Ibram Ibrahim - Estetika Resepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ESTETIKA RESEPSI MAKALAH Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok mata kuliah Teori Sastra Dosen pengampu : Asep Yusup Hudayat, S.S., M.A.



Disusun oleh : Kelompok 6 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Ibram Ibrahim Ade Maulana Hasna Nurzaena Fauziyah Dini Hamisa Nur Utami Iun Yunita Cindy Laura Rizki



(180210190041) (180210190035) (180210190033) (180210190013) (180210190020) (180210190024)



UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU BUDAYA SASTRA SUNDA 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, karena dengan dengan semua itu kami dapat menyeleasaikan makalah ini dengan baik. Dengan adanya makalah ini kami berharap semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya berupa bertambahnya wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu , kami mengharapkan kritik dan sarannya agar dapat memperbaiki kekurangan yang ada. Kami ucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Asep Yusup Hudayat S.S.,M.A. yang telah membimbing kami dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini , sehingga dapat diselesaikan dengan tepat waktu.



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1 1.1 Definisi Teori Estetika Resepsi .............................................................. 1 1.1.2 Pengertian Estetika Resepsi .................................................................. 2 1.1.3 Kata Kunci Turunan Estetika Resepsi ................................................... 3 1.2 Ruang Lingkup Teori ............................................................................ 7 1.2.1 Tinjauan Umum Estetika Resepsi ........................................................ 14 1.2.2 Titik Pijar Pemikiran Hans Robert Jauss ............................................. 23 1.2.3 Titik Pijar Pemikiran Wolfgang Iser .................................................... 25 1.2.4 Respons Estetik Wolfgang Iser ........................................................... 28 1.2.5 Prinsip Dasar Respon Estetik .............................................................. 29 1.2.6 Konsep Dasar Respons Estetik ............................................................ 30 1.3 Sejarah Perkembangan Teori ............................................................. 30 1.3.1 Latar Belakang Lahirnya Teori Resepsi Sastra .................................... 30 1.3.2 Perkembangan Teori Resepsi Sastra .................................................... 34 1.3.3 Tokoh-Tokoh Teori Estetika Resepsi .................................................. 38 1.3.4 Filsafat ................................................................................................ 43 BAB II TEORI ESTETIKA RESEPSI DALAM JANGKAUAN PENELITIAN .................................................................................................. 48 2.1 Penerapan Teori .................................................................................. 48 2.1.1 Estetika Resepsi Terhadap Studi Kasus Resepsi Produktif Soneta Indonesia (Puji Santosa) .............................................................................. 48



ii



2.1.2 Estetika Resepsi Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Kajian Hans Robert Jauss (Desy Kusumawati) ............................................ 51 2.1.3 Resepsi Pembaca Terhadap Cerpen "Remon" Karya Kajii Motojiro (Mutia Andika Widyanissa) ......................................................................... 54 2.1.4 Tanggapan Pembaca Terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Resepsi Sastra (Rusdian Noor Dermawan dan Cahya Ajisaputra) ............................................................... 59 2.2 Ancangan Penelitian Dengan Menggunakan Teori Estetika Resepsi ...................................................................................................... 60 2.2.1 Estetika Resepsi Dalam Novel Baruang Ka Nu Ngarora ...................... 60 BAB III PENUTUP .......................................................................................... 64 3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65 Lampiran



...................................................................................................... 70



iii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Definisi Teori Estetika Resepsi 1.1.1 Pengantar Teori adalah alat, kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain Dalam penelitian sastra terdapat beberapa sudut pandang atau pendekatan dalam menganalisisnya. Perbedaan sudut pandang inilah yang kemudian memunculkan adanya berbagai jenis penelitian sastra, tergantung dari mana sudut pandang yang dipakai. Klarer (2004:78-98) merinci bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kritik sastra dapat berorientasi pada teks (filologi, retorik stilistik, formalisme dan strukturalisme, kritik baru (new criticism), semiotik dan dekonstruksi; pendekatan yang berbasis pada pengarang (kritik biografis dan kritik psikoanalisis); pendekatan yang berorientasi pada pembaca: teori resepsi (teori respon pembaca atau estetika resepsi); dan pendekatan yang berorientasi pada konteks (teori sastra Marxis, historisisme baru dan teori sastra feminis dan teori gender). Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:136) menyatakan resepsi sastra telah menjadi bagian integral dari tujuan penelitian sastra, dan resepsi sastra diintegrasikan ke dalam definisi dari kesusasteraan (literariness). Resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman. Teori ini menggeser fokus penelitian dari struktur teks ke arah resepsi (Latin: recipere, menerima) atau penikmatan pembaca. Pergeseran orientasi dari teks kepada pembaca ini diilhami oleh pandangan bahwa teks-teks sastra merupakan salah satu gejala yang hanya menjadi aktual jika sudah dibaca dan ditanggapi pembacanya. Teks hanya sebuah pralogik dan logika yang sesungguhnya justru ada pada benak pembacanya.



1



Scmitz (2007:87) mengemukakan bahwa studi tentang resepsi sastra membuat teori bahwa pembaca harus dikembalikan haknya. Suatu karya sastra tidak bisa disamakan keberadaannya dengan objek material seperti sebuah meja. Karya sastra hanya bisa disamakan dengan not musik yang hanya akan diubah menjadi musik ketika ia dimainkan. Secara analogis, teks sastra hanya akan memiliki eksistensi yang nyata sampai seorang pembaca membacanya dan mengkongkritkannya dalam proses membaca yang dilakukannya. Tokoh yang perlu disebut di sini ialah Mukarovsky, dengan judul bukunya, yaitu dimaksudkan Aesthetic Function, Norm, and Value as Social Facts. Menurut beliau, estetika resepsi adalah fungsi-fungsi estetis yang berhubungan dengan nilai sebagai fakta-fakta sosial. Norma estetis adalah regulator terhadap fungsi estetis itu sendiri, aturan yang bergerak secara terus menerus dan selalu diperbaharui. Oleh karena itu, dalam karya seni norma estetis biasanya dilanggar. 1.1.2 Pengertian Estetika Resepsi Teeuw (1984:150) menerjemahkan rezeptiona esthetik sebagai ‘resepsi sastra’ yang dapat disamakan sebagai literary response yang dikemukakan oleh Junus (1985:1). Resepsi dapat juga diterjemahkan sebagai ‘penerimaan estetik’ sesuai dengan esthetic of reception. Menurut (Pradopo dkk., 2001:108) resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai suatu aliran yang meneliti sastra yang bertitik tolak pada reaksi pembaca atau tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Ratna (2008:165) mengemukakan bahwa resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Selanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan



2



memperkaya karya sastra itu.



Di sini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini



mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra. Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Pasif maksudnya adalah bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya sastra, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan” karya sastra tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks sastra tersebut. 1.1.3 Kata Kunci Turunan Estetika Resepsi Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial budaya. Oleh karena itu, karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Hal ini perlu di sadari bahwa fakta keragaman interpretasi terhadap karya sastra menurut peran aktif pembaca sebagai kekuatan pembentuk sejarah ( Jaus, 1974 :12 ). Kehidupan historis sebuah karya sastra akan mengalami stagnasi bila tanpa keterlibatan ( partisipasi aktif ) pembaca. Partisipasi aktif itulah yang membuat dinamis sejarah sastra. Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya sastra, yaitu : 1. Pengisian tempat kosong 2. Bagian-bagian yang tidak di tentukan di dalam teks, disebut “tempat kosong”. Tempat-tempat kosong itulah yang harus di isi oleh pembaca. 3



Munculnya tempat kosong dalam tek di karenakan sifat karya sastra yang asimetri, tidak berimbang antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan bahasa sastra menimbulkan banyak penafsiran. Aktifitas pembaca menuntut usaha menjembati kesenjangan antara teks dengan pembaca. Apabila kesenjangan itu dapat di atasi dengan pembaca, terjadilah komunikasi (dialog) antara teks dengan pembaca. 2. Horison harapan Horison harapan merupakan interaksi antara karya sastra dengan pembaca secara aktif. Setiap pembaca memiliki horison harapan tertentu pada teks karya sastra yang dibacanya. Terwujudnya horison harapan ini didasarkan pada kriteria pokok, yaitu: a. Ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang di baca b. Ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya,dan c. Pertentangan antara fiksi dan tealitas hidup, (Segers, 1978 :41). Dengan demikian, nilai suatu karya sastra terletak pada “bertemu atau tidaknya” karya sastra dengan horison harapan masyarakan pada saat karya sastra itu ditulis atau diterbitkan. Ada tiga horison harapan masyarakat, yaitu: (1) Horison zaman, yakti harapan zaman karya sastra yang ditulis (2) Horison teks, yakni harapan bahwa semua teks karya sastra menyerupai satu teks naskah standar, dan (3) Horison kepengarangan, yakni harapan yng di dasarkan bahwa satu aspek kreativitas pengarang dan aspek ini dijadikan standar. Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan



4



sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacammacam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo 2007:209). Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode. Menurut Ratna (2009:167-168), resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap



5



suatu karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai. Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri. Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca. Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya. Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut: Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.



6



Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119), penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) Penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) Penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) Penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja. Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam penelitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian. 1.2 Ruang Lingkup Teori Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra karena karya sastra itu tidak lepas dari individu atau masyarakat. Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada 4 macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams, yaitu : 1. mimetik/alam/universal, mimetik menjadi alat tiruan bagi sebuah karya sastra sebagai kreatifitas pengarang. Menurut Abrams, karya 7



sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra. 2. Objektif/karya sastra, karya sastra tidak adalah alat pengungkapan perasaan pengarang yang menjadi kreatifitasnya. karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya. Karena rasa yang ada dalam jiwa pembaca itu karena pembaca merasakannya di alam yaitu tempat manusia hidup. 3. Ekspresif/pengarang, adalah sebagai pembuat ide dan kreatifitas. Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Maka faktor mimetik dalam teori Abrams sangat berpengaruh dalam kesastraan karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas tanpa adanya tiruan yaitu alam semesta. 4. Pragmatik/pembaca, pembaca ketika melihat sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.



8



Sebuah karya sastra tidak akan mempunyai nilai tanpa adanya tanggapan dan penilaian pembaca, karena itu faktor pragmatik juga sangat penting diterapkan yaitu pada teori resepsi pembaca. Dalam hubungan ini estetika resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karya sastra itu sangat erat hubunganya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditujukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Disamping itu pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya dan karya sastra akan mempunyai nilai karena pembaca yang menilai. Dalam hubunganya dengan resepsi atau tanggapan pembaca itu akan berbeda beda tanggapannya karena pembaca mempunyai tangapan dan pemikiran sendiri mengenai objeknya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membacanya. Dalam arti, seorang pembaca mempunyai konsep tertentu tentang sebuah karya sastra baik puisi, cerpen, novel, atau bentuk karya sastra lainnya. Seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seseorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Adapun cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah periode. Sebuah karya sastra adalah wujud ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tidak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut. Dalam teori estetika resepsi hal yang paling utama diperhatikan adalah pembaca karya sastra yang berada diantara posisi segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Hal ini disebabkan oleh kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terfikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. 9



Apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetika terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan wajah yang sama pada masing-masing pembaca disetiap periode. Dalam metode estetika resepsi diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya, yaitu pembaca yang kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya. Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetik resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik ialah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sasra dalam satu masa atau periode. Jadi, disini yang diteliti oleh resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Namun, harus diingat bahwa dalam satu kurun waktu itu, biasanya ada norma-norma yang sama dalam menanggapi karya sastra. Akan tetapi, karena tiap-tiap orang itu memiliki cakrawala harapan sendiri-sendiri, maka mereka akan menanggapi sebuah karya sastra secara berbeda-beda seperti dalam paham seni untuk seni dan seni untuk masyarakat yaitu dalam teori Marxisme. Marxis mengatakan bahwa pengarang harus membela kaum bawah dan kaerya sastra yang baik adalah karya sastra ynag membela kaum bawah, kaum bawah dalam hal ini adalah masyarakat. Marxis sangat menentang seni untuk seni karena menurutnya seni yang baik adalah seni yang memuat mengenai keadaan masyarakat dan kenyataan hidupnya. Teori resepsi pembaca juga dapat dihubungkan dengan paham formalisme karena formalis juga menekankan konsep deotomatisasi. Formalisme lebih menekankan pada bentuk (form) dan isi dalam bahasa. Ketertarikan utama dari kaum formalis adalah untuk menentukan perbedaan kualitas dari puisi dan seni dalam perbandingan dengan bahasa praktis, hal ini berhubungan dengan bahasa yang defamiliarisasi, karena kaum formalisme menekankan dua konsep dalam penelitian sastra, yaitu : konsep defamiliarisasi dan deotomisasi. Konsep defamiliarisasi adalah konteks sifat sastra yang asing, para pengarang boleh saja membuat teks sastra berbeda dengan suasana sesungguhnya, akibatnya teks sastra akan sulit dipahami karena menggunakan bahasa yang spesifik. Dalam hal ini teks



10



sastra kehilangan otomatisasi (deotomatisasi) untuk dipahami oleh pembaca. Pembaca dapat membuat tafsiran sendiri-sendiri karena pembaca tidak secara otomatis atau langsung dapat menangkap makna teks tanpa tafsiran, ini hubungannya dengan otomatisasi persepsi pembaca yaitu semua pembaca mempunyai tafsirannya sendiri-sendiri secara berbeda. Adapun mengetahui tanggapan yang bermacam-macam itu dapat dikumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca yang menulis (kritikus) ataupun dapat dilakukan dengan mengedarkan angket kepada pembaca-pembaca sekurun waktu. Dari hasil angket yang diedarkan itu, dapat diteliti konkretisasi dari masing-masing pembaca. Dengan demikan, dapat disimpulkan bagaimana nilai sebuah karya sastra itu pada suatu kurun waktu. Akan tetapi, meskipun telah dapat diketahui konkretisasi pembaca-pembaca terhadap suatu karya sastra pada suatu kurun waktu, bagaimanapun berbagai macam tanggapan atas sebuah karya sastra, namun nilai seni karya satra tersebut belum teruji historis. Maka, penelitian secara diakronislah yang akan lebih kuat menunjukan nilaqi seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilaluinya. Penilaian secara diakronis ini dapat dilakukan seperti yang telah disinggung dalam fasal empat, yaitu dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembacapembaca ahli sebagai wakil pembaca dari tiap periode. Misalnya saja, bila orang akan meneliti konkretisasi dan nilai sajak Chairil Anwar, maka dapat diteliti bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu terbit, kemudian diteliti resepsiresepsi pada periode-periode selanjutnya, dan resepsi pada periode sekarang ini terhadap karya-karya tersebut. Dengan demikian akan dapat diketahui atau disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan resepsiresepsi setiap periode itu. Dalam penelitian itu diteliti dasar-dasar apa yang dipergunakan oleh pembaca disetiap periode ; norma-norma apa yang menjadi dasar konkretisasinya ; dan diteliti kriteria apa yang menjadi dasar penilaiannya. Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar konkretisasinya dan penilainnya disetiap periode yang dilaluinya, maka dapat disimpulkan nilai estetiknya sebagai karyua seni sastra. Bila disetiap periode karya sastra tersebut mendapat nilai positif, hal ini berarti karya sastra tersebut bernilai abadi, karya sastra tersebut bernilai tinggi.



11



Teori resepsi antara lain di kembangkan oleh RT. Sugers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Di dalam pengantarnya ia menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd” (RT, Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi estetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir tahun 60-an. Ia menunjuk artikel artikel Roman Jacosbon: “Lingisties and Poetis” (1960) yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema dkk. (1977) menyajikan “The Rezeption of Literature:Theory and Practice of Rezeptionns aesthetik” dalam bab 5 bukunya yang berjudul “The ories of Literature in The Twentieth Century”. Di dalam bab 5 mereka mengutip pendapat Lotman (1972) “In fact, the literary work consist of the text (the system of intra-textual relations) in its relation to extra-textual reality: to literary norms, tradition and the imagination”. Selanjutnya ia mengutip pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) “Reception (therefore) occurs as a process creating meaning, which realizes the instruction given in the linguistic appearance of the text” (D.W. Fokkema, 1977: 137). Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar teori resepsi estetika yang di letakan oleh Hans Robbert Jauss dan Wolfgang Iser. Menurut Jaus (1970) ada 3 dasar faktir-faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca: 1) Norma-norma genre terkenal teks yang di resepsi 2) Resali implist dengan teks yang telah dikenal dari periode sejarah sastra yang sama. 3) Kontrodiksi fiksi dengan kenyataan Ada 3 macam pembaca: 1) Pembaca sesungguhnya Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian, termasuk dengan teori esthetika. 2) Pembaca implisit Menurut Isser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen didalam teks yang diberikan.



12



3) Pembaca eksplisit Menurut Grim (1975) pembaca eksplisit dapat disebut juga pembaca fiktif imaijner atau imanen. Selanjutnya dikemukakan empat buah teori dan R.T. Seggers, G. de Vriend dan Wolfgang Iser, H van den Bergh dan T. Anbeek. R. T. Seegers mengemukakan tentang pembaca dan teks; bagan proses komunikasi G. de vriend dan Wolfgang Iser mengutarakan teks fisional. H van den Berg menyajikan pendekatan karya estetis problem genre. T. Anbeek mengutarakan resepsi estetika dan resepsi sejarah. Di dalam penerapan disajikan pertanyaan J.J.Kloek: Mungkinkah resepsi sejarah itu? D. W. Fokkema dkk, didalam bab 5 Theoris of Literature in the Twentienth Century mengutaraka diskusi teoritis, studi resepsi historis, studi resepsi impiris, pembaca implisit dan pendekatan social politik. H. V Gumbrecht di dalam Charles Grievel (1978) menyajikan resepsi esthetika dan tindakan teoritis ilmu sastra. Props di dalam Evan der starre dkk (1978) membicarakan paradigm dan resepsi nasional. Pada tahun 1980 Rien T. Segers mengembangkan teori resepsinya dengan judul Het LAazen van Literature sebuah pengantar pendekatan sastra secara baru. Ia merumuskan teorinya dalam lima bab yaitu: 1) Prinsip-prinsip resepsi estetika 2) Perkembangan lebih lanjut di dalam resepsi estetika 3) Konsekuensi pendapat sastra resepsi estetika 4) Masa depan resepsi estetika Di dalam prinsip ini dikemukakan pergeseran tekanan dalam studi sastra: dari pengarang melalui teks ke arah pembaca; dua buah pengertian pusat yakni cakrawala harapan dan tempat terbuka; penafsiran dan evaluasi; resepsi historis dan kerja penelitian. Di dalam konsekuensi diutarakan perhatian terhadap pembaca teks dan pengarang; semiotik sosiologi sastra dan psikologi sastra.



13



Didalam penjelasan dikemukakan resepsi sejarah; sinkronis dan diakronis; penelitian cakrawala harapan; pertimbangan nilai pembaca tentang sastra modern dan kade pengajaran sastra. Dalam masa depan dibicarakan penyelesaian teori resepsi, perkembangan lebih lanjut penelitian praktis, kemungkinan penerapan resepsi estetika, implikasi pendidikan sastra dan ke arah organisasi pengajaran dan penelitian. Pada tahun 1982 Hans Robert Jauss mengemukakan sisi pengalaman estetis di dalam bukunya Aesthetic Experience and Literary Heurmeuneutis. Pada tahun tahun 1984 A. Teuw didalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra membicarakan teori Musarovskay, Vodieka, Jauss, dan Madame Bovary. Dibicarakan pula masalah estetik dalam ilmu sastra, penerapan metode penelitian resepsi sastra, penelitian resepsi; intertekstual penyadaran, dan penerjemahan. Pada tahun 1984 karya Jan van Luxemburg dkk diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul pengantar ilmu sastra, resepsi dan penafsiran, estetika pembaca, pengertian mengenai resepsi, dan sejarah resepsi. Pada tahun 1985, Umar Junus menulis buku Resepsi Sastra. Di dalam buku itu di bicarakan penulis dan karya, resepsi sastra, resepsi sastra da pendekatanpendakatan lain, resepsi sastra; Latar belakang teori dan kemungkinan penggunaannya, problematik dan kritik 1.2.1 Tinjauan Umum Estetika Resepsi A. Teeuw menegaskan (dalam Pradopo 2005: 207), bahwa pendekatan pragmatis aliran sastra, yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu dan golongan sosial. Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditunjukan kepada kepentingan pembaca sebagai penikmat karya sastra dan sebagai yang menentukan makna serta nilai dari karya sastra itu sendiri. Tanpa adanya pembaca, karya sastra tidak akan bernilai. Ada juga pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21), pendekatan ini memberikan perhatian utama terhadap pembaca dengan pergeseran dan fungsi14



fungsi baru pembaca. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Dipilihnya pendekatan ini semata-mata karena resepsi sastra memang merupakan pendekatan yang mengkhususkan perhatiannya pada tanggapan pembaca. Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap suatu karya sastra disebut Estetika Resepsi , yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan pembaca atatu resepsi pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 1986:182). Ilmu yang sering pula di Ilmu ini sering pula disebut rezeptionaesthetic yang diterjemahkan sebagai: (a) Literary response, (b) Penerimaan estetik (aesthetic of reception), atau (c) Resepsi sastra. Di Indonesia ilmu ini diterjemahkan dan lebih dikenal dengan nama teori resepsi sastra. Resepsi sastra yang dimaksud adalah bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi/tanggapan terhadap karya sastra. Menurut teori/pendekatan resepsi sastra, suatu teks baru mempunyai makna bila teks itu sudah mempunyai hubungan dengan pembaca. Teks memerlukan adanya kesan (wirkung) yang tidak mungkin ada tanpa pembaca. Resepsi sastra memberikan kebebasan kepada pembaca untuk memberikan makna kepada suatu teks sastra, meskipun kebebasan itu sebenarnya tidak pernah sempurna, selalu ada unsur-unsur yang membatasinya (Junus, 1985:104). Sebuah karya sastra menjadi konkret melalui suatu penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan (wirkung) pada pembaca. Pembaca mesti mengkonkretkan dan merekonstruksikannya. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa imajinasi pembaca, karena tanpa imajinasi pembaca tidak mungkin melihat karya sastra dalam suatu hubungan yang lebih luas. Imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakraban dengan tradisi sastra, dan kesanggupan memahami keadaan pada masanya dan mungkin masa sebelumnya (Junus, 1985:51). Melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaan terhadap suatu karya. Pembaca dapat menyatakannya dalam bentuk komentar, mungkin dalam bentuk



15



karya yang lain yang berhubungan dengan karya sebelumnya dengan cara tertentu, yang mungkin bertentangan, parodi, demitefikasi, dan sebagainya. Karya sastra, lebih-lebih yang dianggap penting dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan dari pembaca. Tanggapan pembaca itu umumnya berbeda satu sama lain. Hal ini selaras dengan pendapat Jauss (1974:14) yang menyatakan bahwa karya sastra selalu memberikan wajah yang berbeda kepada pembaca yang lain, selalu memberikan orkestrasi yang berbeda dari generasi yang satu ke generasi yang lain/kemudian. Perbedaan tanggapan seorang pembaca dan pembaca lain dari suatu periode ke periode disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Pertama, prinsip horizon harapan dan kedua prinsip tempat terbuka (Pradopo 1995:219). Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membaca karya sastra. Kalau wujud harapan pembaca itu kemudian sesuai dengan wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, ia akan dengan mudah menerimanya. Sebaliknya kalau tidak sama wujud harapannya ia akan mereaksinya, baik dengan sikap antusias maupun sikap menolaknya. Jika sebuah karya sastra akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya, karya itu hanya menjadi karya masa lalu yang tidak mempunyai sejarah lagi. Dalam metode resepsi sastra, tanggapan pembaca terhadap karya sastra diteliti. Adapun pembaca yang dimaksud adalah pembaca aktif, yaitu pembaca yang menanggapi karya sastra dengan sudut pandang tertentu secara tertulis. Mereka ini memberikan komentar-komentar dan penilaian berdasarkan konkretisasi terhadap karya sastra yang dibacanya (Vodika, 1964:78). Dengan demikian, penelitian dengan metode resepsi sastra adalah merekonstruksi macam konkretisasi karya sastra dalam masa sejarahnya dan meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak, di lain pihak meneliti hubungan antara karya sastra dengan konteks historis yang mewakili konkretisasi-konkretisasi itu. Estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari terutama dalam kaitannya dengan reaksi pembaca, menurut Segers (dalam Hudayat 2013: 39). Dengan begitu, resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh



16



pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam arti luas resepsi didefenisikan sebagai pengolahan teks juga cara-cara pemberian makna kepada karya sastra, sehingga memberikan respon terhadap pembaca. Teori resepsi ini berasal dari bahasa Latin, yaitu recipere, dan bahasa Inggris, reception, yang dapat diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Menurut Iser akan muncul beberapa tipe pembaca yang berlainan ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang efek-efek karya sastra atau memberikan tanggapan-tnggapan terhadapnya. Dalam hal ini secara umum akan muncul dua kategori pembaca. Jika penekananya kepada sejarah tanggapan-tanggapan akan muncul tipe pembaca pertama yang disebut the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat terdokumentasi, sementara itu, jika penekannannya pada efek-efek potensial teks, maka yang muncul adalah hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca jenis ini terutama muncul dalam pengajian sejarah tanggapantanggapan yakini ketika perhatian studi sastra di pusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat khusus yang termasuk dalam kategori pembaca. Sebenarnya telah mendapatkan perhatian besar ini biasanya tanggapan pembaca kontemporer dikaji dalam penelitian eksperimental, yang secara material berbeda dengan pengkajian terhadap pembaca ideal dan pembaca tersirat. Menurut Segers (1978; 52) pembaca sebenarnya ini tercukupi oleh struktur arti individual yang di hadirkan oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca sebenarnya ini lebih penting untuk estetika resepsi daripada jenis pembaca ideal atau pembaca tersirat. Apalgi jika ingat bahwa menurut Iser penilaian-penilaian ataupun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca. Dengan demikian karya sastra dapat dikatakan sebagai cermin kode kultural yang mengkondisikan penilain-penilain tersebut. Rekontruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelestarian dokumen-dokumen masa kini. Makin jauh kita kembali ke masa lalu (misalnya melampaui abad ke 18) di temukan sebagai konsekuensinya, rekontruksi tersebut sangat sangat tergantung pada apa yang dapat di kumpulkan dari karya itu sendiri. menjadi masalah di sini adalah apakah suatu rekontruksi berkaitan dengan



17



pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mempresentasikan peran dimana pengarang mengharapkan pembaca beransumsi. Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan jenis pembaca hipotetis ini sering dibagi menjadi dua; idea reader (pembaca idea)dan contemporery reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini). Pembaca ideatidak dapat di katakan berada keberadaannya secara objektif. Pembaca kontemporer, walaupun tidak ada keraguan di dalamnya, sulit untuk dibentuk dalam wujud sebuah generasi. Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe; suatu yang real dan historis, dan kedua yang hipotesis yang real dan historis, tergambar dari keberadaan dokumendokumen sementara. Sementara itu dua yang hipotesis pertama terkontruksi dari pengetahuan sosial dan historis. Suatu waktu dan dari peran pembaca yang di tetapkan tersimpan di dalam teks yang hampir berlawanan secara diametris dengan pembaca kontemporer adalah pembaca ideal. Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca ideal tergambar walaupun banyak sekali yang dapat di katakan untuk memklaim bahwa pembaca ideal cenderung muncul bahwa pembaca ideal cenderung muncul dari otak. Penilaian pengkritik mungkin secara baik terarah dan tersaing melalui berbagai teks yang berhadapan dengannya, ia tidak menyisakan (menetapkan?)apa pun lebih dari pada seorang seorang pembaca terpelajar. Jika hanya seorang pembaca ideal adalah sebuah ketidakmungkinan struktural sejauh komunikasi sastra di perhatikan. Pembaca ideal merupakan sebuah kontruksi hipotesis yang dibentuk oleh seorang kritikus (teoritikus) dalam proses interpretasi. Pembaca jenis ini mengkin dibentuk oleh seorang penulis misalnya ketika ia merencanakan alur. Segers (1978: 50) menyamakan konsep pembaca ideal ini dengan onsep super reader Riffaterre. Seorang pembaca ideal harus memiliki sebuah ode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun, secara umum mengodekan kembali kodekode umum (yang berlaku) dalam teks mereka, dan dengan demikian, pembaca ideal akan juga menjadi sangat berlebihan (tidak berguna) karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima. Pikiran bahwa pengarang sendiri mungkin menjadi pembaca idealnya sendiri, seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan pada penulis yang mereka



18



sangat sulit membuat pernyataan apapun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa refensial tentang maksud-maksud merreka,strategi-strategi mereka, kontruksi-kontruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka coba arahkan. Kapan pun pengarang kembali menjadi pembaca karyanya sendir, ia harus kembali pada ode yang telah dikodekan dalam karyanyaa. Dengan kata lain, meskipun secara teoritas hanya pengarang yang mungkin menjadi pembaca ideal karena ia memiliki pengalaman tentang yang ditulisnya—kenyataannya. Tidaklah perlu ia menduplikat dirinya sendiri menjadi pengarang dan pembaca idal. Dengan demikian, ideal tentang seorang pembaca ideal dalam kasus pengarang itu adalah berlebihan (tidak berguna). Konsep pembaca ideal tidak sama dengan konsep pembaca kontemporer. Pembaca ideal benar-benar fiktif. Ia tidak berbasis pada kenyataan. Oleh karena itu, konsep itu justru sangat berguna. Sebagai sesuatu yang fiktif keberadaanya, ia dapat mempersempit jarak yang tetap muncul dalam analisis tentang efek-efek dan respons-respons sastra yang dimana pun. Ia dapat memberikan bantuan dengan satu keanekaragaman kualitas dalam kaitannya dengan problem mana pun yang memerlukan bantuan penyesuaian. Supperreader (pembaca canggih) adalah kelompok imforman yang selallu muncul bersama-sama pada isyarat dalam teks,dan dengan demikian, terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Supperreader seperti hal nya tongkat pendeteksi yang digunakan untuk menemukan kadar potensi makna yang dikodekan teks. Dalam hal ini Riffeterre berharap dapat mengeliminasi tingkat variasi yang tak terlelakan, yang muncul dari disposisi subjektif pembaca individual. Ia mencoba mengobjektivikasikan gaya, atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Titik terpanting dari konsep Riffaterre ini adalah bahwa fakta stilistik hanya dapat dilihat oleh subjek yang merasakannya. Sebagai konsekuensinya, ketidakmungkinan



dasar



dalam



performalan



kontras



intratekstual



memanifestasikan diri sendiri sebagai sebuah efek yang hanya dapat dialami olem pembaca. Dengan demikian Supperreader Riffaterre merupakan sebuah sarana



19



untuk mengetahui fakta stilitistik, tetapi karena ketiadaan referensinya. Konsep ini menunjukan bagaimana sangat diperlukannya pembaca untuk memformalkan fakta stilistik. Konsep ini menunjukkan bahwa kualitas tidak dapat lagi menunjukkan sesuatu dengan tepat secara ekslusif (terpisah) dengan instrumen-intrumen linguistik. Informed reader (pembaca mahatahu) fish adalah 1). Seorang pembiluar pembangunan teks, 2). Orang yang memiliki keseluruhan pengetahuan senmatik yang matang. Yang di bawa pendengar yang bertugas memahaminya, 3). Orang yang memiliki kompetisi kesastraan. Pembaca yang tanggapan-tanggapannya saya (fish) katakan adalah informed reader, bukan suatu abstraksi ataupun pembaca aktual, tetapi sebuah cangkokan –seorang pembaca sebenarnya (saya,(fish),pen). Yang melakukan apapun dengan kekuatannya untuk membuat dirinya informed (mengetahui). Pembaca jenis ini, dengan demikian harus tidak hanya memiliki kompetisi, yang diperlukakn tetapi juga harus mengobservasi reaksi-reaksinya sendiri selama proses aktualisasi, untuk mengontrolnya. Observasi ini perlu karna fish mendasarakan konsepnya pada tetaba hasa transpormasi genereatif, dan karna kenyataan, ia tidak dapat mengambil beberapa konsekuensi yang inheren dalam model itu. Fish membiarkan model transformasional pada titik yang penting, baik untuk model itu dan untuk konsepnya. Menurut iser model itu telah patah ketika bersentuhan dengan satu di antara semua tugas sangat penting “ proses pengklarifikasian teks sastra sebuah tindakan yang akan menjadi pemiskinan secara fantastis jika merenduksi istilah-istilah tata bahasa sama sekali. Konsep itu juga kehilangan bingkai acuan dan berubah menjadi sebuah dalil yang sangat sulit di konsolidasikan. Konsep informed reader juga menunjukan secara jelas. Keterbatasan cakupan model transformasional gramatikalnya. Model itu mulai dari model tata bahasa, justifikasinnya mengabaikan model pada titik waktu utama, tetapi hanya dapat menimbulkan sebuah pengalaman yang, meskipun tak terbantah, mengisahkan hal yang tak tercapai teoritikus. Meskipun demikian menurut iser, konsep fish ini lebih jelas daripada konsep supper reader. Riffaterre. Intented reader wolff menunjuk pada perangkat rekontruksi pikiran pembaca yang da dalam pikiran pengarang. Pembaca jenis ini juga fiktif. Ciri fiktif ini



20



memungkinkannya merekontruksi masyarakat yang ining di tuju oleh pengarang intented reader ini penandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi hal ini belum identik dengan peran pembaca. Menurut iser, konsep ini hanya merupakan salah satu perspektif (terdapat empat perspektif utama) “ narator, karakter, plot, dan pembaca fiktif”, tidak dapat mengedepankan lebih dari satu aspek peran pembaca. Ini juga satu kelemahan. Dalam meresepsi sebuah karya sastra, bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Hubungan teks sastra dengan pembaca menunjukkan adanya sinyal, di mana teks satra merupakan hasil sikap, perasaan dan kemampuan penulis memberikan sinyal bagi pembaca. Agar sinyal tersebut dapat diterima dengan baik, maka diperlukan teori yang dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan pembaca. Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai pembacanya. Pada saat pembaca menerima berbagai perspektif yang ditawarkan oleh teks dan mengaitkan berbagai pola dan pandangan antara satu dengan yang lainnya, ini berarti teks sastra bermakna bergantung pada pembacanya. Karena dalam pembacaan karya sastra juga, akan menimbulkan reaksi dan pemahaman yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian pada teks sastra. Dengan begitu, partisipasi pembaca dalam pemaknaan teks memang sangat diharapkan, karena sebuah teks sastra memungkinkan terdapat ruang-ruang kosong yang dapat diisi oleh pembaca dengan pemahamannya sendiri. Estetika resepsi dianggap sebagai teori yang dominan pada tahun 1970-an, beberapa ahli menyebutkan dominasi estetika resepsi diakibatkan oleh pertimbangan bahwa estetika resepsi dianggap sebagai jalan keluar munculnya kesadaran bahwa karya sastra dapat berkembang dengan adanya kompetensi pembaca, kesadaran bahwa adanya makna yang terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Selain karena estetika resepsi dianggap relevan, dominasi teori ini juga terjadi berkat adanya kesadaran keterlibatan pembacalah yang membuat multikulturalisme dalam karya sastra bisa digali secara maksilam, bukan dari sisi penulis. Estetika resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, a) resepsi sinkronik, yang meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman dan b) resepsi diakronik, di mana penelitian ini



21



melibatkan pembaca sepanjang sejarah sehingga memerlukan data dokumenter yang memadai dalam penggunaannya. Meskipun resepsi sastra secara singkat menikberatkan kepada pemberian tanggapan dan efek dari pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya, bukan berarti pembaca hanya sekedar membaca lalu memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya, di dalamnya juga sudah disertai dengan penafsiran. Walaupun terdapat perbedaan antara resepsi dan penafsiran, seperti yang dikemukakan oleh Luxemburg, dkk (1984: 62) , bahwa penafsiran cenderung lebih teoritis dan sistematis sehingga masuk ke dalam wilayah kritik sastra, tetapi kegiatan mengkritik sebuah karya sastra juga termasuk dalam pemberian reaksi atas proses pembacaannya di dalamnya, sehingga resepsi dan penafsiran saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam Hudayat (103: 44), proses pembacaan diarahkan kepada bagaimana pembaca zaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut. Pemahaman pembaca pasti berbeda sesuai dengan horizon harapan pembacanya sendiri. Hal serupa juga dikemukakan oleh Jauzz yang menganggap bahwa estetika resepsi sangat cocok diteliti dalam karya sastra yang beragam karena akan terjadi pertemuan antara masa lampau karya sastra dengan kekinian masing-masing penulis. Seiring dengan perkembangannya muncul beberapa tokoh yang memaparkan pendapatnya mengenai estetika resepsi, salah satunya yang paling terkenal adalah Hans Robert Jaus (1982) dengan bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic of Reception dan Wolfgang Iser dengan bukunya yang berjudul The Act of Reading (1987) dan The Implied Reader (1980) juga ikut serta memberikan pendapatnya mengenai pentingnya peranan pembaca dalam suatu karya. Kedua tokoh tersebut menjadi dikenal sebagai pencetus teori estetika resepsi. Tetapi walaupun begitu, terdapat perbedaan pendapat antara keduanya. Jauss lebih menunjukan kepada proses penelitian sejarah sastra dan juga pada hasil pembacaan, dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi historis, sedangkan Iser lebih bersifat umum dan terkonsentrasi pada proses pembacaan.



22



1.2.2 Titik Pijar Pemikiran Hans Robert Jauss Pemikiran Hans Robert Jauss mengemuka terutama setelah buku karyanya berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory (1970) terbit. Dalam buku ini, Jauss berusaha fokus pada sebuah konsep penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda. Dalam rekam biografinya, Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilainilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang sangat mashur yaitu Horizon Harapan (Horizon of Expectation) yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer. Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya. Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2003: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon



23



sempit



dari harapan-harapan sastra



maupun



dalam



horizon



luas



dari



pengetahuannya tentang kehidupan. Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra, (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra, (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya, dan (4) sidang pembaca bayangan. Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama, (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca, (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca, (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks, dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca. Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca



24



oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan. Pendekatan teori respsi sastra Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan kerangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang diasumsikan oleh Iser. 1.2.3 Titik Pijar Pemikiran Wolfgang Iser Tokoh satu ini juga digolongkan sebagai aliran Konstanz Jerman. Dia memperoleh gelar PhD dari Universitas Heidelberg, Jerman. Berbeda dari Jauss yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Teori Resepsi Iser tertuang dalam bukunya berjudul The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca



25



adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh pembaca). Iser menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca (Iser, 1978: 20-21). Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks. Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks. Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya. Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis dan pembaca



26



potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kodekode pengarang. Iser mengemukakan pendapatnya tentang pembacaan karya sastra dalam kaitannya dengan psikologi Norman Holland dan Lesser dalam bukunya The Act of Reading. Menurut Iser, pengungkapan pendapat kedua tokoh itu dalam rangka mengkritisi konsep psikologinya, karena membingungkan, terutama dalam membuat kategorisasi-kategirisasi (contohnya tentang Superego, Ego, dann Id). Iser juga menganggap bahwa konsep psikologi Holland dan Lesser masih ortodoks (tradisional) dan ada kecenderungan dapat mendistorsi pengkategorisasiannya. Selain itu, Iser (1987: 39) memandang bahwa konsep psikoanalisis kedua tokoh itu hanyalah sebagai alat untuk mensistematisasi/ mengkategorisasi, bukan untuk mengeksplorasi teks. Dengan demikian, Iser memandang konsep psikologi Holland dan Lesser justru menghambat (mendistorsi) pembaca dalam upaya merespons (mengkonkretisasi) teks sastra “ …Holland and Lesser use psychoanalytical terminology as reified concepts and consequently hinder rather than help the attempt to describe reactions to literature (Iser, 1987: 39)” Dalam pandangan Iser (1987: 41), pemahaman komprehensif terhadap teks sastra hanya dapat dilakukan dengan melibatkan (melalui) psikoanalisis “…comprehension of the literary teks could only be completed through psychoanalysis”, walaupun begitu, tidak seperti apa yang dimaksudkan oleh Holland, karena bagi Holland teks sastra menstransformasi khayalan-khalayan yang tidak disadari ke pemaknaan yang sadar “but this cannot be what Holland means, because he says that literature itself transforms the unconscious fantasy into conscious meaning”. Sementara itu, Iser memandang bahwa teori emotif dari Lesser memposisikan pembaca sebagai pihak penerima (pasif) saja. Lesser dipandang mengabaikan adanya interaksi antara pembaca dan teks. Oleh karena itu, interaksi yang terjadi ketika proses pembacaan yang dimaksud teori emotif itu hanya bersifat satu arah, seperti yang disampaikaan Iser (1987: 48) “if one seeks to grasp the effects of the literary work in trems of the emotive theory, the relation between text and reader



27



will seen relatively one-sided…. There are certain interactions between text and reader that fail…” Sebagaimana Lesser yang memandang bahwa teks sastra memiliki lapis-lapis makna dari overdetermination (ketidakfamiliaran), Iser pun demikian. Akan tetapi, bagi Iser, Lesser sudah mengabaikan (to have overlooked) overdetermination dalam teks sastra sebagai sebuah fakta yang penting. Bagi Iser, Overdetermination memproduksi tingkatan-tingkatan makna yang berbeda-beda dan diperlukan oleh pembaca dalam upaya menghubung-hubungkan antartingkatan makna itu sehingga dapat dibentuk makna yang komprehensif. Pembaca melakukan proses tindakan aktif dalam upaya membangun makna teks sastra. Lesser bagi Iser tidak melihat proses tersebut. Oleh karena itu, bagi Iser, konsep emotif Lesser, dipandang memposisikan pembaca sebagai pihak yang pasif (in fact, he seems to regard the reader solely as a passive recipient (Iser, 1987: 49). Itulah alasan-alasan Iser mengenai perlunya mengemukakan pendapat tentang pembacaan karya sastra dalam kaitannya dengan psikologi Norman Holland dan Lesser. 1.2.4 Respons Estetik Wolfgang Iser Iser adalah pencetus Teori Respons Estetik yang menekankan pentingnya komunikasi antara karya dan pembaca dalam studi sastra. Dua buku lama Iser yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori sastra adalah The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987) dan The Implied Reader (1980). Menurut Iser (1987), tak ada yang dapat menyangkal bahwa keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra sangatlah penting. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan terhadap respon pembaca merupakan sebuah penelitian dan studi yang penting dan esensial. Iser sendiri lebih memfokuskan perhatian pada hubungan antara teks sastra dengan pembaca. Kajian respon estetik dikemukakan oleh Iser berpusat pada pertanyaan mendasar menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui hubungan teks dengan pembacanya. Iser mempertanyakan: bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks bermakna bagi pembacanya Iser dalam Hudayat (2012: 23). Interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan, karena teks hanya hadir saat dibaca dan perlu adanya pengujian atas teks tersebut melalui pembacaan.



28



Dalam Sya’adah (2017:20) Konsep dialektika respon estetik, interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reader, literary repertoar, dan literary strategies. Implied reader merupakan model, rol, standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Literary repertoar merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks serta merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan pada karya-karya yang ada lebih dahulu. Literary strategies digunakan untuk defamilirisasi dan mengkomunikasikan teks dengan pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi. Iser mengatakan pokok dari membaca karya sastra adalah interaksi antara sturkturnya dan penerimanya. Di mana teks itu sendiri hanya menawarkan pada aspek ‘skematis’ dapat dipakai untuk memproduksi sbjek permasalahan karya, sedangkan produksi aktual terjadi melalui tindak konkretisasi. Sehingga karya sastra memiliki dua kutub, artistik dan estetik, di mana kutub artistik, yaitu teks pembaca, sedangkan kutub estetik yaitu realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. 1.2.5 Prinsip Dasar Respon Estetik Respon Estetik Iser memusatkan pada proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui



hubungan



teks



dengan



pembacanya,



di



mana



hal



tersebut



mengimplikasikan dua hal penting menyangkut cara atau tindakan pembacaan, interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaannya sendiri. Hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya merupakan konsep dasar yang penting dari teori respons estetik. Iser pun menyebutnya sebagai respon estetik, sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi teks tersebut mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melalukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya terhadap teks itu sendiri. Asusmi dasar teori ini adalah teks hanya hadir saat dibaca dan perlu adanya pengujian atas teks melalui pembacaan. Teks baru bermakna setalah adanya tindakan pembacaan. Cara atau tindakan pembacaan tersebut yaitu bagaimana teks mengarahkan pembacanya dan pengalaman pembaca mengatur pembacaannya.



29



1.2.6 Konsep Respons Estetik Menurut Iser (1987:69) situasi merupakan sarana yang mempertemukan antara teks dan pembaca. Peran pembaca dapat dipenuhi melalui cara-cara yang berbeda yang memungkinkan adanya cara-cara pemenuhan yang berbeda pula. Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah Implied Reader (pembaca tersirat). Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang sangat memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu. Implied Reader yang diistilahkan oleh Iser (1987:34) merupakan suatu kosep yang akar-akarnya tertanam di dalam strutur teks. Ia mengejawantahkan semua propensitas-propensitas yang diperlukan agar karya kesusastraan dapat memberi efek. Propensitas-propensitas yang ditetapkan bukan oleh suatu realitas luas empiris, melainkan oleh teks itu sendiri. Dengan demikian, dalam hal kepentingan telaah respons estetik medan implied reader menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam pembicaraan efek teks bagi pembaca. Iser membekali pembaca dalam proses pembacaan terhadap suatu karya sastra yang disebut konsep dialektika respons estetik (Iser 1987:20 dan 54), di mana ia mengemukakan beberapa pendapatnya yaitu (1) Implied reader, (2) Literary repertoire, dan (3) Literary Strategies. Secara umum ketiganya menunjukkan usaha agar pembaca dapat dengan mudah memahami teks walau dengan berbagai variasi, teks dipahami dengan latar belakang sosial, historis, dan budaya yang sama sehingga teks dengan mudah dipahami, tetapi juga tidak menuntut agar pembaca memiliki tanggapan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, Iser juga memberikan seperangkat alat pembacaannya yaitu menyangkut repertoar dan startegi pembaca karena pada dasarnya pembaca dalam menghadapi karya sastra telah membawa sejumlah bakal pengetahuan dan pengalaman. Bekal pengetahuan pembaca dikenal dengan istilah literary repertoar (Iser, 1987:69) mengistilahkan konsep ini dengan “gudang pengalaman.”



1.3 Sejarah Perkembangan Teori 1.3.1 Latar Belakang Lahirnya Teori Resepsi Sastra



30



Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya,



minat



interdisiplin,memberikan



masyarakat pengaruh



terhadap



terhadap



manfaat



perkembangan



penelitian teori



sastra



selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan dibicarakan prinsip-prinsip



antarhubungan,



strukturalisme



semiotik,



strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan memberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan LeviStrauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme.



31



Namun analisis Jakobson dan Levi Strauss mendapat kritikan dari Riffaterre, Riffeterre mengungkapkan bahwa Jakobson dan Strauss menggunakan konsep super-reader, yang artinya adalah pembaca ideal yang baginya tersedia semua arti, konotasi dan asosiasi kata-kata yang terdapat dalam puisi tertentu, ditambah dengan seluruh puisi sebelumnya plus segala interpretasi sebuah sajak paling-paling dapat merupakan pendekatan interpretasi yang tidak akan pernah mencapai taraf yang sempurna. Oleh karena itulah muncul keresahan-keresahan yang cukup pelik dalam konsep strukturalisme tersebut, diantaranya seperti masalah batasan karya sastra yang otonom, status karya sastra dan peranan pembaca yang intertekstual apakah bisa secara objektif atau ilmiah? Pergeseran minat peneliti dari struktur ke arah tanggapan pembaca telah mulai berlangsung sekitar tahun 1960-an dalam strukturalisme Praha. Namun konsepkonsep yang memadai tentang teori resepsi sastra baru ditemukan tahun 1970-an (Teeuw, 1984:186). Menurut Segers (dalam Imran, 2001:108), peletak dasar resepsi sastra adalah Mukarovsky. Mukarovsky lahir di Bohemia (1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra sebagai fakta transindividual. Dengan kata lain, karya sastra harus dipahami dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu. Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamis, karya sastra selalu berada dalam hubungan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri.



32



Gagasan Mukarovsky dikembangkan oleh Felix Vodicka yang menjelaskan bahwa makna sebuah karya sastra tidak diberikan secara objektif, melainkan melalui proses konkretisasi yang diadakan secara terusmenerus oleh pembaca dalam waktu yang berbeda-beda menurut situasinya. Selanjutnya gagasan-gagasan pokok dan mendasar tentang teori resepsi sastra ini dikemukakan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser, masing-masing dalam bukunya yang berjudul Literatur geschichte als Provokation dan Die Appel-struktur der Texts. Jauss memusatkan perhatian pada pembaca dalam rangkaian sejarah, sedangkan Iser pada karya sastra sebagai komunikasi, pada pengaruh yang ditimbulkannya, bukan sematamata pada arti



karya.



Konsep



terpenting



Jauss



adalah



horison



ekspektasi



(krwartungswawasant) sedangkan Iser adalah indeterminasi atau ruang kosong (leerstellen). Hanya teks-teks tertentu yang dapat dikualifikasikan sebagai karya sastra (Birch, 1996:125), dan resepsi sastra merupakan kualitas keindahan yang timbul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Pada dasarnya resepsi sastra berorientasi pada teori-teori komunikasi sastra, yaitu hubungan antara pengarang, karya sastra, dan pembaca. Perhatian terhadap hal tersebut sudah terkandung dalam formalisme Rusia dan strukturalisme Praha. Dalam teori pertama pembaca belum memperoleh tempat yang memadai sebab karya sastralah yang menjadi pusat perhatian, sedangkan pengarang dengan sengaja diingkari, Dalam teori yang kedualah, yaitu strukturalisme Praha terjadi pergeseran yang sangat signifikan, dengan menunjuk pada karya-karya Mukarovsky yang kemudian dilanjutkan oleh Vodicka. Dengan kata lain, resepsi sastra muncul karena stagnasi analisis intrinsik selama hampir setengah abad sejak awal abad ke-20. Resepsi sastra dapat dilakukan dengan konkretisasi, yaitu mengadakan perbedaan antara fungsi yang diintensikan dan fungsi yang direalisasikan. Fungsi pertama harus ditentukan terlebih dahulu, yaitu untuk menemukan maksud pengarang yang sesungguhnya, baru kemudian dicari fungsi yang kedua yaitu reaksi pembaca terhadap karya sastra yang dapat diteliti secara empiris.



33



1.3.2 Perkembangan Teori Resepsi Sastra Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman. Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika. Untuk memahami latar belakang teoriteori resepsi, terlebih dahulu dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan



mendorongtumbuhnya



pandangan



resepsionistik



itu,



terutama



fenomenologi dah hermeunetika. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karyakarya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca). Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis, dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks. Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori resepsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap



34



karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan antara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara. Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi. Kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika (1978). Di dalam pengantarnya ia menulis: Aanhet eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd" (RT. Segers, 1978:9). Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser. Menurut Jauss (1975:204) dalam Pradopo dkk. (2001:109), dalam memberikan sambutan terhadap suatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh wawasan ekspektasi (wawasan of expectation) yang merupakan interaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak. Konsep wawasan ini menjadi dasar teori Jauss yang ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma umum yang terpencar dari teks-teks yang telah dibaca pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya, (3) kontradiksi antara fiksi dengan kenyataan.



35



Menurut Luxemburg (1984:76) dalam (Ratna, 2011:325), pembaca karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) pembaca di dalam teks, dan (2) pembaca di luar teks. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu (1) pembaca implisit, dan (2) pembaca eksplisit. Adapun, pembaca di luar teks dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pembaca yang diandaikan, dan (2) pembaca yang sesungguhnya. Menurut Iser (1987:30-31) dalam Ratna (2011:325), pembaca implisit mengacu kepada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang. Sebaliknya, pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung. Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang seharusnya disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang. Pembaca yang sesungguhnya merupakan objek eksperimental. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra. Michael Riffaterre (1959) dengan jelas mendasarkan analisis stilistikanya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada resepsi sastra, meskipun tidak meluas. Demikianlah sejarah awal munculnya teori resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Menurut Junus (1985:49), perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jauss dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Jauss memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jauss melihat (1) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka, dan (2) peran karya tidak penting lagi namun yang



36



terpenting di sini yaitu aktivitas pembaca itu sendiri, sedangkan Iser (1) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif, dan (2) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri. Di Amerika Serikat, diskusi yang sangat hangat mengenai karya Iser dipicu oleh fakta bahwa pada sekitar waktu yang sama ketika the Constance School menjelaskan posisinya di Jerman, gerakan yang sama di Amerika merebak yakni peranan tindakan membaca lebih penting dalam penginterprsian sastra. Kita harus membahas sedikit mengenai sejarah pendekatan ini di Amerika agar dapat memahami mengapa pendekatan ini sangat menarik. Sejak perang dunia II, praktek penginterpretasian karya sastra di sekolah dan universitas Amerika telah didominasi oleh oleh suatu pendekatan yang disebut “new criticism” yang muncul di era tahun 1920-an dan 1930-an. Pendekatan ini secara empatik mengklaim bahwa karya sastra seni dianggap sebagai kesatuan organik yang bagian-bagiannya berbeda berada dalam harmoni satu sama lain. Tugas interpreterlah untuk mengenali dan mengekspresikan harmoni ini. Untuk mencapai tujuan ini kritik baru mengisolasi teks dari lingkungan sekitarnya, seperti sejarah, biografi, sosial atau politik. Pengisolasian ini menghasilkan slogan “hanya kata-kata di atas kertas” (Scmitz, 2007:91). Esei yang ditulis oleh William K. Wimsatt (1907-75) dan Monroe Beardsley (1915-85) mendefinisikan “affective fallacy” [379.21-39] menjadi kritik sastra klasik di Amerika. Namun, Fish (b.1938) menentang Wimsatt dan Beardsley, dan ia membentuk metodologinya sendiri untuk menginterpretasi teks sastra yang secara provokatif disebutnya “affective stylistic”. Dengan menganalisis satu kalimat dari karya Thomas Browne (1605-82), Fish mendemonstrasikan bagaimana pengalaman pembaca menjadi hasil ekspektasi yang dicetuskan, dipenuhi atau ditolak, dimodifikasi atau diadaptasi sewaktu ia membaca setiap kata dalam kalimat yang ada dalam suatu karya sastra. Metodologi Fish terdiri dari perlambatan proses membaca yang biasanya tak bisa dipersepsi oleh pembaca, akan terlihat dan teranalisis (Scmitz, 2007:92).



37



Usaha-usaha yang dilakukan oleh Fish dan kritikus sastra lainnya untuk menentang ortodoksi New Criticism berhasil walaupun sebenarnya New Criticism terhubung dengan pemertahanan otonomi estetika dan perlawanan kajian sastra melawan campur tangan ilmu-ilmu yang beragam (Culler, 1982:17) sehingga membuat perhatian tercurah lebih banyak pada pembaca dan tindakan membaca. Namun, gerakan ini menuntun pada konsekuensi berbeda dengan yang ada di Jerman, posisi teoritis berbeda memonopoli perhatian publik di Amerika: daripada mememberi perhatian penuh pada estetika sastra yang sedang bergerak maju, mayoritas kritikus Amerika memilih kritik respon pembaca. Salah satu kontributor yang paling utama ialah Barthes yang menulis mengenai “kematian pengarang” dan mengklaim bahwa kematian di sini berarti kebebasan bagi pembaca; inilah yang menjadi inti dari hubungan antara kritik respon pembaca dengan teori dekonstruksi seperti yang diajukan oleh Culler [69.31-83]. Kaum feminis yang berpijak pada kritik sastra tertarik pada pengujian aspek pembaca feminin. Pendekatan psikologis dan psikoanalisis menggali hubungan antara pengalaman membaca dan penciptaan identitas pribadi (Scmitz, 2007:94). 1.3.3 Tokoh-Tokoh Teori Estetika Resepsi 1) Hans Robert Jauss: Wawasan Ekspektasi Teori sastra Jauss bergerak diantara teori sastra Marxisme dan Formalisme Rusia. Teori sastra Marxisme dipandang terlalu banyak menekankan sisi fungsi sosial dan kurang memperhatikan sisi estetik karya tersebut, di sisi lain, formalisme Rusia dianggap terlalu menekankan nilai estetik karya sastra sehingga mengabaikan fungsi sosial sastra. Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori sastra tersebut, yaitu menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra. Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi histories. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul karena perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya. The Constance School tidak begitu tertarik pada pendekatan empiris teori resepsi sastra. Malahan mereka memposisikan diri dengan apa yang disebut estetika



38



resepsi. Fokus utamanya bukanlah pembaca historis individual (atau kolektif), namun fokusnya ialah cara-cara teks berinteraksi dengan penerimanya, dan memindahkan makna dan peran potensialnya kepada pembaca. Jauss mengkritik metode sejarah sastra konvensional yang hanya menghasilkan catatan biografi singkat, deskripsi dari karya individual, dan penilaian sastra. Kemudian Jauss menawarkan cara baru menulis sejarah sastra yang mempertimbangkan bahwa karya sastra tidak muncul secara magis pada panggung kosong namun dibingkai oleh konteks sastra pada masanya. Ketika seorang pembaca membuka sebuah novel, ia telah membaca novel-novel lain dan membangun asumsi tertentu apakah isi novel itu dan bagaimana seharusnya sebuah novel; teks yang baru tersebut akan dibaca dan dipahami melawan asumsi yang ia bangun sebelumnya. Inilah yang disebut oleh Jauss sebagai “wawasan ekspektasi” yang ia definisikan sebagai sistem objektif dari ekspektasi yang muncul bagi tiap karya pada momen historis kemunculannya’ dari pra-pemahaman genre, dari bentuk dan tema karya yang sudah akrab dengan pembaca, dan dari pertentangan antara bahasa puitis dan bahasa praktis. Hal tersebut dilakukan hanya dengan membandingkan karya individual dengan latar belakang sejarahnya sehingga kita dapat menilai posisinya dalam sistem puitis, sastra, dan estetis di masanya: apa hubungannya dengan asumsi prakemunculan? Apakah sebuah karya individual mengisi asumsi tersebut, ataukah berkontradiksi, sehingga memodifikasi dan memperluas wawasan ekspektasi karya-karya yang akan datang? Hanya karya yang bisa memodifikasi ekspektasi pembacalah yang dianggap sebagai karya yang hebat. Jauss dengan eksplisit mengutip kontribusi formalis Rusia yang idenya mengenai fungsi parodi dalam kelas sejarah sastra mirip dengan kontribusinya sendiri (Schmitz, 2007:88). Dari konsep ini kemudian diturunkan sebuah hubungan segitiga antara pengarang, karya, dan pembaca. Apabila pada teori Marxisme dan Formalisme pembaca dianggap sebagai obyek pasif, maka sebaliknya, pembaca dipandang sebagai obyek aktif yang dapat menginterpretasi karya.



39



Selain itu, kontribusi Jauss dalam bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic of Reception (1982:20-45) dalam Endraswara (2011:123-124) adalah mengenalkan tujuh tesis tentang wawasan ekspektasi pembaca sebagai berikut : 1. Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh wawasan-wawasan



ekspektasi,



pengalaman



kesastraan



dan



wawasan



ekspektasi pembaca, kritikus, dan pengarang. 2. Sistem wawasan ekspektasi pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi sebelumnya, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. 3. Wawasan ekspektasi memungkinkan pembaca mengenali ciri artistik dari sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara wawasan ekspektasi dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah ekspektasi itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. 4. Rekonstruksi wawasan ekspektasi terhadap karya sastra sejak diciptakan diterima pada masa lampau akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal, dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak. 5. Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar memasukkan karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.



40



6. Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perpektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan lebih mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan. 7. Selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, tugas sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah umum. Fungsi sosial dari karya sastra dapat terwujud dengan pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison ekspektasi mengenai kehidupannya yang praktis, membuat pembaca semakin memahami dunianya, dan akhirnya memberi pengaruh pada tingkah laku sosialnya. 2) Wolfgang Iser: Pembaca Implisit Wolfgang Iser mencoba membuat penggunaan pendekatan resepsi yang konsisten untuk penginterpretasian teks individual. Ia juga membangun program metodologis dalam kuliah pengukuhannya di Constance dengan judul “Die Appellstruktur der Texte,” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Indeterminacy and the Reader’s Response in Prose Fiction”. Selanjutnya, ia juga menerbitkan dua buku berikutnya yang menunjukkan penggunaan praktis ideidenya tersebut. Iser tidak tertarik dengan pembaca historis individual; sebaliknya ia membangun peran “implied reader”. Konsep ini mendeskripsikan peran pembaca sebagaimana yang tersirat dalam teks; setiap pembaca harus mengasumsikan peran ini untuk merealisasikan potensi yang ditawarkan teks tersebut (Scmitz, 2007:89). Iser bersungguh-sungguh ketika mengklaim bahwa teks menjadi hidup hanya melalui proses dibaca, sebelum resepsi, ia hanyalah berupa titik hitam di atas kertas putih. Ia perlu dikongkretkan dalam “tindakan membaca”, yang dalam hal ini teks sastra dikatrakterisasi oleh fakta bahwa ia mengandung Leerstellen, “tempat kosong” yang perlu diisi oleh pembaca. Oleh karenanya, pembaca motivasi untuk



41



berpartisipasi dan menangkap pandangan yang dihasilkan teks.



Iser menyebut



aspek sastra ini Appelstruktur (indeterminasi (indeterminacy)) yang berarti teks yang menarik bagi pembaca. Berikut ini beberapa kemungkinan indeterminasi tersebut: 1) Dengan cara menghilangkan elemen-elemen yang merupakan selfevident, tulisan naratif menciptakan gap yang harus diisi pembaca; 2) Teks memprovokasi pembaca untuk berpikir mengenai kemungkinan kelanjutan teks (ini jelas terlihat dalam novel yang diterbitkan secara bersambung); 3) Karya sastra modern sering memiliki akhir yang ‘terbuka’ yang tidak memecahkan semua misteri yang ada dan membiarkan pertanyaanpertanyaan pembaca tak terjawab (Scmitz, 2007:90). Iser kemudian mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Iser juga termasuk salah seorang penganut Mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jauss yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah pembaca implisit, bukan pembaca konkret individual. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser



mementingkan



pelaksanaan



teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokohtokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan



42



menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dan lain-lain. Pendekatan Iser berbeda dari pendekatan Jauss, meskipun keduanya samasama menumpukkan perhatian kepada keaktifan pembaca dan kesanggupan pembaca menggunakan imajinasinya, pada Iser, hal itu lebih terbatas kepada pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakannya secara aktif. Berbeda dengan Jauss yang menghendaki adanya pembicaraan tentang berbagai pembaca dan wawasan ekspektasi mereka. Pada Iser, peranan karya cukup besar; bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri. Pada Jauss, peranan itu tidak penting, yang penting ialah aktivitas pembacanya sendirI. 1.3.4 Filsafat Filsafat adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani kuno yakni philosophia dan philopsophos yang mempunyai arti orang yang cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Dalam filsafat, kegiatan mencintai pengetahuan atau kebijaksanaan itu dilakukan dengan mempertanyakan sesuatu secara mendasar dan menyeluruh titik filsafat dipahami sebagai upaya terusmenerus mencari pengetahuan dan kebenaran. Atas pertanyaan-pertanyaan itu dilakukan secara terus-menerus Karena itulah sering disebut juga bahwa filsafat itu adalah sebuah tanda tanya bukan tanda seru yang artinya adalah filsafat sebagai upaya pencarian akan kebijaksanaan atau pencarian pengetahuan yang tidak pernah selesai. Fenomenologi adalah salah satu landasan filsafat yang digunakan di teori resepsi sastra atau salah satu filsafat yang memengaruhi teori tersebut. Lantas apa itu fenomonologi? Edmund Gustav Albrecht Husserl atau yang lebih akrab kita kenal sebagai Edmund Husserl adalah tokoh yang mempelopori fenomenologi. Karya-karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subjektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena tertentu. Fenomenologi adalah sebuah disiplin ilmu yang meletakkan perhatiannya pada studi atas penampakkan, akuisisi pengalaman, dan kesadaran. Fenomenologi dalam



43



arti singkatnya bisa disebt sebagai studi ilmu mengenai pengalaman dan bagaimana pengalaman tersebut terbentuk. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman subjektif dan intensionalitasnya. Studi fenomenologi didasarkan pada premis konsepsi, bahwa realitas terdii atas objek dan penampakan realitas yang diserap atau dimengerti oleh kesadaran. Dalam konsep Husserl, fenomenologi berpusat pada sistem refleksi sistematis dan studi struktur kesadaran dan fenomena yang tampak pada pikiran. Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa fenomenologi bisa mewakili horizon harapan yang dikemukakan oleh Jauss, dimana Jauss mengemukakakn bahwa horizon harapan pembaca bisa dipengaruhi oleh pengalaman pembaca secara subjektif, contoh gilanya adalah jika menurut si pembaca rasa sakit itu menyenangkan maka itu sah-sah saja bukan? Karena pengalaman si pembacalah yang membentuk pikiran seperti itu, dan hal tersebut (subjektivitas pengalaman pembaca) akan berhubungan dengan sebuah teori dari Hans Georg Gadamer. Gadamer adalah seorang lulusan Universitas Breslau, Marburg, Freiburg dan Munich, meraih gelar doctor pada umur 22 tahun, pemikiran-pemikiran Gadamer dipengaruhi oleh Martin Heidegger. Wajar saja, karena Gadamer menjadi asisten Martin di Universita Leipzig pada tahun 1939, dan pada tahun 1947 menjadi guru besar di Heidelberg dan pada masa yang sama pula Gadamer menulis bukunya yang berjudul Wahrheit und Methode (truth and method,1960) buku ini adalah isi kritikan terhadap Dilthey dan Husserl. Hermeneutik Gadamer menggunakan duan konsep, yaitu konsep fenomenologi Husserl dan eksistensialisme Heidegger dengan bertolak dari situasi kini dan disini(konteks). Gadamer menolak asumsi cita-cita untuk “kembali ke teks dan pengarang asli” yang dikemukakan oleh Schleiermacher. Gadamer juga menolak konsep tentang objektivitas penafsiran yang dikemukakan oleh Schleiermacher dan Dilthey, maka menurut Gadamer adalah si pembuat teks dan si penafsir berada dalam dua kondisi yang berbeda atau latar belakang budaya dan historis yang berbeda pula. Perbedaan antara lingkungan sosial dan budaya inilah yang nantinya akan menimbulkan praduga yang berbeda-beda, sehingga antara subjek dengan teks berada dalam dua horizon dan tradisi yang berbeda pula.



44



Untuk memahami teks, menurut Gadamer, seseorang harus melakukan peleburan horizon (fusi horizon) melalui dialog dengan menggunakan bahasa sebagai mediasi(Gadamer, 1960:273,237). Peleburan horizon itu apat dicapai melalui dialog dan membandingkan berbagai penafsiran sehingga dengan pertemuan horizon (horizon pembuat dan horizon penafsir) kita menemukan suatu yang baru yang berbeda dengan sebelumnya . Fusi horizon ini menjadi titk tolak bagi Gadamer untuk menafsirkan teks, karena makna teks baru muncul ketika teks dan penafsir terlibat sebuah dialog (Percakapan Hermeneutis ) yang berakhir dengan peleburan kedua cakrawala.



TEKS



SUBJEK



MAKNA



Gambar skema peleburan dua horizon Gadamer (seperti juga Nietzsche atau Heidegger) menyingkirkan epistemologi modern dan menganggap percakapan dengan teks adalah sebuah permainan di mana kita berpartisipasi di dalamnya. Penyamaan pengalaman hermeneutis dengan permainan ini adalah suatu situasi dimana proses memberi dan mengambil terjadi antara si penafsir dengan teks yang ditafsirkan dan hasil akhirnya adalah pemahaman. Adapun dalam hermeneutika Gadamer, pemahaman ini lebih penting



45



dari aturan-aturan atau metode. Hermeneutika, dengan demikian tujuannya tidak memproduksi makna si penulis atau pembuat teks seperti dikemukakan Scheleiermacher dan Dilthey, melainkan untuk menciptakan makna baru dengan upaya dialog antara 2 horizon itu atau 2 nilai-nilai dan pandangan dengan peleburan dua horizon itu. (analisis hermeneutika filosofis gadamer atas proses pemahaman ini memberikan landasan filosofis dan implikasi bagi ilmu-ilmu humaniora). Berikut akan dipaparkan pokok-pokok pikiran hermeneutika gadamer, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pengetahuan



tidak



hanya



bebas



prasangka,



tetapi



justru



memerlukannya. Karena itu, daripada kita menyembunyikan prasangka, lebih baik mengeksplisitkan nya. 2. Karena tidak bebas prasangka, maka pemahaman tidak bisa dilepaskan dari (sejarah efektif) ya itu kenyataan bahwa pemahaman juga merupakan suatu kontinuitas proses sejarah. Sementara itu ada tiga hal penting dalam pemikiran hermeneutika gadamer yaitu: 1. Memahami kenyataan sesungguhnya adalah menafsirkan. Dengan kata lain hermeneutika bersifat reproduktif produktif dan transformatif. 2. Semua pemahaman pada pokoknya terikat dengan bahasa. Kita selalu memahami lewat bahasa, bahasa adalah medium universal dimana pemahaman itu sendiri terwujud. 3. Pemahaman atas makna teks tidak dapat dipisahkan dari aplikasinya. Gadamer menegaskan, apa yang ingin disampaikan bukanlah mengenai apa yang dikatakan pembicara atau penulis awalnya, akan tetapi teks sebagai suatu tahapan dalam komunikasi. Adapun dalam menafsirkan satu teks, ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan yaitu: 1. Dalam konteks apa suatu teks ditulis 46



2. Bagaimana komposisi tata bahasa teks, bagaimana menyatakannya dan apa yang dinyatakannya. 3. Bagaimana keseluruhan teks (pandangan dunia nya) Jika kita cermati, sering sekali perbedaan pendapat dan penafsiran dipengaruhi oleh ketiga aspek ini (Muhsin, 1992). Merujuk dari pemahaman diatas maka dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra menggunakan fenomenologi Husserl dan Hermeneutik Gadamer merujuk kepada Jauss, sudah dipastikan bahwa Jauss sedikit banyak dipengaruhi oleh filsafat hermeneutiknya Gadamer dan Heidegger, Karena Jauss sendiri pernah menimba ilmu di universitas Heidelberg yang mana pada saat itu Gadamer menjadi guru besar di Heidelberg, hal tersebut terjadi pada tahun 1948. Adapun ketersangkutan Jauss dan Husserl tidak secara langsung melainkan melalui Gadamer, hal ini mungkin saja terjadi karena Gadamer sendiri pernah mengkritik Husserl lewat bukunya. Maka bisa saja Jauss pun mengikuti jejak gurunya.



47



BAB II TEORI ESTETIKA RESEPSI DALAM JANGKAUAN PENELITIAN 2.1 Penerapan Teori 2.1.1 Estetika Resepsi Terhadap Studi Kasus Resepsi Produktif Soneta Indonesia (Puji Santosa) 1. Tujuan penelitian Tujuan penulisan artikel ilmiah dengan analisis estetika resepsi produktif pada genre Soneta ini adalah untuk mendeskripsikan reaksi aktif pembaca Indonesia, termasuk di dalamnya para penyair sastra Indonesia modern terhadap genre Soneta dalam satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, serta memahami arti pergeseran setiap kurun waktunya sepanjang Abad XX. Setelah diamati selintas, ternyata sambutan pembaca sastra Indonesia terhadap Soneta cukup meriah dengan ditandai oleh banyaknya Soneta yang ditulis, sejak tahun 1920an hingga kini. Hal ini akan dibuktikan dengan dasar pijakan kerangka teori analisis tentang estetika resepsi berikut. 2. Landasan teori Estetika resepsi merupakan aliran yang mempelajari teks karya sastra berdasarkan reaksi atau tanggapan pembaca terhadap teks tersebut (segers, 1978:34). Pembaca selaku penyambut dan pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan kelompok sosial budayanya. Oleh karena itu, pemahaman dan penilaian pembaca terhadap karya sastra dalam sepanjang masa dan seluruh golongan tidaklah sama. Hal ini perlu disadari bahwa fakta keragaman interpretasi terhadap karya sastra menuntut peran aktif pembaca sebagai kekuatan pembentuk sejarah (Jauss, 1974:12). Partisipasi aktif pembaca itulah yang membuat dinamis sejarah sastra. Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya sastra yaitu (1) pengisian tempat kosong, dan (2) horison harapan. Bagian-bagian yang tidak ditentukan di dalam teks, disebut "tempat kosong". Munculnya tempat



48



kosong dalam teks dikarenakan sifat karya sastra yang asimetri, tidak berimbang antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan bahasa sastra menimbulkan banyak penafsiran. Horizon harapan merupakan interaksi antara karya sastra dengan pembaca secara aktif. Setiap pembaca memiliki horizon harapan tertentu pada teks karya sastra yang dibacanya. Terwujudnya horizon harapan ini didasarkan pada tiga kriteria pokok, yaitu (1) ditentukan oleh teks norma-norma yang terpancar dari teks teks yang dibaca, (2) ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya koma dan (3) pertentangan antara fiksi dan realitas hidup (Segers, 1978:41). Dengan demikian, nilai suatu karya sastra terletak pada "bertemu atau tidaknya" karya sastra dengan horizon harapan masyarakat pada saat karya sastra itu ditulis atau diterbitkan titik ada 3 horizon harapan masyarakat, yaitu (1) horizon zaman, yakni harapan dari zaman karya sastra yang ditulis (2) horison teks, yakni harapan bahwa semua teks karya sastra menyerupai satu teks naskah standar koma (3) horison kepengarangan, yakni harapan yang didasarkan bahwa satu aspek kreativitas pengarang dan aspek ini dijadikan standar. 3. Hasil yang dicapai Berdasarkan pembicaraan mengenai estetika produktif Soneta di Indonesia dalam menemukan jati diri bangsa yang merdeka dalam menghadapi era pasar bebas dan globalisasi ditarik evaluasi sebagai berikut: (1) Pada awal masa pertumbuhan wanita di Indonesia, yaitu Soneta era pra pujangga baru, penulisan Soneta masih mendasarkan pada konvensi penulisan Soneta di barat dengan orientasi mengacu pada Soneta Soneta angkatan 80 Negeri Belanda. Pemrakarsa penulisan Soneta di Indonesia pada masa ini adalah Muhammad Yamin kemudian diikuti oleh Rustam Effendi, Muhammad Hatta, dan Sanusi pane. (2) Soneta era pujangga baru dapat dikatakan sebagai masa perkembangan resepsi produktif Soneta di Indonesia. pada masa itu banyak diproduksi Soneta dengan mengandalkan kekuatan estetika pantun dan syair. Variasi bentuk dan isi masih dekat (tidak menyimpang jauh) dengan Soneta asalnya,



49



yaitu Soneta barat. Penyair-penyair kelahiran pulau Sumatera yang sangat mendominasi penulisan Soneta era pujangga baru. Ali Hasymy adalah penyair yang paling banyak menulis Soneta pada waktu itu. Umumnya Soneta era pujangga baru banyak yang bersifat romantik. (3) Penulisan Soneta era angkatan 66 tidak sebanyak masa penulisan Soneta era pujangga baru. Wing Kardjo penulis sajak soneta yang paling produktif dan baru disiarkan secara luas pada tahun 1997. Pada umumnya Soneta pada era ini telah menyimpang dari Soneta asli di Barat. Keterikatan pada Soneta hanya pada judul sajak dan jumlah larik sebanyak 14 baris. Era angkatan 66 ini boleh dikatakan sebagai era pergeseran penulis Soneta, yaitu dari dominasi Pulau Sumatera ke pulau Jawa (4) Tiga penyair angkatan 66, yaitu Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Eka Budianta, bersama-sama menulis sajak dengan menggunakan alat ekspresi yang disebut Soneta. Soneta yang mereka gunakan cukup unik dengan ditandai oleh judul sajak dan jumlah larik sebanyak 14 baris. Dua hal itu dapat dipakai sebagai tanda bahwa sajak tersebut dinamakan Soneta. Ajip Rosidi masih membagi-bagi sajaknya ke dalam bait-bait seperti lazimnya Soneta Italia, dua quatrain dan dua terzina. Namun, Soneta karya Ajip Rosidi sudah tidak memiliki pola rima akhir yang lazim dimiliki oleh Soneta barat maupun Soneta karya penyair pujangga baru. Sapardi Djoko Damono dan Eka Budianta sudah tidak memperdulikan pola bait dan pola rima akhir yang lazim dalam penulisan Soneta. Sajak yang ditulis oleh Sapardi dan Eka hanya terdiri atas 1 bait, yaitu 14 larik yang menyuarakan satu pokok pikiran, tentang pencarian jati diri. (5) Pola estetika Soneta barat dan Soneta masa pujangga baru pada Soneta ketiga penyair yang berasal dari angkatan 66 itu telah bergeser. Mereka tidak lagi mengandalkan kekuatan estetika pantun karmina, ataupun syair kedalam Soneta yang mereka produksi. Irama persajakan mereka lebih dinamis karena memadukan estetika sajak bebas dengan warna lokal daerah masing-masing. Sapardi lebih memilih kekuatan estetika mantra ke dalam Sonetanya. Ajip Rosidi meskipun masih menggunakan pola bait Soneta, tetapi ia mampu memadukannya dengan warna nyanyian dangding Sunda



50



dan geguritan Jawa. Eka Budianta lebih memilih pada kekuatan estetika sajak bebas dengan memadukan kidungan Jula Juli ludruk Jawa Timur. Mereka tampaknya sepakat bahwa Soneta adalah saja 14 larik yang menyuarakan satu pokok pikiran atau perasaan, tanpa memperhatikan aturan yang lainnya. (6) Adanya pengaruh globalisasi dan era pasar bebas di abad ilmu pengetahuan dan teknologi ini memungkinkan mereka mencari jati dirinya. Agar kita tidak terlihat cerah boot dari akar tradisi dan akar kebudayaan daerahnya sendiri, mereka harus menemukan jati dirinya, baik jati dirinya sendiri maupun jati diri sebagai suatu bangsa. Persoalan pencarian jati diri akan tetap aktual sepanjang manusia dalam situasi krisis. Mereka dalam situasi krisis menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar bebas, dan era globalisasi. Perpaduan antara warna lokal daerah dan tidak menolak modernisme yang dipilih Eka Budianta. Sapardi dan ajip Rosidi tampaknya tidak berani memilih dan hanya melontarkan pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan itu terserah kepada pembaca.



2.1.2 Estetika Resepsi Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Kajian Hans Robert Jauss (Desy Kusumawati) 1. Tujuan penelitian Tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. perkembangan tanggapan pembaca ini lantas ada dalam karya sastra beserta pembacanya dari masa lampau dan di masa sekarang. Keberadaan pembaca dari masa ke masa inilah yang kemudian menghasilkan pembacaan atau tanggapan yang berbeda. Keberagaman tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra ini lahir keberagaman bekal pengetahuan pembaca. Keberagaman tanggapan atau respon pembaca yang beragam dalam karya sastra inilah yang disebut sebagai estetika resepsi. Tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra sebagai sebuah pengalaman dalam estetika resepsi didasarkan pada fakta fakta kesejarahan dan



51



bekal pengetahuan pembaca yang dimiliki sebelumnya atas karya sastra yang dinilainya. Dengan demikian, estetika resepsi adab sebuah karya sastra dipengaruhi oleh horizon harapan pembacanya. Dalam penelitian ini, tanggapan pembaca yang akan menjadi sumber data penelitian merupakan tanggapan pembaca atas novel cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Novel tersebut diambil dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, novel tersebut yang memiliki keterikatan dengan teori estetika resepsi yang berdasarkan tujuh tesisnya dalam karya sastra akan lahirnya sejarah sastra. Selain itu novel tersebut sudah dibaca sekian ribu orang sebagaimana data dalam tautan Goodreads. Kedua, novel yang telah mengalami cetak ulang dari tahun 2002 ke 2017 yang sebagaimana data dalam tautan detik.hot bahwa novel cantik itu Luka karya Eka Kurniawan yang diterbitkan oleh penerbit AKY Press, penerbit jendela dan Gramedia pustaka utama. Sebagaimana data medium.com yang menyatakan bahwa novel cantik itu Luka di tahun 2017 merupakan cetakan ulang yang ke-13 kalinya dengan cover baru. Ketiga, novel yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa selain bahasa Indonesia yang sebagaimana data dalam tautan jurnal ruang dan detikhot bahwa novel cantik itu Luka telah diterjemahkan dalam bahasa sebanyak 34 bahasa. Berdasarkan pada latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian, yaitu (1) resepsi pembaca berdasarkan penilaian kriteria pembaca terhadap novel cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, (2) penilaian estetika resepsi pembaca terhadap novel cantik itu Luka karya Eka Kurniawan berdasarkan teori Hans Robert jauss 2. Landasan Teori 1. Pengalaman pembaca Pembaruan



sejarah



sastra



menuntut



penghapusan



prasangka



objektivisme historis dan landasan estetika tradisional produksi dan representasi dalam estetika penerimaan dan pengaruh.



52



2. Horizon harapan Analisis pengalaman sastra pembaca menghindari jebakan psikologi yang mengancam jika menggambarkan penerimaan dan pengaruh suatu karya dalam sistem ekspektasi yang objektif yang meningkat untuk setiap karya pada momen historis kemunculannya. 3. Jarak estetik Jarak estetika dapat di objektifikasi secara historis di sepanjang spektrum reaksi auditions dan penilaian kritik. 4. Semangat zaman Pendekatan ini memperbaiki sebagian besar norma yang tidak diakui dari klasik atau memodern kan pemahaman seni dan menghindari Jalan melingkar ke semangat zaman umum. 5. Rangkaian sastra Dengan kata lain, pekerjaan selanjutnya dapat memecahkan masalah formal dan moral yang ditinggalkan oleh pekerjaan terakhir dan menghadirkan masalah baru secara bergantian 6. Perspektif diakronik sinkronik Berdasarkan prinsip presentasi sejarah sastra baru ini dapat dikembangkan, jika penampang lebih lanjut secara diakronik perubahan dalam struktur sastra pada saat-saat pembuatannya (jauss, 1983:36). 7. Sejarah sastra umum Fungsi sosial seni memanifestasikan dirinya dalam kemungkinan yang asli hanya di mana pengalaman seni pembaca masuk ke dalam cakrawala



harapan



dari



praksisnya



yang



hidup,



melakukan



pemahamannya tentang dunia, dan dengan demikian juga memiliki dan mempengaruhi perilaku sosialnya (jauss, 1983:39). 3. Hasil Yang Dicapai Berdasarkan penilaian kriteria pembaca yang terbagi lima kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah, kriteria yang unggul atau tertinggi terletak pada kriteria keterlibatan emosi dengan standar deviasi 0,999. Sedangkan kriteria sangat rendah terletak pada kriteria makna daya tarik



53



(universalitas) dengan perolehan standar deviasi 0,685. Jumlah standar deviasinya sebanyak 15,742 dan penentuan keseluruhan standar deviasi yaitu 0,787. Kriteria kegembiraan, karakteristik tokoh khayalan/image, dapat dipercaya, konflik, kesederhanaan dan teknik narasi kategori tinggi dinilai oleh pembaca. Kriteria ironis, ketertarikan, dapat dipahami, struktur, gaya bahasa, perspektif baru, minat lanjut kategori sedang. Kriteria yang dinilai rendah yaitu gagasan/tema utama. Berdasarkan penilaian estetika resepsi, ditemukan pembaca sebelumnya (pembaca diakronik) dan pembaca sekarang (pembaca sinkronik). Maka dari itu, novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan bahwa penilaian, pemaknaan dan pemahaman pembaca yang memiliki respon yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi pengalaman pembaca, horizon harapan, jarak estetik, semangat zaman, perspektif diakronik dan sinkronik, rangkaian sastra dan sejarah sastra umum teori Hans Robert Jauss. 2.1.3 Resepsi Pembaca Terhadap Cerpen "Remon" Karya Kajii Motojiro (Mutia Andika Widyanissa) 1. Latar belakang Karya sastra ialah karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni) hasilnya berupa karya sastra, misalnya novel, puisi, cerita pendek, drama, dan lain-lain, sedang ilmu sastra mempunyai ciri-ciri keilmuan, yaitu objek, teori, dan metode. artinya, sastra dapat berlaku sebagai objek atau subjek penelitian (noor,2009:9). Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya itu disebut karya sastra sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki karya sastra ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu sastra terdapat disiplin ilmu yaitu, teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori sastra adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.



54



Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca satu dengan yang lain. Cerpen “Remon” karya Kajii Motojiro (1901-1932) merupakan cerpen yang legendaris karena beberapa review dari masyarakat menyatakan bahwa cerpen ini mempunyai jalan cerita yang menarik untuk dibaca. Cerpen “Remon” ini bercerita tentang kehidupan tokoh aku sendiri dengan latar belakang negara Jepang. tokoh aku merasakan kehidupan yang awalnya berkecukupan lalu berputar ke bawah yang merasakan kehidupan yang sulit, hingga akhirnya tokoh aku bangkit kembali. 2. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat pemahaman dan tanggapan pembaca 20 mahasiswa S1 sastra Jepang universitas Diponegoro angkatan 2014 terhadap unsur intrinsik cerpen “Remon”. 3. Metode penelitian 1) Metode pengumpulan data a. Studi lapangan i. Observasi ii. Angket dan kuesioner iii. Wawancara b. Studi pustaka 2) Metode analisis data 3) Metode penyajian Hasil Data 4. Landasan teori 1. Resepsi sastra Bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya, atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi



55



sastra mempunyai lapangan yang luas dengan berbagai kemungkinan penggunaan. Penelitian skripsi resepsi pembaca terhadap cerpen “Remon” karya Kajii Motojiro menggunakan pendekatan eksperimental karena peneliti memberikan teks cerpen. Halo memberikan pertanyaan melalui kuesioner untuk dijawab oleh responden, dan terakhir tanggapan atau jawabannya dianalisis oleh peneliti. 2. Sosiologi sastra Resepsi sastra memiliki kaitan dengan sosiologi sastra karena keduanya memanfaatkan masyarakat pembaca. Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa, dengan pembaca konkret, bukan dengan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra (intrinsik). Menurut Ratna (2009:168), resepsi sastra memberikan perhatian pada aspek estetika, bagaimana karya sastra ditanggapi dan kemudian diolah, sedangkan sosiologi sastra memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling mempengaruhi antara sastra dengan masyarakat. Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif, yaitu: 1) Perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis teks sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan di jelaskan makna sosiologisnya. 2) Perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan Life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang analisis akan terbentur pada kendala jika pengarang telah meninggal dunia, sehingga tak bisa diwawancara. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau. 3) Perspektif reseptif,



yaitu



peneliti



menganalisis



penerimaan



masyarakat terhadap teks sastra (Endaswara, 2008:80-81). Peneliti menggunakan perspektif yang ketiga dalam penelitian ini. 3. Teori struktural



56



Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh unsur (pembangun)-nya. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan karya yang bersangkutan. struktur karya sastra juga menyarankan pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik dan saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Nurgiyantoro (1995:23). Mengungkapkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.



5.Hasil yang dicapai Analisis resepsi sastra digunakan peneliti untuk mengetahui bagaimana tanggapan pembaca dalam melihat unsur pembangun struktur yang terdapat di dalam cerpen “Remon” karya Kajii Motojiro. Adapun responden yang peneliti analisis adalah 20 mahasiswa S1 sastra Jepang FIB Undip angkatan 2014 dengan cara menyebarkan kuesioner dan teks dari cerpen. Unsur pembangun struktur yang peneliti ajukan kepada responden untuk dianalisis mencangkup tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, gaya bahasa dan amanat. Dalam menyusun kuesioner



mengenai unsur



intrinsik peneliti



menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan diberikan untuk mengetahui jumlah persentase dari hasil tanggapan para responden terhadap unsur-unsur intrinsik. Para responden juga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau alasan mereka sendiri, maka dari itu peneliti memberi kolom untuk responden berpendapat. Akan tetapi, peneliti menyebarkan kuesioner kepada responden, ada beberapa responden yang tidak mengisi alasan yang terdapat di beberapa pertanyaan.



57



Peneliti memberikan kuesioner secara acak kepada 20 mahasiswa S1 sastra Jepang UI FIB Undip angkatan 2014, peneliti melakukan observasi dan wawancara terlebih dahulu sebelum menyebarkan kuesioner. Observasi dilakukan saat kelas Bun Pau angkatan 2014 yang terdiri dari beberapa kelas, observasi juga bertemu langsung dengan responden. Wawancara langsung terhadap responden untuk mencari tahu responden mereka terhadap karya-karya sastra. Setelah observasi dan wawancara, penelitian ini dilakukan di tiga kelas yang berbeda. Dari jawaban yang diberikan oleh responden mengenai tanggapannya terhadap unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Remon”, maka dapat disimpulkan bahwa setiap responden mempunyai jawaban dan alasan yang berbeda-beda dalam memahami cerpen “Remon”, dari 22 pertanyaan yang diberikan semua pertanyaan dijawab dengan persentase yang berbeda-beda, walaupun ada beberapa pertanyaan yang responden mempunyai jawaban yang serius seperti pertanyaan tokoh "aku" termasuk tokoh antagonis atau protagonis, responden menjawab jawaban seri yaitu protagonis 40% antagonis 40% dan sisanya hanya 20%. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang persentase satu sama lain berbeda jauh. Contoh pertanyaannya menurut responden, apakah sifat latar tempat dalam cerpen tersebut, jawabannya telah sama sekali tidak ada yang menjawab, sedangkan titik a mendapat persentase 95% ada jawaban tidak tahu hanya 5%. Pada penelitian yang menganalisis tanggapan 20 mahasiswa S1 sastra Jepang UI FIB Undip terhadap cerpen “Remon”, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen "Remon" dapat dipahami oleh responden, karena semua pertanyaan di dalam kuesioner dijawab semua oleh responden. Responden juga memberi alasan dan tanggapannya langsung mengenai cerpen "remon". Pertanyaan paling banyak di tanyakan pada alur dan tokoh penokohan, para responden juga bisa menjawab pertanyaannya. Walaupun pada responden satu angkatan dan mempunyai pemahaman bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cerpen "Remon" karya Kajii Motojiro dapat diterima dengan baik oleh responden. Dalam menganalisis jawaban jawaban responden peneliti juga tidak mendapat banyak



58



kesulitan karena jawaban jawaban responden sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah diberikan.



2.1.4 Tanggapan Pembaca Terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Resepsi Sastra (Rusdian Noor Dermawan dan Cahya Ajisaputra) 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan tanggapan pembaca terhadap novel ayat-ayat cinta, (2) mendeskripsikan horizon harapan pembaca terhadap novel ayat-ayat cinta, (3) mendeskripsikan faktor-faktor penyebab perbedaan tanggapan dan horizon harapan pembaca. 2. Landasan teori Menurut teori/pendekatan resepsi sastra, suatu teks baru mempunyai makna bila teks itu sudah mempunyai hubungan dengan pembaca. Teks perlukan adanya kesan yang tidak mungkin ada tanpa pembaca.resepsi sastra memberikan kebebasan kepada pembaca untuk memberikan makna kepada suatu teks sastra, meskipun kebebasan itu sebenarnya tidak pernah sempurna, selalu ada unsur-unsur yang membatasinya. Sebuah karya sastra menjadi konkret melalui suatu penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan pada pembaca. Perbedaan tanggapan seorang pembaca dan pembaca lain dari suatu periode ke periode disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Pertama, prinsip horison harapan dan kedua prinsip tempat terbuka (Pradopo 1995:219). Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membaca karya sastra. Kalau wujud harapan pembaca itu kemudian sesuai dengan wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, dia akan dengan mudah menerimanya. Sebaliknya kalau tidak sama wujud sarapannya ya kan mereaksi nya, baik dengan sikap antusias maupun sikap menolaknya. Jika sebuah karya sastra



59



akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya, karya itu hanya menjadi karya masa lalu yang tidak mempunyai sejarah lagi. 3. Hasil penelitian Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa tanggapan pembaca terhadap novel ayat-ayat cinta sebagai berikut unsur tema, latar, sudut pandang, gaya bahasa, judul, teknik penceritaan, ejaan, solusi, dan bahasa novel ayat-ayat cinta di nilai/ditanggapi sangat positif oleh 100% pembaca/penanggap unsur-unsur tersebut, sedang unsur alur, tokoh penokohan, dan ekstrinsiknya dinilai/ditanggapi positif oleh kurang lebih 80% pembaca/penanggap. Dengan demikian, novel ayatayat cinta di nilai, dipandang, memiliki keunggulan dan kekuatan di semua unsur yang membangunnya. Harapan sebagian besar pembaca novel ayat-ayat cinta sebelum membaca novel ayat-ayat cinta ternyata sesuai dengan kenyataan atau fakta tema, alur, tokoh penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, judul, teknik penceritaan, ejaan, solusi, bahasa, dan ekstrinsik saat membaca membaca novel ayat-ayat cinta, sehingga sebagian besar pembaca dengan mudah menerima novel ayat-ayat cinta dengan berbagai penilaian positif, pujian, dan pernyataan kekaguman. Faktor penyebab perbedaan tanggapan dan horizon harapan selain karena perbedaan stressing unsur yang ditanggapi juga karena perbedaan pengetahuan tentang sastra, tentang kehidupan, dan pengalaman “menggauli” karya sastra.



2.2 Ancangan Penelitian Dengan Menggunakan Teori Estetika Resepsi 2.2.1 Estetika Resepsi Dalam Novel Baruang Ka Nu Ngarora 1. Latar belakang Tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan tanggapan pembaca ini lantas ada dalam karya sastra beserta pembacanya dari masa ke masa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat



60



Junus, bahwa keberadaan pembaca merupakan sisi lain Dunia penulis yang menghasilkan karya sastra (1985:104) Keberagaman tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra ini lahir keberagaman bekal pengetahuan pembaca. Keberagaman tersebut yang kita kenal sebagai istilah estetika resepsi yang mulai meledak di Indonesia pada era 80-an. Pradopo menjelaskan estetika resepsi sebagai suatu ilmu yang membahas tentang keindahan yang didasarkan adanya tanggapan tanggapan atau resepsi persepsi pembaca terhadap karya sastra (2012:206). Tanggapan atau resepsi pembaca lah yang selanjutnya akan memberikan penilaian dalam karya sastra. Tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra sebagai sebuah pengalaman dalam estetika resepsi didasarkan pada fakta fakta kesejarahan dan bekal pengetahuan pembaca yang dimiliki sebelumnya atas karya sastra yang telah dinilainya. Dengan demikian, estetika resepsi terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh horizon harapan. Sedangkan horizon harapan pembaca dipengaruhi oleh rangkaian sastra yang dipahaminya sebagai bekal pengetahuan melalui peristiwa sejarah yang melatari lahirnya sebuah karya. Dengan adanya bekal pengetahuan peristiwa atau rangkaian sastra maka akan lahir dua perspektif sinkronik dan diakronik. Selanjutnya penjelasan mengenai tanggapan pembaca dalam memahami karya sastra tersebut dalam kerangka teori sastra lazim disebut sebagai teori 7 tesis jauss (Jauss,1983:20-39) Dalam penelitian ini tanggapan pembaca atas novel Baruang Ka u Ngarora karya D.K Ardiwinata akan menjadi sumber data penelitian. Novel tersebut diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, karena novel tersebut berisikan tentang pepatah-pepatah yang mendidik yang ditujukan khusus untuk para pemuda. Kedua, novel yang terbit pada tahun 1914 ini merupakan novel yang tidak lekang oleh zaman dan terus-menerus ada hingga saat ini.



2. Kajian teori Estetika resepsi merupakan aliran yang mempelajari teks karya sastra berdasarkan reaksi atau tanggapan pembaca terhadap teks tersebut (Segers, 1978:34). Pembaca selaku penyambut dan pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan kelompok sosial budayanya. Oleh karena itu, pemahaman dan



61



penilaian pembaca terhadap karya sastra dalam sepanjang masa dan seluruh golongan tidaklah sama. Hal ini perlu disadari bahwa fakta keragaman interpretasi terhadap karya sastra menuntut peran aktif pembaca sebagai kekuatan pembentuk sejarah (Jauss, 1974:12). Partisipasi aktif pembaca itulah yang membuat dinamis sejarah sastra. Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya sastra, yaitu (1) pengisian tempat kosong, dan (2) horison harapan. Bagian-bagian yang tidak ditentukan di dalam teks, disebut "tempat kosong". munculnya tempat kosong dalam teks dikarenakan sifat karya sastra yang asimetri, tidak berimbang antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan bahasa sastra menimbulkan banyak penafsiran. Horizon harapan merupakan interaksi antara karya sastra dengan pembaca secara aktif. Setiap pembaca memiliki horizon harapan tertentu pada teks karya sastra yang dibacanya. Terwujudnya horizon harapan ini didasarkan pada tiga kriteria pokok, yaitu (1) ditentukan oleh teks norma-norma yang terpancar dari teks teks yang dibaca, (2) ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya koma dan (3) pertentangan antara fiksi dan realitas hidup (Segers, 1978:41). Dengan demikian, nilai suatu karya sastra terletak pada "bertemu atau tidaknya" karya sastra dengan horizon harapan masyarakat pada saat karya sastra itu ditulis atau diterbitkan titik ada 3 horizon harapan masyarakat, yaitu (1) horizon zaman, yakni harapan dari zaman karya sastra yang ditulis (2) horison teks, yakni harapan bahwa semua teks karya sastra menyerupai satu teks naskah standar koma (3) horison kepengarangan, yakni harapan yang didasarkan bahwa satu aspek kreativitas pengarang dan aspek ini dijadikan standar. Respon Estetik Iser memusatkan pada proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui



hubungan



teks



dengan



pembacanya,



di



mana



hal



tersebut



mengimplikasikan dua hal penting menyangkut cara atau tindakan pembacaan, interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaannya sendiri. Hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya merupakan konsep dasar yang penting dari teori respons estetik. Iser pun menyebutnya sebagai respon estetik, sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi teks tersebut



62



mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melalukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya terhadap teks itu sendiri. Asusmi dasar teori ini adalah teks hanya hadir saat dibaca dan perlu adanya pengujian atas teks melalui pembacaan. Teks baru bermakna setalah adanya tindakan pembacaan. Cara atau tindakan pembacaan tersebut yaitu bagaimana teks mengarahkan pembacanya dan pengalaman pembaca mengatur pembacaannya.



3. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui keberagaman respon masyarakat mengenai novel tersebut (2) atau horizon harapan yang terjadi di kelas sosial masyarakat (3) mengetahui alasan pembaca yang masih menganggap bahwa novel ini sangat menarik.



4. Hipotesis Keberagaman respon masyarakat akan terjadi disebabkan karena terdapatnya perbedaan kelas sosial masyarakat dan pengetahuan masyarakat mengenai sastra. Seperti yang telah dijelaskan jauh bahwa analisis pengalaman sastra pembaca menghindari jebakan psikologi yang mengancam jika menggambarkan penerimaan dan pengaruh suatu karya sastra dalam sistem ekspektasi yang objektif yang meningkat untuk setiap karya pada monositosis kemunculannya. Dan juga cakrawala harapan sebuah karya memungkinkan seseorang untuk menentukan karakteristik nya berdasarkan jenis dan tingkat pengaruhnya terhadap audiens yang disangka. Perbedaan kelas sosial masyarakat akan lebih menarik karena disebabkan perbedaan tingkat strata sosial yang terjadi di kehidupan, dan juga perbedaan pengalaman pembaca yang menuntut penghapusan prasangka objektivisme historis dan landasan etika tradisional produksi dan representasi dalam sikap penerimaan dan pengaruh Semangat zaman juga akan menunjukkan tingkat respon pembaca terhadap karya sastra tersebut. Dan semangat zaman ini juga yang akan menilai tentang kesejajaran antara pembaca dan karya yang dibacannya.



63



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Estetika resepsi telah menjadi bagian integral dari tujuan penelitian sastra, dan estetika resepsi diintegrasikan ke dalam definisi dari kesusasteraan (literariness). Akhir-akhir ini, berbagai penelitian sastra memasukkan estetika resepsi sebagai upaya untuk menentukan literariness. Karya sastra terdiri dari teks (sistem hubungan intra-tekstual) dalam kaitannya dengan realitas ekstra-tekstual: dengan norma-norma sastra, tradisi dan imajinasi. Teori resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra. Estetika resepsi adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Estetika resepsi muncul karena stagnasi analisis intrinsik selama hampir setengah abad sejak awal abad ke-20. Estetika resepsi dapat dilakukan dengan konkretisasi, yaitu mengadakan perbedaan antara fungsi yang diintensikan dan fungsi yang direalisasikan. Fungsi pertama harus ditentukan terlebih dahulu, yaitu untuk menemukan maksud pengarang yang sesungguhnya, baru kemudian dicari fungsi yang kedua yaitu reaksi pembaca terhadap karya sastra. Dua orang tokoh yang paling berperan dalam perkembangan teori estetika resepsi ialah Robert Jauss dan Wolfgang Iser. Mereka menunjukkan bahwa karya sastra dapat diteliti secara empiris.



64



DAFTAR PUSTAKA Tarigan, P. B. (2013). 済無No Title No Title. Journal of Chemical Information and Modeling,53(9),1689–1699. Noor, R., Dan, D., & Ajisaputra, C. (2014). tanggaPan Pembaca terHadaP novel ayat-ayat Cinta Karya HabibUrraHman el sHirazy: tinjaUan resePsi sastra. 1(1). Dan, T., & Nerapannya, P. E. (2013). Resepsi Sastra: Teori Dan Penerapannya. Humaniora, 2. https://doi.org/10.22146/jh.v0i2.2094 Pembaca, K., & Iser, W. (2013). Pembaca dan Konsep Pembaca Tersirat Wolfgang Iser. Humaniora, 6. https://doi.org/10.22146/jh.v0i6.1863 Ii, B. A. B., Riwayat, I. I., & Dan, H. (2010). digital_133508-T 27902-Jalan tengahTinjauan literatur. 18–41. Kuswarini, P. (2016). Penerjemahan, Intertekstualitas, Hermeneutika Dan Estetika Resepsi. Jurnal Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Indonesia, 4(1), 39– 47. Lee, S., Hahn, C., Rhee, M., Oh, J. E., Song, J., Chen, Y., Lu, G., Perdana, & Fallis, A. . (2012). 済無No Title No Title. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. Resepsi, E., Penerapannya, D. A. N., & Kasus, S. (2018). Estetika resepsi, metode, dan penerapannya: studi kasus resepsi produktif soneta indonesia. June 2007. Studi, P., Jepang, S., Ilmu, F., & Universitas, B. (2016). Karya Kajii Motojiro ( Studi Kasus 20 Mahasiswa S1 Sastra Jepang Fib Undip Angkatan 2014 ) Karya Kajii Motojiro ( Studi Kasus 20 Mahasiswa S1 Sastra Jepang Fib Undip Angkatan 2014 ).



65



Ananda, S. D. W. I., Pendidikan, J., Jerman, B., Bahasa, F., Seni, D. A. N., & Yogyakarta, U. N. (2013). Studi estetika eksperimental: tanggapan pembaca akademik terhadap drama der zerbrochene krug karya heinrich von kleist. Komardi, & Ismai, G. (2018). Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pontianak 2018. Jurnal Bindo Sastra, 2(2). Resepsi, E., Penerapannya, D. A. N., & Kasus, S. (2018). Estetika resepsi, metode, dan penerapannya: studi kasus resepsi produktif soneta indonesia. June 2007. Abrams, M.H.1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.



Irvine, T. (2007). No Title‫ مروت خرن و هرهب خرن نیب یلع هطبار یسررب‬:‫هدافتسا اب‬ .‫ت اب لوی ی‬



‫های‬



‫داده‬



‫ففف ففففاز‬



‫فففف فففف‬



‫ف فف فففف‬,



3(September), 1 Padmopuspito, A. (2015). Teori Resepsi Dan Penerapannya. Diksi, 2(1). https://doi.org/10.21831/diksi.v2i1.7044 Pembaca, K., & Iser, W. (2013). Pembaca dan Konsep Pembaca Tersirat Wolfgang Iser. Humaniora, 6. https://doi.org/10.22146/jh.v0i6.1863 Noor, R., Dan, D., & Ajisaputra, C. (2014). tanggaPan Pembaca terHadaP novel ayat-ayat Cinta Karya HabibUrraHman el sHirazy: tinjaUan resePsi sastra. 1(1). Minderop, Albertine. (2016). Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Giri Mukti Pasaka: Jakarta, 1988. Jaus, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.



66



Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Gramedia: Jakarta, 1985. Pradopo, Rachmad Djoko, dkk. Metodologi Penelitian Sastra.Hanindita Graha Widia: Yogyakarta, 2001. Pradopo, Rachmad Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yokyakarta, 2004. Schmitz, Thomas A. Modern Literary Theory and Ancient Texts: An Introduction. Carlton: Blackwell Publishing, 2007. Segers, R. T. 1978. Recepti-Esthetika. Netherlands: Huis aan dedrie grachten. Peter, B. (2010). Beginning Theory. Jalasutra. Yusup, H. A. (2012). Novel Sunda dalam Jaring Estetika Suara-Suara Kelas. Syabas Books. Ajip, R. (1983). Ngalanglang Kasusastran Sunda. PT Kiblat Buku Utama. Lubis, A. Y. (2016). Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (T. P. P. (P2) (ed.); 1st ed.). PT Raja Grafindo Persada. Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Ilmu Sastra :Pengantar Teori Sastra. Jakarta:Pustaka Jaya Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:Gramedia Holub,C Robert. 19484 Reception Theory:A Critical Introduction. London and New York:Metheun Iser, Wolfgang. 1987 The Act of Reading: A theory of Aesthetic Respons: 4th Printing, Baltimoren & London: The Jhon Hopkins University Pers Iser, Wolfgang. 2007. The Act of Reading. Terjemahan Bahasa Indonesia penerjemah: Noer Fitriyani. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada



67



Jauss, Hans Robert. 1974. Lirerary History As A Chalenge dalam Ralp Caken (Ed). London: New Direcftion in Literary History Rudledje & Kegan Paul. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003. Fokkema, D.W. dkk. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C.Hurst Company. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesastraan Terjemahan Melani Budianta dari Theory Of Literature (1977). Jakarta: PT Gramedia. Jauss, H. (1983). Toward An Aesthetic Of Reception. America: University Segers, R. (2000). Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adi Cita http://komak2.blogspot.com/2012/05/estetika-resepsi-sastra-dan.html.



Diakses



pada tanggal 24 Maret 2020 http://eprints.uny.ac.id/508/1/teori_resepsi_dan_penerapannya. Diakses pada tanggal 24 Maret 2020 http://aradiace.blogspot.com/2012/03/resepsi-sastra.html. Diakses pada tanggal 24 Maret 2020 https://riungsastra.wordpress.com/2012/08/04/resepsi-sastra-teori-dan-metodepenerapannya/ Diakses pada tanggal 26 Maret 2020 “Metode



Penelitian Sastra."



Asep



Yusuf



Hudayat.



1 April 2020.



www.slideshare.net/pitoliqeyba/metode-penelitian-sastra-12078817 eprints.uny.ac.id/508/1/teori_resepsi_dan_penerapannya Diakses pada tanggal 5 April 2020. www.slideshare.net/ImadeJuliadiSuarta/materi-teori-sastra Diakses pada tanggal 5 April 2020. aradiace.blogspot.com/2012/03/resepsi-sastra.html Diakses pada tanggal 5 April 2020.



68



Rahima, Ade. 2016. Literature Receprion (A Conceptual Overview). Jurnal Ilmiah Dikdaya Unbari. dx.doi.org/10.33087/dikdaya.v6i1.37 Diakses pada tanggal 10 April 2020 http://shildavtec.blogspot.com/2012/05/estetika-resepsi.html.



Diakses



pada



tanggal 19 April 2020



69



LAMPIRAN 



Foto Kelompok







Daftar nilai anggota kelompok



Nama Penilai Hasna Nur Iun Yunita Ade Maulana Ibram Ibrahim Cindy Laura Dini Hamisa



NPM 1802101900



Hasna Nur -



Iun Yunita 92



Ade Maulana 90



Ibram Ibrahim 93



Cindy Laura 91



Dini Hamisa 92



1802101900



94



-



93



93



92



92



180210190035



93



92



-



92



92



92



180210190041



93



92



90



-



91



94



1802101900



92



94



92



93



-



93



180210190013



93



93



93



94



93



-



70