CJR Pendidikan Luar Sekolah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CRITICAL JOURAL REVIEW MK. PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH PRODI S1 PGSD-FIP Skor Nilai :



“ Pendidikan Informasi Reposisi, Pengakuan dan Penghargaan” , “Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Kecakapan Hidup pada Pendidikan Luar Sekolah” , dan “ Second-generation Non-formal Education and the Sustainable Development Goals: Operationalising the SDGs Through Community Learning Centres”



Nama Mahasiswa



: Salwa Nazira Maulida



NIM



: 1203111044



Dosen Pengampu



: Dr. Nurlaila, M. Pd



Mata Kuliah



: Pendidikan Luar Sekolah



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MEDAN NOVEMBER 2020



EXCECUTIVE SUMMARY



Didalam jurnal-jurnal yang saya review , selalu memberikan kesan yang menarik. Topik ini memberikan daya tarik yang kuat pada setiap orang, tata cara tentang pendidikan luar sekolah khusussnya untuk anak berkebutuhan khusus senantiasa memberikan penjelasan bagaimana menjadi orang tua maupun pendidik yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan situasi dan sayarat-syarat menjadi orang tua maupun pendidik yang baik. Jurnal-jurnal ini juga bertujuan untuk memberikan uraian mengenai halhal yang baik tentang pendidikan luar sekolah. Seseorang akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh orang tuanya maupun pendidiknya. Ada yang mengungkapkan bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah, maupun pendidik lah yang bertanggung jawab atas kegagalan tumbuh dan kembangnya anak, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi penting terhadap anak. Orang tua, masyarakat, pemerintah, maupun pendidik digambarkan sebagai pengembala dan setiap pengembala akan ditanyakan tentang perilaku pengembalanya. Orang tua, masyarakat, pemerintah, maupun pendidik kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuat keputusan. Ada juga yang mengartikan sebagai suatu inisiatif untuk bertindak menghasilkan suatu pola yang konsisten pada anak. Ungkapan ini membuktikan bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah, maupun pendidik apapun wujudnya , dimana pun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkannya.



i



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia pada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas “ Critical Book Review “ ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan malakah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu Dr. Nurlalila, M.Pd, selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Luar Sekolah yang senantiasa membimbing penulis. Disamping itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan kita bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis menyadari CBR ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan tugas ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.



Medan, 01 Oktober 2020



(penulis)



ii



DAFTAR ISI



COVER…………………………………………………………………………………… EXCECUTIVE SUMMARY…………………………………………………………... i KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… A. Rasionalisasi pentingnya cjr…………………………………………………………. 1 B. Tujuan penulisan cjr………………………………………………………………….. 1 C. Manfaat cjr…………………………………………………………………………… 1 BAB II RINGKASAN ISI………………………………………………………………2 BAB III PENUTUP……………………………………………………………………… A. Kesimpulan………………………………………………………………………….. 21 B. Rekomendasi dan Saran……………………………………………………………... 21



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Rasionalisasi pentingnya CJR Sering kali kita bingung memilih jurnal referensi untuk kita baca dan pahami. Terkadang kita memilih jurnal, namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari segi analisis bahasa, dan pembahasan tentang pendidikan luar sekolah . Oleh karena itu, penulis membuat Critical Journal Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih jurnal referensi. B. Tujuan penulisan CJR ini dibuat untuk pemenuhan tugas pada mata kuliah “Pendidikan Luar Sekolah” oleh ibu Dr. Nurlaila, M.Pd untuk menambah wawasan penulis dan pembaca, meningkatkan skill penulis, dan menguatkan minat pembaca akan jurnal, serta menguatkan isi jurnal. C. Manfaat CJR 1. Memberi pengetahuan tentang arti pentingnya pendidikan luar sekolah. 2. Memberi informasi betapa berharganya pendidikan luar sekolah pada setiap individu. 3. Mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan luar sekolah. 4. Mengetahui . 5. Meningkatkan pengetahuan tentang membimbing remaja sebagai pencapaian identitasnya sebagai manusia. D. Identitas Journal yangdireview Jurnal 1 1. Judul : Pendidikan Informal 2. Nama : Reposisi, Pengakuan dan Penghargaan 3. Tahun : 2018 4. Volume :2 5. Nomor :1 6. Halaman : 60-67 7. Pengarang : Elih Sudiapermana 8. Penerbit : Universitas Pendidikan Indonesia 9. Kota terbit : Bandung 10.Alamat Situs : www.googlescholar.id 11.ISSN : 0022-2445 Jurnal 2 1. Judul 2. Nama Jurnal 3. Tahun 4. Volume 5. Nomor



: Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan : Pengembangan Model Evaluasi Pendidikan Kecakapan Hidup pada Pendidikan Luar Sekolah : 2018 :4 :2 1



6. Halaman 7. Pengarang 8. Penerbit 9. Kota Terbit 10. Alamat Situs 11. ISSN Jurnal 3



: 261-274 : Sofyan Hadi, Yoyon Suryono : Institut Agama Islam Negeri Jember, Universitas Negeri Yogyakarta : Jember dan Yogyakarta : www.googlescholar.id : OO42-2205



1. Judul



: International Journal of Lifelong Education



2. Nama Jurnal



: Second-generation non-formal education and the sustainable development goals: operationalising the SDGs through community learning centres



3. Tahun



: 2019



4. Volume



:5



5. Nomor



: 10



6. Halaman



: 162-174



7. Pengarang



: Alan Rogers



8. Penerbit



: Routledge Taylor & Francis Group



9. Kota Terbit



:-



10.Alamat Situs



: https://www.tandfonline.com/loi/tled20



11.ISSN



: 0260-1370



2



BAB II RINGKASAN ISI Jurnal 1 Tujuan Penelitian: Untuk mengelompokkan reposisi, pengakuan dan penghargaan dalam pendidikan informal. Subjek Penelitian: kalangan masyarakat, guru dan siswa. Assasment Data: Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan dilakukan melalui tiga jalur, yaitu: pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal dilakukan di sekolah, pendidikan non formal dilaksanakan di masyarakat, dan pendidikan informal utamanya dilaksanakan di keluarga. Oleh karena itu, pendidikan non formal dan informal sering diasosiasikan sebagai pendidikan di luar sistem persekolahan, atau secara singkat disebut pendidikan luar sekolah. Terlepas dari beberapa perbedaan pandangan yang ada di kalangan masyarakat (khususnya akademisi), dapat dipahami jika dalam undang-undang sebelumnya, yakni UU Sisdiknas No.2/1989 ditegaskan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui jalur persekolahan dan jalur pendidikan luar sekolah. Sejalan dengan itu, di lingkungan Departemen/Kementerian Pendidikan Nasional, dalam struktur organisasi Kementerian/Departemen juga terjadi penggantian nomenklatur dari Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal. Walaupun tentu tidak berarti pengaturan sistem pendidikan nasional melalui undang-undang ini bermaksud hanya membatasi pendidikan nonformal dan informal (pendidikan luar sekolah) yang diselenggarakan Departemen/Kementerian Pendidikan Nasional. Kata Kunci: Pendidikan Informal, Reposisi, Pembelajaran. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini menggunakan pendeketan kualitatif Langkah PenelitianHasil Penelitiankan pursuit pemahaman, pengetahuan, atau kecakapan yang terjadi diluar kurikulum lembaga yang disediakan oleh program pendidikan, kursus atau lokakarya. Pembelajaran informal bisa terjadi di setiap konteks diluar kurikulum lembaga. Hal ini dibedakan dari persepsi harian dan sosialisasi umum dengan identifikasi kesadaran diri individu tentang aktifitas sebagai pembelajaran bermakna. Hal mendasar dari pendidikan informal (tujuan, isi, cara dan proses pemerolehan, lamanya, evaluasi hasil dan aplikasi) ditentukan oleh individu dan kelompok yang memilih terlibat didalamnya, tanpa kehadiran seorang instruktur yang memiliki otoritas secara melembaga. Pendidikan informal biasa juga disebut pendidikan keluarga, dimana pendidikan dimulai dari keluarga. Menurut Tarakiawan (2001), pendidikan yang mungkin terjadi dalam keluarga, yaitu: 1) pendidikan iman, 2) pendidikan moral, 3) pendidikan fisik, 4) pendidikan intelektual, 5) pendidikan psikis, 6) pendidikan sosial, dan 7) pendidikan seksual. Sejalan dengan itu, Abdul Halim mengemukakan bahwa mendidik anak pada hakikatnya merupakan serangkaian usaha nyata orang tua dalam rangka: 1) menyelamatkan fitrah Islamiah anak, 2) mengembangkan



potensi pikir anak, 3) mengembangkan potensi rasa anak, 4) mengembangkan potensi karsa anak 5) me-ngembangkan potensi kerja anak, dan 6) mengembangkan potensi sehat anak. Adapun mengenai metode-metode dalam pendidikan keluarga yang banyak berpengaruh terhadap anak, menurut Abdullah Nashih Ulwan (2001), terdiri dari: 1) pendidikan dengan keteladanan, 2) pendidikan dengan adat kebiasaan, 3) pendidikan dengan nasihat, 4) pendidikan dengan pengawasan, dan 5) pendidikan dengan hukuman (sanksi). Charles L. Harper (1989) mengemukakan dua perspektif dalam melihat proses perubahan dunia global, yakni: 1) perspektif sistem dalam memandang dunia dan masalahnya, 2) perspektif ekologis tentang hubungan antara aktifitas sosial manusia dan kapasitas planet bumi dalam mendorong kehidupan. Dalam sudut pandang sistem, masalah yang akan dihadapi adalah saling kebergantungan ekonomi, politik, ideologi dan budaya. Bahkan sistem dunia akan menjadi sangat kompleks, tidak teratur dan tidak stabil (berubah terus menerus). Sedangkan dalam sudut pandang ekologis, persoalannya adalah sejauhmana lingkungan fisik dan sumberdayanya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia yang populasinya makin tinggi dengan tetap menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan. Apapun yang menjadi perspektif dalam melihat perkembangan kehidupan dunia, globalisasi telah menjadikan dunia menjadi ruang terbuka bagi interaksi dan saling pengaruh antar pihak (orang, kelompok, negara, dll). Oleh karena itu, adanya berbagai fenomena dan kesepakatan negara-negara di dunia terkait dengan peningkatan kualitas manusia sebagai subyek sekaligus obyek dalam berbagai aktifitas yang berpengaruh terhadap perubahan-perubahan, merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan. orang dewasa untuk menunjukkan dan memperoleh pengakuan belajar bahwa mereka memperoleh pendidikan di luar pengaturan atau system yang ada. Fokus PLAR pada apa yang orang dewasa ketahui dan dapat dilakukan. PLAR digunakan untuk menilai pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam kaitannya dengan kriteria tertentu. Pendirian yang jelas dan terukur merupakan kriteria kunci berkualitas tinggi PLAR. Berbagai metode dapat digunakan untuk menilai prior learning. Termasuk demonstrasi, wawancara terstruktur, dan presentasi dari contoh-contoh atau produk. Kekuatan Jurnal: Jurnal ini memiliki materi yang cukup bagus dan dapat dipahami oleh para review, dan bahasanya tidak terlalu kaku. Kelemahan Jurnal: Jurnal initidak memiliki langkah penelitian Kesimpulan: Secara konseptual, menghadapi tantangan-tantangan abad ke-21, Jacolus Delors mengemukakan ada empat pilar pembelajaran, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Sedangkan Rose and Nicholl berpendapat bahwa hal penting dalam pendidikan menghadapi abad ke-21 adalah bagaimana membelajarkan learning how to learn dan learning how to think. Kemudian, banyak perguruan tinggi, universitas, dan profesional lembaga lisensi dan sertifikasi menggunakan tes tertulis untuk menilai pelamar prior learning. Beberapa organisasi menawarkan kursus pengembangan portofolio. Sebuah portofolio adalah sebuah koleksi dokumen terorganisir dan item lainnya yang menunjukkan apa yang individu ketahui dan bisa lakukan. Salah satu hal yang paling penting untuk memahami tentang PLAR adalah bahwa PLAR tidak mengakui pengalaman. PLAR mengakui pengetahuan dan keterampilan yang orang telah peroleh dari pengalaman mereka. Namun, jika Anda memiliki pengetahuan dan



keterampilan yang akan dikenali, PLAR mungkin merupakan pilihan yang tepat bagi Anda. Seperti apa bentuknya, inilah agenda paling nyata dalam memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pendidikan informal. Saran: Didalam kelebihan terhadap jurnal tersebut agar lebih dipertahankan dan ditingkatkan lagi, mengenai kekurangan jurnal agar lebih diteliti lagi agar mencapai hasil yang lebih maksimal. Referensi: Adbullah Nashih Ulwan. (1992). Kaidah-kaidah Dasar Pendidikan Anak Menurut Islam. Banding: Remaja Rosda Karya Pustaka Ag, Soejono. (1979). Aliran Baru dalam Pendidikan (Jilid 2). Bandung: CV.Ilmu Anwas Isakandar. (1996). Pendidikan Luar Sekolah dalam Pelita VII, Prakiraan berpegang pada 25 tahun Pendidi kan Sekolah. Makalah (Seminar HAI XXXI di Bogor) Anonim. (1993). Continuing Education: New Policies and Directions (Jilid.1). Bangkok: UNESCO Principal Regional Office for Asia and The Pacific Cristopher Jencks, et.al. (1972). Inequality: A Reassesment of the effectof Family and Schooling in America. New York: Harper & Rpws Publishers Dedi Supriadi. (1985). Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orang tua dalam Keluarga dan Siswa-Guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif. Disertasi. Bandung: PPs-IKIP Bandung Diane Scott-Jones and Wilma Peebles-Wilkins. (1986). Sex Equity in Parenting and Parent Education. Theory into Practice, No.4, Vol.XXV. Autumn Gonzales, MCT and Pijano, MCV. (1997). Non Formal Education in the Philippines: A Fundamental Step Towards Lifelong Learning. ed. Hatton. MJ. Lifelong Learning. Paris: UNESCO Publication. Harbinson. (1979). A Human resources Approach to the Development of Africa Nations and Education Sector Planning for development of Nationwide Learning System. Washington: OLCACE Joseph H. Stevens, Jr., Ruth A. Hough, Joanne R. Nurss. (1993). The Influence of Pa-rents on Children’s Development and Education”, ed. Bernard Spodek, Handbook of Research on the Education of Young Children. New York: Macmillan Publishing Company Lengrand, P. (1984). Pendidikan Sepanjang Hayat Terjemahan Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan. Jakarta: Gunung Agung Marcia J. Carlson and Mary E. Corcoran. Family Structure and Children’s Behavioral and Cognitive Outcomes. Tersedia: http://.ncfr.alle…/?request=get-abstract&issn=00222445&volume=063& issue=03&page=077 Mohammad Shochib. (1998). Pola Asuh Orang Tua: Dalam membantu Anak Mengembangan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta Philip H. Coombs dan Manzoor Ahmed. (1984). Memerangi Kemiskinan di Perdesaan melalui Pendidikan Non Formal. Jakarta: Rajawali R. Gary Bridge; Charles M. Judd; Peter R. Moock. (1979). The Determinant of Educa-tional Outcomes: The Impact of Families, Peers, Teachers, and School. Cambridge: Ballinger Publishing Company Sikun Pribadi. (1980). Landasan Kependidikan. Bandung: FFP FIP IKIP Bandung ___________. (1981). Filsafat Kehidupan Keluarga. ed. Sikun dan Subowo, Menuju Keluarga Bijaksana. Banding: Yayasan Sekolah Isteri Bijaksana. Soedijarto. (1997). Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiap-kan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta:Balai Pustaka Soelaeman, MI. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Fenomenologis terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi, Bandung: FPs IKIP Bandung Sunaryo. (1983). Iklim Kehidupan Keluarga. Tesis. Bandung: FPS IKIP Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wuraji. (1997).



Peranan Pendidikan Luar Sekolah dalam Membangun Masyarakat Gemar belajar. Makalah disampaikan pada Konvensi ISPPSI di Surabaya



PEMBAHASAN JURNAL Dewasa ini pendidikan formal sudah sangat mapan menjadi mainstream pembangunan pendidikan dan pendidikan nonformal dalam perkembangannya menunjukkan peran penting khususnya dalam pendidikan orang dewasa, namun bagaimana halnya dengan pendidikan informal?. Sejalan dengan kerangka kerja pembelajaran/pendidikan sepanjang hayat, Paul Lengrand (1984) berpendapat bahwa jika sistem pendidikan mempersiapkan seseorang untuk menghadapi tantangan-tantangan



modern, maka sistem itu harus keluar dari fungsi sekolah yang tradisional, yang berperan melayani seperti gudang/peyimpanan dan pemancar kearifan masa lampau yang terakumulasi. Sekolah formal tidak dapat hidup dalam suatu keadaan yang berubah terus menerus. Beberapa „rem‟, termasuk organisasi birokrasi yang kompleks, sifat-sifatnya yang mendorong, dan kecenderungannya untuk menghasilkan konformitas terhadap norma-norma ideologi dan perilaku yang telah ditetapkan secara sentral, menjadikan sekolah formal jauh dari perubahanperubahan secepat yang menjadi tuntutan tersebut. Karena itu komponen-komponen sistem pendidikan non formal dan informal yang lebih fleksibel dan inovatif harus memperkaya pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dan tidak akan dilakukan sekolah. Banyak sekali isu-isu yang berkembang pada pendidikan informal, tegasnya pengakuan secara yuridis yang tidak serta merta memberi dampak pada kepercayaan sosial- akademik terhadap proses dan hasil pendidikan informal. Hal ini antara lain terkait dengan pertanyaan/ isu yang dilontarkan: “apakah mungkin yang informal itu sebagai sebuah proses pendidikan, mengingat pendidikan itu merupakan suatu usaha sengaja dan terencana?” Daniel Schugurensky (2000) menegaskan bahwa untuk informal lebih tepat belajar/pembelajaran bukan pendidikan, karena dalam proses belajar informal tidak ada lembaga pendidikan, tidak ada instruktur/guru yang memiliki otoritas secara institusional, dan tidak ada kurikulum yag diresepkan. Dalam banyak kajian akademik memang indikator pendidikan informal selalu terkait dengan adanya kemandirian belajar dan tidak adanya pihak tertentu yang secara sengaja‟ membangun interkasi dan melakukan intervensi. George Axinn (Sutaryat,1984) dengan pendekatan kesadaran tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pendidikan (pendidik dan peserta dididk) mencoba menempatkan pendidikan informal dalam suatu kwadran proses pendidikan dimana salah satu pihak (pendidik atau peserta dididk) tidak menyadari akan tujuan pendidikan yang dilakukannya. Artinya kesadaran melakukan belajar hanya ada dari salah satu pihak, bisa hanya pihak pendidik. Misalnya orangtua (sebagai pendidik) bermaksud memberi teladan kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengajak anak-anak secara khusus diminta mempelajarainya. Atau suatu media dalam fungsinya memberi informasi



6



adanya seorang tokoh yang berhasil memelihara lingkungannya menjadi hijau kembali, ternyata ada sekelompok pembaca (sebagai pihak peserta didik) yang secara sengaja mempelajari bagaimana cara-cara penghijauan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam melakukan penataan lingkungan. Mungkinkah karena dianggap tidak ada unsur inisiatif dan apalagi intervensi yang sengaja‟ dari pihak tertentu (guru, pamong, tutor, fasilitator, instruktur, lembaga pendidikan, dll.) maka pendidikan informal merupakan istilah yang salah dan hanya berhak disebut pembelajaran/belajar informal? Mungkinkah dengan pandangan seperti itu pula akhirnya kepercayaan dan apalagi penghargaan terhadap hasil belajar (pendidikan) informal sulit diperoleh ? Sisi gelap lain dari pendidikan informal adalah pemakaian istilah informal dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali istilah formal dipahami sebagai sesuatu yang legal dan mendapat pengakuan dari negara, bahkan sering diartikan sebagai sesuatu yang resmi. Ada pakaian formal, ada pertemuan formal, ada iuran/sumbangan formal, yang kesemuanya bermakna sebagai sesuatu yang resmi dan legal. Akibat pola pikir seperti ini, sesuatu yang tidak formal (sering disebut nonformal atau informal) dipahami sebagai suatu yang tidak resmi, kurang penting, dianggap tidak perlu mendapat pengakuan dan bahkan dianggap tidak berarti. Lebih celaka lagi, sesuatu yang nonformal atau informal sering dianggap sebagai sebuah penyimpangan atau sekurang-kurangnya dianggap sebagai suatu penentangan terhadap yang formal. Lihatlah kalimat-kalimat berikut. “Para tokoh politik yang kecewa terhadap hasil musyawarah melakukan pertemuan informal”, “Pedagang kaki lima sebagai pelaku ekonomi sektor informal dikejar-kejar Satpol PP”. Dan banyak lagi bisa kita temui kalimat-kalimat senada yang dirasakan „meminggirkan‟ sesuatu yang informal atau nonformal.



6



Jurnal 2 Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model evaluasi penyelenggaraan pendidikan life skills. Subjek Penelitian: Kalangan masyarakat, pelajar, pelamar kerja, universitas. Assesment Data:. Model ELSEd merupakan kombinasi model CIPP (Context, Input, Process, and Product) dari Stufflebeam (Stufflebeam, D.L. & Shinfield, A.J. 1985, pp.3437) dan Kirkpatrick (Kirkpatrick, D.L 1998, pp.75- 76), evaluation model (The four levels) Kata Kunci: pengembangan, model, evaluasi, program, life skills, Pendidikan Luar Sekolah Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and Development). Borg and Gall (1989, p.782) mengemukakan bahwa model penelitian dan pengembangan adalah a process used develop and validate educational product. Langkah Penelitian: Secara konseptual dan prosedural, model pengembangan yang digunakan sebagai kajian pada penelitian dan pengembangan ini mengacu pada model Borg and Gall dengan memodifikasi 10(sepuluh) tahapan penelitian menjadi 4 (empat) tahap penelitian, yang pada intinya sama melalui langkah-langkah Borg and Gall tersebut. Demikian juga dengan penentuan jumlah subjek uji coba mengacu pada model Borg and Gall, yakni jumlah subjek uji coba dari pertama, kedua dan seterusnya semakin meningkat. Borg and Gall memberikan rujukan kepada peneliti bahwa untuk melakukan penelitian pengembangan, ditempatkan sepuluh langkah utama. Model ELSEd mempunyai tiga komponen, yaitu evaluasi input pembelajaran life skills terdiri dari tiga komponen, yakni materi, sarana pembelajaran, dan motivasi, kualitas proses pembelajaran life skills terdiri dari komponen kinerja tutor life skills, metode pembelajaran, iklim kelas, dan sikap siswa, sedangkan hasil pembelajaran life skills terdiri dari empat komponen yakni kecakapan akademik, personal, sosial, dan vokasi. Komponen-komponen tersebut disajikan dalam bagan pada Gambar 3. Subjek Uji coba atau responden yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari Pengelola, instruktur, serta kepala dinas pendidikan masyarakat, sebagai representasi dari pimpinan lembaga penyelenggara life skills dan mahasiswa PEP S3. Pemilihan subjek uji coba pada masing-masing tahap didasarkan karakteristik dan jumlah subjek ujicoba. Beberapa asumsi yang yang melandasi pemikiran bahwa pengembangan model evaluasi cukup dilakukan tiga tahap, yaitu a) peningkatan ragam dan jumlah subjek ujicoba sebanyak tiga kali diharapkan dapat menjangkau seluruh ragam karakteristik, PLS, warga belajar maupun pendamping/pemantau yang ada dalam lingkungan Jember; b) dengan terwakilinya seluruh ragam karakteristik PLS mulai dari PLS di kota maupun di pedesaan dengan karakteristik pengelola maupun peserta juga lingkungan tempat pelaksanaan program life skills dapat diperoleh sebuah model yang baik, maka diasumsikan bahwa model tersebut dapat diterapkan untuk semua klasifikasi dan karakteristik PLS. Hasil Penelitian: Model ELSEd mempunyai tiga komponen, yaitu evaluasi input pembelajaran life skills terdiri dari tiga komponen, yakni materi, sarana pembelajaran, dan motivasi, kualitas proses pembelajaran life skills terdiri dari komponen kinerja tutor life skills, metode pembelajaran, iklim kelas, dan sikap siswa, sedangkan hasil pembelajaran life skills terdiri dari empat komponen yakni kecakapan akademik, personal, sosial, dan vokasi.



Komponen-komponen tersebut disajikan dalam bagan pada Gambar 3. Subjek Uji coba atau responden yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari Pengelola, instruktur, serta kepala dinas pendidikan masyarakat, sebagai representasi dari pimpinan lembaga penyelenggara life skills dan mahasiswa PEP S3. Pemilihan subjek uji coba pada masing-masing tahap didasarkan karakteristik dan jumlah subjek ujicoba. Beberapa asumsi yang yang melandasi pemikiran bahwa pengembangan model evaluasi cukup dilakukan tiga tahap, yaitu a) peningkatan ragam dan jumlah subjek ujicoba sebanyak tiga kali diharapkan dapat menjangkau seluruh ragam karakteristik, PLS, warga belajar maupun pendamping/pemantau yang ada dalam lingkungan Jember; b) dengan terwakilinya seluruh ragam karakteristik PLS mulai dari PLS di kota maupun di pedesaan dengan karakteristik pengelola maupun peserta juga lingkungan tempat pelaksanaan program life skills dapat diperoleh sebuah model yang baik, maka diasumsikan bahwa model tersebut dapat diterapkan untuk semua klasifikasi dan karakteristik PLS. Untuk menjawab rumusan masalah tentang model evaluasi pendidikan life skills yang dapat memberikan informasi yang tepat dan akurat bagi pimpinan lembaga dan tutor serta bermanfaat secara optimal bagi pelaksanaan pendidikan life skills di PLS, digunakan teknik analisis deskriptif dengan persentase, rerata skor (mean), dan analisis kualitatif dengan model interaktif. Pelaksanaan Research and Development (R&D) melalui kajian teoretik, temuan empirik dan praktik di lapangan sebagai draft awal konsep, dilanjutkan dengan diskusi panel dengan pakar pendidikan dan praktisi pendidikan menyebabkan komposisi komponen dan indikator banyak mengalami perubahan mendasar. Selanjutnya, peneliti melakukan kajian teoretik dan empirik ulang secara intensif dengan promotor disertasi yang hasilnya digunakan sebagai draft awal atau bahan untuk FGD dan seminar instrumen terbatas. Pelaksanaan FGD secara intensif dan efektif, menemukan dan menetapkan konsep kualitas dan hasil pendidikan life skills. Sebelum model diujicobakan pada subjek coba, seluruh instrumen beserta perangkatnya telah divalidasi oleh para pakar dan praktisi pendidikan life skills melalui uji coba pendahuluan terhadap 16 ahli yang terdiri atas dosen pendidikan life skills (4 orang), kepala lembaga (4 orang), tutor life skills (4 orang), dan ahli evaluasi (4 orang). Setelah uji coba pendahuluan, model dan instrumen diperbaiki untuk selanjutnya dilakukan uji coba operasional. Uji coba operasional dilakukan secara purposive sampling, dengan berbagai pertimbangan tertentu yakni kualitas lembaga yang dapat mewakili informasi dan kelengkapan program. Uji coba operasional ini dilakukan di UPTPK Jember yang memiliki kualitas sangat baik, SKB Bondowoso yang berkualitas baik, LKP Prospektif College yang berkualitas sedang/menengah, dan PKBM As-Syifa Jember yang berkualitas kurang baik. Berikut dijelaskan secara sistematis data uji coba lapangan tahap pertama, tahap kedua, dan tahap ketiga sebagai hasil penelitian pengembangan. Keterbacaan Instrumen Input Pendidikan Life Skills. Pada penilaian ketiga tahap tersebut menunjukkan bahwa rerata skor total hasil penilaian mengalami peningkatan dari rerata 3,78 menjadi 4,00 dan yang terakhir, yaitu 4,13 pada tahap ketiga. Adanya peningkatan rerata skor tersebut menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif dengan revisi yang dilakukan sebelumnya. Keterbacaan Instrumen Proses Pendidikan Life Skills. Pada penilaian ketiga tahap tersebut, rerata skor total hasil penilaian mengalami peningkatan dari rerata 3,80 menjadi 4,04 dan yang terakhir 4,14 pada uji coba ketiga. Adanya peningkatan rerata skor tersebut menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif dengan revisi yang dilakukan



sebelumnya. Keterbacaan Instrumen Hasil Pembelajaran. Rerata skor total hasil penilaian ketiga tahap mengalami peningkatan dari rerata 3,80 menjadi 4,00 dan yang terakhir pada tahap ketiga mencapai nilai rata-rata 4,16. Peningkatan tersebut belum maksimal, karena hasil penilaian tersebut masih dalam klasifikasi baik. Model Evaluasi Berdasarkan hasil penilaian pada ketiga tahap uji coba terhadap Model ELSEd, ditemukan rerata skor yang termasuk dalam klasifikasi baik, sehingga model ini baik untuk digunakan di Pendidikan Non Formal Informal. Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa evaluasi Model ELSED beserta perangkatnya memiliki sifat objektivitas, praktibalitas, dan efisiensi atau ekonomis yang cukup baik. Panduan Evaluasi Berdasarkan hasil penilaian ketiga uji coba terhadap panduan evaluasi didapatkan rerata skor seperti disajikan pada Tabel 7. Mengacu pada standar penilaian, maka rerata skor tersebut menunjukkan bahwa panduan evaluasi masuk pada kategori baik dan dapat digunakan tanpa harus direvisi terlebih dahulu. Peningkatan nilai rerata tersebut mulai dari tahap pertama hingga ketiga adalah 3,74, 4,02, dan 4,20. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa hasil perbaikan setelah tahap pertama memiliki makna pada semakin baiknya panduan evaluasi. Validitas dan Reliabilitas. Sementara mengacu pada hasil analisis LISREL dengan menggunakan teknik CFA (Confirmatory Factor Analysis), menunjukkan bahwa semua nomor butir instrumen baik instrumen kualitas (kinerja tutor, materi pelajaran pendidikan life skills, metode pembelajaran, sarana pembelajaran, sikap peserta didik dan motivasi belajar pendidikan life skills maupun instrumen hasil pembelajaran (kecakapan akademik, personal dan sosial), memiliki t muatan faktor lebih dari 1,96 sebagai batas minimal validitas butir instrumen. Dengan demikian seluruh instrumen dapat dikatakan valid. Rangkuman nilai chi-square, df, P-Value, dan RMSEA. Hasil analisis LISREL dengan teknik Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk semua konstruk model Life Skills Education (ELSEd) diperoleh nilai chi square sebesar: 4,188191,686; p-value: 0,063-0,241; dan nilai RMSEA: 0,029-0,076. Oleh karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 dan RMSEA kurang dari 0,08 maka dapat dinyatakan bahwa model Life Skills Education (ELSEd) adalah cocok dan fit. Hasil Uji Coba Utama di UPT-PK Jember Hasil analisis deskriptif terhadap angket peserta didik, tutor dan pimpinan lembaga secara keseluruhan hasil penilaian responden terhadap implementasi komponen input, proses, dan hasil pendidikan life skills di PLS. Hasil Penilaian Kepala Lembaga terhadap Kinerja Tutor Life skills Berdasarkan hasil penilaian kepala lembaga terhadap kinerja tutor life skills di UPT-PK Jember menunjukkan bahwa kinerja tutor sudah baik, dengan rerata nilai 3,80 klasifikasi baik. Itu artinya bahwa kinerja tutor life skills dinilai oleh kepala lembaga sudah melaksanakan tugas dengan baik. Klasifikasi nilai yang diberikan oleh kepala lembaga terhadap komponen kualitas tutor sama dengan nilai yang diberikan peserta pelatihan, yaitu baik. Hasil Penilaian Kepala Lembaga terhadap Kinerja Tutor Life Skills Penilaian kepala lembaga mengenai kinerja tutor pendidikan life skills di SKB Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa kinerja tutor pendidikan life skills memiliki rerata nilai 4,00. Nilai rerata yang diperoleh tersebut termasuk dalam klasifikasi baik. Ini menunjukkan bahwa tutor pendidikan life skills di PLS ini dinilai oleh kepala lembaga telah mampu melaksanakan tugas secara baik dalam pelaksanaan pendidikan life skills. Hasil penilaian kepala lembaga tersebut sama dengan penilaian kinerja tutor yang dilaksanakan oleh para tutor dan peserta didik. Tidak terdapat perbedaan kedua jenis penilaian tersebut, karena hasil



ketiga penilaian termasuk dalam klasifikasi baik. Bila dilihat dari nilai yang diperoleh, penilaian kinerja tutor oleh tutor memiliki nilai yang lebih sedikit dibandingkan dengan penilaian oleh peserta didik dan kepala lembaga, sedangkan hasil penilaian yang paling besar dihasilkan oleh kelapa lembaga. Secara berurutan, hasil penilaian kinerja tutor pendidikan life skills yang dinilai oleh tutor, peserta didik, dan kepala lembaga adalah 3,87, 3,71, dan 4,00. Hasil Penilaian Kepala Lembaga terhadap Kinerja Tutor Pendidikan Life Skills Hasil penilaian kepala lembaga terhadap kinerja tutor pendidikan life skills di LPK Prospective College Jember mengindikasikan bahwa kinerja tutor pendidikan life skills memiliki rerata nilai 4,00, yang berarti masuk dalam kategori cukup. Ini berarti bahwa kinerja tutor pendidikan life skills di LPK Prospective College Jember ini dinilai oleh kepala lembaga telah me laksanakan tugas dalam kegiatan pembelajaran pendidikan life skills dengan kategori cukup. Nilai dari Kepala Lembaga sama dengan penilaian peserta didik dan tutor, yang sama-sama termasuk dalam kategori cukup. Secara berurutan, hasil rerata penilaian tutor yang dilaksanakan oleh peserta didik, tutor, dan kepala lembaga adalah 3,84, 3,75, dan 3,01. Hasil Penilaian Kepala Lembaga terhadap Kinerja Tutor Life Skills Penilaian kepala lembaga mengenai kinerja tutor PKH di PKBM As-Syifa Jember menunjukkan bahwa kinerja tutor pendidikan life skills memiliki rerata nilai 3,80 yang berarti masuk dalam klasifikasi baik. Ini menunjukkan bahwa kinerja tutor pendidikan life skills di PLS ini dinilai baik oleh kepala lembaga dan dianggap belum dapat melaksanakan tugas dalam kegiatan pendidikan life skills dengan baik. Uji Normalitas Uji asumsi normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas dari Kolmogorov-Smirov dengan bantuan software SPSS for Windows. Pengujian didasarkan pada nilai signifikansi (sig) pada output SPSS dengan kriteria pengujiannya adalah apabila nilai sig  0,05, menunjukkan data berdistribusi normal, sedangkan apabila nilai sig < 0,05, menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan analisis menggunakan SPSS for Windows 17.00 diperoleh kesimpulan bahwa data kualitas pendidikan life skills dan hasil pembelajaran berdistribusi normal. Berdasarkan analisis statistik deskriptif di atas, menunjukkan bahwa peserta didik UPT-PK Jember dalam pelaksanaan program pendidikan life skills lebih baik jika dibandingkan dengan lembaga lain dan secara berurutan dibawahnya adalah SKB Bondowoso, LKP Prospective College Jember, dan PKBM AsySyifa Jember. Data ini didukung pula oleh temuan hasil observasi, wawancara dan dokumen yang menunjukkan bahwa ketiga lembaga tersebut memiliki klasifikasi yang demikian adanya. Kekuatan Jurnal: Kekuatan penelitian ini adalah penelitian mampu menjelaskan Pendidikan Luar Sekolah Kelemahan Jurnal: Bahasa yang digunakan tidak mudah langsung dipahami karena merupakan jurnal penelitian science. Kesimpulan: Berdasarkan pada hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan, melalui proses pengumpulan dan analisis data, dapat dikemukakan kesimpulan penelitian sebagai berikut. 1. Model evaluasi pendidikan life skills mengukur tiga komponen, yaitu komponen input, proses, serta hasil pendidikan life skills. 2. Komponen input pembelajaran life skills terdiri dari tiga indikator, yakni materi, sarana pembelajaran, dan motivasi, Komponen proses pembelajaran life skills terdiri dari empat indikator yakni kinerja tutor life skills,



metode pembelajaran, iklim kelas, dan sikap peserta didik, sedangkan hasil pembelajaran life skills terdiri dari empat komponen yakni kecakapan akademik, personal, sosial, dan vokasi; 3. Evaluasi model ELSEd hasil penelitian dan pengembangan ini memiliki kepekaan yang baik terhadap objek yang diteliti; 4. Tingkat koherensi instrumen ELSEd ketika digunakan untuk menilai input, proses, serta hasil pembelajaran life skills sesuai dengan rancangan. 5. Reliabilitas butir instrumen input, proses maupun hasil di empat lembaga baik di UPT-PK Jember, SKB Bondowoso, LKP Prospektif Collegge Jember dan PKBM Asysyifa Jember dengan teknik Cronbach Alpha antara 0,826 - 0,975, kemudian validitas untuk semua konstruk model ELSEd nilai chi-square sebesar: 4,188- 191,686; p-value: 0,0630,241; dan nilai RMSEA: 0,029-0,076. Oleh karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 dan RMSEA kurang dari 0,08 maka dapat dinyatakan bahwa model Life Skills Education (ELSEd) adalah cocok dan fit . 6. Model ELSEd memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan evaluasi model lain, yakni (a) model digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran life skills di lembaga non formal, (b) tidak tergantung pada pendekatan pembelajaran tertentu yang dilaksanakan oleh tutor, (c) komprehensif (mengevaluasi kualitas input, proses sekaligus hasil pembelajaran life skills), (d) dapat digunakan sebagai evaluasi diagnostik (diagnostic evaluation) untuk menemukan dan memetakan berbagai aspek dalam pembelajaran life skills di lembaga non formal yang lain (input, proses maupun hasil pembelajaran life skills) yang perlu diperbaiki, dan (e) bersifat terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut 7. Kelebihan model ELSEd dalam proses implementasi di lembaga yaitu komprehensif, fleksibel, efektif, dan berorientasi pada pendidikan kecakapan hidup. Saran: Didalam kelebihan terhadap jurnal tersebut agar lebih dipertahankan dan ditingkatkan lagi, mengenai kekurangan jurnal agar diperbaiki menggunakan bahasa yang mudah dipahamiagi dan mencapai hasil yang lebih maksimal. Referensi: Borg, W.R. & Gall, M.D. (1983). Educational research (4 th ed). New York: Longman. Broling, D.E (1989). Life centered career education: A Competency-based approach. (3th ed). Reston Va: The council for exceptional children. Ditjen Diklusepa. (2002). Hasil-hasil monitoring terpadu program PLSP dan PKPS BBM (PPD-PSE dan life skills). Disampaikan pada temu Evaluasi program PLSP tahun 2002 tanggal 16 Nopember 2002 di Solo. ______________. (2002). Pedoman umum pelaksanaan program pendidikan berorientasi keterampilan hidup (life skills) melalui pendekatan broad based education (BBE) dalam bidang pendidikan luar sekolah dan pemuda. Jakarta: Ditjen Diklusepa Depdiknas. Ditjen Diklusepa. (2002). Petunjuk teknis penyelenggaraan keterampilan hidup di SKB, Jakarta: Ditjen Diklusepa Depdiknas. Ditjen Diklusepa. (2003). Pedoman penyelenggaraan program keterampilan hidup (life skills) Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Ditjen Diklusepa Depdiknas. Issac, S., & Michael, W.B. (1979). Handbook in research and evaluation. San Diego: Edits Publisher. Kirkpatrick, D.L (1998). Evaluating training programs: The four levels (2nd ed). San Fransisco: Berret-Koehler Publisher, Inc. Stufflebeam, D.L. & Shinfield, A.J. (1985). Systematic evaluation. Boston: Kluwer Nijhof Publishing. Unesco. (1993). Principal regional office for Asia and the pacific, ATPL-CE Volume I, Continuing Education: New Policies and Directions. Bangkok: Unesco.



Banyak para pakar, badan, maupun lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di bidang diklat dan kesehatan memberikan pengertian tentang konsep “Life Skills”. WHO (Ditjen Diklusepa, 2003, p.6) memberikan pengertian bahwa Life Skills adalah berbagai keterampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya seharihari secara efektif. Broling (1989) mendefinisikan Life Skills sebagai suatu interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri dan mengelompokkan Life Skills ke dalam tiga kelompok kecakapan, yaitu (1) kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill); (2) kecakapan pribadi/sosial (personal/ social skill); dan (3) kecakapan untuk bekerja (occupational skill). Kecakapan hidup seharihari (daily living skill), meliputi kecakapan dalam pengelolaan kebutuhan pribadi, pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan rumah pribadi, kesadaran kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolaan makanangizi, pengelolaan pakaian, tanggungjawab sebagai warga negara, pengelolaan waktu luang, rekreasi, dan kesadaran lingkungan. Kecakapan pribadi/sosial (personal/social skill), meliputi keasadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan), percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama, hubungan antarpersonal, pemahaman dan pemecahan masalah, menemukan dan mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian dan kepemimpinan. Kecakapan untuk bekerja (occupational skill), meliputi kecakapan dalam pemilihan pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja, pelatihan keterampilan, penguasaan kompetensi, kemampuan menjalankan suatu profesi, kesadaran untuk menguasai berbagai keterampilan, kemampuan menguasai dan menerapkan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan, dan menghasilkan produk barang maupun jasa. Depdiknas sepakat dengan WHO (Ditjen Diklusepa, 2003, p.6) yang mengelompokkan Life Skills atau kecakapan hidup ke dalam lima aspek, yaitu: (1)vkecakapan mengenal diri (self awareness) yang juga sering disebut kecakapan personal (personal skill); (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill); (3) kecakapan sosial (social skill) atau sering juga disebut kecakapan antar personal (interpersonal skill); (4) kecakapan akademik (academic skill) yang sering pula disebut kemampuan berpikir ilmiah (scientific method); dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal (personal skill) mencakup (1) penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, serta (2) menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) mencakup (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching); (2) kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skills); serta (3) kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Kecakapan sosial (social skill) atau kecakapan antar personal (interpersonal skill) mencakup (1) kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill); dan (2) kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Tiga kecakapan hidup ini dapat dikategorikan sebagai General Life Skill (GLS) atau kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generik, yaitu kecakapan hidup yang diperlukan oleh setiap orang, baik yang sudah bekerja, belum/ tidak bekerja maupun mereka yang sedang menempuh diklat terlepas diklat formal, informal maupun non formal. 12



Jurnal 3 Tujuan Penelitian: Mendiskusikan tentang kebangkitan non formal education Subjek Penelitian: Kalangan umum,lembaga pendidikan, dan pemerintah Assesment Data: Anggaran untuk pembelajaran seumur hidup di luar pendidikan formal sangat terbatas di ketujuh yang dipilih. Negara-negara cenderung lebih menekankan pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi lebih dari 99,5% dari anggaran pendidikan diinvestasikan di sektor pendidikan formal di Korea Selatan di Nepal, itu anggaran untuk semua bentuk NFE berkisar antara 1 dan 3% dari anggaran pendidikan. (UNESCO, 2016a, hlm. 28–29, 33) Kami kemudian memiliki NFE generasi kedua - sesuatu yang agak berbeda dari artikulasi pertama NFE sebagai ketentuan pendidikan di luar sistem formal. Sebaliknya, kami melihat penyediaan pendidikan yang menunjukkan karakteristik non-formal tertentu, berbeda dengan pendidikan formal di satu sisi dan pendidikan informal di sisi lain. Namun hal ini membawa persoalan tersendiri, salah satunya adalah pengakuan, validasi dan akreditasi pendidikan non-formal yang terus menjadi perhatian banyak orang lembaga pendidikan (Council of Europe Resolution, 2003 (8); Council of Europe, 2012; EU Resolution C168, 2006; IIEP, 2006; Pauna, 2007; Singh, 2009; Werquin, 2010; ISCED, 2011; UNESCO, 2012; UIS,2013; Komisi Eropa dan Dewan Eropa, 2012; dll.). Kata Kunci: Langkah Penelitian: Bandingkan: Brown (2015a); Jurnal Pendidikan Sains dan Teknologi (Eshach, 2007); Internasional Review Pendidikan (Mayombe & Lombard, 2016), dan (White & Lorenzi, 2016); Jurnal Cambridge Pendidikan (Romi & Schmida, 2009); Jurnal Internasional Pendidikan Seumur Hidup (Thoidis & Pnevmatikos, 2014) dll. Hampir semua ensiklopedia pendidikan (yang jumlahnya banyak) memiliki bagian penting tentang NFE, di antara yang terbaru adalah Oxford Research Encyclopedias (2018). Sementara kepedulian terhadap NFE berlanjut dengan banyak negara berkembang (GPE, 2018; Hoppers, 2006; Ouane, 2006) seperti Afrika Selatan (Aitchison, 2007; Mayombe, 2017) dan Pakistan (Asia Development Bank, 2004), UE dan terutama sayap Pemuda-nya yang paling banyak menghasilkan makalah rumit tentang NFE dalam beberapa tahun terakhir (Council of Europe, 2018; EPALE, 2018; European



Union, 2018; EYP 2014a; EYP, 2014b). Mengikuti jejak IIEP (1991), paling internasional badan-badan seperti UNESCO, UNEVOC (2010), ILO (n.d.), WHO (2010), FAO (El Sawi, 1996) dan Bank Dunia (2003) melihat dalam NFE sebagai alat yang berguna untuk pekerjaan mereka. Banyak negara telah memproduksinya memiliki kertas kebijakan tentang NFE, dari Inggris (Vorhous, 2003) hingga California (Russell 2001), Brasil (Dib, 1988) dan Vilnius (Skirmantiene, 2013). Hasil Penelitian: NFE telah direposisi, alih-alih menjadi 'di luar' formal pendidikan dan dalam banyak hal kebalikan langsungnya, sekarang terletak pada kontinum 'belajar', antara pembelajaran formal di satu sisi dan pembelajaran informal di sisi lain (UNESCO, 2006). Dan batas antara ketiga 'sektor' tersebut terlihat sangat kabur daripada berbeda (EYP 2014, menggambar di Colley, Hodkinson, & Malcom, 2003; Carter, 1996). Di sebuah studi barubaru ini, dicatat bahwa 'intervensi non-formal mengacu pada formal dan informal proses pembelajaran, dan tidak membantu mengkarakterisasi pembelajaran non-formal sebagai kategori terpisah antara keduanya '(Robinson-Pant, 2016, h. 122). Namun masih ada kesadaran bahwa NFE adalah jenis ketetapan pendidikan yang berbeda dan memiliki 'kedudukan yang lebih rendah daripada sekolah formal'. Untuk berikan satu contoh, survei NFE di tujuh negara melaporkan: Anggaran untuk pembelajaran seumur hidup di luar pendidikan formal sangat terbatas di ketujuh yang dipilih. Negara-negara cenderung lebih menekankan pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi lebih dari 99,5% dari anggaran pendidikan diinvestasikan di sektor pendidikan formal di Korea Selatan. Di Nepal, itu anggaran untuk semua bentuk NFE berkisar antara 1 dan 3% dari anggaran pendidikan. (UNESCO, 2016a, hlm. 28–29, 33) Kami kemudian memiliki NFE generasi kedua - sesuatu yang agak berbeda dari artikulasi pertama NFE sebagai ketentuan pendidikan di luar sistem formal. Sebaliknya, kami melihat penyediaan pendidikan yang menunjukkan karakteristik non-formal tertentu, berbeda dengan pendidikan formal di satu sisi dan pendidikan informal di sisi lain. Namun hal ini membawa persoalan tersendiri, salah satunya adalah pengakuan, validasi dan akreditasi pendidikan non-formal yang terus menjadi perhatian banyak orang lembaga pendidikan (Council of Europe Resolution, 2003 (8); Council of Europe, 2012; EU Resolution C168, 2006; IIEP, 2006; Pauna, 2007; Singh, 2009; Werquin, 2010; ISCED, 2011; UNESCO, 2012; UIS,2013; Komisi Eropa dan Dewan Eropa, 2012; dll.). Beberapa penyebab munculnya kembali minat terhadap NFE Tentu saja ada banyak dan kompleks alasan untuk minat baru yang meluas di NFE, tapi dua khususnya tampak penting.Pertama, tantangan dari pendidikan seumur hidup diubah ketika wacana berubah menjadibelajar sepanjang hayat; Karena dalam menganalisis pembelajaran, pembelajaran nonformal ditemukan bersamaan dengan pembelajaran formaldan pembelajaran informal.



Kekuatan Jurnal: Kekuatan penelitian ini adalah penelitian mampu mendiskusikan anggaran Pendidikan Luar Sekolah yang diberikan pemerintah, dan mendiskusikan distribusi lembaga pendidikan serta perusahan swasta. Kelemahan Jurnal: Hanya menjelaskan secara terperinci tentang kontribusi yang diberikan oleh pemerintah, dan lembaga pendidikan serta perusahaan swasta. Namun,tidak memasukkan dampak utama dari keterlibatan kalangan umum dalam kemajuan Pendidikan Luar Sekolah. Kesimpulan: Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan kapasitas manusia dan kelembagaan tentang mitigasi perubahan iklim, adaptasi, pengurangan dampak dan peringatan dini. Tinjauan rutin secara nasional dan lokal akan dibutuhkan dan akan dilakukan sekarang dimungkinkan untuk memastikan kemajuan dibuat untuk mencapai target Saran: Didalam kelebihan terhadap jurnal tersebut agar lebih dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Referensi : Adams-Rogers, L. (1997). Adult education: Reasonable choices—Why do some undereducated adults choose not to take literacy training? Retrieved from http://sweb.uky.edu/~wvang00/adulteducation/reasonable.pdf ADEA Botswana. (1999, June). Diversifying education delivery systems: Reviving discourse on the formal/non-formal interface. (Report of Workshop on NFE). Gaborone, Botswana. Ahmed, M. (2014). Lifelong learning in a learning society: Are CLCs the vehicle? International Development Policy, 5. Retrieved from https://journals.openedition.org/poldev/1782 Ai Tam Pham Le. (2017). The contributions of CLCs to personal and community development: A case study of three centres in Padaung, Myanmar. International Review of Education, 64(5), 607–631. Retrieved from http:// adsabs.harvard.edu/abs/2018IREdu.tmp ... 28L Aitchison, J. (2007). South Africa: Non-formal education. UNESCO: GMR background papers. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001555/155520e.pdf Aron, L. Y. (2006). An Overview of Alternative Education National Center for Education and the Economy. Retrieved from http://ncee.org/wp-content/uploads/2010/04/OverviewAltEd.pdf Asia Development Bank. (2004). Programme in Pakistan for nonformal primary education and functional literacy for rural women in selected Barani areas of the Punjab. Retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/ project-document/69779/tar-pak-38137.pdf AssiéLumumba N’Dri, T. (2017). Dialogical Possibilities in Comparative Education: Ubuntu Perspectives in the Global Context of Educational Processes and Debates. World Voices Nexus, 1(1). Retrieved from https://www. worldcces.org/article-1-by-assie-lumumba Atkins, T., Bullis, M., & Todis, B. (2005). Converging and Diverging Service Delivery Systems in Alternative Education Programs for Disabled and Non-Disabled Youth Involved in the Juvenile Justice System. Journal of Correctional Education, 56(3), 253–285. Baxter, P., & Bethke, L. (2009). Alternative education: Filling the gap in emergency and postconflict situations. UNESCO. Brown, E. J. (2015a). Models of transformative learning for social justice: Comparative case studies of non-formal development education in Britain and Spain. Compare, 45(1), 141–162. Carr-Hill, R. (1988). The information base for the planning of the diversified educational field. Paris: IIEP. Carter, C. (1996). Recognising the value of



informal learning. Chelmsford: Learning from Experience Trust. CEDEFOP. (2016). Validation of non-formal and informal education. Retrieved from http://www.cedefop.europa. eu/en/events-and-projects/projects/validation-non-formal-andinformal-learning Colley, H., Hodkinson, P., & Malcom, J. (2003). Informality and formality in learning. London: LRSC. Coombs, P., & Ahmed, M. (1974). Attacking rural poverty: How nonformal education can help. Retrieved from http://documents.worldbank.org/curated/en/656871468326130937/pdf/multi-page.pdf Council of Europe. (2003) Committee of ministers on the promotion and recognition of nonformal education/ learning of young people. Retrieved from https://pjpeu.coe.int/documents/1017981/1668227/COE_rec_2003_8_ en.pdf/7f6642ac-c3ea-4d5d8b66-35492d37f9d1 Council of Europe. (2012). Validation of nonformal and informal learning. Retrieved from https://eur-lex.europa. eu/legalcontent/EN/TXT/?uri=celex%3A32012H1222%2801%29 Council of Europe. (2018). NonFormal Education. Retrieved from https://www.coe.int/en/web/europeanyouthfoundation/non-formal-education Council of Europe Resolution. (2003). (8) Recommendation of the committee of ministers to member states on the promotion and recognition of non-formal education/learning of young people. Retrieved from https://pjpeu. coe.int/documents/1017981/1668227/COE_rec_2003_8_en.pdf/7f6642ac-c3ea-4d5d8b66-35492d37f9d1 Davies, S., Dierkes, J., & Aurini, J. (eds.). (2013). Out of the shadows: The global intensification of supplementary education. Bingley, Yorks: Emerald. Dib, C. Z. (1988). Formal, nonformal and informal education: Concepts/applicability. Brazil: Institute of Physics, University of Sao Paulo. El Sawi, G. (1996). Population education for nonformal education programs for out-of-school rural youth. Rome: FAO. Retrieved from http://www.fao.org/docrep/009/ah650e/AH650E00.htm EPALE. (2018, September 19). Power of non-formal education training in Sabac, Serbia. Retrieved from https://ec. europa.eu/epale/en/content/power-non-formal-education-training-sabac Eshach, H. (2007). Bridging in-school and out-of-school learning: Formal, nonformal and informal education. Journal of Science Education and Technology, 16(2), 171–190. EU Resolution C168. (2006) Resolution of the council and of the representatives of the governments of the member states, meeting within the council, on the recognition of the value of non-formal and informal learning within the European youth field. Retrieved from https://pjpeu.coe.int/documents/1017981/1668227/c_ 16820060720en00010003.pdf/55bc3955-9e5f41c5-ab4c-51be2ed18dc9 European Commission and Council of Europe. (2012). Recommendation on the validation of non-formal and informal learning. Brussels. European Union. (2018). Power of NFE, training in Serbia. Retrieved from https://yia18.org/2018/02/07/trainingcourse-the-power-of-non-formal-education-serbia/ European Youth Portal. (2014a). Non-formal education for social integration. Retrieved from https://europa.eu/ youth/es/article/54/16423_en EYP. (2014b). European Youth Portal: The importance of NFE. Retrieved from https://europa.eu/youth/hr/article/ 54/21492_no Faure, E. (1973). Learning to be. Paris: UNESCO. Retrieved from http://education.oxfordre.com/view/10.1093/ acrefore/9780190264093.001.0001/acrefore9780190264093-e-40 FDC report. (2017). Tanzania’s Folk Development Colleges in transition. Retrieved from http://www.uppinghamse minars.co.uk/page3.htm GoT. (2011). Government of Tanzania, Educational Sector Analysis 2011. Dar es Salaam. GPE. (2018). Global partnership of education Non-formal education: A viable alternative for African



children. Retrieved from https://www.globalpartnership.org/blog/non-formal-educationviable-alternative-africanchildren Hoppers, W. (2006). Non-formal education and basic education reform: A conceptual review. Paris: International Institute for Educational Planning (IIEP) UNESCO. IIEP. (1991). Carron G and Carr-Hill R NFE: Information and planning issues (IIEP Research Report 90). Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/0008/000885/088593E.pdf ILO. (n.d.) NFE and Training (IPEC). Retrieved from https://www.ilo.org/ipec/Action/Education/Nonformaleducationandtraining/lang– en/index.htm IRE. (2017). Non-formal and community learning for sustainable development special issue. International Review of Education, 63(6). ISCED. (2011). Glossary: Definition of NFE. Retrieved from http://uis.unesco.org/node/334726NF Jamaica. (2018, September 19). Alternative Pathways to Secondary Education. APSE. Retrieved from https://moey. gov.jm/tags/apse Labouchere, H., & Singleton, J. (2017) Literacy and skills training (unpublished paper). Lifeline Network. Marshall, A. J. H., Aguilar, C. R., Alas, M., Castellanbos, R. R., Castro, L., Enamerado, R., & Fonseca, E. (2014). Alternative education in Honduras. IRE, 60(1), 51–77. Mayombe, C. (2017). Success stories on non-formal adult education and training for self-employment. Education and Training, 59, 7–8. Retrieved from https://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/ET-08-2016-0130 Mayombe, C., & Lombard, A. (2016). Importance of material resources and qualified trainers in adult nonformal education and training centres in S Africa. International Review of Education, 62, 187–204. Mills, M., & McGregor, G. (2018). Alternative education. Oxford Research Encyclopedias. Retrieved from http:// education.oxfordre.com/view/10.1093/acrefore/9780190264093.001.0001/acrefore9780190264093-e-40 Myanmar Department of Alternative Education. (2018, September 19). Retrieved from http://dae.moe-st.gov.mm Namibia. (2006) A situational analysis of evaluation practices in non formal education programmes - The case of the national literacy programme in Namibia government of Namibia. Windhoek: Directorate of Adult Basic Education. Namibia 2018 Community-Based Learning for Sustainable Development https://allafrica.com/stories/ 201807270654.html Wong, N. W. A. (2018). Opening doors – Community centers connecting working-class immigrant families and schools. Bern: Peter Lang. Noguchi, F., Guevara, J. R., & Yorozu, R. (2015). Communities in action: Lifelong learning for sustainable development. Hamburg: UNESCO Institute of Lifelong Learning. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/ images/0023/002341/234185e.pdf Ouane, A. (2006). Literacy, non-formal education and adult education. Social Alternatives, 25(4). Retrieved from https://search.informit.com.au/documentSummary;dn=200702474;res=IELAPA Pauna, D. (2007). Validation of non-formal and informal learning: Statements and comments. Riga: Stockholm School of Economics. Robinson-Pant, A. (2016). Learning knowledge and skills for agriculture to improve rural livelihoods. Paris and Rome: UNESCO and IFAD/FAO. Rogers, A. (2019). The homelessness of adult education: Some lessons from the Folk Development Colleges of Tanzania. Studies in the Education of Adults, 50(1), 15–35. Rogers, A. (2004). Non-formal education: Flexible schooling or participatory education? Hong Kong University Press and Kluwer. Romi, S., & Schmida, M. (2009). NFE, a major educational force in the postmodern era. Cambridge Journal of Education, 39(2), 257–273. Russell, S. T. (2001). Developmental benefits of NFE and youth development. University of



California Retrieved from https://scholar.google.co.uk/scholar?cluster=15994879069025655257&hl=en&oi=scholarr Singh, M. (2009). Global perspectives on recognising non-formal and informal learning: Why recognition matters. Hamburg: UIL and Springer. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/0023/002336/233655E.pdf INTERNATIONAL JOURNAL OF LIFELONG EDUCATION 11 Skirmantiene, J. (2013). Importance of NFE for positive socialization STEPP journal 7 Vilnius university. Retrieved from http://www.journals.vu.lt/socialine-teorija-empirija-politika-ir-praktika/article/view/1400 Sliwka, A. (2008). The contribution of alternative education. OECD. South Sudan. (n. d.) Retrieved from http://www.mcilwraith.org/regional-consultancies/ssa-2/southsudanalternative-education-system/ Tbilisi, D. V. V. (2017). Report of 5th Adult Education and Development Conference (AEDC) Organized by DVV. Tbilisi. Retrieved from http://unescochair-cbrsr.org/pdf/resource/IPE-78_web.pdf Thoidis, I., & Pnevmatikos, D. (2014). NFE in freetime leisure or work-oriented activity. International Journal of Lifelong Education, 33(5), 657–673. Thompson, E. J. D. (2001). Experiences in non-formal education and alternative approaches to basic education in Africa. ADEA. Retrieved from https://www.assonur.org/sito/files/Thompson%20Paper-%20non%20formal% 20education%20in%20Africa.pdf UIL. (2017). Policy brief 8: Community-based learning for social development. Retrieved from http://uil.unesco. org/literacy/communitylearning/community-based-learning-sustainable-development-uil-policy-brief-8 UIS. (2013). Non-formal Education. Retrieved from http://uis.unesco.org/node/334726 UNESCO. (2006). Synergies between formal and nonformal education. Paris: Author. Retrieved from http://unesdoc. unesco.org/images/0014/001460/146092E.pdf UNESCO. (2009a). Gender in education network in Asia-Pacific (GENIA) toolkit: Promoting gender equality in education (4th.ed, pp. 20). Bangkok: Author. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001864/ 186495e.pdf UNESCO. (2009b). Global report on adult learning and education. Hamburg: UILL. UNESCO. (2012). Guidelines for the recognition, validation and accreditation of the outcomes of non-formal and informal learning. Hamburg: Author. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/0021/002163/216360e. pdf UNESCO. (2016a). Community-Based Lifelong Learning and Adult Education: The situation of Community Learning Centres in seven Asian Countries. Author. http://unesdoc.unesco.org/images/0024/002464/246480E.pdf UNESCO. (2016b). Bangkok promoting lifelong learning at community learning centers, 2016. Retrieved from https://bangkok.unesco.org/content/promoting-lifelong-learning-community-learningcenters UNESCO. (2017). Community Learning Centers in Nepal: Status and Recommendations. Retrieved from http:// unesdoc.unesco.org/images/0024/002481/248135m.pdf UNESCO. (2018). Non-formal education and literacy. Bangkok: Author. Retrieved from https://bangkok.unesco. org/theme/non-formal-education-and-literacy UNEVOC. (2010). Promoting learning for the world of work. Retrieved from https://unevoc.unesco.org/go.php?q= Definition%20of%20Formal,%20Informal,%20and%20Nonformal%20learning UppSem. (2016). Adult Learning and the Sustainable Development Goals report. Retrieved from http://www. uppinghamseminars.co.uk/page4.htm Vollman, W. (2015, June). CLCs in Bangladesh: Lessons learnt and future avenues for action. Bangladesh Forum for Educational



Development, 14(1), 41–52. Retrieved from https://www.bafed.net/pdf/ejune2015/3_Community_ Learning_centres_in_Bangladesh_Lessons_learnt_and_avenues_for_future_action.PDF Vorhous, J. (2003). Nonformal learning: The conceptual terrain. UK Learning and Skills Council Research Centre. Werquin, P. (2010). Recognition of non-formal and informal learning. OECD. Oxford Research Encyclopedias Alternative and Non-formal Education. Retrieved from http://education.oxfordre.com/browse?t0=ORE_EDU% 3AREFEDU001 White, I., & Lorenzi, F. (2016). The Development of a Model of Creative Space and Its Potential for Transfer from Non-Formal to Formal Education. International Review of Education, 62(6), 771–790. Retrieved from https:// eric.ed.gov/?id=EJ1120531 WHO. (2010). Community-based rehabilitation; guidelines for non-formal education. Retrieved from http://www. who.int/disabilities/cbr/en/ World Bank. (2003). Enhancing the contribution of adult and non-formal education to achieving education for all and millennium development goals. HDNED EFA Adult Outreach Paper. Washington, DC: Author. Yasunaga, M. (2014). Non-formal education as a means to meet the learning needs of outof-school children and adolescents. UNICEF. Retrieved from http://allinschool.org/wpcontent/uploads/2015/01/OOSC-2014-Nonformal-education-for-OOSC-final.pdf Yorozu, R. (2018, September 19). Community Learning Centres: Towards inclusive education for all. ASPBAE. Retrieved from http://www.aspbae.org/userfiles/july18/Ed-lines_June_2018CLCs_their_links_to_the_SDGs.pdf



Kebangkitan NFE Tapi diskusi tentang NFE tidak benar-benar mematikan; meskipun pada tahun 2007 'mulai tidak digunakan istilah ["non-formal"] dalam kebijakan dan wacana administratif 'dirasakan oleh beberapa (Aitchison, 2007, n. p.), air pasang saat itu sudah berbalik. Wacana tentang NFE tidak hanya bertahan tetapi telah masuk beberapa tahun terakhir menunjukkan ketahanan yang cukup luar biasa. Di banyak tempat, tidak hanya di negara berkembang, para pendidik dan pembuat kebijakan membicarakan tentang NFE, dan dengan itu muncul pengakuan akan NFE karakteristik penting: seperti yang ditulis UNESCO pada 2018: Berbeda dengan sistem standar pendidikan formal dan pelatihan kejuruan, literasi dan nonformal Pembelajaran keterampilan mewujudkan keragaman yang tinggi, sedikit standarisasi, sedikit hasil yang sebanding, dan hasil yang serupa berbeda menurut lokasi dan setiap pelajar. (UNESCO, 2018) UNESCO tentu saja telah memimpin (misalnya Yasunaga, 2014) tetapi singkatnya, hampir semua jurusan jurnal pendidikan telah menerbitkan setidaknya satu item penting tentang NFE sejak tahun 2000 - misalnya, bandingkan: Brown (2015a); Jurnal Pendidikan Sains dan Teknologi (Eshach, 2007); Internasional Review Pendidikan (Mayombe & Lombard, 2016), dan (White & Lorenzi, 2016); Jurnal Cambridge Pendidikan (Romi & Schmida, 2009); Jurnal Internasional Pendidikan Seumur Hidup (Thoidis & Pnevmatikos, 2014) dll. Hampir semua ensiklopedia pendidikan (yang jumlahnya banyak) memiliki bagian penting tentang NFE, di antara yang terbaru adalah Oxford Research Encyclopedias (2018). 19



Sementara kepedulian terhadap NFE berlanjut dengan banyak negara berkembang (GPE, 2018; Hoppers, 2006; Ouane, 2006) seperti Afrika Selatan (Aitchison, 2007; Mayombe, 2017) dan Pakistan (Asia Development Bank, 2004), UE dan terutama sayap Pemuda-nya yang paling banyak menghasilkan makalah rumit tentang NFE dalam beberapa tahun terakhir (Council of Europe, 2018; EPALE, 2018; European Union, 2018; EYP 2014a; EYP, 2014b). Mengikuti jejak IIEP (1991), paling internasional badan-badan seperti UNESCO, UNEVOC (2010), ILO (n.d.), WHO (2010), FAO (El Sawi, 1996) dan Bank Dunia (2003) melihat dalam NFE sebagai alat yang berguna untuk pekerjaan mereka. Banyak negara telah memproduksinya memiliki kertas kebijakan tentang NFE, dari Inggris (Vorhous, 2003) hingga California (Russell 2001), Brasil (Dib,1988) dan Vilnius (Skirmantiene, 2013).



20



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Didalam jurnal-jurnal ini terdapat pembahsan menarik tentang pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah sudah berkembang sejak dulu dalam bentuk idividual maupun kelompok. Kemudian, memiliki perkembangan khususnya mengenai anak berkebutuhan khusus. Pendidikan seumur hidup merupakan proses yang panjang, mencakup keseluruhan kurun waktu kehidupan. Pendidikan tidak memandang usia maupun keadaan fisik dan mental, setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengannya. Seringkali dalam kehidupan sosial menyebabkan rendahnya pendidikan di mata masyarakat, namun hal itu seharusnya tidak menjadi hambatan, karena orang kaya, orang miskin, buta huruf, cakap huruf, sampai profesor pun bisa masuk dalam kelompok terendah ataupun tertinggi jika mereka mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipadukan dengan pendidikan yang menjadi kewajiban dalam menjalankan berbagai aktivitas. Oleh karena itu, pemerintah, lembaga-lembaga, masyarakat, maupun istansi-instansi lainnya berperan penting dan bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan luar sekolah. B. Rekomendasi dan Saran Berdasarkan hasil kesimpulan diatas diharapkan mahasiswa bisa menjadi seorang yang mengerti dengan baik dan bijaksana bagaimana caranya menghadapi dan mendidik serta memberikan bekal kehidupan pada anak. Menerapkan gaya pendidikan luar sekolah dengan baik dan benar, khususnya untuk anak berkebutuhan khusus. Gaya pedidikan anak sangat mempengaruhi perilaku maupun kinerja anak tersebut kedepannya. Pendidikan luar sekolah kini sangat penting bagi mahasiswa dan masyarakat untuk menyambung aspirasi kedepannya, dengan mempelajari pendidikan luar sekolah mahasiswa mampu menargetkan sebuah target yang sudah dia rencana kan sebelumnya ingin menjadi seorang pendidik yang baik dan bijaksana serta matang kedepannya, jadi jika sudah mempelajari ilmu pendidikan luar sekolah dari awal maka ia akan mengerti seperti apakah cara menjadi orang tua maupun pendidik yang ideal.



21