Contoh Proposal MIP [PDF]

  • Author / Uploaded
  • nuril
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN Melacak Peran dan Nalar Stakeholder Penyelamatan Lingkungan: Kajian Kritis Teori Collaborative Governance dalam Program REDD+ di Berau, Kalimantan Timur Oleh: Listiana Asworo



A. Latar Belakang Masalah Studi ini digerakkan oleh kelemahan yang dirasakan ketika mencermati teorisasi collaborative governance. Dibalik popularitas jargon-jargon collaborative governance, tersirat optimisme yang berlebihan. Sederhananya, collaborative governance dibangun melalui tiga unsur: pelibatan berbagai stakeholder, pengakomodasian beragam kepentingan, dan pencapaian konsensus. Ada masalah ketika mencermati secara seksama teori ini. Pertama, gagasan ideal ini terlalu normatif dan menyepelekan watak politis para kolaborator. Bagaimana mengupayakan konsensus jika setiap aktor yang terlibat memiliki kecenderungan untuk mengutamakan kepentingannya. Kedua, ketidakpekaan terhadap motif terselubung dari para aktor tersebut terjadi karena konsensus yang dibayangkan oleh teori ini terlalu kaku. Meyakini konsensus tercapai melalui serangkaian prosedur yang formal. Sehingga, teori ini tidak mampu menangkap motivasi utama para kolaborator. Studi ini berupaya mengungkap motif utama para aktor. Kompleksitas para aktor yang mencerminkan kompleksnya kepentingan tidak menyurutkan para aktor untuk tetap berkolaborasi. Mengapa? Untuk mengelaborasi persoalan ini, teorisasi yang diadopsi akan disandingkan dengan praktik empirik, yaitu penyelenggaraan program REDD+. REDD+ adalah perwujudan dari aksi kolaborasi antar stakeholder dalam upaya penyelamatan lingkungan. Menariknya, aksi kolaborasi REDD+ beyond administrative boundaries, yang beroperasi dari global hingga tingkat kampung sekaligus memperlihatkan interaksi maha kompleks. Pertanyaannya adalah, begitu kompleksnya aktor yang juga menegaskan kompleksnya kontestasi, mengapa kolaborasi REDD+ tetap berjalan. Tentu dapat dipastikan bahwa setiap aktor yang terlibat dalam kerjasama REDD+ memiliki rasionalitas atau motivasi mengapa mereka berkonsensus untuk bekerjasama. Apakah konsensus yang terbangun terjadi dalam ruang-ruang formal, atau justru dibangun dari jalur-jalur informal. Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti paparan berikut ini. 1. Objek Formal: Rasionalitas Aktor Di Balik Collaborative Governance



Dalam perkembangannya, pendekatan collaborative governance adalah capaian mutakhir dalam proses pengambilan kebijakan. Ia hadir layaknya “mantera” yang mampu menyembuhkan berbagai patologi kebijakan, baik dari sisi politisasi regulasi, pembengkakan anggaran, kegagalan implementasi, dan lain sebagainya. Konsep ideal ini menawarkan keterlibatan berbagai stakeholder dan pengakomodasian segala kepentingan demi tercapainya konsensus. Namun begitu, gagasan ini belum tuntas menjelaskan mengapa kepentingan yang beragam tersebut bisa berkonsensus dalam suatu kolaborasi. Riset ini berangkat dari ketidaktuntasan kajian collaborative governance tersebut. Kajian baru ini tidak cukup memberikan pemahaman yang utuh tentang latar belakang atau motif para aktor tersebut berkolaborasi. Dan oleh karenanya, perlu studi yang memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Dengan memberikan penekanan bahwa nalar atau rasionalitas aktor sebagai dasar ia bertindak adalah faktor yang berpengaruh dalam proses kolaborasi. Ide baru tentang pengambilan kebijakan yang bersifat kolaboratif adalah sebuah upaya untuk lebih mengedepankan bahwa proses kebijakan publik tidak semata-mata adalah persoalan administratif-manajerial, melainkan suatu proses yang kental dengan nilai-nilai politis. Dorongan ini semakin menguat seiring dengan proses demokratisasi dalam koridor pemikiran liberal yang merasuk diberbagai bidang, tidak terkecuali



proses pengambilan kebijakan. Karena memang, dalam perkembangan studi kebijakan, logika-logika atau pengaruh berfikir mainstream dengan sifatnya yang teknokratis, alur kerja yang top-down, dan pemberlakuan stagist models dinilai tidak relevan lagi untuk diadopsi dalam proses perumusan kebijakan dengan dinamika yang semakin kompleks. Santoso mengkritik keajegan nalar tersebut yang hanya melihat kebijakan publik adalah gawe nya pemerintah. Nalar teknokratik terlalu romantis dan menyepelekan watak politis aktor-aktor kebijakan. Padahal, kebijakan publik justru lekat dengan sisi politis yang melibatkan aspek ideologi, visi dan aspirasi maha kompleks dalam deal-deal decision making. Namun demikian, gagasan pengambilan kebijakan yang inklusif semacam itu bukanlah ide yang sempurna tanpa cela. Konsep collaborative governance, misalnya. Terobosan pengambilan kebijakan tersebut kemudian mengundang pertanyaan tentang kerjasama atau kolaborasi itu sendiri. Jika di awal sudah dijelaskan bahwa gebrakan ini mencoba mengajak serta mengakomodasi beragam kepentingan. Lantas, bagaimana mungkin kepentingan yang berbeda dan pada titik-titik tertentu juga saling bernegasi kemudian “didamaikan” dalam kerangka kolaborasi. Pendekatan ini seakan mengabaikan rasionalitas aktor dibalik kerjasama tersebut. Bahwa yang dibayangkan oleh teori ini adalah adanya kesepakatan yang akan dicapai bersama-sama tanpa memahami jika setiap aktor yang terlibat memiliki rasionalitasnya sendiri yang bisa jadi berbeda dengan apa yang telah disepakati. Sehingga, patut diduga bahwa kolaborasi yang berorientasi konsensus tersebut hanya sebagai instrumen bagi para stakeholder untuk bersepakat dalam mendapatkan “tujuan” yang sebenarnya hendak dicapai dan bukan berkomitmen terhadap kebijakan yang telah resmi diputuskan bersama. Boleh jadi mereka hanya mensiasati kebijakan yang telah disepakati bersama hanya demi untuk mewujudkan “tujuan”nya. Jelasnya, yang dimaksud dengan “tujuan” bukanlah apa yang telah menjadi komitmen bersama tersebut. Tetapi insentif atau “magnet” yang bisa saja bersifat materialistik yang menjadi tujuan utamanya, dimana materi atau uang tersebut didudukkan sebagai instrumen penyukses agenda kolaborasi. Dengan demikian, bisa jadi, konsensus terbangun dari jalur-jalur informal untuk bisa saling bersiasat dan memaksimalkan keuntungan masing-masing. Dalam studi ini terobosan collaborative governance tidak dimaknai secara normatif. Ia tidak dipandang sebagai metode atau mekanisme perumusan kebijakan yang berisi instrumen-instrumen yang rigid sekaligus aplikatif semata. Ia didudukkan sebagai pertama, arena atau ruang kontestasi. Artinya bahwa, collaborative governance adalah tempat bertemunya ragam kepentingan yang coba “didamaikan” dengan jalan konsensus. Consensus building yang dibayangkan oleh gagasan ini bisa jadi berbeda dalam praktiknya. Kedua, ia dipahami sebagai wujud kuasa. Sebagai ontologi riset, collaborative governance dimaknai sebagai perwujudan kuasa dari para aktor yang terlibat karena sifatnya yang saling mengunci. Artinya, yang punya kuasa bukan hanya policy-makers, melainkan juga para fihak yang terlibat dalam implementasi. Sejak dua dekade terakhir gagasan collaborative governance sendiri muncul sebagai pendekatan dan strategi baru dalam lanskap studi kebijakan publik. Collaborative governance dinilai menjadi pendobrak tradisi kebijakan publik yang menyuguhkan derajat kompleksitas dalam proses pelaksanaannya. Ia adalah produk meta-analisis dari berbagai disiplin ilmu yang kemudian berhasil memetakan faktorfaktor serta variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap proses kolaborasi. Faktor-faktor seperti face to face dialog, trust building, the development of commitment,dan shared understanding menjadi penentu proses kolaborasi. Sementara, variabel-variabelnya termasuk the prior history of conflict or cooperation, the incentives for stakeholders to participate, power and resources imbalance, leadership, dan institutional design juga menjadi bagian penting dari kolaborasi. Namun demikian, kajian ini tidak menempatkan aktor-aktor kebijakan sebagai aktor politik yang rasional yang mampu saling bersiasat dibalik komitmen yang sudah dicanangkan demi ‘kepentingan sendiri’ yang diupayakan melalui cara-cara yang informal. Jika kita mencermati analisis yang dilakukan Ansel dan Gash dalam menyusun kerangka kerja kolaborasi yang inovatif dan aplikatif. Di dalam temuannya, pemahaman atas rasionalitas aktor tidak menjadi faktor atau variable yang perlu dicermati dari proses kolaborasi. Padahal, rasionalitas aktor menjadi penting untuk dilacak guna memprediksi atau mengevaluasi keberlangsungan proses kolaborasi. Pelacakan atau pemahaman atas nalar para kolaborator bisa menjadi salah satu faktor untuk menjelaskan mengapa para aktor yang memiliki beragam kepentingan dapat menyepakati sebuah kolaborasi, yang sekaligus juga menjelaskan apakah kolaborasi



yang sedang dijalankan betul-betul berkomitmen dengan program atau kebijakan yang telah dicanangkan, ataukah kolaborasi tersebut berjalan karena ada maksud-maksud tertentu yang hendak dicapai oleh para kolaborator. Sederhananya, bagaimana mendapatkan jawaban logis ketika berbagai macam kepentingan coba “dijembatani”, jika tidak ada keuntungan yang akan didapatkan oleh masing-masing stakeholder. Misalnya saja, kita membagi pemangku kepentingan ke dalam tiga kelompok besar, yakni Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta/Pasar yang masing-masing memiliki preferensi atau kepentingan yang berbeda bahkan kadang saling bernegasi, tentu akan sangat sulit untuk mendapatkan satu konsensus bersama apabila tidak ada insentif yang akan diperoleh masing-masing pelaku kolaborasi. Dan jika itu kita sepakati bersama, maka ada konsensus “diam-diam” yang dijalankan oleh para pelaku kebijakan untuk mendapatkan insentif dan keuntungan yang lebih besar. Pendekatan kebijakan lain yang secara eksplisit menjelaskan hal tersebut misalnya, Public-Private Partnership (PPP). Metode aplikatif ini telah lebih dulu hadir membawa semangat kemitraan antara publik-privat yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan, salah satunya dengan cara memperkuat financial. Sebagai contoh, sebuah kelembagaan dihadirkan untuk memberikan pelayanan publik secara lebih baik dalam konteks infrastruktur dan layanan lainnya. Namun, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa prosedur atau kerjasama antar instansi pemerintah dengan pihak swasta hanyalah permainan bahasa belaka. Linder misalnya, termasuk orang yang mempercayai bahwa PPP tak ubahnya sebuah strategi yang dirancang untuk memaksimalkan peran swasta sebagai penyedia layanan publik yang berujung pada privatisasi.Akibatnya, PPP dimaknai secara berbeda sesuai dengan konteks yang mengikutinya. Kubu yang optimis menilai bahwa PPP adalah sebuah produk kemitraan modern yang menggantikan metode tradisional yang lebih kompetitif dan melibatkan swasta dalam pelayan publik. Golongan ini meyakini bahwa hadirnya PPP dapat memaksimalkan keuntungan atau hasil yang dapat diperoleh dengan menggabungkan kualitas publik dengan privat. Dengan kata lain, PPP dapat diinterpretasikan sebagai sebuah terobosan kerjasama aktor-aktor publik dan swasta yang saling mempengaruhi dan berfokus pada maksimalisasi keuntungan. Tidak heran jika pembauran tersebut sering dibaca menggunakan lensa komersil. Artinya, bahwa kemitraan tersebut bisa terwujud karena adanya nalar kesepakatan-kesepakatan yang bersifat materialistik atau saling menguntungkan. Bentuk PPP ini semakin menegaskan bahwa kerjasama yang melibatkan kepentingan yang cenderung saling bernegasi bisa terwujud karena masing-masing akan mendapatkan keuntungan maksimal dari agenda kerjasama. Bahwa memaksimalkan keuntungan tersebutlah yang menggugah para aktor tersebut untuk mau bekerjasama, dan bukan didasarkan pada keutamaan atau keberhasilan program yang akan didapatkan dari adanya kerjasama. Berangkat dari kegelisahan di atas, penelitian ini dikawal dengan prespektif rational choice. Pendekatan ini digunakan untuk memahami cara individu atau aktor dalam memutuskan tindakan atau pilihan terbaik berdasarkan rasionalitasnya. Dengan meminjam konstruksi berfikir rational choice, maka akan didapat pemahaman tentang mengapa para aktor yang beragam kepentingan mau berkolaborasi. Landasan teoritis ini dinilai tepat untuk menjelaskan pilihan tindakan dan keputusan yang diambil oleh individu dalam suatu aksi kolektif. Dalam memutuskan tindakannya, aktor terlebih dahulu menyeleksi pilihan-pilihan yang tersedia, menentukan tujuan yang hendak dicapai, memperhatikan aspek sumberdaya yang dimiliki, hingga memperhitungkan kemungkinan keberhasilan dari tindakan yang dilakukannya. Melalui kerangka analitis rational choiceinilah, apa yang menjadi dasar para stakeholder yang berbeda kepentingan pada akhirnya memutuskan untuk “berkolaborasi” terjawab. Bisa jadi aksi kolektif yang mereka lakukan hanyalah suatu cara untuk dapat memaksimalkan keuntungan mereka pribadi. Suatu tindakan yang rasional bagi penganut mazhab ekonomistik (kalkulasi untung-rugi). Masih dalam langgam yang sama, argumentasi Olson tentang aksi kolektif juga menegaskan hal tersebut. Menurutnya, adalah tidak rasional bagi individu-individu untuk ikut memberikan kontribusi bagi kepentingan publik. Baginya, para aktor yang terlibat dalam aksi kolektif tidak akan sukarela membuat pengorbanan demi kepentingan publik jika tidak ada insentif (manfaat sampingan) untuk membujuk orang agar mau bergabung dalam suatu tindakan kolektif. Pemikiran Olson dapat menjadi pijakan riset ini, karena ia menawarkan telaah mendalam tentang tindakan kolektif. Tidak hanya soal rasionalitas individu, tetapi juga dampak dari rasionalitas itu sendiri,



yaitu kemunculan penumpang gelap (freer riders) dalam aksi kolektif. Namun begitu, collaborative governance dimaknai sebagai terobosan canggih yang mampu memberikan angin segar dalam studi kebijakan publik yang tentunya masih akan berproses. Misalnya, masalah dalam cara memandang consensus building yang terlalu kaku dan normatif, sehingga tidak peka terhadap motif-motif tersembunyi para pelaku kolaborasi. 2. Objek Material: Program REDD+ Di Berau, Kalimantan Timur Untuk menyelami persoalan yang mengedepan dalam paparan di atas, studi ini merujuk pada program REDD+. Program ini dihadirkan sebagai lokus pembuktian riset. Pertama, program REDD+ merupakan operasionalisasi dari konsep collaborative governance. REDD+ adalah program penyelamatan hutan yang bersifat kolaboratif dengan derajat kompleksitas yang begitu tinggi. Tidak hanya melibatkan multipelaku yang memiliki beragam kepentingan, tetapi juga dengan struktur lembaga yang bertingkat dan proses yang berlapis. Jelasnya, REDD+ adalah bentuk kolaborasi global yang beroperasi di tingkat nasional dan lokal. Sementara, kompleksitas aktor juga mewarnai proses kolaborasi ini dengan terlibatnya berbagai macam aktor, mulai pemerintah, pihak swasta, LSM/NGO, hingga masyarakat. Untuk memahami bekerjanya kolaborasi tersebut, maka riset ini akan memfokuskan pada pelaksanaan kolaborasi REDD+ di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Landasan empirik ini digunakan untuk memperlihatkan beragamnya pelaku dengan otoritas dan kepentingan yang berbeda “bekerjasama” atau “berkolaborasi” dalam agenda penyelamatan hutan. Berau terpilih menjadi salah satu pilot project REDD+ karena memiliki posisi dan peran strategis untuk mendukung komitmen pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Pemerintah Kabupaten Berau telah berkomitmen untuk menyelenggarakan program percontohan REDD+ berskala kabupaten yang pertama di Indonesia, bahkan dunia melalui upaya pengembangan model pembangunan berbasis pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang rendah emisi. Pelaksanaan REDD+ di Berau mendapat dukungan financial dari lembaga donor. Selain itu, Berau juga mendapat gelontoran dana hibah yang diperoleh dari kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan beberapa Negara maju melalui Letter of Intent. Misalnya, Berau mendapatkan dana hibah dari kesepakatan yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman melalui program ForClime FC Module. Kerjasama tersebut juga menggambarkan kolaborasi yang terjadi di level lokal, yakni kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten Berau yang diwakili oleh Dinas Kehutanan, pelaku korporasi (PT.Sumalindo LJ IV dan PT.Inhutani I Labanan), pihak LSM (Yayasan Bestari dan Perkumpulan Menapak), serta masyarakat di sekitar lokasi program.



A. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah: “Mengapa para stakeholder yang memiliki beragam kepentingan mau berkolaborasi?”



B. Tujuan Penelitian Tujuan utama kajian ini adalah hendak menjelaskan nalar atau rasionalitas yang menjadi dasar para kolaborator bekerjasama. Yang ingin dijelaskan adalah apakah para kolaborator betul-betul sepakat dengan tujuan yang secara resmi ditetapkan sebagai tujuan kebijakan, ataukah ada motif-motif terselubung yang hendak diincar. Untuk mencapai tujuan penelitian, pembahasan-pembahasan pendukung perlu disajikan dalam riset ini. Pertama, REDD+ tidak dimaknai sebagai fokus penelitian tentang kolaborasi, tetapi didudukkan sebagai lokus pembuktian dari adanya nalar yang bekerja di dalam kolaborasi penyelamatan lingkungan. Sehingga, penting menyajikan REDD+ secara komprehensif, guna mendukung hipotesis yang hendak dibuktikan. Kedua, pemaparan tentang rasionalitas dibalik kerjasama REDD+ di Berau, Kalimantan Timur, menjadi pengantar untuk lebih memahami bagaimana sebetulnya kerjasama tersebut dilakukan. Ketiga, penyajian konkrit atas rasionalitas aktor yang berkolaborasi dalam program REDD+ di lokasi atau kampung binaan menjadi pintu gerbang untuk menceritakan bagaimana sebetulnya kolaborasi berlangsung di tingkat tapak. Keempat, dengan



memahami bekerjanya rasionalitas aktor di dalam proses dan implementasi REDD+, maka dapat ditarik satu argumentasi yang kuat sebagai temuan riset bahwa kolaborasi tersebut ajang transaksi kepentingan. Adapun signifikansi penelitian ini adalah berkontribusi terhadap pengembangan collaborative governance. Bahwa konsensus tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang formal tetapi terbangun dari relasi-relasi informal dimana konsensus tersebut erat dipengaruhi oleh rasionalitas yang dibawa oleh individu atau suatu kelompok. Kajian ini berharap dapat mengisi kelemahan teori collaborative governance, yang bisa menjadi trigger untuk studi-studi kebijakan selanjutnya.



C. Literature Review Kajian-kajian kemitraan atau kolaborasi dapat dibaca pada beberapa studi yang mengulas tentang kerjasama lintas sektor. PPP (Public-Private Partnership) misalnya, merupakan salah satu program yang mencoba membangun kemitraan antara sektor publik dan sektor swasta. Terobosan dalam pelayanan publik ini diklaim sebagai metode modern yang membuka ruang kompetisi secara lebih baik dengan melibatkan pihak swasta dalam urusan pelayanan publik. Ekspresi baru dalam manajemen publik yang menggantikan sistem PFI di Inggris dan sistem kontrak di Amerika ini dinilai lebih membuka kesempatan bagi kemitraan. Karena kedua sistem terdahulunya dianggap sebagai bentuk dominasi swasta dalam sektor-sektor layanan publik. Program PFI maupun sistem kontrak dinilai sebagai bahasa lain dari privatisasi pelayanan publik yang dikuasai oleh swasta. Sehingga dorongan untuk membangun kemitraan antara publik dan swasta digalakkan yang kemudian hadir program PPP sebagai respon atas tuntutan tersebut. Kehadiran PPP yang mencoba menggabungkan kualitas yang dimiliki publik dengan kualitas yang dimiliki privat untuk mendapatkang keuntungan yang maksimal menuai perdebatan. Perdebatan tersebut memunculkan dua regangan, satu kubu melihat PPP sebagai alat pemerintah (meliputi pengaturan organisasi dan pengaturan keuangan) serta kaum lain mengganggap bahwa PPP adalah produk “permainan bahasa”. Kelompok yang percaya bahwa metode PPP adalah cara ampuh yang mampu memberikan pelayanan publik dengan baik karena menggabungkan kedua kekuatan antara publik dengan privat. Saling berbagi peran antara publik (pemerintah) dengan swastas memberikan harapan bagi terwujudnya pelayanan publik yang baik. Kubu lain menilai bahwa PPP merupakan sebuah “permainan” yang dirancang sebagai strategi hanya untuk mendapatkan kepentingan masing-masing sektor semata dan untuk keperluan lainnya. Sehingga hasil dari produk PPP tidak lain adalah privatisasi yang menjadikan pihak swasta sebagai penyedia layanan public dengan mengorbankan organisasi public sendiri. Terlepas dari perdebatan dua kubu tersebut, PPP memiliki karakteristik modern dibandingkan dengan kemitraan tradisional. Ia adalah sebuah metode atau kerangka kerja yang menyajikan kemitraan yang bersifat inklusif dimana publik-privat juga mengajak para mitranya, termasuk dengan LSM dan masyarakat sipil, untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Kerjasama lintas lembaga tersebut merupakan sebuah kontrak jangka panjang sebagai program untuk menyediakan layanan publik dengan baik. Ada dua dimensi yang tidak bisa dilepaskan ketika membicarakan PPP. Pertama,soal pengaturan keuangan. PPP adalah kerangka kerja yang menggabungkan sektor financial antara kedua belah pihak untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menangani suatu proyek. Jelas bahwa, program PPP ini dihadirkan untuk mendapatkan modal sebagai mesin penggerak utama dari sebuah proyek. Dapat pula diinterpretasikan bahwa proyek atau program PPP akan berjalan apabila ada dukungan financial yang digelontorkan oleh pihak swasta untuk kasus-kasus tertentu. Setidaknya, hal ini menggambarkan bahwa program yang dinilai inklusif dan kompetitif ini menyiratkan penalaran yang sangat komersil. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak kalangan yang menganggap bahwa program PPP adalah ajang cari “sponsor” yang justru sering mengorbankan kepentingan masyarakat sendiri. Meskipun, ada beberapa kasus yang menunjukkan keberhasilan dari program ini. Kedua, adalah dimensi organisasi. Hampir sama dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kerjasama atau kemitraan, metode PPP juga menekankan pada inklusifitas pengelolaannya. Pembauran antara publik dengan swasta juga melibatkan kerjasama dengan masyarakat sipil dan LSM. Dengan kerjasama interorganisasional



tersebut maka keberhasilan dari program PPP adalah bagaimana menggabungkan kualitas-kualitas yang dimiliki masing-masing untuk mendapatkan keuntungan bagi publik maupun sektor swasta. Sehingga, kesuksesan dari PPP ditentukan dari komitmen yang ditunjukkan oleh masing-masing aktor. Oleh karena itu, PPP juga dinilai sebagai sebuah praktik kebijakan yang kompleksitas kesepakatannya tinggi. Metode kemitraan memang menawarkan harapan yang indah baik bagi para pelakunya maupun masyarakat yang terkena dampak dari kemitraan tersebut. Namun, upaya yang baik belum tentu membuahkan hasil yang baik pula. Kemitraan seperti yang diadopsi oleh PPP sering kali mendapatkan respon yang skeptis dari berbagai kalangan karena menganggap bahwa PPP tak ubahnya strategi untuk mendapatkan kepentingan golongannya melalui ‘insentif’ yang diperolehnya. Sehingga pelayanan publik yang harusnya dikelola secara bersama antara pemerintah dan swasta justru menjadi ajang bertukar kepentingan yang merugikan publik itu sendiri. Jika memakai lensa komersil, maka PPP tidak ubahnya privatisasi seperti sistem pendahulunya, karena kemitraan tersebut bisa berjalan karena ada ‘magnet’ yang menariknya. Sementara itu, cerita lain tentang dibalik kerjasama lingkungan yang dibiayai oleh lembaga donor, ternyata memiliki kepentingan terselubung yang dimainkan melalui isu lingkungan. Sebagai contoh, cerita tentang proyek lingkungan yang didanai Bank Dunia di dua wilayah Brazil, Rondonia dan Mato Grosso, dalam pengembangan program “pembentukan zona agroekologis” di areal proyek Polonoroeste telah melahirkan bencana serta kerusakan akibat proyek pembangunan tersebut. Pengalaman negara-negara penerima donor Bank Dunia merupakan cerminan bagi lingkungan yang semakin didominasi oleh kepentingan kapitalis, dan pada gilirannya akan terjadi penggadaian bumi secara meluas. Artinya bahwa, lingkungan digunakan sebagai tameng ideologis terselubung bagi Negara-negara maju untuk memperlihatkan bahwa pihaknya telah memberikan perhatian terhadap keberlangsungan ekologi. Isu lingkungan dijadikan sebagai ajang “cuci tangan” dengan melimpahkan kerusakan lingkungan akibat massifnya pembangunan industri kepada Negara-negara berkembang yang memiliki cakupan hutan tropis yang luas. Sementara itu, studi-studi tentang REDD+ sebelumnya banyak dikaji oleh beberapa pendekatan ilmu. Salah satunya adalah ilmu kehutanan, dimana kajian-kajian REDD+ dalam kerangka ilmu kehutanan menitikberatkan pada persoalan bagaimana program REDD+ itu dapat berjalan dengan baik dengan melibatkan semua unsur stakeholder. Kemudian studi REDD+ dalam konteks antropologi banyak bercerita soal masyarakat sebagai aktor utama. Misalnya, bagaimana program REDD+ justru melanggengkan dominasi elit lokal. REDD+ dalam kajian Hubungan Internasional lebih menekankan pada aspek relasi atau bagaimana posisi Indonesia diantara negara-negara berkembang dan maju kaitannya dengan upaya penyelamatan lingkungan. Kajian lainnya adalah dari prespektif pengelolaan lingkungan. Dengan adanya program REDD+ sebagai tawaran atau alternatif untuk penyelamatan lingkungan, maka daerah-daerah yang menjadi proyek pencontohan program ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan daerahnya dengan sistem atau mekanisme penjualan karbon. Selanjutnya, ada kajian yang berpendapat bahwa program REDD+ justru menimbulkan banyak masalah atau konflik yang mengemuka. Dengan demikian, riset ini mengambil posisi yang jelas dan berbeda dari kajian-kajian REDD+ sebelumnya. Studi ini menempatkan REDD+ sebagai objek material yang hendak memahami rasionalitas aktor dibalik program REDD+. Jelasnya, REDD+ tidak didudukkan sebagai ontologi riset yang harus dibuktikan itu sendiri.



D. Kerangka Konseptual: Kolaborasi dalam Lensa Rational Choice Untuk memahami kelemahan dari teori collaborative governance, yang berujung pada kolaborasi yang saling mensiasati, mendiskusikan gagasan governance sebagai pintu masuk menjadi penting.dalam riset ini. Sebab, gagasan-gagasan collaborative governance dapat dipahami dengan memulai menelaah konsep governance itu sendiri. Governance hadir menjadi tren baru dalam pengelolaan kepentingan publik dengan menawarkan format yang lebih inklusif dan membuka interaksi intensif dengan berbagai aktor, baik pelaku bisnis dan civil society. Pada hakikatnya, ide dasar munculnya governance adalah adanya liberalisasi ekonomi yang terjadi di negara Amerika serika dan Inggris, memunculkan virus governance yang menjangkiti hampir di seluruh negara di dunia . Di sisi lain, demokrasi politik seperti dorongan partisipasi,



kesetaraan dan manajemen yang lebih transparan dan akuntabel juga berkontribusi menggeser format pengelolaan pelayanan publik dari government menjadi governance. Berbagai macam versi definisi muncul untuk mengeksplisitkan apa yang dimaksud dengan governance. Tetapi, acuan yang sering dijadikan dasar dalam mendiskusikan “barang” ini adalah laporan Bank Dunia tahun 1989 yang kemudian dikenal dengan Konsensus Washington. Intinya, adalah pelibatan aktor-aktor non negara seluas-luasnya dan membatasi intervensi pemerintah. Dengan demikian, lahirnya gagasan collaborative governance bisa dimaknai sebagai upaya penyempurnaan konsep governance itu sendiri.Konsep-konsep dasar dari collaborative governance mengadopsi konsep pendahulunya. Merujuk pada definisi collaborative governance, yakni: “A governing arrangement where one or more public agencies directly engaged non-state stakeholders in a collective decisionmaking process that is formal, consensus-ooriented, and deliberative and that aims to make or implement public policy or manage public programs or assets.” Hanya saja, model ini terlihat lebih canggih dengan serangkaian prosedur yang ditail untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari sebuah kolaborasi. Mulai dari prakolaborasi yang ditandai dengan start conditions, membuat institutional design, hingga memfasilitasi kepemimpinan, didisain secara matang oleh gagasan ini. Jika mencermati gagasan-gagasan ideal yang disajikan oleh teori collaborative governance, konsep ini terlalu normatif dan menyepelekan watak politis dari para aktor yang dilibatkan. Pendekatan ini melihat bahwa semua aktor bisa diajak berkolaborasi dengan membentuk satu kesepakatan bersama. Faktanya, setiap orang atau kelompok memiliki kepentingannya masing-masing, yang tidak jarang saling bernegasi. Dengan mendasarkan pada jargon collaborative governance yang mampu mengakomodasi segala kepentingan beragam dan berujung konsensus menjadi titik tekan pertanyaan itu sendiri. Mungkinkah kolaborasi bisa terwujud jika setiap aktor memiliki kepentingannya sendiri? Dalam rangka memahami logika kolaborasi, perilaku aktor menjadi kunci untuk menjelaskan hal tersebut. Tindakan aktor untuk bersedia atau tidak bergabung dalam sebuah kolaborasi bisa jadi ditentukan oleh preferensi atau pilihan-pilihan terbaik yang tersedia. Jika aktor tersebut memutuskan untuk mau berkolaborasi, pasti ada rasionalitas dibalik keputusannya tersebut. Bisa saja keinginannya untuk bergabung dalam sebuah kolaborasi karena menurutnya itulah pilihan terbaik untuk memaksimalkan keuntungannya. Dan tindakan tersebut sangatlah rasional. Sebab, mereka justru tidak akan mendapatkan apa-apa jika tetap saling bersitegang, mengedepankan egoismenya masingmasing. Bagi kaum rasional, memilih alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia adalah keharusan. Sehingga, wajar dan rasional apabila mereka mau berkolaborasi dengan mengesampingkan sifat keegoisannya demi tujuan utama yakni, memaksimalkan keuntungan. Itulah pilihan terbaik bagi kaum rasionalis. Konsekuensi dari tindakan rasional para aktor terhadap kolaborasi itu sendiri adalah kolaborasi yang digagas hanya disiasati demi mendapatkan tujuannya sendiri. Mereka akan abai dengan tujuan yang telah dicanangkan dan hanya hirau dengan bagaimana memaksimalkan utilitas dari agenda kolaborasi tersebut. Strategi atau cara mereka bersiasat adalah dengan mensiasati setiap opportunity structure yang didudukkan sebagai langkah untuk mensukseskan program kolaborasi. Di sisi lain, mereka melakukan “transaksi” kepentingan yang tujuannya untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing. Intinya, mereka melakukan siasat dengan mentaati atau patuh terhadap serangkaian prosedur atau aturan yang telah ditetapkan. Namun, pada saat yang sama, aktor-aktor tersebut juga melakukan “transaksi-transaksi” kepentingan diantara mereka demi memaksimalkan tujuan pribadi masing-masing. Dengan demikian, jika menggunakan pendekatan rational choice, seperti yang telah dijelaskan di atas, collaborative governance adalah ajang “transaksi” kepentingan antar aktor yang terlibat demi mengejar self-interest nya. Logika semacam ini juga ditemukan ketika mendiskusikan bentuk kemitraan lain seperti, Public-Private Partnership (PPP). Nalar dalam kerangka kerja PPP juga tidak lebih dari transaski kepentingan antara pemerintah dengan pihak swasta yang hanya ingin memaksimalkan keuntungan yang diperoleh melalui kesepakatan yang dibentuk. Dalam kacamata rational choice, gagasan ideal collaborative governance



tentang pembangunan konsensus di atas kepentingan yang beragam, tentu menjadi hal yang rumit bahkan berpotensi untuk gagal. Apalagi jika kolaborasi tersebut berkaitan dengan barang publik. Aktor yang rasional dan memiliki kepentingan berbeda tersebut tentu akan mempertimbangkan manfaat apa yang akan diperoleh jika mereka terlibat dalam kolaborasi ini. Maka, harus ada hal yang menarik minat atau perhatian para kolaborator agar mereka bersedia bergabung. Hal tersebut bisa berupa insentif sebagai timbal balik dari kesediaannya ikut berkolaborasi. Sebab, jika berpijak pada prespektif rational choice, tidak rasional bagi individu-individu untuk memberikan kontribusi bagi kepentingan publik. Hal ini dikarenakan akan ada biaya yang harus ditanggung oleh individu yang ikut dalam aksi kolektif tersebut, sementara hasil dari aksi kolaboratif tersebut akan dinikmati oleh publik, termasuk mereka yang tidak ikut terlibat dalam kolaborasi. Sehingga, menurut Olson, harus ada insentif (manfaat) sampingan untuk membujuk orang agar mau bergabung dalam suatu tindakan kolektif. Persisnya, dalam logika aksi kolektif Olson, insentif diberikan kepada para aktor yang terlibat dalam kolaborasi agar mereka mau melaksanakan dan menyukseskan apa yang menjadi agenda kolaborasi. Menurutnya, individu yang rasional tidak akan secara sukarela membuat pengorbanan untuk mewujudkan tujuan publik atau kolektif. Apalagi, seorang rasionalis tidak akan bersedia ikut dalam aksi kolektif jika tidak ada manfaat lebih yang diperolehnya. Sehingga, dengan adanya insentif yang hanya diberikan kepada mereka yang mau bergabung dalam kolaborasi, bisa menjadi magnet yang dapat dipertimbangkan oleh kaum rasionalis. Dengan begitu, tujuan yang digagas dalam suatu kolaborasi bisa terwujud. Namun demikian, ada persoalan lain yang dihadapi collaborative governance yang “transaksional”. Jika dalam logika Olson, insentif diberikan kepada mereka yang telah bersedia mewujudkan tujuan kolektif atau publik. Sekaligus menjadi pembeda dengan para penumpang gelap (free riders) yang hanya bisa menikmati hasilnya tetapi tidak mendapatkan insentif tambahan tersebut. Dalam collaborative governance yang sarat dengan “transaksi” kepentingan, para aktor tersebut bisa saja menjadi free riders. Maksudnya adalah, mereka hanya mensiasati insentif dengan patuh dan tunduk terhadap prosedur yang berlaku. Tetapi, di sisi lain tujuan yang dicanangkan dalam kolaborasi tidak pernah menjadi agenda serius mereka. Kepentingannya hanyalah bagaimana memaksimalkan keuntungan yang diperoleh melalui strategi yang dilancarkan. Persisnya, ingin mendapatkan insentifnya, tetapi tidak serius menyukseskan agenda kolaborasi. Dengan demikian, dalam cara pandang rational choice, collaborative governance tidak lebih dari ruang transaksi kepentingan antar aktor, sekaligus ruang bertemunya para penumpang gelap (free riders) yang sibuk mensiasati insentif dan tidak peduli dengan tujuan kolaborasi itu sendiri. Semua itu dalam satu kepentingan, yakni memaksimalkan keuntungan. Dan itu sangat rasional jika berkaitan dengan barang publik. Seperti yang ditegaskan Olson, karena hasil dari suatu tindakan kolektif memiliki karakteristik barang publik, sedangkan untuk barangbarang publik, orang cenderung mengambil posisi sebagai pendompleng (free riders). Namun, ada alternatif lain dalam memandang kolaborasi yang transaksional. Prespektif ini lebih memandang bahwa kolaborasi transaksional terjadi karena ada kekakuan dalam memahami consensus building. Boleh jadi, konsensus terbangun tidak dalam forum-forum formal, tetapi melalui jalur-jalur informal. Sehingga, dalam cara pandang ini ide tentang collaborative governance sedang berproses, tidak mustahil untuk dijalankan. Karena ketika semua orang merasa diuntungkan disitulah terjadi konsensus. Meskipun, konsensus tercipta tidak dalam kerangka legal-formal. Namun, sebagai cara pandang, hal tersebut juga bisa digunakan sebagai kacamata untuk memahami seberapa jauh proses kolaborasi.



E. Metode Penelitian Penelitian tentang collaborative governance dalam kasus REDD+ di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dimulai dengan membuka jaringan atau melakukan komunikasi dengan Lembaga CIFOR (Centre for International Forestry Research). Komunikasi ini dimaksudkan untuk membuka akses dan mendapatkan informasi-informasi awal sebelum peneliti terjun ke lapangan. Informasi-informasi awal tersebut memudahkan dan menuntun peneliti untuk segera bertindak ketika melakukan proses pengumpulan data di lapangan. Hal ini adalah cara paling mudah untuk mengenali secara cepat bagaimana kondisi riil di lapangan. Sehingga pengaturan waktu dan tenaga ketika berada di lapangan menjadi mudah dikontrol.



Riset ini diawali dengan penyusunan disain penelitian yang mengkerangkai seluruh rangkaian penelitian. Tahapan selanjutnya adalah proses pengambilan data di lapangan. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan memahami berbagai rekaman peristiwa yang tidak terpublikasikan melalui dokumen maupun arsip-arsip lainnya. Sehingga pengumpulan data dalam riset ini adalah dengan bertemu dan mewawancarai berbagai narasumber. Wawancara tersebut adalah cara untuk mendapatkan data-data yang tersembunyi. Jadi, data yang terkumpul menjadi komprehensif karena tidak hanya menggunakan satu sumber data seperti dokumen atau arsip lainnya, tetapi hasil wawancara langsung justru menjadi sumber data primer.



1. Jenis Penelitian Kualitatif dengan Metode Studi Kasus Riset ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Pertimbangan penggunaan penelitian jenis kualitatif lebih disebabkan kajian yang menjadi fokus penelitian ini lebih dapat dielaborasi dan dieksplorasi apabila menggunakan disain penelitian kualitatif. Disain kualitatif membantu penelitian ini menjadi lebih mendalam dan terarah. Dengan berfokus pada tujuan penelitian yang hendak memahami nalarnya para stakeholder, metode studi kasus dinilai cocok untuk mengawal penelitian ini karena kompleksitas dan membutuhkan interkoneksi dalam proses penyelidikannya. Oleh karena itu, metode studi kasus tepat digunakan untuk mendapatkan jawaban penelitian yang ingin menelisik nalarnya para pemangku kepentingan dalam suatu kolaborasi. Untuk mencapai tujuan penelitian, pertama adalah dengan melakukan eksplorasi terkait bagaimana proses dan implementasi kolaborasi penyelamatan lingkungan. Dalam rangka mendapatkan deskripsi yang komprehensif atas hal tersebut, peneliti menemui narasumber-narasumber utama yang relevan dengan fokus penelitian. Posisi peneliti terhadap data yang didapat dari eksplorasi narasumbernarasumber tersebut adalah menginterpretasikan. Sehingga apa yang disampaikan oleh para informan terkait bagaimana proses pelaksanaan kolaborasi merupakan data utama untuk membaca nalar atau rasionalitas para pemangku kepentingan. Untuk mendapatkan hal tersebut, maka peneliti tidak bisa terpisah dari informannya. Hal ini sesuai dengan metodologi kualitatif yang ditegaskan oleh Kirk dan Miller bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam bidang ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia. Penggunaan studi kasus dalam riset ini lebih dikarenakan fokus kajian yang akan diteliti merupakan kasus tunggal yang ingin dikupas secara menyeluruh atau komprehensif. Kasus yang ingin dikupas tersebut adalah mengapa para stakeholder yang memiliki prinsip dan kepentingan berbeda mau bekerjasama dalam program penyelamatan lingkungan. Pertanyaan penelitian tersebut sekaligus menegaskan bahwa penggunakan metode studi kasus tepat karena mampu menjadi alat untuk mendapatkan serta mengeksplorasi data yang dibutuhkan. Metode studi kasus juga sesuai menjadi instrument rangkaian analitis dalam riiset ini. Pertama, rumusan masalah menggunakan kata tanya mengapa.Kedua, riset ini adalah riset kontemporer atau bersifat kekinian yang didasarkan pada fokus dan lokus penelitian yang merupakan kajian baru. Ketiga, dalam penelitian ini peneliti tidak memiliki peluang untuk mengontrol fenomena yang sedang diteliti. Sebagai metode penelitian, Shaughnessy dan Zechmeister menjelaskan bahwa studi kasus tidak hanya sekedar instrument atau teknik pengumpulan data. Tetapi juga menyangkut metodologis yang memiliki kemampuan untuk membuka jalan bagi penemuan, wawasan, bahkan hipotesis yang mampu mengembangkan studi-studi lanjutan. Jadi, metode ini juga berkontribusi dalam pengembangan ilmu. Studi kasus juga mampu untuk memberikan nilai ilmiah dengan objektifitas yang berusaha dibangun dari artikulasi peneliti, strategi analitiknya, dan juga tidak hanya terfokus pada fenomena atau peristiwa yang diteliti. Tetapi justru memberikan pemahaman tentang peristiwa atau fenomena apakah yang sedang terjadi. 2. Unit Analisis Penelitian Program REDD+ di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tepat menjadi unit analisis dengan pertimbangan bahwa REDD+ (Reducing Emissions Deforestation and forest Degradation Plus) merupakan praktik dari teori atau konsep collaborative governance karena meilbatkan berbagai stakeholder dalam proses pelaksanaannya. Jadi, skema REDD+ di Berau menjadi unit pembuktian dari fokus penelitian yang hendak



menelisik nalarnya para stakeholder yang terlibat dalam skema kolaboratif penyelamatan lingkungan. Gerakan penyelamatan lingkungan ini sekaligus memperlihatkan kolaborasi yang multilevel dan mahakompleks, dari global hingga tingkat lokal. Singkatnya, program REDD+ lebih spesifik lagi pelaksanaan REDD+ di Berau, Kalimantan Timur, dipilih untuk mengkaji lebih detail tentang collaborative governance karena, pertama, Program REDD+ di Berau mendapat dukungan financial atau gelontoran dana dari beberapa Negara maju seperti Norwegia yang menghibahkan dana sebesar 1 Miliar USD dan Pemerintah Jerman menggelontorkan dana senilai 20juta Euro. Kedua, gerakan penyelamatan lingkungan ini tidak hanya bekerja di level global, tetapi juga beroperasi di tingkat nasional, subnasional, hingga di tingkat lokal. Dan yang menjadi lokus pembuktian atau unit analisis di tingkat lokaladalah dua program yang sedang berjalan di sana, yakni PKHB (Program Karbon Hutan Berau) dan Program ForClime FC Module. PKHB adalah program kemitraan penyelamatan lingkungan yang dilaksanakan oleh multistakeholder yang berkoordinasidalam satu wadah bernama Pokja REDD. Sementara, program ForClimeFC Module merupakan realisasi kerjasama Pemerintah Jerman dengan Pemerintah Indonesia dengan pelaksana program adalah Kementerian Kehutanan yang kemudian menugaskan (medebewin) Dinas Kehutanan yang ditunjuk sebagai pelaksana operasional di tingkat tapak. Ketiga, untuk lebih mengoperasionalisasikan fokus penelitian, maka riset ini mengambil empat daerah atau kampung yang menjadi tempat beroperasinya program REDD+ di Berau. Satu kampung di wilayah DA#6 PT. Inhutan I Labanan, yakni daerah transmigran Pandan Sari dan satu kampung di wilayah DA#7 PT. Sumalindo LJ IV, yaitu kampung Gunung Sari. 3. Teknik Pengumpulan



Data a. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data-data primer dan data-data sekunder. Data-data primer meliputi kata-kata dan tindakan informan. Data-data sekunder meliputi, pengamatan, dokumen (sumber data tertulis), dan foto-foto. Di dalam penelitian ini, data primer lebih dominan digunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan penelitian. Namun, pada titik tertentu, data sekunder tidak hanya dihadirkan sebagai komplemen atau penegas data primer, melainkan bisa menjadi rujukan untuk menemukan jawaban penelitian. Sehingga pengambilan data dalam riset ini menggunakan teknik multisumber bukti. Posisi data primer dalam penelitian sangatlah penting. Urgensi data primer menjadi ukuran keabsahan penelitian. Artinya, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Meskipun demikian, posisi data sekunder juga sangat diperlukan dalam upaya menghimpun data sebanyak mungkin. Dengan adanya penegasan melalui data sekunder yang tersirat melalui pengamatan, dokumen resmi, maupun foto-foto yang berhasil dihimpun, maka penelitian ini jauh lebih absah. Dengan demikian, data primer dan data sekunder sama-sama dibutuhkan dalam penelitian ini yang kedudukannya saling melengkapi satu dengan yang lain sebagai rangkaian data. Data primer hadir sebagai sebuah upaya klarifikasi dan penjelasan atas pertanyaan penelitian yang diajukan melalui proses tanya jawab. Sementara itu, datadata sekunder juga tidak bisa diabaikan karena dapat menjadi instrumen penegas. Dengan adanya penghimpunan data primer dan data sekunder yang maksimal, maka penelitian ini akan memperoleh pengkayaan data. b. Cara Mengumpulkan Data Sebelum terjun ke lapangan, penelitian akan diawali dengan melakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan sebagai langkah strategis untuk memahami karakter dan watak dari informan. Guba dan Lincoln mengungkapkan alasan mengapa langkah pengamatan menjadi penting untuk dilakukan. Salah satunya adalah teknik pengamatan dapat menjadi instrument handal untuk mengamati dan memahami situasi-situasi yang rumit sekalipun. Dalam riset ini, pengamatan diawali dengan mendapatkan informasi awal yang diperoleh melalui diskusi singkat dengan CIFOR sebagai lembaga riset kehutanan yang juga melakukan riset REDD+ di Berau. Setelah beberapa informasi singkat namun penting didapat, proses selanjutnya adalah pengumpulan data yang dibagi menjadi beberapa strategi. Teknik pertama, pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan berperanserta. Sebagai contoh



menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan terkait program REDD+. Sebelum terjun ke lapangan, peneliti telah membuka jaringan dan komunikasi dengan beberapa informan penting. Contohnya, membuka komunikasi dengan manager TNC (Bapak Saipul Rahman), melakukan pertemuan perkenalan dengan Ketua KPH Berau Barat (Bapak Hamzah). Dengan cara demikian, maka peneliti dengan mudah mendapatkan akses dan bertemu dengan aktor-aktor lainnya. Cara kedua, dengan adanya penerimaan atau sikap ‘selamat datang’ yang diperlihatkan oleh para stakeholder, maka peneliti dapat melakukan indepth interview sebagai cara untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tersembunyi atau rahasia. Peneliti menemui para pelaku atau para kolaborator kunci yang dapat dibagi menjadi empat kelompok besar: representasi pemerintah adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Berau (Koordinator Program REDD+: Bpk. Ir.M.Segara) dan juga Ketua Pokja (Asisten II Pemkab Berau: Bpk.Suparno Kasim),kelompok swasta yakni Manager PT.Inhutani I Labanan (Bapak Oga) dan Manager PT. Sumalindo LJ IV (Bapak Mulyadi), lembaga swadaya masyarakat (NGO) diwakili oleh Ketua Yayasan Bestari (Bapak Rian) dan Ketua Perkumpulan Menapak (Bapak Ponidi), dan masyarakat di dua kampung yang menjadi lokasi riset (Bapak Otnell, Bapak Deprianto, Bapak Antonius, Bapak Sarwani, Ibu Imasitoh, Bapak Manu Henrianto). Strategi ketiga, proses wawancara mendalam pada setiap kolaborator dilakukan dengan cara-cara yang bersifat kekeluargaan dan tidak intimidatif. Sehingga dengan relasi yang cair dan santai para informan tersebut leluasa bercerita sehingga informasi-informasi terkait fokus penelitian dapat diperoleh dengan hasil maksimal.Di dalam proses wawancara mendalam, peneliti menggunakan interview guide yang digunakan sebagai pengontrol jalannya proses wawancara. Namun, interview guide tidak hanya berfungsi sebagai pengontrol, tetapi juga untuk melakukan check list pertanyaan guna mengembangkan pertanyaan. Keempat, di dalam proses indepth interview, peneliti juga mempersiapkan tape-recorder yang digunakan untuk merekam ketika proses wawancara sedang berlangsung. Teknik perekaman ini berguna untuk mengecek kembali poin-poin yang disampaikan oleh narasumber, sekaligus sebagai pelengkap data yang tidak sempat tercatat oleh peneliti. Setelah kegiatan wawancara usai, hal utama yang segera dilakukan adalah menuliskan hasil wawancara ke dalam bentuk frasa-frasa. Data-data sekunder yang merupakan unsur penegas data juga dihimpun dari berbagai dimensi. Data-data internal yang tidak diedarkan secara luas seperti hasilhasil rapat baik yang bersifat formal maupun informal (temu rembug), foto-foto diperoleh dari cara-cara formal atau mendapat ijin dari kelompok tersebut. Sementara itu, data-data lain yang juga menunjang penelitian, seperti dokumen resmi (lembaran Negara) situs-situs resmi. Studi pustaka melalui penelusuran situs internet, buku-buku, maupun jurnal-jurnal lainnya juga menjadi teknik dalam mencari informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. 4. Teknik Analisis Data Proses analisis data akan dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapat dari berbagai sumber, yaitu: wawancara, pengamatan yang telah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar dan foto-foto. Sumber-sumber yang beragam tersebut kemudian akan dibaca, dipelajari dan dipahami.Pertama, proses ini untuk memudahkan pereduksian data yang menjadi langkah selanjutnya. Pereduksian data berfungsi untuk mengklasifikasikan data yang berkaitan dengan fokus penelitian. Dengan adanya pereduksian data maka akan diperoleh data inti dan data yang tidak berhubungan dengan kajian penelitian. Data-data inti tersebut diparalelkan menjadi data lapangan yang utuh dan kemudian dikaitkan dengan teori collaborative governance sebagai fokus penelitian. Kedua, eksplanasi secara rinci kausalitas dari nalar para kolaborator yang terlibat dalam REDD+ di Kabupaten Berau yang kemudian memperlihatkan perilaku para aktor tersebut dengan pendekatan rasionalitas instrumental yang memang belum dijelaskan oleh teori collaborative governance. Ketiga¸ memilah data berdasarkan analisis deret waktu. Analisis deret waktu penting untuk memahami nalar, perilaku dan tindakan para pelaku kolaborasi mulai dari pertama kali program REDD+ berjalan sampai saat ini. Dalam konteks ini penting memahami apakah ada konsistensi perilaku atau ada perbedaan nalarnya para aktor ketika program tersebut mulai diwacanakan dan ketika kebijakan tersebut sudah dilaksanakan. Sehingga ini akan memudahkan untuk memahami bagaimana nalar para aktor yang terlibat.



Dengan menggunakan tiga model analisis tersebut, maka akan menggiring peneliti pada kesimpulan akhir. Analisis kesimpulan menyuguhkan bagaimanan corak nalar atau rasionalitas para kolaborator dalam implementasi kebijakan REDD+ di Kabupaten Berau yang dilakukan secara interpretatif berbasis temuan lapangan dan analisis data. Sehingga hasil temuan lapangan tersebut menjadi pembuktian terhadap teori collaborative governance yang hendak dikritisi.



F. Alur Sistematika Bab Fokus riset ini adalah telaah kritis terhadap kajian collaborative governance yang belum cukup memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang rasionalitas aktor dibalik sebuah kerjasama. Nalar atau rasionalitas aktor bisa menjadi penjelas mengapa kepentingan yang beragam tersebut pada titik-titik tertentu bertemu. Namun, itu bukan berarti bahwa para aktor yang terlibat tersebut semata-mata berkomitmen dalam sebuah kebijakan yang telah dicetuskan. Tetapi, konstruksi rasionalitas aktor yang beyond komitmen itulah yang justru menjelaskan alasan mereka bekerjasama. Dengan demikian, menelisik rasionalitas aktor menjadi salah satu cara dalam memahami kerjasama yang multikepentingan. Uraian ini dipaparkan dalam bab pertama sebagai bab pengantar atau latar belakang riset ini. Gagasan collaborative governance diaktualisasikan dalam sebuah program tentang upaya penyelamatan hutan (REDD+) yang beroperasi di tingkat nasional dan lokal. Maka, REDD+ sebagai gerakan global penyelamatan lingkungan mengisyaratkan bahwa program atau agenda REDD+ ini memiliki derajat kompleksitas yang sangat tinggi. Tidak hanya soal jejaring, tetapi kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan yang pastinya membuat kolaborasi atau kerjasama penyelamatan ini menjadi tidak mudah. Negaranegara maju memiliki kepentingannya sendiri yang mengusung tendensi ekonomi dan pembangunan. Sementara, tuntutan Internasional mendesak agar Negara-negara industri untuk memikirkan kembali keberlangsungan ekologi demi keberlanjutan kehidupan. Di sisi lain, Negara-negara berkembang dihadapkan pada dua kepentingan yang bersinggungan. Ia dituntut untuk menyelamatkan dan menjaga wilayah hutannya, dan pada saat yang sama harus memikirkan pembangunan negaranya. Perang kepentingan di dalam diskursus lingkungan menjadi pondasi untuk memberikan bayangan bahwa konsep kolaborasi tidak hanya menawarkan gagasan ideal, tetapi justru sarat dengan kontestasi. Kontestasi yang semula merugikan satu sama lain kemudian berubah menjadi sebuah ‘kolaborasi’ yang disiasati demi maksimalisasi kepentingan masing-masing. Tindakan yang rasional ketika kepentingannya tidak akan pernah didapat jika tetap mengedepankan antagonisme masing-masing aktor. Inilah yang diulas dalam bab kedua penelitian ini. Dilevel lokal, kolaborasi REDD+ di Berau semakin menegaskan bahwa agenda ini hanya disiasati oleh aktor-aktor yang terlibat. Kerjasama multi aktor tersebut ternyata dikerangkai dengan satu tujuan pragmatis yakni, hanya ingin mendapatkan dana yang digunakan sebagai instrument yang disediakan untuk menjamin kesuksesan program REDD+. Artinya, kolaborasi terwujud bukan didasarkan atas kesadaran komitmen tentang pentingnya lingkungan, tetapi karena ada rasionalitas lain yang hendak dicapai oleh para aktor, yaitu menikmati dana program berupa insentif dengan cara memanfaatkan opportunity structure yang ada. Kepatuhan terhadap seluruh proses tahapan merupakan cara mereka untuk bersiasat demi mendapatkan ‘tujuan’ sebenarnya. Rasionalitas dibalik kerjasama REDD+ di Berau menjadi poin utama yang disuguhkan di bab tiga. Beranjak ke bab selanjutnya, interaksi yang terjadi antar aktor secara horizontal di tingkat tapak dibahas secara lebih detail. Interaksi yang terjadi memperjelas bahwa telah terjadi “transaksi kepentingan” demi mendapatkan keuntungan yang besar. Kolaborasi REDD+ justru digunakan sebagai ruang untuk mendapatkan kepentingan masing-masing aktor. Saling ‘bersiasat’nya antar aktor dalam agenda REDD+ terlacak dari disetujuinya program-program yang tidak berhubungan dengan tujuan awal yang telah dicanangkan. Inilah yang diulas dalam bab keempat, yang menceritakan bagaimana riilnya proses dan implementasi proyek REDD+ yang disiasati oleh para kolaborator. Gejala yang sedang diperlihatkan dalam aksi kolektif REDD+ tersebut membawa konsekuensi terhadap kolaborasi itu sendiri. Konsekuensi dari adanya kerjasama yang saling mensiasati tersebut adalah wujud quasi-kolaborasi atas



keniscayaan relasi transaksional. Karena pada dasarnya, mereka adalah aktor rasional yang hanya ingin memaksimalkan keuntungan masing-masing. Apalagi yang sedang diselamatkan adalah barang publik berupa hutan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua orang tak terkecuali. Para aktor yang terlibat ini seolah-olah hadir sebagai “pahlawan” bumi yang diberikan tanggung jawab untuk menyelamatkan kelangsungan kehidupan. Namun, gaya sok pahlawannya mereka ternyata hanyalah kedok demi memaksimalkan keuntungan masing-masing. Aksi kolektif mereka tidak didedikasikan untuk memperpanjang umur bumi. Intinya demikian. Dan siasat itu dimainkan mulai di level global, hingga di tingkat tapak. Konstruksi quasi-kolaborasi ini dipaparkan di dalam bab kelima. Bab keenam sekaligus menjadi bab penutup dedikasikan untuk menjawab pertanyaan riset. Bahwa motivasi para aktor mau berkolaborasi adalah karena mendatangkan keuntungan yang besar berupa materi (uang). Dan cara mereka mendapatkan keuntungan yang maksimal adalah dengan bertransaksi mensiasati agenda kolaborasi. “Berkolaborasi” untuk mensiasati kolaborasi yang lebih besar demi keuntungan yang maksimal. Tentunya, kolaborasi yang bersiasat tidak berada dalam kerangka konsensus formal, tetapi dibangun melalui cara-cara informal. Dan karena wataknya yang transaksional, maka merefleksikan kolaborasi yang “seolah-olah” (quasikolaborasi). Inilah yang sekaligus menegaskan kelemahan teori collaborative governance. Teori ini terlalu normatif, sehingga tidak sensitif terhadap watak politis dan rasionalitas aktor.



Sumber Referensi: ADB (Tanpa Tahun). Public Private Partnership Handbook. Manila: 6 ADB Avenue, Mandaluyong City. A. Angelsen, dkk, 2013. Menganalisis REDD+: Sejumlah Tantangan dan Pilihan. Bogor: CIFOR Abrahamsen, Rita. 2000. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: Lafadl Pustaka Ansell, Chris dan Gash, Alison (2007). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research, pp.543-571. Babbie, Earl (2007). The Practice of Social Research. USA : Chapman University. Bank, The World (2012). Public-Private Partenership: Reference Guide Version 1.0. Washington DC: International Bank for Reconstruction and Development. Berg, Bruce L..2001.Qualitative Research Method For The Social Sciences.California State Unversity Craib, Ian (1986). Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Deliarnov, 2006.Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif. Jakarta: Erlangga Denzin, Norman K & Yvonna S. Lincoln (1993). Handbook of Qualitative Research. Thousands Oaks : Sage Publications. Esterberg, Kristin (2002). Qualitative Methods in Social Research. Boston : Mc Graw Hill. Firnaherera, Vice Admira. 2013: Konflik Pengelolaan REDD+ (Studi Kasus di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimnatan Tengah). Yogyakarta: Pasca Sarjana Manajemen danKebijakan Publik,UGM, Tesis Green, Donald P. dan Shapiro,Ian. 1994.Pathologies of Rational Choice Theory: A Crtitique of Applications in Political Science, Yale University Press Hank C.Jenkis-Smith,1990. Democratic Politics and Policy Analysis. California: Brook/Cole Publishing Company Hodge, Graeme A. dan Greve, Carsten (2007). Public-Private Partnerships: An



International Performance Review. Journal of Public Administration Review,Vol.67, No.3,pp.545-558 HuMa (2010). Studi Pendahuluan atas Kebijakan Safeguards Donor-Donor Bilateral terhadap Program REDD di Indoneisa. Jakarta: Huma Jones, Pip (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. K.Yin, Robert (2009). Studi Kasus: Desain Dan Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moelyono, Hari. 2011: Studi Perdagangan Karbon dalam Pengelolaan Lingkungan Pada Wilayah Tumpang Tindih Fungsi Kawasan Di Segah, Kabupaten Timur. Yogyakarta: Pasca Sarjana Pengelolaan Lingkungan UGM, Tesis Olson, Mancur. 20th ed. 2012. The Logic Of Collective Action: Public Goods and The Theory of Groups. Harvard University Press Parsons, Wayne (2011). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana. Permenhut: No.P-2/Menhut-II/2014 Tentang Penugasan (Medebewin) Sebagai Urusan Pemerintah Bidang Kehutanan Tahun 2014 Kepada Bupati Berau, Bupati Malina, dan Bupati Kapuas Hulu Dalam Rangka Penyelenggaraan Program Hutan dan Perubahan Iklim (Forest And Climate Change) POKJA REDD Berau, 2011. Program Karbon Hutan Berau 2011-2015: Dukungan Berau Bagi Dunia. Berau: Kerjasama Pemerintah Kab.Berau dengan Pemeruntah Prov.Kaltim, Kemenhut dan The Nature Conservancy (TNC) Poneke, Wildy Vendy.2013: Hubungan Kondisi Sosial-Ekonomi Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Implementasi Das (Demonstration Activities) REDD+ Taman Nasional Sebangau. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Tesis Pratikno, 2007.‘Governance dan Krisis Teori Organisasi’. Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Vo.12, No.2, Yogyakarta: MAP UGM Rich, Bruce. 1999.Menggadaikan Bumi: Bank Dunia Pemiskinan Lingkungan dan Kritis Pembangunan. Jakarta: NGO (INFID) Sabatier, Paul A. 1986. Top Down and Bottom Up Approach To Implementation Research: A Critical Analysis and Suggested Synthesis. Journal of Public Policy Santoso Purwo, Hanif, Hasrul dan Gustomy, Rachmad (ed), 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik.Yogyakarta: Polgov, FISIPOL UGM Scharpf, L.J. 1985. ‘Central Coordination and The Policy Network.’ Journal Political Studies Sidik, Hasbi 2013: Politik Lingkungan Internasional Indonesia Terkait REDD+. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM, Tesis Sindhunata (1983). Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atmajaya dan PT.Gramedia. Stone, Deborah (3rd ed), 2012. Policy Paradox: The Art of Political DecisionMaking. W.W. Norton & Company Willian dan Flora (Tanpa Tahun). Collaborative Governance: A Guide for Grant Makers. California: Hewlett Foundation. -----------,“Berau, Kalimantan Timur”, tanggal 12 November 2013, pukul. 17.18 WIB. http://www.redd-indonesia.org/berau-kalimantan-timur -----------,Pemerintah Jerman Dukung Implementasi REDD+ di Kalimantan, tanggal 12 November2013,pukul.17.22WIB, http://www.beritalingkungan.com/2012/11/pemerintah-jermandukung-implementasi.html



1