Biografi Ibnu Miskawaih [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pembaharu Pendidikan Islam Pada Masa Klasik (Tokoh Ibnu Miskawaih) Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembaharuan Pengembangan Pendidikan Islam Dosen : Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf



Disusun Oleh : Mat Suef NIM. 1520411074 PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2016 1



A. Pendahuluan Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem sosial yang dipahami sebagai aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim pada operasionalisasinya melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya adalah sebuah sistem, dimana proses pendidikan Islam dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan Islam. Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang pelu diemban oleh pendidikan. Islam adalah pendidikan mannusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya. Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Salah satu tokoh filusuf yang banyak memberi pengaruh besar terhadap konsep pendidikan Islam adalah Ibnu Maskawaih, oleh karena itu penulis berusaha membahas pemikiran-pemikirannya terhadap pendidikan Islam.



2



B. Pembahasan 1. Biografi Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.1 Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas/Bani Abbasiyah yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak khalifah Al-Mustakfi. Dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara’) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M. Ayahnya, Abu Syuja’ Buwaih adalah pemimpin suku yang amat gemar berperang, dan kebanyakan pengikutnya berasal dari daerah Pegunungan Dailan di Persia, di daerah pegunungan pantai selatan Laut Waswain yang merupakan pendukung keluarga Saman. Tiga anak Buwaih diantaranya Ahmad bin Buwaih, mengadakan ekspansi ke daerah selatan, hingga berhasil menduduki Asfahan, kemudian Syiraz dan daerah sekitarnya pada tahun 934 M. dua tahun berikutnya dia berhasil menaklukkan Khuziztan (Dulu Ahwaz dan Karman). Kemudian Syirazlah yang dipilih menjadi ibukota kekuasaan mereka. Pada tahun 945 M. Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat Bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap Bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah Bani ‘Abbas. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa “Adhud Al-Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. ‘Adhud Al-Daulah adalah penguasa Islam yang pertama kali menggunakan gelar Syahinzah yangberarti Maharaja, gelar yang dipergunakan raja-raja Persia Kuno. 1



Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung;DIMAS, 1993), hal.47



3



Kecuali prestasinya dalam bidang politik yang luar biasa, yang telah berhasil menyatukan



kembali



Negara-negara



kecil



yang



memisahkan



diri



dari



pemerintahan pusat hingga menjadi imperium besar, sebagaimana dialami pada masa Harun Al-Rasyid, ‘Adhud Al-Daulah amat besar juga perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah; dan pada masa ini jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetepi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.2 Riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnyapun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (Nahwu) dan ‘Arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khusunya sejarah Arab, Parsi dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macammacam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran). Di duga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam ini pada 2



A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2004) hal, 166-167 .



4



masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Maskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, terutama di saat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri



Rukn Al-Daulah



juga akhirnya



memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah. Pengetahuan Maskwaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Maskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarahwan dan filosof. Sebagai filosof, Maskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.3 2. Karya-Karya Ibnu Miskawaih Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:4 1) Al-Fauz al-Akbar 2) Al-Fauz al-Asghar 3) Tajarib al-Umam 4) Uns al-Farid 5) Tartib al-Sa’adat 6) Al-Mustaufa 7) Jawidan Khirad 8) Al-Jami’ 9) Al-Siyab 10) On the Simple Drugs 3



Ibid, hal 168 Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 128-129 4



5



11) On the Composition of the Bajats 12) Al-Ashribah 13) Tahzib al-Akhlaq 14) Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs 15) Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql 16) Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas 17) Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql 18) Thaharat al-Nafs 3. Pemikiran Ibnu Miskawaih a. Konsep Jiwa Kata jiwa berasal dari bahasa arab (‫ )النفس‬atau nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa.5 Para filsuf Islam memandang jiwa merupakan sesuatu yang mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia. 6.Pada manusia itu terdapat materi tubuh dan jiwanya. Tubuh dan jiwa itu mempunyai perbedaan. Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih, adalah rohani yang tidak hancur  dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan  yang tidak dapat terbagi bagi.ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca Indra karena ia bukan jism dan bagian dari jism. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya. Ibnu Maskawaih untuk memahami tentang jiwa beliau membedakan antara jiwa dan materi, jiwa sebagaimana dapat dipahami lebih condrong kepada yang tidak dapat ditangkap dan diraba 5



Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab,  cet. I, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). Hal. 366. 6 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, ( Jakarta: UI Press, 1983). Hal. 8.



6



sedangkan materi adalah yang berbentuk dan memiliki berbagai unsur yang dapat diraba, selanjutnya materi dapat dilihat dengan panca indra sebaliknya jiwa manusia itu sendiri artinya jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi  hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia dalam  merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia pendidikan.7 Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.8 b. Konsep Akhlak



7 8



Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H). hal. 32.  Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Surakarta ,CV. Ramadhani, 1970), hal. 150.



7



Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah). Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi



tengah



tersebut



adalah



keadilan



atau



keseimbangan.



Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir



melainkan



harus



bersifat



diantara



kikir



dan



boros.



Sebagai makhluk sosial manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pendidikan ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu



8



mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.9 c. Konsep Pendidikan 1) Tujuan Corak pemikiran pendidikan Ibnu Maskawaih lebih bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya mengenai tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut: a) Tercapainya akhlak mulia b) Kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan Menurutnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan.10 2) Materi Menurut Ibnu Maskawaih yang dikutip oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih menekankan pada materi yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan menjadikan manusia sesuai dengan esensiasinya.11 9



Konsep Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih https://artikelilmiyah.wordpress.com/2012/06/13/konsep-pemikiran-pendidikan-ibnu-miskawaih/, Diunduh, tanggal 13 November 2016 10 Ibid, 282. 11 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011), hal. 286



9



Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya, yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap demi setahap pada materi



ilmu



lainnya



sehingga



peserta



didik



mencapai



tingkat



kesempurnaan. 3) Metode a) Metode alami (tabi’iy), Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses



mendidik



itu



berdasarkan



atas



pertumbuhan



dan



perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah. b) Nasihat dan tuntunan, Ibnu Maskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan tuntunan. c) Metode Hukuman, Ibnu Maskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada. d) Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan. Menurutnya apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu dipuji. e) Mendidik



berdasarkan



asas-asas



pendidikan.



Menurutnya



mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan, keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan.12 4) Pendidik dan Peserta



12



Ibid, hal. 286-288.



10



Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.13 Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula



13



Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999), hal.16.



11



pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat. Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.14 C. Kesimpulan 1. Simpulan Biografi, Ibnu Maskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair. Kesederhanaannya dalam melayani hawa nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk ini. Dia sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzib al-Aqhlak yang menunjukkan bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang etika. Karya Ibnu Al-Maskawaih, Beberapa karyanya adalah:Al-Fauz alAkbar,Al-Fauz al-Asghar,al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M),Uns al-farid (koleksi anekdot, sya’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah),Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik),Al-Mustada ( sya’ir–sya’ir pilihan) Dalam hal jiwa manusia, Ibnu Maskawaih membaginya kepada tiga tingkatan, yakni  nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. Hal ini ia jelaskan dengan ungkapan bahwa setiap manusia memiliki potensi asal yang baik, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat.



14



Ibid, hal. 19-20.



12



Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq. Dengan demikian manusia dengan akalnya dapat memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. 2. Ide Pembaharuan dan Pengembangan 1) Mengembangkan Tradisi Pemikiran Islam Hal yang banyak menajdi pembahasan miskawaih adalah bagaimana mengembangkan tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam. Sekarang ini hal itu berkembang cukup pesat di Lembaga – lembaga Pendidikan sekarang ini. Kegigihan Ibnu Maskawaih dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan ia masih berguru untuk memperdalam berbagai macam disiplin ilmunya sehingga dia dikenal sebagai Bapak Filsafat Etika Muslim dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim. 2) Integrasi Keilmuan Ilmuwan Prancis Bruno “Abdul Haqq” Guiderdoni mengatakan ada persamaan epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran yang terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun, kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama. Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bias bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial. Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label ilmu 13



agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al-Qur’an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.15



D. Daftar Pustaka Akhyar,



Thawil Dasoeki, 1993, Sebuah Kompilasi



Filsafat



Islam,



Temanggung;DIMAS, Bakar , Abu Atjeh, 1970,  Sejarah Filsafat Islam, Surakarta, CV. Ramadhani. Kholiq, Abdul, dkk, 1999, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. Semarang: Pustaka Pelajar Offset, Miskawaih, Ibn, 1398H, Tahzib al-Akhlaq, Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat,. Mahmud, 2011, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia,, Munawwir dan Muhammad Fairuz, 2007, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, Surabaya: Pustaka Progressif, Mustofa, A.. 2004, Filsafat Islam Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Nasution, Harun, 1983, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Konsep



Pemikiran



Pendidikan



Ibnu



Miskawaih



https://artikelilmiyah.wordpress.com/2012/06/13/konsep-pemikiran-pendidikanibnu-miskawaih/, Diunduh, tanggal 13 November 2016



15



Konsep



Pemikiran



Pendidikan



Ibnu



Miskawaih



https://artikelilmiyah.wordpress.com/2012/06/13/konsep-pemikiran-pendidikan-ibnu-miskawaih/, Diunduh, tanggal 13 November 2016



14