Biografi Ahmad Soebardjo [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Nadya Ramadhany Kelas : XI MIA 3 Tokoh-Tokoh Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Biografi Ahmad Subardjo



Foto Ahmad Subardjo https://2.bp.blogspot.com/-bsQ19LwOC5E/VVqfZFrLXhI/AAAAAAAAAUY/blghtqN8Hg/s1600/Biografi-Ahmad-Soebardjo-1.jpg



Mendengar nama Ahmad Subardjo Djojohadisurjo banyak orang terkecoh mengira ia berasal dari kalangan priayi Jawa Ahmad Subarjo yang lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1986 adalah keturunan Aceh (Sumatera). Ayahnya bernama Teuku Yusuf dan ibunya Wardinah, seorang puteri Priangan, Jawa Barat. Sang ayah masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, Kakek Achmad Subardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu. Teuku Yusuf bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Sedangkan sang ibu merupakan keturunan Jawa-Bugis dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.



Semasa remaja Subarjo sekolah di Hogere Burger School, Jakarta (Setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Berbekal otak yang cukup pintar, Sobardjo berangkat ke negeri Belanda untuk melanjutkan studinya pada tahun 1919. Tahun itu ia tiba di Rotterdam, kemudian terus ke Amsterdam dan akhirnya pada tahun 1920 ke Leiden. Di Leiden inilah ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Leiden yang terkenal itu pada saat itulah terjadi momentum penting yang menentukan perjalanan karir politik Subardjo di kemudian hari, yaitu ketika ia menggabungkan diri dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri Belanda, yaitu Perhimpunan Indonesia. Ia kemudian terpilih menjadi ketua wadah Itu menggantikan ketua sebelumnya Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dengan berdiam di tengah-tengah masyarakat Belanda (dan Eropa pada umumnya), para mahasiswa itu selalu memperoleh tambahan pengetahuan dan pengalaman luas, juga mengalami dampak tambahan sebagai akibat perpindahan mereka dari suatu masyarakat kolonial yang restriktif dan paternalistis ke dalam masyarakat yang lebih terbuka di mana mereka umum untuk pertama kalinya dianggap sederajat dengan bangsa Eropa baik di depan hukum maupun dalam masyarakat sebagian mereka itu berasal dari desa atau kota kecil. Pada waktu belajar di Bandung atau Batavia mereka tercerabut dari kebudayaan desanya dan tertelan dalam kehidupan kota serta hiruk pikuk dunia barat yang baru saja mengalami goncangan mental perang dunia. Kini, dengan belajar dan berdiam di Eropa, mereka mempunyai kesempatan untuk mengatasi krisis identitas pribadi. Pada masa pimpinan Hatta pada tahun 1925, Perhimpunan Indonesia telah merumuskan pokokpokok pikiran yang menjadi ideologi mereka kemerdekaan ditempatkan sebagai tujuan politik yang utama. Keempat pokok tujuan itu ialah Kesatuan Nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan Swadaya. Unsur-unsur itu memang tidak baru, bahkan sebagian sudah dipergunakan berbagai partai dan gerakan- gerakan kebangsaan di Indonesia pada masa itu. Dalam proses perubahan orientasi himpunan Indonesia dari organisasi bercorak sosial budaya organisasi politik seperti inilah Ahmad Subardjo mengawali proses sosialisasi politik, tidak saja dalam cara berpikir tetapi juga melalui aktivitas-aktivitas politik. Walau ia tidak ikut diadili bersama para pemimpin PI lainnya (Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdul Madjid Djojodiningrat) yang ditahan pemerintah Belanda akibat aktivitas politik mereka, Ahmad Subardjo tetap merupakan tokoh penting dalam Perhimpunan Indonesia yang bersama-sama dengan Hatta dan



kawan-kawannya telah meletakkan dasar-dasar ideologi bagi perjuangan PI di bidang politik. Pada bulan Februari 1927 Ahmad Subardjo turut serta dalam delegasi Perhimpunan Indonesia yang terdiri atas Hatta, Gatot Tarunamihardjo, dan Muhammad Nazir Datuk pamuntjak dalam Kongres Anti Imperialisme di Brussel. Kongres ini dihadiri oleh utusan 21 negara dan Hatta sebagai ketua Delegasi Indonesia menyampaikan pidatonya di depan kongres tersebut selain resolusi-resolusi dan manifesto, kongres ini juga mengeluarkan suatu keputusan untuk meningkatkan status kongres tersebut menjadi badan yang dinamakan League Against Imperalism and for National Independence (Liga anti- imperialisme dan untuk kemerdekaan nasional) dengan sekretariat tetap di Berlin. Kongres ini mempunyai akibat yang sangat besar. Penjajah mengadakan tindakan cepat dengan mengadakan politik agresi dan reaksioner di tanah jajahan masing-masing. Pemerintah kolonial Belanda mengambil tindakan tindakan serupa terhadap gerakan nasionalis Indonesia di mana mulai diadakan penangkapan- penangkapan terhadap para pemimpin pergerakan nasional, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda, seperti penangkapan dan tokoh Perhimpunan Indonesia lainnya. Ketika Ahmad Subardjo akhirnya kembali ke tanah air dari negeri Belanda pada tahun 1934, ia sudah berumur hampir 40 tahun, suatu tingkat usia yang tidak tergolong muda lagi. Selama 15 tahun di negeri Belanda, Subardjo telah memperdalam ilmunya di bidang hukum yang menjadikan seseorang yang diakui ahli dalam bidang tersebut melalui mana ia kemudian banyak memberikan sumbangan kepada bangsanya yang sesudah kemerdekaan. Walau ia seorang ahli ilmu hukum, seperti juga teman-teman seangkatannya, Subardjo tidak menjadikan dirinya semata-mata seorang ilmuwan teknis yang hanya ahli dalam bidang studinya. Sebaliknya, ia telah memperdalam berbagai aliran pemikiran sosial, politik, dan filsafat yang saat itu sedang dominan di Eropa. Angkatan Subardjo sebut saja angkatan 20-an adalah suatu generasi baru bangsa Indonesia yang sekali melompat telah melampaui beberapa tahapan kesadaran sekaligus. Melampaui tahap kesadaran parokial kesukuan ke tahap kesadaran nasional dan langsung ke tahap kesadaran mondial akibat pertemuan mereka dengan masyarakat dan Kebudayaan Bara,t serta “keakraban” mereka dengan tema-tema pemikiran besar yang sifat universal yang bersifat universal yang mereka pelajari selama di negeri Belanda. Dalam tingkat kesadaran dan kematangan berpikir seperti itulah Subardjo kembali ke Indonesia dan memulai suatu fase baru dalam hidup dan perjuangan politiknya.



Menjelang dan Sesudah Kemerdekaan Ketika Subardjo tiba kembali di Indonesia suhu politik di tanah air sedang meninggi, baik bagi kalangan pemimpin nasionalis Indonesia maupun bagi pemerintahan kolonial Belanda sendiri. Aspirasi-aspirasi nasionalisme Indonesia yang mulai muncul sejak awal abad ini semakin memperlihatkan sosoknya yang jelas sesudah tahun 1920-an dalam wujud berdirinya berbagai gerakan nasionalis. Sebagian di antara teman-teman Subardjo yang dulu bergabung dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda seperti Ishaq Tjokrohadisurjo, Sunario, dan Sartono setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1927 bersama-sama dengan Ir. Soekarno mendirikan partai politik yang telah terbukti sangat besar pengaruhnya, Partai Nasional Indonesia (PNI ). Bersamaan dengan berdirinya partai ini, aspirasi nasionalisme rakyat Indonesia semakin mendapatkan kerangkanya untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi tersebut. Di mana-mana muncul gerakan perlawanan terhadap Belanda dengan suatu tujuan yang jelas dan tegas: kemerdekaan Indonesia. Ketika Soekarno ditahan dan diasingkan, seorang temannya, Mr. Sartono mengambil inisiatif membubarkan PNI dan kemudian mendirikan partai baru Partindo. Hatta yang tidak menyetujui tindakan Sartono kemudian mengambil inisiatif mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (dikenal sebagai PNI baru). Di samping itu, muncul pula berbagai gerakan dan kelompok politik lainnya. Akan tetapi, seperti yang terjadi pada diri Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, pemimpinpemimpin pergerakan tersebut ditahan dan diasingkan bersamaan dengan kontrol politik yang terus mengetat. Dalam suasana politik seperti itu, Subardjo memilih tidak ikut dalam kegiatan politik dan lebih memusatkan diri pada pekerjaannya sebagai pengacara di Bandung. Ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada awal 1942, Subardjo bekerja pada Kantor Penasihat AD Jepang yang dipimpin oleh Hatta, kemudian bekerja pada suatu badan Jepang, kaigun bukanhu, kantor penghubung Laksamana Maeda salah seorang pemimpin Angkatan Laut Jepang di Indonesia. Tugasnya pada badan ini adalah memberikan data kepada Maeda tentang sejarah pergerakan nasional Indonesia, konsepsi-konsepsi dasar nasionalisme Indonesia, dan berbagai hal lainnya tentang masyarakat Indonesia, termasuk informasi tentang reaksi sebenarnya dari rakyat terhadap pemerintah militer Jepang di Indonesia. Dalam tugas inilah ia kemudian banyak mengenal secara pribadi tokoh-tokoh pemimpin militer Jepang di Indonesia, membina hubungan baik dengan mereka, suatu hal yang kemudian ternyata bermanfaat pada



saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ketika ia memainkan peran penting sebagai “penghubung” antara Soekarno-Hatta dan pemimpin militer Jepang. Dalam melapangkan Jalan bagi peristiwa penting tersebut, Subardjo juga memainkan peranan penting sebagai “penghubung” antara Soekarno-Hatta dan para pemuda radikal yang menuntut kedua pemimpin itu melakukan pengumuman proklamasi sebelum 17 Agustus agar kemerdekaan Indonesia tidak dianggap sebagai “hadiah” atau buatan Jepang; maupun sebagai penghubung antara pemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia dan pemimpin militer Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda. Subardjo adalah orang yang menjemput Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, 16 Agustus 1945 saat kedua pemimpin itu “diculik” para pemuda yang katanya akan mengobarkan pertempuran besar-besaran di Jakarta hari itu (yang nyatanya tidak pernah terjadi). Ia juga yang menghubungi para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia malam itu untuk menghadiri rapat bersejarah menjelang 17 Agustus dan menghubungi Laksamana Maeda untuk meninjau ruang di rumahnya sebagai tempat rapat. Lebih dari itu, ia merupakan salah seorang peserta rapat kecil bersama Soekarno, Hatta, Sukarni, dan Sayuti Melik untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan yang dibacakan besok paginya oleh Soekarno sebagai pernyataan resmi kemerdekaan Indonesia sebagai seorang yang memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman luas dalam bidang politik, Subardjo mendapat kepercayaan dari Soekarno dan terutama Hatta pada saat-saat menegangkan menjelang proklamasi kemerdekaan itu. Selanjutnya, Ahmad Subardjo turut menyumbangkan pemikirannya dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan



Indonesia. Kalimat “Kami



bangsa



Indonesia dengan ini



menyatakan



kemerdekaannya” dalam naskah proklamasi kemerdekaan merupakan buah pemikiran Ahmad Subardjo. Persahabatan dan kerja samanya dengan Hatta selama tahun 1920-an dalam Perhimpunan Indonesia merupakan faktor lain yang menyebabkan ia dipercaya oleh Hatta untuk ikut dalam kegiatan kegiatan politik penting sebagai persiapan menjelang kemerdekaan Subardjo dipilih sebagai salah satu anggota BPUPKI dan kemudian salah satu anggota Panitia Sembilan yang bertugas menyusun rancangan undang-undang dasar dan dasar negara yang akan digunakan sesudah kemerdekaan tercapai. Pengetahuan dan pengalaman politik yang ditimbanya selama belajar di negeri Belanda, ditambah dengan keahliannya sebagai sarjana hukum tampak ikut memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dasar tersebut.



Segera sesudah kemerdekaan diproklamasikan dengan Soekarno-Hatta terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 keesokan harinya (19 Agustus) Subardjo menjadi ketua sebuah panitia kecil dengan anggota A. A. Maramis dan Soetardjo Kartohadikoesoemo yang ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan organisasi pemerintah pusat. Dari tangan panitia kecil inilah lahir susunan kabinet pertama yang terdiri atas presiden dan wakil presiden ditambah 16 menteri tersebut termasuk Subardjo sendiri sebagai menteri luar negeri. Dilema Politik Bebas Aktif: Kontroversi Bantuan Amerika Ketika Subardjo menjadi menteri luar negeri pada Kabinet Sukiman awal 1952, lagi-lagi ia berada dalam posisi kontroversial karena penandatanganan persetujuan untuk menerima bantuan Amerika Serikat dalam rangka Mutual Security Act. Peraturan tentang Mutual Security Act (MSA) ini berlangsung pada masa Presiden Truman tahun 1951 yang pada dasarnya hendak memberikan bantuan ekonomi dan militer bagi negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara lainnya dalam rangka “meningkatkan kerjasama untuk memelihara keamanan internasional”. Tujuan-tujuan sebenarnya di balik itu tentu saja untuk memperkukuh posisi Amerika dalam persaingannya dengan Uni Soviet yang yang makin meningkat sesudah Perang Dunia II. Masalah ini sebenarnya berkaitan dengan dilema yang dihadapi Kabinet Sukiman pada tahun sebelumnya (1951), yaitu apakah ikut atau tidak dalam penandatanganan perjanjian perdamaian antara Amerika Serikat dan Jepang di San Fransisco. Pada 24 Agustus 1951 kabinet memutuskan akan mengirimkan Menteri Luar Negeri Subardjo ke San Fransisco, walaupun belum dipastikan apakah akan ikut menandatangani atau tidak perjanjian tersebut. Subardjo sendiri berpendapat bahwa hal itu tergantung pada jalannya pertemuan tersebut. Pada tanggal 7 september 1950 kabinet memutuskan untuk menandatangani perjanjian itu, walaupun banyak pihak dalam negeri menentangnya. Pihak-pihak yang menentang itu menganggap bahwa dengan ikut sertanya Indonesia dalam perjanjian ini berarti Indonesia akan tergantung kepada AS dan meninggalkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang sudah dilaksanakan secara konsisten sejak awal kemerdekaan. Sementara itu, pihak yang setuju dengan hal itu berpendapat bahwa penandatanganan perjanjian itu menguntungkan Indonesia dalam



meletakkan dasar bagi perundingan perjanjian pembayaran pampasan perang Jepang kepada Indonesia. Pada bulan Januari 1942 Subardjo mengadakan perjanjian tentang penerimaan bantuan ekonomi dan militer Amerika dengan Duta Besar AS Merle Cochran di Jakarta. Dalam “pembelaannya” di kemudian hari, Subardjo menyatakan bahwa kesediaannya menerima bantuan militer itu dilakukannya karena sesuai dengan “kondisi dalam negeri Indonesia waktu itu yang sedang mengalami gangguan keamanan khususnya gangguan gerombolan Darul Islam di daerah Jawa Barat”.



Padahal, justru bantuan militer itulah yang terutama menjadi pokok



pertikaian dibandingkan penerimaan bantuan dari segi ekonomi. Sebagai reaksi terhadap langkah-langkah Subadrjo maka tanggal 12 Februari 1952 Masyumi menyatakan bahwa partai itu tidak bertanggung jawab terhadap keputusan menteri Luar Negeri Subardjo tentang masalah penerimaan bantuan tersebut. Sehari setelah pernyataan Masyumi itu Kabinet dalam rapatnya menyatakan sikap tidak menyetujui langkah Menteri Luar Negeri Subardjo kondisi inilah yang menyebabkan Subardjo akhirnya mengundurkan diri dari kabinet. Akibat semuanya itu, kabinet mengundurkan diri pada tanggal 23 Februari serta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno. Dengan demikian, berakhirlah masa pemerintahan Kabinet Sukiman. Kritikkritik untuk Subardjo dalam kasus ini sebenarnya untuk sebagian dapat dilihat sebagai manifestasi dari sikap “nasionalistis yang sedang menggebu-gebu” pada awal kedaulatan kemerdekaan yang diperlihatkan oleh politisi dari kalangan partai Suatu sikap yang sebenarnya kurang dilandasi oleh perhitungan realistis dalam penyelenggaraan administrasi suatu pemerintahan baru yang sedang berupaya mengkonsolidasikan diri setelah sekian lama berada dalam suasana revolusi. Terlepas dari kontroversi langkah-langkah Soebardjo sebagai menteri luar negeri dalam kasus bantuan Amerika itu sesungguhnya mencerminkan awal dari sesuatu yang tidak terselesaikan dalam sejarah politik luar negeri Indonesia tuntutan realistis terhadap kebutuhan pembangunan dalam negeri dihadapkan dengan prinsip-prinsip ideologis yang melandasi politik luar negeri dan tampaknya hingga kini serta untuk waktu-waktu yang akan datang dilema itu masih akan dihadapi Pada 15 Desember 1978, Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahundi Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Kemudian, Ia dimakamkan di Cipayung, Bogor. Pada tahun 2009, Pemerintah mengangkat almarhum Achmad Soebardjo sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.



Sumber : Bashri, Yanto dan Retno Suffatni (ed.). 2005.Sejarah Tokoh Bangsa.Yogyakarta:Pustaka Tokoh Bangsa https://prabhagib.blogspot.com/2015/05/biografi-singkat-ahmad-subardjo.html https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-achmad-soebardjo/