Cognitif Dissonance [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Cognitif Dissonance [PDF]

 Dissonance Cognitive Teri Disonansi Kognitif

Pengertian Disonansi Kognitif Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Disson

7 0 112 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

 Dissonance Cognitive Teri Disonansi Kognitif



Pengertian Disonansi Kognitif Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory) merupakan sebuah teori dalam psikologi sosialyang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan, dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Sedangkan Wibowo (dalam Sarwono, S.W., 2009) menambahkan definisinya sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku. Istilah disonansi kognitif pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1950an.Festinger (1957), berpendapat bahwa disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang, yang diakibatkan oleh penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu. Dari berbagai pemahaman teori disonansi kognisi ini, bisa disimpulkan bahwa inti dari teori ini adalah perasaan ketidaknyamanan yang dititikberatkan oleh sikap dan perilaku dirinya sendiri yang tidak konsisten. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya (East, 1997).Dalam teori ini, ‘consistency’ dan ‘inconsistency’ mempunyai konotasi yang tidak diinginkan, sehingga Festinger menggantinya dengan istilah ‘consonance’ (sesuai) dan ‘dissonance’ (ketidaksesuaian). Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance) dibangun oleh Leon Festinger (1957), berkaitan dengan hubungan-hubungan antar kognisi. Kognisi, dapat diartikan sebagai “piece of knowledge”. Knowledge dapat berupa attitude, emosi, perilaku/tabiat, nilai, dan sebagainya. Sebagai contoh, knowledge bahwa anda menyukai warna hijau merupakan sebuah kognisi; knowledge adalah sesuatu yang membuat anda mengenali sesuatu (disebut kognisi). Manusia mempunyai sejumlah besar kognisi secara simultan dan kognisi tersebut membentuk sebuah hubungan yang irelevan, konsonan, atau disonan antara satu dengan lainnya. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Hubungan disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemenelemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Untuk lebih mempermudah memahami mengenai teori disonansi kognitif ini, kita bisa mengamati dalam kejadian sehari-hari ketika seseorang bingung karena sangat ingin pergi ke luar kota bersama teman tetapi juga tidak ingin melanggar larangan orang tua, dia juga bisa disebut mengalami disonansi kognitif. Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dan membentuk penyangkalan pada keinginannya untuk pergi. Dalam teori disonansi kognitif ada tiga elemen yang menjadi sorotan, yaitu :



1.Tidak relevan satu sama lain. Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. 2. Konsisten satu sama lain (harmoni). Hubungan konsonan (consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. 3. Tidak konsisten satu sama lain (disonansi). Hubungan disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya.



Asumsi dari Teori Disonansi Kognitif Teori disonansi kognitif menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku mengubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada di antara kognisi-kognisi. Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah: 



Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Asumsi ini menekankan sebuah modelmengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi.







Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif.







Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Asumsi ini menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis maka disonansi tercipta dan menimbulkan perasan tidak suka, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.



Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.



Konsep dan Proses Disonansi Kognitif Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi (Richard West dan Lynn H. Turner, 2008: 140). Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, Ebbsen&Maslach, 1977) yaitu : 1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Semakin penting unsur kognitif yang terlibat dalam disonansi bagi seseorang semakin besar pula disonansi yang terjadi. Disonansi dan konsonansi dapat melibatkan banyak unsur kognitif sekaligus. Jadi, besarnya disonansi tergantung pula pada penting dan relevansi unsur-unsur yang disonan dan yang konsonan.



2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. 3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.



Mengatasi Kondisi Disonansi Kognisi Orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari dalih untuk mengurangi disonansinya itu. Pada umumnya orang berperilaku ajeg atau konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi perilaku. Apabila disonansi tersebut terjadi, maka orang akan berupaya mengurangi dengan jalan mengubah perilakunya, kepercayaannya atau opininya. Untuk mengatasi seseorang yang berada dalam kondisi disonansi kognisi, upaya yang dijabarkan adalah pendekatan melalui sisi kognisi, dan melalui sisi disonansi itu sendiri. Merubah Kognisi Cognitive Irrelevance (Irelevansi Kognitif) Irelevansi kognitif hampir seluruhnya menggambarkan keluasan hubungan di antara kognisi-kognisi yang dimiliki manusia. Irelevansi secara sederhana diartikan sebagai dua kognisi yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Dua konsonansi kognitif adalah apabila satu kognisi membentuk kognisi lain, atau, satu kognisi saling bersesuaian dengan kognisi yang lain. Manusia dapat mengambil banyak manfaat dari adanya konsonansi di antara kognisi-kognisinya. Bagaimana disonansi kognisi terjadi tidak banyak diketahui, apakah merupakan sifat alamiah organisme manusia, ataukah, disonansi kognisi terjadi selama proses sosialisasi. Meski demikian nampaknya manusia lebih memilih kognisi yang saling berhubungan dibandingkan yang tidak. Dua kognisi dikatakan disonan apabila satu kognisi merupakan hasil dari kognisikognisi yang berbeda satu sama lain. Apa yang terjadi ketika manusia menemukan disonansi kognisi? Jawaban atas pertanyaan ini membentuk hipotesis awal dari teori Festinger. Seseorang yang mempunyai kognisi disonan atau kognisi divergen dikatakan berada dalam kondisi disonansi mental/emosional yang dikenal sebagai kondisi stress psikologis yang sangat mengganggu. Faktor yang menyebabkan kecenderungan disonansi kognisi Untuk memahami seseorang berada dalam kondisi disonansi kognisi atau tidak, terlebih dahulu kita harus memahami faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan terjadinya



dissonansi. Pertama, dissonansi meningkat ketika level inkongruensi/ketidaksesuaian di antara kognisi-kognisi meningkat. Kedua, dissonansi meningkat sebagai hasil dari meningkatnya jumlah kognisi yang tidak kongruen. Ketiga, dissonansi bersifat inversely proportional terhadap jumlah konsonansi kognisi individu. Keempat, bobot relatifterhadap konsonansi dan disonansi kognisi dapat diubah menurut derajat kepentingannya dalam benak masing-masing individu. Jika disonansi dikatakan sebagai kondisi yang tidak menyenangkan maka individu akan termotivasi untuk menguranginya. Maka kemudian dapat menerka apa yang mungkin dilakukan individu untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakannya yaitu Mengubah kognisi(Changing Cognition) Apabila dua kognisi saling berbeda/bertentangan maka kita dapat melakukan upaya sederhana yaitu (1) mengubah satu kognisi agar konsisten dengan kognisi yang lain, atau, (2) mengubah tiap-tiap kognisi agar satu sama lain mempunyai arah yang sama. Menambahkan kognisi(Adding Cognition) Apabila dua kognisi menimbulkan kecenderungan disonan tertentu, maka kecenderungan tersebut dapat dikurangi dengan cara menambahkan satu atau lebih kognisi konsonan. Secara lebih mudahnya adalah dengan menambahkan keyakinan yang konsonan. Mengubah konotasi (Adding Cognition) Karena kognisi divergen dan kognisi konsonan harus dibobot menurut tingkat kepentingannya maka akan lebih bermanfaat apabila mengubah tingkat kepentingan dari berbagai kognisi. Karena kognisi-kognisi itu berhubungan dengan kepentingan pribadi kita, maka salah satu cara mengurangi disonansi antara kognisi itu adalah dengan mengganti kepentingan kita. Untuk lebih memahami pengertian di atas, contoh dalam kehidupan sehari-hari digambarkan dalam ilustrasi sebagai berikut :



Contoh: “Saya hanya mau kuliah di kampus yang menyenangkan” (Kognisi 1) “Tempat kuliah saya sekarang tidak menyenangkan” (Kognisi 2) Kognisi yang saling bertentangan itu akan menimbulkan disonansi. Changing Cognition“Mungkin kuliah di kampus ini memang seperti ini, tidak menyenangkan. Ya sudahlah” Adding Cognition “Dengan kuliah, ilmu saya menjadi luas, kenalan jadi banyak, dan lagi kuliah di sini murah dibanding di tempat lain” Altering Important“Saya lebih baik berhenti kuliah saja dan pindah ke kampus lain dari pada tidak senang seperti ini”



Mengatasi Disonansi Kemudian setelah kita membahas mengenai bagaimana mengatasi disonansi kognisi melalui pendekatan sisi kognisinya, kami membahas melalui pendekatan sisi disonansi (ketidakseimbangan) itu sendiri. 1.



Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.



2.



Menambah keyakinan yang konsonan.



3.



Menghapuskan disonansi dengan cara mengubah persepsi (rasionalisasi).



Aronson dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu: 1.



Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain.



2. Mekanisme yang kedua adalah mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan. 3. Mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai hal yang biasa.



Disonansi Kognitif dan Persepsi Secara spesifik, teori ini berkaitan dengan proses pemulihan terpaan(selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention), karena teori ini memproduksi bahwa orang menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari penghindaran. Untuk lebih jelas, akan dijabarkan di bawah ini : 1. Terapan selektif yaitu metode untuk mengurangi disonansi dengan mencari informasi yang konsonan dengan keyakinan dan tindakan yang ada saat ini.Orang akan mencari informasi yang konsisten yang belum ada, untuk membantu mengurangi disonansi. Teori disonansi kognitif memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan perilaku mereka. 2. Perhatian selektif yaitu metode untuk mengurangi desonansi dengan memberikan perhatian pada informasi yang konsonan dengan keyakinan dan tindakan yang ada saat ini.Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. 3. Interpretatif selekif yaitu metode untuk mengurangi desonasi dengan menginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga informasi ini menjadi consistan



dengan keyakinan dan tindakan yang ada saat ini. Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten.



4. Retensi selektif yaitu metode untuk mengurangi desonansi dengan mengingat informasi yang konsonan dengan keyakinan dan tindakan yang ada saat ini. Dalam teori ini ada satu pernyataan menarik yang disebut “Justifikasi Minimal”, yang merupakan penawaran intensif minimum yang disyaratkan bagi seseorang untuk berubah. Festinger berpendapat jika seseorang berkeinginan untuk memperoleh perubahan pribadi, selain persetujuan Publio, cara terbaik untuk melakukannya adalah menawarkan cukup penghargaan atau hukuman untuk memperoleh persetujuan. Banyak penelitian berkonsentrasi pada disonansi kognitif sebagai fenomena pasca pengambilan keputusan. Beberapa studi mempelajari mengenai penyesalan pembeli (a buyer’s remose), yaitu disonansi pasca pengambilan keputusan yang berhubungan dengan suatu pembelian. Studi lain (Knox&Inkster, 1968) menyelidiki periode penyesalan setelah pengambilan sebuah keputusan dalam sebuah konteks yang berbeda. Cognitive Disonance Theory (CDT) ini telah digunakan dalam banyak studi yang mempelajari tentang pengambilan keputusan. Studi yang dilakukan baru-baru ini mengeksplorasi mengenai proses disonansi dan pengurangan disonansi pada konteks seperti keluaraga ( Buzzanell&Turner, 2003), Komunikasi Politik ( Sillivan&Turner, 1946), dan aktivitas di ruang kelas (Sun&Scharrer, 2004). Jadi CTD terus menjadi kekuatan teoritis unuk menjelaskan perilaku komunikasi.



Kegunaan CDT dikritik karena tidak memiliki cukup kegunaan. Para kritikus berpendapat bahwa teori ini tidak menyediakan penjelasan yang menyeluruh untuk bagaimana dan kapan orang akan mencoba mengurangi disonansi. Pertama, ada yang disebut sebagai masalah “mode ganda”. Masalah ini terjadi karena, dengan adanya situasi yang menghasilkan sebuah disonansi, ada berbagai macam cara unuk menghasilkan lebih banyak konsonansi (seperti mengubah pikiran anda atau mulai teribat dalam terpaan, perhatian, interpretasi, atau retensi selektif). Kelemahan teori ini adalah tidak memberikan prediksi secara pasti. Masalah prediksi ini juga muncul dalam fakta bahwa teori tidak berbicara mengenai isu perbedaan individu. Orang bervariasi dalam toleransi terhadap disonansi, dan teori gagal untuk menjelaskan bagaimana faktor-faktor ini ada di dalam penjelasan. Meskipun Teori Disonansi Kognitif memiliki keterbatasan, teori ini menawarkan pandangan baru ke dalam hubungan antara sikap, kognisi, emosi, dan perilaku, dan teori ini menyarankan suatu metode untuk mengubah sikap dan persuasi.