Biomarker Untuk Diagnosis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Biomarker untuk Diagnosis dan Prognosis Cedera Intracranial Ringan/Gegar Otak Cameron B. Jeter, Georgene W. Hergenroeder, Michael J. Hylin, John B. Redell, Anthony N. Moore, dan Pramod K. Dasha



Abstrak Cedera intracranial ringan (mTBI) dihasilkan dari transfer energi mekanik menuju otak dari kejadian traumatik seperti percepatan / perlambatan dengan cepat, tabrakan langsung ke kepala, atau ledakan. Transfer energi ke otak bisa menyebabkan perubahan struktural, fisiologis, dan / atau fungsional pada otak yang dapat menghasilkan gejala neurologis, kognitif, dan perilaku yang bisa bertahan dalam waktu lama. Karena mTBI dapat menyebabkan gejala-gejala ini meski tanpa disertai adanya temuan positif pada neuroimaging, diagnosis dapat menjadi subjektif dan sering didasarkan pada gejala-gejala neurologis yang dilaporkan pasien sendiri. Lalu, diagnosis yang tepat dapat dipengaruhi oleh motivasi tertentu untuk menyembunyikan



atau



melebih-lebihkan



gejala



dan



/



atau



ketidakmampuan pasien untuk merasakan disfungsi atau perubahan kesadaran ringan. Oleh karena itu, diagnosis mTBI yang tepat akan dapat ditentukan dari indikator cedera objektif. Istilah gegar otak dan mTBI sering digunakan secara bergantian, dengan gegar otak terutama digunakan dalam kedokteran olahraga, sedangkan mTBI digunakan untuk menjelaskan cedera traumatik. Ulasan ini memberikan penilaian kritis terhadap status biomarker yang ada saat ini dalam diagnosis mTBI pada manusia. Kami meninjau status biomarker yang diuji pada pasien TBI dengan cedera ringan, dan memperkenalkan konsep baru dalam penemuan



biomarker



(disebut



sebagai



symptophenotypes)



untuk



memprediksi gejala umum dan unik dari gegar otak. Akhirnya, kami membahas kebutuhan akan biomarker / biomarker signature yang dapat mendeteksi



mTBI



dalam



konteks



politrauma,



dan



untuk



menilai



konsekuensi dari cedera berulang terhadap perkembangan sindroma cedera sekunder, berkepanjangannya gejala pasca-gegar otak, dan ensefalopati traumatik kronis.



Kata kunci: ensefalopati traumatik kronis; politrauma; sindroma pascagegar otak; mTBI berulang; kembali bekerja



Pendahuluan Cedera intracranial ringan (mTBI) muncul dari transfer energi mekanik ke otak pada peristiwa traumatis seperti perubahan gerakan yang cepat (akselerasi / deselerasi), tabrakan langsung ke kepala, atau ledakan. Insidensi mTBI di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 1,6 juta kasus setiap tahun. Dari jumlah tersebut, hampir 40% orang yang mengalami cedera otak ringan tidak mencari penanganan medis. Insidensi mTBI lebih tinggi di populasi militer kita daripada di warga sipil, dengan studi terbaru melaporkan



bahwa



sekitar



20%



dari



Operation



Enduring



Freedom/Operation Iraqi Freedom memiliki diagnosis klinis mTBI. Selain itu, populasi ini sering memperlihatkan gangguan komorbid seperti gangguan



stres



pasca-trauma



(PTSD)



atau



depresi



yang



dapat



merancukan diagnosis dengan tingkat yang lebih tinggi secara tidak proporsional daripada di warga sipil. Gejala dan diagnosis mTBI Yang menyulitkan diagnosis mTBI adalah kurangnya definisi konsensus yang menentukan apakah suatu cedera pada kepala menyebabkan mTBI. Menurut Veterans Affairs Clinical Practice Guideline, diagnosis



mTBI



diberikan



setelah



kerusakan



pada



otak



yang



menyebabkan timbulnya atau memburuknya salah satu dari berikut: skor Glasgow Coma Scale (GCS) awal 13-15; hilangnya memori akan peristiwa tepat sebelum atau setelah cedera (post-traumatic amnesia) yang



berlangsung kurang dari 24 jam; kehilangan kesadaran (LOC) yang berlangsung kurang dari 30 menit; dan perubahan status mental pada saat



cedera



disorientasi, pendefinisian



(perubahan atau



lambat



ulang



mengindikasikan



kesadaran,



dari



bahwa



berpikir. mTBI,



pasien



AOC)



seperti



Membuktikan hasil



dengan



kebingungan,



kebutuhan



neuroimaging



GCS



13



mungkin



akan terbaru perlu



diklasifikasi ulang sebagai sedang karena adanya prevalensi temuan positif pada pemindaian computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) yang lebih tinggi. mTBI dapat menginduksi gejala neurologis, kognitif, dan perilaku yang secara kolektif disebut sebagai gejala pasca-gegar otak. Gejala neurologis yang menonjol termasuk sakit kepala, muntah, mual, masalah pada



keseimbangan,



penglihatan,



pusing,



kelelahan,



mengantuk,



sensitivitas terhadap cahaya atau suara, dan gangguan tidur. Sedangkan gejala kognitif yang paling sering dilaporkan meliputi masalah perhatian, konsentrasi, memori, kecepatan pemrosesan, dan fungsi eksekutif (misalnya kerja memori dan pengambilan keputusan). Gejala perilaku yang umum terjadi meliputi kecemasan, mudah marah, agresi, dan depresi. Literatur yang ada menunjukkan bahwa pada sebagian besar pasien, gejala ini akan hilang dalam waktu 10 hari hingga 2 minggu dari cedera. Pada lebih dari 25% dari kasus, symptomology dapat terus bertahan jauh melampaui waktu ini. Gegar otak dan mTBI sering digunakan secara bergantian. Namun baru-baru ini, gegar otak lebih sering digunakan dalam konteks kedokteran olahraga, sedangkan mTBI digunakan pada cedera traumatik. Karena adanya kontroversi yang terkait dengan definisi mTBI, dan apakah istilah gegar otak dan cedera otak ringan dapat digunakan secara bergantian, diagnosis mTBI masih menjadi tantangan klinis. Lalu, tidak adanya kriteria inklusi pasien mTBI yang universal dan tercampurnya beberapa jenis dan lokasi cedera otak yang berbeda menghambat upaya



untuk



mengidentifikasi



biomarker



yang



dapat



digunakan



untuk



mendiagnosis populasi pasien ini. Pada artikel ini, kami meninjau keadaan saat ini dari biomarker mTBI, dengan fokus pada indikator biokimia cedera otak. Terakhir, kami menyarankan bahwa pendekatan yang lebih baik untuk mencapai penemuan biomarker mTBI mungkin adalah dengan menghubungkan pola ekspresi biomarker terhadap gejala neurokognitif umum atau unik (di sini disebut sebagai symptophenotypes) yang muncul dari berbagai jenis cedera TBI yang berbeda. Mekanisme dari LOC dan AOC yang diusulkan. Meskipun LOC dan AOC secara tradisional dianggap sebagai kriteria diagnostik mTBI, mekanisme yang mendasari perubahan ini tidak diketahui, meskipun beberapa hipotesis telah diusulkan. (1) Kesadaran manusia diduga melibatkan komunikasi aktif antara struktur subkortikal dan kortikal. Aktivitas yang menurun atau pemutusan fungsional antara berbagai struktur ini sebagai akibat dari peregangan atau tarikan oleh karena itu dapat memicu LOC. (2) Demikian juga, claustrum, yang terletak tepat di bawah neokorteks dan ada pada semua mamalia, memiliki interkoneksi dua arah dengan sebagian besar struktur korteks dan subkortikal. Kemampuan claustrum untuk mengintegrasikan banyak komponen yang terlibat dalam pengalaman sadar menyebabkan beberapa peneliti menduganya sebagai pusat untuk mempertahankan kesadaran. Dengan demikian, kerusakan struktural atau fungsional struktur ini sebagai akibat dari mTBI bisa mengakibatkan LOC. (3) Telah diusulkan juga bahwa percepatan angular menyebabkan decoupling fungsional dari komunikasi neural antara struktur korteks dan subkortikal otak. Ini mungkin dihasilkan dari hiperaktivitas saraf yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter dalam jumlah besar di awal,



diikuti oleh hipoaktivitas neuronal. Konsisten dengan mekanisme tersebut, aktivitas mirip kejang dapat diamati setelah cedera tabrakan. (4) Hipotesis lain berpendapat bahwa aktivasi mekanisme kolinergik inhibisi di tegmentum pontine dorsal menyebabkan LOC. Hal ini didukung oleh observasi eksperimental yang menunjukkan bahwa injeksi agonis kolinergik ke batang otak menyebabkan supresi perilaku, yang berkaitan dengan ketidaksadaran. (5)



Baru-baru



ini,



model



elemen



tiga



dimensi



terbatas



dikembangkan dan memasukkan percepatan linear dan angular serta anatomi otak, seperti lokasi ventrikel, adanya tulang orbital, invaginasi dura, dan perbedaan ambang jaringan dan seluler. Model ini memprediksi bahwa gaya yang menyebabkan gegar menimbulkan gerakan diferensial pada berbagai daerah otak yang relatif terhadap satu sama lain dan terhadap tengkorak, yang menyebabkan kerusakan otak dan mungkin juga menyebabkan LOC / AOC. (6) Hipotesis yang telah diteliti dengan baik menyatakan bahwa cedera aksonal traumatis (TAI) pada white matter otak bertanggung jawab pada inisiasi LOC, dan derajat TAI menentukan durasi LOC. Seperti ditunjukkan di atas, percepatan angular (atau rotasional) dari otak menyebabkan TAI. Menggunakan model babi TBI, percepatan angular hemisfer kortikal dalam kaitannya dengan batang otak terbukti penting untuk menimbulkan LOC. Lalu, telah dibuktikan juga bahwa rotasi batang otak transversal, bukan melingkar, mencukupi untuk menyebabkan LOC pada miniatur babi. Peneliti ini juga melaporkan bahwa TAI kortikal tanpa adanya TAI batang otak tidak menghasilkan LOC, menunjukkan bahwa TAI batang otak, bukan TAI luas di seluruh otak, adalah faktor utama LOC. Perbedaan anatomi dan fisiologi antara babi (dan hewan lainnya) dan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasikan temuan ini untuk menjelaskan LOC pada manusia.



Sejumlah besar hasil eksperimen menunjukkan bahwa TAI bersifat progresif, yang dimulai dari perubahan fokal sitoskeleton (disebut sebagai undulasi akson) dan disregulasi kalsium, pada akhirnya menghasilkan pemutusan aksonal. Berbagai mekanisme disregulasi kalsium telah terbukti



terjadi



pada



model



in



vitro



dan



in



vivo.



Ini



meliputi



mechanoporation mikroskopis dari axolemma yang memungkinkan masuknya kalsium ekstraseluler, aktivasi kanal Na+ yang menyebabkan depolarisasi neuron dan aktivasi kanal Ca+2 voltage gated, aktivasi Na+ / Ca+2 exchangers, dan pelepasan kalsium dari deposit intraseluler. Pada model eksperimental TBI, patologi TAI berkembang perlahan-lahan, memuncak dalam waktu 24 jam, dan dapat berkembang sampai dengan 1 tahun pasca-cedera. Maka, perjalanan waktu perkembangan TAI tidak konsisten dengan LOC / AOC setelah mTBI, yang menunjukkan bahwa disfungsi aksonal, bukan TAI, adalah yang menyebabkan LOC / AOC. Berdasarkan observasi terbaru bahwa kanal transient receptor potential (TRP) yang diaktifkan oleh regangan ada pada sel-sel saraf dan permeabilitas membran terganggu setelah cedera regangan, kami menduga bahwa meningkatnya permeabilitas membran dan / atau aktivasi kanal TRP dapat untuk sementara menurunkan fungsi aksonal yang menyebabkan LOC / AOC. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk mendukung atau menyanggah hipotesis ini dan lainnya. Diagnosis mTBI. Pengenalan mTBI adalah bagian yang paling menantang dari manajemen gejala pasca-cedera. Tanda-tanda dan gejala mTBI dapat tidak tampak jelas, dan tantangan diagnostik dibuat lebih sulit oleh pasien yang mungkin mengabaikan, menyembunyikan, atau melebihlebihkan gejala mereka. Laporan saksi yang dapat dipercaya dan pertanyaan tertutup untuk mengevaluasi LOC, amnesia pasca-trauma, dan kebingungan diperlukan untuk diagnosis. Kesulitan-kesulitan dalam diagnosis ini dipersulit lebih jauh oleh tak adanya definisi kriteria mTBI yang jelas. GCS sering digunakan pada awal untuk menilai derajat kesadaran setelah TBI. Nilai GCS ditentukan dari tiga tes yang meliputi



respon mata, verbal, dan motorik, dan hasil mereka dijumlahkan untuk mengevaluasi LOC dan digunakan sebagai salah satu pengukuran keparahan cedera. Nilai gabungan berkisar dari 3 (koma dalam atau mati) hingga 15 (sadar penuh). Nilai ≤8 digolongkan sebagai berat, skor 9 hingga 12 diklasifikasikan sebagai sedang, dan ≥ 13 dianggap ringan, meskipun studi terbaru menentang stratifikasi ini. Adanya politrauma, alkohol, obat penenang, penghilang rasa sakit, penyalahgunaan obat dan / atau stres dapat memunculkan nilai GCS yang salah, sehingga membatasi kegunaannya sebagai tes khusus untuk menilai mTBI. Sistem penilaian gegar otak The American Academy of Neurology



menilai



berdasarkan lamanya waktu gejala bertahan dan apakah LOC terjadi atau tidak.



Penggunaan



alat



penilaian



ini



membantu



diagnosis



dan



memfasilitasi manajemen pasien secara tepat. Dalam bidang atletik, Sport Concussion Assessment Tool 2 dan Standardized Assessment of Concussion telah diterima dengan baik. Selain penilaian neuropsikologis, teknik pencitraan seperti CT dan MRI banyak digunakan sebagai alat diagnostik untuk menilai cedera otak. Karena manfaat yang terbatas dari CT dan MRI kepala pada gegar otak, kekhawatiran akan paparan radiasi, dan pemanfaatan sumber daya yang tepat, pencitraan ini tidak diindikasikan kecuali ada penurunan status neurologis, peningkatan keparahan gejala, atau defisit fokal persisten. CT scan berguna untuk deteksi lesi fokal, perdarahan, midline shift, kompresi ventrikel dan sisterna basalis. mTBI yang terkait dengan temuan abnormal pada CT klinis sering disebut sebagai mTBI komplikasi. Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa MRI lebih sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi kerusakan otak ringan dalam tahap akut, ia tidak rutin dilakukan karena pertimbangan biaya pemindaian, ketersediaan alat (misalnya, di ruang operasi militer), kekhawatiran mengenai keselamatan dan kelayakan memindai seseorang dengan LOC / AOC, dan durasi pemindaian. Sebagai contoh, sebuah ulasan dari empat



studi komparatif menunjukkan bahwa pada pasien mTBI dengan temuan CT kepala negatif, 30% dari mereka memiliki hasil MRI abnormal. Selain itu, studi terbaru menggunakan pencitraan fungsional seperti MRI fungsional, positron emission tomography (PET), proton magnetic resonance spectroscopy (MRS) dan electroencephalography (EEG) untuk mendeteksi aktivitas otak abnormal yang diduga terkait dengan mTBI. Bahkan dengan kemajuan teknologi, banyak pasien dengan mTBI masih didiagnosis



secara



retrospektif,



bahkan



beberapa



bulan



setelah



kecelakaan, dengan mengandalkan laporan pasien mengenai gangguan yang dialami setelah cedera. Dengan demikian, keuntungan besar bisa diambil dari biomarker yang tervalidasi secara klinis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis mTBI dan / atau memprediksi symptomology secara obyektif.



Biomarker mTBI Biomarker merupakan indikator fisiologis obyektif dari penyakit biologis atau cedera. Dengan demikian, biomarker dapat dideteksi oleh pencitraan (misalnya CT, diffusion tensor imaging [DTI]) atau analisis laboratorium



indikator



biologis



seperti



asam



ribonukleat



(RNA),



metabolit, lipid, peptida, protein, atau autoantibodi terhadap protein yang dilepaskan dari jaringan yang sakit / cedera. Akurasi diagnostik biomarker atau biomarker signature secara kuantitatif dilambangkan dengan sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas adalah persentase positif sejati, atau kemungkinan hasil tes positif untuk mengidentifikasi kondisi yang benar-benar



ada



(tidak



luput



mendiagnosis).



Spesifisitas



adalah



persentase negatif sejati, atau probabilitas hasil tes negatif untuk secara akurat mengidentifikasi orang tidak sakit (tidak memberikan diagnosis palsu).



Penerapan dan keterbatasan neuroimaging dalam diagnosis mTBI telah menjadi subyek dari beberapa ulasan baru-baru ini. Oleh karena itu kami akan membahas status pencitraan otak saat ini untuk mendeteksi biomarker mTBI secara singkat, dan terutama berfokus pada keadaan penelitian saat ini untuk mengidentifikasi indikator biologis cedera otak ringan pada manusia. Axonopathy sebagai biomarker Pencitraan struktural seperti DTI berguna dalam mendeteksi dugaan TAI, yang terjadi sebagai akibat dari tarikan yang disebabkan percepatan linear dan rotasional angular. Fractional anisotropy (FA, tingkat arah difusi air) dan apparent diffusion coefficient (ADC, tingkat rata-rata difusi ke semua arah) yang dihitung dari DTI memberikan ukuran integritas struktural white matter otak. Jalur akson bermielin normal biasanya memiliki nilai ADC rendah dan FA tinggi, meskipun nilai-nilai ini juga



terkait



dengan



edema



sitotoksik



patogenik.



Dalam



tahap kronis mTBI, peningkatan ADC dan penurunan FA muncul, menunjukkan mendeteksi



kerusakan cedera



akson



aksonal,



yang DTI



mungkin memiliki



ireversibel. keuntungan



Selain berupa



menghubungkan cedera white matter dengan defisit fungsional. Sejumlah studi terbaru menunjukkan bahwa keparahan disfungsi kognitif dapat berkorelasi dengan tingkat kerusakan white matter. Teknik pencitraan ini juga dapat mendeteksi kelainan kecil di area otak tertentu dan memprediksi defisit pada pasien mTBI. Sebagai contoh, satu penelitian terbaru melaporkan adanya hubungan antara peningkatan FA di forniks (jalur masuk / keluar dari hippocampus yang penting untuk pembelajaran dan memori) dan kinerja kognitif yang lebih buruk 6 hari pasca-mTBI. Evaluasi struktural untuk cedera aksonal atau perdarahan mikro menunjukkan tidak ada perbedaan dan tidak ada kelainan pada T1weighted MRI, susceptibility weighted MRI, DTI, atau proton MRS dalam studi terbaru mengenai pasien usia 11-15 tahun yang dibandingkan



dengan 12 atlet yang mengalami gegar otak karena olahraga dengan kontrol sehat yang memiliki usia dan jenis kelamin sama. Aliran darah otak (CBF) berubah pada kelompok gegar otak dan tetap berbeda secara statistik pada pengujian akhir (rerata 41,3 hari sejak cedera). Meski tidak ada korelasi antara uji neuropsikologi yang dilakukan di sini dengan CBF, dan ukuran sampelnya kecil, penulis menduga perubahan CBF bisa mempengaruhi symptomatology, patofisiologi, dan hasil akhir fungsional. Perbedaan temuan pada studi mengenai orang dewasa dan anak berhubungan dengan biofisiologi, jenis cedera, atau penyebabnya. Protein sebagai biomarker Penggunaan klinis biomarker protein menyediakan beberapa keuntungan, terutama untuk diagnosis mTBI. Pertama, pengukuran biomarker dari jaringan perifer (misalnya darah, air liur, atau urin) yang invasif minimal dan dikenakan biaya yang relatif sedikit untuk pemrosesan dan analisisnya. Kedua, jika kadar biomarker mengindikasikan kerusakan otak (atau ketiadaannya), ia akan membantu dalam menentukan apakah pencitraan otak diperlukan atau tidak. Ini penting untuk kasus di mana seseorang menderita mTBI di lokasi terpencil atau di mana spesialis dan / atau peralatan pencitraan tidak ada. Ia juga relevan pada anak-anak di mana skor GCS yang akurat sulit untuk ditentukan, dan CT scan berpotensi menyebabkan kerusakan otak makin parah. Ketiga, jika kadar biomarker terbukti dapat memberi indikasi sejauh mana kerusakan otak yang terjadi, kadar ini dapat digunakan untuk menilai efektivitas tatalaksana eksperimental secara obyektif. Satu hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan biomarker adalah bahwa mereka bisa membuat kita menganggap remeh cedera atau perubahan



parah



secara



tidak



proporsional



terhadap



disfungsi



neurobehavioral. Karena fungsi otak tidak terdistribusikan secara merata, melainkan terlokalisir pada beberapa area tertentu, kerusakan area tertentu dapat menyebabkan perubahan fungsional mendalam yang tidak



menyebabkan peningkatan / penurunan kadar biomarker yang substansial. Misalnya, kerusakan lokal (misalnya dari cedera penetrasi otak) ke area terfokus



seperti



area



Wernicke



akan



menyebabkan



gangguan



pemahaman bahasa tetapi tidak menyebabkan peningkatan



atau



penurunan proporsional dari kadar biomarker secara keseluruhan. S100B. Biomarker TBI yang paling luas dipelajari adalah S100B. S100B adalah anggota dari famili S-100 dari protein pengikat kalsium dengan berat molekul rendah (10,5 kDa) yang banyak ada di otak. S100B terutama diekspresikan di astrosit, membentuk 1-1.5 µg / mg dari semua protein terlarut dalam otak. S100B dapat ditemukan pada kadar sangat rendah dalam cairan serebrospinalis (CSF) dan serum (0,05 ng / mL) manusia, dengan peningkatan dianggap sebagai indikator kerusakan astrosit setelah cedera otak sedang-berat. Mirip dengan yang diamati pada cedera yang lebih berat, Ingebrigsten dan Romner menemukan bahwa pada pasien dengan mTBI (GCS 14-15) yang memiliki temuan CT negatif, konsentrasi marker ini dalam serum meningkat segera setelah cedera dan menurun kemudian. Tingkat yang lebih tinggi lagi dapat dideteksi pada pasien (GCS 13-15) dengan cedera intrakranial (ditentukan menggunakan CT kepala) jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami cedera tersebut. Sebuah evaluasi ulang terbaru mengenai enam uji klinis prospektif yang melibatkan lebih dari 2000 pasien dengan mTBI menunjukkan bahwa S100B memiliki sensitivitas 98,2% dalam mengidentifikasi adanya cedera otak. Beberapa pengamatan baru



mengenai S100B, menurunkan



antusiasme awal tentang kegunaan protein ini sebagai biomarker. Pertama, karena S100B tidak menyeberangi blood-brain barrier (BBB) yang intak, sehingga hanya ada sedikit korelasi antara kadarnya di CSF dan yang terdeteksi dalam serum. Ini memunculkan keraguan apakah kadar serum protein ini sebenarnya berkorelasi dengan tingkat kerusakan



otak atau lebih mencerminkan gangguan BBB. Kedua, meski sensitivitas biomarker ini tinggi, ia memiliki spesifisitas yang rendah. Sebagai contoh, dalam sebuah studi kohort prospektif, Nygren De Boussard dan rekanrekan menunjukkan bahwa meski kadar S100B meningkat secara signifikan dalam serum setelah mTBI akut (GCS 14-15), kadar ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara kelompok TBI dan kelompok cedera ortopedik. Terakhir, hasil laporan yang telah diterbitkan mengenai kegunaan marker ini dalam memprediksi hasil akhir TBI pada pasien anak banyak yang bertentangan. Meskipun kenaikan S100B sulit untuk dikaitkan dengan mTBI, studi terbaru menunjukkan bahwa sedikitnya peningkatan S100B serum dapat menjadi biomarker yang sangat baik untuk mengeksklusi mTBI. Di sebuah penelitian pada 1309 pasien, nilai cut off S100B 0,1 ng / mL dilaporkan memiliki



sensitivitas



99%



untuk



mendeteksi



cedera



pada



CT



scan. Cut off ini dikonfirmasi oleh studi multicenter lain yang melaporkan bahwa sensitivitasnya 95%. Meski studi ini melaporkan sensitivitas yang tinggi, spesifisitas S100B untuk mendeteksi mTBI rendah (30-31%). Tes ini secara akurat menentukan proporsi individu yang tidak memiliki temuan CT abnormal, menunjukkan bahwa hasil S100B negatif dapat digunakan untuk menentukan apakah CT scan diindikasikan. Berdasarkan hal ini, pedoman yang dikeluarkan oleh American College of Emergency Physicians merekomendasikan bahwa CT kepala adalah opsional jika konsentrasi S100B serum kurang dari 0,1 ng / mL dalam 4 jam pertama setelah cedera. Neuron specific enolase (NSE). NSE adalah salah satu dari lima isozim dari enzim glikolitik enolase. NSE adalah famil yang meliputi tiga protein glikolitik; isoform α, ß, dan, γ yang ada dalam sejumlah jaringan, dengan homodimer γ- γ sangat banyak di otak. NSE awalnya dianggap spesifik neuron, tetapi studi selanjutnya menunjukkan bahwa sel-sel neuroendokrin,



oligodendrosit,



trombosit,



dan



eritrosit



juga



mengekspresikan NSE. NSE memiliki waktu paruh serum sekitar 24 jam dan dapat dideteksi dalam waktu 6 jam setelah cedera. Kadar serum NSE (biasanya kurang dari 12,5 ng / mL) telah dilaporkan meningkat setelah TBI, kadar ini berkorelasi dengan keparahan cedera. Pada kadar serum lebih dari 21,7 ng / mL, NSE menjadi indikator yang sensitif dari kematian (sensitivitas 85%) dan hasil akhir buruk (sensitivitas 80%). Sensitivitas dan spesifisitas yang tidak memadai membatasi penggunaan NSE dalam konteks neuropsikologi (sensitivitas 55%, spesifisitas 77,8%) dan memprediksi adanya lesi intrakranial (sensitivitas 77%, spesifisitas 52%). Digunakan sendirian, kadar NSE serum belum tentu menunjukkan adanya trauma otak, karena protein ini juga diduga menjadi marker small cell cancer paru, tumor kandung kemih neuroendokrin, stroke iskemik, dan neuroblastoma. Berbeda dengan sensitivitas tinggi tetapi dengan spesifisitas rendah yang terlihat pada S100B setelah cedera otak parah, NSE memiliki masalah sebaliknya sebagai biomarker dari mTBI. Ingebrigsten dan rekanrekan mengevaluasi potensi diagnostik NSE setelah kejadian mTBI dan menemukan bahwa meskipun marker ini memiliki spesifisitas yang tinggi, ia tidak sensitif terhadap keparahan cedera. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan kadar NSE serum yang relatif kecil setelah mTBI. Meskipun perbedaan kadar NSE yang signifikan terdeteksi setelah data dikoreksi sesuai usia dan jenis kelamin, tidak adanya perbedaan secara keseluruhan bisa disebabkan karena variasi penyebab cedera pasien mTBI (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor, cedera olahraga, dll), kemungkinan yang belum pernah diteliti. Protein breakdown products (protein BDP). Salah satu ciri patologis kunci dari TBI adalah pemecahan protein seluler tanpa regulasi melalui aktivasi famili protease seperti calpain dan caspase. Baru-baru ini, BDP dari



structural



protein



alpha-II



spectrin



dan



endritically



enriched



microtubule-binding protein Tau telah terbukti berkorelasi dengan



keparahan cedera pad model pengerat TBI. Pada manusia, kadar BDP spectrin secara eksklusif meningkat pada orang dengan TBI sedang dan berat, tanpa peningkatan setelah mTBI selesai. Demikian juga, kadar cleaved-tau (c-Tau) awal pasca-cedera di CSF ditemukan meningkat pada pasien dengan TBI berat, berkaitan dengan hasil klinis (sensitivitas 92% dan spesifisitas 94%), dan memprediksi tekanan intrakranial tinggi (ICP; sensitivitas 78% dan spesifisitas 79%). Pada mTBI, c-Tau tidak berkorelasi dengan temuan CT abnormal dan tidak memprediksi sindroma pasca gegar otak (PCS). Glial fibrillary acidic protein (GFAP). GFAP adalah protein filamen intermediet monomerik yang diekspresikan oleh astrosit. Ia adalah protein spesifik otak yang dilepaskan setelah TBI, dan memprediksi peningkatan ICP, penurunan mean arterial pressure, cerebral perfusion pressure rendah, skor Glasgow Outcome Scale (GOS) jelek, dan peningkatan mortalitas. Contohnya, konsentrasi GFAP serum di atas 1,5 ng / mL ditemukan prediktif terhadap kematian (sensitivitas 85%, spesifisitas 52%) atau hasil akhir buruk (GOS 6 bulan; sensitivitas 80% dan 59% spesifisitas). Konsisten dengan ekspresinya yang spesifik otak, kadar GFAP normal pada pasien politrauma biasa yang tidak mengalami cedera otak. Baru-baru ini, dalam penelitian kohort prospektif dari 108 pasien dengan TBI, produk pemecahan GFAP (GFAP-BDP) dalam serum meningkat 1 jam setelah TBI ringan atau sedang (GCS 9-15), membedakan pasien TBI dari kontrol sehat dengan area di bawah kurva (AUC) 0,90. GFAP-BDP juga mampu membedakan pasien mTBI dengan skor GCS dari 15 kontrol sehat dengan AUC 0.88. Yang terpenting, GFAP-BDP serum membedakan pasien dengan dan tanpa lesi otak pada CT dengan AUC 0.79. Ubiquitin carboxy-terminal hydrolase L1 (UCHL1). UCHL1 adalah protease sistein kecil, sekitar 25 kDa, yang menghidrolisis ikatan Cterminal antara ubiquitin dan adducts kecil atau polipeptida unfolded.



Enzim ini membentuk sekitar 1-2% dari total protein terlarut dalam otak yang diekspresikan terutama di neuron, dengan kadar yang sangat rendah juga diekspresikan di beberapa sel neuroendokrin. Mutasi pada UCHL1 mungkin



berhubungan



dengan



penyakit



Parkinson



dan



penyakit



neurodegeneratif lainnya, dan telah diusulkan untuk menjadi biomarker TBI. Untuk menguji kemungkinan ini, Papa dan rekan-rekan melakukan studi prospektif untuk menentukan kadar UCHL1 di CSF pada pasien dengan cedera otak parah dan kontrol sehat. Mereka menemukan bahwa kadar UCHL1 meningkat secara signifikan pada CSF pasien cedera otak, dan besarnya kenaikan ini berkorelasi dengan kematian, komplikasi pasca-cedera, dan hasil 6 bulan pasca keluar rumah sakit. Pada pasien dengan mTBI, Papa dan rekan-rekan mendeteksi UCHL1 serum dalam waktu 1 jam dari cedera tidak hanya dapat membedakan pasien dengan TBI ringan dari kontrol sehat, tetapi juga pasien dengan skor GCS 15 dari kontrol sehat (keduanya dengan AUC 0,87). Yang terpenting, UCHL1 membedakan pasien dengan lesi pada CT dari pasien TBI CT negatif dengan AUC 0,73. Kadar UCHL1 serum memiliki korelasi yang signifikan dengan permeabilitas BBB yang dinilai dengan mengukur jumlah albumin QA, yang didefinisikan sebagai (albumin CSF / albumin serum). Pada 12 jam setelah cedera, UCHL1 serum dan QA memiliki hubungan yang signifikan dengan AUC 0,76. Juga perlu dicatat, berbeda dari orang dewasa, tidak ada peningkatan kadar UCHL1 serum pada pasien anak dengan mTBI. Myelin basic protein (MBP). MBP adalah protein komponen utama mielin yang diekspresikan oleh oligodendrosit. Kadar MBP serum normalnya sangat rendah, biasanya kurang dari 0,3 ng / mL. Tes MBP sering digunakan untuk menilai kadar protein ini dalam CSF dalam kondisi neurologis di mana dicurigai ada demielinasi. Laserasi white matter otak yang menimbulkan diffuse axonal injury bisa mengakibatkan pelepasan MBP ke dalam CSF dan serum, di mana ia tetap tinggi hingga 2 minggu



pasca cedera. MBP dapat menyebabkan pembukaan BBB, sehingga memfasilitasi masuknya MBP itu sendiri (dan mungkin biomarker turunan dari sistem saraf pusat [CNS] lainnya) ke dalam sirkulasi. Dalam sebuah studi tentang cedera otak anak, kadar MBP serum tinggi berkorelasi dengan hasil akhir yang buruk. Menariknya, penelitian yang sama menunjukkan bahwa MPB tidak meningkat pada anak-anak dengan ensefalopati hipoksik-iskemik. Ini konsisten dengan observasi sebelumnya bahwa cedera iskemik tidak menyebabkan gangguan white matter. Meskipun kadar MBP di sirkulasi pada orang yang menderita mTBI belum diukur, kemampuan protein ini untuk membuka BBB menunjukkan bahwa ia mungkin terdeteksi pada mTBI di mana cedera aksonal menjadi salah satu cirinya. MicroRNA sebagai biomarker MicroRNA (miRNAs) adalah superfamili besar dari RNA regulasi non-koding pendek (rata-rata panjang ~ 22 nukleotida) yang terlibat dalam regulasi ekspresi protein pasca transkripsi. miRNA memiliki beberapa karakteristik yang membuat mereka menarik sebagai biomarker molekuler yang berpotensi berguna untuk mengidentifikasi patologi spesifik jaringan dan penyakit, termasuk pola ekspresi spesifik sel dan jaringan, tingkat ekspresi yang dipengaruhi pola penyakit tertentu, dan mereka stabil serta mudah terdeteksi dalam serum, plasma, CSF, dan cairan tubuh lainnya. Diduga bahwa miRNA yang ditemukan dalam cairan tubuh diliputi mikropartikel lipoprotein yang melindungi mereka dari degradasi dan mungkin



berfungsi



sebagai



transportasi



komunikasi



interseluler.



Pengukuran kadar miRNA dalam sampel plasma yang dikumpulkan dari pasien dengan TBI berat, orang-orang dengan mTBI, sukarelawan sehat, dan pasien dengan cedera ortopedik menunjukkan bahwa penurunan kadar mir-16 dan mir-92A, dan peningkatan kadar mir-765, adalah marker yang baik untuk TBI berat (nilai AUC masing-masing 0.89, 0.82, dan 0.86) pada 25-48 jam setelah cedera. Analisis regresi logistik mltipel



mengungkapkan bahwa menggabungkan miRNA ini meningkatkan akurasi diagnostik dengan tajam (spesifisitas 100% dan sensitivitas 100%) dibandingkan dengan sukarelawan sehat atau pasien dengan cedera ortopedik. Menariknya, pada pasien dengan mTBI (GCS> 12), kadar mir765 yang ditemukan tidak berubah, sedangkan kadar mir-92A dan mir-16 plasma meningkat secara signifikan dalam 24 jam pertama setelah cedera jika dibandingkan dengan sukarelawan sehat dan memiliki nilai AUC masing-masing 0,78 dan 0,82. Meski alasan untuk respon yang berbeda ini (penurunan kadar pada TBI berat, peningkatan kadar pada mTBI) belum jelas, ia menggambarkan kemungkinan keterbatasan penggunaan biomarker yang diidentifikasi dalam kasus TBI berat untuk mendiagnosis mTBI. Hal ini mungkin terjadi karena keterlibatan beberapa proses patologis TBI berat yang mungkin tidak ada pada mTBI. Metabolit sebagai biomarker Metabolit lipid, neurotransmitter, dan intermediet glikolitik telah menunjukkan potensi sebagai biomarker untuk TBI. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa TBI mengubah kadar laktat, glukosa, piruvat, gliserol, dan glutamat dalam CSF dan di microdialysates yang didapat dari otak yang cedera. Sebagai contoh, akumulasi laktat dalam CSF setelah cedera kranioserebral terbukti berkorelasi dengan keparahan cedera. Menggunakan PET untuk memeriksa metabolisme glukosa pada pasien dengan mTBI, metabolisme otak yang abnormal dapat diamati pada area otak midtemporalis, cingulate anterior, precuneus, temporal anterior, frontal white, dan corpus callosum. Perubahan ini berkorelasi dengan masalah perhatian, konsentrasi, dan disfungsi neuropsikologis secara keseluruhan. Selain glukosa, otak bergantung pada fosfokreatinin sebagai sumber energi dalam kondisi ketika ada kebutuhan energi yang tinggi. Saat



kadar



kreatinin



dan



fosfokreatinin



diperiksa



setelah



mTBI,



peningkatan kadar metabolit ini dapat diamati pada white matter yang bertahan hingga 4 bulan pasca cedera. Studi terbaru untuk mengevaluasi



kadar kreatinin plasma pasien TBI mengungkapkan bahwa meskipun kadar kreatinin sirkulasi meningkat pada pasien TBI ringan dan berat, hanya kadar pada pasien TBI berat yang mencapai signifikansi secara statistik. Salah satu biomarker metabolit cedera yang paling potensial adalah brain N-acetylaspartic acid (NAA), terdeteksi menggunakan proton MRS. NAA diusulkan untuk menjadi marker integritas neuronal, dan perubahan kadarnya diduhga dapat menjadi indikasi kerusakan saraf pada penyakit seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), multiple sclerosis, demensia vaskular, dan TBI. Sebagai contoh, Cohen dan rekanrekan telah menemukan bahwa NAA keseluruhan otak menurun pada orang dengan mTBI (GCS 13-15) dan penurunan ini ada pada pasien dengan mTBI dengan dan tanpa patologi yang terlihat di MRI. Konsisten dengan ini, sebuah studi mengenai 40 atlet yang telah didiagnosis gegar otak memiliki penurunan kadar NAA signifikan (diperiksa 3 hari pasca cedera) yang kembali ke kadar normal dalam 30 hari. Seperti yang akan dibahas di bawah ini, perubahan berkepanjangan dalam metabolisme otak ini mungkin memiliki implikasi dalam keputusan untuk kembali bekerja. Biomarker mTBI dan politrauma Sebagian besar pasien dengan mTBI juga memiliki cedera traumatik organ lain. Diagnosis mTBI dalam konteks cedera fisik lain dapat menantang jika menggunakan biomarker perifer yang juga dilepaskan dari organ lain. Meskipun S100B tidak menarik sebagai biomarker cedera otak karena kurangnya spesifisitas jaringan, studi terbaru menunjukkan bahwa peningkatan kadar S100B serum setelah trauma mungkin lebih didominasi dari otak dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Lebih lanjut lagi, perjalanan waktu perubahan S100B serum berbeda pada pasien politrauma dengan dan tanpa cedera otak. Misalnya, pada pasien politrauma tanpa TBI, kadar serum S100B menurun 6 jam pasca cedera, menunjukkan bahwa peningkatan lambat kadar marker ini



pada pasien politrauma dengan TBI mungkin mengindikasikan cedera otak. Konsisten dengan gagasan ini, sebuah studi baru menunjukkan bahwa kadar S100B tidak berbeda antara pasien dengan TBI saja dan pasien dengan politrauma dan TBI saat dites 11 jam pasca cedera, dan kadarnya tetap prediktif terhadap hasil akhir buruk karena TBI berat, terlepas dari adanya cedera ekstrakranial. Untuk marker spesifik CNS, adanya politrauma mungkin tidak secara negatif mempengaruhi interpretasi perubahan kadar perifernya. Misalnya, kadar GFAP serum tidak meningkat secara signifikan pada pasien dengan politrauma tanpa TBI. Konsisten dengan ini, konsentrasi GFAP tidak berbeda antara pasien dengan TBI berat saja dan pasien dengan politrauma dan TBI berat. Oleh karena itu, kombinasi beberapa biomarker, dengan perjalanan waktu dan spesifisitas masing-masing, mungkin sangat berguna di keadaan di mana mTBI diduga ada pada pasien dengan cedera pada bagian tubuh lainnya. Kombinasi biomarker Kombinasi biomarker, sering disebut sebagai ''biomarker signature'' dapat dibuat untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Biomarker signature potensial harus memiliki berbagai aplikasi, termasuk diagnosis kondisi, penilaian patologi sekunder, evaluasi efek pengobatan, menetukan perjalanan waktu penyakit, dan identifikasi mekanisme cedera tertentu serta tingkat keparahan, progresi, atau hasil akhirnya. Sebuah signature dapat mencakup data klinis, data pencitraan, kadar beberapa biomarker sirkulasi, dan penilaian fisiologis dan / atau neurokognitif lainnya. Berdasarkan biomarker yang telah diuji sampai saat ini, tidaklah mungkin bahwa satu biomarker akan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang cukup untuk berperan sebagai tes diagnostik untuk mTBI yang dapat berdiri sendiri, atau dapat memprediksi pasien mana yang mungkin akan mengalami hasil akhir yang buruk. Pendekatan statistik seperti regresi



logistik bertahap sering digunakan untuk menentukan nilai prediktif dari kombinasi



biomarker.



Pada



pendekatan



ini,



biomarker



tunggal



ditambahkan secara bertahap (biasanya berdasarkan penurunan nilai prediktif individu), sampai penambahan dari biomarker baru berhenti mengubah nilai prediktif dari kombinasi biomarker. Cara lainnya, metode seperti ''boosting'' telah dikembangkan dan berguna untuk menggabungkan beberapa marker ''lemah'' menjadi marker ''kuat gabungan.'' Meski pendekatan ini telah berhasil digunakan dalam menentukan biomarker signature dari berbagai jenis kanker, hanya ada beberapa studi yang telah mengevaluasi apakah kombinasi marker dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi diagnostik / prognostik biomarker TBI. Sebagai contoh, dalam sebuah studi pasien TBI sedang-berat (GCS