Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BULETIN KONSUMSI PANGAN Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019 Ukuran Buku : 21,0 cm x 29,7 cm



Penanggung Jawab: Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.Si



Redaktur : Dr. M. Luthful Hakim



Penyunting/Editor: Agus Sumantri, S.Sos



Penulis Artikel : Ir. Sabarella, M.Si (Beras) Ir. Wieta B. Komalasari, M.Si (Jagung) Sri Wahyuningsih, S.Si (Kedelai) Maidiah Dwi Naruri Saida, S.Si (Cabai) Megawati Manurung, SP (Bawang Merah) Sehusman, SP (Daging Sapi) Rinawati, SE (Daging Ayam) Yani Supriyati, SE (Gula)



Desain grafis: Rinawati, SE



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga publikasi Buletin Konsumsi Pangan komoditas pertanian tahun 2019 dapat diterbitkan. Buletin Konsumsi Pangan komoditas pertanian yang terbit setiap semester merupakan salah satu upaya Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian dalam meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian. Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019 menyajikan perkembangan konsumsi dan neraca penyediaan dan penggunaan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula. Data yang disajikan dalam buletin ini diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian bersumber dari publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, website FAO (Food Agriculture Organization) dan website USDA (United States Departement of Agriculture) dan sumber lainnya. Besar harapan kami bahwa buletin ini dapat bermanfaat bagi para pengguna baik di lingkup Kementerian Pertanian maupun para pengguna lainnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan di masa mendatang.



Jakarta, Mei 2019 Kepala Pusat,



Dr. Ir. Ketut Kariyasa, M.Si



Pusat Data dan Informasi Pertanian



iii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii DAFTAR ISI I.



............................................................................................................ v



PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1



II. METODOLOGI ......................................................................................................... 3 III. POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA ............................................................. 5 IV. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN - PENGGUNAAN BERAS ................................. 11 V.



KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN JAGUNG .............................. 22



VI. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN KEDELAI ............................. 35 VII. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN CABAI ................................. 46 VIII. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN BAWANG MERAH ................ 55 IX. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN DAGING SAPI ....................... 62 X. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN DAGING AYAM ....................... 72 XI. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN – PENGGUNAAN GULA PASIR ......................... 84 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 96



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



v



Pusat Data dan Informasi Pertanian



iii



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



v



Pusat Data dan Informasi Pertanian



iii



BAB I. PENDAHULUAN 1.1.



P



Latar Belakang angan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan



pembangunan nasional. Kebutuhan pangan merupakan penjumlahan dari kebutuhan pangan untuk konsumsi langsung, kebutuhan industri dan permintaan lainnya.



Konsumsi langsung adalah jumlah



pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Oleh karena itu salah satu target Kementerian Pertanian adalah peningkatan diversifikasi pangan, terutama untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu, yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran. Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 84,1 pada tahun 2015 menjadi 92,5 pada tahun 2019 (Tabel 1.1).



Tabel 1.1. Sasaran Konsumsi Energi, Protein dan Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2015 – 2019 No



1 2 3 4 5 6 7 8 9



1



Kelompok Pangan



Tahun 2015



2016



2017



2018



Konsumsi energi per kelompok pangan (kkal/kapita/hari) Padi-padian 1,165 1,161 1,156 1,152 Umbi-umbian 53 69 84 100 Pangan Hewani 191 200 208 217 Minyak dan Lemak 238 232 227 221 Buah/biji berminyak 43 49 54 60 Kacang-kacangan 65 72 80 87 Gula 94 98 101 104 Sayur dan Buah 111 112 113 114 Lain-lain 42 48 53 59 Total Energi 2,004 2,040 2,077 2,113 Konsumsi protein (gram/kapita/hari) Protein 56.1 56.4 56.6 56.8 Skor PPH 84.1 86.2 88.4 90.5



2019 1,147 115 225 215 65 95 108 115 65 2,150 57 92.5



Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian



Pusat Data dan Informasi Pertanian



1



Berkenaan dengan konsumsi pangan, maka Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian menyusun Buletin Konsumsi Pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula. Buletin ini menyajikan perkembangan konsumsi serta neraca penyediaan dan penggunaan.



1.2.



Tujuan Tujuan disusunnya buletin ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsumsi pangan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula. 2. Untuk mengetahui neraca penyediaan dan penggunaan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula. 3. Untuk mengetahui konsumsi domestik komoditas pertanian di dunia.



1.3.



Ruang Lingkup Publikasi Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 No. 1 Tahun 2019 menyajikan informasi



perkembangan pola konsumsi komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula untuk masyarakat Indonesia dan konsumsi rumah tangga per kapita per tahun dan prediksi 3 tahun ke depan yakni tahun 2019, 2020 dan 2021 serta konsumsi di negara-negara di dunia untuk komoditas yang dibahas. Neraca bahan pangan disajikan tahun 2015 – 2018 dan prediksi untuk tahun 2019. Komoditas yang dianalisis pada buletin ini adalah beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula.



2



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Pusat Data dan Informasi Pertanian



3



BAB II. METODOLOGI



2.1.



Sumber Data Data konsumsi rumah tangga yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari



publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (hasil survei Maret). Sejak tahun 2011, BPS melaksanakan SUSENAS setiap triwulan, namun dalam publikasi buletin ini digunakan data hasil SUSENAS terbaru yaitu Bulan Maret tahun 2017, dengan menggunakan kuesioner modul konsumsi/pengeluaran rumah tangga. Pengumpulan data dalam SUSENAS dilakukan melalui wawancara dengan kepala rumah tangga dengan cara mengingat kembali (recall) seminggu yang lalu pengeluaran untuk makanan dan sebulan untuk konsumsi bukan makanan. Data konsumsi/pengeluaran yang dikumpulkan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) pengeluaran makanan (dikumpulkan kuantitas dan nilai rupiahnya) dan (2) pengeluaran konsumsi bukan makanan (yang dikumpulkan nilai rupiahnya, kecuali listrik, gas, air dan BBM dengan kuantitasnya). Data konsumsi rumah tangga yang bersumber dari SUSENAS (BPS) disajikan per kapita per minggu. Selanjutnya dalam penyajian publikasi ini dikonversi menjadi per kapita per tahun dengan dikalikan dengan 365/7. Selain data konsumsi rumah tangga, pada publikasi ini juga ditampilkan tabulasi data neraca bahan pangan berdasarkan perhitungan Pusdatin. 2.2.



Metode Cara perhitungan neraca bahan pangan adalah sebagai berikut:



2



1.



Penyediaan (supply) : Ps = S awal + P + I – E dimana: Ps = total penyediaan dalam negeri P = produksi S awal = stok awal tahun I = Impor E = ekspor



2.



Penggunaan (utilization) Pg = Pk + Bn + Id + Tc + F dimana: Pg = total penggunaan Pk = pakan Bn = benih Id = industri Tc = tercecer F = total penggunaan untuk bahan makanan Pusat Data dan Informasi Pertanian



Total penggunaan untuk bahan makanan dihitung berdasarkan data konsumsi (RT dan di luar RT) dikalikan dengan jumlah penduduk. Besaran konsumsi rumah tangga menggunakan data hasil SUSENAS, sementara konsumsi di luar RT menggunakan data hasil survei Industri Mikro Kecil (IMK) dan Industri Besar Sedang (IBS) – BPS atau menggunakan proporsi dari Tabel I/O – 2005. Besarnya penggunaan untuk benih diperoleh dari perhitungan data luas tanam dikalikan dengan kebutuhan benih per hektar. Data penggunaan untuk pakan dan tercecer menggunakan besaran konversi terhadap penyediaan dalam negeri, seperti yang digunakan pada perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) Nasional. Jumlah penduduk yang digunakan untuk menghitung total konsumsi menggunakan data proyeksi dari BPS-Bappenas seperti tersaji pada Tabel 1.2. Neraca bahan pangan memberikan informasi tentang situasi pengadaan/ penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, impor-ekspor dan stok serta data penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk suatu negara/wilayah dalam kurun waktu tertentu.



Tabel 1.2. Proyeksi Jumlah Penduduk, 2012 – 2019



Tahun



Jumlah Penduduk (000 jiwa)



Tahun



Jumlah Penduduk (000 jiwa)



2012



245,425.2



2016



258,496.5



2013



248,818.1



2017



261,355.5



2014



252,164.8



2018



264,161.6



2015



255,587.9



2019



266,911.9



Sumber: BPS-Bappenas Keterangan: 2015 - 2019 hasil SUPAS 2015



Pusat Data dan Informasi Pertanian



5



BAB III. POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA



3.1. Perkembangan Indonesia



H



Pengeluaran



Makanan



dan



Non



Makanan



Masyarakat



ukum ekonomi menurut Ernst Engel (1857), menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini dapat digunakan untuk menggambarkan



kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data SUSENAS, pengeluaran penduduk Indonesia per bulan untuk makanan dan non makanan selama tahun 2009 - 2018 menunjukkan adanya fluktuasi pergeseran. Pada awalnya persentase pengeluaran untuk makanan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk non makanan, namun di tahun 2011, 2015, 2016 dan 2018 persentase pengeluaran non makanan sedikit lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk makanan. Persentase pengeluaran per bulan pada tahun 2009 untuk makanan sebesar 50,62% dan non makanan sebesar 49,38%, tahun 2011, 2015 dan 2016 persentase non makanan menjadi sedikit lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk makanan. Tahun 2018 persentase ini menjadi sebesar 48,68% untuk pengeluaran makanan dan 51,32% untuk non makanan, seperti tersaji pada Gambar 3.1. Besarnya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2018 untuk bahan makanan sebesar Rp. 556.899,- dan non makanan sebesar Rp. 567.818,-.



Gambar 3.1. Perkembangan Persentase Pengeluaran Penduduk Indonesia untuk Makanan dan Non Makanan, Tahun 2009 – 2018



2



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan tahun 2018 sebagian besar dialokasikan untuk makanan dan minuman jadi yang mencapai 33,98%, disusul rokok sebesar 11,75%, padi-padian 12,02%, sayur-sayuran sebesar 7,12%, ikan sebesar 7,78%, telur dan susu sebesar 5,78%, sementara kelompok makanan lainnya kurang dari 5%. Pola pengeluaran penduduk Indonesia untuk bahan makanan selama 3 tahun terakhir terlihat mengalami perubahan yang cukup nyata. terutama untuk rokok dan tembakau. Persentase pengeluaran untuk rokok di tahun 2018 lebih tinggi dari pengeluaran untuk jenis makanan yang lain bahkan padi-padian. Pengeluaran untuk rokok ini terlihat setara dengan total pengeluaran untuk sayur dan buah. Hal ini menarik dan perlu dicermati terutama terkait pencapaian ketahanan pangan keluarga. Sementara pengeluaran untuk padi-padian terlihat menurun dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, yaitu 16,23% di 2015 menjadi 12,02% di 2018. (Gambar 3.2).



Gambar 3.2. Persentase Pengeluaran Bahan Pangan Menurut Jenis Tahun 2015 dan 2017



Perkembangan pengeluaran nominal bahan makanan per kapita per bulan tahun 2016 sampai tahun 2018 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 10,05%, namun demikian secara riil hanya meningkat sebesar 8,86%. Apabila ditinjau menurut kelompok barang, pengeluaran per kapita sebulan untuk padi-padian secara riil mengalami penurunan sementara secara nominal sedikit meningkat. Hal ini mengindikasikan terjadinya kenaikan indeks harga atau dengan kata lain harga kelompok padi-padian meningkat pada periode waktu ini. Indikasi penurunan kuantitas konsumsi juga terjadi pada kelompok rorok dan tembakau.



Secara riil terjadi penurunan pengeluaran per kapita sebulan untuk rokok dan



tembakau (Tabel 3.1).



Pusat Data dan Informasi Pertanian



7



Pertumbuhan tertinggi selama tahun 2016 – 2018 terjadi pada kelompok buah-buahan yaitu rata-rata sebesar 21,63% setiap tahunnya. Kelompok komoditas lainnya adalah makanan dan minuman jadi serta ikan meningkat cukup besar setiap tahunnya pada tahun 2016 – 2018. Hal yang dapat dicermati juga adalah rendahnya laju peningkatan pengeluaran untuk rokok. Selama tahun 2016 – 2018, besarnya pertumbuhan pengeluaran untuk rokok ini paling rendah dibandingkan kelompok komoditas lain. Rendahnya laju pertumbuhan pengeluaran untuk rokok ini disebabkan karena naiknya harga yang diindikasikan dengan tingginya laju IHK atau inflasi kelompok rokok dan tembakau. Secara rinci perkembangan pengeluaran nominal dan riil menurut kelompok komoditas dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Perkembangan Pengeluaran Nominal dan Riil Kelompok Bahan Makanan, Tahun 2016 – 2018 (Rp/Kapita/Bulan)



No.



2016



Kelompok Barang Nominal



2017



IHK



Riil



64,566



127.50



50,640



5,057



127.50



3,966



Nominal



Pertumbuhan 2016-2018 (%)



2018



IHK



Riil



61,455



128.49



47,829



5,764



128.49



4,486



Nominal



IHK



Riil



66,936



136.36



49,088



5,623



136.36



4,124



5.77



2.51



Nominal



Riil



1



Padi-padian



2



Umbi-Umbian



3



Ikan



33,620



135.72



24,772



40,478



141.99



28,507



43,352



150.73



28,761



13.75



7.99



4



Daging



20,526



132.35



15,509



24,987



134.09



18,635



23,006



143.61



16,020



6.90



3.06



5



Telur dan susu



28,025



126.79



22,103



29,357



128.10



22,918



32,196



133.84



24,056



7.21



4.32



6



Sayur-sayuran



34,505



156.48



22,051



42,397



163.61



25,914



39,664



167.71



23,650



7



Kacang-kacangan



10,349



130.55



7,927



11,252



131.60



8,550



11,292



132.89



8,497



4.54



3.62



8



Buah-buahan



19,268



148.29



12,993



22,850



150.51



15,182



28,486



156.05



18,254



21.63



18.54



9



Minyak dan Kelapa



2.05



8.21



-1.46



4.39



12,705



113.50



11,194



13,588



120.29



11,296



13,527



119.33



11,336



3.25



0.63



10 Bahan minuman



16,019



122.44



13,083



17,078



125.29



13,631



17,162



127.46



13,465



3.55



1.48



11 Bumbu-bumbuan



9,166



187.08



4,900



9,656



184.16



5,243



10,755



182.95



5,879



8.36



9.57



12 Konsumsi lainnya



9,443



127.15



7,427



10,909



132.30



8,246



10,238



139.77



7,325



4.69



-0.07



133,834



130.02



102,933



172,600



135.16



127,700



189,223



140.26



134,909



19.30



14.85



63,555



139.10



45,690



65,586



150.42



43,601



65,439



160.62



40,742



1.49



-5.57



460,638



137.28



335,546



527,957



140.20



376,579



556,899



140.20



397,222



10.05



8.86



13 Makanan & minuman jadi 14 Rokok dan Tembakau Bahan Makanan



Sumber: Badan Pusat Statistik Keterangan: IHK 2016 - 2018 tahun dasar 2012 = 100



DKI Jakarta merupakan daerah dengan nilai pengeluaran per kapita sebulan yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 2.039.157,- sementara yang terendah adalah NTT dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 704.754,- per kapita sebulan. Secara rata-rata nasional, pengeluaran per kapita sebulan adalah Rp. 1.124.717,-. Proporsi pengeluaran untuk makanan di DKI Jakarta hanya sebesar 41,58% dari total pengeluaran. Sebaliknya di provinsi Papua proporsi pengeluarannya adalah yang tertinggi secara nasional yaitu sebesar 57,19% dari total pengeluaran. Secara rinci proprosi pengeluaran makanan dan bukan makanan menurut provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.3.



2



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 3.3. Proporsi Pengeluaran Menurut Provinsi, Maret 2018



3.2. Perkembangan Konsumsi Kalori & Protein Masyarakat Indonesia Konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan data SUSENAS menunjukkan kenaikan pada tahun 2018. Rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia pada tahun 2018 sebesar 2.147,09 kkal atau naik sebesar 154,00 kkal dibandingkan tahun 2015. Sementara konsumsi protein meningkat 7,08 gram. Kenaikan konsumsi kalori terjadi pada hampir semua kelompok barang, dimana tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 131,65 kkal serta buah-buahan sebesar 13,01 kkal. Konsumsi kalori dari padi-padian mengalami penurunan sebesar 37,50 kkal. Konsumsi protein dari ikan juga mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan sumber protein lainnya yaitu naik sebesar 1,17 gram. (Tabel 3.2). Pusat Data dan Informasi Pertanian



9



Tabel. 3.2. Rata-rata Konsumsi Kalori (kkal) dan Protein (gram) per kapita sehari menurut kelompok makanan, Maret 2015 dan Maret 2018 No.



Kelompok Barang



Kalori (kkal/kapita/hari) 2015



2018



Protein (gram/kapita/hari)



Perubahan



2015



2018



Perubahan



875.53



838.03



-37.50



20.59



19.72



-0.87



Umbi-Umbian



35.43



38.37



2.94



0.34



0.36



0.02



3



Ikan



42.52



49.46



6.94



7.14



8.31



1.17



4



Daging



52.37



59.99



7.62



3.13



3.73



0.60



5



Telur dan susu



58.31



63.34



5.03



3.23



3.50



0.27



6



Sayur-sayuran



29.68



37.95



8.27



1.97



2.29



0.32



7



Kacang-kacangan



47.18



53.93



6.75



4.72



5.34



0.62



8



Buah-buahan



38.54



51.55



13.01



0.43



0.57



0.14



9



Minyak dan Kelapa



255.49



257.42



1.93



0.25



0.20



-0.05



10 Bahan minuman



95.62



98.07



2.45



0.84



0.83



-0.01



11 Bumbu-bumbuan



9.37



11.25



1.88



0.43



0.48



0.05



1



Padi-padian



2



12 Konsumsi lainnya 13 Makanan dan minuman jadi Jumlah



55.90



59.33



3.43



1.18



1.16



-0.02



396.77



528.42



131.65



10.86



15.70



4.84



1,992.69



2,147.09



154.40



55.11



62.19



7.08



Sumber: SUSENAS, BPS



Kenaikan pada pola konsumsi protein penduduk Indonesia terjadi pada hampir semua kelompok barang, dimana kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 3,70 gram/kapita/hari dan ikan 1,09 gram/kapita/hari. Rata-rata konsumsi kalori dan protein penududuk Indonesia tahun 2015 dan 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 3.2.



Gambar 3.3. Persentase Konsumsi Kalori Penduduk Indonesia Tahun 2015 dan 2018



2



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 3.4. Persentase Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Tahun 2015 dan 2018 Sumber utama konsumsi kalori penduduk Indonesia adalah dari kelompok padi-padian yang mencapai 43,94% pada tahun 2015, diikuti oleh kelompok makanan dan minuman lain sebesar 19,91%. Demikian pula, sumber protein pada pola konsumsi protein penduduk Indonesia berasal dari kelompok padi-padian yang mencapai 37,36% pada tahun 2015 dan disusul dari kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 19,71% (Gambar 3.3 dan Gambar 3.4). Tahun 2018 terjadi penurunan share konsumsi kalori dari kelompok padi-padian menjadi sekitar 39,55%. Penurunan ini terakomodir dalam peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi menjadi 23,15%. Sementara konsumsi protein terutama ikan dan daging meningkat dibandingkan tahun 2015. Demikian juga dengan konsumsi kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati meningkat di tahun 2017 menjadi sebesar 9,05% dibandingkan tahun 2015 sebesar 8,56% (Gambar 3.3 dan Gambar 3.4).



Pusat Data dan Informasi Pertanian



11



BAB IV. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN - PENGGUNAAN BERAS



B



eras merupakan bahan pangan pokok lebih dari setengah penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari 20% kalori. Lebih dari 90% beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia (China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam and Jepang). Pada saat ini, di negara-negara Asia



menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan produksi dan ekspor beras sedangkan angka konsumsi justru cenderung menurun. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan urbanisasi, konsumsi per kapita beras mempunyai kecenderungan menurun di negaranegara Asia Tengah dan berpenghasilan tinggi seperti Jepang, Taiwan dan Republik Korea. Tetapi, hampir seperempat populasi di Negara Asia masih tergolong miskin dan belum memiliki akses yang cukup terhadap beras seperti Afghanistan, Korea Utara, Nepal dan Vietnam.



Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok, maka Pemerintah Indonesia berupaya mencapai mencapai swasembada beras melalui dua cara. Pada satu sisi, pemerintah mendorong para petani untuk meningkatkan produksi dengan mendorong inovasi teknologi dan menyediakan pupuk bersubsidi, dan di sisi lain, berusaha mengurangi konsumsi beras masyarakat melalui kampanye seperti "satu hari tanpa beras" (setiap minggunya), sementara mempromosikan konsumsi makanan-makanan pokok lainnya. Strategi ini belum bisa dikatakan berhasil karena jumlah produksi beras hanya sedikit meningkat dan kebanyakan orang Indonesia enggan untuk mengganti beras dengan bahan-bahan makanan lain. Beras juga merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Berdasarkan data hasil SUSENAS - BPS, konsumsi beras per kapita cenderung menurun yakni dari 107,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 96,33 kg/kapita/tahun pada tahun 2018 (Susenas – BPS, 2002 dan 2018). Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1,19% per tahun pada periode tahun 2016-2020 (Proyeksi Penduduk Indonesia-BPS, 2014). Dengan kenyataan ini maka total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus meningkat walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan.



2



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Dalam tulisan ini akan diulas keragaan dan prediksi konsumsi beras hasil SUSENAS BPS, serta hasil perhitungan Pusdatin untuk neraca penyediaan dan penggunaan beras. Konsumsi beras menurut SUSENAS dibedakan dalam wujud beras dan makanan jadi berbahan dasar beras. Wujud makanan jadi berbahan dasar beras kemudian dikonversi menjadi wujud beras untuk memperoleh total konsumsi beras.



4.1.



Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia Cakupan data konsumsi menurut hasil SUSENAS - BPS merupakan konsumsi dalam



wujud beras dan makanan olahan berbahan dasar beras di rumah tangga . Guna mendapatkan angka konsumsi total beras, maka makanan olahan berbahan dasar beras dikonversi ke wujud asal beras dengan faktor konversi menurut Pusat Studi Keanekaragaman Pangan dan Gizi, IPB (PSKPG-IPB) seperti tersaji pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Besaran Konversi Makanan Jadi Berbahan Dasar Beras ke Bentuk Asal Beras



No



Jenis Pangan



Satuan



Konversi (gram)



Konversi ke bentuk asal



Bentuk konversi



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13



Beras Beras Ketan Tepung beras Lainnya padi-padian Bihun Bubur bayi kemasan Lainnya konsumsi lainnya Kue basah Nasi campur/rames Nasi goreng Nasi putih Lontong/ketupat sayur Bubur ayam *)



kg kg kg kg ons 150 gr buah porsi porsi porsi porsi porsi



1000 1000 1000 1000 100 150 100 30 500 250 200 350 125



1 1 1.01 1 1 1 1 0.4 0.5 0.5 0.5 0.25 0.2



Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras Beras beras



Sumber : Studi PSKPG-IPB Keterangan : *) Data tersedia mulai tahun 2017



Pusat Data dan Informasi Pertanian



13



Tabel 4.2. Perkembangan Konsumsi Beras Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2002-2018 serta Prediksi 2019-2021



Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Rata-rata 2019 *) 2020 *) 2021 *)



Konsumsi 1) (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) 2.0656 107.7057 2.0789 108.4018 2.0520 106.9991 2.0190 105.2770 1.9945 103.9980 1.9188 100.0507 2.0116 104.8909 1.9603 102.2146 1.9321 100.7453 1.9728 102.8661 1.8727 97.6455 1.8680 97.4045 1.8647 97.2329 1.8862 98.3526 1.9288 100.5714 1.8684 97.4258 1.8473 96.3255 1.9495 101.6534 1.8613 97.0545 1.8592 96.9430 1.8582 96.8939



Pertumbuhan (%) 0.65 -1.29 -1.61 -1.21 -3.80 4.84 -2.55 -1.44 2.11 -5.08 -0.25 -0.18 1.15 2.26 -3.13 -1.13 -0.67 -0.38 -0.11 -0.05



Sumber : SUSENAS, BPS Keterangan : 1) Merupakan total konsumsi setara beras *) Hasil prediksi Pusdatin dengan model trend kuadratik (MAPE=1,21175)



Total konsumsi beras selama periode tahun 2002 – 2018 cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 2003, 2008, 2011, 2015 dan 2016 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0,65%, 4,84%, 2,11%, 1,15% dan 2,26% dibandingkan tahun sebelumnya.



Rata-rata konsumsi beras selama periode 2002 - 2018



sebesar 1,95 kg/kapita/minggu atau setara dengan 101,65 kg/kapita/tahun dengan laju penurunan rata-rata sebesar 0,67% per tahun. Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 108,42 kg/kapita/tahun. Setelah itu, konsumsi beras cenderung terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2018 menjadi sebesar 96,33 kg/kapita/tahun. Perkembangan konsumsi beras total per kapita dari tahun 2002 – 2018, serta prediksi 2019 2021 disajikan pada Tabel 4.2. Sejalan dengan perilaku konsumsi beras pada tahun – tahun sebelumnya, maka pada tahun 2019 diprediksikan akan terjadi sedikit peningkatan konsumsi per kapita beras, yakni menjadi sebesar 97,05 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 0,76% dibandingkan tahun 2018.



14



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Sementara



tahun 2020 konsumsi beras per kapita diprediksikan menurun 0,11%



dibandingkan tahun 2019 dan kemudian tahun 2021 turun sebesar 0,05% atau menjadi 96,89 kg/kapita/tahun. Keragaan konsumsi beras tahun 2002 – 2018 serta prediksi tahun 2019 - 2021 secara lengkap tersaji pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.1.



(Kg/kapita)



110 108 106 104 102 100



98 96 94 92



2021 *)



2020 *)



2019 *)



2018



2017



2016



2015



2014



2013



2012



2011



2010



2009



2008



2007



2006



2005



2004



2003



2002



90



Gambar 4.1. Perkembangan Konsumsi Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 20022018 serta Prediksi 2019-2021



Tabel 4.3. Perkembangan Pengeluaran Nominal dan Riil untuk Konsumsi Makan Berbahan Baku Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 – 2018 No



Uraian



1



Nominal



2



IHK*)



3



Riil



Tahun (Rupiah/Kapita) 2014 1,150,497 110.89 1,037,512



2015 1,235,309 123.04 1,003,990



2016 1,287,042 127.50 1,009,458



2017 1,383,089 128.49 1,076,418



2018



Pertumbuhan (%)



1,484,872



6.60



136.36



5.37



1,088,935



1.28



Sumber: BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya dengan tahun dasar 2012=100



Pusat Data dan Informasi Pertanian



15



Gambar 4.2. Perkembangan Pengeluaran nominal dan riil untuk Konsumsi Makanan Berbahan Baku Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 – 2018



Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi beras bagi penduduk Indonesia tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 6,60%, yakni dari Rp. 1,15 juta/kapita/tahun pada tahun 2014 menjadi Rp. 1,48 juta/kapita/tahun pada tahun 2018. Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi beras secara riil sebenarnya meningkat sebesar 1,28%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia sedikit meningkat. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi beras dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2. 4.2. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Beras Penyusunan neraca penyediaan dan penggunaan beras didasarkan atas beberapa data dan asumsi. Perhitungan penyediaan beras diawali dengan perhitungan penyediaan gabah, karena data produksi yang dirilis BPS adalah dalam wujud gabah kering giling (GKG). Total penyediaan gabah Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor dan dikurangi ekspor. Sementara penggunaan gabah adalah untuk benih, pakan, bahan baku industri bukan makanan dan tercecer, sehingga sisanya diasumsikan merupakan gabah yang siap untuk digiling menjadi beras dengan faktor konversi sebesar 62,74%, kecuali tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02% berdasarkan hasil survei konversi gabah ke beras (BPS, 2018). Penggunaan gabah untuk benih dihitung berdasarkan rata-rata kebutuhan benih per



16



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



hektar sebesar 49,43 kg/ha (SOUT-BPS, 2013) dikalikan dengan luas tanam pada tahun yang bersangkutan. Penggunaan gabah untuk pakan, bahan baku industri bukan makanan dan tercecer menggunakan faktor konversi yang digunakan pada perhitungan NBM Nasional masing-masing sebesar 0,44%, 0,56% dan 5,4% terhadap total penyediaan. Total penyediaan beras Indonesia adalah berasal dari gabah yang siap digiling menjadi beras ditambah impor beras, dikurangi ekspor dan ditambah stok beras awal tahun. Data stok yang tersedia hanya stok beras pemerintah yang bersumber dari BULOG, sedangkan data stok di masyarakat tidak tersedia.



Tabel 4.4.Neraca Penyediaan dan Penggunaan Beras di Indonesia, 2014 - 2019 No.



Uraian



A. PENYEDIAAN GABAH - Produksi (Ton Gabah Kering Giling) Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) - Impor (Ton) - Ekspor (Ton) B PENGGUNAAN GABAH - Kebutuhan Benih ( 49,43 kg/ha x LT) - Kebutuhan Untuk Pakan (0,44% dari A) - Bahan baku industri bukan makanan (0,56% dari A) - Tercecer ( 5,4% dari A) C GABAH TERSEDIA UNTUK DIGILING ( A-B) D PENYEDIAAN BERAS - PENYEDIAAN Beras Tersedia (GKG ke Beras = 62,74%)**) - Impor (Ton) - Ekspor (Ton) - Stok awal tahun (Ton) - BULOG E PENGGUNAAN BERAS - Konsumsi (penduduk x tkt konsumsi) - Pakan ternak/unggas (0,17% dari D) - Susut/tercecer ( 2,5% dari D) - Stok akhir akhir (Ton) - BULOG Neraca (D-E) Keterangan



2014 2015 70,847,774 75,399,195 70,846,465 75,397,841 14,291,803 14,622,579 13,797,307 14,116,638 1,394 1,413 85 59 5,240,701 5,548,343 706,444 722,794 311,730 331,756 396,748 422,235 3,825,780 4,071,557 65,607,072 69,850,852 44,475,874 41,161,877 842,770 2,941 2,474,168 31,643,581 28,779,569 69,975 1,029,047 1,764,990 12,832,294



51,468,136 48,239,302 2,254,292 3,996 978,538 32,937,767 29,475,151 82,007 1,205,983 2,174,626 18,530,370



52,107,054 49,807,148 125,566 286 2,174,626 33,156,843 29,782,030 84,672 1,245,179 2,044,962 18,950,212



252,164,800 255,587,900 258,496,500 261,355,500 264,161,600 114.13 114.61 114.61 111.58 111.58 Produksi GKG 2017 = Angka tetap, 2018 = Angka Ramalan I (Rakor Solo, Juli 2018) dan tahun 2019 angka sasaran (IKU) Ditjen Tanaman Pangan Ekspor impor 2019 merupakan data kumulatif Januari sd. April 2019 Stok akhir Bulog tahun 2018 menjadi stok awal Bulog 2019, stok akhir 2019 merupakan stok sd April 2019 *) Tahun 2019 merupakan prediksi Pusdatin **) Tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02% (Hasil Survei Konversi Gabah Beras- BPS, 2018)



266,911,900 111.58



- Jumlah Penduduk (jiwa) mulai th 2015 sumber SUTAS 2015



- Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun dalam dan di luar Rumah Tangga (Bapok, BPS)



-



46,447,701 43,824,425 860,188 1,902 1,764,990 31,627,520 29,292,929 74,502 1,095,611 1,164,479 14,820,180



Tahun 2016 2017 2018 2019 *) 79,356,617 81,151,739 83,037,377 83,999,998 79,354,767 81,148,594 83,037,150 84,000,000 15,699,364 16,259,493 16,899,650 16,683,000 15,156,166 15,696,915 16,335,202 15,850,000 2,141 3,145 229 0.65 291 0.384 2 3 5,854,843 5,997,418 6,149,742 6,200,641 776,020 803,707 835,350 824,641 349,169 357,068 365,364 369,600 444,397 454,450 465,009 470,400 4,285,257 4,382,194 4,484,018 4,536,000 73,501,774 75,154,321 76,887,635 77,799,357 48,558,286 46,115,013 1,281,042 2,247 1,164,479 32,592,392 29,626,284 78,396 1,152,875



1,734,837 15,965,895



49,186,690 47,151,821 304,381 4,349 1,734,837 31,399,538 29,162,047 80,158 1,178,796 978,538 17,787,151



Penggunaan beras di Indonesia adalah untuk konsumsi langsung per kapita, kebutuhan pakan, tercecer dan sebagai stok akhir tahun. Pada analisis ini, total konsumsi langsung diperoleh dari konsumsi per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk. Besaran konsumsi beras per kapita yang digunakan bersumber dari survei bahan pokok (Bapok) BPS untuk tahun 2014, 2015 dan 2017, sehingga untuk tahun 2016 menggunakan hasil survei tahun 2016 serta tahun 2018 dan 2019 menggunakan hasil survei tahun 2017 yaitu sebesar 111,58 kg/kapita/tahun. Konsumsi tersebut merupakan penjumlahan konsumsi rumah tangga hasil SUSENAS ditambah dengan konsumsi di luar rumah tangga (restoran, hotel, katering, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, IMK dan IBS). Penggunaan beras untuk pakan dan tercecer masing-masing sebesar 0,17% dan 2,5% yang merupakan faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan NBM nasional.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



17



Hasil perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan beras tahun 2014 – 2019 tersaji pada Tabel 3.4. Data produksi GKG tahun 2014 sd. 2017 merupakan angka tetap dan tahun 2018 angka ramalan 1 hasil rapat koordinasi antara Ditjen Tanaman Pangan, BPS dan instansi terkait pada Juli 2018 yang bertempat di Solo Jawa Tengah. Data produksi padi tahun 2019 merupakan angka sasaran produksi (IKU), Ditjen Tanaman Pangan. Selama periode tersebut, total penyediaan gabah terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,48% per tahun, yang terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi padi nasional. Pada tahun 2014 total penyediaan gabah Indonesia mencapai 70,85 juta ton dan meningkat menjadi sebesar 83,04 juta ton pada tahun 2018 dan sesuai angka sasaran produksi (IKU) Ditjen Tanaman Pangan akan meningkat kembali menjadi sebesar 84 juta ton pada tahun 2019. Seiring dengan meningkatnya penyediaan gabah, penggunaan gabah untuk benih, pakan, bahan baku industri non makanan dan tercecer juga mengalami peningkatan dari sebesar 5,24 juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 6,15 juta ton pada tahun 2018 dan diperkirakan menjadi 6,20 juta ton pada tahun 2019. Selisih antara penyediaan dengan penggunaan gabah merupakan kuantitas gabah yang siap digiling atau tersedia dalam wujud beras, dengan faktor konversi sebesar 62,74%, kecuali untuk tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02% bersumber dari Survei KonversiGabah Beras, BPS tahun 2018. Berdasarkan angka konversi tersebut di atas, maka besarnya beras tersedia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 3,90% yakni dari 41,16 juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 49,81 juta ton pada tahun 2019. Total penyediaan beras Indonesia berasal dari beras yang tersedia ditambah impor dan stok di Bulog awal tahun, serta dikurangi beras yang dieskpor. Total penyediaan beras di Indonesia selama periode tahun 2014 – 2019 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 3,23%, yakni dari 44,48 juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 52,11 juta ton pada tahun 2019. Peningkatan total penyediaan beras juga disebabkan oleh meningkatnya stok beras pemerintah di Bulog. Penggunaan beras yang terbesar adalah untuk konsumsi penduduk atau per kapita. Data yang bersumber dari survei bahan pokok BPS untuk konsumsi rumah tangga maupun di luar rumah tangga tahun 2014 sebesar 114,13 kg/kapita/tahun dan tahun 2015 sebesar 114,61 kg/kapita/tahun



dan 2017 sebesar 111,58



kg/kapita/tahun. Pada perhitungan



penggunaan beras diasumsikan tidak ada perubahan besarnya konsumsi langsung per kapita pada tahun tersebut. Total konsumsi diperoleh dari angka konsumsi per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk, dimana dari tahun 2014 – 2016 mengalami peningkatan, namun tahun 2017 mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan 1,57%, sehingga total konsumsi beras dari 28,78 juta ton 2014 menjadi 29,78 juta ton tahun 2019.



18



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Penggunaan beras lainnya adalah untuk pakan dan tercecer, masing-masing menggunakan faktor konversi sebesar 0,17% dan 2,5% terhadap total penyediaan, serta sebagai stok akhir.



Stok akhir



data yang tersedia di Bulog tahun 2018 sebesar 2,17 juta ton.



Berdasarkan rincian penggunaan beras tersebut diatas, maka total penggunaan beras Indonesia mencapai 31,64 juta ton pada tahun 2014 dan terus mengalami peningkatan menjadi 33,16 juta ton pada tahun 2019. Neraca penyediaan dan penggunaan beras adalah selisih antara total penyediaan dengan penggunaan beras. Selama periode tahun 2014 hingga 2019 terjadi surplus beras yang mencapai 12,83 juta ton pada tahun 2014 hingga 18,95 juta ton pada tahun 2019. Surplus neraca penyediaan dan penggunaan beras ini diasumsikan merupakan beras yang disimpan di masyarakat, yakni di rumah tangga, penggilingan, pedagang beras, hotel, restoran, catering dan lain-lain (Tabel 4.4). Berdasarkan hasil survei konsumsi bahan pokok (Bapok) BPS tahun 2014, 2015 dan 2017 menurut pengelolaannya menunjukkan persentase sebaran



konsumsi beras sebesar



73,92% berada di dalam rumah tangga, 17,46% di rumah makan dan penyedia makanan minuman, 7,33% di industri mikro kecil dan 1,29% lainnya (Gambar 4.3).



Gambar 4.3. Persentase Sebaran Konsumsi Beras, Rata-rata 2014 – 2017 Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun hasil survei Bapok BPS tahun 2017 sebesar 111,58 kg/kapita yang terdiri dari konsumsi dalam rumah tangga (Susenas) sebesar 81,61 kg/kapita atau 73,14% dari total konsumsi beras, sedangkan konsumsi di luar rumah



Pusat Data dan Informasi Pertanian



19



tangga sebesar 29,97 Kg/kapita atau 26,86% dari total konsumsi.



Bila dirinci konsumsi



beras per provinsi menunjukkan Provinsi Jawa Barat memiliki angka konsumsi beras yang terbesar mencapai 128.40 Kg/Kapita dan terendah di Papua sebesar 66,88 Kg/kapita (Gambar 4.4). Rendahnya konsumsi beras di Papua karena memiliki pangan pokok selain beras seperti sagu dan ubu jalar. Dari konsumsi tersebut, Provinsi Jawa Barat memiliki pola konsumsi beras di dalam rumah tangganya hanya 64,48% dan di luar rumah tangga 35,52%, sedangkan di Papau konsumsi beras di dalam rumah tangga sebesar mencapai 89.44% dan di luar rumah tangga hanya 10,56%, artinya pola konsumsi beras masyarakat di Papau lebih banyak didapat dari konsumsi di dalam rumahnya, sementara di Jawa Barat sekitar sepertiga di dapat di luar rumah tangga seperti dari rumah makan, hotel restoran dan Katering.



Gambar 4.4. Konsumsi Beras per Provinsi, tahun 2017 4.3. Konsumsi Domestik Beras di Dunia Menurut data dari USDA, konsumsi domestik beras terbesar di dunia didominasi oleh negara-negara di Asia dengan jumlah penduduk yang relatif besar dimana bahan pangan pokok penduduknya adalah beras. Cina merupakan negara dengan total konsumsi domestik beras terbesar di dunia. Pada periode tahun 2015-2019 rata-rata konsumsi domestik beras di Cina mencapai 142,91 juta ton per tahun atau 29,66% dari total konsumsi domestik beras dunia. Disusul India dengan rata-rata konsumsi domestik sebesar 98,24 juta ton atau



20



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



20,39% dari total konsumsi domestik di dunia. Indonesia menempati urutan ketiga dalam konsumsi domestik beras di dunia mengingat lebih dari 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya yakni mencapai 37,97 juta ton atau 7,88% dari total konsumsi domestik beras dunia. Bangladesh dan Vietnam berada di urutan berikutnya dengan rata-rata konsumsi domestik persediaan beras masing-masing sebesar 35,28 juta ton (7,32%) dan 21,9 juta ton (4,54%). Negara-negara lainnya adalah Philipina, Birma, Thailand, Jepang, dan Brazil dengan total konsumsi domestik beras masing-masing di bawah 3% dari total konsumsi domestik beras dunia. Kontribusi negara-negara dengan konsumsi domestik beras terbesar di dunia tahun 2015 – 2019 disajikan pada Gambar 3.3 dan Tabel 3.5.



Tabel 4.5. Negara dengan Konsumsi Domestik Beras Terbesar di Dunia, 2015 – 2019 No



Negara



Konsumsi Domestik (000 Ton) 2015



2016



2017



2018



2019



Rata-rata 2015-2019



Share (%)



1



Cina



141,028



141,761



142,487



144,290



145,000



142,913



29.66



2



India



93,451



95,838



98,819



101,100



102,000



98,242



20.39



3



Indonesia



37,850



37,800



38,100



38,100



38,000



37,970



7.88



4



Bangladesh



35,100



35,000



35,200



35,500



35,600



35,280



7.32



5



Vietnam



22,500



22,000



21,500



21,500



22,000



21,900



4.54



6



Philipina



12,900



12,900



13,250



13,900



14,450



13,480



2.80



7



Birma



10,400



10,000



10,200



10,250



10,400



10,250



2.13



8



Thailand



9,100



12,000



11,000



10,800



10,900



10,760



2.23



9



Jepang



8,806



8,730



8,600



8,556



8,480



8,634



1.79



10



Brazil



7,900



7,950



7,750



7,700



7,650



7,790



1.62



87,579



93,376



95,418



97,809



99,010



94,638



19.64



466,614 477,355 482,324 489,505 493,490



481,858



100.00



Lainnya Total dunia Sumber : USDA di ol a h Pus da tin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



21



China 29.66%



India 20.39%



Indonesia 7.88% Lainnya 19.64% Vietnam 4.54% Japan Brazil 1.79% 1.62%



Bangladesh 7.32%



Philippines 2.80%



Thailand 2.23%



Burma 2.13%



Gambar 4.3. Negara dengan Konsumsi Domestik Beras Terbesar di Dunia, Tahun 2015-2019



22



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



BAB V. JAGUNG Jagung - sweet corn (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas pangan yang penting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Dalam nomenklatur ekonomi tanaman pangan Indonesia, jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Akan tetapi, dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno et all, 2007). Jagung merupakan makanan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri, jagung merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Madura dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kandungan gizi Jagung per 100 gram bahan adalah Kalori: 320 Kalori, Protein: 8,28 gr, Lemak: 3,90 gr, Karbohidrat: 73,7 gr, Kalsium : 10 mg, Fosfor : 256 mg, Ferrum : 2,4 mg, Vitamin A: 510 SI, Vitamin B1: 0,38 mg, Air: 12 gr (Neraca Bahan Makanan BKP, 2018). Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (7273%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30%: 70-75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7%: 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Suarni dan Widowati, 2007). Jagung banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya). Selain itu juga diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri lainnya (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Amerika



sebagai



salah



satu



negara



utama



penghasil



jagung,



pernah



mengembangkan pembuatan bioethanol untuk biofuel dengan bahan baku jagung. Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari sumber hayati, misalnya tebu, nira sorgum, ubi kayu, jagung, garut, ubi jalar, jagung, jerami, dan kayu. Penggunan jagung sebagai bahan baku



Pusat Data dan Informasi Pertanian



23



bioethanol di Amerika berkurang dan digantikan oleh switchgrass setelah harga jagung kembali naik. Di beberapa negara, penggunaan jagung sebagai bahan baku bioethanol secara



besar-besaran



dapat mengganggu



kebutuhan



pangan



karena



bahan



yang



mengandung karbohidrat, glukosa, dan selulosa sebagian besar merupakan bahan pangan. Data konsumsi jagung menurut SUSENAS yang diterbitkan oleh BPS sampai dengan tahun 2014 dibedakan atas konsumsi jagung basah/jagung muda, jagung pocelan, tepung jagung pada kelompok padi-padian dan minyak jagung pada kelompok minyak dan lemak. Data SUSENAS tahun 2015-2016 hanya membedakan jagung menjadi jagung basah dengan kulit dan jagung pipilan/beras jagung, sementara tahun 2017 data tepung jagung kembali muncul. Terkait dengan perubahan data ini maka pada buletin tahun 2018 ini jagung hanya akan dibedakan dalam wujud jagung basah dengan kulit dan jagung pipilan saja. Jagung total disini tidak lagi merupakan penjumlahan dari wujud jagung pocelan, tepung jagung dan minyak jagung seperti halnya sebelum tahun 2015. 5.1. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Jagung Basah dengan Kulit di Indonesia



Berdasarkan keragaan data hasil SUSENAS BPS, konsumsi jagung basah selama periode tahun 2003 – 2018 sangat berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 18,10% setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi jagung basah cukup signifikan terjadi pada tahun 2007 dibanding tahun sebelumnya yakni dari 0,782 kg/kapita pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,399 kg/kapita pada tahun 2007 atau naik sebesar 206,67%. Berikutnya di tahun 2015 kembali terjadi peningkatan sebesar 127,22% dari tahun 2014 sebesar 0.666 kg/kapita menjadi 1,512 kg/kapita. Tahun 2018 konsumsi jagung basah sekitar 1,534 kg/kapita atau naik 14,87% dari tahun 2017.



24



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Tabel 5.1.



Perkembangan Konsumsi Jagung Basah Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 – 2018 serta Prediksi 2019 – 2021 Konsumsi Pertumbuhan Tahun (%) (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun)



2003



0.020



1.043



2004



0.026



1.356



30.00



2005



0.033



1.721



26.92



2006



0.015



0.782



-54.55



2007



0.046



2.399



206.67



2008



0.024



1.251



-47.83



2009



0.012



0.626



-50.00



2010



0.018



0.939



50.00



2011



0.012



0.626



-33.33



2012



0.011



0.574



-8.33



2013



0.011



0.574



0.00



2014



0.013



0.666



16.03



2015



0.029



1.512



127.22



2016



0.035



1.825



20.69



2017



0.026



1.335



-26.82



2018



0.029



1.534



14.87



Rata-rata



0.022



1.173



18.10



2019 *)



0.026



1.381



-10.00



2020 *) 2021 *)



0.027 0.028



1.431 1.485



3.63 3.75



Sumber



: SUSENAS, BPS



Keterangan: *) hasil prediksi Pusdatin



Hasil prediksi konsumsi jagung basah tahun 2018 diperkirakan sebesar 1,251 kg/kapita atau turun sebesar 6,29% dibandingkan tahun 2017. Pada tahun berikutnya yakni 2019 dan 2020 besarnya konsumsi jagung basah cenderung meningkat.



Keragaan



konsumsi jagung basah tahun 2002 – 2017 serta prediksinya hingga tahun 2020 tersaji secara lengkap pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



25



Gambar 5.1. Perkembangan Konsumsi Jagung Basah Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 – 2018 serta Prediksi 2019 – 2021 Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung basah bagi penduduk Indonesia tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 33,35%, yakni dari Rp. 3.550,29/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 9.208,33/kapita pada tahun 2018. Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara riil hanya mengalami peningkatan sebesar 26,99%. Secara kuantitas,



konsumsi



per



kapita



jagung



basah



cenderung



mengalami



kenaikan.



Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.2. Tabel 5.2. Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Basah Secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 – 2018 Kelompok Barang Nominal IHK *) Riil



Tahun



Rata2 pertumb. (%)



2014



2015



2016



2017



2018



3,550.29



7,725.52



9,229.29



7,449.72



9,208.33



35.35



110.89



123.04



127.50



128.49



136.36



5.37



3,201.63



6,278.87



7,238.66



5,797.90



6,752.96



26.99



Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian



26



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Gambar 5.2. Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Basah secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 – 2018



5.2. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Rumah Tangga Jagung Pipilan di Indonesia



Selain konsumsi dalam wujud jagung basah dengan kulit, data SUSENAS juga mencakup konsumsi jagung dalam wujud jagung pipilan. Selama periode tahun 2003 – 2018, konsumsi per kapita jagung pipilan di Indonesia berfluktuasi namun cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata sebesar 4,12%.



Penurunan konsumsi jagung



pipilan terbesar terjadi pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni sebesar 26,67% atau dari 3,129 kg/kapita pada tahun 2007 menjadi 2,294 kg/kapita pada tahun 2008. Pada periode berikutnya hingga tahun 2016, konsumsi jagung pipilan terus mengalami penurunan kecuali tahun 2012 meningkat 26,09%.



Konsumsi jagung pipilan



tahun 2018 adalah sebesar 1,002 kg/kapita (Tabel 5.3).



Pusat Data dan Informasi Pertanian



27



Tabel 5.3. Perkembangan Konsumsi Jagung Pipilan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 – 2018 serta Prediksi 2019 – 2021



Tahun



Konsumsi (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun)



Pertumbuhan (%)



2003



0.044



2.294



2004



0.048



2.503



9.09



2005



0.042



2.190



-12.50



2006



0.050



2.607



19.05



2007



0.060



3.129



20.00



2008



0.044



2.294



-26.67



2009



0.035



1.825



-20.45



2010



0.030



1.564



-14.29



2011



0.023



1.199



-23.33



2012



0.029



1.512



26.09



2013



0.025



1.304



-13.79



2014



0.023



1.199



-8.00



2015



0.023



1.199



0.00



2016



0.021



1.095



-8.70



2017



0.019



0.976



-10.82



2018 Rata-rata



0.019



1.002



2.58



0.033



1.743



-4.12



2019*)



0.019



1.002



0.01



2020*)



0.018



0.949



-5.26



2021*)



0.017



0.899



-5.26



Sumber



: SUSENAS, BPS



Keterangan: *) hasil prediksi Pusdatin



Berdasarkan hasil prediksi, konsumsi jagung pipilan di Indonesia pada tahun 2019 diprediksikan akan relatif stabil dibandingkan tahun 2018 yakni menjadi sebesar 1,002 kg/kapita.



Demikian



juga



pada



tahun



2020-2021



diprediksikan



sedikit



menurun.



Perkembangan konsumsi jagung pipilan di Indonesia tahun 2003–2018, serta prediksi tahun 2019 – 2021 secara lengkap tersaji pada Tabel 5.3.



28



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Gambar 5.3. Perkembangan Konsumsi Jagung Pipilan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 – 2018 serta Prediksi 2019 – 2021 Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung pipilan bagi penduduk Indonesia tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan kenaikan sebesar 2,54%, yakni dari Rp. 5.274,-/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 5.691,94/kapita pada tahun 2018. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung secara riil mengalami penurunan sebesar 2,87%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita jagung terjadi penurunan demikian juga dengan harganya. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 5.4 dan Gambar 5.4.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



29



Tabel 5.4.



Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 – 2018



Kelompok Barang Nominal IHK *) Riil



Tahun 2014



2015



2016



2017



5,274.79



5,846.13



5,787.86



4,980.07



110.89



123.04



127.50



128.49



4,756.78



4,751.41



4,539.50



3,875.84



Rata-rata pertumbuhan 2018 (%) 2.54 5,691.94 5.37 136.36 4,174.20



-2.87



Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian



Gambar 5.4. Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Total secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2013 – 2017



5.3.



Perhitungan Neraca Jagung



Dalam penyusunan neraca komoditas jagung, diperlukan beberapa data pendukung yang terkait dalam perhitungan penyediaan dan penggunaan jagung secara keseluruhan. Ada banyak indikator penyusun yang perlu diketahui dalam menghitung neraca jagung. Beberapa data dan informasi pendukung dari berbagai sumber digunakan dalam



30



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



perhitungan neraca komoditas jagung ini. Berikut ini disajikan perhitungan untuk menyusun neraca jagung dengan menggunakan data dan informasi pendukung yang bersumber dari berbagai data yang ada. Secara umum penyusunan neraca pada Tabel 5.5 ini didasarkan pada perhitungan prognosa yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian. Tabel 5.5. Neraca komoditas jagung No.



Angka konversi



Uraian



Stok I Penyediaan 1 Produksi ( Ton Pipilan kering KA 25%) - Luas Tanam (Ha) - Luas Panen (Ha) Produksi ( Ton Pipilan kering KA 15%) 2 Impor (ton) 3 Ekspor (ton) II Penggunaan (1+2+3) 1 Konsumsi Langsung (ton) (susenas x Jml Penduduk) 2 Kebutuhan untuk pakan - Bahan Baku Industri Pakan Ternak (Ditjen PKH) - Kebutuhan Untuk Pakan peternak mandiri 3 Penggunaan lainnya - Tercecer dari produksi bersih (5%) - Kebutuhan Benih/Bibit (20 kg/ha x luas tanam) - Bahan baku industri non pakan Neraca (surplus/defisit) ( I - II) Keterangan - Jumlah Penduduk (jiwa) - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun



13%



5% 20 19.8%



2015



2016



2017



2018



2019 29,121,657



20,095,954



21,637,708



25,679,510



28,049 26,613,256



19,612,435 4,061,802 3,787,367 17,062,818 3,267,694 234,559 17,227,604 449,835 11,960,130 8,250,000 3,710,130 4,817,639 853,141 81,236 3,883,262 2,868,350



23,578,413 4,935,002 4,444,369 20,513,219 1,139,694 15,205 18,528,961 467,879 12,268,196 8,500,000 3,768,196 5,792,887 1,025,661 98,700 4,668,526 3,108,747



28,924,015 5,754,465 5,533,139 25,163,893 517,496 1,879 21,534,895 391,331 14,043,325 9,349,999 4,693,326 7,100,239 1,258,195 115,089 5,726,955 4,144,615



30,055,623 6,084,576 5,734,326 26,148,392 737,228 272,364 17,431,755 422,643 10,820,000 8,300,000 2,520,000 6,189,111 1,307,420 121,692 4,760,000 9,181,502



33,000,000 6,680,162 6,346,154 28,710,000 412,138 481 19,516,940 427,059 11,506,033 8,590,000 2,916,033 7,583,848 1,435,500 133,603 6,014,745 9,604,717



255,588 1.76



258,497 1.81



261,356 1.50



264,162 1.60



266,912 1.60



Keterangan : Produksi jagung 2019 merupakan Angka Sasaran Indikatif 2019, IKU Dtjen. Tanaman Pangan 2019 Stok awal tahun 2018 sebesar 28,049 ribu ton, merupakan stok akhir tahun 2017 di Bulog, belum memperhitungkan stok lainnya. Stok awal tahun 2019 belum tersedia data Kehilangan/tercecer sebesar 5% dari produksi (NBM). Angka konsumsi tahun 2015 - 2019 menggunakan angka susenas BPS (total konsumsi jagung basah setara pipilan dan pipilan kering) Data ekspor - Impor 2015 - 2019 (BPS), ekspor impor tahun 2019 merupakan ekspor sd Maret 2019 Kebutuhan jagung 2019 terdiri dari: (1) Konsumsi langsung Rumah Tangga 1,60 kg/kap/th (Susenas Triwulan I 2016); (2) Kebutuhan jagung untuk industri pakan sebesar 8,3 juta ton (Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, 2017); (3) Kebutuhan pakan peternak lokal sebesar 2,92 juta ton (Ditken PKH Kementan); (4) Kebutuhan benih dari perhitungan kebutuhan benih 20 kg/ha dari luas tanam 6,680 juta ha (Sasaran Sasaran Indikatif 2019, IKU Dtjen. TP 2019); dan (5) Kebutuhan industri pangan sebesar 6,01 juta ton (Kajian Pusdatin dari Tabel I/O 2005).



Tabel 5.6. Hasil survei Tim Terpadu Ditjen Tanaman Pangan, tahun 2013



No



Provinsi



Kadar Air (%) Musim Hujan Musim Kemarau



1



Jawa Timur



28-30



25-28



2



Jawa Tengah



28-30



25-28



3



Sulawesi Selatan



25-28



4



Lampung



27-32



5



Sumatera utara



28-32



Pusat Data dan Informasi Pertanian



25-28



31



Perkiraan produksi jagung Indonesia tahun 2019 adalah sebesar 33 juta ton. Data pendukung lain yang perlu dicermati terkait angka produksi ini adalah kadar air jagung di tingkat petani.



Selama ini asumsi produksi jagung berada pada kadar air sekitar 15%



dimana pada level kadar air inilah kualitas jagung yang diperlukan oleh industri baik industri pakan maupun industri lainnya. Berdasarkan data pada Tabel 5.6 hasil survei Tim Terpadu Ditjen Tanaman Pangan, kadar air jagung produksi petani secara rata-rata pada batas bawah adalah sekitar 20-25%. Selisih kadar air sekitar 10% ini berdampak pada berat produksi. Apabila berat jenis jagung diperhitungkan yaitu sekitar 700 g/lt maka berat produksi jagung 2019 sebesar 33 juta ton (kadar air sekitar 25%) menjadi sekitar 28,71 juta ton dengan kadar air 15%. Impor jagung pipilan kering tahun 2018 sampai dengan April adalah sekitar 412,14 ribu ton. Sementara ekspor 481 ton. Jika total penyediaan jagung adalah produksi bersih dikurangi impor ditambah ekspor, maka pada tahun 2019 besarnya penyediaan jagung adalah 29,12 juta ton. Penyediaan ini meningkat dibandingkan tahun 2018 (Tabel 5.5). Bagian lain dari neraca ini adalah penggunaan jagung, dimana komponen penyusunnya diantaranya adalah konsumsi langsung, kebutuhan untuk pakan, industri lainnya non pakan, penggunaan untuk benih serta penggunaan lainnya.



Jagung yang



dikonsumsi langsung dihitung berdasarkan angka konsumsi SUSENAS. Berdasarkan asumsi yang digunakan dalam perhitungan prognosa BKP, tingkat konsumsi per kapita tahun 2019 menggunakan angka Susenas tahun 2018. Tingkat konsumsi jagung ini merupakan penjumlahan antara jagung pipilan dengan jagung basah berkulit yang dikonversi ke wujud pipilan dengan angka konversi 39% (NBM). Berdasarkan angka Susenas tahun 2018, tingkat konsumsi total jagung per kapita adalah sebesar 1,60 kg. Jika diasumsikan jagung dikonsumsi oleh seluruh penduduk tahun 2019 (266,91 juta orang) maka konsumsi langsung ini adalah sebesar 427,06 ribu ton. Konsumsi jagung untuk pakan dibedakan menjadi 2 yaitu kebutuhan untuk bahan baku industri pakan serta jagung yang digunakan sebagai campuran pakan oleh para peternak lokal yang mencampur sendiri pakan untuk ternaknya (self-mixing).



Besarnya



jagung yang diserap oleh pabrik pakan untuk setiap tahunnya dilaporkan oleh GPMT melalui persetujuan Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Untuk tahun 2019 data diperoleh dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tahun 2019 kebutuhan jagung untuk pabrik pakan sekitar 8,59 juta ton, volume ini meningkat dari tahun 2018 yaitu 8,3 juta ton.



32



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Tahun 2013-2017 kebutuhan jagung untuk peternak mandiri dihitung dengan menggunakan asumsi yang pertama yaitu populasi ternak yang diberi jagung dimana pakannya dibuat sendiri oleh peternak. Berdasarkan asumsi yang digunakan oleh Dr. Budi Tangendjaya – FAO, ayam petelur yang diberi jagung adalah populasi layer yaitu ayam petelur yang berumur di atas 18 minggu. Jika umur ayam petelur saat diafkir sekitar 85 minggu, maka persentase populasi layer atau ayam petelur yang berumur lebih dari 18 minggu adalah sekitar 79%. Demikian juga untuk ayam buras, diasumsikan populasi yang diberi jagung adalah ayam buras dewasa sekitar 32% dari total populasi. Populasi itik yang diberi jagung adalah sekitar 30% dari total populasi itik. Asumsi yang kedua adalah besarnya kebutuhan jagung per gram/ekor/tahun yang juga digunakan oleh Dr. Budi Tangendjaya – FAO dalam perhitungan “Calculator Feed Demand Indonesia”. Kebutuhan jagung per ekor perhari untuk ayam ras petelur adalah 55,33 gram, untuk ayam buras 38,4 gram dan untuk itik 17,3 gram. Berdasarkan data populasi unggas yang dipublikasi oleh Ditjen PKH dan asumsi kebutuhan jagung per ekor, maka dapat dihitung banyaknya populasi unggas yang diberi jagung serta total kebutuhan jagung dalam setahun. Tahun 2019 sebanyak 2,92 juta ton jagung dibutuhkan untuk pakan yang dibuat oleh peternak mandiri. Penggunaan jagung lainnya diantaranya adalah tercecer serta untuk benih dan industri.



Berdasarkan data pendukung dari Neraca Bahan Makanan (NBM)



sebanyak 5% produksi jagung hilang tercecer atau sekitar 1,44 juta ton. Penggunaan jagung untuk benih dihitung berdasarkan asumsi bahwa untuk setiap hektarnya dibutuhkan sebanyak 20 kg benih. Tahun 2019 jagung untuk benih dibutuhkan sekitar 133,6 ribu ton untuk ditanam di lahan seluas 6,68 juta hektar. Sementara pengunaan jagung untuk industri lainnya dihitung berdasarkan informasi pendukung dari tabel Input Output BPS.



Berdasarkan tabel I/O tahun 2005, besarnya



jagung yang digunakan oleh industri makanan adalah sebesar 19,8% dari produksi yang ada. Secara rinci industri yang berbahan baku jagung dengan proporsi penggunaan jagungnya dari besar produksi adalah sebagai berikut: 1) industri minyak jagung (3,23%); 2) tepung jagung (7,18%); 3) kopi giling dan kupasan (8,91%) dan 4) industri makanan lainnya (0,48%). Tahun 2018 penggunaan jagung untuk industri non pakan yaitu sebesar 6,01 juta ton. Berdasarkan neraca jagung yang telah dihitung sebelumnya, pada tahun 2019 diperkirakan akan ada surplus sebesar 9,60 juta ton. Secara umum, stok jagung terbesar berada di pabrik pakan sehingga surplus jagung di akhir tahun ini ditujukan untuk



Pusat Data dan Informasi Pertanian



33



penyediaan bahan baku bagi pabrik pakan untuk berproduksi selama sekitar 3 (tiga) bulan ke depan. 5.4. Penyediaan Total Domestik Jagung Dunia Menurut data USDA, Amerika Serikat merupakan negara dengan total penyediaan jagung untuk konsumsi domestik terbesar di dunia yakni pada periode tahun 2014 - 2019 mencapai rata-rata 308,89 juta ton per tahun atau 30,41% dari total penyediaan jagung untuk konsumsi dunia. Disusul kemudian oleh China yang menepati urutan kedua dengan rata-rata penyediaan sebesar 251,167 juta ton atau 24,72% dari total penyediaan jagung untuk konsumsi di dunia. Uni Eropa menempati urutan ketiga dalam penyediaan jagung di dunia yang mencapai 78,40 juta ton atau 7,72%. Negara-negara berikutnya dalam urutan 10 besar adalah Brazil, Meksiko, India, Mesir, Jepang, Kanada, Vietnam dan Indonesia dengan total penyediaan berkisar antara 1,24% - 6,16%. Kontribusi negara-negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia disajikan pada Gambar 5.4 dan Tabel 5.7.



Gambar 5.4. Negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia, (rata-rata 2014 - 2019)



34



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Tabel 5.7. Sepuluh negara dengan penyediaan jagung untuk konsumsi terbesar di dunia, 2014 – 2019 No



Negara



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Amerika Serikat China Uni Eropa Brazil Meksiko India Mesir Jepang Kanada Vietnam Indonesia Negara lainnya Dunia



Konsumsi Domestik (000 Ton) 2014



2015



2016



2017



2018



2019



301,837 206,000 77,880 57,000 34,550 22,350 13,900 14,600 12,823 9,400 12,200 212,221 974,761



298,844 229,000 73,500 57,500 37,300 23,550 14,850 15,200 12,029 12,200 12,100 215,134 1,001,207



313,828 255,000 74,000 60,500 40,400 24,900 15,100 15,200 12,949 12,900 12,300 223,904 1,060,981



313,970 263,000 76,500 64,500 42,500 26,700 15,900 15,600 14,015 13,500 12,400 232,666 1,091,251



309,893 275,000 87,000 66,500 43,900 29,000 16,200 15,500 14,500 14,000 12,900 241,605 1,125,998



314,975 279,000 81,500 69,500 45,500 29,000 16,900 15,600 14,700 14,400 13,400 245,991 1,140,466



Rata2 2014-2019



308,891 251,167 78,397 62,583 40,692 25,917 15,475 15,283 13,503 12,733 12,550 178,672 1,015,863



Share (%)



30.41 24.72 7.72 6.16 4.01 2.55 1.52 1.50 1.33 1.25 1.24 17.59 100.00



Share kumulatif (%)



30.41 55.13 62.85 69.01 73.01 75.57 77.09 78.59 79.92 81.18 82.41 100.00



Sumber: USDA, diolah Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



35



BAB VI. KEDELAI



K



edelai adalah salah satu komoditas pertanian yang menjadi bahan dasar makanan seperti kecap, tauco, oncom, tahu, tempe dan susu. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dan dikenal murah dan terjangkau oleh



masyarakat. Kedelai saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan baku industri pangan, namun juga sebagai bahan baku industri non-pangan, seperti kertas, cat cair, tinta cetak dan tekstil. Di Indonesia, lebih dari 89 persen kedelai digunakan untuk konsumsi bahan pangan. Kebutuhan kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Peningkatan kebutuhan akan kedelai dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap. Mengkonsumsi kedelai memiliki banyak manfaat,



pertama kedelai mempunyai



kandungan protein yang tinggi dan membantu dalam membangun sel-sel dalam tubuh. Kedua, kandungan lemak tak jenuh pada kedelai membantu untuk menjaga kesehatan jantung dan membantu menurunkan kolesterol. Kedelai adalah sumber kalsium yang baik dibandingkan dengan sumber kacang-kacangan lain sehingga mampu utuk menguatkan tulang dan mencegah osteoporosis. Ketiga, konsumsi kedelai akan menyehatkan pencernaan, karena kandungan serat larut yang ada dalam kedelai. Keempat pencegah kanker, karena kacang kedelai memiliki kandungan antioksidan sehingga baik untuk mengurangi risiko berbagai macam kanker. Manfaat kedelai lainnya, bahwa kacang kedelai mengandung magnesium yang berfungsi mengatur tekanan darah. Kandungan fosfornya juga berfungsi untuk menjaga kekuatan tulang dan gigi. Kedelai untuk penggunaan dalam negeri, sebagian besar merupakan kedelai impor yang berasal dari Amerika Serikat. Produksi kedelai di Indonesia tahun 2018 (ARAM 1) sebesar 982,60 ribu ton, sementara konsumsi langsung sekitar 1,99 juta ton, sehingga produksi kedelai di dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Selain itu Kedelai impor lebih banyak digunakan oleh industri tempe karena dianggap kualitasnya lebih baik dari kedelai lokal. Menurut Aldillah 2014, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai, dapat mencari bahan baku alternatif lain untuk pembuatan tahu dan tempe, misalnya dari kacang koro dan kacang tunggak.



36



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



6.1.



Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Kedelai dalam Rumah Tangga di Indonesia Menurut hasil SUSENAS – BPS



tahun 2015, cakupan konsumsi kedelai



yang



berbahan kedelai hanya dalam wujud tahu, tempe dan kecap, namun di tahun 2017 makanan yang berbahan kedelai di SUSENAS bertambah yaitu tauco dan oncom. Dalam analisis ini yang digunakan sebagai konsumsi kedelai dalam rumah tangga adalah berasal dari tiga bahan makanan saja yaitu tahu, tempe dan kecap.



Tabel 6.1. Perkembangan konsumsi tahu, tempe dan kecap dalam rumah tangga di Indonesia, 2002-2018 serta prediksi tahun 2019 – 2021 Konsumsi (kg/kapita/tahun) Tahun



Tahu



Tempe



Kecap



2002



7,72



8,29



0,61



2003



7,46



8,24



0,57



2004



6,73



7,30



0,57



2005



6,88



7,56



0,66



2006



7,20



8,71



0,70



2007



8,50



7,98



0,68



2008



7,14



7,25



0,65



2009



7,04



7,04



0,62



2010



6,99



6,94



0,66



2011



7,40



7,30



0,67



2012



6,99



7,09



0,57



2013



7,04



7,09



0,44



2014



7,07



6,95



0,48



2015



7,49



6,98



0,85



2016



7,87



7,35



0,93



2017



8,16



7,68



0,89



2018



8,23



7,61



0,83



Rata-rata



7,41



7,49



0,67



2019*)



8,38



7,89



0,88



2020*)



8,52



7,95



0,91



2021*)



8,67



8,01



0,95



Sumber : SUSENAS, BPS *) hasil prediksi Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



37



Perkembangan konsumsi tahu di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2018 berfluktuatif. Rata-rata konsumsi tahu tahun 2002-2017 adalah sebesar 7,41 kg/kapita/th. Sementara untuk konsumsi tempe sedikit lebih besar dari konsumsi tahu pada periode yang sama, yaitu sebesar 7,49 kg/kapita/th. Pangan lainnya dengan bahan baku kedelai adalah kecap. Konsumsi kecap per kapita jauh di bawah konsumsi tahu dan tempe. Selama periode tahun 2002 – 2018, rata-rata konsumsi kecap hanya sebesar 0,67 kg/kapita/tahun. Prediksi konsumsi kedelai dalam wujud tahu tahun 2019 hingga 2021 diperkirakan meningkat rata-rata sebesar 1,78%. Konsumsi tahu diprediksikan sebesar 8,38 kg/kapita pada tahun 2018 dan terus meningkat menjadi sebesar 8,67 kg/kapita pada tahun 2021. Begitu pula untuk konsumsi tempe diprediksikan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018. Konsumsi tempe diprediksikan sebesar 7,89 kg/kapita pada tahun 2019 dan terus meningkat menjadi sebesar 8,01 kg/kapita pada tahun 2021. Untuk konsumsi kecap diprediksikan juga akan mengalami peningkatan selama 2019 - 2021. Konsumsi kecap diprediksikan mencapai 0,95 kg/kapita pada tahun 2021. Perkembangan konsumsi wujud olahan kedelai tahu, tempe dan kecap tahun 20022018 serta prediksinya tahun 2019 – 2021 disajikan pada Tabel 6.1. Konsumsi kedelai olahan dikonversi menjadi ekuivalen kedelai segar dengan faktor konversi tersaji pada Tabel 6.2. Terlihat bahwa untuk tahu konversi ke kedelai sebesar 35%, tempe sebesar 50% dan kecap 100%.



Tabel 6.2 Faktor konversi konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai



No Janis Pangan Satuan



Konversi Konversi ke (Gram) bentuk asal



1 Tahu



kg



1000



0.35



2 Tempe



kg



1000



0.50



3 Kecap



140ml



140



1.00



Sumber: PSKPG, IPB



Dari hasil konversi tahu, tempe dan kecap ke wujud ekuivalen kedelai, akan diperoleh konsumsi kedelai total di Indonesia. Pada tahun 2002 – 2018, konsumsi total kedelai relatif berfluktuasi namun cenderung meningkat sebesar 0,22%. Pada tahun 2002, konsumsi total kedelai mencapai 7,45 kg/kapita dan menjadi 7,51 kg/kapita pada tahun 2018.



38



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Konsumsi



total



kedelai



terendah



terjadi



pada



tahun



2014



sebesar



6,43



kg/kapita/tahun. Penurunan terbesar untuk total konsumsi kedelai terjadi di tahun 2008 dimana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 11,37% dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan konsumsi tahu turun cukup tinggi. Sementara peningkatan konsumsi total kedelai terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 10,50%. Pada tahun 2019, konsumsi total kedelai diprediksikan akan mengalami peningkatan 3,24% menjadi sebesar 7,76 kg/kapita dan terus meningkat pada tahun 2020 dan 2021 menjadi sebesar 7,87 kg/kapita dan 7,98 kg/kapita. Tabel 6.3. Perkembangan konsumsi kedelai yang terdapat pada tahu, tempe dan kecap dalam rumah tangga di Indonesia, 2002-2018 serta prediksi tahun 2019 – 2021 Konsumsi setara kedelai (kg/kapita/tahun) Tahun



Jumlah Pertumb. (%)



Tahu



Tempe



Kecap



(kg/kap/th)



2002



2,701



4,145



0,606



7,45



2003



2,610



4,119



0,569



7,30



-2,06



2004



2,354



3,650



0,569



6,57



-9,93



2005



2,409



3,780



0,664



6,85



4,26



2006



2,519



4,354



0,701



7,57



10,50



2007



2,975



3,989



0,679



7,64



0,92



2008



2,500



3,624



0,650



6,77



-11,37



2009



2,464



3,520



0,621



6,60



-2,51



2010



2,446



3,468



0,664



6,58



-0,40



2011



2,592



3,650



0,672



6,91



5,11



2012



2,446



3,546



0,569



6,56



-5,10



2013



2,464



3,546



0,443



6,45



-1,65



2014



2,474



3,476



0,482



6,43



-0,31



2015



2,622



3,491



0,850



6,96



8,24



2016



2,756



3,676



0,933



7,37



5,78



2017



2,857



3,841



0,895



7,59



3,09



2018



2,879



3,804



0,831



7,51



-1,04



Rata-rata



2,592



3,746



0,671



7,008



0,220



2019*)



2,932



3,944



0,882



7,76



3,24



2020*)



2,983



3,973



0,914



7,87



1,46



2021*)



3,035



4,003



0,946



7,98



1,44



Sumber : SUSENAS, BPS *) hasil prediksi Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



39



(Kg/kapita/th)



8.00 7.00 6.00 5.00 4.00



3.00 2.00 1.00 0.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*) 2020*) 2021*)



Tahun



Gambar 6.1. Perkembangan konsumsi total kedelai per kapita pertahun di Indonesia, 2002 – 2018 dan prediksi 2019 - 2021 Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai bagi penduduk Indonesia tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 2,77%, yakni dari Rp. 136.221/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 151.902/kapita pada tahun 2018. IHK yang digunakan adalah IHK kelompok kacang-kacangan dan kecap diasumsikan sama menggunakan IHK kacang-kacangan. Pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai setelah dikoreksi dengan faktor inflasi menunjukkan bahwa secara riil sejatinya mengalami peningkatan hanya sebesar 0,83%. Hal ini menunjukan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita olahan kedelai mengalami peningkatan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 tersaji pada Tabel 6.4 dan Gambar 6.2. Tabel 6.4. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kedelai (total), 2014 – 2018



No.



Kelompok Barang



1



Pengeluaran Nominal



2



IHK *)



3



Pengeluaran Riil



Tahun 2014



2015



2016



2017



2018



136.221,28 139.335,50 141.046,43 146.149,01 151.902,39 123,08



127,78



130,55



131,60



132,89



110.677,02 109.043,28 108.040,16 111.059,70 114.306,86



Pertumbuhan (%) 2,77 1,94 0,83



Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok kacang-kacangan



40



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Gambar 6.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kedelai, 2014 – 2018



6.2. Konsumsi Kedelai Per Provinsi Konsumsi kedelai dalam bentuk makanan jadi yaitu tahu, tempe dan kecap di Provinsi Indonesia dapat dilihat pada tabel 6.5. Untuk komsumsi kedelai yang ada di tahu dan tempe pada tahun 2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur, masing-masing sebesar 5,11 kg/kap/th dan 5,76 kg/kap/th. Sedangkan konsumsi terendah untuk tahu dan tempe terdapat di Provinsi Maluku Utara, masing masing sebesar 0,89 kg/kap/th dan 0,56 kg/kap/th. Sementara Provinsi tertinggi untuk konsumsi kedelai yang terdapat di kecap adalah Provinsi Kalimantan Selatan sebesat 1,34 kg/kap/th dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk Konsumsi kedelai total pada periode tahun 2014 – 2018, Provinsi tertinggi adalah Jawa Timur, dengan rata-rata sebesar 11,39 kg/kap/th. Ini dikarenakan konsumsi kedelai yang ada pada tahu dan tempe cukup tinggi di provinsi tersebut. Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan tertinggi dari konsumsi kedelai terjadi di Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 27,2%



dikarenakan konsumsi kecap di provinsi tersebut meningkat cukup tinggi di tahun



2015. Sementara di DKI Jakarta, konsumsi kedelai yang terdapat pada makanan jadi menurun cukup tinggi tahun 2018 dibandingkan dengan 2017 yaitu dari 7,92 kg/kap/th menjadi hanya 5,39 kg/kap/th.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



41



Secara Nasional, konsumsi kedelai yang ada di makanan jadi, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,02% (Tabel 6.6). Tabel 6.5. konsumsi kedelai yang terdapat pada tahu, tempe dan kecap per Provinsi, 2018 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



Provinsi ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN Utara SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA INDONESIA



Konsumsi setara kedelai (kg/kapita/tahun) 2018 Tahu



Tempe 1,10 1,82 2,36 2,00 2,43 2,14 1,91 2,21 1,51 2,03 2,03 3,14 3,23 3,28 5,11 2,75 2,74 2,30 1,08 1,47 2,43 2,00 2,49 2,16 2,36 1,97 1,52 1,38 2,51 1,13 1,08 0,89 2,12 1,80 2,88



2,38 2,25 1,78 2,45 2,89 3,20 3,13 4,69 2,13 2,58 2,58 3,81 5,29 5,63 5,76 4,47 3,57 3,01 1,20 1,88 2,81 2,37 3,58 2,74 1,78 1,88 2,35 2,01 1,14 1,88 0,90 0,56 2,10 1,31 3,80



Kecap 0,42 0,89 0,27 0,60 0,58 0,78 0,44 0,60 0,85 0,78 0,78 1,01 0,95 0,71 0,98 0,95 0,40 0,26 0,17 0,64 0,95 1,34 0,86 0,91 0,51 0,56 0,77 0,52 0,45 0,52 0,43 0,47 0,61 0,31 0,83



Total 3,90 4,96 4,41 5,04 5,89 6,12 5,48 7,49 4,48 5,39 5,39 7,96 9,48 9,62 11,84 8,17 6,71 5,57 2,45 3,98 6,20 5,70 6,92 5,82 4,64 4,42 4,64 3,91 4,11 3,53 2,41 1,93 4,83 3,42 7,51



Sumber : BPS diolah Pusdatin



42



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Tabel 6.6. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



konsumsi total setara kedelai (tahu, tempe dan kecap) per Provinsi, 2014 - 2018 Provinsi



ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN Utara SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA INDONESIA



Konsumsi setara kedelai (kg/kapita/tahun) 2014 2,52 4,13 3,48 4,14 3,95 5,77 4,11 5,97 3,79 6,09 7,46 6,68 8,89 8,31 10,57 6,89 6,09 4,05 1,36 3,21 4,42 4,05 5,16 3,26 2,92 2,81 2,01 2,35 1,96 1,72 0,88 3,88 2,53 6,43



2015 3,01 4,17 4,10 4,74 5,43 6,21 4,74 7,34 4,56 4,92 6,62 7,06 9,57 8,32 11,11 8,05 6,91 4,49 1,70 3,32 5,32 5,23 6,46 4,75 4,02 4,06 3,92 2,64 3,42 2,46 2,33 1,72 4,21 3,06 6,96



2016 3,21 5,06 4,04 4,93 5,57 6,09 4,97 7,34 4,75 5,55 6,92 7,95 9,53 9,07 11,60 9,06 6,68 4,78 1,94 3,85 5,90 5,66 6,83 5,33 4,95 3,67 4,06 2,98 3,15 3,04 2,49 1,67 3,55 3,31 7,37



2017 3,84 4,79 4,52 5,08 5,80 6,34 5,07 7,66 5,10 5,51 7,92 8,25 9,76 9,50 11,82 8,13 6,50 5,35 2,68 3,99 6,39 5,73 6,95 5,93 5,01 4,31 4,65 3,66 3,71 3,36 2,59 1,96 4,30 3,26 7,59



2018 3,90 4,96 4,41 5,04 5,89 6,12 5,48 7,49 4,48 5,39 5,39 7,96 9,48 9,62 11,84 8,17 6,71 5,57 2,45 3,98 6,20 5,70 6,92 5,82 4,64 4,42 4,64 3,91 4,11 3,53 2,41 1,93 4,83 3,42 7,51



Pertumbuhan 2014 - 2018 (%) 11,78 5,17 6,42 5,17 11,43 1,59 7,60 6,29 4,92 -2,33 -6,06 4,64 1,70 3,78 2,90 4,90 2,69 8,33 17,29 5,69 9,15 9,49 8,06 7,19 10,11 12,27 14,34 18,50 16,53 16,12 9,81 27,24 6,58 8,08 4,02



Sumber : BPS diolah Pusdatin



6.3. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Kedelai Penyediaan total kedelai Indonesia berasal dari produksi dalam negeri (yang telah dikurangi tercecer) ditambah impor kemudian dikurangi ekspor. Beberapa data dan informasi pendukung bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) seperti data ekspor dan Impor. Ketersediaan data kedelai saat ini untuk produksi adalah hingga tahun 2018 (ARAM 1). Untuk Pusat Data dan Informasi Pertanian



43



tahun 2019, angka produksi dihitug dari proporsi angka sasaran Ditjen Tanaman Pangan terhadap rata-rata realisasi tahun 2017-2018 dan untuk data tercecer merupakan 5% dari produksi kedelai. Produksi kedelai tahun 2018 (ARAM 1) sebesar 982.598 ton dan angka sasaran tahun 2019, produksi kedelai diperkirakan meningkat signifikan sebesar 1,5 juta ton. Untuk data kedelai yang tercecer pada tahun 2018 sebesar 49,13 ribu ton dan meningkat menjadi 77 ribu ton pada tahun 2019. Data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2018, untuk tahun 2019 data ekspor impor menggunakan realisasi hingga bulan April ditambah asumsi bulan Mei sd. Desember sama dengan tahun 2018. Cakupan kode HS yang digunakan untuk data ekspor impor kedelai adalah 1201001000 (kacang kedelai benih) dan 1201009000 (lain-lain/kacang kedelai selain untuk benih). Perkembangan volume ekspor dan impor kedelai di Indonesia periode 2012 - 2018 berfluktuatif namun cenderung meningkat. Ekspor kedelai sangat kecil dibandingkan impornya. Pada tahun 2018 rata-rata



70% total penyediaan kedelai berasal dari impor.



Besarnya volume impor tahun 2019, diprediksi sebesar 2,7 juta ton sementara volume ekspor hanya 3,86 ribu ton. Pada tahun 2019, total penyediaan kedelai diprediksi sebesar 4,18 juta ton. Penggunaan kedelai di Indonesia terutama untuk bahan makanan atau konsumsi langsung, benih/bibit, Horeka dan industri besar sedang. Penggunaan kedelai untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi kedelai perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Data konsumsi kedelai yang digunakan pada tahun 2014 sampai dengan 2018 adalah data SUSENAS – BPS yang diolah Pusdatin menggunakan faktor konversi konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai.



Konsumsi langsung ini



sudah termasuk industri rumahan untuk tahu dan tempe. Penggunaan kedelai untuk benih menggunakan angka rata-rata yang dikeluarkan oleh Ditjen Tanaman Pangan sebesar



50



kg/ha dari luas tanam. Sementara Penggunaan kedelai untuk Horeka dan kebutuhan industri dihitung berdasarkan hasil Survei konsumsi bahan pokok 2017. Tingkat konsumsi kedelai per kapita menggunakan data dari hasil perhitungan Susenas Triwulan I (Tabel 6.5). Jika diasumsikan pada tahun 2018 kedelai dikonsumsi oleh seluruh penduduk sejumlah 264,16 juta orang maka konsumsi langsung adalah sebesar 1,98 juta ton. Konsumsi langsung tahun 2019 lebih besar dibandingkan tahun 2018 sebesar 2,0 juta ton. Penggunaan kedelai untuk benih pada tahun 2019 diperkirakan sekitar 53 ribu ton untuk ditanam di lahan seluas 1,1 juta hektar. Kebutuhan kedelai untuk hotel, restoran dan rumah makan (Horeka) periode tahun 2014 - 2019 meningkat dari 73,13 ribu ton tahun 2014 menjadi 98,76 ribu ton pada tahun



44



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



2019. Sementara penggunaan kedelai untuk industri besar sedang pada tahun 2019 sebesar 336,3 ribu ton sekitar 13,5% dari penggunaan kedelai total.



Program penguatan industri



pedesaan skala kecil maupun industri besar yang bermitra dengan produsen kedelai perlu ditindaklanjuti. Bentuk makanan olahan yang menarik, rasa sesuai dengan selera konsumen dan kemasan yang bagus akan mempunyai daya tarik bagi konsumen. Damardjati et al. (2005) mencontohkan bahwa PT Garuda Food telah berhasil memproduksi snack kedelai oven dengan rasa enak dan dikemas dalam kemasan yang menarik dan terkesan elit. Neraca kedelai Indonesia selama periode 2014 – 2018 menunjukkan adanya surplus pasokan kedelai yang cukup tinggi. Surplus tersebut disebabkan tingginya produksi dan volume impor yang masih tinggi. Surplus kedelai ini diasumsikan diserap oleh importir, pedagang dan untuk keperluan industri selain tahu, tempe dan kecap, seperti industri susu kedelai dan peyek. Pada tahun 2018, surplus dari pasokan kedelai mencapai 1 juta ton dan diperkirakan meningkat pada tahun 2019 menjadi sebesar 1,69 juta ton. Secara rinci penyediaan dan penggunaan kedelai tahun 2014 – 2019 dapat dilihat pada Tabel 6.7. Tabel 6.7. Penyediaan dan penggunaan Kedelai, 2014 – 2019 No.



2014



2015



2017



2018



2019



A. PENYEDIAAN KEDELAI (Ton) Produksi - Luas Tanam (Ha) - Luas Panen (Ha) - Tercecer ( 5% dari produksi) Produksi setelah dikurangi tercecer - Impor - Ekspor



Uraian



2.831.755 954.997 615.564 615.685 47.750 907.247 1.965.811 41.304



3.170.597 963.018 690.589 614.095 48.151 914.867 2.256.932 1.202



3.077.109 859.653 597.914 576.987 42.983 816.670 2.261.803 1.365



3.182.233 538.728 357.266 355.799 26.936 511.792 2.671.914 1.473



3.517.222 982.598 680.869 680.373 49.130 933.468 2.585.809 2.055



4.184.223 1.540.000 1.104.705 1.066.482 77.000 1.463.000 2.725.087 3.864



B



2.063.893 1.622.086 30.778 73.128 337.901 767.862



2.230.679 1.779.542 34.529 74.120 342.488 939.917



2.355.118 1.903.873 29.896 74.964 346.385 721.991



2.428.273 1.984.400 17.863 96.702 329.308 753.960



2.448.480 1.983.854 34.043 97.740 332.844 1.068.742



2.492.899 2.004.508 53.324 98.757 336.309 1.691.324



252.165 1,35 6,43



255.587,9 1,36 6,96



258.496,5 1,14 7,37



261.355,5 1,11 7,59



264.161,6 1,07 7,51



266.911,9 1,04 7,51



PENGGUNAAN KEDELAI (Ton) - Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) - Kebutuhan Benih ( 50 kg/ha * LT) - Hotel, Restoran dan Rumah makan - Industri Besar Sedang Neraca (A-B) Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) - Kenaikan jumlah penduduk (%) - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun



2016



Ket. : - Produksi kedelai 2019 dihitung dari proporsi sasaran Ditjen TP 2019 thd rata-rata realisasi 2017-2018 - Ekspor Impor Kedelai segar tahun 2019 mrp prediksi pusdatin - Tingkat konsumsi menggunakan data Susenas Maret Tw1, dengan konversi ke bentuk asal - Data Horeka dan industri dihitung berdasarkan hasil Survey Bapok 2017 BPS



6.4. Konsumsi Domestik Kedelai di beberapa negara di Dunia Berdasarkan data dari USDA, konsumsi domestik kedelai dunia dikuasai oleh empat negara yaitu Cina, Amerika, Argentina dan Brazil. Rata-rata konsumsi domestik kedelai di Cina pada periode tahun 2014 - 2019 mencapai 100,05 juta ton per tahun atau 30,12% dari total konsumsi domestik dunia. Konsumsi domestik kedelai negara Amerika Serikat sebesar 57,66



Pusat Data dan Informasi Pertanian



45



juta ton. Negara Argentina dan Brazil konsumsi domestik untuk kedelai pada periode tersebut sekitar 44 - 48 juta ton atau di bawah 15% sementara negara lainnya menyumbang di bawah 6%. Indonesia menempati urutan kesebelas dengan konsumsi kedelai sebesar 3,0 juta ton (Tabel 6.6).



Tabel 6.8. Negara dengan konsumsi domestik kedelai terbesar di dunia, 2014 – 2019 No



Negara



Ketersediaan (000 Ton) 2014



2015



Rata-rata 2014 - 2019



Share Share kumulatif (%) (%)



2016



2017



2018



2019



1



Cina



87,800



95,900



103,500



106,300



103,100



103,700



100,050



30.12



30.12



2 3 4 5 … 11



Amerika Serikat Argentina Brazil Uni Eropa … Indonesia Negara Lainnya Dunia



54,989 45,485 43,085 16,040



54,474 49,467 42,397 16,580



55,723 49,809 43,061 16,040



58,999 43,633 46,512 16,600



60,656 48,903 45,350 17,960



61,093 52,150 46,500 17,660



57,656 48,241 44,484 16,813



17.36 14.52 13.39



47.48 62.00 75.40 80.46



2,750 2,854 3,000 3,050 3,185 3,275 53,723 54,568 60,413 63,463 68,093 71,042 303,872 316,240 331,546 338,557 347,247 355,420



5.06



3,019 0.91 61,884 18.63 332,147 100.00



81.37 100.00



Sumber : USDA diolah Pusdatin



Gambar 6.3. konsumsi domestik kedelai terbesar di dunia, 2014 – 2019



46



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



BAB VII. CABAI



C



abai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi dan memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin



yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung (http://id.wikipedia.org/wiki/cabai). Cabai kaya jenis antioksidan lain, seperti vitamin A, zat antioksidan pada cabai membantu melindungi tubuh dari efek radikal bebas yang merugikan, yang dapat dihasilkan karena stres, dan kondisi penyakit lain. Cabai juga mengandung banyak mineral, seperti kalium, mangan, zat besi, dan magnesium. Kalium merupakan komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengontrol detak jantung dan tekanan darah. Cabai juga termasuk dalam kelompokpenghasil vitamin B-kompleks, seperti niacin, pyridoxine (vitamin B-6), riboflavin dan thiamin (vitamin B-1). Di Indonesia, cabai digunakan untuk bumbu masakan yang dibedakan menjadi cabai merah, cabai hijau dan cabai rawit. Cabai merah besar merupakan salah satu jenis sayuran yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Konsumsi cabai orang Indonesia relatif tinggi dan akan semakin meningkat saat hari raya Idul Fitri. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan akan konsumsi cabai berpotensi meningkat. Di Indonesia, lebih dari 45 persen cabe digunakan untuk konsumsi langsung rumah tangga, 50 persen untuk bahan baku industri olahan, 5 persen tercecer dan sisanya digunakan untuk benih dengan persentase yang sangat kecil. Permasalahan cabai di Indonesia saat ini yaitu masalah penyakit pada tanaman cabai yang dapat merugikan hasil produksi. Ada banyak penyakit yang menggangu tanaman cabai, beberapa diantaranya adalah penyakit kuning dan antraknosa. Penyakit ini mampu menghancurkan hasil panen produksi 20 - 90% dan berkembang pada musim hujan. 7.1.



Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Cabai dalam Rumah Tangga di Indonesia Cakupan data konsumsi cabai menurut hasil SUSENAS – BPS, dibedakan dalam wujud



cabai merah, cabai hijau dan cabai rawit. Cabai merah dan cabai hijau didefinisikan sebagai cabai besar.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



47



Konsumsi total cabai besar di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 20022018 berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan sebesar 3,29%. Konsumsi rumah tangga cabai mera dan cabai rawit di Indonesia cenderung sama sedangkan konsumsi cabai hijau lebih sedikit.



Konsumsi cabai merah pada tahun 2002 adalah 1,429 kg/kapita dan



mengalami peningkatan menjadi 2,958 kg/kapita pada tahun 2015 atau meningkat hingga 102.68% dibandingkan tahun 2014 yang hanya 1,460 kg/kapita. Selama periode tahun 2002 – 2018, konsumsi cabai merah terbesar terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 2,958 kg/kapita, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2003 hanya sebesar 1,351 kg/kapita. Pada tahun 2019 hingga 2021 konsumsi cabai merah diprediksi naik menjadi 1,905 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 6,99% dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata konsumsi rumah tangga cabai hijau dari tahun 2002-2018 adalah sebesar 0,260 kg/kapita. Tahun 2002 konsumsi cabai rawit sebesar 0,219 dan naik pada tahun 2007 menjadi sebesar 0,302. Tahun 2008-2014 berkisar diantara 0,198 sampai dengan 0,266. Sedangkan untuk tahun 2015 dan 2016 data konsumsi rumah tangga cabai hijau tidak tersedia di SUSENAS-BPS. Tahun 2017-2018 konsumsi cabai rawit meningkat dari pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 0,368 dan 0,360. Jumlah konsumsi cabai hijau secara umum lebih sedikit dibandingkan dengan konsumsi cabai merah. Konsumsi cabai rawit di rumah tangga pada periode 2002 – 2018 berfluktuasi namun cenderung meningkat. Pada tahun 2002, konsumsinya adalah 1,126 kg/kapita kemudian meningkat menjadi sebesar 1,835 kg/kapita pada tahun 2018 atau naik dengan rata-rata sebesar 7,53%. Peningkatan konsumsi cabai rawit diprediksikan masih akan terjadi pada tahun 2019 2021 sehingga mencapai 1,850 kg/kapita atau naik 0,78% dibandingkan tahun 2018. Konsumsi total cabai besar terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar 1,580 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi total cabai besar terbesar terjadi pada tahun 2015 sebesar 76,79% atau sebesar 2,958 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2019 - 2021 konsumsi total cabai besar diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi 2,26 kg/kapita atau naik sebesar 5,77%. Perkembangan konsumsi cabai per kapita tahun 2002-2018 serta prediksinya tahun 2019– 2021 disajikan pada Tabel 7.1 dan Gambar 7.1.



48



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Tabel 7.1. Perkembangan konsumsi dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 - 2018 serta prediksi tahun 2019 - 2021 Cabai Merah Tahun



(Kg/Kapita)



2002



1.429



2003



1.351



2004 2005



Pertumb. (%)



Cabai Hijau (Kg/Kapita)



Total Cabai Besar



Pertumb. (%)



0.219



(Kg/Kapita)



Pertumb. (%)



1.648



-5.47



0.229



4.76



1.580



1.361



0.77



0.240



4.55



1.564



14.94



0.261



8.70



2006



1.382



-11.67



0.235



2007



1.470



6.42



0.302



2008



1.549



5.32



2009



1.523



2010



1.528



2011 2012



Cabai Rawit (Kg/Kapita)



Pertumb. (%)



1.126 -4.11



1.199



1.601



1.32



1.147



-4.35



1.825



14.01



1.272



10.91



-10.00



1.616



-11.43



1.168



-8.20



28.89



1.773



9.68



1.517



29.91



0.266



-12.07



1.815



2.35



1.444



-4.81



-1.68



0.235



-11.76



1.757



-3.16



1.288



-10.83



0.34



0.256



8.89



1.783



1.48



1.298



0.81



1.497



-2.05



0.261



2.04



1.757



-1.46



1.210



-6.83



1.653



10.45



0.214



-18.00



1.867



6.23



1.403



15.95



2013



1.424



-13.88



0.198



-7.32



1.622



-13.13



1.272



-9.29



2014



1.460



2.54



0.214



7.89



1.673



3.19



1.261



-0.92



2015



2.958



102.68



N/A



-



2.958



76.79



2.962



134.96



2016



2.294



-22.45



N/A



-



2.294



-22.45



2.451



-17.26



2017



1.773



-22.72



0.368



-



2.141



-6.67



1.490



-39.19



2018



1.781



0.43



0.360



-2.26



2.141



-0.03



1.835



23.15



Rata-rata



1.647



4.00



0.260



0.33



1.888



3.29



1.491



7.53



2019 *)



1.905



6.99



0.359



-0.24



2.26



5.77



1.850



0.78



2020 *)



1.905



0.00



0.359



0.00



2.26



0.00



1.850



0.00



2021 *)



1.905



0.00



0.359



0.00



2.26



0.00



1.850



0.00



6.48



Sumber : SUSENAS bulan Maret, BPS Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin



Gambar 7.1. Perkembangan konsumsi total cabai per kapita pertahun di Indonesia, 2002 – 2018 dan prediksi 2019 - 2021 Pusat Data dan Informasi Pertanian



49



Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi cabai bagi



penduduk



Indonesia tahun 2014 – 2018 menunjukkan kecenderungan meningkat untuk cabai besar atau cabai merah dan cabai hijau. Kenaikan pertumbuhan rata-rata pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi cabai besar pada periode tersebut sebesar 13,56%. Pada tahun 2014 sebesar Rp 44.162/kapita dan Rp 65.296/kapita pada tahun 2018. Angka pada tahun 2018 tersebut menurun dibandingkan dengan tahun 2017 yaitu



Rp 66.312/kapita. Setelah



dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi besar secara riil juga mengalami peningkatan sebesar 3,43%. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi besar dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 7.2 dan Gambar 7.2.



Tabel 7.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai, 2014 - 2018 No.



Cabai Besar



1



Pengeluaran Nominal (Rp/kapita)



2



IHK *)



3



Pengeluaran Riil (Rp/kapita)



Tahun 2014 44,162



2015 38,256



2016 62,154



Pertumb. 2017 66,312



2018 65,296



(%) 13.56



183 35,692



8.73



134



146



187



184



32,961



26,253



33,223



36,008



3.43



Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan (Cabai besar & rawit)



Gambar 7.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai besar, 2014 – 2018



50



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Besarnya pengeluaran per kapita untuk konsumsi cabai rawit dari tahun 2014-2018 mengalami peningkatan sebesar 14,67%. Tahun 2014 pengeluaran per kapita untuk konsumsi cabai rawit sebesar Rp 39.853,- dan naik pada tahun 2016 menjadi Rp 50.579,-. Kemudian mengalami pengingkatan yang cukup besar pada tahun 2017 yaitu menjadi Rp 81.343,-. Namun pada tahun 2018 terjadi penurunan menjadi sebesar Rp 56.279,-. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran riil konsumsu cabai rawit juga mengalami pengingkatan sebesar 6,12 %. Pengeluaran riil tertinggi adalah pada tahun 2017 yaitu Rp 44.169,-. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi besar dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 – 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 7.3 dan Gambar 7.3.



Tabel 7.3. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai rawit, 2014 – 2018 No.



Cabai rawit



1



Pengeluaran Nominal (Rp/kapita)



2



IHK *)



3



Pengeluaran Riil (Rp/kapita)



Tahun 2014



2015



39,853 134 29,745



37,773 146 25,921



2016 50,579 187 27,035



Pertumb. 2017



2018



81,343



56,279



184 44,169



183 30,763



(%) 14.67 8.73 6.12



Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan (Cabe Merah& rawit)



Gambar 7.3. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai rawit, 2014 – 2018



Pusat Data dan Informasi Pertanian



51



7.2. Perkembangan Penyediaan dan Penggunaan cabai di Indonesia Penyediaan total cabai Indonesia berasal dari produksi terdiri dari luas tanam per hektar dan luas panen per hektar dalam negeri ditambah impor kemudian dikurangi ekspor. Ketersediaan data cabai saat ini adalah hingga tahun 2018, sedangkan untuk tahun 2019 merupakan angka pronogsa Ditjen Hortikultura. Produksi cabai merah besar di Indonesia pada periode tahun 2014 – 2018 terus mengalami peningkatan, hingga pada tahun 2019 dipredisi sebesar 1,34 juta ton. Untuk data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2019. Untuk tahun 2019 menggunakan data ekspor dan impor dari bulan januari hingga maret. Cakupan kode HS yang digunakan untuk menghitung ekspor impor cabai dapat dilihat pada tabel 7.3. Tabel 7.3 Cakupan kode HS Cabai yang digunakan untuk data ekspor impor



Kode HS



Deskripsi



07096010



Cabe (buah dari genus Capsicum)



07096090



Aneka Cabe



07119020



Cabe diawetkan sementara



09042110 09042190



Cabe, kering Cabe dikeringkan Lainnya



09042210



Cabe, dihancurkan atau di tumbuk



09042290



Cabe Lainnya dihancurkan dan ditumbuk



Perkembangan volume ekspor dan impor cabai di Indonesia periode 2014 - 2019 berfluktuatif. Penyediaan total cabai di Indonesia dominan dipasok dari produksi dalam negeri, walaupun ada realisasi impor namun dalam kuantitas yang kecil, sementara yang diekspor juga dalam kuantitas jauh lebih kecil. Pada periode tersebut, rata-rata



97% total penyediaan cabai merah berasal dari



produksi. Produksi cabai merah besar pada tahun 2014 adalah 1,07 juta ton dan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,19 juta ton pada tahun 2018. Impor cabai pada tahun 2018 sebesar 39,39 ribu ton sementara ekspor hanya sebesar 1,14 ribu ton sehingga penyediaan pada tahun tersebut menjadi sebesar 1,23 juta ton. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 2019 total penyediaan cabai diprediksi akan mengalami peningkatan disebabkan meningkatnya produksi. Pada tahun 2019, produksi cabai diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar 12,23% dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 1,34 juta ton dan jumlah impor diprediksikan sebesar 39 ribu ton. Sehingga pada tahun 2019 penyediaan cabai diprediksikan mencapai 1,38 juta ton.



52



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Komponen penggunaan Cabai di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung, benih/bibit, industri dan tercecer. Penggunaan cabai untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi cabai perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Tabel 7.4. No. A. 1



2 3 B 1 2



Penyediaan dan penggunaan Cabai Merah Besar, 2014 – 2019 Uraian



PENYEDIAAN CABAI MERAH BESAR (Ton) Produksi Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Impor Ekspor PENGGUNAAN CABE MERAH BESAR (Ton) Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) Penggunaan lainnya - Benih - Horeka & warung - Industri - Tercecer Neraca (A-B) Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) - Kenaikan jumlah penduduk (%) - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun



2014



2015



2016



2017



2018



2019



1,100,573 1,074,602 135,171 128,734 27,228 1,257



1,071,589 1,045,182 126,889 120,847 29,036 2,629



1,072,239 1,045,587 129,574 123,404 29,126 2,474



1,247,461 1,206,266 149,674 142,547 43,452 2,257



1,230,620 1,192,369 141,273 134,546 39,391 1,140



1,375,629 1,338,231 166,053 158,146 39,124 1,727



978,913 422,070



1,297,210 755,749



1,135,293 593,543



1,144,393 560,785



1,120,420 567,133



1,021,886 571,191



4,055 355,930 140,226 56,632 121,660



3,807 346,186 136,387 55,081 -225,621



3,887 346,320 136,440 55,102 -63,054



2,570 313,840 192,410 74,788 103,068



2,413 298,092 178,855 73,927 110,200



4,982 115,023 143,778 186,912 353,743



252,165 1.35 1.67



255,462 1.31 2.96



258,705 1.27 2.29



261,890 1.23 2.14



265,015 1.19 2.14



266,912 0.72 2.14



Sumber : BPS Keterangan: Produksi Cabe tahun 2019 merupakan angka prognosa Ditjen Hortikultura a. Stok awal tahun 2019 komoditas cabai besar tidak tersedia data (Asumsi tidak ada stok karena cabai b. Perkiraan Produksi cabai besar tahun 2019 sebesar 1,34 juta ton (Target Daerah c. Kehilangan/tercecer (Estimasi Ditjen Hortikultura). d. Kebutuhan cabai besar sebesar 832,8 ribu ton terdiri dari: (1) Konsumsi langsung rumah tangga 2,14 kg/kap/th (SUSENAS 2018), (2) Kebutuhan Horeka dan Warung/PKL (Estimasi Ditjen Hortikultura, 2019), (3) Kebutuhan benih dan (4) Kebutuhan Industri (Ditjen Hortikultura, 2019) e. Jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 266.911,9 ribu jiwa (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2045,SUPAS) f. Neraca Kumulatif adalah neraca domestik ditambah stok awal (carry over) bulan sebelumnya.



Pada tahun 2014, penggunaan cabai besar (cabai merah dan cabai hijau) untuk konsumsi langsung mencapai 422 ribu ton dan berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, konsumsi langsung penggunaan cabai besar sebesar 567 ribu ton dan diprediksikan akan meningkat pada tahun 2019 menjadi 571 ribu ton. Dengan asumsi 1 hektar lahan membutuhkan sebanyak 30 kg bibit cabai yang sudah dalam bentuk segar, penggunaan cabai besar sebagai benih menurun dari tahun 2014 sampai tahun 2018 dari 4,06 ton menjadi 2,41 ton. Namun pada tahun 2019 diprediksikan akan meningkat lagi menjadi sebesar 4,98 ton. Penggunaan cabai besar untuk kebutuhan horeka dan warung pada tahun 2014 sebesar 356 ribu ton terus menurun hingga tahun 2018. Dan pada tahun 2019 diprediksikan akan kembali menurun menjadi 115 ribu ton. Pada tahun 2018 penggunaan cabai besar untuk industri sebesar 179 ribu ton dan diprediksikan akan menurun pada tahun 2019 menjadi sebesar 144 ribu ton. Industri makanan yang biasa menggunakan bahan baku cabai industri saus dan industri mie instan yang digunakan sebagai bubuk cabai. Sedangkan



Pusat Data dan Informasi Pertanian



53



untuk cabai yang tercecer pada tahun 2014 sebesar 57 ribu ton dan meningkat menjadi 74 ribu ton pada tahun 2018. Pada tahun 2019 cabai merah besar yang tercecer diprediksikan meningkat kembali menjadi 187 ribu ton. Secara rinci neraca penyediaan dan penggunaan cabai besar tahun 2014 – 2019 dapat dilihat pada Tabel 7.5. Tabel 7.6. No.



Penyediaan dan penggunaan Cabai Rawit, 2014 – 2019 2017



2018



2019



1,153,155 1,153,155



1,331,559 1,331,559



1,163,353 1,163,353



167,600



171,077



169,092



PENGGUNAAN CABE RAWIT (Ton) 647,337 679,725 703,622 637,969 825,661 Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) 317,728 321,882 325,968 390,216 486,380 Penggunaan lainnya - Benih (30 kg/ha luas tanam) 4,249 4,248 5,341 2,760 3,728 - Horeka & warung 253,376 275,364 289,940 107,270 146,472 - Industri 29,800 32,386 34,100 78,220 106,525 - Tercecer 42,185 45,846 48,273 59,503 82,557 Neraca (A-B) 153,136 190,213 212,366 515,186 505,898 Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) 252,165 255,462 258,705 261,890 265,015 - Kenaikan jumlah penduduk (%) 1.35 1.31 1.27 1.23 1.19 - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun 1.26 1.26 1.26 1.49 1.84 Sumber : BPS Keterangan: Produksi Cabe tahun 2019 merupakan angka prognosa Ditjen Hortikultura a. Stok awal tahun 2019 komoditas cabai rawit tidak tersedia data (Asumsi tidak ada b. Perkiraan Produksi cabai rawit tahun 2019 sebesar 1,16 juta ton (Target Daerah c. Kehilangan/tercecer ( Estimasi Ditjen Hortikultura). d.Kebutuhan cabai rawit sebesar 790,17 ribu ton terdiri dari: (1) Konsumsi langsung rumah tangga 1,84 kg/kap/th (SUSENAS 2018), (2) Kebutuhan Horeka dan Warung/PKL (EStimasi Ditjen Hortikultura, 2019), (3) Kebutuhan benih dan (4) Kebutuhan Industri (Ditjen Hortikultura, 2019) e. Jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 266.911,9 ribu jiwa (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2045,SUPAS) f. Neraca Kumulatif adalah neraca domestik ditambah stok awal (carry over) bulan sebelumnya.



973,687 489,861



A. 1



2 3



Uraian PENYEDIAAN CABAI RAWIT (Ton) Produksi Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Impor Ekspor



2014



2015



800,473 800,473 141,626 134,882



869,938 869,938 141,612 134,869



B 1 2



Produksi cabai rawit pada tahun 2014



2016 915,988 915,988 178,044 136,818



215 98,898 197,796 186,917 189,666 266,912 0.72 1.84



mencapai 800 ribu ton dan terus mengalami



peningkatan menjadi sebesar 1,33 juta ton pada tahun 2018. Namun pada tahun 2019 total penyediaan cabai rawit diprediksi akan mengalami penurunan disebabkan menurunnya produksi. Pada tahun 2019, produksi cabai rawit diperkirakan mengalami penurunan sebesar 12,63% dibandingkan tahun 2018 menjadi 1,16 juta ton. Penggunaan cabai rawit sama dengan cabai besar yaitu untuk konsumsi langsung, benih, horeka dan warung, industri dan tercecer. Pada tahun 2014, penggunaan cabai rawit untuk konsumsi langsung adalah 318 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2018. Pada tahun 2018, konsumsi langsung penggunaan cabai rawit sebesar 486 ribu ton dan diprediksikan akan meningkat pada tahun 2019 menjadi 490 ribu ton. Penggunaan cabai rawit untuk horeka dan warung pada periode 2014 – 2018 sangat berfluktuasi, dimana pada tahun 2014 penggunaannya sebesar 253 ribu ton dan terus meningkat sampai tahun 2016 sebesar 289,9 ribu ton. Namun setelah tahun 2016 penggunaannya mengalami



54



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



penurunan sehingga pada tahun 2018 menjadi sebesar 146 ribu ton. Dan pada tahun 2019 diperkirakan penggunaannya masih akan menurun menjadi sebesar 98,89 ribu ton.



Pada



tahun 2018 penggunaan cabai untuk industri sebesar 107 ribu ton dan diprediksikan terus meningkat pada tahun 2019 menjadi sebesar 198 ribu ton. Industri makanan yang biasa menggunakan bahan baku cabai industri saus dan industri mie instan yang digunakan sebagai bubuk cabai. Sedangkan untuk cabai rawit yang tercecer pada tahun 2014 sebesar 42 ribu ton dan meningkat menjadi 83 ribu ton pada tahun 2018. Pada tahun 2019, cabai rawit yang tercecer diprediksikan meningkat kembali menjadi 187 ribu ton. Secara rinci neraca penyediaan dan penggunaan cabai rawit tahun 2014 – 2019 dapat dilihat pada Tabel 7.6.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



55



BAB VIII. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN PENGGUNAAN BAWANG MERAH



B



awang Merah ( Alium cape L ) merupakan komoditi hortikultura yang seringkali digolongkan ke dalam kelompok bumbu -bumbuan.



Hal ini



karena bawang merah termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi



yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan/masakan.



Bawang merah juga



merupakan bahan obat tradisional karena banyak mengandung zat antibiotika.



Budidaya



bawang merah membuka peluang sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Bawang merah merupakan tanaman sayuran semusim dengan bagian yang dapat dimakan adalah sebesar 90%. Komposisi zat gizi yang terkandung dalam per 100 gram bawang merah adalah kalori 39 kkal, protein 2,50 g dan lemak 0,30 g. Penggunaan atau konsumsi bawang merah oleh masyarakat biasanya cenderung meningkatkan di saat-saat tertentu seperti hari raya besar keagamaan. Disamping itu bawang merah banyak dikonsumsi bersamaan dengan nasi goreng, sate, tongseng dan masakan jadi lainnya yang menggunakan bawang merah sebagai taburan dalam bentuk bawang goreng. Bawang merah juga banyak digunakan oleh industri baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan tambahan. Industri yang menggunakan bawang merah ini adalah seperti pada industri kornet, sarden, sambal dan bumbu botol, mie instan dan lain-lain.



8.1. Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Bawang Merah dalam Rumah Tangga di Indonesia Konsumsi bawang merah dalam rumah tangga selama periode tahun 2002 - 2021 relatif berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode tahun 2002 – 2021, konsumsi bawang merah terbesar terjadi pada tahun 2007 yang mencapai 3,014 kg/kapita/tahun sebesar 44,50%, urutan kedua tahun 2014 mencapai 2,487 kg/kapita/tahun sebesar 20,44% urutan ketiga mencapai 2,764 kg/kapita/tahun sebesar 17,00% pada tahun 2012, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 2,065 kg/kapita/tahun. Tahun 2017 konsumsi bawang merah adalah sebesar 2,570 kg/kapita/tahun atau turun 9,05% bila dibandingkan degan tahun sebelumnya. Sebaliknya pada tahun 2018 konsumsi bawang merah sekitar 2,764 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 7,52



%mengalami



peningkatan



hingga



sebesar



hingga



tahun



dibandingkan



tahun



sebelumnya.



56



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Prediksi bawang merah tahun 2019 – 2021 akan mengalami peningkatan, tahun 2019 konsumsi bawang merah sedikit peningkatan menjadi 2,796 kg/kapita/tahun atau naik 1,18% dibandingkan tahun 2018. Tahun 2020 konsumsi bawang merah sekitar 2,832 kg/kapita/tahun atau naik 1,28% dari tahun 2019, dan pada tahun 2021 konsumsi akan naik menjadi 2,867 kg/kapita/tahun atau naik 1,25% dari tahun sebelumnya. Perkembangan konsumsi bawang merah dari tahun 2002 – 2018 serta prediksinya tahun 2019 – 2021 disajikan pada Tabel 8.1 dan Gambar 8.1. Tabel 8.1. Perkembangan konsumsi bawang merah dalam rumah tangga di Indonesia, Tahun 2002 – 2018, serta prediksi tahun 2019 -2021 Seminggu Setahun Tahun Pertumbuhan (%) (Kg/Kap/Mgg) (Kg/Kap/Tahun) 2002 0.423 2.206 2003 0.427 2.227 0.95 2004 0.421 2.195 -1.41 2005 0.454 2.367 7.84 2006 0.400 2.086 -11.89 2007 0.578 3.014 44.50 2008 0.526 2.743 -9.00 2009 0.484 2.524 -7.98 2010 0.485 2.529 0.21 2011 0.453 2.362 -6.60 2012 0.530 2.764 17.00 2013 0.396 2.065 -25.28 2014 0.477 2.487 20.44 2015 0.520 2.713 9.07 2016 0.542 2.826 4.18 2017 0.493 2.570 -9.05 2018 0.530 2.764 7.52 Rata-rata 0.479 2.496 2.531 2019 *) 0.536 2.796 1.18 2020 *) 0.543 2.832 1.28 2021 *) 0.550 2.867 1.25 Sumber



: Susenas bulan Maret, BPS



Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



57



(Kg/Kap/Thn)



3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00



0.50 0.00



Gambar 8.1. Perkembangan konsumsi bawang merah dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2018 serta prediksi 2019 – 2021 Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah bagi penduduk Indonesia tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan mengalami penurunan sebesar 3,32%, yakni dari Rp. 50.719,21 per kapita pada tahun 2013 menjadi Rp. 76.233,62 per kapita pada tahun 2017, dan kemudian tahun 2018 mengalami penurunan menjadi Rp. 65.047,43 per kapita pada tahun 2018 pengeluaran konsumsi sedikit meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Namun jika pengeluaran nominal tahun 2014 dibandingkan dengan tahun sebelumnya akan mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu sebesar 27,57%. Tabel 8.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi bawang merah, 2014- 2018 Uraian Nominal IHK Riil Sumber



Pengeluaran (Rupiah/Kapita)



Pertumbuhan (%)



2014



2015



2016



2017



2018



50,719.21



51,978.76



74,877.14



76,233.62



65,047.43



-3.32



133.98



145.72



187.08



184.16



182.95



0.13



37,856.28



35,671.32



40,023.60



41,395.13



35,555.57



-3.44



: BPS, diolah Pusdatin



Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan



Pengeluaran untuk bawang merah setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, menunjukkan bahwa secara riil pada tahun 2013 – 2017 sedikit mengalami peningkat sebesar 0,13%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita bawang merah penduduk Indonesia terjadi sedikit meningkat. Perkembangan pengeluaran untuk



58



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



konsumsi bawang merah nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2013 – 2017 secaraa rinci tersaji pada Tabel 8.2 dan Gambar 8.2.



(Rupiah/kg)



75,500 68,000 60,500 53,000



45,500 38,000 30,500 2014



2015



2016



Nominal



2017



2018



Riil



Gambar 8.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 – 2018



8.2.



Konsumsi Bawang Merah Per Provinsi Konsumsi bawang merah pada periode tahun 2014 – 2018 terlihat pada table 7.3.



Untuk komsumsi bawang merah terlihat yang paling tinggi pada tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 27,13 kg/kap/th dan 28,25 kg/kap/th. Konsumsi bawang merah di provinsi yang paling tinggi terdapat di Provinsi Sumatera Barat, dengan rata-rata sebesar 41,91 kg/kap/th dan 44,20 kg/kap/th. Ini di karenakan konsumsi bawang merah yang ada cukup tinggi di provinsi tersebut. Namun pada tahun 2017 konsumsi bawang merah mengalami penurunan sebesar 9,02 persen yaitu 25,70 kg/kap/th, tetapi pada tahun 2018 kembali mengalami peningkatan 7,32 persen atau sebesar 27,58 kg/kap/th. Sedangkan konsumsi terendah untuk bawang merah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing sebesar 13,82 kg/kap/th tahun 2017.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



59



Tabel 8.3. Konsumsi Bawang Merah Per Provinsi, 2014 – 2018 Konsumsi Bawang Merah (kg/kapita/tahun) No



Provinsi 2014



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA



29.57 31.03 41.01 35.12 31.39 26.48 23.51 28.14 24.37 32.73 23.28 19.78 25.56 25.85 26.86 24.63 39.84 26.98 12.76 15.60 27.56 25.96 22.16



2015



2016



2017



2018



Pertumbuhan 2014 - 2018 (%)



23.17 22.10 16.59 14.69 30.62 21.93 20.24 20.13 21.23 17.03



30.29 29.83 41.91 39.42 33.48 28.66 28.58 33.64 32.15 34.40 22.65 21.93 27.63 28.66 29.86 25.09 42.93 34.99 16.12 18.69 27.56 28.37 27.90 20.78 30.76 21.00 18.49 16.12 32.41 17.54 23.40 22.83 25.10 21.24



31.46 35.73 44.20 37.51 35.98 28.15 25.94 34.16 30.96 36.77 25.30 17.10 32.48 31.49 35.11 28.87 37.73 30.84 15.86 17.98 31.66 29.96 29.29 22.49 32.36 23.38 17.82 16.46 29.42 18.35 22.43 21.52 24.02 19.94



32.96 31.97 39.69 36.97 36.13 27.85 25.11 30.63 32.99 34.88 23.33 20.61 25.88 26.10 28.09 23.45 36.86 28.42 13.82 15.81 27.46 25.98 28.04 22.70 25.71 22.18 16.67 14.96 26.93 16.88 19.22 20.77 22.10 20.16



33.36 33.96 41.20 36.62 38.45 28.23 27.42 31.55 32.84 35.10 26.20 21.44 28.16 28.03 30.14 26.96 42.25 36.20 16.32 16.95 28.18 27.11 27.97 22.38 31.80 23.66 17.95 17.78 36.77 20.77 20.44 21.29 26.45 22.28



3.07 2.91 0.32 1.25 5.24 1.69 4.58 3.44 8.59 1.87 3.37 3.35 3.53 2.76 4.01 3.28 1.98 9.33 7.50 2.78 1.06 1.49 6.58 2.58 10.27 1.98 2.26 5.41 6.17 -0.10 0.89 1.68 6.39 7.57



24.87



27.13



28.25



25.70



27.58



2.88



Sumber : BPS diolah Pusdatin



60



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan tertinggi dari konsumsi bawang merah terjadi di Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 10,27% dikarenakan konsumsi bawang merah di provinsi tersebut meningkat cukup tinggi. Sementara yang menduduki urutan ke dua dan ketiga adalah provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Bangka Belitung, secara umum konsumsi bawang merah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan ratarata pertumbuhan sebesar 2,88% (Tabel. 8.3). 8.3.



Neraca Bawang Merah Penyusunan neraca bawang merah terbagi menjadi dua komponen yaitu komponen



penyediaan dan penggunaan. Komponen penyediaan terdiri dari produksi, tercecer, benih (bibit), produksi, impor dan ekspor. Sementara komponen penggunaan terdiri dari bahan baku industri, horeka & warung dan yang tersedia untuk dikonsumsi Produksi bawang merah Indonesia tahun 2019 (angka prognosa) dari Prognosa Ketersediaan dan Kebutuhan Bawang Merah tahun 2019 bersumber dari Prognosa Ditjen Hortikultura. Produksi bawang merah Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 1,51 juta ton. Pada tahun 2019 impor bawang merah diperkirakan sebesar 95 ton dan ekspor 93 ton. penyediaan bawang merah untuk benih (bibit) dan yang tercecer diasumsikan sebesar 10% dan 8,26% dari total produksi. Angka ini diambil dari perhitungan produksi kotor Ditjen. Hortikultura. Pada tahun 2019, penggunaan bawang merah untuk benih adalah sekitar 150 ribu ton dan yang tercecer sebesar 124,72 ribu ton. Data ekspor dan impor 2019 JanuariMaret 2019 merupakan realisasi angka tetap sementara April adalah angka sementara. Ekspor dan impor bulan Mei sampai dengan Desember diasumsikan sama dengan tahun 2018. Sedangkan horeka dan warung, bahan baku industri bersumber dari data Prognosa Pangan BKP tahun 2016-2019. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka penyediaan bawang merah pada tahun 2019 adalah sebesar 1.51 juta ton. Berdasarkan uraian sebelumnya, konsumsi bawang merah dalam rumah tangga tahun 2019 diprediksi sebesar 2,76 kg/kapita/tahun. Jika angka ini dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama, maka besarnya konsumsi bawang merah adalah 736,68 ribu ton. Penggunaan bawang merah untuk Horeka mencakup kebutuhan hotel, restoran, katering dan warung sebesar 36,82 ribu ton dan untuk bahan baku industri sebesar 36,82 ribu ton. Secara rinci neraca bawang merah ini dapat dilihat pada Tabel 8.4 di bawah ini.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



61



Secara umum pada periode 2014 sampai 2019 penyediaan bawang merah nasional mengalami kenaikan. Keragaan impor dan ekspor bawang merah pada periode yang sama cenderung berfluktuasi dimana tahun 2014 tercatat impor tertinggi yaitu sebesar 74,90 ribu ton. Sementara ekspor tertinggi tercatat pada tahun 2015 sebesar 8,42 ribu ton. Konsumsi bawang merah oleh rumah tangga terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Tabel 8.4. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Bawang Merah Tahun 2014 – 2019 No. I 1. 2. 3. II 1. 2.



Uraian



Angka konversi



Penyediaan



Produksi ( Ton) Impor (ton) Ekspor (ton) Penggunaan (1+2) Konsumsi Langsung (ton) (susenas x Jml Penduduk) Penggunaan lainnya - Tercecer 8.26% - Benih/Bibit 10.00% - Horeka dan warung - Bahan baku industri III Neraca (I - II) Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun Keterangan :



2014



2015



2016



2017



1,304,448



1,238,194



1,447,343



1,233,984 74,903 4,439 852,450 627,125 225,325 101,927 123,398 451,998



1,229,184 17,429 8,418 917,764 693,315 224,449 101,531 122,918 320,431



1,446,860 1,219 736 1,318,789 730,548 588,241 119,511 144,686 289,944 34,100 128,555



252,165 2.49



255,588 2.71



258,497 2.83



2018*)



2019**)



1,462,726



1,492,619



1,509,950



1,470,155 194 7,623 1,277,182 671,749 605,433 121,435 147,016 235,582 101,401 185,544



1,498,659 228 6,268 1,347,407 730,029 617,377 123,789 149,866 240,294 103,428 145,212



1,509,948 95 93 1,086,029 736,677 349,353 124,722 150,995 36,818 36,818 423,921



261,356 2.57



264,162 2.76



266,912 2.76



Angka konversi mengacu pada angka konversi yang digunakan dalam perhitungan NBM Angka tingkat konsumsi kg/kapita/tahun menggunakan angka SUSENAS BPS Sumber data ekspor - Impor adalah BPS *) Angka sementara, Ditjen Hortikultura **) Angka prognosa, Ditjen Hortikultura



62



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian



BAB IX. DAGING SAPI



D



aging sapi merupakan salah satu komoditas pertanian penting dan strategis di Indonesia. terdapat beberapa alasan yang membuat daging sapi memiliki peran penting dan strategis yaitu (1) pengembangan komoditas daging sapi sebagai



bagian dari subsektor peternakan berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi peningkatan PDB sektor pertanian (sumbangan PDB peternakan dan hasil-hasilnya berkisar 12% terhadap PDB sektor pertanian); (2) terdapat kurang lebih 4,83 juta orang jumlah



tenaga kerja subsektor peternakan tahun 2018 (Sakernas Februari 2018, BPS); (3) sentra produksi daging sapi tersebar di banyak daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional; (4) pengembangan produksi komoditas daging sapi mendukung upaya peningkatan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan. Salah



satu



program



yang



dicanangkan



Kementerian



Pertanian



untuk



mengakselerasi percepatan target pemenuhan populasi sapi potong dalam negeri yaitu UPSUS SIWAB. Program tersebut dituangkan dalam peraturan Menteri Pertanian No. 48/Permentan/ PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditanda tangani Menteri Pertanian tanggal 3 Oktober 2016. Program ini bertujuan mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengejar swasembada daging sapi yang ditargetkan tercapai pada 2026 dan mewujudkan Indonesia yang mandiri



dalam



pemenuhan



pangan



asal



hewan,



dan



sekaligus



meningkatkan



kesejahteraan peternak rakyat. Didukung 2 Balai Besar Inseminasi Buatan di Lembang dan Singosari



dengan target



melakukan



Inseminasi



buatan



pada 4.000.000



ekor



sapi



indukan/tahun. Tingkat konsumsi daging sapi dan olahannya masyarakat Indonesia tahun 2002 sebesar 1,035 kg/kapita/tahun dan tahun 2018 menjadi sebesar 2,51 kg/kapita/tahun. Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging secara nasional cenderung meningkat. Meningkatnya konsumsi daging sapi mengakibatkan adanya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu: sapi lokal, sapi impor, dan daging impor. Manfaat daging sapi bagi tubuh manusia setiap 100 gram daging sapi mengandung protein 18,8 gram. Pada tubuh makluk hidup seperti manusia, protein merupakan penyusun bagian besar organ tubuh, seperti: otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak, dan lain-lain.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



63



Adapun fungsi protein yang penting bagi tubuh manusia, antara lain untuk: 1) pertumbuhan; 2) memperbaiki sel-sel yang rusak, 3) sebagai bahan pembentuk plasma kelenjar, hormon dan enzim; 4) sebagian sebagai cadangan energi, jika karbohidrat sebagai sumber energi utama tidak mencukupi; dan 5) menjaga keseimbangan asam basa darah. Selain protein tersebut, lemak juga bermanfaat bagi tubuh manusia, yaitu sebagai simpanan energi/tenaga. Lemak yang terdapat dalam daging sapi berfungsi sebagai sumber energi yang padat bagi tubuh manusia, setiap gram lemak menghasilkan energi sebanyak 9 kkal. Selain itu lemak juga berfungsi bagi tubuh manusia untuk menghemat protein dan thiamin, serta membuat rasa kenyang yang lebih lama. Pendekatan pada kajian konsumsi daging sapi ini adalah dengan pendekatan pengeluaran konsumsi di perkotaan dan perdesaan serta konsumsi perkapita di perdesaan dan perkotaan untuk menggambarkan konsumsi daging sapi di Indonesia. Selain konsumsi dalam wujud daging sapi segar, data Susenas juga mencakup konsumsi daging sapi dalam bentuk



yang



diawetkan



dan



makanan



jadi.



Menurut



konsep



definisi



Permentan



No.50/Permentan/OT.140/9/2011 dijelas-kan bahwa yang dimaksud dengan daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan. Dengan demikian dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu (a) daging sapi segar; (b) daging sapi awetan dan (c) daging sapi dari makanan jadi. Daging sapi segar terdiri dari daging sapi tanpa tulang, tetelan dan tulang, sementara daging sapi awetan terdiri dari dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan lainnya (daging awetan). Daging sapi dari makanan jadi seperti soto/gule/sop/rawon, daging goreng/bakar, sosis, nugget dan lain-lain. Perlu dijelaskan khusus untuk konsumsi hati dan jeroan dalam analisis ini tidak dihitung sebagai konsumsi daging sapi karena wujudnya sudah bukan daging sapi tapi sudah masuk edibel oval.



Dengan demikian konsumsi daging sapi dapat



diakumulasikan antara konsumsi daging sapi segar ditambah konsumsi daging sapi awetan dan daging sapi dari makanan jadi. Dari Tabel 9.1 terlihat angka konversi terbesar adalah dendeng yaitu mencapai 2,5%, tetapi data untuk konsumsi dendeng tahun-tahun sebelumnya tidak tersedia dalam Susenas, hanya tahun 2017 data tersedia. Untuk Data Susenas tahun 2018, data yang tercakup dalam susenas yaitu (1) daging sapi (2) daging dalam kaleng (3) lainnya (daging awetan) (4) Tetelan (5) soto/gule/sop/rawon (6) daging (goreng/ bakar) dan (7) daging olahan (sosis, nugget, daging asap, dll). Untuk daging olahan (sosis, nugget, daging asap, dll) diasumsikan dalam bungkusan 250 gram terdapat kurang lebih 16 potong sosis atau nugget, sehingga beratnya sekitar 15,625 gram.



Konversi daging sapi lainnya



secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.1.



64



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Tabel 9.1. Besaran konversi wujud daging sapi segar, awetan dan makanan jadi



No



Janis Pangan



Satuan



Konversi (Gram)



Konversi ke Bentuk asal



Bentuk Konversi



1



Daging sapi



kg



1000



1.000



Daging



2



Dendeng



kg



1000



2.500



Daging



3



Abon



ons



100



2.000



Daging



4



Daging dalam kaleng



kg



1000



1.000



Daging



5



Sosis, nugget, daging asap, baso



kg



1000



1.000



Daging



6



Lainnya (daging awetan)



kg



1000



0.500



Daging



7



Tetelan



kg



1000



0.200



Daging



8



Soto/gule/sop/rawon



porsi



250



0.330



Daging



9



Ayam/Daging (goreng, bakar, dll)/2



potong



150



1.000



Daging



9.1



Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Daging Sapi Total dalam Rumah Tangga (di Perdesaan dan Perkotaan) Konsumsi daging sapi total dalam bahasan ini terdiri dari konsumsi daging sapi segar



ditambah konsumsi daging sapi awetan dan daging sapi dari makanan jadi. Konsumsi daging sapi total periode tahun 2002-2018 berkisar antara 0,84 -2,52 kg/kapita/tahun. Bila dicermati perkembangan konsumsi daging sapi selama periode tersebut diperoleh rata-rata sebesar 1,43 kg/kapita/tahun dengan rata-rata pertumbuhan perkapita per tahun sebesar 8,06%. Konsumsi daging sapi total paling tinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun 2018 mencapai 2,518 kg/kapita/tahun dengan pertumbuhan sebesar 0,25%. Tahun 2019 total konsumsi daging sapi diprediksi mengalami sedikit peningkatan menjadi 2,560 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 1,67%. Sementara pada tahun 2020 dan 2021 diprediksi masing-masing sebesar 2,703 kg/kapita/tahun dan 2,856 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 5,62% dan 5,64%. Dari Gambar 9.1 terlihat bahwa peningkatan konsumsi daging sapi total merupakan akumulasi dari daging sapi segar + awetan + olahan menunjukan bahwa perkembangan konsumsi daging sapi tahun 2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2016 yaitu sebesar 2,511 kg/kapita/tahun karena tersedianya data olahan seperti dendeng, abon, daging dalam kaleng dan tulang. Sementara tahun 2018 tersedia data daging olahan berupa sosis, nugget, daging asap dan lain-lain dalam bentuk matang.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



65



Tabel 9.2. Perkembangan total konsumsi daging sapi**) dalam rumah tangga di Indonesia, 2002–2018 serta prediksi 2019 – 2021 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Rata-rata 2019*) 2020*) 2021*)



Konsumsi



Konsumsi



Gram/Kap/Hari



Kg/Kap/Thn



2.835 2.806 3.116 2.633 2.304 3.277 3.251 3.062 3.326 4.959 4.800 3.166 3.345 4.869 5.161 6.881 6.898



1.035 1.024 1.137 0.961 0.841 1.196 1.187 1.118 1.214 1.810 1.752 1.156 1.221 1.777 1.884 2.511 2.518



-1.02 11.05 -15.51 -12.49 42.20 -0.80 -5.81 8.62 49.12 -3.21 -34.03 5.65 45.54 6.01 33.31 0.25



3.923



1.432



8.055



7.013 7.407 7.825



2.560 2.703 2.856



1.67 5.62 5.64



Pertumb. (%)



Sumber : Susenas, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin **) Total konsumsi: penjumlahan konsumsi daging sapi segar, olahan dan awetan a) Data tidak tersedia di SUSENAS 2018 (Dendeng, Abon, Daging dalam kaleng dan Tulang)



Gambar 9.1. Perkembangan konsumsi daging sapi**) dalam rumah tangga di Indonesia, Tahun 2002 – 2021



66



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni bagi penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir secara nominal menunjukkan peningkatan yang positif.



Peningkatan pertumbuhan rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk



konsumsi daging sapi murni pada periode 2014-2018 sebesar 19,05%, yakni dari



Rp.



26.270,-/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 49.758,-/kapita pada tahun 2018. Besarnya pengeluaran tersebut, setelah dikoreksi dengan faktor inflasi menggunakan pertumbuhan indeks harga konsumen (IHK) daging dan hasilnya tahun dasar 2012=100, menunjukkan pengeluaran riil untuk konsumsi daging sapi murni. Pada tahun 2014 – 2018 konsumsi daging sapi murni secara riil mengalami peningkatan sebesar 13,15%. Hal ini menunjukan bahwa secara kuantitas juga terjadi peningkatan konsumsi per kapita daging sapi murni penduduk Indonesia (Tabel 9.3 dan Gambar 9.2). Tabel 9.3.



No



Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 - 2017



Uraian



1



Nominal



2



IHK



3



Riil



Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun)



Pertumbuhan (%)



2014



2015



2016



2017



2018



26,269.94



40,855.26



46,146.43



47,030.73



49,758.27



19.05



117.77



124.99



132.35



134.09



143.61



5.11



22,305.35



32,687.69



34,866.75



35,074.87



34,649.20



13.15



Sumber : IHK dari BPS



Gambar 9.2. Pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 – 2018 Pusat Data dan Informasi Pertanian



67



Jika dilihat dari rata-rata konsumsi daging sapi murni per kapita per provinsi pada periode tahun 2014 - 2018, rata-rata nasional konsumsi daging sapi hanya sebesar 0,4011 kg/kapita/tahun. Dari 34 provinsi di Indonesia hanya 8 provinsi yang tingkat konsumsi daging sapinya diatas rata-rata nasional. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi tertinggi konsumsi daging sapi mencapai 1,3225 kg/kapita/tahun, dari sini dapat dilihat bahwa kota Jakarta masih menjadi barometer untuk menentukan tingkat konsumsi tertinggi daging sapi murni. Kemudian Provinsi Nusa Tenggara Barat menempati urutan ke 2 dengan konsumsi daging sapi sebesar 0,6134 kg/kapita/tahun. Urutan ketiga Provinsi Kepulauan Riau dengan konsumsi daging sapi sebesar 0,6077 kg/kapita/tahun, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.3 dan Gambar 9.3. Tabel 9.3. Perkembangan konsumsi daging sapi murni dalam rumah tangga per provinsi di Indonesia, 2014 – 2018 No.



Provinsi



ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BABEL KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA INDONESIA Sumber : Susenas, BPS Keterangan : '-' = tidak tersedia data



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



68



2014 0.0044 0.0026 0.0090 0.0044 0.0026 0.0068 0.0055 0.0028 0.0051 0.0071 0.0167 0.0056 0.0022 0.0033 0.0073 0.0057 0.0024 0.0111 0.0053 0.0023 0.0016 0.0021 0.0055 0.0020 0.0026 0.0011 0.0021 0.0035 0.0008 0.0009 0.0005 0.0042 0.0019 0.0051



Konsumsi kg/kapita/minggu 2015 2016 2017 0.0039 0.0045 0.0039 0.0039 0.0030 0.0029 0.0106 0.0095 0.0112 0.0062 0.0054 0.0052 0.0049 0.0056 0.0055 0.0058 0.0067 0.0054 0.0067 0.0053 0.0057 0.0033 0.0030 0.0045 0.0090 0.0066 0.0079 0.0159 0.0117 0.0133 0.0229 0.0214 0.0285 0.0096 0.0117 0.0115 0.0043 0.0039 0.0038 0.0062 0.0064 0.0051 0.0103 0.0122 0.0132 0.0124 0.0105 0.0099 0.0029 0.0027 0.0035 0.0113 0.0116 0.0119 0.0069 0.0073 0.0088 0.0044 0.0051 0.0031 0.0045 0.0056 0.0036 0.0076 0.0038 0.0033 0.0077 0.0092 0.0087 0.0022 0.0030 0.0059 0.0024 0.0028 0.0030 0.0037 0.0029 0.0038 0.0031 0.0032 0.0037 0.0027 0.0036 0.0032 0.0057 0.0070 0.0052 0.0008 0.0008 0.0009 0.0012 0.0016 0.0029 0.0013 0.0015 0.0022 0.0076 0.0040 0.0032 0.0042 0.0038 0.0057 0.0078 0.0081 0.0085



2018 0.0047 0.0039 0.0101 0.0061 0.0055 0.0053 0.0059 0.0034 0.0091 0.0103 0.0373 0.0115 0.0044 0.0071 0.0123 0.0118 0.0026 0.0130 0.0086 0.0040 0.0043 0.0040 0.0084 0.0046 0.0032 0.0038 0.0022 0.0027 0.0060 0.0014 0.0034 0.0016 0.0027 0.0043 0.0089



2014 0.2274 0.1376 0.4671 0.2312 0.1375 0.3547 0.2866 0.1448 0.2664 0.3704 0.8720 0.2936 0.1159 0.1715 0.3806 0.2989 0.1235 0.5772 0.2783 0.1183 0.0852 0.1118 0.2877 0.1062 0.1366 0.0598 0.1096 0.1824 0.0420 0.0491 0.0237 0.2183 0.0997 0.2663



Konsumsi 2015 0.2014 0.2020 0.5503 0.3226 0.2534 0.3007 0.3502 0.1743 0.4708 0.8277 1.1924 0.4984 0.2231 0.3221 0.5353 0.6475 0.1532 0.5889 0.3619 0.2270 0.2345 0.3937 0.4038 0.1170 0.1230 0.1922 0.1628 0.1428 0.2978 0.0428 0.0640 0.0702 0.3986 0.2176 0.4042



kg/kapita/tahun 2016 2017 0.2346 0.2038 0.1539 0.1512 0.4973 0.5844 0.2808 0.2699 0.2898 0.2853 0.3472 0.2828 0.2772 0.2980 0.1573 0.2349 0.3425 0.4141 0.6089 0.6959 1.1154 1.4865 0.6082 0.5982 0.2058 0.1966 0.3332 0.2657 0.6356 0.6887 0.5468 0.5157 0.1423 0.1824 0.6051 0.6192 0.3795 0.4588 0.2664 0.1594 0.2915 0.1869 0.1984 0.1707 0.4801 0.4526 0.1569 0.3071 0.1457 0.1578 0.1501 0.1998 0.1653 0.1936 0.1881 0.1659 0.3639 0.2703 0.0435 0.0494 0.0857 0.1490 0.0766 0.1159 0.2080 0.1652 0.1995 0.2968 0.4237 0.4448



Rata-rata 2018 2014-2018 0.2467 0.2228 0.2037 0.1697 0.5274 0.5253 0.3204 0.2850 0.2848 0.2502 0.2760 0.3123 0.3066 0.3037 0.1795 0.1782 0.4763 0.3940 0.5357 0.6077 1.9460 1.3225 0.6020 0.5201 0.2285 0.1940 0.3688 0.2922 0.6438 0.5768 0.6161 0.5250 0.1367 0.1476 0.6767 0.6134 0.4498 0.3857 0.2105 0.1963 0.2237 0.2044 0.2102 0.2170 0.4385 0.4125 0.2374 0.2046 0.1690 0.1404 0.1999 0.1757 0.1150 0.1393 0.1428 0.1498 0.3135 0.2856 0.0714 0.0498 0.1791 0.1054 0.0850 0.0743 0.1420 0.2264 0.2222 0.2072 0.4665 0.4011



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 9.3. Perkembangan konsumsi daging sapi murni dalam rumah tangga per provinsi di Indonesia, rata-rata 2014 – 2018



9.2.



Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Sapi di Indonesia Dalam penyusunan neraca daging sapi ada beberapa data pendukung yang terkait



dalam perhitungan penyediaan dan penggunaan daging sapi keseluruhan. Secara umum penyusunan neraca daging sapi didasarkan pada perhitungan prognosa yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, tetapi ada juga asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ini. Penyediaan total daging sapi di Indonesa berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor kemudian dikurang ekspor. Ketersediaan data daging sapi saat ini adalah hingga tahun 2018 (ASEM), kemudian untuk tahun 2019 sebesar 429.412



ton



(angka potensi produksi daging sapi, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan). Penyediaan daging sapi Indonesia periode 2014-2018 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,85% per tahun. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan jumlah sebesar 635,23 ribu ton, dimana impor daging sapi mengalami peningkatan cukup signifikan, dengan pertumbuhan sebesar 132,09% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi daging sapi di Indonesia periode tahun 2014-2018 cenderung stabil dengan ratarata pertumbuhan sebesar 0,01% per tahun. Produksi tahun 2019 angka perkiraan/potensi produksi mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan tahun 2018 yaitu sebesar 429.412 ton atau menurun sebesar 13,48%. Data ekspor dan impor tahun 2019 menggunakan



Pusat Data dan Informasi Pertanian



69



realisasi hingga bulan April 2019 yang bersumber dari BPS, sementara untuk bulan Mei s.d Desember diasumsikan data rata-rata tahun 2017 dan 2018. Cakupan kode HS yang digunakan untuk data ekspor impor daging sapi adalah : Kode HS '02011000



Deskripsi



'02012000



Karkas dan setengah karkas dari lembu segar atau dingin Potongan daging lainnya, bertulang dari lembu



'02013000



Daging tanpa tulang dari lembu



'02021000



Karkas dan setengah karkas dari lembu, beku



'02022000



Potongan daging lainnya, bertulang



'02023000



Daging tanpa tulang



'02102000



Daging binatang jenis lembu diasinkan dlm air garam, dikeringkan atau diasapi Daging, sisa daging atau darah lainnya yang diolah atau diawetkan dari binatang jenis lembu



'16025000



Perkembangan volume impor daging sapi di Indonesia periode 2014 – 2018 mengalami kenaikan yaitu dari 76,89 ribu ton (2014) menjadi 164,26 ribu ton (2018) atau rata-rata meningkat sebesar 34,40% per tahun. Kenaikan volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu sebesar 116,76 ribu ton dari 50,31 ribu ton pada tahun 2015 atau meningkat sebesar 132,09%. Pada periode tersebut, impor terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu sebesar 164,26 ribu ton. Sementara volume ekspor daging sapi Indonesia masih sangat kecil, pada periode tahun 2014-2018 rata-rata volume ekspor hanya sebesar 13 ton per tahun dengan rata-raa peningkatan pertumbuhan sebesar 79,75%. Pada tahun 2014 volume ekspor hanya sebesar 3 ton menjadi sebesar 29 ton pada tahun 2017 dan turun kembali menjadi sebesar 14 ton tahun 2018. Komponen penggunaan daging sapi di Indonesia hanya terdiri dari penggunaan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung. Penggunaan daging sapi untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan, tetapi untuk tahun 2017 – 2019 diasumsikan menggunakan tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging sebesar 58,91% (sumber Susenas, BPS). Dengan asumsi tersebut tahun 2014-2018, penggunaan daging sapi untuk konsumsi langsung mengalami peningkatan, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,29% per tahun. Peningkatan penggunaan daging sapi ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Untuk Tahun 2019 diprediksi akan mengalami kenaikan dari 389,04 ribu ton tahun 2018 menjadi 402,53 ribu ton tahun 2019. Secara rinci penyediaan dan penggunaan daging sapi tahun 2014 – 2019 dapat dilihat pada Tabel 9.4.



70



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Neraca daging sapi Indonesia selama periode 2014 - 2019 menunjukkan terjadinya surplus yang dikarenakan meningkatnya impor dan penggunaan asumsi tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging. Tabel 9.4 Penyediaan dan penggunaan daging sapi, 2014 - 2019 No. A.



Uraian PENYEDIAAN DAGING SAPI - Produksi Daging Sapi (karkas + jeroan) Ton



B



Tahun 2014



2015



2016



2017



2018*)



2019**)



574,555



556,963



635,231



604,938



660,549



588,409



497,670



506,661



518,484



486,320



496,302



429,412



- Impor (Ton)



76,887



50,309



116,761



118,647



164,261



159,012



- Ekspor (Ton)



3



7



15



29



14



15



307,907



454,220



486,987



355,658



389,044



402,529



307,907



454,220



486,987



355,658



389,044



402,529



266,648



102,743



148,243



249,280



271,505



185,880



252,165



255,588



258,497



261,356



264,162



266,912



1.35



1.36



1.14



1.11



1.07



1.04



1.78



1.88



2.31



2.50



2.56



PENGGUNAAN DAGING SAPI - Konsumsi Langsung (Konsumsi RT dan di Luar RT x Jumlah penduduk) Neraca (D-E) Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) - Kenaikan jumlah penduduk (%), rata-rata 1,63%



- Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun 1.22 Keterangan : *) Angka Sementara, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan



**) Produksi daging sapi tahun 2019 sebesar 429.412 ton (Potensi produksi Ditjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan,2019) **) Ekspor-Impor bulan Januari-April 2019 data realisasi BPS, ditambah Mei-Desember diasumsikan rata-rata tahun 2017 dan 2018, Tingkat konsumsi kg/kapita/tahun, data 2017, 2018 dan 2019 bersumber dari prognosa BKP. Tahun 2017 - 2019 diasumsikan tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging sebesar 58.91% (Susenas 2018, BPS)



9.3. Penyediaan Total Domestik Daging Sapi beberapa Negara di Dunia Menurut data USDA, negara penyedia terbesar daging sapi selama periode tahun 2014 - 2019 masih negara Amerika Serikat dimana mencapai 11,79 juta ton per tahun atau sebesar 20,05% sharenya terhadap total penyediaan daging sapi dunia. Negara terbesar berikutnya adalah Brazil, China, Argentina dan India dengan rata-rata total penyediaan daging sapi berkisar antara 2,42 - 7,83 juta ton. Negara berikutnya adalah Rusia, Meksiko, Pakistan, Turki dan Jepang dengan rata-rata total penyediaan daging sapi masing-masing di bawah 2 juta ton. Sementara Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berdasarkan data Neraca Bahan Makanan rata-rata penyediaan sebesar 582 ribu ton atau sekitar 0,99% dari total penyediaan dunia (Tabel 9.5 dan Gambar 9.3).



Pusat Data dan Informasi Pertanian



71



Tabel 9.5. Negara dengan penyediaan daging sapi terbesar di dunia, 2013 – 2018 No.



Negara



1



Amerika Serikat



2



Brazil



3



China



4



Argentina



5



India



6



Rusia



7



Meksiko



8



Pakistan



9



Turki



10



Jepang Indonesia Negara Lainnya



Total Dunia



2014 11,241 7,896 6,544 2,503 2,018 2,297 1,839 1,627 1,247 1,225 575 18,985 57,997



Total Ketersediaan (000 Ton) 2015 2016 2017 2018 11,275 11,676 12,052 12,179 7,781 7,652 7,750 7,865 6,808 6,928 7,313 7,910 2,534 2,434 2,547 2,544 2,294 2,436 2,401 2,744 1,967 1,849 1,800 1,805 1,797 1,809 1,841 1,872 1,636 1,685 1,722 1,741 1,455 1,495 1,424 1,496 1,186 1,215 1,278 1,323 557 635 605 661 18,005 18,104 17,946 18,118 57,295 57,918 58,679 60,258



2019 12,323 8,035 8,240 2,445 2,640 1,827 1,905 1,761 1,458 1,360 461 18,293 60,748



Rata-rata 11,791 7,830 7,291 2,501 2,422 1,924 1,844 1,695 1,429 1,265 582 18,242 58,816



Share Kumulatif (%) (%) 20.05 20.05 13.31 33.36 12.40 45.76 4.25 50.01 4.12 54.13 3.27 57.40 3.13 60.53 2.88 63.41 2.43 65.84 2.15 67.99 0.99 68.98 31.02 100.00 100.00



Sumber : USDA diolah Pusdatin



Gambar 9.3. Negara dengan penyediaan daging sapi terbesar di dunia, rata-rata 2014 – 2019



72



Pusat Data dan Informasi Pertanian



BAB X. DAGING AYAM



D



aging ayam merupakan salah satu sumber bahan pangan hewani, yang mengandung gizi yang cukup tinggi berupa protein dan energi. Daging ayam mengandung protein 18,2 gram, energi sebesar 302 kilo kalori, karbohidrat 0 gram,



lemak 25 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 200 miligram, dan zat besi 2 miligram. Selain itu di dalam daging ayam juga terkandung vitamin A sebanyak 810 IU, vitamin B1 0,08 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut diperoleh dari penelitian terhadap 100 gram daging ayam, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 58% (sumber : www.organisasi.org). Setiap 100 gram daging ayam mengandung 74 persen air, 22 persen protein, 13 miligram zat kalzium, 190 miligram zat fosfor dan 1,5 miligram zat besi. Daging ayam kaya akan vitamin A, terutama ayam kecil. Selain itu, daging ayam juga mengandung vitamin C dan E. Kadar lemak dalam daging ayam tergolong rendah dan termasuk asam lemak tidak jenuh, sehingga sangat ideal bagi anak kecil, orang setengah baya dan orang lanjut usia, penderita penyakit pembuluh darah jantung dan orang yang lemah pasca sakit. Daging ayam lebih unggul daripada daging sapi, kambing dan babi. Daging ayam lebih digemari masyarakat daripada daging-dagingan lainnya, karena harga yang relatif terjangkau dan mudah diperoleh serta mudah diolah menjadi berbagai macam masakan. Produksi daging ayam di Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2018 (angka sementara) sebesar



3,87 juta ton, dengan



produksi sebesar 3,28 juta ton daging ayam ras dan 300,12 ribu ton daging ayam bukan ras/kampung. Sementara itu konsumsi daging ayam dalam rumah tangga pada tahun 2018 mencapai 1,37 juta ton.



10.1. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Daging Ayam dalam Rumah Tangga di Indonesia Konsumsi perkapita daging ayam menurut SUSENAS, dirinci menjadi daging ayam ras pedaging dan ayam bukan ras (ayam buras). Perkembangan konsumsi daging ayam ras di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2021 pada umumnya mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat dengan peningkatan 5,79% per tahun, begitu juga untuk konsumsi daging ayam buras pada periode tersebut mengalami peningkatan rata-rata 0,64% per tahun. Peningkatan terbesar untuk daging ayam ras dan buras terjadi di tahun 2007 dimana konsumsi dalam rumah tangga naik masing-masing sebesar 37,5% dan 30%



Pusat Data dan Informasi Pertanian



73



dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan konsumsi daging ayam ras rumah tangga terjadi di tahun 2004, 2006, 2008, 2009, 2012 dan 2018 dengan penurunan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu 17,24%. Konsumsi daging ayam ras tahun 2019 hingga 2021 diprediksikan akan mengalami penurunan hingga menjadi sebesar 7,35 kg/kapita pada tahun tahun 2021. Rata-rata



konsumsi



daging



ayam



buras



periode



2002–2018



sebesar



0,647



kg/kap/tahun. Penurunan konsumsi daging ayam buras rumah tangga terjadi di tahun 2005, 2006, 2008, 2009, 2012, 2013 dan 2018 dengan penurunan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu 33,33%. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2019 hingga 2021 memperlihatkan



bahwa



konsumsi



daging



ayam



buras



perkapita



mengalami



sedikit



peningkatan. Konsumsi daging ayam buras hingga tahun 2021 diprediksikan akan mengalami peningkatan 8,42 kg/kapita/tahun



Tabel 10.1. Perkembangan konsumsi daging ayam dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2018 serta prediksi 2019 – 2021 (Kg/Kapita) Konsumsi seminggu Konsumsi setahun Tahun Daging ayam Daging ayam Daging ayam Pertumbuhan Daging ayam Pertumbuhan ras buras ras (%) buras (%) 2002 0,0490 0,0140 2,5550 0,7300 2003 0,0590 0,0160 3,0764 20,41 0,8343 14,29 2004 0,0530 0,0170 2,7636 -10,17 0,8864 6,25 2005 0,0580 0,0150 3,0243 9,43 0,7821 -11,76 2006 0,0480 0,0100 2,5029 -17,24 0,5214 -33,33 2007 0,0660 0,0130 3,4414 37,50 0,6779 30,00 2008 0,0620 0,0110 3,2329 -6,06 0,5736 -15,38 2009 0,0590 0,0100 3,0764 -4,84 0,5214 -9,09 2010 0,0680 0,0120 3,5457 15,25 0,6257 20,00 2011 0,0700 0,0120 3,6500 2,94 0,6257 0,00 2012 0,0670 0,0100 3,4936 -4,29 0,5214 -16,67 2013 0,0700 0,0090 3,6500 4,48 0,4693 -10,00 2014 0,0765 0,0096 3,9880 9,26 0,4992 6,37 2015 0,0915 0,0116 4,7728 19,68 0,6027 20,73 2016 0,0980 0,0120 5,1100 7,07 0,6257 3,82 2017 0,1090 0,0150 5,6836 11,22 0,7821 25,00 2018 0,1068 0,0140 5,5689 -2,02 0,7300 -6,67 Rata-rata 0,07122 0,01242 3,71385 5,79 0,64759 1,47 2019*) 0,1181 0,01510 6,1560 65,76 0,7876 21,62 2020*) 0,1268 0,01633 6,6130 7,42 0,8516 8,13 2021*) 0,1362 0,01771 7,0993 7,35 0,9233 8,42 Sumber: Susenas, BPS Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin



74



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 10.1. Perkembangan konsumsi daging ayam ras dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2018 dan prediksi tahun 2019 - 2021



Gambar 10.2. Perkembangan konsumsi daging ayam buras dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2018 dan prediksi tahun 2019 - 2021 Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi daging ayam bagi penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan baik untuk daging ayam ras



Pusat Data dan Informasi Pertanian



75



maupun daging ayam buras. Peningkatan rata-rata pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi daging ayam ras pada periode 2014 - 2018 sebesar 10,75%, yakni dari Rp. 110.208 ribu/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 165.292 ribu/kapita pada tahun 2018. Sementara pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi daging ayam buras pada periode yang sama meningkat 13,13%, yakni dari Rp. 19.417 ribu/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 31,181 ribu/kapita pada tahun 2018. Dalam rangka mendorong peningkatan konsumsi protein hewani di masyarakat, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menyelenggarakan kompetisi pemilihan Duta Ayam dan Telur periode 2018 –2021. Duta ayam yang terpilih selama 3 tahun ke depan akan menjadi ikon bidang perunggasan yang dapat diharapkan dapat mengajak dan mempengaruhi masyarakat Indonesia supaya gemar mengkonsumsi daging dan telur ayam.



Tabel 10.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi daging ayam ras dan buras dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 - 2018 No.



Uraian



Rata-rata Pertumb.



Pengeluaran (Rupiah/kapita) 2014



2015



2016



2017



2018



(%)



Daging ayam ras 1



Nominal



2



IHK



3



Riil



110.208,38



128.584,29



117,77



124,99



93.579,33



102.878,40



145.217,86 132,35



157.636,86 134,09



109.721,91



165.292,86 143,60



10,75 5,11



117.563,41



115.106,45



5,41



28.000,71



32.448,17



31.181,43



13,13



132,35



134,09



143,60



5,11



21.156,43



24.199,40



21.714,09



7,75



Daging ayam buras 1



Nominal



2



IHK



3



Riil



19.417,33



24.663,57



117,77



124,99



16.487,50



19.732,44



Sumber : BPS diolah Pusdatin-Kementan Keterangan : IHK Kelompok Daging dan Hasil-hasilnya



76



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 10.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi daging ayam ras dalam rumah tangga di Indonesia, 2014-2018



Gambar 10.3. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi daging ayam buras dalam rumah tangga di Indonesia, 2014-2018



Pusat Data dan Informasi Pertanian



77



10.2. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam di Indonesia Penyusunan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam didasarkan atas beberapa data dan asumsi. Perhitungan penyediaan daging ayam merupakan penjumlahan dari angka produksi ditambah impor dan dikurangi ekspor. Produksi daging ayam merupakan penjumlahan produksi daging ayam ras pedaging dan ayam ras petelur. Penggunaan daging ayam adalah untuk konsumsi langsung, tercecer serta sebagai bahan baku industri pengolahan daging ayam. Konsumsi langsung dihitung berdasarkan penjumlahan data konsumsi rumah tangga hasil Susenas daging ayam ras dikalikan dengan jumlah penduduk. Sementara besaran konversi daging ayam yang tercecer sebesar 5% terhadap penyediaan menggunakan faktor konversi yang digunakan pada perhitungan Neraca Bahan Makanan Nasional.



Tabel 10.3. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam Ras di Indonesia, 2014 – 2019 No. I



Uraian



Satuan



PENYEDIAAN



2014



2015



2016



2017



2018



2019*)



1.642.697 1.731.524 2.016.226 3.286.132 3.565.398 3.647.493



1 Produksi daging ayam ras (pedaging + petelur) 2 Impor 3 Ekspor II PENGGUNAAN 1 Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) Konsumsi Luar Rumah Tangga 2 Penggunaan lainnya III NERACA (I-II)



Ton Ton Ton Ton



Keterangan - Jumlah Penduduk - Tingkat konsumsi daging ayam ras - Tingkat Konsumsi Daging Luar Rumah Tangga



Tahun



Jiwa kg/kapita



1.641.574 1.731.111 2.015.779 3.286.190 3.565.495 3.647.805 1.123 417 456 254 304 250 0 4 8 312 401 563 1.131.516 1.219.257 1.321.983 3.229.115 3.267.638 3.251.767 1.131.516 1.219.257 1.321.983 1.453.494 1.372.779 1.493.186 0 0 0 1.775.620 1.894.859 1.758.581 0 0 0 0 511.182 512.266 694.244 57.017 297.760 395.726 252.164.800 255.461.700 258.705.000 261.890.900 265.015.300 268.076.400 3,99 0,00



4,77 0,00



5,11 0,00



5,55 6,78



5,18 7,15



5,57 6,56



Sumber : Data produksi dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Data ekspor, impor dan konsumsi langsung dari BPS Keterangan : *) Angka sementara



Perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam ras di Indonesia tahun 2014 – 2019 tersaji pada Tabel 10.3. Penyediaan daging ayam ras di Indonesia dari tahun terus mengalami peningkatan dengan laju rata-rata sebesar 1,39%. Peningkatan penyediaan daging ayam tersebut lebih dikarenakan meningkatnya produksi dalam negeri. Kebutuhan daging ayam untuk konsumsi langsung juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun karena meningkatnya jumlah penduduk dan juga tingkat konsumsi per kapita yang mengalami peningkatan sebesar 1,96%. Daging ayam ras untuk konsumsi langsung mencapai 1,13 juta ton pada tahun 2014 dan terus meningkat hingga tahun 2019 diprediksikan mencapai 1,49 juta ton.



78



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam buras di Indonesia tahun 2014 – 2019 tersaji pada Tabel 10.4. Perkembangan produksi daging ayam buras di Indonesia periode 2014-2019 berfluktuatif namun cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,86% per tahun. Tahun 2019 produksi daging sebesar 342,11 ribu ton. Peningkatan penyediaan daging ayam tersebut lebih dikarenakan meningkatnya produksi dalam negeri. Tahun 2019 kebutuhan daging ayam untuk konsumsi mengalami peningkatan. Penggunaan daging ayam buras untuk konsumsi langsung mencapai mengalami peningkatan. Tabel 10.4. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam Buras di Indonesia, 2014 – 2019 No. I



Uraian



Satuan



PENYEDIAAN



1 Produksi daging ayam buras 2 Impor 3 Ekspor II PENGGUNAAN 1 Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) Konsumsi Luar Rumah Tangga 2 Penggunaan lainnya III NERACA (I-II) Keterangan - Jumlah Penduduk - Kenaikan jumlah penduduk - Tingkat konsumsi daging ayam buras



Ton Ton Ton Ton



Jiwa % kg/kapita



Tahun 2014



2015



2016



2017



2018



297,653



299,773



284,988



300,129



313,807



342,110



297,653 0 0 125,872 125,872 0



299,773 0 0 154,034 154,034 0



284,988 0 0 161,745 161,745 0



300,129 0 0 162,246 162,246 0



313,807 0 0 140,000 140,000 0



342,110 0 0 163,018 163,018 0



171,781



145,739



123,243



137,883



173,807



179,092



252,164,800



255,587,900



258,496,500



261,355,500



264,161,600



266,911,900



1.35 0.50



1.31 0.60



1.27 0.63



1.23 0.62



0.53



0.61



2019*)



Sumber : Data produksi dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Data ekspor, impor dan konsumsi langsung dari BPS Keterangan : *) Produksi 2019 merupakan Angka Sementara Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan



10.3. Penyediaan Daging Ayam Broiler di beberapa negara di Dunia Menurut data USDA, rata-rata total penyediaan konsumsi daging daging ayam broiler dunia periode tahun 2011 – 2015 mencapai 83,41 juta ton. Pada periode ini total penyediaan daging ayam broiler dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Lima negara dengan total penyediaan daging ayam broiler terbesar di dunia secara rinci tersaji pada Tabel 9.4. Lima negara tersebut adalah Iraq, Korea, Chile, Guatemala dan Belarus. Rata-rata total penyediaan daging ayam broiler di Iraq pada periode tahun 2014 2018 mencapai 843 ribu ton per tahun atau 14,48% dari total penyedian daging ayam broiler dunia. Korea menempati urutan ke-2 dengan rata-rata total penyediaan sebesar 765 ribu ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 13,14%. Negara berikutnya adalah Chile yang memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia sekitar 10,91%. Negara berikutnya adalah Guatemala dan Belarus yang memiliki rata-rata total penyediaan masing-masing sebesar 636 ribu ton dan 344 ribu ton. Pada periode yang sama, penyediaan



Pusat Data dan Informasi Pertanian



79



daging ayam broiler di Indonesia hanya 1,58 juta ton menempati urutan ke-11 dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 1,88%. Tabel 10.5. Negara dengan penyediaan daging ayam broiler terbesar di dunia, 2014 – 2018 No



Negara



Iraq Korea, South Chile Guatemala Belarus Kazakhstan Hong Kong Angola Jordan Iran Cuba Ghana Lainnya Total dunia Sumber : USDA diolah Pusdatin Ket : 2018 angka sementara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 13 15



2014



837 895 567 295 339 293 309 400 319 834.00 219 140 3,260 8,707



2015



793 963 606 333 335 306 320 261 314 0.00 258 154 2,952 7,595



2016



846 991 646 351 337 343 352 244 293 0.00 264 127 2,957 7,751



2017



2018



851 976 670 363 334 345 298 304 300 0.00 309 182 2,973 7,905



890 1.02 690 378 335 354 357 340 310 0.00 381 209 3,004 7,249



Rata-rata Share (%) 2013-2018 843 765 636 344 336 328 327 310 307 167 286 162 1,013 5,826



14.48 13.14 10.91 5.90 5.77 5.63 5.62 5.32 5.27 2.86 4.91 2.79 17.40 100.00



Share kumulatif (%) 14.48 27.61 38.53 44.43 50.20 55.83 61.45 66.77 72.04 74.90 79.82 82.60 100.00



Gambar 10.4. Negara dengan penyediaan daging unggas terbesar di dunia, share terhadap rata-rata 2014 – 2018



80



Pusat Data dan Informasi Pertanian



10.4. Konsumsi Daging Ayam Ras Per Provinsi



Produk daging ayam merupakan sumber protein hewani yang relatif lebih murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Hal ini menjadi salah satu faktor tingginya partisipasi konsumen terhadap produk ini. Untuk konsumsi daging ayam ras tahun 2014 -2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Riau sebesar 31,97 kg/kap/th dengan pertumbuhan 355,13% Sedangkan konsumsi terendah untuk daging ayam ras di Provinsi Maluku Utara, sebesar 0,74 kg/kap/th dengan pertumbuhan mengalami penurunan 5,76%. (Tabel 10.5).



Tabel. 10.5 Konsumsi Daging Ayam Ras Per Provinsi 2014 -2018 Konsumsi setara daging ayam ras (kg/kapita/tahun) No



2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



Rata-rata



Provinsi



ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA INDONESIA



1.64 3.22 4.54 6.74 5.71 4.39 3.77 1.96 5.91 8.94 7.30 5.20 3.17 4.58 3.20 5.73 6.08 1.65 0.83 5.31 7.71 5.83 6.11 0.95 0.67 1.51 0.42 0.63 0.88 1.25 0.48 2.25 2.68 3.99



2015



2016



2.41 3.92 5.99 8.05 6.63 5.43 4.74 2.43 9.18 8.70 7.46 6.09 3.96 5.04 3.90 6.70 6.86 2.64 1.12 5.67 8.04 6.28 7.78 3.99 1.88 1.10 2.73 1.06 1.25 0.82 1.59 0.69 2.20 3.76 4.77



2.59 3.93 5.57 8.11 6.38 5.44 4.35 2.71 7.97 9.97 9.08 6.95 4.37 5.66 4.11 6.92 7.86 2.34 1.14 5.80 8.51 6.43 7.57 4.50 2.12 1.17 2.70 1.08 1.54 0.92 1.67 0.80 2.75 3.46 5.13



2017 3.05 4.37 6.13 8.46 7.12 127.75 5.06 3.47 9.71 9.88 7.60 4.91 4.63 7.89 4.63 7.89 7.15 3.04 1.43 6.68 9.10 6.57 8.81 5.42 2.56 59.92 3.03 69.71 1.65 0.91 1.87 0.98 3.22 4.96 5.67



2018



3.08 4.92 6.12 128.51 6.64 5.48 5.25 3.02 9.25 9.59 9.06 7.34 4.77 5.88 4.35 7.81 8.23 3.24 1.47 6.75 9.30 6.94 9.26 6.18 2.00 1.38 99.61 1.44 1.35 1.09 1.65 0.72 3.50 4.77 5.57



2014-2018



2.55 4.07 5.67 31.97 6.50 29.70 4.63 2.72 8.40 9.42 8.10 6.10 4.18 5.81 4.04 7.01 7.23 2.58 1.20 6.04 8.53 6.41 7.91 5.02 1.90 12.85 21.91 14.74 1.28 0.92 1.61 0.74 2.78 3.93 5.03



Laju Pertumb. (%) 0.95 3.45 0.31 355.13 -1.43 -1.20 1.31 -2.64 -0.53 -0.62 4.90 12.37 1.18 -5.75 -1.09 0.08 3.96 2.45 1.28 0.53 0.72 1.52 1.69 0.00 -4.11 26.42 798.64 40.43 -3.34 5.24 -2.56 -5.76 2.57 -0.18 -0.08



Sumber : BPS diolah Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



81



Gambar 10.5. Provinsi dengan konsumsi setara dengan daging ayam ras 2014 – 2018



10.5. Konsumsi Daging Ayam Buras Per Provinsi



Ayam kampung merupakan salah satu jenis ayam buras paling populer di Indonesia. Jenis ini dipelihara untuk diambil daging dan telurnya. Ayam kampung dipercaya berasal dari domestikasi ayam hutan oleh petani lokal. Untuk konsumsi daging ayam buras tahun 2014 -2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 2,48 kg/kap/th dengan pertumbuhan 212,26% Sedangkan konsumsi terendah untuk daging ayam buras di Provinsi Jambi, sebesar 0,93 kg/kap/th dengan pertumbuhan mengalami penurunan 0,04%. (Tabel 10.6).



82



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Tabel. 10.6 Konsumsi Daging Ayam Buras Per Provinsi 2014 -2018 Konsumsi setara daging ayam buras (kg/kapita/tahun) No



2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34



Rata-rata



Provinsi



ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN Utara SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA INDONESIA



0.44 0.44 0.61 0.57 0.71 0.61 0.74 1.28 0.47 0.57 0.44 0.37 0.51 0.42 0.44 0.26 0.44 0.65 1.00 0.81 0.58 0.44 0.31 0.42 0.40 0.32 0.34 1.28 0.66 0.38 0.24 0.35 0.86 0.50



2015



2016



0.74 0.66 0.76 0.86 0.83 0.81 0.87 1.27 0.99 0.62 0.31 0.42 0.63 0.68 0.50 0.46 0.47 0.95 0.98 0.84 0.76 0.56 0.51 0.34 0.60 0.76 0.49 0.62 1.10 0.61 0.30 0.29 0.55 0.57 0.60



0.83 0.61 0.69 0.81 0.94 0.82 0.90 1.82 0.71 0.40 0.41 0.54 0.55 0.77 0.50 0.45 0.56 0.97 1.16 0.75 0.95 0.64 0.83 0.49 0.53 0.67 0.70 0.88 1.44 0.61 0.29 0.30 0.61 0.47 0.65



2017 0.90 0.81 0.71 1.05 1.11 2.61 1.12 2.04 0.98 0.37 0.61 0.67 6.44 0.82 0.67 0.57 0.42 1.16 1.51 1.02 0.99 0.53 0.59 0.66 1.02 3.93 0.74 3.14 1.69 0.65 0.60 0.43 0.40 0.59 0.78



2018



0.63 0.85 0.71 4.08 1.08 1.20 1.09 1.63 9.25 0.38 0.55 0.49 0.66 0.78 0.59 0.59 0.68 1.42 1.25 0.92 0.85 0.48 0.72 0.43 0.51 0.74 2.58 0.69 1.76 0.67 0.30 0.35 0.40 0.55 0.72



2014-2018



0.71 0.67 0.70 1.47 0.93 1.21 0.94 1.61 2.48 0.47 0.46 0.50 1.76 0.69 0.54 0.47 0.52 1.03 1.18 0.87 0.83 0.53 0.59 0.48 0.61 1.30 0.97 1.13 1.46 0.64 0.37 0.32 0.46 0.61 0.65



Laju Pertumb. (%) -6.59 2.17 0.34 73.36 -0.04 -11.02 -0.27 -4.56 212.26 0.25 -1.97 -6.08 -11.61 -0.21 -2.34 1.98 15.15 6.19 -3.75 -2.27 -2.92 -2.11 6.72 0.00 -11.30 -14.64 62.98 -15.65 1.35 0.89 -11.76 -3.77 0.05 -2.00 -1.45



Sumber : BPS diolah Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



83



Gambar 10.6. Provinsi dengan konsumsi daging ayam buras 2014 – 2018



84



Pusat Data dan Informasi Pertanian



BAB XI. GULA PASIR Gula merupakan suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula atau aren.



Gula pasir adalah bahan makanan dan



minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Gula pasir mengandung energi sebesar 364 kilokalori, protein 0 gram, karbohidrat 94 gram, lemak 0 gram, kalsium 5 mg, fosfor 1 mg dan zat besi 0 mg. Selain itu di dalam gula pasir juga terkandung vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C. Selain gula pasir di Indonesia juga dikenal “Gula Kristal Rafinasi”, dalam perdagangan dunia mempunyai nama internasional yaitu “White Sugar”. Jenis gula tersebut di perdagangkan pada bursa gula internasional di London. Gula Kristal Rafinasi atau White Sugar dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai gula meja atau digunakan sebagai bahan



baku



pada



industri



makanan,



minuman



dan



industri



farmasi



(http://www.agrirafinasi.org/tentang-gula/rahasia-gula). Manfaat gula untuk tubuh manusia antara lain gula merupakan sumber energi yang instan, dapat meningkatkan kemampuan otak, sebagai obat depresi, dapat menyembuhkan luka dengan cepat dari obat-obatan dan bagi penderita tekanan darah rendah gula baik untuk dikonsumsi. Gula memang tidak mengandung zat gizi lain, seperti protein, vitamin atau mineral, juga tidak mengandung serat. Tetapi sebagai bagian dari karbohidrat, gula adalah sumber kalori penghasil energi (sebagai pemberi tenaga) untuk aktivitas dan menjaga proses metabolisme tubuh, serta pertumbuhan sel-sel tubuh. 11.1. Perkembangan dan Prediksi di Indonesia



Konsumsi Gula Pasir Dalam Rumah Tangga



Perkembangan konsumsi gula pasir di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2018 pada umumnya mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan 1,7% per tahun. Penurunan terbesar untuk gula pasir terjadi di tahun 2012 dimana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 12,29% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga terjadi di tahun 2007, tahun 2013, tahun 2015 dan tahun 2016. Peningkatan pertumbuhan konsumsi terbesar terjadi pada



tahun 2016



yaitu 9,72% dengan konsumsi gula pasir sebesar 7,47 kg/kapita/tahun. Sedangkan untuk



Pusat Data dan Informasi Pertanian



85



konsumsi gula pasir dalam rumah tangga tahun 2018 menurun sebesar 1,75% dengan konsumi sebesar 6,83 kg/kapita/tahun. Prediksi tahun 2019 untuk gula pasir mengalami penurunan sebesar 3,43% dengan kebutuhan Konsumsi gula pasir sebesar 6,59 kg/kapita/tahun. Tahun 2019 dan 020 diprediksi relatif turun sebesar 1,34% dan 1,36%, ini memperlihatkan bahwa konsumsi gula pasir perkapita belum ada peningkatan dan cenderung mengalami penurunan semenjak tahun 2017. Tabel 11.1. Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 -2018 serta prediksi 2019- 2021



Tahun



Konsumsi (ons/kapita/minggu)



(kg/kapita/tahun)



2002 1.765 9.203 2003 1.739 9.068 2004 1.712 8.927 2005 1.704 8.885 2006 1.541 8.035 2007 1.654 8.624 2008 1.617 8.432 2009 1.516 7.905 2010 1.475 7.691 2011 1.416 7.383 2012 1.242 6.476 2013 1.275 6.648 2014 1.229 6.409 2015 1.305 6.805 2016 1.432 7.467 2017 1.333 6.949 2018 1.309 6.827 rata-rata 1.486 7.749 2019*) 6.593 1.296 2020*) 6.605 1.299 2021*) 6.636 1.305 Sumber: SUSENAS, BPS Keterangan : *) Angka prediksi Pusdatin, Kementan



86



Pertumbuhan (%) -1.47 -1.55 -0.47 -9.57 7.33 -2.24 -6.25 -2.70 -4.00 -12.29 2.66 -3.59 6.17 9.72 -6.94 -1.75 -1.683 -3.43 0.19 0.47



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 11.1.



Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2021



Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi gula pasir bagi penduduk Indonesia, maka tahun 2014 – 2018 secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 2,04%, yakni dari Rp. 83.154,52-/kapita/tahun pada tahun 2014 menjadi Rp. 89.694,87/kapita/tahun pada tahun 2018. Sebaliknya setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi gula secara riil mengalami penurunan sebesar 2,03%. Pengeluaran Nominal gula pasir untuk tahun 2018 sebesar Rp 89.694,87/kapita/tahun, Sedangkan pengeluaran riil sebesar Rp.70.371,45/kapita/tahun. IHK untuk konsumsi gula pasir dimasukkan ke dalam kelompok minuman yang tidak beralkohol. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita gula penduduk Indonesia terjadi tendensi penurunan. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014-2018 secara rinci tersaji pada Tabel.11.2 dan Gambar.11.2.



Pusat Data dan Informasi Pertanian



87



Tabel 11.2. No.



Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi gula pasir, 2014 – 2018



1



Nominal



2



IHK



3



Riil



Rata-rata Pertumb.



Pengeluaran (Rupiah/kapita)



Uraian 2014



2015



2016



2017



2018



83,154.52



81,453.45



89,372.86



92,698.35



89,694.87



108.39 76,717.89



115.15 70,738.36



122.44 72,991.70



125.29 73,987.52



127.46 70,371.45



(%) 2.04 4.16 -2.03



Sumber : BPS diolah Pusdatin-Kementan Keterangan : IHK Kelompok Minuman yang tidak beralkohol



Gambar 11.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil dalam rumah tangga untuk konsumsi gula pasir di Indonesia, 2014 – 2018



88



Pusat Data dan Informasi Pertanian



11.2. Perkembangan Konsumsi Gula Pasir dalam rumah tangga Per Provinsi. Pada Periode tahun 2014-2018 perkembangan rata-rata konsumsi gula pasir di Indonesia tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah masingmasing sebesar 10,88 Kg/kapita/tahun dan 10,69 Kg/kapita/tahun. Sedang untuk rata-rata konsumsi gula putih terendah di Provinsi Jawa barat sebesar 3,32 Kg/kapita/tahun, Secara nasional konsumsi gula putih sebesar 6,89 Kg/kapita/tahun. Apabila di lihat dari Laju pertumbuhan tahun 2014-2018 adalah Provinsi Papua yang tertinggi yaitu 12,39% dan Provinsi Kalimantan Barat adalah laju pertumbuhan yang terendah dari tahun 2014-2018 sebesar 0.02%. Secara rinci tersaji pada tabel 11.3 dan Gambar 11.3. Tabel 11.3. Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga Per Provinsi, 2014-2018 No



Provinsi



2014 1 ACEH 8.058 2 SUMATERA UTARA 8.080 3 SUMATERA BARAT 6.765 4 RIAU 8.681 5 JAMBI 8.211 6 SUMATERA SELATAN 9.708 7 BENGKULU 7.570 8 LAMPUNG 6.898 9 KEP. BANGKA 9.148 10 BELITUNG KEPULAUAN RIAU 9.110 11 DKI JAKARTA 4.282 12 JAWA BARAT 2.748 13 JAWA TENGAH 6.420 14 D I YOGYAKARTA 6.700 15 JAWA TIMUR 8.086 16 BANTEN 3.722 17 BALI 4.616 18 NUSA TENGGARA 4.818 19 BARAT NUSA TENGGARA 5.778 20 TIMUR KALIMANTAN BARAT 9.965 21 KALIMANTAN TENGAH 11.027 22 KALIMANTAN SELATAN 10.463 23 KALIMANTAN TIMUR 8.117 24 KALIMANTAN UTARA 25 SULAWESI UTARA 8.897 26 SULAWESI TENGAH 8.220 27 SULAWESI SELATAN 7.497 28 SULAWESI TENGGARA 7.073 29 GORONTALO 8.405 30 SULAWESI BARAT 8.073 31 MALUKU 8.100 32 MALUKU UTARA 9.421 33 PAPUA BARAT 7.853 34 PAPUA 4.739 Indonesia



Konsumsi Pertumbuhan (kg/kapita/tahun) Rata2 2014 - 2018 2015 2016 2017 2018 % 8.329 9.347 8.851 8.851 8.687 2.57 8.082 9.029 8.890 8.810 8.578 2.33 7.069 7.778 7.166 6.825 7.121 0.48 10.037 9.271 8.854 8.914 9.151 1.04 8.136 9.141 8.981 8.871 8.668 2.12 9.541 9.731 9.643 9.821 9.689 0.30 6.958 8.238 7.813 7.585 7.633 0.56 7.086 7.718 7.707 7.537 7.389 2.33 8.709 9.691 9.426 9.085 9.212 0.03 10.116 9.999 8.752 8.441 9.284 -1.53 4.565 5.533 4.995 5.272 4.929 5.91 3.172 3.985 3.419 3.284 3.322 5.72 6.926 7.779 7.058 7.194 7.075 3.21 7.562 8.100 7.688 7.299 7.470 2.46 8.171 9.213 8.379 8.033 8.376 0.15 4.869 5.144 4.495 4.031 4.452 3.38 4.898 5.189 5.005 4.770 4.896 0.95 6.022 5.887 5.756 5.726 5.642 5.00 6.700 7.567 6.782 6.632 6.692 4.08 11.016 10.934 9.917 9.874 10.341 0.02 10.479 11.359 10.179 10.451 10.699 -1.07 11.679 11.350 10.672 10.255 10.884 -0.27 7.387 8.301 8.685 8.436 8.185 1.29 9.884 10.176 9.448 9.107 9.654 -2.60 8.484 9.457 9.321 9.162 9.064 0.92 8.506 9.060 8.671 8.452 8.582 0.79 7.764 8.492 8.063 7.971 7.957 1.69 7.349 7.310 6.991 6.934 7.132 -0.45 8.916 9.040 8.190 7.582 8.427 -2.34 8.163 8.514 7.898 7.745 8.079 -0.94 8.070 8.395 8.084 8.067 8.143 -0.06 9.499 8.866 8.490 9.077 9.070 -0.79 8.109 8.293 9.130 9.006 8.479 3.57 6.858 5.942 7.212 6.981 6.346 12.39



6.409 6.805 7.466 6.949 6.827



6.891



1.80



Sumber: BPS, diolah Pusdatin



Pusat Data dan Informasi Pertanian



89



Gambar. 11.3. Perkembangan rata-rata konsumsi gula pasir dalam rumah tangga, Tahun 2014-2018 11.3. Neraca Gula Penyediaan gula pasir di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah stok awal dan impor kemudian dikurangi ekspor. Data produksi berupa tebu dan raw sugar bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan, data produksi tersebut sebelumnya dikurang tercecer sebesar 0,98% (Neraca Bahan Makanan), sedangkan data impor dan ekspor bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).



Penyediaan gula dari tebu dalam negeri, dimana produksi gula terdiri dari eks. tebu dan eks. raw sugar, tahun 2014 produksi eks tebu sebesar 2,58 juta ton. Produksi tebu dari tahun 2015-2018 terus mengalami penurunan rata-rata sebesar 4,04%. Sedangkan tahun 2019 produksi tebu diperkirakan mengalami peningkatan sekitar 12,7% yaitu dari tahun 2018 sebesar 2,17 juta ton menjadi 2,45 juta tahun 2019 ton (Angka sangat sementara sumber dari Ditjen Perkebunan). Penyediaan



90



Pusat Data dan Informasi Pertanian



gula pasir pada tahun 2014-2018 rata-rata mengalami peningkatan sebesar 7,05%. Prediksi penyediaan gula pasir Tahun 2019 sebesar 8,38 juta ton. Neraca



2014-2018



mengalami



peningkatan



rata-rata



sebesar



10,12%,



besarnya penyediaan gula pasir disebabkan impor gula pasir yang cukup tinggi, impor yang dilakukan berupa gula rafinasi yang dibutuhkan untuk industri. Kelebihan gula pasir dalam neraca di pergunakan untuk kebutuhan konsumsi industri besar. Untuk impor gula pasir tahun 2014 mencapai 3,04 juta ton dengan ekspor hanya sebesar 939 ribu ton, tahun 2015 - 2016 impor gula pasir masing-masing sebesar 3,47 juta ton dan 4,84 juta ton dengan ekspor masing-masing sebesar 443 ribu ton dan 426 ribu ton. Pada tahun 2017 dan 2018 impor gula pasir sebesar 4,57 juta ton dan 5,13 juta ton dengan ekspor sebesar 428 ribu ton dan 514 ribu ton. Tahun 2019 perkiraan Data impor sebesar 5,13 juta ton dan ekspor sekitar 514 ribu ton, kode HS yang di gunakan dalam penghitungan Neraca adalah semua kode HS Gula pasir karena di pergunakan untuk konsumsi rumah tangga, Konsumsi Khusus (hotel, restorant, catering, RS), Konsumsi industri rumah tangga dan konsumsi industri besar yang banyak menggunakan kebutuhan gula. Kode HS yang di gunakan adalah kode HS yaitu 17011300, 17011400, 17019100, 17019910, 17019990, 17031010, 17031090, 17039010 dan 17039090, dengan deskripsi dapat dilihat pada Tabel 11.4. Tabel. 11.4. Kode HS dan Deskripsi data ekspor impor Kode HS 17.01



Deskripsi Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat.



Cane or beet sugar and chemically pure sucrose, in solid form.



- Gula kasar tidak mengandung tambahan bahan perasa atau pewarna:



- Raw sugar not containing added flavouring or colouring matter:



1701.13.00



- - Gula tebu yang dirinci pada Catatan subpos 2 pada Bab ini



- - Cane sugar specified in Subheading Note 2 to this Chapter



1701.14.00



- - Gula tebu lainnya



- - Other cane sugar



- Lain-lain:



- Other:



1701.91.00



- - Mengandung tambahan bahan perasa atau pewarna



- - Containing added flavouring or colouring matter



1701.99



- - Lain-lain:



- - Other:



- - - Gula murni:



- - - Refined sugar:



1701.99.11



- - - - Putih



- - - - White



1701.99.19



- - - - Lain-lain



- - - - Other



1701.99.90



- - - Lain-lain



- - - Other



Penggunaan gula pasir di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung dalam rumah tangga, konsumsi khusus, konsumsi industri rumah tangga, dan konsumsi bahan baku industri. Konsumsi langsung dimana data



Pusat Data dan Informasi Pertanian



91



diperoleh dari hasil SUSENAS dikalikan dengan jumlah penduduk, konsumsi khusus yang diperuntukan di hotel, restoran, katering dan rumah sakit (horeka), didapat dari perkalian angka 3,06 kg/kap/tahun (2013 s/d 2015) dan 3,34 kg/kap/tahun tahun 2016 (prognosa BKP) dikalikan dengan jumlah penduduk, begitu juga konsumsi industri rumah tangga didapat dari perkalian angka 1,56 kg/kap/tahun (2013 s/d 2015) dan 1,64 kg/kap/tahun tahun 2016 dan tahun 2017, sumber prognosa BKP dikalikan dengan jumlah penduduk.



Dari perhitungan tersebut, maka penggunaan gula pasir yang di konsumsi langsung dari tahun 2014 -2015 mengalami kenaikan yaitu dari 1,62 juta ton menjadi 1,74 juta ton, sedangkan tahun 2016-2017 mengalami penurunan yaitu dari 1,93 juta ton menjadi 1,82 juta ton. Penggunaan gula pasir untuk dikonsumsi langsung tahun 2018-2019 sebesar 1.80 juta ton dan 1,82 juta ton (angka sementara). Untuk Konsumsi khusus (hotel, restoran, catering, RS) pada tahun 2014-2018 rata-rata mengalami kenaikan sebesar 3,48% dan tahun 2019 penggunaan untuk konsumsi khusus (Hotel, restoran, Catering, RS) pengunaannya akan meningkat dari 882 ribu ton, 2018 menjadi sebesar 891 ribu ton, 2019. Gula pasir untuk konsumsi industri rumah tangga pada tahun 2014-2018 ratarata meningkat sebesar 2,47%, Sedangkan untuk tahun 2019 diprediksi akan mengalami kenaikan dari 433 ribu ton (Tahun 2018) menjadi 437 ribu ton (Tahun 2019). Apabila di lihat dari neraca data penyediaan dan penggunaan gula pasir mengalami surplus, dimana pada tahun 2014 surplus gula pasir sebesar 3,35 juta ton, naik menjadi sebesar 3,85 juta ton pada tahun 2015, untuk tahun 2016-2017 juga mengalami kenaikan dari 4,22 juta ton (2016) menjadi 4,38 juta (2017), sedangkan tahun 2018 sebesar 4,92 ribu ton. Untuk tahun 2019 di prediksi naik neracanya sebesar 5,23 juta ton. Surplus gula pasir ini di gunakan untuk kebutuhan industri lainnya. Secara rinci neraca gula pasir tahun 2014 – 2019 dapat di lihat pada Tabel 11.5. dan Gambar 11.4.



92



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 11.4. Neraca gula pasir di Indonesia, 2014 – 2019 Tabel 11.5.



Neraca gula pasir tahun 2015 – 2019



No. A.



B.



C.



Uraian



2014



2015



2016



2017



2018*)



2019**)



PENYEDIAAN GULA Produksi (Ton) - Eks. Tebu - Eks. Raw Sugar Stok Awal Tahun Impor Gula (Ton) Ekspor (Ton)



6,134,266 2,794,637 2,579,173 215,464 1,240,157 3,039,324 939,853



6,772,894 2,561,829 2,497,997 63,832 1,182,400 3,472,012 443,347



7,434,384 2,204,619 2,204,619 816,592 4,840,018 426,844



7,506,135 2,121,671 2,121,671 1,245,000 4,568,355 428,891



8,036,792 2,174,400 2,174,400 1,248,197 5,129,077 514,882



8,384,476 2,450,000 2,450,000 1,458,967 4,991,020 515,511



PENGGUNAAN GULA - Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi) - Konsumsi Khusus (Hotel, restoran, catering, RS) - Konsumsi industri rumah tangga - Konsumsi industri besar



2,781,243 1,616,242 771,624 393,377 Na



2,920,116 1,739,300 782,099 398,717 Na



3,218,281 1,930,969 863,378 423,934 Na



3,117,971 1,816,421 872,927 428,623 Na



3,118,889 1,803,364 882,300 433,225 Na



3,152,230 1,823,008 891,486 437,736 Na



3,353,023



3,852,778



4,216,103



4,388,164



4,917,903



5,232,246



Neraca (A-B)



Keterangan - Jumlah Penduduk (000 jiwa) 252,165 255,588 258,497 261,356 264,162 - Kenaikan jumlah penduduk (%), rata-rata 1,74% 1.35 1.36 1.14 1.11 1.07 - Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun (Susenas) 6.41 6.81 7.47 6.95 6.83 - Tingkat konsumsi horeka+RS Kg/kap/thn (Sucofindo) 3.06 3.06 3.34 3.34 3.34 - Tingkat konsumsi industri RT Kg/kap/thn (Sucofindo) 1.56 1.56 1.64 1.64 1.64 Keterangan : *) Angka sementara **) Angka perkiraan (ekpor-impor tahun 2019 Januari-April-Asem ) - Produksi Tebu 2018 menggunakan statistik perkebunan Tahun 2018, Direktorat Jenderal Perkebunan - Produksi gula pasir tahun 2019 sebesar 2,26 juta ton (Ditjen Perkebunan, 2018). Tidak termasuk impor gula Tahun 2018 dan raw sugar diolah menjadi gula pasir Tahun 2018 - Produksi Raw Sugar, bersumber dari DGI - Stok awal tahun 2019 sebesar 1,46 juta ton (Ditjen Perkebunan, 2019) Stok Fisik Digudang PG Tebu ditambah dengan Diluar Gudang PG/ Pedagang*) - Data ekspor impor tahun 2014-2019 bersumber dari BPS (Kode HS:17011300,17011400,17019100,17019910,17019990,17031010,17031090,17039010,17039090) - Konsumsi langsung data Susenas Tw. 1, Tingkat Konsumsi khusus (Horeka) 2012 s.d 2015 : 3,06kg/kap/th, 2016 : 3,34 (kg/kap/th sumber prognosa BKP) - Tingkat konsumsi Industri rumah tangga 2012 s.d 2015 :1,56 kg/kap/th, 2016 dan 2017 : 1,64 kg/kap/th (Sucofindo) - Konsumsi industri non rumah tangga yaitu dari penjumlahan ketersedian dengan industri non makanan dlm kg/kap/tahun (NBM) dikurangi tingkat konsumsi rumah tangga (Susenas) ditambah tingkat konsumsi horeka dan tingkat konsumsi industri rumah tangga - Jumlah penduduk dari proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, BAPPENAS-BPS



Pusat Data dan Informasi Pertanian



266,912



1.04 6.83 3.34 1.64



93



11.4 Penyediaan gula pasir di beberapa negara di Dunia Rata-rata penyediaan gula dunia berdasarkan sumber USDA, periode tahun 2014 – 2018 sebesar 171,878 juta ton. Pada periode ini total penyediaan gula dunia terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Kumulatif penyediaan gula ke-10 negara terbesar mencapai 62,45% dari total penyediaan gula dunia.



India merupakan negara terbesar dalam



penyediaan gula pada periode tersebut. Lima negara dengan total penyediaan terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 11.6. Ada 5 (Lima) negara terbesar yang ratarata ketersediaannya di atas 5% yaitu India, Uni Eropa, Cina, Amerika Serikat, Brazil dengan rata-rata ketersediaan Rata-rata total penyediaan gula di India pada periode tahun 2014 2018 mencapai 26,56 juta ton per tahun atau 15,45% dari total penyedian gula dunia. Dua negara berikutnya adalah Uni Eropa dan Cina masing-masing sebesar 18,75 juta ton dan 15,70 juta ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia masing-masing sebesar 10,91% dan 9,13%. Negara terbesar keempat dan kelima adalah Amerika Serikat dan Brazil dengan kontribusi masing-masing sebesar 6,34% dan 6,25%. Negara lainnya memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia dibawah 4%. Sementara Indonesia menempati urutan ke-6 dengan rata-rata total penyediaan gula sebagai bahan makanan sebesar 6,07 juta ton per tahun atau 3,53% dari total penyediaan gula dunia. Persentase kontribusi total penyediaan gula tebu di 10 negara terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 11.6. dan Gambar 11.5.



Tabel 11.6. Negara dengan total penyediaan gula pasir terbesar di dunia, 2014 – 2018 No



Negara



Ketersediaan (000 Ton) 2014



2015



2016



2017



2018



Rata2



Share Kumulatif (%) (%)



1 India



26,500



26,800



25,500



26,500



27,500



26,560



15.45



15.45



2 Uni Eropa



18,700



18,700



18,750



18,800



18,800



18,750



10.91



26.36



3 Cina



15,600



15,800



15,600



15,700



15,800



15,700



9.13



35.50



4 Amerika Serikat



10,785



10,779



10,979



10,930



11,045



10,904



6.34



41.84



5 Brazil



11,400



10,500



10,550



10,600



10,670



10,744



6.25



48.09



6 Indonesia



5,400



5,600



6,323



6,378



6,670



6,074



3.53



51.62



7 Rusia



5,700



5,867



5,942



6,077



5,945



5,906



3.44



55.06



8 Pakistan



4,600



4,800



5,100



5,300



5,500



5,060



2.94



58.01



9 Meksiko



4,638



4,703



4,769



4,512



4,678



4,660



2.71



60.72



10 Mesir



2,900



2,930



2,950



3,050



3,100



2,986



1.74



62.45



Negara lain



61,839



63,005



64,545



66,155



67,126



64,534



37.55



100.00



Total Dunia



168,062



169,484



171,008



174,002



176,834



171,878



100.00



Sumber : http://apps.fas.usda.gov/psdonline/diolah Pusdatin update 8 Mei 2019



94



Pusat Data dan Informasi Pertanian



Gambar 11.5. Negara dengan penyediaan gula terbesar di dunia, share terhadap rata-rata 2014 – 2018



Pusat Data dan Informasi Pertanian



95



DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1970. Isi Kandungan Gizi Daging Ayam. http://www.organisasi.org/1970 /01/isi-kandungan-gizi-daging-ayam-komposisi-nutrisi-bahan-makanan.html. [terhubung berkala]. Anonimous, 2013. Analisis Permintaan Daging Ayam pada Tingkat Rumah Tangga. https://jurnalee.files.wordpress.com/2013/08/analisis-permintaan-daging-ayam-padatingkat-rumahtangga-di-kecamatan-tobelo-kabupaten-halmahera-utara.pdf. [terhubung berkala]. Anonimous, 2015. Bensin dari Jagung Sebagai Alternatif Sumber Energi Masa Depan. https://www.kompasiana.com/omgitsamri/bensin-dari-jagung-sebagai-alternatifsumber-energi-masa-depan_552909eb6ea834b31f8b4586 [terhubung berkala]. Anonimous, 2017. FAO Statistics. [terhubung berkala].



http://faostat.fao.org/site/609/default.aspx#ancor.



Anonimous, 2017. Upaya Kementan. http://www.majalahinfovet.com/2017/06/ begini-upaya-kementan-wujudkan.html [terhubung berkala]. Anonimous, 2018. Rahasia Gula. http://www.agri-rafinasi.org/tentang-gula/rahasia-gula. [terhubung berkala]. Anonimous, 2019. Custom [terhubung berkala].



Query.



http://apps.fas.usda.gov/psdonline/psdQuery.aspx



Anonimous, 2018. Lebih Sehat Dengan 6 Makanan Alternatif Pengganti Nasi. https://adira.co.id/lebih-sehat-dengan-6-makanan-alternatif-pengganti-nasi/ [terhubung berkala]. Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia tahun 2018. Jakarta. Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia tahun 2018. Jakarta. Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 1993 sampai dengan Tahun 2018. Jakarta. Kasryno, et al. 2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Puslitbang TP. Jakarta. Suarni dan Widowati, S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros



96



Pusat Data dan Informasi Pertanian