Hermeneutika Muhammad Talbi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



HERMENEUTIKA AL-QUR’AN MUHAMMAD TALBI



DISUSUN OLEH KELOMPOK 8



Muh.Afif(30156119039) Aswini(30156119042)



DOSEN PENGAMPUH:



Syarif, M.Ag



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)MAJENE JURUSAN USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR



1



KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ”HERMENEUTIKA AL-QUR’AN MUHAMMAD TALBI”. Salam dan salawat kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawah kita dari alam yang gelap ke alam yang terang benderang seperti sekarang ini Penyusun makalah ini merupakan salah satu objek penilaian dalam rangka memenuhi tugas. tak lupa saya menyampaikan penghargaan setinggi tingginya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik dukungan moril berupa bimbingan dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini Akhir kata tak ada manusia yang sempurna yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak dengan lapang dada penyusun mengharapkan untuk kesempurnaan proposal ini di masa yang akan datang.



.



.



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR



i



DAFTAR ISI............................................................................................................3 BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................5 A. Latar belakang6 B. Rumusan Masalah6 BAB II PEMBAHASAN......................................................................................13 A B iografi Muhammad Talbi13 B. Pandangan Muhammad Talbi Terhadap alBAB III PENUTUP23 A. KESIMPULAN23 DAFTAR PUSTAKA...



3



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Diskursus seputar penafsiran al-Qur’an merupakan sebuah diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan, pertama,keyakinan bahwa alQur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan (relevan bagi setiap ruang dan waktu), dan kedua,bahwa Al-Qur’an selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya atau dengan bahasa lain,al-Qur’an selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran1 Hal tersebut telah terbukti bahwa selama ini, al-Qur’an telah dibaca dengan beragam metode dan pendekatan. Akhir-akhir ini, pembacaan mengenai hermeneutika maupun pembacaan yang memanfaatkan hermeneutika sebagai pendekatan semakin “populer” dan dipakai oleh para ilmuan dari berbagai bidang kajian, seperti para kritikus sastra, sosiolog, sejarawan, antropolog dan filosof.2 Dalam tulisan ini akan dibahas pemikiran salah satu sejarawan muslim yaitu Muhammad Talbi terkait emikirannya mengenai hermeneutika, aplikasinya dalam membaca teks AlQur’an. Corak pemikiran Talbi sudah terbentuk saat ia berada di Tunisia, namun ia lebih banyak terpengaruhi pemikiranya saat berada di Perancis.Saat ia menyelesaikan disertasinya di sana, keilmuanya sangat kental bernuansa sejarah. Mohamed Talbi adalah seorang pemikir muslim kontemporer yang banyak menyuarakan pembacaan al-Quran dengan sejarah. Baginya al-Quran dan sejarah tidak pernah lepas keterkaitannya, karena adanya interaksi dan dialog dalam penurunannya. Di antara pemikirannya dalam dunia Islam adalah agenda pembaharuan Islam. Talbi meyakini bahwa “reformasi tidak akan pernah datang dari luar, tetapi dari dalam masjid.” Ungkapan pembaharuan berangkat “dari dalam” di sini bukan 1



Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Pengantar M. Amin Abdullah, (Yogyakarta: Islamika, 2003), xx. 2 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontropersial, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 1-2.



4



hanya mempunyai pengertian bahwa pembaharuan harus dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, namun juga bahwa upaya-upaya pembaharuan itu harus dirumuskan berdasarkan atas “sumber-sumber daya dalam tradisinya sendiri” , yakni dari dalam teks-teks Islam sendiri. Namun hal itu tidak lantas menutup pintu belajar kepada orang lain.Ia bermaksud menyampaikan pada kaum Muslim perlunya mereformasi diri secara internal, dalam hati nurani mereka yang beragama Islam, dan tiba pada keyakinan bahwa mereka selaras dengan modernitas, keadilan, humanitas dan sesuatu yang merupakan produk masa lalu.Oleh karena itu,ia yakin dan percaya bahwa keseimbangan antara iman dan akal adalah mungkin dan tak terelakkan. Iman adalah pilihan individu dan tidak bertentangan dengan dan atau membatasi akal. Baginya iman tak bermakna bila tidak bebas memilih atau tidak ada kebebasan didalam memilih. Pembaharuan yang dimaksudkan Talbi juga bukan tentang persoalan teologi melainkan persoalan-persoalan tatanan sosial dan politik. Talbi beranggapan bahwa umat Islam telah banyak menderita karena menggunakan Islam secara politik. Ia juga berpendapat bahwa semua pengetahuan bersifat sementara dan menolak absolutisme. Bagi Talbi, masalah agama dan politik ini merupakan salah satu dari empat subjek utama dari perhatian Islam dalam abad kita. Yang lainya adalah: penafsiran al-Qur‟an dan Hadis, epistimologi agama, polemik keagamaan, dan dialog agama.3 Dalam politik, Talbi menentang gagasan tentang bentuk pemerintahan Islam tertentu. Semua ide-ide semacam itu dan upaya untuk menerapkan mereka yang dalam pandangannya palsu. Islam tidak mempunyai organisasi atau prinsip politis yang sesungguhnya. Jika dalam sejarah Islam, klaim politik telah dilakukan atas nama ideologi tertentu pemerintahan tertentu, klaim ini telah salah dan salah arah. 3



Ronald L Nettler, “Gagasan Muhammad Talbi tentang Islam dan Politik: Konsep tentang Islam untuk Dunia Moedern,” dalam Jhon Cooper, Ronald L. Netter dan Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, terj. Wakhid Nur Effendi, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2002, hlm 130-131 Penguasa



5



Pendukung mereka percaya bahwa ide-ide politik mereka dan lembagalembaga Islam telah benar, tetapi mereka keliru. Islam adalah sistem utama yang diwahyukan dalam bentuk keyakinan, keshalihan dan ibadah, bukan sebuah negara. Mohamed Talbi juga kental akan kebebasan beragama dalam agenda pembaruan Islamnya.Ia mengatakan bahwa “Islam adalah kebebasan” dan “sepenuhnya selaras” dengan demokrasi dan modernitas. Sedangkan syariah menurutnya adalah produk manusia yang tidak ada hubunganya dengan Islam. Dia mengatakan bahwa umat Islam harus “membebaskan diri” dari teks-teks hukum yang muncul dua abad setelah Nabi dan dari agama yang memberikan gambaran teror. Bagi dia, “Agama bukan identitas budaya atau suatu bangsa. Agama adalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sebuah jalan menuju Kepada-Nya.” Seseorang dapat menjadi Muslim yang berbudaya Belanda, Perancis, Cina, atau Indonesia. Sejalan dengan itu,dan merupakan konsekuensi dari pemahaman tentang kebebasan beragama. Talbi juga merupakan pembela pluralisme dan toleransi beragama, karena menurutnya “manusia secara alami adalah seorang pluralis.” Talbi memahami Islam sebagai bagian dari tradisi „Ahli Kitab‟, Yudaisme, Kristen dan Islam sebagai tritunggal yang inklusif dari monoteisme Semit. Untuk itu dia menganjurkan ummat Islam untuk tidak segan-segan melakukan dialog dengan umat beragama lain. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sejarah hidup muhammad Talbi? 2. Apa saja pandangan hermeneutika Muhammad Talbi terhadap al-Qur’an? .



6



BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Muhammad Talbi Muhammad Talbi merupakan seorang pemikir muslim dan sejarawan asal Afrika utara. Dia dilahirkan di Tunisia pada tanggal 13 Muhammad 1340 H, yang bertepatan dengan tanggal 16 September 1921. Dia mendapatkan pendidikan linguistik Arab di Universitas Tunisia. Selanjutnya ia mengawali karir sebagai guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah pada penghujung tahun 1945. Profesi ii diakuiya sendiri merupakan pekerjaan yang amat mulia. Tidak cukup dengan pendidikan di negaranya, dia mulai tertarik dengan ilmu sejarah sehingga memutuskan untuk mengambil spesialisasi dalam bidang tersebut (takhassus fi tarikh) (Talbi, 1992, hal. 12). Pada tahun 1947 ia berangkat ke Paris yang diidentifikasinya sebagai negara yang penuh dengan pergulatan pemikiran dan peradaban yang kuat pada masa itu, untuk menempuh program pasca sarjana dalam bidang sejarah Afrika Utara (Talbi, 1992, hal. 15). Setelah menyelesaikan desertasinya, beliau pulang ke Tunisia dan memulai karir intelektualnya. Talbi menunjukkan perhatian yang kuat untuk ide-ide baru dan metodemetode intelektual yang datang dalam perjalanannya, sebaliknya dalam mengamati berbagai ideologi dan kecenderungan intelektual yang ditawarkan pasca perang di Paris seperti Marxisme dan Freudianisme dan dalam menggambarkan sesuatu yang baru dalam perspektif tentang Islam ditemuinya dalam studi pada tokoh muslim Prancis, Talbi mengungkapkan rasa terima kasihnya untuk menyingkapi nilai yang dia temukan di dalamnya, semua ideide baru dan metode dalam pandangannya, jadilah disatukan pikirannya dan ilmu pengetahuan sejarah ke arah memperdalam dan meluaskan pandangannya. Talbi menjadi terkemuka sebagai ilmuan dengan spesialiasasi sejarah Afrika Utara. Selain itu, ia juga mengembangkan wacana pemikiran Islam kontemporer dan studi antar agama di masa modern. Dengan demikian Talbi memiliki karir ganda, sebagai sejarawan Afrika Utara dan sebagai pemikir Islam kontemporer (Daud, 2010, hal. 223-224). Sebagaimana diakuinya 7



sendiri, ideologi dan pemikiran Talbi banyak dipengaruhi oleh wacana intelektual yang pada saat itu membludak di Perancis. Ia menyebutkan beberapa nama mulai dari Voltaire, Sartre, Maurice Thorez, Jacques Duclos hingga guru-gurunya dalam bidang sejarah di Perancis seperti Edgar Quinet, Paul Eluard sebagai referensi pemikirannya (Talbi, 1992, hal. 23-25). Secara khusus ia menyebut Regis Blachere dan beberapa karyanya sebagai ilmuan pertama yang membuatnya bermukhasabah secara intelektual dan meninjau ulang beberapa keyakinan yang dianggapnya telah mapan (Talbi, 1992, hal. 29). Talbi merupakan seorang penulis profilik tentang persoalan Islam kontemporer dan relasi antar agama. Talbi menulis dalam bahasa Arab, Perancis dan Inggris. Di antara karya-karyanya: Iyal Allah (keluarga-keluarga Allah), sebuah buku yang disajikan dengan format Tanya jawab yang berasal dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada Talbi dan jawaban-jawabannya.Buku ini secara khusus menyinggung tentang jangkauan persoalan-persolan Islam modern dan persoalan keagamaan yang lebih umum dalam konteks hubungan intra Islam dan hubungan antara Islam dengan agama-agama yang lain. Ummat al-Wasath (umat pertengahan), sebuah buku yang berisi tentang esaiesai Talbi terkait masalah relasi antar agama. Merupakan sumbangan penting untuk pemikiran Islam modernis pada pertengan abad ke-20 (Nettler dkk, 2002, hal. 131). Liyatmainna Qalbi (agar tentram hatiku), buku terbaru Talbi (terbit 2009) yang berisi kritiknya terhadap Abdul Majid as-Sarawy dan Muhammad Arkoun terhadap



peradaban



bangsa



Arab



dan



relasi



antar



agama



(http://rhapsodiainside.blogspot.com/2013/05/09 November 2015). Islam et dialogue: reflexion sur un theme d’ actualiute (Islam dan dialog: refleksi terhadap sebuah tema aktual), 1972, edisi Arab berjudul “Al-Islam wa alHiwar” buku ini berkaitan dengan keniscayaan dialog antara Islam dengan agamaagama lain.



8



Reflexions sur le Coran (refleksi tentang al-Qur‟an), 1989, ini ditulis dengan Maurice Bucaille, seorang muallaf yang menulis buku tentang Qu‟an dan sains (Ichwan dkk, 2009, hal. 243). Plaidoyer pour un Islam modern (Pleidoi bagi sebuah Islam modern), 1998. Sebagaimana judulnya, Talbi mengembangkan argement tentang Islam yang sejalan dengan modernitas. Al-Islam: al-Hurriyah wa Hiwar (Islam: Kebebasan dan Dialog) 1999. Buku ini merupakan terjemah dari beberapa artikel Talbi dalam bahasa perancis, juga berkenaan dengan kebebasan beragama dalam Islam dan dialog antara Islam dengan agama-agama lain (Ichwan dkk, 2009, hal. 244). Penseur Libre en Islam (Pemikiran Liberal dan Islam), 2002. Ini merupakan dialog Talbi dengan seorang filosof Perancis, Gwendoline Jarczik tentang berbagai topik yang berkenaan dengan tradisi dan modernitas, beberapa aspek tentang Muhammad, problem pemikiran Islam dan antara dan politik Tunisia. Universalite du Coran (Universalitas al-Qur’an), 2002. Kendatipun pendapat-pendapatnya yang progresif, buku kecil yang tepatnya booklet ini merefleksikan keyakianan Talbi tentang nilai-nilai universal al-Qur’an yang melampaui ruang dan waktu. Reflextion d’un musulman contemporain (refleksi seorang Muslim Kontemporer), terkait dengan refleksi-refleksi dia tentang beberapa problem Islam kontemporer (Ichwan dkk, 2009, hal. 245). Dia mengajar dan sempat menjadi dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial di “Institut d‟Etudes d‟Etat Superieures” di Tunis. Dia mendapatkan „agregation‟ dalam bahasa Arab, dan gelar doktor sejarah dari Universitas Sorbonne, Paris, dengan sisertasi berjudul L‟Emirat aghlabide: histoire politique 184-296 / 800900(Imarat Aghlabiyah: sejarah politik 184-296 / 800-900) (Paris: A. Maisonneure, 1966), setebal 765 halaman. Sebagai sebuah disertasi, ini merupakan karya akademik murni Talbi sebagai seorang sejarawan, berkaitan dengan sejarah politik dinasti Aghlabiyah. Dari sejarah Islam Afrika Utara pada abad pertengahan ini



9



kemudian dia beranjak kepada analisis tentang dinamika agama dan politik dalam konteks yang lebih luas dari perkembangan masyarakat Muslim moderen. Ini yang sejak akhir 1960-an menuntunnya untuk mengabdikan dirinya demi tugas dialog antar-budaya dan antar agama, serta melakukan penelitian tentang kondisi-kondisi, tuntutan-tuntutan dan gambaran-gambaran penting dari dialog antar budaya dan antar agama itu. Bagi Talbi, dialog adalah sebuah bentuk kehidupan yang harus didukung secara penuh. Hal inilah yang membawanya terlibat dalam bidang ini secara sistematis, khususnya dikalangan umat Islam dan Kristen di kawasan Mediterania, misalnya dalam Groupe de Rehercehe Islam-Chretion (GRIC). Dalam berbagai kesempatan, Talbi mengajukan pledoi tentang kebebasan beragama dan fasih menjelaskan „tradisi kesalahpahaman‟ antara Umat Islam dan masyarakat Barat.4 Ada beberapa pandangan Talbi tentang Al-Qur’an yang kontroversial bagi orang awam pada umumnya. Karena kebiasaan atau tradisi umat Islam yang menganggap al-Qur’an sebagai firman yang diwahyukan dan abadi.Dan mereka juga percaya bahwa al-Qur’an adalah “pelengkap dan penyempurna” wahyu yang telah diberikan kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad, termasuk Musa dan Isa. Talbi juga salah satu bagian yang berpendapat demikian, bedanya, menurut Talbi segala kemukjizatan al-Qur’an itu menurutnya, tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Bagi Talbi, al-Qur’an adalah kata-kata “theandric” (une parole theandrique”, di mana yang ilahi dan manusiawi bertemu. Makna dari kata “theandric” sendiri ialah “terkait dengan kombinasi antara yang ilahiah dan manusiawi” (pertaining the combination of divine and human), atau “terkait dengan, atau ada karena, kesatuan antara yang ilahiah dan yang manusiawi” (relating to, or existing by, the union of divine and human). Kata-kata yang sumbernya sepenuhnya ilahiah, tapi muaranya sepenuhnya manusiawi.Manusiawi karena menggunakan bahasa manusia, yakni bahasa 4



Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan: Muhamed Talbi dan Hermeneutika



10



“Arab yang jelas” ( Qs Syu’ara: 195). Tapi kata-kata “theandric” ini bukanlah perkataan, suara atau tulisan. Ia tidak dapat dipersepsi dan diciptakan oleh pikiran. Allah tidak hanya berbicara kepada Muhammad, namun juga kepada semua manusia, dengan suatu kata-kata yang Entah. Allah juga bicara bukan hanya kepada Ibrahim, Musa dan nabinabi Semitis lain, namun juga kepada Buddha dan Wisnu. Setiap makhluk pun berbicara Tuhan. Ketika burung berkicau, itu adalah manifestasi dari keragaman dari yang wujud, yang Absolut, yang Unik, yang telah menciptakan sebuah dunia yang keragamanya tak terhingga. Ketika masuki sejarah, firman ini menggunakan ekspresi manusiawi. Ia mungkin dalam bahasa Rusia, Madagaskar, atau bahasa-bahasa lain. Ini bukanlah masalah keunggulan bahasa Arab. Jika al-Qur‟an diturunkan di tempat lain, ia akan menggunakan bahasa lain itu, karena seperti dituturkan bahwasanya al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa kau tempat dimana ia diturunkan5. I’jāz dan keajaiban-keajaiban al-Qur’an bukanlah semata bahasa. Dia ingin firmanNya sebagai teguran bagi umat manusia, perintah ilahi, tetapi ekspresinya bersifat manusiawi. Pandangan ini serasa hampir sama dengan pemikiran Fazlur Rahman tentang al-Qur’an: “Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi al-Qur’an murni kata-kata ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (Kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (Kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi” Baginya Rahman tidak mengatakan bahwa Nabi lah yang membuat al-Qur’an, sebagaimana dituduhkan para penentangnya. Nabi menerima firman dalam bahasa yang tidak dapat memformulasikan melebihi rumusan Allah. Sebuah kata yang theandric sepenuhnya ilahiah pada aliran atas 5



Fazlur Rahman, Islam: Sejarah pemikiran dan Peradaban (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hlm. 35.



11



atau sumbernya. Tapi karena dibiaskan dalam sejarah, firman tersebut dapat dipahami manusia,sehingga jika mereka mengungkapkanya dalam bahasa mereka pada aliran bawah atau muara, maka ia menjadi perkataan yang sepenuhnya manusiawi. Kata-kata theandric semacam ini pun dapat menjadi subjek bagi semua pendekatan, seperti pendekatan filologis dan linguistik. Orang-orang Arab telah mengembangkan akal budinya semaksimal mungkin dalam pendekatan bahasa dalam rangka memahami al-Qur’an. Pendekatannya dapat bersifat. historis, sosiologis, antropologis dan semua perangkatnya saat ini telah tersedia.6 Talbi pun bahkan tanpa ragu mengatakan bahwa al-Qur’an adalah “kitab sekuler”, dalam pengertian bahwa al-Qur’an tidak mengajarkan kegerejaan atau kependetaan. Oleh karena itu, Talbi melihat setiap penafsiran yang mengklaim memberikan makna abadi al-Qur’an sebagai sikap yang berbahaya, bukan hanya bagi orang beriman, tetapi juga bagi semangat keberagaman yang sejati. Karena tidak ada kependetaan, maka akses manusia kepada al-Qur’an adalah langsung, asalkan ia mampu memahami bahasa al-Qur’an.



Talbi



mengatakan bahwa “hanya al-Qur’an yang menentukan”. Baginya, al-Quran lah yang paling otentik. Hadis menurutnya tidak sepenuhnya otentik, karena telah dipertanyakan sejak kelahirannya. Dia mencontohkan bahwa, dalam sebuah teks, ada tiga ratus hadis al Bukhari, sementara yang lain memiliki lima ribu bahkan tiga puluh ribu hadis. Umat Islam tidak sepenuhnya setuju terhadap sunnah. Ini adalah kata kunci dari masalah



reformasi.Dia



mempertanyakan



kriteria



hadis



yang



dapat



memperlihatkan keaslian dari suatu tradisi. Sebab, beberapa hadis bertentangan satu sama lain. Hadis, tidak peduli seberapa mapan, jika mereka bertentangan dengan al-Qur’an harus dibuang. Meskipun sangat kritis terhadap hadis, Talbi sebenarnya tidak sepenuhnya menolak hadis atau sunnah. Pada kenyataanya, dia banyak mengutip hadis, bahkan untuk dia jadikan dasar argumen. Misalnya, dia menutip hadis walau 6



Muh Nor Ichwan, Islam, Modernitas dan Kemanusiaan: Muhamed Talbi dan Hermeneutika Historis Humanistik, dalam (Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan hadis) Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009 Yogyakarta, hlm 254



12



dia mengakui banyak yang meragukan kesahihanya, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan berdasarkan atas citra Tuhan. Dia juga mengutip hadis yang mengatakan bahwa hikmah adalah harta ummat Islam yang hilang.7 Ronald Nettler (1999) menulis tentang sentralitas al-Qur’an dalam bangunan pemikiran Talbi: “Al-Qur’an sebagai basis dan fondasi dari keseluruhan struktur merupakan tujuan utama Talbi. Dia melihat dalam teorinya tentang pluralisme ide „modern‟ dari kedalaman wahyu. Meskipun peminjamannya atas pemikiran modern terlihat jelas, titik keberangkatan Talbi berasal dari dalam teks suci dan konteks sejarah awalnya. Pendekatanya terhadap teks dan sejarah mengandaikan adanya pesan humanistik Golden Rules (Aturan Utama) dalam Validitas empiris yang terdapat dalam sumber-sumber sejarah seperti konstitusi Madinah yang mendukung pesan itu.” Secara khusus Talbi menulis tentang tafsir dan refleksinya tentang alQur’an: 1. Reflexion sur le Coran (Refleksirefleksi tentang al-Qur’an) 2. Universalite du Coran (Universalitas al-Qur’an) Berbeda dari buku sebelumnya, buku yang kedua ini semacam booklet kecil dan tipis 58 halaman, namun isinya padat berisi. Tetapi penafsiranpenafsiran Talbi dapat dijumpai dalam sejumlah tulisanya, baik artikel maupun buku yang lain. B.Pandangan Muhammad Talbi Terhadap al-Qur’an TAFSIR MAQĀṢIDI: QIRĀ’AT TĀRĪKHIYYAH ANNĀSIYYAH (HERMENEUTIKA HISTORIS HUMANISTIK)



Istilah Qira’at Tarikhiyyah (pembacaan sejarah) ini disebut Talbi dalam bukunya ‘Iyal Allah di bagian Ta’wilu nassh ad-Diny sebagai salah satu metode yang ia gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Teori ini dibangun dari sebuah statemen bahwa seorang sejarawan muslim ketika berhadapan dengan teks keagamaan, selamanya akan berpijak kepada qira’at Unasiyah (pembacaan humanistik).8 Karena itulah terkadang Talbi 7 8



Talbi, “Religious Liberty,”hlm. 161. Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 144.



13



mengidentifikasi teorinya dengan Qira’at Tarikhiyah Unasiyyah (Pembacaan historis-humanistik). Sebagai pijakan awal, dalam bukunya, ‘Iyal Allah, di bab al - Islam wa al - As’ilah as - Shu’bah (Islam dan beberapa pertanyaaan yang sulit), mula-mula Talbi memperlakukan teks suci al-Qur’an sebagai suatu kitab yang harus berdialektika dengan keniscayaan dan tuntutan zaman. Ketika al-Qur’an berbicara tentang manusia, maka ia sendiri telah menyejarah dan sejarah merupakan satu-satunya ilmu yang bisa melacak pesannya. Yang menarik adalah kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam konteks sosio-historis Quraisy dan segala tribalisme yang melingkupinya. Namun kita dapati bahwa hanya ada satu ayat yang terdapat isyarat secara langsung kepada bangsa Quraisy, yakni surat al-Quraisy. Ia juga tidak banyak berbincang tentang suku-suku Arab lainnya. Meskipun dalam surat al-Ahzab, at-Taubah, dan al-Fath terdapat kata “ al-A’rab ”, namun ia tidak secara khusus menjadi sasaran pembicaraan. Dengan demikian, al-Qur’an sejatinya memang berdialog dengan seluruh umat manusia. Secara sederhana, cara kerja Qira’at Tarikhiyah dapat dipetakan sebagai berikut; pertama, seorang mufasir harus berusaha memahami ayat alQur’an dalam konteks ketika ia diturunkan,9 Pada tahapan ini ilmu asbab nuzul mikro dan makro merupakan bahan utama. Pembersihan dari pertautan historisnya akan membuat ayat al-Quran menguntungkan pihak tertentu. Dengan demikian, Qira’ah Tarikhiyah berusaha untuk mencegah terjadinya universalisasi liar yang berlebihan yang merusak materi sejarah. Talbi, seorang intelektual muslim yang mempertanyakan efektifitas,



mempercayakan



nasib



peradaban



Islam



sepenuhnya



pada



penafsiran-penafsiran ortodoks-tradisional. Ia berpandangan bahwa zaman baru juga memerlukan tafsir dengan cara pandang yang terbuka pada pembaharuan. Dengan pendekatan historis yang dibumbui dengan perspektif kemanusian (humanis), ia mendorongkan penafsiran yang lebih terbuka terhadap al-Quran melalui apa yang disebutnya 9



Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 70.



14



pendekatan (Qiraat Tarikhiyah). Kedua, seorang mufasir harus selamanya memegang prinsip Maqashid (muqarabah maqashidiyah). Menurut Talbi, al-Qira’atal-Maqashidiyah ini bukanlah teori yang benarbenar baru. Hal yang sama juga telah dilakukan ulama terdahulu, khususnya As-Syatiby yang pertama kali mempopulerkan teori Maqashid as-Syari’ah. Menururt Talbi, konsep maqashid syari’ah ini setingkat lebih maju daripada qiyas, meskipun tidak menolak secara keseluruhan. Ia beranggapan bahwa qiyas sudah tidak relevan dalam menjawab persoalan kekinian. Qiyas menurutnya, hanyalah fahmun madlawiyun (pemahaman nostalgis) terhadap teks dan terkesan masih menolak kekinian.Jadi, pendekatan historis-humanis tersebut bertujuan melacak tujuan dalam teks-teks keagamaan. Tidak diketahui secara pasti siapa pencetus istilah mikro dan makro, namun istilah makro pernah disebutkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam and Modernity dalam keterangannya tentang double movment, Rahman memperkenalkan istilah macro situation, yaitu situasi sejarah yang tidak hanya meliputi orang-orang di sekitar turunnya ayat-ayat al-Qur’an, tetapi seluruh situasi yang punya kemungkinan memiliki keterkaitan dengan munculnya ayat tersebut. yang dimaksud dengan asbabun nuzul mikro adalah riwayat-riwayat mengenai turunnya ayat-ayat al-Qur’an.Sedangkan asbabun nuzul makro adalah asbabun nuzul yang memiliki cakupan lebih luas yang tidak hanya terpaku pada riwayat-riwayat para sahabat saja. filosofis kesejarahan al-Quran di masa lalu untuk diadaptasi pemaknaannya sesuai konteks masa kini. Namun, pendekatan al - maqashidiyyah ini Menurut Talbi melampaui cara-cara analogis (qiyas) dalam memahami alQuran. Analogis yang dimaksud Talbi adalah menghadirkan masa lalu sebagai model baku yang kaku bagi persoalan-persoalan saat ini. Baginya, masa lalu itu tidak lebih sebagai model pembacaan yang usang, yang tidak cocok untuk digunakan pada masa saat ini. Talbi tidak bermaksud menolak secara a priori terhadap metode analogis. Hanya saja, baginya, saat ini analogis (yang mengadopsi masa lalu sedemikian rupa) tidak sesuai dan tidak dapat mengatasi problem kekinian



15



yang kompleks. Kenapa? Karena model analogis tersebut mengeliminasi dimensi dan karakter dinamis sejarah. Talbi membuat pengandaian; kira-kira apa yang akan Allah firmankan kepada kita di saat ini dan di tempat ini (berkenaan dengan problem-problem yang kita hadapi)? Kita tidak akan mendapatkan jawabannya, kecuali, dengan berusaha mengurai fakta dalam rentang waktu dan sejarah. Di sinilah arti penting pendekatan historis-humanis. Pendekatan ini meniscayakan untuk melakukan pelacakan terhadap fakta sejarah sebelum dan sesudah ayat-ayat al-Quran itu diturunkan. Sehingga dengan demikian, kita dapat memahami situasi historis turunnya ayat dan pada gilirannya dapat memahami maksud al-Quran.10 Bagi Talbi, harus dilacak “mengapa” ayat-ayat al-Qur’an menyatakan atas suatu persoalan. Sebagai sejarawan, naluri Talbi dilatih untuk menyelidik anasir-anasir tersembunyi yang bersifat impersonal atau terkait dengan aspekaspek di luar hubungan pelaku sejarah, seperti faktor sosioekonomi, budaya, dan politik yang berkembang saat itu yang menjadi katalisator penggerak sejarah. Dalam al-Qira’at al-Maqashidiyah versi Talbi, setidaknya ada dua hal yang menjadi aksentuasi;pertama, konteks historis turunnya ayat sebagai titik tolak dan kedua, tujuan atau kehendak pembuat syari’at sebagai maksud yang dituju. Sedangkan secara teknis, prinsip teori ini berpangkal pada Analisis Orientasi (at-Tahlil al-Ittijahi) terhadap suatu teks. Menurut Talbi, dalam hal ini kita bisa mengintegrasikan metode epistemologi Islam atau hermeneutika. Hal inilah yang menurut Talbi merupakan suatu tradisi yang kontributif dalam perkembangan pemikiran Islam. Secara prinsipil, teori maqashid ini sejalan dengan perkembangan kaidahkaidah historis.



10



. 27 Muhammad Talbi, ‘Iyal Allah…, 56.



16



Tak hanya sebatas pemikiran dan pandangan akan al-Qur’an, Talbi juga memberikan kontribusi berupa teori aplikatif dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu saja tidak lepas dari prespektifnya dengan sejarah. Pemahaman penafsiran yang tektualis dan parsial menurut Talbi sudah tidak relevan lagi dan terkesan membuat persoalan-persoalan baru tanpa memberi solusi dari persoalan yang ada sebelumnya. Talbi berkeyakinan bahwa ketika suatu hukum itu bertentangan dengan realitas keadilan, maka hukum tersebut harus dikaji dan ditafsir ulang. Karena sekali lagi Talbi ingin agar penafsiran al-Qur’an selalu sesuai dengan apa yang di kehendaki al-Qur’an itu sendiri dan juga apa yang di kehendaki Islam yang menurutnya adalah kebebasan. Menafsirkan kembali teks-teks keislaman yang paling suci adalah sangat penting bagi Islam dan dunia yang dihadapi oleh Islam. Di jantungnya terletak pentingnya perspektif fundamental bahwa wahyu yang diberikan kepada Muhammad pada dasarnya adalah tentang penciptaan bagi ideologi dan karenanya, niscaya bagi masyarakat yang tumbuh atas namanya. Ini adalah nilai-nilai humanis yang harus muncul dalam pembacaan kitab suci. Pada level epistimologis, menarik untuk melihat bahwa Talbi menekankan pada dua sumber kebenaran, yakni yang datang dari luar diri manusia dan dari dalam diri manusia. Yang berasal dari luar diri manusia itu adalah wahyu; dan berasal dari diri manusia itu adalah “fitrah”. Dia mengatakan, bahwa tujuan pokok yang universal dari al-Qur’an adalah “nilai etik”, kadang pula dia menyebut “nilai spiritual dan etik” al-Qur’an, dan bukannya hal-hal yang bersifat legal-formal semata. Nilai spiritual dan etik semacam ini bukan hanya kuat dalam al-Qur’an, namun juga sudah imanen dalam “fitrah” diri manusia.11 Di tempat lain, Talbi menyebutkan hati nurani. Nampaknya bagi Talbi fitrah dan hati nurani itu adalah entitas yang sama, setidaknya seperti dua sisi mata uang, karena sama-sama memberikan inspirasi kebaikan dan kebenaran. Atau apa yang disebut acara awam hati nurani, sebenarnya adalah fitrah manusia. 11



Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah (Tunisia: Daar Siras al Munassyar, 1992), hlm. 90.



17



Pembaca harus mencari arah yang lebih langsung dalam kesadarannya, yakni mendasarkan pada sumber-sumber otentik, terutama al-Qur’an, dan mendengarkan bisikan hati. Ini nampak dalam kutipan berikut: “Reformasi dilakukan dengan melakukan pembacaan al-Qur’an dan sunnah secara alternatif, yakni dengan perspektif yang hidup dan bukan dengan perspektif yang mati. Ini dilakukan dengan selalu menanyakan pertanyaan: “Tuhan, apa yang kau katakan padaku saat ini?” bagi saya, Dia memintaku untuk berbuat baik. Bagi filusuf seperti Luc Ferry (penulis buku Man-God), itu adalah apa yang dikatakan hati nuraninya kepada dirinya. Itu juga hati nurani saya. Hanya saja, kesadaran Luc Ferry itu hanya diterangi filsafat. Sedangkan saya diterangi oleh cahaya yang saya anggap bersifat ilahiah. Tanpa diragukan lagi, hati nurani saya lah yang memberitahu saya, suatu kesadaran yang di dalam dirinya terdapat cahaya ilahiah. Dan saya benar-benar bebas terhadap hati nurani saya. (Mohammed Talbi, “Seul le Coran oblige”). Disini Talbi memasukkan diskusi lain tentang “kesadaran” yang membingkai atau mem-frame hati nurani itu. Dalam kasus di atas tadi Talbi mengaitkan antara nilai etik dan spiritual al-Qur’an sebagai sumber kebenaran di luar diri manusia dan “fitrah” yang merupakan sumber kebenaran yang ada dalam diri manusia, di dini dia mengaitkan keserasian antara wahyu dan hati nurani yang dibingkai oleh kesadaran disinari oleh “cahaya ilahiah”. Oleh karena itu, adalah niscaya untuk memahami firman-Nya dengan mentalitas kekinian dan pandangan hidup saat ini, karena Allah tidak berbicara kepada orang mati, tetapi kepada yang masih hidup. Oleh karena itu, dia menyerahkan pembacaan al-Qur’an yang dinamis dan hidup, bukan yang kaku atau konservatif, yang menurutnya hanya akan “membunuh” firman Allah. Talbi berkeinginan untuk membebaskan Islam dari penafsiran dogmatis yang mengkalim memiliki kebenaran hakiki. Ini adalah jenis klaim yang menurutnya “meneror semangat dan menghentikan setiap upaya dialog dengan Liyan (others)sejak semula”. Di tempat lain Talbi menyatakan bahwa pembacaan yang kembali ke masa lampau itu sebagai pembacaan yang mati, sedangkan pembacaan yang



18



menekankan pada masa kini dan masa depan, termasuk dalam membaca masa lalu, adalah pembacaan yang hidup. Dari sini Talbi juga menunjukkan adanya kesesuaian antara wahyu dengan “hati nurani yang diterangi dengan cahaya ilahiah”. Di sini Talbi tidak ingin terjebak dalam perdebatan teologi klasik (Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah) seperti para pendahulunya dengan hanya menekankan pada hubungan antara wahyu dan akal, sehingga terjebak pada diskusi tentang posisi antara keduanya. Dia lebih mengaitkan pembahasan tentang akal dengan iman, karena memang antara keduanya sering terdapat konflik dalam diri manusia. Dengan mendiskusikan wahyu dan fitrah, Talbi ingin menekankan bahwa jika Allah menurunkan wahyu hanya pada para Nabi, maka Allah membimbing semua manusia dengan memberi fitrah. Berbeda dengan “akal” yang dalam diskusi klasik sering dicurigai, para ulama klasik sepakat bahwa fitrah cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Dengan fitrah manusia juga mempunyai potensi mendapatkan kebenaran di luar wahyu, karena fitrah inilah yang membuat manusia cenderung kepada kebaikan dan kebenaran dan membisikan kebenaran melalui nurani. Dengan pemahaman semacam ini, fitrah kolektif manusia yang kemudian mengubah



realitas



kekinian



pun



kemudian



mempunyai



justifikasi



keagamaannya. Ilmu pengetahuan pun berkembang sejalan dengan fitrah manusia, yang menghargai kebaikan dan kebenaran. Itu semua merupakan landasan yang kokoh, bukan hanya secara keilmuan namun juga secara keagamaan, untuk menjadi titik tolak pemahan al-Qur’an.12 Terkait dengan metodologi interpretasi, Talbi menawarkan “qirā’ah maqāṣidiyyah” (pembacaan intensional; lecture finaliste) atau juga disebut sebagai “qirā’ah tārīkhiyyah annāsiyyah” (pembacaan historis humanistik).13 Metodologi interpretasi Talbi tentu saja tak dapat dipisahkan dari jati dirinya sebagai seorang sejarawan.Dia mengatakan, “seorang sejarawan 12 13



Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan,”hlm.216 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 142.



19



mempunyai



peran



dalam



memberikan



solusi



terhadap



problematika-



problematika keagamaan yang kritis. Partisipasinya sangat penting dan mendasar, karena dia meletakan problematika-problematika itu dalam dimensi historis dan humanistiknya (ab’ād al-tārīkhiyyah wa al annāsiyyah).14 Term ab’ād al-tārīkhiyyah wa al-annāsiyyah (dimensi historis dan humanistik) di atas penting untuk digaris bawahi, karena ini merefleksikan pendekatannya dalam menganalisis teks dan masalah. Talbi percaya bahwa kalam Allah itu hidup abadi di antara kita, karena Allah “al- Hayy al-Qayyūm lā ta’khuz|uhu sinatun wa la naum.” Sang Maha Hidup, Maha menjaga kehidupan, yang tidak pernah mengantuk maupun tertidur” (QS al-Baqarah 2: 255). Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya selalu bertanya ketika menghadapi problematika hidup: “Apa yang dikatakan Allah kepadaku pada masa ini dan di tempat ini?” Namun, pertanyaan ini tidak dapat diajukan kepada teks, pada saat moderen ini, kecuali dengan meletakkanya, mula-mula, pada dimensi historisnya. Dia menganjurkan: qirā’ah tārīkhiyyah annāsiyyah (pembacaan historis humanistik) seharusnya dilakukan sebelum semua investigasi terhadap teks dilakukan agar kita dapat memahami di dalamnya secara setara kondisi pewahyuan (zarf al-tanzīl) dan tujuan syara‟ (gāyah alsyara‟) yaitu titik berangkat dan tujuan yang di maksud.15 Dua titik, titik berangkat dan titik tujuan, ini penting untuk diperhatikan, karena ini adalah inti teorinya “analisis arah” teks (taḥlīl ittijāhi) dalam suatu konteks evolusi sejarah syari’ah. Tentang ini Talbi mengatakan: “Qirā’ah maqāṣidiyyah, pada fase pertama berpusat pada analisis arah teks (taḥlīl ittijāhi; analyse vectorille), yakni pembacaan historis humanistik dan tujuan akhir (gaiyah) sekaligus.Ia adalah pembacaan yang dinamis terhadap



14 15



Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 142 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 143.



20



teks,yang



tidak



berhenti



pada



huruf



dan



apa



yang



di



qiyas-kan



terhadapnya,tetapi berjalan dalam arah tujuannya. Dalam hubunganya dengan perbudakan, arah ini adalah pembebasan perbudakan. Meskipun pemberantasan perbudakan tidak tercantum dalam teks, namun ia sejalan dengan arahnya,atau perbudakan itu adalah arah yang Islami, walaupun tidak ada ayat yang mengharamkannya.Ini karena pemberantasan perbudakan, dalam kondisi-kondisi historis dan humanistik yang menyertai peewahyuan mendahului masanya16. Jadi taḥlīl ittijāhi ini bukan semata-mata analisis teks, namun terlebih lagi analisis sejarah yang disemangati oleh nilai-nilai humanistik. Titik pertama adalah masa prapewahyuan atau pra-Islam, sedangkan titik kedua adalah masa setelah pewahyuan, di tengah-tengah itu adalah masa pewahyuan, di mana pesan wahyu mungkin saja masih belum jelas maksudnya. Dari dua titik itu ditarik garis lurus. Dari sini dapat diambil kesimpulan tentang maksud akhir dari wahyu Allah. Misalnya masalah perbudakan: pada masa pra-pewahyuan perbudakan merajalela dan banyak ketidakadilan (titik berangkat); masa pasca-pewahyuan budak-budak dibebaskan dan bahkan banyak menjadi elit politik dalam Islam dan kemudian muncul kesadaran manusia bahwa perbudakan adalah kejahatan kemanusiaan(titik tujuan).Wahyu yang ada di dua titik itu tidak melarang sama sekali perbudakan, tetapi mengaturnya agar lebih adil. Ayat-ayat perbudakan semacam ini haruslah dibaca dalam konteks evolusi sejarah di mana tujuan akhir dari wahyu itu adalah pengharaman perbudakan. Benang merah yang dapat diambil dari pra-pewahyuan, pewahyuan, sampai pasca pewahyuan menunjukan bahwa maksud wahyu adalah pembebasan perbudakan dan pelarangannya. Maka itulah yang dimaksudkan oleh Allah (maqāṣid



alsyari’ah).17



Dengan



kata



lain,diandaikan



bahwa seluruh pengaturan dalam teks-teks suci itu mempunyai dua poin utama:



16 17



14 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144 15 Muh Nor Ichwan, “Islam, Modernitas dan Kemanusiaan,” hlm. 263



21



pertama, keadaan yang ingin diubah oleh teks; dan kedua, keadaan yang dicitacitakan. Dengan demikian akan dapat ditelusuri benang merah antara keduanya atau “vektor terarah” yang menunjukkan tujuan-tujuan terakhir yang ditunjuk oleh teks.18Dengan ungkapan yang berbeda, kita dapat melampaui Syari‟ah tanpa



menyangkalnya,



karena



kita



tetap



berada



dalam



arah



yang



ditunjukannya.19 Berkaitan dengan taḥlīl ittijāhi tentu mengingatkan tentang konsep “ittijāh al-naṣ” Nasr Abu Zayd yang menekankan pada sisi linguistiknya. Meski berbeda antara sejarah dan linguistik namun arah tujuanya sama yaitu penegasan bahwa adanya “arah teks” yang mengarah pada penghapusan perbudakan, seperti telah di bahas di atas. Nampaknya Talbi dipengaruhi oleh konsep tentang evolusi sejarah, sedangkan Abu Zayd oleh konsep tentang ma‟na (meaning) dan magza (significance). Dan juga dalam konteks proses sejarah, nampaknya Talbi terinspirasi konsep Ushul Fiqh tentang “tadrīj fī tasyrī‟” (graduasi pensyariatan), dimana ayat-ayat pendukung hukum dirunut masa turunya dan dilihat ayat terakhirnya sebagai tujuan akhir syariah. Dengan qirā’ah maqāṣidiyyah itu penafsir mencoba melihat “fakta yang tak terbantahkan dari evolusi sejarah, tanpa terjebak di dalamnya”, dengan melihat universal al-Qur’an, yakni “maksud pokok atau akhir” suatu wahyu diturunkan. Kata “tanpa terjebak ” dalam fakta tak terbantahkan dari evolusi sejarah adalah penting, karena bagaimanapun juga, sejarah terkait dengan masa itu, yang boleh jadi tidak lagi relevan pada masa sekarang. Kalau terjebak, maka ini yang disebut dengan pembacaan yang mati. Agar tidak terjebak itu, maka perlu lompatan yang mengatasi jebakan itu untuk meraih maksud (tujuan) pokok atau akhir dari pesan wahyu itu, yakni nilai-nilai etis-spiritual alQur’an. Kalau kita baca karya-karya Talbi, maka nilai-nilai etis-spiritual ini pada hakekatnya adalah “nilai-nilai humanistik” yang tidak harus diasosiasikan dengan konsep barat tentang humanisme. Di 18 19



Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144 18 Mohamed Talbi, ‘Iyal Allah, hlm. 144



22



sini konsep klasik tentang maqāṣid bertemu dengan konsep kontenporer tentang nilai-nilai humanistik.



23



BAB III PENUTUP . A. KESIMPULAN Pemikiran Mohamed Talbi tidak lepas dari pada latar belakangnya yang merupakan seorang sejarawan. Meski demikian, bukan berarti ia hanya fokus pada kajian sejarah saja, namun juga isu-isu kontenporer yang banyak muncul pada saat ini. Pluralisme, kesetaraan gender, dan kesejahtaraan sosial juga ia bahas dan ia banyak suarakan. Seperthalnya ilmuan-ilmuan Islam lainya, Talbi juga mencita-citakan Islam yang moderat, selaras dengan perkembangan zaman, dan selalu menjadi agama yang menyerukan raḥmatan lil „ālamīn.



24



DAFTAR PUSTAKA Al-Suyuthi, Jalaluddin. Sebab Turunnya ayat Al-Qur‟an, terj (Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul). Jakarta: Gema Insani, 2008. Daud, Ilyas. “Hermeneutika Al-Qur‟an Muhammad Talbi,” dalam Hermeneutika Al-Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Nettler, Ronald. “Gagasan Muhammad Talbi tentang Islam dan Politik: Konsep tentang Islam untuk Dunia Modern,” dalam Jhon Cooper, Ronald L. Netter dan Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, terj. Wakhid Nur Effendi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002. Talbi, Mohamed. „Iyal Allāh. Tunisia: Dar Sirah al-Munassyar, 1992. Talbi, Mohamed. Ummah al-Wasath: alIslām wa Taḥaddiyāt al-Mu‟aṣirah, Tunisia Ceres Edition, 1996. (http://rhapsodiainside.blogspot.com/2013/05/09 November 2015



25