Falsafah Pendidikan Ismail Raji Al Faruqi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMIKIRAN FILOSOFIS ISMAIL RAJI AL FARUQI TENTANG PENDIDIKAN



TUGAS MATAKULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



OLEH : ANIQ DARAJAT



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS PASCASARCANA UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 1436 H / 2014 M



A.



PROLOG Ada banyak cara untuk membunuh orang Palestina Engkau dapat menembak mereka di tempat umum Atau menyiksa mereka hingga gila dalam ruang tertutup Dan menyebut mereka teroris Engkau dapat mengepung desa-desa mereka Memastikan wanita dan anak-anak ada di sana dan dengan menggunakan senapan mesin Sampai tak seorangpun yang bergerak Lalu menyebut desa-desa itu: Shabra dan Shatilla Engkau bahkan bisa memasuki rumah mereka yang nyaman di Amerika Dengan pisau Rambo yang panjang dan bergerigi Melewati buku-buku yang ditulis oleh korban Melewati lambang-lambang kehormatan Dan menikamnya hingga mati Untuk pertimbangan yang baik, tikam pula keluarganya lalu menyebutnya sebagai perbuatan seorang pencuri berkulit hitam Seperti yang saya katakan Ada banyak cara untuk membunuh orang Palestina Masalahnya, Ide-ide tentang kemerdekaan dan pembalasan Tak mudah pupus Mereka hidup dalam kematian itu Dan kami menyebut mereka “para syuhada”



Pada Kematian Ismail Raji Al Faruqi 1 Akbar S. Ahmed



B.



BIOGRAFI ISMAIL RAJI AL FARUQI



Ismail Raji al-Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 M, di Jaffa, Palestina, sebelum wilayah ini diduduki Israel. Pendidikan awalnya ditempuh di College des Ferese , Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya, kemudian di American University , Bairut, jurusan Filsafat. Pada tahun 1941, setelah meraih Bachelor of Arts (BA), ia bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) Palestina di bawah mandat Inggris. Empat tahun kemudian, karena kepemimpinannya yang menonjol, Faruqi diangkat sebagai gubernur di propinsi Galelia, Palestina, pada usia 24 tahun. Namun, jabatan ini tidak lama diembannya, karena tahun 1947, propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia hijrah ke Amerika, setahun kemudian. Setahun di Amerika, Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indiana sampai meraih gelar master dalam bidang filsafat, tahun 1949. Dua tahun kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Universitas Harvard. Puncaknya, tahun 1952, Faruqi meraih gelar Ph.D dari Universitas Indiana, dengan disertasi berjudul On Justifying the God: Metaphysic and Epistemology of Value (tentang pembenaran Tuhan, metafisika dan epsitemologi nilai). Namun, apa yang dicapai ini tidak memuaskannya. Karena itu, ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalami ilmu-ilmu keislaman di Universitas alAzhar, Kairo. Pada tahun 1959, Faruqi pulang dari Mesir dan mengajar di McGill, Montreal, Kanada, sambil mempelajari Yudaisme dan Kristen secara intensif. 1



Abdurrahmansyah, Sintesis Kreatif: Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Raji Al Faruqi. Global Pustaka Utama Jogjakarta. 2002.



Namun, dua tahun kemudian, 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan, untuk ambil bagian dalam kegiatan Central Institute for Islamic Research (CIIR) dan jurnalnya, Islamic Studies. Dua tahun di Pakistan, tahun 1963, Faruqi kembali ke Amerika dan mengajar di School of Devinity , Universitas Chicago, sambil melakukan kajian keislaman di Universitas Syracuse, New York. Selanjutnya, tahun 1968, Faruqi pindah dan menjadi guru besar pemikiran dan kebudayaan Islam pada Temple University, Philadelphia. Di sini Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986. Di samping kontribusinya yang besar dalam memperkenalkan studi-studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan proyeknya yang terkenal, ‘islamisasi ilmu pengetahuan’ (islamization of knowledge ), Faruqi juga aktif dalam gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr. Louis Lamya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem Student Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist AMSS), Islamic Society of North America (ISNA), menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), dan mendirikan Institut Pemikiran Islam Internasional (The International Institue of Islamic Thought, IIIT). Selain itu, Faruqi juga duduk sebagai penasehat serta ikut mendesain program studi Islam di berbagai Universitas di dunia Islam, antara lain, di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Faruqi banyak meninggalkan karya tulis. Tercatat tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika dan politik. Di antara bukunya adalah :  Ushûl al-Syahyuniyah fi al-Dîn al-Yahûdi (1963) ,  Historical Atlas of Religion of the World (1974),  Islamic and Culture (1980),  Islamization of Knowledge General Principles and Work plan (1982),  Tauhid Its Implications for Thought and Life (1982),  Cultural Atlas of Islam (1986),  Christian Ethics, Trealogue of Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and Civilization.2 Kematian Al Faruqi sampai hari ini masih menjadi misteri dunia, karena pelaku pembunuhan atas keluarga Al Faruqi belum ditemukan, sehingga motif pembunuhan pun belum dapat diungkap secara tuntas. Puisi yang ditulis oleh Akbar S. Ahmed di atas menggambarkan keadaan tersebut. Kematian Ismail Raji Al Faruqi, yang juga menewaskan Istri dan anaknya, terjadi dalam suasana meningkatnya gerakan anti Arab yang disebarkan oleh kelompok semacam Jewish Defence League (Organisasi Pembela Yahudi)3



D.



POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARUQI TENTANG PENDIDIKAN



Pokok pikiran Al Faruqi tentang pendidikan, dalam makalah ini teruatama dilacak dari tulisan berjudul Islamization of Knowleddge, Problems, Principles and Prospective.4 Di awal tulisan tersebut, Al Faruqi menyatakan keprihatinannya akan krisis yang dihadapi umat Islam (Malaise of the Ummah). 2



Dikutip dari Soleh, A. Khudori. Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail R Al Faruqi. UIN Maliki Malang Ihsan Ali Fauzi. Dibunuhnya Al Faruqi: Misteri yang Akan Tetap Misterius. Majalah Ummat No. 51, 10 Juni 1996. 4 Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “. Islamisasi Ilmu Pengetahuan” diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta pada tahun 2000. 3



“Saat ini umat Islam berada pada posisi terbawah jika diukur dengan bangsa lain di dunia. Pada abad ini pula, tidak ada bangsa lain yang menerima nasib, kekalahan dan penghinaan yang sama dengan umat Islam. Umat Islam dikalahkan, dibunuh secara biadab, tanah airnya diinvasi, terampas kekayaan, kehidupan dan harapan mereka. Mereka dikhianati, dijajah, dieksploitasi, dan dipaksa untuk menukar agama dan kepercayaannya. Lebih dari itu, mereka juga disekulerkan, di-Barat-kan oleh para agen musuh-musuh mereka dari kalangan internal maupun eksternal”



Al Faruqi kemudian menganalisis penyebab dari krisis umat tersebut dan melontarkan hipotesinya bahwa akar masalah dari krisis tersebut adalah sistem pendidikan. 1. Penyebab Kemunduran Umat Islam : Sistem Pendidikan Menurut Al Faruqi, puncak dan akar krisis umat Islam adalah sistem pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan tinggi terus memelihara dan penjalankan pemisahan antara pelajar dengan Islam, warisan Ilmu dan metodologinya. Al Faruqi menyebutkan bahwa padangan masyarakat tentang Islam telah dibutakan oleh pandangan yang dibawa para penjajah. Pandangan ini membengaruhi kebijakan pemerintahan, perumahan, pemukiman, ekonomi dan politik yang dilaksanakannya. Keadaan ini terus terbawa ke dalam pemahaman ide-ide tentang alam nyata, manusia dan masyarakat yang mereka pegang. 1.1.



Dualisme Pendidikan: Perlunya Integrasi Sistem Pendidikan



Faktor utama penyebaran pandangan asing ini adalah menduanya sistem pendidikan. Pertama sistem pendidikan “modern” dan kedua, sistem pendidikan “Islam”. Beberapa tokoh Islam mencoba melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam ini dengan menambahkan kurikulum bentukan dari pandangan (baca: worldview) Barat. Pada kenyataannya usaha ini justru menimbulkan dampak lain yang justru melemahkan umat Islam. Karena dalam ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan serta ilmu murni yang lahir dari worldview Barat itu terdapat padangan tentang hakikat, kehidupan, dunia dan sejarah yang bertentangan dengan pandangan Islam. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan Islam, hal ini justru membuat umat Islam bergantung pada model, metodologi dan kepemimpinan ilmiah Barat. Di sisi lain, kualitas pendidikan Islam itu sendiri tidak berkembang. Solusi dari permasalahan ini, menurut Al Faruqi adalah dengan mengintegrasikan sistem pendidikan. “Sistem pendidikan Islam yang terdapat di pendidikan tinggi dan menengah seharusnya diintegrasikan dengan sistem pendidikan sekuler di sekolah-sekolah dan universitas. Integrasi ini seharusnya melahirkan suatu sitem 5 pendidikan baru yang seragam dengan mengambil hal-hal terbaik dari kedua sistem pendidikan tersebut.”



Tentu integrasi ini tidak hanya pada level pengelolaan, tetapi juga harus menyentuh level konsep dan kurikulum. Menurut Faruqi setiap disiplin ilmu mestilah disusun ulang dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologi, strategi, data, masalah, objek serta aspirasinya. Pada muaranya adalah pada penyatuan tiga prinsip pokok yang sejalan dengan konsep tauhid. Ketiga kesatuan itu adalah : 1. Kesatuan Ilmu Pengetahuan, dengan kesatuan ilmu pengetahuan, akan lenyap asumsi tentang adanya ilmu yang rasional (aqli) dan ilmu yang tidak rasional (naqli), atau ilmu yang bersifat saintifik dan mutlak dan ilmu yang bersifat dogmatis dan relatif. 2. Kesatuan Hidup, berdasarkan kesatuan ini semua disiplin ilmu mesti eksis dan sesuai kehendak kejadian alam. Tidak ada lagi pandangan bahwa sebagian disiplin ilmu bernilai, sebagainnya tidak bernilai. 5



Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000.



3. Kesatuan Sejarah. Dari prinsip ini semua disiplin ilmu akan mengakui bahwa semuanya berawal dari tujuan yang sama yaitu tujuan yang bersifat “ummatic”, memberi manfaat bagi umat Islam dan manusia pada umumnya6 1.2.



Memperbaiki Kekurangan Visi: Perlunya Menanamkan Visi Islam



Al Faruqi menilai bahwa setelah dua abad pendidikan sekuler cara Barat diajarkan kepada umat Islam, ternyata umat Islam tidak menghasilkan apa-apa. Mutu institusi pendidikan Islam masih rendah. Hal ini menurut Faruqi, disebabkan tidak adanya visi Islam. Sementara Barat maju dengan visinya sendiri, umat Islam justru tidak memiliki visi sendiri. Seharusnya umat Islam memiliki tujuan yang jelas, Islam harus menjadi tujuan utamanya. Boleh saja dia menguasai disiplin ilmu, tetapi dia tetap harus menjadikan Islam dan kemuliaan kaum muslimin sebagai visinya. Untuk itu setiap pelajar muslim perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan Islam yang memadai. Visi Islam harus diajarkan kepada semua pelajar dan mahasiswa muslim dengan konsisten, integral, penuh komitmen dan kesungguhan serta komprehensif. Hal inilah yang hilang dari lembaga pendidikan Islam sekarang ini.7 “Lihatlah contoh tertinggi dari sorang dosen di Universitas Islam, professor dengan gelar doktor dari sebuah universitas Barat. Dia belajar di Barat dan lulus dengan predikat biasa saja atau sedkit di atasnya. Karena tidak berangkat dari motivasi Islam, dia tidak menjadikan proses menuntut ilmu sebagai usaha untuk mencapai ridha Allah, tetapi semata-mata untuk tujuan materi, atau pribadi (atau paling tinggi nasionalisme). Akibatnya, ia tidak dapat meraih semua pengetahuan yang tersedia baginya di Barat. Dia tidak mampu melampaui pencapaian guru-gurunya, tidak pula dia meneladani para pendahulunya yang menguasai dan mengislamkan sains dari Yunani, Persia, dan India kuno. Mencerna apa yang di pelajari, dan berupaya menyelaraskannya 8 dengan visi Islam tentang pengetahuan dan kebenaran”



Oleh karena itu, tugas berikutnya adalah ‘menanamkan visi Islam’. Al Faruqi menulis: “Salah satu langkah penting dalam usaha mencegah pengikisan nilai-nilai Islam pada tingkat universitas ialah mewajibkan setiap pelajar selama waktu studi empat tahun tersebut mengambil mata pelajaran kebudayaan Islam apapun bidang disiplinnya. Mengingat hakikat dirinya sebagai bagian dari warganegara dan umat Islam, dengan itu perlu baginya untuk mendapatkan warisan ilmu yang bermanfaat. Mereka harus mengetahui warisan umat Islam secukupnya, memiliki jiwa Islami serta membiasakan diri dengan peradabannya”



1.3.



Langkah Selanjutnya : Islamisasi Ilmu Pengetahuan



Berbagai latar belakang dan pemikiran Al Faruqi seperti di atas mendorongnya mengajukan langkah-langkah sistematis untuk mengatasi problematika pendidikan Islam. Langkah ini yang kemudian dikenal dengan konsep “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Meski terjadi polemik tentang siapa sesungguhnya pemilik gagasan awal Islamisasi Ilmu Pengtahuan ini, apakah Al Faruqi atau Syed Muhammad Naquib Al Attas, tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan ini dipopulerkan oleh Al Faruqi dan koleganya di International Institute of Islamic Tought (IIIT).



6



Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000. 7 Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000. 8 Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000.



Tentang dasar pemikiran perlunya Islamisasi Ilmu Pengatahuan, Al Faruqi menulis: “ Tidak diragukan lagi bahwa para akademisi Islam harus mahir dengan semua disiplin ilmu modern, memahami dengan sepenuhnya dan mencapai suatu penguasaan mutlak dari apa yang terpaksa mereka lakukan. Ini merupakan prasyarat wajib yang utama. Mereka harus menyatukan ilmu pengetahuan modern ke dalam suatu bidang warisan Islam. Caranya ialah dengan mengikis, memperbaiki, menafsir ulang dan menyesuaikan unsur-unsurnya ke dalam pandangan-dunia Islam”9 Bermula dari konsep ini, kemudian disusun sebuah rencana kerja yang memiliki tujuan dan tahapan-tahapan. Adapun tujuan rencana kerja tersebut adalah : 1.



Penguasaan Disiplin Ilmu Modern



2.



Penguasaan Warisan Ilmu Pengtahuan Islam



3.



Penentuan Relevansi Islam dengan setiap Bidang Ilmu Pengetahuan



4.



Mencari sintesis kreatif anatara warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pengathuan modern



5.



Memberikan arah bagi pemikiran Islam ke jalan yang sesuai dengan petunjuk Allah.



Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah penting berdasarkan logika yang sitematis sebagai berikut : 1.



Penguasaan Disiplin Ilmu Modern



2.



Tinjauan Setiap Disiplin Ilmu Modern



3.



Penguasaan Ilmu Warisan Islam



4.



Penguasaan Ilmu Warisan Ilmiah Islam; Tahap Analisis



5.



Penentuan Relevansi Islam yang Khas terhadap Disiplin-disiplin Ilmu



6.



Penilaian Kritis terhadap Disiplin Ilmu Modern



7.



Penilaian Kritis terhadap Khasanah Islam



8.



Kajian Permasalahan yang dihadapi Umat Islam



9.



Kajian Permasalahan yang dihadapi Umat Manusia



10. Analisis Kreatif dan Sintesis 11. Penuangan kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam Kerangka Islam; Buku Teks 12. Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang telah diislamkan10 Keseriusan Al Faruqi untuk mewujudkan ide ini kemudian terbukti dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh International Institute for Islamic Thought (IIIT) di Herndon, Virginia, Amerika Serikat. Lembaga inilah yang kemudian melakukan kajian-kajian terkait Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan telah menyebarkan buku, makalah, hasil penelitian tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan.



9



Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000. 10 Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, Jakarta. 2000.



E.



EPILOG



Demikianlah, sekelumit penjelasan tentang pemikiran filosofis pendidikan dari Ismail Raji Al Faruqi. Kapasitasnya yang mumpuni sebagai ilmuwan dan diakui otoritasnya, kemudian diiringi keseriusannya untuk mewujudkan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan, membuat gagasan ini masih relevan dan populer hingga saat ini, terlepas dari perdebatan tentang siapa sebenarnya penggagas awal dari konsep ini. Seperti diakui oleh Al Faruqi sendiri, gagasan ini, memerlukan usaha yang tidak ringan, dan butuh waktu yang tidak singkat. Perlu kerja keras, komitmen, dan kerjasama dari semua elemen ummat Islam untuk mewujudkannya. Kita berharap, kiranya dapat menjadi salah satu kontributor kecil dari gagasan besar Islamisasi Pengetahuan ini, tentu sesuai dengan posisi, kapasitas, dan kapabilatas kita masing-masing.