Empat Pilar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sikap Kemasyarakatan NU Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar faham keagamaan NU yang bersumber kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’, dan al-Qiyas. Sedangkan dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Madzhab): Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris AsySyafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. Dari empat dasar keagamaan yang dimiliki NU inilah menjadi ciri khas Ahlussunnah Wal Jama’ah yang belakangan ini juga digunakan oleh kelompok Ektrimis (Islam Garis Keras), Maka untuk membedakan Ahlussunnah Wal Jama’ah NU menambahkan kata An Nahdliyah sehingga menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah. Pemberian nama ini bukan mengganti subtansi faham keagamaan yang ada, tapi untuk mempertegas penyebutan dan pembedaan dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dipakai kelompok lain. Dari Empat Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini akhirnya menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU yang memiliki ciri-ciri: Sikap Tawassuth dan I’tidal Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim). Sikap Tasamuh Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama halhal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan Sikap Tawazun



Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Dalam pemahaman yang parsial sikap kemasyarakatan ini dianggap tidak tegas dan cenderung pasif dan tidak terkesan semangat dalam perubahan, semisal ketika pada aksiaksi 411, 212, dan seterusnya, NU dinilai lamban dan tidak menunjukkan greget. Tapi justru diamnya NU tanpa Instruksi Struktural dari tingkatan PBNU menunjukkan kematangan NU dalam bersikap dengan tetap berprinsip pada empat sikap keberagamaan di atas. Sehingga kondisi sebenarnya mampu diurai dengan terang dan tanpa mengorbankan umat demi kepentingan sesaat. Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan itu membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang: Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. NKRI Perspektif NU Demokrasi di era reformasi telah membuka seluas-luasnya pintu kebebasan. Bahkan kebebesan yang menjurus pada tindakan makar terhadap negara pun leluasa bergerak.



Semisal eksistensi Hizbut Tahrir yang jelas-jelas mengagendakan penggulingan negara (tasallum zimam al-hukm). Namun bagi NU, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan upaya final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia–termasuk umat Islam di dalamnya– dalam mendirikan negara. NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat negara yang baru. Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah. Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang karena bagaimana pun sebuah negara atau organisasi dapat dikatakan modern dari tataran manajemen dilihat dari tiga tinjauan (masa lalu/ kesejarahannya, Masa sekarang dan Masa datang). Terkait tanggung jawab tersebut, melalui Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU mengeluarkan Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan Pandangan dan Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan, yang mana di antara isinya adalah sebagaimana berikut: WAWASAN KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA Nahdlatul Ulama menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara -di mana sekelompok orang yang oleh karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan, kemudian mengikatkan diri dalam satu sistem dan tatanan kehidupan merupakan “realitas kehidupan” yang diyakini merupakan bagian dari kecenderungan dan kebutuhan yang fitri dan manusiawi. Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanatNya sejalan dengan tabiat atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu. Kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah menuju pengembangan tanggung jawab kekhilafahan yang lebih besar, yang menyangkut “kehidupan bersama” seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di dunia dan di akhirat. Dalam kaitan itu, kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian maka pemerintah (umara’) dan ulama -sebagai pengemban amanat kekhilafahan- serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut. Umara’ dan ulama dalam konteks di atas, merupakan pengemban tugas khilafah dalam arti menjadi pengemban amanat Allah dalam memelihara dan melaksanakan amanatNya dan dalam membimbing masyarakat sebagai upaya memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Dalam kedudukan seperti itu, pemerintah dan ulama merupakan ulil amri yang harus ditaati dan diikuti oleh segenap warga masyarakat. Sebagaimana firman Allah QS. al-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang Demikian itu lebih utama



(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisa’: 59). TANGGUNG JAWAB NAHDLATUL ULAMA TERHADAP KEHIDUPAN BERBANGSA DI MASA MENDATANG Umat Islam Indonesia dan Nahdlatul Ulama, sejak semula memandang Indonesia sebagai “kawasan amal dan dakwah”. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, dan (karenanya) merupakan lahan dari ajaran Islam yang universal itu (Kaffatan linnas dan Rahmatan lil ‘alamin). Indonesia dalam berbagai kondisinya, adalah rahmat yang sangat besar dari Allah Swt., yang wajib disyukuri seluhur-luhurnya, dengan melestarikannya, mengembangkannya dan membangunnya sepanjang zaman. Segala kekurangan dan kelemahannya diperbaiki, dan segala kebaikannya ditingkatkan dan disempurnakan untuk mencapai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, negara adil dan makmur di bawah maghfirah (ampunan) Allah Swt. Dalam menyongsong masa depan, Nahdlatul Ulama bertekad untuk selalu berperan besar dalam meningkatkan kualitas umat, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Dengan itulah umat Islam mampu memenuhi peran dan tanggung jawab sebagai mayoritas bangsa, sebagai khalifah Allah di bumi dan sekaligus sebagai hamba yang harus selalu mengabdi dan beribadah kepadaNya. Untuk itu, tugas Nahdlatul Ulama pada masa kini dan masa mendatang adalah: Sebagai “kekuatan pembimbing spiritual dan moral umat dan bangsa ini”, dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara -politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek- untuk mencapai kehidupan yang maslahat, sejahtera dan bahagia, lahir dan batin, dunia dan akhirat. Berusaha akan dan terus secara konsisten menjadi “Jam’iyah diniyah/ organisasi keagamaan” yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertakwa kepada Allah Swt., cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera. Berperan aktif memeperjuangkan pemerataan sarana perikehidupan yang lebih sempurna demi mewujudkan keadilan sosial yang diridhai Allah Swt. Menjadikan warga Nahdlatul Ulama dan seluruh warga bangsa Indonesia sebagai warga negara yang senantiasa menyadari tanggung jawabnya dalam membangun Indonesia secara utuh, menegakkan keadilan dan kebenaran, memelihara kemanusiaan dan kejujuran serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, berdaulat, mandiri, terbebas dari penjajahan dan penganiayaan oleh siapapun dalam bentuk apapun, sehingga nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, serta ajaran Islam yang lain, dapat dimasyarakatkan dan disatukan dengan dan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia adalah wilayah atau bagian dari bumi Allah, yang menjadi tempat kaum muslimin menghambakan dirinya kepada Allah Swt., dengan penuh ketenangan dan keleluasaan, dalam seluruh aspek kehidupan.” NKRI Harga Mati Musyawarah Nasional tahun 1983 di Situbondo menjadi momentum politik kenegaraan NU diuji. Di tengah kelompok menggugat relevansi Pancasila bagi dasar negara. Kelompok Islamis mulai menawarkan dengan dasar Islam dan Piagam Jakarta mulai ramai dibicarakan yang juga ditandai dengan munculnya Islam radikal sisa-sisa DI/TII. Rdaikalisme itu muncul kembali karena terinspirasi oleh revolusi Islam Iran yang menggetarkan dunia.



Penerimaan NU terhadap Pancasila dan NKRI tidak hanya bersifat politis tapi lahir dan batin ditengah olokan dan cemoohan kelompok lain, akhirnya NU memaparkan penerimaannya terhadap Pancasila dan NKRI dengan penjelasan bahwa NU memposisikan Pancasila sebagaimana proporsinya, bukan sebagai Agama Pancasila tapi sebagai dasar negara yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan dijalankan bersama secara beriringan tanpa harus dihadapkan pada pilihan salah satu atau tidak memilih keduannya. Maka sejak saat ituNKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 ramai menjadi tema pidato Kyai-Kyai NU setiap hari dimana pun dan dalam agenda resmi atau tidak resmi. Bahkan saatPanglima TNI Benny Moerdani datang ke Pesantren Pancasila di Klaten Jawa Tengah yang dipimpin oleh KH. Muslim Imampuro meneriakkan yel, NKRI Harga Mati! NKRI Harga Mati! NKRI Harga Mati! Pancasila Jaya! Sejak saat itulah NKRI Harga Mati menjadi Jargon dan yel-yel oleh berbagai pihak termasuk TNI. Slogan atau yel-yel NKRI Harga Mati! Bukanlah lelucon yang memiliki arti Harga Pas!, tapi lebih kepada menggelorakan semangat Nasionalisme kita dan mengenang jasa para Pendiri Bangsa yang telah mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Tanpa adanya Indonesia NU belum tentu berdiri dan tanpa NU Indonesia juga tidak akan berdiri. Oleh karena keduanya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tugas kita lah yang tinggal menggelorakan semangat cinta tanah air dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia sebagai implementasi dari Rahmatan Lil ‘Alamin. Penutup Kesimpulan Nahdlatul Ulama’ memposisikan Pancasila sebagaimana proporsinya, bukan sebagai Agama Pancasila tapi sebagai dasar negara yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan dijalankan bersama secara beriringan tanpa harus dihadapkan pada pilihan salah satu atau tidak memilih keduannya. Sehingga pada sikap yang dilakukan Nahdlatul Ulama’ melalui Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983 di Situbondo tersebut bukan sikap tanpa alasan dan hanya memenuhi tuntutan ORDE BARU, tapi Nahdaltul Ulama’ mampu menjawab dengan alasan matang dan tegas sebagaimana dipaparkan di atas. Sehingga ketika diarik kesimpulan bahwa Pancasila adalah Ideologi nasional bangsa Indonesia. Yang pada pokoknya Ideologi berisi hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita, sehebat apa pun sebuah Ideologi adalah buatan manusia. Sedangkan Agama adalah Wahyu dari Allah SWT. Sehingga posisinya jelas. Ideologi dan Agama tidak harus diposisikan dipilih salah satu dari keduanya atau dibuang keduanya secara langsung. Seorang pemeluk agama boleh saja berideologi, berfilsafat, berbudaya berdasarkan negara, asalkan ideologi, filsafat, dan budaya tersebut tidak bertentangan dengan nili-nilai keagamaan. Nahdlatul Ulama’ saat itu memposisikan Pancasila bukan sebagai lawan yang dipertentangkan, tetapi memposisikan sebagaimana tempat mestinya. Nahdlatul Ulama mengamalkan dan melaksanakan ideologi Pancasila dan Agama secara bersamaan, tidak memposisikan pada bagian memilih salah satu dari keduanya. Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar faham keagamaan NU yang bersumber kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’, dan al-Qiyas dengan pendekatan bermadzhab: Fikih salah satu dari empat madzhab( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), Bidang Aqidah( Abu Hasan Al Asy’Ari dan Abu Mansur Al Maturidi), Tasawuf ( Al Ghozali, Syekh Junaid Al Bghdadi), Islam adalah agama yang Fitri yang menyempurnakan kebaikan yang sudah ada.



NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat negara yang baru. Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah. Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang karena bagaimana pun sebuah negara atau organisasi dapat dikatakan modern dari tataran manajemen dilihat dari tiga tinjauan (masa lalu/ kesejarahannya, Masa sekarang dan Masa datang). Slogan atau yel-yel NKRI Harga Mati! Bukanlah lelucon yang memiliki arti Harga Pas!, tapi lebih kepada menggelorakan semangat Nasionalisme kita dan mengenang jasa para Pendiri Bangsa yang telah mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Tanpa adanya Indonesia NU belum tentu berdiri dan tanpa NU Indonesia juga tidak akan berdiri. Oleh karena keduanya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tugas kita lah yang tinggal menggelorakan semangat cinta tanah air dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia sebagai implementasi dari Rahmatan Lil ‘Alamin. Saran Warga NU Saran yang penulis sampaikan untuk warga NU adalah untuk memantapkan diri ber NU dan ber Indonesia. Jangan memisahkan diri dari barisan Nahdlatul Ulama’. Mari kita niati berkhidmat di NU untuk ndandani diri kita melalui NU( baik struktural maupun kultural). Bangsa Indonesia Kebhinekaan kita untuk dipertahankan, bukan untuk dipertanyakan kenapa ada kebhinekaan? Perbedaan & kita kaya akan khasanah kebangsaan, dari keberagamanlah kita mampu mewujudkan kemerdekaan, pun dari keberagamanlah kita harus mampu mengisi kemerdekaan.



”Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam” yang dirumuskan oleh para ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo Jawa Timur. Deklarasi itu merupakan penjelasan mengenai sikap NU terhadap ideologi Pancasila



.



Kuatnya arus modernisasi saat ini, membuat pemahaman mengenai empat pilar kebangsaan perlu untuk digalakan. Pasalnya, penerapan empat pilar kebangsaan belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan, terutama di kalangan pelajar.



Anggota MPR RI dari Fraksi PPP Dapil Jateng III asal Rembang M.Arwani Thomafi mengatakan, penerapan empat pilar kebangsaan merupakan hal yang paling penting dalam membentuk karakter bangsa sebagai modal dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.



“Pemahaman empat pilar kebangsaan kepada pelajar, pemuda atau santri itu sangat penting. Sebab hal ini bisa menjadikan generasi muda memiliki peranan dan kontribusi yang penting dalam menentukan Indonesia di masa depan,” ujarnya saat sosialisasi empat pilar kebangsaan di SMK Avicena Lasem Rembang beberapa waktu lalu.



Katanya, masing-masing komponen dalam empat pilar tersebut memiliki kedudukan yang utama sebagai pedoman dan pegangan dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.



“Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah kehidupan berbangsa. UUD 45 merupakan norma dasar yang menjadi pedoman dalam pemerintahan, NKRI merupakan pilihan yang harus dipertahankan. Sedangkan Bhineka Tunggal Ika menjadi acauan dalam menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa yang beragam dan tersebar dari Sabang sampai Merauke,” paparnya.



Menurutnya, generasi muda juga memiliki peran strategis dalam memajukan bangsa. Sebab, generasi mudalah yang akan mewarisi Negara dan berkewajiban terus menjaga NKRI yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.



Dia menambahkan, di era globalisasi ini, banyak sekali nilai-nilai dari luar sangat bebas masuk ke dalam negeri melalui kemajuan teknologi dan informasi. “Oleh sebab itu, sebagai benteng sekaligus filter tidak lain adalah nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan harus diterapkan,” pungkasnya.