7 0 397 KB
LAPORAN KASUS ATELEKTASIS PARU Disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Bidang Ilmu Penyakit Dalam RSUD Karawang
Pembimbing : Dr. Hj. Nurhayati, Sp.P
Oleh : DIMAS FIRMAN HIDAYAT 030.11.079 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE SEPTEMEBER – NOVEMBER 2015 1
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1 BAB II LAPORAN KASUS........................................................................................2 2.1.Anamnesis.................................................................................................2 2.2 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................3 2.3 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................5 2.4 Pemeriksaan Radiologi.............................................................................6 2.5 Diagnosis Kerja.........................................................................................7 2.6 Diagnosis Banding....................................................................................7 2.7 Tatalaksana................................................................................................7 BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................12 3.1 Analisis Kasus.........................................................................................12 3.2 Patogenesis Kasus...................................................................................13 BAB IV TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................14 4.1 Anatomi dan Fisiologi Paru....................................................................14 4.2 Definisi Atelektasis.................................................................................15 4.3 Klasifikasi Atelektasis.............................................................................16 4.4 Etiologi Atelektasis.................................................................................17 4.5 Patogenesis Atelektasis...........................................................................20 4.6 Gejala Klinis...........................................................................................20 4.7 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................21 4.8 Tatalaksana..............................................................................................25 4.9 Evaluasi Pengobatan...............................................................................29 BAB V KESIMPULAN.............................................................................................31 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................32
BAB I PENDAHULUAN 2
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia saat ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia. Secara definisi TB paru putus berobat adalah penderita TB paru yang sedang menjalani pengobatan namun telah menghentikan pengobatan OAT selama fase intensif atau fase lanjutan sesuai jadwal yang ditentukan dan belum dinyatakan sembuh oleh dokter yang mengobatinya. Atelektasis pertama kali di jelaskan oleh Laennec pada tahun 1819.Atelektasis berasal dari kata ateles yang berarti “tidak sempurna” dan ektasis yang berarti “ekspansi”. Secara keseluruhan atelektasis mempunyai arti ekspansi yang tidak sempurna. Atelektasis di definisikan sebagai kolapsnya alveoli dan berkurangnya udara di dalam ruang intrapulmonal atau kolapsnya semua atau sebagian paru. Atelektasis sering timbul pada penyakit paru kronik seperti tuberkulosis paru kronis atau infeksi jamur berat, yang merusak parenkim paru sehingga merubah struktur dan fungsi paru tersebut.
BAB II 3
LAPORAN KASUS 2.1 Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2015 jam 07.00 WIB di RSUD Karawang. I.
II. III.
IV.
Identitas Pasien Nama Usia Jenis Kelamin Status Pernikahan Pekerjaan Alamat Agama Suku Bangsa
: Ny. A : 50 Thn : Wanita : Menikah : Ibu rumah tangga : Karawang : Islam : Indonesia
Keluhan Utama Pasien mengeluh sesak nafas sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan Tambahan Nyeri dada kiri, lemas, mual, tidak nafsu makan, demam tidak tinggi, batuk kering, dan keringat malam. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh sesak nafas sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak dirasa semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak timbul saat melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi yang berjarak 5 meter. Pasien juga mengaku sesak juga timbul saat beristirahat dan harus tidur dengan bantal tinggi. Sesak lebih terasa pada dada kanan daripada dada kiri, dan sering terdengar suara mengi. Pasien merasa nyeri dada jika posisi badan miring ke kiri, sehingga lebih nyaman dengan posisi setengah duduk. Pasien pernah mengalami bengkak di kedua kaki namun kemudian menghilang sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh batuk kering bersamaan dengan timbulnya sesak nafas. Pasien mengeluh adanya demam namun tidak tinggi yang hilang timbul, badan terasa sangat lemas, mual, dan pusing. Pasien juga mengeluh sering mengalami keringat malam. Pasien mengaku merasa lebih kurus dan kurang nafsu makan. Buang
V.
air besar dan buang air kecil tidak ada keluha Riwayat Penyakit Dahulu Sebelum masuk rumah sakit pasien mengaku menderita penyakit paru sudah selama 20 tahun, 1 tahun yang lalu mendapat pengobatan TB paru selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh. Pasien juga menderita hipertensi dan diabetes melitus tipe II. Riwayat penyakit asma disangkal.
VI.
Riwayat Penyakit Keluarga 4
Pasien menyangkal ada keluarga yang mengalami hal serupa, serta menyangkal adanya riwayat keluarga asma, hipertensi, dan diabetes melitus. VII.
Riwayat Pengobatan Pernah mendapat pengobatan TBC namun kemudian putus obat. 1 tahun yang lalu mendapatkan kembali pengobatan TBC selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh. Saat gejala yang sama timbul lagi pasien memilih berobat ke klinik dan mendapat obat jalan biasa, namun ternyata keluhan tidak membaik sehingga pasien memutuskan berobat ke RSUD Karawang. Riwayat Kebiasaan Pasien mengaku jarang olahraga, senang dengan makanan manis dan
VIII.
bersantan. Pasien tidak merokok dan jarang begadang hingga larut malam. 2.2 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Kesan Sakit Kesan Gizi
: Compos mentis, GCS = 15 (E4 V5 M6) : Tampak sakit sedang : Tampak gizi cukup
Tanda Vital
Tekanan darah Laju Nadi Laju Pernafasan Suhu
: 140/90 mmHg : 120 x/ menit : 22x/ menit : 36,4°C
Status Gizi Berat Badan Tinggi Badan BMI
: 55 kg : 155 cm : 22,5 berat badan normal
Status Generalis a. Kepala Bentuk kepala : Normosefali Rambut : Hitam merata, tidak mudah dicabut Mata Eksophtalmus (-/-), endophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
pergerakan mata ke segala arah baik, mata cekung (-/-). Hidung Bagian luar hidung tak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-). 5
Telinga Normotia, meatus austikus baik, corpus alienum (-/-), sekret (-/-), pendengaran baik. Mulut Sariawan (-), pembesaran tonsil (-), gusi berdarah(-), lidah pucat(-), lidah kotor(-), tepi lidah hiperemis (-), lidah tremor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-), bau pernapasan khas (-).
b. Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5+3)cmH2O, hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-). c. Toraks Paru Inspeksi
: Bentuk dada asimetris, ketinggalan gerak (+), retraksi (-), jejas (-) Bahu pada lengan kanan (yang mengalami atelektasis)
Perkusi
posisinya lebih rendah dibanding yang kiri. : Vocal fremitus kiri > kanan Gerak dada kanan lebih tertinggal : Sonor pada lapang paru kiri dan ditemukan bunyi redup
Auskultasi
pada lapang paru kanan. : Suara vesikuler kanan lebih lemah dibandingkan dengan
Palpasi
suara vesikuler kiri. Ditemukan ada suara tambahan whezing +/+ dan ronki +/+.
Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi
Auskultasi
: ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di garis midclavicularis sinistra pada ICS 5. : Batas atas ICS II, batas kanan linea sternalis dekstra, batas kiri linea axillaris anterior sinistra. : Murmur (-) , gallop (-)
d. Abdomen Inspeksi : datar Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium (-), hepar tidak teraba. Lien tidak teraba. Perkusi : thympani, ascites (-) Auskultasi : bising usus (+) normal, nyeri tekan abdomen (–) e. Ekstremitas Ekstremitas atas
6
gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-). Ekstremitas bawah gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat(-), edema pretibia dan pergelangan kaki (-/-). 2.3 Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 18 Oktober 2015 Hematologi
Hasil
Hemoglobin Leukosit Trombosit Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV
11,8 g/dL* 4,27 x 103µL 436 x 103µL 36,9 % 88 fL 28 pg 32 g/dL* 13,2 %
Kimia Glukosa darah sewaktu Ureum Creatinin
179 mg/dL* 51,1 mg/dL* 0,72 mg/dL
Nilai Rujukan 12,0 - 16,0 3,80 – 10,60 150 – 440 35,0 – 47,0 80 – 100 26 – 34 33 - 36
< 140 15,0 – 50,0 0,50 – 0,90
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 23 Oktober 2015 Hematologi
Hasil
Hemoglobin Eritrosit Leukosit Trombosit Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV
11,7 g/dL* 4,1 x 103µL 6,46 x 103µL 363 x 103µL 36 % 88 Fl 29 pg 33 g/dL 12,9 %
Kimia Glukosa darah sewaktu
94 mg/dL
Nilai Rujukan 12,0 - 16,0 3,60 - 5,80 3,80 – 10,60 150 – 440 35,0 – 47,0 80 – 100 26 – 34 33 - 36
< 140
7
2.4 Pemeriksaan Radiologi Kesan Radiologi :
Jantung kesan normal, aorta baik Tampak fibroinfiltrat pada apex kanan Sinus kostofrenikus kanan-kiri tajam Tulang-tulang dan jaringan lunak baik Dinding dada baik
Kesimpulan : suspek TB pa
2.5 Diagnosa Kerja Atelektasis paru dan tuberkulosis paru Diabetes melitus tipe II 2.6 Dignosa Banding Congestive heart failure et causa hypertension heart disease Pneumotoraks 2.7 Tatalaksana Pada pasien diberikan : Tgl. 18 Oktober 2015 Nacl 0,9 % 8 tpm Metilprednisolone 3 x 125mg IV Lasix 2x1 amp Ranitidine 2x1 amp ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x 75 mg Alprazolam 1 x 0,5mg Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg Valisanbe 1 x 160 mg DTP Dankos 3 x 1
8
Tgl. 19 Oktober 2015 Kaen 3B 24 tpm Metilprednisolone 3 x 125mg IV Lasix 1 x 1 amp Ranitidine 2x1 amp ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x 75 mg Alprazolam 1 x 0,5mg Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg Valisanbe 1 x 160 mg DTP Dankos 3 x 1 Tgl. 20 – 23 Oktober 2015 Kaen 3B + Etaphyllin 1 amp/ 24 jam Inj. Cefoperazone 2x1 Inj. Ranitidin 2x1 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg OAT Curcuma 2x1 Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg Follow Up Pasien : Tgl. 18 Oktober 2015 (Hari ke 1) S Os sesak nafas, batuk kering, mual, pusing, BAB dan BAK normal O Compos mentis TD 190/110 mmHg HR 72x/mnt RR 28x/mnt Suhu 36°C Kepala : normosefali CA +/+, SI -/Leher : dbn Toraks : SNV +/+, Rh +/+, Wh +/+ BJ I-II reg. m(-) g(-) Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Eks : AH (+), Oedema (-) A Atelektasis DD/ CHF ec CAD P Nacl 0,9 % 8 tpm + etaphyllin 1 amp Metilprednisolone 3x125mg Lasix 2x1 amp Ranitidine 2x1 amp ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x 75 mg Alprazolam 1 x 0,5mg 9
Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg Valisanbe 1 x 160 mg DTP Dankos 3 x 1
Tgl. 19 Oktober 2015 (Hari ke 2) S Os sesak nafas, batuk kering (-), mual, pusing, BAB dan BAK normal O Compos mentis Kepala : normosefali CA +/+, SI -/TD 140/120 mmHg Leher : dbn HR 120x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh +/+, Wh +/+ RR 22x/mnt BJ I-II reg. m(-) g(-) Suhu 36,2°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Ekst : AH (+), Oedema (-) A Atelektasis paru dan TB paru DD/ CHF ec CAD P Kaen 3B + Etaphyllin 2 amp ; 24 tpm Metilprednisolone 3x125mg Lasix 1x1 amp Ranitidine 2x1 amp ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x 75 mg Alprazolam 1 x 0,5mg Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg Valisanbe 1 x 160 mg DTP Dankos 3 x 1
Tgl. 20 Oktober 2015 (Hari ke 3) S Os sesak nafas, batuk kering (-), mual, pusing, BAB dan BAK normal O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/TD 130/90 mmHg Leher : dbn HR 90x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh +/+, Wh +/+ RR 28x/mnt BJ I-II reg. m(-) g(-) Suhu 36,2°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Ekst : AH (+), Oedema (-) A Atelektasis dan TB paru DD/ CHF ec CAD P Kaen 3B + Etaphyllin 1 amp/ 24 jam 10
Inj. Cefoperazone 2x1 Inj. Ranitidin 2x1 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg OAT Curcuma 2x1 Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg
Tgl. 21 Oktober 2015 (Hari ke 4) S Os sesak nafas berkurang, batuk kering (-),pusing,lemas BAB dan BAK normal O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/TD 110/90 mmHg Leher : dbn HR 88x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh +/+, Wh +/+ RR 20x/mnt BJ I-II reg. m(-) g(-) Suhu 36,2°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Ekst : AH (+), Oedema (-) A Atelektasis dan TB paru DD/ CHF ec CAD P Kaen 3B + Etaphyllin 1 amp/ 24 jam Inj. Cefoperazone 2x1 Inj. Ranitidin 2x1 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg OAT Curcuma 2x1 Tgl. 22 Oktober 2015 (Hari ke 5) S Os sesak nafas, batuk kering (-), mual, pusing, BAB dan BAK normal O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/TD 110/70 mmHg Leher : dbn HR 88x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh +/+, Wh +/+ RR 22x/mnt BJ I-II reg. m(-) g(-) Suhu 36,2°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Ekst : AH (+), Oedema (-) A Atelektasis dan TB paru DD/ CHF ec CAD P Kaen 3B + Etaphyllin 1 amp/ 24 jam Inj. Cefoperazone 2x1 Inj. Ranitidin 2x1 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg 11
OAT Curcuma 2x1 Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg
Tgl. 23 Oktober 2015 (Hari ke 6) S Os sesak nafas berkurang, batuk kering (-), mual (-), pusing(-),lemas, BAB dan O
A P
BAK normal Compos mentis TD 110/80 mmHg HR 100x/mnt RR 22x/mnt Suhu 37,1°C
Kepala : normosefali CA -/-, SI -/Leher : dbn Toraks : SNV +/+, Rh -/-, Wh -/BJ I-II reg. m(-) g(-) Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-) Ekst : AH (+), Oedema (-)
Atelektasis dan TB paru DD/ CHF ec CAD Kaen 3B + Etaphyllin 1 amp/ 24 jam Inj. Cefoperazone 2x1 Inj. Ranitidin 2x1 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg OAT Curcuma 2x1 Simvastatin 1 x 20mg Amlodipin 1 x 10mg
12
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Analisis Kasus Keluhan utama pada pasien adalah sesak nafas sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit namun memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak nafas atau dispnoe dapat berasal dari kelainan pada sistem respirasi, neuromuskular, kardiovaskular, hematologi, ginjal/metabolik, endokrin, intoksikasi, psikogenik, dan obesitas. Diagnosis kerja atelektasis paru, tuberkulosis paru, dan diabetes melitus tipe II, ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa sesak nafas pasien memiliki ciri timbul saat beraktivitas ringan dan tidak hilang saat beristirahat, bahkan timbul saat beristirahat. Selain itu sering terdengar bunyi mengi saat bernafas. Sesak dirasa lebih berat pada dada kanan dibandingkan dada kiri. Pasien juga mengelus adanya batuk tidak berdahak yang timbul bersamaan dengan sesak nafas 3 minggu SMRS. Pasien mengaku selama 20 tahun ini menderita penyakit paru. Pasien pernah mengalami putus obat TB namun pasien lupa kapan itu terjadi dan hanya mengaku sudah lama terjadi. Kemudian 1 tahun yang lalu pasien kembali mendapat pengobatan TB selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh. Kemudian pasien kembali mengalami gejala yang sama dan hanya berobat ke klinik dan diberi obat jalan biasa. Hingga 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, gejala dirasa memberat dan pasien memutuskan untuk berobat ke RSUD Karawang. Selain mengeluh sesak nafas, pasien juga mengeluh demam 13
tidak tinggi yang hilang timbul, keringat malam, lemas, tidak nafsu makan, dan pusing. Dari pemeriksaan fisik ditemukan konjugtiva palpebra anemis, JVP meningkat, bentuk dada tidak simetris, vokal fremikus dada kiri lebih kuat dibandingkan dada kanan, gerak dada kanan lebih tertinggal. Pada perkusi dada kanan lebih redup dibandingkan dada kiri, serta pada auskultasi suara vesikuler dada kanan lebih lemah dibandingkan dada kiri. Selain itu pada pemeriksaan batas jantung kanan didapatkan batas jantung di garis sternalis kanan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin dan MCHC menurun namun gula darah sewaktu meningkat tinggi dan ureum sedikit meningkat. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan kesan jantung normal, aorta baik, tampak fibroinfiltrat pada apex kanan, dinus kostofrenikus kanan-kiri tajam, tulang-tulang dan jaringan lunak baik, dan dinding dada baik. Adapun dianosis banding pada kasus ini adalah pneumotoraks paru.
3.2 Patogenesis Skenario
Pada TB post primer
Dimulai dengan sarang
Meluas namun segera
dini pada segmen
terjadi proses
apikal lobus superior
penyembuhan
HIPERTENSI
Penyebukan jaringan fibrosis
Peningkatan afterload Perubahan struktur dari parenkim paru
Penurunan curah jantung
Parenkim paru Kongestif Pulmonal
mengkerut
Tekanan hidrostatik >> tek. osmotik
ATELEKTASIS
Transudasi cairan ke interstitial
Kongestif hati dan usus
SESAK NAFAS Anoreksia dan rasa mual 14
Lemas dan anemia
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Anatomi dan Fisiologi Paru Saluran pernapasan udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkhiolus. Saluran dari bronkus sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara, laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Struktur trakea dan bronkus dianalogkan sebagai suatu pohon dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Bronkus terdiri dari bronkus kiri dan kanan yang tidak simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea, cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis, percabangan ini berjalan menuju terus menjadi bronkus yang ukurannya sangat kecil sampai akhirnya menjadi bronkus terminalis yaitu saluran udara yang mengandung alveoli, setelah bronkus terminalis terdapat asinus yaitu tempat pertukaran gas. Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, yang terletak dalam rongga dada atau thorak. Kedua paru-paru saling berpisah oleh mediastinum sentral yang 15
berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apek dan basis. Pembuluh darah paru-paru dan bronchial, saraf dan pembuluh darah limfe memasuki tiap paru-paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri. Paru-paru kanan dibagi tiga lobus oleh fisura interlobaris, paru-paru kiri dibagi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Suatu lapisan yang kontinu mengandung kolagen dan jaringan elastis dikenal sebagai pleura yang melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura vesiralis). Peredaran darah paru-paru berasal dari arteri bronkilais dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronchial berasal dari aortatorakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronkialis yang besarmengalirkan darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah vena pulmonalis. Karena sirkulasi bronchial tidak berperan pada pertukaran gas, darah yang tidak teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2 sampai 3% curah jantung. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah vena campuaran keparu-paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena pulmonaliske ventrikel kiri, yang selanjutnya membagikan kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.
16
4.2Definisi Kolapsnya paru
atau
alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang. Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi udara. Sebagai dasar gambaran radiologis pada atelektasis adalah pengurangan volume bagian paru baik lobaris, segmental atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga memberi bayangan lebih suram (densitas tinggi) dengan penarikan mediastinum kearah atelektasis, sedangkan diafragma tertarik ke atas dan sela iga menyempit.1 Dengan adanya atelektasis, maka bagian paru sekitarnya mengalami suatu enfisema kompensasi yang kadang-kadang begitu hebatnya sehingga terjadi herniasi hemithorak yang sehat kearah hemethorak yang atelektasis. 4.3 Klasifikasi A. Berdasarkan faktor yang menimbulkan Atelektasis 1. Atelektasis Neonatorum Banyak terjadi pada bayi prematur, di mana pusat pernapasan dalam otak tidak matur dan gerakan pernapasan masih terbatas. Faktor pencetus termasuk komplikasi persalinan yang menyebabkan hipoksia intrauter. Pada autopsy, paru tampak kolaps, berwarna merah kebiruan, non crepitant, lembek dan alastis. Yang khas paru ini tidak mampu mengembang di dalam air. Secara histologis, alveoli mempunyai paru bayi, dengan ruang alveoli kecil yang seragam, dilapisi dindingin septa yang 17
tebal yang tampak kisut. Epitel kubis yang prominem melaposi rongga alveoli dan sering terdapat edapan protein granular bercampur dengan debris amnion dan rongga udara. Atelektasi neonatorum pada sistem, gawat napas, telah di bahas disebelumnya. 2. Atelektasis Acquired atau Didapat Atelektasis pada dewasa, termasuk gangguan intratoraks yang menyebabkan kolaps dari ruang udara, yang sebelumnya telah berkembang. Jadi terbagi atas atelektasis absorpsi, kompresi, kontraksi dan bercak. Istilah ini banya menyangkut mechanisme dasar yang menyebabkan paru kolaps atau pada distribusi dari perubahan tersebut. Altelektasis absorpsi terjadi jika saluran pernapasan sama sekali tersumbat sehingga udara tidak dapat memasuki bagian distal parenkim. Udara yang telah tersedia secara lambat laun memasuki aliran darah, disertai dengan kolapsnya alveoli. Tergantung dari tingkat obstruksi saluran udara, seluruh paru, merupakan lobus yang lengkap, atau bercak segmen dapat terlibat. Penyebab tersering dari kolaps absorbsi adalah abstruksi bronchus oleh suatu sumbatan mucus. Hal ini sering terjadi pasca operasi. Asma bronchial, bronkiektasis dan bronchitis akut serta kronis, dapat pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis. Dapat pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis, dapat pula menyebabkan obstruksi karena sumbatan bahan mukopurulen. Kadang-kadang obstruksi disebabkan oleh aspirasi benda asing atau bekuan darah, terutama pada anak atau selama operasi rongga mulut atau anestesi. Saluran udara dapat juga tersumbat oleh tumor, terutama karsinoma bronkogenik dengan pembesaran kelenjar getah bening (seperti pada tuberculosis, contohnya) dan oleh aneurisma pembuluh darah.2 Atelektasis kompresi paling sering dihubungkan dengan penimbunan cairan darah atau udara dalam kavum pleura, yang secara mekanis menyebabkan kolaps paru di sebelahnya. Ini adalah kejadian yang sering pada efusi pleura dari penyebab apa pun, namun mungkin yang paling sering dihubungkan dengan hidrotoraks pada payah jantung kongesti. Pneumotoraks dapat juga menyebabkan atelektasis kompresi pada penderita dengan tirah baring dan penderita denan asites, atelaktasis basal menyebabkan posisi diafragma yang lebih tinggi. Atelektasis kontraksi terjadi bila perubahan fibrosis pada paru dan pleura yang menghambat ekspensi dan meningkatkan daya pegas pada ekspirasi. Atelektasis bercak bearti adanya daeah kecil-kecil dari kolaps paru, sepeti terjadi pada obstruksi bronkioli yang multiple karena sekresi atau eksudat pada kedua sindrom 18
gawat napas orang dewasa dan bayi. Pada sebagian kecil kasus, atelektasis terjadi karena patogenesis tertentu yang menyertai jelas pada dinding dada. Atelektasis didapat (acquired) dapat akut atau kronis. Biasanya timbul karena sumbatan mucus yang relatif akut, yang menjadi manifest karena mendadak timbul sesak napas. Memang peristiwa sesak napas akut dalam 48 jam setelah satu prosedur pembedahan, hampir selalu didiagnosis sebagai atelektasis. Yang penting adalah atelektasis dapat didiagnosis dini dan terjadi reekspensi yang tepat dari paru yang terkena, karena perenkim yang kolaps amit peka terhadap infeksi yang menunggagi. Atelektasis persisten segmen paru mungkin merupakan bagian penting untuk terjadinya karsinoma bronkogenik yang diam-diam. B. Berdasarkan luasnya Atelektasis 1. Massive atelectase, mengenai satu paru 2. Satu lobus, percabangan main bronchus Gambaran khas yaitu inverted S sign → tumor ganas bronkus dengan atelectase lobus superior paru. 1. Satu segmen → segmental atelectase 2. Platelike atelectase, berbentuk garis Misal : Fleischner line → oleh tumor paru Bisa juga terjadi pada basal paru → post operatif C. Berdasarkan lokasi Atelektasis 1. Atelektasis lobaris bawah: bila terjadi dilobaris bawah paru kiri, maka akan tersembunyi dibelakang bayangan jantung dan pada foto thorak PA hamya memperlihatkan diafragma letak tinggi. 2. Atelektasis lobaris tengah kanan (right middle lobe). Sering disebabkan peradangan atau penekanan bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar. 3. Atelektasis lobaris atas (upper lobe): memberikan bayangan densitas tinggi dengan tanda penarikan fissure interlobaris ke atas dan trakea ke arah atelektasis. 4. Atelektasis segmental: kadang-kadang sulit dikenal pada foto thoraj PA, maka perlu pemotretan dengan posisi lain seperti lateral, miring (obligue), yang memperlihatkan bagian uang terselubung dengan penarikan fissure interlobularis. 5. Atelektasis lobularis (plate like/atelektasis local). Bila penyumbatan terjadi pada bronkus kecil untuk sebagian segmen paru, maka akan terjadi bayangan horizontal tipis, biasanya dilapangan paru bawah yang sering sulit dibedakan dengan proses fibrosis. Karena hanya sebagian kecil paru terkena, maka biasanya tidak ada keluhan. 19
Atelektasis pada lobus atas paru kanan. Kolaps pada bagian ini meliputi bagian anterior, superior dan medial. Pada foto thorak PA tergambarkan dengan fisura minor bagian superior dan mendial yang mengalami pergeseran. Pada foto lateral, fisura mayor bergerak ke depan, sedangkan fisura minor dapat juga mengalamai pergeseran ke arah superior. Klasifikasi atelektasis berdasarkan penyebabnya menurut Elizabeth J. Corwin, 2009, ialah : 1. Atelektasis Kompresi Atelektasis kompresi terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpa kan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus kolaps. Hal ini terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka, karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang ( tekanan pleura ) dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps. Atelekasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan tumor. Distensi abdomen, atau edema, dan pembengkakan ruang interstitial yang mengelilingi alveolus. 2. Atelektasis Absorpsi. Atelektasis absorpsi terjadi akibat tidak adanya udara didalam alveolus, apabila aliran masuk udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu, setiap keadaan menyebabkan akumulasi mukus, seperti fibrosis kistik, pneumonia, atau bronkitis kronik, meningkatkan resiko atelektasis absorbsi. Atelektasis juga absorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan tanpa surfaktan, tegangan permukaan alveolus sangat tinggi. Meningkatkan kemungkinan kolapsnya alveolus. 4.4 Etiologi Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. A. Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut : Obstruktif : Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam
20
aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi.
Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bias berasal di dalam bronkus seperti tumor bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat panekanan dari luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang membesar.
Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus.
Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh pneumothorah, cairan pleura, peninggian diafragma, herniasi alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak seperti tumor mediastinum.
Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan perkembangan paru yang tidak sempurna, misalkan pada kasus poliomyelitis dan kelainan neurologis lainnya. Gerak napas yang terganggu akan mempengaruhi lelancaran pengeluaran sekret bronkus dan ini akan menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan memperberat keadaan atelektasis.
Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma thorak yang menahan rasa sakit, keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran sekret bronkus yang dapat memperberat terjadinya atelektasis
B. Etiologi ekstrinsik atelektasis:
Pneumothoraks
Tumor
Pembesaran kelenjar getah bening.
Pembiusan (anestesia)/pembedahan
Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
Pernafasan dangkal
Penyakit paru-paru
4.5 Patogenesis Dimulai dengan sarang Pada TB post primer
dini pada segmen apikal lobus superior
Sarang pneumoni kecil 21
Resorbsi kembali dan sembuh tanpa cacat
Meluas namun segera
Meluas dan
terjadi proses
membentuk jaringan
penyembuhan
kaseosa
Perubahan struktur dari
Penyebukan jaringan
parenkim paru
fibrosis
Parenkim paru mengkerut
ATELEKTASIS
4.6 Gejala klinis Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek. Gejalanya bisa berupa: gangguan pernafasan nyeri dada batuk Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadangkadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah). Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis. Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit tuberculosis, limfoma, neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya bronchitis, bronkopmeumonia, dan pain-lain jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus utama. Jika daerah atelektsis itu luas dan terjadi sangat cepat akan terjadi dipsneu dengan pola pernapasan yang cepat dan dangkal, takikardi dan sering sianosis, temperatur yang tinggi, dan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau syok. Pada perkusi redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema kompensasi. Pada atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus, bising nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan adanya
22
perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser, letak diafragma mungkin meninggi. 4.7 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).3 Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif
Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)
2. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, toplordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura. Pemeriksaan rontgen thoraks adakalanya dapat memberikan petunjuk untuk mendiagnosis atelektasis. Bentuk-bentuk kolaps pada atelektasis secara klinis dan radiologi, sebagai berikut: 23
Kolaps paru menyeluruh
Opasifikasi hemithoraks
Pergeseran mediastinum ke sisi yang terkena
Diafragma terangkat
Kolaps lobus kanan atas
Fisura horizontal normal terletak pada anterior kanan iga ke empat
Pada kolaps yang parah, lobus menjadi datar berlawanan dengan mediastinum posterior
Kolaps lobus tengah kanan
Sumbatan pada perbatasan jantung kanan sering tampak
Proyeksi Lordotik AP memperlihatkan pergeseran fisura.
Kolaps lobus bawah
Opasitas terlihat pada proyeksi frontal
Gambaran wedge-shaped shadows
Hilus tertekan dan terputar ke medial.
Kolaps lingula
Gambaran radiologi mirip dengan gambaran kolaps lobus tengah kanan
Proyeksi frontal perbatasan jantung kiri menjadi kabur.
Kolaps lobus kiri atas
Terlihat jelas pada proyeksi frontal
Pergeseran anterior di seluruh celah obliq, hampir sejajar pada dinding dada anterior
Opasitas kabur terlihat di bagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah bawah
Opasitas yang paling padat di dekat hilus
Elevasi hilus
Trakea sering menyimpang ke kiri
b. Computed Tomography Scan (CT-SCAN) Kolaps lobus bawah Adanya campuran densitas pada paru yang mengalami kolaps diakibatkan bronkus berisi cair. 24
Kolaps lobus kiri atas
Opasitas kabur terlihat dibagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah bawah
Opasitas yang paling padat di dekat hilus
Kadang seperti nodus limfatik yang mengalami klasifika
Kolaps paru menyeluruh
Opasifikasi hemithoraks
Adanya herniasi di kedua paru retrosternal dan refleksi azygo-esofagus. Esophagus berisi sedikit udara
1. 2. 3.
25
26
Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi). Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan Kategori I
Kasus - TB paru BTA +, BTA - , lesi
II
luas Kambuh Gagal pengobatan
II
mikroskopis, WHO merekomendasikan Paduan obatdengan yang skala Keterangan pembacaan IUATLD diajurkan (International Union Againts Tuberculosis and 2 RHZE / 4 RH atau Lung Disease) : 2 RHZE / 6 HE Tidak ditemukan BTA dalam *2RHZE / 4R3H3 100 lapangan pandang, disebut -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila streptomisin negatif uji resistensi atau 2RHZES / alergi, dapat diganti Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 1RHZE / 5 RHE kanamisin 100 lapangan pandang, ditulis -3-6 kanamisin, ofloksasin, jumlah kuman yang ditemukan etionamid, sikloserin / 15-18 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam ofloksasin, etionamid, sikloserin 100 lapangan pandang, disebut atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
- TB paru putus
Sesuai lama pengobatan
+ (+1)
berobat
sebelumnya, lama berhenti
Ditemukan 1 – 10 BTA dalam
minum obat dan keadaan klinis, 1 lapangan pandang, disebut + bakteriologi dan radiologi saat+ (+2) ini (lihat uraiannya) atau III
-TB paru BTA neg. lesi
IV
minimal - Kronik
IV
- MDR TB
Ditemukan > 10 BTA dalam 1
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 lapangan pandang, disebut +++ 2 RHZE / 4 RH atau (+3) 6 RHE atau *2RHZE /4 R3H3 Pemeriksaan Radiologis RHZES / sesuai hasil uji Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. resistensi (minimal OAT yang Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, sensitif) + obat lini 2 27 top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada (pengobatan minimal 18 bulan) pemeriksaan Sesuai uji resistensi + OAT foto lini toraks, TB dapat memberikan gambaran bermacam-macam 2 atau H seumur hidup
4.9 Evaluasi Pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7 Evaluasi klinik -
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
-
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) -
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
-
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
-
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: -
Sebelum pengobatan
-
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan Evaluasi efek samping secara klinik -
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
-
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
-
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
-
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol 28
(bila ada) -
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling pentin adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman Evalusi keteraturan berobat -
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
-
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh -
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
-
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).8
BAB V 29
KESIMPULAN Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi udara. Atelektasis kontraksi atau sikatriks terjadi bila terdapat perubahan fibrosis pada paru yang merubah struktur dan fungsi paru. Atelektasis sikatriks sering dijumpai pada TB paru kronis. Gejala atelektasis bisa berupa gangguan pernafasan, nyeri dada dan batuk. Pada atelektasis sikatriks penatalaksanaan yang terpenting adalah penceghan menderita hipoksia dan mengobati penyakit penyebabnya. Pada kasus ini penyebab dari atelektasis adalah riwayat putus obat TB yang sudah lama atau TB paru kronik sehingga obat anti tuberkulosis harus diberikan kepada pasien.
30
DAFTAR PUSTAKA 1. Madappa T, Atelectasis. June 2014. [cited on 29 October 2015]. Avaiable at : http://emedicine.medscape.com/article/296468-overview 2. Pubmed Staff. Atelectasis. June 2014. [cited on 29 October 2015]. Avaiable at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0062944/. 3. World Health Organization . 2008. Guidelines for the programmatic management drug– resistant tuberculosis emergency edition,Geneve. 4. Price, A. S., Wilson, M. L. 1990. Patofisiologi. Atelektasis . EGC, Jakarta, Indonesia. 5. PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika 6. Depkes RI. 2007. Pedoman Umum Promosi Penanggulangan Tuberculosis ,Jakarta , 2007 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Jakarta. 8. Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI.Bandung.
31