Descending Necrotizing Mediastinitis Sebagai Komplikasi Dari Infeksi Odontogenik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Descending Necrotizing Mediastinitis sebagai Komplikasi dari Infeksi Odontogenik Abstrak Descending necrotizing mediastinitis adalah komplikasi yang serius dan mengancam jiwa yang dapat terjadi akibat infeksi odontogenik. Bahkan dengan menggunakan antibiotik yang sangat lanjut, pencitraan diagnostik, dan pembedahan, mortalitasnya tetap sekitar 20 – 40%. Sangat penting bagi para praktisi yang menangani pasien dengan infeksi odontogen agar memperhatikan komplikasi yang fatal ini. Kami melaporkan keberhasilan penanganan dari sebuah kasus mediastinitis yang berasal dari komplikasi infeksi odontogenik pada seorang laki-laki berusia 39 tahun. Pendahuluan Mediastinitis akut merupakan infeksi berat pada jaringan ikat mediastinum dan bangunan sekitarnya. Salah satu bentuk paling mematikan dari mediastinitis adalah Descending Necrotizing Mediatinitis (DNM), yang biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi orofaring atau abses peritonsilar.1,2 Sebagian besar infeksi orofaring adalah infeksi yang self-limiting dan bersifat lokal. Namun, infeksi tersebut dapat menyebar melalui fascia dan spatium colli profunda untuk dapat menyebar turun ke mediastinum, khususnya pada pasien dengan diabetes, immunocompromised, ataupun dengan keadaan umum yang lemah. 3-5 DNM ditandai dengan polimikroba aerob dan anaerob yang normalnya pada rongga mulut. Mortalitas DNM sebelumnya dapat setinggi 50%, 6 namun dengan antibiotik yang lanjut, pencitraan diagnostik, dan pembedahan, mortalitasnya telah menurun menjadi 20 – 40%.7-10 Laporan Kasus Pasien adalah seorang laki-laki 39 tahun, tanpa riwayat penyakit sebelumnya, datang ke Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Pennsylania dengan keluhan utama nyeri berdenyut yang berhubungan dengan gigi molar 3 bawah selama 1 minggu. Walaupun sudah mengkonsumsi amoxicillin yang diberikan oleh dokter gigi umum selama 5 hari, pasien mengeluhkan pembengkakan wajah sisi kanan dan odinofagia ringan yang semakin memberat. Pasien menyangkal



adanya disfagia, dyspnea, muntah, demam, atau menggigil. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tidak demam dan memiliki hemodinamik stabil. Pasien datang tidak dalam keadaan distress akut, tetapi memiliki benjolan submandibular yang keras, tanpa fluktuasi, kemerahan, palpasi hangat. Terdapat keterlibatan bagian submandibular kontralateral dan spatium submental. Tidak didapatkan trimus atau edema sublingual pada pasien. Pada pemeriksaan orofaring didapatkan edema peritonsillar kanan ringan dan eritema dengan tonsil yang tampak normal. Uvula tampak di tengah tetapi membengkak. Gigi 1, 16, 17, dan 32 pasien mengalami malposisi dengan eritema ringan pada operkulum molar 3 bawah bilateral serta oral hygiene yang cukup baik. Radiografi Panorex menunjukkan radiolusensi perikoronal irregular yang berhubungan dengan impaksi parsial gigi 32 dan karies gigi 31 (Gambar 1). Kemudian, pasien disarankan untuk memeriksakan diri ke IGD dan dirawat inap untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut, yaitu CT scan, antibiotik intravena, analgesik, cairan intravena, dan kemungkinan intervensi bedah.



Gambar 1. Panorex pada kondisi awal. Terdapat radiolusensi perikoronal irregular yang berhubungan dengan impaksi parsial gigi 32, karies gigi 31, dan akar gigi 12 yang tertahan dan berhubungan dengan radiolusensi periapical.



Namun pada keesokan harinya, pasien kembali datang ke FKG dengan gejala yang semakin berat. Pasien tidak demam, dengan leukosit 7.6, tetapi dalam keadaan distress sedang, berkeringat, hipersekresi, serta selulitis submandibular bilateral dan submental yang meluas ke servikal hingga dinding dada anterior. Pasien kemudian dibawa ke Penn Presbyterian Medical Center untuk patensi jalan napas dan untuk penatalaksanaan descending necrotizing mediastinitis. Setelah pasien datang, dilakukan pemeriksaan CT scan dan tindakan anestesi untuk mengantisipasi intubasi sulit dan intervensi bedah lanjutan. Hasil CT scan menunjukkan edema leher difus dan udara pada spatium parotis, parafaringeal, submandibular, submental, sekeliling sternocleidomastoideus bilateral, anterior kelenjar tiroid, dan meluas ke anterior mediastinum superior (Gambar 2). Uvula dan epiglottis tampak edema sehingga menyebabkan penyempitan jalan napas. Pasien kemudian dibawa ke ruang operasi dan dilakukan insisi serta drainase spatium submandibular bilateral, sublingual, dan submental. Dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan kultur. Pasien mendapatkan vancomycin dan Unasyn IV. Pasien dikonsulkan ke dokter bedah thoraks mengenai keterlibatan traktus aerodigestif (dengan mempertimbangkan jumlah udara di dalam mediastinum).



Gambar 2. CT preoperasi. (A) CT topogram menunjukkan udara yang luas pada regio colli anterior dan submandibular. (B) Potongan aksial di bawah level mandibular menunjukkan udara pada regio colli anterior bilateral. Pada hari kelima, keadaan klinis pasien memburuk. Suhu tubuh pasien 101.6° F, leukosit 19.6, timbul trismus, benjolan pada regio submandibular, submental, dan leher bagian anterior yang semakin keras, hangat, dan kemerahan.



Hasil CT scan ulang menunjukkan pembentukan abses leher bilateral, penumpukan eksudat yang luas di anterior kelenjar tiroid, pembengkakan jaringan lunak pretracheal yang meluas ke mediastinum superior, efusi pleura bilateral masif, dan efusi pericardial minimal. Pasien kemudian dibawa ke ruang operasi, dilakukan drainase eksudat di kepala dan leher. Untuk mengetahui keterlibatan traktus aerodigestif dan pemasangan chest tube bilateral untuk evakuasi efusi pleura masif, dilakukan drainasi dan irigasi bagian anterior mediastinum superior transcervical oleh spesialis bedah thoraks (Gambar 3).



Gambar 3. (A) Pembedahan untuk membuka regio leher diperlukan utnuk mengluarkan penumpukan cairan di spatium supra- dan infrahyoid. (B) Klem di anterior trachea dan posterior kelenjar tiroid setelah drainase. Retraktor inferior memperlihatkan akses menuju mediastinum superior. Pada hari perawatan ke-6, hasil kultur menunjukkan kuman Streptococcus constellatus dan Propionibacterium acnes, sehingga ditambahkan terapi clindamycin. Profil imunologi pasien ditemukan dalam batas normal. Hasil CT scan ulang menunjukkan phlegmon dan abses baru di bawah arcus aorta dan abses baru pada paratrachea serta subglottis kanan. Pasien kemudian dibawa kembali ke ruang operasi untuk dilakukan drainase paratracheal oleh spesialis bedah mulut dan maksilofasial, dilanjutkan dengan drainase abses pericardial dan arkus aorta via video-assested thoracoscopy dan thoracotomy kanan oleh spesialis bedah thoraks. Pada hari selanjutnya, timbul abses baru pada spatium temporal superficial bilateral yang sebelumnya didrainase. Lalu dilakukan ekstraksi gigi 1,



12, 16, 17, 31, 32. Pada saat pencabutan gigi molar 3 bawah kanan, tampak sedikit discharge purulent keluar dari tempat tersebut. Selama dua minggu berikutnya, pasien dua kali dibawa ke ruang operasi untuk thoracotomy washout. Kultur jamur pada insisi dan drainase sebelumnya menunjukkan hasil candida albicans. Pasien menjadi semakin hipotermik, menimbulkan kecurigaan terjadinya fungemia, sehingga diberikan terapi fluconazole. Setelah diketahui menderita pneumonia karena pseudomonas, antibiotiknya diganti menjadi meropenem, amikacin, dan vancomycin untuk cakupan yang lebih luas. Kemudian, selama 10 hari berikutnya, kondisi klinis pasien semakin membaik dan CT scan tidak menunjukkan adanya penumpukan cairan baru. Pasien kemudian diekstubasi pada hari perawatan ke-27 dan drainase dialirkan kemudian dilepas perlahan selama 5 hari berikutnya. Pasien masih mengeluh disfagia pharyngeal, penurunan elevasi laryngeal, dan odinofagia. Karena perawatan yang lama di rumah sakit, pasien mengalami penurunan kebugaran dan memerlukan rehabilitasi fisik. Pembahasan DNM merupakan komplikasi yang jarang, mengancam jiwa, dari infeksi odontogenik dan infeksi orofaring. Selain itu, cukup jarang DNM juga dapat terjadi akibat epiglottitis, parotitis supuratif, ataupun infeksi kulit. 2,11,12 Lebih lanjut lagi, trauma servikal dengan komplikasi infeksi juga dapat menyebabkan DNM.7,13 Estrera et at,14 menjelaskan kriteria diagnosis DNM, yaitu: (a) Bukti klinis dari infeksi orofaring berat, (b) karakteristik radiologis yang menunjukkan gambaran mediastinitis, (c) temuan infeksi mediastinum pada operasi ataupun postmortem, dan (d) adanya hubungan antara DNM dan proses pada orofaring. Pengetahuan anatomi sangat penting untuk diagnosis dan penatalaksanaan dari DNM. Hal tersebut juga akan sangat bermanfaat dalam mengetahui komplikasi serius yang mungkin terjadi akibat infeksi orofaring. Infeksi odontogenik, yang biasanya pertama kali ditemukan oleh dokter gigi, juga dapat menyebabkan terjadinya sebagian besar dari 2 infeksi leher yang paling serius: Angina Ludwig dan DNM. Kista jinak dan tumor juga berpotensi terkena infeksi dan kemudian menjadi komplikasi yang serius.15 Selanjutnya, parotitis supuratif



harus diawasi dengan ketat karena dapat menyebar secara inferior dan mengancam jiwa.12 Terdapat tiga lapisan utama dari fascia colli profunda yang membatasi tiga ruangan , dimana infeksi orofaring dapat menyebar melewati rruangan tersebut untuk mencapai mediastinum. Ruangan-ruangan tersebut yaitu spatium pretracheal, retrovisceral, dan prevertebral.16 Fascia pretrachea bergabung dengan pleura parietal dan pericardial di mediastinum anterior. Pada kasus ini, diyakini infeksi menyebar dari pericoronitis pada molar 3 mandibula kanan, meluas ke spatium submandibular, meluas ke anterior menuju ke cartilago dan kelenjar tiroid, dan kemudia sampai ke mediastinum melalui spatium pretrachea. Infeksi juga menyebar ke spatium submental, sublingual, faring lateral, masseter, parotis, dan temporalis superficial. DNM merupakan penyakit yang jarang terjadi, namun mematikan. Hal ini terjadi akibat terlambatnya diagnosis dan penanganan bedah yang agresif. Diagnosis awal dapat didapatkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun seringkali hal tersebut sulit dilakukan. Foto polos leher dan thoraks dapat menunjukkan emfisema subkutan, mediastinum melebar, dan efusi pleura.3,8,14 Namun, tanda tersebut biasanya muncul ketika penyakitnya telah pada tahap lanjut. CT scan akan dapat langsung memastikan mediastinitis dengan akurasi yang tinggi. Setiap pasien dengan infeksi orofaring ataupun odontogenik dengan pembengkakan leher dan/atau nyeri terkait dengan DNM harus diperiksa CT scan leher dan toraks dengan kontras untuk mengevaluasi penyebaran infeksi.3,17 Juga penting bagi para praktisi untuk memonitor kemajuan terapi juga dengan menggunakan CT scan.3,7-9,17-19 Penatalaksanaan DNM meliputi antibiotic intravena, penangananan airway, dan drainase servikal dan mediastinal dengan pembedahan. Beberapa kontroversi terkait dengan drainase transcervical maupun transthoracal.8,9,14,19,20 Banyak argumen yang menyatakan drainase melalui transcervical cukup untuk infeksi yang utamanya pada mediastinum superior anterior di atas carina dan drainase melalui transthoracal sebaiknya dilakukan pada infeksi yang menyebar lebih inferior lagi.9,14,20 Selain itu, sangat penting untuk mencari sumber infeksi. Kesimpulan



DNM adalah komplikasi yang serius dan mengancam jiwa, yang dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi odontogenik. Praktisi yang menangani pasien dengan infeksi odontogenik dan orofaring harus waspada dengan komplikasi yang dapat menjadi fatal ini. Daftar Pustaka 1. Kinzer S, Pfeiffer J, Becker S, Ridder GJ. Severe deep neck space infections and mediastinitis of odontogenic origin: clinical relevance and implications for diagnosis and treatment. Acta Otolaryngol 2009;129:62–70. 2. Roccia F, Pecorari GC, Oliaro A, Passet E, Rossi P, Nadalin J, et al. Ten years of descending necrotizing mediastinitis: management of 23 cases. J Oral Maxillofac Surg 2007;65:1716–24. 3. Pinto A, Scaglione M, Scuderi MG, Tortora G, Daniele S, Romano L. Infections of the neck leading to descending necrotizing mediastinitis: role of multi-detector row computed tomography. Eur J Radiol 2008;65 :389–94. 4. Sancho LM, Minamoto H, Fernandez A, Sennes LU, Jatene FB. Descending necro-tizing mediastinitis: a retrospective surgical experience. Eur J Cardiothorac Surg 1999;16:200–5. 5. Mathieu D, Neviere R, Teillon J, Chagnon JL, Lebleu N, Wattel F. Cervical necrotizing fasciitis: clinical manifestations and management. Clin Infect Dis 1995;21:51–6. 6. Pearse HE. Mediastinitis following cervical suppuration. Ann Surg 1938;108:588–611. 7. Sandner A, Börgermann J, Kösling S, Silber RE, Bloching MB. Descending necro-tizing mediastinitis: early detection and radical surgery are crucial. J Oral Maxillofac Surg 2007;65:794–800. 8. Corsten MJ, Shamji FM, Odell PF, Frederico JA, Laframboise GG, Reid KR, et al. Optimal treatment of descending necrotizing mediastinitis. Thorax 1997;52:702–8. 9. Makeieff M, Gresillon N, Berthet JP, Garrel R, Crampette L, Marty-Ane C, et al. Management of descending necrotizing mediastinitis. Laryngoscope 2004;114:772–5.



10. Sakamoto H, Aoki T, Kise Y, Watanabe D, Sasaki J. Descending necrotizing medi-astinitis due to odontogenic infections. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2000;89:412–9. 11. Tateya I, Fujiki N, Kurata K, Hasegawa S, Kojima H. Descending necrotizing mediastinitis following acute epiglottitis: a case report. Eur Arch Otorhinolaryn-gol 2003;260:128–30. 12. Guardia SN, Cameron R, Phillips A. Fatal necrotizing mediastinitis secondary to acute suppurative parotitis. J Otolaryngol 1991;20:54–6. 13. Mihos P, Potaris K, Gakidis I, Papadakis D, Rallis G. Management of descending necrotizing mediastinitis. J Oral Maxillofac Surg 2004;62:966–72. 14. Estrera AS, Landay MJ, Grisham JM, Sinn DP, Platt MR. Descending necrotizing mediastinitis. Surg Gynecol Obstet 1983; 157 :545–52. 15. Basa S, Arslan A, Metin M, Sayar A, Sayan MA. Mediastinitis caused by an infected mandibular cyst. Int J Oral Maxillofac Surg 2004;33:618–20. 16. Hollinshead WH. Fascia and fascial spaces of the head and neck. In: Hollinshead WH, editor. Anatomy for surgeons . Philadelphia: Harper and Row; 1982. 17. Scaglione M, Pinto A, Romano S, Giovine S, Sparano A, Romano L. Determin-ing optimum management of descending necrotizing mediastinitis with CT; experience with 32 cases. Emerg Radiol 2005; 11:275–80. 18. Scaglione M, Pinto A, Giovine S, Di Nuzzo L, Giuliano V, Romano L. CT features of descending necrotizing mediastinitis—a pictorial essay. Emerg Radiol 2007;14:77–81. 19. Marty-Ane CH, Alauzen M, Alric P, Serres-Cousine O, Mary H. Descending necro-tizing



mediastinitis.



Advantage



of



mediastinal



drainage



with



thoracotomy. J Thorac Cardiovasc Surg 1994;107:55–61. 20. Wheatley MJ, Stirling MC, Kirsh MM, Gago O, Orringer MB. Descending necro-tizing mediastinitis: transcervical drainage is not enough. Ann Thorac Surg 1990;49:780–4