Ringkasan Materi Fiksi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Ringkasan Materi Fiksi [PDF]

RINGKASAN MATERI FIKSI S1 BAHASA INDONESIA UNG A. DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxf

8 2 165 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN MATERI FIKSI S1 BAHASA INDONESIA UNG A. DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press. Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston. Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Poipuler. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru. Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. 2010. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia. Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesia Siatera. Card, Orson Scott. 2005. Penokohan dan Sudut Pandang Mencipta Sosok Fiktif. Bandung: MLC Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse. London: Cornell University Press. Foster, E.M. 1987. Aspek-aspek Novel. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hussain, Safian. 1988. Glosari Istilah Kesusasteraan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kosasih, E. 2012. Dasr-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Wifya. Luxemburg, jan van. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Luxemburg, jan van, dkk. 1987. Tentang Sastra. Jakrta: Intermasa. Minderop, Albertine. 2011. Metode Karakterisasi Telaah Fisi dan Puisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktek Sastra. Jakarta: Cahaya Insan Sejahtera. Nurgiyantoro: Burhan. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM. Pujiharto. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Sulistyowati, Endang dan Tarman Efendi Tarsyad. 2015. Kajian Prosa Fiksi. Banjar Baru: Scripta Cendekia. Suruso. 2015. Drama Teori dan Praktek Pementasan. Yogyakarta: Elmatera. Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. nJakarta: Pustaka Jaya. Tuloli, Nani. 2000. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah. Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Garudhawaca. Zoest, Aart van. 1980. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa. B. TUJUAN PERKULIAHAN a. Setelah perkuliahan mahasiswa mempujai: 1. Pengatahuan tentang fiksi; 2. Kemapuan memahami dan menjelaskan perbedaan genre-genre fiksi; 3. Menguasai dan mampu menerangkan struktur, unsur-unsur, dan berbagai elemen dalam karya fiksi. b. Kemampuan melakukan tugas: 1. Membaca, menguraikan, membandingkan karya-karya fiksi; 2. Membahas dan mendiskusikan ciri-ciri struktural intrinsik dan ektrinsi karya sastra fiksi. 3. Membuat tulisan yang berhubungan dengan karya-karya fiksi.



C. RINGKASDAN MATERI PERKULIAHAN FIKSI I. PENGERTIAN DAN HAKEKAT FIKSI I.1 Pengertian Fiksi a. Fiksi adalah cerita rekaan, yaitu cerita yang tidak berdasarkan fakta kejadian nyata. Dalam fiksi ada beberapa konsep: (1) Cerita rekaan atau buatan yang bersifat imajinatif atau khayalan. (2) Cerita ciptaan, yaitu dunia yang hanya ada dalam kata-kata bukan dalam kenyataan (Ensiklopedi, jilid 5, 1989:295). (3) Dalam bahasa Latin “fictio” berarti membentuk, menciptakan, membuat, mengadakan (Waluyo, 1994: 2). b. Fiksi adalah kenyataan yang berbeda dengan dunia tempat kita tinggal, kehidupan sehari-hari, yang sesungguhnya, yang dapat dibuktikan, yang juga disebut kenyataan empiris (Zoest, 1980: 4). c. Fiksi dalam arti sempit meliputi jenis novel, cerita pendek, drama, puisi, sketsa, esai, cerita rakyat, fabel, dan kisah (Abrams, 1981: 62; Ensilopedi, jilid 5, 1989: 295). d. Fiksi adalah salah satu genre sastra mengandung unsur-unsur penciptaannya: (1) pengarang atau narator (pencerita), (2) isi penciptaan cerita tertulis maupun lisan, (3) media penyampaian isi berupa bahasa (lisan dan tulis), (4) elemenelemen fiksional yaitu unsur-unsur intrinsik yang membangun struktur karya sastra itu menjadi suatu wacana. Selain itu, pengarang memaparkan (mengatakan atau menceritakan) cerita itu melalui sarana: (1) penjelasan atau komentar/deskripsi cerita, (2) dialog dan monolog, (3) lakuan atau action (drama) (Aminuddin, 1987: 66). e. Dari uraian di atas kata "fiksi" memiliki arti "dikostruksi", "dibuat" atau "direka". Secara lebih jelas merekonstruksi dan membuat dapat dijabarkan (Pujiharto, 2012: 7): (1) Menyusun, mengatur, mengarang cerita secara baik dan menarik serta bermakna. (2) Mencari akal agar susunannya dapat diterima dan dipahami serta dihayati oleh pembaca atau penikmat. (3) Memikirkan, merancang, merencanakan jalan cerita atau plot dan hubungan antarunsur dalam struktur yang padu. (4) Membayangkan dalam angan-angan dan mencita-citakan untuk menciptakan karya yang imajinatif. (5) Menduga dan mengira-ngirakan sesuatu mungkin terjadi dan bukan yang sudah atau memang terjadi. I.2 Hakekat Fiksi . Sebagai genre sastra maka fiksi mempunyai beberapa ciri yang mentukan hakekat fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 2; Tuloli, 2000: 12): a. Imajinasi dan Estetika Imajinasi ialah daya kreatifitas pengarang untuk menciptakan cerita dalam angannya dan pikirannya. Munculnya Imajinasi bisa beberapa cara: (1) Pemberdayaan pikiran dan perasaan untuk mengahayati, mengkaji, mempelajari aspek dalam kehidupan kemudian dirangkai menjadi



karya seni yang indah menggunakan media bahasa; (2) Hayalan yaitu pembayangan sesuatu sebagai kreatifitas pengarang menginterpretasi yang berada dalam kenyataan sehingga menjadi lebih indah, bermanfaat, dan menyenangkan; (3) Tokoh, peristiwa, dan tempat dalam fiksi adalah bersifat imajiner. b. Sumber Penciptaan Pengarang menciptakan fiksi dengan menggunakan sumber: (1) Kehidupan manusia, fiksi mengungkapakn berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan; (2) Menurut Alterbernd dan Lewis (Nurgiyantoro, 1995: 2) Fiksi adalah prosa naratif yang bersifat imajiner, namun masuk akal dan mengandung kebenaran gambaran kehidupan manusia; (3) Fiksi dilandasi oleh kebenaran dan tanggung jawab kreatifitas pengarang sebagai karya seni; (4) Menurut Abrams, fiksi bisa berdasarkan fakta sejarah disebut fiksi historis (historical fiction), dan fakta bersumber dari ilmu pengetahuan disebut fiksi sains (science fiction); (5) Pengalaman banyak dijadikan sumber penciptaan fiksi, yaitu pengalaman pribadi pengarang (pengalaman hidup dari kecil sampai besar, peristiwa penting dan sangat berkesan dalam kehidupannya, pandangan pribadinya terhadap sesuatu), pengalaman dari luar pengarang misalnya dari orang lain, lingkungannya, hasil bacaannya, juga cerita rakyat dari budaya masyarakat ( Ahmad, 1978: 3). c. Kebanaran Fiktif Kebenaran dalam fiksi berbeda dengan kebanaran dalam dunia nyata, walaupun tidak perlu dipetentangkan. Ciri kebenran fiksi (fiktif) diidentifikasikan sebagai berikut: (1) Kebenaran yang diyakini “keabsahannya” oleh pengarang sesuai pandangannya (tidak perlu sama dengan kebenaran pembaca/penikmat); (2) Kebenran fiktif tidak perlu harus sejalan atau searah dengan kebenaran yang berlaku di dunia, seperti kebanaran hukum, moral, agama, logika, politik, dan budaya, walaupun sumbernya bisa berasal dari hal-hal itu; (3) Dunia fiksi mengandung berbagai hal kemungkinan daripada yang ada dalam kehidupan manusia, karena kreativitas dan imajinasi pengarang tidak dapat dibatasi. Pengarang dapat mengkreasi,memanipulasi, menyiasati, dan menawarkan pola baru bagi pembaca, justru hal itulah sebagai tanda kejeliannya, menciptakan yang tidak terpikirkan oleh yang bukan seniman; d. Fiksi menampilkan ketegangan-ketegangan Ketegangan dalam fiksi antara lain: (1) ketegangan penyimpangan dari norma bahasa (licentia poetarum), (2) ketegangan pendobrakan atau pelanggaran norma sastra (konvensi sastra), (3) ketegangan antara sinkroni (makna pada satu waktu tertentu) dan diakronik (makna berdasarkan perjalanan dari satu waktu ke waktu berikutnya, atau waktu historis); (4) ketegangan antara antara unsur-unsur intrinsik struktur karya sastra (ketagangan penggunaan bunyi, morfologi, sintaksis, semantik, atau unsur-unsur tokoh, watak, dll); (5) ketegangan antara norma sastra dengan norma di luar karya sastra (sosial budaya); (6) ketegangan antara mimesis (tiruan alam) dengan kreasi (penciptaan)( dunia nyata dengan dunia dalam kata-kata); (7) ketegangn



anatra makana niatan pengarang dengan makna muatan yang muncul dari karya sastra oleh pembaca; (8) ketegangan antara makna dalam karya sastra dengan kemampuan pembaca untuk menginterpretasinya; (9) ketegangan antara pembaca selaku individu dengan pembaca sebagai anggota masyarakat; (10) tegangan dalam wujud karya iru sendiri, yaitu bentuknya yang selalu berubah setiap periode, antarpengarang sendiri, variasi kepengarangan pada satu pengarang tertentu (A. Teeuw, 1982: 19). e. Indikasi Fiksi (1) Indikasi Fiksional di luar teks: yaitu tanda-tanda yang dapat diketahui sebelum kita membaca teks karya sastra. Tanda-tnada fiksional di luar teks itu terdiri atas: (a) kelompok situasianal (di mana teks itu berada), tempat/letak buku itu di perpustakaan atau di toko buku, di taman bacaan, atau tempat yang diberi label karya sastra (novel, puisi, drama, cerpen.; (b) kelompok yang mengiringi teks, yaitu yang sifatnya bahasa dan nonbahasa. Indikasi yang bersifat bahasa ialah judulnya, kata dan kalimat dalam teks itu, misalnya judul novel Iwan Simatupang “Ziarah”, “Merahmya merah “, juga “Koong” merupakan indikasi fiksi yang kuat. Kelompok yang mengiring teks nonbahasa ialah gambar kulit, warna kulit, sampul, mutu kertas, dan semua kata-kata dan kalimat dalam teks. (2) Indikasi Fiksional dalam Teks (Formal), terdiri atas kelompok tanda formal yaitu kaidah-kaidah bahasa dalam teks, figur-figur retorika, tanda-tanda dalam teks yang memiliki arti tertentu, misalnya unsur-unsur dalam prosa atau puisi; kelompok yang referensial yaitu yang mempunyai makna simbolik (arti lain) dari arti denotatumnya, misalnya nama-nama yang simbollik (dalam dongeng ada nama raksasa, peri, orang kerdil, nenek sihir, binatang berbicara, dsb). 1.3 Kegiatan Menciptakan Fiksi Siswanto (2008: 28) mengembangkan proses penciptaan karya sastra atau fiksi melalui sebelum menulis, pada saat menulis, dan setelah menulis. a. Kegiatan Sebelum Menulis 1) Berjalan-jalan: pengarang dalam mencari ide atau gagasan karangannya dengan menjajaki ke berbagai tempat untuk mendapatkan pengalaman yang matang. Dari perjalanan itu bisa diperoleh judul yang baik, peristiwa, latar, dan juga tokoh yang menarik. Misalnya Budi Darma setelah berjalanjalan ke Eropa dan tempat lain, langsung menulis beberapa novel. 2) Membaca: para sastrawan pada umumnya sebelum mengarang mereka banyak dan gemar membaca. Buku-buku yang mereka baca adalah karya sastra yang lama, biografi tokoh-tokoh, sejarah, juga hal-hal pengetahuan umum. Tujuannya adalah untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam, mengembangkan pola pikir, dan mendapatkan konsep penting berguna bagi karyanya. Contoh Ayip Rosidi menjadi sastrawan karena gemar membaca sejak SMP. 3) Mendengarkan: yang didengar meliputi cerita rakyat (dongeng, mitos, legenda), wayang, musik, sandiwara radio, sinetron, peristiwa yang unik dan



aneh, juga dakwah, dsb. Misalnya Navis mendapat ide cerpen "Robohnya Surau Kami" dari mendengarkan cerita Pak M. Syafei tentang orang Indonesia yang masuk neraka karena malasnya. Demikian pula Nh. Dini banyak mendengarkan dongeng sejak kecil pada waktu akan tidur malam, dan menyaksikan ketoprak, ludruk, dan wayang. 4) Memperoleh pengalaman: banyak karya sastra yang tercipta berdasarkan pengalaman pengarang sejak kecil, muda, atau juga sudah tua. Mereka juga bisa menimba pengalaman dari yang dialami orang lain, atau pengalaman dalam cerita yang dibacanya. Hemingway sebelum menulis novel "Pertempuran Penghabisan", ia lebih dahulu bertualang ke Spanyol dan ikut berperang di sana. Dia juga pergi ke Afrika untuk berburu binatang buas lalu lahirlah novel "Salju di Kilimanjora", pergi ke Amerika Latin dan hidup sebagai nelayan dan terciptalah novel "Orang Tua dan Laut". b. Kegiatan pada Saat Menulis 1) Sastrawan perajin dan sastrawan kesurupan: (a) Sastrawan perajin ialah yang mengarang dengan menggunakan keterampilan, terlatih, serta bekerja dengan serius dan bertanggung jawab. Kadang-kadang saat menulis atau mengetik novel, mereka lupa makan, lupa tidur, bahkan lupa keadaan di sekelilingnya. Misalnya Budi Darma kalau sedang asyik menulis novel, maka dia jarang keluar, jarang tidur, bahkan kadang-kadang lupa makan. Nh. Dini pada saat menulis tidak mau diganggu dengan kesibukan sehari-hari, dia membutuhkan suasana yang baik, tenang, dan menyenangkan. (b) Sastrawan yang kesurupan dalam mengarang, penuh emosi, dan menulis dengan spontan. 2) Sastrawan yang cepat dan lambat: (a) Sastrawan yang cepat ialah cepat menghasilkan karya, sehingga banyak sekali karyanya yang termuat dalam berbagai majalah atau bentuk buku. Misalnya Budi Darma dapat menulis tiga cerpen dalam sehari. Novel "Olenka" setebal 232 halaman (cetak buku), diselesaikan dalam kurun waktu tiga minggu. Putu Wijaya terbiasa menulis tiap hari, bahkan novelnya "Telegram", "Aduh" dan "Pabrik" ditulis bersamaan. (b) Sastrawan yang lambat ialah pengarang yang membutuhkan waktu yang lama untuk menciptakan karya. Sering berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. 3) Sastrawan pemerhati pembaca dan terlepas dari pembaca: (a) Sastrawan pemerhati pembaca ialah yang selalu mengharapkan agar karyanya bisa dibaca oleh pembaca. Misalnya Putu Wijaya banyak menulis diberbagai majalah, seperti di majalah Kartini dan Femina. (b) Pengarang yang saat menulis tidak memperhatikan atau membayangkan banyak pembaca, yang penting baginya menulis dan berhasil. Contoh Budi Darma, tidak pernah membayangkan adanya pembaca pada saat dia menulis novel. 4) Sastrawan peroduktif dan tidak produktif: (a) Sastrawan yang produktif tentu saja yang banyak karyanya, misalnya S.



Takdir Alsyahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Nh. Dini, Putu Wijaya, dll; (b) Sastrawan yang tidak produktif, yang selama karirnya hanya menulis satu atau dua cerpen atau novel. c. Kegiatan Setelah Menulis 1) Merevisi: mengulang kembali yang sudah ditulis atau diketik, dngan mengubah, menambah, mengurangi bagian-bagian tertentu. Biasanya revisi karena adanya penyesuaian dengan arahan penerbit, atau juga inisiatif pengarang sendiri. 2) Melakukan Perenungan: kegiatan setelah membaca kembali karyanya, melihat kembali bagaimana proses penulisannya, melihat hubungan karyanya dengan karya sastra dan bacaan lain, melihat hubungan karyanya dengan pengalaman-pengalamannya. 3) Akan Menulis lagi atau Berhenti Menulis: Budi Darma dan Putu Wijaya setalh selesai menulis satu karya sastra, mereka melanjutkan mengarang yang lain lagi. Beberapa sastrawan berhenti menulis dan beralih ke profesi lain, seperti Goenawan Mohamad dari sastrawan ke wartawan, editor, dan penulis esai.



II.



RAGAM FIKSI a. Fiksi Prosa Cerita Pendek (Cerpen), Novel, dan Roman . Pada umumnya prosa dapat ditinjau dari segi panjang dan pendek cerita. Untuk mengetahui perbedaan cerpen dan Novel dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: 1) Cerpen: (1) Alur (plot) sederhana; (2) Tokoh dan watak yang dimunculkan terbatas; (3) Latar yang dilukiskan hanya sebentar dan sangat terbatas; (4) Tema mrngupas masalah yang relatif sederhana; (5) Dapat dibaca sekali duduk; (6) Jumlah katanya lebih kurang 500 kata, walaupun ada yang puluhan ribu kata (15.000 kata) (Cerpen “Sri Sumarah” dan “Bawok”); (7) Peristiwa yang diceritakan hanya tunggal; (8) Pesan yang muncul hanya satu (tidak ada pesan samping); (Kosasih, 2012: 60; Sayuti, 2000: 8; Tuloli, 2000: 17). Materi cerita cerpen mencakup humor, petualangan, misteri, realisme, drama, detektif, kajian psikologis tokoh, dan sebagainya (Aziez, 2010: 34). Cerpen bisa dikategorikan atas: (1) Cerita pendek yang pendek (short short story) berkisar 500 kata; (2) Cerita pendek ukuran menengah (midle short story) bisa seribu kata atau lebih; (3) Cerita pendek yang panjang (long short story), bisa puluhan ribu kata (Nurgiyantoro, 1995: 10; Sayuti, 2000: 8). Selain cerpen terdapat pula novela, yaitu cerita lebih penjang dari cerpen terdiri atas 20.000 sampai 25.000 kata. Ciri-ciri novela sama dengan cerpen, yaitu dapat dibaca sekali duduk. 2). Novel: (1) Alur (plot) lebih rumit dan lebih panjang; (2) Tokoh dan watak lebih banyak dan bervariasi, serta ada perubahan nasib pada tokoh dan watak; (3) Latar meliputi wilayah geografi yang luas; (5) Waktu baca lebih lama (bisa berhari, berpekan, bahkan berbulan); (6) Tema membicarakan hal yang kompleks, ada tema utama atau inti



dan tema bawahan; (7) Jumlah katanya lebih dari lima puluh ribu kata; (8) Peristiwa yang diecritakan banyak, mulai dari peristiwa awal sampai pada akhir peristiwa; (9) Pesan bisa bersusun, pesan inti dan bawahan atau sampinng (Nurgiyantoro, 1995: 11; Kosasih, 2012: 60; Sayuti, 2000: 10; Tuloli, 2000: 16). Sebutan novel berasal dari bahasa Inggris dan masuk dalam kamus bahasa Indonesia. Ada pula istilah lain dari bahasa Italia “novella”, dari bahasa Jerman “novelle” yang secara harafiah berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ kemudian diartikan ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119). Istilah novel di Indonesia sama dengan “novella” dan “novelle” atau di Inggris “novelette” yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 1995: 10). Novelet adalah fiksi yang panjangnya antara cerita pendek dan novel, muncul dalam bentuk buku 50 sampai 150 halaman (Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 11, 1990: 197). . Sekarang novel diberi batasan sabagai bentuk karangan prosa yang panjang (lebih pendek dari roman), dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Yang diceritakan adalah peristiwa tertentu, dengan bahasa mirip bahasa seahari-hari, mempunyai unsur-unsur intrinsik yang lengkap seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai, tokoh dan penokohan (Siswanto, 2008: 141). Hussain dkk (1988: 206) mengemukakan tiga ciri utama novel: (1) susun peristiwa dalam novel berkaitan erat satu sama lain; (2) watak manusia ditonjolkan dalam tingkah laku dan perbuatannya; (3) pengalaman manusia dilihat dari konteks psikologis dan latarnya. Novel bisa dikategorikan atas beberapa jenis (Aziez, 2010: 22; Hussain dkk.,1988: 205): (a) Novel Picaresque: cerita yang berisi tokoh-tokoh bandit, penjahat, pengembara, golongan buruh, dll. (b) Novel Epistolari: cerita yang menggunakan pengiriman surat antara tokohnya. (c) Novel Sejarah: cerita yang menggambarkan tokoh-tokoh sejarah bisa juga tokohtokoh rekaan yang dikaitkan dengan peristiwa atau kejadian dalam konteks sejarah. (d) Novel Regional: latarnya adalah berwarna daerah terpencil atau pegunungan, bukan perkotaan. (e) Novel Satir: novel yang menyindir atau menyerang sesuatu yang dituding sebagai kejahatan atau kebodohan perorangan dan kelompok tertentu, berbentuk lelucon atau cemoohan. (f) Novel Gotik: mengandung unsur magis, misteri, tokoh-tokoh yang menakutkan, dan juga kepahlawanan. (g) Novel Tesis: novel yang berisi gagasan suatu tesis untuk mendorong terjadinya perubahan atau reformasi, penyelesaian permasalahan, membicarakan masalah sosial, ekonomi, dan politik. (h) Novel konvensional terdiri atas: (i) novel plot yang menitikberatkan pada jalan cerita; (ii) novel watak menekankan pada penggambaran tokoh; (iii) novel tematik menekankan pada tema atau permasalahan yang digarap (sosial, politik, kejiwaan, filsafat, kebudayaan, agama, dll).



(i) Novel Aliran Kesadaran: menekankan pada gambaran kejiwaan dalam diri para tokoh, emosi dan jalan pikirannya, logika, serta mentalitasnya. 3). Roman: (1) prosa yang melukiskan perbuatan para pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing tokoh; (2)isinya/temanya lebih banyak soal percintaan dan kepahlawanan (dari bahasa “romance”= kisah panjang percintaan dan kepahlawanan); (3) kisah tokohnya mulai lahir sampai mati; (4) roman dalam kesusasteraan Indonesia dipakai sebelum perang dunia ke-2 pengaruh dari sastra Belanda, sesudah perang dunia ke-2 pengaruh sastra Amerika dan Inggris dengan istilah novel; (5) roman dibedakan atas roman detektif (mengisahkan kegiatan spionase); roman sejarah (berdasarkan kisah sejarah); roman jiwa (mengutamakan unsur psikologis); roman adat (ceritanya berasal dari adat kehidupan suatu masyarakat); roman sosial atau roman masyarakat (menceritakan Kehidupan pada suatu bagian masyarakat); roman bertendens (mempunyai tujuan tertentu, misalnya kritik atas adat kuno, pentingnya pendidikan); roman picisan (rendah mutunya biasanya kisah percintaan) (Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 14, 1996: 243). b. Fiksi Serius dan Fiksi Populer Kualitas Fiksi dqpat digolongkan atas: 1) Fiksi Serius: fiksi yang mempunyai nilai sastra yang tinggi yang mempunyai indikatorindikator yang jelas sebagai berikut: (a) Imjinasinya segar dan mengandung makna yang bermfaat; (b) Bahasa dan gaya bahasanya murni (bukan tiruan dari yang sudah ada), teratur dan lancar; (c) Strukturnya padu; (d) unsur-unsur pembangun strukur (plot, penokohan, perwatakan, latar, dan lain-lain) saling berkaitan dan saling mendukung (tidak lepas satu sama lain); (e) Amanatnya mengandung nilai baik dan luhur bagi kehidupan manusia; (f) Temanya sangat kompleks dan menarik bagi pembaca; (g) Mengandung tegangan-tegangan yang menunjukkan adanya ide pengembangan ilmu sastra (fiksi); (h) Pembaca harus mengerahkan daya pikir, daya rasa, daya konsentrasi yang tinggi untuk bisa memahami dan menangkap makna yang terkandung di dalamnya; (i) Tokohnya bersifat dinamis (berubah dari awal sampai akhir cerita); (k) Sanggup memberikan befrbagai kemungkinan pengalaman dan kehidpan; (l) Gaungnya bertahan lama ( Nurgiyantoro, 1995: 16). 2) Fiksi Populer ialah fiksi yang mepunyai ciri-ciri: (a) Mudah dibaca dan mudah dinikmati karena hanya menyampaikan cerita; (b) Lebih banyak memberikan hiburan, tidak mempunyai efek positif bagi pengembngan ilmu sasatra (fiksi); (c) Lebih banyak temanya mengandung cinta asmara (sering berbau porno); (d) Plotnya sederhana dan mudah dilacak; (e) Tokohnya kebanyakan statis, tidak berkembang; (f) Cepat hilang gaungnya pada pembaca; (g) Nilai sastranya dianggap rendah; (h) Bahasa dan susunan ceritanya berorientasi memenuhi keinginan pembaca, sehingga mudah dibaca oleh banyak orang (sangat disukai orang) ( Nurgiyantoro, 1995: 18). Selain itu ciri novel populer adalah akhir cerita yang havvy ending, atau berakhir dengan kemenangan tokoh utama. Karena pada prinsip fiksi populer adalah untuk menghibur pembaca atau penikmat karya sastra. Atau cerita harus memenuhi keinginan pembaca.



c. Perbedaan Naskah Drama, Fiksi Prosa, dan Puisi



. Teks drama: (1) lebih memngutamakan lakuan (lakon); (2) interaksi antara tokoh menggunakan bentuk dialog; (3) watak tokoh dideskripsikan oleh tindakan dan motivasi tokoh ketika berdialog antara tokoh; (4) bahasa teks drama cenderung lisan (seperti orang berbicara pada umumnya). . Teks prosas: (1) bersifat naratif, menggambarkan atau mendeskripsikan (menceritakan=”to tell a story”) tentang tokoh, latar, dan jalan cerita, pikiran tokoh, dan tindakan tokoh; (2) menggunakan gaya bahasa sudut pandang diaan, dan mahatahu; (3) bahasanya menarik bagi pembaca; (4) makna atau pesannya bisa ambigue. . Teks puisi: (1) bentuknya padat; (2) diksi atau pilihan kata bermakna padat; (3) gaya bahasa zalam teks lebih banyak bebentuk pesonifikasi (mngeorangkan bendabanda), metaforik (menganalogikan orang atau peristiwa yang lain, paradoks (melebih-lebihkan), (4) menggunakan persamaan bunyi awal, akhir, tengah dalam kalimat (Siswanto, 2008: 163; Suroso, 20-15: 18). d. Persamaan Drama, Fiksi, dan Puisi (1) Persamaan drama dengan fiksi ialah adanya kesamaan dalam unsur pembentuk struktur: plot, tokoh, watak,latar, tema. (2) Persamaan drama, fiksi, dan puisi ialah adanya penggunaan bahasa yang kreatif, imajinatif, dan juga makna kiasan. e. Fiksi Sebagai Karya Sastra Karya sastra mempunyai sembilan ciri umum sebagai berikut (Siswanto, 2008: 72). (1) Dalam karya sastra terdapat niatan pengarang yang disusun berdasarkan konvensi (aturan) kesastraan, konvensi kebahasaan, dan konvensi budaya. (2) Karya sastra adalah hasil kreatifitas sastrawan (pengarang), yang memerlukan perenungan, pengendapan , dan pematangan ide serta langkah-langkah tertentu yang berbeda antara satu pengarang dengan pengarang lain. (3) Karya sastra mempunyai tujuan praktis (bermanfaat) dan pragmatis (mudah dibaca). Dalam karya sastra terdapat ajaran moral, agama, filsafat, juga hiburan. (4) Bentuk dan gaya karya sastra adalah khas, yang berbeda bentuk dan gaya yang nonsastra (nonfiksi). Setiap genre (puisi, prosa, dan drama) mempunyai bentuk dan gaya yang khas pula. (5) Bahasa yang digunakan dalam mencipta karya sastra mempunyai ciri khas berbeda dari bahasa sehari-hari, yaitu bahasa yang mengalami deviasi (penyimpangan), distorsi (pemutarbalikan) dari bahasa normatif. (6) Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Penggunaan makna kata bisa saja lain dari makna dalam kamus atau makna yang umum, misalnya timbul makna kiasan, atau makna yang ambigu. (7) Dunia dalam karya sastra (fiksi) adalah dunia rekaan “dunia dalam kata-kata”, yang dikahayalkan, diimpikan, dimungkinkan yang berbeda dari dunia realistis (nyata/empiris). Dunia dalam karya sastra adalah hasil dari manipulatif (menyimpangi), artifisial (buatan), dan interpretatif (pemaknaan). (8) Karya mempunyai nilai keindahan tersendiri. Keindahan meliputi keindahan bahasa, bunyi, imajinasi, latar, cerita atau kisah. (9) Karya sastra sebagai hasil pengarang yang dapat dipahami, dibaca, dan diterima, dan dihayati oleh masyarakat.



f.



Unsur-unsur Pembangun Struktur Fiksi (1) Unsur-unsur Intrinsik (yang terdapat dalam karya sastra) terdiri atas: cerita penokohan dan perwatakan, plot (alur), latar (setting), titik pandang (sudut pandang), gaya bahasa, amanat, tema, aliran kesadaran (stream of Consciousness) (Abrams, 1981: 61; Wellek, 1989: 280; Siswanto, 2008: 142). (2) Unsur-unsur Ekstrinsik (yang di luar karya sastra) terdiri atas: biografi pengarang, kejiwaan (psikologis), budaya, masyarakat, agama, pembaca, politik/pemikiran (Wellek, 1989: 79, Musthafa, 2008: 128; Teeuw, 1984: 219).



III. UNSUR CERITA DALAM FIKSI a. Hakekat Cerita (1). Apa yang diekspresikan (diungkapkan) pengarang dalam fiksi ialah cerita. Cerita itulah yang menarik bagi pembaca untuk dibaca atau dinikmati dan dipahami. Pengarang meciptakan karya fiksi dimulai dari cerita. Cerita bisa berbentuk pengalaman pengarang atau orang lain, peristiwa, kehidupan orang atau keluarga dan masyarakat, berkaitan sejarah, juga pengetahuan alam (lingkungan), percintaan. (2). Cerita dalam fiksi (novel) adalah unsur sastra yang paling mudah dan paling mendasar serta paling penting dalam karya sastra. Dalam fiksi cerita selalu berhubungan dengan unsurunsur lain yaitu tokoh, peristwaan (kejadian) atau kisahan, gerak atau perjalanan peristiwa dari awal sampai akhir (plot), keadaan latar (Forster, 1987: 19; Nurgiyantoro, 1995: 89). (3). Abrams (Nurgiyantoro, 1995: 91) memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, sedangkan Kenny mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah fiksi. (4). Cerita dalam fiksi adalah rekaan pengarang untuk menyampaikan sesuatu, gagasan, ideide kepada pembaca. Unsur-unsur peristiwa di dalam fiksi itu diwujudkan dalam tindakan, perkataan, dialog, dan monolog tokoh-tokoh yang bersumber dari alam semesta, baik yang nyata mapun yang imajinatif. b. Visi Cerita (1) Visi ialah suatu pandangan bagaimana pencerita mendekati peristiwa atau situasi dari satu sudut tertentu, apakah peristiwa itu sungguh terjadi, seperti peristiwa sejarah, atau hanya terjadi dalam angan-angan pengarang. Dapat juga terjadi pengarang mencoba menyajikan suatu gambaran “objektif” mengenai fakta tertentu, yaitu hanya melapor apa yang dilihatnya atau yang diamatinya (Luxemburg, 1986: 130). (2) Unsur-unsur peristiwa disajikan atau digubah dalam suatu cerita dengan mengguanakan visi tersebut, yaitu dengan memfokuskan cerita atau disebut fokalisasi. Pemusatan atau fokalisasi bisa pada tokoh atau foklalisator, dari mana cerita dimulai penceritaan. Fokalissi pada tokoh bisa berganti-ganti, beralih dari satu tokoh kepada tokoh yang lain. Pergantian bisa terjadi pada bab demi bab, tetapi juga pada tiap episode cerita. Pada umumnya kalau fokalisasi dilakukan oleh seorang tokoh dalam bab pertama dan bab penutup, maka tokoh itu dianggap tokoh uatama. (3) Pokok cerita disebut kisah (Luxemburg, 1987:135). Kisah berada pada awal dan bergerak sampai ke akhir cerita. Kisah dirangkai dari peristiwa-peristiwa. Peristiwa adalah peralihan dari satu keadaan lain, misalanya “mati” adalah peristiwa karena berubah dari



keadaan hidup (bernyawa) menjadi tidak bernyawa. Demikian pula seorang “diuji dan lulus” adalah peristiwa.Perubahan dari satu peristiwa ke peristiwa laian selalu ada akibat, artinya satu peristiwa adalah sebab adanya satu peristiwa lain (berikutnya) sebagai akibat. (4) Makna peristiwa dalam suatu kisah atau cerita mempunyai hubungan erat dengan tokoh dalam cerita (fiksi). Peranan tokoh dalam munculnya peristiwa ialah: (a) tokoh sebagai pelaku atau yang bertindak dalam cerita; (b) tokoh yang berbicara atau berdialog dalam cerita; (c) tokoh yang mengalami akibat dari perbuatannya sendiri atau perbuatan tokoh lain dalam peristiwa; (d) tokoh yang berpikir, berpendapat, beride, bergagasan, dan merasakan apa yang berlaku dalam peristiwa dalam cerita; (e) tokoh yang memunculkan, menggerakkan, memfokalisasi, dan mengakhiri cerita (Luxemburg, 1986: 140). c. Cerita dengan Plot (1) Cerita dengan plot tidak bisa dipisahkan, karena ada hubungan dengan rentetan peristiwa-peristiwa. Hubungan cerita dengan plot yaitu sama-sama berdasarkan pada rangkaian peristiwa yang disajikan dalam karya sastra. (2) Perbedaan antara cerita dengan plot: (a) cerita menjawab pertanyaan “bagaimana seterusnya” atau “bagaimana kelanjutan ceritanya”; (b) plot lebih kompleks dari cerita, dengan pertanyaan “mengapa demikian”, “mengapa hal atau peristiwa itu terjadi”, “apa hubungan antara peristiwa ini dengan peristiwa itu”. Jadi cerita hanya menyangkut keadaan keberlanjutan peristiwa-peristiwa yang diatur dalam urutan waktu, sedangkan plot menyangkut sebab dan akibat hubungan antarperistiwa. Contoh: “Raja mati dan permaisuri pun mati” adalah cerita karena hanya rentetan peristiwa mati dari raja dan permaisuri; “Raja mati, kemudia permaisuri pun mati karena berduka cita” adalah plot, karena ada hubungan sebab akibat kematian raja dengan kematian permaisuri (Nurgiyantoro, 1995: 94; Forster, 1987: 72). Pandangan Chatman (1980: 45) kedua contoh di atas sebenarnya sama. Kedua pernyataan itu berbeda pada struktur lahir (surface structure), tetapi sama secara sutruktur batin (deep structure). (3) Perbedaan lain cerita dengan plot ialah: plot merupaka sesuatu yang kompleks, yaitu memerlukan kejelasan hubungan antarperistiwa yang dikisahnkan; cerita yang penting bagaimana urutan kronologis antar satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Kalau cerita dapat dipahami hanya dengan membaca ringkasan atau sinopsis karya tulis, tetapi plot dapat dipahami kalau kita membaca keseluruhan karya tulis itu berkali-kali. d. Cerita dan Pokok Permasalahan (1) Pokok permasalahan dalam fiksi merupakan pilihan pengarang yang menarik dan sesuai selera subjektivitasnya. Yang menjadi sumber pemilihan pokok masalah ialah hidup dan kehidupan manusia. Pokok masalah itu bisa menjadi judul karya sastra atau tergambar pada judul karya sastra. (2) Ada hubungan antara isi cerita dengan pokok masalah. Apa yang diacu dalam cerita adalah pokok masalah, sedangkan Isi cerita ialah rangkaian peristiwa dalam cerita. Misalnya pokok masalah tentang “cinta tak sampai” oleh pengarang dikembangkan secara imajinatif dengan memilih toko-tokoh, peristiwa demi peristiwa, dengan plot dan latar yang tertentu, semuanya itu menjadi isi cerita yang terungkap sebagai karya sastra.



(3) Pokok masalah ada kaitan yang erat dengan tema karya fiksi. Tema bisa disarikan dari pokok masalah (yang telah menjadi isi cerita), atau sebaliknya pokok masalah dipilih yang dapat mencerminkan tema. Bisa dimungkinkan beberapa pokok masalah yang berbeda mempunyai tema yang sama. Tema dapat dikatakan “ide inti” karya sastra, dan pokok masalah adalah “apa yang diceritakan” atau “cerita tentang apa”. Contoh dua novel yang sama tema: “Si Cebol Rindukan Bulan” oleh Aman Datuk Nadjuindo dan “Katak Hendak Jadi Lembu” oleh Nur Sutan Iskandar, keduanya bertemakan “cita-cita di luar kemampuan”. Contoh lain: tema “kepahlawanan” diungkapkan dalam beberapa pokok masalah, seperti “Pagar Kawat Berduri” oleh Trisnoyuwono, “Tak Ada Esok” oleh Nugroho Notosusanto. e. Cerita dan Kenyataan (Fakta) (1) Ada karya sastra yang ceritanya yang berdasarkan faktual, berdasarkan data-data atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Karya sastra dilihat sebagai cerminan atau tiruan kenyataan (alam dan kehidupan masyarakat) dikenal dengan pendekatan mimesis. Karya seni (sastra) dipandang sebagai dokumen sosial. Pandangan kedua, ada karya sastra yang merupakan hal yang baru, sebagai dunia ciptaan pengarang, atau hal-hal yang dibayangkan (diimajinasikan). Pendekatan pandangan ini adalah teori creatio, dikenal dengan dunia dalam kata-kata (heterocosmos), sesuatu yang otonom (terlepas) dari kenyataan (Teeuw, 1984: 224; Nurgiyantoro, 1995: 100). (2) Pada hakekatnya tidak ada karya sastra yang sepenuhnya mencerminkan kenyataan realistis, dan yang sepenuhnya ciptaan atau khayalan pengarang. Dalam tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimesis dan creatio, antara kenyataan dan khayalan. Dunia nyata dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Pembaca dibuat bolak-balik, kian-kemari, antara yang nyata dengan yang khayali, yang satu tak mungkin dipahami dan dihayati tanpa yang lain (Teeuw, 1984: 230). (3) Sekalipun teori mimesis dan teori cretio saling melengkapi, namun jelas juga bahwa dunia sastra banyak hal yang dalam kenyataan tak pernah ada. Misalnya kalau kita membaca teks sastra, terdapat tokoh-tokoh dan situasi-situasi yang hanya terdapat dalam khayalan si pengarang. Seperti “Sri Sumarah” , tokoh novelet Umar Kayam dan pendaratan orang di Mars bumi, sebetulnya tak pernah ada. Teks-teks yang mengandung unsur-unsur khayalan adalah teks fiksi. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan dunia kenyataan (novel yang realistik atau otobiografik), kadang-kadang pula sangat menyimpang jauh (science fiction dan dongeng) (Luxemburg, 1986: 19). (4) Cerita dalam fiksi memerlukan unsur peristiwa (kejadian). Peristiwa biasanya digambarkan sebagai peralihan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain (Luxemburg, 1987: 137). Peralihan itu bisa terjadi pada berbagai suasana, kondisi, ruang, waktu, dan kehidupan. Misalnya kematian bisa merupakan peristiwa, karena merupakan peralihan dari keadaan hidup ke keadaan mati (tidak bernyawa). Peristiwa mempunyai hubungan sebab dan akibat. Hubungan peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain menimbulkan episode dalam novel (prosa), dalam deretan peristiwa itu muncul konflik. Konflik itulah yang merangsang pembaca untuk meneruskan pembacaannya untuk mengetahui bagaimana peristiwa terakhir. (5) Makna peristiwa bagi keseluruhan cerita (kisah) mempunyai kaitan dengan kehadiran tokoh. Tokoh mempunyai fungsi bagi lakuan (kegiatan) agar peristiwa bisa muncul.



IV.



Tanpa tokoh tidak mungkin ada peristiwa-peristiwa. Tokoh-tokoh bisa terdiri atas manusia dan bukan manusia. Fungsi tokoh terhadap cerita: (a) menggambarkan terciptanya konflik yaitu pertentangan antara protagonis dan antagonis; (b) menentukan sebab dan akibat hubungan antara satu peristiwa ke peristiwa lain (berikutnya); (c) menggerakkan dan menentukan bagaimana penyelesaian cerita (Luxemburg, 1987: 139). PLOT a. Hakikat Plot (1) Plot atau alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk berdasarkan tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dilakonkan oleh para tokoh dalam suatu cerita (Abrams, 1981: 137). Oleh Sudjiman, alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinan itu terjadi dalam hubungan waktu atau hubungan kausal (sebab-akibat). Melalui urutan peristiwa dalam plot, pembaca dapat mengetahui apa yang terjadi, apa yang berikutnya dan mengapa hal itu terjadi, dan bagaimana akhirnya (Tuloli, 2000: 19). Secara singkat Chatman (1980: 20) mengemukakan, plot menjawab bagaimana peristiwa terjadi dan bagaimana munculnya dalam cerita. (2) Forster (1987: 72) menjelaskan secara definitif bahwa plot merupakan penceritaan rentetan peristiwa yang teratur menurut waktu yang ditumpukan pada hubungan sebab akibat. Contoh: “Raja mangkat dan kemudian permaisuri pun mangkat karena berduka ” adalah plot; tetapi kalau “Raja mangkat dan kemudian permaisuri pun mangkat” bukan plot hanya cerita atau peristiwa. (3) Secara ringkas indikator-indikator plot (Tuloli, 2000: 19) adalah: (a) Kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-menjalin crita dari awal hingga akhir. (b) Hubunga peristiwa-peristiwa berdasarkan urutan waktu dan hukum kausal (sebab-akibat). (c) Jalinan perjalanan penokohan. (d) Hubungan konflik batin tokoh. (e) Mengikat hubungan tempat dan waktu kejadian (peristiwa). (f) Berkaitan langsung perkembangan konflik antara tokoh protagonis dengan antagonis. b. Struktur Plot Pada garis besarnya plot tersususun dalam tiga bagian urutan, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir (Sayuti, 2000: 32; Tuloli, 2000: 20). Susunan secara rinci adalah sebagai berikut. (1) Bagian awal plot mempunyai ciri-ciri: (a) bagian yang merambah atau membuka jalan bagi munculnya bagian-bagian peristiwa berikutnya; (b) gambaran yang terkait dengan karakter atau watak tokoh utama; (c) peristiwa awal sebagai pengantar untuk masuk ke komplikasi cerita; (d) peristiwa yang menggambarkan latar tertentu dalam cerita; (e) sebagai gambaran (peristiwa) awal untuk mengetahui dan memahami bagaimana cerita secara keseluruhan; (f) bagian yang mengintroduksi (memperkenalkan) tokoh utama atau tokoh dipandang penting dalam keseluruhan cerita; (g) bagian awal yang menggambarkan sudut



pandang yang dipakai dalam penceritaan (diaan, akuan, campuran diaan dan akuan); (h) bagian awal sebagai deskripsi dan narasi tertentu; (i) bagian yang menginformasikan tentang tempat, waktu, dan sosial budaya yang akan diceritakan (tema cerita dan latar); (j) komplikasi awal yang mengarahkan dan membangkitkan minat tertentu pada diri pembaca (Sayuti, 2000: 40). .Bagian awal plot cerita dengan ciri-cirinya di atas bisa dikelompokkan secara berurut sebagai berikut: (a) Eksposisi (exposition), paparan memperkenalkan para tokoh, penataan adegan dan hubungan antartokoh, juga pengenalan waktu, tempat, dan topik (pokok masalah). (b) Rangsangan (inciting moment), pengembangan problema dalam peristiwa, mulai ada pertentangan antara tokoh-tokoh cerita. (c) Penggawatan (rising action), problema mulai meningkat, terjadi kehebohan, masalah makin sukar dihadapi para tokoh. (2) Bagian tengah plot sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap awal. Konflik pada tahap ini bisa terdiri atas: (a) konflik internal, yaitu konflik yang terjadi pada diri seorang tokoh; (b) konflik eksternal, yaitu pertentangan antara tokoh-tokoh atau antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pada tahap ini ada dua hal yang muncul: (a) Perumitan (complication), terjadi peristiwa-peristiwa penting dan fungsional dimunculkan. (b) Klimaks, yaitu kerumitan mencapai puncak, makin meruncing, sangat menegangkan. (3) Bagian akhir plot, menuju pada peleraian dan sebagai akibat dari klimaks. Jawaban atas pertanyaan: “bagaimana penyelesaiannya atau akhirnya?” muncul dalam bagian akhir plot ini. Penyelesaian cerita bisa dua kemungkinan yaitu: (a) akhir kebahagiaan (happy end); (b) akhir kesedihan (sad end). Novel-novel yang berakhir dengan bahagia antara laian: Pertemuan Jodoh; Asmara Jaya; Salah Pilih; Layar Terkembang; novel-novel yang berakhir dengan kesedihan: Azab dan Sengsara; Sitti Nurbaya; Si Cebol Rindukan Bulan; Tak Putus Dirundung Malang; Salah Asuhan. Peristiwa-peristiwa yang terakhir adalah: (a) Leraian (falling action), konflik menurun, emosi yang memuncak mulai reda. (b) Penyelesaian (denouement), mengakhiri cerita dengan situasi bahagian atau sedih. Pada novel atau cerpen dan drama mutakhir, penyelesaian seperti ini sering tidak ditemukan. Pembaca malah diharapkan dapat menyelesaikan sendiri dalam pikiran dan imajinasinya lanjutan cerita itu, sehingga akhir cerita menimbulkan penasaran bagi pembaca, atau penyelesaian yang masih “menggantung”(Nurgiyantoro, 1995: 147). c. Faktor Pengembangan Plot . Plot ada hubungannya dengan kreativitas pengarang, dan dengan kreativitas itu dia bisa menciptakan karya sastra baru dan asli (original), yang belum pernah dikenal sebelumnya. Untuk mengembangkan kreativitas itu, pengarang dituntun oleh kaidah-kaidan pembentukan plot sebagai berikut. (1) Plausibilitas (Kebolehjadian)



Plot cerita haruslah berdasarkan ha-hal yang dapat dipercaya oleh madsyarakat pembaca. Hal-hal yang dapat dipercaya mastarakat adalah: (i) sesuatu yang sesuai atau berkaitan dengan realita kehidupan; (ii) tidak bertentangan dengan sifat-sifat faktual; (iii) logis sesuai dengan hubungan kausal, hubungan waktu dan tempat; (iv) walaupun bersifat imajiner, namun situasi tokoh, latar, perwatakan, peristiwa, tingkah laku tokoh, harus sesuai dengan kehidupan nyata, agar dapat dibayangkan oleh pembaca; (v) adanya unsur koherensi, yaitu satu cerita/peristiwa berkaiatan dengan yang lainnya (kalau antara peristiwa tidak ada koheren, muncul tiba-tiba, maka hal itu dikatakan mengandung hal yang dipaksakan atau deus ex machina ‘dewa turun dari langit’, contoh dalam novel Salah Asuhan adanya peristiwa Hanafi digigit anjing, sehingga kadar plausibilitasnya kurang). (2) Suspense (Tegangan) Tegangan adalah suatu perasaan yang dialami pembaca karena adanya peristiwa yang kurang pasti bagi nasib yang akan dihadapi tokoh. Ciri tegangan antara lain: (1) rasa ingin tahu apa yang akan terjadi kemudian yang akan meninpa tokoh (Abrams, 1981: 138); (2) muncul campuran perasaan sakit (kesal) dengan senang, yang menghendaki adanya jawaban terhadap sesuatu (yang meragukan) (Chatman, 1980: 59); (3) timbulnya motivasi atau dorongan, menggelitik rasa ingin tahu, sehingg pembaca untuk tetap mengikuti cerita sampai akhir agar ada jawaban (Nurgiyantoro, 1995: 134); Kenny menerangkan tegangan sebagai harapan yang belum pasti pada pembaca terhadap akhir cerita (1966: 21).Pengarang harus berupaya agar pada pembaca timbul tegangan rasa ingin tahu. Untuk dalam plot harus ada penampilan peristiwa pendahuluan yang memamncing munculnya tegangan itu, yang disebut foreshadowing. Peristiwa awal ini sebagai tanda munculnya tegangan, bisa juga berwujud isyarat, firasat, mimpi, atau hal misterius, masalah siapa dan apa yang akan terjadi, atau juga peristiwa yang tidak terelakkan. (3) Surprise (Kejutan) Sesudah timbul rasa ingin tahu dalam plot, maka jawabannya bisa terjadi kejutan. Kejutan adalah hal-hal atau peristiwa yang menyimpang bahkan bertentangan apa yang diharapkan atau diperkirakan oleh pembaca. Tegangan dan kejutan saling mendukung atau tidak kontradiktif (Chatman, 1980: 60). Wujud kejutan dalam plot fiksi muncul sebagai peristiwaan, model penokohan atau perwatakan (Ziarah: tokoh kita tak bernama, tak berdarah, tak berdaging), cara berpikir-berasa-bereaksi para tokoh, cara pengucapan bahasa dan gaya bahasa, penyelesaian konflik, penyimpangan dan pendobrakan dari kode atau konvensi sastra yang sebalumnya, dan sebagaiya. Misalnya pada novel Belenggu terdapat hal-hal yang mengejutkan pembaca dari awal: menelanjangi kehidupan rumah tangga tokoh (Kartono) yang terpandang (profesi dokter), berbau porno, adanya kehidupan wanita lain selain istri, dll. (4) Keutuhan (Unity) Keuntuhan adalah katerpaduan antara semua usur karya sastra, seperti awaltengah-akihr, kaidah-kaidah sastra, kejutan, tegangan, dan unsur intrinsik. Cara mengetahuai keutuhan: (1) satu peristiwa menimbnulkan peristiwa yang lain; (2)



ada keterkaitan tindakan anatara satu tokoh dengan tolkoh lain (hukum kausal); (3) satu subplot erat jailinannya plot induk; (4) keutuhan dapat tergambar pada keutuhan makna karya sastra itu (Sayuti, 2000: 54). Keutuhan bisa kita telusuri dengan melihat hubungan antara peristiwa dengan konflik,yang bisa dijawab melalui pertanyaan: (1) disebabkan oleh apa terjadinya konflik; (2) mengapa demikian; (3) apa akibatnya. (5) Inti dan tambahan (Kernel dan Satellite) Chatman (1980: 53) mengembangkan adanya plot inti (mayor)dan plot tambahan (minor). Plot inti adalah urutan peristiwa utama yang membangun plot cerita dari awal sampai akhir cerita. Plot tambahan adalah peristiwaperistiwa tambahan atau kecil yang ikut serta pada plot inti. Plot tambahan ini kalau dihilangkan tidak akan mengganggu plot inti cerita, namun tetap memepengaruhi perkembangan plot itu. Kebutuhan plot inti dengan plot tambahan adalah sebagai kerangka (kernel) dengan daging (satellite). Fungsi plot tambahan adalah untuk mengisi, mepmerjelas dan menyempurnakan plot inti. Misalnya dalam novel Belenggu, semua perkunjungan tokoh utama Tono ke[pada tokoh sampinga Yah adalah termasuk peristiw-peristiwa minor yang membentuk plot tambahan (satellite). Sedangkan hubungan dan interaksi Tono dengan tokoh utama kedua Sumartini (Tni) merupakan peristiwa-peristiwa utama (mayor) yang membentuk plot inti (kernel). (6) Kebetulan (Tiba-tiba) Faktor kebetulan adalah peristiwa yang tidak disengajakan terjadi, lalu mempengaruhi perkembangan plot cerita. Hal-hal yang kebetulan ini sebenarnya direncanakan pengarang untuk memperlancar cerita atau agar muncul kondisi lain yang diharapkan pengarang. Biasanya menyebabkan terjadinya perubahan nasib tokoh. Misalnya dalam novel “Layar Terkembang” (STA), terjadi pertemuan yang kebetulan antara Maria, Tuti, dan jusuf. Mari memang sudah kenal Jusuf. Secara kebetulan pula sepeda mereka terpakair berjajar dan berdekatan. Dari pertemuan yang kebetulan inilah, maka terjalinlah hubungan antara Tuti dengan Jusuf. (Tuloli, 2000: 27). d. Unsur Utama (esensial) Membangun Plot Untuk membangun plot fiksi agar berjalan lancar, sangat dibutuhkan tiga unsur yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Ketiga unsuur itu dapat dijelaskan sebagai berikut (Luxemburg, 1986: 150; 1987: 130) . 1) Peristiwa Peristiwa ialah peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Misalnya peralihan dari bersahabat menjadi bertengkar, atau dari tidak saling mengenal menjadi saling mengenal/sahabat/pacar dll. Peristiwa dalam hubungannya membangun plot dapat dibedakan peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan (Wicaksono, 2014: 134). (a) Peristiwa fungsional, yaitu peristiwa yang mempengaruhi pengembangan plot. Rangkaian peristiwa-peristiwa fungsional merupakan inti cerita. Kalau peristiwa fungsional dihilangkan maka cerita akan menjadi lain bahkan tidak logis. Dalam novel Belenggu yang menjadi peristiwa fungsional adalah ingteraksi



antara Sukartono dengan istrinya di satu pihak, dan Sukartono dengan Rohayah di sisi lain. (Sumatini). (b) Peristiwa kaitan, yaitu peristiwa-peristiwa yang mengaitkan peristiwaperistiwa penting atau inti dalam urutan penceritaan. Peristiwa kaitan berfungsi melengkapi cerita, menyambung logika cerita, memperkuat adegan dan peristiwa fungsional. Contoh peristiwa kaitan dalam novel Belenggu ialah telepon dari pasien untuk dokter Sukartono yang diterima Sumartini, catatan pesan pasien, kegiatan Sumartini dalam organisasi wanita, perlakuan Rohayah terhadap Sukartono kalau datang berkunjung, dll. (c) Peristiwa acuan, yaitu yang secara tidak langsung berpengaruh atau berhubungan dengan perkembangan plot. Peristiwa ini mengacu pada unsurunsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Contoh peristiwa acuan dalam novel Belenggu ialah keinginan dan suasana hati Sukartono dan Sumartini yang terbelenggu. 2) Konflik Konflik adalah kejadian penting yeng menjadi puncak perjalanan plot. Wellek dan Warren (1993: 285) mengemukakan bahwa konflik adalah benturan dua kekuatan yang seimbang dan menyaratkan adanya aksi dan reaksi. Konflik menimbulkan pertentangan atau perjuangan dua kekuatan yang bertentangan, baik antara satu tokoh dengan tokoh yang lain (konflik eksternal), atau dua suasana batin dalam diri seorang tokoh (konflik internal). Dalam novel konflik bisa berlangsung makin lama makin tinggi, sehingga menimbulkan ketegangan dalam plot. Hal itulan yang menarik perhatin bagi pembaca (Hussain, dkk, 1988: 157). Konflik bisa berada di tengah, di akihr, bahkan sering diawal penceritaan. Konflik bisa dibedakan atas konflik batin, konflik sosial, dan konflik alamiah (Sayuti, 2000: 42 ). (a) Konflik dalam diri tokoh atau konflik kejiwaan (psychological conflict), atau konflik internal dan batin. Perjuangan seorang tokoh melawan dirinya sendiri dalam dua hal yang bertentangan, yang menentukan apa yang yang diputuskannya, dipilihnya, atau dilakukannya. Bisa juga dikatakan tokoh berupaya menguasai diri sendiri (Hussain, dkk, 1988: 157). (b) Konflik antara orang-orang atau seseorang dengan masyarakat/kelompok, disebut konflik sosial (social conflict). Perjuangan tokoh melawan hal-hal yang terdapat pada masyarakat, dengan tujuan untuk mencari jalan keluar yang baik. Misalnya konflik yang terkait dengan kebiasaan yang kurang menguntungkan, pertentang idiologi, pemerkosaan hak, penentangan terhadap program yang p baik dan berfaedah oleh masyarakat, penetangan terhadap tengkulak, atau konflik dalam keluarga yang harus diatasi, dll. (c) Konflik antara manusia dengan alam (konflik alamiah atau physical or element conflict). Perjuangan tokoh untuk bagaimana agar dapat memanfaatkan alam sekitarnya dengan baik, baik bagi dirinya maupun untuk orang banyak. Konflik terjadi kalau terdapat disharmoni atau ketidakserasian hubungan manusia/tokoh dengan alam sekitarnya. Misalnya bagaimana tokoh berupaya untuk menumbuhkan padi di sawah ada musim kemarau.



(d) Konflik antara protagonis dengan antagonis. Tokoh yang dianggap baik biasa disebut protagonis dan lawannya adalah antagonis. Mereka selalu bertentangan dalam plot cerita, untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Pada umumnya yang dimenangkan adalah protagonis. Tetapi dalam karya-karya modern, penyelesaian konflik atara protagonis dan antagonis tidak diungkapkan, sehingga pembaca atau penonton (drama) diminta untuk menentukan cara penyelesaiannya. Hal ini mengajak pembaca untuk aktif dan dinamis serta kreatif dalam membaca karya sastra, membaca sambil bernalar. 3) Klimaks dan Komplikasi Sebenarnya dalam penceritaan, klimaks dan komplikasi merupakan unsur penentu terakhir pada plot. Klimaks dan komplikasi menjadi bagian dan konflik. Puncak dari konflik adalah klimaks. Komplikasi (perumitan) merupakan perkembangan konflik permulaan, atau konflik permulaan yang bergerak dalam mencapai klimaks. Seangkan klimaks merupakan titik intesitas tertinggi komplikasi, yang pada akhirnya menentukan bagaimana hasil akhir cerita (Sayuti, 2000: 43). Klimaks mempunyai beberapa ciri penting: (a) Titik puncak perumitan cerita untuk menentukan nasib tokoh-tokoh. (b) Pada klimaks pembaca diperhadapkan dengan suatu situasi yang sangat menegangkan, apakah berakhir dengan baik atau buruk apa yang menjadi konflik. (c) Klimaks merupakan titik akhir untuk mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana pertentangan itu dapat diselesaikan. e. Episode Peristiwa-peristiwa dapat bermakna atau berarti kalaun terdapat dalam urutan kejadian yang disebut episode. Episode merupakan kelompok peristiwa yang diurutkan dalam cerita. Episode-episode yang paling utama dalam cerita adalah situasi awal, komplikasi, dan penyelesaian (Luxemburg, 1986: 152). Hussain dan kawan-kawan (1988: 79) mengemukakan bahwa episode adalah satu kesatuan peristiwa-peristiwa. Dalam cerpen, novel, dan drama modern episode-episode itu terjalin padu sebagai kesatuan, dan satu peristiwa tidak mungkin akan menghasilkan plot. Sekurang-kurangnya ada tiga peristiwa, yaitu peristiwa awal dikembangkan menghasilkan peristiwa kedua, kemudian peristiwa kedua dikembangkan lagi menghasilkan peristiwa ketiga. Penentuan mana yang awal dan mana yang kemudian dan akhir tergantung pada pengembangan peristiwaperistiwa tersebut. Pengaturannya dilakukan dengan membuat hirarki, semacam urutan, bisa bersifat kausalitas, bersifat temporal (sesuai waktu kejadian), atau bisa juga urutan deduktif (umum/besar-khusus/kecil) dan induktif (khusus/kecilumum/besar), serta sesuai logika dan realitas. f. Adegan Staton berbeda dngan Luxemburg (Pujiharto, 2012: 37) menyamakan episode dalam fiksi dengan adegan dalam drama. Adegan biasanya diartikan sebagai bagian dari babak dalam lakon, yang biasanya ditandai dengan terjadinya peralihan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Hussain dan kawankawan (1988: 4) mengemukakan juga bahwa adegan adalah bagian-bagian kecil dalam babak, yaitu kegiatan-kegiatan (aksi) yang berurutan dalam satu latar



yang tidak berubah. Adegan bisa berbentuk monolog, dialog, pertempuran, adegan di hutan/taman, juga peristiwa kecelakaan, dll. Dalam cerpen dan novel yang berbentuk dramatis bisa juga adegan merupakan bagian-bagian kecil dalam urutan peristiwaan. Misalnya dalam novel Belenggu, ada peristiwa ketika Sukartono berkunjung ke Rohayah, maka terdapat beberapa adegan. Antara lain adegan-adegan sebagai berikut Rohayah mengeluarkan sepatu Tono, mengambil air hangat dan menyapu muka Tono dengan air hangat itu, memakainkans piyama utuk tidur kepada Tono, sebelum tertidur mereka memutar-mutar radio, dst. e. Jenis-jenis Plot (1) Jenis plot berdasarkan urutan waktu: (a) Plot lurus, linier, maju (progresif), atau normal, dan kronologis: jika peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir, yaitu mulai peristiwa awal (pengenalan, pemunculan konflik); kemudia tengah (konflik meningkat, klimaks); akhir (konflik menurun dan penyelesaian). Urutannya A------------B--------------C-----------D, dst. Contoh novel dengan plot lurus atau progresif: Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Katak Hendak Jadi Lembu, dll (b) Plot sorot balik, regresif, flash back, back trackin: urutan peristiwa mungkin mulai dari tengah atau akhir lalu kembali ke awal peristiwa. Urutannya: B--------C--------D-------A; atau C--------D-------A--------B; atau C--------D-----B--------A. Novel yang plot sorot balik: Kelurarga Permana, Atheis, dll. (c) Plot maju-mundur: urutan peristiwa dari awal lurus (maju), kemudia pada pertengan dan akhir terbalik. Urutannya: A--------B---------D----------C. (2) Jenis Plot Berasarkan Kuantitasnya (a) Plot tunggal: plot yang hanya memiliki satu tokoh utama protagonis, atau juga yang hanya memiliki satu garis perkembangan cerita. (b) Plot ganda atau plot sub-subplot: pada umumnya mempunyai lebih dari satu tokoh yang dikisahkan, atau bisa juga disebut plot sejajar, jadi kisahnya berjalan berjalan terpisah, tetapi bisa bertemu pada akhir cerita. Dalam plot sub-subplot, ditemukan ada plot inti dan plot tambahan (kernel dan satelit). (3) Jenis Plot Berdasarkan Kualitas Kepadatan atau Keterpaduan (a) Plot padat atau erat (rekat): hubungan antarperistiwa dalam cerita sangat kental, kuat, atau erat. Pada umumnya perisitiwa-peristiwa dipandang penting, sehingga kalau salah satunya dihilangkan maka akan berubah maknanya, dan menyulitkan bagi pembaca untuk memahaminya. Cerita dengan sedikit tokoh pada umumnya memilki alaur rekat atau padat. Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan mempengaruhi hubungannya dengan tokoh lainnya.Kemudian, reaksi dari tokoh-tokoh lain akan berbalik mempengaruhi tokoh tersebut. Misalnya pada novel atau cerpen yang terkait dengan psikologis dan isu-isu moral yang penting. Misalnya dalam cerpen Kuntowijoyo "Segenggam Tanah Kuburan" , seorang pencuri sedang menuju ke rumah sasaran pencuriannya. Dalam perjalanan itu psikologi pencuri digambarkan, bagaimana pencuri mendapat ilmu



menghilang, bagaimana kata-kata orang tentang dirinya, bagaimana caranya menentukan rumah sasaran, namun ketika masuk kampung ia mendngar lagu yang menmpengaruhi jiwanya sehingga ia membatalkan untuk mencuri. (Pujiharto, 2012: 39). Novel dengan plot padat antara lain: Belenggu, Kemelut Hidup, dan Siklus, Ziarah, Tak Putus Dirundung Malang. (b) Plot longgar: hubungan peristiwa yang satu dengan yang lain terjalin renggang. Biasanya ada lain peristiwa yang disisipkan pengarang pada peristiwa-peristiwa inti. Akibatnya novel menjadi tebal, walaupun cerita inti mungkin tidak terlalu panjang. Peristiwa yang ditampilkan sebagai selingan atau sisipan itu disebut digresi, terdiri atas gambaran tambahan latar, keadaan fisik tokoh, dialog-dialog yang dipelesetkan, atau tamasya ke suatu tempat. Tujuannya adalah mepersegar dan menimbulkan daya tarik pembaca kepada karya tersebut. Kalau hal-hal tambahan itu dibuang tidak akan mengganggu struktur cerita. (4) Plot Dibedakan atas Isi Cerita Friedman membedakan tiga golongan plot berdasarkan isi cerita. (a) Plot Peruntungan (Plot of Fortune): plot yang ceritanya mengisahkan nasib atau peruntungan yang mengikuti tokoh. Plot ini dibedakan lagi atas: (i) plot gerak ; (ii) plot sedih; (iii) plot tragis; (iv) plot penghukuman; (v) sentimental; (vi) plot kekaguman. (b) Plot tokohan: tokoh menjadi fokus utama atau yang dipentingkan. Plot ini dapat dibedakan atas: (i) plot pendewasaan; (ii) plot pembentukan; (iii) plot pengujian; (iv) plot kemunduran. (c) Plot pikiran: yang mengungkapkan tentang sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan berbagai obsesi yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Plot pemikiran bisa dibedakan atas: (i) plot pendidikan; (ii) plot pembukaan rahasisa; (iii) plot afektif; (iv) plot kekecewaan. (5) Plot Cerita Novel Populer bisa dibedakan sebagai berikut. (a) Menurut Cawelti (Adi, 2011: 38) terdapat tiga struktur narasi (plot) cerita populer romance. (i) Pola plot Cinderella: pola gadis miskin yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya atau berasal dari golongan bangsawan. (ii) Pola plot Pamela: pola cerita seorang tokoh wanita yang berusaha mengalahkan hasrat yang sia-sia dalam upaya membangun hubungan cinta yang sesungguhnya. (iii) Pola plot kontemporer: pola seorang wanita karir yang menolak cinta demi alasan kekayaan atau ketenaran, padahal di sisi lain, wanita tersebut mendambakan cinta sejati yang dipercayainya lebih dapat membahagiakannya. (b) Struktur plot fiksi populer menurut Stanton (Adi, 2011: 41) untuk memudahkan pembaca, harus dibatasi dengan menggunakan karakter, situasi, dan tema yang sedikit. Struktur plot fiksi populer tergantung pada genre yang ditulisnya, misalnya novel bergenre petualangan (Amerika) mempunyai urutan cerita sebagai berikut.



(i) Pada bagian pembukaan cerita disajikan peristiwa naas yang menimpa hero (ii) Memperkenalkan tokoh antagonis dan juga kegiatan-kegiatan hero. (iii) Hero ditimpa masalah dan kemudian menjadi kambing hitam. (iv) Hero melarikan diri dan menjadi buronan. (v) Hero bertemu sang penolong (guru, teman dekat, atau orang yang membenci dan mencurigai tokoh antagonis) dan belajar mengahadapi masalah. (vi) Hero merencanakan mengahadapi tokoh antagonis. (vii) Hero melaksanakan rencana itu tetapi mengalami kegagalan. (viii) Hero melakukan rencana kedua yang bersifat darurat, yang tidak terduga sebelumnya yang digunakan pada saat terdesak dalam menyelesaikan masalah (menghasilkan unsur kejutan). (ix) Penyelesaian masalah dengan happy ending.



V.



PENOKOHAN (PERWATAKAN) a. Hakikat Tokoh (Pengertian tokoh dan Watak) (1) Tokoh dan watak sukar dipisahkan. Tokoh merupakan manusia yang melakukan sesuatu dalam cerita, sedangkan watak adalah tabiat atau sifat kepribadian tokoh itu (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh dapat dikatakan sebagai pelaku yang mengembangkan peristiwa dalam cerita rekaan (fiksi), sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak tertentu pada tokoh oleh pengarang disebut perwatakan (Siswanto, 2008: 142). (2) Gambaran seorang tokoh dapat diketahui dari wataknya, yang terwujud dalam kegiatannya (perbuatannya), cara berpikirnya, cara hidup dan penampilannya, sifatnya, lingkungannya, kebiasaannya, rasa, keinginan, dan naluriahnya (Chatman, 1980: 28). Hal ini sama dengan gambaran tokoh menurut Forster (1987: 37), yaitu menyangkut perasaannya, kehidupan romantisnya, impiannya, rasa gembira dan sedih, kata hati yang ditunjukkan oleh ketinggian budi pekerti, dan rasa malunya. (3) Ada pula istilah karakter (character), yang juga mempunyai dua makna. (i)Tokohtokoh cerita dalam fiksi, atau pelaku cerita dalam naovel, cerpen, drama; (ii) Sikap, keinginan, emosi, dan prisip moral yang dimiliki tokoh-tokoh dalam fiksi itu. Jadi karakter sama dengan pelaku cerita dan perwatakan. (4) Tokoh dalam fiksi adalah manusia yang diciptakan atau direka oleh pengarang. Tokoh itu diberi fungsi untuk untuk mendukung dan mengembangkan tema atau ide pkokk, dan menjadi urat nadi seluruh karya fiksi (Ahmad, dalam Tuloli, 2000: 29). (5) Walaupun tokoh adalah manusia rekaan, tetapi mungkin ada kemiripan dengan individu tertentu, misalnya mempunyai nama, tubuh, jenis kelamin, dan sifat



yang sama. Hal ini dilakukan agar tidak terasing dan dapat diterima oleh pembaca. (6) Pada novel modern, tokoh sering tidak mempunyai nama bahkan tidak berdarah berdaging, manusia disamakan dengan barang. Hal ini oleh Umar Junus (1983: 10) disebut proses dehumanisasi. Contoh tokoh-tokoh pada novel Ziarah oleh Iwan Simatupang. (7) Tokoh dalam fiksi bisa juga bukan manusia, tetapi binatang atau benda yang dimanusiakan. Benda dan binatang itu dibayangkan atau disimbolkan sebagai manusia yang dapat bertingkah laku dan berpikir serta berbicara sebagai manusia. Misalnya dalam dongeng, mitos, legenda. b. Cara Munculnya Tokoh dalam Fiksi Orson Scott Card (2005: 25) mengemukakan bagaimana cara pemunculan tokoh dalam fiksi. (1) Dilhat dari perbuatannya atau tindakannya: baik sebagai tokoh sendiri maupun hubungannya dengan tokoh lain. (2) Motif: bagaimana nilai moral dari tindakannya dan apa tujuan tindakannya itu. Kita membaca fiksi dapat mengetahui mengapa tokoh berbuat seperti itu, apa alasannya, dan maksudnya. (3) Reputase: bagaimana status atau pandangan tokoh lain terhadap seorang tokoh. Jadi reputase di sini adalah dugaan tokoh lain terhadap seorang tokoh. (4) Stereotip: memasukkan orang atau tokoh tertentu pada satu kelompok manusia tertentu. Tokoh itu bisa menjadi representasi atau perwakilan kelompok tertentu. Stereotip bisa dimasukkan pada kelompok kerja, gender (pria dan wanita), usia (tua-muda, status dalam keluarga (ayah, ibu, anak), ras (berdasar kulit, hidung, ramnut), suku dan wilayah, gaya bicara, dll. (5) Jaringan pertemanan: bagaimna tokoh dilihat dari tokoh lain. Misalnya menggunakan panggilan khusus, sauasana keakraban, saling kerja sama, persahabatan dalam permaianan hobi dll. (6) Kebiasaan: gambaran kebiasaan tokoh menjadikan dia lebih realistis, menetukan watak dan tingkah laku tokoh, menimbulkan hubungan atau pertentangan antara satu tokoh dengan tokoh lain. Contoh kebiasaan: suka menderapkan jemari di meja; mengisi teka-teki; berdoa keras-keras sebelum makan baik di rumah, di pesta, maupun di restoran; menguap dengan suara keras; dll. Dengan kebiasaan ini, seorang tokoh bisa dikenal oleh tokoh lain, bisa dijadikan contoh yang baik, atau menimbulkan kejengkelan tokoh lain yang merasa terganggu dengan kebiasaan itu. (7) Bakat dan kemampuan: gambaran tokoh fiksi yang berbakat khusus atau berkemampuan, terutama tokoh intinya, menyebabkan pembaca akan tertarik pada fiksi itu. Misalnya seorang tokoh digambarkan sebagai penyanyi yang luar biasa, pelukis yang bergaya khusus, olahragawan sepak bola yang terkenal, penulis novel atau drama yang hebat, dll. Bakat seperti ini pada tokoh fiksi menyababkan pembaca ingin mengetahui bagaimana pola kehidupan tokoh itu, atau bagaimana nasibnya dengan adanya bakatnya tersebut (dalam bercinta, berteman, berkeluarga, atau bermasyarakat). Sebab sering ada yang mengahargai dan ada pula yang meremehkan bakat orang tertentu.



(8) Selera dan kesukaan: selera adalah bagian dari kehidupan manusia. Tokoh dengan selera atau kesukaan khusus dapat membantu pembaca untuk mengenal tokoh lebih baik, selera juga bisa membuka kemungkinan pengembangan cerita, karena selera tokoh bisa menyebabkan munculnya kesenangan orang lain tetapi juga menyebabkan ketidaksenangan orang lain. Selera bisa pula menyebabkan tokoh fiksi mengalami konflik intra (dalam batin), apabila seleranya itu tidak terpenuhi. Wujud selera dalam tokoh fiksi sama dengan selera kita pada umumnya, seperti: suka makan yang manis atau pedas, memelihra tanaman, suka membaca buku atau koran, main HP, suka memasak berjam-jam, dll. (9) Tubuh: merupakan penampilan fisik seseorang tokoh. Tokoh bisa digambarkan bertubuh ganteng, cantik, cacat, pincang, kurus, gemuk, tinggi, pendek, bongkok, dll. Bentuk fisik tokoh mempunyai kaitan dengan gambar watak yang diperankan oleh tokoh. Pembaca sudah bisa membayangkan bagaimana tindak tanduk tokoh, perbuatan tokoh, bahkan nasib tokoh yang tergambar dalam fiksi. Misalnya tokoh “Datuk Maringgih” gambaran tubuhnya memberikan kesan buruk bagi perannya dalam novel “Sitti Nurbaya”. c. Pembedaan (Penjenisan) Tokoh (1) Berdasarkan fungsinya, maka tokoh fiksi dibedakan atas: (a) Tokoh utama (primer, sentral), yaitu tokoh yang (i) ditampilkan atau diceritakan terus-menerus dari awal sampai akhir; (ii) waktu menceritkan tokoh itu lebih lama dari tokoh lain; (iii) menjadi tumpuan berlakunya peristiwa-peristiwa, walaupun kadang-kadang ia tidak hadir dalam peristiwa itu. (b) Tokoh bawahan (sekunder), tokoh menunjang tokoh utama. Membantu bukan berarti memuluskan tokoh utama, tetapi yang penting fungsinya adalah memberi gambaran bagimana tokoh utama. Misalnya dalam novel “Belenggu”, maka tokoh utama adalah Tono, sedangkan tokoh bawahan adalah Tini dan Yah. (c) Tokoh tambahan (komplementer), tokoh yang sewaktu-waktu muncul untuk melakukan hal-hal khusus saja. Misalnya sebagai pengantar koran, pelayan atau tukang masak, dll. (2) Berdasarkan perannya, tokoh dibedakan atas: (a) Tokoh protagonis, adalah tokoh yang dikagumi oleh pembaca. Tokoh ini berperan membawakan norma-norma, nilai-nilai, sifat-sifat yang baik dan ideal, seperti berani, jujur, adil, murah hati. Tokoh protagonisi biasa disebut tokoh hero atau pahlawan, juga sebagai tokoh utama (sentral). Dalam novel “Sitti Nurbaya” tokoh protagonis adalah Sitti Nurbaya dan Syamsul Bahri. (b) Tokoh antagonis, adalah tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis. Tokoh ini menjadi penyebab timbulnya konflik, karena sifat jahat. Dalam novel “Sitti Nurbaya” tokoh antagonis adalah Datuk Maringgih. Antagonis bisa juga menjadi tokoh utama (sentral). (c) Tokoh pembantu atau tokoh pendamping, yaitu tokoh yang selalu mengikuti atau melaksanakan kegiatan yang inginkan tokoh utama (protagonis dan antagonis). Peran mereka adalah dapat memperjelas kedudukan tokoh-



tokoh utama, dan membantu tokoh utama melakukan apa yang berkenaan dengan keinginan tokoh-tokoh utama. Misalnya dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Derwijk, bang Muluk menjadi tokoh pembantu bagi tokoh Zainudin. (3) Berdasarkan cara penampilan, tokoh dibedakan atas: (a) Tokoh pipih (sederhana), ciri-cirinya (i) sedikit sekali berubah; (ii) hanya mempunyai satu sifat (Chatman, 1980: 132). (b) Tokoh bulat (kompleks), ciri-cirinya: (i) selalu mengalami perubahan; (ii) memilki banyak motivasi yang kompleks menimbulkan kejutan; (iii) mempunyai sifat yang bervariasi (berbeda-beda) (Chatman, 1980: 44). (4) Berdasarkan Perkembangan Tokoh (a) Tokoh dinamis, yaitu tokoh selalu terjadi perubahan atau perkembangan pada dirinya yang meliputi tingkah laku, pikiran, niat serta sikapnya. Misalnya tokoh yang pada awal cerita sebagai perampok atau begal, pada akhir cerita menjadi tokoh masyarakat yang baik dan dermawan. Tokoh Hasan dalam novel “Atheis” adalah tokoh dinamis. Tokoh dinamis sering dihubungkan dengan tokoh bundar atau bulat. (b) Tokoh statis, tokoh yang tetap, tidak berubah, tidak dipengaruhi oleh ilngkungannya, kepribadiannya dari awal sampai akihr tetap, atau juga karakter sederhana dan tunggal (Siswanto, 2008: 143). Tokoh yang dari awalanya berperan berperan sebagai tokoh jahat atau baik, dan tidak berubah sampai akhir cerita dapat dikategorikan sebagai tokoh statis. Tokoh statis sering pula dihubungkan dengan tokoh pipih. (5) Berdasarkan Pencerminan (Perwakilan) (a) Tokoh individu, yaitu tokoh yang unik karena mempunyai sifat yang khusus. Tokoh ini sangat berbeda dengan manusia lain, tidak ada kesamaan dengan yang lainnya. (b) Tokoh tipikal, yaitu tokoh yang membawakan atau mencerminkan kehidupan kelompok tertentu. Tokoh ini bersifat universal sesuai kelompok yang diwakilinya. Misalnya ada tokoh yang mencerminkan kehidupan petani, buruh, dokter, guru, adat, agama (Ahmad, 1979: 65). Tokoh guru Isa dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” termasuk tokoh yang tipikal. d. Cara Penggambaran Tokoh (1) Metode langsung atau metode analisis (Diskursif): pengarang memaparkan watak tokohnya secara langsung, dan memberi komentar langsung tentang watak tokohnya. Pengarang bercerita langsung tentang tokohnya (Sayuti, 2000: 90). (2) Metode dramatik, tidak langsung, ragaan, objektif. Pengarang tidak memberi komentar kepada watak tokoh. Pembaca sendiri yang menentukan bagaimana watak atau kepribadian tokoh melalui aksi atau tindakan, percakapan (dialog), peragaannya sendiri dalam cerita. Ada beberapa cara penggambaran tokoh melalui teknik dramatik (Sayuti, 2000: 93). (a) Pemberian nama; (b) Teknik cakapan (dialog); (c) Penggambaran pikiran tokoh atau yang melintas dalam pikiran tokoh;



(d) Aliran kesadaran (stream of consciousness); (e) Pelukisan perasaan tokoh; (f) Teknik penampilan perbuatan tokoh; (g) Pandangan orang lain terhadap tokoh; (h) Pelukisan fisik; (i) Pelukisan latar. e. Cara Memahami Tokoh .Unutk mengetahui dan memahami tokoh fiksi, bisa dilakukan cara sebagai berikut (Siswanto, 2008: 145). (1) Tuturan atau penjelasan pengarang terhadap karakteristik pelakunya. (2) Gambaran tokoh yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian.l (3) Bagaimana gambaran perilakunya. (4) Bagaimna tokoh itu berbicara tentng dirinya sendiri (monolog). (5) Memahami bagaimana pikirannya. (6) Bagaimana tokoh lain berbicara tentang dirinya. (7) Memperhatikan bagaimana tokoh itu dengan tokoh lain. (8) Bagaimana reaksi tokoh lain terhadap tokoh itu. (9) Bagaimana tokoh itu mereaksi terhadap tokoh lain. (10) Ciri-ciri fisik dan bentuk badan tokoh. (11) Pendidikan tokoh. (12) Bagaimana kebiasaan dan suasana jiwa mereka. f. Perbedaan Tokoh Fiksi Serius dengan Tokoh Fiksi Populer (1) Penentuan tokoh utama pada fiksi serius tergantung ada pengarang, dan pada fiksi populer tergantung pada selera pembaca (disesuaikan dengan keinginan pembaca pada saat tertentu). (2) Kondisi fisik tokoh pada fiksi serius tidak dianggap penting, tetapi pada fiksi populer kondisi fisik penting untuk daya tarik atau daya tolak. (3) Jumlah tokoh dapat diusahakan minimal yang penting efisiensi dan efektifitas peranannya, dan pada fiksi populer jumlah tokoh bisa banyak. (4) Dalam fiksi serius yang dipentingkan adalah penceritaan akibat dari karakter tokoh utama (protagonis dan antagonis), sedangkan pada fiksi populer yang dipentingkan apa yang dilakukan tokoh utama. (5) Pada fiksi serius penokohan tidak berhubungan dengan stereotip (yang bersifat tetap), dan pada fiksi populer penokohan berhubungan erat dengan stereotip yang brekembang dalam masyarakat tertentu. VI.



LATAR CERITA (SETTING) a. Hakikat Latar (1) Latar dalam fiksi merupakan landasan yang berhubungan dengan masalah waktu, tempat, lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175). (2) Gambaran watakl (tokoh), peristiwa, dan plot akan lebih konkrit dan jelas kalau dikaitkan dengan latar waktu, tempat, suasana, dan berbagai aspek budaya



dalam masyarakat. Latarlah yang bisa memberikan gambaran kepribadian dan suasana tokoh dan kondisi khusus peristiwa dalam fiksi itu. (3) Latar fisik meliputi latar tempat peristiwa (kota, desa, gedung, kapal, dll), waktu terjadinya peristiwa (pagi, siang, sore, malam, dulu, sekarang, saat tertentu seperti hari ulang tahun, dll); latar spiritual meliputi tata cara, adat-istiadat, kepercayaan, nilai-nilai, budaya, agama, dll (Nurgiyantoro, 1995: 218). (4) Kenny (dalam Sujiman, 1988: 44) secara luas latar adalah gambaran lokasi geografis, topografi, pemandangan, sampai pada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarah, musim terjadinya, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh. (5) Doubtfire (Tuloli, 2000: 53) mengemukakan bahwa latar dalam karya sastra akan mengilhami pembacanya dengan perasaan ngeri, misteri, terasing, damai, kekejaman, duka cita, gembira, dan berbagai rasa lainnya sesuai dengan keadaan latar dalam cerita itu. (6) Dari pandangan di atas dapat dikatakan hakikat latar dapat dirinci (Sayuti, 2000: 128): (a) Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya topografi, pemandangan tertentu, detail-detail interiorsebuah ruangan. (b) Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari. (c) Waktu terjadinya aksi (tindakan) atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya. (d) Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokohtokohnya. b. Faktor-Faktor Pembentuk Latar Latar dalam fiksi mempengaruhi alur, tokoh, dan kisahan dalam cerita. (1) Sifat latar bisa dibedakan atas (Nurgiyantoro, 1995: 220): (a). Latar netral: yaitu latar yang menonjolkan sifat umum baik tempat mapun waktunya. Misalnya hanya menyebut satu kota (Jakarta, Yogya, dll) tidak menyebutkan bagian mana dari kota itu, atau latar waktu tanpa memerinci kapan peristiwanya, juga lingkungan sosial tanpa menjelaskan kekhususan lingkungan itu. (b). Latar tipikal: yaitu latar yang menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik tempat, waktu dan lingkungan sosialnya. Misalnya menyebut Jakarta bagian pasar senen, atau di pelabuhan, dll; waktu misalnya masa revolusi, masa pesta apa, masa sekolah, dll; lingkungan sosial misalnya kaum petani, buruh, keluarga guru, dll. (2) Beberapa faktor dominan dalam karya fiksi adalah: (a). Faktor tempat: tempat di mana peristiwa terjadi. Lokasi peristiwa bisa sempit (desa, rumah, kebun/sawah, pasar, sekolah, pesawat, kapal, dll), dan luas (Kota, daerah, negara, antarnegara, bahkan dunia, dll). Tempat bisa hanya di satu tempat, tetapi juga berpindah-pindah. Kondisi latar tempat bisa menggambarkan suasana hati tokoh. Misalnya dalam suatu ruangan atau tempat terdapat benda-benda atau objek yang kacau balau letaknya, merupakan gambaran suasana hati tokoh yang kacau atau tidak stabil. (b). Faktor waktu: menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya peristiwa. Waktu bisa terdiri atas hubungan dengan jam, siang , malam, pagi, hari,



bulan, tahun, zaman, dan juga saat yang berkaitan dengan sejarah (perang dunia, kemerdekaan, dll). Faktor waktu bisa juga dibedakan atas: (1) Waktu cerita, yaitu lamanya waktu yang terganbar dalam cerita, misalnya waktu dari anak-anak sampai dewasa (sekitar dua puluh tahun), ada juga yang hanya beberapa jam. Waktu cerita dapat dihitung umur tokoh pada awal cerita sampai umur tokoh pada akhir cerita. Cerita Sitti Nurbaya waktu ceritanya sangat panjang hampir sepanjang hayat tokoh, sedangkan novel “Harimau-Harimau” waktu ceritanya hanya beberapa hari saja. (2) Waktu penceritaan, yaitu penulisan cerita, misalnya ada cerita yang diungkapkan panjang lebar sehingga menggunakan banyak bab walaupun waktu ceritanya pendek; atau sebaliknya ada yang hanya diceritakan dalam waktu singkat, walaupun waktu ceritanya sangat lama. Waktu penceritaan ada kaitannya dengan banyaknya episode atau urutan peristiwa yang diungkapkan dalam cerita. (c). Faktor Sosial: berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam fiksi. Hal-hal yang tercakup dalam faktor sosial antara lain kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, spiritual, dan politik serta ekonomi. Misalnya bagaimana adat kebiasaan di Minang dapat ditemukan dalam novel “Sitti Nurbaya” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Kebiasaan hidup orang Jawa tergambar dalam novel “Sri Sumarah” dan “Para Priyayi”. Status sosial tokoh dapat dibaca pada novel “Bila Malam Bertambah Malam; Pertemuan Jodoh; Dian yang tak Kunjung Padam”. Demikian pula latar sosial agama bisa ditemukan pada novel “Robohnya Surau Kami; Ayat-ayat Cinta”. c. Fungsi Latar (1) Fungsi latar sebagai metafor: yaitu latar sebagai suatu perbandingan dengan sifat, suasana, keadaan tertentu. Fungsi latar ini adalah untuk menjelaskan atau membandingkan latar yang dimaksud dengan hal-hal lain. Kadang-kadang latar yang berfungsi metafor itu adalah sebagai proyeksi atau objektivikasi keadaan internal tokoh, atau kondisi spiritual tertentu. Jadi deskripsi latar mencerminkan keadaan batin atau hati tokoh tertentu. Misalnya latar “awan kelabu” berfunsi menggambarkan kekelaman atau kekacauan hati tokohnya; latar “malam bulan purnama dengan angin yang bertiup sepoi” berfungsi menggambarkan suasana romantis yang merasuki dua sejoli yang sedang dimabuk cinta. (2) Fungsi latar sebagai atmosfer: yaitu deskripsi latar yang bisa menimbulkan suasana atau situasi tertentu pada pembaca. Misalnya deskripsi latar “jalan beraspal dan licin, sibuk, penuh kenderaan kesana kemari, suasana bising mesin,bunyi klakson, dan bau bensin” mencerminkan suasana kehidupan di kota. Kalau deskripsi latar “sebuah rumah tua, terpencil, tak terawat, digelapkan oleh rimbunan pepohonan, diselingi suara-suara cengkerik” mencerminkan suasana mistri yang menyeramkan atau menakutkan. Fungsi latar adalah: (i) membantu menegaskan tema misalnya suasana kepahlawanan, kesatriaan, petualangan, kejujuran mempertegas tema patriotik; (ii) memberikan gambaran keadan tokoh utama, prptagonisi dan antagonis (gembira, sengsara, senang, gembira, balas dendam, dll); perwujudan gaya yaitu cara pengarang menyusun kata-kata, tema, meninjau persoalan, mengundang pembaca memvisualisasikan apa yang terjadi dalam fiksi itu,



misalnya gaya penuh perasaan, bahasa yang lembut, gambran hal-hal kecil tetapi berarti, ungkapan bahasa sopan dan teratur, kelembutan cinta kasih (Adi, 2011: 52). d. Latar pada fiksi populer dapat digambarkan sebagai berikut (Adi, 2011: 49): (1) Latar sangat penting karena menjadi alat untuk memikat dan menarik perhatian pembaca. Latar dapat menentukan jenis-jenis cerita itu sendiri. Misalnya cerita-crita detektif, latarnya harus di kota-kota besar atau metropolitan karena selalu berhubungan dengan kriminalitas masyarakat industri. (2) Latar pada fiksi populer bisa berada di mana saja dan kapan saja, baik diambil dari tempat yang benar-benar ada di dunia mapun tidak. Pada fiksi serius biasanya latar makin tidak jelas di mana dan kapan, karena semua berbentuk rekaan. (3) Wujud latar dalam fiksi populer adalah yang familar dengan pembaca sehingga terterima oleh pembaca. Ini berarti latarnya sangat realistik dan bisa diterima secara logika oleh pembacanya. (4) Gambaran latar dalam fiksi populer tidak selalu yang indah, atau keluarga bahagia, lingkungan yang damai, tetapi bisa sebaliknya. Misalnya dunia nyata yang berisi kerusakan, pertengkaran, bahkan perang, petualangan yang bebahaya, modernisasi yang mengabaikan sisi manusiawi birokrasi yang korup, bencana yang tidak terduga, kematian yang sia-sia, dan lain sebagainya (Adi, 2011: 51).



VII. SUDUT PANDANG a. Hakikat Sudut Pandang (1) Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981: 142). (2) Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan penafsirannya terhadap kehidupan melalui sudut pandang tokoh. Lebih jelas lagi, istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau viewpoint mengandung arti: suatu posisi di mana si pencerita berdiri (berada), dalam hubungan dengan ceritanya, atau sudut pandang dari mana peristiwa diceritakan (Minderop, 2011: 89). (3) Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan atau dari posisi mana persitiwa dan tindakan itu dilihat. Pandangan lain tentang sudut pandang adalah sudut pengisahan, focus of narration, atau fokalisasi (Nurgiyantoro, 1995: 249). b. Penjenisan Sudut Pandang (1) Harry Shaw menjelaskan sudut pandang fiksi terdiri atas: (a) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita; (b) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita; (c) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita yaitu sebagai orang pertama, kedua, dan ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas: (i)



VII.



pengarang menggunakan sudut pandang tokoh; (ii) pengarang nenggunakan sudut pandang tokoh bawahan; (iii) pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal (pengarang berada di luar cerita) (Siswanto, 2008: 152). (2) Percy Lubbock (Forster, 1987: 65) mengemukakan pengarang novel (novelis) boleh mengambil posisi: (a) menjelaskan tokoh-tokohnya dari luar sebagai pengamat yang tidak memihak, atau juga memihak pada tokoh tertentu; (b) bersikap serba mengatahui dan dapat menjelaskan tokoh-tokohnya dari dalam; (3) bisa mengambil peran sebagai salah seorang tokohnya dan seolaholah tidak tahu-menahu dengan tokoh lain; (4) boleh juga berada posisi pertengahan saja. (3) Marjorie Boulton (1971: 30) mengemukakan teknik sudut pandang, yaitu: (a) sudut pandang orang pertama menggunakan gaya akuan; (b) sudut pandang orang ketiga dengan gaya diaan; (c) pencerita serba tahu (diaan serba tahu); (d) sudut pandang objektif yaitu tanpa komentar pencerita. (4) Klasifikasi sudut pandang pada umumnya adalah sebagai berikut (Sayuti, 2000: 159; Kosasih, 2012: 70): (a) Sudut pandang first person-central, yaitu akuan sertaan: pengarang sebagai tokoh sentral yang secara langsung dalam cerita, atau pengarang sebagai tokoh utama. Pengarang menggunakan aku atau saya (kami), yang menceritakan pengalamannya atau khayalannya, angan-angannya. Dapat dimasukkan pada narator (ikut) aktif. (b) Sudut pandang first person peripheral atau akuan tak sertaan: tokoh aku hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Biasanya pencerita “aku” hanya muncul di awal atau akhir cerita. (c) Sudut pandang third-person omniscient atau diaan mahatahu: pengarang berada di luar cerita, hanya sebagai pengamat mahatahu, menggambarkan apa saja tentang tokoh “dia”, juga mengomentari kelakuan para tokoh. Bisa dimasukkan narator serba tahu. (d) Sudut pandang third-person limited atau diaan terbatas: pengarang menggunakan orang ketiga “dia” sebagai pencerita yang terbatas, yang diceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita. Pengarang bertindak sebagai narator objektif, hanya menceritakan apa terjadi seperti apa adanya, dan tidak mau masuk ke dalam pikiran para tokoh. (e) Sudut panadang campuran: terjadi pergantian sudut pandang. Misalnya canpuran antara teknik “diaan mahatahu” dengan “diaan sebagai pengamat”. Ada pula campuran antara teknik “aku” sebagai tokoh utama dengan “aku” sebagai tokoh tambahan. Lebih kompleks lagi ialah campuran antara persona pertama dengan persona ketiga, yaitu antara tokoh “aku” dengan tokoh “diaan”. Misalnya novel-novel “Maut dan Cinta” dan “Harimau-Harimau” dan “Kubah” menggunakan teknik sudut pandang campuran. Dalam novel “Pada Sebuah Kapal” (N.H. Dini) terdapat pergantian sudut pandang dari “Aku”-nya Sri ke “Aku”-nya Michel. TEMA a. Hakekat Tema



(1) Tema adalah gagasan sentral dalam sebuah karya sastra. Semua aspek kehidupan manusia bisa diangkat menjadi tema dalam fiksi. Tema yang sering terdapat dalam fiksi adalah masalah cinta dengan berbagai dimensinya, kekuasaan, kemanusiaan, kasih sayang, cemburu, kesetiaan, frustrasi, ketabahan, peperangan, kejujuran, keadilan, dll (Kosasih, 1012: 60; Azies, 2010: 75). Misalnya tema: penderitaan pada “Tak Putus Dirundung Malang”; kejahatan pada “Perawan di Sarang Penyamun”; percintaan pada “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. (2) Tema juga dipandang sebagai makna yang dikandung dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 67). Dalam satu cerita fiksi tbisa mungkin terdapat berbagai makna, maka ada makana pokok atau juga sebagai tema inti dan ada sub-subtema, atau tema-tema tambahan. Misalnya dalam novel “Salah Asuha” terdapat beberapa makna yang juga sebagai tema, yaitu: (a) masalah kawin paksa (Hanafi dipaksa kawin dengan Rafiah oleh ibunya dengan alasan balas budi karena ayah Rafiah yang menyekolahkan Hanafi); (2) masalah keinginan pemuda mau beralih kebangsaan (Hanafi mau menjadi warga negara Bwlanda karena gengsi; (3) masalah perkawinan antarbangsa, perkawinan campuran Hanafi kawin dengan Corrie (Timur dan Barat), setelah dia menceraikan Rafiah; (4) kesalahan mendidik anak berakibat fatal, Hanafi disekolahkan secara Barat, agar bisa maju, ternyata menjadi sombong (kebarat-baratan). (3) Tema adalah ide yang mendasari cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan proses rekaan oleh penharang (Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 161), b. Sumber Tema . Semua aspek kehidupan manusia dan alam bisa menjadi sumber tema atau ide utama cerita. Beberpa sumber tema adalah sebagai berikut. (1) Tema berasal dari kejiawaan manusia, yang secara tidak langsung menggambarkan keadaan atau proses kejiwaan manusia. Misalnya tema yang berkaitan dengan keadaan jiwa yang optimis, frustrasi/patah hati, resah, bingung, terbelah, konflik, dll. Contoh novel “Belenggu” (Armijn Pane) gambaran jiwa terbelah (Sumartini dan Rohayah); novel “Pulang” (Toha Mochtar) konflik kejiwaan ; novel “Harimau-Harimau” (Mochtar Lubis) gambaran kejiwaan orang yang berdosa, dll. (2) Pengalaman pengarang, yang berkaitan denmgan pengalaman masa lampau, pengalaman baca, pengalaman mendengarkan peristiwa yang terjadai pada manusia lain atau yang di sekitarnya. Pengarang Amerika Ernest Hemingway, menulis novel yang terkenal For Whom the Bell Tolls berdasarkan pengalamannya dalam perang saudara di Spanyol. Semua yang dialami pengarang dalam masa kecilnya, akan mempengaruhi penulisan karya sastranya, seperti penderitaannya. Apa yang ditulis oleh seorang pengarang akan mempengaruhi pengarang lainnya atau berikutnya (Doubtfire dalam Tuloli, 2000: 44). Misalnya novel “Sitti Nurbaya” telah mempengaruhi penulisan novel “Layar Terkembang” dan seterusnya sampai pada “Belenggu” dan “Pada Sebuah Kapal”.



(3) Masalah hidup dan kehidupan manusia merupakan sumber tema yang sangat kompleks, baik secara individu atau kehidupan kelompok manusia (masyarakat). Misalnya kisah-kisah cinta dalam novel-novel “Kalau Tak Untung”, “Sitti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, “Salah Asuhan”, “Pada Sebuah Kapal”. Ada pula tema ketakutan manusia dalam novel-novel “Jalan Tak Ada Ujung”, “Harimau-Harimau”, “Maut dan Cinta”. Tema kehidupan beragama dalam novel-novel “Robohnya Surau Kami”, “Datangnya dan Perginya”, “AyatAyat Cinta”, “Kemarau”, “Ketika Cinta Bertasbih”, dll. Tema perjuangan dalam novel-novel “Hujan Kepagian”, “Tidak Ada Esok”, dll. (4) Sejarah menjadi sumber tema yang sangat banyak. Tema sejarah bukan hanya mengenai catatan perisitiwa saejarah masa lampau, tetapi juga mengenai berbagai pemahaman tentang manusia, seperti kekuasaan politik, perjuanagn hak azasi manusia, keadilan, hawa nafsu luasa, kepemimpinan membela rakyat, kejujuran, dan penyelewengan. Contoh novel-novel dunia bertema sejarah “Perang dan Damai” (War and Peace), “Dr. Zhivago”, A Farewell to Arms, dll. Di Indonesia novel bertema sejarah antara lain “Surabaya Tumpah Darahku”, “Dari Hari Ke Hari”, “Kalah dan Menang”, dan “Pita Merah di Lengan Kiri”, “Pangeran Diponegoro”, “Gajah Mada”, dll. (5) Tema bisa juga berasal dari filsafat. Tema kemanusiaan dan keluarga sudah termasuk tema kefilsafatan yang berlaku universal. Tema-tema filsafat yang biasa muncul dalam fiksi ialah ajaran-ajaran, peribahasa, kiasan dan metafora, moral manusia, gagasan tentang manusia dulu sekarang dan yang akan datang. Beberpa novel bertema filsafat ialah “Khotbah di Atas Bukit”, “Kalah dan Menang”, “Grotta Azura”, “Koeng”, dll. (6) Sumber tema lain adalah pendidikan. Tema pendidikan yang penting adalah pendidikan moral, budi pekerti, adat istiadat, etika, juga keagamaan. Contoh novel bertema pendidikan adalah: “Jalan Terbuka”, “Orang Buangan”, “Royan Revolusi”, dan “Kemarau”, dll. c. Penggolongan Tema (1) Tema Trdisional dan Nontradisional: (a) Tema tradisional: tema yang sudah lama dikenal orang yang terdapat dalam berbagai cerita yang lama dan yang baru. Misalnya tema-tema yang menyangkut: (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan; (ii) tinda kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga; (iii) tindak kebenaran dan kejahatan madsing-masing akan memetik hasilnya; (4) cinta yang sejati memerlukan pengorbanan; (v) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan; (vi) Berakit-rakat ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu,bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudia; Contoh novel-novel dengan tema lama ialah “Sitti Nurbaya”; “Salah Pilih”, “Azab dan Sengsarta”, “Harimau! Harimau!”, “Maut dan Cinta”, dll. (b) Tema nontradisional: yaitu tema yang tidak lazim dalam masyarakat, sebagai sesuatu yang baru, yang kadang-kadang tidak disenang pembaca, melawan arus, mengejutkan, bahkan bisa mengesalkan. Misalnya, pembaca selalu mengharapkan bahwa tokoh baik akan menang dari tokoh jahat. Tetapi zaman sekarang sering banyak koruptor kelas bisa lolos, atau kesewenang-wenangan tetap berjaya dan rakyat kecil selalu dikalahkan, bahkan kejujuran justru menyebabkan kehancuran. Contoh novel seperti ini ialah “Kemelut Hidup” (Ramadhan



K.H. )Tokoh protagonisnya yang jujur, tidak mau korupsi walaupun kesempatan itu ada baginya, namun hidupnya tidak juga jadi senang. (2) Tingkatan Tema menurut Shipley Shipley membagi tema bertdasarkan kedudukan manusia (1979: 333) sebagai berikut: (a) Tema tingkat fisik: manusia dipandang sebagi melekul (bagian kecil dari zat) kegiatan kekuatan fisik menjadi tema utama dalam cerita, dibandingkan dengan kegiatan kejiwaan. Masalah waktu, tempat, nusim dalam kehidupan menjadi hal-hal yang penting dalam cerita. (b) Tema tingkat organik: Manusia dipandang sebagai protoplasma (zat yang hidup di dalam sel). Kegiatan organik seperti masalah seksual yang menjijikkan, perbuatan sumbang, penyelewengan terhadap kesetiaan menjadi tema dalam fiksi. Misalnya novel-novel: Maut dan Cinta, Senja di Jakarta, Malam Kuala Lumpur, Namaku Hiroko, Pada sebuah Kapal, dll. (c) Tema tingkat sosial: manusia sebagai mahluk sosial. Masalah mansia sebagai mahluk sosial menyangkut banyak hal, seperti pendidikan, politik, propaganda, kematian, korupsi, budaya, cinta, perjuangan, dll. Contoh novel dengan tema sosial ialah: Royan Revolusi, Kemelut Hidup, Para Priyai, Tak Putus Dirundung Malang, dll. (d) Tema tingkat egoik: yaitu manusia dipandang sebagai mahluk individu. Sebagai individu manusia selalu berpikir, mengharapkan kedudukan, martabat, harga diri, kekayaan, dll. Contoh novel dengan tema egoik: Atheis, Gairah untuk Hidup, Gairah untuk Mati, Jalan tak Ada Ujung, dll. (e) Tema tingkat divine: manusia sebagai mahluk berjiwa dan mahluk ciptaan Tuhan. Yang menonjol dalam tema tingak divine ialah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Contoh novel dengan tema divine ialah: Robohnya Surau Kami, Datangnya dan Perginya, Kemarau, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Ayat-ayat Cinta. (f) Tema campuran: sebuah karya sastra tidak selamanya hanya mengandung satu masalah tema. Bisa terjadi satu novel mengandung campuran tematema di atas. Misalnya novel “Gairan untuk Hidup dan Gairah untuk Mati” dapat dikatakan mengandung tema organik, sosial, dan egoik. Novel “Harimau! Harimau!”, mengandung tema organik, sosial, dan juga divine. (3) Tema Utama dan Tema Tambahan (a) Tema utama atau tema mayor, ialah tema pokok yang menjadi dasar atau gagasan umum suatu karya sastra. Tema ini dibawakan dari awal sampai akhir cerita. Misalnya dalam novel “Salah Asuhan” tema utamanya adalah “kesalahan mendidik anak dapat berakibat fatal”. (b) Tema tambahan atau tema minor, yaitu tema yang hanya ada pada bagianbagian tertentu dalam suatu novel. Tema utama bisa terdiri dari beberapa tema tambahan sebagai pendukung. Pada novel “Salah Asuhan”, selain tema utama yang teleh disebutkan di atas, terdapat tema tambahan (minor) yaitu: “kawin paksa, penolakan kebengsaan sendiri, perkawinan antarbangsa, keangkuhan karena berpendidikan tinggi/barat”. (4) Motif



Motiif adalah suatu unsur seperti tipe kejadian, alat, rumus (formula) yang selalu diungkapkan berulang-ulang dalam sejumlah karya sastra. Unsur ini menjadi tema yang dikembangkan dalam banyak cerita misalnya nasib anak tiri, anak perantau, anak miskin yang sengsara, anak durhaka, dll. Motif dapat dibedakan atas (Hussain, dkk, 1988: 198): (a) Motif tokoh, pelaku, misalnya ibu tiri yang jahat, tokoh anak durhaka, orang yang dermawan, tokoh yang selalu malang, dll. (b) Motif material, yaitu sesuatu yang menjadi latar terjadinya suatu peristiwa. Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan agama, perjuangan, kepercayaan, dll. (c) Motif aksi, yaitu tindakan atau gerak dan kata-kata yang muncul pada tokoh pada setiap peristiwa, misalnya memencet hidung, menggaruk kepala, mengangkat tangan bertemu teman, mengucapkan salam, dll. (d) Motif yang berkali-kali terulang atau muncul dalam satu karya sastra (novel) disebut leitmotif (Jerman) atau motif penuntun. Motif ini terdiri atas kata, frase, gambaran tertentu, sejumlah imajinasi, latar tertentu yang selalu muncul dalam sebuah novel. Misalnya pada novel “Merehnya Merah” selalu muncul frase “proses kegelandangan”, atau dalam nonvel “Harimau! Harimau!” muncul berkali-kali peristiwa “pemburuan oleh seekor harimau”. d. Penafsiran Tema . Untuk menemukan tema karya sastra fiksi dapat dilaksanakan berdasarkan kriteria sebagai berikut (Sayuti, 2000: 195; Nugiyantoro, 1995: 87). (1) Mempertimbangkan penonjolan masalah yang diceritakan. Untuk menemukan masalah yang ditonjolkan maka harus dibaca berkali-kali dari awal sampai akhir. Banyak hal yang ditonjolkan pengarang dalam suatu cerita, maka untuk menentukan temanya dilihat dari: (a) permasalahan yang berada pada tokoh utamanya; (b) penyebab munculnya konflik yang dihadapi tokoh utama; (c) masalah apa yang ditonjolkan pada klimaks cerita; (d) masalah apa yang harus diselesaikan dalam cerita. (2) Penafsiran tema hendaklah tidak bertentangan dengan tiap detail dalam cerita. Dalam karya fiksi, pengarang selalu ingin mengungkapkan keyakinannya, kebenaran gagasannya, sikapnya terhadap suatu masalah, dan pandangan hidup yang dipertahankannya. (3) Penafsiran tema harus didasarkan pada bukti atau data yang tertulis atau yang tertuang dalam karya sastra itu. Tema tidak boleh ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, atau dibayangkan, aatu informasi yang kurang dipercaya. Jadi tema harus didukung oleh bukti-bukti yang bersifat tekstual. (4) Penafsiran tema harus pula didasrkan pada detail kata-kata, kalimat, alinea, dialog, monolog, tindakan atau perbuatan tokoh utama, yang juga didukung oleh latar waktu, tempat, dan suasana. Jadi semua unsur tekstual dan kontekstual dalam karya sastra dapat dipakai untuk menafsirkan tema cerita, baik tema utama maupun tema tambahan. . Selanjutnya dalam upaya memahami tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat (Wicaksono, 2014: 127): (1) Memahami latar dalam prosa fiksi yang dibaca.



(2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi tersebut. (3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa. (4) Memahami plot atau alur dalam prosa fiksi. (5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. (6) Menentukan sikap pengarang terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya. (7) Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap pengarang terhadap pokok pikirannya yang ditampilkannya. (8) Menafsirkan dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu atau dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya.



VIII.



AMANAT a. Gayutan Amanat 1. Amanat atau pesan (message) merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Amanat dalam fiksi harus disimpulkan darai seluruh unsur dan struktur karya sastra, dan tidak cukup kalau hanya membaca bagian-bagiannya saja, harus dibaca secara utuh dan berkali-kali (Kosasih, 2012: 71). 2. Amanat bisa juga diartikan sebagai makna yang bersifat umum dari suatu karya sastra. Pembaca sering berbeda dalam menafsirkan makna satu karya sastra. Demikian pula bisa terjadi perbedaan makna yang diniatkan pengarang (makna niatan) dengan makna yang ditafsirkan oleh pembaca dalam teks (makna muatan) karya sastra itu (Luxemburg, dkk, 1989: 27). Hal bisa terjadi karena makna dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan hubungan antara apa yang tertulis atau yang hadir (in praesentia) dengan yang tidak tertulis atau tidak hadir (in absentia); atau antara yang tersurat dan yang tersirat. 3. Memaknakan karya sastra tidak tunggal tetapi selalu ada perubahan, disebabkan oleh waktu pemaknaan, perubahan pikiran dan pandangan serta pengalaman pembaca, pada suatua karya sastra (Derrida, dalam Birch, 1989: 8). 4. Amanat dapat pula disebutkan sebagai pesan moral (Nurgiyantoro, 1995: 321; Sudjiman, 1988: 57), yang mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang kebenaran, yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral pada umumnya mengandung ajaran baik buruk yang terkait dengan perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. 5. Nilai-nilai yang terdapat daam karya sastra yang diarahkan pengarang kepada pembaca dapat disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat (Siswanto, 2008: 162). Nilai dalam karya sastra terbaca dalam struktur, hubungan antarunsur, dan pola



bahasanya. Nilai yang terkandung dalam karya sastra meliputi (Wicaksono, 2014: 257): a) Nilai hedonik (hedonic value), nilai yang dapat memberikan kesenangan langsung kepada pembaca. b) Nilai artistik (artistic value), yang nilai keindahan sebagai manifestasi dari karya seni. c) Nilai kultural (cultural value), nilai yang terkait dengan kebudayaan, adat istiadat, hukum dalam masyarakat. d) Nilai etis, moral, agama, nilai yang berhubungan dengan ajaran atau ketentuan dalam kehidupan bersama, beragama, dan tingkah laku. e) Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. f) Nilai pendidikan, yaitu nilai yang berhubungan dengan pengembangan manusia secara intelektual, emosional, sosial, keterampilan sejak lahir sampai meninggal dunia. b. Amanat Moral 1. Istilah moral berasal dari kata “mos” atau “mores”, yang berarti kebiasaan, mengacu pada sejumlah ajaran, wejangan, khotbah tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik (Wicaksono, 2014: 268). Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pencipta karya sastra, pandangannya tentang nilai-nilai dan kebenaran dan hal itu ingin disampaikan kepada pendengar (pembaca). 2. Pendapat klasik mengatakan, bahwa karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Akhir-akhir ini orang menamakannya “amanat”. Maksudnya sama, yaitu karya sastra yang baik sealalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian, sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1995: 105). Sastra harus bertugas untuk membentuk jiwa “hamanitat”, dari bahasa Latin “humanus” yaitu pembinaan jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Secara sederhana humanitat adalah sopan santun atau tingkah laku yang baik. Voltaire berpendapat bahwa pengarang harus menjadi “homo humanus” yaitu manusia yang menciptakan nilai-nilai yang baik, adiluhung (bernilai tinggi), kemauan dan cita-cita yang baik dam tidak bertentengan dengan norma-norma moral dalam masyrakat (Darma, 1995: 1o8). 3. Ajaran moral dalam karya sastra dapat dikatakan tidak terbatas. Ia mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia, tentang hakekat dan martabat manusia. Persolan itu meliputi: hubungan manusia dengan dirinya, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Daam satu karya sastra bisa mengandung hanya salah satu dari pesan moral itu, tetapi boleh juga lebih dari satu. Pesan (amanat) moral itu bisa diklasifikasi atas pesan moran (amanat) utama (mayor) dan pesan moral sampingan (minor) (Nurgiyantoro, 1995: 324). Beberapa pesan moral dalam karya sastra modern ialah: (1) Pesan moral religius atau keagamaan dalam novel “Di Bawah Lindungan Kabah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Robohnya Surau



Kami”, “Kemarau”, “Datangnya dan Perginya”, dll; (2) Pesan Kritik Sosial dalam novel atau cerpen “Senja di Jakarta”, “Tak Ada Esok”, “Tanah Gersang”, “Maut dan Cinta”, “Harimau-Harimau”, dll. c. Cara Penyampaian Pesan Moral (Amanat) Nurgiyantoro (1995: 336) mengemukakan dua bentuk (cara) pengarang menyampaikan atau mengkomunikasikan pesan moral, sebagai berikut. 1. Bentuk Penyampaian Langsung Penyampaian langsung sama dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Cara ini dikenal pula sebagai cara narasi, yang menggambarkan tentang latar, tokoh, hubungan antartokoh, peristiwa, konflik, dan lain-lain (Tuloli, 2000: 68). Pengarang langsung menjelaskan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca, dia menggurui pembaca, secara lengsung memberikan nasihat. Pembaca dengan mudah dapat menangkap dan memahami moral apa yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastranya. Misalnya dalam novel “Sitti Nurbaya” ada bagian yang mengungkapkan secara langsung pesan moral pengarang kepada pembaca, melalui nasehat pengarang kepada tokoh Datuk Maringgih: “Hai Datuk Maringgih! Apakah paedahnya kekayaan yang sedemikian bagimu dan bagi sesamamu? Engkau dilahirkan dari perut ibumu dengan tiada membawa suatu apa, dan apabila engkau kelak meninggalkan dunia yang fana ini, karena maut tak dapat kauhindarkan, walaupun hartamu sebanyak harta raja Karun sekalipun tiadalah lain yang akan engkau bawa ke tempat kediamanmu yang baka itu, melainkan selembar kain putih yang cukup untuk menutup badanmu jua.” Dengan cuplikan pendek itu pengarang sebenarnya ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, bahwa bagaimanapun kekayaan orang, ketika mati hanya membawa kain kafan putih. Hartanya ditinggalkan di dunia untuk orang lain. 2. Bentuk Penyampaian Tak Langsung Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tersirat dalam cerita, tidak diungkapkan atau tidak dijelaskan. Pembacalah yang menafsirkan pesan itu dari cerita yang dibacanya. Pengarang hanya menampilkan, showing, peristiwaperistiwa, konflik, sikap dan tingkah laku atau tindakan pelaku (tokoh), yang tampak dalam wujud kata-kata (verbal), fisik, maupun pikirannya. Jadi pesan moralnya tersembunyi dalam kata-kata, dialog, monolog, perbuatan dan tindakan tokoh-tokohnya. Pertentangan antara protagonis dan antagonis bisa disimpulkan pesan moralnya. Pada umumnya karya-karya modern sekarang lebih banyak menyampaikan pesan secara tak langsung. 3. Dialog Cara ini banyak dalam novel-novel modern sebagai model dramatik atau cakapan. Melalui percakapan dapat diketahui watak tokoh juga amanat yang terpantul dari karya sastra itu. Fungsi dialog dalam fiksi menurut Hussain dan kawan-kawan (1988: 61-62): a) Menggerakkan aksi atau tindakan dengan cara tertentu. b) Menggambarkan watak tokoh, kedudukan sosialnya atau latar belakangnya. c) Memberi kesan yang sederhana, sehingga tidak perlu menguraikan segala sesuatu tentang tokoh, isi cerita, dan lain-lain.



d) Memberikan gambaran bagaimana sang tokoh dapat saling mempengaruhi, berbeda pendapat, atau saling memberi dan menerima ide-ide. e) Memberi keleluasaan pengarang dalam menggunakan diksi, irama, rangkaian kata, susunan dan panjang pendeknya kalimat. f) Dapat mempertinggi tegangan atau mengurangi tegangan dalam cerita. 4. Monolog (Ekacakap) Tokoh dalam menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan sering berbicara sendiri, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Bentuk monolog berhubungan dengan doa, ratapan, keluhan, kata hati, cerita, ide, dan kehendak (Sudjiman, 1988: 84). Ekacakap dapat dibedakan atas beberapa kategori. a) Ekacakap Dalaman Langsung (Direct Interior Monoloque), teknik menyampaikan isi batin tokoh yang berkaiatan dengan perkembangan watak, yang berasal dari tingkatan bawah sadar, dan muncul sebagai katakata yang disengaja. Tidak ada campur tangan narator. Ekacakap dalaman langsung adalah penyajian percakapan batin tokoh secara langsung, yaitu penyajian percakapan yang tidak ada bantuan dari pencerita kepada pembaca. Pencerita tidak memberikan keterangan yang biasanya dengan memakai ungkapan “saya pikir” atau “menurut kata hatinya”. Tokoh langsung menggunakan kata ganti orang pertama “aku” atau “kita” juga kata ganti orang kedua “engkau”. Misalnya: “Aku sangat menyesal telah berbuat seperti itu kepadanya.” b) Ekacakap Dalaman Tak Langsung (Indirect Interior Monoloque), teknik penyampaian batin tokoh secara tidak langsung, yaitu pencerita memberi keterangan kepada pembaca. Biasanya ada tanda kata-kata “saya pikir” atau “dalam hatinya”. Dalam penyampaian ekacakap dalaman tgak langsung ini, tokoh menggunakan juga kata ganti orang pertama “saya” dan “kita” atau kata ganti orang kedua “engkau”. Misalnya: “Sesungguhnya Robert menyesali perbuatannya terhadap istrinya. Dalam hatinya ia berkata “Aku sangat menyesal telah berbuat seperti itu kepadanya”. c) Sanandika (Solliloquy), teknik pengungkapan isi batin tokoh dengan cara langsung kepada pembaca tanpa kehadiran pencerita/pengarang. Pembaca seolah-olah diajak berdialog oleh tokoh. Kalau diperhatikan sepintas, sanandika hampir mirip dengan ekacakap dalaman tidak langsung. Hanya bedanya pada teknik sanandika tidak ada kata-kata penanda dari pencerita seperti “saya pikir” dll.



\