Ibunka Rikai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IBUNKA RIKAI: PANDANGAN MASYARAKAT INDONESIA-JEPANG TERHADAP KEMATIAN



Dwi Lia Rahmah 180610100161



Pendahuluan Kematian adalah salah satu bagian penting dari sebuah kehidupan, sesuatu yang mutlak akan terjadi pada setiap manusia. Pandangan manusia terhadap kematian biasanya melibatkan kepercayaan yang dianut(agama). Agama memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Singkatnya, agama bisa menjadi pedoman hidup seseorang. Agama membentuk pola pikir sebuah individu dalam memandang kehidupan, termasuk kematian. Indonesia adalah Negara kepulauan yang mayoritas penduduknya menganut agama islam. Sebagai Negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan dan diatur oleh pemerintah. Agama adalah hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karenanya status agama tertulis pada tanda pengenal (KTP). Peran agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat besar, makanya tidak jarang pandangan agama dijadikan sebuah pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan Indonesia, Jepang tidak terlalu mementingkan keberadaan agama. Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur



dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, dan sekolah agama. Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi. Sebagai dua bangsa yang memiliki latar belakang agama yang berbeda, Jepang dan Indonesia memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kematian, hal ini terlihat dari bagaimana mereka melakukan pemakaman, jiarah, dan adanya kepercayaan mengenai hantu atau after-life world. Pandangan umum terhadap kematian di Indonesia Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai kematian tentu banyak terpengaruh oleh agama islam. " Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya hanya pada hari kiyamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imran 3 : 185) -- Ayat ini menerangkan bahwa tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati dan tidak ada yang dapat bertahan untuk hidup abadi, hanya Allah SWT sendiri yang kekal selamanya. Oleh karena itu hendaklah kita siapkan perbekalan untuk menghadapi maut itu dan untuk hidup di akhirat nanti, yaitu keimanan yang teguh dan amalan yang shaleh. Janganlah terpedaya oleh harta benda dunia, karena bila kita mati, semua akan kita tinggalkan kecuali hanya kain kafan putih saja pembungkus diri kita yang dibawa.” (kultum Ir. Gatot Sudjono)



Dari wacana diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia percaya terhadap kehidupan after-life (akhirat), dimana dunia yang ditinggali ini adalah sementara dan yang kekal adalah akhirat nanti. Ajaran Islam mempercayai takdir, dimana kematian adalah takdir yang mutlak pasti akan terjadi, sehingga bunuh diri merupakan hal yang paling dibenci Allah.



Umat islam juga mengenal



malaikat(angel) yang memiliki berbagai tugas dan salah satunya adalah malaikat ijrail, Pandangan umum terhadap kematian di Jepang Agama mayoritas di Jepang adalah Shinto dan Budha. Sekilas kedua agama ini terasa mirip, namun keduanya berbeda. Tempat ibada Shinto dinamakan jinja, sedangkan tempat ibadah budha disebut otera.



Agama Budha yang masuk dan



menyebar ke Jepang melalui Cina dan Korea, diterima oleh orang Jepang berdasarkan ide atau gagasan tentang kami, yang mirip dengan Shinto. Gagasan tentang kami yaitu dewa atau tuhan bagi orang Jepang kuno bukan saja mengandung makna bahwa mereka meyakini segala benda yang ada di dunia ini memiliki roh, tetapi mereka juga mempercayai bahwa dewa-dewa selain dewa manusia berwibawa pula sebagai dewa; serta mengakui bahwa dewa manusia merupakan salah satu perwujudan dari dewadewa tersebut. Ada beberapa alasan yang memungkinkan lahirnya pemikiran di atas. Pertama, akulturasi ajaran agama Budha dan Shinto serta penyatuan para dewa Budha dengan para dewa Shinto yang bersifat sinkretis itu, pada dasarnya bersifat fungsional bagi orang Jepang. Dalam arti, ajaran apa pun dan dewa mana pun akan diterima dan dipandang baik, sepanjang tidak mendatangkan gangguan bagi ketertiban sosial masyarakat mereka. Bahkan ketika orang Jepang menerima aturan hukum agama dari luar yang bersifat universal, dalam interpretasi mereka sangatlah menonjol kecenderungan untuk menyerasikannya dengan perkembangan zaman yang berlaku, serta menyesuaikannya dengan tradisi dan selera masyarakat mereka sendiri. Masahiro Kunosoki (1994:23) kepercayaan masyarakat Jepang bersifat shomin shinko. Shomin shinko menyangkut kepercayaan dunia suci dan dunia sekuler.



Jika Shinto bersifat sekuler dimana hanya memberikan pedoman kehidupan duniawi dan tidak mengajarkan adanya kehidupan sesudah kematian, maka Budha mengajarkan tentang Nirvana dan Umarekawaru (reinkarnasi). Karena itu upacara kematian di Jepang dilaksanakan berdasarkan ajaran Budha. Agama Buddha memandang kematian sebagai hal yang wajar terjadi merupakan rangkaian dari proses kelahiran, usia tua, sakit dan mati, sesuai dengan dorongan karmanya. Semua yang terbentuk pasti akan lenyap, semua yang terlahir pasti akan mati. Jika kita menginginkan tiada kematian, hanya mungkin diperoleh dari tiada kelahiran (tidak tumimbal lahir). Agama Buddha mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan di alam tumimbal lahir yang baru. Kalau kita mengambil perumpamaan dengan TV atau radio, ibaratnya perubahan channel / frekuensi, misalnya hidup kita sekarang berada di channel 1, ketika channel 1 dimatikan dan diganti dengan channel yang lain, maka akan berganti pula gambar di layar TV tersebut. Mungkin inilah yang menyebabkan orang Jepang mudah menyerahkan hidupnya. Banyak orang yang melakukan bunuh diri karena percaya dia akan melakukan lebih baik dikehidupan berikutnya. Orang Jepang tidak takut mati untuk berkorban demi kehormatan, dan harga dirinya, hal ini banyak diceritakan dalam film atau novel Jepang. Upacara kematian Di Indonesia, jika ada yang meninggal (secara umum) akan dimandikan, disholatkan lalu dikuburkan, Indonesia adalah negara yang heterogen, memiliki berbagai macam budaya, ras, suku bangsa, agama. Menurut Tourism News, di bagian Negara Indonesia ada beberapa upacara kematian.: 1. Upacara Rambu Solo. Pada tradisi ini, dilakukan upacara pembekalan dan



persembahan yang ditujukan pada orang yang meninggal agar lancar menuju



perjalanan ke alam roh. Budaya yang masih dipegang kuat masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan, ini, juga menganggapnya sebagai acara penyempurna kematian. Masyarakat percaya, orang yang meninggal segera bertemu dengan leluhurnya dan hidup abadi. Orang yang mati akan menuju tempat tersebut melalui Puya, yatu sebuah peristirahatan. 2. Upacara Brobosan. Kalau upacara yang satu ini bisa ditemui di Jawa Timur.



Upacara ini dilakukan dengan cara semua anggota keluarga dari orang yang meninggal, berjalan mengitari bawah keranda jenasah yang diangkat. Mereka mengitari sebanyak tiga kali untuk menghormati jasad yang hendak dibawa ke liang lahat dan dikuburkan. 3. Upacara Saur Matua. Tradisi ini ditemui di lingkungan masyarakat Batak.



Saur Matua adalah upacara penghormatan kepada orang yang meninggal bahwa mereka telah berhasil mendidik putra-putrinya sehingga mampu menikah dan berumah tangga. Sehingga, upacara ini juga hanya diadakan bila semua anak-anak dari orang yang meninggal telah menikah semuanya. Saat ritual ini dilakukan, tangan orang tua yang wafat tangannya ditaruh di samping badan dan bukan di dada. Di Jepang, Upacara pemakamannya disebut dengan istilah soushiki, yang berasal dari kata sou [mengubur] dan shiki [upacara]. Soushiki meliputi masa semayam jenazah, kremasi, penguburan, dan layanan memorial secara berkala. Waktu kebanyakan penduduk jepang memeluk agama Budha dan Shinto, hampir 90% soushiki dilakukan menurut agama budha. Soushiki dimulai dengan upacara matsugo no mizu berupa pembasahan bibir jenazah menggunakan air setelah jenazah dimasukkan dalam peti mati. Selanjutnya ada proses yang disebut dengan kamidana fuji, dimana jenazah dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kertas putih, yang dipercaya untuk mencegah arwah tidak suci masuk ke dalam. Dalam pelaksanaannya, upacara kematian dijepang memiliki proses yang panjang:



1. Upacara Semayam Sebelum proses semayam, jenazah dimandikan dan ditutup lubang telinga dan hidungnya dengan kapas. Jenazah kemudian diberi pakaian berupa setelan jas [untuk pria] atau kimono [untuk wanita], dan kadang diberi make-up. Setelah itu jenazah dibaringkan di dalam peti mati berisi es kering beserta kimono putih, sendal, 6 keping koin yang dipercaya akan digunakan almarhum untuk melintasi 3 neraka, dan benda yang bisa terbakar yang disukai almarhum selama masih hidup, seperti permen atau rokok. Peti mati kemudian diletakkan di altar untuk disemayamkan, Selama proses semayam, pihak kelurga almarhum memberitahukan kabar duka pada semua kerabat dan rekan almarhum agar bisa memberikan penghormatan terakhir. Para tamu yang yang ingin mengucapkan duka cita pada keluarga almarhum umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam. Setelah tamu yang hadir memenuhi ruangan, pendeta Budha memulai upacara dengan membaca kitab sutra untuk mendoakan jenazah, sementara keluarga jenazah bergantian mendoakan jenazah dengan memegang dupa yang kemudian ditanamkan pada kendi kecil di atas meja altar. Upacara berakhir setelah pendeta selesai membaca kitab, dan para tamu yang pulang diberikan kenang-kenangan, sedangkan keluarga dekat almarhum menginap di ruangan yang sama dengan peti jenazah. 2. Proses Pemakaman



Pemakaman dilakukan keesokan hari setelah jenazah disemayamkan. Upacara pemakaman tidak terlalu berbeda jauh dengan upacara semayam, hanya saja di sini pendeta Budha menyanyikan kitab sutra. Setelah itu almarhum akan diberikan nama Budha baru yang disebut dengan kaimyo. Pemberian tersebut bertujuan untuk mencegah arwah almarhum kembali ke jenazah saat namanya dipanggil. Panjangnya nama yang diberikan pada almarhum tergantung besarnya jumlah sumbangan uang yang diberikan kelurga almarhum pada kuil Budha. Setelah upacara berakhir, para tamu dipersilahkan meletakkan bunga ke dalam peti mati sebelum disegel menggunakan paku dan dibawa kereta jenazah menuju krematorium atau kuburan. 3. Kremasi



Pada saat proses kremasi, peti yang berisi jenazah pertama-tama diletakkan di atas penampang untuk didorong masuk kedalam ruang kremasi. Kejadian tersebut disaksikan para anggota keluarga almarhum. Proses kremasi berjanlan sekitar 2 jam, setelah itu pihak keluraga memisahkan bagian abu dan tulang almarhum. Bagian tulang diambil oleh 2 orang keluarga menggunakan sumpit secara bersamaan atau dioper dari dari sumpit ke sumpit dan dimasukkan ke dalam guci atau kendi kecil. Tulang tersebut harus diletakkan mulai dari bahian tulang kaki sampai tulang tengkorak. Kadang-kadang ada juga yang membagi menjadi dua abu jenazahnya ke dalam 2 kendi. Tujuannya agar abunya dapat disimpan di beberapa tempat. 4. Penguburan Di Jepang kuburan keluarga [haka] umumnya terdiri dari monumen batu nisan dengan ruang kecil tempat menyimpan bunga dan dupa. Di depan batu nisan terdapat tempat air dan sebuah ruang bawah tanah untuk menyimpan abu. Nama almarhum diukir di depan atau sebelah kiri monumen nisan, sedangkan di sebelahnya diukir tanggal digalinya kuburan dan orang yang membeli kuburan tersebut. Kadangkadang nama suami atau istri almarhum yang masih hidup juga diukir pada batu nisan, namun dengan tinta berwarna merah yang akan dihapus setelah yang bersangkutan meninggal dan dikubur di tempat yang sama. Hal ini dimaksudkan agar biaya penguburan lebih murah, selain itu memberi kesan kalau sang pasangan hidup sudah siap untuk mengikuti almarhum. Selain di batu nisan, nama almarhum sering juga ditulis di sotoba, sebuah papan kayu yang ditanamkan didepan atau belakang kuburan. Beberapa kuburan juga memiliki tempat kartu nama yang bisa digunakan rekan almarhum sebagai tanda kalau yang bersangkutan telah mengunjungi kuburan itu. Peringatan Kematian Setiap orang berhubungan dengan orang lain untuk sebuah scenario (takdir), baik orang Indonesia maupun orang Jepang memahami bahwa seseorang bisa saja mengubah takdir orang lain. Hal ini membuat adanya ‘arti’ seseorang untuk orang



lain. Sehingga meskipun kematian telah menyambut seseorang yang berarti itu, peringatan dilakukan untuk menghargai jasa dan mensyukuri arti kehadirannya. Indonesia pernah ‘mencicipi’ budha, juga pernah merupakan bangsa animisme. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki satu pandangan yang hamper sama dengan Jepang: adanya arwah nenek moyang. Hal ini terlihat dari cerita-cerita seram di Indonesia yang mirip dengan di Jepang. Baik di Indonesia maupun di Jepang memperingati kematian seseorang. Indonesia menamakannya dengan Ziarah, sedangkan orang Jepang menamainya dengan obon. Ziarah biasanya dilakukan saat Idul Fitri dimana sebuah keluarga berkumpul untuk saling memaafkan dan mengunjungi makam keluarga/nenek moyang.



Obon



berarti



meletakkan



nampan



berisi



barang-barang



persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah



bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur. Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana. Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-



nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha. Penutup Dalam keseluruhan paparan diatas, saya mencoba mengungkapkan pola pikir kedua bangsa dalam memandang kematian. Sebagai dua Negara kepulauan jalur sutra yang sama-sama pernah memegang paham animisme, berjalan ke dua arah berbeda. Jepang memiliki suatu pola berpikir yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari akulturasi ajaran agama Budha dan agama Shinto yang pada gilirannya melahirkan berbagai sekte agama Budha Jepang yang bersifat sinkretis. Indonesia menggunakan Islam dalam kesehariannya (menurut pancasila) namun terkadang masih ada budaya animism yang tersisa dalam sebuah kebudayaan Indonesia. Kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, jika orang Indonesia menganggap kematian artinya ‘test time is up’ maka orang Jepang menganggap ‘this role is end’. Dalam suatu pola pikir terbentuk pola hidup masyarakat, dan pola hidup itu menjadikannya kebudayaan. Pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit seiring adanya perkembangan teknologi dan globalisasi, kebudayaan-pun mungkin akan bergeser melahirkan kebudayaan baru. Pandangan manusia terhadap kematian-pun suatu hari nanti mungkin hanya ada satu. wallahu'alam -----------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Acuan Makara, Sosial Humaniora, vol.8, No.3, Desember 2004: 120-125 Lily, Upacara Kemarian Di Jepang, Animonster 87 Thn 2005 hlm, 25-27



http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Japan (diakses 28 Desember 2013) http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia (diakses tanggal 28 Desember 2013) http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama.html (diakses tanggal 28 Desember 2013) http://whatjapanthinks.com/2005/08/25/what-do-the-japanese-really-believe/ (diakses tanggal 28 Desember 2013) http://www.oocities.org/sutra_online/bacaan_sukhavati.htm (diakses tanggal 28 Desember 2013) http://www.blia.org/english/publications/booklet/pages/03.htm (diakses tanggal 30 Desember 2013) http://id.wikipedia.org/wiki/Obon (diakses tanggal 30 Desember 2013) http://en.wikipedia.org/wiki/Japanese_funeral (diakses tanggal 30 Desember 2013)