Ekma4565 A5 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hak Cipta  dan Hak Penerbitan diliondungi Undang-undang ada pada



Universitas Terbuka - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan 15418 Banten – Indonesia Telp.: (021) 7490941 (hunting); Fax.: (021) 7490147; Laman: www.ut.ac.id. Dilarang mengutip sebagian atau pun seluruh buku ini dalam bentuk apa pun, tanpa izin dari penerbit Edisi kedua Cetakan pertama, Agustus 2012 Cetakan kedua, Januari 2013 Cetakan ketiga, Juni 2014 Cetakan keempat, September 2014 Cetakan kelima, Maret 2015 Penulis : Ds. Achmad Sobirin, M.B.A. Penelaah Materi : Andi Silvana, S.E, M.Si. Pengembang Desain Instruksional: 1. Drs. Soekiyono, M.M. 2. Nenah Sunarsih, S.E, M.Si. Desain Cover & Ilustrator Lay-outer Copy Editor



: Zulkarnaini/Bangun Atmo : Sapriyadi : Siti Nurhayati



658.406 SOB m



SOBIRIN, Achmad Materi pokok manajemen perubahan; 1 – 6; EKMA4565/ 2 sks/ Achmad Sobirin. -- Cet.5; Ed.2 --. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014. 495 hal; ill.; 21 cm ISBN: 978-979-011-732-7 1. manajemen perubahan I. Judul



iii



Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH ...........................................................



vii



MODUL 1: KONSEP DASAR PERUBAHAN DAN PERUBAHAN ORGANISASI Kegiatan Belajar 1: Konsep Dasar Perubahan .................................................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



1.5 1.30 1.31 1.31



Kegiatan Belajar 2: Keberhasilan dan Kegagalan dalam Perubahan ................................ Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



1.34 1.60 1.60 1.61



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



1.63 1.64



1.1



MODUL 2: FAKTOR PENDORONG DAN TIPOLOGI PERUBAHAN ORGANISASI Kegiatan Belajar 1: Faktor Pendorong Perubahan Organisasi ........................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



2.5 2.34 2.36 2.37



Kegiatan Belajar 2: Tipologi Perubahan Organisasi ......................................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



2.42 2.76 2.81 2.82



2.1



iv



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



2.86 2.87



MODUL 3: MANAJEMEN PERUBAHAN: KONSEP DAN IMPLEMENTASI Kegiatan Belajar 1: Konsep Manajemen Perubahan .......................................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



3.5 3.41 3.42 3.44



Kegiatan Belajar 2: Model dan Implementasi Perubahan Organisasi ............................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



3.47 3.70 3.72 3.73



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



3.76 3.77



3.1



MODUL 4: IMPLEMENTASI PERUBAHAN: FAKTOR MANUSIA DAN KEPEMIMPINAN Kegiatan Belajar 1: Faktor Manusia dalam Perubahan Organisasi .................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



4.4 4.35 4.37 4.38



Kegiatan Belajar 2: Kepemimpinan dalam Perubahan Organisasi .................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



4.40 4.66 4.68 4.69



4.1



v



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



4.71 4.72



MODUL 5: PENGEMBANGAN ORGANISASI DAN ORGANISASI PEMBELAJAR Kegiatan Belajar 1: Pengembangan Organisasi ................................................................. Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



5.3 5.43 5.44 5.44



Kegiatan Belajar 2: Organisasi Pembelajar ...................................................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



5.47 5.79 5.80 5.80



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



5.83 5.84



5.1



MODUL 6: MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN INOVASI ORGANISASI Kegiatan Belajar 1: Knowledge Management .................................................................... Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 1 ……………………………..……..............................



6.5 6.36 6.37 6.38



Kegiatan Belajar 2: Inovasi Organisasi ............................................................................. Latihan …………………………………………............................... Rangkuman ………………………………….................................... Tes Formatif 2 ……………………………..……..............................



6.40 6.76 6.77 6.78



6.1



vi



KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................



6.80 6.81



vii



Tinjauan Mata Kuliah



B



uku Materi Pokok (BMP) Manajemen Perubahan, diharapkan dapat menjadi salah satu referensi berharga dalam pengembangan organisasi, baik organisasi yang berorientasi pada profit, maupun organisasi publik. Buku materi pokok ini memberikan pemahaman tentang konsep-konsep dan teori manajemen perubahan. Secara umum materi-materi yang dibahas dalam BMP ini: Konsep dasar perubahan dan perubahan organisasi; Faktor pendorong dan tipologi perubahan organisasi; Manajemen perubahan: Konsep dan implementasinya; Implementasi perubahan: factor manusia dan kepemimpinan; Pengembangan organisasi dan Organisasi pembelajaran; serta Manajemen pengetahuan dan inovasi organisasi. Secara skematis kompetensi yang ingin dicapai dari mempelajari BMP Manajemen Perubahan dapat Anda lihat pada bagan berikut ini.



Manajemen Pengetahuan dan Inovasi Organisasi



Konsep Dasar Perubahan dan Perubahan Organisasi



Manajemen Perubahan: Konsep dan Implementasi



Pengembangan Organisasi dan Organisasi Pembelajaran



Faktor Pendorong dan Tipologi Perubahan Organisasi



Implementasi Perubahan: Faktor Manusia dan Kepemimpinan



Pet a Ko m pe ten si Manajemen Perubahan/EKMA4565/2 sks



viii



Modul 1



Konsep Dasar Perubahan dan Perubahan Organisasi Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N Nothing changes except the change itself Everything changes except change All things are flowing Change or die



J



ika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, ungkapanungkapan di atas akan berbunyi…… “di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri”, “semuanya berubah hanya satu yang tidak berubah yaitu perubahan”, “tidak ada satupun yang tetap diam, semuanya selalu bergerak mengalir” dan “berubah atau mati”. Itulah ungkapan-ungkapan populer tentang perubahan. Ungkapan-ungkapan tersebut di antaranya datang dari seorang filosof Yunani bernama Heraclitus (544 – 483 SM) yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masehi. Ucapanucapannya menyebabkan Heraclitus dikenal sebagai filosof perubahan (Müller-Merbach, 2006). Ungkapan Heraclitus tersebut menunjukkan bahwa perubahan merupakan fenomena hidup dan kehidupan manusia yang tidak bisa dihindari. Siapapun akan terlibat dalam perubahan, suka atau tidak; dikehendaki atau tidak. Sementara itu filosof Cina, Zhuangzi, mengatakan bahwa kita ini hidup di dalam dunia sedang mengalami perubahan dan akan terus berubah tanpa pernah diketahui oleh siapapun kapan perubahan itu dimulai dan kapan akan berhenti (Wang, 2000). Perubahan akan terus terjadi di mana-mana sejak dulu sampai sekarang. Bahkan dewasa ini perubahan terjadi dengan akselerasi yang semakin tinggi, baik secara mikro maupun makro; baik pada skala lokal maupun regional; baik pada tataran nasional maupun global.



1.2



Manajemen Perubahan 



Demikian juga perubahan bukan hanya melibatkan individu tetapi juga kelompok dan organisasi; bukan hanya pada dunia bisnis tetapi juga birokrasi pemerintahan. Di samping itu, perubahan bukan hanya terjadi pada lingkungan internal tetapi juga eksternal. Pada lingkungan eksternal, perubahan bukan hanya terjadi pada sektor ekonomi tetapi juga politik, sosial, budaya dan teknologi. Bisa dikatakan manusia hidup dalam lingkungan yang sedang berubah, serba berubah dan akan terus berubah. Yang lebih menarik lagi, pola perubahannyapun, tidak luput, mengalami perubahan. Tidak seperti pada masa lalu yang pola perubahannya seolah-olah mengikuti irama langgam atau simfoni atau aliran sungai yang tenang, mudah diprediksi, pelan tapi pasti; sekarang layaknya air bah, musik jazz dan rock & roll, perubahan sering kali terjadi secara mendadak tidak ditandai oleh sinyalsinyal yang jelas, begitu dinamis, bergejolak, radikal dan tidak menentu. Lingkungan tiba-tiba berubah tidak menentu bahkan menjadi semakin ruwet (messy) mengarah pada kondisi keos (chaotic). Siapa menyangka misalnya harga minyak dunia tiba-tiba meroket mendekati $US 150 per barel hanya dalam hitungan bulan dan kemudian turun lagi dalam hitungan bulan juga. Siapa menyangka Cina yang semula begitu gigih menjaga sistem ekonomi sosialisme sekarang menjadi kekuatan ekonomi baru yang berkiblat pada kapitalisme. IBM hampir saja kolaps (ambruk) gara-gara perubahan teknologi dari mainframe ke personal komputer. Dengan hiruk-pikuk perubahan seperti digambarkan di atas, pertanyaannya sudah bukan lagi perlu atau tidak, siap atau tidak kita mengikuti perubahan. Pertanyaannya menjadi apakah kita akan berpartisipasi dalam arus perubahan dan bahkan secara aktif menginisiasi proses perubahan, atau apakah kita sakedar menjadi target perubahan itu sendiri. Jawabannya jelas, kita pasti akan terlibat dalam perubahan dan kalau tidak beruntung kita akan terseret dan terombang-ambing pada arus perubahan. Artinya kita harus berhati-hati dalam pusaran perubahan tersebut karena perubahan tidak berujung dan tidak berpangkal, dan seperti putaran gasing begitu cepat sehingga perubahan sering kali menguras energi dan perhatian dan tentu saja sangat melelahkan. Dalam kondisi seperti ini yang bisa kita lakukan adalah mengatur rythme perubahan (Huy & Mintzberg, 2003) – kapan secara intensif ikut dalam perubahan dan kapan harus sedikit mengendurkannya. Tujuannya agar di satu sisi kita tetap terlibat dalam dinamika perubahan tetapi di sisi lain tidak larut dan lantas menjadi korban perubahan. Nasihat orang bijak “ngeli ning ora keli – ikut dalam arus



 EKMA4565/MODUL 1



1.3



perubahan tapi tidak larut dalam perubahan” tampaknya patut dipertimbangkan. Nasihat tersebut mengajak kita agar tetap sadar siapa diri kita dan tidak kehilangan jati diri. Pasalnya perubahan yang berkepanjangan dan menembus kemana-mana (pervasive) sering kali justru menimbulkan anarkhi (Huy & Mintzberg, 2003) – sebuah situasi yang tidak dikehendaki siapapun tetapi itulah perubahan. Dalam banyak kasus seperti yang pernah terjadi di Indonesia dan Thailand misalnya, anarkhi mengiringi perubahan (baca: reformasi) yang tujuan sesungguhnya demi kemajuan. Ungkapan terakhir – change or die sesungguhnya mengajak kita turut dalam perubahan agar tetap bertahan hidup (survive) seperti pesan iklan PT Gudang Garam beberapa waktu lalu “perubahan itu perlu”. Pada intinya perubahan dimaksudkan agar kita bukan sekadar survive tetapi bisa menjalani hidup lebih baik dan mengalami progres meski hal itu kadang tidak mudah dilakukan karena hasil perubahan sering kali juga tidak menentu. Bisa jadi hasilnya lebih baik atau sebaliknya. Itulah sebabnya mereka yang terbiasa hidup dalam sangkar besi (iron cage) terisolasi dan mengisolasi diri dari dunia luar, atau mereka yang terbiasa hidup dalam kenyamanan dan kemapanan (comfort zone) memandang perubahan sebagai musuh yang menakutkan. Bagi mereka perubahan adalah malapetaka karena akan menghilangkan hak privilege yang selama ini mereka nikmati. Oleh karena itu sangat tidak mengherankan jika orang-orang ini selalu berdiri paling depan bukan untuk mengawal perubahan tetapi menolaknya. Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dijalani. Menghindari perubahan sama artinya dengan menyuruh kita menjadi dinosaurus – besar, kuat tetapi tidak berdaya ketika alam berubah. Di Yogya misalnya orang bilang kita belum ke Malioboro jika belum ke toko Samijaya. Itu dulu tahun 1970an ketika toko Samijaya masih jaya, terbesar dan atraktif. Sekarang kondisinya berbeda. Ketika yang lain-lain berubah dan Samijaya masih ajeg tidak berubah, jangankan orang mau mampir, melirikpun barangkali tidak. Akibatnya Samijaya seperti ditelan perubahan semakin kecil dan terus semakin kecil, dan mungkin suatu saat seperti dinosaurus. Lepas dari tuntutan dan keharusan untuk berubah karena lingkungan berubah, tetap saja kita harus mencermati arah perubahan sebab seperti disebutkan di muka perubahan itu sendiri hasilnya kadang tidak menentu. Artinya pemahaman dan pengetahuan tentang perubahan menjadi penting agar kita tidak terjebak dalam perubahan. Lebih penting lagi adalah arah dan



1.4



Manajemen Perubahan 



hasil perubahan harus dikawal dan dikontrol agar tidak melenceng dari tujuan awal perubahan yaitu kemajuan dan progres. Modul 1 yang berisi konsep dasar perubahan dan perubahan organisasi bermaksud mengantarkan mahasiswa untuk memahami konsep-konsep dasar perubahan secara umum sebagai dasar agar mahasiswa bisa memahami konsep perubahan pada konteks yang lebih luas, khususnya perubahan pada organisasi. Dengan demikian, setelah selesainya mempelajari Modul 1 mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan: 1. pengertian perubahan; 2. perubahan secara makro; 3. perubahan secara mikro; 4. pengalaman- pengalaman perusahaan besar yang mengalami perubahan; 5. keberhasilan dalam perubahan organisasi; 6. kegagalan dalam perubahan organisasi.



1.5



 EKMA4565/MODUL 1



Kegiatan Belajar 1



Konsep Dasar Perubahan A. PENGERTIAN PERUBAHAN Perubahan berasal dari kata dasar “ubah” yang berarti (1) menjadi lain (berbeda) dari semula; (2) bertukar (beralih, berganti) menjadi sesuatu yang lain (3) berganti. Setelah mendapat imbuhan “pe” dan “an”, kata ubah menjadi perubahan yang berarti hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran (lihat kamus besar Bahasa Indonesia). Sementara itu pengertian perubahan yang cukup beragam diberikan oleh Webster's Ninth New Collegiate Dictionary, menurut kamus ini perubahan berarti: 1. to make different in some particular – membuat perbedaan dalam beberapa bagian. 2. to make radically different – membuat perbedaan secara radikal. 3. to give a different position, course, or direction to – memberikan posisi, jalan atau arah berbeda. 4. to replace with another – menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lain. 5. to make a shift from one to another – menggeser dari satu kondisi ke kondisi lain. 6. to exchange for an equivalent sum or comparable item – bertukar untuk jumlah yang sepadan atau sesuatu yang bisa diperbandingkan. 7. to undergo a modification of – menjalani modifikasi. 8. to undergo transformation, transition or substitution – menjalani transformasi, transisi atau pergantian. Perubahan juga sering diartikan sebagai “alternation, modification or addition” (McLean 2004/2005). Sederhananya, perubahan merupakan suatu pergantian kondisi dari kondisi lama ke kondisi baru (Gambar 1.1a), modifikasi sebuah kondisi (Gambar 1.1b) atau penambahan terhadap sebuah kondisi (Gambar 1.1c). Kebalikan dari Gambar 1.1c, perubahan bisa diartikan pula sebagai pengurangan terhadap sebuah kondisi (Gambar 1.1d). Dengan kata lain selama sesuatu itu tidak sama dengan keadaan sekarang maka itulah yang dimaksudkan dengan perubahan. Perubahan tidak pernah



1.6



Manajemen Perubahan 



terjadi jika keadaan sekarang sama dengan keadaan pada masa lalu atau sama dengan keadaan yang akan datang.



kondisi A



kondisi B



Gambar 1.1a: Perubahan kondisi dari A ke B



kondisi A



A



Gambar 1.1c: Penambahan dari kondisi A lama menjadi kondisi A baru



kondisi A



Gambar 1.1b: Modifikasi dari kondisi A lama ke kondisi A baru



1.



kondisi kondisi A



kondisi kondisiAA Gambar 1.1d: Perubahan karena pengurangan



Perubahan dan Perbedaan Implisit dari definisi di atas adalah perubahan selalu diikuti oleh perbedaan, tidak peduli apakah kondisi setelah berubah lebih baik dari kondisi semula, atau sebaliknya. Pada Gambar 1.1a kondisi A berubah menjadi kondisi B. Walaupun bentuknya masih sama, kondisi A tidak bisa dikatakan sama dengan kondisi B karena A sudah berubah menjadi B. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan sebut saja PT. ABC yang semula milik A kemudian diambil alih B, boleh jadi besaran PT. ABC masih tetap sama tetapi karena pemiliknya berbeda maka PT. ABC baru tidak sama dengan PT. ABC lama karena berubah kepemilikan sehingga nuansa pada PT. ABC ikut berubah. Artinya, PT. ABC yang baru setelah berganti pemilik tidak sama dengan PT. ABC lama. Dari sini bisa dikatakan ada perbedaan antara PT. ABC yang baru dengan PT. ABC yang lama. Ketika Bank Niaga diambil alih oleh perusahaan Malaysia, kegiatan Bank Niaga tetap tidak berubah masih bergerak di bidang perbankan. Besaran Bank Niaga boleh jadi juga masih sama. Namun sekarang, seperti yang kita lihat, logo perusahaan berubah menjadi CIMB Niaga yang menandakan terjadi perubahan identitas di dalam tubuh perusahaan tersebut. Atau dengan kata lain Bank Niaga yang lama tidak sama dengan CIMB Niaga yang baru meski kegiatan bisnis Bank Niaga tidak berubah.



 EKMA4565/MODUL 1



1.7



Sedangkan pada Gambar 1.1b, katakanlah PT. ABC masih tetap dimiliki oleh pemilik yang sama (tidak ada pergantian pemilik) tetapi kondisi A yang baru berbeda dengan kondisi A lama karena ada perubahan bentuk, misalnya PT. ABC yang semula perusahaan tunggal sekarang menjadi perusahaan holding. Atau, PT. ABC yang semula bergerak di bidang industri manufaktur sekarang beralih ke industri jasa. IBM boleh jadi merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. IBM memodifikasi definisi bisnis yang digelutinya dari semula menerjemahkan IBM sebagai perusahaan manufaktur yang menghasilkan produk-produk komputer (mainframe) sekarang di bawah kepemimpinan Lou Gerstner, Jr. IBM menjadi perusahaan jasa yang bergerak di bidang jasa informasi (lihat: Louis V. Gerstener, Jr. dalam bukunya Who says elephants can’t dance?, 2002). Dalam hal ini Lou Gerstner berpandangan bahwa IBM bukan sekedar perusahaan menghasilkan perangkat keras komputer tetapi lebih dari itu IBM adalah perusahaan yang memanfaatkan teknologi komputer sebagai alat informasi. Oleh karenanya Lou Gerstener secara tegas menyatakan bahwa IBM adalah perusahaan jasa informasi. Sementara itu dalam kasus Samsumg (lihat Eric Minton, 1999), bisnis dan definisi bisnis Samsung masih tetap sama tetapi dengan masuknya Jong-Yong Yun sebagai CEO, cara kerja Samsung berubah. Jong-Yong Yun memodifikasi operasionalisasi kerja Samsung dengan berlandaskan pada konsep-konsep yang berkembang pada bidang teknologi industri – sebuah pola kerja yang tidak dilakukan oleh CEO sebelumnya. Akibatnya pola kerja Samsung berubah. Pada Gambar 1.1c, kondisi A masih sama dengan kondisi sebelumnya, katakanlah pemilik tidak berubah, dan bisnis yang digelutinya juga tidak berubah. Namun karena PT. ABC seperti pada contoh sebelumnya, memperbesar skala bisnisnya misalnya dari semula hanya memproduksi 1 juta unit sekarang memproduksi 5 juta unit sehingga jumlah karyawannya bertambah dan cakupan pemasarannya juga semakin meluas ke wilayah regional ASEAN dari semula hanya wilayah Indonesia, tidak berlebihan jika dikatakan PT. ABC mengalami penambahan dan hal itu berarti ada perubahan. Atau dengan kata lain tetap saja kondisi A berubah menjadi kondisi A yang baru. Situasi pada Gambar 1.1c sangat mungkin terjadi sebaliknya yakni terjadi perubahan tetapi bukan karena penambahan melainkan karena pengurangan (lihat Gambar 1.1d). Ambillah contoh PT. Garuda Indonesia Airways (GIA). Semula GIA memiliki dan menjalankan beberapa bisnis misalnya penerbangan, maintenance facilities, catering, travel bureau, dan perhotelan, namun karena lingkungan internal



1.8



Manajemen Perubahan 



dan eksternal tidak mendukung, GIA terpaksa harus memperkecil skala usahanya dengan melepas beberapa usaha bukan inti dan hanya mempertahankan dua bisnis inti: penerbangan dan maintenance facilities. Contoh ini memberi gambaran akan adanya pengurangan kondisi pada GIA yang berarti terjadi perubahan. 2.



Perubahan dan Ketidakpastian Ada pepatah yang mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua yang pasti yaitu kematian dan membayar pajak. Selain kedua hal ini semuanya hampir pasti penuh dengan ketidakpastian termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan perubahan. Artinya, selain identik dengan perbedaan, perubahan selalu dikaitkan dengan ketidakpastian (uncertainty). Boleh jadi yang tidak pasti adalah penyebabnya – karena lingkungan selalu berubah sehingga menuntut kita untuk berubah, atau hasilnya tidak pasti – bisa jadi hasil perubahannya lebih baik atau lebih buruk. Masih ada kemungkinan lain yakni: proses dan isi perubahannya juga tidak pasti. Semua itu – penyebab (context), proses, isi (content) dan hasil yang tidak pasti (result) menyebabkan para aktor – mereka yang terlibat dalam perubahan sering kali merasa takut. Mereka takut bukan pada perubahannya tetapi takut pada ketidakpastian dan ketidaktahuan terhadap masa akan datang akibat perubahan. Oleh karena itu menjadi wajar jika banyak orang enggan melakukan perubahan, atau dengan kata lain, resistensi terhadap perubahan merupakan sifat alami manusia. Artinya, meski perubahan itu bersifat logis – bisa diterima oleh akal sehat, pada kenyataannya perubahan lebih bersifat emosional. Itulah sebabnya selain diartikan sebagai “alternation, modification or addition”, perubahan juga sering dimaknai sebagai sesuatu yang menakutkan (scary), membuat sakit kepala (painful), membebaskan (liberating), membuat arah tidak menentu (disorienting), menyegarkan (exhilarating), memberdayakan (empowering), membuat frustrasi (frustating), memenuhi kebutuhan (fulfilling), memusingkan (confusing), dan menantang (challenging). 3.



Respon terhadap Perubahan Masyarakat yang terlibat dan dilibatkan dalam perubahan merespon perubahan dengan sikap beragam. Sikap ini muncul karena adanya ketidakpastian dalam perubahan. Secara umum respon masyarakat terhadap perubahan bisa dibagi menjadi dua – setuju dan tidak setuju. Mereka yang



 EKMA4565/MODUL 1



1.9



merasa optimis terhadap perubahan cenderung mendukung perubahan. Mereka yang setuju, ditandai dengan pernyataan exhilarating, empowering, fulfilling dan challenging, tentu akan mengawal perubahan dengan antusias agar cita-cita yang terkandung dalam perubahan bisa tercapai. Sementara itu bagi mereka yang tidak setuju, pesimis akan perubahan, masih merasa tidak pasti dan tidak tahu akan masa depan akibat perubahan menganggap perubahan sebagai: scary, painful, disorienting, frustating, dan confusing. Mereka boleh jadi akan mengalami kejutan budaya (culture shock). Akibatnya mereka mencari strategi atau jalan keluar yang menurutnya bisa membebaskan diri dari persoalan tersebut. Farouk (2005) mengidentifikasi 5 (lima) jalan keluar (strategi) yang biasa dilakukan masyarakat ketika menghadapi ketidakpastian dan ketidaktahuan perubahan. a. Negative strategy. Mereka akan menutup diri, menolak perubahan, dan berusaha membayangkan dan membangun lingkungan hidup sebagaimana yang ada di masa sebelumnya dan membangun ikatanikatan primordial, b. Hedonist strategy. Mereka akan terbawa arus perubahan, kehilangan ingatan akan pegangan masa lalu dan bahkan pada akhirnya bersikap apatis terhadap segala yang mapan, meniscayakan serta menikmati segala apa saja yang menimbulkan efek perubahan. c. Fatalistic strategy. Mereka akan tetap bertahan hidup dalam perubahan itu, tetapi dengan sikap kognitif, afektif dan motorik yang traumatik yang menatap masa depan tanpa harapan dan berjuang hidup hanya pada batas survival untuk sekedar bertahan hidup di masa kini, d. Pragmatist strategy. Mereka akan bertahan hidup dalam perubahan tetapi dengan membuat pegangan-pegangan baru yang bersifat sementara untuk bisa digunakan dalam menyiasati masa lalu, masa kini maupun masa depan, membangun kemapanan relatif yang berguna dalam rentang waktu pendek yang selalu siap untuk dimodifikasi sesuai dengan perubahan keadaan yang berjalan cepat, dan e. Reflective strategy. Mereka menerima perubahan dengan sikap kritis dan selektif dengan menggunakan program jangka panjang mereka sebagai tolok ukur. 4.



Perubahan dan Kemajuan/Progres Pada intinya perubahan, yang pengertiannya telah dijelaskan di muka, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan. Dengan demikian kata kunci dari



1.10



Manajemen Perubahan 



perubahan adalah perbedaan. Setiap perubahan pasti menimbulkan perbedaan, sekecil apapun perbedaan tersebut; tidak peduli apakah perbedaan tersebut menyebabkan kondisi yang baru lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya; apakah perbedaan tersebut berakibat positif atau negatif. Artinya, setiap perubahan hampir pasti menimbulkan ketidakpastian. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan ketidakpastian merupakan kata kunci kedua dari perubahan. Hanya saja dampak buruk atau dampak negatif perubahan sangat tidak dikehendaki oleh siapa saja. Sebaliknya, sangat diharapkan perubahan memberikan dampak baik dan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Seperti kata pepatah “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Hal senada ditegaskan Stuhler (1994) yang menyatakan bahwa perubahan tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh progres atau kemajuan. Oleh karena itu, untuk menghindari/meminimalisir dampak buruk perubahan di satu sisi dan mencapai tujuan perubahan yang dikehendaki pada sisi yang lain, perubahan perlu dikenali, dipahami, dikelola dan dalam batas-batas tertentu bahkan perlu diciptakan. Semua itu tujuannya hanya satu agar perubahan berdampak pada kemajuan/progres. Meski kemajuan/progres merupakan harapan setiap orang, dalam sejarahnya setiap kelompok masyarakat mengartikan kemajuan secara berbeda sesuai dengan keinginan dan pemahaman masing-masing kelompok (Stuhler, 1994). Stuhler lebih lanjut memberikan gambaran tentang pemahaman makna kemajuan dari generasi berbeda sebagai berikut: a. Pada zaman Yunani kuno, kemajuan dikaitkan dengan perkembangan biografi seseorang. b. Bagi Umat Kristen, Kitab Injil berisikan ajaran-ajaran tentang kemajuan merupakan jalan menuju surga keabadian (Saint Agustinus). c. Pada periode scholastic, manusia menganggap seni dan ilmu pengetahuan sebagai akumulasi kemajuan. d. Abad Pertengahan dan Renaissance menjadi landasan bagi versi modern tentang konsep kemajuan. Dalam hal ini kemajuan dipahami sebagai ide yang berorientasi masa depan. e. Pada masa-masa Descartes, konsep progres dikombinasikan dengan nalar dan empiris. Kemajuan hanya bisa dicapai jika kita bisa belajar dan mengetahui lebih banyak melalui bukti empiris dengan menggunakan akal sehat ketimbang melalui pengetahuan dan kearifan yang datang dari seorang yang memiliki otoritas.



 EKMA4565/MODUL 1



f.



g.



h.



i. j.



k.



l.



1.11



Francis Bacon mengaitkan secara langsung kemajuan sosial politik dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Artinya, ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi menjadi sumber kemajuan di bidang sosial politik. Selama abad 18, dimensi politik dan moralitas merupakan bagian integral dari konsep kemajuan. Setelah revolusi Perancis, orang mulai yakin bahwa kemajuan tidak hanya bisa diramal tetapi bisa direncanakan dan dikendalikan. Menurut Emmanuel Kant, kemajuan secara eksplisit berarti “kemajuan menuju perbaikan – progress towards better”. Kemajuan merupakan sifat alami yang tersembunyi. Artinya kemajuan tidak bisa dimanifestasikan kecuali atas konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karl Marx menerjemahkan kemajuan sebagai sebuah masyarakat tanpa kelas ekonomi. Menurut teori evolusi Charles Darwin, kemajuan tidak lagi diartikan sebagai bergerak maju menuju sesuatu yang lebih baik melainkan hasil perkembangan yang lebih baik melalui mutasi dan seleksi alam. Abad 20 menghasilkan dua sikap terhadap kemajuan: dukungan dan empati terhadap kemajuan khususnya dalam hal perkembangan teknologi dan kedua sebaliknya mengkritisi kemajuan. Saat ini, dalam batas-batas tertentu, terjadi sikap progresif melawan kemajuan.



B. PERUBAHAN DALAM SKALA MAKRO: PERUBAHAN MASYARAKAT Untuk mengenali dan memahami perubahan, tidak jarang kita harus belajar dari sejarah masa lalu yakni bagaimana berlangsungnya proses perubahan baik perubahan pada skala mikro (perubahan organisasi) maupun perubahan pada skala makro (perubahan masyarakat). Kedua jenis perubahan ini diyakini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Perubahan yang terjadi pada skala makro pasti akan berimbas pada perubahan pada skala mikro mengingat organisasi merupakan bagian integral dari masyarakat. Demikian sebaliknya, perubahan yang terjadi pada skala mikro, misalnya perubahan pada organisasi politik seperti yang telah terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh terhadap tata kehidupan masyarakat



1.12



Manajemen Perubahan 



Indonesia. Oleh karena itu membahas keduanya akan sangat membantu kita memahami konteks perubahan secara umum. Untuk itu dan untuk mempermudah pemahaman kita, bahasan tentang perubahan pada skala makro akan didahulukan dan diikuti oleh bahasan tentang perubahan organisasi yang akan disajikan pada sub-bab berikutnya. Tentang perubahan masyarakat, Alvin Toffler – seorang sosiolog dan futurologist, melalui trilogi bukunya: Future Shock (1970), The Third Wave (1980) dan Power Shift (1991) menguraikan terjadinya pergeseranpergeseran tata kehidupan manusia yang bersifat struktural dan sering kali menyebabkan kejutan kultural (cultural shock) bagi siapa saja yang tidak siap menghadapinya. Dalam salah satu bukunya “The Third Wave – Gelombang Ketiga” Toffler membagi tahap perkembangan manusia ke dalam tiga gelombang perubahan yaitu gelombang pertama era pertanian (agrarian era), gelombang kedua era industri (industrial era) dan gelombang ketiga era pasca industri atau sering dikenal pula sebagai era informasi (post industrial, atau information era). Pergeseran dari gelombang satu ke gelombang yang lain selalu ditandai oleh perubahan atau tepatnya lompatan besar yang menyebabkan karakteristik pada satu era berbeda dengan karakteristik era lainnya. Perubahan-perubahan seperti yang dikatakan Toffler, bermula dari inovasi-inovasi yang dilakukan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat (Lenski & Lenski, 1987). Sudah hampir pasti inovasi ini kemudian ditiru, merembet dan dikembangkan kelompok-kelompok masyarakat lain dan hasilnya adalah inovasi-inovasi baru yang lebih baik. Inovasi yang terus bergulir ini pada akhirnya, secara gradual, menyebabkan kemajuan pada sekelompok masyarakat tertentu. Jika di satu sisi ada kelompok masyarakat lebih maju pasti di sisi lain ada kelompok masyarakat yang tertinggal yaitu kelompok masyarakat yang tidak inovatif. Secara makro perbedaan dua kelompok masyarakat ini berakibat pada keberagaman antar kelompok masyarakat. Bagi kelompok yang lebih maju, inovasi selain mengakibatkan perubahan dan kemajuan, secara alami juga berakibat pada peningkatan dan variasi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika kelompok masyarakat ini terus berusaha untuk memperkuat eksistensinya dan tidak jarang pula berupaya untuk mendominasi kelompok masyarakat lain Sementara itu masyarakat yang kurang berkembang tentu tidak tinggal diam. Mereka juga berusaha untuk mensejajarkan diri dengan kelompok masyarakat maju agar tetap eksis. Berbagai cara bisa mereka lakukan



 EKMA4565/MODUL 1



1.13



termasuk berusaha melakukan inovasi. Namun tidak jarang pula perbedaan kualitas kedua kelompok masyarakat tersebut berakibat pada tingkat persaingan yang semakin tinggi, bahkan kadang-kadang menjurus pada persaingan tidak sehat. Tingkat persaingan yang paling sederhana, masingmasing kelompok masyarakat berusaha untuk memperbesar populasi anggota kelompok agar kelompoknya menjadi semakin kuat. Namun dalam persaingan yang sangat kompleks, perang dalam berbagai bentuk – fisik, dagang, budaya, dan informasi sering kali tidak bisa dihindarkan. Dalam perang ini masing-masing pihak berusaha untuk memperebutkan pengaruh, wilayah teritori dan sumber daya-sumber daya baru agar mereka tetap eksis dan sekaligus memperkuat posisi masing-masing. Kombinasi kedua faktor yang disebutkan di atas – inovasi yang berujung pada kompetisi/ perang menjadi sebab terjadinya seleksi alam – ada sebagian kelompok masyarakat yang tidak mampu mempertahankan eksistesinya dan ada kelompok masyarakat yang terus eksis. Hal ini bisa diartikan bahwa tidak semua kelompok masyarakat secara alami bisa bertahan hidup dan mempertahankan eksistensinya karena kalah bersaing dengan kelompok masyarakat lain. Lenski & Lenski (1987) mengatakan bahwa mereka yang bisa mempertahankan eksistensinya adalah kelompok masyarakat yang memiliki bekal informasi teknologi yang lebih banyak sehingga bisa melakukan perubahan dan inovasi yang diperlukan untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupannya. Mereka pula yang pada akhirnya bisa mempengaruhi masyarakat lain yang lebih luas. Banyak contoh yang bisa diambil dari kejadian masa lalu seperti Suku Indian Amerika yang populasinya semakin kecil karena didominasi kulit putih. Meski pada awalnya masyarakat kulit putih (Amerika) relatif sedikit dalam hal populasi tetapi karena inovatif merekalah yang dewasa ini menguasai Amerika dan bahkan dunia. Amerika bisa dikatakan menjadi “trend setter” sistem masyarakat dunia. Proses terbentuknya trend ini, seperti tampak pada Gambar 1.2, dimulai dari inovasi sekelompok kecil masyarakat yang dibarengi dengan persaingan/perang antar kelompok dan berlanjut dengan seleksi alam. Gambar 1.2 juga memberi gambaran tentang beberapa karakteristik sistem masyarakat dunia. Di antaranya adalah: populasi yang terus meningkat; berekspansi ke lingkungan baru; penemuan dan penggunaan sistem simbol baru; kepemilikan bekal teknologi informasi; bekal informasi budaya masyarakat lain; menghasilkan produk-produk budaya baru; organisasi



1.14



Manajemen Perubahan 



kemasyarakatan semakin kompleks; ketidaksetaraan di dalam maupun antar kelompok masyarakat semakin meningkat; dan terjadi akselerasi perubahan masyarakat dan budaya. Sebuah contoh kecil tentang cara makan. Bisa dikatakan setiap kelompok masyarakat memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal cara makan. Masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan tangan secara langsung ketika makan. Kalaulah sekarang ini banyak ditemui orang yang makan dengan menggunakan sendok dan garpu tidak lain karena mengikuti trend dunia utamanya karena pengaruh masyarakat Barat. Namun ketika Jepang secara ekonomi mulai sejajar dengan Bangsa Barat dan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia termasuk masyarakat Barat sendiri, trend dunia dalam hal cara makan juga ikut bergeser. Dewasa ini misalnya menjadi hal yang lumrah bila seseorang, dimanapun mereka, menggunakan sumpit ketika makan khususnya ketika yang dimakan adalah makanan berbasis mie yang notabenenya merupakan makanan pokok masyarakat Jepang. Seseorang dianggap tidak mengikuti trend dunia jika makan mie katakanlah dengan menggunakan sendok atau garpu, apalagi seperti kebiasaan orang Indonesia dengan menggunakan tangan secara langsung. Perubahan seperti ini sekali lagi terjadi setelah Jepang dominan secara ekonomi.



Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 74 Gambar 1.2. Model Evolusi Sistem Masyarakat Dunia



 EKMA4565/MODUL 1



1.



1.15



Era Pertanian (Agrarian Era) Era pertanian tentu bukan era awal dari kehidupan manusia di dunia. Sebelum era pertanian sudah dikenal adanya era holtikultura dan bahkan jauh sebelum itu sudah ada era berburu (hunting and gathering era). Mengikuti penjelasan Alvin Toffler, pada modul ini uraian tentang perubahan peradaban manusia hanya dibatasi mulai dari era pertanian. Berbagai literatur mengatakan bahwa era pertanian dimulai sejak sekitar tahun 8000 SM dan berakhir sekitar tahun 1650 – 1750 M. Pergeseran dari era hortikultura ke era pertanian (lihat Gambar 1.3) misalnya, ditandai oleh meningkatnya produksi pertanian karena penggunaan teknologi yang belum pernah digunakan sebelumnya. Teknologi tersebut adalah alat pertanian yang disebut “bajak”. Pergeseran menggunakan teknologi dari cangkul dan batang kayu ke bajak sebagai alat bercocok tanam menyebabkan kenaikan tingkat produktivitas dan berakibat pada surplus di bidang perekonomian. Selanjutnya, pergeseran dan kemajuan di bidang ekonomi ini secara berturut-turut menyebabkan perubahan-perubahan lain dalam tatanan hidup bermasyarakat baik dalam kehidupan sosial, budaya, keagamaan dan kekuasaan. Misalnya, meningkatnya surplus bidang perekonomian berdampak pada semakin meningkatnya kekuasaan kelas penguasa yang secara langsung berdampak pada meningkatnya ketidaksetaraan dalam masyarakat, dan mulai muncul sistem pembagian kerja: ada kelas pedagang, pasukan perang, kelas agamawan. Dari sini kemudian muncul ideologi baru, mulai digunakannya uang sebagai alat tukar dan penggunaan tulis menulis sebagai media komunikasi. Perubahan-perubahan inilah yang mendorong terciptanya inovasi-inovasi teknologi baru yang menjadi awal dari pergeseran ke era berikutnya.



1.16



Manajemen Perubahan 



Perang untuk menaklukan semakin meningkat



Bergeser menjadi pasukan perang profesional



Ketidaksetaraan meningkat



Tingkat inovasi melambat



Surplus ekonomi bertumbuh



Pergeseran dari hortikultura ke agraria



Negara dan kekuasaan kelas penguasa bertumbuh



Produktivitas meningkat



Populasi dan tenaga Kerja bertumbuh, tanah semakin menyempit



Populasi urban bertumbuh



Ideologi baru Pembagian kerja meningkat



Perdagangan Meningkat dan Munculnya kelas pedagang



Penemuan tulis menulis dan uang



Muncul agama yang universal



Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 207 Gambar 1.3. Proses Pergeseran dari Era Hortilutura ke Era Pertanian



Secara umum era pertanian memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Tanah adalah basis bagi kegiatan ekonomi, kehidupan, budaya, struktur keluarga dan politik. Desa menjadi pusat kehidupan dan kegiatan ekonomi. Sementara itu pembagian kerja didasarkan pada kasta dan kelas sosial, dan kekuasaan cenderung dijalankan secara otoriter. Karena masih adanya kelas sosial, dari mana seseorang lahir akan menentukan kehidupannya di masa datang. Mereka yang lahir dari kasta ningrat akan terus menjadi golongan elit dan sebaliknya yang lahir dari rakyat biasa akan tetap menjadi rakyat biasa. b. Konflik antar petani biasanya terjadi seputar kepemilikan dan penggunaan tanah garapan termasuk di dalamnya dalam hal distribusi air. c. Pada era pertanian, sumber energi pada umumnya berasal dari makhluk hidup – manusia itu sendiri atau hewan bertenaga seperti kerbau dan sapi, atau dari tenaga matahari, angin dan air. Sementara hasil hutan



 EKMA4565/MODUL 1



d.



e.



f.



g.



2.



1.17



hanya diperuntukkan untuk kegiatan memasak dan menghangatkan tubuh. Penemuan-penemuan baru lebih banyak terkait dengan hal-hal yang bisa mengurangi penggunaan otot manusia atau penggunaan hewan seperti misalnya: derek dan baji, katapel, alat penghancur buah anggur, tuas, dan kerekan Dalam hal kegiatan perdagangan, walaupun diyakini bahwa pada era pertanian sudah terjadi kegiatan pasar namun skop kegiatannya masih terbatas karena pada era ini hasil-hasil produksi lebih diorientasikan untuk konsumsi sendiri dan keluarganya. Transaksi jual beli hanya dilakukan jika adalah kelebihan cadangan Sistem komunikasi pada era ini cenderung komunikasi langsung – faceto-face atau person-to-person. Model komunikasi tidak langsung misal yang dilakukan oleh bangsa Persia kuno adalah dengan membuat tower yang tinggi untuk menyampaikan pesan dari penguasa kepada rakyatnya. Menjelang akhir era pertanian beberapa inovasi yang mengarah pada pergeseran ke era industrialisasi adalah (1) penggunaan jam. Biasanya setiap kota memasang jam di tempat yang mudah dilihat orang banyak sebagai alat untuk mengkoordinasi kegiatan; (2) alat cetak mencetak yang bisa digunakan untuk menggandakan barang-barang cetakan dalam jumlah banyak; dan (3) kebutuhan akan alat-alat pertanian mendorong inovasi di bidang peralatan berbasis besi baja.



Era Industri (Industrial Era) Uraian tentang munculnya era industrialisasi dapat dilihat pada Gambar 1.4. Secara umum Gambar 1.4 menjelaskan bahwa era industrialisasi bermula dari akumulasi informasi, khususnya yang berkaitan dengan teknologi, yang diperoleh sejak akhir era pertanian seperti sistem navigasi, cara pembuatan kapal yang lebih besar dan penemuan alat cetak mencetak. Informasi-informasi tersebut menjadi bekal bagi masyarakat Eropa untuk melakukan inisiatif dan inovasi lebih jauh. Berbekal kapal yang lebih besar dan dilengkapi sistem navigasi yang lebih canggih, beberapa pelaut Eropa berani berlayar lebih jauh dari tanah asal. Mereka melakukannya bukan sakedar menaklukkan lautan luas yang belum pernah dilayari tetapi untuk menemukan dunia baru. Dari situlah mereka menemukan sumber daya baru dan mengangkutnya ke negara asal. Dengan armada yang lebih besar pada pelayaran berikutnya, mereka mulai menguasai sumber daya tersebut untuk



1.18



Manajemen Perubahan 



selanjutnya menjadi barang komoditi yang diperdagangkan. Konsekuensi logisnya adalah mulai muncul jiwa entrepreneurship dan ekonomi uang, dan sekaligus menurunnya aktivitas pertanian. Bersamaan dengan itu reformasi di bidang keagamaan – terutama agama Kristen Protestan berdampak pada berbagai revolusi lanjutan: ekonomi, sosial dan ideologi. Akibatnya revolusi di bidang pertanian secara bertahap beralih ke industrialisasi.



Penemuan dan penaklukan dunia baru Akumulasi informasi tentang teknologi yang diperoleh pada akhir era pertanian termasuk kemajuan dalam sistem navigasi, cara pembuatan kapal, dan penemuan alat cetak



Emas dan perak diangkut ke Eropa Meningkatnya perdagangan Munculnya negaranegara Garis Depan



Reformasi agama - Protestan



Munculnya ekonomi uang



Revolusi bidang pertanian



Perubahan organisasi – Munculnya entreprenur



Perubahan ideologi: sikap positif terhadap aktivitas, perencanaan, dan inovasi enterprenur



Revolusi industri: meningkatnya inovasi teknologi



Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 232 Gambar 1.4. Proses Pergeseran dari Era Pertanian ke Era Industri



Beberapa buku dan artikel menyebutkan bahwa revolusi industri seperti disebutkan di atas dimulai di Inggris pada tahun 1760 sampai dengan tahun 1830. Periode ini sering disebut sebagai Revolusi Industri di Inggris. Penyebutan ini didasarkan pada argumentasi bahwa pada periode ini mulai terjadi inovasi-inovasi besar yang membawa Inggris memasuki peradaban baru yakni era industri. Jika tanah garapan menjadi basis era pertanian, era industri ditandai oleh kegiatan yang bersifat masif seperti produksi secara masal. Sementara itu Lenski & Lenski (1987) membagi revolusi industri menjadi empat fase. Fase pertama dimulai pada pertengahan abad 18 dan berakhir sekitar 100 tahun kemudian. Fase kedua dari pertengahan abad 19 sampai awal abad 20. Fase ketiga dari awal abad 20 sampai berakhirnya perang dunia kedua. Era industrialisasi itu sendiri diyakini baru berakhir sekitar tahun 1980-an.



 EKMA4565/MODUL 1



1.19



Seperti halnya revolusi yang terjadi pada era sebelumnya, penemuan teknologi baru tampaknya menjadi unsur utama pada revolusi industri. Pada fase pertama revolusi industri, inovasi dimulai dari industri tekstil dengan penggunaan mesin tekstil yang bisa meningkatkan efisiensi sumber daya manusia dan memanfaatkan sumber energi baru. Dampak dari temuan dan inovasi ini adalah semakin berkembangnya industri tekstil. Misalnya antara tahun 1770 – 1845 kontribusi industri tekstil terhadap pendapatan nasional Inggris meningkat lebih dari lima kali lipat. Dengan teknologi baru ini pula, produksi tekstil yang semula di lakukan di rumah-rumah para pekerja sekarang terkonsentrasi pada pabrik-pabrik yang sengaja dibangun untuk kegiatan produksi. Industri tekstil tentunya bukan satu-satunya inovasi yang terjadi pada fase pertama era industri. Pada fase ini kemajuan-kemajuan penting lainnya adalah peningkatan industri besi baja dan tambang batu bara. Meski tidak setinggi industri besi baja, pada tahun 1760 Inggris memproduksi batu bara sebanyak 5 juta ton dan meningkat 9 kali lipat pada tahun 1845. Temuan yang paling fenomenal seperti banyak disebut berbagai buku adalah diciptakannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1765. Menurut beberapa sumber (lihat misalnya: Wren, 1994, hal. 37), James Watt sesungguhnya bukan orang pertama yang menciptakan mesin uap karena mesin tersebut sudah diciptakan sejak tahun 200 masehi, namun apa yang dilakukan James Watt betul-betul bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produksi dan mengubah pola produksi di Inggris pada saat itu. Istilah “tenaga kuda” yang kita kenal sekarang ini bermula dari mesin uap ciptaan James Watt yang bisa menggantikan beberapa kuda sebagai alat produksi. Pada fase ini juga diciptakan mesin yang spare part-nya bisa diganti-ganti manakala sebagian spare part tersebut rusak. Fase kedua era industrialisasi dimulai pada pertengahan abad 19. Pada fase ini ekspansi besar-besaran terjadi pada industri tekstil, besi baja dan batu bara sehingga revolusi industri mulai menyebar sampai ke daratan Eropa lainnya dan bahkan ke Amerika Serikat. Perkembangan yang cukup penting pada fase ini adalah pemanfaatan mesin uap untuk kegiatan transportasi sehingga pada tahun 1850-an wilayah Inggris bisa dihubungkan dengan kereta uap. Dampaknya, biaya angkut barang lebih murah, komoditas bisa diangkut dalam jumlah lebih banyak, semakin tinggi permintaan dan lebih penting lagi bisa memupus monopoli atau oligopoli yang sebelumnya



1.20



Manajemen Perubahan 



dilakukan pengusaha lokal, atau dengan kata lain persaingan menjadi semakin meningkat dan harga barang dagangan semakin murah. Hal lain yang tidak kalah penting pada fase kedua era industrialisasi adalah tingkat kebergantungan yang tinggi terhadap bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika sebelumnya temuan-temuan baru cenderung dilakukan secara alami oleh individu per individu, pada fase ini temuan lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan pendidikan formal di bidang ilmu pengetahuan atau teknologi tertentu. Hal ini sangat tampak pada industri kimia walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pada industriindustri lainnya. Oleh karenanya sangat wajar jika proses inovasi kemudian secara formal dan institusional dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang sengaja didirikan untuk melatih individu-individu agar bisa saling bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teknis. Sebagai contoh, laboratorium yang didirikan Thomas Edison menjadi trend yang diadopsi orang lain dan negara lain seperti Jerman dan Amerika Serikat. Dari sinilah peranan universitas menjadi sangat penting untuk mendidik para insinyur teknik dan orang-orang untuk bisa bekerja sama. Fase ketiga era industrialisasi dimulai pada awal abad 20 dan berakhir pada perang dunia kedua. Fase ini ditandai oleh kemajuan di bidang teknologi energi. Pada awal abad 20 mulai ditemukan mesin yang bisa menciptakan energi pembakaran dari dalam (internal combustion engine) dan mesin-mesin yang bisa mentransmisi listrik yang bisa diproduksi dalam jumlah besar dan dengan harga yang murah sehingga secara komersial menguntungkan. Bersamaan dengan inovasi tersebut, berturut-turut industri otomobil meningkat. Demikian juga terjadi peningkatan pada industri listrik yang sangat dibutuhkan oleh kegiatan industri lain dan kebutuhan rumah tangga. Selanjutnya peningkatan juga pada industri telepon. Fase keempat atau fase terakhir dari era industri terjadi pada seputar perang dunia kedua (PD II). Bisa dikatakan bahwa PD II adalah satu-satunya perang yang sangat bergantung pada kegiatan industri, dalam hal ini industri penerbangan. Dalam waktu yang relatif singkat dari tahun 1938-1944 industri penerbangan Amerika Serikat meningkat dari 3600 unit menjadi 96000 unit pesawat. Konsekuensi logis dari kenaikan industri penerbangan adalah meningkatnya industri alumunium sebagai bahan dasar pesawat terbang. Selain itu, inovasi-inovasi yang sangat menonjol pada fase keempat ini adalah industri plastik, tenaga nuklir, elektronik dan yang paling dramatik pada fase ini adalah revolusi di bidang komputer. Komputer digital yang



 EKMA4565/MODUL 1



1.21



pertama kali dikembangkan pada tahun 1946 beratnya mencapai 30 ton dan besarnya satu ruangan penuh dengan kebutuhan tenaga listrik mencapai 140.000 watt namun hanya memiliki daya memori sebesar 20 ten-digit numbers. Sekarang fiturnya sangat bertolak belakang seperti langit dan bumi. Komputer begitu simpel dengan chip kecil yang berdaya memori beribu kali lipat dari komputer awal. Dampak dari temuan komputer ini mengakibatkan perubahan luar biasa dalam segala aspek kehidupan manusia sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa komputer merupakan pijakan dan menjadi quantum leap memasuki era berikutnya. 3.



Era Informasi (Information Era) Gelombang ketiga dari peradaban manusia sering disebut sebagai era informasi. Banyak pihak mengatakan bahwa era ini mulai terjadi pada tahun 1980an meski embrionya sudah mulai tampak sejak berakhirnya PD (Perang Dunia) II. Seperti halnya pada era-era sebelumnya, kembali pergeseran peradaban ini dipicu oleh temuan-temuan baru di bidang teknologi. Kali ini teknologi yang menjadi pemicunya adalah komputer yang kemudian berkembang menjadi teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology – ICT) berbasis serat optik. ICT yang menjadi kekuatan dasar pada era informasi merupakan teknologi yang memungkinkan manusia menyimpan ilmu pengetahuan yang didapat pada waktu-waktu sebelumnya ke dalam CD-ROMs sehingga ilmu pengetahuan tersebut tidak segera hilang manakala pemilik sudah tidak lagi bisa bertahan hidup. Bagi orang lain yang memanfaatkan pengetahuan tersebut memperlakukan pengetahuan sebagai informasi dan menjadi rujukan untuk menciptakan pengetahuan baru, demikian seterusnya. ICT dengan demikian merupakan perangkat penting terciptanya informasi, menjadi media komunikasi dan produksi pengetahuan. Itulah sebabnya era ini sering juga disebut sebagai era ilmu pengetahuan (knowledge era). Penyebutan ini didasarkan pada anggapan bahwa kekuatan pada era ini bukan pada kekuatan otot seperti pada era sebelumnya melainkan pada kekuatan pikiran seseorang yang menuntut adanya kebebasan seseorang untuk mengekspresikan kemampuan berpikir dan ke-diri-annya. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tata kehidupan manusia pada era informasi pada akhirnya bertumpu pada tiga produk ICT yaitu: informasi, ilmu pengetahuan dan komunikasi. Dengan ICT orang bisa memilih informasi sesuai dengan kebutuhan untuk menghindari informasi berlebihan



1.22



Manajemen Perubahan 



(overloaded information). Demikian juga dengan ICT orang bisa mengakses ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dan dengan ICT pula komunikasi bisa lebih murah tanpa gangguan yang tidak perlu. Secara umum beberapa karakteristik penting dari era informasi adalah sebagai berikut: a. Teknologi-teknologi baru. Teknologi baru pada era informasi menciptakan industri baru yang bersifat dinamis yang berbasis pada quantum electronics, teori informasi, biologi molekuler, ekologi kelautan, dan pengetahuan ruang angkasa. Sementara itu tingkat produktivitas industri bisa ditingkatkan melalui komputer, data processing, aerospace, petrokimia, semiconductors, komunikasi canggih, fisika, rekayasa sistem, artificial intelligence, fuzzy logic kimia polimer, dan diversifikasi sumber daya energi terbarukan. b. Industri ruang angkasa. Meski baru beberapa negara yang bisa melakukannya, pada era ini industri ruang angkasa diperkirakan akan menjadi embrio bagi revolusi pada tahap berikutnya. c. Industri kelautan. Wilayah lautan yang begitu luas melebihi luas daratan namun belum tergarap dengan baik bisa menjadi sumber kemanusiaan di masa yang akan datang. Laut menyediakan sumber protein yang cukup banyak sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi masalah kelaparan. d. Industri genetik. Ilmu pengetahuan di bidang biologi molekuler bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan. Bukan hanya itu, ilmu pengetahuan ini juga bisa digunakan untuk meningkatkan bidang kesehatan e. De-masifikasi media. Ketika informasi semakin membludak tidak terkendali, orang pada akhirnya hanya memilih informasi sesuai dengan kebutuhan. Kalaulah kita masih berlangganan surat kabar, tidak lagi bisa dan mau membaca seluruh isi surat kabar tersebut. Hanya berita-berita tertentu yang dibaca. Itulah sebabnya sekarang ini sudah banyak surat kabar yang menawarkan surat kabar on-line dengan tujuan agar para pembaca bisa memilih berita sesuai selera dan kebutuhan. Dengan kata lain, media tidak lagi masif melainkan terspesialisasi. f. Sistem memori masyarakat yang baru. Pada era agrikultur, komunitas menyimpan ingatan bersama hanya pada seseorang yang dianggap bijak atau pada orang yang lebih tua. Pada era industri, ingatan bersama justru disebarluaskan secara masal. Sekarang pada era informasi, ingatan-



1.23



 EKMA4565/MODUL 1



g.



h.



ingatan tersebut disimpan secara sistematis pada soft file - soft file yang sewaktu-waktu bisa diakses kembali melalui bantuan personal komputer yang bisa dibawa ke mana-mana. Sistem keluarga. Bisa dikatakan sistem “keluarga inti” yang berkembang pada era industri sudah semakin pudar pada era informasi. Keluarga menjadi beragam terpencar ke mana-mana. Pada era informasi orang mengatakan bahwa ketemu fisik antar anggota keluarga sudah kurang berarti jika tidak dibarengi dengan kualitas pertemuan. Dengan kata lain, anggota keluarga boleh terpencar dan tidak perlu sering-sering ketemu fisik asal kualitas pertemuan secara maya semakin meningkat. Standarisasi yang berkembang pada era industri dianggap tidak cocok pada era informasi. One-size-fits-all sudah tergantikan dengan yang serba cocok pada keadaan. Tabel 1.1 Perbedaan Karakteristik pada Masing-masing Era Era



Komoditas kunci Sumber energi Teknologi Produksi Distribusi Pemasaran Informasi Hubungan kemasyarakatan Bisnis Keluarga Pendidikan Otoritas kekuasaan



Agrikultur



Industri



Informasi



Tanah Manusia dan hewan Widgets Kerajinan/ untuk digunakan sendiri Terbatas Barter Interpersonal Spiritual



Modal Fossil



Data Bioteknologi



Elekro mekanikal Massa/ pertukaran



Digital/Genetik Prosumptive



Massa Poduct centric Massa Kontraktual



Spesialisasi Consumer centric Interaktif Mutual



Individual/ partnership Perpanjangan keluarga Elitist Melekat



Korporasi/birokrasi



Konglomerat/Ad hoc



Keluarga inti



Keluarga diperluas



Masa/standarisasi Dipilih



Spesialisasi/life-long Setengah langsung



Sumber: Baloch & Kareem, 2007, p.141



Setelah menelaah perjalanan peradaban manusia mulai dari era pertanian, era industri dan era informasi, dan memahami lompatan-lompatan perubahan yang terjadi pada satu era dengan era berikutnya, Tabel 1.1 seperti



1.24



Manajemen Perubahan 



dikemukakan Baloch & Kareem (2007) merangkum karakteristik kunci masing-masing era. C. PERUBAHAN DALAM SKALA MIKRO: PERUBAHAN ORGANISASI Pertanyaan yang terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada skala makro adalah siapa sesungguhnya pelaku perubahan tersebut. Jawabannya sudah tentu anggota masyarakat. Yang barangkali harus dicermati adalah siapa yang dimaksud dengan anggota masyarakat? Pertanyaan ini muncul karena anggota masyarakat pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua yaitu: anggota masyarakat sebagai individu dan anggota masyarakat sebagai bagian dari kelompok atau organisasi. Berkaitan dengan hal ini bisa dikatakan bahwa pada mulanya perubahan masyarakat khususnya yang terjadi pada era pertanian banyak dilakukan oleh individuindividu yang bertindak atas nama sendiri dan memiliki kemampuan berinovasi. Atau dengan kata lain pada era pertanian individu memainkan peran penting karena mereka merupakan pelaku utama dalam perubahan masyarakat. Situasi semacam ini didukung oleh pola hubungan kemasyarakatan lebih bersifat spiritual di mana individu berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Pola hubungan seperti ini memberi kesempatan individu berkontribusi langsung terhadap perubahan masyarakat. Peran individu mulai bergeser pada era industri. Pada era ini perubahan masyarakat masih dilakukan oleh individu, Meski demikian peran individu dalam perubahan masyarakat sedikit berbeda dibandingkan peran mereka pada era sebelumnya. Hubungan ke masyarakat yang bersifat kontraktual seperti digambarkan pada Tabel 1.1 membawa implikasi antara lain individu cenderung berafiliasi secara langsung dengan kelompok-kelompok kecil yang memberi manfaat langsung kepada masing-masing individu. Kelompokkelompok kecil ini yang secara sengaja didirikan untuk kepentingan tersebut belakangan disebut organisasi. Di dalam organisasi individu berinteraksi dengan individu lainnya dan mereka menjadikan organisasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan tempat mereka menyalurkan kreativitas dan inovasinya. Dengan berdirinya pabrik-pabrik sebagai ajang bagi seseorang melakukan kegiatan sehari-hari merupakan contoh bahwa individu merupakan bagian dari sebuah kelompok/organisasi. Oleh karenanya wajar jika dikatakan bahwa organisasi merupakan entitas yang menjembatani



1.25



 EKMA4565/MODUL 1



hubungan timbal balik antara individu dengan masyarakat (lihat Gambar 1.5) dan sekaligus menjadi pelaku perubahan. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa pada era industri perubahan-perubahan masyarakat, pemicunya adalah inovasi-inovasi individu dalam sebuah organisasi. Dengan kata lain organisasi memiliki peran penting dalam perubahan masyarakat. Pola perubahan seperti ini berlanjut pada era sesudahnya – era informasi. Masyarakat



Organisasi



Individu Gambar 1.5. Hubungan resiprokal antara Masyarakat, Organisasi dan Individu



Uraian di atas menegaskan bahwa organisasi memiliki peran penting dalam perubahan masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan organisasi tentunya tidak terbatas pada organisasi ekonomi yang biasa disebut perusahaan tetapi juga organisasi lain seperti organisasi keagamaan, pendidikan, kesehatan, politik dan berbagai organisasi pada sektor lain. Dengan cara pandang seperti ini secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa perubahan masyarakat merupakan hubungan saling peran (interplay) antar organisasi dengan masyarakat. Atau dengan kata lain, karena organisasi dan masyarakat terjadi hubungan resiprokal maka perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada akhirnya juga menuntut organisasi untuk melakukan perubahan. Demikian sebaliknya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perubahan organisasi merupakan sebuah keniscayaan. Untuk memahami mengapa dan bagaimana organisasi berubah, kita perlu terlebih dahulu memahami apa itu organisasi. Sayangnya sejauh ini tidak ada konsensus di antara para teoritis mengenai apa itu organisasi.



1.26



Manajemen Perubahan 



Organisasi yang berasal dari kata “organon“ dan berarti alat bantu (Morgan, 1996) cenderung didefinisikan secara beragam mulai dari definisi yang paling sederhana sampai pada definisi yang komprehensif. Buku-buku organisasi yang bersifat elementer atau populer biasanya mendefinisikan organisasi dengan definisi sederhana. Definisi ini mengatakan bahwa organisasi adalah sekelompok orang (group of people) yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama (common goals) (Schermerhorn, Jr. 2010). Tiga kata kunci dari definisi ini adalah “sekelompok orang”, “bekerja sama” dan “tujuan bersama”. Tiga kata kunci ini menegaskan bahwa ketika dua orang atau lebih melakukan kerja sama dengan tujuan agar tujuan mereka bisa tercapai maka kerja sama tersebut bisa disebut sebagai organisasi. Mungkin karena definisi ini cukup sederhana dan mudah dipahami, definisi ini cukup populer di kalangan pembelajar pemula organisasi, yang barangkali harus disadari adalah masih ada beberapa unsur penting yang seharusnya menjadi bagian dari esensi dasar organisasi tetapi belum terungkap dalam definisi di atas. Misalnya apakah kerja sama tersebut bersifat temporer atau permanen tidak menjadi perhatian definisi di atas. Definisi yang lebih komprehensif misalnya diberikan oleh Richard Hall (lihat Jaffe, 2001, hal. 5) sebagai berikut: Organization is a collectivity with a identifiable boundary, a normative order (rules), ranks of authority (hierarchy), communication sistem, and membership coordinating sistem (procedures); this collectivity exists, on a relatively continuous basis in an environment, and engage in activities that are usually related to a set of goals; the activities have outcomes for organizational members, the organization itself and for the society Organisasi adalah sebuah kolektivitas yang berada pada batasan-batasan tertentu (boundary) yang bisa diidentifikasi, sebuah keteraturan normatif (aturan), otoritas berjenjang (hirarkhi), sistem komunikasi, dan sistem koordinasi keanggotaan organisasi (prosedur); semuanya ini terjadi secara berkelanjutan dan aktivitas tersebut dilakukan dalam kaitannya dengan satu set tujuan yang ingin dicapai; aktivitas-aktivitas ini juga memberi manfaat bagi anggota-anggota organisasi, bagi organisasi itu sendiri dan bagi masyarakat luas.



Definisi yang relatif sangat panjang tersebut tentu agak sulit dipahami kalau tidak dielaborasi lebih lanjut. Eleborasi berikut diharapkan bisa memberi gambaran tentang organisasi sebagaimana dimaksudkan oleh



 EKMA4565/MODUL 1



1.27



Richard Hall. Pertama, kata kolektivitas menunjukkan adanya sekumpulan orang yang memiliki ikatan kepentingan. Artinya sejumlah orang bukan hanya berkumpul tetapi mereka berkumpul untuk mencapai sesuatu atau sederhananya untuk mencapai tujuan. Boleh jadi tujuan mereka sama tetapi lebih banyak bedanya. Dalam konteks organisasi persoalannya adalah tujuan mana yang harus didahulukan apakah tujuan masing-masing individu atau tujuan organisasi yang lebih luas. Kedua, setiap organisasi baik organisasi formal maupun informal pasti memiliki norma sebagai aturan dasar untuk menjalankan kegiatan organisasi. Pada organisasi informal norma biasanya tidak tertulis dan melekat pada orang-orang kunci organisasi. Sedangkan pada organisasi formal, norma cenderung tertulis sehingga siapapun yang terlibat di dalam organisasi harus tunduk pada norma aturan tersebut. Ketiga, setiap organisasi pasti memiliki jenjang yang menunjukkan adanya otoritas berbeda pada setiap jenjang berbeda. Penjenjangan seperti ini dalam organisasi disebut sebagai hierarki organisasi. Dengan demikian hierarki organisasi merupakan atribut organisasi yang tidak bisa dihindarkan. Sesederhana apapun sebuah organisasi pasti memiliki hierarki. Keempat, agar kegiatan organisasi berjalan baik dan sumber daya organisasi tidak terbuang percuma, organisasi biasanya membuat urut-urutan kegiatan yang bersifat baku yang disebut prosedur. Sebagian organisasi menerapkan urutan standar yang disebut Standard Operating Procedure (SOP) dan sebagiannya urutannya tidak standar. Terlepas dari terstandar atau tidak, fungsi dari prosedur organisasi adalah untuk mempermudah komunikasi antar individu dan antar bagian dalam organisasi, dan sebagai alat koordinasi bagi masingmasing bagian. Di samping keempat atribut organisasi seperti disebutkan di atas, organisasi biasanya didirikan dalam waktu yang tidak terbatas. Artinya para pendiri sangat berharap agar sekali sebuah organisasi didirikan, organisasi tersebut tidak pernah mati. Harapan ini pada umumnya didasarkan pada keinginan para pendiri untuk mencapai tujuan yang pencapaiannya memang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Meski demikian ada juga organisasi yang sengaja didirikan untuk batas waktu tertentu, misalnya organisasi kepanitiaan. Hal lain yang terkait dengan keberadaan organisasi adalah keterkaitan organisasi dengan lingkungan di luar organisasi. Seperti terlihat pada Gambar 1.5, organisasi merupakan bagian integral dari masyarakat. Masyarakat di sini adalah semua bentuk kehidupan yang membentuk masyarakat seperti sosial, budaya, politik, ekonomi hukum, dan



1.28



Manajemen Perubahan 



bahkan teknologi. Hubungan resiprokal antara masyarakat dengan organisasi seperti dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa organisasi tidak bisa lepas dan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian, jika katakanlah masyarakat berubah maka organisasi pun harus ikut berubah, atau paling tidak harus menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat agar bisa terus bertahan hidup dan syukur bisa berkembang sesuai keinginan. Terakhir, organisasi didirikan bukan tanpa tujuan. Gareth Jones (2001, hal. 5) misalnya mengatakan bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk menghasilkan produk atau jasa yang memiliki nilai lebih tinggi ketimbang jika produk dan jasa tersebut dihasilkan oleh individu per individu. Karena produk dan jasa tersebut pada akhirnya akan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkannya maka bisa dikatakan bahwa pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari kehadiran organisasi di antaranya adalah masyarakat secara umum. Di samping itu organisasi itu sendiri dan para anggota organisasi yang terlibat di dalamnya juga akan mendapat manfaat dari kehadiran organisasi. Namun karena organisasi sering disebut sebagai artificial being – bukan makhluk hidup yang sesungguhnya maka yang dimaksud dengan manfaat bagi organisasi itu sendiri adalah manfaat bagi para pemilik atau orang-orang yang mengendalikan organisasi. Berdasarkan penjelasan tentang esensi organisasi dan penjelasan sebelumnya tentang hubungan timbal balik antara organisasi dengan masyarakat di mana organisasi merupakan bagian integral dari masyarakat, bisa disimpulkan bahwa organisasi seperti halnya masyarakat akan selalu mengalami perubahan, yang dimaksud dengan perubahan organisasi adalah proses yang menggerakkan organisasi dari kondisi saat ini menuju ke kondisi yang diharapkan dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi (Jones, 2001, hal. 389). Definisi ini memberi kita pemahaman bahwa perubahan adalah sebuah proses yang terus bergulir, belum akan berhenti sebelum sesuatu yang diharapkan bisa tercapai. Dengan melakukan perubahan paling tidak organisasi berharap bisa bertahan hidup di tengah-tengah persaingan antar organisasi yang semakin tajam; syukur bisa berkembang sehingga tujuan-tujuan yang dikehendaki bisa tercapai, bahkan pencapaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses perubahannya itu sendiri bisa membutuhkan waktu yang sangat panjang atau sebaliknya hanya membutuhkan waktu pendek. Bisa melibatkan sebagian besar komponen organisasi (perubahan bersifat mayor) bisa juga



 EKMA4565/MODUL 1



1.29



hanya melibatkan sebagian kecil komponen organisasi (perubahan minor). Bisa berupa perubahan strategi tetapi kadang-kadang hanya perubahan operasional. Tidak jarang perubahan bersifat incremental namun sering pula tidak terhindarkan perubahan harus bersifat radikal dan transformatif. Kadang-kadang perbahanan terus berjalan (continuous) tetapi sering juga hanya sekedar terpenggal-penggal (punctuated) sesuai kebutuhan. Dalam pelaksanaannya, perubahan bisa terencana bisa juga tidak. Sementara itu dilihat dari sumber penyebabnya, perubahan bisa dipicu oleh faktor di luar organisasi (perubahan yang terjadi masyarakat) atau sebaliknya dipicu oleh faktor internal organisasi. Walhasil proses perubahan organisasi sangat kompleks dan melibatkan banyak aspek yang harus diintegrasikan agar tujuan perubahan bisa dicapai. Kompleksitas perubahan organisasi menandakan bahwa perubahan organisasi bukan merupakan pekerjaan mudah yang bisa ditangani cukup satu dua orang manajer. Sebaliknya, perubahan organisasi adalah pekerjaan sulit, melibatkan banyak pihak, bisa menimbulkan keos dan oleh karenanya harus mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Kecermatan dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang terkait dengan perubahan dan kesiapan organisasi secara keseluruhan dalam menyongsong perubahan bersifat mutlak. Hal ini berarti keselarasan antara context, content, process dan people (Burris, 2008) harus secara bersama-sama dipersiapkan dan diintegrasikan agar tingkat kegagalan atau risiko perubahan bisa di minimalisasi mengingat banyak fakta menunjukkan tingginya tingkat kegagalan perubahan (lihat misalnya: Reger et al., 1995) yang mencapai angka 70% (Miller, 2002). Tingkat keberhasilan atau kegagalan perubahan sangat bergantung pada bagaimana perubahan tersebut dikelola. Dalam hal ini (dengan demikian) peran manajemen perubahan sangat mutlak meski masih ada sebagian pihak (Palmer & Dunford, 2002) yang menyangsikan apakah betul perubahan bisa dikelola. Keraguan Palmer & Dunford terhadap manajemen perubahan sesungguhnya merupakan sebuah peringatan bagi pelaku perubahan agar berhati-hati dalam proses perubahan karena pada intinya perubahan tidak bersifat generik. Istilah populernya “there is no best way to manage change – tidak ada satu cara terbaik untuk mengelola perubahan”.



1.30



Manajemen Perubahan 



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang perubahan 2) Bagaimana respon masyarakat terhadap perubahan? 3) Jelaskan perbedaan karakteristik perubahan antara era industri dan era informasi. Petunjuk Jawaban Latihan 1) Simak dan pahami materi pada halaman 5 sampai dengan halaman 8. Pada dasarnya perubahan merupakan fenomena hidup dan kehidupan manusia yang tidak bisa dihindari, siapapun akan terlibat dalam perubahan, suka atau tidak; dikehendaki atau tidak. Perubahan dimaksudkan agar kita menjalani hidup lebih baik dan mengalami progres meski hal itu kadang tidak mudah dilakukan karena hasil perubahan sering kali juga tidak menentu. Tidak semua orang atau sekelompok orang dapat menerima perubahan. Karena bagi mereka perubahan adalah malapetaka yang akan menghilangkan hak privilege yang selama ini mereka nikmati. 2) Respon masyarakat terhadap perubahan dapat Anda pelajari pada halaman 8 dan 9. Respon ini muncul karena adanya ketidakpastian dalam perubahan. Secara umum respon masyarakat terhadap perubahan bisa dibagi menjadi dua – setuju dan tidak setuju. Mereka yang merasa optimis terhadap perubahan cenderung mendukung perubahan. Mereka yang setuju, ditandai dengan pernyataan exhilarating, empowering, fulfilling dan challenging, tentu akan mengawal perubahan dengan antusias agar cita-cita yang terkandung dalam perubahan bisa tercapai. Sementara itu bagi mereka yang tidak setuju, pesimis akan perubahan, masih merasa tidak pasti dan tidak tahu akan masa depan akibat perubahan menganggap perubahan sebagai: scary, painful, disorienting, frustating, dan confusing. 3) Perbedaan karakteristik perubahan antara era industri dan era informasi dapat Anda simak pada halaman 23 Tabel 1.1. Dari Tabel tersebut Anda dapat melihat perbedaan perubahan antara era industri dan era informasi.



 EKMA4565/MODUL 1



1.31



Sebagai contoh, pada era informasi pemasaran berkonsentrasi pada produk yang dihasilkan, tetapi pada era informasi pemasaran berkonsentrasi pada konsumen. R A NG KU M AN Perubahan merupakan suatu pergantian kondisi dari kondisi lama ke kondisi baru, modifikasi sebuah kondisi atau penambahan terhadap sebuah kondisi. Perubahan bisa juga diartikan pula sebagai pengurangan terhadap sebuah kondisi, dengan kata lain selama sesuatu itu tidak sama dengan keadaan sekarang maka itulah yang dimaksudkan dengan perubahan. Perubahan tidak pernah terjadi jika keadaan sekarang sama dengan keadaan pada masa lalu atau sama dengan keadaan yang akan datang. Implisit dari definisi tentang perubahan, perubahan itu sendiri selalu diikuti oleh perbedaan, perubahan selalu dikaitkan dengan ketidakpastian (uncertainty), perubahan juga selalu menimbulkan respon, selain itu perubahan juga harus berdampak pada kemajuan/ progres, tidak ada artinya jika perubahan tidak diikuti oleh progres atau kemajuan. Proses berlangsungnya perubahan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu perubahan dengan skala mikro (perubahan organisasi) maupun perubahan pada skala makro (perubahan masyarakat). Kedua jenis perubahan ini diyakini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Perubahan yang terjadi pada skala makro pasti akan berimbas pada perubahan pada skala mikro mengingat organisasi merupakan bagian integral dari masyarakat.



TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pernyataan di bawah ini yang bukan mencerminkan kondisi dari suatu perubahan adalah .... A. Pengurangan terhadap kondisi sebelumnya B. Pergantian dari kondisi lama ke kondisi baru C. Sama dengan kondisi sebelumnya D. Pengurangan terhadap kondisi sebelumnya



1.32



Manajemen Perubahan 



2) Karakteristik yang terkandung dari pengertian perubahan adalah bahwa perubahan .... A. selalu berkaitan dengan ketidakpastian B. tidak memiliki respon C. meniadakan perbedaan D. tidak memerlukan suatu progres 3) Toffler membagi tahap perkembangan manusia ke dalam tiga gelombang era perubahan yaitu era informasi, era pertanian dan era .... A. industri B. teknologi C. komunikasi D. mekanisasi 4) Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memberikan solusi dalam perubahan di antaranya adalah strategi .... A. Positive B. Pragmatist C. Corecctive D. Naturalisasi 5) Perubahan dengan skala mikro adalah perubahan yang terjadi pada .... A. masyarakat B. negara C. individu D. organisasi Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang



 EKMA4565/MODUL 1



1.33



Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



1.34



Manajemen Perubahan 



Kegiatan Belajar 2



Keberhasilan dan Kegagalan dalam Perubahan



O



rganisasi memiliki jenis yang sangat beragam seperti: organisasi bisnis, pendidikan, kesehatan, politik, keagamaan atau organisasi sektor publik dan jenis-jenis organisasi lainnya. Terlepas dari keragaman tersebut ada satu hal yang tidak berbeda yakni kegiatan operasional organisasi sekarang ini selalu dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah dan perubahannya begitu cepat. Oleh karena itu kalau perubahan lingkungan ini tidak direspons dengan mengubah dirinya (perubahan organisasi), bukan tidak mungkin organisasi yang tidak meresponsnya akan tersingkir dalam persaingan. Sebagai gambaran, dulu orang harus berbondong-bondong pergi ke alun-alun dan rela berdesakan di sana sakedar untuk bisa nonton pertandingan tinju Muhammad Ali yang disiarkan langsung melalui satu-satunya stasiun televisi waktu itu – TVRI. Sekarang orang yang mengaku miskin sekalipun tidak harus pergi ke mana-mana kalau sakedar untuk nonton berbagai acara yang ditawarkan beberapa stasiun televisi. Situasi yang kontras ini tentunya berkat kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi yang mencuat pada tahun 1980an inilah yang sering dianggap sebagai biang dari perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dalam hal ini mempengaruhi kehidupan organisasi TVRI. Dulu TVRI boleh mendominasi dan memonopoli siaran TV sampaisampai penduduk yang memiliki pesawat TV diminta untuk membayar iuran televisi. Sekarang TVRI masih tetap eksis menyiarkan program-programnya karena diproteksi pemerintah. Kalau tidak, boleh jadi TVRI tinggal kenangan karena keberadaannya kalah populer dibanding siaran TV swasta yang lebih menghibur dan lebih menarik ditonton. Perbandingan antara TVRI dan TV swasta yang sekarang jumlahnya lebih banyak ini sekali lagi menggambarkan antara organisasi yang responsnya lambat kalau tidak dikatakan tidak merespon dengan organisasi yang responsnya cepat. Stasiun TV swasta yang merespon dengan cepat perubahan lingkungan terbukti bukan sakedar survive tetapi lebih dari itu sekarang mendominasi kehidupan masyarakat. Sebaliknya Stasiun TVRI yang lambat merespon keinginan masyarakat bisa dikatakan mati enggan hidup tak mau.



 EKMA4565/MODUL 1



1.35



Kegiatan Belajar 2 secara umum akan menguraikan dua sisi perubahan organisasi yakni perubahan organisasi yang berhasil dan perubahan organisasi yang gagal. Uraian ini diharapkan dapat memberi mahasiswa gambaran awal tentang faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan kegagalan perubahan. Di samping itu mahasiswa juga bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan yang berhasil dan perubahan yang gagal. Untuk itu uraian pada Kegiatan Belajar 2 akan diawali dengan memberi contoh pengalaman beberapa perusahaan yang pernah melakukan perubahan. A. PERUBAHAN ORGANISASI: PENGALAMAN PERUSAHAAN BESAR Untuk memperoleh gambaran tentang perubahan organisasi dalam praktik, berikut disajikan pengalaman beberapa organisasi besar yang pernah melakukan perubahan organisasi. Paparan ini diharapkan bisa membantu kita memahami esensi perubahan organisasi: faktor pemicu, proses pelaksanaan, reaksi terhadap perubahan dan hasilnya. Contoh-contoh perubahan organisasi yang dipaparkan di sini disarikan dari dua sumber: Pertama, untuk kasus McDonald dan IBM dari buku “Managing Organizational Change – A multiple perspective approaches” (2006), yang ditulis oleh Ian Palmer, Richard Dunford & Gib Akin. Kedua, kasus British Airways disarikan dari buku Managing change – cases and concepts (2003) yang ditulis Todd Jick & Maury Peiperl. 1.



McDonald: Respon terhadap Tekanan Eksternal Sudah bertahun-tahun restoran cepat saji McDonald dikenal sebagai restoran yang mengutamakan kualitas menu makanan dan layanan cepat. Tidak urung kritik terhadap McDonald tetap tidak bisa dielakkan. Bagi McDonald, kritik yang paling mengganggu adalah anggapan masyarakat bahwa menu-menu makanan restoran cepat saji termasuk yang ditawarkan McDonald bisa menyebabkan obesitas. Meski pihak manajemen McDonald membantahnya tetap saja kritik tersebut tidak pernah berhenti. Berkaitan dengan hal ini Morgan Spurlock – seorang pembuat film independen melakukan perjalanan lintas Amerika selama sebulan penuh untuk mewawancarai berbagai kelompok masyarakat tentang implikasi menu makanan cepat saji dan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Sebagai kelinci percobaan, Spurlock memutuskan: tidak makan dan minum



1.36



Manajemen Perubahan 



selain makanan dan minuman yang ada pada daftar menu McDonald; jika diberi pilihan Ia akan memilih menu yang super besar; dan setiap jenis makanan yang ada pada daftar menu harus pernah dicobanya meski hanya sekali. Setelah sebulan berakhir, hasil uji coba pada dirinya ternyata menunjukkan berat badan Spurlock bertambah 25 pound atau kurang lebih 11.3 kg dan kolesterol meningkat dari 168 menjadi 230. Pengalaman Spurlock tersebut kemudian diabadikan dalam film dokumenter yang diberi judul “Super Size Me” dan diikutkan pada festival film Sundane tahun 2004. Tujuan Spurlock melakukan semua eksplorasi tentang kebiasaan orang Amerika makan fast food tidak lain untuk mengetahui hubungan antara jenis makanan seperti yang ditawarkan McDonald dengan obesitas. Secara kebetulan, bersamaan dengan dirilisnya film Super Size Me yang kemudian menjadi satu dari lima film dokumenter terbesar dalam sejarah Amerika, McDonald menawarkan menu baru untuk orang dewasa Happy Meal yang terdiri dari salad, air mineral dan “stepometer”. Penawaran menu baru ini memberi kesan bahwa makanan yang ditawarkan McDonald memang kurang sehat sehingga McDonald buruburu memberi alternatif pilihan. Isu tentang kesehatan yang terkait dengan fast food merupakan isu masyarakat luas di seluruh dunia. Isu ini tentu semakin memberi tekanan terhadap McDonald setelah sebelumnya masyarakat sangat khawatir terhadap penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku, epidemik SARS di wilayah Asia Pasifik, krisis ekonomi dan biaya komoditas yang semakin tinggi. Bagi Mcdonald, persoalan-persoalan tersebut tentu menjadi ancaman tersendiri mengingat McDonald sedang menerapkan strategi ekspansi ke seluruh dunia. Strategi ini diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan di masa mendatang. Persoalan tersebut bukan sekedar berkontribusi terhadap menurunnya penjualan tetapi sejak tahun 1996 McDonald mulai kalah bersaing dengan Wendy dan Burger King. Beberapa upaya telah dilakukan seperti program “Made for You” tetapi program ini malah membawa bencana karena justru memperlambat layanan konsumen. Demikian juga para pemegang lisensi semakin frustrasi karena marginnya terus menurun. Persoalan-persoalan di atas mendorong McDonald pada tahun 2003 meminta James Cantalupo aktif kembali dan menunjuknya sebagai CEO setelah sebelumnya sempat pensiun. Dengan tema “back to basic”, Cantalupo mulai menata kembali McDonald dengan melakukan perubahan-perubahan organisasi yang difokuskan pada nilai-nilai inti perusahaan – kualitas dan



 EKMA4565/MODUL 1



1.37



layanan. Langkah pertama adalah mengurangi jumlah pembukaan outlet baru. Tahun 2004 misalnya perusahaan hanya membuka 300 restoran baru dibandingkan tahun 1995 di mana perusahaan membuka 1100 restoran baru. Langkah kedua menata bidang pemasaran terutama berkaitan dengan advertensi. Slogan baru “I’m lovin’ it” mulai diperkenalkan dan meluncurkan iklan komersial yang menampilkan James Timberlake. Semua ini merupakan upaya Cantalupo untuk membangun image baru McDonald dan menarik para generasi muda menjadi pelanggan McDonald. Revitalisasi lain yang dilakukan Cantalupo adalah memperkenalkan menu baru salad segar. Para pengamat berpandangan dengan diluncurkannya produk baru tersebut secara tidak langsung merupakan sinyal bahwa McDonald mengakui reputasinya menurun gara-gara makanan tidak sehat yang ditawarkan sebelumnya. Peluncuran produk baru ini sekaligus dalam rangka menarik konsumen perempuan yang sebelumnya enggan datang ke restoran McDonald dan sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah pelanggan khususnya mereka yang diharapkan datang pada sore hari. Apa yang dilakukan McDonald – meluncurkan produk makanan baru yang lebih sehat dan lebih mengundang selera, merupakan bentuk reaksi perusahaan untuk melakukan perubahan-perubahan terutama setelah mendapat tekanan dari masyarakat. Di samping itu, McDonald juga melakukan program pelatihan secara on-line untuk semua karyawan di Amerika dalam rangka mengatasi persoalan layanan kepada konsumen. Semua ini bertujuan agar McDonald segera bisa kembali ke nilai inti semula kualitas dan layanan cepat. 2.



IBM: Perubahan Transformasional dari Atas dan Bawah International Business Machines, Inc. (IBM), popular dengan sebutan “Big Blue”, bisa disebut sebagai raja komputer di dunia khususnya pada era 1980-an dan sebelumnya. Pada pertengahan tahun 1980an misalnya selama 4 tahun berturut-turut IBM menempati top ranking pada majalah Fortune. Perusahaan manapun atau siapapun yang berurusan dengan komputer hampir pasti akan terlebih dahulu merujuk IBM sebelum merujuk perusahaan lain. Dalam hal komputer bisa dikatakan IBM tidak tertandingi. Istilah “compatible dengan IBM” yang biasa disuarakan para konsumen menandakan dominasi IBM dalam industri komputer. Yang mengagetkan adalah pada awal tahun 1990an situasinya berbalik, IBM hampir kolaps dan betul-betul membutuhkan tindakan penyelamatan. Kerugian yang diderita



1.38



Manajemen Perubahan 



IBM selama 3 tahun berturut-turut (1992-1994) mencapai US$ 15 milyard dan kapitalisasi pasar menurun dari US$ 105 milyard ke US$ 32 milyard (Hamel, 2000). Melihat situasi tersebut para konsultan secara aklamasi sepakat bahwa IBM harus dibubarkan. Di mata konsumen, hampir bangkrutnya IBM disebabkan karena arogansi dan nama besar IBM. Sebagai perusahaan besar, IBM sepertinya enggan atau paling tidak terlambat mengantisipasi perubahan lingkungan. Keengganan ini didukung oleh situasi internal di mana karyawan cenderung berpusa diri (complacency) terhadap kondisi berjalan dan budaya perusahaan yang cenderung sangat konservatif (McCune, 1991). Upaya untuk mengatasi situasi yang terus memburuk ini terus dilakukan tetapi belum tampak hasilnya sampai akhirnya pada tahun 1994 IBM harus mengganti CEO. John Akers yang notabenenya orang dalam IBM diganti Lou Gerstner yang berasal dari luar IBM. Inilah untuk pertama kalinya IBM mengubah tradisi, memasukkan orang luar sebagai CEO – suatu kejadian yang belum pernah dilakukan IBM sebelumnya. Secara bertahap masuknya Lou Gerstner memberi dampak positif. Di antara yang dilakukan Lou Gerstner adalah melakukan definisi ulang terhadap bisnis IBM. Di bawah kendali Lou Gerstner, IBM dimaknai bukan sakedar perusahaan pembuat perangkat keras komputer tetapi lebih dari itu, IBM diperlakukan sebagai perusahaan jasa informasi yang memberi solusi bisnis. Enam tahun kemudian, hasilnya mulai tampak di mana IBM kembali pada posisi bersaing dengan perusahaan kompetitor. Pada tahun 1998 misalnya IBM bisa menyelesaikan 18000 konsultasi e-business dan seperempat dari pendapatan US$ 82 milyard diperoleh dari jasa konsultasi tersebut di seluruh dunia. Keberhasilan ini terus berlanjut sampai sekarang. Keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai IBM bersumber dari upaya perubahan yang dilakukan melalui dua arah berlawanan – dari bawah dan dari atas. Perubahan dari bawah bisa dikaitkan dengan seorang programmer level menengah – seorang IBMer yang ditempatkan di Cornell University’s Theory Center bernama David Grossman. Grossman adalah orang yang sangat concern pada peran penting internet di masa mendatang. Sebelum menggunakan internet menjadi hal yang lumrah layaknya orang nonton TV, Grossman sudah lebih dahulu memulainya. Ia adalah satu dari orang-orang pertama yang mengunduh Mosaic browser dan memiliki pengalaman dunia grafis melalui web. Hanya karena kemauan kerasnya yang



 EKMA4565/MODUL 1



1.39



akhirnya membawa revolusi di IBM dan mengubah arah perjalanan IBM di masa datang. Perubahan ini bermula dari Game Olympiade musim dingin yang diselenggarakan di Lillehammer Norwegia tahun 1994 di mana IBM menjadi salah satu sponsor bidang teknologi. IBM bertanggung jawab terhadap pengumpulan dan display hasil-hasil olimpiade. Ketika menonton acara tersebut melalui layar TV di rumah, Grossman merasa bangga karena logo IBM terpampang sebagai sponsor. Namun ketika beralih ke workstation UNIX dan berselancar di web, Ia mendapatkan keadaan yang sangat beda. Ia menemukan web site yang dijalankan oleh Sun Microsistems menggunakan data IBM tetapi disajikan dengan banner Sun Microsistems. Grossman lantas melaporkan kejadian tersebut kepada Abby Kohnstamm – orang yang bertanggung jawab terhadap semua kegiatan pemasaran IBM. Singkatnya, web site milik Sun Microsistems akhirnya bisa ditutup. Dari sini Grossman merasa bahwa IBM hampir kebobolan. Ia menganggap IBM dalam hal ini melupakan satu hal yang sangat besar – web. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk pergi ke Kantor Pusat untuk mendemonstrasikan peran web dalam industri komputasi. Di kantor Pusat IBM, dihadapan para senior – Kohnstamm, WladawskyBerger dan Patrick, Grossman mendemonstrasikan web dengan menggunakan UNIX yang dibawanya. Patrick sangat antusias terhadap demo yang ditunjukkan Grossman dan akhirnya mereka berdua menjadi team pengembang internet. Patrick berperan untuk menterjemahkan sisi bisnis bagi Grossman dan sebaliknya Grossman menterjemahkan sisi teknologi bagi Patrick. Meski pada awalnya atasan Patrick – Jim Canavino agak keberatan dengan proyek tersebut tetapi akhirnya Ia membuat dekrit tidak seorangpun di IBM yang boleh mengembangkan web site kecuali atas persetujuan Patrick. Kesempatan pertama untuk melakukan konversi secara masal datang pada bulan Mei 1994 di mana mereka berdua berdemo dihadapan 300 Top Officer IBM. Tidak lama kemudian mereka berdua bisa show-up pada olimpiade internet yang baru pertama kali diadakan. Karena tidak memiliki cukup uang untuk ikut olimpiade yang membutuhkan biaya cukup besar, mereka meminta teman-teman komunitas pencinta internet untuk memberi sumbangan sukarela. Walhasil, seperti dikatakan Hamel “like dissidents using purloined duplicators in the old sovient union, Patrick and Grossman used the web to build a community of web fans that would untimately transform IBM – layaknya orang yang tidak sepakat yang menggunakan duplicator



1.40



Manajemen Perubahan 



curian semasa Uni Soviet dulu, Patrick dan Grossman menggunakan web untuk membangun komunitas pencinta web dan pada akhirnya bisa mentransformasi IBM”. Sekarang baik di dalam maupun di luar IBM, Patrick dan Grossman diakui sebagai kontributor penting yang mengubah IBM menjalankan e-business. Sekeras apapun upaya Grossman dan Patrick mentransformasi IBM belum tentu berhasil jika tidak ada dukungan dari atas. Meski pada awalnya dukungan terhadap pengembangan web agak seret namun berkat kegigihan mereka berdua akhirnya para petinggi IBM memberi perhatian juga. Lou Gerstner sendiri ikut mengipasi dari atas. Ia yang sejak semula meyakini pentingnya network bagi industri komputasi merasa cocok dengan logika internet. Oleh karenanya Lou Gerstener meminta agar laporan kwartalan dan laporan tahunan perusahaan di tayangkan di web. Bahkan Ia menandatangani kesepakatan untuk memberi kata sambutan di dalam web tersebut. Setelah Lou Gerstener pension dari IBM dan digantikan IBMer Samuel Palmisano, perhatian Palmisano mulai difokuskan pada teamwork dan kolaborasi. Salah satu langkah yang dilakukannya sebagai ujud gaya kepemimpinan yang baru adalah menyesuaikan kompensasi yang diberikan kepada para eksekutif. Gap antara bonus yang diterima para eksekutif dengan anggota team mulai dipersempit. Upaya-upaya lain yang dilakukan Palmisano dalam perubahan adalah mengurangi hiearkhi dan birokrasi organisasi – dua hal yang dianggap membuat IBM menjadi konservatif. Selanjutnya Komite Manajemen diganti dengan Manajemen Tim untuk bidang-bidang yang berhubungan dengan strategi, teknologi dan operasi. Tim tersebut ditempati oleh orang-orang yang memiliki kompetensi berbeda yang berasal dari seluruh bagian perusahaan bukan orang-orang yang berada sekitar pucuk pimpinan. Semua ini bertujuan agar IBM menjadi semakin flat dan kreatif. Di samping itu Palmisano menyadari bahwa skill untuk memberi layanan global juga cukup rendah sehingga pada tahun 2002 Ia memutuskan untuk mengakuisisi perusahaan konsultan PwC Consulting sebagai upaya untuk membawa IBM agar bisa memberikan layanan maksimal kepada konsumen. 3.



British Airways: Perubahan Budaya Perusahaan British Airways (selanjutnya disingkat BA) adalah perusahaan penerbangan “pembawa bendera – carrier flag” dan sekaligus miliki pemerintah Inggris. BA merupakan hasil penggabungan dua perusahaan



 EKMA4565/MODUL 1



1.41



negara – British European Airways (BEA) dan British Overseas Airways Corporation (BOAC). Penggabungan kedua perusahaan pada awalnya belum menjadikan kedua perusahaan betul-betul satu. Upaya untuk menyatukan kedua perusahaan dalam arti yang sebenarnya dimulai pada tahun 1974 – empat tahun setelah keduanya bergabung, ditandai dengan disusunnya laporan keuangan konsolidasi. Upaya penyatuan kedua perusahaan berlanjut pada tahun 1976 saat Sir Frank McFadzean merubah struktur organisasi BA dari divisional ke struktur organisasi fungsional dengan satu harapan hanya ada satu perusahaan di tubuh BA yaitu BA itu sendiri. Sayangnya upayaupaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena kesan bahwa di tubuh BA masih terdapat dua perusahaan masih terjadi sampai dengan pertengahan tahun 1980an. Tidak mudah memang menyatukan dua perusahaan yang berbeda latar belakang sejarah dan budaya. BEA adalah pionir penerbangan sipil Eropa yang didirikan setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Bisa dikatakan BEA, sendirian, membuka jalur-jalur angkutan udara Eropa, membangun infrastruktur penerbangan – membangun yang sebelumnya belum ada menjadi ada, dan menghubungkan satu kota dengan kota lainnya. Sebagai pionir, dengan demikian, perhatian utama BEA bukan menghasilkan laba. Selama 15 tahun, sampai dengan tahun 1960, fokus perhatian BEA adalah pada hal-hal di atas. Akibatnya tidak bisa dihindari jika tidak memberi perhatian terhadap efisiensi biaya menjadi kultur BEA. Tidak jauh berbeda dengan BEA, BOAC merupakan perusahaan penerbangan yang juga menjadi pionir untuk penerbangan komersial yang menggunakan pesawat jenis jet. Pada tanggal 2 Mei 1952, untuk pertama kali penerbangan komersial dari London ke Johannesburg menggunakan pesawat jet milik BOAC. Bisa dikatakan dengan demikian BOAC melakukan inovasi baru di dunia penerbangan komersial meski hal ini berakibat pada beban biaya tinggi yang harus ditanggung perusahaan. Bahkan akibat dari inovasi tersebut perusahaan mengalami persoalan finansial selama hampir dua dekade. Siapapun yang mengetahui perkembangan kedua perusahaan pada tahun 50an dan 60an bisa menyimpulkan bahwa menghasilkan pendapatan bukanlah tujuan utama perusahaan. Bagi kedua perusahaan yang penting adalah bisa menerbangkan pesawat komersial berbendera Inggris berapapun biayanya, terbang tepat waktu dan mendarat tepat waktu. Sadar laba dengan demikian tidak pernah menjadi mind set perusahaan saat itu. Apalagi banyaknya veteran perang yang dipekerjakan di kedua perusahaan



1.42



Manajemen Perubahan 



menyebabkan mentalitas militer sepertinya identik dengan kultur kedua perusahaan. Demikian juga peranan kedua perusahaan sebagai agen pemerintah semakin memperkuat mind set di atas. Perolehan laba baru dicanangkan untuk periode tahun 70an. Dengan warisan budaya seperti ini tidak terelakkan jika di tubuh BA juga memiliki kultur yang kurang lebih sama. Meski selama periode 1972 hingga 1980 BA setiap tahunnya selalu memperoleh laba kecuali untuk satu tahun anggaran tetap saja efisiensi cenderung diabaikan. Itulah sebabnya perhatian terhadap efisiensi terus digalakkan, di antaranya pada tahun 1976 dilakukan reorganisasi menuju terbentuknya secara riil satu perusahaan – British Airways. Reorganisasi ini dilakukan karena selama tiga tahun berturut-turut (1974 – 1976) tingkat produktivitas karyawan sangat rendah, tidak lebih dari 59%. Demikian juga customer service sangat buruk. Sayangnya reorganisasi ini tidak segera mendatangkan hasil karena loyalitas karyawan terhadap perusahaan lama masih cukup tinggi. Persoalan menjadi semakin buruk ketika Inggris menghadapi resesi ekonomi di mana jumlah penumpang pesawat terus menurun dan harga bahan bakar meningkat tajam. Sementara jumlah karyawan BA mencapai titik tertinggi 58.000 orang karyawan. Menghadapi kinerja perusahaan yang terus menurun dan perubahan lingkungan yang tidak menentu, pada bulan Februari 1981 PM Margaret Thatcher menunjuk Sir John King sebagai chairman baru BA. Meski tidak mempunyai pengalaman di bisnis penerbangan, King yang belakang memperoleh gelar Lord mampu mengangkat kembali moral BA. Dampaknya adalah hubungan perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat semakin baik. Hal ini tidak lepas dari peran King yang memiliki hubungan luas dengan berbagai kalangan – dengan kalangan businessman, kerajaan dan bahkan dengan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Jimmy Carter. Saat untuk pertama kali menyampaikan laporan tahunan, King memprediksi jika tahun-tahun mendatang merupakan masa-masa sulit bagi perusahaan penerbangan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi persoalan tersebut dan untuk menghindari perusahaan jatuh bangkrut, King pada bulan September 1981 mengusulkan program penyelamatan perusahaan yang sangat keras, sulit diterima dan menggunakan ukuran-ukuran jangka pendek yang segera diketahui hasilnya. Program ini disebut “survival plan” yang intinya adalah efisiensi besar-besaran. Di antara yang paling radikal adalah pengurangan jumlah karyawan sebesar 20% dari 52.000 menjadi 42.000 yang



 EKMA4565/MODUL 1



1.43



akan dicapai selama 9 bulan; membekukan kenaikan gaji, menutup 16 rute tidak produktif; menutup 8 stasiun on-line; dan menutup 2 unit perawatan mesin. King juga membekukan penggunaan pesawat khusus kargo, menjual beberapa pesawat dan memotong besar-besaran layanan kantor yang tidak relevan. Pada bulan Juni 1982 pengurangan jumlah karyawan bahkan terus berlanjut dengan menambah jumlah karyawan dirumahkan sebanyak 7000 orang sehingga karyawan tersisa tinggal 35.000 orang. Untuk kepentingan tersebut BA mengeluarkan pesangon tidak kurang dari 150 juta pound. Survival plan tidak berhenti sampai di situ. Upaya menghentikan pendarahan terus berlanjut. Untuk itu Lord King merekrut Gordon Dunlop seorang akuntan asal Skotlandia yang dikenal sangat dinamis, kreatif dan pekerja keras. Di bawah kendali Dunlop sebagai CFO penghematan-penghematan lain terus berlangsung. Walhasil tahun 1982 merupakan titik balik menuju recovery meski pada tahun itu BA harus merugi sampai 545 juta pound. Setelah penataan keuangan dianggap menuju arah yang benar, King mulai melakukan upaya lain yakni membangun image baru perusahaan. Langkah pertama yang ditempuh King adalah mengganti Foote, Cone and Belding – perusahaan periklanan yang telah melayani BA selama 36 tahun dengan Saatchi & Saatchi. Dari sinilah King kemudian membuat sebuah penegasan bahwa orientasi BA telah berubah. King berharap BA menjadi “The World’s Favourite Airline”. Untuk itu Saatchi & Saatchi sebagai mitra baru BA mendapat pekerjaan pertama untuk menandai arah perubahan BA yaitu membuat program kampanye dalam skala yang sangat besar yang disebut “Manhattan Landing”. Manhattan Landing – sebuah advertensi komersial berdurasi 6 menit menggambarkan secara dramatis pulau Manhattan yang diangkat dari Amerika kemudian berputar-putar di atas Atlantik sebelum akhirnya mendarat di Inggris. Setelah pemutaran pertama, program yang sama dalam durasi yang lebih pendek – 90 detik dikirim ke berbagai negara menjadi iklan komersial yang menggambarkan bahwa BA sekarang benar-benar menjadi perusahaan penerbangan internasional. Bersamaan dengan semakin membaiknya keuangan perusahaan, BA pada tahun 1983-1984 mengalokasikan biaya iklan sebesar 31 juta pound dibandingkan dengan hanya 19 juta pound tahun sebelumnya. Semua ini sekali lagi merupakan bentuk komitmen perusahaan untuk membangun image yang baru. Di tengah-tengah upaya membangun image baru perusahaan, pada bulan Februari 1983 Lord King sekali lagi merekrut orang baru. Kali ini yang



1.44



Manajemen Perubahan 



direkrut adalah Colin Marshall untuk menempati jabatan Chief Executive Officer. Pria kelahiran Inggris ini memulai kariernya sebagai management trainee di perusahaan persewaan mobil Hertz di Amerika Serikat. Setelah beberapa tahun di Hertz, Marshall bekerja di perusahaan rival utama Hertz – Avis Eropa sampai diangkat menjadi CEO pada tahun 1976. Setelah pensiun dari Avis Marshall kembali ke Inggris menjadi deputy chief executive Sears Holding sampai akhirnya direkrut Lord King tahun 1983. Meski tidak memiliki latar belakang pengalaman di perusahaan penerbangan, Marshall memahami dengan baik bagaimana melayani konsumen. Pengalamannya di perusahaan persewaan mobil juga sangat membantu karena karakteristik perilaku konsumen perusahaan persewaan mobil mirip dengan perilaku konsumen perusahaan penerbangan. Itulah sebabnya tidak lama setelah Ia menduduki kursi CEO hal pertama yang dilakukannya adalah membenahi customer services – salah satu key success faktor dalam dunia penerbangan. Marshall sangat beruntung karena kedatangannya di BA disambut baik para karyawan dan bahkan dijadikan role model bagaimana melayani konsumen. Dalam upayanya untuk terus memperbaiki layanan konsumen, perusahaan menindak-lanjuti dengan membuat program baru yang disebut “Putting People First – PPF”. Pada awalnya program ini yang dilaksanakan mulai bulan Desember 1983 – Juni 1984 hanya ditujukan kepada staff frontliner. Program ini dilaksanakan oleh perusahaan konsultan Denmark – Time Manager International dalam bentuk workshop selama 2 hari melibatkan 150 partisipan. Karena staff front-liner merasa memperoleh banyak manfaat dari program ini, yang bukan front-liner juga ingin diikutkan dalam program tersebut. Oleh sebab itu akhirnya dibuat PPF II berdurasi satu hari yang melibatkan sebanyak 40.000 karyawan BA. Program yang berakhir Desember 1985 ini ada dasarnya hanya meminta para partisipan mengevaluasi kembali cara mereka berinteraksi dengan orang lain yang tidak terkait dengan urusan pekerjaan baik dalam lingkungan keluarga, dengan teman sejawat, dengan komunitas di luar pekerjaan dan dengan para konsumen. Sederhananya, program ini menekankan pentingnya hubungan positif khususnya hubungan di luar pekerjaan. Yang membuat karyawan merasa terhormat adalah setiap berakhirnya sebuah program, karyawan dan manajer bisa berbaur tanpa memperdulikan posisi dan jabatan mereka, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada periode sebelumnya. Dalam kesempatan itu pula tanya jawab antara senior manajer dengan para karyawan bisa berlangsung terbuka. Tidak jarang Colin Marshall sendiri yang turun



 EKMA4565/MODUL 1



1.45



lapangan untuk menutup workshop. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa karyawan secara aklamasi menyambut program ini dengan baik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam program ini dirasa sangat tulus dan tidak manipulatif mengingat desain dari program tersebut dibuat murni oleh pihak konsultan tanpa campur tangan BA. Melalui program ini, setelah semua karyawan bisa melakukan interaksi di luar pekerjaan dengan baik, karyawan pada akhirnya juga diharapkan bisa berinteraksi lebih baik dalam melayani konsumen. Menjelang berakhirnya program ini pada bulan Desember 1985, BA membuat program sejenis tetapi khusus untuk para manajer yang disebut Managing People First (MPF). Seperti halnya PPF, MPF adalah sebuah workshop. Bedanya workshop ini diselenggarakan di luar kantor sehingga partisipan yang banyaknya 25 orang manajer harus tinggal di tempat workshop selama 5 hari selama workshop tersebut berlangsung. Jika program PPF menekankan pentingnya hubungan interpersonal, MPF menekankan di antaranya arti penting kepemimpinan, trust, visi dan umpan balik – isu-isu yang berhubungan dengan aspek manusia dan budaya di dalam organisasi yang selama ini cenderung diabaikan di BA. Keberhasilan kedua program ini dilanjutkan dengan program-program lain “A Day in the Life”, “To Be the Best”, “Awards for Excellence” dan “Brainwaves”. Di samping itu BA juga melancarkan program lain yang lebih kasatmata. Jika program-program di atas sentuhannya di titik beratkan pada mindset baru perusahaan utamanya bagaimana melayani konsumen lebih baik maka program ini sentuhannya pada identitas visual. Untuk itu Colin Marshall mendesain ulang penampilan pesawat BA dan seragam baru crew pesawat hasil rancangan Roland Klein. Untuk mempromosikan tampilan baru pesawat BA, Marshall mengubah hanggar pesawat BA di Bandar Udara Heathrow menjadi sebuah teater. Tamu-tamu kehormatan diundang untuk menyaksikan tampilan baru tersebut yang dibuat secara dramatis. Selain itu, bukan hanya tamu kehormatan, para staf secara bergiliran selama 8 minggu berturut-turut juga diberi kesempatan untuk melihat tampilan baru tersebut. Penyehatan perusahaan yang diinisiasi oleh Lord King pada tahun 1982 dan dilanjutkan dengan perubahan budaya yang dimulai pada tahun 1983 pada akhirnya mengangkat kembali moral karyawan dan mengubah citra perusahaan. Sebelum perubahan BA sering diplesetkan menjadi “bloody awful” mengindikasikan buruknya citra perusahaan sehingga para karyawan BA, kalau bisa, juga menyembunyikan identitasnya sebagai karyawan BA



1.46



Manajemen Perubahan 



karena malu. Setelah perubahan BA memperoleh penghargaan demi penghargaan yang menyebabkan karyawan pun merasa bangga menjadi bagian dari BA. Semua ini berujung pada perbaikan kinerja perusahaan. Jika pada tahun 1982 BA mengalami kerugian sebelum pajak sebesar 114 juta pound dan 545 juta pound jika dihitung setelah pajak maka sejak tahun 1983 sampai dengan tahun 1998 secara berturut-turut BA terus menghasilkan laba. Prestasi yang sangat fantastis ini tentu tidak lepas dari tangan dingin Colin Marshall yang ahli dalam layanan konsumen. Marshall pulalah yang dianggap orang paling penting dalam perubahan BA. Melalui berbagai macam program yang dicetuskan Marshall baik program yang menyentuh mindset karyawan maupun program yang lebih kasatmata (bersifat visual) yang menyentuh emosi konsumen, BA menjadi perusahaan favorit bagi pengguna jasa penerbangan. B. PELAJARAN DARI PERUBAHAN ORGANISASI Pelajaran yang bisa dipetik dari ketiga contoh di atas di antaranya adalah: 1. a. b.



c.



d. e.



Kasus McDonald Perubahan organisasi terjadi dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif bahkan dalam skala lingkungan internasional. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan tidak harus perusahaan sampai kalah dalam berkompetisi. Pada saat perusahaan masih berjalan dengan baik sekalipun perubahan tetap harus dilakukan paling tidak sebagai persiapan masa depan perusahaan yang lebih baik. Sebagai sebuah sistem, organisasi yang selalu berinteraksi dengan lingkungan eksternal akan selalu mendapat tekanan eksternal untuk melakukan perubahan, misalnya untuk menghasilkan produk dan jasa yang sesuai dengan selera konsumen yang selalu berubah. Sejak awal harus disadari bahwa dalam melakukan perubahan ada kemungkinan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Secara natural, perubahan tidak selamanya baik bagi perusahaan. Oleh karenanya kehati-hatian dalam menilai relevansi dan kemungkinan keberhasilan dalam perubahan menjadi sangat penting dilakukan sebelum proses perubahannya diimplementasikan.



 EKMA4565/MODUL 1



2. a. b. c.



d. e. f. g.



3. a. b. c.



d. e. f. g.



1.47



Kasus IBM Perubahan inovatif tidak harus datang dari pimpinan puncak perusahaan. Inovasi bisa saja datang dari level bawah organisasi. Untuk membuat perubahan bisa berjalan dengan baik membutuhkan persistensi dari sisi waktu dan tindakan yang melibatkan berbagai pihak. Perubahan sering kali membutuhkan seorang champion – orang yang berdiri di depan dalam perubahan yang tidak kenal lelah agar pada akhirnya bisa mendapatkan dukungan seluruh komponen organisasi. Dalam perubahan, jaringan informal organisasi memiliki peran penting untuk memobilisasi dan mengkomunikasikan perubahan organisasi. Perubahan selalu membutuhkan sumber daya untuk mengawalnya. Perubahan bisa dilakukan secara inremental – bertahap-tahap tetapi bisa juga bersifat transformational. Tindakan perubahan yang dilakukan secara kecil-kecilan sering kali membawa pesan simbolis yang bisa mendorong para pemimpin untuk melakukan perubahan yang lebih besar. Kasus Bitish Airways Hampir selalu penggabungan dua organisasi atau lebih berimplikasi pada perlunya dilakukan perubahan. Walaupun tidak selalu, perubahan membutuhkan pimpinan baru yang tidak terkontaminasi dengan masa lalu perusahaan yang diubah. Paling tidak dengan perubahan organisasi akan tercipta image baru yang menunjukkan bahwa organisasi baru berbeda dengan organisasi sebelumnya. Keteguhan dan persistensi pimpinan perusahaan sangat penting artinya bagi perubahan organisasi. Kunci sukses perubahan terletak kemauan para karyawan untuk merubah cara berpikir lama menuju cara berpikir baru. Keberhasilan perubahan akan tercapai jika karyawan langsung atau tidak langsung merasakan manfaat dari perubahan tersebut. Budaya baru yang tersistem dalam kehidupan organisasi merupakan faktor penting untuk mempertahankan hasil perubahan.



1.48



Manajemen Perubahan 



C. KEBERHASILAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASI. Ketiga contoh perubahan yang disebut di muka paling tidak menunjukkan bahwa McDonald bisa merespon tekanan eksternal dengan menawarkan menu baru yang lebih sehat. IBM menemukan momentum setelah menghadapi badai perubahan teknologi dan British Airways bisa membangun budaya baru sebagai dasar membangun masa depannya. Pertanyaannya adalah apakah ketiganya tergolong perusahaan yang berhasil dalam perubahan? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya disimak dulu buku In search of excellence yang ditulis oleh Peters & Waterman, Jr. (1982). Pada buku ini kedua penulis memaparkan 43 perusahaan yang tercantum dalam top 500 Fortune sebagai perusahaan yang secara konsisten bisa mengalahkan para pesaing masing-masing dalam waktu yang cukup lama – 20 tahun. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kedua penulis ini menyebut perusahaan-perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang excellence dengan karakter masing-masing yang khas. Namun 5 tahun setelah buku ini terbit dua pertiga dari perusahaan yang sebelumnya disebut excellence ternyata harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Menanggapi kenyataan ini Peters & Waterman Jr. menyimpulkan bahwa pada lingkungan yang berubah begitu cepat, sulit bagi sebuah perusahaan untuk bisa bertahan pada situasi yang sama dalam waktu lama (Holbeche, 2006:7). Penjelasan Peters & Waterman Jr. tentang perusahaan yang excellence tetapi tidak bisa bertahan lama memberi sinyal bahwa perusahaan yang berhasil dalam kurun waktu yang cukup lama bisa saja sewaktu-waktu tergelincir terutama karena perubahan lingkungan yang begitu cepat. Penjelasan ini sekaligus memunculkan pertanyaan baru yakni apa kriterianya agar sebuah perusahaan disebut sebagai perusahaan unggul? Jawabannya tentu bukan sakedar peningkatan kinerja keuangan apalagi kinerja tersebut diukur dalam jangka pendek. Dalam konteks perubahan jawaban ini berimplikasi bahwa kinerja keuangan jangka pendek tidak bisa dijadikan dasar untuk mengukur keberhasilan perubahan organisasi. Dulu memang ada kecenderungan demikian. Para manajer dan investor pada umumnya mengartikan keberhasilan perubahan sebagai: 1. Kinerja bisnis meningkat sesuai dengan target pasar yang dipilih. 2. Kinerja keuangan positif dan tumbuh berkelanjutan. 3. Pelayanan kepada konsumen meningkat.



 EKMA4565/MODUL 1



4. 5. 6.



1.49



Konsumen bukan sakedar puas dengan layanan yang diberikan perusahaan tetapi kepuasan tersebut mengarah pada loyalitas konsumen. Perusahaan mendapat keuntungan dari inovasi berkelanjutan dan peningkatan pada modal pengetahuan. Perusahaan memperoleh citra baik di mata konsumen dan memperoleh posisi pasar yang baik.



Meski ukuran-ukuran yang bersifat rasional seperti tersebut di atas tidak keliru namun sekali lagi dalam lingkungan yang cepat berubah ukuran tersebut dianggap tidak cukup untuk mengukur keberhasilan perubahan. Sekarang kriterianya berbeda. Keberhasilan perubahan organisasi sangat tergantung pada kemampuan manajemen atau agen perubahan mendorong karyawan mau merubah perilakunya untuk mengadopsi ide dan strategi baru untuk menghadapi lingkungan yang terus berubah. Untuk itu komunikasi yang efektif memungkinkan karyawan bukan sakedar memahami mengapa organisasi harus berubah, lebih dari itu karyawan juga mau terlibat dan berkontribusi dalam perubahan. Secara umum keberhasilan perubahan akan menjadi kenyataan jika hal-hal berikut bisa tercapai: 1. Karyawan mau memodifikasi keterampilan, perilaku dan kinerja sesuai dengan tuntutan perubahan. 2. Keterampilan dan pengalaman karyawan meningkat sebagai akibat dari perubahan. 3. Karyawan bisa belajar menjadi orang yang fleksibel dan beradaptasi pada usaha perubahan yang sedang berjalan. 4. Karyawan tetap berkomitmen terhadap organisasi. Dari keempat kriteria keberhasilan perubahan organisasi seperti tersebut di atas akhirnya bisa disimpulkan bahwa kunci keberhasilan perubahan organisasi terletak pada unsur manusianya (Blumenthal & Haspeslagh, 1994), baik manusia tersebut sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan dan agen perubahan. Sederhananya, manusia sebagai aktor utama dalam kehidupan organisasi menjadi penentu apakah perubahan tersebut berhasil atau gagal.



1.50



Manajemen Perubahan 



D. KEGAGALAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASI. Jika uraian sebelumnya memberikan contoh-contoh perusahaan yang berhasil dalam melakukan perubahan organisasi, pada bagian ini akan diberikan contoh perusahaan yang bisa dikatakan gagal atau paling tidak sejauh ini belum menunjukkan hasil dalam perubahan. Salah satunya adalah perusahaan penerbangan Merpati Nusantara Airline (MNA). Berbagai upaya telah dilakukan MNA untuk memperbaiki kinerja perusahaan seperti: perubahan strategi, restrukturissi perusahaan dan penggantian pimpinan tetapi hasilnya belum tampak. Ironisnya perusahaan penerbangan tersebut sampai saat ini masih tetap beroperasi meski secara ekonomi perusahaan ini belum bisa dinyatakan sehat karena kinerjanya cenderung terus menurun. Kalaulah perusahaan ini masih eksis boleh jadi karena statusnya sebagai BUMN yang mudah mendapat talangan keuangan sekedar untuk survive. MNA hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan yang gagal melakukan perubahan. Contoh-contoh lain jumlahnya masih banyak. Fakta menunjukkan lebih banyak organisasi yang gagal dalam melakukan perubahan ketimbang yang berhasil. Secara umum tingkat kegagalan perubahan organisasi angkanya cukup tinggi bisa mencapai 70% (lihat misalnya: Reger et al., 1995; Miller, 2002). Penulis sendiri yang juga memiliki pengalaman sebagai konsultan dalam 10 tahun terakhir terlibat dalam proses perubahan organisasi pada organisasi/lembaga berbeda baik yang dilakukan perusahaan BUMN, organisasi pendidikan maupun perusahaan swasta. Hasilnya beragam, sebagian berhasil, sebagian setengah berhasil dan sebagian lagi bisa dikatakan gagal. Untuk sakedar memberi contoh, tiga kasus dipaparkan di sini. Kasus pertama, tahun 2001 seorang Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang) sebuah BUMN datang meminta bantuan terkait rencana perusahaan untuk mengimplementasikan program penyehatan perusahaan (turnaround strategy). Pendek kata, setelah proses perubahan berjalan kurang lebih dua tahun program akhirnya dihentikan karena dianggap gagal. Kegagalan dalam program penyehatan ini lebih disebabkan karena pimpinan puncak perusahaan tidak memberikan dukungan secara penuh. Memang Direktur Utama perusahaan bersedia membiayai program ini mungkin agar terkesan pro perubahan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Ketika program demi program diajukan untuk dijalankan mereka enggan mengimplementasikannya. Walhasil program penyehatan perusahaan



 EKMA4565/MODUL 1



1.51



terkesan sakedar memanfaatkan anggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya dan hasilnya berupa dokumen di atas kertas (dokumen penyehatan perusahaan) tetapi tidak pernah terealisasikan dalam praktik. Perusahaan kemudian kembali beroperasi seperti semula seolah-olah tidak pernah melakukan perubahan. Kasus kedua perubahan pada organisasi pendidikan tinggi. Perubahan ini menghasilkan situasi yang berbeda dibandingkan dengan kasus pertama. Pada tahun 2002, pimpinan sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) besar di Yogyakarta mulai merasakan membengkaknya biaya operasional di satu sisi dan di sisi lain penerimaan mahasiswa baru terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Oleh karenanya jika tidak dilakukan perubahan dikhawatirkan gerak lembaga ini di masa mendatang akan semakin terganggu. Rektor beserta jajarannya akhirnya berkesimpulan bahwa struktur organisasi dan sistem penghargaan lembaga yang dikelolanya harus ditata ulang sebagai langkah awal dari penataan organisasi secara keseluruhan. Rektor menamakan program ini sebagai restrukturisasi organisasi (organization restructuring) dan sistem penghargaan (reward sistem). Asumsi yang melatarbelakanginya adalah untuk menghasilkan organisasi yang efisien, PTS harus merampingkan struktur organisasi yang terlalu gemuk dan menggabungkan beberapa unit aktivitas yang masih bisa digabungkan. Sementara itu, efektivitas organisasi bisa dicapai jika sistem penghargaan kepada dosen dan karyawan juga ditata ulang agar PTS ini tidak menyerupai organisasi pemerintah. Karena program perubahan mendapat dukungan penuh dari pimpinan puncak PTS, pada awalnya proses perubahan tidak mendapat hambatan yang berarti. Namun demikian bukan berarti semua program bisa diselesaikan dengan sempurna. Penyebabnya, seperti pada umumnya perguruan tinggi di mana proses pengambilan keputusan cenderung bersifat kolegial, keputusan akhir bisa diterima atau tidaknya program perubahan yang diusulkan bukan semata-mata di tangan Rektor dan jajarannya tetapi juga harus melibatkan banyak pihak seperti Senat Universitas dan Dekan serta civitas academica seperti dosen dan mahasiswa. Faktor inilah yang menghambat program perubahan organisasi. Banyaknya pihak yang terlibat dalam program perubahan bisa diartikan bahwa nuansa politik atau kepentingan masingmasing pihak yang terlibat begitu kental. Akibatnya sebagian program bisa diterima dan sebagian lainnya tidak. Reward sistem yang mestinya menjadi bagian tidak terpisahkan dari penataan struktur organisasi sampai kini tidak



1.52



Manajemen Perubahan 



pernah dilaksanakan. Struktur baru hasil dari program perubahanpun juga hanya dilaksanakan sebagian. Bisa dikatakan yang dilaksanakan hanya sisi permukaannya saja. Atau sederhananya, perubahan ini bisa dikatakan gagal. Kasus ketiga, perubahan pada perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengeboran minyak bumi dan gas. Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, perubahan ini tergolong program perubahan yang berhasil. Program perubahannya itu sendiri dinamakan program rightsizing – penataan organisasi secara menyeluruh dengan menempatkan manusia (karyawan) sebagai titik sentralnya. Sebut saja perusahaan pengeboran ini dengan nama POP dengan jumlah karyawan tetap dan karyawan kontrak sebanyak 600 orang. Sebagian karyawan telah bekerja di perusahaan ini lebih dari 20 tahun dan berasal dari penduduk setempat. Pendidikan mereka (sekitar 70% dari jumlah karyawan) adalah SMA ke bawah. POP sendiri tergolong perusahaan pengeboran yang sudah tua – sudah beroperasi kurang lebih 30 tahun, pernah dikelola oleh 4 perusahaan berbeda dan hanya berproduksi sebanyak 6000 barel per hari atau 5% dari produksi puncak sebanyak 80000 barel yang dicapai pada tahun 1977. Meski program ini berhasil menaikkan produksi harian namun perjalanan perubahan organisasi tidak begitu mulus. Hambatan pertama datang dari para karyawan yang merasa takut jika program rightsizing tersebut menyebabkan PHK besar-besaran. Salah persepsi ini menyebabkan kedatangan tim rightsizing ke lokasi perusahaan tidak ditanggapi dengan baik dan lebih dari itu, direspons secara negatif. Respon karyawan mulai berubah setelah tim berhasil meyakinkan mereka bahwa isu PHK sama sekali tidak benar. Karyawan mulai bisa diajak bekerja sama untuk membenahi bagianbagian organisasi yang tidak efisien. Program rightsizing menemukan momentumnya setelah beberapa orang terpilih dijadikan agen perubahan dan ditunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan lain yang jauh lebih maju mengupayakan kemajuannya dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya serta bagaimana karyawan perusahaan membela kepentingan perusahaan yang pada akhirnya membela kepentingan karyawan dan keluarganya. Sederhananya, perubahan pada akhirnya menjadi bagian dari kehidupan karyawan setelah mindset mereka berubah dan budaya baru terinternalisasi ke dalam diri mereka dan tersistem ke dalam kehidupan perusahaan. Ketiga contoh ini sekali lagi menunjukkan bahwa perubahan organisasi bukan proses yang mudah untuk dilaksanakan. Demikian juga hasilnya sering kali tidak menentu. Palmer, et al., (2006, p. 24) menyatakan ada tiga



 EKMA4565/MODUL 1



1.53



kemungkinan hasil dalam perubahan organisasi, bisa berhasil – semua atau paling tidak sebagian besar tujuan perubahan bisa dicapai; bisa setengah berhasil – hanya sebagian tujuan perubahan bisa dicapai; dan bisa gagal – tujuan perubahan tidak pernah tercapai. Dengan adanya tiga kemungkinan ini bisa dikatakan bahwa tingkat keberhasilan perubahan hanya sebesar 30%. Selebihnya tergolong setengah berhasil atau gagal. Di samping itu, dari sisi waktu perubahan biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa proses perubahan membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun. Bahkan kadang-kadang bisa lebih lama terutama jika perubahannya terkait dengan perubahan budaya perusahaan. Meski demikian perubahan organisasi bisa saja membutuhkan waktu yang lebih pendek selama perubahannya bersifat minor. Berikut ini akan diuraikan beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam perubahan organisasi Perubahan berlebihan – Excessive change Tingginya tingkat kegagalan dalam perubahan organisasi disebabkan oleh berbagai faktor. Satu di antaranya karena perubahan dilakukan secara berlebihan – excessive change (Stensaker, et al., 2001). Stensaker et al. (2001) mendefinisikan perubahan berlebihan sebagai berikut: a. Perubahan berlebihan (excessive change) terjadi manakala sebuah organisasi melakukan berbagai macam perubahan namun perubahanperubahan tersebut tidak terkait satu sama lain. Justru sebaliknya perubahan yang beraneka ragam tersebut terkadang saling bertolak belakang. b. Perubahan berlebihan terjadi ketika sebuah organisasi menginisiasi dan melakukan usulan perubahan baru padahal perubahan yang sedang berjalan belum selesai dan belum dievaluasi secara baik. Sederhananya terjadi tumpang tindih perubahan yang berakibat pada hilangnya kesempatan bagi organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya untuk hidup secara normal dan menuai hasil. 1.



Sementara itu Zajac, Kraatz & Bresser (2000) menyimpulkan bahwa situasi yang bisa menimbulkan excessive change adalah (1) manajer melakukan perubahan organisasi ketika lingkungan atau organisasi itu sendiri sesungguhnya tidak membutuhkan perubahan, (2) manajer melakukan perubahan bukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan tetapi hanya untuk kepentingan perubahan itu sendiri dan (3) perubahan dilakukan terhadap satu



1.54



Manajemen Perubahan 



elemen organisasi tetapi tidak dibarengi perubahan terhadap elemen lainnya secara proporsional. Di muka telah disebutkan bahwa kunci keberhasilan atau kegagalan perubahan sangat tergantung pada respon manusia/karyawan dalam menyikapi perubahan. Sebagai manusia yang selalu mengalami perubahan mulai dari kecil, menjadi dewasa sampai akhirnya menjadi tua dan suatu saat meninggal dunia, karyawan sesungguhnya merupakan sosok yang tidak anti perubahan. Bagi mereka perubahan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Meski demikian yang paradoks dari manusia adalah meski sadar bahwa dirinya katakanlah sudah tua tetapi seseorang lebih suka kalau dikatakan awet muda ketimbang awet tua. Hal ini menandakan bahwa dalam realita perubahan kadang-kadang tidak bisa diterima khususnya dalam perspektif psikologi manusia. Penjelasan ini sekaligus mensinyalkan bahwa perubahan organisasi apalagi perubahan berlebihan akan selalu direspons bukan dengan akal sehat tetapi dengan suasana emosional seolah-olah perubahan organisasi akan mengakhiri hidupnya. Katakanlah jika perubahan tersebut menyebabkan sekelompok karyawan harus tersingkir dari perusahaan, bukan hanya mereka yang tersingkir yang akan mengalami sakit psikologis tetapi juga mereka yang bertahan dan masih bekerja di perusahaan akan mengalami perasaan yang sama. Dampak psikologis akibat perubahan organisasi misalnya: a. Sakit psikologis selama proses perubahan sering kali tidak tertangani dengan baik karena para manajer yang berinisiatif melakukan perubahan tidak mau terlibat lebih jauh dengan masalah-masalah psikologis tersebut. Mereka cenderung menyerahkan persoalan ini kepada level manajerial di bawahnya yang sayangnya tidak memiliki bekal cukup untuk menangani situasi seperti ini b. Selama masa transisi menuju organisasi baru dampak psikologis terutama akan dialami oleh karyawan yang masih bertahan. Mereka kehilangan kepercayaan kepada pihak manajemen, menjadi takut, curiga, sinis dan kehilangan semangat bekerja. Loyalitas karyawan yang semula tinggi juga mulai menurun. Semua ini lebih disebabkan karena ada anggapan pihak manajemen melanggar kontrak psikologis yang sebelumnya telah mereka sepakati bersama menyangkut keamanan dalam bekerja. c. Persoalan psikologis akan berlanjut pasca masa transisi. Pada masa ini yang pasti beban kerja karyawan yang bertahan semakin meningkat



 EKMA4565/MODUL 1



1.55



karena beban kerja karyawan yang di PHK sekarang menjadi beban mereka. Sayangnya pada saat beban kerja meninggi pihak manajemen sering kali tidak memberi arahan yang jelas sehingga karyawan seolaholah harus berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan segala risiko yang harus mereka tanggung. Akibatnya terjadilah apa yang disebut “kekeringan organisasi – organizational drift di mana nuansa politik meningkat dan karyawan cenderung menarik diri dari organisasi serta muncul us vs. them mentality. Selain perubahan berlebihan, persoalan lain yang menyebabkan perubahan organisasi mengalami kegagalan adalah: ketidaktahuan para manajer tentang prinsip-prinsip perubahan organisasi; manajer cenderung mencari solusi cepat dalam perubahan organisasi; pentingnya aspek kepemimpinan dan budaya cenderung diabaikan; dan manajer abai terhadap aspek manusia dalam mengelola perubahan. 2.



Manajer tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi Kegagalan beberapa program perubahan organisasi disebabkan karena manajer penanggung jawab implementasi perubahan tidak atau kurang menyadari prinsip-prinsip fundamental dan pendekatan 'best practice' yang terkait dengan perubahan dan pengembangan organisasi. Karena ketidaktahuan tersebut, mereka secara membabibuta meluncurkan program perubahan yang jelas-jelas akan berujung pada kegagalan. Dalam kasus Rekayasa Ulang Bisnis (Business Process Reengineering - BPR), kebanyakan kasus kegagalan dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab dasar. Hammer, yang dianggap sebagai bapak rekayasa ulang di AS, bersama Stanton; menunjukkan bahwa penyebab kegagalan adalah; semua orang yang terlibat dalam upaya rekayasa ulang tidak tahu apa yang mereka lakukan; mereka salah paham atau salah mengerti sifat dasar rekayasa ulang; teknik mereka adalah hasil improvisasi atau acak yang tidak berdasar pengalaman praktis' (Hammer dan Stanton, 1995). Dalam kasus Inggris, kepuasan diri dan ketidaktahuan tetap menjadi penghambat terbesar perubahan dan perbaikan kinerja'. Sementara penghambat terbesar dalam mengimplementasikan perubahan adalah para manajer sendiri'. Isu-isu keperilakuan dalam manajemen perubahan tak cukup mendapat perhatian, padahal diperlukan pengembangan 'soft skills' bagi para manajer agar dapat mengelola perubahan secara lebih efektif. Apapun alasan



1.56



Manajemen Perubahan 



dibalik kekurangtahuan ini, semua manajer yang efektif perlu mendidik diri sendiri dalam masalah proses manajemen perubahan ini. Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan seperti sebuah peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan bagus. Padahal menurut pakar perilaku Stephen Robbins (2000), perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan. Tujuan perubahan menurutnya ada dua, yaitu: (1) Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, (2) Untuk mengubah perilaku karyawan. Akibat tidak direncanakannya perubahan dengan baik, maka tidak jarang perubahan bergulir tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan rencana, karena mendapat perlawanan para karyawan. 3.



Mencari solusi cepat dalam perubahan Walau manajer telah cukup mengetahui teori dan praktek pengembangan dan perubahan organisasi, mereka kerap tergoda pada `solusi mudah' dan perbaikan cepat'. Godaan itu mungkin terdorong oleh mendesaknya perubahan, atau mungkin manajernya menganut prinsip atau pendekatan manajemen yang biasa disebut KISS principle. KISS pada umumnya diterjemahkan menjadi keep it simple, stupid atau keep it short and simple yang berarti menekankan pentingnya hal-hal yang bersifat sederhana dan yang penting mencapai tujuan. Jadi pada dasarnya KISS principle adalah perilaku dan cara berpikir yang berorientasi jangka pendek – short-termism'. Menurut Kotter (1996), pengamatan atas program perubahan organisasi di 100 perusahaan besar, termasuk Ford, General Motors, British Airways, Eastern Airlines dan Bristol Myers Squibb, menunjukkan bahwa 'proses perubahan mesti melewati beberapa tahapan dan biasanya makan waktu cukup lama; bahwa langkah jalan pintas dan melompati tahapan tertentu hanya menciptakan ilusi kecepatan dan tidak pernah menghasilkan hasil memuaskan', dan `kesalahan (atau penghilangan) penting pada satu tahapan tertentu dapat berdampak telak, yaitu memperlambat momentum dan mementahkan capaian yang sudah susah payah dicapai'. 4.



Aspek kepemimpinan dan budaya dalam perubahan Banyak manajer tak cukup memberi perhatian pada aspek `kepemimpinan' dan `budaya' dalam perubahan. Dari penelitian atas program



 EKMA4565/MODUL 1



1.57



rekayasa-ulang organisasi, Hammer dan Stanton (1995) mengamati “……berjalan tanpa kepemimpinan eksekutif yang kuat” dan “…….penerapan gaya yang salah dalam implementasi' sebagai dua dari sepuluh kesalahan utama manajer penanggung jawab dalam memfasilitasi perubahan. Kesalahan kedua banyak terkait dengan gaya kepemimpinan, yang merupakan salah satu aspek budaya manajemen. Warrick (1995) menyatakan bahwa `ketika pemimpin organisasi gagal memimpin, upaya perbaikan organisasi tidak akan tercapai atau, sebagaimana kerap terjadi, justru akan memperburuk situasi dan menambah kekacauan pada situasi yang memang sudah kacau'. Dia meneruskan pendapatnya bahwa alasan mengapa kepemimpinan sangat penting dalam persaingan yang makin sengit dan lingkungan perusahaan yang cepat berubah adalah karena pemimpin adalah satu-satunya faktor tunggal terpenting dalam menentukan sukses dan efektifnya organisasi. Merekalah pembentuk utama budaya organisasi dan mereka juga dapat memajukan atau menghancurkan perusahaan melalui cara mereka mengelola organisasi. Manajer berpotensi menciptakan atau justru menghancurkan kepercayaan (trust) yang menjadi syarat utama bagi terjadinya perubahan dan mempercepat proses perubahan. Bila mereka pemimpin yang bagus, mereka mestinya mampu menciptakan fokus, arah dan kontinyuitas yang diperlukan agar tetap terkendali selama masa pertumbuhan dan perubahan cepat, dan di sisi lain juga mampu menumbuhkan momentum dan harapan dalam masamasa sulit. Menurut Boonstra dan Vink (1996), gaya otokratis dan kualitas kepemimpinan merupakan hambatan utama bagi perubahan. Dampaknya adalah rendahnya keterlibatan karyawan dan komitmen manajemen senior agar mau menyumbangkan pengalaman mereka pada proses perubahan, serta rendahnya keterbukaan manajemen tentang sasaran dan metodologi yang akan dipakai. Selanjutnya, hambatan-hambatan lain yang amat potensial menghambat kemampuan orang berubah adalah norma dan nilai-nilai, konfigurasi kekuatan yang ada, dan kerja sama antar fungsi yang lemah. Dalam upayanya menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana upaya transformasi gagal, Kotter (1996) memaparkan delapan kesalahan manajer dalam memimpin perubahan, sebagai berikut: a. Tidak mampu menandaskan a sense of urgency. b. Tidak mampu menciptakan koalisi pemandu yang kuat (powerful guiding coalition) yang terdiri dari orang-orang kunci yang mampu



1.58



c. d.



e. f.



g.



Manajemen Perubahan 



bekerja sama dalam tim (sebagai agen perubahan) dan memimpin upaya perubahan. Tidak memiliki visi untuk mengarahkan upaya perubahan dan gagal mengembangkan strategi yang diperlukan dalam mencapainya. Kurang berhasil mengkomunikasikan visi baru dan tak mampu memberi teladan dalam menunjukkan perilaku baru yang dibutuhkan bagi perubahan. Tidak mampu mengatasi hambatan bagi terwujudnya visi baru (terutama disebabkan oleh yang disebut penulis lain sebagai cultural lag). Kurang sistematis merencanakan dan menciptakan beberapa kemenangan jangka pendek sebagai tanda tercapainya perbaikan kinerja, atau kurang memberi pengakuan dan penghargaan bagi karyawan yang terlibat. Mengumumkan kemenangan terlalu cepat, yang bisa berdampak matinya momentum, berhentinya proses perubahan dan kembalinya tradisi lama. Tidak mampu menancapkan perubahan pada budaya perusahaan.



Menurut dia, salah satu langkah awal pemimpin adalah membentuk koalisi yang cukup kuat di antara orang-orang yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang dilakukan tanpa dukungan koalisi yang cukup mungkin akan mengalami kemajuan untuk sementara waktu. Namun cepat atau lambat, akan muncul perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah dilakukan. Jelas kesemua kesalahan di atas kalau kita cermati lebih menyangkut aspek-aspek `kepemimpinan' dan"budaya' pada proses manajemen perubahan. Kesimpulannya, menurut Worral dan Cooper (1998): 'tercapainya perubahan secara nyata membutuhkan komitmen berkelanjutan dari manajemen puncak yang harus konsisten dan ditampakkan secara jelas sepanjang proses perubahan'. Agar supaya program pengembangan dan perubahan organisasi tercapai, jelasla h bahwa isu-isu `budaya' dan `kualitas kepemimpinan' mesti mendapat perhatian secara memadai. 5.



Aspek manusia dalam perubahan Dalam bukunya The Human Side of Change (1996), Timothy J. Galpin menyatakan bahwa selama proses penggabungan perusahaan, penyusutan ukuran perusahaan, maupun restrukturisasi yang dilakukan



 EKMA4565/MODUL 1



1.59



perusahaan, kebanyakan para pemimpin lebih memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek teknis, finansial dan operasional, ketimbang aspek manusia. Akibatnya upaya perubahan yang dicanangkan mengalami kegagalan. Hal ini tampak dalam bentuk terjadinya masalah perburuhan, keluarnya tokoh-tokoh kunci dan orang-orang berbakat dari perusahaan, dan sangat sedikit manfaat atau justru tidak diperoleh manfaat apa-apa dari perubahan yang dilakukan. Kerap terjadi, manajemen puncak yang punya inisiatif melakukan program perubahan maupun koalisi manajer, instruktur dan konsultan hanya memberikan perhatian kecil pada hal-hal yang bersifat `manusiawi' (people issues). Hammer dan Stanton menyatakan bahwa kurangnya perhatian pada kepentingan orang-orang yang terlibat perubahan adalah salah satu dari 10 kesalahan terbesar da1am rekayasa-ulang' Mempelajari hasil riset beberapa peneliti sebelumnya, Hussey (1996) mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang terkait dengan manajemen perubahan, yang dia sebut sebagai `perlakuan tak semestinya terhadap unsurunsur S.D.M. dalam manajemen strategis, yang umumnya berujung pada kegagalan implementasi strategi'. Menurut Skilling (1996), aspek manusia adalah dimensi yang paling sering disalahpahami dan diabaikan dalam upaya perubahan. Mengelola aspek manusia secara efektif berarti memberi perhatian pada proses psikologis yang dijalani orang-orang yang terlibat perubahan, baik itu terencana ataupun tidak. Menurutnya, `bukan perubahan itu sendiri yang menciptakan masalah namun justru proses transisilah yang menimbulkan kebingungan dan membuat hidup mereka terganggu. Perubahan terjadi ketika sesuatu (yang baru) dimulai atau sesuatu (yang lama) berhenti dan hal itu terjadi pada titik waktu tertentu. Transisi merupakan proses psikologis bertahap di mana orang-orang berupaya mengorientasikan diri sehingga mereka mampu berfungsi dan bertindak sesuai yang diharapkan dalam situasi perubahan'. Dia mengingatkan bahwa transisi merupakan proses psikologis tiga-tahap. Pertama, orang-orang harus dipersiapkan agar melepas cara-cara lama dan ingatan terhadapnya di masa lalu (ending) sambil tetap mempertahankan beberapa aspek yang memang dirasa perlu, kedua melakukan investasi ulang pada cara kerja baru (in-between time), dan ketiga menjadi komit sepenuhnya pada arah dan organisasi 'baru' (new beginning). Karena itu, sangat penting dipahami perbedaan antara perubahan dengan



1.60



Manajemen Perubahan 



transisi serta kita perlu menaruh perhatian yang memadai pada sisi manusiawi dalam proses perubahan. LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Sebut dan jelaskan faktor-faktor pemicu terjadi perubahan dalam organisasi? 2) Apa penyebab terjadinya kegagalan dalam proses perubahan? 3) Faktor apa yang membuat suatu perusahaan berhasil dalam melakukan perubahan? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Faktor-faktor pemicu terjadinya perubahan dalam organisasi, dapat Anda simak dan pahami pada halaman 35 sampai dengan halaman 45. Pada intinya ada beberapa faktor pemicu terjadi perubahan organisasi, di antara disebabkan oleh tekanan baik yang datangnya dari dalam lingkungan organisasi maupun dari luar lingkungan organisasi. 2) Banyak faktor yang menjadi kendala dalam proses perubahan organisasi, di antaranya adalah perubahan berlebihan (Excessive change), Manajer tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi. 3) Untuk mendapatkan jawaban ini, Anda dapat menyimak dan mempelajarinya pada materi yang memaparkan tentang pengalamanpengalaman organisasi besar dunia dalam melakukan proses perubahan. R A NG KU M AN Perubahan organisasi memiliki dua sisi, yaitu perubahan organisasi yang berhasil dan perubahan organisasi yang gagal. Contoh kasus perubahan organisasi yang berhasil diwakili oleh perusahaan McDonald, IBM dan British Airways. Uraian tersebut menggambarkan tentang faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan perusahaan tersebut dalam melakukan perubahan pada organisasinya. Sedangkan organisasi yang gagal dalam melakukan perubahan dicontohkan oleh perusahaan



 EKMA4565/MODUL 1



1.61



penerbangan Merpati Nusantara Airline (MNA), Perguruan Tinggi Swasta di Yogya dan Perusahaan pengeboran. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam perubahan organisasi seperti: Perubahan berlebihan – Excessive change, Manajer yang tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi, mencari solusi cepat dalam melakukan perubahan, aspek kepemimpinan dan budaya dalam perubahan serta aspek manusia dalam perubahan. TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Respon tekanan yang berasal dari lingkungan eksternal sebagai pendekatan dalam perubahan digunakan oleh perusahaan .... A. Merpati Nusantara Airways B. British Airways C. IBM D. McDonald 2) Pendekatan yang digunakan oleh British Airways untuk melakukan perubahan pada organisasi adalah dengan menekankan pada perubahan pada segi .... A. budaya perusahaan B. respon terhadap tekanan dari eksternal C. respon yang datang dari desakan internal D. transformasional yang berasal dari atas E. komunikasi perusahaan 3) Perubahan inovatif tidak harus datang dari pimpinan puncak perusahaan, inovasi bisa saja datang dari level bawah organisasi. Hal inilah yang dijadikan pendekatan perubahan oleh perusahaan .... A. Merpati Nusantara Airways B. British Airways C. IBM D. McDonald 4) Situasi yang dapat menimbulkan excessive change di mana .... A. manajer yang sangat tahu tentang prinsip-prinsip perubahan B. perubahan dilakukan terhadap semua elemen organisasi



1.62



Manajemen Perubahan 



C. perubahan bukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan tetapi hanya untuk kepentingan perubahan itu sendiri D. perubahan yang saling berkaitan satu dengan lainnya 5) Tingginya tingkat kegagalan dalam perubahan organisasi disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya disebabkan oleh .... A. Perubahan yang berkelanjutan B. manajer yang tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi C. perubahan yang dilakukan secara perlahan-lahan D. kepemimpinan yang masih bersifat tradisional Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



1.63



 EKMA4565/MODUL 1



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) C. 2) A. 3) A. 4) B. 5) D.



Tes Formatif 2 1) D. 2) A. 3) C. 4) C. 5) B.



1.64



Manajemen Perubahan 



Daftar Pustaka Baloch, Q.B. & Kareem, N. (2007). The Third Wave (Book Review). Journal of Managerial Sciences. vol. 1, number 2, pp. 115 – 143 Boonstra, J.J. & Vink, M.J. (1996). Technological and Organizational Innovation: A Dilemma of Fundamental Change and participation, European Journal of Work & Organizational Psychology, Vol. 5, issue 3, pp. 351-375 Blumenthal, B. & Hapeslagh, P. (1994). Towards a Definition of Corporate Transformation, Sloan Management Review, 35, 3, pp. 101 – 106 Burris, A.B. (2008). A Qualitative and Quantitative Assessment of Readiness for Organizational Change Literature, Unpublished Master Thesis, Airforce Institute of Technology, Air University. Farouk. (2005). Ngelmu Kahanan dan Fatalisme Jawa: Soal Kepribadian Jawa, Perubahan dan Strategi Pendidikan. Galpin, T.J. (1996). The Human Side of Change. San Francisco, CA: JosseyBass. Gerstner, L.V. (2002). Who Says Elephants Can’t Dance? New York, NY: Harper Business. Hamel, G. (2000). Waking up IBM: How a Gang of Unlikely Rebels Transformed Big Blue, Harvard Business Review, July/August, pp. 137 – 146 Holbeche, L. (2006). Understanding Change. Burlington, MA: ButterworthHeinemann. Hussey, D.E. (1996). How to Manage Organisational Change. Kogan Page India Private Limited.



 EKMA4565/MODUL 1



1.65



Huy, Q.N & Mintzberg, H. (2003). The Rythm of Change, MIT Sloan Management Review, pp. 79 – 84. Jaffe, D. (2001). Organization theory: Tension and change. McGraw-Hill International Edition. Jick, T.D. & Peiperl, M.A. (2003). Managing Change: Cases and Concept, 2nd edition, McGraw Hill-Irwin. Jones, G.R. (2001). Organization theory: Text and cases, third edition, Prentice Hall International Inc. Kotter, J.P. (1996). Leading Change, Boston, MA: Harvard Business School Press. Lenski, G. & Lenski, J. (1987). Human Society: An Introduction to Macrosociology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill Book Company. Hammer, M., and Stanton, S. (1995). “The Reengineering Revolution”, New York: NY, Harper Collins. Mcune, J.C. (1991). Who are Those People in Blue Suits? Managament Review, September, pp. 16 – 19. McLane, J. (2004/2005). Responding to change ensures survival, British Journal of Administrative Management, p. 16. Miller, D. (2002). Successful Change Leaders: What Makes Them? What Do They Do That is Different? Journal of Change Management Vol. 2, 4, 359–368. Minton, E. (1999), Profile: Jong-Yong Yun – a philosophy of change, Industrial Management, 41/4, pp. 10-17. Morgan, G. (1997) Images of Organization, Thousand Oaks, Cal.: Sage Publications, Inc.



1.66



Manajemen Perubahan 



Müller-Merbach, H. (2006), Heraclitus: Philosophy of Change, a Challenge for Knowledge Management? Knowledge Management Research & Practices, 4, pp. 171-172. Palmer, I. & Dunford, R. (2002). Who Say Change Can be Managed? Position, Perspective and Problematics, Strategic Change, 11, 3, pp. 243 -251. Palmer, I., Dunford, R. & Gib. A., (2006), Managing organization change, Boston, McGraw Hill International Edition. Peters, T. & Waterman, Jr., R. (1982), In Search of Execellence, New York: Harper Raw. Reger, R.K., Mullane, J.V., Gustafson, L.T. and DeMarie, S.M. (1995) Creating Earthquakes to Change Organizational Mindsets. Academy of Management Executive, 8, 4, pp. 31 -43. Robbins, S.P. (2000). Essential of Organizational Behavior, Prentice Hall. Schermerhorn, Jr. J. R. (2010), Management, 5th edition, New York: John Wiley and Sons, Inc. Skilling, D. (1996). "Beyond the Quick Fix: How to Manage More Effectively in the Heart of Change.” Industrial and Commercial Training, Volume: 28 Number: 4 Page: 3 – 7. Stensaker, I., Meyer, C., Flakenberg, J. & Haueng, A. (2001) Excessive Change: Unintended Consequences of Strategic Change, Academy of Management Proceedings, G1-G6. Stuhler, E.A. (1994), Philosophy of change and progress, Sistems Research, vol.11, no 1, pp. 33-34. Sturdy, A. & Grey, C. (2003), Beneath and Beyond Organizational Change Management: Exploring Alternative, Organization, vol. 10 (4), pp. 651 – 662.



 EKMA4565/MODUL 1



1.67



Toffler, A. (1970). Future Shock, New York, NY: Random House. Toffler, A. (1980). The Third Wave, London, Pan Book Ltd. Toffler, A. (1991). The Power Shift, Bantam Books. Wang, Y. (2000). Philospohy of Change and the Deconstruction of Self in the Zhuangzi, Journal of Chinese Philosophy, 27:3, pp. 345 – 360. Warrick, D.D. (1995). Best Practices Occur When Leaders Lead, Champion Change, and Adopt Sound Change Process, Organization Development Journal, 13 (4), 98. Worrall L. & Cooper, C. L. (1998). The Quality of Working Life: 1998 Survey of Managers' Changing Experiences, Institute of Management Research Report, London. Wren, D.A. (1994). The Evolution of Management Thought, 4th edition, New York, NY: John Wiley & Sons, Inc. Zajac, E.J., Kraatz, M.S. & Bresser, R.K.F. (2000). Modeling the Dynamic of Strategic Fit: A Normative Approach to Strategic Change, Strategic Management Journal, 21 (4), pp. 429-454.



Modul 2



Faktor Pendorong dan Tipologi Perubahan Organisasi Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N



D



ewasa ini tantangan paling berat yang dihadapi manajer sebuah perusahaan adalah perubahan lingkungan bisnis yang begitu cepat. Tidak seperti tahun 1960-an dan 1970-an di mana lingkungan bisnis cenderung sangat stabil tanpa gejolak yang berarti, persaingan antar bisnis relatif rendah, dan perusahaan bisa dengan mudah membuat prediksi masa depannya, dewasa ini lingkungan bisnis sangat bertolakbelakang dengan kondisi saat itu. Lingkungan bisnis saat ini terus mengalami perubahan dan perubahannya serba tidak menentu dan turbulen. Bukan hanya itu, sifat perubahannya sering kali tidak bisa diprediksi lebih awal, sulit dilacak kemana arah perubahan tersebut akan bermuara, dan bahkan perubahannya cenderung keostik. Perubahan lingkungan yang begitu dramatik tersebut salah satunya dipicu oleh kemajuan teknologi informasi yang mendominasi dunia saat ini. Teknologi informasi sering disebut sebagai biang yang memutarbalikkan lingkungan bisnis saat ini. Di tengah-tengah perubahan lingkungan yang tidak menentu tersebut, di satu sisi, tidak henti-hentinya para manajer dihimbau untuk terus melakukan perubahan jika menginginkan organisasi yang dikelolanya bisa bertahan hidup dan terus berkembang. Jika himbauan ini diabaikan, boleh jadi ancamannya adalah organisasi tersebut tidak berumur panjang. Slogan change or die seolah-olah menjadi dogma yang harus benar-benar ditaati para manajer dan oleh karenanya organisasi harus terus berubah berpacu dengan kecepatan perubahan lingkungan. Markus et al. (1997) misalnya menyebutkan lebih dari 84% perusahaan Amerika terlibat dalam perubahan organisasi. Tentunya bukan hanya perusahaan-perusahaan Amerika yang terlibat dalam perubahan organisasi seperti disebutkan Markus, praktik yang sama juga diyakini terjadi di seluruh dunia. Boleh jadi keterlibatan ini karena para manajer menganggap bahwa perubahan organisasi menjadi sebuah keharusan (Beer & Nohria, 2000).



2.2



Manajemen Perubahan 



Di sisi lain, ketika antusiasme para manajer dalam melakukan perubahan begitu tinggi, mereka juga selalu diingatkan agar berhati-hati terhadap risiko terburuk yang mungkin harus ditanggung ketika melakukan perubahan. Lingkungan yang keostik menyebabkan kita sulit memprediksi hasil perubahan organisasi. Perubahan yang semula dianggap berhasil bisa saja tiba-tiba berbalik arah. Sebagai contoh, pada tahun 1980-an masyarakat masih berebut untuk mendapatkan sambungan telepon rumah (fixed line) karena PT. Telkom sebagai penyedia jasa telepon memiliki jumlah jaringan yang masih sangat terbatas dibandingkan permintaan masyarakat. PT. Telkom berhasil mengatasi persoalan tersebut dengan cara bekerja sama dengan masyarakat/pelaku bisnis yakni dengan mendirikan Wartel. Kebijakan ini memungkinkan masyarakat yang belum memiliki fixed line bisa memanfaatkan Wartel tersebut untuk berkomunikasi dan sekaligus bisa mengatasi keterbatasan jaringan telepon yang dimiliki PT. Telkom. Namun sejak tahun 1990-an bersamaan dengan mulai maraknya penggunaan telepon seluler, Wartel pun mulai sepi pengunjung. Masyarakat pengguna jasa telepon mulai beralih ke telepon genggam yang lebih fleksibel. Demikian juga pelanggan telepon rumah yang semula sering mendapat teguran dari PT. Telkom karena dianggap tidak memanfaatkan telepon rumah secara optimal (biasa disebut sebagai telepon tidur) sekarang tidak lagi demikian. Sekarang telepon rumah seolah-olah hanya sebagai telepon alternatif, dari telepon genggam, yang akan digunakan kalau terpaksa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan PT. Telkom memiliki risiko yang tidak kecil. Investasi PT. Telkom yang begitu besar untuk memfasilitasi masyarakat memiliki telepon rumah seolah-olah menjadi sia-sia karena masyarakat pada akhirnya lebih memilih berkomunikasi lewat SMS. Meski PT. Telkom masih bisa mengatasi risiko ini dengan terus melakukan perubahan yakni mengubah fungsi telepon rumah sebagai media internet banyak perusahaan lain yang tidak seberhasil PT. Telkom. Risiko terburuk, tentunya bukan hanya organisasi gagal memperbaiki kinerja tetapi sangat mungkin manajernya juga ikut terkena dampak perubahan. Banyak kasus menunjukkan bahwa para manajer harus meninggalkan organisasi yang dipimpinnya karena dianggap gagal dalam perubahan. Contoh ini tentunya bukan peringatan yang mengada-ada dan juga bukan sekedar untuk menakut-nakuti para manajer karena seperti dikatakan Ghosal & Barlett (2000) setiap satu perusahaan yang berhasil melakukan transformasi, paling tidak ada satu perusahaan lain yang gagal



 EKMA4565/MODUL 2



2.3



melakukannya. Apa yang diduga Ghosal & Barlett bukan sesuatu yang berlebihan, bahkan bisa dikatakan Ghosal & Barlett terlalu optimistik karena data lain menunjukkan tingkat kegagalan perubahan jauh lebih tinggi dari perkiraan tersebut (lihat misalnya Reger, et al., 1994). Yang menjadi paradoks adalah ketika fakta menunjukkan bahwa tingkat kegagalan perubahan begitu tinggi para manajer tidak serta merta lantas menghentikan upayanya untuk melakukan perubahan organisasi. Sebaliknya upaya para manajer melakukan perubahan seolah-olah tidak terganggu oleh fakta di atas. Perubahan demi perubahan terus dilakukan para manajer tanpa memperdulikan risiko yang bakal ditimbulkannya. Ketika satu perubahan dianggap gagal, para manajer akan mencoba perubahan lainnya sampai betulbetul berhasil atau sebaliknya gagal total. Bagi para manajer, boleh jadi perubahan organisasi bukan sekedar bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi tetapi lebih merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk menunjukkan kemampuan dirinya sebagai seorang manajer. Lou Gertsner misalnya, seorang CEO yang sama sekali tidak memiliki latar belakang teknologi informasi berani mengambil risiko ketika ditawari untuk memimpin IBM – perusahaan yang basisnya adalah teknologi yang ketika itu sedang kolaps dan membutuhkan perubahan mendasar. Bagi Lou Gertsner memimpin IBM boleh jadi merupakan tantangan yang harus dihadapinya sebagai seorang CEO. Contoh yang sama juga dialami oleh Tanri Abeng yang berhasil mengangkat PT Bir Bintang menjadi perusahaan sukses kemudian ditawari Abu Rizal Bakrie untuk mengelola Bakrie Group yang juga memerlukan perubahan mendasar. Bagi Tanri Abeng, gaji tentu bukan alasan mengapa dia menerima tawaran Abu Rizal. Aktualisasi diri sebagai seorang CEO Indonesia tersukses sangat mungkin sebagai alasan utamanya bahwa dirinya bukan hanya sukses di Bir Bintang tetapi juga bisa menangani bisnis perusahaan keluarga yang sedang bermasalah. Dari uraian-uraian di atas, pertanyaannya adalah ketika perubahan organisasi membawa konsekuensi kegagalan yang tidak kecil mengapa para manajer terus melakukannya? Faktor-faktor apa saja yang mendorong para manajer terus melakukan perubahan organisasi? Jawaban dari pertanyaan ini bisa ditemui pada Modul 2 khususnya pada Kegiatan Belajar 1 yang akan menguraikan secara detail alasan mengapa organisasi melakukan perubahan dan faktor-faktor pendorongnya.



2.4



Manajemen Perubahan 



Sementara itu Kegiatan Belajar 2 akan menguraikan tipologi atau jenisjenis perubahan yang biasa dilakukan para manajer. Setelah kita mengetahui alasan dan faktor pendorong yang menyebabkan organisasi berubah, selanjutnya perlu diketahui pula tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi. Pengetahuan ini menjadi penting karena para manajer yang menyadari akan risiko yang dihadapinya tentu tidak ingin gagal dalam melakukan perubahan. Oleh karena itu dengan memahami tipologi perubahan para manajer bisa menerapkan pola perubahan yang berbeda untuk permasalahan berbeda yang dihadapi organisasi.



2.5



 EKMA4565/MODUL 2



Kegiatan Belajar 1



Faktor Pendorong Perubahan Organisasi A. TARIK ULUR ANTARA STABILITAS DAN PERUBAHAN ORGANISASI Seperti telah dijelaskan pada modul satu, organisasi pada dasarnya adalah alat untuk mencapai tujuan khususnya tujuan para pendiri (pemilik organisasi) dan secara umum tujuan semua orang yang terlibat di dalam organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang para manajer diharuskan melakukan berbagai macam tindakan dan membuat keputusan yang dilematis. Dua kondisi paradoksal yang dihadapi para manajer adalah menjaga agar organisasi dalam keadaan stabil atau melakukan perubahan terus menerus karena tuntutan lingkungan (Leana & Barry, 2000). Di satu sisi, pandangan klasik mengatakan bahwa stabilitas organisasi menjadi penting karena organisasi bisa berkinerja dengan baik jika dan hanya jika didukung oleh keadaan organisasi yang stabil. Stabilitas organisasi memungkinkan karyawan yang bekerja di dalamnya merasa nyaman dalam bekerja, tidak ambigu dan yang lebih penting lagi tidak mengalami stres karena harus memikirkan cara-cara baru dalam bekerja (lihat misalnya Becker, et al., 2005; Feldman, 2000, 2003; Feldman & Pentland, 2003). Bagi para manajer sendiri stabilitas organisasi memungkinkan dirinya bisa melakukan koordinasi dengan mudah, memberi arahan yang jelas kepada karyawan dan tanpa kesulitan melakukan pengawasan terhadap karyawan. Ujung-ujungnya semua kegiatan berjalan lancar dan sumber daya bisa dimanfaatkan secara efisien. Di sisi lain, dalam bahasa sistem, organisasi adalah sebuah subsistem dari sistem yang lebih besar. Sistem ini disebut lingkungan organisasi. Yang dimaksud dengan lingkungan organisasi adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi dan dalam batas-batas tertentu tidak bisa dikendalikan oleh manajer organisasi namun bisa mempengaruhi eksistensi organisasi. Termasuk dalam lingkungan organisasi misalnya budaya masyarakat, kondisi ekonomi, politik,dan hukum, serta perkembangan teknologi. Sebagai sebuah subsistem, tentunya organisasi tidak bisa melepaskan diri dari dinamika sistem lingkungan. Artinya organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karenanya manakala lingkungan berubah sudah barang tentu organisasi



2.6



Manajemen Perubahan 



juga harus menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan. Sebagai bagian dari sistem, perubahan organisasi bukan merupakan tujuan organisasi melainkan merupakan upaya para manajer agar organisasi yang dikelolanya bisa beradaptasi dengan lingkungan sehingga bisa bertahan hidup dan terus berkembang. Bagi organisasi, lingkungan merupakan faktor penting mengingat sumber daya yang dibutuhkan organisasi hanya lingkungan yang menyediakannya. Demikian juga untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkannya hanya lingkungan yang bisa menampung. Jadi, seperti halnya menjaga stabilitas organisasi, perubahan organisasi juga penting. Keduanya dimaksudkan agar kinerja organisasi terus meningkat. Seperti dikatakan Leana & Barry (2000) menjaga stabilitas organisasi dan sekaligus membuat organisasi lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan merupakan dua hal yang secara simultan akan dialami oleh sebuah organisasi. Dilema yang dihadapi para manajer seperti disebutkan di atas, tidak jarang berujung pada tuntutan agar para manajer membuat keputusan dan melakukan berbagai macam tindakan yang kadang-kadang terkesan bersifat paradoks karena mereka harus melakukan dua hal berlawanan pada saat yang hampir bersamaan. Palmer et al. (2006 : 50) misalnya mengatakan bahwa manajer diharuskan untuk: 1. Menstabilkan kondisi organisasi yang tidak stabil dan pada saat bersamaan membuat organisasi lebih dinamis ketika semuanya serba kaku (rigid). Seperti telah disebutkan sebelumnya, stabilitas dan dinamika organisasi adalah dua hal yang saling berlawanan. Di satu sisi organisasi dituntut selalu dalam keadaan stabil agar orang-orang yang bekerja di dalamnya merasa nyaman dan tidak mengalami gangguan berarti dalam bekerja. Yang barangkali harus diperhatikan adalah stabilitas yang berlebihan akan mengarah pada rigiditas organisasi. Situasi seperti ini menyebabkan organisasi tidak lagi fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan bahkan cenderung menolaknya. Kalau situasi seperti ini tidak segera diatasi sangat boleh jadi organisasi menjadi statis dan ujung-ujungnya tidak lagi bisa beradaptasi dengan lingkungan. Oleh karenanya perubahan organisasi menjadi sebuah keharusan agar organisasi menjadi semakin dinamis dan fleksibel ketika menghadapi lingkungan yang serba berubah. 2. Beradaptasi terhadap lingkungan sedang berjalan dan tidak lupa mengantisipasi perkembangan masa akan datang. Organisasi sering dimetaforakan sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk



 EKMA4565/MODUL 2



3.



4.



2.7



beradaptasi dengan lingkungan. Metafora ini sejalan dengan Teori Kontingensi yang menegaskan bahwa organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang jika selaras dengan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Beradaptasi dengan lingkungan berarti organisasi mampu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan lingkungan yang ada. Manakala lingkungan organisasi berubah maka organisasi juga harus melakukan perubahan. Proses seperti ini akan berjalan terus. Meski proses penyesuaian diri ini merupakan suatu keharusan namun dalam praktik biasanya bukan pekerjaan mudah. Kadang-kadang harus menguras energi yang cukup banyak dan sayangnya hasilnya sering kali bersifat jangka pendek. Oleh karena itu para manajer harus memikirkan proses perubahan yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Caranya adalah dengan melakukan perubahan yang bertujuan untuk mengantisipasi masa depan. Memperbaiki kondisi berjalan dan menemukan hal-hal baru yang seharusnya dimiliki organisasi. Perbaikan terhadap komponenkomponen organisasi adalah merupakan salah satu upaya para manajer agar arsitektur organisasi cocok dengan kebutuhan organisasi secara keseluruhan. Namun kadang-kadang sekedar memperbaiki kondisi organisasi yang tidak pas dirasa tidak cukup. Para manajer juga harus menemukan hal-hal baru yang memang seharusnya dimiliki organisasi dan belum dimiliki para pesaing. Bahasa sederhananya, organisasi harus selalu berinovasi untuk menciptakan keunggulan bersaing. Inovasi memungkinkan sebuah organisasi selangkah lebih maju dibandingkan para pesaingnya. Dengan inovasi ini pula organisasi terus melakukan pembelajaran yang hasilnya bukan sekedar memperbaiki kondisi berjalan tetapi juga menemukan hal-hal baru yang tidak dimiliki para pesaing. Menjadi pemimpin dalam pembaharuan tanpa harus merusak tradisi atau kebiasaan yang ada. Organisasi dituntut untuk selalu menjadi pembaharu sebab dengan pembaharuan organisasi tersebut bisa menjadi trend setter. Artinya, sebagai pembaharu organisasi akan selalu tampil di depan dan menjadi panutan bagi organisasi-organisasi lainnya. Sayangnya pembaharuan organisasi sering kali diikuti oleh rusaknya tradisi, kebiasaan atau budaya yang ada yang telah dibangun bertahun-tahun dengan susah payah. Barangkali tantangan yang dihadapi para manajer adalah bagaimana melakukan pembaharuan tanpa harus dibarengi oleh rusaknya budaya organisasi. Meski tindakan ini sepertinya mustahil



2.8



Manajemen Perubahan 



untuk dilakukan kenyataannya banyak perusahaan bisa melakukan hal ini. Perusahaan-perusahaan Jepang misalnya merupakan contoh nyata yang bisa menyatukan budaya dengan pembaharuan sehingga pola manajemen Jepang menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan lain seperti perusahaan Amerika yang sejak tahun 1980-an mulai mengintegrasikan budaya ke dalam pola manajemennya. 1.



Metafora Organisasi Tentunya agar para manajer bisa membuat keputusan dan melakukan tindakan-tindakan yang paradoksal, dan upaya-upaya tersebut berjalan efektif, yang pertama-tama harus dilakukan seorang manajer adalah memahami sifat-sifat organisasi lebih baik. Salah satunya dan sering kali dianggap sebagai cara termudah memahami sifat organisasi adalah dengan membuat perumpamaan (metafora) tentang organisasi. Yang dimaksud dengan metafora organisasi adalah menganalogikan organisasi dengan benda/obyek lain seolah-olah organisasi tersebut mempunyai karakter, sifat dan perilaku seperti benda/obyek dimaksud (Morgan, 1997). Sebagai contoh, Keidel (1984) mengatakan bahwa jenis-jenis olahraga tertentu (dalam hal ini Baseball, Football, and Basketball) bisa menjadi metafora untuk menjalankan aktivitas organisasi. Keidel lebih lanjut mengatakan: “three major professional team sports in the United States – baseball, football and basketball – exhibit profoundly different dynamics and exemplify three organizational patterns common in business (and other sectors). Each represents a model – a coherent set of relationships that captures the essence of an organizational form. By studying these models, managers can gain new insight into their own cognitive orientations”. “tiga jenis olahraga yang melibatkan tim sangat populer di Amerika – baseball, football dan basketball – menunjukkan dinamika yang berbeda dan menggambarkan tiga pola umum organisasi bisnis (dan sektor lainnya). Masing-masing jenis olahraga tersebut merepresentasikan sebuah model yakni satu set hubungan yang koheren yang menggambarkan esensi dari satu bentuk organisasi. Dengan mempelajari model-model ini, para manajer diyakini bisa memperoleh pemahaman untuk dirinya bagaimana menjalankan kegiatan organisasi”.



Penjelasan di atas menegaskan bahwa kegiatan olah raga seperti Baseball, Football dan Basketball bukan sekedar olahraga tetapi bisa menjadi



 EKMA4565/MODUL 2



2.9



model atau metafora untuk menjalankan aktivitas bisnis dan kegiatan organisasi lainnya. Alasannya karena masing-masing dari ketiga jenis olah raga di atas mempunyai karakteristik tersendiri yang khas. Sebagai contoh, organisasi yang tersebar di beberapa tempat di mana masing-masing unit bersifat semi otonom (seperti pada umumnya holding company dan organisasi yang beroperasi berdasarkan franchise), memiliki kesamaan dengan karakteristik sebuah team baseball. Organisasi semacam ini cenderung menerapkan pola manajemen yang longgar kepada masing-masing unit aktivitas. Layaknya dosen perguruan tinggi, masing-masing unit memperoleh keleluasaan untuk mencapai tujuannya dalam rangka mencapai tujuan menyeluruh organisasi. Organisasi seperti ini biasanya memiliki satu prinsip – the whole is roughly sum of its parts (units) – satu kesatuan merupakan penjumlahan dari masing-masing bagian (unit) yang mandiri. Dengan kata lain Dalam kaitannya dengan perumpamaan organisasi tersebut, Gareth Morgan (1997) dalam, organisasi dengan pola baseball team tentunya lebih menekankan pentingnya peran dan kompetensi individu ketimbang kerja sama tim sebagai kekuatan organisasi. Penjelasan yang kurang lebih sama berlaku bagi organisasi berpola football team dan basketball team masingmasing dengan karakteristiknya. Dengan perumpamaan ini, sekali lagi, kita berupaya memahami sifatsifat organisasi meski pemahaman tersebut terbatas hanya pada sifat-sifat tertentu (sesuai dengan sifat benda/obyek yang menjadi perumpamaannya) dan cenderung mengabaikan sifat-sifat yang lain. Cara pandang ini memungkinkan kita bisa lebih fokus dalam memahami, merekayasa, merubah dan mengembangkan organisasi, dan sekaligus menyadari kelebihankelebihan dan keterbatasan-keterbatasan cara pandang ini. Bukunya yang sangat populer Images of Organization mengumpamakan organisasi dengan 8 metafora yaitu: a. Organisasi dipandang sebagai mesin. b. Organisasi dipandang sebagai organisme hidup. c. Organisasi dipandang sebagai pusat berpikir (otak). d. Organisasi dipandang sebagai budaya. e. Organisasi dipandang sebagai arena politik. f. Organisasi dipandang sebagai alat pengendali psikis. g. Organisasi dipandang sebagai tempat perubahan dan alat transformasi. h. Organisasi dipandang sebagai alat dominasi.



2.10



Manajemen Perubahan 



2.



Organisasi sebagai Mesin Memandang organisasi sebagai mesin (sering disebut sebagai organisasi mesin atau machine organization) berarti kita menganggap seolah-olah organisasi mempunyai sifat atau ciri dan prilaku seperti mesin. Sebagaimana kita ketahui, mesin adalah alat yang diciptakan untuk menghasilkan sesuatu dan cara kerjanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) kegiatannya bersifat mekanis, teratur dan ajeg; (2) masing-masing bagian bekerja secara terpisah (fragmented) dan hanya mengerjakan satu kegiatan tertentu (single activity) secara terus menerus; (3) karena masing-masing bagian bekerja secara terpisah maka untuk bisa menghasilkan output perlu adanya koordinasi dan kerja sama antar bagian (networking); dan terakhir (4) kegiatannya bersifat hierarkis – berawal dari satu ujung dan berakhir pada ujung yang lain. Jika organisasi dianggap sebagai mesin maka ciri-ciri sebuah mesin seperti tersebut di atas, juga menjadi ciri-ciri bagi sebuah organisasi. Implikasi dari cara pandang seperti ini adalah kita menganggap semua elemen organisasi termasuk sumber daya manusia merupakan instrumen organisasi yang sengaja didisain untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu, semua yang terlibat di dalam organisasi baik para pekerja maupun para manajernya, juga mempunyai pola kerja, sifat, prilaku, tindakan dan pola pikir yang sama seperti mesin. Paling tidak mereka harus menyesuaikan diri dengan pola kerja mesin. Pandangan bahwa manusia yang bekerja di dalam organisasi harus mengikuti pola kerja mesin dan mempunyai prilaku seperti mesin inilah yang disebut sebagai organisasi mesin (mechanistic organization). 3.



Organisasi sebagai Organisme Cara pandang kedua adalah menganggap organisasi seolah-olah layaknya makhluk hidup (organisme). Seperti layaknya makhluk hidup maka organisasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) organisasi bukan benda mati tetapi benda hidup yang mengalami daur kehidupan mulai dari lahir, tumbuh, dewasa, menua dan akhirnya mati, (2) agar bisa bertahan hidup lebih lama, tumbuh dan terus berkembang maka organisasi harus memiliki sumber daya yang cukup, (3) organisasi juga harus bisa beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara pandang seperti ini bisa diartikan bahwa keberlangsungan hidup sebuah organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya



 EKMA4565/MODUL 2



2.11



yang tersedia di luar organisasi yang jumlahnya sangat terbatas. Titik tekan organisasi dengan demikian adalah bagaimana organisasi mampu memanja, beradaptasi dan mengatasi masalah lingkungan. 4.



Organisasi sebagai Tempat Berpikir (Brain) Cara pandang ketiga menganggap organisasi sebagai tempat berpikir atau memiliki kemampuan untuk berpikir. Cara pandang ini menempatkan organisasi seolah-olah layaknya sebuah otak manusia yang mampu mengolah informasi, mampu melakukan proses pembelajaran dan mampu membuat keputusan. Dengan demikian fokus perhatian utama pada metafora ini adalah bagaimana sebuah organisasi mampu mengakses, menggunakan dan memproses informasi agar organisasi tersebut mampu melakukan pembelajaran, memberi penilaian dan mengambil keputusan. Semua kemampuan ini menjadi penting karena diasumsikan bahwa keberhasilan organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam meningkatkan atau memperbaiki proses dalam menjalankan kegiatan organisasi. Oleh karena itu tuntutannya adalah bagaimana organisasi membuat struktur pengambilan keputusan yang tepat, memiliki alat pengumpul data yang cocok, memiliki alat analisis yang cocok dan memiliki kemampuan kolektif dalam menterjemahkan informasi. 5.



Organisasi sebagai Sistem Budaya Cara pandang keempat menganggap organisasi sebagai sistem budaya. i Dalam hal ini Smircich and Stubart misalnya mengatakan bahwa organisasi adalah sekumpulan orang yang memiliki kesamaan keyakinan, tata nilai dan asumsi di mana keyakinan, tata nilai dan asumsi tersebut akan menjadi landasan bagi semua orang di dalam organisasi untuk menginterpretasikan setiap tindakan baik yang mereka lakukan maupun tindakan yang dilakukan orang lain. Berdasar definisi ini organisasi dipandang bukan sebagai struktur yang objektif yang didesain untuk mencapai tujuan yang terukur melainkan sebagai sekumpulan orang yang meng-construct realitas dengan saling berbagi makna dan asumsi. Dengan metafora ini dengan demikian sebelum sekumpulan orang melakukan tindakan mereka terlebih dahulu harus memiliki definisi atau konstruksi realitas yang jelas yang didasarkan pada keyakinan, tata nilai dan asumsi bersama. Demikian juga agar sebuah organisasi bisa berfungsi dan beroperasi dengan baik para anggota organisasi harus bisa mendefinisikan persoalan organisasi dengan jelas dan mereka juga



2.12



Manajemen Perubahan 



harus sepakat dalam upayanya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. 6.



Organisasi sebagai Arena Politik Cara pandang kelima menganggap organisasi sebagai arena politik. Dalam cara pandang ini, sebagaimana ditegaskan oleh Lee and Lawrence (1991: 42-43), kekuasaan (power) menjadi variabel penting di dalam organisasi. Karena dalam metafora ini politik identik dengan kekuasaan maka memahami sifat-sifat kekuasaan dan konsekuensi yang ditimbulkannya sangat dianjurkan ketika hendak mengatasi persoalan-persoalan organisasi. Sebagai contoh, berkompetisi dan bekerja sama antar individu di dalam organisasi atau berkoalisi dengan berbagai pihak dalam memperebutkan sumber daya yang sangat terbatas menjadi hal yang biasa terjadi. Konsekuensinya adalah kemungkinan timbulnya konflik yang disebabkan antara lain karena masing-masing kelompok memiliki tata nilai, kepentingan dan skala prioritas yang berbeda. 7.



Organisasi sebagai Alat Pengendali Psikis Cara pandang keenam menganggap organisasi sebagai alat pengendali psikis. Metafora ini – alat pengendali psikis (psychic prison) menganggap bahwa setiap orang yang terlibat dalam kehidupan organisasi layaknya orang masuk penjara yang dibatasi kebebasannya, bukan hanya kebebasan secara fisik tetapi juga kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan kebebasan jiwa masing-masing. Dibatasinya kebebasan ini karena dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi baik tugas yang menuntut kemampuan fisik maupun kemampuan emosi, seseorang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan dan cara-cara yang telah ditetapkan organisasi. Akibatnya, cara pandang ini sering menghambat organisasi untuk melakukan proses pembelajaran dan meningkatkan kinerjanya karena para anggota organisasi cenderung berprilaku kompulsif dan sekedar menjaga disiplin dan kepatuhan terhadap organisasi. 8.



Organisasi sebagai Tempat Perubahan dan Alat Transformasi Cara pandang ketujuh menganggap organisasi sebagai tempat untuk melakukan perubahan dan alat transformasi. Asumsi yang melatarbelakangi cara pandang ini adalah organisasi secara terus menerus akan selalu mengalami perubahan. Jaffee (2001: 9) misalnya mengemukakan bahwa



 EKMA4565/MODUL 2



2.13



salah satu alasan terjadinya perubahan organisasi karena di dalam organisasi terjadi kontradiksi atau tarik ulur antar berbagai pihak. Di samping itu, perubahan organisasi juga terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang serba paradoksal katakanlah antara keharusan untuk berkonsentrasi pada diferensiasi organisasi atau integrasi organisasi. 9.



Organisasi sebagai Alat Dominasi Cara pandang kedelapan menganggap organisasi sebagai alat untuk mendominasi orang lain. Cara pandang ini merupakan kombinasi antara metafora organisasi sebagai mesin dan metafora organisasi sebagai arena politik. Dalam cara pandang ini organisasi tidak berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan orang banyak melainkan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan individu dan kelompoknya dengan cara mengorbankan kepentingan kelompok lain. Dalam hal ini, mereka yang bisa memiliki dan mengendalikan organisasi mereka pula yang bisa mendominasi dan menguasai orang lain. Oleh sebab itu, sangat tidak mengherankan jika para buruh berupaya untuk membentuk serikat pekerja sebagai upaya untuk menyeimbangkan kekuatan antara pihak perusahaan dengan mereka sehingga para buruh tidak terus menerus menjadi pihak yang didominasi. B. MENGAPA ORGANISASI BERUBAH? Dari delapan perumpamaan yang disampaikan Morgan (1997), satu di antaranya yakni organisasi sebagai tempat perubahan dan alat transformasi tegas-tegas memberi penjelasan bahwa organisasi akan selalu mengalami perubahan. Salah satu sebabnya karena di dalam kehidupan organisasi terdapat banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda sehingga tarik ulur antar pihak-pihak tersebut menyebabkan perubahan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Selain karena tarik ulur antara pihak-pihak yang berkepentingan, dua alasan lain juga menyertai perubahan organisasi. Pertama alasan ekonomi – biasa disebut sebagai “theory E” (Beer & Nohria, 2000; Andriuŝčenka, 2007). Asumsi yang melatarbelakangi alasan ekonomi adalah keberlangsungan hidup sebuah organisasi/perusahaan sangat bergantung pada kepuasan para pemegang saham (pemilik organisasi) terhadap kinerja organisasi. Jika merasa tidak puas, langkah terburuk yang dilakukan para pemilik adalah memindahkan modalnya ke perusahaan lain yang lebih menguntungkan. Apalagi dengan bantuan teknologi informasi



2.14



Manajemen Perubahan 



yang ada para investor bisa dengan mudah memindahkan dananya dari satu pasar modal ke pasar modal yang lain yang lebih memberikan keuntungan finansial bagi dirinya. Namun jika para pemilik tidak menghendaki langkah tersebut tetapi menginginkan agar perusahaannya tetap eksis dan terus berkembang, mereka bisa menggunakan pengaruhnya untuk mengganti para manajer yang berkinerja buruk. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan, bagi para manajer, merupakan alat untuk menghindari pemecatan dirinya dan sekaligus menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar sejalan dengan kepentingan para pemilik. Berdasarkan alasan ekonomi bisa dikatakan bahwa para pemilik organisasi merupakan tokoh sentral dan motor penggerak utama perubahan karena sesuai dengan kedudukan dan kepentingannya, mereka bisa mempengaruhi dan mempunyai legitimasi untuk memerintahkan para manajer khususnya manajer puncak untuk melakukan perubahan. Di sisi lain manajer puncak sesuai dengan mandat yang diberikan para pemilik kepadanya bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan perubahan. Seperti halnya para pemilik, manajer puncak juga memiliki kewenangan dalam hal memerintahkan manajer di bawahnya untuk melakukan hal yang sama – perubahan. Proses ini secara berturut-turut terus bergulir mulai dari manajemen level atas sampai pada manajemen level paling bawah. Pihak yang disebut terakhir beserta semua orang yang berada di dalamnya tinggal melaksanakan apa yang dikatakan dan dimaui manajer di atasnya. Demikian juga para manajer bisa mengalokasikan sumber-sumber daya untuk kepentingan tersebut. Perubahan organisasi yang inisiatifnya datang dari para pemilik dan prosesnya dimulai dari manajemen level atas sampai level bawah yang baru saja dikemukakan merupakan proses perubahan yang bersifat top-down yang mengikuti pola manajemen seperti dikemukakan Henri Fayol. Seperti kita ketahui bersama, Fayol termasuk tokoh manajemen klasik yang menekankan pentingnya fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Fungsi-fungsi ini didesain sedemikian rupa agar organisasi beraktivitas secara teratur dan para manajer bisa mengelola manusia/karyawan dan berbagai aktivitas organisasi lebih mudah. Kedudukan organisasi dengan demikian layaknya sebuah mesin yang nasib dan hidup matinya sangat tergantung pada para aktor yang menjalankannya. Alasan kedua mengapa organisasi berubah bisa dilihat dari perspektif pembelajaran organisasi (Lam, 2000) atau populer disebut sebagai “theory



 EKMA4565/MODUL 2



2.15



O” (Beer & Nohria, 2000; Andriuŝčenka, 2007). Memang betul bahwa tujuan akhir dari eksistensi organisasi adalah untuk memuaskan kepentingan para pemilik. Namun tidak boleh dilupakan juga bahwa kepentingan para pemilik hanya bisa terwujud jika proses internal berjalan dengan baik. Artinya perubahan organisasi tidak secara langsung ditujukan untuk memuaskan kepentingan para pemilik tetapi lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja proses organisasi. Agar proses internal bisa berjalan dengan baik, dua syarat berikut harus dipenuhi: (1) organisasi memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mencapai tujuan organisasi dan (2) orang-orang yang bekerja di dalam organisasi mau mengupayakan dan terus belajar dalam rangka memperbaiki proses aktivitas sehingga organisasi bisa bekerja secara efisien. Syarat pertama mutlak harus dimiliki organisasi sebab tanpa kapasitas dan kapabilitas yang cukup mustahil organisasi bisa beroperasi dengan lancar. Secara operasional kapasitas dan kapabilitas organisasi oleh Bruch & Ghoshal (2003) dinamakan energi organisasi yaitu kekuatan yang memungkinkan sebuah organisasi bisa berfungsi dengan baik. Bruch & Ghoshal (2003) selanjutnya membedakan energi organisasi menggunakan dua dimensi berbeda: dimensi kualitas dan intensitas energi. Dari sisi kualitas, organisasi dianggap memiliki energi positif atau sebaliknya energi negatif. Sedangkan dari sisi intensitasnya, energi organisasi bisa dibedakan menjadi energi dengan intensitas tinggi dan rendah. Jika kedua dimensi tersebut dipertemukan maka sebuah organisasi bisa dikelompokkan ke dalam salah satu dari empat zona seperti tampak pada Gambar 2.1 yaitu: comfort zone, resignation zone, aggression zone dan passion zone.



2.16



Manajemen Perubahan 



Gambar 2.1. Zona energi organisasi



Sebuah perusahaan atau organisasi dikatakan masuk pada zona kenyamanan (comfort zone) jika memiliki energi positif tetapi intensitasnya rendah. Organisasi yang masuk zona ini bisa dikatakan memiliki kekuatan untuk menggerakkan organisasi yang ditandai oleh emosi positif, suasana kerja yang tenang dan karyawan sangat bangga dengan apa yang telah dicapai. Secara umum para manajer dan karyawan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Tetapi sayangnya semua ini dibarengi dengan daya juang rendah, tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal tanda bahaya. Akibatnya jika terjadi perubahan lingkungan, organisasi enggan atau tidak siap untuk memberikan respon dengan baik. Organisasi dan orang-orangnya cenderung berhalusinasi dengan keberhasilan masa lalu. Perubahan lingkungan hanya dianggap bersifat sementara dan tidak member ancaman terhadap organisasi. Walhasil organisasi yang masuk pada comfort zone cenderung terjebak pada keberhasilan masa lalu. Sementara itu, organisasi dikategorikan ke dalam resignation zone jika memiliki energi negatif dan intensitasnya juga rendah. Bisa dikatakan organisasi yang masuk pada zona ini, orang-orangnya cenderung frustrasi, kecewa dan murung. Mereka tidak memiliki vitalitas dan daya gerak. Emosi mereka juga cenderung negatif. Sederhananya, mereka tidak memiliki harapan masa depan bukan karena enggan merespon perubahan lingkungan



 EKMA4565/MODUL 2



2.17



melainkan karena memang tidak memiliki energi yang cukup untuk itu. Di sisi lain, organisasi dikatakan masuk pada aggression zone jika terjadi perselisihan internal antar karyawan. Akibatnya timbul emosi negatif karena energi dihabiskan untuk bertengkar. Untungnya perselisihan ini menjadi pendorong organisasi untuk berkompetisi. Manifestasinya muncul dalam bentuk tingginya aktivitas organisasi dan perhatiannya terhadap sinyal-sinyal tanda bahaya. Bisa dikatakan semua energi difokuskan untuk mencapai tujuan organisasi. Terakhir, passion zone menggambarkan organisasi yang berkembang dengan energi yang sangat kuat dan positif. Situasi ini biasanya ditandai dengan suasana kerja yang menyenangkan dan membanggakan. Tidak seperti yang terjadi pada comfort zone, pada passion zone semua karyawan dengan antusiame yang tinggi mau berbagi dan berpartisipasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa tidak semua organisasi memiliki energi yang cukup untuk menggerakkan organisasi dan bisa mendukung pencapaian tujuan organisasi. Dua energi yang disebut pertama – comfort zone dan resignation zone merupakan tipikal organisasi yang energinya tidak cocok dengan kebutuhan organisasi. Sedangkan organisasi yang masuk pada aggression zone dan passion zone bisa diandalkan untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu jika menghendaki organisasi bias terus bertahan hidup dan berkembang, perubahan organisasi perlu dilakukan bagi organisasi yang masuk kategori comfort zone dan resignation zone. Organisasi yang masuk pada kategori ini harus diubah menuju pada organisasi yang masuk pada kategori aggression atau passion zone (lihat Gambar 2.2). Jelasnya organisasi harus melakukan perubahan yakni energi yang menghambat aktivitas organisasi harus diubah menjadi energi yang mampu memperkuat kapasitas dan kapabilitas organisasi sehingga pada akhirnya tujuan organisasi bisa tercapai. Jika dinyatakan secara sederhana, energi organisasi bisa menciptakan kombinasi kapabilitas yang bersifat kognitif, emosional dan berorientasi tindakan yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan organisasi. Jika terjadi sebaliknya maka saatnya organisasi harus merubah dirinya.



2.18



Manajemen Perubahan 



Gambar 2.2. Pemindahan energi menuju energi produktif



Prasyarat kedua dilandasi oleh pemahaman bahwa lingkungan organisasi secara terus menerus mengalami perubahan. Oleh karenanya kapasitas dan kapabilitas organisasi yang sekarang ada belum tentu cocok dengan tuntutan lingkungan sehingga upaya pembaharuan harus terus dilakukan. Hal ini bisa diartikan bahwa setiap individu yang berada di dalam organisasi harus terus belajar untuk menciptakan pembelajaran organisasi agar ujung-ujungnya proses aktivitas berjalan secara efisien. Sebagai contoh, seorang karyawan yang dahulu dianggap ekspert karena menguasai teknologi analog boleh jadi sekarang sudah tidak ada artinya sama sekali ketika teknologi telah berubah dari analog ke digital. Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Morgan (1997) yang menyatakan bahwa organisasi sering dimetaforakan sebagai tempat berpikir (organization as a brain) di mana organisasi seolah-olah layaknya sebuah otak manusia yang mampu mengolah informasi, mampu melakukan proses pembelajaran dan mampu membuat keputusan. Dengan demikian fokus perhatian utama pada metafora ini adalah bagaimana sebuah organisasi mampu mengakses, menggunakan dan memproses informasi agar organisasi tersebut mampu melakukan pembelajaran, memberi penilaian dan mengambil keputusan.



 EKMA4565/MODUL 2



2.19



Proses pembelajaran organisasi seperti diuraikan di muka menjadi penting karena adanya suatu asumsi bahwa keberhasilan organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam meningkatkan atau memperbaiki proses dalam menjalankan kegiatan organisasi. Sebagai contoh, organisasi yang belum lama berdiri, seperti halnya bayi yang baru lahir, biasanya memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang sudah berdiri lebih lama. Tingginya tingkat mortalitas tersebut terutama disebabkan karena organisasi baru belum mempunyai kapabilitas dan pengalaman yang cukup sekedar untuk berdiri sendiri dan oleh karenanya sangat rentan terhadap tekanan-tekanan yang datang dari lingkungan eksternal. Situasi seperti ini biasa disebut sebagai liability of newness (lihat Sobirin & Himam, 2009). Untuk itu bagi organisasi baru harus mau belajar dan terus belajar agar dirinya bisa lebih mandiri dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa dalam perspektif pembelajaran, faktor kunci sebelum organisasi bisa memberi kepuasan kepada para pemilik adalah pembelajaran organisasi. Artinya, dalam hal perubahan organisasi, titik beratnya adalah perbaikan kinerja proses dan kinerja individu para karyawan agar pada saatnya nanti organisasi bisa memberi kepuasan kepada pemilik. Terlepas dari apapun alasannya – apakah alasan ekonomi atau pembelajaran, yang pasti adalah tekanan demi tekanan terus berdatangan yang berujung pada tuntutan agar organisasi terus melakukan perubahan. Pada umumnya tekanan datang dari lingkungan eksternal tetapi bukan tidak mungkin tekanan juga datang dari dalam organisasi itu sendiri misalnya karena adanya kesadaran bahwa masih banyak hal dan cita-cita yang belum tercapai, karyawan melakukan banyak penyimpangan terhadap standar kerja dan masih banyak tekanan internal lainnya. Dari berbagai macam tekanan tersebut yang kemudian dirasa menjadi paradoks adalah kadang-kadang perubahan demi perubahan yang dilakukan para manajer berujung pada stabilitas organisasi. Artinya demi stabilitas organisasi para manajer lantas melakukan perubahan. Karena alasan itu pula tidak jarang manajer justru enggan melakukan perubahan. Mereka beralasan, kalau perubahan organisasi pada akhirnya bertujuan agar kondisi organisasi kembali stabil, lantas mengapa kita harus melakukan perubahan? Berdasarkan pada penjelasan di atas, uraian berikut akan membahas tiga hal pokok. Pertama, uraian akan difokuskan pada tekanan lingkungan eksternal yang mendorong perubahan organisasi. Kedua, seperti telah



2.20



Manajemen Perubahan 



diuraikan sebelumnya, meski tekanan lingkungan eksternal kadang begitu kuat, tidak jarang para manajer enggan melakukan perubahan. Oleh karena itu di sini akan diuraikan alasan-alasan para manajer mengapa mereka enggan melakukan perubahan. Ketiga, Fokus perhatian akan ditujukan kepada tekanan dari dalam organisasi yang menyebabkan organisasi harus berubah. B. TEKANAN DARI LINGKUNGAN EKSTERNAL Dalam perspektif pemikiran sistem, organisasi adalah subsistem dari sistem yang lebih besar. Dengan kata lain, organisasi merupakan bagian integral dari lingkungan eksternal. Seperti telah disebutkan sebelumnya, lingkungan eksternal selalu memberi tekanan kepada organisasi sehingga para manajer mau tidak mau harus meresponsnya. Dalam hal ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hidup matinya sebuah organisasi sangat bergantung pada kekuatan yang berada di luar organisasi yang selalu memberi tekanan kepada organisasi tersebut. Pandangan ini direpresentasikan oleh resource dependence theory (Pfeffer & Salancik, 1978) yang menyatakan bahwa sumber daya yang dibutuhkan organisasi tidak dikendalikan oleh seorang manajer tetapi oleh lingkungan eksternal sehingga apa yang bisa dilakukan para manajer sangat bergantung pada lingkungannya. Ketika sumber daya yang berada di lingkungan membludak (Staw & Szwajkowski, 1975), organisasi tidak kesulitan untuk menjalankan kegiatannya. Sebaliknya jika situasi berbalik, organisasi akan mengalami kesulitan dan kinerjanya cenderung terus menurun. Cameron & Zammuto (1983) menggambarkan perubahan lingkungan eksternal dengan menggunakan dua faktor/dimensi berbeda untuk membedakan perubahan lingkungan yang menyebabkan menurunnya kondisi organisasi. Dimensi pertama adalah type of change in niche configuration – tipe perubahan karena perubahan konfigurasi lingkungan. Dimensi ini menjelaskan apakah perubahan lingkungan menyebabkan besaran sumber daya berubah (change in niche size) atau terjadi pergeseran terhadap preferensi sumber daya (change in niche shape). Dimensi kedua adalah continuity of environmental change – tingkat kontinuitas perubahan lingkungan. Dimensi ini menjelaskan apakah perubahan lingkungan menyebabkan perubahan sumber daya terjadi secara terus menerus (continuous) atau tidak terus menerus (discontinuous). Berdasarkan kedua



2.21



 EKMA4565/MODUL 2



dimensi ini ada empat kemungkinan penyebab terjadinya penurunan perusahaan seperti tampak pada Gambar 2.3 berikut ini. ketersediaan sumber daya



Kontinyu



Diskontinyu



pergeseran preferensi



Erosi



Kontraksi



Dissolusi



Kolaps



Gambar 2.3. Tipologi perubahan lingkungan



Gambar 2.3 menjelaskan 4 situasi pada perubahan lingkungan eksternal yang menjadi sebab menurunnya kondisi organisasi. Situasi pertama – erosi terjadi ketika ketersediaan sumber daya di lingkungan eksternal terus menurun dan penurunan ini bisa diprediksi sebelumnya (bersifat kontinyu). Akibatnya organisasi secara perlahan mengalami kesulitan untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Perusahaan pengeboran minyak adalah contoh yang pas yang menggambarkan perusahaan yang menghadapi situasi ini mengingat cadangan minyak adalah aset yang tidak bisa diperbaharui dan terus mengalami depresi. Kontraksi terjadi manakala sumber daya yang dibutuhkan perusahaan tiba-tiba hilang dari pasar sehingga perusahaan seketika tidak bisa berproduksi. Hal ini sering menyebabkan kelangsungan hidup perusahaan terganggu. Para petani misalnya tidak bisa menggarap sawahnya dengan baik karena pupuk yang mereka butuhkan tibatiba hilang dari peredaran. Situasi ketiga – disolusi terjadi manakala terjadi pergeseran permintaan. Akibatnya produk yang dihasilkan perusahaan tidak lagi terserap pasar. Industri karet alam Indonesia pernah mengalami hal ini ketika secara gradual karet alam diganti oleh karet sitetis. Terakhir – kolaps adalah penurunan yang sangat cepat dan dramatik yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. IBM adalah contoh perusahaan yang menghadapi situasi ini ketika pengguna komputer tiba-tiba bergeser dari mainframe ke PC.



2.22



Manajemen Perubahan 



Sementara itu dilihat dari sisi jenis tekanan lingkungan yang menyebabkan organisasi harus berubah, bisa dikatakan bahwa para manajer bersedia melakukan perubahan organisasi lebih disebabkan karena beberapa faktor berikut ini: 1. Mengikuti trend perubahan yang terjadi pada industri. 2. Keharusan melakukan perubahan 3. Perubahan geopolitik 4. Penurunan pasar 5. Terjadi persaingan yang sangat tinggi – hypercompetition 6. Menjaga reputasi dan kredibilitas organisasi 1.



Sekedar Mengikuti Trend Perubahan Tidak jarang perubahan organisasi disebabkan karena organisasi/ perusahaan hanya sekedar mengikuti trend perubahan yang terjadi pada industri. Perubahan seperti ini sering disebut dengan “me too strategy”, artinya ketika ada perusahaan lain berubah kita juga harus ikut berubah meski kadang-kadang tidak tahu apa tujuan perubahannya. Kondisi ini misalnya terjadi pada organisasi perguruan tinggi. Pada tahun 1996. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia membuka kelas Internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan program dual degree dengan universitas luar negeri. Ketika itu keberadaan kelas internasional belum direstui oleh Dirjen Dikti karena UU Pendidikan menetapkan bahwa bahasa pengantar pada pendidikan di Indonesia adalah bahasa Indonesia. Meski pada awalnya masih illegal, lama kelamaan banyak perguruan tinggi lain termasuk perguruan tinggi negeri mengikuti trend yang diinisiasi oleh Universitas Islam Indonesia. Trend tersebut belakangan bukan hanya terjadi di perguruan tinggi tetapi pada level pendidikan di bawahnya yakni pada SMA dan SMP yang berlabel “SBI – Sekolah Berstandar Internasional” yang bahkan mendapat dukungan pemerintah. Selain karena trend industri, perubahan organisasi juga kadang-kadang hanya mengikuti perubahan trend manajemen yang biasa disebut sebagai management fashion (lihat misalnya Abrahamson, 1996). Tujuan organisasi melakukan perubahan bukan karena keharusan berubah tetapi sekedar agar kelihatan profesional dan inovatif. Sebagai contoh, dewasa ini banyak SMK yang mengadopsi sistem mutu ISO 9001. Pertanyaannya adalah apakah SMK-SMK tersebut benar-benar membutuhkan sistem mutu ISO atau hanya sekedar ikut-ikutan? Pertanyaan ini muncul karena ternyata tidak sedikit



2.23



 EKMA4565/MODUL 2



SMK yang telah mengadopsi sistem mutu ISO kinerjanya tidak beranjak lebih baik. Seperti tampak pada Tabel 2.1, Carson et al. (2000) misalnya menggambarkan trend management fashion yang terjadi sejak tahun 1950-an sapai dengan tahun 1990-an. Tabel 2.1. Perkembangan management Fashion 1950-an - Management by Objective (MBO) - Program Evaluation and Review Technique (PERT) - Employee Assisstance Program (EAP)



1960-an - Sensitivity Training and TGroup



1970-an - Quality of Work Life Program - Quality Circle



1980-an



1990-an



-



Corporate Culture



-



Employee Empowerment



-



TQM



-



Vision



-



ISO 9000



-



Reengineering



-



Benchmarking



-



Core Competencies



-



Horizontal Organization



Trend management fashion seperti tampak pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa secara periodik terjadi pola perubahan manajemen. Sebagai contoh sejak tahun 1980-an setelah terbit buku In Search of Excellence (Peters & Waterman, Jr., 1982) bisa dikatakan budaya perusahaan menjadi pembicaraan setiap manajer yang menginginkan agar budaya di perusahaannya sangat kuat seperti digambarkan pada buku tersebut seolaholah budaya yang kuat menjadi penentu keberhasilan perusahaan. Demikian juga ketika Collin and Porras merilis buku Built to Last para manajer pun beramai-ramai merubah visinya. Memang betul bahwa perubahan organisasi yang mengikuti trend seperti ini ada sebagian yang berhasil namun tidak sedikit juga yang kemudian gagal. Sebagai contoh, banyak perusahaan yang mencoba menerapkan konsep Balance Scorecard – trend manajemen yang mulai berkembang pada tahun 1980-an, namun kemudian membatalkannya karena dalam praktik konsep yang kelihatannya sangat bagus tetapi ternyata sulit diterapkan karena membutuhkan prasyarat yang tidak ringan. 2.



Keharusan Melakukan Perubahan Tidak jarang sebuah organisasi melakukan perubahan karena harus. Artinya, kalau boleh memilih pada umumnya organisasi tidak akan melakukan perubahan karena tidak jarang perubahan organisasi selalu



2.24



Manajemen Perubahan 



menguras energi dan hasilnya belum tentu seperti yang diharapkan. Namun demikian tidak jarang pula karena ada keharusan, misalnya karena peraturan atau Undang-undang mengharuskannya maka organisasi tidak bisa menghindar untuk tidak melakukan perubahan. Sebagai contoh, bagi perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang industri berbahan baku kayu olahan seperti perusahaan furnitur, hampir tidak mungkin mengekspor produknya ke Pasar Eropa jika tidak memiliki prasyarat tertentu. Di antaranya produk-produk tersebut harus dilengkapi dengan sertifikat “eco label”. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan organisasi, suka atau tidak, harus dilakukan jika menginginkan produknya bisa dijual di pasar Eropa. Secara umum tekanan lingkungan yang mengharuskan organisasi melakukan perubahan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: tekanan yang bersifat formal dan tekanan yang bersifat informal. Tekanan yang bersifat formal (formal coercion pressures) termasuk di dalamnya peraturanperaturan pemerintah yang harus dipatuhi oleh sebuah organisasi/perusahaan. Persyaratan eco label seperti disebut di atas adalah salah satu contoh perubahan karena tekanan formal. Contoh lain misalnya perusahaan diharuskan mengolah limbah, sesuai dengan undang-undang lingkungan, agar tidak mencemari lingkungan sebelum limbah tersebut dibuang. Sementara itu, tekanan yang bersifat informal (informal coercive oressures) tidak disebabkan kekuatan dari luar organisasi melainkan karena kesadaran organisasi untuk melakukan hal yang lebih baik. Sebagai contoh, pada dasarnya semua arah tujuan dan keputusan-keputusan organisasi adalah hak perogratif manajer. Manajerlah yang seharusnya memutuskan semua itu karena dialah penerima mandate dari pemilik. Namun agar semua elemen organisasi memiliki sense of belonging tidak jarang dalam proses pengambilan keputusan para manajer melibatkan unsur karyawan atau serikat pekerja. Tujuannya agar kinerja organisasi meningkat dan semua pihak merasa puas. 3.



Perubahan Geopolitik Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai dengan tahun 1970-an bisa dikatakan bahwa perekonomian dunia dikuasai oleh perusahaanperusahaan Amerika. Selama periode tersebut Amerika adalah satu-satunya negara yang survive secara ekonomi ketika negara-negara pesaing bertumbangan gara-gara perang. Perusahaan-perusahaan Amerika yang secara tradisional sudah tergolong kuat dan efisien semakin menunjukkan



 EKMA4565/MODUL 2



2.25



dominasinya ketika pesaing mereka Jepang dan Jerman kalah dalam perang. Ketika itu slogan yang berkembang adalah “big is beautiful” – besar itu indah. Slogan ini dipahami bahwa hanya perusahaan-perusahaan yang dikelola secara besar-besaran yang bisa bersaing karena perusahaan besar cenderung bisa efisien dalam pengelolaan sumber daya. Namun ketika awal tahun 1970-an terjadi krisis minyak dunia, justru perusahaan-perusahaan Amerika yang pertama kali berguguran karena perusahaan yang dikelola dalam skala besar ternyata tidak bisa menanggung biaya tetap yang besar pula. Sementara perusahaan-perusahaan Jepang yang sebelumnya tidak dianggap sebagai pesaing mengalami kondisi sebaliknya. Perusahaanperusahaan ini tetap bisa bertahan hidup, kompetitif dan bahkan masih menghasilkan laba meski mereka tidak bisa menghindar dari krisis minyak dunia. Dari pengalaman di atas, perusahaan-perusahaan Amerika sejak akhir tahun 1970-an mulai melakukan perubahan demi perubahan yang bertujuan agar lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan yang semakin dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut perusahaan-perusahaan Amerika yang semula dikelola secara besar-besaran pada akhirnya dipecah-pecah menjadi perusahaan-perusahaan yang skalanya lebih kecil dan berfokus pada bisnis tertentu. Semua ini terjadi sekali lagi karena ada perubahan geopolitik yang dihadapi perusahaan-perusahaan Amerika. Perubahan organisasi yang disebabkan karena perubahan geopolitik juga dialami perusahaan-perusahaan penerbangan Amerika paksa serangan World Trade Center yang dikenal dengan kasus 9/11. Hal yang sama, Exxon Mobile Indonesia – pengelola gas Arun terpaksa harus hengkang dari bumi Aceh ketika terjadi kerusakan Aceh beberapa waktu lalu. 4.



Penurunan Pasar Sejauh ini PT. Telkom adalah satu-satunya perusahaan yang menyediakan jaringan telepon kabel (fixed line) di Indonesia. Kalau ada pesaing hanyalah Esia yang belakangan juga menawarkan fixed line kepada masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika PT. Telkom menguasai pasar fixed line. Meski penguasaan pasar hampir tidak berubah, pendapatan PT. Telkom dari fixed line tampak mulai menurun. Penyebabnya karena masyarakat dalam hal berkomunikasi mulai beralih ke sarana komunikasi berbasis nir kabel yang lebih fleksibel dan lebih murah. Akibat dari penurunan pendapatan dari fixed line, PT. Telkom mulai melakukan



2.26



Manajemen Perubahan 



perubahan dengan mengalihkan fungsi fixed line yang semula semata-mata sebagai sarana komunikasi jarak jauh sekarang lebih diorientasikan untuk media internet dengan menawarkan produk Speedy. Perubahan ini pada akhirnya bias memperbaiki kinerja PT. Telkom. Situasi yang hampir sama seperti yang dihadapi PT. Telkom pernah dihadapi perusahaan raksasa bidang komputer IBM. Bahkan IBM pernah hampir bangkrut ketika produk andalannya – mainframe tidak lagi laku di pasar. Turunnya permintaan terhadap mainframe menyebabkan produk IBM tidak laku jual. Penurunan permintaan tersebut disebabkan karena pergeseran teknologi komputer dari analog ke digital sehingga pada akhirnya mainframe bergeser ke personal komputer. IBM bias bangkit kembali dilakukan perubahan mendasar terhadap penggunaan mainframe. Teknologi mainframe yang menjadi kekuatan IBM dialihfungsikan menjadi server yang fungsi utamanya adalah menghubungkan (menjadi hubungan) Personal Komputer ke jaringan internet. Persaingan yang Sangat Tinggi – Hypercompetition Globalisasi dan teknologi informasi adalah dua terminologi yang sejak tahun 1990an menjadi bahan pembicaraan sehari-hari para pelaku bisnis dan akademisi. Dua terminologi yang sangat fenomenal tersebut boleh jadi menjadi angin surga bagi pelaku bisnis yang bias memanfaatkannya tetapi bias pula menjadi monster bagi para pelaku bisnis yang tidak siap meresponsnya. Globalisasi misalnya di satu sisi dianggap membuka peluang bisnis bagi pelaku bisnis yang sebelumnya hanya bermain pada pasar lokal. Banyak pengrajin tradisional yang sekarang bias menjual produknya di pasar global setelah mampu berinteraksi dengan mitra bisnis di luar negeri. Mereka dengan bangga mengatakan bahwa pasar luar negeri masih terbuka lebar. Namun di sisi lain globalisasi juga menjadi ancaman bagi pelaku bisnis yang memiliki energi terbatas. Pedagang retail dan pasar tradisional dewasa ini mulai tersisih misalnya gara-gara Carrefour yang notabenenya adalah perusahaan global merangsek sampai kemana-mana. Demikian juga dengan alasan uang tidak memiliki kewarganegaraan yang bias dengan mudah bergerak dari satu Negara ke Negara lain, tak pelak industri perbankan juga larut dalam globalisasi. Bias dikatakan bahwa hampir tidak ada bank swasta di Indonesia yang tidak dimiliki perusahaan asing. Sebut saja Bank Niaga, Bank Buana, Bank NISP dan Bank Bumiputra yang semula adalah 5.



 EKMA4565/MODUL 2



2.27



perusahaan milik orang Indonesia sekarang sebagian besar saham milik asing sehingga nama-nama bank tersebut mendapat embel-embel nama asing. Pengaruh teknologi informasi terhadap kegiatan bisnis di Indonesia kurang lebih juga sama seperti pengaruh globalisasi seperti disebutkan di atas. Brick-and-mortar-business untuk sebutan bisnis tradisional sekarang sudah mulai beralih ke click-and-mortar-business untuk menyebut bisnis melalui internet. Sekarang perusahaan penerbitan misalnya mulai mendapat pesaing baru – e-book. Semua ini dimungkinkan sekali lagi karena kemajuan teknologi. Akibatnya, masyarakat lebih suka membaca berita melalui internet ketimbang harus berlangganan media cetak Walhasil globalisasi dan kemajuan teknologi informasi menjadikan peta bisnis berubah dan perubahannya mengarah pada tingkat persaingan yang begitu tajam. Oleh karena itu perusahaan yang tidak siap dengan perubahan tersebut pasti akan tersisih. Sebaliknya, jika perusahaan tersebut mau merubah dirinya bukan tidak mungkin globalisasi dan kemajuan teknologi justru member peluang bisnis bagi dirinya. 6.



Menjaga Reputasi dan Kredibilitas Organisasi Di Indonesia ada dua organisasi perusahaan yang namanya sangat populer dan hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenalnya. Kedua organisasi perusahaan tersebut adalah PT. Lapindo Brantas dan Bank Century. Keduanya sangat dikenal masyarakat bukan karena kinerja dan sumbangannya kepada masyarakat melainkan sebaliknya karena dianggap menyengsarakan masyarakat. Walhasil kedua perusahaan tersebut menyandang citra yang negatif. Sayangnya PT. Lapindo Brantas sepertinya tidak bias memulihkan nama baiknya sementara Bank Century, meski belum terbukti berhasil, melakukan berbagai upaya untuk menjaga reputasi dan kredibilitas perusahaan. Langkah pertama yang dilakukan Bank Century adalah mengganti nama bank tersebut menjadi Bank Mutiara. Langkah ini diambil boleh jadi bertujuan untuk memutus mata rantai hubungan dengan masa lalu yang sama sekali tidak menguntungkan perusahaan dan membangun masa depan mulai dari titik nol. Bagi perusahaan perbankan seperti Bank Mutiara reputasi dan kredibilitas menjadi teramat penting karena filosofi dasar perusahaan perbankan adalah kepercayaan (trust). Masyarakat mau bertransaksi dengan perusahaan perbankan jika mereka merasa yakin bahwa bank tersebut bisa dipercaya dan oleh karenanya reputasi dan kredibilitas menjadi utama.



2.28



Manajemen Perubahan 



Perubahan nama dari Bank Century ke bank Mutiara hanya lah perubahan awal yang dilakukan perusahaan. Perubahan ini tentunya belum akan berdampak pada kinerja perubahan jika tidak dibarengi dengan perubahan-perubahan lain yang lebih esensial. PT. Garuda Indonesia Airways pernah mengalami hal ini. Sebelum logo dan warna perusahaan penerbangan Garuda seperti sekarang ini, GIA dikenal orang dengan warna kuning oranye. Menyadari bahwa kinerja Garuda tidak baik pimpinan perusahaan memutuskan untuk merubah logo, interior dan warna pesawat menjadi hijau kebiru-biruan yang lebih sejuk jika dipandang. Namun ketika itu kinerja Garuda tetap saja tidak membaik karena perubahan hanya dilakukan dipermukaan saja. C. KEENGGANAN ORGANISASI BERUBAH Meski uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan lingkungan eksternal menyebabkan banyak perusahaan melakukan perubahan, namun tidak semua organisasi meresponsnya dengan cara yang sama. Ada sebagian organisasi merespon perubahan dengan sedikit hati-hati; ada yang agak lambat; ada yang tidak mau meresponsnya karena beranggapan bahwa perubahan lingkungan eksternal hanya bersifat sementara; bahkan ada juga yang tidak menyadari jika terjadi perubahan lingkungan sehingga perusahaan ini sama sekali tidak memberi respon. Pada bagian ini akan diuraikan tiga isu penting yang berkaitan dengan keengganan organisasi merespon perubahan lingkungan. Pertama, perdebatan antara proses pembelajaran vs. ancaman lingkungan yang menyebabkan rigiditas organisasi. Kedua, pemahaman tentang apakah lingkungan merupakan konstruk yang bersifat obyektif atau konstruktif. Ketiga, pilihan antara memahami tekanan lingkungan sebagai faktor yang menyebabkan perubahan atau stabilitas. 1.



Pembelajaran Organisasi vs. Ancaman yang Menyebabkan Rigiditas Pertanyaan mendasar berkaitan dengan perubahan lingkungan adalah apakah perubahan lingkungan memfasilitasi terjadinya perubahan-perubahan inovatif atau justru sebaliknya, perubahan lingkungan menghambat organisasi melakukan perubahan inovatif. Teori pembelajaran organisasi, di satu sisi, menegaskan bahwa tekanan lingkungan seperti persaingan yang sangat tajam dan menurunnya pasar, akan mendorong perusahaan untuk



 EKMA4565/MODUL 2



2.29



melakukan perubahan dan inovasi-inovasi baru dalam rangka untuk mengatasi masalah tersebut dan menutup gap antara kinerja organisasi dan harapan masyarakat. Sementara itu threat-rigidity theory menyatakan sebaliknya. Organisasi yang menghadapi ancaman eksternal justru menyebabkan para manajernya tidak mampu membuat terobosan-terobosan inovatif karena terkendala oleh tekanan lingkungan tersebut. Teori kedua ini menegaskan bahwa organisasi yang sedang menghadapi tekanan lingkungan eksternal justru tidak mampu melakukan perubahan organisasi – mengalami situasi yang disebut “learning disable”. Beberapa contoh seperti dialami oleh Nestle atau Nike yang begitu lamban dalam merespon tekanan lingkungan eksternal memperkuat keberadaan threat-rigidity theory. Threat rigity theory inilah yang dianggap menjadi penyebab mengapa organisasi tidak bisa melakukan perubahan manakala lingkungan eksternal sesungguhnya menuntut organisasi untuk melakukan perubahan. 2.



Lingkungan Bersifat Obyektif vs. Konstruktif Sejauh ini telah diuraikan bahwa lingkungan eksternal merupakan sebuah entitas yang secara obyektif memberi tekanan kepada organisasi. Pandangan seperti ini masih dipertanyakan oleh sebagian ekspert. Smircich & Stubbart (1985) misalnya tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan di atas. Smircich & Stubbart berargumentasi bahwa objektivitas lingkungan eksternal sangat bergantung pada tingkat akurasi manajer dalam mempersepi lingkungan tersebut. Manajer pada organisasi berbeda atau bahkan para manajer pada satu organisasi yang sama tidak jarang melihat apa yang sedang terjadi di lingkungan eksternal dengan cara berbeda. Oleh karena itu interpretasi terhadap lingkungan tersebut juga berbeda sehingga apakah lingkungan tersebut perlu direspons dengan perubahan atau tidak sangat bergantung pada persepsi sang manajer. Pandangan seperti ini disebut sebagai constructivist view. Menurut pandangan ini, seperti dikatakan Boyd et, al. (1993), manajer sangat mungkin melakukan kesalahan persepsi. Dua kesalahan yang biasa terjadi adalah: a. Kesalahan Tipe I yaitu ketika lingkungan organisasi secara obyektif sesungguhnya stabil, para manajer menganggapnya lingkungan tersebut turbulen sehingga mereka melakukan beberapa tindakan sejalan dengan anggapan tersebut, padahal mestinya tidak perlu. b. Kesalahan Tipe II yaitu keadaan di mana lingkungan eksternal secara obyektif sesungguhnya turbulen tetapi para manajer menganggap



2.30



Manajemen Perubahan 



sebaliknya sehingga tidak melakukan tindakan apa-apa dan akibatnya mengancam keberlangsungan hidup organisasi. 3.



Perubahan Organisasi vs. Stabilitas Organisasi Mone et al. (1998) mengatakan bahwa sejauh mana tekanan lingkungan eksternal akan mendorong terjadinya perubahan inovatif sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu: a. Institusionalisasi misi organisasi. Jika misi organisasi terinstitusionalisasikan secara mendalam kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan lingkungan eksternal semakin kecil kemungkinannya tekanan lingkungan akan direspons dengan perubahan. Demikian sebaliknya, jika misi organisasi tidak dipegang secara kukuh sangat mungkin perubahan eksternal akan direspons dengan perubahan internal organisasi. b. Difusi kekuasaan dan sumber daya organisasi. Semakin kekuasaan terkonsentrasi di tangan pimpinan organisasi semakin besar kemampuan organisasi untuk membuat keputusan dan mengalokasikan sumber daya dalam rangka melakukan perubahan organisasi. Argumentasinya adalah setiap perubahan organisasi selalu membutuhkan kekuatan dan energi yang besar. Jika kedua prasyarat ini tidak dimiliki organisasi kecil kemungkinannya organisasi mampu melakukan perubahan. c. Alasan rasional yang dikemukakan manajer dalam menjelaskan mengapa organisasi mengalami penurunan. Jika sebab-sebab terjadinya penurunan organisasi bersifat stabil dan bisa dikendalikan serta adanya anggapan bahwa penyebab penurunan organisasi bersifat permanen maka semakin mudah bagi manajer untuk melakukan perubahan inovatif. Sebaliknya, jika para manajer tidak mengemukakan alasan rasional mengapa organisasi perlu berubah maka perubahan hampir pasti tidak mendapat dukungan internal. Ketiga faktor seperti dikemukakan Mone dkk. Di atas merupakan sebuah peringatan bagi para manajer untuk selalu mempertimbangkan tekanantekanan yang mendorong terjadinya stabilitas organisasi dan tekanan-tekanan yang mendorong perubahan organisasi serta kemungkinan interaksi di antara keduanya. Sebagai contoh, argumentasi yang mengatakan bahwa persaingan yang sangat tajam (hypercompetition) selalu menjadi sebab langsung perlunya perubahan organisasi sesungguhnya merupakan pengingkaran



2.31



 EKMA4565/MODUL 2



bahwa organisasi juga membutuhkan stabilitas. Hal ini bisa diartikan bahwa tekanan untuk berubah dan tekanan untuk stabil sesungguhnya terjadi secara simultan dan keduanya harus mendapat perhatian demi kinerja organisasi jangka panjang. Secara umum faktor-faktor yang mendorong perubahan organisasi dan stabilitas organisasi dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2. Tekanan untuk berubah vs. tekanan untuk stabil Tekanan untuk berubah  



  



Kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan Pertimbangan biaya, khususnya dalam memperlakukan SDM sebagai biaya variabel ketimbang biaya tetap Keinginan untuk segera kembali modal Aspek pengawasan, agar target kinerja segera dicapai Keuntungan kompetitif, agar mampu merespon segera perubahan pasar.



Tekanan untuk stabil  Institusionalisasi, khususnya agar praktik berjalan tidak menyimpang dari praktik masa lalu dan struktur kekuasaan  Biaya transaksi, misanya stabilitas tenaga kerja memungkinkan organisasi dapat merencanakan pengembangan karyawan dengan mudah.  Keuntungan berkelanjutan, agar organisasi tidak mudah di imitasi organisasi lain  Modal sosial, dalam rangka menjaga kepercayaan karyawan  Mengurangi ketidakpastian.



D. TEKANAN DARI DALAM ORGANISASI Bukan hanya faktor eksternal yang menyebabkan organisasi harus berubah. Dalam batas-batas tertentu faktor internal organisasi juga sering memberi tekanan agar organisasi melakukan perubahan; di antaranya: pertumbuhan organisasi, kebutuhan organisasi untuk mengintegrasikan dan berkolaborasi, kebutuhan akan identitas baru, diangkatnya pimpinan baru, faktor politik dan kekuasaan. 1.



Perubahan karena Pertumbuhan Organisasi Siapapun yang mendirikan organisasi atau perusahaan pasti berharap agar organisasi yang dikelolanya terus tumbuh dan berkembang. Teori siklus hidup organisasi (Organizational Life Cycle Theory) (lihat Adizes, 1999) misalnya mengatakan bahwa organisasi selalu mengalami siklus hidup seperti bentuk lonceng – mulai dari kecil, mulai tumbuh, tumbuh besar dan pada satu titik tertentu pertumbuhan akan mengalami kemandekan dan bahkan akan



2.32



Manajemen Perubahan 



terus menurun dan mati jika pihak manajemen tidak melakukan tindakantindakan perubahan. Teori ini secara tidak langsung memberi sinyal bahwa perubahan organisasi perlu dilakukan demi menjaga agar organisasi bisa tumbuh secara berkelanjutan dan tidak mengalami kemandekan apalagi terus menurun. Pada situasi berbeda sangat mungkin sebuah organisasi tidak tumbuh secara alami seperti pada teori siklus hidup organisasi tetapi tumbuh berlebihan (excessive growth). Situasi seperti ini biasanya terjadi manakala pasar merespon kehadiran organisasi secara positif tetapi organisasi itu sendiri justru tidak siap menghadapi respon pasar yang mendadak. Akibatnya sering kali berdampak pada layanan kepada konsumen yang tidak optimal. Perusahaan yang pernah mengalami excessive growth salah satunya adalah Lion Air. Tidak lama setelah Lion Air berdiri dan melayani rute penerbangan yang memang dibutuhkan masyarakat apalagi harga tiketnya relatif murah, mendadak Lion Air tumbuh sangat pesat. Dampaknya sering terjadi keterlambatan penerbangan karena jumlah pesawat dan rute yang dilayani tidak seimbang. Lion Air kemudian meresponsnya dengan membeli pesawat baru dalam jumlah yang cukup banyak demi melayani penumpang secara optimal. 2.



Integrasi dan Kolaborasi Pada umumnya ketika sebuah perusahaan melakukan merger atau mengambil alih perusahaan lain, perubahan organisasi biasanya tidak bias dihindarkan. Dalam hal ini perubahan organisasi dimaksudkan untuk mengintegrasikan kegiatan organisasi atau untuk membuat kegiatan organisasi semakin kolaboratif. Sebagai contoh, tidak lama setelah GE Lighting Indonesia (GELI) mengambil alih PT Sibalec, GELI melakukan konsolidasi dengan melakukan beberapa perubahan terhadap praktik organisasi yang sebelumnya dijalankan PT Sibalec. Perubahan-perubahan ini dilakukan mengingat sebelumnya praktik organisasi yang dijalankan PT Sibalec cenderung berorientasi kekeluargaan, sementara GELI sebagai anak perusahaan dari perusahaan multinasional cenderung menerapkan pola big business mentality. Oleh karenanya GELI merubah sistem manajemen agar semua kegiatan terintegrasi. 3.



Membangun Identitas Baru Industri perbankan Indonesia pada tahun 1970-an didominasi oleh perusahaan perbankan milik pemerintah yang berjumlah 7 perusahaan – BRI,



 EKMA4565/MODUL 2



2.33



BNI, BTN, BAPINDO, BANK EXIM, BDN dan BBD. Sesuai dengan namanya, masing-masing perusahaan diorientasikan dan berkonsentrasi pada kegiatan bisnis tertentu. Oleh karenanya skop kegiatan masing-masing perusahaan relatif terbatas. BTN misalnya lebih difokuskan pada pelayanan tabungan masyarakat dan pembiayaan perumahan; Bank exim melayani kegiatan ekspor - import dan Bapindo melayani kegiatan pembangunan atau investasi jangka panjang. Namun dengan adanya deregulasi perbankan, bankbank swasta mulai bermunculan sehingga persaingan antar bank pada akhirnya tidak bisa dihindari. Akibatnya, pemerintah membubarkan empat perusahaan perbankan yang disebut terakhir – BAPINDO, EXIM, BDN dan BBD karena dianggap tidak efisien dan mendirikan bank baru yaitu Bank Mandiri. Di samping itu pemerintah juga melonggarkan skop kegiatan perusahaan perbankan lainnya. BRI misalnya tidak lagi hanya melayani kegiatan usaha rakyat kecil. Demikian juga BTN tidak hanya melayani pinjaman untuk perumahan rakyat. Untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa skop kegiatannya telah berubah, bank-bank pemerintah mulai berbenah diri dengan mengubah jati dirinya. BNI yang semula merupakan singkatan dari Bank Nasional Indonesia sekarang BNI menjadi nama bank tersebut sehingga sekarang namanya Bank BNI. Bank BNI juga merubah logo, visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Semua perubahan tersebut dimaksudkan agar masyarakat mengenal Bank BNI sebagai perusahaan perbankan yang tidak sama dengan BNI masa lalu. Hal yang sama juga dilakukan oleh BRI dan BTN. Demikian juga pendirian Bank Mandiri memiliki tujuan yang sama. 4.



Kehadiran Pimpinan Baru Pergantian pimpinan organisasi/perusahaan biasanya memberi sinyal bahwa cara-cara lama akan segera diganti dengan pola baru dan tatanan baru perusahaan. Sebagai contoh, ketika Kuntoro Mangunsubroto beberapa tahun lalu ditunjuk menjadi Direktur Utama PT. Tambang Timah sesungguhnya tugas utamanya adalah untuk melakukan perubahan karena sebelumnya perusahaan terus merugi. Namun ketika itu kalangan dalam perusahaan secara umum tidak tahu jika misi utama Pak Kuntoro adalah melakukan perubahan organisasi. Seperti dikatakan Rosabeth Moss Kanter (2003), dalam beberapa hal kehadiran pimpinan baru memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pimpinan lama. Di antaranya:



2.34



a. b. c.



d.



Manajemen Perubahan 



Pimpinan baru biasanya memiliki energi untuk melakukan perubahan di dalam organisasi Pimpinan baru tidak harus tunduk pada praktik organisasi masa lalu Pimpinan baru bias fokus pada masalah yang sesungguhnya sudah lama diketahui tetapi tidak diselesaikan oleh pemimpinan lama karena masalah tersebut tidak boleh diperbincangkan Pimpinan baru biasanya dianggap memiliki kredibilitas sehingga mampu mengatasi masalah yang berhubungan dengan kastemer. Anggapan ini muncul karena pimpinan baru tidak terkait dengan masalah masa lalu yang menjadikan perusahaan bermasalah dengan kastemer. LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!



1) Perubahan organisasi dapat membawa konsekuensi risiko gagal tidak kecil, oleh karena itu apa alasannya para manajer terus melakukan perubahan dan Faktor-faktor apa saja yang mendorong para manajer terus melakukan perubahan? “sesungguhnya tugas utamanya para manajer” adalah; untuk melakukan perubahan karena sebelumnya perusahaan terus merugi. Dapat pula terjadi kalangan dalam perusahaan pada umumnya tidak mengetahui jika misi utama adalah melakukan perubahan organisasi manfaat perubahan juga besar dan berdampak positif. 2) Organisasi melakukan perubahan dan terdapat faktor pendorong tipologi atau dari sejumlah jenis perubahan yang biasa dilakukan para manajer. Bagaimana perubahan itu dapat dilakukan? Kisah nyata seorang; CEO Lou Gertsner yang sama sekali tidak memiliki latar belakang ICT/ teknologi informasi bagi para manajer, bahwa perubahan organisasi hanya bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi saja tetapi justru merupakan tantangan yang memperlihatkan kemampuan diri seorang manajer, berani ambil risiko memimpin IBM sedangkan basis perusahaan adalah teknologi pada saat itu sedang terpuruk sanggat membutuhkan perubahan mendasar.



 EKMA4565/MODUL 2



2.35



3) Apa yang menjadi penyebab organisasi melakukan perubahan Setelah kita mengetahui alasan dan faktor pendorong yang menyebabkan organisasi berubah? Alasan yang mendorong Perubahan karena Pertumbuhan Organisasi dan organisasi atau perusahaan diharapkan agar apa yang dikelola dapat terus tumbuh dan berkembang. mengalami siklus hidup seperti mulai dari awal mulanya kecil, mulai tumbuh, tumbuh besar dan pada kondisi tertentu pertumbuhan akan berhenti tumbuhnya mungkin pula terus menurun dan mati. apabila manajemen tidak mengambil tindakantindakan perubahan dapat dipastikan organisasi akan mengalami gangguan dalam pelayanan dan sering kali dampak pada layanan konsumen yang tidak optimal. Perusahaan yang pernah mengalami excessive growth di antaranya terjadi pada perusahaan angkutan penumpang …… 4) Tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi. Pengetahuan ini menjadi penting karena para manajer yang menyadari akan risikonya tentu tidak ingin gagal dalam melakukan perubahan? contoh pada sebuah perusahaan di mana situasinya berbeda dan sangat mungkin sebuah organisasi tidak tumbuh secara alami seperti pada teori siklus hidup organisasi tetapi tumbuh berlebihan (excessive growth). Situasi seperti ini biasanya terjadi manakala pasar merespon kehadiran organisasi secara positif tetapi organisasi itu sendiri justru tidak siap menghadapi respon pasar yang mendadak. Akibatnya sering kali berdampak pada layanan kepada konsumen yang tidak optimal. Perusahaan yang pernah mengalami excessive growth salah satunya adalah Lion Air. 5) Pemahaman tipologi perubahan diharapkan para manajer dapat menerapkan pola perubahan yang berbeda, permasalahanpun berbeda seperti apa yang dihadapi oleh suatu organisasi. Berikan contoh; Organizational Life Cycle Theory, lihat Adizes, 1999 bahwa; organisasi secara tidak langsung memberikan sinyal tentang perubahan organisasi, hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar organisasi bisa tumbuh berkelanjutan dan tidak berhenti bahkan terus menurun.



2.36



Manajemen Perubahan 



R A NG KU M AN Di lingkungan organisasi; faktor budaya masyarakat, kondisi ekonomi, politik, dan hukum, serta teknologi adalah sebuah subsistem organisasi yang terdiri dari dinamika sistem lingkungan, organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karenanya ketika lingkungan itu berubah sudah barang tentu organisasi juga harus menyesuaikan diri untuk melakukan perubahan. Salah satu penyebabnya ada di dalam kehidupan organisasi tersebut dan terdapat banyak pihak yang memiliki kepentingan. perubahan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, dan organisasi dapat menunjukkan sebagai arena dan transformasi. Suatu organisasi dianggap mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dapat menerapkan pola perubahan untuk permasalahan yang berbeda, dapat menghadapi pilihan, antara memahami tekanan lingkungan sebagai faktor yang menyebabkan perubahan atau menjaga stabilitas; ada tekanan untuk berubah dan stabil, bahwa sejauh mana tekanan lingkungan eksternal telah mendorong ke arah perubahan yang inovatif tergantung faktor yang mempengaruhi; (1) Institusionalisasi misi organisasi. (2) Difusi kekuasaan dan sumber daya organisasi. (3) Alasan rasional yang dikemukakan manajer dalam menjelaskan mengapa organisasi mengalami perubahan yang menurun. Organisasi perlu mempertimbangkan faktor pembiayaan, khususnya SDM yang difungsikan sebagai biaya yang variabel lebih utamakan. Ada upaya keinginan untuk segera kembalinya modal usaha dengan segera, dilihat dari aspek pengawasan pencapaian target kinerja, segera dicapai tingkat keuntungan yang kompetitif, organisasi diharapkan mampu merespon perubahan pasar. Di samping itu dari stabilisasi Institusionalisasi, khususnya agar praktik berjalan tidak menyimpang dari praktik dan struktur kekuasaan. Untuk biaya transaksi dan stabilitas tenaga kerja dimungkinkan organisasi dapat merencanakan pengembangan karyawan dengan mudah. selanjutnya supaya organisasi tidak mudah di imitasi oleh organisasi lain, diperlukan Modal sosial dalam rangka menjaga kepercayaan karyawan dan ketidakpastian dan diminimalkan. Jika sebab-sebab terjadinya penurunan organisasi bersifat stabil dan bisa dikendalikan serta adanya anggapan bahwa penyebab penurunan organisasi bersifat permanen maka semakin mudah bagi manajer untuk melakukan perubahan inovatif.



 EKMA4565/MODUL 2



2.37



TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Lingkungan bisnis saat ini terus mengalami perubahan dan perubahannya serba tak menentu, cepat dan sulit diprediksi lebih awal, sulit dilacak arah perubahannya cenderung keostik. ancaman organisasi bersifat .... A. Cepat merubah lingkungan B. turbulensi C. saingan antar pembisnis D. change or die 2) Gareth Morgan (1997) dalam, organisasi dengan pola tim lebih menekankan pentingnya peran dan kompetensi individu daripada kerja sama tim sebagai kekuatan organisasi, “popular Images of Organization”, bahwa organisasi dengan 8 metafora para pekerja manajer mempunyai ciri dan sifat yang sesuai dengan pola kerja .... A. team football B. sifat organisasi C. cara pandang D. mesin 3) Rekayasa dan pengembangan organisasi baik sifat dan pemahaman yang terbatas dan hanya memiliki sifat-sifat tertentu, sifat benda/obyek yang menjadi perumpamaan dan cenderung mengabaikan sifat lain yang dimungkinkan .... A. fokus memahami dan mengembangkan organisasi B. kurang sadar atas kelebihan C. terbatas cara pandang, D. mudah merekayasa merubah? 4) Mengapa Organisasi Berubah? dan Morgan (1997) mengemukakan bahwa terdapat delapan perumpamaan yang disampaikan secara tegas, memberi penjelasan bahwa organisasi akan selalu mengalami perubahan! A. tempat perubahan dan alat transformasi B. bantuan teknologi C. arena politik D. dominan



2.38



Manajemen Perubahan 



5) Perubahan organisasi karena alasan ekonomi oleh Beer & Nohria, 2000; Andriuŝčenka, 2007). diasumsikan keberlangsungan hidup sebuah organisasi/perusahaan sangat bergantung memiliki latar belakang pada kepuasan pemegang saham atau pemilik organisasi dan kinerja organisasi hal yang dimaksud adalah: A. theory E” B. Images of Organization C. hypercompetition theory D. constructivism 6) Trend perubahan yang terjadi pada industri ketika menghadapi situasi tekanan lingkungan dan menyebabkan organisasi harus berubah, di mana para manajer bersedia untuk melakukan perubahan organisasi karena faktor; A. Menjaga reputasi dan kredibilitas organisasi? B. enggan melakukan perubahan C. Perubahan semi politik D. Tanpa persaingan versus hypercompetition 7) Perubahan organisasi disebabkan karena organisasi/perusahaan hanya sekedar mengikuti trend perubahan yang terjadi pada industri. Perubahan seperti ini sering disebut dengan artinya ketika ada perusahaan lain berubah kita juga harus ikut berubah meski kadang-kadang tidak tahu apa yang menjadi tujuan perubahannya. A. Trendy B. “me too strategy” C. Fashion strategy D. transition 8) Selain karena trend industri, perubahan organisasi juga kadang-kadang hanya mengikuti perubahan trend manajemen yang biasa disebut sebagai management fashion (lihat misalnya Abrahamson, 1996). Tujuan organisasi melakukan perubahan bukan karena keharusan berubah tetapi sekedar agar kelihatan profesional dan inovatif. Trend ini digambarkan dari tahun (1950-1990-an) A. Quality Circle B. Trend management fashion C. Sensitivity Training and T-Group D. Core Competencies & system mutu ISO



 EKMA4565/MODUL 2



2.39



9) Dalam buku In Search of Excellence (Peters & Waterman, Jr., 1982) dikatakan Kesuksesan atau keberhasilan perusahaan menjadi pembicaraan setiap manajer yang menginginkan agar penentu keberhasilan perusahaan menjadi kuat, banyak ditentukan pada .... A. Faktor budaya B. Komunikasi C. teknologi D. Ideologi 10) Collin and Porras; “Built to Last”. dan para manajer banyak yang tercengang. Apa yang terjadi Memang betul, bahwa perubahan organisasi ada yang mengikuti trend pada organisasi seperti ini sebagian ada yang berhasil Upaya yang dilakukan oleh manajer untuk menyelamatkan perusahaan adalah mencoba untuk menerapkan .... A. Visi baru B. praktik konsep C. strategi baru D. values… excessive growth 11) Contoh konsep Balance Scorecard, sebatas konsep yang sempat menjadi – trend manajemen awal tahun 1980an dalam praktiknya konsep ini sulit diterapkan karena .... A. membutuhkan prasyarat B. perlu ujian khusus C. sertifikat D. pelatihan 12) Keharusan Melakukan Perubahan organisasi atau Undang-undang yang mengharuskan organisasi tidak bisa menghindar untuk tidak melakukan perubahan. Contoh Persyaratan eco label ini .... A. perubahan karena peraturan B. perubahan menguras energi C. memiliki prasyarat D. organisasi diancam bubar 13) Di antaranya produk-produk yang harus dilengkapi dengan sertifikat “eco label”. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan organisasi, suka atau tidak, harus dilakukan jika menginginkan produknya bisa dijual di pasar Eropa. A. UNI Europe B. Fiskal



2.40



Manajemen Perubahan 



C. Produk ekspor D. Import konten 14) Peristiwa World Trade Center 11 September 2006 yang dikenal dengan kasus 9/11 telah menyebabkan Perubahan organisasi karena perubahan global yang dialami industri penerbangan Amerika pasca World Trade Center dan perusahaan Exxon Mobile Indonesia di Aceh saat kerusuhan beberapa waktu lalu adalah .... A. Geopolitik B. Neoliberalism C. Liberaslimas D. WTO 15) Instrumen organisasi yang didisain untuk mencapai tujuan organisasi baik para pekerja maupun para manajernya dengan pola kerja, sifat, prilaku, tindakan dan pola pikir yang sama seperti mesin. Ciri dari organisasi nonmekanistik? A. menyesuaikan diri secara psikis B. Pandangan pola kerja seperti mesin C. berprilaku robotik D. organisasi mekanik. 16) Threat rigity theory bersifat lamban merespon tekanan lingkungan eksternal sehingga memperkuat keberadaan threat-rigidity theory. dianggap penyebab bahwa organisasi tidak dapat melakukan perubahan manakala lingkungan eksternal menuntut organisasi untuk melakukan perubahan seperti contoh perusahaan di bawah ini: A. Nestle B. Bakrie C. Nickes D. shell Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar Jumlah Soal



 100%



 EKMA4565/MODUL 2



2.41



Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



2.42



Manajemen Perubahan 



Kegiatan Belajar 2



Tipologi Perubahan Organisasi



S



etelah memperoleh gambaran dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan organisasi – baik faktor eksternal maupun internal, tentunya para manajer yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup organisasi bisa menyikapi dan mengambil keputusan penting sejauh mana organisasi yang dikelolanya perlu tidaknya berubah. KB 1 telah menjelaskan pula bahwa tidak semua tekanan eksternal selalu direspons para manajer dengan melakukan perubahan. Namun seandainya keputusan para manajer adalah organisasi harus berubah, maka sebelum bertindak lebih jauh para manajer perlu terlebih dahulu mengetahui tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi. Pengetahuan tentang tipologi perubahan menjadi penting agar para manajer memahami karakteristik setiap perubahan organisasi sehingga tidak terjebak pada belantara perubahan. Harus diakui bahwa para manajer dan praktisi perubahan organisasi kadang-kadang tidak sejalan dengan para teoritis perubahan dalam hal memahami efektivitas hasil perubahan. Bagi para manajer, tidak peduli bagaimana caranya atau teori apa yang digunakan, yang penting perubahan harus segera mendatangkan hasil. Kecenderungan pragmatisme para manajer seperti ini sering kali justru menyebabkan hasil positif dari perubahan tidak pernah tercapai (lihat kembali penjelasan alasan kegagalan perubahan pada Modul 1). Sementara bagi para teoritis perubahan, hasil perubahan boleh jadi penting namun lebih penting lagi adalah menjelaskan bagaimana keberhasilan tersebut dicapai. Sayangnya di antara para teoritis sendiri kadang-kadang menggunakan logika berbeda dalam melihat perubahan organisasi dan hasilnya. Akibat perbedaan tersebut mereka cenderung menjelaskan pemahaman perubahan organisasi dengan cara berbeda sesuai dengan disiplin, sudut pandang dan pendekatan masing-masing. DiBella (2007) misalnya mengatakan bahwa berbagai cara dapat digunakan untuk memahami perubahan organisasi, di antaranya perubahan organisasi bisa dilihat dari (1) skop atau skala perubahan, (2) sebab terjadinya perubahan, (3) perspektif waktu, dan (4) perspektif peran konsultan (penjelasan detail lihat DiBella, 2007). Perbedaan sudut padang inilah yang ujung-ujungnya menghasilkan pula berbagai macam tipologi perubahan organisasi. Bartunek & Moch (1987) dan



 EKMA4565/MODUL 2



2.43



Levy (1986) membedakan perubahan organisasi dengan mengkontraskan antara first-order change vs, second-order change. Sedangkan perubahan organisasi yang bersifat incremental vs. transformative dikemukakan oleh Nadler (1988) dan Mohrman (1989). Di sisi lain, Ackerman (1984) dan Burke (1994) mengklasifikasikan perubahan organisasi dengan menyebut perubahan yang bersifat transformasional, transtitional dan transactional. Selanjutnya, menurut Weick & Quinn (1999) perubahan organisasi bisa dikontraskan antara perubahan episodic vs. continuous. Klasifikasi perubahan organisasi seperti tersebut di atas kemudian ditelaah dan diperbaharui oleh teoritisi lain sehingga menghasilkan tipe perubahan yang lebih detail. Gundy (1993) misalnya mengelompokkan tipologi perubahan ke dalam tiga tipe yaitu (1) smooth incremental change, (2) bumpy incremental change dan (3) discontinuous change. Sementara itu Falmholz & Randle (1998) membedakan perubahan transformational menjadi tiga tipe yaitu: (1) Perubahan Transformational Type 1, (2) Perubahan Transformational Type 2 dan (3) Perubahan Transformational Type 3. Reger (1994) menggunakan label mid-range untuk merepresentasikan perubahan yang lebih besar dari incremental tetapi belum sampai pada tahap perubahan transformasional. Dari ragam tipologi perubahan ini, nantinya akan ditunjukkan bahwa di samping ditemukan adanya kesamaan tipologi, terdapat pula adanya perbedaan dalam cara mengungkapkan jenis perubahan organisasi. Terlepas dari itu semua, pada intinya keragaman tipologi perubahan bersifat saling melengkapi. Untuk aplikasinya, kita dapat memilih salah satu pendapat yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang kita hadapi, namun tidak tertutup kemungkinan juga untuk mengombinasikan berbagai pendapat tersebut sesuai kebutuhan. A. PLANNED CHANGE VS. EMERGENT CHANGE Konsep perubahan organisasi muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an setelah subyek Pengembangan Organisasi (Organizational Development – OD) menjadi bidang kajian yang mandiri. Perhatian utama bidang kajian ini berkaitan dengan kata-kata kunci yang sekarang kita kenal: “planned – terencana”, “organization wide – pada dataran organisasi”, managed from the top – dikelola dari atas”, yang tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui mekanisme intervensi dengan memanfaatkan



2.44



Manajemen Perubahan 



ilmu prilaku terapan sebagai landasannya. Namun dengan semakin kompleksnya lingkungan bisnis, masyarakat mulai menganggap bahwa OD sudah tidak relevan. Istilah OD lambat laun berganti menjadi perubahan organisasi meski konsep-konsep OD masih tetap digunakan pada konsep yang baru – perubahan organisasi (lihat Marshak, 2005) (uraian tentang pengembangan organisasi atau OD secara detail akan dibahas pada bagian tersendiri pada Modul 4). Oleh karena itu istilah planned, organization wide dan managed from the top yang semula menjadi bagian tidak terpisahkan dari OD pada akhirnya juga diaplikasikan pada konsep perubahan organisasi. Dari sini maka muncullah istilah planned change atau managed change. Dalam perkembangannya, di samping istilah-istilah tersebut, kemudian muncul istilah baru sebagai lawan dari planned change yakni unplanned change (perubahan tidak terencana) atau emergent change (perubahan mendadak) Konsep perubahan terencana (planned change) seperti dikemukan Bennis (1961) sering juga disebut perubahan terorganisasi – managed change (Tichy, 1983). Keduanya mendefinisikannya sebagai change that are deliberately shaped by organization members (manager, consultants, groups, etc) – perubahan yang sengaja diwujudkan oleh anggota-anggota organisasi (manajer, konsultan, anggota kelompok dsb.). Meski kedua konsep tersebut sering dianggap sama, tidak pelak terdapat pula perbedaan di antara keduanya terutama yang berkaitan dengan istilah anggota-anggota organisasi. Pada planned change yang dimaksud dengan anggota organisasi bisa jadi adalah para ekspertis baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi. Mereka diharapkan dapat membantu organisasi mengatasi masalah yang dihadapinya dan merencanakan serta mengimplementasikan perubahan. Sementara itu pada managed change, yang dimaksud dengan anggota organisasi adalah para manajer yang dapat membantu membuat rencana dan mengimplementasikan perubahan. Model perubahan terencana yang konsep awalnya dikembangkan Kurt Lewin dan dikenal sebagai model tiga tahap – unfreeze-change-refreeze, belakangan juga dikembangkan oleh teoritis lainnya. Berdasarkan hasil telaah terhadap 30an model perubahan terencana, Bullock & Baten (1985) mengembangkan model perubahan terencana yang terintegrasi yang terdiri dari 4 fase yaitu: 1. Fase Eksplorasi. Pada fase ini organisasi dituntut untuk melakukan eksplorasi dan memutuskan apakah organisasi tersebut menghendaki perubahan secara spesifik pada kegiatan operasinya. Tujuannya agar



 EKMA4565/MODUL 2



2.



3.



4.



2.45



organisasi memiliki komitmen untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk perubahan. Sementara itu proses perubahan pada fase ini meliputi: kesadaran akan pentingnya perubahan, mencari bantuan pihak luar (konsultan atau fasilitator) untuk membantu perencanaan dan implementasi perubahan, menetapkan kontrak dengan konsultan untuk mendefinisikan tanggung jawab masing-masing pihak. Fase Perencanaan. Setelah terjadi kesepakatan antara konsultan dan pihak manajemen organisasi, tahapan berikutnya adalah memahami masalah yang dihadapi organisasi. Langkah-langkahnya meliputi pengumpulan informasi agar bias dilakukan diagnosis dengan benar, menetapkan tujuan perubahan sehingga bias dibuat desain untuk melakukan tindakan yang tepat dalam rangka mencapai tujuan tersebut, dan menghimbau pengambil keputusan untuk menyetujui dan mendukung usulan perubahan. Fase Tindakan. Pada fase ini dilakukan implementasi perubahan yang didasarkan pada rencana perubahan sebelumnya. Prosesnya meliputi desain untuk menggerakkan kondisi berjalan menuju kondisi yang diharapkan termasuk menetapkan aransemen yang cocok untuk mengelola proses perubahan dan dukungan terhadap tindakan yang dilakukan, dan melakukan evaluasi terhadap implementasi perubahan dan memberikan umpan balik terhadap hasil yang telah dicapai sehingga bias dilakukan tindakan koreksi yang dianggap perlu. Fase Integrasi. Tahap ini dimulai setelah perubahan berhasil diimplementasikan. pada tahap ini perhatian ditujukan pada upaya untuk melakukan konsolidasi dan stabilisasi hasil perubahan sehingga perubahan menjadi bagian hidup sehari-hari dan tidak diperlukan lagi adanya kondisi khusus hanya sekedar untuk mempertahankan hasil perubahan. Prosesnya meliputi beberapa hal antara lain: memperkuat prilaku baru melalui mekanisme umpan balik dan sistem penghargaan sehingga kebergantungan pada konsultan sedikit demi sedikit mulai berkurang, menyebarkan hasil perubahan ke seluruh elemen organisasi, dan melakukan pelatihan kepada para manajer dan karyawan untuk memonitor hasil perubahan dan kemungkinan peningkatan yang diperlukan.



2.46



Manajemen Perubahan 



Kebalikan dari planned change adalah emergent change – perubahan mendadak yang tidak direncanakan sebelumnya. Mereka yang tidak setuju dengan konsep perubahan terencana berpendapat bahwa perubahan itu terjadi secara terus menerus, bersifat dinamis, dan merupakan proses yang muncul setiap saat tanpa bisa diketahui sebelumnya dan tanpa bisa direncanakan. Karl Weick (2000: 237) misalnya mengatakan: Emergent change consists of ongoing accommodations, adaptations, and alternation that produce fundamental change without a priori intention to do so. Emergent change occurs when people reaccomplish routines and when they deal with contingencies, breakdowns, and opportunities in everyday work. Much of this change goes unnoticed, because small alternations are lumped together as noise in otherwise uneventful inertia… Emergent change terdiri dari proses akomodasi, adaptasi dan pilihanpilihan yang terus berjalan yang menghasilkan perubahan fundamental tanpa didahului oleh keinginan untuk melakukan hal tersebut. Emergent change terjadi ketika karyawan sudah kembali pada kegiatan yang bersifat rutin dan ketika mereka harus menghadapi hal-hal yang bersifat kontingen, kebuntuan, dan kesempatan dalam kegiatan kerja seharihari. Hampir semua dari perubahan ini tidak terdeteksi karena selang seling kegiatan sekecil apapun bisa menggumpal menjadi sebuah gangguan yang, jika tidak segera diatasi, menjadi insersia yang tidak tampak.



Perubahan mendadak dengan demikian merupakan proses perubahan yang terus berkembang dan secara alami tidak bisa diprediksi. Konsep ini menganggap bahwa perubahan merupakan proses terbuka yang melibatkan saling peran antara berbagai macam variabel dalam organisasi termasuk di dalamnya konteks perubahan, proses politik dan konsultasi dengan pihakpihak yang terkait dengan perubahan. Jadi perubahan mendadak merupakan tipikal perubahan yang sangat kompleks yang tidak bisa dilakukan secara linear misalnya menggunakan taksonomi perubahan atau pendekatanpendekatan top-down dan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti dalam perubahan TQM dan Business Process Reengineering (BPR). Dalam hal ini kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam menginisiasi dan mengelola perubahan mendadak (Pettigrew, 1997). Meski proponen perubahan mendadak tidak setuju dengan adanya aturan yang menuntun perubahan organisasi tetapi mereka sepakat untuk



 EKMA4565/MODUL 2



2.47



menggunakan pedoman dalam menjalankan proses perubahan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah: struktur organisasi, budaya organisasi, pembelajaran organisasional, prilaku manajerial dan kekuasaan dan politik di dalam organisasi (lihat misalnya Burnes, 2004: 298-305). B. FIRST ORDER VS. SECOND ORDER CHANGE Istilah first-order change (bisa diterjemahkan menjadi perubahan tahap pertama) biasa disebut juga sebagai alpha change (Golembiewski et al., 1976) atau single loop (Argyris & Schon, 1978), sedangkan second-order change (perubahan tahap kedua) disebut juga gamma change atau double loop change (penjelasan lebih detail, lihat Bartunek & Moch, 1987). Secara umum bisa dikatakan bahwa first-order change merupakan perubahan yang dimaksudkan agar kondisi organisasi berjalan dapat beroperasi lebih lancar. Oleh karenanya dalam perubahan ini dilakukan beberapa penyesuaian pada sisi sistem, proses atau struktur organisasi tetapi tidak merubah landasanlandasan fundamental organisasi seperti strategi, nilai-nilai inti organisasi atau identitas diri organisasi. Jadi first-order change pada intinya sekedar mempertahankan dan mengembangkan organisasi dalam rangka mempertahankan kontinyuitas dan tatanan organisasi. Dilihat dari skala perubahannya, first-order change merupakan perubahan berskala kecil, bersifat inkremental, dan adaptif. Sementara itu second-order change merupakan perubahan mendasar yang bersifat transformasional, radikal dan fundamental sehingga mengubah tatanan inti organisasi. Sederhananya, second-order change bukan sekedar merubah organisasi tetapi mentransformasi organisasi. Oleh karena itu, second-order change biasanya merupakan perubahan berskala besar dan diskontinyu. Karakteristik firstorder dan second-order change, secara lebih detail dikemukakan oleh Levy (1986) seperti tampak pada Tabel 2.3 berikut ini.



2.48



Manajemen Perubahan 



Tabel 2.3. Karakteristik First-Order dan Second-Order Change First order change  Perubahan pada satu atau beberapa dimensi, komponen atau aspek  Perubahan hanya terjadi pada satu atau beberapa level (level individual atau kelompok)  Perubahan terhadap satu atau dua aspek prilaku (misal: sikap atau nilai)  Perubahan bersifat kuantitatif  Perubahan merupakan sebuah kelanjutan, peningkatan atau pengembangan dari kondisi berjalan  Perubahan bersifat incremental  Perubahan bisa berulang (reversible)  Perubahan bersifat logis dan rasional  Perubahan tidak merubah cara pandang atau paradigma organisasi  Perubahan masih dalam lingkup kehidupan lama



Second order change   



      



Perubahan bersifat multidimensi, multikomponen atau multiaspek Perubahan terjadi pada beberapa level organisasi secara bersamaan (individu, kelompok dan keseluruhan organisasi) Perubahan terhadap semua aspek prilaku (sikap, norma, nilai-nilai, persepsi, keyakinan cara pandang dan prilaku) Perubahan bersifat kualitatif Perubahan bersifat diskontinyu, mengambil orientasi baru Perubahan bersifat revolusioner Perubahan tidak berulang (irreservable) Perubahan bersifat tidak rasional menggunakan logika berbeda Perubahan menyebabkan terciptanya cara pandang atau paradigma baru Perubahan menghasilkan cara berpikir dan cara bertindak baru.



Berdasarkan klasifikasi perubahan seperti tersebut di atas, Nadler & Tushman (1995) dengan menggunakan dimensi lain mengembangkan tipologi baru. Dimensi yang digunakan adalah apakah perubahan bersifat reaktif atau antisipatif. Menurut Nadler & Tushman, perubahan reaktif merupakan perubahan yang disebabkan karena dorongan faktor eksternal disebut sebagai perubahan reaktif. Tujuan perubahannya agar organisasi bisa merespon atau beradaptasi dengan tuntutan perubahan eksternal. Sedangkan perubahan yang disebabkan karena faktor internal disebut antisipatif bertujuan untuk mengembangkan organisasi. Kombinasi dari dua dimensi perubahan yang disebut terakhir dengan tipologi perubahan yang dikemukakan Bartunek & Moch menghasilkan empat tipe perubahan seperti tampak pada Tabel 2.4 berikut.



2.49



 EKMA4565/MODUL 2



Tabel 2.4. Tipe Perubahan menurut Nadler & Tushman



Antisipatif



Reaktif



Incremental



Discontinuous



Fine-tuning  First-oder change  Perbaikan  Peningkatan  pengembangan Adaptasi  Perubahan bersumber dari dalam organisasi



Reorientasi  Merubah arah, tidak termasuk merubah identitas diri dan nilainilai organisasi Re-kreasi  Second order change  Merubah secara cepat terhadap elemen-elemen dasar organisasi



Fine-tuning. Tipe perubahan ini bersifat incremental dalam rangka mengantisipasi perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal. Dengan kata lain perubahan dilakukan sebelum terjadinya perubahan eksternal. Oleh karena itu perubahannya tidak menyeluruh melainkan hanya dilakukan pada bagian-bagian tertentu – disesuaikan dan dimodifikasi agar pada masa yang akan datang organisasi bias menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan eksternal. Sebagai contoh, perubahan struktur organisasi menjadi semakin flat dan dibarengi dengan penerapan teknologi tepat guna (komputerisasi) untuk mengantisipasi kemajuan teknologi informasi yang menuntut pengambilan keputusan secara cepat. Adaptif. Perubahan adaptif merupakan perubahan yang bersifat incremental tetapi perubahan tersebut merupakan reaksi dari perubahanperubahan yang dilakukan oleh para pesaing. Dalam bahasa strategi, perubahan seperti ini biasa disebut sebagai “me-to-strategy”. Sebagai contoh, setelah BCA menerapkan e-banking maka beberapa bank swasta maupun bank pemerintah juga menerapkan pola yang sama sebagai upaya untuk mempermudah para nasabah berhubungan dengan bank tanpa harus datang ke counter bank. Reorientasi. Perubahan organisasi disebut perubahan reorientasi jika perubahan tersebut bersifat antisipatif tetapi diskontinyu, transformasional dan berskala besar. Perubahan semacam ini melibatkan apa yang disebut “frame bending” yaitu melakukan modifikasi besar-besaran tetapi perubahan tersebut masih didasarkan pada kekuatan dan sejarah organisasi masa lalu. Sebagai contoh, PT. Telkom yang notabene sejarah keberadaannya dan



2.50



Manajemen Perubahan 



kekuatannya bertumpu pada fixed line mencoba melakukan modifikasi fungsi fixed line setelah disadari bahwa pendapatan dari fixed line mengalami penurunan. Fixed line yang semula fungsi utamanya sebagai alat komunikasi langsung antar penduduk sekarang dimodifikasi menjadi media internet dengan menawarkan produk baru speedy dan masih bertumpu pada fixed line. Jadi dalam hal ini fixed line masih tetap eksis dan bisa digunakan untuk berkomunikasi secara langsung tetapi juga bisa digunakan untuk media internet. Dari modifikasi ini terbukti pendapatan PT. Telkom terus meningkat. Re-kreasi. Perubahan re-kreasi merupakan second-order change dan bersifat reaktif. Pada intinya perubahan re-kreasi merupakan perubahan besar-besaran yang bersifat “frame breaking” yaitu organisasi berusaha memutus hubungan dengan praktik dan arah organisasi masa lalu, seolaholah berangkat dari titik nol untuk menyongsong masa depan. Contoh yang bisa digunakan untuk menggambarkan perubahan re-kreatif adalah PT. Tambang Timah di bawah kendali Kuntoro Mangunsubroto yang melakukan perubahan besar-besaran dengan memindahkan Kantor Pusat Perusahaan dari Jakarta ke tempat lokasi penambangan Bangka. Demikian juga bisnis-bisnis yang bukan inti dijual agar pihak manajemen bisa fokus pada bisnis utama – tambang timah. Hasilnya, laba PT. Tambang Timah terus naik setelah sebelumnya perusahaan mengalami kerugian terus menerus. C. TIPOLOGI PERUBAHAN DARI PERSPEKTIF KONSULTAN: SECOND-ORDER PLANNED CHANGE Amir Levy dalam artikelnya yang dimuat Organizational Dynamics (1986) mencoba memahami tipologi perubahan dari perspektif Konsultan. Sebagaimana kita ketahui, tugas utama seorang Konsultan adalah memberi advis kepada manajer bagaimana perubahan seharusnya dilakukan. Untuk tujuan tersebut, Levy menggabungkan dua tipologi perubahan yaitu second order change dan planned change sehingga dihasilkan tipologi baru – second order planned change. Menurut Levy meski perubahan organisasi bersifat transformatif atau mendasar, dari kaca mata konsultan perubahan tersebut tetap saja merupakan perubahan terencana yang ada awal dan akhirnya. Berdasarkan pandangan ini, Levy mencoba memahami konsep second order change melalui tiga perspektif berbeda yaitu:



 EKMA4565/MODUL 2



1.



2.



2.51



Mengapa organisasi berubah. Dorongan-dorongan yang menyebabkan terjadinya second order change. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Levy, dorongan-dorongan yang menyebabkan terjadinya second order change adalah: a. Kondisi internal yang mengizinkan terjadinya perubahan seperti: (1) tersedianya sumber daya, (2) kesediaan dan kemauan manajer dan anggota organisasi untuk melakukan perubahan, dan (3) kepemimpinan transformasional. b. Kondisi eksternal yang memungkinkan terjadinya perubahan transformasional. Di antaranya adalah: (1) tingkat ancaman terhadap keberlangsungan hidup organisasi, (2) tingkat toleransi yang memungkinkan terjadinya transformasi perubahan dan (3) tingkat perubahan radikal yang kemungkinan bakal terjadi. c. Kondisi yang belum terpikirkan sebelumnya (precipitating conditions) seperti (1) tendensi organisasi terus tumbuh, (2) tendensi organisasi mengalami penurunan, (3) adanya perasaan tidak puas terhadap hasil yang dicapai (4) adanya tekanan dari pemangku kepentingan, (5) organisasi mengalami krisis baik dalam arti sesungguhnya maupun hanya persepsi dan (6) terjadinya peningkatan atau penurunan kinerja yang tidak diharapkan. d. Kejadian pemicu yang bersifat luar biasa (extra ordinary) seperti (1) bencana lingkungan termasuk bencana alam, resesi ekonomi, dan inovasi besar-besaran dari kompetitor, (2) peluang yang muncul tiba-tiba, misal karena inovasi teknologi, (3) konflik atau krisis manajemen, (4) pergantian tim manajemen dengan visi dan misi baru, (5) kudeta atau gerakan masal di dalam organisasi, (6) perubahan politik dan (7) terjadinya merger, akuisisi atau pengambilalihan organisasi. Bagaimana organisasi berubah. Tahapan-tahapan dan proses dalam second order change. Seperti telah dijelaskan pada karakteristik secondorder change, pada umumnya perubahan jenis ini terjadi karena penurunan organisasi atau krisis, gagal mengembalikan kondisi organisasi melalui mekanisme first order change, keinginan organisasi melakukan lompatan-lompatan atau hal-hal lain yang menyebabkan organisasi harus melakukan perubahan mendasar. Di samping itu, second order change juga dimungkinkan ketika (1) di dalam organisasi belum terbentuk tatanan baru, (2) perubahan transformatif bisa dikelola secara



2.52



Manajemen Perubahan 



baik dan (3) pengembangan strategi baru dan teknologi baru sangat mungkin untuk dilakukan. Berdasarkan argumentasi-argumentasi ini maka proses perubahan pada second order change atau second order planned change bisa digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.4 yang dimulai dari: kondisi organisasi yang menurun karena organisasi tidak mampu memenuhi harapan internal maupun eksternal, dilanjutkan dengan kesediaan anggota organisasi untuk melakukan perubahan mendasar (transformative), upaya-upaya untuk melakukan perubahan terencana dalam rangka menerjemahkan visi dan ide baru ke dalam program, struktur dan prosedur, dan terakhir masa stabilitas dan pengembangan organisasi di mana pada tahap ini program perubahan telah dilaksanakan dan mulai terlembagakan, dipertahankan dan dikembangkan.



Gambar 2.4. Siklus Perubahan Second Order Change



3.



Apa yang diubah yakni konten dari second order change. Setelah melakukan telaah terhadap faktor penyebab perubahan second order change dan bagaimana proses perubahan tersebut berlangsung, kini giliran kita pahami apa saja yang perlu diubah dalam second order



2.53



 EKMA4565/MODUL 2



planned change. Menurut Levy (1986) ada empat hal perlu diperhatikan berkait dengan konten perubahan yaitu (1) perspektif perubahan, (2) elemen perubahan, (3) dimensi perubahan dan (4) tingkat visibilitas perubahan. Secara ringkas keempat hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini. Perspektif



Elemen Perubahan



Dimensi Perubahan



Visibilitas perubahan



Sistem



Input, output dan proses Tujuan jangka panjang dan jangka pendek, strategi dan kebijakan Norma, nilai-nilai dan keyakinan Konteks, template, aturan umum dan cara pandang



Proses inti organisasi Misi dan tujuan



Tinggi



Budaya



Rendah



Paradigma



Tidak terdeteksi



Manajemen



Perubahan terencana Evolusi



Sedang



Gambar 2.5. Konten Perubahan Second Order Change



Seperti tampak pada Gambar 2.5, khususnya pada kolom dimensi perubahan, second order change melibatkan empat dimensi berbeda mulai dari dimensi yang tidak kasatmata – tidak mudah dideteksi dan abstrak sampai pada dimensi yang kasatmata (visible) dan konkret. Keempat dimensi tersebut adalah (lihat Gambar 2.6). a. Paradigma organisasi. Paradigma organisasi sering juga disebut sebagai world view atau cara pandang, atau asumsi dasar adalah landasan filosofis atau “metarules” yang melatarbelakangi mengapa sebuah organisasi eksis. Sering kali tidak semua anggota organisasi memahami landasan ini filosofis ini sehingga paradigma organisasi bersifat unnoticed – tidak terdeteksi dan abstrak. Meski demikian dimensi ini bias mempengaruhi persepsi dan prilaku serta semua aspek kehidupan organisasi. b. Misi dan tujuan organisasi. Misi dan tujuan organisasi merupakan sebuah pernyataan yang lebih eksplisit, bias diketahui anggota organisasi meski tidak semua memahaminya yang menegaskan kemana organisasi mau diarahkan. Pernyataan seperti “what business are we in – bisnis apa



2.54



c.



d.



Manajemen Perubahan 



yang sedang kita jalani”, strategi apa yang kita gunakan untuk mencapai misi dan tujuan organisasi, dan apa kebijakan yang kita terapkan termasuk dalam dimensi ini. Budaya organisasi. Termasuk di dalam dimensi ini adalah keyakinan, nilai-nilai dan norma organisasi. Di samping itu dimensi ini juga meliputi tindakan-tindakan yang bersifat simbolik, dan elemen-elemen lain seperti mitos, ritual, upacara, aransemen fisik dan gaya manajemen. Semua elemen ini meski bersifat kasatmata namun agak abstrak sehingga tidak mudah dipahami oleh sebagian besar anggota organisasi. Proses inti organisasi. Dimensi ini meliputi semua aspek kegiatan organisasi yang bersifat kasatmata dan konkret sehingga mudah dideteksi, diobservasi dan dipahami oleh anggota organisasi. Bahkan orang luar organisasi sekalipun bisa dengan mudah mengetahui dimensi ini. Termasuk di dalam dimensi proses inti organisasi adalah struktur organisasi, praktik manajemen, proses pengambilan keputusan, sistem penghargaan dan hukuman dan pola komunikasi organisasi. Tidak Terdeteksi



Paradigma



Abstrak



p paradigma



Misi Budaya Budaya Proses inti



Bisa Terdeteksi



Kongkret



Gambar 2.6. Empat Dimensi dalam Second Order Change



Gambar 2.6 menjelaskan bahwa dimensi paradigma organisasi memiliki cakupan yang sangat luas termasuk di dalamnya budaya, misi dan proses inti organisasi. Di samping itu, dilihat dari karakteristiknya dimensi paradigma



2.55



 EKMA4565/MODUL 2



organisasi bersifat tidak terdeteksi (tidak kasatmata) dan abstrak. Penjelasan ini memberi gambaran bahwa perubahan yang terjadi pada paradigma organisasi secara otomatis akan menuntut perubahan pada dimensi lain, termasuk perubahan pada budaya, misi dan tujuan organisasi, dan proses inti organisasi. Sebaliknya, jika terjadi perubahan pada misi dan tujuan jangka panjang organisasi sangat mungkin dimensi lain ikut berubah namun tidak menuntut perubahan paradigma organisasi. Sesuai dengan pemahaman tentang second order change atau perubahan transformatif maka second order change identik dengan perubahan paradigma organisasi. Dengan kata lain second order change merupakan perubahan yang sangat mendasar yang melibatkan segala aspek kehidupan organisasi. Berdasarkan uraian di atas, yakni tiga pertanyaan pokok terkait dengan pemahaman second order change – mengapa (why), bagaimana (how) dan apa (what) perubahan second order change maka model perubahan pada second order planned change dapat dilukiskan seperti tampak pada Gambar 2.7. Forces (why)



Process (how)



Content (what)



Decline Transformation Transition Development Permitting enabling precipitating and triggering event



Input



Paradigm: Lead to



in which



Culture, mission and core process



Planned & managed change strategies, interventions and technologies Throughput



Output



Gambar 2.7. Model Perubahan Second Order Planned Change



are changed



2.56



Manajemen Perubahan 



D. TIPOLOGI PERUBAHAN ORGANISASI MENURUT GUNDY Selain tipologi perubahan organisasi seperti disebutkan sebelumnya, masih ada tipologi lain di antaranya adalah tipologi perubahan sebagaimana dikemukakan oleh Grundy (1993). Menurut Grundy, perubahan organisasi bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: (1) smooth incremental change, (2) bumpy incremental change dan (3) discontinuous change. Ketiga jenis perubahan ini dapat dilihat pada Gambar 2.8, 2.9, dan 2.10.



R ange of s tability



S mooth incremental change



T ime of change Gambar 2.8. Smooth incremental change



R ang e of s tability



B umpy incremental change T ime of change Gambar 2.9. Bumpy incremental change



2.57



 EKMA4565/MODUL 2



R ange of s tability



D is continuous change T ime of change Gambar 2.10. Discontinuous change



Smooth incremental change. Seperti tampak pada Gambar 2.4, smooth incremental change merupakan jenis perubahan yang mencakup serangkaian perubahan yang berlangsung pada kecepatan konstan (ditunjukkan pada garis datar) dan lingkungan eksternal yang relatif stabil. Di mana perubahan terjadi secara lambat, sistematis dan dapat diprediksikan. Perlu dicatat bahwa, pada Gambar 2.4, sumbu vertikal mewakili kecepatan perubahan, bukan jumlah perubahan sedangkan sumbu horizontal mewakili waktu perubahan. Pada perubahan jenis ini mereka yang mengarahkan proses perubahan biasanya melibatkan orang-orang yang terkena dampak perubahan. Orang-orang yang nantinya terkena dampak perubahan tidak saja memperoleh dukungan tetapi juga dibimbing dan dilatih sehingga mereka dapat berkontribusi dalam proses perubahan dan merasa nyaman dengan hasil perubahan. Karena perubahannya bersifat minor, pada umumnya orang-orang yang terkena dampak perubahan mampu mengatasi persoalan perubahan. Mereka bias dikatakan masih dalam situasi yang disebut “range of stability” yaitu mereka yang terlibat dalam perubahan masih merasa nyaman dalam pengertian mereka mampu mengatasi persoalan psikologis, emosional dan fisik akibat tuntutan perubahan. Semua ini disebabkan karena tempo perubahan pada smooth incremental change pada umumnya relatif sama, tidak bergejolak. Organisasi melakukan perubahan hanya pada satu aspek saja dengan secara jelas menetapkan tujuan perubahan dan kemudian ditindaklanjuti dengan proses implementasi sampai tujuan tersebut benar-benar tercapai. Setelah satu perubahan tercapai baru menargetkan untuk perubahan pada aspek kehidupan



2.58



Manajemen Perubahan 



organisasi yang lain. Demikian seterusnya perubahan dilakukan secara bertahap. Bumpy incremental change. Jenis perubahan kedua menurut Grundy adalah bumpy incremental change. Seperti halnya smooth incremental change, perubahan jenis ini ditandai oleh lingkungan eksternal relatif tenang dan dalam batas-batas tertentu kalaulah ada perubahan, tingkat perubahannya masih bias diprediksi. Artinya lingkungan yang relative tenang sekali-kali disela percepatan gerak perubahan baik dalam hal frekuensi, durasi maupun besarannya. Oleh karenanya secara periodik organisasi juga dituntut untuk melakukan perubahan untuk menghindari terjadinya staus quo. Pemicu perubahan jenis ini selain mencakup perubahan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, juga bisa saja bersumber :dari perubahan internal seperti tuntutan efisiensi dan perbaikan metode kerja. Contohnya, reorganisasi yang secara periodik dilakukan perusahaan. Satu cara membedakan dua jenis perubahan inkremental ini adalah dengan memandangnya sebagai perubahan yang lebih, dikaitkan sebagai sarana perusahaan dalam mencapai tujuannya, dan bukan pada perubahan sebagai tujuan itu sendiri. Berbeda dengan smooth incremental change, pada jenis perubahan ini orang-orang yang terkena dampak perubahan dalam batasbatas tertentu biasanya tidak merasa nyaman. Mereka keluar dari range of stability. Penyebabnya, karena untuk mencapai tujuan perubahan cara-cara lama dalam bekerja biasanya dipertanyakan dan untuk itu mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkannya. Discontinuous change. Jenis perubahan ketiga menurut Grundy adalah discontinuous change yang didefinisikan sebagai perubahan yang ditandai oleh pergeseran-pergeseran cepat atas strategi, struktur atau budaya, atau ketiganya sekaligus. Contohnya di negara kita adalah privatisasi sektor strategis yang dulunya dikuasai negara, misalnya privatisasi sektor telekomunikasi. Contoh lainnya adalah apa yang disebut Strebel (1996b) sebagai 'divergent breakpoint', yaitu perubahan yang digerakkan penemuan peluang bisnis baru dan ia memberikan contoh lahirnya PC Apple pertama, munculnya Macintosh dan, yang termutakhir, teknologi seluler dan Internet. Peluang yang muncul berkat kemajuan dan dapat diaksesnya Internet, tidak saja lewat komputer, namun juga melalui perangkat televisi dan telepon seluler, kemungkinan besar akan mendorong bentuk-bentuk discontinuous change di banyak perusahaan. Perubahan yang mencakup strategi, struktur (dan hampir selalu dibarengi dengan perubahan budaya dan dominasi relatif



 EKMA4565/MODUL 2



2.59



kelompok tertentu) ketika PT. Telkom mengadopsi teknologi seluler pertengahan 1990an adalah contoh discontinuous schange. Namun, bukan berarti discontinuous change selalu digerakkan inovasi teknologi. E. PERUBAHAN ALAMI: SIKLUS HIDUP ORGANISASI Secara alami sesungguhnya setiap organisasi selalu mengalami perubahan, disadari atau tidak. Proses perubahannya bisa dilacak sejak pertama kali organisasi tersebut didirikan. Sebagaimana kita ketahui, pada umumnya terbentuknya sebuah organisasi dimulai dari tahap penuangan ide (courtship stage) sampai pada tahap lahirnya sebuah organisasi (birth stage) yang berlanjut sampai dengan organisasi tersebut eksis (early birth stage) dan bisa melakukan kegiatannya (infancy stage). Tentunya siapapun yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasi tersebut sekedar bisa hidup dan menjalankan kegiatannya namun juga berharap agar organisasi yang didirikannya terus tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Dengan kata lain setiap organisasi hampir pasti selalu mengalami siklus hidup dan pada setiap tahap dalam siklus hidup tersebut pasti mengalami perubahan. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada satupun organisasi yang tidak berubah, bahkan organisasi pemerintah sekalipun selalu mengalami perubahan. Perubahan seperti ini sering disebut sebagai perubahan alami. Tentunya siklus hidup organisasi tidak berhenti sampai organisasi tersebut lahir dan bisa berjalan namun, sangat diharapkan, bisa hidup tanpa batas waktu meski pada saat yang sama kita tidak pernah tahu kapan sebuah organisasi bisa terus bertumbuh dan kapan terpaksa tidak bisa meneruskan kegiatannya. Beberapa perusahaan telah membuktikan dirinya bisa eksis lebih dari 50 tahun seperti misalnya PT. Kedaulatan Rakyat – perusahaan penerbit surat kabar lokal Yogya dan Matsushita Electric Industrial (MEI) – perusahaan elektronik terkenal dari Jepang yang didirikan pada tahun 1930an (Kotter, 1997). Demikian juga Johnson and Johnson atau Unilever yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Meski demikian, sekali lagi, kita tidak tahu apakah perusahaanperusahaan yang telah berumur 50 tahun dan 100 tahun tersebut tiba-tiba tidak bisa meneruskan kegiatannya dan terpaksa harus diambil alih oleh perusahaan lain seperti yang terjadi pada PT. HM Sempurna? Kita tidak tahu. Yang justru sering terjadi adalah sebuah perusahaan yang belum lama berdiri



2.60



Manajemen Perubahan 



tidak bisa lagi meneruskan kegiatannya karena kalah bersaing dengan perusahaan lain. Hal ini misalnya dialami perusahaan penerbangan Star Air. Setelah harga bahan bakar pesawat (avtur) membumbung tinggi dari yang semula diperkirakan hanya Rp2000 – Rp3000 tiba-tiba mencapai Rp5000 dan terus bergerak naik karena harga minyak mentah dunia naik secara akseleratif dari US$ 30 mencapai US$50 dan terus berlanjut sampai mencapai US$75. Di saat yang sama perang tarif begitu tajam karena tingginya tingkat persaingan penerbangan domestik. Karena dua alasan itulah Star Air yang belum sempat menikmati kejayaannya terkena seleksi alam dan harus menyatakan dirinya bangkrut pada usia dini. Kondisi yang kurang lebih sama juga dialami oleh Awair yang belakangan diambil alih oleh Air Asia. Berbeda dengan Star Air dan Awair, meski menghadapi situasi yang sama, Lion Air sepertinya tidak pernah mengalami masa remaja. Perusahaan ini tiba-tiba tumbuh menjadi perusahaan yang cukup dewasa kalau tidak dikatakan tumbuh berlebihan (excessive growth). Namun ke depannya apakah Lion Air masih tetap bisa tumbuh berkelanjutan? Sekali lagi kita belum tahu. Pertanyaannya adalah bagaimana pola perkembangan organisasi yang bisa bertahan hidup dalam beberapa periode waktu dan mengalami pertumbuhan?, Apakah bergerak secara akseleratif mengikuti garis lurus? Kenyataannya tidak demikian. Dalam banyak kasus pola pertumbuhan organisasi bersifat siklikal mengikuti pola pertumbuhan berbentuk kurva yang menyerupai huruf “S” yang disebut “S curve” seperti tampak pada Gambar 2.11. Dalam bidang studi organisasi, pola pertumbuhan organisasi seperti ini disebut sebagai siklus hidup organisasi (organizational life cycle) yang untuk selanjutnya disingkat “SHO”.



Gambar 2.11. SHO berbentuk kurva S



2.61



 EKMA4565/MODUL 2



Sederhananya, seperti tampak pada gambar di atas, SHO bermula saat sebuah organisasi didirikan (birth stage). Setelah melewati masa-masa kritis, bisa survive dan eksis, siklus organisasi berlanjut ke tingkat berikutnya yaitu tumbuh dan menjadi besar (growth stage). Pertumbuhan organisasi ini pada satu titik tertentu akan berhenti (stagnant) yang disebabkan karena mengalami kejenuhan (maturity stage). Jika situasi kejenuhan ini bisa diatasi maka organisasi bangkit kembali (revival stage), namun sebaliknya jika situasi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin siklus akan berlanjut ke tahap penurunan (declining stage) dan boleh jadi sampai pada tahap kematian (death) (Miller & Freisen, 1984). Untuk jelasnya lihat Gambar 2.12). Penjelasan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa organisasi dalam perjalanan hidupnya harus melalui beberapa tahap berbeda yang bersifat sequential (berurut-urutan). Setiap tahapan memiliki karakteristik berbeda yang memerlukan cara pengelolaan yang berbeda pula.



Gambar 2.12. Siklus Hidup Organisasi



Meski secara umum siklus hidup organisasi mengikuti pola seperti dikemukakan oleh Miller and Freisen seperti disebutkan di atas, apa yang disampaikan Miller and Freisen hanyalah salah satu dari beberapa pola dalam menyusun tahapan-tahapan SHO. Bisa dikatakan bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para teoritis organisasi mengenai jumlah tahapan dalam setiap siklus organisasi. Masing-masing dengan argumentasi berbeda mengemukakan pendapat yang berbeda pula. Hasil rangkuman Quinn and Cameron (1983) misalnya menunjukkan adanya 9 model pentahapan dalam siklus organisasi. Namun Quinn and Cameron akhirnya



2.62



Manajemen Perubahan 



mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa SHO bisa dibedakan menjadi 4 tahap. Secara umum model yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh Adizes (1999), SHO terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertumbuhan (growing) dan tahap penurunan (aging). Dari dua tahapan ini Adizes mengelaborasi lebih lanjut masing-masing menjadi 5 tahap sehingga secara keseluruhan modelnya Adizes terdiri dari 10 tahap. Pendapat lain, sebagian mengatakan SHO terdiri dari tiga tahap; sebagiannya lagi mengatakan SHO terdiri dari empat tahap; yang lain menyebutkan lima tahap dan bahkan ada yang menyebutkan 8 tahap. Rangkuman dari berbagai sumber mengenai tahap-tahap dalam SHO dan nama masing-masing tahapan disajikan pada Tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5. Jumlah dan nama tahapan dalam SHO



Sumber Ichak Adizes (1999)



Down (1967) Lippit and Scmidt (1967) Scott (1971) Katz and Kahn (1978) Lynden (1975) Kimberly (1979)



Jumlah tahapan Nama masing-masing tahapan dalam SHO Dua tahap diGrowing: Courtship, infancy, go-go, kembangkan adolescence, dan erly prime menjadi 10 tahap Aging: Late prime, aristocracy, Salem city, bureaucracy dan death (1) Strugles for autonomy, (2) Rapid growth, Tiga tahap (3) Deceleration Tiga tahap



(1) Birth, (2) Youth, (3) Maturity



Tiga tahap



(1) Stage 1, (2) Stage 2, (3) Stage 3 (1) Primitive system, (2) Stable organization, (3) Elaborative supporting structure (1) First, (2) Second, (3) Third, (4) Fourth stage (1) First, (2) Second, (3) Third, (4) Fourth stage (1) Entrepreneurial, (2) Collectivity, (3) Formalization and control, (4) Elaboration of structure (1) Conception and development, (2) commercialization, (3) Growth, (4) Stability (1) Creativity, (2) Direction, (3) Delegation, (4) Coordination, (5) Collaboration (1) Birth, (2) Growth, (3) Maturity, (4) Revival, (5) Decline (1) Fantasies, (2) Investment, (3) Determination, (4) Experiments, (5) Predetermined Productivity, (6) Openly chosen structure, (7) Foundational community, (8) Liberating disciplines.



Tiga tahap Empat tahap Empat tahap



Quinn and Cameron (1983)



Empat tahap



Kazanjian (1988)



Empat tahap



Greiner (1972)



Lima tahap



Miller and Freisen (1984)



Lima tahap



Torbet (1974)



Delapan tahap



2.63



 EKMA4565/MODUL 2



Tabel 2.5 menunjukkan adanya variasi jumlah dan nama tahapan dalam SHO. Variasi tersebut disebabkan karena masing-masing teoritis menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mendeskripsikan makna dan tujuan membahas SHO. Sebagai contoh, landasan yang digunakan oleh Anthony Down untuk menghasilkan 3 tahapan SHO adalah motivasi untuk tumbuh. Sementara itu Katz and Kahn, meski sama-sama menghasilkan 3 tahapan, dasar yang digunakan berbeda. Modelnya Katz and Khan didasarkan pada elaborasi struktur organisasi sehingga mereka menyebut tahap pertama sebagai primitive system stage yang menggambarkan organisasi dengan struktur yang lebih menekankan pentingnya koordinasi antar anggota organisasi. Tahap kedua disebut stable organization – menyiratkan struktur organisasi yang lebih berorientasi pada mekanisme pengendalian dan tahap ketiga adalah elaboration of structure merupakan desain struktur yang adaptif terhadap lingkungan (1983). 1.



Tujuan Memahami SHO Belum adanya kesepakatan mengenai nama dan jumlah tahapan dalam SHO sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan karena seperti telah disebutkan di muka, masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda untuk menghasilkan jumlah tahapan yang berbeda. Hal yang lebih penting untuk dipahami lebih jauh adalah mengapa kita perlu memahami konsep SHO. Paling tidak ada dua alasan mengapa konsep SHO perlu dipahami lebih baik. Pertama, SHO adalah sebuah pola perkembangan organisasi yang terdiri dari beberapa tahapan dan setiap tahapan memiliki karakteristik berbeda. Sebagai contoh, Adizes mengemukakan perbedaan karakteristik antara organisasi yang sedang tumbuh dan organisasi yang sudah menua seperti tampak pada Tabel 2.6 berikut ini. Tabel 2.6. Karakteristik perusahaan sedang tumbuh dan Perusahaan sudah menua Perusahaan sedang tumbuh 1. Keberhasilan disebabkan karena berani mengambil risiko 2. Harapan biasanya lebih besar dari hasil 3. Kondisi keuangan perusahaan biasanya tidak menggembirakan 4. Organisasi lebih menekankan pentingnya



Perusahaan sudah menua 1. Keberhasilan disebabkan karena mau menghindari risiko 2. Hasil biasanya lebih besar dari harapan 3. Kondisi keuangan perusahaan biasanya sangat baik 4. Bentuk organisasi dianggap lebih



2.64



Manajemen Perubahan 



Perusahaan sedang tumbuh fungsi organisasi ketimbang bentuknya 5. Fokus perhatian pada “mengapa” dan “apa” yang harus dikerjakan 6. Tanpa memperdulikan kepribadian masing-masing, para pekerja dituntut untuk berkontribusi terhadap perusahaan 7. Semuanya bisa dilakukan kecuali yang nyata-nyata dilarang 8. Masalah perusahaan lebih dilihat sebagai sebuah kesempatan 9. Bagian pemasaran dan penjualan mempunyai kekuasaan politik yang lebih besar 10. Orang-orang lini juga bertindak untuk mengatasi persoalan 11. Tanggung jawab biasanya tidak sebanding dengan otoritas yang diberikan 12. Manajemen berfungsi untuk mendorong berjalannya organisasi 13. Manajemen berfungsi untuk mendorong terjadinya momentum 14. Perubahan kepemimpinan bisa mendorong perubahan prilaku organisasi 15. Organisasi sangat membutuhkan konsultan 16. Organisasi sangat berorientasi pasar 17. Keberadaan organisasi semata-mata untuk menciptakan nilai tambah



Perusahaan sudah menua penting ketimbang fungsinya 5. Fokus perhatian ditekankan pada “bagaimana” dan “siapa” yang akan melakukan pekerjaan 6. Kepribadian seseorang jauh lebih penting ketimbang kontribusinya terhadap perusahaan 7. Semuanya dilarang kecuali yang nyatanyata diizinkan 8. Kesempatan yang terbuka justru dilihat sebagai masalah yang dihadapi perusahaan 9. Bagian-bagian yang mempunyai kekuasaan politik lebih adalah akuntansi, keuangan dan hukum 10. Staf perusahaan bertindak sebagai penyelesai masalah 11. Otoritas seseorang biasanya tidak sebanding dengan tanggung jawab seseorang 12. Kondisi organisasi akan mendorong kebutuhan manajemen 13. Manajemen justru mendorong terjadi keengganan berubah 14. Untuk merubah prilaku organisasi dibutuhkan perubahan sistem 15. Organisasi membutuhkan “insultant” orang-orang yang bertindak lebih offensive 16. Obsesi organisasi adalah memperoleh laba yang besar 17. Pengambilan keputusan biasanya didasarkan pada kekuatan politik si pengambil keputusan



Sumber: Adizes, 1999, halaman 117



Dengan memahami perbedaan karakteristik pada setiap tahapan seperti tersebut di atas, para manajer tentunya akan lebih mudah menetapkan skala prioritas yang berbeda pada setiap tahapan yang berbeda. Sebagai contoh, dengan menggunakan 3 tahap siklus organisasi – inception, high-growth dan maturity, Smith, Mitchell and Summer (1985) kembali menegaskan bahwa seorang manajer cenderung memberikan skala prioritas berbeda pada setiap tahapan yang berbeda. Pada saat organisasi berada pada tahap maturity



2.65



 EKMA4565/MODUL 2



misalnya, perhatian para manajer terhadap arti penting koordinasi semakin menurun. Temuan ini sama dengan temuan Quinn and Cameron yang kurang lebih mengatakan hal yang sama. Temuan mereka juga menunjukkan bahwa dukungan politik juga akan mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan siklus organisasi. Para manajer cenderung membutuhkan dukungan politik yang lebih besar sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan organisasi. Tujuan kedua memahami konsep SHO, seperti ditegaskan Lester, Parnell and Carraher (2003) adalah agar mereka yang terlibat dalam kehidupan organisasi, khususnya para manajer, lebih mudah menetapkan kapan dan bagaimana perubahan atau intervensi perlu dilakukan agar organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang. Perubahan organisasi menjadi semakin penting karena sejalan dengan teori kontingensi, setiap organisasi harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya jika menghendaki organisasi tersebut bisa survive dan terus berkembang. Berkaitan dengan hal yang terakhir – perubahan organisasi, uraian tentang konsep SHO pada bagian ini akan dikaitkan dengan perubahan budaya organisasi. Meski demikian berbagai literatur menunjukkan bahwa SHO tidak semata-mata dikaitkan dengan perubahan budaya tetapi juga dikaitkan dengan konfigurasi organisasi lainnya. Sebagai contoh, SHO secara umum bisa dikaitkan dengan efektivitas organisasi; dengan nuansa kewirausahaan; dengan penyusunan dan arahan strategi; dengan kekuasaan; dan terakhir dengan masalah politik di dalam organisasi. Sementara keterkaitan antara SHO dengan konfigurasi organisasi seperti dikemukakan oleh Gupta and Chin (1994) disajikan dalam Tabel 2.7 berikut ini. Tabel 2.7. Keterkaitan antara SHO dengan konfigurasi organisasi Pertumbuhan tahap akhir dan penuaan



Decline/menurun



Formal dan kompleks



Sangat kompleks



Relatif tinggi



Tinggi



Craftman / pengrajin



Lebih oportunis



Lebih oportunis



Relatif pendek Strategi pertumbuhan



Relatif panjang Strategi



Relatif lebih panjang Tidak ada spesifikasi



Lahir dan pertumbuhan awal Struktur organisasi Gap budaya Tipe kewirausahaan Masa kerja CEO Orientasi strategi



Informal dan formal didukung struktur organisasi sederhana Rendah



2.66



Manajemen Perubahan 



Lahir dan pertumbuhan awal Ketidakpastian lingkungan Persepsi terhadap ketidakpastian lingkungan Organizational slack



2.



Pertumbuhan tahap akhir dan penuaan pertumbuhan



Decline/menurun strategi



Tinggi



Biasanya tinggi



Biasanya tinggi



Dianggap tinggi



Dianggap rendah



Dianggap tinggi



Medium ke tinggi



Cenderung menurun



Rendah



SHO dan Perubahan Budaya Organisasi Di muka telah dijelaskan bahwa budaya organisasi bukanlah variabel statis yang tidak tanpa perubahan. Perubahan budaya organisasi sangat dimungkinkan mengingat budaya organisasi merupakan variabel yang dinamis (Hatch, 1993) dan manageable, dan disisi lain organisasi sebagai living organism selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Kecocokan antara budaya organisasi dengan lingkungan eksternal dimasa yang akan datang Kotter & Heskett, 1992) juga merupakan salah satu pertimbangan perlu tidaknya perubahan budaya. Pertanyaannya sekarang, kapan seharusnya perubahan budaya itu dilakukan dan bagaimana caranya? Sebelum pertanyaan ini terjawab, perlu disadari bahwa merubah budaya bukan pekerjaan mudah karena sekali budaya tersebut terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi, para anggota organisasi cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan apakah budaya tersebut functional atau dysfunctional terhadap kehidupan organisasi. Artinya perubahan budaya hampir selalu berhadapan dengan resistensi para karyawan yang merasa sudah terlanjur mengadopsi budaya yang telah diajarkannya kepada mereka. Oleh karenanya perubahan budaya sering kali berjalan secara gradual (Hofstede, 1980) dan bahkan bisa membutuhkan waktu lama. Kotter and Heskett (1992) misalnya menyebutkan bahwa perubahan budaya bisa memakan waktu sampai 10 tahun. Perubahan budaya umumnya diawali dengan adanya krisis organisasi (vicious circle) yakni ketika sebuah organisasi mencoba mengatasi berbagai masalah kritis baik yang berasal dari lingkungan dalam maupun dari lingkungan luar organisasi. Paling tidak definisi budaya yang diberikan oleh Schein menunjukkan hal ini. Apple Computer misalnya, pada tahun 1985



2.67



 EKMA4565/MODUL 2



mengadakan perubahan budaya karena krisis. Meski demikian krisis bukanlah persyaratan mutlak perlunya perubahan budaya. Walaupun prestasi perusahaan cukup berhasil, kalau tidak dikatakan sangat sukses, James Burke sebagai CEO baru Johnson and Johnson menganggap perlu untuk merubah budaya perusahaan (Kerin, 1990). Burke berkesimpulan bahwa kultur Johnson and Johnson yang ada tidak cocok lagi dengan kegiatan bisnis dan lingkungannya dimasa datang. Salah satu alasan ketidakcocokan tersebut adalah bisnis Johnson and Johnson sudah mencapai titik jenuh (maturity) sehingga mau tidak mau budayanya harus diganti (1990). Jadi, dalam konteks perubahan budaya organisasi, SHO (Jones, 1995; Pheysey, 1993; Adizes, 1999) biasanya menjadi dasar untuk melakukan perubahan budaya. Schein (1985: 272) misalnya membagi tahap pertumbuhan organisasi menjadi tiga bagian: (1) berdiri dan tahap awal pertumbuhan, (2) berkembang dan (3) penurunan. Sejalan dengan siklus tersebut, Schein menawarkan mekanisme perubahan budaya yang berbeda untuk setiap tahap pertumbuhan yang berbeda seperti tampak pada Tabel 2.8 berikut ini. Tabel 2.8. Tahap pertumbuhan organisasi, fungsi budaya dan mekanisme perubahannya TAHAP PERTUMBUHAN Lahir dan mulai tumbuh (peran para pendiri dan keluarganya sangat dominan)



Tahap suksesi



Tahap kemapanan organisasi



1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 3.



FUNGSI BUDAYA budaya sebagai identitas diri budaya sebagai perekat di antara para anggota organisasi budaya sebagai integrasi internal budaya sebagai bentuk komitmen anggota budaya menjadi ajang pertentangan antara yang pro dan kontra para pengganti (suksesor) akan dinilai apakah dia mempertahankan atau mau mengganti budaya lama mulai muncul subbudaya baru mulai terjadi krisis identitas muncul kesempatan untuk merubah budaya



1. 2. 3. 4.



1. 2. 3. 4.



MEKANISME PERUBAHAN evolusi secara natural terapi organisasi hybrid memasukkan orang luar



perubahan terencana memasukan teknologi baru perubahan dengan mengubah mitos incrementalism



2.68



Manajemen Perubahan 



TAHAP PERTUMBUHAN



FUNGSI BUDAYA Opsi transformasi: 1. perubahan budaya tidak bisa dihindarkan meski tidak semua elemen harus di rubah 2. beberapa elemen pokok tetap Tahap kejenuhan dipertahankan organisasi 3. mengelola perubahan budaya Opsi destruksi 1. perubahan paradigma 2. perubahan budaya melalui penggantian orang-orang kunci Sumber: Schein, 1985, pp. 271-2



1. 2. 3.



MEKANISME PERUBAHAN persuasi disertai sedikit paksaan penyehatan budaya reorganisasi, pelenyapan budaya lama dan memunculkan budaya baru



Pada bagian pertama, yakni saat organisasi lahir dan memasuki tahap awal pertumbuhan, organisasi yang kegiatannya belum begitu kompleks biasanya dikelola langsung oleh para pendiri dan atau keluarganya. Bukan hanya itu, merekalah yang menentukan semua sepak terjang organisasi termasuk menentukan arah tujuan organisasi. Karena peran para pendiri dan keluarganya begitu dominan maka budaya yang berkembang pada organisasi tersebut seperti dikatakan oleh Choueke and Amstrong lebih merupakan cerminan dari pandangan atau nilai-nilai para pendiri dan atau keluarganya terhadap kondisi internal dan eksternal organisasi (2000). Sementara para pekerja yang datang belakangan hanya sekedar mengikuti, mempelajari dan menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap benar oleh para pendiri dan keluarganya. Mereka (para pekerja) seolah-olah tidak memiliki peran dalam membangun budaya organisasi. Bagi para pendiri dan keluarganya, budaya lebih berfungsi sebagai alat untuk mengintegrasikan para pekerja dengan organisasi, alat perekat di antara anggota organisasi, dan alat untuk membangun komitmen dalam rangka untuk menunjukkan identitas diri organisasi. Pada tahap ini jika budaya terpaksa harus diubah, perubahannya lebih disebabkan karena tuntutan internal dan ditujukan agar terjadi kovesivitas/integrasi internal yang semakin kokoh bukan karena tekanan lingkungan eksternal yang sangat kuat. Empat macam mekanisme perubahan yang bisa digunakan yaitu: a. Perubahan evolutif yang bersifat natural. Perusahaan kecil yang sedang beranjak tumbuh biasanya ditandai dengan semakin meningkatnya aktivitas perusahaan misalnya karena jumlah atau variasi produk yang dihasilkan bertambah. Oleh karena itu tanpa disadari organisasi juga



 EKMA4565/MODUL 2



b.



2.69



sesungguhnya mengalami perubahan. Namun karena para pendiri dan atau keluarganya masih terlibat secara aktif di dalam kehidupan perusahaan dan bahkan keterlibatan tersebut bukan hanya untuk saat ini tetapi juga untuk waktu-waktu yang akan datang maka perubahan budayanya hampir tidak tampak. Kalaulah ada perubahan budaya maka perubahannya lebih bersifat natural tanpa rekayasa atau perencanaan sebelumnya dan perubahan tersebut lebih berorientasi internal dalam kerangka untuk memperkokoh nilai-nilai yang telah ada. Sebagai contoh, perubahan budaya pada perusahaan yang memproduksi barang-barang konsumen pada umumnya dilakukan dengan merekrut karyawan baru yang memiliki keterampilan di bidang pemasaran. Sedangkan pada perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, rekruitmen karyawan baru ditekankan kepada mereka yang memiliki kemampuan di bidang penelitian dan pengembangan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh perusahaan kecil terkadang sekedar mengasimilasi praktik-praktik yang terbaik di masa datang yang secara kasatmata sepertinya tidak bermaksud merubah budayanya. Meski demikian secara natural apa yang dilakukan oleh perusahaan pada akhirnya juga akan merubah budayanya walaupun perubahan tersebut sangat lambat dan sekedar untuk memperkokoh nilai-nilai yang berkembang selama ini. Perubahan evolutif yang bersifat natural Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self-guided) dengan menggunakan terapi organisasi. Dalam batas-batas tertentu, bukan hanya para pendiri dan keluarganya tetapi juga para karyawan lain sesungguhnya menyadari bahwa kondisi internal organisasi perlu terus menerus dipantau, dilakukan penilaian (assessment) dan dievaluasi agar mereka memahami kondisi organisasi yang sebenarnya. Upaya memahami kondisi internal organisasi (self-insight) inilah yang memungkinkan mereka pada akhirnya menyadari perlunya melakukan kaji ulang terhadap kondisi organisasi berjalan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya sehingga mereka juga bisa mendefinisikan kembali orientasi organisasi. Kelebihannya perlu terus dipertahankan dan kekurangannya ditutup dengan melakukan pembenahan organisasi termasuk di dalamnya perubahan budaya meski perubahannya tidak bisa dilakukan secara radikal. Untuk itu, diperlukan adanya terapi organisasi yang kadang-kadang harus melibatkan orang luar. Tujuan melibatkan orang luar di antaranya adalah: (a) untuk membantu pihak manajemen



2.70



c.



d.



Manajemen Perubahan 



mengurai kondisi organisasi yang sebenarnya (unfreeze the organization), (b) memberikan jaminan secara psikologis kepada orangorang dalam organisasi bahwa perubahan bukan sesuatu yang harus ditakutkan (c) membantu menganalisis kondisi budaya berjalan, (d) memberi masukan kepada orang-orang kunci berkaitan dengan pengaruh budaya berjalan terhadap kinerja organisasi dan (e) membantu proses pendefinisian ulang terhadap kondisi organisasi. Perubahan evolutif dengan hybrids. Yang dimaksudkan dengan hybrids di sini adalah perubahan budaya dengan membiarkan budaya lama tetap eksis namun pada saat bersamaan mulai diperkenalkan budaya baru sampai pada saatnya nanti budaya baru bisa benar-benar menggantikan budaya lama. Untuk ini, diperlukan bantuan orang dalam yang sudah lama bergabung dengan perusahaan. Orang tersebut juga harus bisa diterima oleh banyak pihak dan memahami perkembangan budaya berjalan tetapi mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Dengan karakteristik orang dalam seperti itu, diharapkan orang tersebut bisa mengetahui apa yang dianggap kurang sehingga secara bertahap bisa merubah budaya yang ada. Perubahan secara revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisasi. Berbeda dengan ketiga pola perubahan budaya di muka, pola perubahan budaya ini bisa dikatakan revolusioner, karena perubahannya melibatkan orang luar. Meski demikian perubahannya masih dalam batas kendali organisasi (para pendiri dan keluarganya). Dalam batas-batas tertentu, pada organisasi yang baru berdiri tetapi sedang tumbuh, para pendirinya kadang-kadang menganggap perlu untuk memasukkan orang luar yang sengaja direkrut untuk menempati posisi kunci organisasi. Bagi perusahaan keluarga cara ini biasanya dianggap tidak lazim karena anggota keluarga selalu didahulukan untuk menempati posisi kunci. Namun manakala perusahaan keluarga hendak melakukan suksesi dan tidak ada anggota keluarga yang dianggap mampu untuk menempati posisi kunci tersebut pilihan biasanya jatuh kepada orang luar yang dianggap profesional. Memilih manajer profesional, bukan anggota keluarga, bisa juga dilakukan jika para pendiri menghendaki perusahaannya melakukan percepatan yang eksponensial. Tujuan memasukkan orang luar di antaranya agar perusahaan bisa lebih profesional karena orang luar tersebut biasanya memiliki pengetahuan dan bisa memperkenalkan teknik-teknik manajemen baru yang tidak



 EKMA4565/MODUL 2



2.71



dimiliki dan diketahui oleh para pendiri perusahaan atau keluarganya. Oleh sebab itu cara perubahan budaya seperti ini bisa dianggap sebagai perubahan yang revolusioner karena perusahaan keluarga biasanya enggan diintervensi oleh orang luar. Secara umum, keempat mekanisme perubahan budaya tersebut merupakan mekanisme perubahan yang bersifat gradual, kecuali cara perubahan yang keempat yang bersifat revolutif terkendali. Tujuan perubahan budayanya tidak lain dalam rangka untuk memperbaiki identitas diri organisasi, mempererat hubungan antar anggota organisasi, mengintegrasikan kepentingan internal organisasi dan membangun komitmen anggota organisasi. Meski pada tahap ini para pendiri perusahaan sering kali masih terlibat secara langsung pada kehidupan perusahaan, bukan tidak mungkin suksesi pimpinan dari generasi pertama ke begergasi berikutnya melibatkan orang luar walaupun sebagian besar penggantian pimpinan tersebut masih pada seputar keluarga pendiri. Pada proses penggantian ini, budaya akan menjadi ajang perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap budaya lama mengingat suksesi kepemimpinan biasanya dibarengi dengan perubahan budaya. Calon pengganti, baik yang berasal dari anggota keluarga maupun orang luar, juga akan dinilai berdasarkan pro dan kontra tersebut. Pada tahap kedua yakni ketika organisasi sudah mapan dan bahkan sudah berkembang secara geografis, variasi produk yang ditawarkan bertambah, melakukan integrasi vertikal atau melakukan merger dengan organisasi lain, para pendiri dan atau keluarganya biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Organisasi pada umumnya dipimpin oleh para profesional. Di samping itu, organisasi juga sudah memiliki perangkat organisasi yang lengkap, termasuk di dalamnya budaya organisasi. Oleh karena itu jika para pimpinan organisasi menganggap bahwa budaya berjalan sudah tidak lagi cocok dengan lingkungan yang baru maka saatnya budaya harus di rubah. Untuk itu, berbeda dengan kondisi organisasi pada tahap pertama yang perubahannya lebih bersifat evolutif dan berorientasi internal, pada tahap ini perubahan budaya biasanya dilakukan secara sistematis dan terencana yang tujuan perubahannya dalam rangka untuk melakukan adaptasi eksternal. Mekanisme perubahannya antara lain:



2.72



Manajemen Perubahan 



1) Perubahan terencana dan pengembangan organisasi (planned change and organizational development). Pada perusahaan yang sudah mapan, pihak manajemen perusahaan biasanya menyadari arti penting budaya bagi perusahaan sehingga ketika budaya dirasa tidak lagi cocok dengan kondisi perusahaan maka saatnya budaya harus di rubah. Ketidakcocokan tersebut boleh jadi karena perkembangan budaya tidak lagi menjadi ciri atau identitas diri perusahaan atau karena munculnya sub-sub budaya baru yang menyimpang dari tujuan awal pembentukan budaya atau budaya lama dianggap dysfuncional. Ketika budaya telah berkembang ke arah seperti yang disebutkan di muka – tidak menjadi identitas diri, munculnya subusb budaya baru dan dysfuncional maka saatnya budaya untuk di rubah. Karena perusahaan telah mapan dan memiliki perangkat manajemen yang memadai maka perubahan budaya biasanya dilakukan dengan perubahan terencana. Dengan pola perubahan seperti ini pihak manajemen berharap bahwa perubahan budaya tidak mengganggu aktivitas perusahaan. Untuk itu perubahan budaya biasanya dilakukan secara terstruktur misalnya dengan mengembangkan organisasi yakni menyelaraskan budaya dengan perkembangan organisasi di masa yang akan datang. Cara ini diharapkan dapat mengurangi resistensi pihak-pihak terkait, terutama para karyawan yang cenderung resisten terhadap perubahan. 2) Perubahan budaya dengan memperkenalkan teknologi baru (technological seduction). Meski penggantian teknologi – dari teknologi lama ke teknologi baru biasanya hanya dilihat sebagai upaya untuk memperbaiki hasil produksi, penggantian teknologi sesungguhnya juga merupakan peristiwa kultural. Dalam batas-batas tertentu, penggantian teknologi biasanya dibarengi dengan perubahan cara-cara untuk mengoperasikan teknologi baru tersebut. Karena cara mengoperasikannya berubah maka prilaku para operatornya juga dituntut untuk berubah. Secara gradual perubahan prilaku akan mendorong mereka untuk mengadopsi nilai-nilai baru, keyakinan dan asumsi baru dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Dengan kata lain, perubahan prilaku yang disebabkan karena perubahan teknologi pada akhirnya akan merubah pula budayanya. Oleh karena itu, penggantian atau inovasi teknologi bertujuan bukan



 EKMA4565/MODUL 2



2.73



hanya untuk mengganti teknologi lama yang sudah usang yang tidak lagi cocok dengan kondisi sekarang tetapi juga sebagai bagian dari upaya untuk merubah budaya. 3) Perubahan budaya dengan memaparkan sisi negatif dari mitos yang selama ini berkembang di dalam organisasi. Ketika perusahaan sudah mulai mapan dan cenderung mencapai tahap kejenuhan, perusahaan sesungguhnya telah memiliki ideologi dan mitos yang menjadi pedoman dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Ideologi dan mitos seperti ini oleh Argyris and Schon (1994) disebut sebagai espoused theories. Ketika ideologi dan mitos tersebut begitu kuat, telah mendarah daging dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi, para anggota organisasi tidak lagi memperhatikan sisi negatif ideologi dan mitos tersebut. Dalam batas-batas tertentu, mitos tersebut terkadang sudah tidak layak lagi untuk menjadi pedoman dalam menjalankan kegiatan organisasi. Oleh karena perlu adanya perubahan mitos untuk menghilangkan atau meminimalisir sisi negatif dari mitos yang berkembang di dalam organisasi. Perubahan tersebut bisa dilakukan dengan mengembangkan asumsi atau mitos lain yang lebih relevan dalam menjalankan kegiatan organisasi yakni theories in use – praktik yang berjalan yang sengaja didesain untuk mengganti espoused theories. Meski kadang-kadang berjalan lambat, perubahan mitos ini diharapkan akan bisa merubah budaya organisasi berjalan. 4) Perubahan sedikit demi sedikit tetapi konsisten (incrementalism). Perubahan budaya, dalam batas-batas tertentu, akan memberikan hasil yang terbaik jika dilakukan sedikit demi sedikit tetapi konsisten. Cara perubahan seperti ini biasanya dilakukan dengan memanfaatkan semua kesempatan yang ada dalam upayanya untuk mempengaruhi semua pihak yang terlibat di dalam perusahaan sehingga pada akhirnya tujuan perusahaan bisa tercapai. Cara ini biasanya cukup efektif meski memerlukan waktu lama terutama untuk menghindari gejolak dibandingkan jika perubahannya dilakukan sekaligus (radikal). Dibandingkan dengan mekanisme perubahan pada tahap pertama yang lebih berorientasi ke dalam (dalam rangka melakukan integrasi internal), perubahan pada tahap kedua seperti tampak pada poin 5 sampai 8 lebih



2.74



Manajemen Perubahan 



berorientasi eksternal (dalam rangka melakukan adaptasi eksternal) karena tekanan pihak eksternal memang relatif sudah cukup tinggi. Untuk itu, karena organisasi biasanya telah memiliki perangkat organisasi yang memadai, maka perubahan budaya cenderung dilakukan secara sistematis dan tersturktur terutama agar gejolak di dalam organisasi tidak terlalu tinggi mengingat perubahan budaya biasanya diikuti oleh resistensi karyawan. Pada tahap ketiga organisasi mengalami penurunan kinerja yang sangat signifikan (declining stage). Pada tahap ini seperti dikatakan oleh Adizes (1999) penurunan organisasi, walaupun tidak harus selalu, biasanya diawali dengan krisis organisasi yang disebabkan karena perubahan internal atau eksternal organisasi. Pada situasi seperti ini, perubahan budaya organisasi biasanya dilakukan dengan cara berbeda yaitu perubahan secara struktural atau radikal. Pada situasi ini ada dua opsi yang mungkin berkembang, yaitu opsi transformasi dan destruksi. Dengan opsi transformasi berarti tidak semua komponen budaya di rubah, ada beberapa komponen dasar seperti asumsi dasar dan filosofi organisasi tetap dipertahankan. Sementara itu dengan opsi kedua, perubahan budaya dilakukan secara struktural, termasuk merubah filosofi dan orang-orang kunci organisasi. Perubahannya bisa dilakukan dengan coercive persuation (persuasi yang menggunakan ancaman), turnaround (penyehatan organisasi) dan melakukan reorganisasi atau destruksi budaya yang ada. Oleh Reger et al. (1994) perubahan semacam ini disebut dengan perubahan tektonik. Secara umum, mekanisme perubahan budaya pada tahap ketiga adalah sebagai berikut: 1) Perubahan yang bersifat persuasi dengan sedikit ancaman (coercive persuasion). Jika seseorang tidak lagi mempunyai pilihan untuk keluar dari situasi yang membelenggu dirinya maka orang tersebut akan dipaksa untuk membuka pikirannya agar bisa memotivasi diri untuk mencari informasi baru sehingga ia bisa mendefinisikan ulang kedudukan dirinya dan menentukan apa yang dilakukannya. Simpulan ini diperoleh dari hasil studi tentang cuci otak (brainwash) terhadap tawanan perang Korea yang dilakukan oleh Schein. Schein menjelaskan bahwa jika seseorang terus menerus dihadapkan pada situasi yang menyulitkan dirinya maka orang terus tidak akan bisa bertahan hidup. Namun jika pada saat yang sama setiap upaya yang bisa menghasilkan alternatif tindakan diberi penghargaan mereka



 EKMA4565/MODUL 2



2.75



secara psikologis akan merasa aman dan mau melakukan perubahan. Hasil penelitian ini dengan demikian menunjukkan bahwa menekan seseorang untuk berubah biasanya justru akan semakin meningkatkan resistensi jika pada saat yang bersamaan tidak diyakinkan bila situasi yang baru akan lebih baik. 2) Perubahan budaya melalui strategi penyehatan organisasi (turnaround). Untuk menyehatkan organisasi biasanya harus melibatkan semua anggota organisasi agar elemen-elemen budaya lama yang dysfunctional menjadi tampak jelas bagi setiap orang. Setelah semua jelas maka dimulailah proses definisi ulang organisasi dalam rangka untuk pengembangan asumsi dan budaya baru. Proses ini biasanya dimulai dengan memperkenalkan budaya baru dengan cara mengedukasi dan coahing para anggota organisasi, merubah struktur dan proses organisasi jika dianggap perlu, memberi perhatian dan penghargaan bagi mereka yang mau belajar terhadap budaya baru, menciptakan slogan, cerita-cerita, mitos dan ritual baru, di samping sedikit memberi tekanan dan ancaman kepada mereka yang tidak mau berubah. Semua mekanisme ini sangat penting dalam menyehatkan budaya organisasi. 3) Perubahan budaya melalui reorganisasi dan melahirkan kembali organisasi baru (reorganization and rebirth). Pada dasarnya cara perubahan budaya seperti ini dimulai dari pembubaran sebuah organisasi untuk kemudian membentuk organisasi baru. Pembubaran organisasi bisa dilakukan baik secara simbolik maupun secara riil. Menata ulang tujuan jangka panjang organisasi (goals) yang diikuti oleh penataan ulang visi dan misinya dan penggantian kepemimpinan merupakan bentuk pembubaran organisasi secara simbolik. Sedangkan pembubaran organisasi secara riil bisa berbentuk pengambilalihan organisasi (akuisisi), penggabungan dengan organisasi lain (merger) atau bahkan sekedar joint venture atau aliansi strategis. Pembubaran organisasi secara simbolik maupun riil pada akhirnya akan menyebabkan terbentuknya budaya baru. Bagi sebagian besar karyawan, cara ini dianggap sangat traumatik dan oleh karenanya harus digunakan secara hati-hati.



2.76



Manajemen Perubahan 



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Jadi, dalam konteks perubahan budaya organisasi, SHO (Jones, 1995; Pheysey, 1993; Adizes, 1999) biasanya menjadi dasar untuk melakukan perubahan budaya. Schein (1985: 272) misalnya membagi tahap pertumbuhan organisasi menjadi tiga bagian: (1) berdiri dan tahap awal pertumbuhan, (2) berkembang dan (3) penurunan. Sejalan dengan siklus tersebut, Schein menawarkan mekanisme perubahan budaya yang berbeda untuk setiap tahap pertumbuhan yang berbeda: lihat tabel berikut ini seperti tampak pada Tabel 2.8 berikut ini. Tabel 2.8. Tahap pertumbuhan organisasi, fungsi budaya dan mekanisme perubahannya TAHAP PERTUMBUHAN Lahir dan mulai tumbuh (peran para pendiri dan keluarganya sangat dominan)



Tahap suksesi



Tahap kemapanan organisasi



FUNGSI BUDAYA budaya sebagai identitas diri 5. budaya sebagai perekat di antara para anggota organisasi 6. budaya sebagai integrasi internal 7. budaya sebagai bentuk komitmen anggota 3. budaya menjadi ajang pertentangan antara yang pro dan kontra 4. para pengganti (suksesor) akan dinilai apakah dia mempertahankan atau mau mengganti budaya lama 4. mulai muncul subbudaya baru 5. mulai terjadi krisis identitas 6. muncul kesempatan untuk merubah budaya Opsi transformasi:



Tahap kejenuhan organisasi



4. perubahan budaya tidak bisa dihindarkan meski tidak semua elemen harus di rubah 5. beberapa elemen pokok tetap dipertahankan



5. 6. 7. 8.



MEKANISME PERUBAHAN evolusi secara natural terapi organisasi hybrid memasukkan orang luar



5. perubahan terencana 6. memasukan teknologi baru 7. perubahan dengan mengubah mitos 8. incrementalism 4. persuasi disertai sedikit paksaan 5. penyehatan budaya 6. reorganisasi, pelenyapan budaya lama dan



2.77



 EKMA4565/MODUL 2



TAHAP PERTUMBUHAN



FUNGSI BUDAYA 6. mengelola perubahan budaya



MEKANISME PERUBAHAN memunculkan budaya baru



Opsi destruksi 3. 4. 8. 9. Lahir dan mulai tumbuh (peran para pendiri dan keluarganya sangat dominan) Tahap suksesi



Tahap kemapanan organisasi



10. 11. 5. 6. 7. 8. 9.



perubahan paradigma perubahan budaya melalui penggantian orang-orang kunci budaya sebagai identitas diri budaya sebagai perekat di antara para anggota organisasi budaya sebagai integrasi internal budaya sebagai bentuk komitmen anggota budaya menjadi ajang pertentangan antara yang pro dan kontra para pengganti (suksesor) akan dinilai apakah dia mempertahankan atau mau mengganti budaya lama mulai muncul subbudaya baru mulai terjadi krisis identitas muncul kesempatan untuk merubah budaya



Opsi transformasi: 7.



Tahap kejenuhan organisasi



8. 9.



perubahan budaya tidak bisa dihindarkan meski tidak semua elemen harus di rubah beberapa elemen pokok tetap dipertahankan mengelola perubahan budaya



9.



evolusi secara natural 10. terapi organisasi 11. hybrid 12. memasukkan orang luar



9. perubahan terencana 10. memasukan teknologi baru 11. perubahan dengan mengubah mitos 12. incrementalism 7. persuasi disertai sedikit paksaan 8. penyehatan budaya 9. reorganisasi, pelenyapan budaya lama dan memunculkan budaya baru



Opsi destruksi 5. 6.



perubahan paradigma perubahan budaya melalui penggantian orang-orang kunci



1) Jelaskan model menurut Kurt Lewin tentang tiga model! 2) bagaimana konsep awalnya tenang ke ketiga model (Three-Stage Model) tersebut!



2.78



Manajemen Perubahan 



3) Bagaimana yang terencana jelaskan Pendekatan Perubahan Menurut Bullock & Baten! 4) Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan faktor penghambat perubahan. Agar terjadi perubahan maka perlu dilakukan upaya untuk memperkuat faktor pendorong perubahan atau memperlemah resistensi perubahan. Namun demikian Lewin membuat satu catatan penting berkaitan dengan prinsip perubahan tersebut “memperkuat faktor pendorong perubahan tanpa diikuti oleh memperlemah resistensi terhadap perubahan hanya menghasilkan sebuah ketegangan tanpa menghasilkan efek perubahan”. Berdasarkan prinsip yang sederhana ini Lewin membuat model tigatahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing (lihat Gambar 3.6). Restraining Forces



Desire State



REFREEZING



MOVEMENT



Status Quo



UNFREEZING Driving Forces



Time



Gambar 2.13. Model Perubahan Tiga Tahap



Tahap pertama proses perubahan adalah unfreezing. Pada tahap ini pola perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo)



 EKMA4565/MODUL 2



2.79



diguncang, sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap perubahan. Bergantung pada level perubahan yang diinginkan, unfreezing pada level individu misalnya dilakukan dengan mempromosikan atau sebaliknya memecat beberapa orang secara selektif; pada level struktural mendesain ulang struktur organisasi, misalnya dari functional menuju process based structure dan mengembangkan model pelatihan sebagai tindak lanjutnya; atau pada level organisasi menyediakan database sebagai umpan balik tentang iklim kerja atau iklim organisasi dan pandangan karyawan terhadap praktik manajemen. Pada level manapun proses unfreeze dilakukan, tujuan dari intervensi ini adalah untuk menyadarkan para anggota organisasi akan adanya kebutuhan untuk berubah, meningkatkan perhatian mereka terhadap pola perilaku yang selama ini menjadi pedoman bertindak dan membuat mereka lebih terbuka terhadap perubahan organisasi. Sederhananya, pada tahap ini proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang digunakan. Kadang-kadang upaya ini harus ditempuh dengan jalan konfrontasi langsung atau tidak langsung dengan karyawan dan dilanjutkan dengan mengadakan pelatihan ulang untuk merubah perilaku lama menuju perilaku yang diharapkan. Konsep perubahan organisasi muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an setelah subyek Pengembangan Organisasi (Organizational Development – OD) menjadi bidang kajian yang mandiri. Perhatian utama bidang kajian ini berkaitan dengan kata-kata kunci yang sekarang kita kenal: “planned – terencana”, “organization wide – pada dataran organisasi”, managed from the top – dikelola dari atas”, yang tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui mekanisme intervensi dengan memanfaatkan ilmu prilaku terapan sebagai landasannya. Namun dengan semakin kompleksnya lingkungan bisnis, masyarakat mulai menganggap bahwa OD sudah tidak relevan. Istilah OD lambat laun berganti menjadi perubahan organisasi meski konsep-konsep OD masih tetap digunakan pada konsep yang baru – perubahan organisasi



2.80



Manajemen Perubahan 



(lihat Marshak, 2005) (uraian tentang pengembangan organisasi atau OD secara detail akan dibahas pada bagian tersendiri pada Modul 4). Oleh karena itu istilah planned, organization wide dan managed from the top yang semula menjadi bagian tidak terpisahkan dari OD pada akhirnya juga diaplikasikan pada konsep perubahan organisasi. Dari sini maka muncullah istilah planned change atau managed change. Dalam perkembangannya, di samping istilah-istilah tersebut, kemudian muncul istilah baru sebagai lawan dari planned change yakni unplanned change (perubahan tidak terencana) atau emergent change (perubahan mendadak). Petunjuk Jawaban Latihan 1) Menurut Burke (2002), ada lima cara agar model organisasi bisa digunakan yaitu: a) Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih mudah dipahami. b) Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian. c) Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi seperti antara strategi dan struktur organisasi. d) Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik organisasi. e) Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil dalam situasi perubahan. 2) Lewin membuat model tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing. a) Pada tahap unfreezing pola perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang, sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap perubahan. Proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang digunakan. b) Pada tahap movement atau change, meliputi proses perubahan sesungguhnya di mana organisasi.



 EKMA4565/MODUL 2



2.81



c) akan bergerak dari kondisi sekarang ke kondisi yang diharapkan. d) Pada tahap refreezing dilakukan stabilisasi dan institusionalisasi perubahan dengan cara membangun sistem yang memungkinkan pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut memang dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang termasuk pada tahap ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen karyawan. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A). 3) Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah yaitu: a) Membangun suasana “perlu segera dilakukan perubahan”. b) Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan. c) Mengembangkan visi. d) Mengkomunikasikan visi. e) Memperdayakan staf. f) Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka pendek. g) Mengkosolidasikan keuntungan. h) Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi. Proses perubahan dimulai dari langkah pertama menciptakan sense of urgency yakni menciptakan suasana bahwa perubahan betul-betul mendesak untuk segera dilakukan jika menghendaki organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang, dan diakhiri dengan melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan sehari-hari organisasi sehingga tercipta budaya baru. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B). R A NG KU M AN 1.



Tidak ada satupun model perubahan yang paling benar, yang ada adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas organisasi. Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kecocokan



2.82



2.



3.



4.



Manajemen Perubahan 



model tersebut dengan situasi yang dihadapi organisasi dan aspekaspek organisasi yang perlu diulang. Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan faktor penghambat perubahan. Model manajemen perubahan dimaksudkan untuk menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat desain perubahan, sedangkan pendekatan manajemen perubahan dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan. Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah yaitu: a. Membangun suasana “perlu segera dilakukan perubahan”. b. Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan. c. Mengembangkan visi. d. Mengkomunikasikan visi. e. Memperdayakan staf. f. Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka pendek. g. Mengkosolidasikan keuntungan. h. Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi. TES F OR M AT I F 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!



1) Untuk mengetahui tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi terlebih dahulu bahwa tidak setiap tekanan eksternal direspons para manajer dan dilakukan perubahan., jika manajer bertindak lebih jauh bagaimana untuk dapat memahami karakteristik dari setiap perubahan organisasi sehingga tidak terbawa arus perubahan yang menyulitkan dikendalikan .... A. para manajer Kurang pengetahuan B. Harus berubah C. Manajer terjebak perbuahan D. Tipologi bentuk



 EKMA4565/MODUL 2



2.83



2) Terdapat banyak macam mekanisme perubahan yang digunakan dalam mengubah organisasi yaitu: A. Perubahan evolutif yang bersifat natural B. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi C. Perubahan evolutif dengan hybrids D. Perubahan secara revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisasi 3) Tujuan memasukkan orang luar di antaranya agar perusahaan bisa lebih profesional karena orang luar tersebut biasanya memiliki pengetahuan dan bisa memperkenalkan teknik-teknik manajemen baru yang tidak dimiliki dan diketahui oleh para pendiri perusahaan atau keluarganya. dianggap sebagai perubahan .... A. revolusioner B. budaya C. karena perusahaan keluarga D. intervensi oleh orang luar 4) Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi. perubahan bersumber dari perubahan kekuatan organisasi, termasuk di dalamnya .... A. struktur dan sistem, serta individu. B. Penjelasan tidak langsung C. Menegaskan tiga level yang D. Dua level 5) Konsep model perubahan yang dikembangkan Kurt Lewin kemudian dikenal dengan model tiga (3) tahap yaitu: – unfreeze-change-dan refreeze, belakangan juga dikembangkan oleh teoritis lainnya. Berdasarkan hasil telaah terhadap 30-an model perubahan terencana, Bullock & Baten (1985) mengembangkan model perubahan terencana yang terintegrasi terdiri dari .... A. 3 fase B. 4 fase C. 5 fase D. Multi fase



2.84



Manajemen Perubahan 



6) Ragam tipologi perubahan ini,ditunjukkan bahwa ada kesamaan tipologi, dan perbedaan dari cara mengungkapkan jenis perubahan organisasi. Terlepas dari itu semua, pada intinya keragaman tipologi merupakan perubahan yang bersifat saling melengkapi .... A. Untuk aplikasinya, kita dapat B. memilih pendapat yang sesuai C. Utamakan kondisi lingkungan D. Kombinasi banyaknya pendapat yang berbeda 7) Dalam banyak kasus pola pertumbuhan mengikuti pola pertumbuhan berbentuk kurva yang menyerupai huruf “S” yang disebut “S curve” seperti tampak. Dalam bidang studi organisasi, pola pertumbuhan organisasi seperti ini disebut sebagai siklus hidup organisasi (organizational life cycle) yang untuk selanjutnya disingkat “SHO”. Memiliki ciri/organisasi bersifat .... A. siklikal B. siklus organisasi C. formal D. kurva siklus 8) Tipologi Perubahan Organisasi terdapat tiga jenis perubahan organisasi seperti disebutkan sebelumnya, dapat dikelompokkan menjadi smooth incremental change, bumpy incremental change dan discontinuous change. et al. (1994). A. Grundy (1993). B. Hicks oleh Adizes C. Bullock & Baten Baten D. Buuthock Reger 9) Pembubaran organisasi bisa dilakukan baik secara simbolik maupun secara riil. Menata ulang tujuan jangka panjang organisasi oleh penataan ulang visi dan misinya .... A. goals yang diikuti B. berbagai pendapat C. berbeda 10) Penggantian kepemimpinan merupakan bentuk pembubaran organisasi secara simbolik, bisa berbentuk pengambilalihan organisasi penggabungan dengan organisasi lain atau bahkan sekedar joint venture atau aliansi strategis .... A. pembubaran organisasi B. secara riil



2.85



 EKMA4565/MODUL 2



C. akuisitor D. merger Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



2.86



Manajemen Perubahan 



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) C. 2) A. 3) A. 4) B. 5) D.



Tes Formatif 2 1) A. 2) C. 3) D. 4) A. 5) D. 6) C. 7) D. 8) D. 9) D. 10) A.



 EKMA4565/MODUL 2



2.87



Daftar Pustaka Adizes, I. (1999). Managing corporate lifecycles. Paramus, NJ: Prentice Hall. Andriuŝčenka, J. (2007). Theories E and O of Organizational Changes: Assessment of Synergy, Management Horizons: Visions & Challenges, September, pp. 7-21. Becker, M.C., Lazaric, N., Nelson R. R. & Winter, S. G. (2005). Applying Organizational Routines in Understanding Organizational Change, Industrial and Corporate Change, Volume 14, Number 5, pp. 775–791. Beer, M. & Nohria, N. (2000). Cracking the Code of Change, Harvard Business Review, May-June, pp. 133-141. Beer, M, & Nohria, N. (ed.) Breaking the Code of Change, Boston: Harvard Business School Press. Bruch, H. & Ghoshal, S. (2003). Unleashing Organizational Energy, Sloan Management Review, Fall, pp. 45-51. Burnes, B. (2004). Managing Change, 4th edition, Essex, England: Peason Education Limited. Choueke, R. & Amstrong, R. (2000). Culture: a missing perspective on small and medium sized enterprise development?, International Journal of Enterpreneurial Behavior and Research, 6/4, pp. 227 – 238. Feldman, M. S. (2000). „Organisational routines as a source of continuous change,‟ Organization Science, 11, 611–629. Feldman, M. S. (2003), „A performative perspective on stability and change in organizational routines,‟ Industrial and Corporate Change, 12, 727– 752.



2.88



Manajemen Perubahan 



Feldman, M. S. and B. T. Pentland (2003), „Reconceptualizing organizational routines as a source of flexibility and change,‟ Administrative Science Quarterly, 48, 94–118. Ghosal, S. & Barlett, C.A. (2000). Rebuilding Behavioral Context: A Blueprint for Corporate Renewal. In Beer, M, & Nohria, N. (ed.) Breaking the Code of Change, pp. 195-222, Boston: Harvard Business School Press. Gupta, Y. & Chin, D. (1994). Organizational life cycle: A review and proposed direction for research, The Mid-Atlantic journal of business, halaman 269 – 294. Hofstede, G. (1980). Cultural consequences: International difference in work related values, Beverly Hill, CA: Sage Publication. Jaffee, D. (2001). Organization Theory, Yew York: McGraw-Hill International Edition. Keidel, R.W. (1984). Baseball, Football and Basketball: Models for business, Organizational dynamics, pp. 5-17. Kerin, R.A., Mahajan, V. & Varadarajan, P.R. (1990). Contemporary Perspective on Strategic Market Planning, Nedham Height, MA: Allyn and Beacon. Kotter, J. P. (1997). Matsushita Leadership: Lessons from the 20 th Century’s Most Remarkable Entreprenuer, New York: The Free Press. Lam, A. (200). Tacit Knowledge, Organizational Learning and Societal Institutions: An Intregrated Framework, Organization Studies, 21/3, pp 487- 513. Leana, C.R. & Barry, B. (2000). Stability and Change as Simultaneous Experiences in Organization Life, Academy of Management Review, 25, 4, pp. 752-759.



 EKMA4565/MODUL 2



2.89



Lee, R. & Laurence, P. (1991). Politics at work, London: Stanley Torne. Lester, D., Parnell, J. & Carraher, S. (2003). Organizational life cycle: A five-stage empirical scale, International journal of organizational analysis, halaman 339 – 354. Markus, M.L. & Benjamin, R.I. (1997). The Magic Bullet Theory in ITEnabled Transformation, Sloan Management Review, 38 (2), pp. 55-68. Danny Miller, D. & Freisen, P. (1984). A longitudinal study of the corporate life cycle, Management science, 30/10, halaman 1161 – 1183. Morgan, G. (1997). Images of Organization, London, SAGE Publication. Palmer, I., Dunford, R., & Akin, A. (2006). Managing Organizational Change: A Multiple Perspective Approach, McGraw-Hill International Edition. Pettigrew, A.M. (1987). Context and Action in the Transformation of the Firm, Journal of Management Studies, 24 (6), pp. 649-670. Pettigrew, A.M. (1997). What is a Processual Analysis? Scandinavian Journal of Management, 13 (10), pp. 337-348. Quinn, R. & Cameron, K. (1983). Organizational life cycles and shifting criteria for effectiveness: Some preliminary evidence, Management science, 29/1, halaman 33 – 51. Reger, R.K; J.V. Mullane; L.T. Gustafson and S.M. DeMarie. (1994). Creating earthquake to change organizational mindsets: Executive summary, The academy of management executive, pp.31-45. Reichers and Schneider. (1990). Climate and culture: An evolution of construct, in B. Schneider (ed) Organizational Climate and Culture, Jossey Bass Publishers.



2.90



Manajemen Perubahan 



Schein, E.H. (1985). Organizational Culture and Leadership, San Francisco: Jossey-Bass Publisher. Smircich, L. & Stubbart, C. (1985). Strategic Management in an Enacted World, Academy of Management Review, pp. 724 – 736. Smith, K., Mitchell, T. & Summer, C. (1985). Top management priorities in different stages of the organizational life cycles, Academy of Management Journal, 28, halaman 799 – 820. Sobirin, A. & Himam, F. (2010). Rightsizing untuk Keberlangsungan Hidup Organisasi, Paper disampiakan pada seminar nasionalIlmu Manajemen, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 4-5 Februari 2010.



Modul 3



Manajemen Perubahan: Konsep dan Implementasi Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N



S



audara mahasiswa, pada modul ini kita akan melihat gambaran mengenai proses manajemen perubahan pada perusahaan otomotif Nissan. Tahun 2007 Nissan Grand Livina dinobatkan sebagai Car of The Year. Keberhasilan ini seolah mengulang kesuksesan Nissan X-Trail yang pada tahun 2005 juga dinyatakan sebagai No. 1 SUV in Indonesia. Kedua produk ini, dan sejumlah varian Nissan lainnya lantas melambungkan kembali nama Nissan dalam pasar otomotif di Indonesia dan dunia meski 10 tahun sebelumnya Nissan hampir saja bangkrut. Keberhasilan ini tidak lepas dari manajemen perubahan – tepatnya strategi penyehatan perusahaan (turn around strategy) yang dijalankan Nissan. Pada tahun 1999 Nissan, salah satu raksasa perusahaan mobil Jepang berada pada titik nadir setelah sebelumnya perusahaan terus mengalami kerugian yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 saat hutang yang ditanggung Nissan mencapai Rp200 trilyun. Beruntung, saat Nissan menghadapi situasi krisis muncul sang dewa penyelamat dari Perancis ...Renault. Perusahaan mobil Renault setuju untuk membeli 37% saham Nissan dan menggelontorkan dana segar untuk menyelamatkan Nissan dengan satu kesepakatan kendali perusahaan berada di tangan Renault. Berdasarkan kesepakatan tersebut Renault lalu mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka di Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar Jepang). Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini tegas: segera angkat koper ke Jepang, selamatkan Nissan dan jangan pernah kembali ke Paris sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun 1999, Carlos



3.2



Manajemen Perubahan 



Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah mission almost impossible. Sejak saat itu, Ghosn melakukan serangkaian langkah kunci untuk merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama ia lakukan adalah building sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat ini memang cuma dua: berubah atau mati. Dan fakta serta data yang ada memang mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya bahwa kondisi Nissan sudah berada pada titik nadir, and they have to change to survive. Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai Nissan Recovery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail dan jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk mentransformasi Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi kunci. Yang pertama adalah segera melakukan revitalisasi produk-produk baru Nissan. Proses pengembangan produk baru harus dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Di sini Nissan merekrut salah satu desainer mobil top Jepang, Shiro Nakamura untuk menjadi Chief Design Nissan, dan keputusan ini ternyata kelak terbukti amat vital untuk merevitalisasi lini produk Nissan. Strategi yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran. Termasuk di dalamnya adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar lebih efisien, sena juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non value-added. Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membentuk Tim Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat diEKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata kunci di sini. Dan beruntung, Ghosn ternyata bukan tipikal pemimpin yang hanya bicara visi tanpa tindakan apa, Ghosn adalah tipikal eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result oriented) dan berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses eksekusi. Sikap semacam ini tak pelak merupakan elemen penting untuk memastikan agar semua recovery plan itu tak hanya tinggal rencana — namun benar-benar diimplementasikan sesuai sasaran. Serangkaian langkah kunci di atas ternyata benar-benar membawa keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan, dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini. Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, Ghosn akhirnya bisa



 EKMA4565/MODUL 3



3.3



menuntaskan misi yang diembannya. "From Zero to Hero", begitu mungkin judul yang pas untuk menarasikan drama penyelamatan Nissan. Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail sampai kini masih terus melenggang di jalanan; dan semua itu tidak lepas dari kisah sukses revolusi manajemen di Nissan: itulah sederet kisah tentang heroisme, tentang spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo Nissan. Bravo Carlos Ghosn. Cuplikan di atas merupakan gambaran singkat tentang proses manajemen perubahan yang dilakukan Carlos Ghosn saat menyehatkan perusahaan otomotif Nissan. Sebagaimana kita ketahui penyehatan perusahaan adalah sebuah strategi yang diterapkan perusahaan untuk mengembalikan perusahaan yang kinerjanya memburuk ke situasi yang menguntungkan. Strategi ini biasa dikenal sebagai strategi penyehatan perusahaan atau turn around strategy (lihat Suwarsono, 2007). Dalam bahasa perubahan organisasi, penyehatan perusahaan seperti yang dilakukan Carlos Ghosn tidak lain adalah sebuah proses perubahan yang dilakukan pihak manajemen. Hanya saja dalam kasus Nissan proses perubahannya bersifat revolusioner atau transformatif dan dilakukan setelah perusahaan mengalami krisis. Tentunya tidak semua perubahan dilakukan setelah organisasi atau perusahaan mengalami krisis, meski dalam banyak kasus kondisi krisis merupakan pemicu utama mengapa pihak manajemen menganggap perlu untuk melakukan perubahan. Greiner (1972, 1988) mengatakan bahwa manajemen harus melakukan perubahan tanpa harus menunggu krisis jika menghendaki perusahaan yang dikelolanya terus tumbuh dari satu tahap ke tahap berikutnya. Perubahan seperti ini sangat diperlukan karena setiap pertumbuhan perusahaan akan menghadapi lingkungan berbeda. Atau dengan kata lain pola manajemen lama boleh jadi sudah tidak cocok lagi dengan lingkungan yang baru. Oleh karenanya perusahaan suka atau tidak harus berubah agar bisa beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang baru. Tanpa melihat apakah perubahan didahului oleh krisis atau tidak yang pasti setiap perubahan harus dikelola dengan baik agar tujuan perubahan bisa tercapai. Pasalnya seperti telah diuraikan pada Modul 1 banyak perubahan organisasi yang gagal mencapai tujuan. Sangat mungkin kegagalan tersebut karena pihak manajer salah melakukan diagnosis terhadap kebutuhan perubahan, melakukan pendekatan yang salah atau karyawan tidak siap



3.4



Manajemen Perubahan 



melakukan perubahan sehingga mereka cenderung resisten terhadap perubahan. Untuk menghindari atau paling tidak meminimalisir tingkat kegagalan dalam perubahan maka pada Modul 3 akan dibahas berbagai aspek dalam manajemen perubahan. Bahasan akan di bagi menjadi dua yakni Kegiatan Belajar 1 yang membahas konsep manajemen perubahan dan Kegiatan Belajar 2 yang membahas model dan implementasi perubahan organisasi. Secara umum setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan mengenai berbagai konsep manajemen perubahan serta model dan implementasi perubahan organisasi. Secara khusus setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu menjelaskan: 1. definisi operasional manajemen perubahan; 2. fase pertumbuhan organisasi; 3. teori proses perubahan; 4. kapasitas perubahan organisasi; 5. perbedaan antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan; 6. theory E dan theory O; 7. persepsi karyawan terhadap proses perubahan; 8. resistensi terhadap perubahan; 9. model manajemen perubahan; 10. pendekatan manajemen perubahan.



3.5



 EKMA4565/MODUL 3



Kegiatan Belajar 1



Konsep Manajemen Perubahan A. PENGERTIAN MANAJEMEN PERUBAHAN Saudara mahasiswa, dari penelusuran terhadap berbagai literatur dan sumber-sumber lainnya yang terkait dengan konteks perubahan organisasi diperoleh fakta bahwa manajemen perubahan merupakan istilah yang komprehensif yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam perubahan baik yang terjadi pada dataran individu, organisasi dan lingkungan masyarakat. Sebagai contoh, istilah manajemen perubahan digunakan untuk menjelaskan: 1. tugas yang berhubungan dengan pengelolaan perubahan; 2. area praktik yang bersifat profesional dalam konteks perubahan; 3. pengetahuan tentang perubahan yang terdiri atas: model, metode, teknik dan peralatan lainnya yang dibutuhkan; 4. mekanisme kontrol yang terdiri atas prasyarat, standar, proses dan prosedur dalam melakukan perubahan. Walhasil akibat dari keberagaman dalam penggunaan istilah perubahan itulah maka sangat tidak mengherankan jika istilah manajemen perubahan juga didefinisikan secara beragam. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perubahan cenderung mendefinisikan manajemen perubahan sesuai sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Untuk menunjukkan keberagaman tersebut, berikut disajikan sebagian dari beberapa definisi manajemen perubahan yang ditemukan pada berbagai sumber. The sistematic approach and application of knowledge, tools and resources to deal with change. Change management means defining and adopting corporate strategies, structures, procedures and technologies to deal with changes in external conditions and the business environment.



(Pendekatan sistematik dan penerapan pengetahuan, alat-alat bantu, dan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perubahan. Manajemen perubahan bisa diartikan sebagai pendefinisian dan penerapan strategi perusahaan, struktur, prosedur dan teknologi yang digunakan untuk



3.6



Manajemen Perubahan 



melakukan perubahan baik yang terjadi di lingkungan eksternal maupun di lingkungan bisnis) (SHRM Glossary of Human Resources Terms, www.shrm.org). Change management is the process, tools and techniques to manage the people-side of business change to achieve the required business outcomes, and to realize that business change effectively within the sosial infrastructure of the workplace.



(Manajemen perubahan adalah sebuah proses, alat-alat bantu dan teknik untuk mengelola sisi manusia dari perubahan bisnis dalam rangka untuk mencapai hasil yang diharapkan dan untuk merealisasikan efektivitas perubahan bisnis dalam lingkup infrastruktur sosial lingkungan kerja) (Change Management Learning Center). Change Management: activities involved in (1) defining and instilling new values, attitudes, norms, and behaviors within an organization that support new ways of doing work and overcome resistance to change; (2) building konsensus among customers and stakeholders on specific changes designed to better meet their needs; and (3) planning, testing, and implementing all aspects of the transition from one organizational structure or business process to another.



(Manajemen perubahan: aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan (1) pendefinisian dan penanaman nilai-nilai, sikap, norma, dan perilaku baru di dalam kehidupan organisasi yang mendukung cara baru dalam melakukan pekerjaan dan mengatasi resistensi perubahan; (2) membangun konsensus antara konsumen dan pemangku kepentingan untuk perubahan spesifik yang sengaja di desain untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak lebih baik; dan (3) perencanaan, pengujian dan implementasi semua aspek yang terkait dengan transisi organisasi dari satu struktur organisasi atau proses bisnis ke struktur atau proses bisnis lainnya. (http://www.gao.gov/special.pubs/bprag/bprgloss.htm). ...a sistematic approach to dealing with change, both from the perspective of an organization and on the individual level...proactively addressing adapting to change, controlling change, and effecting change.



 EKMA4565/MODUL 3



3.7



(…. Sebuah pendekatan sistematik yang berkaitan dengan perubahan, baik dilihat dari perspektif organisasi atau individu….yang secara proaktif berupaya untuk beradaptasi dengan perubahan, mengendalikan perubahan dan menghasilkan efek perubahan) (Case Western Reserve University). Change management is a sistematic approach to dealing with change, both from the perspective of an organization and on the individual level.



(Manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan sistematik yang berkaitan dengan perubahan, baik dilihat dari perspektif organisasi maupun individu) (searchsmb.com). Change management within an organization is the process of aligning the organization's people and culture with changes in its strategy, structure and sistems (Cook, 1995).



Manajemen perubahan dalam sebuah organisasi adalah memadukan manusia dan budaya organisasi dengan perubahan yang terjadi pada strategi, struktur dan sistem organisasi (Cook, 1995). Change management is the process of continually renewing an organization’s direction, structure and capabilities to serve the everchanging needs of external and internal customers (Moran & Brightman, 2001).



Manajemen perubahan adalah sebuah proses pembaharuan berkelanjutan terhadap arah, struktur dan kapabilitas organisasi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah baik pelanggan eksternal maupun internal (Moran & Brightman, 2001). Keberagaman definisi manajemen perubahan seperti tersebut di atas, sekali lagi menunjukkan luasnya cakupan konteks perubahan. Perubahan bisa terjadi pada level individu, tim, kelompok, organisasi maupun lingkungan masyarakat. Demikian juga perubahan bisa terjadi pada level proses aktivitas. Oleh karena itu agar tidak terjebak dalam belantara perubahan maka perlu ada definisi yang spesifik yang sesuai dengan kebutuhan meski definisi ini boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan pada konteks perubahan yang lain. Dalam hal ini manajemen perubahan didefinisikan sebagai berikut.



3.8



Manajemen Perubahan 



Manajemen perubahan (Change Management) pada dasarnya merupakan sebuah proses formal dalam perubahan organisasi yang dilakukan melalui pendekatan yang sistematis dalam sebuah aplikasi pada pengetahuan, peralatan, dan sumber daya lainnya. Selain itu, manajemen perubahan juga berarti mendefinisikan dan mengadopsi strategi-strategi organisasi, struktur, prosedur dan teknologi untuk menghadapi perubahan yang terjadi, baik yang terjadi di dalam organisasi maupun di luar organisasi. Definisi di atas menyiratkan beberapa hal yang perlu dielaborasi lebih lanjut yakni (1) manajemen perubahan merupakan proses yang bersifat formal, (2) manajemen perubahan menggunakan pendekatan sistematis, (3) manajemen perubahan berbasis pada pengetahuan ilmiah, dan (4) manajemen perubahan mensyaratkan adanya kemampuan untuk berubah. B. MANAJEMEN PERUBAHAN MERUPAKAN PROSES FORMAL Perubahan organisasi sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapa saja baik oleh karyawan maupun manajemen dan pihak luar (konsultan). Dalam pengertian ini perubahan dikatakan formal jika perubahan tersebut sengaja diinisiasi, didorong dan dilakukan oleh otoritas pengelola organisasi karena adanya keharusan untuk melakukan perubahan dan berharap memperoleh hasil perubahan sesuai dengan rencana awal (intended outcome) meski tidak jarang hasil perubahan bersifat parsial (partially intended) atau bahkan tidak seperti yang diharapkan (unintended) (Palmer, Dunford & Akin, 2006). Karena bersifat formal maka perubahan menjadi bagian integral dari kebijakan manajemen. Boleh jadi otoritas pengelola organisasi memandang perlu untuk melakukan perubahan bukan semata-mata karena kinerja organisasi memburuk, meski dalam banyak kasus situasi seperti ini yang paling banyak dijumpai, tetapi karena organisasi sedang mengalami pertumbuhan. Greiner (1972, 1998) mengatakan bahwa pertumbuhan sebuah organisasi dapat di bagi menjadi lima fase yakni tumbuh karena kreativitas (fase 1), tumbuh karena arahan (fase 2), tumbuh karena delegasi (fase 3), tumbuh karena koordinasi (fase 4) dan tumbuh karena kolaborasi (fase 5) selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 3.1. Satu catatan yang diberikan Greiner berkaitan dengan kelima fase pertumbuhan ini adalah setiap fase memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik fase lainnya (lihat Gambar 3.2). Penjelasan ini secara tidak langsung mengatakan



 EKMA4565/MODUL 3



3.9



bahwa agar sebuah organisasi/perusahaan bisa terus tumbuh dari satu fase ke fase berikutnya tidak bisa dihindarkan perusahaan harus berubah.



Gambar 3.1. Fase Pertumbuhan Organisasi



3.10



Manajemen Perubahan 



Gambar 3.2. Karakteristik Masing-masing Fase dalam Pertumbuhan



C. PENDEKATAN SISTEMATIS DALAM MANAJEMEN PERUBAHAN Pihak manajemen yang berkepentingan terhadap perubahan organisasi tentu saja tidak melakukan perubahan dengan cara asal-asalan melainkan melalui sebuah proses yang sistematik (lihat Gambar 3.3).



3.11



 EKMA4565/MODUL 3



Gambar 3.3. Perubahan Sistemik



Okland & Tanner (2007) mengembangkan kerangka perubahan organisasi sistemik, seperti tampak pada Gambar 3.3 yang terdiri atas dua konstruk utama yakni dua siklus perubahan yang saling berinteraksi – kesiapan berubah (readiness for change) dan implementasi perubahan. Secara keseluruhan kedua konstruk ini terdiri dari delapan komponen perubahan yaitu (1) dorongan untuk berubah, (2) kebutuhan untuk berubah, (3) kepemimpinan dan arahan, (4) perencanaan detail perubahan, (5) proses perubahan, (6) organisasi dan sumber daya untuk berubah, (7) sistem dan kontrol, dan (8) perubahan perilaku. Pada Gambar 3.3, perubahan dimulai dari situasi yang mendorong terjadinya perubahan yakni driver of change baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun internal. Dorongan perubahan inilah yang memunculkan adanya kebutuhan untuk berubah. Tanpa adanya kebutuhan untuk berubah (sense of urgency) sulit rasanya untuk menciptakan antusiasme, energi dan iklim perubahan (climate for change) sehingga kalau pihak manajemen mengajukan visi baru, program baru dan memberikan arahan baru, semuanya akan hilang percuma tanpa bekas karena memang organisasi dan karyawan yang bekerja di dalamnya tidak siap untuk berubah



3.12



Manajemen Perubahan 



atau tidak merasa perlu untuk berubah. Sebaliknya perencanaan dan implementasi perubahan baru bisa berjalan jika semua persyaratan tersebut terpenuhi. Siklus kedua adalah implementasi perubahan. Tahap ini merupakan proses perubahan sesungguhnya. Seperti kita ketahui bersama kemungkinan tingkat kegagalan dalam implementasi perubahan sangat tinggi jika proses tersebut tidak dicermati secara hati-hati dan tidak direncanakan dengan baik. Oleh karenanya implementasi perubahan menjadi titik krusial dalam perubahan yang sistemik. Pada intinya proses perubahan akan berakhir dan perubahan organisasi dianggap berhasil jika karyawan dan semua anggota organisasi sudah melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku inilah yang menentukan apakah perubahan organisasi berhasil dilakukan atau tidak. Dengan pendekatan yang sedikit berbeda tetapi esensinya kurang lebih sama, Jeff Dooley (1998) mengembangkan perubahan sistematik seperti tampak pada Gambar 3.4. Menurut Dooley perubahan organisasi dimulai dari persoalan-persoalan yang dihadapi organisasi yang menjadi pemicu perlunya perubahan organisasi. Persoalan ini, setelah didiskusikan bersama menjadi penentu perlu tidaknya menelaah ulang visi dan misi organisasi. Selanjutnya dilakukan asesmen secara integratif terhadap 3 aspek dasar organisasi yakni (1) budaya organisasi berjalan, (2) struktur dan aransemen organisasi secara keseluruhan dan (3) aspek manusia khususnya yang berkaitan dengan skill baik secara individu maupun kelompok untuk melakukan perubahan. Hasil dari asesmen adalah pihak manajemen bisa mengambil keputusan apa yang harus dilakukan, mengambil tindakan dan mengevaluasi hasil tindakan yang terkait dengan perubahan organisasi.



 EKMA4565/MODUL 3



Gambar 3.4. Perubahan Sistemik menurut Dooley



3.13



3.14



Manajemen Perubahan 



Kedua uraian di atas hanyalah contoh yang merepresentasikan berbagai pola perubahan sistem yang secara lengkap akan diuraikan lebih detail pada bagian-bagian yang lain pada modul ini. D. PROSES PERUBAHAN BERBASIS PENGETAHUAN Praktek-praktek perubahan organisasi baik yang dijalankan oleh pihak manajemen maupun yang pelaksanaannya dibantu para konsultan pada akhirnya dikodifikasi dan disintesakan oleh para akademisi dan teoritisi perubahan untuk dibuat generalisasi dan teori tentang perubahan. Selanjutnya teori-teori tersebut digunakan kembali oleh para praktisi sebagai pedoman untuk melakukan perubahan organisasi. Penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa manajemen perubahan merupakan sebuah praktik berbasis ilmu pengetahuan bukan sekedar berdasarkan pengalaman praktis masa lalu. Manajemen perubahan bahkan merupakan disiplin terpisah (body of knowledge) yang berbeda dari disiplin lain, termasuk berbeda dari disiplin pengembangan organisasi (diuraikan tersendiri), yang memiliki teori, model, metode, teknik dan cara-cara ilmiah lainnya. Sebagai contoh, Van de Ven & Poole (1995) menemukan tidak kurang dari 20 teori proses perubahan yang berbeda baik dalam hal substansi maupun terminologi yang digunakan. Van de Ven & Poole kemudian mengelompokkan teori-teori tersebut ke dalam 4 kelompok Teori Proses Perubahan seperti tampak pada Gambar 3.5. 1.



Life Cycle Theory Proses perubahan menurut teori ini terjadi secara berurutan sesuai dengan peristiwa yang terjadi di organisasi mulai dari tahap pertama saat organisasi lahir (start-up), tahap kedua saat organisasi bertumbuh (grow), tahap ketiga saat organisasi memanen hasil (harvest) dan tahap keempat saat organisasi berhenti beroperasi (terminate). Pada tahap keempat ini sangat mungkin siklus berlanjut yakni memulai tahapan baru. 2.



Teleological theory Runtutan perubahan menurut teori ini adalah berawal dari penentuan visi yang menggambarkan masa depan organisasi yang ingin dituju dan penetapan tujuan. Proses berlanjut dengan implementasi untuk mencapai tujuan, munculnya ketidakpuasan mungkin karena tujuan tidak tercapai dan mencari solusi dan kembali ke proses awal yakni penetapan tujuan baru.



3.15



 EKMA4565/MODUL 3



3.



Dialectical theory Sesuai dengan namanya, teori ini bersifat dialektik yang bersifat konfrontatif antara tesis dan antitesis sehingga menimbulkan konflik. Menurut teori ini konflik menjadi bagian penting dalam proses perubahan karena dari konflik inilah akan menghasilkan sintesis sebagai dasar untuk penyelesaian masalah. 4.



Evolutionary theory Perubahan menurut teori ini bersifat evolutif yang melibatkan beberapa entitas dalam organisasi dimulai dari adanya variasi kejadian di dalam organisasi sehingga memunculkan berbagai macam pilihan (seleksi). Proses berikutnya adalah menentukan dan mempertahankan pilihan sebagai dasar untuk mengatasi masalah. Proses perubahan kemudian kembali pada tahap awal yang memunculkan berbagai macam variasi pilihan.



Gambar 3.5. Teori Proses Perubahan



3.16



Manajemen Perubahan 



Keempat teori proses perubahan di atas dikelompokkan berdasarkan dua dimensi sebagai kriteria pembeda yaitu (1) unit yang diubah – apakah proses perubahan difokuskan pada entitas tunggal (life cycle dan teleology) atau interaksi antara dua atau lebih entitas (dialectic dan evolutionary), dan (2) modus perubahan yang menggambarkan apakah perubahan tersebut bersifat preskriptif sesuai aturan yang ada dan menghasilkan first order change (life cycle dan evolutionary) atau perubahannya bersifat emergent (mendadak), dikonstruksi dan menghasilkan second order change (dialectic dan teleology). Keempat kelompok teori perubahan yang dikemukakan Van de Ven & Poole hanyalah sebagian kecil dari teori-teori perubahan yang ada. Sekaligus teori-teori ini juga menunjukkan bahwa manajemen perubahan bukan sebuah praktik yang hanya didasarkan pada pengalaman praktis para manajer. Sebaliknya, berbagai macam teori bisa ditemukan pada literatur manajemen perubahan yang bisa dijadikan pedoman bagi para manajer dalam menjalankan praktik perubahan. E. KAPASITAS UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN Komponen keempat dari definisi manajemen perubahan menunjukkan bahwa perubahan organisasi bisa dilakukan jika organisasi memiliki energi dan kapasitas untuk itu. Buono & Kerber (2008) mendefinisikan kapasitas perubahan sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk melakukan perubahan dalam merespon dan mengantisipsi pergeseran lingkungan eksternal. Kemampuan yang dimaksud dalam definisi ini bukan sekedar kemampuan sesaat (hanya sekali saja mampu melakukan perubahan) tetapi merupakan kemampuan yang berulang dalam melakukan perubahan organisasi. Kapan saja organisasi menganggap perlu untuk berubah, organisasi mampu untuk melakukannya. Artinya perubahan dianggap sebagai kejadian yang bersifat normal bagi organisasi. Kapasitas perubahan memiliki beberapa dimensi yang saling terkait baik pada level makro, meso dan mikro. Tabel 3.1 memberi gambaran tentang dimensi kapasitas perubahan pada masing-masing level.



3.17



 EKMA4565/MODUL 3



Tabel 3.1. Kapasitas Perubahan Organisasi Level Makro



Level Meso



Level Mikro



Budaya yang memfasilitasi perubahan



Infrastruktur yang mendukung perubahan



Akseptansi terhadap perbedaan pendekatan perubahan



1. Memberi tekanan pada pembelajaran dan berbagi informasi 2. Mendorong untuk bertanya dan berbicara apa adanya 3. Menekankan dan menghargai pandangan/pendapat alternatif 4. Memberi dukungan kepada mereka yang berani ambil risiko dan menemukan ide-ide inovatif 5. Toleran terhadap kesalahan dalam proses pembelajaran



Strategi



1. Mengadakan pertemuan secara berulang yang difokuskan pada identifikasi dan asesmen terhadap kesempatan baru pada semua fungsi organisasi 2. Melakukan eksperimen berbiaya murah dengan ide-ide baru 3. Memberi pengakuan dan penghargaan kepada mereka yang mendukung, memimpin dan berbagi pengalaman tentang perubahan 4. Ciptakan struktur yang fleksibel yang memungkinkan dibentuknya kelompokkelompok baru 5. Menciptakan sistem agar bisa berbagi pengetahuan, informasi dan pengalaman lintas bidang. 6. Berikan pelatihan dan pendidikan yang bersifat responsif dan proaktif Kecukupan sumber daya



1. Terapkan kerangka umum dan menyeluruh terhadap pemikiran dan komunikasi tentang perubahan 2. Kembangkan secara luas pengetahuan tentang perbedaan pendekatan perubahan dan kapan masingmasing pendekatan perlu diterapkan secara benar 3. Kembangkan pemahaman mendalam tentang perubahan di dalam organisasi 4. Berikan pelatihan perubahan dan layanan konsultasi 5. Bentuk jejaring agen perubahan agar bisa berbagi tentang praktik terbaik, peralatan dan riset yang berhubungan dengan perubahan 6. Lakukan debrief tentang inisiatif perubahan dengan fokus pada belajar dari pengalaman. Kemauan dan kemampuan berubah



1. Ciptakan tujuan bersama 2. Berpikirlah secara dinamis dan sistematik sehingga strategi dapat berubah cepat



1. Tunjuk pemilik tujuan untuk mengembangkan kapasitas perubahan 2. Sediakan sumber daya agar bisa terus



1. Lakukan seleksi, rekrut, evaluasi dan beri penghargaan kepada karyawan berdasarkan kemampuan dalam



3.18



Manajemen Perubahan 



Level Makro 3. Lakukan kajian terhadap masa depan pasar, pesaing dan kesempatan 4. Substitusikan skenario masa depan pada pengambilan keputusan sekarang 5. Buatlah satu ikatan bagi serangkaian keuntungan yang bersifat sesaat 6. Ciptakan dan komunikasikan identitas perubahan yang bersahabat baik dalam lingkup internal maupun eksternal



Level Meso



3.



4.



5.



6.



melakukan amatan terhadap lingkungan dalam rangka menemukan ide-ide baru Beri dorongan untuk melakukan kontak ke pihak luar khususnya kepada pelanggan Tunjuk pendukung perubahan yang memiliki komitmen untuk melakukan inisiatif yang spesifik Tetapkan inisiatif perubahan kunci dengan sumber daya yang cukup agar bisa berhasil mendapat dukungan publik Lindungi terobosanterobosan perubahan dengan sejumlah anggaran dan SDM



Level Mikro



2.



3.



4. 5.



6.



menyuburkan perubahan Bentuk beberapa tim berbeda untuk mendorong inovasi dan kreativitas Kembangkan, beri penghargaan dan promosikan supervisor dan manajer yang memberi kesempatan untuk melakukan perubahan Tingkatkan kredibilitas personal para pemimpin Dengarkan, dorong dan hargailah para pemberontak dan para perintis Ciptakan iklim kepercayaan, kejujuran dan transparansi



F. PERDEBATAN ANTARA MANAJEMEN PERUBAHAN VS PENGEMBANGAN ORGANISASI Perubahan organisasi biasanya dikonotasikan dengan kondisi organisasi yang kurang menguntungkan, dalam pengertian organisasi dituntut untuk melakukan perubahan jika organisasi menghadapi masalah atau kinerja organisasi mengalami penurunan. Weick & Quinn (1999) menyatakan bahwa perubahan organisasi sesungguhnya tidak perlu terjadi jika para manajer dan karyawan sejak semula telah mengerjakan pekerjaan mereka dengan benar. Istilah populernya ―jika tidak ada yang rusak mengapa harus diubah‖. Pandangan seperti ini boleh jadi benar. Sayangnya organisasi bukan entitas yang statis. Secara natural misalnya telah dikatakan bahwa organisasi selalu mengalami perubahan. Demikian juga secara sistem organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan yang lebih besar. Oleh karenanya jika pada lingkungan internal organisasi tidak ada yang salah namun karena lingkungan eksternal mengalami perubahan tentu saja organisasi sebagai sebuah sistem



 EKMA4565/MODUL 3



3.19



harus berubah. Atau dengan kata lain, pandangan di atas hanya cocok untuk lingkungan bisnis yang stabil seperti yang terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an. Meski pada tahun 1951 Kurt Lewin sudah memperkenalkan konsep perubahan yang populer dengan ―tiga tahap perubahan – unfreeze, change, and refreeze‖, bisa dikatakan bahwa pada periode 1960-an dan 1970-an istilah manajemen perubahan tidak banyak dijumpai (Marshak, 2005) bukan karena saat itu tidak ada perubahan organisasi tetapi karena rendahnya tingkat persaingan dan stabilnya lingkungan bisnis sehingga pola pikir ―supply creates it own demand – apa yang dihasilkan pasti laku dijual‖ menjadi pola pikir para manajer (Adler 2002). Akibatnya para manajer cenderung lebih memikirkan bagaimana mengembangkan bisnisnya ketimbang harus memikirkan perubahan organisasi. Oleh karena itu kalaulah pada waktu itu ada upaya pembenahan terhadap organisasi, pembenahannya – yang banyak dibantu psikolog di bidang industri dan organisasi sebagai konsultan, cenderung bersifat minor dan terencana. Di samping itu perubahannya lebih ditujukan untuk membenahi sumber daya manusia agar di satu sisi karyawan bisa bekerja lebih efisien dan produktif sejalan dengan pertumbuhan organisasi dan di sisi lain karyawan mendapatkan kepuasan dalam bekerja. Ujung-ujungnya organisasi bisa berfungsi secara efektif karena bisa memenuhi kepentingan dua belah pihak yang kadang-kadang memiliki kepentingan berbeda. Proses pembenahan organisasi seperti ini disebut sebagai pengembangan organisasi (organizational development). Memasuki tahun 1980-an lingkungan bisnis tidak sestabil periode sebelumnya. Saat itu bahkan banyak industri Amerika mulai berguguran karena terlambat mengantisipasi terjadinya perubahan lingkungan bisnis. Akibatnya para manajer yang merasa shock lantas berupaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya dengan cara-cara yang tidak konvensional. Tujuannya hanya satu yakni memulihkan kondisi ekonomi bagi perusahaan yang dipimpinnya yang sedang terpuruk, bukan sekedar membenahi proses aktivitas dan sumber daya manusia. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap para konsultan manajemen dengan menawarkan pembenahan organisasi yang tidak lagi bersifat minor tetapi lebih revolusioner dengan mengedepankan nilai-nilai ekonomi sebagai hasil akhir pembenahan organisasi ketimbang sekedar perbaikan proses seperti yang terjadi pada periode-periode sebelumnya. Pembenahan organisasi seperti ini belakangan dikenal sebagai manajemen perubahan. Marshak (2005) mengakui bahwa dengan semakin



3.20



Manajemen Perubahan 



populernya istilah manajemen perubahan, peran dari pengembangan organisasi mulai terpinggirkan. Marshak juga mengakui meskipun manajemen perubahan sesungguhnya merupakan pengembangan dari pengembangan organisasi dan keduanya pada dasarnya tidak jauh berbeda, secara filosofis proses dan tujuan keduanya berbeda. Tabel 3.2 menunjukkan perbedaan antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan seperti disebutkan Marshak. Tabel 3.2. Perbedaan antara Pengembangan Organisasi dengan Manajemen Perubahan Pendekatan



Tekanan pada…



Manajemen Perubahan



Hasil/outcome



Perkembangan Organisasi



Proses



Metode Proses dilakukan oleh elite organisasi Proses secara partisipatif



Nilai-nilai dominan Ekonomi Humanisme



Manajemen Perubahan merupakan… Rekayasa atau arahan Pemberian fasilitas atau coaching



Selain perbedaan seperti disebutkan di atas, beberapa dimensi lain yang bisa digunakan untuk membedakan antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan, meski keduanya sama-sama berupaya untuk menciptakan dan mengelola perubahan organisasi, dan dalam banyak kasus keduanya menggunakan proses dan prinsip-prinsip yang sama, titik tekan keduanya tetap saja berbeda (lihat Tabel 3.3). Sebagai contoh, bahasa dan nilai-nilai dasar pengembangan organisasi dan secara tidak langsung orientasi dari pengembangan organisasi berbasis pada bahasa dan nilai-nilai humanisme dan psikologi sosial. Sementara itu, bahasa dan nilai-nilai dasar manajemen perubahan bertumpu pada bahasa dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis.



3.21



 EKMA4565/MODUL 3



Tabel 3.3. Bahasa dan Nilai-nilai Humanisme dan Psikologi Sosial vs Ekonomi dan Bisnis Dimensi Nilai paling tinggi Alat-alat yang digunakan Image Tempat nilai Icon Tema



Humanisme dan Psikologi Sosial Pengembangan manusia Kesadaran Aktualisasi diri Inner self Pencerahan dan pemberdayaan diri Individu:  Kebebasan  Martabat  Pemberdayaan  Emosi  Spirit  Integrasi menyeluruh



Ekonomi dan Bisnis Pengembalian modal Uang dan sumber daya Bottom line Pasar Entrepreneur dan eksekutif Bisnis dan pasar  Strategi bersaing  Laba rugi  Produktivitas  ROI  Penggunaan sumber daya yang efisien  Kesejahteraan ekonomi



Perbedaan karakteristik antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan menyebabkan para pendukung manajemen perubahan mengklaim bahwa manajemen perubahan merupakan bidang studi yang mandiri terpisah dari bidang studi pengembangan organisasi, bukan sekedar kepanjangan tangan dari pengembangan organisasi. Hal ini kemudian diperkuat munculnya teori yang semakin memisahkan pengembangan organisasi dan manajemen perubahan. Teori yang dimaksud adalah Theory E dan Theory O (Beer & Nohria, 2000). Teori E mengorientasikan perubahan berbasis pada nilai-nilai ekonomi dan hal ini dikonotasikan dengan manajemen perubahan, sedangkan Teori O adalah perubahan yang didasarkan pada kapabilitas organisasi atau lebih mementingkan pembenahan proses yang berkonotasi sebagai pengembangan organisasi. Berdasarkan teori ini maka perbedaan antara manajemen perubahan dan pengembangan organisasi semakin tampak dalam hal-hal berikut: a. Pertama, secara teoritik manajemen perubahan memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang pengembangan organisasi jika kita melihat bahwa kinerja dan pengembangan sumber daya manusia hanyalah salah satu aspek dari manajemen perubahan yang akan dikaitkan dengan teknologi, operasionalisasi organisasi dan strategi organisasi.



3.22



b.



c.



Manajemen Perubahan 



Kedua, peran dari praktisi pengembangan organisasi adalah pihak ketiga yang sekedar menjadi fasilitator dan coach. Sedangkan konsultan manajemen perubahan dengan bekal pengetahuan yang lebih luas biasanya berkedudukan sebagai bagian dari tim yang cakupannya sangat luas berkisar pada strategi dan organisasi secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan organisasi melakukan aktivitasnya dengan sasaran utama merubah sikap dan nilai-nilai individu karyawan sebagai sarana untuk merubah struktur organisasi. Sementara itu manajemen perubahan lebih menitikberatkan pada perubahan struktural untuk memunculkan perilaku baru.



Perdebatan ini sepertinya belum akan berakhir meski upaya-upaya untuk menjembatani perdebatan ini terus dilakukan. Heracleous (2000) menyuarakan hal ini yakni menyarankan agar kedua belah pihak rujuk agar potensi dari kedua belah pihak bisa dioptimalkan. Dari pendukung pengembangan organisasi juga mulai tampak adanya kesadaran bahwa pengembangan organisasi masih memiliki berbagai macam kekurangan. Kesadaran ini berujung pada terbitnya kumpulan tulisan yang diedit oleh Bradford & Burke dengan judul ―reinventing organization development‖ yang terbit tahun 2005. G. KESIAPAN BERUBAH Manusia pada dasarnya tidak anti perubahan karena secara natural manusia mempunyai pengalaman perubahan. Tidak bisa dipungkiri jika manusia terus menerus mengalami perubahan. Paling tidak dari sisi fisik manusia terus bertumbuh mulai dari kecil yang beratnya hanya 2 – 3 kg bergerak perlahan menjadi 5, 10, 15 kg dan seterusnya sampai suatu saat tidak bisa naik lagi dan bahkan justru mengalami penurunan. Perubahan fisik ini tidak pelak juga diikuti oleh perubahan aspek kejiwaan dan psikologis. Walhasil, perubahan sesungguhnya bukan sesuatu yang baru bagi diri seseorang. Meski demikian jika anda bertanya kepada karyawan, apa pendapat mereka tentang perubahan organisasi, boleh jadi responsnya mendua. Bagi yang sudah jenuh dengan lingkungan kerja saat ini, sangat boleh jadi mereka akan mendukung perubahan. Tanda-tanda atau alasan mengapa karyawan mendukung perubahan seperti dikatakan Kirkpatrick (2001) adalah sebagai berikut:



 EKMA4565/MODUL 3



1.



2. 3.



4.



5.



6.



7.



8.



9.



3.23



Keamanan Perubahan bisa jadi akan meningkatkan permintaan terhadap produk/jasa. Hal ini bisa diartikan bahwa karyawan merasa lebih aman karena keterampilan individu mereka tidak dipersoalkan dan atau organisasi bisa bertahan hidup. Uang Perubahan boleh jadi akan meningkatkan gaji karyawan. Otoritas Perubahan bisa menjadi sumber promosi bagi karyawan dan atau memungkinkan karyawan memiliki kesempatan berkiprah lebih luas misalnya bisa terlibat dalam pengambilan keputusan. Prestise Perubahan biasanya diikuti oleh perubahan titel jabatan, tugas baru, atau hal-hal baru lainnya yang membuat karyawan merasa lebih bangga terhadap dirinya dan organisasi. Tanggung jawab Tugas dan tanggung jawab karyawan mungkin akan berubah dan karyawan merasa mendapat tantangan baru untuk menunjukkan kemampuannya. Kondisi kerja lebih baik Lingkungan fisik diharapkan lebih baik dan atau disediakan fasilitasfasilitas lain yang lebih baru. Kepuasan diri Individu karyawan akan merasakan adanya sense of achivement yang lebih tinggi dan tantangan baru yang lebih segar. Kontak antar individu lebih baik Perubahan akan memberi kesempatan karyawan bisa berinteraksi dengan orang-orang penting di dalam organisasi. Membutuhkan waktu dan usaha lebih sedikit Perubahan bisa meningkatkan efisiensi misalnya dengan diperkenalkannya teknologi baru.



Sebaliknya, bagi mereka yang tidak suka dengan perubahan, respon pertama yang muncul adalah sikap negatif terhadap perubahan. Sikap seperti ini muncul, meski perubahan tersebut baru wacana dan belum diimplementasikan karena karyawan takut akan kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari perubahan tersebut, takut kehilangan status sosial sebagai pekerja



3.24



Manajemen Perubahan 



atau merasa keamanan sosialnya terganggu atau takut jangan-jangan kalau tidak dipecatpun pekerjaan mereka menjadi overload dan tanggung jawab mereka semakin besar karena harus mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh teman kerja. Jika merujuk pada penjelasan di atas, secara umum bisa dikatakan bahwa perubahan mengakibatkan dampak negatif baik terhadap karyawan, pimpinan dan kinerja organisasi. Dampak ini termasuk di dalamnya takut, stres, frustrasi, dan mengingkari perubahan (lihat Daniel & Hollifiled, 2002; Morgan & Zeffane, 2003). Sederhananya, perubahan akan menyebabkan karyawan merasa kehilangan sesuatu yang selama ini telah mereka miliki termasuk kehilangan jati dirinya. Semua dampak negatif tersebut sesungguhnya belum tentu riil, baru sebatas dugaan atau persepsi. Jika nantinya perubahan benar-benar dilaksanakan belum tentu gambaran negatif tersebut betul-betul muncul. Meski demikian semakin persepsi negatif ini menguat, semakin karyawan tidak siap untuk melakukan perubahan. Atau dengan kata lain, daripada melihat perubahan sebagai peluang untuk memperbaiki kinerja, karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Padahal seperti dikatakan Okland & Tanner (2007), kesiapan untuk berubah mutlak diperlukan sebelum sebuah organisasi bisa mengimplementasikan perubahan. Oleh karena itu dalam batas-batas tertentu karyawan perlu dibuat siap untuk melakukan perubahan dengan cara mengurangi resistensi terhadap perubahan (Walinga, 2008). Kotter and Schlesinger (1979), menawarkan beberapa strategi untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan di antaranya adalah: pendidikan dan komunikasi, mengajak karyawan ikut berpartisipasi dan terlibat dalam proses, memfasilitasi kepentingan karyawan dan memberikan dukungan, dan melakukan negosiasi dan kesepakatankesepakatan. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan pandangan negatif karyawan terhadap perubahan bisa berubah. Meski demikian, proses perubahannya, seperti dikatakan Recklies (2001) kadang-kadang membutuhkan waktu dan harus melalui beberapa tahapan seperti tampak pada Gambar 3.6.



3.25



 EKMA4565/MODUL 3



Gambar 3.6. Persepsi Karyawan terhadap Proses Perubahan



Seperti tampak pada Gambar 3.6, persepsi karyawan terhadap proses perubahan berlangsung melalui tujuh fase perubahan secara berurutan. Ketujuh fase dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: Fase



Penjelasan



Shock dan Kejutan



Karyawan dihadapkan pada situasi yang tidak diharapkan. Situasi ini bisa terjadi secara kebetulan misal ketika terjadi kerugian besar pada satu unit bisnis tertentu atau terjadi karena adanya peristiwa yang terencana seperti pada saat workshop pengembangan diri dan peningkatan kinerja karyawan. Situasi ini membuat karyawan sadar bahwa pola kerja mereka sudah tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini sehingga mereka menganggap bahwa kemampuan diri mereka mulai berkurang.



Mengingkari dan Menolak



Karyawan mencoba mengaktifkan nilai-nilai berjalan sebagai dukungan untuk menegaskan bahwa perubahan betul-betul tidak diperlukan. Dari sini mereka yakin bahwa perubahan memang tidak perlu. Oleh karena itu mereka merasa bahwa kemampuannya meningkat lagi.



Pemahaman secara Rasional



Karyawan mulai menyadari bahwa perubahan itu perlu. Kesadaran ini mengakibatkan anggapan baru yakni kemampuan mereka kembali menurun. Karyawan lantas



3.26



Manajemen Perubahan 



Fase



Penjelasan mencoba dan memfokuskan diri untuk mencari solusi jangka pendek sehingga mereka sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah melainkan hanya mengatasi gejalanya saja. Artinya, mereka tetap belum mau merubah pola perilakunya.



Menerima secara Mendalam (Emotional Acceptance)



Pada fase ini yang juga disebut sebagai krisis merupakan fase paling penting. Jika manajemen berhasil menciptakan kemauan karyawan untuk berubah khususnya terkait dengan perubahan nilai-nilai, keyakinan dan perilaku, organisasi diyakini mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi karyawan sesungguhnya. Sebaliknya, kegagalan manajemen bisa berakibat berhentinya proses perubahan atau paling tidak derajat intensitas perubahannya mulai menurun.



Mempraktikan Kesediaan karyawan menerima perubahan bisa dan Pembelajaran menciptakan kemauan karyawan untuk belajar. Karyawan mulai mencoba perilaku dan proses baru. Dalam fase ini mereka punya pengalaman gagal dan berhasil. Pada saat inilah tugas manajer perubahan untuk menciptakan apa yang disebut small win – sukses kecil misalnya dengan menawarkan proyek-proyek yang mudah dikerjakan. Keberhasilan, meski kecil, bisa meningkatkan tingkat kepercayaan diri karyawan bahwa mereka betul-betul memiliki kompetensi yang diperlukan. Realisasi



Karyawan mengumpulkan lebih banyak informasi dengan cara belajar dan mencoba. Pengetahuan baru yang mereka peroleh tentunya bisa memberi efek balik bagi karyawan sehingga mereka tahu perilaku mana yang efektif untuk situasi apa. Pada akhirnya hal ini akan membuka pikiran karyawan terhadap pengalaman baru. Situasi ini juga menjadikan organisasi lebih fleksibel dan karyawan merasa bahwa tingkat kompetensi mereka mencapai titik tertinggi dibandingkan dengan periodeperiode sebelumnya.



3.27



 EKMA4565/MODUL 3



Fase Integrasi



Penjelasan Karyawan secara totalitas mengintegrasikan pola pikir dan tindakan baru dan pada akhirnya perilaku baru menjadi kehidupan rutin sehari-hari.



Kesiapan berubah (readiness for change) pada dasarnya bukan hanya keharusan bagi karyawan tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan. Armenakis, Harris, & Mossholder, (1993) mengemukakan bahwa kesiapan berubah merupakan (1) refleksi dari keyakinan, perasaan dan intensi yang berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana perubahan diperlukan dan (2) persepsi mengenai kemampuan individu dan organisasi bisa berhasil mengimplementasikan perubahan. Untuk mengetahui sejauh mana individu dan organisasi siap berubah, berbagai upaya telah dilakukan. Beberapa ahli yang memberi perhatian terhadap konsep manajemen perubahan dan kesiapan berubah misalnya telah menyusun instrumen untuk mengetahui kesiapan berubah baik kesiapan individu maupun kesiapan organisasi. Bouckenooghe, Devos & Van de Broeck (2009) menyebut beberapa instrumen yang disusun ahli lain seperti: Organizational Climate Measure (OCM; Patterson et al., 2005), Readiness for Organizational Change Measure (ROCM; Holt, Armenakis, Feild & Harris, 2007). Bouckenooghe, Devos & Van de Broeck sendiri kemudian menyusun instrumen lain yakni Organizational Change Questionnaire – Climate of Change, Process and Readiness (OCQ – C, P, R). Pertimbangan yang digunakan Bouckenooghe, Devos & Van de Broeck dalam menyusun instrumen ini adalah keyakinan mereka bahwa perencanaan dan implementasi perubahan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor penting yakni: (1) situasi internal tempat terjadinya perubahan – iklim perubahan, (2) bagaimana perubahan dijalankan – proses perubahan dan (3) tingkat kesiapan berubah dalam memahami proses perubahan sehingga implementasi perubahan bisa berhasil. Sementara itu, untuk kepentingan praktis Timothy Stewart seperti dimuat di majalah Fortune (1994) menyusun instrumen untuk mengukur kesiapan berubah bagi sebuah organisasi seperti tampak daftar pertanyaan berikut ini:



3.28



Manajemen Perubahan 



Kuesioner untuk Menilai Kesiapan Berubah Penjelasan: Pada kolom pertama terdapat 17 pertanyaan untuk menilai kesiapan berubah. Berilah penilaian terhadap organisasi Anda untuk masing-masing pertanyaan. Beri nilai 3 untuk kategori organisasi sangat siap, nilai 2 untuk organisasi yang setengah siap dan nilai 1 untuk organisasi yang menurut anda tidak siap berubah. Pertanyaan Sponsorship. Sponsor perubahan tidak harus datang dari pimpinan yang secara formal bekerja sehari-hari di perusahaan. Namun sponsor perubahan bisa saja datang dari orang yang visioner, cheerleader dan pembayar tagihan – orang-orang yang memiliki kekuatan untuk membantu tim perubahan manakala tim menghadapi resistensi perubahan. Berikan nilai tertinggi – perubahan akan lebih mudah – jika sponsorship berasal dari level eksekutif senior seperti CEO, Kepala unit bisnis yang otonom. Berikan nilai terendah jika sponsor berasal level bawah organisasi seperti staff. Leadership. Hal ini dimaksudkan sebagai pemimpin sehari-hari – yakni orang yang memiliki wewenang untuk mengundang rapat, menetapkan tujuan, dan bekerja sampai larut malam. Perubahan akan berhasil jika kepemimpinan adalah orang pada level tertinggi, mempunyai ―kepemilikan‖ (bertanggung jawab langsung terhadap apa yang harus diubah), dan dalam pikirannya jelas apa yang harus dihasilkan. Kepemimpinan dengan level rendah, atau kepemimpinan yang tidak memiliki hubungan baik lintas departemen, atau berasal dari staff kemungkinan berhasil sangat rendah. Oleh karenanya berilah nilai yang rendah. Motivasi. Berilah nilai tinggi jika pimpinan senior memiliki sense of urgency (rasa bahwa organisasi harus segera berubah) dan menyampaikannya ke seluruh elemen organisasi, dan budaya yang berkembang di organisasi adalah budaya yang menekankan perbaikan terus menerus. Sebaliknya berilah skor rendah jika manajer dan para pekerjanya dibelenggu tradisi lama di mana mereka telah bekerja katakanlah lebih dari 15 tahun, dan budaya



Nilai



 EKMA4565/MODUL 3



Pertanyaan yang ada adalah budaya konservatif yang tidak mendorong keberanian mengambil risiko. Arahan. Apakah senior manajer memiliki keyakinan kuat bahwa masa depan harus berbeda dengan masa kini? Seberapa jelas manajemen menggambarkan masa depannya? Apakah manajemen bisa memobilisasi pihak-pihak terkait – karyawan, komisaris, konsumen dsb – untuk melakukan tindakan perubahan? berilah skor tinggi jika jawaban pertanyaan tersebut positif. Namun jika manajer senior hanya berpikiran perubahan minor sangat mungkin justru tidak terjadi perubahan sama sekali. Oleh karenanya berilah skor yang rendah. Pengukuran. Berilah skor 3 jika pengukuran kinerja yang didukung oleh manajemen kualitas telah digunakan dan pengukuran kinerja ini mengekspresikan aspek ekonomi dari kegiatan bisnis. Berilah skor 2 jika ada pengukuran kinerja tetapi kompensasi dan sistem imbalan tidak memperkuat sistem pengukuran kinerja tersebut. Beri skor 1 jika sama sekali tidak ada pengukuran kinerja. Konteks organisasi. Bagaimana upaya perubahan dikaitkan dengan segala sesuatu yang terjadi di organisasi? (misal, apakah upaya tersebut dikaitkan dengan proses manajemen kualitas? Apakah upaya tersebut cocok dengan strategi berjalan?) Jika jawabannya positif beri skor tinggi. Sebaliknya upaya perubahan akan menjadi di masa datang jika upaya tersebut tidak terkait secara strategis. Beri skor rendah untuk kondisi ini. Proses/Fungsi. Perubahan besar hampir pasti membutuhkan desain ulang proses bisnis yang memotong lintas fungsi seperti fungsi pembelian atau pemasaran. Jika manajer fungsional sangat kaku enggan berkorban, perubahan akan sulit dilakukan. Beri skor lebih tinggi jika kemauan berkorban manajer fungsional semakin tinggi demi kepentingan organisasi secara keseluruhan. Benchmark. Apakah perusahaan anda pemimpin dalam industri atau sebaliknya, beri skor tinggi jika perusahaan anda menjalankan program berkelanjutan yang secara obyektif membandingkan kinerja perusahaan dengan kinerja kompetitor dan secara sistematis menilai perubahan terhadap pasar sasaran.



3.29



Nilai



3.30



Manajemen Perubahan 



Pertanyaan Sebaliknya beri skor rendah jika pengetahuan anda tentang kemampuan kompetitor sangat rendah. Fokus pada Konsumen. Semakin banyak orang terinspirasi oleh pengetahuan mereka terhadap konsumen semakin tinggi kemungkinannya organisasi setuju berubah demi melayani konsumen lebih baik. Beri skor 3 jika setiap orang tahu siapa konsumen mereka, tahu kebutuhan konsumen dan pernah melakukan kontak dengan konsumen. Beri skor rendah jika pengetahuan tentang konsumen hanya dimiliki oleh bagian pemasaran. Penghargaan. Perubahan menjadi semakin mudah jika para manajer dan karyawan diberi penghargaan untuk tindakan yang berani ambil risiko, mau berinovasi dan mau mencari solusi baru. Penghargaan berbasis tim akan lebih baik dibandingkan dengan penghargaan untuk hasil yang dicapai individu. Beri skor rendah jika perusahaan anda akan memberi penghargaan bagi mereka yang lebih memilih stabilitas ketimbang perubahan, jika manajer justru menjadi pahlawan untuk penyusunan anggaran yang tidak berisiko, dan jika kesalahan akan mendapat hukuman. Struktur Organisasi. Situasi terbaik terjadi jika organisasi didesain secara fleksibel. Beri skor rendah jika struktur organisasi sangat kaku dan tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir atau telah melakukan beberapa reorganisasi tetap selalu gagal; semua ini menandakan adanya budaya sinisme di dalam organisasi dan mencoba melawan perubahan. Komunikasi. Perusahaan lebih siap mengadaptasi perubahan jika memiliki komunikasi dua arah yang bisa menjangkau semua level organisasi dan memungkinkan karyawan bisa menggunakannya dan memahaminya. Sebaliknya jika media komunikasi sangat sedikit, komunikasi satu arah dan top down, sepertinya perubahan semakin sulit dilakukan. Beri skor rendah pada situasi kedua. Hierarki Organisasi. Semakin sedikit hierarki organisasi dan semakin sedikit golongan/level karyawan semakin tinggi kemungkinan tingkat keberhasilan perubahan. Sebaliknya jika manajer dan staff level menengah semakin banyak bukan hanya akan memperlambat pengambilan keputusan tetapi semakin



Nilai



3.31



 EKMA4565/MODUL 3



Pertanyaan banyak orang yang memiliki kekuatan untuk memblok perubahan. Pengalaman sebelumnya dengan perubahan. Beri skor 3 jika perusahaan pernah mengimplementasikan perubahan besar dan berhasil. Beri skor 1 jika perusahaan belum pernah punya pengalaman tentang perubahan atau gagal melakukan perubahan, atau perubahan yang dilakukan sebelumnya menimbulkan kemarahan. Beri skor 2 jika perubahan pada masa lalu hasilnya meragukan. Moral. Perubahan akan lebih mudah dilakukan jika karyawan menikmati kerja dan tanggung jawab individu sangat tinggi. Sebaliknya tanda ketidaksiapan perubahan terjadi jika spirit team sangat rendah, tidak ada orang yang mau melakukan upaya ekstra dan terjadi mistrust. Dua jenis mistrust adalah saling tidak percaya antara manajemen dan karyawan dan antar karyawan. Inovasi. Situasi terbaik adalah perusahaan selalu berusaha melakukan eksperimen, ide-ide baru diimplementasikan dengan mudah, karyawan bisa bekerja lintas fungsi tanpa hambatan. Sementara itu, tanda-tanda buruk ditunjukkan oleh banyaknya aturan yang membelenggu, banyaknya tanda tangan yang harus diminta sebelum ide-ide baru dicobakan, karyawan hanya boleh bekerja sesuai dengan alur kerjanya dan tidak didorong untuk bekerja lintas bidang. Pengambilan Keputusan. Beri skor tinggi jika keputusan diambil secara cepat setelah mempertimbangkan banyak masukan, dan keputusannya apa sangat jelas. Sebaliknya beri skor rendah jika pengambilan keputusan sangat lambat dan dasar keputusannya sangat misterius; banyak konflik dalam proses pengambilan keputusan, dan kebingungan dan saling menyalahkan jika ada ketidaktepatan dalam keputusan.



Nilai



Scoring 41 – 51 : Implementasi perubahan diyakini akan berhasil 28 - 40 : Perubahan mungkin bisa dilaksanakan tetapi tampaknya akan mengalami kesulitan, terutama jika tujuh pertanyaan pertama nilainya rendah 17 – 27 : Implementasi perubahan sepertinya hampir tidak mungkin dilaksanakan jika bencana tidak segera diendapkan



3.32



Manajemen Perubahan 



H. RESISTENSI TERHADAP PERUBAHAN Di muka secara tidak langsung telah diuraikan beberapa bentuk resistensi karyawan terhadap perubahan. Hultman (1995) mengelompokkan resistensi tersebut, termasuk gejala-gejala yang terkait dengannya, menjadi dua (1) resistensi aktif dan (2) resistensi pasif. Gejala-gejala yang dimunculkan karyawan dengan resistensi aktif di antaranya adalah: 1. Sangat kritis atau aktif mengkritik. 2. Mencari-cari kesalahan. 3. Suka mencela. 4. Suka menakut-nakuti. 5. Menggunakan fakta secara selektif. 6. Menyalahkan orang lain. 7. Sabotase. 8. Mengintimidasi atau mengancam. 9. Memanipulasi keadaan. 10. Mendistorsi fakta. 11. Memblokir atau menghalang-halangi. 12. Membuat rumor negatif. 13. Suka berargumentasi. Sementara itu, gejala-gejala yang berkaitan dengan resistensi pasif adalah: 1. Secara verbal setuju dengan perubahan tetapi pada kenyataannya tidak mengikuti proses perubahan. 2. Gagal mengimplementasikan perubahan. 3. Menunda-nunda proses perubahan. 4. Berpura-pura bodoh. 5. Menahan informasi, saran, bantuan atau dukungan. 6. Membiarkan perubahan mengalami kegagalan. Daftar gejala-gejala di atas tentunya tidak berhenti sampai di situ. Boleh jadi daftarnya masih panjang lagi. Demikian juga daftar tersebut masih bisa diperdebatkan mana yang sesungguhnya menjadi bagian dari gejala aktif atau pasif atau apakah gejala tersebut bersifat mutually exclusive. Lebih penting dari itu, daftar tersebut paling tidak memberi peringatan bagi para manajer yang akan melaksanakan perubahan bahwa perubahan organisasi tidak



 EKMA4565/MODUL 3



3.33



selamanya berjalan mulus. Hambatan di sana sini pasti akan dihadapi. Oleh karena itu pelaku perubahan paling tidak harus memahami dua hal yaitu: a. Mengapa karyawan resisten terhadap perubahan. b. Bagaimana mengelola resistensi tersebut. 2.



Mengapa Karyawan Resisten terhadap Perubahan Ada beberapa alasan mengapa karyawan resisten terhadap perubahan, di antaranya adalah: Tidak suka perubahan. Keluhan yang sering kita dengar dari seorang manajer ketika mengintrodusir perubahan adalah ketidaksukaan karyawan terhadap perubahan organisasi. Bisa dikatakan bahwa ketidaksukaan karyawan terhadap perubahan merupakan hambatan utama dalam perubahan. Akibatnya karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Pertanyaan yang agak sulit dijawab adalah kalau memang karyawan tidak suka perubahan mengapa ada karyawan lain yang menerimanya dengan senang hati dan mendukung perubahan? Apakah ketidaksukaan tersebut bersifat mendasar atau hanya bersifat peripheral. Secara logika, karena ada karyawan lain yang mau menerima perubahan, barangkali tidak pantas bagi kita mengatakan bahwa ketidaksukaan karyawan bersifat mendasar. Hampir pasti ketidaksukaan tersebut ada penyebabnya. Atau dengan kata lain ketidaksukaan karyawan terhadap perubahan pasti terkait dengan konteks tertentu. Tidak nyaman dengan ketidakpastian. Hofstede (1997) mengatakan bahwa masyarakat bisa dikelompokkan menjadi dua dalam kaitannya dengan ketidakpastian. Kelompok pertama disebut sebagai masyarakat dengan ―high uncertainty avoidance‖ dan kelompok kedua ―low uncertainty avoidance‖. Yang dimaksud dengan uncertainty avoidance adalah upaya untuk mengindari ketidakpastian. Dengan demikian masyarakat dengan high uncertainty avoidance adalah masyarakat yang sangat berupaya keras untuk menghindari ketidakpastian. Jika seorang karyawan masuk pada kelompok ini maka hampir pasti karyawan tersebut tidak nyaman dengan perubahan karena perubahan seperti telah kita ketahui bersama selalu menghadirkan ketidakpastian. Alasan inilah yang menyebabkan karyawan resisten terhadap perubahan. Namun demikian jika ketidakpastian ini berkurang misal karena pihak manajemen memberi kejelasan tentang arah tujuan perubahan resistensi ini akan berbalik sedikit demi sedikit menjadi dukungan terhadap perubahan.



3.34



Manajemen Perubahan 



Singkatnya, kejelasan dalam perubahan sangat penting untuk menghindari resistensi. Persepsi terhadap dampak negatif perubahan bagi kepentingan karyawan. Kesiapan karyawan melakukan perubahan akan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap perubahan khususnya sejauh mana perubahan tersebut mempengaruhi ―kepentingan‖ mereka. Istilah kepentingan di sini bisa sangat luas. Karyawan misalnya memiliki berbagai macam kepentingan seperti: otoritas, status, gaji, kesempatan mengaplikasikan kemampuan, menjadi anggota dalam sebuah komunitas, memiliki otonomi, dan keamanan kerja dan keluarga. Karyawan akan lebih suportif terhadap perubahan jika mereka tidak melihat kepentingan-kepentingan tersebut terancam oleh perubahan. Sebaliknya, resistensi akan mengemuka jika terjadi hal sebaliknya. Keterikatan dengan budaya berjalan. Seperti telah dijelaskan pada modul 2, organisasi bisa dimetaforakan sebagai sistem budaya yang terdiri atas keyakinan, nilai-nilai dan artifak. Budaya yang berkembang di dalam organisasi tentu saja akan mempengaruhi perilaku seorang karyawan. Semakin budaya terinternalisasi ke dalam diri seorang karyawan semakin karyawan tersebut terikat dengan budaya berjalan. Padahal budaya merupakan elemen organisasi yang tidak mudah berubah. Oleh karenanya semakin tinggi keterikatan seorang karyawan terhadap budaya semakin sulit mereka melakukan perubahan manakala organisasi harus berubah. Dalam batas-batas tertentu dengan demikian budaya menjadi faktor penghambat dalam perubahan dan sekaligus menjadikan seorang karyawan resisten terhadap perubahan. Persepsi tentang pelanggaran kontrak psikologis. Pada saat karyawan direkrut untuk pertama kalinya menjadi bagian dari sebuah organisasi pada saat itu sesungguhnya terjadi kontrak tidak tertulis antara karyawan dengan pemberi kerja atau organisasi. Kontrak tersebut berisi harapan dari masingmasing pihak, misalnya pemberi kerja berharap karyawan bekerja sungguhsungguh dan karyawan berharap pemberi kerja memberi imbalan yang layak. Kedua belah pihak juga berharap kontrak tersebut tidak dilanggar meski tidak tertulis. Kontrak seperti ini biasa disebut sebagai kontrak psikologis atau psychological contract (Robinson & Rousseau, 1994). Kontrak psikologis dianggap berakhir atau paling akan bermasalah jika salah satu pihak, khususnya jika karyawan menganggap dan berkeyakinan bahwa pemberi kerja melanggar kesepakatan. Bagi karyawan, jika usulan perubahan



 EKMA4565/MODUL 3



3.35



organisasi dianggap melanggar kontrak dampaknya adalah resistensi karyawan terhadap perubahan. Pendapat yang kurang lebih sama tentang jalinan kerja antara karyawan dengan pemberi kerja juga disampaikan oleh Strebel (1996). Menurut Strebel, karyawan dan organisasi terlibat dalam jalinan kerja yang disebut ―personal compact – perpaduan personal‖ yang terdiri atas 3 dimensi: formal, psikologikal dan sosial. Seperti halnya Robinson & Rousseau, Strebel menganggap bahwa perubahan organisasi rentan terhadap penyimpangan personal compact yang bisa berakibat timbulnya resistensi terhadap perubahan. Tidak yakin bahwa perubahan memang dibutuhkan. Karyawan cenderung bereaksi negatif jika mereka merasa yakin bahwa perubahan tidak perlu dilakukan. Munculnya keyakinan seperti ini biasanya terjadi pada saat kinerja organisasi sedang membaik sehingga karyawan merasa puas diri (complacency). Mereka juga merasa bahwa apa yang mereka lakukan selama ini tidak ada yang salah. Perubahan yang diusulkan pada situasi seperti ini cenderung direspons secara negatif karena perubahan dianggap tidak perlu. Tidak jelas apa yang diharapkan dari perubahan. Usulan perubahan khususnya perubahan strategik kadang-kadang tidak ditindaklanjuti dengan dukungan informasi yang jelas tentang apa dan bagaimana perubahan tersebut harus dijalankan oleh karyawan. Jika masalahnya seperti ini kemungkinan karyawan mengkonversi inisiatif perubahan dan memberi dukungan pada level organisasi akan semakin kecil. Hal ini bisa diartikan bahwa tidak adanya dukungan karyawan terhadap usulan perubahan sesungguhnya bukan karena karyawan enggan terlibat pada perubahan tetapi lebih karena tidak adanya kejelasan apa yang diharapkan dari perubahan tersebut. Ada keyakinan bahwa perubahan yang diusulkan tidak tepat. Mereka yang terkena imbas perubahan biasanya memiliki pandangan berbeda tentang usulan perubahan. Perubahan oleh sebagian karyawan dianggap sebagai ide yang baik tetapi sebagian yang lain menganggap usulan tersebut sebagai ide buruk. Tentunya pandangan ini mempengaruhi kesiapan karyawan untuk berubah. Mereka yang mendukung perubahan sering dianggap sebagai orang yang berpikiran tajam dan mereka yang tidak mendukung dianggap rabun (myopic). Yang rabun biasanya mendapat predikat sebagai orang yang menolak perubahan - ―resistant to change‖. Dalam hal ini orang yang resisten sesungguhnya belum tentu keliru karena usulan perubahan tersebut belum tentu sebuah ide besar seperti dibayangkan



3.36



Manajemen Perubahan 



pengusul perubahan. Atau dengan kata lain penolakan terhadap perubahan lebih disebabkan karena usulan perubahan dianggap tidak tepat misalnya dianggap tidak sejalan dengan visi masa depan organisasi. Keyakinan bahwa waktu perubahan tidak tepat. Karyawan mungkin menolak usulan perubahan bukan mereka berpikiran bahwa usulan tersebut keliru. Boleh jadi mereka sepakat dengan usulan tersebut hanya saja mereka menganggap usulan tersebut bukan pada waktu yang tepat. Penyebabnya mungkin karena mereka lelah karena proses perubahan yang mendahului usulan perubahan kali ini belum selesai dikerjakan dan memerlukan tindak lanjut, atau karena mereka beranggapan bahwa jika usulan tersebut dilaksanakan sekarang sangat boleh jadi akan menimbulkan efek yang tidak diharapkan baik terhadap konsumen, karyawan dan atau mitra kerja – dampak yang seharusnya tidak perlu terjadi jika perubahan dilakukan pada waktu yang tepat. Perubahan dianggap berlebihan. Untuk penjelasan yang berkaitan dengan perubahan berlebihan dapat dilihat pada Modul 1, Kegiatan Belajar 2. Dampak menyeluruh perubahan terhadap kehidupan pribadi. Bekerja bagi seorang karyawan sesungguhnya merupakan bagian kehidupan mereka sehingga karyawan sangat berharap tidak terjadi konflik antara kehidupan pribadi dengan kehidupan kerja. Usulan perubahan kadang-kadang ditanggapi secara negatif oleh karyawan karena dari sisi kehidupan kerja mungkin tidak ada masalah misalnya karena tidak ada tuntutan skill yang baru, tetapi dari sisi kehidupan pribadi dan keluarga perubahan tersebut mungkin menimbulkan masalah besar katakanlah karena mereka harus pindah tempat kerja dan dengan demikian harus meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Dianggap berbenturan dengan etika. Resistensi terhadap perubahan boleh jadi bukan karena karyawan tidak ingin ada progress atau tidak ada kemajuan organisasi tetapi sangat mungkin disebabkan karena karyawan patuh dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip etika yang berlaku. Hal ini bisa diartikan bahwa jika usulan perubahan dianggap melanggar etika sangat mungkin karyawan akan resisten terhadap perubahan. Pengalaman perubahan sebelumnya. Karyawan yang pernah terlibat dengan perubahan pada periode-periode sebelumnya akan berpengaruh terhadap kesiapan mereka melakukan perubahan. Jika karyawan memiliki pengalaman buruk dengan perubahan sebelumnya hampir pasti mereka sinis terhadap usulan perubahan yang baru meski pihak pengusul berupaya untuk



 EKMA4565/MODUL 3



3.37



meyakinkan bahwa perubahan yang sekarang berbeda dengan perubahan pada masa lalu. Tidak sepakat dengan cara mengelola perubahan. Usulan perubahan yang bagus dan sangat menjanjikan masa depan organisasi justru kadangkadang tidak bisa diimplementasikan hanya karena karyawan tidak setuju dengan cara yang akan ditempuh dalam mengimplementasikan perubahan tersebut. Kasus seperti ini banyak ditemukan dalam perubahan transformasional seperti downsizing atau merger dan akuisisi. 2.



Mengelola Resistensi terhadap Perubahan Uraian di atas yang secara panjang lebar menjelaskan alasan mengapa karyawan resisten terhadap perubahan seharusnya bukan sekedar fakta yang harus diketahui para manajer mengapa karyawan resisten. Hal yang lebih penting dari itu adalah bagaimana cara mengatasi resistensi tersebut. Namun sebelum para manajer mampu mengatasi resistensi karyawan, satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah manajer tersebut harus merubah perilakunya seperti kata pepatah ―change your self before changing others‖. Sayangnya mereka yang resisten terhadap perubahan bukan hanya karyawan tetapi kadang-kadang para manajer sendiri menjadi resistor perubahan. Kalau persoalannya seperti ini tentunya hasil positif dari perubahan semakin jauh dari kenyataan. Oleh karena itu cara merubahpun harus diubah. Salah satu alasan mengapa kita perlu mempertimbangkan bahwa resistor perubahan bukan hanya karyawan tetapi juga para manajer adalah sekelompok orang bukan hanya masing-masing individu manajer memiliki sudut pandang, keyakinan dan kepentingan berbeda, secara formal mereka juga diatur dalam sebuah hierarki yang membedakan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Akibatnya di antara para manajerpun belum tentu satu paham tentang perubahan, bahkan karena aspek politik kadangkadang begitu menonjol maka tidak jarang perbedaan di antara mereka semakin lebar. Ambillah contoh, usulan perubahan yang diajukan oleh manajer pemasaran yang menganggap bahwa desain produk harus diubah jika menginginkan perusahaan bisa terus bersaing belum tentu usulan ini disepakati manajer produksi dengan alasan merubah desain memerlukan biaya dan waktu lama. Bahkan tidak jarang manajer produksi menganggap usulan manajer pemasaran hanya sekedar pengalihan perhatian agar mereka tidak tampak tidak mampu menjual.



3.38



Manajemen Perubahan 



Sekarang anggaplah para manajer adalah sekelompok orang sebagai satu satuan yang mempunyai pandangan sama akan perlunya perubahan. Tetap saja kesamaan pandangan ini masih memungkinkan terjadinya resistensi terhadap perubahan. Resistensi ini muncul dalam bentuk berbeda dalam hal manajer level bawah cenderung resisten dalam implementasi perubahan sedang manajer senior cenderung resisten dalam konseptualisasi perubahan atau pilihan-pilihan strategi perubahan yang harus ditempuh. Persoalan paling krusial dalam hal resistensi perubahan dikalangan para manajer adalah manakala mereka berhasil mencapai tujuan organisasi. Pencapaian ini seolaholah membuktikan bahwa mereka telah melakukan segala sesuatunya dengan benar sehingga mereka berada pada situasi ‗comfort zone – zona kenyamanan‖ dan beranggapan bahwa perubahan tidak perlu dilakukan apalagi perubahan yang bersifat radikal. Padahal sering dikatakan bahwa keberhasilan merupakan bibit terjadinya kehancuran karena dalam keberhasilan tersebut mereka tidak menyadari jika di lingkungan eksternal secara gradual terjadi perubahan. Situasi seperti ini sering dimetaforakan sebagai ―boiled frog phenomenon‖. Katak sangat suka berada pada air yang hangat-hangat kuku dan merasa nyaman pada situasi tersebut. Jika temperatur air tersebut dinaikkan sedikit demi sedikit katak tidak akan merasakan jika temperatur air sesungguhnya sudah mulai mendidih. Katak baru sadar ketika air sudah mendidih dan katakpun sudah tidak kuasa untuk keluar dari air tersebut. Hal ini berbeda dengan katak yang dicemplungkan pada air mendidih pasti katak tersebut segera bereaksi dengan melompat karena merasakan panasnya air. Metafora ini merupakan penggambaran bagi organisasi yang berhasil yang tidak sadar jika lingkungan eksternal telah berubah dan menuntut perubahan internal organisasi. Dengan asumsi bahwa para manajer telah merubah diri sebelum berupaya merubah resistensi karyawan, berikut ditawarkan beberapa cara untuk mengelola resistensi perubahan. Di muka Recklies menawarkan tujuh tahap perubahan terkait dengan resistensi karyawan. Sementara itu Jick & Peiperl (2003) menawarkan empat tahap perubahan mulai dari shock, anger – marah, mourning – suasana berkabung dan acceptance – menerima perubahan. Keempat tahapan perubahan yang ditawarkan Jick & peiperl ini merupakan proses perubahan yang berkaitan dengan perubahan psikologis seseorang. Ketika seseorang mendengar akan adanya perubahan reaksi pertama adalah shock yang dimanifestasikan dalam bentuk ketiadaan reaksi. Karyawan tidak melakukan apa-apa dan tentunya enggan berubah. Setelah



3.39



 EKMA4565/MODUL 3



menyadari bahwa perubahan tersebut bisa berdampak negatif mulailah karyawan bereaksi dengan menunjukkan kemarahannya. Namun ketika mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menolak perubahan mereka menunjukkan kesedihan dan membayangkan hal-hal yang bersifat negatif dan positif bercampur aduk. Lambat laun karyawan mulai bisa beradaptasi dengan perubahan dan mau menerimanya. Proses seperti ini sering disebut ―resistant cycle – siklus resistensi‖. Model perubahan untuk mengatasi resistensi karyawan yang tergolong klasik ditawarkan oleh Kotter & Schlesinger (1979). Dalam artikelnya yang dimuat Harvard Business Review, Kotter & Schlesinger menawarkan enam metode untuk mengatasi resistensi karyawan, yaitu: 1. Pendidikan dan komunikasi. 2. Partisipasi dan pelibatan. 3. Fasilitasi dan dukungan. 4. Negosiasi dan kesepakatan. 5. Manipulasi dan kooptasi. 6. Ancaman – eksplisit maupun implisit. Keenam metode di atas bersifat situasional dalam pengertian pemilihan salah satu atau beberapa metode sangat bergantung pada konteks yang dihadapi para manajer (lihat Tabel 3.4). Sebagai contoh, jika resistensi karyawan disebabkan karena terjadi mis-informasi maka metode edukasi bisa digunakan. Hanya saja ketika menerapkan metode ini harus mempertimbangkan pula masalah waktu karena metode edukasi membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu jika waktu menjadi kendala bisa diterapkan metode lain yang lebih tepat. Tabel 3.4. Metode Mengelola Resistensi Menurut Kotter & Schlesinger Metode Edukasi dan komunikasi



Partisipasi dan pelibatan



Karakteristik Menginformasikan kepada publik alasan utama perubahan; menyediakan informasi yang dibutuhkan Melibatkan karyawan dalam proses



Konteks Jika resisten karena ketiadaan informasi atau mis-informasi Jika resisten karena adanya rasa



Kemungkinan Kesulitan Mungkin butuh waktu lama yang dalam beberapa kasus bisa menjadi masalah besar Bisa memperlambat proses dan



3.40



Metode



Manajemen Perubahan 



Karakteristik



Konteks



perubahan sebagai partisipan aktif



terbuang dari proses perubahan



Kemudahan dan dukungan



Menyediakan sumber daya baik teknis maupun nonteknis



Jika resisten karena khawatir dan ketidakpastian



Negosiasi dan kesepakatan



Menawarkan insentif kepada resistor potensial maupun yang sesungguhnya



Manipulasi dan kooptasi



Memanfaatkan informasi secara selektif; mencari dukungan karyawan kunci dengan memberi peran kunci dalam proses perubahan



Jika resistor memiliki posisi kuat untuk menggerogoti perubahan jika kepentingan mereka tidak terakomodasi Jika partisipasi, fasilitasi dan negosiasi membutuhkan waktu lama dan biaya besar



Memberi ancaman, eksplisit maupun implisit



Mengancam karyawan dengan konsekuensi yang tidak diharapkan jika mereka tetap resisten



Jika penerima perubahan tidak cukup kuat untuk resisten, ketika keberlangsungan organisasi dalam bahaya jika tidak segera berubah



Kemungkinan Kesulitan memunculkan kompromi dalam pengambilan keputusan yang dapat menurunkan optimalisasi proses Membutuhkan dukungan uang, waktu dan hubungan interpersonal di mana manajer merasa tidak siap untuk menyediakannya Bisa merubah dan penurunan kualitas elemen kunci perubahan Pendekatan ini berisiko terjadinya serangan balik jika cara-cara yang digunakan dianggap terlalu kasar, tidak etis atau manajer dianggap menyuap agar karyawan patuh Hasil yang diharapkan mungkin tercapai tetapi dukungan terhadap perubahan bersifat semu sehingga proses perubahan bisa memerlukan waktu lebih lama



 EKMA4565/MODUL 3



3.41



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Berdasarkan definisi yang diberikan para ahli, jelaskan pengertian manajemen perubahan menurut konsep modul ini! 2) Jelaskan teori proses perubahan! 3) Jelaskan Theory E dan Theory O! 4) Jelaskan resistensi terhadap perubahan menurut Hultman (1995)! 5) Jelaskan metode untuk mengatasi resistensi karyawan! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Manajemen perubahan (change management) pada dasarnya merupakan sebuah proses formal dalam perubahan organisasi yang dilakukan melalui pendekatan yang sistematis dalam sebuah aplikasi pada pengetahuan, peralatan, dan sumber daya lainnya. Manajemen perubahan juga berarti mendefinisikan dan mengadopsi strategi -strategi organisasi, struktur, prosedur dan teknologi untuk menghadapi perubahan yang terjadi, baik yang terjadi di dalam organisasi maupun di luar organisasi. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A). 2) Teori proses perubahan menurut Van de Ven & Poole (1995) terdiri atas: a) Life cycle theory b) Teleological theory c) Dialectical theory d) Evolutionary theory (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B). 3) Teori E mengorientasikan perubahan berbasis pada nilai-nilai ekonomi dan hal ini dikonotasikan dengan manajemen perubahan, sedangkan Teori O adalah perubahan yang didasarkan pada kapabilitas organisasi atau lebih mementingkan pembenahan proses yang berkonotasi sebagai pengembangan organisasi. 4) Hultman (1995) mengelompokkan resistensi menjadi: resistensi aktif dan resistensi pasif. Gejala-gejala pada resistensi aktif: a) Sangat kritis atau aktif mengkritik. b) Mencari-cari kesalahan. c) Suka mencela. d) Suka menakut-nakuti.



3.42



Manajemen Perubahan 



e) Menggunakan fakta secara selektif. f) Menyalahkan orang lain. g) Sabotase. h) Mengintimidasi atau mengancam. i) Memanipulasi keadaan. j) Mendistorsi fakta. k) Memblokir atau menghalang-halangi. l) Membuat rumor negatif. m) Suka berargumentasi. Gejala-gejala pada resistensi pasif: a) Secara verbal setuju dengan perubahan tetapi pada kenyataannya tidak mengikuti proses perubahan. b) Gagal mengimplementasikan perubahan. c) Menunda-nunda proses perubahan. d) Berpura-pura bodoh. e) Menahan informasi, saran, bantuan atau dukungan. f) Membiarkan perubahan mengalami kegagalan. 5) Menurut Kotter & Schlesinger (1979), metode untuk mengatasi resistensi karyawan meliputi: a) Pendidikan dan komunikasi. b) Partisipasi dan pelibatan. c) Fasilitasi dan dukungan. d) Negosiasi dan kesepakatan. e) Manipulasi dan kooptasi. f) Ancaman – eksplisit maupun implisit. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian H). R A NG KU M AN Manajemen perubahan didefinisikan secara beragam oleh para ahli, maka perlu ada definisi yang spesifik yang sesuai dengan kebutuhan meski suatu definisi boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan pada konteks perubahan yang lain. Menurut Greiner (1972, 1998), pertumbuhan sebuah organisasi dibagi menjadi lima fase: 1. tumbuh karena kreativitas (fase 1) 2. tumbuh karena arahan (fase 2) 3. tumbuh karena delegasi (fase 3) 4. tumbuh karena koordinasi (fase 4) 5. tumbuh karena kolaborasi (fase 5).



3.43



 EKMA4565/MODUL 3



Okland & Tanner (2007) mengembangkan kerangka perubahan organisasi sistemik, yakni dua siklus perubahan yang saling berinteraksi – kesiapan berubah (readiness for change) dan implementasi perubahan. Teori proses perubahan menurut Van de Ven & Poole (1995) terdiri atas: 1. Life cycle theory 2. Teleological theory 3. Dialectical theory 4. Evolutionary theory Perbedaan antara Pengembangan organisasi dengan manajemen perubahan: Pendekatan



Tekanan pada



Metode



Manajemen Perubahan Perkembangan Organisasi



Hasil/outcome



Proses dilakukan oleh elite organisasi Proses secara partisipatif



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.



Prosess



Nilai-nilai dominan Ekonomi Humanisme



Manajemen Perubahan merupakan Rekayasa atau arahan Pemberian fasilitas atau coaching



Beberapa alasan mengapa karyawan resisten terhadap perubahan: Tidak suka perubahan. Tidak nyaman dengan ketidakpastian. Persepsi terhadap dampak negatif perubahan bagi kepentingan karyawan. Keterikatan dengan budaya berjalan. Persepsi tentang pelanggaran kontrak psikologis. Tidak yakin bahwa perubahan memang dibutuhkan. Tidak jelas apa yang diharapkan dari perubahan. Ada keyakinan bahwa perubahan yang diusulkan tidak tepat. Keyakinan bahwa waktu perubahan tidak tepat. Perubahan dianggap berlebihan. Dampak menyeluruh perubahan terhadap kehidupan pribadi. Dianggap berbenturan dengan etika. Pengalaman perubahan sebelumnya. Tidak sepakat dengan cara mengelola perubahan.



Menurut Kotter & Schlesinger (1979), metode untuk mengatasi resistensi karyawan yaitu: 1. Pendidikan dan komunikasi. 2. Partisipasi dan pelibatan.



3.44



3. 4. 5. 6.



Manajemen Perubahan 



Fasilitasi dan dukungan. Negosiasi dan kesepakatan. Manipulasi dan kooptasi. Ancaman – eksplisit maupun implisit. TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!



1) Pengertian manajemen perubahan menurut Moran & Brightman (2001) adalah .... A. manajemen perubahan bisa diartikan sebagai pendefinisian dan penerapan strategi perusahaan, struktur, prosedur dan teknologi yang digunakan untuk melakukan perubahan baik yang terjadi di lingkungan eksternal maupun di lingkungan bisnis B. manajemen perubahan adalah sebuah proses, alat-alat bantu dan teknik untuk mengelola sisi manusia dari perubahan bisnis dalam rangka untuk mencapai hasil yang diharapkan dan untuk merealisasikan efektivitas perubahan bisnis dalam lingkup infrastruktur sosial lingkungan kerja C. manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan sistematik yang berkaitan dengan perubahan, baik dilihat dari perspektif organisasi maupun individu D. manajemen perubahan adalah sebuah proses pembaharuan berkelanjutan terhadap arah, struktur dan kapabilitas organisasi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah baik pelanggan eksternal maupun internal 2) Fase pertumbuhan di mana suatu organisasi tumbuh karena arahan merupakan fase .... A. 1 B. 2 C. 3 D. 4 3) Pada tahap implementasi perubahan, yang menentukan apakah perubahan organisasi berhasil dilakukan atau tidak adalah .... A. perubahan perilaku B. kesiapan berubah C. dorongan untuk berubah D. sistem dan kontrol



 EKMA4565/MODUL 3



3.45



4) Proses perubahan yang dimulai dari penentuan visi yang menggambarkan masa depan organisasi yang ingin di tuju dan penetapan tujuan merupakan esensi dari teori .... A. life cycle theory B. teleological theory C. dialectical theory D. evolutionary theory 5) Nilai-nilai dominan pada manajemen perubahan yang membedakannya dengan pengembangan organisasi adalah nilai .... A. ekonomi B. sosial C. humanisme D. bisnis 6) Fase perubahan di mana karyawan mulai menyadari bahwa perubahan itu perlu tetapi belum mau merubah pola perilakunya merupakan esensi dari fase .... A. shock dan kejutan B. mengingkari dan menolak C. pemahaman secara rasional D. mempraktikan dan pembelajaran 7) Menggunakan fakta secara selektif merupakan salah satu gejala resistensi terhadap perubahan yaitu resistensi .... A. negatif B. positif C. pasif D. aktif 8) Salah satu gejala yang muncul pada resistensi pasif di antaranya adalah .... A. mendistorsi fakta B. berpura-pura bodoh C. Sabotase D. memanipulasi keadaan 9) Kelompok masyarakat yang sangat berupaya keras untuk menghindari ketidakpastian disebut .... A. uncertainty avoidance B. low uncertainty avoidance



3.46



Manajemen Perubahan 



C. middle uncertainty avoidance D. high uncertainty avoidance 10) Menurut Jick & Peiperl (2003), terdapat empat tahap untuk mengelola resistensi perubahan meliputi: A. shock, anger, mourning, dan acceptance B. anger, shock, mourning, dan acceptance C. mourning, anger, shock, dan acceptance D. anger, mourning, shock, dan acceptance Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



3.47



 EKMA4565/MODUL 3



Kegiatan Belajar 2



Model dan Implementasi Perubahan Organisasi A. MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN Setelah kita mengetahui tentang pengertian manajemen perubahan, teori proses perubahan, perbedaan antara pengembangan organisasi dengan manajemen perubahan, resistensi terhadap perubahan dan bagaimana mengelola resistensi terhadap perubahan, pada Kegiatan Belajar 2 kita akan membahas mengenai model manajemen perubahan dan pendekatan manajemen perubahan. Saudara mahasiswa, para teoritisi organisasi dan manajemen perubahan menawarkan beragam kerangka atau model perubahan organisasi dengan harapan model-model tersebut bisa digunakan para manajer sebagai pedoman untuk melakukan perubahan organisasi. Sebagai contoh, Elrod II & Tippet (2002) membuat rangkuman model perubahan yang digagas beberapa teoritisi perubahan sejak tahun 1952 sampai dengan 1994. Keberagaman model tersebut, sebagian akan dijelaskan lebih detail pada modul ini (lihat Tabel 3.5), sekaligus menunjukkan perbedaan sudut pandang dan preferensi para teorisi perubahan dalam memahami kompleksitas organisasi di satu sisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan disisi lain. Oleh karena itu, yang harus dipahami oleh para praktisi dan manajer yang hendak melakukan perubahan serta mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang manajemen perubahan adalah tidak ada satupun model perubahan yang paling benar. Yang ada adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas organisasi. Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kecocokan model tersebut dengan situasi yang dihadapi organisasi dan aspek-aspek organisasi yang perlu diulang. Burke (2002) menyatakan, ada lima cara agar model organisasi bisa digunakan sebagaimana mestinya: 1. Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih mudah dipahami. 2. Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian.



3.48



3. 4. 5.



Manajemen Perubahan 



Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi seperti antara strategi dan struktur organisasi. Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik organisasi. Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil dalam situasi perubahan. Tabel 3.5. Model Perubahan Organisasi



 EKMA4565/MODUL 3



3.49



Lewin’s Three-Stage Model Sebelum manajemen perubahan banyak dikenal orang dan menjadi pembicaraan sehari-hari para praktisi bisnis dan manajer, Kurt Lewin – seorang pioneer di bidang psikologi sosial mengajukan dua konsep teori yang terkait dengan perubahan dan transisi. Teori pertama, Quasi-stationary equilibria, menjelaskan bagaimana keseimbangan atau ketidakseimbangan ‗force-field‘ menentukan sejauh mana sistem sosial masyarakat bisa mempertahankan titik keseimbangan atau harus berubah menuju titik keseimbangan baru. Teori kedua adalah model perubahan organisasi sederhana yang dikenal dengan Three-Stage Model. Meski terkesan sebagai model yang statis, model ini bisa ditemukan di berbagai literatur manajemen perubahan dan sampai hari ini masih menjadi rujukan bagi para praktisi yang hendak melakukan perubahan organisasi. Menurut Lewin perubahan bersumber dari perubahan kekuatan yang menimpa organisasi, termasuk di dalamnya struktur dan sistem, serta individu. Penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa perubahan organisasi bisa terjadi pada tiga level yang berbeda yaitu: a. Perubahan pada level individu karyawan yang bekerja di organisasi yakni skill, nilai-nilai, sikap dan perilaku. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa perubahan perilaku individu harus dipandang sebagai instrumen menuju perubahan organisasi. b. Perubahan pada struktur dan sistem organisasi termasuk di dalamnya sistem imbalan, sistem pelaporan, desain kerja dan sebagainya. c. Perubahan yang secara langsung merubah iklim organisasi dan gaya kepemimpinan yakni sejauh mana hubungan interpersonal bersifat terbuka, bagaimana konflik dikelola, dan bagaimana keputusan dibuat. 1.



Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sesungguhnya sederhana yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan faktor penghambat perubahan. Agar terjadi perubahan maka perlu dilakukan upaya untuk memperkuat faktor pendorong perubahan atau memperlemah resistensi perubahan. Namun demikian Lewin membuat satu catatan penting berkaitan dengan prinsip perubahan tersebut ―memperkuat faktor pendorong perubahan tanpa diikuti oleh memperlemah resistensi terhadap perubahan hanya menghasilkan sebuah ketegangan tanpa menghasilkan efek



3.50



Manajemen Perubahan 



perubahan‖. Berdasarkan prinsip yang sederhana ini Lewin membuat model tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing (lihat Gambar 3.7). Restraining Forces



Desire State



REFREEZING



MOVEMENT



Status Quo



UNFREEZING Driving Forces



Time



Gambar 3.7. Model Perubahan Tiga Tahap



Tahap pertama proses perubahan adalah unfreezing. Pada tahap ini pola perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang, sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap perubahan. Bergantung pada level perubahan yang diinginkan, unfreezing pada level individu misalnya dilakukan dengan mempromosikan atau sebaliknya memecat beberapa orang secara selektif; pada level struktural mendesain ulang struktur organisasi, misalnya dari functional menuju process based structure dan mengembangkan model pelatihan sebagai tindak lanjutnya; atau pada level organisasi menyediakan database sebagai umpan balik tentang iklim kerja atau iklim organisasi dan pandangan karyawan terhadap praktik manajemen. Pada level manapun proses unfreeze dilakukan, tujuan dari intervensi ini adalah untuk menyadarkan para anggota organisasi akan adanya kebutuhan untuk berubah,



 EKMA4565/MODUL 3



3.51



meningkatkan perhatian mereka terhadap pola perilaku yang selama ini menjadi pedoman bertindak dan membuat mereka lebih terbuka terhadap perubahan organisasi. Sederhananya, pada tahap ini proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang digunakan. Kadang-kadang upaya ini harus ditempuh dengan jalan konfrontasi langsung atau tidak langsung dengan karyawan dan dilanjutkan dengan mengadakan pelatihan ulang untuk merubah perilaku lama menuju perilaku yang diharapkan. Pada tahap kedua – movement atau change, meliputi proses perubahan sesungguhnya di mana organisasi akan bergerak dari kondisi sekarang ke kondisi yang diharapkan. Pada level individu misalnya kita berharap para anggota organisasi sudah memiliki perilaku yang berbeda katakanlah memiliki keterampilan baru atau cara baru dalam mensupervisi karyawan. Pada level struktur diharapkan ada perubahan pada struktur organisasi, sistem pelaporan dan sistem imbalan yang pada akhirnya mempengaruhi cara kerja dan perilaku karyawan. Terakhir pada level organisasi sangat diharapkan tercipta iklim organisasi baru dan pola perilaku baru yang bisa menciptakan terjadinya saling percaya dalam hubungan kerja, keterbukaan dan meminimalisir interaksi yang disfungsi. Terakhir, adalah refreezing. Pada tahap ini dilakukan stabilisasi dan institusionalisasi perubahan dengan cara membangun sistem yang memungkinkan pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut memang dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang termasuk pada tahap ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen karyawan. Dengan desain sistem yang baru diharapkan diperoleh calon pegawai yang sejalan dengan gaya manajemen dan nilai-nilai organisasi yang baru. Di samping itu, diharapkan pula pola perilaku karyawan yang baru menjadi norma kerja yang permanen yang didukung oleh sistem imbalan yang sesuai dan memungkinkan karyawan bisa lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi dan dalam proses pengambilan keputusan. Contoh aplikasi modelnya Lewin dalam praktik, dapat dilihat pada tulisan Goldstein & Burke (1991). Kedua penulis ini menggunakan British Airways (BA) sebagai contoh kasus bagaimana model perubahan tiga tahapnya Lewin diimplementasikan ke dalam praktik. Ringkasan dari aplikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.6 sebagai berikut.



3.52



Manajemen Perubahan 



Tabel 3.6. Aplikasi Model Lewin dalam Perubahan Organisasi British Airways Level Perubahan Individu



Unfreezing   



Struktur dan sistem







  Organisasi



 



Mengurangi jumlah karyawan dari 59000 menjadi 37000. Membentuk top management team baru Menyusun program: “Putting People First”



Movement   



Menggunakan satuan tugas yang bersifat diagonal untuk merencanakan perubahan Mengurangi jenjang hierarki organisasi Memodifikasi proses penyusunan anggaran







Mendefinisikan ulang bisnis BA, bukan transportasi tapi jasa. Komitmen dan keterlibatan Top Management







  



 



Refreezing



Menyepakati konsep “emotional labor” Menetapkan staf sebagai konsultan internal Membentuk kelompok yang didukung rekan kerja (peer)







Menerapkan sistem insentif profit sharing (3 minggu gaji pada tahun 1987) Membuka terminal 4 Membeli perusahaan Chartridge sebagai pusat pelatihan Membangun SIM baru yang user-friendly Menekankan pentingnya sistem komunikasi terbuka Menyediakan data umpan balik tentang iklim kerja Menyelenggarakan rapat di luar kantor dalam rangka membentuk team building







  



 



   



Meneruskan komitmen Top management Mempromosikan staf dengan nilai-nilai baru BA Mendirikan “Top Flight Academy” Menyusun program pembelajaran secara terbuka Menyusun sistem penilaian kinerja berbasis perilaku dan hasil kerja Sistem kompensasi berbasis kinerja Meneruskan untuk menggunakan satuan tugas Membuat seragam baru Membuat jas/jaket baru Mengembangkan dan menggunakan tim awak cabin Meneruskan penggunaan data feedback untuk mengetahui iklim kerja dan praktik manajemen



Model perubahan tiga tahap kemudian diperbaharui oleh Lippit, Watson & Westley (lihat Frech, Bell & Zawacki, 2000) menjadi tujuh tahap yaitu: Tahap 1 : Mengembangkan kebutuhan akan perubahan. Tahap ini identik dengan tahap unfreezing. Tahap 2 : Membangun hubungan perubahan. Tahap ini dianggap sebagai tahapan krusial karena klien yang membutuhkan bantuan dan agen perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi membangun kerja. Tahap 3 : Mengklarifikasi atau mendiagnosis masalah yang dihadapi klien.



 EKMA4565/MODUL 3



3.53



Tahap 4 : Menguji cara dan tujuan alternatif; menetapkan tujuan dan intensi untuk bertindak. Tahap 5 : Mentrasformasi intens untuk berubah menjadi upaya perubahan yang sesungguhnya. Tahap 3, 4 dan 5 identik dengan tahap movement/change Tahap 6 : Generalisasi dan stabilisasi perubahan. Tahap ini identik dengan refreezing Tahap 7 : Mencapai titik akhir hubungan. 2.



Model Bechard & Harris Beckhard & Harris (1987) dalam bukunya Organizational Transitions: Managing Complex Change, menyajikan sebuah model perubahan yang menekankan pentingnya motivasi perubahan. Modelnya disajikan dalam bentuk persamaan sederhana sebagai berikut: Perubahan = ABC > D di mana: A = ketidakpuasan terhadap keadaan status quo B = masa depan yang diharapkan C = langkah-langkah praktis yang dijalankan dalam perubahan D = biaya untuk melakukan perubahan Menurut Beckhard & Harris, perubahan akan terjadi bilamana manajer dan para karyawannya merasa tidak puas dengan keadaan sekarang yang sedang berlangsung atau kondisi status quo, manajer dan para karyawan menghendaki ada masa depan yang diharapkan dan ada jalan untuk melakukan perubahan. Jika ketiga elemen ini memperoleh hasil lebih besar dari biaya untuk menjalankan perubahan maka perubahan bisa tercapai. Beckhard & Harris mengatakan bahwa model ini merupakan pendekatan manajemen perubahan yang memotivasi pihak-pihak yang terkait dengan perubahan untuk melaksanakannya. Model ini sangat berpengaruh dan memberikan kontribusi besar bagaimana perubahan terencana seharusnya dijalankan yakni: kita perlu meminimalisasi biaya untuk melakukan perubahan, perlu meyakinkan pihak-pihak yang terkait dengan perubahan bahwa kondisi sekarang sedang bermasalah dan perlu mempersuasi mereka bahwa kita perlu visi masa depan dan tersedia sarana untuk mencapainya. Menurut Beckhard & Harris, fokus kepada masa depan jauh lebih menguntungkan ketimbang mempersoalkan kondisi sekarang karena beberapa alasan berikut:



3.54



a. b.



c. d.



Manajemen Perubahan 



Masa depan bisa digunakan untuk merubah pesimisme menjadi optimisme. Masa depan digunakan untuk memvisualisasikan peran mereka yang perlu dilakukan dan bisa juga meningkatkan kepatuhan terhadap organisasi. Masa depan yang jelas bisa digunakan untuk mengurangi ketidakpastian dan perasaan tidak aman. Masa depan yang jelas bisa digunakan untuk memberi fokus perhatian bagaimana membuat organisasi lebih efektif ketimbang sekedar meributkan masalah organisasi dan gejala-gejalanya saat ini.



Dalam menanggapi model perubahan yang dikemukakan Beckhard & Harris, Williams, Woodward & Dobson (2003) mengatakan bahwa titik lemah, kalau bisa dikatakan demikian dari model perubahannya Beckhard & Harris adalah model ini tidak menekankan pentingnya kekuatan atau kekuasaan untuk mengimplementasikan perubahan seolah-olah hanya dengan diberitahu dan dipersuasi bahwa kita memiliki masa depan yang perlu dicapai dan diberi tahu jalan yang harus ditempuh semua orang mau melakukan perubahan. Padahal perubahan kadang-kadang harus dipaksakan, tidak cukup dengan doktrin ―truth and love‖ saja. 3.



Critical Path Model Beer, Eisenstat & Spector (1991) menawarkan model perubahan organisasi yang disebut critical path model – model jalur kritis. Fokus perhatian atau sasaran perubahan dari model ini adalah unit aktivitas dan atau level organisasi bukan pada level individu. Secara umum yang dimaksud dengan jalur kritis adalah proses perubahan yang dipimpin oleh seorang manajer. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan kecocokan berbagai macam tugas pada tingkat unit aktivitas dengan cara melakukan beberapa tindakan berikut ini. a. Memobilisasi energi semua pemangku kepentingan dengan cara melibatkan mereka semua dalam melakukan diagnosis terhadap beberapa masalah yang menghambat daya kompetitif organisasi. b. Mengembangkan visi organisasi agar tugas-tugas organisasi bisa diorganisir dan dikelola sehingga memiliki daya kompetitif. c. Membangun konsensus bahwa visi baru merupakan visi yang tepat, mampu dijalankan, dan cukup kohesif untuk menggerakkan perubahan.



 EKMA4565/MODUL 3



d.



e. f.



3.55



Merevitalisasi semua departemen untuk menghindari persepsi bahwa program perubahan dipaksakan dari pucuk pimpinan dan pada saat yang sama memastikan tingkat konsistensi antara program perubahan dengan pelaksanaan perubahan. Melakukan konsolidasi perubahan melalui kebijakan, sistem dan struktur formal organisasi dalam rangka institusionalisasi perubahan. Secara terus menerus melakukan monitoring dan upaya-upaya strategi baru untuk merespon masalah yang diperkirakan akan muncul dalam proses revitalisasi.



Keenam tindakan yang disarankan Beer et al. dalam mengimplementasikan perubahan tampak jelas bahwa melibatkan banyak orang dalam implementasi perubahan jauh lebih menguntungkan dan kemungkinan hasilnya lebih nyata ketimbang perubahan tersebut dilakukan oleh segelintir orang. Dengan melibatkan banyak orang paling tidak akan diperoleh konsensus dikalangan anggota organisasi dan revitalisasi semakin menyebar. Pandangan seperti ini sesungguhnya bukan hanya milik Beer et al. tetapi juga dikemukakan penulis lain dengan bahasa berbeda seperti ―buy-in‖, ―to get everybody in the room‖, ―ownership‖ atau ―bring people on board‖. Pandangan ini merupakan penegasan bahwa perubahan bukan hanya kepentingan segelintir orang yang ada di pucuk pimpinan tetapi juga kepentingan banyak orang. Oleh karena keterlibatan mereka dalam proses perubahan menjadi teramat penting. 4.



Model Sistem Manajer perubahan tidak hanya butuh sebuah model yang menjelaskan mengapa terjadi perubahan dan bagaimana perubahan diimplementasikan. Manajer perubahan juga membutuhkan model yang bisa menjelaskan apa yang akan diubah. Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa manajer perubahan membutuhkan model yang dapat menjelaskan perubahan secara komprehensif termasuk perubahan yang berkaitan dengan pertanyaan mengapa, bagaimana dan apa yang diubah. Model perubahan seperti ini disebut sebagai Model Sistem (lihat Gambar 3.7).



3.56



Manajemen Perubahan 



Strategi



Structure



Resources



Staff



Formal Policy and procedure



Technology & work processes



The way we think about things around here



Strategi



Structure



Resources



Staff



Technology & work processes



Formal Policy and procedure



The way we do things around here



The way we feel about things around here



Gambar 3.8. Perubahan Model Sistem



 EKMA4565/MODUL 3



3.57



Pada Gambar 3.8 model sistem dari sebuah organisasi menekankan pentingnya saling keterkaitan antara berbagai elemen organisasi. Sebagai contoh, rekayasa ulang proses bisnis (business process reengineering), mengembangkan customer service, atau memperkenalkan TQM hampir pasti akan berdampak dan membutuhkan perubahan pada aspek organisasi lainnya seperti kompetensi karyawan, anggaran, prosedur penilaian kinerja, kebijakan sistem remunerasi dan sebagainya. Sederhananya, menurut model sistem perubahan yang terjadi pada satu komponen organisasi harus diikuti oleh perubahan pada komponen lainnya jika menginginkan perubahan tersebut efektif. Model ini sesungguhnya cocok untuk perubahan organisasi secara menyeluruh, tapi bukan berarti tidak bisa digunakan untuk perubahan yang terjadi pada kelompok kerja, departemen maupun unit bisnis terpisah. Model sistem yang digambarkan menekankan pentingnya memperhatikan aspek organisasi yang bersifat informal di samping aspek utama organisasi formal. Kedua aspek organisasi ini selalu bersinggungan setiap saat. Aspek informal organisasi meliputi semua aspek organisasi yang biasa disebut sebagai ―the human side of enterprise – sisi manusia dari sebuah organisasi‖ termasuk di dalamnya hubungan interpersonal antar karyawan dan budaya organisasi. Tidak bisa diingkari bahwa setiap orang, setiap individu baik di dalam maupun di luar organisasi adalah bagian integral dari sebuah komunitas yang memiliki norma, nilai-nilai dan keyakinan tersendiri yang berbeda dengan norma, nilai-nilai dan keyakinan komunitas lainnya. Akibatnya masing-masing komunitas memiliki cara berpikir, cara pandang, cara bertindak dan cara berperilaku yang khas yang tidak dimiliki oleh komunitas lain. Gambar 3.8 khususnya gambar sebelah kanan secara jelas menunjukkan bahwa sebuah organisasi di samping memiliki mekanisme sistem yang bersifat formal juga dibalut dengan sistem informal, seperti ―the way we do things around here – bagaimana kebiasaan kita melakukan segala sesuatunya disini‖. Gambaran ini sekaligus menegaskan bahwa menyusun strategi maupun mendesain struktur organisasi yang notabennya adalah aspek formal organisasi pada dasarnya tidak pernah lepas dari pengaruh aspek informal organisasi. Dengan kata lain, dalam perubahan berbasis sistem bukan hanya aspek formal saja yang harus diubah tetapi juga perlu merubah aspek informalnya. Perubahan terhadap aspek informal juga menjadi bagian dari cara mengatasi resistensi terhadap perubahan. Banyak kasus menunjukkan



3.58



Manajemen Perubahan 



kegagalan perubahan misalnya pada business process reengineering lebih disebabkan karena tidak disentuhnya aspek informal organisasi. Di samping itu, model perubahan berbasis sistem ini juga mengingatkan agar perubahan bisa berhasil mencapai tujuannya, saat melakukan implementasi perubahan mulai dari pengumpulan data, melakukan diagnosis, mempertimbangkan solusi penyelesaian, merencanakan implementasi dan monitoring perubahan, fokus perhatian harus ditujukan pada kedua aspek tersebut – formal dan informal. Peringatan ini diperlukan karena dalam banyak kasus aspek manusia cenderung diabaikan. Dalam bahasa Beer & Nohria (2000) perubahan jangan hanya menggunakan teori E – memperhatikan aspek ekonomi semata tetapi juga harus memperhatikan teori O – aspek proses dan sumber daya manusia. B. PENDEKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN Jika uraian tentang model manajemen perubahan dimaksudkan untuk menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat desain perubahan, pendekatan manajemen perubahan bermaksud menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan. Dengan merujuk berbagai sumber (lihat Tabel 3.7), Palmer, et al. (2006) mengatakan bahwa proses perubahan organisasi bisa dilakukan melalui pendekatan berbeda, bervariasi mulai dari lima tahap sampai 12 tahap. Perbedaan ini bukan sekedar berbeda pada jumlah tahapan yang harus dilalui tetapi berbeda dalam hal apakah semua tahapan tersebut harus dilalui, apakah tahapantahapan tersebut harus dilalui secara berurutan, atau apakah tahapan-tahapan tersebut hanya berlaku pada satu kondisi tertentu. Sebagai contoh, Ten Keys Approach – sepuluh kunci perubahan yang digagas Pendlebury et al. (1998) seperti tampak pada Tabel 3.7 kolom 1, sesungguhnya bisa diadaptasikan pada situasi tertentu dengan satu syarat semua kunci perubahan harus diaplikasikan sebab menurut mereka jika menghilangkan salah satu atau beberapa kunci perubahan dikhawatirkan akan menuai kegagalan dalam mentransformasi organisasi. Menurut penggagasnya sebagian besar kunci perubahan perlu diimplementasikan secara berbarengan dan terus menerus selama proses perubahan berlangsung. Meski demikian sebagian dari kunci perubahan memainkan peran yang lebih besar pada fase



3.59



 EKMA4565/MODUL 3



perubahan tertentu dibandingkan dengan kunci perubahan lainnya, sebagai contoh: 1. Pada perubahan diskontinyu biasanya perubahan terjadi pada lingkungan yang statis dan oleh karenanya semua kunci perubahan perlu diterapkan secara cermat. 2. Sementara itu, pada lingkungan dinamis, di mana perubahan bersifat kontinu, kunci No. 2 (mobilisasi karyawan), kunci No. 3 (katalisasi terhadap karyawan), kunci No. 7 (menangani emosi karyawan) dan kunci No. 8 (menangani kekuasaan/kekuatan karyawan) dianggap tidak begitu vital meski harus tetap diaplikasikan karena karyawan pada situasi perubahan seperti ini dianggap sudah terbiasa dengan perubahan. Tabel 3.7. Beberapa Contoh Pendekatan Manajemen Perubahan Ten Keys 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Definisikan visi Mobilisasi Katalis Kendali Sampaikan Dapatkan partisipasi Tahan emosi Tahan kekuasaan Latih dan bina Komunikasi aktif



Ten Commandments Dapatkan dukungan 1. Lakukan analisis dari kelompok yang akan kebutuhan disegani perubahan Dapatkan pemimpin 2. Ciptakan visi untuk menjadi model bersama dalam perubahan 3. Pisahkan diri dari Gunakan simbol dan masa lalu bahasa 4. Ciptakan Definisikan area suasana stabilitas keterdesakan Munculkan akan perubahan ketidakpuasan 5. Dukung peran dengan kondisi saat pemimpin yang ini kuat Promosikan 6. Buatlah daftar partisipasi dalam dukungan politik perubahan 7. Susun rencana Beri penghargaan implementasi terhadap perilaku 8. Kembangkan yang mendukung struktur yang perubahan fleksibel Lepaskan diri dari 9. Komunikasi dan masa lalu libatkan banyak Kembangkan dan orang komunikasikan secara 10. Perkuat dan jelas gambaran masa institusionalis 12 Action Steps



1. 2. 3. 4. 5.



6. 7.



8. 9.



Transformation Trajectory 1. Kesadaran 2. Pahami masa depan 3. Bangun agenda perubahan 4. Sampaikan perubahan besar 5. Kuasai perubahan



3.60



Manajemen Perubahan 



depan 10. Gunakan berbagai titik pengaruh 11. Kembangkan manajemen transisi 12. Ciptakan umpan balik



akan perubahan



Terkait dengan Tabel 3.7 kolom 2, pendekatan perubahan yang disebut sebagai ―perubahan 12 langkah (12 action steps)‖ yang digagas Nadler (1998) merupakan pendekatan manajemen perubahan yang bisa diadaptasikan dan diaplikasikan sebagai alat bantu bagi para eksekutif dan manajer untuk menginisiasi, memimpin dan mengelola perubahan pada setiap bagian organisasi. Menurut Nadler perubahan diskontinyu merupakan perubahan yang bersifat siklikal bukan linear sehingga ke-12 tahap perubahan tersebut akan terus diaplikasikan secara berulang sampai mendapatkan titik keseimbangan yang diharapkan. Sementara itu tiga elemen inti yang perlu diatur secara baik selama proses transformasi adalah: 1. Kekuatan organisasi untuk melakukan perubahan seperti ditunjukkan pada tahap 1 sampai tahap 4. 2. Motivasi karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan, khususnya dalam rangka mengatasi kekhawatiran karyawan selama proses perubahan berlangsung. Hal ini bisa ditemui pada langkah 5 sampai 8. 3. Pengelolaan transisi perubahan yang terjadi mulai tahap 9 sampai 12. Selanjutnya Nadler mengakui, meski ke-12 tahap perubahan merupakan tahapan yang semuanya penting, beberapa tahapan perlu mendapat tekanan lebih dibandingkan dengan tahapan lainnya. Demikian juga urutan tahapan tersebut akan berbeda pada setiap proses perubahan yang berbeda bergantung pada konteks yang melingkupinya. Pandangan Nadler tentang proses perubahan yang bersifat siklikal didukung oleh Taffinder (1998) yang mengatakan hal yang kurang lebih sama. Pendekatan manajemen perubahan yang digagas Taffinder disebut ―transformation trajectories – perjalanan transformasi‖ terdiri dari lima tahap (lihat Tabel 3.7, kolom 4). Menurut Taffinder kelima tahap ini tidak bersifat linear tetapi multidimensi yang dimulai dari sebuah kejutan untuk membuat kesadaran bahwa perubahan itu perlu dilakukan. Selanjutnya beberapa tindakan berikutnya sangat bergantung pada respon karyawan bagaimana



 EKMA4565/MODUL 3



3.61



menanggapi kejutan tersebut. Walhasil, kelima tahapan ini tidak dilakukan secara berurutan melainkan bersifat kontekstual. Pada Tabel 3.7 kolom 3 merupakan pendekatan manajemen perubahan yang oleh penggagasnya Rose Kanter et al. (1992) disebut sebagai ―Ten Commandments‖ sebuah terminologi yang diambil dari kitab Taurat – The Ten Commandments – Sepuluh Perintah Tuhan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Sepuluh Perintah adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses perubahan. Berikut adalah beberapa penjelasan penting terkait dengan pendekatan tersebut. 1. Tahapan-tahapan perubahan akan dipraktikkan dan diinterpretasikan secara beragam sangat bergantung pada pihak-pihak yang mengimplementasikannya (para strategis, pengimplementasi perubahan dan penerima perubahan). Sebagai contoh, ketika para strategis menganggap bahwa perubahan itu begitu penting dan mendesak untuk dilakukan, para penerima perubahan mungkin berpandangan lain khususnya jika perubahan tersebut justru akan menjadikan mereka nantinya dipecat dari pekerjaan. 2. Berbagai macam perubahan boleh jadi berjalan berbarengan sehingga kadang-kadang kita sulit menentukan apa yang dimaksud dengan masa lalu. 3. Pendekatan perubahan ini perlu dikaitkan dengan masing-masing organisasi yang membutuhkan perubahan. Bahkan tidak mustahil pendekatan inipun menjadi sumber perdebatan di dalam organisasi dalam hal bagaimana proses perubahan tersebut harus dilakukan. 4. Perhatian terhadap komunikasi perubahan perlu lebih ditekankan. Dalam hal ini komunikasi bukan sekedar menyampaikan informasi kepada pihak lain yang terkait dengan perubahan tetapi perlu juga mendengarkan suara mereka, di samping diperlukan pula dialog dengan mereka yang nantinya terkena imbas perubahan. 5. Kesepuluh tahapan dalam pendekatan ini adalah tindakan yang dijalankan dalam proses perubahan. Hanya saja perlu disadari bahwa tindakan-tindakan tersebut sering tidak dibarengi dengan pengawasan ketika skala perubahan besar diimplementasikan. Oleh karenanya mereka yang akan melakukan perubahan harus pandai bereaksi sepandai saat mereka melakukan tindakan. 6. Kesepuluh tahap perubahan ini merupakan tahapan yang paradoksal dalam pengertian tahapan ini membantu para strategis dan mereka yang



3.62



7.



Manajemen Perubahan 



mengimplementasikan perubahan dengan berbagai macam alat bantu yang tepat untuk mengendalikan perubahan di mana tepat pada saat bersamaan justru proses perubahan menuntut hal yang sebaliknya. Sebagai contoh, sementara tahapan-tahapan tersebut bisa digunakan untuk meminimalkan kegagalan dalam perubahan, memaksimalkan pengawasan dan menghindari ketidakmenentuan, dan mendefinisikan hasil akhir dari perubahan, proses perubahan transformatif sesungguhnya menuntut agar tindakan eksperimen dan berani mengambil risiko, memberi toleransi terhadap dampak yang belum diketahui, dan membiarkan agar perubahan bergerak mengalir menuju hasil akhir, bukan menargetkan hasil akhir. Meski pendekatan ini mensyaratkan agar perubahan dipimpin oleh seorang pemimpinan yang disegani dalam kenyataannya salah seorang dari beberapa pimpinan boleh jadi justru memperdebatkan bagaimana proses perubahan harus dikelola dan siapa yang patut mengelolanya.



Sementara penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendekatan perubahan ini cenderung ambigu, Kanter et al. menegaskan bahwa meski perubahan bukan pekerjaan mudah tetapi jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat dan dengan sikap yang baik, perubahan bisa menjadi petualangan yang menyenangkan. 1.



Pendekatan Manajemen Perubahan Menurut Kotter Salah satu pendekatan perubahan manajemen yang sangat populer dan menjadi rujukan para manajer dan praktisi perubahan serta diajarkan di sekolah-sekolah bisnis terkenal adalah pendekatan yang digagas oleh John Kotter. Kotter menuangkan gagasannya ke dalam tiga tulisan. Yang pertama di Harvard Business Review (1995). Tulisan ini mendapat respon luar biasa dan menjadi tulisan HBR yang paling banyak diminta pembaca. Kedua dalam bentuk buku dengan judul Leading Change diterbitkan tahun 1996. Selanjutnya bersama Dan Cohen (2002) Kotter melanjutkan tulisannya dalam bentuk buku diberi judul ―The Heart of Change‖. Tulisan terakhir mencoba mengurai satu persatu esensi dari 8 langkah perubahan yang digagas sebelumnya. Ringkasan pendekatan perubahan yang diajukan Kotter dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini.



3.63



 EKMA4565/MODUL 3



Tabel 3.8. Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter Tahapan 1. Membangun suasana “perlu segera dilakukan perubahan”



2. Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan



3. Mengembangkan visi 4. Mengkomunikasikan visi



5. Memperdayakan staf



6. Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka pendek 7. Mengonsolidasikan keuntungan



8. Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi



Tindakan  Melakukan analisis pasar  Mengidentifikasi masalah yang dihadapi organisasi dan kesempatan yang terbuka bagi organisasi  Menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga semua orang memberi perhatian akan pentingnya perubahan dengan tujuan agar organisasi mampu menghadapi tantangan  Membentuk tim sebagai agen perubahan untuk membantu mendorong terlaksananya perubahan  Memastikan tim (agen perubahan) memiliki cukup kekuasaan untuk mencapai perubahan yang diharapkan  Mengembangkan visi yang memungkinkan orang-orang fokus pada perubahan  Bangun perilaku yang didasarkan pada visi sebagai role model  Gunakan berbagai jalur untuk mengkomunikasikan visi  Hilangkan kebijakan dan struktur organisasi yang menghambat pencapaian visi  Dorong agar orang-orang mau mengambil risiko  Keberhasilan segera bisa menumbuhkan kebutuhan akan perubahan  Memberi penghargaan atas keberhasilan bisa membantu orang untuk berinovasi  Meneruskan menghilangkan kebijakan dan proses organisasi yang menghambat perubahan  Berilah penghargaan bagi orang yang melakukan tindakan positif berkait dengan perubahan  Ciptakan proyek-proyek baru yang masih berkaitan dengan proyek perubahan sebelumnya  Hubungkan perubahan dengan kinerja organisasi dan kepemimpinan di dalam organisasi sehingga tercipta budaya baru



3.64



Manajemen Perubahan 



Pada Tabel 3.8 ada delapan langkah yang harus dilalui dalam menjalankan proses perubahan organisasi. Proses perubahan dimulai dari langkah pertama menciptakan sense of urgency yakni menciptakan suasana bahwa perubahan betul-betul mendesak untuk segera dilakukan jika menghendaki organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang, dan diakhiri dengan melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan sehari-hari organisasi sehingga tercipta budaya baru. Kedelapan langkah tersebut kemudian dikemas dalam sebuah pola yang disebut ―see-feel-change – lihat-rasakan-berubah‖. Artinya, setiap langkah yang harus ditempuh dalam proses perubahan akan ditempuh dengan pola tersebut sebagai domainnya. Dengan kemasan seperti ini tanpa harus mengesampingkan alternatif pola yang lain ―analyze-think-change – analisis-berpikir-berubah‖, Kotter sesungguhnya mengajak siapa saja yang terlibat dalam perubahan untuk melihat perubahan dari hati bukan semata-mata dari pikiran dan memperlakukan perubahan sebagai bagian dari perilaku hidup sehari-hari mereka bukan sesuatu yang berjarak dari diri mereka. Dengan pola ini Kotter berharap setiap orang akan termotivasi untuk melakukan perubahan. Pola seperti tersebut di atas ditawarkan karena Kotter sadar bahwa upaya untuk melakukan perubahan kadang-kadang penuh dengan kejutan dan situasinya amburadul (messy) sehingga perlu meminang hati orang yang akan diajak untuk melakukan perubahan. Demikian juga manajer pelaku perubahan disarankan untuk tidak tergesa-gesa ingin menyelesaikan perubahan dengan cepat karena cara tersebut hanya akan menciptakan ilusi keberhasilan bukan keberhasilan sesungguhnya yang memuaskan. Oleh karenanya Kotter menyarankan agar kedelapan langkah yang digariskannya dijalankan secara seksama. 2.



Pendekatan Kontingensi Para teoritisi perubahan yang berbasis pada Theory O – teori organisasi menganggap bahwa pendekatan manajemen perubahan seperti yang diuraikan sebelumnya lebih bersifat pragmatis dan ―one best way‖ meski diakui adanya variasi dan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud one best way di sini adalah pendekatan tersebut layaknya menu masakan atau resep dokter yang harus diikuti apa adanya dan seolah-olah merupakan cara menjalankan perubahan organisasi yang paling benar. Asumsi ini ditentang para penganut paham teori kontingensi yang menganggap tidak ada satu pun pendekatan yang paling benar karena



 EKMA4565/MODUL 3



3.65



semuanya tergantung pada konteks yang melingkupinya. Dalam hal gaya manajemen, perubahan misalnya tidak bisa selamanya top-down tetapi sangat bergantung pada skala perubahan yang dihadapi dan kemampuan anggota organisasi menerima dan menjalankan perubahan. Gaya manajemen top down masih bisa digunakan tetapi barangkali hanya cocok untuk organisasi level bawah. Salah satu pendekatan kontingensi yang cukup populer adalah sebuah konsep yang dibangun oleh Dexter Dunphy & Doug Stace (lihat Dunphy & Stace, 1988, 1993; Stace & Dunphy, 1991). Keduanya mengatakan bahwa proses perubahan organisasi dapat didekati melalui dua perspektif – gaya manajemen dan skala perubahan. Gaya manajemen perubahan bisa dibedakan menjadi empat macam yakni: kolaboratif, konsultatif, direktif dan paksaan. Sementara itu skala perubahan dibedakan menjadi empat yaitu: fine-tuning atau bertahan pada situasi sekarang, incremental yang disesuaikan, transformasi modular dan transformasi korporat. Baik gaya manajemen maupun skala perubahan harus disesuaikan dengan kebutuhan perubahan. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.8.



3.66



Manajemen Perubahan 



Skala Perubahan Finetuning



Penyesuaian Transformasi Transformasi inkremental modular korporat



Kolaboratif



Gaya manajemen Perubahan



Konsultatif



Direktif



Berkinerja rendah (menghindari perubahan}



transisi pengembangan (perubahan konstan)



Transformasi karismatik (perubahan inspiarsional}



transisi yang fokus pada tugas (perubahan konstan)



Penyehatan (perubahan kerangka pikir}



Paksaan



Gambar 3.9. Pendekatan Perubahan Kontingensi Menurut Dunphy/Stace



Berdasarkan kombinasi antara gaya manajemen dan skala perubahan seperti tampak pada Gambar 3.9, Dunphy & Stace menggagas 5 pendekatan manajemen perubahan. a. Developmental transition – transisi yang bersifat pengembangan. Pendekatan ini merujuk pada situasi di mana terjadi perubahan yang konstan sebagai akibat dari adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungan eksternal. Dalam melakukan perubahan, pemimpin bertindak dalam kapasitas sebagai seorang coach (pembina) dengan harapan anggota organisasi secara sukarela mau terlibat dan melakukan perubahan, dan memiliki komitmen demi perbaikan kinerja berkelanjutan. Gaya kepemimpinan seperti ini disebut sebagai consultative change leadership – kepemimpinan perubahan konsultatif. b. Task-fokused transition – transisi yang fokus pada tugas. Gaya manajemen pada pendekatan ini adalah direktif di mana seorang



 EKMA4565/MODUL 3



c.



d.



e.



3.



3.67



pemimpin bertindak sebagai seorang kapten yang menuntut kepatuhan para anggota organisasi untuk mendefinisikan ulang bagaimana seharusnya organisasi menjalankan kegiatannya. Meski gaya kepemimpinan direktif bisa diartikan sebagai gaya kepemimpinan yang menjalankan perubahan dari atas (top down), bagi pemimpin level bawah yang mengimplementasikan perubahan gaya kepemimpinannya bisa lebih bersifat konsultatif ketimbang direktif. Charismatic transformation – transformasi karismatik. Pada pendekatan ini anggota organisasi mau menerima kenyataan bahwa organisasi sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan lingkungan eksternal dan karenanya membutuhkan perubahan radikal dan revolusioner. Berkenaan dengan hal itu, dalam upayanya untuk menciptakan identitas baru berkaitan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan organisasi, pimpinan karismatik berperan sebagai simbol untuk mendapatkan komitmen emosional dari para anggota organisasi agar arah baru organisasi bisa digapai. Turn around – penyehatan organisasi. Pada intinya penyehatan organisasi adalah frame-breaking change – perubahan mendasar yang mengubah kerangka dasar organisasi. Jika pimpinan karismatik bertindak sebagai pemberi inspirasi pada perubahan, pada pendekatan ini pimpinan bertindak sebagai komandan yang memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya untuk melakukan perubahan yang dibebankan kepadanya. Gaya kepemimpinan yang direktif atau paksaan seperti ini dalam batas-batas tertentu sangat dibutuhkan terutama jika dukungan anggota organisasi sangat minimal dan waktu yang tersedia untuk melakukan perubahan sangat terbatas. Taylorism – model perubahan Frederick Taylor. Sebagaimana kita ketahui Frederick Taylor dikenal sebagai Bapak Scientific management yang mencoba melakukan perubahan berbasis ilmu pengetahuan dengan mengabaikan aspek manusia. Oleh karena itu pendekatan ini cenderung paternalistic dalam melakukan perubahan dan biasanya dikaitkan dengan istilah fine-tuning yakni berkutat pada situasi berjalan.



Pendekatan Proses Pada dasarnya pendekatan proses memiliki anggapan yang sama dengan pendekatan kontingensi yaitu perubahan organisasi akan berkembang sesuai dengan konteks yang melingkupi perubahan tersebut, demikian juga



3.68



Manajemen Perubahan 



perubahan akan berbeda untuk waktu yang berbeda. Meski demikian pendekatan proses beranggapan bahwa perubahan seharusnya dan tidak bisa disederhanakan atau dipahami sebagai proses yang bersifat linear. Sebaliknya perubahan merupakan proses berjalan yang tidak ada awal dan tidak ada akhir. Seperti diakui oleh Palmer et al. (2006) pendekatan prosesual sangat didominasi oleh tulisan Andrew Pettigrew. Pendekatan ini bermula dari penelitian Pettigrew yang melakukan studi tentang perubahan dan stabilitas organisasi di perusahaan kimia di Inggris – ICI dari tahun 1960-an sampai tahun 1980-an. Hasilnya kemudian dituangkan dalam sebuah buku: ―The Awakening Giant: Continuity and Change in Imperial Chemical Industries‖ (1985). Menurut Pettigrew kunci untuk memahami perubahan organisasi adalah dengan (1) mengidentifikasikan berbagai macam dan komposisi penyebab perubahan; (2) menguji kesejajaran antara rasionalitas dengan politik; (3) menguji efisiensi dikontraskan dengan kekuasaan; (4) memahami peran seseorang yang eksepsional (sangat beda) dikontraskan dengan situasi yang ekstrim; (5) memahami ketidakteraturan perubahan; dan (6) mengeksplorasi beberapa kondisi yang menyebabkan komposisi ini terbentuk. Sederhananya, perubahan bisa dipahami sebagai saling peran yang sangat kompleks antara konten, proses dan konteks. Artinya kita harus mengakui bahwa di dalam perubahan terdapat banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda, memiliki rasionalitas berbeda, waktu, bahasa dan perilaku berbeda yang kesemuanya akan berpengaruh terhadap terjadinya perubahan organisasi. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa perubahan organisasi khususnya perubahan strategis merupakan pekerjaan yang tidak mudah, sangat menantang, memakan waktu lama dan berliku-liku. Di muka telah dijelaskan bahwa perubahan bisa terjadi karena keterlibatan tiga hal yakni konten, proses dan konteks. Konten adalah apa yang diubah; proses adalah bagaimana perubahan dilakukan dan konteks adalah lingkup perubahannya. Hal ini bisa diartikan bahwa untuk melakukan proses perubahan seorang manajer harus memahami konteks, di samping konten, agar bisa mengetahui keberlanjutan organisasi di satu sisi dan performance gaps disisi lain. Dalam hal ini konteks bukan saja lingkungan eksternal tetapi juga lingkungan internal. Konteks juga menyebabkan seorang manajer mendapat kemudahan dan bisa juga hambatan dalam melakukan perubahan.



 EKMA4565/MODUL 3



3.69



Berdasarkan penjelasan di atas pertanyaannya adalah apakah mungkin menjelaskan dan mengkodifikasi tugas dan keahlian yang tepat dalam mengelola perubahan strategis yang melibatkan berbagai macam aktivitas yang sangat sensitif secara kontekstual tanpa harus mereduksi kompleksitas tersebut ke dalam kategorisasi yang bersifat umum? Untuk menjawab pertanyaan ini Pettigrew menyoroti beberapa tahapan dalam mengelola perubahan organisasi. a. Pertama adalah tahapan problem solving. Tahap ini sangat penting pada lingkungan politik yang sangat tinggi. Pada lingkungan seperti ini untuk memperoleh legitimasi bahwa masalah yang dihadapi organisasi adalah bukan sekadar gejala tetapi betul-betul masalah, diperlukan sinyal yang menandakan adanya masalah dan menyebarluaskannya ke seluruh elemen organisasi, mendiskusikannya dan mengambil keputusan. b. Kedua adalah membangun perhatian terhadap masalah yakni sebuah proses yang melibatkan berbagai level di dalam organisasi untuk mendapatkan pengakuan akan adanya masalah. Tahap ini merupakan proses edukasi yang memerlukan adanya rapat, penyediaan data yang terintegrasi, menyediakan ruang dan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perubahan untuk menguji sejauh mana kebenaran dan rasionalitas yang dihadapi. c. Tahap ketiga adalah pengakuan dan pemahaman terhadap masalah yang krusial. Pada periode ini menuntut adanya peran yang bersistem yang terus memperjuangkan pengakuan terhadap masalah. Tahap ini juga penting karena bisa membuka cara berpikir baru sejalan dengan terus dilakukannya diagnosis terhadap masalah yang ada dan solusinya. d. Tahap keempat adalah tahap perencanaan dan tindakan. Pada tahap ini dilakukan klarifikasi terhadap arah masa depan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai serta menempatkan seorang manajer yakni manajer pada masa transisi agar masa transisi tersebut bisa berjalan. Proses ini melibatkan manajer senior yang mengkontraskan antara situasi berjalan dengan apa yang dibutuhkan pada masa datang. Sementara itu manajer menengah memanfaatkan situasi ini sebagai momentum perubahan untuk menetapkan target-target yang hendak dicapai. e. Terakhir adalah menstabilkan perubahan. Pada tahap ini manajer memastikan bahwa apa yang telah dicapai tetap konsisten. Untuk itu kadang-kadang perlu dilakukan perubahan sistem organisasi untuk memperkuat dan mendukung perubahan. Tahapan-tahapan dalam pendekatan prosesual seperti yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa pendekatan prosesual sangat detail dalam analisis



3.70



Manajemen Perubahan 



dan memberikan pemahaman perubahan secara retrospektif bagi para manajer yang mengelola perubahan. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh penjelasan yang detail bagaimana proses selanjutnya harus dilakukan. Barangkali inilah tantangan terbesar bagi pendekatan prosesual. Di satu sisi pendekatan ini memiliki kelebihan dalam hal analisis dan pemahaman akademik tentang keruwetan politik, budaya dan konteks perubahan lainnya yang semua ini tentunya memberi pencerahan bagi manajer perubahan tetapi di sisi lain manajer tidak diberi pedoman bagaimana menterjemahkan semua ini ke dalam praktik perubahan. LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Jelaskan bagaimana caranya agar model organisasi bisa digunakan! 2) Jelaskan Lewin‘s Three-Stage Model! 3) Jelaskan Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Menurut Burke (2002), ada lima cara agar model organisasi bisa digunakan yaitu: a) Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih mudah dipahami. b) Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian. c) Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi seperti antara strategi dan struktur organisasi. d) Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik organisasi. e) Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil dalam situasi perubahan. 2) Lewin membuat model tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing.



 EKMA4565/MODUL 3



a)



3.71



Pada tahap unfreezing pola perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang, sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap perubahan. Proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang digunakan. b) Pada tahap movement atau change, meliputi proses perubahan sesungguhnya di mana organisasi akan bergerak dari kondisi sekarang ke kondisi yang diharapkan. c) Pada tahap refreezing dilakukan stabilisasi dan institusionalisasi perubahan dengan cara membangun sistem yang memungkinkan pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut memang dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang termasuk pada tahap ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen karyawan. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A). 3) Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah yaitu: 1) Membangun suasana ―perlu segera dilakukan perubahan‖. 2) Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan. 3) Mengembangkan visi. 4) Mengkomunikasikan visi. 5) Memperdayakan staf. 6) Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka pendek. 7) Mengkosolidasikan keuntungan. 8) Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi. Proses perubahan dimulai dari langkah pertama menciptakan sense of urgency yakni menciptakan suasana bahwa perubahan betul-betul mendesak untuk segera dilakukan jika menghendaki organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang, dan diakhiri dengan melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan sehari-hari organisasi sehingga tercipta budaya baru. (Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B).



3.72



Manajemen Perubahan 



R A NG KU M AN 1.



Tidak ada satu pun model perubahan yang paling benar, yang ada adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas organisasi. Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kecocokan model tersebut dengan situasi yang dihadapi organisasi dan aspekaspek organisasi yang perlu diulang. 2. Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan faktor penghambat perubahan. 3. Model manajemen perubahan dimaksudkan untuk menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat desain perubahan, sedangkan pendekatan manajemen perubahan dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan. 4. Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah yaitu: a. Membangun suasana ―perlu segera dilakukan perubahan‖. b. Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan. c. Mengembangkan visi. d. Mengkomunikasikan visi. e. Memperdayakan staf. f. Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka pendek. g. Mengkosolidasikan keuntungan. h. Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi.



 EKMA4565/MODUL 3



3.73



TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Perubahan pada sistem imbalan, sistem pelaporan, dan desain kerja merupakan salah satu perubahan organisasi menurut Lewin yaitu .... A. perubahan pada level individu karyawan yang bekerja di organisasi B. perubahan pada struktur dan sistem organisasi C. perubahan yang secara langsung merubah iklim organisasi D. perubahan yang secara langsung merubah gaya kepemimpinan 2) Perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi, merupakan prinsip model perubahan menurut…. A. Kurt Lewin B. Burke C. Lippit, Watson & Westley D. Beckhard & Harris 3) Fokus perhatian atau sasaran perubahan dari model adalah unit aktivitas dan atau level organisasi bukan pada level individu, merupakan sasaran model perubahan… A. Lewin‘s three-stage model B. Model Bechard & Harris C. Critical Path Model D. Model Sistem 4) Pendekatan manajemen perubahan dimaksudkan untuk …. A. menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan B. menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat desain perubahan C. menggambarkan model perubahan organisasi D. melakukan perubahan organisasi 5) Pendekatan perubahan di mana perubahan bisa diadaptasikan dan diaplikasikan sebagai alat bantu bagi para eksekutif dan manajer untuk menginisiasi, memimpin dan mengelola perubahan pada setiap bagian organisasi, merupakan esensi pendekatan… A. ten keys approach B. transformation trajectories



3.74



Manajemen Perubahan 



C. ten commandments D. 12 action steps 6) Salah satu tahapan dalam pendekatan perubahan menurut Kotter adalah memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal perubahan, hal ini merupakan tahapan…. A. 1 B. 2 C. 3 D. 4 7) Proses perubahan organisasi dapat dilihat melalui dua perspektif – gaya manajemen dan skala perubahan, merupakan konsep pendekatan…. A. model manajemen perubahan B. manajemen perubahan menurut Kotter C. kontingensi D. proses 8) Yang dimaksud charismatic transformation pada pendekatan manajemen perubahan menurut Dunphy & Stace yaitu…. A. pendekatan yang merujuk pada situasi di mana terjadi perubahan yang konstan sebagai akibat dari adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungan eksternal B. gaya manajemen pada pendekatan ini adalah direktif di mana seorang pemimpin bertindak sebagai seorang kapten yang menuntut kepatuhan para anggota organisasi untuk mendefinisikan ulang bagaimana seharusnya organisasi menjalankan kegiatannya C. pendekatan di mana anggota organisasi mau menerima kenyataan bahwa organisasi sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan lingkungan eksternal dan karenanya membutuhkan perubahan radikal dan revolusioner D. pendekatan di mana pimpinan bertindak sebagai komandan yang memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya untuk melakukan perubahan yang dibebankan kepadanya 9) Gaya-gaya manajemen perubahan menurut Dunphy & Stace meliputi.... A. kolaboratif B. kolaboratif dan konsultatif C. kolaboratif, konsultatif dan direktif D. kolaboratif, konsultatif, direktif dan paksaan



3.75



 EKMA4565/MODUL 3



10) Pendekatan yang memiliki kelebihan dalam hal analisis dan pemahaman akademik tentang keruwetan politik, budaya dan konteks perubahan lainnya tetapi manajer tidak diberi pedoman bagaimana menterjemahkannya ke dalam praktik perubahan merupakan kelemahan dari pendekatan…. A. kontingensi B. proses C. ten keys approach D. transformation trajectories Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



3.76



Manajemen Perubahan 



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) D. 2) B. 3) A. 4) B. 5) A. 6) C. 7) D. 8) B. 9) D. 10) A.



Tes Formatif 2 1) B. 2) A. 3) C. 4) A. 5) D. 6) B. 7) C. 8) C. 9) D. 10) B.



 EKMA4565/MODUL 3



3.77



Daftar Pustaka Adler, N.J. (2002). International Dimention of Organizational Behavior, 4th edition, Cincinnati, Ohio: South-Western. Armenakis, A. A., Harris, S. G., & Mossholder, K. (1993). Creating readiness for organizational change. Human Relations, 46, 681–703. Beer, M., Eisenstat, R.A. & Spector, B. (1990). The Critical Path to Corporate Renewal, Boston, MA: Harvard Business School Press. Beer, M, & Nohria, N. (2000). Breaking the Code of Change, Harvard Business Review, May-June, pp. 133-141. Bouckenooghe, D., Devos, G. & Van de Broeck, H. (2009). Organizational Change Questionnaire – Climate of Change, Process and Readiness: Development of a New instrument, Journal of Psychology, 143 (6), pp. 559-599. Buono, A.F. & Kerber, K.W. (2008). The Challenge of Organizational Change: Enhancing Organizational Change Capacity, Revue Sciences de Gestion, pp. 99-118. Bradford, D.L & Burke, W.W. (eds.) (2005). Reinventing Organization Development, San Francisco, CA: Feiffer. Burke, W.W. (2002). Organization Change: Theory and Practice, Thousands Oaks, CA: Sage Publication. Cook, P. (1995). Maximizing the opportunities and minimizing the adverse effects of a changing environment, Employee Counseling Today. vol.7, Issue. 7; pp. 4-6. Daniel, G.L. & Hollifiled, C.A. (2002). Time of Turmoil: Short – and Longterm Effects of Organizational Change on Newsroom Employees, Journalism & Mass Communication Quarterly, 79 (3), pp. 661-680.



3.78



Manajemen Perubahan 



Dooley, J. (1998). A whole-Person/Sistemic Organization Change Management, available at www.well.com/user/dooley/change.pdf, diakses 12 juli 2010. Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1988). Transformational and Coercive Strategies for Planned Organizational Change: Beyond O.D. Model, Organization Studies, 9 (3), pp. 317-334. Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1993). The Strategic Management of Corporate Change, Human Relations, 46 (8), pp. 905 – 1110. Elrod II, P.D. & Tippet, D.D. (2002). The Death Valley of Change, Journal of Organizational Change Management, 15, 3, pp. 273-291. Goldstein, L.D & Burke, W.W. (1991). Creating Successful Organization change, Organizational Dynamics, Spring, pp. 14-17. Greiner, L.E. (1972). Evolution and Revolution as Organizations Grow, Harvard Business Review, July-August, pp. 37-46. Greiner, L.E. (1998). Evolution and Revolution as Organizations Grow, Harvard Business Review, July-August, pp. 55-68. Hofstede, G. (1997). Cultures and Organizations: Software of the Mind, New York: McGraw-Hill. Hultman, K.E. (1995). Scalling the Wall of Resistance, Training and Development, October, pp. 15-18. Jick, T.D. & Peiperl, M.A., (2003). Managing Change: Cases and Concept, 2nd edition, New York: McGraw-Hill/Irwin. Kanter, R.M., Stein, B.A. & Jick.T.D. (1992). The Challenge of Organizational Change: HowCompanies Experience It and Leaders Guide It, New York: Free Press.



 EKMA4565/MODUL 3



3.79



Kirkpatick, D.L. (2001). Managing Change Effectively, Boston: ButterworthHeinemann. Kotter, J.P. (1995). Leading change: Why Transformation Effors Fail, Harvard Business Review, March/April, pp. 59-67. Kotter, J.P. (1996). Leading Change. Boston: Harvard Business School Press. Kotter, J.P. & Cohen, D.S. (2002). The Heart of Change, Boston: Harvard Business School Press. Kotter, J.P. & Schlesinger, L.A. (1979). Choosing strategies for Change, Harvard Business Review, March-April, pp. 104-114. Marshak, R.J. (2005). Contemporary Challenges to the Philosophy and Practice of Organization Development, in Bradford, D.L & Burke, W.W. (eds.) Reinventing Organization Development, San Francisco, CA.: Feiffer, pp. 3-42. Moran, J.W. & Brightman, B.K. (2001), Leading organizational change, Career Development International. Vol. 6, Issue. 2/3; pp. 111-118. Morgan, D.E & Zeffane, R. (2003). Employee Involvement, Organizational change and Trust in Managment, International Journal of Human Resource Management, 14 (1), pp. 55-75. Nadler, D.A. (1988). Champions of Change: How CEOs and Their Companies are Mastering the Skills of Radical Change, San Francisco: Josse-Bass. Palmer, I., Dunford, R. & Akin, G. (2006). Managing Organizational Change, Boston, Mass.: McGraw Hill. Recklies, O. (2001). Managing Change – Definition and Phases in Change Process, www.themanager.org. diakses tanggal 14/7/2010.



3.80



Manajemen Perubahan 



Robinson, S.L. & Rousseau, D.M. (1994). Violating the Psychological Contract: Not the Exception but the Norm, Journal of Organizational Behavior, 15, pp. 245-249. Suwarsono Muhammad, (2006). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.



Strategi



Penyehatan



Perusahaan,



Stace, D. A.(1996). Dominant Ideologies, Strategic Change, and Sustained Performance, Human Relations.49 (5), pp. 553- 570. Stace, D.A. & Dunphy, D.C. (1991). Beyond traditional paternalistic and developmental approaches to organizational change and human resource strategies, International Journal of Human Resource management, 2 (3), pp. 263-283. Stewart, T.A. (1994), Rate Your Readiness to Change, Fortune, 2/7/94, Vol. 129, Issue 3, pp. 106-110. Strebel, P. (1996). Why do Employees Resist Change? Harvard Business Review, May-June, pp. 86-92. Taffinder, P. (1988). Big Change: A Roadmap for Corporate Transformation, Chichester: John Wiley & Son Ltd. Van de Ven, A.H. & Poole, M.S. (1995). Explaining Development and Change in Organizations, Academy of Managemen Review, 20 (3), pp. 510-540. Walinga, J. (2008). Toward a Theory of Change Readiness: The Role of Appraisal, Focus and Perceived Control, The Journal of Applied Behavior Science, 20 (10), pp. 1-33. Weick, K.E. & Quinn, R.E. (1999). Organizational Change and Development, Annual Review of Psychology, 50, pp. 361-386. Williams, A., Woodward, S. & Dobson, P. (2003). Managing Change Successfully, Singapore: Thomson Learning.



Modul 4



Implementasi Perubahan: Faktor Manusia dan Kepemimpinan Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N



S



etelah memperoleh pemahaman tentang konsep dan model serta berbagai macam pendekatan yang biasa digunakan untuk menganalisis manajemen perubahan, kini giliran mahasiswa diajak untuk memahami elemen-elemen penting yang menentukan keberhasilan implementasi perubahan organisasi seperti konteks, konten dan proses. Tanpa mengurangi arti penting elemenelemen tersebut, fokus bahasan pada modul ini akan dititikberatkan pada faktor manusia dengan pertimbangan manusia sering dianggap sebagai penentu utama keberhasilan perubahan organisasi. Tentunya fokus perhatian pada faktor manusia sekali lagi tidak dimaksudkan untuk menafikan peran penting elemen-elemen selain manusia dalam perubahan organisasi, tetapi lebih dimaksudkan untuk menegaskan bahwa manusia adalah aktor utama di dalam kehidupan organisasi sehingga berubah tidaknya sebuah organisasi sangat bergantung pada manusianya. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Morrison (1994) “for organizations to change, people must change – agar organisasi bisa berubah maka orang-orangnya harus berubah”. Morrison selanjutnya mengatakan pula “for leaders to help people change they don‟t need to understand change, they need to understand people – agar para pimpinan bisa membantu orang-orangnya berubah mereka tidak perlu memahami perubahan, yang mereka perlukan adalah memahami orangorangnya”. Dalam bahasa yang lebih sederhana, organisasi sesungguhnya tidak berubah, yang berubah adalah manusianya. Pandangan yang kurang lebih sama juga dikemukakan Schneider et al. (1996) dan Tom Karp (2006). Scheider et al. misalnya menyatakan “if people don‟t change there is no organizational change – jika manusia tidak berubah maka tidak ada perubahan organisasi”. Perubahan pada hierarki organisasi, teknologi maupun network dan beberapa perubahan elemen organisasi lainnya akan bisa berjalan secara efektif jika dan hanya jika perubahan-perubahan ini



4.2



Manajemen Perubahan 



dikaitkan dengan perubahan pada diri manusianya (Beer & Nohria, 2000). Sementara itu Tom Karp (2006) menyatakan bahwa inti dari perubahan organisasi adalah manusia dan kepemimpinan yang tidak lain adalah manusia juga. Ungkapan-ungkapan di atas membawa kita pada satu kesimpulan bahwa manusia memiliki peran sentral dalam perubahan organisasi. Meski demikian kajian tentang manajemen perubahan cenderung lebih menekankan pentingnya teknik-teknik perubahan ketimbang faktor manusianya (Clegg & Walsh, 2004). Para pendukung pandangan ini berargumentasi bahwa manusia dianggap selalu berpikiran rasional sehingga manakala para manajer dengan alasan yang rasional memutuskan organisasi harus berubah maka orangorang yang bekerja di dalamnya pasti akan mendukung perubahan tersebut. Boleh jadi salah persepsi terhadap manusia inilah yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan perubahan organisasi karena manusia tidak selalu berpikiran rasional. Manusia tidak serta merta mau melakukan perubahan meski mereka tahu bahwa perubahan itu perlu. Oleh karena itu belakangan faktor manusia dalam perubahan organisasi mulai mendapat perhatian dan intensitasnya semakin meningkat. Atribut-atribut yang melekat pada diri seseorang seperti kepribadian, sikap, persepsi, nilai-nilai individu, emosi, perasaan dan atribut-atribut lain mulai dikaji untuk mengetahui kaitan dan pengaruhnya terhadap efektivitas perubahan organisasi. Kajian-kajian yang melibatkan faktor manusia seperti ini sering disebut sebagai manajemen perubahan dengan perspektif mikro (Bouckenooghe, 2009). Pada umumnya ketika kita membicarakan manusia di dalam organisasi manusia biasanya dikonotasikan sebagai karyawan yakni mereka yang menjadi objek manajemen dan perubahan. Pada modul ini yang dimaksudkan dengan manusia bukan hanya mereka yang menjadi objek perubahan tetapi juga mereka yang menjadi subjek perubahan yakni manajer atau pimpinan organisasi. Jadi, modul ini akan membahas dua hal – manusia dan kepemimpinan sehingga fokus bahasannya juga akan dibagi menjadi dua. Kegiatan Belajar 1 membahas faktor manusia (baca karyawan) dalam perubahan dan Kegiatan Belajar 2 membahas aspek kepemimpinan dalam perubahan organisasi. Pemilihan kedua topik ini dilandasi oleh penjelasan Tom Karp (2006) yang mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya perubahan organisasi sangat bergantung pada kedua faktor tersebut. Argumentasi yang dikemukakan Karp adalah kegagalan demi kegagalan dalam perubahan organisasi tidak disebabkan karena lemahnya visi perubahan atau tidak adanya intensi untuk melakukan perubahan tetapi lebih disebabkan karena



 EKMA4565/MODUL 4



4.3



orang-orang yang berada di dalam organisasi tidak mau mengakui bahwa lingkungan memaksa mereka harus berubah. Karena merasa tidak ada yang perlu diubah maka mereka enggan melakukan perubahan meski pada dasarnya manusia tidak anti perubahan. Ungkapan berikut ini mungkin patut diperhatikan: “Setiap orang pasti mendukung perubahan organisasi karena perubahan memberi peluang demi kemajuan organisasi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hanya saja ketika perubahan tersebut menimpa diri kita biasanya dukungan terhadap perubahan akan berubah arah”. Ungkapan di atas tentunya memberi peringatan kepada para manajer yang bertanggung jawab dalam memimpin perubahan. Intinya adalah perubahan bukan merupakan pekerjaan mudah terutama ketika menyangkut faktor manusia. Di satu sisi manusia (baca: karyawan) secara rasional akan mendukung perubahan tetapi di sisi yang lain secara emosional karyawan belum tentu memberi dukungan terhadap perubahan. Penyebabnya, meski dampak buruk belum terealisir dan belum tentu terjadi, bayang-bayang terhadap dampak negatif tersebut sangat menakutkan. Oleh karena itu agar para manajer berhasil memimpin perubahan mereka harus menggunakan alasan-alasan yang bersifat emosional di samping alasan yang bersifat rasional. Rasionalitas perubahan organisasi memang perlu dan barangkali penting dikedepankan tetapi sepertinya tidak cukup kuat untuk mengajak karyawan berpartisipasi dalam perubahan. Manusia, dalam situasi genting seperti dalam kasus perubahan organisasi, sering kali justru lebih mengandalkan aspek emosional, perasaan atau nilai-nilai individu yang menjadi keyakinan mereka dalam menyikapi dan menilai perlu tidaknya perubahan organisasi. Artinya tanpa memahami aspek-aspek ini diyakini bahwa para manajer akan menghadapi jalan buntu dalam menggerakkan perubahan organisasi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dengan selesainya modul ini dengan demikian mahasiswa diharapkan: 1. Memahami keberhasilan implementasi perubahan organisasi. 2. Menjelaskan dampak perubahan terhadap karyawan. 3. Menjelaskan dimensi tersembunyi dalam perubahan. 4. Menjelaskan faktor emosi dalam perubahan organisasi. 5. Menjelaskan dampak perubahan terhadap kontrak psikologis. 6. Mengelola Manusia pada Saat Implementasi Perubahan. 7. Memahami arti pemimpin dan kepemimpinan. 8. Menjelaskan perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen. 9. Menjelaskan pola kepemimpinan. 10. Menjelaskan kepemimpinan berorientasi perubahan. 11. Menjelaskan kepemimpinan transaksional – transformasional.



4.4



Manajemen Perubahan 



Kegiatan Belajar 1



Faktor Manusia dalam Perubahan Organisasi A. DAMPAK PERUBAHAN TERHADAP KARYAWAN Tidak peduli pada bagian mana atau bagaimana sebuah organisasi akan diubah – apakah perubahan minor atau perubahan berskala besar; apakah hanya prosedur kerja atau sistem organisasi yang diubah; apakah perubahan hanya sebatas pada iklim atau budaya organisasi; apakah perubahannya terencana atau tidak; apakah perubahannya incremental atau radikal, semuanya berpangkal dan berujung pada satu titik – manusia. Setiap perubahan organisasi pasti melibatkan manusia dalam prosesnya, bahkan manusia bisa disebut sebagai pelaku utama dan faktor kunci keberhasilan atau kegagalan perubahan. Penyebabnya tidak lain karena manusia itu sendiri memiliki peran sentral dalam kehidupan organisasi. Berhasil atau tidaknya perubahan organisasi sangat bergantung pada kemauan manusia untuk mendukung perubahan. Hal ini bukan berarti jika manusia (baca: karyawan) tidak mau berubah maka perubahan organisasi tidak perlu terjadi. Jika para manajer yakin bahwa perubahan organisasi merupakan suatu keharusan, karena jika tidak berubah justru semua pihak termasuk karyawan akan mengalami kerugian baik moral maupun material, maka perubahan tetap harus dilakukan. Hanya saja dalam implementasinya para manajer harus mempertimbangkan secara serius dampak perubahan tersebut terhadap aspek kehidupan manusia khususnya karyawan, dan juga keluarganya, yang biasanya akan merasakan dampak langsung dari perubahan tersebut. Bagi karyawan, perubahan sesungguhnya seperti dua sisi dari satu mata uang. Di satu sisi perubahan mampu membebaskan karyawan dari situasi yang membosankan, memberi peluang karyawan untuk berkembang dan memperoleh pengalaman baru, memberi kesempatan karyawan memikul tanggung jawab baru dan bersinar masa depannya. Di sisi lain perubahan juga bisa memberi ancaman kepada individu karyawan, baik riil maupun sebatas dugaan. Paling tidak perubahan organisasi menyebabkan karyawan merasa khawatir akan kehilangan masa depannya, takut akan kehilangan kebanggaan yang selama ini telah mereka raih dan takut kehidupan sosialnya terganggu.



 EKMA4565/MODUL 4



4.5



Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan proses perubahan, sejak awal sejak sebelum melontarkan ide-idenya tentang perubahan kepada karyawan seorang manajer sebaiknya mulai memikirkan cara-cara yang tepat untuk mengatasi kemungkinan terjadinya hal buruk (unintended consequences) dari perubahan ketimbang menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Memikirkan unintended consequences bukan berarti manajer memiliki prasangka buruk terhadap karyawan tetapi fakta menunjukkan bahwa proses perubahan selalu diawali dengan respon negatif karyawan – schock misalnya (lihat kembali Modul 3 Gambar 3.6) sebelum akhirnya karyawan menyadari perlunya perubahan dan mau terlibat dalam perubahan. Dengan demikian, agar perubahan berhasil dilaksanakan, seorang manajer terlebih dahulu harus lulus ujian pertama yakni mampu mengatasi respon negatif dan resistensi karyawan terhadap perubahan. Paling tidak,karyawan mampu menyesuaikan diri dengan ide-ide perubahan sehingga pada akhirnya karyawan mau bergerak lebih jauh dan berkontribusi terhadap perubahan. Berdasarkan penjelasan di atas dan untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap karyawan, uraian berikut akan difokuskan pada beberapa topik yang terkait dengan dampak perubahan yang bersifat psikologis. Topik dimaksud di antaranya adalah: 1. Dimensi tersembunyi dalam perubahan. 2. Aspek emosi dalam perubahan. 3. Proses transisi individu. 4. Kontrak psikologis. B. DIMENSI TERSEMBUNYI DALAM PERUBAHAN Dengan menggunakan metafora gunung es, Sobirin (2010) membagi organisasi menjadi dua bagian yaitu bagian yang bersifat formal rasional dan bagian yang bersifat informal behavioral. Kedua bagian tersebut memiliki sifat berbeda. Bagian pertama mudah diakses pihak luar organisasi sedang bagian kedua cenderung tersembunyi. Meski demikian keduanya selalu hadir berdampingan dan memiliki peran yang seimbang dalam memajukan kehidupan organisasi. Mengingat perubahan organisasi merupakan bagian integral dari pengelolaan organisasi menuju organisasi yang lebih efisien dan efektif, sudah seharusnya kedua bagian tersebut dikelola secara seimbang pula. Sayangnya dalam praktik perhatian terhadap aspek formal rasional biasanya lebih menonjol dibandingkan dengan perhatian terhadap aspek



4.6



Manajemen Perubahan 



informal behavioral seperti emosi (Marshak, 2009). Berdasarkan pengalamannya berhubungan dengan berbagai eksekutif lintas dunia, Marshak lebih lanjut mengatakan: 1. Sebagian besar Agen perubahan lebih mengutamakan pendekatan rasional dalam mendorong perubahan organisasi. 2. Sebagian besar inisiatif perubahan sesungguhnya melibatkan dinamika nonrasional dan dinamika proses secara signifikan. 3. Sebagian besar Agen perubahan tetap menuntut agar dalam menjalankan perubahan organisasi menganggap bahwa perubahan organisasi murni bersifat rasional. Akibat terlalu fokus pada aspek formal rasional, pada umumnya manajer tidak dapat melihat sisi lain yang bersifat nonrasional. Padahal dampak yang ditimbulkan aspek nonrasional terhadap keberhasilan perubahan organisasi sering kali justru jauh lebih besar. Kecenderungan seperti inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan perubahan organisasi. Aspek rasional, seperti dikatakan Marshak, sesungguhnya hanya salah satu dari enam dimensi perubahan organisasi. Kelima dimensi lainnya adalah politik, inspirasi, emosi, mindset dan psikodinamik. Marshak mengatakan pula, dari keenam dimensi tersebut hanya rasional atau reason yang bersifat overt (terbuka) sedangkan selebihnya bersifat hidden (tersembunyi). Keenam dimensi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.1. Enam Dimensi Perubahan Organisasi Reason/Akal Rasional, analitik dan logis



Politik



Inspirasi



Emosi



Mindset



Kepentingan individu dan kelompok



Aspirasi berbasis nilai dan visi



Perasaan afektif dan reaktif



Berpedoman pada keyakinan dan asumsi dasar



Psikodinamik Pertahanan diri berbasis pada kekhawatiran dan alam bawah sadar



Seperti pada umumnya terjadi pada organisasi-organisasi besar yang dikelola dengan menggunakan pendekatan manajemen modern, manajer cenderung berpikiran rasional dan pikiran tersebut mendominasi kehidupannya. Penyebabnya boleh jadi karena manajer semata-mata



 EKMA4565/MODUL 4



4.7



menganggap organisasi sebagai mesin (Morgan, 1996) yang berfungsi sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan. Akibatnya mereka terbebani oleh tanggung jawab besar untuk membawa organisasi yang dipimpinnya menjadi organisasi yang efisien dan efektif demi menyejahterakan pemilik atau investor. Karena terkungkung dengan pikiran rasional, konsekuensinya ketika memaparkan ide-idenya untuk perubahan organisasi para manajer juga menggunakan alasan-alasan yang rasional. Dimensi yang tersembunyi (covert dimensions) menjadi terabaikan dan tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Barangkali manajer lupa bahwa yang memiliki kepentingan bukan hanya para pemilik atau investor. Dalam kehidupan organisasi setiap individu termasuk karyawan pada umumnya dan diri para manajer juga, masingmasing mempunyai kepentingan. Karena kepentingan masing-masing berbeda maka berpolitik di dalam organisasi sesungguhnya merupakan hal yang lumrah terjadi mengingat politik identik dengan kepentingan. Para manajer juga lupa menyampaikan kepada karyawan jika perubahan yang diusulkannya masih dalam ranah nilai dan visi organisasi yang sebelumnya telah disepakati bersama. Akibatnya usulan perubahan tersebut gagal memberi inspirasi dan memotivasi karyawan untuk merubah prilakunya karena karyawan merasa bahwa para manajer mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat. Demikian juga apakah para manajer mempertimbangkan aspek emosi karyawan? Belum tentu atau bahkan tentu tidak. Setiap individu karyawan secara emosional pasti akan terpengaruh ketika mendengar samar-samar akan terjadi perubahan organisasi. Akibatnya meski perubahan itu sendiri belum terwujud mereka mengekspresikan perasaannya dalam berbagai bentuk: ada yang sekedar mengabaikan isu tersebut sambil bersiap-siap mencari cara untuk balas dendam jika perubahan tersebut betul-betul dilaksanakan; ada yang seketika menyuarakan ketidaksetujuannya; dan ada juga yang bersiap-siap pindah kerja karena merasa organisasi yang sekarang bukan lagi menjadi tempat yang layak untuk meniti karir. Demikian juga, karena mengajukan ide-ide perubahan murni berbasiskan rasionalitas, sering kali para manajer justru lupa menyampaikan hal yang paling esensial dalam kehidupan organisasi yakni mindset atau budaya organisasi yang terlanjur dijadikan landasan berpikir dan bertindak karyawan. Padahal terbentuknya mindset tersebut sesungguhnya para manajer pula yang menjadi pemandunya. Akibatnya tidak jarang karyawan menuduh manajer mereka bertindak tidak konsisten kalau tidak dikatakan narsis – mereka yang



4.8



Manajemen Perubahan 



mendorong dan mereka pula yang merubah mindset. Terakhir, dimensi tersembunyi yang kerap menyebabkan kegalauan dan menjadi sumber penurunan kinerja karyawan tetapi tidak dipikirkan para manajer dalam perubahan organisasi adalah psikodinamika yang bersemayam di bawah alam sadar karyawan. Alasan paling rasional yang digunakan manajer untuk mengajukan usulan perubahan adalah menurunnya kondisi organisasi. Dalam batas-batas tertentu karyawan pun sadar akan kondisi tersebut. Namun ketika kondisi tersebut diungkap secara terbuka oleh manajer justru kesadaran karyawan menyebabkan gangguan dinamika psikologis mereka. Karyawan mulai sinis akan kemampuan para manajer, cemas, takut dan ujung-ujungnya stres. Dampak langsungnya adalah semangat kerja dan kemampuan kerja karyawan mulai menurun. Saling peran antara kelima dimensi perubahan yang tersembunyi tersebut secara keseluruhan menjadi faktor penting dalam proses perubahan organisasi. Tidak tertanganinya kelima faktor tersebut bisa menjadi titik awal gagalnya perubahan organisasi. Oleh karena itu selain mengandalkan rasionalitas dalam memimpin perubahan, seorang manajer juga dituntut memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap dinamika psikologi karyawan dalam menyikapi perubahan organisasi. Karyawan adalah sosok yang memiliki kepentingan dan emosi, serta membutuhkan inspirasi dan motivasi untuk berubah karena sebelumnya sudah tertanam lama sebuah mindset sebagai penuntun hidupnya. Kegagalan seorang manajer dalam menangani persoalan-persoalan ini identik dengan gagal dalam memimpin perubahan. Sebagai langkah awal, manajer perubahan perlu memahami bagaimana terjadinya proses perubahan individu saat mereka menghadapi perubahan organisasi. Untuk itu, model perubahan individu yang dibangun oleh George & Jones (2001) yang pembangunannya didasarkan pada teori schema akan dijadikan rujukan dan akan dijelaskan lebih rinci. Karena George & Jones (2001) dalam membangun modelnya berbasis pada teori schema maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan schema. Per definisi schema adalah struktur kognitif yang bersifat abstrak yang berisi pengetahuan tentang stimulus atau konsep, fitur atau atribut-atribut dari konsep tersebut, dan saling keterkaitan di antara atribut dimaksud (lihat von Hoppel, et al., 1993). Setiap individu akan mengembangkan schema ketika menghadapi stimulus yang datang secara berulang-ulang kepadanya. Sekali sebuah schema terbentuk dan cocok dengan konsep yang dikembangkannya maka schema tersebut akan



 EKMA4565/MODUL 4



4.9



digunakan untuk menginterpretasikan informasi yang diperoleh seseorang. Schema memiliki beberapa fungsi (Conover & Feldman, 1984), di antaranya (1) schema memungkinkan seseorang memiliki pengalaman dalam organisasi dalam hal orang tersebut mampu mengurutkan elemen-elemen lingkungan yang merefleksikan struktur schema yang relevan dengan pengetahuannya, (2) schema mempengaruhi jenis-jenis informasi yang akan diingat kembali dari ingatan-ingatan yang sebelumnya telah tersimpan dalam memori, (3) struktur dari schema merupakan dasar untuk mengisi informasi yang hilang sehingga seseorang tidak sekedar menerima informasi yang ada, (4) schema menjadi alat untuk memecahkan sebuah masalah dengan cara jalan pintas (short cut) sebagai upaya untuk menyederhanakan proses penyelesaian masalah, dan (5) dengan membandingkan realitas dengan harapan, schema dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi pengalaman seseorang. Berdasarkan teori schema seperti tersebut di atas, George & Jones mengatakan bahwa proses perubahan individu saat menghadapi perubahan terdiri dari 7 tahapan (lihat gambar 4.1) yaitu: Tahap 1 terjadi discrepancy atau inkonsistensi antara schema yang telah dibangun karyawan dengan kondisi riil karena perubahan. Tahap 2 karyawan mulai menunjukkan reaksi emosional terhadap adanya inkonsistensi. Tahap 3 karyawan mencoba menelusuri sebab-sebab terjadinya inkonsistensi. Dari sini karyawan mencoba mengarahkan perhatiannya pada hal-hal atau masalah yang membebani mereka dan melihat peluang untuk keluar dari persoalan tersebut. Tahap 4 karyawan mulai mengumpulkan informasi-informasi baru agar bisa memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tahap 5 karyawan mulai mempertanyakan apakah schema yang telah dibangun sebelumnya masih relevan dengan kondisi berjalan. Tahap 6 karyawan mulai mencari tambahan informasi baru untuk membangun schema baru karena menganggap schema lama sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan. Terakhir tahap 7 terjadi perubahan schema dalam pengertian karyawan memahami bahwa schema yang telah dibangun sebelumnya dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini saat terjadi perubahan organisasi.



4.10



Manajemen Perubahan 



Sumber: George & Jones (2001) Gambar 4.1. Proses Perubahan Individu



Schema baru yang terbentuk pada tahap 7 kemudian disimpan di dalam memori karyawan. Informasi ini akan menjadi prioritas utama yang sewaktuwaktu diaktifkan kembali manakala terjadi perubahan organisasi di masa datang. Artinya ketika seorang karyawan pernah berhadapan dengan perubahan maka perubahan berikutnya boleh jadi akan lebih mudah karena mereka telah memiliki schema yang tersimpan dalam memorinya terutama jika pengalaman perubahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terlalu membebani dirinya. Sebaliknya jika pengalaman perubahan sebelumnya berdampak negatif maka resistensi perubahan yang akan mengemuka. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah proses perubahan schema bukan sebuah proses yang berjalan linear karena setiap tahap akan selalu dibarengi dengan resistensi karyawan. Demikian juga setiap tahapan selalu melibatkan emosi karyawan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa emosi merupakan faktor penting dalam setiap tahap perubahan individu. Emosi bukan sekedar produk samping yang diakibatkan oleh proses perubahan. Emosi juga menjadi pemicu terjadinya perubahan.



 EKMA4565/MODUL 4



4.11



C. FAKTOR EMOSI DALAM PERUBAHAN ORGANISASI Sebelum memperoleh penjelasan lebih jauh tentang keterkaitan antara emosi dengan perubahan organisasi ada baiknya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan emosi. Keltner & Gross (1999) mendefinisikan emosi sebagai: ….episodic, relatively short-term, biologically based patterns of perception, experience, physiology, action, and communication that occur in response to specific physical and social challenges and opportunities. Pola persepsi, pengalaman, fisiologis, tindakan dan komunikasi yang bersifat episodic dan relatif jangka pendek dan bersumber pada kondisi biologis seseorang. Pola tersebut terbentuk sebagai respon terhadap tantangan dan kesempatan yang datang dari faktor fisik maupun sosial.



Definisi di atas menjelaskan bahwa emosi pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Emosi bersumber pada unsur biologis seseorang yang akan muncul ketika orang tersebut menghadapi tantangan atau kesempatan baik secara fisik maupun sosial. Munculnya emosi tersebut merupakan pertanda bahwa keberlangsungan hidup organisme tidak ditentukan oleh intelektualitas seseorang melainkan oleh peran emosi. Dalam hal ini emosi akan memberi sinyal kepada organisme tentang adanya bahaya yang mengancam atau kesempatan yang menantang sehingga ada dorongan agar organisme segera mengambil tindakan. Jika dikaitkan dengan kehidupan organisasi, perubahan yang akan dan sedang terjadi, lebih-lebih perubahan radikal seperti telah diuraikan secara detail pada bagian-bagian sebelumnya, merupakan bentuk tantangan yang akan dihadapi seorang karyawan meningkat perubahan organisasi selalu dibarengi dengan ketidakpastian. Setiap karyawan tentu akan merespon dan menginterpretasikan secara berbeda setiap ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan. Respon dan interpretasi itulah yang mendorong munculnya emosi seseorang. Salah satu indikator munculnya emosi adalah karyawan mengalami schock ketika mendengar bahwa organisasi akan melakukan perubahan. Reaksi emosional akan muncul dengan intensitas semakin kuat manakala karyawan mempersepsi bahwa perubahan organisasi diyakini akan berdampak negatif terhadap diri mereka. Karyawan merasa akan kehilangan



4.12



Manajemen Perubahan 



banyak hal ketika organisasi mengalami perubahan. Beberapa bentuk kehilangan yang akan dialami karyawan, antara lain: 1. Loss of Attachment: Perubahan organisasi dapat saja merubah pola hubungan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga pola hubungan informal yang membentuk keterikatan menjadi berubah. 2. Loss of Structure: Perubahan pada pola pekerjaan, struktur organisasi, kebijakan organisasi, jadwal kerja mengakibatkan orang merasa kehilangan atas struktur dan keteraturan kerja yang selama ini diakrabinya. 3. Loss of Control: Dalam proses perubahan menuju ke arah yang diinginkan, kerap anggota organisasi merasa kehilangan kontrol atas pekerjaan yang selama ini dimilikinya, lebih pada umumnya perubahan organisasi bersifat top-down. 4. Loss of Meaning: Perubahan akan mengubah makna yang selama ini menjadi pegangan anggota organisasi, sementara makna yang baru belum diterima dan masih terbentuk. Usaha pencarian makanya ini menyebabkan gossip menjadi meningkat dalam organisasi. 5. Loss of Future: Perubahan yang dilakukan akan menyebabkan kekacauan mengenai masa depan yang sudah dimiliki anggota organisasi dalam bentuk harapan, sementara masa depan perubahan itu sendiri belum jelas bagi dirinya. Di sisi lain boleh jadi sebagian karyawan yang lain menganggap bahwa perubahan merupakan bentuk kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Respon seperti ini akan mendorong seseorang secara emosional untuk terlibat dalam perubahan. Atau dengan kata lain, karyawan merespon perubahan dengan emosi positif. Dengan demikian, emosi apakah positif atau negatif merupakan bagian integral dari perubahan organisasi yang perlu dikelola, terutama agar tidak menimbulkan efek negatif terhadap perubahan. Untuk memahami bahwa emosi sebagai bagian integral dalam perubahan organisasi, maka beberapa hal mengenai peran emosi dalam organisasi perlu diperjelas: 1. Emosi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemaknaan dalam proses keorganisasian, termasuk perubahan organisasi. Ketika terjadi perubahan dalam organisasi maka akan terjadi hal-hal di luar kebiasaan sehingga para anggota merasa terkejut surprise, shock, bahkan merasa terancam. Emosi merupakan reaksi yang wajar secara psikologis terhadap kejadian-kejadian tersebut, dan individu akan berusaha



 EKMA4565/MODUL 4



2.



4.13



memberikan makna terhadap kejadian-kejadian tersebut, yang di luar kebiasaan. Pemaknaan ini tidak meliputi proses kognitif saja, tapi juga melibatkan emosi individu, dan kedua proses ini saling berperan. Emosi merupakan bagian integral dari proses adaptasi dan motivasi. Dalam kajian psikologi, emosi terutama dilihat sebagai fungsi adaptif ketika terjadi sesuatu yang mengancam individu, yang membantu penyesuaian individu terhadap situasi tertentu (flight or fight reaction). Sebagian ahli mengatakan emosi merupakan komponen penting dari motivasi individu, karena emosi akan mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Fridja, 1993; Fineman, 2001).



Penjelasan di atas menunjukkan bahwa emosi merupakan salah satu faktor penting dalam perubahan organisasi. Meski demikian, baru akhir-akhir ini peran penting tersebut mendapat perhatian para peneliti perubahan organisasi khususnya mereka yang berorientasi pada pendekatan mikro atau individual. Sebelumnya emosi cenderung terpinggirkan. Dari tiga kecakapan dasar manusia (human faculties): affect/emotion, cognition (bagaimana seseorang berpikir, mengetahui dan beralasan) and will (konasi dan motivasi), hanya kognisi yang mendapat perhatian lebih (Eide, 2005). Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan organisasi pada mulanya cenderung didekati secara kognitif dengan kacamata rasionalitasnya Max Weber. Kalaulah emosi kemudian muncul dalam kehidupan organisasi maka emosi tersebut harus dikebiri, dikendalikan dan sedapat mungkin difungsikan untuk mengamankan rasionalitas tersebut. Oleh karena itu wajar jika emosi saat itu dianggap sebagai “ugly duckling – anak itik yang bodoh” karena dianggap sebagai faktor pengganggu (Eide, 2005) yang keberadaannya perlu diminimalisir. Sekarang emosi mulai mendapatkan tempat dalam kehidupan organisasi dan bahkan dianggap sebagai invisible asset – aset yang tidak tampak (Eide, 2005) yang dapat membantu proses kehidupan organisasi. Dalam konteks perubahan organisasi dengan demikian emosi khususnya emosi positif diharapkan bisa memperlancar proses perubahan jika dikelola dengan baik. Dua paradigma dalam memperlakukan emosi di dalam kehidupan organisasi dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini:



4.14



Manajemen Perubahan 



Tabel 4.2. Perbandingan Paradigma Emosi Paradigma Baru



Paradigma Lama



Asumsi Tentang Emosi:



Asumsi Tentang Emosi:



Emosi memegang peranan penting dalam interpretasi dan konstruksi makna dalam perubahan organisasi.



Emosi adalah irasional.



Emosi berkaitan dengan interpretasi kejadiankejadian yang relevan selama proses perubahan.



Emosi dan kognisi merupakan dua hal yang bertentangan.



Emosi mengarahkan tindakan & motivasi serta membantu proses penyesuaian terhadap dampak perubahan. Asumsi Mengenai Emosi dan Perubahan:



Emosi negatif akan berdampak negatif terhadap organisasi.



Emosi merupakan bagian penting dari pengalaman perubahan itu sendiri.



Fear and Stress mendominasi proses perubahan.



Memberikan insight terhadap pengalaman perubahan itu sendiri dari perspektif individu dalam suatu konteks tertentu. Asumsi Peran Emosi Dalam Proses Perubahan:



Emosi identik dengan penolakan/ resistance.



Emosi mendorong perilaku individu.



Emosi bersifat dysfunctional dalam organisasi dan perubahannya.



Emosi constitute invidual and social change story (meaning of change). Implikasi Penanganan Emosi Dalam Organisasi Dan Perubahan:



Emosi akan menghambat perubahan organisasi. Implikasi Penanganan Emosi Dalam Organisasi Dan Perubahan:



Mengakui emosi dan menanganinya secara serius sesuai dengan perspektif individu dan konteks organisasi.



Manage emotion away



Analisa emotional landscape untuk mendiferensiasikan tindakan manajerial.



Asumsi Mengenai Emosi dan Perubahan:



Emosi muncul secara bertahap. Asumsi Peran Emosi Dalam Proses Perubahan:



Usahakan agar fase emosional sependek mungkin. Hindarkan munculnya emosi negatif.



 EKMA4565/MODUL 4



4.15



Perubahan paradigma tentang emosi seperti tampak pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dewasa ini kehadiran emosi dalam kehidupan organisasi bisa lebih diterima dibandingkan pada periode sebelumnya. Perubahan paradigma ini boleh jadi karena terjadinya perubahan lingkungan eksternal yang menuntut manajer untuk berubah dalam menyikapi faktor manusia di dalam organisasi. Sebagaimana kita sadari bersama organisasi pada era sekarang ini lebih menekankan pada jaringan (network) sehingga pendekatan command and control kurang sesuai pada masa di mana organisasi berada pada lingkungan yang cepat berubah. Koordinasi horizontal dan vertikal menghendaki sikap aktif anggota organisasi, yang lebih menekankan pada terbentuknya pola hubungan antarindividu maupun antar unit organisasi. Hal ini bisa diartikan pula bahwa anggota organisasi akan lebih mudah mengalami konflik antar sesama dan konflik selalu melibatkan faktor emosi. Kondisi seperti ini memudahkan timbulnya rasa cemburu, marah, ditolak, kekecewaan, kebencian, yang akan mewarnai kehidupan dalam organisasi. Pola hubungan yang akhirnya tercipta mengandung beberapa implikasi, antara lain: 1. Tidak mudah untuk memberikan prescriptive solutions, yang menyatakan apa boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika faktor emosi ikut bermain. 2. Pola pengelolaan emosi mengandalkan hubungan dengan pola saling ketergantungan. Keterampilan sosial yang kerap dilatihkan dalam program pelatihan seyogianya memperhitungkan emosi-emosi yang muncul dalam pola-pola interaksi dalam organisasi, yang kerap bersifat specific, contextual. 3. Cara pengelolaan emosi bukanlah sesuatu yang fixed, namun harus bersifat fleksibel dan kontekstual. Ini dikarenakan karakteristik emosi seseorang yang tidak dapat diprekdisikan secara pasti dari satu situasi ke situasi lainnya, dari waktu ke waktu. 4. Emosi tidak jarang merupakan pendorong perilaku individu dalam organisasi. Pengakuan akan emosi dalam organisasi menjadikan organisasi lebih terbuka terhadap masalah-masalah emosional anggotanya sehingga memungkinkan dilakukan pengelolaan bersama secara sadar. 5. Pengelolaan emosi akan menjadikan organisasi lebih fleksibel, adaptif, dan memudahkan pengelolaan saling ketergantungan antar unit organisasi maupun antar individu.



4.16



Manajemen Perubahan 



Sementara itu dalam upayanya untuk menjelaskan peran emosi dalam perubahan, Huy (2005) memperkenalkan dua konsep organisasi berbasis emosi yaitu keseimbangan emosional (emotional balancing) dan kapabilitas emosional (emotional capability). Keseimbangan emosional melibatkan manajemen emosi dua kelompok di dalam organisasi: agen perubahan dan penerima perubahan. Tujuan diterapkannya keseimbangan emosional adalah agar emosi mampu mendorong terjadinya perubahan dan di saat yang sama kegiatan organisasi bisa terus berjalan seperti biasanya – business as usual. Menurut Huy keseimbangan ini perlu diperhatikan karena perubahan berlebihan hanya akan menciptakan keos sementara tidak adanya perubahan bisa menimbulkan inersia. Huy juga berharap agen perubahan memiliki komitmen untuk memimpin dan mensukseskan proyek perubahan sementara penerima perubahan bisa terus melanjutkan aktivitas organisasi. Meski demikian harus disadari pula bahwa bisa saja anggota organisasi memainkan peran berbeda dalam perubahan. Sebagian anggota organisasi boleh jadi lebih memilih sebagai agen perubahan yang mendorong terjadinya perubahan radikal dan sebagiannya lagi memilih sebagai penerima perubahan yang meneruskan kegiatan organisasi. Berdasarkan pilihan emosi seperti tersebut di atas, motivasi anggota organisasi dalam menyikapi perubahan sesungguhnya bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama ketika fokus perhatian seseorang ditujukan pada perubahan atau pertumbuhan, muncul kebutuhan untuk tumbuh. Mereka juga berupaya untuk membentuk prilaku dan konsep dirinya sejalan dengan bagaimana mereka ingin dipersepsi. Di samping itu perilakunya didominasi oleh hasrat untuk mendapat keuntungan. Kedua, ketika fokus mereka adalah keamanan atau kontinuitas kehidupan kerja, mereka akan mengaitkan aktualisasi dirinya dengan tugas-tugas dan tanggung jawab yang selama ini mereka emban. Berdasarkan dua situasi motivasi tersebut Huy selanjutnya membuat model emosi untuk mengeksplorasi kategori emosi seseorang saat terjadi perubahan strategik (lihat Gambar 4.2).



4.17



 EKMA4565/MODUL 4



Aktivasi Tinggi Riang



Terstimulasi Kejutan



Agitasi



Tidak Menyenagkan Aktivasi Tinggi



Menyenagkan Aktivasi Tinggi



Menyenagkan



Tidak Menyenagkan



Menyenagkan Aktivasi Rendah



Tidak Menyenagkan Aktivasi Rendah Kesal



Diam Tenang



Diam



Aktivasi Rendah



Sumber: Huy (2005) p. 299 Gambar 4.2. Circumplex model of emotion



Menurut Gambar 4.2 emosi dapat dikategorikan dengan menggunakan dua dimensi yaitu dimensi hedonistik (menyenangkan vs. tidak menyenangkan) dan dimensi kesiapan bertindak (aktivasi tinggi vs. aktivasi rendah). Empat kategori emosi yang dihasilkan oleh dua dimensi tersebut adalah: (1) emosi menyenangkan aktivasi tinggi. Termasuk dalam kategori ini adalah antusiasme dan kegembiraan (excitement), (2) emosi menyenangkan aktivasi rendah. Pada kategori ini seseorang cenderung kalem dan merasa nyaman, (3) emosi tidak menyenangkan aktivasi tinggi ditunjukkan oleh kemarahan, ke khawatirkan dan rasa takut, dan (4) emosi tidak menyenangkan aktivasi rendah meliputi kondisi emosi dalam bentuk kekecewaan, ras malu dan kesal. Selanjutnya jika aksis pada Gambar 4.2 digeser 45 derajat, emosi orang yang berorientasi pada perubahan akan bergerak sepanjang aksis riang – kesal. Sedangkan emosi orang yang fokus pada kontinuitas bergerak sepanjang aksis agitasi – diam. Empat kategori emosi yang dihasilkan oleh pertemuan dua aksis ini merefleksikan bagaimana dua sistem motivasi secara



4.18



Manajemen Perubahan 



evolutif akan beroperasi. Sistem pertama memotivasi seseorang untuk berubah dan sistem kedua memotivasi orang untuk mencari aman dan bertindak sebagai penerima perubahan. Selain keseimbangan emosional, konsep kedua adalah kapabilitas emosional. Pada level organisasional yang dimaksud dengan kapabilitas emosional adalah kemampuan organisasi untuk mengetahui, mengakui, memonitor, memilah dan memberi perhatian terhadap emosi baik yang terjadi pada dataran individu maupun organisasi. Kemampuan ini harus dibangun agar pengetahuan dan keterampilan organisasi dalam mengelola emosi selama terjadi perubahan menjadi sebuah rutinitas. Proses pembangunannya dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pada gambar tampak bahwa agar usulan perubahan bisa diterima dibutuhkan empati dan simpati. Dengan dukungan dua situasi emosi ini bisa dilakukan mobilisasi yang disertai harapan sehingga hasilnya adalah perubahan yang diharapkan. Hasil perubahan ini akan menjadi sumber pembelajaran bagi anggota organisasi untuk masa-masa mendatang dalam kaitannya dengan perubahan organisasi. Proses pembelajaran ini harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan, karyawan diajak untuk mencitai organisasi dan ada unsur liberasi yang otentik.



4.19



 EKMA4565/MODUL 4



Usulan perubahan



Empati



Simpati



+



+



Mencintai Otentik Kesediaan menerima perubahan



+



+



Pembelajaran Harapan



+



+ Mobilisasi



Menyenangkan



Hasil perubahan Gambar 4.3. Membangun Kapabilitas Emosi



Kontrak Psikologis Sobirin (2009) menyatakan bahwa manusia yang berada di dalam lingkungan internal organisasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yakni pemilik organisasi, manajer dan karyawan. Hierarki ketiga kelompok tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.4 sebagai berikut:



4.20



Manajemen Perubahan 



Stockholder/pemilik modal Para manajer Karyawan Gambar 4.4. Komposisi stakeholder yang berada di dalam organisasi



Pemilik atau kadang-kadang disebut juga investor adalah seseorang atau sekelompok orang yang dengan sukarela mengucurkan dana untuk berdirinya sebuah organisasi/perusahaan. Melalui organisasi tersebut mereka berharap keinginan-keinginannya bisa terpenuhi. Pemilik dengan demikian merupakan pihak yang memiliki kepentingan utama dan oleh karenanya mereka memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan organisasi. Konsekuensinya adalah mereka pula yang menentukan arah tujuan organisasi. Oleh karena itu jika terjadi perubahan kepemilikan sangat boleh jadi arah tujuan organisasi juga berubah. Meski memiliki otoritas tertinggi, pemilik pada umumnya tidak terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Keberadaan mereka diwakili oleh sekelompok orang yang disebut “Dewan Komisaris”. Sederhananya, Dewan Komisaris adalah sekelompok orang yang bertugas menjaga agar organisasi tetap eksis sesuai nilai-nilai yang dianut para pemilik dan terus berkembang seperti yang dicita-citakan pemilik. Namun sekali lagi keberadaan Dewan Komisaris di dalam kehidupan organisasi tidak untuk mengeksekusi kegiatan sehari-hari organisasi. Untuk itu Dewan Komisaris merekrut atau menunjuk para eksekutor yang populer disebut “Eksekutif”. Mereka biasanya adalah manajer profesional yang diberi tugas untuk menyusun rencana, mengelola, memanau dan mengawasi organisasi beserta aset yang ditanamkan para pemilik. Sebagai pihak yang ditunjuk dan dipercaya pemilik untuk mengelola organisasi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manajer merupakan seorang mandataris yang memperoleh prevalensi dari pemilik. Konsekuensi logisnya dengan demikian seorang manajer harus mempertanggungjawabkan mandat yang diterimanya kepada pemberi mandat yakni pemilik organisasi.



 EKMA4565/MODUL 4



4.21



Seorang manajer dengan demikian harus mampu memenuhi keinginankeinginan pemilik. Meski belakangan para manajer juga dituntut secara transparan dan akuntabel untuk bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan (stakeholders) lain tetap saja pemilik adalah stakeholder utama sebuah organisasi. Sebagai mandaris manajer juga diberi keleluasaan untuk mengangkat para manajer dengan posisi yang lebih rendah dan merekrut sejumlah karyawan dengan keahlian dan talenta berbeda untuk ditempatkan pada posisi dan pekerjaan berbeda. Semua ini bertujuan agar kegiatan organisasi berjalan lancar dan ujung-ujungnya organisasi mampu memenuhi keinginan para pemilik (efektif) dengan menggunakan sumber daya organisasi secara wajar (efisien) sehingga memberi nilai tambah yang optimal. Hubungan antara pemilik dengan manajer seperti disebut di atas sering disebut sebagai hubungan keagenan di mana pemilik disebut sebagai principal dan manajer disebut sebagai agen. Sementara itu hubungan antara manajer dengan karyawan disebut sebagai hubungan kerja. Dalam menjalin hubungan keagenan maupun hubungan kerja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya biasanya mengawali hubungan tersebut dengan membuat kesepakatan-kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, formal maupun informal. Kesepakatan tersebut dibuat pada saat satu pihak direkrut oleh pihak lain yakni saat manajer direkrut pemilik maupun saat karyawan direkrut manajer. Meski secara umum isi dari kesepakatan tersebut sama yakni mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kaitannya dengan hubungan keagenan maupun hubungan kerja, setiap organisasi memiliki preferensi berbeda tentang isi kesepakatan. Perbedaan ini disebabkan karena asumsi yang melatarbelakangi penyusunan kesepakatan tersebut berbeda terutama karena lingkungan masing-masing organisasi berbeda. Kecenderungan umum juga menunjukkan terjadinya pergeseran pola kesepakan dari satu periode ke periode berikutnya. Kissler (1994) misalnya membedakan pola kesepakatan kerja antara karyawan dengan perusahaan untuk periode sebelum tahun 1990-an dengan periode setelah tahun 1990-an seperti tampak pada Tabel 4.3 berikut ini.



4.22



Manajemen Perubahan 



Tabel 4.3. Kesepakatan lama vs Kesepakatan baru Model Kesepakatan Lama  Organisasi adalah “orang tua” bagi karyawan di mana karyawan diperlakukan seolah-olah sebagai seorang “anak”.  Jati diri dan harga diri karyawan ditentukan oleh organisasi.  Mereka yang mau bertahan di organisasi adalah karyawan yang baik dan loyal, sebaliknya adalah karyawan yang jelek dan tidak loyal.  Karyawan yang mengerjakan sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya adalah tipikal karyawan bisa bekerja sampai pensiun.  Cara paling utama seorang karyawan bisa berkembang adalah melalui jalan promosi.



Model Kesempatan Baru 



 











Organisasi dan karyawan menyepakati kontrak layaknya “dua orang dewasa” yang membuat kesepakatan. Fokus dari kontrak tersebut adalah keuntungan bersama dalam jalinan pekerjaan. Jati diri dan harga diri karyawan ditentukan sendiri oleh karyawan bersangkutan. Keluar masuknya seorang karyawan ke dalam sebuah organisasi merupakan sesuatu yang biasa dan dianggap sehat sehingga perlu diapresiasi. Sulit berharap seorang karyawan bekerja pada satu organisasi dalam jangka panjang; oleh karenanya organisasi dan karyawan harus siap untuk menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang berbeda. Cara paling utama seorang karyawan bisa berkembang sangat tergantung pada kemampuan diri untuk berprestasi



Dari Tabel 4.3 tampak bahwa isi kesepakatan kerja mengalami pergeseran yang sangat signifikan di mana pendulum lebih berpihak pada karyawan. Hal ini bisa diartikan bahwa sejak tahun 1990-an karyawan lebih memiliki posisi tawar dibandingkan pihak perusahaan. Meski demikian, lepas dari siapa yang memiliki posisi tawar lebih kuat, dengan kesepakatankesepakatan tersebut, umum disebut kontrak kerja, diharapkan masingmasing pihak menghormati dan menjunjung isi kontrak agar hubungan kerja di antara mereka berjalan mulus layaknya sebuah perkawinan dalam kehidupan rumah tangga dan kedua belah pihak memperoleh manfaat dari hubungan kerja tersebut. Sayangnya dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan, tidak jarang salah satu pihak melanggar isi kontrak yang terkadang berakibat pada situasi organisasi yang tidak menguntungkan



 EKMA4565/MODUL 4



4.23



dan bahkan kedua belah pihak tidak jarang pula harus menanggung dampak buruk dari pelanggaran kesepakatan tersebut. Banyak kasus di Indonesia yang menggambarkan situasi seperti digambarkan di atas, misalnya demonstrasi besar-besaran yang berlangsung cukup lama, dilakukan oleh karyawan PTDI di Bandung, yang disebabkan karena perusahaan menciutkan kegiatan usaha sehingga berakibat dirumahkannya sejumlah karyawan. Penciutan kegiatan usaha atau secara umum perubahan yang terjadi di organisasi PTDI inilah yang menjadi pemicu persoalan-persoalan lebih lanjut yang dihadapi PTDI. Yang pasti kedua belah pihak – karyawan dan PTDI menderita kerugian yang tidak sedikit. Dari contoh ini bisa ditarik kesimpulan bahwa perubahan organisasi merupakan faktor penting yang menyebabkan runtuhnya kesepakatan kerja antara karyawan dengan perusahaan yang berdampak pada kerugian moral dan material dari kedua belah pihak. Kesepakatan kerja seperti telah disebutkan di muka bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu: kesepakatan kerja yang bersifat formal dan tertulis dan kesepakatan kerja yang bersifat informal dan tidak tertulis. Isi dari kesepakatan kerja yang formal dan tertulis secara umum menyebutkan hakhak yang akan mereka terima dan kewajiban yang harus mereka jalankan yang semuanya terkait dengan hukum ketenagakerjaan. Kesepakatan seperti ini biasa disebut sebagai legal contract atau labor contract. Sementara itu kesepakatan kerja yang bersifat informal dan tidak tertulis pada umumnya merupakan kesepakatan yang menyangkut aspek keprilakuan. Misalnya, secara informal karyawan diharapkan mau bekerja keras, memiliki komitmen dan loyal kepada perusahaan, sedangkan perusahaan diharapkan memberi keamanan kerja bagi karyawan, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif. Kesepakatan kerja yang bersifat keprilakuan seperti ini disebut sebagai “kontrak psikologis – psychological contract”. Meski kesempatan ini bersifat informal dan tidak tertulis, kontrak psikologis memiliki dampak yang cukup besar dalam kehidupan organisasi sehingga mendapat perhatian cukup serius dari ahli-ahli organisasi. Secara definitif, Kotter (1973) mengatakan bahwa kontrak psikologis adalah sebuah kontrak yang bersifat implisit dibuat dua belah pihak – antara seseorang (seorang karyawan) dengan organisasi tempat kerja, yang menjelaskan ekspektasi masing-masing pihak tentang apa yang bisa mereka berikan dan apa akan diterima dalam kaitannya dengan hubungan kerja. Sementara itu Morrison menyebutkan 5 karakteristik kontrak psikologis.



4.24



Manajemen Perubahan 



Pertama, kontrak psikologis bersifat implisit dalam pengertian kontrak tersebut tidak tertulis secara eksplisit seperti halnya kontrak kerja (legal contract) yang serba jelas dan dipahami masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan kerja. Dalam kontrak kerja atau legal contract masingmasing pihak sadar akan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya karena kedua belah pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut. Namun tidak demikian dengan kontrak psikologis, karena tidak diungkapkan secara eksplisit bukan tidak mungkin kontrak psikologis bersifat sepihak. Artinya, mungkin saja kedua belah memahami bahwa mereka telah membuat kontrak tetapi boleh jadi pemahaman masing-masing berbeda. Kedua, kontrak psikologis berisi harapan-harapan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya. Tentunya kedua belah pihak sangat diharapkan bisa memenuhi harapan-harapan tersebut. Hanya saja dalam praktik tidak jarang harapan kedua belah pihak tidak sama walaupun bukan berarti harapan kedua belah pihak selalu berbeda. Sebagai contoh, seorang lulusan S2 sebut saja bernama Hartono yang baru pertama kali bergabung dengan perusahaan nasional yang terkenal. Hartono ditempatkan sebagai manajer menengah. Dengan posisi yang cukup tinggi tersebut Hartono boleh jadi berharap memperoleh mobil dinas karena dengan mobil dinas ini Ia bisa menunjukkan kepada keluarga dan kerabatnya bahwa Ia bekerja pada perusahaan yang bonafid dan menempati posisi yang baik pula. Harapan Hartono dikatakan “cocok” jika kebetulan kebijakan perusahaan memang memberikan fasilitas mobil dinas bagi manajer menengah. Namun jika kebijakan perusahaan tidak menyediakan mobil dinas maka terjadilah “ketidakcocokan” harapan. Ketidakcocokan ini bisa dikatakan relatif kecil jika perusahaan menyediakan fasilitas antar jemput yang bagi Hartono sendiri tetap bisa menunjukkan gengsinya bahwa dia bukan sekedar karyawan biasa. Ketidakcocokan harapan dikatakan besar jika perusahaan sama sekali tidak menyediakan fasilitas angkutan bagi siapa pun karyawannya. Kecocokan dan ketidakcocokan harapan inilah yang menurut Kotter merupakan esensi dari kontrak psikologis. Contoh tentang harapan karyawan terhadap perusahaan dan harapan perusahaan terhadap karyawan adalah sebagai berikut (lihat Kotter, 1973): Harapan karyawan terhadap Perusahaan: 1. Pekerjaan akan memberi makna atau tujuan bagi diri karyawan. 2. Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. 3. Perusahaan memberikan pekerjaan yang sangat menarik.



 EKMA4565/MODUL 4



4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.



4.25



Perusahaan memberikan pekerjaan yang menantang. Karyawan memiliki daya dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Perusahaan memberi pengakuan dan persetujuan terhadap hasil pekerjaan yang baik. Karyawan menginginkan pekerjaan yang memberikan gengsi dan status bagi dirinya. Lingkungan kerja dan orang-orangnya bersahabat. Lingkungan kerja yang kondusif. Memperoleh gaji yang memadai. Perusahaan memberikan keamanan kerja. Kesempatan berkembang. Karyawan memperoleh umpan baik dari perusahaan dan penilaian kerja yang fair. Harapan Perusahaan terhadap Karyawan: Kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas di luar pekerjaan pokok. Kemampuan untuk memahami berbagai aspek pekerjaan lain selama ia bekerja. Kemampuan untuk menemukan cara-cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan. Kemampuan untuk menyajikan cara pandang secara efektif dan meyakinkan. Kemampuan menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan untuk mensupervisi dan mengarahkan pekerja lain. Kemampuan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk membuat perencanaan kerja baik untuk dirinya maupun orang lain. Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain secara produktif. Kemampuan untuk menggunakan waktu dan tenaga untuk kepentingan perusahaan. Kemampuan untuk bias menerima tuntutan perusahaan yang mungkin berlawan dengan kepentingan pribadi. Membangun hubungan sosial dengan karyawan lain di luar pekerjaan. Patuh kepada kebiasaan-kebiasaan organisasi atau kelompok kerja untuk hal-hal yang tidak secara langsung berkaitan dengan kinerja. Melakukan studi lanjut di luar waktu kerja perusahaan.



4.26



Manajemen Perubahan 



15. Mempertahankan citra perusahaan yang baik di hadapan masyarakat umum. 16. Menginternalisasi nilai-nilai dan tujuan perusahaan ke dalam diri karyawan. 17. Kemampuan untuk memahami apa yang seharusnya dilakukan dan memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tepat. Ketiga, kontrak psikologis bersifat saling bergantung (interdependent). Dikatakan demikian karena kontrak psikologis melibatkan dua pihak yang saling berinteraksi dalam hubungan kerja dan keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini bisa diartikan bahwa dalam kontrak psikologis setiap orang perlu mengetahui apa dan kepada siapa mereka harus bergantung. Saling kebergantungan ini membawa akibat salah satu pihak sangat mengandalkan dan mempunyai kepercayaan penuh kepada pihak lain sebagai tempat bergantung. Atau dengan kata lain, kontrak psikologis mempengaruhi loyalitas kedua belah pihak. Keempat, kontrak psikologis mengandung unsur jarak psikologis. Di satu sisi kedua belah pihak dituntut memiliki hubungan yang sangat dekat agar bisa saling berbagi informasi sehingga hubungan kerja berjalan lancar. Kedekatan hubungan secara psikologis juga bisa mengurangi tingkat stres di antara keduanya. Di sisi lain, kedua belah pihak juga dituntut untuk menjaga jarak agar tidak merasa ada tekanan-tekanan yang mengganggu hubungan kerja. Dengan demikian, sejauh mana kedua belah perlu mendekat satu sama lain sangat bergantung pada konteks yang mempengaruhi hubungan tersebut. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tuntutan kerja, bagaimana masyarakat mendefinisikan legitimasi dan prasyarat personal masing-masing dalam hubungan kerja. Kelima, kontrak psikologis tidak hanya terjadi pada saat kedua belah pihak pertama kali menjalin hubungan kerja. Kontrak psikologis juga tidak bersifat statis. Sebaliknya kontrak psikologis akan terjadi sepanjang kedua belah pihak masih menjalin hubungan kerja dan selama itu pula kontrak psikologis akan diperbaharui baik secara langsung maupun tidak. Oleh karenanya kontrak psikologis bersifat dinamik. Artinya, pada saat pertama kali kontrak disepakati, masing-masing pihak memiliki harapan tertentu kepada pihak lain. Namun sejalan dengan perubahan waktu sangat mungkin harapan tersebut mengalami perubahan. Perubahan harapan yang menyebabkan perubahan pada kewajiban masing-masing inilah yang



 EKMA4565/MODUL 4



4.27



menyebabkan perubahan kontrak psikologis. Dengan kata lain kontrak psikologis dapat berubah setiap saat dan perubahannya biasanya dilakukan tanpa adanya pemberitahuan ke pihak lain secara formal. Robinson, Kraatz & Rousseau (1994) misalnya mengatakan selama dua tahun pertama seorang karyawan bekerja, mereka merasa kurang memiliki kewajiban kepada perusahaan; sebaliknya perusahaan merasa memiliki kewajiban lebih besar kepada karyawan. Yang juga perlu menjadi catatan di sini adalah perubahan kontrak psikologis bukan hanya terjadi karena harapan masing-masing berubah, tetapi perubahan kontrak psikologis bisa disebabkan karena perubahan organisasi. Uraian detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap kontrak psikologis akan dibahas tersendiri. Sejalan dengan semakin populer dan maraknya kajian tentang kontrak psikologis, konsep tentang kontrak psikologis juga mengalami perkembangan. Akibatnya definisi kontrak psikologis juga mengalami penyempurnaan. Salah satu definisi yang banyak dikutip oleh penulis lain adalah definisi kontrak psikologis yang dikemukakan oleh Denise Rousseau dan koleganya. Rousseau (1989, 1990) dan Robinson & Rousseau (1994) misalnya menyatakan bahwa kontrak psikologis merupakan keyakinan individual tentang kewajiban timbal balik antara satu pihak dengan pihak lain yakni antara karyawan dengan organisasi mengenai ketentuan dan kondisi tertentu. Definisi ini menegaskan bahwa kontrak psikologis pada dasarnya adalah sebuah keyakinan atau persepsi masing-masing pihak bahwa kedua belah pihak telah membuat kontrak meski sekali lagi kontrak tersebut bersifat informal dan tidak tertulis. Jadi, kontrak psikologis muncul ketika salah satu pihak (misalnya karyawan) percaya/yakin bahwa perusahaan telah berjanji (meski bersifat implisit) tidak akan memPHK dirinya di waktu akan datang dan oleh karenanya ia berkontribusi kepada perusahaan dengan bekerja keras maka saat itu itulah timbul kewajiban dari pihak perusahaan untuk menepati janji tersebut di waktu mendatang. Pada saat yang sama pihak perusahaan juga memiliki keyakinan sebaliknya terhadap karyawan bahwa karyawan akan memberikan yang terbaik bagi perusahaan sebagai imbalan atas fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya sehingga timbul kewajiban karyawan untuk memenuhi janjinya. Uraian di atas menunjukkan bahwa kontrak psikologis bersifat subyektif. Sering dikatakan bahwa kontrak psikologis “reside in the eyes of the beholder – bergantung bagaimana si pemegang kontrak menyepakatinya. Artinya, meski keyakinan terhadap kewajiban bersama merupakan unsur dari



4.28



Manajemen Perubahan 



terbentuknya kontrak psikologis, belum tentu kedua belah pihak sepakat bahwa masing-masing pihak percaya jika kontrak tersebut benar-benar ada. Sebagai contoh, dalam kontrak psikologis karyawan belum tentu yakin bahwa majikan akan memberikan imbalan sepadan meski ia sendiri telah berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Demikian sebaliknya, majikan belum tentu yakin bahwa karyawan akan memberikan yang terbaik manakala ia memberikan imbalan yang pantas. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan kedua belah pihak sepertinya memiliki keyakinan berbeda tentang kewajiban masing-masing terhadap pihak lain. Disinilah uniknya kontrak psikologis yang bersifat implisit dan tidak tertulis, kedua belah pihak belum tentu mempunyai pemahaman yang sama terhadap semua isi kontrak. Masing-masing pihak hanya yakin bahwa kedua belah pihak memiliki interpretasi yang sama terhadap isi kontrak. Akibatnya kontrak psikologis rentan terhadap pelanggaran (violation) meski di antara mereka tidak merasa telah melakukan pelanggaran terhadap isi kontrak sehingga tidak jarang pula terjadi pemutusan kontrak (contract breach). Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi misalnya, pihak perusahaan merasa tidak ada yang keliru dengan keputusan tersebut. Perubahan organisasi dianggap sebagai konsekuensi logis dari perubahan lingkungan yang menuntut perusahaan juga harus berubah demi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Namun tidak demikian dengan karyawan. Bagi sekelompok karyawan perubahan organisasi merupakan sinyal bahwa pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran kontrak. Bagi karyawan perubahan organisasi dianggap mengganggu kehidupan kerja dan hubungan kerja dengan perusahaan, minimal mengganggu rutinitas kehidupan kerja mereka. Dampak lanjutannya adalah karyawan merasa saatnya untuk melakukan pemutusan kontrak psikologis. Uraian detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap kontrak psikologis dan implikasinya terhadap kinerja dan kepuasan kerja karyawan akan dibahas pada bagian berikutnya. D. DAMPAK PERUBAHAN ORGANISASI TERHADAP KONTRAK PSIKOLOGIS Dampak perubahan organisasi terhadap pelanggaran kontrak psikologis misalnya dikemukakan oleh Turnley & Feldman (1998). Kedua peneliti ini mengelompokkan 4 macam respon karyawan terhadap restrukturisasi



 EKMA4565/MODUL 4



4.29



perusahaan. Kelompok pertama menganggap bahwa perusahaan tempat mereka bekerja masih memiliki komitmen untuk memenuhi kontrak yang telah mereka buat. Jadi mereka menganggap tidak ada kontrak yang dilanggar. Kelompok kedua merasa tidak ada kontrak yang dilanggar karena sejak semula mereka merasa tidak pernah membuat kontrak psikologis. Kelompok ketiga menganggap bahwa perubahan organisasi merupakan sesuatu yang normal dalam kehidupan bisnis sehingga kalaulah terjadi perubahan dalam kehidupan kerja, hal ini merupakan kejadian yang juga normal. Kelompok ini justru menganggap saat membuat kontrak karyawan salah mengerti tentang situasi bisnis yang selalu mengalami perubahan seolah-olah organisasi tidak pernah berubah dan kontrak psikologis tidak pernah berubah pula. Kelompok keempat merasa bahwa perusahaan telah membuat pelanggaran serius terhadap kontrak psikologis saat perusahaan melakukan restrukturisasi perusahaan. Kelompok terakhir ini menganggap bahwa perusahaan telah melanggar beberapa poin penting dari isi kontrak sehingga mengganggu kepuasan kerja mereka. Tanggapan karyawan yang berbeda terhadap restrukturisasi perusahaan dan implikasikanya terhadap kontrak psikologis menunjukkan bahwa masing-masing individu memiliki pemahaman yang berbeda tentang faktorfaktor yang membentuk kontrak psikologis. Sebagian karyawan menginterpretasikan restrukturisasi perusahaan yang berakibat pada berkurangnya penerimaan seperti yang dijanjikan sebelumnya sebagai bentuk pelanggaran. Sebagian yang lain tidak menganggap demikian jika penerimaannya masih sama. Sebagian karyawan lain mencoba menelaah situasi berjalan untuk bisa memahami mengapa perusahaan tidak memegang janjinya. Sementara itu sebagian karyawan yang lain lagi menganggap bahwa perusahaan tidak bisa memegang janjinya lebih disebabkan karena situasi berjalan merupakan faktor di luar kendali mereka karena adanya tekanantekanan yang bersifat eksternal. Meski kecewa, karyawan tersebut tidak menganggap perusahaan melanggar kontrak. Di sisi lain, jika karyawan menganggap bahwa perusahaan betul-betul mengingkari komitmen dan komitmen tersebut sangat penting bagi masa depan karyawan maka karyawan merasa bahwa perusahaan telah melanggar kontrak. Turnley & Feldman (1998) selanjutnya menyatakan, ketika karyawan merasa terjadi pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai akibat restrukturisasi perusahaan maka komponen kontrak yang umumnya dilanggar – menurut persepsi karyawan adalah: keamanan kerja, keputusan perusahaan



4.30



Manajemen Perubahan 



yang dilakukan sepihak tanpa melibatkan karyawan, kesempatan karyawan untuk mengembangkan diri, tunjangan kesehatan, dan kekuasaan dan tanggung jawab karyawan. Bagi karyawan yang bermaksud menjalin hubungan kerja jangka panjang atau sepanjang hidup (long life employment) gangguan terhadap keamanan kerja dianggap sebagai ancaman serius dalam hidup mereka. Demikian juga pengambilan keputusan tentang restrukturisasi yang tidak melibatkan karyawan dianggap sebagai bentuk arogansi perusahaan. Restrukturisasi juga dianggap akan menghambat karir seseorang. Tidak kalah pentingnya adalah jaminan kesehatan yang tidak lagi akan diperoleh karyawan jika sampai restrukturisasi mengakibatkan mereka dipecat. Selanjutnya karyawan juga merasa tidak lagi memiliki kekuasaan dalam menjalankan tugas dan kehilangan tanggung jawabnya manakala restrukturisasi menyebabkan dirinya diberhentikan dari pekerjaan. Walhasil secara umum restrukturisasi perusahaan menyebabkan kehidupan karyawan terusik khususnya bagi mereka yang merasa kontrak psikologisnya dilanggar. E. PROSES TRANSISI INDIVIDU Dampak perubahan organisasi terhadap individu karyawan seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya menghasilkan dua situasi yang berlawanan. Di satu sisi sebagian karyawan merasa tidak ada masalah dengan perubahan dan bahkan mereka sangat antusias untuk terlibat di dalamnya. Hanya saja tidak semua karyawan merespon perubahan secara positif. Sebaliknya, sebagian besar karyawan justru punya kecenderungan merespon perubahan secara negatif. Penyebabnya tidak lain karena bayangan suram tentang masa depannya yang serba tidak pasti jika perubahan betul-betul terealisir. Akibatnya mereka merasa skeptis terhadap para pimpinan mereka, sinis, frustrasi, marah dan hilang kepercayaan dirinya. Ujung-ujungnya kinerja dan kepuasan kerja mereka menurun drastis. Terlepas apakah karyawan menanggapi perubahan secara positif atau negatif, manajer perubahan memiliki perspektif berbeda. Bagi manajer, perubahan harus tetap berjalan. Artinya, karyawan sesungguhnya tidak bisa menghindar dari perubahan. Dengan demikian bagi mereka yang mengalami masalah dengan perubahan pada dasarnya memiliki dua opsi: Opsi pertama adalah pindah kerja. Opsi ini sepertinya akan menyelesaikan persoalan karyawan karena mereka akan terbebas dari hiruk-pikuk perubahan. Namun yang menjadi masalah adalah bagi karyawan yang prestasinya sedang-sedang



 EKMA4565/MODUL 4



4.31



saja (mediocre) tentu tidak mudah pindah kerja apalagi jika mereka sudah cukup umur. Kelompok ini tergolong berada pada posisi sulit dan cenderung memiliki tingkat resistensi paling tinggi terhadap perubahan. oleh karena itu opsi kedua harus ditempuh yakni tetap bersama dengan organisasi lama dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Salah satunya adalah, suka atau tidak, karyawan harus terus bergerak menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan jika menginginkan dirinya masih tetap bersama organisasi. Dengan kata lain, karyawan harus melakukan perubahan individual agar bisa menerima proses perubahan organisasi. Namun proses perubahan individu juga bukan hal yang mudah dilakukan. Perubahan individu membutuhkan masa transisi yang kadang-kadang membutuhkan waktu panjang. Dengan menggunakan model yang dibangun Elizabeth Kubler-Ross yang dikenal dengan proses transisi 5 tahap (five stages model), Freeman (1996) misalnya mengatakan adanya lima tahapan yang akan dialami seseorang ketika mereka menghadapi perubahan: 1. Mengingkari (denial): Seseorang mengingkari atau tidak mau mengakui jika kehilangan sesuatu betul-betul tidak bisa dihindarkan. 2. Marah atau gampang marah: seseorang mulai mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi sehingga perasaan marah tidak terhindarkan. 3. Tawar menawar (bargaining): Orang tersebut mencoba menunda apa yang sesungguhnya tidak bisa dihindari dengan memohon kepada otoritas yang lebih tinggi. Permohonan tersebut berupa berjanji untuk berprilaku tertentu atau mau melakukan pengorbanan jika permohonannya dikabulkan. 4. Depresi dan mulai bisa menerima keadaan: Periode ketidakberdayaan yang dialami selama ini pada akhirnya menghasilkan sebuah pengakuan bahwa kehilangan betul-betul tidak bisa dihindarkan. 5. Bisa menerima keadaan (acceptance): Menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap kehilangan dan Ia mulai mau berajak dari situasi saat ini. Proses seperti tersebut di atas disebut sebagai proses transisi emosi (emotional transition process) yang dialami seseorang. Situasi seperti ini akan dialami seseorang sepanjang berlangsungnya perubahan organisasi. Artinya sangat boleh jadi transisi emosi seseorang tidak hanya terjadi sekali tetapi bisa berkali-kali sampai berakhirnya perubahan organisasi. Hal ini ditegaskan Devine et al. sebagaimana dikutip Holbeche, (2006). Dalam konteks merger dan akuisisi, Devine et al. mengatakan bahwa proses transisi



4.32



Manajemen Perubahan 



emosi yang dialami karyawan sudah mulai terjadi saat pengumuman merger dan akuisisi kemudian berulang ketika proses merger dan akuisisi terus berlanjut. Selengkapnya dilihat pada Gambar 4. 5 sebagai berikut. Pengumuman



Level kekhawatiran



Kehilangan pekrjaan



Relokasi



Struktur baru



Gaji dan prasyarat



Kerja dengan tim baru



Penunjukkan



Waktu



Gambar 4.5. Proses transisi selama merger dan akuisisi



Tampak pada Gambar 4.5 bahwa transisi individual tidak terjadi secara linear melainkan terjadi secara bergelombang. Pada awalnya saat terjadi pengumuman merger dan akuisisi tingkat kekhawatiran karyawan meninggi namun setelah itu menurun. Sebelum kekhawatirannya betul-betul menurun pada titik terendah karyawan dihadapkan pada kekhawatiran baru. Tingkat kekhawatiran karyawan kembali meninggi ketika merasa bahwa dia akan menjadi korban merger yakni mereka akan kehilangan pekerjaan. Jika kenyataan ini tidak terbukti kekhawatiran kembali menurun. Untuk sementara karyawan akan merasa aman karena masih bisa terus bekerja. Meski demikian, kekhawatiran karyawan boleh jadi muncul kembali ketika perusahaan memutuskan untuk merombak struktur organisasi. Perubahan struktur organisasi akan diinterpretasikan karyawan sebagai perubahan posisi kerja atau beban kerja yang semakin meningkat tanpa diikuti oleh imbalan yang lebih besar. Faktor inilah yang menyebabkan karyawan merasa khawatir. Kekhawatiran akan mereda manakala perusahaan selesai menata organisasi baru dan ternyata karyawan tidak terkena dampaknya. Proses seperti ini akan terus berlangsung sesuai dengan berjalannya waktu sampai karyawan betul-betul merasa aman yakni ketika jalannya organisasi sudah kembali normal.



 EKMA4565/MODUL 4



4.33



Naik turunnya kekhawatiran karyawan seperti disebutkan pada contoh di atas sering disebut sebagai emotional roller coaster. Disebut demikian karena karyawan mengalami emosi yang tidak stabil selama mereka menghadapi perubahan organisasi. Kapan berakhirnya emotional roller coaster tersebut tidak bisa ditentukan secara pasti. Masing-masing karyawan memiliki tingkat emosional berbeda sehingga masa adaptasinya pun berbeda; bisa cepat dan bisa juga lambat bergantung pada kapabilitas emosional karyawan dalam menghadapi perubahan. Agar kekhawatiran atau emosi karyawan tidak terombang-ambing oleh perubahan organisasi, di satu sisi karyawan itu sendiri harus mampu mengatasinya. Namun jika karyawan tersebut menganggap bahwa dirinya tidak bisa mengontrol situasi yang mengancam dan lingkungan kerja cenderung tidak stabil maka cara mengatasi persoalan ini tidak bisa diserahkan semata-mata kepada karyawan. Disinilah dukungan organisasi menjadi penting. Misalnya, saat karyawan mengingkari bahwa ada sesuatu yang akan hilang, pihak manajer harus sabar, mau mendiskusikan masalah yang dihadapi karyawan dan memberi perhatian terhadap sinyalsinyal kecil yang ditunjukkan karyawan. Pihak manajer juga harus mau mendengar dan menawarkan dukungan ketika kondisi emosional karyawan berada pada titik yang paling rendah. Saat itu tidak bisa dipungkiri jika karyawan menyalahkan pihak perusahaan, apatis, dan menunjukkan bentukbentuk gejolak emosi lainnya. Itulah sebabnya mengelola faktor manusia dalam konteks perubahan organisasi menjadi isu penting yang harus mendapat perhatian para manajer. F. MENGELOLA MANUSIA PADA SAAT IMPLEMENTASI PERUBAHAN Setelah memahami berbagai masalah yang dihadapi karyawan saat mereka berhadapan dengan perubahan, kini perhatian kita arahkan kepada cara mengelola faktor manusia agar semua dampak negatif yang ditimbulkan perubahan bisa diminimalisir sekecil mungkin sehingga tujuan perubahan bisa tercapai. Perhatian terhadap pengelolaan manusia sekali lagi menjadi isu penting mengingat manusia memegang peran krusial dalam perubahan organisasi. Memang dalam situasi perubahan tidak semua karyawan meresponsnya secara negatif. Tetapi harus disadari bahwa sebagai besar karyawan cenderung merespon perubahan dengan sinis dan kelesuan. Bahkan karyawan yang memiliki motivasi diri yang sangat tinggi sekalipun bias jadi



4.34



Manajemen Perubahan 



merespon perubahan dengan resistensi jika mereka tidak melihat keuntungan yang bakal mereka peroleh. Selain itu mengelola manusia dalam situasi perubahan juga bukan pekerjaan mudah lebih-lebih jika pihak manajemen khususnya manajer lini yang bertanggung jawab langsung terhadap pengelolaan manusia tersebut juga merasa tidak aman akan posisi yang sekarang ditempatinya, tidak yakin apakah perubahan merupakan tindakan yang bijak dan tidak memiliki informasi lengkap tentang perubahan yang akan dilaksanakan. Dari penjelasan di atas, uraian akan difokuskan pada peran manajer lini dalam memandu pengelolaan manusia dalam implementasi perubahan organisasi. Holbeche (2006) misalnya mengatakan bahwa peran yang harus dimainkan seorang manajer lini saat implementasi berubahan adalah: 1. Menciptakan iklim yang mendukung perubahan organisasi. Cara yang bias dilakukan adalah mengaitkan budaya organisasi, sistem imbalan, kebijakan perusahaan, prosedur kerja, sistem organisasi dan norma prilaku yang kesemuanya itu pada akhirnya bias mendukung perubahan yang diharapkan. Untuk itu, lini manajer tidak diposisikan sebagai seorang komando yang hanya melakukan command and control tetapi harus bergaya sebagai seorang manajer yang partisipatif dan fasilitatif. Di sisi lain, karyawan diajak untuk ikut bertanggung jawab dalam perubahan dan terus melakukan continuous improvement. 2. Mengolah resistensi karyawan terhadap perubahan. 3. Membangun kembali energi karyawan yang mengalami dimotivasi karena perubahan. 4. Membekali karyawan keterampilan yang dibutuhkan agar bias berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi perubahan. 5. Mengelola kinerja. 6. Mendorong karyawan agar mau mencoba cara kerja baru dalam menjalankan kegiatan organisasi. 7. Menerapkan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). 8. Memastikan bahwa load pekerjaan dikelola secara efektif sehingga karyawan tidak tenggelam dalam kegiatan kerja.



 EKMA4565/MODUL 4



4.35



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Proses perubahan individu saat menghadapi perubahan terdiri dari 7 tahapan. Jelaskan tahapan tersebut! 2) Karyawan akan mengalami schock ketika mendengar bahwa organisasi akan melakukan perubahan. Sehingga karyawan akan merasa kehilangan banyak hal ketika organisasi mengalami perubahan. Jelaskan bentuk kehilangan yang akan dialami karyawan tersebut! 3) Jelaskan mengenai sifat dari kontrak psikologis yang merupakan salah satu dampak dari perubahan yang bersifat psikologis! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Tahapan dalam proses perubahan individu yaitu: Tahap 1: terjadinya discrepancy atau inkonsistensi antara schema yang telah dibangun karyawan dengan kondisi riil karena perubahan. Tahap 2: karyawan menunjukkan reaksi emosional terhadap adanya inkonsistensi. Tahap 3: karyawan menelusuri sebab-sebab terjadinya inkonsistensi. Karyawan mencoba mengarahkan perhatiannya pada hal-hal atau masalah yang membebani mereka dan melihat peluang untuk keluar dari persoalan tersebut. Tahap 4: karyawan mengumpulkan informasi-informasi baru agar bisa memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tahap 5: karyawan mempertanyakan apakah schema yang telah dibangun sebelumnya masih relevan dengan kondisi berjalan. Tahap 6: karyawan mencari tambahan informasi baru untuk membangun schema baru karena menganggap schema lama sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan. Tahap 7: karyawan memahami bahwa schema yang telah dibangun sebelumnya dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini saat terjadi perubahan organisasi.



4.36



Manajemen Perubahan 



2) Bentuk kehilangan yang dialami karyawan jika karyawan mengalami schock ketika mendengar bahwa organisasi akan melakukan perubahan antara lain: a) Loss of Attachment yaitu perubahan organisasi dapat merubah pola hubungan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga pola-pola hubungan informal yang membentuk keterikatan menjadi berubah. b) Loss of Structure yaitu perubahan pada pola pekerjaan, struktur organisasi, kebijakan organisasi, jadwal kerja mengakibatkan orang merasa kehilangan atas struktur dan keteraturan kerja yang selama ini diakrabinya. c) Loss of Control yaitu proses perubahan menuju ke arah yang diinginkan, kerap anggota organisasi merasa kehilangan kontrol atas pekerjaan yang selama ini dimilikinya, lebih-lebih pada umumnya perubahan organisasi bersifat top-down. d) Loss of Meaning yaitu perubahan akan mengubah makna yang selama ini menjadi pegangan anggota organisasi, sementara makna yang baru belum diterima dan masih terbentuk. Usaha pencarian makanya ini menyebabkan gossip menjadi meningkat dalam organisasi. e) Loss of Future yaitu perubahan yang dilakukan akan menyebabkan kekacauan mengenai masa depan yang sudah dimiliki anggota organisasi dalam bentuk harapan, sementara masa depan perubahan itu sendiri belum jelas bagi dirinya. 3) Sifat dari kontrak psikologis karyawan dalam menghadapi perubahan, yaitu: a) Kontrak psikologis yang bersifat “implisit” dibuat dua belah pihak – antara seseorang (seorang karyawan) dengan organisasi tempat kerja, yang menjelaskan ekspektasi masing-masing pihak tentang apa yang bisa mereka berikan dan apa akan diterima dalam kaitannya dengan hubungan kerja. b) Kontrak psikologis yang bersifat “harapan”. Harapan tersebut adalah dari salah satu pihak kepada pihak lainnya. Kedua belah pihak sangat diharapkan bisa memenuhi harapan-harapan tersebut. Hanya saja dalam praktik tidak jarang harapan kedua belah pihak tidak sama walaupun bukan berarti harapan kedua belah pihak selalu berbeda.



 EKMA4565/MODUL 4



4.37



Kontrak psikologis yang bersifat “saling bergantung (interdependent)”. Kontrak psikologis ini melibatkan dua pihak yang saling berinteraksi dalam hubungan kerja dan keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini bisa diartikan bahwa dalam kontrak psikologis setiap orang perlu mengetahui apa dan kepada siapa mereka harus bergantung. d) Kontrak psikologis yang bersifat “unsur jarak psikologis”. Kedua belah pihak dituntut memiliki hubungan yang sangat dekat agar bisa saling berbagi informasi sehingga hubungan kerja berjalan lancar. Kedekatan hubungan secara psikologis juga bisa mengurangi tingkat stres di antara keduanya. Di sisi lain, kedua belah pihak juga dituntut untuk menjaga jarak agar tidak merasa ada tekanan-tekanan yang mengganggu hubungan kerja. e) Kontrak psikologis bersifat “dinamik”. Kontrak psikologis akan terjadi sepanjang kedua belah pihak masih menjalin hubungan kerja dan selama itu pula kontrak psikologis akan diperbaharui baik secara langsung maupun tidak. Artinya, pada saat pertama kali kontrak disepakati, masing-masing pihak memiliki harapan tertentu kepada pihak lain. c)



R A NG KU M AN Setiap perubahan organisasi pasti melibatkan manusia dalam prosesnya, bahkan manusia bisa disebut sebagai pelaku utama dan faktor kunci keberhasilan atau kegagalan perubahan. Adapun penyebabnya tidak lain karena manusia itu sendiri memiliki peran sentral dalam kehidupan organisasi. Berhasil atau tidaknya perubahan organisasi sangat bergantung pada kemauan manusia untuk mendukung perubahan. Untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap karyawan, maka akan difokuskan pada beberapa topik yang terkait dengan dampak perubahan yang bersifat psikologis, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Dimensi tersembunyi dalam perubahan. 2. Aspek emosi dalam perubahan. 3. Proses transisi individu. 4. Kontrak psikologis.



4.38



Manajemen Perubahan 



Perubahan individu membutuhkan masa transisi yang kadangkadang membutuhkan waktu panjang. Model proses transisi terdapat 5 tahap (five stages model), Freeman (1996) yang akan dialami seseorang ketika mereka menghadapi perubahan, seperti: mengingkari; marah atau gampang marah; tawar menawar (bargaining); depresi dan mulai bisa menerima keadaan; dan bisa menerima keadaan (acceptance). Perhatian terhadap pengelolaan manusia sekali lagi menjadi isu penting mengingat manusia memegang peran krusial dalam perubahan organisasi. Memang dalam situasi perubahan tidak semua karyawan meresponsnya secara negatif. Tetapi harus disadari bahwa sebagian besar karyawan cenderung merespon perubahan dengan sinis dan kelesuan. Bahkan karyawan yang memiliki motivasi diri yang sangat tinggi sekalipun bisa jadi merespon perubahan dengan resistensi jika mereka tidak melihat keuntungan yang bakal mereka peroleh. TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Kepentingan masing-masing individu berbeda maka berpolitik di dalam organisasi sesungguhnya merupakan hal yang lumrah terjadi mengingat politik identik dengan .... A. kemajuan zaman dalam berorganisasi B. kepentingan dirinya dalam organisasi C. kepemimpinan untuk mengejar kekuasaan D. kewenangan dan kekuasaan dalam alam demokrasi 2) Ketika seorang karyawan pernah berhadapan dengan perubahan maka perubahan berikutnya boleh jadi akan lebih mudah karena mereka telah memiliki schema yang tersimpan dalam memorinya terutama jika pengalaman perubahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terlalu membebani dirinya. Hal ini termasuk dampak psikologis perubahan organisasi pada sisi .... A. dimensi tersembunyi dalam perubahan B. aspek emosi dalam perubahan C. proses transisi individu D. kontrak psikologis



4.39



 EKMA4565/MODUL 4



3) Sebagian karyawan menginterpretasikan restrukturisasi perusahaan yang berakibat pada berkurangnya penerimaan seperti yang dijanjikan sebelumnya, merupakan A. tindakan yang didukung oleh semua karyawan B. pembelaan manajemen dalam rangka efisiensi C. bentuk pelanggaran manajemen dalam informasi D. skala perubahan efisiensi organisasi 4) Suka atau tidak, karyawan harus terus bergerak menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan jika .... A. dirinya mampu berkinerja lebih berkualitas B. menginginkan dirinya masih tetap bersama organisasi C. perubahan mampu memberikan kenyamanan dalam organisasi D. meningkatkan keefektifan struktur organisasi yang lebih baik. 5) Kekhawatiran karyawan boleh jadi muncul kembali ketika perusahaan memutuskan untuk .... A. merombak struktur organisasi B. menambah beban organisasi C. merubah organisasi secara radikal D. membahayakan organisasi yang akan direstrukturisasi Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



4.40



Manajemen Perubahan 



Kegiatan Belajar 2



Kepemimpinan dalam Perubahan Organisasi



K



epemimpinan merupakan salah satu topik penting dalam perubahan organisasi. Dalam banyak hal keberhasilan atau kegagalan perubahan organisasi mencapai tujuan yang diharapkan biasanya tidak bisa dipisahkan dari kualitas pimpinan dan sangat tergantung pada kemampuan Sang Pemimpin memainkan perannya. Begitu pentingnya masalah kepemimpinan dalam perubahan organisasi menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus atribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan perubahan organisasi. Jika sebuah perusahaan gagal mengimplementasikan perubahan organisasi bukan perubahannya yang dibubarkan atau karyawannya yang dipecat tetapi pemimpinnya yang biasanya menjadi korban. Schein (1992) dan Kouzes & Posner (1987) misalnya menyatakan bahwa pemimpin mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam menghadapi tantangan yang muncul. Hal itu menjadikan pemimpin memegang peranan kunci dalam memformulasikan dan mengimplementasikan strategi perubahan organisasi sehingga peranannya akan mempengaruhi keberhasilan perubahan organisasi (untuk penjelasan lebih detail lihat misalnya, Nahavandi & Malekzadeh, 1993). A. PENGERTIAN PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua kata yang saling terkait, masing-masing dengan kata dasar pimpin. Dengan awalan pe kata pimpin menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin dan kepemimpinan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemimpin. Dalam bahasa Inggris memimpin berarti ”to lead”. Kata to lead itu sendiri berasal dari kata laedere yang berarti people on journey – orang dalam perjalanan (Cater, 1997). Dari asal kata tersebut bisa dikatakan bahwa memimpin berarti membuat orang lain bergerak. Namun dalam keseharian, istilah kepemimpinan sering digunakan untuk tujuan berbeda pada situasi berbeda. Istilah kepemimpinan misalnya digunakan untuk menunjukkan posisi seseorang di dalam organisasi. ”Semua orang yang mempunyai posisi kepemimpinan diharap



 EKMA4565/MODUL 4



4.41



datang pada seminar yang akan kami selenggarakan besok pagi” adalah satu contoh yang menunjukkan bahwa posisi seseorang di dalam organisasi identik dengan pemimpin. Kepemimpinan juga digunakan untuk menjelaskan karakteristik seseorang ”Supervisor kita yang baru tidak memiliki jiwa kepemimpinan seperti supervisor kita sebelumnya”. Kata jiwa kepemimpinan seolah-olah menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan sifat seseorang. Meski kedua contoh di atas berkaitan dengan kepemimpinan, keduanya belum memberi pemahaman umum tentang pemimpin dan kepemimpinan. Tidak bisa dipungkiri bahwa mendefinisikan kepemimpinan bukan pekerjaan mudah karena masing-masing pakar memberi tekanan berbeda untuk kata yang sama – kepemimpinan. Bass (1990) misalnya mengidentifikasi beragam definisi kepemimpinan sebagai berikut: 1. Pemimpin sebagai fokus atau titik sentral dari proses kelompok. Definisi-definisi awal tentang pemimpin dan kepemimpinan menunjukkan adanya kecenderungan dalam melihat pemimpin sebagai seseorang yang berada di tengah-tengah kelompok dan menjadi pusat perubahan, pergerakan dan aktivitas kelompok. 2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berdampak pada orang lain. Para teoritis kepribadian cenderung menganggap bahwa seorang pemimpin adalah orang yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan kepribadian para pengikutnya sehingga ia bisa menggerakkan orang lain. J. Steven Ott (1996) misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. 3. Kepemimpinan sebagai tindakan yang menyebabkan orang lain patuh. Pemimpin adalah seorang yang secara sepihak mampu mengendalikan orang lain untuk memenuhi keinginan Sang Pemimpin. 4. Kepemimpinan sebagai pelaksanaan mempengaruhi. Kepemimpinan menurut pandangan ini tidak lain adalah proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 5. Kepemimpinan sebagai sebuah tindakan atau prilaku. Yang dimaksud dengan prilaku kepemimpinan seperti dikatakan Fiedler (1967) adalah sebuah tindakan tertentu yang dilakukan seorang pemimpin dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan kerja kelompok. Termasuk dalam tindakan ini misalnya membuat struktur hubungan kerja, memuji dan mengkritik anggota kelompok, dan menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan perasaan anggota kelompok. Sementara itu Katz and



4.42



Manajemen Perubahan 



Khan mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah bentuk prilaku yang menyebabkan seseorang bisa mempengaruhi orang lain (Katz & Khan, 1978). 6. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memutuskan apa yang harus dikerjakan dan meminta orang lain agar mau mengerjakan hal tersebut. Jadi kepemimpinan adalah seni berhubungan dengan orang lain, yakni seni untuk mempengaruhi orang lain dengan persuasi atau contoh, bukan paksaan, agar orang lain mau melakukan sebuah tindakan. Locke et al. (1991) misalnya mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama. 7. Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan. Dalam hal ini kepemimpinan dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang sehingga dengan kekuasaan tersebut seseorang bisa mengendalikan tindakan orang lain 8. Kepemimpinan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Menurut pandangan ini kepemimpinan hanyalah salah satu insrument yang kemungkinan tujuan bisa dicapai dan kebutuhan bisa terpenuhi. 9. Kepemimpinan sebagai dampak dari sebuah interaksi. Munculnya kepemimpinan disebabkan karena terjadinya interaksi di dalam kelompok. Artinya seseorang belum dianggap sebagai pemimpin sebelum dirinya berinteraksi dengan orang lain dan diakui oleh orang lain bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. 10. Kepemimpinan sebagai bentuk peran yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat termasuk dalam sebuah organisasi setiap individu menempati posisi tertentu dan memainkan peran tertentu pula. Jika seseorang bisa memberi kontribusi yang diperlukan kelompoknya maka orang tersebut bisa dianggap sebagai pemimpin. Demikian juga jika orang tersebut bisa diandalkan dalam memberi kontribusi kepada kelompoknya maka dialah serang pemimpin 11. Kepemimpinan sebagai proses terciptanya struktur. Pandangan ini mengatakan bahwa kepemimpinan tidak disebabkan karena seseorang semata-mata menempati sebuah posisi di dalam organisasi atau karena dia memperoleh peran tertentu tetapi karena dia bisa menginisiasi dan mempertahankan pola hubungan yang diperankan orang lain.



 EKMA4565/MODUL 4



4.43



Dari beragam pandangan tentang kepemimpinan seperti tersebut di atas, pada akhirnya dapat diambil inti sari dari kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan merupakan sebuah fenomena kelompok. Seorang pemimpin tidak akan pernah ada jika tidak ada pengikut. Oleh karena itu kepemimpinan selalu melibatkan persuasi atau pengaruh. Meski demikian bukan berarti setiap proses mempengaruhi orang lain adalah sebuah proses kepemimpinan. Kepemimpinan hanya akan terjadi jika orang yang dipengaruhi mau melakukan tindakan yang bersifat sukarela, bukan karena diminta, terpaksa atau karena takut terhadap konsekuensi yang akan dihadapi jika mereka tidak melakukannya. Kemauan orang lain untuk melakukan tindakan sukarela inilah yang membedakan kepemimpinan dengan proses mempengaruhi lain seperti kekuasaan dan otoritas. Dengan kekuasaan atau otoritas misalnya seseorang bisa mempengaruhi orang lain tetapi orang yang dipengaruhi mau melakukan tindakan tersebut karena takut atau karena terpaksa harus melakukannya. Agar orang lain mau melakukan tindakan sukarela, proses mempengaruhinya kadang-kadang tidak bisa dilakukan seketika melainkan melalui proses incremental – setahap demi setahap di luar proses keseharian yang bersifat mekanik dan direktif. Kedua, pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk menuntun orang lain atau anggota kelompok melakukan tindakan tertentu, termasuk perubahan organisasi, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pemimpin mempengaruhi para pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang memiliki legitimasi, menjadikan dirinya sebagai role model (menjadi teladan), menetapkan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi (Bass, 1985; Locke, 1991). Ketiga, sering kali tidak bisa dihindari jika kehadiran seorang pemimpin karena kedudukan seseorang di dalam hierarki organisasi. Pemimpin biasanya berada puncak hierarki organisasi. Meski demikian harus disadari pula bahwa proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu jabatan tertentu di dalam organisasi melainkan harus melakukan sesuatu agar orang lain terpengaruh dan mau melakukan tindakan secara sukarela. Sekedar menduduki posisi itu saja dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Artinya tidak selamanya seorang yang menduduki posisi tertentu di dalam organisasi adalah seorang pemimpin. Sebaliknya kalaulah seseorang



4.44



Manajemen Perubahan 



tidak menduduki jabatan tertentu bukan berarti dia bukan pemimpin. Menurut Burns (1978), untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsif. B. PERBEDAAN ANTARA KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN Uraian di atas secara tidak langsung mengindikasikan bahwa setiap orang di dalam organisasi sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin tanpa harus orang yang bersangkutan menempati posisi formal. Seorang pemimpin boleh jadi berasal dari orang di luar jabatan resmi organisasi. Pemimpin ini biasa disebut sebagai pemimpin informal. Dengan penjelasan ini bisa dikatakan bahwa manajer – seseorang yang menempati posisi formal di dalam perusahaan tidak selamanya adalah seorang pemimpin. Itulah sebabnya istilah kepemimpinan sering dibedakan dengan manajemen. Meski mendikotomikan kedua konsep tersebut sering menuai kontroversi karena sebagian kalangan beranggapan bahwa manajemen dan kepemimpinan adalah sama. Sebagian definisi di atas menegaskan kesamaan antara manajemen dan kepemimpinan. Namun sebagian yang lain menganggap keduanya memang berbeda. Perdebatan ini sampai sekarang masih terus berlangsung dan masih dianggap aktual. Di antara mereka yang membedakan manajemen dengan kepemimpinan adalah: 1. Pandangan Zaleznik Zaleznik (1977) berpendapat bahwa pemimpin dan manajer sangat berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, cara berpikir serta cara bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal, pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi (personal) dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang kerja sebagai suatu proses yang memungkinkan, mencakup suatu kombinasi dari orang dan gagasan yang berinteraksi untuk menetapkan strategi dan mengambil keputusan. Pemimpin bekerja dari posisi berisiko tinggi, sering memang secara temperamental ingin mencari risiko dan bahaya, teristimewa bila kesempatan dan ganjaran tampak tinggi. Manajer lebih suka bekerja dengan orang, mereka menghindari aktivitas sendirian (soliter) karena aktivitas itu membuat mereka cemas. Mereka berhubungan dengan orang-orang menurut peran yang mereka mainkan dalam suatu urutan peristiwa atau dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin,



4.45



 EKMA4565/MODUL 4



2.



3.



memperhatikan gagasan, berhubungan dengan orang-orang dalam cara yang lebih intuitif dan empatik. Pandangan Kotter Dengan alasan yang berbeda Kotter (1988) juga berpendapat bahwa kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen menyangkut upaya mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil melalui pembandingan dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya, menyangkut mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan dengan mengembangkan suatu visi masa depan, kemudian mereka mempersekutukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Kotter menganggap baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas organisasi yang optimum. Pandangan Bennis Bennis (1994) memandang perbedaan antara pemimpin dan manajer sebagai perbedaan antara mereka yang menguasai lingkungan dan mereka yang menyerah kepadanya.



Ada perbedaan-perbedaan lain yang patut mendapat perhatian. Perbedaan-perbedaan ini sangat besar dan penting, seperti tercantum pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Perbedaan antara Manajer dan Pemimpin/Leader Manajer Mengelola (administers) Meniru (a copy) Mempertahankan Berfokus pada sistem dan struktur Bergantung pada pengawasan Berorientasi jangka pendek Bertanya bagaimana dan kapan Berorientasi pada hasil akhir Meniru (imitates) Menerima status quo Melakukan hal-hal dengan benar (The manager does things rights) Sumber: Bennis (1994) -



Leader -



Menemukan (innovates) Orisinal (original) Mengembangkan Berfokus pada orang Membangkitkan kepercayaan Memiliki perspektif jauh ke depan Bertanya apa dan mengapa Berorientasi ke masa depan Memulai (originates) Meneriman tantangan (challenges it) Melakukan hal-hal yang benar (The leader does righ tthings)



4.46



Manajemen Perubahan 



C. MENGAPA KEPEMIMPINAN DIPERLUKAN? Berkaitan dengan kehidupan sebuah organisasi, pertanyaan dasarnya adalah mengapa kepemimpinan masih diperlukan padahal organisasi itu sendiri telah tertata dengan baik – telah memiliki struktur organisasi yang menjelaskan siapa harus melakukan apa, memiliki tujuan yang harus dicapai yang telah dinyatakan secara jelas dan memiliki momentum untuk menjalankan itu semua. Mengapa orang-orang yang bekerja di dalam organisasi dengan aturan yang jelas dan dengan wewenang dan tanggung jawab yang jelas masih harus dipengaruhi di luar arahan rutin yang bersifat formal dan ketentuan-ketentuan formal lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini Katz and khan mengajukan empat alasan mengapa kepemimpinan masih diperlukan. Pertama, meski telah memiliki struktur organisasi yang menjelaskan kedudukan masing-masing individu di dalam organisasi dan pembagian kerja di antara mereka, namun harus diakui bahwa dalam batas tertentu desain organisasi sering tidak lengkap. Sederhananya, organisasi tidak bisa didesain seperti mesin yang bisa dengan mudah dihidupkan lantas semuanya bisa berjalan secara otomatis, organisasi terdiri dari orang-orang yang membutuhkan sentuhan, memerlukan inspirasi, dorongan, dan motivasi. Untuk tujuan inilah seorang pemimpin dibutuhkan kehadirannya. Seorang pemimpin dengan demikian dituntut untuk menggerakkan semua orang di dalam organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Termasuk di dalamnya mengatur tugas, memutuskan siapa mengerjakan apa, dan mendelegasikan pekerjaan. Kedua, organisasi tidak hidup dalam ruang isolasi yang terbebas dari pengeruh lingkungan luar. Oleh karena itu jika lingkungan luar berubah organisasi juga harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Kehadiran seorang pemimpin dengan demikian diperlukan untuk mengidentifikasikan strategi baru dan cara-cara yang mungkin bisa dijalankan untuk menyikapi perubahan lingkungan tersebut. Ketiga, sebagai implikasi dari perubahan lingkungan eksternal, sering kali tidak bisa dihindarkan lingkungan internal pun harus mengalami perubahan. Demikian juga, tanpa harus menunggu perubahan lingkungan eksternal, lingkungan internal sering mengalami perubahan misal karena pertumbuhan atau karena siklus hidup organisasi lainnya yang menyebabkan organisasi menjadi semakin dinamik. Akibatnya tidak jarang arah organisasi menjadi melenceng dari tujuan semula karena masing-masing unit organisasi



 EKMA4565/MODUL 4



4.47



menginterpretasi perubahan tersebut dengan bahasa masing-masing sehingga tidak jarang pula timbul konflik di antara mereka. Pada situasi seperti inilah peran seorang pemimpin menjadi penting untuk melakukan koordinasi dan menyelesaikan konflik. Keempat, kehadiran seorang pemimpin sangat diperlukan terutama untuk memberi motivasi, menginspirasi dan menjaga agar karyawan mau terus terlibat dalam kehidupan organisasi. Perlu disadari bahwa karyawan tidak selamanya hidup dengan organisasi. Mereka datang dan pergi. Mereka juga memiliki kehidupannya sendiri yang kadang-kadang tidak sejalan dengan keinginan organisasi. Oleh karena itu meski mereka hadir dan bekerja untuk organisasi keinginan dan perhatiannya bukan tidak mungkin selalu mengalami perubahan. Padahal bagi organisasi itu sendiri, kehadiran mereka tidak lain untuk membantu organisasi menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan organisasi. Ketika terjadi diskrepansi antara karyawan dengan organisasi inilah dibutuhkan seorang pemimpin guna menginspirasi dan memotivasi serta merubah mereka menjadi orang yang memiliki komitmen dan berkontribusi terhadap kepentingan organisasi. D. POLA KEPEMIMPINAN ORGANISASI Jenis pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi berjalan efektif tidak sama untuk semua pemimpin. Masing-masing pemimpin dituntut untuk memainkan peran dan kemampuan berbeda tergantung pada level organisasi yang ditempati dan kondisi organisasi yang sedang dikelola. Sebagai contoh, kemampuan kognitif dan afektif seorang pemimpin pada level atas berbeda dengan mereka yang berada pada level bawah. Tiga jenis peran yang biasanya dimainkan seorang pemimpin adalah: peletak dasar, interpolasi dan administrasi. Sebagai peletak dasar (origination) seorang pemimpin dituntut untuk membuat keputusan strategik berkaitan dengan formulasi dan perubahan struktur organisasi. Keputusan ini sangat penting karena akan menentukan misi dan budaya organisasi. Sedangkan interpolasi berkaitan dengan upaya untuk menginterpretasikan keputusan strategi dan mendesain metode untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. Termasuk ke dalam interpolasi adalah melakukan adaptasi terhadap kebijakan baru organisasi. Selain itu menutup kekurangan struktur organisasi berjalan juga merupakan bagian dari interpolasi. Terakhir administrasi adalah mengimplementasikan kebijakan dan prosedur yang telah dibuat sebelumnya untuk menjaga agar organisasi bisa beroperasi secara



4.48



Manajemen Perubahan 



efisien. Gambar 4.6 memberikan gambaran terkait dengan tiga peran dimainkan seorang pemimpin di dalam organisasi. Kemampuan dan keterampilan yang Proses



Level organisasi



kepemimpinan Peletak dasar: merubah, membangun dan mengeliminasi struktur Interpolasi: menambah atau mengurangi struktur Administrasi: menggunakan struktur berjalan



dibutuhkan Kognitif



Afektif



eselon puncak



perspektif sistem



Karisma



level menengah: peran yang sangat penting level bawah



perspektif subsistem: orientasi dua arah pengetahuan teknis: memahami peraturan yang berlaku



Mengintegrasikan hubungan primer dan sekunder Memberi perhatian terhadap keseimbangan antara reward dan punishment



Gambar 4.6. Pola kepemimpinan organisasi



Seperti tampak pada gambar di atas ketiga peran seorang pemimpin dimainkan pada level organisasi berbeda dan membutuhkan kemampuan dan keterampilan berbeda. Sebagai contoh, menetapkan program dan kebijakan baru yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur organisasi dan atau interpretasi ulang terhadap misi organisasi akan terjadi pada level atas. Oleh karena itu seorang pemimpin yang menempati posisi ini harus memiliki pemahaman terhadap keseluruhan organisasi dan cara organisasi tersebut berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Bisa dikatakan bahwa pimpinan puncak merupakan simbol yang merepresentasikan organisasi secara keseluruhan. Pimpinan pada level menengah melakukan interpolasi yakni menginterpretasikan kebijakan dan menerapkannya pada organisasi berjalan. Inisiasi perubahan dengan demikian bukan merupakan peran yang harus dimainkan oleh pimpinan level menengah. Sebaliknya, pimpinan level menengah lebih dituntut untuk menjaga keseimbangan antara arahan dari atas dan mengakomodasi tuntutan dari bawah. Sedangkan pimpinan level bawah lebih dituntut untuk menjalankan kebijakan dan prosedur organisasi. Oleh



 EKMA4565/MODUL 4



4.49



karena itu manajer level bawah dituntut untuk memiliki kemampuan teknis sekaligus memahami aturan yang berlaku karena merekalah yang secara langsung berhubungan dengan karyawan nonmanajer. Itulah sebabnya pimpinan level bawah harus memberi perhatian pada aspek penghargaan dan hukuman. Jim Collin dalam bukunya “Good to Great” (2001) juga mengingatkan akan pentingnya kepemimpinan pada setiap level organisasi jika menghendaki organisasi tersebut berhasil mencapai tujuannya. Collin membedakan kepemimpinan ke dalam 5 level yang berbeda. Pada level 1, individu yang memiliki kapabilitas yang sangat tinggi mampu memberi kontribusi yang produktif melalui: talenta, pengetahuan, skill dan kebiasaan kerja yang baik. Pada level 2, kontribusi anggota-anggota tim mampu memberikan kontribusi terhadap kapabilitas individu untuk mencapai tujuan kelompok dan kerja sama yang baik di antara anggota kelompok. Pada level 3, manajer yang kompeten mampu mengorganisir manusia dan sumber daya menuju efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada level 4, pemimpin menjadi kalisator dalam menciptakan komitmen menuju tercapainya tujuan organisasi. Pada level 5, para eksekutif mampu membangun kebesaran organisasi yang bertahan lama melalui ramuan yang bersifat paradoks yakni bersahaja tapi profesional dan memiliki komitmen total dalam memajukan kepentingan organisasi. Kepemimpin level 5 inilah yang dianggap sebagai unsur utama dari beberapa unsur lainnya yang bisa mentransformasi perusahaan dari sekedar perusahaan yang baik menjadi perusahaan yang luar biasa. E. KEPEMIMPINAN BEORIENTASI PERUBAHAN Istilah kepemimpinan berorientasi perubahan ini diambil dari buku ”The art and science of leadership” yang ditulis oleh Nahavandi (1997). Menurut Nahavandi teori-teori yang telah berkembang selama ini bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu teori klasik dan teori kontingensi. Dalam perkembangan selanjutnya meski teori-teori tersebut masih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan, muncul teori-teori baru yang berorientasi perubahan. Dua di antaranya akan dibahas di sini yakni kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan transformasional. Dua teori ini dikatakan berorientasi perubahan karena pemimpin dalam proses



4.50



Manajemen Perubahan 



kepemimpinannya mampu mengubah arah perkembangan organisasi. Dengan kata lain pimpinan adalah seorang agen perubahan. Sebagai seorang agen perubahan tugas pimpinan tidak bisa dikatakan ringan. Pimpinan harus mampu bertindak sebagai role model, mengatasi resistensi terhadap perubahan, menciptakan kesiapan untuk berubah, dan membangun komitmen karyawan pada setiap level organisasi. Pimpinan juga dituntut untuk menyiapkan karyawan agar mau terlibat dalam perubahan yang sedang berjalan demi tercapainya tujuan jangka panjang perusahaan. Di samping itu agent perubahan juga harus menciptakan proses perubahan yang konstruktif dan mengajak keterlibatan karyawan dalam proses perubahan untuk menghindari adanya resistensi terhadap perubahan. Lebih dari itu, seorang agen perubahan harus secara jelas menyampaikan informasi tentang tujuan perubahan dan target-target yang ingin dicapai, dan membantu membangun budaya yang mendukung terjadinya proses pembelajaran dan kemampuan karyawan untuk bereksperimen melakukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tugas berat tersebut tentunya membutuhkan prasyarat dan karakter tertentu agar berhasil dalam memimpin perubahan. Dalam hal ini Edgar Schein (1985) mengatakan bahwa pemimpin perubahan seharusnya memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Memiliki kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif 2. Memiliki kemauan untuk menantang atau membekukan norma prilaku dan keterampilan yang sudah ada agar pesan-pesan yang ingin disampaikannya bisa diterima. 3. Mampu menyerap kekhawatiran-kekhawatiran yang ditimbulkan oleh perubahan. 4. Mampu mengubah asumsi lama yang sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan menjadi asumsi baru yang sesuai dengan kebutuhan organisasi di masa yang akan datang. 5. Mampu menciptakan kondisi sehingga orang lain mau terlibat dan berpartisipasi dalam perubahan. 6. Memiliki kemampuan untuk memahami kedalaman visi. Berdasarkan penjelasan di atas dengan demikian seorang pimpinan perubahan dalam batas-batas tertentu harus mampu mengubah dirinya termasuk sikap dan gaya kepemimpinannya sebelum dia memimpin perubahan dan mampu mengubah orang lain. Menurut David Weidman



4.51



 EKMA4565/MODUL 4



(2000) pemimpin perubahan adalah mereka yang mampu merubah sikap dan gaya kepemimpinan secara radikal untuk hal-hal berikut ini, dari: Sekedar mengoptimalkan business model Keterampilan kepemimpinan pada manusia Memanaj kondisi yang bergejolak Menghindari perubahan Multinasional Delegator utama Mengurangi ketidakpastian Perubahan = keos Memimpin evolusi



Ke



Menciptakan business model baru keterampilan kepemimpinan perubahan menjadikan perubahan sebagai keunggulan kompetitif melakukan perubahan multikultural Menangani langsung Mempengaruhi ketidakpastian perubahan = kemajuan memimpin revolusi



F. METAFORA KEPEMIMPINAN PERUBAHAN Sebelum menjelaskan secara detail kepemimpinan kharismatik dan transformasional, ada baiknya disimak terlebih dahulu metafora kepemimpinan perubahan. Istilah metafora sebelumnya telah digunakan Morgan (1996) untuk menggambarkan sosok sebuah organisasi dengan menggunakan obyek lain sebagai padanannya. Misalnya organisasi sebagai mesin bisa diartikan organisasi memiliki prilaku layaknya prilaku sebuah mesin. Implementasinya dalam konteks perubahan organisasi, konsep metafora bisa digunakan untuk membedakan tipe kepemimpinan perubahan (Palmer, Dunford & Akin, 2006). Meski ketiga penulis ini tidak menggunakan istilah pemimpin tetapi menggunakan istilah manajer pada intinya kedua istilah tersebut dianggap sama yakni pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan perubahan dan memiliki wewenang untuk melakukan perubahan organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan konsep tersebut Palmer et al. mengatakan bahwa pemimpin perubahan bisa dibedakan ke dalam enam tipe pemimpin. Keenam tipe tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.7 sebagai berikut.



4.52



Manajemen Perubahan 



Metafora dalam mengelola perubahan Mengendalikan….. Membentuk….. Seperti yang diharapkan Hasil dari Sebagian seperti yang perubahan diharapkan Tidak seperti yang diharapkan Sumber: Palmer, Dunford & Akin (2006),



Aktivitas DIRECTOR



kapabilitas COACH



NAVIGATOR



INTERPRETER



CARETAKER p.24



NURTURER



Gambar 4.7. Metafora manajemen perubahan



Seperti tampak pada Gambar 4.7 ada dua dimensi yang digunakan untuk membedakan tipe kepemimpinan yaitu: tujuan perubahan dan hasil yang diharapkan dari perubahan tersebut. Menurut Palmer et al. perubahan organisasi dibedakan menjadi dua yaitu perubahan sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas organisasi (controlling activities) dan perubahan sebagai upaya untuk membentuk kapabilitas organisasi (shaping capabilities). Sedangkan hasil yang diharapkan dari perubahan organisasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) perubahan menghasilkan outcome seperti yang diharapkan, (2) perubahan menghasilkan outcome yang sebagiannya sesuai dengan harap dan sebagiannya lagi tidak sesuai dengan harapan, dan (3) perubahan tidak menghasilkan outcome seperti yang diharapkan. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, tipologi pimpinan yang cocok untuk mengelola perubahan adalah: 1. Pimpinan sebagai seorang Direktur. 2. Pimpinan sebagai seorang Navigator. 3. Pimpinan sebagai seorang Caretaker. 4. Pimpinan sebagai seorang Coach. 5. Pimpinan sebagai seorang Interpreter. 6. Pimpinan sebagai seorang Nurturer. 1.



Pimpinan sebagai Direktur Ketika seorang pimpinan dianggap sebagai seorang direktur, asumsi yang melatarbelakanginya adalah tugas seorang pimpinan adalah mengendalikan semua aktivitas organisasi dan dengan cara ini perubahan bisa memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Hal ini bisa diartikan bahwa



 EKMA4565/MODUL 4



4.53



seorang pimpinan memiliki posisi sentral dalam pengertian berhasil atau gagalnya perubahan sangat bergantung bagaimana arahan dari pimpinan tersebut. Demikian juga perubahan dianggap sebagai pilihan strategis yang dibuat oleh pimpinan sehingga keberlangsungan hidup organisasi dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat dalam organisasi bergantung pada pimpinannya. Sederhananya, pimpinan merupakan sosok layaknya seorang komandan militer di mana anak buah harus mengikuti aturan dan perintahnya. Sebagai contoh, jika pimpinan memutuskan untuk mengubah sistem informasi teknologi sebagai upaya untuk merespon perubahan lingkungan atau untuk mempermudah jaringan internasional maka keputusan pimpinan tersebut mutlak harus diikuti karena diyakini perubahan tersebut pasti bisa dilaksanakan dan bisa bekerja dengan baik. Demikian juga keputusan tersebut akan memberi dampak kinerja yang lebih baik. 2.



Pimpinan sebagai Navigator Seperti halnya anggapan pimpinan sebagai seorang direktur, asumsi pimpinan sebagai navigator juga sama yakni pimpinan memiliki kendali terhadap kehidupan organisasi. Yang sedikit membedakan pimpinan sebagai navigator dengan pimpinan sebagai direktur adalah sebagai navigator ada hal-hal tertentu yang berada di luar kendali pimpinan. Oleh karenanya hasil perubahan juga tidak sepenuhnya terkendali seperti yang diharapkan meski sebagiannya bisa dicapai. Sebagai contoh, pimpinan organisasi bermaksud merestrukturisasi sebuah unit bisnis dengan membentuk tim lintas fungsi (cross dunctional team). Tugas utama tim adalah membantu pengembangan produk. Sementara sang pimpinan mampu secara formal membentuk tim tersebut, efektivitas kerja tim sudah bukan lagi di bawah kendali pimpinan. Penyebabnya boleh jadi tidak ada rasa saling percaya di antara anggota tim, masing-masing pihak tidak secara terbuka menyampaikan informasiinformasi penting dalam pengembangan produk atau ada hal-hal yang dirahasiakan oleh anggota tim dari departemen fungsional yang berbeda. Demikian juga sangat boleh jadi orang-orang yang dikirim menjadi anggota tim adalah orang-orang yang diyakini bisa menjaga kepentingan masingmasing departemen sehingga jika ada keputusan tim yang sekiranya akan mengganggu kepentingan salah satu departemen maka wakil dari departemen tersebut akan memblok keputusan tersebut. Hal ini bias diartikan bahwa dengan metaora pimpinan sebagai navigator, hasil yang ingin dicapai oleh perubahan organisasi tidak sepenuhnya bisa diraih.



4.54



Manajemen Perubahan 



3.



Pimpinan sebagai Caretaker Caretaker atau pelaksana tugas merupakan metafora yang digunakan untuk menggambarkan peran pimpinan yang sesungguhnya masih memiliki kendali terhadap organisasi tetapi dalam upayanya untuk mengeksekusi kekuasaannya terkendala berbagai faktor penghambat baik faktor internal maupun faktor eksternal organisasi. Akibatnya perubahan organisasi seolaholah di luar kendali pimpinan. Sebagai contoh, ketika pimpinan mendorong semua karyawan untuk berprilaku kewirausahaan dan inovatif, dorongan pimpinan sangat mungkin gagal jika pertumbuhan organisasi justru menjadikan organisasi semakin birokratis dan menerapkan perencanaan strategis, aturan-aturan dan regulasi yang serba formal dan pengambilan keputusan dilakukan pada level organisasi paling atas (pengambilan keputusan yang sentralistik). Dalam situasi seperti ini pertumbuhan organisasi dan isu-isu yang terkait dengan berada di luar jangkauan kendali manajer perubahan. yang bias dilakukan pimpinan hanya sebatas sebagai penggembala yang baik yakni menjaga agar organisasi tidak melenceng terlalu jauh dari cita-cita awal. 4.



Pimpinan sebagai Pembina (Coach) Sebagai seorang pembinaan atau pelatih (coach) layaknya seorang pelatih olah raga, pimpinan secara intensional diyakini mampu membentuk kapabilitas organisasi dalam melakukan hal-hal tertentu agar dalam situasi persaingan organisasi bisa memenangkan persaingan tersebut. Tidak seperti halnya seorang direktur yang lebih suka mendikte bawahannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi, seorang Pembina berorientasi untuk membangun satu set nilai dan keterampilan yang tepat bagi kebutuhan organisasi dan semua anggota organisasi sebagai pelaku perubahan dapat menerapkannya dalam rangka mencapai tujuan perubahan organisasi yang diharapkan. 5.



Pimpinan sebagai Penerjemah (Interpreter) Tugas utama pimpinan sebagai seorang penerjemah (interpreter) adalah membantu anggota organisasi menginterpretasikan dan memberi makna terhadap kejadian-kejadian dan tindakan yang dilakukan organisasi. Pimpinan juga dituntut memastikan bahwa yang dilakukan organisasi semuanya masuk akal. Dengan demikian berhasil atau tidaknya organisasi melakukan perubahan sangat tergantung bagaimana pimpinan memaknai perubahan tersebut. Sayangnya dalam proses pemaknaan tersebut tidak



 EKMA4565/MODUL 4



4.55



semua anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama. Boleh jadi mereka memaknai perubahan menggunakan sudut pandang yang berbeda dengan sudut pandang pimpinan. Karena adanya perbedaan pemaknaan tidak berlebihan jika hanya sebagian usulan perubahan yang bisa diterima anggota organisasi dan sebagiannya lagi tidak. Dengan kata lain, dengan metafora pimpinan sebagai penerjemah hanya sebagian tujuan perubahan yang bisa tercapai. Oleh karena itu agar tujuan perubahan bisa secara optimal tercapai, pimpinan harus mampu mengemukakan argumen dan alasan-alasan yang sangat kuat mengapa perubahan memang betul-betul diperlukan. Sebagai contoh, usulan untuk melakukan downsizing – memperkecil ukuran organisasi dengan memPHK sebagian karyawan, sangat boleh jadi didasarkan pada argumentasi untuk menciptakan efisiensi dan memperkuat posisi organisasi agar karyawan yang tidak diPHK justru akan terlindungi. Bagi anggota organisasi usulan downsizing boleh jadi mengandung cerita yang berbeda. Bagi mereka downsizing bisa saja dianggap sebagai ketidakmampuan pimpinan atau adanya intrik politik di kalangan pimpinan tetapi menggunakan efisiensi sebagai alasannya. Untuk menghindari perbedaan pemaknaan maka manajer perubahan harus mampu mendominasi cerita dan pemahaman mengapa perubahan betul-betul diperlukan. 6.



Pimpinan sebagai Pengayom (Nurturer) Asumsi yang melandasi pimpinan sebagai seorang pengayom (nurturer) adalah sekecil apapun sebuah perubahan dampaknya terhadap organisasi bukan tidak mungkin sangat besar namun sayangnya seorang manajer tidak mampu mengendalikan dampak perubahan tersebut. Meski demikian seorang manajer masih bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat seperti mengayomi organisasi, menjadi fasilitator yang memungkinkan karyawan mampu mengorganisasi diri secara positif (positive self-organizing). Dalam hal ini hubungan antara pimpinan atau manajer dengan karyawan layaknya orang tua dengan anak. Orang tua sejak semula berusaha untuk membentuk masa depan anak-anaknya dan berusaha untuk mengayomi mereka agar memiliki masa depan yang baik. Pertanyaannya adalah apakah pada akhirnya masa depan anak-anaknya betul-betul seperti yang diharapkan? Yang pasti hasil akhir tersebut sudah bukan lagi kekuasaan orang tuanya karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil akhir tersebut. Sederhananya, dengan metafora ini hasil akhir yang spesifik dan arah dari sebuah perubahan tidak bisa



4.56



Manajemen Perubahan 



ditentukan secara pasti melainkan akan muncul sesuai dengan berjalannya waktu namun bias dibentuk melalui kualitas dan kapabilitas organisasi. 7.



Kepemimpinan Kharismatik Istilah karisma sesungguhnya bukan istilah baru. Istilah ini sudah digunakan oleh Max Weber ketika menjelaskan pentingnya teori birokrasi. Meski demikian istilah karisma khususnya ketika dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, baru muncul pada tahun 1970-an. Salah satu dasar pemahaman tentang kepemimpinan kharismatik adalah konsep hubungan antara pemimpin dengan para pengikutnya, bukan sekedar sifat pemimpin dan karakteristik pribadi pemimpin. Pemimpin karismatik didefinisikan sebagai pemimpin yang memberikan efek emosional secara mendalam kepada para pengikutnya. Pemimpin dipersepsi bukan semata-mata sebagai bos tetapi lebih sebagai role model dan pahlawan yang memiliki kehidupan luar biasa ketimbang kehidupan sehari-hari mereka. Pada umumnya pemimpin karismatik muncul sebagai pemimpin bukan sengaja ditunjuk secara formal sebagai pemimpin. Kalaulah pemimpin karismatik ditunjuk secara formal, dia sebelumnya sudah diakui sebagai pemimpin. Artinya ditunjuk atau tidak ditunjuk secara formal, pemimpin karismatik dengan sendirinya adalah seorang pemimpin. Penunjukan secara formal hanyalah tahap akhir untuk mengukuhkan bahwa seorang pemimpin karismatik diakui secara formal sebagai pemimpin. Pertanyaannya adalah bagaimana seseorang bisa diakui sebagai pemimpin karismatik? Salah satu komponen penting pemimpin karismatik adalah para pengikut merasa tidak cocok dengan kepemimpinan yang sedang berjalan sehingga mereka berupaya untuk mencari pengganti pemimpin lain sebab kalau tidak mereka yakin bahwa organisasi akan mengalami krisis berkepanjangan. Selain alasan krisis kepemimpinan, seorang pemimpin karismatik akan muncul sepermukaan jika ia menunjukkan kompetensi dan loyalitasnya kepada kelompok dan tujuan yang mereka hendak capai. Komitmen inilah yang menjadikan seseorang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain dan oleh karenanya dianggap layak sebagai seorang pemimpin. Karakteristik pemimpin kharismatik. Pemimpin karismatik secara umum mempunyai beberapa karakteristik seperti tampak pada Tabel 4.5. Meski beberapa karakteristik ini (misalnya: percaya diri, memiliki energi dan kemampuan berkomunikasi) juga menjadi karakteristik bentuk



 EKMA4565/MODUL 4



4.57



kepemimpinan lainnya, namun kombinasi dari karakteristik inilah yang menjadikan seorang pemimpin disebut sebagai pemimpin karismatik. Tabel 4.5. Karakteristik pemimpin karismatik



Karakteristik Pemimpin Kharismatik Percaya diri. Mereka benar-benar percaya akan penilaian dan kemampuan mereka. Memiliki misi. Ini merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang lebih baik daripada status quo. Makin besar kemungkinan bahwa para pengikut akan menghubungkan visi yang luar biasa itu pada si pemimpin. Kemampuan untuk mengungkap visi sejelas mungkin. Mereka mampu memperjelas dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat dipahami orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut, dan karenanya, bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi. Keyakinan kuat mengenai visi. Pemimpin kharismatik mempunyai komitmen kuat dan bersedia menanggung risiko yang tinggi, mengeluarkan biaya yang tinggi, dan melibatkan diri dalam pengorbanan untuk mencapai visi tersebut. Perilaku yang di luar aturan. Mereka dengan karisma ikut serta dalam perilaku yang dipahami sebagai baru, tidak konvensional, dan berlawanan dengan norma-norma. Bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman para pengikut. Sebagai seorang agen perubahan. Pemimpin kharismatik dipahami sebagai agen perubahan yang radikal bukannya sebagai pengasuh status quo. Kepekaan lingkungan. Pemimpin ini mampu membuat penilaian yang realistis terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan. Sumber: (Burn, 1978; Bass, 1985)



Karakteristik para pengikut. Karena pemimpin karismatik selalu berinteraksi dengan para pengikutnya, para pengikut pemimpin karismatik juga memiliki karakteristik tertentu. Tanpa karakteristik keduanya – pemimpin dan pengikut bisa dikatakan tidak akan pernah tercipta pemimpin karismatik. Beberapa karakteristik para pengikut yang menjadikan seorang



4.58



Manajemen Perubahan 



pemimpin menjadi pemimpin karismatik di antaranya adalah: para pengikut memiliki rasa hormat yang tinggi dan menganggap pemimpinnya memiliki harga diri yang tinggi pula; para pengikut memiliki loyalitas dan rasa taat yang tinggi; para pengikut menyayangi pemimpinnya; para pengikut memiliki ekspektasi kinerja yang tinggi; dan para pengikut sangat patuh. G. PROSES MEMPENGARUHI DAN DUKUNGAN SITUASI Kepemimpinan karismatik merupakan proses mempengaruhi yang menyebabkan para pengikut menginternalisasi nilai-nilai sang pemimpin dan setuju untuk mengikuti semua petunjuknya dengan kesetiaan penuh. Oleh karena itu, di samping karakteristik pemimpin dan karakteristik para pengikutnya yang telah dibahas di muka, keberhasilan pemimpin mempengaruhi para pengikutnya juga dipengaruhi oleh situasi saat proses berlangsung. Beberapa situasi yang mendukung keberhasilan kepemimpinan karismatik adalah: 1. Adanya situasi yang sedang mengalami krisis. Pada saat terjadi krisis dan situasi begitu keos biasanya muncul seseorang yang dengan kepercayaan dirinya yang tinggi berusaha mengatasi kondisi tersebut dan melakukan perubahan-perubahan menuju visi baru. 2. Adanya anggapan perlunya perubahan. Situasi krisis biasanya diikuti oleh munculnya seorang pemimpin yang mau mempertaruhkan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru, melakukan perubahan radikal dan merubah nilai-nilai masa lalu yang tidak dikehendaki. Dalam sejarah, hampir semua pemimpin karismatik mengalami situasi ini. 3. Adanya kesempatan untuk mengartikulasikan tujuan ideologis. Dua situasi di muka – krisis dan kebutuhan akan perubahan, pada akhirnya memberi kesempatan kepada seorang pemimpin untuk mengartikulasikan kembali tujuan ideologis yang sangat diharapkan para pengikutnya. Lech Wallensa di Polandia adalah salah satu contohnya yang ”memerdekakan” rakyat Polandia. 4. Tersedianya simbol-simbol yang dramatik. Seorang pemimpin karismatik biasanya muncul dibarengi dengan peran simbolik yang dimainkannya seolah-olah Sang pemimpin menjadi juru selamat bagi para pengikutnya. 5. Adanya kesempatan untuk mengartikulasikan peran para pengikut secara jelas. Munculnya seorang pemimpin karismatik biasanya didahului oleh



 EKMA4565/MODUL 4



4.59



hilangnya peran para pengikut dalam kehidupan riil. Mereka seolah-olah terkungkung dengan situasi yang membelenggu mereka. Kebutuhan para pengikut untuk ikut berperan inilah yang menyebabkan munculnya seorang pemimpin karismatik yang berjanji untuk melibatkan mereka dalam kehidupan sesungguhnya. H. SISI POSITIF DAN NEGATIF KEPEMIMPINAN KHARISMATIK Seperti halnya dengan teori-teori kepemimpinan lainnya, kita juga harus melihat sisi positif dan sisi negatif dari konsep kepemimpinan kharismatik meski harus diakui bahwa membedakan pemimpin karismatik yang positif dan pemimpin karismatik yang negatif bukan pekerjaan mudah. Salah satu cara membedakannya adalah dengan melihat manfaat yang diperoleh para pengikut dari seorang pemimpin karismatik. Hanya saja penilaian pengikut terhadap efektivitas pimpinan karismatik mereka biasanya sangat subyektif. Artinya bagi sebagian pengikut, pemimpin mereka dianggap positif tetapi bagi sebagian yang lain dianggap negatif. Apakah mantan presiden Soeharto seorang pemimpin karismatik yang baik? Jawabannya tergantung dari mana anda melihatnya. Cara kedua untuk membedakan pemimpin karismatik positif dan negatif berkaitan dengan penilaian terhadap nilai-nilai dan kepribadian Sang Pemimpin. Menurut Musser seperti dikutip Gary Yulk (1994) semua pemimpin karismatik pada dasarnya memiliki komitmen terhadap tujuan ideal baik disadari maupun tidak. Hanya saja tidak jarang pemimpin karismatik menggunakan tujuan ideal tersebut hanya untuk kepentingan dirinya yakni memperkuat kekuasaannya. Pemimpin seperti ini bisa digolongkan ke dalam pemimpin karismatik yang negatif dan tidak jarang pula pemimpin seperti ini juga menjadi pemimpin yang narsistik – lebih mencintai diri sendiri. Conger (1990) misalnya melakukan penelitian terhadap kepemimpinan karismatik dan menemukan beberapa kelemahan dari kepemimpinan karismatik yang negatif. Di antara kelemahan tersebut adalah (1) kepemimpinan karismatik biasanya memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik, (2) prilaku pemimpin yang cenderung impulsif dan tidak konvensional, (3) pemimpin karismatik biasanya hanya menjaga kesan agar tampak baik (membangun manajemen impresi) walaupun semu, (4) pemimpin karismatik biasanya tidak memiliki kapabilitas untuk



4.60



Manajemen Perubahan 



melakukan kegiatan administratif, (5) percaya diri berlebihan biasanya banyak dampak negatif ketimbang dampak positifnya, dan (6) pemimpin karismatik sering kali gagal untuk mencari pengganti dirinya.



I. KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL-TRANSFORMASIONAL Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikembangkan oleh Burns pada tahun 1978. Dalam hal ini Burns membedakan dua konsep kepemimpinan – transaksional dan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transaksional adalah tipikal kepemimpinan yang lebih menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran (exchange). Karyawan memperoleh imbalan segera (immediate) dan nyata (tangible) apabila memenuhi perintah pemimpin Locke et al (1991). Menurut Burns (1978), pemimpin transaksional memotivasi bawahannya melalui pemberian imbalan kontijen (contingent reward) dan manajemen perkecualian (management by exception). Sementara itu, kepemimpinan transformasional adalah seseorang yang memiliki kharisma yang mampu melakukan stimulasi intelektual para bawahannya sehingga bawahan mampu menggunakan cara baru dalam menghadapi masalah-masalah organisasi. Karakteristik kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui tiga faktor perilaku: konsiderasi individual, stimulasi intelektual serta karisma (Bass, 1990) seperti tampak pada Gambar 4.8 berikut ini.



Gambar 4.8. Faktor-faktor kepemimpinan transformasional



 EKMA4565/MODUL 4



4.61



Karisma dan inspirasi. Konsep karisma yang dibahas di muka merupakan salah satu dari tiga komponen pokok kepemimpinan transformasional. Sebagaimana kita ketahui, hubungan kepemimpinan karismatik bisa menciptakan emosi yang mendalam di kalangan para pengikutnya. Akibatnya, timbulnya loyalitas dan kepercayaan terhadap pemimpin mereka. Loyalitas dan kepercayaan inilah yang memberi jalan pada pemimpin karismatik untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat revolusioner. Banyak bukti menunjukkan bahwa dukungan emosional inilah yang menjadi faktor paling kuat dalam kepemimpinan transformasional. Stimulasi intelektual. Faktor kedua dalam kepemimpinan transformasional adalah kemampuan pemimpin memberi tantangan kepada para pengikutnya. Para pengikut ditantang untuk memecahkan masalah yang sebelumnya tidak terselesaikan, bukan dengan nilai-nilai lama dan asumsi yang sudah kedaluwarsa melainkan dengan nilai-nilai baru dan asumsi baru. Pemimpin bisa meyakinkan para pengikutnya bahwa nilai-nilai lama dan asumsi-asumsi yang selama ini berlaku bukan pendekatan yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Nilai-nilai lama adalah masa lalu dan oleh karenanya harus dibuang jauh-jauh. Sebaliknya mereka didorong untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru yang tidak konvensional. Stimulasi intelektual ini sekali lagi, menegaskan para pengikut bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak mungkin menjadi hal yang sangat mungkin untuk dilakukan. Konsiderasi individual. Faktor terakhir sangat erat kaitannya dengan teori LMX (Leader Member Exchange = teori pertukaran antara pemimpin dengan anggota). Menurut teori ini, setiap kepemimpinan mempunyai hubungan personal dengan orang yang dipimpin. Hubungan personal ini membawa implikasi bahwa setiap orang yang dipimpin harus diperlakukan secara khusus karena masing-masing orang mempunyai karakteristik berbeda. Artinya tidak semua orang diperlakukan dengan cara yang sama meski mereka harus diperlakukan secara adil. Dengan perlakuan seperti ini mereka merasa sebagai orang spesial, orang teperhatikan, merasa dibesarkan hatinya dan termotivasi. Di samping itu, pemimpin yang bisa memberi pertimbangan individu berarti dia bisa memadukan kekhasan kemampuan dan keterampilan masing-masing karyawan untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan.



4.62



Manajemen Perubahan 



Kombinasi dari ketiga faktor di atas memungkinkan seorang pemimpin bisa melakukan perubahan-perubahan organisasi yang dianggap perlu. Karisma yang dimiliki seorang pemimpin bisa digunakan untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan. Stimulasi intelektual memberi dorongan karyawan untuk solusi dan inovasi baru serta menciptakan pemberdayaan karyawan. Sementara itu hubungan personal antara pemimpin dan para pengikutnya menjadi faktor penting yang bisa memotivasi karyawan. Dari penjelasan ini bisa dikatakan bahwa prilaku kepemimpinan transformasional memungkinkan seorang pemimpin untuk melakukan adaptasi eksternal. Sebaliknya, prilaku kepemimpinan transaksional lebih dimaksudkan untuk menjaga tingkat kesehatan organisasi secara internal karena tipikal kepemimpinan ini berupaya mendukung organisasi menjaga kegiatankegiatan yang bersifat rutin. Perbedaan kedua konsep tersebut – kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dijelaskan dalam Tabel 4.6 berikut ini. Tabel 4.6. Karakteristik Pemimpin Transformasional dan Pemimpin Transaksional



Pemimpin Transformasional Karisma: memberi visi, misi, menanamkan rasa gangga, mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari bawahan. Inspirasi: mengkomunikasikan ekspektasi tinggi, menggunakan simbolsimbol untuk memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara-cara yang sederhana. Simulasi intelektual: menghargai kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara hati-hati. Konsiderasi yang bersifat individual: memberikan perhatian secara personal, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, memberi bimbingan. Pemimpin Transaksional Imbalan kontijen: kontrak pertukaran imbalan atas usaha, menjanjikan imbalan bagi kinerja yang baik dan menghargai prestasi kerja. Management by exception (aktif): mengawasi dan mencermati penyimpangan dari berbagai aturan dan standar, melakukan tindakan perbaikan. Management by exception (pasif): melakukan intervensi hanya bila standar



 EKMA4565/MODUL 4



4.63



tidak terpenuhi. Laissez faire: melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan. Sumber: Bass (1990)



Sementara itu, Judy Oliver sebagaimana dikutip Holbeche (2006) mengatakan bahwa untuk bisa menjalankan kepemimpinan transformasional seorang pemimpin harus menggeser fokus perhatiannya dari sekedar: 1. Mengendalikan karyawan ke membiarkan karyawan berbuat 2. Melakukan tindakan ke menjadi sesuatu 3. Membicarakan ke mendengarkan 4. Menyelesaikan masalah ke membangun budaya kreatif 5. Rasional ke intuisi 6. Berorientasi hasil jangka pendek ke berorientasi hasil jangka panjang 7. Hidup pada masa lalu/masa depan ke hidup pada masa kini 8. Bernaung di bawah birokrasi ke membangun jejaring 9. Hard times ke soft times J.



TAHAPAN DALAM KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL



Menurut Tichy & Devanna (1990) ada tiga tahapan yang secara berurutan seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin transformasional yaitu: 1. Harus ada pengakuan bahwa perubahan itu perlu. 2. Menciptakan visi baru. 3. Melembagakan perubahan. 1.



Mengakui Kebutuhan Perubahan Perubahan merupakan unsur penting bagi kegiatan bisnis maupun strategi organisasi karena perubahan diyakini mampu membebaskan organisasi dari kegersangan strategi – strategic drift (Johnson, 1988). Oleh karena itu perubahan demi perubahan terus dilakukan meski sebagian kalangan, terutama karyawan sering tidak menganggap bahwa perubahan itu perlu. Berbeda dengan karyawan yang cenderung resisten terhadap perubahan, pimpinan perubahan harus memiliki pandangan sebaliknya jika ingin disebut sebagai pemimpin transformasional. Artinya pemimpin transformasional harus menjadikan perubahan sebagai sebuah kebutuhan



4.64



Manajemen Perubahan 



bukan hanya bagi dirinya tetapi kebutuhan organisasi secara keseluruhan termasuk karyawan. Bahwa masih ada sebagian karyawan yang menganggap perubahan tidak perlu maka tugas pimpinan adalah meyakinkan mereka akan perlunya perubahan. Berbagai cara bisa ditempuh misalnya membuat kondisi sekarang menjadi tidak nyaman sehingga mereka sadar bahwa perubahan itu perlu. Dalam hal perubahan strategik, dorongan untuk melakukan perubahan bisa datang dari dua arah: dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Meski demikian tekanan dari lingkungan eksternal pada umumnya menjadi pemicu utama yang mendorong organisasi melakukan perubahan. Dengan asumsi seperti ini maka tantangan yang dihadapi oleh pemimpin perubahan adalah bagaimana menyelaraskan organisasi dengan perubahan lingkungan. Untuk itu pemimpin perubahan harus memiliki cara pandang baru yakni paradigma, asumsi dan nilai-nilai baru agar mampu melihat perusahaan yang dipimpinnya dengan kacamata berbeda sehingga perusahaan bisa keluar dari rutinitas, bukan sekedar menyelesaikan persoalan yang ada tetapi mampu melakukan transformasi ke depan. Di sini tampak bawa pemimpin perubahan merupakan aktor kunci yang menentukan kebutuhan perubahan dan sejauh mana perubahan perlu dilakukan. Sebagai aktor kunci dengan demikian pemimpin perubahan harus memberikan gambaran yang jelas kepada pihakpihak terkait tentang tindakan-tindakan sulit yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan perubahan. Kalaulah tindakan tersebut tidak disepakati sebagian kalangan, tugas pimpinan perubahan adalah menjelaskan mengapa tindakan tersebut perlu dilakukan. Pimpinan perubahan juga dituntut untuk mengetahui keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan strategik. Mereka juga harus bertanggung jawab untuk merencanakan dan membuat rencana tersebut bisa berjalan dengan baik. Dari penjelasan di atas, secara umum bisa dikatakan bahwa elemenelemen kunci pada tahapan ini adalah sebagai berikut: a. Mengakui bahwa perubahan itu memang sangat diperlukan. b. Keputusan untuk melakukan tindakan. c. Menemukan cara yang tepat untuk menganalisis situasi berjalan. d. Memindai kondisi lingkungan organisasi. e. Mencari ide-ide baru untuk semua hal yang menjadi titik perhatian. f. Mengidentifikasikan bagaimana dampak perubahan terhadap pemangku kepentingan (stakeholder) yang berbeda kepentingan. g. Membangun informasi untuk memperjelas situasi berjalan dan situasi yang akan datang.



 EKMA4565/MODUL 4



4.65



2.



Menciptakan Visi Baru Perubahan transformasional akan berhasil dengan baik jika pemimpin perubahan mampu membuat karyawan tidak puas dengan kondisi berjalan (status quo) dan mengeluarkan mereka dari zona kenyamanan (comfort zone). Namun menurut Kouzes & Posner (1988) sekedar membuat karyawan tidak puas dengan kondisi saat ini tidak cukup bagi pimpinan perubahan untuk menggerakkan karyawan untuk berubah dan mengeluarkan mereka dari comfort zone jika pimpinan perubahan tidak bisa menunjukkan kepada karyawan dan semua pihak terkait apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Dalam bahasa yang sederhana, pimpinan perubahan harus mampu menunjukkan visi baru. Dengan visi baru berarti apa yang ingin dicapai perusahaan bukan hanya capaian tujuan jangka pendek tetapi capaian jangka panjang yang kadang-kadang tidak dipungkiri sulit untuk dilaksanakan. Hanya saja jika visi baru tersebut sangat menarik dan masih memungkinkan untuk dilaksanakan meski harus bekerja keras, diyakini bahwa karyawan mau terlibat dalam perubahan. Prasyarat lainnya adalah pimpinan perubahan harus memiliki keyakinan diri dan antusiasme yang tinggi terhadap visi baru tersebut. Jika tidak, visi baru tidak akan menginspirasi karyawan dan tidak bisa dijadikan guidance untuk melakukan perubahan. Lebih dari itu, visi baru akan lebih bermakna jika proses penyusunannya juga melibatkan karyawan sehingga mereka merasa memiliki dan menjadi bagian dari visi tersebut sehingga dengan suka rela mereka akan mendedikasikan dirinya untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan visi baru yang mereka sepakati. Secara umum Charles Handy (1995) mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan visioner ditentukan oleh beberapa syarat. Pertama, visi harus benar-benar berbeda. Sebuah visi harus mampu me-reframe sesuatu yang sudah dipahami bersama; mengkonsepsikan kembali sesuatu yang sudah jelas; menghubungkan sesuatu yang sebelumnya tidak terhubungkan; memimpikan sebuah mimpi. Kedua, sebuah visi harus masuk akal di mata orang lain. Visi harus kelihatan menantang tetapi bisa dicapai. Ketiga, visi harus bisa dipahami dan mampu membawa pikiran orang tercurah pada visi tersebut. Keempat, pimpinan harus bisa dijadikan contoh, baik yang berkaitan dengan prilaku maupun komitmen mereka terhadap sebuah visi. Kelima, pimpinan tidak boleh lupa bahwa jika visi ingin diimplementasikan maka visi tersebut hanyalah satu-satunya sumber untuk di-shared. 3.



Institusionalisasi Perubahan Ketika perubahan sudah menjadi kebutuhan setiap individu di dalam perusahaan dan visi baru telah ditetapkan, tahapan berikutnya adalah



4.66



Manajemen Perubahan 



bagaimana melembagakan atau menjadikan perubahan sebagai bagian integral dari kehidupan organisasi. Hal ini bisa diartikan bahwa kesadaran karyawan akan perlunya perubahan harus terinternalisasi ke dalam diri masing-masing karyawan dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi. John Kotter (1995) misalnya mengatakan bahwa sebuah perubahan transformasional dikatakan berhasil jika perubahan tersebut menjadi “the new way we do things around here – cara baru bagaimana kita melakukan sesuatu hal di organisasi ini”. Atau dengan bahasa lain Kotter mengatakan bahwa terciptanya budaya baru merupakan indikator keberhasilan perubahan transformasional. Hal ini sesuai dengan definisi perubahan transformasional yang dikemukakan oleh Blumenthal & Haspeslagh (1994). Menurut mereka untuk dikatakan bahwa organisasi melakukan perubahan transformasional maka sebagian besar orang yang berada di dalam organisasi harus merubah perilaku mereka. Perubahan perilaku karyawan merupakan tahapan awal dari sebuah proses panjang terbentuknya budaya baru (penjelasan lebih detail tentang perubahan budaya lihat misalnya Sobirin, 2009). LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Bagaimanakah perbedaan antara manajemen dengan kepemimpinan? 2) Mengapa kepemimpinan diperlukan? 3) Bagaimana terjadinya kebutuhan perubahan pada kepemimpinantransformasional? Petunjuk Jawaban Latihan 2 1) Perbedaan antara manajemen dengan kepemimpinan, bahwa mereka berbeda dalam hal motivasi, sejarah pribadi, cara berfikir serta cara bertindak. Manajer cenderung mengambil sikap impersonal, pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi (personal) dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang kerja sebagai suatu proses yang memungkinkan, mencakup suatu kombinasi dari orang dan gagasan yang berinteraksi untuk menetapkan strategi dan mengambil keputusan. Pemimpin bekerja dari posisi berisiko tinggi, sering memang secara temperamental ingin mencari resiko dan bahaya, teristimewa bila kesempatan dan ganjaran tampak tinggi.



 EKMA4565/MODUL 4



4.67



Manajer lebih suka bekerja dengan orang, mereka menghindari aktivitas sendirian (soliter) karena aktivitas itu membuat mereka cemas. Mereka berhubungan dengan orang-orang menurut peran yang mereka mainkan dalam suatu urutan peristiwa atau dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin, memperhatikan gagasan, berhubungan dengan orang-orang dalam cara yang lebih intuitif dan empatik.Manajemen menyangkut upaya mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencanarencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil melalui pembandingan dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya, menyangkut mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan dengan mengembangkan suatu visi masa depan, kemudian mereka mempersekutukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Kotter menganggap baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas organisasi yang optimum. 2) Kepemimpinan diperlukan karena organisasi tidak bisa didesain seperti mesin yang bisa dengan mudah dihidupkan lantas semuanya bisa berjalan secara otomatis, organisasi terdiri dari orang-orang yang membutuhkan sentuhan, memerlukan insprirasi, dorongan, dan motivasi. Termasuk didalamnya mengatur tugas, memutuskan siapa mengerjakan apa, dan mendelegasikan pekerjaan. Kehadiran seorang pemimpin diperlukan untuk mengidentifikasikan strategi baru dan cara-cara yang mungkin bisa dijalankan untuk menyikapi perubahan lingkungan. Selain itu peran seorang pemimpin menjadi penting untuk melakukan koordinasi dan menyelesaikan konflik. Kehadiran seorang pemimpin sangat diperlukan terutama untuk memberi motivasi, menginspirasi dan menjaga agar karyawan mau terus terlibat dalam kehidupan organisasi. 3) Dalam kepemimpinan transformasional harus menjadikan perubahan sebagai sebuah kebutuhan bukan hanya bagi dirinya tetapi kebutuhan organisasi secara keseluruhan termasuk karyawan. Bahkan perubahan sebagai kebutuhan yang dilindas dengan faktor zaman sangatlah penting karena berbagai cara bisa ditempuh misalnya membuat kondisi sekarang menjadi tidak nyaman sehingga mereka sadar bahwa perubahan itu diperlukan.



4.68



Manajemen Perubahan 



R A NG KU M AN Kepemimpinan merupakan salah satu topik penting dalam perubahan organisasi. Dalam banyak hal keberhasilan atau kegagalan perubahan organisasi mencapai tujuan yang diharapkan biasanya tidak bisa dipisahkan dari kualitas pimpinan dan sangat tergantung pada kemampuan Sang Pemimpin memainkan perannya. Hal itu menjadikan pemimpin memegang peranan kunci dalam memformulasikan dan mengimplementasikan strategi perubahan organisasi sehingga peranannya akan memengaruhi keberhasilan perubahan organisasi. Pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi berjalan efektif tidak sama untuk semua pemimpin. Selayaknya masingmasing pemimpin dituntut untuk memainkan peran dan kemampuan berbeda tergantung pada level organisasi yang ditempati dan kondisi organisasi yang sedang dikelola. Menurut Palmer et al. perubahan organisasi dibedakan menjadi dua yaitu perubahan sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas organisasi (controlling activities) dan perubahan sebagai upaya untuk membentuk kapabilitas organisasi (shaping capabilities). Menuju perubahan organisasi dibutuhkan kepemimpinan yang kharismatik dan kepemimpinan transaksional-transformasional. Kepemimpin kharismatik secara umum mempunyai beberapa karakteristik antara lain percaya diri, memiliki energi dan kemampuan berkomunikasi. Kepemimpinan transaksional adalah tipikal kepemimpinan yang lebih menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran (exchange). Sedangkan karakteristik kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui tiga faktor perilaku: konsiderasi individual, stimulasi intelektual serta kharisma (Bass, 1990) Menurut Tichy & Devanna (1990) ada tiga tahapan yang secara berurutan seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin transformasional yaitu: 1. Harus ada pengakuan bahwa perubahan itu perlu. 2. Menciptakan visi baru. 3. Melembagakan perubahan.



 EKMA4565/MODUL 4



4.69



TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pemimpin dan kepemimpinan menunjukkan adanya kecenderungan dalam melihat pemimpin sebagai seseorang yang berada ditengah-tengah kelompok dan menjadi .... A. Pusat pertukaran, peradaban dalam organisasi B. Pusat perubahan, pergerakan dan aktivitas kelompok C. Pergeseran dalam tata perubahan aktivitas kelompok D. Penentuan aktivitas organisasi dengan munculnya perubahan 2) Untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsif. Pendapat dikemukakan oleh .... A. Bass (1990) B. Holbeche (2006) C. Burns (1978) D. Tichy & Devanna (1990) 3) Pemimpin karismatik dalam melaksanakan tugasnya cenderung menenkankan sisi negatifnya, hal ini terjadi dengan .... A. Menggunakan tujuan idealnya untuk kepentingan dirinya demi memperkuat kekuasaannya B. Membentuk kekuatan untuk kemenangan kelompoknya C. Mementingkan dirinya daripada tujuan organisasinya D. Menguasai tugas kerja unit lain untuk memperkuat posisinya 4) Karakteristik kepemimpinan transformasional yang dapat menciptakan ide baru dan melakukan pemberdayaan lebih ditunjukkan pada faktor .... A. Konsiderasi individual B. Stimulasi intelektual C. Karisma dan inspirasi D. Dinasti intelektual 5) Menuju perubahan organisasi dibutuhkan kepemimpinan yang dapat membuat visi baru lebih bermakna jika proses penyusunannya juga melibatkan karyawan sehingga mereka merasa A. memiliki dan menjadi bagian dari visi tersebut B. mendedikasikan dirinya untuk mencapai tujuan bersama C. menyesuaikan dirinya dengan visi baru yang mereka sepakati D. Jawaban A, B, dan C benar



4.70



Manajemen Perubahan 



Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



4.71



 EKMA4565/MODUL 4



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) B. 2) A. 3) C. 4) B. 5) A.



Tes Formatif 2 1) B. 2) C. 3) A. 4) B. 5) D.



4.72



Manajemen Perubahan 



Daftar Pustaka Bass, B. M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectation. New York: The Free Press. Bass, B.M. (1990). Bass and Stogdill‟s handbook of leadership, 3rd edition, New York: The Free Press. Beer, M. & Nohria, N. (2000). Breaking the Code of Change, Harvard Business Review, May-June, pp. 133-141. Bennis, Waren (1994). On Becoming A Leader (Terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. Blumenthal & Haspeslagh (1994). Bouckenooghe, 2009). Burns, MacGregor J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row. Carter, N. (1997). Solve the dual career challenge, Workforce, halaman 21-22. Clegg & Walsh, 2004). Collin, J. (2001). Conger (1990). Conover & Feldman, 1984), Eide, 2005). Fiedler, F.E. (1967). A theory of leadership effectiveness, New York: McGraw Hill. Fineman, 2001).



 EKMA4565/MODUL 4



4.73



Freeman (1996). Fridja, (1993) George & Jones (2001). Handy, C. (1995). Holbeche, (2006). Huy (2005). Johnson, 1988). Karp, T. (2006). Katz, D. & Khan, R. (1978). The social psychology of organization, 2nd edition, New York: Willey and Sons. Keltner & Gross (1999). Kissler (1994). Kotter (1973). Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press. Kouzes, J. M. & Posner, B.Z. (1987). The Leadership Challenge. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishers.; Kouzes. Kouzes, J. M. & Posner, B.Z. (1993). Credibility. San Fransisco, CA: JosseyBass Publisher. Locke, Edwin A; Kirkpatrick, Shelley; Wheeler, Jillk., Schneider; Niles, Kathryn; Goldstein, H arold; Welsh, Kurt; Chah, Dong-Ok (1991). The Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully. New York: Lexinton Books.



4.74



Manajemen Perubahan 



Marshak, 2009). Morgan, 1996). Morrison (1994). Psychological Contract and Change, Human Resource Management, 33, pp. 353-372. Morrison, E. and Milliken, F. (2000), “Organizational silence: a barrier to change and development in a pluralistic world”, Academy of Management Review, Vol. 25 No. 4, pp. 706-25. Morrison E. W. and Robinson S. L. (1997) „When Employees Feel Betrayed: a model of how psychological contract violation develops‟, Academy of Management Review, 22(1): 226-256. Nahavandi, A. (1997). The art and science of leadership, Prentice Hall Inc. Nahavandi, A. & Malekzadeh, A. (1993). Leader style in strategy and organizational performance: An integrative framework, Journal of management studies, 30, 3, halaman 405 – 425. Ott, Steven J. (1996). Classic Readings in Organizational Behavior. Belmont, CA: Wadworth Publishing Company. Palmer, Dunford & Akin, 2006). Robinson & Rousseau (1994). Robinson, Kraatz & Rousseau (1994). Rousseau (1989). Rousseau (1990). Schein, E.H. (1992) Organizational Culture and Leadership, 2nd edition, San Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishers.



 EKMA4565/MODUL 4



4.75



Schneider et al. (1996). Sobirin, A. (2009). Budaya Organisasi, Yogayakarta: Penerbit STIM YKPN. Sobirin, A. (2010). Perilaku Organisasi, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Tichy & Devanna (1990). Turnley & Feldman (1998). von Hoppel, et al., 1993). Weidman, D. (2000). Yulk, G. (1994). Leadership in organization, 3rd edition, Prentice Hall international, Inc. Zaleznik (1977). ”Manager and Leader, Are They Different?” The Harvard Business Review. May-June.



Modul 5



Pengembangan Organisasi dan Organisasi Pembelajar Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N



P



engembangan Organisasi (Organization Development, populer dengan singkatan OD) merupakan bidang kajian dan disiplin ilmu tersendiri dengan common body of knowledge yang berbeda dari bidang studi lain. Bidang studi ini relatif sudah tua, mulai dikenal sejak tahun 1950-an dan mencapai tingkat popularitasnya pada tahun 1960an dan 1970-an (Grieves (2000) saat lingkungan organisasi masih relatif stabil. Memasuki tahun 1980an manakala lingkungan organisasi berubah menjadi semakin dimanis dan turbulen mengarah pada situasi yang keostik, populeritas pengembangan organisasi mulai memudar. Bahkan seperti banyak diakui para pendukung OD, saat ini OD sedang mengalami pasang surut, kalau tidak dikatakan sedang mengalami krisis (Burke & Bradford, 2006). Itulah sebabnya para pendukung OD mendesak agar dilakukan rein(ter)vensi sehingga ke depan OD kembali bisa menjadi alat bantu yang memadai dalam meningkatkan efektivitas organisasi. Dengan memudarnya OD, sekarang orang lebih mengenal istilah manajemen perubahan ketimbang OD. Hal ini misalnya diakui konsultan dan praktisi OD – Robert Marshak (2006). Menurutnya sejak tahun 1990-an klien tidak lagi menanyakan apakah Ia mempraktikan OD. Pertanyaannya cenderung apakah Ia mempraktikan manajemen perubahan. Terlepas dari peran pengembangan organisasi yang cenderung terpinggirkan oleh manajemen perubahan, teknik-teknik yang digunakan manajemen perubahan sebelumnya merupakan teknik yang biasa diterapkan oleh OD. Ambillah contoh perubahan terencana (planned change). Teknik ini yang dikembangkan Kurt Lewin pada akhir tahun 1940-an dan sekarang banyak digunakan para konsultan manajemen perubahan justru menjadi salah satu ciri utama OD. Dalam hal ini dengan demikian OD dan manajemen perubahan sepertinya tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya terlibat dalam



5.2



Manajemen Perubahan 



perubahan organisasi. Hanya saja seperti telah diungkap pada modul sebelumnya manajemen perubahan lebih berorientasi pragmatis dan jangka pendek serta lebih mementingkan hasil sedangkan OD berorientasi jangka panjang dan menuntut partisipasi pihak yang diubah. Di samping itu OD juga melakukan transfer pengetahuan kepada pihak-pihak yang dilibatkan dalam perubahan melalui proses pembelajaran. Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa OD memiliki kaitan erat dengan pembelajaran organisasi (organizational learning) yang menjadi titik awal terciptanya organisasi pembelajar (learning organization). Keterkaitan antara OD dan organisasi pembelajar inilah yang menjadi fokus bahasan pada modul ini. Dengan demikian setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu: 1. memahami pengertian pengembangan organisasi; 2. memahami pengertian organisasi pembelajar; 3. menjelaskan karakteristik OD; 4. menjelaskan diagnosis organisasi; 5. menjelaskan proses OD; 6. menjelaskan intervensi OD; 7. menjelaskan perbedaan antara pembelajaran organisasional vs organisasi pembelajaran; 8. menjelaskan model sistem organisasi pembelajar; 9. menjelaskan subsistem pembelajaran; 10. menjelaskan kaitan antara organisasi pembelajaran dan manajemen pengetahuan; 11. menjelaskan perubahan persepsi atas perusahaan.



5.3



 EKMA4565/MODUL 5



Kegiatan Belajar 1



Pengembangan Organisasi A. PENGERTIAN PENGEMBANGAN ORGANISASI Sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki common body of knowledge tersendiri, tentu saja OD mempunyai pengertian formal yang menjelaskan apa itu OD, sejauh mana cakupan bidang garapnya dan apa hasil yang diharapkan. Sayangnya sejauh ini tidak ada definisi baku tentang OD, penyebabnya boleh jadi karena OD terus berkembang mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal. Ketiadaan definisi baku tentang OD misalnya ditegaskan Egan (2002). Melalui artikel yang berjudul ‖Organization Development: An Examination of Definitions and Dependent Variables‖, Egan menelusuri buku dan artikel OD yang diterbitkan sejak tahun 1969 sampai 2001. Hasilnya, Egan menemukan tidak kurang dari 27 definisi OD. Hasil temuan Egan tentang definisi OD secara lengkap disajikan pada Tabel 5.1. Dalam artikel tersebut, Egan tidak hanya bermaksud menyajikan perbedaan definisi OD yang dikutip dari beberapa akademisi dan praktisi OD tetapi juga mengidentifikasi perbedaan tekanan dari definisi tersebut dan hasil yang diharapkan setelah menjalankan OD. Perbedaan tekanan pada masing-masing definisi ditunjukkan oleh cetak tebal pada setiap definisi dan perbedaan hasil yang diinginkan tampak pada kolom 4, Tabel 5.1 yang diberi sebutan dependent variable. Sebagai contoh, definisi yang dikemukakan Beckard (1969) menunjukkan bahwa dengan menjalankan kegiatan pengembangan organisasi sangat diharapkan efektivitas dan kesehatan organisasi meningkat lebih baik (increase organization effectiveness and health). Sementara Cummings & Worley (2001) hanya mengharapkan terciptanya efektivitas organisasi (organization effectiveness).



5.4



Manajemen Perubahan 



Tabel 5.1. Beberapa Definisi OD



 EKMA4565/MODUL 5



5.5



5.6



Manajemen Perubahan 



 EKMA4565/MODUL 5



5.7



5.8



Manajemen Perubahan 



Meski Egan telah menyajikan 27 definisi berbeda, tidak bisa dipungkiri jika definisi-definisi lain masih bisa ditemukan. Demikian juga dari sekian banyak definisi yang ada, hanya ada beberapa definisi yang paling sering dijadikan rujukan bagi penulis lain untuk menjelaskan OD. Agar tidak terjebak dalam keanekaragaman definisi OD, penjelasan Worley & Feyerherm (2003) tentang prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah proses bisa disebut sebagai OD barangkali perlu diperhatikan. Mereka mengatakan bahwa sebuah proses disebut OD jika (1) proses tersebut menghasilkan perubahan pada sistem organisasi, baik sebagian atau keseluruhan sistem, (2) proses tersebut melibatkan aspek pembelajaran atau transfer pengetahuan atau skill kepada pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam proses OD, (3) ada bukti atau paling tidak, ada keinginan kuat untuk menciptakan efektivitas organisasi bagi klien yang menerapkan OD. Dari penjelasan di atas dan telaah terhadap definisi-definisi yang disampaikan Egan, tampaknya definisi OD yang dikemukakan Michael Beer memenuhi ketiga persyaratan di atas dan oleh karenanya akan menjadi rujukan modul ini. Pilihan ini bukan berarti definisi-definisi lain tidak memenuhi syarat sebagai OD tetapi pilihan ini lebih bersifat subyektif dan dianggap lebih cocok untuk menjelaskan kerangka pikir OD yang akan diuraikan pada modul ini. Definisi OD sebagaimana dikemukakan Michael Beer (1980) adalah sebagai berikut. Pengembangan Organisasi adalah aplikasi dan transfer pengetahuan berbasis pada ilmu prilaku (behavioral science) yang diterapkan secara sistemik dan terencana dalam rangka untuk mengembangkan, meningkatkan dan menguatkan kembali strategi, struktur dan proses organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi.



Definisi di atas, seperti diakui Cummings & Worley (2005: 2-3) sekaligus bisa digunakan untuk membedakan OD dari disiplin lain khususnya manajemen perubahan atau perubahan organisasi. Argumentasi yang dikemukakan Cummings & Worley adalah sebagai berikut.  Pertama, OD bisa diterapkan untuk perubahan strategi, struktur dan proses pada keseluruhan sistem organisasi, satu atau beberapa unit aktivitas tertentu, departemen, kelompok kerja, atau peran atau pekerjaan orang per orang. Program perubahan yang ditujukan untuk memodifikasi strategi organisasi misalnya bisa saja difokuskan pada ―bagaimana strategi dihubungkan dengan lingkungan yang lebih luas‖ atau



 EKMA4565/MODUL 5















5.9



―bagaimana hubungan tersebut bisa ditingkatkan lebih baik‖. Termasuk di dalamnya perubahan yang diharapkan agar sekelompok orang bisa mengerjakan tugas lebih baik (perubahan struktur) atau perubahan dalam cara berkomunikasi dan menyelesaikan masalah (perubahan proses) yang kesemuanya mendukung perubahan strategi. Hal yang sama, program OD yang diarahkan untuk membantu pimpinan puncak bisa bekerja lebih efektif mungkin bisa difokuskan pada proses interaksi dan penyelesaian masalah kelompok. Fokus seperti ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pimpinan puncak dalam menyelesaikan masalah organisasi yang terkait dengan strategi dan struktur organisasi. Hal ini sangat berbeda dengan program yang fokusnya hanya pada satu atau beberapa sistem yang hanya memberi perhatian sangat terbatas sehingga efek perbaikannya juga sangat terbatas. Kedua, OD didasarkan pada pengetahuan dan praktik ilmu prilaku terapan (applied behavioral science) termasuk di dalamnya konsepkonsep yang tergolong mikro seperti, kepemimpinan, dinamika kelompok dan desain kerja, dan konsep-konsep makro seperti strategi, desain organisasi dan hubungan internasional. Hal ini berbeda dengan aplikasi yang diterapkan oleh konsultan manajemen atau inovator teknologi yang lebih menekankan pentingnya aspek ekonomi, finansial, dan teknis tanpa memperhatikan dampak personal dan sosial dari sistem tersebut. Demikian juga OD sangat memberi perhatian pada aspek transfer pengetahuan terhadap orang-orang yang nantinya akan melaksanakan perubahan berikutnya. Ketiga, OD lebih menekankan pentingnya mengelola perubahan terencana namun bukan dalam pengertian formal/kaku di mana semua rencana datang semata-mata dari konsultan. Sebaliknya OD menerapkan proses adaptif dalam perencanaan dan implementasi perubahan, bukan proses yang kaku, sehingga dalam mendiagnosis dan menyelesaikan persoalan bisa saja rencana awal berubah jika di tengah-tengah proses diperoleh informasi baru yang mengharuskan rencana tersebut berubah. Walhasil, OD menerapkan rencana yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan lingkungan organisasi yang berkembang saat itu. Keempat, OD bukan hanya sekedar mengkreasi perubahan tetapi juga tindakan lanjutan dalam rangka memperkuat hasil perubahan sehingga program OD bersifat jangka panjang. Sebagai contoh, mengimplementasikan program untuk menciptakan tim yang mandiri



5.10







Manajemen Perubahan 



(self-managed team) akan berdampak pada program lain yakni memberi kekuasaan dan keleluasaan tim untuk mengatur cara kerja mereka. Sementara itu, supervisor juga harus memastikan bahwa tim memiliki kebebasan dalam bertindak. Bagi supervisor yang memimpin dengan cara demikian tentunya patut mendapat penghargaan. Oleh karenanya program OD tidak hanya berhenti pada menciptakan self-managed team tetapi juga program-program lanjutan termasuk program penghargaan bagi supervisor yang mendorong terciptanya manajemen partisipatif. Kelima, tujuan akhir dari OD adalah meningkatkan efektivitas organisasi. Ada dua asumsi yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, yang dimaksud dengan organisasi yang efektif adalah organisasi tersebut mampu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi secara mandiri dan memfokuskan perhatian dan sumber daya pada upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini tugas OD adalah membantu anggota organisasi memiliki skill untuk melakukan semua itu. Kedua, organisasi yang efektif bukan hanya kinerjanya bagus dalam aspek ekonomi tetapi juga kualitas hidup para anggota organisasi meningkat. Sekali lagi, tugas OD adalah membantu agar karyawan bergairah dalam bekerja dan tertarik untuk meningkatkan kinerjanya. Secara keseluruhan dengan demikian sasaran OD – sasaran jangka panjang adalah menciptakan kepuasan kedua belah pihak yang berbeda kepentingan yakni kepuasan ekonomi pemilik organisasi di satu sisi dan kepuasan karyawan di sisi lainnya.



B. KARAKTERISTIK OD Dari uraian tentang definisi OD sesungguhnya secara tidak langsung telah dijelaskan pula karakteristik OD. Meski demikian untuk mempertegas penjelasan tersebut, berikut dipaparkan karakteristik OD sebagaimana dikemukakan oleh Harvey & Brown (1996: 4-5) dan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 5.2.



5.11



 EKMA4565/MODUL 5



Tabel 5.2. Karakteristik OD karakteristik 1. Perubahan terencana 2. Pendekatan kolaboratif 3. Berorientasi kinerja 4. Berorientasi humanism 5. Pendekatan sistem 6. Menggunakan metode ilmiah



Penjelasan inti Perubahan bersifat terencana yang dilakukan seorang manajer untuk mencapai tujuan organisasi Perubahan dilakukan dengan pendekatan kolaboratif dan melibatkan banyak pihak terkait Perubahan menekankan pada cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja Perubahan menekankan pada peningkatan kesempatan dan penggunaan potensi sumber daya manusia Perubahan memperhatikan hubungan interrelasi antar unit dan aktivitas sebagai satu kesatuan sistem Perubahan menggunakan pendekatan ilmiah sebagai pendukung pengalaman praktis.



Untuk melengkapi apa yang disampaikan Harvey & Brown, McLean (2006: 12-13) menambahkan beberapa karakteristik lain sehingga terkesan lebih detail. Secara keseluruhan menurut McLean karakteristik inti OD adalah sebagai berikut: 1. OD merupakan bidang kajian yang menggunakan pendekatan multidisiplin dengan pijakan utama disiplin ilmu prilaku terapan (applied behavioral science). Disiplin lain yang juga mendukung dan terlibat dalam proses OD termasuk: prilaku organisasi, manajemen, bisnis, psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan, konseling dan administrasi publik. 2. Tujuan utama OD, meski tidak eksklusif, adalah meningkatkan efektivitas organisasi di samping tujuan lain seperti tingkat kesehatan organisasi. 3. Target utama perubahan atau cakupan unit aktivitas yang diubah adalah keseluruhan organisasi, departemen, kelompok kerja, atau individuindividu dalam sebuah organisasi. Di samping itu sangat dimungkinkan pula untuk menggunakan OD dalam perubahan komunitas, atau perubahan lain yang lebih makro seperti bangsa atau negara dan wilayah teritori. 4. OD mengakui pentingnya komitmen, dukungan dan keterlibatan manajemen puncak dalam menjalankan proses perubahan. Namun OD juga tidak menampik untuk menggunakan pendekatan bottom up dalam



5.12



Manajemen Perubahan 



proses pelaksanaannya khususnya manakala budaya organisasi yang ada memungkinkan cara tersebut bisa diberlakukan dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja organisasi. 5. OD merupakan strategi perubahan yang bersifat terencana dan jangka panjang. Di samping itu OD juga menyadari bahwa lingkungan sangat dinamis. Lingkungan seperti ini mengharuskan para konsultan atau partisi OD memiliki kemampuan untuk merespon dengan cepat manakala lingkungan tersebut berubah. 6. Fokus perhatian utama OD adalah sistem organisasi secara menyeluruh termasuk bagian-bagian dari sistem tersebut. 7. OD menggunakan pendekatan kolaborasi dengan berbagai pihak yang akan terkena dampak perubahan, 8. Program OD menekankan cara-cara baru yang diperlukan guna meningkatkan kinerja seluruh anggota organisasi 9. OD adalah program berbasis edukasi yang didesain untuk mengembangkan nilai, sikap, norma dan praktik manajemen yang diharapkan dapat menghasilkan iklim organisasi yang sehat yang menghargai prilaku yang sehat. OD dengan demikian merupakan proses perubahan yang berasaskan nilai-nilai humanisme. 10. Dalam pelaksanaannya OD dibantu oleh agen perubahan, tim perubahan dan manajer lini yang peran utamanya adalah menjadi fasilitator, guru dan Pembina, bukan semata-mata seorang ekspert yang memaksakan kehendak. 11. OD menyadari pentingnya tindakan lanjutan yang terencana sebagai upaya untuk mempertahankan hasil perubahan. 12. Dalam pelaksananya OD banyak melakukan intervensi terhadap proses dan struktur organisasi demi memperbaiki proses dan struktur tersebut. Intervensi tersebut harus terencana dengan baik dan orang yang melakukannya dituntut memiliki kemampuan bekerja sama dengan individu, kelompok atau keseluruhan organisasi yang diintervensi. C. KRITIK TERHADAP OD Terbitnya buku ―Reinventing Organization Development‖ yang diedit Bradford & Burke (2006) merupakan bentuk kegelisahan para pendukung OD terhadap masa depan OD. Mereka tidak memungkiri jika sekarang ini OD sedang mengalami krisis. OD semakin terpinggirkan dan terdesak oleh



 EKMA4565/MODUL 5



5.13



konsultan manajemen yang menggunakan paradigma berbeda yang dianggap lebih cocok untuk lingkungan organisasi abad 21. Jauh sebelum kegelisahan ini muncul, kritik terhadap OD sesungguhnya bukannya tidak ada. Paling tidak kritik datang dari Greiner (1972), French & Bell (1995) dan Greiner & Cummings (2006). Seperti judul artikel yang Ia tulis, Greiner menggunakan istilah red flag (bendera merah) ketika mengkritik OD. Enam kritik Greiner terhadap OD adalah sebagai berikut. 1. OD lebih mendahulukan individu ketimbang organisasi. Kecenderungan OD yang lebih memiliki obsesi untuk melakukan perubahan prilaku individu menyebabkan OD kurang fokus pada aspek formal dari sebuah organisasi seperti strategi, struktur dan kontrol. Akibatnya, OD kurang memberi perhatian aspek lingkungan yang sesungguhnya bisa mendukung dan memperkuat perubahan prilaku. 2. OD lebih mengedepankan aspek informal organisasi dari organisasi formal. Ada kecenderungan OD memberi tekanan berlebihan pada nilainilai interpersonal seperti keterbukaan, saling percaya dsb. sebagai sarana untuk merubah budaya organisasi. Kecenderungan ini bahkan dilakukan dengan mengorbankan desain formal organisasi termasuk nilai-nilai yang melekat di dalamnya seperti efisiensi, hierarki dan akuntabilitas. Kembali, persoalan ini menyebabkan OD kehilangan kesempatan untuk menghasilkan dampak perubahan yang lebih luas. 3. Perubahan prilaku lebih diutamakan daripada diagnosis menyeluruh. Nilai-nilai inti OD yang lebih menekankan pentingnya perubahan prilaku membawa akibat sering terlupakannya arti penting diagnosis untuk mengetahui apakah prilaku berjalan kompatibel dengan arah strategi dan budaya organisasi. Atau dengan kata lain, model perubahan OD yang mempromosikan pentingnya keterbukaan dan saling percaya antar individu dianggap sebagai norma yang diterima apa adanya tanpa mempertanyakan apakah model tersebut cocok untuk situasi berbeda. 4. Proses dianggap lebih penting ketimbang tugas-tugas organisasi. Dengan lebih menekankan pentingnya kerja team di mana setiap anggota memiliki ikatan yang kuat (memiliki hubungan emosional) dengan anggota lain dalam sebuah kelompok, OD mengingkari kenyataan bahwa tidak semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan kerja tim. Ada beberapa pekerjaan yang secara inheren merupakan kerja individual yang tidak membutuhkan tim kerja dan keterbukaan dalam bekerja. Pekerjaan teknis



5.14



5.



6.



Manajemen Perubahan 



yang terprogram misalnya memiliki karakteristik sebagai pekerjaan individual. Peran konsultan lebih dominan ketimbang manajer. Program-program OD biasanya didesain dan dijalankan oleh Konsultan dan target perubahannya adalah para manajer yang bekerja di dalam organisasi. Sayangnya dalam penyusunan program tersebut baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya manajer tidak dilibatkan. Mereka seolah-olah hanya penerima perubahan dan harus setuju dengan apa yang dilakukan para Konsultan. Dalam pelaksanaannya ―paket program‖ lebih disukai ketimbang situasi riil yang dihadapi organisasi. Klien sendiri pada umumnya lebih menyukai program OD dalam bentuk paket yaitu aktivitas formal yang terstruktur, nyata dan mudah dijelaskan ke karyawan. Bagi Konsultan OD sendiri situasi ini tentu saja sangat menggembirakan karena mudah dijual dan administrasinya sederhana. Akibatnya organisasi yang membutuhkan perubahan harus menyesuaikan program OD bukan sebaliknya program OD yang harus menyesuaikan kebutuhan spesifik klien.



Dengan menggunakan istilah yang sebelumnya digunakan Greiner – bendera merah (red flag), Greiner & Cummings (2006) kembali mengibarkan bendera merah sebagai tanda bahaya. Mereka menyatakan bahwa kelebihankelebihan OD yang telah dimiliki sebelumnya seperti partisipasi, keterbukaan dan trust harus disesuaikan kembali dengan organisasi abad 21 jika menginginkan OD tetap eksis. Greiner & Cummings (2006) misalnya mengatakan bahwa OD dianggap mengesampingkan (1) keterlibatannya dalam pengambilan keputusan pimpinan puncak, (2) formulasi strategi, (3) merger dan akuisisi, (4) globalisasi, (5) aliansi dan organisasi virtual, dan (6) corporate governance dan personal integrity. Sementara itu French & Bell (1995: 326-325) yang sesungguhnya masih sangat optimis akan masa depan OD, tidak luput memberikan kritik meski kritiknya lebih bersifat kritik membangun. Kritik yang dilayangkan French & Bell lebih terkait dengan OD sebagai sebuah bidang kajian yang mandiri. Kritik tersebut adalah sebagai berikut. 1. Definisi dan konsep OD. OD melakukan intervensi baik intervensi tunggal maupun jamak untuk waktu berbeda dalam jangka yang relatif lama. Oleh karena itu mengaitkan OD dengan kemampuannya untuk



 EKMA4565/MODUL 5



2.



3.



4.



5.



6.



5.15



meningkatkan efektivitas organisasi relatif sulit dilakukan lebih-lebih karena tidak ada definisi baku tentang efektivitas organisasi. Problem validitas internal. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan apakah perubahan yang terjadi disebabkan karena intervensi atau karena faktorfaktor lain. Problem validitas eksternal. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang apakah OD memiliki kemampuan untuk menggeneralisasi hasil penelitiannya atau apakah teknik-teknik OD hanya bisa digunakan untuk kondisi tertentu. Lemahnya teori OD. Sejauh ini tidak ada teori perubahan yang komprehensif yang bisa membantu para peneliti untuk mengetahui apa yang sesungguhnya mereka cari dalam penelitiannya. Masalah yang berkaitan dengan pengukuran perubahan sikap. Menggunakan survei yang dilakukan sebelum dan sesudah perubahan merupakan masalah tersendiri mengingat seseorang bisa saja tidak konsisten ketika harus mengisi jawaban pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya. Masalah yang berkaitan dengan pendekatan normal science dalam melaksanakan riset OD. Praktik OD yang berbasis pada proses menyebabkan penelitian OD lebih cocok menggunakan pendekatan action research bukan pendekatan posivitifistik yang menggunakan teknik-teknik pengujian hipotesis, asesmen dan hubungan sebab akibat.



Masih seputar kritik terhadap OD, Burke (1997) mempertanyakan relevansi dan kemampuan OD dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti kepemimpinan, perubahan strategik, kekuasaan dan sistem penghargaan. Di samping itu, pertanyaan terhadap nilai-nilai inti juga muncul. Apakah nilainilai OD masih relevan dengan kondisi saat ini? Apakah nilai-nilai OD bersifat universal? dan Apakah OD mampu digunakan untuk melakukan perubahan berskala besar? Jawaban terhadap semua kritik ini tentunya sangat bergantung pada kemampuan OD untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan saat ini dan mendatang. D. PROSES PENGEMBANGAN ORGANISASI Setelah memperoleh gambaran umum tentang OD termasuk di dalamnya definisi, karakteristik umum dan kritik terhadap OD, pertanyaan selanjutnya



5.16



Manajemen Perubahan 



adalah apa sesungguhnya yang dilakukan OD, bagaimana melakukannya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan ini tampaknya kita harus menengok kembali definisi OD. Dari definisi yang telah dipaparkan di muka diketahui bahwa OD merupakan proses perubahan terencana yang berbasis pada ilmu prilaku terapan. Sebagaimana kita ketahui, perubahan terencana merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin untuk membedakan perubahan yang sengaja digerakkan dan direncanakan organisasi, dari jenis perubahan lain yang lebih bersifat tanpa rencana atau mendadak - emergent, karena sekedar impuls atau perubahan yang dipaksakan (uraian lengkap lihat model 3). Model perubahan yang dibangun Lewin, meski masih tampak sangat sederhana untuk menjelaskan proses perubahan, sangat populer di pelatihanpelatihan manajemen dan program OD. Sebagai model awal tentu masih banyak kelemahan. Oleh karena itu sangat tidak mengherankan jika di kemudian hari model tersebut disempurnakan oleh beberapa akademisi lain. Edgar Huse pada tahun 1980 misalnya menyempurnakan model tersebut menjadi proses perubahan 7 tahap (lihat Gambar 5.1). Mari kita lihat satu persatu tahapan-tahapan tersebut. 1. Scouting. Pada tahap ini untuk pertama kalinya pihak konsultan OD dan organisasi (klien) bertemu dan duduk bersama untuk mengidentifikasikan dan mendiskusikan kebutuhan akan perubahan. Pihak organisasi memaparkan keahlian konsultan yang harus ditawarkan kepada organisasi. Sedangkan pihak konsultan mulai mengumpulkan data untuk memperoleh informasi tentang gejala (symptom) dan masalah yang memerlukan perhatian. 2. Entry. Pihak klien dan konsultan bergerak saling mendekat untuk mencapai kesepakatan baik yang berhubungan kontrak bisnis maupun kontrak psikologis. Kontrak psikologis berisi harapan dari masingmasing pihak tentang apa yang mereka akan berikan dan harapan apa yang akan mereka terima dari pihak lain. 3. Diagnosis. Konsultan berdasarkan latar belakang pengetahuan dan keahlian mereka mulai melakukan diagnosis terhadap masalah organisasi dan membuat rencana strategi intervensi sehingga tujuan spesifik perubahan bisa diidentifikasi. 4. Planning. Klien menyepakati serangkaian rencana detail yang diajukan konsultan berkaitan teknik dan tindakan intervensi, dan skedul kerja



 EKMA4565/MODUL 5



5.



6.



7.



5.17



proses perubahan. Konsultan juga mulai mengantisipasi kemungkinan adanya resistensi dan sumber-sumbernya. Action. Intervensi mulai dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disepakati. Pada tahap ini metode-metode berbeda bisa diterapkan secara simultan atau jika programnya sangat kompleks, dua atau tiga atau beberapa proyek bisa dijalankan secara paralel. Stabilization and evaluation. Pada tahap ini hasil perubahan dilembagakan menjadi bagian rutin dari kehidupan sehari-hari organisasi. Setelah itu dilakukan evaluasi untuk melihat kemungkinan perbaikan proses. Termination. Pada tahap ini konsultan selesai mengerjakan tugas dan bergerak ke klien lain. Bahasa populernya ―getting in, getting on, getting out – masuk, mengetahui, keluar‖. Atau mengerjakan proyek lain pada klien yang sama.



Seperti tampak pada Gambar 5.1, dua bentuk umpan balik (feedback loops) merupakan bagian integral dari model perubahan terencana yang dibangun Huse. Umpan balik pertama bermula setelah rencana perubahan mulai dijalankan namun ditengah jalan, setelah dilakukan evaluasi, beberapa proses perubahan atau secara umum arah perubahan perlu dimodifikasi karena satu atau beberapa alasan. Sebagai contoh, katakanlah untuk memperlancar proses OD diputuskan untuk melakukan briefing kepada semua staf dalam rangka untuk mengkomunikasikan visi para manajer senior. Namun saat briefing dilaksanakan diketahui bahwa staf yang mengikuti briefing merasa tidak puas. Pasalnya pada pertemuan tersebut terjadi komunikasi satu arah di mana pihak manajemen hanya mempresentasikan pandangan-pandangannya dan apa yang menjadi perhatian mereka tanpa memberi kesempatan pada staf untuk memberi masukan. Setelah dievaluasi dan dilakukan diagnosis ulang diputuskan untuk memodifikasi mekanisme komunikasi dengan memberi kesempatan pada staf untuk menyampaikan isuisu yang menjadi perhatian mereka tepati tidak disentuh oleh para manajer senior. Contoh ini memberi gambaran bahwa arah perubahan tidak berubah tetapi yang diubah hanyalah gaya komunikasi. Umpan balik kedua terjadi setelah proses perubahan selesai dijalankan dan konsultan beralih ke pekerjaan lain pada organisasi berbeda atau memulai proyek baru pada organisasi yang sama. Di sini siklus OD dimulai kembali dari awal dengan melakukan scouting untuk memperoleh informasi



5.18



Manajemen Perubahan 



terkait dengan proyek baru, mengadakan kontrak baru dan seterusnya mengikuti siklus seperti pada Gambar 5.1. Dua langkah penting yang menjadi kekuatan OD akan dibahas lebih detail sebagai berikut.



Gambar 5.1. Model Perubahan Terencana Menurut Huse



 EKMA4565/MODUL 5



5.19



E. DIAGNOSIS Salah satu tahapan dalam proses OD adalah melakukan diagnosis untuk mengidentifikasikan tujuan spesifik yang perlu ditingkatkan. Boleh dikatakan tahapan ini merupakan tahapan yang krusial sebab jika konsultan melakukan kesalahan dalam mendiagnosis masalah sangat boleh jadi tahapan-tahapan selanjutnya akan menjadi keliru dan tujuan perubahan tidak pernah tercapai. Beer & Spector (1993) mengatakan bahwa diagnosis merupakan sebuah metode untuk menganalisis masalah organisasi dan mempelajari pola prilaku baru. Diagnosis bisa berupa proses yang bisa membantu organisasi dengan melakukan hal -hal berikut ini. 1. Meningkatkan kapasitas mereka untuk mengakses dan merubah budaya organisasi. 2. Memberikan kesempatan anggota organisasi untuk mendapatkan umpan balik mengenai budaya dan prilaku yang disfungsi sebagai dasar untuk mengambangkan organisasi yang efektif. 3. Memastikan bahwa organisasi tetap terlibat dalam proses perbaikan berkelanjutan. Seperti terlihat pada Gambar 5.1 proses perubahan sesungguhnya baru dimulai dari diagnosis. Hal ini dapat diartikan bahwa diagnosis merupakan starting point yang menjelaskan kondisi berjalan dan menjelaskan pula tujuan dari proses perubahan yaitu kondisi ideal atau kondisi yang diharapkan. Diagnosis biasanya mengkaji dua hal yang cakupannya cukup luas. Pertama, diagnosis mengkaji elemen-elemen yang membentuk organisasi seperti divisi, departemen, produk dan hubungan interaktif antara elemen-elemen tersebut selain membandingkan level manajerial antara pimpinan puncak, pimpinan menengah dan pimpinan bawah. Kajian kedua dari diagnosis adalah proses organisasi. Termasuk di dalamnya diagnosis terhadap jejaring komunikasi, team problem solving, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, metode perencanaan dan penetapan tujuan, dan manajemen konflik. Berdasarkan kedua area kegiatan diagnosis di atas, sesungguhnya apa yang dicari konsultan adalah mendapatkan hubungan sebab akibat yakni apa dampak perubahan dari satu faktor terhadap faktor lainnya. Berkaitan dengan hal ini klien biasanya mengetahui masalah yang sedang terjadi atau paling



5.20



Manajemen Perubahan 



tidak merasakan bahwa organisasi yang dikelolanya sedang menghadapi masalah tetapi tidak tahu penyebabnya. Kalaulah klien mencoba menelusuri penyebab masalah tersebut ada kemungkinan klien keliru mendeteksi penyebabnya. Oleh karena itu tugas konsultan di sini adalah menemukan penyebab masalah tersebut. Untuk itu bahasan tentang diagnosis akan dibagi menjadi dua yaitu (1) bahasan tentang model diagnosis yang bertujuan untuk memetakan kondisi organisasi, dan (2) proses diagnosis yakni langkahlangkah yang ditempuh dalam diagnosis. Model diagnosis Ada beberapa model diagnosis yang bisa digunakan untuk memetakan kondisi organisasi dan sekaligus untuk menemukan masalah organisasi. Model diagnosis juga menjadi dasar untuk menentukan kinerja organisasi. Beberapa model diagnosis di antaranya adalah: Six-Box Model, the 7-S Framework, The Star Model, The Congruence Model, dan Burke-Litwin Model. Beberapa model akan dijelaskan lebih detail. 1.



The Six-Box Organizational Model Salah satu model diagnosis yang cukup tua yang dibangun oleh Marvin Weisbord pada tahun 1976 adalah six-box organizational model (lihat Gambar 5.2). Disebut demikian karena model ini didasarkan pada enam variabel organisasi yang diyakini berpengaruh terhadap kinerja organisasi. a. Tujuan (purpose). Kita ini bergerak dalam bisnis apa? b. Struktur (structure). Bagaimana kita membagi-bagi pekerjaan? c. Imbalan (rewards). Apakah semua tugas yang telah dikerjakan sudah mendapat insentif? d. Mekanisme kerja (helpful mechanism). Apakah kita memiliki teknologi untuk koordinasi kerja? e. Hubungan kerja (relationships). Bagaimana kita mengelola konflik? Apakah dengan teknologi? f. Kepemimpinan (leadership). Apakah ada orang yang bisa menjaga kelima kotak dalam keadaan seimbang?



5.21



 EKMA4565/MODUL 5



PURPOSE What business are we in? RELATIONSHIP How do we manage conflict among people? With technologies?



STRUCTURE How do we divide up the work?



LEADERSHIP Does someone keep the boxes in balance?



HELPFUL MECHANISM Have we adequate coordinating technologies?



REWARD Do all needed tasks have incentive?



ENVIRONMENT Figure 4.5 The Six-Box Model (Wiesbord, 1976, 1978, 1987)



Gambar 5.2. Six-Box Organizational Model



Weisbord mengatakan bahwa modelnya secara visual bisa disamakan dengan sebuah layar pada radar: ―seperti halnya pengawas lalu lintas udara yang menggunakan radar untuk memetakan kondisi perjalanan pesawat – ketinggian, kecepatan, jarak tempuh dan cuaca, dsb, mereka yang menginginkan kinerja organisasinya meningkat juga harus memberi perhatian yang sama terhadap hubungan antar variabel bukan hanya fokus pada salah satu variabel saja‖. Hal ini bisa diartikan bahwa ketika sebuah elemen organisasi, katakanlah struktur organisasi, memerlukan perhatian lebih dan perlu dilakukan perubahan maka secara sistemik efek perubahan terhadap kemungkinan perubahan pada variabel lain tidak boleh dikesampingkan. 2.



The 7 S Framework Model ini dibangun pada tahun 1980 oleh tiga orang konsultan McKinsey & Company – Robert Waterman, Jr., Tom Peter dan Julien Phillpips yang menuangkan gagasannya melalui sebuah tulisan ―structure is not organization‖ dimuat di Business Horizons. Model ini (lihat Gambar 5.3) didasarkan pada suatu proposisi bahwa: (1) efektivitas organisasi datangnya



5.22



Manajemen Perubahan 



dari interaksi berbagai macam faktor, dan (2) perubahan yang berhasil membutuhkan perhatian terhadap keterkaitan antara berbagai macam variabel berbeda. Waterman et al. mengelompokkan variabel organisasi ke dalam 7 macam yakni strategi, struktur, system, style (gaya), staff, skill dan share value atau superorninate goals. Ketujuh variabel tersebut diawali dengan huruf S sehingga dinamakan 7 S Framework. Tabel 5.3 menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan masing-masing variabel.



Gambar 5.3. The 7S Framework



 EKMA4565/MODUL 5



5.23



Tabel 5.3. Makna masing-masing variabel pada 7S Framework



Strategy



Struktur Sistem



Styles Staff Shared values Skill



Satu set tindakan yang bersifat koheren yang bertujuan agar perusahaan dapat mempertahankan daya saing berkelanjutan, meningkatkan posisi persaingan baik terhadap pelanggan, maupun dalam mengalokasikan sumber daya. Struktur organisasi yang menunjukkan kepada siapa seseorang harus bertanggung jawab dan bagaimana tugas-tugas organisasi dipisahkan dan sekaligus diintegrasikan. Suatu proses dan aliran kerja yang menunjukkan bagaimana kegiatan sehari-hari dilakukan (sistem informasi, sistem anggaran modal, proses manufakturing, sistem quality control, dan sistem pengukuran kinerja adalah beberapa contohnya). Bukan sekedar apa yang dianggap penting oleh manajemen, lebih dari itu bagaimana sesungguhnya manajemen berprilaku nyata tentang apa yang dianggap penting oleh perusahaan. Yang dimaksud di sini bukan sekedar kepribadian seseorang ataupun orang-orang yang terlibat di dalam organisasi melainkan tentang komposisi demographic dari orang-orang yang terlibat di dalam organisasi. Nilai-nilai organisasi yang bukan sekedar pernyataan tujuan organisasi, tetapi adalah nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh sebagian besar anggota organisasi. Kapabilitas yang dimiliki organisasi secara keseluruhan, bukan hanya kemampuan individu per individu.



Waterman et al. (1980) membangun model tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka sebagai konsultan terutama setelah menyadari adanya perbedaan pola manajemen antara manajemen Amerika dan manajemen Jepang. Perusahaan-perusahaan Amerika yang banyak dipengaruhi oleh konsep scientific management pada awalnya cenderung lebih menekankan pada pentingnya peran 3S pertama – strategi, struktur dan sistem (belakangan disebut sebagai hard system tools) sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan perusahaan. Sebaliknya perusahaan Jepang lebih menekankan pada pentingnya 4S terakhir – style, staff. Skill dan share values (superordinate goals) (disebut sebagai soft sysem tools) sebagai sarana untuk meraih keberhasilan perusahaan. Efektivitas kinerja akan diperoleh jika kekuatan dari mazhab yang berbeda tersebut digabungkan, demikian pendapat mereka dan lahirlah The 7S Framework.



5.24



3.



Manajemen Perubahan 



The Star Model Seperti halnya model diagnosis lainnya, The Star Model yang dibangun oleh Jay Galbraith et al. menekankan pentingnya saling keterkaitan antar komponen organisasi. Dalam hal ini komponen organisasi yang dimaksud adalah strategi, struktur, kapabilitas proses dan lateral, sistem penghargaan, dan people (lihat Gambar 5.4). Strategi memiliki peran penting yang mendahului peran-peran lainnya. Jika strategi tidak jelas maka tidak ada ukuran yang bisa digunakan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan mengingat strategi merupakan pedoman kemana organisasi mau dibawa. Struktur merupakan otoritas formal, biasanya divisualisasikan dalam bentuk peta organisasi, yang menghubungkan dan mengelompokkan berbagai macam aktivitas organisasi. Kapabilitas proses dan lateral adalah proses organisasi baik formal maupun informal yang mengkoordinasikan berbagai macam aktivitas organisasi. Sistem penghargaan merupakan upaya untuk menyelaraskan antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu karyawan dengan tujuan organisasi. Praktik sumber daya manusia merupakan berbagai macam praktik SDM (seleksi, pengembangan SDM dan amandemen kinerja). Jika tidak terjadi keselarasan dari salah satu atau kelima komponen di atas diyakini bahwa hasil kinerja organisasi tidak optimal. Gambar 5.5 menginformasikan dampak ketidakselarasan masing-masing komponen.



5.25



 EKMA4565/MODUL 5



The Star Model Strategy Vision Direction Competitive Advantage



People practices Staffing & selection Performance feedback Learning & development



Structure Power & authority Reporting relationship Organizational roles



Reward systems goals, scorecard & metrics Values & behavior Compensation/reward



Processes & Lateral Capability: Network, teams, Processes, integrative roles Matrix structure



Gambar 5.4. The Star Model



5.26



Manajemen Perubahan 



Strategi



Struktur



Kapabilitas proses dan lateral



Jika strategi tidak ada, tidak jelas atau tidak disepakati



Jika struktur tidak selaras dengan strategi



Jika mekanisme koordinasi tidak bisa berjalan baik



 Tidak ada arah yang sama  Tidak ada criteria untuk mengambil keputusan



 Tidak mampu memobilisasi sumberdaya  Pelaksanaan tidak efektif, hilang kesempatan untuk bisa bersaing



 Tidak terjadi kolaborasi lintas unit  Pengambilan keputusan dan siklus inovasi terlalu lama  Sulit berbagi informasi dan praktik yang baik



System penghargaan



Jika penghargaan tidak mendukung terciptanya tujuan



 Hasil yang keliru dan boros energi  Standard rendah  Frustasi dan perputaran karyawan tinggi



Praktik SDM



Jika sumberdaya manusia tidak berpartisipasi dan tidak diberdayakan



 Upaya tanpa hasil  Kepuasan karyawan rendah



Gambar 5.5. Dampak Ketidakcocokan Masing-Masing Elemen



4.



The Congruence Model David Nadler & Michael Tushman mengembangkan model diagnosis berbasis pada sistem terbuka (open system) sebuah organisasi yang menegaskan bahwa efektivitas organisasi ditentukan oleh keselarasan antara berbagai komponen organisasi (lihat Gambar 5.6). Model ini menyatakan bahwa organisasi terdiri dari empat komponen utama yaitu: Tugas (aktivitas tertentu yang harus dijalankan), individu karyawan (pengetahuan, skill, dan kebutuhan), aransemen formal organisasi (struktur, proses, metode) dan komponen informal (keyakinan, nilai-nilai, dan prilaku). Seperti tampak pada Gambar 5.6, organisasi diperlakukan sebagai sebuah proses transformasi yang mengubah input menjadi output. Proses transformasi dengan demikian diawali dari konteks yang melingkupi organisasi termasuk di dalamnya lingkungan, sumber daya dan sejarah organisasi. Lingkungan adalah semua faktor yang berada di luar organisasi dan berpengaruh terhadap keberadaan organisasi. Sumber daya adalah aset baik tangible maupun intangible. Sejarah adalah perjalanan organisasi sampai dengan keberadaannya saat ini. Dalam konteks inilah strategi diformulasikan,



5.27



 EKMA4565/MODUL 5



dan dengan demikian organisasi diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hasil akhir dari proses transformasi ini adalah kinerja organisasi.



Transformation Process



Informal Organization



Inputs



Environment Resources Strategy History



Formal Organizational Arrangements



Task



Outputs



Organizational Group Individual



Individual



Feedback Figure 4.6 The Congruence Model (Nadler and Tushman, 1977)



Gambar 5.6. The Congruence Model



5.



The Burke Litwin Model Model diagnosis yang dikembangkan oleh Warner Burke & George Litwin (1992) disebut Causal Model of Performance and Change. Model ini melibatkan 12 faktor organisasi yang dibedakan menjadi faktor yang menjadi sebab terjadinya perubahan transformasional dan faktor yang menjadi sebab terjadinya perubahan incremental. Faktor yang masuk dalam kelompok pertama (faktor transformasional) adalah lingkungan eksternal, misi dan strategi, kepemimpinan dan budaya organisasi. (lihat Gambar 5.7). Keempat faktor ini secara sengaja ditempatkan pada bagian atas gambar untuk menggambarkan bahwa perubahan mengalir dari atas (lingkungan eksternal) menuju ke bawah (kinerja). Meski demikian seperti tampak pada Gambar 5.7, aliran perubahan tidak terjadi melalui satu melainkan merupakan proses imbal-balik (ditandai dengan anak panah yang menuju dua arah). Hal ini bias diartikan bahwa faktor internal organisasi juga bisa mempengaruhi faktor



5.28



Manajemen Perubahan 



lingkungan eksternal bukan hanya sebaliknya hanya faktor lingkungan eksternal yang bias mempengaruhi faktor-faktor lainnya.



Gambar 5.7. Burke-Litwin Model



F. PROSES OD Sejauh ini telah diuraikan beberapa model yang bisa digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan diagnosis dalam pengembangan organisasi. Keragaman model di atas seharusnya tidak menjadikan para manajer dan praktisi OD justru kebingungan dalam memilih model. Sebaliknya keragaman tersebut diharapkan mempermudah mereka menentukan pilihan



5.29



 EKMA4565/MODUL 5



model yang dianggap cocok sesuai dengan situasi yang dihadapi organisasi. Terlepas dari model yang akan dipilih nantinya, pekerjaan diagnosis tidak hanya berhenti memilih model tetapi harus dilanjutkan dengan melakukan proses diagnosis. Diagnosis merupakan sebuah proses siklikal meliputi pengumpulan data, interpretasi data, identifikasi masalah dan rencana program yang mungkin bisa dijalankan. Secara umum proses diagnosis dapat dilihat pada Gambar 5.8 berikut ini.



Diagnosis process Tentative problem Areas identified Collect data



More data needed now



Data feedback More data Need now?



No change At present



Problem areas identified



Client target Motivated to Work on problem



Diagnosis. Work on Problem Causes. Result is Change



Gambar 5.8. Proses diagnosis



Gambar 5.8 menginformasikan kepada kita bahwa proses diagnosis dimulai dari telaah dini tentang kemungkinan masalah yang dihadapi organisasi. Sangat mungkin pada tahap ini belum ditemukan masalah sesungguhnya. Yang ditemukan boleh jadi hanya gejala-gejalanya saja. Namun temuan ini sangat penting karena bisa menjadi sumber untuk menemukan masalah sesungguhnya selama kita tidak terjebak dengan menganggap gejala sebagai masalah – situasi yang kerap terjadi dalam praktik. Tahap kedua adalah mengumpulkan data dengan rujukan identifikasi masalah yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Data yang terkumpul



5.30



Manajemen Perubahan 



kemudian dibuat kategorisasi, dianalisis dan dipresentasikan kepada klien pada saat sesi umpan balik (tahap 3 dan tahap 4). Jika sudah yakin bahwa data yang terkumpul telah cukup (tahap 5), langkah selanjutnya adalah melakukan diagnosis (dilakukan bersama-sama antara konsultan dan klien) dan identifikasi area masalah (tahap 6). Pada tahap ini tingkat motivasi klien untuk bekerja berdasarkan temuan masalah sudah bias ditentukan (tahap 7). Setelah selesai diagnosis, sistem yang menjadi target perubahan dan strategi perubahan sudah bisa ditentukan dan selanjutnya strategi perubahan didesain (tahap 8). Tahap terakhir (tahap 9) dilakukan monitoring terhadap hasil perubahan untuk menentukan sejauh mana perubahan yang direncanakan telah tercapai. G. INTERVENSI OD Istilah intervensi di sini tidak diartikan sebagaimana pengertian umum intervensi yaitu campur tangan. Bahwa campur tangan merupakan bagian dari intervensi OD tentu tidak bisa dihindari namun intervensi OD memiliki pengertian yang lebih luas dan tujuan intervensi OD adalah untuk memberi kemanfaatan bagi yang diintervensi. Harvey & Brown (1996) memberi pengertian intervensi OD sebagai serangkaian tindakan yang didesain untuk meningkatkan kesehatan organisasi dan atau menjadikan sistem organisasi bias berfungsi lebih baik. Jika kita kembali merujuk Gambar 5.1 tentang proses OD, intervensi merupakan langkah kelima yang sebelumnya didahului oleh penyusunan rencana atau strategi OD. Untuk menyederhanakan bahasan, perlu digambarkan kembali proses OD dalam perspektif berbeda (lihat Gambar 5.9). Pada gambar ini perhatian lebih ditujukan pada strategi OD dan proses intervensi.



5.31



 EKMA4565/MODUL 5



Consultant process



OD Strategies



Intervention



outcomes



Consultant Values



Efficiency Efficiency ---- morale morale



Consultant Role



Process --- expert



Data gathering



Structural



Performance Gap



Change process



Technical Technique



Desired state



Behavioral



Diagnosis



Gambar 5.9. Proses OD dalam Perspektif Berbeda



Strategi OD adalah rencana detail beberapa tindakan yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai macam kesulitan dan membangun kekuatan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Friedlander & Brown (1974) mengelompokkan rencana tindakan yang berkaitan strategi OD ke dalam tiga kelompok yaitu: rencana tindakan untuk memperbaiki struktur, teknikal dan prilaku. Pertama, struktur merupakan sebuah kerangka yang menghubungkan elemen-elemen organisasi agar organisasi bisa bekerja secara efisien. Oleh karena itu strategi OD perlu melakukan analisis mendalam terhadap aspek ini. Kedua, analisis terhadap proses teknis juga tidak kalah penting. Bahkan kadang-kadang harus dilakukan perubahan proses teknik demi menciptakan state of the art terkait dengan teknologi, metode, otomatisasi dan desain organisasi. Terakhir, analisis terhadap prilaku merupakan kelompok ketiga rencana strategi OD yang berhubungan dengan aspek sumber daya manusia. Dalam banyak kasus perubahan kedua kelompok menjadi tidak ada artinya ketika sumber daya manusia sebagai aktor organisasi tidak mau berubah. Oleh karena itu dalam strategi OD ketiga rencana tindakan tersebut harus dilakukan secara integratif atau sistemik. Hal ini perlu ditegaskan mengingat Konsultan/Praktisi OD secara tradisional lebih menekankan pentingnya perubahan prilaku/SDM. Gambaran tentang strategi OD secara integratif dapat dilihat pada Gambar 5.10 di bawah ini.



5.32



Manajemen Perubahan 



Praktisi/Konsultan OD



Strategi behavioral



Strategi struktural



Strategi teknikal



Perubahan sikap & nilai-nilai



Perubahan struktur & desain



Perubahan produksi & metode



Prilaku baru



Pola hubungan baru



Proses baru



Kinerja meningkat Efektivitas organisasi



Gambar 5.10. Strategi OD



Gambar 5.10 menjelaskan bahwa tiga jenis strategi OD – behavioral, struktural dan teknikal yang rancang secara integratif masing-masing diharapkan bisa merubah prilaku, pola hubungan dan proses menjadi prilaku, pola hubungan dan proses baru dengan peningkatan kinerja sebagai hasil akhirnya. Indikator bahwa kinerja organisasi meningkat adalah peningkatan efektivitas organisasi dan daya saing organisasi. Meski demikian, harapan tersebut tidak akan pernah terealisir jika rancangan program tersebut tidak ditindaklanjuti dengan tindakan riil untuk melakukan perubahan. Tindakan riil dalam proses OD disebut sebagai intervensi OD. Sejak pertama kali OD diperkenalkan sejak itu berbagai macam teknik intervensi juga dikembangkan. Hanya saja pada mulanya lebih banyak dikembangkan teknik intervensi yang diorientasikan untuk merubah prilaku manusia khususnya prilaku individu. Sensitivity training, managerial grid, MBO dan goal setting adalah beberapa contoh teknik intervensi untuk merubah prilaku individu. Dalam perkembangannya dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi para konsultan dan tuntutan klien yang semakin luas dikembangkan pula berbagai macam teknik intervensi bukan hanya untuk kepentingan perubahan prilaku individu tetapi juga untuk



 EKMA4565/MODUL 5



5.33



perubahan tim, intergroup dan prilaku organisasi secara keseluruhan. Demikian pula, bukan hanya prilaku sebagai target perubahan tetapi juga struktur dan proses organisasi. Tabel 5.4 menyajikan beragam teknik intervensi yang bisa digunakan para konsultan dan atau para manajer. Karena banyaknya teknik intervensi yang tersedia, tugas seorang konsultan adalah memilih teknik yang tepat sesuai dengan persoalan organisasi yang dihadapinya dan tujuan yang hendak dicapai dalam perubahan tersebut. Di samping itu, faktor budaya organisasi yang diadopsi klien dan kemungkinan terjadinya resistensi karyawan jika teknik tersebut diterapkan juga harus menjadi pertimbangan. Secara umum ada tiga hal yang harus dipertimbangkan konsultan dalam memilih teknik intervensi yaitu: 1. Hasil yang mungkin diperoleh dari teknik intervensi a. Apakah teknik ini akan menyelesaikan problem yang paling mendasar. b. Apakah ada hasil tambahan yang positif. 2. Sejauh mana teknik tersebut bisa diimplementasikan a. Apakah teknik yang akan digunakan betul-betul dapat dijalankan dalam praktik. b. Berapa biaya yang harus ditanggung klien, baik secara rupiah maupun biaya manusia, dan dampak biaya tersebut terhadap sistem organisasi klien. c. Bagaimana analisis cost vs. benefit dari teknik tersebut. 3. Sejauh mana teknik tersebut bias diterima oleh pihak akan terkena dampak penggunaan teknik terebut a. Apakah teknik tersebut bisa diterima oleh sistem yang dijalankan klien. b. Apakah teknik tersebut telah dikembangkan dengan baik dan teruji. c. Apakah teknik tersebut telah dijelaskan dan dikomunikasikan kepada para anggota organisasinya klien.



5.34



Manajemen Perubahan 



Tabel 5.4. Berbagai Jenis Intervensi Jenis intervensi



Behavioral



Structural



Individu



Tim



Intergroup



organisasi



Laboratory learning Career planning Grid OD (Phase 1) Stress management Biofeedback MBO Goal setting Quality of work life Job enrichment Stress management Quality of work lif MBO



Team building Process consultation Quality control Role negotiation Role analysis Grid OD phase 2 Goal setting Third party intervention



Intergroup development Third party intervention Organization mirror Process consultation Grid OD phase 3 TQM



Goal setting Grid OD phase 4,5,6 Survey feedback Action research Likert’s system 4 Quality of work life TQM



Job enrichment Team building Quality circle Role negotiation Role analysis Grid OD phase 3 Self managed work teams Job design Quality control Grid OD phase 3



Job enrichment Goal setting TQM



Grid OD phase 4,5,6 Survey feedback Action research Likert’s system 4 Quality of work life TQM Restructuring Grid OD phase 4,5,6 Survey feedback Action research Likert’s system 4 Quality of work life TQM Reengineering



Job design



Technical



Job design Grid OD phase 3 TQM



Untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik teknik-teknik intervensi seperti yang disajikan pada Tabel 5.4 berikut diuraikan beberapa teknik intervensi yang dipilih secara selektif. Latihan Kepekaan (Sensitivity Training). Merupakan teknik OD yang pertama kali diperkenalkan dan yang dahulu paling kerap digunakan. Teknik



 EKMA4565/MODUL 5



5.35



ini sering disebut juga T-group. Dalam kelompok-kelompok T (singkatan training) yang masing-masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok (terlatih) membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang lain, serta keterampilan dalam hubungan antarpribadi. Pelatihan kepekaan merupakan tipe lain konseling (French, Bell, 1990). Pelatihan kepekaan (sensitivity training) merupakan sebuah teknik pengembangan organisasi yang terdiri dari serangkaian tindakan konseling, di mana para anggota kelompok dengan dibantu fasilitator, belajar bagaimana pihak lain mempersepsi mereka dan mereka diajarkan cara-cara berinteraksi secara lebih sensitif dengan pihak lain. Melalui aktivitas-aktivitas mempelajari sumber-sumber perbedaan dalam persepsi, maka anggota kelompok tersebut mampu memahami cara-cara orang lain atau pihak lain mempersepsi diri mereka dan mereka belajar bagaimana cara berinteraksi secara lebih baik dengan pihak lain. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas pelatihan kepekaan merupakan pengalaman yang bersifat teramat intens, karena pemikiran dan perasaan yang paling mendalam seseorang dibongkar dan dibedah secara terbuka di hadapan peserta. Jelas bahwa proses ini menyebabkan banyak pihak merasa tidak tenang dan "gerah". Kisi Pengembangan Organisasi (Organization Development Grid). Pendekatan grid pada pengembangan organisasi didasarkan pada konsep managerial grid yang diperkenalkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton. Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang kurang efektif menjadi gaya kepemimpinan yang ideal yang berorientasi maksimum pada aspek manusia maupun aspek produksi. Survai Umpan Balik (Feedback Survey). Tiap peserta diminta menjawab kuesioner yang dimaksud untuk mengukur persepsi serta sikap mereka (misalnya persepsi tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka). Hasil survei ini diumpan-balikan kepada setiap peserta, termasuk pada para penyelia dan manajer yang terlibat. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan perbaikan-perbaikan konstruktif. Sebuah survey feedback terdiri dari serangkaian tindakan: 1. Mengumpulkan informasi (biasanya melalui penyebaran kuesionerkuesioner) dari para anggota organisasi atau kelompok kerja tertentu. 2. Menata informasi tersebut agar mencapai bentuk yang lebih dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya.



5.36



3.



Manajemen Perubahan 



Memberikan umpan balik kepada para pekerja yang menyediakan informasi tersebut.



Survey feedback secara tipikal mengikuti proses action research Adapun sasaran utama dari survey feedback adalah untuk memperbaiki hubungan antara anggota-anggota suatu kelompok atau tim atau antara departemen departemen, melalui pembahasan masalah-masalah bersama. Survey feedback juga kerap kali dimanfaatkan sebagai sebuah alat diagnostik guna mengidentifikasikan masalah-masalah tim, departemen dan organisasi. Konsultasi Proses (Process consultation). Konsultasi proses melibatkan pengarahan dan bimbingan konsultan dalam hal membantu para anggota organisasi dalam mempersepsi, memahami dan bertindak pada kejadiankejadian proses yang berlangsung dalam lingkungan kerja (Schein, 1988: 11). Kejadian-kejadian proses (process events) adalah cara-cara para pekerja melaksanakan pekerjaan mereka, termasuk dalamnya perilaku mereka pada rapat-rapat, kejadian-kejadian formal maupun yang informal yang terjadi antara para pekerja yang sedang melaksanakan tugas-tugas mereka dan pada umumnya mencakup segala macam perilaku yang terlibat dalam hal melaksanakan suatu tugas. Konsultasi proses, mencakup pemanfaatan pakar atau seorang fasilitator yang mungkin merupakan orang luar atau bisa juga merupakan anggota organisasi tersebut. Dalam Process Consultation, konsultan OD mengamati komunikasi, pola pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, metode kerja sama dan pemecahan konflik di setiap unit organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya, serta menganjurkan tindakan koreksi. Apakah seorang manajer bersifat terlampau "direktif, terlalu banyak menuntut atau terlampau mencurigai para bawahannya? Konsultasi proses mampu menyajikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Konsultasi proses, memiliki persamaan dengan konseling dan pelatihan kepekaan (Schein, 1988). Seorang konsultan proses yang terlatih atau seorang fasilitator bekerja erat dengan manajer, guna membantu manajer memperbaiki interaksinya dengan anggota-anggota kelompok lainnya. Sang konsultan "luar" bertindak sebagai "telinga" yang menyerap pelbagai macam keluhan dari para pekerja, sehingga dengan demikian si manajer dapat memperoleh gambaran lebih jelas tentang apa yang sedang berlangsung dalam setting



 EKMA4565/MODUL 5



5.37



kelompok tersebut sehingga terungkaplah dinamika antara perorangan yang mendeterminasi kualitas relasi kerja dalam kelompok. Pembangunan Tim (Team Building). Team building adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam efektivitas serta kepuasan tiap individu dalam kelompok kerjanya atau tim. Teknik team building sangat membantu meningkatkan kerja sama dalam tim yang menangani proyek dan organisasinya bersifat matriks. Guna mengelola perubahan dalam sebuah kelompok, atau antarkelompok, maka para agen perubahan, dapat menerapkan tiga macam teknik pengembangan organisasi. Pembangunan tim yang merupakan sebuah metode umum untuk memperbaiki relasi-relasi dalam kelompok agak serupa dengan konsultasi proses, kecuali bahwa di sini semua anggota kelompok berpartisipasi bersama guna memperbaiki interalcsi-interaksi kelompok mereka (George, Jones, 2002:670). Pembangunan tim ini sangatlah penting ketika aktivitas-aktivitas reengineering mereorganisasi cara kerja sama orang-orang dari berbagai macam fungsi yang berbeda. Sewaktu dibentuk kelompok-kelompok baru, maka pembangunan tim membantu para anggota untuk secara cepat merumuskan relasi tugas dan peran, sedemikian rupa, sehingga mereka dapat bekerja secara efektif satu sama lainnya. Agen perubahan mengawali proses pembangunan tim dengan jalan mempelajari bagaimana para anggota kelompok berinteraksi dan selanjutnya mengidentifikasi cara-cara kelompok melaksanakan pekerjaan mereka Kemudian agen perubahan berbicara dengan para anggota kelompok guna membahas masalah-masalah mereka atau untuk mengidentifikasi apakah proses kelompok dapat diperbaiki. Melalui diskusidiskusi yang digelar, para anggota kelompok diharapkan akan mengembangkan apresiasi baru tentang kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perilaku mereka. Kemudian mereka membentuk kelompokkelompok tugas kecil guna merumuskan saran-saran tentang bagaimana cara memperbaiki proses kelompok atau guna membahas cara-cara khusus dalam menangani masalah-masalah tertentu Adapun tujuannya adalah membentuk sebuah landasan atau platform yang dapat dipakai para anggota kelompok, meski tanpa masukan dari agen perubahan, melaksanakan perbaikanperbaikan berkelanjutan berkaitan dengan cara kelompok tersebut berfungsi. Transcational Analysis (TA). TA lebih berkonsentrasi pada gaya komunikasi antarindividu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang jelas dan bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan



5.38



Manajemen Perubahan 



menyenangkan. TA dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan menyesatkan. Intergroup Activities. Fokus dalam teknik intergroup activities adalah peningkatan hubungan baik antarkelompok. Ketergantungan antar kelompok yang menentukan kesatuan organisasi menimbulkan banyak masalah dalam koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerja sama atau memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan tersebut. Pelatihan antarkelompok merupakan sebuah teknik pengembangan organisasi yang memanfaatkan pembangunan tim (team building) guna memperbaiki interaksi-interaksi kerja berbagai macam fungsi atau divisidivisi. Pelatihan antarkelompok menyebabkan pembangunan tim melangkah lebih lanjut guna memperbaiki cara-cara berbagai macam fungsi atau divisi bekerja sama. Langkah selanjutnya berupa: kedua kelompok membentuk kelompok-kelompok tugas (task forces) guna membahas bagaimana cara menyelesaikan masalah. Adapun tujuannya berupa mengembangkan rencanarencana aktivitas-aktivitas (action plans) yang dapat dijadikan pedoman untuk membina dan mengarahkan hubungan-hubungan antarkelompok, sehingga dia menjadi suatu landasan untuk melaksanakan tindakan penyelesaian (follow up). Third-party Peacemaking. Dalam menerapkan teknik ini, konsultan OD berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk memecahkan persoalan atau konflik antarindividu dan kelompok. 1. Pertemuan Konfrontasi Organisasi (Organizational Confrontation Meeting). Teknik pengembangan organisasi ini menyatukan semua manajer organisasi guna membahas persoalan apakah organisasi mereka mencapai sasaran-sasarannya secara efektif atau tidak. Pada tahapan awal pertemuan, dibantu oleh agen perubahan, pihak manajemen puncak meminta para peserta pertemuan untuk membahas secara terbuka dan jujur persoalan-persoalan yang menyangkut situasi organisasi mereka. Kemudian konsultan membagi para manajer dalam tujuh atau delapan kelompok dan memastikan bahwa kelompok-kelompok yang dibentuk se-heterogen mungkin sehingga tidak ada atasan atau bawahan menjadi anggota kelompok yang sama agar terjamin adanya pembahasan dan pembicaraan bebas tanpa suasana tertekan. Kelompok kecil melaporkan hasil-hasil mereka kepada kelompok besar dan kemudian problem-



 EKMA4565/MODUL 5



2.



5.39



problem yang dirumuskan dikategorisasi. Manajemen puncak memanfaatkan pernyataan-pernyataan tentang persoalan-persoalan dan masalah yang muncul guna menetapkan prioritas-prioritas organisasi dan merencanakan aktivitas-aktivitas kelompok. Kemudian dibentuk kelompok-kelompok tugas atau kelompok-kelompok kecil dan selanjutnya masing-masing kelompok melaporkan kepada manajemen puncak hasil-hasil yang mereka peroleh. Hasil proses tersebut diharapkan menimbulkan perubahan pada struktur organisasi dan prosedur-prosedur operasi. Adapun tujuannya adalah untuk memperbaiki kinerja organisasi dengan jalan memusatkan perhatian pada fungsi atau aktivitas-aktivitas bersama sebuah divisi dan output. Mengingat bahwa koordinasi fungsional silang terutama penting bagi aktivitas-aktivitas reengineering dan total quality management (TQM), maka pelatihan antarkelompok merupakan sebuah teknik pengembangan organisasi penting yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi guna mengimplementasi perubahan. Pencerminan Organisasi (Organizational Mirroring). Ada sebuah bentuk populer pelatihan antarkelompok yang dinamakan pencerminan organisasi (organizational mirroring) yang merupakan teknik pengembangan organisasi yang didesain guna memperbaiki efektivitas kelompok-kelompok interdependen (French, Bell, 1990). Misalkan adanya dua kelompok yang berkonflik dan mereka merasa perlu lebih banyak belajar tentang situasi dan kondisi kelompok masing-masing dan kemudian salah satu kelompok memanggil konsultan guna memperbaiki kerja sama kelompok. Konsultan mengawali tugasnya dengan jalan mewawancarai anggota kedua kelompok guna memahami bagaimana kelompok yang satu memandang kelompok lainnya dan untuk memahami masalah-masalah apa yang dapat dideteksi di antara dua kelompok itu. Maka kelompok-kelompok yang ada dipersatukan dalam sesi pelatihan dan konsultan menerangkan bahwa tujuan sesi tersebut adalah untuk mengeksplorasi persepsi-persepsi dan hubungan-hubungan dalam rangka memperbaiki relasi kerja. Di bawah arahan konsultan yang memimpin diskusi, diperdengarkan problem-problem yang dihadapi kelompok pertama dengan kelompok kedua. Pada sesi ini kelompok lain hanya duduk dan mendengar apa yang dilontarkan kelompok tersebut. Kemudian konsultan membalikkan situasi, kelompok kedua (yang tadi hanya mendengar saja) mulai melontarkan problem-problem menurut



5.40



3.



Manajemen Perubahan 



persepsi mereka, sedangkan kelompok kedua hanya mendengar (itulah sebabnya muncul istilah pencerminan organisasi). Hasil dari diskusidiskusi yang dilangsungkan adalah masing-masing kelompok mampu mengapresiasi perspektif-perspektif masing-masing pihak. Kualitas Hidup Kerja (Quality of Work Life - QWL). Program ini merupakan aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan organisasi guna memperbaiki kondisi-kondisi yang mempengaruhi pengalaman para pekerja dalam organisasi. Banyak program-program seperti ini memusatkan perhatian pada: keamanan dan kesehatan pekerja, partisipasi dalam hal mengambil keputusan, peluang untuk mengembangkan bakat dan keterampilan, pekerjaan yang lebih bermakna, pengendalian atas waktu kerja dan tempat kerja, perlindungan terhadap perlakuan yang semena-mena dan peluang-peluang untuk memenuhi kebutuhankebutuhan sosial. Organisasi-organisasi (terutama di Barat) berupaya pula memperbaiki kualitas hidup kerja para pekerja melalui penerapan jadwal-jadwal kerja alternatif. Termasuk di dalamnya mungkin tercakup apa yang dinamakan flexitime - memberikan kekuasaan kepada para pekerja untuk menentukan sendiri (pada tingkatan tertentu) jadwaljadwal kerja mereka.



H. PERUBAHAN SIFAT PENGEMBANGAN ORGANISASI Paling tidak di Amerika Serikat, OD telah menjadi profesi dengan badan regulasinya sendiri yang menjadi wadah bagi para praktisi OD. Anggota dari profesi ini, apakah mereka bekerja di lembaga akademis, konsultan atau organisasi publik maupun swasta, memberikan layanan konsultasi. Seperti profesi lainnya, jika mereka tidak mampu memberikan apa yang diminta konsumen, mereka akan segera dianggap tidak relevan lagi. Karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana OD merespon kebutuhan konsumen yang berubah-ubah. Pengembangan Organisasi merupakan sebuah proses yang menerapkan pengetahuan, praktek-praktek ilmu keperilakuan (behavioural science) untuk membantu organisasi dalam meraih tingkat efektivitas yang lebih tinggi. Fokus awal PO adalah pada kelompok kerja dalam organisasi dan bukan pada organisasi secara keseluruhan. Namun demikian, pada tahun-tahun terakhir, telah terjadi pergeseran besar pada fokus bidang OD dari kelompok menjadi



 EKMA4565/MODUL 5



5.41



organisasi dan bahkan lebih luas daripada itu. Tiga perkembangan khusus telah menyebabkan perluasan prespektif tersebut: 1. Dengan munculnya gerakan job design pada tahun 1960an dan terutama dengan munculnya Teori Sistem Sosio-Teknik (socio-technical system theory), para praktisi OD makin menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi hanya berkonsentrasi pada kerja kelompok ataupun individu dalam organisasi namun mereka harus juga menimbang-nimbang sistem lain. Secara bertahap OD mengadopsi prespektif Sistem Terbuka yang memungkinkannya untuk memandang organisasi secara totalitas dan dalam pengaruh lingkungan yang melingkupi mereka. 2. Prespektif berskala-organisasi ini telah mendorong para praktisi OD memperluas prespektif mereka dalam dua cara yang saling berkaitan. Pertama, mereka mengembangkan minat pada manajemen budaya organisasi. Mengingat, ketika bekerja dengan kelompok, para konsultan OD selalu mengakui pentingnya norma-norma dan nilai kelompok, maka tak heran kalau kemudian mereka makin menaruh minat pada budaya organisasi pada umumnya. Kedua, mereka juga makin meminati konsep pembelajaran organisasi. Para praktisi PO selalu menekankan bahwa intervensi mereka merupakan suatu proses pembelajaran yang sama pentingnya dengan perubahan. Alhasil, pergeseran minat dari pembelajaran kelompok kepada pembelajaran organisasi hanyalah perluasan alami belaka. 3. Makin meningkatnya penggunaan pendekatan berskala-organisasi terhadap perubahan (contohnya, program perubahan budaya), dibarengi dengan intensitas pergolakan dalam lingkungan operasi organisasi, telah menyadarkan perlunya para praktisi OD untuk ikut serta dalam mentransformasikan organisasi secara keseluruhan dan tidak sekedar terfokus pada perubahan pada bagian-bagian pokoknya saja. Seperti dapat kita lihat, OD kini berupaya menjauh dari akarnya, yaitu Dinamika Kelompok dan Perubahan Terencana dan lebih memilih prespektif perubahan sistem dan organisasi. Hal ini menciptakan dilema bagi para pendukung OD. Banyak praktek-praktek OD (contoh: riset tindakan – action research, t-groups dan sebagainya) telah luas diterima di banyak organisasi pada awal tahun 1980an. Bahkan sebagian pendekatan yang lebih baru, seperti job design dan self managed-team, telah menjadi praktek utama di berbagai organisasi. Pendekatan-pendekatan ini masih cenderung fokus pada



5.42



Manajemen Perubahan 



tataran kelompok dan bukan tataran organisasi yang lebih luas. Namun, pendekatan transformasi pada tataran organisasi yang dipandang penting untuk mempertahankan relevansi OD pada organisasi, arahnya masih belumlah jelas, belum berkembang dan tidak diterima semua pihak. Semakin OD terfokus pada masalah makro, semakin kurang kemampuan OD merangkul dan melibatkan semua individu yang terkait program perubahannya dan semakin kurang mampu PO mempromosikan nilai-nilai dasar humanis dan demokratisnya. Perkembangan PO di atas, dan juga sejumlah perspektif tentang organisasi yang lebih baru, telah membuat banyak orang mempertanyakan bukan hanya aspek tertentu saja dari pendekatan Perubahan Terencana namun juga kegunaan dan praktek dari pendekatan secara keseluruhan. Sejumlah penulis mengkritik pendekatan Perubahan Terencana karena terlalu menekankan pada perubahan inkremental dan terisolasi serta ketidakmampuannya dalam mengadopsi perubahan radikal dan transformasional (Dunphy dan Stace, 1993). Pendekatan perubahan Terencana didasarkan pada asumsi bahwa kesepakatan umum dapat dicapai, dan bahwa semua pihak terkait dalam proyek perubahan tertentu memiliki kemauan serta minat untuk melakukannya. Asumsi ini sepertinya mengabaikan konflik dan politik organisasi, atau paling tidak menganggap bahwa masalah dapat dengan mudah diidentifikasi dan diselesaikan. Stace dan Dunphy (1994) menunjukkan bahwa terdapat spektrum yang luas pada situasi perubahan, dari fine-tuning hingga transformasi korporat dan juga berbagai cara mengelola perubahan, dari kolaboratif sampai koersif. Walau Perubahan Terencana mungkin sesuai bagi sebagian situasi ini, namun jelas tidak cocok diterapkan dalam situasi di mana diperlukan pendekatan direktif, seperti pada saat 'crisis yang menuntut perubahan besar-besaran dalam waktu singkat, di mana tidak dimungkinkan keterlibatan luas ataupun konsultasi. Memang, Perubahan Terencana tak pernah dimaksudkan untuk dapat diterapkan di semua situasi perubahan dan jelas tidak pernah dimaksudkan untuk diterapkan dalam situasi di mana dibutuhkan perubahan cepat, koersif dan atau besar-besaran. Fokus model Bullock dan Batten (1985), sebagaimana juga model Lewin, adalah perubahan pada tataran individu dan kelompok. Namun demikian, para praktisi OD sebagaimana juga para pakar lainnya dewasa ini semakin mengakui bahwa "Organisasi kini sedang diciptakan ulang (reinvented); tugas-tugas kerja sedang direkayasa-ulang;



 EKMA4565/MODUL 5



5.43



aturan main pasar sedang ditulis ulang; sifat fundamental organisasi sedang berubah", dan oleh karena itu, Pengembangan Organisasi (Organization Development) sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru ini dan memperluas fokusnya di luar perilaku individu ataupun kelompok (French dan Bell, 1995). LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi dalam pengembangan organisasi (Organization development) yaitu…?. 2) Menurut Anda, apakah dengan perkembangan zaman saat ini OD masih dibutuhkan dalam suatu organisasi? Jelaskan secara singkat dan berikan contoh konkretnya. 3) Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan intervensi OD? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Untuk menerapkan pengembangan organisasi yang baik, suatu organisasi haruslah mengetahui karakteristik apa yang ada dalam pengembangan organisasi, untuk jelasnya dapat Anda baca pada paparan di modul ini halaman 5.10 sampai dengan halaman 5.12. 2) Untuk menjawab latihan No. 2, silakan Anda simak materi pada halaman 5.12 — 5.15. Materi tersebut memaparkan beberapa kritik terhadap OD, dari materi tersebut Anda dapat mengambil simpulan apakah OD masih relevan dengan perkembangan zaman. Contoh dapat Anda berikan dari hal-hal yang terdekat di lingkungan Anda. 3) Intervensi dalam OD tidak dapat disamakan dengan pengertian intervensi secara umum, memang intervensi dalam OD tentu tidak bisa dihindari namun intervensi OD memiliki pengertian dan tujuan yang lebih luas yaitu untuk memberi kemanfaatan bagi yang diintervensi. Harvey & Brown (1996) memberi pengertian intervensi OD sebagai serangkaian tindakan yang didesain untuk meningkatkan kesehatan organisasi dan atau menjadikan sistem organisasi bisa berfungsi lebih



5.44



Manajemen Perubahan 



baik. Untuk jelasnya dapat Anda lihat Gambar 5.9 sebagai ilustrasi dari proses intervensi OD. R A NG KU M AN Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar tentang pengembangan organisasi atau yang lebih populer dengan istilah OD. Salah satu pengertian yang dapat merangkum pengertian-pengertian dari OD adalah definisi yang dikemukakan oleh Beer (1980) yang menyatakan bahwa pengembangan organisasi adalah aplikasi dan transfer pengetahuan berbasis pada ilmu prilaku (behavioral science) yang diterapkan secara sistemik dan terencana dalam rangka untuk mengembangkan, meningkatkan dan menguatkan kembali strategi, struktur dan proses organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi. Dari definisi tersebut dapat diturunkan menjadi karakteristikkarakteristik apa saja yang terkandung dalam OD, seperti karakteristik: perubahan terencana, pendekatan kolaboratif, orientasi pada kinerja, orientasi pada humanism, pendekatan sistem dan penggunaan metode ilmiah. Modul ini juga membahas bagaimana pakar di bidang OD memberikan kritiknya terhadap OD, bagaimana proses OD itu sendiri, dan yang tak kalah penting dibahas dalam modul ini adalah bagaimana proses diagnosis organisasi, tahapan dalam diagnosis organisasi, serta bagaimana intervensi OD terhadap organisasi. TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Di bawah ini merupakan salah satu tujuan dari pengembangan organisasi, yaitu untuk ..... A. mengubah strategi organisasi agar lebih dapat bersaing B. meningkatkan kemampuan organisasi dengan cara mengubah struktur organisasinya C. mengubah proses organisasi secara sistematik D. menguatkan kembali strategi, struktur dan proses organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi



5.45



 EKMA4565/MODUL 5



2) Ada enam kritik Greiner terhadap OD, yang terkenal dengan istilah red flag, salah satu di antaranya adalah OD dianggap lebih .... A. mengedepankan aspek informal daripada aspek formal organisasi B. mementingkan tugas daripada proses C. mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan individu D. mementingkan diagnosis dibanding dengan perubahan perilaku 3) Manfaat yang dapat diambil dari proses diagnosis organisasi salah satunya adalah dapat .... A. merubah budaya organisasi B. menunda proses perbaikan organisasi C. mempertahankan kepemimpinan seseorang D. membentuk organisasi baru 4) Model diagnosis organisasi yang melibatkan 12 faktor organisasi yang dibedakan menjadi faktor penyebab perubahan transformasional dan perubahan incremental dikemukakan oleh .... A. David Nadler dan Michael Tushman B. Jay Galbraith dan kawan-kawan C. Burke Litwin D. Waterman dan kawan-kawan 5) Tindakan riil yang didesain untuk meningkatkan kesehatan organisasi biasa disebut dengan tindakan A. Implementasi teknik OD B. campur tangan OD C. uji coba OD D. pembimbangan OD Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar Jumlah Soal



 100%



5.46



Manajemen Perubahan 



Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



 EKMA4565/MODUL 5



5.47



Ke g ia ta n B ela ja r 2



Organisasi Pembelajar



P



eter Drucker (1998), seorang pemikir dan sekaligus guru manajemen terkemuka, sangat percaya bahwa era ke depan adalah era pengetahuan. Pengetahuan tidak semata-mata sistem dan prosedur di dalam perusahaan atau organisasi publik, atau hanya sekumpulan ingatan kognitif seseorang, namun juga merupakan sekumpulan pengetahuan eksplisit dan implisit yang dibangun melalui proses pembelajaran perusahaan yang terus-menerus dan melalui koreksi atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan maupun proses yang adaptif terhadap perubahan lingkungan. Drucker tidak percaya bahwa berlimpahnya informasi dapat menjadi keunggulan kompetitif dalam jangka panjang, kecuali bila informasi tersebut dapat diproses menjadi pengetahuan yang diaplikasikan bagi pengambilan keputusan manajemen. Pemikiran ini sangat relevan pada era keterbukaan dan hadirnya teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology – ICT). Informasi yang berlimpah akan menjadi sia-sia bila tidak dapat memanfaatkan bagi keputusan bisnis atau organisasi. Di sisi lain, Hamel & Prahalad (1994) lebih dari satu dekade lalu mempubikasikan pemikirannya tentang perlunya sebuah perusahaan memiliki dan memperkuat kompetensi inti (core competence) agar dapat mempertahankan daya saingnya. Secara definitif, kompetensi inti adalah, kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai (value) bagi pasar dan pelanggannya yang bersumber dari kapabilitas unik (distinctive capabilities) yang dimiliki dan terus dikembangkan perusahaan. Argumentasi Hamel dan Prahalad (1994) ini mengawali arus besar kesadaran para pimpinan puncak perusahaan untuk melakukan revitalisasi bisnis, menggantikan tren tahun 1980an yang disebut sebagai era pertumbuhan dan ekspansi usaha yang didorong konsep diversifikasi bisnis vertikal dan horizontal. Saat itu, para pimpinan puncak bertanya tentang esensi dari bisnis masing-masing. Apakah perusahaan mampu menciptakan nilai tambah (value) yang berkelanjutan bagi pasar dan pelanggannya? Sekaligus apakah perusahaan dapat menjamin return yang bernilai bagi perusahaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut agak panjang, mengingat setiap bisnis berbeda meski masih dalam satu payung perusahaan yang sama memiliki perilaku pelanggan yang berbeda, pesaing yang berbeda, lingkungan bisnis



5.48



Manajemen Perubahan 



yang berbeda dan rule of the game yang berbeda pula. Secara singkat, setiap bisnis memiliki logic of business dan key success factors sendirisendiri. Sebagai akibat dari diversifikasi usaha tersebut, banyak kelompokkelompok perusahaan yang lamban menghadapi perubahan lingkungan, terlebih lagi menghadapi krisis yang berkepanjangan. Sejak saat itu, seperti dipaparkan oleh Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation State (1995), para pemimpin puncak mulai menyadari pentingnya inovasi dan pembelajaran terus-menerus sebagai kunci daya saing perusahaan, terlebih lagi pada era teknologi informasi, di mana sekat-sekat ideologi, industri, pasar semakin tak berbatas (borderless). Begitu pula Hamel dan Prahalad (1994), keduanya berhasil memprovokasi para pemimpin bisnis agar membaca dengan cerdas kecenderungan masa depan tentang pasar, pesaing, dan produk masa depan yang boleh jadi berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan saat ini. Para pemimpin bisnis semakin menyadari makna inovasi yang terus menerus yang menjamin daya saing perusahaan (Nonaka dan Takeuchi, 1995) dan perlunya kepemimpinan yang kuat untuk menggerakkan perubahan, serta tipe kepemimpinan yang lebih berorientasi pada substansi ketimbang berorientasi pada kebesaran (glorious) dan publisitas (Collins, 2002). Semakin disadari pula bahwa pembelajaran terus-menerus yang dilakukan perusahaan terhadap pelanggan, pasar, pelaku pasar pada industri lain, pesaing dan lain-lain adalah sumber atau prasyarat terjadinya inovasi terus-menerus. Alasan pembenar yang melatarbelakangi pandangan di atas adalah dalam ekonomi elektronis, kesuksesan pasar bisa cepat tergerus oleh keunggulan pengetahuan (knowledge egde) perusahaan pesaing - keunggulan bersaing yang langsung berdampak pada pemilihan produk dan jasa di pasar oleh konsumen. Kepemimpinan pasar, ukuran perusahaan, nama yang terkenal dan struktur kini tidak lagi memberi garansi bagi kelangsungan hidup perusahaan. Berada di tempat dan waktu yang tepat dengan pengetahuan yang tepat jauh lebih penting. Kata `tepat" di sini diartikan sebagai perolehan, penerapan dan manajemen pengetahuan yang pas dengan tuntutan pasar di saat dan tempat tertentu. Dalam ekonomi berbasis pengetahuan, perusahaan yang mampu memberikan jawaban pas atas tuntutan stakeholder dan pelanggan diyakini sebagai perusahaan yang akan meraih sukses.



 EKMA4565/MODUL 5



5.49



Uraian-uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa kinerja organisasi pada akhirnya akan ditentukan oleh keunggulan sumber daya (resources) yang terus diasah dan diperbaharui. Barney (2007) menyatakan bahwa sumber daya tersebut harus memenuhi kriteria VRIN; bernilai (valuable), langka (rare), tak dapat ditiru (in-imitable) dan tak tergantikan (nonsubstitable). Keunggulan sumber daya ini melahirkan berbagai strategi pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang dapat melahirkan inovasi, teknologi dan infrastruktur organisasi yang menopang profitabilitas dan pertumbuhan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, kemampuan Steve Jobs menarik para programer brilian di Apple tidak berhenti pada upaya merekrut SDM yang bertalenta, namun juga disertai dengan penciptaan suasana dan sistem kerja yang kondusif terhadap lahirnya inovasi dan alokasi anggaran perusahaan dalam melakukan research and development (R & D) yang terus-menerus. Kecerdikan Apple yang berhasil memperkenalkan iTune sebagai terobosan bisnis yang mengagumkan, di mana pengembangan teknologi iTune yang disertai dengan model bisnis yang terintegrasi dengan layanan downloading berbagai konten yang memiliki segmentasi yang jelas membuat Apple kembali menjadi perusahaan yang dikagumi di seluruh dunia. Selain sumber daya manusia, sumber pengendali kinerja organisasi juga terletak pada keunggulannya, pada kepemimpinan eksekutif, kualitas manusia, budaya inovasi, dan sistem yang terbangun di dalam berbagai organisasi, baik pada skala lokal maupun global. Leibold, et al. (2005) menyebutkan beberapa tren yang terjadi pada berbagai organisasi di dunia, di antaranya 1. perubahan apresiasi terhadap informasi menjadi knowledge dan wisdom (kearifan); 2. perubahan praktek birokrasi menjadi jejaring; 3. orientasi pelatihan menjadi pembelajaran; 4. ranah lokal menjadi transnasional/global dan bahkan metanational; 5. pemikiran tentang persaingan menjadi kolaborasi; dan 6. hubungan organisasional secara tunggal menjadi ekosistem bisnis dengan stakeholder yang berbeda. Selanjutnya, Leibold et al. (2005) juga menguraikan korelasi kuat antara perilaku organisasi pembelajar dengan kinerja perusahaan pada era ekonomi saat ini. Arie de Geus (1997) misalnya mengatakan bahwa perusahaanperusahaan besar seperti Shell telah menjalankan praktek manajemen



5.50



Manajemen Perubahan 



pengetahuan sebagai strategi perusahaan untuk terus tumbuh dan berumur panjang, di mana pembelajaran organisasional menjadi kebutuhan organisasi. Contoh ini semakin memperkuat temuan Senge (1990) tentang pentingnya menjadi organisasi pembelajar. Karena ciri-ciri organisasi belajar yang terus tumbuh merupakan ciri makhluk hidup (living organism) yang memiliki ruh dan jiwa maka tak terbantahkan lagi bahwa upaya organisasi dalam menciptakan dan menggunakan sumber daya pengetahuan yang melekat pada manusia dan sistem organisasi akan dapat membangun kinerja organisasi secara berkelanjutan. Paparan di atas pada akhirnya mendorong para eksekutif terus berupaya untuk memastikan bahwa jajaran SDM dan sistemnya punya akses dengan pengetahuan kunci untuk mendukung dan menjaga visi mereka agar sukses. Dampaknya adalah gagasan dan konsep 'organizational learning' dan 'learning organization' luas dipelajari dan diterapkan. Beberapa perusahaan kini bereksperimen dengan inisiatif manajemen pengetahuan untuk meraih dan memanfaatkan aset pengetahuannya. Nortel, IBM dan Cisco adalah di antara perusahaan yang berada di depan sebagai pionir. Mereka memanfaatkan manajemen pengetahuan sebagai upaya untuk menaikkan profitabilitas, mentransformasi diri, menata pengetahuan jajaran S.D.M. mereka dan melatih karyawan baru. Upaya-upaya seperti yang dilakukan Nortel, IBM dan Cisco sekarang ini tampaknya bukan lagi sekadar menjadi tren tetapi sudah menjadi paradigma baru dalam mengelola bisnis. Perubahan paradigma ini misalnya tercermin pada perubahan prosedur kerja, pola perilaku, budaya perusahaan dan seterusnya. Pergeseran paradigma ini juga makin tercermin pada pergeseran bahasa bisnis yang, pada gilirannya, menyediakan pelbagai kemungkinan bagi solusi-solusi baru. Dulu kita bicara tentang organisasi, tugas, sistem, produk, teknologi dan konsumen, sekarang kita akan makin sering bicara mengenai kompetensi, kapabilitas, nilai-tambah, manajemen kinerja (performance management), rancangan proses, arus informasi. Pergeseran ini terjadi karena tuntutan sengitnya persaingan. Saat dihadapkan pada ketatnya kompetisi, kita makin kerap mendapati perusahaan sukses sebagai perusahaan yang mampu mengubah aturan main. Hamel dan Prahalad (1991) menyebutkan: Penelitian pasar dan analisa segmentasi nyaris tak mampu mengungkap peluang-peluang semacam ini. Diperlukan wawasan yang menukik mengenai kebutuhan, gaya hidup dan aspirasi konsumen masa kini dan masa depan.



 EKMA4565/MODUL 5



5.51



Sejauh menyangkut perubahan besar, pergeseran paradigma ini telah merubah cara kita berpikir tentang bagaimana mewujudkan perubahan. Ketika dulu kita banyak berpikir tentang perubahan top-down atau bottom-up dan bahasan kita tersedot pada isu-isu mengapa program perubahan gagal dan bagaimana menerapkan program pelibatan sebagai cara memperoleh dukungan dan kesuksesan, sekarang kita lebih berupaya mewujudkan hal-hal tersebut melalui program komunikasi cascade, lokakarya perubahan, program manajemen kinerja dan penggunaan mekanisme pasar. Walhasil, mewujudkan pergeseran 'mind-set' merupakan tugas kognitif utama dan pertama yang harus dilakukan dalam konteks sosial. Kecuali kita siap menuntaskan tantangan kognitif tersebut, maka kecil kemungkinan kita meraih sukses. Pada gilirannya, hal ini berimplikasi atau menuntut diterapkannya keterampilan-keterampilan tertentu dan hadirnya ciri-ciri tertentu dalam organisasi, dan semua itu hanya akan berhasil jika perusahaan terus melakukan pembelajaran. A. PEMBELAJARAN ORGANISASIONAL VS. ORGANISASI PEMBELAJAR Secara samar-samar uraian di muka telah menyinggung dua istilah yang hampir sama yakni ―organizational learning‖ dan ―learning organization‖. Sepintas tidak ada yang berbeda dari kedua istilah tersebut. Keduanya mengandung kata ―learning‖ (pembelajaran atau belajar) dan ―organization‖. Itulah sebabnya sangat masuk akal jika dalam banyak kasus kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian karena dianggap memiliki pengertian sama walaupun senyatanya pengertian keduanya berbeda (Ờrstenblad, 2001). Menyamakan organizational learning dan learning organization merupakan salah kaprah. Hal ini misalnya diakui Fiol & Lyles (1985). Mereka mengatakan bahwa salah kaprah seperti ini bermula dari Herbert Simon (1969) yang mendefinisikan organizational learning sebagai: ………. the growing insights and successful restructurings of organizational problems by individuals reflected in the structural elements and outcomes of the organization itself ……….bertambahnya pengetahuan individu-individu dan keberhasilan mereka dalam melakukan restrukturalisasi masalah-masalah organisasi yang hasilnya tercermin dalam elemen-elemen struktur tersebut dan hasil kegiatan organisasi lainnya.



5.52



Manajemen Perubahan 



Menurut definisi ini pembelajaran terdiri dari dua komponen pokok yakni (1) pengembangan pengetahuan – komponen yang tidak mudah dilihat dan (2) hasil kegiatan organisasi – komponen yang mudah dilihat. Perubahan yang terjadi pada komponen pengetahuan biasanya akan diikuti oleh perubahan pada hasil kegiatan organisasi meski perubahan kedua komponen tersebut tidak selalu terjadi secara simultan. Masalah inilah yang kemudian dianggap membingungkan dan mengakibatkan perbedaan antara organizational learning dan learning organization menjadi kabur (Lundberg, 1995). Sejak saat itu para teoritis organisasi cenderung memahami learning organization (LO) dengan pandangan masing-masing mulai dari sekedar pengetahuan, struktur baru, sistem baru, tindakan-tindakan organisasi atau kombinasi dari itu semua. Hal yang sama, pemahaman tentang organizational learning (OL) juga bervariasi. Ada yang menganggap OL sekedar belajar, tidak belajar, berubah, beradaptasi, dan transformasi (untuk penjelasan ini lihat, Fiol & Lyles, 1985 dan Lundberg, 1995). Untuk menghindari kerancuan definisi seperti tersebut di atas, klarifikasi tentang pengertian masing-masing istilah sangat penting dikedepankan. Organizational learning biasanya diterjemahkan menjadi pembelajaran organisasional atau pembelajaran dalam organisasi, sedangkan learning organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar. Dalam bahasa Indonesia perbedaan antara OL dan OL tampak agak jelas di mana OL lebih menekankan pada aspek pembelajaran yakni proses pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi, sedangkan LO menekankan pada organisasi tempat pembelajaran tersebut berlangsung. Perbedaan ini didukung oleh Lundberg (1995) dan Yeo (1993). Lundberg (1995) misalnya mengatakan bahwa LO merupakan unit aktivitas tersistem yang memiliki karakteristik tertentu, atau sebuah kiasan tentang organisasi yang memiliki kemampuan untuk menerjemahkan bahasa sandi ke dalam kehidupan rutin sehari-hari sebagai pedoman berprilaku dan atau beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sementara itu OL merupakan sebuah konstruk yang menjelaskan sebuah proses atau tipe aktivitas yang mungkin terjadi pada organisasi atau pada bagian-bagian organisasi. Bila disederhanakan, LO adalah organisasi dengan segala kapabilitasnya dan OL adalah proses, dan keduanya berhubungan dengan pembelajaran. Sementara itu Yeo (1993) mengatakan bahwa LO merupakan entitas kolektif yang fokus perhatiannya tertuju pada pertanyaan ―apa‖ yakni apa karakteristik, prinsip-prinsip dari suatu organisasi yang belajar secara kolektif? Jadi, LO mencakup pentingnya pembelajaran kolektif baik pada



 EKMA4565/MODUL 5



5.53



dataran lingkungan internal maupun eksternal. Sedangkan OL adalah sebuah proses untuk menjawab pertanyaan ―bagaimana‖ yakni bagaimana tingkat penguasaan dan proses pengembangan pengetahuan. Penjelasan Lundberg dan Yeo tentang LO dan OL merupakan simpulan yang mereka buat setelah memperhatikan definisi-definisi LO dan OL yang diberikan oleh beberapa teoritisi sebelumnya. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut: 1. organizational learning is a process of detecting and correcting error – OL adalah proses mendeteksi dan memperbaiki kesalahan (Argyris, 1977). 2. Organizational learning means the process of improving action through better knowledge and understanding – OL berarti proses untuk meningkatkan tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik (Fiol & Lyles, 1985). 3. Learning organization is an organization skilled at creating, acquiring, and transferring knowledge, and at modifying its behavior to reflect new knowledge and insights – OL kemampuan organisasi dalam menciptakan, mendapatkan dan mentrasfer pengetahuan, dan dalam memodifikasi prilaku mereka yang tercermin dalam pengetahuan dan pemahaman baru (Garvin, 1993). 4. [Learning is] the development of insights, knowledge, and associations between past actions, the effectiveness of those actions, and futue actions – LO adalah pengembangan pemahaman, pengetahuan, dan pengembanagn tersebut saling berkaitan antara tindakan masa lalu, efektivitas tindakan-tindakan tersebut, dan tindakan-tindakan yang akan datang (Fiol & Lyles, 1985). 5. Organizational learning occurs through shared insights, knowledge, and mental model ….[and] builds on past knowledge and experience, - that is on memory – OL terjadi melalui pemahaman, pengetahuan, dan mental model bersama ….dan dibangun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masa lalu yakni berdasarkan memory (Stata, 1989). 6. Organizations are seen as learning by encoding influences from history into routines that guide behavior – organisasi dianggap sebagai organisasi belajar bila mampu menerjemahkan symbol-symbol yang bersumber dari masa lalu kedalam kehidupan rutin dan menjadikannya sebagai pedoman berprilaku (Leavitt and March, 1988). 7. [A learning organization is]….an organization that is continually expanding its capacity to create its future – LO adalah sebuah organisasi yang terus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan masa depan (Senge, 1990).



5.54



8.



Manajemen Perubahan 



The learning organization has embedded systems or mechanisms to capture and shared learning – LO adalah organisasi yang telah membumikan system dan mekanisme untuk menangkap dan berbagi pembelajaran (Watkins & Marsick, 1993).



Sementara itu Yeo (1995), dari sumber berbeda, tidak hanya membedakan pengertian LO dan OL tetapi juga mengaitkannya dengan tematema tertentu (lihat Tabel 5.5). Untuk memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan definisi-definisi pada Tabel 5.5, berikut diuraikan salah satu contoh definisi dan interpretasinya yang diberikan Marquardt & Kearsley (1999) – definisi LO yang sebelumnya digunakan Marquardt (1996). Marqurdt & Kearsly mendefinisikan LO sebagai berikut: A learning organization has powerful capacity to collect, store and transfer knowledge and thereby continuously transform itself for corporate success. It empowers people within and outside company to learn as they work. A most critical element is the utilization of technology to optimize both learning and productivity. Organisasi pembelajar adalah sebuah lembaga yang memiliki kapasitas yang besar untuk mengumpulkan, menyimpan dan mentransfer pengetahuan dan lembaga tersebut mampu secara terus menerus mentransformasi diri demi keberhasilan perusahaan. Lembaga ini juga memberdayakan orang-orangnya baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan untuk belajar selama mereka bekerja. Elemen paling penting dari semua ini adalah pemanfaatan teknologi untuk mengoptimalkan pembelajaran dan produktivitas.



Elaborasi dari definisi di atas menunjukkan bahwa (1) organisasi dikiaskan seolah-olah sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk belajar, dan memiliki dan mampu mentransfer pengetahuan, (2) semua itu tujuannya adalah keberhasilan perusahaan, (3) kemampuan organisasi ini juga diharapkan membantu orang-orangnya untuk terus belajar, dan (4) media terpenting dalam pembelajaran adalah teknologi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa perbedaan definisi LO ini dengan definisi-definisi LO lainnya terletak pada poin 4 yakni peran teknologi dalam pembelajaran. Jadi tema yang diusung Marquardt & Kearsley adalah teknologi yang menjadi kunci dalam pembelajaran. Tema ini misalnya berbeda dengan tema yang diusung Schein (1996) di mana budaya sebagai kunci pembelajaran organisasi.



 EKMA4565/MODUL 5



5.55



Tabel 5.5. Beberapa definisi LO dan OL



Di sisi lain Pedler, et al. (1997) menegaskan bahwa suatu organisasi pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan. Perlunya pengembangan keterampilan individu tertanam dalam konsep organisasi yang setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan



5.56



Manajemen Perubahan 



pembelajaran organisasi demi keberlangsungan hidup dan pertumbuhan organisasi. Menurut Pedler, et al. (1997) suatu organisasi pembelajar adalah organisasi yang: 1. Mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka. 2. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan. 3. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis. 4. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus. Transformasi organisasi dalam hal ini tidaklah sama dengan pengembangan organisasi. Transformasi organisasi merujuk pada upaya organisasi yang secara proaktif merubah semua aspek yang ada di dalamnya, baik individu, kepemimpinan, sumber daya, struktur organisasi maupun proses-proses pertukaran informasi. Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu menggali secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluangpeluang baru untuk pembelajaran dan mampu mendayagunakan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif. Apa yang disampaikan Peddler et al. (1997) juga didukung oleh Lundberg (1995) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada perolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya pembelajaran organisasi adalah: 1. Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota; 2. Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu; 3. Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali unsur-unsur organisasi; 4. Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk mata pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan.



 EKMA4565/MODUL 5



5.



6.



5.57



Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-olah mengikat beberapa subproses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian. Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk mempertanyakan dan menguji praktek-praktek organisasi serta penjelasan yang menyertainya.



Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terencana dan terus menerus memfasilitasi anggotanya agar mampu terus berkembang dan mentransformasi diri baik secara kolektif maupun individual dalam usaha meraih hasil atau kinerja yang makin meningkat, dan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan bersama antara organisasi dan individu di dalamnya. Sementara itu proses pembelajaran sehingga terbentuk organisasi pembelajar disebut sebagai pembelajaran organisasional. B. KARAKTERISTIK ORGANISASI PEMBELAJAR Megginson dan Pedler (1992) memberikan sebuah panduan mengenai konsep organisasi pembelajar. Panduan adalah sebuah ide yang dapat berfungsi layaknya sebuah bintang penunjuk yang bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama sesuai dengan maksud gagasan tersebut untuk masa kini dan di masa yang akan datang. Jadi, panduan itu layaknya sebuah visi yang bisa membantu menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajar dapat dihasilkan. Kondisi-kondisi tersebut adalah: 1. Strategi pembelajaran. 2. Pembuatan kebijakan partisipatif. 3. Pemberian informasi, yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang tersedia. 4. Akunting formatif, yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan. 5. Pertukaran internal.



5.58



6. 7. 8. 9. 10. 11.



Manajemen Perubahan 



Kelenturan penghargaan. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan. Pembelajaran antar perusahaan. Suasana belajar. Pengembangan diri bagi semua orang



Suatu organisasi tidak otomatis menjadi organisasi pembelajar walaupun telah melakukan semua hal tersebut. Perlu dipastikan bahwa tindakantindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan sumber daya manusia. Dalam organisasi pembelajar, pembelajaran menjadi inti dari semua bagian operasi, cara berprilaku dan sistem. Mampu melakukan transformasi dan berubah secara radikal adalah sama dengan perbaikan yang berkelanjutan. Schein (1985) mengemukakan karakteristik organisasi pembelajar sebagai berikut: 1. Dalam hubungan dengan lingkungan maka organisasi bersifat lebih dominan dalam menjalin hubungan. 2. Manusia hendaknya berprilaku proaktif. 3. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik. 4. Manusia pada dasarnya dapat diubah. 5. Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan kolektivisme samasama penting. 6. Dalam hubungan atasan bawahan kesejawatan atau partisipatif dan otoritatif atau paternalistik sama-sama pentingnya. 7. Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek. 8. Untuk penghitungan waktu lebih digunakan satuan waktu yang medium. 9. Jaringan komunikasi dan informasi berkesinambungan secara lengkap. 10. Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya. 11. Perlunya berpikir secara sistematis. Menurut Marquardt (1996), ada beberapa dimensi dan karakter penting yang ditimbulkan bila organisasi telah menjadi organisasi pembelajar, yaitu sebagai berikut: 1. Pembelajaran dilakukan oleh organisasi secara keseluruhan, seolah-olah organisasi mempunyai satu otak.



 EKMA4565/MODUL 5



2.



3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



10. 11. 12. 13. 14.



5.59



Anggota organisasi merasakan pentingnya proses pembelajaran organisasi secara terus-menerus untuk kepentingan meraih kesuksesan saat ini dan dimasa yang akan datang. Pembelajaran dilakukan secara terus-menerus dan dari sisi strategi pembelajaran digunakan serta disejajarkan dengan pekerjaan. Ada suatu fokus atau kreativitas dan melahirkan pembelajaran. Berpikir sistem merupakan hal yang bersifat fundamental. Orang-orang memiliki akses yang berkesinambungan terhadap sumber informasi dan data yang penting bagi kesuksesan organisasi. Iklim organisasi mendorong, menghargai dan mempercepat pembelajaran individu dan kelompok. Pekerja memiliki jaringan bagi upaya melakukan inovasi. Perubahan merupakan bagian yang melekat, sementara kejutan yang tidak diinginkan serta kesalahan yang terjadi dipandang sebagai peluang untuk belajar. Organisasi pembelajar cerdas dan fleksibel. Setiap orang didorong oleh keinginan untuk melakukan perbaikan kualitas secara berkelanjutan. Aktivitas dicirikan oleh aspirasi, refleksi, dan konseptualisasi. Ada pengembangan kompetensi inti yang baik sebagai dasar bagi produk dan layanan baru. Anggota organisasi memiliki kemampuan untuk secara berkelanjutan beradaptasi, memperbarui, dan merevitalisasi dirinya dalam merespons perubahan lingkungan.



C. MODEL SISTEM ORGANISASI PEMBELAJAR Menurut Marquardt dan Reynolds (1994), agar proses pembelajaran terjadi, dibutuhkan sebelas elemen pokok dalam organisasi yaitu, struktur organisasi yang memadai, budaya pembelajaran dalam organisasi, pemberdayaan, kreasi ilmu pengetahuan dan transfer pengetahuan, teknologi pembelajaran, kualitas pembelajaran, strategi pembelajaran, lingkungan yang mampu mendukung, kelompok kerja dan jejaring kerja, visi pembelajaran dan keterkaitan antarbudaya. Selain itu, ada faktor lain yang memungkinkan proses pembelajaran lebih mudah berlangsung, yang dikenal dengan faktor disiplin pembelajaran. Dalam hal ini Senge (1990) mengemukakan bahwa di dalam organisasi pembelajar yang efektif sangat diperlukan lima faktor



5.60



Manajemen Perubahan 



disiplin pembelajaran yang harus diwujudkan dan dikembangkan dalam terciptanya organisasi pembelajar, yaitu: 1. system thinking; 2. personal mastery; 3. mental model; 4. share vision; 5. team learning. 1.



System Thinking (Berpikiran Sistem) Semua orang mesti belajar bagaimana cara menyikapi segalanya secara holistik dan bahwa serentetan kejadian akan saling mempengaruhi satu sama lain. Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit-unit yang harus bekerja sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit itu antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, seksi, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergik ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya Sering kali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dia kerjakan dan tidak memahami dampak dari pekerjaannya pada unit lainnya. Selain itu sering kali timbul fanatisme seakan-akan hanya unit dia sendiri yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan sama sekali. Fenomena ini disebut dengan ego-sektoral. Kerugian akan sangat sering terjadi akibat ketidakmampuan untuk bersinergi satu dengan lainnya. Pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Terlepas dari adanya perasaan bahwa unit diri sendiri adalah unit yang paling penting, tidak adanya pemikiran sistemik ini akan membuat anggota perusahaan tidak memahami konteks keseluruhan dari organisasi. Kini semakin banyak organisasi yang mengandalkan pada struktur tanpa batas (borderless organization), atau kalaupun masih menggunakan struktur organisasi berbasis fungsi, kini fungsi-fungsi yang terkait dengan proses yang sama dibuat saling melintas batas fungsi. Organisasi yang demikian disebut organisasi lintas fungsi atau cross-functional organization. Organisasi yang demikian ini akan membuat proses pembelajaran lebih cepat karena masing-masing orang dari fungsi yang berbeda akan berbagi pengetahuan dan pengalamannya.



 EKMA4565/MODUL 5



5.61



2.



Personal Mastery Bagi Senge, ini merupakan `disiplin untuk terus-menerus memperjelas dan memperdalam... visi personal, memfokuskan … energi, mengembangkan kesabaran dan menilai realitas secara obyektif. Hal ini merupakan landasan penting bagi organisasi pembelajar - fondasi spiritual 'organisasi pembelajar'. Organisasi pembelajar memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang berbasis kekuatan fisik (tenaga otot) ke paradigma yang berbasis pengetahuan (tenaga otak). Selain itu kecepatan perubahan tipe pekerjaan telah menyebabkan banyak pekerjaan tidak diperlukan lagi oleh organisasi karena digantikan oleh tipe pekerjaan baru atau digantikan oleh pekerjaan yang menuntut penggunaan teknologi. Bilamana pekerja tidak mau belajar hal baru, maka dia akan kehilangan pekerjaan. Selain itu banyak pekerjaan yang ditambahkan pada satu pekerjaan (job-enlargement) atau job rotation (mutasi karyawan) agar memudahkan karyawan untuk memahami kegiatan di unit kerja yang lain demi terwujudnya sinergi. Oleh karena itu karyawan harus belajar hal-hal baru. Penguasaan pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih. Untuk memenuhi persyaratan perubahan dunia kerja ini semua anggota organisasi harus memiliki kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan terus belajar. Kompetensi dirinya bukan sematamata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan konflik dan saling mengapresiasi pekerjaan orang lain. Organisasi lintas fungsi seperti yang telah dibicarakan di atas akan mempercepat proses pembelajaran individu di dalam organisasi. 3.



Mental Model Mental model (Model mental): hal ini menyangkut pembelajaran bagaimana cara menggali gambaran internal dunia, untuk membawanya ke permukaan dan secara tekun menelitinya dengan cermat'. Respon manusia terhadap situasi yang terjadi di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh asumsi dan kebiasaan yang selama ini berlaku. Di dalam



5.62



Manajemen Perubahan 



organisasi, berlaku pula kesimpulan yang diambil mengenai 'how things work' di dalam organisasi. Hal ini disebut dengan mental model, yang dapat terjadi tidak hanya pada level individual tetapi juga kelompok dan organisasi. Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini kadangkadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini didiskusikan, dicermati dan direvisi pada level individual, kelompok dan organisasi. Model mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari Organisasi Pembelajar, karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan (perintah) dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya. Senge menyebutkan bahwa model mental adalah suatu aktivitas perenungan, kita terus menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep dini seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. 4.



Shared Vision Shared vision (Membangun visi bersama): ini menyangkut bagaimana setiap orang berbagi visi bersama tentang masa depan. Kepemimpinan merupakan kunci dalam menciptakan dan mengkomunikasikan visi tersebut. Namun, Senge memandang kepemimpinan lebih sebagai yang bertanggung jawab atas penciptaan struktur dan aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan total seseorang. Pemimpin menciptakan visi namun rela membiarkan visi tersebut dirumuskan ulang oleh orang lain. Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan sangat sulit bagi organisasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi juga



 EKMA4565/MODUL 5



5.63



memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam organisasi. 5.



Team Learning Team Learning (Pembelajaran tim): tim-tim dan bukan perseorangan, merupakan kunci sukses organisasi masa depan dan semua individu mesti belajar bagaimana cara belajar (learn how to learn) dalam konteks tim Kini semakin banyak organisasi berbasis tim karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis tim. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan tim ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berpikir sistemik. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu tim, maka pembelajaran organisasi akan menjadi sangat lambat, atau bahkan berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu semangat belajar dalam tim, cerita sukses atau gagal suatu tim harus disampaikan pada tim yang lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal intelektualnya. Marquardt, 1996 menggambarkan model sistem organisasi pembelajar secara matematis berupa gambar irisan antara lain: pembelajaran (learning), organisasi (organization), anggota organisasi (people), pengetahuan (knowledge), dan teknologi (technology) dengan pembelajaran terletak di pusat irisan. Model sistem organisasi pembelajar digambarkan seperti pada Gambar 5.11 berikut.



5.64



Manajemen Perubahan 



Gambar 5.11. Model Sistem Organisasi Pembelajar (Marquardt, 1996)



Gambar tersebut menjelaskan bahwa proses pembelajaran juga merupakan bagian dan harus terjadi baik dalam subsistem manusia, teknologi, pengetahuan, dan organisasi. Jika proses pembelajaran dalam organisasi pembelajar terjadi, akan terjadi perubahan persepsi, prilaku, kepercayaan, mentalitas, strategi, kebijakan dan prosedur baik yang berkaitan dengan manusia maupun organisasi. D. SUBSISTEM PEMBELAJARAN Subsistem pembelajaran berkenaan dengan tingkat-tingkat pembelajaran, tipe dari pembelajaran yang krusial bagi pembelajaran yang terorganisasi, dan keahlian kritis dalam pembelajaran yang terorganisasi. Subsistem pembelajaran dapat digambarkan seperti pada Gambar 5.12 berikut.



Gambar 5.12. Subsistem Pembelajaran



 EKMA4565/MODUL 5



5.65



Organisasi pembelajar termanifestasi melalui tiga tingkatan pembelajar yaitu individu, tim atau kelompok, dan organisasi (Wang & Ahmed, 2003). Pada tingkatan individu, pembelajaran dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh seseorang melalui pelatihan, belajar sendiri, pemahaman, observasi, dan refleksi diri. Tingkatan kelompok atau tim dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi oleh dan di dalam kelompok. Pembelajaran tim dapat terjadi melalui upaya-upaya penyelesaian konflik dengan menyatukan sudut pandang yang berbeda ke dalam pemahaman yang dapat diterima tanpa kompromi. Pembelajaran tim juga dapat terjadi melalui uji coba terhadap satu hipotesis atau menemukan sesuatu yang baru, dua atau lebih orang atau tim berkomunikasi untuk mencapai satu tujuan yang positif. Tingkatan organisasi sebagai bagian dari organisasi pembelajar berperan menawarkan berbagai peluang untuk belajar. Melalui pembentukan divisi, departemen, komite, dan tim kerja pada dasarnya merupakan sarana dan peluang bagi kelompok untuk belajar, mempercepat proses pembelajaran, memperdalam pembelajaran, serta memperluas pembelajaran. 1.



Subsistem Transformasi Organisasi Organisasi adalah struktur dan badan di mana pembelajaran organisasi secara luas, kelompok, dan individu terjadi. Berubah dari suatu organisasi nonpembelajar menjadi suatu organisasi pembelajar memerlukan suatu transformasi yang signifikan. Struktur dan strategi perusahaan harus berubah hampir secara dramatis menjadi suatu organisasi pembelajar. Untuk tumbuh dengan subur sebagai organisasi pembelajar, perusahaan harus mengatur kembali dirinya sendiri melalui suatu fokus yang penuh perhatian pada empat dimensi subsistem organisasi yaitu visi, budaya, strategi, dan struktur atau dikenal dengan empat dimensi kunci transformasi organisasi, yang digambarkan seperti pada Gambar 5.13 berikut (Marquardt, 1996).



5.66



Manajemen Perubahan 



Gambar 5.13. Subsistem Transformasi Organisasi (Marquardt, 1996)



Menurut Marquardt (1996), visi mengungkapkan tujuan, sasaran, dan arah yang ingin dituju oleh organisasi. Visi organisasi pembelajar mengungkapkan pentingnya pembelajaran untuk mencapai sasaran masa depan yang diinginkan, membangun keinginan organisasi, serta terusmenerus memperbarui organisasi dalam rangka mempertahankan pertumbuhan dan perkembangannya. Kultur organisasi terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, sikap, praktik, prosedur, dan kebiasaan-kebiasaan organisasi (Schein, 1985). Kultur organisasi pembelajar menekankan pada pentingnya pembelajaran yang terus-menerus dilakukan pada semua tingkatan, fungsi, dan divisi organisasi. Kultur pembelajar mendorong individu dan tim tumbuh dan berkembang melalui kreativitas, tim kerja, perbaikan yang berkelanjutan, dan manajemen diri. Strategi mengacu pada tindakan, taktik, dan metode yang digunakan untuk mencapai visi dan sasaran organisasi. Dalam organisasi pembelajar, strategi ini mendorong dan memaksimalkan pembelajaran yang diperlukan, penyebaran,dan pemanfaatan oleh seluruh departemen, tindakan, dan inisiatif organisasi. Sementara itu, struktur organisasi mencakup konfigurasi unit, departemen dan divisi. Organisasi pembelajar menunjukkan struktur yang sederhana yang meminimalkan pemisahan antara orang dengan proses, sambil memaksimalkan kontak, alur informasi, dan kolaborasi di antara individu dan tim (Marquardt, 1996). 2.



Subsistem Pemberdayaan Orang-orang/Manusia Subsistem ketiga dari organisasi pembelajar adalah pemberdayaan orang-orang/manusia. Marquardt (1996) menyebutkan enam dimensi kunci dari subsistem pemberdayaan orang-orang/manusia yaitu pegawai, manajer,



 EKMA4565/MODUL 5



5.67



pelanggan, supplier, mitra kerja, dan kelompok-kelompok komunitas/ masyarakat yang digambarkan seperti pada Gambar 5.14. Masing-masing kelompok tersebut diberi kuasa dan dimungkinkan untuk belajar.



Gambar 5.14. Subsistem Pemberdayaan Manusia (Marquardt, 1996)



Menurut Marquardt (1996), para pegawai diberi wewenang dan diharapkan untuk belajar, merencanakan kompetensi masa depan mereka, mengambil tindakan dan risiko, dan memecahkan masalah. Para manajer/pemimpin menjalankan tugas-tugas pelatihan, penasihatan, dan pemodelan dengan suatu tanggung jawab utama membangkitkan dan mempertinggi kesempatan pembelajaran bagi orang-orang di sekitar mereka. Para pelanggan berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan, menerima pelatihan, dan dihubungkan dengan pembelajaran organisasi. Para supplier dapat menerima dan memberi kontribusi terhadap instruksi program. Para partner aliansi/mitra kerja dapat berbagi kompetensi dan pengetahuan. Kelompok-kelompok komunitas masyarakat termasuk wakil-wakil ekonomi, pendidikan, dan sosial dapat berbagi dalam menyediakan dan menerima pembelajaran. 3.



Subsistem Pengetahuan Marquardt (1996) menyatakan bahwa pengetahuan menjadi lebih penting untuk organisasi dibanding sumber daya keuangan, menjual posisi, teknologi, atau aset perusahaan lainnya. Pengetahuan dilihat sebagai sumber daya yang



5.68



Manajemen Perubahan 



utama digunakan di dalam penyelenggaraan organisasi. Kultur tradisi organisasi, teknologi, operasi, sistem dan prosedur adalah semua keahlian dan pengetahuan yang didasarkan pada pengetahuan. Organisasi pembelajar yang sukses secara sistematis memadu pengetahuan di seluruh organisasi melalui empat langkah sehingga dapat dengan sukses diterapkan dan digunakan. Subsistem pengetahuan digambarkan seperti Gambar 5.15 berikut.



Gambar 5.15. Subsistem pengetahuan (Marquardt, 1996)



Dimensi kunci dari subsistem pengelolaan pengetahuan adalah penguasaan, penciptaan, penyimpanan, transfer dan penggunaan. Akuisisi (penguasaan) berkenaan dengan pengumpulan informasi dan data yang ada dari dalam dan luar organisasi. Penciptaan melibatkan pengetahuan baru yang diciptakan dalam organisasi melalui wawasan dan pemecahan masalah. Penyimpanan adalah pengkodean dan pemeliharaan pengetahuan berharga organisasi untuk akses yang mudah oleh anggota staf pada suatu waktu dan dari mana pun. Transfer dan penggunaan termasuk mekanikal, elektronik, dan pergerakan interpersonal dari informasi dan pengetahuan, secara sengaja dan tidak sengaja, di seluruh organisasi serta aplikasinya dan kegunaannya oleh para anggota organisasi. 4.



Subsistem Teknologi Sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt (1996), subsistem kelima dari organisasi pembelajar adalah teknologi, yang terdiri dari teknologi informasi, pembelajaran berbasis teknologi, dan kinerja sistem dengan dukungan elektronik atau Electronic Performance Support System (EPSS).



 EKMA4565/MODUL 5



5.69



Subsistem teknologi adalah pendukung, jaringan teknologi yang terintegrasi dan alat informasi yang membolehkan akses dan pertukaran terhadap informasi dan pembelajaran. Hal itu termasuk proses teknik, sistem-sistem, dan struktur untuk kolaborasi, pelatihan, koordinasi, dan keahlian pengetahuan lainnya. Subsistem teknologi dapat digambarkan seperti Gambar 5.16 berikut.



Gambar 5.16. Subsistem teknologi (Marquardt, 1996)



Tiga komponen utama dari subsistem teknologi adalah teknologi informasi, pembelajaran berdasarkan teknologi, dan Electronic Performance Support System (Sistem Pendukung Kinerja berbasis Elektronik – EPSS). a. Teknologi informasi berkenaan dengan teknologi berdasarkan komputer yang gathers, codes, stores, dan transfer informasi lintas organisasi dan lintas dunia. b. Pembelajaran berbasis teknologi yang melibatkan penggunaan video, audio, dan pelatihan multimedia dengan komputer untuk maksud pengiriman dan berbagi pengetahuan dan keahlian. c. Electronic Performance Support System (EPSS) menggunakan data (teks, visual, dan audio) dan dasar pengetahuan untuk menangkap, menyimpan, dan mendistribusikan informasi di seluruh organisasi sehingga dapat membantu para pekerja mencari tingkat kinerja tertinggi mereka dalam waktu secepat mungkin, dengan dukungan personel paling sedikit.



5.70



Manajemen Perubahan 



E. KONDISI YANG DIBUTUHKAN DALAM MEMBANGUN ORGANISASI PEMBELAJAR Kondisi yang dibutuhkan untuk menyukseskan organisasi sebagai organisasi pembelajar antara lain adalah adanya komitmen pimpinan untuk menjadikan pembelajaran sebagai bagian penting dari organisasi dalam meraih daya saing. Selain itu, dimilikinya cetak biru yang jelas mengenai perubahan dan visi yang diinginkan dalam mendorong organisasi menjadi organisasi pembelajar sehingga setiap karyawan merasa nyaman sebagai bagian dari perubahan tersebut. Kemudian diperlukan komitmen kepemimpinan untuk membuat model perubahan yang diinginkan serta komitmen untuk menghilangkan rasa takut organisasi. Organisasi juga membutuhkan tindakan korektif terhadap pimpinan yang menolak perubahan. Organisasi juga memerlukan komitmen senior manajemen untuk memberikan waktu dan sumber daya yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Faktor lainnya adalah sistem manajemen kinerja yang mengaitkan kompensasi dan pencapaian visi yang telah ditetapkan. Kultur organisasi yang mendorong dan memperkenalkan uji coba, berkolaborasi, inovasi, dan paradigma pemikiran baru. Faktor penting terakhir yaitu organisasi juga perlu menetapkan berbagai struktur mekanisme umpan balik dan saluran pembelajaran untuk memaksimalkan penguatan dan peluang pembelajaran. Selain pentingnya mengenali faktor-faktor pendukung yang dibutuhkan oleh organisasi menuju organisasi pembelajar, sejumlah faktor penghambat juga perlu diperhatikan dan diantisipasi. Dilworth (1995) melihat setidaknya ada lima faktor yang menghambat organisasi menuju organisasi pembelajar, yaitu: 1. Kecenderungan untuk memperlakukan pembelajaran sebagai fenomena individu bukan kelompok atau bahkan organisasi, di mana dalam konteks ini Senge (1995) menekankan pentingnya tim pembelajar sebagai keahlian kelompok dalam organisasi pembelajar. 2. Terlalu menekankan pada pelatihan formal, sementara perhatian terhadap pembelajaran informal hanya diberikan sekilas. 3. Memperlakukan kegiatan bisnis dan proses pembelajaran sebagai sesuatu yang terpisah sama sekali. 4. Lingkungan kerja yang enggan mendengar (non-listening). 5. Hambatan yang ditimbulkan karena gaya kepemimpinan, suasana kerja yang tidak saling percaya, dan adanya rasa takut.



 EKMA4565/MODUL 5



5.71



F. ORGANISASI PEMBELAJAR DAN MANAJEMEN PENGETAHUAN Melanjutkan pemikiran Michael Polanyi (1966), Bruce Kogut dan Udo Zander (1992) kemudian memperkenalkan pemikiran yang menyatakan bahwa perubahan kondisi pasar harus dihadapi organisasi dengan menjalankan pengelolaan teknologi yang berbasis prinsip manajemen pengetahuan, baik yang berupa informasi maupun know-how, di mana pengetahuan menjadi sumber daya yang menentukan keunggulan daya saing perusahaan. Pemikiran ini terus dikembangkan oleh berbagai pakar yang bersumber dari riset-riset aplikatif pada berbagai industri dan sektor bisnis. Organisasi yang memiliki nilai-nilai pembelajaran organisasi (share vison, commitment to learning dan open -mindedness) telah terbukti lebih teruji bertahan di tengah-tengah kompetisi yang ketat. Selanjutnya, Nonaka dan Takeuchi (1995) memberikan batasan bahwa manajemen pengetahuan didefinisikan sebagai: "proses penciptaan pengetahuan, teknologi dan sistem baru secara kontinu, penyebaran secara luas melalui organisasi dan mewujudkannya dalam bentuk produk atau jasa baru dengan cepat, serta membuat perubahan dalam organisasi". Keduanya membagi pengetahuan menjadi dua yaitu: 1. pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), diekspresikan dalam bentuk kata-kata, nomor, bunyi, data, rumus, visual, audio visual, spesifikasi produk, atau bentuk manual. Pengetahuan ini dapat ditransfer secara formal dan sistematis kepada individu dan kelompok; dan 2 . pengetahuan implisit (tacit knowledge), tidak mudah dilihat dan diekspresikan. Tacit knowledge cenderung lebih bersifat personal, sulit untuk diformalkan dan dikomunikasikan atau disebarkan kepada yang lain. Intuisi subyektif dan firasat merupakan bentuk tacit knowledge. Pengetahuan ini termasuk hal-hal yang mendasar dalam diri seseorang seperti visi, nilai-nilai yang dianut, kecerdasan emosi, pengalaman dan sejenisnya. Suatu organisasi dikatakan menjalankan manajemen pengetahuan dengan mengkonversi pengetahuan implisit menjadi eksplisit dan begitu sebaliknya. Selanjutnya Nonaka &Takeuchi (1995) mengidentifikasi empat gaya konversi pengetahuan yang disingkat SECT, yaitu:



5.72



1.



2.



3.



4.



Manajemen Perubahan 



socialization (sosialisasi) dari tacit menjadi tacit; merupakan pembuatan dan penyebaran tacit knowledge melalui pengalaman langsung dari individu ke individu; externalization (ekstemalisasi) dari tacit menjadi eksplisit; merupakan artikulasi tacit knowledge melalui dialog dan refleksi, yaitu dari individu ke kelompok; combination (kombinasi) dari eksplisit ke eksplisit, yang merupakan sistematika dan aplikasi pengetahuan eksplisit dan informasi, dari kelompok ke organisasi; dan internalization (intemalisasi), dari eksplisit menjadi tacit; yang mempelajari dan memenuhi praktek tacit knowledge yang barn, dari organisasi ke individu.



Dengan kata lain, menerapkan manajemen pengetahuan yang merupakan inti dari proses membangun knowledge enterprise adalah proses dinamis yang membutuhkan kerja cerdas para eksekutif organisasi. Proses mewujudkan knowledge enterprise bukanlah proses yang instan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), pembelajaran organisasi dapat dipahami sebagai proses-proses untuk menangkap dan mengubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit dan/atau untuk meraih pengetahuan eksplisit baru. Pengetahuan tacit amat penting karena ketika perusahaan menghadapi masalah dan tantangan, pengetahuan itu tak bisa begitu saja muncul. Lazimnya hal itu diawali dari staf perusahaan yang mencoba meneliti masalah dan merancang solusinya. Biasanya solusi ini belum bersifat utuh dan matang. Solusi ini representasi dari pengetahuan tacit. Kita butuh suatu proses untuk `mengumpulkan' pengetahuan yang muncul ini. Solusi yang kita adopsi mungkin juga membutuhkan pengetahuan baru katakanlah teknologi baru. Maka, kita akan mencari pengetahuan eksplisit baru. Dengan melakukan hal-hal tersebut, yaitu menangkap dan mengubah pengetahuan tacit dan eksplisit untuk diintegrasikan ke dalam sistem bisnis (ke dalam strategi, prosedur struktur, portfolio produk dan sebagainya), maka terbantu proses pergeseran 'mind-set' dengan cara menambahkan kemungkinan-kemungkinan baru. Dalam hal ini, pemikirannya adalah bahwa perubahan 'mind-set' kemungkinan besar tidak akan terjadi jika dilakukan dengan cara menantang gagasan secara langsung. Namun, hal ini akan tercipta dengan menambahkan gagasan-gagasan baru dan karena itu, menambah kemungkinan-kemungkinan baru.



 EKMA4565/MODUL 5



5.73



G. PERUBAHAN PERSEPSI ATAS PERUSAHAAN Para pimpinan organisasi kini dituntut membangun nilai-nilai organisasional yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran terus-menerus di dalam organisasi masing-masing. Proses pembelajaran organisasional ini merupakan esensi dari manajemen pengetahuan yang telah teruji pada berbagai kelas dunia. Membangun knowledge enterprise adalah sebuah visi dan sekaligus komitmen. Sebagai sebuah visi, knowledge enterprise sejatinya diterjemahkan ke dalam strategi dan tindakan-tindakan yang mengarah pada pencapaian visi tersebut. Seorang futurolog, Joel Arthur Barker menyatakan bahwa vision is dream and actions. Knowledge enterprise melekat pada manusia-manusia di dalam organisasi, nilai-nilai dan budaya organisasi, infrastruktur serta sistem yang menunjangnya. Keempatnya menjadi pilarpilar yang menyangga kekuatan organisasi yang terus tumbuh pada lingkungan organisasi yang terus bergerak dinamis. Membangun knowledge enterprise merupakan esensi dari manajemen perubahan (change management), yang kini diserukan oleh banyak pemimpin bisnis di negeri mi. Persepsi tentang bagaimana perusahaan dideskripsikan, dirancang dan dikelola telah mengalami pergeseran karena desakan teknologi, tuntutan pasar dan kompetisi. Lebih dari itu, sebagian perubahan kini diasosiasikan dengan dampak perubahan cepat yang bersifat diskontinyu, kecepatan perubahan dan kompleksitas. Belum lagi, isu-isu seperti pengelolaan diversitas, dampak lintas budaya dan gender, yang kesemuanya itu memunculkan tantangan-tantangan baru bagi perumusan-ulang organisasi. Kesemua itu memunculkan tuntutan baru untuk `belajar cara belajar' (learn how to learn). Argyris dan Schon (1996) membagi dua jenis pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi. Single-loop learning adalah pembelajaran yang membawa ke arah peningkatan kinerja organisasi dengan cara menemukan dan memperbaiki kesalahan berdasarkan pada kumpulan norma-norma dan nilai-nilai, atau suatu teori yang berlaku. Dalam konteks ini, single-loop learning, adalah sesuai dengan rutinitas, pekerjaan yang berulang, di mana sasaran sudah jelas dan telah ditentukan untuk tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan strategis. Single-loop learning adalah penetapan secara langsung tujuan dan sasaran pada suatu titik di mana sasaran tersebut terukur dan berorientasi



5.74



Manajemen Perubahan 



pada hasil (outcome); pekerjaan (kegiatan, program, kebijakan) mengarah pada sasaran; dan mengukur hasilnya dengan memperbandingkan capaian kinerja (performance results) dengan kinerja yang direncanakan (performance plan). Proses perbandingan tersebut mendorong manajer untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, meneliti faktor dan proses kinerja yang menjadi penyebab dan bagaimana memperbaiki/merubahnya. Singkatnya, single-loop learning memenuhi organisasi untuk meyakinkan hal yang sama lebih baik. Sejarah manajemen mencatat bahwa single-loop learning telah lama dipraktekkan secara implisit di dalam organisasi, misalnya perhatian pada perbaikan inkremental terhadap produk, pelayanan, dan teknologi, yang kerapkali berpijak pada kesuksesan masa lalu. Para karyawan bekerja mengikuti prosedur baku, perilaku rutin, dan menghindari risiko perbedaan opini, eksperimentasi, dan kegagalan. Organisasi melakukan perubahan tetapi dalam skala yang sempit, karena lebih terpaku pada norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Prosedur kerja diterima dan dikerjakan sebagaimana adanya dan tidak pernah mempertentangkan mengapa harus memakai prosedur seperti itu. Prosedur kerja yang berlaku jarang atau tidak pernah dipertanyakan, artinya secara konseptual sudah melekat dengan rutinitas (kebiasaan). Double-Loop learning adalah pembelajaran yang mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai theory-in-use, seperti asumsi dan strategi. Asumsi dan strategi berubah secara bersamaan dengan atau sebagai suatu konsekuensi perubahan di dalam nilai-nilai (Argyris dan Schon, 1996). DoubleLoop learning memiliki aspek destruktif yang selalu mempertanyakan normanorma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Norma, strategi, dan sasaran yang berlaku perlu digali lebih dalam lagi, dipertanyakan kembali, dan diperbaiki untuk menciptakan kinerja tinggi organisasi. Double-loop learning terjadi ketika para anggota organisasi menguji dan merubah asumsi dasar yang menyokong misi dan kebijakan inti mereka. Dengan demikian menjadi lebih relevan bagi survival organisasi dibanding hanya efisiensi jangka pendek. Pembelajaran ini menyiratkan suatu keinginan untuk menengok kembali misi, sasaran, dan strategi organisasi secara reguler. Jadi bisa disimpulkan bahwa Pembelajaran Satu Putaran (single loop/first order):



 EKMA4565/MODUL 5



5.75



"Proses belajar untuk meningkatkan kapasitas organisasi untuk mencapai tujuan yang jelas - bersifat rutin & belajar prilaku" "Memperoleh hasil belajar tanpa terjadi perubahan pada asumsi-asumsi yang mendasarinya".



Sementara pada Pembelajaran Dua Putaran (double-loop/second order): "Termasuk di dalamnya untuk mengevaluasi ulang tujuan organisasi termasuk nilai-nilai dan kepercayaan dasarnya — melibatkan perubahan budaya organisasi" Literatur pembelajaran organisasi menekankan pentingnya budaya organisasi untuk pembelajaran. Karakteristik suatu budaya pembelajaran meliputi pemberdayaan karyawan yang tinggi, partisipasi, dan keleluasaan (Argyris dan Schon, 1996). Beberapa cendekiawan juga sudah mengenali aspek spesifik suatu kultur organisasi pembelajar seperti: entrepreneurship and risk taking, kepemimpinan fasilitatif, struktur organik, proses perencanaan strategik yang di desentralisasi (lihat: Garavan,1997) . Kesemuanya itu bertujuan untuk lebih meningkatkan interaksi yang positif di antara karyawan. Alhasil, cara-cara baru dalam mendeskripsikan organisasi kini mulai menggantikan pendekatan yang lebih kuno. Menurut Peter Senge, kita perlu berpikir lebih cermat tentang apa yang dimaksud dengan pembelajaran dan organisasi, di mana para manajer ditantang untuk mengenali bahwa "mindset" merupakan aspek penting bagi pembelajaran. Kesuksesan perusahaan membutuhkan kemampuan kognitif yang tinggi atau, menurut Argyris dan Schon (1974), kapasitas pembelajaran dua putaran (double loop learning), yaitu kemampuan untuk mencairkan kebekuan, untuk menantang norma-norma, kebijakan, sasaran, konfigurasi sumber daya dan arsitektur perusahaan yang telah mapan. Dewasa ini bisa dikatakan bahwa kita berada di tengah-tengah pergeseran 'mind-set' (atau paradigma) menyangkut aktivitas-aktivitas ekonomi yang kini lebih bertumpu pada jaringan (network) sebagai sumber pembelajaran dan kerja sama yang mengandalkan proses dan pembelajaran melalui evolusi serta tidak lagi bergantung pada kepastian sebelum bertindak dan lebih bertumpu pada tindakan sebagai cara memperoleh kepastian. Yang bisa kita simpulkan di sini, bahwa ketika sebuah perusahaan menghadapi kompleksitas lingkungan yang semakin rumit (yang mungkin didorong oleh perubahan konstelasi persaingan dan teknologi), maka



5.76



Manajemen Perubahan 



timbullah kebutuhan untuk berpikir-ulang. Hal ini berimplikasi pada pergeseran "mind-set" sebagaimana telah dibahas di atas Bagaimana pergeseran 'mind-set' bisa terjadi? Menurut Hurst (2002), saat dihadapkan dengan kompleksitas, sebuah organisasi yang berorientasi kinerja (performance organization) perlu menjelma menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) jika ingin mewujudkan perubahan. Untuk tujuan ini, penekanan pada pengakuan, jaringan dan tim akan menggantikan tightly defined task, sistem kendali dan struktur yang kaku. Menurut Hurst, kondisi yang diperlukan antara lain adalah 'crisis yaitu kegagalan yang nyata dari status quo yang tidak bisa dirasionalisasi, disembunyikan ataupun dibantah lagi. Dengan memadukan gagasan-gagasan di atas, sejumlah hal penting bisa dikemukakan. Pertama, jika sebuah organisasi ingin meraup manfaat jangka panjang dari pembelajaran, yang pasti akan diperoleh melalui perubahan, maka dibutuhkan proses yang tepat. Kita memerlukan sistem konvergen yang dirancang sedemikian rupa hingga organisasi mampu menangkap dan menciptakan pengetahuan. Diperlukan konvergensi kapasitas infrastruktur IT untuk menangkap pengetahuan, struktur manajemen dan desain sistem yang fokus mendorong pembelajaran dan proses pengembangan organisasi yang bertujuan mendorong pembelajaran dan menerapkannya pada lingkungan baru. Kesemua ini perlu digerakkan oleh kepemimpinan, visi, sistem imbalan dan 'mental map' yang sesuai. Maka dalam hal ini, dibutuhkan proses yang dapat memfasilitasi penalaran produktif' (productive reasoning). Pada dasarnya, hal ini merupakan upaya kognitif yang sulit, di dalamnya kita mesti mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi, menata dan menganalisa data, menantang status quo, menyingkapkan pengetahuan tacit dan lalu merubahnya menjadi pengetahuan eksplisit, membawa pengetahuan dan pemikiran baru melalui konsekuensi tak terencana dari sistem, keputusan, status quo, gagasan baru dan seterusnya. Teknik-teknik baru dalam bidang pemodelan kognitif bisa membantu dalam melatih kemampuan kognitif ini namun inti masalahnya berpusat pada isu bagaimana mengatasi penolakan organisasi terhadap `penalaran produktif Dalam hal ini kita membutuhkan infrastruktur IT untuk menangkap pembelajaran, misalnya: untuk menyusun basis-data profil dan keluhan konsumen sebagai sumber pengembangan produk. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini adalah bisnis produk peralatan rumah tangga dan



5.77



 EKMA4565/MODUL 5



produk kimia Kao Japlin yang mampu menangani 250 panggilan pelanggannya per harinya dan kini memiliki lebih dari 350.000 pertanyaan/ keluhan pelanggan yang tersimpan di dalam sistem. Data ini bisa dianalisa dan dipanggil dengan menggunakan 8.000 kata kunci berupa nama pelanggan, produk, divisi, tanggal, daerah geografis konsumen. H. PENGEMBANGAN KOMPETENSI DALAM MENANGANI PERUBAHAN Kami menggunakan sebuah model yang digunakan secara luas dalam literatur pelatihan berdasarkan tahap-tahap pengembangan kompetensi. Di setiap situasi perubahan, kita bergerak dari unconscious incompetence menuju unconscious competence melalui conscious incompetence dan lalu ke conscious competence (Gambar 5.17). Unconscious competence



Manajemen kinerja Organisasi pembelajar Pengembangan pribadi



Lokakarya perubahan Pelatihan ketrampilan Survey staff Survey pelanggan Benchmarking



Briefing Penelitian diagnostic Satuan tugas, review



Developing Mastery



Conscious competence Sarana pembelajaran



Skill building



Conscious incompetence



Unconscious incompetencec e



Awareness rising



Gambar 5.17. Pengembangan kompetensi dalam perubahan



Secara analogis, hal yang sama kita jalani saat kita belajar mengemudi. proses pergerakan dari ketidakmampuan bawah sadar (di mana kita tidak menyadari ketidakmampuan atau apa makna kata itu) pada keadaan ketidakmampuan-yang-disadari saat pertama kali kita duduk di belakang kemudi. Begitu kita menyadari, kita langsung paham akan ketidakmampuan kita, karena itu disebut sebagai proses munculnya kesadaran. Dalam situasi



5.78



Manajemen Perubahan 



perubahan, ini bisa terjadi melalui proses komunikasi, kunjungan dan sebagainya, namun juga kerap muncul di saat timbulnya tuntutan baru pelanggan atau sumber-sumber kompetitif yang tak segera dapat dipenuhi. Hal terakhir biasanya disadari dari studi diagnostik, tinjauan internal, dsb, yang dilalukan konsultan (eksternal ataupun internal), satuan tugas dan sebagainya. Proses berikutnya merupakan proses pembangunan ketrampilan di mana kita bergerak dari ketidakmampuan-yang-disadari menuju ke kompetensiyang-disadari Di sini kita memasuki tahap pertama implementasi. Keterampilan dalam sistem, prosedur baru dikembangkan dan dilatih. Sarana pembelajaran mencakup lokakarya, pelatihan karyawan, survei dan sebagainya. Pada tahap ini, kesadaran akan proses mencapai tingkat yang tinggi dan pengambilan risiko pribadi berada pada puncaknya. Dibutuhkan dukungan manajemen untuk mengambil risiko lantaran proses terpenting dalam tahap ini adalah eksperimentasi. Upaya-upaya awal untuk mulai mencoba-coba pendekatan baru, memungkinkan kita untuk mengidentifikasi modifikasi yang lazimnya dibutuhkan sebelum penerapannya secara efektif. Di tahap ini, berlangsung proses pembelajaran individual mencapai puncaknya sehingga jadi saat yang tepat untuk memaksimalkan pembelajaran organisasi. Namun demikian, seberapa seringkah kita mesti mencoba menarik pelajaran dari hasil coba-coba perubahan awal dan lokakarya perubahan agar supaya praktek terbaik baru ini dapat ditransfer secara sistematis? Proses yang terakhir merupakan proses pengembangan keahlian melalui praktek lama. Di sini sarana pembelajarannya adalah sistem manajemen kinerja dan mencakup perhatian pada pengembangan personal dan pembelajaran organisasi. Pada tahap ini, kompetensi begitu sering dipraktekkan sehingga tak perlu lagi dipikirkan. Kompetensi telah melekat pada perusahaan dan menjadi bagian tak terpisahkan. Maka, pembelajaran lebih lanjut akan menuntut adanya perhatian khusus pada sistem manajemen kinerja (penggunaan balanced scorecard, pendekatan nilai tambah, penilaian kinerja dan sebagainya). Dalam tahap ini, ketika keunggulan dalam kinerja telah mampu diwujudkan, kecepatan pembelajaran akan menurun. Maka proses baru perlu diulang lagi.



 EKMA4565/MODUL 5



5.79



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apa perbedaan antara pembelajaran organisasional dengan organisasi pembelajar? 2) Jelaskan secara singkat tentang shared vision sebagai salah satu faktor yang harus diwujudkan dalam organisasi pembelajar! 3) Apa yang Anda ketahui tentang Double-Loop learning? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Organizational learning biasanya diterjemahkan menjadi pembelajaran organisasional atau pembelajaran dalam organisasi, sedangkan learning organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar. Pembelajaran organisasional penekanannya pada aspek pembelajaran yakni proses pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi, sedangkan learning organization menekankan pada organisasi tempat pembelajaran tersebut berlangsung. Untuk lebih jelasnya silakan Anda membaca pada halaman 5.51 sampai dengan halaman 5.57. 2) Salah satu faktor yang harus diwujudkan oleh organisasi pembelajar adalah shared vision (Membangun visi bersama): ini menyangkut bagaimana setiap orang berbagi visi bersama tentang masa depan. Kepemimpinan merupakan kunci dalam menciptakan dan mengkomunikasikan visi tersebut. Namun, Senge memandang kepemimpinan lebih sebagai yang bertanggung jawab atas penciptaan struktur dan aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan total seseorang. Pemimpin menciptakan visi namun rela membiarkan visi tersebut dirumuskan-ulang oleh orang lain. Untuk lebih lengkapnya pengetahuan Anda, dapat Anda baca pada halaman 5.62 dan 5.63. 3) Double-Loop learning adalah pembelajaran yang mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai theory-in-use, seperti asumsi dan strategi. Asumsi dan strategi berubah secara bersamaan dengan atau sebagai suatu konsekuensi perubahan di dalam nilai-nilai (Argyris dan Schon, 1996). Double-Loop learning memiliki aspek destruktif yang selalu mempertanyakan norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Norma, strategi, dan sasaran yang berlaku perlu digali lebih



5.80



Manajemen Perubahan 



dalam lagi, dipertanyakan kembali, dan diperbaiki untuk menciptakan kinerja tinggi organisasi. R A NG KU M AN Organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terencana dan terus menerus memfasilitasi anggotanya agar berkembang dan mentransformasi diri dalam usaha meningkatkan kinerja sesuai dengan kebutuhan organisasi. Saat ini ada banyak pendapat yang menyamakan antara organizational learning dan learning organization, hal itu merupakan salah kaprah. Untuk menghindari kerancuan definisi seperti tersebut di atas, klarifikasi tentang pengertian masing-masing istilah sangat penting dikedepankan. Organizational learning diterjemahkan sebagai pembelajaran organisasional atau pembelajaran dalam organisasi di mana lebih menekankan pada aspek pembelajaran yakni proses pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan learning organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar menekankan pada organisasi tempat pembelajaran tersebut berlangsung. Untuk menjadi organisasi pembelajar yang baik, ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi, seperti yang dikemukakan oleh Schein (1985) dan Marquardt (1996), paparannya dapat Anda cermati pada halaman 5.58 dan 5.59. Selain berkarakteristik, untuk dapat mewujudkan organisasi pembelajar ada lima faktor disiplin pembelajaran yang harus dimiliki yaitu: system thinking, personal mastery, mental model, share vision dan team learning. Bahasan tentang organisasi pembelajar juga tidak luput dari pembahasan tentang subsistem pembelajaran, organisasi pembelajar dan manajemen pengetahuan, perubahan persepsi atas perusahaan, dan bahasan terakhir adalah tentang pengembangan kompetensi dalam menangani perubahan. TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Organisasi yang secara terencana dan terus menerus memfasilitasi anggotanya agar berkembang dan mentransformasi diri dalam usaha meningkatkan kinerja sesuai dengan kebutuhan organisasi adalah definisi dari .... A. manajemen pembelajaran B. manajemen kinerja



 EKMA4565/MODUL 5



5.81



C. pembelajaran organisasi D. organisasi pembelajar 2) Salah satu karakteristik organisasi pembelajar yang dikemukakan oleh Marquardt adalah .... A. pembelajaran dilakukan secara parsial B. pembelajaran dilakukan oleh organisasi secara terus menerus C. anggota organisasi tidak merasakan pentingnya pembelajaran D. iklim organisasi tidak berpengaruh banyak proses pembelajaran 3) Di bawah ini adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh organisasi pembelajar agar efektif dalam pelaksanaannya, kecuali .... A. individual learning B. system thinking C. personal master D. share vision 4) Nonaka dan Takeuchi membagi pengetahuan menjadi dua bagian, pengetahuan yang bersifat personal, sulit diformulasikan dan dikomunikasikan adalah jenis pengetahuan .... A. explicit B. Implicit C. tacit D. formal 5) Single loop learning adalah pembelajaran di dalam organisasi yang bersifat .... A. merubah mind set sumber daya manusia B. meningkatkan kinerja organisasi dengan cara menemukan dan memperbaiki sistem yang digunakan oleh organisasi C. merubah pengetahuan sumber daya manusia organisasi yang bersifat nilai-nilai theory in use D. meningkatkan pengetahuan terhadap visi, misi dan strategi perusahaan



5.82



Manajemen Perubahan 



Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



5.83



 EKMA4565/MODUL 5



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) D. 2) A. 3) A. 4) C. 5) B.



Tes Formatif 2 1) D. 2) B. 3) A. 4) C. 5) B.



5.84



Manajemen Perubahan 



Daftar Pustaka Argyris, C. dan Schon, D.A. (1978). Organizational Learning: A Theory of Action Perspective, Reading, Mass: Addison Wesley Publishing Company. Argyris, C., & Scho¨n, D. A. (1996). Organizational learning II: Theory, method and practice. Reading, MA: Addison-Wesley. Baker, Joel. (cited in Partners in Print Vol. 3, No. 6, Nov./Dec., 1991). Barney, J. B. (2007). Gaining and Sustaining Competitive Advantage, 3rd edition, Pearson Prentice Hall. Beer, M, & Spector, B. (1993). Organizational Diagnosis: Its Rolein Organizational Learning, Journal of Counselling & Development, 71, pp. 642-650. Bradford, D.L. & Burke, W.W. (eds.) (2005). Reinventing Organization Development: Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San Francisco, CA: Pfeffer. Bullock, R.J. & Batten, D. (1985). It’s Just a Phase We’re Going Through: A Review and Synthesis of OD Phase, Group & Organization Studies, 10 (4), pp. 383-412. Burke, W.W. (1997). New Agenda for Organization Development, Organizational Dynamics, 26 (1), pp. 7-20. Burke, W.W. & Bradford, D.L. (2005). The Crisis in OD. In Bradford, D.L. & Burke, W.W. (eds.). Reinventing Organization Development: Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San Francisco, CA: Pfeffer, pp. 7-14. Burke, W.W. & Kitwin, G.H. (1992). A Causal Model of Organizational Performance and Change, Journal of Management, 18 (3), pp. 523-545.



 EKMA4565/MODUL 5



5.85



Cummings, T.G. & Worley, C.G. (2005). Organization Development and Change, 8th edition, Mason, Ohio: South-Western. Dilworth, R. (1995). The DNA of the Learning Organization, in Chawla, S. & Renesch, J. (eds.) Learning Organization: Developing Culture for Tomorrow‘s Workplace, New York: Productivity Press, pp. 243-256. Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1993). The Strategic Management of Corporate Change, Human Relations, 46 (8), pp. 905 – 1110. Drucker, P. (1998). The Coming of New organization, in Drucker, P. & Garvin, D.A. (eds.) Harvard Business Review on Knowledge Management, Boston, Mass.: Harvard Business School Press, pp.1-19. Egan, T.M. (2002). Organization Development: An Examination of Definitions and Dependent Variables, Organization Development Journal, 20 (2), pp. 59-70. French, W.L. & Bell, C.H. (1995). Organgaization Development: Behavioral Science Interventions for Organizational Improvement, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Friedlander, F. & Brown, L.D. (1974). Organization Development, Annual Review of Psychology, 25, pp. 323-341. Garavan, T. (1997). The learning organization: a review and evaluation. The Learning Organization, 4 (1), pp. 18-29. Garvin, D.A. (1993), ―Building a Learning Organization‖, Harvard Business Review, July-August, pp. 78-91. Greiner, L. (1972). Red Flag in Organization Development, Business Horizons, pp. 17-24.



5.86



Manajemen Perubahan 



Greiner, l. & Cummings, T.G. (2006). OD: want More Live than Dead! In Bradford, D.L. & Burke, W.W. (eds.). Reinventing Organization Development: Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San Francisco, CA: Pfeffer, pp. 87-112. Grieves, J. (2000). Images of Change: The new Organizational Development, Journal of Management Development, 19 (5), pp. 345-447. Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1991). Corporate Imagination and Expeditionary Marketing, Harvard Business Review, July-August, pp. 81-92. Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1994). Competing for the Future, Boston, Mass.: Harvard Business School Press. Harvey, D.F. & Brown, D.R. (1996). Experimental Approach to Organization Development, 5th edition, Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall International Edition. Hurst, D.K. (2002), Crisis and Renewal: Meeting the Challenge of Organizational Change, Boston, Mass.: Harvard Business School Press. Huse, E. (1980). Organizational Development and Change, Minneeapolis/St. Paul: West. Kogut, B. & Zander, U. (1993). Knowledge of the firm and the evolutionary theory of the multinational corporation, Journal of International Business Studies. 24 (4); pp. 625-645. Leibold, M., Probst, G, & Gilbert, M. (2005). Strategic Management in the Knowledge Economy: New Approach and Business Application, Wiley. Lundberg, C. (1995). Learning in and by Organizations: Three Conceptual Issues, International Journal of Organizational Analysis, 3 (1), pp. 10-23



 EKMA4565/MODUL 5



5.87



Marquardt, M. (1996). Building the Learning Organization, A systems Approach to Quantum Improvement and Global Success. New York: McGraw-Hill. Marquardt, M. & Reynolds, A. (1994). Global Learning Organization, New York: Irwin Professional Pub. Marqurdt, M. Kearsley, G. (1999). Technology-Based Learning: Maximizing Human Performance and Corporate Success, Boca Raton, Florida: CRC Press. Megginson, D & Peddler, M. (1992). Self-Development: A Facilitator’ Gauide, Maidenhead, McGraw Hill. McLean, G.N. (2006). Organizationa Development: Principles, Processes, Performance, San Francisco, CA: Berret-Kohler Publishers, Inc. Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company, Oxford: Oxford University Press. Ohmae, K. (1995). The End of Nation State: The Rise of Regional Economies, Free Press. Ờrstenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and Learning Organization, The Learning Organization, 8 (3), pp. 125-133. Pedler, M., Burgoyne, J. and Boydell, T. (1991), The Learning Company: A Strategy for Sustainable Development, 2nd ed., London: McGraw-Hill. Senge, P.M. (1990), The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, New York, NY: Currency Doubleday. Senge, P.M. (2003), ―Taking personal change seriously: the impact of organizational learning on management practice‖, The Academy of Management Executive, Vol. 17, pp. 47-50.



5.88



Manajemen Perubahan 



Stace, D. & Dunphy, D.C. (1994), Beyond the Boundaries: Leading and Recreating the Successful Enterprise, McGraw-Hill. Takeuchi, H. and I. Nonaka, Hitotsubashi on Knowledge Management. 2004, Singapore: John Wiley & Sons (Asia). Tjakraatmaja, J.H. & Lantu, D.C. (2006). Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Bandung: SBM-ITB. Wang, C.L. & Ahmed, P.K. (2003). Organisational learning: A critical review, The Learning Organization. 10(1), pp. 8-17. Waterman, R.H., Jr., Peters, T.J., & Phillips, J.R. (1980). Structure is not Organization, Business Horizons, June, pp. 14-26. Weisbord, M.R. (1976). Organizational Diagnosis: Six Places to Look for Trouble with or without Theory, Group & Organization Studies, 1, pp. 430-447. Worley, C.G. & Feyerherm, A.E. (2003). Reflections of the Future of Organiztion Development, The Journal of Applied Behavioral Science, 39 (1), pp. 97-115. Yeo, R. (2003) Linking organisational learning to organisational performance and success: Singapore case studies, Leadership & Organization Development Journal.. Vol. 24, Iss. 1/2; p. 70-83. Yeo, R. (2005). Revisiting the roots of learning organization: A synthesis of the learning organization literature, The Learning Organization. 12 (4), pp, 368-382.



Modul 6



Manajemen Pengetahuan dan Inovasi Organisasi Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.



PEN D A HU L UA N



S



ecara panjang lebar modul satu telah menguraikan terjadinya pergeseran tata kehidupan manusia yang bersifat struktural. Oleh Toffler (1980) pergeseran tersebut dibagi ke dalam tiga gelombang perubahan yaitu era pertanian (agrarian era), era industri (industrial era) dan era pasca industri atau sering dikenal pula sebagai era informasi (post industrial, atau information era). Pergeseran dari satu gelombang ke gelombang yang lain selalu ditandai oleh perubahan atau tepatnya lompatan besar (quantum leap) yang menyebabkan karakteristik pada satu era berbeda secara signifikan dengan karakteristik era lainnya. Satu hal yang juga patut mendapat perhatian adalah setiap menjelang terjadinya perubahan-perubahan besar tersebut selalu diawali oleh inovasi-inovasi yang pada mulanya hanya dilakukan sebagian kecil kelompok masyarakat tertentu (Lenski & Lenski, 1987). Sudah hampir pasti inovasi tersebut kemudian ditiru, merembet dan dikembangkan kelompok-kelompok masyarakat lain menjadi inovasi yang lebih komprehensif, atau dengan kata lain inovasi secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh proses pembelajaran dan penciptaan pengetahuan baru yang hasil akhirnya adalah inovasi-inovasi baru dan pengetahuan baru yang lebih baik. Inovasi dan pengetahuan yang terus bergulir secara gradual ini pada akhirnya menyebabkan perubahan dalam pengertian positif yakni progres dan kemajuan pada sekelompok masyarakat tertentu yang diikuti oleh progres dan kemajuan pada kelompok masyarakat lain. Uraian di atas memberi gambaran sederhana bahwa inovasi, pengetahuan dan perubahan selalu berjalan seiring. Ketiganya hampir tidak bisa dipisahkan sehingga kita sering kali mengalami kesulitan untuk menentukan mana yang menjadi pemicu dan mana yang menjadi dampak dari ketiga hubungan tersebut. Bisa dikatakan bahwa ketiganya memiliki hubungan



6.2



Manajemen Perubahan 



timbal balik (resiprokal) yang saling mempengaruhi seperti tampak pada Gambar 6.1 berikut ini. pengetahuan



perubahan inovasi Gambar 6.1. Hubungan resiprokal antara pengetahuan, inovasi dan perubahan



Memang agak sulit untuk melihat sebab akibat dari ketiga hubungan tersebut. Namun bila kita mencermati simpulan Baloch & Karim (2007) yang menyatakan bahwa komoditas kunci pada era informasi adalah data, maka bisa disimpulkan bahwa pengetahuan dewasa ini merupakan faktor kunci yang menjadi pemicu timbulnya inovasi dan perubahan. Logikanya adalah data merupakan sumber informasi dan selanjutnya jika informasi tersebut dipecah-pecah dan digabungkan dengan informasi lain akan menghasilkan pengetahuan (Bierly III, Kessler & Christensen, 2000). Sesuai dengan simpulan Baloch & Karim maka bisa diartikan pula bahwa dewasa ini pengetahuan merupakan komoditas kunci dan menempati peran penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan dengan dukungan teknologi informasi yang telah berkembang begitu pesat pengetahuan tidak lagi hanya tersimpan pada individu-individu tertentu seperti yang terjadi pada era pertanian tetapi tersimpan dalam bentuk digital yang sewaktu-waktu bisa diakses oleh siapapun yang membutuhkannya. Dengan demikian ketika produksi pengetahuan semakin tinggi dan menyebar ke segala penjuru, konsekuensi logisnya adalah inovasi akan tercipta di mana-mana sehingga perubahan pun tidak bisa dihindarkan. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, situasi ini sekali lagi akan terus bergulir dengan intensitas yang lebih cepat sampai mencapai titik keseimbangan baru yang tidak pernah berhenti. Dalam era informasi seperti sekarang ini dengan demikian pengetahuan menjadi komoditas penting, sumber kekuatan dan daya saing bagi siapapun



 EKMA4565/MODUL 6



6.3



yang menguasainya. Negara yang mengusai pengetahuan lebih memiliki daya saing ketimbang negara yang tidak memiliki pengetahuan. Demikian juga organisasi atau perusahaan yang memiliki pengetahuan lebih akan lebih mudah bersaing. Oleh karena itu sangat wajar jika upaya untuk mengembangkan dan menguasai pengetahuan terus dilakukan. Jika pada awalnya hanya institusi pendidikan yang memonopoli pengembangan pengetahuan, dewasa ini institusi-institusi lain termasuk institusi bisnis tidak ketinggalan juga ikut mengembangkannya. Munculnya istilah knowledge based economy tidak lepas dari peran institusi bisnis dalam mengembangkan pengetahuan. Dampak lanjutannya adalah perusahaan tidak semata-mata dianggap sebagai institusi keuangan tetapi juga sebagai institusi pengetahuan. Di sini pengetahuan dikelola agar perusahaan tidak kehilangan pengetahuan khususnya saat terjadi perubahan radikal (Scalzo, 2006) mengingat berkembangnya pengetahuan sangat potensial menyebabkan terjadinya inovasi-inovasi baru dan perubahan radikal. Berdasarkan paparan di atas, modul terakhir dalam rangkaian bahasan manajemen perubahan akan difokuskan pada dua topik yang latar belakangnya telah diuraikan di muka yaitu knowledge management dan inovasi organisasi. Di satu sisi Chen (2007; 2008) mengatakan bahwa perubahan dalam perspektif makro memiliki keterkaitan dengan pengembangan pengetahuan; sementara King & Anderson (2002) menegaskan adanya hubungan resiprokal – hubungan timbal balik antara perubahan dan inovasi di mana perubahan bisa memicu timbulnya inovasi dan sebaliknya inovasi bisa menyebabkan munculnya perubahan. Di sisi lain Chang & Lee (2008) menjelaskan adanya keterkaitan antara akumulasi pengetahuan dengan inovasi. Ketiga paparan ini sekali lagi menegaskan adanya hubungan resiprokal antara pengetahuan, inovasi dan perubahan seperti dipaparkan pada Gambar 6.1. Karena itulah Modul 6 akan membahas manajemen pengetahuan dan inovasi organisasi sebagai bagian dari bahasan manajemen perubahan. Bahasan ini akan dibagi dua, yaitu KB 1 membahas manajemen pengetahuan dan KB 2 membahas inovasi organisasi. Setelah selesai mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu: 1. memahami pengertian manajemen pengetahuan (knowledge management); 2. memahami pengertian inovasi organisasi; 3. menjelaskan hubungan antara data, informasi, pengetahuan dan krerifan;



6.4



4. 5. 6. 7. 8.



Manajemen Perubahan 



menjelaskan komponen-komponen yang dapat menciptakan nilai tambah perusahaan; menjelaskan sinergi dari tiga komponen penciptaan nilai tambah perusahaan; menjelaskan pengertian komponen, tipologi, dan manajemen kreativitas; menjelaskan perbedaan antara invensi, inovasi dan adopsi; menjelaskan karakteristik organisasi inovatif.



6.5



 EKMA4565/MODUL 6



Kegiatan Belajar 1



Knowledge Management A. MEMASUKI ERA INFORMASI DAN PENGETAHUAN Dewasa ini kita hidup dalam era informasi atau era pengetahuan dengan tata kehidupan yang jauh berbeda dibandingkan dengan tata kehidupan pada era industri dan lebih-lebih dengan era pertanian. Perubahan pada era informasi ini membawa berbagai macam implikasi bagi masyarakat dalam menjalani kehidupannya baik kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan dan aspek kehidupan lainnya. Dalam kehidupan sosial, banyak hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin sekarang menjadi serba mungkin. Yang sebelumnya dianggap tabu sekarang menjadi sesuatu yang lumrah. Sebagai contoh, frase ―mangan ora mangan sing penting ngumpul‖ yang populer pada masyarakat Jawa sudah dianggap kadaluawarsa pada era informasi. Tinggal di tempat yang saling berdekatan atau dalam satu kota sudah bukan keharusan. Mereka boleh tinggal di mana-mana bergantung di mana mereka mencari penghidupan. Jika mereka ingin bertemu, boleh jadi pertemuan secara fisik sudah tidak lagi menjadi prioritas; pertemuan cukup dilakukan dengan SMS, telepon, video call atau media komunikasi lainnya yang lebih praktis. Masyarakat mulai berpandangan bahwa pertemuan secara fisik atau kumpul di antara anggota keluarga tidak perlu dilakukan sesering seperti waktu-waktu sebelumnya. Pertemuan seperti ini bahkan sering dianggap pemborosan dan menyulitkan banyak pihak, mereka lebih mementingkan kualitas pertemuan tersebut bukan frekuensinya. Dalam kehidupan ekonomi, pola kegiatan bisnis juga mengalami banyak perubahan. Model bisnis telah berubah dari bisnis konvensional (brick-andmortar-busniess) beralih menuju bisnis berbasis informasi (click-and-mortarbusiness) atau sering disebut e-business atau i-business. Sebelumnya untuk mengirim uang ke sanak keluarga yang jaraknya ribuan kilometer kita harus menggunakan bantuan kurir yang penuh risiko atau paling tidak menggunakan jasa pos yang membutuhkan waktu beberapa hari. Sekarang prosesnya jauh lebih mudah dan lebih cepat, dan bahkan bisa dilakukan sambil tiduran di rumah. Dengan bantuan teknologi informasi sekarang kita tinggal ―klik‖ dan uang sudah terkirim. Hanya dalam hitungan detik si penerima bisa memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga dalam hal



6.6



Manajemen Perubahan 



pendidikan, khususnya di negara-negara maju, sudah mulai diperkenalkan distance learning di mana peserta didik tidak lagi perlu datang ke kampus sekedar untuk mendengarkan dosen memberi kuliah yang terkadang malah membosankan. Sekarang mahasiswa cukup tinggal di rumah sambil menjalankan kegiatan lain seperti biasanya dan pada saat bersamaan mereka bisa mengikuti kuliah melalui internet. Walhasil, pada era informasi dan pengetahuan ini kehidupan begitu cepat, praktis, pragmatis dan serba seketika dan instant. Tidak pelak semua ini menyebabkan masyarakat berprilaku serba instant. Bayi-bayi yang lahir pada era ini tidak lagi disebut generasi ―baby boomer‖ atau ―Generartion X‖ tetapi ―Generation-I‖ karena sejak lahir atau bahkan sebelum lahir sudah terekspos dengan internet dan informasi. Generasi ini sudah tidak mengenal lagi istilah kirim kartu lebaran atau kartu natal untuk mengucapkan selamat idul fitri atau selamat natal. Mereka lebih memilih kirim ucapan melalui SMS yang jauh lebih praktis dan lebih murah. Akibatnya fungsi Kantor Pos pun mulai berubah. Memang urusan kirim surat masih menjadi bisnis inti Kantor Pos tetapi pendapatannya banyak ditopang oleh aktivitas bisnis lain yang berbasis internet. Kondisi semacam ini tidak hanya dialami oleh Kantor Pos tetapi juga kegiatan bisnis lainnya. Surat kabar misalnya sudah bukan lagi menjadi bagian hidup Generasi I; mereka lebih memilih membuka internet dan memilih berita yang mereka sukai. Gambaran di atas memberi penegasan terhadap sebutan abad 21 sebagai era informasi dan masyarakat pengetahuan (knowledge society) karena pada era ini hampir semua kehidupan beralih menuju information atau knowledge based. Dengan demikian informasi dan pengetahuan memiliki peran penting dalam tata kehidupan manusia. Informasi menjadi faktor dominan yang dibutuhkan manusia untuk mengelola kehidupannya. Maju atau mundurnya sebuah negara, berkembang atau tidaknya sebuah perusahaan dan berhasil atau gagalnya seseorang dalam menjalani hidup sangat bergantung pada kualitas informasi dan pengetahuan yang dimilikinya. Siapapun yang menguasai informasi dan pengetahuan merekalah yang menguasai dunia. Hal ini bukan berarti pada era sebelumnya informasi dan pengetahuan tidak diproduksi. Yang membedakan era informasi dengan era-era sebelumnya adalah pengetahuan diproduksi dan menyebar dengan cepat sehingga sering terjadi overloaded information. Demikian juga pengetahuan yang telah dimiliki seseorang atau sekelompok orang tidak lagi hanya tersimpan pada diri seseorang dan melulu menjadi milik mereka. Sekarang informasi dan



 EKMA4565/MODUL 6



6.7



pengetahuan tersimpan di CD ROM dan alat simpan elektronik lainnya sehingga pengetahuan tidak segera sirna manakala pemilik pengetahuan tidak bisa bertahan hidup. Pengetahuan yang telah tersimpan tersebut kemudian diperlakukan sebagai sumber informasi dan rujukan bagi orang lain untuk memproduksi dan menciptakan pengetahuan baru yang lebih maju. Proses ini berjalan secara berkelanjutan dengan cepat sehingga satu sumber pengetahuan bisa menghasilkan ratusan dan bahkan ribuan pengetahuan baru dalam waktu yang relatif singkat. Yang menjadi paradox adalah pada saat bersamaan pengetahuan bisa saja tiba-tiba menjadi kedaluwarsa karena tergantikan oleh pengetahuan lainnya yang lebih baru. Ketika pengetahuan tidak tersimpan pada masing-masing individu yang memproduksinya namun pada tempat-tempat penyimpanan publik seperti CD ROM dan flash disk yang sangat compact, beberapa implikasi muncul bersamaan dengan perubahan pola tersebut. Pertama, seperti telah dijelaskan pada modul satu, seseorang yang menghasilkan pengetahuan pada umumnya tidak bekerja sendirian; mereka menjadi bagian dari sebuah organisasi. Hal ini mengandung pengertian bahwa peran organisasi dalam menghasilkan pengetahuan sangat menonjol. Bisa dikatakan bahwa penghasil pengetahuan adalah organisasi melalui para ekspertis yang bekerja di dalamnya yang disebut knowledge worker. Kedua, informasi dan pengetahuan tidak lagi menjadi milik perorangan tetapi menjadi property organisasi. Organisasi menjadi pihak yang memproduksi, menyimpan dan menyebarkannya. Berbagi informasi dan pengetahuan tidak lagi dilakukan oleh individuindividu melainkan oleh organisasi. Kalaulah yang menyampaikan dan menyebarkan pengetahuan tersebut adalah individu, mereka merupakan bagian integral dari sebuah organisasi. Ketiga, akibat dari proses produksi dan penyebaran pengetahuan yang begitu cepat, siklus hidup pengetahuan juga menjadi semakin pendek. Dampak lanjutannya adalah perubahan juga menjadi semakin cepat dan lingkungan menjadi semakin tidak menentu dan sulit diprediksi arah perkembangannya. Keempat, semua ini dimungkinkan karena adanya faktor pendukung utama yakni teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Berdasarkan gambaran di atas, Tjakraatmadja & Lantu (2006. 2-5) menyimpulkan bahwa era informasi dan pengetahuan memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaligus dapat kedaluarsa dengan cepat.



6.8



2. 3.



Manajemen Perubahan 



Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks. Pola perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berpengaruh signifikan pada keberlangsungan organisasi dengan hubungan pengaruh yang semakin sulit diprediksi.



B. ORGANISASI SEBAGAI INSTITUSI PENGETAHUAN Jika sebelumnya organisasi hanya dianggap sebagai alat bantu yang berfungsi untuk membantu para pendiri atau pemilik memenuhi kebutuhankebutuhannya dan perusahaan dianggap sebagai mesin penghasil uang – sering disebut sebagai cara pandang klasik, sekarang pada era informasi organisasi/perusahaan juga dianggap sebagai institusi pengetahuan (Leonard, 1999; Nonaka & Takeuchi, 1995; Nonaka, Toyama & Nagata, 2000). Dengan anggapan ini organisasi seolah-olah menjadi sumber dan gudang pengetahuan dan mampu menciptakan, memproses dan mendistribusikan pengetahuan. Anggapan ini sejalan dengan pandangan Gareth Morgan (1997) tentang metafora organisasi. Menurut Morgan salah satu cara pandang untuk memahami organisasi adalah organisasi dianggap layaknya sebuah otak tempat berpikir (organizations as brains) yang mampu memproses informasi dan mampu melakukan proses pembelajaran. Pandangan ini sekaligus menegaskan bahwa kemampuan organisasi melakukan pembelajaran bisa diartikan pula bahwa organisasi mampu menciptakan pengetahuan baru, mendesiminasi pengetahuan pada seluruh elemen organisasi dan mewujudkannya dalam bentuk produk, jasa dan sistem organisasi (Nonaka & Takeuchi, 1995). Yang barangkali tidak boleh disalah-mengertikan terhadap anggapan ini adalah meski dewasa ini pengetahuan memiliki arti penting bagi sebuah organisasi/perusahaan, namun bukan berarti pengetahuan merupakan produk akhir atau tujuan akhir dari sebuah organisasi/perusahaan. Kecuali institusi pendidikan, pengetahuan bagi organisasi lainnya lebih berfungsi sebagai aset (Husi, 2004) atau alat bantu (tool) (Martesson, 2000) yang memungkinkan organisasi memiliki daya saing baru sehingga harapan organisasi tersebut bisa bertahan hidup dan terus berkembang jauh lebih tinggi ketimbang organisasi yang tidak memiliki pengetahuan.



6.9



 EKMA4565/MODUL 6



C. DATA, INFORMASI, PENGETAHUAN DAN KEARIFAN Pada mulanya, sebelum manajemen pengetahuan menjadi kebutuhan organisasi, tidak banyak yang mempermasalahkan adanya perbedaan antara pengetahuan, informasi dan data. Ketiga istilah ini sering digunakan secara bergantian seolah-olah memiliki pengertian yang sama. Akhir-akhir ini ketika pengetahuan menjadi bagian penting dalam kehidupan organisasi/ perusahaan, membedakan ketiga istilah tersebut dianggap menjadi sebuah kebutuhan tersendiri. Penyebabnya karena kesalahan dalam memahami ketiga istilah tersebut berpotensi menciptakan kesalahan dalam mengelola pengetahuan. Di samping adanya kebutuhan untuk membedakan istilah data, informasi dan pengetahuan, pengetahuan juga mulai dikontraskan dengan istilah wisdom atau kearifan. Oleh karena itu sebelum membahas knowledge management, klarifikasi terhadap keempat istilah ini terlebih dahulu akan dikemukakan. Secara singkat Tabel 6.1 memberi gambaran tentang pengertian keempat istilah dimaksud. Tabel 6.1. Perbedaan Istilah Data, Informasi, Pengetahuan dan Kearifan Level Data Informasi



Pengetahuan Kearifan (wisdom)



Definisi Fakta yang belum diolah Data yang mengandung makna; data yang bisa digunakan Pemahaman yang jelas tentang informasi Menggunakan pengetahuan untuk menetapkan dan mencapai tujuan



Proses Pembelajaran



Hasil



Mengakumulasi kebenaran Memberikan bentuk dan fungsi



Penghafalan (bank data) Pengertian (bank informasi)



Analisis dan sintetis



Pemahaman mendalam (bank pengetahuan) Hidup lebih baik/ berhasil (bank kearifan)



Ketajaman dalam memberi penilaian (judgment) dan melakukan tindakan yang tepat Sumber: Bierly III, Kessler & Christensen (2000)



Sementara itu untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara data, informasi, pengetahuan dan kearifan kita gunakan buku sebagai contoh acuan. Sebuah buku terdiri dari data dalam bentuk huruf dan kata-kata;



6.10



Manajemen Perubahan 



informasi akan kita peroleh jika kita membaca kata-kata yang ada dalam buku dan mencoba memahami artinya. Selanjutnya jika informasi yang kita peroleh tersebut digabungkan dengan informasi-informasi lain maka akan diperoleh sebuah pengetahuan. Jika pengetahuan digunakan dengan benar akan tercipta wisdom. Dalam konteks organisasi berbasis pengetahuan wisdom dimaknai sebagai pencapaian tujuan. Dari contoh sederhana ini tampak bahwa data, informasi, pengetahuan dan wisdom memiliki hubungan yang bersifat hirarkhis seperti tampak pada Gambar 6.2.



Memahami Hubungan Data - Wisdom



Konteks Wisdom principle



tinggi



pengetahuan pola Informasi hubungan Data symbols rendah Mudah Sulit Sumber: Nunamaker, Jr. et al. (2001) Gambar 6.2. Hierarkhi data, informasi, pengetahuan dan wisdom



1.



Data Data adalah fakta yang belum diolah dan diterima apa adanya. Orang sering menyebutnya sebagai ―data mentah‖. Meski penyebutan ini salah kaprah karena data itu sendiri sifatnya masih mentah, belum terstruktur (discrete), penyebutan ini mengandung pengertian bahwa data sekedar eksis dan belum memberikan arti apa-apa di luar keberadaan data tersebut. Sebagai



 EKMA4565/MODUL 6



6.11



contoh, ketika Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya mengeluarkan angka kepadatan penduduk di kota-kota besar di Indonesia adalah 5000 orang per kilometer persegi, angka tersebut baru sebatas fakta dan sekaligus data yang belum memberikan makna. Jadi 5000 orang merupakan angka – sebuah fakta dan data tentang kepadatan penduduk. Maknanya apa? Apakah angka 5000 termasuk angka yang cukup besar atau sebaliknya? Belum bisa disimpulkan karena angka tersebut sebuah fakta . Tentunya data bukan hanya berupa angka. Data eksis dalam berbagai bentuk – angka, gambar, kata-kata atau simbol. Apakah data bisa digunakan atau tidak bukan persoalan yang berkaitan dengan data. Dengan bantuan teknologi informasi yang sangat canggih dalam beberapa detik misalnya kita bisa memperoleh beragam data. Apakah data tersebut berguna atau tidak sangat bergantung pada kita bagaimana memanfaatkannya. Jadi data merupakan representasi yang maknanya bergantung pada sistem representasi (symbol, bahasa) yang kita gunakan. Oleh karena itu data merupakan fakta yang belum terstruktur dan bersifat simbolik. Menurut Bierly III, et al. (2000) memperoleh data sepadan dengan level 1 pada taxonomy Bloom tentang keterampilan kognitif seseorang. Dengan demikian belajar tentang data sama halnya dengan proses mengakumulasi fakta sehingga hasil akhirnya adalah kita bisa mengingat berbagai macam fakta yang bisa disimpan sebagai bank data. 2.



Informasi Informasi adalah data yang telah diolah, biasanya dengan cara mengaitkan satu data dengan data lainnya. Hasil dari olah data adalah sebuah bentuk atau tatanan terstruktur yang mampu memberi makna bagi siapa saja yang menerima olah data tersebut. Pada contoh sebelumnya angka 5000 tentang kepadatan penduduk kota di Indonesia akan memberikan makna, yang berarti pula akan memberikan informasi, jika angka tersebut dikontekstualkan misalnya dikaitkan dengan data lain yaitu kepadatan penduduk di negara-negara Eropa yang angkanya katakanlah hanya 1000 orang per kilometer persegi. Jika kedua data tersebut dihubungkan maka diperoleh informasi tentang kepadatan penduduk di dua kota berbeda di mana kota-kota di Indonesia lima kali lebih padat dibandingkan kota-kota di Eropa. Pertanyaannya adalah apakah informasi ini berguna? Bisa ya bisa tidak bergantung bagaimana kita memaknai informasi tersebut. Bagi orang pemasaran boleh jadi informasi tentang jumlah kepadatan penduduk di dua



6.12



Manajemen Perubahan 



Negara berbeda menginformasikan dirinya tentang potensi pasar sasaran. Bagi orang yang sedang belajar ilmu kimia, informasi di atas mungkin tidak ada manfaatnya. Namun terlepas bahwa informasi ada gunanya atau tidak, informasi masih lebih berguna ketimbang data. Penyebabnya boleh jadi karena informasi dan makna yang terkandung di dalamnya dapat dikomunikasikan dan ditransfer ke pihak lain. Jadi informasi merupakan media komunikasi yang membawa serta deskripsi, definisi, atau perspektif dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan atau di mana. Penjelasan ini menunjukkan bahwa informasi bersifat relasional. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, memperoleh informasi setara dengan kemampuan kognitif seseorang pada level 2 dan level 3 yakni kemampuan untuk memahami informasi dan kemampuan untuk mengaplikasikan informasi tersebut (Bierly, III, 2000). 3.



Knowledge Di muka telah disebutkan bahwa kumpulan dari fakta akan membentuk data dan ketika data dirangkai dengan data lain dan diberi makna akan menghasilkan informasi. Selanjutnya jika informasi tersebut dipilah-pilah dan digabungkan dengan informasi lain, kemudian dianalisis dan disintesakan hasilnya adalah sebuah pengetahuan atau knowledge. Sebagai contoh, setelah memperoleh informasi tentang perbedaan jumlah penduduk kota-kota besar di Indonesia dan Eropa, seorang pemasar tahu apa makna informasi tersebut bagi kegiatan pemasaran sehingga Ia mampu menyusun strategi untuk memasuki pasar Indonesia. Pengetahuan ini akan semakin baik jika pemasar tersebut memperoleh informasi tambahan misalnya informasi tentang tingkat pendapatan penduduk Indonesia yang hanya seperempat dari pendataan penduduk Eropa. Dari gambaran ini knowledge bisa didefinisikan sebagai pemahaman yang jelas atau pemahaman baru yang diperoleh melalui proses analisis dan sintesa informasi dan pola hubungan antara informasi-informasi tersebut (Bierly III, et al., 2000). Definisi ini menyiratkan bahwa hanya individu yang memiliki pengetahuan, oleh karenanya Alavi & Leidner (2001) mengatakan pengetahuan adalah olah informasi yang melekat pada pikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pengetahuan merupakan personalized information (apakah informasi tersebut baru atau lama, khas, berguna atau akurat, bukan persoalan) yang terkait dengan fakta, prosedur, konsep, interpretasi, ide, observasi dan judgment atau penilaian. Sementara itu Bierly III, et al. (2000) menyamakan knowledge dengan level 4 (analisis) dan level



 EKMA4565/MODUL 6



6.13



5 (sintesis) pada taksonomi Bloom karena pengetahuan mampu meningkatkan kemampuan kognitif seseorang. Meski sudah tampak jelas bahwa pengetahuan adalah kumpulan informasi yang menghasilkan pemahaman baru, pengetahuan secara konseptual tidak sesederhana itu. Kontroversi di sana sini kadang-kadang masih sering terjadi. Jika selama ini kita memahami bahwa pengetahuan berasal dari data dan informasi, Tuomi (1999) justru beranggapan sebaliknya pengetahuan akan muncul sebelum informasi diformulasikan dan sebelum data bisa diukur untuk membentuk informasi. Di sini Tuomi ingin mengatakan bahwa data tidak eksis dengan sendirinya. Data mentah sekalipun untuk bisa eksis tetap membutuhkan pengetahuan sehingga menurut Tuomi runtutannya adalah pengetahuan jika diartikulasikan akan menghasilkan informasi dan informasi jika interpretasinya distandarkan akan menjadi data. Dengan menggabungkan konsep yang dikembangkan Tuomi dengan konsep sebelumnya yang konvensional maka bisa dikatakan bahwa hubungan data-informasi-pengetahuan adalah hubungan timbal balik. Selain persoalan hierarkhi data-informasi-pengetahuan, definisi pengetahuan juga menghadapi persoalan yang sama yakni tidak adanya consensus tentang definisi pengetahuan (lihat misalnya, Barquin, 2001; Biggam, 2001; Firestone, 2001). Dari sumber-sumber berbeda Barquin (2001) dan Firestone (2001) masing-masing mengutip 8 definisi pengetahuan. Definisi yang paing banyak dirujuk adalah definisi pengetahuan sebagaimana dikemukakan Plato yakni ―justified true belief – keyakinan mendalam yang sangat beralasan‖ (Nonaka & Takeuchi, 1995; Kakabadse et al., 2003). Sementara itu Bennet & Bennet (2007) mengatakan bahwa pengetahuan adalah sebuah kapasitas seseorang (baik yang bersifat potensial maupun aktual) untuk melakukan tindakan yang efektif pada situasi berbeda dan pada situasi tidak menentu. Perbedaan pengertian ini tidak pelak menyebabkan pengetahuan bisa dipotret dari perspektif yang berbeda. Alavi & Leidner (2001) misalnya mengatakan bahwa pengetahuan diperlakukan sebagai (a) state of mind, (b) sebagai obyek, (c) sebagai proses, (d) sebagai kondisi yang memiliki akses ke informasi dan (e) sebagai kapabilitas. Sebagai state of mind, pengetahuan lebih terfokus pada kemungkinan individu memperluas pengetahuannya dan mengaplikannya pada kebutuhan organisasi. Perspektif kedua, pengetahuan sebagai obyek menekankan bahwa pengetahuan merupakan benda yang bisa disimpan. Sementara itu, pengetahuan sebagai proses mengandung pengertian bahwa pengetahuan



6.14



Manajemen Perubahan 



dapat dipandang sebagai aktivitas yang terjadi secara simultan dalam hal mengetahui dan bertindak. Pada pandangan berikutnya, pengetahuan sebagai kondisi yang mampu mengakses informasi bisa diartikan bahwa pengetahuan harus dikelola agar memungkinkan untuk akses dan mendapatkan isi pengetahuan. Bisa dikatakan bahwa pandangan ini merupakan perluasan dari pengetahuan sebagai obyek yang menitikberatkan pada aksesibilitas obyek pengetahuan. Terakhir pengetahuan sebagai kapabilitas berarti pengetahuan mampu mempengaruhi tindakan untuk waktu-waktu yang akan datang. Dari berbagai ragam definisi dan perspektif tentang pengetahuan, akhirnya Verna Allee (1997) menyatakan bahwa prinsip-prinsip pengetahuan yang harus dipahami bagi siapa saja yang ingin mengembangkan pengetahuan adalah: a. Pengetahuan adalah tidak teratur, morat-marit. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dikaitkan dengan apa saja sehingga kita tidak bias hanya fokus pada satu faktor saja. b. Pengetahuan bias mengorganisasi diri. c. Pengetahuan membutuhkan adanya komunitas. d. Pengetahuan bergerak melalui bahasa. e. Semakin pengetahuan ditekan lambat laun pengetahuan semakin hilang. f. Mengendalikan pengetahuan terlalu ketat hanya akan menghabiskan sumber daya dan energi. g. Pengetahuan tidak akan bias tumbuh untuk selama, suatu ketika pengetahuan akan sirna. h. Tidak satu solusi terbaik karena pengetahuan selalu berubah. i. Tidak ada satu orang pun yang bias dimintai pertanggungjawaban terhadap pengetahuan karena pengetahuan merupakan proses sosial. j. Jika pengetahuan betul-betul mampu mengorganisasi diri maka hal yang paling penting untuk memajukan pengetahuan adalah dengan menghilangkan rintangan untuk mengorganisasi diri. k. Tidak satupun best practice untuk memajukan pengetahuan. l. Bagaimana pengetahuan didefinisikan akan menentukan bagaimana pengetahuan tersebut dikelola. 4.



Wisdom atau Kearifan Diluar hierarkhi data-informasi-pengetahuan masih ada isu terkait yang perlu mendapat perhatian yakni wisdom atau kearifan. Pertanyaan penting berkaitan dengan kearifan adalah ketika seseorang telah memperoleh



 EKMA4565/MODUL 6



6.15



pengetahuan apakah orang tersebut hanya sekedar tahu atau akan memanfaatkannya untuk suatu tujuan tertentu yang lebih baik? Jawabannya sesungguhnya sudah jelas yakni agar kita bisa hidup lebih baik. Meski jawabannya jelas tampaknya perlu ada penegasan lebih lanjut karena (1) merujuk pada pendapat Sveiby (2001), berbeda dengan barang-barang berujud (tangible goods) yang akan mengalami depresiasi jika barang-barang tersebut dipakai, pengetahuan justru akan meningkat daya gunanya jika dipakai dan akan mengalami depresiasi jika tidak digunakan. Oleh karena memanfaatkan pengetahuan merupakan tindakan bijak, (2) dalam memanfaatkan pengetahuan, peran dan moralitas atau kearifan seseorang menjadi faktor kunci karena pengetahuan sering kali bersifat netral. Artinya pengetahuan bisa digunakan untuk kebaikan tetapi juga bisa digunakan untuk kejahatan. Sebagai contoh, ketika seseorang atau sebut saja seorang polisi memiliki pengetahuan tentang cara mencuri melalui internet tentunya polisi tersebut bisa memanfaatkan pengetahuan tersebut baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Namun dalam hal ini seorang polisi tentunya harus menggunakan pengetahuannya untuk mencegah terjadinya pencurian demi hidup lebih baik dan menciptakan kemaslahatan banyak orang. Dari sini tampak bahwa kearifan merupakan sebuah konsep yang berorientasi tindakan dalam rangka untuk menerapkan pengetahuan dalam pengambilan keputusan dan implementasi lanjutannya. Oleh karena itu kearifan bisa didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menggunakan sebaik mungkin pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman dalam rangka menetapkan dan mencapai tujuan yang lebih baik dan menciptakan kemaslahatan banyak orang (Bierly III, et al., 2000). Bierly juga menyimpulkan bahwa kearifan setara dengan level 6 pada taksonomi Bloom (tahap evaluasi). Simpulan ini didasarkan pada suatu pemahaman bahwa kearifan mampu meningkatkan kemampuan kognitif seseorang melebihi level sebelumnya (analisis dan sintesis) dalam hal orang tersebut secara sadar mampu membuat penilaian berdasarkan kriteria-kriteria yang jelas. D. KNOWLEDGE CREATION, INTANGIBLE ASSET DAN INTELLECTUAL CAPITAL Kaplan & Norton (2001, hal. 2) mengatakan, pada masa ―industrial economy‖ perusahaan pada umumnya menciptakan nilai tambah dengan memanfaatkan tangible assets (asset berujud) seperti mesin, equipment dan



6.16



Manajemen Perubahan 



faktor produksi berujud lainnya untuk mengubah bahan baku menjadi produk jadi. Pada tahun 1982 aset berujud merepresentasikan 62% dari nilai pasar perusahaan. Prosentase ini menurun 10 tahun kemudian menjadi 38% dan pada akhir tahun 2000 kontribusi aset berujud hanya berkisar 10 – 15% saja. Hal ini menunjukkan ketika industrial economy secara bertahap beralih ke ―knowledge-based economy‖ peran aset berujud dalam menciptakan nilai tambah perusahaan juga terus mengalami penurunan. Peran ini tergantikan oleh intangible assets (aset tidak berujud) termasuk di dalamnya learning dan knowledge (Kaplan & Norton, 2001). Sementara itu, Hussi (2004) menambahkan dalam era informasi selain membutuhkan intangible asset untuk menciptakan nilai tambah, organisasi membutuhkan pula dan perlu mengaitkannya dengan dua komponen lain yang juga bersifat intangible dan melekat pada diri manusia yaitu: modal intelektual (intellectual capital) dan penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Ketiga komponen inilah yang secara bersama-sama menciptakan nilai tambah perusahaan. 1.



Intangible Asset Ahonen sebagaimana dikutip Hussi (2004) membedakan intangible asset menjadi dua macam yaitu aset tidak berujud generatif (generative intangible) dan aset tidak berwujud komersial (commercially exploitated intangible). Generative intangible adalah aset tidak berujud dalam bentuk kapasitas perusahaan untuk menghasilkan commercially exploitated intangible. Termasuk dalam komponen ini adalah human capital, internal structure dan external structure. Sedangkan commercially exploitated intangible itu sendiri terdiri dari produksi berbiaya efisien (cost efficient production), Hak kekayaan intelektual (immaterial property right – IPR), customer capital, expanding market dan management trust. Perusahaan bisa memperoleh commercially exploited intangible melalui dua cara: (1) membeli atau mengakuisisi dari pihak lain atau (2) menciptakan sendiri. Jika ingin menciptakan sendiri prasyaratnya adalah perusahaan harus memiliki aset termasuk human capital dan proses untuk menciptakan intangible asset tersebut. Seperti tampak pada Gambar 6.3, secara keseluruhan tujuan perusahaan adalah produktivitas jangka panjang dari modal yang diinvestasikannya. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan menggunakan berbagai macam sumber daya baik tangible maupun intangible assets yang pada gilirannya diharapkan bisa menciptakan nilai pasar yang lebih tinggi bagi perusahaan. Meski demikian harus disadari pula bahwa semua ini hanya



 EKMA4565/MODUL 6



6.17



mungkin jika pimpinan perusahaan mampu menjalankan dan mengelola asetaset tersebut dengan baik.



Sumber : Hussi (2004) Gambar 6.3. Intangible Aset dalam konteks perusahaan secara umum



2.



Intellectual Capital Secara tradisional ketika kita menyebut modal, yang kita maksud adalah uang atau tepatnya financial capital. Sebutan ini tentu tidak salah karena uang merupakan sumber daya untuk menggerakkan roda organisasi. Meski demikian dalam era informasi perusahaan tidak cukup hanya mengandalkan financial capital. Perusahaan juga membutuhkan intellectual capital untuk menciptakan market value. Arti penting intellectual capital dapat dipahami dari ilustrasi berikut ini. Jika sebuah perusahaan software direncanakan untuk dijual tetapi orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak mau pindah ke pemilik baru boleh jadi calon pembeli enggan membeli perusahaan tersebut. Bagi calon pembeli tidak ada artinya membeli perusahaan software tersebut jika para ekspertisnya enggan mengikutinya karena alasan pembeli mau membeli perusahaan justru karena kemampuan orang-orang tersebut. Dengan kata lain, alasan utama seseorang mau membeli perusahaan software justru karena modal ineteletualnya. Contoh ini memberi gambaran akan pentingnya modal yang tersembunyi yang melekat pada diri karyawan. Modal seperti ini biasa disebut modal intelektual (intellectual capital). Edvisson & Malone (1997) mengibaratkan modal intelektual sebagai akar sebuah pohon yang



6.18



Manajemen Perubahan 



tidak tampak tetapi justru menentukan kekokohan pohonnya. Menurut Edvisson & Malone modal intelektual bukan merupakan subordinasi dari modal finansial melainkan komponen yang bersifat komplementer seperti tampak pada Gambar 6.4 berikut ini



Sumber: Edvinsson & Malone (1997) Gambar 6.4. Modal intelektual dalam penciptaan nilai tambah



Seperti tampak pada Gambar 6.4 modal intelektual dapat dibedakan menjadi human capital dan structure capital; selanjutnya structure capital dibedakan menjadi customer capital dan organizational capital; dan organizational capital dipecah menjadi process capital dan renewal capital. Sementara itu Hussi (2004) dengan memodifikasi istilah yang digunakan Edvisson & Malone membedakan modal intelektual menjadi 3 yaitu human capital, internal structure dan external structure seperti tampak pada Gambar 6.5. Internal structure digunakan untuk menggantikan istilah structural capital dan external structure untuk customer capital. Menurut Hussi, apapun istilah yang digunakan, esensi dari pembahasan modal



6.19



 EKMA4565/MODUL 6



intelektual adalah bagaimana modal intektual mampu membantu pengembangan organisasi secara menyeluruh. Dilihat dari Gambar 6.5 kontribusi sesungguhnya dari modal intelektual dalam menciptakan nilai tambah bisa dilihat dari saling interaksi antara tiga komponen tersebut. Sementara itu peran dari knowledge management sebagai faktor penekan yang memungkinkan ketiga komponen tersebut bisa lebih mendekat satu sama lain. Uraian lebih detail tentang knowledge management akan dibahas pada bagian lain.



Sumber: Hussi (2004) Gambar 6.5. Value platform model



3.



Knowledge Creation Selain intangible asset dan intellectual capital, penciptaan pengetahuan (knowledge creation) merupakan komponen penting ketiga yang diharapkan mampu memberi kontribusi dalam penciptaan nilai tambah organisasi. Kata kunci dari knowledge creation adalah pengetahuan. Namun Demarest (1997) sejak awal wanti-wanti agar istilah pengetahuan dipahami dengan benar. Yang dimaksudkan pengetahuan di sini bukanlah pengetahuan seperti yang kita kenal pada saat kita membicarakan philosophical atau scientific knowledge. Di sini pengetahuan lebih dikaitkan dengan kegiatan yang



6.20



Manajemen Perubahan 



bersifat komersial sehingga Demarest (1997) menyebutnya sebagai commercial knowledge. Demarest lebih lanjut menegaskan bahwa commercial knowledge dan scientific knowledge harus dibedakan karena tujuan akhir dari keduanya berbeda. Jika tujuan mengembangkan philosophical atau scientific knowledge adalah untuk menemukan kebenaran ―the truth‖ tidak demikian dengan commercial knowledge. The truth dalam konteks commercial knowledge lebih dimaknai sebagai efektivitas kinerja. The truth tidak dimaknai sebagai ―apa yang benar‖ tetapi ―apakah organisasi bisa bekerja lebih baik‖. Pemaknaan ini juga berlaku bagi istilah-istilah yang berhubungan dengan knowledge lainnya seperti: knowledge worker; knowledge asset, knowledge tool dan knowledge sharing. Perubahan pemaknaan terhadap knowledge ini boleh jadi karena knowledge yang secara tradisional sesungguhnya melekat pada masing-masing individu (disebut tacit knowledge), dalam era informasi knowledge pada umumnya dinyatakan secara eksplisit (explicit knowledge) agar bisa ditularkan kepada orang lain. Oleh karena itu kepemilikan knowledge juga akhirnya berpindah dari individu ke organisasi/perusahaan. Selanjutnya, karena sejak semula tujuan didirikannya perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi terutama kesejahteraan para pendiri dan pemilik, meski tidak ada jaminan bahwa orang kaya akan lebih bahagia (Csikszentmihalyi, 1999), maka knowledge pun diciptakan dan dikembangkan perusahaan sebagai tool (Martesson, 2000) untuk tujuan tersebut. Dari sini muncul istilah knowledge creation yang dibarengi dengan adanya kebutuhan untuk mengelola knowledge tersebut. Nonaka & Takeuchi (1995) mengartikan knowledge creation sebagai kapabilitas perusahaan secara keseluruhan untuk menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya ke seluruh elemen organisasi dan membakukannya ke dalam produk, jasa dan sistem organisasi. Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa pengetahuan pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua yaitu pengetahuan yang melekat pada diri seseorang disebut sebagai tacit knowledge dan kedua explicit knowledge yaitu pengetahuan yang telah dikodifikasi dalam berbagai bentuk seperti buku, rekaman, dokumen dan brosur (Nonaka, 1994; Nonaka & Konno, 1998; Nonaka & Takeuchi, 1995). Tacit knowledge yang melekat dan dimiliki seseorang biasanya diperoleh melalui pengalaman hidup atau proses pembelajaran yang bersifat informal dan personal sehingga pengetahuan bersifat subyektif karena hanya orang tersebut yang mengetahuinya. Dengan tacit knowledge orang baru sebatas memahami ―know-how‖. Sementara itu



6.21



 EKMA4565/MODUL 6



melalui explicit knowledge yang lebih bersifat obyektif orang bisa memahami ―know-what‖. Secara komprehensif perbedaan kedua jenis pengetahuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2 berikut ini Tabel 6.2. Perbedaan antara Tacit dan Explicit Knowledge Tacit Knowledge 1. Terkadang orang tidak menyadari (subconscious) kalau dirinya memiliki pengetahuan 2. Pengetahuan bersifat perseptif 3. Orang tidak mempedulikan (unaware) terhadap pengetahuan yang dimilikinya 4. Orang yang memiliki pengetahuan sering tidak bisa mengartikulasikan atau mengungkapkan 5. Pengalaman hidup merupakan salah satu faktor utama pembentuk pengetahuan 6. Orang bisa mentransfer pengetahuan melalui komunikasi atau percakapan 7. Pengetahuan biasanya melekat pada cerita dan narasi 8. Pengetahuan sulit diobservasi 9. Pengetahuan hanya disimpan dalam diri seseorang 10. Pengetahuan sifatnya personal 11. Pengetahuan biasanya hanya tersirat dan muncul dalam bentuk pemahaman 12. Penilaian (judgment) merupakan representasi pengetahuan 13. Asumsi



Explicit Knowledge 1. Pengetahuan bisa diartikulasikan secara formal 2. Orang dapat menjelaskan pengetahuan 3. Orang menyadari kalau dirinya memiliki pengetahuan 4. Pengetahuan bersifat fixed – pasti sehingga bisa diungkapkan dengan mudah 5. Pengetahuan dikodifikasikan dalam berbagai bentuk: buku, dokumen, manual 6. Pengetahuan terdokumentasikan sehingga bisa ditransfer melalui berbagai media 7. Pengetahuan disimpan di data base atau knowledge repositories 8. Pengetahuan dapat dilihat dan atau didengar 9. Dapat di-share dengan orang lain 10. Pengetahuan bersifat organisasional 11. Pengetahuan dapat dikembangkan (Pushed) atau sebaliknya (pulled) 12. Pengetahuan muncul dalam bentuk laporan atau lesson learned 14. Pengetahuan berbasis data dan informasi



Sumber: McInerney (2002)



Berbasis pada Tabel 6.2 Nonaka, Toyama & Konno (2000) mengajukan sebuah model dinamis proses penciptaan pengetahuan yang terdiri dari tiga elemen yaitu (1) knowledge-creating spiral yang biasa disebut sebagai SECI



6.22



Manajemen Perubahan 



proses, (2) ba, konteks dalam penciptaan pengetahuan, dan (3) knowledge assets – proses input, transformasi dan output. Ketiga elemen ini harus saling berinteraksi satu sama lain sehingga membentuk knowledge spiral yang ujung-ujungnya terbentuk pengetahuan baru. SECI Process. Untuk menjelaskan model ini digunakan dua dimensi yaitu epistimologi dan ontologi. Epistimologi digunakan untuk membedakan dua jenis pengetahuan – tacit dan explicit knowledge. Meski pengetahuan dibedakan menjadi dua, keduanya sesungguhnya bersifat komplementer. Sedangkan dimensi ontologi digunakan untuk menjelaskan spektrum yang terlibat dalam proses kreasi mulai dari individu, kelompok, organisasi dan lintas organisasi. Hasil akhir dari gabungan dua dimensi ini adalah sebuah matriks yang terdiri dari empat kuadran di mana pengetahuan mengalir dan berpindah dari satu kuadran ke kuadran lainnya berbentuk spiral. Keempat kuadran ini populer sebagai SECI singkatan dari socialization, externalization, combination dan internalization. Lihat Gambar 6.6.



Gambar 6.6. Model Kowledge-Creating Spiral



Socialization adalah proses berbagi pengalaman di antara individuindividu di dalam organisasi yang menghasilkan tacit knowledge seperti terciptanya mental model atau kemampuan teknis yang sama. Sejauh mana efektivitas proses sosialisasi ini sangat bergantung pada kemampuan masingmasing individu untuk mengobservasi dan mempraktikkan pengetahuan tersebut. Externalization adalah proses mengartikulasikan tacit knowledge ke dalam explicit knowledge yakni ke dalam bentuk-bentuk yang lebih komprehensif yang bisa dipahami oleh orang lain. Mengkonversi tacit ke explicit knowledge biasanya diwujudkan dan dapat dilihat dari proses



 EKMA4565/MODUL 6



6.23



pencitaan konsep yang diikuti oleh dialog di dalam kelompok atau mereka secara berkelompok melakukan refleksi dari konsep tersebut. Combination adalah proses sistematisasi konsep ke dalam knowledge system. Cara mengkonversi pengetahuan pada tahapan ini biasanya dilakukan dengan menggabungkan beragam explicit knowledge sehingga membentuk knowledge system. Di sini masing-masing individu saling bertukar dan menggabungkan pengetahuan melalui pertukaran dokumen, rapat atau sekedar percakapan telepon. Selanjutnya untuk memperlancar proses penggabungan biasanya dibutuhkan alat bantu berupa ICT maupun data base. Internalization adalah proses mengubah explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Agar explicit knowledge bisa berubah menjadi tacit knowledge, pengetahuan harus diverbalkan ke dalam dokumen, buku petunjuk maupun penjelasan lisan. Di sini terjadi proses pembelajaran – learning by doing di mana pada akhirnya masing-masing individu mampu memperluas dan mendefinisikan kembali tacit knowledge yang telah dipelajari sebelumnya. Jika proses ini berhasil berarti masing-masing individu telah mampu memperbaharui tacit knowledge pada level yang lebih tinggi, dan selanjutnya proses pembentukan pengetahuan dimulai lagi dari socialization. Proses akan terus berlanjut tanpa pernah berakhir. Ba: Konteks dalam Penciptaan Pengetahuan. Penciptaan pengetahuan tidak bersifat context-free atau bebas dari konteks. Sebaliknya pengetahuan hanya akan tercipta jika ada konteks yang melingkupinya - ―tidak pernah ada kreasi jika tidak ada tempat untuk berkreasi‖. Ba yang secara harfiah berarti tempat atau ruang secara fisik (physical space), didenisikan sebagai shared context in which knowledge is shared, created and utilized – sebagai konteks bersama di mana pengetahuan di-share, diciptakan dan digunakan. Jadi ba merupakan tempat di mana informasi diinterpretasikan sehingga menjadi pengetahuan. Namun perlu diketahui pula bahwa ba bukan semata-mata berarti tempat secara fisik. Ba merupakan konsep yang menggabungkan ruang dan waktu seperti ruang kantor, ruang maya (virtual space) seperti email, dan ruang mental seperti berbagi ide. Karena menggabungkan ruang dan waktu, Nonaka et al. (2000) menyatakan bahwa ba sesungguhnya sebuah konsep yang bersifat interaktif. Pemahaman ini menjadi penting karena penciptaan pengetahuan itu sendiri merupakan proses yang sangat kompleks dan dinamis yang melibatkan interaksi antar individu, dan antara individu dengan lingkungan. Oleh akrenanya ba difungsikan sebagai konteks di mana masing-masing individu yang terlibat dalam penciptaan pengetahuan saling berinteraksi dan melalui interaksi ini tercapai proses self-trancendental dalam penciptaan pengetahuan sebagaimana tampak pada Gambar 6.7 berikut ini.



6.24



Manajemen Perubahan 



Sumber: Nonaka, Toyama & Konno (2000) Gambar 6.7. Ba sebagai shared context



Knowledge Assets. Salah satu modal dasar untuk menciptakan pengetahuan adalah knowledge asset. Di sini aset didefinisikan sebagai sumber daya perusahaan yang sangat diperlukan untuk menciptakan nilai tambah perusahaan. Knowledge asset berupa input, output dan faktor-faktor yang memoderasi proses penciptaan pengetahuan. Nonaka et al. (2000) mengelompokkan knowledge asset menjadi 4 yaitu: experiential knowledge asset, conceptual knowledge asset, systemic knowledge asset dan routine knowledge asset. Experiential knowledge asset terdiri dari tacit knowledge yang di-share diantara anggota organisasi, antara anggota organisasi dengan pihak eksternal. Skill atau keterampilan dan know-how yang diperoleh dan diakumulasi seseorang berdasarkan pengalaman hidup adalah contoh dari experiential knowledge asset. Conceptual knowledge asset terdiri dari explicit knowledge yang diartikulasikan melalui berbagai bentuk. Conceptual knowledge asset merupakan asset yang konsepnya datang dari customer. Contohnya adalah brand equity. Systemic knowledge asset terdiri explicit knowledge yang telah tersistem seperti spesifikasi produk, buku panduan dsb. Routine knowledge asset terdiri dari tacit knowledge yang telah dilakukan dan diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Contohnya adalah budaya organisasi, know-how dsb.



 EKMA4565/MODUL 6



6.25



E. MENGINTEGRASIKAN KETIGA KOMPONEN Setelah menjelaskan secara detail masing-masing komponen – intangible asset, intellectual capital, dan knowledge creation, sekarang giliran kita untuk mensinerginakan ketiga komponen tersebut dalam rangka menciptakan nilai tambah atau market value perusahaan. Sinergi dari ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.8 (lihat Hussi, 2004). Pada intinya Gambar 6.8 merupakan ringkasan dari gambar-gambar sebelumnya (Gambar 6.3 sampai Gambar 6.7). Tampak dari Gambar 6.8 bahwa visi organisasi tentang pengetahuan (knowledge vision) akan menentukan keberhasilan organisasi tersebut dalam menciptakan market value. Bagi organisasi perusahaan yang dimaksudkan dengan market value adalah laba, sedangkan bagi organisasi yang tidak berorientasi laba market value bisa diartikan sebagai keunggulan bersaing. Proses untuk meningkatkan laba atau keunggulan bersaing bergantung pada tiga komponen nonkebendaan (soft components) yakni intangible asset, intellectual capital, knowledge creation.



Sumber : Hussi (2004) Gambar 6.8. Hubungan antara komponen soft dalam membentuk market value



6.26



1.



Manajemen Perubahan 



Knowledge Management Dewasa ini knowledge atau pengetahuan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sebuah organisasi/perusahaan, lebih-lebih jika organisasi tersebut adalah organisasi yang secara natural berbasis pengetahuan. Contoh yang sangat ideal untuk menggambarkan situasi ini bisa ditemukan pada institusi Perguruan Tinggi (PT). Sebagaimana kita ketahui, PT adalah organisasi yang menggunakan pengetahuan untuk mengembangkan dan menghasilkan pengetahuan (Rowley, 2000; Baban, 2007). Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengetahuan bagi sebuah PT merupakan input dan sekaligus output. Sementara itu proses penciptaan dan desiminasinya dilakukan oleh para akademisi yang tidak lain adalah orang-orang yang berpengetahuan (knowledge worker). Di samping itu, para akademisi yang sekaligus menjadi tempat menyimpan pengetahuan dituntut pula untuk terus mendapatkan, menciptakan, mengemas dan mengaplikasikan pengetahuan baru (Davenport, et al., 1996). Karena itu pulalah menjadi sangat wajar jika para akademisi memiliki peran penting dan menjadi penentu bagi kemajuan sebuah PT. Selain PT, organisasi lain yang memiliki karakteristik hampir sama dengan PT misalnya perusahaan pengembang perangkat lunak (software). Seperti halnya PT, perusahaan ini juga membutuhkan pengetahuan secara intensif dan oleh karena itu knowledge worker menjadi penentu keberhasilan perusahaan. Dalam perkembangannya bukan hanya organisasi-organisasi yang secara natural memanfaatkan pengetahuan sebagai daya saing, organisasi-organisasi lain pun mulai menciptakan pengetahuan untuk tujuan yang sama. Oleh karena itu pada era pengetahuan seperti sekarang ini sering dikatakan, organisasi yang bisa bertahan hidup dan meraih sukses hanyalah organisasi yang menjalankan aktivitasnya berbasis pengetahuan. Meski pernyataan ini terkesan bombastis, pada kenyataannya peran pengetahuan di dalam organisasi tidak bisa diabaikan. Semakin hari pengetahuan semakin menentukan keberhasilan seseorang maupun organisasi/perusahaan karena hampir semua aspek kehidupan organisasi dan bahkan kehidupan masyarakat sangat membutuhkan pengetahuan. Dalam konteks inilah mengelola pengetahuan menjadi sebuah kebutuhan. Tidak dipungkiri jika pada awalnya pengetahuan hanya tersimpan dan melekat pada masing-masing individu (Alavi & Leidner, 2001). Pengetahuan seperti ini disebut sebagai tacit knowledge (Nonaka, 1994; Nonaka & Takeuchi, 1995) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh orang yang



6.27



 EKMA4565/MODUL 6



bersangkutan. Sementara Hick et al. (2006) menyebutnya sebagai personal knowledge yaitu ―knowledge contained only in the mind of a person – pengetahuan yang tersimpan hanya pada pikiran seseorang‖. Jika penjelasan ini dikaitkan dengan contoh pada kasus institusi PT, manakala pengetahuan hanya tersimpan pada diri para akademisi maka manfaat yang diperoleh PT tersebut sangat minimal. Padahal tujuan sebuah organisasi membangun pengetahuan tentunya bukan sekedar agar para pekerjanya memiliki pengetahuan tetapi organisasi sebagai sebuah institusi juga memiliki pengetahuan. Artinya pengetahuan yang semula hanya melekat pada diri para karyawan harus dieksplisitkan sehingga bisa di-share kepada karyawan lain. Tujuannya manakala karyawan yang memiliki pengetahuan meninggalkan organisasi tidak dengan sendirinya pengetahuan hilang dari organisasi (Praise et al., 2006). Sebaliknya tujuan organisasi mengelola dan mengembangkan pengetahuan adalah agar terbentuk knowledge organization dan organisasi memiliki daya saing untuk mencapai tujuan (Gambar 6.9 memberikan sedikit gambaran awal tentang kaitan antara knowledge dengan tujuan organisasi).



Proses KM



Proses Pengetahuan



Hasil dari KM digunakan oleh Proses bisnis



Hasil dari Knowledge digunakan oleh Proses bisnis



Proses bisnis seperti penjualan atau pemasaran



Hasil dari bisnis: Pendapatan, Laba, ROI



Sumber: Firestone (2001) Gambar 6.9. Dari KM ke Hasil bisnis



6.28



Manajemen Perubahan 



Beruntung, dengan bantuan ICT pengetahuan sekarang bisa disimpan di perangkat-perangkat yang memungkinkan orang lain bisa mengaksesnya dengan mudah. Seperti dikatakan Davenport et al. (1998) agar sebuah organisasi menjadi knowledge organization, yang pertama harus dilakukan adalah menciptakan tempat penyimpanan pengetahuan (knowledge repositories) di mana pengetahuan dan informasi dapat disimpan dalam bentuk dokumen. Dengan karakteristik cara penyimpanan pengetahuan seperti ini dengan demikian pengetahuan bukan lagi hanya milik individu tetapi sudah bergeser menjadi milik publik – dalam hal ini milik organisasi, sehingga sangat memungkinkan bagi organisasi untuk mengelola pengetahuan dengan baik dan ujung-ujungnya semua pihak memperoleh manfaat yang optimal dari pengetahuan tersebut. Dengan bahasa lebih sederhana pengetahuan harus dikelola. Pengelolaan pengetahuan inilah yang dikenal dengan istilah knowledge management. Sebelum kita mencoba memahami lebih detail apa itu knowledge management (KM) dan bagaimana mengelolanya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa KM sebagai sebuah kajian tidak hanya dikaji dari satu disiplin ilmu tertentu. Berbagai disiplin ilmu terlibat dalam kajian KM. Ilmu filsafat misalnya, memberi kontribusi dalam mendefinisikan pengetahuan. Cognitive science berkontribusi dalam pemahaman knowledge worker; ilmu sosial (dalam memahami motivasi, interaksi antar manusia, budaya dan lingkungan pengetahuan); information science (membangun kapabilitas terkait dengan pengetahuan); management science (optimalisasi operasi organisasi dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan organisasi); knowledge engineering (mengumpulkan dan mengkodifikasi pengetahuan); artificial intelligence (automatisasi kegiatan rutin dan pekerjaan-pekerjaan bermuatan pengetahuan) dan ilmu ekonomi (menentukan skala prioritas). Akibat dari ragam disiplin ilmu yang terlibat dalam kajian pengetahuan maka tidak terelakkan jika (1) consensus untuk mendefinisikan KM tidak pernah tercapai dan (2) munculnya beberapa aliran dalam memahami konsep KM. Firestone (2001) dengan merujuk pada web site yang dikelola Dr. Yogesh Malhotra menemukan ragam definisi KM yang kadang-kadang berbeda satu dengan lainnya (untuk lebih detail, silakan buka www.brint.com.). Kritik Firestone terhadap definisi yang ada (kritik yang sama juga disampaikan oleh Alvesson & Karreman, 2002) adalah kebanyakan definisi cenderung mengabaikan kata ―management‖ seolah-olah KM bukan manajemen terhadap pengetahuan. Firestone sendiri kemudian



 EKMA4565/MODUL 6



6.29



mendefiniskan KM sebagai ―human activity that is part of the Knowledge Management Process (KMP) of an agent or collective – aktivitas manusia sebagai bagian dari proses manajemen pengetahuan baik secara individu maupun kolektif. Menurut Firestone, definisi ini merupakan bahasa lain dari ―manajemen siklus hidup pengetahuan (Knowledge Life Cycle – KLC) dan hasilnya‖. Sementara itu Davenport et al. (1998) mendefinisikan KM sebagai eksploitasi dan pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Termasuk yang di mana di dalam KM adalah pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) – pengetahuan yang sudah menjadi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan tasit (tacit knowledge) – pengetahuan yang bersifat subyektif yang melekat pada diri masing-masing individu. Mengingat manajemen pengetahuan meliputi semua proses yang terkait dengan identifikasi, sharing dan penciptaan pengetahuan maka manajemen pengetahuan membutuhkan sistem yang memungkinkan (a) untuk membangun dan memelihara tempat penyimpanan pengetahuan (knowledge repository) dan (b) untuk membudayakan dan memfasilitasi knowledge sharing dan proses pembelajaran. Davenport et al. selanjutnya mengatakan organisasi yang berhasil dalam mengelola pengetahuan pada umumnya menganggap pengetahuan sebagai aset dan berusaha mengembangkan norma dan nilai-nilai yang mendukung penciptaan dan sharing pengetahuan. 2.



Mazhab (Aliran) dalam Knowledge Management Michael Earl (2001) membedakan mazhab atau aliran dalam KM menjadi tujuh (7) aliran yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga (3) mahzab yaitu: mahzab technocratic terdiri dari sistem, cartographic dan engineering; mazhab economic hanya memiliki komponen tunggal yaitu commercial; dan mazhab behavioral terdiri dari organizational, spatial dan strategic (lihat Gambar 6.10). Earl mengakui bahwa penggolongan KM ke dalam tiga mazhab ini masih belum sempurna. Sangat boleh jadi ada pembagian mazhab yang lebih komprehensif namun dengan menggolongkan KM ke dalam tiga mazhab ini diyakini bias membantu memahami konsep KM secara umum. Mazhab pertama disebut technocratic karena mazhab ini berbasis pada teknologi informasi dan manajemen yang pada batas-batas tertentu berupaya untuk mendukung knowledge worker dalam menjalankan tugas sehari. Secara filosofi mazhab ini berupaya untuk mengkodifikasi pengetahuan, menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain



6.30



Manajemen Perubahan 



dan berupaya untuk meningkatkan kapabilitas organisasi dengan memanfaatkan pengetahuan. Mazhab kedua disebut economic karena pada mazhab ini manajemen pengetahuan lebih diorientasikan bagaimana organisasi menciptakan pendapatan dan nilai tambah melalui eksploitasi pengetahuan dan intellectual capital. Walhasil mazhab kedua lebih melihat KM sebagai media untuk meningkatkan nilai tambah organisasi dalam perspekti ekonomi. Mazhab terakhir – behavioral lebih ditujukan bagi para manajer bagaimana mereka mendorong dan mengelola organisasi sehingga setiap individu lebih proaktif dalam menciptakan, berbagi dan menggunakan pengetahuan sebagai sumber daya. Oleh karena kolaborasi, melakukan kontak dan kesadaran tentang KM menjadi unsur penting.



Sumber: Michael Earl (2001) Gambar 6.10. Mazhab dalam KM



3.



Knowledge Life Cycle McElroy (2000) mengatakan bahwa KM is all about getting the right information to the right people at the right time. Jadi pada intinya KM merupakan proses untuk mendapatkan informasi yang tepat untuk orang yang



 EKMA4565/MODUL 6



6.31



tepat pada waktu yang tepat. Menurut McElroy pandangan ini menganggap bahwa organisasi seolah-olah telah memiliki pengetahuan yang sangat berharga sehingga tugas seorang manajer lebih pada bagaimana mendapatkan pengetahuan tersebut, mengkodifikasikannya dan mendistribusikannya kepada para pekerja sehingga ujung-ujungnya kinerja organisasi meningkat. Pemahaman terhadap KM seperti ini oleh McElroy disebut sebagai ―supply side of KM‖. Secara konvensional pengembangan KM cenderung menggunakan pendekatan ini. Kebalikan dari supply side adalah ―demand side of KM‖. Tidak seperti pada supply side yang menggunakan asumsi bahwa organisasi memiliki pengetahuan, para praktisi dengan pendekatan demand side justru mempertanyakan: jika organisasi harus menunggu datangnya pengetahuan dari supply side dan hanya sekedar mengelola pengetahuan lama, apakah organisasi bisa meningkatkan kemampuannya untuk bersaing dan meningkatkan kinerjanya? Para praktisi yang berorientasi pada demand side mengakui jika berbagi pengetahuan merupakan hal penting tetapi apakah kita tidak bisa fokus untuk menghasilkan pengetahuan sendiri yang lebih baru yang memiliki daya kompetisi yang lebih tinggi? Barangkali inilah pertanyaan penting dari praktisi pada sisi demand side. Dengan bahasa lain, para penganut demand side sesungguhnya bukan tidak mengakui adanya supply side tetapi mereka lebih memprioritaskan untuk menciptakan pengetahuan yang lebih baru. Bahwa kemudian sumber untuk menciptakan pengetahuan baru tersebut adalah pengetahuan dari supply side, bagi penganut demand side tidak menjadi masalah. McElroy (2000) menyebut supply side of KM sebagai KM generasi pertama. Sedangkan praktik yang menyeimbangkan antara supply side dan demand side disebut sebagai KM generasi kedua. KM generasi kedua inilah yang disebut juga ―The New Knowledge Management‖. McElroy lebih lanjut mengatakan bahwa dengan New KM pengetahuan akan terus diproduksi dan proses produksinya mengikuti suatu aturan tertentu serta pola prilaku tertentu yang bisa diprediksi. Jika berbagai pihak mendukung dan memperkuat prilaku tersebut maka akselerasi peningkatan produksi pengetahuan akan semakin tinggi dan konsekuensinya terjadinya proses pembelajaran organisasi dan inovasi berkelanjutan. New KM yang dikembangkan oleh McElroy menghasilkan sebuah model teoritis yang bisa digunakan untuk memotret proses produksi, difusi dan implementasi pengetahuan. Model ini berupa siklus hidup pengetahuan



6.32



Manajemen Perubahan 



(Knowledge Life Cycle = KLC) seperti tampak pada Gambar 6.11 dengan urutan sebagai berikut: a. Semua pengetahuan pada dasarnya berasal dari diri dan pikiran seseorang. Bisa dikatakan bahwa organisasi bisa belajar jika dan hanya jika orang-orangnya mau belajar. Oleh karena itu tahapan penting dalam memproduksi pengetahuan baru dan berbagi pengetahuan adalah pengalaman individu dalam proses pembelajaran. b. Ketika seseorang telah melakukan pembelajaran dan hasilnya dikaitkan dengan pengalaman sebelumnya maka muncul suatu situasi di mana ada hal-hal tertentu yang bisa mereka teruskan dan ada hal-hal lain yang harus dihentikan. Dengan kata lain, setelah seseorang mengetahui sesuatu maka ada hal-hal tertentu yang bisa disepakati karena sesuai dengan pengelaman sebelumnya dan ada hal-hal yang tidak bisa disepakati karena bertentangan dengan pengalaman sebelumnya. Dalam hal mereka tidak sepakat hampir pasti muncul keinginan untuk menyelesaikannya. Sebagai contoh jika seseorang menurut pengetahuannya yakin bahwa atasan mereka melakukan suatu kesalahan maka hal pertama yang akan dilakukan adalah memberi tahu atasan akan kesalahan tersebut. Tetapi sebelum hal itu dilakukan biasanya ia akan berbagi pengetahuan terlebih dahulu dengan orang lain tentang sesuatu yang ia ketahui. Jika keduanya saling tertarik untuk mendiskusikan persoalan tersebut maka mereka akan saling berbagi pengetahuan dan menciptakan pengetahuan yang peredaran terbatas di kalangan mereka. Dari sinilah terbentuk community of knowledge di mana pengetahuan telah berubah menjadi property public meski belum bersistem ke dalam organisasi. c. Komunitas yang telah berbagi pengetahuan selanjutnya meneruskan proses pembentukan pengetahuan yang kadang-kadang diselingi proses negosiasi agar pengetahuan baru bisa diterima. Hal ini bisa diartikan bahwa masing-masing anggota komunitas mencoba membawa pengetahuan kepada forum diskusi yang kemudian dibahas bersama, dimodifikasi dan diperbaharui. Hasilnya adalah pengetahuan baru yang kemudian diklaim sebagai pengetahuan milik komunitas tersebut. Namun jika di antara mereka terjadi ketidaksepakatan terhadap pengetahuan baru maka terjadi proses negosiasi sampai tercapai kesepakatan. Hanya saja proses negosiasi ini tidak terjadi pada level individual tetapi pada level organisasi.



 EKMA4565/MODUL 6



d.



e.



6.33



Ketika komunitas telah menciptakan pengetahuan dan dalam batas-batas tertentu pengetahuan baru tersebut tidak sejalan dengan praktik pengetahuan yang ada, sangat boleh jadi mereka akan membawa masalah ini pada senior manajer yang notabenenya mewakili komunitas formal organisasi. Boleh jadi pengetahuan baru yang diciptakan oleh komunitas tersebut bisa diterima atau tidak secara formal tetapi yang jelas penciptaan pengetahuan baru sudah sampai pada ranah struktur formal organisasi, bukan sekedar pada ranah informal seperti sebelumnya. Jika senior manajer sebagai wakil otoritas formal mencoba menciptakan pengetahuan baru yang berbeda dengan pengetahuan yang dibawa oleh komunitas informal dan berusaha untuk menyebarkannya ke dalam praktik atau mengintegrasikannya secara organisasional maka terjadilah tahap integrasi pengetahuan dalam siklus pengetahuan. Pengetahuan kemudian menyebar baik secara kebetulan maupun sengaja disebarkan. Selanjutnya pengetahuan yang telah tersebar ke seluruh elemen organisasi akan menciptakan proses pembelajaran dan terjadilah inovasi organisasi. Jika pengetahuan telah tersebar dan menjadi praktik yang dominan dalam kehidupan organisasi maka individu-individu yang mengaplikasikannya akan mendapat pengalaman baru. Dampaknya adalah pengetahuan baru akan memberikan umpan balik bagi yang mempraktekkannya dan secara berturut-turut pengetahuan baru tersebut akan menjadi dasar untuk menilai apakah pengetahuan baru lebih memiliki nilai atau tidak. Yang lebih penting lagi adalah umpan balik ini boleh jadi akan merubah cara kerja dan cara berpikir seseorang, menciptakan masalah, mendorong untuk belajar dan menemukan sesuatu yang baru yang pada akhirnya akan menjadikan proses ini kembali pada tahap pertama siklus pengetahuan.



6.34



Manajemen Perubahan 



Sumber: McElroy (2000) Gambar 6.11. Siklus Hidup Pengetahuan



4.



Knowledge Management dalam Praktik Untuk memperoleh gambaran bagaimana sebuah organisasi mengelola pengetahuan berikut ini contoh praktik manajemen pengetahuan yang dilakukan dua perusahaan konsultan McKinsey & Co dan Earnst & Young sebagaimana dituturkan oleh Rowley (2000). McKinsey adalah perusahaan konsultan yang telah mempraktikkan manajemen pengetahuan lebih dari 20 tahun. Pada mulanya perusahaan ini hanya membentuk kelompok kerja yang tujuannya adalah mengembangkan pengetahuan untuk area manajemen strategi dan organisasi. Baru pada tahun 1987 McKinsey secara resmi membangun proyek manajemen pengetahuan khususnya dalam membangun database perusahaan untuk tujuan praktis. Pada mulanya tentu saja banyak karyawan yang enggan terlibat dalam proyek ini; mereka cenderung resisten dan bahkan partner dari McKinsey harus dibujuk dan ditantang untuk menunjukkan core knowledge-nya. Meski mendapat rintangan proyek ini terus berjalan dengan mengandalkan pada network masing-masing individu



 EKMA4565/MODUL 6



6.35



yang terlibat dalam proyek. Proyek manajemen pengetahuan mendapatkan momentum pada tahun 1994 saat terjadi pergantian direktur perusahaan di mana Ia menemukan mekanisme untuk melakukan proses pembelajaran bagi para ekspertis. Salah satunya adalah dengan melakukan kompetisi ala Olimpiade di mana masing-masing tim yang mewakili wilayah kerja berlomba dan menyajikan ide-idenya yang diperoleh saat mereka melayani klien. Sementara itu cara yang sedikit berbeda ditempuh oleh Ernst & Young dalam membangun manajemen pengetahuan. Ernst & Young mulai focus pada manajemen pengetahuan pada tahun 1993 dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan modal intelektual dan menggunakan pengalaman sebelumnya sebagai dasar untuk praktik-praktik melayani klien di masa mendatang. Salah satu strateginya adalah membangun komunitas yang memiliki kepentingan yang sama (community of interest). Ernst & Young memiliki 70 jaringan di dalamnya terdiri dari para ekspertis dan community of interest. Masing-masing jaringan memiliki database tersendiri. Sebagai contoh, satu jaringan fokus pada industry otomotif dengan segala informasi yang berkaitan dengan industry tersebut. Di samping itu siapa ekspert di bidang otomotif juga bisa diketahui dengan jelas. Secara sederhana, untuk mengelola pengetahuan, Ernst & Young menyediakan semua kebutuhan mulai dari data, infrastruktur dan Chief Knowledge Officer sehingga siapapun yang membutuhkan pengetahuan bias dengan mudah mengaksesnya dan menggunakannya untuk kepentingan perusahaan dalam melayani klien. Dari sinilah Ernst & Young mampu bersaing dengan konsultan lainnya dan meraih sukses sampai kini. Berdasarkan kedua contoh di atas, Rowley (2000) kemudian membuat daftar yang bias digunakan bagi organisasi yang ingin mengembangkan dan mengelola pengetahuan: a. Mengelola dan mengembangkan pengetahuan harus melibatkan orangorang disegani di bidangnya. b. Sejak semula harus disadari jika banyak orang yang enggan mendokumentasikan pengetahuan inti yang dimilikinya. c. Praktik manajemen pengetahuan membutuhkan waktu untuk merealisasikannya ke dalam praktik. d. Community of interest memegang peran penting dalam manajemen pengetahuan.



6.36



e.



f.



Manajemen Perubahan 



Dalam manajemen pengetahuan kemajuan hanya akan diperoleh jika ada sekelompok orang yang ditunjuk untuk berperan dalam manajemen pengetahuan. Termasuk di dalamnya orang-orang yang ditugasi untuk memvalidasi konten dan dukungan terhadap database, di samping para staf untuk mengawalnya. Pemroses pengetahuan akan bias bekerja lebih efisien dan efektif jika target pengetahuan yang akan dikelola diidentifikasi dengan jelas dan dalam pengelolaannya ada struktur pengetahuan yang disusun secara hirarkhis sesuai dengan peran pentingnya.



5.



Perubahan Organisasi dan Knowledge Management Telah berulang kali dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa kita sekarang ini hidup pada masyarakat pengetahuan (knowledge society) di mana setiap individu dan setiap organisasi tidak bisa melepaskan diri untuk tidak terlibat dengan pengetahuan. Yang barangkali harus disadari oleh setiap manajer adalah proses terciptanya pengetahuan baru terjadi dalam skala waktu yang relatif pendek sehingga dalam waktu yang pendek pula ratusan pengetahuan baru muncul berbarengan dan bertebaran ke segala penjuru. Akibatnya siklus hidup pengetahuan menjadi semakin pendek. Pengetahuan baru bisa berubah dengan cepat menjadi pengetahuan lama dan tanpa disadari tiba-tiba menjadi kedaluwarsa. Dalam perspektif yang lebih makro, semakin pendeknya siklus hidup pengetahuan tentunya berakibat pada semakin cepatnya perubahan lingkungan eksternal dan konsekuensi logisnya adalah lingkungan eksternal semakin tidak menentu (uncertain) dan turbulensi lingkungan menjadi semakin tinggi. Ujung-ujungnya organisasi harus segera melakukan perubahan dan menciptakan pengetahuan baru agar terus bisa bersaing. Siklus seperti ini tampaknya akan terus berputar tanpa pernah akan berhenti. LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! I)



Jelaskan keterkaitan antara knowledge creation, intangible asset dan intellectual capital! 2) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang knowledge management! 3) Sebutkan beberapa mazhab yang mendasari knowledge management!



 EKMA4565/MODUL 6



6.37



Petunjuk Jawaban Latihan 1) Silakan Anda menyimak dan membacanya pada halaman 14 sampai dengan halaman 23, intinya adalah bahwa Ketiga komponen inilah yang secara bersama-sama menciptakan nilai tambah perusahaan bagi perusahaan. 2) Simak dan pahami materi pada halaman 24 sampai dengan halaman 31. Pada intinya knowledge management merupakan sebuah kajian yang berasal bukan hanya dari satu disiplin ilmu tertentu. Berbagai disiplin ilmu terlibat dalam kajian knowledge management. Davenport et al. (1998) mendefinisikan knowledge management sebagai eksploitasi dan pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Termasuk yang dimana didalam knowledge management adalah pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) — pengetahuan yang sudah menjadi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan tasit (tacit knowledge) — pengetahuan yang bersifat subyektif yang melekat pada diri masing-masing individu. Mengingat manajemen pengetahuan meliputi semua proses yang terkait dengan identifikasi, sharing dan penciptaan pengetahuan maka manajemen pengetahuan membutuhkan sistem yang memungkinkan (a) untuk membangun dan memelihara tempat penyimpanan pengetahuan (knowledge repository) dan (b) untuk membudayakan dan memfasilitasi knowledge sharing dan proses pembelajaran. 3) Michael Earl membedakan mazhab atau aliran dalam knowledge management menjadi tujuh (7) aliran yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga (3) mahzab yaitu: Mahzab Technocratic terdiri dari system, cartographic dan engineering; Mazhab Economic hanya memiliki komponen tunggal yaitu commercial; dan Mazhab Behavioral terdiri dari organizational, spatial dan strategic. R A NG KU M AN Knowledge management adalah sebuah kajian yang tidak hanya dikaji dari satu disiplin ilmu tertentu, melainkan berasal dari beberapa disiplin ilmu. Firestone mendefiniskan knowledge management sebagai aktivitas manusia sebagai bagian dari proses manajemen pengetahuan baik secara individu maupun kolektif. Sementara Davenport et al.



6.38



Manajemen Perubahan 



mendefinisikan knowledge management sebagai eksploitasi dan pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Termasuk yang di mana di dalam knowledge management adalah pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) — pengetahuan yang sudah menajdi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan tasit (tacit knowledge) — pengetahuan yang bersifat subyektif yang melekat pada diri masing-masing individu. Michael Earl membedakan mazhab atau aliran dalam knowledge management menjadi tiga mahzab yaitu: Mahzab Technocratic terdiri dari sistem, cartographic dan engineering; Mazhab Economic hanya memiliki komponen tunggal yaitu commercial; dan Mazhab Behavioral terdiri dari organizational, spatial dan strategic.



TES F OR M AT IF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pada masa knowledge-based economy peran aset berujud dalam menciptakan nilai tambah perusahaan juga terus mengalami penurunan, peran ini tergantikan oleh aset tidak berujud, salah satu aset tidak berujud adalah .... A. mesin B. gedung C. tanah D. knowledge 2) Untuk menciptakan market value, perusahaan membutuhkan capital yang berasal dari sumberdaya manusia, yaitu .... A. structure capital B. customer capital C. intellectual capital D. financial capital 3) Knowledge asset terdiri dari input, output dan faktor-faktor yang memoderasi proses penciptaan pengetahuan, yang dikelompokkan menjadi empat kelompok aset, diantaranya adalah .... A. explicit knowled B. experiential knowledge asset C. mecanical knowledge asset D. knowledge engineering



6.39



 EKMA4565/MODUL 6



4) Mazhab dalam Knowledge Management yang berbasis pada teknologi informasi dan manajemen yang pada batas-batas tertentu berupaya untuk mendukung knowledge worker dalam menjalankan tugas sehari adalah mazhab .... A. economic B. perubahan C. technocratic D. behavioral 5) Di bawah ini adalah perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menerapkan Knowledge Management, salah satunya adalah .... A. Ernst & Young B. Telkomsel C. McDonald D. Kentucky Freid Chicken Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.



6.40



Manajemen Perubahan 



Kegiatan Belajar 2



Inovasi Organisasi



U



ntuk memulai KB 2 mahasiswa kembali diajak untuk menelaah ulang perjalanan peradaban manusia mulai dari era pertanian, era industri dan era informasi. Lenski & Lenski (1978) mengatakan bahwa setiap perpindahan dari satu era ke era lainnya selalu diawali dengan inovasi khususnya inovasi di bidang teknologi. Pada mulanya inovasi hanya dilakukan oleh seseorang kemudian melibatkan beberapa orang dan komunitas, dan akhirnya menjadi inovasi sekelompok masyarakat. Dari rangkaian inovasi tersebut hasil akhirnya adalah perubahan masyarakat seperti yang digambarkan Alvin Toffler (1980). Dari penjelasan ini, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita petik. Pertama, inovasi bukan hanya monopoli masyarakat modern tetapi sudah dipraktikkan ribuan tahun yang lalu meski skala inovasinya boleh jadi berbeda. Artinya inovasi adalah fenomena yang sudah tua dan bahkan menurut Fragerberg (2003) inovasi secara inheren adalah manusiawi karena setiap orang pasti menginginkan sesuatu yang lebih baik. Kedua, sekecil apapun kontribusinya inovasi selalu menyebabkan perubahan. Atau dengan kata lain hasil dari inovasi adalah perubahan dalam pengertian dengan inovasi diharapkan terjadi kemajuan atau progres dan hidup akan jauh lebih mudah. Seandainya dunia ini tanpa inovasi kita bisa membayangkan bagaimana dunia begitu lengang karena tidak ada deru pesawat terbang, lalu lalang kendaraan bermotor dan dunia sepi dari informasi karena tidak ada komputer. Terlepas bahwa inovasi sudah sangat lama dipraktikkan, namun dalam ranah ilmiah, inovasi baru dikaji pada tahun 1930an melalui tulisan Schumpeter (lihat Hagedoorn, 1996) dan baru pada pertengahan abad 20 inovasi mulai mendapat perhatian serius para akademisi dari berbagai disiplin berbeda (Ravichandran, 2000) yang ditandai oleh tulisan Burns & Stalker (1961) ―The management of innovation‖. Sampai saat ini tulisan Burns & Stalker bahkan masih menjadi salah satu rujukan utama untuk kajian inovasi. Puncak perhatian para akademisi terhadap pentingnya memahami konsep inovasi terjadi menjelang akhir abad 20 awal abad 21 dengan ragam dan jumlah kajian yang terus meningkat secara akselaratif. Ketika itu masyarakat memasuki era informasi dan pengetahuan di mana kehidupan berjalan sangat cepat dan perubahan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan



 EKMA4565/MODUL 6



6.41



mereka. Pada era ini siklus perubahan bahkan mengalami percepatan, tidak menentu dan tidak mudah diprediksi kemana arah perubahannya. Dalam kondisi semacam ini frase ―innovate or evaporate‖ menjadi kosakata setiap orang. Jika kita ingin bertahan hidup kita harus inovatif; jika tidak, kita sendiri yang ditelan zaman. Orang Jawa mengatakannya ―iki jaman edan ora ngedan ora keduman‖ yang bisa diterjemahkan ―kalau kita tidak kreatif/inovatif kita tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat‖. Tentunya frase ini bukan hanya berlaku bagi manusia sebagai individu tetapi juga masyarakat dan bahkan berlaku juga bagi organisasi. Dalam konteks kajian ilmiah inovasi bukanlah kata yang berdiri sendiri; beberapa kata lain seperti pengetahuan, kreativitas, pembelajaran, ikut menyertainya. Sebagai contoh, agar bisa inovatif tentunya seseorang harus berpengetahuan dan berpikiran kreatif. Steiner (2009) misalnya mengatakan bahwa kreativitas merupakan prasyarat untuk terciptanya inovasi. Sementara itu menurut Tierney & Farmer (2002) pengalaman kerja sebagai indikator adanya proses pembelajaran secara praktis dan latar belakang pendidikan sebagai pertanda seseorang belajar secara konseptual merupakan prediktor terhadap keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berkreasi (creative selfefficacy). Artinya orang yang kreatif pada umumnya memiliki pengetahuan khusus yang mendalam, baik pengetahuan lapangan maupun pengetahuan akademik. Dari kedua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa pengetahuan-kreativitas-inovasi adalah sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan. Ketiganya akan terus berinteraksi dan ketiganya muncul karena di satu sisi adanya tuntutan hidup yang lebih baik dan di sisi lain terjadinya tekanan perubahan lingkungan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika perubahan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari rangkaian hubungan pengetahuan-kreativitas-inovasi. Seperti halnya pengetahuan (knowledge) yang pada awalnya hanya menjadi property individual, inovasi juga demikian karena hanya manusia yang mampu berinovasi. Schumpeter (1934) pada mulanya mengatakan bahwa inovasi adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seorang entrepreneur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan entrepreneur adalah seseorang dalam kedudukannya sebagai individu. Namun pada buku berikutnya Schumpeter mengatakan lain. Menurutnya lokus tempat inovasi berproses bergeser dari individu ke perusahaan besar (lihat misalnya: Doganova & Renault, 2008). Schumpeter berubah pikiran karena beranggapan hanya organisasi besar yang memiliki sumber daya yang



6.42



Manajemen Perubahan 



dibutuhkan untuk melakukan inovasi. Inovasi tidak hanya membutuhkan kreativitas individual semata tetapi membutuhkan juga kolaborasi, sumber dana, riset secara intensif dan bantuan teknologi yang semuanya itu hanya mungkin tersedia jika difasilitasi perusahaan besar. Pandangan Schumpeter sejalan dengan fakta bahwa dalam kehidupan modern seperti sekarang ini peran organisasi dalam mempengaruhi masyarakat banyak jauh lebih besar ketimbang peran individu (lihat kembali Modul 1 yang membahas perubahan dalam skala mikro). Sehebat apapun dalam berinovasi, Bill Gate tidak akan mengubah dunia jika tidak ada mendirikan Microsoft. Memang Bill Gate lah orang yang mendirikan dan menjadi tokoh sentral Microsoft tetapi tidak boleh dilupakan bahwa Microsoft lah yang sesungguhnya melakukan inovasi karena di sana bukan hanya Bill Gate tetapi berkumpul para ekspertis yang saling belajar dan berbagi pengetahuan sehingga dari situlah inovasi berkembang dan menjadi budaya. Uraian di atas membawa kita pada satu simpulan ketika kita bicara tentang inovasi pada dasarnya yang kita bicarakan adalah inovasi organisasi. Hal ini bukan berarti peran manusia dalam inovasi bisa diabaikan. Memang manusia merupakan pelaku utama inovasi namun harus disadari pula bahwa inovasi tidak ditentukan oleh manusia sebagai satu-satunya faktor. Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan terciptanya inovasi sebut saja sumber daya keuangan, teknologi, struktur, iklim dan budaya organisasi. Bahkan seperti dikatakan Dodgson (2009) peran negara dalam menumbuhkan daya inovasi masyarakat juga tidak kalah penting. Inovasi dengan demikian merupakan bidang kajian yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai disiplin berbeda dan menggunakan lensa berbeda sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam menelaahnya. Untuk memperoleh gambaran awal tentang apa itu inovasi, ilustrasi yang digunakan Timon Gartner (2009) sebagai pembuka proposal disertasi yang ditulisnya akan dipaparkan di sini dengan harapan bisa membantu kita memahami inovasi secara umum dan istilah-istilah lain yang terkait – kreativitas dan adopsi. Pada tahun 1903 Mary Anderson mematenkan temuan kecilnya – wiper untuk membersihkan kaca mobil dari air hujan/salju, yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomi namun dewasa ini masyarakat (pengendara mobil) menikmati hasil temuan tersebut. Temuan itu bermula dari masalah yang dihadapi setiap pengendara mobil termasuk Anderson yang setiap kali harus turun dari mobil sekedar untuk membersihkan salju yang menempel di kaca mobilnya. Pada waktu itu pada umumnya masyarakat



 EKMA4565/MODUL 6



6.43



menerima apa adanya kondisi semacam itu. Namun tidak demikian dengan Anderson. Merasa tidak puas dengan kondisi tersebut Anderson kemudian membuat gambar mekanik yang diyakininya bisa mengatasi masalah tersebut. Dari sinilah Mary Anderson mendapat hak paten pembersih kaca sebagai hasil invensi yang dia lakukan. Cerita ini memberi gambaran bahwa inovasi bermula ketika seseorang merasa tidak puas dengan suatu keadaan dan termotivasi untuk melakukan perubahan. Atau dengan kata lain seseorang tidak boleh menggunakan logika secara konvensional dan linier untuk bisa berinovasi. Gangguan yang kita hadapi harus disikapi secara kritis dan memerlukan imaginasi dan kreativitas. Dari situlah inovasi akan muncul dan gangguan yang sama tidak akan muncul secara berulang. Dari cerita di atas tampak bahwa kreativitas, termasuk di dalamnya imaginasi, selalu datang mendahului terciptanya inovasi. Itulah sebabnya orang awam sering menyalahartikan seolah-olah inovasi dan kreativitas adalah satu dan pengertiannya sama. Woodman et al. (1993) secara tegas membedakan kedua istilah tersebut. Kreativitas merupakan sub set dari inovasi dan inovasi merupakan sub set dari perubahan organisasi. Meski inovasi merupakan bagian dari perubahan organisasi akan tetapi tidak semua perubahan organisasi sama dengan inovasi. Artinya perubahan organisasi tidak harus inovatif tetapi inovasi hampir selalu berakibat pada perubahan. Demikian juga, meski hasil dari kreativitas bisa berupa produk, jasa, ide dan proses baru yang nantinya diimplementasikan melalui inovasi, inovasi tidak selalu mengandung unsur kreativitas. Boleh jadi inovasi hanya sekedar mengadaptasi produk dan proses yang sudah ada sebelumnya atau sekedar mengadopsi apa yang diciptakan orang lain di luar organisasi. Dari penjelasan Woodman et al. paling tidak ada dua istilah yang pengertiannya perlu diklarifikasi agar kita memperoleh pemahaman yang lebih baik. Kedua istilah tersebut adalah kreativitas dan inovasi. Sementara itu jika kita merujuk pada pandangan Ravichandran (2000) tentang inovasi maka istilah inovasi itu sendiri perlu diklarifikasi lebih jauh karena istilah ini memiliki kedekatan dengan istilah adopsi. A. KREATIVITAS Sternberg (2001) mengatakan bahwa orang yang kreatif tidak sama dengan orang yang cerdas. Kecerdasan menurut Sternberg adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Sebagai contoh, ketika



6.44



Manajemen Perubahan 



harga ponsel semakin hari semakin terjangkau dampaknya adalah penurunan jumlah orang yang menelepon menggunakan jasa wartel. Jika anda seorang pemilik wartel yang cerdas maka anda akan segera tanggap bahwa bisnis wartel sudah tidak menguntungkan. Oleh karenanya menutup wartel dan berpindah ke bisnis lain yang sedang trend saat itu misalnya jualan pulsa atau mengubah wartel menjadi gerai ponsel adalah solusi yang cerdas. Hal yang sama pernah dialami Lou Gertsner mantan CEO IBM. Ketika diserahi untuk mengelola IBM Lou sadar bahwa trend industry computer telah bergeser dari mainframe ke Personal Komputer (PC). Di sisi lain Lou sebagai CEO yang cerdas yakin bahwa pengguna PC pada akhirnya akan membutuhkan jaringan. Oleh karenanya Ia lantas memutuskan untuk masuk ke bisnis jaringan dan berhasil. Dua contoh ini menggambarkan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang memiliki keterampilan sehingga ia mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan. Sementara itu kreativitas oleh Sternberg didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan bukan hanya produk berkualitas tetapi juga baru. Gedung berbentuk U terbalik yang akan dibangun untuk menggantikan gedung lama DPR RI yang rancangannya dihasilkan para arsitek yang cerdas sesungguhnya memenuhi kriteria sebagai produk kreatif karena gedung tersebut boleh jadi berkualitas tinggi. Sayangnya kriteria lain tidak terpenuhi yakni karena gedung tersebut ternyata meniru sebuah gedung yang berlokasi di La Defense Paris bernama ―Grand Arch‖ dan keduanya bahkan hampir sama persis. Oleh karena itu gedung baru berbentuk U terbalik tidak bisa disebut sebagai produk kreatif. Artinya calon gedung baru DPR RI merupakan contoh produk yang dihasilkan orang yang sekedar cerdas tetapi bukan orang yang kreatif. Tentang perbedaan antara kreativitas dan kecerdasan, Sternberg lebih jauh mengatakan (1) kreativitas lebih luas dibandingkan dengan kecerdasan. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana orang yang cerdas belum tentu kreatif. Sebaliknya orang yang kreatif cenderung cerdas meski tidak harus. Bahwa orang kreatif tidak harus cerdas dikemukakan oleh Hayes (1990) ―orang yang kreatif boleh jadi memiliki IQ tinggi tetapi bisa jadi IQ-nya tidak terlalu tinggi, (2) meski kreativitas merupakan property individual, kreativitas tidak berada pada ruang isolasi. Sebuah produk tidak bisa dikatakan produk kreatif hanya karena penciptanya mengatakan bahwa produk tersebut merupakan produk kreatif. Kreativitas harus diletakkan dalam konteks sosial



 EKMA4565/MODUL 6



6.45



dalam pengertian apakah sebuah karya dianggap sebagai karya yang kreatif atau tidak, sangat bergantung pada penilaian sistem sosial terhadap produk tersebut. Oleh karena itu suatu karya bisa dianggap kreatif bagi sekelompok masyarakat tetapi belum tentu dianggap karya kreatif bagi kelompok masyarakat lain. Kreativitas sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan produk tetapi dengan karya-karya lainnya. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Woodman et al. (1993) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah penciptaan produk, jasa, ide, proses atau prosedur baru yang berguna dan berharga, dilakukan oleh individu-individu yang bekerja bersama dalam sebuah kompleksitas sistem sosial. Sementara itu Lubart & Guignard (2004) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan asli yang mampu memenuhi kondisi saat ini yang terbatas. Dari ketiga definisi kreativitas yang disebutkan di muka dan definisidefinisi lain yang tidak disebutkan di sini tampak bahwa masing-masing penulis cenderung menggunakan bahasa berbeda untuk menjelaskan esensi kreativitas. Dibalik perbedaan tersebut, setiap definisi juga mengandung unsur kesamaan dan unsur kesamaan inilah yang bisa disebut sebagai karakteristik kreativitas. Pertama, kreativitas meliputi semua bentuk karya manusia baik karya yang berujud (produk) maupun tidak berujud termasuk desain, proses dan ide. Kedua, proses kreativitas tidak terjadi secara kebetulan melainkan merupakan sebuah upaya yang sengaja dilakukan. Hal ini bisa diartikan bahwa kreativitas akan muncul jika pelakunya memiliki pengetahuan untuk itu. Pengetahuan tersebut boleh jadi pengetahuan praktis yang berbasis pada pengalaman masa lalu dan boleh jadi pengetahuan akademik hasil dari pendidikan formal. Ketiga, kreativitas harus menghasilkan sesuatu yang baru dan orisinal. Bisa dikatakan bahwa kebaruan adalah esensi dari kreativitas. Gedung baru berbentuk U sebagai calon pengganti gedung lama DPR RI seperti dicontohkan di muka bukanlah produk kreatif karena konsepnya tidak orisinal dan tidak baru sama sekali. Keempat, tidak dipungkiri bahwa individu merupakan aktor utama pelaku kreativitas tetapi kreativitas tidak hanya dilakukan secara individual tetapi bisa juga secara berkelompok dan organisasional. Kelima, karya yang kreatif harus menunjukkan adanya nilai tambah. Atau dengan kata lain, kreativitas harus menghasilkan kualitas lebih baik dari kondisi sebelumnya.



6.46



Manajemen Perubahan 



B. KOMPONEN KREATIVITAS Menurut Sternberg et al. (1997) ada enam persyaratan sebagai modal dasar agar seseorang atau organisasi bisa disebut kreatif. Keenam syarat tersebut adalah: 1. Pengetahuan – mengetahui apa yang dianggap baru bukan sekedar menemukan kembali apa yang sudah ada. 2. Kemampuan intelektualitas – kemampuan untuk menghasilkan ide, mengevaluasinya dan menerapkan ide tersebut. 3. Cara berpikir kreatif – seseorang memiliki preferensi untuk berpikir dengan cara baru bukan sekedar cara berpikir konvensional. 4. Motivasi – ada keinginan dan upaya yang konsisten untuk terus bergerak dan menemukan sesuatu yang baru dan menjadikan segala sesuatunya terasa menyenangkan. 5. Kepribadian – dalam diri seseorang terdapat sifat yang persisten dan bulat untuk mengatasi berbagai macam hambatan. 6. Lingkungan – ada dukungan sehingga seseorang berani mengambil risiko misalnya risiko untuk melakukan kegiatan yang tidak populer. Dalam bahasa Sternberg et al. (1997), keenam prasyarat di atas merupakan bentuk investasi yang harus dilakukan organisasi agar tercipta kreativitas. Hasil dari investasi tersebut bukan hanya individu-individunya saja yang kreatif tetapi juga organisasi secara keseluruhan menjadi kreatif. Dalam bentuk slogan, Sternberg et al. menyebut kreativitas sebagai ―membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga tinggi‖. Sayangnya dalam realita lebih banyak organisasi yang tanpa disadari mendesain organisasinya yang justru membunuh kreativitas secara sistematis ketimbang yang mendukungnya (Amabile, 1998). Seperti dikatakan Amabile, jika sebuah organisasi terperangkap di dalam ekosistem organisasi yang membunuh kreativitas maka risiko yang dihadapinya sangat luas. Sebagai contoh, membunuh kreativitas berarti organisasi kehilangan senjata untuk berkompetisi: ide baru tidak akan pernah muncul. Padahal dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif sebuah perusahaan bisa bertahan hidup dan terus berkembang jika dan hanya jika perusahaan tersebut terus memperbaharui positioningnya melalui penciptaan ide-ide baru. Selain itu, sangat boleh jadi karyawan akan kehilangan energi dan komitmen jika kreativitasnya terbelenggu. Semua itu pada akhirnya berujung pada perasaan



6.47



 EKMA4565/MODUL 6



frustrasi, dan aspek psikologis lainnya – stress, merasa tidak dihargai dan munculnya perasaan bahwa karyawan hanya sekedar sebagai alat yang dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan. Ujung-ujungnya daya kompetisi perusahaan terus menurun. Amabile sendiri sebagai seorang konsultan yang telah bertahun-tahun menekuni bidang kreativitas kemudian mengatakan bahwa kreativitas individual terdiri dari tiga komponen yaitu: (1) expertise, (2) creativethinking skill, dan (3) motivation seperti tampak pada Gambar 6.12. berikut ini.



Sumber: Amabile (1998) Gambar 6.12. Komponen Kreativitas



Secara harfiah expertise atau kepakaran berarti pengetahuan baik teknikal, procedural maupun intelektual. Hal ini bisa diartikan bahwa agar seseorang menjadi kreatif maka Ia harus berpengetahuan tidak peduli apakah pengetahuan tersebut diperoleh melalui pendidikan formal, sekedar pengetahuan praktis melalui pengalaman lapangan atau hasil interaksi dengan para profesional lain. Sebagai contoh, jika anda diminta untuk mengubah sistem perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (activity-based accounting) tidak bisa dihindari anda harus memiliki dan ekspert di bidang



6.48



Manajemen Perubahan 



akuntansi dan pengetahuan lain seperti proses produksi. Tanpa itu semua mustahil anda bisa kreatif dalam menentukan sistem perhitungan harga pokok produk yang lebih efisien. Komponen kedua pembentuk kreativitas adalah keterampilan berpikir kreatif (creative-thinking skill). Yang dimaksud dengan creative-thinking skill adalah bagaimana seseorang menyikapi berbagai macam masalah dan cara penyelesaiannya yakni kapasitas seseorang untuk menggabungkan berbagai macam ide yang ada menjadi ide baru. Secara psikologis apakah seseorang berpikir kreatif atau tidak dalam batas-batas tertentu biasanya dipengaruhi pula oleh kepribadian orang tersebut. Untuk mengatasi masalah membengkaknya harga pokok produksi selain orang tersebut harus ekspert di bidangnya tetapi juga harus berpikiran kreatif. Ia misalnya harus memiliki ide bagaimana proses produksi yang sekarang ada bisa disederhanakan tanpa mengganggu prosesnya itu sendiri. Proses yang lebih sederhana ini tentu dengan sendirinya akan mampu mengurangi biaya produksi. Pertanyaannya adalah apakah orang yang bertanggung jawab terhadap masalah harga pokok produk tersebut memiliki kepribadian yang sejalan dengan kebutuhan untuk kreatif? Misalnya apakah Ia bukan tipikal orang yang konformitis yang cenderung mengiakan orang lain? Kalau jawabannya ―ya‖ maka kreativitas diyakini akan semakin subur. Komponen ketiga adalah motivasi. Jika ekspertis dan creative-thinking skill bisa disebut sebagai bahan baku terciptanya kreativitas, motivasi akan menentukan apakah kreativitas benar-benar bisa terwujud. Secara definitif motivasi adalah sebuah proses psikologis yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan tindakan-tindakan sukarela, dan mengarahkan serta memelihara tindakan tersebut secara terus menerus menuju pada satu tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan contoh di atas, apakah activity based accounting bisa terealisir sangat bergantung pada kemauan orang yang bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut. Sangat boleh jadi secara intrinsic orang tersebut mau mengupayakan agar activity-based accounting bisa terealisir tetapi jika tidak ada dorongan extrinsic boleh jadi kreativitas tidak akan pernah terwujud. Jika penjelasan Amabile tentang komponen pembentuk kreativitas dibandingkan dengan prasyarat terjadinya kreativitas seperti dikemukakan Sternberg et al. dapat disimpulkan bahwa keduanya sesungguhnya memiliki kesamaan seperti tampak pada Tabel 6.2. Kalaulah sedikit ada perbedaan, Amabile tidak menyebut lingkungan sebagai komponen pembentuk



6.49



 EKMA4565/MODUL 6



kreativitas. Perbedaan ini bisa dipahami jika kita menyadari bahwa Amabile berangkat dari kreativitas individu sebagai titik tolaknya sementara Sternberg et al. berangkat dari kreativitas organisasi di mana komponen organisasi bukan hanya individu tetapi juga faktor-faktor organisasi lainnya termasuk lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal. Tabel 6.2. Komponen Kreativitas Amabile vs Sternberg et al. Komponen Kreativitas manurut Amabile Ekspertis Creative-thinking Skill Motivation



Prasyarat Kreativitas menurut Sternberg et al. Pengetahuan Kemampuan Intelektualitas Cara berpikir kreatif Motivasi Kepribadian Lingkungan



C. TIPOLOGI KREATIVITAS Sejauh ini telah dijelaskan esensi dari kreativitas termasuk di dalamnya tentang komponen kreativitas. Untuk selanjutnya akan dijelaskan beberapa tipologi tentang kreativitas. Penjelasan ini dianggap perlu karena kreativitas bukan sebuah konstruk tunggal. Dua tipologi kreativitas akan menjadi fokus perhatian pada modul ini yaitu tipologi yang dikemukakan oleh Unsworth (2001) dan Kaufmann (2003). 1.



Tipologi Kreativitas Menurut Unsworth Untuk menjelaskan tipe-tipe kreativitas, Unsworth (2001) menggunakan dua dimensi sebagai parameternya yaitu pendorong yang menyebabkan seseorang bertindak kreatif dan masalah yang ditemukan saat proses kreatif dimulai. Seseorang mau melakukan tindakan kreatif karena di satu sisi ada dorongan dari dalam dirinya dan alasan lainnya karena dipaksa oleh pihak eksternal untuk melakukannya. Sementara itu dimensi kedua masalah yang dihadapi seseorang sesaat sebelum tindakan kreatif tersebut dilakukan. Masalah ini bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu masalahnya masih terbuka dalam pengertian orang yang mau berkreasi harus terlebih dahulu menemukan masalahnya seperti seorang seniman yang mau menciptakan



6.50



Manajemen Perubahan 



gagasan baru, dan masalahnya sudah ada sehingga orang yang mau berkreasi tinggal menterjemahkan masalah tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut Unsworth menggunakan dua dimensi yaitu dimensi pertama tipe masalah yang dibedakan menjadi masalah terbuka dan masalah tertutup, dan dimensi kedua dorongan untuk berkreasi yang dibedakan menjadi dorongan dari dalam dan dorongan dari luar. Dari dua dimensi ini dihasilkan empat tipologi kreativitas yaitu: expected creativity, proactive creativity, reactive creativity dan contributory creativity (lihat Gambar 6.13). terbuka Kreativitas yang Diharapkan



Kreativitas Proreaktif



(Expected Creativity)



(Proactive creativity)



Kreativitas Responstif



Kreativitas Kontributif



(Responsive Creativity)



(Contributory Creativity)



Tipe Persoalan



tertutup eksternal



Dorongan untuk Berkreasi



Sumber: Unsworth (2001) Gambar 6.13. Tipologi Kreativitas



Expected Creativity



: kreativitas yang dilakukan karena ada permintaan dari eksternal tetapi masalah ditemukan sendiri disebut sebagai expected creativity. Di dalam organisasi contohnya adalah TQM. Responsive Creativity : jika dorongan untuk berkreasi datangnya dari pihak eksternal dan masalah yang dihadapi juga sudah disodorkan maka seseorang tinggal merespon bagaimana melakukan tindakan kreatif. Contohnya adalah sekelompok orang yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah secara kreatif.



6.51



 EKMA4565/MODUL 6



Proactive Creativity



: proses kreatif terjadi jika seseorang secara sadar terdorong atau termotivasi untuk bertindak kreatif dan terus berusaha menemukan masalah untuk dipecahkan. Contohnya adalah tindakan sukarela karyawan untuk terus memperbaiki proses produksi. Contributory Creativity : jika seseorang mau bertindak kreatif atas kesadarannya sendiri dalam rangka untuk membantu memecahkan masalah yang ada. Contohnya adalah membantu orang lain memecahkan masalah walaupun hal itu bukan tanggung jawabnya. 2.



Tipologi Kreativitas Menurut Kaufmann Di muka telah disebutkan bahwa salah satu kriteria penting apakah sebuah karya disebut sebagai karya kreatif adalah adanya unsur kebaruan. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan baru di sini? Apakah sesuatu yang baru berarti sebelumnya belum ada sama sekali? Atau apakah sesuatu dikatakan baru jika berbeda dengan yang ada sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab Kaufmann (2003) dengan mengajukan sebuah taksonomi kreativitas – kebaruan seperti tampak pada Gambar 6.14 berikut ini. tinggi



tinggi Adaptasi yang cerdas



Kreativitas reaktif



(Intellegent Adaptation)



(Reactive creativity)



Baru dalam hal tugas Memecahkan masalah rutin (Routine Problem Solving)



Kreativitas Proaktif (Proactive Creativity)



rendah rendah



Baru dalam hal solusi



Sumber: Kaufmann (2003) Gambar 6.14. Taksonomi Kreativitas – Kebaruan



tinggi



6.52



Manajemen Perubahan 



Untuk menghasilkan tipologi kebaruan seperti tampak pada Gambar 6.13. Kaufmann menggunakan dua dimensi sebagai faktor penentunya, yaitu tingkat kebaruan tugas (task novelty) – apakah tugas yang akan dikerjakan memiliki tingkat kebaruan yang relatif rendah atau sebaliknya, dan kebaruan dalam menyelesaikan masalah (response novelty) – sejauh mana masalah yang dihadapi membutuhkan tingkat kebaruan. Oleh karena dimensi kedua adalah apakah kebaruan dalam penyelesaian masalah relatif tinggi atau sebaliknya. Dari kombinasi dua dimensi ini dihasilkan 4 macam tipologi yaitu (1) routine problem solving, (2) intellegent adaptation, (3) reactive creativity dan (4) proactive creativity. Kategori pertama disebut routine problem solving karena baik pada sisi tugas maupun sisi solusi yang diharapkan tidak ada sesuatu yang baru. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menghadapi masalah dan semua orang sudah familiar dengan masalah tersebut, sedangkan tugas-tugas yang diberikan kepada karyawan untuk menyelesaikan masalah tersebut hanya mengandalkan System Operating Procedure (SOP) yang ada atau sekedar menggunakan formula yang lama maka situasi ini bisa dikatakan sebagai penyelesaian masalah yang bersifat rutin (routine problem solving) sehingga tidak membutuhkan kecerdasan maupun kreativitas baru karena pengalaman masa lalu bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kategori kedua disebut intelligent adaptation. Disebut demikian karena pada kategori ini meski masalah yang dihadapi perusahaan sudah dikenal baik oleh semua orang dan semua orang juga sudah tahu bagaimana solusinya tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut harus digunakan caracara baru yang membutuhkan kecerdasan para karyawan. Atau dengan kata lain tugasnya saja yang baru tetapi solusi tetap sama seperti sebelumnya. Sebagai contoh, agar konsumen tetap tertarik untuk membeli produk kita, perusahaan tidak cukup hanya mengiming-imingi konsumen dengan potongan harga yang menarik tetapi misalnya perlu dibarengi pula dengan memberi kesempatan konsumen untuk membayar secara angsuran. Jadi dalam hal ini kreativitas belum begitu diperlukan tetapi yang diperlukan adalah kecerdasan para karyawannya – solusinya masih sama yakni konsumen tetap mau membeli barang; tugasnya saja yang relatif baru yakni menawarkan pembelian dengan angsuran. Kategori ketiga adalah proactive creativity. Pada intinya unsur kreativitas sudah muncul meski kreativitas tersebut terletak pada solusi penyelesaian masalah bukan pada tugasnya. Tugasnya sendiri masih



 EKMA4565/MODUL 6



6.53



berdasarkan pengalaman masa lalu. Pada kategori ini pada awalnya perusahaan sesungguhnya tidak menghadapi masalah. Masalah justru muncul atau sengaja dimunculkan ketika perusahaan berusaha untuk mengubah kondisi berjalan menjadi kondisi lebih baik. Di sini tampak bahwa perusahaan melakukan terobosan (break through). Sebagai contoh, Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai universitas tertua di Indonesia sesungguhnya tidak menghadapi masalah berarti dalam persaingan dengan perguruan tinggi lain bahkan bisa dikatakan relatif memiliki keunggulan. Namun karena tidak puas dengan kondisi tersebut dan dalam upayanya untuk sejajar dan lebih baik dari universitas negeri, pada tahun 1996 Fakultas Ekonomi UII mendirikan program internasional yang belum diselenggarakan oleh perguruan tinggi manapun di Indonesia. Pendirian program internasional inilah yang bisa disebut sebagai menciptakan masalah dan mengajukan solusi baru yang identik dengan kebaruan solusi meski proses pendidikannya relatif tidak berubah. Kategori keempat adalah reactive creativity. Pada kategori ini baik tugas yang harus dijalankan maupun solusinya semuanya baru. Karena semuanya serba baru baik tugas maupun solusinya sepintas tampak bahwa kategori ini merupakan tipologi yang paling membutuhkan kreativitas. Dalam banyak hal kategori ini identik dengan konsep single loop learning dan double loop learning sebagaimana dikemukakan oleh Chris Argirys (1995). Dengan single loop learning pada dasarnya perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya tidak ada yang berubah; perubahan hanya terjadi pada skala kecil dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma yang ada. Namun jika lingkungan berubah secara signifikan boleh jadi norma yang ada harus ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan terbaru. Disinilah perusahaan membutuhkan double loop learning – perubahan lebih fundamental. Sebagai contoh, ketika teknologi informasi mendominasi kehidupan masyarakat perusahaan yang tadinya sukses dengan bisnis konvensional mau tidak mau harus menyesuaikan diri dan masuk ke ebusiness. Dalam kondisi seperti ini maka asumsi-asumsi yang digunakan untuk menjalankan bisnis konvensional harus diubah ke asumsi baru yang sesuai dengan pola e-business. Dengan demikian baik tugas dan solusinya berbeda dengan sebelumnya.



6.54



Manajemen Perubahan 



D. MANAJEMEN KREATIVITAS Pertanyaannya adalah apakah kreativitas bisa dikelola? Amabile (1998) menjawabnya bisa. Namun Amabile mengakui bahwa mengelola ekspertis dan creative thinking jauh lebih sulit ketimbang mengelola motivasi karyawan. Hal ini bukan berarti ekspertis dan creative thinking tidak bisa dikelola, hanya saja untuk mengelola keduanya membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar. Sedangkan mengelola motivasi hasilnya lebih cepat tampak. Lebih jauh Amabile mengatakan bahwa seorang manajer dapat mempengaruhi kreativitas seseorang dalam 6 hal yaitu: memberikan tantangan kepada karyawan, memberi kebebasan, menyediakan sumber daya, menata teamwork, melakukan supervisi dan memberikan dorongan organisasional. 1. Tantangan. Pekerjaan pertama seorang manajer untuk menumbuhkan kreativitas adalah menempatkan karyawan pada pekerjaan yang sesuai sehingga karyawan mampu menunjukkan kepakarannya dan mampu berpikir kreatif. Kecocokan karyawan dengan pekerjaan juga akan mendorong terciptanya motivasi dari dalam (intrinsic motivation). Jika terjadi sebaliknya karyawan justru merasa bosan karena mereka tidak suka dengan tugas yang diembannya. Kecocokan karyawan dengan pekerjaan juga harus diwaspadai karena sering kali justru terjadi karyawan merasa sebagai ―raja‖ yang tidak boleh diganggu orang lain bahkan manajernya sendiri. Barangkali itulah tantangan paling krusial yang dihadapi manajer. 2. Kebebasan. Memberi kebebasan karyawan berarti memberi mereka otonomi yang berkaitan dengan proses melakukan pekerjaan bukan dengan tujuan yang hendak dicapai. Kebebasan dalam hal bagaimana karyawan memutuskan cara untuk melakukan pekerjaan bisa menumbuhkan motivasi karyawan untuk berkreasi dan lebih dari itu karyawan juga memiliki perasaan ikut memiliki. Di samping itu kebebasan juga memungkinkan karyawan berpikir kreatif dan mampu menunjukkan kepakarannya. Kesalahan yang sering dilakukan manajemen adalah (1) terlalu seringnya tujuan yang hendak dicapai berubah sehingga membingungkan karyawan dan (2) bahwa manajemen member kebebasan kepada karyawan hanya dalam ucapan tetapi praktiknya tidak.



 EKMA4565/MODUL 6



3.



4.



5.



6.55



Sumber daya. Dua jenis sumber daya yang bisa mempengaruhi kreativitas adalah waktu dan uang. Terhadap dua hal ini manajer harus bertindak hati-hati karena kesalahan dalam mengalokasikan waktu dan uang justru bisa membutuh kreativitas. Pada dasarnya mengelola sumber daya lebih membutuhkan seni ketimbang sain dalam pengertian menyediakan sumber daya keuangan melebih ambang batas yang dibutuhkan tidak akan meningkatkan kreativitas dan sebaliknya justru memupus kreativitas. Sayangnya dalam banyak hal para manajer sering kali justru mengadopsi kebijakan uang ketat. Kebijakan ini berakibat pada kreativitas karyawan yang salah arah karena karyawan berkreasi bukan untuk meningkatkan kualitas produk tetapi berkreasi untuk mendapatkan tambahan uang. Komposisi Tim. Dalam beberapa kasus kreativitas dihasilkan bukan oleh individu melainkan oleh tim kerja. Oleh karena itu mendesain komposisi anggota tim menjadi sangat penting agar kreativitas bisa tumbuh. Dalam hal ini keragaman perspektif dan latar belakang anggota tim sangat menentukan. Anggota tim yang memiliki perspektif dan latar belakang yang sama diyakini kurang kreatif dibandingkan jika perspektif mereka beragam. Keragaman memungkinkan masing-masing anggota tim melihat persoalan yang sama dengan perspektif berbeda dan disinilah creative thinking berkembang. Dampaknya tentu saja tim menjadi semakin kreatif. Dorongan Supervisi. Para manajer biasanya sibuk dengan dirinya sendiri karena dikejar target pencapaian hasil. Namun sesibuk apapun manajer perhatian terhadap karyawan harus diberikan jika menghendaki kreativitas tumbuh subur. Manajer tidak bisa membiarkan kreativitas tumbuh dengan sendirinya tanpa ada apresiasi dari pimpinan karena karyawan pun ingin tampak bahwa mereka berkontribusi terhadap perusahaan dan terhadap orang lain atau komunitas. Apresiasi terhadap karyawan yang kreatif tidak harus dalam bentuk finansial, dalam bentuk penghargaan nonfinansial pun karyawan sudah bangga. Bahkan seperti dalam kasus perusahaan 3M toleransi terhadap kesalahan ketika melakukan kreativitas juga bisa disebut sebagai penghargaan karena hal ini akan memberi dorongan karyawan untuk tidak takut berkreasi. Lebihlebih jika para manajer bisa menjadi role model maka diyakini kreativitas akan terus tumbuh.



6.56



6.



Manajemen Perubahan 



Dukungan Organisasi. Kreativitas akan semakin tumbuh jika dorongan berkreasi bukan hanya datang dari para supervisor langsung tetapi dari organisasi secara keseluruhan. Hal ini bisa diartikan bahwa kreativitas akan tumbuh subur jika iklim dan sistem organisasi mendorong tumbuhnya kreativitas sehingga pada akhirnya kreativitas menjadi budaya. Untuk sampai pada keadaan tersebut tentunya peran pimpinan puncak tidak bisa diabaikan. Dalam konteks menumbuhkan budaya kreatif pimpinan puncak tidak boleh mendelegasikannya kepada sekelompok orang tertentu, misalnya manajer menengah apalagi manajer level bawah. Pimpinan puncak suka atau tidak suka harus terlibat langsung dalam manajemen kreativitas. Keterlibatan tersebut sebagai pertanda bahwa organisasi secara keseluruhan peduli terhadap kreativitas.



E. INOVASI ORGANISASI Setelah panjang lebar menguraikan esensi kreativitas kini giliran kita untuk memahami arti penting inovasi organisasi. Seperti telah dijelaskan di muka kreativitas memiliki hubungan yang erat dengan inovasi. Kreativitas selalu menghasilkan inovasi walaupun tidak secara otomatis terjadi sebaliknya – inovasi selalu mengandung unsur kreativitas. Tidak ada jaminan bahwa kegiatan inovatif selalu kreatif. Bisa jadi inovasi menghasilkan kebaruan tetapi bukan tidak mungkin inovasi hanya sekedar mengadopsi dari inovasi orang lain atau organisasi lain. Meski adopsi sering dianggap sebagai unsur penting dari inovasi, tidak demikian dengan pendapat Ravichandran (2000). Menurutnya inovasi harus secara tegas dibedakan dari adopsi. Demikian juga inovasi tidak jarang dipersamakan dengan invensi atau temuan walaupun pengertian keduanya sesungguhnya berbeda. Karena adanya silang pendapat seperti ini dan untuk memperjelas perbedaan ketiga istilah tersebut maka istilah invensi, inovasi dan adopsi perlu didefinisikan secara jelas pula. 1.



Invensi, Inovasi dan Adopsi Harus diakui bahwa membedakan invensi, inovasi dan adopsi bukan merupakan pekerjaan mudah karena ketiganya merupakan konsep yang tumpang tindih. Apalagi masyarakat umum sering kali tidak mempermasalahkan apakah sesuatu yang baru disebut invensi atau inovasi.



 EKMA4565/MODUL 6



6.57



Untuk menguji pemahaman kita, perhatikan Gambar 6.3a dan Gambar 6.3b. Apakah gambar tersebut merupakan bentuk kreativitas, invensi atau inovasi? Yang pasti kedua gambar tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang baru yang berbeda dari lainnya. Remote control biasanya hanya digunakan untuk mengendalikan jarak jauh fungsi on-off TV atau AC tidak sekaligus untuk membuka botol. Demikian juga untuk memotong pizza biasanya tidak menggunakan gunting waklaupun dengan gunting memotong pizza tampak lebih mudah dan praktis. Kembali pertanyaannya adalah apakah unsur kebaruan tersebut sebuah kreativitas, invensi atau inovasi? Atau apakah kebaruan tersebut mengandung ketiga unsur yang dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita perlu merujuk kembali definisi kreativitas yakni adanya unsur kebaruan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan untuk menggabungkan fungsi remote control dan pembuka botol, jika orisinil, adalah gagasan kreatif. Demikian juga gagasan menggunakan gunting sebagai pemotong pizza. Jadi gambar di atas memenuhi unsur kreativitas. Kedua, untuk melihat apakah kedua gambar tersebut juga memenuhi unsur invensi kita memperhatikan definisi invensi berikut ini.



Gambar 6.15a. Remote control pembuka botol



6.58



Manajemen Perubahan 



Gambar 6.15b. Gunting pizza



Palmberg (1999) mendefinisikan invensi sebagai ―an idea, a sketch or a model for something – sebuah ide/gagasan, sketsa atau model untuk suatu hal‖. Definisi yang hampir sama diberikan oleh Ahuja & Lampert (2001) yakni invensi adalah pengembangan ide baru. Kedua definisi ini menunjukkan bahwa invensi merupakan sesuatu yang baru namun masih berada pada tataran konsep, model, prototipe atau pengetahuan. Jadi kedua gambar di atas juga memenuhi unsur invensi. Karena kreativitas dan invensi sama-sama mengandung unsur kebaruan, uraian berikut diharapkan bisa menjelaskan perbedaan antara invensi dari kreativitas. Ketika seseorang berpikiran bahwa remote control bisa digunakan untuk membuka botol maka pikiran tersebut disebut sebagai ide kreatif. Namun ide tersebut hanya sebatas gagasan jika tidak ditindaklanjuti dengan mewujudkan dan menguji cobakan dalam bentuk konsep atau prototype. Perwujudan gagasan dalam bentuk konsep inilah yang disebut invensi. Meski tidak harus, invensi yang membutuhkan bantuan teknologi atau rumusan kimia yang kompleks, misalnya invensi untuk ramuan obat baru, sehingga membutuhkan proses yang tidak sederhana pada umumnya dilakukan di laboratorium baik laboratorium perguruan tinggi, laboratorium



 EKMA4565/MODUL 6



6.59



(R&D) perusahaan atau dilakukan bersama antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Hasil dari invensi bukan produk atau jasa itu sendiri melainkan baru sebatas resep, formula atau prototipe untuk menghasilkan produk, jasa atau teknologi. Hasil invensi inilah yang biasanya dipatenkan meski ada juga yang tidak dipatenkan. Alasan tidak dipatenkannya invensi boleh jadi karena hasil invensi tersebut belum menunjukkan tanda-tanda nilai komersial, paling tidak pada saat invensi tersebut dihasilkan. Setelah seseorang atau sebuah perusahaan menghasilkan invensi atau temuan baru tidak otomatis temuan tersebut bisa dikomersialkan. Atau dengan kata lain invensi belum bisa langsung berubah menjadi inovasi. Beberapa bukti menunjukkan banyak invensi yang sudah dipetenkan tetapi hanya berhenti sampai diperoleh hak paten tetapi tidak dikomersialkan. Untuk mengubah invensi menjadi inovasi terkadang butuh waktu sampai puluhan tahun meski ada juga yang membutuhkan interval waktu relatif pendek. Sebagai contoh, Enos (1962) misalnya mengidentifikasi 35 produk hasil invensi yang ditemukan sejak pertengahan abad 19 sampai awal abad 20. Dari 35 temuan yang diinventarisasi Enos, diketahui bahwa waktu interval paling lama adalah 79 tahun untuk temuan lampu dengan unsur fluor (lampu neon). Lampu neom ditemukan oleh Bacquerel tahun 1859 dan dikomersialkan oleh GE Westinghouse tahun 1938. Pisau cukur yang dikenal di Indonesia dikenal dengan nama silet ditemukan oleh Gillette pada tahun 1895 dan dikomersialkan oleh Gillette Safety Razor Company pada tahun 1904 (butuh waktu 9 tahun). Temuan lainnya butuh waktu interval bervariasi antara 1 tahun sampai 53 tahun. Pada contoh lain, Khijli et al. (2006) misalnya mengatakan bahwa proses untuk menciptakan produk berbasis biotechnology yakni obat-obatan (drugs) sejak mulai invensi sampai dengan komersialisasi membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 tahun (lihat Gambar 6.16). Secara umum, waktu 15 tahun tersebut bisa dibagi menjadi dua yakni 6.5 tahun pertama digunakan untuk menemukan formula baru dan uji klinis. Jika hasil uji klinis memberikan sinyal positif dalam pengertian memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut maka pihak perusahaan mengajukan permohonan uji investigasi untuk temuan produk obatan-obatan baru (Investigational New Drug Application) kepada pihak berwenang. Sedangkan 8.5 tahun sisanya disebut sebagai postdiscovery – paska temuan yang dibagi menjadi beberapa fase waktu. Fase 1- 3 merupakan fase penyempurnaan yang diakhiri dengan pengajuan permohonan daftar produk obat-obatan baru. Berdasarkan permohonan ini



6.60



Manajemen Perubahan 



pihak berwenang – Food and Drug Authority (FDA) melakukan review dan persetujuan jika obat baru tersebut sesuai standar yang berlaku. Fase terakhir – fase 4 merupakan periode uji coba pasar. Selanjutnya, produksi akan dilakukan secara massal jika penerimaan pasar menunjukkan sinyal positif terhadap produk baru tersebut.



Sumber: Khijli et al. (2006) Gambar 6.16. Proses invensi dan inovasi produk Obat



Dari dua contoh di atas diperoleh dua simpulan sementara (1) inovasi dalam batas-batas tertentu membutuhkan waktu yang lama, biayanya mahal dan mengandung risiko yang tidak kecil. Oleh karenanya meski inovasi diyakini menjadi keunggulan bersaing bagi sebuah perusahaan tidak semua perusahaan mampu melakukan inovasi karena tidak memiliki infrastruktur yang memadai, dan (2) inovasi pada dasarnya adalah komersialisasi dari invensi dan invensi merupakan perwujudan kreativitas dalam bentuk konsep atau formula. Inovasi dengan demikian bisa dirumuskan sebagai berikut: Inovasi = kreativitas + invensi + ekploitasi. 2.



Definisi Inovasi Inovasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin ―innovare‖ yang berarti me-review, membuat sesuatu menjadi baru atau mengganti yang lama menjadi baru. Kata innovare itu sendiri berasal dari kata ―novus‖ yang juga berarti baru (Bhat, 2010). Dengan demikian jika kita melihat kembali esensi kreativitas dan invensi serta membandingkannya dengan kata inovasi



 EKMA4565/MODUL 6



6.61



sesungguhnya ketiga memiliki kesamaan yakni unsur kebaruan. Perbedaan dari ketiganya terletak pada nilai guna dari kebaruan tersebut. Kreativitas menghasilkan pengetahuan baru, pengetahuan baru menjadi dasar untuk menemukan formula baru dan formula baru jika diwujudkan dalam realitas kehidupan akan memberi nilai guna dan membantu memecahkan persoalan yang sebelumnya tidak terpecahkan. Invensi yang memberi manfaat nyata inilah yang secara umum disebut sebagai inovasi. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa esensi dari inovasi adalah adanya unsur kebaruan (Johanessen, et al. 2001). Di luar itu inovasi didefinisikan secara berbeda oleh penulis berbeda bergantung pada fokus perhatian masing-masing. Munculnya perbedaan definisi inovasi boleh jadi karena cakupan dari kajian inovasi yang begitu luas. Inovasi misalnya bisa dikaji pada level individu, kelompok, organisasi, industri maupun nasional (lihat misalnya Read, 2000). Perbedaan level kajian tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap konsepsi inovasi. Berikut beberapa definisi inovasi yang diberikan oleh beberapa akademisi. a. Van de Ven (1986). ―The process of innovation is defined as the development and implementation of new ideas by people who over time engage in transactions within an institutional context – proses inovasi didefinisikan sebagai pengembangan dan implementasi ide-ide baru oleh sekumpulan orang yang dalam kurun waktu lama saling bertransaksi dalam lingkup sebuah institusi‖ b. West and Farr (1990) ―Innovation is the sequence of activity by which a new element is introduced into social unit, with the intention of benefiting the unit, some part of it, or the wider society. The element need not be entirely novel or unfamiliar to members of unit, but it must involve some discernible change or challenge to the status quo – inovasi adalah urut-urutan aktivitas dalam sebuah unit sosial yang di dalamnya memasukkan elemen baru dengan tujuan memberi manfaat bagi unit bersangkutan, sebagian dari unit bersangkutan atau keuntungan bagi masyarakat lebih luas. Elemen dimaksud tidak harus baru sama sekali atau tidak diketahui sebelumnya oleh anggota-anggota unit bersangkutan, tetapi elemen tersebut harus melibatkan aspek perubahan atau mampu kondisi status quo.



6.62



c.



Manajemen Perubahan 



Ravichandran (2000) ―Organizational innovation can be constructed as the actualization of the creation of a new product, process, method or service by an organization, through concerted and commited efforts of its members, and by other resources, exhibiting a perceptual departure from its antecedent and demonstrating one or more utility values – inovasi organisasi adalah aktualisasi dari penciptaan produk, jasa, proses atau metode baru yang dilakukan organisasi melalui upaya bersama dan komitmen para anggota organisasi, dan penggunaan sumber daya lain sehingga hasil ciptaan tersebut dianggap telah berubah atau berbeda dari kondisi sebelumnya dan menunjukkan nilai guna lebih baik.



3.



Dimensi Inovasi Bisa dikatakan bahwa ketiga definisi di atas merupakan representasi dari definisi-definisi yang bisa ditemukan pada berbagai literatur tentang inovasi. Terlepas bahwa inovasi didefinisikan secara berbeda, ada satu yang tidak berbeda dari setiap definisi inovasi yaitu unsur kebaruan. Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebaruan adalah inti dari inovasi. Sedangkan komponen inti yang kedua adalah nilai manfaat. Setiap inovasi harus memberi nilai manfaat paling tidak bagi perusahaan yang berinovasi. Dengan inovasi misalnya perusahaan diharapkan mampu memperbaiki daya saing baik dalam lingkup pasar domestik maupun pasar global. Berkaitan dengan kebaruan dalam inovasi, masih ada tiga pertanyaan yang perlu dielaborasi lebih lanjut yaitu: Apanya yang baru dari sebuah inovasi? Seberapa baru inovasi tersebut? Jika inovasi dikatakan baru, sesungguhnya baru bagi siapa? Itulah tiga pertanyaan yang diajukan oleh Johanessen et al. (2001). Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan tentang dimensi inovasi. 4.



Unsur Kebaruan dalam Inovasi Kebaruan adalah sebuah tema penting khususnya bagi perusahaan yang baru berdiri (new start-up), perusahaan yang hendak memasuki pasar baru (new entry), perusahaan yang hendak memperbaiki proses aktivitas (new organization) dan bahkan bagi perusahaan yang mengalami kegagalan dan hendak menyehatkan diri (organizational renewal). Mengadopsi hal-hal baru merupakan sebuah keharusan bagi perusahaan-perusahaan seperti tersebut di atas jika ingin tetap bertahan hidup dan bisa bersaing dalam kancah



6.63



 EKMA4565/MODUL 6



lingkungan yang sangat dinamis. Inovasi yang di dalamnya melibatkan unsur kebaruan dengan demikian merupakan salah satu bentuk solusi yang sangat disarankan bagi tipikal perusahaan di atas. Baru dalam hal ini bisa berupa produk, jasa, metode produksi, membuka pasar baru, pasokan (supply), atau manajemennya baru (Johanessen et al. 2001). Berdasarkan unsur kebaruan dalam inovasi, secara umum inovasi biasanya dibedakan menjadi 4 macam yakni inovasi produk, jasa, proses dan administrasi atau manajemen (Damanpour, 1987; 1991; 1996; Van de Ven, 1986). Keempat macam inovasi tersebut kadang-kadang diklasifikasikan seperti tampak pada gambar berikut. Inovasi Produk Inovasi Teknis Inovasi Proses



OI Inovasi Staff Inovasi Administratif



Inovasi Marketing Inovasi Struktur dan Iklim Organisasi



5.



Tipologi Inovasi Meski kebaruan merupakan unsur pokok dalam inovasi, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa baru agar sesuatu yang baru bisa disebut inovasi? Sejauh ini literature-literature inovasi menunjukkan bahwa kebaruan dalam inovasi tidak harus semuanya serba baru. Bisa saja yang baru hanya sebagiannya saja misalnya hanya kemasannya saja yang baru sementara isinya sama seperti sebelumnya. Sebuah pabrikan sepeda motor di Indonesia yang mengusung slogan ―inovasi tiada henti‖ ternyata tidak banyak menunjukkan hal-hal baru dalam produknya. Bahkan jika dibandingkan dengan pabrikan lain yang tidak mengusung slogan inovasi, tingkat kebaruan pabrikan yang mengusung slogan inovasi relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebaruan inovasi tidak harus menyeluruh. Memang seperti dikatakan Damanpour (1996) inovasi bisa radikal tetapi juga bisa incremental. Inovasi kadang-kadang juga dibedakan menjadi inovasi



6.64



Manajemen Perubahan 



revolusioner dan inovasi evolusioner. Inovasi radikal atau revolusioner adalah sebuah proses inovasi yang tingkat kebaruannya sangat tinggi sehingga organisasi yang mengimplementasikan inovasi sering kali harus mengubah paradigma untuk menjalankan kegiatannya. Sebaliknya inovasi incremental/evolusioner adalah proses inovasi yang tingkat kebaruannya relatif rendah sehingga dalam menjalankan aktivitasnya perusahaan tidak harus mengubah paradigma lama. 6.



Nilai Manfaat dari Inovasi Pertanyaan ketiga adalah baru untuk siapa? Jika kita menilik alasan sebuah perusahaan melakukan inovasi yakni agar bisa bertahan hidup atau agar bisa bersaing dengan perusahaan lain maka inovasi sesungguhnya lebih ditujukan untuk kepentingan eksternal yakni untuk kepentingan pasar. Dengan inovasi, diharapkan pasar merespon secara positif apa yang dilakukan perusahaan. Terlepas bahwa tujuan akhir dari inovasi untuk memperbaiki posisi pasar, sifat kebaruan dalam inovasi sesungguhnya bisa dibedakan menjadi dua yaitu baru bagi organisasi bersangkutan (disebut sebagai the firm-based framework) dan baru bagi pasar (newness to the market framework) (lihat misalnya Kotabe & Swan, 1995). Tidak jarang perusahaan yang mengklaim dirinya melakukan inovasi, katakanlah inovasi proses, sesungguhnya proses yang sama sudah dilakukan oleh perusahaan lain sebelumnya. Namun karena proses tersebut betul-betul baru bagi perusahaan yang bersangkutan maka wajar jika diklaim sebagai sebuah inovasi. Inovasi seperti inilah yang disebut firm based framework. Meski firm based framework hanya menunjukkan kebaruan bagi organisasi bersangkutan tujuan akhirnya bukanlah sekedar organisasinya yang baru tetapi pada akhirnya diharapkan pula agar dengan kebaruan tersebut ujungujungnya kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Artinya meski firm based framework pada awalnya lebih berorientasi internal pada akhirnya inovasi diharapkan bisa mempengaruhi posisi pasar. Atau dengan kata lain firm based dan newness to market framework sesungguhnya saling berkaitan. 7.



Adopsi dalam Inovasi Di luar tiga pertanyaan tentang esensi inovasi yang diajukan Johanessen et al. Di atas, masih ada pertanyaan lain yaitu tentang orisinalitas inovasi. Pertanyaan ini datang dari Ravichandran (2000) yang mempersoalkan apakah inovasi yang sudah dilakukan oleh organisasi lain kemudian diadopsi oleh



6.65



 EKMA4565/MODUL 6



sebuah organisasi bisa disebut inovasi bagi organisasi yang bersangkutan? Atau dengan kata lain apakah firm based framework bisa disebut inovasi? Ravichandran secara tegas mengatakan ―tidak‖. Menurutnya inovasi dan adopsi adalah dua konsep yang berbeda. Ravichandran mendefinisikan adopsi sebagai membeli atau meminjam inovasi untuk digunakan oleh sebuah organisasi di mana inovasi tersebut telah dilakukan sebelumnya di tempat lain atau organisasi lain dan telah menunjukkan nilai manfaat lebih baik dari kondisi sebelumnya. Definisi ini menunjukkan bahwa adopsi pada dasarnya adalah inovasi. Hanya saja yang melakukan inovasi bukan organisasi yang bersangkutan tetapi organisasi lain. Sebagai contoh, perusahaan obat yang membeli hak paten dari sebuah perusahaan lain yang mengembangkan obat baru tidak bisa disebut sebagai perusahaan yang inovatif karena yang mengembangkan obat baru tersebut adalah perusahaan lain bukan perusahaan yang mengkomersialkan obat baru tersebut. Secara lebih detail Ravichandran membedakan inovasi dari adopsi seperti tampak pada Tabel 6.3 sebagai berikut: Table 6.3. Perbedaan antara Inovasi dan Adopsi Inovasi Original Baru Diciptakan Wujud atau realisasi dari kemampuan organisasi Memiliki ketidakpastian yang relative tinggi Pioneer Memiliki unsur inovasi Dukungan dari pimpinan puncak Upaya yang berbasis komitmen dan berkesinambungan Dapat dilihat oleh pihak eksternal Sumber : Ravichandran (2000)



8.



Adopsi Hasilnya berupa derivasi Bukan sesuatu yang baru bersifat umum Dibeli atau pinjaman Merupakan perwujudan dari daya beli Mudah diprediksi Pengikut bukan pencetus gagasan Merupakan bentuk respon Keputusan manajemen puncak Tidak harus memiliki komitmen dan keterkaitan Tidak harus terlihat oleh pihak eksternal



Difusi Inovasi Meski Ravichandran (2000) mengatakan bahwa adopsi bukanlah inovasi karena yang melakukan inovasi adalah pihak lain namun tidak bisa dipungkiri jika sebuah organisasi/perusahaan melakukan inovasi hampir pasti perusahaan-perusahaan lain pun akan melakukan hal yang kurang lebih sama atau bahkan lebih baik demi memperbaiki daya kompetisi. Akibatnya tidak



6.66



Manajemen Perubahan 



bisa dihindari jika inovasi terus bergulir mulai dari organisasi ke industri ke regional ke nasional dan global. Dengan penyebaran inovasi seperti ini bukan hanya perusahaan yang berinovasi yang memperoleh manfaat tetapi pada umumnya masyarakat juga akan diuntungkan. Pertama, dengan semakin banyak perusahaan yang berinovasi berarti tidak ada monopoli terhadap produk atau jasa tertentu. Kedua, standar hidup masyarakat akan meningkat karena di satu sisi masyarakat bisa memperoleh produk/jasa dengan kulaitas lebih baik dan di sisi lain harganya tentu lebih murah. Sebagai contoh, jika anda ingin membuka internet, media yang biasa anda gunakan (internet browser) adalah internet explorer hasil inovasi Mirosoft. Namun sekarang anda punya pilihan lain untuk membuka internet misalnya Mozilla Firefox, Flock, Safari maupun Google Chrome. Mungkin ke depan anda punya pilihan lain lagi karena inovasi terus berjalan. Proses penyebaran inovasi seperti ini disebut difusi inovasi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa difusi inovasi merupakan potensi sebuah inovasi diadopsi oleh pihak lain sehingga inovasi tersebut menyebar lebih luas (Wolfe, 1994). Proses penyebarannya itu sendiri membentuk sebuah kurve yang menyerupai huruf S sehingga sering disebut sebagai S-Curve seperti tampak pada Gambar 6.17. Maturation



Jumlah Adopter Kumulatif Infancy



Rapid expansion



Interval waktu Sumber: Taylor & McAdam (2004) Gambar 6.17. Adopsi inovasi berbentuk Kutve – S.



 EKMA4565/MODUL 6



6.67



Pada awalnya ketika sebuah perusahaan menemukan sesuatu yang baru tentunya hanya perusahaan tersebut yang berusaha untuk mengomersialkannya jika temuan tersebut diyakini memiliki potensi pasar. Namun sebelum temuan tersebut dikomersialkan, bukan tidak mungkin perusahaan lain pun berusaha melakukan hal yang sama misalnya dengan mengintip apa yang dilakukan perusahaan pesaing. Dengan merujuk pada Gambar 6.5 (S-curve) tahap ini disebut sebagai slow initial adoption – adopsi awal yang masih lambat di mana hanya ada satu atau dua perusahaan yang melakukan inovasi. Sebagai contoh, sepeda motor matic pada mulanya tidak dikenal sebelum perusahaan Korea, Kymco, melakukan terobosan dengan mengembangkan teknologi matic dan memproduksi sekaligus mengomersialkannya. Ketika perusahaan lain (Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki) melihat potensi pasar dari teknologi matic, tidak pelak perusahaan lainpun mulai ramai-ramai ikut mengembangkan dan memproduksinya sampai akhirnya inovasi motor matic tidak bisa lagi dikembangkan. Contoh ini memberi gambaran bahwa tahapan pada proses difusi bermula dari slow initial adoption dan berlanjut ke tahap take off di mana invensi mulai dikomersialkan, di imitasi oleh banyak perusahaan sehingga terjadi ekspansi besar-besaran dan akhir mencapai tahap maturiry atau kemapanan di mana sebuah inovasi tidak lagi bisa dikembangkan. Tentunya tidak semua inovasi akan diadopsi dan di imitasi oleh perusahaan lain seperti pada contoh teknologi matic maupun internet browser. Beberapa di antaranya bahkan hanya berhenti sampai diperolehnya hak paten tetapi tidak pernah sampai pada komersialisasi. Faktor yang mempengaruhi apakah sebuah inovasi akan diadopsi oleh perusahaan lain di antaranya adalah (1) kemungkinan tingkat keuntungan yang akan diperoleh jika mengadopsi inovasi yang dilakukan perusahaan lain, (2) tingkat kompatibilitas dengan teknologi yang dimiliki perusahaan saat ini, (3) tingkat kompleksitas inovasi yang akan diadopsi, (4) dapat tidaknya inovasi baru bisa diujicobakan dan (5) mudah tidaknya inovasi baru bisa diobservasi oleh pihak lain (lihat Taylor & McAdam, 2004). Sementara itu Rogers sebagaimana dikutip Taylor & McAdam (2004) membedakan perusahaan yang mendadopsi inovasi menjadi lima kategori yaitu (1) innovator – individu atau perusahaan yang pertama kali melakukan inovasi, (2) early adopter – perusahaan yang segera tanggap begitu ada inovasi baru, (3) early majority – perusahaan yang mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi sebelum kebanyakan perusahaan lain melakukannya, (4) late majority –



6.68



Manajemen Perubahan 



perusahaan yang mendapat tekanan untuk mengadopsi inovasi karena perusahaan lain telah melakukannya dan (5) laggard – perusahaan yang paling lambat atau paling akhir mengadopsi inovasi. F. KARAKTERISTIK ORGANISASI INOVATIF Amabile dalam artikelnya ―How to Kill Creativity‖ (1997) mengatakan bahwa organisasi di satu sisi bisa membunuh kreativitas karyawannya tetapi di sisi lain juga bisa mendorong karyawan untuk terus berkreasi. Analog dengan penjelasan Amabile, inovasi juga menghadapi persoalan yang sama. Di satu sisi bisa saja organisasi sangat antusias dalam menumbuhkan lingkungan organisasi yang inovatif. Salah satu contohnya adalah perusahaan 3M. Di perusahaan ini setiap karyawan memiliki kesempatan dan motivasi untuk menemukan hal-hal baru terutama karena dukungan perusahaan sangat besar. 3M misalnya sangat terbuka bagi ide-ide baru, menyediakan dana bagi karyawan yang hendak melakukan inovasi, memberi penghargaan bagi yang menemukan invensi baru, dan mentolerir kesalahan bagi yang gagal dalam inovasi. Akibatnya bisa diduga inovasi tumbuh subur dan ribuan invensi dihasilkan oleh perusahaan ini (lihat misalnya Higgins & McAllaster, 2002). Sebaliknya tidak jarang ditemukan pula perusahaan yang menghambat inovasi atau paling tidak enggan berinovasi. Pertama, boleh jadi karena perusahaan memiliki keunggulan daya saing sehingga menganggap inovasi tidak diperlukan lagi. Perusahaan yang memonopoli pasar misalnya cenderung berpandangan seperti ini. Kedua, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa organisasi yang sudah tua memiliki kemampuan berinovasi lebih tinggi dibandingkan organisasi baru, teori lain mengatakan bahwa organisasi yang sudah tua biasanya mengalami situasi yang disebut ―liability of oldness‖ yakni kesulitan beradaptasi dengan perubahan lingkungan karena struktur organisasi yang terlanjur sangat kaku (struktur organisasi mekanik). Akibatnya tingkat inovasinya relatif rendah. Sebaliknya organisasi yang inovatif biasanya memiliki struktur organisasi yang fleksible (struktur organisasi organik) (lihat: Burns and Stalker, 1961). Ketiga, inovasi merupakan proses yang sangat kompleks yang hasilnya tidak segera bisa dinikmati (tidak menentu) dan membutuhkan dana dan infrastruktur yang memadai – bukan hanya fisik tetapi juga budaya, manajemen dan sumber daya manusia. Prasyarat untuk dikatakan sebagai organisasi yang inovatif misalnya dapat dilihat pada Tabel 6.3 (Matthews, 2002). Prasyarat seperti



6.69



 EKMA4565/MODUL 6



inilah yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak mampu memenuhinya lebih-lebih jika pihak manajemen tidak memiliki intensitas untuk berinovasi. Tabel 6.4. Komponen Organisasi yang Inovatif Komponen Visi, kepemimpinan dan kemauan untuk inovasi Struktur organisasi yang tepat Orang-orang kunci Team work yang efektif Pengembangan diri karyawan secara berkelanjutan Komunikasi yang terbuka Keterlibatan yang tinggi dalam inovasi Fokus pada pelanggan Iklim yang kreatif Organisasi pembelajar



Ada kejelasan tentang tujuan organisasi yang hendak dicapai dan tujuan tersebut juga telah diartikulasikan secara jelas. Pada saat yang sama pimpinan puncak memiliki komitmen yang ditunjukkan dengan pengembangan strategic intent. Desain organisasi yang tepat sehingga daya kreatif karyawan mencapai level paling tinggi. Orang-orang kunci dalam organisasi bertindak sebagai promotor, penjaga gawang dan peran-peran lain sejenis yang memfasilitasi dan menggerakkan inovasi organisasi. Tim kerja difungsikan secara tepat dalam memecahkan berbagai persoalan organisasi. Oleh karenanya memilih dan membangun tim yang solid menjadi sangat krusial. Organisasi memiliki komitmen untuk mendidik dan melatih karyawan dalam rangka memastikan bahwa karyawan memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan memiliki kemampuan belajar yang efektif. Menjaga efektivitas komunikasi di dalam organisasi dan antara organisasi dengan pihak luar. Di dalam organisasi komunikasi dilakukan secara lateral, ke atas dan ke bawah. Seluruh karyawan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dalam rangka peningkatan kinerja berkelanjutan (continuous improvement). Perhatian ditujukan baik pada pelanggan internal dan eksternal dengan membangun total quality culture. Berpandangan positif terhadap ide-ide kreatif yang didukung oleh sistem penghargaan yang relevan. Proses, struktur dan kultur yang mendukung terciptanya pembelajaran individu, ditunjukkan dengan dibangunnya knowledge management.



Sumber: Matthews (2002)



Berdasarkan prasyarat di atas, Matthews & Manley (2009) selanjutnya membedakan praktik manajemen yang mendukung dan menghambat inovasi seperti tampak pada Tabel 6.4 sebagai berikut.



6.70



Manajemen Perubahan 



Tabel 6.5. Karakteristik Manajemen Yang Mendukung dan Menghambat Inovasi



Praktik Manajemen yang Mendukung Inovasi Dorongan manajemen



Dorongan atasan



Dorongan kelompok kerja



Sumber daya yang memadai Pekerjaan yang menantang Kebebasan



Budaya organisasi yang mendorong kreativitas melalui penilaian gagasan yang fair dan konstruktif, pemberian pengakuan dan penghargaan untuk pekerjaan kreatif, mekanisme untuk mengembangkan gagasan baru, gagasan yang terus mengalir dan visi bersama. Atasan bertindak sebagai role model, menetapkan tujuan secara tepat, dan member dukungan penuh kepada kelompok kerja yang menghargai kontribusi individu dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kelompok. Anggota kelompok kerja memiliki skill yang beragam di mana masing-masing bisa berkomunikasi dengan baik, terbuka untuk menerima ide-ide baru, masing-masing bisa bersaing secara konstruktif, saling percaya dan saling membantu satu sama lain dan memiliki komitmen terhadap apa yang sedang dikerjakan kelompoknya. Memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan termasuk keuangan, material, fasilitas dan informasi. Memiliki rasa dan kemauan bekerja keras untuk pekerjaan yang menantang dan proyek-proyek penting. Memiliki kebebasan untuk menentukan cara kerja.



Praktik Manajemen yang Menghambat Inovasi Hambatan manajemen



Budaya organisasi yang kental dengan suasana politik, persaingan yang destruktif dan menghindari risiko. Tekanan beban kerja Tekanan terhadap waktu kerja yang sangat ketat, mengharapkan tingkat produktivitas yang tidak realistik dan banyaknya gangguan untuk menciptakan pekerjaan yang kreatif. Sumber: Matthews & Manley (2009)



1.



Proses Inovasi Professor Roy Rothwell dari Science Policy Research unit (SPRU), the University of Sussex sebagaimana dikutip Neely and Hii (1998) mengklasifikasikan proses inovasi menjadi lima generasi yaitu: a. Generasi Pertama Technology Push. b. Generasi Kedua Market Pull. c. Generasi Ketiga Coupling Model.



 EKMA4565/MODUL 6



d. e.



6.71



Generasi Keempat Integrated Model. Generasi Kelima Systems Integration and Networking.



2.



Technology Push Proses inovasi pada awalnya mengikuti pola yang disebut technologypush atau linear model seperti tampak pada Gambar 6.6. Model ini banyak diterapkan pada periode tahun 1950-an dan 1960-an di mana ketika itu permintaan melebihi kapasitas produksi sehingga kebanyakan perusahaan berasumsi bahwa semua yang diproduksi pasti bisa terserap oleh pasar – supply creates its own demand. Dengan demikian pusat perhatian perusahaan lebih dititikberatkan pada R&D dan manufacturing ketimbang pada aspek pemasaran. R&D diperlakukan sebagai tempat melalukan inovasi untuk menghasilkan produk-produk baru. Semakin banyak R&D dilakukan semakin banyak inovasi dan semakin banyak pula dihasilkan produk baru. Peran manufacturing adalah memproduksi produk baru secara masal dan pasar dianggap mampu menyerap semua hasil produksi dibuat perusahaan. Dengan asumsi seperti ini maka inovasi diinterpretasikan sebagai sebuah proses yang bermula dari penelitian ilmiah yang dikembangkan pada R&D, diimplementasikan melalui kegiatan produksi yang hasilnya adalah produk baru dan dijual ke masyarakat melalui mekanisme pemasaran. Jadi inovasi pada dasarnya dipahami sebagai proses linear di mana R&D memiliki peran kunci sebagai input.



Gambar 6.18. Proses inovasi generasi pertama – technology-push



3.



Marketing Pull Jika pada tahun 1950-an dan 1960-an proses inovasi mengikuti linear model di mana proses inovasi bersifat inside-out, akhir tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an terjadi hal sebaliknya yakni proses inovasi bersifat outside-in atau disebut marketing-pull. Karena tingkat persaingan pada periode ini sudah mulai menonjol, perusahaan cenderung berusaha untuk menawarkan produk yang semakin beragam yang memang dibutuhkan oleh kastemer bukan semata-mata yang dikehendaki perusahaan. Oleh



6.72



Manajemen Perubahan 



karenanya dalam konteks inovasi kebutuhan kastemer menjadi faktor pendorong untuk melakukan inovasi (lihat Gambar 6.19). Atau dengan kata lain pasar merupakan sumber ide untuk menggerakkan kegiatan R&D.



Gambar 6.19. Proses inovasi generasi kedua–marketing-pull



4.



Coupling Model New Needs



Idea genera tion



New techn



Needs of society and the market



Research, design & development



Prototype production



Manufacturing



Mrktg & sales



Market place



State the art of technology and science



Gambar 6.20. Proses inovasi generasi ketiga–coupling model



Dua model proses inovasi yang telah dibahas sebelumnya – technologypush dan marketing-pull dianggap memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya (1) model tersebut terlalu menyederhanakan proses inovasi yang dalam realita sesungguhnya sangat kompleks, (2) tidak ada umpan balik yang memungkinkan untuk perbaikan proses inovasi selanjutnya. Oleh karenanya memasuki pertengahan tahun 1970-an sampai dengan awal tahun1980-an dikembangkan model proses inovasi generasi ketiga yang disebut coupling model (lihat Gambar 6.20). Pada intinya model ini, meski masih bersifat sequential seperti pada model pertama dan kedua, jauh lebih komprehensif karena keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi sudah dipertimbangkan secara seksama. Faktor yang dimaksud adalah: perusahaan yang melakukan inovasi, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, dan



 EKMA4565/MODUL 6



6.73



kebutuhan pasar. Model ini sering disebut pula sebagai ―a complex net of communication path‖ karena sifatnya yang kompleks yang menghubungkan kondisi internal perusahaan, ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kebutuhan pasar. Dari hubungan inilah diperoleh umpan balik yang menjadi kunci dalam mengembangkan inovasi baru. 5.



Integrated Model Proses inovasi generasi keempat yang disebut integrated model mulai dikembangkan di Jepang khususnya pada industri otomotif dan elektronik sejak pertengahan tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Sama seperti proses inovasi generasi ketiga, integrated model merupakan proses inovasi yang bersifat kompleks, nonlinear dan mensyaratkan adanya umpan balik. Bedanya adalah proses inovasi generasi keempat tidak terjadi secara berurutan (sequential) melainkan proses inovasi yang melibatkan berbagai fungsi organisasi – marketing, R&D, product development, production engineering, supplier dan manufacture secara parallel (lihat Gambar 6.21). Fungsi-fungsi melakukan aktivitas bersama lintas fungsi agar bisa saling berbagi informasi dalam mengembangkan inovasi baru.



Gambar 6.21. Proses Inovasi Generasi Keempat – Integrated Model



Dari pengelaman industri otomotif di Jepang diyakini bahwa model ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Proses pengembangan produk baru membutuhkan waktu lebih pendek karena dilakukan secara integratif, biaya lebih efisien, dan lebih penting lagi waktu yang dibutuhkan untuk memproses informasi juga lebih efisien. Pada era 1980-an dan 1990-an keuntungan dari proses inovasi generasi keempat ini –



6.74



Manajemen Perubahan 



membutuhkan waktu yang semakin pendek menjadi sangat penting mengingat tingkat persaingan yang semakin tinggi dan waktu menjadi komponen kunci dalam menjaga tingkat persaingan. 6.



Systems Integration and Networking (SIN) Proses inovasi generasi kelima disebut sebagai systems integration and networking (SIN). Model ini relatif baru dan baru berkembang sejak pertengahan tahun 1990-an. Model ini dipicu oleh berbagai trend yang berkembang saat ini: semakin maraknya aliansi strategis antar perusahaan multinasional, kolaborasi dalam melakukan R&D, networking antara perusahaan kecil menengah dengan perusahaan besar dan networking antar perusahaan kecil menengah. Trend ini menunjukkan bahwa untuk memperkuat daya saing perusahaan tidak harus bekerja sendirian. Sebaliknya perusahaan harus menjalin kerja sama dengan perusahaan lain demi mempertahankan posisi masing-masing. Kerja sama seperti ini terpaksa dilakukan karena mereka menyadari kekuatan dan kelemahan masingmasing. Akibat dari trend seperti ini proses inovasi tidak pelak juga dilakukan oleh dua atau tiga perusahaan secara berbarengan. Contoh paling baru adalah inovasi pengembangan mobil keluarga yang dilakukan oleh Daihatsu dan Toyota yang menghasilkan produk Xenia dan Avanza. Di samping networking, proses inovasi generasi kelima juga lebih berorientasi pada sistem yang terintegrasi. Orientasi ini dimungkinkan karena bantuan teknologi informasi yang semakin canggih. Dengan teknologi informasi semua fungsi organisasi bisa diintegrasikan dengan mudah; demikian juga hubungan antara perusahaan dengan pihak eksternal menjadi semakin efektif. Melalui teknologi informasi pengembangan desain produk baru juga bisa dilakukan dengan mudah dengan bantuan perangkat lunak komputer yang tersedia sangat murah. Oleh karenanya tidak mengherankan jika inovasi produk berkembang semakin cepat bukan hanya dilakukan perusahaan besar tetapi juga perusahaan kecil menengah mampu melakukan hal yang sama. Persoalan yang masih tersisa adalah karena proses inovasi dengan model SIN ini masih relatif baru, bentuk dari SIN masih perlu dielaborasi lebih lanjut. Yang pasti adalah SIN jauh lebih kompleks dibandingkan dengan model-model sebelumnya dan tentunya memerlukan perhatian lebih serius dan energi lebih besar. Terlepas dari model lima generasi seperti dikemukakan Roy Rothwell di atas, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada pendapat lain



6.75



 EKMA4565/MODUL 6



yang mengatakan bahwa proses inovasi organisasi pada dasarnya bersifat siklikal. Pendapat ini dikemukakan oleh Desouza et al. (2009). Menurut mereka proses inovasi organisasi melibatkan lima tahapan yaitu: menghasilkan dan memobilisasi ide, advokasi dan memilah-milah ide, eksperimentasi, komersialisasi, dan difusi dan implementasi inovasi. Kelima tahapan ini saling terkait membentuk sebuah siklus seperti tampak pada Gambar 6.10 berikut ini.



Siklus Proses Inovasi Generation and Mobilization



Diffusion and Implementation



commercialization



Adaptability and Screening



experimentation



6.76



Manajemen Perubahan 



LAT IH A N Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Jelaskan dan berikan contoh apa yang Anda ketahui tentang kreativitas! 2) Sebutkan dimensi dari inovasi? 3) Jelaskan perbedaan klasifikasikan generasi dari proses inovasi Coupling model dengan Integrated model! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Kreativitas oleh Sternberg didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan bukan hanya produk berkualitas tetapi juga baru. Sebagai contoh, arsitektur candi Borobudur yang rancangannya dihasilkan arsitek yang cerdas pada zamannya, untuk jelasnya dapat Anda pelajari pada halaman 4-6.



 EKMA4565/MODUL 6



6.77



2) Silakan Anda simak materi pada halaman 21-26. Ada beberapa dimensi yang mendasari inovasi yaitu: unsur kebaruan, seberapa baru agar sesuatu bisa disebut inovasi, nilai manfaatnya, adopsi dan difusi inovasi. 3) Professor Roy Rothwell mengklasifikasikan proses inovasi menjadi lima generasi yaitu generasi: Technology Push, Market Pull, Coupling Model, Integrated Model dan Systems Integration and Networking. Pada proses inovasi Coupling model bersifat sequential (berurutan) sedangkan proses inovasi Integrated model tidak terjadi secara berurutan. R A NG KU M AN Inovasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin ―innovare‖ yang berarti me-review, membuat sesuatu menjadi baru atau mengganti yang lama menjadi baru. Di dalam inovasi terkandung unsur-unsur kreativitas dan invensi, dan sesungguhnya ketiga unsur tersebut memiliki kesamaan yakni unsur kebaruan. Perbedaan dari ketiga unsur terletak pada nilai guna dari kebaruan tersebut. Kreativitas menghasilkan pengetahuan baru, pengetahuan baru menjadi dasar untuk menemukan formula baru dan formula baru jika diwujudkan dalam realitas kehidupan akan memberi nilai guna dan membantu memecahkan persoalan yang sebelumnya tidak terpecahkan. Invensi yang memberi manfaat nyata inilah yang secara umum disebut sebagai inovasi, atau dengan rumusan sebagai berikut: Inovasi = kreativitas + invensi + eksploitasi. Untuk mengetahui dimensi-dimensi apa yang terkandung dalam inovasi, ada tiga pertanyaan yang perlu dielaborasi lebih lanjut yaitu: Apanya yang baru dari sebuah inovasi? Seberapa baru inovasi tersebut? Jika inovasi dikatakan baru, sesungguhnya baru bagi siapa? Itulah tiga pertanyaan yang pada dasarnya adalah pertanyaan tentang dimensi inovasi. Suatu organisasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang inovatif memiliki beberapa prasyarat yang dapat dilihat pada Tabel 6.3. Prasyarat seperti inilah yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak mampu memenuhinya lebih-lebih jika pihak manajemen tidak memiliki intensitas untuk berinovasi. Professor Roy Rothwell mengklasifikasikan proses inovasi menjadi lima generasi yaitu generasi: pertama Technology Push, kedua Market Pull, ketiga Coupling Model, keempat Integrated Model dan kelima Systems Integration and Networking. Masing-masing generasi ini memiliki kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.



6.78



Manajemen Perubahan 



TES F OR M AT IF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Di bawah ini yang bukan tipologi kreativitas menurut Kaufmann adalah .... A. intellegent adaptation B. routine problem solving C. expected creativity D. proactive creativity 2) Di bawah ini merupakan komponen-komponen dari kreativitas menurut Sternberg kecuali .... A. Cara berpikir kreatif B. Pragmatist C. Kemampuan intelektualitas D. Motivasi 3) Salah satu karakteristik yang terkandung dari pengertian adalah .... A. bersifat umum B. kecanggihan C. kebaruan D. mudah diprediksi



inovasi



4) Sesuatu yang baru namun masih berada pada tataran konsep, model, prototipe atau pengetahuan adalah definisi dari .... A. invensi B. kreativitas C. difusi D. inovasi 5) Proses inovasi yang bersifat kompleks, nonlinear, mensyaratkan adanya umpan balik, dan tidak terjadi secara berurutan serta melibatkan berbagai fungsi organisasi adalah model proses inovasi .... A. Technology Push B. Coupling C. Integrated D. Market Pull



6.79



 EKMA4565/MODUL 6



Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.



Tingkat penguasaan =



Jumlah Jawaban yang Benar



 100%



Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Selamat! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.



6.80



Manajemen Perubahan 



Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) D. 2) C. 3) B. 4) C. 5) A.



Tes Formatif 2 1) C. 2) B. 3) C. 4) A. 5) C.



 EKMA4565/MODUL 6



6.81



Daftar Pustaka Alavi, M. & Leidner, D.E. (2001). Review: Knowledge Management and Knowledge Management Systems: Conceptual Foundation and Research Issues, Management Information System Quarterly, 25, 1, pp. 107-136. Allee, V. (1997). 12 Principles of Knowledge Management, Training and Development, 51, 11, pp. 71-74. Alvesson, M., Karreman, D. & Swan, J. (2002). Departures from Knowledge and/or Management in Knowledge Management, Management Communication Quarterly, 16, 2, pp. 282-291. Baban, C.F. (2007). A Knowledge Management Approach in Higher Education, Proceeding of KSS 2007: The Eight International Symposium on Knowledge and Systems Sciences, Orgaized by: Japan Institute of Science and Technology. Baloch, Q.B. & Kareem, N. (2007), The Third Wave (Book Review), Journal of Managerial Sciences, vol. 1, number 2, pp. 115 – 143. Barquin, R.C. (2001). What is Knowledge Management? Knowledge and Innovation: Journal of the KMCI, 1, 2, pp. 127-143. Bennet, A. & Bennet, D. (2007) context: The Shared knowledge Enigma, VINE: The Journal of Information and Knowledge Management Systems, 37, 1, pp. 12-40. Bennet, D. & Bennet, A. (2008). Engaging Tacit Knowledge in Support of Organizational Learning, VINE: The Journal of Information and Knowledge Management Systems, 38, 1, pp. 72-94. Bierly III, P.E., Kessler, E.H. & Christensen, E.W. (2000). Organizational Learning, Knowledge and Wisdom, Journal of Organizational Change Management, 13, 6, pp. 595-618.



6.82



Manajemen Perubahan 



Biggam, J. (2001). Defining Knowledge: An epistemological Foundation for Knowledge Management, Proceedings of the 34th Hawaii International Conference on System Sciences – 2001. Chang & Lee (2008). Chen, C-A. (2007). Analysis of the Knowledge Creation Process: An Organizational Change Perspective, International Journal of Organization Theory and Behavior; Fall; 10, 3; pp. 287-313. Chen, C-A. (2008). Linking Knowledge Creation Process to Organization Theories: A macro View of Organization-Environment Change, Journal of Organizational Change Management, 21, 3, pp. 259-279. Csikszentmihalyi, M. (1999). If We Are So Rich, Why Aren‘t We Happy? American Psychologist, 54, 10, pp. 821-827. Davenport, T.H., Jarvenpaa, S.L. & Beers, M. C. (1996). Improving Knowledge Work Process, MIT Sloan Management Review, 37, 4, pp. 53-65. Davenport, T.H., de Long, D.W. & Beers, M.C. (1998). Successful Knowledge Management Projects, Sloan Management Review, 39, 2; pp. 43-57. Demarest, M. (1997). Understanding Knowledge Management, Long Range Planning, 30, 3, pp. 374-384. Earl, M. (2001). Knowledge Management Strategies: Toward Taxonomy, Journal of Management Information Systems, 18, 1, pp. 215-233. Edvisson, L. & Malone, M.S. (1997). Intellectual Capital: Realizing Your Company’s True Value by Finding Its Hidden Brainpower, 1st edition, New York, NY: HarperBusiness. Firestone, J.M. (2001). Key Issues in Knowledge Management, Knowledge and Innovation: Journal of the KMCI, 1, 3, pp. 8-38.



 EKMA4565/MODUL 6



6.83



Hick, R.C. Dattero, R. & Galup, S.D. (2006). The Five-tier Knowledge Management Hierarchy, Journal of Knowledge Management, 10, 1, pp. 19-31. Hussi ,T. ( 2004). Reconfiguring Knowledge Management - Combining Intellectual Capital, Intangible Assets and Knowledge Creation, Journal of Knowledge Management, 8, 2, pp. 36-52. Hussi, T. & Ahonen, G. (2002). Managing Intangible Assets – a Question of Integration and Delicate Balance, Journal of Intellectual Capital, 3, 3, pp. 277-286. Kakabadse, N.K., Kakabadse, A. & Kouzmin, A. (2003). Reviewing the Knowledge Management Literature: Towards a Taxonomy, Journal of Knowledge Management Volume 7 Number 4 pp. 75-91. Kaplan, R.S. & Norton, D.P. (2001). The Strategy Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment, Boston, MA: Harvard Business School Press. King, N. & Anderson, N. (2002). Managing Innovation and Change: A Critical Guide for Organizations, Singapore: Thomson. Leonard, D. (1999). Wellsprings of Knowledge – Building and Sustaining the Sources of Innovation, Boston, MA: Harvard Business School Press. Lenski. G & Lenski, J. (1987). Human Society: An Introduction to Macrosociology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill Book Company. Martensson, M, (2000). Critical Review of Knowledge Management As a Management Tool, Journal of Knowledge Maangement, 4, 3, pp 204216. McElroy.M.W. (2000). The New Knowledge Management, Knowledge and Innovation: Journal of KMCI, 1, 1, pp. 43-67.



6.84



Manajemen Perubahan 



McInerney, C. (2002). Knowledge Management and the Dynamic Nature of Knowledge, Journal of the American Society for Information Science and Technology, 53, 12, pp. 1009-1018. Morgan, G. (1997). Images of Organisations, Sage, London. Nonaka, I. (1994). A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation, Organization Science, 5, pp. 14-37. Nonaka, I. & Konno, N. (1998). The Concept of ‗Ba‘: Building a Foundation for Knowledge Creation, California Management Review, 4, 3, pp. 4054. Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company, New York: Oxford University Press. Nonaka, I., Toyama, R. & Konno, N. (2000). SECI, Ba and Leadership, A Unified Model of Dynamic Knowledge Creation, Long Range Planning, 33, pp. 5-34. Nonaka, I. Toyama, R. & Nagata, A. (2000). A Firm As a Knoweledge Creating Entity: A New Perspective on the Theory of the Firm, Industrial and Corporate Change, 9, 1, pp. 1-20. Nunamaker, Jr. J.F., Romano, Jr. N.C. & Briggs, R.O. (2001). A Framework for Collaboration and Knowledge Management, Proceedings of the 34th Hawaii International Conference on System Sciences – 2001. Parise, S., Cross, R. & Davenport, T.H. (2006). Strategy for Preventing a Knowledge-Loss Crisis, MIT Sloan Management Review, pp. 31-38. Rowley, J. (2000). Is Higher education Ready for Knowledge management? The International Journal of Educational Management, 14, 7, pp. 325333. Scalzo, N.J. (2006). Mempry Loss? Corporate Knowledge and Radical Change, Journal of Business Strategy, 27, 4, pp. 60-69.



 EKMA4565/MODUL 6



6.85



Sveiby, K-E. (2001). A Knowledge-Based Theory of Firm to Guide in Strategy Formulation, Journal of Intellectual Capital, 2, 4, pp. 344-358. Tjakraatmadja, J.H. & Lantu, D.C. (2006). Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Bandung: Sekolah Bisnis dan Manajemen (SMB) Institut Teknologi Bandung. Toffler, A. (1980). The Third Wave, London, Pan Book Ltd. Tuomi, I. (1999). Data is More than Knowledge: Implications for the Reversed Knowledge Hierarchy for Knowledge Management and Organizational Memory, Journal of Management Information System, Fall 16, 3, pp. 107-121.