Contoh Rab Rumah Panggung [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RUMAH ADAT SUMATERA “RUMAH GADANG” DISUSUN



OLEH SORYANNE MISLAN



216 02 018



PROGRAM STUDI S1 ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA 2019



SEJARAH ARSITEKTUR 1



RUMAH ADAT SUMATERA “RUMAH GADANG”



Indonesia memiliki banyak keragaman suku bangsa yang tersebar dari sabang sampai merauke. Setiap suku bangsa nya memiliki kearifan local yang berbeda-beda, dan menjadi identitas ciri khas untuk masing-masing daerah. Rumah adat merupakan salah satu kekayaan dari setiap daerah. Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti penting dalam perspektif sejarah, warisan dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban. Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah Adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada zaman dulu, rumah yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya, Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai symbol budaya Indonesia. Salah satu Rumah adat yang masih dipertahankan dan dilestarikan yaitu Rumah Gadang di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka kami tertarik mengadakan kajian rumah adat daerah Sumatera Barat terkait desain arsitektur tersebut. Kajian yang dilakukan memfokuskan pada Rumah Adat “Gadang” tersebut.



1. Sejarah a. Asal usul SUMATERA Asal nama Sumatera berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudera (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang. Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatera berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji (raja) Sumatrabhumi ("Raja tanah Sumatera"), berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau. Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau "Samatrah". Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama "Camatarra". Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama "Samatara", sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama "Samatra". Ruy d’Araujotahun 1510 menyebut pulau itu "Camatra", dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya "Camatora". Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: "Somatra". Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: "Samoterra", "Samotra", "Sumotra", bahkan "Zamatra" dan "Zamatora". Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatera. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatera



b. Asal usul Minangkabau Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Pariangan menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertanggal 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Minang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" . Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasastiprasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri. c. Asal usul bentuk Rumah Gadang minangkabau Asal usul Rumah Gadang selalu dikaitkan oleh cerita-cerita Rakyat. Ada cerita yang menyatakan, bentuk rumah gadang itu menyerupai tanduk kerbau. Hal ini berkaitan dengan cerita tambo yang menyatakan kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan



raja Jawa masa dahulu. Untuk melestarikan kemenangan tersebut, masyarakat Minangkabau membuat gonjong dibagian atap rumahnya seperti tanduk kerbau. Bentukbentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang. Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang. Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai. Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong. Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka. Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar. Dari sinilah asal usul bentuk rumah gadang Minangkabau. Cerita berikutnya menyatakan, bentuk rumah gadang itu menyerupai susunan sirih dan cerana. Tulang sirih itu melentik seperti bubungan atap. Pendapat itu diperkuat dengan fungsi sirih di Minangkabau, yaitu sebagai lambang persaudaraan dan kekeluargaan. Jika diselidiki, tentu masih banyak cerita tentang asal usul bentuk rumah gadang tersebut. namun, sekilas cerita di atas adalah yang paling menonjol. 2. Geografis/Iklim Sumatera Barat Sumatera (ejaan KBBI: Sumatra) adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km² (182.812 sq mi) dan Koordinat 0o00’LU 102o00’BT/ 0oLU 102oBT. Ketinggian tertinggi 3.805 m (12.484 ft). Di Pulau Sumatera memiliki 11 Provinsi salah satunya yaitu Sumatera Barat. Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, wilayah provinsi ini menempati sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.



Sumatera Barat adalah rumah bagi etnis Minangkabau, walaupun wilayah adat Minangkabau sendiri lebih luas dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat saat ini. Provinsi ini berpenduduk sebanyak 4.846.909 jiwa dengan mayoritas beragama Islam. Provinsi ini terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota dengan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di seluruh kabupaten (kecuali kabupaten Kepulauan Mentawai) dinamakan sebagai nagari. Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera yang terdiri dari dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit Barisan. Provinsi ini memiliki daratan seluas 42.297,30 km² yang setara dengan 2,17% luas Indonesia. Dari luas tersebut, lebih dari 45,17% merupakan kawasan yang masih ditutupi hutan lindung. Garis pantai provinsi ini seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 2.420.357 km dengan luas perairan laut 186.580 km². Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Seperti daerah lainnya di Indonesia, iklim Sumatera Barat secara umum bersifat tropis dengan suhu udara yang cukup tinggi, yaitu antara 22,6 °C sampai 31,5 °C. Provinsi ini juga dilalui oleh Garis khatulistiwa, tepatnya di Bonjol, Pasaman. Di provinsi ini berhulu sejumlah sungai besar yang bermuara ke pantai timur Sumatera seperti Batang Hari, Siak, Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), dan Kampar. Sementara sungai-sungai yang bermuara ke pesisir barat adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Terdapat 29 gunung yang tersebar di 7 kabupaten dan kota di Sumatera Barat, dengan Gunung Kerinci di kabupaten Solok Selatan sebagai gunung tertinggi, yang mencapai ketinggian 3.085 m. Selain Gunung Kerinci, Sumatera Barat juga memiliki gunung aktif lainnya, seperti Gunung Marapi, Gunung Tandikat, dan Gunung Talang. Selain gunung, Sumatera Barat juga memiliki banyak danau. Danau terluas adalah Singkarak di kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar, disusul Maninjau di kabupaten Agam. Dengan luas mencapai 130,1 km², Singkarak juga menjadi danau terluas kedua di Sumatera dan kesebelas di Indonesia. Danau lainnya terdapat di kabupaten Solok yaitu Danau Talang dan Danau Kembar (julukan dari Danau Di atas dan Danau Dibawah). Sumatera Barat merupakan salah satu daerah rawan gempa di Indonesia. Hal ini disebabkan karena letaknya yang berada pada jalur patahan Semangko, tepat di antara pertemuan dua lempeng benua besar, yaitu Eurasia dan Indo-Australia. Oleh karenanya, wilayah ini sering mengalami gempa bumi. Gempa bumi besar yang terjadi akhir-akhir ini di Sumatera Barat di antaranya adalah Gempa bumi 30 September 2009 dan Gempa bumi Kepulauan Mentawai 2010. Di Provinsi ini yang masih melestarikan rumah adat masyarakat minang salah satunya yaitu di kabupaten Tanah Datar.



3. Situasi/Lokasi Di Provinsi Sumatera Barat yang masih mempertahankan dan melestarikan rumah adat minang “Rumah Gadang” salah satunya yaitu kabupaten Tanah Datar. Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, dengan ibu kota Batusangkar 0°27′12″LU 100°35′38″BT. Kabupaten ini merupakan kabupaten terkecil kedua untuk luas wilayahnya di Sumatera Barat, yaitu 133.600 Ha (1.336 km2). Jumlah penduduk di kabupaten ini berdasarkan sensus pada tahun 2006 adalah 345.383 jiwa yang mendiami 14 kecamatan, 75 nagari, dan 395 jorong. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah agraris, lebih 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, per-kebunan, perikanan, maupun peternakan. Secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu pada 00º17" LS - 00º39" LS dan 100º19" BT – 100º51" BT . Ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tanah Datar terletak di antara dua gunung, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Kondisi topografi ini didominasi oleh daerah perbukitan, serta memiliki dua pertiga bagian danau Singkarak. Kondisi topografis Kabupaten Tanah Datar adalah sebagai berikut: a. Wilayah Datar 0–3% dengan luas 6.189 Ha atau 6.63% dari luar wilayah Kabupaten Tanah Datar b. Wilayah Berombak 3–8% dengan luas 3.594 Ha atau 2,67% dari luar wilayah Kabupaten Tanah Datar c. Wilayah Bergelombang 8-15% dengan luas 43.922 Ha atau 32.93% dari luas Kabupaten Tanah Datar d. Kemiringan di atas 15% dengan luas wilayah 79.895 Ha atau 59.77% dari luas Kabupaten Tanah Datar. Secara umum iklim di kawasan Kabupaten Tanah Datar adalah sedang dengan temperatur antara 12 °C–25 °C dengan curah hujan rata-rata lebih dari 3.000 mm per tahun. Hujan kebanyakan turun pada bulan September hingga bulan Februari. Curah hujan yang cukup tinggi ini menyebabkan ketersediaan air cukup, sehingga memungkinkan usaha pertanian secara luas dapat dikembangkan. Kabupaten Tanah Datar memiliki perbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat, yaitu:



Utara



Kabupaten Agam dan Kabupaten Lima Puluh Kota



Selatan Kota Sawah Lunto dan Kabupaten Solok



Barat



Kabupaten Padang Pariaman



Timur



Kabupaten Sijunjung



Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang kaya dengan sumber air. Selain Danau Singkarak, di Kabupaten Tanah Datar terdapat lebih dari 25 buah sungai.



4. Tata Letak Menurut Masyarakat dan Tokoh Adat Minang “Rumah Gadang” sendiri tidak boleh di bangunan disembarang tempat. Hanya daerah-daerah yang dinamakan daerah Nagari yang boleh membangun Rumah Gadang. Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan. Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.



Salah satunya adalah Istano Basa Pagaruyung berlokasi di Kota Batu Sangkar, Kec. Tanjung Emas, Kab.Tanah Datar, 108 km dari Ibu Kota Sumatera Barat. Istana yang dibangun pada abad ke-17. Istana yang berdiri saat ini merupakan sebuah replika dari yang aslinya. Sebab Istana yang aslinya di runtuhkan pada tahun 1837 (akibat perang), 1966 (terbakar), 2007 (terbakar), dan dibangun kembali pada tahun 1930, 1968 dan kemudian dibangun kembali dengan bentuk yang mirip seperti aslinya pada tahun 2007. Istana yang asli berada di Bukit Batu Patah, Batusangkar. Dimasa kerajaan Minangkabau, Istano Basa Pagaruyung menjadi sebuah tempat tinggal keluarga kerajaan dan sebagai pusat pemerintahan. Istano Basa Pagaruyung III dihiasi dengan latar Gunung Bungsu yang hijau dan asri. Istana ini terlihat begitu megah yang terdiri dari 3 lantai 72 tonggak serta 11 gonjong (ujung atap runcing). Istano Basa Pagaruyung dilengkapi dengan Surau, Tabuah Larangan, Tanjung Mamutuih dan Pincuran Tujuah serta Rangkiang Patah Sambilan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Memasuki ruangan Istana, tepatnya di lantai satu Istana, telihat jelas beberapa anjungan serta singgasana yang mewah Sang Raja, serta kamar-kamar para penghuni Istana dulunya. terdapat juga beberapa benda pusaka seperti keris dan barang peninggalan kerajaan lainnya di setiap lantai Istana ini. 5. RUMAH GADANG Dari narasumber Musra Dahrizal Katik Jo Mangkuto memaparkan bahwa Rumah gadang dibuat oleh Datuak Tantejo Garano. Menurut A.A. Navis (1986), dalam bukunya alam takambang jadi guru, Pembangunan rumah gadang secara Tradisional seperti yang lama, sudah tidak ada lagi sejak zaman penajahan belanda, yaitu pada akhir abad ke-19. Tingkat / derajat kespesifikan budaya atau tempat. Rumah gadang merupakan bangunan khas daerah Sumatera Barat, seperti yang tertulis pada buku Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau, bahwa arsitektur bangunan rumah gadang merupakan peninggalan tidak tertulis yang sampai pada kita, yang merupakan ciri dari kebesaran kebudayaan minangkabau masa lalu. Betapapun perubahan itu terjadi, namun arsitektur bangunan rumah gadang yang dapat kita saksikan sekarang adalah merupakan pengaruh langgam bangunan masa lampau. Seperti yang juga disebutkan oleh Turan dalam Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, jadi bangunan rumah gadang merupakan bangunan yang lahir pada masyarakat minangkabau dan memang berjangkar pada kebudayaan masyarakat minangkabau itu sendiri. Tinjauan terhadap model, denah, morfologi dan spesifikasi bangunan, hubungan antar elemen serta kompleksitas bangunan berdasarkan tempat dimana sebuah bangunan tersebut berada. Secara garis besar model rumah gadang terbagi atas dua kelompok besar yang dibagi berdasarkan kepada dua kelarasan atau hukum adat yang berlaku didalam masyarakat minangkabau.



Keselarasan Di Minangkabau di bagi menjadi dua yaitu : -



-



BUDI CANIAGO (Dt. Parpatiah Nan Sabatang) Lareh Bodi Caniago adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada musyawarah dan mufakat. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Bodi Caniago tidak mengenal istilah anjuang. Jadi bagian lantai rumah gadang mulai dari bagian ujung sampai pangkal mempunyai ketinggian lantai yang sama. KOTO PILIANG (Dt. Katumangguangan) Lareh Koto Piliang adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada sistem aristokratis. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Koto Piliang ini adalah memiliki anjuang yang terdapat pada bagian kiri dan bangunan. Anjungan merupakan tempat terhormat didalam suatu rumah gadang yang ditinggikan beberapa puluh sentimeter dari permukaan lantai bangunan.



Perbedaan rumah gadang Budi Caniago dan Koto Piliang a. Budi caniago  Tonggak ujung dan pangkal menyentuh tanah  Lantai datar  Bandua sejajar dengan tangga b. Koto piliang  Tonggak ujung dan pangkal mengantung  Lantai bertingkat  Bandua tidak sejajar Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda. Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah. Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar.



Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain. Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Bagian-bagian penting pada Rumah Gadang menurut Musra Dahrizal Katik Jo Mangkuto, yaitu : 1. Sandi batu Setiap kaki tonggak berdiri diatas sebuah batu yang disebut dengan sandi. Sandi batu didatangkan kemudian setelah semua tiang dihubungkan oleh rasuk dan paran-paran. Paran, ialah sebuah kayu atau ruyung panjang dari pohon kelapa yang menghubungkan setiap tiang pada ujung atas. Sama dengan rasuk. Ada yang disebut paran panjang dan paran melintang. Punco-punco tiang yang dihubungkan oleh paran panjang tidak pula sama tingginya hingga terlihat lengkungnya atau disebut paran ular mangulai (mengulai). Lengkung paran inilah yang akan membentuk gonjong (pucuk atap). Batu yang menjadi dasar dari tiang penyangga. Filosofinya bahwa adat minangkabau memiliki sandi Al-Qur’an dan Hadist 2. Tonggak Tonggak dari bahan kayu bersegi delapan dan panjang tiang tidak sama, tiang-tiang berbaris/berjajar. Banjar muka dan banjar belakang rendah. Banjar barisan nomor dua dari muka dan belakang lebih tinggi dan banjar/barisan di tengah yang paling tinggi. Material menggunakan Kayu gaharu karena tahan lama dan bisa mengusir nyamuk 3. Tingkok Merupakan Dinding bagian dalam, pembatas ruangan dan kamar 4. Bandua Tempat berpegangan tangan niniak mamak menunggu tamu 5. Atap Atap terbuat dari ijuk, di ibaratkan sebagai paying sakaki 6. Dinding Dinding rumah Gadang terdiri dari 2 lapis, dinding bagian luar diberi papan berukir sedangkan bagian dalam menggunakan anyaman bambu yang disebut sasak bugih. Dindiang ari, merupakan sebuah dinding yang berada di bagian samping dari bangunan rumah adat ini. Dindiang tapi, yakni sebuah dinding yang terletak di bagian depan dan belakang. 7. Pintu dan Jendela



Pintu memiliki 2 daun pintu terletak ditengah dengan lebar sekitar 1 meter. Jendelapun memiliki 2 daun jendela di tiap ruangan dengan lebar sekitar 70-80cm. 8. Gonjong Gonjong merupakan ciri khas dari rumah tinggal tradisional masyarakat minangkabau, sehingga rumah tinggal masyarakat minangkabau ini juga dikenal dengan istilah rumah bagonjong. Atap rumah gadang terlihat seperti bentuk kapal. Atap Rumah Gadang terdiri dari beberapa puncak. Puncak-puncak ini dinamakan gonjong. Jumlah gonjong berdasarkan jumlah anggota keluarga didalamnya. Penutup atap Rumah Gadang terbuat dari rumbia. Tetapi didaerah Solok Selatan tepatnya kawasan seribu rumah gadang gonjong ditentukan oleh status di masyarakat. Misalnya sebagai berikut rumah dengan 2 gonjong menandakan rumah masyarakat biasa, 4 gonjong menandakan rumah seorang datuk, dan 6 gonjong menandakan rumah pemimpin adat tertinggi atau kordinator datuk. 9. Lantai Sebagai tempat bercerita penghuni rumah. Lantai terbuat dari kayu. Terdapat 2 jenis lantai yaitu: – Adat Caniago (Lantai Datar, bersifat demokratis dan semua orang memiliki kedudukan yang sama) – Koto Piliang (Terdapat beberapa level lantai sesuai dengan kedudukan orang yang menempatinya) Salangko, yaitu merupakan sebuah dinding yang berada di bawah rumah. 10. Anjungan Anjuang, merupakan sebuah lantai yang mengambang. Merupakan Tempat duduk raja 11. Halaman Halaman suatu rumah gadang merupakan sebuah rumah terbuka yang penting bagi suatu rumah gadang, biasanya sebuah halaman pada rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan acara-acara pada sebuah kekerabatan. 12. Janjang/tangga letaknya di tengah tepat di depan pintu masuk dan dibuat pada bagian belakang rumah gadang, atau dibuat dua buah sejajar dengan rumah. Tangga pada sebuah rumah gadang terbuat dari bahan material kayu dan biasanya diawali dengan sebuah batu alam yang datar, biasanya jumlah anak tangga ini berjumlah ganjil, seperti 5, 7 dan 9. 13. Singkok, Merupakan sebuah dinding yang berbentuk segitiga yang berada di bawah ujung bojong. 14. Beranda Tempat duduk tamu 15. Lanjar Tempat duduk ninik mamak dari bermacam suku



Setiap rumah gadang dilengkapi dengan Rangkiang. Rangkiang merupakan suatu bangunan yang terdapat dihalaman sebuah rumah gadang yang berbentuk bujur sangkar dan diberi atap ijuk bergonjong yang berfungsi sebagai lumbung tempat penyimpanan padi yang didirikan di depan rumah gadang. Menurut A.A. Navis (1984) terdapat beberapa jenis rangkiang pada suatu rumah gadang, diantaranya yaitu: 1. Sitinjau lauik Rangkiang jenis ini merupakan rangkiang tempat penyimpanan padi yang akan dijual untuk membeli keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibuat atau dikerjakan sendiri. 2. Sibayau-bayau Rangkiang jenis ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi yang akan digunakan untuk keperluan sehari-hari. 3. Sitangguang lapa Merupakan jenis rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi yang akan dipergunakan sebagai cadangan pada masa paceklik tiba. 4. Rangkiang kaciak Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi yang akan digunakan sebagai benih dan biaya pengerjaan penanaman sawah pada masa tanam berikutnya. 5. Tabuah larangan Merupakan sebuah bangunan berbentuk persegi panjang, beratap ijuk dan bergonjong untuk menempatkan bedug yang terbuat dari kayu panjang. Biasa digunakan sebagai alat untuk memberikan tanda pada saat bahaya atau pemberitahuan pada saat ada suatu acara. Selain rangkiang, Seperti pada Istana Basa Pagaruyung terdapat Surau. Surau merupakan tempat beribadah dan belajar membaca Al-Quran. Bagi putra raja yang sudah akil baliq mereka tidak diperbolehkan tidur di rumah gadang (istana) bersama ibu dan saudara perempuan, mereka harus tidur di surau. Surau berbentuk segi empat, atap berbentuk primadi dan dibagian atas terdapt dua gonjong. Atap menggunakan material ijuk, dan sebagian dinding surau berukir. Tabuah Larangan digunakan sebagai alat komunikasi. Di Istana Basa Pagaruyung tabuah larangan berjumlah dua buah. Yang pertama bernama gaga di Bumi yang dibunyikan apabila terdapat peristiwa yang besar seperti bencana alam, kebakaran, tanah longsor dsb. Yang kedua bernama Mambang Diawan yang dibunyikan untuk memanggil Basa Nan Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yaitu Tuan Titah di Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Ganting, Tuan Mankudun diSumanik, Tuan gadang di Batipuh serta Tigo Selo (Raja Alam, Raja Adat, Raja Ibadat) untuk mengadakan rapat. Pincuran Tujuah merupakan tempat mandi raja. Sarana ini dilengkapi dengan tujuh pincuran yang terbuat



dari batang sampir dan jamban tradisional. Dan Tanjung Mamutuih adalah halaman yang difungsikan sebagai tempat bermain-main bagi anak raja. Tahap-Tahap pembangunan rumah adat yang dilakukan secara turun temurun -



-



-



-



Tahap pertama adalah prosesi memilih pohon. Menurut Yusman, Kepala Urusan Pembangunan Nagari Sumpur, material kayu yang digunakan untuk membangun rumah gadang diantaranya adalah kayu jua untuk tonggak, kayu surian, dan bambu untuk rusuk dan pengisi dinding, serta kayu bayua untuk lantai. Tahap kedua adalah prosesi maelo tonggak yaitu menarik batang pohon bersama-sama dari hutan ke lokasi pembangunan di kampung yang dapat memupuk spirit kebersamaan warga. Sementara itu, fondasi bangunan berupa batu-batu datar di permukaan tanah yang akan menopang tonggak struktur juga disiapkan. Tahap ketiga adalah prosesi batagak tonggak tuo yaitu mendirikan struktur bangunan yang terdiri dari 42 buah tiang utama. Acara ini mengandung banyak hal penting diantaranya adalah pidato tetua kampung, di mana interpretasi isinya merupakan semacam acuan untuk membangun rumah gadang. Setelah struktur dengan sistem knock down ini berdiri, bagian lantai dan dinding mulai diisi sedangkan isi ruang dalam cenderung terbuka tanpa dinding penyekat kecuali untuk kamar-kamar tidur. Terakhir adalah prosesi “naik atap” yaitu membangun konstruksi dan penutup atap.



Hal unik lain yang harus diperhatikan dalam pembangunan rumah gadang adalah daya tahan terhadap tanah di Minang yang rawan gempa dan material yang mudah terbakar. Fungsi rumah gadang Rumah Gadang kaya dengan makna yang merupakan gambaran umum dari kehidupan masyarakat minangkabau secara keseluruhan. Dalam kehidupan sehari-hari, rumah gadang memiliki fungsi-fungsi tersendiri, fungsi tersebut adalah: a. Fungsi Adat Sebuah rumah gadang, merupakan rumah utama yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat minangkabau yang diikat oleh suatu suku tertentu. Sebagai rumah utama, rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan acara-acara adat dan acaraacara penting lain dari suku yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan adat pada masyarakat minangkabau dapat kita uraikan berdasarkan kepada siklus kehidupan mereka, yaitu: o Turun Mandi o Khitan o Perkawinan o Batagak Gala (Pengangkatan Datuak)



o Kematian Fungsi-fungsi di atas dapat disebut juga fungsi temporer yang berlangsung pada suatu rumah gadang, karena kegiatan tersebut tidak berlangsung setiap hari dan berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja. b. Fungsi Keseharian Rumah gadang merupakan wadah yang menampung kegiatan sehari-hari dari penghuninya. Rumah gadang adalah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga besar dengan segala aktifitas mereka setiap harinya. Pengertian dari keluarga besar disini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta anak wanita, baik itu yang telah berkeluarga ataupun yang belum berkeluarga, sedangkan anak laki-laki tidak memiliki tempat di dalam rumah gadang. Fungsi inilah sebenarnya yang lebih dominan berlangsung pada suatu rumah gadang. Sebagaimana lazimnya rumah tinggal bagi masyarakat umumnya, disinilah interaksi antar anggota keluarga berlangsung. Aktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, berkumpul bersama anggota keluarga dan lain sebagainya lebih dominan berlangsung disini, disamping kegiatan-kegiatan adat seperti yang telah diuraikan diatas. 6. Denah Rumah Gadang dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornament. Bentuk Rumah Gadang adalah persegi empat , tidak sistematis, mengembang keatas untuk menangkis terpaan angin kencang. Tinggi lantai 2 meter dari atas tanah, dulunya untuk menghindari binatang buas dan juga memelihara ternak dibawahnya dan loteng digunakan untuk menyimpan barang-barang (gudang). Denah rumah adat ini didesain sedemikian rupa sesuai aturan-aturan ada yg berlaku sejak lama. Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Rumah adat Minangkabau tidak mempunyai ukuran yang pasti dengan memakai meter. Panjang dan lebar rumah ditentukan dengan labuh (jalur) dan yang biasa dijadikan ukuran adalah hasta atau depa. Lebar ruang atau labuh (jarak antara tiang menurut lebar dan panjang) bervariasi antara 2 1/2 m sampai 4 m. Panjang rumah sekurang-kurangnya 3 ruang dan bahkan ada yang sampai 21 ruang, yang normal 3,7,9 ruang. Sedangkan lebarnya sekuang-kurangnya 3 jalur dan sebanyak-banyaknya 4 jalur. Ukuran tidak dimakan siku, tetapi disebut ukuran alur dan patut. Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak. Jalur atau labuh memanjang rumah. jalur pertama dari muka disebut bandua tapi, jalur kedua disebut labuah gajah. Jalur ketiga disebut labuah tangah, sedangkan jalur keempat



disebut Biliak. Ruangan terletak pada potongan rumah menurut lebar rumah. Satu ruang ditengah dinamakan “Gajah maharam (gajah mengeram). Dua ruang dikri disebut sarambi papek dan dua ruang ke kanan disebut raja berbanding. pada ujung kiri dan kanan ada anjungan dan terdiri dari tiga tingkat banyaknya sekurangkurangnya dua tingkat. Anjung merupakan tangga yang terletak pada tengah bagian lebar rumah. Aturan pembagian ruangan berdasarkan kegunaannya, sebagai berikut;  Seluruh bagian didalam rumah gadang adalah ruangan lepas,kecuali kamar tidur  Jumlah kamar dirumah gadang bergantung kepada jumlah wanita atau perempuan yg tinggal didalamnya.  Setiap perempuan yg dalam keluarga yg sudah bersuami mendapatkan satu kamar.  Perempuan tua dan perempuan yg masih anak –anak mendapatkan satu kamar dekat dapur.  Gadis remaja mendapatkan kamar bersama di ujung dekat dapur. Dihalaman depan rumah terdapat 2 rangkiang. Rangkiang adalah bangunan yg digunakan untuk menyimpan padi dan bahan pangan lainnya.  Pada sayap kiri dan kanan bangunan terdapat ruang anjung(bahasa minang anjuang) yg digunakan sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat.  Tidak jauh dari komplek rumah gadang biasanya terdapat sebuah surau kaum yg berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa yg belum menikah dari keluarga tersebut. Menurut letaknya, Ruangan Rumah Gadang terdiri atas: a. Ruang depan : Merupakan ruang besar, dipakai sebagai ruang keluarga, rapat, menerima tamu dan sebagainya. b. Ruang tengah : Terdiri dari kamar-kamar, dipakai untuk kamar tidur penghuni wanita bersama suaminya. c. Ruang Anjungan : Bangunannya lebih tinggi dari ruang depan, sebelah kiri dan sebelah kanan dipakai untuk tempat wanita yang baru menikah. d. Ruang Belakang : Merupakan dapur tanpa kamar mandi dipancuran diluar Rumah Gadang. Ruangan dalam rumah gadang memiliki ukuran yang disesuaikan dengan banyaknya penghuni rumah tersebut. Namun jumlah ruangnya biasanya ganjil. Sebagai tempat tinggal rumah gadang mempunyai bilik-bilik dimana bilik barisan belakang untuk anak-anak, wanita yang sudah berkeluarga, ibu dan nenek. Ukuran ruang tempat tidur selalu lebih kecil dari ukuran ruangan umum yang menandakan bahwa kepentingan umum selalu didahulukan. Seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia, di halaman depan Rumah Gadang terdapat beberapa rangkiang, bangunan kecil yang berfungsi sebagai lumbung.



Pembagian ruang didalam rumah gadang adalah a. Publik yaitu ruang tamu atau ruang bersama yang merupakan sebuah ruangan lepas tanpa adanya pembatas apapun. b. Semi Privat yaitu ruang peralihan seperti bandua yang terdapat didepan kamar tidur serta anjuang (ruang khusus) yang terdapat pada bagian ujung-ujung rumah gadang yang dapat kita temukan pada beberapa jenis rumah gadang. c. Privat, yaitu kamar-kamar tidur yang terdapat di dalam rumah gadang yang dahulunya berdasarkan kepada jumlah anak gadis yang dimiliki oleh sipemilik rumah. d. Servis, yaitu dapur yang pada dahulunya merupakan dapur tradisional yang masih menggunkan kayu sebagai bahan bakarnya . Pada zaman dahulu Rumah Gadang, misalnya Istano Basa Pagaruyung dilengkapi dengan Surau, Tabuah Larangan, Tanjung Mamutuih dan Pincuran Tujuah serta Rangkiang Patah Sambilan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Terkecuali rumah masyarakat biasa yang biasanya hanya dilengkapi rangkiang dan surau, atau rumah gadang itu sendiri. 7. Struktur Dengan sekilas mengamati Rumah adat Minangkabau atau Rumah Gadang, akan nampak kerumitan arsitekturnya. Pola Rumah Gadang berbentuk kapal; kecil kebawah dan besar ke atas. Bentuk atap Rumah Gadang memiliki bubungan yang rumit dengan bentuk melengkung ke atas. Bentuk atap rumah gadang yang berbentuk lancip dan biasanya dengan tiang pondasinya agak miring, kalau di teruskan ke atas itu akan membentuk gambar bola dunia. Sehingga rumah gadang ini akan tahan gempa. Untuk Denah dasar rumah gadang, berbentuk empat persegi panjang dan lantai berada diatas tiang-tiang. Tangga untuk masuk ke dalam rumah berada ditengah-tengah. Bentuk tiga dimensi membuat Rumah Gadang tetap stabil menerima guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan. Jadi getaran tidak terhenti di sendi-sendi bangunan, inilah yang membuat bangunan hanya terdorong dan berputar seperti sistem pegas, tidak merusak sendi yang bisa merubuhkan bangunan. Bangunan tidak menggunakan paku sebagai pengikat, tetapi berupa pasak sebagai sambungan yang membuat bangunan memiliki sifat sangat lentur. Kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Tapak tiang dialas dengan batu sandi. Batu ini berfungsi sebagai peredam getaran gelombang dari tanah, sehingga tidak



mempengaruhi bangunan di atasnya. Kalau ada getaran gempa bumi, Rumah Gadang hanya akan berayun atau bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut. Rumah gadang adalah rumah adat suku minang kabau yg juga memiliki sebutan lain seperti rumah godang, rumah bagojong, dan rumah baanjuang. rumah adat ini merupakan rumah model panggung yg berukuran besar dengan bentuk persegi panjang. sama sperti rumah adat indonesia lainnya. rumah gadang juga dibuat dari material yg berasal dari alam. Tiang penyangga, dinding, dan lantai terbuat dari papan kayu dan bambu, sementara atapnya berbetuk tanduk kerbau terbuat dari ijuk. Meski terbuat dari 100% bahan alam ,arsitektur rumah gadang tetap memiliki desain yang kuat. Rumah ini memiliki desain tahan gempa sesuai dngan kondisi geografis Sumatra Barat yg memang terletak didaerah rawan gempa. Desain tahan gempa pada rumah gadang salah satunya ditemukan pada tiangnya yg tidak menancap ke tanah.tiang rumah adat Sumatra Barat ini justru menumpang atau bertumpu pada batu-batu datar diatas tanah. Dengan desain ini, getaran tidak akan mengakibatkan rumah rubuh saat terjadi gempa berskala besar sekalipun. Selain itu ,setiap pertemuan antara tiang dan kaso besar pada rumah adat ini tidak disatukan dengan paku , melainkan mengunakan pasak yg terbuat dari kayu. Dengan sistem sambungan ini, rumah gadang akan dapat bergerak secara fleksibel meski diguncang dengan getaran gempa yg kuat. STRUKTUR RUMAH GADANG TERDIRI DARI 1. SANDI BATU Pondasi Rumah Gadang berupa sebuah batu lempengan untuk setiap tiang. Terdiri atas 5 deret tiang dengan nama sesuai fungsi dan peranannya yaitu: tiang tapi, tiang tangah, tiang dalam dan tiang saluki. Di deretan tiang tengah berdiri tonggak tuo / tiang utama. 2. RASUAK Antara tiang dengan tiang membujur dan membelintang dihubungkan oleh rasuk. Rasuk melintang melalui pahatan pada tiang. Rasuk bahannya dari ruyung batang kelapa atau dari kayu hutan yang keras. Pahatan lebih kurang 2m dari dasar atau sendi. Pahatan tiang yang sama tingginya pada setiap tiang adalah untuk pahatan rasuk pelancar. Di atas rasuk melintang berada di bawah pahatan rasuk pelancar. Rasuk melintang ditopang dengan ruyung yang sama tebalnya dengan rusuk



3. 4.



5.



6.



7.



8.



9.



melintang hingga mengenai tinggi pahatan rasuk pelancar. Diatas singgiran disusun jeriau lantai, hingga lantai menjadi datar. PALANCA Sama halnya Rasuak, Palanca merupakan penghubung antar tiang. PARAN Merupakan balok atas pada struktur rumah Gadang yang berfungsi mengikat antar tiang. Tetapi hanya di letakkan pada bagian depan dan belakang bangunan. SANGKUTAN AGUNG Merupakan balok atas pada struktur rumah Gadang yang berfungsi mengikat antar tiang. Tetapi hanya di letakkan pada bagian sebelah kanan dan kiri bangunan. BALIANG BALIANG Merupakan balok atas pada struktur rumah Gadang yang berfungsi mengikat antar tiang. Tetapi hanya di letakkan pada bagian sebelah kanan dan kiri bangunan. Tepat dibawa atap gonjong TONGGAK TUO Merupakan tiang utama yang berjumlah empat buah/batang diambil dari hutan secara gotong royong oleh anak nagari, yang dipandang sebagai menegakkan kebesaran. Batang pohon yang ditebang biasanya adalah pohon juha yang sudah tua dan lurus dengan diameter antara 40 cm hingga 60 cm. Pohon juha terkenal keras dan kuat. Setelah di bawa ke dalam nagari pohon tersebut tidak langsung di pakai, namun direndam dulu di kolam milik kaum atau keluarga besar selama bertahun-tahun. Setelah cukup waktu batang pohon tersebut diangkat atau dibangkit untuk dipakai sebagai tonggak tuo. GONJONG Atap Rumah Gadang terdiri dari beberapa puncak. Puncak-puncak ini dinamakan gonjong. Jumlah gonjong berdasarkan jumlah anggota keluarga didalamnya. Penutup atap Rumah Gadang terbuat dari rumbia. TONGGAK Tonggak dari bahan kayu bersegi delapan dan panjang tiang tidak sama, tiang-tiang berbaris/berjajar. Banjar muka dan banjar belakang rendah. Banjar barisan nomor dua dari muka dan belakang lebih tinggi dan banjar/barisan di tengah yang paling tinggi.



Prinsip dari pembangunan rumah gadang adalah menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada. Material utama yang digunakan pada bangunan rumah gadang merupakan material kayu yang banyak terdapat disekitar lokasi dimana bangunan tersebut akan didirikan. Serta memunculkan warna-warna alami dalam pemakaiannya. Masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang hidup secara komunal atau berkelompok, serta memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Hal ini tercermin dari terdapatnya open space atau ruang terbuka yang terdapat pada setiap kelompok atau group fasilitas hunian



mereka (rumah gadang) yang merupakan wadah untuk tempat bersosialisasi bagi masyarakatnya. Sebuah rumah gadang merupakan sebuah produk arsitektur yang muncul dan berkembang pada masyarakat minangkabau. Tidak ada bangunan lain yang terdapat di indonesia khususnya yang memiliki tipologi bangunan yang benar-benar identik dengan rumah gadang yang seperti terdapat pada rumah adat Sumatera Barat ini. Seperti halnya dalam penggunaan elemen atap, merupakan transformasi bentuk gonjong yang didesain bertingkat dan memiliki ratio tertentu dalam sudut dan ketinggiannya yang mana hal ini tidak akan ditemukan pada produk arsitektur daerah lain yang terdapat di indonesia. 8. Dekorasi (Seni Ukiran) Permukaan dinding depan Rumah Gadang penuh dengan tatanan ukiran-ukiran yang menarik dan setiap ukiran itu mempunyai arti sendiri dan mengandung filsafah Minangkabau "ALAM TAKAMBANG JADI GURU". Pada dinding Rumah Gadang biasanya dibuat ukiran-ukiran dengan motif asli minangkabau. Motif-motif ini kebanyakan terinspirasi oleh alam, misalnya itiak pulang patang, kaluak paku, dll. Setelah itu ukiran akan dicat dengan warna warna khas minangkabau, kombinasi merah, hitam, kuning dan hijau. Ukiran minangkabau terbagi atas tiga jenis berdasarkan inspirasi terbentuknya ukiran, a. Ukiran yang terinspirasi dari tumbuhan-tumbuhan, seperti Aka Barayun, Aka Duo Gagang, Aka Taranang, Bungo Anau, Buah Anau, Bungo Taratai dalam Aie, Daun Puluik-puluik, Danau Bodi jo Kipeh Cino, Kaluak Paku, Kacang Balimbiang, Siriah Gadang dan Siriah Naiak. b. Kedua adalah ukiran yang terinspirasi hewan, seperti Ayam Mancotok dalam Kandang, Bada Mudiak, Gajah Badorong, Harimau dalam Parangkok, itiak Pulang Patang, Kuciang lalok, Kijang Balari dalam Ransang dan Tupai Managun. c. Ketiga adalah ukiran yang terinspirasi dari benda-benda yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti Ambun Dwewi, Aie Bapesong, Ati-ati,Carano Kanso, jalo Taserak, Jarektakambang, Jambua Cewek Rang Pitalah, Kaluak Baralun, Lapiah Duo, Limpapeh, Kipeh Cino dan Sajamba Makan. Semua jenis ukiran tersebut diatas menunjukkan bahwa unsur penting pembentuk budaya Minangkabau bercermin kepada apa yang ada di alam. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Marah, Risman (1987/1988) Bahwa budaya Minangkabau adalah suatu budaya yang berguru kepada alam dengan istilahnya Alam Takambang Jadi Guru. Pernyataan ini memiliki pengertian bahwa hampir semua aspek kehidupan masyarakat Minangkabau berinspirasi kepada alam. Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah



Gadang. Seni ukir tradisional Minangkabau merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang dipahatkan pada dinding rumah gadang, merupakan wahana komunikasi dengan memuat berbagai tatanan sosial dan pedoman hidup bagi masyarakatnya. Marzuki Malin Kuning (1897 – 1987) ahli ukir dari Ampat Angkat Candung menjelaskan “Seni ukir yang terdapat pada rumah gadang merupakan ilustrasi dari masyarakatnya dan ajaran adat yang divisualisasikan dalam bentuk ukiran, sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Borobudur”. Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motif ukiran rumah gadang cerminan tingginya rasa seni dalam jiwa masyarakat Minangkabau. Motif yang dipilih berasal dari alam. Ini sejalan sekali dengan falsafah dasar kehidupan masyarakat Minang, Alam takambang jadi guru (berguru ke Alam). Karya seni ukiran pada rumah tersebut bukan hal yang dianggap sebagai tuah atau yang dipuja-puji. Ini hanya sekedar keindahan dan seni. Pilihan motif ukiran rumah adat Minangkabau diambil dari tumbuhan. Susunan terdiri dari akar tumbuhan, daun bahkan buah. Kemudian dibuat dengan Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri persegi tiga, Persegi empat dan jajar genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran. Ragam ukiran pada rumah gadang contohnya: a. Itiak Pulang Patang (itik pulang di sore hari), melambangkan bahwa masyarakat Minang adalah orang orang yang tertib. Diibaratkan bagaimana itik yang berbaris dengan rapi ketika pulang ke kandang. b. Pucuak rabuang (rebung=tunas bambu), memiliki makna filosofis untuk hidup seperti bambu. Ketek Baguno, gadang ta pakai”. Jika di lihat pada bambu, ketika kecil (tunas) bisa dimasak. Sementara ketika sudah tumbuh besar, dia tidak kehilangan manfaat. Bambu bisa dipakai untuk membangun. c. Kaluak Paku (tumbuhan pakis), yang melambangkan akan ajaran “ kaluak paku, kacang balimbiang, anak dipangku, kamanakan di bimbiang” artinya anak dan kemenakan sama sama menjadi tanggung jawab lelaki dewasa di Minangkabau. Tugas seorang lelaki tidak hanya pada anaknya saja, termasuk ponakan dari saudara perempuan (kamanakan).



d. Si kambang Manih dan Siriah Gadang (daun sirih) sebagai lambah keramah-tamahan masyarakat Minangkabau. e. Jarek Takambang, Sebagai lambang pemerintahan lareh koto Piliang f. Saluak laka, Sebagai bentuk sistem kekeluargaan di Minangkabau g. Jalo menunjukkan sistem pemerintahan lareh Bodi Chaniago h. Saik Galamai sebagai lambang bahwa orang orang Minang adalah orang yang teliti. Galamai sendiri adalah makanan dari daerah Minangkabau yang kenyal. Ketika memotongnya harus dengan teliti, jika tidak tangan adalah taruhan. Filsafat kehati-hatian itu yang digunakan dalam ukiran ini. Itulah makna dari motif ukiran rumah adat di Minangkabau. Namun sekarang, sangat langka ditemui lagi orang membangun rumah gadang dengan keindahan seperti ini. Mungkin kesulitan mencari bahan baku untuk membuat rumah atau memang biaya untuk membuat rumah gadang memang lebih mahal. Bisa jadi juga, karena kurangnya kemampuan generasi sekarang untuk membangun karya besar ini. Rumah gadang yang diukir menunjukkan ketinggian martabat kaum yang memiliki rumah gadang tersebut. Ukiran tradisional Minangkabau, motifnya diambilkan dari keadaan alam sekitarnya (flora dan fauna), dan adapula diantaranya yang mengambil motif bentuk makanan seperti saik galamai, belah ketupat, dan ampiang taserak. Pepatah menyebutkan:  Panakiak pisau sirauik, Penukik pisau siraut,  Ambiak Galah Batang Lintabuang, Ambil Galah Batang Lintabung,  Salodang Ambiak Ka Niru, Salodang Ambil Untuk Nyiru,  Satitiak Jadikan Lauik, Setitik Jadikan Laut,  Nan Sakapa Jadikan Gunuang, Yang Sekepal Jadikan Gunung,  Alam Takambang Jadikan Guru, Alam Takambang Jadikan Guru. Bentuk-bentuk alam yang dijadikan motif ukiran di Minangkabau tidaklah diungkapkan secara realistis atau naturalis tetapi bentuk tersebut digayakan (distilasi) sedemikian rupa sehingga menjadi motif-motif yang dekoratif sehingga kadang-kadang sukar untuk dikenali sesuai dengan nama motifnya. Hal tersebut terjadi setelah berkembangnya agama Islam di Minangkabau. Beberapa ahli berpendapat bahwa seni ukir di Minangkabau pada mulanya dimulai dari corak yang realistis. Hal ini masih dapat dilihat pada hiasan ukiran yang terdapat pada menhir atau nisan yang terdapat di beberapa daerah di Kabupaten 50 Kota yang bermotifkan ular, burung dengan makna simbolisnya. Sedangkan pada seni ukir tradisional Minangkabau motif-motif realis ini sudah tidak ada lagi karena pada umumnya masyarakat Minangkabau memeluk agama Islam.



Pada motif ukir Minangkabau terdapat galuang/ relung dan ragam. Galuang/ relung yaitu berupa lingkaran yang sambung-bersambung sehingga membentuk relung kearah pusat lingkaran atau ke luar lingkaran. Pada relung tersebut terdapatlah gagang, daun, bunga, dan sapieh (serpih). Warna Minangkabau yang utama adalah sirah (merah tua kecoklatan), kuniang (kuning kunyit) dan hitam, Ketiga unsur warna ini melambangkan luhak agam (merah), luhak datar (kuning) dan luhaklima puluh kota (hitam), yang kemudian menjadi warna merawal/bendera Minangkabau. Salah satu ukiran yang masih ada dan dipertahankan sampai sekarang yaitu Ukiran “Itiak Pulang Patang” Makna Filosofi yang terkandung dalam ukiran ini mencerminkan pola kehidupan masyarakat Minangkabau dan memiliki enam makna filosofi yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yaitu : a. Pertama, Keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat Minangkabau dengan alamnya b. Kedua, Tata pergaulan dalam kehidupan sehari-hari antar individu dalam masyarakat. c. Ketiga, Tatanan sistem pemerintahan d. Keempat, Hubungan sinergis pada hubungan sistem kekerabatan antara mamak dan kemenakan. e. Kelima, Keteguhan dalam menjalankan prinsip-prinsip hidup f. Keenam, Kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. 9. Upaya Pelestarian Rumah Gadang Salah satu upaya pelestarian rumah Gadang di Sumatera Barat adalah Pembangunan ulang Istana Basa Pagaruyung pada tahun 2007. Istana Basa di Pagaruyung tetap mempertahankan material utama kayu sebagai lantai, dinding, pilar, dan atap. Meskipun istana ini sudah beberapa kali terbakar, para pemangku adat menginginkan Istana Basa memiliki bentuk aslinya. Bahkan, pondasi istana ini dibiarkan miring sesuai dengan strukturnya yang asli ketika dibangun pada tahun 1700-an. Tidak seperti bangunan masa kini yang lebih praktis dan menyatukan semua jenis ruangan dalam satu bangunan, istana kerajaan terdiri atas bangunan utama dan bangunan penunjang. Bangunan utama merupakan ruang menyambut tamu atau balairung, ruang berkumpulnya keluarga sekaligus ruang makan, ruang pelantikan raja atau sultan, dan kamar-kamar anggota kerajaan. Bangunan penunjang terdiri atas dapur, bilik untuk mandi, gudang penyimpan senjata, gudang makanan sekaligus lumbung padi, serta ruang



ibadah. Pemisahan bangunan-bangunan dan pemilihan letak atau arah bangunan istana mempertimbangkan konsep kosmologi, filosofi, dan religi. Masyarakat kerajaan pada zaman dahulu sangat menjunjung tinggi keseimbangan hidup untuk mencapai kesempurnaan diri di alam baka. Istana Basa Pagaruyung terdiri dari 3 lantai. Adapun lantai pertama berupa ruangan luas yang memajang berbagai benda dalam etalase, kamar-kamar, dan sebuah singgasana dibagian tengah. Memilki 2 anjuang. Keberadaan anjuang adalah salah satu ciri khas rumah adat Koto Piliang. Sebelah kiri disebut anjuang perak. Anjuang ini adalah ruang kehormatan bagi keluarga kerajaan. Sedangkan Anjuang yang berada disebelah kanan disebut Anjuang Rajo babandiang adalah ruangan khusus raja yang terdiri dari 3 langgam/tingkatan. 1. Langgam pertama adalah tempat raja bermusyawarah dan memimpin persidangan, biasanya raja akan duduk di sebelah kanan. 2. Langgam kedua adalah tempat beliau beristirahat atau bermeditasi 3. Laggam ketiga adalah ruang tidur raja dan permaisurinya. Anjuang ini walaupun terdiri dari 3 langgam namun merupakan satu ruangan utuh yang tidak ada sekatnya. Sementara anjuang Perak adalah ruangan untuk ayah dan ibu raja. Anjuang Perak pun memiliki 3 langgam dengan pembagian fungsi yang sama dengan anjuang Rajo Babandiang. Pada bagian tengah terdapat 7 kamar tidur untuk anak raja yang sudah menikah. Anak yang paling tua menempati kamar yang paling kanan, begitu seterusnya sampai anak yang termuda menempati kamar yang paling kiri. Tepat ditengah ruangan, persis di depan pintu masuk terdapat sebuah singgasana yang disebut sebagai Bundo Kanduang arena yang duduk disana memang ibunda raja. Bertugas untuk mengawasi setiap tamu yang datang. Apabila kerajaan mengadakan perjamuan atau rapat maka ibunda raja yang akan memastikan setiap orang duduk pada tempatnya yang benar. Hidangan disajikan tepat waktu dan mengawasi apapun keperluan dalam ruangan sedangkan raja berada di anjuang Rajo Babandiang. Lantai 2 disebut sebagai Parangian yaitu kamar anak perempuan raja yang belum menikah sedangkan lantai ke-3 adalah ruang penyimpanan harta pusaka raja sekaligus tempat rapat khusus raja 3 selo. Raja 3 selo adalah institusi tertinggi dalam hirarki kerajaan Pagaruyung, berasal dari keturunan yang sama dan masing-masing bertugas untuk memutuskan perkaraperkara yang berhubungan dengan alam, adat dan ibadah. Struktur istana ini memang didesain miring seperti lambung kapal yang memanjang, setiap tiang ditarik kea rah yang berbeda yaitu utara, selatan, timur dan barat. Dari 72 tiang hanya satu yang tegak lurus dan berada ditengah ruangan lalu dilapisi kain warna kuning. Ini adalah tiang pertama yang didirikan saat istana dibangun dan disebut tonggak tuo. Tiang tersebut sekaligus merupakan simbol peran perempuan sebagai pewaris dan pemelihara harta, ini merupakan salah satu alasan kenapa singgasana ibu raja berada tepat ditengah ruangan. Tiang yang lainnya adalah simbol pria, pria sebagai pemimpin dimasyarakat yang akan memperkuat kehidupan struktur masyarakat karena memang fungsi asli tiang-tiang yang miring ini adalah untuk memperkokoh struktur bangunan agar tidak rusak atau roboh apabila



terjadu gempa bumi. Seperti diketahui bahwa dataran tinggi sumatera dilewati oleh The Great Sumatran Fault, penyebab gempa pun tidak hanya didarat tetapi juga dilaut, dengan beradaptasi dengan alam sesuai dengan filosofi hidup alam takambang jadi guru maka terciptalah struktur seperti ini. Setiap tiang dibangun tanpa paku dan tanpa beton, hanya menggunakan pasak dan ikat saja. kelebihan lainnya adalah setiap tiang berdiri diatas batu sandi, tidak dikubur didalam tanah sehingga nanti jika terjadi tremor akibat gepa bumi, tidak ada kecenderungan rumah akan roboh ke sisi manapun. Didalam ruangan istana terdapat banyak warna yang muncul dari kain/tirai yang menjadi ornament. Tetapi hanya beberapa warna yang memiliki arti khusus yaitu hitam, merah dan kuning. Warna hitam adalah warna yang biasanya digunakan oleh pemuka adat dan bangsawan, sehingga warna yang menghiasi anjuang Rajo Babandiang adalah warna hitam. Warna-warna lain pada istana tidak terlalu berpengaruh, justru warna pada bendera yang berkibar didepan istanalah yang berpengaruh. Menurut cerita turun temurun disebutkan bahwa nenek moyang orang minang adalah 3 orang bersaudara. Saudara tua adalah Maharaja Ali, yang kedua Maharaga Depang, dan yang terakhir Maharaja Diraja. Ketiganya adalah putra dari Sultan Iskandar Zulkarnaen dari daerah yang sangat jauh. Mereka berlayar dengan tiga kapal, kemudian melihat puncak gunung Marapi yang jika dilihat dari kejauhan ukurannya sebesar telur itik. Ketiganyapun memutuskan menambatkan kapal dan beristirahat disana. Akan tetapi terjadi keributan diantara ketiganya, sehingga membuat Maharaja Ali dan Maharaga Depang memutuskan untuk meninggalkan daerah ini, sedangkan Maharaja Diraja tetap tinggal dipuncak gunung Marapi. Ketika air laut turun dan daratan naik, beliau kemudian menaruko atau merambah daerah tersebut dan mulai membangun pemukiman. Nama desa pertama yang dibangun adalah Pariangan. Pemukiman terus berkembang hingga sampai ke daerah tempat berdirinya Istana Pagaruyung. Daerah itu kemudian dinamakan Tanah Datar dan diberi simbol kuning sebagai simbol asal usul adat. Setelah itu masyarakat semakin berkembang, banyak pendatang bermukim dan berbaur di Tanah Datar, mereka lalu pergi kea rah Bukittinggi membangun daerah kedua bernama Agam lalu diberi tanda warna merah sebagai simbol keberanian karena mereka hidup di dearah yang berada diantara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang Setelah itu mereka pergi lagi dan menyebar ke daerah 50 Kota yaitu Lembah Harau yang merupakan daerah yang keras. Mereka menyimbolkan dengan warna hitam dengan arti “tak lekang oleh panas dak lapuk oleh hujan”. Dalam perkembangan ada pula orang yang menyamakan simbol warna ini dengan karakter masyarakat yang hidup ditiga tempat tersebut. Yaitu kuning itu kolot atau sangat menjunjung tinggi adat, sementara merah itu revolusioner dan pemberani, sedangkan hitam itu berarti sangat keras dan teguh.



DAFTAR PUSTAKA



Video Youtube.com MENJELANG RAGAM RUMAH GADANG, MENINJAU MINANGKABAU_01 MENJELANG RAGAM RUMAH GADANG, MENINJAU MINANGKABAU_02 Sumber : www.google.com/seacrh http://minangranahnandicinto.blogspot.co.id/2012/03/kenapa-rumah-gadang-minangkabau.html http://tentangrumahgadang.blogspot.co.id/p/gallery-rumah-gadang.html https://www.wonderfulminangkabau.com/rangkiang-rumah-gadang/ https://www.scribd.com/doc/289185832/makalah-konstruksi-rumah-gadang http://patheticnumber1.blogspot.co.id/2011/08/gambar-rumah-gadang-sumaterabarat.html https://yosaadi.blogspot.co.id/2011/03/rumah-gadang-dan-maknanya.html https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang https://hbis.wordpress.com/2008/12/02/sejarah-istana-linduang-bulan-pagaruyuang/