(Erin) Review Buku Mutiara Yang Terlupakan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU MUTIARA YANG TERLUPAKAN BAB 1, 2, 5, DAN 7 (Pengantar Studi Sastra Lisan) LAPORAN BACA dibuat untuk memenui tugas Sastra Lisan Dosen Pengampu Imam Muhtarom, SS., M.Hum.



oleh Erin Elia NPM 1610631080064



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWAN 2019



BAB I PENDAHULUAN 1.1 IDENTITAS BUKU Judul



: Mutiara yang Terlupakan (Pengantar Studi Sastra)



Penulis



: Dr. Suripan Sadi Hutomo



Penerbit



: Himpunan Sarjana Kesuasteraan Indonesia HISKI – Komisariat Jawa Timur



Tahun



: 1991



Tebal



: 150 hlm



1



BAB II LAPORAN BAB



2.1. BAB I Pada Bab I dalam buku Mutiara yang Tertinggal membahas tentang pengertian sastra lisan beserta kaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Istilah ‘sastra lisan’, di dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literature. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari bahasa Belanda orale letterkunde. Dalam mutiara yang terlupakan ini sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan di turun temurunkan secar lisan (dari mulut ke mulut). Dengan begitu, apa yang dinamakan kesusasteraan, yang dulu berarti as anything written (Barnet 1963 : 1). Dalam penjelasan juga dikatakan bahwa karena sastra rakyat itu milik komunal, maka sastra ini disebut sebagai folk literature, atau sastra rakyat. Hal tersebut bukan berarti bahwa sastra rakyat tidak terdapat di dalam masyarakat kota yang telah maju. Berdasarkan beberpa uraian dalam buku, dijelaskan juga tentang ciri-ciri sastra lisan yaitu: (1) Penyebarannya melalui mulut; Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat; (2) Tidak diketahui siapa pengarangnya; (3) Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya untunk menguatkan ingatan dan untuk menjaga keasian sastra lisan supaya ridak cepat berubah; (4) Tidak mementingkat fakta dan kebenaran, lebih menekankan aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern; (5) Terdiri dari berbagai versi; (6) Bahasa: menggunakan gaya bahasa lisan (bahasa sehari hari), mengandung dialek, kadang diucapkan tidak lengkap. Selain itu, apabila dilihat dari segi penuturnya, misalnya cerita rakyat, sastra lisan dapat dibagi dua jenis, yakni : (1) sastra lisan yang bernilai sastra (mengandung su, 2



estetik, keindahan); dan (2) sastra lisan yang tidak bernilai sastra. Jenis pertama dituturkan oleh penutur profesional, misalnya tukang kaba (Minangkabau), tukang si jobang (Minangkabau), juru pantun (Sunda), tukang (dalang) kentrung (Jawa), tukang (dalang)jemblung (Jawa), penglipur lara (Melayu), dan lain-lain. Jenis kedua dituturkan oleh orang-orang biasa yang kebetulan dapat menceritakan sesuatu. Berdasarkain kaitan sastra lisan dengan ilmu lain, buku ini membahas tentang kaitan sastra lisan dengan folklor, sastra lisan dengan tradisi lisan, sastra lisan dengan filologi lisan. 2.1.1 Satra Lisan dan Folkor Sastra lisan sering dikaitkan dengan folklor, bahkan ada yang menyebutkan sebagai budaya rakyat atau folklor. Pengaitan tersebut memang benar, sebab sastra lisan juga merupakan bagian dari folklor. Istilah folklore, pada mulanya adalah ciptaan Willam Jhon Thoms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Folklor di Indonesia merupakan ilmu yang masihh baru. James Danadjaja yang memerkenalkan ilmu ini kepada khalayak ilmuan Indonesia. Menurut Danandjaja (1984 : 2), “folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Jadi, folklor disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi, yang kadang-kadang penuturnya itu disertai dengan perbuatan (misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalah). Oleh karena sifatnya yang tradisional, maka folklore itu disebarkan di dalam bentuknya yang relative tetap, atau di dalam bentuk baku d dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam masyarakat yang bersifat komunal, pencipta folklor itu tidak diketahui. Terakhir adala, folklor itu mempunyai bentuk klise, di dalam bentuk cerita rakyat.



3



2.2.2 Sastra Lisan dan Tradisi Lisan Hubungan sastra lisan dan tradisi lisan dijelaskan bahwa, istilah tradisi lisan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral tradition. Konsep istilah ini hampir sama dengan folklor, bedanya terletak pada unsur yang ditransmisi secara lisan, yang terkadang diikuti dengan tindakan. Dapat diketahui bahwa peralihan penggunaan istilah folklor ke tradisi lisan, sebab istilah folklor telah mempunyai konotasi baru, yakni ‘kebohongan’ atau sesuatu yang benar-benar di sangsikan. Dalam hubungan penulisan sejarah, dijelaskan maksud tradisi lisan secara umum adalah segala macam keterangan lisan dalam bentuk lapran tentang suatu hal yang terjadi pada masa lampau. Menurut Vansina, ada tiga jenis keterangan lisan, yakni : (1) penglahran pengnyaksian; (2) tradisi lisan (secaara khusus); dan (3) khabar angin. Dalam penulsan sejaarah, orang perlu mengetahui metode penapisan terhadap hal-hal yang tidak benar.Berdasarkan tradisi lisan di Afrika, Jan Vansina membagi tradisi lisan menjadi lima jens, yakni : (1) formula; (2) puisi; (3) daftar kata; (4) cerita; dan (5) komentar. 3.2.3 Sastra Lisan dan Filologi Lisan Dalam kaitan sastra lisan dengan filologi lisan dijelaskan bahwa kita dapat bekerja, antara lain mengenai: 1) membandingkaan teks lisan dan teks tulis, dan hasilnya dapat berupa : (a) teks lisan berasal dari teks tulis; dan (b) teks tulis berasal dari teks lisan. 2) Membandingan beberapa versi sastra lisan untuk menentukan pusat penyebaran cerita; atau mencari asli tidaknya sebuah teks lisan yang dipergunakan untuk kajian, misalnya keperluan menulis sejarah dengan menggunakan bahasa sastra lisan.



4



Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan (dari mulut kemulut). Selain itu sastra lisan juga memiliki hubungan denan berbagai disiplin ilmu diantaranya hubungan sastra lisan dengan folkloor, tradisi lisan, dan filologi lisan. 2.1 BAB II Pada Bab II ini membahas tentang adanya beberapa pandangan teoritis sastra lisan. Sastra lisan, adalah warisan sastra yang diturunkan di dalam tradisi lian dan merupakan lawan sastra tertulis atau tercetak, telah dijadikan objek dari berbagai cara pendekatan dengan berbagai teori. Pada awal penelitian para sarjana folklore memusatkan perhatian pada folklate (fairy tale), atau dalam bahasa Jerman disebut Marchen (Thomson, 1977:4). Dalam bab ini juga dibahas mengenai masalah yang dianggap fundamental dalam sastra lisan, yaitu tentang asal usul dongeng, variasi dongeng, penyebaran dongeng, makna dongeng, dan hubungan dongeng denan bentuk-bentuk sastra lisan lain, seperti mie dan sage. Sarjana yang pertama kali mengemukakan teori tentang dongeng ialah Grimm. Teori pertama yang dikenal dengan teori Indo – Eropah. Menurut teori ini dongeng-dongeng yang memperlihatkan persamaan-persamaan itu berasal dari dongeng-dongeng bahasa Indo-Eropah. Teori kedua dikenal sebagai teori mite yang sudah rusak (that broken-down myth). Dalam teori ii Grimm mengatakan bahwa dongeng-dongeng itu berasal dari mite yang rusak. Selain itu, ada salah seorang yang mehirkan teori baru, ialah Theodor Benfey. Ia mengemukakan teori yang dikenal sebagai teori India (Thompon 1977:379). Dalam teori ini Theodor Banfey mengatakan bahwa dongeng yang ermotif sama berasal dari tanah India. Selain itu, terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh kelompok Freudian dan P. Saintyves ialah para sarjana yang tidak menyetujui teori Grimm atau teori pendukung Griimm. Andrew Lang salah satu anggota kelompok Freudian tidak menyetujui teori Theodor Benfey kemudian mengemukakan teori polygenesis. Selain 5



itu, Ehrenreich dengan bersandar pada ilmu jiwa mengatakan bahwa dongengdongeng itu banyak yang berasal dari mite matahari dan bulan. Peristiwa terjadinya dongeng



disebut



naturmythologisches



Marchen



(Thompson



1977:384),



artinyadongeng yang kelahirannya disebabkan oleh mite terhadap peristiwa-peristiwa alam. Kelompok Freudian mengatakan bahwa dongeng itu berasal dari ritual. Ketika diskusi yang ditimbulkan oleh Grimm mereda setelah timbul aliran baru, yaitu aliran Finlandia yang mencoba meneliti dongeng dengan metode historicgeographic. Kaarle Krohn, membat sistem klasifikasi berdasarkan tipe dongeng, yang oleh Stith Thompson disebut sebagai a traditional tale that h as an independent existence atau sebagai a complete tale (Thompson977:415). Stelanjutnya, Thompson memuat klasifikasi berdasarkan motif, yaitu the smallest element in a tale having a power to persist in tradition (Thompson 1977: 415). Penelitian terhadap asal-usul dongeng bukanlah satu-satunya pendekatan terhadap sastra lisan. Para sarjana ilmu sosial (terutama sarjana antropologi budaya dan sosial). Mereka meneliti fungsi sastra lisan dalam masyarakat. Menrut teori fungsi ini sastra lisan dapat berfungsi ebagai kontrol sosial dan untuk mendidik anak. Bronislaw Malinowsski (1884-1942) seorang antropologi penganut teori fungsi berniat pada dongeng-dongeng suci orang Trobriand, yaitu penduduk kepulauan disebalaah timur Irian. Menurut Malinowski dianatara dongeng orang Tobriand ada sejumlah dongeng-dongeng suci atau mirologi yang disebut liliu. Dongeng ini tidak dianggap sebagai perlambang dan sejarah, tetap anggap sebagai cerita tentang hal-hal yang benar-benar terjadi dan tidak terikat pada tempat dan waktu. Menurut Malinowski dongeng suci ini berfungsi sebagai pedoman unuk upacara kkeagamaan, kesusilaan dan aktivitas masyarakat. Sementara itu, Radcliffle Brown beranggapan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan itu ialah memelihara keutuhan dan sistematik struktur social (Koentjaraningrat 1964:68). Selain iu teori fungsi dari kalangan kaun Marxis yang



6



bersandar pada ajaran Karel Marx (1818-1883) berangapan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai tool of ruling calss, yaitu mempropagandakan serta menyebar ideide klas yang berkuasa itu. Oleh karena itu, kaum Marxis sangat menauh perhatian pada popular literature (sastra rakyat) dan the people’s song (nyanyian rakyat). Dalam perkembangan selanjutnya para peneliti sastra lisan dipengaruhi oleh teori sosiologi umum. Konsepsi kemasyarakatan Emile Durkheim (1858-1917) tentang paham kolektif (Koentjaraniingrat 1964:40) melahirkan duaa model masyarakat yaitu masyarakat primitive dan masyarakat modern. Kemudian terdapat Golongan ketiga yang mengarahkan perhatian mereka kepada sastra lisan adalah sarjana ilmu sastra. Mereka mengkaji sajian penyanyipenyanyi cerita semata-mata sebagai ‘kerya sastra’. Seprang sarjana bernala Albert B. Lord, dalam bukunya membicarakan lima masalah tentang nyanyian rakyat: a) Masalah antara menciptakan, menyanyikan, dan pertunjukkan; b) masalah formula; c) masalah tema; d) masalah teks asli; e) masalah hubungan antara versi tertulis dan versi lisan. Pendekatan yang tempak menonjol ini terhadap sastra lisan adalah pendekatan struktur, yakni struktur naratif cerita lisan. Pendekatan struktur telah lama bermula di Eropa pada akhir abad ke-19 (lihat buku Patterns in oral Literatur susunan Heda Jason dan Dimitri Segal 1977:1). Kemudian pada tahun 910-an dan 1920-an, pendektan ini sangat berkembang di Rusia. Pleh Propp, mendefinisikn fungsi sebagai: “Function is understood as act of a character, defned from the pot of view of its signifinance for the couse of the action” (1975:21). Jadi, definisi ini hanya mengkaj atas aksi watak atau dramatis personae paa perkembangan cerita. Menurut Propp (1975: 79-80), ada tujuhjenis dramatis personae, yakni: 1) penjarah; 2) donor atau pemberi; 3) pembantu; 4) tuan puteri atau ayahnya; 5) pengutus; 6) pahlawan (wira) sjati; 7) pahlawan (wira) palsu.



7



Menurut Heda Jason (1977: 99-139) di dalam karangannya A model for narrative structure in Oral Literature, struktur sastra lisan itu ada empat tingkat, yakni wording, texture, narration, dan dramation. Secara keseluruhan, pada bab II ini membahas tentang asal usul dongeng dengan berbagai teori. Terdapat 5 teori yang dibhas dalam bab ini yaitu teori pertama yang dikemukakan oleh Griim mengenai dongeng yang dikenal dengan teori Indo – Eropah; teori mite yang sudah rusak, teori India, teori polygenesis, dan teori sosiologi umum hingga sekarang. 3.1 BAB V Pada bab v ini hal yang dibahas yaitu mengenai genre sastra lisan. Dalam buku mutiara yang terlupakan ada beberapa genre sastra lisan yaitu : 1.



Lisan dan Setengah Lisan Sastra lisan yang lisan (murni) adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan



secara lisan. Sastra ini umnya berbentuk prosa murni (ongeng-dongeng; cerita-cerita hiburan; dan lain-lain); da nada juga yang berbentuk prosa liris (penyampaaiannya dengan dilagukan/diiramakan). Hal tersebut dapat di lihat pada sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra kentrung dan sastra jemblung (Jawa). Jenis lain dari sastra lisan yang lisan (murni) adalah dalam bentuk puisi. Misalnya dalam wujud nyanyian rakyat (pantun, syair, macapat); tembang anak-anak; ungkapan-ungkapan tradisonal; teka-teki berirama; dan lain-lain. 2. Sastra Lisan Setengah Lisan Sastra lisan setengah lisan adalah sastra lian yang penuturnya dibantu ppleh bentuk-bentuk seni yang lain. Misalnya, sastra ludrug, sastra kethoprak, sastra wayang (wayang kulit atau wayang orang). Dengan begiu dalam sastra lisan ini suatu



8



cerita tidak dituturkan bagitu saja, tetapi ditutrkan dengan jalan bantuan seni lain secara spontan, tanpa teks tertulis. Seni lain itu berupa tari, ukis, drama, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan tesebut disimpulkan bahwa sulit sekali menentukan genre suatu sastra lisan. Hal ini disebabkan sastra lisan satu ama lain berkaitan dengan sastra tradisional lainnya. Seni tradisional pada umumnya adalah seni seni campuran. Apabila ada unur yang dipisahkan maka akan keilangan fungsinya. Oleh karena itu penganaslisisan atas unsur yang dipisahkan perlu selalu dikaitkan dengan konteksnya. 3.



Istilah-istilah Pada pembahasan mengenai istilah dijelaskan bahwa untuk memperjelas



persoalan, isitilah-istilah tersebut dapat dibuat skema sebagai berikut: I.



Bahan yang bercorak cerita : 1.



Cerita-cerita biasa (Tales) Cerita biasa adalah cerita-cerita yang dituturkan oleh rakyat. Ceria ini berupa cerita-cerita jenaaka, ceritacerita englipur lara, cerita-cerita binatang (fable) dan cerita untuk anak-anak (dongeng).



2.



Mitos (Myths) Mitos merupakan cerita yang menerangkan asal-usul dunia, kehidupan manusia, dan kegiatan-kegiatan hidup seperti bercocok tanam (kepercayaan pada Dewi Sri) dan adat istiadat yang lain..



3.



Legenda (Legends) Legenda adalah cerita yang oleh masyarakat yang mempunyai cerita-cerita tersebut dianggap sebagai peristiwa-peristiwa sejarah.



4.



Epik (Episcs) 9



Epik adalah cerita perihal kepahlawanan (kewiraan) seorang tokoh. 5.



Cerita tutur ( Ballads) Balada adalah cerita atau kisah yang penyampaiannya dengan cara dinyanyikan/diiramakan.



6.



Memori (Memorates) Memori adalah cerita atau kisah seseorang yang berisi pengalamannya yang luar biasa. Misalnya, seseorang beristri peri/jin. II. Bahan yang bercorak bukan cerita : 1. Ungkspsn (Folk Speech) Ungkapan adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan. Dari segi bahasa sastra, ungkapannya sanat menarik. Ungkapan tersebut memiliki beberapa jenis, yaitu : 1) ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan atau kegiatan hidup; 2) ungkapan yang berkaitan dengan pemainan; 3) ungkapan yang berfungsi unuk mengenakkan pembicaraan; 4) ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan; 5) ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang; 6) ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia; 7) ungkapan yang berkaitan dengan ejekan; 8) ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan. 2. Nyanyian (Songs) Nyanyian adalah bunyi suara yang berirama. Dalam hubungan sastra lisan, dari nyanyian ini yang menarik adalah teks nyanyannya. Teks nyanyian ini umumnya berupa puisi. Fungsi puisi nyanyian (puisi rakyat) adalah : 1) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat yang bersifat kolektif; 2) sebagai pengendali sosial; 3) untuk menghiur orang yang sedang bersedih; 4) untuk memulai suatu permainan; 5) untuk menekan atau menggau orang lain. 3. Peribahasa (Proverbs)



10



Peribahasa adalah ungkapan yang telah endapat makna dan tempat yang khusus dalam pemakaian bahasa. Dalam kelompok ini dimasukkan bida, pepatah dan petiti. Terkadang juga tersirat adanya undang-undang adat atau peraturan adat. Fungsi peribahasa dalam masyarakat sebagai alat pedagogis dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendalian sosial. 4. Teka-teki (Riddles) Teka-teki adalah soal yang berupa kalimat (cerita) sebagai permainan atau untuk mengasah pikiran. Fungi teka-teki dalam masyarakat adalah : 1) untuk mempertebal perasaan solidaritas dan identitas suatu kelompok; 2) untuk menguji kepandaian seseorang; 3) untuk meramalkan kejadian yang akan datang; 4) untuk menimbulkan tenaga gaib. 5. Puisi lisan (Rhymes) Puisi lisan adalah puisi yang dilisankan (diucapkan saja). 6. Nyanyian sedi pemakaman (Dirge) 7. Undang-undang atau peraturan adat (Law) III. Bahan yang bercorak ingkah laku : 1. Drama panggung, dan 2. Drama arena Drama panggung dan drama arena adalah drama yang sering mementakan cerita yang digali dari masyarakat, yaitu berupa certa populer. 4.1 BAB VII Pada bab vii ini membahas tentang bagaimana tata cara pengumpulan bahan dalam penelitian sastra lisan dilapangan. 1. Perekaman



11



Perekaman terbagi menjadi dua jenis. Pertama, perekaman dalam konteks asli (natural). Cara ini disebut sebagai pendekatan ethnography. Kedua, perekaman dalam konteks tak asli, aitu perekaman yang sengaja diadakan. Penggunaan cara ini bergantung pada tujuan penelitian. Pengumpulan yang baik itu tidak terletak pada cara pengumpulan, akan tetapi ada hasilnya. Hasil tersebut memiliki dua sifat, yaitu : 1) rekaman itu bai dan jelas; 2) ia mengandung keterangan-keterangan yang diperlukan untuk meletakkan bahan dalam konteks sosio-budayanya. Hal-hal yang perlu diingat dalam perekaman cara pertama adalah : 1) kehaadiran peneliti dan alat-aalat rekaman akan menggangu situasi. Ia akan menimbulkan kesan tertentu pada pencerita atau tukang cerita; 2) tukang cerita tak lancer bercerita (malu, kikuk); 3) ada tukang cerita yang kemudian ancar bercerita dan bergairah bercerita manakala rekaman suaranya diperdengarkan kembali; 4) cara ini tidak mudah, sebab bercampur dengan unsur-unsur lain (misalnya teuk tangan) sehingga nanti hasilnya sulit ditranskripkan dalam tulisan. Hal-hal yang perlu diingat dalam kegiatan perekaman: 1) jenis ini merupakan cara khusus untuk mengumpulkan bahan; 2) tanpa konteks, rekaman dapat di studio atau ditempat lain; 3) untuk keperluan kajian, rekaman ini perlu disertai catatancatatan khusus perihal yang direkam. 2. Catatan yang harus diibuat Catatan yang dbuat harus menyangkut masalah rekaman, informan, dan bahan. Dalam hubungan rekaman, catatan-catatan yang harus dibuat yaitu: 1) Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pndidikan, masyarakat (termasuk dalam masyarakat apa si informan itu), bahasa sehari-hari yang dipakai, kedudukannya di masyarakat. 2) Ahli/bukan ahli (dalam hubungannya bahan yang direkam). 12



3) Pengalaman (berkaitan dengan bahan yang direkam, misalnya dari siapa bahan tersebut diperoleh). Mengenai masalah bahan, maka hal-hal yang dicatat aadalah: 1) genre (sage, legenda, mite, fable, dan lain-lain); 2) istilah-istilah lain yang digunakan oleh masyarakat setempat (misalnya istilah ungkapan disebut sebagai wasita adi, Jawa); 3) mengaa dilakukan (apa tujuan suatu genre sastra lisan itu dituturkan atau dinyanyikan dalam masyarakatnya); 4) asal usul tradisi atau bahan itu dalam masyrakat; 5) penjelasan-penjelasan terhadap perlambangan atau kata-kata yang tidak diketahui maknanya (misalnya, apakah cerita tersebut cerita sungguhan atau dbuat-buat). 3. Pengetahuan peneliti Seorang peneliti harus mengetahui hal-hal berikut: 1.



Pengamatan perlu dilakukan secara teliti (terhadap masyarakat sekitar);



2.



Pengamatan itu termasuk: - Sambutan dan reaksi penonton - Reaksi-reaksi pada tempat-tempat tertentu (babak, lawak, selingan, peperangan, dan lain-lain)



3.



Pengaaman terhadap hubunan antara bahan dan masyarakat. Selain itu, seorang peneliti harus membuat komentar. Komentar peneliti harus



menyangkut masalah: 1) tehadap tempat dan kedudukan bahan yang di rekam (dalam masyarakatnya); 2) bahan itu ,asih hidup segar atau telah pudar; 3) terdapat di antara orang-orang tua saja ataukah ppada anak-anak; 4) hanya diketahui saja tidak dipraktekkan; 5) bahan itu merupakan tradisi asli atau sudah bercampur dengan tradisi lain; 6) adakah usaha-usaha untuk menghidupkan lagi, dan apakah sebabnya mengapa demikian itu. 4.



Petunjuk pengumpulan Petunjuk pengumpulan ini data dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 13



a. Sebelum pengumpulan 1. Mengetahui latar belakang bahan yang harus dikumpulkan; 2. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan; 3. Memersiapkan persiapan lain yang dibutuhkan; 4. Hal-hal lain: Juru bahasa dan informan b. Suatu pengumpulan 1. Sikap peneliti dan informan harus baik. 2. Pilihkan informan yang baik dan produktif (aktif) 3. Interview dan gangguan. Selama wawancara berjalan, peneliti tidak boleh membandingkan informan dengan informan yang lain, wawancara sebaknya dilakukan sebelum dan sesudah perekaman, apabila terdapat gangguan bunyi lain sebaiknya peneliti menyanyakan kembali kepada informan. 4. Keterangan-keterangan. Keterangan dari informan bboleh direkam atau di tulis. Apabila peneliti ingin mendapatkan keterangan yang banyak dan baik, sebaiknya peneliti tinggal lebih lama ditempat informan. 5. Honorium untuk informan. 6. Sebelum mennggalkan tempat dan etika. Setelah melakukan perekaman sebaiknya peneliyi memeriksa bahan-bahan yang dikummpulkan kurang atau tidak; peneliti juga perlu mengucapkan terima kasi kepada informan. c. Sesudah pengumpulan Dalam hubungan pengarsipan, hal-hal yang perlu dicantumkan adalah: I.



Keterangan mengenai bahan: 1) Bahan (klasifikasi seperti cerita/ moitos/ legenda/ sage/ dan lain-lain. 2) Masyarakat tempat asal bahan; 3) Tanggal, bulan, dan tahun rekaman; 4) Bahasa (diaek) bahasa cerita yang direkam.



II. Riwayat hidup informan 14



III. Teks bahasa yang ditranskripsi oleh peneliti harus teks asli tidak boleh ditambah atau dikurangi. IV. Penjelasan informan atau orang-orang lain terhadap bahan, misalna menyangkut judul atau nama bahan, fungsinya dalam masyarakat, dan lain-lain. V. Catatan sekitar bahan. Catatan ini meliputi konteks, situasi (rekaman asli atau rekaman khusus), reaksi pendengar, catatan ethnography, penilaian dan interpretasi peneliti terhadap bahan, dan foto-foto. VI. Catatan tentang peneliti: nama, alamat, dan sebagainya. Setelah itu, dijelaskan bahwa segala keteranan yang ada dalam persiapan itu sangatlah berguna untuk keperluan penganalisisan bahan, karena ada lapporan yang meminta adanya penyertaan analisis. Apabila peneliti tidak memiliki sacatan dari lapanan perihal bahan yang dikumpulkan, tentu peneliti akan mengalami kesulitan ketika menganalisis suatu bahan. Selain itu, terjemahan teks hasil penelitian ke dalam bahasa Indonesia, bergantung pada tujuan penelitian. Sebab teks lisan yang tidak diterjemahkan kadang sulit dimengerti oleh orang lain. Oleh karena itu, pengumpulan data dan tata cara pengumpulan data sangat perlu diketahui agar tidak terjadi keasalahan atau mengalami kekurangan data dalam melakukan suatu penelitian.



15



DAFTAR PUSTAKA Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Himpunana Sarjana Kesusasteraan Indonesia HISKI: Jawa Timur.



16