Bung Tomo [PDF]

  • Author / Uploaded
  • call
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Puti Callistha I XI MIPA 3



BUNG TOMO (tokoh perjuangan Surabaya 10 november 1945)



Sutomo adalah salah satu tokoh perjuangan fisik yang dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan fisik yang dimaksud adalah perjuangan yang dilakukan di Surabaya. Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 oktober tahun 1920. Tentunya karena Kota Surabaya adalah kota kelahirannya maka tentu ia akan berjuang sedemikian mungkin demi memerjuangkan dan mempertahakan Kota Surabaya. Semasa kehidupannya, ibunya pernah menjadi distributor local perusahaan mesin jahit. Sedangkan ayahnya Kartawan Tjiptowidjojo dari keluarga kelas menengah. Bung Tomo adalah seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah, di antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Kepiawaiannya menulis sebagai wartawan, ia tunjukkan pula ketika menulis surat cinta pada calon istrinya. Kisah itu tertuang di buku "Bung Tomo, Suamiku" yang ditulis oleh istrinya Sulistina Soetomo. Diceritakan, Bung Tomo menemukan calon istrinya, Sulistina, Jeng Lies. Mereka samasama berjuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Bung Tomo menuliskan di suratnya. "Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu." Bung Tomo melanjutkan. "Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku



mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku." Ia juga pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Bung Tomo suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Pada saat usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Bung tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBSnya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus. Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Bung Tomo memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1942-1945. Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Pada tahun 1944 ia menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Bung Tomo untuk menjalankan peranannya yang sangat penting. Pada 19 September 1945 sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka. Rakyat marah. Seorang Belanda tewas dan bendera merah-putih-biru itu diturunkan. Bagian biru dirobek, tinggal merah-putih, yang langsung dikibarkan. Di Jakarta, pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut rombongan. Bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda



Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya pada saat itu. Di Jakarta, Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi bersenjata. Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat Indonesia terpaksa harus hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS. Pada bulan Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang sangat penting, karena ia berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Pada 9 November dikeluarkannya ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur Soerjo yang berbunyi, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 di hari itu dengan tangan di atas kepala. Setelah kejadian terbunuhnya Jendral AWS Mallaby, panglima Inggris Robert Mansergh yang menggantikannya memberikan ultimatum kepada seluruh rakyat Surabaya untuk menyerahkankan senjata mereka kepada tentara Inggris. Namun, peraturan itu tidak di indahkan oleh masyarakat Surabaya. Sesuai waktu yang telah ditetapkan, tanggal 10 November 1945 tepatnya jam 10:00, karena ketidakpatuhan masyarakat Surabaya terhadap perintah tentara Inggris, pasukan Inggris melancarkan serangan dari setiap elemen, darat, laut, dan udara untuk menghancurkan seluruh isi kota Surabaya. Setelah mendengar kabar bahwa tentara Inggris akan menyerang Surabaya, masyarakat Surabaya tidak gentar sedikit pun, bahkan semakin tersulut kobaran api semangat mereka untuk melawan tentara sekutu dengan segenap elemen yang dimilikinya. Kedua, seluruh senjata harus diserahkan. Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri. Jika kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu bakal mulai menyerang pada pukul 06.00 keesokan harinya. Seperti ultimatum terdahulu, pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara. Jika tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai menggempur. Peperangan yang terjadi tanggal 10 November 1945 telah di rencanakan oleh KH Abbas Abdul Jamil. Karena pada saat itu masyarakat Indonesia lebih taat kepada para ulama di bandingkan pemerintah, bahkan mereka taat pada peraturan yang di keluarkan PBNU pada tanggal 10 Oktober 1945 yang di kenal dengan sebutan “Resolusi Jihad”. Gerakan ini membuat masyarakat Surabaya semakin kokoh dengan semangat mereka melawan para penjajah Inggris dan Belanda. Lebih mengejutkan lagi adalah pembunuh jendral AWS Mallaby ternyata seorang “santri” dari Cirebon yang di bawa oleh KH Abbas Abdul Jamil, karena ketika itu KH Abbas membawa santri sebanyak 2 gerbong kereta untuk melawan gempuran tentara penjajah.



Sungguh jelas penyebab kemenangan perang besar ini tak terlepas dari peran ulama dan santri yang semangat dalam menegakkan syari’at Islam. KH Hasim Asy’ari pada saat itu berkata “Syari’at Islam tidak akan berdiri di negeri yang sedang terjajah.....!”. Perkataan itulah yang membakar semangat para santri dan juga masyarakat Surabaya untuk melawan para penjajah. Lebih dari itu seorang orator terkenal yaitu Sutomo, atau biasa kita sebut dengan panggilan Bung Tomo sebelum melakukan orasinya, beliau ternyata meminta nasihat kepada KH Hasyim Asy’ari, dan masih banyak lagi fakta sejarah yang saat ini tidak banyak orang tahu, seperti teriakan takbir saat perang berkecamuk di Surabaya hingga akhirnya panglima Zia Ul-haq (panglima asal india yang membela sekutu) mundur dari jabatanya karena melihat kejadian itu. Sebab itulah para tentara sekutu kocar-kacir dan menjadi salah satu alasan mengapa tentara sekutu kalah dalam perang. Hingga akhirnya peperangan itu di akhiri dengan mundurnya pasukan sekutu dan menjadi kemenangan manis untuk masyarakat Surabaya dan lepasnya negara Indonesia dari cengkraman para penjajah. Sejarah itu menjadikan tanggal 10 November menjadi Hari Pahlawan bagi bangsa ini. Kita semua tahu, di luar sana dunia sudah sulit untuk membentengi diri sendiri dengan kekuatan iman dan takwa, dan menjadikan umat manusia semakin lupa terhadap dirinya sendiri, juga menjauhkan kita terhadap tuhan. Tawuran dimana-mana, kemaksiatan merajalela, hingga lingkungan yang semena-mena. Bahkan ada orang yang mengatakan, “Zaman sekarang manusia tidak butuh tuhan, karena dengan teknologi manusia bisa menjalankan kehidupan!”. Itu yang orang barat katakan, seiring dengan adanya mesin canggih pengganti jantung, mesin pengganti bebagai alat tubuh, hingga mesin pengatur cuaca dengan merubah partikel-partikel di udara. Satu hal lagi yang perlu di ingat, bahwa kita adalah generasi muda yang suatu saat akan memegang kekuasaan pemerintah di Indonesia, negeri kita tercinta. Alangkah indahnya jikalau setiap menunggu untuk rapat para pejabat mengeluarkan mushaf Al-Qur’an untuk kemudian mereka lantunkan dengan begitu indahnya, alangkah indahnya setiap hari senin dan kamis para pejabat mengadakan agenda buka puasa bersama di ikuti dengan masyarakat yang juga berpuasa. Mustahil?. Impossible Is Nothing! Bung Tomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950, dan kemudian menghilang dari panggung politik karena ia tidak merasa bahagia terjun di dunia politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mulamula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional. Pada awal tahun 1970, ia kembali dan mempunyai pandangan pendapat yang berbeda dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap programprogram yang dijalankan oleh Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras



tersebut. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah, saat sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci yang harus dimakamkan di tanah suci, tapi jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Makam Bung Tomo terletak di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau. Suasana makam Bung Tomo siang itu cukup ramai. Beberapa orang duduk-duduk di depan makam. Sedang di dalam makam, beberapa perempuan tiduran di nisan dan lantai makam yang teduh. Ketika melihat ada yang datang, mereka buru-buru bangun. Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Bung Tomo terutama dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaransiaran radionya yang penuh dengan emosi. PIDATO BUNG TOMO Bismillahirrohmanirrohim.. Merdeka!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka Saudara-saudara.



Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung. Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya. Saudara-saudara kita semuanya. Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian. Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak, Baru kalau kita ditembak,



Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benarbenar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!