevaluasi secara langsung semua konstribusi untuk E 2  . Perlu dicatat bahwa



190



efek  (1) ( koreksi fungsi order pertama), bercampur dengan fungsi gelombang dari konfigurasi lain, selain 1s2; hal ini kita sebut konfigurasi interaksi. Memang, kontribusi terbesar yang berpengaruh terhadap fungsi gelombang helium yang sesungguhnya, berasal dari konfigurasi 1s2, yang merupakan fungsi gelombang order nol tak terperturbasi.



E ( 2) untuk helium ground state telah dievaluasi dengan metode variasi-perturbasi [persamaan (9-37)]. Untuk memperoleh aproksimasi dengan koreksi yang sangat akurat, Scherr dan Knight (1963) menggunakan fungsi variasi yang terdiri atas 100 suku untuk memperoleh koreksi (sampai order keenam) fungsi gelombang. Fungsi ini kemudian dipergunakan untuk menghitung koreksi energi sampai order ke 13. Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan oleh J. Midtal (1965), besarnya koreksi energi order kedua E ( 2) = 4,3 eV sedang order ketiga



E (3) = +0,1 eV . Sampai dengan koreksi order ketiga, aproksimasi energi ground state untuk helium adalah: E = E (o)  E (1)  E ( 2)  E (3) = 108,8 eV + 34,0 eV 4,3 eV + 0,1 eV = 79,0 eV yang sesuai dengan nilai eksperimen yaitu 79,0 eV.



9.4 Metode Variasi Untuk Helium Ground State



   Sebelum ini, telah kita nyatakan bahwa Hamiltonian untuk helium adalah H  H o  H ' dan  fungsi eigen untuk H o adalah  (o) sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (9-49). Apakah yang terjadi seandainya kita menggunakan fungsi gelombang ground state perturbasi order nol



 g(o) sebagai fungsi variasi  dalam integral variasional?. Jika itu yang dilakukan, maka integral   variasional  H  =  H  menjadi: 



















 H  =  g(o) H o  H'  g(o) =  g(o) H o g(o)  H' g(o)  =  g(o) H o



(o) g



   g(o) H' g(o)



= E g(o)  E g(1)



(9-57)



191



Jadi dengan menggunakan  g(o) sebagai fungsi variasi dihasilkan energi yang sama dengan yang dihasilkan oleh perturbasi sampai dengan order pertama. Sekarang akan kita bahas fungsi variasi untuk atom helium ground state. Jika kita menggunakan  g(o) sebagaimana (9-49), hasil yang diperoleh adalah sama dengan hasil perturbasi order pertama yaitu 74,8 eV. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, marilah kita masukkan sebuah parameter ke dalam (9-49). Kita akan mencoba menggunakan fungsi:



1       ao



3











  ao r1  ao r 2  e .e 



(9-58)



Persamaan (9-58) tersebut diadopsi dari (9-49) yang nomor atom Z diganti parameter variasional  (baca: zeta). Parameter  mempunyai interpretasi fisik yang sederhana. Karena sebuah elektron cenderung menghalangi yang lain dari inti atom, akibatnya muatan inti efektif yang diterima oleh masing-masing elektron lebih kecil dari pada muatan penuh inti yaitu +Z. Jika sebuah elektron, terhalang secara penuh dari inti, maka kita nyatakan bahwa muatan inti efektif adalah Z1; karena kedua elektron dalam helium ground state berada pada orbital yang sama, akibatnya maka tidak mungkin masing-masing saling menghalangi secara penuh, jadi diperkirakan nilai  berkisar antara Z1 sampai Z. Sekarang kita akan mengevaluasi integral variasional. Untuk melancarkan hal ini, kita tulis kembali Hamiltonian (9-39) dalam bentuk:



   2 2 e' 2  2 2 e' 2  e' 2 e' 2 e' 2 H =  1   2     Z       Z  r1 2m e r2  r1 r2 r12  2me



(9-59)



Masuknya parameter  ke dalam (9-39) hingga membentuk (9-59) tidak mengubah nilai Hamiltonian (9-39), artinya (9-59) adalah sama dengan (9-39). Suku-suku yang berada dalam kurung kurawal adalah jumlah dari Hamiltonian mirip hidrogen untuk inti yang bermuatan ; sementara itu, persamaan (9-58) adalah hasil kali dua fungsi 1s mirip hidrogen dengan muatan inti .. Oleh karena itu, jika suku dalam kurung itu beroperasi pada , berarti kita mempunyai sebuah persamaan eigen dan nilai eigen-nya adalah jumlah energi 1s mirip hidrogen dengan muatan inti . Jadi:



192



 e' 2   2 2 e' 2  2 2 e' 2  2 1   2     =   a r1 2m e r2   o  2me



   



(9-60)



Dengan menggunakan (9-59) dan (9-60), kita memperoleh: 2 2   * 2 e' 2 e'   * H  d =   a o   *  d + (  Z )e' ao  r1 d



 * e' 2  *  + (  Z )e' d + e' 2  d  ao r2 r12 2



(9-61)



Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti  bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:



1   ƒ1 =  1/ 2  ao



  



3/ 2   r 1 ao



e



1   ; ƒ2 =  1/ 2  a o



  



3/ 2   r 2 ao



e



(9-62)



dengan catatan  = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam persamaan (9-61)



  *  d   ƒ







 * r1



d =



=



8 1 ƒ1



ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1



ƒ18ƒ1 ƒ28ƒ2 







d1 d2 =



r1



1    1/ 2    ao







  



  



1  =    ao



  



1  =    ao



  



3



e







 r1e



2 r1 ao



0



3



3



r1



3/ 2   r 1 ao



0



1  =    ao







ƒ18ƒ1 



  







2



 ao   2



   22  = ao 



Dengan cara yang sama diperoleh:







 



ƒ18ƒ1 



r1



d1 .



2



r12 dr1  sin  1d 1  d1 0



0



   cos  1 0 2   2



e



dr1  sin  1d 1  d1



 ao   2







3/ 2   r 1 ao



1  . 1 / 2    ao r1



0



2



8



 2= d1 .  ƒ2 ƒ2 d



0



193







 * r2



d =



 ao



Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2







 * r12



d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z



diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu: e' 2







 * r12



d =



5 8



 e' 2  a  o



   



(9-63)



Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai: 5  e' 2  (9-64) 8  ao  Sebagai pengujian, jika kita menggunakan  = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-











2   * H  d =   2Z   



64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55). Sekarang kita mencari nilai parameter  agar integral variasional bernilai minimal.



  5  e' 2   * H  d   2   2Z      8  a o 



  =0  



 = Z  5/16



(9-65)



Sebagai antisipasi, muatan inti efektif terletak antara Z dan Z1. Dengan menggunakan (9-65) dan (9-64), kita peroleh: 2  5  e' 2 5 25  e' 2   2   * H  d =   Z  8 Z  256  a o =   Z  16  ao



(9-66)



Dengan meletakkan Z = 2, kita memperoleh aproksimasi untuk energi helium ground state yaitu (27/16)2e’2/ao



= (729/128)e’2/2ao = 77,49 eV. Dibandingkan dengan nilai yang



sesungguhnya yaitu 79,0 eV , kesalahannya adalah 1,9 %. Jadi, dengan memasukkan parameter , kesalahan yang semula 5,3% turun menjadi tinggal 1,9 %. Bagaimana kita memperbaiki hasil integral variasional ? Kita dapat mencoba fungsi yang mempunyai bentuk umum (9-58), yaitu perkalian dua fungsi, yaitu fungsi elektron 1 dan fungsi elektron 2.  = u(1). u(2)



(9-67)



194



Namun, kita dapat menggunakan berbagai bentuk u dalam (9-67) sebagai ganti dari bentuk eksponensial tunggal sebagaimana digunakan pada (9-58). Prosedur sistematik untuk memperoleh fungsi u yang menghasilkan nilai integral variasional terkecil akan dibahas di bab XI. Prosedur itu menunjukkan bahwa pilihan terbaik untuk u dalam (9-67) menghasilkan integral variasional 77,9 eV, yang masih mempunyai kesalahan 1,4 %. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa (9-67) tidak dapat menghasilkan integral variasional yang tepat sama dengan 79,0 eV ?. Jawabnya adalah, ketika kita menulis fungsi (9-67), dalam bentuk perkalian dua fungsi terpisah untuk masing-masing elektron, kita telah membuat sebuah aproksimasi. Perlu dicatat, bahwa terminologi Hamiltonian e' 2 / r12 dalam persamaan Schrodinger untuk helium merupakan kuantitas yang bersifat sebagai satu kesatuan dan tidak separabel. Untuk dapat mencapai energi ground state yang sesungguhnya, kita membutuhkan fungsi yang tidak sesederhana (9-67). Model atom Bohr yang memberikan penjelasan mengenai energi secara tepat dan memuaskan untuk atom hidrogen, ternyata gagal ketika diterapkan untuk helium. Kemudian, pada hari-hari awal lahirnya mekanika kuantum, ada teori baru yang memberikan perlakuan yang akurat untuk helium. Teori baru tentang helium ini diprakarsai oleh Hylleraas pada tahun 1928-1930. Dia menggunakan fungsi variasi yang memperhitungkan jarak antar elektron r12 secara eksplisit. Hal ini memungkinkan orang untuk membicarakan berapa besar efek yang diberikan oleh sebuah elektron dalam pergerakannya, terhadap elektron yang lain. Fungsi yang dipergunakan oleh Hylleraas adalah:    r1   r 2   ao ao  = N e 1  b r 12  .e  



(9-68)



N adalah tetapan normalisasi,  dan b adalah parameter variasional. Karena:







r12   x1  x 2 2   y1  y 2 2   z1  z 2 2







1/ 2



(9-69)



akibatnya fungsi (9-68) bersifat tidak sesederhana bentuk perkalian fungsi (9-67). Minimalisasi terhadap integral variasional terhadap masing-masing parameter, menghasilkan parameter  = 1,849 dan b = 0,364/ao dan energi ground state 78,7 eV, yang artinya, kesalahannya 0,3 eV



195



atau 0,38 %.



Dengan menggunakan fungsi yang lebih rumit (terdiri atas 6 suku dan



mengandung r12), Hylleraas berhasil memperoleh energi ground state helium dengan kesalahan hanya 0,013 %. Pekerjaan Hylleraas, dikembangkan oleh para ahli lain. Dengan menggunakan fungsi variasi yang terdiri atas 1078 suku, Pakeris memperoleh energi ground state helium 2,903724375 (e' 2 / ao ) . Dengan mempergunakan fungsi yang lebih disempurnakan, Schwartz memperbaiki



hasil



kerja



Pakeris,



dan



memperoleh



energi



ground



state



helium



9



2,903724375 (e' 2 / ao ) . Hasil ini hanya berbeda dalam rentang 10 (e' 2 / ao ) terhadap energi ground state helium non relativistik yang sesungguhnya (Levine, 1998) Kalkulasi variasional terhadap litium ground state menggunakan fungsi 60 suku dan mengandung r12 , r23 dan r13 menghasilkan energi ground state  (e' 2 / ao ) . Bandingkan dengan energi litium ground state yang sesungguhnya, 7,47807 (e' 2 / ao ) . Kalkulasi variasional dengan fungsi yang mengandung rij menjadi sangat rumit untuk atom berelektron banyak karena akan melibatkan suku yang sangat banyak serta integral yang sangat rumit.



9.6 Teori Perturbasi untuk Level Energi Degenerate Sekarang kita akan membahas level energi yang derajad degenerasinya adalah d. Tentu saja kita mempunyai d fungsi gelombang tak terperturbasi yang linear independen. Kita akan memberi label 1, 2, 3, . . .d untuk state dari level-level degenerate itu. Persamaan Schrodinger tan terperturbasinya adalah:  H o n(o)  E n(o ) n(o )



(9-70)



dengan E1(o)  E 2(o )  E 3(o) ......E d(o ) 



2   * H  d =  



+ (  Z )e' 2



(9-71)



2 e' 2 2 e' +  *  d  (   Z ) e ' ao  ao



e' 2 ao







 * r2



d + e' 2







 * r12



d







 * r1



d



(9-61)



196



Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti  bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:



1   ƒ1 = 1/ 2  a   o



  



3/ 2   r 1 ao



e



1   ; ƒ2 = 1/ 2  a   o



  



3/ 2   r 2 ao



e



(9-62)



dengan catatan  = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam persamaan (9-61)



  *  d   ƒ 



 * r1



8 1 ƒ1



ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1



ƒ18ƒ1 ƒ28ƒ2 



d =







d1 d2 =



r1



1    1/ 2    ao = 



  



  



1  =    ao



  



1  =    ao



  



3



e







 r1e



2 r1 ao



3







3/ 2   r 1 ao



1   . 1/ 2  a   o r1



  







2



0



2



8  2= d1 . ƒ2 ƒ2 d



e



 



ƒ18ƒ1 



r1



d1 .



2



r12 dr1  sin  1d 1  d1 0



0



dr1  sin  1d 1  d1



0



3



r1



3/ 2   r 1 ao



0



1  =    ao







ƒ18ƒ1 



0



 ao   2



   cos  1 0 2  



 ao   2



   22  = ao 











2



Dengan cara yang sama diperoleh:







 * r2



d =



 ao



Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2







 * r12



d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z



diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu: e' 2







 * r12



d =



5 8



 e' 2  a  o



   



Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:



(9-63)



197



5  e' 2  (9-64) 8  ao  Sebagai pengujian, jika kita menggunakan  = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-











2   * H  d  =    2 Z   



64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55). Sekarang kita mencari nilai parameter  agar integral variasional bernilai minimal. Problem perturbasinya adalah:  H n  E n n



(9-72)



   H  H o  H '



(9-73)



Apabila  semakin mendekati nol, nilai eigen pada (9-72) semakin mendekati nilai eigen (9-70); jadi kita mempunyai lim  0 E n  E n(o) . Ini juga berarti bahwa untuk  mendekati 0, fungsi eigen persamaan (9-72) mendekati fungsi eigen (9-70). Apakah ini berarti bahwa lim  0  n   n(o) ? Jawabnya adalah, tidak harus demikian. Jika E n(o ) non degenerate, fungsi







 n(o) ternormalisasi yang berasal dari H o dengan nilai eigen E n(o) merupakan fungsi yang unik, dan kita boleh yakin bahwa lim  0 E n  E n(o) . Namun, jika nilai eigennya berlevel d-fold degenerate, maka solusi untuk persamaan (9-70) adalah kombinasi linear berikut: c1 1(o)  c 2 2(o)  . . . .  c d  d(o )



(9-74)



dengan nilai eigen (9-71). Himpunan secara linear, fungsi ternormalisasi:



 1(o)   2(o)  . . .   d(o) yang kita gunakan sebagai fungsi eigen untuk state yang terdegenerate adalah fungsi yang tidak unik karena akan ada d macam fungsi yang nilai eigennya sama. . Dengan menggunakan (9-74) kita dapat menyusun himpunan-himpunan fungsi ternormalisasi berderajat degenerate d yang banyaknya tak terhingga. Sebagai contoh, untuk state 2p atom hidrogen yang bersifat 3-fold degenerate, kita dapat menggunakan fungsi 2p1, 2p0 dan 2p+1, atau fungsi 2px , 2py dan 2pz atau himpunan 3 fungsi independen yang lain untuk disusun menjadi kombinasi linear. Untuk eigen terperturbasi yang mengalami d-fold degenerate, dapat dinyatakan bahwa seandainya  mendekati nol, kombinasi linear yang dihasilkan adalah:



198 d







lim  n   c i i(o )  1  n  d 



 0







i 1



Tugas kita yang pertama adalah menentukan fungsi gelombang order nol (9-75) untuk  perturbasi H ' . Jika fungsi yang akan kita tentukan itu kita beri nama  n(o ) , maka: d



 n(o)   ci i(o)  1  n  d



(9-76)



i 1



Masing-masing fungsi  n(o) dalam (9-76) mempunyai koefisien yang berbeda. Himpunan



 fungsi order nol yang benar bergantung pada bentuk perturbasi H ' . Perlakuan terhadap level d-fold degenerate berlangsung sebagaimana perlakuan pada non degenerate (sub bab 9.2), tentu saja kita gunakan  n(o ) sebagai ganti untuk  n(o) . Sebagaimana (9-13) dan (9-14), kita telah mempunyai: n = d(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . n = 1, 2, ...d



(9-77)



En = Ed(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . . n = 1, 2, ...d



(9-78)



dimana pada perlakuan ini (9-71) juga digunakan. Substitusi (9-77) dan (9-78) ke dalam  persamaan Schrodinger H n  E n n , menghasilkan:   ( H o  H ' ) n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . .)



= (Ed(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . .)n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . .) Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 0 pada persamaan tersebut, menghasilkan  H o n(o)  E d(o)  n(0) . Dengan teorema pada bab 3 sub bab 3.6, masing-masing kombinasi linear







 n(0) (n = 1,2 . . . d) adalah fungsi eigen dari H o dengan nilai eigen E n(o) , dan persamaan tersebut tidak memberikan informasi baru. Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 1 menghasilkan:   H o n(1)  H '  n(o)  E d(o) n(1)  E n(1) n(o)   H o n(1)  E d(o) n(1)  E n(1) n(o)  H '  n(o ) , n = 1,2, . . .d



(9-79)



199



Selanjutnya (9-79) dikalikan dengan  m(o)* dan dintegralkan seluruh ruang dengan m adalah salah satu state yang berada dalam level d-degenerate tak terperturbasi, jadi m terletak antara 1 dan d atau 1  m  d .    m(o)* H o n(1)  E d(o) n(1)   m(o )* E n(1) n(o)  H '  n(o )



















Jika tanda * tidak ditulis dan diadakan penataan , diperoleh:    m(o) H o  n(1)  E d(o)  m(o)  n(1)  E n(1)  m(o)  n(o)   m(o) H '  n(o ) , 1  m  d



















 











(9-80)



 Dari persamaan (9-20) kita mempunyai  m(o) H o  n(1)  E m(o)  m(o)  n(1) = 0. Dari (9-



















 71) kita E m(o)  E d(o) untuk 1  m  d , jadi  m(o) H o  n(1)  E d(o)  m(o)  n(1)











sehingga (9-80) menjadi:   m(o) H '  n(o )  E n(1)  m(o)  n(o)  0 ,



















1 m  d











juga = 0,



(9-80a)



Substitusi kombinasi linear (9-76) ke dalam (9-80a) menghasilkan:



 (o )   m H '  



d











d







i 1











i 1







 ci i(o)   E n(1)   m(o)  ci i(o)   0



atau: d



 ci  m(o)



d  H '  i(o)  E n(1)  c i  m(o )  i(o )  0











i 1







(9-81)



i 1



Fungsi gelombang order nol  i(o) (i – 1, 2, . . d) untuk level degenerate selalu dapat dipilih yang ortonormal, sehingga berlaku:







( o ) (o ) m i



 



(9-82)



mj



untuk rentang m dan i antara 1 dan d. Jika (9-82) dimasukkan ke dalam (9-81) kita peroleh: d  d  (o) (o )  (1)  H '   E  m n   mj  c i  0 , i  i 1  i 1











m = 1, 2, . . .d



(9-83)



200



Persamaan (9-83) ini merupakan himpunan d persamaan homogen linear dari d koefisien yang '  tak diketahui. Jika agar tampak sederhana,  m(o ) H '  i(o) ditulis H mi , maka persamaan (9-











83) dapat dijabarkan menjadi: ' ' ' ( H 11  E n(1) )c1  H 12 c 2  . . . . . .  H1d cd  0 ' '  H 22 c1  ( H 11  E n(1) )c 2  . . . . . .  H '2d c d  0



(9 - 84)



...............................................   ' H d' 1c1  H 'd2 c 2  . . . . . .  ( H 11  E n(1) )c d  0



Agar himpunan persamaan linear (9-84) memiliki solusi trivial, determinan koefisien himpunan tersebut harus nol, jadi:  det  m(o) H '  i(o)  E n(1) mj = 0











' ' ( H 11  E n(1) ) H 12 ...... ' ' (1) H 21 ( H 22  E n ) . . . . . .







(9-85) ' H1d  H '2d



...............................................  ' H d' 1 H 'd2 ...... ( H dd  E n(1) )



0



(9 - 86)



Persamaan (9-86) disebut persamaan sekular, yang merupakan persamaan aljabar berderajat d dinyatakan dalam E n(1) . Tentu saja persamaan ini mempunyai akar sebanyak d, yaitu E1(1) , E 2(1) , . . . , E d(1) , yang merupakan koreksi order pertama untuk level d-degenerate tak



terperturbasi. Jika akar-akarnya semuanya berbeda, maka koreksi perturbasi order pertama memecah level dfold degenerate tak terperturbasi menjadi sebanyak d level energi perturbasi yang saling berbeda yaitu: E d(o)  E1(1) ; E d(o)  E1( 2) ; . . . . . . E d(o)  E d(1)



Jika ada beberapa akar yang sama maka pemecahannya tidak lengkap menjadi sebanyak d level perturbasi. Namun, untuk pembahasan kali ini, kita akan mengasumsikan bahwa akar-akar (986) saling berbeda.



201



Setelah mendapatkan d macam nilai koreksi energi order pertama, kita akan kembali ke (9-84) untuk mendapatkan nilai ci yang belum diketahui, yang merupakan penentu fungsi gelombang order yang sesungguhnya. Untuk menentukan fungsi gelombang order nol :



 n(o)  c1 1(o )  c 2 2(o)  . . . .  c d d(o)



(9-87)



yang energinya adalah akar E n(1) , kita harus menyelesaikan (9-84) untuk c2, c3, . . . cd dinyatakan dalam c1 dan kemudian c1 dihitung melalui normalisasi. Penggunaan (9-87) ke dalam  n(o)  n(o)  1 menghasilkan: d







c1



2



1



(9-88)



k 1



Untuk setiap akar E n(1) , (n = 1, 2, . . ., d), kita mempunyai himpunan-himpunan koefisien c1 yang berbeda yang akan memberikan fungsi gelombang order nol sesungguhnya yang berbeda juga. Dalam sub bab berikutnya akan ditunjukkan bahwa:  n = 1, 2, . . ., d E n(1) =  n(o) H '  n(o) ,



(9-89)



yang sama dengan formula untuk non degenerate (9-22), tetapi tentu saja hanya fungsi yang dipergunakan. Dengan prosedur yang sama dengan kasus degenerate itu, sekarang kita dapat menghitung koreksi order pertama untuk fungsi gelombang order nol serta dengan demikian juga dapat menghitung koreksi energi order kedua.  Sebagai contoh, akan kita lihat efek perturbasi H ' terhadap level energi degenerate terendah dari partikel dalam box tiga dimensi. Kita telah tahu bahwa tiga state terendahnya adalah



 2(o,1),1 ,  1(,o2),1 dan  1(,o1,)2 . Fungsi-fungsi tersebut ortonormal, dan persamaan sekular (9-86) adalah: 



(o) (o)  211 H ' 211  E n(1)







(o) (o )  121 H ' 211







(o) (o)  112 H ' 211







(o) (o)  211 H ' 121







(o) (o)  121 H ' 111  E n(1)







(o) (o)  112 H ' 121 .







(o ) (o)  211 H ' 112







(o) (o )  121 H ' 112







(o) (o)  112 H ' 112  E n(1)



0



202



Penyelesaian persamaan tersebut menghasilkan koreksi energi order pertama: E11 ; E 21 ; E31



(9-90)



Jadi melalui koreksi order pertama, level degenerate tripel tak terperturbasi, pecah menjadi tiga level, yaitu: (6h 2 / 8ma 2 )  E11 ;



(6h 2 / 8ma 2 )  E 21 ;



(6h 2 / 8ma 2 )  E 31



Dengan menggunakan akar-akar (9-90) kita akan memperoleh himpunan-himpunan persamaan simultan (9-84). Jika masing-masing himpunan ini diselesaikan, akan kita peroleh tiga himpunan koefisien yang membedakan ketiga fungsi gelombang order nolnya.



9.6 Penyederhanaan Persamaan Sekular Penyelesaian persamaan sekular (9-86) akan lebih mudah jika elemen-elemen determinan selain elemen diagonal bernilai nol. Dalam sebagian besar kasus, elemen-elemen di luar elemen diagonal adalah nol, sehingga (9-86) dapat ditulis:



' ( H 11  E n(1) )



0 ...... ' ( H 22  E n(1) ) . . . . . .



0



0 0



0



(9 - 91)



............................................... ' 0 0 ...... ( H dd  E n(1) ) H '  E 1 H '  E 1 . . . . . . . . H '  E 1 = 0







11 1  E1 



n ' H 11







22



1



n











dd



n  E d1







' ' ; E 2  H 22 ; ...... ; (9-92)  H dd Sekarang kita akan menentukan fungsi gelombang order pertama. Kita akan mengasumsikan



' bahwa akar-akar (9-92) masing-masing berbeda satu terhadap yang lain. Untuk akar E n1  H 11 , persamaan (9-84) menjadi:



0 =0



H c2



' 22



'  H 11







=0 .....



..............



H



' dd







' cd = 0  H 11











' ' Karena kita mengasumsikan bahwa semua akar-akarnya berbeda, tentu saja nilai H 22 , .  H 11



H



' dd







.,



' , tidak mungkin nol. Dengan demikian,  H 11



c2 = 0, 0 , . . . . . cd = 0



c3 =



203 Kondisi normalisasi pada (9-88) menghasilkan c1 = 1. Jadi fungsi gelombang order nol yang ' sesungguhnya berdasarkan koreksi energi perturbasi order pertama H 11 adalah [(persamaan 9-76)]:



0    0 



 1 Dengan cara yang sama, untuk akar



' , H 22



1



diperoleh:



 20    20  Dengan menggunakan akar-akarnya yang tersisa, dan dengan cara yang sama pula, diperoleh:



 30    30  , 0 



0 



. . . .,  d   d



0 



0 



0 



Jadi, jika determinan sekular berbentuk determinan diagonal, maka fungsi  1 ,  2 , . . .  d yang kita asumsikan merupakan fungsi gelombang terperturbasi order nol yang sesungguhnya. Kebalikan dari pernyataan di atas, juga benar. Jika fungsi-fungsi yang kita asumsikan ternyata adalah fungsi perturbasi



0    0  , kita 1



yang benar, maka determinan sekularnya merupakan determinan diagonal. Dari 1 d



0  0  koefisien pada ekspansi 1   c i i adalah c1 = 1, dan c2 = c3 = . . . = cd = 0, jadi untuk n = 1, i 1



himpunan persamaan simultan (9-84) menjadi: ' H 11  E10   0 ,



' H 21  0 , .. . . . . . H d' 1  0 ' Aplikasi hal yang sama untuk fungsi  n0  yang lain, membawa kita pada kesimpulan bahwa H mi 0 untuk i  m . Dengan demikian, penggunaan fungsi order nol akan membuat determinan sekular



menjadi determinan diagonal. Perlu diingat juga bahwa koreksi energi order pertama dapat diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dengan menggunakan fungsi gelombang order nol, jadi:



 ' E n1  H nn   n0  H '  n0 



(9-93)



Pada umumnya, jika determinan sekular tidak berbentuk determinan diagonal, maka bentuknya adalah determinan blok. Sebagai contoh:



' ( H 11  E n(1) ) ' H 21



.



' H 12 ' ( H 22  E n(1) )



0



0



0



0 ' ( H 31  E n(1) )



0



0



' H 43



0 0 ' H 34 .



0



(9 - 94)



' ( H dd  E n(1) )



Determinan sekular (9-94) mempunyai bentuk yang sama dengan persamaan sekular variasi linear (8-40) dengan Sij = ij. Dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dua dari fungsi variasi adalah kombinasi linear dari f1 dan f2 dua yang lain adalah kombinasi linear dari f3 dan f4 [Persamaan (8-45) dan (8-46)], kita dapat menunjukkan bahwa dua fungsi gelombang order nol adalah



0  dan  0  sedang dua yang lain adalah kombinasi linear dari  0  dan  0  : 2 3 4



kombinasi linear dari  1



10   c1 10   c 2 20 



,



204



 20   c1' 10   c '2 20   30   c3 30   c 4 40 



,



 40   c3'  30   c 4'  40  dimana tanda absen digunakan untuk menunjukkan koefisien yang berbeda. Jika determinan sekular dari teori perturbasi degenerate adalah dalam bentuk determinan blok, maka persamaan sekular akan pecah menjadi dua atau lebih persamaan sekular yang lebih kecil, dan himpunan persamaan simultan (9-84) untuk koefisien ci pecah menjadi dua atau lebih himpunan persamaan simultan yang lebih kecil. Selanjutnya, bagaimana kita dapat memilih fungsi-fungsi gelombang order nol yang benar yang dengan  itu kita dapat melakukan simplifikasi terhadap persamaan sekularnya ?. Jika ada operator A yang











kommute baik terhadap H o maupun H ' , maka kita dapat memilih fungsi tak terperturbasi yang



















merupakan fungsi eigen dari operator A . Karena A yang kommute terhadap H o maupun H ' , dengan



 



0 



demikian fungsi eigen pilihan kita itu akan membuat integral H ij' bernilai nol jika  i 0 dan  j











mempunyai nilai eigen berbeda terhadap A (lihat teorema 6 bab 7). Jadi, jika nilai eigen A untuk



 10  , 20  , . . . . . . ,  d0  semuanya berbeda, maka determinan sekularnya akan berbentuk determinan diagonal, dan kita akan memperoleh fungsi gelombang order nolnya. Jika beberapa nilai eigennya ada yang sama, maka yang kita peroleh adalah determinan blok. Pada umumnya, fungsi order nol merupakan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tak terperturbasi yang mempunyai nilai eigen sama terhadap operator  A. 9.7 Perturbasi Pada Helium Tereksitasi Kita telah membahas teori perturbasi untuk helium ground state. Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi yang terendah. Energi tak terperturbasinya dapat dihitung dengan menggunakan (9-48). Tingkat eksitasi tak terperturbasi yang terendah mempunyai n1 = 1 dan n2 = 2 atau n1 = 2 dan n2 = 1, dan substitusinya pada (9-48) menghasilkan:



 e' 2    a   o 20  e' 2  =  = 5(13,606 eV) = 68,03 eV 2 8  2a o 



E 0   



5Z 2 8



(9-95) Ingat, bahwa level n = 2 untuk hidrogen adalah 4-fold degenerate karena untuk hidrogen 2s dan 2p mempunyai energi yang sama. Jadi level energi tak terperturbasi tereksitasi pertama adalah 8-fold degenerate; fungsi gelombang tak terperturbasinya adalah:



 10   1s (1)2 s (2)  50   1s (1)2 p y (2)



(9-96)



205



 20   1s (2)2s (1)  60   1s (2)2 p y (1) 



 30   1s (1)2 p x (2)



 70   1s(1)2 p z (2)  40   1s (2)2 p x (1)  80   1s (2)2 p z (1) dengan 1s(1)2s(2) adalah perkalian antara fungsi hidrogen 1s untuk elektron pertama dengan fungsi



0  adalah:



hidrogen 2s untuk elektron kedua. Sebagai contoh, bentuk eksplisit dari fungsi  8



 80  



1 1/ 2



42 



 Z   ao



  



5/ 2



r1 .e



 Zr1 / 2 ao



1  Z cos  1 . 1 / 2    ao



  



3/ 2



e  Zr2 / ao



Kita lebih memilih bentuk real untuk fungsi 2p dari pada bentuk kompleksnya. Karena level tak terperturbasinya adalah degenerate, kita harus menyelesaikan persamaan sekularnya.



0 



0 



0  adalah ortonormal.



Persamaan sekular (9-86) mengasumsikan bahwa fungsi  1 ,  2 , .......  8 Kondisi ini ternyata dipenuhi. Sebagai contoh:



0 * 0  d = 1



 1



1s(1) * 2s(2) * 1s(1)2s(2) d 1 d 2 =



2



2



 1s(1) d1  2s(2) d 2 0 * 0  d = 2



 1



=1.1=1



1s(1) * 2s(2) * 1s(2)2s(1) d 1 d 2 =



 1s(1)2s(1)d 1  1s(2)2s(2)d 2



=0.0=0



Karena adalah 8 fungsi tak terperturbasi, jadi determinan sekularnya pasti mempunyai 82 = 64 elemen.











   . Juga, karena H ' dan    . . . . .    semuanya



Operator H ' adalah Hermitian, dan H ij'  H 'ji



 



real, kita mempunyai H ij'



*



*



0



1



0 8



    H 'ji , jadi H ij'  H 'ji . Determinan sekular bersifat simetrik terhadap



diagonal utama. Hal ini membuat pekerjaan mengevaluasi integral menjadi terpotong sekitar separuhnya. Dengan menggunakan konsiderasi paritas, kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar integral bernilai nol.







' Pertama, marilah kita lihat H 13 :



206 ' H 13



     



1s (1)2 s (2)



            



=



e' 2 1s (1)2 p x (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2 r12



2 2 2 Fungsi s hidrogen hanya bergantung pada r = (x + y + z )½ dan oleh karena itu merupakan fungsi genap. Fungsi 2px(2) adalah fungsi ganjil terhadap x2, dan r12 dinyatakan oleh (9-69). Jika kita menginversi ke enam koordinat, r12 tidak berubah: r12 = [(x1 + 2 2 2 x2) + (y1 + y2) + (z1 + z2) ] = r12







' Kemudian, jika keenam koordinat pada H 13 diinversi, nilainya berubah menjadi minus nilai semula.











' ' Jadi H 13 tersebut merupakan integral fungsi ganjil, sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa H 13 = 0.



Dengan



alasan



yang



sama



' ' ' ' ' ' = H 24 = H 25 = H 26 = H 27 = H 28 H 23



' = H 35



peroleh



     



     



' ' ' = H 15 = H 16 = H 14



' ' = H 18 H 17 ' = 0. Sekarang kita akan mengevaluasi H 35 :



kita



1s (1)2 p x (2)



      



=



0



dan



e' 2 1s (1)2 p y (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2 r12



Perhatikan pengaruh perubahan x1  x2 dan x2  x2. Transformasi ini tidak mengubah harga r12. Fungsi 1s(1) dan 2py(2) tidak terpengaruh oleh perubahan ini, namun 2px(2) menjadi negatif terhadap







' nilai semula. Dengan demikian secara keseluruhan nilai H 35 menjadi negatif terhadap transformasi ini,



















' ' ' ' dan dapat disimpulkan pula bahwa H 35 = 0. Dengan cara yang sama diperoleh H 36 = H 37 = H 38 =0



























' ' ' ' dan H 45 = H 46 = H 47 = H 48 = 0. Dengan melakukan transformasi y1  y1 dan y2  y2 dapat











' ' ' ' ditunjukkan bahwa H 57 = H 58 = H 67 = H 68 = 0. Dengan demikian persamaan sekularnya adalah:



b11 ' H 12 0



' H 12 b22 0



0



0



0 0 b 33 ' H 34



0 0



0 0



0 0



0 0



0 0



0 0



0 0 0 0 ' H 34 0 b 44 0 0 b 55 ' 0 H 56 0 0 0 0



 bii  H ii'  E 1



0 0 0 0



0 0 0 0



0 0 0 0



' H 56 b 66



0 0



0 0 ' H 78



0 0



b 77 ' H 78



=0



(9-97a)



b88 i = 1, 2, ....., 8



Determinan sekularnya berbentuk determinan blok, dan hasilnya adalah perkalian empat buah determinan yang masing-masing adalah determinan order dua. Dapat kita simpulkan bahwa fungsi gelombang order nolnya mempunyai bentuk sebagai berikut:



207



































10   c1 10   c 2 20  ,



 20   c1 10   c 2 20 



 30   c3 30   c 4 40  ,



 40   c3 30   c 4 40 



 50   c5 50   c6 60  ,



 60   c5 50   c6 60 



 70   c 7 70   c8 80  ,



 80   c 7 70   c8 80 



(9-97b)



 dimana koefisien c berhubungan dengan akar pertama sedang c berhubungan dengan akar



kedua. Determinan yang pertama dari (9-97a) adalah: ' ' H 11  E 1 H 12 =0 ' ' H 12 H 22  E 1



(9-98)



Kita mempunyai:



' H 11 











e' 2  ...........  1s(1)2s(2) r12 1s(1)2s(2) dx 1 . . . . . . . . .dz 2  



atau:



' e' 2 H 11    1s (1)2 2 s (2)2 d 1 d 2 r12 ' e' 2 H 22    1s (2)2 2 s (1)2 d 1 d 2 r12 Variabel integrasinya merupakan variabel yang dapat diberi sembarang simbol. Marilah kita ' sekarang melakukan pe-label-an ulang terhadap variabel dalam H 22 dengan ketentuan sebagai berikut: Kita adakan pertukaran x1 dan x2, pertukaran y1 dan y2 serta pertukaran z1 dan z2. Pelabelan ulang ini tidak mengubah nilai r12, jadi:



' ' e' 2 H 22    1s (1)2 2 s (2)2 d 2 d 1  H 11 r12



(9-99)



' ' ' ' ' ' Argumentasi yang sama menunjukkan bahwa H 33 = H 44 , H 55 = H 66 dan H 77 = H 88 .



' Selanjutnya H 11 diberi simbol J 1s 2 s :



208



' e' 2 H 11  J 1s 2 s    1s (1)2 2 s(2)2 d 1 d 2 r12



(9-100)



Bentuk (9-100) merupakan contoh integral Coulomb. Nama ini muncul karena adanya fakta bahwa J 1s 2 s sama dengan energi elektrostatik yang muncul dari repulsi antara elektron pertama yaitu yang fungsi densitas probabilitasnya [1s]2 dengan elektron kedua. yang fungsi densitas ' probabilitasnya [2s]2. Selanjutnya H 12 diberi simbol K 1s 2 s : ' e' 2 H 12  K1s 2 s    1s(1)2s (2) 2 s (1)1s (2) d 1 d 2 r12



(9-101)



Ini disebut integral pertukaran karena fungsi yang letaknya sebelah menyebelah dengan e’2/r12 berbeda satu dengan yang lain hanya lantaran pertukaran elektron satu dengan dua. Definisi umum untuk integral Coulomb J ij dan integral pertukaran K ij adalah:



jij  f i 1 f j 2 



e' 2 f i 1 f j 2  ; r12



K ij  f i 1 f j 2 



e' 2 f j 1 f i 2  r12



(9-102)



Integrasinya dilakukan untuk seluruh rentang koordinat spasial dari elektron 1 dan 2 dan fi dan fj adalah orbital spasial. Substitusi (9-99) sampai (9-101) ke dalam (9-98) menghasilkan: J 1s 2 s  E 1



K 1s 2 s



J 1s 2 s  E 1



K 1s 2 s



J



1s 2 s



 E 1







2



=0



(9-103)



 K 1s 2 s 2



J 1s 2 s  E 1   K1s 2 s E 1  J 1s 2 s  K1s 2 s



``



E11  J 1s 2 s  K 1s 2 s ;



E 21  J 1s 2 s  K1s 2 s



(9-104)



Sekarang kita dapat menghitung koefisien dari fungsi gelombang order nol yang berhubungan dengan dua harga E 1 tersebut.. Untuk ini kita gunakan (9-84). Jika hanya ada dua harga E 1 , maka hanya ada dua harga koefisien c, sehingga (9-84) menjadi:



H



' 11







'  E11 c1  H 12 c2 = 0



209











' ' H 21 c1  H 22  E 21 c 2 = 0



atau:



J 1s 2 s



 ( j1s 2 s  K1s 2 s )c1  K 1s 2 s c 2 = 0



K1S 2 S c1  J 1s 2s  J 1s 2 s  K1s 2 s c 2



=0



atau: K1s 2 s c1  K1s 2 s c 2 = 0 K1S 2 S c1  K 1s 2 s c 2 = 0 Kedua persamaan tersebut sama, yaitu: K1s 2 s c1  c 2  = 0 Karena K 1s 2 s pasti tidak nol, maka c1 + c2 = 0 atau c1 = c2. Dari normalisasi:







10  10  = 1, diperoleh:  c1 10   c 2 20  c1 10   c 2 20  = 1



atau: c1 10   c1 20  c1 10   c1 20  = 1 c1



c1



2



 10   10   c1



2



1  c1 = 1  c1 = ½ = 2 , jadi:



2



2



 10   20   c1



2



 20   10   c1



2



 20   20  = 1



2



c1  2 1 / 2



Substitusi c1 ke dalam (9-97b) menghasilkan dua fungsi order nol yaitu:



10   2 1 / 2 ( 10    20  )  2 1 / 2 1s(1)2s(2)  2 s(1)1s(2)



(9-105)



 20   2 1 / 2 ( 10    20  )  2 1 / 2 1s(1)2 s (2)  2 s(1)1s(2)



(9-106)



Tiga determinan yang lain dari (9-97a) adalah:



210



' H 12



b11 ' H 12 0



b22 0



0



0



0



0



0



0 0 ' H 34 0 b 44 0



0 0 0



0 0 0



0 0 0



0



0 b 33 ' H 34



0 0



0 0



0 0



0 0



0 0



0 0



' H 33  E 1



0



0



0 b 55 ' 0 H 56 0 0 0 0



' H 34



' H 34



' H 33  E 1



' H 55  E 1



' H 56



' H 56



' H 55  E 1



' H 77  E 1



' H 78



' H 78



' H 77  E 1



' H 56 b 66 0 0



0



0



0 b 77 ' H 78



0 ' H 78 b88



=0



(9-107)



=0



(9-108)



=0



(9-109)



' ' Perhatikan H 33 dan H 55 :







' H 33



=



  



' H 55



=



 







e' 2 .........  1s (1)2 p x (2) 1s (1)2 p x (2) dx1 .............dz 2 r12  



e' 2 .........  1s (1)2 p y (2) 1s (1)2 p y (2) dx1 .......... ...dz 2 r12 



Kedua integral tersebut adalah sama, hanya 2 p x (2) diganti 2 p y (2) , dan kedua orbital ini sepenuhnya sama dan hanya berbeda orientasinya dalam ruangan. Selanjutnya, juga dapat ' ' ' digunakan lasan yang sama untuk menyatakan bahwa H 77 juga sama dengan H 33 dan H 55 .



Ketiga integral ini disebut integral Coulomb J 1s 2 p . Jadi: ' ' ' = H 55 = H 77 = J 1s 2 p = H 33



  1s(1)2 p z (2)



' ' ' Selanjutnya perhatikan H 34 , H 56 dan H 78 :



e' 2 1s (1)2 p z (2) d 1 d 2 r12



211  ' H 34



' H 55



' H 78



=



=



=











.........  1s (1)2 p x (2)























.........  1s (1)2 p y (2)























.........  1s (1)2 p z (2)











e' 2 1s (2)2 p x (1) dx1 .............dz 2 r12 e' 2 1s (2)2 p y (1) dx1 .......... ...dz 2 r12



e' 2 1s (1)2 p z (2) dx1 .............dz 2 r12



Ketiga integral tersebut adalah sama dan ketiganya disebut integral pertukaran K 1s 2 p . Jadi: ' ' ' H 34 = H 56 = H 78 = J 1s 2 p =



  1s(1)2 p z (2)



e' 2 1s (2)2 p z (1) d 1 d 2 r12



Dengan demikian ketiga determinan (9-107) sampai (9-109) adalah identik dan mempunyai bentuk:



J 1s 2 p  E 1



K1s 2 p



K 1s 2 p



J 1s 2 p  E 1



=0



Determinan ini mirip dengan (9-103), dan dengan analogi terhadap (9-104)  (9-106), kita memperoleh:  E 31  E 51  E 71  J 1s 2 p  K 1s 2 p



(9-110)



E 41  E 61  E81  J 1s 2 p  K1s 2 p



(9-111)



 30   2 1 / 2 1s(1)2 p x (2)  1s(2)2 p x (1)  40   2 1 / 2 1s (1)2 p x (2)  1s (2)2 p x (1)



   60   2 1 / 2 1s (1)2 p y (2)  1s(2)2 p y (1)



 50   2 1 / 2 1s (1)2 p y (2)  1s (2)2 p y (1)



 70   2 1 / 2 1s (1)2 p z (2)  1s (2)2 p z (1)  80   2 1 / 2 1s (1)2 p z (2)  1s (2)2 p z (1)



(9-112)



212



Ternyata bahwa repulsi e’2/r12 telah mengubah dugaan kita terhadap degenerasi. Semula diduga bahwa energi level he tereksitasi adalah 8-fold denegerate.. Ternyata 8-ford hipotetis ini pecah menjadi 2 buah level non degenerate 1s2s dan 2 buah level yang masing-masing 3-fold degenerate yang berhubungan dengan konfigurasi 1s2p. Untuk mengevaluasi integral Coulomb dan integral pertukaran dalam E 1 pada persamaan (9-104) dan (9-110) kita dapat menggunakan ekspansi 1/r12 sebagaimana telah kita lakukan pada (9-53), dan hasilnya adalah (buktikan !): J 1s 2 s 



17 Ze' 2 = 11,42 eV 81 a o



J 1s 2 p 



59 Ze' 2 243 a o



= 13,21 eV K 1s 2 s



16 Ze' 2  = 1,19 eV 729 a o



K1s 2 p



112 Ze' 2  = 0,93 eV 6561 a o



(9-113)



dengan menggunakan Z = 2. Ingat bahwa E 0  = 68,08 eV. Jadi ada empat level energi koreksi order pertama, yaitu (gambar 9.2): E 0   E11  E 0   J 1s 2 s  K 1s 2 s  57,8 eV E 0   E 21  E 0   J 1s 2 s  K 1s 2 s  55,4 eV E 0   E 31  E 0   J 1s 2 p  K 1s 2 p  53,7 eV E 0   E 41  E 0   J 1s 2 p  K 1s 2 p  53,9 eV 53,9 eV 1s2p



Kp 55,4 eV 55,7 eV



1s2s Ks 57,8 eV



 Jp Js



213



       



Gambar 9.2 : Level tereksitasi pertama dari atom helium



Koreksi energi order pertama menunjukkan bahwa level bawah dari 1s2p ternyata lebih rendah dari level atas pada konfigurasi 1s2s. Studi terhadap spektrum atom helium menunjukkan bahwa kenyataannya tidak seperti itu. Kesalahan ini akan terhapus jika dilakukan koreksi energi perturbasi dengan order yang lebih tinggi.



9.8 Perbandingan antara Metode Variasi dengan Perturbasi Penggunaan metode variasi hanya terbatas untuk level ground state dari sebuah atom atau molekul yang merupakan state dari sebagian besar unsur atau senyawa kimia sedang metode perturbasi dapat diterapkan untuk seluruh state dalam atom dan molekul. Meskipun metode perturbasi, secara teoritik dapat digunakan untuk melakukan kalkulasi terhadap seluruh state, namun kenyataannya, adalah sangat rumit untuk melakukan kalkulasi penjumlahan terhadap state diskrit yang banyaknya tak terhingga dan kalkulasi integral untuk mengevaluasi koreksi order kedua atau yang lebih tinggi.



Dengan metode perturbasi, kita dapat mengkalkulasi energi dengan hasil yang sangat akurat (sampai dengan koreksi order 2k+1) dengan menggunakan fungsi gelombang order k. Sementara itu, meskipun metode variasi tidak dapat menghasilkan kalkulasi secara sangat akurat, tetapi metode ini dapat digunakan untuk menghitung energi dengan fungsi gelombang yang tidak harus akurat. Meskipun hampir semua kalkulasi terhadap fungsi gelombang molekul telah dilakukan orang dengan menggunakan metode variasi, namun ada baiknya dilakukan kembali kalkulasi yang sama tetapi dengan metode perturbasi.



9.9 Teori Perturbasi Bergantung Waktu Dalam spektroskopi, kita selalu bekerja dengan sistem dalam state stasioner, mengekspose-nya menjadi radiasi elektromagnet (cahaya), dan kemudian melakukan pengamatan setelah sistem mengalami transisi menjadi sistem stasioner yang baru. Radiasinya menghasilkan energi



214



potensial bergantung waktu pada operator Hamiltonian, jadi kita harus menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu. Metode pendekatan yang lazim dipergunakan dalam kasus ini disebut teori perturbasi bergantung waktu. Perhatikan sebuah sistem (atom atau molekul) dan kita misalkan sistem itu mempunyai  Hamiltonian bebas waktu H o (dalam keadaan tidak ada radiasi maupun perturbasi bergantung  waktu yang lain) dan mempunyai perturbasi bergantung waktu H ' . Persamaan Schrodinger bebas waktu untuk problem tak terperturbasi adalah:  H o ko  E ko ko



(9-114)



dengan E ko adalah energi stasioner dan  ko adalah fungsi gelombang. Selanjutnya, persamaan Schrodinger bergantung waktu (dalam keadaan ada radiasi) adalah: 



     H o  H'  i t











(9-115)



dengan  adalah fungsi gelombang bergantung pada koordinat spasial, koordinat spin (diberi simbol q) dan bergantung waktu, jadi  = (q,t).  Pada mulanya, kita anggap bahwa H ' (t ) tidak ada (dianggap dalam keadaan tak terperturbasi). Dengan demikian persamaan Schrodingernya (tak terperturbasi) adalah: 



   o H  i t



(9-116)



Kemungkinan bahwa sistem ini stasioner, diberikan oleh ko  e



iEkot / 



 ko , dengan  ko adalah



 fungsi eigen dari H o [persamaan (9-114)]. Tiap-tiap ko merupakan solusi dari (9-116). Selanjutnya, kombinasi linear:  o   c k ko = k



 ck e



iEkot / 



 ko



(9-117)



k



adalah solusi dari persamaan Schrodinger (9-116) . Tetapan c k adalah sebuah tetapan bebas waktu. Fungsi ko membentuk himpunan lengkap (karena mereka merupakan fungsi eigen dari



 operator Hermitian H o ), sedemikian rupa sehingga setiap solusi (9-116) dapat dinyatakan



215



dalam bentuk (9-117). Dengan demikian (9-117) adalah solusi umum bagi persamaan  Schrodinger bergantung waktu (9-116), dan H o bersifat bebas waktu.  Sekarang kita anggap bahwa H ' (t ) sadah ada. Dalam keadaan ini, (9-117) tidak lagi merupakan solusi persamaan Schrodinger bergantung waktu. Namun, karena fungsi tak terperturbasi ko membentuk himpunan lengkap, akibatnya fungsi  yang sesungguhnya dapat berada di sembarang waktu yang diekspansi sebagai kombinasi linear dari fungsi ko menurut  relasi  o   bk ko . Karena H bergantung waktu, tentu saja  akan berubah terhadap waktu k



dan ekspansi koefisien bk juga berubah terhadap waktu. Oleh karena itu: =



 bk t  e



iEkot / 



 ko



(9-118)



k



 Dalam kondisi limit H ' (t ) 0, ekspansi (9-118) akan tereduksi menjadi (9-117). Substitusi (9-118) ke dalam persamaan Schrodinger bergantung waktu (9-115) dan penggunaan (9-114) menghasilkan: 



dbk iEkot /  o  e k +  i k dt =



 bk e



 E ko bk e



iEkot / 



 ko



k



iEkot / 



E ko ko +



 bk e



k







dbk iEkot /  o  e k =  i k dt



iEkot / 



 H ' ko



k



 bk e



iEkot / 



 H ' ko



k



Selanjutnya kita kalikan dengan  mo * dan diintegrasi ke seluruh koordinat spasial dan spin. Dengan menggunakan sifat ortonomalitas dari fungsi gelombang tak terperturbasi, kita peroleh: 



dbk iEkot /  o o  m k =  e i k dt



 bk e



iEkot / 







 mo H ' ko



k



Karena faktor  mo  ko , semua suku pada ekspansi ruas kiri menjadi nol kecuali satu yaitu jika m = k , sehingga:



216







 dbk iEkot /  e = i dt



 bk e



iEkot / 







 mo H ' ko



k



Karena k = m, maka ruas kiri dapat ditulis  



 dbk iEmo t /  = e i dt



 bk e



iEkot / 



 dbk iEmo t /  , sehingga:: e i dt







 mo H ' ko



k



atau: dbk i =  dt 



 bk e











o  i Em  Eko t / 







 mo H ' ko



(9-119)



k



 Marilah kita menganggap bahwa perturbasi H ' (t ) diaplikasikan pada t = 0 dan bahwa sebelum perturbasi diaplikasikan sistem berada dalam keadaan stasioner pada keadaan n dengan energi o



E no . Oleh karena itu, fungsi pada t = 0 adalah   e iEn t /  no , dan pada t = 0 nilai dari



koefisien ekspansi pada (9-118) adalah bn (0) = 1 dan bk (0) = 0 untuk k  n . Jadi: bk (0)   kn



(9-120)  Untuk memfasilitasi solusi (9-119), kita akan mengasumsikan bahwa perturbasi H ' adalah kecil dan hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, perubahan nilai koefisien bk dari nilai asal pada saat perturbasi diaplikasikan adalah sangat kecil. Sebagai aproksimasi, kita dapat mengganti koefisien ekspansi pada ruas kanan (9-119) dengan nilai asalnya (9-120), sehingga: o o  dbk i =  e i Em  En t /   mo H ' no dt   Selanjutnya perturbasi H ' diaplikasikan dari t = 0 sampai t = t’. Integrasi dari t = 0



sampai t = t’, dan dengan menggunakan (9-120) diperoleh: bm (t ' )   mn 



t' o o  i e i Em  En t /   mo H ' no dt  0



(9-121)



Penggunaan hasil aproksimasi (9-121) untuk koefisien ekspansi dalam (9-118) memberikan aproksimasi yang dikehendaki terhadap fungsi keadaan pada t = t’ pada kasus yang perturbasi  bergantung waktunya ( H ' ) diaplikasikan pada t = 0 untuk sistem dalam keadaan stasioner n.



217



 Untuk t setelah t’, aksi perturbasi telah berhenti, dan H ' = 0. Dengan demikian



persamaan (9-119) memberikan dbm / dt  0 untuk t > t’. Oleh karena itu, untuk t setelah pencahayaan terhadap perturbasi, fungsi  adalah [persamaan (9-118)]: 



=



o



 bm t ' e iEmt /  mo



untuk t  t '



(9-122)



m



dengan bm t ' koefisien sebagaimana dinyatakan oleh (9-121). Dalam (9-122),  adalah



 superposisi dari  mo yaitu fungsi eigen operator H o . Telah kita bahas dalam bab 7, bahwa pengukuran energi sistem pada t setelah t’ akan menghasilkan sebuah nilai eigen E mo yaitu nilai



 eigen dari operator H o , dan probabilitas memperoleh E mo adalah sama dengan kuadrat dari 2



nilai koefisien ekspansi atau bm t ' . o



Perturbasi bergantung waktu mengubah fungsi dari e iEn t /  no menjadi superposisi (9122). Kemudian, pengukuran energi mengubah  menjadi salah satu energi fungsi eigen o



e iEmt /  mo . Hasil bersihnya adalah transisi dari keadaan stasioner n menjadi keadaan stasioner 2



m, dengan probabilitas terjadinya transisi adalah bm t ' .







Soal-Soal 1. Untuk osilator tak harmonik dengan Hamiltonian (9-3), evaluasilah E (1) untuk keadaan tereksitasi pertama.



218



2. Sebuah partikel dalam sistem box satu dimensi mempunyai fungsi energi potensial sebagai berikut: V = b untuk ¼ l < x < ¾ l ,



V = 0 untuk 0 < x < ¼ l dan x > ¾ l



dan di luar itu V = tak terhingga, dengan b =  2 / ml 2 . Perlakukan sistem sebagai partikel terperturbasi dalam box. (a) Tentukan koreksi energi order pertama untuk seluruh state stasioner dengan bilangan kuantum n. (b) Untuk ground state dan tereksitasi pertama, bandingkan E (0)  E (1) dengan energi yang sesungguhnya yaitu 5,750345  2 / ml 2 dan 20,23604  2 / ml 2 .



3. Untuk partikel terperturbasi dalam box sebagaimana tersebut pada soal (2) di atas, tentukan koreksi order pertama untuk fungsi gelombang yang stasioner pada keadaan dengan bilangan kuantum n



4. Ketika Hylleraas memulai kalkulasinya pada helium, saat itu belum diketahui apakah ion 



hidrida terisolasi (ion H ) merupakan entitas yang stabil atau tidak. Kalkulasilah energi 



ground state ion H , diprediksi dengan fungsi trial (9-58). Bandingkan hasilnya dengan energi ground state atom hidrogen, yaitu 13,6 eV, dan tunjukkan bahwa fungsi variasi 



sederhana ini mengindikasikan bahwa H tidak stabil. (Dengan fungsi variasi yang lebih 



kompleks, dihasilkan energi ground state H adalah 14,35 eV).



 5. Ada lebih dari satu cara untuk memisahkan Hamiltonian H menjadi bagian tak terpertubasi   H o dan bagian perturbasi H ' . Selain yang dapat kita lihat pada (9-40) dan (9-41), pemisahan Hamiltonian untuk atom helium adalah sebagai berikut:



 2 2 2 2  5  e' 2  5  e' 2 1  2   Z    Z   Ho =  2me 2m e 16  r1  16  r2 



219



 5 e' 2 5 e' 2 e' 2   H' =  16 r1 16 r2 r12 Bagaimana fungsi gelombang tak terperturbasinya ? Kalkulasilah E (0) dan E (1) untuk ground state. (Lihat sub bab 9.4)



6. Sebagian besar (tetapi tidak semua) pengaruh gerak inti atom helium dapat dikoreksi dengan cara mengganti me dengan massa tereduksi  dalam menyatakan energi. Tentukan, energi helium merupakan pangkat berapa dari me ? [Lihat persamaan (9-66)].



7. Kalkulasilah < r1 > untuk fungsi trial helium (9-58).



8. Tunjukkan bahwa persamaan sekular (9-85) dapat ditulis sebagai:  det  (mo) H '  i(o)   mi ( E n(0)  E n(1) ) = 0















220



DAFTAR PUSTAKA Balentine, L.E., Am. J. Phys., 55, 785, 2004 Bates, D.R., Quantum Theory, Academic Press, New York, 1961 Bell, R.P., Tunnel Effect in Chemistry , Chapmann & Hall, London, 1990 Berry. R.S. J. Chem. Educ., 43, 283, (1966) Bunge, C. F. , Phys. Rev. A.,14, 2003 Cohen, I., and Bustard, T., J. Chem. Educ., 43, 187, (1966). De Witt B.S dan Graham, R.N. , Am.J.Phys., 39, 724 , (1971) d'Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, Wiley, New York (1974). Eyring, H., Walter, J., Kimball, G.E., Quantum Chemistry, Wiley, New York, 1944 Greenberger, D. , Physics Today (dimuat dalam majalah N.D. Mermin, April 2004 Hameka, H.F., Quantum Mechanics, Wiley, New York, 1981 Jammer, M., The Philosophy of Quantum Mechanics, Wiley, New York, 2003 Kauzmann, W., Quantum Chemistry, New York, 1997 hal 703-713 Kush, P., Physics Today, ND Mermin, 1966 Levine, Ira N, Molecular Spectroscopy Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1998 Levine, Ira N, Quantum Chemistry, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1991 Lowdin, P.O., Adv. Chem. Phys., 2, 207, (1959) . ; halaman 260-261 Midtal, J., Modern Physics, Academic Press, New York, 1965 Moore, C.E. , Ionization Potentials and Ionization Limits, NSRDS-NBS 34, National Bereau of Standards, 1970 Scherr, C.W., dan Knight, R.E., Revolution Modern Physics, 35, 436, 1963 Slater, J. C., Quantum Theory of Matter, edisi 2, Mc-Graw Hill, 1998 Zukav, G.,; An Overview of the New Physics, Morrow, New York (2001) 