BSC [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS TINDAKAN PERSALINAN PADA WANITA HAMIL DENGAN RIWAYAT SEKSIO SESAREA SATU KALI



Pembimbing : Dr. Ari Kusuma J, Sp.OG



Nama : Ni Wayan Mirah Wilayadi NIM koass : 11.2014.170



KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTERI & GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 29 FEBRUARI – 7 MEI 2016 RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA DEPOK 1 | Halaman



ILUSTRASI KASUS Pasien Ny. An berusia 22 tahun (G 2P1A0) hamil 37 minggu memeriksakan kehamilannya. HPHT 21 Juni 2015 dan tapsiran persalinan 28 Maret 2016. Pasien ANC rutin di Puskesmas Bojongsari setiap satu bulan. Pasien sudah periksa USG sebanyak 2 kali, terakhir tanggal 5 Maret 2016, dengan kesan janin dalam keadaan baik, usia kehamilan 37 minggu dan taksiran berat janin 3100 gram. Satu hari SMRS mengeluhkan perutnya mulas-mulas dan terasa kencang. Saat dilakuakan pemeriksaan keluhan tersebut sudah menghilang. Ibu mengatakan dalam 30 menit kontraksinya bisa terjadi satu sampai dua kali. Ibu juga menyangkal dari jalan lahir keluar air-air, lendir ataupun darah. Selama kehamilan pasien juga menyangkal demam. Riwayat persalinan pertama pasien 3 tahun yang lalu, dilakukan seksio sesarea karena menurut ibu, ukuran panggulnya sempit. Anak pertama berjenis kelamin perempuan dengan berat badan 3000 gram dan panjang badan 50 cm lahir di Rumah Sakit Bayukarta dan ditolong oleh dokter kandungan. Setelah operasi pasien memeriksakan luka operasi, dan mulai mengering dalam waktu ± 2 minggu. Keluhan darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung dan alergi obat disangkal pasien, begitu juga dengan keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit seperti itu. Pasien mengaku sudah menikah sejak 4 tahun (tahun 2012) yang lalu, merupakan pernikahan pertama pasien. Riwayat haid pasien, dimana pada usia 14 tahun pasien menarche, siklus 30 hari, teratur, lama haid 4-7 hari, ganti pembalut 3 kali dalam sehari, nyeri haid disangkal. Ibu tidak menggunakan kontrasepsi. Hasil pemeriksaan fisik pada kehamilan, didapatkan: berat badan 70 kg, tinggi badan 155 cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 88 x/menit, suhu 36,5 oC. pernapasan 20 x/menit, regular. Pada pemeriksaan generalis ibu, didapatkan konjungtiva mata tidak anemis; sclera tidak ikterik, bunyi jantung murni regular, suaru napas vesikuler dikedua lapang paru, dan akral ekstermitas hangat dan tidak ada edema. Perut ibu tampak membuncit, tinggi fundus uteri 32 cm, punggung kiri, presentasi kepala, kontraksi ireguler, denyut jantung janin 150 kali permenit. Dari pemeriksaan leopold I: bokong janin, leopold II: punggung kiri, leopold III: belum masuk pintu atas 2 | Halaman



panggul. Inspeksi pada vagiana tampak tenang, pada pemeriksaan dalam didapatkan porsio lunak, belum didapatkan pembukaan. Pemeriksaan darah rutin, didapatkan: hemoglobin 10,2 g/dL, hematokrit 37,5 %, eritrosit 3,90 juta/uL, leukosit 12. 000/mm3, trombosit 300.800/mm3, serta GDS 85 mg/dL Dokter kemudian menjelaskan kondisi janin. Ibu dan suami menginginkan agar dilakukan



persalinan section caesarea. Dokter memberikan inform consent ke



mengenai tindakkan persalinan section caesarea. Setelah tindakan persalinan seksio sesarea, pasien dirawat selama 2 hari, diberikan terapi berupa infuse ringer laktat, tramadol 2 ampul, oksitosin 1 ampul,



ketoprofen



suposituria, asam



mefenamat3x500mg, klindamicin 3x300 mg.



TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Dewasa ini tindakan seksio sesarea jauh lebih aman dari pada dahulu berhubung sudah tersedia obat antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anastesi yang sudah baik. Sekarang ini ada kecendrungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami seksio sesarea merupakan seseorang yang mempunyai parut dalam uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang lebih cermat. Pada pasien dengan riwayat persalinan seksio sesarea sebelumnya dan memerlukan induksi persalinan untuk kehamilan selanjutnya, kepada mereka ditawarkan dua pilihan: seksio sesar ulangan atau induksi persalinan. Adanya keuntungan dan kerugian pada kedua cara persalinan tersebut. Perhatian yang lebih besar dihubungkan dengan induksi persalinan dengan adanya parut uterus. Kemungkinan meningkatkan risiko terjadinya ruptura parut uterus, yang dapat mengancam kehidupan ibu dan bayinya.



3 | Halaman



Definisi Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan janin dengan pembedahan dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak termasuk pengangkatan fetus dari dalam rongga abdomen pada kasus-kasus ruptura uteri atau pada kasus kehamilan abdominal. Epidemiologi Di Amerika pada tahun 1990 angka kejadian persalinan pervaginam bekas seksio sesarea adalah 19,5%, di Norwegia 56,2% dan di Swedia 32,9%. Tahun 1996 persalinan pervaginam bekas seksio sesarea di USA adalah sebesar 28 % . Persyaratan Persalinan Pervaginam Bekas Seksio Cesarea Panduan dari American College of Obstetricans and Gynekologists pada tahun 1999 tentang persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea atau yang dikenal dengan trial of scar memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan staf yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi. Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di-crossmatch disiapkan dan alat monitor denyut jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia. Pada kebanyakan center merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang melakukan persalinan pada bekas seksio sesarea harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio sesarea emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal distress atau ruptura uteri. Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan dengan pasien tentang pilihan serta resiko masing-masingnya.Tentu saja hak pasien untuk meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia dan bayinya. Faktorfaktor yang berpengaruh dalam menentukan persalinan pada pasien bekas seksio sesarea telah diteliti selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio: 1. Teknik operasi sebelumnya.



4 | Halaman



Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal merupakan salah satu syarat dalam melakukan persalinan pervaginam, dimana pasien dengan tipe insisi ini mempunyai risiko ruptura yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya. Bekas seksio sesarea klasik (korporal), insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan kontraindikasi melakukan persalinan pervaginam. Pada seksio sesarea tipe klasik insisi dilakukan pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pada dinding perut dibuat insisi mediana atau vertikal dari atas simfisis sepanjang ±12cm sampai di bawah umbilicus lapis demi lapis sehingga kavum peritoneal terbuka, dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atas rahim (SAR), kemudian diperlebar sacara sagital dengan gunting. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri, setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara kedua penjepit. Teknik ini biasa digunakan pada pasien dengan kehamilan plasenta previa dengan insersi plasenta di dinding depan segmen bawah rahim, kelahiran prematur dengan segment bawah yang masih belum terbentuk dengan sempurna, kesulitan dalam memisahkan kandung kencing untuk mencapai segmen bawah rahim, janin besar dalam letak lintang. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis di bawah umbiikus lapis demi lapis sehingga kavum peritonei terbuka. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan menggun ting peritoneum kandung kencing (plika vesikouterina) di depan segmen bawah rahim (SBR) secara melintang. Plika vesikouterina ini disisihkan secara tumpul kearah samping dan bawah, dan kandung kencing yang telah disisihkan ke arah bawah dan samping dilindungi dengan spekulum kandung kencing. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah ±2cm, kemudian diperlebar melintang sacara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi pada segmen bawah rahim adalah dengam melintang (transversal). Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin dilahirkan dengan meluksir kepalanya. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua ketiaknya. Tali pusat dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual. 5 | Halaman



2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya Flamm tidak melakukan persalinan pervaginam pada semua bekas seksio sesarea korporal maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan persalinan pervaginam. Risiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptura uteri. Ruptura uteri pada bekas seksio sesarea 2 kali adalah sebesar 1.8 – 3.7 %. Caughey dan kawankawan mendapatkan bahwa pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai risiko ruptura uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali. Spaan dkk mendapatkan bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih satu kali mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi. Jamelle (1996) menyatakan diktum sekali seksio sesarea selalu seksio sesarea tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju dengan setelah dua kali seksio sesarea selalu seksio sesarea pada kehamilan berikutnya, dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi. Farmakides dkk (1987) melaporkan 77 % dari pasien yang pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan pervaginam dan berhasil dengan luaran bayi yang baik. ACOG 1999 telah memutuskan bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan pervaginam dengan pengawasan yang ketat. Miller 1994 melaporkan bahwa insiden ruptura uteri terjadi 2 kali lebih sering pada persalinan ibu dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 1 kali adalah 83 % dan 75 % keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 2 kali atau lebih. 3. Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2–6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya. Depp R menganjurkan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea, terkecuali ada tanda-tanda ruptura uteri



6 | Halaman



mengancam, parut uterus yang sembuh persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain ditemui. Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan Ultrasonografi USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat diketahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea. Willams menyatakan bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya : 1.



Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik



2.



pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan. Pada uterus yang diangkat, sering tidak terlihat garis sikatrik atau hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya.



Mason menyatakan bahwa kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Ternyata pada regangan maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan miometrium dikedua sisi sikatrik. Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri. Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah : 1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.



7 | Halaman



2. Kesalahan



teknik



operasi (technical



errors) seperti



tidak



tepatnya



pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain. Cooke menyatakan jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik. Alasan melakukan seksio sesarea ulangan secara rutin sebagai tindakan profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya ruptura uteri tidak benar lagi. Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan



tentang



penyebab-penyebab yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau tidak. Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginam 4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu. Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea, CPD memberikan keberhasilan persalinan pervaginam sebesar 60 – 65 %. Fetal distress memberikan keberhasilan sebesar 69 – 73 % Keberhasilan persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea ditentukan juga oleh keadaan dilatasi servik pada waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu. Persalinan pervaginam berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginam menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada kala II. 5. Usia ibu Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 34 tahun. Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko tinggi. Dari penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai angka seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang 8 | Halaman



berumur lebih dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih besar tiga kali dari pada wanita yang berumur kecil dari 40 tahun. Weinstein dkk mendapatkan pada penelitian mereka bahwa faktor umur tidak bermakna secara statistik dalam mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. 6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan insisi uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik 7. Riwayat persalinan pervaginam Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea mempengaruhi prognosis keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam. Pada bekas seksio sesarea yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginam, makin berkurang kemungkinan ruptura uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang. Walaupun demikian ancaman ruptura uteri tetap ada pada masa kehamilan maupun persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio sesarea harus juga diperhitungkan ruptura uteri pada kehamilan trimester ketiga terutama saat menjalani persalinan pervaginam. 8. Keadaan serviks pada saat inpartu Flamm



mengatakan



bahwa



penipisan



serviks



serta



dilatasi



serviks



memperbesar keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Guleria dan Dhall 1997 menyatakan bahwa laju dilatasi seviks mempengaruhi keberhasilan penanganan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Dari 100 pasien bekas seksio sesarea segmen bawah rahim di dapat 84 % berhasil persalinan pervaginam sedangkan sisanya adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang berhasil pervaginam pada fase laten rata-rata 0.88 cm/jam. Fase aktif 1.25 cm/jam. 9 | Halaman



Sedangkan laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal pervaginam pada fase laten rata-rata 0.44 cm / jam dan fase aktif adalah 0.42 cm /jam. Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptura uteri pada wanita dengan bekas seksio sesarea. Dijumpai adanya 1 kasus ruptura uteri bekas seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal misoprostol sebelum tindakan induksi persalinan. 9. Keadaan selaput ketuban Carrol 1990 melaporkan pasien dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio sesarea (56 kasus) proses persalinannya dapat pervaginam dengan menunggu terjadinya inpartu spontan dan didapat angka keberhasilan yang tinggi (91 % ) dengan menghindari pemberian induksi persalinan dengan oxytosin, dengan rata-rata lama waktu antara terjadinya KPD sampai terjadinya persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik. Kriteria Seleksi American College of Obstetricians and Gynecologists tahun 1999 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Kriteria seleksinya adalah sebagai berikut:    



Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan dan seksio sesarea emergensi.



Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea darurat Kriteria yang masih kontroversi: Parut uterus yang tidak diketahui Parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal Kehamilan kembar Letak sungsang Kehamilan lewat waktu Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram



10 | H a l a m a n



Kontra indikasi mutlak melakukan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea:         



Bekas seksio sesarea klasik Bekas seksio sesarea dengan insisi T Bekas ruptura uteri Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri. Misalnya miomektomi Cefalo Pelviks Disporposi yang jelas. Pasien menolak persalinan pervaginam Panggul sempit Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi persalinan



pervaginam.



Resiko terhadap perinatal dan neonatal dalam melakukan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dilaporkan oleh Flamm (1994) melaporkan angka kematian perinatal adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup pada persalinan pervaginam, angka ini tidak berbeda bermakna dari angka kematian perinatal dari Rumah Sakit yang ditelitinya 10 per 1.000 kelahiran hidup. Cowan (1994) melaporkan sebagian besar 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang lahir pervaginam mempunyai Apgar skor pada 5 menit pertama adalah 8 atau lebih. Hook (1997) melaporkan morbiditas bayi yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal persalinan pervaginam lebih tinggi dibandingkan dengan yang berhasil persalinan pervaginam. Dan morbiditas bayi yang berhasil persalinan pervaginam tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal. Komplikasi Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan pervaginam adalah ruptura uteri. Ruptur jaringan parut bekas seksio sesarea sering tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptura uteri pada bekas seksio sesarea insisi segmen bawah rahim lebih kecil dari 1 % (0,2 – 0,8 % ). Kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of Obstetricans and Gynekologists adalah sebesar 4 – 9 %. Farmer melaporkan kejadian ruptura uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sesarea sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7%. Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan keluar dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan menyebabkan perdarahan 11 | H a l a m a n



pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta ibu. Kadang-kadang harus dilakukan histerektomi emergensi. Kasus ruptura uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptura uteri pada seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada segmen bawah rahim 0,5-1 % Tanda yang sering dijumpai pada ruptura uteri adalah denyut jantung janin tidak normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut janin tidak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan pervaginam, nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu. Tanda-tanda ruptura uteri adalah sebagai berikut :      



Nyeri akut abdomen Sensasi popping ( seperti akan pecah ) Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam Perdarahan pervaginam



Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan persalinan pervaginam karena risiko ruptura 2-10 kali dan kematian maternal dan perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan persalinan pervaginam. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah yang banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah lama rawatan masa nifas di Rumah Sakit. Juga akan memperlama perawatan di rumah dibandingkan persalinan pervaginam. Sebagai tambahan biaya Rumah Sakit akan dua kali lebih mahal. Walaupun angka kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam setelah seksio sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada janin dan ibu. Untuk antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini. Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor kardiotokografi kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat membantu untuk mengidentifikasi ruptura uteri lebih dini sehingga



12 | H a l a m a n



respon tenaga medis bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi ruptura uteri. Sistem skoring Untuk meramalkan keberhasilan penanganan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring. Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio sesarea. Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger yang ditentukan untuk memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera pada tabel dibawah ini: No Karakteristik 1 2



3 4



5



Usia < 40 tahun Riwayat persalinan pervaginam sebelum dan sesudah seksio sesarea persalinan pervaginam sesudah seksio sesarea persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea tidak ada Alasan lain seksio sesarea terdahulu Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah Sakit dalam keadaan inpartu: 75 % 25 – 75 % < 25 % Dilatasi serviks 4 cm



Sko r 2 4 2 1 0 1 2 1 0 1



Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group diperoleh hasil seperti table dibawah ini Skor 0–2



Angka Keberhasilan (%) 42-49



3



59-60



4



64-67



5



77-79



6



88-89



7



93



8 – 10 Total Induksi Persalinan



95-99 74-75 13 | H a l a m a n



McDonagh MS et al dalam suatu sistematik review mengidentifikasi 14 penelitian dan belum ada suatu penelitian yang baik untuk mengetahui keuntungan dan kerugian induksi persalinan pada pasien dengan persalinan sesar sebelumnya. Mereka mendapatkan bahwa induksi lebih sering mengakibatkan persalinan secara sesar dibandingkan dengan persalinan spontan, yang secara tidak terduga konsisten terlihat pada pasien tanpa parut uterus. Angka persalinan sesar pada pasien dengan riwayat sesar yang mengalami persalinan spontan dan induksi dengan oksitosin kirakira 20% (11-35%) dan 32% (18-44%). (Wing) Dodd JM et al pada suatu sistematik review yang lain menduga risiko ruptura parut uterus pada lebih dari 20 ribu pasien dengan riwayat sesar antara tahun 19871996. Rata-rata terjadi ruptur 4,5 per 1000 (91 dari 20.095). Pada persalinan dengan induksi perlu pertimbangan selanjutnya terhadap risiko yang berhubungan dengan induksi prostaglandin dan non-prostaglandin (mis: infuse oksitosin). Sedangkan McDonagh mengemukakan OR ruptur uteri adalah 6,15 (95% CI 0,74-51,4) untuk induksi persalinan dibanding dengan persalinan spontan. A. Induksi persalinan oksitosin Suatu sistematik review secara retrospektif mengumpulkan data bahwa pada pasien dengan riwayat persalinan sesar tidak didapatkan gangguan parut uterus yang lebih besar dari pada pasien yang menggunakan oksitosin dalam persalinan dibandingkan dengan persalinan spontan. (OR 2,1 95% CI 0,76-5,78). Hasil ini memberikan pengertian yang serius karena tidak adanya data yang cukup dari percobaan random, kualitas kontrol penelitian yang kurang baik dan pengamatan yang kebanyakan rangkaian dilaporkan tentang peningkatan risiko ruptura uteri dengan induksi tetapi dengan interval kepercayaan yang luas sehingga arti statistik tidak bisa ditunjukkan. Penting juga dicatat bahwa maksimal dosis oksitosin yang digunakan jarang dilaporkan dengan begitu ambang batas dosis yang dapat menyebabkan ruptura uteri tidak dapat dipastikan dari data yang ada. Suatu penelitian prospektif terbesar mengevaluasi risiko ruptura pada wanita dengan satu atau lebih persalinan sesar (n=17.898 trials of labor dan 15.801 seksio sesar ulangan) tidak tercakup dari analisis tersebut di atas. Dalam rangkaian ini wanita yang di induksi dengan oksitosin secara signifikan mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadi ruptura uteri dibanding dengan persalinan spontan (OR 3.01, 95% CI 1,66-5,46). Angka kategori kejadian ruptura uteri adalah: 14 | H a l a m a n



·



Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 0



·



Persalinan spontan adalah 4 dari 1000



·



Induksi persalinan dengan oksitosin adalah 11 dari 1000 Data ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti seperti pada penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan pada wanita yang mencoba vaginal birth after caesarean (VBAC) yang berhubungan peningkatan risiko ruptura uteri. Yang pasti pengambilan keputusan klinis seperti pada penggunaan oksitosin pada pasien dengan riwayat sesar dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ada tidaknya aktivitas uterus sebelumnya, kondisi pembukaan serviks, usia kehamilan saat induksi, riwayat persalinan vaginal sebelumnya dan indikasi induksi. Tidak adanya data yang pasti menunjukkan risiko tinggi ruptura, Wing et all menggunakan oksitosin untuk induksi persalinan pada VBAC jika ada indikasi standar obstetrik. Induksi persalinan prostaglandin Sama halnya dengan oksitosin, pada penggunaan prostaglandin belum ada data dari percobaan random yang besar dan kurangnya data dari kontrol penelitian yang berkualitas sebagai dasar rekomendasi penggunaan prostaglandin atau agen lain untuk induksi pada VBAC. Perhatian tentang penggunaan prostaglandin muncul setelah adanya publikasi penelitian cohort dari 20.095 primipara yang melahirkan bayi tunggal secara sesar dan sesudahnya melahirkan bayi kedua. Angka kejadian rupture adalah:



·



Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 1,6/1000



·



Persalinan spontan adalah 5,2/1000



·



Induksi bukan prostaglandin adalah 7,7/1000



·



Induksi prostaglandin adalah 24,5/1000 Kejadian ruptura pada persalinan spontan dan persalinan induksi bukan dengan prostaglandin secara signifikan tidak berbeda, tetapi keduanya lebih tinggi dibanding dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan. Risiko ruptura tertinggi terjadi pada induksi persalinan dengan prostaglandin. Dibandingkan dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan risiko rupture pada persalinan spontan adalah RR 3,3(95% CI 1,8-6,0) dan dengan prostaglandin RR 15,6 (95% CI 8,1-30,0). Landon (2004) membandingkan risiko ruptura penggunaan prostaglandin (140/10.000) dengan foley kateter (89/10.000) untuk dilatasi serviks. Suatu penelitian retrospektif yang besar di skotlandia pada lebih 36.000 wanita dengan riwayat sesar, 15 | H a l a m a n



4.600 diantaranya menggunakan prostaglandin menunjukkan peningkatan risiko ruptura uteri sebagai penyebab utama kematian perinatal yang berhubungan dengan penggunaan prostaglandin. ACOG ( American College of Obstetricians and Gynecologists) menyarankan adanya konseling seperti risk dan benefit terhadap induksi persalinan, seleksi wanita yang akan menjalani VBAC dan menghindari penggunaan prostaglandin E1 dan oxytosin. SOGC (Society of Obstericians and Gynaecologists of Canada) juga merekomendasi hal yang sama. Induksi dengan mekanik Data



metode



mekanik



untuk



cervical



ripening



sangat



terbatas.



Menggabungkan hasil dari dua penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian ruptura pada induksi dengan transervikal foley kateter/oksitosin sama dengan persalinan spontan pada VBAC yaitu 5 dari 384 (1,3%) atau 22 dari 2081 (1,1%).



PEMBAHASAN Pada anamnesis didapatkan bahwa pada kehamilan yang pertama ibu menjalani persalinan seksio sesarea. Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan janin dengan pembedahan dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi). Sekarang ini ada kecendrungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Selama menjalani kepanitraan di Rumah Sakit Bhakti Yudha penulis menemukan, jumlah pasien yang menjalani persalinan seksio sebesar 93%, dimana 25% nya sudah menjalani persalinan seksio satu kali, 12% seksio dua kali. Pada pasien dengan bekas seksio satu kali, pada persalinan selanjutnya menjalani persalinan seksio dengan indikasi terbanyak adalah CPD. Perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami seksio sesarea merupakan seseorang yang mempunyai parut dalam uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang lebih cermat. Pada pasien dikehamilan pertama dipilih persalinan seksio sesarea karena janin tidak dapat melewati jalan lahir, yang dalam istilah kedokteran disebut CPD (sepalo pelvic disproporsion). Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya. Bila konjugata vera 11 cm, 16 | H a l a m a n



dapat dipastikan partus biasa, dan bila ada kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan oleh faktor panggul. Untuk konjugata vera kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak mungkin melewati panggul tersebut. Konjugata vera 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan berakhir dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau ditolong dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric lainnya. Ukuran konjugata vera 6-8,5 cm dilakukan SC primer dan konjugata vera 6 cm dilakukan SC primer mutlak. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan konjugata vera sehingga tidak dapat ditentukan pada kehamilannya ini dapat lahir spontan atau harus seksio sesarea, namun bila dibandingkan dengan berat badan bayi pada anak ke dua yaitu 3400 gram dan anak pertama 3000 gram tidak memungkinkan dipalukan persalinan pervaginam. Pada kehamilan kedua pasien lebih memilih persalinan seksio sesarea, mengingat riwayat pasien mengalami CPD. American College of Obstetricans and Gynekologists pada tahun 1999 tentang persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea menjelaskan bahwa seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau tidak. Adapun persaratan tersebut adalah (1) teknik operasi sebelumnya, pada pasien dilakukan insisi jenis tranversal. Pada pasien seksio sesarea dilakukan dengan insisi segmen bawah rahim transversal, dimana merupakan syarat dapat dilakukannya persalinan pervaginam. Dengan insisi tranversal risiko untuk terjadinya ruptur uteri lebih rendah karena segmen bawah rahim yang diinsisi tebentuk belum sempurna, kemungkinan insisi uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik, (2) jumlah seksio sesarea sebelumnya. Banyak ahli mengatakan salah satunya Flamm, tidak melakukan persalinan pervaginam pada semua bekas seksio sesarea korporal maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan persalinan pervaginam. Risiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptura uteri. Caughey dan kawan-kawan mendapatkan bahwa pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai risiko ruptura uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali. Pada pasien sudah satu kali menjalani seksio sesarea, melihat dari jumlah seksio yang dijalani pasien masih memungkinkan 17 | H a l a m a n



dilakukan persalinan pervaginam. (3) penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya. Insisi uterus akan sembuh dalam 2-6 hari dan menurut Willams akan membentuk suatu generasi dari fibromuskuler. Penyembuhan pada seksio sesarea klasik luka tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka pada persalinan berikutnya. Diperlukan suatu skrining pada usia kehamilan >37 minggu dengan ultrasonografi untuk mengukur ketebalan segmen bawah rahim, dimana ketebalan 4,5 mm adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Cooke menyatakan jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik. Alasan melakukan seksio sesarea ulangan secara rutin sebagai tindakan profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya ruptura uteri tidak benar lagi. Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan



tentang penyebab-penyebab yang dapat



mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau tidak. (4) indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu. Seperti yang telah dikemukakan diatas, dimana pasien memiliki riwayat CPD, dimana pada kasus CPD memberikan keberhasilan persalinan pervaginam sebesar 60 – 65 %. (5) usia ibu. Faktor usia sangat menentukan keamanan pesalinan, di mana usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 34 tahun. Dari penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai angka seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih besar tiga kali dari pada wanita yang berumur kecil dari 40 tahun. Pada pasien yang berumur 22 tahun, dianggap memiliki risiko yang rendah dalam menjalani persalinan. (6) usia kehamilan saat seksio sesarea hamil ibu sudah aterem, sehingga segmen bawah rahim sudah terbentuk sempurna. (7) riwayat persalinan pervaginam, pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam, serta kemungkinan untuk ruptur uteri lebih rendah. Pada pasien belum pernah melakukan persalinan pervaginam, sehingga angka keberhasilan jika dilakukan persalinan pervaginan tentu akan lebih rendah (8) keadaan serviks pada saat inpartu. Flamm mengatakan bahwa penipisan serviks serta dilatasi serviks 18 | H a l a m a n



memperbesar keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea, sedangkan pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda inpartu. (9) keadaan selaput ketuban. Carrol 1990 melaporkan pasien dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio sesarea (56 kasus) proses persalinannya dapat pervaginam dengan menunggu terjadinya inpartu spontan dan didapat angka keberhasilan yang tinggi (91 % ) dengan menghindari pemberian induksi persalinan dengan oxytosin, pada pasien belum ditemukan adanya ketuban yang pecah. American College of Obstetricians and Gynecologists tahun 1999 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Kriteria seleksinya adalah sebagai berikut:    



Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan dan seksio sesarea emergensi.



Melihat dari sembilan faktor yang mempengaruhi bisa tidaknya persalinan pervaginam pada ibu dengan riwayat seksio sesarea sangat bervariasi. Riwayat persalinan ibu sebelumnya dengan CPD menjadi alasan tidak dilakukan persalinan pervaginam, ditambah dengan keinginan ibu dan suaminya yang memilih untuk persalinan seksio sesarea pada anak kedua mereka, kita sebagai klinisi juga memberikan kesempatan pada orang tua pasien untuk memilih tindakan persalinan (justice). Untuk meramalkan keberhasilan penanganan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring. Jika pasien dimasukkan dalam skoring ini: usia diberi skor 2, riwayat persalinan pervaginam diberi skor 0, alasan lain seksio sesarea terdahulu karena CPD diberi skor 1, pendataran dan penipisan serviks saat tiba di rumah sakit dalam keadaan inpartu belum ada, diberi skor 0. Total skor 3, jika dinilai dari angka keberhasilan untuk partus normal masih rendah, yaitu 59-60 %. PUSTAKA



19 | H a l a m a n



1. Husodo L, Pembedahan dengan Laparatomi. Dalam Buku Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999: 863 –75. 2.



Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Cesarean Section and Postpartum Hysterectomy. In : Williams Obstetrics. 21st Ed.. The Mc Graw-Hill Companies. New York : 2001 :



537 – 63.



Cunningham MD. Cesarean Section. In: Williams Obstetrics, 22 nd Ed. Prentice Hall



3.



Int. USA 2001. 4.



Wing DA. Induction of labor in woman with prior cesarean delivery. Up ToDate 2007



5.



Dodd JM, Crowther CA. Elective repeat caesarean section versus induction of labour for woman with a previous caesarean birth. The Cochrane Library 2007, Issue 4



6.



Welischar J, Quirk JG. Vaginal birth after cesarean delivery.Up ToDate 2007



7. Rozenberg P, Goffinet F, Philippe HJ, Nisand I. Thickness of the lower uterine segment: its influence in the management of patients with previous casarean sections. European Journal of Obstetrics & Gynaecology and Reproductive Biology 87(1999) 39-45 8. Zelop CM, Shipp TD, Repke JT, Cohen A, Caughey AB, Lieberman E. Uterine rupture during induced or augmented labor in gravid woman with one prior cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol: 1999: 181; 882-886 9. Lin C, Raynor D. Risk of uterine rupture in labor induction of patients with prior cesarean section: An inner city hospital experience. Am J Obstet Gynecol: 2004: 190; 1476-8 10. Mankuta DD, Leshno MM, Menasche MM, Brezis MM. Vaginal birth after cesarean section: Trial of labor or repeat cesarean section? A decision analysis. Am J Obstet Gynecol: 2003: 189; 714-719 11. McDonagh, MS, Osterweil, P, Guise, JM. The benefits and risks of inducing labour in patients with prior caesarean delivery : a systematic review. BJOG 2005; 112:1007



20 | H a l a m a n