CJR Estetika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CRITICAL JURNAL REVIEW Disusun untuk memenuhi salah satu tugas wajib KKNI



DISUSUN OLEH : Nama



: Dina Afriyanti Panggabean



NIM



: 220311018



Kelas



: Reguler A



Mata Kuliah : Estetika & Filsafat Seni Dosen Pengampu : 1. Yusnizar Heniwaty.SST., M.Hum., Ph.D 2. Dr.Tuty Rahayu. M.Si



PENDIDIKAN SENI TARI FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat dan rahmat karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun CJR (Critical Jurnal Review) Estetika & Filsafat Seni tepat pada waktu. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan CJR ini baik dari teman-teman dan terutama kepada Dosen Pembimbing saya maka dari itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan CJR ini. Akhir kata semoga CJR ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca. Selain itu, penulis mendari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh kerenanya kritik dan saran dari pembaca diharapkan untuk penyempurnaan CJR selanjutnya.



Medan, 18 Mei 2021



Dina Afriyanti Panggabean



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR Keterampilan membuat CJR (Critical Jurnal Review) pada Mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Tari dapat menguji kemampuan serta keterampilan individu atau Mahasiswa dalam meringkas dan menganalisis isi sebuah jurnal penelitian serta mengkritik sebuah karya tulis yang berupa jurnal yang telah dipublikasikan. Selain dari pada itu, tujuan dibuatnya sebuah ulasan atau review-an sebuah Jurnal adalah agar mempermudah para pembaca dalam memahami dan mengerti akan isi dari Jurnal penelitian yang di kritik dan dianalisis baik dari segi kelemahan maupun kelebihan dari isi Jurnla tersebut. 1.2 Tujuan CJR a) Untuk memenuhi salah satu tugas wajjib KKNI semester II dari dosen pengampu mata kuliah Telaah Kurikulum. b) Untuk mengetahui bagaimana isi dari Jurnal berdasarkan penelitian yang berkenan dengan Pengembangan kurikulum. c) Untuk mengetahui bagaimana kelebihan dan kekurangan dari jurnal. 1.3 Manfaat CJR a) Agar terpenuhinya salah satu tugas wajib KKNI semester II dari dosen pengampu mata kuliah Telaah Kurikulum. b) Agar pembaca megetahui dan menambah wawasan tentang bagaimana isi jurnal berdasarkan penelitian yang mengenai pengembangan kurikulum. c) Agar mengetahui bagaimana kelebihan dan kekurangan dari jurnal.



BAB II ANALISIS JURNAL 2.1 Jurnal Utama Judul Jurnal Penulis Volume & Nomor Halaman Tahun Tanggal Review Abstrak



ESTETIKA TARI ZAPIN SEBAGAI SUMBER PENCIPTAAN KARYA KAKI-KAKI Pengkajian dan Penciptaan Seni Indah Yuni Pengestu & Ediwar dan Martion 1&1 58 hlm Oktober 2013 18, Mei 2021 Kesenian-kesenian yang kuat mengekspresikan peradaban Islam dalam kebudayaan Melayu di antaranya kesenian Zapin. Tari Zapin berkembang tidak hanya dikalangan istana tetapi juga di kalangan masyarakat Melayu dengan ragam-ragam dan gerak yang cukup khas. Konsep estetika gerak Zapin sebagai refleksi dari masyarakat Melayu lebih banyak didasarkan pada nama-nama gerak bernuansa Islam, antara lain gerak alif sembah, alif sembah, bunga alif pusing, dan bunga alif pusing. Kata- kata alif didasarkan pada abjad pertama huruf Arab yang bentuknya tegak lurus, maka komposisi dari gerak alif adalah merupakan gerakan penari yang membuat garis lurus. Dari konsep tentang kebudayaan dalam Islam, maka menurut penulis, zapin adalah salah satu seni Islam. Artinya seni ini adalah wujud dari konsep-konsep ajaran Islam. Didalamnya terkandung nilai-nilai, filsafat, bahkan adat, estetika, etika, dan semua hal yang berkait dengan seni Islam. Di dalam zapin terkandung kultur Islam, yang kemudian disesuaikan dengan jiwa lokal, yakni Alam Melayu, sebagai salah satu kawasan yang menyumbang peradaban Dunia Islam, yang runduk di bawah arahan wahyu Allah. Berkenaan dengan penciptaan tari kaki-kaki maka metode yang digunakan untuk meliputi observasi dan wawancara. Sementara landasan penciptaan yang penulis gunakan adalah pernyataan Datuk Haji Abdul Ghani Othman bahwa “Pada umumnya pergerakan tari Zapin Melayu dititikberatkan kepada cara melangkah serta bunga-bunga langkah dengan hayunan tangan dan badan yang sangat minimal tetapi anggun dan cukup menarik”. Kemudian teori yang dikemukakan oleh Sal Murgiyanto bahwa “Tradisi pada dasarnya merupakan sebuah



2.2 Jurnal Pembanding



Judul Jurnal Penulis Volume & Nomor Halaman Tahun Tanggal Review Abstrak



TINJAUAN ESTETIKA TARI PIRIANG JORONG LIMAU SUNDAI PASIR TALANG SOLOK SELATAN Tinjauan Estetika Tari Piring Desfiarni XII & 2 129 2013 18, Mei 2021 Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan nilai estetika yang terkandung dalam struktur penyajian tari Piriang tradisional dari Jorong limau Sundai Pasir Talang Kabupaten Solok Selatan. Tari ini khasnya ditarikan oleh penari perempuan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Objek penelitaian adalah struktur penyajian tari Piriang tradisional Jorong Limau Sundai. Peneliti merupakan instrumen kunci dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung, wawancara, dan studi pustaka serta pendokumentasian. Data dianalisis dengan metode etnografi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa tari ini memiliki estetika tradisional yang berakar pada nilai-nilai budaya lokal masyarakat Jorong Limau Sundai. Nilai estetika pada tari Piriang Jorong Limau Sundai terdapat pada struktur gerak, kostum, disain lantai, disain musik, dan teknik tari serta ekspresi dari penari perempuan yang rata-rata berusia 45 sampai 48 tahun. Nilai estetika tari Piriang Jorong Limau Sundai tidak terlepas dari nilai budaya yang menjadi dasar bagi masyarakat Jorong Limau Sundai dalam kehidupan sehari-harinya.



BAB III



PEMBAHASAN 3.1 Jurnal Utama Perlu ditegaskan bahwa pembahasan akan dititik beratkan pada tari dalam fungsinya sebagai karya seni yang dihayati untuk mendapatkan pengalaman estetika dan bukan dalam fungsinya yang lain, seperti untuk upacara, hiburan, pergaulan, penerangan, pendidikan, dan lain-lain, karena istilah estetika secara universal hampir selalu diasosiasikan dengan karya seni, meskipun penghayatan keindahan bukan monopoli karya seni. Di bidang seni, estetika sering menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam. Penilaian estetika seseorang dipengaruhi oleh ketajaman penghayatan, suasana emosional, kebebasan, selera, pengalaman, keleluasaan apresiasi, ide keindahan, kebenaran, kenikmatan, realitas, sistem nilai, dan rasa aman, karena nilai- nilai tradisi yang telah mapan dalam moral, agama, prinsip, politik, sosial, dan elemen-elemen magis mungkin tidak disadari adanya. Menurut Ellfeldt (1976: 136), estetika membahas tentang teori filosofis tanpa memberi rumus objektif atau bukti-bukti, yang sasarannya untuk membahas aspek-aspek nilai dari sebuah penghayatan. Pembahasan yang menitik beratkan fungsi utama tari Zapin Melayu bukan berarti melupakan kaitan nilai-nilai keindahan tari dengan nilai-nilai budaya Melayu yang lain, karena pertama, sebuah karya seni tidak bertanggung jawab atas kualitas dan penerimaannya oleh penonton. Tanggung jawab ini dipikul oleh keadaan budaya asal karya tersebut. Karya seni bukan sebuah benda yang ditempelkan begitu saja kepada sekelompok masyarakat.Kedua, karya seni timbul dari kualitas yang menjadi ciri-ciri pokok dari masyarakat induknya. Jika masyarakat yang menghasilkan berantakan, maka karya seni yang dihasilkan akan mencerminkan gambaran di atas. Jika masyarakat yang menghasilkannya kokoh dan moralistik, maka keseniannya pun akan menggambarkan hal yang serupa (Nikolais, 1956: 74). Hal ini menyebabkan Chairul Harun menyarankan untuk mengamati karya-karya tari Indonesia secara artistikantropologis. Saran tersebut didukung oleh pengamat tari lain. Pendekatan semacam ini memang tengah ramai dibicarakan, terutama di kalangan para ahli antropologi tari, seperti pernyataan berikut: Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya.Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984: 5). Pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, dan sejak dulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar.Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal



penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian Zapin adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Sinar, 1982: 3). Jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik.Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu.Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya. Selanjutnya T. Luckman Sinar (1982: 5–12) membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok.Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis- religius.Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot). Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “Malam Berinai Besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan.Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang sematamata bersifat hiburan.Barodah dan Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius.Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu Zapin. Keempat, kelompok tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-patam, dan Gubang. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai. Kerajaan siak sebagai sebuah kerajaan melayu yang besar di zamannya, mempunyai peniggalan yang tak sedikit sampai saat ini, baik peninggalan berupa fisik maupun seni budaya, salah satu dari peninggalan seni budaya yang dikenal dengan nama ZAPIN. Zapin adalah seni tari yang dipadu dengan seni musik. Kesenian ini sudah hidup dan berakar di kerajaan siak sejak berabad yang lalu sampai sekarang. Berbicara mengenai asal tari zapin muncul disiak, ada dua pendapat. Pertama banyak yang mengatakan bahwa kesenian zapin ini berasal dari arab. Menurut Prof umar Amir husin kata zapin berasal dari bahasaArab yakni: ALZAFN yang berarti gerak kaki. Kesenian zapin dibawa oleh pedagang Arab yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam.Pada tahap awal masyarakat siak hanya sebagai penonton atau ikut mendengarkan bunyi-bunyian yang dimainkan oleh pedagang Arab tersebut. Oleh orang Arab dalam misi menyebarkan agama Islam maka melalui kesenian zapin ini diselipkan nafas Islam didalamnya, maka terciptalah suatu kesenian baru yang terdiri dari bunyi-bunyian, nyanyian dan tarian sebagai mana yang kita kenal sekarang yaitu zapin. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa zapin memang tumbuh dari Melayu Siak kemudian dipengaruhi oleh kesenian Arab.Terlepas dari itu semua dapat kita simak bahwa Zapin Siak (bekas Kerajaan siak) pada mulanya tumbuh di masyarakat dan kemudian diangkat dan dijadikan tarian Istana.



Karena tarian ini ditarikan dikalangan Istana, maka masyarakatpun akan ikut memelihara kesenian ini dikalangan rakyat, maka dari istana kesenian ini tumbuh dimasyarakat yang sudah barang tentu berbeda dengan Istana, karena di dalam Istana sudah tentu diatur dari segi adat, estetika, etika dan simbol serta kesatuan dari tarian tersebut secara utuh disesuaikan dengan tatacara atau adat dalam Istana (tata tertib). Dengan proses demikian maka Tari Zapin dikaitkan dalam objek estetika seni dilihat dari sumber inspirasinya: estetika lokal yaitu dari Adat basandi syarak. (Ediwar, 2012: 4). Dikategorikan bahwa tari zapin termasuk dalam tarian tradisional Melayu. Terutama di siak ataupun bekas kerajaan Siak. Dalam khazanah tari Melayu dikenal empat istilah yang berarti tari, yaitu tandak, yang menekankan pada langkah-langkah kaki; igal, yang menekankan pada gerakan-gerakan tubuh; liuk, yang menekankan pada gerakan merendahkan tubuh dan mengayunkan badan dan tangan seperti menggelai dan melayah; dan tari, yang ditandai dengan gerakan lengan, tangan, dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah tari juga digunakan untuk menyebut tari Melayu pada umumnya (Sheppard, 1972: 81). Dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisikal tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam.Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976: 160). Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari kita merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya.Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak. Begitu juga dengan gerak tari zapin Siak, perlu penghayatan yang tinggi karena dalam penampilan tarian zapin,terdapat aturan tertulis yangyang harus diikuti yaitu: 1) Pemusik harus sudah duduk dengan rapi beserta peralatan musiknya. 2) Sepasang penarimasuk ke gelanggang dan langsung duduk bertekuk lutut menghadap pada kelompok pemain musik dengan tangan mengarahkedepan. 3) Pemusik memainkan instrumentalnya lalu diikuti lantunan suara dari pemain gambus.



4) Pada saat Pemain gambus melantunkan suaranya, maka kedua penari berdiri perlahan dan memulai tarian. Selama penari tidak melantunkan lagunya, selama itu pula penari tidak akan memulai tariannya. 5) Si penari memulai tariannya dengan membuat gerakan bunga zapin yaitu Alif, ataupun Alif Sembah. 6) Menarikan tarian zapin dengan berbagai bunga yang dikuasai. 7) Setelah penari merasa lelah atau habis persediaan bungan zapin yang akan dibawakan, maka penari mohon pada pemusik untuk berhenti dengan simbol gerak yaitu melakukan gerakan khusus yaitu Minta Tahto. 8) Melihat gerak ini Si pemusik juga memberikan simbol pada ujung lagunya dengan irama khusus pula yaitu Tahto, agar sipenari dapat mengakhiri tariannya. 9) Bersamaan dengan musik Tahto tersebut penaripun penutup tariannya dengan gerakan Bunga Tahto. Maka berakhir lah satu persembahan tari Zapin 10) Tingkah laku penari haruslah: Tangan kiri penari harus tetap terangkat dengan membentuk siku-siku dengan jari setengah menggenggam dan tidak boleh diayunkan. Sedangkan tangan kanan boleh dilenggangkan mengikuti irama musik. Langkah kai tidak boleh terlalu lebar, an angkt aki pun tidak boleh terlalu tunggi.Badan dan pinggang boleh dilenturkan mengikuti gerak langkah ataupun musik. ( Zulkifli. ZA:Makalah dalam sarasehan mengenang zapin Siak). Dalam aturan tari zapin Siak diatas sangat mengikat penari dari segi keseimbangan gerak dengan musik serta proporsi ritme yang mengekang antara penari dan pemusik. Kemudian menggunakan simbol_simbol gerak antara penari dan pemusik seperti penari melakukan Minta tahto, dan akan di respon oleh pemusik dengan irama khusus Tahto. Hal itu merupakan tanda atau kesepakatan yang berlaku dalam tari zapin. Dalam kehidupan sehari-hari, orang hampir tidak pernah menganalisis keindahan gerak yang dilihatnya. Mereka lebih bereaksi dengan menyatakan kekaguman atau ketidaksenangannya tanpa penjelasan lebih jauh. 1. Teknik Gerak Salah satu hal yang membuat kita dapat merasakan keindahan sebuah gerak tari adalah ketika pelakunya mampu menarikan dengan kekuatan, kelenturan,keseimbangan dan koordinasi yang sempurna, sehingga rasa gerak yang dilakukan merambat dan dirasakan oleh penonton.Kalau penari menggambarkan gerakan terbang, maka penonton pun seakanakan ikut terbang bersama penari. Faktor pertama yang mempengaruhi estetika gerak tari adalah keterampilan atau kemahiran melaksanakan gerak.Penari Jawa menyebutnya wiraga dan dalam literatur Barat disebut teknik gerak atau teknik tari.Berbeda dengan gerakan dalam olahraga, gerakan tari bukan saja harus dilakukan secara benar, tetapi “bagaimana gerakan itu dilakukan” harus terpenuhi. Dengan kata lain, “kualitas” dan “gaya” dalam melakukan gerakan menjadi hal yang sangat penting. Sebagaimana halnya tari tradisi, ada dua hal utama dalam membicarakan tari tradisi Melayu. Pertama, adanya pola-pola gerak yang menjadi dasar penyusunan tari.Kedua, adanya aturan dan konvensi yang menentukan pengaturan pola-pola yang membangun ragam-ragam gerak. Sebagai contoh, dalam tari Zapin dikenal ragam gerak alip, anak ayam patah, catuk,



geliat, pecah lapan, pusing tengah, seribut, siku keluang, sut depan sut gantung, tahto, tongkah, dan lain-lain. Teknik dalam tari tradisi dimaksudkan sebagai keterampilan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh untuk melakukan ragam gerak sesuai dengan aturan dan konvensi yang berlaku dalam tarian yang bersangkutan.Sebagai contoh, keterampilan penari zaman dulu diukur dari kemampuannya melakukan ragam gerak catuk. Diduga gerak ini diilhami dari cara ayam mencatuk makanan., Hal ini terkait dengan alam takambang jadi guru, yang mana gerak terinspirasi dari alam atau isinya. Penilaian akan gerak tersebut dilakukan dengan menyuruh dua penari pria menari dengan sebatang rokok pada masing-masing mulutnya. Seorang penari dengan rokok yang sudah menyala, penari lain dengan rokok yang belum menyala. Pada waktu membawakan ragam tari catuk, penari dengan rokok yang belum menyala harus menghidupkan rokoknya dengan jalan mencatukkan rokoknya ke rokok pasangannya. Mencatuk hanya boleh dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila penari belum berhasil menghidupkan rokok di mulutnya, ia dianggap belum cukup terampil sebagai penari Zapin (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: 157). Atau pun Bagi penari yang handal bila dia menari diatas permadani yang beralaskan tikar rotan, maka permadani tidak akan menjadi kusut. Ini telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam menarikan tarian zapin. Penilaian keindahan gerak tari tradisi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kesukuan, emosional, agama, dan kepercayaan setempat.Dalam menarikan tari Zapin misalnya, pasangan penari pria dan wanita bergerak berdekatan, tetapi tidak boleh saling bersentuhan.Dalam tari Melayu juga dibedakan gerak tari ideal pria dan tari wanita. Mansur (t.t.) berpendapat, penari wanita sebaiknya menonjolkan sikap badan dan gerakan yang lemah lembut, sedangkan penari pria dengan sikap badan dan gerakan yang gagah. Dalam Zapin, penari pria menari dengan tempo lebih cepat daripada gerak penari wanita, serta volume gerak yang lebih besar dari wanita. Hal ini terkait dengan aspek falsafahnya yaitu logika, etika dan estetika. (alua jo patuik) yaitu pantas atau tidaknya gerakan itu dilakukan,dalam hal ini oleh wanita. 2. Musik pengiring Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh.Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut.Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari (Thompson, 1974: 262; Snyder, 1974: 9). pada tari Zapin kepekaan penari terhadap musik sangat mempengaruhi estetika tarian tersebut, karna bunyi tak atau pukulan gong harus jatuh pada hitungan 1 dan 5. Selain itu istilah Tak dan tung yang bermakna tepi dan tengah, maka makna tak dan tung juga berarti tinggi dan rendah. Istilah Tak dan Tung merupakan ciri khas dari keberadaan marwas yang merupkan salah satu alat musik pokok pengiring zapin sekaligus membedakan marwas dengan alat musik lainnya.



Dalam berkata-kata kita memerlukan jeda/perhentian, cepat lambat, dan intonasi suara agar dapat menghadirkan kalimat yang bermakna.Dalam tari pun demikian juga. Gerak sebagai penyusun ragam tari dapat dihasilkan karena pengaturan irama cepat lambat, jeda/perhentian, awal pengembangan, dan klimaks dari tiga unsur gerak (ruang, waktu, dan tenaga). Pengaturan irama semacam ini sangat membantu penari dalam mengingat dan menghafalkan rangkaian gerak, sehingga penari dapat melakukannya dengan penghayatan maksimal. Pengaturan semacam ini juga memudahkan penonton dalam mengikuti dan memahami ungkapan-ungkapan gerak yang dilakukan penari. Seorang penari Zapin, di samping terampil gerak atau wiraga, juga harus menguasai wirama yang terkandung dalam gerak tari maupun irama musik pengiringnya. Dalam tarian Melayu dikenal istilah rentak, yaitu motif irama (musik) tertentu yang mendasari motif gerak tertentu (Dewan Kesenian Jakarta, 1978: 99). Rentaklah yang membangun suasana dan identitas tari Melayu. Rentak yang dikenal antara lain rentak Zapin, rentak Joget, rentak Ghazal, rentak Melayu, rentak Mak Inang, rentak Nobat, dan sebagainya. Semua rentak di atas masih dapat dibagi dalam tiga garis besar, yaitu rentak cepat, rentak sedang, dan rentak lambat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 124). Alat musik pengiring dalam tari Zapin adalah marwas, gong dan gambus. Misuk dalam Zapin jatuh tempo hitungan pada hitungan lima seirning dengan bunyi gong. 3. Busana Penari dan Pemusik Zapin Tarian Zapin Pada asalnya ditarikan oleh penari laki-laki saja, dan terlarang bagi wanita, adapun pakaian penari ini baju kurung melayu cekak musang ataupun teluk belanga dengan memakai kain sampin/samping beserta kopiah. Kain sampin terdiri dari kain pelekat atau kain songket (tenun Siak) yang dipakai sesuai dengan dimana tari itu ditampilkan. Jika dikalangan Istana atau tetamu khusus digunakan kain tenunan Siak. Jika ditampilkan pada hiburan biasa cukup menggunakan kain pelekat saja. Hal ini sesuai dengan aspek falsafah dalam tari zapin Alua jo patuik, yaitu alua aspek logika, etika dan estetika, dan pauik pantas tidak nya kain yang digunakan dalam menarikan zapin. Kalau menarikan zapin dalam istana tentu kurang pantas memakai kain pelekat saja. Begitu juga sebaliknya. Namun dalam perkembangan terutama saat ini wanita telah dapat menarikan zapin maka busana bagi penari wanita adalah: Kebaya labuh berkain sarung pelekat ataupun songket Siak dan berselendang penutup kepala. Aksesoris lainnya adalah: kepala bersanggul melayu, berbunga sanggul, boleh juga berdokah atau berantai, beranting-anting. Sanggul melayu dimaksud adalah terdiri dari beberapa jenis antara lain:sanggul bulat, sanggul ekor kera, lipat pandan, sanggul dua, dan sanggul jonget.Uraian diatas menggambarkan kesatuan dari busana yang digunakan dalam tari Zapin. 4. Penghayatan dan Isi Tarian seorang penari di atas panggung merupakan wujud atau citra yang dinamis. Segala hal yang dilakukan seorang penari menghasilkan sesuatu yang aktual dan dapat diamati oleh penonton yang mempunyai hubungan tempat, waktu, gaya berat, tenaga, tata rupa, pengendalian otot, pengaturan cahaya, dan sebagainya yang merupakan keseimbangan dan kesatuan dalam sebuah tari. Namun, sebuah tarian dikatakan berhasil sebagai karya seni bila wujud fisik dalam pentas seakan-akan tidak ada. Semakin sempurna sebuah tarian, semakin sedikit aktualitas yang dapat ditangkap (Langer, 1957: 5-6).



Seorang penari yang baik sering dikatakan dapat menghidupkan sebuah tarian. Hal ini dapat dimengerti, karena wujud luar tarian yang diamati pada hakekatnya adalah perwujudan dari isi atau makna tarian.Kesan hidup tersebut dapat hadir dalam tarian, jika tarian tersebut berhasil menemukan bentuk seninya, yaitu jika pengalaman batin pencipta atau penarinya berhasil menyatu dengan pengalaman lahirnya. Dalam seni, bentuk memang tidak hadir untuk kepentingan bentuk itu sendiri. Bentuk mengikuti fungsi dan sebaliknya, fungsi terikat pada bentuk. Kita ambil contoh bentuk tarian yang paling sederhana, yaitu sebuah lingkaran. Bentuk lingkaran mensugesti dan menyimbolkan aspek sosialisasi tari.Lingkaran merupakan bentuk yang mengikat sekelompok orang dan meleburkan pribadi-pribadi menjadi kelompok yang satu. Jadi, gerakan lingkaran yang dilakukan akan sangat lemah sebagai bentuk ekspresi jika tanpa penghayatan solidaritas atau rasa kebersamaan antar penari.Begitu juga dalam Tari zapin, apabila penari melakukan sembah tahto mengekspresikan pada penonton bahwa tari zapin akan dimulai. Penari dikatakan berhasil menjiwai sebuah tarian jika mampu menghayati isi atau makna tarian yang dibawakan dan berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton.Dalam tari Jawa, penghayatan ini disebut wirasa. Seorang penari tidak sama dengan seorang olahragawan yang hanya bergerak untuk kepentingan otot-otot atau untuk menang dalam sebuah permainan. Seorang penari harus mampu menghayati dan merasakan setiap gerak yang dilakukan. Dalam mengamati tari Melayu yang bagus, penulis merasa terbawa oleh gerakan penari yang melayang ringan bagaikan berselancar meniti aliran karpet dalam tari zapin, meloncat ringan bagaikan riak gelombang yang pecah membentur karangkarang kecil. Komposisinya berkembang dari tempo yang perlahan, merambat lebih cepat, dan mencapai klimaks kecepatan di akhir bagian. Kualitas gerak untuk memperindah tari Melayu jenis Zapin sesungguhnya masih dapat dikembangkan dan diperluas, mengingat banyaknya jenis tari Melayu yang belum dijelajahi kualitas geraknya, seperti Silat, Makyong, Rodat, dan tarian istana yang memungkinkan untuk dibangkitkankembali. Dari uraian paparan diatas penulis akan mencoba melihat tari Zapin dari aspek falsafah yaitu, alua, patuik, raso, pareso. a) Alua Alua dapat dikatakan menempatkan sesuatu pada tempatnya (Daryusti, 2010:37). Alua dalam tari dapat dilihat dari bagaimana penempatan tari tersebut disesuaikan dengan adat dimana tari tersebut dapat erkembang. Alua dapat dilihat dari segi etika,logika dan estetika dalam sebuah tari. Jika dilihat dari tari Zapin tradisi etika dapat dilihat dari pantas tidaknya tari Zapin ditarikan,seperti pada masa lampau penari tari zapin tidak boleh ditarikan oleh perempuan, hal ini termasuk ke dalam etika dalam menarikan Zapin dari segi pemilihan penari. Kemudian dari gerak tari zapin mempunyai aturanaturan tertentu dalam melaksanakan gerak, seperti tangan tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Dan pada bentuk penyajiannya juga mempunyai aturan yang harus dilakukan seperti yang telah dipaparkan di atas. Dilihat dari segi logika, tari Zapin yaitu dari struktur yang tersusun mulai dari pukulan santing, kemudian masuk penari dengan gerak Alif sembah, minta Tahto kemudian



melakukan ragam gerak bunga-bunga Zapin, merupkaan keteraturan menurut urutan yang tersusun. Logika adalah berfikir secara teratur menurut urutan yang tepat (Daryusti, 2010: 38). Dari segi estetika tari zapin dapat dilihat dari berbagai aspek keindahan yang terkandung dalam tarian tersebut. b) Patuik Patuik atau patut adalah terletak pada temaptnya, atau kepantasan. Pada tari zapin tradisi banyak aturan yang harus dipatuhi seperti pada jumlah penari yaitu dua orang dan ditarikan oleh laki-laki. Kemudian dari busana yang digunakan, kalau tari zapin ini ditampilkan dalam istana maka kostum yang digunakan seperti sesamping adalah songket tenun Siak, namun kalau ditampilkan diluar istana cukup menggunakan kain pelekat. Disanalah letak patuik atau pantasnya, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. c) Raso Raso sama aritnya dengan rasa yaitu merasakan atau mengingat sesuatu, dalam tari Zapin raso dapat dilihat dari segi fungsi tari yaitu tari pergaulan. Dalam pergaulan ada rasa kebersamaan. Kemudian karena tari zapin iak ini merupakan tari tradisi, maka rasa untuk terus melestarikan dan menjaganya supaya tidak punah. Termasuk kedalam raso dalam estetika kajian falsah. d) Pareso Pareso artinya periksa yang dimaksud adalah bertujuan untuk mencari kebenaran (Daryusti,2010:38). Pada konsep estetika dan terkait dengan tari Zapin yaitu dapat dilihat dari bentuk dan tempat atau kapan tarian tersebut dipertunjukan, penarinya siapa saja dan dimana tari tersebut ditampilkan. Tari zapin awalnya merupakan tari yang berkembang dikalangan Istana Siak, kemudian berkembang di kalangan rakyat menjadi salah satu bentuk tari pergaulan. Dalam dua tempat pertunjuakn tersebut mempunya aturan yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari aspek falsafah yaitu pareso dari kajian estetika. Menurut Murgiyanto (1977: 5-6), sebuah tarian tampak indah dan menarik, karena, pertama hubungan waktu ritmis, terdiri dari sekuen-sekuen gerak panjang dan pendek yang dikuatkan oleh aksen-aksen secukupnya; kedua pengaturan ruang sebuah sekuen gerak disusun atas unsur besar kecil, tinggi rendah, kanan kiri, dan muka belakang secara ritmis. Kombinasi berbagai arah ini dapat dilakukan oleh satu orang atau sekelompok penari dan tetap di tempat atau melintasi ruang, dan ketiga perubahan-perubahan penggunaan tenaga dalam tubuh penari, sehingga dinamika sebuah rangkaian gerak yang memberikan kontras antara menegang mengendur, aktif pasif, berat ringan, dan sebagainya akan tampak. Walaupun unsur waktu, ruang, dan tenaga tersebut dapat ditampilkan secara lebih menarik, tetapi pada hakekatnya ketiganya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun sederhananya sebuah gerak, ia akan tetap menggunakan ketiga unsur tersebut. Sebuah tarian yang digarap dengan jelas dan bersih akan memiliki daya pesona yang tinggi, baik bagi penonton awam maupun bagi para ahli tari. 3.2 Jurnal Pembanding 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Jorong Limau Sundai terletak di Nagari Pasir Talang Kecamatan Sungai Pagu Kab. Solok Selatan Sumatera Barat. Pasir Talang Terdiri dari empat nagari yakni Pasir Talang Utara, Pasir Talang Selatan, Pasir Talang Barat dan Pasir Talang Timur. Jorong Limau



Sundai terletak di Nagari Pasir Talang Utara. Di Pasir Talang Utara terdapat empat Jorong yaitu Jorong Jawi-jawi, Jorong Limau Sundai, Jorong Parak Gadang, Jorong Banda Batuang. Jorong Limau Sundai berbatasan dengan; Sebelah Utara berbatasan dengan Rawang Sebelah Selatan berbatasan dengan Kalampaian Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Palak Sebelah Barat berbatasan dengan Banda Gadang Mata pencarian masyarakat Limau Sundai pada umumnya bertani, penghasilan daerah ini terutama beras. Beras yang bersal dari kebupaten Solok Selatan untuk wilayah Sumatera Barat sangat terkenal dengan sebutan bareh Solok. 2. Asal Usul Tari Piriang Di Jorong Limau Sundai Pasir Talang Tari Piriang merupakan tari tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Limau Sundai, semenjak masyarakat Sungai Pagu di bawah kerajaan Minangkabau. Menurut penuturan Warni (Wawancara, tanggal 7 Juli 2012) menjelaskan bahwa Karim Dt Rajo Ngalau (almarhum) yang berasal dari Lolo menikah dengan seorang gadis dari Jorong Limau Sundai. Sesuai dengan adat Minang- kabau bahwa laki-laki yang sudah menikah tinggal di rumah keluarga istrinya. Maka secara otomatis Si Karim berdomisili di Jorong Limau Sundai yang merupakan kakek dari Warni. Karim (kakek Warni) adalah orang yang memiliki kepandain basilek, barandai, manari. Karim mengajarkan kepandaiannya basilek jo barandai kepada urang laki-laki (orang laki- laki), tidak anak yang masih kecil. Disaat Karim mengajarkan silek jo randai (silat dan randai) kepada urang laki-laki, Warni ketika itu berusia 7 tahun (1960-an) selalu melihat dan mengikuti kegiatan latihan laki-laki yang ber- silat dan berandai. Karim mempunyai pemikiran untuk memberikan kegiatan lain kepada Warni (cucunya). Karena Karim juga seorang yang pandai menari, maka timbul ide karim menciptakan dan mengajarkan tari kepada Warni. Tari yang diajarkan oleh Karim kepada Warni di antaranya tari Bungo dan tari Piriang. Warni mengajak kawan-kawannya sapamainan (teman bermain) dan kawan badakokan uma ( teman yang berdekatan rumah dengan Warni) belajar menari. Karim mengambil ide tari Piring dari kebiasaan yang selalu dilakukan oleh perempuan khususnya anak gadis yaitu babadak jo bakasai (memakai bedak). Bedak yang digunakan disebut badak bareh (bedak terbuat dari beras). Melalui ide ini Karim melatih Warni dan kawan-kawan melakukan gerakan yang sesuai dengan kebiasaan ketika para gadis berdandan. Karim mengajarkan gerakan tari Piriang tidak secara berurutan, melainkan meyuruh para gadis tersebut melakukan gerakan sesuai dengan kegiatan perempuan dengan mengaju- kan pertanyaan, Misalnya Karim bertanya kepada para gadis yang belajar menari: “apo nan biaso dikarajoan dek anak padusi?” (apa yang bisa dikerjakan oleh anak gadis di Minangkabau). Para gadis menjawab pertanyaan Karim di antaranya jawabannya adalah memasak, menjahit dan berbedak dan bermake up (babadak jo bakasai). Kemudian Karim meyuruh para gadis tersebut mencoba meniru gerakagerakan tersebut seperti gerakan mamasak, menjahit dan babadak jobakasai. Dari meniru gerakan tersebut maka terciptalah tari Pariang yang berasal dari Jorong Limau Sundai Pasir Talang Kecamatan Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan.



3. Estetika Tari Piriang Di Jorong Limau Sundai Pasir Talang. a. Bentuk dan Susunan Unsur Utama (gerak) Tari Piriang Nama gerak tari Piriang ini terdiri dari, gerak Sambah (gerak sembah), gerak ini meng- gambarkan minta izin dan menghormati penonton, kemudian menghormati sesama penari. Gerak Maindang (manampi), gerak ini menggambarkan kegiatan perempuan yang sedang membersihkan beras (menampi beras). Gerak selanjutnya adalah gerak Maletang (malenggang). Gerak ini menggambarkan perempuan yang sedang berjalan dengan langkah lemah gemulai. Selanjutnya adalah gerak Maoro-oro Banang (manjulurkan banang). Gerak ini menggambarkan menyelesaikan benang yang kusut untuk mempersiapkan kegiatan menjahit dan menenun. Gerak Manampuang Aia (menam- pung air dengan tangan). Gerak ini menggambarkan kegiatan mempersiapkan air mandi dengan menampung air menggunakan tangan. Kemudian gerak Mamunta Banang (memintal, menggulung benang dengan siku). Gerak ini menggambarkan kegiatan perempuan memintal benang dengan menggunakan tangan. Terus gerak Mandi, gerak ini menggambarkan kegiatan perempuan membersihkan badan. Berikutnya gerak Balimau, gerak ini meng- gambarkan seorang perempuan mencuci rambut. Nama gerak selanjutnya gerak Basikek, gerak ini menggambarkan kegiatan perempuan menyisir rambut. Kemudian gerak Babadak, gerak ini menggabarkan kegiatan gadis yang mengusapkan bedak beras ke wajahnya. Gerak Mambuai Anak dan gerak Bamain Jo Anak. Gerak ini menggambarkan kegiatan perempuan mengasuh anaknya penuh kasih sayang. Gerak Sambah Penutup (sembah penutup), gerak ini menggambarkan penari meminta izin untuk mengakhiri pertunjukan tari Piriang. Susunan (struktur) atau urutan gerak tari Piriang. Tari Piriang ini dimulai dengan posisi penari sudah berada di tengah-tengah tempat pertunjukan, dengan posisi jongkok menghadap ke arah penonton dan telah memegang piriang (piring). Setelah penari dalam posisi jongkok dengan memegang piring musik gendang dimainkan, penari belum melakukan gerak tari. Selajutnya penari melakukan gerak pertama yaitu gerak Sambah. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan kedua dengan gerak Maindang. Selanjutnya dilakukan gerak Maletang (maleng- gang). Gerak ini dilakukan sambil posisi berdiri dan berhadap-hadapan. Selanjutnya dilakukan gerak ke empat yaitu gerak Maoro Banang (menyelesaikan benang yang kusut). Gerakan kelima adalah gerak Manampuang Aia (me- nampung air dengan tangan). Kemudian di lanjutkan dengan gerakan ke enam yaitu gerak Mamunta Banang (memintal, menggulung benang dengan siku), dan gerakan ke tujuh gerak Mandi, selanjutnya gerakan ke ke delapan adalah gerak Balimau (mencuci rambut). Seterusnya yang ke sembilan dilanjutkan dengan gerak Basikek (menyisir rambut), gerak ke sepuluh yakni gerak Babadak Bakasai. Gerakan ke sebelas dan ke dua belas adalah gerak Mambuai Anak dan gerak Bamain Jo Anak, kemudian gerak tiga belas adalah gerak sambah penutup, kemudian gerak berjalan sambil pulang. b. Unsur Penunjang Tari Piriang Unsur penunjang tari secara umum terdiri dari pola lantai, penari, musik, tata rias dan busana, properti dan tempat pertunjukan. 1) Pola Lantai Berikut ini akan dijabarkan bentuk dan susunan pola lantai tari Piriang dari Jorong Limau Sundai Pasir Talang Kecamatan Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan. Pola lantai secara umum terdiri dua bentuk, garis lurus dan garis lengkung. Bentuk desain



lantai yang tampak pada tari Piriang ini terdiri dari garis dua berbanjar dan garis horizontal. Garis berbanjar adalah garis yang terbentuk dari susunan posisi garis lurus kebelakang oleh penari, seperti gambar di bawah ini



Garis horizontal adalah garis yang terbentuk oleh penari pada saat berpindah tempat dan kembali ketempat, seperti gambar di bawah ini.



Pola lantai hanya terdiri dari garis lurus menggambarkan kesederhanaan dan dapat pula diinterpretasikan sebagai sifat jujur (lurus), yang sesuai dengan kegiatan (rutinitas) pekerjaan rumah tangga mempunyai maksud bahwa seorang perempuan harus berpegang teguh kepada kodratnya sebagai perempuan yang memiliki kewajiban mengurus rumah tangga, mulai dari memenuhi kebutuhan jasmani, makan dan minum, menyiapkan sandang. Dan tidak melupakan pekerjaan mendidik dan menyeyangi anak-anaknya. 2) Penari Berbicara tentang penari tentu saja berkaitan dengan wujud seseorang yang melakukan perbuatan menari. Penari tari ini terdiri dari penari dengan jumlah genap. Penari lebih dari satu orang dan dapat disebut tari berkelompok. Jumlah penari tari Piriang ini 6 orang tetapi tidak mutlak, dapat ditarikan oleh 4, 8, dan 10 penari. Jenis kelamin penari perempuan, dengan usia berkisar antara 45 – 58 tahun. Penari terdiri dari perempuan yang sudah berkeluarga dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Pesan yang disampaikan melalui penari tari Piriang adalah nasehat yang disampaikan oleh orang- orang yang sudah berusia lanjut atau orang tua. Nasehat biasanya memang disampaikan oleh orang-orang berusia lanjut. Hal ini terlihat dari usia penari tari Piriang ini 50 tahun ke atas. Melalui penari yang usianya sudah usia lanjut diyakini bahwa pesan yang disampaikan lebih dapat diterima oleh yang diberi nasehat. 3) Musik pengiring tari terdiri dari musik internal dan musik eksternal. Musik internal pada tari Piriang ini di timbulkan oleh bunyi pukulan cicin kemiri yang dipakai penari di jari telunjuk, yang dipukulkan pada piring. Pukulan dilakukan secara serempak oleh penari sehingga menimbulkan tempo yang mengatur tempo gerak penari. Pukulan kemiri pada piring disesuaikan dengan tempo gendang. Musik eksternal ditimbulkan oleh pukul- an gendang. Gendang yang digunakan adalah gendang katindiak. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul di ke dua sisinya. Gendang ini bentuknya bulat panjang dengan ukuran lebih kurang 50 centimeter, di dalamnya kosong yang terbuat dari pohon cubadak (nangka) yang dilobangi ditengahnya. Kemudian ke dua ujung lobang yang berbentuk lingkaran berdiameter 30 centimeter, dan ditutup dengan kulit binatang, seperti kulit kambing, kulit kerbau dan kulit sapi. Semua bahan harus dikeringkan terlebih dahulu, setelah itu kulit di tutupkan ke dua ujung lobang gendang atau menutup lobang kiri dan kanan kemudian diikat dengan



rotan. Bentuk pukulan gendang untuk mengiringi tari Piriang sebagai berikut. Keterangan : + : Tum : - : Tak Pola lantai hanya terdiri dari garis lurus menggambarkan kesederhanaan dan dapat pula diinterpretasikan sebagai sifat jujur (lurus). Selanjutnya penari perempuan yang berusia 40 tahun ke atas melakukan kegiatan (rutinitas) pekerjaan rumah tangga mempunyai maksud bahwa seorang perempuan harus berpegang teguh kepada kodratnya sebagai perempuan yang memiliki kewajiban mengurus rumah tangga, mulai dari memenuhi kebutuhan jasmani, makan dan minum, menyiapkan sandang, menjahit pakaian tapi tidak melupakan kebersihan dirinya sendiri. Dan tidak me- lupakan pekerjaan mendidik dan menyeyangi anak-anaknya.



4) Tata rias dan Busana, tari ini ter- masuk tari tradisional. Penarinya sudah berusia 45 tahun ke atas. Kemudian tari ini meng- gambarkan keadaan, rutinitas perempuan dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga. Dengan demikian penari tari Piriang ini tidak memakai tata rias. Busana penari tari Piriang ini memakai busana yang terdiri dari tingkualuak (tutup kepala), baju kuruang (kurung) dan kain sarung (songket). Bentuk tingkuluak (tutup kepala) yang terbuat dari kain sarung bugi warna hitam mempunyai motif garis vertikal dan horizontal yang membentuk kotak-kotak yang dipakai dikepala penari. Cara pemakaiannya kain sarung dilipat menurut panjangnya, dilipat sebanyak empat kali membentuk kain panjang dengan lebar lebih kurang 15 cm. Kemudian diletakkan dibagian belakang sanggul, kemudian ke dua sisi bagian kiri dan kanan dijulurkan ke arah depan sama panjang. Selanjutnya kain disebelah kiri dililitkan ke arah depan kepala, disilang kearah belakang kepala. Demikian pula kain bagian kanan, dililitkan ke arah depan kepala, kemudian disilang kearah kiri belakang kepela (kain disebah kanan di atas kain sebelah kiri). Busana (baju penari) yaitu baju kurung yang terbuat dari suto baragi (sutra bermotif) warna hitam. Suto baragi maksudnya sutra yang bermotif. Tapi menurut masyarakat Minang atau masyarakat Sugai Pagu khususnya, suto itu dapat pula berarti saten yang bermotif atau polos. Warna polos kadang-kadang juga disebut ragi. Pesan yang disampaikan melalui busana perempuan seharusnya memakai pakaian sesuai dengan adat dan agama di Minangkabau. (5). Properti adalah perlengkapan yang tidak termasuk kostum, tidak termasuk perlengkapan panggung, tetapi perlengkapan yang ikut ditarikan oleh penari. Sesuai dengan nama tarinya, maka properti yang digunakan penari berupa piring dan kemiri. Piring yang digunakan adalah piring kanso (piring kaleng) biasa juga disebut piring loyang. Piring kanso lebih ringan dibandingkan dengan piring kaco (kaca). Diameter piring yang dipakai menari sekitar 8 centimeter. Warna piring ini ada yang kuning muda, biru muda, hijau muda dan putih. Untuk warna piring tidak ada ketentuan harus menggunakan warna tertentu, tetapi dapat memilih salah satu warna piring tersebut, karena tidak ada hubungan warna piring dengan isi atau tema tari. Properti terdiri dari piring dan kemiri melambangkan fungsi utama perempuan adalah menyiapkan kebutuhan jasmani keluarga. Jika mereka berada di dapur sering bersentuhan dengan piring dan kemiri. Kemiri merupakan bumbu masak yang sering digunakan. Sesuai dengan ungkapan sepintar-pintar perempuan,



dia akan kembali ke dapur (sasantiang- santiangnyo parampuan, nyo kakadapua juonyo). Bentuk tingkuluak (tutup kepala) yang terbuat dari kain sarung bugi warna hitam mempunyai motif garis vertikal dan horizontal yang membentuk kotak-kotak yang dipakai dikepala penari. Cara pemakaiannya kain sarung dilipat menurut panjangnya, dilipat sebanyak empat kali membentuk kain panjang dengan lebar lebih kurang 15 cm. Kemudian diletakkan dibagian belakang sanggul, kemudian ke dua sisi bagian kiri dan kanan dijulurkan ke arah depan sama panjang. Selanjutnya kain disebelah kiri dililitkan ke arah depan kepala, disilang kearah belakang kepala. Demikian pula kain bagian kanan, dililitkan ke arah depan kepala, kemudian disilang kearah kiri belakang kepela (kain disebah kanan di atas kain sebelah kiri). Busana (baju penari) yaitu baju kurung yang terbuat dari suto baragi (sutra bermotif) warna hitam. Suto baragi maksudnya sutra yang bermotif. Tapi menurut masyarakat Minang atau masyarakat Sugai Pagu khususnya, suto itu dapat pula berarti saten yang bermotif atau polos. Warna polos kadang-kadang juga disebut ragi. Pesan yang disampaikan melalui busana perempuan seharusnya memakai pakaian sesuai dengan adat dan agama di Minangkabau. (5). Properti adalah perlengkapan yang tidak termasuk kostum, tidak termasuk perlengkapan panggung, tetapi perlengkapan yang ikut ditarikan oleh penari. Sesuai dengan nama tarinya, maka properti yang digunakan penari berupa piring dan kemiri. Piring yang digunakan adalah piring kanso (piring kaleng) biasa juga disebut piring loyang. Piring kanso lebih ringan dibandingkan dengan piring kaco (kaca). Diameter piring yang dipakai menari sekitar 8 centimeter. Warna piring ini ada yang kuning muda, biru muda, hijau muda dan putih. Untuk warna piring tidak ada ketentuan harus menggunakan warna tertentu, tetapi dapat memilih salah satu warna piring tersebut, karena tidak ada hubungan warna piring dengan isi atau tema tari. Properti terdiri dari piring dan kemiri melambangkan fungsi utama perempuan adalah menyiapkan kebutuhan jasmani keluarga. Jika mereka berada di dapur sering bersentuhan dengan piring dan kemiri. Kemiri merupakan bumbu masak yang sering digunakan. Sesuai dengan ungkapan sepintar-pintar perempuan, dia akan kembali ke dapur (sasantiang- santiangnyo parampuan, nyo kakadapua juonyo). Sesuai dengan pendapat Gie bahwa keindahan dalam seni mempunyai hubungan yang erat dengan kemampuan manusia menilai karya seni tersebut. Kemampuan ini dikenal dengan istilah”citarasa”. Nilai estetika yang di- jelaskan pada penelitian ini dapat saja berbeda dengan penilaian, pandangan peneliti dengan pihak lain. Kemudian berdasarkan teori Djelantik bahwa aspek estetika adalah wujud dan bobot. Wujud terdiri dari bentuk dan susunan, sedangkan bobot terdiri dari suasana, ide/gagasan serta pesan. Selanjutnya Djelantik menyatakan bahwa kajian estetika dapat dilakukan dengan cara obyektif dan sabyektif. Kajian obyektif adalah kajian yang berdasarkan atas apa yang dilihat dan didengar. Sedangkan kajian sabyektif adalah setelah melalui kajian obyektif, dari itu muncu penghayatan dan pemahaman. Kajian obyektif dalam penelitian ini berkaitan dengan wujud, dan kajian sabyektif dikaitkan dengan bobot. Purwatiningsih (1998: 50) menyatakan bahwa unsur tari terdiri dari unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama adalah gerak dan unsur penunjang adalah pola lantai, penari, musik, busana dan tata rias, properti dan tempat pertunjukan. Jadi penelitian ini mengkaji estetika dari wujud dengan aspek bentuk dan susunan unsur utama dan unsur penunjang tari. Sedangkan bobot dikaitkan dengan suasana, ide/gagasan dan pesan yang terkandung dalam



unsur utama dan unsur penunjang gerak Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa wujud dari aspek bentuk unsur utama (gerak) terdiri dari nama gerak yaitu gerak sambah, gerak maindang, gerak maletang, gerak maoro banang, gerak manampuan aie, gerak mandi, gerak balimau, gerak basikek, gerak, gerak mangasuah anak, gerak bamain jo anak, dan gerak sambah penutup dan pulang. Kesemuan gerakan dalam tari terssebut menggambarkan kegiatan perempuan dalam kehidupan sehari- hari. Dari hasil deskripsi gerak ditemukan gerak yang sering muncul adalah gerak kaki me- langkah dan jinjit, kemudian gerak tangan gerak yang berbalasan, gerak berpindah tempat, dan badan condong ke depan. Pada susunan gerak dimulai dari musik pembuka. Pada musik pembuka berlangsung penari belum melakukan gerak tari, tetapi penari telah menggambil posisi duduk menghadap ke depan. Penari memulai gerakan sambah ke pada penonton dan sesama pemain, dilanjutkan dengan gerak maletang. Gerak maletang yaitu gerak berjalan dengan maksud berpindah tempat dari dapur ke ruang lain untuk melakukan kegiatan menjahit sambil menunggu nasi yang dimasak matang. Dari ruang biasa tempat memjahit kegiatan dilanjutkan dengan gerak maoro banang (menyelesaikan benang yang kusut). Setelah pekerjaan ini selesai maka penari mempersiapkan keperluan untuk mandi dengan gerakan manampuang aie, setelah itu dilanjutkan dengan gerakan mempersiapan benang untuk menjahit yaitu gerak mamunta banang dengan menggulung benang dengan menggunakan tangan. Urutan gerak berikutnya adalah gerakan mandi balimau, basikek, babadak yang bertujuan untuk membersihkan diri setelah semua pekerjaan selesai. Setelah semua pekerjaan selesai dan dilanjutkan kegiatan membersihkan diri, badan terasa bersih dan segar. Waktu se- lajutnya digunakan untuk mengasuh dan men- didik anak, kegiatan ini terlihat pada gerak mambuai anak dan bamain jo anak. Pesan yang terkandung dalam unsur utama (gerak) tari Piriang yakni harus menghormati orang lain, tanpa membedakan usia dan status sosialnya, sabar dan hati-hati, bersih dan rapi, bertanggung jawab terhadap keluarga. Selanjutnya pesan yang terkandung dalam unsur pendukung tari Piriang adalah sederhana dan jujur, bijaksana, berpegang teguh pada adat dan agama serta terbuka dan demokratis. Bentuk dan susunan unsur pendukung pola lantai adalah garis lurus berbentuk dua garis berbanjar dan garis horizontal. Sedangkan penari terdiri dari jumlah penari genap, 4, 6, 8,10 dan seterusnya. Penari berisia 48 sampai 50 tahun. Dari penari terlihat kesederhanaan, karena pada prinsipnya hanya meniru kegiatan sehari-hari dan lingkungannya jauh dari hidup dari perkotaan. Bentuk dan busana tari Piriang terdiri dari tingkuluak (tutup kepala), baju kuruang (baju kurung), kain songket. Bentuk tingkuluak (tutup kepala) yang terbuat dari kain sarung bugis warna hitam mempunyai motif garis vertikal dan horizontal yang membentuk kotakkotak yang dipakai dikepala penari. Baju kuruang yang dipakai penari terdiri dari bebe- rapa pola yaitu pola siba dan pola kikiak. Pola siba adalah pada bagian baju mulai dari ketiak sampai pinggir bagian bawah. Sedangkan kikiak adalah sepotong kain empat persegi yang dipasang pada pertemuan penjahitan badan baju dengan lengan baju kuruang (daun bodi). Penari tidak menggunakan tata rias dan tempat per- tunjukan di arena (halaman rumah, lapangan). Kain sarung songket adalah tenunan dengan benang makau, warnanya kuning keemasan. Warna sarung songket yang dipakai penari adalah warna merah dengan benang



makau warna kuning keemasan. Kain sarung berbentuk kainpanjang yang dipertemukan ke dua ujung kain tersebut, sehingga membentuk karung. Cara pemasangannya adalah sarung disorong- kan melalui kaki sampai ke pinggang. Ke dua ujung kain sarung yang sejajar pinggang dipengang dengan tangan kiri dan tangan kanan. Kemudian kain yang dipegang tangan kanan dilipat ke arah sisi kiri menempel pada perut sebatas pinggang bagian depan, berikut- nya dilanjutkan dengan kain pada tangan kiri dilipat kearah sisi kanan di atas lipatan yang pertama. Kemudian lingkaran pinggang diikat supaya kain sarung tidak jatuh. Bentuk piring yang dipakai pada tari tari Piriang adalah piring kanso (piring kaleng). Piring kanso berdiameter 8 cm. Kemudian warna piring yang digunakan ada yang berwarna kuning muda, biru muda, hijau muda dan putih. Untuk warna piring tidak ada ketentuan harus menggunakan warna tertentu, tetapi dapat memilih salah satu warna piring tersebut. Selanjutnya properti yang digunakan dalam tari Piriang tersebut adalah kemiri. Kemiri yang menghasilkan bunyi pada tari. Kemudian kemiri yang dipilih adalah kemiri yang benar- benar keras kulitnya, dan lobangi bagian salah ujung kemiri yang sesuai dengan besar jari telunjuk, agar bisa masuk kelobang yang dibuat pada kemiri tersebut. Tempat pertunjukan adalah tempat dimana tari itu dipertunjukan. Bentuk tempat pertunjukan tari Piriang biasa- nya dipertunjukan dilapangan terbuka (arena) berbentuk tapal kuda, dihalaman rumah. Nama-nama gerak tari Piriang diambil dari kata-kata dalam bahasa daerah setempat seperti; gerak Maindang, gerak Maletang, gerak Ma-Oro Banang, gerak Mamunta Banang, gerak Manampuang Aie, gerak Mandi, gerak Balimau, gerak Babadak Bakasai, gerak Mambuai, Bamain jo anak. Tari ini meng- gambarkan kehidupan masyarakat khususnya kehidupan perempuan yaitu kegiatan memasak melalui gerak Maindang. Gerak maindang menggambarkan seorang perempuan mem- bersihkan beras dari atahnya (padi) untuk dimasak menjadi nasi. Kemudian kegiatan men- jahit yang diungkapkan melaluui gerak Maoro banag, Mamunta banang. Memasak dan men- jahit adalah kegiatan perempuan yang merupa- kan kewajiban yang dilakukan setiap hari. Dilanjutkan dengan gerak manampuang Aia, gerak Mandi, gerak Balimau, Gerak Babadak Bakasai. Gerakan tersebut menggambarkan urutan kegiatan perempuan membersihkan diri. Gerak Mambuai anak dan gerak Bamain jo anak menggambar perempuan mendidik dan membesarkan anak dengan penuh klasih sayang. Berdasarkan uraian di atas, bahwa suasana yang tergambar dalam tari Piriang ini yang dominan adalah suasana tenang dan damai. Astuti (2004: 27) menjelaskan bahwa ciriciri yang melekat pada perempuan dan laki- laki tidak dapat dipertukarkan. Disisi lain konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki kemudian dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya sifat perempuan antara lain cendrung bersifat lemah lembut, tidak agresif atau tenang, dan penyayang. Kemudian Boestami dalam Astuti (2004:7) menjelaskan perempuan terbagi tiga golongan yakni, pertama simarewan, ke dua mambang tali awan dan ke tiga parampuan (perempuan). Simarewan adalah perempuan yang berpilaku tidak sopan. Baik dalam perkataan, pergaulan maupun peradapannya terhadap orang yang lebih tua dari dirinya. Mambang tali awan adalah perempuan tinggi hati, sombong, suka memfitnah. Ke dua sifat di atas tidak dinginkan oleh masyarakat Minangkabau. Parampuan (perempuan) adalah perempuan baik budi, senantiasa mempunyai sifat terpuji menurut adat, baik semasa masih gadis maupun setelah menjadi seorang ibu.



Berdasarkan pendapat di atas bahwa sifat lemah lembut dan tenang tergambar dalam tari Piriang melalui semua bentuk gerak. Sifat penyayang digambarkan melalui gerak Mengasuh anak dan gerak bermain dengan anak. Kemudian suasana pada unsur penunjang juga terdapat suasana damai dan tenang Sifat-sifat seperti inilah yang seharusnya yang ada pada perempuan di Minangkabau sesuai dengan hasil penelitian ide tari Piriang diambil dari kegiatan kehidupan sehari-hari perempuan yang berisi pesan sesuai dengan kodrat sebagai seorang perempuan Minangkabau, perempuan itu harus memiliki keterampilan memasak, menjahit dan membiasakan diri hidup bersih, sesuai dengan ajaran agama Islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat Jorong Limau Sundai Kanagarian Pasir Talang Kecamatan Sungai Pagu Kab. Solok, kebersihan separoh dari iman. Tari ini diciptakan bukan secara individual oleh Karim, akan tetapi tari diciptakan secara bersama-sama oleh Karim dengan cucunya beserta teman- teman cucunya (Warni). Tari ini mengandung nilai estetika (ke- indahan) yang tinggi, karena ternyata tari Piriang ini tercipta dari ide yang bersumber pada kehidupan masyarakat khususnya kaum perempuan yang menggambarkan suasana yang tenang dalam melakukan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Gerak tari yang ditampil- kan diekspresikan tanpa beban, karena gerak tersebut menggambarkan aktivitas yang lazim dilaksanakan sehari-hari. Tari Piriang ini syarat dengan pesan adat dan agama Islam, pesan tergambar dari ruang lingkup estetika yakni bentuk dan bobot. 3.3 Kelebihan Jurnal  Dari abstrak yang ditampilkan menunjukkan sebagian besar dari isi jurnal tersebut, dari hasil penelitian yang dilakukan sudah tercamtum didalam abstrak sehingga memudahkan para pembaca maupun pengkritik jurnal mengetahui isi dari jurnal tersebut hanya dari abstrak yang di tampilkan.  Pada hasil penelitian yang dituliskan di jurnal banyak disertakan pendapat dan teori dari para ahli sehingga isi jurnal yang di sampaikan lebih akurat.  Sistematika penulisan jurnal rapid an teratur sesuia dengan sistematika penulisan jurnal pada umumnya dengan dua kolom teks.  Bahasa yang di gunakan pun mudah dipahami dan dimengerti oleh para pembaca dengan mudah akan isi jurnal tersebut.  Teori atau hasil penelitian dari jurnal tersebut berdasarkan fakta di lapangan.  Daftar rujukan yang ada pada jurnal sangat banyak sehingga menyakinkan para pembaca jurnal bahwa penulis jurnal itu sangat benar-benar menggunakan banyak referensi untuk jurnal tersebut.  Estetika pada kedua jurnal tenang tari ini sangat menonjol dengan begitu kita akan dapat memahami pada estetiknya suatu tari tersebut.  Hubungan antara estetika dengan aspek seni sangat jelas dan paling banyak dibicarakan dalam garapan atau karya seni. Karena pada dasarnya hakikat karya seni adalah keindahan.Keindahan dalam karya seni melekat secara langsung sebab karya seni pada dasarnya identik dengan keindahan itu sendiri



3.4 Kekurangan Jurnal  Tidak terdapat saran dari peneliti, penulis dan penyusun jurnal tersebut terkait dengan penelitian yang telah dilakukan



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Tari Zapin yang dilihat dari aspek falsafi yang meliputi Alua, patuik, raso, pareso. Dimiliki dalam karya tari Zapin baik dari segi penari, musik pengiring tari, gerak dan busana.Dalam kajian estetia tari Zapin bertujuan untuk pemahaman fungsi dan estetis tari zapin terkait dengan nilai filosofi,histori dan estetika tari Zapin Siak Riau. Kiendahan dapat dilihat dari bentuk gerak, iringan dan busana. Estetika tari Piriang tradisional Limau Sundai terdiri dari dua aspek yaitu wujud dan bobot. Wujud terdiri dari bentuk dan susunan, sedangkan bobot terdiri dari suasana, ide/ gagasan dan pesan. Dapat disimpulkan wujud dalam bentuk dan susunan gerak pada tari Pirinag Limau Sundai secara teks dan konteks- tual memiliki nilai estetika yang berasaskan pada keindahan yang terkait pada nilai kultural masyarakat Limau Sundai atau masyarakat Sunagi Pagu dan sekitarnya. Sehingga khasanah gerak tetap mencerminkan pola kehidupan masyarakat sunagi Pagu yaitu bagaimana pola kehidupan sosial seorang perempuan dalam kesehariannya. Pola kehidupan tersebut ditat dengan mengandung nilai artistik, sehingga muncul nilai estetis yang alamiah dari konteks lokal. Unsur pendukung juga tidak terlepas dari khasanah budaya lokal, sehingga tari Piriang dapat dikatakan estetis olah masyarakat sunagi Pagu, disebabkan di dalam tarian tersebut telah terkandung unsur-unsur budaya lokal, yang akrab dengan naluri seni dan falsafh hidup masyarakat. Sehingga dengan terikatnya tari Piriang dengan ruang dan waktu dari budaya Sungai pagu menyebabkan tarian ini dapat dinikmati dari unsur estetika oleh masyarakat pendukungnya.



DAFTAR PUSTAKA https://journal.isi-padangpanjang.ac.id/index.php/Bercadik/article/view/22 http://ejournal.unp.ac.id/index.php/humanus/article/view/4032/3216