Burung-Burung Manyar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Burung-Burung Manyar [PDF]

Judul Buku: Burung-Burung Manyar Pengarang: Y. B. Mangunwijaya Penerbit: Penerbit Buku Kompas Tahun Terbit: 2014 Jumlah

13 0 77 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

Judul Buku: Burung-Burung Manyar Pengarang: Y. B. Mangunwijaya Penerbit: Penerbit Buku Kompas Tahun Terbit: 2014 Jumlah Halaman: 406 Genre: Roman ”Burung-Burung Manyar”. Kisah tentang Setadewa (Teto) dan Larasati (Atik). Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1981 oleh penerbit Djambatan. Versi yang saya baca dan miliki adalah versi terbitan ulang penerbit Buku Kompas. “Burung-Burung Manyar” terdiri dari tiga bagian: Bagian I (1934-1944) yang kental sekali dengan konteks masa penjajahan, Bagian II (1945-1950) yang masih terkait dengan masa penjajahan meskipun Indonesia sudah merdeka, dan Bagian III (1968-1978). Di bagian prolog (atau yang disebut Romo Mangun sebagai Prawayang di novelnya), dinarasikan ulang bagaimana Baladewa memutuskan untuk berdiri di sisi Kurawa menjelang perang Baratayuda. Tentu bukan karena Baladewa lebih mencintai Kurawa, tetapi lebih karena kesetiannya kepada istri dan ayah mertuanya yang merasa harus berpihak pada Kurawa supaya Astina tidak pecah. Meskipun begitu, dalam hati terdalam Baladewa, cintanya pada Pandawa tidak pernah berkurang sedikitpun. Bagian prolog itu sangat memberikan konteks yang bisa membuat pembaca menjadi bisa memahami keputusan-keputusan Teto. Ia dilahirkan dari ayah yang masih memiliki darah ningrat keraton Surakarta dan ibu keturunan Indo. Ia menjadi anak kolong yang tumbuh besar dengan kebencian kepada Jepang, yang telah memisahkannya dari ayah dan ibunya. Sehingga ketika ia kemudian memilih untuk menjadi tentara KNIL, keputusannya itu salah satunya didasari oleh keinginannya untuk membalas dendam pada mereka yang paling bertanggung jawab merenggut ayah dan ibu dari sisinya. Pilihannya itu membuat Teto terpaksa harus berhadap-hadapan dengan Atik, perempuan yang selalu dicintainya sejak kecil, namun berada di pihak Republik, tidak saja sebagai sekretaris Sutan Sjahrir tapi sekaligus sebagai orang yang turut memperjuangkan kemerdekaan. Ide kemerdekaan itu begitu membuat Teto muak. Menurutnya, “Inilah kesalahan logika mereka: menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga.” (Hal. 70) Tetapi sebetulnya, Teto sendiri sadar bahwa ia tidak berada di pihak yang benar.  “Aku sudah lama rukun dengan gagasan bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa dosanya mencari nafkah? Aku bukan soldadu, aku petualang dan pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka.” (Hal. 150) Bagi Atik, berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Teto juga membuat batinnya pedih. Meskipun tahu Teto ada di pihak Belanda, rasa cinta Atik pada Teto tak pernah luntur sedikitpun.



Ketika bertahun kemudian, saat Indonesia sudah lebih stabil, Teto kembali bertemu dengan Atik. Atik yang sudah berkeluarga, dengan tiga anak yang lucu-lucu. Dengan canggung, mereka bertemu. Sebetulnya Teto yang jauh lebih canggung. Atik sendiri menunjukkan rasa begitu gembira karena bertemu lagi dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Apakah cinta mereka berakhir? Tidak. Tidak ada satu detikpun berlalu tanpa cinta pada satu sama lain mengisi hati mereka masing-masing. Tapi, apakah takdir mempersatukan mereka? Tentu tidak. Takdir selalu mempunyai misteri-misterinya sendiri. Tetapi bagi Teto, itu tidak lagi penting. Ia sudah jauh lebih menerima. Menerima takdirnya sendiri.    Meskipun saya selalu berakhir sedih setiap selesai membaca ulang novel ini, rasa-rasanya sampai kapanpun saya tidak akan pernah bosan dengan “Burung-Burung Manyar”. Beberapa kalimatkalimat di novel itu, bagi saya, justru masih sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Misalnya: “Dia berkata bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopan santunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji.” (hal. 199)   “Maka kupikir, tanah air adalah di mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang.” (hal. 200) Jika melihat kondisi negara seperti saat ini: konflik di Papua, konflik agraria, penangkapan orang dengan UU ITE dan membaca ulang kutipan Romo Mangun dalam novelnya, kadang saya jadi bertanya apakah tanah air kita sudah betul-betul merdeka?