Hemiplegic Gait [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HEMIPLEGIC Fase Berjalan normal



GAIT



Pada klien post stroke ketika fase penumpuan berat badan terjadi akan membangkitkan pola sinergi ekstensor yang menginduce plantarfleksi daripada gerakan dorsal fleksi sebab dorsal fleksi bukanlah bagian dari sinergy ekstensi.fase heel strike menjadi hilang karena hilangnya dorsal fleksi ankle,dan ketika pola synergy inversi yang muncul maka tumpuannya terjadi pada sisi lateral kaki.Pada fase Mid Stance,ketika otot calf teregang oleh berat badan,maka akan merangsang peningkatan strech refleks yang selanjutnya akan meningkatkan spastik plantar fleksi sehingga menghambat forward shift body weight.Pada fase Late stance terjadi kehilangan atau kesulitan push off yang menyebabkan proses berjalan menjadi lambat oleh karena harus ada usaha yang kuat untuk memulai Swing. Knee Hiperekstensi ,spastik pada quadriceps dan plantar fleksi akan mencegah terjadinya swing sehingga gerakan melangkah terjadi melalui mekanisme kompensasi.Disamping itu pada saat toe off fleksi lutut berkurang,dan saat heel strike ekstensi lutut berkurang. Hip joint dan pelvis Kemiringan pelvis ke bawah berlebihan pada sisi yang sehat berhubungan dengan pergerakan ke lateral yg berlebih dari sisi yg sakit.Pada fase stance ekstensi dari pinggul berkurang,terjadi gerakan pelvis kelateral secara berlebihan



Home » Exercise » Fisioterapi » Stroke » Fisioterapi Hemiplegia dan Hemiparese Pasca Stroke



Fisioterapi Hemiplegia dan Hemiparese Pasca Stroke By Dwi Heryanto — Exercise, Fisioterapi, Stroke



Hemiparese dan Hemiplegia Sumber Foto : tempo.co dwiheryanto.com - Pasien Pasca serangan Stroke biasanya mengalami kelemahan atau kelumpuhan di satu sisi tubuh atau kedua sisi tubuh. Stroke terjadi akibat adanya penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. kelemahan / kelumpuhan anggota tubuh sisi kiri disebabkan oleh penyumbatan / pendarahan otak sisi kanan, otak sisi ini mengendalikan prilaku nonverbal dan pengenalan wajah. Sebaliknya kelemahan / kelumpuhan anggota tubuh sebelah kanan disebabkan oleh penyumbatan / pendarahan otak sisi kiri yang mengendalikan bahasa dan inggatan sehingga itulah pasien stroke sebelah kanan akan menyebabkan gangguan bicara pada pasien. Kali ini kami akan menjelaskan perbedaan hemiparese dan hemiplegia dan cara penangganan yang tepat untuk Pasien Stroke. Hemiplegia Hemiplegia merupakan kelumpuhan anggota tubuh satu sisi (anggota tubuh kanan/kiri) Pasca Stroke akibat dari penyumbatan atau pecah pembulu darah otak sisi kiri/kanan. Kelumpuhan ini biasa di diangnosa sebagai hemiplegia dextra (kelumpuhan kanan) dan hemiplegia sinistra (kelumpuhan kiri). Hemiplegia dapat menyebabkan terjadinya spastisitas otot, atrofi otot rasa sakit terutama pada sendi bahu dan kejang. Hemiparese Hemiparese merupakan kelemahan otot anggota tubuh satu sisi (kiri/kanan) akibat dari penyumbatan atau pecah pembuluh darah otak. Hemiparese dextra (kelemahan otot anggota tubuh sisi kanan) biasnya diikuti kelemahan otot-otot wajah sehingga mengakibatkan gangguan berbicara. Hemiparese dapat menyebabkan kehilangan keseimbangan, kesulitan berjalan dan



menggenggam



benda



serta



terggangunya



koordinasi.



Terapi latihan untuk penderita hemiplegia dan hemiparese dapat membantu Pasien untuk kembali lagi beraktifitas mandiri dengan bantuan Fisioterapi. Berikut beberapa teknik latiha untuk penderita pasca stroke. 1. Latihan ROM ( Range Of Montion ) Latihan Range Of Montion membantu pasien melatih anggota gerak sendi agar dapat bergerak kembali seperti semula. Latihan ini juga berguna untuk mencegah kekakuan sendi dan pemendekan otot anggota tubuh yang lemah/lumpuh. Tingkatan dan cara melatih pasien tergantung dari nilai otot apakah otot dapat bergerak sendiri tanpa bantu atau harus digerakan orang lain (pasif). 2. Pelatihan Fleksibilitas Pelatihan fleksibilitas berguna untuk meningkatkan sirkulasi darah, mengembalikan keseimbangan dan kordinasi tubuh yang hilang pasca serangan stroke. Pelatihan ini baik bila diikuti latihan kekuatan guna menggembalikan otot-otot postur pasca stroke. 3. Motor Imagery (IM) Latihan ini berguna untuk memperbaiki gerakan lengan pada pasien hemiparese. Selama latihan Motor Imagery Pasien pasca stroke atau hemiparese diminta untuk membayangkan dirinya menggunakan / mengerakan bagian yang lemah seperti menggangkat lengan atau menggengam. Menurut penelitian latihan ini dapat berguna dalam membantu pasien berjalan.



GAIT HEMIPLEGIA



Pasien berdiri dengan kelemahan unilateral pada sisi yang terkena, lengan tertekuk, adduksi dan diputar secara internal. Kaki pada sisi yang sama dalam ekstensi dengan plantar kaki dan jari kaki dalam keadaan fleksi. Ketika berjalan, pasien akan mengunci lengannya ke satu sisi dan menyeret kaki yang terkena dengan bentuk setengah lingkaran (circumduction). Hal ini dikarenakan adanya kelemahan otot-otot distal (drop foot) dan hypertonia otot-otot ekstensor di tungkai bawah. Hal ini paling sering terlihat pada pasien stroke. Pada hemiparesis ringan, kelainan yang tampak mungkin hanya kehilangan ayunan lengan normal dan sedikit circumduction.



Analisis Gait dan Patologi Gait Disusun Oleh: Sela Maudia 1406626274 PROGRAM VOKASI UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI FISIOTERAPI DEPOK 2015 forces (GRF) (anggota tibuh bagian bawah yaitu kaki). Karakteristik dari pendekatan tersebut berdasarkan pada sebab akibat, dimana ketika otot-otot diaktifkan akan membangkitkan gayagaya dan momen-momen yang saling berkaitan untuk mengeksekusi perintah system syaraf pusat, gaya-gaya dan momen yang terjadi mengakibatkan munculnya GRF pada kaki. Gaya gabungan dan momen-momen menyebabkan rigid link segment (paha, betis, kaki, dan lainnya) memindahkan dan menghasilkan gaya pada lingkungan luar. Berikut adalah interaksi antar urutan gait cycle dalam berjalan (Vaughan, 1999), yaitu : 1. Registrasi dan aktivasi perintah berjalan oleh system syaraf pusat ( central nervous system ) 2. Perpindahan sinyal berjalan system syaraf tubuh ( peripheral nervous system ) 3. Kontraksi otot-otot yang dapat menghasilkan denyut tubuh ( tension ) 4. Pembangkitan gaya dan momen dalam synovial joints 5. Pengaturan gaya dan momen gabungan oleh rigid link segment berdasarkan antropometri tubuh



6. Perpindahan (gerakan) dari segmen-segmen untuk mengenalinya sebagai fungsi dari berjalan 7. Pembangktan ground reaction forces (GRF) Siklus Gait normal Siklus dimulai dari initial contact (hell strike) hingga initial contact periode berikutnya, terdiri atas: Stance Phase (40 %) Swing Phase (60%) Terminologi Racho Term. Konvensional Terminologi Racho Term. Konvensional Initial contact Heel strike Initial swing Acceleration Loading response Foot flat Mid swing Mid swing Mid stance Mid stance Terminal swing Deceleration Terminal stance Heel off Pre swing Toe off Dari masing-masing tahap diuraikan sebagai berikut. Initial contact to Loading response Sendi Otot Yang Aktif Deviasi Gait Penyebab Muskular Kemungkinan Penyebab Lain Hip Gluteus maximus / hamstring / adducor magnus. Mengontrol gaya hip fleksi Gluteus medius / tensor fascia latae. Mengontrol gaya hip adduction Anterior pelvic tilt Badan condong ke belakang Kelemahan hip extensor Kelemahan hip



extensor Hip flexion contracture / hip flexor spastic Hip flexion contracture Knee Quadriceps aktif mengontrol knee flexion Insufficiency knee flexion, knee hyperextension Excessive knee flexion Kelemahan knee extensor Not due to muscle weakness Excessive ankle plantar flexion, knee pain, quadriceps spasticity, knee extension contracture Knee flexion contracture, hamstrings spasticity Ankle Pretibial ms. To control ankle plantar flexion Excessive (terlalu cepat) plantar flexion Weak ankle dorsifleksor Plantar flexor spasticity, ankle plantar flexion contracture. Mid stance Sendi Otot Yang Aktif Deviasi Gait Penyebab Muskular Kemungkinan Penyebab Lain Hip Gluteus medius & minimus / tensor fascia latae Mengkonter gaya hip adduction Pelvic drop contra lateral atau badan condong ipsi lateral Kelemahan hip abductor Hip pain (antalgic gait), Hip abduction contracture ipsi lateral (Trendelen)



B. Patologi dalam gait



Motor dysfungsi sebagai akibat dari impairment dari system2 neuromusculair, musculosceletal serta fisiologis support dari fungsi tubuh akan berwujud dalam bentuk menurunnya efisiensi gerakan, berkurangnya potensi mekanikal, serta inadequate energy untuk bergerak. Ketika pasien mempunyai inkoordinasi dalam kerja otot, inadequate kekuatan otot, keterbatasan ROM, keseimbangan yang jelek, ketidak akuratan sensory integrasi serta ada nyeri maka bisa diharapkan akan muncul gejala defisiency dalam gait/berjalan. Luas dan type ketidaknormalan gait ditentukan oleh, penyebabnya, seberapa banyak system yang terganggu. Ada lima kelompok besar sebagai penyebab pathological gait. Lima hal tsb adalah : 1). Nyeri. 2). Kelemahan. 3). Deformitas. 4). Sensory disturbance. 5) Gangguan kerja otot yang berkaitan dengan gangguan / deficit fungsi CNS seperti pada peningkatan kerja otot dan dyskinesia. Pain : Nyeri bisa bersifat akut maupun kronik. Dengan adanya nyeri maka fungsi gerakan akan terganggu. Pasien akan berusaha menghindari aktifitas2 atau gerakan2 yang memperberat nyerinya. Akibatnya terjadi penurunan mobilitas atau persendian tertahan dalam satu posisi tertentu, sehingga malahan akan memperparah nyeri dan dysfungsinya. Dalam observasi akan nampak phase stance tidak equal antara tungkai yang satu dengan yang lain. Pasien akan mengkompensasi dengan bertumpu pada tungkai yang sehat sehingga tekanan / kompresi terhadap persendian berkurang dengan harapan nyerinya berkurang juga, pada perode weight bearing. Kompensasi / upaya lain adalah dengan memperkecil arcus gerakan tungkai atau dengan menurunkan kecepatan gerakan tungkai pada phase swing. Bila nyeri dengan berbagai penyebab berlansung saat berjalan maka dalam observasi akan kita temukan ; menurunnya stride length, cadence, velocity serta unloding dini. Weakness. Kelumpuhan akibat dari kerusakan musculotendineous atau kerusakan pada Anterior Horn Cell, myo-neural junction, serabut otot akan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan berjalan. Meskipun demikian pasien dengan kelemahan otot yang luas masih mungkin bisa berjalan asalkan sensory masih berfungsi, sensory integration dan central motor control normal, serta tidak ada deformitas yang parah. Bila ada kelemahan otot maka akan nampak pada fungsi kontraksi eccentris atau restraining akan menurun, demikian juga pada fungsi concentris. Misalnya pada kelemahan Quadriceps, maka kontrol terhadap flexi knee pada periode loading response akan terganggu. Jari2 yang diseret (toe drag) pada mid swing adalah tanda2 dari adanya kelemahan atau kurang berfungsinya otot2 anterior ankle. Bila ada kelemahan flexor hip maka akan ada kesulitan atau deviasi pada saat mengayun tungkai kedepan. Stance stability akan terganggu bila otot2 lateral hip mengalami kelemahan, selanjutnya akan muncul pola jalan yang khas, dimana contralateral hip/pelvis akan drop, trunk bertumpu ditungkai sisi yang sama. Deviasi ini dikenal luas sebagai fenomena Trendelenburg, sebagai akibat dari kelemahan gluteus medius. Apabila gastrocnemius dan soleus lemah maka stabilisasi tibia selama periode singgle limb support akan terganggu. Nampak pada observasi terjadi dorsiflexi berlebihan sehingga tibia akan collapse selama periode midstance dan terminal stance. Sebagai akibat ketidakstabilan tibia maka momentum dan progression kedepan akan terganggu dengan manifestasi menurunnya step length dan velocity. Deformitas. Deformitas yang timbul sebagai komplikasi ketidak seimbangan kerja otot,



peningkatan aktifitas otot, congenital deformity, amputasi akan menimbulkan disabilitas. Keterbatasan lingkup gerak sendi pasti akan menimbulkan deviasi pola jalan, karena factor atau gerakan yang seharusnya muncul tidak ada. Keterbatasan lingkup gerak sendi dikombinasi dengan kelemahan otot atau hilangnya kontrol akan sangat mempengaruhi pola jalan secara dramatis. Hilang atau berkurangnya mobilitas sendi adalah suatu hal yang penting yang harus diperhatikan, karena selain pengaruh langsung terhadap deviasi pola jalan, tetapi juga pengaruhnya terhadap peningkatan tekanan/kompresi kepada persendian sekitar. Persendian sekitar tsb akan melakukan kompensi dengan melakukan usaha yang memerlukan energy extra untuk mensubstitusi fungsi gerakan yang hilang / berkurang. Posisi berdiri normal membutuhkan hip dan knee dalam posisi full extensi, dorsiflexi ankle 5°- 10°. Dengan posisi ini maka center gravity akan relatif berada disebelah posterior axis hip joint dan disebelah anterior knee joint, sehingga untuk mempertahankan posisi ini relatif tidak diperlukan kerja otot baik di hip joint maupun di knee joint. Sebaliknya bila posisi ini tidak tercapai maka diperlukan kerja otot secara berlebih (extra energy) untuk mencapai balance. Posisi hip joint dan knee joint yang tertahan dalam posisi flexi akan meningkatkan tekanan/kompresi didalam persendiannya. Bila posisi knee joint lebih dari 30°fungsi ambulasi akan sulit dipenuhi atau bahkan tidak bisa dipenuhi. Pasien dengan plantar flexi kontraktur 15°akan berjalan dengan jarinya, dimana pola ini adalah bukan pilihan yang benar. Pasien akan berupaya melakukan adaptasi kondisi tsb dengan berusaha untuk menapakan kakinya. Bila usaha menapak kaki berhasil maka akan mengakibatkan bergesernya berat tubuh kearah posterior kakinya, hal ini akan menimbulkan gangguan keseimbangan. Untuk menghindari jatuh kebelakang pasien akan berusaha mencondongkan / membungkukkan tubuhnya kedepan diatas kaki yang bertumpu. Selain itu juga akan muncul toe drag saat swing, untuk itu pasien berusaha membebaskan jari dari lantai dengan berusaha meninggikan / memanjangkan tungkai sisi contralateral dengan berjinjit untuk mencegah toe drag. Sensory disturbance. Impairment sense terhadap posisi sendi adalah factor yang mempengaruhi terhadap fungsi motor kontrol. Tanpa ada kesadaran mengenai posisi sendi dan relasinya dengan segment yang lain maka kontrol gerakan akan sangat tergantung pada input visual dan atau pemakaian alat2 bantu untuk mengerem gerakan atau menghentikannya. Walaupun demikian kedua hal tersebut masih tidak adequate sebagai kompensasi atas hilangya fungsi proprioceptif. Manifestasinya adalah timbulnya toe drag, gangguan stabilitas ankle baik arah medial maupun lateral selama periode stance; hip flexi berlebihan saat swing. Disorder aktifitas kerja otot. Hal ini bisa disebabkan oleh spinal cord injury, brain injury. Gerakan terbatas pada pola synergist baik posisi flexi maupun extensi, seperti nampak pada pasien hemiplegia. Kemampuan untuk bergerak secara terkoordinasi, reciprocal seperti hip flexi dan knee extensi terganggu atau hilang Gangguan di central nervous system bisa terjadi sebagai akibat dari trauma saat dilahirkan, congenital, overdosis obat, dsb. Gejala yang muncul adalah dystonic . Reaksi yang berlebihan terhadap aksi otot / gerakan, misalnya stretching, reaksi inilah yang dikenal luas sebagai spastisitas . Brunstrom (1970) dan Bobath (1978) telah mempelajari secara lebih detail kaitanya dengan pola jalan.



Gangguan gerak pada kondisi cerebral palsy dengan berbagai syndroma, tergantung dari seberapa banyak otot yang terlibat. Cerebral palsy diplegic, misalnya, posisi berdirinya akan typical / khas. Meningkatnya aktifitas flexor ditungkai mambawa hip dalam posisi flexi demikian juga knee jointnya, denga berbagai variasi derajat ROM. Posisi flexi tadi berkombinasi dengan adductors yang spastis akan menimbulkan fenomena yang terkenal yaitu ‘Scissor Gait’ Bila aktifitas extensor meningkat, maka akan timbul kekakuan dan terjadi pergeseran penumpuan berat tubuh ke fore foot, varus di ankle, claw toes serta kesulitan untuk memulai gerak reciprocal flexi – extensi pada saat berjalan. Pada Parkinson’s disease, dimana kekakuan sebagai problema besar, maka posisi tubuh akan flexi dengan pola jalan ‘gait suffling’. Stride length menurun, velocity menurun, periode double support bertambah lama. Pasien akan mengalami kesulitan untuk mulai bergerak / melangkah, dan begitu berhasil melangkah pasien akan kesulitan untuk mengkontrolnya / berhenti (Festination).