Indo Robbins S Basic Pathology 9th Ed [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Study smart with



Student Consult Searchable full text online



Register and activate this title today at studentconsult.com sAccess the full text online Activation Code



sDownload images s!DDYOUROWNnotes and bookmarks s3EARCHACROSSALLTHEStudent Consult RESOURCESYOUOWNONLINEINONEPLACE



ALREADY REGISTERED?



FIRST-TIME USER?



1. Go to studentconsult.com; Sign in 2. Click the “Activate Another Book” button 3. Gently scratch off the surface of the sticker with the edge of a coin to reveal your Pin code 4. Enter it into the “Pin code” box; select the title you’ve activated from the drop-down menu 5. Click the “Activate Book” button



1. REGISTER s 'OTOSTUDENTCONSULTCOMCLICKh2EGISTER.OWv s &ILLINYOURUSERINFORMATIONANDCLICKh!CTIVATEYOUR account” 2. ACTIVATE YOUR BOOK s #LICKTHEh!CTIVATE!NOTHER"OOKvBUTTON s 'ENTLYSCRATCHOFFTHESURFACEOFTHESTICKERWITHTHE edge of a coin to reveal your Pin code s %NTERITINTOTHEh0INCODEvBOXSELECTTHETITLE you’ve activated from the drop-down menu s #LICKTHEh!CTIVATE"OOKvBUTTON



Access to, and online use of, content through the Student Consult website is for individual use only; library and institutional access and use are strictly prohibited. For information on products and services available for institutional access, please contact our Account Support Center at (+1) 877-857-1047. Important note: Purchase of this product includes access to the online version of this edition for use exclusively by the individual purchaser from the launch of the site. This license and access to the online version operates strictly on the basis of a single user per PIN number. The sharing of passwords is strictly prohibited, and any attempt to do so will invalidate the password. Access may not be shared, resold, or otherwise circulated, and will terminate 12 months after publication of the next edition of this product. Full details and terms of use are available upon registration, and access will be subject to your acceptance of these terms of use.



For technical assistance: email [email protected] call 800-401-9962 (inside the US) / call +1-314-995-3200 (outside the US)



Buku Ajar Patologi Robbins



Halaman ini sengaja dikosongkan



Buku Ajar Patologi Robbins EDISI KESEMBILAN



Vinay Kumar, MBBS, MD, FRCPath Donald N. Pritzker Professor Chair, Department of Pathology Biologic Sciences Division and Pritzker School of Medicine University of Chicago Chicago, Illinois



Abul K. Abbas, MBBS Distinguished Professor and Chair Department of Pathology University of California San Francisco San Francisco, California



Jon C. Aster, MD, PhD Professor of Pathology Harvard Medical School Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts ILUSTRATOR



James A. Perkins, MS, MFA



1600 John F. Kennedy Blvd. Ste 1800 Philadelphia, PA 19103-2899







978-1-4377-1781-5 Edisi Internasional: 978-0-8089-2432-6



Copyright © 2013, 2007, 2003, 1997, 1992, 1987, 1981, 1976, 1971 by Saunders, an imprint of Elsevier Inc. Dilarang menerbitkan atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun, baik secara elektronik maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau sistem penyimpanan dan pengambilan informasi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Rincian tentang bagaimana untuk mencari izin, informasi lebih lanjut tentang Penerbit kebijakan perizinan dan persiapan kami dengan organisasi seperti Copyright Clearance Center dan Copyright Licensing Agency, dapat ditemukan di website kami: www.elsevier.com/permissions. Buku ini dan kontribusi individu yang terkandung di dalamnya dilindungi oleh hak cipta oleh Penerbit (selain sebagai dapat dicatat di sini).



Perhatian Pengetahuan dan praktik terbaik dalam bidang ini yang terus berubah. Sebagai penelitian dan pengalaman baru memperluas pemahaman kita, perubahan dalam metode penelitian, praktik profesional, atau perawatan medis mungkin menjadi perlu. Praktisi dan peneliti harus selalu bergantung pada pengalaman dan pengetahuan mereka dalam mengevaluasi dan menggunakan informasi, metode, senyawa, atau percobaan yang dijelaskan di sini. Dalam menggunakan informasi atau metode tersebut mereka harus memperhatikan keselamatan mereka sendiri dan keselamatan orang lain, termasuk pihak untuk siapa mereka memiliki tanggung jawab profesional. Sehubungan dengan obat atau farmasi produk diidentifikasi, pembaca disarankan untuk memeriksa informasi terbaru yang tersedia (i) prosedur fitur atau (ii) oleh produsen masing-masing produk yang akan diberikan, untuk memverifikasi dosis yang dianjurkan atau formula, metode dan durasi administrasi, dan kontraindikasi. Ini adalah tanggung jawab praktisi, mengandalkan pengalaman dan pengetahuan pasien mereka sendiri, untuk membuat diagnosis, untuk menentukan dosis dan pengobatan terbaik untuk setiap pasien, dan mengambil semua tindakan pencegahan keselamatan yang tepat. Untuk sepenuhnya hukum, baik Penerbit maupun penulis, kontributor, atau editor, bertanggung jawab atas setiap cedera dan / atau kerusakan pada orang atau properti sebagai masalah produk kewajiban, kelalaian atau sebaliknya, atau dari penggunaan atau pengoperasian setiap metode, produk, petunjuk, atau ide-ide yang terkandung dalam materi ini. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan data Robbins basic pathology / [edited by] Vinay Kumar, Abul K. Abbas, Jon C. Aster. – 9th ed. p. ; cm. Basic pathology Includes bibliographical references and index. ISBN 978-1-4377-1781-5 (hardcover : alk. paper) – ISBN 978-0-8089-2432-6 (International ed. : hardcover : alk. paper)   I.  Kumar, Vinay, 1944–  II.  Abbas, Abul K.  III.  Aster, Jon C.  IV.  Robbins, Stanley L. (Stanley Leonard), 1915–2003.  V.  Title: Basic pathology. [DNLM:  1.  Pathology. QZ 4] 616.07–dc23 2011048699 Executive Content Strategist: William Schmitt Content Development Manager: Rebecca Gruliow Publishing Services Manager: Patricia Tannian Senior Project Manager: Sarah Wunderly Design Direction: Louis Forgione Printed in Canada Last digit is the print number:  9  8  7  6  5  4  3  2  1



Working together to grow libraries in developing countries www.elsevier.com | www.bookaid.org | www.sabre.org



DEDIKASI Untuk Anak-anak kami dan cucu tercinta Kiera Chapman Kumar



halaman ini sengaja dikosongkan



Kontributor Charles E. Alpers, MD



Professor and Vice Chair Department of Pathology University of Washington Seattle, Washington Ginjal dan Sistem Pengumpul



Jonathan Epstein, MD



Professor of Pathology, Urology, and Oncology The Reinhard Professor of Urological Pathology Director of Surgical Pathology The Johns Hopkins Medical Institutions Baltimore, Maryland Sistem Genitalia Pria dan Saluran Kemih Bawah



Mark W. Lingen, DDS, PhD



Associate Professor Department of Pathology The University of Chicago, Chicago, Illinois Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis



Anirban Maitra, MBBS



Professor of Pathology and Oncology The Johns Hopkins University School of Medicine Pathologist The Johns Hopkins Hospital Baltimore, Maryland Genetik dan Penyakit Pediatri; Pankreas; Endocrine System



Agnes B. Fogo, MD



Alexander J. McAdam, MD, PhD



Matthew P. Frosch, MD, PhD



Richard N. Mitchell, MD, PhD



John L. Shapiro Chair of Pathology Professor of Pathology, Microbiology, Immunology, Medicine, and Pediatrics Director, Renal/EM Division of Pathology Vanderbilt University School of Medicine Nashville, Tennessee Ginjal dan Sistem Pengumpul



Lawrence J. Henderson Associate Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Harvard Medical School Director, C.S. Kubik Laboratory for Neuropathology Massachusetts General Hospital Boston, Massachusetts Sistem Saraf Pusat



Aliya Noor Husain, MBBS Professor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Paru



Alexander J.F. Lazar, MD, PhD



Associate Professor Departments of Pathology and Dermatology The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center Houston, Texas Kulit



Associate Professor of Pathology Harvard Medical School Medical Director, Infectious Diseases Diagnostic Laboratory Children’s Hospital Boston, Massachusetts Patologi Umum Penyakit Menular Lawrence J. Henderson Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Department of Pathology Harvard Medical School Staff Pathologist Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Gangguan Hemodinamika, Tromboembolisme, dan Syok; Pembuluh Darah; Jantung



Peter Pytel, MD



Assistant Professor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Saraf Perifer dan Otot



Andrew E. Rosenberg, MD



Clinical Professor of Pathology Director, Bone and Soft Tissue Pathology Department of Pathology Miller School of Medicine University of Miami Miami, Florida Tumor-tumor Tulang, Sendi dan Jaringan Lunak



viii



Kontributor



Husain A. Sattar, MD



Assistant Professor of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara



Arlene H. Sharpe, MD, PhD



Professor of Microbiology and Immunobiology, and Pathology Harvard Medical School and Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Patologi Umum Penyakit Menular



Thomas Stricker, MD, PhD Instructor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Neoplasia



Jerrold R. Turner, MD, PhD



Sara and Harold Lincoln Thompson Professor Associate Chair Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis



Wei-Lien Wang, MD



Assistant Professor of Pathology Section of Soft Tissue and Dermatopathology The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center Houston, Texas Kulit



Neil D. Theise, MD



Professor Departments of Pathology and Medicine (Digestive Diseases) Beth Israel Medical Center of Albert Einstein College of Medicine New York, New York Hepar, Kandung Empedu, dan Saluran Biliaris



Edward C. Klatt, MD



Professor and Academic Administrator Department of Pathology Florida State University College of Medicine Tallahassee, Florida Editor Fotografi



Raminder Kumar, MBBS, MD



Chicago, Illinois Editor Klinis untuk Penyakit-penyakit pada Jantung, Paru, Pankreas, Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis, dan Hepar



Richard N. Mitchell, MD, PhD



Lawrence J. Henderson Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Department of Pathology Harvard Medical School Staff Pathologist Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Editor Targeted Therapy Online



Kata Pengantar



EMPAT PULUH TAHUN PATOLOGI DASAR Ketika kita mencapai tahun ke-40 dari publikasi Buku Ajar Patologi Robbins, perlu kiranya mengutip pesan Stanley Robbins dari edisi pertama (1971): "Dari buku-buku demikian juga manusia, dapat diamati bahwa barang yang tebal berisi bagian yang tipis yang berupaya untuk muncul. Dalam kenyataannya, buku ini mempunyai, hubungan dengan sumbemya yang lebih Juas, Robbins Pathology. Hal itu terjadi karena memperhatikan dilema yang dialami mahasiswa kedokteran akhir-akhir ini. Sejalan dengan restrukturisasi kurikulum yang memberi penekanan lebih besar kepada pengalaman klinis, sehingga kesempatan membaca buku Jebih sedikit. Dalam penulisan buku ini, kelainan-kelainan yang jarang dan kurang relevan terpaksa ditiadakan dan hal-hal yang tidak sering dijumpai atau merupakan peristiwa sehari-hari hanya dibahas singkat. Walaupun demikian, karni menganggap penting memberikan perhatian lebih lengkap tentang jenisjenis penyakit yang utama." Sasaran dari edisi ini sebagai "Robbins mungil" tetap merupakan gagasan dari Stanley Robbins. Kesempatan ini merangsang para mahasiswa kedokteran karena mekanisma dasar dari penyakit sedang diungkapkan dalam waktu yang selalu dinantikan. Patologi merupakan ilmu utama untuk mengerti dasar molekuler dari suatu penyakit, dan kami telah mencoba untuk menangkap intisari pengetahuan baru tersebut daJam edisi kesembilan dari Buku Ajar Patologi Robbins. Kami sangat yakin bahwa patologi membentuk landasan ilmiah dalam kedokteran, dan kemajuan dalam ilmu dasar akhirnya membantu kita dalam mempelajari penyakit pada tiap penderita. Oleh karena itu, disamping banyak penemuan dalam bidang genomic dan kedokteran yang disesuaikan kepada individu (personalized medicine) dibahas di dalam bab-bab permulaan dari patologi umum, kami berupaya untuk memasukkan dampak kemajuan ilmiah pada penyakit dari system organ yang diuraikan sepanjang naskah. Untuk menekankan pentingnya mekanisma penyakit dalam praktik kedokteran, kami telah memberikan pencerahan pada bagianbagian yang menyangkut patogenesis. Dalam tahun-tahun terakhir pengertian tentang dasar molekuler dari penyakit telah menciptakan pengembangan cara pengobatan tersasar (targeted therapy). Hal ini ditampilkan dalam bentuk kotak-



kotak Targeted Therapy dalam edisi online dari buku ini. Kami harap gambaran baru ini menjadi contoh dari kedokteran yang dibangun dari penemuan laboratorium dan diterapkan di tempat perawatan pasien (bench to bedside medicine). Walaupun banyak " terobosan-terobosan" laboratorium yang belum dapat diterapkan di tempat perawatan pasien, kami mencanturnkannya secara proporsional sehingga mahasiswa dapat mengikuti harapan besar yang menjadi masa depan dalam bidang pekerjaannya. Melihat kenyataan bahwa mahasiswa kedokteran masa kini merasa belum mantap dalam mencoba memadukan hal-hal penting dengan state of the art, kami meneruskan penggunaan kotak-kotak Ringkasan yang dirancang agar dapat memberikan pesan-pesan kunci untuk pahami (take home messages). Hal ini tetap diberikan walaupun berakibat menambah halaman, karena para mahasiswa menyampaikan kepada kami bahwa itu berguna. Banyak bagian-bagian baru berupa gambar dengan empat warna - skema, bagian alur, dan d iagram perjalanan penyakittelah ditambahkan untuk membantu pengertian tentang konsep yang sulit seperti pengendalian siklus sel, fungsi gengen kanker, interaksi HIV dengan reseptomya, dan dasar biokirnia dari kematian sel yang terprogram (apoptosis). Lebih banyak ilustrasi ditambahkan sampai mencapai jumlah keseluruhan lebih dari 1000. Perubahan diberikan terhadap format dan tata warna dari table-tabel demi menambah kejelasan. Banyak perubahan dan revisi dibuat namun sasaran utama kami tetap tidak berubah. Walaupun kita telah memasuki era genomic, cara pendekatan makroskopik dan mikroskopik yang menyita waktu berharga, tetap berguna dan perubahan morfologik ditampilkan khusus sebagai rujukan yang siap pakai. Penekanan kuat pada korelasi klinikopatologis dipertahankan, dan dampak patologi molekuler pada praktik kedokteran juga ditekankan. Kami senang bahwa semua hal ini dapat ditunaikan tanpa membebani naskah. Kami selanjutnya percaya bahwa kejelasan penulisan dan penggunaan bahasa yang tepat meningkatkan pengertian dan menunjang proses pembelajaran. Berbagai generasi mahasiswa menyampaikan kepada kami bahwa mereka menikmati membaca buku ini. Kami berharap edisi ini akan berguna dan mungkin meningkatkan tradisi pendahulunya.



Ucapan Terima Kasih Pertama kali, kami ingin menyampaikan terima kasih dan memberi tahukan kawan lama dan kolega Dr. Nelson Fausto untuk kontribusinya pada edisi sebelumnya dari buku llli. Kami memperoleh manfaat yang berlangsung terus dari penulisan dan penyuntingan yang dilakukan. Suatu karya besar semacam ini tidak dapat dilengkapi tanpa bantuan banyak pihak. Kami berterima kasih kepada kontributor dari berbagai bab. Banyak di antaranya adalah pewaris dari anak yang lebih tua dari naskah ini, yang disebut "Big Robbins", dan mereka dicantukan pada daftar isi. Kepada masing-masing kami sampaikan rasa terima kasih yang khusus. Kami beruntung dapat meneruskan kerjasama dengan Jim Perkins, yang ilustrasinya menuangkan gagasan untuk hidup dan menjelaskan konsep yang sulit, dan kami menyambut baik Dr. Raminder Kumar yang menyunting beberapa bab dengan kecermatan dan ketepatan dari muatan yang bersifat klinis. Kami berhutang budi kepada pembantu-pembantu kami, Valerie Discoll dari Chicago, Ana Narvez dari San Francisco, dan Muriel Goutas dari Boston, dalam koordinasi tugas. Banyak kolega yang memperkaya naskah dengan memberikan kritik yang membantu dari bidang minat masingmasing. lni termasuk Dr. Rick Aster, yang menyumbangkan "late breaking news" da lam bidang ilmu perubahan cuaca. Banyak yang lain menyampaikan kritik dari berbagai bab. Mereka termasuk Drs. Tony Chang dan Neeraj Jolly dari University of Chicago; Drs. Andrew Horvai, Marta Margeta, Arie Perry, dan Mike Rosenblum dari University of California, San Francisco; Dr. John Stone dari Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School; Dr. Diego H. Castrillon dari UT Southwestern Medical School; dan Dr. Victor J. Thannickal dari University of Alabama, Birmingham. Kepada yang lainlain yang telah memberikan bahan-bahan fo tografik dari koleksi pribadinya, kami ingi n memberikan penghargaan yang tidak terhingga demi sumbangsihnya yang bersifat otentik dan dokumenter dalam ilmu patologi. Terimalah permintaan maaf kami bagi yang tidak tercantum namanya secara tidak sengaja.



Banyak mitra dari Elsevier yang berperan dalam penerbitan buku ini. Naskah ini dapat ditangani dengan baik berkat bantuan Rebecca Gruliow (Manager, Content Development) yang kebetulan merupakan mitra untuk beberapa edisi. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Sarah Wunderly (Senior Project Manager) dan Lou Forgione (Senior Book Designer). Tidak terlupakan kontribusi Dill Schmitt, Executive Content Strategist, di samping berperan sebagai "cheer leader" juga sebagai teman. Penghargaan khusus ingin kami sampaikan kepada tim produksi untuk kesabaran yang diberikan kepada kami yang kadang-kadang mempunyai tuntutan "yang tidak mungkin" dan dukungan moralnya selama masa yang penuh kelelahan fisik dan mental yang dialami semua penulis dalam menghadapi tugasnya yang seolah-olah tidak pemah berakhir. Kami sangat berterima kasih kepada seluruh tim Elsevier yang telah berbagi rasa dalam pencapaian kesempurnaan. Upaya besar semacam ini sebenarnya merupakan beban berat bagi keluarga para penulis. Kami sampaikan terima kasih untuk kesabarannya ketika kami tidak berada di antara mereka, baik secara fisik maupun dalam ha! emosi. Kami bersyukur dan memperoleh kekuatan berkat dukungan tanpa parnrih dan cinta mereka, dan untuk pengertiannya bahwa upaya kami membawa kebaikan dan berguna. Penghargaan khusus kami sampaikan kepada mitra istri Rarninder Kumar, Ann Abbas, dan Erin Malone, yang terus menerus memberikan dukungan ketat. Akhirul kalam, Vinay Kumar dan Abu! Abbas menyambut baik Jon Aster, yang telah bersedia pada edisi ke-8 dari Pathologic Basis of Disease, sebagai penulis-pendamping dan penyunting. Kemitraan kami bertahan karena pandangan yang saling menunjang dalam mengajar walaupun terdapat perbedaan pendapat dan gaya pribadi. VK AKA JCA



Daftar Isi



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



29



BAB 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik, Tromboemboli dan Syok



75



1



Richard N. Mitchell



BAB 4



Penyakit Sistem lmun



99



BAB 5



Neoplasia



161



BAB 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



215



Anirban Maitra



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



269



BAB 8



Patologi Umum Penyakit lnfeksi



309



Alexander J. McAdam, Arlene H. Sharpe



BAB 9



Pembuluh Darah



327



Richard N. Mitchell



BAB 10



Jantung



365



Richard N. Mitchell



BAB 11



Sistem Hematopoietik dan Limfoid



407



BAB 12



Paru



459



Aliya Noor Husain



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



517



Charles E. Alpers, Agnes B. Fogo



BAB 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



551



Jerrold R. Turner, Mark W. Lingen



BAB 15



Hati, Kandung Empedu dan Saluran Bilier Neil D. Theise



Bab tanpa nama penulis (edisi asli) dituJis oleh para editor



603



xii



Daftar Isi



BAB 16



Pankreas



645



Anirban Maitra



BAB 17



Sistem Kelamin Laki-Laki dan Saluran Kemih Bawah



657



Jonathan Epstein



BAB 18



Sistem Genitalia Wanita dan Payudara



681



Husain A. Sattar



BAB 19



Sistem Endokrin



715



Anirban Maitra



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor-Tumor Jaringan Lunak



765



Andrew E. Rosenberg



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



797



Peter Pytel



BAB 22



Sistem Saraf Pusat



811



Matthew P. Frosch



BAB 23



Kulit Alexander J.F. Lazar, Wei-Lien Wang



851



1 BAB



Jejas Sel, Kematian Sel, dan Adaptasi DAFTAR ISI BAB Pendahuluan tentang Pathologi 1 Sekilas tentang Respons Sel terhadap Stres dan Stimulus yang Merusak 1 Adaptasi Sel Terhadap Stres 3 Hipertrofia 3 Hiperplasia 3 Atrofia 4 Metaplasia 5



Ikhtisar Jejas Sel dan Kematian Sel 5 Penyebab Jejas Sel 6 Morfologi Jejas pada Sel dan Jaringan 8 Jejas Reversible 8



Nekrosis 8 Gambaran Nekrosis Jaringan 9



Mekanisme Jejas pada Sel 11



Deplesi ATP 12 Kerusakan dan Disfungsi Mitokondria 13 Masuknya Aliran Kalsium 13 Akumulasi Radikal Bebas Asal-Oksigen (Stres Oksidatif) 14 Defek pada Permeabilitas Membran 16 Kerusakan DNA dan Protein 16



Hubungan klinikopatologis: Contoh Jejas Sel dan Nekrosis 16



PENDAHULUAN TENTANG PATOLOGI Terjemahan harfiah, patologi adalah ilmu (logos) tentang penyakit (pathos). llmu itu meliputi penelitian mengenai penyebab penyakit dan kelainan terkait dengan perubahan pada tingkat sel, jaringan dan organ, yang menyebabkan munculnya tanda dan gejala pada pasien. Ada dua istilah penting yang akan dihadapi mahasiswa selama pendidikan mereka tentang patologi dan kedokteran: • Etiologi adalah penyebab penyakit, termasuk penyebab utama dan faktor tambahan lain. Sekarang jelas bahwa penyakit yang sering dijumpai seperti hipertensi, diabetes dan kanker disebabkan oleh gabungan berbagai kerentanan genetik yang diturunkan dan faktor lingkungan. Pemahaman mengenai genetik dan faktor lingkungan yang merupakan penyebab penyakit merupakan topik utama ilmu kedokteran mutakhir. • Patogenesis ialah mekanisme tahapan timbulnya penyakit. Mekanisme ini menjelaskan bagaimana faktor etiologi memicu perubahan sel dan molekul dan mengakibatkan kelainan fungsi dan struktur khusus yang merupakan tanda khas suatu penyakit. Apabila etiologi menjawab mengapa suatu penyakit terjadi, maka patogenesis menjawab bagaimana timbulnya suatu penyakit. Mendefinisikan etiologi dan patogenesis suatu penyakit penting tidak hanya untuk memahami penyakit tetapi juga merupakan dasar pemberian terapi yang rasional. Sehingga dengan menjelaskan penyebab dan mekanisme suatu penyakit patologi memberikan dasar ilmiah untuk kegiatan ilmu kedokteran. Untuk membuat diagnosis dan pedoman terapi dalam kegiatan klinis, dokter spesialis patologi mengidentifikasi perubahan makroskopik ataupun mikroskopik (morfologi) sel dan jaringan, perubahan biokimia dalam cairan tubuh (seperti darah dan urin).



Jejas Iskemia dan Jejas Hipoksia 17 Reperfusi Jejas Iskemia 17 Jejas Kimia (Toksis) 17



Apoptosis 18



Penyebab Apoptosis 18 Mekanisme Apoptosis 19 Contoh Apoptosis 20



Autofag 22 Akumulasi Intrasel 23 Kalsifikasi Patologi 25 Penuan Sel 26



Dokter spesialis patologi memakai berbagai jenis teknik morfologik, molekuler, mikrobiologis dan imunologi untuk menentukan kelainan biokimia, struktur dan fungsi yang terjadi pada sel, jaringan dan organ terhadap akibat adanya jejas. Secara tradisional disiplin ilmu ini dibagi dalam patologi umum dan patologi khusus; patologi umum menitik beratkan pada kelainan sel dan jaringan diakibatkan oleh stimulus patologis pada jaringan secara umum, sedangkan patologi khusus mempelajari reaksi dan kelainan pada organ khusus tertentu. Pada buku ini karna akan membicarakan prinsip dasar patologi umum secara luas dan kemudian beranjak pada proses perkembangan penyakit tertentu pada berbagai organ.



SEKILAS TENTANG RESPONS SEL TERHADAP STRES DAN STIMULUS YANG MERUSAK Sel merupakan peserta aktif dari lingkungan yang selalu menyesuaikan struktur dan fungsi untuk mengakomodasi tuntutan perubahan kebutuhan dan terhadap stres ektrasel. Sel cenderung mempertahankan lingkungannya yang disebut homeostasis yaitu suatu keadaan dimana lingkungkan intrasel dipertahankan dalam rentang parameter fisiologis. Ketika sel menghadapi stres fisiologis atau rangsang patologis sel dapat beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan viabilitas dan fungsinya. Respons adaptasi utama adalah hipertrofi, hiperplasia, atrofia, dan metaplasia. Apabila kemampuan adaptif berlebihan atau stres eksternal berbahaya, maka sel mengalami jejas (Gambar 1-1). Dalam batas tertentu cedera bersifat reversibel dan sel akan kembali ke kondisi stabil semula; namun apabila stresnya berat atau berkepanjangan dan terjadi secara tibatiba akan mengakibatkan cedera ireversibel dan kematian pada sel



2



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



yang terkena. Kematian sel merupakan hasil yang penting pada perjalanan penyakit di jaringan atau di organ. Hal tersebut terjadi karena berbagai sebab, termasuk iskemia (aliran darah yang berkurang), infeksi, toksin, dan reaksi imunologi. Kematian sel merupakan kejadian normal dan penting pada proses embriogenesis, pertumbuhan organ dan mempertahankan homeostasis. Hubungan antara sel normal, sel yang mengalami adaptasi jejas reversibel dan ireversibel tertera pada Gambar 1-2 yang sesuai dengan respons jantung terhadap berbagai stres. Miokardium yang menerima peningkatan beban yang berkepanjangan, misalnya seperti pada keadaan hipertensi atau dengan katup yang menyempit (stenotik), beradaptasi dengan hipertrofi penambahan ukuran sel secara individu dan akhirnya seluruh jantung untuk menghasilkan peningkatan tekanan kontraktil yang dibutuhkan. Apabila kebutuhan yang meningkat tidak terpenuhi atau apabila miokardium mengalami iskemia dari arteri koronaria yang tersumbat maka sel otot akan mengalami jejas. Miokardium akan mengalami jejas reversibel apabila stres ringan atau penyumbatan arteri terbatas dan gangguan tersebut singkat. Sel akan mengalami jejas ireversibel dan kematian sel (infark) apabila terjadi sumbatan lengkap atau sumbatan yang berkelanjutan. Penting diketahui bahwa stres dan jejas tidak hanya berpengaruh pada gambaran morfologik tetapi juga pada status fungsional sel dan jaringan. Jadi miosit yang mengalami jejas reversibel tidak mati dan mirip dengan miosit normal. Namun miosit itu sementara tidak dapat berkontraksi sehingga jejas ringan pun dapat memberikan dampak klinis yang signifikan. Apakah suatu stres mengakibatkan adaptasi atau menyebabkan jejas reversibel atau ireversibel tidak hanya tergantung pada sifat dan keparahan stres tetapi juga pada beberapa variabel lain, termasuk metabolisme basal sel dan suplai darah dan status nutrisi. Pada bab ini akan dimulai



JEJAS REVERSIBEL



SEL NORMAL



Stimulus merugikan



Stress



ADAPTASI



Ringan



JEJAS SEL Ketidakmampuan beradaptasi



Berat



JEJAS IREVERSIBEL



NEKROSIS



KEMATIAN SEL



APOPTOSIS



Gambar 1-1 Tahap-tahap respons sel terhadap stres dan stimulus yang merugikan.



dengan menguraikan bagaimana sel beradaptasi terhadap stres dan kemudian penyebab, mekanisme dan akibat berbagai kerusakan akut pada sel, termasuk jejas reversibel, perubahan subseluler dan kematian sel. Diakhiri dengan tiga proses lain pada sel dan jaringan: penimbunan intrasel, klasifikasi patologis dan penuaan sel.



Miosit Normal



Adaptasi: respons terhadap beban yang bertambah



Jejas Sel



Jejas miosit reversibel



Miosit yang telah beradaptasi (hipertrofia) Kematian Sel



Gambar 1-2 Hubungan antara sel normal, sel yang mengalami adaptasi, sel yang mengalami jejas reversibel, dan sel miokardium yang mati. Adaptasi sel yang digambarkan di sini ialah hipertrofi, jenis jejas reversibel ialah iskemia, dan jejas ireversibel nekrosis koagulativa iskemik. Pada contoh hipertrofi miokardium (bawah kiri), tebal dinding ventrikel kiri lebih dari 2 cm (normal, 1-1,5 cm). Efek fungsional yang terjadi akibat jejas reversibel miokardio tidak menunjukkan perubahan pada gambaran makroskopik maupun mikroskopik, tidak dijumpai pembengkakan sel atau degenerasi lemak (tampak pada gambar). Pada sediaan yang menunjukkan nekrosis (kanan bawah) daerah terang transmural pada ventrikel kiri area posterolateral menunjukkan infark akut miokardium. Ketiga potongan melintang pada miokardium telah diwarnai dengan trifeniltetrazolium klorida, suatu substrat enzim yang akan memberikan warna magenta pada miokardium yang masih viabel. Kegagalan pewarnaan terjadi akibat hilangnya enzim setelah kematian sel.



Adaptasi Sel Terhadap Stres



ADAPTASI SEL TERHADAP STRES Adaptasi adalah perubahan reversibel dari jumlah, ukuran, fenotipe, aktivitas metabolit atau fungsi sel dalam memberikan respons terhadap perubahan lingkungan. Adaptasi fisiologis umumnya merupakan respons sel terhadap stimulus normal oleh hormon atau mediator kimia endogen (misal: pembesaran payudara dan uterus selama kehamilan akibat pengaruh hormon). Adaptasi patologis merupakan respons terhadap stres yang memungkinkan sel untuk menyesuaikan struktur dan fungsi sehingga dapat menghindari jejas. Adaptasi tersebut dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda.



Hipertrofia Hipertrofia adalah meningkatnya ukuran sel yang mengakibatkan organ bertambah besar. Sebaliknya hiperplasia (dibahas berikut) adalah penambahan jumlah sel yang terjadi karena proliferasi sel yang telah mengalami diferensiasi dan penggantian sel oleh sel punca (stem cell). Dengan kata lain pada hipertrofia murni tidak dibentuk sel baru, hanya sel bertambah besar mengandungi protein dan organel struktural yang meningkat. Hiperplasia merupakan respons adaptasi pada sel yang dapat melakukan replikasi, sedangkan hipertrofia terjadi pada set yang mempunyai kemampuan pertambahan yang terbatas. Hipertrofia dan hiperplasia juga dapat terjadi bersama-sama dan keduanya akan mengakibatkan organ bertambah besar. Hipertrofia dapat terjadi secara fisiologis atau patologis dan disebabkan oleh kebutuhan fungsional yang meningkat atau stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal. • Pembesaran fisiologis uterus selama kehamilan terjadi karena hipertrofia otot polos dan hiperplasia otot polos akibat pengaruh estrogen (Gambar 1-3). Keadaaan berlawanan dalam respons terhadap tuntutan meningkat terjadi pada otot serat lintang di otot skeletal dan jantung yang hanya dapat melakukan hipertrofia karena set otot dewasa mempunyai kapasitas bertambah yang terbatas, sehingga seorang atlet angkat besi pembesaran ototnya karena proses hipertrofia. • Contoh hipertrofia sel patologis adalah pembesaran jantung akibat hipertensi atau penyakit katup aorta (Gambar 1-2).



A



B



3



Mekanisme yang mengakibatkan hipertrofia jantung melibatkan setidaknya dua jenis rangsangan: rangsangan mekanik, seperti peregangan, dan rangsangan trofik, yang merupakan mediator yang mudah larut dan merangsang pertumbuhan sel, misalnya faktor pertumbuhan dan hormon yang bersifat seperti adrenalin. Stimulus ini akan merangsang jalur yang mengakibatkan terjadinya induksi sejumlah gen, yang kemudian akan merangsang sintesa berbagai protein sel, termasuk faktor pertumbuhan dan protein struktural. Hasilnya akan terjadi pertambahan sintesa protein dan miofilamen tiap sel, yang akan memperkuat kemampuan pada tiap kontraksi, memungkinkan sel memenuhi peningkatan kebutuhan yang dihadapi. Dapat pula terjadi perubahan protein kontraktil dari bentuk dewasa ke fetal atau neonatal. Contoh, selama masa hipertrofia otot, miosin alfa rantai berat akan diganti dengan miosin beta rantai berat yang akan menghasilkan kontraksi yang lebih lambat dan lebih menghemat energi. Walaupun terjadi mekanisme hipertrofia, akan dicapai batas di mana pembesaran massa otot tidak mampu lagi mengkompensasi beban yang meningkat. Apabila hal ini terjadi di jantung, beberapa perubahan degeneratif akan terjadi pada serat miokardium, yang terpenting ialah terjadinya fragmentasi dan hilangnya elemen kontraktil miofibril. Variabel yang membatasi terjadinya hipertrofia dan mengakibatkan kelainan regresif tidak seluruhnya dipahami. Serat yang membesar mengakibatkan terjadinya keterbatasan vaskular mitokondria untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP), atau gangguan biosintesa untuk menghasilkan protein kontraktil atau elemen sitoskeletal lain. Hasil akhir kelainan ini adalah dilatasi ventrikel dan disusul dengan gagal jantung, suatu urutan kejadian yang menggambarkan bagaimana suatu adaptasi terhadap stres dapat berakhir dengan kerusakan fungsi sel, apabila stres tidak dapat ditanggulangi.



Hiperplasia Seperti pembahasan sebelumnya, hiperplasia terjadi apabila jaringan mengandungi populasi sel yang mampu bereplikasi. Hal tersebut dapat terjadi bersama dengan hipertrofia dan sering terjadi karena stimulus yang sama.



C



Gambar 1-3 Hipertrofia fisiologis pada uterus selama kehamilan. A, Gambaran makroskopik uterus normal (kanan) dan uterus gravid (kiri) yang diangkat setelah perdarahan postpartum. B, Sel otot polos uterus bentuk spindel kecil dari sebuah uterus normal. C, Sel otoc polos uterus besar, hipertrofia dari uterus gravid; bandingkan dengan B. (B dan C, Pembesaran yang sama.)



4



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



BAB 1



mengalami gangguan atau menjadi tidak efektif (Bab 5). Sekalipun demikian, dalam banyak kasus, hiperplasia patologis merupakan lahan yang subur untuk timbulnya kanker. Contoh, pasien hiperplasia endometrium mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi kanker endometrium (Bab 18).



Hiperplasia dapat terjadi fisiologis ataupun patologis. Pada kedua keadaan proliferasi sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel. • Dua jenis hiperplasia fisiologis ialah: (1) hiperplasia hormonal, contoh pada proliferasi epitel kelenjar-kelenjar payudara saat pubertas dan saat kehamilan dan (2) hiperplasia kompensatorik, keadaan dimana jaringan sisa akan bertambah setelah pengeluaran atau hilangnya bagian dari suatu organ. Contoh apabila sebagian organ hati direseksi, aktivitas mitosis pada sel yang tersisa akan dimulai dalam waktu 12 jam, sampai terjadi pemulihan hati mencapai berat normal semula. Stimulus untuk hiperplasia pada proses ini adalah faktor pertumbuhan polipeptida yang dihasilkan oleh sel hati dan juga oleh sel non parenkim di hati (Bab 2). Setelah proses restorasi jaringan hati, proliferasi sel akan dihentikan oleh berbagai inhibitor pertumbuhan. • Umumnya hiperplasia patologis disebabkan oleh stimulus hormon dan faktor pertumbuhan yang meningkat. Contoh setelah siklus haid normal akan terjadi pertambahan proliferasi epitel uterus yang biasanya dipengaruhi ketat oleh hormon hipofisis dan hormon estrogen ovarium dan dihambat oleh progesteron. Namun apabila terjadi gangguan keseimbangan estrogen dan progesteron akan terjadi hiperplasia endometrium, yang merupakan penyebab tersering dari gangguan siklus haid. Hiperplasia juga merupakan respons penting sel jaringan ikat pada penyembuhan Iuka, di mana proliferasi fibroblas dan pembuluh darah menopang terjadinya pemulihan jaringan (Bab 2). Pada proses ini faktor pertumbuhan dihasilkan oleh sel darah putih (leukosit) dalam respons terhadap jejas dan matriks ekstrasel. Rangsangan faktor pertumbuhan juga terjadi pada hiperplasia yang dikaitkan dengan infeksi virus; contoh virus papiloma yang mengakibatkan kutil kulit dan lesi mukosa yang terjadi atas hiperplasia epitel. Pada keadaan ini faktor pertumbuhan disandi oleh gen virus atau gen sel pejamu yang terkena infeksi.



Atrofia Melisutnya ukuran sel akibat hilangnya substansi sel disebut atrofia. Apabila mengenai jumlah sel yang cukup banyak, seluruh jaringan atau organ akan mengecil ukurannya, menjadi atrofik (Gambar 1-4). Walaupun sel-sel atrofik menurun fungsinya, sel tersebut tidak mati. Termasuk penyebab atrofia, ialah berkurangnya beban kerja (misal: imobilisasi tungkai untuk memungkinkan penyembuhan fraktur), hilangnya persarafan, berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat, hilangnya stimulasi endokrin, dan penuaan (atrofia senilis). Walaupun beberapa stimulus tersebut bersifat fisiologis (misal: berkurangnya stimulasi hormonal pada menopause) dan lainnya patologis (misal: denervasi), kelainan dasar sel bersifat identik. Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel menjadi ukurannya lebih kecil namun sel dapat bertahan hidup; suatu keseimbangan baru terwujud antara ukuran sel dan berkurangnya suplai darah, nutrisi atau stimulasi trofik. Mekanisme atrofia merupakan kombinasi antara sintesa protein yang menurun dan degradasi protein dalam sel. • Sintesa protein menurun karena aktivitas metabolit menurun. • Degradasi protein sel terutama terjadi melalui jalur ubiquitinproteasome. Defisiensi nutrien dan kurang dipakai akan mengaktifkan ligase ubiquitin, yang akan menggabungkan beberapa peptida ubiquitin kecil dengan protein sel agar terjadi degradasi dalam proteasomes. Jalur ini diperkirakan berperan pada peningkatan proteolisis pada berbagai kondisi katabolik, termasuk keadaan kaheksia pada kanker. • Pada banyak keadaan, atrofia juga diiringi dengan peningkatan autofagia, yang meningkatkan vakuol autofagia. Autofagia ("memakan diri sendiri") merupakan proses yaitu sel yang kelaparan akan memakan komponennya sendiri dalam usaha untuk bertahan hidup. Hal ini akan dibahas kemudian pada bab ini.



Hal penting pada semua keadaan di atas, proses hiperplasia tetap terkendali; apabila sinyal yang memulai kejadian itu menghilang, maka hiperplasia juga akan berhenti. Kemampuan merespons terhadap mekanisme regulasi normal ini yang membedakan hiperplasia patologis dengan kanker. Pada kanker, mekanisme pengaturan pertumbuhan



A



B



Gambar 1-4 Atrofia otak. A, Otak normal dewasa muda. B, Atrofia otak pada seorang laki-laki usia 82 tahun dengan penyakit aterosklerosis. Atrofia otak terjadi karena proses penuaan dan menurunnya suplai darah. Perhatikan bahwa berkurangnya jaringan otak akan menyempitkan girus dan melebarnya sulkus. Jaringan meningen telah dilepas dari dasar pada tiap sediaan untuk menunjukkan permukaan otak.



lkhtisar Jejas Sel dan Kematian Sel



5



Metaplasia Metaplasia adalah perubahan reversibel yaitu satu jenis sel dewasa (sel epitel atau mesenkim) digantikan oleh sel dewasa jenis lain. Dalam adaptasi sel ini, suatu sel yang sensitif terhadap suatu stres tertentu diganti oleh sel lain yang lebih mampu bertahan terhadap lingkungan yang tidak menopang. Metaplasia diperkirakan terjadi karena sel punca (stem) diprogram kembali agar mengikuti jalur baru dan bukan perubahan fenotipe (perubahan diferensiasi) daripada set yang telah mengalami diferensiasi. Metaplasia epitel ditunjukkan dengan perubahan epitel skuamosa yang terjadi pada epitel saluran napas seorang perokok menahun (Gambar 1-5). Sel epitel kolumnar bersilia normal pada trakea dan bronkus akan diganti setempat atau mengenai daerah luas dengan epitel berlapis skuamosa. Epitel berlapis skuamosa yang tebal ini dapat bertahan terhadap zat kimia yang membahayakan pada asap rokok dibandingkan epitel bronkus semula yang tidak mampu bertahan. Walaupun epitel skuamosa metaplastik mempunyai daya pertahanan hidup yang menguntungkan, beberapa mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi mukus dan silia pembersih terhadap benda partikel. Walaupun epitel skuamosa metaplastik mempunyai daya pertahanan hidup yang menguntungkan, beberapa mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi mukus dan silia pembersih terhadap benda partikel. Metaplasia epitel merupakan pedang bermata dua. Akibat lain, pengaruh yang menginduksi perubahan metaplastik, apabila menetap, merupakan predisposisi perubahan keganasan pada epitel. Kenyataanya, metaplasia skuamosa epitel saluran pernapasan sering dijumpai bersamaan dengan kanker paru yang terdiri atas epitel skuamosa yang ganas. Diperkirakan merokok akan mengakibatkan metaplasia skuamosa pada tahap awal dan kanker akan timbul pada daerah ini kemudian. Karena vitamin A dibutuhkan untuk diferensiasi normal epitel, defisiensi vitamin ini akan mengakibatkan metaplasia skuamosa pada epitel saluran napas. Metaplasia tidak harus mengakibatkan epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa; pada refluks gaster kronik, epitel skuamosa esofagus bagian bawah mengalami transformasi metaplastik menjadi epitel gaster atau epitel kolumnar intestinal. Metaplasia dapat pula terjadi pada sel mesenkim, tetapi keadaan ini biasanya terjadi akibat reaksi terhadap perubahan patologis dan bukan respons adaptif terhadap stres. Contoh, tulang kadang-kadang dibentuk pada jaringan ikat, terutama pada lokasi jejas.



RINGKASAN Adaptasi Sel Terhadap Stres • Hipertrofia: penambahan ukuran sel dan organ, sering merespons terhadap beban kerja yang bertambah; diinduksi oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan akibat stres mekanik atau stimulus lain; terjadi pada jaringan yang tidak mampu melakukan pembelahan sel. • Hiperplasia: penambahan jumlah sel untuk merespons hormon dan faktor pertumbuhan lain; terjadi pada jaringan yang mempunyai sel yang mampu membelah atau mempunyai persediaan cukup sel punca (stem). Atrofia: melisutnya ukuran sel dan organ, akibat suplai • nutrien yang kurang atau tidak/kurang digunakan; dikaitkan dengan menurunnya sintesa blok pembangun sel dan meningkatnya kerusakan organel sel.



Membran basalis



A



Epitel kolumnar normal



Metaplasia skuamosa



B Gambar 1–5 Metaplasia epitel kolumnar normal (kiri) menjadi epitel skuamosa (kanan) pada bronkus, secara skematis (A) dan secara histologis (B).



• Metaplasia: perubahan fenotipe sel yang telah berdiferensiasi, sering akibat iritasi kronik, sehingga sel lebih mampu menghadapi stres; biasanya diinduksi melalui jalur diferensiasi sel stem yang berubah; dapat mengakibatkan fungsi yang menurun atau peningkatan kecenderungan transformasi menjadi ganas.



IKHTISAR JEJAS SEL DAN KEMATIAN SEL Seperti tercantum pada awal bab ini, jejas sel akan terjadi apabila sel mengalami stres yang berat sehingga sel tersebut tidak dapat lagi beradaptasi atau apabila sel terpapar pada agen yang merusak atau mengalami abnormalitas intrinsik (misal: pada DNA atau protein). Berbagai stimulus yang mencederakan akan mengakibatkan gangguan jalur metabolisme dan organel sel. Jejas akan berkembang dari stadium reversibel dan berakhir pada kematian sel (Gambar. 1–1). • Jejas sel reversibel. Pada stadium awal atau pada cedera yang ringan kelainan fungsi dan morfologi masih reversibel apabila stimulus yang merusak dihilangkan. Pada stadium ini walaupun terjadi kelainan struktur dan fungsi yang penting yang signifikan, jejas itu umumnya tidak berkembang mengakibatkan kerusakan membran dan kerusakan inti. • Kematian sel. Apabila cedera berkelanjutan, jejas menjadi ireversibel, sel tidak dapat pulih kembali dan menjadi mati. Ada dua jenis kematian sel nekrosis dan apoptosis yang berbeda dalam mekanisme, morfologi dan peran pada penyakit dan Fisiologi (Gambar 1-6 dan Tabel 1-1). Apabila kerusakan membran amat parah, enzim akan keluar dari lisosom, memasuki sitoplasma dan mencerna sel, mengakibatkan nekrosis. lsi sel akan keluar dari membran plasma yang rusak dan memasuki rongga ekstrasel, dan



6



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



memicu reaksi pejamu (peradangan). Nekrosis merupakan jalur utama kematian sel pada berbagai cedera yang sering dijumpai, misalnya akibat iskemia, toksin, berbagai infeksi, dan trauma. Apabila sebuah sel kehilangan faktor pertumbuhan, atau DNA sel atau protein rusak tanpa dapat diperbaiki, sel tersebut akan bunuh diri melalui suatu jenis kematian sel, yang disebut apoptosis, ditandai dengan hilangnya inti tanpa kerusakan membran dengan karakterisasi berupa disolusi inti tanpa kehilangan total intergritas membran. Apabila nekrosis selalu merupakan proses patologis, maka apoptosis berfungsi normal dan tidak selalu dikaitkan dengan jejas patologis sel. Juga dalam perannya pada proses fisiologis tertentu, apoptosis tidak mengakibatkan reaksi radang. Gambaran morfologik, mekanisme dan peran kedua jalur kematian sel ini dibicarakan lebih lanjut pada bab ini.



PENYEBAB JEJAS SEL Jejas sel dapat terjadi mulai dari trauma fisis pada kecelakaan kendaraan bermotor hingga defek sebuah gen yang mengakibatkan enzim tidak berfungsi pada suatu penyakit metabolit. Umurnya stimulus yang merusak itu dapat dikelompokkan dalam kategori berikut.



Kekurangan Oksigen



Hipoksia, atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi erobik oksidatif dan merupakan penyebab jejas dan kematian sel yang sangat penting dan tersering. Hipoksia perlu dibedakan dengan iskemia yang merupakan berkurangnya suplai darah ke jaringan akibat terganggunya aliran arteri atau menurunnya aliran vena. Apabila iskemia merupakan penyebab hipoksia tersering, defisiensi oksigen juga dapat terjadi karena oksigenasi yang tidak memadai, misalnya pada pneumonia, atau pada menurunnya kemampuan darah membawa oksigen, contohnya pada anemi akibat kekurangan darah atau keracunan karbon monoksida (CO). (CO membentuk kompleks stabil dengan hemoglobin yang mencegah ikatan dengan oksigen).



Agen Kimia



Peningkatan jumlah beberapa zat kimia yang bisa mengakibatkan jejas sel mulai dikenal; zat yang dijumpai sehari-hari pun misalnya glukosa, garam, maupun air apabila diserap atau diberikan secara berlebihan akan menganggu lingkungan osmotik sehingga mengakibatkan jejas sel atau kematian sel. Agen yang biasanya dikenal sebagai racun akan mengakibatkan kerusakan sel dengan mengganggu permeabilitas membran, homeostasis osmotik, dan integritas dari enzim atau kofaktor dan kemudian paparan pada racun tersebut dapat mengakibatkan kematian seluruh organisme. ada agen yang berpotensi



SEL NORMAL



SEL NORMAL



Pemulihan



Jejas Reversibel



Kondensasi kromatin Pembengkakan retikulum endoplasma dan mitokondria



Benda mielin



Gelembung membran



Gelembung Membran



Fragmentasi sel



Jejas progresif Benda mielin



Radang



Kerusakan membran plasma, organel, dan inti; kebocoran isi sel



NEKROSIS



Benda apoptotik



Fagosit



Densitas amorf di mitokondria



Gambar 1–6 Gambaran sel pada nekrosis (kiri) dan apoptosis (kanan).



APOPTOSIS



Fagositosis sel apoptotik dan fragmen sel



Molfologi Jelas pada Sel dan Jaringan



7



Tabel 1–1 Gambaran Nekrosis dan Apoptosis



Gambaran



Nekrosis



Apoptosis



Besar sel



Membesar (bengkak)



Mengecil (melisut)



Inti



Utuh; struktur berubah, terutama orientasi lemak



Isi sel



Piknosis → karioreksis → kariolisis Rusak Pencernaan enzimatik bisa menghilangkan sel



Radang sekitarnya



Sering



Peran fisiologis atau patologis



Patologi (diakhiri jejas sel ireversibel)



Membran plasma



Fragmentasi menjadi fragmen sebesar nukleosom Utuh; mungkin ditampilkan pada badan-badan apoptotik Tidak Sering fisiologis; upaya untuk mengeliminasi sel yang tidak diinginkan; bisa patologis setelah berbagai cedera sel, khususnya kerusakan DNA dan kerusakan protein



DNA, asam deoksiribonukleat.



toksik yang dijumpai sehari-hari dalam lingkungan; termasuk di antaranya polutan udara, insektisida, CO, asbes, dan "stimulan sosial" misalnya etanol. Banyak obat-obatan dapat mengakibatkan jejas pada sel atau jaringan pada pasien yang sensitif atau apabila dipakai berlebihan atau tidak tepat (Bab 7). Oksigen pun apabila dipakai dengan tekanan tinggi bisa merupakan racun.







Agen penyebab infeksi bervariasi mulai dari yang berukuran virus submikroskopik hingga cacing pita yang panjangnya beberapa meter; di antaranya adalah riketsia, bakteri, jamur, dan protozoa. Cara-cara infeksi patogen mengakibatkan penyakit akan dibahas dalam (Bab 8).



Reaksi Imunologi Walaupun sistem imun melindungi tubuh terhadap mikrobakteri patogen, reaksi imun juga dapat mengakibatkan cedera sel dan jaringan. Contoh reaksi imun yang merugikan adalah reaksi autoimun terhadap jaringannya sendiri dan reaksi alergi terhadap substansi lingkungan pada penderita dengan gangguan genetik (Bab 4).







Gangguan genetik dapat mengakibatkan kelainan patologis yang mencolok seperti malformasi kongenital berhubungan dengan sindrom Down atau kelainan ringan seperti pergantian satu asam amino pada hemoglobin S yang mengakibatkan anemia sel sabit (sickle) (Bab 6). Defek genetik dapat mengakibatkan jejas sel karena defisiensi protein fungsional seperti defisiensi protein fungsional yang menyebabkan gangguan metabolisme bawaan, atau penimbunan beberapa kerusakan DNA atau kesalahan pelipatan protein, yang keduanya bisa mengakibatkan kematian sel apabila terjadi dalam proses perbaikan. Variasi genetik (polimorfisme) ikut menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dan dapat mengakibatkan kerentanan sel terhadap jejas akibat zat kimia atau pengaruh lingkungan lain.







Pada perkembangan dunia yang maju ini defisiensi nutrisi tetap menjadi penyebab tersering jejas pada sel. Kekurangan protein kalori pada negara yang sedang berkembang merupakan contoh yang mencolok; defisiensi vitamin tertentu dapat dijumpai pada negara berkembang pun dengan standar hidup yang tinggi (Bab 7). Amat ironis bahwa gangguan nutrisi dan bukan kekurangan nutrisi merupakan penyebab penting pada morbiditas dan mortalitas; contoh obesitas akan meningkatkan diabetes melitus tipe 2. Juga, diet yang mengandungi lemak hewan diduga kuat akan mengakibatkan aterosklerosis dan kerentanan yang meningkat terhadap kelainan lain termasuk kanker.



Agen Fisis Trauma, suhu yang ekstrem, radiasi, syok listrik dan perubahan yang tiba-tiba pada tekanan atmosfir mengakibatkan efek yang luas pada sel (Bab 7).







Penuaan pada sel akan mengakibatkan gangguan replikasi dan kemampuan perbaikan pada sel dan jaringan. Seluruh perubahan ini bisa mengakibatkan menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap kerusakan sel dan kemudian bisa berakhir dengan kematian sel dan organisme. Mekanisme tentang penuaan sel akan dibicarakan dalam akhir bab ini.



MORFOLOGI JEJAS PADA SEL DAN JARINGAN Penting untuk diketahui tentang perubahan struktural yang terjadi pada sel yang mengalami cedera, sebelum kita membicarakan mekanisme biokimia yang mengakibatkan perubahan tersebut. Semua stres dan zat berbahaya mula-mula akan memberikan pengaruh pada tingkat molekuler atau biokimia. Hilangnya fungsi sel terjadi jauh sebelum kematian sel, dan kelainan morfologi terjadi jauh sesudahnya (Gambar. 1–7). Contoh, sel miokardium tidak dapat berkontraksi setelah terjadinya iskemia satu sampai dua menit, walaupun set tersebut baru akan mati 20 sampai 30 menit setelah iskemia terjadi. Dengan mikroskop elektron, sel tidak tampak mati dalam jangka waktu 2 sampai 3 jam, sedangkan dengan mikroskop cahaya setelah 6 sampai 12 jam. Kelainan sel pada jejas reversibel dapat dikoreksi dan apabila stimulus tersebut menghilang maka set dapat kembali menjadi normal. Cedera yang terus menerus dan berat, akan mengakibatkan sel melampaui "point of no return" menuju jejas ireversibel dan kematian sel. Keadaan yang mengakibatkan jejas reversibel menjadi ireversibel dan mengakibatkan kematian sel tetap tidak dimengerti dengan jelas. Relevansi klinis terhadap keadaan ini sangat penting; karena apabila kelainan biokimia dan molekuler yang mengakibatkan kematian sel dapat diidentifikasi dengan tepat, maka dapat diperoleh cara untuk mencegah terjadinya perubahan jejas reversibel menjadi ireversibel. Walaupun tidak ada kelainan morfologi atau biokimia pasti yang berkaitan dengan ireversibilitas, dua hal menjadi ciri khas irevisibilitas: pertama ketidakmampuan untuk memperbaiki disfungsi mitokondria (tidak terjadinya fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP) walaupun telah tetjadi resolusi jejas asal, dan kedua ialah gangguan pada fungsi membran. Seperti telah dibicarakan sebelumnya, jejas pada membran lisosom mengakibatkan kerusakan enzim pada sel yang cedera yang berakhir dengan nekrosis.



8



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Seperti telah di bicarakan sebelumnya, berbagai stimulus yang membahayakan dapat mengakibatkan kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis (Gambar 1–6 and Tabel 1–1). Berikut kita akan membicarakan jejas ireversibel dan nekrosis; sekuens akibat kelainan morfologi pada proses ini tertera pada Gambar 1–6. Apoptosis mempunyai berbagai gambaran khusus dan akan dibicarakan tersendiri pada bab ini.



Jejas Reversibel



metabolisme komponen lain yang dilakukan oleh sistem yang sama. Jadi apabila pasien yang menggunakan phenobarbital untuk epilepsi meningkatkan pemakaian alkohol, mereka dapat mengalami penurunan konsentrasi obat anti kejang hingga tingkat subterapeutik karena induksi ER dalam merespons kepada alkohol.



MORFOLOGI



Dua kelainan morfologik penting yang berkaitan dengan jejas reversibel pada sel ialah pembengkakan sel dan degenerasi lemak. Pembengkakan sel merupakan akibat kegagalan pompa ion yang tergantung tenaga/ energi dependen pada membran plasma, mengakibatkan sel tidak mampu mempertahankan homeostasis ion dan cairan. Degenerasi lemak terjadi akibat jejas hipoksia dan berbagai cedera toksik dan metabolit yang tampak sebagai vakuol kecil atau besar di dalam sitoplasma. Mekanisme degenerasi lemak akan dibahas pada Bab 15. Pada beberapa keadaan, yang berpotensi menimbulkan jejas akan mengakibatkan perubahan spesifik pada organel sel, seperti ER (endoplasmic reticulum). ER terlibat dalam metabolisme berbagai zat kimia, dan sel yang mengalami paparan pada zat kimia tersebut akan menunjukkan hipertrofia ER sebagai upaya adaptasi yang dapat mengakibatkan perubahan fungsional penting. Contoh, barbiturat di metabolisme di hati oleh sistem gabungan sitokrom P-450 dan oksidase pada ER normal. Pemakaian barbiturat yang berkepanjangan akan mengakibatkan keadaan toleransi, sehingga pengaruh obat akan menurun dan dibutuhkan dosis yang lebih tinggi. Adaptasi ini terjadi karena volume yang bertambah (hipertrofia) dari ER sel hepar dan peningkatan aktivitas enzim P-450. Walaupun modifikasi yang dimediasi P-450 diperkirakan sebagai upaya "detoksifikasi", banyak komponen mengalami cedera pada proses ini; contoh ialah karbon tetraklorida (CCl4), akan dibicarakan kemudian. Sebagai tambahan, hasil yang terbentuk akibat metabolisme oksidatif ini ialah spesies oksigen reaktif (ROS), yang akan mengakibatkan cedera pada sel. Sel yang mengadaptasi suatu obat mempunyai kapasitas lebih untuk melakukan



Pembengkakan sel (Gambar. 1–8, B),manifestasi pertama jejas pada sel, ialah perubahan reversibel yang sulit dikenal pada mikroskop cahaya. tetapi lebih tampak pada tingkat organ. Apabila keadaan itu mengenai banyak sel pada suatu organ, akan mengakibatkan warna pucat (akibat dari tekanan pada kapiler), turgor meningkat, dan berat organ akan meningkat. Gambaran mikroskopik menunjukkan vakuol kecil jernih dalam sitoplasma; menandakan segmen retikulum endoplasmik (ER) yang melebar dan terlepas. Pola jejas nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidrofik atau degenerasi vakuolar. Degenerasi lemak tampak sebagai vakuol lemak dalam sitoplasma. Biasanya dijumpai pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak (contoh sel hati, sel miokardium) dan bersifat reversibel. Sel cedera juga akan menunjukkan pulasan eosinofil yang bertambah, dan akan lebih menonjol apabila terjadi nekrosis (dibicarakan kemudian). Perubahan intrasel berkaitan dengan jejas reversibel (Gambar. 1–6) termasuk (1) perubahan membran plasma seperti penonjolan, distorsi mikrovilli dan lepasnya unsur intersel; (2) gangguan mitokondria misalnya pembengkakan dan timbulnya benda amorf mengandungi fosfolipid; (3) dilatasi ER dan lepasnya ribosom serta disosiasi polisom; dan (4) perubahan inti, berupa penggumpalan kromatin. Sitoplasma dapat mengandungi massa fosfolipid, disebut benda mielin, terbentuk dari membran sel yang rusak.



Nekrosis Jejas sel reversibel



Kematian sel



Perubahan Perubahan ultrastruktur mikroskop cahaya



Perubahan makroskopik



EFEK



Fungsi sel



Jejas sel ireversibel



Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang dihubungkan dengan hilangnya integritas membran dan bocornya isi sel sehingga terjadi kerusakan sel, terutama akibat pengaruh enzim yang merusak sel yang mengalami jejas fatal. Isi sel yang bocor keluar akan mengakibatkan reaksi lokal pejamu yang disebut radang yang merupakan upaya untuk menghilangkan sel yang mati dan memulai proses perbaikan (Bab 2). Enzim yang mengakibatkan pencernaan sel berasal dari lisosom sel mati dan dari lisosom leukosit yang dikerahkan sebagai bagian dari reaksi radang karena adanya sel yang mati.



MORFOLOGI LAMA JEJAS



Gambar 1–7 Hubungan fungsi sel, kematian sel, dan perubahan moriologik pada jejas sel. Perhatikan bahwa sel menjadi tidak berfungsi segera setelah terjadinya jejas, walaupun masih viabel, dan dapat mengakibatkan kerusakan reversibel, dengan bertambah lamanya waktu terjadinya jejas, dapat mengakibatkan jejas ireversi bel dan kematian sel. Juga agar diperhatikan bahwa kematian sel mendahului perubahan ultrastruktural, mikroskop cahaya dan perubahan moriologik yang dapat dilihat.



Nekrosis ditandai dengan adanya perubahan pada sitoplasma dan inti sel yang mengalami jejas (Gambar 1–6, kiri, dan 1–8, C). • Perubahan sitoplasma. Sel nekrotik akan menunjukkan peningkatan warna eosin (contoh warna merah jambu dari zat warna eosin E pada pulasan hematoksilin dan eosin [H&E]), terjadi sebagian oleh karena peningkatan ikatan eosin dengan protein sitoplasma yang mengalami



Morfologi Jejas pada Sel dan Jaringan



A



B



9



C



Gambar 1–8 Perubahan morfologik pada jejas sel reversibel dan ireversibel (nekrosis). A, Tubulus ginjal normal dengan sel epitel viabel. 8 , Jejas dini (reversibel) iskemik menunjukkan tonjolan permukaan, peningkatan eosinofilia di sitoplasma, dan pembengkakan beberapa sel. C, jejas nekrotik (ireversibel) sel epitel, dengan hilangnya inti dan fragmentasi sel dan bocornya isi sel. (Penghormatan kepada Drs. Neal Pinckard dan MA. Venkatachalam. University of Texas Health Sciences Center San Antonio, Tex.)



denaturasi dan akibat hilangnya warna basofil yang biasanya dijumpai pada asam ribonukleat (RNA) pada sitoplasma (basofil adalah warna biru pada pewarnaan hematoksilin H pada "H&E"). Dibandingkan dengan sel viabel maka sel ini memberikan gambaran jernih, homogen terutama akibat hilangnya partikel glikogen. Gambaran mielin lebih mencolok pada sel nekrotik dibandingkan saat jejas reversibel. Apabila enzim telah mencerna organel sitoplasmik, sitoplasma bervakuol dan mirip gambaran seperti "digigit rayap". Dengan elektron mikroskop sel nekrotik ditandai dengan diskontinuitas pada plasma dan membran organel, dilatasi mencolok pada mitokondria dengan gambaran benda amorf, kerusakan lisosom dan gambaran mielin dalam sitoplasma. • Perubahan inti. Perubahan inti berbentuk satu dari tiga buah pola yang semua disebabkan oleh kerusakan DNA dan kromatin. Warna basofil dari kromatin akan memudar (kariolisis), kemungkinan terjadi sekunder akibat aktivitas deoksiribonuklease (DNase). Gambaran kedua adalah piknosis, berupa inti yang mengecil dan warna basofil meningkat; DNA berubah menjadi suatu massa padat melisut. Gambaran ketiga adalah karioreksis, inti piknotik mengalami fragmentasi. Dalam satu atau dua hari inti sel yang mati akan menghilang. Gambaran mikroskop elektron menunjukkan perubahan inti yang berakhir dengan disolusi inti. • Nasib sel nekrotik. Sel nekrotik dapat bertahan beberapa saat atau kemudian dicerna oleh enzim dan menghilang. Sel mati akan diganti oleh benda mielin yang akan difagositosis oleh sel lain atau mengalami degradasi menjadi asam lemak. Asam lemak ini akan mengikat garam kalsium, mengakibatkan sel mati mengalami proses klasifikasi.



Gambaran Nekrosis Jaringan Ada berbagai gambaran morfologi pada nekrosis jaringan yang dapat menjelaskan penyebabnya. Walaupun terminologi yang menggambarkan pola ini tidak menjelaskan mekanisme penyebab, istilah tersebut lazim digunakan dan dimengerti oleh dokter spesialis patologi dan dokter spesialis klinis. Umumnya jenis nekrosis ini memberikan gambaran makroskopik yang jelas; nekrosis fibrinoid dideteksi hanya melalui pemeriksaan histologis.



MORFOLOGI • Nekrosis koagulatifa. Merupakan jenis nekrosis yang arsitektur jaringannya tetap dipertahankan untuk beberapa hari (Gambar. 1–9). Jaringan yang terkena mempunyai bentuk padat. Kemungkinan jejas merusak tidak hanya protein tetapi juga enzim, sehingga tidak terjadi proteolisis sel mati; akibatnya sel menjadi eosinofilik tanpa nukleus dan bisa bertahan beberapa hari hingga beberapa minggu. Leukosit akan menuju tempat nekrosis dan sel mati akan dicerna oleh enzim lisosom dari leukosit. Sisa-sisa sel akan dihilangkan melalui proses fagositosis. Nekrosis koagulatif adalah karakteristik infark (daerah nekrosis iskemik) dan terjadi pada semua organ padat kecuali otak. • Nekrosis liquefaktifa dijumpai pada infeksi bakteri setempat, atau kadang-kadang infeksi jamur, karena mikroba akan mengakibatkan akumulasi sel radang dan enzim leukosit yang mencerna ("liquefy") jaringan. Karena alasan tertentu, kematian akibat hipoksia sel dalam sistem saraf pusat sering mengakibatkan nekrosis liquefaktifa (Gambar. 1–10). Apa pun patogenesisnya, sel mati seluruhnya akan dicerna sehingga jaringan berubah menjadi massa yang cair. Akhirnya jaringan



10



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



I



N



A



B



Gambar 1–9 Nekrosis koagulativa. A, lnfark bentuk baji pada ginjal (kuning) dengan preservasi batas luar. B, Gambaran mikroskopik tepi infark, dan ginjal normal (N) dan sel nekrosis dalam infark (I). Sel nekrosis menunjukkan preservasi batas sel dengan hilangnya inti, dan infiltrat radang di jumpai (sulit melihatnya pada pembesaran ini).



tersebut akan dihilangkan oleh fagosit. Apabila proses ini terjadi pada radang akut, seperti pada infeksi bakteri, terbentuk cairan berwarna kuning kental dan disebut nanah (Bab 2). • Walaupun nekrosis gangrenosa bukan merupakan gambaran tertentu sel yang mati, terminologi ini masih dipakai pada keadaan klinis sehari-hari. Kelainan tersebut terjadi pada tungkai terutama tungkai bawah yang mengalami kekurangan aliran darah dan terjadi nekrosis koagulatifa meliputi berbagai lapisan jaringan. Apabila kemudian diikuti infeksi bakteri, nekrosis koagulatifa akan berubah menjadi nekrosis liquefaktifa dan akan didatangi oleh leukosit (mengakibatkan keadaan yang disebut gangren basah). • Nekrosis kaseosa, sering dijumpai pada fokus infeksi tuberkulosa. Kaseosa berarti "mirip keju" menyatakankan gambaran putih kekuning-kuningan pada daerah nekrosis yang rapuh (Gambar 1-11). Pada gambaran mikroskopik fokus nekrotik menunjukkan kumpulan sel yang berfragmentasi dan sel yang hancur dengan gambaran merah muda granuler pada pewarnaan jaringan H&E. Berbeda dengan nekrosis koagulatifa, arsitektur jaringan dirusak secara menyeluruh dan gambaran sel tidak dapat dikenal lagi. Daerah nekrosis kaseosa biasanya dikelilingi oleh jaringan radang; gambaran ini merupakan gambaran khas dari fokus radang yang disebut granuloma (Bab 2). • Nekrosis lemak merupakan daerah setempat yang mengalami destruksi lemak, suatu kelainan khas akibat pelepasan enzim lipase pankreas yang teraktifkan ke dalam jaringan pankreas dan rongga peritoneum. Hal ini terjadi pada keadaan darurat abdomen dan dikenal sebagai pankreatitis akuta (Bab 16). Pada kelainan ini enzim pankreas yang keluar dari sel asinus dan duktusakan mencairkan sel lemak peritoneum, dan lipase akan memecah ester trigliserida pada sel lemak. Asam lemak yang terbentuk akan mengikat kalsium dan menghasilkan daerah putih seperti kapur (saponifikasi lemak), memudahkan dokter spesialis bedah dan dokter spesialis



patologi untuk mengidentifikasi lesi tersebut (Gambar. 1–12). Pemeriksaan histologis fokus nekrocik menunjukkan gambaran samar sel lemak yang nekrosis dengan deposit kalsium basofilik, dikelilingi reaksi radang. • Nekrosis fibrinoid merupakan nekrosis khusus, tampak dengan mikroskop cahaya, umumnya terjadi pada reaksi imun dimana kompleks antigen dan antibodi mengendap pada dinding arteri. Endapan kompleks imun bersama dengan fibrin yang keluar dari pembuluh, akan memberikan gambaran merah muda amorf yang mencolok pada sediaan H&E dan disebut fibrinoid (mirip fibrin) oleh dokter spesialis patologi (Gambar 1–13). Penyakit akibat gangguan imunologi (misal: poliarteritis nodosa) jenis nekrosis ini dibicarakan pada Bab 4.



Gambar 1–10 Nekosis liquefaktif. lnfark di otak menunjukkan disolusi jaringan.



Mekanisme Jejas pada Sel



11



Gambar 1-13 Nekrosis fibrinoid pada arteri seorang penderita poliarteritis nodosa. Dinding arteri menunjukkan daerah melingkar merah muda akibat nekrosis dengan deposisi protein dan peradangan. Gambar 1–11 Nekrosis kaseosa. Tuberkulosis paru, dengan daerah nekrosis kaseosa yang luas mengandungi sisa jaringan berwarna kuning-keputihan (mirip keju)



RINGKASAN Perubahan Morfologi pada Jejas Sel dan Jaringan •



Jejas reversibel sel: pembengkakan sel, degenerasi lemak, penonjolan membran plasma dan hilangnya mikrovili, pembengkakan mitokondria, pelebaran ER, eosinofilia (terjadi karena berkurangnya RNA sitoplasma)







Nekrosis: bertambahnya warna eosinofil, pelisutan inti, fragmentasi dan disolusi; rusaknya membran plasma dan membran organel; benda mielin sangat bertambah; keluarnya isi sel dan pencernaannya oleh enzim. Gambaran nekrosis jaringan: pada beberapa keadaan berbeda, nekrosis jaringan memberi gambaran khusus: nekrosis koagulatifa, liquefaktifa, gangren, perkijuan, perlemakan dan fibrinoid.







Keluarnya atau bocornya protein intrasel melalui membran sel yang rusak dan masuk aliran darah memungkinkan dilakukannya deteksi nekrosis khusus jaringan dengan pemeriksaan darah atau serum. Otot jantung, misalnya, mempunyai jenis isoform unik dari enzim keratin kinase dan protein kontraktil troponin, sedangkan epitel duktus biliaris mengandungi isoform enzim fosfatase alkali yang resistan terhadap temperatur dan set hepar mengandungi transaminase. Jejas ireversibel dan kematian set pada jaringan tersebut akan meningkatkan kadar serum protein terkait dan kadar yang dijumpai dipakai untuk memberikan gambaran klinis kerusakan pada jaringan tersebut.



MEKANISME JEJAS PADA SEL Setelah kita bicarakan penyebab jejas pada sel dan perubahan morfologi pada nekrosis, kita akan lanjutkan lebih terperinci tentang dasar kelainan molekuler pada jejas sel dan menggambarkan prinsipprinsip penting dalam beberapa contoh jejas yang sering dijumpai. Mekanisme biokimia yang menghubungkan suatu jejas dengan manifestasi sel dan jaringan amat kompleks, saling terkait dengan berbagai jalur metabolisme intrasel. Namun demikian, beberapa prinsip umum relevan pada kebanyakan bentuk jejas sel: • Respons sel terhadap stimulus yang membahayakan tergantung pada jenis, lamanya dan, parahnya jejas. Sehingga toksin dengan dosis rendah atau iskemia yang singkat akan mengakibatkan jejas sel reversibel, sedangkan toksin dengan dosis tinggi atau iskemia yang lama akan mengakibatkan jejas ireversibel dan kematian sel.



Gambar 1–12 Nekrosis lemak pada pankreatitis akuca. Daerah yang berwarna putih mirip kapur menandakan fokus nekrosis lemak den pembentukan sabun kalsium (saponifikasi) pada daerah penghancuran lemak di mesenterium.



• Akibat dari stimulus yang membahayakan tergantung pada jenis, status, daya adaptasi dan dasar genetik sel yang cedera. Jejas yang sama akan mengakibatkan kelainan sangat berbeda bergantung pada jenis sel; misalnya otot serat lintang pada tungkai tahan terhadap iskemia total selama 2-3 jam tanpa timbulnya jejas ireversibel, sedangkan otot jantung akan mati hanya dalam waktu 20-30 menit. Status nutrisi (atau hormonal) juga menentukan; jelas, sel hati yang penuh dengan glikogen akan lebih toleran pada iskemia jauh lebih baik dibanding sel hati yang telah membakar habis persediaan molekul glukosanya. Perbedaan genetik jalur metabolisme akan mengakibatkan berbagai respons berbeda pada stimulus yang membahayakan. Contoh, apabila terpapar pada dosis



12



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



toksin yang sama, seseorang yang mempunyai varian gen penyandi sitokrom P-450 mampu melakukan katabolisme toksin dengan kemampuan berbeda, sehingga menimbulkan hasil berlainan. Banyak penelitian saat ini ditujukan untuk memahami peran polimorfisme genetik dalam respons terhadap obat dan toksin. Penelitian tentang interaksi tersebut disebut farmakogenomik. Dasarnya variasi genetik mempengaruhi akibat pada berbagai penyakit dan juga respons terhadap tindakan pengobatan. Pemanfaatan pengetahuan genetik pada pasien secara individu untuk petunjuk terapi merupakan contoh dari kedokteran individu ("personalized medicine"). • Jejas sel terjadi akibat kelainan fungsional dan biokimia pada satu atau beberapa komponen sel yang penting (Gambar 1-14). Tujuan utama dan mekanisme biokimia jejas sel ialah: (1) mitokondria dan kemampuannya untuk menghasilkan ATP dan ROS pada keadaan patologis; (2) gangguan homeostasis kalsium; (3) kerusakan pada membran sel (plasma dan lisosome); dan (4) kerusakan DNA dan salah pelipatan protein. • Berbagai perubahan biokimia dapat dipicu oleh setiap penyebab yang membahayakan. Sehingga sulit untuk menentukan mekanisme pada suatu sebab atau keadaan klinis tertentu yang mengakibatkan jejas sel yang mencolok. Atas dasar alasan ini, terapi yang mentargetkan mekanisme jejas sel individu tidak akan efektif.



Deplesi ATP yang signifikan mengakibatkan efek luas pada berbagai sistem sel yang penting (Gambar 1-15): • Berkurangnya aktivitas ATP membran plasma yang bergantung pada pompa sodium menyebabkan tertimbunnya sodium di dalam sel dan keluarnya kalium dari dalam sel. Hasil akhir penambahan air yang iso osmotik menyebabkan pembengkakan sel dan dilatasi ER. • Sebagai upaya untuk mempertahankan sumber energi sel terjadi kegiatan kompensasi berupa peningkatan glikolisis anerobikenergi. Hal ini mengakibatkan timbunan glikogen intrasel dengan cepat terkuras, dan akumulasi asam laktat, mengakibatkan menurunnya pH intrasel dan menurunnya aktivitas berbagai enzim sel. • Kegagalan pompa Ca2+ yang bergantung pada ATP menyebabkan masuknya Ca2+, dengan akibat kerusakan berbagai komponen sel, yang akan dibicarakan kemudian. • Deplesi ATP yang berkepanjangan atau memburuk mengakibatkan rusaknya struktur alat sintesis protein dan akan tampak sebagai lepasnya ribosom dari ER kasar (RER) serta terpisahnya polisom menjadi monosom, sehingga sintesis protein berkurang. Akhirnya terjadi kerusakan ireversibel pada membran mitokondria dan lisosom, dan akan menjadi nekrotik.



Dengan latar belakang ini, kami akan membahas mekanisme biokimia utama pada jejas sel.



Deplesi ATP ATP adalah sumber energi sel yang dibentuk terutama melalui fosforilasi oksidatif adenosin difosfat (ADP) pada waktu reduksi oksigen dalam sistem transportasi elektron pada mitokondria. Di samping ATP juga bisa dihasilkan melalui jalur glikolisis tanpa oksigen dengan memakai glukosa yang diperoleh dari sirkulasi atau hidrolisa glikogen intrasel. Penyebab utama deplesi ATP adalah menurunnya suplai oksigen dan nutrisi, kerusakan mitokondria dan akibat toksin (misal: sianida). Jaringan dengan kemampuan glikolisis yang tinggi (misal: hati) dapat lebih mampu menghadapi kekurangan oksigen dan menurunnya fosforilasi oksidatif dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai kapasitas glikolisis yang terbatas (misalnya, otak). Fosfat energi tinggi dalam bentuk ATP dibutuhkan untuk hampir seluruh proses sintesa dan proses degradasi dalam sel, termasuk transpor membran, sintesis protein, lipogenesis, dan reaksi deasilasireasilasi yang dibutuhkan untuk pembentukan fosfolipid. Diperkirakan sel pada manusia sehat membakar 50 hingga 75 kg ATP setiap hari!



KERUSAKAN MITOKONDRIA



MASUKNYA Ca2+ Ca



ATP



ROS



Ca



KERUSAKAN MEMBRAN



Ca Membran plasma



Efek multipel selanjutnya



Kerusakan lemak, protein DNA



Permeabilitas mitokondria



PROTEIN SALAH LIPAT, KERUSAKAN DNA



Aktivasi enzim sel multipel



Hilangnya komponen sel



Membran lisosom Pencernaan enzimatik komponen sel



Gambar 1-14 Mekanisme biokimia dasar dan daerah kerusakan pada jejas sel. ATP, adenosin trifosfat; ROS, spesies oksigen reaktif.



Aktivasi protein pro-apoptotik



Mekanisme Jejas pada Sel



13



• Mitokondria juga mengandungi beberapa protein yang apabila dilepaskan ke sitoplasma, akan memberikan tanda pada sel bahwa telah terjadi jejas internal dan akan mengaktifkan jalur apoptosis, yang akan dibicarakan kemudian.



Iskemia



Masuknya Aliran Kalsium Mitokondris Fosforilasi oksidatif ATP Pompa Na+ Masuknya Ca2+ H2O, dan Na+ Efflux of K+ Pembengkakan ER Pembengkakan sel Hilangnya gelembung mikrovili



Glikolisis anaerobik



Glikogen



Asam laktat



Pelepasan ribosom pH



Sintesa protein



Pengelompokan kromatin inti



Gambar 1-15 Akibat fungsional dan morfologik berkurangnya adenosin trifosfat intrasel (ATP). ER, retikulum endoplasmik.



Pentingnya peran Ca2+ pada jejas sel diketahui dari penelitian bahwa pengurangan Ca2+ ekstrasel akan menunda kematian sel setelah hipoksia dan paparan terhadap beberapa toksin. Kalsium sitosol bebas dalam keadaan normal diatur oleh transporter kalsium yang bergantung pada ATP dengan kadar 10.000 kali lebih rendah daripada kadar kalsium ekstrasel atau dari sekuester mitokondria intrasel dan kalsium ER. Iskemia dan beberapa toksin akan menyebabkan meningkatnya kadar kalsium sitosol, mula-mula karena keluarnya Ca2+ dari tempat penimbunan intrasel, dan kemudian berakibat peningkatan masuknya aliran Ca2+ melalui membran plasma. Peningkatan Ca2+ sitosol akan mengaktifkan sejumlah enzim, dengan efek potensial merugikan pada sel (Gambar 1-17) Termasuk enzim ini ialah fosfolipid (yang mengakibatkan kerusakan membran), protease (yang merusak membran dan protein sitoskeletal), endonuklease (yang menyebabkan fragmentasi DNA dan kromatin), dan adenosin trifosfatase (ATPase) (yang mempercepat deplesi ATP). Peningkatan kadar Ca2+ intrasel akan memicu apoptosis, melalui aktivasi langsung kaspase dan peningkatan permeabilitas mitokondria.



Suplai O2 Toksin Radiasi



Kerusakan dan Disfungsi Mitokondria Mitokondria bisa dianggap sebagai "pabrik mini" yang menghasilkan energi untuk mempertahankan hidup dalam bentuk ATP. Maka, tidak mengherankan mitokondria mempunyai peran penting pada jejas sel dan kematian sel (Gambar 1-16). Mitokondria amat rentan terhadap jejas yang membahayakan, termasuk hipoksia, toksin, dan radiasi. Kerusakan mitokondria dapat mengakibatkan berbagai kelainan biokimia: • Kegagalan fosforilasi oksidatif akan mengakibatkan deplesi ATP yang progesif, berakhir dengan nekrosis sel, seperti dibahas sebelumnya. • Fosforilasi oksidatif abnormal akan menghasilkan pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS), yang akan memberikan efek merugikan, dibahas di bawah ini. • Kerusakan pada mitokondria sering dikaitkan dengan dibentuknya jalur konduksi tinggi pada membran mitokondria, disebut pori transisi permeabilitas mitokondria. Terbukanya jalur ini menyebabkan hilangnya potensial membran mitokondria dan perubahan pH, sehingga memudahkan terjadinya fosforilasi oksidatif.



Signal pertahanan DNA kerusakan protein



Protein pro-apoptotik Protein anti-apoptotik



Kerusakan mitokondria atau disfungsi



Pembentukan ATP



Produksi ROS



Bocornya protein mitokondria



Abnormalitas sel multipel NEKROSIS



APOPTOSIS



Gambar 1-16 Peran mitokondria pada jejas sel dan kematian sel. Mitokondria dipengaruhi stimulus yang meruagikan dan gangguan abnormalitas tersebut akan mengakibatkan nekrosis atau apoptosis. Jalur apoptosis akan dibicarakan lebih rinci kemudian. ATP, adenosin trifosfat; ROS, spesies oksigen reaktif.



14



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi Ca2+



Akumulasi Radikal Bebas Asal Oksigen (Stres Oksidatif)



Ca2+ ekstrasel



Agen merugikan



Mitokondria



ER halus



Ca2+



Ca2+



Ca2+ Peningkatan Ca2+ sitosolik Aktivasi enzim sel



Fosfolipase



Protease



Fosfolipid



Kerusakan membran dan protein sitoskeletal



KERUSAKAN MEMBRAN



Ca2+



Endo- ATPase nuklease



Transisi permeabilitas mitokondria



KERUSAKAN INTI



ATP



Gambar 1-17 Sumber dan akibat peningkatan kalsium sitosolik pada jejas sel. ATP, adenosin trifosfat; ATPase, adenosin trifosfatase.



A



Radikal bebas merupakan spesies kimia mengandungi sebuah elektron tanpa pasangan pada orbit luar. Situasi kimia demikian amat tidak stabil, dan radikal bebas akan segera bergabung dengan zat kimia anorganik atau organik; apabila timbul dalam sel, radikal bebas tersebut akan menyerang asam nukleat dan juga berbagai protein sel dan lipid. Di samping itu, radikal bebas mengakibatkan molekul yang bereaksi dengannya akan berubah menjadi radikal bebas lain, sehingga terjadi suatu rangkaian kerusakan. Spesies oksigen reaktif (ROS) ialah radikal bebas yang berasal dari oksigen berperan jelas pada jejas sel. Jejas sel terjadi akibat kerusakan oleh radikal bebas; keadaan ini termasuk reperfusi iskemia (dibicarakan kelak), jejas kimia dan radiasi, toksin dari oksigen dan gas lain, penuaan sel, kematian mikroba oleh sel fagosit, dan kerusakan jaringan akibat sel radang. Terdapat beberapa jenis ROS, yang dibentuk melalui dua jalur utama (Gambar 1-18). • ROS dibentuk dalam jumlah kecil pada semua sel selama reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang terjadi selama proses respirasi mitokondria dan pembentukan energi. Pada proses ini molekul oksigen akan berkurang di mitokondria karena terjadinya penambahan empat elektron untuk menghasilkan air. Namun, reaksi ini tidak lengkap, dan sejumlah kecil toksin yang amat reaktif tetapi berusia singkat akan dibentuk ketika oksigen menurun secara parsial. Hasil sementara ini termasuk superoksida (O2), yang akan diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2) secara spontan dan dengan pengaruh enzim superoksida dismutase. H2O2 lebih stabil dari O2 dan dapat melalui membran biologis. Adanya unsur logam, misalnya Fe2+, maka H2O2 diubah menjadi hidroksil radikal yang amat reaktif ●OH melalui reaksi Fenton.



B MITOKONDRIA



FAGOSOM Fegosit oksidase



Rantai transpor elektron O2



+ NO



O2



ONOO– Peroxynitrite



NADPH



2O2 2O2



H2O2 ONOO–



MPO SOD H2O2



Reaksi Fenton



OH



HOCl



Gambar 1-18 Jalur pembentukan spesies oksigen reaktif. A, Pada semua sel, superoksida (O2.) dibentuk selama respirasi mitokondria melalui rangkaian transpor elektron dan akan diubah menjadi H2O2 dan radikal bebas hidroksil (.OH) atau menjadi peroksinitrat (ONOO-). B, Pada leukosit (terutama neutrofil dan makrofag), enzim fagosit okasidase di membran fagosom menghasilkan superoksida, yang dapat berubah menjadi radikal bebas lain. Myeloperoksidase (MPO) di fagosom juga menghasilkan hipoklorit dari spesies oksigen reakatif (ROS). NO, oksida nitrit; SOD, superoksida dismutase.



Mekanisme Jejas pada Sel • ROS dihasilkan oleh leukosit fagositik, terutama neutrofil dan makrofag, sebagai senjata untuk menghancurkan mikroba yang telah dicerna dan substansi lain pada radang dan pertahanan tubuh (Bab 2). ROS dihasilkan difagosom dan fagolisosom leukosit melalui proses yang mirip respirasi mitokondria dan disebut erupsi respirasi (atau erupsi oksidasi). Pada proses ini, sebuah membran fagosom akan mengkatalisasi terbentuknya superoksida, yang akan diubah menjadi H2O2 H2O2 kemudian akan diubah menjadi komponen hipoklorit yang amat reaktif (merupakan komponen utama untuk obat pemutih di rumah tangga) oleh enzim mieloperoksidase, yang dijumpai pada leukosit. Peran ROS pada radang akan dibahas pada Bab 2. • Oksida nitrit (NO) merupakan radikal bebas lain yang dibentuk oleh leukosit dan sel lain. Dapat bereaksi dengan O2 untuk membentuk komponen yang amat reaktif, peroksida nitrit, yang juga berperan dalam jejas sel. •



Kerusakan akibat radikal bebas ditentukan oleh kecepatan produksi dan proses pengeluarannya (Gambar 1-19). Apabila produksi ROS meningkat atau sistem pemusnahan tidak efektif, akibatnya ialah terjadi penumpukan radikal bebas, sehingga terjadi keadaan yang disebut stres oksidasi. Pembentukan radikal bebas meningkat pada beberapa keadaan: • Absorpsi energi radiasi (misal: sinar ultraviolet, sinar x). Radiasi ion akan menghidrolisa air menjadi radikal bebas hidroksil (•OH) dan hidrogen (H•) • Metabolisme enzim zat kimia eksogen (misal: karbon tetraklorida lihat kemudian) • Radang, dimana radikal bebas dihasilkan oleh leukosit (Bab 2) Sel membentuk berbagai mekanisme untuk menghilangkan radikal bebas dan dengan demikian akan mengurangi jejas. Radikal bebas tidak stabil dan akan rusak dengan sendirinya. Juga ada sistem nonenzim dan enzim yang berperan sehingga radikal bebas menjadi nonaktif. (Gambar 1- 19). • Kecepatan kerusakan oleh superoksida sangat meningkat karena superoksida dismutase (SODs) yang dijumpai pada berbagai jenis sel.



Reperfusi Radiasi Toksin



15



• Peroksidase glutathione (GSH) merupakan kelompok enzim yang mempunyai tugas utama melindungi sel dari kerusakan oksidatif. Kelompok terbanyak ialah peroksidase glutathione 1, yang dijumpai pada sitoplasma semua sel. Sifatnya melakukan katabolisme H2O2 melalui reaksi 2 GSH (glutathione) + H2O2 → GS-SG + 2H2O. Rasio intrasel dari glutathione yang teroksidasi (GSSG) menjadi glutathione (GSH) merupakan refleksi aktivitas enzim ini dan kemampuan sel untuk melakukan katabolisme radikal bebas. • Katalase, dijumpai pada peroksisom, melakukan katabolisme hidrogen peroksida (2H2O2 → O2 + 2H2O). Merupakan enzim paling aktif yang diketahui, mampu mendegradasi jutaan molekul H2O2 tiap detik. • Antioksidan endogen atau eksogen (misal: vitamin E, A, dan C dan (βkarotene) dapat menghalangi pembentukan radikal bebas atau memusnahkannya apabila telah dibentuk. Spesies oksigen reaktif menyebabkan jejas sel melalui tiga reaksi utama (Gambar 1-19): • Peroksidasi lemak membran. Ikatan rangkap pada membran lemak poliunsaturated sangat rawan terhadap serangan radikal bebas asal oksigen. Interaksi lemak dengan radikal menghasilkan peroksidase, yang tidak stabil dan reaktif sehingga akan terjadi reaksi rantai autokatalitik. • Reaksi silang dan perubahan lain pada protein. Radikal bebas mengakibatkan reaksi silang pada protein yang dimediasi sulfhydryl, terjadi peningkatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzim. Radikal bebas bisa juga langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. • Kerusakan DNA. Reaksi radikal bebas dengan thymin pada DNA inti dan mitokondria akan menyebabkan kerusakan pita tunggal. Kerusakan DNA tersebut dijumpai pada proses kematian sel, penuaan, dan transformasi keganasan sel. Di samping peran ROS sebagai penyebab jejas sel dan kematian mikroba, kadar ROS yang rendah juga dijumpai pada berbagai jalur sinyal sel dan pada reaksi fisiologis. Dengan demikian, molekul ini juga diproduksi pada keadaan normal, tetapi untuk menghindari efek yang merugikan, kadar intrasel pada sel sehat diatur ketat.



Efek patologis Produksi ROS: O2 Superoksida



H2O2 Hidrogen peroksida



OH Radikal hidroksil



Peroksida cair



Kerusakan membran



Modifikasi protein



Penguraian, salah lipat



Kerusakan DNA



Mutasi



Dekomposisi menjadi Konversi menjadi H2O2 H2O oleh peroksidase glutathione, katalase oleh SOD Pengeluaran radikal bebas



Gambar 1-19 Pembentukan, pembuangan, dan peran spesies oksigen reaktif (ROS) pada jejas sel. Produksi ROS bertambah akbiat berbagai stimulus yang merugikan. Radikal bebas ini dihilangkan melalui kerusakan spontan dan sistem enzim khusus. Produksi yang berlebihan atau pembuangan yang tidak adekuat akan mangakibatkan akumulasi radikal bebas dalam sel, yang akan merusak lemak (melalui peroksidase), protein, dan asam deoksiribonukleat (DNA), berakibat cedera sel.



16



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Defek pada Permeabilitas Membran Permeabilitas membran yang meningkat dengan akibat kerusakan membran yang nyata merupakan perubahan tersering yang dijumpai pada jejas sel dan akan berakhir dengan nekrosis. Plasma membran bisa rusak akibat iskemia, berbagai toksin mikroba, komponenkomponen titik, dan bermacam agen fisis dan kimia. Berbagai mekanisme biokimia berperan dalam kerusakan membran (Gambar 1-20): • Sintesa fosfolipid yang menurun. Produksi fosfolipid dalam sel akan berkurang apabila tejadi penurunan kadar ATP, yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim penopang energi. Berkurangnya sintesa fosfolipid akan mempengaruhi semua membran sel, termasuk membran mitokondria, sehingga meningkatkan jumlah kehilangan ATP. • Penambahan kerusakan fosfolipid. Jejas sel yang berat dikaitkan dengan degradasi membran fosfolipid yang meningkat, kemungkinan akibat aktivasi fosfolipase endogen karena peningkatan kadar sitosolik Ca2+. • ROS. Radikal oksigen bebas menyebabkan jejas pada membran sel melalui peroksidase lipid, yang telah dibahas sebelumnya. • Abnormalitas sitoskeletal. Filamen sitoskeletal merupakan jangkar yang menghubungkan membran plasma dan bagian dalam sel, fungsinya bermacam-macam, masih mempertahankan arsitektur sel normal, motilitas, dan pemberi sinyal. Aktivasi protease dengan peningkatan Ca2+ sitosolik dapat menyebabkan kerusakan elemen sitoskeleton, dan menyebabkan kerusakan membran. • Produk penguraian lipid. Termasuk produk ini ialah asam lemak bebas tidak berester, asil karnitin, dan lisofosfolipid, semuanya akan berkelompok pada sel yang cedera sebagai akibat degradasi fosfolipid. Hasil katabolisme ini mempunyai efek detergen pada membran. Dapat pula menyusup di antara lapis rangkap lipid atau mengganti membran fosfolipid, sehingga terjadi perubahan permeabilitas dan perubahan elektrofisiologis.



O2



Spesies oksigen reaktif Peroksidase lipid



Ca2+ sitosolik



ATP Aktivasi fosfolipid Reasilasi fosfolipid sintesis Lenyapnya fosfolipid



Degradasi fosfolipid



Aktivasi protease Kerusakan sitoskeletal



Produk pemecahan lipid



KERUSAKAN MEMBRAN



Gambar 1-20 Mekanisme kerusakan membran pada jejas sel. Menurunnya O2 dan meningkatnya Ca2+ sitosolik yang dijumpai pada iskemia tetapi dapat juga dijumpai pada keadaan lain jejas sel. Spesies oksigen reaktif, yang sering diproduksi pada reperfusi jaringan iskemik, juga akan mengakibatkan kerusakan membran (tidak ditampilkan).



Kerusakan terpenting membran pada jejas sel, ialah membran mitokondria, membran plasma, dan membran lisosom. • Kerusakan membran mitkondria. Seperti sudah dibahas sebelumnya, kerusakan membran mitokondria mengakibatkan turunnya produksi ATP, dengan berbagai efek merugikan dan berakhir pada nekrosis. • Kerusakan membran plasma Kerusakan membran plasma akan berakibat pada hilangnya keseimbangan osmotik, masuknya cairan dan ion, dan juga hilangnya isi sel. Metabolit akan bocor keluar, padahal metabolit ini merupakan unsur vital untuk pembentukan ATP, sehingga memperberat berkurangnya sumber energi. • Kerusakan pada membran lisosom akan mengakibatkan masuknya enzim ke dalam sitoplasma dan mengaktifkan hidrolase asam pada pH intrasel yang asam pada sel yang cedera (misal: iskemia). Lisosom mengandungi enzim ribonuklease (Rnase), DNase, protease, glukosidase, dan enzim lain. Aktivasi enzim-enzim ini akan meng akibatkan pencernaan enzimatik komponen sel dan sel akan mati karena nekrosis.



Kerusakan DNA dan Protein Sel mempunyai mekanisme perbaikan kerusakan DNA, tetapi apabila kelainan ini terlalu parah untuk diperbaiki (misal: setelah jejas radiasi atau stres oksidatif), maka sel akan memulai program bunuh diri dan mati akibat apoptosis. Reaksi serupa bisa terjadi apabila ada pemicu berupa protein salah rangkaian, yang dapat timbul dari mutasi bawaan atau pengaruh eksternal seperti radikal bebas. Karena mekanisme jejas sel ini khas mengakibatkan apoptosis, hal ini akan dibahas kemudian pada bab ini.



RINGKASAN Mekanisme Jejas Sel • •



• • •







Deplesi ATP: kegagalan fungsi yang bergantung pada energi → jejas reversibel → nekrosis Kerusakan mitokondria: deplesi ATP → kegagalan fungsi sel yang bergantung pada energi → terjadi nekrosis; pada beberapa keadaan kebocoran protein mitokondria yang menyebabkan apoptosis Aliran masuk kalsium: aktivasi enzim yang merusak komponen sel juga akan memulai terjadinya apoptosis. Akumulasi spesies oksigen reaktif modifikasi kovalen protein sel, lipid, asam nukleat Peningkatan permeabilitas membran sel: mempengaruhi membran plasma, membran lisosom, membran mitokondria, biasanya berakhir dengan nekrosis Akumulasi DNA yang rusak dan protein salah rangkaian: mengakibatkan apoptosis



HUBUNGAN KLINIKOPATOLOGIS: CONTOH JEJAS SEL DAN NEKROSIS Untuk menggambarkan evolusi dan mekanisme biokimia jejas sel, kami akan mengakhiri bab ini dengan beberapa contoh yang sering dijumpai pada jejas sel reversibel dan nekrosis.



Hubungan Klinikopatologis: Contoh Jejas Sel Dan Nekrosis



Jejas Iskemia dan Jejas Hipoksia Iskemia, atau berkurangnya aliran darah menuju jaringan, merupakan penyebab tersering pada jejas sel akut yang mendasari penyakit pada manusia. Berbeda dengan hipoksia, di mana energi dapat terus terbentuk melalui glikolisis anerobik (walaupun kurang efektif dibanding jalur oksidatif), iskemia, karena berkurangnya suplai darah, juga mempersulit penyediaan zat untuk glikolisis. Akibatnya, energi anerobik juga berhenti di jaringan iskemik setelah bahan terkuras habis, atau saat glikolisis terhambat oleh akumulasi metabolit yang biasanya dapat dihilangkan melalui aliran darah. Oleh karena itu, iskemia memberikan cedera jaringan lebih cepat dan lebih buruk dibanding hipoksia. Abnormalitas utama pada sel yang kekurangan oksigen adalah berkurangnya pembentukan ATP, kerusakan mitokondria, akumulasi ROS, dengan konsekwensi pada jalur selanjutnya. Kelainan biokimia terpenting pada sel hipoksia yang mengakibatkan jejas sel adalah berkurangnya pembentukan ATP intrasel, sebagai akibat dari menurunnya suplai oksigen. Seperti sudah diterangkan di atas, kekurangan ATP akan mengakibatkan kegagalan sistem sel yang bergantung pada energi, termasuk: (1) pompa ion (menyebabkan pembengkakan sel, dan aliran masuk Ca2+, dengan pengaruh yang merugikan); (2) berkurangnya simpanan glikogen dan akumulasi asam laktat, sehingga pH intrasel menurun; dan (3) penurunan sintesis protein. Konsekwensi fungsional pada stadium ini bisa gawat. Contoh, otot jantung berhenti berkontraksi dalam 60 detik setelah penyumbatan koroner. Apabila hipoksia berkelanjutan, kekurangan ATP yang makin parah berakibat kerusakan lebih lanjut, hilangnya mikrovili dan terbentuknya "gelembung" (Gambar 1-6). Pada saat ini, seluruh sel dan organel (mitokondria, ER) membengkak, dengan peningkatan kadar air, natrium, dan klorida serta menurunnya kadar kalium. Apabila oksigen pulih kembali, semua gangguan ini reversibel, dan pada kasus miokardium, kontraktilitas otot akan kembali. Apabila iskemia tetap berlangsung, terjadi jejas ireversibel dan terjadi nekrosis. Jejas ireversibel dikaitkan dengan pembengkakan mitokondria, kerusakan luas pada membran plasma, dan pembengkakan lisosom. ROS tertimbun dalam sel, dan terjadi aliran masuk kalsium. Kematian terutama terjadi akibat nekrosis, namun apoptosis juga berperan, aktivasi jalur apoptosis terjadi karena dilepaskannya molekul proapoptotik dari mitokondria. Terjadi degradasi progesif pada komponen sel dan terjadi kebocoran enzim luas dari sel ke dalam rongga ekstrasel. Akhirnya sel mati akan diganti oleh massa terdiri atas fosfolipid dalam bentuk benda mielin. Benda ini akan difagositosis oleh leukosit atau selanjutnya mengalami degradasi menjadi asam lemak yang kemudian dapat mengalami klasifikasi.



Reperfusi Jejas Iskemia Apabila sel mengalami jejas reversibel, restorasi aliran darah dapat memulihkan sel. Namun, pada keadaan tertentu, restorasi aliran darah pada jaringan iskemia yang masih viabel, sebaliknya akan mengakibatkan kematian sel, pada sel yang mengalami cedera ireversibel. Hal ini disebut reperfusi jejas iskemia merupakan proses klinis penting yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan jaringan pada iskemia miokard dan serebrum.



17



Beberapa mekanisme berperan terhadap timbulnya jejas sel akibat reperfusi jaringan iskemik: • Kerusakan baru bisa timbul saat reoksigenisasi dengan terbentuknya ROS yang berasal dari sel parenkim dan sel endotel dan dari infiltrasi leukosit. Apabila suplai oksigen bertambah, akan terjadi juga peningkatan produksi ROS, terutama karena kerusakan mitokondria yang menyebabkan reduksi oksigen yang tidak lengkap, dan pengaruh oksidase pada leukosit, sel endotel, atau sel parenkim. Mekanisme defensif antioksidans pada sel bisa juga diperburuk pada iskemia, yang akan menunjang akumulasi radikal bebas. • Peradangan yang terjadi pada jejas iskemik dapat meningkat pada reperfusi karena ada aliran masuk leukosit dan potein plasma. Hasil dari aktivasi leukosit akan menyebabkan jejas tambahan pada jaringan (Bab 2). Aktivasi sistem komplemen juga berperan pada reperfusi jejas iskemia. Protein komplemen akan menempel pada jaringan yang cedera, atau mengikat antibodi yang berada di jaringan, dan aktivasi komplemen ini kemudian akan menghasilkan produk samping yang memperburuk jejas sel dan peradangan.



Jejas Kimia (Toksik) Zat kimia menyebabkan jejas sel melalui salah satu di antara dua mekanisme umum: • Beberapa zat kimia berakibat langsung dengan mengikat komponen molekul penting atau organel sel. Contoh, keracunan merkuri klorida (terjadi melalui mengkonsumsi makanan laut yang terkontaminasi) (Bab 7), air raksa akan berikatan dengan kelompok sulfhydryl berbagai protein membran sel, menyebabkan inhibisi transportasi yang bergantung pada ATP dan peningkatan permeabilitas membran. Banyak kemoterapi antineoplasma juga menyebabkan kerusakan sel akibat dari efek sitotoksik langsung. Pada keadaan tersebut, kerusakan terbesar terjadi pada sel yang memakai, mengabsorbsi, ekskresi, atau menimbun obat tersebut. • Banyak zat kimia secara intrinsic tidak aktif tetapi harus diubah menjadi zat metabolit toksik reaktif, yang kemudian mempengaruhi sel target. Modifikasi ini biasanya dilakukan oleh sitokrom P-450 pada ER halus hati dan organ lain. Walaupun metabolit mengakibatkan kerusakan membran dan jejas sel melalui ikatan kovalen langsung dengan protein dan lipid, mekanisme terpenting pada jejas sel ialah terbentuknya radikal bebas. Karbon tetraklorida (CC14) dahulu digunakan pada industri pencucian kering tetapi kini telah dilarang dan obat analgesik acetaminophen juga termasuk kategori ini. Pengaruh CC14 tetap menjadi contoh nyata dari jejas kimia. CC14 diubah menjadi radikal bebas CC13 , terutama di hati, dan radikal bebas inilah menyebabkan jejas sel, terutama melalui peroksidasi membran fosfolipid. Dalam jangka waktu kurang dari 30 menit setelah paparan dengan CC14, terjadi kerusakan membran ER dengan penurunan sintesa enzim protein hati dan protein plasma; dalam waktu 2 jam, telah terjadi pembengkakan ER halus dan disosiasi ribosom ER halus. Terjadi penurunan ekspor lipid dari hepatosit, karena ketidakmampuannya melakukan sintesa apoprotein untuk membentuk kompleks dengan trigliserida dan



18



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



membantu sekresi lipoprotein; akibatnya ialah terjadi "perlemakan hati" karena keracunan CCl4. Kemudian terjadi jejas mitokondria yang diikuti berkurangnya simpanan ATP sehingga transpor ion berkurang dan pembengkakan sel berlanjut terus; kemudian membran plasma akan dirusak oleh aldehida lemak yang terbentuk dari peroksidase lipid pada ER. Hasil akhir ialah kalsium masuk ke dalam sel dan terjadi kematian sel.



APOPTOSIS Apoptosis merupakan jalur kematian sel dengan mengaktifkan enzim yang merusak DNA inti sel itu sendiri dan protein pada inti dan sitoplasma. Fragmen sel yang mengalami apoptosis akan terlepas, memberikan gambaran yang sesuai dengan namanya (apoptosis, "lepas"). Membran plasma sel apoptotik tetap utuh, tetapi berubah sehingga sel dan fragmen yang terlepas akan menjadi target fagosit. Sel yang mati dan fragmennya akan segera dibersihkan sebelum isi sel bocor keluar, sehingga tidak menimbulkan reaksi radang pada pejamu. Apoptosis dalam hal ini berbeda dengan nekrosis, yang memberikan gambaran kerusakan integritas membran, pencernaan enzimatik sel, bocornya isi sel, dan sering terjadi reaksi pejamu (Gambar 1-6 dan Tabel 1-1). Namun, apoptosis dan nekrosis kadangkadang dijumpai bersamaan, dan apoptosis yang diinduksi oleh stimulus patologis dapat berkembang menjadi nekrosis.



Penyebab Apoptosis Apoptosis terjadi pada keadaan normal dan berperan untuk menghilangkan sel yang potensial berbahaya dan sel yang telah selesai masa fungsinya. juga timbul pada kejadian patologis, di mana sel rusak tidak dapat diperbaiki lagi, khususnya apabila kerusakan mengenai DNA sel atau protein sel; dalam keadaan ini, sel yang tidak dapat diperbaiki tersebut akan dieliminasi.



Apoptosis pada Situasi Fisiologis Kematian melalui apoptosis merupakan fenomerta normal yang berfungsi menghilangkan sel yang tidak diperlukan lagi dan untuk mempertahankan jumlah sel yang tetap pada berbagai jaringan. Hal tersebut penting untuk situasi fisiologis berikut: • Destruksi sel terprogram saat embriogenesis. Pertumbuhan normal dikaitkan dengan kematian sejumlah sel dan munculnya sel serta jaringan baru. Istilah kematian sel yang terprogram tadinya dihubungkan dengan kematian sel tertentu pada saat tertentu pada perkembangan organ. Apoptosis merupakan istilah generik untuk pola kematian sel, tidak tergantung pada konteks yang dimaksud, tetapi sering disebut sebagai kematian sel terprogram. • Involusi jaringan yang bergantung hormon pada saat terjadi kekurangan hormon, misalnya luruhnya sel endomtrium saat siklus haid, dan regresi payudara laktasi setelah masa sapih. • Hilangnya sel pada populasi sel yang sedang proliferatif misalnya epitel kripta pada usus, agar jumlah sel tetap sama. • Eliminasi sel yang telah selesai melakukan tugasnya, misal neutrofil pada reaksi radang akut dan limfosit pada akhir respons



imunologi. Pada situasi ini, sel mengalami apoptosis karena kehilangan sinyal yang dibutuhkan untuk hidup, misalnya faktor pertumbuhan. • Eliminasi limfosit reaktif yang berpotensi merugikan diri pada saat sebelum atau sesudah masa maturasi, untuk mencegah reaksi terhadap jaringan tubuh sendiri (Bab 4). • Kematian sel oleh limfosit T sitotoksik, merupakan mekanisme pertahanan terhadap virus dan tumor untuk membinasakan sel yang terkena infeksi virus dan sel neoplasma (Bab 4).



Apoptosis pada Kondisi Patologis Apoptosis mengeliminasi sel yang telah mengalami gangguan genetik atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, tanpa menimbulkan reaksi tubuh berlebihan, sehingga kerusakan jaringan yang terjadi dibatasi serendah mungkin. Kematian akibat apoptosis menyebabkan hilangnya sel pada beberapa keadaan patologis: • Kerusakan DNA. Radiasi, obat sitotoksik anti kanker, temperatur yang ekstrem, dan bahkan hipoksia dapat merusak DNA, secara langsung atau melalui pembentukan radikal bebas. Apabila proses perbaikan tidak dapat mengatasi jejas, sel akan memicu mekanisme intrinsik yang menyebabkan apoptosis. Pada situasi ini, eliminasi sel merupakan alternatif yang lebih baik, daripada mengambil risiko terjadinya mutasi di dalam DNA rusak yang dapat berubah mengalami transformasi keganasan. Stimulus yang merugikan ini bisa menyebabkan apoptosis apabila kerusakan ringan, tetapi apabila jumlah dosis stimulus yang sama lebih besar akan berakhir dengan kematian sel nekrotik. Induksi apoptosis pada sel kanker merupakan efek yang diinginkan pada pemakaian obat kemoterapi, yang sebagian besar terjadi dengan merusak DNA. • Akumulasi dari protein yang salah bentuk. Protein salah bentuk dapat terjadi akibat mutasi gen yang menyandi protein tersebut atau karena pengaruh faktor ekstrinsik, misalnya kerusakan karena radikal bebas. Akumulasi berlebihan protein ini di ER akan menyebabkan stres ER, yang berakhir dengan kematian sel apoptotik. • Jejas sel pada beberapa infeksi, khususnya infeksi virus, yang kematian sel terutama akibat apoptosis yang diinduksi oleh virus(misal: adenovirus dan infeksi virus imunodefisiensi manusia) atau sebagai reaksi imun tubuh (misal: pada virus hepatitis). • Atrofia patologis di organ parenkim setelah obstruksi duktus, seperti yang terjadi pada pankreas, kelenjar parotis, dan ginjal.



MORFOLOGI Pada sediaan dengan pewarnaan H&E, inti sel apoptotik menunjukkan berbagai tingkat pengelompokkan kromatin dan penggumpalan, dan akhirnya inti hancur (karioreksis) (Gambar 1-21); pada tingkat ini molekul tampak sebagai fragmentasi DNA menjadi ukuran sebesar nukleosom. Sel akan melisut dengan cepat, membentuk tonjolan sitoplasma, dan menjadi fragmen berupa benda apoptotik terdiri atas vesikel sitosol dan organel yang terikat pada membran (Gambar 1-6). Karena fragmen ini cepat terlepas dan difagositosis tanpa terjadinya reaksi radang, maka apoptosis yang besar pun bisa tidak terdeteksi secara histologis.



Apoptosis



19



mengandungi sepertiga dari daerah konservasi multipel ("multiple conserved domains") dari kelompok Bcl-2. Sebaliknya mereka akan mengaktifkan dua jenis dari kelompok pro apoptotik yang disebut Bax dan Bak, yang mengalami dimerisasi, masuk ke dalam membran mitokondria, dan membentuk terowongan tempat sitokrom c dan protein mitokondria lain keluar menuju sitosol. Sensor ini akan menghambat molekul anti apoptopik Bcl-2 dan Bcl-xL (lihat lanjut), sehingga memudahkan bocornya protein mitokondria. Sitokrom c, dengan beberapa kofaktor, mengaktifkan kaspase-9. Protein lain yang keluar dari mitokondria akan menghalangi aktivitas antagonis kaspase yang berfungsi sebagai inhibitor apoptosis fisiologis. Hasil akhir ialah aktivasi kaskade kaspase, dengan akibat terjadinya fragmentasi inti. Sebaliknya apabila sel terpapar pada faktor pertumbuhan dan sinyal ketahanan hidup ("survival") lain, akan terjadi sintesa anti apoptotik dari kelompok Bcl-2, dan ada dua jenis terpenting adalah Bcl-2 sendiri dan Bcl-xL. Protein ini melawan Bax dan Bak, dan menghambat keluarnya protein pro apoptotik mitokondria. Sel yang kekurangan faktor pertumbuhan tidak saja mengaktifkan Bax dan Bak yang proapoptotik tetapi juga menunjukkan kadar Bcl-2 dan Bcl-xL yang menurun, sehingga menggiring sel menuju kematian. Jalur mitokondria agaknya merupakan jalur penyebab apoptosis yang tersering, dan akan dibahas kemudian.



Jalur Reseptor Kematian (Ekstrinsik) Apoptosis Gambar 1-21 Gambaran morfologik sel apoptosis. Dipertunjukkan sel apoptotik (beberapa ditunjukkan dengan panah) pada kripta normal epitel kolon. (Persiapan untuk sediaan kolonoskopi sering menimbulkan apoptosis pada sel epitel, menjelaskan terdapatnya banyak sel mati pada jaringan normal). Perhatikan fragmen inti dengan kromatin padat dan badan sel yang melisut, sebagian terlepas. (Penghargaan kepada Dr. Sanjay Kakar, Department of Pathology, University of California San Francisco, San Francisco, Calif)



Mekanisme Apoptosis Apoptosis terjadi karena aktivasi enzim kaspase (disebut demikian karena merupakan protease sistein yang membelah protein setelah menjadi sisa aspartik). Aktivasi kaspase tergantung dari keseimbangan antara produksi protein pro dan anti-apoptotik. Dua jalur berbeda akan bersatu untuk mengaktifkan kaspase: jalur mitokondria dan jalur reseptor kematian (Gambar 1-22). Walaupun kedua jalur ini dapat bertemu, namun masing-masing diinduksi dalam kondisi berbeda, melibatkan molekul berbeda, dan mempunyai peran tersendiri pada fisiologi dan penyakit.



Jalur Mitokondria (Intrinsik) pada Apoptosis Mitokondria mengandungi beberapa protein yang mampu menginduksi apoptosis; yang termasuk protein ini ialah sitokrom C dan protein lain yang akan menetralkan penghambat apoptosis endogen. Pilihan antara kehidupan dan kematian sel ditentukan oleh permeabilitas mitokondria, yang diatur oleh keluarga yang terdiri atas lebih dari 20 protein, dengan prototip Bcl-2 (Gambar 1-23). Apabila sel tidak mengandungi faktor pertumbuhan dan sinyal ketahanan hidup ("survival") lainnya, atau disampaikan pada agen yang merusak DNA, atau mengakumulasi protein salah bentuk yang jumlahnya tidak bisa diterima, maka, sejumlah sensor akan diaktifkan. Sensor ini merupakan bagian dari kelompok Bcl-2 disebut "protein BH3" (sebab hanya



Banyak sel mengekspresikan molekul permukaan, disebut reseptor kematian, yang memicu apoptosis. Umumnya sel tersebut termasuk golongan reseptor faktor nekrosis tumor (TNF), yang mengandungi "daerah kematian" pada sitoplasmanya, disebut demikian karena terjadi interaksi dengan protein lain yang terlibat dalam kematian sel. Reseptor kematian prototipik adalah reseptor TNF tipe 1 dan Fas (CD95). Ligan Fas (FasL) merupakan protein membran yang berekspresi terutama pada limfosit T yang aktif. Apabila sel T ini mengenali target yang mengekspresikan Fas, maka molekul Fas akan diikat silang oleh FasL dan mengikat protein adaptor melalui daerah kematian. Kemudian terjadi pengumpulan dan aktivasi kaspase-8. Pada banyak jenis sel kaspase-8 akan terbelah dan mengaktifkan pro-apoptotik kelompok Bcl-2 yang disebut Bid, dan mengisi jalur mitokondria. Kombinasi aktivasi kedua jalur akan merupakan pukulan telak yang mematikan pada sel. Protein sel, khususnya antagonis kaspase yang disebut FLIP, akan menghambat aktivitas kaspase pada bagian hilir dari reseptor kematian. Menarik adalah bahwa beberapa virus membentuk homolog dari FLIP, dan diperkirakan hal ini merupakan mekanisme virus agar sel yang terinfeksi tetap hidup. Jalur reseptor kematian terlibat dalam eliminasi limfosit reaktif dan dalam mematikan sel target oleh limfosit T sitotoksik.



Aktivasi dan Fungsi Kaspose Jalur mitokondria dan reseptor kematian diawali dengan mengaktifkan kaspase initiator, yaitu kaspase-9 dan -8. Kemudian bentuk aktif enzim tersebut diproduksi, yang akan membelah dan mengaktifkan seri kaspase lain yang disebut kaspase eksekutor. Kaspase yang diaktifkan ini akan membelah sejumlah besar target, dan akhirnya terjadi aktivasi nuklease yang akan merusak DNA dan nukleoprotein. Kaspase juga merusak komponen matriks inti dan sitoplasma, sehingga sel akan hancur.



20



BAB 1



Jejas Sel Kematian Sel dan Adaptasi JALUR MITOKONDRIA (INTRINSIK)



JALUR RESEPTOP KEMATIAN (EKSTRINSIK)



Interaksi reseptor-ligan • Fas • Reseptor TNF Jejas sel • Penarikan faktor pertumbuhan • Kerusakan DNA (oleh radiasi, toksin, radikal) • Salah lipat protein (stres ER)



Mitokondria



Efektor kelompok Bcl-2 (Bax, Bak) Sensor kelompok Bcl-2



Regulator (Bcl-2, Bcl-xL)



Fragmentasi inti



Adaptor protein Sitokrom c dan protein pro-apoptotik lain



Aktivasi endonuklease



Inisiator kaspase



Fagosit



Pengeksekusi kaspase



Pemecahan sitoskeleton



Ligan reseptor sel fagosit Gelembung sitoplasma



Benda apoptotik



Gambar 1-22 Mekanisme apoptosis. Dua jalur apoptosis berbeda dalam hal induksi dan regulasi, dan keduanya berakhir dengan aktivasi kaspase. Pada jalur mitokondria, protein dari kelompok Bcl-2, yang mengatur permeabilitas mitokondria, menjadi tidak seimbang dan kebocoran berbagai substansi asal mitokondria mengakibatkan pengaktifan kaspase. Pada jalur reseptor kematian, signal dari reseptor membran plasma mengakibatkan terkumpulnya adaptor protein membentuk "kompleks induksi signal kematian," yang mengaktifkan kaspase, dan berakhir dengan hasil yang sama.



Pembersihan Sel Mati Sel apoptotik membujuk fagosit dengan cara membuat sinyal "makansaya". Pada sel normal phosphatidylserine dijumpai pada bagian dalam membran sitoplasma, tetapi pada sel apoptopik fosfolipid ini pindah ke bagian luar, sehingga dapat dikenali oleh makrofag jaringan dan terjadi fagositosis sel apoptopik. Sel yang mati karena apoptosis juga mensekresi faktor yang larut air yang akan menarik fagosit. Hal ini memudahkan pembersihan sel mati dengan cepat, sebelum sel tersebut mengalami kerusakan membran sekunder dan keluarnya isi sel (yang dapat menimbulkan reaksi radang). Beberapa partikel apoptotik mengekspresikan glikoprotein yang dikenal oleh fagosit, dan makrofag sendiri dapat menghasilkan protein yang mengikat sel apoptotik (tetapi bukan sel hidup) dan targetnya adalah sel mati terselubung secara utuh. Sejumlah besar reseptor makrofag diketahui terlibat dalam pengikatan dan engulfment sel apoptotik. Proses fagositosis terhadap sel apoptotik ini berjalan demikian efisien sehingga sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan reaksi radang seolah-olah tidak terjadi. Walaupun telah ditekankan perbedaan nekrosis dan apoptosis, kedua jenis kematian sel ini dapat dijumpai bersamaan dan saling berhubungan secara mekanik. Contoh, kerusakan DNA (yang tampak pada apoptosis) akan mengaktivasi enzim poly-ADP (ribose) polymerase, yang akan mengurangi suplai nicotinamide adenine dinucleotide ke dalam sel, dengan akibat penurunan kadar ATP dan



terjadi nekrosis. Pada dasarnya, dalam keadaan umum seperti iskemia, diperkirakan bahwa kematian sel dini sebagian terjadi karena apoptosis, yang diikuti dengan timbulnya nekrosis apabila keadaan iskemia memburuk.



Contoh Apoptosis Pada banyak keadaan kematian sel disebabkan oleh apoptosis. Contoh di bawah ini menggambarkan peranan kedua jalur apoptosis pada keadaan fisiologi normal dan pada penyakit.







Sel yang sensitif terhadap hormon dan kehilangan hormon yang bersangkutan, limfosit yang tidak distimulasi oleh antigen dan sitokin, dan neuron yang kehilangan faktor pertumbuhan saraf akan mati melalui apoptosis. Pada seluruh keadaan di atas, apoptosis dipicu oleh jalur mitokondria dan diakibatkan oleh aktivasi kelompok proapoptotik keluarga Bcl-2 dan penurunan sintesis Bcl-2 dan Bcl-xL.







Paparan sel terhadap radiasi atau agen kemoterapi akan menginduksi kerusakan DNA, yang apabila terjadi kerusakan berat, akan menyebabkan kematian apoptotik. Apabila DNA rusak, akan terjadi akumulasi protein p53 di dalam sel. Mula-mula akan terjadi penghentian siklus sel (pada fase G1) agar terjadi perbaikan DNA sebelum terjadi replikasi (Bab 5) Namun, apabila kerusakan terlalu berat untuk dapat



Apoptosis A



SEL VARIABEL



Signal pertahanan (misal: faktor pertumbuhan)



Bcl-2 (atau Bcl-xL)



B



Tidak adanya signal Iradiasi pertahanan



Produksi prtoein anti-apoptotik (misalnya, Bcl-2, Bcl-XL Sitokrom c



diperbaiki, p53 akan memicu apoptosis, terutama dengan stimulasi sensor yang akan mengaktifkan Bax dan Bak, dan dengan meningkatkan sintesa pro apoptotik kelompok Bc1-2. Apabila terjadi mutasi p53 atau tidak dijumpai p53 (seperti pada keadaan kanker tertentu), sel yang mengandungi DNA rusak, yang seharusnya akan mengalami apoptosis, dapat bertahan hidup. Pada sel demikian, kerusakan DNA akan mengakibatkan mutasi atau pengaturan kembali DNA (misalnya translokasi) yang dapat mengakibatkan transformasi neoplastik (Bab 5).



APOPTOSIS



Kerusakan DNA



Protein salah lipat



Aktivasi sensor



Antagonis Bcl-2



Tidak ada kebocoran sitokrom c



Aktivasi saluran Bax/Bak



Kebocoran sitokrom c, protein lain Aktivasi kaspase



KETAHANAN SEL



21



APOPTOSIS



Gambar 1-23 Jalur apoptosis mitokondria. induksi apoptosis melalui jalur mitokondria bergantung pada keseimbangan antara protein pro dan antiapoptotik pada kelompok Bcl. Protein pro apoptotik mendeteksi beberapa (sensor) kerusakan DNA dan kerusakan protein dan memicu apoptosis serta yang lain (efektor) yang berada dalam membran mitokondria dan menimbulkan kebocoran protein. A, Pada sel viabel, anti apoptotik kelompok Bcl-2 mencegah kebocoran protein mitokondria. B, Berbagai stimulus akan mengaktivasi sensor sitoplasma dan mengakibatkan menurunnya produksi protein anti apoptotik protein dan meningkatnya jumlah protein pro apoptotik, mengakibatkan kebocoran protein yang biasanya di sekuester dalam mitokondria. Protein mitokondria yang bocor akan mengaktivasi berbagai seri kaspase, dimulai dengan inisiasi kemudian eksekusi, dan enzim ini menimbulkan fragmentasi inti dan fragmentasi sel.



Akumulasi Protein Salah Bentuk: Stres ER Selama sintesa protein berjalan normal, pengawal ER memastikan agar protein yang baru disintesis mengalami pelipatan yang benar sedangkan polipeptida dengan bentuk yang salah akan tersebar dan menjadi target untuk proteolisis. Namun, apabila protein salah bentuk ini terakumulasi di ER yang disebabkan oleh mutasi bawaan atau pengaruh gangguan lingkungan maka akan terjadi respons sel protektif yang disebut respons protein salah bentuk (Gambar 1-24). Respons ini akan mengaktifkan sinyal jalur yang meningkatkan produksi pengawal dan memperlambat translasi protein, sehingga kadar protein salah bentuk akan menurun dalam sel. Pada keadaan di mana akumulasi protein salah bentuk sedemikian besarnya sehingga tidak dapat ditanggulangi, maka akan terjadi stres ER, yang akan menyebabkan aktivasi kaspase dan kemudian apoptosis. Akumulasi protein salah bentuk akibat mutasi, di dalam sel, penuaan, atau faktor lingkungan yang tidak diketahui, akan menyebabkan penyakit dengan berkurangnya persediaan protein normal atau terjadinya jejas sel (Tabel 1-2). Kematian sel karena protein salah bentuk dikenal sekarang sebagai gejala penyakit neurodegeneratif, termasuk penyakit Alzheimer, Huntington, dan Parkinson, dan mungkin juga diabetes tipe 2. Kekurangan glukosa dan oksigen dan stres serta infeksi juga akan mengakibatkan protein salah bentuk, dan berakhir dengan jejas sel dan kematian sel.



  Limfosit yang mampu mengenali antigen badan sendiri biasanya akan dibentuk pada semua individu. Apabila limfosit ini melawan antigen badan sendiri (self), sel akan mati melalui apoptosis. Kedua jalur mitokondria dan jalur reseptor kematian Fas terlibat dalam proses ini (Bab 4) Kegagalan apoptosis pada limfosit reaktif badan sendiri merupakan salah satu penyebab penyakit autoimun.



Tabel 1-2 Penyakit Akibat Protein Salah Lipat



Penyakit



Protein Terlibat



Patogenesis



Fibrosis sistika



Regulator konduktans transmembran fibrosis sistik (CFTR)



Hilangnya CFTR menyebabkan defek transpor klorida



Famillial hiperkolesterolemia



Reseptor LDL



Penyakit Tay-Sachs



Subunit hexosaminidase β



Hilangnya reseptor LDL mengakitbatkan hiperkolesterolemia Tidak adanya enzim lisosom mengakibatkan penimbunan gangliosida GM2 di neuron



Defisiensi α-l -antitripsin



α-I antitripsin



Penimbunan protein non-fungsional di sel hepar mengakibatkan apoptosis; tidak adanya aktivitas enzim di paru menyebabkan destruksi jaringan elastik menimbulkan emfisema



Penyakit Creutzfeld-Jacob



Prion



Lipatan abnormal PrPsc mengakibatkan kematian sel neuron



Penyakit Alzheimer



Aβ peptide



Lipatan abnormal Aβ peptida menyebabkan agregasi antar neuron dan apoptosis



Ditampilkan ilustrasi terbatas penyakit dimana protein salah lipatan diperkirakan menjadi mekanisme penyebab gangguan fungsional atau jejas sel atau jejas pada jaringan



BAB 1



22



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



NORMAL



A



Pendamping



Protein terlipat matur



RNA protein terlipat • • • •



Alterasi metabolit penyimpanan energi Mutasi genetik di protein, pendamping Infeksi virus Kelemahan kimia



Kelebihan protein salah lipat



“STRESS ER ” Kebutuhan Kapasitas >> pembuatan protein terlipat protein terlipat



KEGAGALAN ADAPTASI



ADAPTASI SEL RESPONS PROTEIN TIDAK TERLIPAT Sintesa protein



APOPTOSIS



Produksi pendamping Protein terlipat matur



B Gambar 1-24 Respons protein terlipat abnormal dan stres ER. A, Pada sel sehat, sintesa protein baru akan terlipat dengan bantuan pendamping dan akan masuk dalam sel atau terjadi sekresi. B, Berbagai stres eksternal atau mutasi akan menginduksi suatu keadaan yang disebut stres ER, keadaan di mana sel tidak dapat menanggulangi banyaknya beban protein yang terlipat abnormal. Akumulasi protein ini di ER akan memicu respons protein abnormal, yang berupaya mengembalikan homeostasis protein, apabila respons ini tidak memadai, sel akan mati melalui apoptosis.



Apoptosis yang Dimediasi Limfosit T Sitotoksik Limfosit T sitotoksik (CTL) megenali antigen asing yang terdapat pada permukaan sel pejamu yang terinfeksi dan sel tumor (Bab 4). Pada saat aktivasi, protease granula CTL yang disebut granzyme akan masuk ke sel target. Granzyme membelah protein pada sisa aspartat dan mampu mengaktifkan kaspase dalam sel. Dengan cara ini CTL mematikan sel target dengan langsung menginduksi fase efektor apoptosis, tanpa melibatkan mitokondria atau reseptor kematian. CTL juga mengekspresikan FasL di permukaan dan mematikan sel target melalui ligasi reseptor Fas.



RINGKASAN Apoptosis •











Merupakan mekanisme yang mengatur kematian sel dengan tujuan mengeliminasi sel yang tidak diinginkan dan sel rusak yang tidak dapat diperbaiki, dengan reaksi tubuh seminimal mungkin Ditandai dengan degradasi enzimatik protein dan DNA, diawali dengan kaspase; dan dengan pengenalan dan pembuangan sel mati oleh fagosit. Diawali melalui 2 jalur utama : 



Jalur mitokondria (intrinsik) dipicu oleh hilangnya sinyal ketahanan hidup (survival), kerusakan DNA dan akumulasi dari protein salah bentuk (stres ER); dihubungkan dengan bocornya protein pro apoptotik dari membran mitokondria ke dalam sitoplasma, dimana terjadi pemicuan aktivasi kaspase; dihambat oleh unsur anti apoptotik dari kelompok Bcl, yang diinduksi dengan sinyal ketahanan hidup termasuk faktor pertumbuhan.







Jalur reseptor kematian (ekstrinsik) berperan pada eliminasi limfosit reaktif badan sendiri dan kerusakan limfosit T sitotoksik; dipicu oleh ikut sertanya reseptor kematian (termasuk dalam kelompok reseptor TNF) melalui ikatan sel yang berdekatan.



AUTOFAG Autofag ("memakan diri sendiri") diartikan dengan pencernaan lisosomal atas komponen sel itu sendiri. Merupakan upaya agar tetap hidup pada saat terjadi kekurangan nutrisi, sehingga sel yang kelaparan tetap hidup dengan memakan isi selnya sendiri dan mendaur-ulangnya untuk menghasilkan nutrisi dan energi. Pada proses ini, pertama terjadi pemecahan organel intrasel dan bagian dari sitosol di dalam vakuol autofag, yang terbentuk dari daerah bebas ribosom pada ER (Gambar 1-25). Vakuol akan bersatu dengan lisosom untuk membentuk autophagolysosome, dimana enzim lisosom mencerna komponen sel. Autofag dipicu oleh kompleks multi protein yang mendeteksi adanya kekurangan gizi dan menstimulasi pembentukan vakuol autofag. Dengan berjalannya waktu, sel yang kelaparan akhirnya tidak dapat mencukupi kebutuhannya hanya dengan memakan dirinya; pada stadium ini, autofag juga akan memberikan sinyal kematian sel melalui apoptosis. Autofag juga terlibat dalam pembersihan protein salah bentuk, misalnya pada neuron dan sel hepar. Karena itu, autofag yang defek dapat mengakibatkan kematian neuron yang terjadi karena akumulasi protein ini dan kemudian mengakibatkan penyakit neurodegeneratif. Sebaliknya, aktivasi farmakologik autofag akan membatasi penimbunan protein salah bentuk di sel hati pada binatang percobaan



Klasifikasi Patologis



23



Kurang nutrisi Signal autofagia Organel sitoplasma



Lisosom



Degradasi



Pembentukan vakuol autofag



Dipakai sebagai sumber nutrisi



Gambar 1-25 Autofag. Stres sel, misalnya kekurangan nutrisi, akan mengaktivasi gen autofag (Gen Atg), yang akan memulai pembentukan vesikel dalam membran dimana terjadi sekuester organel sel. Vesikel ini menyatu dengan lisosom dan organel akan dicerna, dan produk yang terbentuk dipergunakan untuk nutrisi sel. Proses yang sama dapat memicu apoptosis, melalui suatu mekanisme yang kurang jelas.



sehingga mengurangi fibrosis hati. Polimorfisme gen yang terlibat pada autofag dikaitkan dengan penyakit radang usus, tetapi hubungan mekanisme antara autofag dan radang usus tidak jelas. Peran autofag pada kanker akan dibahas di Bab 5. Dengan demikian, jalur ketahanan hidup pada sel yang dulu dianggap remeh terbukti berperan luas pada penyakit manusia. Kita telah mengakhiri pembicaraan mengenai jejas sel dan kematian sel. Sebagaimana kita lihat, proses ini merupakan penyebab dasar dari banyak penyakit. Kita menutup bab ini dengan pertimbangan singkat mengenai tiga proses lain: akumulasi intrasel berbagai substansi dan deposit kalsium ekstrasel, keduanya sering dikaitkan dengan jejas sel, dan penuaan.



AKUMULASI INTRASEL Pada beberapa keadaan, sel akan mengakumulasi berbagai zat dalam jumlah abnormal yang mungkin tidak berbahaya atau dikaitkan dengan berbagai tingkat jejas. Zat dapat dijumpai di sitoplasma, dalam organel (biasanya lisosom) atau di dalam inti, dan zat tersebut bisa disintesa oleh sel yang terkena atau dibuat di tempat lain. Ada empat jalur utama terjadinya akumulasi intrasel yang abnormal (Gambar 1-26): • Pembuangan kurang baik dari zat normal akibat dari defek mekanisme pengumpulan dan pengiriman, seperti degenerasi lemak di hati. • Akumulasi zat endogen abnormal akibat defek genetik atau defek didapat dalam pelipatan, pengumpulan, pengiriman, atau pengeluaran, seperti terjadi pada bentuk mutasi tertentu otrantitripsin. • Kegagalan mendegradasi metabolit akibat defisiensi enzim bawaan (inherited). Kelainan ini disebut penyakit timbunan (Bab 6). • Penempatan dan pengumpulan yang abnormal zat eksogen, ketika sel tidak mempunyai peralatan enzimatik untuk mendegradasi zat itu atau tidak memiliki kemampuan membawa zat itu ke tempat lain. Akumulasi partikel karbon atau silika adalah contoh dari kelainan ini.



  Perubahan lemak adalah akumulasi abnormal trigriserida di dalam sel parenkim. Sering dijumpai di hati, karena merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme lemak, tetapi hal ini dapat juga terjadi di jantung, otot lurik, ginjal, dan organ lain. Steatosis bisa terjadi akibat toksin, malnutrisi protein, diabetes melitus, obesitas, atau anoksia. Salah penggunaan alkohol dan diabetes akibat obesitas merupakan penyebab tersering dari perubahan lemak pada hati (perlemakan hati) di negara industri. Proses ini akan dibahas lebih lanjut di Bab 15.



  Metabolisme kolesterol sel teratur sangat ketat agar terjadi sintesa membran sel normal tanpa terjadinya akumulasi intrasel yang berarti. Namun, sel fagosit bisa menerima beban berlebihan dari lemak (trigliserida, kolesterol, dan ester kolesterol) pada berbagai proses patologis yang berbeda. Di antara semuanya, yang terpenting adalah aterosklerosis. Peran penempatan lemak dan kolesterol dalam patogenesis aterosklerosis dibahas di Bab 9.



  Secara morfologik akumulasi protein jauh lebih jarang dijumpai dibanding akumulasi lemak; hal tersebut dapat terjadi apabila ada penimbunan berlebihan atau sel mensitesa jumlah yang berlebihan. Di ginjal sebagai contoh, sejumlah sangat kecil albumin difiltrasi melalui glomerulus dan biasanya diabsorbsi kembali oleh pinosit pada tubulus proksimal. Namun apabila ada kelainan di mana terjadi kebocoran besar dari protein di filter glomerulus (misalnya sindrom nefrotik), maka timbul reabsorbsi protein berlebihan dan akumulasi vesikel yang mengandungi protein tersebut, dengan gambaran histologis berwarna merah muda, atau bercak hialin di sitoplasma. Proses ini reversibel: apabila proteinuria menyusut, maka bercak protein akan dimetabolisme dan menghilang. Contoh lain adalah akumulasi menonjol dari imunoglobulin baru hasil sintesa yang dapat terjadi pada RER di sel plasma, dalam bentuk benda Russell yang eosinofilik dan bulat. Contoh lain dari agregasi protein dibicarakan di bagian lain buku ini (misal: "hialin alkohol" di hati di Bab 15; kusutnya neurofibril pada neuron di Bab 22).



24



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi  



Deposit intrasel glikogen yang berlebihan dikaitkan dengan metabolisme abnormal glukosa atau glikogen. Pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik, yang merupakan contoh utama dari penyakit gangguan penimbunan glikogen, atau glycogenoses (Bab 6). metabolisme glukosa abnormal, glikogen akan tertimbun di epitel tubulus ginjal, otot jantung, dan sel pulau Langerhans. Glikogen juga berakumulasi dalam sel kelompok gangguan genetik yang dikenal sebagai



1 Metabolisme abnormal



Sel normal



Mutasi protein



Perlemakan hati



Pigmen Pigmen adalah zat berwarna yang bisa eksogen, yaitu berasal dari luar tubuh, misalnya karbon, atau endogen, hasil sintesa tubuh sendiri, misalnya lipofusin, melanin, dan derivat hemoglobin tertentu.



2 Defek pada pelipatan protein transpor



Akumulasi protein abnormal



3 Kekurangan enzim Substrat Produk kompleks larut air Enzim



Substrat kompleks Penyakit gangguan penimbunan lisosom: akumulasi materi endogen



4



Pencernaan materi yang tidak dapat dicerna



Akumulasi materi eksogen



Gambar 1-26 Mekanisme akumulasi intrasel: (I) Metabolisme abnormal, seperti pada degenerasi lemak di hati. (2) Mutasi mengakibatkan gangguan lipatan protein dan transpor, sehingga molekul yang defek terakumulasi intrasel. (3) Defisiensi enzim penting untuk menghancurkan beberapa komponen, sehingga terjadi akumulasi substrat dalam lisosom, seperti pada penyakit gangguan penimbunan lisosom. (4) Ketidakmampuan mendegradasi partikel yang telah difagositosis, seperti pada akumulasi pigmen karbon.



• Pigmen eksogen yang tersering dijumpai ialah karbon (contoh debu batubara), sebagai polusi udara kehidupan kota yang bertebaran. Apabila dihirup, akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan disalurkan melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional trakeobronkial. Kumpulan pigmen akan membuat kelenjar getah bening yang dilalui dan parenkim paru menjadi hitam (anthracosis) (Bab 12). • Lipofusin, atau "pigmen habis pakai," merupakan granula coklatkekuningan yang tidak larut air dan dikumpulkan di berbagai jaringan (terutama jantung, hati, dan otak) sebagai akibat fungsi penuaan dan atrofia. Lipofusin mewakili kompleks lemak dan protein yang berasal dari katalisasi radikal bebas yaitu peroksidase lemak polyunsaturated di membran subsel. Tidak berbahaya terhadap sel tetapi merupakan petanda telah terjadinya jejas radikal bebas. Pigmen coklat (Gambar 1-27), yang dijumpai dalam jumlah besar, akan memberikan gambaran sebagai atrofia coklat. Dengan mikroskop elektron, pigmen akan tampak sebagai granula padat elektron di sekitar inti (Gambar 1-27, B). • Melanin merupakan pigmen endogen berwarna coklat-hitam yang disintesa oleh melanosit di epidermis dan berfungsi sebagai tirai untuk melindungi dari radiasi ultraviolet yang berbahaya. Walaupun melanosit merupakan satu-satunya sumber melanin, keratinosit basal yang letaknya berdekatan di kulit dapat mengakumulasi pigmen (misalnya tahi lalat), demikian juga makrofag di dermis. • Hemosiderin merupakan pigmen granuler berasal dari hemoglobin berwarna kuning keemasan hingga coklat dan diakumulasi di jaringan yang mengandungi besi berlebihan baik lokal maupun sistemik. Besi biasanya disimpan dalam sel yang berhubungan dengan protein apoferritin, membentuk "micelles" ferritin. Pigmen hemosiderin menggambarkan adanya timbunan micelles ferritin, tampak melalui mikroskop cahaya atau elektron; besi dapat diidentifikasi tanpa keraguan melalui reaksi histokimia biru Prussian (Gambar 1-28). Walaupun akumulasi hemosiderin biasanya bersifat patologis, tetapi sejumlah kecil pigmen tersebut dijumpai normal di fagosit mononukleus di sumsum tulang, limpa, dan hati, yaitu tempat sel darah merah yang tua biasanya didegradasi. Penimbunan berlebihan hemosiderin, disebut hemosiderosis, dan penimbunan besi yang lebih ekstensif seperti pada hemokromatosis herediter, dibahas pada Bab 15.



Penuaan Sel



25



Gambar 1-27 Granula lipofusin di miosit jantung. A, Mikroskop cahaya (deposit ditunjukkan dengan panah). B, Mikroskop elektron. Perhatikan lokasi perinukleus, intra intralisosom.



KALSIFIKASI PATOLOGIS Kalsifikasi patologis merupakan proses biasa yang dijumpai pada berbagai keadaan penyakit; menyatakan adanya penempatan garam kalsium abnormal, biasanya bersama dengan sedikit besi, magnesium, dan mineral lain. Apabila penempatannya pada jaringan mati atau jaringan yang akan mati, disebut kalsifikasi distrofik; terjadi tanpa adanya gangguan metabolisme kalsium (misalnya kadar serum kalsium normal). Sebaliknya, penempatan garam kalsium di jaringan normal disebut kalsifikasi metastatik dan hampir selalu terjadi sebagai akibat suatu gangguan metabolisme kalsium (hiperkalsemia). Perlu dicatat, sekalipun hiperkalsemia tidak merupakan prasyarat untuk terjadinya kalsifikasi distrofik, namun dapat memperkuatnya. Klasifikasi Distrofik Klasifikasi distrofik dijumpai pada semua jenis nekrosis. Selalu dijumpai di atheroma pada aterosiderosis lanjut, dikaitkan dengan jejas intima pada aorta dan pembuluh arteri besar dan merupakan gambaran khas pada akumulasi lemak



(Bab 9). Walaupun kalsifikasi distrofik jarang terjadi yang menandakan pernah adanya jejas sel, hal ini dapat pula menjadi penyebab disfungsi organ. Contoh, kalsifikasi yang terjadi pada penuaan katup atau katup jantung yang rusak, mengakibatkan kerja katup sangat terganggu. Klasifikasi distrofik pada katup aorta merupakan penyebab penting stenosis aorta pada usia lanjut (Gambar 10-17, Bab 10). Patogenesis klasifikasi distrofik meliputi inisiasi (atau nuldeasi) dan propagasi, keduanya dapat terjadi intrasel atau ekstrasel; hasil akhir adalah terbentuknya kristal kalsium fosfat. Inisiasi ekstrasel terjadi pada vesikel yang terikat pada membran berdiameter kira-kira 200 nm; pada tulang rawan dan tulang normal disebut vesikel matriks, dan pada klasifikasi patologis berasal dari sel yang mengalami degenerasi. Diperkirakan kalsium mula-mula terkumpul pada vesikel ini karena afinitasnya dengan fosfolipid membran, sedangkan fosfat terkumpul karena kegiatan fosfatase yang berikatan dengan membran. Inisiasi klasifikasi intrasel terjadi di mitokondria sel mati atau sel yang akan mati, yang kehilangan kemampuan untuk mengatur kalsium intrasel.



Gambar 1-28 Granula hemosiderin dalam sel hati. A, Pewarnaan Hematoksilin-eosin menunjukkan pigmen granuler halus, warna coklat emas. B, Deposit besi tampak dengan proses pewarnaan khusus yang disebut reaksi biru Prusia.



24



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Setelah terjadinya inisiasi pada tempat tersebut, terjadi perkembangan pembentukan kristal. Hal ini bergantung pada kadar Ca'2+dan PO4keberadaan inhibitor mineral dan derajat pembentukan kolagen, yang akan mempercepat pertumbuhan kristal.



• •



  Klasifikasi metastatik dapat terjadi pada jaringan normal apabila terdapat hiperkalsemia. Penyebab utama hiperkalsemia ialah: (1) peningkatan sekresi hormon paratiroid, terjadi karena tumor paratiroid primer atau produksi hormon yang terkait protein paratiroid suatu tumor ganas lain; (2) destruksi tulang akibat penggunaan yang meningkat (misal: penyakit Paget), imobilisasi, atau tumor (peningkatan katabolisme tulang akibat dari mieloma multipel, leukemia, atau metastasis tulang difus); (3) kelainan yang berhubungan dengan vitamin D termasuk intoksikasi vitamin D dan sarkoidosis (makrofag mengaktifkan prekursor vitamin D); dan (4) gagal ginjal, dimana retensi fosfat berakibat pada hyperparathyroidisme sekunder.



MORFOLOGI Tidak tergantung lokasinya, garam kalsium pada pemeriksaan makroskopik tampak sebagai granula putih halus atau dalam kelompok, sering terasa sebagai deposit kasar. Kalsifikasi distrofik sering dijumpai pada nekrosis kaseosa di tuberkulosa. Kadang-kadang kelenjar getah bening tuberkulosa berubah menjadi batu radioopak. Pada pemeriksaan histologis, kalsifikasi tampak sebagai deposit basofilik intrasel dan/atau ekstrasel. Dengan berlalunya waktu, tulang heterotopik dapat terbentuk pada fokus kalsifikasi. Klasifikasi metastatik terjadi pada seluruh tubuh tetapi sering mengenai jaringan ikat interstitial vaskular, ginjal, paru, dan mukosa gaster. Deposit kalsium secara morfologik mirip gambaran kalsifikasi distrofik. Walaupun jarang mengakibatkan disfungsi klinis, kalsifikasi yang luas pada paru akan tampak pada gambaran radiologi dan mengakibatkan defisit pernapasan, dan deposit masif di ginjal (nephrocalcinosis) yang bisa mengakibatkan kerusakan ginjal.



RINGKASAN Deposit Abnormal Intrasel dan Klasifikasi Deposit abnormal materi pada sel dan jaringan disebabkan oleh makan (intake) berlebihan atau defek pada transpor atau katabolisme. • Deposit lemak  Perubahan lemak: pengumpulan trigliserida bebas dalam sel, akibat dari makan berlebihan atau kegagalan transpor (sering akibat defek pada sintesis protein transpor); manifestasi dari jejas sel yang reversibel.  Pengendapan kolesterol: akibat defek katabolisme dan makan berlebihan; pengendapan pada makrofag dan sel otot polos dinding pembuluh darah pada aterosklerosis. •



Deposit protein: protein yang diabsorpsi kembali di tubulus ginjal; imunoglobulin pada sel plasma.







Deposit glikogen: pada makrofag pasien dengan defek enzim lisosom yang memecah glikogen (penyakit penimbunan glikogen). Deposit pigmen: pigmen yang tidak dapat dicerna,misalnya karbon, lipofusin (hasil pemecahan peroksidase lipid), atau besi (biasanya karena beban berlebihan, misalnya pada hemosiderosis). Klasifikasi patologis  Klasifikasi distrofik: deposit kalsium di tempat jejas sel dan nekrosis.  Klasifikasi metastatik: deposit kalsium pada jaringan normal, disebabkan hiperkalsemia (umumnya akibat berlebihnya hormon paratiroid).



PENUAAN SEL Seorang bertambah tua karena selnya mengalami penuaan. Walaupun perhatian umum mengenai proses penuaan terbatas pada manifestasi kosmetik, penuaan mempunyai konsekwensi kesehatan penting, sebab usia merupakan salah satu faktor risiko tidak bergantung (independen) terbesar untuk timbulnya sejumlah besar penyakit menahun, seperti kanker, penyakit Alzheimer, dan penyakit iskemi jantung. Mungkin salah satu penemuan terpenting tentang penuaan sel ialah bahwa proses itu tidak hanya terjadi karena sel kehilangan energinya, tetapi sebenarnya diatur oleh sejumlah gen terbatas dan jalur sinyal yang dipertahankan secara evolusioner mulai dari ragi hingga binatang menyusui. Penuaan sel terjadi akibat penurunan progesif masa hidup dan kapasitas fungsional sel. Berbagai mekanisme diperkirakan berperan pada penuaan sel (Gambar 1-29): • Kerusakan DNA. Berbagai serangan metabolisme yang terakumulasi dengan waktu akan mengakibatkan kerusakan pada inti dan DNA mitokondria. Walaupun sebagian besar kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh enzim perbaikan DNA, sebagian tetap dan berakumulasi dengan menuanya sel. Beberapa sindrom penuaan dikaitkan dengan defek mekanisme perbaikan DNA, dan masa hidup dari binatang percobaan dapat diperpanjang apabila respons terhadap kerusakan DNA dapat ditingkatkan atau protein yang menstabilkan DNA dipergunakan. Diperkirakan adanya peran radikal bebas pada kerusakan DNA yang mengakibatkan penuaan tetetapi hal ini masih diragukan. • Replikasi sel yang berkurang. Semua sel normal mempunyai kemampuan terbatas untuk replikasi, dan setelah sekian kali pembelahan, sel berhenti dalam status tidak dapat membelah lagi, disebut sebagai senescence replikatif. Penuaan dikaitkan dengan senescence replikatif dari sel secara progresif. Sel anak-anak mempunyai kapasitas lebih tinggi untuk bereplikasi dibandingkan sel orang yang lebih tua. Sebaliknya, sel pasien dengan sindrom Werner, suatu penyakit jarang yang ditandai dengan penuaan dini, mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Pada sel manusia, mekanisme senescence replikatif melibatkan pemendekan telomer, dan berakhir dengan berhentinya siklus sel. Telomer adalah bagian DNA yang pendek berupa urutan basa berulang yang dijumpai pada akhir kromosom yang lurus yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa replikasi sudah lengkap sampai ujung



Penuaan Sel Homeostasis protein abnormal



Pemendekan telomer



Gangguan lingkungan dan metabolisme



27



Stres lingkungan Signal insulin/GF



ROS? Replikasi sel



Kerusakan DNA



Protein, protein yang rusak



Pemulihan DNA yang defektif



MUTASI



KEHILANGAN SEL



TOR Sirtuin yang berubah Transkripsi yang terhambat



FUNGSI SEL BERKURANG



Pemulihan DNA



PENUAAN SEL



MELAWAN PROSES PENUAAN



Homeostasis protein



Gambar 1-29 Mekanisme yang menyebabkan dan mencegah penuaan sel. Kerusakan DNA. senescence replikatif, dan penurunan dan protein yang terlipat abnormal merupakan mekanisme terbaik untuk menjelaskan penuaan sel, Beberapa stres lingkungan, misalnya restriksi kalori, mencegah penuaan dengan mengaktifkan beberapa signal jalur dan faktor transkripsi. IGF, faktor pertumbuhan mirip insulin; TOR, target dari rapamisin



kromosom agar tidak terjadi fusi atau degradasi. Apabila sel somatik bereplikasi, sebagian kecil telomere tidak terjadi duplikasi, dan telomer akan menjadi pendek secara progesif. Apabila telomer sudah pendek, maka ujung kromosom tidak dapat dilindungi dan tampak sebagai DNA yang patah, yang memberikan sinyal berhentinya siklus sel. Panjang telomer dipertahankan melalui penambahan nukleotida yang dibantu oleh enzim telomerase. Telomerase merupakan kompleks protein-RNA khusus yang memakai RNA nya sendiri sebagai template (pedoman) untuk menambah nukleotida pada ujung kromosom. Aktivitas telomerase terjadi pada sel germinal dan dijumpai dalam kadar rendah pada sel punca, tetetapi tidak dijumpai pada sebagian besar jaringan somatik (Gambar 1-30). Karena itu, pada saat sel somatik menjadi tua, telomer menjadi pendek dan keluar dari siklus sel, mengakibatkan tidak dibentuknya sel baru untuk menggantikan sel yang rusak. Sebaliknya, pada sel kanker yang dibuat



Sel germinal



Sel pun



ca



Se Panjang telomer



ls



om



at



ik Sel kanker



Penghentian pertumbuhan Pembelahan sel



Gambar 1-30 Peran telomer dan telomerase pada senescences replikatif sel. Panjang telomer dirancang untuk mencegah pembelahan sel. Pada sel somatik normal, tidak ada kegiatan telomerase, dan telomer akan memendek secara progresif dengan bertambahnya pembelahan sel sehingga terjadi penghentian pertumbuhan atau senescences terjadi. Sel germinal dan sel punca keduanya mengandungi telomerase aktif,tetapi hanya pada sel germinal kadar hormon cukup untuk menstabilisasi lengkap panjang telomer. Pada sel kanker, sering terjadi reaktivasi.



(Data dari Macmillan Publishers Ltd, from Nolt SE, et al: Refining the telomer-telomerase hypothesis of oging and cancer. Nat Biotechnol I 4:836, I 996.)



imortal, telomerase biasanya diaktifkan kembali dan panjang telomer menjadi stabil, sehingga sel dapat berproliferasi tanpa batas. Hal ini dibahas pada Bab 5. Pemendekan telomer juga dapat mengurangi kapasitas regeneratif sel punca, sehingga menambah lagi proses penuaan sel. Walaupun adanya observasi demikian yang sangat menarik, hubungan antara aktivitas telomer dan panjang telomer belum difahami seluruhnya. • Cacat pada homeostasis protein. Suatu saat, sel tidak akan mampu mempertahankan homeostasis protein, karena meningkatnya perubahan dan menurunnya sintesis yang disebabkan oleh translasi protein yang menurun dan cacatnya aktivitas pendamping "chaperone" (yang mendorong pembentukan protein normal), proteasom (yang merusak protein salah bentuk) dan enzim perbaikan. Homeostasis protein yang tidak normal akan memberikan beberapa pengaruh terhadap ketahanan hidup, replikasi, dan fungsi sel. Sebagai tambahan, juga akan terjadi akumulasi protein salah bentuk, yang akan memicu jalur apoptosis. Banyak perhatian diberikan pada pengenalan jalur sinyal yang akan melawan proses penuaan, bukan hanya untuk pengobatan yang jelas (penelitian "minuman awet muda") tetapi juga dengan kejelasan jalur ini akan dapat diketahui lebih lanjut mekanisme terjadinya penuaan. Diperkirakan sekarang bahwa stres lingkungan, misalnya pembatasan kalori, akan mengubah jalur sinyal yang mempengaruhi penuaan (Gambar 1-29). Di antara perubahan biokimia yang berperan pada penghentian proses penuaan adalah pengurangan sinyal oleh reseptor faktor pertumbuhan yang mirip insulin, penurunan aktivitas kinase (khusus "target rapamycin," [TOR], dan kinase AKT), dan perubahan aktivitas transkripsi. Akhirnya, perubahan-perubahan ini akan berakibat pada peningkatan perbaikan DNA dan homeostasis protein, serta peningkatan imunitas yang semuanya menghambat penuaan. Stres lingkungan juga dapat mengaktifkan protein dari kelompok Sirtuin, misalnya Sir2, yang berfungsi sebagai deasetilase protein. Protein ini bisa tanpa asetil dan dengan demikian mengaktifkan enzim perbaikan DNA, sehingga menstabilkan DNA; tanpa protein tersebut, DNA lebih rawan terhadap kerusakan. Walaupun sirtuin mendapat banyak perhatian akhir ini, perannya pada proses penuaan belum dapat dipastikan.



28



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



RINGKASAN Penuaan Sel •







• •



Terjadi akibat gabungan akumulasi kerusakan sel (misal: karena radikal bebas), penurunan kemampuan membelah (senescences replikasi), dan menurunnya kemampuan untuk memperbaiki DNA yang rusak. Akumulasi kerusakan DNA: mekanisme perbaikan DNA yang tidak efektif; sebaliknya perbaikan DNA dapat diaktifkan dengan mengurangi kalori, yang berhasil memperpanjang usia pada penelitian beberapa organisme. Senescences replikasi: menurunnya kapasitas membelah pada sel akibat pemendekan progresif ujung kromosom (telomer). Faktor lain: akumulasi progresif kerusakan metabolisme; kemungkinan peran faktor pertumbuhan yang mempercepat penuaan pada model organisme sederhana.



Jelas bahwa berbagai gangguan dan adaptasi sel yang dibicarakan pada bab ini meliputi spektrum yang luas, mulai dari adaptasi ukuran sel, pertumbuhan, dan fungsi, sampai bentuk reversibel dan ireversibel jejas sel akut, sampai kematian sel yang terprogram yaitu apoptosis. Contoh berbagai kelainan diberikan pada buku ini, sebab semua organ yang mengalami cedera dan akhirnya semua kasus penyakit klinis terjadi karena gangguan struktur sel dan fungsinya. KEPUSTAKAAN Auten RL, Davis JM: Oxygen toxicity and reactive oxygen species: the devil is in the details. Pediatr Res 66:121, 2009. [Tinjauan mengenai produksi dan degradasi spesies oksigen relattf dan perannya dalam jejas sel.] alaban RS, Nemoto S, Finkel T: Mitochondria, oxidants, and ̀ aging. Cell 120:483, 2005. [Tinjauan yang baik mengenai peran radikal bebas pada proses penuaan.] Calado RT, Young NS: Telomere diseases. N Engl J Med 361:2353, 2009. [Tinjauan yang baik tentang biologi dasar telomer dan bagaimana peran abnormal terhadap kanker, proses penuaan dan penyakit lain.] Chipuk JE, Moldoveanu T, Llambl F, et al: The BCL-2 family reunion. Mol Cell 37:299, 2010. [Tinjauan biokimia dan biologi apoptosispengaturan protein kelompok BCL-2.] de Groot H, Rauen U: Ischemia-reperfusion injury: processes in pathogenetic networks: a review. Transplant Proc 39:481, 2007. [Tinjauan peran jejas intrinsic sel dan respons radang pada jejas iskemiareperfusi.]



Dong Z, Saikumar P, Weinberg JM, Venkatachalam MA: Calcium in cell injury and death. Annu Rev Pathol 1:405, 2006. [Tinjauan hubungan antara jejas kalsium dan jejas sel.] Elliott MR, Ravichandran KS: Clearance of apoptotic cells: implica tions in health and disease. J ell ̀ iol ̀ 189:1059, 2010. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme sel apoptosis dihilangkan dan bagaimana abnormalitasnya pada jalur ini akan mengakibatkan penyakit.] Frey N, Olson EN: Cardiac hypertrophy: the good, the bad, and the ugly. Annu Rev Physiol 65:45, 2003. [Pembahasan yang menarik mengenai mekanisme hipertrofi otot dengan jantung sebagai paradigma.1 Galluzzi L, Aaronson SA, Abrams J, et al: Guidelines for the use and interpretation of assays for monitoring cell death in higher eukaryotes. ell ̀ Death Differ 16:1093, 200. ̀ [Kesimpulan praktis tentang morfologi dan teknik lain untuk mendeteksi dan mengkuantifilcasi sel mati.J Haigis MC, Yankner BA: The aging stress response. Mol Cell 40:333, 2010. [Tinjauan peran sel stres pada pengaturan proses penuaan.] Hotchkiss RS, Strasser A, McDunn JE, Swanson PE: Cell death. N ngl ̀ J Med 361:1570, 2009. [Tinjauan yang baik tentang jalur utama kematian sel (nekrosis, apoptosis dan kematian yang dikaitkan dengan autofag) serta implikasi klinis dan terapi target.] Kenyon CJ: The genetics of ageing. Nature 464:504, 2010. [Tinjauan baik tentang gen yang mempengaruhi proses penuaan, berdasarkan sindrom genetik manusia dan penelitian tentang model organisme mutan.1 Kroemer G, Marino G, Levine B: Autophagy and the integrated stress response. Mol Cell 40:280, 2010. [Diskusi menarik tentang biologi, jalur biokimia dan peran fisiologi autofagia.] Kundu M, Thompson CB: Autophagy: basic principles and relerelevance to disease. Annu Rev Pathol 3:427, 2008. [Diskusi tentang biologi autofagia dan potensi kontribusinya terhadap berbagai keadaan penyakit.] Lin JH, Walter P, Yen TSB: Endoplasmic reticulum stress in disease pathogenesis. nnu ̀ Rev athol ̀ 3:399, 2008. [Tinjauan biologi dan relevansi penyakit akibat respons terhadap protein yang tidak terlipat dan stres ER yang diinduksi oleh protein yang tidak terlipat.J Lombard DB, Chua KF, Mostoslavsky R, et al: DNA repair, genome stability, and aging. Cell 120:497, 2005. [Peran kerusakan DNA pada proses penuaan sel.] McKinnell IW, Rudnicki MA: Molecular mechanisms of muscle atrophy. Ce11119:907, 2004. [Diskusi tentang mekanisme atrofia sel.J Newmeyer DD, Ferguson-Miller S: Mitochondria• releasing power for life and unleashing the machineries of death. ell ̀ 112:481, 200. ̀ [Tinjauan yang baik tentang berbagai fungsi mitokondria dengan penekanan pada perannya pada kematian sel.] Sahin E, DePinho RA: Linking functional decline of telomeres, mitochondria and stem cells during ageing. Nature 464:520, 2010. [Tinjauan yang baik tentang abnormalitas sel punca dan kontribusinya pada proses penuaan.] Tosh D, Slack JM: How cells change their phenotype. Nat Rev Mol Cell Biol 3:187, 2002. [Tinjauan tentang metaplasia dan peran sel punca serta gen yang programnya diulang.] Valko M, Leibfritz D, Moncol J, et al: Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. nt ̀ J iochem ̀ ell ̀ iol ̀ 39:44, 2007. [Diskusi menarik tentang biokimia oksigen dan radikal bebas yang berasal dari nitrogen perannya pada jejas sel dan fungsi fisiologisnya sebagai molekul sinyal.]



2 BAB



Radang dan Pemulihan Jaringan DAFTAR ISI BAB Tinjauan Radang dan Pemulihan Jaringan 29 Radang Akut 31



Stimulus Radang Akut 31 Pengenalan Mikroba, Sel Nekrotik, dan Benda Asing 32 Perubahan Vaskular 33 Kejadian Seluler: Pengumpulan dan Pengaktifan Leukosit 34 Cedera Jaringan Akibat Leukosit 39 Defek pada Fungsi Leukosit 40 Akibat Radang Akut 41



Pola Morfologik Radang Akut 43 Mediator Kimia dan Regulator Radang 44



Mediator Asal Sel 46 Mediator dari Protein Plasma Mekanisme Anti-inflamasi



Radang Kronik



53



Peran Regenerasi pada Pemulihan Jaringan 65



52



Pembentukan Jaringan Parut



50



Sel dan Mediator Radang Kronik 53 Radang Granulomatosa 56



Efek Sistemik Radang 57 Tinjauan Pemulihan Jaringan Regenerasi Sel dan Jaringan



58 59



Pengaturan Proliferasi Sel 59 Kapasitas Proliferasi Jaringan 59 Sel Punca (Sel Stem) 60 Faktor Pertumbuhan 61 Peran Matriks Ekstrasel pada Pemulihan Jaringan 63



TINJAUAN RADANG DAN PEMULIHAN JARINGAN Pertahanan hidup semua organisme mengharuskan terjadinya eliminasi benda asing, misalnya agen yang mengakibatkan infeksi, dan jaringan yang rusak. Fungsi-fungsi ini dibantu oleh respons tubuh yang komplek, yang disebut radang. Radang merupakan suatu respons perlindungan yang melibatkan sel tubuh, pembuluh darah, serta protein dan mediator lain dengan tujuan mengeliminasi penyebab utama jejas sel, demikian pula sel nekrotik dan jaringan sebagai akibat pengaruh awal, dan memulai proses pemulihan jaringan. Upaya radang untuk melakukan proteksi adalah dengan mengencerkan, merusak, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba, toksin). Kemudian akan terjadi mekanisme untuk penyembuhan dan pemulihan daerah yang terkena jejas. Tanpa proses peradangan, infeksi dapat berlanjut tanpa terkendali dan luka tidak akan sembuh. Dalam konteks infeksi, radang merupakan sebuah komponen respons protektif yang disebut oleh ahli imunologi sebagai imunitas sejak lahir (Bab 4). Walaupun radang membantu menghilangkan infeksi dan stimulus membahayakan lainnya dan memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dan proses penyembuhan jaringan dapat pula mengakibatkan kerugian. Komponen reaksi



65



Tahapan Pembentukan Jaringan Parut 65 Angiogenesis 66 Pengaktifan Fibroblas dan Penimbunan Jaringan Ikat 68 Penyesuaian Bentuk Jaringan Ikat 68 Faktor yang Mempengaruhi Pemulihan Jaringan 69 Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis 70 Penyembuhan Luka Kulit 70 Fibrosis pada Organ Parenkim 72



radang yang merusak dan mengeliminasi mikroba dan jaringan mati dapat juga mengakibatkan jejas pada jaringan normal. Karena itu, jejas bisa disertai reaksi radang normal yang menguntungkan, dan kerusakan bisa menjadi gambaran dominan apabila reaksi berlebihan (misalnya, infeksi yang berat), berkepanjangan (misalnya, agen yang kebal eradikasi), atau tidak tepat (misalnya, apabila tertuju pada antigen diri sendiri pada penyakit autoimun, atau melawan antigen lingkungan yang biasanya tidak berbahaya (misalnya, kelainan alergi). Beberapa jenis penyakit manusia yang mengganggu merupakan kelainan akibat radang yang tidak pada tempatnya, seringkali kronik. Sehingga, proses radang merupakan dasar untuk semua ilmu kedokteran klinis Sel dan molekul untuk pertahanan diri, termasuk leukosit dan protein plasma, biasanya beredar di dalam darah, dan tujuan reaksi radang adalah agar sel dan molekul tersebut dialirkan ke tempat infeksi atau jaringan yang mengalami cedera. Sebagai tambahan, sel yang berada di dinding pembuluh darah dan sel serta protein dari matriks ekstrasel (Eom) juga terlibat dalam proses peradangan dan pemulihan jaringan (Gambar 2-1). Sebelum kita menjelaskan proses peradangan secara rinci, beberapa gambaran dasar akan dibahas. Radang bisa akut atau kronik (Tabel 2-1). Radang akut terjadi cepat dan memakan waktu singkat, berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa hari, dan memberikan gambaran khas timbulnya cairan dan eksudasi protein plasma dan akumulasi leukosit neutrofil yang banyak. Radang kronik terjadi secara bertahap, dalam period yang lebih lama (hitungan hari hingga tahun), dan ditandai dengan penimbunan limfosit dan makrofag disertai proliferasi vaskular dan fibrosis (jaringan parut). Seperti yang akan



30



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan Makrofag Sumber mediator (histamin, lainnya)



Sel mast



Respons imun



Eliminasi mikroba, jaringan mati Sumber mediator (sitokin, lainnya) Peran dalam respons imun



Otot polos



Trombosit PEMBULUH Leukosit polimorfonukleus



Protein plasma



Endotel



Monosit



Limfosit



Sumber mediator (nitrogen monooksida, sitokin, lainnya)



Membran basalis



Eliminasi mikroba, jaringan mati



Komplemen: mediator radang, eliminasi mikroba Faktor pembekuan dan kininogen: mediator inflamasi



Protein matriks ekstraseluler dan sel



Pemulihan



Fibroblas



Gambar 2-1 Komponen respons radang akut dan kronik serta fungsi utamanya. Peran sel tersebut dan molekul radang dibahas pada bab ini.



kita lihat kemudian, kedua jenis radang ini bisa timbul bersamasama, dan banyak variabel menentukan perjalanan serta gambaran histologisnya. Radang diinduksi oleh mediator kimia yang dihasilkan oleh sel tubuh untuk merespons stimulus yang merugikan. Ketika mikroba masuk ke dalam jaringan atau jaringan menjadi cedera, infeksi atau kerusakan diketahui oleh sel tubuh, terutama makrofag, tapi juga sel dendrit, sel mast, dan sel lainnya. Sel-sel tersebut mensekresi molekul (sitokin dan mediator lain) yang menginduksi dan mengatur respons radang selanjutnya. Mediator radang juga diproduksi dari protein plasma yang bereaksi dengan mikroba atau terhadap jaringan yang cedera. Beberapa mediator akan menyebabkan aliran plasma dan pengumpulan leukosit yang beredar menuju tempat di mana agen yang mengganggu berada. Leukosit akan diaktifkan dan akan menghilangkan agen yang mengganggu melalui fagositosis. Efek samping yang merugikan akibat pengaktifan leukosit adalah kerusakan pada jaringan normal. Tabel 2-1 Gambaran Radang Akut dan Radang Kronik



Gambaran



Akut



Kronik



Saat timbul



Cepat: hitungan menit atau jam



Lambat: berhari-hari



Infiltrat seluler



Terutama neutrofil



Monosit/makrofag dan limfosit



Jejas jaringan, fibrosis



Biasanya ringan dan terbatas Mencolok



Sering berat dan progresif



Gejala lokal dan sistemik



Kurang mencolok, bisa tidak dirasakan



Manifestasi eksternal dari radang, seringkali disebut tanda kardinal, adalah panas (kalor), warna kemerahan (rubor), bengkak (tumor), nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi (functio laesa). Empat tanda pertama sudah diterangkan 2000 tahun yang lalu oleh seorang ahli ensiklopedia bernama Celsus, yang menuliskannya dalam buku teks tersohor saat itu De Medicina, dan tanda ke-5 ditambahkan pada akhir abad ke ke-19 oleh Rudolf Virchow, dikenal sebagai "bapak patologi modern". Manifestasi tersebut terjadi sebagai akibat perubahan vaskular dan pengumpulan dan pengaktifan leukosit, yang akan menjadi jelas pada pembahasan berikut. Radang secara normal terkendali dan membatasi diri. Mediator dan sel akan teraktifkan hanya terhadap respons yang merugikan dan berumur singkat, dan akan terjadi degradasi atau menjadi inaktif apabila agen penyebab jejas tereliminasi. Sebagai tambahan, berbagai mekanisme anti-radang menjadi aktif. Apabila agen yang merugikan tidak dapat segera dihilangkan, akan terjadi radang kronik, yang dapat menimbulkan berbagai akibat patologis gawat.



Radang Akut



RINGKASAN Gambaran Umum Suatu Radang •















Radang merupakan respons pertahanan tubuh terhadap benda asing dan jaringan nekrotik, tetapi radang itu sendiri bisa mengakibatkan kerusakan jaringan. Komponen utama radang adalah reaksi vaskular dan respons sel, keduanya diaktifkan oleh mediator yang berasal dari protein plasma dan berbagai sel. Respons radang dapat diingat sebagai 5 langkah: (I) pengenalan agen merugikan, (2) pengumpulan leukosit, (3) pembuangan agen penyebab, (4) regulasi (kontrol) respons, dan (5) resolusi (pemulihan jaringan). Hasil radang akut ialah eliminasi stimulus yang merugikan, diikuti penurunan reaksi dan pemulihan jaringan nekrotik, atau jejas menetap yang mengakibatkan radang kronik.



NORMAL Matriks ekstraseluler



Residen sementara limsofit atau makrofag



Arteriol



MERANDANG Dilatasi arteriol



31



Venula



1 Peningkatkan aliran darah Ekspansi daerah kapiler



Dilasi venula



RADANG AKUT Respons radang akut ialah terkumpulnya leukosit dan protein plasma di tempat jejas. Sampai di tempat tersebut, leukosit akan memusnahkan agen penyebab dan memulai proses pencernaan dan pembersihan jaringan nekrotik. Radang akut mempunyai dua komponen utama (Gambar 2-2): • Perubahan vaskular: perubahan pada rongga kaliber pembuluh yang mengakibatkan pertambahan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan pada dinding pembuluh yang memungkinkan protein plasma keluar dari pembuluh darah (peningkatan permeabilitas vaskular). Juga terjadi pengaktifan sel endotel, yang menyebabkan perlekatan leukosit meningkat dan migrasi leukosit melalui dinding pembuluh. • Akibat pada sel: terjadi emigrasi leukosit keluar dari dan sirkulasi akumulasi di tempat cedera (pengumpulan sel), diikuti oleh pengaktifan leukosit, untuk mengeliminasi agen yang merugikan. Leukosit utama pada radang akut ialah neutrofil (leukosit polimorfonukleus).



Stimulus Radang Akut Reaksi radang akut dapat dipicu oleh berbagai stimulus: • Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan penyebab radang tersering dan terpenting dalam klinis. • Trauma (tumpul atau tajam) dan berbagai agen fisis dan kimia (misalnya jejas termal, seperti luka bakar atau luka pembekuan; radiasi; toksisitas akibat pengaruh kimia lingkungan) akan mencederai sel tubuh dan memicu reaksi radang. • Nekrosis jaringan (akibat semua sebab), termasuk iskemia (seperti pada infark miokardium) dan jejas fisis dan kimia. • Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan, deposit kristal).



3



Emigrasi neutrofil



2



Bocornya protein plasma edema



Gambar 2-2 Reaksi vaskular dan seluler radang akut. Manifestasi lokal utama pada radang akut dibanding keadaan normal, adalah: (I) dilatasi vaskular dan peningkatan aliran darah (mengakibatkan eritema dan panas), (2) ekstravasasi cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi dan akumulasi leukosit (terutama neutrofil).



• Reaksi imun (juga disebut reaksi hipersensitif) terhadap substansi lingkungan atau terhadap jaringan "sendiri". Karena stimulus untuk respons radang ini tidak dapat dieliminasi atau dicegah, maka reaksi itu cenderung menetap, dengan gambaran reaksi radang kronik. Istilah "penyakit radang akibat reaksi imun" dipergunakan untuk kelompok kelainan ini. Walaupun setiap stimulus menginduksi reaksi dengan gambaran tertentu, namun pada umumnya semua reaksi radang memberikan gambaran dasar yang sama. Pada bagian ini, akan dibahas bagaimana stimulus radang dikenal oleh tubuh, kemudian reaksi khas pada radang akut dan gambaran morfologinya, dan terakhir mediator kimia yang berperan pada reaksi tersebut.



32



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Pengenalan Mikroba, Sel Nekrotik, dan Benda Asing Pertanyaan dasar berkaitan dengan aktivasi respons tubuh ialah bagaimana sel itu mengenali agen yang dapat merugikan seperti mikroba di dalam jaringan. Diperkirakan bahwa mikroba dan sel mati mengeluarkan "sinyal bahaya" yang membedakan mereka dari jaringan normal dan terjadi mobilisasi respons tubuh. Sekarang diketahui bahwa fagosit, sel dendrit (sel pada jaringan ikat dan organ yang menangkap mikroba dan memulai respons terhadapnya), dan banyak sel lain, seperti sel epitel, mengekspresikan reseptor yang dibentuk untuk mampu merasakan keberadaan patogen infektif dan substansi yang dikeluarkan oleh sel mati. Reseptor tersebut disebut "reseptor pengenalan struktur" sebab reseptor itu mengenal struktur (misalnya struktur molekul) yang umumnya dijumpai pada banyak mikroba atau sel mati. Dua kelompok reseptor ini yang terpenting ialah: • Toll-like receptor (TLR) merupakan sensor mikroba disebut kelompok Toll, dijumpai pada Drosophila. Ada sepuluh TLR mamalia, yang mengenal produk bakteria (misalnya endotoksin dan DNA bakteri), virus (misal RNA rantai ganda),



A



dan patogen lainnya (Gambar 2-3, A). TLR terletak di membran plasma dan endosom, sehingga dapat mendeteksi mikroba ekstrasel dan yang telah dicerna. Mereka dibantu oleh molekul sitoplasma dan molekul membran dari beberapa kelompok lain, yang mampu mengenali produk mikroba. TLR dan reseptor lain mengenali produk dari berbagai jenis mikroba sehingga membentuk pertahanan terhadap semua jenis patogen infeksius. Pengenalan mikroba oleh reseptor ini mengaktifkan faktor transkripsi yang memicu produksi sejumlah protein yang disekresi dan protein membran. Termasuk protein tersebut ialah mediator radang, sitokin antivirus (interferon) dan protein yang memicu aktivitas limfosit dan respons imun yang lebih poten. Kami akan membahas TLR di Bab 4, ketika kami membahas imunitas bawaan sejak lahir, yang merupakan mekanisme pertahanan dini. • Inflammasome merupakan komplek multi-protein sitoplasma yang mengenali produk sel mati, seperti asam urat dan ATP ekstrasel, juga kristal dan beberapa produk mikroba. Terpicunya inflammasome akan mengakibatkan enzim kaspase-1, yang akan memecah bentuk prekursor sitokin radang interleukin-1β (IL-1β) menjadi bentuk biologis aktif (Gambar 2-3, B). Seperti yang akan dibahas kemudian, IL-1 merupakan mediator penting untuk pengumpulan leukosit pada respons radang akut, dan leukosit akan melakukan fagositosis dan menghancurkan sel mati.



B



EKSTRASELULAR



Bakteri patogen ATP ekstrasel



Polisakarida jamur



Lipid dinding sel bakteri



TLR



Membran plasma



Lektin



Inflammasome NLRP3 SITOSOLIK



Kasapase-1 (inaktif)



ENDOSOMAL



Lipid dinding Sek bakteri



DNA, RNA mikroba



Inti



Masuknya K+ROS Kristal endogen (MSU, CCP kolesterol) Kristal eksogen (Alum, asbestos)



Kaspase-1 (aktif)



TLR Viral RNA



gene Pro-IL1β



Sitokin (misal TNF) Ekspresi meningkatkan molekul adhesi



Pro-IL1β



IL1β



IL 1B yang dikeluarkan INFLAMASI AKUT



Gambar 2-3 Sensor mikroba dan sel mati: Fagosit sel dendrit, dan berbagai jenis sel epitel mengekspresi berbagai jenis reseptor yang mengenal keberadaan mikroba dan sel mati. A, Reseptor mirip Toll (TLRs) berada di membran plasma dan endosom dan reseptor sitoplasma dan membran plasma lain (kelompok di luar TLR) mengenali produk dari berbagai kelompok mikroba. Protein yang dihasilkan karena aktivasi mempunyai beberapa fungsi; hanya perannya pada radang diperlihatkan. B, inflammasome merupakan kompleks protein yang mengenali produk sel yang mati dan beberapa mikroba dan menginduksi sekresi interleukin-1 biologis aktif (IL-1). Inflammasome terdiri atas protein sensor (suatu leusin kaya protein disebut NLRP3), sebuah adaptor dan enzim kaspase-I, yang diubah dari bentuk inaktif menjadi bentuk aktif. (Perhatikan bahwa inflammasome berbeda dengan fagolisosom, yang dijumpai di sitoplasma tetapi merupakan vesikel yang berfungsi berbeda pada radang, akan dibahas kemudian di bab ini). CPP, kalsium pirofosfat; MSU, monosodium urat.



Radang Akut Penyakit sendi gout disebabkan oleh pengendapan kristal urat, yang akan dicerna oleh fagosit dan mengaktifkan inflammasome, sehingga terbentuk produk IL-1 dan radang akut. Antagonis IL-1 merupakan terapi efektif pada kasus gout yang resisten terhadap pengobatan dengan anti radang konvensional. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kristal kolesterol dan asam lemak bebas juga mengaktifkan inflammasome, sehingga diperkirakan bahwa IL-1 memainkan peran penting pada beberapa penyakit yang sering ditemukan misalnya aterosklerosis (dihubungkan dengan pengendapan kristal kolesterol pada dinding pembuluh darah) dan diabetes tipe 2. Penemuan ini memberi harapan untuk pengobatan penyakit-penyakit ini dengan cara menghentikan IL-1. Fungsi sensor ini akan dibahas pada bab ini. Kami mulai dengan pembahasan reaksi utama pada radang akut.



Perubahan Vaskular Reaksi vaskular utama pada radang akut ialah peningkatan aliran darah yang terjadi sekunder akibat dilatasi pembuluh dan peningkatan permeabilitas vaskular, kedua hal dirancang untuk membawa sel darah dan protein menuju tempat infeksi atau tempat jejas. Pada tahap awal, stimulus yang merugikan seperti mikroba dihadapi oleh makrofag dan sel lain di jaringan ikat, kemudian akan diikuti reaksi vaskular yang dipicu oleh interaksi ini dan akan mendominasi respons fase awal.



A.



B.



Perubahan Rongga Vaskular dan Aliran Darah



Perubahan pada pembuluh terjadi segera setelah infeksi atau jejas namun kecepatan terjadinya berbeda, tergantung pada jenis dan beratnya stimulus awal peradangan. • Setelah vasokonstriksi sebentar (berlangsung hanya beberapa detik) terjadi vasodilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah setempat sehingga pada bagian ujung daerah kapiler penuh berisi darah (Gambar 2-2). Ekspansi vaskular ini akan memberi warna merah (eritema) dan rasa panas merupakan tanda khas radang akut, dan disebutkan sebagai dua tanda kardinal (utama) pada radang akut • Pembuluh darah kecil menjadi lebih permeabel, dan cairan kaya protein akan mengalir keluar ke jaringan ekstravaskular. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi sel darah merah di darah yang mengalir, sehingga meningkatkan viskositas darah dan memperlambat aliran darah. Kelainan ini tampak secara mikroskopik tampak banyak pembuluh darah kecil yang melebar dan berisi penuh dengan sel darah merah, dan disebut stasis • Setelah timbulnya stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai berkelompok pada permukaan vaskular endotel pembuluh darah suatu proses yang disebut marginasi. Hal ini merupakan langkah awal leukosit keluar ke jaringan intestisium melalui dinding pembuluh darah (dibicarakan kemudian).



Peningkatan Permeabilitas Vaskular



Meningkatnya permeabilitas vaskular akan mengakibatkan aliran cairan kaya protein dan juga sel darah ke jaringan ekstravaskular (Gambar 2-4). Hal ini akan mengakibatkan tekanan osmotik cairan interstisium meningkat,



Tekanan hidrostatik



Tekanan osmotik koloid



NORMAL



Peningkatan tekanan hidrotatik (obstruksi aliran vena [misal gagal jantung kongestif]) TRANSUDAT (kadar protein rendah, sel sedikit)



Protein plasma



Kebocoran cairan



Penurunan tekanan osmotik koloid (penurunan sintesa protein [misal penyakit hati]; peningkatkan kehilangan protein [misal penyakit ginjal])



EKSUDAT (kadar protein tinggi,dapat mengandung sel darah putih dan sel darah merah)



Vasodilatasi dan statis



Radang



Kebocoran cairan dan protein



C.



33



Pelebaran celah antar endotel



Gambar 2-4 Pembentukan transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) adalah sekitar 32 mm Hg pada ujung arteri di daerah kapiler dan 12 mm Hg pada ujung vena; tekanan osmotik koloid jaringan sekitar 25 mm Hg (panah hijau), yang hampir sesuai dengan rata-rata tekanan kapiler. Sehingga aliran cairan yang melintas daerah vaskular hampir nol. B, Transudat dibentuk apabila cairan bocor keluar karena tekanan hidrostatik yang meningkat atau tekanan osmotik menurun. C, Eksudat dibentuk pada radang karena meningkatnya permeabilitas vaskular sebagai akibat pelebaran celah inter endotel.



34



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



menyebabkan lebih banyak air keluar dari darah ke dalam jaringan. Hasil penimbunan cairan kaya protein ini disebut eksudat. Eksudat dibedakan dari transudat, yang merupakan penimbunan cairan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik, biasanya terjadi karena menurunnya aliran balik vena. Transudat biasanya mengandungi kadar protein yang rendah dan sedikit atau tidak dijumpai sel darah. Akumulasi cairan ekstravaskular baik eksudat maupun transudat akan mengakibatkan edema jaringan. Apabila eksudat adalah tanda khas radang, transudat akan diakumulasi pada berbagai keadaan bukan radang, disebut pada Gambar 2-4 dan dibahas lebih rinci di Bab 3. Beberapa mekanisme berperan pada peningkatan permeabilitas vaskular pada reaksi radang akut: • Kontraksi sel endotel yang menyebabkan terbentuknya celah antar sel pada venula postkapiler merupakan sebab tersering peningkatan permeabilitas vaskular. Kontraksi sel endotel terjadi segera setelah pengikatan dengan histamin, bradikinin, leukotrin, dan banyak mediator lain untuk reseptor spesifik, dan biasanya terjadi hanya sebentar (15 sampai 30 menit). Retraksi sel endotel yang berlangsung lebih lambat dan lebih lama akibat perubahan sitoskeleton, dipicu oleh sitokin misalnya faktor nekrosis tumor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Dibutuhkan waktu 4 sampai 6 jam untuk menimbulkan reaksi ini setelah adanya pemicu awal dan hal ini dapat berlangsung selama 24 jam atau lebih • Jejas endotel mengakibatkan kebocoran vaskular dengan nekrosis dan lepasnya sel endotel. Sel endotel akan rusak setelah cedera berat, misalnya luka bakar dan beberapa infeksi. Umumnya, kebocoran terjadi segera setelah cedera dan berlangsung beberapa jam (atau hari) hingga terjadi trombosis pada pembuluh yang rusak tersebut atau terjadi pemulihan. Hal ini dapat terjadi pada semua venula, kapiler, dan arteriol, tergantung pada letak jejas. Jejas langsung pada sel endotel dapat pula mengakibatkan kebocoran yang tertunda, yang baru terjadi 2 sampai 12 jam kemudian, dan berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari, dan melibatkan venula dan kapiler. Contoh ialah jejas panas ringan hingga sedang, beberapa toksin bakteri, dan radiasi x- atau ultraviolet (misalnya luka bakar matahari yang menggangu saat malam setelah siangnya berjemur di matahari). Sel endotel juga akan rusak sebagai akibat akumulasi leukosit sepanjang dinding pembuluh. Leukosit yang teraktifkan akan mengeluarkan mediator toksin, dibahas kemudian, yang dapat mengakibatkan jejas atau lepasnya endotel. • Peningkatan transit protein melalui jalur vesikular intrasel akan menambah permeabilitas vena, terutama setelah berhadapan dengan beberapa mediator misalnya faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Transit terjadi melalui jalur yang terbentuk karena fusi vesikel intrasel. • Kebocoran pembuluh darah baru. Sesuai pembahasan lanjut, pemulihan jaringan melibatkan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis). Pembuluh darah yang baru terjadi tetap mengalami kebocoran, sebelum proliferasi sel endotel cukup matang sehingga terbentuk batas antar sel. Sel endotel baru juga mempunyai ekspresi reseptor tambahan untuk mediator vasoaktif, dan beberapa faktor tersebut akan memicu angiogenesis (misalnya VEGF) yang langsung mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular Walaupun mekanisme permeabilitas vaskular terpisah, semua berpartisipasi pada respons stimulus tertentu.



Contoh, pada luka bakar, kebocoran terjadi karena kontraksi endotel akibat zat kimia, juga akibat jejas langsung dan kerusakan endotel yang dimediasi leukosit



Respons Pembuluh Limfe Di samping pembuluh darah, pembuluh limfe juga ikut serta pada respons radang. Pada radang, aliran limfe akan membantu pengeluaran cairan edema, leukosit, dan sisa sel dari rongga ekstravaskular. Pada reaksi radang yang berat, terutama karena mikroba, limfe akan mengalirkan agen yang merugikan, sehingga terjadi penyebaran. Kemudian dapat terjadi radang pada pembuluh limfe (limfangitis), dan juga pada kelenjar getah bening tempat penampungan aliran limfe (limfadenitis). Kelenjar getah bening yang meradang sering membesar karena hiperplasia folikel limfoid dan bertambahnya limfosit serta sel fagosit yang melapisi sinus kelenjar getah bening. Bentuk kelainan patologis ini disebut limfadenitis reaktif atau limfadenitis inflamasi (Bab 11). Untuk klinikus adanya garis merah dekat luka kulit adalah tanda adanya infeksi pada luka. Garis merah yang mengikuti aliran limfe dan merupakan tanda diagnostik dari limfangitis; dapat disertai pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening yang menampung cairan limfe, petanda adanya limfadenitis.



RINGKASAN Reaksi Vaskular pada Radang Akut •



Vasodilatasi dipicu mediator kimia seperti histamin (dibahas kemudian) merupakan penyebab eritema dan berhentinya aliran darah.







Permeabilitas vaskular yang meningkat dipicu oleh histamin, kinin, dan mediator lain akan mengakibatkan terbentuknya celah di antara sel endotel; melalui jejas langsung atau jejas endotel akibat leukosit; dan terjadi peningkatan aliran cairan melalui endotel. Permeabilitas yang meningkat ini akan memungkinkan protein plasma dan leukosit memasuki daerah infeksi atau jaringan yang rusak; cairan yang bocor dari pembuluh darah ini akan mengakibatkan edema.



Kejadian Seluler: Pengumpulan dan Pengaktifan Leukosit Sebagai yang dijelaskan sebelumnya, fungsi penting pada respons radang adalah pengaliran leukosit ke tempat cedera dan mengaktifkan leukosit tersebut. Leukosit akan mencerna agen yang merugikan, membunuh bakteri dan mikroba lain, menghilangkan jaringan nekrotik dan benda asing. Namun, setelah potensi pertahanan leukosit ini diaktifkan, hal ini dapat juga menginduksi kerusakan jaringan dan memperpanjang waktu peradangan, karena produk leukosit yang menghancurkan bakteri juga dapat merusak jaringan tubuh normal. Karena itu, mekanisme pertahanan tubuh termasuk upaya pengecekan untuk memastikan bahwa leukosit hanya dikumpulkan dan diaktifkan pada saat dan tempat yang dibutuhkan (yaitu untuk menghadapi agen asing dan jaringan yang mati). Pengaktifan leukosit secara sistemik dapat menyebabkan situasi yang merugikan, misalnya syok septik (Bab 3).



Radang Akut



35



Pengumpulan Leukosit Leukosit biasanya akan mengalir lancar di darah, dan pada radang, leukosit perlu dihentikan dan dibawa ke agen perusak atau tempat kerusakan jaringan, yang biasanya terletak di luar pembuluh. Urutan kejadian pengumpulan leukosit dari rongga vaskular menuju rongga ekstravaskular terdiri atas: (1) marginasi dan berguling-guling sepanjang dinding pembuluh; (2) adhesi kuat pada endotel; (3) keluar di antara sel-sel endotel; dan (4) migrasi di jaringan interstisium menuju stimulus kemotaksis (Gambar 2-5). Berguling, adhesi, dan keluar diawali interaksi molekul adhesi pada permukaan leukosit dan permukaan endotel (lihat selanjutnya). Mediator kimia atraktor kimia dan beberapa sitokin memberikan pengaruh pada proses ini dengan modulasi ekspresi permukaan dan mengikat afinitas molekul adhesi dan menstimulasi arah gerak leukosit. Marginasi dan Berguling. Saat darah mengalir dari kapiler menuju vena, sel yang mengalir akan terdorong ke arah dinding pembuluh. Karena sel darah merah lebih kecil maka akan bergerak lebih cepat daripada sel darah putih yang lebih besar, maka leukosit akan terdorong keluar aliran sentral sehingga kesempatan untuk interaksi dengan sel endotel yang melapisi dinding meningkat, khususnya ketika mulai terjadi stasis. Proses leukosit yang berkumpul di tepi pembuluh darah disebut marginasi. Sel endotel yang diaktifkan oleh sitokin dan mediator lain yang terbentuk setempat, akan mengekspresikan molekul adhesi sehingga leukosit akan melekat dengan daya lemah. Sel ini akan dengan mudah melekat dan melepas sehingga mulai bergulir pada permukaan endotel, suatu proses yang disebut berguling.



Adhesi. Leukosit yang sedang berguling akan mampu mengetahui perubahan endotel yang akan memulai langkah selanjutnya pada reaksi leukosit, berupa adhesi kuat pada permukaan endotel. Adhesi ini dipicu oleh integrin yang terekspresi pada permukaan sel leukosit yang saling berhubungan dengan ligan pada sel endotel (Gambar 2-5 dan Tabel 2-2). Integrin merupakan glikoprotein heterodimer



pengaktifan integrin oleh kemokin



Berguling Leuksit



Interaksi yang lemah dan singkat pada proses berguling di mediasi oleh molekul adhesi kelompok selektin (Tabel 2-2). Selektin merupakan reseptor yang diekspresikan pada leukosit dan endotel yang mengandungi unsur ekstrasel yang mengikat gula (asal nama lektin). Tiga jenis kelompok ini ialah E-selektin (juga disebut CD62E), diekspresi di sel endotel; P-selektin (CD62P), dijumpai di trombosit dan endotel; dan L-selektin (CD62L), pada permukaan sebagian besar leukosit. Selektin akan mengikat oligosakarida yang mengalami sialylasi (misalnya sialyl-Lewis X pada leukosit) yang menempel pada glycoprotein mirip mucin di berbagai sel. Ekspresi selektin dari endotel biasanya terjadi pada tingkat rendah atau kadang-kadang tidak dijumpai sama sekali pada endotel yang tidak teraktifkan, dan akan meningkat setelah rangsangan sitokin dan mediator lain, sehingga ikatan leukosit terbatas hanya pada endotel di tempat cedera (tempat mediator dihasilkan). Misalnya pada sel endotel yang tidak teraktifkan, P-selektin dijumpai pada benda Weibel-Palade intrasel; namun beberapa menit setelah perkenalan dengan mediator seperti histamin atau trombin, P-selektin didistribusikan pada pemukaan sel, dan akan mempermudah pengikatan leukosit. Juga, E-selectin dan ligan untuk Lselektin, yang biasanya tidak terekspresi pada endotel normal juga terbentuk setelah stimulasi oleh sitokin IL-1 dan TNF.



Adhesi stabil



Migrasi melalui endotel



Glikoprotein yang telah di modifikasi Intergin (status afinitas rendah) Intergin (status afinitas tinggi) PECAM-1 (CD31)



P-selektin E-selektin



Sitokin (TNF,IL-1) Makrofag dengan mikroba



Proteogilkan



Ligan intergin (ICAM-1) Kemokin



Mikroba



Fibrin dan fibrokonektin (matiks ekstraseluler)



Gambar 2-5 Mekanisme migrasi leukosit melalui pembuluh darah. Leukosit (di sini dipertunjukkan neutrofil) mula-mula berguling, kemudian teraktifkan dan melekat pada endotel, lalu bertransmigrasi meliwati endotel, menembus membran basalis, migrasi menuju kemoatraktan yang dikeluarkan sumber jejas. Berbagai molekul berperan pada berbagai langkah proses ini: selektin untuk berguling; kemokin (biasanya terikat dengan proteoglikan) dalam mengaktifkan neutrofil untuk meningkatkan aviditas dengan integrin; integrin dalam adhesi kuat; dan CD31 (PECAM-I) dalam transmigrasi. ICAM- 1 , molekul adhesi interseluler-1; IL- I, interleukin-1; PECAM-I, molekul adhesi sel endotel trombosit- I ;TNF, faktor nekrosis tumor.



36



BAB 2



Radang dan Pemulihan jaringan



Tabel 2-2 Molekul Endotel dan Molekul Adhesi Leukosit



Molekul Endotel



Molekul Leusit



Peran Utama



P-selektin



Protein modifikasi Sialyl-Lewis X



Berguling



E-selektin



Protein modifikasi Sialyl-lewis X



Berguling dan adhesi



GlyCam-1, CD34



L-selektin*



Berguling (neutrofil,monosit)



ICAM-I (kelompok immunoglobulin)



Integrin CDII/CD I8 i (LFA-I, Mac-I)



Adhesi erat,berhenti,transmigrasi



VCAM-I (kelompok immunoglobulin)



Integrin VLA-4



Adhesi



CD31 (interaksi homotipik)



Transmigrasi leukosit melalui endotel



Selektin dan Ligan Selektin



Integrin dan Ligan integrin



Lainnya CD31



* ICAM- I, intercellular adhesion molecule- I; LFA- 1, leukocyte function—associated antigen-1; Mac-1, macrophoge-I antigen; VCAM- I, vascular cell adhesion molecule- I; VLA-4, very late antigen-4. *L-selektin juga terlibat pada pengikatan limfosit yang beredar dengan endotel vena di kelenjar getah bening dan mukosa jaringan limfoid, dan kembalinya limfosit ke jaringan tersebut



transmembran yang memicu adhesi leukosit dengan endotel serta perlekatan beberapa sel pada matrik ekstrasel. Umumnya integrin terekspresi pada membran plasma leukosit dalam keadaan lemah dan tidak terjadi perlekatan pada ligan spesifik hingga leukosit diaktifkan oleh kemokin. Kemokin adalah sitokin kemoatraktan yang dihasilkan oleh berbagai sel di tempat peradangan dan akan tampak pada permukaan endotel (sitokin akan dibicarakan kemudian pada bab ini). Apabila leukosit yang menempel berhadapan dengan kemokin maka sel teraktifkan dan integrin mengalami perubahaan serupa dan berkelompok, sehingga berubah ke bentuk afinitas tinggi. Pada saat sama sitokin lain yaitu TNF dan IL-1 (juga dihasilkan pada tempat infeksi dan cidera) akan mengaktifkan sel endotel untuk meningkatkan ekspresi ligan terhadap integrin. Ligan ini termasuk molekul adhesi-1 intersel (ICAM-1) yang akan mengikat pada antigen-1 yang berhubungan dengan fungsi leukosit integrin (LFA-1), juga disebut (CD11a/CD18) dan antigen makrofag-1 (Mac-1) (yaitu CD11b/CD18), dan molekul adhesi sel vaskular (VCAM-1), yang akan terikat pada integrin 'very late antigen-4' (VLA-4) (Tabel 2-2). Ikatan integrin melalui ligan akan memberikan sinyal pada leukosit sehingga mengakibatkan perubahan sitoskeletal yang akan memulai perlekatan kuat pada substrat. Hasil akhir dari peningkatan afinitas integrin akibat stimulasi sitokin dan peningkatan ekspresi ligan integrin adalah perlekatan erat leukosit dengan sel endotel pada daerah radang. Transmigrasi. Setelah terhenti pada permukaan endotel, leukosit bermigrasi melalui dinding pembuluh darah, terutama dengan menyusup di antara sel endotel. Ekstravasasi leukosit, disebut diapedesis terutama terjadi di vena pada sistem vaskular; juga tampak pada kapiler di sirkulasi darah paru. Migrasi leukosit dipicu oleh kemokin yang dihasilkan oleh jaringan ekstravaskular, yang akan merangsang gerakan leukosit menuju gradien kimia. Di samping itu molekul adhesi-1 sel trombosit endotel (PECAM-1) (juga disebut CD31), suatu molekul adhesi sel yang terekspresi pada leukosit dan sel endotel, akan memulai kegiatan pengikatan agar leukosit melalui endotel. Setelah keluar dari endotel, leukosit akan menghasilkan kolagenase



kolagenase yang memungkinkan sel leukosit tersebut keluar melalui membran basalis pembuluh darah itu. Kemotaksis. Setelah keluar dari darah, leukosit akan bergerak menuju tempat infeksi atau cedera melalui gradien kimia dengan suatu proses yang disebut kemotaksis. Kedua substansi eksogen dan endogen mempunyai sifat kemotaksis bagi leukosit, sebagai berikut: • Produk bakteri, terutama peptida dengan N-formyl methionine termini • Sitokin terutama dari kelompok kemokin • Komponen dari sistem komplemen, terutama C5 • Produk metabolisme jalur lipogenase asam arahidonat (AA), terutama leukotriene B4 (LTB4) Semua mediator ini, yang akan dibahas lebih lanjut, dibentuk sebagai akibat respons terhadap infeksi dan kerusakan jaringan yang terjadi selama reaksi imunologi. Infiltrasi leukosit pada seluruh kejadian ini terjadi karena kombinasi berbagai mediator. Molekul kemotaksis akan terikat pada reseptor sel permukaan reseptor tertentu, yang akan memicu kegiatan elemen kontraktil sitoskeletal yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak dengan memperpanjang pseudopods yang melekat pada ECM dan kemudian menarik sel menuju arah keluar. Arah gerakan tersebut ditentukan oleh densitas yang lebih tinggi dari reseptor kemokin yang terletak di tepi sel. Dengan demikian, leukosit bergerak ke tempat di mana leukosit tersebut dibutuhkan. Jenis leukosit yang bermigrasi tergantung pada lamanya respons radang dan jenis stimulus. Pada kebanyakan radang akut, terutama dijumpai neutrofil pada infiltrat radang pada 6 sampai 24 jam pertama dan akan diganti oleh monosit dalam waktu 24 sampai 48 jam (Gambar 2-6). Berbagai faktor berperan atas timbulnya neutrofil yang banyak. Sel ini merupakan leukosit yang terbanyak di darah, mereka akan merespons cepat terhadap kemokin dan mereka akan menempel dengan lebih erat pada molekul adhesi yang dibentuk dengan cepat pada sel endotel, misalnya P- dan E-selektin. Sebagai tambahan, setelah memasuki jaringan, neutrofil berusia pendek



Radang Akut



Neutrofil



Monosit/ makrofag



AKTIVITAS



Edema



37



A



B



C



1



HARI



2



3



Gambar 2-6 Gambaran infiltrat leukosit pada reaksi radang. Foto mikroskopik menunjukkan reaksi radang di miokardium setelah nekrosis iskemik (infark). A, Infiltasi awal (neutrofil) dan pembuluh darah yang kongesti. B, Kemudian infiltrasi sel (mononukleus). C, Perkiraan kinetik edema dan infiltrasi sel. Untuk kemudahan, edema digambarkan sebagai respons transien akut, walaupun dapat terjadi susulan edema dan infiltrasi neutrofil



leukosit ini akan mati melalui apoptosis dan menghilang dalam jangka waktu 24 hingga 48 jam sedangkan monosit tahan hidup lebih lama. Namun demikian, ada perkecualian pada pola infiltrasi sel ini. Pada infeksi tertentu (misalnya yang disebabkan organisme pseudomonas), infiltrat sel didominasi oleh neutrofil yang dikumpulkan terus menerus selama beberapa hari pada infeksi virus, limfosit merupakan sel



RINGKASAN Pengumpulan Leukosit pada Daerah Radang • Leukosit akan dikumpulkan dari darah menuju jaringan ekstravaskular di tempat terjadinya infeksi patogen atau jaringan yang rusak dan diaktifkan untuk melakukan fungsinya. • Pengumpulan leukosit merupakan proses bertahap terdiri atas perlekatan longgar dan penggulingan di endotel (dipicu oleh selektin); perlekatan erat pada endotel (dipicu oleh integrin); dan migrasi melalui rongga antar endotel. • Berbagai sitokin mengekspresikan selektin dan ligan integrin pada endotel (TNF, IL-1), meningkatkan daya tarik integrin kepada ligan-nya (kemokin) dan mengatur arah migrasi leukosit (juga kemokin); berbagai jenis sitokin diproduksi oleh makrofag jaringan dan sel lain yang merespons zat patogen atau jaringan rusak. • Neutrofil mendominasi infiltrat radang awal dan kemudian akan diganti oleh makrofag



Pengaktifan Leukosit Setelah leukosit dikumpulkan pada tempat infeksi atau nekrosis jaringan, leukosit tersebut harus diaktifkan agar melaksanakan fungsinya. Stimulus untuk pengaktifan termasuk mikroba, produk sel nekrotik, dan beberapa mediator yang akan dibicarakan kemudian.



Seperti dibahas sebelumnya, leukosit menggunakan berbagai reseptor untuk mendeteksi keberadaan mikroba, sel mati dan jaringan asing. Pemakaian reseptor tersebut akan menimbulkan berbagai respons pada leukosit yang merupakan bagian dari fungsi defensif normal dan dikelompokkan dengan istilah pengaktifan leukosit (Gambar 2-7). Pengaktifan leukosit menghasilkan peningkatan fungsi berikut: • Fagositosis partikel • Destruksi intrasel mikroba dan jaringan mati yang telah di fagosit oleh substansi yang dihasilkan oleh fagosom, termasuk oksigen reaktif dan spesies nitrogen serta enzim lisosom. • Pelepasan substansi yang memusnahkan mikroba dan jaringan mati ekstrasel, umumnya sama dengan substansi yang diproduksi di dalam vesikel fagosit. Menurut mekanisme yang baru diketahui, neutrofil memusnahkan mikroba ekstrasel dengan pembentukan "jebakan" ekstrasel • Produksi mediator, termasuk metabolit asam arakidonat dan sitokine, yang akan memperbesar reaksi radang melalui peningkatan pengumpulan dan pengaktifan leukosit baru. Fagositosis. Fagositosis terdiri dari tiga langkah (Gambar 2-8): (1) pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang akan mencerna; (2) penyelubungan ("engulfment"), dan terbentuknya vakuol fagosit; dan (3) pemusnahan dan degradasi materi yang dicerna. Leukosit mengikat dan mencerna mikroorganisme dan sel mati melalui reseptor spesifik permukaan. Sebagian dari reseptor ini mengenali komponen mikroba dan sel mati dan reseptor lain mengenali protein tubuh, disebut opsonin, yang melapisi mikroba untuk menjadi sasaran fagositosis (proses yang disebut opsonisasi). Opsonin terpenting adalah antibodi dari kelompok immunoglobulin G (IgG) yang akan mengikat antigen permukaan mikroba, produk pemecahan komponen protein C3 (dibicarakan kemudian), dan lektin pengikat karbohidrat plasma disebut kolektin, yang mengikat kelompok gula pada dinding sel mikroba. Opsonin dijumpai di darah



38



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan Mikorba



Peptida N-fomylmenthionyl



Kemokin



Hasil fungsional



Perubahan sitoskeletal transduksi signal



Peningkatan aviditas intergin



Adhesi pada endotel



Reseptor mirip Toll



LPS



Reseptor ikatan protein-G



Pengenalan mikroba, mediator



Respons sel



Mediator lipid



CD14



Reseptor sitokin



Produksi mediator (misal metabolit asam arakidonat.sitokin)



Kemoktasis



Migrasi ke jaringan



Sitokin (misal IFN-y)



Produksi spesies oksigen reaktif (ROS); enzim lisosom



Reseptor fagosit



Fagositosis mikroba ke dalam fagosom



Aktivitas mikrobisidal leukosit



Amplikasi reaksi radang



Pemusnahan mikroba



Gambar 2-7 Aktivitas leukosit.Berbagai kelompok reseptor permukaan mengenal stimulus yang berbeda.Reseptor akan menginisiasi respons yang memulai fungsi leukosit. Hanya beberapa reseptor yang di gambarkan (lihat teks untuk perincian). Lipopolisakarida (LPS) mula-mula akan mengikat protein pengikat-LPS-protein yang beredar (tidak diperlihatkan) IFN-γ, inferior-γ.



siap untuk melapisi mikroba atau terbentuk akibat respons adanya mikroba. Leukosit mengeluarkan opsonin yang memfasilitasi fagositosis segera pada mikroba yang telah dilapisi. Termasuk reseptor ini ialah reseptor Fc untuk IgG (disebut FcyRI), komplemen reseptor 1 dan 3 (CR1 dan CR3) untuk fragmen komponen, dan C1q untuk kolektin. Ikatan partikel yang sudah diopsonisasi dengan reseptor akan memicu penyelubungan (engulfinent) dan menginduksi aktivitas sel yang mempercepat degradasi mikroba yang telah dicerna. Pada penyelubungan, pseudopodi akan memanjang melingkari objek, membentuk vakuol fagosit. Membran vakuol akan bersatu dengan membran granula lisosom, sehingga isi granula masuk ke dalam fagolisosom. Mematikan dan Degradasi Mikroba yang telah Difagositosis. Kulminasi kegiatan fagositosis mikroba ialah untuk mematikan dan mendegradasi partikel yang telah dicerna. Kunci kegiatan pada reaksi ini adalah produksi substansi mikrobisida dalam lisosom dan bersatunya lisosom dengan fagosom, sehingga partikel yang telah dicerna berhadapan dengan mekanisme destruktif leukosit (Gambar 2-8). Substansi mikrobisida terpenting ialah spesies oksigen reaktif (ROS) dan enzim lisosom. Produksi ROS meliputi beberapa langkah berikut : • Fagositosis dan keterlibatan berbagai reseptor sel akan merangsang gejolak oksidasi yang disebut gejolak respirasi (respiratory burst), ditandai dengan konsumsi oksigen yang meningkat dengan cepat, katabolisme glikogen (glikogenolisis), peningkatan oksidasi glukosa, dan produksi ROS. Timbulnya metabolit oksigen terjadi



karena pengaktifan cepat oksidase leukosit NADPH, disebut oksidase fagosit, yang mengoksidasi NADPH (reduced nicotinamide adenine dinucleotide phosphate) dan proses tersebut, mengubah oksigen menjadi ion superoksida (O ) (lihat Gambar 1-18, B, Bab 1) • Superoksida akan dikonversi melalui proses dismutasi spontan menjadi hidrogen peroksida (O + 2H+ → H202). ROS ini akan bertindak sebagai radikal bebas dan merusak mikroba melalui mekanisme yang telah dibahas pada Bab 1. • Jumlah H2O2 yang diproduksi tidak cukup mematikan seluruh bakteri (walaupun jumlah superoksida dan pembentukan radikal hidroksil cukup untuk itu). Namun, lisosom neutrofil (disebut granula azurofilik) mengandungi enzim mieloperoksidase (MPO), dan dengan adanya suatu halide misalnya Cl-, MPO mengubah H2O2 menjadi HOCl. (hypochlorous radical). HOCl· merupakan oksidan kuat dan agen antimikroba (NaOCl merupakan zat aktif pada cairan pemutih klor) yang mematikan bakteri melalui halogenisasi, atau peroksidase protein dan lemak. Kebetulan, oksidase fagosit hanya aktif setelah subunit sitosolik bertranslokasi ke membran fagolisosom; sehingga hasil akhir produk reaktif hanya dikeluarkan terbatas dalam vesikel, dan fagosit sendiri tidak menjadi rusak. H2O2 dipecah menjadi air dan O2 oleh katalase, dan ROS lain mengalami degradasi (Bab 1). Spesies reaktif nitrogen, khususnya oksida nitrat (NO), bertindak sama seperti ROS.



Radang Akut 1. PENGENALAN DAN PERLEKATAN Mikroba mengikat reseptor fagosit



2. PENYELUBUNGAN Membaran fagosit melingkari mikroba



39



Mikroba dicerna dalam fagosom Fagosom dengan mikroba yang telah dicerna



Reseptor fagosit



Lisosom dengan enzim



Fusi fagosom dengan lisosom



iNOS Arginine NO ROS



Degradasi mikroba oleh enzim lisosom di dalam fagolisosom



O2



Oksidase fagosit



Pemusnahan mikroba oleh ROS dan NO



Fagolisosom



3. PEMUSNAHAN DAN DEGRADASI



Gambar 2-8 Fagositosis. Fagositosis partikel (misal bakteri) melibatkan (1) perlekatan dan pengikatan partikel pada reseptor d permukaan leukosit, (2) penyelubungan dan fusi vakuol fagosit dengan granula (lisosom), dan (3) destruksi partikel yang dicerna. iNOS, inducible nitric oxide synthase; NO, nitric oxide; ROS, spesies oksigen reaktif.



Mikroorganisme yang mati akan mengalami degradasi melalui kerja hidrolase asam lisosom. Kemungkinan enzim lisosom terpenting yang mengakibatkan kematian bakteri ialah elastase. Harap diperhatikan, di samping ROS dan enzim, beberapa unsur granula leukosit lain mampu mematikan patogen infeksi. Termasuk protein yang bersifat meningkatkan permeabilitas terhadap bakterisida (menyebabkan pengaktifan fosfolipase dan degradasi membran fosfolipid), lisozim (mengakibatkan degradasi oligosakarida pembungkus bakteri), protein dasar utama (merupakan granul eosinofil penting yang bersifat sitotoksik terhadap bakteri), dan defensin (peptida yang mematikan mikroba melalui pembentukan lubanglubang pada membran mikroba). Sekresi Substansi Mikrobisidal. Mekanisme mikrobisidal pada fagosit terutama penghancuran di fagolisosom agar leukosit tidak merusak diri sendiri. Leukosit juga secara aktif mensekresi komponen granula termasuk enzim seperti elastase, yang akan merusak dan mencema mikroba ekstrasel dan jaringan mati, demikian juga peptida antimikroba. Isi granula lisosom dikeluarkan oleh leukosit ke lingkungan ekstrasel melalui berbagai mekanisme • Vakuol fagosit akan tetap terbuka keluar sebelum terjadi penutupan lengkap fagolisosom (regurgitasi). • Apabila sel menjumpai materi yang tidak dapat dicerna dengan mudah, misalnya kompleks imun yang dideposit dipermukaan yang tidak dapat bergerak (misalnya membran basalis glomerulus), maka upaya untuk memfagositose substansi ini (fagositosis yang gagal) akan memicu pengaktifan leukosit yang lebih keras, dan enzim lisosom akan dikeluarkan ke jaringan sekitar atau ke lumen.



• Membran fagolisosom dapat rusak apabila yang difagosit adalah substansi yang merugikan, misalnya partikel silika. Perangkap Neutrofil Ekstrasel (NET). Perangkap ini ialah jaring fibril ekstrasel yang dihasilkan oleh neutrofil sebagai respons terhadap patogen infektif (terutama bakteri dan jamur) dan mediator radang (seperti kemokin, sitokin, komplemen protein, dan ROS). NET mengandungi kerangka dari kromatin inti dengan granula protein tertanam di dalamnya, seperti peptida antimikroba dan enzim (Gambar 2-9). Perangkap ini menyediakan substansi antimikroba dalam konsentrasi tinggi di tempat infeksi, dan mencegah penjalaran mikroba dengan menangkap mikroba tersebut dalam fibril. Pada proses ini, inti neutrofil jadi musnah, mengakibatkan kematian sel. NET juga dideteksi pada neutrofil darah selama sepsis. Kromatin inti pada NET, yang termasuk histon dan DNA terkait, diperkirakan menjadi sumber antigen inti pada penyakit autoimun sistemik, terutama lupus, di mana penderita bereaksi melawan DNA dan nukleoprotein (Bab 4).



Cedera Jaringan Akibat Leukosit Karena leukosit mampu mensekresi substansi yang berpotensi merugikan seperti enzim dan ROS, leukosit menjadi penyebab penting terjadinya cedera pada sel dan jaringan normal dalam beberapa situasi: • Sebagai reaksi pertahanan normal melawan mikroba yang infektif, di mana jaringan sekitar mengalami cedera. Pada infeksi yang sukar dihilangkan, misalnya tuberkulosa dan beberapa penyakit virus,



40



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



A



B



C



Gambar 2-9 Jebakan neutrofil ekstraseluler (NET). A, Neutrofil sehat dengan inti diwarnai merah dan sitoplasma hijau. B, Pengeluaran materi inti dari neutrofil (perhatikan bahwa dua sel intinya telah hilang), membentuk jebakan ekstrasel. C, Foto mikroskop elektron bakteri (stafilokokkus) terjebak di NET. Dari Brinkmann V, Zychlinsky A: Beneficial suicide: why neutrophils die to make NETs. Nat Rev Microbiol 5:577, 2007, dengan izin dan penulis dan penerbit.)



respons tubuh lebih banyak menambah proses patologis daripada mikrobanya sendiri • Upaya normal untuk menghilangkan jaringan rusak dan jaringan mati (misalnya setelah infark miokardium). Pada infark, radang akan memperpanjang dan memperburuk akibat merugikan dari iskemia, khususnya pada reperfusi (Bab 1). • Apabila respons radang secara tidak tepat ditujukan pada jaringan tubuh, seperti pada beberapa penyakit autoimun, atau tubuh bereaksi berlebihan terhadap substansi lingkungan yang nontoksik, seperti penyakit alergi termasuk asma (dibahas di Bab 4). Pada semua keadaan, mekanisme di mana leukosit merusak jaringan normal sama dengan mekanisme menghilangkan mikroba dan jaringan mati, sebab segera setelah leukosit diaktifkan, mekanisme efektor tidak dapat membedakan antara penyerang dan tubuh sendiri. Bahkan, apabila reaksi terhadap tubuh tidak terkendali atau tidak tepat, maka leukosit sendiri akan menjadi perusak utama. Kerusakan jaringan akibat leukosit merupakan dasar timbulnya penyakit akut dan kronik (Tabel 2-3), yang akan jelas pada pembahasan gangguan spesifik di buku ini. Leukosit yang diaktifkan, khususnya makrofag, juga mengeluarkan banyak sitokin, yang merangsang reaksi radang lebih lanjut dan mengakibatkan efek sistemik penting, yang akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Mekanisme Efektor Leukosit • Leukosit dapat mengeliminasi mikroba dan sel mati metalui fagositosis, dii kuti dengan destruksi di fagolisosom. • Destruksi terjadi akibat radikal bebas (ROS, NO) yang terbentuk di leukosit yang diaktifkan dan enzim lisosom. • Enzim dan ROS mungkin dikeluarkan di lingkungan ekstrasel. • Mekanisme yang berfungsi mengeliminasi mikroba dan sel mati (peran fisiologis radang) juga mampu merusak jaringan normal (akibat patologis dari radang).



Defek pada Fungsi Leukosit Karena leukosit memainkan peran utama pada pertahanan tubuh, tidak mengherankan apabila defek fungsi leukosit, baik didapat atau diturunkan, akan mengakibatkan kerentanan lebih tinggi terhadap timbulnya infeksi, yang bisa berulang dan membahayakan nyawa (Tabel 2-4). Penyebab tersering radang akibat defek adalah supresi sumsum tulang sebagai akibat dari tumor atau pengobatan dengan kemoterapi atau radiasi (terjadi penurunan jumlah leukosit) dan



Radang Akut Tabel 2-3 Contoh Klinis Cedera yang Diinduksi Leukosit



Kelainan*



Sel dan Molekul yang Terlibat pada Cedera



Akut Sindrom gangguan pernapasan Neutrofil akut



Tabel 2-4 Defek Fungsi Leukosit



Penyakit



Defek



Didapat Supresi sumsum tulang: tumor (termasuk leukemia), radiasi, dan kemoterapi



Produksi leukosit



Rejeksi transplantasi akut



Limfosit; antibodi dan komplemen



Diabetes, keganasan, sepsis, dialisis kronik



Adhesi dan kemotaksis



Asma



Eosinofil; antibodi IgE



Fagositosis dan aktivitas mikrobisida



Glomerulonefritis



Antibodi dan komplemen; neutrofil, monosit



Anemia, sepsis, diabetes, malnutrisi



Syok septik



Sitokin



Kronik Artritis reumatoid



Limfosit, makrofag; antibodi?



Asma



Eosinofil; antibodi IgE



Aterosklerosis



Makrofag; limfosit?



Rejeksi transplantasi kronik



Limfosit, makrofag, sitokin



Fibrosis pulmonal



Makrofag; fibroblas



*Daftar penyakit di mana respons tubuh mempunyai peran besar pada cedera jaringan. Beberapa, seperti asma, dapat bermanifestasi dengan radang akut atau radang kronik dengan eksaserbasi akut yang berulang. Penyakit ini dengan patogenesisnya akan dibicarakan pada bab terkait. IgE, immunoglobulin E.



Genetik Defisiensi adhesi leukosit 1



Adhesi leukosit defektif karena mutasi di rantai β integrin CD11/CD18



Defisiensi adhesi leukosit 2



Adhesi leukosit defektif karena mutasi di fucosyl transferase dibutuhkan untuk sintesa sialylated oligosaccharide (reseptor untuk selektin)



Penyakit granulomatosa kronik



Penurunan letupan oksidatif



X-linked



Oksidase fagosit (komponen membran)



Autosom resesif



Oksidase fagosit (komponen sitoplasmik



Defisiensi myeloperoxidase



Penurunan pemusnahan mikroba karena defek sistem MPO—H202 Penurunan fungsi leukosit karena mutasi protein yang terlibat pada lalu lintas membran lisosom



Sindrom Chediak-Higashi



penyakit metabolit seperti diabetes (menyebabkan fungsi abnormal leukosit). Semua akan dibahas di tempat lain pada buku ini. Gangguan genetik, walaupun jarang dijumpai, menggambarkan pentingnya jalur molekul tertentu pada respons radang yang kompleks. Beberapa jenis penyakit keturunan yang lebih difahami adalah: • Defek pada adhesi leukosit. Pada defisiensi adhesi leukosit tipe 1 (LAD-1), sintesa yang tidak sempurna subunit CD18 β integrin LFA-1 dan Mac-1 leukosit mengakibatkan adhesi leukosit yang tidak sempurna dan migrasi melalui endotel, dan fagositosis defektif serta terjadinya letupan oksidatif. Defisiensi adhesi leukosit tipe 2 (LAD-2) disebabkan oleh defek metabolisme fukosa yang mengakibatkan tidak dijumpainya sialyl-Lewis X, yaitu oligosakarida pada leukosit yang mengikat selektin pada endotel yang teraktifkan. Manifestasi klinis mirip tapi lebih ringan dari pada LAD-1. • Defek pengaktifan mikrobisida. Contoh ialah penyakit granulomatosa kronik, defisiensi genetik pada satu dari sejumlah komponen enzim oksidase fagosit yang berperan untuk menghasilkan ROS. Pada pasien ini upaya penyelubungan bakteri tidak mengaktifkan mekanisme pemusnahan yang bergantung pada oksigen. Dalam upaya menanggulangi infeksi tersebut, mikroba dikelilingi makrofag yang telah diaktifkan, membentuk "granulomas" (lihat kemudian) yang memberikan gambaran patologis khas pada penyakit ini, dengan nama yang kurang tepat dan menyesatkan. • Defek pembentukan fagolisosom. Suatu kelainan seperti itu adalah sindrom Chediak-Higashi, penyakit autosom resesif sebagai akibat gangguan lalulintas organel intrasel, yang akhirnya mengganggu fusi lisosom dan fagosom. Sekresi granula bersifat lisis oleh limfosit T sitotoksik juga terganggu, yang menjelaskan timbulnya gangguan defisiensi imun yang berat dan khas untuk kelainan ini.



41



H2O2, hydrogen peroxide; MPO, myeloperoxidase. Modified from Gallin JI: Disorders of phagocytic cells. In Gallin JI, et al (eds): Inflammation: Basic Principles and Clinical Correlates, 2nd ed. New York, Raven Press, 1992, pp 860, 861.



• Kadang-kadang pasien dengan gangguan pertahanan tubuh mengandungi mutasi di jalur sinyal TLR. Defek turunan pada komponen respons imun adaptif juga meningkatkan kepekaan terhadap infeksi. Hal ini dibahas pada Bab 4. • Mutasi pada gen yang mengkode beberapa komponen yang menambah fungsi inflammasome, satu di antaranya yang disebut cryopyrin, berperan pada penyakit yang jarang dijumpai tetapi berbahaya yang disebut penyakit sindrom demam periodik terkait cryopyrin (CAPS), dengan gejala demam dan tanda radang lain yang tidak ada henti-hentinya dan merespons baik pada terapi antagonis IL-1.



Akibat Radang Akut Walaupun akibat radang akut bergantung pada jenis dan intensitas jejas, tempat dan jaringan yang cedera, dan kemampuan tubuh untuk merespons, namun radang akut umumnya akan menghasilkan satu dari tiga akibat di bawah ini (Gambar 2-10): • Resolusi: Regenerasi dan Pemulihan Jaringan. Apabila jejas terbatas dan berumur pendek, kerusakan jaringan minimal atau tidak ada yang rusak, dan jaringan yang cedera mampu mengadakan regenerasi, maka hasil akhir biasanya struktur dan fungsi kembali normal. Sebelum proses resolusi dapat dimulai, respons radang akut harus dihentikan. Kegiatan ini meliputi netralisasi, menghentikan perusakan, atau degradasi enzimatik berbagai mediator kimia; normalisasi permeabilitas vaskular; penghentian emigrasi leukosit, dengan akibat kematian (melalui apoptosis) neutrofil



42



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan Resolusi • Stimulus yang merugikan dihilangkan • Mediator dan sel radang akut dihilangkan • Penggantian sel cedera • Fungsi normal



Radang akut • Perubahan vaskular • Pengumpulan neutrofil • Mediator



JEJAS • Infark • Infeksi bakteri • Toksin • Trauma



Pembentukan nanah (abses) Progresi



Penyembuhan Penyembuhan



JAJAS Penyembuhan



• Infeksi virus • Infeksi kronik • Jajas persisten • Penyakit autoimun



FIBROSIS • Kehilangan fungsi



RADANG KRONIK • Angiogenesis • Infilrat sel mononukleus • Fibrosis (jaringan parut)



Gambar 2-10 Hasil radang akut: resolusi, penyembuhan melalui jaringan parut (fibrosis), atau radang kronik (lihat teks).



di luar pembuluh. Selanjutnya, leukosit akan mulai memproduksi mediator yang mencegah radang, sehingga reaksi radang akan terbatas. Sampah nekrosis, cairan edema, dan sel radang akan dibersihkan oleh fagosit dan aliran limfe, mengurangi sisa-sisa akibat radang. Leukosit mensekresi sitokin yang akan memulai proses pemulihan jaringan, dengan pem-bentukan pembuluh darah baru di antara jaringan cedera untuk memberikan nutrisi, faktor pertumbuhan menstimulasi proliferasi fibroblas dan pengisian defek dengan kolagen, dan sisa sel jaringan akan berproliferasi untuk memulihkan integritas struktur. Hal ini akan dibahas kemudian di bab ini. • Radang kronik dapat terjadi setelah radang akut apabila agen penyebab tidak dapat dihilangkan, atau bisa juga dijumpai pada awal timbulnya jejas (misalnya infeksi virus atau respons imun terhadap antigen diri sendiri). Tergantung pada luas cedera jaringan awal dan lanjut, dan juga pada kemampuan jaringan yang terkena untuk tumbuh kembali, radang kronik dapat diikuti dengan restorasi struktur dan fungsi normal, atau menimbulkan jaringan parut. • Jaringan parut merupakan jenis pemulihan akibat kerusakan jaringan yang cukup besar (seperti pada pembentukan abses, dibicarakan kemudian) atau apabila radang terjadi pada jaringan yang tidak dapat beregenerasi, di mana jaringan cedera akan diisi jaringan ikat. Pada organ di mana dijumpai deposisi luas jaringan ikat sebagai upaya untuk menghilangkan kerusakan atau sebagai akibat radang kronik, hasil akhir ialah pembentukan fibrosis, suatu proses yang dapat mengganggu fungsi secara signifikan.



RINGKASAN Sekuens Kejadian pada Radang Akut •



Perubahan vaskular pada radang akut ditandai dengan peningkatan aliran darah sekunder setelah dilatasi arteriol dan dasar kapiler (eritema dan panas).







Peningkatan permeabilitas vaskular, akibat pelebaran perbatasan antar sel endotel dari venula atau jejas langsung pada sel endotel, yang mengakibatkan terjadinya eksudat ekstravaskular yang kaya protein (edema jaringan).







Melekat pada endotel melalui molekul adhesi dan keluar dari vaskular mikro untuk migrasi ke tempat cedera di bawah pengaruh agen kemotaksis







Selanjutnya terjadi fagositosis, pemusnahan, dan degradasi agen perusak.







Defek turunan atau yang didapat pada fungsi leukosit akan menimbulkan infeksi berulang.







Kemungkinan hasil akhir radang akut ialah pembuangan eksudat disertai restorasi arsitektur jaringan normal (resolusi); transisi ke radang kronik; atau destruksi jaringan secara ekstensif yang menimbulkan jaringan parut.



Radang dan Pemulihan Jaringan



POLA MORFOLOGIK RADANG AKUT Reaksi vaskular dan seluler yang menandai radang akut tercermin pada gambaran morfologik akibat reaksi tersebut. Kerasnya respons radang, penyebabnya yang spesifik, dan jenis jaringan yang terkena, semuanya dapat mempengaruhi gambaran morfologik dasar pada radang akut. Pentingnya mengenali gambaran morfologik tersebut adalah karena sering ada kaitannya dengan etiologi dan keadaan klinis yang berbeda.



MORFOLOGI • Radang serosum ditandai dengan pembentukan cairan seperti air, yang miskin protein, yang bergantung dari tempat asal jejas, terbentuk dari plasma atau sekresi sel mesotel yang melapisi rongga peritoneum, pleura dan perikardium. Bula pada kulit akibat luka bakar atau infeksi virus merupakan contoh yang tepat dari akumulasi efusi serosum pada atau langsung di bawah epidermis kulit (Gambar 2-11). Cairan di rongga serosum disebut cairan efusi. • Radang fibrinosa terjadi karena jejas yang lebih berat, mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular yang lebih parah sehingga molekul besar (seperti fibrinogen) dapat melalui pembatas endotel. Secara histologis, akumulasi fibrin ekstravaskular tampak sebagai jaringan benang eosinofil atau kadang-kadang sebagai koagulasi amorfik (Gambar 2-12). Eksudat fibrin merupakan ciri khas radang pada lapisan rongga tubuh, seperti meninges, perikardium, dan pleura. Eksudat tersebut akan didegradasi melalui fibrinolisis, dan kemudian debris akan dipindahkan oleh makrofag, menghasilkan restorasi struktur jaringan normal (resolusi). Namun, eksudat kaya fibrin yang banyak, tidak seluruhnya dapat dihilangkan, dan diganti dengan pertumbuhan fibroblas dan pembuluh darah (organisasi), perikardium dan membatasi fungsi miokardium mengakibatkan jaringan parut yang dapat mengakibatkan gangguanklinis yang signifikan. Sebagai contoh, organisasi dari eksudat fibrin



Gambar 2-11 Radang serosum pembesaran kecil potongan melintang lepuh kulit menunjukkan epidermis terpisah oleh efusi serosum dari dermis



perikardium membentuk jaringan parut padat yang menjembatani atau menghilangkan rongga perikardium dan membatasi fungsi miokardium. • Radang supuratif (purulen) dan pembentukan abses. Tampak sebagai pembentukan cairan eksudat purulen dalam jumlah banyak (pus) yang terdiri atas neutrofil, sel nekrotik, dan cairan edema. Beberapa organisme (misalnya stafilokokus) sering mengakibatkan supurasi setempat dan disebut kuman piogenik (membentuk pus). Abses adalah pengumpulan nanah setempat yang terjadi akibat penempatan kuman piogenik di jaringan atau akibat infeksi sekunder pada fokus nekrotik. Abses biasanya ditandai daerah sentral yang kebanyakan nekrotik dibatasi lapisan neutrofil yang masih baik (Gambar 2-13), dikelilingi zona pembuluh yang melebar dan proliferasi fibroblas tanda adanya upaya pemulihan. Dengan berlalunya waktu, seluruh abses akan terisolasi dari jaringan sekitarnya, dan akhirnya diganti dengan jaringan ikat. Akibat terjadinya kerusakan jaringan, maka setelah pembentukan suatu abses akan terbentuk jaringan parut.



F P



Gambar 2-12 Perikarditis fibrinosa. A, Pengendapan fibrin di perikardium. B, Jala merah muda dari eksudat fibrin (F) meliputi permukaan perikardium (P).



43



44



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Gambar 2-13 Radang purulen dengan pembentukan abses. A, Abses multipel bakteri di paru (panah) pada kasus bronkopneumonia. B, Abses mengandungi neutrofil dan sisa sel serta dikelilingi pembuluh darah yang terbendung.



• Ulkus merupakan defek lokal, atau ekskavasi, di permukaan organ atau jaringan yang disebabkan oleh nekrosis sel dan pelepasan jaringan nekrotik dan radang (Gambar 2-14). Ulserasi hanya dapat timbul apabila nekrosis jaringan dan peradangan terjadi pada atau dekat permukaan.



Ulkus sering dijumpai di: (1) mukosa mulut, lambung, usus, atau saluran urogenital dan (2) jaringan subkutan ekstremitas bawah pada penderita berumur lanjut dengan gangguan sirkulasi sehingga jaringan terkena cenderung menderita nekrosis yang luas. Contoh terbaik ialah ulkus peptikum di lambung atau duodenum, di mana dijumpai kedua jenis radang akut dan kronik bersamaan. Pada tahap akut, dijumpai infiltrasi leukosit yang kuat dan dilatasi vaskular di tepi daerah defek. Apabila menjadi kronik, tepi dan dasar ulkus membentuk jaringan parut dengan akumulasi limfosit, makrofag, dan sel plasma.



MEDIATOR KIMIA DAN REGULATOR RADANG A



B Gambar 2-14 Ulkus. A, Suatu ulkus duodenum kronik. B, Potongan melintang perbesaran kecil celah ulkus duodenum dengan eksudat radang di dasar.



Setelah pembahasan proses yang terjadi pada aliran darah dan sel pada radang akut, serta perubahan morfologik yang menyertainya, akan dibahas mediator kimia yang berperan pada proses tersebut. Mahasiswa dan juga profesor akan segan mempelajari daftar ini, namun pengetahuan ini dipakai untuk dasar pembuatan berbagai obat anti-inflamasi, yang dipergunakan luas dan tiap hari termasuk obat yang populer termasuk aspirin dan asetoaminofen. Pada bagian ini,akan ditekankan khasiat umum mediator radang dan hanya mengetengahkan beberapa molekul penting. Juga akan dibahas mekanisme yang membatasi dan menghentikan reaksi radang. • Mediator diproduksi lokal oleh sel pada daerah radang, atau dapat berasal dari prekursor inaktif (biasanya disintesa di hati) yang beredar di darah dan akan teraktifkan di tempat radang (Gambar 2-15 dan Tabel 2-5). Mediator asal sel akan disekuestrasi di granula intrasel dan segera disekresi pada saat pengaktifan sel (misalnya histamin di sel mast) atau disintesa de novo merepons pada suatu stimulus (misalnya prostaglandin dan sitokin yang diproduksi leukosit dan sel lain). Mediator asal protein plasma (komplemen



Mediator Kimia dan Regulator Radang MEDIATOR



SUMBER



Histamin Serotonin



Sel mast, basofil, trombosit Trombosit



Baru disintesa



Prostaglandin Leukotrin Faktor pengaktifan trombosit Spesies oksida reaktif Nitrogen oksida Sitokin Neuropeptida



Semua leukosit, sel mast Semua leukosit, sel mast Semua leukosit, EC Semua leukosit Makrofag, EC Makrofag,limfosit,EC, Sel mast Leukosit, serabut saraf



Pengaktifan komplemen



C3a C5a Anafilatoksin C3b C5b-9 (kompleks penyerang membran)



Faktor XII (faktor Hagemen)



Sistem kinin (bradikinin) koagulasi/sistem fibrinolisis



ASAL PROTEIN PLASMA



ASAL SEL



Mediator siap pakai di granula sekresi



45



PLASMA



HATI (Sumber utama)



Gambar 2-15 Mediator radang. Mediator utama asal sel dan protein plasma dipertunjukkan EC, sel endotel



protein, kinin) bersirkulasi dalam bentuk inaktif dan akan mengalami pemecahan proteolitik agar memperoleh aktivitas biologis. • Mediator umumnya berperan melalui ikatan dengan reseptor spesifik pada sel target yang berbeda. Mediator tersebut mungkin berperan pada satu atau beberapa tipe sel, atau dapat memberi reaksi berbeda dengan hasil berlainan tergantung jenis sel yang terkena. Mediator lain (misalnya protease lisosom



ROS) mempunyai aktivitas enzim langsung dan atau/aktivitas toksik dan tidak memerlukan ikatan dengan reseptor spesifik. • Aktivitas mediator umumnya diatur ketat dan berumur pendek. Segera setelah diaktifkan dan dilepaskan dari sel, mediator segera mulai runtuh (misalnya metabolit asam arakidonik), diinaktifkan oleh enzim (misal kininase menginaktifkan bradikinin), dieliminasi (misal antioksidans membersihkan sisa metabolit oksigen toksik), atau dihambat (misal protein regulasi komplemen mencegah pengaktifan komplemen.



Tabel 2-5 Kerja Mediator Utama pada Radang



Mediator



Sumber



Kerja



Berasal dari Sel Histamin



Sel mast,basofil,trombosit



Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, pengaktifkan endotel



Serotonin



Trombosit



Vasokonstriksi



Prostaglandin



Sel mast, leukosit



Vasodilatasi, nyeri, demam



Leukotrin



Sel mast, leuksit



Peningkatan permeabilitas vaskular, kemotaksis, adhesi dan pengaktifan leukosit



Faktor pengaktifan trombosit



Leukosit, mast cells



Vasodilatasi,peningkatan permeabilitas vaskular,adhesi leukosit, kemotaksis, degranulasi, letupan oksidatif



Spesies oksigen reaktif



Leukosit



Mematikan mikroba, kerusakan jaringan



Nitrogen monoksida



Endotel, makrofag



Sitokin (TNF, IL-1, IL-6)



Makrofag,s el endotel, sel mast



Kemokin



Leukosit, makrofag yang teraktifkan



Relaksasi otot polos vaskular; mematikan mikroba Lokal: pengaktifan endotel (ekspresi molekul adhesi). Sistemik: demam. Abnormalitas metabolisme, hipotensi (syok) Kemoktaksis, pengaktifan leukosit



Asal Protein Plasma Komplemen



Plasma (diproduksi di hati)



Kemotaksis leukosit dan pengaktifan, mematikan target lansung (MAC) vasodilatasi (stimulasi sel mast)



Kinin



Plasma (diproduksi di hati)



Protease yang telah diaktifkan selama koagulasi



Plasma (diproduksi di hati)



Peningkatan permeabilitas veaskular, kontraksi otot polos, vasodilatasi, nyeri Pengaktifan endotel, pengumpulan leukosit



IL- I , IL-6, interleukin- 1 dan -6; MAC, membrane attack complex;TNF, tumor necrosis foctor,



46



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



oksigen toksik), atau dihambat (misal protein regulasi komplemen mencegah pengaktifan komplemen)



Mediator Asal Sel Makrofag jaringan, sel mast, dan sel endotel di lokasi inflamasi, juga leukosit yang dikumpulkan dari darah ke tempat inflamasi, semua mampu memproduksi mediator radang yang berbeda. Amin Vasoaktif Kedua amin vasoaktif yaitu histamin dan serotonin, disimpan sebagai molekul siap pakai di sel mast dan sel lain dan merupakan mediator pertama yang akan dilepaskan pada reaksi radang akut. • Histamin diproduksi oleh berbagai jenis sel, terutama sel mast dekat pembuluh, juga basofil dan trombosit. Histamin siap pakai dilepaskan dari granula sel mast untuk merespons kepada berbagai stimulus: (1) jejas fisis seperti trauma atau panas; (2) reaksi imun pada pengikatan antibodi IgE kepada reseptor Fc di sel mast (Bab 4); (3) fragmen komplemen C3a dan C5a, disebut anafilatoksin (lihat kemudian); (4) protein asal-leukosit yang mengeluarkan histamin; (5) neuropeptida (misal substansi P); dan (6) beberapa sitokin (misal IL-1, IL-8). Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriol dan segera meningkatkan permeabilitas vaskular dengan menginduksi kontraksi endotel vena dan pembentukan celah antar endotel. Segera setelah dikeluarkan, histamin diinaktifkan oleh histaminase. • Serotonin (5-hidroksitriptamin) merupakan mediator vasoaktif siap pakai yang dijumpai pada granula trombosit yang akan dilepas saat agregrasi trombosit (Bab 3). Akan menginduksi vasokonstriksi selama terjadinya pembekuan. Terutama diproduksi di beberapa neuron dan sel enterokromafin, dan merupakan neurotransmitter dan mengatur motilitas usus. Metabolit Asam Arakidonik: Prostaglandin, Leukotrin, dan Lipoksin Produk hasil metabolisme AA mempengaruhi berbagai proses biologis, termasuk radang dan hemostasis. Metabolit AA, disebut juga eicosanoids (karena terbentuk dari asam lemak 20-carbon Junani arti eicosa, "dua puluh"), dapat terlibat dalam tiap tahap proses radang (Tabel 2-6); sintesa akan ditingkatkan pada tempat terjadi respons radang, dan agen yang mencegah sintesa juga akan mengurangi proses radang. Leukosit, sel mast, sel endotel, dan trombosit merupakan unsur utama metabolit AA pada radang. Tabel 2-6 Kerja Utama Metabolit Asam Arakidonat (Eikosanoid)



Kerja



Eikosanoid



Vasodilatasi



Prostagin PGI2 (prostasikilin), PGE1, PGE2, PGD2 Tromboksan A2, leukotrin C4, D4, E4



Vasokonstriksi Permeabilitas vaskular meningkat Kemotaksisi, adhesi leukosit HETE, hydroxyeicosatetraenoic acid.



Leukotrin C4, D4, E4 Leukotrin B4, HETE



Mediator asal AA bekerja lokal di mana mediator tersebut dibentuk dan kemudian rusak sendiri atau dirusak enzim. AA ialah asam lemak tidak jenuh 20-karbon (dengan empat ikatan ganda) terbentuk dari asam linoleik dari makanan dan terdapat di tubuh dalam bentuk ester sebagai komponen membran sel fosfolipid. Dilepaskan dari fosfolipid melalui kerja fosfolipase sel yang diaktifkan oleh stimulus mekanik, kimia atau fisis, atau mediator radang seperti C5a. Metabolisme AA terjadi melalui satu dari dua jalur utama enzim: Siklooksigenase menstimulasi sintesa prostaglandin dan tromboksan, serta lipoksigenase untuk memproduksi leukotrin dan lipoksin (Gambar 2-16). • Prostaglandin dan tromboksan. Produk jalur siklooksigenase termasuk prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, PGF2α, PGI2 (prostacyclin), dan thromboxane A2 (TXA2), masing-masing dihasilkan dari enzim spesifik pada suatu hasil antara. Sebagian enzim mempunyai distribusi terbatas pada jaringan. Contoh, trombosit mengandungi enzim thromboxane synthase, dan TXA2, suatu agen agregasi trombosit yang poten dan mempunyai daya vasokonstriksi, merupakan prostaglandin utama yang dihasilkan sel tersebut. Sebaliknya sel endotel, tidak mengandungi thromboksan synthase tetapi mengandungi prostasiklin sintase, berperan untuk pembentukan PGI2, suatu vasodilator dan inhibitor poten agregasi trombosit. Peran berlawanan TXA2 dan PGI2 pada hemostasis dibahas lebih lanjut pada Bab 3. PGD2 merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase pada sel mast; bersama dengan PGE2 dan PGF2α (didistribusi lebih luas), akan mengakibatkan vasodilatasi dan berpotensi untuk pembentukan edema. Prostaglandin juga berperan pada timbulnya rasa nyeri dan demam yang menyertai radang; PGE2 meningkatkan sensitifitas nyeri dan stimulus lain serta berinteraksi dengan sitokin untuk menimbulkan demam. • Leukotrin. Leukotrin diproduksi melalui kerja 5-lipoksigenase, enzim utama untuk metabolisme AA- di neutrofil. Sintesa leukotrin terjadi dalam beberapa langkah (Gambar 2-16). Langkah pertama menghasilkan leukotrin A4 (LTA4), yang akan berubah menjadi LTB4 atau LTC4. LTB4 dihasilkan oleh neutrofil dan beberapa makrofag dan merupakan agen kemotaksis poten untuk neutrofil. LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4, diproduksi terutama di sel mast dan menyebabkan konstriksi bronkus dan peningkatan permeabilitas vaskular. • Lipoksin. Segera setelah leukosit memasuki jaringan, maka secara bertahap akan mengubah produk AA asal lipoksigenase dari leukotrin menjadi mediator radang yaitu lipoksin, yang menghalangi kemotaksis neutrofil dan adhesi ke endotel dan berperan sebagai antogonis endogen leukotrin. Trombosit yang telah teraktifkan dan melekat pada leukosit juga merupakan sumber penting lipoksin. Trombosit sendiri tidak dapat mensintesa lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk mediator ini dari bentuk sementara yang berasal neutrofil yang berdekatan, melalui jalur biosintetik transeluler. Dengan mekanisme ini, produk AA dapat diteruskan dari suatu jenis sel ke sel lain. Obat Anti Radang yang Menghentikan Produksi Prostaglandin. Peran utama eicosanoid pada proses radang ditekankan pada keperluan klinis untuk membentuk suatu produk yang akan menghalangi sintesa eicosanoid. Obat anti-inflamasi non-streoid (NSAID), seperti



Mediator Kimia dan Regulator Radang



47



Fosfolipid membran sel Penghambat steroid Fosfolipase COOH CH3 Inhibitor COX-1 dan COX-2, aspirin, penghambat indomethacin



Lipoksigenase



ASAM ARAKIDONAT



lain



Siklooksigenase



5-Lipoksigenase



Prostaglandin G2 (PGG2)



5-HPETE



Prostaglandin H2 (PGH2) Prostasiklin PGI2



Tromboksan A2 TXA2



Menyebabkan vasodilatasi, penghambat agregasi trombosit



Menyebabkan vasokonstriksi, memicu agregasi trombosit



PGD2



PGE2



Vasodilatasi Peningkatan permeabilitas vaskular



HPETEs



12- Lipoksigenase



5-HETE Kemotaksis



Leukotrin A4 (LTA4)



Lipoxin A4 (LXA4)



HETEs



Leukotrin



C4 (LTC4)



Leukotrin



D4 (LTD4)



Leukotrin



E4 (LTE4)



Leukotrin B4



Bronkospasme Peningkatan premeabilitas vaskular



Lipoxin B4



(LXB4)



Penghambat adhesi neutrofil dan kemotakasis



Gambar 2-16 Produksi metabolit asam arakidonat dan perannya dalam radang. Perhatikan aktivitas enzim yang menginhibisi melalui intervensi farmakologik akan menutup jalur utama (ditandai dengan tanda X merah). COX-1, COX-2, siklooksigenase 1 dan 2; HETE, asam hidroksieikosatetraenoik; HPETE, asam hidroperoksieikosatetraenoik.



aspirin dan ibuprofen, mencegah aktivitas siklooksigenase, akan terjadi penghentian semua sintesa prostaglandin (demikian kemanjurannya dalam mengobati nyeri dan demam). Ada dua bentuk enzim siklooksigenase, COX-1 dan COX-2. COX-1 diproduksi merespons pada stimulus radang dan juga dijumpai pada jaringan, dan menstimulasi produksi prostaglandin untuk fungsi homeostatik (misal cairan dan kesimbangan elektrolit di ginjal, proteksi sel pada saluran cerna). Sebaliknya, COX-2 diinduksi oleh stimulus radang tapi tidak dijumpai pada jaringan normal. Sehingga, inhibitor COX-2 dibentuk agar dapat mencegah efek merugikan radang tetapi tidak akan menghentikan efek protektif dari prostaglandin yang diproduksikan setempat. Namun, beda peran kedua jenis siklooksigenase tidak mutlak. Juga, inhibitor COX-2 dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular, mungkin karena mengganggu pembentukan prostacyclin (PGI2) dalam sel endotel, suatu inhibitor agregasi trombosit, tapi tidak menggangu produksi TXA2, suatu medi-



ator untuk agregasi trombosit, oleh trombosit yang dimediasi COX-1. Glukokortikoid, suatu agen anti radang yang ampuh, bekerja dengan mencegah aktivitas fosfolipase A2 dan keluarnya AA dari lipid membran.







Faktor aktivasi trombosit (PAF), sejak semula dinama-kan demikian karena mampu mengagregasi dan mendegranulasi trombosit, merupakan mediator jenis lain yang berasal dari fosfolipid dengan efek radang luas. PAF adalah acetyl glycerol ether phosphocholine; dibentuk dari fosfolipid membran neutrofil, monosit, basofil, sel endotel, dan trombosit (serta sel lain) melalui kerjanya fosfolipase A2. PAF bekerja langsung pada sel target melalui efek reseptor yang berikatan dengan protein G spesifik. Di samping menstimulasi trombosit, PAF mengakibatkan bronkokonstriksi dan 100 hingga 1000 kali lebih poten daripada histamin untuk menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Juga menstimulasi sintesa mediator lain, seperti eicosanoids dan sitokin, yang berasal dari trombosit



48



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



atau sel lain. Jadi, PAF dapat memicu berbagai reaksi radang, termasuk peningkatan adhesi leukosit, kemotaksis, degranulasi leukosit, dan letupan gangguan respirasi. Sitokin Sitokin merupakan produk polipeptida berbagai sel yang berfungsi sebagai mediator radang dan respons imun (Bab 4). Banyak sitokin yang terlibat dalam awal reaksi imun dan radang terhadap stimulus yang merugikan dan kemudian dalam reaksi adaptif (spesifik) respons imun terhadap mikroba. Beberapa sitokin menstimulasi prekursor sumsum tulang untuk menambah produksi leukosit, untuk menggantikan leukosit yang telah dipergunakan selama respons radang dan imun. Sitokin adalah molekul yang disebut interleukin (disingkat IL dan bernomor), untuk menunjukkan kemampuannya sebagai mediator hubungan antar leukosit. Namun nomenklatur ini tidak sempurna banyak interleukin dapat bekerja pada sel selain leukosit, dan banyak sitokin yang memang bekerja pada leukosit tidak disebut interleukin, demi alasan sejarah. Sitokin utama pada radang akut ialah TNF, IL-1, IL-6, dan suatu kelompok sitokin kemoatraktan yang disebut kemokin. Sitokin lain yang lebih penting pada radang kronik termasuk interferon-γ (IFN-γ) dan IL-12. Suatu sitokin yang disebut IL-17, diproduksi limfosit T dan sel lain, mempunyai peran penting dalam pengerahan neutrofil dan berperan pada pertahanan tubuh terhadap infeksi dan penyakit inflamasi. Faktor Nekrosis Tumor dan Interleukin-1. TNF dan IL-1 diproduksi oleh sel yang teraktifkan termasuk makrofag, sel mast, sel endotel, dan beberapa jenis sel lain (Gambar 2-17). Sekresi sel-sel ini distimulasi oleh produk mikroba, misalnya endotoksin bakteri,



RADANG OTAK TNF, il-1



TNF



kompleks imun, dan produksi limfosit T yang terbentuk selama respons imun adaptif. Seperti yang dibicarakan sebelumnya, IL-1 juga merupakan sitokin yang diinduksi oleh pengaktifan inflammasome. Peran utama sitokin pada radang adalah mengaktifkan sel endotel. Kedua TNF dan IL-1 menstimulasi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel, menghasilkan peningkatan ikatan dan pengerahan leukosit, dan meningkatkan produksi sitokin tambahan (yaitu kemokin) dan eicosanoid. TNF juga meningkatkan daya ikat trombosit pada endotel. IL-1 mengaktifkan fibroblas, yang menyebabkan peningkatan proliferasi dan produksi ECM. Walaupun TNF dan IL-1 disekresi oleh makrofag dan sel lain di daerah radang, keduanya dapat masuk sirkulasi dan bekerja dari tempatnya berada menginduksi reaksi fase akut sistemik yang sering berkaitan dengan penyakit infeksi dan inflamasi. Komponen dari reaksi ini ialah demam, letargi, sintesa berbagai protein fase akut (juga distimulasi IL-6), oleh hati kekurangan gizi (kakeksia), pelepasan neutrofil ke sirkulasi, dan turunnya tekanan darah. Semua manifestasi sistemik radang ini dibicarakan kemudian pada bab ini. Kemokin. Kemokin merupakan kelompok protein kecil (8 sampai 10 kDa) yang strukturnya berhubungan bekerja terutama sebagai kemoatraktan untuk berbagai subset leukosit yang berbeda. Dua fungsi utama kemokin adalah mengerahkan leukosit ke tempat radang dan mengatur organisasi sel agar secara anatomik normal di jaringan limfoid dan jaringan lain. Kombinasi kemokin yang diproduksi sesaat sebagai respons terhadap stimulus radang ialah untuk mengumpulkan populasi sel tertentu (misal neutrofil, limfosit atau eosinofil) menuju daerah radang. Kemokin juga mengaktifkan leukosit dan satu akibat pengaktifan tersebut, seperti dibahas sebelumnya, adalah peningkatan



EEFEK erlinfungsn sistematik Peningkatan permeabilitas



Peningkatan ekspresi adhesi molekul



TNF, IL-1, IL-6



Jantung TNF



Output rendah



Demam IL-1, IL-6



Sel endotel



Hati



Sel endotel,pembuluh darah TNF



IL-1 kemokin



Protein fase akut



Leukosit



TNF, IL-1



EFEK PATOLOGIS SISTEMIK



otak



IL-1, IL-6 kemokin



TNF, IL-1, IL-6



Sumsum tulang



Peningkatan permeabilitas



Thrombus Jaringan multipel



Pengaktifan



TNF IL-1 Produksi leukosit



Otot skeletal



Resistensi insulin



Gambar 2-17 Peran sitokin dalam radang akut. Sitokin TNF, IL-1, dan IL-6 merupakan mediator kunci untuk mengumpulkan leukosit pada respons radang lokal dan berperan penting dalam reaksi sistemik radang.



Mediator Kimia dan Regulator Radang afinitas integrin terhadap ligan di sel endotel. Beberapa kemokin diproduksi secara tetap di jaringan dan berperan untuk memisahkan berbagai populasi sel di jaringan (misal pemisahan limfosit T dan B pada berbagai daerah di kelenjar limfe dan limpa). Kemokin memulai aktivitasnya dengan berikatan pada reseptor protein G spesifik pada se target; dua dari reseptor kemokin (yaitu CXCR4 dan CCR5) merupakan koreseptor penting untuk mengikat dan masuknya virus imunodefisiensi manusia (HIV) ke dalam limfosit (Bab 4). Kemokin dibagi dalam empat kelompok berdasarkan susunan residu sistein yang masih lengkap. Dua kelompok utama ialah kemokin CXC dan CC: • Kemokin CXC mempunyai satu asam amino yang memisahkan sistein yang masih lengkap dan bekerja terutama pada neutrofil. IL-8 merupakan bentuk khas kelompok ini; dihasilkan oleh makrofag yang teraktifkan, sel endotel, sel mast dan fibroblas terutama merespons produk mikroba dan sitokin lain seperti IL-1 dan TNF. • Kemokin CC mempunyai residu sistein yang berdekatan dan termasuk protein-1 kemoatraktan monosit (MCP-1) dan protein 1α radang makrofag (MIP-1α) (keduanya bersifat kemotaksis untuk monosit), RANTES (diregulasi setelah pengaktifan, diekspresi dan disekresi pada sel T normal) (kemotaksis untuk pada sel T CD4+ memori dan monosit), dan eotaksin (kemotaksis untuk eosinofil).







ROS disintesa melalui jalur NADPH oksidase (fagosit oxidase) dan dilepaskan dari neutrofil dan makrofag yang diaktifkan oleh mikroba, kompleks imun, sitokin, dan berbagai stimulus radang lain. Sintesa dan regulasi radikal bebas asal oksigen telah dibahas pada Bab 1 dalam kaitan jejas sel, dan pada awal bab ini pada diskusi pengaktifan leukosit. Apabila ROS diproduksi dalam lisosom, maka fungsinya ialah menghancurkan mikroba yang telah difagosit dan sel nekrotik. Apabila disekresi dalam kadar rendah, ROS akan meningkatkan kemokin, sitokin,dan ekspresi molekul adhesi, sehingga memperbesar kaskade mediator radang. Pada tingkat lebih tinggi, mediator berperan dalam cedera jaringan melalui berbagai mekanisme termasuk: (1) kerusakan endotel, dengan trombosis dan peningkatan permeabilitas; (2) pengaktifan protease dan inaktivasi antiprotease, berakibat peningkatan pemecahan ECM; dan (3) jejas langsung pada jenis sel lain (misal sel tumor, sel darah merah, sel parenkim). Untungnya berbagai mekanisme protektif antioksidan (misal diawali oleh katalase, superoksida dismutase, dan glutation) yang berada dalam jaringan dan darah akan membatasi toksisitas metabolit oksigen (Bab 1).



Nitrogen Oksida NO merupakan radikal bebas gas, yang berumur singkat, larut air, diproduksi berbagai jenis sel dan mampu melakukan berbagai fungsi. Di sistem saraf pusat mengatur pengeluaran neurotransmitter dan juga aliran darah. Makrofag menggunakannya sebagai agen sitotoksik untuk mematikan mikroba dan sel tumor. Apabila diproduksi oleh sel endotel akan mengakibatkan relaksasi otot polos dan menyebabkan vasodilatasi.



49



NO disintesa de novo dari Larginine, oksigen molekuler, dan NADPH melalui enzim nitric oxide synthase (NOS). Ada tiga jenis bentuk isoforms NOS, dengan distribusi di jaringan yang berbeda. • Tipe I, neuronal NOS (nNOS), diekspresi pada neuron, dan tidak mempunyai peran penting pada radang. • Tipe II, inducible NOS (iNOS), diinduksi pada makrofag dan sel endotel oleh sejumlah sitokin radang dan mediator radang, terutama oleh IL-1, TNF, dan IFN-y, dan oleh endotoksin bakteri, dan berperan pada produksi NO pada reaksi radang. Jenis yang mudah diinduksi ini juga terdapat pada berbagai sel lain, termasuk sel hepar, miosit jantung, dan sel epitel respirasi. • Tipe III, endothelial NOS, (eNOS), disintesa terutama (tapi bukan eksklusif) di endotel. Fungsi penting NO ialah sebagai agen mikrobisidal (sitotoksik) pada makrofag yang teraktifkan. NO berperan lain pada radang, termasuk vasodilatasi, antagonis pada semua tahapan pengaktifan trombosit (adhesi, aggregasi, dan degranulasi), dan pengurangan pengumpulan leukosit pada daerah radang.







Granula lisosom dari neutrofil dan monosit mengandungi banyak enzim yang merusak substansi yang telah difagosit dan mampu merusak jaringan. Isi granula lisosom juga bisa dihasilkan oleh leukosit yang teraktifkan, seperti pembahasan terdahulu. Protease asam umumnya hanya aktif dalam lingkungan pH rendah dari fagolisosom, sedangkan protease netral, termasuk elastase, kolagenase, dan katepsin, aktif pada daerah ekstrasel dan menyebabkan cedera jaringan dengan merusak elastin, kolagen, membran basalis dan protein matriks lain. Protease netral juga dapat membelah protein komplemen C3 dan C5 langsung untuk menghasilkan mediator vasoaktif C3a dan C5a dan bisa menghasilkan peptida yang mirip bradikinin dari kininogen. Efek dari kemampuan merusak enzim lisosom terbatas oleh adanya antiprotease dalam plasma dan cairan jaringan, termasuk α1antitripsin, inhibitor utama elastase neutrofil, dan α2-makroglobulin. Defisiensi inhibitor ini akan mengakibatkan pengaktifan protease leukosit menetap, mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat leukosit berkelompok. Contohnya, defisiensi α1-arantitripsin di paru dapat mengakibatkan emfisema panasea yang parah (Bab 12).







Seperti amine vasoaktif, neuropeptida dapat menginisiasi respons radang; merupakan protein kecil, seperti zat P, yang menyalurkan sinyal nyeri, mengatur tonus dan permeabilitas pembuluh darah. Serabut saraf yang mengeluarkan neuropeptida terutama ditemukan di paru dan saluran cerna.



50



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan partikel, misalnya mikroba, untuk fagositosis dan destruksi, dan berperan pada respons radang dengan meningkatkan permeabilitas vaskular dan kemotaksis leukosit. Pengaktifan komplemen akan menimbulkan kompleks penyerangan membran mirip pori (MAC) yang akan membuat lubang di simpai mikroba yang menginvasi. Berikut merupakan kesimpulan dari peran sistem komplemen pada radang.



RINGKASAN Mediator Utama yang Berasal dari Sel pada Radang • •







• • •



Amin vasoaktif — histamin, serotonin: Efek utama ialah vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Metabolit asam arakidonat — prostaglandin dan leukotrin: asam arakidonat — prostaglandin dan leukotrin: Beberapa bentuk dijumpai dan berperan pada reaksi vaskular, kemotaksis leukosit, dan reaksi radang lain; antagonis adalah lipoksin. Sitokin: Protein ini diproduksi oleh berbagai jenis sel, biasanya bereaksi jarak pendek; memberikan efek multipel, terutama pengumpulan dan migrasi leukosit; terpenting pada radang akut ialah TNF, IL-1, IL-6, dan kemokin. ROS: Peran termasuk mematikan mikroba dan merusak jaringan NO: Efek ialah vasodilatasi dan mematikan mikroba. Enzim lisosom: Peran termasuk mematikan mikroba dan merusak jaringan.



• Komponen komplemen, dinomori C1 hingga C9, ditemukan dalam plasma dalam bentuk inaktif, dan banyak diiantaranya yang diaktifkan oleh proteolisis agar terbentuk aktivitas proteolitiknya sendiri, sehingga tersusun kaskade enzim. • Langkah kritis untuk menghasilkan komplemen aktif secara biologis ialah mengaktifkan komponen ketiga, C3 (Gambar 2-18). Pemecahan C3 terjadi melalui tiga jalur: (1) jalur klasik, dipicu oleh fiksasi komponen komplemen pertama C1 pada kompleks antigenantibodi; (2) jalur alternatif, dipicu oleh polisakarida bakteri (misal endotoksin) dan komponen lain pada dinding sel mikroba, dan melibatkan suatu kelompok protein plasma tertentu termasuk properdin dan faktor B dan D; dan (3) jalur lektin, di mana lektin plasma akan mengikat residu manosa di mikroba dan mengaktifkan komponen awal jalur klasik (tetapi tanpa adanya antibodi).



Mediator dari Protein Plasma Protein yang beredar dari tiga sistem yang berkaitan komplemen, kinin, dan sistem koagulasi terlibat dalam beberapa aspek reaksi radang. Komplemen Sistem komplemen terdiri atas protein plasma yang mempunyai peran penting pada pertahanan tubuh (imunitas) dan radang. Setelah pengaktifan berbagai komplemen protein akan melapisi (opsonisasi)



• Ketiga jalur menghasilkan terbentuknya konvertase C3 yang memecah C3 menjadi C3a dan C3b. Terjadi deposit C3b pada sel atau permukaan mikroba di mana komplemen diaktifkan dan kemudian akan berikatan dengan kompleks konvertase C3 untuk membentuk konvertase C5; kompleks ini akan memecah C5 untuk menghasilkan C5a dan C5b dan memulai tahap akhir pembentukan C6 hingga C9.



FUNGSI EFEKOR C5a,C3a:Radang Jalur alternatif



Mikroba Destruksi mikroba oleh leukosit



Pengumpulan dan pengaktifan leukosit C3b Jalur klasik



C3b C3b diletakan di mikroba



Antibodi



Lectin pathway



C3b:Fagositosis



C3a



Lektin pengikat mannosa



Pengenalan ikatan C3b oleh reseptor fagosit C3b



Pembentukan kompleks penyerang membran (MAC)



Fagositosis mikroba MAC: Mikroba lisis



Gambar 2-18 Pengaktifan dan fungsi sistem komplemen. Pengaktifan komplemen melalui berbagai jalur menghasilkan produk C3. Fungsi sistem komplemen dimulai dengan pemecahan produk C3 dan protein komplemen lain, dan oleh kompleks penyerang membran (MAC).



Mediator Kimia dan Regulator Radang 51 Faktor asal komplemen yang diproduksi dan memberi kontribusi pada berbagai fenomena radang akut: • Efek vaskular. C3a dan C5a meningkatkan permeabilitas vaskular dan mengakibatkan vasodilatasi dengan menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. Produk komplemen ini disebut juga anafilotoksin sebab kerjanya mirip sel mast, yang merupakan efektor utama sel pada reaksi alergi yang berat yaitu reaksi anafilaksis (Bab 4). C5a juga mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme AA di neutrofil dan makrofag, menyebabkan pengeluaran tambahan mediator radang. • Pengaktifan adhesi, dan kemotaksis leukosit. C5a, dan C3a dan C4a dalam jumlah kecil, mengaktifkan leukosit, meningkatkan adhesi pada endotel, dan merupakan kemotaksis poten untuk neutrofil, monosit, eosinofil dan basofil. • Fagositosis. C3b dan produk proteolitik inaktif iC3b apabila terfiksasi dengan permukaan mikroba, berperan sebagai opsonin, akan meningkatkan fagositosis oleh neutrofil dan makrofag, yang mengekspresikan reseptor untuk produk komplemen tersebut. • MAC, yang terbentuk dari copy multipel komponen akhir C9, akan mematikan bakteri (terutama Neisseria yang berdinding tipis) dengan membentuk pori-pori yang mengganggu keseimbangan osmotik. Pengaktifan komplemen diatur ketat oleh protein yang berasosiasi dengan sel dan protein yang beredar dengan teratur. Adanya inhibitor pada membran sel tubuh akan melindungi sel normal dari kerusakan yang tidak perlu, selama reaksi proteksi melawan mikroba. Defisiensi inheritan protein normal akan mengakibatkan pengaktifan komplemen spontan:



• Suatu protein yang disebut inhibitor Cl akan memblok pengaktifan C1, dan defisiensi bawaan akan menyebabkan penyakit angioedema bawaan, di mana terjadi produksi kinin berlebihan sekunder akibat pengaktifan komplemen dengan akibat edema diberbagai jaringan, termasuk laring. • Protein lain disebut decay-accelerating factor (DAF) yaitu faktor yang mempercepat keruntuhan, biasanya akan membatasi pembentukan konvertase C3 dan C5. Pada penyakit paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, terjadi defisiensi DAF yang mengakibatkan sel darah merah menjadi lisis akibat mediasi komplemen (yang lebih sensitif untuk timbulnya lisis dibanding sel berinti lainnya) (Bab 11). • Faktor H merupakan protein plasma yang menghambat pembentukan konvertase; defisiensinya dikaitkan dengan penyakit ginjal disebut sindrom uremi hemolitik (Bab 13), dan permeabilitas vaskular spontan pada degenerasi makula mata. Walaupun dijumpai protein regulasi, pengaktifan komplemen yang tidak tepat atau berlebihan (misal penyakit yang dipicu antibodi) dapat mengalahkan mekanisme regulasi; menjelaskan mengapa aktivasi komplemen mengakibtkan cedera jaringan yang parah pada berbagai gangguan imunologi (Bab 4).



  Beberapa molekul yang diaktifkan selama proses pembekuan darah mampu memicu aspek respons radang yang multipel. Faktor Hageman (juga dikenal sebagai factor XII dari kaskade intrinsik koagulasi) (Gambar 2-19) merupakan protein yang disintesa oleh hati dan beredar di aliran darah dalam bentuk inaktif hingga berhadapan dengan kolagen, membran basalis, atau trombosit yang teraktifkan (misal pada tempat jejas endotel). Faktor Hageman yang telah diaktivasi (faktor XIIa) akan memicu empat sistem yang berperan pada



XII



Faktor XII (faktor Hagemen) Koalgen, membran basalis, trombosit yang teraktifan



Kofaktor: HMWK



XIIa Kaskade kinin



HMWK



Kalikrein



Faktor XIIa



Prekalikren



Faktor pembekuan



Kaskade pembekuan



Trombin



Bradikinin Plasminogen



plasmin



Sistem fibrinolitik



Fibrin



Fibrinogen



Produk pemecahan fibrin



C3



C3a



C5



C5a



Kaskade Komplemen



Gambar 2-19 Hubungan antara ke-empat sistem mediator plasma dipicu oleh pengaktifan faktor XII (faktor Hageman). Lihat teks untuk detail.



52



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



respons inflamasi: (1) sistem kinin, menghasilkan kinin vasoaktif; (2) sistem pembekuan, menginduksi aktivitas trombin, fibrinopeptida, dan faktor X, semua mempunyai kemampuan inflamasi; (3) sistem fibrinolitik, yang menghasilkan plasmin dan menginaktfkan trombin; dan (4) sistem komplemen, menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a. Seluruhnya dijelaskan di bawah ini: • Aktivasi sistem kinin akan menyebabkan terbentuknya bradikinin dari prekursor yang beredar, dan molekul berat kininogen (HMWK) (Gambar 2-19). Seperti histamin, bradikinin mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat, dilatasi arteriol, dan kontraksi otot polos bronkus. Juga akan menyebabkan nyeri apabila disuntikkan di kulit. Kerja bradikinin hanya sebentar sebab segera dirusak oleh kininase yang terdapat pada plasma dan jaringan. Kallikrein, bentuk tengah pada kaskade kinin dengan aktivitas kemotaksis, juga merupakan aktivator poten faktor Hageman dan menjadi penghubung antara sistem kinin dan sistem pembekuan. • Pada sistem pembekuan (Bab 3), kaskade proteolitik mengakibatkan pengaktifan trombin, dan memecah fibrinogen yang larut air yang beredar untuk menghasilkan bekuan fibrin yang tidak larut air. Faktor Xa, bentuk tengah pada kaskade pembekuan, mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat dan emigrasi leukosit. Trombin berpartisipasi pada radang dengan berikatan dengan reseptor yang diaktifkan oleh protease yang diekspresikan pada trombosit, sel endotel, dan banyak sel lain. Terikatnya trombin pada reseptor di sel endotel ini akan mengakibatkan pengaktifan dan meningkatkan adhesi leukosit. Sebagai tambahan, trombin menghasilkan fibrinopeptida (selama pemecahan fibrinogen) yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan bersifat kemotaksis untuk leukosit. Trombin juga memecah C5 untuk menghasilkan C5a, sehingga menghubungkan koagulasi dan pengaktifan komplemen. • Sebagai aturan umum, apabila proses pembekuan dimulai (misal pengaktifan faktor Hageman), sistem fibrinolitik juga akan teraktifkan. Mekanisme ini berperan untuk membatasi pembekuan dengan cara memecahkan fibrin, sehingga bekuan fibrin menjadi larut air. (Bab 3). Aktivator plasminogen (dihasilkan dari endotel, leukosit dan jaringan lain) dan kallikrein memecahkan plasminogen, suatu protein plasma yang terlibat pada pembentukan bekuan fibrin. Produk yang dihasilkan oleh plasmin, merupakan protease multifungsi yang akan membelah fibrin dan penting dalam proses lisis bekuan. Namun, fibrinolisis juga berperan pada tahapan multipel pada fenomena vaskular radang. Contoh, produk degradasi fibrin meningkatkan permeabilitas vaskular, dan plasmin memecah protein komplemen C3, menghasilkan produksi C3a dan vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas vaskular. Plasmin juga mengaktifkan faktor Hageman, sehingga terjadi peningkatan keseluruhan respons. Seperti dijelaskan pada diskusi terdahulu, berbagai molekul terlibat pada aspek yang berbeda dari reaksi radang, dan molekul ini sering berinteraksi, meningkatkan, dan bersifat antagonis antar molekul. Dari berbagai campuran mediator kimia, dapat ditentukan kontributor utama berbagai komponen radang akut (Tabel 2-7). Kontribusi relatif masing-masing mediator pada reaksi radang pada stimulus yang berbeda masih perlu dijelaskan. Pengetahuan tersebut akan punya implikasi terapi yang jelas karena memungkinkan rancangan antagonis khusus untuk berbagai penyakit inflamasi.



Tabel 2-7 Peran Mediator dalam Berbagai Reaksi Berbeda pada Radang



Komponen Inflamasi



Mediator



Vasodilation



Prostaglandin Nitrogen monoksida Histamin



Peningkatan permeabilitas vaskular



Histamin dan serotonin C3a dan C5a (melalui produksi amin vasoaktif dari sel mast, sel lain) Bradikinin Leukotrin C4, D4, E4 PAF Substansi P



Kemotaksis, pengumpulan leukosit dan pengaktifan



TNF, IL-I Kemokin C3a, C5a Leukotrin B4 Produk bakteri (misal N-formyl methyl peptides)



Demam



IL-I,TNF Prostaglandin



Sakit



Prostaglandin Bradikinin Enzim lisosom dan enzim dari leukosit. Spesies oksigen reaktif Nitrogen monoksida



Kerusakan jaringan



IL- I , interleukin- I ; PAF, platelet-activating factor, TNF, tumor necrosis factor.



RINGKASAN Mediator Radang yang Berasal dari Protein Plasma •



• •



Protein komplemen: Pengaktifan sistem komplemen oleh mikroba atau antibodi akan membentuk produk pecahan multipel, yang berperan pada kemotaksis leukosit, opsonisasi dan fagositosis mikroba dan partikel lain, dan kematian sel. Protein koagulasi: Faktor XII yang teraktifkan akan memicu pembekuan, kinin, dan kaskade komplemen serta mengaktifkan sistem fibrinolitik. Kinin: Dihasilkan dari pemecahan proteolitik dari prekursor, kelompok ini akan memulai reaksi vaskular dan timbulnya nyeri.



Mekanisme Anti-inflamasi Reaksi inflamasi akan berkurang karena berbagai mediator berperan hanya sebentar dan dirusak oleh enzim degradasi. Dijumpai pula berbagai mekanisme yang melawan mediator radang dan berfungsi untuk membatasi atau mengakhiri respons radang, seperti lipoksin, dan protein regulasi komplemen, telah dibahas terdahulu. Makrofag yang teraktifkan dan sel lain yang mensekresikan sitokin, IL-10, dengan fungsi utama menekan respons makrofag yang teraktifkan, sehingga terjadi lingkaran balik yang negatif. Pada penyakit herediter yang langka di mana reseptor IL-10 mengalami mutasi, pasien akan menderita kolitis parah sejak kecil. Sitokin anti-inflamasi lain termasuk TGF-β, yang juga merupakan mediator untuk fibrosis pada pemulihan jaringan setelah radang. Sel juga mengekspresi sejumlah protein intra-



Radang Kronik sel, misalnya fosfatase tirosin, yang menghambat sinyal pro radang yang dipicu oleh reseptor yang mengenali mikroba dan sitokin.



RADANG KRONIK Radang kronik ialah radang yang berlangsung lama (minggu hingga tahun) di mana radang berkelanjutan, kerusakan jaringan, dan proses pemulihan, sering melalui fibrosis, terjadi bersamaan. Berbeda dengan radang akut, yang ditandai dengan perubahan vaskular, edema, dan infiltrat neutrofil yang predominan, radang kronik ditandai dengan kelompok reaksi yang berbeda (Gambar 2-20; juga Tabel 2-1): • Infiltrasi sel mononukleus, termasuk makrofag, limfosit, dan sel plasma • Perusakan jaringan, terutama diinduksi oleh produk sel radang • Pemulihan, melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (angiogenesis) dan fibrosis Radang akut dapat berkembang menjadi kronik apabila radang akut tidak dapat ditanggulangi, karena agen merugikan menetap atau karena interferensi pada proses normal pemulihan jaringan. Contoh,



* A



53



ulkus peptikum duodenum pada awalnya menunjukkan radang akut diikuti proses resolusi. Tetapi jejas epitel duodenu yang berulang-ulang akan menginterupsiproses ini, mengakibatkan terjadi lesi campuran kedua jenis radang akut dan kronik (Bab 14). Di samping itu dijumpai beberapa jenis jejas (misal reaksi imunologi, beberapa infeksi virus) memberikan respons radang kronik sejak awal. Radang kronik dapat timbul dari keadaan berikut: • Infeksi persisten mikroba yang sulit dibasmi. Termasuk Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum (organisme penyebab sifilis) dan beberapa virus dan jamur, semuanya cenderung mengakibatkan infeksi persisten dan mengundang respons imun yang dimediasi oleh limfosit T dan disebut delayed type hypersensitivity (Bab 4). • Immune-mediated inflammatory diseases (penyakit hipersensitif) Penyakit yang disebabkan pengaktifan berlebihan dan tidak tepat dari sistem imun dan menjadi masalah kesehatan penting yang sekarang meningkat (Bab 4). Pada beberapa kondisi, reaksi imun akan timbul menyerang jaringan tubuh sendiri, menimbulkan penyakit autoimun. Pada penyakit tersebut, autoantigen akan menimbulkan reaksi imun akibat tubuh sendiri dan menimbulkan kerusakan jaringan dan radang persisten. Autoimun mempunyai peran penting pada beberapa penyakit kronik yang sering dijumpai dan mengakibatkan debilitas, misalnya artritis reumatoid, penyakti radang usus, dan psoriasis. Respons imun terhadap substansi lingkungan merupakan penyebab penyakit alergi, misalnya asma bronkial. Penyakit yang dipicu oleh reaksi imun akan menunjukkan pola morfologi berupa campuran radang akut dan kronik karena ditandai dengan timbulnya radang berulang. Karena pada umumnya antigen penyebab tidak dapat dihilangkan, kelainan cenderung bersifat kronik dan sulit dihilangkan. • Paparan berkepanjangan terhadap agen toksik. Contoh adalah eksogen yang tidak dapat didegradasi misalnya partikel silika yang diinhalasi, akan mengakibatkan respons radang kronik di paru (silikosis, Bab 12), dan agen endogen seperti kristal kolesterol, yang dapat menyebabkan aterosklerosis (Bab 9). • Bentuk ringan radang kronik penting pada patogenesis berbagai penyakit yang tadinya tidak dikira termasuk kelainan radang. Penyakit itu termasuk kelainan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer, aterosklerosis, sindrom metabolit dan diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker di mana reaksi radang akan memicu pertumbuhan tumor. Sebagai telah disebut sebelumnya, sejumlah kondisi radang dipicu pengenalanstimulus oleh inflammasome. Peran radang pada keadaan tersebut di atas akan dibahas pada Bab terkait.



Sel dan Mediator Radang Kronik



B Gambar 2-20 A, Radang menahun di paru, menunjukkan gambar histologis karakteristik: kumpulan sel radang kronik (tanda bintang); kerusakan parenkim, di mana alveoli normal diganti oleh rongga dilapisi epitel kubik (kepala panah); dan penggantian oleh jaringan ikat, menimbulkan fibrosis (panah). B, Sebagai kontras, pada radang akut paru (bronkopneumonia akut), neutrofil mengisi rongga alveoli dan pembuluh darah yang kongestif.



Kombinasi radang berkepanjangan dan berulang, destruksi jaringan dan fibrosis yang merupakan tanda radang kronik meliputi interaksi yang kompleks antara berbagai populasi sel dan mediator yang disekresikannya. Untuk memahami patogenesis reaksi radang kronik dibutuhkan pemahaman sel tersebut dan respons biologis dan fungsinya.



54



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



  Makrofag, sel yang dominan pada radang kronik, merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit darah yang beredar dan kemudian keluar dari aliran darah. Makrofag berada tersebar di jaringan ikat dan juga dijumpai pada organ seperti hati (disebut sel Kupffer), limpa dan kelenjar limfe (disebut histiosit sinus), sistem saraf pusat (sel mikroglia), dan paru (makrofag alveoli). Secara bersama sel ini membentuk sistem fagosit mononukleus, juga dikenal dengan nama terdahulu sistem retikuloendotel. Pada seluruh jaringan, makrofag berfungsi sebagai alat penyaring untuk benda tertentu, mikroba, dan sel yang menua, juga sel efektor yang mengeliminasi mikroba melalui respons seluler atau humoral (Bab 4). Monosit berasal dari prekursor di sumsum tulang dan bersirkulasi di darah hanya sehari. Di bawah pengaruh molekul adhesi dan kemokin, akan terjadi migrasi ke tempat jejas dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah mulainya radang akut, sebagai telah dibicarakan terdahulu. Apabila monosit mencapai jaringan ekstravaskular, akan mengalami transformasi menjadi makrofag, yang lebih besar dan mempunyai masa hidup lebih panjang serta mempunyai kapasitas lebih tinggi untuk fagositosis dibanding monosit darah. Makrofag jaringan diaktifkan oleh berbagai stimulus untuk melakukan sekelompok fungsi. Dua jalur utama aktivasi makrofag, klasik dan alternatif, telah dibicarakan (Gambar 2-21): • Pengaktifan makrofag klasik diinduksi oleh produk mikroba seperti endotoksin, sinyal yang berasal dari sel, yang penting sitokin IFN-γ dan substansi asing termasuk kristal dan benda tertentu. Makrofag teraktifkan secara klasik akan menghasilkan enzim lisosom, NO dan ROS, semuanya akan meningkatkan kemampuan untuk meritatikan organisme yang telah dicerna dan mensekresi sitokin yang menstimulasi radang. Makrofag ini penting dalam pertahanan tubuh melawan mikroba yang telah dicerna dan pada berbagai reaksi radang kronik.



Makrofag yang diaktifkan klasik (M1)



• Pengaktifan makrofag alternatif; terjadi karena induksi sitokin selain IFN-γ, misalnya IL-4 dan IL-13, yang dihasilkan oleh limfosit T dan sel lain termasuk sel mast dan eosinofil. Makrofag yang teraktifkan secara alternatif tidak bersifat mikrobisidal aktif; sebaliknya peran utama ialah pemulihan jaringan. Makrofag tersebut mensekresi faktor pertumbuhan yang mendorong angiogenesis, fibroblas aktif dan menstimulasi sintesa kolagen. Menghadapi respons stimulus yang merugikan makrofag pada awalnya akan diaktifkan melalui jalur klasik, untuk menghancurkan agen yang merusak dan akan diikuti pengaktifan alternatif, yang akan mengawali pemulihan jaringan. Namun sekuen ini tidak terdokumentasi dengan baik pada reaksi radang. Makrofag mempunyai peran kritis pada pertahanan tubuh dan respons radang. • Makrofag seperti fagosit lainnya, neutrofil, akan mencerna dan mengeliminasi mikroba dan jaringan mati. Karena makrofag merespons terhadap sinyal yang mengaktifkan dari limfosit T, makrofag merupakan fagosit terpenting di bagian respons imun adaptif asal sel (Bab 4). • Makrofag akan menginisiasi proses pemulihan jaringan dan terlibat dalam pembentukan jaringan parut dan fibrosis. • Makrofag, mensekresi mediator radang, seperti sitokin (TNF, IL-1, kemokin, dan lainnya) dan eikosanoid. Sel-sel ini merupakan unsur utama untuk memulai dan melakukan semua reaksi radang. • Makrofag akan menunjukkan antigen kepada limfosit T dan merespons sinyal dari sel T, sehingga terbentuk lingkaran umpan balik yang penting untuk pertahanan terhadap berbagai mikroba oleh respons imun yang dimediasi oleh asal sel. Interaksi dua arah yang sama merupakan kegiatan penting pada perkembangan penyakit radang kronik. Peran sitokin pada interaksi ini akan dibahas kemudian.



Microba, IFN-γ



Makrofag yang diaktifkan alternatif (M2)



IL-13, IL-4 ROS, NO, Enzim Lisonom Kerja mikrobisidal: fagositosis dan mematikan bakteri dan jamur



IL-1, IL-12, IL-23, Kemokin



Faktor Pertumbuhan TGF-β



Radang 1



Pemulihan jaringan, fibrosis



IL-10, TGF-β



Efek anti inflamasi



Gambar 2-21 Jalur pengaktifan makrofag. Stimulus yang berbeda-beda akan mengaktifkan monosit/makrofag untuk membentuk populasi fungsional tertentu. Pengaktifan klasik makrofag diinduksi oleh produk mikrobakteri dan sitokin, terutama IFN-γ, dan bersifat mikrobakterisidal dan terlibat pada radang yang merugikan. Pengaktifan makrofag alternatif diinduksi oleh IL-4 dan IL-1 3, diproduksi oleh sel TH2 (helper subset sel T) dan leukosit lain, dan penting untuk pemulihan jaringan dan fibrosis interferon-γ; IL-4, IL-13, interleukin-4, -13



Radang Kronik Setelah stimulus awal dieliminasi dan reaksi radang berkurang, makrofag akan mati atau terbawa aliran limfatik. Namun ditempat radang kronik, akumulasi makrofag tetap terjadi, karena pengumpulan dari darah tetap berlangsung dan terjadi juga proliferasi lokal. IFN-γ juga dapat menginduksi makrofag untuk bergabung menjadi sel raksasa multi-inti yang besar.



  Limfosit akan dimobilisasi pada stimulus imun spesifik (misal infeksi) dan juga pada stimulus bukan imun (misal nekrosis iskemi atau trauma), dan merupakan pemicu utama pada penyakit autoimun dan penyakit radang kronik lain. Aktivasi limfosit T dan B merupakan bagian dari respons imun adaptif pada infeksi dan penyakit imunologi (Bab 4). Kedua jenis limfosit akan bermigrasi menuju tempat radang dengan menggunakan pasangan molekul adhesi yang sama dan kemokin yang diperoleh dari leukosit lain. Dalam jaringan limfosit B dapat berubah menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi, dan CD4+ limfosit T diaktifkan untuk mensekresi sitokin. Akibat sekresi sitokin, CD4+ limfosit T menimbulkan radang dan mempengaruhi timbulnya reaksi radang. Ada tiga subset dari CD4+ helper sel T yang mensekresi berbagai sitokin dan mengakibatkan berbagai jenis radang: • Sel TH1 akan menghasilkan sitokin IFN-γ, yang mengaktifkan makrofag melalui jalur klasik. • Sel TH2 mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-13, yang akan mengumpulkan dan mengaktifkan eosinofil yang berperan pada jalur alternatif untuk pengaktifan makrofag. • Sel TH17 mensekresi IL-17 dan sitokin lain yang menginduksi sekresi kemokin yang berperan untuk pengumpulan neutrofil dan monosit ke dalam reaksi radang. Kedua sel TH1 dan TH17 terlibat dalam pertahanan melawan berbagai jenis bakteri dan virus dan penyakit autoimun. Sel TH2 penting untuk pertahanan melawan parasit cacing dan pada radang alergi. Subsets sel T ini dan fungsi masing-masing akan dibahas di Bab 4.



Limfosit T teraktifkan (TH1, TH17)



Limfosit dan makrofag akan berinteraksi dua arah, dan interaksi ini berperan penting untuk timbulnya radang kronik (Gambar 2-22). Makrofag akan menyajikan antigen kepada sel T, mengekspresi molekul membran (disebut kostimulator) dan menghasilkan sitokin (IL-12 dan lain nya) yang menstimulasi respons sel T (Bab 4). Limfosit T yang teraktifkan kemudian akan menghasilkan sitokin yang dibicarakan sebelumnya, yang mengumpulkan dan mengaktivasi makrofag dan akan meningkatkan timbulnya antigen dan sekresi sitokin. Hasilnya ialah lingkaran reaksi sel yang menyebabkan dan mempertahankan radang kronik. Pada beberapa reaksi radang yang keras dan berkepanjangan, akumulasi limfosit, sel penyaji anti gen, dan sel plasma akan memberikan gambaran morfologik pada organ limfoid, mirip kelenjar limfe dan dapat mengandungi sentrum germinativum. Gambaran organogenesis limfoid ini dijumpai pada sinovia pasien dengan penyakit artritis reumatoid yang berlanjut dan pada penderita tiroid dengan tiroiditis autoimun.



  Eosinofil merupakan sel khas yang dijumpai disekitar radang akibat infeksi parasit dan merupakan bagian reaksi imun dimediasi oleh IgE, khusus dikaitkan dengan alergi. Pengumpulan sel dipicu oleh molekul adhesi yang sama dengan yang dipergunakan oleh neutrofil dan kemokin spesifik (misal eotaksin) yang berasal dari leukosit dan sel epitel. Granula eosinofil mengandungi protein dasar utama yaitu, protein bersifat kateonik dan bersifat toksik terhadap parasit tetapi juga menyebabkan nekrosis sel epitel. Sel Mast merupakan sel sentinel yang didistribusi secara luas di jaringan ikat seluruh tubuh, dan dapat berpartisipasi pada kedua respons radang akut dan kronik. Pada penderita atopik (sensitif terhadap reaksi alergi) sel mast adalah tentara mengandungi IgE sebagai antibodi spesifik untuk antigen lingkungan. Apabila berhadapan dengan antigen ini, sel mast yang diliputi IgE akan dipicu mengeluarkan histamin dan metabolit AA yang akan memulai perubahan vaskular suatu radang akut. Sel mast sebagai tentara yang dilengkapi IgE merupakan pemeran utama pada reaksi alergi termasuk



Sitokin (misal IL-12, IL-6, IL-23)



Limsofit T



Makrofag teraktifkan



Presents antigen to T cells



IL-17, TNF



TNF, IL-1



IFN-γ



Pengumpulan leukosit, radang



Mediator radang lain



55



Pengaktifan makrofag klasik



Mediator radang lain



Pengumpulan leukosit, radang



Mikrofag Gambar 2-22 Interaksi makrofag—limfosit pada radang kronik. Limfosit yang teraktifkan dan makrofag akan saling menstimulasi, dan kedua sel tersebut melepaskan mediator radang yang mempengaruhi sel lain. IFN-γ, interferon-γ; IL-1, interleukin-I;TNF, faktor nekrosis tumor.



56



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



syok anafilaktik (bab 4). Sel mast akan menghasilkan sitokin seperti TNF dan kemokin dan berperan penting untuk melawan infeksi. Kesimpulan akhir yang penting: walaupun keberadaan neutrofil merupakan tanda utama radang akut, banyak jenis radang kronik masih mengandungi infiltrat neutrofil, sebagai akibat adanya mikroba persisten atau sel nekrotik atau mediator yang dihasilkan oleh makrofag. Lesi radang tersebut kadang-kadang disebut "radang akut pada radang kronik" contoh inflamasi pada pada tulang (osteomielitis).



Radang Granulomatosa Radang granulomatosa merupakan radang kronik dengan gambaran tertentu ditandai oleh agregrasi makrofag yang teraktifkan dan dijumpai limfosit di antaranya. Granuloma merupakan gambaran khas pada beberapa keadaan patologis tertentu, sehingga pengenalan gambaran granuloma penting hanya akibat beberapa kondisi tertentu (kadang-kadang membahayakan jiwa) yang menyebabkannya (Tabel 2-8). Granuloma dapat terbentuk dari tiga keadaan : • Adanya respons tetap sel T terhadap beberapa mikroba (misalnya Mycobacterium tuberculosis, T. pallidum, atau jamur), di mana sitokin yang berasal dari sel T berperan mengaktifkan makrofag terus menerus. Tuberkulosa merupakan prototipe penyakit granuloma yang disebabkan oleh infeksi dan selalu harus disingkirkan sebagai penyebab apabila penyebabnya sudah ditemukan. • Granuloma juga dapat terjadi pada radang akibat gangguan kekebalan, misalnya penyakit Crohn, yang merupakan suatu jenis penyakit radang usus dan merupakan penyebab penting radang granulomatosa di Amerika Serikat. • Juga dijumpai pada penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui, yang disebut sebagai sarkoidosis, yang terjadi karena respons terhadap benda asing inert (misal sutura atau serpihan kayu), dan akan membentuk granuloma benda asing. Pembentukan granuloma akan "membentuk benteng" mengelilingi agen perusak sehingga menjadi mekanisme pertahanan yang berguna. Namun, pembentukan granuloma tidak selalu berhasil me-



Gambar 2-23 Granuloma yang khas akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis menunjukkan nekrosis perkijuan daerah sentral, makrofag epiteloid yang teraktifkan, sel datia, dan akumulasi perifer limfosit.



musnahkan agen penyebab, yang biasanya resisten terhadap kehancuran atau kematian, dan radang granulomatosa yang disertai fibrosis, dapat menjadi penyebab utama disfungsi organ, seperti yang terjadi pada tuberkulosa.



MORFOLOGI Pada sediaan H&E normal (Gambar 2-23), beberapa dari makrofag yang diaktifkan mempunyai sitoplasma merah muda, granuler dengan batas sel tidak jelas, dan disebut sel epiteloid karena mirip sel epitel. Secara khas kelompok makrofag epiteloid akan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma yang lebih tua mempunyai lingkaran batas fibroblas dan jaringan ikat tipis. Sering, dijumpai sel raksasa berinti banyak berdiameter 40 hingga 50 μm di granuloma. Sel tersebut mempunyai sitoplasma lebar dan banyak



Tabel 2-8 Contoh Penyakit dengan Radang Granulomatosa



Penyakit



Penyebab



Reaksi Jaringan



Tuberkulosa



Mycobacterium tuberculosis



Granuloma kaseosa (tuberkel): fokus dari makrofag yang teraktifkan (sel epiteloid), dibatasi fibroblas, limfosit, histiosit, kadang-kadang sel datia Langhans; nekrosis sentral dengan sisa-sisa granula amorfik; basil tahan asam



Leprosy



Mycobacterium leproe



Siphilis



Treponema pallidum



Basil tahan asam di makrofag; granuloma non kaseosa Gumma: lesi mikrokopik hingga makroskopik dapat dilihat dengan mata, dipagari dinding histiosit; infiltrat sel plasma; sel daerah sentral nekrotik tanpa hilangnya tanda batas sel



Cat-scratch disease



Baksil Gram-negatif



Sarkoidosis



Etiologi tidak diketahui



Penyakit Crohn



Reaksi imun terhadap bakteri intestinal,antigen diri



Granuloma bulat atau stelata mengandungi sisa granula dan neutrofil; sel datia dapat dijumpai Granuloma non kaseosa dengan makrofag yang teraktifkan dalam jumlah banyak. Kadang-kadang granuloma non kaseosa di dinding usus, dengan infiltrat sel radang menahun yang padat



Efek Sistematik Radang inti, tuberkulosa) suatu kombinasi dari hipoksia dan jejas radikal bebas akan menyebabkan zona sentral nekrosis. Pada pemeriksaan makroskopik, dijumpai gambaran granuler mirip keju hingga disebut nekrosis perkijuan, (Bab 1 dan 13). Pada pemeriksaan mikroskopik, materi nekrotik tampak sebagai benda amorf eosinofilik, tanpa bentuk, tanpa struktur, sisa bekas granuler, dan detail sel seluruhnya menghilang. Granuloma yang dihubungkan dengan penyakit Crohn, sarkoidosis, dan reaksi benda asing tidak membentuk nekrosis ditengah sehingga disebut "tanpa perkijuan". Granuloma yang menyembuh biasanya disertai fibrosis yang bisa sangat tebal.



RINGKASAN Gambaran Radang Kronik • •



• • •



Respons tubuh yang berkepanjangan terhadap stimulus yang persisten. Disebabkan oleh mikroba yang tidak dapat dieliminasi, respons imun terhadap diri sendiri dan antigen lingkungan, dan beberapa substansi toksik (misal silika); mendasari berbagai penyakit penting. Ditandai dengan radang yang menetap, jejas pada jaringan, upaya pemulihan dengan pembentukan jaringan parut, dan respons imun. Infiltrat seluler terdiri atas makrofag yang diaktifkan, limfosit, dan sel plasma, sering disertai fibrosis luas. Dipicu oleh sitokin yang dibentuk oleh makrofag dan limfosit (khususnya limfosit T) dengan kecenderungan menjadi respons radang yang meningkat dan berkepanjangan karena terjadinya interaksi dua arah antar sel tersebut.



EFEK SISTEMIK RADANG Tiap orang yang pernah menderita penyakit virus (misal influensa) mengalami efek radang sistemik, disebut reaksi fase akut atau sindrom respons sistemik radang. Sitokin TNF, IL-1,dan IL-6 merupakan mediator terpenting pada reaksi fase akut. Sitokin ini diproduksi oleh leukosit (dan sel lain) merespons infeksi atau reaksi imun dan dikeluarkan secara sistemik. TNF dan IL-1 mempunyai aksi biologis yang mirip, walaupun agak berbeda sedikit (Gambar 2-17). IL-6 menstimulasi sintesa sejumlah protein plasma pada hati, akan dibahas kemudian. Respons fase akut terdiri dari berbagai kelainan klinis dan patologis. • Demam, ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, merupakan manifestasi paling menonjol pada respons fase akut. Demam timbul sebagai respons terhadap substansi pirogen yang terjadi melalui stimulasi sintesa prostaglandin di sel vaskular dan perivaskular di hipotalamus. Produk bakteri, misalnya liposakarida (LPS) (disebut pirogen eksogen), menstimulasi leukosit



57



untuk menghasilkan sitokin seperti IL-1 dan TNF (disebut pirogen endogen), yang akan meningkatkan kadar siklooksigenase yang mengubah AA menjadi prostaglandin. Di hipotalamus prostaglandin, terutama PGE2, akan menstimulasi produksi neurotransmitor, yang berfungsi mengatur ulang titik suhu pada tingkat lebih tinggi. NSAID, termasuk aspirin, menurunkan demam dengan mencegah siklooksigenase dan dengan demikian menghentikan sintesa prostaglandin. Walaupun demam telah dikenal sebagai tanda infeksi beberapa ratus tahun yang lalu, tidak jelas tujuan timbulnya reaksi ini. Peningkatan suhu tubuh pada amfibi dapat menghalau infeksi mikrobakteri, dan diperkirakan demam juga memberi pengaruh yang sama pada mamalia, walaupun mekanisme tidak diketahui. • Peningkatan kadar protein fase akut plasma. Protein plasma terutama disintesa di hati, dan pada radang akut, konsentrasi akan meningkat sampai beberapa ratus kali lipat. Tiga jenis protein terpenting kelompok ini ialah protein C-reaktif (CRP), fibrinogen, dan protein amiloida serum (SAA). Sintesa molekul ini oleh sel hati akan menstimulasi sitokin, terutama IL-6. Banyak protein fase akut, misalnya CRP dan SAA, akan melekat pada dinding sel mikroba, dan berfungsi sebagai opsonin dan komplemen tetap, sehingga meningkatkan eliminasi mikroba. Fibrinogen akan mengikat butir darah merah sehingga terbentuk tumpukan (rouleaux) yang akan mengendap lebih cepat ke dasar dibanding butir darah merah yang terlepas lepas. Hal ini menjadi dasar pengukuran laju endap darah (ESR) sebagai tes sederhana untuk mengetahui respons sistemik inflamasi, yang disebabkan oleh berbagai jenis stimulus, termasuk LPS. Pemeriksaan serial ESR dan CRP dipakai untuk menilai respons pengobatan pada penderita dengan gangguan inflamasi misalnya artritis rematoid. Peningkatan kadar serum CRP dipakai sebagai petanda untuk meramalkan peningkatan risiko infark miokardium atau stroke pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik. Diperkirakan inflamasi berperan pada timbulnya aterosklerosis (Bab 9), dan peningkatan CRP merupakan tanda inflamasi. • Leukositosis merupakan reaksi radang yang umum dijumpai. Khususnya apabila disebabkan oleh infeksi bakteri (lihat Tabel 11-6, Bab 11). Jumlah leukosit biasanya meningkat menjadi 15.000 hingga 20.000 sel/mL, tetapi pada keadaan tertentu dapat mencapai 40.000 hingga 100.000 sel/mL. Peningkatan ekstrem ini disebut reaksi leukemoid karena mirip seperti yang terlihat pada leukemia. Leukositosis biasanya terjadi karena pengeluaran sel yang dipercepat (di bawah pengaruh sitokin, termasuk TNF dan IL-1) dari tempat cadangan pasca mitosis sumsum tulang. Kedua jenis neutrofil matur dan imatur dapat dijumpai di darah; dijumpainya sel imatur yang beredar disebut sebagai "pergeseran ke kiri". Infeksi yang berkelanjutan juga merangsang faktor stimulasi koloni (CSF), yang akan meningkatkan output leukosit, untuk mengkompensasi pemakaian sel tersebut pada reaksi radang. Infeksi bakteri umumnya akan menimbulkan peningkatan jumlah neutrofil darah, disebut neutrofilia. Infeksi virus, misalnya mononuldeosis infeksiosa, parotitis, dan German measles, dikaitkan dengan peningkatan limfosit (limfositosis). Asma bronkial, hay fever, dan infestasi parasit semua melibatkan naiknya jumlah eosinofil absolut, menyebabkan eosinofilia. Beberapa infeksi (demam tifus dan infeksi yang disebabkan oleh beberapa virus, riketsia, dan protozoa tertentu) dikaitkan dengan situasi berlawanan yaitu menurunnya jumlah sel darah putih yang beredar



58



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



(lekopenia), agaknya karena sekuestrasi limfosit di kelenjar getah bening akibat induksi sitokin. • Manifestasi lain dari respons fase akut termasuk meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, keringat menurun, terutama karena akibat aliran darah semula dari daerah permukaan berubah mengalir ke daerah vaskular yang letaknya lebih dalam, untuk mengurangi panas yang hilang keluar dari kulit: dan rigor (gemetar), menggigil (persepsi rasa dingin karena hipotalamus mengubah suhu tubuh), anoreksia, somnolen, dan malaise, terjadi sekunder karena kerja sitokin pada sel otak.



NORMAL



Jejas superfisial ringan



Jejas berat



• Pada infeksi bakteri yang berat (sepsis), terdapatnya jumlah besar produk bakteri di darah dan jaringan ekstravaskular menstimulasi produksi beberapa sitokin, yaitu TNF, juga IL-12 danlL-1. TNF menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID), gangguan metabolit termasuk asidosis, dan syok hipotensif. Trias klinis ini disebut syok septik, dan akan dibahas lanjut di Bab 3. REGENERASI



RINGKASAN Efek Sistemik Radang • • • •



Demam: sitokin (TNF, IL-1) menstimulasi produksi prostaglandin di hipotalamus. Produksi protein fase aktif: protein C-reaktif, lainnya; sintesa yang distimulasi oleh sitokin (IL-6, dan lainnya) bekerja pada sel hati. Leukositosis: sitokin (CSF) menstimulasi produksi leukosit dari prekursor di sumsum tulang. Pada beberapa infeksi berat, syok septik: turunnya tekanan darah, koagulasi intravaskular diseminata, gangguan metabolisme; diinduksi oleh kadar TNF yang tinggi.



Sebelum reaksi radang berakhir, tubuh telah memulai proses perbaikan kerusakan dan mengembalikan struktur dan fungsi menjadi normal. Proses ini disebut pemulihan, dan melibatkan proliferasi dan diferensiasi beberapa jenis sel dan pengendapan jaringan ikat. Defek pada pemulihan jaringan mengakibatkan akibat gawat. Sebaliknya pengendapan jaringan ikat berlebihan (fibrosis) juga mengakibatkan keadaan abnormal. Sehingga, mekanisme dan regulasi proses penyembuhan penting dari segi fisiologis dan patologis.



TINJAUAN PEMULIHAN JARINGAN Hal kritis pada ketahanan hidup suatu organisme ialah kemampuannya untuk dapat memperbaiki kerusakan akibat pengaruh toksik dan radang. Respons radang terhadap mikroba dan jaringan yang rusak tidak hanya untuk mengeliminasi bahaya ini, tetapi juga memulai proses pemulihan. Pemulihan, disebut juga penyembuhan, merupakan upaya restorasi arsitektur jaringan dan fungsi setelah suatu jejas. Terjadi melalui dua jenis reaksi: regenerasi jaringan yang cedera dan pembentukan jaringan parut melalui pengendapan jaringan ikat (Gambar 2-24).



PEMBENTIJKAN JARINGAN PARUT



Gambar 2-24 Mekanisme pemulihan jaringan: regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Setelah suatu jejas ringan, yang merusak epitel tetapi tidak mengenai jaringan di bawahnya, resolusi terjadi melalui regenerasi, tetapi apabila jejas berat dan mengakibatkan kerusakan jaringan ikat, pemulihan terjadi dengan pembentukan jaringan parut



• Regenerasi. Beberapa jaringan mampu mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi normal; proses ini disebut regenerasi. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu (tidak kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati. • Pembentukan jaringan parut. Apabila jaringan cedera tidak mampu melakukan regenerasi, atau jaringan penunjang mengalami kerusakan berat, pemulihan jaringan terjadi dengan pengendapan jaringan ikat (fibrotik), suatu proses yang menghasilkan jaringan parut. Walaupun jaringan parut tidak dapat melakukan fungsi sel parenkim yang telah hilang, tetapi dapat memberikan stabilitas struktur semula. Istilah fibrosis sering dipakai untuk menjelaskan deposisi ekstensif di paru, hati, ginjal, dan organ lain sebagai akibat radang kronik, atau di miokardium setelah nekrosis ekstensif (infark). Apabila fibrosis terjadi pada suatu rongga berisi cairan eksudat, hal tersebut disebut organisasi (seperti organisasi pada pneumonia di paru). Setelah berbagai jenis cedera, regenerasi dan pembentukan jaringan parut berperan pada pemulihan jaringan. Kedua proses



Regenerasi Sel dan Jaringan melibatkan proliferasi beberapa jenis sel dan interaksi erat antar sel dan ECM. Bagian berikutnya membahas prinsip proliferasi sel, peran faktor pertumbuhan dalam berbagai sel pada pemulihan jaringan, peran sel punca pada homeostasis jaringan. Akan diikuti dengan kesimpulan berbagai kemampuan ECM dan bagaimana kaitannya dengan pemulihan. Hal ini merupakan dasar penting pada regenerasi dan penyembuhan dengan pembentukan jaingan parut, termasuk deskripsi penyembuhan luka di kulit dan fibrosis (jaringan parut) di organ parenkim sebagai contoh proses pemulihan jaringan.



59



Proliferasi



REGENERASI SEL DAN JARINGAN



Diferensiasi



Regenerasi sel dan jaringan cedera melibatkan proliferasi sel, yang diatur oleh faktor pertumbuhan dan sangat bergantung pada integritas matriks ekstrasel. Sebelum memberikan contoh pemulihan jaringan melalui regenerasi, akan dibahas prinsip umum proliferasi sel dan fungsi ECM dalam proses ini.



Sel punca Populasi sel normal pada keadaan seimbang



Pengaturan Proliferasi Sel Beberapa sel berproliferasi selama pemulihan jaringan. Termasuk sisa-sisa jaringan cedera (yang berupaya restorasi menjadi struktur normal), sel endotel vaskular (untuk membentuk pembuluh darah baru untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan pada proses pemulihan) dan fibroblas (sumber untuk jaringan ikat yang akan membentuk jaringan parut untuk mengisi defek yang tidak dapat diperbaiki oleh proses regenerasi). Proliferasi sel tersebut dipicu oleh protein yang disebut faktor pertumbuhan. Produksi faktor pertumbuhan polipeptida dan kemampuan sel untuk membelah karena respons faktor tersebut merupakan determinan penting untuk keberhasilan proses pemulihan. Ukuran populasi sel normal ditentukan oleh keseimbangan proliferasi sel, kematian sel akibat apoptosis, dan timbulnya sel baru yang telah berdiferensiasi yang berasal dari sel punca (Gambar 2-25). Proses penting pada proliferasi sel ialah replikasi DNA dan mitosis. Urutan kejadian yang mengatur kedua proses disebut siklus sel, dijelaskan terperinci di Bab 5 dalam kaitannya dengan kanker. Pada saat ini cukup diketahui bahwa sel yang tidak membelah berada pada siklus sel istirahat pada fase G1 atau telah keluar dari siklus sel dan berada di fase G0. Faktor pertumbuhan menstimulasi transisi dari G0 ke fase G1 dan ke dalam sintesa DNA (S), G2, dan fase mitosis (M). Progresi diatur oleh siklin, dengan aktivitas yang diatur oleh kinase yang dependen pada siklin. Segera setelah sel masuk fase S, terjadi replikasi DNA dan dilanjutkan melalui G2 dan mitosis



Kapasitas Proliferasi Jaringan Kemampuan jaringan untuk memulihkan diri sendiri dipengaruhi terutama oleh kapasitas proliferatif intrinsik. Berdasarkan kriteria ini, jaringan tubuh dibagi atas tiga kelompok. • Jaringan labil (selalu membelah). Sel dari kelompok jaringan ini akan terus hilang dan diganti oleh sel punca yang mengalami pematangan dan melalui proliferasi sel matur.



Kematian sel (apoptosis)



Gambar 2-25 Mekanisme mengatur populasi sel. Jumlah sel dapat diubah melalui peningkatan atau penurunan input sel punca, kematian sel oleh apoptosis, atau perubahan kecepatan proliferasi atau diferensiasi (Dimodipkosi dari McCarthy NJ, et al:Apoptosis in the development of the immune system: growth factors, donal selection and bcl-2. Cancer Metastasis Rev I 1:157, I 992)



Termasuk sel labil ialah sel hematopoietik dari sumsum tulang dan semua sel epitel permukaan, misalnya epitel berlapis gepeng kulit, rongga mulut, vagina, dan serviks; epitel kubik duktus organ eksokrin (misal kelenjar liur, pankreas, traktus biliaris); epitel kolumnar saluran cerna, uterus, dan tuba fallopii; dan epitel transisional saluran kemih. Jaringan ini dapat segera beregenerasi selama dijumpai cukup sel punca ditempat cadangan. • Jaringan stabil. Sel kelompok ini bersifat diam dan hanya mempunyai aktivitas replikasi terbatas pada keadaan normal. Tetapi, sel ini mampu berproliferasi merespons jejas atau apabila ada jaringan yang rusak. Sel stabil membentuk jaringan parenkim organ padat, misalnya hati, ginjal, dan pankreas. Termasuk pula sel endotel, fibroblas, dan otot polos; proliferasi sel ini penting pada penyembuhan luka. Jaringan stabil mempunyai kapasitas terbatas untuk regenerasi setelah jejas, kecuali hati. • Jaringan permanen. Sel jaringan ini dianggap telah selesai berdiferensiasi lengkap dan bersifat non-proliferatif setelah kelahiran. Termasuk kelompok ini ialah neuron dan otot jantung. Sehingga jejas pada otak dan jantung bersifat ireversibel dan akan menghasilkan jaringan parut, karena neuron dan miosit jantung tidak dapat beregenerasi. Replikasi sel punca terbatas dan diferensiasi terjadi pada beberapa daerah otak dewasa, dan ada bukti bahwa sel punca jantung dapat berproliferasi setelah nekrosis miokardium. Namun, kapasitas proliferasi jaringan ini



60



B A B2



Radang dan Pemulihan Jaringan



tidak mencukupi untuk regenerasi jaringan akibat jejas. Otot lurik biasanya dikelompokkan pada jaringan permanen, tetapi adanya sel satelit yang melekat pada lapisan endomisium memungkinkan kapasitas regenerasi pada jaringan ini. Pada jaringan permanen pemulihan didominasi dengan pembentukan jaringan parut. Dengan kekecualian untuk jaringan yang terutama dibentuk oleh sel permanen yang tidak dapat membelah (misal otot jantung, saraf) jaringan matur umumnya mengandungi berbagai proporsi dari tiga jenis sel: sel yang selalu membelah, sel diam yang dapat masuk siklus sel kembali, dan sel yang telah kehilangan kemampuan replikasi.



Sel Punca (Sel Stem) Pada jaringan yang mampu membelah, sel matur telah bediferensiasi lengkap dan hidup singkat. Ketika sel matur mati, jaringan akan diganti oleh sel yang berdiferensiasi berasal dari sel punca. Jadi pada jaringan ini terjadi keseimbangan homeostatik antara replikasi, pergantian sel sendiri, diferensiasi sel punca dan kematian sel matur, yang berdiferensiasi lengkap. Hubungan itu jelas tampak pada sel epitel kulit yang terus membelah dan epitel saluran cerna, di mana sel punca terletak dekat lapisan basal, dan sel mengalami diferensiasi ketika bermigrasi ke lapisan atas epitel sebelum sel mati dan dilepaskan dari permukaan. Karakteristik sel punca ialah mempunyai dua kemampuan: kapasitas mengganti diri sendiri dan replikasi asimetrik. Replikasi asimetrik berarti apabila sebuah sel punca membelah, satu sel anak akan mengikuti jalur berbeda dan menjadi sel matur, sedang yang lainnya tetap merupakan sel punca tanpa diferensiasi yang mempertahankan kemampuan kapasitas ganti diri sendiri. Karena adanya kemampuan penggantian diri sendiri maka sel punca dapat mengatur populasi prekursor yang fungsional untuk waktu yang lama. Walaupun bahan rujukan penuh dengan deskripsi sel punca, pada dasarnya dijumpai dua jenis: • Sel punca embrionik (sel ES) merupakan sel punca yang paling tidak berdiferensiasi. Dijumpai pada bagian dalam sel blastosis dan mempunyai kemampuan penggantian sel yang sangat ekstensif. Sehingga dapat bertahan dalam kultur jaringan selama satu tahun tanpa mengalami diferensiasi. Pada lingkungan kultur yang tepat, sel ES dapat diinduksi untuk membentuk sel khusus dari seluruh tiga lapisan sel germinal, termasuk neuron, otot jantung, sel hati, dan sel pulau pankreas. • Sel punca dewasa, disebut juga sel punca jaringan, kurang berdiferensiasi dibanding sel ES dan dijumpai di antara sel yang telah berdiferensiasi dalam organ atau jaringan. Namun, seperti sel ES, mempunyai kapasitas penggantian diri sendiri, walaupun agak terbatas. Sebaliknya, potensi lineasi (kemampuan untuk berobah menjadi sel khusus) terbatas pada sel yang telah mengalami diferensiasi di jaringan atau organ di mana sel tersebut dijumpai. Fungsi normal sel ES ialah untuk membentuk sel seluruh tubuh, namun sel punca dewasa hanya terlibat dalam homeostasis jaringan. Keduanya mempertahankan ukuran jaringan dengan pergantian yang tinggi, misalnya kulit, epitel usus, dan juga sel dengan pergantian



rendah, misal jantung dan pembuluh darah. Walaupun banyak perhatian untuk mengisolasi dan infusi sel punca untuk penggantian sel khusus organ, misalnya jantung (setelah infark miokardium) dan otak (setelah strok), sel punca jaringan jarang dan sulit diisolasi dalam bentuk murni. Tambahan pula, sel punca membutuhkan lingkungan mikro dalam organ disebut ruang khusus sel punca (stem cell niches). Agaknya, ada sinyal dari sel lain yang membuat sel punca akan berdiam dan tidak berdiferensiasi dalam ruang khusus itu. Ruang khusus sel punca dijumpai pada beberapa organ. Di otak, sel punca saraf berada di zona subventrikel dan girus dentata; di kulit, sel punca jaringan dijumpai di tonjolan folikel rambut, dan di kornea, ada di limbus. Mungkin sel punca yang paling banyak dipelajari ialah sel punca hematopoietik pada sumsum tulang. Walaupun jarang, dapat dipurifikasi berdasarkan petanda permukaan sel. Sel punca hematopoietik dapat diisolasi dari sumsum tulang maupun dari darah tepi setelah mobilisasi dengan pemberian sitokin tertentu seperti faktor stimulasi koloni granulosit (G-CSF). Sebagaimana diketahui bahwa sel ini akan membentuk semua jenis sel darah dan terusmenerus menggantikan elemen darah yang dibutuhkan di darah tepi. Untuk keperluan klinis, sel punca sumsum tulang dipergunakan untuk terapi penyakit seperti leukemia, dan limfoma (Bab 11). Di samping sel punca hematopoietik, sumsum tulang mengandungi populasi sel punca jaringan, disebut sel punca mesenkim. Sel ini dapat berubah menjadi berbagai sel mesenkim, misalnya kondroblas, osteoblas, dan mioblas. Sehingga sangat menarik perhatian untuk potensi pengobatannya. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi sel punca telah menciptakan bidang baru yaitu kedokteran regeneratif, yang mempunyai tujuan utama repopulasi organ yang telah rusak dengan menggunakan progeni yang telah berdiferensiasi dari sel ES atau sel punca dewasa. Karena sel ES mempunyai kapasitas penggantian diri yang ekstensif dan dapat membentuk berbagai jenis sel, sehingga dianggap paling ideal untuk membentuk sel tertentu untuk tujuan pengobatan. Namun karena sel ES dibentuk dari blastosis (biasanya dihasilkan dari fertilisasi in vitro), progeni sel tersebut akan mengandungi molekul histokompatibilitas (antigen leukosit manusia [HLA]) (Bab 4) sel telur dan sperma donor. Jadi, diperkirakan akan terjadi penolakan akibat reaksi imun oleh penerima, seperti terjadi pada transplantasi organ yang berasal dari donor dengan keadaan genetik berbeda. Maka, berbagai usaha telah dilakukan untuk menghasilkan sel dengan potensi sel ES dari jaringan pasien. Untuk mencapai tujuan ini, gen yang terekspresi di sel ES dan sel yang telah berdiferensiasi dibandingkan dan sejumlah gen penting untuk kekhususan sifat sel punca pada sel ES telah diidentifikasi. Pengenalan gen tersebut pada sel yang telah berdiferensiasi lengkap, seperti fibroblas atau sel epitel kulit, menghasilkan suatu reprogram inti sel somatik, sehingga sel tersebut mempunyai berbagai kemampuan sel ES. Sel tersebut disebut sel punca pluripoten yang terinduksi (sel iPS) (Gambar 2-26). Karena sel iPS dapat diperoleh dari tiap pasien, progeni yang telah berdiferensaisi dapat berhasil dicangkokkan dan dapat memperbaiki dan mengganti sel yang rusak atau defisien pada pasiencontohnya sel β penghasil insulin pada penderita diabetes. Walaupun sel iPS amat menjanjikan, kegunaan klinis masih harus dibuktikan.



Regenerasi Sel dan Jaringan Sel pasien



Oct3/4, Sox-2, c-Myc, Klf4, Nanog



Sel dalam kultur



61



menghilangkan blok penghambat progresi sel (sehingga memicu replikasi), mencegah apoptosis, meningkatkan sintesa protein sel sebagai persiapan untuk mitosis. Aktivitas utama faktor pertumbuhan adalah menstimulasi fungsi gen pengatur pertumbuhan, yang banyak di antaranya disebut proto-onkogen karena mutasi yang terjadi akan mengakibatkan proliferasi sel tanpa kendali yang karakteristik pada kanker (onkogenesis) (Bab 5). Terdapat banyak faktor pertumbuhan yang dikenal (dan masih bertambah). Pada pembahasan berikut, daripada menyusun daftar besar yang merepotkan, akan disorot hanya molekul tertentu yang berperan pada pemulihan jaringan (Tabel 2-9). Sebagian besar faktor pertumbuhan yang terlibat dalam pemulihan jaringan diproduksi oleh makrofag dan limfosit yang dikumpulkan di tempat jejas atau diaktifkan pada tempat ini, sebagai bagian dari proses radang. Faktor pertumbuhan lain diproduksi oleh sel parenkim atau sel stroma (jaringan ikat) merespons terhadap adanya jejas sel. Akan dimulai diskusi dengan menjelaskan prinsip dasar kerja faktor pertumbuhan. Peran faktor pertumbuhan individual pada proses radang akan dibahas kembali pada akhir bab ini.



Sel punca pluripoten pasien yang diinduksi spesifik Diferensiasi in vitro



Mekanisme Sinyal Reseptor Faktor Pertumbuhan Ektoderm



Mesoderm



Endoderm



Gambar 2-26 Produksi sel punca pluripoten yang telah diinduksi (sel iPS). Gen yang merubah kemampuan sel punca dikenalkan pada sel yang telah mengalami diferensiasi dari pasien, kemudian akan menghasilkan sel punca, yang dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi beberapa linease.



RINGKASAN Proliferasi Sel, Siklus Sel, dan Sel Punca •



Regenerasi jaringan ditentukan oleh proliferasi sel yang tidak kena jejas (residu) dan pergantian dari sel punca.







Proliferasi sel terjadi apabila sel tenang memasuki siklus sel. Siklus sel diatur ketat oleh stimulator dan inhibitor dan terdapat pula titik pengamatan untuk mencegah terjadinya replikasi sel abnormal.







Jaringan dibagi atas labil, stabil dan permanen sesuai dengan kapasitas proliferasi sel.







Jaringan yang selalu membelah (jaringan labil) mengandungi sel matur yang mampu membelah dan sel punca yang akan berdiferensiasi untuk mengganti sel yang hilang.







Sel punca dari embrio (sel ES) merupakan sel yang pluripoten; jaringan dewasa, terutama sumsum tulang, mengandungi sel punca dewasa yang mampu menghasilkan berbagai jenis sel.







Sel punca pluripoten yang diinduksi (sel iPS) berasal dari introduksi gen yang karakteristik untuk sel ES pada sel matur. Sel iPS mempunyai banyak sifat sel punca.



Faktor Pertumbuhan Sebagian besar faktor pertumbuhan adalah protein yang menstimulasi ketahanan hidup dan proliferasi sel tertentu, dan juga bisa mengakibatkan migrasi, diferensiasi, dan respons seluler lain. Faktor ini menginduksi proliferasi sel melalui ikatan dengan reseptor spesifik dan mempengaruhi ekspresi gen yang menghasilkan produk untuk berbagai fungsi: mendorong masuknya sel dalam siklus sel,



Faktor pertumbuhan umumnya berfungsi dengan berikatan pada reseptor spesifik di permukaan sel dan memicu sinyal biokimia dalam sel. Jalur sinyal intrasel utama yang diinduksi oleh faktor petumbuhan mirip dengan reseptor sel lain yang mengenali ligan ekstrasel. Secara umum, sinyal ini merangsang atau menekan ekspresi gen. Sinyal dapat terjadi langsung di sel yang sama, yang menghasilkan faktor tersebut (sinyal autokrin), atau antara sel yang berdekatan (sinyal parakrin), atau mencapai jarak lebih jauh (sinyal endokrin). Reseptor protein umumnya terletak di permukaan sel, tetapi mungkin juga intrasel; dalam hal ini ligan harus bersifat cukup hidrofobik agar dapat memasuki sel (misal vitamin D, atau steroid dan hormon tiroid). Atas dasar jalur sinyal transduksi utama, reseptor membran plasma dibagi menjadi tiga jenis, seperti tertera pada Tabel 2-10. • Reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik. Ikatan ligan dengan bagian ekstrasel reseptor akan menyebabkan dimerisasi dan kemudian fosforilasi dari subunit reseptor. Setelah terjadi fosforilasi, reseptor akan mengikat dan mengaktifkan protein intrasel lain (misal RAS, phosphatidylinositol 3[P13]-kinase, fosfolipase Cy [PLCy]) dan kemudian merangsang sinyal selanjutnya yang akan menyebabkan proliferasi sel, atau menginduksi berbagai program transkripsi. • Reseptor pasangan-protein G. Reseptor ini mengandungi tujuh segmen α-helix-transmembran dan dikenal sebagai reseptor tujuhtransmembran. Setelah terjadi ikatan ligan, reseptor akan berasosiasi dengan protein yang terikat dengan guanosine triphosphate (GTP), protein G intrasel yang mengandungi guanosine diphosphate (GDP). Ikatan dengan protein G ini akan menyebabkan pertukaran GDP dengan GTP, yang mengaktifkan protein. Di antara berbagai jenis jalur sinyal yang diaktifkan oleh reseptor pasanganprotein G termasuk AMP siklik (cAMP), dan terjadi inositol 1,4,5 triphosphate (IP3), yang mengeluarkan kalsium dari retikulum endoplasmik. Reseptor kelompok ini merupakan kelompok terbesar dari reseptor membran plasma (lebih dari 1500 jenis telah diidentifikasi).



62



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Tabel 2-9 Faktor Pertumbuhan yang Berperan pada Regenerasi dan Pemulihan Jaringan



Faktor Pertumbuhan



Sumber



Fungsi



Faktor pertumbuhan epidermal (EGF)



Makrofag yang teraktifkan, kelenjar liur, keraktinosit, dan berbagai sel lain



Mitogenik untuk keratinosit dan fibroblas; menstimulasi migrasi keratinosit; menstimulasi pembentukan jaringan granulasi



Faktor pertumbuhan transformasi-α (TGF-α)



Makrofag yang diteraktifan, keraktinosit, berbagai sel lain Fubroblas, sel stroma di hati, sel endotel



Menstimulasi proliferasi hepatosit dan berbagai sel epitel lain



Faktor pertumbuhan hepatosit (HGF) (scaffer factor)



Meningkatkan proliferasi hepatosit dan berbagai sel epitel lain; meningkatkan, motilitas sel Menstimulasi proliferasi sel endotel; meningkatkan permeabilitas vaskular



Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF)



Sel mesenkim



Faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF)



Trombosit, makrofag, sel endotel, sel otot polos, keratinosit



Kemotaksis untuk neutrofil, makrofag, fibroblas, dan otot polos; mengaktifkan proliferasi fibroblas, endotel, dan sel lain, menstimulasi sintesa protein ECM



Faktor pertumbuhan fibrolas (FGFs), termasuk (FGF-I) asam dan (FGF-2) basa



Makrofag , sel mast, sel endotel, berbagai sel lain



Kemotaksis dan mitogenik untuk fibroblas; menstimulasi angiogenesis dan sintesa protein ECM



Faktor pertumbuhan transformasi-β (TGF-β)



Trombosit, limsofit T, makrofag, sel endotel, keratinosit, sel otot polos, fibroblas



Kemotaksis untuk leukosit dan fibroblas; menstimulasi sintesa protein ECM, menekan radang akut.



Faktor pertumbuhan keratinosit (KGF) (misal, FGF-7)



Fibrolas



Menstimulasi migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit



ECM, extracellular membrane.



• Reseptor tanpa aktivitas enzim intrinsik. Biasanya merupakan molekul transmembran monomer dengan domain ikatan ligan ekstrasel; interaksi ligan akan menginduksi perubahan intrasel yang sesuai, yang memungkinkan terjadinya asosiasi dengan protein kinases intrasel yang disebut Janus kinases (JAK). Fosforilasi JAK mengaktifkan faktor transkripsi sitoplasmik disebut STAT (transdusi sinyal dan aktivator transkripsi), akan bergerak ke inti dan akan menginduksi transkripsi pada gen target.



RINGKASAN Faktor Pertumbuhan, Reseptor, dan Transduksi Sinyal • Faktor pertumbuhan polipeptida bekerja secara autokrin, parakrin, atau endokrin.



• Faktor pertumbuhan diproduksi merespons stimulus eksternal dan bekerja melalui ikatan dengan reseptor sel. Berbagai kelompok dari reseptor faktor pertumbuhan meliputi reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik, reseptor pasangan-protein G dan reseptor tanpa aktivitas kinase-intrinsik. • Faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF) dan faktor pertumbuhan hepatosit (HGF) berikatan dengan reseptor melalui aktivitas kinase intrinsik, memicu kaskade kegiatan fosforilasi melalui kinase MAP, yang berkulminasi pada aktifnya faktor transkripsi dan replikasi DNA. • Reseptor pasangan-protein G menghasilkan efek ganda melalui jalur cAMP dan Ca2. Kemokin memanfaatkan reseptor tersebut. • Sitokin biasanya berikatan dengan reseptor tanpa aktivitas kinase; reseptor tersebut akan berinteraksi dengan faktor transkripsi sitoplasmik yang berpindah ke dalam inti. • Umumnya faktor pertumbuhan mempunyai efek multipel, seperti migrasi, diferensiasi, stimulasi angiogenesis, dan fibrogenesis, di samping proliferasi sel.



Tabel 2-10 Jalur Sinyal Utama yang Dipergunakan Reseptor Sel Permukaan



Kelompok Reseptor



Ligan



Mekanisme Sinyal



Reseptor dengan aktivitas intrinsik tirosin kinase



EGF,VEGF, FGF, HGF



Ligan yng mengikat satu rantai reseptor mengaktifkan tirosin kinase pada rantai lain, mengakibatkan pengaktifan berbagai jalur sinyal selanjutnya (RAS-MAP kinase, PI-3 kinase, PLC-γ) dan pengaktifan berbagai faktor transkripsi.



Reseptortransmembran pasangan tujuh protein G (GPCRs)



Mediator radang multipel, hormon, semua kemokin



Ikatan ligan menginduksi perpindahan dari bentuk protein GDP-bound inactive associated G menjadi bentuk GTP-bound active; mengaktifkan cAMP; masuknya Ca2+ menyebabkan peningkatan motilitas sel; efek multipel lain.



Reseptor tanpa aktivitas enzim intrinsik



Berbagai sitokin termasuk interferon, hormon pertumbuhan, CSFs, EPO



Ikatan ligan menghasilkan kinases (misal Janus kinases [JAKs]) terjadi fosforilasi dan mengaktifkan faktor transkripsi (misal sinyal transduser dan aktivator transkripsi [STATs]).



cAMP, cyclic adenosine monophosphate; CSFs, colony-stimulating factors; EGF, epidermal growth factor; EPO, epopoietin; FGF, fibroblast growth factor; GDP, guanosine diphosphate; GTP, guanosine triphosphate; HGF, hepatocyte growth factor; PI3, phosphatidylinositol-3; PLC-γ, phospholipase Cγ; MAP, microtubule-associated protein; VEGF, vascular endothelial growth factor.



Regenerasi Sel dan Jaringan



Peran Matriks Ekstrasel pada Pemulihan Jaringan Pemulihan jaringan tidak hanya bergantung pada faktor pertumbuhan tetapi juga dengan interaksi sel dan komponen ECM. Kompleks ECM merupakan kompleks beberapa protein yang menyusun suatu jaringan yang mengelilingi sel dan merupakan bagian penting dari setiap jaringan tubuh. ECM mengeluarkan air, mengatur turgor jaringan lunak dan mineral, sehingga tulang menjadi kaku. Juga mengatur proliferasi, gerak dan diferensiasi sel sekitarnya, dengan mensuplai substrat untuk adhesi sel, migrasi dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan faktor pertumbuhan. ECM selalu mengadakan penyesuaian dalam sintesa dan degradasi mengikuti morfogenesis, penyembuhan luka, fibrosis kronik, dan invasi tumor dan metastasis.



Konstitusi utama ialah kolagen tipe IV yang amorfik non fibriler dan laminin (lihat kemudian).



Komponen Matriks Ekstrasel Ada tiga komponen dasar ECM: (1) protein struktural fibrosa seperti kolagen dan elastin, yang kuat dan dapat membentuk kumparan; (2) gel dengan hidrasi air seperti proteoglikan dan hialuronat, yang memungkinkan lentur dan berminyak; dan (3) glikoprotein adhesif yang menghubungkan elemen matriks satu dengan lainnya dan dengan sel. (Gambar 2-27).



  ECM terjadi dalam dua bentuk dasar: matriks interstisium dan membran basalis: (Gambar 2-27). • Matriks interstisium: ECM jenis ini dijumpai di rongga antar sel di jaringan ikat, dan di antara epitel dan jaringan penunjang vaskular dan struktur otot polos. Disintesa oleh sel mesenkim (misal fibroblas) dan juga cenderung membentuk gel amorfus tiga dimensi. Konstitusi utama ialah kolagen fibril dan non fibril, juga fibronektin, elastin, proteoglikan, hialuronat, dan elemen lain (dibahas kemudian). • Membran basalis: Matriks interstitium yang tersusun acak di jaringan ikat menjadi terorganisasi disekitar sel epitel, sel endotel, dan sel otot polos, membentuk membran basalis. Membran basalis terletak di bawah epitel dan disintesis oleh epitel di atasnya dan sel mesenkim di bawahnya, cenderung membentuk jaringan dengan susunan mirip "kawat ayam".



Kolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berbeda dijalin membentuk tripel heliks mirip tali. Kira-kira 30 tipe kolagen telah diidentifikasi sebagian merupakan bentuk unik sel dan jaringan. Beberapa tipe kolagen (misal tipe I, II, III, dan V) membentuk fibril karena adanya hubungan silang lateral dari tripel heliks. Kolagen fibril merupakan bagian terbesar dari jaringan ikat pada penyembuhan luka dan khususnya pada jaringan parut. Kekuatan kolagen fibril terjadi karena hubungan silang, merupakan hasil ikatan kovalen yang dikatalisasi oleh enzim oksidase. Proses ini bergantung pada vitamin C; maka itu seorang dengan defisiensi vitamin C akan mengalami deformitas tulang, mudah berdarah karena lemahnya membran basalis pembuluh darah, dan terhambatnya penyembuhan luka. Defek genetik pada kolagen akan menyebabkan penyakit misalnya osteogenesis imperfecta dan sindrom Ehlers-Danlos. Kolagen lain ialah jenis nonfibril dan membentuk membran basalis (tipe IV) atau komponen struktur lain seperti diskus intervertebralis (tipe IX) atau perbatasan dermis-epidermis (tipe VII).



Epitel



Integrin Fibrolas



MEMBRAN BASALIS • Kolagen tipe IV • laminin • Proteoglikan



Integrin Sel endotel Glikoprotein kapiler adhesif



Integrin Fibrolas



Proteogliklan



63



MATRIKS INTERSTISIUM • Kolagen fibril • Elastin Kolagen hubungan • Proteoglikan dan hialuronan silang heliks tripel



Proteoglikan Kolagen tipe IV Laminin



Gambar 2-27 Komponen utama matriks ekstraseluler (ECM), termasuk kolagen, proteoglikan, glikoprotein adhesif. Perhatikan walau ada tumpang tindih antara konstituen, membran basalis dan ECM interstisium berbeda dalam komposisi dan arsitektur. Epitel dan sel mesenkim (misal fibroblas) berinteraksi dengan ECM melalui integrin. Agar sederhana, banyak komponen ECM tidak disertakan (misal elastin, fibrillin, hialuronan, sindekan).



64



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



  Kemampuan jaringan untuk membentuk struktur kumparan dan kemudian kembali ke struktur awal setelah suatu tekanan fisis disebut jaringan elastik. Hal ini penting pada pembuluh darah besar (yang harus mengakomodasi aliran berdenyut yang berulang), demikian juga uterus, kulit, dan ligamen. Secara morfologik, jaringan elastin terdiri atas inti elastin di sentral dikelilingi oleh jalinan glikoprotein fibrilin. Defek sintesa fibrilin akan mengakibatkan abnormalitas tulang dan melemahnya dinding pembuluh aorta (seperti pada sindrom Marfan, dibahas di Bab 6).



  Proteoglikan merupakan gel yang bisa ditekan, mengandungi air, padat dan kenyal dan licin (seperti pada tulang rawan di sendi). Terdiri atas polisakarida rantai panjang, disebut glikosaminoglikan atau mukopolisakarida (contoh ialah sulfat dermatan dan sulfat heparan), terikat dengan protein tulang belakang. Hialuronan (disebut juga asam hialuronat), adalah suatu mukopolisakarida besar tanpa poros protein, juga merupakan bagian penting dari ECM yang mengikat air, membentuk matriks kental, mirip gelatin. Di samping fungsi untuk kemampuan menahan tekanan pada jaringan, proteoglikan juga berfungsi sebagai gudang untuk faktor pertumbuhan yang disekresi ke dalam ECM (misal faktor pertumbuhan fibroblas [FGF], HGF). Beberapa proteoglikan merupakan protein membran integral yang mempunyai peran pada proliferasi sel, migrasi, dan adhesi — contohnya, dengan mengikat faktor pertumbuhan dan kemokin serta menghasilkan konsentrasi mediator lokal yang tinggi. Glikoprotein Adhesif dan Reseptor Adhesi Glikoprotein adhesif dan reseptor adhesi merupakan molekul struktural yang berbeda terlibat dalam adhesi sel ke sel, hubungan sel dengan ECM, dan ikatan antara komponen-komponen ECM. Glikoprotein adhesif termasuk fibronektin (komponen utama untuk ECM interstisium) dan laminin (bahan utama untuk membran basalis); dibicarakan di sini sebagai prototipe dari seluruh kelompok. Reseptor adhesi, juga dikenal sebagai molekul adhesi sel (CAM), dikelompokkan dalam empat kelompok yaitu immunoglobulin, kadherin, selektin, dan integrin — dan hanya integrin yang akan dibahas di sini. • Fibronektin merupakan heterodimer besar (450-kDa) yang terikat pada ikatan-disulfide yang disintesa oleh berbagai sel, termasuk, fibroblas, monosit, dan endotel yang terdapat dalam bentuk jaringan dan plasma. Fibronektin mempunyai domain spesifik yang mengikat komponen ECM dalam spektrum luas (misal kolagen, fibrin, heparin, proteoglikan) dan juga dapat terikat dengan integrin sel melalui motif tripeptide arginine-glycineaspartic acid (RGD). Fibronektin jaringan membentuk agregrat fibril di tempat penyembuhan luka; fibronektin plasma mengikat fibrin dalam beku darah yang terbentuk pada luka, membentuk substratum untuk deposit ECM dan reepitelisasi. • Laminin merupakan glikoprotein yang paling banyak dijumpai di membran basalis. Merupakan heterotrimer 820-kDa berbentuk silang yang menghubungkan sel dengan unsur komponen ECM seperti kolagen tipe IV dan sulfat heparan. Di samping mediasi untuk melekatkan pada membran basalis, laminin juga mengatur proliferasi sel, diferensiasi dan motilitas.



• Integrin termasuk kelompok rantai glikoprotein heterodimer yang berperan dalam adhesi leukosit pada endotel. Juga merupakan reseptor sel utama untuk komponen ECM, misalnya fibronektin dan laminin. Telah dibicarakan beberapa integrin sebagai molekul permukaan leukosit yang berperan dalam adhesi dan transmigrasi melalui endotel pada tempat radang, dan akan dibicarakan kembali pada pembahasan agregasi trombosit di Bab 3. Integrin dijumpai di membran plasma semua sel, kecuali sel darah merah. Integrin terikat pada berbagai komponen ECM melalui motif RGD, menginisiasi sinyal kaskade yang dapat mempengaruhi gerak sel, proliferasi, dan diferensiasi. Domain intrasel berhubungan dengan filamen aktin, sehingga mem-pengaruhi bentuk dan mobilitas sel.



Fungsi Matriks Ekstrasel Peran ECM bukan hanya pengisi ruang sekitar sel. Berbagai fungsi lain termasuk: • Penopang mekanis untuk menjadi jangkar sel dan migrasi sel dan mempertahankan polaritas sel. • Mengatur proliferasi sel melalui ikatan dan penampilan faktor pertumbuhan dan sinyal melalui reseptor kelompok integrin. Jenis protein ECM dapat mempengaruhi derajat diferensiasi sel di jaringan terutama melalui integrin sel permukaan. • Penopang kerangka dasar untuk pembaharuan sel. Karena untuk mempertahankan struktur jaringan normal dibutuhkan membran basalis atau penopang kerangka stroma, maka integritas membran basalis atau stroma sel parenkim menjadi sangat penting untuk regenerasi jaringan yang telah terorganisasi. Sehingga walaupun sel labil dan sel stabil mampu beregenerasi, namun kerusakan ECM akan mengakibatkan kegagalan jaringan membentuk jaringan parut untuk regenerasi dan pemulihan (Gambar 2-24). • Pengadaan lingkungan mikro jaringan. Membran basalis berperan sebagai penghubung antara epitel dan jaringan ikat di bawahnya dan juga membentuk bagian dari aparat filtrasi di ginjal.



RINGKASAN Matriks Ekstrasel dan Pemulihan Jaringan •











ECM mengandungi matriks interstisium antar sel, terdiri atas kolagen dan beberapa glikoprotein, sedangkan membran basalis di bawah epitel dan sekitar pembuluh, terdiri atas kolagen nonfibriler dan laminin. ECM mempunyai beberapa fungsi penting:  Penopang mekanis untuk jaringan; hal ini merupakan peran kolagen dan elastin.  Bekerja sebagai substrat untuk pertumbuhan sel dan pembentukan lingkungan mikro jaringan.  Mengatur proliferasi sel dan diferensiasi; proteoglikan dapat mengikat faktor pertumbuhan dan menampilkannya dalam konsentrasi tinggi, sedangkan fibronektin dan laminin menstimulasi sel melalui reseptor integrin sel. ECM intak dibutuhkan untuk regenerasi jaringan, dan apabila ECM rusak, pemulihan hanya dapat terjadi dengan pembentukan jaingan parut.



Pembentukan Jaringan Parut



65



Setelah pembahasan komponen dasar untuk pemulihan jaringan, akan dilanjutkan dengan diskusi mengenai pemulihan melalui regenerasi dan pembentukan jaringan parut.



Peran Regenerasi pada Pemulihan Jaringan Pentingnya regenerasi pada penggantian jaringan cedera bervariasi pada berbagai jenis jaringan dan beratnya jejas. • Pada jaringan labil, seperti epitel saluran cerna dan kulit, sel cedera segera diganti oleh proliferasi sel residu dan diferensiasi sel punca apabila membran basalis di bawahnya utuh. Faktor pertumbuhan yang terlibat dalam proses ini tidak dibicarakan. Hilangnya sel darah diperbaiki dengan proliferasi progenitor hematopoetik di sumsum tulang dan jaringan lain, diatur oleh CSF, yang diproduksi untuk merespons menurunnya jumlah sel darah.



A



• Regenerasi jaringan stabil terjadi di organ parenkim dengan populasi sel stabil, dengan pengecualian hati dan hal ini biasanya merupakan proses yang terbatas. Pankreas, adrenal, tiroid, dan paru mempunyai sedikit kapasitas regenerasi. Operasi pengangkatan ginjal akan mengakibatkan respons kompensatori ginjal kontralateral berupa hipertrofi dan hiperplasia sel duktus proksimal. Mekanisme yang mendasari respons ini tidak diketahui. • Respons regeneratif hati yang terjadi setelah operasi pengangkatan jaringan hati amat mengherankan dan hal unik di antara organ lain. Sejumlah 40% hingga 60% dari hati dapat diangkat pada prosedur yang disebut transplantasi donor hidup, di mana sebagian dari hati orang normal direseksi dan ditransplantasi pada resipien dengan penyakit hati stadium akhir (Gambar 2-28), atau setelah hepatektomi parsial pada pengangkatan tumor. Pada kedua keadaan, pengangkatan jaringan memicu respons proliferatif sel hati yang tersisa (yang biasanya fase tenang) dan replikasi sel hati non parenkim. Pada sistem eksperimental, replikasi sel hepar setelah hepatektomi parsial diawali oleh sitokin (misal TNF, IL-6) yang menyiapkan sel untuk replikasi melalui stimulasi transisi G0 menjadi G1 pada siklus sel. Progresi selanjutnya melalui siklus sel tergantung pada aktivitas faktor pertumbuhan seperti HGF (dihasilkan fibroblas, sel endotel, dan sel nonparenkim hati) dan faktor kelompok EGF, termasuk transformasi faktor pertumbuhan-α (TGF-α) (diproduksi oleh berbagai jenis sel). Suatu hal yang perlu dicermati ialah bahwa regenerasi ekstensif atau hiperplasia kompensatori hanya dapat terjadi apabila kerangka jaringan ikat residu masih utuh strukturnya, seperti sehabis reseksi bedah. Sebaliknya apabila seluruh jaringan telah rusak akibat infeksi atau inflamasi, maka regenerasi tidak lengkap dan akan diikuti pembentukan jaringan parut. Contoh, destruksi ekstensif dengan kolaps kerangka retikulin, seperti pada abses hati, mengakibatkan pembentukan jaringan parut walaupun sel hati yang tersisa mempunyai kemampuan untuk regenerasi.



B Gambar 2-28 Regenerasi hati. Scan tomografi melalui komputer memperlihatkan hati donor pada transplantasi hati donor hidup A, Hati donor sebelum operasi. Perhatikan lobus kanan (outline), yang akan direseksi dan akan dipakai untuk transplantasi. B, Scan hati yang sama 1 minggu setelah reseksi lobus kanan; perhatikan pembesaran lobus kiri (outline) tanpa terjadi pertumbuhan kembali lobus kanan. Penghorgoon kepada R Troisi, MD, Ghent University, Flanders, Belgium.)



PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT Seperti dibahas sebelumnya, apabila jejas sangat parah atau kronik dan mengakibatkan kerusakan sel parenkim, sel epitel dan juga jaringan penunjang, atau apabila sel yang tidak membelah mengalami cedera, pemulihan tidak dapat terjadi hanya dengan proses regenerasi saja. Pada keadaan demikian, pemulihan terjadi dengan penggantian sel yang tidak dapat beregenerasi dengan jaringan ikat, sehingga terbentuk jaringan parut, atau kombinasi regenerasi sel sebagian dan sisanya berupa pembentukan jaringan parut.



Tahapan Pembentukan Jaringan Parut Pemulihan dengan pembentukan jaringan ikat terdiri atas proses sekuensial setelah respons radang (Gambar 2-29): • Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) • Migrasi dan proliferasi fibroblas dan deposisi jaringan ikat yang bersama dengan pembuluh darah yang banyak dan leukosit yang tersebar, berwarna merah muda dan memberikan gambaran granuler sehingga disebut jaringan granulasi.



66



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan • Maturasi dan reorganisasi jaringan ikat (remodel) menghasilkan jaringan parut yang stabil.



NORMAL



Infeksi atau jejas



CEDERA JARINGAN



Daerah jajas



Pemulihan dimulai 24 jam setelah jejas ditandai dengan emigrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Setelah 3 hingga 5 hari, dijumpai jaringan granulasi yang merupakan tanda khas proses penyembuhan. Istilah jaringan granulasi timbul dari gambaran makroskopik, seperti yang tampak pada luka di kulit. Gambaran histologis menunjukkan proliferasi fibroblas dan terbentuknya kapiler halus yang baru berdinding tipis (angiogenesis) dalam jaringan ECM longgar, sering bercampur dengan sel radang, terutama makrofag (Gambar 2-30, A). Jaringan granulasi akan mengakumulasi fibroblas lebih banyak dengan progresif, mengendapkan kolagen, sehingga terjadi pembentukan jaringan parut (Gambar 2-30, B). Dengan berlalunya waktu, akan terjadi penyesuaian bentuk jaringan parut. Akan dilanjutkan pembahasan langkah-langkah pada proses ini.



RADANG



Angiogenesis PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI



PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT



Gambar 2-29 Langkah pembentukan jaringan parut. Jejas pada suatu jaringan yang mempunyai daya regenerasi terbatas, dimulai dengan reaksi radang, yang akan menghilangkan sel mati dan mikroba, apabila ada. Kemudian akan dilanjutkan dengan jaringan granulasi bervaskular dan kemudian deposisi ECM untuk membentuk jaringan parut. ECM, matriks ekstraseluler.



A



Angiogenesis ialah proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh yang telah ada, terutama vena. Merupakan proses yang sangat penting pada pemulihan luka di tempat jejas, untuk pembentukan kolateral di daerah iskemia, dan menyebabkan tumor dapat bertambah besar walaupun suplai darah terbatas. Banyak upaya dilakukan untuk dapat memahami mekanisme yang mendasari angiogenesis, dan terapi untuk meningkatkan proses (misal meningkatkan aliran darah ke jantung yang terkena aterosklerosis koroner) maupun upaya untuk mencegah proses (misal mengacaukan pertumbuhan tumor atau menghentikan pertumbuhan pembuluh darah patologis seperti pada retinopati diabetik) sedang dikembangkan. Angiogenesis, yaitu timbulnya pembuluh darah baru terjadi melalui pertumbuhan percabangan pembuluh darah yang ada dan terdiri dari langkah berikut (Gambar 2-31): • Vasodilator terjadi karena respons terhadap NO dan pertambahan permeabilitas yang diinduksi oleh VEGF. • Lepasnya perisit dari permukaan. • Migrasi sel endotel menuju tempat jejas.



B



Gambar 2-30 A, Jaringan granulasi menunjukkan beberapa pembuluh darah, edema, dan ECM yang renggang dengan beberapa sel radang. Kolagen berwarna biru dengan pulasan trikrom; kolagen matur terbatas dijumpai di sini. B, Pulasan trikrom jaringan parut matur, menunjukkan kolagen padat dengan hanya beberapa rongga pembuluh darah. ECM, matriks ekstraseluler.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis



67



Perisit



Pembuluh normal



Tunas pembuluh



Pertumbuhan pembuluh darah baru, pengumpulan perisit



Pembuluh matur



Gambar 2-31 Mekanisme angiogenesis. Pada pemulihan jaringan, angiogenesis terjadi terutama karena faktor pertumbuhan dorongan pertumbuhan—sisa endotel, pertumbuhan pembuluh baru, dan pengumpulan perisit untuk membentuk pembuluh darah baru.



• Proliferasi sel endotel dibelakang sel yang bermigrasi didepannya. • Proses penyesuaian bentuk menjadi pipa kapiler. • Pengumpulan sel periendotel (perisit untuk kapiler kecil dan sel otot polos untuk pembuluh darah yang lebih besar) untuk membentuk pembuluh matur. • Supresi proliferasi endotel dan migrasi serta deposisi membran basalis Proses angiogenesis melibatkan berbagai faktor pertumbuhan, interaksi antar sel, interaksi dengan protein ECM, dan enzim jaringan.



Faktor Pertumbuhan yang Terlibat pada Angiogenesis



Beberapa faktor pertumbuhan berperan pada proses angiogenesis; yang terpenting ialah VEGF dan faktor pertumbuhan dasar fibroblas (FGF-2). • Faktor pertumbuhan kelompok VEGF termasuk VEGF-A, -B, -C, -D, dan -E dan faktor pertumbuhan plasenta (P1GF). VEGF-A biasanya dikenal sebagai VEGF merupakan penginduksi utama angiogenesis setelah terjadinya jejas dan pada tumor; VEGF-B dan P1GF terlibat dalam pembentukan pembuluh pada embrio; dan VEGF-C dan -D menstimulasi lymphangiogenesis dan angiogenesis. VEGFs diekspresi di berbagai jaringan dewasa, dengan ekspresi tertinggi di sel epitel yang berdekatan dengan epitel yang bersifat sebagai penyaring (misal podosit di ginjal, epitel pigmen di retina). Terjadi ikatan dengan reseptor kelompok tirosin kinase (VEGFR-1, -2, dan -3). Reseptor terpenting untuk angiogenesis ialah VEGFR-2, yang terekspresi oleh sel target VEGF, khususnya sel endotel. Di antara berbagai penyebab induksi VEGF, yang terpenting ialah hipoksia, yang lainnya ialah faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF), TGF-α, dan TGF-β. VEGF menstimulasi migrasi dan proliferasi sel endotel, sehingga menginisiasi proses pertumbuhan kapiler pada angiogenesis. Akan terjadi vasodilatasi yang akan mestimulasi produksi NO, dan berperan pada pembentukan lumen vaskular. Antibodi terhadap VEGF disetujui untuk terapi beberapa tumor yang penyebaran dan pertumbuhannya bergantung pada angiogenesis. Antibodi ini juga dipergunakan untuk terapi degenerasi makula "basah" yang berkaitan dengan usia, "wet agerelated macular degenera tion" (neovaskular), suatu penyebab utama gangguan penglihatan pada penderita dewasa usia di atas 50 tahun, dan merupakan penelitian klinis untuk pengobatan angiogenesis yang dikaitkan dengan retinopati prematur dan bocornya pembuluh yang menyebabkan edema makula pada diabetes.



• Kelompok faktor pertumbuhan fibroblas (FGF) terdiri atas lebih dari 20 macam, paling dikenal ialah FGF-1 (FGF asam) dan FGF-2 (FGF basa). Faktor pertumbuhan ini diproduksi oleh berbagai sel dan akan berikatan dengan reseptor kelompok membran plasma yang mempunyai aktivitas tirosin kinase. FGF yang dilepas akan berikatan dengan sulfat heparan disimpan di ECM. FGF-2 berpartisipasi pada angiogenesis terutama dengan menstimulasi proliferasi sel endotel. Juga akan mengakibatkan migrasi makrofag dan fibroblas menuju daerah cedera, dan menstimulasi migrasi sel epitel untuk menutup luka pada epidermis • Angiopoietin Angl dan Ang2 merupakan faktor pertumbuhan yang berperan pada angiogenesis dan maturasi struktur pembuluh darah baru. Pembuluh darah yang baru terbentuk harus distabilkan dengan pengerahan perisit dan sel otot polos dan pengendapan jaringan ikat. Ang1 berinteraksi dengan reseptor tirosin kinase pada sel endotel yang disebut Tie2. Faktor pertumbuhan PDGF dan TGFβ juga berpartisipasi pada proses stabilisasi PDGF mengumpulkan sel otot polos dan TGF-P menekan proliferasi endotel dan migrasi endotel, dan meningkatkan produksi protein ECM. Pertumbuhan pembuluh darah pada masa embrio disebut vaskulogenesis. Pada vaskulogenesis, pembuluh darah dibentuk de novo melalui penyatuan prekursor endotel yang disebut angioblas. Angioblas berasal dari hemangioblas, yang juga menyediakan prekursor untuk sistem hematopoietik. Di samping itu, ada progenitor endotel pada orang dewasa yang berasal dari sel punca sumsum tulang dan bersirkulasi di darah. Kontribusi sel tersebut pada angiogenesis pada orang dewasa belum jelas. Protein ECM berpartisipasi pada pertumbuhan pembuluh pada proses angiogenesis, terutama melalui interaksi dengan reseptor integrin di sel endotel dan menyediakan penopang untuk pertumbuhan pembuluh. Enzim di ECM, yaitu metalloproteinase matriks (MMPs), mendegradasi ECM sehingga memungkinkan penyesuaian bentuk dan ekstensi pipa vaskular. Pembuluh darah baru yang terbentuk masih bocor, karena perlekatan antar endotel tidak lengkap dan karena VEGF meningkatkan permeabilitas vaskular. Kebocoran ini menjelaskan mengapa sering dijumpai edema pada jaringan granulasi dan masih dijumpai pada penyembuhan luka walaupun respons radang akut sudah lama selesai. Juga, akan menyebabkan peningkatan tekanan intratumor dan juga menjadi dasar edema yang amat menyulitkan pada proses patologis angiogenesis okuler misalnya degenerasi makula yang basah.



68



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Pengaktifan Fibroblas dan Penimbunan Jaringan Ikat Pengendapan jaringan ikat pada jaringan parut terjadi melalui dua tahapan: (1) migrasi dan proliferasi fibroblas di tempat cedera dan (2) penimbunan protein ECM yang diproduksi oleh sel tersebut. Pengumpulan dan pengaktifan fibroblas untuk mensintesa protein jaringan ikat dipicu oleh berbagai fakor pertumbuhan, termasuk PDGF, FGF-2 (dibicarakan terdahulu), dan TGF-β. Sumber utama faktor ini ialah sel radang, terutama makrofag, yang berada di tempat jejas dan di jaringan granulasi. Di tempat terjadinya radang juga dijumpai banyak sel mast, dan dalam lingkungan kemotaksis yang sesuai, limfosit juga dijumpai. Masing-masing jenis sel dapat mensekresi sitokin dan faktor pertumbuhan yang berperan pada proliferasi dan pengaktifan fibroblas. Dengan berjalannya proses penyembuhan, jumlah fibroblas yang berproliferasi dan jumlah pembuluh darah baru akan menurun, namun, fibroblas secara progesif membentuk fenotipe sintetik, sehingga terjadi peningkatan deposit ECM. Sintesa kolagen, khususnya, merupakan hal penting untuk menentukan kekuatan pada daerah luka. Seperti akan dibicarakan kemudian, sintesa kolagen dimulai segera setelah penyembuhan luka (hari ke 3 hingga 5) dan berlangsung selama beberapa minggu, tergantung pada ukuran luka. Jumlah akumulasi kolagen akhir akan tergantung tidak hanya oleh peningkatan sintesa tetapi juga oleh degradasi kolagen (dibicarakan kemudian). Selanjutnya, jaringan granulasi membentuk jaringan parut yang terutama terdiri atas fibroblas yang sebagian besar tidak aktif berbentuk spindel, kolagen padat, fragmen jaringan elastin, dan komponen ECM lain (Gambar 2-30, B). Setelah jaringan parut menjadi matur, terjadi regresi vaskular progresif, sehingga mengubah jaringan granulasi yang kaya pembuluh darah menjadi jaringan parut tanpa pembuluh darah.



  Berbagai faktor pertumbuhan terlibat dalam proses ini, termasuk TGF-β, PDGF, dan FGF. Karena FGF juga terlibat dalam angiogenesis, telah dibahas sebelumnya. Di sini akan dibahas singkat peran TGF-β dan PDGF. • Faktor pertumbuhan transformasi-β (TGF-β) termasuk kelompok polipeptida homolog (TGF-β1, -β2, dan -β3) dan termasuk juga sitokin lain seperti protein morfogenetik tulang. Isoform TGF-β1 terdistribusi luas dan biasanya dikenal sebagai TGF-β. Faktor aktif TGF-β1 ini mengikat dua reseptor permukaan sel dengan aktivitas serine-threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang disebut Smads. TGF-β mempunyai berbagai efek dan kadangkadang efek yang berlawanan, tergantung pada tipe sel dan status metabolit jaringan. Dalam masalah radang dan pemulihan jaringan, TGF-β mempunyai dua fungsi: 



TGF-β merangsang produksi kolagen, fibronektin, dan proteoglikan, dan mencegah degradasi kolagen melalui penekanan aktivitas proteinase dan peningkatan aktivitas inhibitor proteinase dikenal sebagai TIMPs (akan dibahas lebih lanjut).



TGF-β terlibat tidak saja dalam pembentukan jaringan parut setelah cedera, tetapi juga pada pembentukan fibrosis di paru, hati, dan ginjal setelah terjadi radang kronik. 



TGF-β merupakan sitokin anti inflamasi yang berfungsi menekan dan mengakhiri respons radang. Hal ini terjadi melalui penghambatan proliferasi limfosist dan aktivitas leukosit lain. Mencit yang tidak mempunyai TGF-β akan mengalami radang luas dan proliferasi limfosit berlebihan.



• Faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF) termasuk kelompok protein dengan sifat yang hampir sama, masing-masing mengandungi dua rantai, disebut A dan B. Ada lima jenis isoform PDGF utama, yang isoform BB merupakan prototipe; dan disebut PDGF. PDGF mengikat reseptor PDGFRα dan PDGFRP. PDGF disimpan dalam trombosit dan dilepaskan saat pengaktifan trombosit dan juga diproduksi oleh sel endotel, makrofag yang teraktifkan, sel otot polos dan berbagai sel tumor. PDGF mengakibatkan migrasi dan proliferasi fibroblas dan sel otot polos dan juga berperan dalam migrasi makrofag. • Sitokin (dibahas sebelumnya sebagai mediator radang, dan di Bab 4 dalam kaitannya dengan respons imun) juga bisa berfungsi sebagai faktor pertumbuhan dan berpartisipasi pada penimbunan ECM dan pembentukan jaringan parut. IL-1 dan IL-13, sebagai contoh, berperan pada fibroblas untuk merangsang sintesa kolagen, dan juga akan meningkatkan proliferasi dan migrasi fibroblas.



Penyesuaian Bentuk Jaringan Ikat Setelah sintesa dan deposisi, jaringan ikat pada jaringan parut akan dilanjutkan dengan proses pengubahan dan penyesuaian bentuk. Sehingga hasil akhir proses penyembuhan adalah keseimbangan antara sintesa dan degradasi protein ECM. Telah dibahas sel dan faktor yang mengatur sintesa ECM. Degradasi kolagen dan komponen ECM lain terjadi karena kelompok metalloproteinases matriks (MMPs), yang bergantung pada ion zinc untuk aktivitasnya. MMPs harus dibedakan dengan elastase neutrofil, kathepsin G, plasmin, dan proteinase serin lain yang juga dapat mendegradasi ECM tetapi bukan metalloenzymes. Termasuk MMPs ialah kolagen interstisium, yang menghasilkan kolagen fibril (MMP-1, -2, dan -3); gelatinase (MMP-2 dan -9), yang akan mendegradasi kolagen amorfik dan fibronektin; dan stromelysin (MMP-3, -10, dan -11), yang akan mendegradasi sejumlah unsur ECM, termasuk proteoglikan, laminin, fibronektin, dan kolagen amorfik. MMPs diproduksi oleh berbagai sel (fibroblas, makrofag, neutrofil, sel sinovial, dan beberapa sel epitel), dan sintesa serta sekresinya diatur oleh faktor pertumbuhan, sitokin, dan agen lain. Aktivitas MMPs diatur ketat. Diproduksi sebagai prekursor inaktif (zymogen) yang harus diaktifkan terlebih dahulu; dilakukan oleh proteases (misal plasmin) yang dijumpai hanya di tempat jejas. Sebagai tambahan, MMPs yang telah diaktifkan dapat segera dicegah oleh inhibitor jaringan khusus yaitu metalloproteinase (TIMPs), yang diproduksi oleh sel mesenkim. Sehingga selama proses pembentukan jaringan parut, MMPs diaktifkan untuk penyesuaian bentuk ECM yang dideposit, dan kemudian aktivitasnya akan dihentikan oleh TIMPs.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis



Pada beberapa keadaan pengaruh glukokortikoid menguntungkan. Misalnya pada infeksi kornea, glukokortikoid dipergunakan (bersama antibiotik) untuk mengurangi kemungkinan mata keruh akibat deposisi kolagen.



RINGKASAN Pemulihan melalui Pembentukan Jaringan Parut • •







• •



Jaringan dapat dipulihkan dengan regenerasi melalui restorasi lengkap bentuk dan fungsi, atau dengan penggantian jaringan ikat dan jaringan parut. Pemulihan jaringan dengan deposisi jaringan ikat melibatkan angiogenesis, migrasi dan proliferasi fibroblas, sintesa kolagen, dan penyesuaian bentuk jaringan ikat. Pemulihan oleh jaringan ikat dimulai dengan pembentukan jaringan granulasi dan diakhiri dengan pengendapan jaringan fibrosa. Berbagai faktor pertumbuhan menstimulasi proliferasi sel yang terlibat dalam pemulihan jaringan. TGF-β merupakan agen fibrogenik poten: deposisi ECM bergantung pada keseimbangan antara agen fibrogenik, metalloproteinase (MMPs) yang mencerna ECM, dan TIMPs.



FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMULIHAN JARINGAN Pemulihan jaringan dapat terhambat akibat bermacam-macam pengaruh, sehingga menurunkan kualitas proses pemulihan. Variabel yang mempengaruhi pemulihan bisa ekstrinsik (misal infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang mengalami jejas. Penyebab terpenting ialah infeksi dan diabetes. • Infeksi merupakan penyebab terpenting yang menghambat proses pemulihan. Infeksi akan memperpanjang proses radang dan berpotensi menambah luas tempat cedera. • Nutrisi berperan penting pada pemulihan, defisiensi protein, misalnya, pada khususnya defisiensi vitamin C akan menghambat sintesa kolagen dan menghambat proses penyembuhan. • Glukokortikoid (steroids) dikenal mempunyai efek anti-radang, pemberian obat ini mengakibatkan lemahnya jaringan parut karena inhibisi produksi TGF-β dan pengurangan fibrosis.



A



69



• Variabel mekanik seperti tekanan lokal yang meningkat atau torsi dapat mengakibatkan luka tertarik menjadi pecah (dehisce). • Perfusi buruk akibat arteriosklerosis dan diabetes atau karena obstruksi drainase vena (misal varices) juga akan menghambat penyembuhan. • Benda asing misal fragmen besi, kaca, atau tulang juga akan mengganggu penyembuhan. • Tipe dan luasnya jejas jaringan mempengaruhi proses pemulihan. Restorasi lengkap hanya dapat terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel stabil dan sel labil, kerusakan jaringan yang terdiri atas sel permanen tidak dapat dihindarkan akan mengakibatkan jaringan parut seperti pada infark miokardium. • Lokasi jejas dan sifat jaringan tempat jejas berada juga menentukan. Contoh, inflamasi yang berasal dari jaringan berongga (misalnya pleura, peritoneum, atau rongga sinovia) akan menyebabkan terbentuknya eksudat yang ekstensif. Pemulihan terjadi dengan pencernaan eksudat, diinisiasi oleh enzim proteolitik leukosit dan resorpsi eksudat yang menjadi encer. Hal ini disebut resolusi, dan biasanya, apabila tidak ada nekrosis sel, arsitektur normal jaringan akan pulih kembali. Apabila dijumpai akumulasi eksudat yang banyak, akan terjadi organisasi eksudat. Jaringan granulasi tumbuh di dalam eksudat dan akan terbentuk jaringan parut. • Aberasi pertumbuhan sel dan produksi ECM dapat terjadi pada awal penyembuhan luka. Contohnya, akumulasi kolagen yang berlebihan akan mengakibatkan jaringan parut yang tumbuh menonjol ke atas, disebut keloid (Gambar 2-32). Agaknya ada pengaruh keturunan pada timbulnya keloid, keadaan ini lebih sering dijumpai pada orang Amerika asal Afrika. Penyembuhan luka juga dapat menghasilkan jaringan granulasi yang berlebihan dan menonjol sampai di atas permukaan jaringan kulit sekitarnya dan akan mengganggu proses reepitelisasi. Jaringan tersebut disebut daging yang membanggakan ("proud flesh") jaman dahulu, dan untuk restorasi kontinuitas epitel dibutuhkan kauterisasi atau reseksi bedah jaringan granulasi tersebut.



B



Gambar 2-32 Keloid. A, Deposit kolagen berlebihan di kulit membentuk jaringan parut yang menonjol ke permukaan disebut keloid. B, Deposit jaringan ikat yang padat di dermis. (A, Dari Murphy GF, Herzberg AJ: Atios o( Dermatology. Philadelphia, WB Sounders, 1996. B, Penghargaan kepada Z. Argenyi, MD, University of Washington, Seattle, Washington. )



70



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Penyembuhan Luka Kulit



CONTOH KLINIS TERPILIH DARI PEMULIHAN JARINGAN DAN FIBROSIS Hingga kini telah dibahas prinsip umum dan mekanisme pemulihan jaringan melalui regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Pada bagian ini akan dibahas dua tipe klinis penting pemulihan jaringan-penyembuhan luka kulit (penyembuhan luka daerah kutan) dan fibrosis pada jejas organ parenkim.



Penyembuhan luka kulit melibatkan regenerasi epitel dan pembentukan jaringan ikat parut dan merupakan contoh prinsip umum yang berlaku untuk semua jaringan. Bergantung pada sifat dan besarnya luka, dapat terjadi penyembuhan perprimam atau penyembuhan persekundam.



  Salah satu contoh sederhana pemulihan luka, ialah penyembuhan dari luka insisi bedah yang bersih tanpa infeksi dan dijahit dengan benang (Gambar 2-33). Hal ini disebut penyatuan primer, atau penyembuhan



PENYEMBUHAN PERPRIMAM



PENYEMBUHAN PERSEKUNDAM Sisa jaringan nekrotik



Neutrophil 24 jam



Bekuan



Mitosis Jaringan granulasi 3 hingga 7 hari



Beberapa minggu



Makrofag Fibroblas Kapiler baru



Penyatuan fibrosa



Kontraksi luka



Gambar 2-33 Langkah penyembuhan luka perprimam (kiri) dan penyembuhan persekundam (kanan). Pada yang terakhir, perhatikan jaringan granulasi yang banyak dan kontraksi luka.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis perprimam. Insisi hanya akan mengakibatkan gangguan lokal kontinuitas epitel membran basalis dan kematian terbatas sel epitel dan jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi epitel merupakan mekanisme utama pemulihan jaringan. Suatu jaringan parut yang kecil terbentuk, tapi hanya ada pengerutan luka terbatas. Ruang insisi yang kecil mulamula diisi dengan fibrin beku darah, kemudian segera diganti oleh jaringan granulasi dan dilapisi epitel baru. Langkah pada proses ini ialah: • Dalam 24 jam, neutrofil dijumpai pada tepi insisi, migrasi menuju bekuan fibrin. Sel basal di tepi insisi epidermis akan memperlihatkan aktivitas mitosis yang bertambah. Dalam 24 hingga 48 jam, sel epitel kedua tepi mulai bermigrasi dan berproliferasi sepanjang dermis, mengendapkan komponen membran basalis selama proses. Sel akan bertemu di garis tengah di permukaan di bawah sisa sel yang cedera, membentuk lapisan epitel tipis yang kontinu. • Pada hari ke 3, neutrofil telah digantikan oleh makrofag, dan jaringan granulasi secara progresif mengisi ruang insisi. Serat kolagen sekarang tampak di tepi insisi, tetapi letak memanjang dan tidak menghubungkan insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, membentuk lapisan penutup epidermis. • Pada hari ke 5, neovaskularisasi terbentuk lengkap dan jaringan granulasi mengisi ruang insisi. Serat kolagen dijumpai makin banyak dan



mulai menghubungkan kedua tepi insisi. Tebal epidermis menjadi normal kembali dan diferensiasi sel permukaan membentuk arsitektur epidermis matur dengan keratinisasi di permukaan. • Selama minggu kedua, terjadi akumulasi kolagen terus menerus dan proliferasi fibroblas. Infiltrasi leukosit, edema, dan pembuluh darah yang meningkat perlahan-lahan berkurang. Proses pemulihan yang panjang dimulai dengan deposit kolagen dalam luka parut insisi dan regresi pembuluh darah. • Pada akhir bulan pertama, jaringan parut mengandungi jaringan ikat seluler, tanpa sel radang, dilapisi epitel epidermis normal. Namun, apendiks kulit yang rusak pada garis insisi, hilang selamanya, tidak diganti. Kekuatan daerah luka akan meningkat dengan berlalunya waktu, seperti akan dibicarakan kemudian.



  Apabila kerusakan sel atau jaringan lebih ekstensif, misalnya pada luka yang luas, pada tempat pembentukan abses, ulserasi, dan nekrosis iskemik (infark) di organ parenkim, proses penyembuhan lebih kompleks dan melibatkan kombinasi regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Pada penyembuhan persekundam pada luka kulit,juga disebut penyembuhan melalui penyatuan sekunder (Gambar 2-34; juga Gambar 2-33), reaksi radang lebih intens, dan terjadi jaringan granulasi



A



B



C



D



Gambar 2-34 Penyembuhan ulkus kulit. A, Ulkus tekanan pada kulit, biasanya dijumpai pada penderita diabetes. B, Ulkus kulit dengan celah besar antar tepi lesi. C, Lapisan tipis reepitelisasi epidermis, dan jaringan granulasi yang ekstensif. D, Reepitelisasi epidermis berlanjut dan kontraksi luka. (Penghargoan kepodo Z. Argenyi, MD, Woshington University, Seattle, Washington.)



71



72



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



yang luas, dengan akumulasi ECM dan pembentukan jaringan parut yang luas, diikuti dngan kontraksi luka dimediasi oleh miofibroblas. Penyembuhan persekundam berbeda dengan penyembuhan perpriman dalam beberapa aspek:



RINGKASAN Penyembuhan Luka Kulit dan Aspek Patologis Pemulihan Jaringan •



Luka pada kulit akan sembuh melalui penyembuhan perprimam atau penyembuhan persekundam; penyembuhan persekundam mengakibatkan jaringan parut yang luas dan kontraksi luka.







Penyembuhan luka bisa terganggu oleh berbagai kondisi, terutama infeksi dan diabetes; tipe, luas dan lokasi jejas juga merupakan faktor penting pada proses penyembuhan.







Produksi berlebihan ECM bisa menyebabkan keloid pada kulit. Stimulasi persisten sintesa kolagen pada penyakit inflamasi kronik akan mengakibatkan fibrosis jaringan.



• Beku darah yang besar atau bekas sisa jaringan kaya fibrin dan fibronektin terbentuk di permukaan luka. • Inflamasi lebih intens karena defek luas dengan sisa jaringan nekrotik yang banyak, eksudat, dan fibrin yang harus dibuang bertambah. Sebaliknya, defek yang luas mempunyai potensi yang lebih besar untuk menimbulkan radang sekunder akibat jejas. • Defek yang besar membutuhkan volume jaringan granulasi yang besar untuk mengisi rongga yang besar dan kerangka jaringan untuk proses pertumbuhan epitel kembali. Volume jaringan granulasi yang besar akan mengakibatkan jaringan parut yang luas. • Penyembuhan persekundam berkaitan dengan kontraksi luka. Dalam 6 minggu, sebagai contoh, defek kulit yang luas akan berkurang menjadi 5% hingga 10% lebih kecil dari ukuran semula, terutama karena terjadinya kontraksi. Proses ini dijelaskan dengan adanya miofibroblas, yang merupakan fibroblas, yang telah dimodifikasi, yang mempunyai kemampuan berbagai fungsi ultrastruktural dan fungsional sel otot polos.



  Luka yang dijahit dengan hati-hati mempunyai 70% kekuatan kulit normal, terutama karena letak benang jahitan. Apabila benang jahitan diangkat, biasanya setelah 1 minggu, kekuatan luka hanya 10% dari kulit yang tidak terluka, tetapi kekuatannya akan meningkat dengan cepat dalam 4 minggu berikut. Pemulihan kekuatan terjadi karena sintesa kolagen yang melebihi degradasi pada 2 bulan pertama, dan dari modifikasi struktur kolagen (misal cross-linking, ukuran serat yang membesar) apabila proses sintesa menurun kemudian. Kekuatan luka akan mencapai kira-kira 70% hingga 80% dari normal dalam waktu 3 bulan dan kemudian tidak berubah setelah mencapai titik tersebut.



Fibrosis pada Organ Parenkim Deposit kolagen merupakan bagian normal dari penyembuhan luka. Istilah fibrosis dipakai untuk menyatakan adanya deposit berlebihan kolagen dan komponen ECM lain di jaringan. Seperti telah dibahas sebelumnya, istilah jaringan parut dan fibrosis dipergunakan bergantian, tetapi fibrosis sering dipakai pada deposit kolagen pada penyakit kronik. Mekanisme dasar fibrosis dan pembentukan jaringan parut sama pada proses pemulihan jaringan. Tetapi, pemulihan jaringan akan terjadi setelah stimulus merugikan singkat dan akan diikuti dengan sekuens teratur selanjutnya, sedangkan fibrosis terjadi setelah induksi stimulus merugikan yang persisten seperti infeksi, reaksi imunologi, dan jejas jaringan lain. Fibrosis pada penyakit kronik seperti fibrosis paru akan mengakibatkan disfungsi organ dan bahkan kegagalan organ.



KEPUSTAKAAN Bradley JR: TNF-mediated inflammatory disease. J Pathol 214:149, 2008. c [Tinjauan biologi TNF dan peran klinis antagonis TNF.] Carlson BM: Some principles of regeneration in mammalian systems. Anat Rec 287:4, 2005. [Tinjauan menarik tentang aspek evolusi dan mekanisme umum regenerasi tungkai dan organ.] Carmeliet P: Angiogenesis in life, disease and medicine. Nature 438:932, 2005. [Tinjauan aspek utama angiogenesis normal dan abnormal.] Charo IF, Ransohoff RM: The many roles of chemokines and chemokine receptors in inflammation. N Engl J Med 354:610, 2006. [Tinjauan fungsi kemokin pada radang.] Fausto N: Liver regeneration and repair: hepatocytes, progenitor cells and stem cells. Hepatology 39:1477, 2004. [Tinjauan mekanisme seluler dan molekuler pada regenerasi hati.] Gabay C, Lamacchia C, Palmer G: IL-1 pathways in inflammation and human diseases. Nat Rev Rheumatol 6:232, 2010. [Tinjauan yang baik tentang biologi IL-1 dan terapi target sitokin ini pada penyakit radang.] Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y, Longaker MT: Wound repair and regeneration. Nature 453:314, 2008. [Tinjauan yang baik tentang prinsip regenerasi jaringan dan pemulihan jaringan.] Hynes RO: Integrins: bidirectional, allosteric sinyaling machines. Ce11110:673, 2002. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme molekuler sinyal integrin hubungan komponen ECM dengan jalur sinyal transduksi.] Jiang D, Liang J, Noble PW: Hyaluronans in tissue injury and repair. Annu Rev Cell Dev Biol 23:435, 2007. [Diskusi peran kelompok utama protein ECM pada pemulihan jaringan.] Khanapure SP, Garvey DS, Janero DR, et al: Eicosanoids in inflammation: biosynthesis, pharmacology, and therapeutic frontiers. Curr Top Med Chem 7:311, 2007. [Kesimpulan fungsi kelompok penting mediator radang.] Ley K, Laudanna C, Cybulsky MI, Nourshargh S: Getting to the site of inflammation: the leukocyte adhesion cascade updated. Nat Rev Immunol 7:678, 2007. [Diskusi mutakhir tentang pengerahan leukosit ke tempat radang.] Lentsch AB, Ward PA: Regulation of inflammatory vascular damage. J Pathol 190:343, 2000. [Diskusi mekanisme kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas vaskular.] Martin P, Leibovich SJ: Inflammatory cells during wound repair: the good, the bad, and the ugly. Trends Cell Biol 15:599, 2005. [Tinjauan yang baik tentang berbagai peran sel radang pada proses pemulihan.] Masters SL, Simon A, Aksentijevich I, Kastner DL: Horror autoinflammaticus: the molecular pathophysiology of autoinflammatory disease. Annu Rev Immunol 27:621, 2009. [Diskusi menarik tentang sindrom autoinflamasi disebabkan oleh fungsi tambahan pada mutasi komponen infiammasome.] McAnully RJ: Fibroblasts and myofibroblasts: their source, function, and role in disease. Int J Biochem Cell Biol 39:666, 2007. [Diskusi tentang dua kelompok utama jenis sel stroma dan perannya pada pemulihan jaringan dan fibrosis.]



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis Muller WA: Mechanisms of leukocyte transendothelial migration. Annu Rev Pathol 6:323, 2011. [Tinjauan menarik mengenai mekanisme perjalanan leukosit melalui endotel.] Nagy JA, Dvorak AM, Dvorak HF: VEGF-A and the induction of pathological angiogenesis. Annu Rev Pathol 2:251, 2007. [Tinjauan kelompok faktor pertumbuhan VEGF dan perannya pada angiogenesis pada kanker, radang dan berbagai keadaan penyakit.] Nathan C, Ding A: Nonresolving inflammation. Ce11140:871, 2010. [Diskusi abnormalitas yang mengakibatkan radang kronik.] Page-McCaw A, Ewald AJ, Werb Z: Matrix metalloproteinases and the regulation of tissue remodelling. Nat Rev Mol Cell Biol 8:221, 2007. [Tinjauan fungsi enzim yang melakukan modifikasi matriks pada pemulihan jaringan. ] Papayannapoulos V, Zychlinsky A: NETs: a new strategy for using old weapons. Trends Immunol 30:513, 2009. [Tinjauan mekanisme terbaru bagaimana neutrofil memusnahkan mikroba.] Ricklin D, Hajishengallis G, Yang K, Lambris JD: Complement: a key system for immune surveillance and homeostasis. Nat Immunol 11:785, 2010. [Tinjauan mutakhir tentang aktivasi dan fungsi sistem komplemen dan pengaruhnya terhadap penyakit.] Rock KL, Kono H: The inflammatory response to cell death. Annu Rev Pathol 3:99, 2008. [Diskusi menarik bagaimana sistem imun mengenal sel nekrotik.] Schultz GS, Wysocki A: Interactions between extracellular matrix and growth factors in wound healing. Wound Repair Regen 17:153, 2009. [Diskusi tentang regulasi faktor pertumbuhan oleh ECM.]



73



Schroder K, Tschopp J: The infiammasomes. Cell 140:821, 2010. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme sel yang mengenal produk sel mati, substansi asing dan abnormal dan beberapa mikroba.] Segal AW: How neutrophils kill microbes. Annu Rev Immunol 23:197, 2005. [Diskusi menarik tentang mekanisme mikrobisidal neutrofil.] Stappenbeck TS, Miyoshi H: The role of stromal stem cells in tissue regeneration and wound repair. Science 324:1666, 2009. [Tinjauan menarik peran sel punca jaringan pada proses pemulihan.] Stearns-Kurosawa DJ, Osuchowski MF, Valentine C, et al: The pathogenesis of sepsis. Annu Rev Pathol 6:19, 2011. [Diskusi tentang konsep terakhir mekanisme patogenesis sepsi dan syok septik.] Takeuchi O, Akira S: Pattern recognition receptors and inflammation. Cell 140:805, 2010. [Tinjauan tentang reseptor mirip tol dan pengenalan lain kelompok reseptor, peran pada ketahanan tubuh dan radang.] Wynn TA: Cellular and molecular mechanisms of fibrosis. J Pathol 214:199, 2008. [Tinjauan tentang mekanisme sel pada fibrosis dengan penekanan pada sistem imun pada reaksi fibrosis terhadap infeksi kronik.] Yamanaka S, Blau HM: Nuclear reprogramming to a pluripotent state by three approaches. Nature 465:704, 2010. [Tinjauan tentang teknologi pembentukan sel iPS untuk kedokteran regenerahg]



Halaman ini sengaja dikosongkan



3 BAB



Kelainan-Kelainan Hemodinamik, Tromboemboli dan Syok DAFTAR ISI BAB Hiperemia dan Kongesti 75 Edema 76 Hemoragi 78 Hemostasis dan Trombosis 79 Hemostasis Normal 79



Trombosis 86 Koagulasi Intravaskular Diseminata 90 Embolus 90 Tromboemboli Paru 90 Tromboemboli Sistemik 91



Kesehatan sel dan jaringan bergantung pada sirkulasi darah yang membawa oksigen, makanan dan membuang sisa-sisa hasil metabolisme sel. Dalam keadaan normal, pada saat darah melewati pembuluh darah kapiler, protein-protein dalam plasma akan tertahan dalam pembuluh darah dan hanya terjadi sedikit pergerakan air dan elektrolit ke dalam jaringan. Keseimbangan ini sering terganggu oleh keadaankeadaan patologis seperti fungsi endotel yang berubah, tekanan pembuluh darah yang meningkat atau kandungan protein di dalam plasma yang menurun ke semuanya ini menyebabkan terjadinya, edema yaitu akumulasi cairan sebagai hasil akhir pergerakan cairan ke dalam rongga-rongga ekstravaskular. Bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi edema, bisa menimbulkan efek minimal atau sangat besar. Edema pada ekstremitas bawah, bisa hanya menyebabkan sepatu terasa sesak setelah seharian berdiri, tetapi edema pada paru, cairan edemanya bisa memenuhi alveoli sehingga menyebabkan hipoksia yang mengancam nyawa. Pembuluh-pembuluh darah sering mengalami trauma ringan sampai berat. Hemostasis merupakan proses pembekuan darah yang mencegah terjadinya perdarahan berlebihan setelah kerusakan pembuluh darah. Hemostasis yang tidak adekuat bisa menyebabkan perdarahan, yang mengganggu perfusi jaringan regional dan apabila berlangsung cepat dan masif, bisa menyebabkan hipotensi, syok dan kematian. Sebaliknya, pembekuan yang tidak pada tempatnya (trombosis) atau migrasi bekuan darah (emboli) dapat menyumbat pembuluh darah, sehingga berpotensi menyebabkan kematian jaringan karena iskemik (infark). Sesungguhnya, tromboemboli merupakan kunci dari tiga penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju, yaitu infark miokardial, emboli paru dan penyakit serebrovaskular (stroke).



HIPEREMIA DANA KONGESTI Baik hiperemia maupun kongesti keduanya merujuk pada peningkatan volume darah di dalam jaringan, namun mekanisme yang mendasarinya berbeda. Hiperemia merupakan suatu proses aktif yang disebabkan oleh dilatasi arteriol dan peningkatan aliran darah masuk, seperti yang terjadi pada tempat-tempat peradangan atau pada otot skeletal yang bekerja. Jaringan yang hiperemik tampak lebih merah dari normal



Infark 92 Syok 94



Patogenesis Syok Septik 94 Tahap-Tahap Syok 96



karena banyaknya darah yang mengandungi oksigen. Kongesti merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh gangguan aliran darah keluar dari vena suatu jaringan. Kongesti dapat terjadi sistemik seperti pada gagal jantung, atau lokal sebagai akibat adanya sumbatan vena tertentu. Jaringan yang kongestif tampak berwarna tidak normal, yaitu merah kebiruan (sianotik) karena akumulasi hemoglobin yang tidak mengandungi oksigen. Pada kongesti menahun, perfusi jaringan tidak adekuat dan hipoksia yang menetap dapat menyebabkan kematian sel-sel jaringan parenkim dan fibrosis jaringan sekunder, serta peningkatan tekanan intravaskular yang dapat menyebabkan timbulnya edema atau terkadang ruptur kapiler yang menimbulkan perdarahan setempat.



MORFOLOGI Penampang jaringan yang hiperemik atau kongestif terasa basah pada perabaan dan yang khas adalah darah menjadi kental. Pada pemeriksaan mikroskopik, kongesti paru mendadak ditandai oleh kapiler alveolus yang dipenuhi oleh darah dengan edema ringan sampai berat pada septa alveolus. Pada kongesti paru menahun, septa menjadi menebal dan fibrotik, rongga alveolus mengandungi banyak sel makrofag yang berisi hemosiderin (sel payah jantung). Pada kongesti hati mendadak, vena sentralis dan sinusoid-sinusoid tampak melebar, penuh berisi darah dan bahkan dapat terjadi nekrosis pada sel-sel hepatosit sentral. Sel-sel hepatosit periportal teroksigenasi lebih baik oleh karena letaknya yang lebih dekat dengan arteriol-arteriol hepatik sehingga akan mengalami hipoksia yang lebih ringan dan dapat hanya menyebabkan perubahan lemak yang reversibel. Secara makroskopik, pada kongesti hepatik yang menahun dan pasif, daerah sentral lobulus-lobulus hati tampak berwarna coklat kemerahan dan sedikit tertekan (oleh karena hilangnya sel) serta lebih jelas daripada daerah sekitarnya yang berwarna kekuningan, kadang berlemak, sehingga memberikan gambaran menyerupai biji buah pala kongesti menahun (Gambar 3-1, A).



76



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok Tabel 3-1 Patofisiologi Penyebab Edema



Peningkatan Tekanan Hidrostatik Gangguan Vena Balik/Venous Return Penyakit jantung kongestif Perikarditis konstriktif Asites (sirosis hepatis) Obstruksi atau kompresi vena Trombosis Tekanan eksternal (misal, massa) Inaktivitas ekstremitas bawah dengan ketergantungan lama



Pelebaran Arteriol



A



Panas Disregulasi neurohumoral



Penurunan Tekanan Osmotik Plasma (Hipoproteinemia) Protein-losing glomerulopathies (sindrom nefrotik) Sirosis hepatis (asites) Malnutrisi Protein-losing gastroenteropathy



Obstruksi Limfatik Peradangan Neoplastik Pascaoperasi Pascaradiasi



Retensi Natrium



B Gambar 3-1 Hati dengan kongesti pasif menahun dan nekrosis hemoragik. A, Pada spesimen ini, daerah sentral berwarna merah dan sedikit tertekan dibandingkan dengan parenkim sekitarnya yang masih hidup dan berwarna kekuningan, menyerupai potongan hati biji pala/"nutmeg liver". B, Sediaan mikroskopik menunjukkan nekrosis hepar sentrolobular dengan perdarahan dan sel-sel radang yang tersebar. (Sumbangan dari Dr. James Crawford.)



Gambaran mikroskopik yang ditemukan antara lain adalah nekrosis sel hati sentrolobular, perdarahan, dan sel-sel makrofag yang berisi hemosiderin (Gambar 3-1, B). Bila keadaan ini berlangsung lama, dapat terjadi kongesti hati berat (paling sering berkaitan dengan gagal jantung) dan fibrosis hati ("sirosis kardiak"). Oleh karena bagian sentral dari lobulus hati menerima darah paling akhir, nekrosis sentrolobular juga dapat terjadi pada berbagai keadaan dengan aliran darah hepatik yang berkurang (termasuk syok karena berbagai sebab); tanpa harus terdapat kongesti hepatik sebelumnya.



EDEMA Sekitar 60% dari berat badan orang dewasa terdiri atas air dan dua pertiga di antaranya terletak di dalam sel/ intrasel. Sisanya terutama ditemukan pada kompartemen-kompartemen di luar sel/ekstrasel dalam bentuk cairan interstisial; hanya 5% dari air tubuh berada di dalam plasma darah. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, edema adalah akumulasi cairan interstisial di dalam jaringan tubuh. Cairan ekstravaskular juga dapat berkumpul pada ronggarongga tubuh, seperti pada rongga pleura (hidroperikardium), atau rongga peritoneum (hidroperitoneum atau asites). Anasarka adalah edema yang berat, generalisata dan ditandai oleh pembengkakan jaringan subkutan yang mencolok serta akumulasi cairan dalam rongga-rongga tubuh. Tabel 3-1 menggambarkan penyebab-penyebab utama edema.



Pemasukan garam berlebihan dengan insufisiensi ginjal Peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus Hipoperfusi ginjal Peningkatan sekresi renin-angiotensin-aldosteron



Radang Radang akut Radang kronik Angiogenesis



Data dari Leaf A, Cotran RS: Renal Pathophyshalogy, 3rd ed. New York, Oxford University Press, 1985, hal 146.



Mekanisme edema karena peradangan terutama berkaitan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (telah dibahas di Bab 2). Edema yang disebabkan oleh hal-hal bukan peradangan akan dibahas dengan rinci di bawah ini. Pergerakan cairan antara pembuluh darah dan ruang interstisial diatur terutama oleh dua daya yang saling berlawanan, yaitu tekanan hidrostatik pembuluh darah dan tekanan osmotik koloid yang dihasilkan oleh protein plasma. Dalam keadaan normal, aliran keluar cairan disebabkan oleh tekanan hidrostatik pada ujung arteriol dari mikrosirkulasi akan diimbangi oleh aliran masuk cairan, karena terdapat sedikit peningkatan tekanan osmotik pada ujung venula; sehingga hanya sedikit selisih cairan berupa aliran keluar, yang akan dialirkan oleh pembuluh-pembuluh limfe. Baik peningkatan tekanan hidrostatik maupun penurunan tekanan osmotik koloid akan menyebabkan peningkatan pergerakan air ke dalam rongga interstisial (Gambar 3-2). Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik jaringan dan akhirnya didapat keseimbangan yang baru. Cairan edema yang berlebihan akan dibawa oleh aliran limfatik dan masuk kembali ke dalam aliran darah melalui duktus torasikus (Gambar 3-2). Cairan edema yang terakumulasi oleh meningkatnya tekanan hidrostatik atau penurunan koloid di dalam pembuluh darah merupakan transudat, yang mengandungi sedikit protein, dan memiliki gravitasi yang khas, yaitu kurang dari 1,012. Sebaliknya, cairan edema yang terjadi oleh karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada peradangan merupakan eksudat, kaya protein dengan gravitasi yang



Edema 77 PEMBULUH-PEMBULUH LIMFE



Ke duktus torasikus dan akhirnya ke vena subklavia sinistra



Tekanan cairan interstisium yang meningkat



Tekanan hidrostatik



tekanan osmotik plasma, baik karena hilang dari sirkulasi ataupun karena sintesis yang tidak adekuat. Pada sindrom nefrotik (Bab 13), pembuluh-pembuluh kapiler glomerulus yang rusak menjadi bocor, menyebabkan hilangnya albumin (dan protein plasma lain), masuk ke urin dan menimbulkan edema generalisata. Penurunan sintesis albumin terjadi pada penyakit hati yang berat (misalnya sirosis) (Bab 15) dan malnutrisi protein (Bab 7). Apa pun penyebabnya, kadar albumin yang rendah menyebabkan timbulnya edema, penurunan volume intravaskular, hipoperfusi ginjal dan hiperaldosteronisme sekunder. Sayangnya, peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal tidak hanya gagal mengoreksi defisit volume plasma, namun juga memperburuk timbulnya edema, oleh karena menetapnya defek protein serum primer yang rendah.



Obstruksi Limfatik Ujung arteri



PEMBULUH KAPILER



Ujung vena



Gambar 3-2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan cairan melewati dinding kapiler. Daya hidrostatik dan osmotik kapiler diseimbangkan agar akhirnya terdapat sedikit pergerakan cairan ke dalam interstisium. Akan tetapi, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan osmotik plasma mengakibatkan akumulasi cairan ekstrasel (edema). Saluran limfe jaringan mengalirkan banyak cairan ini kembali ke sirkulasi melalui duktus torasikus; akan tetapi jika kapasitas drainase terlewati, terjadi edema jaringan.



khas, lebih dari 1,020 (lihat Bab 2). Sekarang kita akan membahas berbagai penyebab dari edema.



Peningkatan Tekanan Hidrostatik Peningkatan tekanan intravaskular lokal dapat menyebabkan gangguan arus balik vena/venous return, sebagai contoh adalah trombosis vena pada ekstremitas bawah dapat menyebabkan edema yang terbatas pada bagian distal tungkai bawah yang terkena. Peningkatan tekanan vena generalisata dengan akibat edema sistemik, terjadi paling sering pada gagal jantung kongestif (Bab 10). Beberapa faktor dapat meningkatkan tekanan hidrostatik vena pada pasien gagal jantung kongestif (Gambar 3-3). Penurunan curah jantung menyebabkan hipoperfusi ginjal, yang memicu aksis reninangiotensinaldosteron dan menginduksi retensi natrium dan air (hiperaldosteronisme sekunder). Pada pasien-pasien dengan fungsi jantung normal, adaptasi ini akan meningkatkan pengisian jantung/ cardiac filling dan curah jantung/cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi ginjal. Akan tetapi, jantung yang rusak sering tidak mampu meningkatkan curah jantungnya sebagai respons kompensatorik terhadap peningkatan volume darah. Hal ini menimbulkan lingkaran setan retensi cairan, peningkatan tekanan hidrostatik vena dan memperburuk edema. Keadaan ini akan terus bergulir kecuali curah jantung diperbaiki atau retensi air dikurangi (misalnya dengan pembatasan garam atau terapi dengan diuretik/antagonis aldosteron). Pembatasan garam atau terapi diuretik/antagonis aldosteron juga bermanfaat dalam mengatasi edema generalisata yang diakibatkan oleh sebab lain, oleh karena hiperaldosteronisme sekunder merupakan gambaran umum dari edema generalisata.



Penurunan Tekanan Osmotik Plasma



Dalam keadaan normal, hampir separuh dari seluruh protein plasma adalah albumin. Oleh karena itu, keadaan-keadaaan di mana tubuh kekurangan albumin merupakan penyebab tersering penurunan



Kerusakan drainase limfatik dan konsekuensi limfedema biasanya disebabkan oleh obstruksi lokal pada keadaan peradangan atau neoplastik. Sebagai contoh, infeksi parasit filariasis dapat menyebabkan edema masif ekstremitas bawah dan genitalia ekstema (disebut juga elefantiasis) dengan menimbulkan fibrosis pembuluh limfe inguinal dan kelenjar getah bening. Infiltrasi dan obstruksi pembuluh limfe superfisial oleh sel-sel kanker payudara dapat menyebabkan edema kulit di atasnya; karakteristik kulit payudara yang terkena berupa aluralur halus disebut kulit jeruk/peau d'orange. Limfedema juga dapat terjadi sebagai suatu komplikasi terapi. Hal ini sering terlihat pada wanita-wanita dengan kanker payudara yang menjalani reseksi kelenjar getah bening aksila dan atau radiasi. Kedua hal ini dapat mengganggu dan menyumbat aliran limfe yang menyebabkan limfedema berat pada lengan.



Retensi Natrium dan Air Retensi garam (terkait dengan air) yang berlebihan dapat menyebabkan edema melalui peningkatan tekanan hidrostatik (karena ekspansi volume intravaskular) dan penurunan tekanan osmotik plasma. Retensi garam dan air yang berlebihan tampak pada berbagai jenis penyakit yang mengganggu fungsi ginjal, termasuk glomerulonefritis poststreptokokal dan gagal ginjal mendadak (Bab 13).



GAGAL JANTUNG



Tekanan hidrostati kapiler



MALNUTRISI, SINTESIS HATI, SINDROM NEFROTIK



Aliran darah ginjal



Albumin plasma



Aktivasi sistem renin-angiotensin aldoste Retensi ion Na+ dan H2O Volume darah



GAGAL GINJAL Tekanan osmotik plasma



EDEMA



Gambar 3-3 falur-jalur yang berakibat pada edema sistemik yang disebabkan oleh gagal jantung, gagal ginjal atau penurunan tekanan osmotik plasma



78



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



MORFOLOGI Edema mudah dikenali melalui pemeriksaan makroskopik; pemeriksaan mikroskopik menunjukkan 'clearing' dan pemisahan elemen-elemen matriks ekstrasel. Walaupun semua jaringan bisa terkena, edema paling sering ditemukan pada jaringan subkutan, paru dan otak. Edema subkutan bisa difus, namun biasanya lebih sering terakumulasi pada bagian-bagian tubuh yang berlokasi paling jauh dari jantung dan paling bawah, yang tekanan hidrostatiknya paling tinggi. Oleh karena itu, edema yang khas paling sering ditemukan pada tungkai bawah saat berdiri dan pada sakrum saat berbaring, suatu hubungan yang disebut edema dependen. Tekanan jari di atas jaringan subkutan yang edema menyingkirkan cairan interstisial, dan meninggalkan lubang berbentuk seperti jari; hal ini disebut edema berlubang/pitting edema. Edema yang disebabkan oleh disfungsi ginjal atau sindrom nefrotik sering bermanifestasi pertama kali di jaringan ikat longgar (misalnya kelopak mata, menyebabkan edema periorbital). Berat paru dengan edema sering mencapai dua hingga tiga kali berat normal, dan pada penampang tampak berbusa, kadang berupa cairan berbercak darah yang terdiri atas campuran udara, cairan edema dan sel darah merah yang ekstravasasi. Edema otak dapat terlokalisir (misalnya oleh karena abses atau tumor) atau generalisata, tergantung pada sifat dan luasnya proses patologis/jejas. Dengan adanya edema generalisata, sulkus-sulkus akan menyempit, dan girus-girus akan membengkak dan merata pada tulang tengkorak.



Korelasi Klinis Efek edema bervariasi, dari hanya sedikit mengganggu hingga menjadi fatal dengan cepat. Edema subkutan perlu untuk dikenal, terutama karena memberikan petunjuk akan adanya penyakit jantung atau ginjal yang mendasarinya; akan tetapi, bila berat dapat juga mengganggu penyembuhan luka dan mendorong terjadinya infeksi. Edema paru merupakan masalah klinis yang umum ditemukan, terutama pada kegagalan ventrikel kiri, namun bisa juga terjadi pada gagal ginjal, sindrom gagal napas mendadak/acute respiratory distress syndrome) (Bab 11), penyakit infeksi dan peradangan paru. Edema paru dapat menyebabkan kematian dengan mengganggu fungsi ventilasi normal; selain mengganggu difusi oksigen, cairan edema alveolar juga menciptakan lingkungan yang memudahkan terjadinya infeksi. Edema otak merupakan keadaan yang mengancam jiwa; dan bila pembengkakan parah, otak dapat mengalami herniasi melalui foramen magnum. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial, suplai pembuluh darah batang otak dapat terganggu. Kondisikondisi ini dapat menyebabkan kematian dengan merusak pusatpusat pada meduler (Bab 22).



RINGKASAN Edema • Edema merupakan akibat dari pergerakan cairan dari pembuluh darah ke rongga intersisial; protein cairan ini bisa rendah (transudat) atau bisa tinggi (eksudat).



• Edema bisa disebabkan oleh:  Peningkatan tekanan hidrostatik (misalnya pada gagal jantung)  Peningkatan permeabilitas pembuluh darah (misalnya pada peradangan)  Penurunan tekanan osmotik koloid akibat berkurangnya albumin plasma • Penurunan sintesis (misalnya pada penyakit hati, malnutrisi protein) • Meningkatnya albumin yang hilang (misalnya pada sindrom nefrotik)  Obstruksi limfatik (misalnya pada peradangan atau neoplasia)  Retensi natrium (misalnya pada gagal ginjal)



HEMORAGI Hemoragi didefinisikan sebagai keluarnya darah dari pembuluh darah (ekstravasasi) yang bisa timbul pada berbagai keadaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perdarahan kapiler bisa terjadi pada jaringan yang kongestif menahun. Risiko hemoragi (yang sering terjadi setelah suatu trauma ringan) meningkat pada berbagai kelainan klinis yang kesemuanya disebut sebagai diatesis hemoragik. Trauma, aterosklerosis, atau erosi dinding pembuluh darah oleh proses radang ataupun neoplastik juga dapat menyebabkan hemoragi, yang bisa cukup luas bila yang terkena adalah pembuluh arteri atau vena yang besar. Hemoragi bisa tampak dalam berbagai penampilan dengan akibat klinis yang berbeda. • Hemoragi bisa eksternal atau terakumulasi di dalam jaringan sebagai hematoma, yang bisa bervariasi dari ringan (misalnya memar) hingga berat dan fatal (misalnya suatu hematoma retroperitoneal yang masif akibat ruptur dari aneurisma aorta/ dissecting aortic aneurysm (Bab 9). Terdapat berbagai istilah yang dipakai untuk perdarahan luas di dalam rongga-rongga tubuh, yang berkaitan dengan lokasi — hemotorak, hemoperikardium, hemoperitoneum, atau hemartrosis (pada sendi-sendi). Perdarahan luas kadang-kadang bisa menimbulkan jaundice oleh penghancuran eritrosit dan hemoglobin yang masif. • Petekie merupakan hemoragi kecil (berdiameter sekitar 1 hingga 2 mm) pada kulit, membran mukosa dan permukaan serosum. (Gambar 3-4, A); penyebabnya antara lain rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia), kelainan fungsi trombosit, dan hilangnya dukungan dinding pembuluh darah, seperti pada defisiensi vitamin C (Bab 7). • Purpura merupakan hemoragi yang agak luas (3 mm hingga 5 mm). Purpura dapat disebabkan oleh kelainan yang sama dengan yang menyebabkan petekie, seperti trauma, peradangan pembuluh darah (vasculitis), dan meningkatnya kerentanan pembuluh darah. • Ekimosis adalah hematoma subkutan yang lebih luas (1 cm hingga 2 cm) (secara umum disebut memar). Eritrosit yang ekstravasasi difagosit dan didegradasi oleh makrofag; perubahan warna memar yang karakteristik disebabkan oleh konversi enzimatik hemoglobin (berwarna merah-biru) menjadi bilirubin (berwarna hijau-biru) dan akhirnya menjadi hemosiderin (coklat keemasan). Kepentingan klinis setiap perdarahan tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan perdarahan. Kehilangan darah yang cepat hingga mencapai 20% volume darah atau kehilangan jumlah yang lebih besar secara perlahan-lahan, pada orang dewasa yang sehat hanya sedikit pengaruhnya, akan tetapi kehilangan



Hemostasis dan Trombosis



79



• Jejas pembuluh darah menyebabkan vasokonstriksi arteriolar yang transien melalui mekanisme refleks neurogenik, yang diperkuat oleh sekresi lokal endotelin (suatu vasokonstriktor kuat yang berasal dari endotel) (Gambar 3-5, A). Efek ini berkurang, akan tetapi perdarahan akan segera muncul kembali bila trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak diaktivasi. • Jejas endotel memaparkan matriks ekstrasel subendotel yang sangat trombogenik, mendorong adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit. Pembentukan plak trombosit yang pertama disebut hemostasis primer (Gambar 3-5, B).



A



• Jejas endotel juga memaparkan faktor jaringan (disebut juga faktor III atau tromboplastin), suatu glikoprotein prokoagulan yang terikat di membran yang disintesis oleh sel-sel endotelial. Faktor jaringan yang terpapar, bekerjasama dengan faktor VII, merupakan pemicu kaskade pembekuan darah utama in vivo. Hal ini akhirnya menimbulkan aktivasi trombin, yang memiliki beberapa peran dalam pengaturan pembekuan. • Trombin yang teraktivasi meningkatkan pembentukan bekuan fibrin yang tidak larut dengan memecah fibrinogen; trombin juga merupakan aktivator kuat untuk trombosit tambahan, yang berfungsi memperkuat plak hemostatik. Urutan kejadian ini disebut hemostasis sekunder, dengan cara pembentukan bekuan yang stabil, yang mampu mencegah berlanjutnya hemoragi (Gambar 3-5, C).



B Gambar 3-4 A, Perdarahan petekiel punktata di mukosa kolon, suatu akibat dari trombositopenia. B, Perdarahan intraserebrum yang fatal.



yang lebih besar bisa menyebabkan syok hemoragik (hipovolemik) (akan dibicarakan kemudian). Lokasi timbulnya perdarahan juga penting; perdarahan yang berpengaruh kecil pada jaringan subkutis bisa menyebabkan kematian bila terjadi di otak (Gambar 3-4, B). Akhirnya, kehilangan darah eksternal yang berulang dan menahun (seperti pada ulkus peptikum atau perdarahan menstruasi) sering berujung pada anemia defisiensi besi sebagai akibat dari hilangnya zat besi pada hemoglobin. Sebaliknya, perdarahan internal (misalnya pada hematoma) tidak akan menyebabkan defisiensi besi oleh karena besi akan didaur ulang dari sel darah merah yang difagositosis.



HEMOSTASIS DAN TROMBOSIS Hemostasis normal terdiri atas suatu seri rangkaian yang teratur untuk mempertahankan darah tetap dalam keadaan cair dan bebas bekuan di dalam pembuluh darah normal, serta dapat membentuk plak hemostatik lokal pada lokasi jejas pembuluh darah. Trombosis merupakan hemostasis yang patologis, yaitu pembentukan bekuan darah (trombus) di dalam pembuluh darah yang utuh. Baik hemostasis maupun trombosis terdiri atas tiga elemen, yaitu dinding pembuluh darah, trombosit dan kaskade pembekuan darah. Pembahasan selanjutnya akan dimulai dari hemostasis normal dan pengaturannya.



Hemostasis Normal Berikut ini disimpulkan tahap-tahap penting dalam proses hemostasis dan pengaturannya seperti yang ditampilkan pada Gambar 3-5.



• Setelah perdarahan terkontrol, mekanisme kontraregulasi (misalnya, faktor-faktor yang menyebabkan fibrinolisis, seperti tissue-type plasminogen activator) bekerja untuk memastikan bahwa pembentukan bekuan hanya terbatas pada tempat jejas saja. (Gambar 3-5, D). Yang akan didiskusikan dengan panjang lebar di bawah ini adalah peran sel endotel, trombosit dan kaskade pembekuan darah.



Endotel Sel-sel endotel merupakan regulator utama dari hemostasis; keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombotik endotelial menentukan apakah akan terjadi pembentukan, pembesaran, atau pelarutan trombus. Sel-sel endotel normal mengekspresikan sejumlah faktor antikoagulan yang menghambat agregasi dan koagulasi trombosit serta menyebabkan fibrinolisis; Akan tetapi setelah jejas atau aktivasi, keseimbangan ini bergeser dan sel-sel endotel mendapatkan berbagai aktivitas prokoagulan (Gambar 3-6). Selain oleh jejas/trauma, endotel dapat diaktivasi oleh patogen mikrobial, daya-daya hemodinamik dan sejumlah mediator proinflamasi (Bab 2).



Sifat-sifat Antitrombotik Endotelial Normal Efek Inhibisi pada Trombosit. Endotel yang utuh mencegah trombosit (dan faktor-faktor koagulasi plasma) berikatan dengan matriks ekstrasel subendotel yang sangat trombogenik. Trombosit yang tidak teraktivasi tidak menempel pada endotel normal; bahkan trombosit yang teraktivasi dihalangi adhesinya oleh prostasiklin (misalnya, prostaglandin I2 [PGI2]) dan nitrit oksida yang dihasilkan oleh endotel. Kedua mediator ini juga merupakan vasodilator kuat dan penghambat agregasi trombosit, yang sintesisnya oleh sel-sel endotel dirangsang oleh sejumlah faktor (misalnya, trombin, sitokin) yang dihasilkan selama proses pembekuan. Sel-sel endotel juga menghasilkan adenosin difosfatase, yang mendegradasi adenosin difosfat (ADP) dan selanjutnya menghambat agregasi trombosit.



80



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



A. VASOKONSTRIKSI Endotel



Membran basal



Otot polos arteriol



Tempat jelas



Pelepasan endotelin menyebabkan vasokonstriksi



Refleks vasokonstriksi



Matriks ekstrasel (kolagen)



B. HEMOSTASIS PRIMER



2 Perubahan bentuk 1 Adhesi trombosit



3 Pengeluaran granul (ADP, TXA2)



vWF



Endotel



Membran basal



Plak hemostatik primer



4 Rekruitmen Agregasi (plak hemostatik 5



Kolagen



C. HEMOSTASIS SEKUNDER



2 Ekspresi kompleksi fosfolipid 1 Faktor jaringan



3 Dihasilkan trombin 4 Polimerisasi fibrin Faktor jaringan



Gambar 3-5 Hemostasis normal. A, Setelah jejas pembuluh darah faktor-faktor neurohumoral lokal menginduksi vasokonstriksi transien. B, Trombosit berikatan melalui reseptor glikoprotein I b (Gplb) dengan faktor von Willebrand (vWF) pada matriks ekstrasel (ECM) yang terpapar dan diaktifkan, melalui perubahan bentuk dan pelepasan granul. Adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan A2 (TxA2) yang dilepaskan menginduksi agregasi trombosit tambahan melalui ikatan reseptorreseptor Gpllb-llla dengan fibrinogen. Agregasi trombosit ini mengisi cedera pembuluh darah dan membentuk plak hemostatik primer. C, Aktivasi kaskade pembekuan darah (meliputi faktor jaringan dan fosfolipid trombosit) berakibat pada polimerisasi fibrin, yang melekatkan trombosit ke dalam plak hemostatik sekunder definitif yang lebih besar dan lebih stabil daripada plak primer dan mengandungi eritrosit dan leukosit yang terperangkap. D, Mekanisme pengaturan berlawanan, seperti pelepasan t-PA (aktivator plasminogen jaringan, suatu produk fibrinolitik) dan trombomodulin (berinterferensi dengan kaskade pembekuan), membatasi proses hemostatik pada tempat jejas. Efek Inhibisi pada Faktor-Faktor Pembekuan. Aksi ini dimediasi oleh faktor-faktor yang diekspresikan pada permukaan endotel, terutama molekul-molekul yang menyerupai heparin, trombomodulin dan penghambat tissue factor pathway (Gambar 3-6). Molekul-molekul yang menyerupai heparin bekerja secara tidak langsung: sebagai kofaktor yang sangat meningkatkan inaktivasi trombin (dan faktorfaktor pembekuan yang lain) melalui protein plasma antitrombin III. Trombomodulin bekerja secara tidak langsung: dengan berikatan pada trombin, sehingga memodifikasi spesifisitas substrat trombin. Jadi, bukannya memecah fibrinogen, tetapi trombomodulin memecah dan mengaktivasi protein C, suatu antikoagulan. Protein C yang teraktivasi mencegah pembekuan dengan memecah dan menginaktifkan dua prokoagulan, yaitu faktor Va dan faktor VIIIa; protein C memerlukan suatu kofaktor yaitu protein S, yang juga dihasilkan oleh sel-sel endotel. Akhirnya, tissue factor pathway inhibitor (TFPI) secara langsung menghambat kompleks faktor jaringan faktor VIIa dan faktor Xa. Fibrinolisis. Sel-sel endotel menghasilkan tissue-type plasminogen activator, suatu protease yang memecah plasminogen menjadi plasmin; plasmin kemudian memecah fibrin untuk mendegradasi trombi.



1



Sifat-Sifat Protrombotik Endotelial yang Terjejas atau Teraktivasi



Plak hemostatik sekunder



Fibrin



D. KONTRAREGULASI ANTITROMBOTIK



Ekspresi ekstrasel: • t-PA (fibrinolisis) • trombomodutin (memblok kaskade pembekuan)



Neutrofil yang terjebak Eritrosit yang terjebak Fibrin yang erpolimerisasi



Aktivasi Trombosit. Jejas endotel menyebabkan terjadinya kontak antara trombosit dengan matriks ekstrasel subendotel, yang kandungannya antara lain faktor von Willebrand (vWF), suatu protein multimerik besar yang dihasilkan oleh sel endotel. vWF melekat kuat pada matriks ekstrasel melalui interaksinya dengan kolagen dan juga berikatan kuat dengan Gp1b, suatu glikoprotein yang ditemukan di permukaan trombosit. Interaksi-interaksi ini memungkinkan vWF berperan sebagai suatu lem molekuler yang menempelkan trombosit eraterat pada dinding pembuluh darah yang terkelupas atau tidak utuh (Gambar 3-7). Aktivasi Faktor-Faktor Pembekuan. Sebagai respons terhadap sitokin (misalnya tumor necrosis factor [TNF] atau interleukin-1 [IL-1]) atau produk-produk bakteri tertentu, termasuk endotoksin, sel-sel endotel memproduksi faktor jaringan yang merupakan aktivator pembekuan utama in vivo dan menurunkan ekspresi trombomodulin. Sel-sel endotel yang teraktivasi juga mengikat faktor pembekuan IXa dan Xa (lihat selanjutnya), yang memperkuatkan aktivitas katalitik dari faktorfaktor ini.



Hemostasis and Trombosis



81



MENDORONG TROMBOSIS



MENGHAMBAT TROMBOSIS



Menginaktivasi faktor Va dan VIIIa



Menginaktivasi trombin (juga faktor IXa dan Xa)



(membutuhkan protein S) Protein C aktif Menginaktifkan kompleks faktor jaringan-faktor-Vila



Antitrombin III



Trombin



Protein C



Urutan pembekuan ekstrinsik



Mengaktifkan fibrinolisis Adhesi trombosit (dipegang erat oleh fibrinogen)



Menghambat agregasi trombosit PGI2, NO, dan adenosin difosfatase



Paparan faktor jaringan yang terikat membran



Faktor vW t-PA



Efek-efek endotel Molekul menyerupai heparin



Reseptor trombin Penghambat jalur Thrombomodulin faktor jaringan



Kolagen



Gambar 3-6 Sifat-sifat antikoagulan dari endotel normal (kiri) dan sifat-sifat prokoagulan dari endotel terjejas atau teraktivasi (kanan). NO, nitrit oksida; PGI2, prostaglandin I2 (prostasiklin); t-PA, tissue plasminogen activator; vWF, faktor von Willebrand. Reseptor-reseptor trombin juga disebut protease-activated receptors (PAR).



Efek-Efek Antifibrinolitik. Sel-sel endotel yang teraktivasi mensekresi plasminogen activator inhibitors (PAIs), yang membatasi fibrinolisis dan oleh karenanya mengarahkan terjadinya trombosis.



RINGKASAN Sel-Sel Endotel dan Pembekuan Dalam keadaan utuh, sel endotel normal membantu mempertahankan aliran darah dengan menghambat aktivasi trombosit dan faktor-faktor pembekuan. • Sel-sel endotel yang terstimulasi oleh jejas atau sitokin inflamasi akan meningkatkan ekspresi faktor-faktor prokoagulan (misalnya, faktor jaringan) yang mempermudah terjadinya pembekuan, dan menurunkan ekspresi faktor-faktor anti pembekuan. • Hilangnya integritas endotel menyebabkan vWF subendotel dan kolagen membran basal, terpapar yang merangsang adhesi trombosit, aktivasi trombosit dan pembentukan bekuan darah.



• Jisim-jisim padat/dense bodies (granul δ), yang mengandungi nukleotida-nukleotida adenin (ADP dan ATP), kalsium berion, histamin, serotonin, dan epinefrin. Setelah jejas pembuluh darah, trombosit berhadapan dengan kandungan-kandungan matriks ekstrasel (kolagen sangat penting) dan glikoprotein-glikoprotein adhesif seperti vWF. Hal ini mendorong terjadinya sejumlah kejadian yang berakhir pada (1) adhesi







Defisiensi: Sindrom Bernard-Soulier Defisiensi: Tromcastenia Glanzmann Kompleks GpIIb-IIIa



Fibrinogen GpIb



Endotel



Trombosit Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tidak berinti yang dilepaskan oleh megakariosit sumsum tulang ke dalam aliran darah. Trombosit berperan penting dalam hemostasis normal dengan membentuk plak hemostatik yang menutup defek pembuluh darah, dan dengan merekrut dan mengkonsentrasikan faktorfaktor pembekuan yang teraktivasi. Fungsi trombosit tergantung pada beberapa reseptor glikoprotein keluarga integrin, suatu sitoskeleton kontraktil dan dua jenis granul sitoplasmik, yaitu: • Granul α, yang mengekspresikan molekul adhesi selectin-P pada membrannya (Bab 2) dan mengandungi fibrinogen, fibronektin, faktor V dan VIII, platelet factor-4 (suatu heparin binding-chemokine), platelet-derived growth factor (PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-β).



GpIb Trombosit



ADP menginduksi perubahan konformasional Faktor von Willebrand



Subendotel



Defisiensi: Penyakit von Willebrand



Gambar 3-7 Adhesi dan agregasi trombosit. Faktor von Willebrand berfungsi sebagai jembatan adhesi antara kolagen subendotel dan reseptor trombosit glikoprotein lb (Gplb). Agregasi trombosit diselesaikan oleh berikatnya fibrinogen pada reseptor-reseptor Gpllb-llla pada trombosit-trombosit lain. Defisiensi kongenital pada berbagai reseptor atau molekul penghubung mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit yang ditunjukkan dalam kotak merah. ADP, adenosin difosfat.



82



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



trombosit, (2) aktivasi trombosit, dan (3) agregasi trombosit (Gambar 3-5, B).



Adhesi Trombosit



Adhesi trombosit yang mengawali pembentukan bekuan bergantung pada vWF dan glikoprotein trombosit Gp1b. Melalui stres (misalnya, pada darah yang mengalir), vWF mengalami perubahan susunan, menjadi berbentuk memanjang yang memungkinkannya berikatan secara bersamaan dengan kolagen pada matriks ekstrasel dan pada Gp1b trombosit (Gambar 3-7). Pentingnya interaksi adhesif ini ditunjukkan pada keadaan defisiensi genetik vWF dan Gp1b, yang keduanya berakibat terjadinya kelainan perdarahan—penyakit von Willebrand (Bab 11) dan Penyakit Bernard-Soulier (kasus jarang).



Aktivasi Trombosit Adhesi



trombosit menyebabkan perubahan bentuk yang ireversibel dan sekresi dari kedua jenis granulsuatu proses yang disebut aktivasi trombosit. Kalsium dan ADP yang dilepaskan dari granul δ terutama penting pada proses selanjutnya, oleh karena kalsium yang diperlukan oleh beberapa faktor pembekuan dan ADP, merupakan aktivator kuat dari trombosit yang sedang tidak aktif. Trombosit yang teraktivasi juga menghasilkan tromboksan A2 (TXA2) (Bab 2), suatu prostaglandin yang mengaktifkan trombosittrombosit tambahan di sekitarnya dan juga memiliki peran penting pada agregasi trombosit (dijelaskan di bawah ini). Selama aktivasi, trombosit mengalami perubahan dramatik dari berbentuk lempengan/ disc halus menjadi bulatan/sphere dengan banyak ekstensi membran yang panjang, bertonjol-tonjol dan perubahan-perubahan lain yang lebih ringan pada membran plasma. Perubahan bentuk trombosit meningkatkan agregasi selanjutnya dan meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk berinteraksi dengan faktor-faktor pembekuan. Perubahan membran yang ringan meliputi meningkatnya ekspresi permukaan dari fosfolipid bermuatan negatif, yang menjadi tempat berikatan kalsium dan faktor-faktor koagulasi, dan suatu perubahan konformasional pada trombosit GpIIb/IIIa yang membuatnya dapat berikatan dengan fibrinogen.



Agregasi Trombosit



Agregasi trombosit terjadi setelah adhesi dan aktivasi trombosit, dan dirangsang oleh beberapa faktor yang sama dengan yang menginduksi aktivasi trombosit, seperti TxA2. Agregasi ditingkatkan oleh interaksi antara fibrinogen dan reseptor GpIIb/IIIa pada trombosit di sekitarnya (Gambar 3-7). Penting-nya interaksi ini dapat dilihat dari adanya suatu penyakit defisiensi herediter GpIIb/IIIa (trombastenia Glanzmann) yang jarang dijumpai, yang berhubungan dengan perdarahan dan ketidakmampuan trombosit untuk beragregasi. Pengenalan terhadap peran sentral dari reseptor Gpllb-llla pada agregasi trombosit telah menstimulasi pengembangan obat-obat antitrombotik yang menghambat fungsi Gpllb-llla Aktivasi pembekuan darah secara bersamaan menghasilkan trombin yang menstabilisasi plak trombosit melalui dua mekanisme: • Trombin mengaktivasi suatu reseptor permukaan trombosit (protease-activated receptor [PAR]), yang bersama-sama dengan ADP dan TxA2 memperkuat agregasi trombosit. Hal ini diikuti oleh kontraksi trombosit, membuat massa gabungan trombosit yang ireversibel, membentuk plak hemostatik sekunder definitif.



• Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin di sekitar plak, sehingga plak trombosit ini melekat secara kuat pada tempatnya. Eritrosit dan leukosit juga ditemukan pada plak hemostatik. Leukosit menempel pada trombosit melalui selectin-P dan pada endotel melalui bermacam-macam molekul adhesi (Bab 2); hal ini menyebabkan timbulnya respons peradangan yang menyertai trombosis. Trombin juga meningkatkan peradangan dengan merangsang adhesi neutrofil dan monosit (akan dijelaskan kemudian) dan dengan menghasilkan produk-produk pemisahan fibrin yang bersifat kemotaksis, selama pemecahan fibrinogen.



Interaksi Trombosit-Endotel Interaksi antara trombosit dan endotel memiliki pengaruh yang sangat besar pada pembentukan bekuan darah. Sebagai contoh, prostaglandin PGI2 (dihasilkan oleh endotel normal) merupakan suatu vasodilator dan menghambat agregasi trombosit, sementara TxA2 (dihasilkan oleh trombosit yang teraktivasi, seperti yang dijelaskan sebelumnya) merupakan suatu vasokonstriktor yang kuat. Keseimbangan antara pengaruh yang berlawanan dari PGI2 dan TxA2 bervariasi. Pada pembuluh darah normal, pengaruh PGI2 dominan dan agregasi trombosit dihambat, sedangkan jejas endotel menurunkan produksi PGI2 dan meningkatkan agregasi trombosit serta produksi TxA2. Pemakaian klinis aspirin (suatu penghambat siklooksigenase yang ireversibel) untuk menurunkan risiko trombosis koroner terletak pada kemampuannya untuk memblokir produksi TxA2 oleh trombosit, yang tidak memiliki kemampuan untuk mensintesa protein. Walaupun produksi PGI2 endotel juga dihambat oleh aspirin, sel-sel endotel dapat mensintesis ulang siklooksigenase, sehingga blok terhadap produksi TxA2 tersebut bisa teratasi. Dengan perangai serupa dengan PGI2, nitrit oksida yang dihasilkan oleh endotel juga dapat berfungsi sebagai suatu vasodilator dan penghambat agregasi trombosit (Gambar 3-6).



RINGKASAN Adhesi, Aktivasi dan Agregasi Trombosit •







• •



Jejas endotel memaparkan matriks ekstrasel membran basal yang ada di bawahnya; trombosit menempel pada matriks ekstrasel terutama melalui ikatan antara reseptor Gplb trombosit dan vWE Adhesi menyebabkan aktivasi trombosit, suatu kejadian yang berhubungan dengan sekresi kandungan granul trombosit, meliputi kalsium (suatu kofaktor untuk sejumlah protein pembekuan) dan ADP (suatu mediator untuk aktivasi trombosit selanjutnya); perubahan dramatik pada bentuk dan komposisi membran; dan aktivasi reseptor-reseptor Gpllb/llla. Reseptor-reseptor Gpllb/Illa pada trombosit yang teraktivasi membentuk jembatan yang berikatan silang dengan fibrinogen, menimbulkan agregasi trombosit. Aktivasi trombin akan meningkatkan penumpukan fibrin, yang melekatkan plak trombosit lebih erat pada tempatnya.



Kaskade Pembekuan Darah Kaskade pembekuan darah merupakan cara ketiga dari sistem hemostatik. Jalur-jalurnya digambarkan secara skematik pada Gambar 3-8; hanya prinsip-prinsip umum saja yang akan dibicarakan di sini.



Hemostasis dan Trombosis



secara khas tersusun pada suatu permukaan fosfolipid (disediakan oleh sel endotel atau trombosit) dan dijadikan satu oleh interaksiinteraksi yang bergantung pada ion-ion kalsium (menjelaskan mengapa pembekuan darah dapat dicegah oleh obat-obat pengikat kalsium/ calcium chelator). Seperti yang terlihat pada Gambar 3-9, kaskade berurutan dari aktivasi ini dapat disamakan dengan suatu "tarian" yang mana faktor-faktor pembekuannya dipindahkan dari satu penari ke penari berikutnya. Agar faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X memiliki kemampuan untuk mengikat kalsium, diperlukan penambahan gugus karboksil-y secara enzimatik pada residu asam glutamat tertentu pada protein-protein ini. Reaksi ini membutuhkan vitamin K sebagai kofaktor dan diantagonis oleh obat-obat seperti coumadin, yang banyak digunakan sebagai suatu antikoagulan. Pembekuan darah secara tradisional dibagi menjadi jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik, yang bergabung pada aktivasi faktor X (Gambar 3-8). Dinamakan jalur



Kaskade pembekuan darah merupakan suatu rangkaian reaksi enzimatik yang berurutan. Pada setiap tahap, suatu proenzim diubah menjadi enzim yang aktif, yang selanjutnya akan mengubah proenzim berikutnya, yang pada akhirnya menyebabkan trombin teraktivasi dan pembentukan fibrin. Trombin memegang peranan penting, oleh karena trombin terlibat pada banyak tahap dalam kaskade ini (seperti terlihat pada Gambar 3-8). Trombin menyebabkan fibrinogen lisis menjadi monomer-monomer fibrin yang berpolimerisasi menjadi gel yang tidak larut; gel ini membungkus trombosit dan sel-sel lain pada plak hemostatik sekunder definitif. Polimer-polimer fibrin distabilkan melalui aktivitas ikatan silang dari faktor XIIIa, yang juga diaktifkan oleh trombin. Setiap reaksi dalam jalur ini tergantung pada pembentukan kompleks yang terdiri atas enzim (faktor pembekuan yang teraktivasi), substrat (proenzim faktor pembekuan berikutnya dalam kaskade), dan kofaktor (yang mempercepat reaksi). Komponen-komponen ini JALUR INTRINSIK



JALUR EKSTRINSIK



XII (Faktor Hageman) Kalikrein



83



Jelas jaringan



Kolagen kininogen berberat molekul tinggi XIIa



Prekalikrein



Faktor jaringan (Tromboplastin) VII



XI



IX



XIa Trombin (IIa)



IXa VIII



VIIIa Trombin (IIa)



Faktor jaringan



Penghambatan Jalur Faktor Jaringan



VIIa



X Ca2+



Ca2+



Xa



V



Va



Trombin (IIa)



XIII



Ca2+



Ca2+ II



IIa



(Protrombin)



(Trombin)



Permukaan fosfolipid



XIIIa



Ca2+



Ca2+ Aktif Tidak aktif



Fibrinogen (I)



Fibrin (Ia)



Fibrin berikatan silang



JALUR UMUM



Gambar 3-8 Kaskade pembekuan darah. Faktor IX dapat diaktifkan baik oleh faktor Xla atau faktor Vlla: Pada uji laboratorium, aktivasi terutama bergantung pada faktor Xla, sedangkan in vivo, faktor Vlla tampaknya merupakan aktivator utama dari faktor IX. Faktor-faktor di dalam kotak merah menggambarkan molekul inaktif; faktor-faktor teraktivasi, ditunjukkan dengan huruf kecil a, di dalam kotak hijau. Perhatikan bahwa trombin (faktor IIa) (dalam kotak biru muda) berperan dalam pembekuan melalui umpan balik positif multipel. Tanda X merah menunjukkan titik-titik di mana tissue factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat aktivasi faktor X dan faktor IX melalui faktor Vlla. HMWK, kininogen berberat molekul tinggi; PL, fosfolipid.



84



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok Faktor pembekuan aktif (enzim) Permukaan fosfolipid



VIIa



X



Faktor pembekuan inaktif (substrat)



Xa Xa



Ca2+ II



IIa



Faktor jaringan



Faktor X teraktivasi (Xa) Kofaktor Va



Gambar 3-9 Konversi berurutan faktor X menjadi faktor Xa melalui jalur ekstrinsik, diikuti oleh konversi faktor II (protrombin) menjadi faktor Ila (trombin). Kompleks reaksi awal terdiri dari suatu protease (faktor VIla), substrat (faktor X), dan reaksi akselerator (faktor jaringan) yang disusun pada suatu permukaan fosfolipid trombosit. lon kalsium memegang kompleks ini menjadi satu dan penting pada reaksi ini. Faktor Xa yang teraktivasi kemudian menjadi komponen protease dari kompleks berikutnya pada kaskade, mengubah protrombin menjadi trombin (faktor IIa) dengan adanya akselerator reaksi lain, yaitu faktor Va.



ekstrinsik oleh karena memerlukan suatu pemicu eksogen (mula-mula dikenal sebagai ekstrak jaringan); sedangkan jalur intrinsik hanya membutuhkan pemaparan faktor XII (faktor Hageman) pada permukaan yang bermuatan negatif (bahkan permukaan gelas saja sudah cukup). Akan tetapi, pembagian kedua jalur ini terutama berasal dari percobaan in vitro; pada kenyataannya, terdapat beberapa hubungan antara kedua jalur ini. Jalur ekstrinsik merupakan jalur yang paling relevan secara fisiologis untuk pembekuan yang terjadi setelah kerusakan pembuluh darah; jalur ini diaktifkan oleh faktor jaringan, suatu glikoprotein yang terikat pada membran yang diekspresikan pada tempat-tempat jejas. Laboratorium-laboratorium klinis menilai fungsi kedua jalur ini menggunakan dua standar pemeriksaan/ assay. • Waktu protrombin (WP) menilai aktivitas proteinprotein pada jalur ekstrinsik (faktor VII, X, II, V, dan fibrinogen). Uji WP dilakukan dengan menambahkan fosfolipid dan faktor jaringan pada plasma pasien yang telah diberi sitrat (natrium sitrat mengikat kalsium dan mencegah pembekuan spontan), diikuti dengan kalsium, kemudian waktu pembentukan bekuan fibrin/fibrin clot dihitung (biasanya 11 hingga 13 detik). Oleh karena faktor VII merupakan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dengan masa paruh waktu paling pendek (sekitar 7 jam), maka uji WP digunakan sebagai penuntun dalam pengobatan pasien-pasien yang menggunakan antagonis vitamin K (misalnya coumadin).



• Waktu tromboplastin parsial (WTP) menilai aktivitas proteinprotein pada jalur intrinsik (faktor XII, XI, IX, VIII, X, V, II, dan fibrinogen). Uji WTP dilakukan dengan menambahkan aktivator faktor X11 yang bermuatan negatif (misalnya ground glass) dan fosfolipid pada plasma pasien yang telah mengandungi sitrat, lalu ditambahkan kalsium, kemudian dicatat waktu yang dibutuhkan sampai terbentuk bekuan darah (biasanya 28 hingga 35 detik). Uji WTP sensitif terhadap efek antikoagulan heparin, oleh karena itu dipakai untuk memonitor efektifitas heparin. Sekali trombin sudah terbentuk, ia tidak hanya mengkatalisa langkahlangkah akhir pada kaskade pembekuan, namun juga memberikan berbagai pengaruh pada pembuluh-pembuluh darah lokal dan lingkungan peradangan; trombin bahkan secara aktif berpartisipasi untuk membatasi luasnya proses hemostasis (Gambar 3-10). Sebagian besar dari pengaruh yang dimediasi oleh trombin ini terjadi melalui reseptor yang diaktivasi oleh protease/ proteaseactivated receptors (PARs), yang merupakan bagian dari kelompok dengan tujuh protein transmembran. PAR terdapat pada bermacam jenis sel, meliputi trombosit, endotel, monosit, dan limfosit T. Trombin mengaktifkan PARs dengan mengikat domain ekstraselnya, sehingga menyebabkan perubahan yang mengaktifkan protein G yang terkait. Oleh karena itu, aktivasi PAR merupakan suatu proses katalitik, yang dapat menjelaskan potensi trombin dalam mengurangi pengaruh-pengaruh yang bergantung pada PAR, seperti meningkatkan sifat adhesif dari leukosit. Sekali telah teraktivasi, kaskade pembekuan darah harus dibatasi dengan ketat pada tempat jejas saja, untuk mencegah terjadinya pembekuan yang tidak seharusnya terjadi dan berbahaya pada susunan pembuluh darah di tempat lain. Selain membatasi aktivasi faktor pada tempat-tempat yang terpapar fosfolipid, pembekuan juga dikontrol oleh antikoagulan alami yang terbagi atas tiga kelompok:



Hemostasis dan Trombosis



Agregasi trombosit



NO PGI2



Aktivasi endotel



tPA



Matriks ekstrasel



Aktivasi limfosit



TxA2 Fibrin



Trombin Adhesi neutrofil



Aktivasi monosit



PDGF



PDGF Sel otot polos



Gambar 3-10 Peran dari trombin pada hemostasis dan aktivasi sel. Trombin menghasilkan fibrin dengan memecah fibrinogen, mengaktifkan faktor XIII (yang bertanggung jawab terhadap ikatan silang fibrin ke dalam bekuan yang tidak larut), juga mengaktifkan beberapa faktor pembekuan lain, sehingga mengamplifikasi kaskade pembekuan (Gambar 3-8). Melalui protease-activated receptor (PAR), trombin mengaktifkan (1) agregasi trombosit dan sekresi TxA2; (2) endotel, yang bereaksi dengan menghasilkan molekul adhesi leukosit dan bermacam-macam mediator fibrinolitik (t-PA), vasoaktif (NO, PGI2), atau sitokin (PDGF); dan 3) leukosit, meningkatkan adhesinya pada endotel yang teraktivasi. ECM, matriks ekstrasel; NO, nitrit oksida; PDGF, platelet-derived growth factor; PGI2, prostaglandin I2 (prostasiklin); TxA2, tromboksan A2; t-PA, tissue type plasminogen activator. Lihat Gambar 3-6 untuk aktivitas antikoagulasi yang dimediasi oleh trombin melalui trombomodulin. (Dengan izin dari Shaun Coughltn, MD, PhD, Cardiovascular Research Institute, University of California at San Francisco, San Francisco, California.)



• Antitrombin (misalnya, antitrombin III) menghambat aktivitas trombin dan protease serin lainnya, yaitu faktor IXa, Xa, XIa, dan XIIa. Antitrombin III menjadi aktif bila berikatan dengan molekulmolekul meyerupai heparin pada sel endotel — oleh karena itu pemberian heparin adalah untuk membatasi trombosis (Gambar 3-6).



• Protein C dan protein S merupakan dua protein yang tergantung pada vitamin K yang bekerja sebagai suatu kompleks untuk menginaktifkan kofaktor Va and VIIIa secara proteolitik. Aktivasi protein C oleh trombomodulin telah dijelaskan di depan; protein S merupakan kofaktor untuk aktivitas protein C (Gambar 3-6). • Tissue faktor pathway inhibitor (TFPI) merupakan suatu protein yang disekresikan oleh endotel (dan jenis sel-sel lain) yang menginaktifkan faktor Xa dan kompleks faktor jaringan dengan faktor VIIa (Gambar 3-8). Pembekuan juga menggerakkan kaskade fibrinolitik yang mengatur ukuran akhir dari bekuan darah. Proses fibrinolisis sebagian besar dijalankan oleh plasmin, yang menghancurkan fibrin dan berinteraksi dengan polimerisasinya (Gambar 3-11). Hasil akhir berupa produk pecahan fibrin/fibrin split product (FSPs atau fibrin degradation products) juga dapat berfungsi sebagai antikoagulan lemah. Peningkatan nilai FSPs (terutama D-dimer yang berasal dari fibrin) dapat digunakan untuk mendiagnosis keadaan trombosis abnormal, termasuk disseminated intravascular coagulation (DIC) (Bab 11), trombosis vena dalam/deep venous thrombosis, atau tromboemboli paru (akan diuraikan secara rinci kemudian). Plasmin dihasilkan melalui proteolisis plasminogen, suatu prekursor plasma inaktif, baik oleh faktor XII atau oleh aktivator plasminogen (Gambar 3-11). Aktivator plasminogen yang terpenting adalah tissuetype plasminogen activator (t-PA); t-PA disintesis terutama oleh sel-sel endotel dan paling aktif saat menempel pada fibrin. Afinitas terhadap fibrin menimbulkan aktivitas fibrinolitik t-PA pada tempat-tempat trombosis yang terbaru. Urokinase-like plasminogen activator (u-PA) merupakan aktivator plasminogen lain di dalam plasma dan berbagai jaringan; u-PA dapat mengaktifkan plasmin dalam bentuk cairan. Plasminogen dapat juga dipecah menjadi bentuk aktifnya oleh produk bakteri streptokinase, yang secara klinis dipergunakan untuk melisiskan bekuan-bekuan pada beberapa penyakit trombotik. Seperti halnya komponen regulator kuat lainnya, aktivitas plasmin sangat dibatasi. Untuk mencegah berlebihnya plasmin sehingga bisa melisiskan trombus secara membabi-buta di seluruh tubuh, maka plasmin yang bebas dengan cepat akan membentuk kompleks dengan antiplasmin-α2 dan menjadi tidak aktif (Gambar 3-11). Sel-sel endotel selanjutnya mengatur keseimbangan pembekuanantipembekuan dengan melepaskan plasminogen activator inhibitors (PAIS), yang menghambat fibrinolisis dan secara keseluruhan memberikan efek prokoagulasi (Gambar 3-11). Produksi PAI bisa ditingkatkan oleh sitokin peradangan (terutama interferon-γ) yang kemungkinan berperan dalam terjadinya trombosis intravaskular pada peradangan keras.



Kompleksα2-Antiplasmin/plasmin



α2-Antiplasmin Penghambat aktivator plasminogen (PAI) Trombin



Aktivator plasminogen jaringan (tPA) dan urokinase



Plasminogen



85



Plasmin bebas



Bekuan fibrin



Trombosit Plasmin



Produk-produk degradasi fibrin



Endotel



Gambar 3-11 Sistem fibrinolitik menggambarkan berbagai aktivator dan inhibitor plasminogen (lihat teks).



86



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Faktor-Faktor Pembekuan • Pembekuan terjadi melalui konversi enzimatik berurutan dari suatu kaskade protein-protein yang disintesis secara lokal dan yang beredar di dalam tubuh. • Faktor jaringan yang timbul pada tempat-tempat jejas merupakan inisiator kaskade pembekuan yang paling penting in vivo. • Pada tahap akhir pembekuan, trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang tidak larut, yang berperan pada pembentukan plak hemostatik definitif. • Dalam keadaan normal, pembekuan dibatasi pada tempat-tempat jejas vaskular melalui • Pembatasan aktivitas enzimatik pada permukaan fosfolipid yang disediakan oleh trombosit atau endotel yang teraktifkan • Antikoagulan alami yang timbul pada tempat-tempatjejas endotel atau selama pengaktifan • Kaskade pembekuan ekspresi trombomodulin pada sel-sel endotel normal, yang berikatan dengan trombin dan mengubahnya menjadi suatu antikoagulan aktivasi jalur-jalur • Fibrinolitik (misalnya dengan menghubungkan tissue plasminogen activator dengan fibrin)



Trombosis Setelah mempelajari proses hemostasis normal, sekarang kita akan melihat tiga kelainan utama yang mengakibatkan terbentuknya trombus (disebut sebagai triad Virchow): (1) jejas endotel, (2) stasis atau aliran darah yang kacau/turbulen, dan (3) hiperkoagulabilitas darah (Gambar 3-12).



Jejas Endotelial Jejas endotel merupakan penyebab penting terjadinya trombosis, terutama di jantung dan arteri-arteri, yang aliran darahnya deras dan sebaliknya dapat memperlambat terjadinya pembekuan dengan mencegah adhesi trombosit atau mendilusi faktor-faktor pembekuan. Contoh trombosis yang berhubungan dengan kerusakan endotel adalah terbentuknya trombus pada bilik-bilik jantung setelah infark



JEJAS ENDOTEL



TROMBOSIS



ALIRAN DARAH ABNORMAL



HIPERKOAGULABILITAS



Gambar 3-12 Triad Virchow pada trombosis. Integritas endotel merupakan faktor yang paling penting. Abnormalitas dari prokoagulan atau antikoagulan dapat mengubah keseimbangan menjadi condong ke arah terjadinya trombosis.Aliran darah yang abnormal (stasis atau turbulen dapat mengakibatkan koagulasi berlebihan secara langsung dan juga tidak langsung melalui disfungsi endotel.



miokard, di atas plak ulseratif pada arteri-arteri yang aterosklerotik, atau pada tempat-tempat jejas vaskular akibat trauma atau peradangan (vaskulitis). Terbukanya endotel akan memaparkan matriks ekstrasel subendotel (menyebabkan adhesi trombosit), melepaskan faktor jaringan, dan mengurangi produksi lokal dari PGI2 serta aktivator plasminogen. Akan tetapi perlu dicatat bahwa untuk terjadinya trombosis, endotel tidak perlu terlepas atau secara fisik terputus; setiap gangguan pada keseimbangan dinamik antara efek-efek protrombotik dan antitrombotik endotel dapat mempengaruhi pembekuan secara lokal. Oleh karena itu, endotel yang tidak berfungsi secara benar menghasilkan faktor-faktor prokoagulan (misalnya, molekul adhesi trombosit, faktor jaringan, PAI) dalam jumlah yang lebih besar dan menghasilkan molekul-molekul antikoagulan (misalnya, trombomodulin, PGI2, t-PA) dengan jumlah yang lebih sedikit. Disfungsi endotel dapat diinduksi oleh berbagai keadaan, termasuk hipertensi, aliran darah yang turbulen, produk-produk bakterial, jejas radiasi, abnormalitas metabolit seperti homosistinuria dan hiperkolesterolemia, dan racun-racun yang diserap dari asap rokok.



Aliran Darah yang Abnormal Aliran darah yang kacau (turbulen) berperan pada timbulnya trombosis arteri kardiak dan jantung dengan menimbulkan jejas atau disfungsi endotel, arus balik dan kantong-kantong stasis lokal. Stasis merupakan faktor utama pada perkembangan trombus vena. Dalam kondisi aliran darah laminar normal, trombosit (dan sel-sel darah lainnya) berada terutama di bagian tengah lumen pembuluh darah, terpisahkan dari endotel oleh lapisan plasma yang bergerak lebih lambat. Sebaliknya, stasis dan aliran darah yang kacau/turbulen menyebabkan efek-efek merusak sebagai berikut: • Meningkatkan pengaktifan sel endotel maupun aktivitas prokoagulan, antara lain melalui perubahan ekspresi gen-gen endotel yang diinduksi oleh aliran darah. • Stasis menyebabkan aliran darah melambat sehingga trombosit dan leukosit dapat berhubungan dengan endotel. • Stasis juga memperlambat pembersihan faktor-faktor pembekuan yang teraktifkan dan menghambat aliran masuk penghambat-penghambat faktor pembekuan. Aliran darah yang turbulen dan stasis berkontribusi pada terjadinya trombosis pada sejumlah keadaan klinis. Plak aterosklerotik yang ulseratif tidak hanya memaparkan matriks ekstrasel subendotelial, namun juga menyebabkan terjadinya turbulensi. Pelebaran arteri dan aorta yang abnormal, yang disebut aneurisma, menciptakan stasis lokal, dan akibatnya menjadi tempat yang subur untuk terjadinya trombosis (Bab 9). Infark miokard mendadak mengakibatkan miokard menjadi nonkontraktil setempat. Remodelling ventrikular setelah infark pada tempat yang lebih jauh dapat menyebabkan pembentukan aneurisma. Pada kedua keadaan ini, trombus pada dinding jantung akan lebih mudah terbentuk karena terjadi stasis darah lokal (Bab 10). Stenosis katup mitral (misalnya, sesudah suatu penyakit jantung rematik) mengakibatkan pelebaran atrium kiri. Sehubungan dengan fibrilasi atrium maka atrium yang melebar merupakan tempat yang sangat stasis dan sangat baik untuk berkembangnya trombus. Sindrom hiperviskositas (seperti pada polisitemia) (Bab11) meningkatkan hambatan aliran darah dan menyebabkan stasis pembuluh darah kecil; sel darah merah dengan kelainan bentuk pada anemia sel sabit/sickle cell anemia (Bab 11) menyebabkan penyumbatan/oklusi pembuluh darah, dan hasil akhir stasis juga menjadi predisposisi untuk berkembangnya trombosis.



Hemostasis dan Trombosis



Hiperkoagulabilitas Hiperkoagulabilitas jarang berperan dalam terjadinya trombus pada arteri atau di dalam jantung tetapi merupakan faktor risiko penting bagi terjadinya trombus pada vena. Hiperkoagulabilitas didefinisikan kurang lebih sebagai kelainan pada jalur-jalur pembekuan yang mempermudah timbulnya trombosis, yang dapat dibagi menjadi kelainan primer (genetik) dan sekunder (didapat) (Tabel 3-2). Hiperkoagulabilitas primer (herediter) paling sering disebabkan oleh mutasi pada gen faktor V dan gen protrombin: • Sekitar 2%-15% orang kulit putih membawa mutasi spesifik faktor V (disebut sebagai mutasi Leiden, kota di Belanda di mana pertama kali mutasi ini ditemukan). Mutasi ini mengubah residu asam amino pada faktor V dan membuatnya resisten terhadap protein C, sehingga mekanisme antitrombosis yang penting menjadi hilang. Heterozigot memiliki risiko 5 kali lebih tinggi terhadap terjadinya trombosis vena, sedangkan homozigot memiliki risiko 50 kali lebih tinggi. • Substitusi nukleotida tunggal (G menjadi A) pada daerah 3'untranslated region gen protrombin merupakan alel yang cukup sering ditemukan (pada 1%-2% populasi umum). Varian ini berakibat pada meningkatnya transkripsi protrombin dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya trombosis vena sebesar hampir tiga kali lebih tinggi. Tabel 3-2 Keadaan Koagulasi Berlebihan



Primer (Genetik) Umum (> I% Populasi) Mutasi faktor V (mutasi G169IA; faktor V Leiden) Mutasi protrombin (varian G20210A ) 5,10-Methylene tetrahydrofolate reductase (mutasi homozigot C677T ) Peningkatan faktor VIII, IX, atau Xl atau fibrinogen



Jarang Defisiensi antitrombin 111 Defisiensi protein C Defisiensi protein S



Sangat Jarang Defek fibrinolisis Homosistinuria homozigot (defisiensi cystathione (3-synthetase)



Sekunder (Didapat) Risiko Tinggi untuk Trombosis Imobilisasi lama Infark miokardium Fibrilasi atrium Jejas jaringan (operasi, fraktur, luka bakar) Kanker Katup jantung prostetik Koagulasi intravaskular diseminata Trombositopenia yang diinduksi heparin Sindrom antibodi antifosfolipid



Risiko Rendah untuk Trombosis Kardiomiopati Sindrom nefrotik Keadaan hiperestrogenik (kehamilan dan postpartum) Penggunaan kontrasepsi oral Anemia sel sabit/sickle cell anemia Merokok



87



• Sifat hiperkoagulasi primer yang lebih jarang meliputi defisiensi antikoagulan bawaan seperti antitrombin III, protein C, atau protein S; pasien yang terkena, adalah remaja dan dewasa muda, dan yang khas ialah terjadinya trombosis vena dan emboli trombus berulang. Peningkatan kadar homosistein bawaan berperan pada trombosis arteri dan vena (dan juga pada berkembangnya aterosiderosis) (Bab 9). Walaupun risiko trombosis hanya sedikit meningkat pada pembawa sifat faktor V Leiden dan varian gen protrombin yang heterozigot faktor-faktor genetik penting karena dua alasan. Pertama, kedua alel abnormal cukup sering ditemukan sehingga individu dengan gabungan homozigot dan heterozigot yang memiliki risiko trombosis lebih tinggi tidak jarang dijumpai. Yang lebih penting lagi ialah individu heterozigot memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami trombosis vena pada berbagai keadaan seperti kehamilan, berbaring lama dan penerbangan pesawat yang jauh. Oleh karena itu, penyebab hiperkoagulabilitas herediter harus dipikirkan pada pasien-pasien muda (berusia < 50 tahun), walaupun terdapat faktor-faktor risiko lain yang didapat. Hiperkoagulabilitas sekunder (didapat) bisa dijumpai pada berbagai keadaan (Tabel 3-2). Pada beberapa keadaan (misalnya, gagal jantung atau trauma), stasis atau jejas vaskular dapat merupakan faktor yang paling penting. Hiperkoagulabilitas yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral dan keadaan hiperestrogenik pada kehamilan dapat berhubungan dengan peningkatan produksi dari faktor-faktor pembekuan dan berkurangnya produksi antitrombin III. Pada kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuh, pelepasan produk-produk prokoagulan oleh sel tumor (misalnya, musin dari adenokarsinoma) memudahkan terjadinya trombosis. Hiperkoagulabilitas yang ditemukan pada usia lanjut telah dihubungkan dengan peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya pelepasan PGI2 dari endotel. Merokok dan obesitas meningkatkan hiperkoagulabilitas melalui mekanismemekanisme yang belum diketahui. Di antara keadaan-keadaan trombofilik yang didapat, ada dua keadaan yang memiliki masalah klinis yang penting dan patut diperhatikan: • Sindrom trombositopenik yang diinduksi heparin/heparininduced thrombocytopenic (HIT) syndrome. Sindrom ini terjadi pada sekitar 5% pasien yang diterapi dengan heparin tidak terfraksz/unfractionated heparin (untuk terapi antikoagulasi). Keadaan ini ditandai oleh berkembangnya autoantibodi yang mengikat kompleks heparin dan protein membran trombosit (platelet factor 4) (Bab 11). Walaupun mekanismenya belum jelas, tampaknya antibodi-antibodi ini juga dapat mengikat kompleks serupa yang terdapat pada permukaan trombosit dan permukaan endotel, berakibat pada aktivasi, agregasi dan pemakaian trombosit (oleh karena itu terjadi trombositopenia), dan juga jejas sel endotel. Secara keseluruhan berakibat pada suatu keadaan protrombotik, bahkan pada pemberian heparin dan jumlah trombosit yang rendah. Preparat heparin yang terfraksi/fractionated yang terbaru dengan berat molekul rendah lebih jarang menginduksi timbulnya autoantibodi namun masih dapat menyebabkan trombosis jika sudah terbentuk antibodi. • Sindrom antibodi antifosfolipid/antiphospholipid antibody syndrome. Sindrom ini memiliki berbagai manifestasi, meliputi trombosis berulang, abortus berulang, vegetasi katup jantung, dan trombositopenia; sindrom ini berkaitan dengan auto-antibodi yang ditujukan terhadap fosfolipid anionik (misalnya cardiolipin) atau—lebih tepatnya—antigen protein plasma yang ikatarnya dibuka oleh fosfolipid



88



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



tersebut (misalnya protrombin). In vivo, antibodi-antibodi ini menginduksi keadaan hiperkoagulabil, kemungkinan dengan menginduksi jejas endotel, dengan mengaktifkan trombosit atau komplemen secara langsung, atau melalui interaksi dengan domain katalitik faktor koagulasi tertentu. Akan tetapi, in vitro (di mana tidak terdapat trombosit dan endotel), antibodi-antibodi berinterferensi dengan kompleks fosfolipid, sehingga menghambat pembekuan (oleh karena itu dinamakan lupus antikoagulan). Pada pasien-pasien dengan antibodi anticardiolipin, tes serologik sifilis akan memberikan hasil positif palsu, oleh karena antigen pada pemeriksaan standar ditanam pada cardiolipin Pasien dengan sindrom antibodi antifosfolipid dibagi menjadi dua kategori yaitu primer dan sekunder. Sebagian besar kasus merupakan sindrom antifosfolipid sekunder oleh karena penyakit autoimun yang sudah dikenal baik, seperti lupus eritematosus sistemik (Bab 4). Kategori kedua yaitu pasien-pasien yang hanya menunjukkan manifestasi suatu keadaan hiperkoagulabil tanpa adanya bukti-bukti kelainan autoimun lain (sindrom antifosfolipid primer). Walaupun antibodi antifosfolipid berhubungan dengan diatesis trombotik, namun antibodi ini ditemukan juga pada sekitar 5%-15% individu yang tampak normal; implikasinya adalah bahwa adanya antibodi ini mungkin dibutuhkan, namun tidak cukup untuk menimbulkan sindrom antibodi antifosfolipid.



A



B



MORFOLOGI Trombus dapat berkembang di mana saja di dalam sistem kardiovaskular. Trombus arteri atau jantung, khas nnuncul pada tempat-tempat jejas endotel atau aliran turbulen; trombus vena secara karakteristik terjadi pada tempat-tempat stasis. Aliran darah trombus menempel setempat pada permukaan vaskular dan cenderung membesar ke arah jantung; sehingga trombus arteri tumbuh ke arah belakang/retrograde dari titik penempelannya, sementara trombus vena meluas ke arah aliran darah. Bagian suatu trombus yang membesar cenderung tidak menempel secara baik sehingga mudah terpecah/fragmentasi dan bermigrasi melalui aliran darah sebagai suatu embolus. Trombus memiliki lapisan-lapisan yang jelas secara makroskopik (dan mikroskopik) yang disebut sebagai garis-garis Zahn; yang merupakan bagian dengan trombosit dan lapisan-lapisan fibrin yang berwarna pucat, bergantian dengan lapisan yang kaya eritrosit yang berwarna lebih gelap. Garis-garis ini penting karena hanya ditemukan pada trombus yang terbentuk pada darah yang mengalir; sehingga keberadaan garis-garis ini dapat membedakan trombus sebelum meninggal/antemortem dari bekuan darah yang rata, tidak berlapis yang terbentuk setelah meninggal/ postmortem. Walaupun trombus terbentuk pada sistem vena "aliran lambat" secara superfisial menyerupai bekuan postmortem, namun pada pemeriksaan yang lebih teliti biasanya terlihat lapisan-lapisan yang tidak berbatas jelas. Trombus yang terjadi di bilik-bilik jantung atau di dalam lumen aorta disebut sebagai trombus mural. Kontraksi otot jantung yang abnormal (aritmia, kardiomiopati yang melebar, atau infark miokard) atau jejas endomiokard (miokarditis, trauma kateter) meningkatkan trombus mural jantung (Gambar 3-13, A), sementara plak aterosklerotik yang ulseratif dan pelebaran aneurisma meningkatkan trombosis pada aorta (Gambar 3-13, B).



Gambar 3-13 Trombus mural. A, Trombus di apeks ventrikel kiri dan kanan, terletak di atas jaringan parut berwarna putih. B, Trombus yang berlapislapis/(laminated) di dalam suatu aneurisma aorta abdominalis yang melebar. Sejumlah trombus mural juga menumpuk dengan lesi aterosklerotik lanjut di aorta yang lebih proksimal (sisi kiri foto).



Trombus arteri secara khas relatif kaya trombosit, oleh karena proses yang mendasari perkembangannya (misalnya, jejas endotel) berakibat pada aktivasi trombosit. Walaupun biasanya terjadi bersama-sama pada suatu plak aterosklerotik yang ruptur, jejas pembuluh darah yang lain (vaskulitis, trauma) dapat juga merupakan penyebab. Trombus vena (plebotrombosis) seringkali membesar dan memanjang ke arah jantung, membentuk suatu endapan yang panjang pada lumen pembuluh darah yang rentan menimbulkan emboli. Peningkatan aktivitas faktorfaktor pembekuan terlibat pada terjadinya sebagian besar trombus vena, dengan aktivasi trombosit memegang peranan sekunder. Oleh karena trombus vena terbentuk di dalam sirkulasi vena yang bergerak perlahan, trombus vena cenderung mengandungi banyak eritrosit yang terjebak, berakibat pada trombus stasis, yang berwarna merah. Vena-vena ekstremitas bawah paling sering terkena (90% dari trombosis vena); akan tetapi, trombus vena juga bisa terjadi pada ekstremitas atas, pleksus periprostat, vena ovarium dan periuteria, dan dalam keadaan khusus dapat ditemukan pada sinus-sinus duramater, vena porta atau vena pada hepar. Pada otopsi, bekuan postmortem kadang-kadang dapat disangka sebagai trombus vena. Akan tetapi, bekuan postmortem lebih menyerupai gel/gelatinosa dan terdapat bagian berwarna merah gelap oleh karena adanya eritrosit dan bagian atas yang berwarna kuning menyerupai "lemak ayam"; bekuan postmortem juga biasanya tidak menempel pada dinding vena di bawahnya. Sebaliknya, trombus merah,secara khas kenyal, dan setempat melekat pada dinding pembuluh darah, serta mengandungi benang-benang kelabu oleh adanya endapan fibrin.



Hemostasis dan Trombosis Trombus pada katup-katup jantung disebut vegetasi. Infeksi bakteri atau jamur yang terdapat di dalam darah bisa menyebabkan kerusakan katup, sehingga berakibat pada berkembangnya massa trombus yang besar (endokarditis infektif) (Bab 10).Vegetasi yang steril juga dapat berkembang pada katupkatup tidak terinfeksi pada keadaan hiperkoagulasi—lesi-lesi seperti ini disebut endokarditis trombotik non-bakteri (Bab10). Lebih jarang lagi, endokarditis verukosa (endokarditis LibmanSacks) yang steril dapat terjadi pada keadaan lupus eritematosus sistemik (Bab 4).



Nasib Trombus Jika seorang pasien dapat selamat pada kejadian trombosis pertama, setelah beberapa hari atau minggu, trombus akan berkembang melalui beberapa kombinasi dari empat proses berikut ini: • Pembesaran. Trombus membesar melalui penambahan trombosit dan fibrin, sehingga meningkatkan sumbatan pembuluh darah atau terjadi emboli. • Embolisasi. Sebagian atau semua dari trombus akan terlepas dan dipindahkan ke suatu tempat lain di dalam pembuluh darah. • Pencairan. Jika suatu trombus baru terbentuk, aktivasi faktorfaktor fibrinolitik dapat memperkecil secara cepat dan mencairkannya secara menyeluruh. Pada trombus yang lebih lama, polimerisasi fibrin yang luas membuat trombus lebih resisten terhadap proteolisis yang diinduksi oleh plasmin, dan lisis menjadi tidak efektif. Adanya resistensi untuk lisis memiliki kepentingan klinis, karena pengobatan dengan obat-obat fibrinolitik (misalnya, t-PA pada keadaan trombosis koroner mendadak) biasanya tidak efektif, kecuali diberikan dalam beberapa jam setelah pembentukan trombus. • Organisasi dan rekanalisasi. Trombus yang lebih lama akan diorganisasi melalui pertumbuhan sel-sel endotel, sel otot polos dan fibroblas ke dalam trombus, kemudian akan menjadi trombus yang kaya fibrin (Gambar. 3-14). Pada waktunya, terbentuk pembuluhpembuluh kapiler, yang dapat menciptakan saluran — yang terbatas —sepanjang trombus, sehingga mengembalikan kontinuitas dari lumen asli. Rekanalisasi selanjutnya kadang-kadang dapat mengubah suatu trombus menjadi massa jaringan ikat berpembuluh darah, yang akhirnya disatukan ke dalam dinding pembuluh yang diperbaharui. Kadang-kadang, trombus bukannya mengalami organisasi melainkan bagian tengahnya mengalami pencernaan enzimatik, kemungkinan disebabkan oleh pelepasan enzim-enzim lisosom dari leukosit-leukosit yang terjebak.



Gambar 3-14 Arteri yang mengalami trombosis dengan pulasan untuk jaringan elastika dalam lapang pandang kecil. Lumen asli ditandai oleh lamina elastika interna (panah) dan dipenuhi oleh trombus yang telah mengalami organisasi.



89



Jika bakteri berkembang, isi dari trombus yang mengalami degradasi akan menjadi media pembiakan yang baik, dan berakibat terjadinya infeksi yang melemahkan dinding pembuluh darah, menimbulkan pembentukan aneurisma mikotik (Bab 9). Korelasi Klinis Trombus penting karena dapat menyebabkan sumbatan arteri dan vena dan dapat menimbulkan emboli. Pengaruh mana yang paling besar secara klinis, tergantung pada lokasi terjadinya trombus. Trombus vena dapat menyebabkan kongesti dan edema pada pembuluhpembuluh darah distal dari tempat sumbatan, sehingga trombus vena paling mengkhawatirkan karena potensinya untuk terjadinya emboli paru dan menyebabkan kematian. Sebaliknya, trombus srteri dapat menjadi embolus dan menyebabkan infark jaringan, kecenderungannya untuk menyumbat pembuluh darah (misalnya, pada pembuluh koroner dan pembuluh darah) jauh lebih penting. Trombus Vena (Phlebothrombosis). Kebanyakan trombus vena terjadi pada tungkai bawah baik pada vena ataupun vena dalam. Trombus vena permukaan biasanya timbul pda sistem safena, khususnya dalam bentuk varises; trombus ini jarang menjadi embolus namun dapat menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan sumbatan serta pembengkakan lokal oleh adanya gangguan aliran vena keluar dan cenderung terjadi, peningkatan timbulnya infeksi dan ulkus varikosus pada jaringan kulit di atasnya. Trombus vena dalam atau deep venous thromboses ("DTVs") pada pembuluh-pembuluh vena yang lebih besar di tungkai pada daerah lutut atau di atasnya (misalnya, vena poplitea, vena femoralis, dan vena iliaka) lebih serius karena rentan menjadi embolus. Walaupun trombus vena dalam (TVD) seperti ini dapat menyebabkan nyeri dan edema lokal, namun sumbatan biasanya digantikan oleh saluran-saluran kolateral. Sebagian akibatnya, trombus vena dalam pada sekitar 50% pasien sepenuhnya tidak bergejala/asimptomatik dan baru dikenali setelah terjadi emboli paru. TVD ekstremitas bawah berkaitan dengan stasis dan keadaan hiperkoagulasi, seperti diuraikan sebelumnya (Tabel 3-2); oleh karena itu, faktor-faktor predisposisi umum mencakup gagal jantung kongestif, berbaring lama dan tidak bergerak yang mengurangi kerja otot tungkai bawah sehingga memperlambat kembalinya aliran vena/ venous return. Trauma, pembedahan, dan luka bakar tidak hanya membuat imobilisasi pasien namun juga berkaitan dengan jejas pembuluh darah, keluarnya prokoagulan, meningkatnya sintesis faktorfaktor koagulasi oleh hati, dan berkurangnya produksi t-PA. Banyak faktor berperan pada terjadinya trombosis pada kehamilan; disamping potensi masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi pada saat persalinan, tekanan yang dihasilkan oleh janin dan uterus yang membesar dapat menimbulkan stasis pada vena-vena tungkai bawah. Usia kehamilan yang lanjut dan periode postpartum berkaitan dengan kemungkinan terjadinya hiperkoagulasi. Pelepasan prokoagulan yang berkaitan dengan tumor sangat berperan pada peningkatan risiko fenomena emboli trombus yang ditemukan pada anker yang telah menyebar, kadang disebut sebagai tromboflebitis berpindah/migratory thrombo-phlebitis, adanya kecenderungan mengenai beberapa pembuluh vena yang berbeda secara singkat/transien. Fenomena ini dikenal sebagai sindrom Trousseau, yang dikemukakan dan juga diderita oleh Armand Trousseau. Pada individu berusia di atas 50 tahun, peningkatan TVD tidak bergantung pada keadan klinis tertentu. Walaupun keadaan-keadaan yang mempermudah timbulnya trombosis sudah diketahui dengan baik namun fenomena ini tetap tidak dapat diprediksi. Trombosis sering terjadi pada orang-orang yang sehat dan aktif tanpa adanya kelainan atau provokasi. Trombosis yang asimptomatik (dan mungkin sembuh sendiri) terjadi jauh lebih sering dari yang diperkirakan.



90



BAB 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Trombosis •



Terjadinya trombus biasanya berhubungan dengan satu atau lebih komponen triad Virchow:  jejas endotel (misalnya, oleh toksin, hipertensi, peradangan, atau produk-produk metabolit)  aliran darah yang abnormal, stasis atau turbulensi (misalnya, disebabkan oleh aneurisma, plak aterosklerotik)  kemungkinan hiperkoagulabilitas primer (misalnya, faktor V Leiden, peningkatan sintesis protrombin, defisiensi antitrombin III) atau sekunder (misalnya, tirah baring, kerusakan jaringan, keganasan) damage, malignancy)







Trombus dapat membesar, membaik, mengalami organisasi atau menjadi embolus.







Trombosis menyebabkan terjadinya jejas jaringan melalui penyumbatan pembuluh darah lokal atau melalui terjadinya embolus di bagian distal.



Koagulasi Intravaskular Diseminata Koagulasi intravaskular diseminata (KID) adalah trombosis dalam pembuluh darah kecil yang luas, yang terjadi mendadak atau perlahan-lahan. KID bisa ditemukan pada berbagai keadaan, dari komplikasi obstetrik hingga pada penyakit keganasan yang lanjut. Trombus biasanya berukuran sangat kecil, namun sangat banyak sehingga sering menimbulkan insufisiensi sirkulasi, terutama di otak, paru, jantung, dan ginjal. Hal yang mempersulit keadaan adalah trombosis pembuluh darah kecil yang luas memakai trombosit dan protein-protein pembekuan (oleh karena itu disebut juga consumption coagulopathy), dan pada saat yang sama, mekanisme fibrinolitik teraktifkan. Oleh karena itu, kelainan yang awalnya adalah kelainan trombosis dapat berkembang menjadi bencana perdarahan. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa KID bukanlah suatu penyakit primer namun lebih sebagai komplikasi yang berbahaya dari berbagai keadaan yang berkaitan dengan aktivasi trombin yang luas. Hal ini akan dibicarakan secara rinci bersama diatesis perdarahan lainnya di Bab 11.



EMBOLUS



Walaupun angka emboli paru di Amerika Serikat telah menurun dari 6% menjadi 2% selama seperempat abad terakhir, namun emboli paru masih menyebabkan sekitar 200.000 kematian per tahun. Pada lebih dari 95% kasus, emboli vena berasal dari trombus di vena dalam pada tungkai bawah, proksimal dari fossa poplitea; emboli dari trombus vena tungkai bawah tidak jarang terjadi. Trombus yang terpecah pada TVD dibawa melalui pembuluhpembuluh yang makin besar dan biasanya melewati bagian sisi kanan jantung sebelum tertahan di pembuluh darah paru. Tergantung pada ukurannya, suatu embolus pada paru dapat menyumbat arteri pulmonalis utama, atau masuk ke dalam percabangan/ bifurkasi arteri pulmonalis kanan dan kiri (embolus pelana) atau lewat dan masuk ke dalam percabangan arteriol yang lebih kecil (Gambar 3-15). Emboli multipel, sering terjadi baik berurutan atau dalam bentuk pecahan embolus yang kecil-kecil dari satu trombus yang besar; seorang pasien yang pernah mengalami emboli paru memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalaminya kembali. Kadang-kadang, suatu embolus melewati defek pada atrium atau ventrikel dan memasuki sirkulasi sistemik (embolisme paradoksikal). Pembicaraan yang lebih lengkap tentang emboli paru terdapat di Bab 12; gambaran klinis dan patologis utama adalah sebagai berikut: • Kebanyakan embolus paru (60% hingga 80%) berukuran kecil dan secara klinis tenang. Dengan berjalannya waktu, pada beberapa kasus, embolus ini mengalami organisasi dan bergabung dengan dinding pembuluh darah; organisasi tromboemboli meninggalkan jejaring jembatan fibrosa. • Pada keadaan yang berlawanan, suatu embolus besar menutup arteri pulmonalis utama yang dapat menyebabkan kematian mendadak. • Penyumbatan arteri-arteri berukuran sedang oleh embolus dan ruptur kapiler menimbulkan anoksia yang dapat menyebabkan perdarahan pada paru. Emboli seperti ini biasanya tidak menyebabkan infark paru sebab daerah ini juga menerima darah dari sirkulasi darah bronkus yang utuh (sirkulasi ganda). Akan tetapi, embolus yang serupa pada keadaan gagal jantung kiri (dan hilangnya perfusi arteri bronkial) dapat menyebabkan infark paru. • Emboli pada cabang-cabang akhir arteriol paru biasanya menyebabkan infark. • Emboli multipel yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan hipertensi pulmonalis dan gagal ventrikel kanan (cor pulmonale).



Embulus adalah suatu massa padat, cair, atau udara intravaskular yang dibawa oleh darah ke suatu tempat yang jauh dari asalnya. Sebagian besar embolus berasal dari trombus yang terlepas — oleh karena itu terdapat terminologi tromboembolisme. Jenis embolus yang lebih jarang mencakup tetesan lemak, gelembung udara atau nitrogen, debri aterosklerotik (emboli kolesterol), fragmen tumor, potongan sumsum tulang, dan cairan amnion. Embolus yang masuk masuk ke dalampembuluh darah yang terlalu kecil untuk dilewati, berakibat pada penyumbatan total atau parsial; tergantung pada lokasi asalnya, embolus bisa masuk di mana saja dalam sistem pembuluh darah. Akibat utama dari embolisasi sistemik adalah nekrosis iskemik (infark) dari jaringan di bagian distal penyumbatan, sementara embolisasi pada sirkulasi paru mengakibatkan hipoksia, hipotensi, dan gagal jantung kanan.



Tromboemboli Paru Insidens pasien emboli paru yang dirawat di rumah sakit adalah 2 hingga 4 per 1000 pasien.



Gambar 3-15 Embolus yang berasal dari trombus vena dalam di ekstremitas bawah masuk ke salah satu cabang arteri pulmonalis.



Embolus



91



Tromboemboli Sistemik Sebagian besar emboli sistemik (80%) timbul dari trombus di dalam dinding jantung/intracardiac mural thrombi; dua pertiga di antaranya berhubungan dengan infark ventrikel kiri dan sekitar 25% lainnya dengan atrium kiri yang melebar (misalnya, sekunder terhadap penyakit katup mitral). Sisanya berasal dari aneurisma aorta, trombus yang menutupi plak aterosklerotik yang ulseratif, vegetasi katup yang terpecah (Bab 10), atau dari sistem vena (emboli paradoksikal); 10% hingga 15% dari emboli sistemik tidak diketahui asalnya. Berbeda dengan emboli vena yang masuk terutama di paru, emboli arteri dapat masuk ke mana saja; tempat perhentian terakhirnya tergantung pada asal lokasinya dan pada laju aliran relatif di jaringan sesudahnya. Tempat-tempat emboli arteriol yang umum adalah ekstremitas bawah (75%) dan sistem saraf pusat (10%); sedangkan usus, ginjal, dan limpa adalah target yang lebih jarang. Akibat dari terjadinya emboli bergantung pada garis tengah pembuluh darah yang tersumbat, suplai kolateral, dan kerentanan jaringan yang terkena terhadap anoksia; emboli arteri sering masuk pada ujung-ujung arteri dan menyebabkan infark.



Emboli Lemak Trauma jaringan lunak dan ruptur sinusoid pembuluh darah sumsum tulang (fraktur tulang panjang) menyebabkan terlepasnya globulglobul lemak mikroskopik ke dalam sirkulasi darah. Emboli lemak dan emboli sumsum tulang sering ditemukan setelah suatu resusitasi kardiopulmoner keras, namun mungkin akibat klinisnya hanya kecil saja. Sama halnya, walaupun emboli lemak dan sumsum tulang terjadi pada sekitar 90% individu dengan trauma skeletal yang berat (Gambar 3-16, A), namun kurang dari 10% yang menunjukkan gejala. Akan tetapi, pada sekelompok kecil pasien, terjadi sindrom emboli lemak yang asimptomatik. Gejala lain yang mungkin ada ialah ketidakmampuan pulmoner/pulmonary insufficiency, gejala-gejala neurologik, anemia, trombositopenia, dan kemerahan petekiel difus, yang fatal pada 10% kasus. Tanda dan gejala klinis muncul 1 sampai 3 hari setelah trauma berupa takipnea, dispnea, takikardia, iritabilitas dan rasa lelah yang muncul tiba-tiba, yang dapat berkembang secara cepat menjadi delirium atau koma. Patogenesis dari sindrom emboli lemak mencakup baik sumbatan mekanik maupun jejas biokimiawi. Mikroemboli lemak menyumbat pembuluh kapiler paru dan otak, baik secara langsung maupun dengan memicu agregasi trombosit. Efek yang berbahaya ini diperburuk oleh lepasnya lemak dari globul lemak, yang menyebabkan jejas toksik endotel lokal. Aktivasi trombosit dan perekrutan granulosit (dengan pelepasan radikal bebas, protease, dan eikosanoid) (Bab 2) menyempurnakan serangan terhadap pembuluh darah. Oleh karena lemak larut pada pemrosesan jaringan, maka visualisasi mikroskopik mikroglobul lemak (misalnya, pada ketiadaan elemen sumsum tulang yang menyertai) membutuhkan teknik khusus (potong beku dan pulasan lemak).



Emboli Cairan Amnion Emboli cairan amnion merupakan komplikasi menyedihkan dari proses persalinan dan periode awal postpartum (terjadi pada 1 di antara 40.000 persalinan). Tingkat mortalitas mencapai 80%, sehingga menjadi penyebab kematian maternal tersering di negara maju; mencapai 10% kematian maternal di Amerika Serikat, sementara 85% yang selamat akan menderita defisit neurologi permanen. Onset ditandai oleh dispnea, sianosis, dan syok hipotensi yang berat dan mendadak, diikuti oleh kejang dan koma. Jika pasien selamat pada krisis awal.



Gambar 3-16 Jenis embolus yang tidak biasa. A, Embolus sumsum tulang. Embolus terdiri atas sel-sel hematopoietik sumsum tulang dan sel lemak sumsum tulang (ruang-Jang kosong) yang melekat pada trombus. B, Emboli cairan amnion. Dua arteriol paru yang berisi sel-sel skuamosa janin yang tersusun berlapis-lapis. Jaringan paru di sekitarnya tampak edema dan kongestif. (Kontribusi Dr. Beth Schwartz, Baltimore, Maryland.)



Jika pasien selamat pada krisis awal, ciri khasnya akan timbul edema paru, bersama dengan KID (pada sekitar separuh pasien) yang disebabkan oleh pelepasan substansi-substansi trombogenik dari cairan amnion. Penyebab masuknya cairan amnion (dan isinya) ke dalam sirkulasi maternal adalah melalui robekanrobekan yang ada di membran plasenta dan/atau ruptur vena uterus. Pemeriksaan histologis menunjukkan sel-sel skuamosa yang berasal dari kulit janin, rambut lanugo, lemak dari vernix caseosa, dan musin yang berasal dari traktus respiratorius atau traktus gastrointestinal janin di dalam mikrosirkulasi maternal (Gambar 13-16, B). Temuan lain berupa edema paru yang mencolok, kerusakan alveolus yang difus (Bab 12), dan trombus fibrin sistemik yang dihasilkan oleh KID.



Emboli Udara Gelembung udara di dalam sirkulasi dapat berkelompok dan menyumbat aliran darah sehingga menyebabkan jejas iskemik di bagian distal. Udara dalam volume kecil yang terjebak dalam arteri koronaria pada saat operasi bypass atau masuk ke dalam sirkulasi arteri serebral pada saat operasi bedah saraf dilakukan dalam posisi "duduk tegak" dapat menyumbat aliran darah dengan akibat yang sangat buruk.



92



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



Embolus udara pada vena kecil umumnya tidak menyebabkan pengaruh serius, namun udara dalam volume yang cukup besar dapat masuk secara tidak sengaja ke dalam sirkulasi darah paru selama tindakan obstetrik atau sebagai akibat trauma dinding dada yang menyebabkan hipoksia, dan emboli vena yang sangat besar ini dapat tertahan di jantung dan menimbulkan kematian.



Secara kasar 40% dari semua kematian di Amerika Serikat adalah akibat dari penyakit kardiovaskular, yang sebagian besar disebabkan oleh infark miokardium atau serebrum. Infark paru merupakan komplikasi klinis yang umum, infark usus sering fatal, dan nekrosis iskemik ekstremitas bagian distal (gangren) menyebabkan morbiditas yang tinggi pada penderita diabetes.



Suatu contoh emboli udara tertentu yang disebut sebagai penyakit dekompresi/decompression sickness disebabkan oleh perubahan tekanan atmosfir yang terjadi secara mendadak. Oleh karena itu para penyelam, pekerja konstruksi bawah laut, dan orang-orang di dalam pesawat dengan tekanan udara yang tidak dikontrol/unpressurized aircraft, yang naik secara mendadak berisiko buruk. Pada saat udara dihirup pada tekanan tinggi (misalnya, selama menyelam di laut yang dalam), volume udara yang bertambah (khususnya nitrogen) akan larut ke dalam darah dan jaringan. Jika penyelam naik terlalu cepat (depressurizes) nitrogen akan masuk ke dalam jaringan dan gelembung-gelembung akan terpisah dari cairan di dalam darah dan membentuk emboli udara, yang menyebabkan iskemia jaringan. Pembentukan gelembung udara yang cepat di dalam otot skeletal dan jaringan penyokong di sekitar sendi menjadi penyebab timbulnya rasa sakit yang disebut "bungkukan/the bends" (disebut demikian pada tahun 1880-an oleh karena penderita membungkukkan badannya yang menyerupai pose fesyen wanita yang disebut Grecian bend). Gelembung-gelembung udara pada pembuluh darah paru menyebabkan terjadinya edema, perdarahan, dan atelektasis fokal atau emfisema, yang berakibat timbulnya kesulitan bernapas/respiratory distress, yang disebut chokes. Bentuk penyakit dekompresi yang lebih menahun dinamakan caisson disease (dinamakan menurut bilik bawah laut bertekanan yang digunakan pada saat membangun jembatan) di mana emboli udara berulang atau persisten di tulang mengakibatkan nekrosis iskemik yang multifokal; paling sering mengenai caput femoris, tibia, dan caput humerus. Penyakit dekompresi mendadak diobati dengan meletakkan pasien di dalam bilik bertekanan tinggi, untuk mendorong udara kembali ke dalam sirkulasi darah. Dekompresi lambat secara bertahap mendorong resorpsi udara dan ekshalasi, sehingga gelembung-gelembung yang dapat menyumbat tidak terbentuk.



Trombus arteriol atau emboli arteriol merupakan penyebab dari sebagian besar infark. Penyebab obstruksi arteri yang lebih jarang antara lain vasospasme, pelebaran ateroma akibat perdarahan di dalam plak, dan kompresi pembuluh darah dari luar, seperti oleh tumor, suatu aneurisma aorta diseksi/dissecting aortic aneurysm, atau edema dalam daerah yang terbatas (misalnya, sindrom kompartemen tibia anterior). Penyebab lain infark yang tidak biasa adalah puntiran saluran darah (misalnya, pada torsi testis atau volvulus usus), ruptur pembuluh akibat trauma, dan terjeratnya kantong hernia. Walaupun trombosis vena dapat menyebabkan infark, akibat yang lebih sering hanya berupa kongesti; khasnya, saluran bypass dengan cepat terbuka untuk menyediakan aliran keluar yang cukup dan mengembalikan aliran masuk ke arteri. Infark yang disebabkan oleh trombosis vena, hanya terjadi pada organ-organ dengan vena eferen tunggal (misalnya, testis atau ovarium).



RINGKASAN Emboli •











Embolus adalah suatu massa padat, cair atau udara intravaskular yang dibawa oleh darah ke suatu tempat yang jaug dari asalnya. Sebagian besar merupakan trombus yang terlepas. Emboli paru terutama berasal dari trombus di vena dalam tungkai bawah; pengaruhnya terutama tergantung pada ukuran embolus dan tempat di mana embolus itu masuk. Akibatnya dapat berupa gagal jantung bagian kanan, perdarahan paru, infark paru atau mati mendadak. Emboli sistemik terutama berasal dari trombus dinding jantung atau trombus katup, aneurisma aorta, atau plak aterosklerotik; apakah suatu embolus akan menyebabkan infark jaringan atau tidak, tergantung pada tempat terjadinya emboli dan ada atau tidaknya sirkulasi kolateral.



INFARK Infark adalah suatu daerah nekrosis iskemik yang disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah pada jaringan yang terkena; proses di mana lesi demikian terbentuk dinamakan infarksi, yang merupakan penyebab sangat penting penyakit-penyakit kritis dan sering terjadi.



MORFOLOGI Infark dikelompokkan berdasarkan warna(menggambarkan jumlah perdarahan) dan ada atau tidaknya infeksi bakteri. Oleh karena itu, infark dapat berwarna merah (hemoragik), putih (anemik) atau septik dan bersih. Infark merah (Gambar 3-17, A) terjadi (1) pada oklusi vena (seperti pada torsi ovarium); (2) pada jaringan longgar (misalnya, paru) di mana darah dapat berkumpul di zona infark; (3) pada jaringan-jaringan dengan sirkulasi ganda seperti paru dan usus kecil, di mana khas berupa perfusi parsial, tidak adekuat, yang didukung oleh arteri kolateral; (4) pada jaringan yang sebelumnya kongestif (sebagai akibat dari aliran keluar vena yang lambat); dan (5) ketika aliran dikembalikan setelah terjadi infark (misalnya, setelah operasi angioplasty pada arteri yang tersumbat). Infark putih terjadi pada oklusi arteri di organorgan padat dengan sirkulasi arteri yang tidak berkolateral/ end-arterial circulation (misalnya, jantung, limpa, ginjal) dan pada jaringan yang kepadatannya membatasi masuknya darah dari pembuluh darah paten di dekatnya (Gambar 3-17, B). Infark cenderung berbentuk baji/wedge-shaped, dengan pembuluh yang teroklusi di bagian apeks dan organ perifer di bagian basal (Gambar 3-17); jika bagian basal adalah permukaan serosum, sering terdapat eksudat fibrinosa di atasnya. Tepi-tepi lateral bisa tidak teratur, menggambarkan aliran dari pembuluh di dekatnya. Tepitepi dari infark mendadak secara khas tidak berbatas tegas dan sedikit hemoragik; dengan berjalannya waktu, tepi-tepi menjadi makin berbatas jelas oleh kelim hiperemik akibat peradangan. Infark yang disebabkan oleh oklusi arteri pada organorgan tanpa sirkulasi ganda, secara khas, seiring dengan berjalannya waktu menjadi makin pucat dan berbatas tegas (Gambar 3-17, B). Sebagai perbandingan, infark hemoragik sudah pasti untuk paru dan organ berongga lainnya (Gambar 3-17, A). Eritrosit yang keluar dari pembuluh darah pada infark hemoragik difagosit oleh makrofag, dan besi dari heme dikonversi menjadi hemosiderin intrasel. Bila eritrosit sedikit, tidak memberikan perubahan warna jaringan yang berarti, namun perdarahan yang luas meninggalkan warna coklat dan kenyal.



Infark



A



B



Pada sebagian besar jaringan, gambaran histologis utama yang berkaitan dengan infark adalah nekrosis iskemik atau nekrosis koagulatif (Bab I). Respons peradangan mulai berkembang sepanjang tepi-tepi infark dalam beberapa jam dan biasanya berbatas tegas dalam I hingga 2 hari.Akhirnya, peradangan diikuti oleh perbaikan, dimulai dari tepi-tepi yang terpelihara (Bab 2). Pada beberapa jaringan, regenerasi parenkim bisa terjadi pada bagian tepi infark, di mana arsitektur stroma di bawahnya masih baik. Akan tetapi, pada kebanyakan infark, semuanya telah digantikan oleh jaringan parut (Gambar 3-18). Otak merupakan perkecualian: jejas jaringan iskemik di sistem saraf pucat berakibat terjadinya nekrosis liquefaktif (Bab I). Infark septik terjadi bila vegetasi katup jantung yang terinfeksi menjadi embolus, atau bila mikroba tumbuh di jaringan nekrotik. Pada keadaan ini, infark diubah menjadi suatu abses, dengan respons inflamasi yang lebih kuat (Bab 2).



93



Gambar 3-17 Infark merah dan putih. A, Hemoragik, infark paru berbentuk potongan/ wedge-shaped (infark merah). B, Infark pucat yang berbatas tegas di limpa (infark putih).



Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Infark, Pengaruh oklusi pembuluh darah bervariasi, dari yang tidak berarti hingga nekrosis jaringan yang menyebabkan disfungsi organ dan terkadang kematian. Akibat yang bervariasi ini dipengaruhi oleh (1) anatomi pembuluh darah; (2) saat oklusi ini terjadi; (3) kerentanan intrinsik jaringan yang terkena jejas iskemik; dan (4) kandungan oksigen dalam darah. • Anatomi pembuluh darah kolateral. Ada atau tidaknya pembuluh darah kolateral merupakan faktor yang paling penting untuk menentukan apakah oklusi dari suatu pembuluh darah akan menyebabkan kerusakan atau tidak. Suplai darah ganda pada paru oleh arteri-arteri pulmo dan bronkus sehingga penyumbatan arteriol pulmo tidak menyebabkan infark paru kecuali aliran darah dari bronkus juga terganggu. Demikian pula dengan hati yang menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta, juga pada tangan dan lengan bawah dengan suplai arteri yang paralel dari arteri radialis dan arteri ulnaris, membuatnya resisten terhadap infark. Sebaliknya, ginjal dan limpa, keduanya memiliki sirkulasi arterial tanpa kolateral sehingga penyumbatan arteri biasanya akan menyebabkan timbulnya infark pada jaringan ini. • Kecepatan oklusi. Oklusi yang berkembang lambat lebih jarang menyebabkan infark karena cukup waktu untuk membangun suplai darah kolateral. Sebagai contoh, anastomosis interarteriol kecil, yang biasanya sedikit mengalirkan darah menghubungkan tiga arteri koronaria utama. Jika salah satu arteri koronaria teroklusi secara perlahan-lahan (misalnya, dengan menembus plak aterosklerotik), aliran darah pada sirkulasi kolateral ini dapat meningkat sehingga cukup untuk mencegah terjadinya infark—bahkan jika arteri ini menjadi teroklusi total. • Kerentanan jaringan terhadap iskemia. Neuron-neuron mengalami kerusakan ireversibel bila suplai darah terhenti selama 3 sampai 4 menit saja. Sel-sel otot jantung walaupun lebih tahan daripada neuron, masih akan mati setelah iskemia selama 20 hingga 30 menit saja. Sebaliknya, fibroblas dalam otot jantung masih bertahan hidup setelah iskemia berjam-jam. • Hipoksemia. Dapat dimengerti bahwa kandungan darah yang rendah O2 secara abnormal (tanpa memandang sebabnya) meningkatkan kecenderungan infark dan luas infark.



Gambar 3-18 Infark ginjal lama, sebagian sudah digantikan oleh jaringan parut fibrotik.



94



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Infark •



Infark adalah suatu nekrosis iskemik yang kebanyakan disebabkan oleh oklusi arteri (khas pada trombosis atau emboli); sumbatan aliran vena merupakan penyebab yang lebih jarang.







Infark yang disebabkan oleh oklusi vena atau yang terjadi pada jaringan berongga khas bersifat hemoragik (berwarna merah); infark yang disebabkan oleh oklusi arteri pada jaringan padat khas bersifat pucat (berwarna putih).







Apakah oklusi pembuluh darah akan menyebabkan infark jaringan atau tidak dipengaruhi oleh suplai darah kolateral, kecepatan berkembangnya sumbatan, kerentanan intrinsik jaringan terhadap jejas iskemik dan oksigen dalam darah.



SYOK Syok adalah langkah akhir yang paling sering dari berbagai kejadian berbahaya yang berpotensi mematikan, seperti kehilangan banyak darah/ exsanguination, trauma atau luka bakar yang luas, infark miokard, emboli paru, dan sepsis. Tanpa memandang sebabnya, syok ditandai oleh hipoperfusi sistemik jaringan; yang bisa disebabkan oleh curah jantung yang berkurang atau oleh berkurangnya volume darah efekhf yang beredar. Akibatnya adalah terjadi gangguan perfusi jaringan dan hipoksia sel. Walaupun syok pada awalnya reversibel, tetapi syok yang lama akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan yang ireversibel yang sering mematikan. Bentuk-bentuk syok yang paling sering dijumpai dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan kelainan (Tabel 3-3): • Syok kardiogenik disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat kegagalan pompa jantung. Penyebabnya bisa karena kerusakan otot jantung (infark), aritmia ventrikel, tekanan dari luar (tamponade jantung) (Bab 10), atau aliran darah keluar yang tersumbat (misalnya, emboli paru). • Syok hipovolemik disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat hilangnya volume darah atau plasma (misalnya, akibat perdarahan atau kehilangan cairan pada luka bakar luas). • Syok septik disebabkan oleh vasodilatasi arteri dan pengumpulan darah pada vena yang berpangkal dari respons imun sistemik terhadap infeksi mikroba. Patogenesisnya yang kompleks akan dibahas kemudian.



Kadang-kadang syok bisa disebabkan oleh hilangnya tonus pembuluh darah yang berkaitan dengan anestesi atau trauma medula spinalis (syok neurogenik). Syok anafilaktik disebabkan oleh vasodilatasi sistemik dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh suatu immunoglobulin-E (Bab 4).



Patogenesis Syok Septik Syok septik tetap merupakan masalah klinis yang mengancam walaupun terdapat berbagai kemajuan dunia medis dalam beberapa dekade terakhir. Syok septik membunuh 20% penderita, mencapai lebih dari 200.000 kematian setahun di Ameriksa Serikat, dan merupakan penyebab mortalitas nomor satu di ICU/intensive care units. Insidens syok septik meningkat, ironisnya sebagian karena membaiknya bantuan hidup untuk pasien-pasien kritis, meningkatnya tindakan invasif dan bertambahnya jumlah pasien immunocompromised (akibat kemoterapi, imunosupresi, atau infeksi HIV). Pada syok septik, pelebaran arteri dan vena yang bersifat sistemik mengakibatkan hipoperfusi jaringan, walaupun curah jantung masih baik atau bahkan pada awalnya meningkat. Penurunan tonus pembuluh darah disertai oleh aktivasi sel endotel di seluruh tubuh, yang sering memicu suatu keadaan hiperkoagulasi dan bermanifestasi sebagai KID/koagulasi intravaskular diseminata. Lebih lanjut, syok septik berkaitan dengan perubahan metabolisme yang secara langsung menekan fungsi sel dan jaringan. Pengaruh gabungan kelainan-kelainan ini ialah terjadinya hipoperfusi dan disfungsi organ multipel. Saat ini, bakteri gram positif merupakan penyebab paling sering dari syok septik, diikuti oleh organisme gram negatif dan jamur. Walaupun dulu pernah ada pemikiran bahwa infeksi harus menyebar luas ke seluruh tubuh untuk dapat menimbulkan syok septik, ternyata infeksi yang terbatas pada suatu jaringan tertentu dapat memicu terjadinya syok septik, bahkan tanpa adanya penyebaran ke dalam darah yang dapat dideteksi. Kemampuan bermacam-macam flora untuk mempresipitasi syok septik sejalan dengan ide bahwa beberapa bagian mikroba yang berbeda dapat menginisiasi proses syok septik. Terutama, makrofag, neutrofil, sel dendritik, sel endotel, juga komponen-komponen sistem imun alami yang larut (misalnya, komplemen) yang diaktifkan oleh bermacam substansi yang berasal dari mikroorganisme. Sekali diaktifkan, sel-sel ini dan faktor-faktor yang larut menginisiasi sejumlah respons peradangan yang berinteraksi dengan cara yang kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya, sebagai penyebab syok septik (Gambar 3-19).



Tabel 3-3 Tiga Jenis Utama Syok



Jenis Syok



Contoh Klinis



Mekanisme Patogenik Utama



Kardiogenik



Infark miokard Ruptur ventrikel Aritmia Tamponade jantung Emboli paru



Kegagalan pompa miokard yang disebabkan oleh kerusakan miokard intrinsik, tekanan ekstrinsik, atau obstruksi aliran keluar



Hipovolemik



Hemoragi Kehilangan cairan (misal, muntah, diare, luka bakar, trauma)



Volume plasma atau darah yang tidak adekuat



Septik



Infeksi mikroba berat Syok endotoksik Septikemia Gram-positif Sepsis fungal Superantigen (misal, toxic shock syndrome)



Vasodilasi perifer dan pengumpulan darah; jejas/aktivasi endotel; kerusakan yang diinduksi leukosit; koagulasi intravaskular diseminata; aktivasi kaskade sitokin



Syok



95



Produk-Produk Mikroba (PAMPs) Aktivasi Komplemen C3a



C3



Faktor XII



Langsung dan tidak langsung



Prokoagulan



Aktivasi neutrofil dan monosit



Anti-fibrinolitik



TF TFPI, trombomodulin, protein C



TROMBOSIS MIKROVASKULAR (DIC)



PAI-1



TNF, IL-1, HMGB1 Aktivasi endotel



Sitokin dan mediator-mediator menyerupai sitokin



Mediator anti inflamasi sekunder



VASODILASI PERMEABILITAS MENINGKAT PERFUSI MENURUN



PENGARUHPENGARUH SISTEMIK



IMUNOSUPRESSI



Demam,menurunnya kontraktilitas miokardium, abnormalitas metabolik



ISKEMIA JARINGAN



Insufisiensi adrenal



IL-10, apoptosis, sTNFR



IL-6, IL-8, NO, PAF, spesies oksigen reaktif, dll.



KEGAGALAN MULTI ORGAN



Gambar 3-19 Jalur patogenik utama pada syok septik. Produk-produk mikrobial mengaktivasi sel-sel endotel, elemen seluler dan humoral sistem imun alami, mengawali suatu kaskade kejadian yang berakibat pada kegagalan multiorgan. Rincian tambahan ada di teks. DIC, disseminated intravascular coagulation; HMGB I , high-mobility group box 1 protein; NO, nitrit oksida; PAF, platelet-activating factor, PAI- I , plasminogen activator inhibitor-1; PAMP, pathogen-associated molecular pattern; STNFR, soluble tumor necrosis factor receptor,TF, tissue factor, TFPI, tissue factor pathway inhibi.



Di lain pihak, respons peradangan luas yang serupa-disebut sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS) — juga dapat terjadi tanpa adanya infeksi nyata yang mendasari; penyebabnya termasuk trauma atau luka bakar yang luas, pankreatitis, dan iskemia difus.



• Aktivasi sel endotel dan jejas. Aktivasi endotel oleh bagian-bagian mikroba atau mediator-mediator sel radang memiliki tiga sekuelae utama(1) trombosis; (2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah; dan (3) pelebaran pembuluh darah/ vasodilation.



Faktor-faktor yang berperan dalam patofisiologi syok septik mencakup:



Gangguan pembekuan cukup untuk menyebabkan komplikasi KID yang menakutkan pada hampir separuh pasien syok septik. Sepsis mengubah ekspresi banyak faktor dan cenderung terjadi pembekuan. Sitokinsitokin sebelum peradangan menyebabkan produksi faktor jaringan meningkat, sementara pada saat yang bersamaan fibrinolisis berkurang dengan meningkatnya ekspresi PAI. Produksi faktor-faktor antikoagulan sel endotel lainnya, seperti tissue factor pathway inhibitor, trombomodulin, dan protein C, juga berkurang. Kecenderungan prokoagulan selanjutnya diperkuat oleh berkurangnya aliran darah di dalam pembuluhpembuluh darah kecil, yang menyebabkan stasis dan mengurangi pembersihan faktor-faktor pembekuan yang teraktivasi. Secara keseluruhan, pengaruh-pengaruh ini meningkatkan penumpukan trombus yang kaya fibrin di dalam pembuluh-pembuluh darah kecil secara sistemik, sehingga memperburuk keadaan hipoperfusi jaringan. Pada KID, juga terdapat pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit, yang mengakibatkan secara bersamaan terjadi perdarahan dan hemoragi (Bab 11).



• Mediator peradangan. Sel-sel dari sistem imun alami mengekspresikan reseptor-reseptor (misalnya, Tolllike receptors [TLRs]) (Bab 2) yang mengenali banyak substansi yang berasal dari mikroba yang mengandungi pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Aktivasi dari reseptor pengenalan patogen oleh PAMPs memicu respons imun alami yang menimbulkan sepsis. Pada saat aktivasi, sel-sel radang menghasilkan TNF dan IL-1 (dan sitokin lainnya), serta mediatormediator yang menyerupai sitokin seperti high-mobility group box 1 (HMGB1). Reactive oxygen species dan mediator lipid seperti prostaglandin dan plateletactivating factor (PAF) juga dihasilkan (Bab 2). Molekul-molekul efektor ini mengaktifkan sel-sel endotel, berakibat pada diekspresikannya molekulmolekul adhesi, suatu fenotipe prokoagulan, dan produksi sitokin gelombang kedua. Kaskade komplemen juga diaktifkan oleh komponen-komponen mikroba, baik secara langsung atau melalui aktivitas proteolitik plasmin (Bab 2), berakibat pada dihasilkannya anafilotoksin (C3a, C5a), fragmenfragmen kemotaksik (C5a), dan opsonin (C3b), yang semuanya dapat berperan pada keadaan sebelum peradangan.



96



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



Keadaan sebelum peradangan yang berhubungan dengan sepsis mengawali kebocoran pembuluh darah yang luas dan edema jaringan, yang mengurangi transpor nutrien dan pembuangan kotoran. Tampaknya sitokinsitokin peradangan melonggarkan tight junction sel-sel endotel dengan memindahkan molekul adhesi kadherin-VE dari junction. Junction yang telah berubah menjadi mudah bocor, berakibat pada akumulasi eksudat kaya protein dan edema di seluruh tubuh. Ekspresi mediator-mediator peradangan vasoaktif (misalnya, C3a, C5a, PAF), bersama dengan peningkatan produksi NO, menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah secara sistemik, sehingga menimbulkan hipotensi yang selanjutnya mengurangi perfusi jaringan. • Kelainan metabolit. Pasien sepsis menunjukkan resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia. Sitokin-sitokin seperti TNFdan IL-1, hormon-hormon yang diinduksi oleh stres (seperti glukagon, growth hormone, dan glukokortikoid), dan katekolamin, semuanya menimbulkan glukoneogenesis. Pada saat bersamaan, sitokin sitokin pro-inflamasi menekan pengeluaran insulin, yang secara bersamaan meningkatkan resistensi insulin di otot skeletal dan jaringan lain. Hiperglikemia menekan fungsi neutrofil — oleh karena itu mengurangi aktivitas anti-bakteri — dan menyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Walaupun sepsis awalnya berhubungan dengan peningkatan produksi glukokortikoid, namun sering diikuti oleh insufisiensi adrenal dan defisit glukokortikoid relatif. Efek ini dapat berpangkal dari pengurangan kapasitas sintesis kelenjar adrenal atau adanya nekrosis adrenal yang jelas oleh karena KID (Waterhouse-Friderichsen syndrome) (Bab 19). • Imunosupresi. Keadaan inflamasi hebat yang diinisiasi oleh sepsis dapat secara paradoks menimbulkan imunosupresi. Mekanismenya diperkirakan mencakup produksi mediator-mediator antiinflamasi (seperti reseptor TNF yang larut dan antagonis reseptor IL-1), dan adanya apoptosis limfosit yang luas di limpa, kelenjar getah bening oleh sebab yang belum jelas. Masih diperdebatkan, apakah pada sepsis mediator-mediator imunosupresi bersifat protektif atau merugikan • Disfungsi organ. Hipotensi sistemik, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema jaringan dan trombosis vena kecil, semua ini menurunkan penghantaran oksigen dan makanan ke jaringan dan berperan pada disfungsi organ. Sitokin dan mediator sekunder dalam jumlah yang tinggi dapat mengurangi kontraktilitas otot jantung, sehingga mengurangi curah jantung; meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan jejas endotel pada sirkulasi paru yang berakibat pada terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS) (Bab 13). Akhirnya, faktor-faktor ini bersamasama menyebabkan gagal organ multipel/ multiorgan failure, khususnya ginjal, hati, paru dan jantung yang berujung pada kematian. Luaran pasien dengan syok septik sulit diprediksi; secara umum, pasien dengan infeksi yang luas dan penyakit penyerta memiliki angka kematian yang paling tinggi, akan tetapi pada individu sehat berusia muda dengan infeksi yang virulen, (misalnya, sepsis meningococcal) dapat meninggal dalam beberapa jam.



Melihat banyaknya faktor yang terlibat dan kompleksnya interaksi yang mendasari sepsis, tidak mengherankan bahwa upaya-upaya pengobatan dengan penghambat mediator spesifik belum memberikan hasil yang memuaskan. Standar pengobatan tetap berupa pemberian antibiotik yang sesuai, terapi insulin intensif untuk hiperglikemia, resusitasi cairan untuk mempertahankan tekanan sistemik, dan pemberian kortikosteroid "dosis fisiologis" untuk mengoreksi insufisiensi adrenal relatif. Beberapa penelitian memberikan hasil yang menjanjikan pada model sepsis dengan menggunakan terapi yang ditujukan untuk memperbaiki integritas sel endotel. Kelompok lain yaitu protein bakteri yang disekresikan yang disebut superantigen juga menyebabkan sindrom yang menyerupai syok septik (misalnya, toxic shock syndrome). Superantigen adalah aktivator limfosit T poliklonal yang menginduksi sel limfosit T untuk mengeluarkan banyak sitokin, yang akan berakibat munculnya bermacam-macam manifestasi klinis, dari suatu kemerahan difus pada kulit hingga pelebaran pembuluh darah, hipotensi dan kematian.



Tahap-Tahap Syok Syok adalah suatu kelainan progresif yang menyebabkan kematian bila masalah-masalah yang mendasarinya tidak dikoreksi. Mekanisme kematian yang berhubungan dengan sepsis masih belum jelas; selain meningkatnya apoptosis limfosit, nekrosis sel minimal. Secara khas, kematian terjadi setelah timbul kegagalan organ multipel, yang biasanya tidak memberikan tanda-tanda morfologik untuk menerangkan disfungsi organ. Untuk syok hipovolemik dan syok kardiogenik, jalur yang mengarah ke kematian pasien cukup diketahui. Syok umumnya cenderung berkembang melalui tiga tahap umum, kecuali bila kelainan yang ada sangat masif dan mematikan dengan cepat (misalnya, hilangnya darah/ exsanguination dari suatu aneurisma aorta yang ruptur). Tahap-tahap ini telah diketahui dengan lebih jelas pada syok hipovolemik namun juga dapat dipakai secara umum pada syok bentuk lain: • Tahap awal non-progresif, yaitu saat mekanisme kompensasi refleks diaktifkan dan perfusi organorgan vital dipertahankan. • Tahap progresif, ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan mulainya sirkulasi yang memburuk dan gangguan metabolisme, termasuk asidosis. • Tahap ireversibel, yaitu saat jejas sel dan jaringan sangat berat sehingga walaupun defek hemodinamik diperbaiki, tidak memungkinkan pasien selamat. Pada tahap awal non-progresif, berbagai mekanisme neurohumoral bekerja membantu mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Mekanisme-mekanisme ini meliputi refleks baroreseptor, pelepasan katekolamin dan hormon antidiuretik, pengaktifan jalur renin-angiotensin-aldosteron, dan rangsangan simpatis umum. Efek gabungan ini berupa takikardia, vasokonstriksi perifer dan konservasi cairan ginjal; vasokonstriksi kulit menyebabkan kulit menjadi dingin dan pucat (perlu diingat, syok septik pada awalnya dapat menyebabkan vasodilasi, sehingga pasien bisa menunjukkan kulit yang memerah, hangat. Pembuluh darah koroner dan serebrum kurang sensitif terhadap sinyal-sinyal simpatis dan mempertahankan kaliber pembuluh darah, aliran darah, dan penghantaran oksigen yang relatif normal. Oleh karena itu, darah dialihkan dari kulit ke organ-organ vital seperti jantung dan otak. Bila penyebab yang mendasari timbulnya syok tidak dikoreksi, syok akan memasuki fase progresif, yang ditandai oleh



Syok hipoksia jaringan yang luas. Pada keadaan defisit oksigen yang menetap, respirasi aerobik intrasel digantikan oleh glikolisis anaerobik sehingga terjadi produksi asam laktat berlebihan. Hasil akhir metabolisme berupa asidosis laktat/lactic acidosis menurunnya pH jaringan, yang melemahkan respons vasomotor, sehingga arteriol melebar dan darah mulai berkumpul di mikrosirkulasi. Berkumpulnya darah di perifer tidak hanya memperburuk curah jantung namun juga membuat sel endotel berisiko mengalami jejas anoksia yang diikuti oleh KID. Sejalan dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ-organ vital terpengaruh dan mulai gagal. Tanpa adanya penanganan yang sesuai, proses ini akhirnya akan masuk ke tahap ireversibel. Jejas sel yang meluas tergambarkan dari kebocoran enzim lisosomal, yang memperburuk keadaan syok. Fungsi kontraktil otot jantung memburuk, antara lain oleh karena meningkatnya pembentukan nitrit oksida. Usus yang iskemik memungkinkan flora usus masuk ke sirkulasi dan dapat timbul syok bakteremik bersamaan. Biasanya, perkembangan ke arah gagal ginjal terjadi sebagai akibat dari jejas iskemik ginjal (Bab 13), dan walaupun diberikan pengobatan yang terbaik, biasanya proses akan terus berlanjut hingga berakhir pada kematian.



MORFOLOGI Pengaruh syok pada sel dan jaringan pada dasarnya merupakan jejas hipoksik (Bab 1) dan disebabkan oleh gabungan antara hipoperfusi dan trombosis mikrovaskular. Walaupun setiap organ dapat terkena, namun otak, jantung, ginjal, adrenal dan traktus gastrointestinalis adalah yang paling sering terlibat. Trombus fibrin dapat terbentuk di setiap jaringan namun secara khas lebih mudah dilihat di glomerulus ginjal. Penurunan kadar lipid sel adrenal serupa dengan yang ditemukan pada berbagai bentuk stres dan menggambarkan peningkatan pemakaian simpanan lipid untuk sintesis steroid. Walaupun paru resisten terhadap jejas hipoksia pada syok hipovolemik yang terjadi setelah suatu perdarahan, sepsis atau trauma, dapat mempresipitasi kerusakan alveolus difus (Bab 12), sehingga terjadi keadaan yang disebut syok paru. Jaringan yang terkena bisa sembuh sempurna jika pasien selamat, kecuali bila yang hilang adalah sel neuron dan otot jantung.



Perjalanan Klinis Manifestasi klinis syok bergantung dari latar belakang yang memicunya. Pada syok hipovolemik dan syok kardiogenik, pasien menunjukkan hipotensi, denyut nadi lemah dan cepat, takipnea, dan kulit yang dingin, lembab dan sianotik. Seperti yang sudah disebutkan, pada syok septik kulit bisa hangat dan kemerahan oleh karena pelebaran pembuluh darah perifer. Ancaman utama terhadap nyawa adalah keadaan/ penyakit yang mendasarinya (misalnya, infark miokardial, perdarahan berat, infeksi bakteri). Akan tetapi, perubahan pada jantung, serebral, dan paru secara cepat memperburuk keadaan. Bila pasien selamat pada periode awal, fungsi ginjal yang memburuk dapat memicu suatu fase yang didominasi oleh oliguria, asidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit yang progresif. Prognosis bervariasi berdasarkan asal dan lamanya syok. Oleh karena itu, lebih dari 90% pasien berusia muda, dan tampak sehat, dengan penanganan yang sesuai, bisa selamat dari syok hipovolemik;



97



sebagai perbandingan syok septik atau kardiogenik berhubungan dengan akibat yang jauh lebih jelek walaupun sudah ditangani dengan perawatan yang sangat baik/ state-of-the-art.



RINGKASAN Syok •



• • •



Syok didefinisikan sebagai keadaan hipoperfusi jaringan sistemik yang disebabkan oleh berkurangnya curah jantung dan/atau berkurangnya volume darah dalam sirkulasi yang efektif. Jenis utama dari syok adalah syok kardiogenik (misalnya, infark miokard), syok hipovolemik (misalnya, hilangnya darah) dan syok septik (misalnya, infeksi). Syok dalam berbagai bentuk dapat mengakibatkan jejas hipoksik jaringan jika tidak diperbaiki. Syok septik disebabkan oleh respons pejamu terhadap infeksi bakteri atau jamur; ditandai oleh aktivasi sel endotel, vasodilatasi, edema, KID/koagulasi intravaskular diseminata, dan gangguan metabolit.



KEPUSTAKAAN Akhtar S: Fat embolism. Anesthesiol Clin 27:533, 2009. [Tinjauan mutakhir tentang patogenesis dan masalah klinis sindrom emboli lemak.] Coppola A, Tufano A, Cerbone AM, Di Minno G: Inherited thrombophilia: implications for prevention and treatment of venous thromboembolism. Semin Thromb Hemost 35:683, 2009. [Tinjauan tentang aspek genetik keadaan hiperkoagulabilitas pada salah satu volume dari jurnal yang membahas tentang berbagai aspek trombofilia.] Crawley J et al: The central role of trombin in hemostasis. J Thromb Haemost 5 (Suppl 1):95, 2007. [Tinjauan tentang berbagai jalur yang dipengaruhi oleh aktivasi trombin.] Crawley J, Lane D: The haemostatic role of tissue factor pathway inhibitor. Arterioscler Thromb Vasc Biol 28:233, 2008. [Kesimpulan dari peran fisiologis TFPI.] Cushman M: Epidemiology and risk factors for venous thrombosis. Semin Hematol 44:62, 2007. [Tinjauan faktor-faktor risiko dan patofisiologi bekuan vena.] Dahlback B: Blood coagulation and its regulation by anticoagulant pathways: genetic pathogenesis of bleeding and thrombotic diseases. J Intern Med 257:209, 2005. [Walaupun artikel ini sudah agak lama, namun merupakan suatu tinjauan yang baik mengenai hemostasis normal dan abnormal.] Esmon CT, Esmon NL: The link between vascular features and thrombosis. Annu Rev Physiol 2011. [Tinjaun mutakhir tentang interaksi dari endotel, aliran darah, dan thrombosis/hemostasis.] Goldhaber SZ: Advanced treatment strategies for acute pulmonary embolism, including thrombolysis and embolectomy. Thromb Haemost 7(Suppl 1):322, 2009. [Panduan mutakhir untuk pengenalan dan terapi emboli paru.] Holy EW, Tanner FC: Tissue factor in cardiovascular disease pathophysiology and pharmacological intervention. Adv Pharmacol 59:259, 2010. [Tinjauan menyeluruh tentang peranan faktor jaringan dalam hemostasis dan jalurjalur yang potensial untuk diintervensi untuk mencegah trombosis yang patologis.] Hong MS, Amanullah AM: Heparin-induced thrombocytopenia: a practical review. Rev Cardiovasc Med 11:13, 2010. [Seperti tergambar pada judul, merupakan suatu tinjauan praktis yang baik mengenai mekanisme dan terapi untuk trombositopenia yang diinduksi oleh heparin.] Hotchkiss R, Karl I: The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med 348:138, 2003. [Walaupun merupakan artikel yang lebih lama, namun ditulis dengan sangat baik dan memberikan pengertian yang mendasar mengenai jalur-jalur yang mendasari terjadinya sepsis.] Jennings LK: Mechanisms of platelet activation: need for new strategies to protect against platelet-mediated atherothrombosis. Thromb Haemost 102:248, 2009. [Tinjauan yang sangat baik dan mutakhir tentang peran trombosit dalam trombosis dan radang, juga target-target yang potensial untuk intervensi terapi.]



98



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik, Tromboemboli dan Syok



­



Munford RS: Severe sepsis and septic shock: the role of gramnegative bacteremia. Annu Rev Pathol 1:467, 2006. [Tinjauan yang menarik dan menantang tentang patogenesis syok septik.] Osinbowale O, Ali L, Chi YW: Venous thromboembolism: a clinical review. Postgrad Med 122:54, 2010. [Tinjauan yang baik untuk tingkatan mahasiswa kedokteran.]



­



Wu KK, Matijevic-Aleksic N: Molecular aspects of thrombosis and antithrombotic drugs. Crit Rev Clin Lab Sci 42:249, 2005. [Pembahasan yang panjang dan menyeluruh tentang mekanisme pembentukan trombus dengan penekanan pada target-target intervensi terapi.] Zwicker J, Furie BC, Furie B: Cancer-associated thrombosis. Crit Rev Oncol Hematol 62:126, 2007. [Tinjauan yang menyeluruh tentang mekanisme yang mendasari keadaan koagulasi berlebihan pada keganasan.]



4 BAB



Penyakit Sistem Imun DAFTAR ISI BAB Imunitas Bawaan dan Imunitas Adaptif (Didapat)/Innate and Adaptive immunily 99 Sel dan Jaringan dari Sistem Imun 100 Limfosit 101



Sel Penyaji Antigen 104 Sel Efektor 104 Jaringan limfoid 104



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal 105



Reaksi Imun Bawaan Dini terhadap Mikroba 105 Pengikatan dan Pemaparan Antigen Mikroba 105 Imunitas Seluler: Aktivasi Limfosit T dan Eliminasi Mikroba yang Terikat pada Sel 105 Imunitas Humoral: Aktivasif limfosit B dan Eliminasi Mikroba Ekstrasel 108 Penurunan Reaksi Imun dan Memori Imunologi 109



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun 109 Penyebab Reaksi Hipersensitivitos 109 Jenis Reaksi Hipersensitivitas 110 Hipersensitivitas Segera (Tipe I) 111 Penyakit Berdasarkan Reaksi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II) 114 Penyakit Kompleks Imun (Hipersensitivitas Tipe III) 115 Hipersensitivitas Berdasarkan Reaksi Sel T



Penyakit Jaringan Ikat Campuran 135 Ponarteritis Nodosa dan Vaskulitis Lain 135 Penyakit Terkait-IgG4 135



Penalakan Jaringan Transplan 135



Pengenalan Imunologi Alograf 135 Mekanisme Efektor Penolakan Jaringan Transplan 137 Cara Meningkatkan Ketahanan Hidup Jaringan Transplan 138 Transplantasi Sel Punca (Stem cells) Hematopoietik 139



(Hipersensitivitas Tipe IV) 117



Penyakit Imunodefisiensi



Penyakit Autoimun



Imunodefisiensi Primer (Kongenital) 139 Imunodefisiensi Sekunder (Didapat) 143 Sindrom Imunodefisiensi Akuisita (SIDA/AIDS) 143



120



Toleransi Imunologi 121 Mekanisme dari Autoimunitas 122 Lupus Eritematosus Sistemik 125 Artritis Reumotoid 131 Sindrom Sjogren 131 Sklerosis Sistemik (Skleroderma) 132 Miopati yang Bersifat Inflamasi 135



Imunitas adalah reaksi kekebalan untuk melindungi tubuh terhadap infeksi, sedangkan sistem imun adalah kumpulan sel dan molekul yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap berbagai mikroba patogen yang terdapat di lingkungan. Cacat dari sistem pertahanan berakibat peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang dapat mengancam nyawa apabila cacatnya tidak diperbaiki. Sebaliknya, sistem kekebalan sendiri dapat menyebabkan kerusakan parah dan menjadi penyebab utama dari penyakit yang paling rumit dan tidak terkendali dalam dunia modern. Oleh karena itu, penyakit imunitas berkaitan dengan aktivitas imun yang berkisar dari reaksi imun yang terlalu lemah sampai reaksi imun yang terlalu kuat atau tidak tepat. Bab ini mulai dengan tinjauan singkat dari beberapa konsep dasar biologi limfosit dan reaksi imun normal, yang merupakan landasan untuk pembahasan berikutnya tentang penyakit yang disebabkan reaksi kekebalan yang berlebihan atau tidak tepat, penolakan organ transplan dan kelainan imunodefisiensi. Pada akhir bab diberikan pembahasan tentang amiloidosis, suatu penyakit yang ditandai oleh pengendapan abnormal dari protein-protein tertentu (beberapa di antaranya yang diproduksi terkait dengan reaksi imun).



139



Amiloidosis 153



Klasifikasi Amiloidosis 154



IMUNITAS BAWAAN DAN IMUNITAS ADAPTIF (DIDAPAT)/INNATE AND ADAPTIVE IMMUNITY Pertahanan terhadap mikroba terdiri atas dua jenis reaksi (Gambar 4-1). Imunitas bawaan (juga disebut imunitas alami atau dasar) diperantarai oleh sel dan protein yang selalu berada dan terangsang untuk menyerang mikroba, siap untuk bereaksi segera terhadap infeksi. Unsur utama imunitas bawaan adalah penyangga epitel dari kulit, saluran gastro intestinal, dan saluran respiratorik, yang mencegah masuknya mikroba, leukosit yang bersifat fagosit (neutrofil dan makrofag), suatu jenis sel yang disebut natural killer (NK) dan beberapa protein plasma yang beredar, terutama protein-protein dari sistem komplemen. Reaksi imun bawaan dapat mencegah dan mengelola berbagai infeksi. Walaupun demikian, banyak mikroba patogenik telah mengalami evolusi untuk melawan pertahanan dini, dan perlindungan terhadap infeksi ini memerlukan imunitas yang lebih khusus dan lebih kuat, yaitu imunitas adaptif (juga disebut imunitas didapat atau imunitas spesifik). Imunitas adaptif dalam keadaan normal tidak aktif dan akan bereaksi (beradaptasi) apabila ada mikroba yang infektif, mengembangan diri



100



BAB 4



Penyakit Sistem imun IMUNITAS ALAMI (BAWAAN) Mikroba



IMUNITAS ADAPTIF (DIDAPAT) Antibodi



Limfosit B



Penyangga epitel



Limfosit T



Sel T efektor



Fagosit



Komplemen



0



6 Jam



Sel NK



12



1 Waktu setelah infeksi



2



3 Hari



4



5



Gambar 4-1 Mekanisme dasar imunitas alami (bawaan) dan imunitas adaptif (didapat). NK, notural killer (pembunuh alami).



dengan kemampuan untuk menetralkan dan mengeliminasi mikroba. Unsur sistem imunitas adaptif adalah limfosit dan produknya. Lazimnya, istilah sistem imun dan reaksi imun dimaksudkan sebagai imunitas adaptif. Ada dua jenis reaksi imun adaptif: imunitas humorai, yang diperantarai oleh protein terlarut yang disebut antibodi yang diproduksi oleh limfosit B (juga disebut sel B), dan imunitas seluler, yang diperantarai oleh limfosit T (juga disebut sel T). Antibodi bersifat protektif terhadap mikroba ekstrasel di dalam darah, sekresi mukosa, dan jaringan. Limfosit T penting dalam pertahanan terhadap mikroba intrasel. Mereka berperan baik langsung membunuh sel yang terinfeksi (dilaksanakan oleh limfosit T sitotoksik) maupun oleh fagosit yang teraktifkan untuk membunuh mikroba yang difagosit, melalui mediator protein yang disebut sitokin (yang diproduksi oleh limfosit T-penolong). Sifat-sifat dan fungsi utama dari sel-sel sistem imun diuraikan dalam bagian berikutnya. Apabila sistem imun terpicu secara tidak tepat atau tidak terkendali secara wajar, mekanisme yang sama dalam pertahanan akan menyebabkan jejas jaringan dan penyakit. Reaksi sel-sel dari imunitas bawaan dan imunitas adaptif mungkin berwujud sebagai reaksi radang (inflamasi). Seperti dibahas dalam Bab 2, inflamasi adalah suatu proses yang berguna, tetapi juga menjadi dasar banyak penyakit pada manusia. Selanjutnya akan diberikan tinjauan bagaimana caranya reaksi imun adaptif dapat memicu reaksi inflamasi yang patologis.



SEL DAN JARINGAN DARI SISTEM IMUN Sel-sel dari sistem imun terdiri atas Iimfosit, yang mengenai antigen dan menimbulkan reaksi imun adaptif sel yang mengkhususkan diri menyajikan antigen (sel penyaji antigen/ SPA atau antigen presenting



cells/APC), yang mengikat dan berbagai sel efektor, yang berperan untuk mengeliminasi mikroba dan antigen lain. Dua perangai utama dari sistem imun adalah spesialisasi dari sel untuk melakukan berbagai fungsi, dan mekanisme pengaturan yang cermat yang memungkinkan reaksi yang berguna apabila diperlukan dan mencegah hal-haI yang berpotensi merusak.



Limfosit Limfosit berada di dalam sirkulasi dan di dalam berbagai organ. Walaupun semua limfosit secara morfologik tampak identik, sebenarnya terdapat beberapa populasi limfosit yang berbeda fungsi dan fenotipenya. Limfosit berkembang dari sel asal (precursor) di dalam organ limfoid yang aktif dalam pembentukan sel. Limfosit yang mengalami pematangan di dalam timus disebut limfosit T, sedangkan limfosit B mengalami pematangan di dalam sumsum tulang (bone marrow). Masing-masing limfosit T atau B memaparkan reseptor untuk antigen tunggal dan seluruh populasi limfosit (berjumlah sekitar 10' pada manusia) dan berkemampuan mengenal puluhan atau ratusan juta antigen. Keragaman yang sangat banyak untuk pengenalan antigen ini dihasilkan oleh pengaturan kembali sornatik (somatic rearrangement) dari gen reseptor antigen selama pematangan limfosit, disertai pembentukan varian selama penggabungan segmen yang berbeda dari gen reseptor antigen. Antigen-antigen reseptor ini dipaparkan oleh Iimfosit dan tidak terjadi pada sel lain. Oleh karena itu, penetapan pengaturan kembali gen reseptor antigen dengan teknik molekuIer (polymerase chain reaction/ PCR) merupakan cara membedakan limfosit T dan B yang definitif. Oleh karena tiap limfosit mempunyai pengaturan kembali DNA yang unik (demikian juga antigen reseptor yang unik), maka penetapannya untuk populasi limfosit dapat membedakan ekspansi limfosit yang bersifat polikional (non-neoplastik) dari yang bersifat monoklonal (neoplastik). Analisis semacam itu digunakan untuk membantu diagnosis keganasan limfoid (Bab 11).



Sel dan jaringan dari Sistem Imun



yang berperan untuk mengikat antigen peptida dan suatu regiokonstan yang berinteraksi dengan molekul-molekul yang terkait isyarat. Reseptor-reseptor sel T saling berikatan secara non-kovalen dalam suatu kelompok dari lima rantai polipeptida invarian, yaitu γ, δ dan ɛ dari kompleks molekul CD3 dan dua ζ rantai (Gambar 4-2, A). Protein CD3 dan rantai ζ tidak mengikat antigen: tetapi mereka melekat ke reseptor sel T dan mengirimkan isyarat biokimia internal setelah TCR mengenal antigen. Di samping protein pembuat isyarat tersebut, sel T memaparkan sejumlah molekul invarian yang mempunyai berbagai macam fungsi. CD4 dan CD8 dipaparkan pada subset sel T yang berbeda dan berperan dalam aktivasi sel T. Selama pengenalan antigen, molekul CD4 pada sel T berikatan dengan bagian invarian dari molekul MHC klas II (lihat kemudian) pada APC tertentu: dalam suatu keadaan yang analog. CD8 berikatan dengan molekul MHC kelas 1. CD4 dipaparkan oleh 50%-60% sel T yang matang, sedangkan CD8 oleh 40% sel T. Sel T yang memaparkan CD4 dan CD8 masing masing disebut sel CD4+ dan CD8+ melakukan fungsi yang berbeda tetapi tumpang tindih. Sel T CD4+ adalah sel T, penolong" ("helper") karena mereka mensekresikan molekul terlarut (sitokin) yang membantu sel B untuk memproduksi antibodi (asaI kata nama sel "helper") dan juga menolong makrofag menghancurkan mikroba yang difagosit. Peranan sentral sel penolong CD4+ dijelaskan dengan ketidakmampuan (compromised) yang berat yang disebabkan kerusakan sel subset ini oleh infeksi HIV (human immunodeficiency virus).



Limfosit T Limfosit yang berasal dari timus, atau limfosit T, adalah sel efektor dari imunitas seluler dan sel penolong (helper cells) untuk reaksi antibodi terhadap antigen protein. Sel T merupakan 60% sampai 70% limfosit di dalam darah tepi dan adalah populasi Iimfosit utama di dalam ruangan periarteriol limpa dan zona interfolikel kelenjar getah bening. Sel T tidak mengenal antigen bebas atau yang beredar. Sebaliknya, bagian terbesar (lebih dari 95%) dari sel T hanya mengenal fragmen peptida dari antigen protein yang terikat pada protein kompleks keselarasan jaringan mayor (major histocompatibility complex (MHC). Penemuan MHC berdasarkan penelitian tentang penolakan dan penerimaan jaringan transplan (jaringan atau "histo", kecocokan atau "compatibility"). Sekarang diketahui bahwa fungsi normal dari molekul MHC adalah untuk menyajikan peptida untuk pengenalan oleh limfosit T. Dengan mendukung sel T untuk melihat peptida yang terikat pada MHC dipermukaan sel maka sistem imun memastikan bahwa sel T dapat mengenal antigen yang dipaparkan oleh seI lain. Sel T melaksanakan fungsinya dengan berinteraksi dengan sel lain baik membunuh sel yang terinfeksi atau mengaktifkan fagosit atau limfosit B yang telah mengambil antigen protein. Pada tiap individu sel T hanya mengenal antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC yang khas untuk individu tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai hukum kecocokan MHC (MHC restriction) dalam pengenalan antigen oleh sel T. Antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC diri (self) dikenal oleh reseptor sel T (T cell reseptor/TCR), suatu heterodimer rantai peptida α dan β yang diikat oleh jembatan disulfida (Gambar 4-2, A). Tiap rantai mempunyai suatu regio variabel SEL PENYAJI-ANTIGEN Molekul MHC kelas II



rantai α



rantai β



CD80 atau CD86 CD4



CD28 Antigen



Antigen peptida IgM



α S



ζ Rantai



A



Protein komplemen



IgM



β



CD21



S γ



ξ ξ



TCR heterodimer



Isyarat 1



δ



ε



CD3 protein



Igβ



Isyarat 2



101



B



Igα



Igβ



Igα



Isyarat 1



Isyarat 2



Gambar 4-2 Reseptor antigen pada limfosit A, kompleks reseptor sel T (TCR) dan molekul lain yang berperan pada aktivasi sel T. Rantai TCRα dan TCRβ mengenal antigen (dalam bentuk kompleks peptida MHC yang terpapar pada sel penyaji-antigen, dan kompleks CD3 terkait, memulai isyarat aktivasi. CD4 dan CD28 juga berperan pada aktivasi sel T. (Perhatikan bahwa sebagian sel T memaparkan CD8 dan tidak memaparkan CD4; molekul ini memainkan peranan yang mirip). B, Kompleks reseptor sel B dibentuk dari lgM membran (atau lgD, tidak ditunjukkan) dan protein pembawa isyarat lga dan lgp. CD21 adalah reseptor untuk unsur komplemen yang mendukung aktivasi sel B. lg, immunoglobulin; MHC, major histocompatibilty complex.



102



BAB 4



Penyakit Sistem imun



Sel CD8+ juga dapat mensekresi sitokin, tetapi mempunyai fungsi lebih penting dalam membunuh langsung sel terinfeksi virus atau sel tumor, sehingga disebut limfosit T sitotoksik (cytotoxic T lymphocytes/ CTL). Protein invarian lain yang penting pada sel T adalah CD28, yang berfungsi sebagai reseptor untuk molekul pada APC yang diinduksi oleh mikroba (juga disebut kostimulator), dan berbagai molekul adhesi yang memperkuat hubungan antara sel T dan APC, dan mengelola migrasi seI T keberbagai jaringan.



Sistem Pemaparan Peptida dari lmunitas Adaptif Karena molekul MHC menjadi landasan untuk pengenalan antigen oleh sel T, dan karena variasi genetik dalam molekul MHC berhubungan dengan penyakit-penyakit imunologi, maka struktur dan fungsi molekulmolekul tersebut menjadi penting untuk ditelaah. MHC manusia, dikenal sebagai kompleks antigen leukosit manusia (human leukocytes antigen (HLA) complex), terdiri atas suatu kelompok (cluster) gen pada kromosom 6 (Gambar 4-3). Sistem HLA sangat polimorfik, yaitu ada beberapa bentuk alternatif gen (alel) dari tiap lokus (diperkirakan berjumlah sekitar 3500 untuk semua gen HLA dan sekitar 1100 untuk aIel HLA-B saja). Keragaman yang luas itu mencerminkan suatu sistem yang rumit di mana suatu rentangan peptida dapat dipaparkan oleh molekul MHC untuk pengenalan oleh sel T. Seperti apa yang akan kita lihat, adanya polimorfisme ini menjadi kendala yang besar dalam transplantasi organ.



Pada sebagian kecil sel T dari darah perifer dan banyak sel T yang terkait dengan permukaan mukosa (contoh paru, saluran gastrointestinal), TCR merupakan heterodimer dari rantai γ dan δ, yang mirip tetapi tidak identik dengan rantai α dan β dari kebanyakan TCR. SeI T jenis γδ semacam itu tidak memaparkan CD4 atau CD8, mengenal molekul nonprotein (contoh lipoglikan bakteri), tetapi fungsinya belum jelas. Populasi kecil dari sel T yang lain rnemaparkan petanda sel T dan petanda sel NK. Dikenal sebagai sel NKT dan mengenal glikolipid mikroba, mungkin berperan pertahanan terhadap infeksi tertentu. Reseptor sel NKT kurang bervariasi dibandingkan reseptor konvensional sel T, yang menggambarkan pengenalan struktur mibroba yang terkonservasi.



Berdasarkan struktur kimiawinya, distribusi pada jaringan dan fungsinya, produk gen MHC dibagi dalam dua kategori utama: • Molekul MHC kelas I yang disandi oleh tiga lokusyang terkait dekat, ditetapkan sebagai HLA-A, HLA-B dan HLA-C (Gambar 4-3). Masingmasing molekul tersebut merupakan hetero-dimer, terdiri atas polipeptida polimorfik, rantai α 44-kDa, yang berikatan secara nonkovalen dengan suatu polipeptida invarian, 132-mikroglobulin 12kDa β2, yang disandi oleh gen terpisah pada kromosom 15. Bagian ekstrasel dari rantai α



Suatu populasi sel T yang berfungsi supresif terhadap reaksi imun adalah limfosit T regulator. Sel T jenis ini akan dibahas kemudian dalam konteks dengan sistem toleransi terhadap antigen diri.



Molekul Kompleks Keselarasan Jaringan Mayor (Major Histocompatilibity Complex(MHC):



DP



DQ



DR



Komplemen TNF LT



b a



βαβα



b



b



B C



A



b a



Molekul kelas II



Molekul kelas I



Gen sitokin



Molekul kelas III



A Celah ikatan-peptida



Celah ikatan-peptida Peptida



Peptida



a2



b1 Peptida



Peptida



a1



a1 Kawasan NH2 NH2



S



H2N NH2



S



a2 a Rantai



B



S S



HOOC



S S



COOH



Rantai β



b2



S S



b2−Microglobulin HOOC



a1 a2 Kawasan



S S



S S



a3 Kawasan



b2m



a3



a Rantai



COOH



Gambar 4-3 Kompleks antigen leukosit manusia (HLA) dan struktur molekul HLA. A, Lokasi gen-gen pada kompleks HLA. Ukuran dan jarak antara gen tidak sesuai dengan skala. Daerah kelas II mengandungi juga gen yang menyandi beberapa protein yang tidak berperan pada pemrosesan antigen (tidak ditunjukkan). B, Diagram skematik dan struktur Kristal dari molekul HLA kelas I dan kelas II. LT, lymphotoxin; TNF, tumor necrosis factor. (Struktur kristal sumbangan dan Dr. P. Bjorkman, California Institute ofTechnology, Pasadena, California.)



Sel dan Jaringan dari Sistem Imun mengandungi suatu celah di tempat adanya residu polimorfik dan merupakan tempat peptida asing berikatan dengan molekul MHC untuk disajikan kepada sel T, dan regio yang terpelihara tempat ikatan CD8, sehingga memastikan hanya sel T CD8+ yang dapat mengenal peptida yang dipaparkan oleh molekul MHC kelas I. Pada umumnya, molekul MHC kelas I hanya berikatan dan memaparkan peptida yang berasal dari protein yang disintesa di dalam sitoplasma (contoh antigen virus). Oleh karena molekul MHC kelas 1 ditemukan pada semua sel yang berinti, maka semua sel yang terinfeksi virus dapat dikenal dan disingkirkan oleh limfosit T CDS+ yang sitotoksik (CTL). • Molekul MHC kelas II disandi oleh gen-gen pada regio HLA-D, yang terdiri atas paling sedikit tiga subregio: DP, DQ dan DR. Molekul MHC merupakan heterodimer yang terikat secara nonkovalen dengan subunit α dan β yang bersifat polimorfik (Gambar 4-3). Bagian ekstrasel dari heterodimer molekul MHC kelas I mempunyai suatu celah tempat berikatan dengan peptida antigen dan suatu regio untuk berikatan dengan CD4. Pemaparan MHC kelas II terbatas untuk beberapa jenis sel, terutama APC, khususnya sel dendrit (dendritic cells/DC), makrofag dan sel B. Pada umumnya, molekul MHC kelas II berikatan dengan peptida yang berasal dan disintesa di luar sel (contoh yang berasal dari bakteri) dan yang diambil masuk ke dalam sel. Perangai ini menyebabkan sel T CD4+ mengenal patogen ekstrasel dan dapat mengatur reaksi protektif. • Beberapa protein lain yang disandi oleh lokus MHC, sebagian yang disebut molekul kelas III. lni termasuk unsur komplemen (C2, C3 dan Bf) dan sitokin faktor nekrosis tumor (tumor necrosts factor/TNF) dan limfotoksin. Molekul-molekul ini bukan merupakan bagian dari sistem pemaparan peptida dan tidak dibahas lebih Ianjut. Tiap individu menurunkan satu HLA alel dari tiap orang tua, oleh karena itu secara khas dua molekul yang berbeda dipaparkan oleh tiap lokus HLA. Sel dari individu yang heterozigot dapat memaparkan enam molekul HLA kelas I yang berbeda: tiga berasal dari ibu dan tiga berasal dari ayah. Hal yang sama terjadi untuk paparan alel matemal dan alel paternal dari lokus HLA kelas II: karena sebagian rantai a dan rantai p dari HLA-D dapat bergabung dan berpadu cocok (rnatch) yang satu dengan yang lain, tiap sel yang memaparkan kelas II dapat memiliki sebanyak 20 molekul MHC kelas II yang berbeda. Alel MHC yang berbeda bergabung dengan fragmen peptida yang berbeda; oleh karena itu, pemaparan banyak molekul MHC yang beraneka rnenyebabkan tiap sel menyandikan antigen peptida yang sangat bervartasi. Sebagai hasil dari polimorfisme pada lokus HLA mayor di dalam populasi, jumlah kombinasi dari molekul yang ada menjadi sangat tidak terbatas, dan tiap individu memaparkan profil antigen MHC yang unik pada sel individu pria atau wanita. Kombinasi dari alel HLA pada tiap individu disebut haplotip HLA. Implikasi polimorfisme pada Iokus HLA sangat jelas pada transplantasi—karena tiap individu mempunyai alel HLA yang berbeda sebagian dari tiap individu lain, jaringan transplan (cangkok atau "graft") dari hampir semua donor akan menimbulkan reaksi imun di dalam tubuh penerima (resipien) dan akan ditolak (kecuali dari kembar identik). Ternyata memang molekul HLA ditemukan dalam rangka upaya dini melaksanakan transplantasi jaringan. Molekul HLA dari jaringan transplan dapat merangsang reaksi imun humoral dan reaksi imun seluler, yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan cangkok (akan dibahas kemudian dalam Bab ini). Kemampuan molekul HLA untuk memicu reaksi imun menjadi alasan mengapa molekul HLA sering disebut sebagai "antigen". Dianggap bahwa adanya polimorfisme gen



103



HLA menjadi jalan agar dapat memaparkan dan kemudian reaksi imun menanggulangi berbagai mikroba yang ada di lingkungan. Peranan MHC dalam stimulasi sel T juga mempunyai dampak penting dalam pengendalian genetik dari reaksi imun. Kemampuan alel MHC tertentu untuk mengikat antigen peptida yang dihasilkan oleh patogen tertentu akan menentukan apaltah sel T dari individu tertentu dapat benar-benar "melihat" dan bereaksi terhadap patogen tersebut. Penurunan alel tertentu memengaruhi baik reaksi imun yang protektif maupun reaksi imun yang merusak/ tidak menguntungkan. Sebagai contoh, apabila antigen adalah serbuk sari dan reaksinya adalah alergi, maka penurunan gen HLA terkait membuat individu rentan terhadap demam rumput kering (hay fever). Sebaliknya, reaksi terhadap antigen berasal dari virus, yang terkait penurunan alel HLA tertentu, menyebabkan pengaruh yang berguna/ menguntungkan untuk tuan rumah. Akhirnya, banyak penyakit autoimun berhubungan dengan alel HLA tertentu. Kita kembali mendiskusikan hubungan HLA dan berbagai penyakit apabila kita membahas tentang autoimunitas



Limfosit B Limfosit B yang berasal dari sumsum tulang (bone marrow) adalah sel yang memproduksi antibodi dan merupakan efektor dari imunitas humoral. Sel B merupakan 10% sampai 20% dari populasi limfosit di dalam peredaran darah perifer. Mereka juga berada di sumsum tulang dan folikel jaringan limfoid perifer (kelenjar getah bening, limpa, tonsil dan jaringan mukosa lain). Sel B mengenal antigen dengan pertolongan anti-bodi yang terikat pada membranya, yaitu kelas imunoglobulin M (IgM), yang terpapar pada permukaan, bersama dengan molekul isyarat yang membentuk kompleks reseptor sei B (B cell receptor/ BCR) (Gambar 4-2, B). Apabila sel T dapat mengenal hanya peptida yang terkait MHC, maka sel B dapat mengenal dan bereaksi terhadap, Iebih banyak struktur kimia, termasuk protein terlarut atau yang terikat pada sel, lipid, polisakarida, asam nukleat dan molekul kecil; di samping itu, sel B (dan antibodi) dapat mengenal bentuk asal (yang terlipat) dari antigen-antigen tersebut. Seperti haInya TCR, tiap antibodi menunjukkan spesifisitas terhadap antigen yang unik. Keragaman antibodi ditetapkan melalui pengaturan kembali (rearrangement) gen imunoglobulin secara somatik. Sel B memaparkan beberapa molekul invarian yang bertanggung jawab dalam transduksi isyarat dan aktivasi sel (Gambar 2-4, B). Sebagian adalah molekul isyarat yang melekat pada BCR; contoh lain adalah CD21 (juga dikenal sebagai reseptor komplemen tipe 2, CR2), yang mengenal produk pemecahan komplemen yang sering diendapkan pada mikroba dan mendukung reaksi sel B terhadap antigen mikroba. Sangatlah menarik, bahwa virus Epstein Barr (EBV) yang bersifat "ubiquitous" (terdapat di sekitar kita), secara pintar menggunakan CD21 sebagai reseptor dalam proses infeksi terhadap sel B. Setelah stimulasi, sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi dalam jumlah banyak, sebagai mediator imunitas humoral. Ada lima kelas atau isotip dari imunolobulin: IgG, IgM dan IgA yang membentuk lebih dari 95% antibodi yang beredar, IgA merupakan isotip utama dalam sekresi mukosa; IgE ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah dan juga ditemukan terikat pada permukaan sel mast jaringan; IgD terikat pada permukaan sel B tetapi tidak disekresikan. Seperti akan dibahas kemudian, tiap isotip mempunyai kemampuan khas untuk mengaktifkan



104



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



komplemen dan mendatangkan sel radang, sehingga mempunyai peranan berbeda dalam reaksi pertahanan tubuh dan proses penyakit.



tetapi tidak terlibat dalam penangkapan antigen untuk disajikan kepada sel T.



Sel Pembunuh Alami (Natural killer)



Sel Penyaji Antigen lain



SeI pembunuh alami (Natural Killer/NK) adalah limfosit yang timbul dari sel asal (progenitor) limfoid biasa yang berkembang menjadi limfosit T dan B. Walaupun demikian, sel NK adalah sel yang berperan dalam imunitas bawaan dan tidak memaparkan reseptor antigen yang sangat variabel serta terdistribusi klonal. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai spesifisitas yang beraneka seperti yang dimiliki sel T atau sel B. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor yang menghambat dan yang mengaktifkan. Reseptor yang bersifat inhibisi mengenal molekul diri (self) dari MHC kelas I, yang terpapar pada semua sel yang normal/sehat, sedangkan reseptor yang bersifat aktivasi mengenal molekul yang terpapar atau meningkat pada sel yang mengalami stres, sel yang terinfeksi atau sel yang mengalami kerusakan DNA. Pada keadaan normal, reseptor inhibisi mendominasi reseptor aktivasi, sehingga dapat mencegah aktivasi sel NK. Infeksi (terutama infeksi virus) dan stres menyebabkan menurunnya pemaparan MHC kelas 1, sehingga menghalangi inhibisi sel NK. Pada saat yang sama, peranan reseptor aktivasi meningkat. Hasil akhir adalah aktivasi sel NK, sehingga sel yang terinfeksi dan sel yang mengalami stres dibunuh dan disingkirkan.



Makrofag menelan mikroba dan antigen lain yang berbentuk partikel dan menyajikan peptida untuk dikenal oleh limfosit T. Sel-sel T ini sebaliknya mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba, sebagai reaksi sentral imunitas seluler. Sel B meyajikan peptida kepada sel T penolong dan menerima isyarat yang diperIukan untuk mengaktifkan reaksi antibodi terhadap antigen protein.



Sel Penyaji Antigen Sistem imun terdiri atas beberapa jenis sel yang berperan khusus untuk menangkap antigen mikroba dan menyajikannya kepada limfosit. Kelompok utama dari sel penyaji antigen (antigen presenting cells/ APC) adalah sen dendrit (dendritic cells/DC), yang merupakan sel utama untuk menyajikan antigen protein kepada sel T yang naif/ "naive" untuk memulai reaksi imun. Beberapa jenis sel lain menyajikan antigen kepada limfosit yang berbeda pada berbagai tahap dari reaksi imun.



Sel Dendrit Sel dengan morfologi menyerupai dendrit (contoh dengan penjuluran sitoplasma berbentuk dendritik yang halus) terdapat dalam dua jenis yang fungsinya berbeda. Sel dendritik (dentritic cells/DC), kadang disebut sel dendrit yang interdigitatif, memaparkan antigen MHC kelas 11, dan molekul kostimulator sel T dengan intensitas kuat sekali, dan berfungsi menangkap dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel dendrit berada di dalam dan di bawah epitel, yang merupakan lokasinya yang strategis untuk menangkap mikroba yang masuk: contohnya adalah sel Langerhans di epidermis. Sel dendrit juga menempati zona sel T dari jaringan kelenjar getah bening, sehingga dapat memaparkan antigen kepada limfosit yang beredar ke dalam jaringan tersebut, dan di dalam interstisium dari banyak organ non limfoid, seperti jantung dan paru, sehingga mereka siap untuk menangkap antigen mikroba yang menyerang. Satu subset sel dendrit disebut DC plasmasitoid karena menyerupai sel plasma. Sel jenis ini berada di dalam darah dan organ limfoid, merupakan sumber utama sitokin antivirus, interferon tipe 1, yang diproduksi pada berbagai infeksi virus. Sel jenis kedua dengan morfologi dendritik adalah sel dendrit folikel (follicular dendritic cells/ FDC). Sel ini terletak di dalam pusat benih (gerrninal center) dari folikel limfoid di dalam limpa dan kelenjar getah bening. FDC mempunyai reseptor untuk Fc, ekor dari molekul IgG dan untuk protein komplemen, sehingga dapat memperangkap antigen yang terikat pada antibodi dan komplemen secara efisien. Sel ini menyajikan antigen kepada Limfosit B yang teraktifkan di dalam folikel limfoid dan mendukung reaksi pembentukan antibodi,



Sel Efektor Berbagai jenis Ieukosit yang berbeda melakukan tugas akhir dari reaksi imun, yang menyingkirkan infeksi. Sel NK merupakan sel efektor digaris depan dan dapat dengan cepat bereaksi terhadap sel yang menderita "stres". Sel plasma yang mensekresikan antibodi adalah sel efektor imunitas humoral. Limfosit T, baik sel T CD4+ penolong dan sel T CD8+ sitotoksik (CTL) adalah sel efektor imunitas seluler. Limfosit ini seringkali berperan bersama dengan sel lain dalam pertahanan tuan rumah. Makrofag, seperti diuraikan dalam Bab 2 mengikat mikroba dengan antibodi dan komplemen, kemudian memfagositosis dan menghancurkan mikroba tersebut, sehingga berperan sebagai sel efektor dalam imunitas humoral. Makrofag juga bereaksi terhadap isyarat sel T penolong, yang memperbaiki kemampuan menghancurkan mikroba yang difagositosisnya sehingga berperan sebagai efektor dalam imunitas seluler. Limfosit T mensekresikan sitokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan leukosit lain, neutrofil dan eosinofil, yang kemudian bersama-sama berperan dalam pertahanan terhadap berbagai patogen.



Jaringan Limfoid Jaringan limfoid dari tubuh dibagi dalam organ limfoid generatif (primer), tempat limfosit memaparkan reseptor antigen dan mengalami proses pematangan, serta organ limfoid perifer (sekunder), tempat reaksi imun adaptif berkembang. Organ-organ generatif adalah timus dan sumsum tulang (bone marrow), sedangkan organ-organ perifer adalah kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid mukosa dan kulit. Limfosit yang matang beredar kembali melalui organ perifer, memburu antigen mikroba yang dapat merangsang reaksi mereka. Suatu ciri penting dari organ-organ tersebut adalah bahwa limfosit T dan B tertata secara anatomik demikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya reaksi imun adaptif, suatu proses yang akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Sel dan Jaringan dari Sistem Imun • •



Limfosit adalah mediator dari imunitas adaptif dan merupakan satu-satunya sel yang memproduksi reseptor yang spesifik serta beragam untuk antigen. limfosit T (berasal dari timus) memaparkan TCR yang mengenal antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC pada permukaan APC.



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal •



Limfosit B (berasal dari sumsum tulang/bone marrow) memaparkan antibodi yang terikat pada membran yang mengenal antigen yang sangat beragam. Sel B teraktifkan untuk menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi.







Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh beberapa mikroba atau yang mengalami stres dan kerusakan setelah proses perbaikan (repair). Sel NK memaparkan reseptor inhibisi yang mengenal molekul MHC yang pada keadaan normal dipaparkan oleh sel-sel yang normal/sehat, sehingga sel NK terhindar dari fungsi membunuh sel normal.







APC menangkap mikroba dan antigen lain, membawanya ke organ limfoid, dan menyajikannya kepada limfosit untuk dikenal. APC yang paling efisien adalah DC, yang berada di dalam epitel dan sebagian besar jaringan.







Sel-sel dari sistem imun tertata di dalam jaringan. Sebagian dari jaringan tersebut merupakan tempat produksi limfosit yang matang (organ limfoid generatif, sumsum tulang dan timus), sedangkan jaringan lain merupakan tempat terjadinya reaksi imun (organ limfoid perifer, termasuk kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid mukosa).



TINJAUAN UMUM TENTANG REAKSI IMUN NORMAL Bagian yang terdahulu menguraikan unsur-unsur utama dari sistem imun. Bagian ini menyimpulkan perangai-perangai kunci dari reaksi imun normal. Tinjauan umum ini akan menjadi landasan untuk pembahasan selanjutnya tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi imun yang cacat atau tidak terkendali.



Reaksi Imun Bawaan Dini terhadap Mikroba Penyangga utama antara tuan rumah dan lingkungannya adalah epitel dari kulit, saluran pencernaan/ gastrointestinal dan saluran pernapasan/respirasi. Mikroba yang infektif biasanya masuk melalui jalur tersebut dan berupaya untuk membentuk koloni di dalam tubuh tuan rumah. Mekanisme imunitas bawaan berlangsung pada tiap tahap dari upaya mikroba untuk menyerang tubuh. Pada tempat masuk, epitel berperan sebagai penyangga fisis untuk infeksi dan menyingkirkan mikroba melalui produksi peptida antibiotik dan reaksi limfosit intra-epitel. Apabila mikroba bertahan hidup dan melampaui lapisan epitel, mereka berhadapan dengan fagosit, termasuk neutrofil yang dapat digerakkan dengan cepat dari dalam darah ke dalam jaringan, dan makrofag yang berada di dalam jaringan di bawah epitel. Fungsi sel-sel fagosit ini adalah menelan mikroba dan menghancurkannya dengan jalan memproduksi zat yang bersifat milcrobisid. Dalam bereaksi terhadap mikroba, fagosit, APC dan sel jenis lain mensekresikan protein yang disebut sitokin (dibahas kemudian), yang memicu inflamasi dan penghancuran mikroba serta reaksi imun yang protektif. Sel-sel menggunakan reseptor untuk mengenal mikroba, terutama yang disebut receptor (TLR), sebagai homolog dari protein Toll dari Drosophila, yang mengaktifkan makrofag, interferon (IFN) γ. Apabila mikroba memasuki darah, banyak protein plasma, termasuk protein komponen,



105



mengenal dan membunuh mikroba, melapisi permukaan (opsonisasi) mikroba dan memudahkan fagositosis. Di samping melawan infeksi, reaksi imun bawaan merangsang reaksi imun adaptif yang terjadi kemudian, memberikan isyarat untuk memulai reaksi spesifik limfosit T dan B.



Pengikatan dan Pemaparan Antigen Mikroba Mikroba yang masuk melalui epitel, bersama dengan antigen proteinnya, ditangkap oleh DC, yang berada di dalam dan di bawah lapisan epitel. DC yang membawa antigen kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui pembuluh limfe terkait (draining LN) (Gambar 4-4). Antigen protein akan dicerna oleh APC mengalami reaksi proteolitik dan dihasilkan peptida yang dipaparkan dipermukaan APC, terikat pada molekul MHC. Antigen-antigen dalam kelompok sel yang berbeda dipaparkan oleh molekul MHC yang berbeda dan dikenal oleh subset sel T yang berbeda. Antigen yang ditelan dari lingkungan ekstrasel diproses di dalam vesikel endosom dan lisosom, kemudian disajikan terikat dengan molekul MHC kelas II. Karena CD4 berikatan dengan molekul MHC kelas II, maka sel T penolong, CD4+, mengenal peptida MHC kelas 11. Sebaliknya, antigen di dalam sitoplasma dipaparkan oleh molekul MHC kelas I dan dikenal oleh sel T sitotoksik, CD8+, karena CD8 berikatan dengan molekul MHC kelas 1. Segregasi (pemisahan) penanganan antigen yang berbeda ini merupakan kunci dari fungsi khusus dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ masing-masing; seperti dibahas di bawah kedua subset sel T mempunyai fungsi memerangi mikroba di dalam kompartemen sel yang berbeda. Antigen-antigen protein, polisakarida dan antigen nonprotein lain, dapat dikenal langsung oleh limfosit B di dalam folikel organ Iimfoid perifer. Sebelum dikenal oleh sel B dan T, mikroba merangsang reaksi imun bawaan. Reaksi ini mengatifkan APC untuk memaparkan molekul kostimulator dan mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan diferensiasi Iimfosit. Prinsip kostimulator untuk sel T adalah molekul B7 (CD80 dan CD86) yang dipaparkan pada APCs dan dikenal oleh reseptor CD28 pada sel T naif. Respons imun bawaan terhadap beberapa mikroba dan polisakarida juga menyebabkan pengaktifan komplemen dan membuat produk pemecahan yang meningkatkan proliferasi dan diferensiasi Iimfosit B. Jadi, antigen (isyarat 1, pada Gambar 4-2) dan molekul yang diproduksi selama reaksi imun bawaan (isyarat 2, pada Gambar 4-2) bekerja bersama untuk mengaktifkan limfosit yang spesifik terhadap antigen. Terbentuknya isyarat 2 yang dipicu oleh mikroba merupakan persyaratan yang menentukan bahwa reaksi imun adaptif diinduksi oleh mikroba dan bukan oleh zat yang merusak/ tidak menguntungkan.



Imunitas Seluler: Aktivasi Limfosit T dan Eliminasi Mikroba Yang Terikat pada Sel Limfosit T yang naif diaktifkan oleh antigen dan kostimulator di dalam organ limfoid, kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor, sebagian besar bermigrasi ke tempat antigen (mikroba) berada (Gambar 4-4). Pada akitivasi, limfosit mensekresikan protein terlarut yang disebut sitokin, yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan dan diferensiasi untuk limfosit dan sel lain,



106



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Sel dendrit dengan antigen Pengenalan antigen dalam organ limfoid Proliferasi dan diferensiasi sel T Sel T CD4+



Sel T CD8+



IL-2R



Sel T naif IL-2



Sel T CD4+ efektor



Sel T CD8+ (CTL)



Sel T efektor



APC



Sel T memori



Migrasi sel T efektor ke tempat antigen



Sel T efektor dan memori yang terdiferensiasi memasuki sirkulasi



Sel T CD4+ efektor



Fagosit dengan mikroba yang dicerna



Sel terinfeksi dengan mikroba dalam sitoplasma



Sel T CD8+ (CTL) Sekresi sitokin INFLAMASI



AKTIVASI MAKROFAG, PEMBUNUHAN MIKROBA YANG DICERNA



PEMBUNUHAN SEL TERINFEKSI



Gambar 4-4 Imunitas seluler. Sel T naif (yang belum terangsang) mengenal antigen peptida terkait MHC dipaparkan pada sel dendrit di kelenjar getah bening. Sel T teraktivasi untuk berproliferasi (di bawah pengaruh sitokin IL-2) dan berdiferensiasi menjadi efektor dan sel memori, yang bermigrasi ke tempat infeksi dan melakukan berbagai fungsi dalam imunitas seluler. Sel T CD4+ efektor dari subset THI mengenal antigen mikroba yang dicernakan oleh fagosit dan mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba; sel efektor THI7 meningkatkan pemanggilan limfosit dengan merangsang inflamasi; sel TH2 mengaktifkan eosinofil. CTL CD8+ membunuh sel yang terinfeksi yang mengandungi mikroba dalam sitoplasmanya. Sebagian sel T yang teraktivasi berdiferensiasi menjadi sel memori yang hidup berjangka lama. APC, antigen-presenting cell; CTLs, cytotoxic T lymphocytes



serta memperantarai komunikasi antar ieukosit. Karena peranan penting sitokin baik pada reaksi imun maupun pada penyakit inflamasi, maka pengertian tentang sifat dan peranannya menjadi penting.



Sitokin: Molekul Pengirim-Pesan dari Sistem Imun Sitokin merupakan polipeptida yang dibuat oleh berbagai jenis sel (terutama limfosit yang teraktifkan dan makrofag) yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan reaksi imun. Mereka diperkenalkan di dalam Bab 2 dalam kaitan



dengan inflamasi; di sini dibahas tentang sifat-sifat umumnya dengan perhatian utama pada sitokin yang terlibat khusus pada imunitas. Walaupun sitokin yang berbeda mempunyai peranan dan fungsi yang beragam, mereka semua menunjukkan perangai yang sama. Sitokin disintesa dan disekresikan pada reaksi terhadap stimulus luar, yang mungkin berupa produk mikroba, pengenalan antigen atau sitokin lain. Sekresinya biasanya sementara dan dikendalikan oleh mekanisme transkripsi dan pasca-translasi. Peranan sitokin mungkin berupa autokrin (pada sel yang memproduksi sitokin), parakrin (pada sel-sel terdekat), atau lebih jarang, endokrin (pada tempat yang jauh



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal dari tempat produksi) (Bab 2). Pengaruh sitokin cenderung bersifat plerotropik (suatu sitokin mempunyai aktivitas biologis beragam, sering pada berbagai jenis sel), dan "redundant" (beberapa sitokin mempunyai aktivitas yang sama). Sitokin yang diketahui pasti secara molekuler disebut interleukin, karena kemampuannya memperantarai komunikasi antar leukosit. Sitokin dapat dikelompokkan ke dalam beberapa keias, berdasarkan aktivitas dan fungsi biologisnya. • Sitokin terlibat dalam imunitas bawaan dan inflamasi, reaksi tuan rumah yang paling dini terhadap mikroba dan sel yang mati. Sitokin utama dalam kelompok ini adalah TNF dan interleukin-1 (IL-1) dan suatu kelompok sitokin yang menarik zat kimiawi yang disebut kemokin. IL-12, IFN-y, IL-6, IL-23 dan beberapa sitokin lain juga berperan pada reaksi imunitas bawaan. Sumber utama dari sitokinsitokin tersebut adalah makrofag dan sel dendrit yang teraktifkan, demikian juga sel endotel, limfosit, sel mast dan sel jenis lain. Hal ini diuraikan di dalam Bab 2. • Sitokin yang mengatur reaksi limfosit dan fungsi efektor dalam imunitas adaptif Beberapa sitokin yang berbeda terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit (contoh IL-2 dan IL-4), dan dalam aktivasi berbagai sel efektor (contoh IFN-y yang mengaktifkan makrofag, IL-5 yang mengaktifkan eosinofil). Sumber utama sitokinsitokin tersebut adalah limfosit T penolong CD4+ yang dirangsang oleh antigen dan kostimulator. Sitokin-sitokin ini terutama yang berperan serta pada fase induksi dan fase efektor dari reaksi imun adaptif yang bersifat seluler (Iihat selanjutnya). • Sitokin-sitokin yang merangsang hemopoiesis. Banyak di antaranya yang disebut faktor-faktor perangsang pembentukan koloni. Mereka berfungsi meningkatkan luaran leukosit dari sumsum tulang dan selanjutnya mengganti kebutuhan leukosit yang diperlukan selama reaksi imun dan reaksi inflamasi.



107



Fungsi Efektor dari Limfosit T Satu di antara reaksi yang paling dini dari sel T penolong CD4+ adalah sekresi sitokin IL-2 dan pemaparan reseptor yang berafinitas tinggi IL-2. Oleh karena IL-2 adalah faktor pertumbuhan yang bekerja pada limfosit T dan merangsang proliferasi, maka terjadilah peningkatan jumlah limfosit yang spesifik terhadap antigen. Sebagian dari asal (progeny) dari sel T yang berkembang itu berdiferensiasi menjadi sel efektor yang dapat mensekresikan seperangkat sitokin yang berbeda dan melakukan pengaruh yang berbeda pula. Subset terbaik dari sel penolong CD4+ adalah TH2 dan TH17 (Gambar 4-5). Sel TH1 memproduksi sitokin IFN-y, yang mengaktifkan makrofag dan merangsang sel B untuk membentuk antibodi yang mengaktifkan komplemen dan melapisi mikroba untuk fagositosis. Sel TH2 memproduksi IL-4, yang merangsang sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan IgE; IL-5 yang mengaktifkan eosinofil, dan IL-13 yang mengaktifkan sel epitel mukosa untuk mensekresikan mukus dan menyingkirkan mikroba, dan mengaktifkan makrofag untuk membentuk faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk perbaikan jaringan. SeI TH17 memproduksi sitokin IL-17, yang dapat mendatangkan neutrofil dan menunjang inflamasi; sel TH17 berperan penting dalam sebagian reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sel T. Sel-sel efektor tersebut bermigrasi ke tempat infeksi dan kerusakan jaringan yang menyertainya. Apabila sel efektor bertemu dengan mikroba yang terkait sel, mereka teraktifkan untuk berfungsi menyingkirkan mikroba. Mediator utama dari fungsi sel T penolong adalah berbagai sitokin dan molekul permukaan yang disebut ligand CD40 (CD4OL), yang berikatan dengan reseptornya, CD40, pada sel B dan makrofag. Sel T penolong CD4+ yang berdiferensiasi dari subset TH1 mengenal peptide mikroba pada makrofag yang telah memangsa mikroba. SeI T memaparkan CD4OL yang bertautan dengan CD40 pada makrofag, dan sel T mensekresikan sitokin IFN-y, suatu activator makrofag yang kuat.



Sel T naif



APC



Sitokin



TH1



TH2



TH17



Sitokin yang diproduksi



IFN-g



IL-4, IL-5, IL-13



IL-17, IL-22, kemokin



Sitokin yang mempengaruhi subset ini



IFN-g, IL-12



IL-4



TGF-b, IL-6, IL-1, IL-23



Aktivasi makrofag, stimulasi produksi antibodi IgG



Stimulasi produksi IgE, aktivasi sel mast dan eosinofil



Pemanggilan neutrofil, monosit



Pertahanan tuan-rumah terhadap



Mikroba intrasel



Parasit jenis helmint



Bakteri ekstrasel, jamur



Peranan dalam penyakit



Penyakit radang kronik akibat reaksi imun (sering autoimun)



Alergi



Penyakit radang kronik akibat reaksi imun (sering autoimun)



Reaksi imunologik yang dipicu



Gambar 4-5 Subset sel T CD4+ efektor. Dalam bereaksi terhadap stimulus (terutama sitokin) pada saat pengenalan antigen, sel T CD4+ penolong mungkin berdiferensi menjadi populasi sel efektor yang memproduksi seperangkat sitokin yang berbeda dan melalukan fungsi yang berbeda. Jenis reaksi imun yang ditimbulkan oleh tiap subset, dan peranannya dalam pertahanan tuan rumah dan penyakit imunologi, diberikan secara singkat. Dua populasi lain dari sel T CD4+, sel regulator dan sel penolong folikuler, tidak ditunjukkan.



108



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Aktivasi reaksi kombinasi CD40 dan IFN-y menginduksi zat-zat mikrobisid yang kuat pada makrofag, termasuk spesies oksigen reaktif dan nitrik oksida, yang merusak mikroba yang telah difagosit. Sel TH2 menimbulkan reaksi pertahanan seluler yang didominasi oleh eosinofil dan bukan makrofag. Seperti dibahas kemudian, sel T penolong CD4+ juga merangsang sel B untuk bereaksi melalui CD4OL dan sitokin. Sebagian sel T penolong CD4+ tinggal di organ limfoid, teraktivasi dan bermigrasi ke dalam folikel, dan merangsang reaksi antibodi; mereka disebut sel T penolong folikel Limfosit CD8+ yang teraktifkan akan berdiferensiasi menjadi limfosit T sitotoksik (CTL), yang membunuh mikroba yang memasuki sitoplasma. Mikroba ini mungkin berupa virus, yang menginfeksi banyak jenis sel, atau bakteri yang ditelan makrofag tetapi telah belajar menghindari vesikel fagosit untuk masuk ke dalam sitoplasma (di tempat yang tidak terjangkau oleh makrofag, yang sebagian besar ada di dalam vesikel). Dengan menghancurkan sel yang terinfeksi, maka CTL menyingkirkan reservoir infeksi.



Imunitas Humoral: Aktivasi Limfosit B dan Eliminasi Mikroba Ekstrasel Pada aktivasi, limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan berbagai kelas antibodi yang berbeda fungsinya (Gambar 4-6). • Tidak bergantung kepada sel T. Banyak polisakarida dan antigen lipid yang mempunyai determinan antigenik (epitope) identik yang bersifat multipel,



yang dapat bertautan dengan beberapa molekul reseptor antigen pada tiap sel B untuk memulai proses aktivasi sel B. • Bergantung kepada sel T Biasanya antigen protein yang berupa globul, tidak dapat mengikat banyak reseptor antigen, dan reaksi lengkap sel B terhadap antigen protein memerlukan bantuan dari sel T CD4+. Sel B juga dapat bertindak sebagai APC - mereka menelan protein antigen, mendegradasikannya dan memaparkan peptide yang terkait molekul MHC II untuk pengenalan oleh seI T penolong. Sel T penolong memaparkan CD4OL dan mensekresikan sitokin yang bekerjasama untuk mengaktifkan sel B. Sebagian dari asal klon sel B yang berkembang akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Tiap sel plasma mensekresikan antibodi yang rnernilik.i spesifitas sama seperti antibodi permukaan sel (reseptor sel B) yang pertama kali mengenal antigen. Polisakarida dan lipid terutama merangsang antibodi IgM. Antigen protein, melalui aktivitas sel T penolong akibat reaksi CD4OL dan sitokin, merangsang pembuatan antibodi dari berbagai kelas (IgG, IgA, IgE). Produksi antibodi yang terdiri dari beragam kelas, dengan spesifitas yang sama, disebut heavy chain class (isotype) switching; hal itu memberikan keleluasaan dalam pembentukan antibodi, sehingga memungkinkan antibodi dapat memerankan banyak fungsi. Sel T penolong juga merangsang produksi antibodi dengan afinitas yang makin tinggi terhadap antigen. Hal ini disebut pematangan afinitas, memperbaiki kualitas reaksi imun humoral. Reaksi imun humoral memerangi mikroba dengan berbagai cara (Gambar 4-6). • Antibodi mengikat mikroba dan mencegah mereka untuk menginfeksi sel, jadi menetralisasi (neutralizing mikroba)



PRODUKSI ANTIBODI



FUNGSI EFEKTOR dari ANTIBODI Sekresi antibodi



Mikroba



Sel T penolong stimulus lain



Diferensiasi



Sel B IgM+,



Fagosit



IgM



Sel plasma yang mensekresikan antibodi



Proliferasi IgD+ naif



Netralisasi mikroba dan toksin



Opsonisa dan fagositas



Pengalihan sintesis kelas-antibodi Reseptor Fc



Sel B yang memaparkan IgG



Sitotoksitas antibodi bergantung



IgG Pematangan afinitas



Sel B yang memparkan IgG berafinitas tinggi



Sel NK Aktivasi komplemen



Lisis mikroba Fagositosis mikroba yang teropsonisasi



IgG berafinitas tinggi Sel B memori



Reseptor C3b Inflamasi (Radang)



Gambar 4-6 Imunitas humoral. Limfosit B naif mengenal antigen, dan di bawah pengaruh sel T penolong dan stimulus lain (tidak ditunjukkan), sel B teraktivasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Sebagian sel B yang teraktivasi mengalami pengalihan sintesis kelas rantai berat dan pematangan afinitas, dan sebagian menjadi sel memori yang hidup-jangka panjang Antibodi dengan isotip (kelas) rantai berat yang berbeda melakukan fungsi yang berbeda, ditunjukkan pada bagian kanan.



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun • Antibodi IgG melapisi ("opsonisasi") mikroba dan menjadi sasaran fagositosis, karena fagosit (neutrofil dan makrofag) memaparkan reseptor untuk Fc, ekor dari molekul IgG. • IgG dab IgM mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik, dan menghasilkan pecahan komplemen yang memicu fagositosis dan penghancuran mikroba. Produksi antibodi yang bersifat opsonin dan memfiksasi komplemen dirangsang oleh IFN-y, yang biasanya diproduksi oleh sel TH1, dalam bereaksi terhadap berbagai mikroba dan virus. Antibodi IgG memainkan peranan penting dalam reaksi pertahanan terhadap mikroba. • IgA disekresikan di dalam jaringan mukosa dan menetralisasi mikroba di dalam lumen saluran pernapasan dan pencernaan (dan jaringan mukosa lain). • IgG ditransportasikan secara aktif melewati plasenta dan melindungi bayi sampai sistem imun menjadi matang. Hal ini disebut imunitas pasif. • IgE melapisi parasit golongan helmint dan bersama sel mast dan eosinofil membunuh mereka. Seperti disebutkan terdahulu, sel penolong TH2 mensekresikan sitokin yang merangsang produksi IgE dan mengaktifkan eosinofil, jadi reaksi terhadap parasit helmint diatur oleh sel TH2. Antibodi IgG yang beredar mempunyai waktu paruh sekitar 3 minggu, yang lebih lama daripada waktu paruh sebagian besar protein darah, yang terjadi karena mekanisme khusus dari daur ulang IgG dan reaksi katabolismenya. Sebagian sel plasma yang mensekresikan antibodi bermigrasi ke sumsum tulang dan hidup selama bertahun-tahun, terus-menerus memproduksi antibodi dalam jumlah kecil.



Penurunan Reaksi Imun dan Memori Imunologi Sebagian besar limfosit efektor yang diinduksi oleh infeksi penyebab penyakit mengalami kematian melalui apoptosis (kematian sel yang terprogram) setelah mikroba disingkirkan, sehingga sistem imun kembali ke dalam keadaan istirahat. Peristiwa kembali ke keadaan stabit atau keadaan tidak aktif, disebut horneostasis, terjadi karena mikroba memberikan stimulus yang diperlukan oleh Iimfosit untuk bertahan hidup dan aktif, dan sel efektor bermasa hidup pendek. Oleh karena itu, setelah stimulus dihentikan, limfosit yang teraktifkan tidak dipertahankan hidup. Aktivasi permulaan dari limfosit juga menyebabkan tumbuhnya sel memori yang masa hidupnya panjang, bertahan hidup selama bertahun-tahun setelah infeksi. Sel memori merupakan kumpulan limfosit yang berkembang dari limfosit yang bereaksi spesifik terhadap antigen (lebih banyak daripada sel naif sebelum terpajang dengan antigen), dan sel memori bereaksi lebih cepat dan lebih efektif terhadap antigen dibandingkan dengan sel naif. Generasi sel memori menjadi landasan penting dalam vaksinasi. Pembahasan singkat dari reaksi imun yang normal menjadi dasar pemikiran tentang keadaan yang terkait reaksi imun yang menjadi abnormal, dan bagaimana abnormalitas ini berkembang menjadi jejas jaringan dan penyakit.



RINGKASAN Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal •



Fungsi fisiologis dari sistem imun adalah pertahanan terhadap mikroba infektif.



109







Reaksi dini terhadap mikroba diperantarai oleh mekanisme imunitas bawaan, yang siap untuk bereaksi terhadap mikroba. Mekanisme ini termasuk penyangga epitel, fagosit, sel NK dan protein plasma (contoh sistem komplemen). Reaksi imunitas bawaan sering berwujud sebagai radang/inflamasi.







Reaksi pertahanan dari imunitas adaptif berkembang lambat, tetapi lebih kuat dan spesifik.







Mikroba dan antigen asing lain ditangkap oleh DC dan ditransportasikan ke kelenjar getah bening, di tempat antigen dikenal oleh limfosit naif. Limfosit teraktifkan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori.







Imunitas seluler adalah reaksi fimfosit T, yang dirancang untuk memerangi mikroba yang terkait pada set (contoh rnikroba yang difagositosis dan mikroba di dalam sitoplasma dari set yang terinfeksi). Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi dan efektif terhadap mikroba ekstrasel (di dalam sirkulasi dan lumen saluran yang dilapisi mukosa).







Sel T penolong CD4+ membantu sel B untuk membentuk antibodi, mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba yang ditelan, merangsang leukosit untuk datang, dan mengatur semua reaksi imun terhadap antigen protein. Fungsi sel T CD4+ diperantarai oleh protein yang disekresikan yang disebut sitokin. Sel T CD8+ (CTL) membunuh sel yang memaparkan antigen di dalam sitoplasma yang dilihat sebagai zat asing (contoh set terinfeksi virus atau sel tumor).







Antibodi yang disekresikan oleh sel plasma menetralisasikan mikroba dan mencegah daya infeksinya, dan memicu fagositosis serta penghancuran patogen. Antibodi juga memberikan kemampuan imunitas pasif pada bayi baru lahir (neonates).



REAKSI HIPERSENSITIVITAS: MEKANISME JEJAS/CEDERA BERDASARKAN REAKSI IMUN Reaksi imun yang secara normal bersifat protektif juga dapat menyebabkan jejas/cedera jaringan. Reaksi imun yang berakibat cedera digolongkan dalam reaksi hipersensitivitas; dan menghasilkan penyakit hipersensitivitas. Istilah ini berdasarkan gagasan bahwa individu yang membuat reaksi imun terhadap antigen menjadi "peka" (tersensitisasi) terhadap antigen tersebut, sehingga terjadi reaksi yang patologis atau berlebihan mewujudkan keadaan "hipersensitif". Pada keadaan normal, reaksi membasmi organisme penyebab infeksi terkendali dan mencapai keseimbangan tanpa reaksi yang menyebabkan jejas pada jaringan tuan rumah. Walaupun demikian, reaksi imun mungkin tidak cukup terkendali atau tidak tersasar secara tepat terhadap jaringan tuan rumah, sehingga pada keadaan seperti itu reaksi yang seharusnya bermanfaat justru dapat menjadi penyebab penyakit. Dalam bagian ini akan diuraikan penyebab dan mekanisme umum dari penyakit hipersensitivitas, dan selanjutnya akan dibahas keadaan tertentu yang terkait dengan reaksi imun yang menyebabkan penyakit.



Penyebab Reaksi Hipersensitivitas Reaksi imun yang patologis dapat terarah kepada berbagai jenis antigen yang berbeda dan dapat menyebabkan berbagai dasar terjadinya abnormalitas.



110



B A B 4



Penyakit Sistem Imun



• Autoimunitas: reaksi terhadap antigen diri (self). Pada keadaan normal, sistem imun tidak bereaksi terhadap antigen yang dihasilkan oleh badan sendiri. Fenomena ini disebut toleransi diri (sel tolerance), yang berarti bahwa tubuh bersifat toleran terhadap antigen diri. Kadang-kadang, toleransi diri gagal, sehingga menyebabkan autoimunitas. Penyakit akibat autoimunitas disebut penyakit autoimun. Kita akan membahas kembali tentang mekanisme toleransi diri dan autoimunitas pada bab ini kemudian. • Reaksi terhadap mikroba. Ada berbagai jenis reaksi terhadap antigen mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Pada sebagian kasus, reaksi imun terlalu kuat atau biasanya karena antigen mikroba berada terus-menerus (menetap). Apabila antibodi diproduksi terhadap antigen semacam itu, maka antibodi akan bergabung dengan antigen mikroba dan membentuk kompleks imun yang dapat diendapkan di dalam jaringan dan memicu terjadinya inflamasi; hal ini merupakan mekanisme dasar terjadinya glomerulonefritis poststreptokokus (Bab 13). Sel T yang bereaksi terhadap mikroba yang persisten dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang parah, kadang-kadang disertai pembentukan granuloma (Bab 2); hal ini menjadi penyebab jejas jaringan pada tuberkolosis dan infeksi lain. Jarang terjadi, antibodi atau sel T bereaksi terhadap mikroba yang bereaksi silang dengan jaringan tuan rumah; reaksi silang ini dianggap sebagai dasar terjadinya penyakit jantung rematik (Bab 10). Pada beberapa keadaan, reaksi imun mungkin berjalan normal, tetapi dalam rangka membasmi mikroba, jaringan tuan rumah mengalami jejas. Pada hepatitis virus, mikroba yang menginfeksi hati tidak bersifat sitopatik, tetapi dikenal sebagai zat asing oleh sistem imun. Sel T sitotoksik berusaha menyingkirkan seI yang terinfeksi, dan reaksi normal sistem imun ini menyebabkan kerusakan sel hati. • Reaksi terhadap antigen lingkungan. Sebagian besar individu sehat. tidak bereaksi kuat terhadap zat-zat yang biasa terdapat dilingkungan (contoh serbuk sari, bahan dari binatang atau debu rumah yang rnengandungi ngengat), tetapi hampir 20% populasi mengalami alergi terhadap zat-zat tersebut. Individu-individu tersebut mempunyai faktor genetik yang terkait kerentanan menimbulkan reaksi imun yang tidak lazim terhadap berbagai antigen yang tidak bersifat infektif dan



justru tidak berbahaya, dan semua orang terpajang pada antigen semacam itu tetapi hanya sebagian yang bereaksi. Pada semua keadaan ini, jejas jaringan yang disebabkan oleh mekanisme sama yang pada keadaan normal berfungsi untuk menyingkirkan patogen infektif— yaitu antibodi, limfosit T efektor dan berbagai sel efektor lain. Masalah dalam penyakit ini adalah karena reaksi dipicu dan dipertahankan secara tidak tepat. Karena stimulus dari reaksi abnormal ini sulit dan tidak mungkin dihindari (contoh antigen diri, mikroba persisten dan antigen lingkungan), dan sistem imun mempunyai jalur balik intrinsik (bersifat amplifikasi), maka sekali reaksi patologis dimulai akan sulit dikendalikan atau dihentikan. Oleh karena itu, penyakit hipersensitivitas cenderung menjadi kronik dan menyebabkan cacat serta menjadi tantangan dalam terapi. Karena inflamasi, khususnya inflamasi kronik, merupakan komponen utama pada patologi kelainan tersebut, kadangkadang kelainan ini digolongkan dalam penyakit radang yang berdasarkan reaksi imun.



Jenis Reaksi Hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas biasanya dibagi dalam empat tipe berdasarkan mekanisme utama yang terkait dengan jejas; tiga tipe merupakan variasi jejas yang berdasarkan reaksi antibodi, sedangkan yang keempat berdasarkan reaksi sel T (Tabel 4-1). Dasar pemikiran dari klasifikasi ini adalah bahwa mekanisme jejas secara imunologi menjadi prediktor yang baik dari wujud klinis dan membantu untuk merencanakan terapi. Akan tetapi, klasifikasi ini tidak sempurna, karena beberapa reaksi imun mungkin bersama-sama terjadi pada suatu penyakit. • Hipersensitivitas segera (tipe I); sering disebut alergi, akibat dari aktivasi subset TH2 dari sel T penolong CD4+ oleh antigen lingkungan, yang menyenbabkan produksi antibodi IgE, yang akan berikatan dipermukaan sel mast. Apabila molekul IgE tersebut mengikat antigen (alergen) maka sel mast akan dipicu untuk melepaskan mediator yang sementara memengaruhi permeabilitas vaskular dan



Tabel 4-1 Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas



Tipe Hipersensitivitas segera (Tipe 1) Hipersensitivitas yang diperantarai antibodi (Tipe II)



Hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun (Tipe III)



Hipersensitivitas yang diperantarai sel (Tipe IV) IgE, IgG, IgM, imunoglobuln E, G, M.



Mekanisme Imun



Lesi Histopatologis



Kelainan Prototip



Produksi antibodi IgE --> pelepasan segera amine vasoaktif dan mediator lain dari sel mast; pemanggilan sel inflamasi kemudian



Dilatasi vasikular, edema, kontraksi otot polos, produksi mukus, jejas jaringan, inflamasi



Anafilaksis; alergi; asma bronkial (bentuk atopik)



Produksi IgG, IgM --> mengikat antigen pada sel sasaran atau jaringan --> fagositosis atau lisis sel sasaran oleh komplemen yang teraktivasi atau reseptor Fc; pemanggilan leukosit Pengendapan kompleks antigen-antibodi --> aktivasi komplemen; pemanggilan leukosit oleh produk komplemen dan reseptor Fc --> pelepasan enzim, dan molekul lain yang toksik



Fagositosis dan lisis sel; inflamasi; pada sebagian penyakit, kelainan fungsional tanpa jejas sel atau jaringan



Anemia hemolitik autoimun; sindrom Goodpasture



Inflamasi, vaskulitis bersifat nekrotik (nekrosis fibrinoid)



Lupus eritematosus sistematik; sebagian bentuk glomerulonefritis; penyakit serum; reaksi Arthus



Limfosit T teraktivasi --> (1) pelepasan sitokin, inflamasi dan aktivasi makrofag; (2) Sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T



Sebutkan seluler perivaskular; edema; pembentukan granuloma, destruksi sel



Dermatitis kontak; sklerosis multipel; diabetes tipe 1, tuberkulosis



111



menyebabkan kontraksi otot polos pada berbagai organ, juga memperpanjang inflamasi (reaksi fase lambat). Penyakit ini biasanya disebut alergi atau penyakit atopik. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan reaksi antibodi (tipe II) disebabkan oleh antibodi yang mengikat antigen pada jaringan atau permukaan sel, membantu fagositosis dan kerusakan sel yang terlapisi antibodi atau memicu inflamasi patologis di dalam jaringan. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan kompleks imun (tipe III) disebabkan oleh antibodi yang bergabung dengan antigen membentuk kompleks imun yang beredar dan mengendap di dalam jaringan vaskular dan merangsang inflamasi, biasanya akibat akti vast komplemen. Jejas jaringan pada penyakit ini adalah akibat inflamasi. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan reaksi sel T (tipe IV) disebabkan terutama oleh reaksi imun dari limfosit T subset TH1 dan TH17 yang memproduksi sitokin yang menginduksi inflamasi dan aktivasi neutrofil serta makrofag, yang menimbulkan jejas jaringan. CTL CD8+ juga berperan dalam jejas karena membunuh langsung sel tuan rumah.



Pajanan terhadap alergen



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun Alergen (contoh serbuk sari) Lapisan mukosa



Aktivasi sel TH2 dan pengalihan kelas IgE pada sel B



Produksi IgE



Sel TH2



Sel B



IgE



Sel B yang mensekresikan IgE



Ikatan IgE dengan FcεRI pada sel mast



FcεRI



Sel mast



Hipersensitivitas Segera (Tipe I) Hipersensitivitas segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara cepat (biasanya dalam beberapa menit) setelah interaksi antara antigen dan antibodi IgE pada permukaan sel mast pada individu yang tersensitisasi (terpapar antigen). Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen karena memicu alergi. Banyak alergen yang berasal dari lingkungan yang tidak berbahaya untuk sebagian besar individu yang terpapar. Beberapa individu tampaknya menurunkan gen yang menyebabkan mereka rentan terhadap alergi. Kerentanan ini berwujud sebagai reaksi TH2 yang kuat dan diikuti pembentukan antibodi IgE terhadap alergen. Reaksi IgE tersebut mengaktifkan sel mast disertai pelepasan mediator yang menyebabkan manifestasi klinis dan patologis dari reaksi hipersensitivitas segera mungkin hanya berupa gangguan yang ringan (contoh rinitis yang bergantung pada musim atau demam rumput kering), bisa juga penyakit yang parah (asma), atau bahkan fatal (anafilaksis). Urutan Kejadian pada Reaksi Hipersensitivitas Segera Sebagian besar reaksi hipersensitivitas mengikuti urutan reaksi seluler yang sama (Gambar 4-7): • Aktivasi sel TH2 dan produksi antibodi IgE. Alergen mungkin masuk lewat inhalasi, ingesti atau suntikan. Variabel yang mungkin berperan terhadap reaksi kuat sel TH2 terhadap alergen meliputi pintu masuk, dosts dan kronisitas pemajanan antigen, serta komposisi genetik tuan rumah. Tidak jelas apakah zat yang bersifat alergen juga mempunyai struktur unik yang cenderung memicu reaksi kuat sel TH2. Hipersensitivitas segera merupakan prototip dari reaksi yang diperantara sel TH2. Sel TH2 akan mensekresikan beberapa sitokin, termasuk IL-4, 1L-5 dan 1L-13, yang bertanggung jawab untuk hampir semua reaksi hipersensitivitas segera. 1L-4 merangsang reaksi sel B yang spesifik terhadap alergen, memicu perubahan kelas rantai berat imunoglobulin ke IgE



Pajanan ulang terhadap alergen



Aktivasi sel mast; pelepasan mediator Mediator Mediator amin vasoaktif, lemak



Sitokin



Reaksi hipersensitivitas segera (beberapa menit setelah pajanan ulang terhadap alergen)



Reaksi fase lambat (2-8 jam setelah pajanan ulang terhadap alergen)



Gambar 4--7 Urutan kejadian pada hipersensitivitas segera (tipe 1). Reaksi hipersensitivitas segera dimulai oleh pengenalan alergen, yang merangsang reaksi TH2 dan produksi IgE, IgE berikatan dengan reseptor Fc (FcεRI) pada sel mast, dan pajanan berikutnya terhadap alergen mengaktivasi sel mast untuk mensekresikan mediator yang berperan dalam manifestasi patologis dari hipersensitivitas segera.



dan mensekresikan antibodi isotip tersebut. IL-5 mengaktifkan eosinofil dan didatangkan ketempat reaksi, sedangkan IL-13 bekerja pada sel epitel dan merangsang sekresi mukus. Sel TH2 sering didatangkan ketempat reaksi alergi akibat pertgaruh kemokin yang diproduksi setempat, termasuk eotaksin yang juga mendatangkan eosinofil ketempat yang sama. • Sensitisasi set mast oleh antibodi IgE. Sel mast berasal dari prekursor di dalam sumsum tulang, tersebar luas di berbagai jaringan, dan sering berada dekat pembuluh darah dan saraf, serta pada daerah sub epitel. Sel mast



112



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



memaparkan reseptor yang berafinitas tinggi untuk bagian Fc dari rantai berat E dari IgE, disebut FceRI. Walaupun konsentrasi IgE serum sangat rendah (dalam rentang antara 1 sampai 100 p.g/ mL), afinitas reseptor FcERI pada sel mast sangat tinggi sehingga reseptor selalu diduduki oleh IgE. Sel mast yang mengandungi antibodi tersebut tersensitisasi untuk bereaksi apabila antigen berikatan dengan molekuI antibodi. Basofil merupakan mitra sel mast dalam sirkulasi. Mereka juga memiliki FcεRI, tetapi peranannya pada sebagian hipersensitivitas segera belum jelas (karena reaksi biasanya terjadi dalam jaringan dan tidak di dalam sirkulasi). Sel ketiga yang memaparkan FcεRI adalah eosinofil, yang sering berada pada reaksi, dan berperan dalam reaksi imun berdasarkan IgE terhadap infeksi helmint, akan diuraikan kemudian. • Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Apabila seseorang yang sudah pernah tersensitisasi oleh pemajanan terhadap suatu alergen kemudian terpajang kembali terhadap alergen itu, maka alergen akan berikatan dengan banyak molekul IgE spesifik pada permukaan sel mast, biasanya pada atau di dekat pintu masuk alergen. Pada waktu molekul IgE ini mengalami ikatan silang (cross linked), serangkaian isyarat biokimia akan dipicu di dalam sel mast dan diikuti sekresi berbagai mediator. Tiga kelompok mediator yang paling penting dalam reaksi hipersensitivitas segera (Gambar 4-8): 











Vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula. Granula sel mast berisi histamin yang dilepaskan dalam waktu beberapa detik atau menit pada waktu aktivasi. Histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan sekresi mukus. Mediator lain yang cepat dilepaskan adalah adenosin (yang menyebabkan penyempitan bronkus dan menghambat agregrasi trombosit) dan faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Zat lain yang terkandung dalam granula sel mast yang mungkin disekresikan adalah beberapa protease netral (contoh tryptase) yang dapat merusak jaringan dan juga menyebabkan produksi kinin dan memecah komponen-komplemen, menghasilkan faktor-faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (contoh C3a) (Bab 2). Granula tersebut juga berisi proteoglikan yang bersifat asam (heparin, kondroitin sulfat), yang berfungsi sebagai matriks penyimpanan amine. Mediator lipid yang baru disintesa. Sel mast mensintesa dan mensekresikan prostaglandin dan leukotrin, melalui jalur sama seperti leukosit lain (Bab 2). Mediator lipid mempunyai peranan penting dalam reaksi hipersensitivitas segera. Prostaglandin D2 (PGD2) merupakan prostaglandin paling banyak yang diproduksi oleh jalur siklooksigenase dalam seI mast. Zat tersebut menyebabkan bronkospame yang kuat dan peningkatan sekresi mukus. Leukotrin LTC, dan LTD, adalah zat vasoaktif dan spasmogenik yang kuat; dalam kadar molar mereka beberapa ratus kali lebih kuat daripada histamin dalam peningkatan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos bronkus. LTB4 sangat kemotaksis terhadap neutrofil, eosinofil dan monosit. Sitokin. Aktivasi sel mast menyebabkan sintesa dan sekresi beberapa sitokin yang penting dalam reaksi fase lambat. Ini termasuk TNF dan kemokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan leukosit (Bab 2); IL-4 dan IL-5 melipat gandakan reaksi sel TH2; dan IL-13 yang merangsang sel epitel untuk sekresi mukus.



Antigen IgE Reseptor Fc IgE



Isyarat untuk aktivasi gen sitokin



Isyarat untuk degranulasi Inti



Isyarat untuk aktivasi fosfolipase A2



Degranulasi SITOKIN YANG DISEKRESIKAN FOSFOLIPID MEMBRAN



KANDUNGAN GRANULA • Histamin • Protease • Faktor kemotaktik



Asam PAF arakidonat



Reaksi fase lambat Sebukan limfosit Kerusakan epitel Bronkospasme



(ECF, NCF) Prostaglandin D2



Leukotrien B4, C4, D4



REAKSI SEGERA Vasodilatasi Kebocoran vaskular Spasme otot polos



Gambar 4-8 Mediator sel mast. Pada aktivasi, sel mast melepaskan berbagai kelas mediator yang berperan untuk reaksi segera dan reaksi fase-lambat. ECF, eosinophil chemotactic factor (Faktor kemotaksis eosinofil); NCF, neutrophil chemotactic factor (Faktor kemotaksis neutrofil) (tidak satupun yang telah ditetapkan secara biokimiawi); PAF, platelet-activating factor (faktor pengaktif trombosit)



Sebagai ringkasan, berbagai zat yang berpengaruh pada pembuluh darah, otot polos dan leukosit memperantarai reaksi hipersen-sitivitas segera (Tabel 4-2). Sebagian dari zat-zat ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan berperan dalam reaksi segera yang kuat dan berkaitan dengan derajatnya seperti anafilaksis sistemik. Yang lain,seperti sitokin, berperan dalam inflamasi yang terlihat pada fase lambat. Seringkali, reaksi yang dipicu IgE mempunyai dua fase yang jelas (Gambar 4-9): (1) Reaksi segera, ditandai oleh vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, biasanya terjadi 5 sampai 30 menit setelah pemajanan terhadap alergen dan akan mereda dalam 60 menit; dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang biasanya mulai 2 sampai 8 jam kemudian dan mungkin berlangsung beberapa hari dan ditandai oleh inflamasi dan kerusakan jaringan, seperti kerusakan epitel mukosa. Sel radang yang dominan adalah neutrofil, eosinofil dan limfosit, terutama sel TH2. Neutrofil didatangkan oleh berbagai kemokin. Peranannya dalam inflamasi diuraikan dalam Bab 2. Eosinofil didatangkan oleh eotaksin dan kemokin lain, yang dilepaskan oleh sel



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun



Pajanan sistemik terhadap antigen protein (contoh racun lebah) atau obat (contoh penisilin) dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada individu yang tersensitisasi akan timbul rasa gatal, urtikaria (biduran) dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas yang cepat disebabkan bronkokonstriksi dan diperburuk oleh hipersekresi mukus. Edema laring dapat menyebabkan eksaserbasi karena obstruksi jalan napas. Di samping itu, otot polos seluruh saluran gastrointestinal dapat terjangkit, disertai muntah, perut tegang dan diare. Tanpa intervensi segera dapat terjadi vasodilatasi sistemik disertai penurunan tekanan darah (syok anafilaktik), dan penderita mengalami kolaps peredaran darah serta kematian dalam beberapa menit.



Tabel 4--2 Kesimpulan Kegiatan Mediator Sel Mast pada Hipersensitivitas Segera (Tipe 1)



Kegiatan



Mediator



Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular



Histamin PAF Leukotrin C4, D4, E4 Protease netral yang mengaktifkan kompelen dan kinin Prostaglandin D2 Leukotrin C4, D4, E4 Histamin Prostaglandin PAF



Spasme otot polos



Sebutkan seluler



Sitokin (contoh kemokin, TNF) LeukotrinenB4 Eosinofil dan faktor neutrofil kemotaksis (tidak ditetapkan secara biokimiawi)



PAF, platelet activating factor (faktor pengaktif trombosit); TNF, tumor necrosis factor (faktor nekrosis tumor)



epitel yang teraktifkan oleh TNF, dan merupakan efektor penting dalam jejas jaringan pada reaksi fase lambat. Eosinofil memproduksi major basic protein dan protein kation eosinofil, yang toksik terhadap epitel, LTC, dan faktor aktivasi trombosis, yang meningkatkan inflamasi. Sel TH2 memproduksi sitokin yang mempunyai banyak reaksi yang diuraikan sebelumnya. Leukosit yang didatangkan ini dapat meningkatkan dan mempertahankan reaksi inflamasi bahkan tanpa pemajanan alergen yang terus-menerus. Sebagai tambahan, leukosit inflamasi berperan pada jejas sel epitel pada hipersensitivitas segera. Oleh karena reaksi inflamasi merupakan kelainan utama pada banyak penyakit alergi, terutama asma dan dermatitis atopik, terapi menggunakan obat anti inflamasi, seperti kortikosteroid.



Manifestasi Klinis dan Patologis Reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau sebagai kelainan setempat. Bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk pajanan antigen.



Segera



Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang bersifat setempat memiliki unsur genetik kuat, dan istilah atopi digunakan untuk menggambarkan predisposisi keluarga dalam hal reaksi setempat tersebut. Para penderita yang mengalami alergi nasobronkial (termasuk demam rumput kering dan sebagian dari asma) seringkali memiliki riwayat keluarga yang mirip. Gen yang terkait dengan kerentanan terhadap asma dan kelainan atopik lain termasuk yang menyandi molekul HLA (yang terkait dengan reaksi imun terhadap antigen tertentu), sitokin (yang mengelola reaksi sel TH2), unsur FcɛRI, metaloproteinase yang mungkin terlibat pada remodeling saluran napas. Reaksi hipersensitivitas segera jelas tidak berkembang sendiri untuk menyebabkan gangguan atau penyakit pada manusia. Reaksi imun bergantung kepada sel TH2 dan IgE —khususnya, reaksi inflamasi fase lambat — memainkan peranan protektif yang penting dalam memerangi infeksi parasit.



Sel mast



Manifestasi Klinik A



Reaksi setempat biasanya terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), saluran gastrointestinal (tertelan, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum dari alergi kulit dan makanan, demam rumput kering dan bentuk tertentu berupa asma adalah contoh reaksi alergi yang bersifat setempat. Walaupun demikian, masuknya alergen lewat mulut atau inhalasi juga dapat memicu reaksi sistemik.



Reaksi fase-lambat



Pajanan alergen



Edema B 0



113



1 4 8 12 Jam setelah pajanan alergen



16



Kongesti vaskular



Eosinofil C



20



Gambar 4--9 Hipersensitivitas segera. A, Kinetik reaksi segera dan reaksi fase-lambat. Reaksi vaskular dan otot polos jenis segera terhadap alergen berkembang dalam beberapa menit, setelah tantangan (pajanan alergen pada individu yang sebelumnya tersensitisasi), dan reaksi fase-lambat berkembang 2 sampai 24 jam kemudian. B-C, Morfologi: Reaksi segera (B) ditandai oleh vasodiilatasi, kongesti, dan edema, dan reaksi fase-lambat (C) ditandai oleh sebutkan sel radang yang banyak mengandungi eosinofil, neutrofil dan sel T. (B dan C, Sumbangan dari Dr. Daniel Friend, Department of Pathology, Brigham and Wamen's Hospital, Bostan, Massachusetts.)



114



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Antibodi IgE diproduksi sebagai reaksi terhadap infeksi helmint, dan fungsi faali eosinofil dan sel mast untuk memusnahkan helmint. Sel mast juga terlibat dalam pertahanan terhadap infeksi bakteri. Para penderita gigitan ular akan Iega mendengar bahwa sel mast mereka dapat melindunginya dari sebagian racun ular dengan jalan melepaskan granula berisi protease yang dapat menghancurkan toksin. Mengapa reaksi-reaksi yang berguna itu tidak teraktivasi secara tepat oleh antigen lingkungan yang tidak berbahaya, sehingga masih menyebabkan alergi, tetap menjadi teka-teki.



RINGKASAN Hipersensitivitas Segera (Tipe I) • •







• • •



Juga disebut reaksi alergik, atau alergi. Dipicu oleh antigen lingkungan (alergen) yang merangsang reaksi TH2 dan produksi IgE pada individu yang memiliki kerentanan genetik. IgE melapisi sel mast dengan ikatan terhadap reseptor Fcc; pemajanan kembali terhadap alergen menyebabkan ikatan-silang dari IgE dan FcεRI, aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Mediator-mediator utama adalah histamin, protease dan isi granula yang lain; prostaglandin dan leukotrin; dan sitokin. Mediator bertanggung jawab untuk reaksi vaskular dan otot polos yang bersifat segera dan reaksi fase lambat (inflamasi). Manifestasi klinis dapat berupa reaksi setempat atau sistemik, dan berkisar dari rinitis ringan yang menggangu sampai anafilaksis yang fatal.



Penyakit Berdasarkan Reaksi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II) Kelainan Hipersensitivitas yang diperantarai antibodi (Tipe disebabkan oleh antibodi yang ditujukan terhadap antigen sasaran pada permukaan sel atau unsur jaringan Iain. Antigen mungkin berupa molekul normal bagian intrinsik dari membran sel atau pada matriks ekstrasel, atau mungkin berupa antigen eksogen yang diserap (contoh metabolit obat). Abnormalitas yang diperantarai antibodi adalah penyebab yang mendasari banyak penyakit pada manusia; contohnya diberikan pada Tabel 4-3. Pada semua kelainan, kerusakan jaringan atau kelainan fungsi disebabkan oleh beberapa mekanisme yang terbatas.



Mekanisme Penyakit yang Diperantarai Antibodi Antibodi dapat menimbulkan penyakit apabila berikatan atau melapisi sel sasaran untuk meningkatkan fagositosis, atau mengaktifkan komplemen, memengaruhi fungsi sel yang normal (Gambar 4-10). Antibodi yang bertanggung jawab biasanya adalah antibodi berafinitas tinggi yang dapat mengaktifkan komplemen dan berikatan dengan reseptor Fc dari fagosit. • Opsonisasi dan fagositosis. Apabila sel yang beredar , seperti eritosit atau trombosit, dilapisi (opsonisasi) oleh autoantibodi, dengan atau tanpa protein komplemen, maka sel akan menjadi sasaran fagositosis oleh neutrofil dan makrofag (Gambar 4-10, A). Fagosit tersebut memaparkan reseptor untuk bagian ekor Fc dari antibodi Ig-G dan reseptor protein komplemen C3, dan menggunakan reseptor tersebut untuk mengikat dan menelan partikel yang teropsonisasi. Sel yang mengalamai opsonisasi biasanya disingkirkan di dalam limpa, dan oleh karena itu splenektomi



Tabel 4--3 Contoh Penyakit yang Diperantarai Antibodi (Hipersensitivitas Tipe III)



Penyakit



Antigen Sasaran



Mekanisme Penyakit



Manifestasi Klinikopatologis



Anemia hemolitik autoimun



Protein mebran sel darah merah (antigen golongan darah Rh, antigen I)



Opsonisasi dan fagositosis eritrosit



Hemolitik, anemia



Purpura trombositopenik autoimun



Protein membran trombosit (integrin GpIIb/IIIa)



Opsonisasi dan fagositosis trombosit



Perdarahan



Pemphigus vulgaris



Protein pada jembatan antarsel dari sel epidermis (desmoglein epidermis)



Vesikel kulit (bula)



Vaskulitis akibat ANCA



Protein granula neutrofil, mungkin dilepaskan oleh neutrofil yang teraktifkan



Aktivasi protease yang diperantarai antibodi, kerusakan fungsi adhesi antarsel Degranulasi neutrofil dan inflamasi



Sindrom Goodpasture



Protein nonkolagen (NCl) pada membran basal glomerulus ginjal dan alveolus paru



Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc



Nefritis, pendarahan paru



Demam reuma akut



Antigen dinding sel streptokokus; antigen miokardium yang bereaksi silang dengan antibodi Reseptor asetilkolin



Inflamasi, aktivasi makrofag



Miokarditis



Antibodi, menghambat ikatan asetilkolin, menurunkan afinitas reseptor



Kelemahan otot, paralisis



Penyakit Graves (hipertiroidisme) Diabetes yang resisten terhadap insulin



Reseptor TSH



Stimulasi reseptor TSH yang diperantarai antibodi



Hipertiroidisme



Reseptor insulin



Antibodi yang menghambat ikatan dengan insulin



Hiperglikemia, ketoasidosis



Anemia pernisiosa



Faktor intrinsik sel parietal lambung



Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamib B12



Mielopoiesis abnormal, anemia



Myasthenia gravis



ANCA, antineutrophi cytoplasmic antibodies (antibodi sitoplasmik antineutrofil); TSH, thyroid stimulating hormone (hormon perangsang tiroid).



Vaskulitis



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun Opsonisasi dan fagositosis Sel teropsonisasi



115



Sel terfagositosis



Reseptor Fc



C3b



A



Reseptor C3b Aktivasi komplemen



Fagosit Fagositosis



Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc



Reseptor Fc



Aktivasi komplemen



B



Disfungsi sel perantarai antibodi Antibodi terhadap reseptor TSH Sel epitel tiroid



C



Enzim neutrofil zat-antara oksigen reaktif



Produksamping komplemen (C5a, C3a)



Inflamasi dan jejas jaringan



Ujung saraf Reseptor TSH



Hormon tiroid Antibodi merangsang reseptor tanpa hormon



Antibodi terhadap AK



Asetikolin (AK)



Reseptor AK



Otot Antibodi menghambat ikatan neurotransmiter ke reseptor



Gambar 4-10 Mekanisme jejas yang doperantarai antibodi. A, Opsonisasi sel oleh antibodi dan unsur komplemen, dan ingesti sel yang teropsonisasi oleh fagosit. B, Inflamasi yang diinduksi oleh ikatan antibodi dengan reseptor Fc leukosit dan oleh produk pemecahan komplemen. C, Antibodi reseptor mengganggu fungsi normal reseptor. Pada contoh ini, antibodi terhadap reseptor thyroid-stimulating hormone (TSH)/ hormon perangsang tiroid mengaktifkan sel tiroid pada penyakit Graves, dan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AK) mengganggu transmisi neuromuskular pada miastenia gravis.



bermanfaat secara klinis pada trombositopenia autoimun dan beberapa jenis anemia hemolitik autoimun. • Inflamasi (peradangan), Antibodi terikat pada antigen sel atau jaringan dan mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik (Gambar 4-10, B). Produk-produk aktivasi komplemen memiliki beberapa fungsi (lihat Gambar 2-18, Bab 2), satu di antaranya adalah mendatangkan neutrofil dan monosit, memicu inflamasi pada jaringan. Leukosit mungkin juga diaktifkan dengan melibatkan reseptor Fc, yang mengenal antibodi yang terikat. Mekanisme jejas semacam ini dicontohkan oleh sindrom Goodspasture dan pemfigus vulgaris. • Disfungsi sel yang diperantarai antibodi. Pada sebagian kasus, antibodi yang ditujukan kepada reseptor permukaan sel memengaruhi atau mengganggu regulasi fungsi sel tanpa menyebabkan jejas seI atau inflamasi (Gambar 4-10, C). Pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada ujung saraf motorik dari otot seran lintang menghambat transmisi neuromuskular, sehingga menyebabkan kelemahan otot. Antibodi juga dapat merangsang reaksi sel berlebihan.



Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone) merangsang epitel tiroid untuk mensekresi hormon tiroid dan menyebabkan hipertiroid. Antibodi terhadap hormon dan protein esensial lain dapat menetralkan dan mencegah aktivitas molekul-molekul tersebut dan menyebabkan pengaturan kembali fungsinya.



Penyakit Kompleks Imun (Hipersensitivitas Tipe III) Kompleks antigen antibodi (kompleks imun) yang dibentuk di dalam peredaran darah dapat mengendap pada pembuluh darah, diikuti aktivasi komplemen dan peradangan akut. Antigen di dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti protein mikroba, atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun sendiri tidak sama dengan penyakit hipersensitivitas; kompleks antigen antibodi dalam jumlah kecil mungkin diproduksi selama reaksi imun normal



116



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Tabel 4--4 Contoh Penyakit yang Diperantarai Kompleks Imun



Penyakit



Antigen yang Terlibat



Manifestasi Klinikopatologis



Lupus eritematosus sistemik



Antigen nukleus



Nefritis, lesi kulit, atritis, lain-lain



Glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus



Antigen dinding sel streptokokus; mungkin diendapkan pada membran basal glomerulus



Nefritis



Polyarteritis nodosa



Antigen virus hepatitis B pada sebagian kasus



Vaskulitis sistemik



Artitis reaktif



Antigen bakterial (contoh Yersinia)



Artritis akut



Penyakit serum



Berbagai protein (contoh protein serum yang asing seperti globulin antitimosit yang dibuat pada kuda Berbagai protein asing



Artritis, vaskulitis, nefritis



Reaksi Arthus (eksperimental)



dan biasanya difagositosis dan dihancurkan. Hanya pada saat produksi kompleks imun yang cukup besar, menetap dan mengendap di jaringan yang bersifat patogen. Kompleks imun yang patogenik mungkin dibuat di dalam peredaran darah dan selanjutnya mengendap di pembuluh darah, atau kompleks imun mungkin mengendap di tempat antigen ditanamkan (komplek-imun in situ). Kompleks imun dapat menyebabkan jejas sistemik apabila dibentuk di dalam sirkulasi dan mengendap di beberapa organ, atau terlokalisasi pada organ tertentu (contoh ginjal, sendi atau kulit) apabila kompleksimun dibentuk di sirkulasi dan mengendap di tempat yang spesifik. Mekanisme dari jejas jaringan sama, tidak bergantung kepada pola distribusi. Walaupun demikian, urutan kejadian dan keadaan yang menyebabkan pembentukan kompleks imun sistemik atau lokal berbeda, yang akan dibahas terpisah kemudian. Penyakit kompleks imun adalah sebagian dari penyakit imunologi yang paling sering (Tabel 4-4).



Antigen pada sirkulasi



Beberapa variabel menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan mengarah ke pembentukan endapan di jaringan dan penyakit. Mungkin yang paling penting di antara faktor-faktor ini adalah ukuran dari kompleks imun. Kompleks yang sangat besar atau kompleks dengan banyak regio Fc IgG yang bebas (dibentuk secara khas pada kelebihan antibodi) cepat disingkirkan dari peredaran oleh makrofag di dalam limpa dan hati



Pembentukan Kompleks Imun



Sel B



Antibodi bebas



Kompleks antigenantibodi



Sel plasma



Endotel Pengendapan Kompleks Imun



Penyakit Kompleks imun yang Sistemik Patogenesis penyakit sistem kompleks imun dapat dibagi menjadi tiga fase: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi di dalam peredaran dan (2) pengendapan kompleks imun pada berbagai jaringan, yang dapat berkembang menjadi (3) suatu reaksi inflamasi pada berbagai tempat di dalam tubuh (Gambar 4-11). Penyakit serum akut adalah prototip suatu penyakit sistem kompleks imun. Penyakit tersebut pertama kali diuraikan pada manusia ketika serum asing dalam jumlah banyak disuntikkan untuk imunisasi pasif (contoh pada orang yang menerima serum kuda yang mengandungi antibodi terhadap difteri); kelainan itu sekarang jarang ditemukan (contoh pada penderita yang mendapat suntikan globulin antitimosit baik berasal dari kelinci maupun dari kuda untuk pengobatan anemia aplastik atau penolakan jaringan cangkok, atau penderita gigitan ular yang diberi antibodi terhadap racun ular yang dibuat pada binatang). Walaupun penyakit serum tidak lazim lagi, penelitian tentang patogenesisnya bermanfaat menjelaskan mekanisme penyakit kompleks imun pada manusia. Kira-kira 5 hari setelah suntikan protein asing, antibodi spesifik diproduksi; ini bereaksi dengan antigen yang masih ada di dalam sirkulasi untuk membuat kompleks antigen-antibodi. Kompleks tersebut mengendap pada pembuluh darah di dalam berbagai komponen jaringan, yang memicu reaksi radang yang menyebabkan cedera/jejas.



Vaskulitis kutis



Neutrofil



Komplemen



Kompleks antigen antibodi



Inflamasi dan Jejas Jaringan Diperantarai Kompleks Imun



Agregasi trombosit



Vaskulitis Enzim lisosom neutrofil



Gambar 4-11 Penyakit Kompleks imun; Urutan fase pada induksi penyakit diperantarai kompleks imun (hipersensitivitas tipe III) sistemik.



Segera setelah kompleks diendapkan pada jaringan. akan terjadi fase ketiga (reaksi inflamasi). Selama fase ini sekitar 10 hari setelah pemberian antigen), gambaran klinis seperti demam, urtikaria, artalgia, pembesaran kelenjar getah bening dan protenuria terwujud. di manapun



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun kompleks imun mengendap, terjadilah dan oleh karena itu biasanya tidak berbahaya. Kompleks yang paling patogenik dibuat selama fase kelebihan antigen dan berukuran kecil atau menengah dan dibersihkan secara kurang efektif oleh fagosit sehingga beredar lebih lama. Di samping itu, muatan dari kompleks, valensi antigen, aviditas antibodi dan hemodinamika dari jaringan vaskular tertentu semua memengaruhi kecenderungan berkembang menjadi penyakit. Tempat-tempat yang mempermudah pengendapan adalah ginjal, sendi dan pembuluh darah kecil di berbagai jaringan. Lokalisasi pada ginjal dan sendi dijelaskan sebagian oleh tekanan hemodinamik tinggi terkait dengan fungsi filtrasi dari glomerulus dan sinovium. Agar supaya kompleks dapat keluar dari sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh diperlukan peningkatan permeabilitas vaskular. Ini mungkin dipicu oleh ikatan kompleks imun ke leukosit atau sel mast melalui reseptor Fc dan C3, yang merangsang pelepasan mediator dan peningkatan permeabilitas pembuluh. Kerusakan jaringan yang khas. Kompleks imun mengaktifkan sistem komplemen, diikuti oleh pelepasan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan bersifat kemotaksis untuk neutrofil dan monosit (Bab 2). Kompleks tersebut juga berikatan dengan reseptor Fc γ pada neutrofil dan monosit, dan mengaktifkan mereka. Fagositosis kompleks imun yang diupayakan oleh leukosit menghasilkan sekresi berbagai zat proinflamasi tambahan, termasuk prostaglandin, peptida vasodilator, dan zat kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencernakan membran basal, kolagen, elastin dan tulang rawan, serta spesies oksigen reaktif yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun dapat juga menyebabkan agregasi trombosit dan aktivasi faktor Hageman, yang keduanya menyebabkan pembentukan mikratrombus yang menyebabkan jejas jaringan karena iskemi lokal (Gambar 4-11). Lesi patologis yang dihasilkan disebut vaskulitis apabila terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis bila terjadi pada glomerulus ginjal, artritis bila terjadi pada sendi dan seterusnya. Dapat diperkirakan, kelas antibodi yang menyebabkan lesi semacam itu adalah antibodi yang memfiksasi komplemen (contoh IgG dan IgM) dan antibodi yang berikatan dengan reseptor Fc (IgG). Selama fase aktif dari penyakit, konsumsi komplemen dapat menyebabkan penurunan kadar komplemen. Peranan inflamasi yang bergantung kepada komplemen dan reseptor Fc dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh observasi bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental dan "knock-out" reseptor Fc pada mencit sangat mengurangi keparahan Iesi, seperti yang disebabkan pengurangan neutrofil.



MORFOLOGI Gambaran morfologik jejas kompleks imun didominasi oleh vaskulitis akut yang disertai nekrosis, mikrotrombi, dan nekrosis iskemik yang disertai inflamasi akut dari organ yang terjangkiti. Dinding pembuluh yang mengalami nekrosis menunjukkan gambaran suram eosinofilik yang disebut nekrosis fibrinoid, disebabkan oleh pengendapan protein (lihat Gambar 1-13, Bab I).



117



Kompleks imun dapat dilihat di dalam jaringan, biasanya pada dinding vaskular (contoh deposit semacam itu di ginjal pada lupus ditunjukkan pada Gambar 4-18, E). Setelah beberapa waktu, lesi cenderung mereda, terutama apabila mereka disebabkan oleh pemajanan tunggal terhadap antigen (contoh pada penyakit serum akut atau glomerulonefritis post streptokokus) (Bab 13). Walaupun demikian penyakit kompleks imun kronik berkembang bila terjadi anti genernia persisten atau pemajanan antigen berulang. Ini terjadi pada beberapa penyakit manusia, lupus eritematosus sistemik (SLE). Paling sering, walaupun perubahan morfologik yang terjadi dikaitkan dengan mekanisme penyakit imun, tetapi antigen penyebabnya tidak diketahui.



Penyakit Kompleks imun Setempat Model penyakit kompleks imun setempat adalah reaksi Arthus, yaitu timbulnya reaksi nekrosis jaringan disebabkan oleh vaskulitis akut sebagai akibat kompleks imun. Reaksi tersebut secara eksperimen dapat ditimbulkan dengan menyuntikkan antigen ke dalam kulit hewan yang sebelumnya diberikan imunisasi (contoh antibodi terhadap antigen telah berada dalam peredaran). Oleh karena kelebihan antibodi pada waktu awal, maka kompleks imun terjadi ketika antigen terdifusi ke dalam dinding vaskular; zat ini diendapkan pada tempat suntikan dan memicu reaksi inflamasi dan reaksi jaringan yang sama dengan penyakit kompleks imun yang sistemik. Reaksi Arthus berkembang setelah beberapa jam dan mencapai puncak 4 sampai 10 jam pasca suntikan, pada saat tempat suntikan mengalami edema, kadang-kadang disertai ulserasi.



RINGKASAN Potogenesis Penyakit yang Disebabkan Antibo di dan Kompleks Imun • Antibodi dapat melapisi (opsonisasi) sel, dengan atau tanpa protein komplemen, dan mengarahkan sel tersebut untuk difagositosis oleh makrofag, yang memaparkan reseptor untuk ekor Fc dari molekul IgG dan protein komplemen. Hasilnya adalah pemusnahan sel yang teropsoninasi. • Antibodi dan kompleks imun mungkin mengendap di dalam jaringan atau pembuluh, dan menimbulkan reaksi inflamasi akut, disertai pelepasan hasil pemecahan atau bergabung dengan reseptor Fc pada leukosit. Reaksi inflamasi menyebabkan jejas jaringan. • Antibodi dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel atau molekul esensial, dan menyebabkan kelainan fungsional (baik inhibisi atau aktivasi yang tidak teratur) tanpa jejas sel.



Hipersensitivitas Berdasarkan Reaksi Sel T (Hipersensitivitas Tipe IV) Beberapa kelainan autoimun, demikian juga reaksi patologis terhadap bahan kimiaun lingkungan dan mikroba yang bersifat menetap, sekarang diketahui disebabkan oleh reaksi sel T (Tabel 4-5). Terjadinya dan makna jejas jaringan yang diperantarai oleh Iimfosit T telah dikenal setelah perbaikan



118



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Table 4–5 Penyakit yang Diperantarai Sel T*



Penyakit



Spesifitas Sel T Patogenik



Mekanisme Pokok dari Jejas Jaringan



Manifestasi Klinikopatologis



Artritis reumatoid



Kolagen?; protein diri jenis citrullinated?



Artritis kronik dengan inflamasi, destruksi tulang rawan sendi dan tulang



Sklerosis multipel



Antigen protein pada mielin (contoh myelin basic protein)



Inflamasi yang diperantarai oleh sitokin THI7 (dan THI?); peranan antibodi dan kompleks imun? Inflamasi yang diperantarai oleh sitokin TH1 dan THI7, destruksi mielin oleh makrofag yang teraktifkan



Diabetes melitus tipe I



Antigen sel β pankreas (insulin, dekarboksilase asam glutamat, lainlain)



Inflamasi yang diperantarai sel T, destruksi sel pulau Langerhans oleh CTL



Insulitis (inflamasi kronik pulau Langerhans), destruksi sel β; diabetes



Tiroiditis Hashimoto Inflammatory bowel disease Autoimun miokarditis Sensitivitas kontak



Tiroglobulin, protein tiroid lain



Inflamasi, kematian sel epitel tiroid yang diperantarai CTL



Hipotiroidisme



Bakteri enterik; antigen diri?



Inflamasi yang diperantarai terutama oleh sitokin THI7



Inflamasi kronik intestinal, ulserasi, obstruksi



Protein rantai berat miosin



Sel miokardium yang dibunuh oleh CTL; inflamasi yang dimediasi oleh sitokin TH1



Cardiomyopathy



Berbagai zat kimiawi lingkungan (e.g. uroshiol dari racun tanaman-poison ivy poison oak)



Inflasi yang diperantarai oleh sitokin TH1 (dan TH17?)



Nekrosis epidermis, inflamasi kulit dengan bercak kemerahan kulit dan lepuh-lepuh



Demielinisasi pada SSP dengan inflamasi perivaskular; paralisis, lesi okular



* Contoh penyakit manusia yang diperantarai sel T diberikan dalam daftar. Pada banyak kasus, spesifisitas sel T dan mekanisme jejas jaringan dicantumkan berdasarkan kemiripan terhadap penyakit pada model binatang percobaan CNS, central nervous system (sistem saraf pusat); CTL, cytotoxic T lymphocyte (limfosit T sitotoksik).



metode mendeteksi dan memurnikan sel T dari sirkulasi dan lesi penyakit. Golongan penyakit ini sangat menarik perhatian klinis karena banyak dari terapi biologis yang dirancang untuk penyakit radang yang berdasarkan reaksi imun telah dikembangkan untuk melawan reaksi sel T yang abnormal. Dua jenis reaksi sel T yang dapat menyebabkan jejas jaringan dan penyakit: 1). radang yang disebabkan oleh sitokin, yang terutama diproduksi oleh sel T CD4+, dan 2). sitotoksisitas sel langsung, yang diperantarai oleh sel T CD8+ (Gambar 4-12). Dalam inflamasi, yang dicontohkan oleh hipersensitivitas lambat, sel T CD4+ dari subset TH1 dan TH17 mensekresikan sitokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan sel lain, terutama makrofag yang merupakan efektor utama pada jejas. Dalam sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ yang bersifat sitotoksik berperan dalam kerusakan jaringan.



Reaksi inflamasi yang Dipicu oleh Sel T CD4+ Urutan peristiwa dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel T dimulai dengan pemajanan pertama terhadap antigen dan pada dasarnya sama seperti reaksi imunitas seluler (Gambar 4-4). Limfosit T CD4+ yang naif mengenaI antigen peptida dari diri atau protein mikroba yang bergabung dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel dendrit (atau makrofag) yang memproses antigen. Apabila sel dendrit memproduksi IL-12 maka sel T yang naif berdiferensiasi menjadi sel efektor dari jenis TH1. Sitokin IFN-y yang dibuat sel NK dan sel TH1 sendiri, menunjang diferensiasi sel TH1 lebih lanjut dan membuat lingkaran umpan balik yang positif. Apabila APC memproduksi 11-1, IL-6 atau IL-23, yang seharusnya IL-12, maka sel CD4+ berdiferensiasi menjadi efektor TH17. Pemajanan kepada antigen selanjutnya sel efektor yang sudah terjadi ditarik ketempat pemajanan antigen dan diaktifkan terhadap antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 mensekresikan IFN-γ, yang merupakan sitokin paling kuat yang bersifat mengaktifkan makrofag. Makrofag yang teraktivasi



mempunyai aktivitas fagositik dan mikrosidal yang meningkat. Makrofag yang teraktivasi juga memaparkan molekul MHC kelas II dan kostimulator lebih banyak yang menunjang kapasitas penyajian antigen, mensekresikan IL-12 lebih banyak sehingga meningkatkan reaksi sel TH1. Pada aktivasi oleh antigen, sel TH17 mensekresikan IL-17 dan sitokin lain, yang mengatifkan neutrofil (dan monosit) yang menyebabkan inflamasi. Karena sitokin yang dihasilkan sel T rneningkatkan pemanggilan dan aktivitas leukosit maka reaksi radang menjadi kronik kecuali bila penyebabnya atau siklusnya diputus dengan pengobatan. Ternyata, inflamasi terjadi sebagai reaksi dini terhadap mikroba dan sel mati (Bab 2), tetapi sangat meningkat dan diperpanjang bila sel T terlibat. Hipersensitivitas lambat (DTH), yang diuraikan kemudian, adalah gambaran model inflamasi dan jejas jaringan yang diperantarai sel T. Reaksi yang sama menjadi dasar timbulnya beberapa penyakit. Dermatitis kontak adalah suatu contoh jejas jaringan yang dihasilkan oleh reaksi radang yang diperantarai sel T. Penyakit ini dipicu oleh kontak dengan pentadecylcatechoI (juga dikenal sebagai urushiol, bahan aktif dari racun ivy dan racun oak, yang mungkin menjadi antigenik karena bergabung dengan protein tuan rumah). Pada pemajanan kembali dari individu yang telah terpajan sebelumnya terhadap tanaman tersebut, sel T CD4+ menumpuk di dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen di dalam dermis. Di sini mereka melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, mencerai-beraikan mereka dan membentuk vesikel, dan inflamasi yang berwujud sebagai dermatitis vesikular. Telah lama dipikirkan bahwa beberapa penyakit sistemik, seperti diabetes tipe I dan sklerosis multipel, disebabkan oleh reaksi sel TH1 dan TH17 terhadap antigen diri, dan penyakit Crohn mungkin disebabkan reaksi tidak terkendali dari limfosit T yang sama terhadap antigen bakteri intestinal. Inflamasi yang diperantarai sel T memainkan peranan pada penolakan jaringan transplan, yang akan diuraikan kemudian pada bab ini.



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun 119 Inflamasi diperantarai sitokin Sel T CD4+



Sitokin



APC menyajikan antigen jaringan



Inflamasi



Jejas jaringan Jaringan normal



A



Sitolisis diperantarai sel T CTL CD8+ Pembunuhan sel dan jejas jaringan



B Gambar 4-12 Mekanisme reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T (tipe IV). A, Pada reaksi inflamasi diperantarai sitokin, reaksi sel T CD4+ terhadap antigen jaringan melalui sekresi sitokin yang merangsang inflamasi dan mengaktifkan fagosit, yang menyebabkan jejas jaringan. B, Pada sebagian penyakit, CTL CD8+ langsung membunuh sel jaringan. APC, antigen-presenting cell (sel penyaji antigen); CTLs, cytotoxic T lymphocytes (limfosit T sitotoksik).



Hipersensitivitas Lambat (HL) Hipersensitivitas lambat (HL) adalah reaksi yang diperantarai sel T yang berkembang sebagai reaksi terhadap tantangan antigen pada individu yang sebelumnya telah terangsang. Sebaliknya dengan hipersensitivitas, reaksi HL tertunda selama 12 jam sampai 48 jam, yang diperlukan untuk mendatangkan sel T efektor ketempat tantangan antigen dan diaktifkan serta mensekresikan sitokin. Contoh klasik dari HL adalah reaksi tuberkulin, yang dipicu oleh tantangan dengan ekstrak protein M. tuberculosis (tuberkulin) pada seseorang yang sebelumnya telah terpajan terhadap basil tuberkulosis. Antara 8 sampai 12 jam setelah suntikan tuberkulin Intra kutis, tampak suatu area eritema setempat dan indurasi, yang mencapai puncak (khasnya berdiameter 1 cm sampai 2 cm) dalam 24 jam sampai 72 jam, yang kemudian berangsur menurun. Pada pemeriksaan histologis, reaksi HL mempunyai ciri berupa penumpukan perivaskular "cuffing" sel T penolong CD4+ dan makrofag (Gambar 4-13). Sekresi sitokin setempat menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, yang menimbulkan edema kulit dan pengendapan fibrin yang merupakan mekanisme utama dari indurasi jaringan. Reaksi HL terutama dihasilkan oleh aktivasi sel TH1, sedangkan peranan seI TH17 tidak jelas. Reaksi tuberkulin digunakan untuk menapis orang-orang yang pernah terpajan oleh tuberkulosis, sehingga di dalam peredaran darahnya terdapat sel T memori yang bereaksi terhadap protein mikobakterium. Sebagai catatan, imunosupresi atau kehilangan sel T CD4+ (contoh sebagai akibat infeksi HIV) menyebabkan reaksi tuberkulin negatif bahkan pada infeksi yang parah. Reaksi HL yang berlangsung lama terhadap mikroba yang menetap atau stimulus lain dapat menyebabkan pola reaksi morfologik yang khusus



yang disebut inflamasi granulomatasa. Infiltrat perivaskular yang semula terdiri dari sel T CD4+ secara cepat diganti oleh makrofag dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Penumpukan makrofag ini secara khas memperlihatkan bukti morfologik dari aktivasi; yaitu mereka menjadi besar, datar, dan eosinofilik, dan disebut sel epiteloid. Sel epiteloid tersebut kadang-kadang berfusi karena pengaruh sitokin (contoh 1FN-γ) untuk membentuk sel datia berinti banyak. Agregat mikroskopik dari sel-sel epiteloid secara khas dikelilingi oleh kelim limfosit, disebut granuloma (Gambar 4-14, A). Proses tersebut adalah pada dasarnya sebagai bentuk inflamasi yang diperantarai sel T dan aktivasi makrofag (Gambar 4-14, B). Granuloma yang lebih lama membentuk kelim fibroblas dan jaringan ikat. Pengenalan granuloma penting untuk diagnostik karena jarang terjadi (Bab 2).



Sitotoksisitas yang Diperantarai Sel T Pada bentuk jejas jaringan yang diperantarai sel T, CTL CD8+ membunuh sel sasaran yang memaparkan antigen. Seperti yang dibahas lebih dahulu, molekul MHC kelas I berikatan dengan antigen peptida intrasel dan menyajikan peptida tersebut kepada limfosit T CD8+, merangsang diferensiasi sel T menjadi sel efektor yang disebut CTL. Sel-sel jenis CTL mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus dan beberapa jenis tumor. Mekanisme dasar dari daya bunuh CTL bergantung kepada sistem perforin-granzim. Perforin dan granzim disimpan di dalam granula dari CTL dan dilepaskan secara cepat ketika CTL bergabung dengan sel sasaran (sel yang mengandungi molekul MHC kelas 1 yang mengikat peptida yang tepat). Perforin berikatan



120



BAB4



Penyakit Sistem Imun



PENYAKIT AUTOIMUN Reaksi imun terhadap antigen diri (contoh autoimunitas) adalah penye-bab yang mendasari banyak penyakit pada manusia. Penyakit autoimun pada saat ini diperkirakan menjangkiti 2% sampai 5% penduduk di negara berkembang, dan angka kejadiannya tampak meningkat. Bukti bahwa penyakit ini benar diakibatkan oleh reaksi autoimun lebih bersifat memuaskan dalam menjelaskan beberapa penyakit tertentu. Sebagai contoh, pada banyak kelainan, banyak jenis autoantibodi dengan afinitas tinggi telah ditetapkan,



A



B



Gambar 4-13 Reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit. A, Akumulasi perivascular cuffing dari sel radang mononukleus (limfosit dari makrofag), dengan edema dermal terkait dan pengendapan fibrin. B, Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan sebukan sel perivaskular mencolok yang terwarnai positif dengan antibodi anti-CD4. (B, Sumbangan dari Dr. Louis Picker, Department of Pathology, Oregon Health & Science University, Portland, Oregon.)



A dengan membran plasma dari sel sasaran dan mendukung masuknya granzim, yang bersifat protease yang memecah secara spesifik dan mengaktifkan kaspase seluler. Enzim-enzim tersebut menginduksi kematian apoptotik dari sel sasaran (Bab 2). CTL memainkan peranan penting dalam reaksi penolakan transplantasi organ padat dan mungkin berperan pada banyak penyakit imunologi , seperti diabetes tipe 1 (di mana sel B pulau-pulau pankreas yang memproduksi insulin dirusak oleh reaksi autoimun sel T). Sel T CD8+ mungkin juga mensekresi IFN-γ dan membantu reaksi inflamasi yang diperantarai sitokin, tetapi tidak sekuat sel T CD4+,



Sel penyaji antigen



CD4+ Sel TH1 Sel epiteloid



IFN-γ



• Inflarnasi yang diperantarai sitokin: sel T CD4+ diaktifkan oleh pajanan terhadap antigen protein dan berdiferensiasi menjadi sel efektor TH1 dan TH17. Pajanan berikutnya terhadap antigen mengakibatkan sekresi sitokin. IFN-γ mengakibatkan makrofag untuk memproduksi zat-zat yang menyebabkan kerusakan jaringan dan menunjang reaski fibrosis, dan IL-17 serta sitokin lain yang dapat mendatangkan leukosit, sehingga mendukung reaksi inflamasi.



Dengan mekanisme dasar dari reaksi imun yang patologis sebagai latar belakang, sekarang kita melanjutkan pemikiran tentang dua kategori reaksi yang mempunyai kepentingan klinis yang besar: autoimunitas dan reaksi penolakan jaringan.



Sel datia



TNF



RINGKASAN Mekanisme Reaksi Hipersensitivas yang Diperantarai Sel T



• Sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T: CTL CD8+ yang spesifik terhadap antigen mengenal sel yang memaparkan antigen sasaran yang membunuh sel-sel tersebut. Sel T CD8+ juga mensekresi IFN-γ.



IL-12



Antigen



Monosit Fibroblas



B



Limfosit



Makrofag



Gambar 4-14 Inflamasi granulomatosa. A, Sayatan kelenjar getah bening menunjukkan beberapa granuloma, masing-masing tersusun oleh agregat sel epiteloid dan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma di pusat menunjukkan beberapa sel datia multinukleus. B, Beberapa kejadian yang menimbulkan pembentukan granuloma pada reaksi hipersensitivitas tipe IV. Perhatikan peranan sitokin yang berasal dari sel T. (A, Sumbangan dari Dr. Trace Warrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



Penyakit Autoimun Tabel 4–6 Penyakit Autoimun



Khas-Organ



Sistemik



Penyakit yang Diperantarai Antibodi Anemia hemolitik autoimun



Lupus eritematosus sistemik



Trombositopenia autoimun Gastritis atrofik autoimun dari anemia pernisiosa Miastenia gravis Penyakit Graves Sindrom Goodpasture



Penyakit yang Diperantarai Sel T* Diabetes melitus tipe I



Artritis neumatoid



Sklerosis multipel



Sklerosis sistemik (skleroderma)



Tiroiditis Hashimoto



Sindrom Sjogren



Penyakit Crohn



Penyakit yang Dipostulatkan sebagai Penyakit Berdasarkan Autoimun† Sirosis billier primer



Poliarteritis nodosa



Hepatitis (kronik aktif) autoimun



Miopati Inflamasi



* Peranan sel T telah dibuktikan pada kelainan-kelainan tersebut, tetapi antibodi juga terlibat pada jejas jaringan †Dasar autoimun untuk kelainan-kelainan ini diduga, tetapi bukti penunjangnya. tidak kuat.



dan pada beberapa kasus antibodi ini diketahui menyebabkan abnormalitas patologis (Tabel 4-6). Hal yang mirip, terkait kemajuan teknologi yang membuktikan adanya sel T reaktif terhadap diri yang bersifat patogen telah ditetapkan pada beberapa penyakit tersebut. Lagi pula, bukti eksperimental juga mendukung proses penyakit dengan reaksi autoimun sebagai faktor penyebab. Walaupun demikian, secara jujur banyak penyakit yang lazimnya digolongkan penyakit autoimun, baru diduga tetapi tidak dibuktikan. Penyakit autoimun yang diduga berkisar dari penyakit yang dikaitkan dengan reaksi imun terhadap satu organ tertentu atau jenis sel tertentu dan menyebabkan kerusakan jaringan setempat, sampai penyakit sistemik ganda yang ditandai oleh lesi pada berbagai organ dan berhubungan dengan auto-antibodi ganda atau reaksi yang diperantarai sel T terhadap banyak antigen diri. Pada banyak penyakit sistemik yang disebabkan kompleks imun dan auto antibodi, Iesi menjangkiti terutama jaringan ikat dan pembuluh darah dari berbagai organ yang terjangkiti. Oleh karena itu, penyakit tersebut sering disebut sebagai penyakit "vaskular kolagen" atau "jaringan ikat", walaupun reaksi imunologi tidak secara khusus ditujukan terhadap unsur jaringan ikat atau pembuluh darah. Individu normal tidak bereaksi (toleran) terhadap antigen diri (self) sendiri, dan autoimunitas dihasilkan oleh kegagalan toleransi diri. Oleh karena itu, pengertian patogenesis autoimunitas memerlukan kelaziman tentang mekanisme toleransi imunologi yang normal.



Toleransi Imunologi Toleransi imunologi adalah ketidaktnampuan bereaksi terhadap antigen itu yang diinduksi oleh pemajanan limfosit yang spesifik terhadap antigen. Toleransi-diri merupakan kekurangan reaksi imun terhadap antigen jaringan yang berasal dari dirinya sendiri.



121



Beribu juta reseptor antigen yang berbeda dibuat secara acak dalam perkembangan limfosit T dan B. dan tidak mengherankan bahwa selama proses ini, reseptor dibuat yang dapat mengenal antigen diri. Oleh karena antigen ini tidak semuanya dapat dilindungi dari sistem imun, maka harus ada cara menyingkirkan atau mengatur limfosit yang bereaksi terhadap diri. Beberapa mekanisme bekerja bersama untuk memilih reaksi terhadap diri, dan mencegah reaksi imun terhadap antigen yang berasal dari tubuh sendiri. Mekanisme ini secara luas dibagi dalam dua golongan: toleransi sentral dan toleransi perifer (Gambar 4-15). Toleransi sentral. Mekanisme toleransi sentral adalah penyingkiran (kematian) yang diinduksi oleh antigen dari limfosit T dan B yang reaktif terhadap diri selama pematangan di dalam organ limfoid sentral (generatif) (contoh di dalam timus untuk sel T dan di dalam sumsum tulang untuk sel B). Di dalam timus, banyak antigen protein yang autolog (diri) diproses dan disajikan oleh APC timus yang berkaitan dengan MHC diri. Sel T yang belum matang yang mengenal antigen diri semacam itu rnengalamai apoptosis (suatu proses yang disebut delesi atau seleksi negatif), dan sel T yang melengkapi kematangannya akan dikurangi dari sel yang reaktif terhadap diri (Gambar 4-15). Kemajuan yang menarik adalah ditetapkannya faktor transkripsi sementara yang menginduksi pemaparan antigen jaringan perifer di dalam timus. Oleh karena itu timus berlaku sebagai sebuah cermin imunologi dari antigen diri. Salah satu faktor itu disebut regulator autoimun/ autoimmune regulator (AIRE). Mutasi gen AIRE berperan pada sindrom autoimun poliendokrin yang mehebatkan sel T yang khas bereaksi terhadap antigen diri ganda yang menghindari delesi (mungkin karena antigen diri tidak terpapar di dalam timus), dan menyerang jaringan yang memaparkan antigen diri. Sebagian sel T yang mengenal antigen diri di dalam timus tidak punah tetapi berdiferensiasi menjadi sel T regulator, akan diuraikan kemudian. Sel B yang belum matang yang mengenal antigen diri dengan afinitas tinggi di dalam sumsum tulang juga disingkirkan tetapi mungkin juga mengalami kematian melalui apoptosis. Sebagian sel B yang reaktif terhadap diri mungkin tidak disingkirkan tetapi mungkin mengalami pengaturan kembali gen reseptor tahap kedua dan kemudian memaparkan reseptor baru yang tidak bersifat reaktif terhadap diri lagi (suatu proses yang disebut "penyuntingan reseptor"/ receptor editing). Sayang sekali, proses penyingkiran limfosit yang reaktif diri tidak sempurna. Banyak antigen diri mungkin tidak ada di dalam timus, sehingga sel T yang menyandang reseptor untuk autoantigen tersebut dapat melepaskan diri ke daerah perifer. Terdapat "ketergelinciran" (slippage) yang mirip juga pada sistem sel B dan sel B yang menyandang reseptor untuk berbagai antigen diri, termasuk tiroglobulin, kolagen, dan DNA, dapat dijumpai pada orang sebat. Toleransi perifer. Sel T yang reaktif terhadap diri yang lolos dari seleksi negatif di dalam timus berpotensi dapat membahayakan, kecuali mereka disingkirkan atau musnah secara efektif. Beberapa mekanisme pada jaringan perifer yang tidak menunjukkan kelainan dijumpai sel T yang berpotensi autoreaktif (Gambar 4-15): • Anergi. Istilah ini menunjukkan inaktivasi fungsional (bukan kematian) dari limfosit yang berkontak dengan antigen dalam kondisi tertentu. Seperti diuraikan sebelumnya, aktivasi sel T memerlukan dua isyarat: pengenalan antigen peptida terkait dengan molekul MHC diri pada APC, dan satu perangkat isyarat kedua yang bersifat kostimulator (contoh melalui molekul B7)



122



BAB4



Penyakit Sistem Imun



TOLERANSI SENTRAL



Sel T



APC menyajikan antigen



Sel B



T



B



Delesi T Timus



Penyuntingan reseptor



Perkembangan sel



Treg



Delesi



B



T regulator



Sumsum tulang



TOLERANSI PERIFER



T T



Anergi (gagal bereaksi)



Treg



T Supresi oleh Treg



APC menyajikan antigen diri



B



B



Anergi (gagal bereaksi)



Delesi



Gambar 4-15 Toleransi-diri imunologi; Mekanisme dasar toleransi-diri tipe sentral dan perifer dari sel T dan B.



yang diberikan oleh APC. Apabila isyarat kedua yang bersifat kostimulator tidak dikirimkan, atau apabila reseptor penghambat (bukan reseptor kostimulator) pada sel T terlibat pada saat kontak dengan antigen diri, sel T menjadi anergik dan tidak dapat bereaksi terhadap antigen (Gambar 4-15). Karena molekul kostimulator tidak terpapar secara kuat pada sebagian besar jaringan normal, kontak antara sel T autoreaktif dan antigen diri pada jaringan mungkin menyebabkan anergi. Sel B dapat juga menjadi anergik apabila mereka berkontak dengan antigen tidak disertai adanya sel T penolong yang spesifik. • Penekanan oleh sel T reguIator: Reaksi limfosit T terhadap antigen diri dapat ditekan secara aktif oleh sel T regulator. Populasi utama dari sel T regulator memaparkan CD25, salah satu rantai dari reseptor untuk IL-2 dan memerlukan IL-2 untuk perkembangan dan ketahanan hidupnya. Sel-sel ini juga memaparkan faktor transkripsi unik yang disebut FOXP3. Protein ini perlu untuk perkembangan sel regulator, mutasi gen FOXP3 menyebabkan penyakit autoimun sistemik yang disebut IPEX (immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked syndrome), yang berhubungan dengan defisiensi seI T regulator. Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana sel T regulator mengendalikan reaksi imun, termasuk sekresi sitokin imunosupresif [contoh IL-10, TGF (transforming growth factor-β)], yang dapat menghambat berbagai reaksi sel T dan hambatan kompetitif molekul B7 pada APC. • Kematian sel yang dipicu aktivasi: Mekanisme lain dari toleransi perifer melibatkan apoptosis dari limfosit yang matang sebagai akibat dari pengenalan antigen diri. Suatu mekanisme apoptosis melibatkan reseptor kematian Fas (suatu anggota dari keluarga reseptor TNF), yang dapat diaktifkan oleh ligand terkait yang



dipaparkan pada sel yang sama atau sel di sekitarnya. Jalur yang sama penting untuk pemusnahan sel B yang reaktif terhadap antigen diri oleh ligand Fas yang terpapar pada sel T. Pentingnya jalur ini dalam toleransi diri digambarkan oleh penemuan mutasi gen FAS yang menyebabkan penyakit autoimun yang disebut autoimmune lymphoprolipherative syndrome (ALPS), yang ditandai oleh limfadenopati dan auto antibodi ganda termasuk anti DNA. Cacat dalam Fas dan ligand Fas juga merupakan penyebab penyakit autoimun yang mirip pada mencit. Jalur mitokondrial dari apoptosis, yang tidak bergantung kepada reseptor kematian, mungkin juga berperan pada penyingkiran limfosit yang reaktif terhadap antigen diri.



Mekanisme dari Autoimunitas Melanjutkan uraian ringkasan tentang mekanisme dasar dari toleransi diri, kita dapat bertanya bagaimana mekanisme tersebut bisa tidak berlaku dan menimbulkan auto imunitas patologis. Sayang sekali, tidak terdapat jawaban sederhana untuk pertanyaan ini, dan penyebab yang mendasari sebagian besar penyakit autoimun pada manusia masih harus ditentukan. Seperti disebutkan sebelumnya, mutasi tertentu dapat berpengaruh negatif terhadap satu jalur atau jalur lain dari toleransi diri dan mengakibatkan autoimunitas patologis. Penelitian tentang mutasi gen tunggal sangat informatif, dan penelitian semacam itu membantu mengukuhkan makna biologis dari berbagai jalur dari toleransi diri. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi semacam itu sebenarnya jarang, dan sebagian besar penyakit autoimun tidak dapat dijelaskan oleh cacat gen tunggal.



Penyakit Autoimun Dapat diyakini bahwa toleransi diri yang tidak berlaku dan perkembangan autoimunitas merupakan akibat dari gabungan penurunan gen-gen kepekaan penyakit, yang memengaruhi toleransi limfosit, dan faktor lingkungan, seperti infeksi atau jejas jaringan, yang mengubah pemaparan antigen diri (Gambar 4-16). Faktor-faktor Genetik pada Autoimunitas Banyak bukti tentang gen kepekaan penyakit yang memainkan peranan penting pada perkembangan penyakit autoimun. • Penyakit autoimun mempunyai kecenderungan berjangkit di antara keluarga, dan angka kejadian penyakit yang sama lebih tinggi pada kembar monozigot dibandingkan pada kembar dizigot. • Beberapa penyakit autoimun terkait dengan lokus HLA, terutama alel kelas II (HLA- DR, -DQ). Frekuensi suatu penyakit pada seorang individu dengan alel HLA tertentu, dibandingkan dengan frekuensi pada kelompok yang tidak mempunyai alel tersebut, disebut odds ratio atau relative risk (Tabel 4-7). Risiko relatif berkisar dari 3 atau 4 untuk artritis reumatoid dan HLA-DR, 4 sampai 100 atau lebih untuk ankylosing spondylitis dan HLA-B27. Walaupun demikian, bagaimana gen MHC memengaruhi perkembangan penyakit autoimun masih belum jelas, terutama karena molekul MHC tidak berbeda untuk antigen peptida yang khas diri dan yang asing. Perlu dicatat juga bahwa sebagian besar individu dengan alel MHC yang peka penyakit tidak pemah mengalami suatu penyakit apa pun, dan sebaliknya, individu tanpa alel MHC yang relevan dapat mengalami penyakit. Oleh karena itu, pemaparan gen HLA hanya merupakan salah satu variabel yang menimbulkan autoimunitas. • Penelitian hubungan genom secara luas (genomewide association studies) dan penelitian keterikatan gen (linkage studies) di dalam keluarga dapat mengungkapkan banyak polimorfisme genetik yang berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun (Tabel 4-8). Beberapa dari polimorfisme ini tampaknya berhubungan dengan beberapa penyakit, memberi kesan bahwa gen-gen yang terlibat memengaruhi mekanisme umum dari toleransi diri dan regulasi imunologi. Yang lain bersifat khas penyakit dan mungkin memengaruhi sensitivitas organ akhir atau memaparkan antigen diri tertentu. Banyak yang tertarik untuk mengungkapkan peranan gengen ini pada autoimunitas, dan banyak hipotesis terkait yang diusulkan (Tabel 4-8), tetapi peranan yang pasti dari gen-gen ini pada perkembangan penyakit autoimun tertentu belum dapat dikukuhkan.



Kerentanan genetik



123



Infeksi, kerusakan jaringan Infeksi, Inflamasi



Gen kerentanan



Jaringan



Kegagalan toleransidiri



Aktivasi APC jaringan



Influks limfosit reaktif-diri ke dalam jaringan Limfosit reaktif-diri



Aktivasi limfosit reaktifdiri



Jejas jaringan: penyakit autoimun



Gambar 4-16 Patogenesis autoimunitas. Autoimunitas timbul dari pewarisan gen kerentanan yang mempengaruhi toleransi diri, dalam hubungan dengan pemicu lingkungan (infeksi, jejas jaringan, inflmasi) yang mengubah paparan antigen diri, mendukung pemasukan limfosit ke dalam jaringan, dan meningkatkan aktivasi limfosit yang reaktif terhadap diri.



Peran pada infeksi dan cedera jaringan Peranan infeksi dan Jejas Jaringan Berbagai mikroba, termasuk bakteri, mikoplasma dan virus, telah dianggap sebagai pemicu autoimunitas. Mikroba dapat menimbulkan reaksi autoimun melalui beberapa mekanisme:



Tabel 4–7 Hubungan Alel Human Leukocyte Antigen (HLA) dengan penyakit Autoimun



Penyakit



Alel HLA



Artritis reumatoid (anti-CCP Ab-positif)† Diabetes tipe I



DRB1



Ratio Odds*



Haplotip DRB1*0301-DQA1*0501-DQB1*0201 Haplotip DRB1*0401-DQA1*0301-DQB1*0302 Haplotip heterozigot DRB1*0301/0401



4 8 35



Sklerosis multipel



DRB1*1501



3



Lupus eritematosus sistemik



DRB1*0301 DRB1*1501



2 1,3



Ankylosing spondylitis



B*27 (terutama B*2705 dan B*2702)



Penyakit seliak



Haplotip DQA1*0501-DQB1*0201



4–12



100–200 7



* Ratio Odds (juga disebut risiko relatif) adalah nilai pendekatan dari peningkatan risiko penyakit yang berhubungan dengan pewarisan alel HLA tertentu. Data diambil dari populasi yang berasal dari Eropa. †Ab anti-CCP, adalah antibodi terhadap cyclic citrullnated peptides. Data berasal dari penderita yang menunjukkan reaksi antibodi positif di dalam serum. Tabel sumbangan dari Dr. Michelle Fernando, Imperial College London.



124



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Tabel 4–8 Gen-Gen Non-Human Leukocyte Antigen (HLA) Terpilih yang Berhubungan dengan Penyakit Autoimun



Gen yang Diperkirakan Terlibat*



Penyakit



Fungsi yang Dipostulatkan dari Protein yang Disandi dan Peranan Mutasi/ Polimorfisme pada Penyakit



Gen yang Terlibat pada Regulasi Imun PTPN22



RA, T1D, IBD



Protein tirosin fosfatase, mungkin memengaruhi pengiriman isyarat pada limfosit dan mungkin mengubah seleksi negatif atau aktivasi sel T yang reaktif terhadap antigen-diri



IL23R



IBD, PS, AS



CTLA4



T1D, RA



Reseptor untuk sitokin IL-23 yang menginduksi THI7; mungkin mengubah diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel efektor THI7 yang patogen Menghambat reaksi sel T melalui terminasi aktivasi dan mendukung aktivitas sel T regulator; mungkin memengaruhi toleransi-diri



IL2RA



MS, T1D



Rantai α dari reseptor untuk IL-2, yang merupakan faktor pertumbuhan dan faktor ketahanan hidup untuk sel T yang teraktifkan dan bersifat regulator; mungkin memengaruhi perkembangan sel efektor dan/atau regulasi



Gen yang Terlibat pada Reaksi Imun terhadap Mikroba NOD2



IBD



Sensor sitoplasmik dari dari bakteri terpapar pada sel Paneth dan sel epitel intestinal lain; mungkin mengelola resistensi terhadap bakteri komensal usus



ATG16



IBD



IRF5, IFIH1



SLE



Terlibat pada autofagi; mungkin berperan pada pertahanan terhadap mikroba dan pemeliharaan fungsi barrier epitel Peranan pada produksi IFN tipe I, terlibat pada patogenesis SLE (lihat naskah)



* Kemungkinan keterkaitan gen-gen tersebut dengan berbagai penyakit autoimun telah ditetapkan dengan genome-wide association studies (GWAS) dan cara-cara lain untuk mempelajari polimorfisme yang berhubungan dengan penyakit. Diambil dari Zenewicz L, Abraham C, Flavell RA, Cho J; Unraveling the genetics of autoimmunity. Cell 140;791, 2010. AS, ankylosing spondylitis, IBD, inflammatory bawel disease; IFN, interferon; Ms, multiple sclerosis; PS. psoriasis; RA, rheumatoid arthritis; SLE, systemic lupus erythematosus; TID, type I diabetes.



• Virus dan mikroba lain dapat berbagi epitop yang bereaksi silang dengan antigen diri, sedemikian rupa sehingga reaksi dapat ditimbulkan oleh mikroba tersebut tetapi dapat menyerang jaringan diri. Fenomena ini dikenal sebagai kemiripan molekuler (malecular mimicry). Hal itu merupakan kemungkinan penyebab beberapa penyakit, contoh paling baik adalah penyakit jantung reuma, yang terkait dengan reaksi imun terhadap antigen streptokokus yang bereaksi silang dengan antigen otot jantung. Tidak diketahui apakah ada lagi mimikri yang jelas memainkan peranan pada penyakit autoimun lain. • Infeksi mikroba dengan akibat nekrosis jaringan dan inflamasi dapat menyebabkan peningkatan reaksi motekul kostimulator pada APC pada jaringan, sehingga anergi sel T tidak berlangsung dan disertai aktivasi sel T. Masih dipikirkan ada mekanisme yang mungkin dapat menerangkan bagaimana bahan infektif dapat berperan pada patogenesis autoimunitas. Walaupun demikian, pada saat ini belum ada bukti yang jelas tentang peranan suatu mikroba sebagai penyebab penyakit autoimun pada manusia. Di samping kerumitan tersebut, akhir-akhir ini diduga (terutama berdasarkan data epidemiologik) bahwa infeksi mungkin bahkan secara paradoks melindungi individu yang terinfeksi dari beberapa jenis penyakit autoimun, yaitu diabetes tipe I dan sklerosis multipel. Mekanisme yang mungkin mendasari pengaruh tersebut belum dimengerti. Pemaparan antigen jaringan dapat diubah oleh berbagai rangsangan lingkungan, tidak hanya infeksi. Seperti dibahas kemudian, penyinaran ultraviolet (UV) menyebabkan kematian sel dan dapat diikuti pemajanan antigen nukleus, yang menimbulkan reaksi imun patologis pada lupus; mekanisme ini diusulkan sebagai penjelasan tentang hubungan ruam lupus dengan pajanan sinar matahari. Merokok merupakan faktor risiko untuk artritis reumatoid, mungkin karena menyebabkan modifikasi kimiawi dari antigen diri. Jejas jaringan setempat dapat disertai pelepasan antigen diri dan reaksi autoimun. Akhirnya, terdapat ketidakserasian (bias) antar keIamin pada autoimunitas, yaitu penyakit ini lebih sering pada wanita daripada pria. Mekanisme yang mendasari masih belum dimengerti,



dan mungkin termasuk pengaruh hormon dan faktor lain. Reaksi autoimun justru dapat memicu serangan autoimun lebih Ianjut. Jejas jaringan yang disebabkan reaksi autoimun atau suatu sebab lain dapat diikuti pemajanan epitop antigen diri yang semula terselubung tetapi sekarang terpapar kepada sel T dalam bentuk yang imunogenik. Aktivasi sel T yang autoreaktif tersebut disebut "penyebaran epitop' (epitope spreading), karena reaksi imun menyebar ke epitop yang semula tidak dikenal. lni adalah salah satu mekanisme yang menyebabkan penyakit autoimun menjadi kronik.



RINGKASAN Toferansi Imunologi dan Autoimunitas • Toleransi (sifat tidak bereaksi) terhadap antigen diri merupakan perangai dasar dari sistem imun, dan kehilangan toleransi adalah dasar dari penyakit autoimun. • Toleransi sentral: Limfosit yang belum matang yang mengenal antigen diri pada organ limfoid sentral (generatif) dimusnahkan oleh apoptosis; pada jalur sel B sebagian limfosit yang reaktif terhadap diri berganti reseptor antigen dengan yang baru yang tidak reaktif terhadap diri. • Toleransi perifer: Limfosit yang matang yang mengenal antigen diri menjadi tidak aktif secara fungsional (anergi), atau ditekan oleh sel T regulator, atau mengalami kematian apoptosis. • Faktor-faktor yang menimbulkan kegagalan toleransi-diri dan perkembangan automunitas mencakup (1) penurunan gen kepekaan penyakit yang dapat mematahkan jalur toleransi yang berbeda dan (2) infeksi dan perubahan jaringan yang dapat memajankan antigen diri dan mengaktifkan APC dan limfosit di dalam jaringan.



Penyakit Autoimun Satu mekanisme yang menyebabkan penyakit autoimun menjadi kronik Setelah membahas prinsip umum dari toleransi dan autoimunitas, kita melanjutkan pembahasan sebagian dari penyakit autoimun yang paling sering dan penting. Walaupun tiap penyakit dibahas terpisah, tumpang tindih jelas dijumpai tentang perangai klinis serologik dan morfologik. Hanya penyakit autoimun yang sistemik yang dibahas dalam bab ini; penyakit autoimun yang menjangkiti sistem organ tunggal lebih tepat dibahas di dalam bab yang terkait dengan organ yang relevan.



125



Angka kejadian dan prevalensi SLE diperkirakan bervariasi di antara kelompok ras dan suku bangsa; beberapa penelitian memperkirakan prevalensi setinggi 0,2% pada kelompok tertentu. Seperti terdapat pada banyak penyakit autoimun, penyakit ini jauh lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pada pria (kira-kira 9:1), dan menjangkiti 1 di antara 700 wanita usia reproduksi. SLE lebih sering dan parah pada penduduk Amerika berkulit hitam, menjangkiti 1 di antara 245 wanita di kelompok tersebut. Permulaan penyakit biasanya terjadi pada dekade kedua atau ketiga dari kehidupan, tetapi mungkin terwujud pada setiap usia termasuk masa dini kanak-kanak.



PATOGENESIS



Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik/systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi khas dan perilaku klinis bervariasi. Secara klinis, tidak dapat diramalkan, penyakit yang mereda dan kambuh dengan permulaan akut atau berangsur-angsur yang dapat menjangkiti hampir semua organ di badan; walaupun demikian, penyakit tersebut terutama mengenai kulit, ginjal, membran serosum, sendi dan jantung. Secara imunologi, penyakit ini berhubungan dengan berbagai macam autoantibodi, termasuk yang klasik adalah antibodi antinukleus (an tinudear antibody/AN A). Presentasi klinis SLE sangat bervariasi, banyak tumpang tindih dengan penyakit autoimun lain (RA, polimiositis dan lain-lain); sehingga perlu dikembangkan kriteria diagnostik SLE (Tabel 4-9). Diagnosis ditegakkan dengan memenuhi empat atau lebih kriteria selama masa observasi.



Cacat dasar pada SLE adalah kegagalan untuk mempertahankan toleransi-diri, yang menyebabkan produksi autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan baik secara langsung maupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Seperti terjadi pada penyakit autoimun lain, patogenesis SLE merupakan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan. Penelitian-penelitian mutakhir menghasilkan mekanisme yang menarik tentang patogenesis dari penyakit yang rumit ini (Gambar 4-17). Faktor-faktor genetik. Banyak bukti dari berbagai yang mendukung predisposisi genetik terjadinya SLE.



aspek



• Hubungan kekeluargaan. Anggota keluarga mempunyai risiko lebih tinggi untuk perkembangan SLE, dan sampai 20% dari saudara sepupu tingkat pertama yang tidak terjangkiti mungkin mempunyai autoantibodi. Terdapat kepekaan tinggi di antara



Tabel 4–9 Kriteria untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik yang telah Direvisi 1997*



Kriteria 1. Ruam Malar 2. Ruam discoid 3. Fotosensitivitas



Definisi Eritema menetap, datar atau menonjol, di atas eminesi malar, yang cenderung menjauhi lipatan nasolabial Bercak eritema yang menonjol dengan kelainan semacam sisik keratotik yang adheren dan sumbatan folikel; jaringan parut yang atrofik mungkin terjadi pada lesi yang lebih lama Ruam kemerahan yang terjadi sebagai reaksi yang tidak lazim terhadap cahaya matahari, dilaporkan pada riwayat penderita atau observasi dokter



4. Ulkus oral



Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, ditemukan oleh dokter



5. Artritis



Artritis nonerosif yang menjangkiti dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, sembap, atau efusi



6. Serositis



Pleuritis -- riwayat yang meyakinkan dari nyeri radang pleura atau krepitasi (rub) yang didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura atau Perikarditis -- terekam dengan elektrokardiogram atau krepitasi (rub) atau bukti efusi perikardium



7. Kelainan ginjal



Proteinuria yang menetap > 0,5 g/dL atau > 3+ bila kuantitasi tidak dilakukan atau Cast seluler -- mungkin sel darah merah, hemogoblin, granuler, tubuler atau campuran



8. Kelainan neurologik



Kejang-kejang -- tanpa penyebab obat atau kelainan metabolit yang diketahui, (contoh uremi, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis -- tanpa pengaruh obat atau kelainan metabolit yang diketahui (contoh uremik, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)



9. Kelainan hematologik



Anemia hemolitik -- dengan retikulosis atau Leukopenia -- < 4,0 x 109/L (4000/mm3) total pada dua atau lebih kesempatan atau Limfopenia -- < 1,5 x 109/L (1500/mm3) pada dua atau lebih kesempatan atau Trombositopenia -- < 100 x 109/L (100 x 103/mm3) tanpa pengaruh obat



10. Kelainan imunologi



Antibodi Anti-DNA adalah antibodi terhadap DNA natif pada titer abnormal atau Anti Sm -- adanya antibodi terhadap antigen nukleus Sm atau Penemuan antibodi antifosfolipid positif berdasarkan (1) antibodi antikardiolipin jenis IgG atau IgM dengan kadar abnormal di dalam serum, (2) uji untuk antikoagulan lupus yang positif menggunakan uji baku, atau (3) uji serologik positif palsu untuk sifilis yang diketahui positif selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh hasil negatif dari uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji absorpsi antibodi treponema dengan teknik fluoresensi



11. Antibodi antinukleus



Titer antibodi antinukleus yang abnormal secara imunofluoresensi atau pemeriksaan yang setara pada saat apa pun dan tanpa penggunaan obat yang diketahui berhubungan dengan sindrom lupus yang diinduksi obat



* Klasifikasi yang diusulkan berdasarkan 11 Kriteria. Untuk identifikasi penderita pada uji klinis, seseorang dikatakan menderita systemic lupus erythematosus jika terdapat 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun simultan, selama suatu masa observasi. Dari Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al: The revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 25: 1271, 1982; and Hochberg MC; Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 40; 1725, 1997.



126



BAB4



Penyakit Sistem Imun



GEN KERENTANAN



PEMICU EKSTERNA (contoh sinar UV)



Faktor-faktor lingkungan. Terdapat banyak petunjuk bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada patogenesis SLE.



Apoptosis



Cacat pembersihan jisim-jisim apoptotik T



B



Sel B dan T khas untuk antigen inti



Endositosis kompleks antigenantibodi dan TLR berhubungan dengan antigen inti



Peningkatan beban antigen inti



Antibodi anti-nuklear, kompleks antigenantibodi Sel B



Sel Dendrit



Stimulasi TLR terhadap sel B dan DC Stimulasi sel B dan T oleh IFN



Interferon tipe 1



• Sinar ultraviolet (UV), pajanan sinar matahari, menyebabkan munculnya lesi SLE. Landasan mekanisme dari pengaruh ini adalah sinar UV yang menyebabkan apoptosis sel tuan rumah, yang mengakibatkan peningkatan beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi terhadap produk dari sel yang mati. • Mengisap sigaret telah ditunjukkan berhubungan dengan perkembangan SLE. Walaupun mekanismenya belum diketahui, mengisap tembakau dapat memodulasi produksi auto antibodi. • Hormon seks diduga memberikan pengaruh penting terhadap perkembangan penyakit, karena SLE 10 kali lebih sering pada wanita selama masa reproduksi daripada pria pada usia yang sama, tetapi hanya 2 sampai 3 kali lebih sering pada wanita selama masa kanak-kanak atau setelah usia 65 tahun. Walaupun demikian, penggunaan obat kontrasepsi oral yang mengandungi estrogen dan progesteron dosis tinggi tidak memengaruhi frekuensi atau keparahan ruam penyakit, yang menggambarkan bahwa faktor selain hormon yang mungkin menentukan peningkatan risiko penyakit pada wanita. • Obat-obatan seperti prokainamid dan hidralazin dapat menyebabkan penyakit mirip SLE, walaupun biasanya tidak menyebabkan glomerulonefritis. Obat-obat ini menyebabkan demetilasi DNA, yang dapat memengaruhi pemaparan berbagai gen yang terlibat pada perkembangan autoimunitas, atau kemampuan DNA mengaktifkan sel tuan rumah. Abnormalitas Imunologi pada SLE. Penelitian telah mengungkapkan beberapa unsur sistem imun bawaan dan adaptif pada patogenesis SLE.



Produksi menetap antibodi IgG anti-nuklear derajat tinggi



Gambar 4-17 Model patogenesis lupus eritematosus sistemik. Kerentanan genetik dan pajanan menyebabkan toleransi diri dan menetapnya antigen inti. Antibodi berperan untuk internalisasi unsur inti, yang melibatkan TLR dan merangsang reaksi sel B dan T terhadap antigen inti. IFN, interferon; IgG, immunoglobulin G; MHC, major histocompatibility complex; TLRs, Tolllike receptors; UV, ultraviolet



kembar monozigot (25%) dibandingkan dengan kembar dizigot (1% sampai 3%). • Hubungan dengan HLA. Nilai risiko relative (odds ratio) dari individu dengan HLA -DR2 atau HLA-DR3 adalah 2 sampai 5, dan apabila kedua haplotipe ada, nilai risiko adalah • Gen-gen lain. Defisiensi genetik protein komplemen dari jalur klasik, terutama Clq, C2 atau C4, ditemukan pada sekitar 10% penderita SLE. Defisiensi komplemen dapat menyebabkan cacat dari daya penyingkiran kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis, serta kegagalan toleransi sel B. Polimorfisme reseptor Fc penghambat, FcγR1lb, telah ditemukan pada beberapa penderita; hal ini berperan menurunkan pengendalian aktivasi sel B. Banyak gen lain ditemukan association), pada tetapi penelitian peranan asosiasi genom masing-masing yang luas gen (genome tersebut belum pasti dan pengaruhnya pada perkembangan penyakit masih belum jelas.



• Interferon tipe I. Sel-sel darah menunjukkan jejak molekuler yang kuat yang menyertai pemajanan terhadap interferon-α (IFN-α), interferon tipe I yang dihasilkan terutama oleh sel dendrit plasmasitoid. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel semacam itu pada penderita SLE juga menghasilkan IFN-α dalam jumlah yang sangat besar. • Isyarat TLR. Penelitian pada model binatang telah menunjukkan bahwa TLR yang mengenal DNA dan RNA, khususnya TLR9 yang mengenal DNA dan TLR7 yang mengenal RNA, menghasilkan isyarat yang mengaktifkan sel B yang khas untuk antigen diri jenis inti sel. • Kegagalan toleransi sel B. Penelitian terhadap sel B yang berasal dari penderita SLE mengesankan adanya cacat baik toleransi sentral maupun perifer, yang menghasilkan frekuensi sel B autoreaktif yang lebih tinggi daripada orang sehat. Berdasarkan kenyataan ini, suatu model patogenesis SLE diusulkan (Gambar 4-17). Menurut model ini, sinar UV dan rangsangan lingkungan lain menyebabkan apoptosis sel. Pembersihan sisa inti sel yang tidak adekuat, sebagian karena cacat mekanisme pembersihan seperti peranan protein dan reseptor, menghasilkan penumpukan antigen inti sel. Polimorfisme pada berbagai gen, yang merupakan gen kepekaan penyakit lupus, menyebabkan cacat kemampuan mempertahankan toleransi diri pada limfosit B dan T, sehingga limfosit yang reaktif diri tetap berfungsi. Sel B yang reaktif diri dirangsang oleh antigen diri jenis inti sel, dan antibodi diproduksi terhadap antigen inti sel. Kompleks antara antigen dan antibodi berikatan dengan reseptor Fc pada sel sel B dan sel dendrit dan



Penyakit Autoimun



sekitar 5% sampai 15% orang sehat, dan juga terjadi pada usia lebih lanjut. Akhir-akhir ini IF pada berbagai laboratorium klinis diganti dengan teknik multiplex flowcytometry assay yang sekaligus mendeteksi beberapa jenis autoantibodi, tetapi tidak memiliki sensitifitas seperti 1F. Antibodi terhadap DNA untai ganda dan antigen Smith (Sm) dapat dideteksi dengan teknik ELISA atau multiplex floweytometrij dan spesifik untuk SLE.



mungkin mengalami internalisasi. Unsur asam nukleat bergabung dengan TLR dan sel dendrit, terutama sel dendrit plasmasitoid, untuk memproduksi IFN-α, yang kemudian meningkatkan reaksi imun dan apotosis. Hasil akhir adalah lingkaran reaksi pelepasan antigen dan aktivasi reaksi imun yang menghasilkan pembentukan autoantibodi berafinitas tinggi.



Spektrum Autoantibodi pada SLE Antibodi telah diketahui bereaksi dengan unsur inti sel dan sitoplasma yang tidak khas baik terhadap organ maupun spesies. Kelompok lain antibodi ditujukan terhadap antigen permukaan dari sel darah, sedang yang lain bereaksi terhadap protein dalam kompleks dengan fosfolipid (antibodi antifosfolipid) (Bab 3). • Antibodi antinukleus. ANA ditujukan terhadap beberapa antigen inti sel dan dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: (1) antibodi terhadap DNA, (2) antibodi terhadap histon, (3) antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA, (4) antibodi terhadap antigen nukleolus. Pada Tabel 4-10, diberikan daftar beberapa jenis auto antibodi, termasuk ANA, dan hubungannya dengan SLE demikian juga dengan penyakit autoimun lain, yang akan dibahas kemudian. Cara deteksi ANA yang paling banyak digunakan adalah teknik imunofluoresensi indirek (IF), yang menapis auto antibodi yang terikat pada berbagai antigen nukleus, termasuk DNA, RNA, dan protein. Dengan 1F dapat dilihat empat pola pewarnaan: homogen atau difus, kelim luar atau perifer, berbentuk butir/ partikel (speckled) dan pola anak inti (nucleolus). Walaupun tiap pola mengesankan jenis auto antibodi tertentu, kekuatan hubungan inti terbatas dan tidak dapat dipercaya. Uji ANA dengan IF sangat sensitif karena lebih dari 95 % SLE yang diuji posittf tetapi spesifisitasnya sangat terbatas, karena penderita penyakit autoimun lain, infeksi kronik dan kanker dapat positif juga. Lagi pula, ANA juga ditemukan pada



127



• Autoantibodi lain. Antibodi terhadap sel darah, termasuk sel darah merah, trombosit, dan limfosit, ditemukan pada banyak penderita. Antibodi anti-fosfolipid dijumpai pada 40%sampai 50% penderita lupus dan bereaksi dengan berbagai ragam protein dalam kompleks dengan fosfolipid. Sebagian berikatan dengan antigen cardiolipin, yang digunakan untuk uji terhadap sifilis. Oleh karena itu, hasilnya pada lupus dapat bersifat positif palsu. Antifosfolipid berperan pada kelainan koagulasi, yang akan dibahas kemudian.



Mekanisme jejas jaringan Apabila urutan yang tepat tentang pembentukan autoantibodi tidak diperhatikan, tampaknya autoantibodi merupakan mediator dari jejas jaringan, mungkin melalui berbagai mekanisme. • Sebagian kerusakan organ pada SLE disebabkan oleh endapan imun. Biopsi kulit dan ginjal dari penderita SLE secara khas menunjukkan endapan komplemen dan imunoglobulin yang bersifat difus dan bercak granuler yang tebal. Autoantibodi yang berikatan dengan DNA juga dapat ditemukan. Endapan kompleks imun ini dianggap menyebabkan kerusakan jaringan melalui aktivasi jalur komplemen yang klasik (hipersensitivitas tipe III); 75% penderita akan mengalami penurunan kadar C3 dan C4 pada masa aktif SLE, dianggap karena komplemen diaktivasi dan digunakan dalam jumlah lebih cepat dari pada yang diproduksi. Walaupun demikian, manusia atau binatang dengan defisiensi Clq tidak terlindung dari SLE dan sesungguhnya dapat menderita SLE secara spontan, hal ini menunjukkan bahwa mekanisme yang tidak bergantung kepada komplemen juga berperan pada kerusakan jaringan.



Tabel 4–10 Autoantibodi Terpilih yang berhubungan dengan Penyakit Autoimun yang Diduga



Autoantibodi (Spesifisitas)



Hubungan Utama dengan Penyakit



Kemungkinan Peran pada Penyakit



Anti-dsDNA (double-stranded DNA)



SLE*



Pembentukan kompleks imun



Anti-Sm (ribonuclear core protein, Sm antigen)



SLE*



Pembentukan kompleks imun



Anti-RNP U1 (ribonuclear protein)



SLE, penyakit jaringan ikat campuran



Anti–SS-A (Ro), anti–SS-B (La) (ribonucleoproteins)



Sindrom Sjögren, SLE



Pembentukan kompleks imun Peranan pada sindrom Sjögren tidak diketahui



Anti–Scl-70 (DNA topoisomerase I)



Sklerosis sistemik*



Tidak diketahui



Anti-histon (histone proteins)



SLE



Pembentukan kompleks imun



Anti-centromere (centromere proteins) Antifosfolipid (fosfolipid--protein kompleks yang terlibat pada koagulasi darah)



Skleroderma terbatas, sklerosis sistemik*



Tidak diketahui Episode trombotik



Anti-Jo1 (histidyl tRNA ligase)



Miopati inflamasi*



Anti-mitokondria



Sirosis bilier primer *



Sindrom antifosfolipid, SLE



Tidak diketahui Tidak diketahui



Anti-eTg (transglutaminase)



Dermatitis herpetiformis



Anti–neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA) (proteins pada sitoplasma neutrofil)



Berbagai vaskulitis*



Tidak diketahui Pembentukan kompleks imun?



Anti-otot polos



Hepatitis kronik autoimun



Degranulasi neutrofil Tidak diketahui



Tiap spesifitas antibodi ditemukan pada 30% sampai 90% penderita dengan penyakit tertentu . Tanda bintang menunjukkan kolerasi tinggi antara spesifitas antibodi dan penyakit. SLE, systemic lupus erythematosus



128



BAB4



Penyakit Sistem Imun



• Autoantibodi dengan berbagai spesifisitas berperan pada perubahan patologi dan manifestasi klinis SLE (hipersensitivitas tipe II). Autoantibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit melapisi (opsonisasi) sel-sel tersebut dan mereka mengalami fagositosis, menghasilkan sitopeni. Autoantibodi terhadap berbagai fosfolipid menyebabkan peningkatan trombosis pada penderita, dengan berbagai konsekuensi klinis, termasuk abortus spontan yang berulang dan episode trombosis. Kelainan-kelainan ini merupakan bagian dari sindrom antifosfolipid. Secara paradoks, antibodi tersebut memengaruhi uji pembekuan dan sebenarnya disebut "antikoagulan lupus". Autoantibodi juga ditujukan terhadap faktor pembekuan seperti trombin, dan ini juga menyebabkan kelainan pembekuan. Autoantibodi terhadap reseptor sistem saraf pusat untuk berbagai neurotransmitor juga diungkapkan pada komplikasi neuropsikiatrik dari penyakit. • Tidak ada bukti bahwa ANA dapat menerobos ke dalam sel. Walaupun demikian, apabila inti sel terpajan, ANA dapat berikatan dengan inti sel. Jaringan, nukleus dari sel yang rusak bereaksi dengan ANA, kehilangan pola kromatin, dan menjadi homogen, menghasilkan apa yang disebut jisim LE atau jisim hematoksilin. Bentuk in vitro dari kelainan ini adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag yang telah memangsa nukleus yang mengalami denaturasi dari sel lain yang cedera. Apabila darah diambil dan diagitasi sejumlah leukosit cukup rusak dan memajankan intinya kepada ANA, disertai aktivasi komplemen sekunder; inti sel yang telah mengalami opsonisasi oleh antibodi dan komplemen ini siap untuk mengalami fagositosis. Walaupun sel LE dapat ditemukan pada 70% penderita, sekarang hanya menjadi perhatian historik.



dan/atau sel epitel dan, pada kasus yang parah, terjadi nekrosis glomerulus. Walaupun ginjal tampak normal dengan mikroskop cahaya pada 26% sampai 30% kasus, hampir semua kasus SLE menunjukkan sedikit abnormalitas ginjal bila diperiksa dengan imunofluoresensi dan mikroskop elektron. Menurut klasifikasi morfologik dari International Society of Nephrology/Renal Pathology Society ada enam pola penyakit glomerulus pada SLE (tidak satupun khas terhadap penyakit): Kelas I, nefritis lupus mesangial minimal; Kelas II, nefritis lupus mesangial proliferatif; Kelas III, nefritis lupus fokal; Kelas IV, nefritis lupus difus; Kelas V, nefritis lupus membranosa; Kelas VI, nefritis lupus sklerosa lanjut. • Nefritis lupus mesangial minimal (kelas I) jarang ditemukan pada biopsi ginjal. Kompleks imun terdapat pada mesangium, tetapi tidak disertai perubahan struktural yang dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. •



• Nefritis lupus fokal (kelas III) ditemukan pada 20% sampai 35% kasus. Lesi dapat dilihat pada kurang dari separuh jumlah glomerulus, dan mungkin tersebar segmental atau global dalam tiap glomerulus. Lesi aktif ditandai oleh pembengkakan dan proliferasi sel endotel dan mesangium, sebukan neutrofil, dan/ atau endapan fibrinoid disertai trombus kapiler (Gambar 4-18, A). Gejala klinis mungkin berkisar dari hanya hematuria dan proteinuria ringan sampai yang lebih aktif yaitu sedimen urin mengandungi "cast" sel darah merah dan insufisiensi ginjal akut dan parah. •



MORFOLOGI SLE adalah penyakit sistemik dengan beragam manifestasi (Tabel 4-9). Perubahan morfologik pada SLE sangat bervariasi dan bergantung kepada jenis autoantibodi, jaringan tempat pengendapan kompleks imun, dan perjalanan serta masa berlangsungnya penyakit Ciri utama perubahan morfologik disebabkan oleh endapan kompleks imun pada berbagai jaringan Pembuluh darah. Vaskulitis akut yang disertai nekrosis menjangkiti arteri kecil dan arteriol yang dapat ditemukan pada jaringan apa pun. Arteritis ditandai oleh nekrosis dan deposit fibrinoid dalam dinding pembuluh yang mengandungi antibodi, DNA, fragmen komplemen, dan fibrinogen; sebukan leukosit transmural dan perivaskular luga sering terjadi. Pada stadium kronik, pembuluh darah menunjukkan penebalan fibrosa dengan penyempitan lumen. Ginjal. Terjangkitnya ginjal adalah salah satu perangai klinis penting pada SLE, dengan kegagalan ginjal yang paling sering menyebabkan kematian. Perhatian khusus pada patologi glomerulus, walaupun lesi interstitial dan tubuler juga ditemukan pada SLE. Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE mencakup pengendapan kompleks DNA-antiDNA dalam glomerulus. Ini memicu reaksi inflamasi yang dapat menyebabkan proliferasi endotel, mesangium,



Nefritis lupus mesangial proliferatif (kelas II) ditemukan pada 10% sampai 25% kasus dan berhubungan dengan gejala klinis ringan. Kompleks imun mengendap pada mesangium, disertai peningkatan ringan sampai sedang dari matriks dan seluleritas mesangium.



Nefritis lupus difus (kelas IV) adalah bentuk paling parah dari lesi ginjal pada SLE dan juga yang paling sering ditemukan pada biopsi ginjal, terjadi pada 35% sampai 60% penderita. Kelainan ini dibedakan dari nefritis lupus fokal (kelas III) dengan terjangkitnya separuh atau lebih dari jumlah glomerulus. Sebagian besar glomerulus menunjukkan proliferasi sel endotel dan mesangium, disertai hiperseluleritas difus dari struktur tersebut (Gambar 4-18, B) dan pada sebagian kasus disertai pembentukan bulan sabit (crescent) epitel yang mengisi ruang Bowman. Apabila ekstensif, kompleks imun subendotel membentuk penebalan dinding pembuluh darah yang sirkumferensial, yang menyerupai untaian kawat (wire loops) yang kaku pada mikroskop cahaya rutin (Gambar 4-16, C). Pada mikroskop elektron ditemukan tonjolan padat elektron dari kompleks imun subendotel (di antara endotel dan membran basal) (Gambar 4-18, D). tetapi kompleks imun juga ditemukan pada bagianbagian lain dari dinding kapiler dan mesangium. Kompleks imun dapat dilihat dengan teknik imunofluoresensi dengan antibodi terhadap imunoglobulin atau komplemen, menghasilkan pola fluoresensi granuler (Gambar 4-18, E). Dengan perjalanan waktu, jejas glomerulus dapat menjadi jaringan parut (glomeruiosklerosis). Sebagian besar penderita mengalami hematuria, dengan proteinuria derajat sedang sampai parah, hipertensi dan insufisiensi ginjal.



• Nefritis lupus membranosa (kelas V) terjadi pada 10% sampai 15% kasus dan merupakan penyakit glomerulus yang ditandai oleh penebalan dinding kapiler yang meluas disebabkan oleh pengendapan kompleks imun subepitel. Glomerulonefritis membranosa yang berhubungan dengan SLE sangat mirip dengan



Penyakit Autoimun



A



B



C



D



129



E Gambar 4-18 Nefritis lupus. A, Nefritis lupus fokal, dengan dua lesi nekrotik pada glomerulus (distribusi segmental) (pewarnaan H&E). B, Nefritis lupus difus. Perhatikan peningkatan global yang mencolok pada seluleritas di seluruh glomerulus (pewarnaan H&E). C, Nefritis lupus yang menunjukkan glomerulus dengan beberapa lesi "wire loop" menunjukkan deposit kompleks imun yang ekstensif pada subendotel (pulasan PAS). D, Pasien dengan nefritis SLE menunjukkan gambaran kapiler glomerulus dengan mikroskop elektron. Deposit padat yang dikenal dengan imunofluoresensi. B, basement membran: End. endothelium; Ep, epithelial cell with foot processes; Mes, messangium; RBC, red blood cell in capillary lumen; US, urinary space; *, electrondense deposits in subendothelial location. (A–C, Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women's Hospital, Boston, Massachusetts. D, Sumbangan dari Dr. Edwin Eigenbrodt, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dalias. E, sumbangan dari Dr. Jean Olson, Department of Pathology, University of California, San Fransisco, California.)



130



BAB4



Penyakit Sistem Imun



berhubungan dengan SLE sangat mirip dengan nefropati membranosa idiopatik (Bab 13). Penebalan dinding kapiler disebabkan peningkatan endapan materi menyerupai membran basal dan juga penimbunan kompleks imun. Penderita dengan perubahan histologis ini hampir selalu mengalami proteinuria parah disertai sindrom nefrotik yang menyeluruh (Bab 13). • Nefritis lupus sklerosis lanjut (kelas VI) ditandai oleh sklerosis lengkap pada lebih dari 90% glomerulus dan sesuai dengan stadium klinis akhir dari penyakit ginjal. Kulit. Kulit terkena pada sebagian besar penderita; erupsi yang khas jenis eritematosa atau makulopapular di atas eminensi malar dan jembatan hidung (pola kupu-kupu/butterfly pattern) ditemukan pada sekitar separuh dari kasus. Pemajanan terhadap matahari (sinar UV) mengaktifkan eritema (disebut fotosensitivitas), dan ruam yang serupa mungkin terdapat di semua tempat pada ekstremitas dan tubuh, paling sering di area yang terpajan matahari. Kelainan histopatologis termasuk degenerasi yang disertai pembentukan cairan dari lapisan basal epidermis, edema pada jembatan dermo epidermal, dan sebukan sel mononukleus di sekitar pembuluh darah dan apendiks kulit (Gambar 4-19, A). Dengan teknik imunofluoresensi ditemukan endapan imunoglobulin dan komplemen pada jembatan dermo-epidermal (Gambar 4-19, B), endapan imunoglobulin dan komplemen yang serupa dapat dijumpai pada kulit yang tampaknya tidak terjangkiti. Sendi. Terkenanya sendi sering ditemukan tetapi biasanya tidak berhubungan dengan perubahan anatomik yang jelas atau deformitas sendi. Apabila ada, terdiri atas pembengkakan dan sebukan sel mononukleus yang tidak spesifik pada membran sinovia. Erosi, membran dan destruksi tulang rawan sendi, seperti pada RA, sangat jarang terjadi. SSP. Sistem Saraf Pusat (SSP) juga sangat sering terkena, dengan defisit neurologik fokal dan/atau gejala neuropsikiatrik. Penyakit SSP sering digambarkan sebagai lesi vaskular yang menyebabkan iskemia atau mikroinfark serebral multifokal. Angiopati pembuluh kecil dengan proliferasi intima noninflamasi merupakan lesi patologis paling sering; sedangkan vaskulitis murni jarang. Angiopati mungkin menyertai trombosis yang disebabkan oleh antibodi antifosfolipid. Aterosklerosis prematur terjadi dan mungkin berperan pada iskemia SSP. Landasan mekanisme lain untuk penyakit SSP adalah jejas yang disebabkan oleh antibodi antineuron dengan konsekuensi disfungsi neurologik, tetapi hipotesis ini tetap tidak terbukti. Organ lain. Limpa mungkin mengalami pembesaran tingkat menengah. Penebalan fibrosa dari kapsul sering, seperti halnya hiperplasia folikuler dengan banyak sel plasma di dalam pulpa merah. Arteri penisilar sentral mengalami penebalan dan fibrosis perivaskular, disertai pembentukan lesi kulit bawang. Perikardium dan pleura, terutama, adalah membran serosum yang menunjukkan berbagai perubahan inflamasi pada SLE berkisar antara (pada fase akut) efusi serosum sampai eksudat fibrinosa yang mungkin berkembang ke opaksifikasi pada stadium kronik. Terjangkitnya jantung awalnya berwujud sebagai perikarditis. Miokarditis, dalam bentuk sebukan sel mononukleus yang tidak



Gambar 4--19 Lupus eritematosus sitemik yang mengenai kulit. A, Satu sayatan yang diwarnai H&E menunjukkan degenerasi mencair lapisan basal epidermis dan edema pada sambungan dermo-epidermal. B, Mikrograf imunoglobulin sepanjang sambungan dermo-epidermal. H&E, hematoxylin-eosin; IgG, immunoglobulin G. (A, Sumbangan dari Dr. Jag Bhawan, Boston University School of Medicine, Boston, Massachusetts. B, sumbangan dari Dr. Richard Santheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, texas.)



spesifik, dan lesi katup, yang disebut endokarditis Libman-Sacks. juga terjadi lebih jarang dalam era terapi kortikosteroid yang agresif. Endokarditis verukosa nonbakterial ini berbentuk iregular, 1 mm sampai 3 mm deposit seperti veruka, terlihat sebagai lesi yang jelas dipermukaan lembaran/leaflet (contoh pada permukaan yang terpajan terhadap aliran darah kedepan atau pada sisi bawah leaflet) (lihat Bab 10). Lebih banyak penderita juga menunjukkan manifestasi klinis dan anatomik dari penyakit arteri koroner. Dasar dari percepatan aterosklerosis berum dimengerti sepenuhnya, tetapi prosesnya mungkin multifaktor; tentu saja kompleks imun dapat membuat endapan pada pembuluh koroner, dan menyebabkan kerusakan endotei melaiui jalur tersebut. Lagi pula, pengobatan glukokortikoid menyebabkan perubahan metabolisme lipid, dan kerusakan ginjal (sering pada SLE) menyebabkan hipertensi, keduanya merupakan faktor risiko aterosklerosis (Bab 9). Banyak organ atau jaringan lain mungkin terjangkiti. Perubahan terutama terdiri atas vaskulitis akut pembuluh kecil, sebukan sel mononukleus fokal, dan endapan fibrinoid. Di samping itu paru-paru mungkin mengalami fibrosis interstisial, bersamaan dengan inflamasi pleura; hati menunjukkan inflamasi nonspesifik di daerah portal.



Penyakit Autoimun Manifestasi Klinis SLE adalah penyakit multisistem yang sangat bervariasi dalam tampilan klinisnya. Secara khas, penderita adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi kadang-kadang semuanya, dari perangai berikut: ruam menyerupai kupu-kupu di wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku, bahu), nyeri dada karena pleuritis dan fotosensitivitas. Walaupun demikian, pada banyak penderita, tampilan klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit demam yang tidak diketahui sebabnya, kelainan analisis urin atau penyakit sendi menyerupai artritis reumatika atau demam reuma. ANA ditemukan pada hampir 100% penderita, tetapi hal yang penting adalah bahwa ANA tidak spesifik (Tabel 4-10). Beragam penemuan klinis mungkin mengarah ke terjangkitnya ginjal, termasuk hematuria, "cast" sel darah merah, proteinuria, dan sindrom nefrotik klasik (Bab 13). Bukti laboratorik dari beberapa kelainan hematologik lazim terjadi, dan pada sebagian penderita anemia atau trornbositopenia mungkin merupakan tampilan klinis disertai masalah klinis yang dominan. Pada penderita lain kelainan neuropsikiatrik, psikosis atau kejang, atau penyakit arteri koroner mungkin merupakan masalah klinis yang menonjol. Penderita SLE mudah mengalami infeksi, dianggap karena disfungsi imunologi yang menjadi dasar penyakit atau terapi dengan obat imunosupresif. Strategi pengobatan akhir-akhir ini termasuk melenyapkan sel B dengan antibodi anti-CD20 (Rituximab) dan menghambat faktor pertumbuhan. Perjalanan penyakit bervariasi dan tidak dapat diramalkan. Pada kasus akut yang jarang dapat berkembang menuju kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Lebih sering terjadi, dengan pengobatan yang tepat, penyakit yang kambuh dan mengalami remisi dalam rentang waktu bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade. Pada masa aktivasi akut, pengendapan kompleks imun sertai aktivasi komplemen menyebabkan hipokomplementemia. Eksaserbasi penyakit biasanya diobati dengan kortikosteroid atau obat imunosupresif. Bahkan tanpa terapi, penyakit dapat berjalan dalam bentuk jinak, hanya menyebabkan kelainan kulit dan hematuria ringan selama bertahun-tahun. Hasil pengobatan menunjukkan perbaikan bermakna, daya tahan hidup 5 tahun dapat diharapkan terjadi pada sekitar 95% penderita. Penyebab kematian yang paling sering adalah gagal ginjal, infeksi berulang dan penyakit kardiavaskular. Angka kejadian kanker juga meningkat, terutama limfoma jenis sel B, suatu hubungan yang sering terjadi pada penyakit yang ditandai oleh peningkatan stimulasi limfosit B (contoh sindrom Sjbgren, dibahas di bawah). Penderita yang diobati dengan kortikosteroid dan obat imunosupresif cenderung mengalami risiko yang disebabkan pengobatan semacam itu.



RINGKASAN Lupus Eritematosus Sistemik •



SLE adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh autoantibodi yang diproduksi terhadap banyak antigen diri dan pembentukan kompleks imun.







Autoantibodi yang utama, dan yang berperan dalam pembentukan kompieks imun, ditujukan terhadap antigen inti sel. Autoantibodi lain bereaksi terhadap eritrosit, trombosit dan berbagai kompieks fosfolipid dan protein.



131







Manifestasi penyakit termasuk nefritis, lesi kulit dan artritis (disebabkan oleh endapan kompleks imun), dan abnormalitas hematologik serta neurologik.







Latar belakang penyebab hilangnya toleransi-diri pada SLE tidak diketahui; mungkin karena terjadi kelebihan atau persistensi antigen inti sel, pewarisan ganda dari gen-gen kepekaan penyakit, dan pemicu faktor lingkungan (contoh sinar UV, yang mengakibatkan apoptosis dan pelepasan protein inti sel).



Artritis Reumatoid Atritis reumatoid/ rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang menjangkiti banyak jaringan tetapi pada dasarnya menyerang sendi dan menyebabkan sinovitis proliferatif nonsupuratif yang seringkali berkembang mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan berakibat artritis yang disertai kehilangan fungsi. Oleh karena Iesi utama menjangkiti sendi dan tulang, penyakit ini, demikian juga bentuk juvenilis penyakit ini dan penyakit inflamasi lain dari sendi, dibahas dalam Bab 20.



Sindrom Sjogren Sindrom Sjogren adalah suatu kesatuan klinikopatologis yang ditandai oleh kekeringan mata (keratoconjunctivitis sicca) dan kekeringan mulut (zerostomis), yang diakibatkan oleh reaksi imunologik yang destruktif terhadap kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva. Penyakit ini terjadi secara terpisah (bentuk primer), juga dikenal sebagai sindrom sicca, atau lebih sering berhubungan dengan penyakit autoimun lain (bentuk sekunder). Di antara kelainan lain, RA paling sering ditemukan, tetapi sebagian penderita mengalami SLE, polimiositis, sklerosis multipel, vaskulitis atau tiroiditis.



PATOGENESIS Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sindrom Sjogren adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh reaksi sel T CD4+ terhadap antigen yang tidak diketahui pada sel epitel dukus kelenjar eksokrin.Terdapat juga hiperaktivitas sistemik dari sel B, seperti terbukti dari adanya ANA dan faktor reumatoid (RF) (bahkan tanpa hubungan dengan RA). Sebagian penderita sindrom Sjogren primer mempunyai autoantibodi terhadap antigen ribonukleoprotein (RNP), SS-A (Rho) dan SS-B(La); perlu diketahui bahwa autoantibodi tersebut ditemukan juga pada penderita SLE, sehingga tidak bersifat diagnostik untuk sindrom Sjogren (Tabel 4-10). Walaupun penderita dengan titer tinggi antibodi anti SS-A cenderung menunjukkan manifestasi sistemik (ekstra glandular), tidak ada bukti bahwa autoantibodi menyebabkan jejas jaringan yang primer. Faktor pemicu virus juga dipikirkan, tetapi tidak ditemukan virus penyebab yang dapat dipastikan. Faktor genetik memainkan peranan pada patogenesis sindrom Sjogren. Seperti pada SLE, pewarisan HLA kelas 11 tertentu merupakan faktor predisposisi pembentukan autoantibodi spesifik terhadap RNP



132



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Gambar 4--20 Sindrom Sjögren. A, Pembengkalan kelenjar liur. B, Temuan histopatologis termasuk sebukan padat sel limfosit dan sel plasma dengan hiperplasia epitel duktus. (A, Sumbangan dari Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. B, sumbangan dari Dr. Dennis Burns, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



MORFOLOGI Kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva merupakan sasaran primer, tetapi kelenjar-kelenjar yang bersekresi lain, termasuk yang terdapat di nasofaring, saluran napas atas, dan vagina, mungkin terjangkit juga. Pemeriksaan histologis menunjukkan sebukan keras limfosit (terutama sel T CD4+) dan sel plasma, kadang-kadang membentuk folikel limfoid dengan pusat benih hentrum germinativum. Terdapat hubungan dengan destruksi arsitektur asli (Gambar 4-20). Destruksi kelenjar lakrimal menyebabkan tidak adanya air mata, sehingga epitel kornea menjadi kering, diikuti inflamasi, erosi dan ulserasi (keratoconjunctivitis). Perubahan yang serupa dapat terjadi pada mukosa mulut akibat kehilangan produk kelenjar saliva, yang menyebabkan atrofia mukosa, dengan inflamasi yang menyebabkan pembentukan fissura dan ulkus (xerostomia). Kekeringan dan pembentukan krusta di hidung dapat diikuti ulserasi dan bahkan perforasi septum nasal. Apabila saluran napas terkena, laringitis sekunder, bronkitis, dan pneumonitis mungkin terjadi. Sekitar 25% penderita (terutama mereka dengan antibodi anti-SSA) dapat menderita penyakit ekstraglandular yang mengenai SSP, kulit, ginjal dan otot. Lesi ginjal berupa nefritis interstisial ringan yang terkait dengan cacat transpor tubuler; tidak seperti pada SLE, glomerulonefritis jarang ditemukan.



Perjalanan Klinis Sekitar 90% kasus sindrom Sjogren terjadi pada wanita di antara usia 35 tahun dan 45 tahun. Penderita tampil dengan mulut kering, tidak ada air mata, dan komplikasi beragam yang diuraikan di atas. Kelenjar saliva sering membesar karena sebukan limfosit (Gambar 4-20). Manifestasi ekstraglandular termasuk sinovitis, fibrosis paru, dan neuropati. Kira-kira 60% penderita sindrom Sjogren mendapat kelainan autoimun lain seperti RA. Perlu dicatat, terdapat peningkatan risiko setinggi 40 kali untuk menderita limfoma sel B, yang muncul diawali dengan proliferasi sel B poliklonal yang tinggi. Keadaan ini disebut Limfoma jenis zona marginal dibahas pada Bab 11.



RINGKASAN Sindrom Sjogren • •



Sindrom Sjogren adalah suatu penyakit inflamasi yang terutama menjangkiti kelenjar saliva dan lakrimal, dan menyebabkan kekeringan mulut dan mata. Penyakit tersebut diyakini disebabkan oleh reaksi autoimun dari sel T terhadap satu atau lebih antigendiri yang tidak diketahui, yang terpapar pada kelenjar tersebut, atau reaksi imun terhadap antigen yang berasal dari virus yang menginfeksi jaringan.



Sklerosis Sisteik (Skleroderma) Sklerosis sistemik (SS) adalah suatu kelainan imunologi yang ditandai oleh fibrosis eksesif pada berbagai jaringan, penyakit vaskular obliteratif, disertai adanya autoimunitas, terutama produksi autoantibodi multipel. Biasanya disebut skleroderma karena kulit merupakan sasaran utama, tetapi kelainan ini lebih baik disebut "sistemik" karena lesi-lesi terdapat di seluruh tubuh. Terjadinya lesi pada kulit merupakan manifestasi tampilan yang lazim dan dapat ditemukan pada sekitar 95% kasus, tetapi terjadi juga pada visera — traktus gastrointestinal, paru, ginjal, jantung dan otot skelet — yang berperan untuk sebagian besar rnorbiditas dan mortalitas. SS dapat digolongkan ke dalam dua kelompok berdasarkan perjalanan klinisnya: • Skleroderma difus, diawali terjadinya lesi kulit yang luas, dan berkembang cepat serta mengenai visera secara dini. • Skleroderma terbatas, mengenai kulit dengan kelainan relatif ringan, sering terbatas pada jari tangan dan wajah. Lesi pada visera terjadi kemudian, sehingga penyakit ini umumnya berjalan cukup Iambat. Tampilan klinis ini juga disebut sindrom CREST karena sering terdiri dari kalsinosis, fenomena Raynaud, dismotilitas esofagus, sklerodaktili, dan telangiektasia.



Penyakit Autoimun STIMULUS EKSTERNA?



KERENTANAN GENETIK



Jejas endotel



Vaskulopati proliferatif dan obliteratif



T



STIMULUS EKSTERNA?



Aktivasi sel T dan B



Produksi sitokin pro-fibrotik (contoh TGF-b, IL-13, PDGF)



133



B



Autoantibodi



Iskemia, pemulihan



Hipertensi arteri pulmonal



Sintesis protein matriks ekstrasel: fibrosis mengenai kulit dan organ parakrin



Gambar 4-21 Suatu model patogenesis sklerosis sistemik. Stimulus eksterna yang tidak diketahui menyebabkan abnormalitas pembuluh darah dan aktivasi imun individu yang secara genetik rentan, dan kedua-duanya berperan terhadap fibrosis yang berlebihan



PATOGENESIS Penyebab penyakit tidak diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan mungkin berpengaruh. Urutan perkembangan penyakit dipostulatkan sebagai berikut (Gambar 4-21). • Cedera pada sel endotel dari arteri kecil oleh karena mekanisme yang tidak diketahui yang menyebabkan aktivasi endotel, peningkatan ekspresi molekul adhesi, dan migrasi sel T yang teraktifkan ke dalam jaringan perivaskular. Reaksi sel T lokal mungkin menyebabkan aktivasi selanjutnya dan cedera pada sel endotel. • Reaksi sel T terhadap beberapa antigen diri dan pembentukan sitokin. Telah diperkirakan bahwa sel T yang dominan adalah sel TH2, dan sitokin yang disekresi menginduksi aktivasi makrofag dan pengendapan kolagen. Sel T yang teraktifkan dan makrofag memproduksi sitokin yang mengaktifkan fibroblas dan merangsang produksi kolagen, yang menyebabkan fibrosis. Sitokin ini termasuk TGFβ IL-13, platelet derived growth factor (PDGF), dan lain-lain. • Kerusakan endotel yang berulang diikuti agregasi trombosit yang menyebabkan proliferasi endotel dan fibrosis intima, yang bersama fibrosis periadventisial, menyebabkan penyempitan pembuluh kecil, disertai jejas iskemik. Reaksi penyembuhan mungkin menambah fibrosis, sehingga terjadi proses kelainan yang berulang-ulang. • Aktivasi sel B juga terjadi, seperti ditunjukkan oleh adanya hipergamaglobilinemi dan ANA. Walaupun ada bukti imunitas humoral memainkan peranan bermakna pada patogenesis SS, dua dari ANA sangat unik untuk penyakit ini dan oleh karena itu berguna dalam diagnosis (Tabel 4-10). Satu di antaranya, ditunjukkan terhadap DNA-topoisomerase I (anti-Scl 70), sangat spesifik; terdapat pada 70% penderita dengan skleroderma difus (dan pada kurang dari 1% penderita dengan penyakit jaringan ikan lain) dan merupakan petanda (marker) untuk perkembang-an penyakit yang lebih agresif dengan fibrosis paru dan perubahan vaskular perifer. ANA yang lain adalah antibodi anti-sentromer, ditemukan pada 90% penderita dengan skleroderma terbatas (contoh sindrom CREST); hal itu menunjukkan per-jalanan penyakit yang jinak.



MORFOLOGI Pada kenyataannya tiap organ dapat terkena pada SS, tetapi perubahan yang paling menonjol ditemukan pada kulit, sistem muskuloskeletai, saluran gastrointesti nal, paru, ginjal dan jantung. Kulit. Sebagian besar penderita mengalami atrofia sklerotik pada kulit yang tersebar difus, biasanya mulai pada jari dan bagian distal dari ekstremitas atas dan meluas kearah proksimal mengenai lengan atas, bahu, leher dan wajah. Pada stadium dini, area kulit yang terkena agak membengkak dengan konsistens1 lunak lembek. Secara histopatologis ditemukan edema dan sebukan perivaskular yang mengandungi sel T CD4+. Pembuluh kapiler dan arteri kecil (berdiameter sebesar 500 um) mungkin menunjukkan penebalan lamina basalis, kerusakan sel endotel, dan oklusi parsial. Dalam perkembangan selanjutnya, fase edema diganti oleh fibrosis yang progresif dari dermis, yang menjadi terikat erat pada struktur subkutis. Terdapat penambahan pesat dari serabut kolagen di dalam dermis bersamaan dengan penipisan epidermis, atrofia apendiks kulit, dan penebalan hialin pada dinding arteriol dan kapiler (Gambar 4-22, A, B). Mungkin terjadi kalsifikasi subkutis fokal atau kadang-kadang difus, terutama pada penderita dengan sindrom CREST. Pada stadium lanjut, jari-jari mengecil ke daerah ujung, tampak menyerupai cakar, dengan keterbatasan gerakan pada sendi (Gambar 4-22,C), dan wajah menjadi seperti gambaran topeng. Kehilangan pasokan darah menyebabkan ulserasi kulit, perubahan atrofia ruas jari terminal, termasuk autoamputasi. Saluran Gastrointestinal. Saluran gastrointestinal terjangkiti pada sekitar 90% penderita. Atrofia progresif dan penggantian serabut kolagen dari lapisan muskularis dapat terjadi pada tiap bagian usus tetapi yang paling parah pada esofagus, sedangkan dua pertiga bawah dari usus sering tidak lentur lagi sehingga tidak lagi menyerupai pipa karet. Disfungsi yang menyertai sfingter esofagus bagian bawah menyebabkan refluks gastroesofagus dan penyulitnya, termasuk metaplasia Barrett (Bab 14) dan striktur. Mukosa menipis dan mungkin ulseratif, dan terdapat kolagenisasi berlebihan dari lamina propria dan submukosa.



134



BAB4



Penyakit Sistem Imun maligna). Pada penderita hipertensi, perubahan vaskular lebih menonjol dan seringkali berhubungan dengan nekrosis fibrinoid yang mengenai arteriol bersama dengan trombosis dan infark. Penderita semacam itu biasanya meninggal karena gagal ginjal, meliputi sekitar separuh dari kematian yang disebabkan SS. Tidak terdapat perubahan giomerulus yang spesifik.



A



B



Jantung. Fibrosis miokard jenis bercak, bersamaan dengan penebalan arteriol intramiokardium, terjadi pada satu-pertiga penderita; ini dianggap disebabkan oleh jejas mikrovaskular dan akibat iskemia (dikenal sebagai penyakit jantung jenis Raynaud). Karena perubahan pada paru, sering terdapat hipertrofi ventrikel kanan dan payah jantung (cor pulmonale).



Perjalanan Klinis



C Gambar 4--22 Sklerosis sistemik. A, Kulit normal. B, Endapan kolagen padat yang luas pada dermis. C, Fibrosis subkutis yang meluas hampir menyebabkan imobilisasi jari-jari, menyebabkan deformitas fleksi menyerupai cakar. Kehilangan asupan darah Menyebabkan ulserasi kulit. (A–C, Sumbangan dari Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



Kehilangan villi dan mikrovilli merupakan dasar anatomik dari sindrom malabsorpsi yang kadang-kadang mengenai penderita. Sistem Muskuloskeletal. Hiperplasia dan inflamasi sinovial biasa terjadi pada stadium dini; fibrosis berkembang kemudian. Walaupun perubahan ini adalah gejala sisa dari RA, destruksi sendi tidak lazim pada 55. Pada sebagian kecil penderita (kira-kira 10%), miositis akibat radang yang tidak dapat dibedakan dari polimiositis dapat terjadi. Paru-Paru. Paru-paru terjangkit pada lebih dari 50% penderita; terjangkitnya paru dapat berwujud sebagai hipertensi pulmonal dan atau fibrosis interstisial. Vasospame pulmonal akibat disfungsi endotel pembuluh darah pulmonal dianggap penting dalam patogenesis hipertensi pulmonal. Fibrosis pulmonal bila ada, tidak dapat dibedakan dari yang terjadi pada fibrosis idiopatik pulmonal (Bab 12). Ginjal. Abnormalitas ginjal terjadi pada dua pertiga penderita dengan SS, sangat khas berhubungan dengan penebalan dinding pembuluh arteri interlobular (diameter 150 ɥm sampai 500 ɥm). Ini menunjukkan proliferasi sel intima dengan pengendapan berbagai glikoprotein dan mukopolisakarida yang bersifat asam. Walaupun mirip dengan yang terjadi pada hipertensi maligna, perubahan pada SS terbatas pada pembuluh berukuran 150 ɥm sampai 500 µm, dan tidak berhubungan dengan hipertensi. Hipertensi justru terjadi pada 30% penderita, dan pada 20% di antaranya mengalami perjalanan yang bersifat maligna (hipertensi



SS mengenai wanita tiga kali lebih sering daripada pria, dengan angka kejadian tertinggi pada kelompok usia 50 tahun sampai 60 tahun. Terdapat tumpang tindih yang luas antara SS dan RA, SLE dan dermatomiositis (lihat kemudian); perangai yang sangat berbeda dari SS adalah kelainan pada kulit, Hampir semua penderita menunjukkan fenomena Raynaud, suatu kelainan vaskular yang berciri vasospasme arteri yang reversibel. Secara khas tangan menjadi putih pada pajanan terhadap suhu dingin, menggambarkan vasospasme, diikuti dengan perubahan menjadi kebiruan karena iskemia dan sianosis lebih parah. Akhirnya, warna berubah menjadi merah karena terjadi vasodilatasi relatif. Pengendapan kolagen yang progresif menyebabkan atrofia tangan, dengan kekakuan yang meningkat dan berangsur terjadi imobilisasi sempurna dari sendi. Kesulitan menelan karena fibrosis esofagus dan akibat hiporrtotilitas. Destruksi dinding esofagus dapat disertai atoni dan dilatasi. Malabsorpsi dapat terjadi apabila atrofia dan fibrosis dari submukosa dan lapisan muskularis mengenai usus kecil. Dispnea dan batuk kronik menandakan perubahan paru, dengan terkenanya paru stadium lanjut, dapat terjadi hipertensi puirnenal sekunder, yang berakibat payah jantung sisi-kanan. Kelainan ginjal yang terjadi sekunder terhadap baik SS yang berkembang maupun hipertensi maligna yang menyertai seringkali dialami penderita. Perjalanan klinis dari SS yang difus sulit diramalkan. Pada sebagian besar penderita perjalanan penyakit tidak memberat, lambat, mengalami penurunan aktivitas penyakit selama bertahun-tahun, dan apabila ginjal tidak terkena, masa hidup mungkin normal. Daya tahan hidup 5 tahun mencapai nilai antara 35% sampai 70% penderita. Kemungkinan memiliki daya tahan hidup lebih baik dialami oleh penderita dengan skleroderma yang terbatas dibandingkan dengan yang penyakitnya difus dan progresif. Skleroderma terbatas, atau sindrom CREST, seringkali mengalami fenomena Raynaud seperti perangai tampilannya. Hal itu berhubungan dengan terkenanya kulit secara terbatas, hanya pada jari dan wajah, dan dua perangai ini mungkin bertahan selama beberapa dekade sebelum timbulnya lesi visera.



RINGKASAN Sklerosis Sistemik •



SS (umumnya disebut skleroderma) ditandai oleh fibrosis progresif yang rnengenai kulit, saluran gastrointestinal dan jaringan lain.



Penolakan Jaringan Transplan • •



Fibrosis mungkin merupakan akibat aktivasi fibroblas oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T, tetapi apa yang memicu reaksi sel T tidak diketahui. Jejas endotel dan penyakit vaskular biasanya ditemukan pada lesi SS, yang menyebabkan iskemia kronik, tetapi patogenesis dari jejas vaskular tidak diketahui.



Miopati yang Bersifat Inflamasi Miopati inflamasi membentuk kelompok penyakit yang heterogen dan jarang, yang ditandai oleh jejas otot yang diperantarai reaksi imun dan inflamasi. Berdasarkan perangai klinis, morfologik dan imunologik, tiga kelainan—polimiositis, dermatomiositis dan miositis jisim inldusi —telah diuraikan. Ini dibahas di dalam Bab 21.



Penyakit jaringan ikat Campuran Istilah penyakit jaringan ikat campuran mengacu pada suatu spektrum proses patologis pada penderita yang tampil dengan perangai klinis mengarah ke SLE, polimiositis atau SS; mereka juga menunjukkan antibodi dengan titer tinggi terhadap antigen RNP yang disebut U1RNP. Dua perangai lain dari penyakit jaringan ikat campuran adalah tidak terdapatnya penyakit ginjal dan reaksi sangat baik terhadap kortikosteroid, kedua-duanya rnendukung prognosis jangka panjang yang baik. Penyakit jaringan ikat campuran dapat berwujud sebagai artritis, pembengkakan tangan, fenomena Raynaud, dismotilitas esofagus, miositis, leukopenia dan anemia, demam, limfadenopati, dan/ atau hipergamaglobulinemia. Karena perangai yang tumpang tindih ini, tidak seluruhnya jelas apakah penyakit jaringan ikat campuran merupakan suatu kesatuan klinis atau apabila kelainan semacam itu menggambarkan subset yang heterogen dari SLE, sklerosis sistemik, dan polimiositis; sebagian besar ahli tidak menganggap itu sebagai kesatuan spesifik.



Poliarteritis Nodosa dan Vaskulitis Lain Poliarteritis nodosa termasuk ke dalam suatu kelompok penyakit yang ditandai oleh inflamasi yang bersifat nekrotik dari dinding pembuluh darah, paling cenderung disebabkan pengendapan kompleks imun. Istilah umum vaskulitis yang bersifat nekrotik non-infektif dapat dibedakan dari kelainan yang disebabkan infeksi pembuluh langsung (contoh abses) dan hal itu menunjang bahwa tiap jenis pembuluh dapat terkena—arteri, arteriol, vena atau kapiler Klasifikasi terperinci dan deskripsi tentang vaskulitis diberikan di dalam Bab 9.



Penyakit Terkait-IgG4 Penyakit terkait-IgG4 (1gG4-RD) adalah suatu keadaan fibro inflamasi yang baru dikenal, yang ditandai oleh kecenderungan membentuk lesi menyerupai tumor pada beberapa organ. Kelainan ini seringkali, tetapi tidak selalu, berhubungan dengan peningkatan kadar IgG4 serum. Walaupun demikian, peningkatan jumlah sel plasma yang memproduksi IgG4 (atau peningkatan ratio IgG4 terhadap IgG



135



total) pada jaringan merupakan persyaratan yang tidak dapat dielakkan pada kelainan ini. Walaupun baru dikenal akhir-akhir ini ketika manifestasi ekstra-pankreas ditemukan pada penderita dengan pankreatitis autoimun, IgG4-RD telah diuraikan pada hampir tiap sistem organ: susunan pembuluh bilier, kelenjar saliva, jaringan periorbita, ginjal, paru-paru, kelenjar getah bening, menings, aorta, payudara, prostat, tiroid, perikardium dan kulit. Perangai histologis menunjukkan kemiripan yang jelas di antara berbagai organ, tidak bergantung kepada tempat penyakit. Ini termasuk sebukan campuran dari limfosit (sel T, sel B, sel plasma), fibrosis storiform, flebitis obliteratif, dan eosinofilia ringan sampai sedang. Sel B terkumpul di dalam sentrum germinativum tetapi sel T—jenis sel yang predominan — tersebar difus diseluruh lesi. Ratio sel plasma yang mengandungi IgG4 terhadap yang mengandungi IgG (ditentukan secara semikuantitatif dengan imunohistokimia) secara khas sama atau lebih besar dari 50%. Banyak keadaan medik yang Iama dianggap terbatas pada organ tunggaI adalah bagian dari spektrum IgG4-RD. Beberapa contoh termasuk sindrom Mikulicz (pembesaran dan fibrosis kelenjar saliva dan kelenjar lakrimal), tiroiditis Riedel, fibrosis retroperitoneal idiopatik, pankreatitis autoimun, dan pseudotumor yang bersifat inflamasi dari orbita, paru-paru dan ginjal. Peranan 1gG4 pada patogenesis keadaan ini tidak sepenuhnya diketahui. Walaupun demikian, peranan kunci dari sel B didukung oleh penelitian permulaan yang menunjukkan bahwa pemusnahan sel B oleh antibodi-monoklonal anti sel B, seperti Rituximab, memberikan perbaikan klinis. Tidak jelas apakah penyakit ini merupakan penyakit autoimun sejati, dan tidak ada autoantigen sasaran yang telah diketahui.



PENOLAKAN JARINGAN TRANSPLAN Halangan utama terhadap transplantasi organ dari satu individu kepada yang lain dari spesies yang sama (disebut alograf) adalah penolakan imunologi terhadap jaringan yang ditransplantasikan. Reaksi penolakan adalah fenomena yang rumit menyangkut baik reaksi seluler maupun yang diperantarai oleh antibodi yang menghancurkan jaringan transplan. Kunci keberhasilan transplantasi setelah dikembangkan terapi yang mencegah atau mengurangi reaksi penolakan. Kemudian akan dibahas bagaimana jaringan transplan dikenal sebagai benda asing dan bagaimana jaringan tersebut mengalami reaksi penolakan.



Pengenalan imunologi Alograf Reaksi penolakan alograf adalah reaksi yang terutama ditujukan terhadap molekul MHC, yang sangat polimorfik sehingga sebagian besar individu dalam populasi yang tidak murni (outbred) berbeda paling sedikit sebagian dari molekul MHC yang dipaparkan (kecuali, kembar identik). Ada dua mekanisme utama yang digunakan sistem imun untuk mengenal dan bereaksi terhadap molekul MHC (Gambar 4-23): • Pengenalan langsung. Sel tuan rumah mengenal langsung molekul MHC yang alogenik (asing) yang terpapar pada sel jaringan transplan. Pengenalan langsung terhadap MHC asing cenderung melanggar aturan pembatasan kecocokan MHC, yang menyatakan bahwa pada tiap individu, semua sel T terdidik untuk mengenal antigen asing yang dipaparkan oleh molekul MHC yang khas individu tersebut. Dijadikan landasan berpikir bahwa molekul MHC (dengan peptida yang terikat) secara struktural mirip MHC



136



BAB4



Penyakit Sistem Imun JALUR LANGSUNG



JALUR TIDAK LANGSUNG



Sel penyaji-antigen pada jaringan transplan



Sel jaringantransplan



Sel penyaji-antigen dari resipien



Molekul MHC kelas II



Molekul MHC kelas I



CD8



CD4



CD4 Antigen jaringan-transplan



CD8



CD8



PEMBULUH DARAH GINJAL



CTL CDB+



CD4



CD4



Sel T CD4+ penolong



Limfosit B



Endotetilis CD8



IFN-γ



Sel plasma Makrofag teraktivasi



CD8 CD8



CD8 Antibodi Jejas endotel



Kerusakan TUBULUS GINJAL



PEMBULUH DARAH GINJAL



Gambar 4-23 Pengenalan dan penolakan alograf. Pada jalur langsung, antigen MHC kelas I dan kelas 11 donor pada sel penyaji-antigen (APC) di jaringan transplan (bersama kostimulator, tidak dituajukkan) dikenal masing-masing oleh sel T CD8+ sitotoksik dan sel T CD4+ penolong dari tuan rumah. Sel T CD4+ berproliferasi dan memproduksi sitokin (contoh IFN-γ), yang menginduksi kerusakan jaringan melalui reaksi hipersensitivitas tipe-lambat. Sel T CD8+ yang bereaksi terhadap antigen jaringan transplan berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh sel jaringan transplan. Pada jalur tidak langsung, antigen jaringan tansplan dipaparkan oleh sel APC tuan-rumah dan mengaktivasi sel T CD8+, yang merusak jaringan transplan melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat setempat dan merangsang limfosit B untuk memproduksi antibodi. IFN-γ, Interferon-γ. MHC, major histocompatibility complex.



diri dan peptida asing, sehingga pengenalan Iangsung MHC alogenik sebenarnya bereaksi silang secara imunologi. Karena sel dendrit di dalam jaringan transplan memaparkan MHC dalam jumlah banyak, demikian juga molekul kostimulator, mereka dianggap merupakan bagian utama yang mendasari pengenalan langsung. Akibat paling penting dari pengenalan langsung adalah aktivasi sel T CDS+ dari tuan rumah yang mengenal molekul MHC kelas I (HLA-A danB) pada jaringan transplan. Sel T ini berdiferensiasi menjadi CTL, yang membunuh sel dalam jaringan transplan. Sel T penolong CD4+ mungkin terpicu untuk berproliferasi dan memproduksi sitokin akibat pengenalan molekul MHC kelas II (HLA-D) donor dan menyebabkan reaksi inflamasi.



• Pengenalan tidak langsung. Pada jalur ini, sel T CD4+ mengenal molekul MHC donor setelah molekul tersebut mengalami fagositosis, diproses dan disajikan oleh sel APC. Urutan ini menyerupai pemrosesan fisiologis dan penyajian antigen asing lain (contoh berasal dari mikroba). Sel T CD4+ yang teraktifkan kemudian mengenal antigen yang disajikan oleh APC dan mensekresikan sitokin yang menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan transplan. Jalur tidak langsung juga berperan pada produksi antibodi terhadap alloantigen jaringan transplan; apabila antigen ini adalah protein maka di proses oleh sel B dan peptida disajikan kepada sel T penolong yang merangsang reaksi antibodi.



Penolakan Jaringan Transplan



Mekanisme Efektor Penolakan jaringan Transplan Baik sel T maupun antibodi yang bereaksi terhadap jaringan transplan berperan pada sebagian besar reaksi penolakan alograf organ yang solid (Gambar 4-23).



Penolakan yang Diperantarai Sel T



antibodi yang beredar cepat berikatan dengan aloantigen pada organ yang ditransplantasikan, yang menyebabkan aktiasi komplemen dan trombosis askular. Dengan penerapan uji penapisan terhadap kemungkinan adanya antibodi yang telah dibentuk tersebut dan uji kecocokansilang (uji antibodi pada resipien yang ditujukan terhadap limfosit donor), maka penolakan hiperakut terjadi kurang dari 0,4% pada penerima jaringan transplan.



Sel CT ̀ membunuh sel di dalam jaringan transplan, yang menyebabkan sel parenkim dan endotel mati (yang kedua menyebabkan trombosis dan iskemia jaringan transplan). Sel T CD4+ yang mensekresikan sitokin memicu reaksi inflamasi menyerupai DTH pada jaringan dan pembuluh darah, dengan akumulasi setempat dari sel mononukleus (limfosit dan makrofag). Makrofag yang teraktifkan dapat mencederai sel jaringan transplan dan sistem pembuluh darah. Jejas mikroaskular ̀ juga menyebabkan iskemia, yang berperan dalam destruksi jaringan transplan.



MORFOLOGI Berdasarkan perjalanan waktu dan morfologi maka reaksi penolakan telah digolongkan dalam hiperakut, akut dan kronik (Gambar 4-24). klasifikasi ini membantu untuk mengerti tentang mekanis-me penolakan, karena tiap pola disebabkan oleh reaksi imunologi utama yang berbeda. Morfologi dari polapola ini diuraikan di dalam konteks transplantasi ginjal; walaupun, perubahan yang mirip juga ditemukan pada organ transplan vaskular. Penolakan Hiperakut Penolakan hiperakut terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah transplantasi pada tuan rumah yang mengalami pre-sensitisasi dan biasanya dikenal oleh ahli bedah segera setelah anastomosis vaskular telah diselesaikan. Berbeda dengan jaringan transplan ginjal yang tidak mengalami penolakan, terjadi pemulihan warna merah muda yang normal dan turgor jaringan dan secepatnya mengeluarkan urin, suatu transplan ginjal yang mengalami penolakan hiperakut cepat menjadi sianotik berbercak-bercak, dan lembek serta hanya mengeluarkan beberapa tetes cairan berdarah. Gambaran histologis ditandai oleh arteritis dan arter iolitis yang luas, trombosis pembuluh, dan nekrosis iskemik, semua disebabkan oleh ikatan antibodi yang telah dibentuk sebelumnya dengan endotel jaringan transplan. Hampir semua arteriol dan arteri menunjukkan ciri nekrosis fibrinoid akut dari dinding pembuluh, dengan penyempitan atau oklusi lengkap lumen oleh endapan fibrin dan debris sel (Gambar 4-24, A).



Penolakan yang Diperantarai Antibodi Walaupun ̀ sel T sangat penting pada penolakan alograf, antibodi juga berperan pada sebagian reaksi penolakan. Alo-antibodi terhadap molekul MHC jaringan transplan dan alo-antigen lain berikatan dengan endotel jaringan transplan dan menyebabkan jejas vaskular melalui aktiasi komplemen dan reaksi leukosit. Di samping kerusakan endotel dan disfungsi terjadi trombosis, yang menambah faktor penyebab jejas jaringan. Penolakan hiperakut adalah bentuk khusus dari reaksi penolakan yang terjadi apabila anHbodi anti-donor yang sebelumnya dibentuk (pre-formed) terdapat di dalam sirkulasi tuan rumah sebelum transplantasi. ini dapat terjadi pada wanita multipara yang memiliki antibodi anti-HLA terhadap antigen paternal yang dihadapi selama kehamilan, atau individu yang terpapar HLA asing (pada trombosit atau leukosit) dari transfusi darah sebelumnya. Jelaslah, antibodi tersebut juga terdapat pada penderita yang sebelumnya mengalami reaksi penolakan terhadap transplan organ. Transplantasi berikutnya pada penderita semacam itu menyebabkan penolakan segera (dalam beberapa menit atau jam) karena



A



B



137



C



D



Gambar 4-24 Pola morfologik & penolakan jaringan-transpran. A, Penolakan hiperakut terhadap alograf ginjal berhubungan dengan kerusakan endotel dan trombus di dalam glomerulus. B, Penolakan seluler akut terhadap alograf ginjal dengan sel radang di lapisan interstitium dan di antara sel epitel tubuius. C, Penolakan humoral akut terhadap alograf ginjal (penolakan vaskulitis) dengan sel radang dan proliferasi sel otot polos di intima. D, Penolakan kronik terhadap alograf ginjal dengan arteriosklerosis pada alograf. Lumen arteri digantikan oleh akumulasi sel otot polos dan jaringan ikat di intima. (A–D, Courtesy of Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham andWomen’s Hospital and Harvard Medical School, Boston, Massachusetts.)



138 B A B 4



Penyakit Sistem Imun



Penolakan Akut Penolakan akut dapat terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dari transplantasi pada tuan rumah yang tidak mengalami imunosupresi atau mungkin timbul beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kemudian, bahkan terjadi pada individu dengan imunosupresi yang adekuat. Penolakan akut terjadi baik berdasarkan mekanisme seluler maupun antibodi, dan pada tiap penderita, salah satu atau yang lain mungkin menonjol, atau mungkin keduanya terjadi. Pada pemeriksaan histologis, penolakan seluler ditandai oleh sebukan sel mononukleus secara interstisial disertai edema dan jejas parenkim, sedangkan penolakan humoral berhubungan dengan vaskulitis. Penolakan seluler akut dijumpai dalam waktu beberapa bulan pertama setelah transplantasi dan biasanya disertai tanda klinis gagal ginjal. Pemeriksaan histologis biasanya menunjukkan sebukan luas dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ dengan edema dan hemoragi interstisial ringan (Gambar 4-24, B). Kapiler glomerulus dan peritubulus berisi banyak sel mononukleus, yang juga mungkin menyerang tubuli, yang menyebabkan nekrosis tubuler fokal. Di samping jejas tubuler, sel T CD8+ mungkin mencederai endotel dan menyebabkan endotelitis. Siklosporin (suatu obat imunosupresif yang banyak digunakan) juga bersifat nefrotoksik dan menyebabkan apa yang disebut pengendapan hialin arteriolar. Biopsi ginjal dikakukan untuk membedakan penolakan akibat toksisitas obat. Pengenalan penolakan seluler adalah penting, karena penderita biasanya bereaksi segera terhadap peningkatan obat imunosupresif. Penolakan humoral akut (vaskulitis penolakan) yang disebabkan oleh antibodi antidonor dapat juga berperan pada penolakan jaringan transplan yang akut. Lesi histologis mungkin berupa vaskulitis yang bersifat nekrotik dengan nekrosis sel endotel; sebukan neutrofil; pengendapan antibodi, komplemen, fibrin dan trombosis. Lesi semacam itu mungkin berkaitan dengan nekrosis iskemik dari parenkim ginjal. Lesi subakut yang agak lebih lama ditandai oleh penebalan keras dari intima akibat proliferasi fibroblas. miosit dan makrofag yang berbusa (Gambar 4-24, C). Penyempitan arteriol yang terjadi dapat menyebabkan infark atau atrofia korteks ginjal. Lesi vaskular proliferatif menyerupai penebalan arteriosklerotik dan dianggap disebabkan oleh sitokin yang merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh. Produksi setempat dari produk pemecahan komplemen (khususnya C4d) digunakan untuk mendeteksi penolakan yang diperantarai antibodi pada penolakan alograf ginjal. Penolakan Kronik Penderita yang menunjukkan penolakan kronik yang terjadi dalam waktu iama setelah transplantasi (beberapa bulan atau beberapa tahun) disertai peningkatan progresif kadar kreatinin serum (suatu indeks dari fungsi ginjal) setelah masa 4 sampai 6 bulan. Penolakan kronik didominasi oleh perubahan vaskular, fibrosis interstisial, dan kehilangan parenkim ginjal; biasanya tanpa reaksi seluler atau hanya disertai sebukan ringan sel pada parenkim. Perubahan vaskular terjadi terutama pada arteri dan arteriol, yang menunjukkan proliferasi sel otot polos intima dan sintesis matriks ekstrasel (Gambar 4-24, D). Lesi ini akhirnya mengganggu perfusi vaskular dan menyebabkan iskemia ginjal yang berwujud sebagai hilangnya glomerulus atau hialinisasi glomerulus, trombosis interstisial dan atrofia tubulus. Lesi vaskular mungkin disebabkan oleh sitokin yang dikeluarkan oleh sel T yang teraktifkan yang menyerang sel pada dinding pembuluh, dan mungkin merupakan stadium akhir arteritis proliferatif yang diuraikan sebelumnya.



RINGKASAN Pengenakan dan Penolakan Organ Transplan (Alograf) •







Reaksi penolakan jaringan transplan dimulai terutama oleh sel T tuan rumah yang mengenal antigen HLA asing dari jaringan transplan, baik secara langsung (pada APC di dalam jaringan transplan) atau tidak langsung (setelah pemrosesan dan penyajian oleh APC tuan rumah). Jenis dan mekanisme penolakan terdiri dari yang berikut:  Penolakan hiperakut Antibodi yang telah dibentuk sebelumnya (pre-formed) berikatan dengan endotel jaringan transplan segera setelah transplantasi, menyebabkan trombosis, kerusakan iskemik dan kegagalan jaringan transplan secara cepat.  Penolakan seluler akut: Sel T menghancurkan parenkim jaringan transplan (dan pembuluh) oleh reaksi sitotoksitas dan inflamasi.  Penolakan humoral akut: antibodi merusak pembuluh darah transplan.  Penolakan kronik: Didominasi oleh arteriosklerosis, jenis ini mungkin disebabkan oleh reaksi sel T dan sekresi sitokin yang menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskular, berkaitan dengan fibrosis parenkim.



Cara Meningkatkan Ketahanan Hidup Jaringan Transplan Karena molekul HLA adalah sasaran utama pada penolakan jaringan transplan, pencocokan yang lebih baik antara donor dan resipien akan meningkatkan daya tahan hidup jaringan transplan. Manfaat pencocokan HLA paling dramatik diperoleh pada transplantasi ginjal dengan donor hidup keluarga, dan ketahanan hidup akan meningkat dengan bertambahnya jumlah lokus yang cocok. Walaupun demikian, karena obat imunosupresif telah lebih baik, pencocokan HLA bahkan tidak diusahakan pada beberapa keadaan, seperti transplantasi jantung, paru, hati dan pulau Langerhans pankreas; pada keadaan semacam itu, resipien seringkali memerlukan transplantasi segera/ darurat atau pertimbangan lain, seperti kesesuaian anatomik (ukuran), secara praktik adalah lebih penting. Imunosupresi dari resipien merupakan kebutuhan yang berlaku pada semua transplantasi organ kecuali pada kasus kembar identik. Pada waktu ini, digunakan obat seperti siklosporin, FK506 yang terkait, mofetil mikofenolat (MMF), rapamisin, azatioprin, kortikosteroid, globulin antilimfosit, dan antibodi monoklonal (contoh anti CD3 monoklonal). Siklosporin dan FK506 menekan imunitas yang diperantarai sel T dengan menghambat transkripsi gen sitokin, khususnya, gen untuk 1L-2. Walaupun imunosupresi telah membuat transplantasi dapat dilakukan, masih ada kendala yang perlu ditanggulangi. Imunosupresi secara umum menyebabkan peningkatan kerentartan terhadap infeksi oportunistik oleh jamur, virus dan infeksi lain. Penderita-penderita ini juga mengalami risiko yang meningkat untuk terjangkit limfoma yang disebabkan virus Epstein-Barr, karsinoma sel skuamosa yang disebabkan virus papiloma manusia, dan sarkoma Kaposi. Untuk menanggulangi efek yang tidak diinginkan dari imunosupresi, banyak upaya untuk mencoba menimbulkan toleransi sel T tuan rumah yang spesifik terhadap donor. Antara lain strategi yang mengupayakan mencegah sel T tuan rumah menerima isyarat kositmulasi dari sel dendrit (DC) selama fase permulaan dari sensitisasi. Ini dapat dicapai dengan memberikan obat yang mengganggu interaksi antara molekul B7 pada DC dari jaringan transplan dan reseptor CD 28 pada sel T tuan rumah.



Penyakit imunodefisiensi Cara ini mencegah isyarat kedua yang diperlukan untuk aktivasi limfositT, baik dengan menyebabkan apoptosis maupun menyebabkan sel T tidak berfungsi. Perbaikan terapi imunosupresi telah meningkatkan ketahanan hidup jaringan transplan dan penolakan akut kurang dikhawatirkan, terutama pada jaringan transplan ginjal dan jantung. Penolakan kronik masih merupakan masalah besar, karena kurang responsif terhadap obat imunosupresif yang ada dibandingkan dengan penolakan akut.



Transplantasi Sel Punca (Stem Cells) Hematopoietik Sel punca (stem cells) hematopoietik (HSC) digunakan sebagai terapi untuk keganasan hematopoietik dan beberapa keganasan nonhematopoietik, anemia aplastik, dan kelainan herediter lain, terutama keadaan imunodefisiensi dan talasemia yang parah. Secara historik HSC terutama diperoleh dari donor sumsum tulang, tetapi sekarang lebih sering dipisahkan dari darah perifer setelah diperkaya dengan pemberian faktor pertumbuhan hematopoietik, atau dari darah talipusat bayi baru lahir, suatu sumber HSC dalam jumlah besar yang tersedia. Resipien menerima kemoterapi dan/atau penyinaran untuk menghancurkan sel ganas (contoh leukemia) dan untuk menciptakan wahana jaringan transplan; kemudian HSC diberikan intra vena, yang akan beredar menuju tempat pulangnya (home) ke sumsum tulang. Penolakan terhadap jaringan transplan HSC alogenik adalah karena kombinasi reaksi sel T dan sel NK yang resisten terhadap radioterapi dan kemoterapi. Dua masalah utama pada transplantasi jenis ini adalah penyakit graft versus host dan imunodefisiensi. Penyakit Graft-versus-Host (GVHD). Ini terjadi apabila sel T yang imunokompeten (atau sel asal-precursornya) ditransplantasikan ke dalam resipien yang reaksi kekebalannya telah ditekan. Walaupun GVHD paling sering terjadi pada transplantasi HSG alogenik (biasanya karena ketidak cocokan antigen histokompatibilitas minor antara donor dan resipien), hal itu dapat pula terjadi setelah transplantasi organ solid yang banyak mengandungi sel limfoid (contoh hati) atau setelah transfusi darah yang tidak diberikan penyinaran. Pada waktu menerima HSC alogenik, individu yang reaksi imunologinya telah ditekan tidak dapat menolak jaringan transplan, tetapi sel T yang berada pada donor jaringan transplan melihat jaringan resipien sebagai "benda asing" dan bereaksi terhadapnya. Ini menyebabkan aktivasi baik sel T CD4+ maupun sel T CD8+, yang akhimya menyebabkan inflamasi dan pembunuhan sel tuan rumah. • GVHD akut (terjadi setelah beberapa hari atau minggu setelah transplantasi) menyebabkan nekrosis sel epitel pada tiga organ utama: hati, kulit, dan usus. Destruksi duktus biliaris kecil menyebabkan ikterus, dan ulserasi mukosa usus menyebabkan diare berdarah. Terjangkitnya kulit berwujud bercak kemerahan yang menyeluruh. • GVHD kronik dapat menyertai sindrom akut atau terjadi perlahanlahan. Penderita menunjukkan lesi kulit yang menyerupai lesi pada SS (dibahas sebelumnya) dan manifestasi mirip kelainan autoimun. GVHD merupakan komplikasi yang berpotensi letal, yang dapat dikurangi tetapi tidak dapat disingkirkan dengan pencocokan HLA. Sebagai penyelesaian lain yang memungkinkan adalah, sel T donor dapat dimusnahkan sebelum transplantasi sumsum tulang. Protokol ini terbukti menimbulkan akibat campuran: risiko GVHD dikurangi, tetapi angka kejadian kegagalan jaringan transplan dan (pada individu dengan penyakit) rekurensi leukemia meningkat. Tampaknya sel T



139



multifungsi tidak hanya menyebabkan GVHD tetapi juga diperlukan untuk tumbuhnya HSC yang ditransplantasikan secara efisien dan penyingkiran sel leukemia (dikenal sebagai efek graft-versusleukemia). Cacat Kekebalan (Defisiensi Imun). Ini seringkali berlangsung lama pada resipien transplantasi HSC. Di antara banyak faktor untuk kelainan ini adalah pemulihan yang lambat dari sistem imun adaptif dari resipien, yang dihancurkan atau ditekan agar jaringan transplan dapat tumbuh dan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk pulih. Selama masa yang rawan ini, resipien peka terhadap berbagai infeksi, terutama virus, seperti infeksi sitomegalovirus (CMV) dan EBV.



PENYAKIT IMUNODEFISIENSI Penyakit imunodefisiensi dapat disebabkan oleh cacat yang diwariskan yang mengganggu perkembangan sistem imun, atau mungkin disebabkan oleh pengaruh sekunder dari penyakit lain (contoh infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosu presi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis, penderita dengan imunodefisiensi tampit dengan kepekaan yang meningkat terhadap infeksi, demikian juga terhadap jenis tertentu dari kanker. Jenis infeksi pada penderita tertentu sangat bergantung kepada unsur sistem imun yang dipengaruhi. Penderita dengan cacat immunoglobulin, komplemen, atau sel fagosit biasanya menderita infeksi berulang dengan bakteri piogenik, sedangkan cacat imunitas seluler cenderung mengalami infeksi yang disebabkan virus, fungus, dan bakteri intrasel. Selanjutnya akan dibahas imuno defisiensi primer (kongenital) yang Iebih penting, diikuti uraian terperinci tentang sindrom imunodefisiensi akuisita (SIDA atau AIDS), sebagai contoh imunodefisiensi sekunder (didapat) yang paling menyebabkan kecacatan.



Imunodefisiensi Primer (Kongenital) Hal yang menggembirakan bahwa status imuno defisiensi primer jarang terjadi, tetapi bagaimanapun penelitiannya banyak menyumbangkan pengertian tentang perkembangan dan fungsi sistem imun. Sebagian besar penyakit imunodefisiensi ditentukan oleh faktor genetik dan memengaruhi baik imunitas adaptif (contoh humoral atau seluler) atau mekanisma pertahanan tuan rumah alami/bawaan. Termasuk protein komplemen, dan sel seperti fagosit dan seI NK. Cacat pada imunitas adaptif seringkali dibagi berdasarkan unsur utama yang terkena (contoh sel B atau sel T, atau kedua-duanya); walaupun demikian, karena interaksi antara limfosit T dan B, pembedaan ini tidak terlalu jelas. Misalnya, cacat sel T seringkali menyebabkan sintesis antibodi terganggu, dan oleh karena itu defisiensi sel T yang terpisah mungkin tidak dapat dibedakan dari defisiensi campuran sel T dan sel B. Sebagian besar defisiensi imun primer terlihat pada masa dini kehidupan (antara usia 6 bulan dan 2 tahun), biasanya karena bayi yang terkena menderita infeksi berulang. Salah satu hasil penelitian biologi molekuler modern yang sangat mengesankan adalah identifikasi dasar genetik untuk banyak imunodefisiensi primer (Gambar 4-25), yang meletakkan Iandasan untuk pengembangan terapi penggantian gen di kemudian hari.



140



BAB4



Penyakit Sistem Imun



SUMSUM TULANG



TIMUS Sel punca pluripoten



Sel mieloid



Prekursor



Defisiensi ADA



mieloid umum



Sel pro-B



Sel Pro-T SCID terkait X (rantai γ sitokin)



Prekursor limfoid umum



Sel T belum-matang



Sel pre-B



Agamaglobulinemia terkait X (BTK)



IgM



Reseptor



Rantai berat IgM



Sindrom DiGeorge



Sel T



Defisiensi MHC kelas II



CD40L Sel T CD4+



IgD



Sindrom hiper-IgM (CD40L)



Sel B belum-matang CVID IgM



Sel T matang



IgG



CD8+



CD4+



Defisiensi IgA IgA



IgE



Sel B matang



Gambar 4-25 Penyakit imunodefisiensi primer. Ditunjukkan jalur dasar perkembangan limfosit dan hambatan di dalam jalur tersebut pada penyakit imunodefisiensi primer yang terpilih. Gen yang mengalami perubahan ditunjukkan di dalam tanda kurung untuk beberapa kelainan. ADA, adenosine deaminase; CD40L, CD40 ligand (juga dikenal sebagai CD154); CVID, common variable immunodeficiency; SCID, severe combined immunodeficiency.



Agamaglobulinemia X-linked: Penyakit Bruton Agamaglobuhnemia X-linked (XLA), atau penyakit Bruton, ditandai oleh kegagalan sel pre-B untuk berdiferensiasi menjadi sel B dan, seperti sebutannya, adalah keadaan tanpa antibodi (gamaglobulin) di dalam darah. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1 dalam 100.000 bayi pria. Selama pematangan sel B yang normal, gen rantai berat imunoglobulin mengalami pengaturan kembali (rearrangement) lebih dahulu, diikuti dengan pengaturan kembali rantai ringan. Pada tiap stadium, isyarat diterima dari unsur reseptor antigen yang terpapar yang mendorong pematangan pada stadium berikutnya; isyarat ini bertindak sebagai kelola mutu, untuk merijarnin produksi protein reseptor yang tepat. Pada XLA, pematangan sel B berhenti setelah pengaturan kembali rantai berat dimulai karena mutasi kinase tirosin yang terkait dengan reseptor sel pre-B dan berperan pada transduksi isyarat sel pre-B. Kinase ini disebut Bruton tyrosine kinase (BTK). Apabila tidak berfungsi, reseptor sel pre-B tidak dapat mengirim isyarat ke dalam sel untuk melanjutkan proses pematangan. Sebagai akibatnya, rantai ringan imunoglobulin tidak diproduksi, dan molekul imunoglobulin lengkap yang terdiri dari rantai berat dan rantai ringan tidak dapat dirakit dan dikirimkan ke membran sel, walaupun rantai berat yang bebas tidak dapat ditemukan di dalam sitoplasma.



Oleh karena gen BTK ada pada kromosom X, kelainan ini dijumpai pada pria. Secara klasik, penyakit ini ditandai oleh hal berikut: • Sel B tidak ditemukan atau jumlahnya sangat sedikit di dalam sirkulasi, disertai kadar semua kelas imunoglobulin serum yang sangat rendah. Jumlah sel pre-B di dalam sumsum tulang mungkin normal atau berkurang. • Pusat germinal kurang berkembang atau bersifat rudimenter pada jaringan limfoid tepi, termasuk kelenjar getah bening, bercak Peyeri, apendiks dan tonsil. • Tidak ditemukan sel plasma di seluruh tubuh. • Reaksi yang diperantarai sel T normal. XLA tidak muncul sampai bayi yang terkena mencapai usia sekitar 6 bulan, ketika pasokan transplasental dari antibodi maternal telah terhenti. Pada sebagian besar kasus, infeksi bakteri berulang seperti faringitis akut dan kronik, sinusitis, otitis media, bronkitis, dan pneurnonia menandakan ada cacat kekebalan yang mendasarinya. Organisme penyebab biasanya adalah patogen bakteri yang disingkirkan oleh opsonisasi yang diperantarai antibodi dan fagositosis (contoh Haemophilus influenzae, Streptococcus



Penyakit imunodefisiensi pneumoniae, dan Staphylococcus aureus). Karena antibodi penting untuk netralisasi virus, penderita XLA juga peka terhadap infeksi virus tertentu, terutama yang disebabkan oleh enterovirus, Sama halnya, Giardia lamblia, suatu protozoa intestinal biasanya dinetralkan oleh IgA sekretoar, tidak dapat disingkirkan secara efisien dan menyebabkan infeksi yang menetap. Hal yang menguntungkan, bahwa terapi penggantian dengan imunoglobulin intravena (IVIG) dari serum manusia yang digabung membantu sebagian besar penderita memerangi infeksi bakteri secara adekuat. Penderita XLA marnpu menyingkirkan sebagain infeksi virus, fungus dan protozoa, karena imunitas yang diperantarai sel T utuh. Dengan sebab yang tidak jelas, penyakit autoimun (seperti RA dan dermatomiositis) terjadi sebanyak 20% pada penderita penyakit ini.



Imunodefisiensi Variabel Umum Imunodefisiensi variabel umum adalah istilah payung untuk kelompok kelainan yang heterogen yang ditandai oleh hipogamaglobulinemia, gangguan reaksi antibodi terhadap infeksi (atau vaksinasi), dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Manifestasi klinis secara umum mirip dengan gambaran klinis pada XLA, tetapi pada imunodefisiensi variabel umum pria dan wanita terpengaruh sepadan dan permulaan gejala terjadi lebih Iambat yaitu, pada dekade kedua atau ketiga dari kehidupan. Diagnosis biasanya adalah salah satu dari eksklusi (setelah penyebab lain imunodefisiensi dikesampingkan). Prevalensi yang diperkirakan dari penyakit ini adalah 1 dalam 50.000. Walaupun sebagian besar penderita memiliki jumlah sel B yang matang, adalah normal namun sel plasma tidak ditemukan, menandakan bahwa diferensiasi sel B yang terkait stirnulasi antigen mengalami hambatan. Cacat produksi antibodi dikaitkan dengan cacat intrinsik sel B, sel T penolong tidak berfungsi, atau karena aktivitas supresi sel T berlebihan. Hal yang berlawanan, bahwa penderita cenderung mengalami berbagai kelainan autoimun (anemia hemolitik, anemia pernisiosa), demikian juga tumor limfoid. Mekanisme yang mendasari defisiensi antibodi bervariasi (sesuai dengan sebutannya). Sebagian penderita penyakit ini mengandungi mutasi pada reseptor sel B untuk faktor pertumbuhan tertentu, atau pada molekul yang terlibat pada interaksi antara sel T dan sel B. Walaupun demikian, dasar genetik dari sebagian besar kasus penyakit ini tidak diketahui.



Defisiensi igA yang Terpisah Dari semua penyakit imunodefisiensi primer yang paling sering ditemukan, ialah defisiensi IgA yang mengenai sekitar 1 di antara 700 individu berkulit putih. Seperti yang diperhatikan sebelumnya, IgA adalah imunoglobulin utama di dalam sekresi mukosa dan oleh karena itu berperan pada reaksi pertahanan di saluran napas dan gastrointestinal. Walaupun sebagian besar individu dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala penyakit, pertahanan mukosa yang lemah menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi sinopulmonal dan diare yang berulang. Terdapat juga hubungan bermakna (tetapi tidak dapat diterangkan) dengan penyakit autoimun. Patogenesis defisiensi IgA tampaknya terkait dengan hambatan dalam diferensiasi akhir dari sel B yang mensekresi IgA menuju sel plasma; antibodi subkelas IgM dan IgG menunjukkan kadar normal atau supranormal. Dasar molekuler dari cacat ini tidak dirnengerti.



Sindrom Hiper-IgM Pada reaksi imun normal terhadap antigen protein, antibodi IgM diproduksi pertama kali, diikuti oleh pembentukan secara berurutan dari antibodi IgG, IgA dan IgE. Seperti dibahas



141



sebelumnya di dalam bab ini, penampilan berurutan berbagai tipe antibodi disebut pengalihan kelas (isotip) rantai-berat dan penting untuk pembentukan kelas-kelas antibodi yang dapat mengaktifkan komplemen secara efektif dan/ atau opsonisasi patogen bakteri. Kernampuan sel B yang memproduksi IgM untuk mengaktifkan gen transkripsi yang menyandi isotip immunoglobulin lain bergantung kepada sitokin tertentu, demikian juga kepada isyarat yang diperantarai kontak dari sel T penolong CD4+. Isyarat yang bergantung kepada kontak diberikan oleh interaksi antara molekul CD40 pada sel B dan CD4OL (juga dikenal sebaga CD154) yang dipaparkan pada sel T penolong yang teraktifkan. Penderita dengan sindrom hiper-IgM memproduksi IgM dalam kadar normal atau supranormal, tetapi tidak mampu memproduksi isotip IgG, IgA dan IgE; cacat yang mendasarinya adalah ketidakmampuan sel T membantu fungsi pengalihan isotip pada sel B. Abnormalitas genetik yang paling sering adalah mutasi gen yang menyandi CD4OL. Gen ini terletak pada kromosom X. Oleh karena itu sekitar 70% penderita sindrom hiper IgM terkait dengan kromosom X (X-linked). Pada kasus lain yang tersisa, mutasi terjadi pada gen CD40, atau molekul lain yang terlibat pada pengalihan kelas, misalnya enzim yang disebut activation-induced deaminase. Di samping cacat pengalihan kelas, pada individu dengan mutasi CD4OL atau CD40, juga terdapat cacat produksi antibodi dengan afinitas tinggi, karena mekanisme yang sama diperlukan untuk pematangan afinitas dari reaksi antibodi. Walaupun penyakit ini didiagnosis dan sebutannya dikaitkan dengan abnormalitas antibodi, pada penderita dengan mutasi CD40 atau CD4OL terdapat juga cacat imunitas seluler karena interaksi CD40- CD4OL penting untuk aktivasi yang diperantarai sel T penolong terhadap makrofag, sebagai reaksi sentral dari imunitas seluler. Penderita pria dengan bentuk X-linked dari sindrom hiper-IgM tampil dengan infeksi piogenik yang berulang disebabkan oleh kekurangan jumlah antibodi IgG yang membantu opsonisasi. Penderita juga peka terhadap infeksi patogen intrasel yang biasanya diperangi oleh imunitas seluler, termasuk Pneurnacystis jiroveci (dahulu disebut Pneuntocystis carinii).



Hipoplasia Timus: Sindrom DiGeorge Sindrom DiGeorge terjadi dari cacat kongenital dalam pengembangan timus dengan gangguan pematangan sel T. Sel T tidak ditemukan pada kelenjar getah bening, Iimpa, dan darah tepi, dan bayi dengan cacat ini sangat peka terhadap infeksi virus, fungus, dan protozoa. Penderita juga peka terhadap infeksi bakteri intrasel, karena cacat imunitas yang diperantarai sel T. Sel B dan kadar imunoglobulin serum umumnya tidak dipengaruhi. Kelainan ini diakibatkan oleh malformasi pada masa perkembangan yang mengganggu relung farings ketiga dan keempat, struktur yang berkembang menjadi timus, kelenjar paratiroid dan bagian dari wajah serta arkus aorta. Oleh karena itu, di samping cacat timus dan sel T, mungkin terdapat hipoplasia kelenjar paratiroid, yang menyebabkan tetani jenis hipokalsemia, demikian juga abnormalitas perkembangan di daerah garis tengah (midline abnormalities). Pada 90% kasus sindrom DiGeorge terdapat kehilangan bagian kromosom (delesi) pada daerah 22q11, seperti yang dibahas pada Bab 6. Transplantasi jaringan timus telah berhasil mengobati bayi yang terkena. Pada penderita dengan gangguan parsial, imunitas dapat pulih spontan dengan bertambahnya usia.



142



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Imunodefisiensi Gabungan yang Parah Imunodefisiensi gabungan yang parah (severe combined immintodeficiency/SCID) mewakili sindrom genetik yang berbeda dari yang lain dengan gambaran umum cacat reaksi kekebalan humoral dan seluler. Bayi yang terkena peka terhadap infeksi parah yang berulang yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk bakteri, virus, fungus dan protozoa, dan infeksi oportunistik oleh Candida, Przeumocystis, CMV, dan Pseudornonas. Patogen Ini menyebabkan penyakit yang parah (dan kadang-kadang bersifat letal). Prevalensi penyakit kira-kira 1 di antara 65.999 sampai 1 di antara 100.000, dan kekerapannya pada penduduk asli Amerika adalah 20 sampai 30 kali lebih tinggi. Walaupun gambaran klinisnya umum, cacat yang mendasari pada penderita secara individu sangat beragam. Sebagian bentuk SCID disebabkan oleh cacat tunggal yang memengaruhi baik sel T maupun sel B, dan yang lain mungkin akibat cacat primer pada sel T dengan kelainan sekunder pada imunitas humoral. Kira-kira separuh kasus adalah x-linked; ini disebabkan mutasi pada gen yang menyandi rantai γ yang unzunt, yang juga dimiliki oleh reseptor sitokin IL-2, IL-4, IL-7, IL-9 dan IL-15. Di antara sitokin-sitokin ini, IL-7 adalah yang paling penting pada penyakit ini karena itu adalah faktor pertumbuhan yang berperan untuk menunjang ketahanan hidup dan pengembangan sel asal (precursor) B dan T yang belum matang pada organ limfoid generatif. Sebagian lain, 40% sampai 50%, kasus SCID diwariskan secara autosomal resesif, sehingga sekitar separuh disebabkan oleh mutasi pada adenosine deamitzase (ADA), suatu enzim yang berperan pada metabolisme purin. Defisiensi ADA merupakan akibat penimbunan metabolit adenosin dan deoksiadenosin trifosfat, yang menghambat sintesis DNA dan toksik terhadap limfosit. Kasus autosomal resesif lain dari SCID terkait dengan cacat dalam jalur metabolisme purin yang lain, kegagalan primer pemaparan MHC kelas 11, atau mutasi pada gen yang menyandi rekombinan yang berperan pada pengaturan kembali gen reseptor antigen limfosit. Pada dua bentuk SCID yang paling sering (mutasi rantai y umum dari reseptor sitokin dan defisiensi ADA), terdapat hipoplasi timus. Kelenjar getah bening dan jaringan limfoid (contoh pada tonsil, usus, dan apendiks) mengalami atrofia dan tidak ditemukan pusat germinal demikian juga sel T parakorteks. Penderita yang terjangkiti mungkin mengalami Iimfopenia, disertai defisiensi baik sel T maupun sel B; yang lain mungkin menunjukkan peningkatan jumlah sel T yang belum matang dan atau jumlah sel B yang nonfungsional sebagai akibat tidak adanya bantuan sel T. Penderita dengan SCID akhir-akhir ini diobati dengan transplantasi sumsum tulang. X-SCID adalah penyakit pertama yang berhasil diobati dengan terapi gen menggantikan gen yang bermutasi, tetapi pendekatan itu sedang dievaluasi kembali karena sebagian penderita yang diobati mengalami perkembangan leukemia sel T, yang diduga karena gen yang dipergunakan diselipkan dekat dengan onkogen seluler.



Cacat pada Aktivasi Limfosit Sebagian kecil penderita mengalami mutasi pada gen yang diperlukan untuk aktivasi sel T telah ditetapkan dan tampil dengan cacat imunitas seluler atau fenotipe yang mirip SCID. Salah satu hal yang menarik adalah mutasi faktor transkripsi yang diperlukan untuk reaksi TH17. Manifestasi penyakit yang diakibatkannya termasuk infeksi fungus (dan kadang-kadang bakteri) pada kulit dan candidiasis mukokutan.



Sebaliknya, mutasi pada gen yang melibatkan reaksi TH1 menyebabkan kepekaan terhadap infeksi oleh mikobakteri atipik. Pengamatan ini menekankan pentingnya sel TH17 untuk reaksi pertahanan terhadap infeksi fungus dan TH1 untuk memerangi infeksi bakteri intrasel. Mutasi pada gen yang menyandi protein kanal kalsium, dan unsur lain dari proses pengiriman isyarat sel T, juga telah diuraikan.



imunodefisiensi dengan Trombositopenia dan Eksema: Sindrom Wiskott-Aldrich Sindrom Wiskott-Aldrich adalah penyakit X-linked resesif yang ditandai oleh trombositopenia, eksema, dan kepekaan tinggi terhadap infeksi beridang, yang berakhir dengan kematian yang dini; pengobatan satu-satunya adalah transplantasi sumsum tulang. Ini adalah sindrom yang menantang, bahwa tampilan Idinis dan cacat imunologi sulit diterangkan berdasarkan cacat genetik yang diketahui mendasarinya. Timus pada permulaan normal, tetapi terdapat pemusnahan limfosit T yang progresif dan bertambah dengan umur, di darah tepi dan kelenjar getah bening, disertai kehilangan imunitas seluler. Di samping itu penderita tidak menunjukkan reaksi antibodi yang efektif terhadap antigen polisakarida, sehingga peka terutama terhadap infeksi bakteri yang berselubung, bakteri piogenik. Penderita yang terjangkiti cenderung mengalami perkembangan Iimfoma malignum. Gen yang berperan menyandi protein (Wiskutt-Aldrich syndrome protein) yang terikat pada beberapa reseptor membran terhadap sitoskelet. Walaupun mekanismenya tidak diketahui, cacat protein ini dapat menyebabkan kelainan morfologi sel (termasuk perubahan bentuk trombosit), atau cacat isyarat aktivasi yang bergantung pada sitoskelet kepada limfosit dan leukosit lain, disertai kelainan adhesi antar sel dan migrasi leukosit.



Defisiensi Genetik dari Unsur imunitas Alami/Bawaan Beberapa cacat genetik telah ditunjukkan memengaruhi molekul atau sel yang penting pada reaksi imun alami/bawaan yang dini terhadap mikroba.



Protein Komplemen Seperti dibahas lebih dahulu pada bab ini dan pada Bab 2, unsur komplemen memainkan peranan penting pada reaksi inflamasi dan irrtunalogi. Oleh karena itu, defisiensi herediter dari C3 (penting baik untuk jalur klasik maupun alternatif) menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri piogenik. Defisiensi herediter dari C1q, C2 dan C4 tidak menyebabkan penderita peka terhadap infeksi, tetapi meningkatkan risiko terhadap penyakit yang diperantarai kompleks-imun (contoh SLE), mungkin dengan mengganggu penyingkiran sel apoptotik atau kompleks antigenantibodi dari sirkulasi. Defisiensi unsur yang akhir dari jalur klasik komplemen (C5 sampai C9) menyebabkan infeksi berulang oleh Neisseria (gonokokus dan meningokokus) dan tidak oleh mikroba lain, karena Neisseria mempunyai dinding sel yang tipis dan terutama peka terhadap lysis oleh membrane attack complex, produk dari tahap akhir dari aktivasi komplemen. Kekurangan protein regulator Cl inhibitor, menyebabkan gangguan aktivasi Cl inhibitor, yang mengaktifkan mediator komplemen vasoaktif, yang berakibat angioedema herediter, yang ditandai oleh episode edema lokal yang berulang yang memengaruhi kulit dan/atau membran mukosa.



Penyakit Imunodefisiensi Fagosit Beberapa cacat kongenital pada fagosit sudah diketahui. lni termasuk cacat enzim oksidase fagosit (NAPDH oksidase), penyebab penyakit granuloma kronik, dan cacat pada ligan integrin dan selektin, menyebabkan defisiensi adhesi leukosit. Kelainan ini dibahas dalam Bab 2.



Kelainan Genetik Lain dari Imunicas Alami/Bawaan Mutasi pada TLR dan jalur isyaratnya sangat jarang, tetapi penelitian tentang kelainan yang terkait telah bersifat informatif. Salah satu kejutan yang telah muncul dari penyakit ini adalah bahwa imunodefisiensi biasanya sangat terbatas. Misalnya, penderita dengan mutasi yang memengaruhi TLR3, yang mengenal RNA virus, menyebabkan ensefalitis herpes simpleks yang berulang, dan yang mengalami mutasi yang memengaruhi MyD88, menyebabkan protein isyarat dibagian hifir dari banyak TLR, peka terhadap infeksi bakteri, terutama penyakit pneumokokus paru yang parah, tetapi tidak ada yang menderita infeksi multipel yang menyebar.



RINGKASAN Penyakit imunodefisiensi Primer (Kongenital) • •



Disebabkan oleh mutasi gen yang terlibat pada pematangan atau fungsi limfosic, atau pada imunitas alami/bawaan. Sebagian dari kelainan yang umum: XLA: kegagalan dari pematangan sel B, tidak ditemukan antibodi; disebabkan oleh mutasi pada BTK, yang menyandi tirosin kinase, yang diperlukan untuk isyarat pematangan dari reseptor sel pre-B dan sel B.  Imunodefisiensi variabel yang umum: cacat dalam produksi antibodi; penyebab tidak diketahui pada sebagian besar kasus.  Defisiensi IgA selektif gagal dalam produksi IgA; penyebab tidak diketahui.  X-SCID: kegagalan pematangan sel T dan sel B; mutasi rantai γ yang umum dari reseptor sitokin, menyebabkan kegagalan pengisyaratan IL-7 dan cacat limfopoiesis.  SCID autosomal: kegagalan perkembangan sel T, cacat sekunder dari reaksi antibodi; sekitar 50% kasus disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi ADA, menyebabkan penimbunan merabolit yang toksik selama pematangan dan proliferasi limfosit.  Sindrom hiper-IgM yang X linked: kegagalan untuk memproduksi antibodi dengan pengalihan isotip berafinitas tinggi (IgG, IgA, IgE); mutasi pada gen yang menyandi CD40l. 







Tampilan klinis: peningkatan kepekaan terhadap infeksi pada masa dini kehidupan.



Imunodefisiensi Sekunder (Didapat) Imunodefisiensi sekunder terhadap penyakit lain atau terapi jauh lebih sering dari pada penyakit imunodefisiensi primer (herediter). Imunodefisiensi sekunder dapat dijumpai pada penderita dengan malnutrisi, infeksi, kanker, penyakit ginjal atau sarkoidosis. Namun, penyebab imunodefisiensi sekunder yang paling sering adalah oleh terapi yang menginduksi supresi sumsum tulang atau fungsi limfosit.



143



Akan dibicarakan mungkin penyakit imunodefisiensi sekunder yang paling penting, AIDS, yang telah menjadi sumber utama bencana kemanusian.



Sindrom Imunodefisiensi Akuisita (SIDA/AIDS) AIDS adalah penyakit retrovirus yang disebabkan oleh virus imunodefisiensi manusia (human immunoriefciency virus/HIV). Penyakit ditandai dengan infeksi dan musnahnya limfosit T CD4+, dan imunodefisiensi yang parah yang menyebabkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologik. Walaupun AIDS diuraikan pertama kali di Amerika Serikat, penyakit tersebut sekarang dilaporkan di hampir setiap negara di dunia. Pada akhir 2009, lebih dari 33 juta orang hidup dengan infeksi HIV dan AIDS, yang sekitar 70% di antaranya ada di Afrika dan 20% di Asia; terdapat hampir 2 juta kasus yang didiagnosis dan hampir 2 juta meninggal karena penyakit tersebut dalam tahun itu, dengan kematian total lebih dari 22 juta sejak epidemik yang diketahui pada 1981. Walaupun jurnlah terbesar infeksi terdapat di Afrika, peningkatan paling cepat dari infeksi HIV dalam dekade terakhir terjadi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, India, dan Indonesia. Angka statistik hanya sedikit lebih baik di negara Barat; misalnya sekitar 1 juta penduduk Amerika Serikat yang terinfeksi (sekitar 1 dari 300). Lebihlebih lagi, Iebih banyak penduduk Amerika (lebih dari 500.000) meninggal karena AIDS dibandingkan dengan angka gabungan kematian selama dua perang dunia. Angka kematian terkait AIDS terus menurun sejak puncaknya pada 1995. Berkat kerjasama antara banyak ilmuwan dan dokter klinis, telah terjadi ledakan pengetahuan baru tentang wabah buruk di jaman modern ini. Kemajuan penelitian sangat cepat di bidang biologi HIV sehingga tiap naskah tentang topik ini mungkin telah ketinggalan ketika dipublikasikan. Walaupun demikian, selanjutnya akan disajikan ringkasan dari informasi yang tersedia tentang, epidemiologi HIV, etiologi, patogenesis dan gambaran klinisnya.



Epidemiologi Penelitian epidemiologik di Amerika Serikat telah menetapkan lima kelompok risiko untuk terjangkitnya AIDS, dan ini mirip dengan keadaan di negara lain, kecuali yang tercatat di dalarn daftar berikut. Transmisi HIV terjadi karena pengaruh keadaan yang menzberi peluang terjadinya pertukaran darah atau cairan tubuh yang mengandungi virus atau seI yang terinfeksi virus, Oleh karena itu, jalan rnasuk utarna infeksi HIV adalah kontak seks, penyuntikan parenteral, dan penurunan virus dari ibu yang terinfeksi kepada anak baru Iahir. Pada sekitar 10% kasus, faktor risiko tidak diketahui atau tidak dilaporkan. Data distribusi kasus yang dikutip adalah untuk Amerika Serikat. • Pria yang melakukan hubungan seks dengan pria merupakan kelompok terbesar individu yang terinfeksi, mencapai 48% dari kasus yang dilaporkan pada periode 2001 sampai 2004 dan 56% dari pria yang terinfeksi (sekitar 4% di antaranya juga menggunakan obat yang disuntikkan). Walaupun demikian, transmisi AIDS pada kategori ini sedang menurun, dengan jumlah kurang dari 50% kasus baru terkait pria yang melakukan homoseks. • Kontak heteroseks dari kelompok risiko tinggi adalah 34% dari infeksi yang terjadi pada 2001 sampai 2004. Di Afrika dan Asia, ini sebenarnya kelompok paling besar dari penderita dengan infeksi baru, dan sebagian besar kasus baru adalah wanita yang terinfeksi melalui mitra prianya.



144



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



• Para penyalah guna obat tanpa riwayat homoseks merupakan kelompok kedua terbesar, mewakili sekitar 17% dari semua penderita. • Resipien darah dan unsur darah (tapi bukan hemofilia) yang mendapat transfusi darah penuh atau unsur darah (contoh trombosit, plasma) yang terinfeksi HIV berjumlah sekitar 1% dari penderita. • Penderita hemofilia, terutama yang menerima banyak faktor VIII atau IX sebelum 1985, mencapai sekitar 1% dari semua kasus. • Epidemiologi infeksi HIV dan AIDS sangat berbeda pada golongan anak (diagnosis ketika usia lebih muda dari 13 tahun). Sekitar 1% dari semua kasus AIDS, terjadi pada populasi ini, dan sebagian besar (sekitar 90%) disebabkan oleh transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi ke janin atau anak baru lahir. Penularan melalui Hubungan Seks. Penularan melalui hubungan seks sebenarnya merupakan cara infeksi utama di seluruh dunia, mencapai lebih dari 75% dari semua kasus transmisi HIV. Walaupun sebagian besar kasus yang terinfeksi melalui hubungan seks di Amerika masih disebabkan kontak seks antara pria dengan pria, namun secara global sebagian besar transmisi HIV melalui hubungan seks disebabkan aktivitas heteroseks. Bahkan di Amerika Serikat, laju peningkatan angka penularan heteroseks meninggalkan jauh angka penularan karena sebab lain; penyebaran semacam itu menyebabkan peningkatan dramatik infeksi HIV pada mitra seks wanita dari pria penyalah guna obat intravena. Virus terdapat di dalam semen, baik ekstrasel maupun di dalam sel inflamasi mononukleus, dan masuk ke dalam tubuh resipien melalui laserasi atau abrasi pada mukosa. Penularan virus ke anak baru lahir dapat terjadi baik melalui virus yang masuk secara langsung atau sel yang terinfeksi ke dalam pembuluh darah yang cedera karena jejas trauma atau diambil oleh DC mukosa. Jelaslah, bahwa penularan melalui hubungan seks dibantu dan ditambah oleh penyakit lain hubungan seks lain, yang menyebabkan laserasi genital, termasuk sifilis, syankroid dan infeksi virus herpes simpleks. Gonorea dan infeksi klamidia, merupakan kofaktor dari penularan HIV, terutama dengan meningkatkan isi cairan semen dengan sel radang (mungkin mengandungi HIV). Di samping adanya penularan pria ke pria dan pria ke wanita, HIV yang ada di vagina dan sel serviks dari wanita yang terinfeksi, dan dan dapat menjadikan penularan dari wanita ke pria, walaupun sekitar 8 kali lebih sedikit efisensinya. Penularan Melalui Jalan Di Luar Saluran Cerna (Parenteral). Penularan Parenteral dari HIV telah terdokumentasi melalui tiga kelompok yang berbeda: pengguna salah obat suntikan intra vena (kelompok paling besar), penderita hemofilia yang mendapatkan pengobatan dengan konsentrat faktor VIII atau IX, dan resipien bebas untuk transfusi darah. Di antara penggunaan salah obat, penularan terjadi melalui pemakaian bersama jarum, semprit atau perhiasan/perlengkapan yang tercemar dengan darah mengandungi HIV. Penularan HIV melalui transfusi darah atau produk darah seperti konsentrat faktor VIII yang diliofilisasi telah dihindari hampir sepenuhnya sejak 1985. Empat upaya pencegahan kesehatan masyarakat: penapisan untuk antibodi terhadap HIV pada darah dan plasma yang didonasikan, penapisan antigen p24 yang terkait HIV (dapat dideteksi sebelum antibodi terbentuk), perlakuan konsentrat faktor pernbekuan dengan suhu tinggi (panas), dan penapisan donor berdasarkan riwayat penyakit. Dengan semua upaya pencegahan tersebut, diperkirakan pada waktu ini masih terdapat satu di antara 1,5 juta donasi darah terinfeksi HIV, dan 20 komponen darah yang positif HIV berasal dari 11 donasi yang terinfeksi diedarkan tiap tahun yang berpotensi menularkan infeksi pada resipien. Dengan kemajuan uji asam nukleat, risiko yang kecil ini tampak menurun.



Penularan dari Ibu ke Bayi. Seperti diperhatikan sebelumnya,



penular-an vertikal dari ibu ke merupakan penyebab utama dari AIDS pada anak. Tiga jalur yang terlibat: in utero, melalui penyebaran transpla-senta; intrapartum, selama persalinan; dan melalui konsumsi air susu ibu yang tercemar HIV. Di antara jalur-jalur penularan tersebut, jalur transplasenta dan intrapartum merupakan kasus yang terbanyak. Laju penularan vertikal diseluruh dunia bervariasi, antara 25% sampai 35%, dan di Amerika Serikat dilaporkan 15% sampai 25% ; laju infeksi yang lebih tinggi terjadi pada muatan virus maternal yang tinggi dan atau adanya korioamnionitis, mungkin karena penimbunan sel radang di plasenta. Oleh karena dampak AIDS yang buruk, masyarakat awam menjadi prihatin tentang penyebaran infeksi HIV di luar kelompok yang dikenal berisiko tinggi. Sebagain besar dari kecemasan ini dapat dikurangi, karena penelitian yang luas menunjukan bahwa infeksi HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak perorangan yang lazim di tempat tinggal, tempat kerja, atau sekolah, dan tidak diperoleh bukti yang meyakinkan tentang kemungkinan penularan melalui gigitan serangga. Risiko penularan infeksi ke pekerja perawatan kesehatan sangat kecil tetapi terbukti. Serokonversi terjadi setelah tidak sengaja tertusuk jarum atau karena kulit yang cedera terpapar darah yang terinfeksi di laboratorium, dengan laju sekitar 0,3% tiap pemaparan yang tidak sengaja. Sebagai perbandingan, laju serokonversi setelah paparan yang tidak sengaja dengan darah yang tercemar virus hepatitis B adalah sekitar 6% sampai 30%.



Etiologi dan Patogenesis



AIDS disebabkan oleh HTV, retrovirus manusia yang tergolong dalam keluarga lentivirus (yang juga beranggotakan virus imunodefisiensi kucing, virus imunodefisiensi kera, virus visna biri-biri, dan virus anemia infeksiosa kuda). Dua jenis HTV yang berbeda secara genetik tetapi secara antigen berkaitan, disebut HIV-1 dan HIY-2, telah diisolasi dari penderita AIDS. HlV-1 merupakan jenis yang lebih sering terkait denga11 AIDS di Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HlV-2 menyebabkan penyakit yang mirip terutama di Afrik Barat. Uji spesifik untuk HTV-2 sekarang tersedia, dan darah yang dikumpulkan untuk transfusi juga secara rutin ditapis terhadap seropositivitas HIV-2. Selanjutnya pembahasan terutama berkaitan dengan HIV-1 dan penyakit yang disebabkannya, tetapi pada umumnya dapat diterapkan pada HIV-2 juga.



Struktur HIV Seperti sebagian besar retrovirus, vmon HIV-1 berbentuk sferik dan mengandungi struktur padat elektron, dengan teras yang berbentuk kerucut dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel tuan rumah (Gambar 4-26). Teras virus berisi (1) protein kapsid mayor p24, (2) protein nukleokapsid p7/p9, (3) dua kopi genom RNA, dan (4) tiga enzim virus-protease, reverse transciptase dan integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang paling mudah di deteksi dan oleh karena itu dijadikan sasaran antibodi yang digunakan untuk diagnosis HIV pada penapisan darah. Teras virus dikelilingi oleh matriks protein yang disebut p17, terletak di bawah selubung virion. Selubung virion sendiri dibangun oleh dua glikoprotein virus (gp120 dan gp41), penting untuk infeksi HIV pada sel. Genom proviral HIV-1 mengandungi gen-gen gag, pol dan env, yang menyandi berbagai protein virus. Produk dari gen gag dan pol pada permulaannya diterjemahkan ke dalam protein asal (prekursor) yang besar dan harus dipecah oleh protease virus menjadi protein yang matang. Obat inhibitor protease anti HIV-1 mencegah perakitan virus dengan menghambat pembentukan protein virus yang matang.



Penyakit Imunodefisiensi gp41



Matriks p17



gp120 Capsid p24 2 lapis lipid Integrase Protease RNA Reverse transcriptase



Gambar 4-26 Struktur virus imunodefisiensi manusia (human immunodeficiency virus/HIV) Virion HIV-1. Partikel virus diselubungi oleh dua lapis lipid yang berasal dari sel tuan-rumah dan diselipi oleh glikoprotein virus gp41 dan gp120.



Di samping tiga gen baku retrovirus, HIV mengandungi beberapa gen lain (diberi sebutan dengan tiga huruf seperti tat, rev, vif, nef, vpr, dan vpu) yang mengatur sintesis dan perakitan partikel virus yang infektif. Produk gen tnt (transaktivator), misalnya, penting untuk replikasi virus, menyebabkan peningkatkan 1000 kali transkripsi gen virus. Protein nef merangsang aktivitas kinase intrasel (memengaruhi aktivasi sel T, replikasi virus dan infektivitas virus) dan mengurangi pemaparan molekul CD4 dan MHC pada sel yang terinfeksi. Progresi infeksi HIV in vivo bergantung kepada nef; galur virus imunodefisiensi kera dengan mutasi gen nef menyebabkan AIDS pada kera pada laju yang sangat menurun, dan manusia yang terinfeksi dengan galur HIV-1 dengan nef yang tidak berfungsi (defektif) menunjukkan muatan virus rendah, dan perjalanan penyakit yang lambat dibandingkan dengan galur non mutan. Produk berbagai gen regulator penting pada patogenesis AIDS, dan pendekatan terapi dikembangkan untuk menghambat aktivitasnya. Penetapan urutan asam nukleat dari pemisahan/ isolate virus yang berbeda menghasilkan keragaman bermakna di dalam banyak bagian dari genom HIV. Keragaman tinggi ini terkait dengan tingkat kemantapan reaksi (fidelitas) yang relatif rendah dari polimerasi virus, dengan perkiraan satu kesalahan untuk tiap 100.000 replika nukleotida. Sebagian besar varian urutan asam nukleat bergerombol di bagian-bagian genom yang menyandi glikoprotein selubung. Oleh karena reaksi imun terhadap HIV 1 diarahkan terhadap selubungnya, maka keragaman yang tinggi di dalam struktur antigen menjadi penghalang besar untuk pengembangan vaksin.



145



Berdasarkan analisis genom, HIV-1 dapat dibagi menjadi dua kelompok, disebut M (mayor) dan O (outlier). Virus kelompok M, bentuk yang lebih lazim diseluruh dunia, selanjutnya dibagi ke dalam subtipe, atau clade, dengan sebutan A sampai J. Clade berbeda dalam distribusi geografiknya, yaitu B adalah bentuk paling lazim di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dan E paling lazim di Thailand. Melebihi homologi molekuler, clade juga menunjukkan perbedaan dalam cara penularan. Sehingga, clade E tersebar terutama oleh kontak heteroseks (pria ke wanita), mungkin karena kemampuannya untuk rnenginfeksi sel dendrit (DC) subepitel vagina. Sebaliknya, virus clade B sulit tumbuh di DC dan mungkin ditularkan oleh monosit dan limfosit.



Siklus Kehidupan HIV



Kedua sasaran utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat (SSP). Siklus kehidupan virus tersebut paling baik dimengerti dalam kaitan interaksinya dengan sistem imun. Masuknya HIV ke dalam sel memerlukan molekul CD4, yang berfungsi sebagai reseptor berafinitas tinggi untuk virus (Gambar 4-27). Persyaratan ini menjelaskan tropisme virus untuk sel T CD4+ dan kemampuannya menginfeksi sel CD4+ lain, khususnya makrofag dan sel dendrit. Walaupun demikian, ikatan dengan CD4 tidak cukup untuk infeksi; gp120 selubung HIV harus juga berikatan dengan molekul permukaan sel lain (koreseptor) untuk mendukung masuknya ke dalam sel. Dua reseptor kemokin, CCR5 dan CXCR4, melakukan peran ini. Gp120 selubung HIV (yang melekat secara kovalen ke gp41 transmembran) berikatan pada permulaan dengan molekul CD4 (Gambar 4-27). Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasi yang memaparkan situs pengenaIan baru pada gp120 untuk koreseptor CXCR4 (sebagian besar pada sel T) atau CCD5 (sebagian besar pada makrofag). Gp41 kemudian mengalami perubahan konformasi yang memungkinkannya menyisip ke dalam membran sasaran, dan proses ini mendukung fusi virus ke dalam sel. Sesudah fusi, teras (inti) virus yang mengandungi genom HIV masuk ke dalam sitoplasma dari sel. Koreseptor adalah komponen penting dalam proses infeksi HIV, dan penemuannya menyelesaikan pengamatan sebelumnya yang tidak dapat dijelaskan mengenai tropisme HIV. Telah diketahui, bahwa galur HIV dapat digolongkan menurut kemampuan relatifnya untuk menginfeksi makrofag dan/atau sel T CD4+. Galur macrophage-tropie (virus R5) menginfeksi baik monosit/makrofag dan sel T darah yang baru dipisahkan, sedangkan galur T cell-tropic (virus X4) menginfeksi hanya galur sel T yang teraktivasi. Perangai selektif ini dijelaskan oleh pemakaian koreseptor yang selektif. Galur R5 rnenggunakan CCR5 sebagai koreseptornya, dan karena CCR5 dipaparkan pada baik monosit maupun sel T, sel-sel ini peka terhadap infeksi oleh galur R5. Sebaliknya, galur X4 berikatan dengan CXCR4, yang dipaparkan oleh galur sel T (dan tidak pada monosit/makrofag), sehingga hanya sel T yang teraktivasi yang peka. Sangat menarik, sekitar 90% infeksi HIV pada permulaan ditularkan oleh galur R5. Walaupun demikian, selama perjalanan infeksi, virus-virus X4 lambat laun berakumulasi; ini terutama virulen dan berperan dalam pemusnahan sel T pada fase akhir yang cepat dari perkembangan penyakit. Diperkirakan bahwa selama perjalanan infeksi, galur R5 berevolusi menjadi galur X4, sebagai akibat mutasi gen-gen yang menyandi gp120. Individu yang mengalami cacat reseptor CCR5 (orang kulit putih di Amerika Serikat, 20% heterozigot dan 1% homozigot untuk CCR5 mutan) secara relatif



146



BAB 4



Penyakit Sistem Imun gp120



VIRUS



Berikatan dengan CD4



gp120 Perubahan konformasi



gp41



Berikatan dengan reseptor kemokin



Penetrasi membran



Fusi membran



gp41 gp120 CD4



Reseptor kemokin



SITOPLASMA



Gambar 4-27 Dasar molekuler masuknya virus imunodefisiensi manusia (HIV) ke dalam sel tuan-rumah, Interaksi dengan CD4 dan reseptor kemokin ("ko-reseptor"). (Diambil atas seizin Macmillan Publishers Ltd, fromWain-Hobson S: HIV. One on one meets two. Nature 384:117, copyright 1996.)



resisten terhadap terjangkitnya AIDS, walaupun terpajan berulang dengan HIV in vivo. Karena interaksi HIV-koreseptor bermakna dalam patogenesis AIDS, pencegahan interaksi ini mempunyai nilai terapeutik yang bermakna. Sekali dimasukkan ke dalam sel, genom virus mengalami transkripsi terbalik, menyebabkan pembentukan DNA komplementer (cDNA). Pada sel T yang istirahat/tidak aktif, cDNA provirus HIV tetap berada di sitoplasma dalam bentuk episom linear. Walaupun demikian, pada sel T yang membelah, cDNA memasuki nukleus dan berintegrasi ke dalam genom tuan rumah. Setelah integrasi provirus mungkin tetap tidak mengalami transkripsi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dan infeksi menjadi laten; pada keadaan lain DNA provirus mungkin mengalami transkripsi membentuk partikel virus lengkap yang membentuk tunas dari membran sel. Infeksi produktif semacam itu, terkait dengan pembentukan tunas virus yang ekstensif, menyebabkan kematian sel. Penting untuk diperhatikan, walaupun HIV-1 dapat menginfeksi sel T yang sedang istirahat, permulaan dari transkripsi DNA provirus (diikuti infeksi produktif) hanya terjadi apabila sel yang terinfeksi diaktifkan oleh pajanan terhadap antigen atau sitokin. Jadi, dalam interaksi yang kejam, reaksi fisiologis terhadap infeksi dan stimulus lain, mendukung kematian sel T yang terinfeksi HIV. Progresi Infeksi HIV. Penyakit HIV mutai dari infeksi akut, yang hanya sebagian dikendalikan oleh reaksi imun tuan rumah, sampai berkembang menjadi infeksi kronik progresif dari jaringan limfoid perifer(Gambar 4-28). Jenis sel pertama yang terinfeksi mungkin sel T CD4+ memori (yang memaparkan CCR5) pada jaringan limfoid mukosa. Oleh karena jaringan mukosa merupakan reservoir sel T terbesar di dalam tubuh dan sebagai tempat utama tinggalnya sel T memori, maka kematian sel-sel ini berakibat pemusnahan limfosit yang bermakna. Transisi dari fase akut ke fase kronik dari infeksi ditandai oleh penyebaran virus, viremia, dan pengembangan reaksi imun. SeI-sel dendrit pada epitel tempat masuknya virus menangkap virus dan kemudian bermigrasi ke dalam kelenjar getah bening. Setelah di dalam jaringan limfoid, sel dendrit mungkin menyajikan HIV ke sel T CD4+



melalui kontak langsung antar sel. Dalam beberapa hari setelah pajanan pertama terhadap HIV, replikasi virus dapat dideteksi di dalam kelenjar getah bening. Replikasi ini diikuti viremia, sehingga dalam waktu itu banyak partikel HIV terdapat di dalam darah penderita, disertai oleh sindrom akut HIV yang termasuk berbagai tanda dan gejala yang nonspesifik, yang khas pada banyak penyakit virus. Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T penolong, makrofag, dan sel dendrit pada jaringan limfoid perifer. Ketika infeksi menyebar, sistem imun mengembangkan reaksi imun, baik humoral maupun seluler, terhadap antigen virus. Rekasi imun ini sebagian mengendalikan infeksi dan produksi virus, dan hal ini terlihat dari penurunan viremia ke tingkat rendah tetapi terdeteksi setelah 12 minggu pasca pemajanan primer. Pada fase kronik penyakit yang kemudian, kelenjar getah bening dan limpa tnerupakan tempat replikasi HIV dan destruksi sel yang terus-menerus (Gambar 4-28). Selarna masa ini sistem imun tetap mampu menangani sebagian infeksi dengan mikroba oportunistik, dan manifestasi infeksi HIV sedikit atau nihil. Oleh karena itu, fase penyakit HIV ini disebut masa latensi klinis. Walaupun sebagian besar sel T darah perifer tidak mengandungi virus, destruksi sel T CD4+ di dalam jaringan limfoid tetap berkembang selama masa laten, dan jumlah sel T CD4+ yang beredar terus menurun. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah sekitar 10 pangkat 12 pada keadaan normal ditemukan pada jaringan limfoid, dan diperkirakan HIV menghancurkan sampai 1 atau 2 x 10 pangkat 9 sel T CD4+ tiap hari. Pada waktu dini dari perjalanan penyakit, tubuh mungkin terus membuat sel T CD4+ yang baru, sehingga sel T CD4+ dapat digantikan hampir secepat dihancurkannya. Pada stadium ini, sampai 10% sel T di organ limfoid terinfeksi, tetapi jumlah sel T CD4+ yang beredar yang terinfeksi pada satu waktu mungkin kurang dari 0.1% dari sel T CD4+ total pada kasus tertentu. Pada kenyataannya, setelah masa bertahun-tahun, siklus yang terus-menerus dari infeksi virus dan kematian sel T menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.



Penyakit Imunodefisiensi



Infeksi primer pada sel di darah, selaput lendir



Sel dendrit



Sel T CD4+ Pengaliran ke kelenjar getah bening, limpa



Infeksi berlangsung di jaringan limfoid, contoh kelenjar getah bening Sindrom HIV akut, penyebaran infeksi keseluruh tubuh



Reaksi imun



Viremia



Antibodi anti-HIV Pengendalian parsial replikasi virus



CTL khas-HIV



Provirus



Infeksi derajat-rendah



Infeksi mikroba lain; sitokin (contoh TNF)



Mekanisme Pemusnahan Sel T pada Infeksi HIV Mekanisme utama dari kehilangan sei T CD4+ adalah infeksi HIV yang berakibat lisis sel, dan kematian sei selama replikasi virus dan produksi virion (Gambar 4-29). Seperti virus sitopatik yang lain, HIV menghancurkan fungsi sel yang cukup untuk menyebabkan kematian sel yang terinfeksi. Di samping lisis sel langsung, mekanisme lain mungkin menyebabkan kehilangan sel: • Kehilangan asal (prekursor) sel T CD4+ yang belum matang, baik oleh karena infeksi langsung sel progenitor timus atau oleh karena infeksi seI aksesori yang mensekresikan sitokin yang esensial untuk pematangan sel T CD4+. Hasilnva adalah penurunan produksi sel T CD4+ yang matang. • Aktivasi kronik sel yang tidak terinfeksi oleh antigen HIV atau oleh mikroba yang infektif yang lain mungkin menyebabkan apoptosis sel T. Oleh karena kematian yang diinduksi oleh aktivasi dari sel yang tidak terinfeksi, jumlah sel T yang mati mungkin jauh lebih besar daripada jumlah sel yang terinfeksi HIV.



• Fusi dari sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi menyebabkan pembentukan sinsitium (sel datia). Pada biakan sel, gp120 yang terpapar pada sel yang terinfeksi berat berikatan dengan molekul CD4 pada sel T yang tidak terinfeksi,



Tabel 4–11 Abnormalitas Utama dari Fungsi Imun pada AIDS Replikasi virus ekstensif dan lisis sel CD4+



AIDS



Di samping pemusnahan sel T, abnormalitas telah diuraikan pada banyak unsur sistem imun, diberikan ringkasan pada Tabel 4-11. Selanjutnya dibahas cacat utama pada sel imun selama perjalanan infeksi HIV



• Infeksi berbagai sel di jaringan limfoid mungkin merusak arsitektur normal, menyebabkan kelainan reaksi imun.



Latensi klinis Infeksi laten



147



Destruksi jaringan limfoid: deplesi sel T CD4+



Gambar 4-28 Patogenesis infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Pada permulaan, HIV menginfeksi sel T dan makrofag langsung atau dibawa ke sel tersebut oleh sel Langerhans. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menyebabkan viremia dan penyebaran lebih luas pada jaringan limfoid. Viremia dikendalikan oleh reaksi imun tuan rumah (tidak ditunjukkan), dan penderita kemudian masuk pada fase latensi klinis. Selama fase ini, replikasi virus baik pada sel T maupun makrofag berlanjut tidak terkendali, tetapi terdapat sebagian hambatan terhadap virus (tidak digambarkan). Selanjutnya terjadi erosi bertahap sel CD4+ karena infeksi produktif (atau mekanisme lain, tidak ditunjukkan). Akhirnya, jumlah sel CD4+ menurun dan penderita menunjukkan gejala klinis dari AIDS yang lengkap dan parah (full-blown). Makrofag juga terjangkiti pertumbuhan virus secara dini; mereka tidak mengalami lisis oleh HIV dan mengangkut virus ke jaringan, terutama otak.



Limfopenia Terutama disebabkan oleh kehilangan subset sel T penolong CD4+ secara selektif; penurunan ratio CD4+/CD8+



Penurunan Fungsi Sel T in vivo Kehilangan sel T yang teraktifkan dan sel T memori yang terpilih (preferential) Penurunan hipersensitivitas tipe-lambat Kepekaan terhadap infeksi oportunistik Kepekaan terhadap neoplasma



Perubahan Fungsi Sel T in vivo Penurunan reaksi proliferasi terhadap mitogen, aloantigen, dan antigen terlarut Penurunan sitotoksisitas Penurunan fungsi penolong untuk produksi antibodi oleh sel B Penurunan produksi interleukin-2 dan interferon-γ



Aktivasi Sel B Poliklonal Hipergamaglobulinemia dan kompleks imun yang beredar ketidakmampuan untuk membentuk antibodi terhadap antigen baru secara de novo Reaksi lemah terhadap isyarat normal untuk aktivasi sel B in vitro



Perubahan Fungsi Monosit dan Makrofag penurunan kemotaksis dan fagositosis Penurunan ekspresi antigen HLA kelas II Pengurangan kapasitas untuk menyajikan antigen kepada sel T Peningkatan sekresi spontan interleukin-I, tumor necrosis factor, interleukin-6 HLA. human leukocyte onugen.



148



BAB 4



Penyakit Sistem Imun HIV



CD4 CD4



Aktivasi sel T kronik



CTL khas-HIV



Replikasi virus pada sel T CD4+ yang terinfeksi



Kematian sel yang terinfeksi (efek stopatik virus)



Aktivasi sel T CD4+ yang tidak terinfeksi



Kematian sel akibat aktivasi (apoptosis)



Pemaparan peptida HIV pada sel T CD4+ yang terinfeksi



Pembunuhan sel yang terinfeksi oleh CTL khas-virus



Gambar 4-29 Mekanisme kehilangan sel T CD4+ pada infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Sebagian dari mekanisme yang diketahui dan yang dipostukatkan dari deplesi sel T setelah infeksi HIV ditunujukkan.



Walaupun reduksi mencolok dari seI T CD4+ adalah ciri utama AIDS dan dapat berkaitan dengan imunodefisiensi pada waktu kemudian dari perjalanan infeksi HIV, terdapat juga bukti yang kuat untuk cacat kualitatif dari fungsi sel T yang dapat dideteksi bahkan pada individu terinfeksi HIV yang asimtomatik. Cacat semacam itu termasuk penurunan proliferasi sel T yang diinduksi antigen, kelainan produksi sitokin sel TH1, dan kelainan pengiriman isyarat intrasel. Terdapat juga kehilangan selektif pada waktu dini dari perjalanan penyakit, mungkin berhubungan dengan banyaknya sel ini di jaringan mukosa dan peningkatan pemaparan CCR5 pada subset sel T.



tanpa produksi virus (infeksi laten), dapat menetap di dalam sel selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan dengan terapi antiretrovirus yang sangat aktif (yang dapat menyingkirkan sebagian besar virus di dalam darah), virus laten bersembunyi di dalam sel CD4 + kelenjar getah bening (sebanyak 0,05% dari sel T jenis hidup lama yang sedang istirahat terinfeksi). Penyelesaian siklus kehidupan virus pada infeksi laten memerlukan aktivasi sel. Jadi, apabila sel yang terinfeksi dan bersifat laten teraktivasi oleh antigen lingkungan, akibat yang tidak menguntungkan adalah peningkatan transkripsi DNA provirus. Peningkatan transkripsi ini menyebabkan peningkatan produksi virion, dan dalam hal sel T juga menyebabkan lisis sel. Di samping itu, TNF, IL1 dan IL6 yang diproduksi oleh makrofag yang teraktifkan selama reaksi imun yang normal dapat juga meningkatkan transkripsi HIV (Gambar 4-28). Tampaknya, HIV meningkat bila makrofag tuan rumah dan sel T teraktifkan secara fisiologis (contoh melalui infeksi selingan oleh mikroba lain). Gaya hidup penderita yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat mengalami situasi yang meningkatkan risiko untuk pajanan berulang dari infeksi yang ditularkan secara seks yang lain; di Afrika keadaan sosio-ekonomik memberikan beban lebih tinggi untuk memperoleh infeksi mikroba kronik. Mudah untuk mengerti bagaimana penderita AIDS masuk ke dalam Iingkaran setan (vicious circle) destruksi sel T; infeksi yang menyebabkan penderita peka karena berkurangnya fungsi sel T penolong yang menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi, yang kemudian meningkatkan produksi HIV, disertai infeksi dan kehilangan sel T CD4+ selanjutnya.



Infeksi kronik atau laten tingkat rendah dari sel T (dan makrofag) adalah perangai penting dari infeksi HN. Walaupun hanya jarang ditemukan sel T CD4+ yang memaparkan virus yang infektif pada waktu dini dalam perjalanan infeksi, sampai 10% sel T kelenjar getah bening dapat dibuktikan benar-benar mengandungi genom HIV. Secara luas dipercaya, bahwa provirus yang terintegrasi,



Monosit/Makrofag pada Infeksi HIV Di samping infeksi pada sel T CD4+, infeksi monosit dan makrofag juga penting pada patogenesis penyakit H1V. Mirip dengan sel T, sebagian besar makrofag yang terinfeksi HIV ditemukan di dalam jaringan dan tidak ditemukan di dalam darah. Sebanyak 10% sampai 50% makrofag di dalam jaringan tertentu, seperti otak dan paru mungkin terinfeksi.



diikuti oleh fusi sel, penggelembungan, dan kematian dalam waktu beberapa jam. Perangai pembentukan sinsitium ini terbatas pada galur X4 dari HIV • Sel T CD4+ yang tidak terinfeksi mungkin mengikat gp120 terlarut ke molekul CD4, menyebabkan pengiriman isyarat yang salah dan apoptosis. • Sel T CD4+ yang terinfeksi mungkin dibunuh oleh CTL CD8+ yang spesifik terhadap HIV. Kehilangan sel CD4+ menyebabkan pembalikan rasio CD4+/CD8+ di darah tepi. Jadi, pada individu normal rasio CD4+/CD8+ adalah 1 sampai 2, sedangkan penderita AIDS menunjukkan ratio 0.5 atau kurang. Inversi semacam itu adalah penemuan yang lazim pada AIDS, tetapi itu dapat juga terjadi pada infeksi virus lain dan oleh karena itu tidak bersifat diagnostik.



Penyakit Imunodefisiensi Beberapa aspek tambahan dari infeksi makrofag perlu ditekankan: • Walaupun pembelahan sel diperlukan untuk integrasi dan replikasi berikutnya dari sebagian besar retro-virus, HIV-1 dapat menginfeksi dan berkembang biak pada makrofag yang berada pada tahap akhir diferensiasi dan tidak melakukan pembelahan lagi, sebagai suatu perangai yang ditentukan oleh gen vpr dari HIV. • Makrofag yang terinfeksi menyembulkan tunas virus yang jumlahnya relatif sedikit tetapi banyak jumlah besar partikel virus yang terletak di dalam vesikel intrasel. • Berbeda dengan sel T CD4+, makrofag sangat resisten terhadap efek sitopatik dari HIV dan oleh karena itu dapat mengandungi virus dalam jangka lama. • Pada lebih dari 90% kasus, infeksi HIV ditularkan oleh galur virus R5. Makin virulen galur X4 yang berkembang kemudian pada perjalanan infeksi HIV maka tidak efisien dalam menularkan HIV ke monosit. Ini menunjukkan bahwa infeksi permulaan pada makrofag (atau DC) bersifat menentukan untuk penularan HIV. Oleh karena itu, dalam semua kemungkinan, makrofag merupakan penjaga gawang (gate keeper) dari infeksi HIV. Di samping bersifat sebagai pintu masuk untuk penularan permulaan, monosit dan makrofag merupakan tempat penyimpanan (reservoir) dan tempat pembentukan (pabrik) virus, yang hasilnya terlindung kuat oleh reaksi pertahanan tubuh. Monosit yang beredar juga menjadi wahana transpor HIV ke berbagai bagian tubuh, terutama sistern saraf. Pada stadium akhir infeksi HIV, apabila jumlah sel T CD4+ sangat berkurang, makrofag tetap menjadi tempat utama replikasi virus yang berlangsung terus. Walaupun jumlah monosit yang terinfeksi HIV di dalam peredaran rendah, cacat fungsinya (contoh aktivitas mikrobisidal terganggu, kemotaksis menurun, produksi sitokin abnorrnal, kemampuan penyajian antigen berkurang) sangat membebani reaksi pertahanan tubuh.



Sel Dendrit (DC) pada Infeksi HIV Di samping makrofag, dua jenis DC juga nerupakan sasaran penting untuk permulaan dan pemeliharaan infeksi H1V: DC mukosa dan folikel. Seperti dibahas sebelumnya, DC mukosa menangkap virus dan mengangkutnya ke kelenjar getah bening regional, tempat terjadinya infeksi sel T CD4+. DC folikel pada pusat germinal dari kelenjar getah bening merupakan reservoir HIV yang penting. Walaupun sebagian DC folikel terinfeksi HIV, sebagian besar partikel virus ditemukan pada permukaan dari bagian yang menjulur dari sel dendrit, termasuk yang terikat dengan reseptor Fc melalui kompleks HIV-antibodi anti-HIV. Virion yang terlapisi antibodi berada di DC folikel mempertahankan kemampuannya untuk menginfeksi sel T CD4+. Infeksi HIV pada makrofag dan DC juga menganggu fungsi populasi sel ini, dengan efek sekunder terhadap kemampuan sel T untuk bereaksi.



Gp41 dari HIV sendiri dapat meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel B, dan makrofag yang terinfeksi HIV memproduksi 1L-6 dalam jumlah yang meningkat, yang meningkatkan proliferasi sel B. Walaupun terdapat sel B yang teraktifkan secara spontan, penderita AIDS tidak mampu untuk memproduksi antibodi terhadap antigen yang baru dihadapi. Ini tidak hanya disebabkan oleh cacat bantuan sel T, tetapi juga karena reaksi terhadap antigen yang bergantung pada sel T mengalami supresi, yang menunjukkan tambahan cacat sel B. Kelainan reaksi antibodi humoral cenderung menyebabkan individu peka terhadap infeksi bakteri berselubung (contoh S.pneumoniae dan H. influenzae) yang memerlukan antibodi untuk reaksi opsonisasi dan penyingkiran mikroba yang efektif. Sel T CD4+ memainkan peranan penting mengatur reaksi imun: mereka memproduksi berbagai jenis sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan hemato-poietik (contoh gran ulocyte-macrophagecolony-stimulating-factor). Oleh karena itu, kehilangan "ntaster cell" ini mempunyai dampak buruk pada hampir setiap sel lain dari sistem imun, seperti yang diringkaskan pada Tabel 4-11.



Patogenesis Terjangkitnya CNS Patogenesis dari manifestasi neurologik pada AIDS memerlukan perhatian khusus karena, di samping sistem limfoid, sistem saraf adalah sasaran utama infeksi HIV. Makrofag dan sel yang tergolong alur sel monosit-makrofag (sel mikroglia) adalah jenis sel predominan pada otak yang terinfeksi HIV. Virus tersebut lebih cenderung diangkut ke otak oleh monosit yang terinfeksi (sehingga HIV yang terpisah di otak hampir selalu adalah tipe R5). Walaupun demikian, mekanisme kerusakan otak yang diinduksi HIV masih belum jelas. Oleh karena neuron tidak terinfeksi oleh HIV, dan luasnya perubahan neuropatologis seringkali lebih kecil daripada keparahan gejala neurologik yang diharapkan, maka sebagian besar pakar menganggap bahwa cacat neurologik disebabkan secara tidak langsung oleh produk virus dan faktor terlarut (contoh sitokin seperti TNF), yang diperoduksi oleh makrofag dan sel mikroglia. Sebagai tambahan, telah dipostulatkan jejas terkait oksida nitrat pada sel neuron diinduksi oleh gp41 dan kerusakan neuron langsung oleh gp120 dari HIV yang terlarut.



RINGKASAN Siklus Kehidupan Virus Imunodefisiensi Manusia dan Patogenesis AIDS •



Masuknya virus ke dalam sel: memerlukan CD4 dan koreseptor, yang merupakan reseptor kemokin; terlibat pada ikatan antara gp 120 virus dan fusi dengan sel yang diperantarai protein virus gp41; sasaran seluler utama: sel T penolong CD4+, makrofag dan DC.







Replikasi virus: integrasi genom provirus ke dalam DNA sel tuan rumah; memicu pemaparan gen virus dengan rangsangan yang mengaktifkan sel yang terinfeksi (contoh mikroba yang infektif, sitokin yang diproduksi selama reaksi imun normal).







Perkembangan infeksi: infeksi akut pada sel T dan DC mukosa; viremia dengan penyebaran virus; infeksi laten sel pada jaringan limfoid; replikasi virus yang terus-menerus dan kehilangan sel T CD4+ yang progresif.



Sel B dan Limfosit Lain pada Infeksi HIV Walaupun banyak perhatian telah diarahkan pada sel T dan makrofag, penderita AIDS juga menunjukkan abnormalitas berat pada fungsi sel B. Hal yang bertentangan adalah bahwa penderita dengan hipergamaglobulinemia dan kompleks yang beredar adalah akibat dari aktivasi sel B. Ini mungkin disebabkan oleh banyak faktor, termasuk infeksi dengan CMV atau EBV, yang kedua-duanya adalah aktivator poliklonal sel B.



149



150 •



BAB 4



Penyakit Sistem Imun • Fase kronik pada waktu pertengahan, menggambarkan stadium dengan keadaan virus relatif menetap. Sistem imun sebagian besar utuh pada tahap ini, tetapi terdapat replikasi HIV yang berlanjut yang mungkin berlangsung selama beberapa tahun. Penderita mungkin tanpa gejala atau menunjukkan limfadenopati yang menetap, dan infeksi oportunistik ringan ("minor") seperti bercak keputihan di mukosa (Candida) atau herpes zoster. Selama fase ini, replikasi virus di dalam jaringan limfoid berlanjut tidak mereda; jadi tidak ada latensi mikrobiologis yang sesungguhnya dari infeksi HIV. Meluasnya perkembangan virus disertai dengan kehilangan sel T CD4+ yang berlanjut terus, tetapi sel CD4+ diperbaharui dalam proporsi yang besar sehingga penurunan sel CD4+ pada darah tepi tidak terlalu parah. Setelah jangka waktu yang bervariasi lamanya, jumlah sel CD4 + mulai menurun, proporsi sel yang bertahan hidup dari sel CD4+ yang terinfeksi HIV meningkat, dan pertahanan tubuh mulai melemah. Limfadenopati yang menetap disertai gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam kulit dan rasa leiah) mencerminkan permulaan dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus dan permulaan dari fase "krisis".



Mekanisme imunodefisiensi: 



 



Kehilangan sel T CD4+: kematian sel T selama replikasi virus dan pembentukan tunas (menyerupai infeksi sitopatik lain); apoptosis yang terjadi akibat rangsangan kronik; pembentukan sel timus berkurang; cacat fungsi. Cacat fungsi makrofag dan DC Kehancuran arsitektur jaringan limfoid (fase lambat)



Riwayat Penyakit dan Perjalanan Klinis Perjalanan klinis infeksi HIV dapat dimengerti dengan baik bila dikaitkan dengan interaksi antara HIV dan sistem imun. Tiga fase yang mencerminkan dinamika interaksi tuan rumah-virus dapat disimak: (1) fase dini yang bersifat akut, (2) fase pertengahan yang bersifat kronik dan (3) fase akhir yang bersifat krisis (Gambar 4-30). • Fase akut menggambarkan reaksi permulaan dari individu dewasa yang imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase ini khas berwujud penyakit yang berlangsung terbatas (self-limited) yang berkembang pada 50% sampai 70% dari individu yang terjangkit pada masa 3 minggu sampai 6 minggu setelah infeksi; hal ini ditandai oleh gejala yang tidak khas termasuk sakit tenggorok, mialgia, demam, ruam kulit, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai oleh produksi virus yang banyak, viremia, dan penyebaran infeksi pada jaringan kelenjar getah bening perifer, dengan penurun-an sel T CD4+ ringan. Walaupun demikian, segera berkembang reaksi imun terhadap virus, dibuktikan dengan serokonversi (biasanya dalam waktu 3 sampai 17 minggu setelah pemajanan) dan oleh pembentukan CTLs CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, jumlah sel T CD4+ pulih mendekati normal. Walaupun demikian, reduksi virus di dalam plasma bukan merupakan isyarat berakhirnya replikasi virus, yang berlanjut di dalam sel T CD4+ dan makrofag di dalam jaringan (khususnya organ limfoid). AKUT



KRONIK



• Tahap akhir fase krisis, ditandai oleh penurunan reaksi pertahanan tubuh yang parah, viremia yang sangat meningkat, dan penyakit klinis yang parah. Secara khas, penderita tampil dengan demam lebih lama dari 1 bulan, rasa lelah, kehilangan berat badan, dan diare; hitung jenis sel CD4+ berkurang sampai di bawah 500 sel/pL. Setelah interval waktu yang bervariasi muncul infeksi oportunistik yang parah, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologik (dikenal sebagai persyaratan penetapan AIDS/AIDS-defining conditions), dan penderita dikatakan mengalami AIDS yang berkembang lengkap (ull-blown AIDS). Bahkan apabila persyaratan penetapan AIDS tidak ditemukan, pedoman dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and



KRISIS Antibodi antiselubung



Sindrom HIV akut Penyebaran virus luas Penyebaran virus ke kelenjar getah bening



1100 1000 900 800



Penyakit oportunistik



Latensi klinik



700 Sel T CD4/mm3



Kematian



Gejala konstitusional



600 500



107 106 105 104



400 300



103



200 100 0



A



0



3



6



9 12



Minggu



1



2



3



4



5



6



7



Tahun



8



9 10 11



102



Viremia (HIV RNA salinan/mL plasma)



1200



108



Magnitude of response (arbitrary values)



Infeksi primer



Antibodi anti-p24



CTL khaspeptida HIV



0



B



3



6



9 12



Minggu



1



2



3



4



Partikel virus dalam plasma 5



6



7



Tahun



8



9 10 11



Gambar 4-30 Reaksi klinis dan imunologi terhadap infeksi virus imunodefisiensi manusia HIV. A, Perjalanan klinis. Masa dini setelah infeksi primer ditandai oleh penyebaran virus, pengembangan reaksi imun terhadap HIV, dan seringkali terjadi sindrom virus akut. Selama mata latensi klinis, replikasi virus berlanjut, dan jumlah sel T CD4+ berangsur berkurang sampai mencapai derajat kritis yang di bawah nilai tersebut terjadi risiko besar untuk penyakit yang berhubungan dengan AIDS. B, Reaksi imun terhadap infeksi HIV. Reaksi limfosit T sitotoksik (CTL) terhadap HIV dapat dideteksi 2-3 minggu setelah infeksi permulaan dan memuncak setelah 9-12 minggu. Ekspansi mencolok dari klon sel T CD8+ khas-virus terjadi selama masa ini, dan sampai 10% dari CTL penderita mungkin khas-HIV pada 12 minggu. Reaksi imun humoral terhadap HIV memuncak pada sekitar 12 minggu.



(A, Digambar ulang dari Fauci AS, Lane HC: Human immunodeficiency virus disease: AIDS and related conditions. Dalam Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al [eds]: Harrison’s Principles of Internal Medi-cine, 14th ed. New York, McGraw-Hill, 1997, p 1791.)



Penyakit Imunodefisiensi Prevention/ CDC) menetapkan bahwa tiap individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ 200 sel/pt atau kurang, sebagai penderita AIDS. Tanpa pengobatan, sebagian besar penderita infeksi HIV berkembang menjadi AIDS setelah fase kronik yang berlangsung 7 tahun sampai 10 tahun. Pengecualian dari kerangka waktu ini dijumpai pada kelompok yang disebut rapid progressors dan longterm nonprogressors. Pada rapid progressors, fase pertengahan yang kronik lebih pendek sampai 2 tahun atau 3 tahun setelah infeksi primer. Nonprogressors (kurang dari 5% individu yang terinfeksi) ditetapkan sebagai penderita yang terinfeksi HIV yang tetap asimtomatik selama 10 tahun atau lebih, dengan jumlah sel CD4+ stabil dan viremia rendah dalam plasma; perlu dicatat bahwa AIDS dapat berkembang pada sebagian besar penderita ini, meskipun setelah masa latensi klinis yang sangat memanjang. Walaupun telah banyak diteliti, penyebab dari nonprogresi tidak diketahui. Karena kehilangan kemampuan imun berhubungan dengan penurunan jumlah sel T CD4+, maka klasifikasi CDC tentang infeksi HIV menggolongkan penderita ke dalam tiga kategori berdasarkan jumlah sel T CD4+: lebih dari 500 sel/gL, di antara 200 dan 500 sel/pL, dan kurang dari 200 sel/gL. Penderita pada kelompok pertama biasanya asimtomatik; jumlah sel di bawah 500 sel/gL berhubungan dengan gejala dini, dan penurunan sel T CD4+ di bawah 200 sel/gL berhubungan dengan imunosupresi berat. Untuk penatalaksanaan klinis, jumlah sel CD4+ adalah data tambahan penting di samping pengukuran muatan virus HIV. Tetapi, makna dari dua pengukuran ini agak berbeda: Apabila jumlah sel CD4+ menunjukkan status penyakit penderita pada saat pengukuran, sedangkan muatan virus HIV memberikan informasi tentang arah progresi penyakit. Walaupun ringkasan tentang perjalanan klinis ini benar untuk kasus yang tidak diobati atau yang refrakter terhadap pengobatan, terapi anti-retrovirus yang dikembangkan akhir-akhir ini telah mengubah perjalanan penyakit dan sangat menurunkan angka kejadian infeksi oportunistik (seperti pneumonia Pnemocystis carinii) dan tumor (seperti sarkoma Kaposi). Walaupun demikian, terapi yang ada tidak menyingkirkan semua virus dan penyakit kambuh bila pengobatan dihentikan. Demikian juga, tidak diketahui apakah virus yang resisten terhadap obat akan menyebar luas.



Gambaran Klinis Manifestasi klinis infeksi HIV berkisar antara penyakit akut ringan sampai penyakit yang parah. Karena perangai klinis yang penting dari infeksi HIV fase akut, dini dan kronik, serta fase pertengahan sudah diuraikan sebelumnya, maka hanya manifestasi klinis dari fase terminal, AIDS yang berkembang lengkap, yang diberikan ringkasannya di sini. Di Amerika Serikat penderita dewasa dengan AIDS tampil dengan demam, kehilangan berat badan, diare, limfadenopati menyeluruh, infeksi oportunistik multipel, penyakit neurologik, , dan (pada banyak kasus) neoplasma sekunder. Infeksi dan neoplasma yang diberikan pada Tabel 4-12 dimasukkan pada definisi "surveillance" dari AIDS. infeksi Oportunistik. Infeksi oportunistik diperhitungkan menyebabkan sekitar 80% kematian di antara penderita penyandang AIDS. Spektrumnya selalu berubah-ubah, dan angka kejadiannya menurun tajam akibat terapi antiretro-virus yang efektif. Ringkasan pendek dari infeksi oportunistik yang selektif akan diberikan di sini. Pneumonia yang disebabkan oleh fungus oportunistik P. jiroveci (mencerminkan reaktivasi infeksi laten sebelumnya) merupakan tampilan penyakit pada banyak kasus, walaupun



151



Tabel 4–12 Infeksi Oportunistik dan Neoplasma yang Mengarahkan ke Penetapan AIDS pada Penderita dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)



Infeksi Infeksi Protozoa dan Helmint Kriptosporidiosis atau isosporidiosis (enteritis) Pneumosistosis (pneumonia atau infeksi yang meluas) Toksoplasmosis (pneumonia atau infeksi SSP)



Infeksi Fungus Kandidiasis (eksofagus, trakea, atau paru) Kriptokokosis (infeksi SSP) Koksidioidomikosis (menyebar) Histoplasmosis (menyebar)



Infeksi Bakteri Mikrobakteriosis (atipik, contoh Mycobacterium avium-intracellulare, menyebar atau ekstrapulmonal; Mycobacterium tuberculosis, pulmonal atau ekstrapulmonal) Nokardiosis (pneumonia, meningitis, menyebar) Infeksi Salmonella, menyebar



Infeksi Virus Sitomegalovirus (pulmonal, intestinal, retinis, atau infeksi SSP) Virus herpes simplex (infeksi setempat atau menyebar) Virus varisela-zoster (infeksi setempat atau menyebar) Leukoensefalopati multifokal progresif



Neoplasma Sarkoma Kaposi Limfoma primer di otak Kanker serviks uterus invasif SSP, sistem saraf pusat (CNS, central nervous system).



angka kejadiannya cenderung menurun akibat regimen profilaktik yang efektif. Risiko berjangkitnya infeksi ini sangat tinggi pada individu dengan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/gL. Banyak penderita tampil dengan infeksi oportunistik selain pneumonia P. jiroveci (Tabel 4-12). Di antara yang paling lazim adalah candidiasis mukosa, infeksi CMV yang menyebar (khususnya enteritis dan retinitis), herpes simpleks oral dan perianal yang parah, dan infeksi yang menyebar dari M. tuberculosis dan mikobakterium atipik (Mycobacterium aviumintracellulare). Epidemi AIDS telah menimbulkan peningkatan kembali tuberkulosis aktif di Amerika Serikat. Walaupun pada sebagian besar kasus hal itu menggambarkan reaktivasi, kekerapan infeksi baru juga meningkat. Apabila manifestasi M. tuberculosis sendiri terjadi dini dalam perjalanan penyakit AIDS, infeksi mikobakterium atipik terjadi pada waktu kemudian dalam perjalanan penyakit HIV, biasanya pada penderita dengan jumlah sel CD4+ kurang dari 100 sel/gL. Toksoplasmosis adalah infeksi sekunder yang paling lazim mengenai SSP. meningitis kriptokokus juga sangat sering. Diare yang menetap, yang juga lazim pada penderita AIDS, seringkali disebabkan oleh infeksi Kriptosporidium atau Isospora belli, tetapi bakteri patogen seperti Salmonella dan Shigella mungkin juga berperan. Karena imunitas humoral tertekan, penderita dengan AIDS rentan terhadap infeksi S. pneumontae dan H. influenza. Neoplasma. Penderita dengan AIDS mempunyai angka kejadian tinggi untuk tumor-tumor tertentu, khususnya sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, dan kanker serviks pada wanita. Perangai yang lazim dari semua neoplasma yang bervariasi ini adalah bahwa sel tumor secara khas terinfeksi oleh virus onkogenik pada masing-masing jenis. Dasar dari peningkatan risiko keganasan yang terkait virus adalah multifaktor, tetapi cacat imunitas sel T dianggap merupakan kontributor yang predominan.



152



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Sarkoma Kaposi, suatu tumor vaskular yang justru jarang di Amerika Serikat (Bab 9), pernah merupakan neoplasma yang paling lazim pada penderita AIDS tetapi angka kejadiannya telah menurun bermakna dengan terapi anti-retrovirus. Tumor tersebut jauh lebih lazim di antara pria homoseks atau biseks daripada pengguna salah obat suntik intravena atau penderita yang tergolong kelompok risiko lain. Lesi dapat timbul dini, sebelum sistem imun tidak mampu bereaksi (compromised), atau pada stadium lanjut infeksi HIV. Berbeda dengan lesi pada kasus-kasus sporadik dari sarkoma Kaposi, lesi yang terjadi penderita AIDS bersifat multisentrik dan cenderung lebih agresif, mereka dapat menjangkiti kulit, selaput lendir, saluran gastrointestinal, kelenjar getah bening dan paru. Lesi mengandungi sel kumparan yang menyerupai perangai sel endotel dan otot polos, dan dianggap sebagai sel endotel limfatik atau sel mesenkim yang dapat membentuk kanal-kanal vaskular. Pada penderita yang berbeda, lesi bersifat monoklonal atau oligoklonal atau bahkan poliklonal, suatu perangai yang dimiliki oleh lesi proliferatif lain yang dipicu oleh virus onkogenik, seperti proliferasi sel B yang terkait EBV. Sarkoma Kaposi disebabkan oleh virus herpes yang disebut Kaposi sarcoma herpesvirus (KSHV), atau human herpesvirus-8 (HHV-8). Mekanisme yang menyebabkan proliferasi vaskular tidak meyakinkan. Satu hipotesis menyatakan bahwa KSHV menginfeksi sel endotel limfatik atau sel lain, dan berkaitan dengan sitokin yang diproduksi oleh sel imun yang terinfeksi H1V, merangsang proliferasi sel endotel. Genom KSHV mengandungi homolog dari beberapa onkogen manusia dan sitokin yang berperan terhadap pertumbuhan dan ketahanan hidup pembuluh yang berproliferasi. Limfoma non-Hodgkin jenis sel B menipakan jenis tumor terkait AIDS yang kedua paling lazim. Tumor-tumor ini sangat agresif, terjadi paling sering pada penderita yang mengalami imunosupresi berat, dan menjangkiti banyak tempat ekstranodal. Otak adalah tempat ekstranodal yang paling lazim pada infeksi HIV stadium lanjut, sehingga limfoma primer di otak dianggap sebagai keadaan yang mencurigakan adanya AIDS (AIDS-defining condition). Hubungan antara limfoma di otak dengan EBV mendekati 100%. Sebagai perbandingan, hanya 30% sampai 40% limfoma yang terjadi dini dalam perjalanan infeksi HIV terkait dengan EBV, yang menunjukkan peran serta faktor lain, seperti hiperstimulasi sel B, terhadap risiko limfoma pada individu yang terinfeksi HIV. Yang lain, limfoma terkait AIDS yang kurang lazim adalah limfoma efusi primer, yang tumbuh eksklusif pada rongga tubuh, berwujud sebagai efusi pleura, peritoneal atau perikardium. Tumor yang jarang ini selalu terkait dengan KSHV, dan banyak kasus menunjukkan sel tumor mengalami koinfeksi oleh KSHV dan EBV. Angka kejadian karsinoma serviks juga meningkat pada penderita AIDS. Korelasi ini berhubungan dengan prevalensi tinggi infeksi virus papilloma manusia di antara penderita AIDS, yang sistem imunnya mengalami kelemahan (compromised). Virus ini sangat berhubungan dengan karsinoma sel skuamosa dari serviks dan pada lesi dini (precursor), displasia serviks dan carcinoma in situ (Bab 18). Oleh karena itu, pemeriksaan ginekologik harus dijadikan evaluasi rutin pada wanita yang terinfeksi HIV. Pada umumnya, angka kejadian "AIDS-defining cancers" yang klasik —sarkoma Kaposi, tumor yang terkait EBV, dan kanker serviks, telah menurun bermakna dengan penerapan terapi anti-retrovirus, tetapi angka kejadian relatif dari tumor-tumor lain yang dianggap "non-AIDSdefining cancers" sebenarnya meningkat. Kelompok kedua ini termasuk kanker hati, kanker anus, dan limfoma Hidgkin, yang semuanya adalah jenis tumor yang terkait dengan berbagai infeksi virus.



Terjangkitnya SSP. Terjangkitnya SSP adalah manifestasi AIDS yang lazim dan penting. Pada autopsi, pada 90% penderita ditemukan beberapa bentuk kelainan neurologik, dan 40% sampai 60% menunjukkan disfungsi neurologik secara klinis. Secara bermakna, pada sebagian penderita manifestasi neurologik mungkin merupakan gejala satu-satunya atau yang paling dini dari infeksi HIV. Di samping infeksi oportunistik dan neoplasma, terjadi pula perubahan neuropatologis yang terkait virus. Ini termasuk meningitis aseptik yang terjadi pada waktu serokonversi, mielopati vakuolar, neuropati perifer, dan (paling lazim) ensefalopati progresif yang secara klinis disebut kompleks dementia AIDS (Bab 22).



MORFOLOGI Perubahan anatomik pada jaringan (dengan perkecuaIian lesi pada otak) tidak bersifat spesifik maupun diagnostik. Pada umumnya, perangai patologis AIDS adalah infeksi oportunistik yang tersebar luas, sarkoma Kaposi, dan limfoma. Sebagian besar lesi ini dibahas diberbagai tempat, karena juga terjadi pada penderita yang tidak mengalami infeksi HIV. Untuk memberikan perhatian terhadap kekhususan lesi pada SSP, mereka dibahas dalam konteks terkait kelainan lain yang menjangkiti otak (Bab 22). Di sini fokusnya adalah perubahan pada organ limfoid. Spesimen biopsi dari kelenjar getah bening yang membesar pada infeksi HIV dini menunjukkan hiperplasia folikuler yang mencolok (Bab 11). Medula mengandungi sangat banyak sel plasma. Perubahan ini. terutama memengaruhi area sel B dari kelenjar, yang merupakan bagian dari aktivasi sel B poliklonal dan hipergamaglobulinemia yang dijumpai pada penderita AIDS. Di samping perubahan pada folikel, sinus menunjukkan peningkatan seluleritas, terutama karena peningkatan jumlah makrofag tetapi juga sebagian oleh limfoblas sel B dan sel plasma. Partikel HIV dapat ditemukan pada pusat germinal, terkonsentrasi pada prosessus vilosus dari sel dendrit folikel. DNA virus juga dapat ditemukan pada makrofag dan sel T CD4+. Sejalan dengan progresi penyakit, proliferasi sel B yang tidak menentu memberi jalan menuju invoiusi folikel yang parah dan pemusnahan limfosit yang menyeluruh. Jaringan tertata dari DC folikel menjadi cerai berai dan folikel bahkan mengalami hialinisasi. Kelenjar getah bening yang "terbakar" (burn-out) ini menjadi atrofik dan kecil dan mungkin mengandungi banyak patogen oportunistik. Karena imunosupresi yang keras, reaksi inflamasi terhadap infeksi baik pada kelenjar getah bening maupun pada daerah ekstra nodal rnungkin sangat kurang atau atipik. Misalnya, dengan imunosupresi parah, mikobakteri tidak merangsang pembentukan granuloma, karena sel T CD4+ tidak ada. Pada kelenjar getah bening yang terlihat kosong dan pada organ lain adanya bahan infektif mungkin tidak tampak tanpa menggunakan pewarnaan khusus. Seperti mungkin diharapkan, pemusnahan limfoid tidak terbatas pada kelenjar; pada stadium akhir AIDS, limpa dan timus juga tampak sebagai "tanah kosong" (wastelands). Limfoma non-Hodgkin, sering mengenai daerah ekstra nodal seperti otak yang bersifat neoplasma primer jenis sel B yang agresif (Bab 11).



Amiloidosis Sejak pemunculan AIDS pada 1981, upaya gabungan para ahli epidemiologi, imunologi, dan biologi molekuler telah menghasilkan kemajuan spektakular dalam pemahaman kita tentang kelainan ini. Walaupun demikian, prognosis penderita AIDS tetap masih harus dijaga. Walaupun Iaju kematian telah menurun sebagai hasil penggunaan kombinasi obat anti-retrovirus yang kuat, semua penderita yang diobati masih menyandang DNA virus pada jaringan limfoid mereka. Apakah dapat terjadi penyembuhan dengan virus yang menetap? Di samping upaya saksama untuk mengembangkan vaksin, banyak rintangan yang harus dilalui sebelum pencegahan atau pengobatan berbasis vaksin menjadi kenyataan. Analisis molekuler menghasilkan peringatan tentang beragamnya cara memisahkan virus dari penderita yang berbeda, yang menyebabkan pengembangan vaksin bahkan lebih sulit. Penyulit lebih lanjut dari tugas ini adalah bahwa perangai reaksi imun yang protektif belum seluruhnya dimengerti. Oleh karena itu, pada saat ini, pencegahan dan upaya kesehatan masyarakat, digabungkan dengan terapi anti-retrovirus, adalah upaya utama dalam memerangi AIDS.



Merah congo



153



B



AMILOIDOSIS Amiloidosis adalah keadaan yang berhubungan dengan sejumlah kelainan inflamasi dan yang diwariskan, yang disertai endapan protein fibrilar ekstrasel sehingga menyebabkan kerusakan jaringan serta tidak mampu berfungsi. Fibril abnormal ini terjadi oleh agregasi protein yang lipatannya salah (terlarut apabila konfigurasi lipatannya normal) atau fragmen protein. Endapan fibrilar tersebut berikatan dengan berbagai proteoglikan dan glikosarninoglikan, termasuk heparin sulfat, dermatan sulfat, dan protein plasma, yang dikenal sebagai komponen amiloid serum/serum amyloid P component (SAP). Adanya banyak kelompok gula bermuatan dalam protein yang diserap ini menyebabkan endapan berwarna khas yang diduga menyerupai tepung (amiloid). Oleh karena itu endapan tersebut disebut "atnyloid", suatu nama yang tidak dapat dikukuhkan walaupun dalam kenyataan endapan itu tidak berhubungan dengan tepung.



PATOGENESIS PENGENDAPAN AMILOID Amiloidosis pada dasarnya adalah kelainan kesalahan dalam konfigurasi lipatan protein. Amiloid adalah bukan protein yang homogen secara struktural, walaupun selalu menunjukkan tampilan morfologik sama. Ternyata, lebih dari 20 (jumiah akhirnya, 23) protein yang berbeda beragregasi membentuk fibril dengan tampilan amyloid.Tidak bergantung kepada asalnya, semua endapan amiloid tersusun dari fibril yang tidak bercabang, berdiameter 7,5 nm sampai 10 nm, masing-masing membentuk rantai polipeptida fi-sheet yang terjalin bersama (Gambar 4-31). Zat warna merah Congo berikatan dengan fibril dan menghasilkan warna ganda merah-hijau (birefringence), yang lazimnya digunakan untuk menetapkan endapan amiloid pada jaringan. Amiloidosis dihasilkan oleh pelipatan abnormal protein, yang diendapkan sebagai fibril di jaringan ekstra sel dan merusak fungsi normal. Pada keadaan normal, protein yang salah lipat dihancurkan dalam sel pada proteasom, atau ekstrasel oleh makrofag. Tampaknya pada amiloidosis, mekanisme kendali mutu ini gagal, menyebabkan akumulasi protein yang salah lipat di luar sel.



A



C



Gambar 4--31 Struktur amiloid. A, Diagram skematik dari serabut amiloid yang menunjukkan fibril (empat ditunjukkan; terdapat sebanyak enam) saling bersilang dengan pewarnaan merah Congo yang secara teratur terlihat terpisah. B, Pewarnaan merah Congo menunjukkan rumbai-rumbai berwarna hijau-apel di bawah cahaya terpolarisasi, suatu perangai diagnostik amiloid. C, Elektron-mikrograf dari 7.4--10 nm fibril amiloid.



(Diroduksi ulang dari Merlini G, Bellotti V: Molecular mechanisms of amyloidosis. N Engl J Med 349:583–596, 2003. Copyright 2003 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)



Protein yang salah lipat kerapkali tidak stabil dan saling bergabung, akhirnya menyebabkan pembentukan oligomer dan fibril yang diendapkan di dalam jaringan. Berbagai keadaan yang berhubungan dengan amiloidosis semua cenderung menyebabkan produksi berlebihan dari protein yang cenderung untuk terjadinya salah lipatan (Gambar 4-32). Protein-protein yang membentuk amiloid tergolong dalam dua kategori umum: (1) protein normal yang mempunyai kecendrungan inheren untuk melipat secara tidak tepat, saling bergabung membentuk fibril. dan terjadi demikian apabila diproduksi dalam jumlah yang meningkat, dan (2) protein mutan yang cenderung terlipat salah disertai agregasi. Dari banyak bentuk biokimiawi protein amiloid telah ditetapkan. dalam tiga bentuk yang paling lazim: • Protein amiloid rantai ringaniamyloid light chain (Al.) diproduksi oleh sel plasma dan tersusun dari rantai ringan imunoglobulin lengkap, atau fragmen amino terminal rantai ringan, atau kedua-duanya. Dengan alasan yang tidak diketahui, hanya beberapa rantai ringan imunoglobulin yang cenderung membentuk agregat. Seperti diharapkan, pengendapan protein fibril amiloid dari jenis AL berhubungan dengan sebagian bentuk proliferasi monoklonal sel B. Cacat degradasi telah dianggap sebagai dasar pembentukan fibril, dan barangkali ada rantai ringan tertentu bersifat resisten terhadap proteolisis yang sempurna. Walaupun demikian, tidak terdapat motif urutan yang bersifat unik dari rantai ringan imunoglobulin yang ditemukan di dalam endapan amiloid. • Fibril terkait amiloidiamyloid-associated (AA) adalah protein imunoglobulin yang unik berasal dari prekursor serum yang lebih besar (12-kDa)



154



BAB 4



Penyakit Sistem Imun PRODUKSI PROTEIN DALAM JUMLAH ABNORMAL



Protein yang terlipat secara alami



Zat antara amiloidogenik (contoh protein salah-terlipat)



Tidak diketahui (karsinogen?)



Proliferasi limfosit B monoklonal



Rantai ringan imunoglobulin Proteolisis terbatas



FIBRIL



Inflamasi kronik



Mutasi



Aktivasi makrofag Interleukins 1 dan 6



Sel plasma



Monomer terkait membentuk struktur lembar-b



PRODUCTION OF NORMAL AMOUNTS OF MUTANT PROTEIN (e.g., transthyretin)



PROTEIN AL



Sel hati



Protein SAA



Proteolisis terbatas PROTEIN AA



Transtiretin mutan Agregasi



PROTEIN ATTR



Gambar 4--32 Patogenesis amiloidosis. Mekanisme yang diusulkan tentang proses pengendapan yang mendasari pembentukkan bentuk utama fibril amiloid



dan disebut protein SAA (serum amyloid-associated) yang disintesa di dalam hati. SAA disintesa di dalam sel hati di bawah pengaruh sitokin, seperti IL-6 dan IL- 1, yang diproduksi selama inflamasi; sehingga inflamasi yang berlangsung lama disertai kadar SAA yang meningkat, akhirnya akan berupa endapan amiloid jenis AA. Walaupun demikian, produksi SAA sendiri yang meningkat tidak cukup untuk pengendapan amiloid. Peningkatan kadar serum SAA lazim terjadi pada keadaan inflamasi tetapi pada sebagian besar kasus tidak menyebabkan amiloidosis. Ada dua kemungkinan penjelasan tentang hal ini. Menurut salah satu pandangan, pada keadaan normal SAA didegradasikan menjadi produk akhir yang terlarut oleh pengaruh enzim yang berasal dari monosit. Dalam hal itu, individu yang mengalami amiloidosis memiliki cacat enzim yang berakibat pemecahan SAA tidak sempurna, sehingga menghasilkan molekul AA yang tidak terlarut. Sebagai alternatif lain ialah abnormalitas struktural molekul SAA sendiri, yang ditentukan secara genetik, menyebabkan resistensi terhadap degradasi oleh makrofag. • Amiloid Aβ ditemukan pada lesi serebral penyakit Alzheimer. Aβ adalah peptida 4-kDa yang membentuk teras dari plak serebral dan endapan amiloid pada pembuluh darah serebral pada penyakit ini. Protein Aβ berasal dari glikoprotein transmembran yang jauh lebih besar yang disebut amyloid precursor protein (APP) (Bab 22). Beberapa protein lain telah ditemukan di dalam endapan amiloid pada berbagai keadaan klinis: • Transtiretin (TTR) suatu protein serum normal yang berikatan dan mengirimkan tiroksin dan retinol, sesuai dengan namanya. Mutasi pada gen yang menyandi TTR mungkin berubah strukturnya, menyebabkan protein cenderung terlipat salah dan beragregasi, dan resisten terhadap proteolisis. Ini menyebabkan pembentukan agregat dan mengendap sebagai amiloid. Penyakit yang disebabkan disebut polineropati amiloid



familial. TTR juga diendapkan di dalam jantung dari individu usia lanjut (amiloidosis sistemik senilis); pada kasus semacam itu protein berstruktur normal tetapi terjadi akumulasj protein berlebihan. Beberapa kasus amiloidosis familial berhubungan dengan endapan lisozim mutan. • β2-Mikroglobulin, suatu unsur molekul MHC kelas I dan protein normal serum, telah ditetapkan sebagai subunit fibril amiloid (Aβ2m) pada amiloidosis yang menjadi penyulit pada perjalanan penyakit penderita yang mengalami hemodialisis jangka lama. Serabut-serabut Aβ2m berstruktur mirip dengan protein β2m normal. Protein ini ditemukan dalam konsentrasi unggi di dalam protein serum penderita penyakit ginjal dan tertahan di dalam sirkulasi karena tidak dapat disaring secara efisien melalui membran dialisis. Pada beberapa penelitian, sebanyak 60% sampai 80% penderita dialisis jangka panjang, mengalami endapan amiloid di sinovium, sendi dan sarung tendon. • Endapan amiloid berasal dari berbagai prekursor seperti hormon (prokalsitonin) dan keratin juga telah dilaporkan.



Klasifikasi Amiloidosis Karena bentuk biokimiawi tertentu amiloid (contoh AA) mungkin berhubungan dengan pengendapan amiloid pada berbagai keadaan klinis, maka kombinasi klasifikasi biokimiawi dan klinis dilanjutkan untuk pembahasan (Tabel 4-13). Amiloid mungkin bersifat sistemik (menyeluruh), mengenai beberapa sistem organ, atau mungkin setempat, apabila endapan terbatas pada suatu organ tunggal, seperti jantung. Berdasarkan keadaan klinis, pola yang sistemik, atau menyeluruh, dibuat subklasifikasi ke dalam amiloidosis primer apabila terkait dengan proliferasi sel plasma monoklonal dan



Amiloidosis



155



Tabel 4–13 Klasifikasi Amiloidosis



Kategori Klinikopatologis



Penyakit Terkait



Protein Fibril Utama



Protein Prekursor yang secara Kimiawi Berhubungan



Amiloidosis Sitemik (Menyeluruh) AL



Rantai ringan imunoglobulin, terutama tipe λ



Keadaan inflamasi kronik



AA



SAA



Kegagalan ginjal kronik



Aβ2m



β2-Mikroglobulin



Demam Mediterania familial



AA



Neuropati amiloidotik familial (beberapa jenis)



ATTR



SAA Transtiretin



Amiloidosis senilis sistemik



ATTR



Transtiretin







APP



Diskrasia imunosit dengan amiloidosis (Amiloidosis primer)



Mieloma multipel dan proliferasi sel plasma monoklonal yang lain



Amiloidosis sistemik reaktif (amiloidosis sekunder) Amiloidosis terkait hemodialisis



Amiloidosis Herediter



Amiloidosis Setempat Serebral senilis



Penyakit Alzheimer



Endokrin Karsinoma medulare tiroid Pulau-pulau Langerhans



Diabetes tipe 2



Amiloidosis atrium terpisah



andioidosis sekunder apabila terjadi sebagai penyulit dari inflamasi kronik atau proses destruktif yang telah ada sebelumnya. Amiloidosis yang herediter atau familial membentuk golongan yang terpisah, walaupun bersifat heterogen, dengan pola yang berbeda dalam hal organ-organ yang terjangkit.



Amiloidosis Primer: Diskrasia imunosit dan Amiloidosis Biasanya amiloid pada kategori ini distribusinya bersifat sistemik dan adalah jenis AL. Dengan jumlah sekitar 3000 kasus baru di Amerika Serikat, ini adalah bentuk amiloidosis yang paling lazim. Pada sebagian kasus, terdapat proliferasi sel plasma monoklanal yang mudah ditetapkan; yang paling baik ditetapkan adalah terjadinya amiloidosis sistemik pada 5% sampai 15% penderita mieloma multipel, suatu tumor sel plasma yang ditandai oleh lesi osteolitik multipel di seluruh sistem skelet (Bab 11). Sel plasma yang ganas secara khas mensintesa imunoglobulin yang spesifik tunggal (gamopati monoklonal) dalam jumlah abnormal, yang mengakibatkan pembentukan kurva (taji) protein M (mieloma) pada elektroforesis serum. Di samping sintesa seluruh molekul imunoglobulin, sel plasma juga mensintesa dan mensekresikan salah satu rantai ringan λ atau κ, yang juga dikenal sebagai protein Bence Jones. Sesuai dengan ukuran molekul yang kecil, protein ini seringkali juga diekskresikan di dalam urin. Hampir semua penderita mieloma yang mengalami amiloidosis mempunyai protein Bence Jones di dalam serum atau urin, atau kedua-duanya. Walaupun demikian, amiloidosis hanya berjangkit pada 6% sampai 15% penderita yang mempunyai rantai ringan bebas. Jelaslah, adanya protein Bence Jones, walaupun perlu, tetapi secara tersendiri tidak cukup untuk pembentukan amiloidosis. Variabel lain, seperti jenis rantai ringan yang diproduksi, dan katabolismenya, berperan serta pada potensi amiloidogenik dan pengaruh pengendapan protein Bence Jones. Sebagian besar penderita dengan amiloid AL tidak menunjukkan mieloma multipel yang klasik atau neoplasma sel B lain yang jelas; kasus semacam itu tetap diklasifikasikan sebagai amiloidosis primer



A Cal



Kalsitonin



AIAPP



Peptida amiloid dari pulau Langerhans



AANF



Faktor natriuretik atrium



karena perangai klinisnya berasal dari pengaruh pengendapan amiloid tanpa penyakit apa pun yang terkait. Pada hampir semua kasus semacam itu, penderita menunjukkan peningkatan jumlah sel plasma yang tidak terlalu mencolok di dalam sumsum tulang, dan imunoglobulin monoklonal atau rantai ringan bebas dapat ditemukan di dalam serum atau urin. Jelaslah, penderita ini memiliki proliferasi sel plasma yang mendasari produksi protein abnormal, bukan produksi massa tumor, yang merupakan manifestasi yang dominan.



Amiloidosis Sistemik Reaktif Endapan amiloid pada pola ini distribusinya bersifat sistemik dan tersusun dari protein AA. Kategori ini sebelumnya dianggap sebagai amiloidosis sekunder, karena terjadi secara sekunder terhadap suatu keadaan yang terkait dengan inflamasi. Ternyata, perangai yang lazim ditemukan pada sebagian besar kasus amiloidosis sistemik reaktif adalah inflamasi kronik. Secara klasik, tuberkulosis, bronkiektasis, dan osteomielitis kronik merupakan penyebab yang paling lazim; dengan kemajuan terapi antimikroba yang efektif, amiloidosis sistemik reaktif paling sering dijumpai pada keadaan inflamasi kronik yang disebabkan oleh penyakit autoimun (contoh RA, ankylosing spondylitis, penyakit inflamasi usus). Penderita dengan RA secara khas cenderung mengalami amiloidosis, dengan pengendapan amiloid terlihat pada 3% kasus RA. Infeksi kulit kronik yang disebabkan skinpopping (suatu cara menyuntikkan obat narkotika, contoh kokain, di bawah kulit dengan mengangkat sebagian kulit dan menyuntikkan jarum pada subkutis) pada pengguna narkotika juga berhubungan dengan pengendapan amiloid. Akhirnya, amiloidosis sistemik reaktif juga berhubungan dengan tumor yang tidak berasal dari sel imun, yaitu dua yang paling lazim adalah kanker ginjal dan limfoma Hodgkin.



Amiloidosis Familial (Herediter) Berbagai bentuk amiloidosis familial telah diuraikan; sebagian besar adalah jarang dan terjadi pada area geografik yang terbatas. Yang paling baik diketahui ciri-cirinya adalah kelainan autosomal resesif yang disebut demam Mediterania familial. Ini adalah penyakit demam yang ditandai oleh serangan demam disertai inflamasi permukaan



156



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



serosum, termasuk peritoneum, pleura, dan membran sinovium. Kelainan ini terutama dijumpai pada orang Armenia, Yahudi Sephardik, dan keturunan Arab. Hal itu berhubungan dengan terjangkitnya jaringan yang tersebar Iuas yang tidak dapat dibedakan dengan amiloidosis sistemik reaktif. Protein fibrilamiloid terbentuk dari protein AA, sehingga dianggap berhubungan dengan serangan kekambuhan inflamasi yang menjadi ciri penyakit ini. Gen dari demam Mediterania familial disebut pyrin dan menyandi protein yang merupakan unsur dari inflamasome (Bab 2). Penderita memiliki mutasi jenis gain of function pada pyrin yang berakibat produksi berlebihan yang konstitutif dari sitokin pro-inflamasi IL-1 dan inflamasi yang menetap. Berbeda dengan demam Mediterania familial, suatu kelompok kelainan familial yang bersifat autosomal dominan yang ditandai oleh pengendapan amiloid terutama pada sistem saraf perifer dan autonom. Polineropati amiloidotik familial ini telah diuraikan pada penderita kanak-kanak di berbagai bagian dunia—misalnya, Portugal, Jepang, Swedia dan Amerika Serikat. Seperti disebutkan sebelumnya, fibril pada polineropati familial disusun oleh bentuk mutan dari transtiretin (ATTRs).



Amiloidosis Setempat Kadang-kadang pengendapan amiloid terbatas pada suatu organ tunggal atau jaringan tanpa terjangkitnya tempat lain yang manapun di dalam tubuh. Endapan tersebut mungkin membentuk massa nodular yang dapat ditemukan secara makroskopik atau hanya dapat dikenal hanya pada perneriksaan mikroskopik. Endapan nodular (yang membentuk tumor) amiloid paling sering dijumpai pada paru, laring, kulit, kandung kemih, lidah, dan daerah sekitar mata. Seringkali, terdapat sebukan limfosit dan sel plasma pada tepi massa amiloid, yang menimbulkan pertanyaan apakah sebukan sel mononukleus adalah suatu reaksi terhadap pengendapan amiloid atau ada hal lain yang berperan untuk itu. Paling sedikit, pada beberapa kasus, amiloid terdiri dari protein AL dan oleh karena itu mungkin menggambarkan bentuk amiloid yang berasal dari sel plasma yang bersifat setempat.



Amiloid Endokrin Endapan mikroskopik amiloid yang bersifat setempat mungkin ditemukan pada tumor endokrin tertentu, seperti karsinoma medulare kelenjar tiroid, tumor pulau Langerhans pankreas, feokromositoma, dan karsinoma lambung yang tidak berdiferensiasi, demikian juga pada pulau Langerhans pada penderita diabetes melitus tipe 2. Pada kelainan-kelainan ini, protein yang bersifat amiloidogenik tampaknya berasal baik dari hormon polipeptida (karsinoma medulare) maupun dari protein yang unik (contoh polipeptida amiloid dari pulau Langerhans).



Amiloid pada Proses Penuaan Beberapa bentuk pengendapan amiloid yang terdokumentasi dengan baik terjadi pada proses penuaan. Amiloidosis sistemik senilis merupakan pengendapan amiloid sistemik pada individu yang berusia lanjut (biasanya pada usia 70 tahun dan 80 tahun). Karena jangkitan dominan dan disfungsi terkait dari jantung (secara khas berwujud sebagai kardiorniopati terbatas dan aritmia), bentuk ini juga disebut amiloidosis kardiak. Amiloid pada bentuk ini tersusun dari transtiretin normal. Di samping itu, bentuk lain yang khas hanya mengenai jantung akibat dari pengendapan bentuk mutan dari TTR. Sekitar 4%



dari populasi berkulit hitam di Amerika Serikat menyandang (karier) alel mutan, dan kardiomiopati telah ditetapkan baik pada penderita yang homozigot maupun yang heterozigot.



MORFOLOGI Tidak ada pola yang pasti dan konsisten yang dapat membedakan tentang penyebaran amiloid pada organ atau jaringan apa pun yang telah disebutkan. Walaupun demikian, beberapa generalisasi dapat dibuat, Pada amiloidosis yang terjadi sekunder terhadap kelainan inflamasi kronik, secara khas terjadi pada ginjal, hati, fimpa. kelenjar getah bening, adrenal, dan tiroid, demikian juga banyak jaringan Walaupun amiloidosis primer (AL) tidak dapat dibedakan secara pasti dari amiloidosis sekunder menurut distribusinya pada organ, namun amiloidosis primer lebih sering mengenai jantung, saluran gastrointestinal, saluran pernapasan, sistem saraf perifer, kulit, dan lidah. Walaupun demikian, organ-organ yang sama yang dikenai oleh amiloidosis sistemik reaktif (amiloidosis sekunder), termasuk ginjal, hati dan limpa, juga mengalami endapan pada bentuk penyakit yang terkait imunosit. Lokalisasi endapan amiloid pada sindrom herediter bervariasi. Pada demam Mediterania familial, amiloidosis mungkin tersebar luas, mengenai ginjal, pembuluh darah, limpa, dan (jarang) hati. Lokalisasi endapan amiloid pada sindrom herediter yang tersisa dapat diperkirakan dari contoh kelainan di atas. Apa pun kelainan klinis tersebut, amiloidosis mungkin atau tidak mungkin tampak secara makroskopik. Seringkali jumlah amiloidnya sedikit sehingga tidak dapat dikenal kecuali permukaannya dicat dengan yodium dan asam sulfat. Hal ini menghasilkan pewarnaan berwarna coklat mahogani dari endapan amiloid. Apabila amiloid berakumulasi dalam jumlah lebih besar, seringkali organ membesar dan jaringan secara khas tampak abu-abu dengan konsistensi kenyal seperti lilin. Pada pemeriksaan histologis, pengendapan amiloid selalu pada ekstrasel dan mulai di antara sel, seringkali dekat dengan membran basal. Setelah amiloid menumpuk, kemudian akan mendesak sel, selanjutnya mengelilingi dan merusak sel itu. Pada bentuk AL lazim terjadi, lokalisasi perivaskular dan vaskular. Diagnosis histologis dari amiloid hampir seluruhnya berdasarkan kepada ciri-ciri pewarnaan. Teknik pulasan yang paling lazim digunakan adalah dengan zat warna merah Congo, yang di bawah cahaya biasa menberi warna merah atau merah muda pada endapan amiloid. Di bawah cahaya yang terpolarisasi amiloid yang terpulas oleh zat warna merah Congo menunjukkan apa yang disebut birefringensi hijau-apel (apple green birefringence) (Gambar 4-33). Reaksi ini dapat ditemukan pada semua jenis amiloid dan disebabkan oleh konfigurasi jalinan-13 yang menyilang (crossed P-pieated configuration) dari fibril amiloid. Konfirmasi dapat dtperoleh dari mikroskop eletron, yang menghasilkan fibril tipis yang tidak teratur dan amorf (tidak berbentuk khusus). Jenis amiloid AA, AL dan ATTR dapat juga dibedakan masing-masing dengan pulasan imunohistokimia. Karena pola dari terjangkitnya organ pada berbagai bentuk klinis amiloidosis bervariasi, terjangkitnya tiap organ diuraikan secara terpisah. Ginjal. Amiloidosis ginjal merupakan perangai yang paling lazim dan paling parah dari penyakit. Secara makroskopik, ginjal mungkin tampak tidak berubah, atau mungkin membesar abnormal, pucat, kelabu, dan kenyal/ keras; pada kasus yang berlangsung lama ginjal mungkin mengecil. Secara mikroskopik, endapan amiloid ditemukan pada prinsipnya pada glomerulus, tetapi bisa juga terdapat pada jaringan interstisial peritubulus demikian juga pada dinding pembuluh darah. Glomerulus pertama kali mengalami endapan fokal di dalam matriks



Amiloidosis



A



157



B



Gambar 4-33 Amiloidosis: terkenanya hati. A, Pewarnaan sayatan hati dengan merah Congo menunjukkan endapan amiloid berwarna merah mudamerah (pink-red) pada dinding pembuluh darah sepanjang sinusoid. B, Perhatikan rumbai-rumbai berwarna kuning-hijau dari endapan bila dilihat di bawah mikroskop dengan cahaya terpolarisasi



(Sumbangan dari Dr. Trace Worrell and Sandy Hinton, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



mesangium dan penebalan difus atau nodular dari membran basal dari lingkaran kapiler. Dengan perjalanan penyakit, pengendapan mendesak lumen kapiler dan selanjutnya menyebabkan obliterasi jaringan vaskular (Gambar 4-34, A). Endapan interstisial peritubulus seringkali berhubungan dengan timbulnya massa amorf merah muda di dalam lumen tubulus, yang diduga sebagai zat bersifat protein. Endapan amiloid mungkin terjadi pada semua ukuran pembuluh darah dan menyebabkan penyempitan pembuluh yang parah.



permukaan luar maupun pada penampang sayatan. Analisis histologis menunjukkan bahwa endapan amiloid pertama kali tampak pada ruang Disse dan kemudian membesar secara progresif mendesak parenkim hati didekatnya dan sinusoid (Gambar 4-33). Sel hati yang terperangkap mengalami atrofia kompresi dan selanjutnya digantikan oleh lembar amiloid; sangat rnengesankan. bahwa fungsi hati mungkin tidak terpengaruh bahkan pada keadaan penyakit yang parah. Jantung. Amiloidosis jantung mungkin terjadi sendiri atau sebagai bagian dari distribusi sistemik. Apabila sebagai bagian dari distribusi sistemik, biasanya adalah bentuk AL. Bentuk yang terpisah (amiloidosis senilis) biasanya terbatas pada orang berusia lanjut. Endapan mungkin tidak teriihat pada pemeriksaan makroskopik, atau mungkin menyebabkan pembesaran jantung minimal sampai menengah. Ciri-ciri yang paling sering dijumpai secara makroskopik adalah tonjolan subendokardium menyerupai tetesan kristat berwarna abu-merah muda, secara khas ditemukan pada atrium. Pada pemeriksaan histologis, endapan secara khas ditemukan diseluruh miokardium, mulai di antara serabut miokardium dan selanjutnya menyebabkan atrofia tekanan (Gambar 4-34,B).



Limpa. Amiloidosis limpa sering menyebabkan pembesaran menengah atau bahkan yang mencolok (200 gram sampai 800 gram). Dengan sebab yang tidak jelas, salah satu dari dua pola mungkin terjadi. Endapan mungkin jelas terbatas pada folikel limpa, yang membentuk granula menyerupai tapioka pada pemeriksaan makroskopik (limpa-sagu), atau amiloidosis mungkin secara prinsip mengenai sinus limpa, selanjutnya meluas ke pulpa limpa, dengan pembentukan endapan menyerupai lembaran besar (lardoceous spleen). Pada kedua pola, limpa berkonsistensi kenyal/keras. Adanya darah pada sinus limpa biasanya menyebabkan warna kemerahan dari endapan yang menyerupai lilin dan rapuh. Hati. Amiloidosis hati mungkin menyebabkan pembesaran massif (sebanyak 9.000 gram). Pada kasus yang lanjut semacam itu, hati sangat pucat, keabuan, dan berkonsistensi seperti lilin baik pada



A



Organ-organ Lain. Amiloidosis dari organ lain pada umumnya dijumpai pada penyakit sistemik. Kelenjar adrenal, tiroid, dan



B



Gambar 4-34 Amiloidosis: terkenanya ginjal dan jantung. A, Amiloidosis ginjal. Arsitektur glomerulus hampir seluruhnya punah (obliterasi) karena akumulasi masif amiloid. B, Amiloidosis jantung. Serabut miokardium atrofik dipisahkan oleh amiloid tanpa struktur, berwarna merah muda



158



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



hipofisis merupakan tempat paling lazim terkena. Pada kasus semacam itu, pengendapan amitoid juga mulai berkaitanan dengan sel stroma dan endotel dan secara progresif mendesak sel parenkim. Aneh sekali, banyak dari amiloid mungkin terdapat pada kelenjar endokrin apa pun tanpa gangguan fungsi yang jelas. Pada saluran gastrointestinal, yang merupakan tempat yang mudah mengalami pengendapan, amiloid mungkin ditemukan pada semua tingkatan, kadang-kadang membentuk massa tumor yang harus dibedakan dari neoplasma. Endapan nodular pada lidah dapat menyebabkan makroglosia. Berdasarkan kekerapan terkenanya saluran gastrointestinal pada kasus sistemik, maka biopsi gusi. intestinal dan rektum berguna untuk menetapkan diagnosis pada kasus yang dicurigai. Pengendapan amiloid 132mikroglobulin pada penderita yang menerima hemodialisis jangka panjang terjadi paling lazim pada ligamen karpal dari pergelangan tangan, yang menyebabkan kompresi nervus medianus (yang diikuti corpol tunnel syndrome).



Penampilan umum penderita dengan amiloid yang menyeluruh adalah buruk, dengan nilai rerata masa ketahanan hidup setelah diagnosis berkisar dari 1 tahun sampai 3 tahun. Pada amiloidosis AA, prognosis bergantung sebagian kepada pengendalian keadaan yang mendasari penyakit. Penderita dengan amiloidosis yang terkait mieloma memiliki prognosis lebih buruk, walaupun mungkin beresponsi terhadap obat sitotoksik yang digunakan untuk mengobati kelainan yang mendasari. Resorpsi amiloid setelah pengobatan untuk keadaan yang terkait telah dilaporkan, tetapi hal ini adalah kejadian yang jarang.



RINGKASAN Amiloidosis • •



Perjalanan Klinis Amiloidosis mungkin merupakan penemuan yang tidak dicurigai pada autopsi pada penderita yang tidak memiliki manifestasi klinis terkait yang jelas, atau hal itu mungkin menjadi penyebab disfungsi klinis yang parah dan bahkan kematian. Perjalanan klinis bergantung kepada tempat atau organ khusus yang terkena dan keparahan penyakit. Keluhan yang tidak spesifik seperti kelemahan, kelelahan, dan kehilangan berat badan adalah manifestasi tampilan yang paling lazim. Pada masa kemudian dari perjalanan penyakit, amiloidosis cenderung terjadi pada salah satu dari beberapa keadaan: oleh karena penyakit ginjal, hepatomegati, splenomegali, atau abnormalitas jantung. Terkenanya ginjal menimbulkan proteinuria berat (sindrom nefrotik) (Bab 13) seringkali merupakan penyebab utama terjadinya gejala pada amiloidosis reaktif sistemik. Progresi penyakit ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal, yang merupakan penyebab kematian penting pada amiloidosis. Hepatospleno megali jarang menyebabkan disfungsi klinis yang bermakna, tetapi hal itu mungkin merupakan temuan pada tampilan penderita. Amiloidosis kardiak mungkin berwujud sebagai gangguan konduksi atau sebagai kardiomiopati restriktif (Bab 10). Aritmia kardiak adalah penyebab kematian penting pada amiloidosis kardiak. Pada satu seri penelitian yang besar, 40% penderita dengan amiloid Al meninggal karena penyakit jantung. Diagnosis amiloidosis mungkin dicurigai dari tanda-tanda dan gejala klinis dan dari beberapa penemuan yang disebutkan; walaupun demikian, uji yang lebih spesifik harus sering dilakukan untuk diagnosis pasti. Biopsi dan pulasan merah Congo yang disertakan adalah cara paling penting dalam diagnosis amiloidosis. Pada umumnya, biopsi diambil dari organ yang dicurigai terjangkit. Misalnya, biopsi ginjal adalah penting bila terdapat abnormalitas urin. Sediaan biopsi rektum dan gusi berisi amiloid pada sebanyak 75% kasus dengan amiloidosis yang menyeluruh. Pemeriksaan aspirat lemak abdomen yang dipulas dengan zat warna merah Congo adalah cara yang sederhana, berisiko rendah. Pada kasus yang dicurigai amiloidosis AL, elektroforesis dan imunoelektroforesis protein serum dan urin harus dikerjakan. Pemeriksaan surnsum tulang pada kasus semacam itu biasanya menunjukkan plasmasitosis, bahkan apabila tidak ada lesi skelet dari mieloma multipel. Analisis proteomik dari jaringan yang terjangkit sekarang sedang digunakan secara luas untuk deteksi amiloid dalam jurrdah kecil (dari aspirat lemak) dan untuk penetapan definitif tentang jenis amiloid.











Amiloidosis adalah kelainan yang ditandai oleh endapan ekstrasel dari protein yang terlipat salah yang beragregasi membentuk fibril yang tidak terlarut. Pengendapan protein ini mungkin diakibatkan oleh produksi berlebihan dari protein yang cenderung mengalami salah lipatan dan agregasi; mutasi yang menghasilkan protein yang tidak dapat melipat dengan benar dan cenderung beragregasi; atau degradasi proteolitik yang cacat atau tidak sempurna dari protein ekstrasel. Amiloidosis mungkin bersifat setempat atau sistemik. Hal itu dijumpai terkait dengan berbagai kelainan primer, termasuk proliferasi sel plasma (dengan endapan amiloid terdiri dari rantai ringan imunoglobulin); penyakit inflamasi kronik seperti RA (endapan amiloid protein A, berasal dari protein fase akut yang diproduksi inflamasi); penyakit Alzheimer (protein amiloid B); keadaan familial yang disertai endapan amiloid terdiri dari bentuk mutan dari protein normal (contoh transtiretin pada polineuropati amiloid familial): amiloidosis yang terkait dengan dialisis (endapan β2-mikroglobulin dengan cacat dari proses pembersihannya). Endapan amiloid menyebabkan jejas jaringan dan merusak fungsi normal dengan menyebabkan tekanan pada sel dan jaringan. Mereka tidak memicu reaksi inflamasi.



KEPUSTAKAAN Banchereau J, Pascual V: Type I interferon in systemic lupus erythematosus and other autoimmune diseases. Immunity 25:383, 2006. (Suatu tinjauan hasil penemuan mutakhir tentang peranan interferon pada SLE dan penyakit autoimun lain, dan potensi untuk menjadikan keluarga molekul sitokin ini untuk terapi.) Campbell DJ, Koch MA: Phenotypic and functional specialization of FoxP3+ regulatory T cells. Nat Rev Immunol 11:119, 2011. (Tinjauan tentang sifat-sifat dan fungsi sel T regulator) Chervonsky A: Influence of microbial environment on autoimmunity. Nat Immunol 11:28, 2010. (Suatu ringkasan tentang peranan mikroba dan faktor lingkungan lain pada perkembangan autoimunitas.) Cunningham-Rundles C, Ponda PP: Molecular defects in T- and B-cell primary immunodeficiency diseases. Nat Rev Immunol 5:880, 2006. (Tinjauan yang sangat baik dan bersifat mutakhir tentang imunodefisiensi primer) Davidson A, Diamond B: Autoimmune diseases. N Engl J Med 345:340, 2001. (Suatu pandangan umum yang mudah dibaca tentang etiologi, patogenesis, dan terapi penyakit autoimun.) Douek DC, Roederer M, Koup RA: Emerging concepts in the immunopathogenesis of AIDS. Annu Rev Med 60:471, 2009. (Suatu pembahasan yang seimbang tentang patogenesis AIDS, dan masalah-masalah yang belum terselesaikan) Fairhurst AM, Wandstrat AE, Wakeland EK: Systemic lupus erythe-matosus: multiple immunological phenotypes in a complex genetic disease. Adv Immunol 92:1, 2006. (Suatu tinjauan yang konferen



Amiloidosis sif tentang genetik SLE pada manusia dan model bintang, dan mekanisme patogenesis yang dibahas dari identifikasi gen kepekaan terhadap penyakit) Fischer A: Human primary immunodeficiency diseases. Immunity 28:835, 2008. (Suatu ringkasan yang sangat baik tentang imunodefisiensi primer yang memengaruhi sistem imun bawaan/alami dan adaptif.) Galli SJ: The development of allergic inflammation. Nature 454:445, 2008. (Suatu tinjauan pustaka yang sangat baik tentang mekanisme inflamasi pada penyakit alergi.) Gonzalez-Scarano F, Martin-Garcia J: The neuropathogenesis of AIDS. Nat Rev Immunol 5:69, 2005. (Suatu diskusi tentang patogenesis demensia yang terkait HIV.) Goodnow CC: Multistep pathogenesis of autoimmune disease. Cell 130:25, 2007. (Suatu pembahasan yang sangat baik tentang butir-butir pedoman untuk pencegahan autoimunitas dan mengapa hal ini mungkin gagal.) Jancar S, Sanchez Crespo M: Immune complex–mediated tissue injury: a multistep paradigm. Trends Immunol 26:48, 2005.(Suatu ringkasan tentang mekanisme jejas jaringan yang diperantarai kompleks-imun.) Katsumoto TR, Whitfield ML, Connolly MK: The pathogenesis of systemic sclerosis. Annu Rev Pathol 6:509, 2011. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis sklerosis sistemik, dan banyak pertanyaan yang belum terjawab.) Kay AB: Allergy and allergic diseases. First of two parts. N Engl J Med 344:30, 2001. (Tinjauan yang sangat baik --satu dari dua bagian-- tentang mekanisme dan manifestasi hipersensitivitas segera.) Kyewski B, Klein L: A central role for central tolerance. Annu Rev Immunol 24:571, 2006. (Suatu pembahasan tentang mekanisme toleransi sentral, dengan fokus pada sel T.) Merlini G, Bellotti V: Molecular mechanisms of amyloidosis. N Engl J Med 349:583, 2003.(Tinjauan yang baik tentang mekanisme patogenik umum pada berbagai amiloidosis sistemik.) Mitchell RN: Graft vascular disease: immune response meets the vessel wall. Annu Rev Pathol 4:19, 2009. (Suatu tinjauan tentang mekanisme patogenik umum pada berbagai amiloidosis sistemik.) Moir S, Chun TW, Fauci AS: Pathogenic mechanisms of HIV disease. Annu Rev Pathol 6:223, 2011. (Suatu pembahasan konsep mutakhir tentang mekanisme HIV menyebabkan imunodefisiensi.) Mueller DL: Mechanisms maintaining peripheral tolerance. Nat Immunol 11:21, 2010. (Suatu pembahasan tentang mekanisme toleransi perifer, dengan penekanan pada sel T.) Nankivell BJ, Alexander SI: Rejection of the kidney allograft. N Engl J Med 363:1451, 2010. (Tinjauan yang baik tentang mekanisme pengenalan dan reaksi



159



penolakan alograf dan perkembangan strategi baru untuk menanggulangi reaksi penolakan.) Notarangelo LD: Primary immunodeficiencies. J Allergy Clin Immunol 125:S182, 2010. (Suatu pembahasan mutakhir tentang imunodefisiensi kongenital dan dasar molekulaernya.) O’Shea JJ, Paul WE: Mechanisms underlying lineage commitment and plasticity of helper CD4+ T cells. Science 327:1098, 2010. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang perkembangan dan fungsi subset sel T penolong, dan ketidakpastian di dalam bidang ini.) Palmer MT, Weaver CT: Autoimmunity: increasing suspects in the CD4+ T cell lineage. Nat Immunol 11:36, 2010. (Suatu pembahasan yang mendasar tentang peranan sentral sel T CD4+ pada patogenesis penyakit autoimun.) Pepys MB: Amyloidosis. Annu Rev Med 57:223, 2006. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis, perangai klinis dan pendekatan terapi pada amiloidosis.) Rahman A, Isenberg DA: Systemic lupus erythematosus. New Engl J Med 358:929, 2008. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis dan genetik SLE.) Sakaguchi S, Miyara M, Costantino CM, Hafler DA: FOXP3+ regulatory T cells in the human immune system. Nat Rev Immunol 10:490, 2010. (Suatu pembahasan yang sangat baik tentang sifat-sifat dan peranan sel T regulator pada manusia.) Sakaguchi S, Yamaguchi T, Nomura T, Ono M: Regulatory T cells and immune tolerance. Cell 133:775, 2008. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang sifat-sifat dan fungsi sel T regulator) Stone J, Zen Y, Deshpande V: IgG4-related disease. New Engl J Med, in press, 2011. (Suatu pembahasan komprehensif tentang perangai dan kemungkinan patogenesis dari kesatuan kelainan yang akhir-akhir ini dikenal.) Vercelli D: Discovering susceptibility genes for asthma and allergy. Nat Rev Immunol 8:169, 2008. (Suatu ringkasan tentang gen kepekaan terhadap penyakit asma dan penyakit alergi lain.) Voulgarelis M, Tzioufas AG: Pathogenetic mechanisms in the initiation and perpetuation of Sjögren’s syndrome. Nat Rev Rheumatol 6:529, 2010. (Suatu pembahasan yang baik tentang apa yang diketahui dan yang tidak diketahui mengenai patogenesis sindrom Sjogren.) Zenewicz L, Abraham C, Flavell RA, Cho J: Unraveling the genetics of autoimmunity. Cell 140:791, 2010. (Suatu pembahasan mutakhir tentang gen kepekaan penyakit autoimun, bagaimana ini ditetapkan, dan kemaknaannya.)



This page intentionally left blank



5 BAB



Neoplasia DAFTAR ISI BAB Nomenklatur 162 Tumor Jinak 162 Tumor Ganas 162



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas 164



Diferensiasi dan Anaplasia 164 Kecepatan Tumbuh 166 Invasi Lokal 167 Metastasis 168



Epidemiologi 169



Insidens Kanker 170 Variabel Geografi dan Lingkungan 170 Usia 171 Keturunan 171 Lesi Praneoplastik yang Didapat 172



ƒ”•‹‘‰‡‡•‹•ǣƒ•ƒ”‘Ž‡—Ž‡” Kanker  173 Lesi Genetik pada Kanker   173 Perubahan Kariotipe pada Tumor 173



MicroRNA dan Kanker 175 Modifikasi Epigenetik dan Kanker 175



Karsinogenesis: Proses Bertahap 177 Tanda Khas Kanker 178 Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan 178



Ketidakpekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan 182 Menghindari Kematian Sel 189 Potensi Replikasi Tanpa Batas 190 Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus 191 Kemampuan untuk Invasi dan Metastasis 192 Melakukan Program Ulang Metabolisme Energi 195 Menghindari Sistem Imun 196 Instabilisitas Genom MemungkinkanTerjadinya Keganasan 196 Radang Pemicu Tumor Memungkinkan Terjadinya Keganasan 197



Kanker merupakan penyebab kematian kedua di Amerika Serikat, setelah penyakit kardiovaskular yang menyebabkan jumlah kematian lebih tinggi. Lebih menyedihkan lagi ialah tidak hanya kematian yang disebabkan oleh kanker, namun juga penderitaan emosi dan fisis. Pasien dan publik selalu bertanya: "Kapan ada obat yang menyembuhkan kanker?". Jawaban untuk pertanyaan yang sederhana ini sulit, karena kanker bukan satu jenis penyakit tetapi mempunyai beberapa gangguan yang kemudian bersama-sama mengakibatkan disregulasi pertumbuhan yang nyata. Beberapa kanker, misalnya Limfoma Hodgkin, dapat disembuhkan, sedangkan yang lainnya, misalnya kanker pankreas, biasanya selalu fatal. Harapan satu-satunya untuk mengontrol kanker terletak pada pemahaman yang lebih mendalam tentang patogenesis,walaupun upaya penting telah dilakukan untuk mempelajari dasar molekuler kanker. Bab ini membahas biologi dasar neoplasia sifat neoplasma jinak dan ganas dan dasar molekuler terjadinya transformasi neoplastik. Respons tubuh terhadap tumor dan gambaran klinis neoplasia akan dibicarakan. Sebelum membicarakan gambaran sel kanker dan mekanisme karsinogenesis sangat penting untuk merangkum fundamen dan karakteristik kanker: • Kanker adalah kelainan genetik disebabkan oleh mutasi DNA yang (sebagian besar) terjadi spontan atau diinduksi oleh pengaruh lingkungan. Sebagai tambahan, kanker sering menunjukkan perubahan epigenetik, seperti peningkatan metilasi DNA fokal dan perubahan



Karsinogenesis Berjenjang dan Perkembangan Kanker 198



Etiologi Kanker: Agen Karsinogenik 198 Karsinogen Kimia 199 Karsinogenesis karena Radiasi 200 Onkogenesis oleh Virus dan Mikroba 201



Pertahanan Tubuh terhadap Tumor: Imunitas Tumor 204 Antigen Tumor 204 Mekanisme Efektor Antitumor 206 Pengawasan Imun dan Penghindaran Imun oleh Tumor 207 Aspek Klinis Neoplasia 207 Efek Tumor pada Pejamu 207 Derajat Diferensiasi dan Stadium Kanker 208 Diagnosis Laboratorium Kanker 210



modifikasi histon, yang mungkin berasal dari mutasi yang didapat pada gen yang mengatur modifikasi tersebut. Perubahan genetik dan epigenetik ini akan mengubah ekspresi atau fungsi gen kunci yang mengatur proses mendasar pada sel, misalnya pertumbuhan, pertahanan, dan penuaan (senescence). • Perubahan genetik ini dapat bersifat herediter, diturunkan ke sel anak saat pembelahan sel. Akibatnya, sel yang membawa perubahan ini tunduk pada seleksi Darwin (yang terkuat akan bertahan, konsep ilmiah terpenting yang pernah dikemukakan, walaupun tidak selalu diterima), di mana sel yang mengandung mutasi akan lebih mudah tumbuh dan lebih tahan, yang akan mengalahkan sel lain sehingga akan mendominasi populasi sel. Seleksi Darwin juga berperan dalam perkembangan dan kekambuhan kanker yang, akan dibicarakan kemudian lebih rinci. Karena kemudahan selektif tersebut mengenai sel tunggal yang kemudian akan menjadi tumor, maka semua tumor bersifat klonal (misalnya progeni dari satu sel) • Mutasi yang terakumulasi menyebabkan berbagai sifat berubah yang merupakan ciri khas kanker. Termasuk (1) mengatur sendiri sinyal pertumbuhan sehingga pertumbuhan kanker menjadi autonom dan tidak diatur oleh unsur fisiologis; (2) tidak peka terhadap sinyal penghambat pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel non-neoplastik seperti hiperplasia;



162



B A B 5



Neoplasia



(3) menghindari kematian sel, menyebabkan sel kanker dapat bertahan pada kondisi yang biasanya menginduksi apoptosis pada sel normal; (4) kemampuan membelah yang tanpa batas, sehingga sel kanker menjadi imortal; (5) perkembangan angiogenesis untuk mempertahankan pertumbuhan sel kanker; (6) kemampuan menginvasi jaringan lokal dan menyebar ke tempat yang jauh; (7) melakukan program ulang jalur metabolisme khususnya perubahan menjadi glikolisis aerobik walaupun terdapat oksigen berlebihan dan (8) kemampuan menghindari sistem imun. Perubahan genetik yang mengakibatkan sifat khas kanker ini dipertahankan dengan bertambahnya ketidakstabilan genom seperti menyiram bensin pada api. Keterangan dasar molekuler pada tanda khas kanker akan dibahas pada bagian selanjutnya. Pemahaman tentang abnormalitas sel dan molekul pada sel kanker mengakibatkan revolusi dalam pengobatan kanker yang didasari pada penelitian dasar, dan merupakan kemajuan menggembirakan untuk ilmu biomedik.



NOMENKLATUR Neoplasia berarti "pertumbuhan baru". Sel neoplastik disebutkan mengalami transformasi sebab terus mengadakan replikasi, tanpa dipengaruhi oleh faktor pengendali pertumbuhan sel normal. Neoplasma mempunyai kemampuan autonom dan cenderung untuk menjadi besar tanpa dipengaruhi lingkungan setempat. Namun, autonom tersebut tidak lengkap seluruhnya. Beberapa neoplasma membutuhkan dukungan endokrin, dan ketergantungan tersebut dapat digunakan untuk upaya terapi. Semua neoplasma bergantung pada nutrisi dan suplai darah pejamu. Dalam istilah umum kedokteran, neoplasma disebut tumor, dan cabang ilmu yang mempelajari tumor disebut onkologi (dari oncos, "tumor," dan logos, "ilmu"). Di antara berbagai macam tumor, pembagian neoplasma menjadi jinak dan ganas didasarkan pada potensi manifestasi klinis. • Tumor disebut jinak apabila gambaran mikroskopik dan makroskopik tidak membahayakan, memberi kesan bahwa tumor tersebut akan tetap terlokasi dan dapat dilakukan pengangkatan dengan tindakan bedah lokal; pasien umumnya dapat bertahan. Catatan tumor jinak disamping memberikan keluhan sebagai benjolan setempat, tetapi dapat menyebabkan penyakit yang serius. • Tumor ganas disebut dalam kelompok kanker, berasal dari kata Latin "kepiting" karena sifatnya yang melekat erat dipermukaan tempat tumor itu berada, mirip sifat kepiting. Ganas, pada neoplasma, menyatakan bahwa lesi dapat menginvasi dan merusak struktur disekitarnya dan menyebar ke tempat jauh (metastasis) serta menyebabkan kematian. Tidak semua kanker bersifat fatal. Kadang-kadang yang paling agresif termasuk yang paling dapat disembuhkan, tetapi sebutan ganas menandakan bendera merah. Semua tumor, jinak atau ganas, mempunyai dua komponen dasar:(1) parenkim, terdiri atas sel yang telah mengalami transformasi atau sel neoplastik, dan (2) stroma penunjang non-neoplastik yang berasal dari pejamu, terdiri atas jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel radang yang berasal dari pejamu. Parenkim neoplasma menentukan sifat biologis tumor, dan dari komponen inilah asal pemberian nama tumor.



Stroma penting untuk pertumbuhan neoplasma, karena mengandungi suplai darah yang memberikan dukungan untuk pertumbuhan sel parenkim. Walaupun sifat biologis tumor terutama bergantung pada sifat sel parenkim, ada pengertian baru bahwa sel stroma dan sel neoplastik mempunyai hubungan dua arah yang mempengaruhi pertumbuhan tumor.



Tumor Jinak Secara umum, tumor jinak diberi nama dengan akhiran oma pada jenis sel asal tumor tersebut. Suatu tumor jinak berasal dari jaringan fibrosa disebut fibroma; tumor jinak asal tulang rawan disebut kondroma. Nomenklatur untuk tumor epitel jinak lebih kompleks. Klasifikasi kadang-kadang dilakukan berdasarkan pola mikroskopik dan kadang-kadang pada pola makroskopik. Ada juga klasifikasi lain berdasarkan asal sel. Sebagai contoh, istilah adenoma diterapkan untuk neoplasma epitel jinak yang memberikan gambaran kelenjar dan pada kelompok neoplasma berasal dari kelenjar walau tidak harus menunjukkan pola kelenjar. Suatu neoplasma epitel jinak berasal dari sel tubulus ginjal dan tumbuh membentuk pola mirip kelenjar disebut adenoma. Demikian juga kelompok sel epitel jinak yang tidak menunjukkan pola kelenjar tetapi berasal dari korteks adrenal, disebut adenoma. Papiloma ialah suatu neoplasma epitel jinak, tumbuh pada permukaan, memberikan gambaran mikroskopik dan makroskopik suatu tonjolan mirip jari tangan. Polip adalah suatu massa yang tumbuh di atas permukaan mukosa, seperti usus, membentuk struktur yang secara makroskopik mudah dilihat (Gambar 5-1). Walaupun istilah ini dipergunakan untuk tumor jinak, beberapa tumor ganas dapat tumbuh sebagai polip, sedangkan beberapa polip lain (seperti polip hidung) bukan suatu neoplasma tetapi berasal dari proses radang. Kistadenoma merupakan massa kistik berongga yang khas berasal dari ovarium Nomenklatur tumor ganas mengikuti nomenklatur tumor jinak, dengan beberapa tambahan dan pengecualian.



Tumor Ganas Nomenklatur tumor ganas mengikuti nomenklatur tumor jinak, dengan beberapa tambahan dan pengecualian. • Neoplasma ganas yang berasal dari jaringan mesenkim "padat" atau derivatnya disebut sarkoma, sedang yang berasal dari sel mesenkim darah disebut leukemia atau limfoma. Sarkoma ditentukan oleh jenis sel tumornya yang dianggap sel asal tumor itu. Jadi, kanker yang berasal dari jaringan fibrosa disebut fibrosarkoma, dan neoplasma ganas yang terdiri dari kondrosit disebut kondro-sarkoma. • Walaupun epitel tubuh berasal dari tiga lapisan germinal, neoplasma ganas sel epitel semua disebut karsinoma tanpa mempersoalkan asal jaringan. Sehingga neoplasma ganas yang berasal dari epitel tubulus ginjal (mesoderm) disebut karsinoma, demikian pula kanker yang berasal dari kulit (ektoderm) dan epitel yang melapisi usus (endoderm). Selanjutnya, mesoderm dapat menimbulkan karsinoma (epitel), sarkoma (mesenkim) dan tumor hematolimfoid (leukemia dan limfoma). • Pembagian karsinoma lebih lanjut. Karsinoma yang tumbuh membentuk pola kelenjar disebut adenokarsinoma, dan yang menghasilkan sel skuamosa disebut karsinoma sel skuamosa. Kadang-kadang asal jaringan tidak dapat diidentifikasi,



Nomenklatur



163



Teratoma merupakan tumor campur khusus yang mengandungi sel matur dan imatur yang mudah dikenal, mewakili lebih dari satu lapisan germinal dan kadang-kadang ketiga lapisan. Teratoma berasal dari sel germinal totipoten yang dalam keadaan normal dijumpai di testis atau ovarium dan kadang-kadang secara abnormal pada sisa jaringan embrionik di garis tengah. Sel germinal mempunyai kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada tubuh manusia dewasa, sehingga, tidak mengherankan, dapat menghasilkan neoplasma yang bentuknya kacau-balau, ada bagian yang menyerupai keping tulang, epitel, otot, lemak, saraf dan jaringan lain. Nama spesifik untuk neoplasma yang sering dijumpai ditampilkan pada Tabel 5-1. Akan dijumpai adanya inkonsistensi. Contoh istilah limfoma, mesotelioma, melanoma, dan seminoma dipergunakan untuk neoplasma ganas. Untuk mahasiswa perkecualian ini telah ditekankan saat mempelajari istilah kedokteran







Gambar 5-1 Polip kolon. Tumor glandular ini (adenoma) tampak tumbuh ke dalam lumen kolon. Polip melekat pada mukosa dengan suatu tangkai yang jelas.



Ada beberapa istilah lain yang membingungkan: Hamartoma merupakan massa jaringan yang tidak terorganisasi disuatu tempat tertentu. Pemeriksaan histologis terdiri atas jaringan hati yang selnya matur, tetapi tidak teratur, pembuluh darah dan mungkin duktus biliaris di dalam hati, atau nodul di paru mengandungi pulau-pulau tulang rawan, bronkus, dan pembuluh darah. Hamartoma dianggap sebagai pertumbuhan yang susunannya salah, tetapi penelitian genetik menunjukkan adanya translokasi yang didapat, sehingga mendukung pendapat sebagai neoplasma.



• Koristoma merupakan kelainan bawaan terdiri atas sisa sel yang heterotopik. Contoh, suatu nodul terdiri atas jaringan pankreas normal tetapi dijumpai di submukosa lambung, duodenum, atau usus halus. Sisa jaringan yang heterotopik ini bisa penuh dengan pulau Langerhans dan kelenjar eksokrin. Kata-oma, yang menandakan nama neoplasma, memberikan kesan berbeda dengan keadaan sisa jaringan heterotopik yang secara klinis jauh lebih ringan. Walaupun istilah berbagai neoplasma tidak sederhana, namun pemahaman nomenklatur sangat penting, karena akan mendasari penggolongan tumor menurut sifat dan asalnya.



misalnya pada adenokarsinoma sel ginjal. Kadang-kadang tumor menunjukkan diferensiasi terbatas atau tidak menunjukkan diferensiasi maka disebut karsinoma berdiferensiasi buruk atau karsinoma tidak berdiferensiasi. Sel yang mengalami transformasi pada neoplasma, baik jinak atau ganas, akan mirip satu dengan lain, dan diperkirakan semua berasal dari satu progenitor, sesuai dengan asal monoklonal dari tumor. Namun, pada beberapa keadaaan tertentu, sel tumor mengalami diferensiasi divergen, dan terbentuk apa yang disebut tumor campur. Contoh terbaik ialah tumor campur kelenjar liur. Tumor ini mengandungi komponen epitel tersebar di antara stroma fibromiksoid, kadang kadang dijumpai pulau tulang rawan atau tulang (Gambar 5-2). Semua elemen berbeda ini diperkirakan berasal dari sel epitel atau sel mioepitel, atau keduanya, dan nama yang dipilih untuk neoplasma ini ialah adenoma pleiomorfi. Fibroadenoma pada payudara wanita merupakan contoh suatu tumor campur. Tumor jinak ini mengandungi campuran elemen duktus yang berproliferasi (adenoma) terletak di antara jaringan ikat longgar (fibroma). Walaupun hanya komponen fibrosa yang neoplastik, istilah fibroadenoma selalu dipergunakan.



Gambar 5-2 Tumor campur kelenjar parotis mengandungi sel epitel membentuk duktus dan stroma miksoid yang menyerupai tulang rawan.



(Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas.)



164



BAB



Neoplasia



Tabel 5-1 Tata Nama Tumor



Jaringan Asal Terdiri atas Satu Jenis Sel Parenkim



Jinak



Ganas



Jaringan ikat dan turunannya



Fibroma Lipoma Kondroma Osteoma



Fibrosarkoma Liposarkoma Kondrosarkoma Sarkoma osteogenik



Hemangioma Limfangioma



Angiosarkoma Limfangiosarkoma Mesotelioma Meningioma invasif



Endotel dan jaringan terkait Pembuluh darah Pembuluh limfe Mesotel Selaput otak Sel darah dan sel terkait Sel hematopoietik Jaringan limfoid Otot Polos Serat lintang Tumor berasal dari epitel Skuamosa berlapis Sel basal kulit atau adneksa Epitel yang melapisi kelenjar atau duktus Saluran napas Epitel ginjal Sel hati Epitel saluran kemih (transisional) Epitel plasenta Epitel testis (sel germinal) Tumors melanosit



Meningioma



Leukemia Limfoma Leiomioma Rabdomioma



Leiomiosarkoma Rabdomiosarkoma



Papiloma sel skuamosa



Karsinoma sel skuamosa atau sel epidermoid Karsinoma sel basal Adenokarsinoma Karsinoma papiler Kistadenokarsinoma Karsinoma bronkogenik Karsinoma sel ginjal Karsinoma sel hati Karsinoma urotelial Koriokarsinoma Seminoma Karsinoma embrional Melanoma malignum



Adenoma Papiloma Kistadenoma Adenoma bronkus Adenoma tubulus ginjal Adenoma sel hati Papiloma urotelial Mola hidatidosa



Nevus



Lebih dari Satu Jenis Sel Neoplastik - Tumor Campur, Biasanya Bersal dari Satu Lapisan Sel Germinal Kelenjar liur Anlage ginjal



Adenoma pleiomorfik (tumor campur kelenjar liur)



Tumor campur kelenjar liur yang ganas. Tumor Wilms



Berapa Jenis Sel Neoplastik Berasal dari Beberapa Jenis Lapisan Sel Germinal - Teratogenosa Sel Totipoten di gonad atau sisa sel embrional



Teratoma matur, kista dermoid



Teratoma imatur, teratokarsinoma



Diferensiasi dan Anaplasia Tidak ada hal yang lebih penting bagi seorang penderita tumor dari pada berita bahwa "tumornya jinak." Umumnya, tumor jinak secara genetik "sederhana", dan dalam perjalanan waktu mengalami mutasi lebih sedikit daripada kanker, secara genetik stabil, mengalami sedikit perubahan genotip. Sifat yang terakhir menjelaskan mengapa tumor jinak seperti lipoma dan leiomioma jarang berubah menjadi ganas, atau boleh dikatakan tidak pernah. Dalam praktik, penentuan jinak atau ganas dibuat dengan akurasi tinggi berdasarkan kriteria klinis dan anatomik yang telah lama dipergunakan, tetapi masih dijumpai kesulitan untuk menentukan sifat beberapa neoplasma. Gambaran tertentu bisa menandakan sifat tumor jinak, tetapi gambaran lainnya menandakan keganasan. Namun masalah tersebut tidak menjadi patokan, dan ada empat gambaran yang mendasar untuk membedakan tumor jinak dan ganas: diferensiasi dan anaplasia, kecepatan pertumbuhan, invasi lokal, dan metastasis.



Diferensiasi dan anaplasia adalah tanda khas yang hanya dijumpai pada sel parenkim yang elemen neoplasmanya mengalami tranformasi. Yang dimaksud dengan diferensiasi sel parenkim ialah seberapa jauh kemiripan sel tumor itu secara morfologik dan fungsional dengan sel aslinya. • Neoplasma jinak terdiri dari sel yang berdiferensiasi baik yang sangat mirip dengan sel normal. Lipoma terdiri atas sel lemak matur dengan vakuol lipid di sitoplasmanya, dan kondroma terdiri atas tulang rawan matur yang mensintesa matriks tulang rawan normal suatu tanda diferensiasi morfologik dan fungsional. Pada tumor jinak dengan diferensiasi baik, mitosis jarang dijumpai dan konfigurasinya adalah normal. • Neoplasma ganas ditandai dengan diferensiasi sel parenkim yang beragam, berkisar dari diferensiasi baik (Gambar 5-3),



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas



Gambar 5-3 Karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik dari kulit. Tumor sangat mirip dengan sel epitel skuamosa kulit normal, dengan jembatan antar sel dan pulau keratin (panah). (Sumbangan dari Dr. Tmce Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. )



hingga yang tidak berdiferensiasi. Contoh, adenokarsinoma tiroid berdiferensiasi baik, mengandungi folikel yang tampak normal. Tumor tersebut kadang-kadang sulit dibedakan dari suatu proliferasi jinak. Di antara kedua ekstrem terdapat kelompok tumor yang dikelompokkan dalam diferensiasi sedang. Stroma yang mengandungi suplai darah sangat penting untuk pertumbuhan tumor tetapi bukan merupakan tanda untuk membedakan tumor jinak dan ganas. Sebaliknya jumlah stroma jaringan ikat, menentukan konsistensi neoplasma. Beberapa kanker menginduksi stroma fibrosa (desmoplasia) yang padat, sehingga menjadi keras, dan disebut tumor skirus. • Neoplasma ganas yang terdiri atas sel yang tidak berdiferensiasi disebut anaplastik. Tidak adanya diferensiasi, atau anaplasia, merupakan tanda utama keganasan. Istilah anaplasia berarti "pertumbuhan mundur" menyatakan diferensiasi, atau hilangnya diferensiasi struktur dan fungsi sel normal. Sekarang diketahui, bahwa, terdapat beberapa jenis kanker yang berasal dari sel punca jaringan; pada tumor ini kegagalan berdiferensiasi, dan bukan diferensiasi sel khusus, yang mengakibatkan gambaran tidak berdiferensiasi. Penelitian terakhir menunjukkan pada beberapa kasus, dediferensiasi sel matur terjadi selama karsinogenesis. Sel anaplastik menunjukkan pleiomorfisme yang mencolok (misalnya variasi dalam besar dan bentuk) (Gambar 5-4). Sering intinya sangat hiperkromatik (gelap pada pulasan) dan menghasilkan peningkatan rasio inti dan sitoplasma yang dapat mencapai 1:1 sedangkan yang normal biasanya 1:4 atau 1:6. Sel raksasa yang jauh lebih besar daripada sel sekitarrtya dapat terbentuk dan mengandungi satu inti yang besar atau beberapa inti. Inti anaplastik mempunyai ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi. Kromatin kasar dan padat, anak inti mempunyai ukuran yang sangat besar. Yang lebih penting ialah, mitosis banyak ditemukan dan bentuknya sangat atipik; spindel yang multipel dan tidak teratur akan membentuk mitosis berbentuk tripolar atau kuadripolar (Gambar 5-5). Juga, sel anaplastik biasanya tidak dapat membentuk pola orientasi teratur yang dapat dikenal satu dengan lain (misalnya terjadi kehilangan polaritas normal). Akan tumbuh seperti lembaran, tanpa mengandungi berbagai struktur umum, misalnya kelenjar atau arsitektur epitel skuamosa.



165



Gambar 5-4 Tumor anaplastik dari otot skeletal (rabdomyosarkoma). Perhatikan pleiomorfi sel dan inti yang jelas, inti hiperkromatik, dan sel datia tumor. (Sumbangan dan Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. )



Makin berdiferensiasi suatu tumor, maka akan makin besar kemampuannya mempertahankan fungsi normalnya. Neoplasma jinak dan juga kanker kelenjar endokrin yang berdiferensiasi baik seringkali memproduksi hormon seperti hormon sel asalnya. Karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik menghasilkan keratin (Gambar 5-3), demikian juga karsinoma hepatoseluler berdiferensiasi baik akan mensekresi empedu. Pada kasus lain, fungsi yang tidak terduga muncul. Beberapa kanker menghasilkan protein fetal yang tidak diproduksi oleh sel yang sama pada orang dewasa. Kanker yang berasal dari kelenjar nonendokrin dapat menghasilkan apa yang disebut hormon ektopik. Sebagai contoh, beberapa karsinoma paru dapat memproduksi hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon mirip hormon paratiroid, insulin, glukagon, dan lainnya. Akan dibahas kemudian mengenai fenomena ini. Walaupun adanya perkecualian, semakin cepat pertumbuhan dan semakin anaplastik suatu tumor, semakin kecil kemungkinannya mempunyai aktivitas fungsional khusus.



Gambar 5-5 Gambaran sel tumor anaplastik secara rinci dengan pembesaran besar menunjukkan ukuran dan bentuk sel dan intinya bervariasi. Sel yang berada di tengah mempunyai spindel tripolar abnormal.



166



BAB 5



Neoplasia



A



B



Gambar 5-6 Karsinoma in situ. A, Pembesaran kecil menunjukkan seluruh tebal epitel telah diganti oleh sel displastik atipik. Tidak terdapat diferensiasi sel skuamosa yang teratur. Membran basal masih utuh, tidak ada tumor dalam stroma subepitel. B, Pembesaran besar dari tempat lain menunjukkan kegagalan diferensiasi normal, pleiomorfi inti dan sel yang jelas dan ditemukan beberapa mitosis yang tersebar kepermukaan. Membran basal yang utuh (di bawah) tidak tampak pada potongan ini.



Masih relevan dalam diskusi diferensiasi dan anaplasia ialah membahas displasia, merupakan suatu proliferasi yang tidak teratur tetapi bukan kelainan neoplasma. Displasia dijumpai hanya pada lesi epitel. Sel pada kelainan ini tidak uniform lagi dan orientasi arsitekturnya juga lain. Sel displastik menunjukkan pleiomorfisme dan sering intinya hiperkromatik yang besarnya abnormal untuk ukuran sel tersebut. Dijumpai jumlah mitosis yang lebih banyak dari yang biasa ditemukan pada lokasi abnormal dalam epitel. Pada epitel skuamosa berlapis yang displastik, mitosis tidak terbatas pada lapisan basal, tempat yang normal dijumpai, tetapi dijumpai pula pada seluruh lapisan, termasuk di sel permukaan. Dijumpai anarki arsitektur. Contoh maturasi progresif sel bentuk lonjong di lapisan basal menjadi sel-sel gepeng di permukaan tidak terjadi lagi dan akan terlihat sel basal berwarna gelap dengan susunan tidak teratur (Gambar 5-6). Apabila kelainan displasia menonjol dan mengenai seluruh ketebalan epitel, lesi itu disebut sebagai karsinoma in situ, stadium preinvasif kanker (Bab 18). Walaupun perubahan displastik sering dijumpai berdekatan dengan fokus transformasi keganasan, penelitian jangka panjang pada perokok menunjukkan bahwa epitel displastik mendahului gambaran kanker, istilah displasia tidak sinonim dengan kanker; displasia ringan hingga displasia sedang yang tidak mengenai seluruh ketebalan epitel, kadang-kadang akan mengalami regresi lengkap; khususnya bila faktor penyebab dapat dihilangkan.



Kecepatan Tumbuh Tumor jinak umumnya tumbuh lambat, sedangkan sebagian besar kanker tumbuh lebih cepat, dan menyebar lokal dan ke tempat yang jauh (metastasis) serta menyebabkan kematian. Namun ada banyak perkecualian terhadap keadaan umum ini, dan beberapa tumor jinak bisa tumbuh lebih cepat daripada kanker. Contoh, kecepatan pertumbuhan leiomioma (tumor otot polos jinak) di uterus dipengaruhi oleh kadar estrogen yang beredar. Tumor itu dapat membesar dengan cepat saat kehamilan dan kemudian berhenti tumbuh, dijumpai fibro kalsifikasi, setelah menopause. Pengaruh lain, misalnya suplai darah yang kurang atau adanya faktor tekanan setempat, akan memberikan pengaruh terhadap kecepatan tumbuh tumor jinak. Adenoma kelenjar hipofisis yang terkurung dalam sella tursika di observasi dapat mengecil



mendadak. Agaknya tumor tersebut mengalami nekrosis karena pembesaran tumor yang progresif mengakibatkan penekanan pada aliran darah. Walaupun adanya keadaan ini dan variasi pertumbuhan antar tumor, dapat dipastikan bahwa pada umumnya tumor jinak tumbuh lebih lambat dalam rentang waktu bulanan hingga tahunan. Kecepatan tumbuh tumor ganas berkorelasi terbalik dengan derajat diferensiasi. Dengan kata lain, tumor dengan diferensiasi buruk akan tumbuh lebih cepat dibanding tumor berdiferensiasi baik. Namun, ada variasi luas dalam kecepatan tumbuh. Beberapa tumor ganas tumbuh lambat bertahun-tahun untuk kemudian memasuki fase pertumbuhan cepat, menyatakan munculnya suatu subklon agresif dari sel yang mengalami transformasi. Tumor lain tumbuh relatif lambat namun tetap; pada beberapa perkecualian, pertumbuhan dapat berhenti sama sekali. Bahkan yang lebih jarang lagi, beberapa tumor primer (khususnya koriokarsinoma) dapat seluruhnya menjadi nekrotik, hanya menyisakan implan metastatik sekunder. Walaupun adanya kejadian jarang ini, kanker umumnya membesar secara progresif dengan berlalunya waktu, ada yang lambat, ada yang cepat, tetapi istilah "jatuh dari langit" tidak benar. Berbagai penelitian eksperimental dan klinis menyimpulkan bahwa dibutuhkan bertahun-tahun dan mungkin puluhan tahun sebelum kanker memberikan lesi yang jelas secara klinis. Hal ini terbukti pada leukemia anak jenis "akut", yang dimulai pada perkembangan fetal namun manifestasi sebagai kanker yang jelas baru timbul beberapa tahun kemudian. Tumor ganas dengan pertumbuhan cepat sering mempunyai nekrosis iskemik pada daerah sentral, karena suplai darah untuk tumor, yang berasal dari pejamu, gagal mengimbangi kebutuhan oksigen untuk massa sel yang membesar dengan cepat.



Sel Punca Kanker dan Linease Pertumbuhan berkelanjutan dan pemeliharaan berbagai jaringan yang mengandungi sel berusia pendek, misalnya elemen pembentuk darah dan sel epitel saluran cerna dan kulit, membutuhkan populasi cadangan sel punca jaringan yang usianya panjang dan mampu mengganti sendiri. Sel punca jaringan jumlahnya jarang dan berada disuatu tempat yang dibentuk oleh sel penunjang, yang memproduksi faktor parakrin yang mempertahankan sel punca.Sebagaimana dijelaskan di Bab 2, sel punca membelah asimetris dan menghasilkan dua jenis sel anak-sel dengan potensi proliferatif terbatas, yang akan mengalami diferensiasi akhir hingga membentuk jaringan tertentu, dan sel yang mempertahankan



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas 167 potensi sel punca. Kanker adalah imortal dan mempunyai kapasitas proliferasi tanpa batas, menyatakan bahwa seperti jaringan normal, kanker harus mengandungi sel dengan kemampuan mirip sel punca. Hipotesis sel punca kanker menyatakan bahwa analog dengan jaringan normal, hanya suatu subset sel pada tumor yang mempunyai kemampuan mengganti sendiri. Konsep sel punca kanker mempunyai beberapa implikasi penting. Yang terpenting ialah apabila sel punca kanker menentukan dalam mempertahankan tumor, maka sel ini harus dihilangkan untuk menyembuhkan pasien yang terkena kanker. Dijadikan hipotesa, bahwa seperti sel punca normal, sel punca kanker resisten terhadap terapi konvensional, karena kecepatan membelah sel yang rendah dan faktor ekspresinya, misalnya tahan terhadap berbagai obat (Multiple Drug Resistence-1/ MDR-1), yang melawan kerja obat kemoterapi. Jadi keterbatasan hasil terapi saat ini dapat dijelaskan karena kegagalan mematikan sel punca ganas yang menjadi akar kanker. Sel punca kanker dapat berasal dari sel punca jaringan normal atau dari sel yang telah berdiferensiasi lanjut dan sebagai bagian dari proses transformasi mempunyai kemampuan mengganti sendiri. Penelitian tentang jenis leukemia tertentu (Bab 11), memperkirakan bahwa kedua kemungkinan dapat terjadi, bahwa leukemia mielogenik kronik berasal dari sel punca hematopoietik normal yang menjadi ganas, sedangkan leukemia mieloid (mielogenik) akut berasal dari prekursor mieloid yang telah berdiferensiasi yang membutuhkan kemampuan abnormal untuk penggantian diri. Iden-tifikasi dari "sel punca leukemia" telah meningkatkan penelitian untuk sel punca kanker pada tumor solid.



Invasi Lokal Suatu tumor jinak akan tetap berada ditempat asalnya. Tumor tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk infiltrasi, invasi, atau metastasis ke tempat jauh, seperti neoplasma ganas. Sebagai contoh, adenoma akan membesar dengan lambat, membentuk kapsul fibrosa yang memisahkan tumor tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kapsul ini terbentuk dari stroma jaringan sekitarnya karena sel parenkim akan atrofia akibat penekanan oleh tumor yang membesar. Stroma tumor juga berperan dalam pembentukan kapsul (Gambar 5-7 dan 5-8). Harap diperhatikan, bahwa tidak semua tumor jinak berkapsul. Contoh, leiomioma uterus jelas dibatasi oleh otot polos disekitarnya yaitu zona miometrium



Gambar 5-7 Fibroadenoma payudara. Tumor berwarna coklat, berkapsul, kecil, terlihat berbatas tegas dengan jaringan payudara yang lebih putih.



Gambar 5-8 Gambaran mikroskopik fibroadenoma payudara dari Gambar 5-7. Kapsul yang fibrotik (kanan) dengan tegas memisahkan tumor dengan jaringan sekitarnya. (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas).



yang mengalami kompresi dan jaringan miometrium normal, tetapi tidak dijumpai pembentukan kapsul. Namun terdapat suatu batas jelas sekitar lesi tersebut. Beberapa tumor jinak tidak mempunyai kapsul dan juga tidak berbatas jelas, batas yang tidak ada ini biasanya dijumpai pada tumor vaskular jinak di dermis. Perkecualian ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa walaupun kapsul merupakan tanda tumor jinak, dan tidak adanya kapsul tidak berarti tumor tersebut pasti ganas. Kanker tumbuh dengan infiltrasi, invasi, destruksi, dan penetrasi yang progresif ke jaringan sekitarnya (Gambar 5-9 dan 5-10). Tidak terbentuknya kapsul yang jelas, kadang-kadang dijumpai pada beberapa tumor ganas yang tumbuh lambat seolah-olah dibatasi oleh stroma jaringan sekitarnya, tetapi pemeriksaan mikroskopik akan menunjukkan adanya penetrasi pertumbuhan kecil pada tepi dan menginfiltrasi jaringan sekitarnya. Akibat pertumbuhan infiltratif ini diperlukan tindakan eksisi luas jaringan normal disekitarnya pada tindakan bedah pengangkatan tumor ganas ini. Spesialis patologi akan memeriksa dengan cermat batas sayatan tumor yang telah direseksi untuk memastikan bahwa tidak dijumpai lagi sel kanker (tepi sayatan bebas tumor). Selain metastasis, maka invasi lokal merupakan tanda yang paling pasti untuk membedakan tumor ganas dan tumor jinak.



Gambar 5-9 Potongan sediaan karsinoma duktal invasif payudara. Lesi mengalami retraksi, menginfiltrasi jaringan payudara sekitarnya, dan sangat keras pada palpasi.



168



B A B 5



Neoplasia tersembunyi pada saat diagnosis. Secara umum, semakin anaplastik dan semakin besar ukuran tumor primer, semakin besar pula kemungkinan terjadinya metastasis, namun seperti juga rumus umum lainnya, selalu ada perkecualian. Kanker yang amat kecil bisa sudah bermetastasis, sebaliknya lesi sangat besar dan menakutkan bisa tidak bermetastasis. Penyebaran tumor mengakibatkan buruknya hasil penyembuhan kanker, sehingga



Gambar 5-10 Gambaran mikroskopik karsinoma payudara seperti yang terlihat pada Gambar 5-9 menunjukkan invasi sel tumor ke stroma payudara dan lemak, berupa barisan atau kelompok sel tumor (bandingkan dengan Gambar 5-8). Perhatikan tidak dijumpainya kapsul (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



bedah pengangkatan tumor ganas ini. Spesialis patologi akan memeriksa dengan cermat batas sayatan tumor yang telah direseksi untuk memastikan bahwa tidak dijumpai lagi sel kanker (tepi sayatan bebas tumor). Selain metastasis, maka invasi lokal merupakan tanda yang paling pasti untuk membedakan tumor ganas dan tumor jinak.



Metastasis Metastasis adalah dijumpainya suatu tumor sekunder yang terpisah dari tumor primer dan terletak di jaringan yang jauh (Gambar 5-11). Dibandingkan dengan tanda lain, kemampuan metastasis merupakan tanda pasti bahwa suatu tumor bersifat ganas. Namun, tidak semua kanker mempunyai kemampuan metastasis yang sama. Pada satu ekstrem adalah karsinoma sel basal dari kulit dan tumor primer sistem saraf pusat, yang bersifat sangat lokal invasif tetapi jarang bermetastasis. Pada ekstrem lain adalah sarkoma osteogenik (tulang) yang biasanya telah bermetasis ke paru saat didiagnosis. Sekitar 30% pasien yang baru didiagnosis sebagai tumor solid (kecuali kanker kulit yang bukan melanoma) menunjukkan metastasis klinis yang jelas. Sebanyak 20% lainnya sudah disertai metastasis



Neoplasma ganas akan menyebar melalui tiga cara: (1) mengalir melalui dinding rongga tubuh, (2) penyebaran limfatik, atau (3) penyebaran hematogen. Penyebaran melalui dinding rongga tubuh terjadi apabila neoplasma menginvasi rongga tubuh. Cara penyebaran ini merupakan cara khas kanker ovarium, yang sering meliputi permukaan yang luas dari peritoneum. Sel tumor akan melapisi seluruh permukaan peritoneum tetapi tidak menginvasi jaringan di bawahnya. Ini adalah contoh kemampuan untuk reimplan di tempat lain, yang berbeda dengan kemampuan untuk invasi. Neoplasma dari sistem saraf pusat, misalnya meduloblastoma atau ependimoma, dapat menembus ventrikel otak dan dibawa oleh cairan serebro spinalis untuk tertanam kembali di permukaan selaput otak, pada otak atau di medula spinalis. Penyebaran limfogen merupakan cara penyebaran yang lebih sering pada karsinoma, sedangkan penyebaran hematogen lebih sering dijumpai pada sarkoma. Namun banyak bagian yang saling berhubungan antara sistem limfatik dan sistem vaskular, sehingga semua jenis kanker dapat menyebar melalui satu atau kedua sistem. Pola keterlibatan kelenjar getah bening, bergantung pada lokasi sel tumor primer dan arah aliran cairan limfe. Kanker paru yang berasal dari saluran napas akan memulai metastasis ke kelenjar getah bening bronkial regional, dan kemudian ke kelenjar trakeobronkial dan kelenjar hilus. Karsinoma payudara yang berasal dari kuadran atas luar mula-mula akan menyebar ke kelenjar aksila. Namun lesi payudara daerah medial, akan menyebar ke kelenjar getah bening sepanjang arteri mamaria interna melalui dinding dada. Setelah itu, dari kedua sistem itu penyebaran dilanjutkan ke kelenjar supraklavikula dan kelenjar infraklavikula. Pada beberapa kasus, sel kanker dapat menyebar melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening terdekat dan kemudian membentuk metastasis pada kelompok kelenjar berikutnya, sehingga terjadi apa yang disebut metastasis loncatan (skip metastases). Sel dapat menjalar ke kelenjar getah bening dan mencapai kompartemen vaskular melalui duktus torasikus. Suatu "kelenjar getah bening sentinel" merupakan kelenjar getah bening pertama yang menerima aliran limfe dari tumor primer. Dapat diidentifikasi dengan penyuntikan zat warna biru atau petanda radioaktif dekat tumor primer. Hasil biopsi kelenjar getah bening dapat menentukan penyebaran tumor untuk digunakan pada rencana pengobatan. Perlu diperhatikan, walaupun terdapat pembesaran kelenjar dekat tumor primer dan menimbulkan kecurigaan akan adanya penyebaran metastasis, tidak selalu dijumpai kanker di tempat tersebut. Produk nekrotik tumor dan antigen tumor akan memicu respons imunologi di kelenjar getah bening, misalnya hiperplasia folikel (limfadenitis) dan proliferasi makrofag di sinus subkapsular (sinus histiositosis). Perlu verifikasi histopatologis untuk menentukan adanya tumor di kelenjar yang membesar. Penyebaran hematogen merupakan cara penyebaran yang paling dipilih pada sarkoma, tetapi karsinoma juga memanfaatkannya. Bisa diperkirakan, bahwa penetrasi pada arteri lebih jarang dibandingkan



Gambar 5-11 Hati yang penuh dengan kanker metastatik.



Epidemiologi pada vena. Dengan invasi pada vena, sel darah akan mengikuti aliran vena untuk mengadakan drainase daerah tumor, dan sel tumor sering berhenti pada kelompok kapiler yang dilalui. Karena semua vena porta akan mengalir ke hati, dan semua pembuluh vena kava (cava) akan mengalir ke paru, maka hati dan paru merupakan organ tersering sebagai tempat kedua pada penyebaran hematogen. Kanker yang berasal dari dekat kolumna vertebralis sering menimbulkan embolus melalui pleksus paravertebra; jalur ini yang sering terjadi pada metastasis vertebra pada karsinoma tiroid dan prostat. Beberapa karsinoma mempunyai kecenderungan untuk tumbuh dalam pembuluh vena. Karsinoma sel ginjal sering menginvasi vena renalis dan tumbuh seperti ular sehingga mencapai vena kava inferior, kadang-kadang mencapai jantung kanan. Karsinoma hepatoseluler sering menembus radikulus hepar dan vena porta untuk tumbuh di dalamnya dan menuju vena utama. Mengherankan bahwa pertumbuhan intravena tersebut bisa tidak disertai penyebaran luas. Banyak pengamatan memperkirakan bahwa lokasi anatomik suatu neoplasma dan drainase vena tidak seluruhnya dapat menjelaskan distribusi sistemik metastasis. Sebagai contoh karsinoma prostat mempunyai kecenderungan menyebar ke tulang, karsinoma bronkogenik cenderung mengenai adrenal dan otak, dan neuroblastoma menyebar ke hati dan tulang. Sebaliknya otot skeletal, walaupun kaya pembuluh kapiler, jarang menjadi tempat metastasis. Dasar molekuler tentang jaringan yang menjadi tempat metastasis suatu tumor akan dibahas kemudian. Jadi, dengan adanya berbagai gambaran tumor (Gambar 5-12), biasanya bisa dipakai untuk membedakan neoplasma jinak dan ganas.



RINGKASAN Karakteristik Tumor Jinak dan Ganas • •







Tumor jinak dan ganas dapat dibedakan satu dengan lainnya atas dasar derajat diferensiasi, kecepatan pertumbuhan, adanya invasi lokal, dan penyebaran jauh Tumor jinak mirip jaringan asal dan berdiferensiasi baik; tumor ganas berdiferensiasi buruk atau tidak berdiferensiasi (anaplastik). Tumor jinak tumbuh lambat, sedang tumor ganas umumnya tumbuh cepat.



• •



Tumor jinak tetap berada di lokasi asal, sedang tumor ganas mengadakan invasi lokal dan bermetastasis ke tempat jauh.



EPIDEMIOLOGI Karena kanker merupakan gangguan pertumbuhan dan sifat sel, penyebab utama harus dicari pada tingkat sel dan molekuler. Epidemiologi kanker dapat berperan sangat besar pada pengetahuan tentang penyebab kanker. Konsep yang sekarang telah dipastikan, bahwa merokok berkaitan dengan kanker paru awalnya timbul dari penelitian epidemiologi. Perbandingan antara insidens kanker kolon dan pola makan di negara barat dan Afrika menghasilkan kesimpulan bahwa kandungan lemak dan serat kemungkinan berperan menjadi penyebab kanker ini. Pemahaman tentang penyebab kanker dapat



Endometrium Tuba Fallopii



Ovarium



JINAK (Leiomioma) Kecil Non invasif Berbatas tegas Non metastatik Pertumbuhan lambat Berdiferensiasi baik



169



Tumor Vein



GANAS (Leiomiosarkoma) Besar Batas tidak tegas Tumbuh cepat dengan perdarahan dan nekrosis



Invasif lokal Metastatik Berdiferensiasi buruk



Gambar 5-12 Perbandingan antara tumor jinak miometrium (leiomioma) dan tumor ganas yang asalnya sama (leiomiosarkoma).



170



BAB5



Neoplasia



diperoleh dari penelitian epidemiologi yang dikaitkan dengan lingkungan tertentu, ras, (kemungkinan herediter) dan pengaruh kultur dengan timbulnya neoplasma tertentu. Beberapa penyakit yang dihubungkan dengan risiko timbulnya kanker (kelainan aneoplastik) juga memberikan petunjuk tentang patogenesis kanker. Pembicaraan berikut akan menyimpulkan seluruh insidens kanker untuk memperoleh gambaran besarnya masalah kanker dan membahas beberapa hal terkait dengan pasien serta lingkungannya yang berpengaruh pada predisposisi kanker.



Insidens Kanker Beberapa perspektif tentang kemungkinan timbulnya suatu jenis kanker dapat diperoleh dari data insidens nasional dan data mortalitas. Secara keseluruhan diperkirakan ada 1,5 juta kasus kanker baru pada tahun 2011 dan 569 ribu meninggal akibat kanker di Amerika Serikat tahun itu. Data insidens untuk kanker yang tersering dijumpai, dengan penyebab kematian tersering ditunjukkan pada Gambar 5-13. Dalam beberapa dekade, angka kematian untuk beberapa jenis kanker telah berubah. Yang paling menarik perhatian ialah tingginya angka kematian kanker pada laki-laki yang dulunya disebabkan oleh kanker paru, tetapi sekarang mulai menurun. Sebaliknya, angka kematian pada perempuan agak menurun, terutama karena penurunan angka kematian akibat kanker leher rahim, lambung, dan usus besar. Namun di balik keadaan yang menggembirakan ini, dijumpai hal berlawanan yaitu peningkatan mencolok kanker paru pada perempuan, yang semula jarang dijumpai pada perempuan. Penurunan angka kematian akibat kanker leher rahim berkaitan dengan usaha yang luas tentang penggunaan sediaan apus sitologi untuk deteksi kanker dini dan lesi yang mengawalinya. Perkembangan vaksin untuk virus papiloma manusia (HPV) diharapkan dapat



A. PERKIRAAN INSIDENS KANKER MENURUT LOKASI DAN JENIS KELAMIN, TAHUN 2010*



Prostat



28%



28% Payudara



Paru dan bronkus



15%



14% Paru dan bronkus



Kolon dan rektum



9%



10% Kolon dan rektum



Kandung 7% kemih Melanoma 5% kulit Limfoma 4% non-Hodgkin Ginjal 4% Rongga mulut 3% Leukemia 3% Pankreas 3% Tempat lainnya 19%



6%



Korpus uteri



5%



Tiroid



4%



Limfoma non-Hodgkin



4%



Melanoma



3%



Ginjal



3%



Ovarium



3%



Pankres



20% Tempat lainnya



menghilangkan jenis kanker ini di masa mendatang. Penyebab menurunnya angka kematian pada kanker lambung belum jelas, namun diperkirakan akibat pemaparan yang menurun terhadap karsinogen yang berasal dari makanan.



Variabel Geografi dan Lingkungan Walaupun perkembangan impresif terjadi dalam patogenesis molekuler dengan menganalisis kanker herediter, namun dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan merupakan penyebab dominan pada kasus kanker sporadik yang sering dijumpai. Hal ini ditunjang oleh perbedaan geografi angka kematian dari jenis kanker tertentu. Sebagai contoh kematian akibat kanker payudara empat hingga lima kali lebih tinggi di Amerika Serikat dan Eropa dibanding dengan Jepang. Sebaliknya kematian karena kanker lambung pada laki-laki dan perempuan tujuh kali lebih tinggi di Jepang dibandingkan dengan Amerika Serikat. Karsinoma hepatoseluler relatif jarang di Amerika Serikat tetapi merupakan kanker yang mematikan pada populasi Afrika. Hampir seluruh bukti menunjukkan bahwa perbedaan terjadi dari lingkungan dan bukan asal genetik. Nisei (generasi kedua orang Jepang yang tinggal di Amerika Serikat) mempunyai angka mortalitas untuk kanker tertentu yang terletak di antara angka orang Jepang yang selamanya tinggal di Jepang dan orang Amerika yang telah berada beberapa generasi di negara Amerika. Kedua angka makin mendekat pada generasi berikutnya. Tidak ada kelangkaan karsinogen lingkungan. Karsinogen lingkungan mengancam di berbagai lingkungan, di tempat kerja, dalam makanan, pada kegiatan individu sehari hari. Bisa dijumpai universal seperti sinar matahari, pada lingkungan urban (misalnya asbes), atau terbatas pada okupasi tertentu Tabel 5-2). Beberapa jenis makanan diperkirakan mengakibatkan pengaruh predisposisi. Di antara semua pengaruh lingkungan, yang paling menceaskan dalam kaitan pencegahan ialah hal yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari, terutama merokok dan konsumsi alkohol. Risiko kanker leher rahim dikaitkan dengan usia



B.



PERKIRAAN KEMATIAN AKIBAT KANKER MENURUT LOKASI DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2010



Paru dan bronkus



29%



26% Paru dan bronkus



Prostat



11%



15% Payudara 9%



Kolon dan rektum



6%



7%



Pankreas



4%



5% 4%



Ovarium Limfoma non-Hodgkin



4%



3% 3%



Leukemia Korpus uteri



Kandung kemih



3%



2%



Hati



Ginjal



3%



2%



Otak



Kolom dan rektum



9%



Pankreas Hati Leukemia



4%



Esofagus



4%



Limfoma non-Hodgkin



Tempat lainnya



20%



24% Tempat lainnya



* Di luar kanker sel basal dan sel skuamosa kulit dan karsinoma in situ (kecuali kandung kemih)



Gambar 5-12 Perbandingan antara tumor jinak miometrium (leiomioma) dan tumor ganas yang asalnya sama (leiomiosarkoma).



Epidemiologi



171



Tabel 5-2 Kanker Akibat Pekerjaan



Agen/Kelompok Agen



Lokasi dan Jenis Kanker pada Manusia yang Telah Dibuktikan



Arsen dan senyawa arsen



Paru, kulit, hemangiosarkoma



Produk sampingan peleburan logam Komponen campuran logam, alat listrik dan semikonduktor, obat dan herbisida, fungisida, air rendaman asal hewan



Asbestos



Paru, mesotelioma; saluran cerna (esofagus, lambung, usus besar)



Sebelumnya dipakai pada berbagai aplikasi karena tahan api, panas, dan resisten terhadap friksi; masih dipergunakan pada konstruksi bangunan, juga pada tekstil yang tahan api, materi penahan friksi (misalnya lapisan rem) lapisan dasar dan lapisan atap, dan ubin



Benzene



Leukemia



Komponen utama minyak Aplikasi masih dijumpai pada pencetakan dan litografi, cat, karet, pencucian baju (kering), lem dan pelapis, dan detergen Sebelumnya dipakai secara luas sebagai pelarut dan bahan fumigasi



Berilium dan senyawa berilium



Paru



Bahan bakar roket dan pesawat luar angkasa Zat pengeras untuk senyawa logam ringan, terutama untuk aplikasi alat luar angkasa dan reaktor nuklir



Kadmium dan senyawa kadmium



Prostat



Senyawa kromium Etilen oksida



Paru Leukemia



Pemakaian untuk pigmen kuning dan fosfor Ditemukan pada solder (patri) Ada dalam baterai dan sebagai campuran logam serta penyepuhan dan pelapisan logam Komponen campuran logam, cat, pigmen, dan bahan pengawet



Senyawa nikel



Hidung, paru



Radon dan produk peluruhannya



Paru



Vinil klorida



Angiosarkoma, hati



Pemakaian/Kejadian



Zat untuk mematangkan buah dan kacang Dipakai untuk bahan bakar roket dan sintesa kimia, fugiman makanan dan tekstil, dan bahan sterilisasi peralatan rumah sakit Penyepuhan nikel Komponen campuran besi, keramik, dan baterai Produk sampingan pengelasan besi anti karat Dari peluruhan mineral yang mengandungi uranium Dapat merupakan bahaya serius pada pertambangan Refrigeran Monomer dari polimer vinil Lem untuk plastik Sebelumnya dipergunakan sebagai aerosol pada kontainer yang diberi tekanan



Dimodifikasi dari Stellman JM, Stellman SD: Cancer and workplace. CA Cancer J Clin 46:70-92, 1996, dengan izin dari Lippincott Williams & Wilkins



dilakukan pada kehidupan sehari-hari, terutama merokok dan konsumsi alkohol. Risiko kanker leher rahim dikaitkan dengan usia pertama kali hubungan seks dan jumlah pasangan seksual (menunjukkan transmisi virus onkogen HPV melalui hubungan seksual). Tidak ada jalan untuk menghindar. Agaknya semua hal yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kehidupan, untuk bertahan atau untuk menikmati hidup ternyata bisa ilegal, amoral, atau menyebabkan obesitas atau yang paling mencemaskan kemungkinan karsinogenik.



Usia Secara umum, frekuensi kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kematian akibat kanker tersering terjadi antara usia 55 dan 75 tahun; angka ini menurun, sesuai dengan jumlah populasi, setelah usia 75 tahun. Insidens yang meningkat sesuai dengan meningkatnya usia dapat diterangkan dengan akumulasi mutasi somatik yang dikaitkan dengan munculnya neoplasma ganas (akan dibahas). Penurunan kompetensi imun yang menyertai pertambahan usia juga merupakan faktor. Kanker menyebabkan kematian di atas 10% dari semua kematian pada anak usia lebih muda dari 15 tahun (Bab 5). Kanker letal utama pada anak ialah leukemia, tumor sistem saraf pusat, limfoma, dan sarkoma jaringan tulang. Seperti akan dibahas selanjutnya, penelitian



tentang beberapa tumor anak, misalnya retinoblastoma, menghasilkan pemahaman mendasar tentang patogenesis transformasi keganasan.



Keturunan Bukti saat ini menunjukkan bahwa berbagai jenis kanker, termasuk yang paling sering dijumpai, dipengaruhi tidak hanya oleh lingkungan tetapi juga oleh kecenderungan keturunan. Jenis kanker keturunan dapat dibagi dalam tiga kelompok sesuai dengan pola keturunan di bawah ini (Tabel 5-3).



Sindrom Kanker Autosom Dominan Sindrom kanker autosom dominan meliputi beberapa kanker di mana pewarisan (inheritans) satu gen mutan akan sangat meningkatkan risiko terbentuknya tumor. Kecenderungan tumor ini menunjukkan bahwa penurunan terjadi dengan cara pola autosom dominan. Retinoblastoma pada anak merupakan contoh paling mencolok pada kelompok ini. Sekitar 40% kasus retinoblastoma bersifat familial. Sesuai dengan pembahasan selanjutnya, mutasi cacat pada gen tumor supresor yang diturunkan akan menyebabkan timbulnya tumor ini pada suatu keluarga. Pembawa gen ini mempunyai risiko 10.000 lebih tinggi untuk menderita retinoblastoma. Berbeda dengan



172



B A B 5



Neoplasia



Tabel 5-3 Predisposisi Herediter terhadap Kanker



faktor keturunan multifaktorial tidak dapat seluruhnya diabaikan.



Sindrom Kanker Autosomal Dominan



Sebagai kesimpulan, tidak lebih dari 5% hingga 10% dari seluruh kanker pada manusia masuk dalam ketiga kelompok yang telah disebut di atas. Apakah yang dapat dikatakan tentang pengaruh keturunan mengenai terjadinya tumor ganas? Terdapat bukti yang berkembang bahwa faktor herediter hanya ringan dan kadang-kadang tidak langsung. Genotipe dapat mempengaruhi timbulnya kanker yang diinduksi oleh pengaruh lingkungan. Contoh polimorfisme pada enzim metabolisme obat mempunyai kecenderungan untuk predisposisi kanker paru pada mereka yang merokok sigaret. Hal yang lebih mencolok, asosiasi penelitian genome (GWAS) tentang kanker paru, yang bertujuan mencari varian genetik umum yang meningkatkan risiko untuk tumbuhnya kanker, mendapatkan varian pada reseptor asam nikotinik berkaitan dengan pertumbuhan kanker. Menarik perhatian, bahwa varian ini berkaitan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi, diperkirakan bahwa reseptor tersebut meningkatkan secara tidak langsung risiko kanker paru dengan cara meningkatkan adiksi terhadap rokok.



Gen



Predisposisi Herediter



RB



Retinoblastoma



TP53 p16INK4A



Sindrom Li-Fraumeni (berbagai tumor)



APC NFI, NF2



Poliposis adenomatosa familial / kanker usus besar Neurofibromatosis 1 dan 2



BRCAl, BRCA2



Tumor payudara dan ovarium



MENI, RET



Neoplasia endokrim multipel I dan 2



MSH2, MLHI, MSH6



Kanker usus besar nonpoliposis



PATCH



Sindrom karsinoma sel basal Nevoid



Melanoma



Sindrom Autosomal Resesif pada Gangguan Defek Perbaikan DNA Xeroderma pigmentosum Ataksia-telangiektasia Bloom Sindrom Bloom Anemi Fanconi



Kanker Familial yang Tidak Jelas adanya Peran Herediter Kanker payudara (tidak berkaitan dengan BRCA I atau BRCA2) Kanker ovarium Kanker pankreas



retinoblastoma sporadik, pada pasien retinoblastoma familial ditemukan juga tumor bilateral dan mereka juga mempunyai risiko yang tinggi untuk terkena kanker kedua, terutama osteosarkoma. Tumor pada kelompok ini sering dikaitkan dengan adanya marker fenotipe spesifik. Dapat dijumpai tumor jinak multipel pada jaringan yang terkena, seperti pada kasus poliposis familial usus besar dan pada neoplasia endokrin (lihat Tabel 5-3). Kadangkadang terdapat kelainan jaringan yang tidak menjadi target transformasi (misalnya nodul Lisch dan bercak cafe-au-lait pada neurofibromatosis tipe 1) (Bab 22).



Sindrom Autosom Resesif pada DNA Perbaikan yang Cacat Ciri sekelompok kelainan autosom resesif ialah kromosom atau DNA yang tidak stabil dan terdapat banyak pada kasus kanker tertentu. Salah satu yang paling sering dipelajari ialah xeroderma pigmentosum, di mana terjadi defek pada DNA repair. Gangguan ini dan kelainan familial lain seperti instabilitas DNA akan dibahas kemudian.



Kanker Familial dengan Sifat Penurunan Tidak Jelas Sebenarnya semua jenis kanker yang terjadi sporadik dilaporkan terjadi secara familial dengan pola penurunan yang tidak jelas. Contoh ialah karsinoma usus besar, payudara, ovarium, dan otak. Gambaran yang dijumpai sebagai ciri kanker familial ialah timbul pada usia muda, tumor dijumpai pada dua atau lebih anggota keluarga dekat, dan kadang-kadang tumor multipel atau bilateral. Kanker familial tidak berhubungan dengan fenotipe marker spesifik. Contoh, berlawanan dengan sindrom adenoma poliposis familial, kanker kolon familial tidak terjadi dari polip jinak yang timbul sebelumnya. Secara umum, saudara kembar mempunyai risiko relatif antara 2 dan 3. Analisis segregasi dari keluarga besar biasanya mengungkapkan adanya predisposisi dominan, tetapi



Lesi Praneoplastik yang Didapat Beberapa kondisi herediter meningkatkan risiko terjadinya kanker, hal tersebut juga terjadi pada kondisi yang didapat. Kelompok tersebut disebut dengan lesi preneoplastik atau mudahnya "prakanker". Pemberian nama ini tidak menguntungkan karena memberikan kesan yang tidak menyenangkan, tetapi nyatanya, walaupun lesi tersebut meningkatkan kemungkinan timbulnya keganasan, tidak semuanya berkembang menjadi kanker. Pada banyak keadaan, lesi prekursor terjadi pada cedera jaringan kronik atau radang, yang mengakibatkan kemungkinan timbulnya keganasan melalui stimulasi proliferasi regenerasi yang terus-menerus atau mengekspose sel pada hasil samping radang, keduanya akan mengakibatkan mutasi somatik (dibahas kemudian). Memang hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa banyak lesi prekursor mempunyai lesi genetik yang dijumpai pada kanker yang terkait. Secara klinis, prekursor ini penting untuk dikenal, karena pemusnahan dan perubahan ke asal dapat mencegah timbulnya kanker. Daftar dari lesi prekursor yang penting adalah sbb: • Metaplasia skuamosa dan displasia mukosa bronkus, dijumpai pada pecandu rokok - merupakan faktor risiko kanker paru • Hiperplasia endometrium dan displasia, dijumpai pada wanita dengan stimulasi estrogen yang terus menerus - faktor risiko untuk kanker endometrium • Leukoplakia rongga mulut, vulva, atau penis, yang dapat berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa • Adenoma vilosum usus besar, dihubungkan dengan risiko tinggi untuk transformasi menjadi karsinoma kolorektal Dalam konteks ini dapat ditanyakan, "Apa risiko terjadinya perubahan keganasan pada suatu neoplasma jinak?"-atau dinyatakan dengan cara lain, "Apakah tumor jinak bersifat prakanker?" Secara umum jawabannya ialah tidak, tetapi tidak dapat dihindarkan adanya perkecualian dan mungkin lebih baik untuk menyatakan bahwa tiap jenis tumor jinak berkaitan dengan risiko tertentu, dari risiko tinggi sampai hampir tidak ada. Contoh, bila adenoma kolon membesar dapat terjadi transformasi keganasan pada 50% kasus; sebagai kontras perubahan keganasan jarang dijumpai pada leiomioma uterus.



Lesi Genetik pada Kanker



RINGKASAN Epidemiologi Kanker •







• •



Insidens kanker bervariasi antara usia, ras, faktor geografi, dan dasar genetik. Kanker dijumpai pada dua ekstrem umur. Variasi geografi terjadi umumnya akibat berbagai pajanan lingkungan yang berbeda. Kanker umumnya sporadik, tetapi beberapa familial. Predi sposisi pada kanker herediter bisa autosom dominan atau autosom resesif. Jenis autosom dominan dihubungkan dengan diturunkannya gen supresor kanker yang bermutasi, sedang jenis resesif dihubungkan dengan defek DNA perbaikan yang diturunkan. Kanker familial cenderung bilateral dan timbul pada usia lebih muda dibandingkan dengan jenis kanker sporadik. Beberapa penyakit yang didapat, dikenal sebagai lesi prane oplastik, dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya kanker.



Dapat dikatakan bahwa berkembangnya penelitian tentang dasar molekuler kanker melebihi perkembangan tumor termasuk tumor yang paling ganas. Peneliti dan mahasiswa dapat tersesat dalam hutan informasi yang terus berkembang. Berikut adalah tinjauan prinsip mendasar sebagai dasar genetik kanker yang lebih rinci • Sebagai telah dibahas, kerusakan genetik non letal merupakan inti karsinogenesis. Kerusakan genetik tersebut (atau mutasi) bisa terjadi akibat agen lingkungan, misalnya zat kimia, radiasi, virus,atau bisa diturunkan melalui garis germinal. Hipotesis genetik tentang kanker menyatakan bahwa massa tumor terjadi akibat ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetik yang tidak bisa diperbaiki (misalnya tumor bersifat monoklonal). Perkiraan ini telah terbukti pada semua tumor yang telah dianalisis secara sistemik dengan sekuensing genom. • Empat kelas gen regulator normal—protoonkogen pendorong pertumbuhan, gen supresor penghambat pertumbuhan tumor, gen yang mengatur program kematian sel (misalnya apoptosis), dan gen yang berperan pada perbaikan DNA merupakan target utama kerusakan genetik. Secara keseluruhan perubahan gen mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan sel normal, yang akan menjadi jelas pada pembahasan selanjutnya. • Onkogen merupakan gen yang menginduksi transformasi fenotipe yang diekspresikan dalam sel. Penemuan penting pada kanker ialah kenyataan bahwa onkogen umumnya akan bermutasi atau mengalami ekspresi berlebihan pada gen sel normal, yang disebut protoonkogen. Semua onkogen yang dikenal menyandi faktor transkripsi, protein pengatur pertumbuhan, atau protein yang berperan pada ketahanan sel dan interaksi sel dengan sel serta interaksi sel-matriks. Dianggap dominan karena mutasi satu alel tunggal sudah dapat mengakibatkan transformasi sel.



173



• Gen supresor tumor merupakan gen yang secara normal akan mencegah pertumbuhan yang tidak terkendali dan bila terjadi mutasi atau hilang dari sel, akan membiarkan terbentuknya fenotipe yang telah mengalami transformasi. Biasanya kedua alel dari gen supresor tumor harus dirusak agar terjadi transformasi. Namun, penelitian terakhir membuktikan bahwa, pada beberapa kasus, hilangnya satu alel gen supresor tumor akan menimbulkan transformasi (insufisiensi haploid). • Gen tumor supresor dibagi dalam dua kelompok umum, pelaksana (governors) dan penjaga (guardians). Pelaksana adalah gen supresor tumor klasik, misalnya RB, di mana mutasi gen akan menyebabkan transformasi dengan menghilangnya penghalang penting untuk proliferasi sel. "Penjaga" berperan untuk mendeteksi adanya kerusakan gen. Beberapa dari gen ini akan memulai dan membuat gambaran tentang adanya "respons pengaturan yang rusak". Respons ini akan mengakibatkan dihentikannya kegiatan proliferasi atau apabila kerusakan terlalu luas untuk dapat diperbaiki, akan menginduksi apoptosis. TP53, yang disebut "penjaga gen", merupakan gen supresor tumor yang prototipe. Gen penjaga lainnya terlibat langsung dalam mengenal dan memperbaiki kerusakan DNA; merupakan gen yang bermutasi pada sindrom autosom resesif untuk perbaikan DNA. Mutasi TP53 atau sensor lain untuk kerusakan gen tidak langsung bekerja pada sel yang bertransformasi, karena hilangnya fungsi penjagaan tidak mempunyai efek langsung terhadap proliferasi sel atau apoptosis. Sebaliknya, kehilangan gen penjaga memungkinkan dan memper-cepat mutasi pada onkogen dan gen supresor tumor yang akan menimbulkan kanker. Peningkatan kecepatan mutasi ini disebut fenotipe mutator. • Gen yang mengatur apoptosis dan perbaikan DNA dapat bekerja sebagai protoonkogen (hilangnya satu kopi cukup) atau gen supresor tumor (hilangnya kedua kopi). Beberapa perubahan dapat memberikan pengaruh terhadap gen penyebab kanker dan mengakibatkan transformasi sel, yang akan dibicarakan kemudian. Selanjutnya akan dibahas berbagai lesi genetik yang merupakan dasar timbulnya mutasi gen pada kanker.



LESI GENETIK PADA KANKER Perubahan genetik yang merupakan ciri khas mutasi yang berkaitan dengan kanker bersifat ringan (misalnya mutasi titik atau insersi dan delesi) atau cukup besar hingga mengakibatkan perubahan kariotipe. Mutasi titik dapat mengaktifkan atau menginaktifkan produk protein yang terbentuk. Misalnya, mutasi titk pada protoonkogen, seperti RAS atau EGFR, sering mangakibatkan aktivitas protein berlebihan, biasanya dengan mengubah pengaturan asam amino internal dan menghasilkan protein aktif. Tetapi, mutasi titik pada gen supresor tumor, misalnya yang mempengaruhi gen RB atau TP53, akan mengurangi atau menghilangkan fungsi potein yang telah disandi



Perubahan Kariotipe pada Tumor Lesi gen yang mengaktifkan onkogen dan menginaktifkan gen tumor supresor bisa bersifat ringan (sebagaimana dibicarakan sebelumnya) atau cukup berat sehingga dapat dideteksi pada suatu kariotipe. Beberapa kanker mempunyai kariotipe normal, sedangkan yang lain jelas aneuploid, dengan hilangnya atau bertambahnya seluruh bagian kromosom atau tangan kromosom. Pada beberapa neoplasma,



174



BAB5



Neoplasia



kelainan kariotipe terjadi secara acak dan sering dijumpai, atau kadang-kadang merupakan ciri suatu tumor tertentu. Kelainan khas sudah diketahui pada sebagian besar leukemia dan limfoma dan jumlahnya meningkat pada tumor non-hematopoietik. Jenis kelainan struktur nonrandom yang biasanya dijumpai pada sel tumor ialah: (1) translokasi yang seimbang, (2) delesi, dan (3) manifestasi sitogenetik amplifikasi gen.



Translokasi yang Seimbang Translokasi yang seimbang sangat berkaitan dengan keganasan tertentu, terutama neoplasma hematopoietik dan mesenkim. Translokasi akan mengaktifkan protoonkogen melalui dua cara: • -



• Translokasi onkogen lain mengakibatkan fusi gen penyandi protein khusus yang paling menonjol ialah kromosom Philadelphia (Ph) pada leukemia mielogenik kronik, yang terdiri atas translokasi reciprocal dan seimbang antara kromosom 22 dan 9 (Gambar 5-14). Sebagai akibatnya, derivat kromosom 22 (kromosom Philadelphia) menjadi lebih pendek. Perubahan sitogenetik ini, dijumpai pada lebih dari 90% kasus leukemia mielogenik kronik yang merupakan petanda penyakit ini, dan jumlah kecil kromosom Ph-negatif



LEUKEMIA MIELOID KRONIK 9 22



KROMOSOM NORMAL



9



22



menunjukkan adanya molekul BCR-ABL dengan pengaturan ulang, sebagai konsekuensi penting translokasi Ph. Sebagaimana akan dibicarakan, perubahan tersebut membentuk fusi gen BCR-ABL dengan aktivitas tirosin kinase yang poten. Sel limfoid merupakan target utama dari pengaturan ulang gen, yang bisa dalam bentuk translokasi, inversi, atau delesi interstisium, karena sel ini akan sengaja membuat DNA terputus selama proses rekombinasi antibodi atau reseptor sel T. Dua jenis tumor mesenkim lain, neoplasma mieloid (leukemia akut mieloid dan kelainan mieloproliferatif) dan sarkoma, juga menunjukkan translokasi berulang, misalnya translokasi t(11;22)(q24;12) pada sarkoma Ewing yang menghasilkan fusi faktor translokasi EWS dengan faktor Fli-1. Penyebab putusnya DNA yang mengakibatkan translokasi kromosom pada neoplasma mieloid tidak diketahui. Identifikasi pengaturan ulang kromosom pada karsinoma terhambat karena berbagai ragam kariotipe tumor tersebut, tetapi teknik molekuler terakhir mulai memecahkan persoalan ini. Sebagaimana juga pada keganasan hematologik dan sarkoma, pengaturan ulang gen pada tumor padat dapat memberikan kontribusi pada karsinogenesis dengan meningkatkan ekspresi onkogen atau menghasilkan gen fusi baru. Contoh, beberapa gen fusi TMPRSS-ETS pada kanker prostat menempatkan kelompok faktor transkripsi di bawah pengawasan promotor TMPRSS, yang akan diaktifkan oleh androgen. Hasil akhir dari pengaturan ulang ini adalah timbulnya faktor transkripsi kelompok ETS dengan ekspresi yang bergantung pada androgen yang tidak tepat. Pengaturan ulang gen HMGA2 pada adenoma pleiomorfik dan tumor lain mengakibatkan ekspresi berlebihan dari faktor transmisi HMGA2 melalui mekanisme yang tidak lazim, karena akan menggantikan daerah tidak ditranslasi 3' pada HMGA2 dengan gen lain, sehingga menghilangkan regulator kunci yang negatif pada tempat ikatan mikroRNA. Walaupun mekanisme ini belum jelas, ekspresi berlebihan HGMA2 atau ETS agaknya memicu karsinogensis dengan cara mengubah ekspresi sejumlah gen yang menjadi target faktor transkripsi. Suatu pengaturan kembali yang penting bagi klinis ialah pembentukan gen fusi EML4-ALK, yang dijumpai sekitar 4% pada kanker paru. EML4-ALK kinase bersifat aktif dan mengatur sinyal melalui beberapa jalur propertumbuhan. Seperti akan dibicarakan kemudian, kanker paru yang mengekspresi protein fusi akan merespons pada inhibitor ALK kinase.



Delesi Lokus BCR



BCR fyLokus ABL Onkogen



Onkogen ABL



Gen hibrid BCR-ABL



Tirosin kinase



Gambar 5-14 Translokasi kromosom dan onkogen terkait pada leukemia mieloid kronik.



Delesi kromosom merupakan kariotipe abnormal kedua tersering yang dijumpai pada sel tumor. Dibandingkan dengan translokasi, delesi cukup banyak sehingga dapat diobservasi secara kariotipe terutama pada tumor solid nonhematopoietik. Pada tingkat molekul, sebaliknya, delesi juga dijumpai pada tumor hematopoietik. Delesi bagian tertentu dari kromosom bisa mengakibatkan hilangnya gen tumor supresor tertentu. Supresor tumor biasanya membutuhkan kedua alel inaktif agar dapat berkontribusi pada karsinogenesis. Mekanisme umum untuk ini ialah tidak aktifnya mutasi titik pada satu alel, diikuti dengan delesi alel lain, alel nonmutasi. Delesi cara ini akan menghilangkan heterozygot (LOH), karena varian gen heterozygot terdahulu hanya mempunyai satu alel, dan semua varian genetik pada daerah yang di delesi akan dikenal sebagai homozigot. Sebagaimana akan dibahas kemudian, delesi pada 13q14, tempat gen RB, dikaitkan dengan retinoblastoma, dan delesi 17p dihubungkan dengan hilangnya p53.



Lesi Genetik pada Kanker



175



Amplifikasi Gen



Aneuploidi



Protoonkogen dapat diubah menjadi onkogen melalui amplifikasi, dengan ekspresi berlebih yang konsekuen, dari protein yang tadinya normal. Amplifikasi ini akan menghasilkan beberapa ratus kopi protoonkogen sel tumor. Gen yang mengalami amplifikasi dapat segera dideteksi melalui hibridisasi molekul dengan probe DNA yang sesuai. Pada beberapa kasus gen yang mengalami amplifikasi menghasilkan perubahan kromosom yang dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik. Dua pola mutual yang eksklusif dapat dilihat: struktur ekstrakromosom kecil, multipel dan disebut "double minutes" dan bagian dengan pulasan homogen. Hal terakhir adalah akibat insersi gen yang mengalami amplifikasi ke tempat kromosom yang baru, yang bisa terletak jauh dari lokasi asal gen normal yang terlibat; karena tempat yang mengandungi gen yang mengalami amplifikasi tidak mempunyai pola ikatan normal, maka akan tampak homogen pada kariotipe ikatan G. Kasus amplifikasi yang paling menarik melibatkan NMYC pada neuroblastoma dan ERBB2 pada kanker payudara. Amplifikasi NMYC 25% hingga 30% terjadi pada neuroblastoma dan amplifikasi dikaitkan dengan prognosis yang buruk (Gambar 5-15). Amplifikasi HER2/NEU (juga dikenal sebagai ERBB2) terjadi pada 20% kanker payudara, dan terapi antibodi ditujukan pada reseptor ini terbukti efektif pada subset tumor ini.



Aneuploidi didefinisikan sebagai jumlah kromosom yang tidak sebanyak pada keadaan haploid; untuk manusia ialah tidak lebih dari 23. Aneuplodi sering dijumpai pada kanker, khususnya karsinoma, dan disebutkan sebagai penyebab karsinogenesis sejak 100 tahun yang lalu. Aneuploidi sering terjadi karena kesalahan pada tempat pemeriksaan, pengatur makanisme siklus sel utama yang berperan untuk mencegah salah pemisahan kromosom. Tempat pemeriksaan mitosis mencegah aneuploidi dengan cara mencegah transisi ireversibel menjadi anafase sebelum semua kromosom yang telah direplikasi telah terikat secara produktif pada mikrotubul bentuk spindel. Tidak adanya tempat pemeriksaan mitosis akan mengakibatkan kematian autonomik sel sebagai akibat dari kesalahan pemisahan kromosom yang masif. Tetapi, mekanisme data bahwa aneuploidi adalah sebagai penyebab karsinogenesis, dan bukan sebagai akibatnya, sulit untuk dijelaskan.



HSR



NMYC



Partikel ganda



Gambar 5-15 Amplifikasi gen NMYC pada neuroblastoma manusia. Gen NMYC, normalnya ditemukan pada kromosom 2p, mengalami amplifikasi dan tampak sebagai pasangan partikel kecil di luar kromosom atau sebagai chromosomally integrated homogeneous-staining region (HSR). Integrasi melibatkan autosom lain, seperti 4, 9, atau 13. (Modifikasi dari Brodeur GM, Seeger RC, Sather H, et al: Clinical implications of oncogene activation in human neuroblastomas. Cancer 58:541, I 986. Dicetak ulang dengan izin dari Wiley-Liss, Inc, tambahan dari John Wiley & Sons, Inc. )



MicroRNA dan Kanker Sebagai dibahas pada Bab 6, microRNA (miRNA) adalah RNA alur tunggal tanpa sandi, kira-kira panjangnya 22 nukleotida, berfungsi sebagai regulator negatif gen. miRNA mencegah ekspresi gen pasca transkripsi dengan menekan translasi atau, pada beberapa kasus, oleh pembelahan messenger RNA (mRNA). Karena perannya dalam mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi, dan ketahanan hidup, maka tidak mengherankan kalau ditemukan bukti yang menunjang peran miRNA pada karsinogenesis. Sebagaimana tertera pada Gambar 5-16, miRNA berpartisipasi pada transformasi neoplasma melalui peningkatan ekspresi onkogen atau dengan mengurangi ekspresi gen supresor tumor. Apabila sebuah miRNA mencegah translasi suatu onkogen, akan terjadi reduksi fungsi miRNA yang akan mengakibatkan produksi berlebihan produk onkogen tersebut. Sebaliknya, apabila target miRNA adalah suatu gen tumor supresor, maka aktivitas berlebih miRNA akan mengurangi protein tumor supresor. Hubungan tersebut terjadi oleh berbagai profil miRNA dari beberapa tumor pada manusia. Contoh, berkurangnya pengaturan atau delesi beberapa miRNA pada beberapa jenis leukemia dan limfoma menghasilkan ekspresi berlebih gen antiapoptotik BCL2. Jadi, dengan mengatur regulasi negatif BCL2, maka miRNA akan bertindak sebagai gen tumor supresor. Hal yang sama juga dijumpai pada miRNA yang meningkatkan regulasi dari onkogen RAS dan MYC pada tumor paru dan beberapa jenis leukemia sel B.



Modifikasi Epigenetik dan Kanker Epigenetik adalah perubahan ekspresi gen tanpa mutasi yang reversibel dan bisa diwariskan. Perubahan tersebut melibatkan modifikasi histon pasca translasi dan metilasi DNA, yang keduanya memberi pengaruh pada ekspresi gen. Pada sel normal, yang berdiferensiasi, sebagian besar genom tidak terekspresi. Bagian dari genome ini fungsinya ditiadakan oleh metilasi DNA dan modifikasi histon. Pada keadaan lain, sel kanker ditentukan oleh hipometilasi DNA seutuhnya dan hipermetilasi lokal promotor yang selektif. Memang sudah diketahui sejak beberapa tahun yang lalu bahwa gen supresor tumor kadangkadang dilumpuhkan fungsinya oleh hipermetilasi sekuen promotor, dan bukan oleh mutasi. Pembahasan selanjutnya adalah CDKN2A adalah lokus kompleks yang menyandi dua supresor tumor, p14/ARF



176



B A B 5



Neoplasia Gen miRNA



miRNA gene ?



? Gen supresor tumo



Onkogen



pre-miRNA



pre-miRNA ? ?



Target mRNA dari onkogen



Target mRNA dari gen supresor tumor



? Tereduksi miRNA



Penahan translasi tereduksi



A



miRNA banyak



Penahan translasi meningkat



Terekspresi berlebihan



Protein supresor tumor berkurang



B



Proliferasi meningkat Kemampuan apoptosis berkurang Invasi meningkat Anginogenesis



Gambar 5-16 Peran microRNAs (miRNAs) dalam terjadinya tumor (tumorigenesis). A, Aktivitas miRNA menurun sehingga terjadi inhibisi tranlasi dari onkogen akan menyebabkan peningkatan onkoprotein. B, Aktivitas miRNA yang targetnya gen supresor tumor berlebihan sehingga produksi protein supresor tumor berkurang.Tanda tanya pada A dan B dimaksudkan untuk menyatakan bahwa mekanisme aktivitas miRNA pada tingkat itu tidak seluruhnya diketahui.



dan p16/INK4a, diproduksi dari dua "readingframes" yang berbeda; p14/ARF secara epigenetik dilumpuhkan pada kanker kolon dan lambung, sedangkan p16/INK4a dilumpuhkan pada banyak jenis kanker. Karena lokus ini menghasilkan dua supresor tumor yang mempengaruhi jalur p53 dan Rb, maka lumpuhnya lokus ini akan memberikan efek menguntungkan (dari segi terbentuknya kanker) yaitu dihilangkannya dua cek poin dengan satu jenis perubahan. Hipometilasi genom yang luas terbukti telah mengakibatkan tidak stabilnya kromosom dan dapat menginduksi tumor pada mencit. Jadi, perubahan epigenetik dapat mempengaruhi karsinognesis dengan berbagai cara. Sebagai tambahan, sekuen yang sangat rinci pada genom kanker telah menemukan mutasi pada gen yang mengatur modifikasi epigenetik pada sejumlah kanker. Jadi, suatu perubahan genetik pada kanker mungkin bisa ditelusuri karena bisa menjelaskan perubahan pada "epigenome" yang mendukung pertumbuhan dan ketahanan kanker. Status epigenetik dari tipe sel tertentu - adalah gambaran yang dinyatakan sebagai konteks epigenetik- juga menentukan reaksinya terhadap sinyal yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, modifikasi epigenetik mengatur ekspresi gen, akan memungkinkan sel dengan susunan



genetik yang sama (misalnya neuron dan keratinosit) mempunyai penampilan dan fungsi yang sangat berbeda. Pada beberapa keadaan status epigenetik suatu sel akan memberikan respons yang berbeda terhadap signal yang sama. Contoh, gen NOTCH1 mempunyai peran onkogenik pada leukemia sel T, tetapi juga berperan sebagai supresor tumor pada kasinoma sel skuamosa. Ternyata, NOTCH1 yang teraktifkan akan mengubah gen pro-pertumbuhan dalam konteks epigenetik progenitor sel T (misalnya MYC) dan gen supresor tumor (misalnya p21) dalam konteks epigenetik keratinosit.



RINGKASAN Lesi Genetik pada Kanker •



Sel tumor akan mengalami mutasi dengan berbagai cara, termasuk mutasi titik, dan abnormalitas kromosom non random yang berperan pada timbulnya keganasan; termasuk translokasi yang seimbang, delesi, dan manifestasi sitogenetik dari amplifikasi gen.



Tanda Khas Kanker •



Translokasi seimbang berperan pada karsinogensis melalui ekspresi berlebih onkogen atau terbentuknya fusi protein dengan kapasitas sinyal terbatas. Delesi sering mempengaruhi gen supresor tumor, sedangkan amplifikasi gen akan meningkatkan ekspresi onkogen.







Ekspresi berlebihan miRNA dapat berperan pada karsinogenesis dengan mengurangi ekspresi tumor supresor, sedangkan delesi atau hilangnya ekspresi miRNA dapat mengakibatkan ekspresi protoonkogen berlebihan.







Gen supresor tumor dan gen perbaikan DNA dapat dilumpuhkan dengan perubahan epigenetik, yang melibatkan ekspresi gen yang reversibel, yang diturunkan terjadi tidak melalui mutasi tetapi dengan metilasi promotor.



KARSINOGENESIS:PROSES BERTAHAP Karsinogenesis merupakan proses bertahap yang terjadi akibat akumulasi perubahan genetik yang multipel sehingga keseluruhannya bisa mengakibatkan transformasi fenotipe. Berbagai kanker terjadi dari lesi prekursor yang non neoplastik, namun analisis molekuler menunjukkan telah terjadi sejumlah mutasi yang dibutuhkan untuk membentuk kanker yang lengkap. Agaknya mutasi ini mengakibatkan lesi prekursor mempunyai peluang tertentu. Segera setelah terjadi inisiasi, kanker akan berkembang sesuai dengan seleksi Darwin. Sebagaimana sudah dibicarakan sebelumnya, neoplasma ganas mempunyai beberapa perubahan fenotipe, misalnya pertumbuhan berlebihan, invasi lokal, dan kemampuan untuk membentuk metastasis jauh.



177



Selanjutnya, setelah beberapa waktu tertentu, banyak tumor menjadi lebih agresif dan mepunyai potensi keganasan yang bertambah. Fenomena ini disebut perkembangan tumor dan tidak hanya ditentukan dari ukuran tumor yang bertambah besar. Pemeriksaan klinis yang cermat dan penelitian eksperimental menunjukkan bahwa keganasan yang bertambah terjadi dengan cara bertahap. Pada tahap molekuler, progresi tumor dan heterogenitas yang terkait terjadi akibat mutasi multipel yang berakumulasi secara independen pada berbagai sel yang berbeda, sehingga menghasilkan subklon dengan karakteristik berlainan (Gambar 5-17) seperti kemampuan untuk invasi, kecepatan pertumbuhan, kemampuan metastasis, kariotipe, respons terhadap hormon, dan kepekaan terhadap obat antineoplastik. Beberapa mutasi dapat mematikan; yang lainnya dapat memicu pertumbuhan sel melalui pengaruh pada protoonkogen atau gen supresor kanker. Jadi walaupun tumor ganas asalnya monoklon, pada saat tumor tersebut telah memberi keluhan klinis sel bersangkutan mungkin telah menjadi sangat heterogen. Selama proses progresi, sel tumor akan mengalami pengaruh seleksi imun dan non imun. Contohnya, sel yang sangat antigenik akan dimusnahkan oleh pertahanan tubuh, sedang sel yang membutuhkan sedikit faktor pertumbuhan akan dipertahankan. Jadi suatu tumor yang berkembang, mempunyai kecenderungan mendapat bantuan dari subklon untuk dapat mengalahkan hal yang merugikan dan dapat bertahan, tumbuh, dan metastasis. Akhirnya, pengalaman memperlihatkan bahwa apabila tumor kambuh setelah mendapat kemoterapi, tumor tersebut hampir selalu resisten terhadap regimen obat terdahulu, apabila diberikan lagi. Resistensi yang didapat ini, merupakan manfestasi seleksi, karena terjadi subklon yang mengandungi mutasi (atau perubahan epigenetik). Jadi, evolusi dan seleksi genetik dapat menjelaskan dua sifat yang membahayakan dari kanker: tendensi kanker untuk menjadi (1) lebih agresif dan (2) kurang responsif terhadap terapi setelah beberapa waktu.



Kebutuhan faktor pertumbuhan berkurang



Varian sel tumor



Non antigenik



Invasif Sel normal



Perubahan diinduksi karsinogen



TRANSFORMASI



Metastatik



Sel tumor



Ekspansi klonal dari varian sel yang bertahan hidup



PROGRESI



PROLIFERASI SEL YANG GENETIKNYA TIDAK STABIL



Keganasan padat pada manusia



VARIAN SEL TUMOR: HETEROGENITAS



Gambar 5-17 Progresi tumor dan timbulnya heterogenitas. Subklon baru muncul pada keturunan sel awal berupa transformasi melalui mutasi multipel. Dengan progresi, massa tumor diperkaya dengan terjadinya varian yang lebih beradaptasi dan dapat menghindar dari pertahanan pejamu dan lebih agresif.



178



BAB5



Neoplasia



TANDA KHAS KANKER Penjelasan di bawah ini berguna sebagai dasar untuk menjelaskan lebih rinci tentang patogenesis molekuler kanker dan agen karsinogen yang mengakibatkan kerusakan genetik. Sejak sekitar 30 tahun yang lalu, beratus ratus gen yang berkaitan dengan kanker telah ditemukan. Beberapa, misalnya TP53, umumnya mengalami mutasi; yang lain misalnya ABL, hanya terpengaruh pada leukemia tertentu. Tiap gen kanker mempunyai fungsi spesifik, yang tidak teratur berperan pada asal atau perkembangan keganasan. Jadi sebaiknya, dalam konteks perubahan fisiologi sel, yang dikelompokkan dalam tanda khas kanker, menyertakan 'gen terkait-kanker" karena bersama sama menentukan fenotipe keganasan. Enam di antaranya ditampilkan pada Gambar 5-18: • • • • • •



Menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan Tidak peka terhadap sinyal penghambat pertumbuhan Menghindari kematian sel Mampu bereplikasi tanpa batas Mempertahankan angiogenesis Kemampuan invasi dan metastasis



Pada daftar ini dapat ditambahkan dua tanda khas baru kanker, yaitu program ulang metabolisme energi dan kemampuan menghindari sistem imun, serta dua karakter yang terganggu, yaitu instabilitas genom dan radang yang dipicu-tumor. Mutasi pada gen yang mengatur beberapa atau seluruh sifat sel dijumpai pada tiap kanker; sehingga sifat ini merupakan dasar Mencukupi sendiri inyal pertumbuhan Menghindari apoptosis



Tidak peka pada sinyal anti pertumbuhan



pembahasan berikutnya mengenai asal molekuler kanker. Harap dicatat, atas kesepakatan, simbol gen ditulis dengan huruf miring tetapi produksi proteinnya tidak (misalnya gen RB dan protein Rb, TP53 dan p53, MYC dan MYC).



Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan Sel kanker menggunakan banyak cara untuk mengatur proliferasinya dan menjadi tidak peka pada aturan pertumbuhan normal. Untuk memahami fenomena ini, akan bermanfaat apabila dikaji kembali sekuens kejadian yang menjadi karakteristik proliferasi sel normal (dijelaskan pada Bab 2). Pada kondisi fisiologis,proliferasi sel dapat dirangkum dalam langkah-langkah berikut: 1. Terikatnya faktor pertumbuhan pada reseptor spesifiknya pada membran sel 2. Mengurangi dan membatasi pengaktifan reseptor faktor pertumbuhan, yang kemudian akan mengaktifkan beberapa protein sinyal-transduksi pada bagian dalam membran plasma 3. Meneruskan sinyal transduksi melalui sitosol menuju inti melalui messenger kedua atau kaskade molekul transduksi sinyal 4. Menginduksi dan mengaktifkan faktor regulator inti yang menginisiasi dan mengatur transkripsi DNA 5. Masuk dan meneruskan sel ke dalam siklus sel, sehingga terjadi pembelahan sel Mekanisme yang memungkinkan sel kanker mampu berproliferasi dapat dikelompokkan sesuai dengan peran sel tersebut pada kaskade sinyal transduksi pemicu faktor pertumbuhan dan pengaturan siklus sel. Memang, tiap langkah yang tertera dapat memudahkan terjadinya perubahan pada sel kanker.



Faktor Pertumbuhan Semua sel normal membutuhkan stimulasi faktor pertumbuhan agar terjadi proliferasi. Sebagian besar faktor pertumbuhan yang larut dalam air terdiri atas satu jenis sel dan berperan pada sel sekitarnya untuk menstimulasi proliferasi (pengaruh parakrin). Secara normal, sel yang menghasilkan faktor pertumbuhan tidak mengekspresikan reseptor yang sama. Kekhususan ini mencegah terjadinya putaran balik positif pada sel yang sama. • Banyak sel kanker mempunyai kemampuan pertumbuhan sendiri yang cukup dengan mensintesa faktor pertumbuhan yang sama yang dapat direspons sel kanker tersebut. Contohnya, berbagai glioblastoma mensekresi faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan mengekspresikan reseptor PDGF, dan berbagai sarkoma membentuk transforming growth factor-α (TGFα) dan reseptornya. Putaran autokrin yang sama sering dijumpai pada berbagai jenis kanker.



Angiogenesis yang terus menerus



Invasi ke jaringan dan metastasis otensi replikasi tanpa batas



Gambar 5-18 Enam tanda khas kanker. Sel kanker umumnya mempunyai sifat tersebut selama pertumbuhannya, khususnya melalui mutasi dari gen yang relevan. (Dari Hanahan D, Weinberg RA: The hallmarks of cancer. Cell I 00:57, 2000. )



• Mekanisme lain di mana sel kanker mampu tumbuh cukup sendiri adalah melalui interaksi dengan stroma. Pada beberapa keadaan, sel tumor mengirim sinyal untuk mengaktifkan sel normal pada stroma penunjang, yang kemudian akan memproduksi faktor pertumbuhan yang akan memicu pertumbuhan tumor.



Reseptor Faktor Pertumbuhan dan Non-Reseptor Tirosin Kinase Kelompok berikut pada sekuens sinyal transduksi adalah reseptor faktor pertumbuhan, dan beberapa onkogen yang terjadi akibat ekspresi berlebihan atau mutasi reseptor faktor pertumbuhan yang



Tanda Khas Kanker telah diidentifikasi. Protein reseptor yang bermutasi menyampaikan sinyal mitogenik terus menerus ke sel, walaupun tidak terdapat faktor pertumbuhan dilingkungannya. Ekspresi berlebihan reseptor pertumbuhan lebih sering dijumpai dibanding mutasi, dan dapat menyebabkan sel kanker lebih responsif terhadap kadar faktor pertumbuhan yang dalam keadaan normal tidak memicu proliferasi. Contoh yang telah di dokumentasi dengan baik dari ekspresi berlebihan ialah pada kelompok reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGF). ERBB1, reseptor EGF, yang mengalami ekspresi berlebihan pada 80% karsinoma sel skuamosa paru, 50% atau lebih pada glioblastomas, dan 80% hingga 100% tumor epitel leher dan kepala. Gen yang menyandi reseptor terkait, HER2/NEU (ERBB2), mengalami amplifikasi pada 25% hingga 30% kanker payudara dan adenokarcinoma paru, ovarium dan kelenjar liur. Berbagai tumor tersebut sangat sensitif terhadap efek mitogenik berbagai faktor pertumbuhan dalam jumlah kecil, dan pada kadar tinggi protein HER2/NEU sel kanker payudara dan merupakan petanda prognosis yang buruk. Pentingnya HER2/NEU pada patogenesis kanker payudara digambarkan secara dramatis oleh manfaat klinis yang diperoleh dari penghambatan domain ekstrasel reseptor ini dengan antibodi anti-HER2/NEU. Terapi kanker payudara dengan antibodi anti-HER2/ NEU merupakan contoh yang tepat upaya kedokteran "dari ruang laboratorium menuju ke ruang perawatan".



Protein Hilir Sinyal Transduksi Mekanisme yang relatif sering dijumpai pada sel kanker agar memperoleh pertumbuhan autonom adalah mutasi gen yang menyandi berbagai komponen dari jalur sinyal yang berada di hilir reseptor faktor pertumbuhan. Protein sinyal ini akan menghubungkan reseptor faktor pertumbuhan dengan target inti sel. Sinyal diterima dari reseptor faktor pertumbuhan yang telah diaktifkan dan meneruskannya ke inti sel, melalui messenger kedua atau melalui kaskade fosforilasi dan mengaktifkan molekul sinyal transduksi. Dua contoh penting pada kelompok ini ialah RAS dan ABL. Masing masing selanjutnya akan dibahas secara singkat. Protein RAS. RAS merupakan protoonkogen mutan yang paling sering dijumpai pada tumor manusia. Ternyata, sekitar 30% tumor manusia mengandungi versi gen RAS yang mengalami mutasi, dan frekuensinya lebih tinggi pada beberapa kanker tertentu (misalnya adenokarsinoma usus besar dan pankreas). • RAS merupakan salah satu dari kelompok protein G kecil yang mengikat nukleotida guanosin (nukleotida guanosine triphosphate [GTP] dan guanosin diphosphate [GDP]), mirip dengan protein G trimolekuler yang lebih besar. • Protein RAS normal akan pindah bolak-balik antara status sinyal smisi aktif dan status transmisi tenang (inaktif). Protein RAS akan inaktif bila terikat dengan GDP; stimulasi sel oleh faktor pertumbuhan seperti EGF dan PDGF akan mengakibatkan perubahan GDP menjadi GTP dan perubahan lain selanjutnya yang akan menghasilkan RAS aktif (Gambar 5-19). Status sinyal aktif ini hanya sebentar, namun, karena aktivitas guanosin trifosfatase intrinsik (GTPase) dari RAS akan menghidrolisa GTP menjadi GDP, menghasilkan suatu kelompok fosfat dan mengembalikan protein menjadi status ikatan GDP yang inaktif. Aktivitas GTPase pada protein RAS yang teraktifkan akan diperbesar secara dramatis oleh protein yang mengaktifkan GTPase (GAPase), yang berfungsi sebagai rem molekul yang mencegah pengaktifan RAS yang tidak terkendali dengan melakukan hidrolisa GTP menjadi GDP.



179



Faktor pertumbuhan Reseptor faktor pertumbuhan Jangkar membran Famesil



RAS inakatif Protein jembatan



Mengaktifkan



Pengaktifan GDP



RAS aktif GTP



Tidak teraktifkan oleh hidrolisa GTP RAS aktif PI3K



RAF



AKT mTOR



MAPK Pengaktifan



transkripsi



Protein MYC Perkembangan siklus sel



Gambar 5-19 Contoh cara kerja gen RAS. Apabila sel normal distimulasi melalui reseptor faktor pertumbuhan, (GDP-bound) RAS yang inaktif akan diaktifkan menjadi RAS yang terikat GTP. RAS yang teraktifkan akan mentranduksi sinyal proliferatif kepada inti melalui dua jalur, yaitu jalur RAF/ERK/MAP kinase dan jalur PI3 kinase/AKT. GDP guanosine diphosphate; GTP guanosine triphosphate; MAP mitogen-activated protein; PI3 phosphatidylinositoI-3.



• RAS yang teraktifkan akan merangsang regulator proliferasi yang berada di hilir melalui dua jalur tertentu yang akan bertemu pada inti sel dan membanjirinya dengan sinyal untuk proliferasi sel. Rincian sinyal kaskade (sebagian ditampilkan pada Gambar 5-19) bagian hilir dari RAS tidak akan dibahas di sini, suatu hal penting ialah bahwa aktivitas mutasi "messengers" terhadap inti sel mirip efek pemicuan pertumbuhan RAS yang teraktifkan. Contoh, BRAF, yang terletak pada jalur RAF/ERK/MAP kinase, mengalami mutasi pada lebih dari 60% melanomas. Mutasi PI3 kinase pada jalur PI3K/ AKT juga terjadi dengan frekuensi tinggi pada beberapa tipe tumor. Agaknya, pengaktifan mutasi RAS demikian pula molekul sinyal di bagian hilir merupakan hal umum pada berbagai tumor. Protein RAS umumnya diaktifkan oleh mutasi titik pada residu asam amino yang berada di tempat ikatan-GTP atau pada daerah enzimatik yang penting untuk hidrolisa GTP. Kedua jenis mutasi akan mengganggu hidrolisa GTP, yang penting untuk menginaktifkan RAS. RAS terjebak dalam bentuk teraktifkan, dalam bentuk terikatGTP, dan sel dipaksa untuk berada dalam status proliferasi



180



BAB 5



Neoplasia



berkelanjutan. Dari skenario tadi tampak bahwa konsekuensi mutasi protein RAS akan disertai dengan hilangnya fungsi mutasi pada GAP dengan akibat kegagalan untuk menstimulasi hidrolisa GTP dan dengan demikian terhambatnya pembentukan protein RAS. Memang, mutasi yang tidak terjadi pada pada neurofibromin-1 (NF-1), suatu jenis GAP, dikaitkan dengan neurofibromatosis type 1 familial (Bab 22). ABL. Disamping RAS, beberapa non-reseptor-terkait tyrosin kinase berfungsi sebagai molekul sinyal transduksi. Pada kelompok ini, ABL paling dikenal dalam kaitan dengan karsinogenesis. • ABL protoonkogen mempunyai aktivitas tirosin kinase yang akan diredam oleh domain regulator negatif internal. Pada leukemia mielogenik kronik dan leukemia akut tertentu, sebagian dari gen ABL mengalami translokasi dari tempat normalnya di kromosom 9 ke kromosom 22, dan akan bergabung dengan klaster patahan gen (BCR). Protein hibrid BCR-ABL akan mempertahankan domain tirosin kinase; domain BCR sendiri, tetap melakukan aktivitas tirosin kinase. Menarik ialah, bahwa terjadi hubungan silang antara jalur BCR-ABL dan RAS, sebab protein BCR-ABL mengaktifkan seluruh sinyal yang terletak di bagian hilir RAS. • Peran krusial dari BCR-ABL pada transformasi dipastikan dengan adanya respons klinis yang dramatis pada pasien leukimia mielogenik terhadap inhibitor BCR-ABL kinase. Prototipe obat semacam ini, imatinib mesylate (Gleevec) menimbulkan perhatian untuk pembuatan obat yang mempunyai target lesi molekul spesifik pada berbagai kanker (disebut targeted therapy). BCR-ABL juga merupakan contoh konsep addiksi onkogen, yaitu suatu tumor sangat bergantung pada satu molekul sinyal. Pembentukan fusi gen BCR-ABL, merupakan upaya dini, mungkin inisiasi, yang menghasilkan leukemogenesis. Timbulnya leukimia mungkin membutuhkan kolaborasi mutasi lain, tetapi sel yang mengalami transformasi tetap bergantung pada sinyal BCRABL dapat dilihat sebagai tonggak sentral di mana struktur dibentuk. Bila tonggak ini dihilangkan melalui inhisibi BCRABL kinase, struktur akan runtuh. Karena ketergantungan ini, maka tidak mengherankan bisa terjadi resistensi tumor terhadap inhibitor BCR-ABL karena pertumbuhan berlebihan suatu subklon dengan mutasi pada BCR-ABL dapat mencegah ikatan obat dengan protein BCR-ABL



FaktorTranskripsi Inti Pada tahap akhir, semua sinyal transduksi memasuki inti sel dan mengakibatkan dampak pada sekelompok besar gen responden yang mengatur secara teratur agar sel memasuki siklus mitosis. Memang, konsekuensi pemberian sinyal melalui onkoprotein seperti RAS atau ABL masih kurang dan rangsangan berkelanjutan dari faktor transkripsi inti bisa mengakibatkan ekspresi gen pemicu-pertumbuhan. Pertumbuhan autonom dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya mutasi gen yang mengatur transkripsi DNA. Sejumlah onkoprotein, termasuk produk dari MYC, MYB, JUN, FOS, dan onkogen REL, berfungsi sebagai faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen pemicupertumbuhan, misalnya siklin. Dari kelompok ini, gen MYC yang paling sering terlibat pada tumor manusia.



Protein MYC dapat mengaktifkan atau menekan transkripsi gen lainnya. Gen yang diaktifkan oleh MYC termasuk beberapa gen pemicu pertumbuhan, seperti "cyclin-dependent kinases" (CDKs), yang produknya akan mendorong sel masuk ke siklus sel (dibicarakan berikut). Gen yang ditekan oleh MYC termasuk inhibitor CDK (CDKls). Jadi disregulasi MYC akan memicu tumorigenesis dengan meningkatkan ekspresi gen yang mendorong progresi sel melalui siklus sel dan sebaiknya menekan gen yang memperlambat atau mencegah progresi siklus sel. MYC merupakan pengatur utama pada metabolisme menengah, menaikkan regulasi gen yang memicu glikolisis aerobik (disebut efek Warburg, akan dibahas kemudian) dan meningkatkan pemakaian glutamin, dan perubahan metabolit yang menjadi tanda utama sel kanker. Disregulasi gen MYC dengan hasil terjadinya translokasi t(8;14) terjadi pada Limfoma Burkitt, suatu tumor sel B. MYC juga diamplifikasi pada payudara, usus besar, paru dan berbagai jenis kanker lain; gen NMYC dan LMYC yang terkait mengalami amplifikasi pada neuroblastoma dan kanker sel kecil paru.



Siklin dan Siklin-dependen Kinase Hasil akhir dari semua stimulus pemicu-pertumbuhan adalah masuknya sel yang sebelumnya tenang ke dalam siklus sel. Kanker dapat menjadi autonom apabila gen yang mengatur siklus sel menjadi tidak teratur karena mutasi atau amplifikasi. Sebelum membahas aspek karsinogenesis lebih lanjut diperlukan pembahasan secara garis besar siklus sel normal (Gambar 5-20).



Siklus Sel Normal Proliferasi sel merupakan proses yang sangat teratur melibatkan banyak molekul dan jalur-jalur yang saling berhubungan. Replikasi sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan atau sinyal dari komponen ECM melalui integrin. Agar terjadi replikasi dan pembelahan DNA, sel melalui suatu sekuens kejadian ketat yang disebut siklus sel. Siklus sel terdiri atas fase G1 (presintesa), S (sintesa DNA), G2 (premitotik), dan M (mitotik). Sel tenang (quiescent) yang belum memasuki siklus sel berada dalam status G0. Tiap fase dari siklus sel bergantung pada pengaktifan yang tepat dan kelengkapan siklus sel sebelumnya dan siklus sel akan berhenti pada tempat di mana terjadi defisiensi fungsi gen yang esensial. Karena peran siklus sel sangat sentral untuk mempertahankan homeostasis jaringan dan mengatur proses pertumbuhan fisiologis seperti regenerasi dan perbaikan, maka siklus sel mempunyai banyak "checkpoints", terutama pada saat berubahnya G0 menjadi G1 dan peralihan dari G1 ke fase S. Sel dapat masuk G1 bisa melalui G0 (sel tenang) atau setelah menyelesaikan mitosis (sel yang melakukan replikasi terusmenerus). Sel tenang (quiescent cells) mula-mula harus melalui transisi dari G0 ke G1, merupakan langkah pertama, yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam siklus sel. Sel pada G1 akan berlanjut pada siklus sel dan akan mencapai saat kritis pada transisi G1-S, dikenal sebagai titik restriksi, suatu batas langkah untuk kegiatan replikasi. Setelah melampaui titik restriksi ini, sel normal secara ireversibel melakukan replikasi DNA. Siklus sel diatur ketat oleh aktivator dan inhibitor. • Perkembangan melalui siklus sel, terutama pada G1-S peralihan diatur oleh protein yang disebut siklin, disebut siklin,



Tanda Khas Kanker Inhibitor CDK bito



i Inh



p16



p21



K



D rC



p15



p18



p27



p57



Inh



Siklin E



p19



p21



ibito



Siklin D



Siklin D



CDK4



CDK6



rC



p27



CDK2



DK



p57



K



p57



CD



CDK1



S



p27



or



Siklin A



RB P



ibit



p21



In h



Siklin A CDK2



RB



181



G1 G2 M Siklin B CDK1



p21 p57



p27



inh



DK



sC



or ibit



Gambar 5-20 Peran siklin, cyclin-dependent kinases (CDKs), dan inhibitor CDK pada pengaturan siklus sel. Panah bayangan menunjukkan fase siklus sel di mana kompleks siklin CDK sedang aktif. Seperti pada gambar siklin D—CDK4, siklin D—CDK6, dan siklin E—CDK2 mengatur perpindahan GI-ke-S melalui fosforilasi protein Rb (pRb). Siklin A—CDK2 dan siklin A—CDK I aktif pada fase S. Siklin B—CDK I penting untuk perpindahan G2-ke-M. Dua kelompok inhibitor CDK dapat memblok aktivitas berbagai CDK dan perkembangan melalui siklus sel. Yang disebut inhibitor INK4, terdiri atas p 16, p 15, p18, dan p19, bekerja pada siklin D—CDK4 dan siklin D—CDK6. Kelompok lain dari tiga inhibitor, p21, p27, dan p57, bisa menghambat berbagai CDK.



disebut demikian karena sifatnya yang berganti-ganti antara produksi dan degradasinya, dan enzim yang terkait, yaitu cyclin-dependent kinases (CDKs). CDK mempunyai aktivitas katalitik dengan mengikat dan membentuk gabungan dengan siklin. Perjalanan yang teratur dari sel melalui berbagai fase dari siklus sel diatur oleh CDK, yang diaktifkan oleh ikatan dengan siklin. • Kompleks CDK-siklin akan melakukan fosforilasi protein target yang sangat menentukan kemungkinan perjalanan sel mengikuti seluruh siklus sel. Pada pelaksanaan tugas ini, kadar siklin akan menurun dengan cepat. Lebih dari 15 siklin telah diidentifikasi; siklin D, E, A, dan B muncul secara berurutan selama siklus sel dan akan mengikat satu atau lebih CDK. Siklus sel dapat dilihat sebagai perlombaan beranting di mana tiap kaki diatur oleh suatu set siklin tertentu. Ketika satu set siklin meninggalkan jalur, set berikut akan mengambil alih (Gambar 5-20). CDK yang teraktifkan pada kompleks ini akan mengarahkan jalannya siklus sel melalui fosforilasi protein yang mengatur peralihan siklus sel. Salah satu protein tersebut adalah protein retinoblastoma (Rb), yang akan dibahas kemudian. • Aktivitas kompleks CDK-siklin diatur oleh inhibitor CDK (CDKI) yang menjalankan tempat pemeriksaan siklus sel. Termasuk



siklus sel adalah mekanisme pengawasan yang akan memantau apabila terjadi kerusakan DNA dan kromosom. Tempat pengawasan kualitas ini disebut checkpoints; fungsinya adalah memastikan bahwa sel dengan DNA atau kromosom yang rusak tidak akan menyelesaikan proses perubahan. Tempat pemeriksaan G1-S mengawasi integritas DNA sebelum proses perubahan DNA, sedangkan tempat pemeriksaan G2-M mengawasi DNA setelah perubahan dan mengawasi sel yang akan memasuki proses mitosis dengan selamat. Apabila sel merasakan adanya kerusakan DNA, aktivasi tempat pengawasan akan menunda siklus sel dan memicu mekanisme perbaikan DNA. Apabila kerusakan DNA terlalu payah sehingga tidak dapat diperbaiki, akan terjadi eliminasi sel melalui apoptosis, atau sel akan memasuki status tidak berubah yang disebut penuaan (senescence), terutama melalui mekanisme yang bergantung pada p53, yang akan dibahas kemudian. Mutasi pada gen tempat pengawasan ini masih memungkinkan sel dengan DNA rusak untuk membelah, menghasilkan sel anak yang membawa mutasi. • Ada beberapa kelompok CDKI. Satu kelompok, terdiri dari tiga protein yang disebut p21 (CDKN1A), p27 (CDKN1B), dan p57 (CDKN1C), menghambat CDK secara luas, sedangkan kelompok CDKI lain mempunyai efek selektif pada siklin CDK4



182



BAB 5



Neoplasia



dan siklin CDK6. Empat protein keluarga ini — p15 (CDKN2B), p16 (CDKN2A), p18 (CDKN2C), dan p19 (CDKN2D) - kadang-kadang disebut protein INK4 (A hingga D). Perubahan pada Protein Pengawas Siklus Sel pada Sel Kanker Dengan latar belakang ini mudah dimengerti bahwa mutasi yang mengakibatkan tidak teraturnya aktivitas siklin dan CDK akan mengakibatkan proliferasi sel. Memang, ternyata semua kanker mempunyai lesi genetik, sehingga tempat pemeriksaan G1-S tidak berfungsi sehingga secara terus menerus masuk kembali ke fase S. Untuk alasan yang tidak jelas jumlah beberapa lesi tertentu sangat berbeda pada berbagai jenis tumor. • Kesalahan berupa ekspresi yang berlebihan dari siklin D atau CDK4 merupakan keadaan yang umum dijumpai pada transformasi neoplastik. Gen siklin D mengalami ekspresi berlebihan pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker pada payudara, esofagus, hati, dan suatu subset limfoma dan tumor sel plasma. Amplifikasi gen CDK4 terjadi pada melanoma, sarkoma, dan glioblastoma. Mutasi yang mengenai siklin B, E dan CDK lain juga terjadi, tetapi jumlahnya lebih kecil dibandingkan yang mengenai siklin CDK4. • CDKI sering tidak berfungsi karena mutasi gen atau gen yang diam pada berbagai keganasan pada manusia. Mutasi alur sel benih dari CDKN2A dijumpai pada 25% keluarga yang mudah terkena melanoma. Delesi somatik yang didapat atau tidak aktifnya CDKN2A dijumpai pada 75% karsinoma pankreas, 40% hingga 70% glioblastoma, 50% pada kanker esofagus, dan 20% pada karsinoma paru bukan sel kecil, sarkoma jaringan lunak, dan kanker kandung kemih. Pemikiran terakhir tentang pentingnya pembahasan sinyal pemicu pertumbuhan ialah bahwa produksi onkoprotein yang meningkat, tidak dengan sendirinya mengakibatkan proliferasi yang berlanjut ke sel kanker. Terdapat dua mekanisme internal yang terjadi, yaitu penuaan sel dan apoptosis, yang bertentangan dengan pertumbuhan sel yang dipicu oleh onkogen. Sebagai akan dibicarakan kemudian, mekanisme penghambat ini harus ditiadakan dahulu, agar kegiatan onkogen dapat berlangsung terus tanpa halangan.



RINGKASAN Onkogen yang Memicu Proliferasi Tidak Terkendali (Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan)



Onkogen: versi mutan atau ekspresi berlebihan dari protoonkogen yang berfungsi autonom dan tidak membutuhkan sinyal pemicu pertumbuhan normal. Onkoprotien memicu proliferasi sel yang tidak terkendali melalui berbagai mekanisme: •







Ekspresi stimulus-independen faktor pertumbuhan dan reseptor terkait, membentuk lingkaran (loop) proliferasi sel yang otokrin  Reseptor PDGF-PDGF pada tumor otak Mutasi gen penyandi reseptor faktor pertumbuhan atau tirosin kinase yang mengakibatkan pembentukan sinyal:  Kelompok reseptor EGF, termasuk HER2/NEU (payudara, paru, dan tumor lain)



Fusi ABL tirosin kinase dengan protein BCR pada beberapa jenis leukemia menghasilkan protein hibrid dengan aktivitas kinase. • Mutasi gen penyandi sinyal molekul  RAS biasanya mengalami mutasi pada kanker manusia dan biasanya bolak balik antara keadaan istirahat GDP-bound dan keadaan aktif GTP-bound;mutasi akan menghentikan hidrolisa GTP menjadi GDP, dengan akibat proses penyandian tidak terkendali. • Produksi berlebihan atau faktor transkripsi dengan akitivitas tidak teratur  Translokasi MYC pada beberapa limfoma mengakibatkan ekspresi berlebihan dan ekspresi yang tidak teratur pada gen target yang mengatur siklus sel dan ketahuan sel. • Mutasi yang mengaktifkan gen siklin atau menginaktifkan regulator negatif siklin dan siklin-dependen kinase  Kompleks siklin dengan CDK mengatur siklus sel melalui fosforilasi berbagai substrat. CDK diatur oleh inhibitor; mutasi oleh gen penyandi siklin, CDK, dan inhibitor CDK mengakibatkan progresi siklus sel yang tidak terkendali. Mutasi sejenis itu dijumpai pada berbagai jenis kanker termasuk melanoma, otak, paru, dan kanker pankreas.







Ketidakpekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan Isaac Newton mempunyai teori bahwa tiap aksi akan mengakibatkan reaksi berlawanan yang setara. Walaupun Newton bukan seorang ahli biologi kanker, formulasinya berlaku untuk pertumbuhan sel. Apabila onkogen akan menyandi protein yang memicu pertumbuhan sel, sebaliknya produk gen tumor supresor akan menghambat proliferasi sel. Gangguan gen semacam itu akan mengakibatkan melemahnya fungsi penghambat pertumbuhan sehingga bekerja menyerupai efek pemicu pertumbuhan suatu onkogen. Pembahasan berikut akan menjelaskan gen tumor supresor, produk yang dihasilkan, dan mekanisme yang diperkirakan terjadi akibat hilangnya fungsi dan perannya dalam pertumbuhan sel yang tidak terkendali.



Gen RB: Pengatur Siklus SeI Bermanfaat untuk memulai pembahasan tentang gen retinoblastoma (RB), gen supresor tumor pertama yang ditemukan, dan menjadi suatu contoh prototip. Seperti perkembangan banyak bidang ilmu kedokteran lainnya, penemuan gen tumor supresor tercapai melalui penelitian penyakit yang jarang dijumpai pada kasus ini, retinoblastoma, suatu tumor yang jarang ditemukan pada anak. Kira-kira 60% retinoblastoma timbul sporadik, dan sisanya adalah familial, predisposisi untuk timbulnya tumor diturunkan sebagai sifat dominan autosom. Untuk menjelaskan timbulnya suatu tumor yang identik secara sporadik dan familial, Knudson, tahun 1974, mengajukan hipotesa two-hit, yang sekarang tersohor, yang dapat dijelaskan dari aspek molekuler sebagai berikut: • Dua mutasi (hits) dibutuhkan untuk terjadinya retinoblastoma Keduanya melibatkan gen RB, yang terletak pada lokus kromosom 13q14. Kedua alel normal lokus RB harus diinaktifkan (makanya disebut two hits) untuk pertumbuhan retinoblastoma (Gambar 5-21). • Pada kasus familial, anak mewarisi satu kopi gen RB yang tidak efektif pada alur sel benih; kopi lainnya normal.



Tanda Khas Kanker PATOGENESIS RETINOBLASTOMA



BENTUK SPORADIK



Mutasi



Mutasi



Sel benih



Zigot



Sel somatik anak



BENTUK FAMILIAL



Sel somatik orang tua



Gen normal



Sel retina



Retinoblastoma



Mutasi



Gen RB mutan



Gambar 5-21 Patogenesis retinoblastoma. Dua mutasi pada lokus kromosom RB pada 1 3q 14, mengakibatkan proliferasi neoplastik sel retina. Pada keturunannya, semua sel somatik mewarisi satu gen RB mutan dari orang tuanya. Mutasi kedua mengenai lokus RB pada salah satu sel retina setelah lahir. Pada bentuk sporadik (bukan keturunan), kedua mutasi pada lokus RB dibutuhkan oleh sel retina setelah lahir.



Retinoblastoma dapat timbul apabila gen RB normal pada sel retinoblas hilang sebagai akibat mutasi somatik. Karena pada keluarga dengan retinoblastoma hanya dibutuhkan satu mutasi somatik untuk terjadinya penyakit ini, maka transmisi familial mengikuti pola pewarisan autosomal dominan. • Pada kasus sporadik, kedua alel RB normal lenyap akibat mutasi somatik pada salah satu retinoblas. Hasil akhir sama: sel retina yang kehilangan kedua kopi normal gen RB menjadi kanker. Walaupun hilangnya gen RB normal ditemukan pertama kali pada retinoblastoma, sekarang terbukti bahwa kehilangan gen ini pada homozigot merupakan hal yang umum dijumpai pada beberapa jenis tumor, termasuk kanker payudara, tumor sel kecil paru, dan kanker kandung kemih. Pasien dengan retinoblastoma familial mempunyai risiko yang meningkat untuk timbulnya osteosarkoma dan beberapa jenis sarkoma jaringan lunak. Pada titik ini, perlu penjelasan beberapa istilah: satu sel heterozigot pada lokus RB tidak bersifat neoplastik. Tumor



akan timbul apabila sel kehilangan kopi gen RB normal dan menjadi homozigot untuk alel mutan. Pada prinsipnya, sinyal anti pertumbuhan dapat mencegah proliferasi sel melalui beberapa mekanisme komplemen. Sinyal akan menyebabkan sel yang membelah memasuki fase G0 tenang (quiescence), dan akan tetap berada di sana sampai adanya isyarat eksternal untuk mendorongnya masuk kembali ke tahap proliferasi. Kemungkinan lain ialah sel masuk ke tahap pasca mitosis, diferensiasi dan kehilangan potensi replikasi. Penuaan(senescence) non replikatif, yang disebut terdahulu, merupakan mekanisme lain untuk menghindarkan menghindarkan pertumbuhan sel yaang berkelanjutan. Dan sebagian upaya terakhir,akan diprogram kematian sel melalui apoptosis. Dapat dilihat, bahwa gen supresor tumor mempunyai berbagai upaya pada alat kerjanya untuk mencegah sel menjadi ganas. Pembahasan selanjutnya ialah mengenai mekanisme penghambatan pertumbuhan dan upaya menghindar dengan fokus pada prototip gen tumor supresor, yaitu gen RB.



183



184



BAB 5



Neoplasia



RINGKASAN Ketidak pekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan • Gen supresor tumor menyandi protein yang menghambat proliferasi sel dengan mengatur siklus sel. Berbeda dengan onkogen, kedua kopi gen harus tidak berfungsi agar perkembangan tumor dapat terjadi. • Pada kasus predisposisi familial untuk timbulnya tumor, seseorang harus mewarisi satu kopi gen supresor tumor yang cacat (tidak berfungsi) dan kehilangan kopi kedua melalui mutasi somatik. Pada kasus sporadik, kedua kopi hilang melalui mutasi somatik. Produk gen RB ialah protein pengikat-DNA yang ditampilkan pada tiap sel yang diperiksa, dan berada dalam status hipofosforilasi aktif dan dalam status hiperfosforilasi inaktif. Pentingnya Rb terletak pada pengaturan tempat pemeriksaan G1/S, gerbang yang harus dilalui sel sebelum replikasi DNA dapat dimulai. Sebagai latar belakang untuk memahami fungsi tumor supresor, ada baiknya mempelajari kembali siklus sel. Pada embrio, pembelahan sel terjadi dengan sangat cepat, replikasi DNA segera dimulai setelah proses mitosis selesai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya dua celah (gap) disatukan pada siklus sel: celah 1 (G1) antara mitosis (M) dan replikasi DNA (S), dan celah 2 (G2) antara replikasi DNA (S) dan mitosis (M) (Gambar 5-20). Walaupun tiap fase pada lingkaran siklus sel dimonitor dengan cermat, transisi dari G1 ke S diperkirakan merupakan tempat pemeriksaan yang sangat penting pada "jam" siklus sel. Segera setelah sebuah sel melalui tempat pemeriksaan G1, sel tersebut dapat mengistirahatkan siklus sel untuk waktu tertentu, tetapi sel tersebut harus menyelesaikan proses mitosis. Namun, pada G1, sel dapat keluar seluruhnya dari siklus sel, bisa berlangsung sementara (quiescence/G0) atau permanen (senescence). Memang dalam perkembangan, setelah sel mengalami diferensiasi akhir, sel akan meninggalkan siklus sel dan masuk G0. Sel pada G0 akan tetap berada ditempat, sampai timbul isyarat eksternal, misalnya sinyal mitogenik, yang akan mendorong sel tersebut masuk kembali ke dalam siklus sel. Jadi pada G1, berbagai sinyal disatukan untuk menentukan apakah sel akan meneruskan seluruh siklus sel, atau keluar dari siklus sel dan mengalami diferensiasi, dan Rb merupakan kunci penghubung sinyal mitogen eksternal dan sinyal diferensiasi dalam pengambilan keputusan. Agar memahami peran krusial Rb dalam siklus sel, akan bermanfaat apabila menelaah kembali mekanisme yang menentukan terjadinya transisi G1/S. • Inisiasi replikasi DNA (fase S) membutuhkan aktivitas kompleks siklin E/ CDK2, dan ekspresi siklin E bergantung pada keluarga faktor transkripsi E2F. Pada awal G1, Rb berada dalam bentuk hipofosforilasi aktif, dan akan berikatan serta mencegah keluarga faktor transkripsi E2F, merintangi transkripsi siklin E. Rb dalam bentuk hypofosforilasi akan mencegah transkripsi yang dipicu-E2F paling sedikit melalui 2 cara (Gambar 5-22). Pertama akan mengasingkan E2F, mencegah interaksi dengan aktivator transkripsi lain. Kedua, Rb akan merekrut protein untuk mengubah kromatin, seperti histon diasetilase dan histon metiltransferase, yang terikat pada gen promotor yang responsif terhadap E2F seperti siklin E. Enzim ini mengubah kromatin pada promotor sehingga DNA tidak sensitif terhadap faktor transkripsi.



• Situasi ini berubah pada sinyal mitogenik. Sinyal faktor pertumbuhan akan menyebabkan ekspresi siklin D dan mengaktifkan kompleks siklin D-CDK4/6. Kompleks ini akan melakukan fosforilasi Rb, menginaktifkan protein dan mengeluarkan E2F untuk menginduksi gen target seperti siklin E. Ekspresi siklin E kemudian merangsang replikasi DNA dan masuk ke dalam siklus sel. Ketika sel masuk ke fase S, akan terjadi pembelahan tanpa perlu rangsangan faktor pertumbuhan. Selama fase M, kelompok fosfat akan dikeluarkan dari Rb oleh fosfatase dalam sel, menghasilkan Rb yang telah mengalami hipofosforilasi. • E2F bukan merupakan target utama Rb. Protein Rb yang serbaguna akan berikatan dengan berbagai faktor transkripsi lain yang mengatur diferensiasi sel. Contohnya, Rb merangsang miosit, adiposit, melanosit, dan faktor transkripsi spesifik makrofag. Jadi, jalur Rb menyatukan pengaturan progresi sel pada G0-G1 dengan diferensiasi, yang akan menjelaskan bagaimana diferensiasi berkaitan dengan keluarnya sel dari siklus sel. Dalam kaitan dengan peran sentral Rb dalam pengaturan siklus sel, timbul pertanyaan menarik mengapa RB tidak mengalami mutasi pada tiap kanker. Faktanya, mutasi pada gen lain yang mengatur fosforilasi Rb dapat memberikan efek mirip hilangnya gen RB. Sebagai contoh, pengaktifan mutasi CDK4 atau ekspresi berlebihan siklin D akan mengakibatkan proliferasi sel melalui fosforilasi dan inaktivasi Rb. Memang siklin D mengalami ekspresi berlebihan pada banyak tumor karena amplifikasi gen atau translokasi. Inaktivasi dengan mutasi pada CDKI juga akan mendorong siklus sel dengan mengaktifkan secara tidak teratur siklin dan CDK. Sebagai dibahas terdahulu, gen CDKN2A merupakan target umum untuk delesi atau inaktivasi mutasi pada tumor manusia. Paradigma yang muncul ialah bahwa hilangnya pengaturan siklus sel normal merupakan hal sentral terjadinya transformasi keganasan pada sebagian besar kanker pada manusia dan paling sedikit satu dari empat regulator utama siklus sel (CDKN2A, siklin D, CDK4, Rb) mengalami mutasi. Juga, transformasi protein pada beberapa virus DNA onkogenik, sebagian berperan, dengan menetralkan aktivitas penghambatan pertumbuhan Rb. Sebagai contoh, protein human papillomavirus (HPV) E7 berikatan dengan Rb yang hipofosforilasi dapat mencegah terjadinya penghambatan faktor transkripsi E2F. Jadi secara fungsional Rb mengalami delesi, dan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak terkendali.



RINGKASAN Gen RB: Pengatur Siklus S. • Rb mempunyai efek antiproliferasi dengan mengatur transisi GI-ke-S pada siklus sel. Dalam bentuk aktif, Rb mengalami hipofosforilasi dan mengikat faktor transkripsi E2E Interaksi ini mencegah transkripsi gen seperti siklin E yang dibutuhkan untuk replikasi DNA, sehingga sel akan tertahan pada G • Sinyal faktor pertumbuhan akan menyebabkan ekspresi siklin D, pengaktifan kompleks siklin D-CDK4/6, menonaktifkan Rb dengan fosforilasi, dan kemudian menghasilkan E2E • Hilangnya pengaturan siklus sel merupakan dasar untuk transformasi keganasan. Hampir semua kanker mempunyai tempat pemeriksaan G1 yang tidak berfungsi akibat mutasi



Tanda Khas Kanker INHIBITOR PERTUMBUHAN (TGF-β, p53 lainnya



FAKTOR PERTUMBUHAN (EGF, PDGF)



Merangsang S



inhibitor CDK p16 (INK4A) Menginaktifkan



G1



Mengaktifkan



SiklinD/CDK4,6 Siklin E/CDK2



RB yang fosfornya berlebihan P



RB yang fosfornya kurang P



P



P



E2F



P E2F



P



P Deasetilase histon P



E2F fase



Gen fase S Pengaktifan transkripsi



P Metiltransferase histon P Lokus E2F Gen fase S Blok transkripsi



Gambar 5-22 Peran Rb dalam mengatur tempat pemeriksaan G1—S pada siklus sel. Rb yang telah mengalami hipofosforilasi pada kompleks faktor transkripsi E2F dengan DNA, akan mendatangkan faktor perbaikan kromatin (histone deacetylases dan histone methyltransferases), dan menghambat transkripsi gen yang produknya dibutuhkan pada fase S dalam siklus sel. Apabila Rb mengalami fosforilasi oleh kompleks siklin D —CDK4, siklin D—CDK6, dan siklin E—CDK2, akan mengeluarkan E2F. Yang terakhir ini kemudian mengaktifkan trankripsi gen/fase-S. Fosforilasi Rb dihambat oleh berbagai CDKI, karena mereka akan menginaktifkan kompleks siklin-CDK. Secara keseluruhan semua sel kanker menunjukkan disregulasi tempat pemeriksaan G1—S sebagai akibat mutasi pada satu di antara empat gen yang mengatur fosforilasi Rb; gengen ini ialah RB, CDK4, siklin D, dan CDKN2A [p I 6]. EGF faktor pertumbuhan epidermal; PDGF faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit.



RB atau gen yang mempengaruhi fungsi Rb, seperti siklin D, CDK4, dan CDKI. • Banyak virus DNA onkogenik, seperti HPV, menyandi protein (misalnya E7) yang mengikat Rb sehingga Rb menjadi tidak berfungsi.



Gen TP53: Penjaga Genom Gen supresor tumor penyandi p53, TP53, adalah gen yang paling sering mengalami mutasi pada kanker manusia. Protein p53 akan menghalangi transformasi neoplastik melalui tiga jenis mekanisme penghambat: penghentian siklus sel sementara (disebut quiescence), menginduksi penghentian permanen silus sel (disebut senescence), atau memicu kematian sel terprogram (disebut apoptosis). Apabila Rb merasakan (sense) adanya sinyal eksternal, p53 dapat dipandang sebagai pusat pengamat stres internal dan mengarahkan sel yang mengalami stres untuk memilih salah satu dari tiga jalur. Berbagai stres dapat memicu jalur respons p53, termasuk anoksia, aktivitas onkoprotein yang tidak tepat (misalnya MYC atau RAS), dan merusak integritas DNA. Dengan mengatur respons terhadap kerusakan DNA, p53 mempunyai peran



sentral untuk mempertahankan integritas genom, sebagai akan dibicarakan berikut. Pada sel tanpa stres (sel sehat), p53 mempunyai usia paruh waktu yang singkat (20 menit) karena berhubungan dengan MDM2, yaitu protein yang mempunyai target merusak p53. Apabila sel mengalami stres, misalnya, gangguan pada DNA, "sensor" yang termasuk protein kinase seperti ATM (ataxia telangiectasia mutated) akan diaktifkan. Kompleks yang teraktifkan akan mengkatalisis modifikasi p53pasca translasi yang dikeluarkan dari MDM2 dan akan meningkatkan waktu paruh serta meningkatkan kemampuan untuk mentranskripsi gen target. Transkripsi beberapa ratus gen yang terjadi karena dipicu p53 telah ditemukan. Gen tersebut akan melakukan penghambatan transformasi neoplastik melalui tiga mekanisme: • Penghentian siklus sel yang dipicu-p53 dapat dianggap sebagai respons pertama terhadap kerusakan DNA (Gambar 5-23). Hal ini terjadi pada fase Gl lanjut dan disebabkan terutama oleh transkripsi p53 yang bergantung pada gen CDKI CDKN1A (p21). Protein p21, sebagaimana yang dibahas sebelumnya, menghambat kompleks siklinCDK dan mencegah fosforilasi Rb, sehingga sel akan berhenti pada fase Penghentian



185



186 BAB 5



Neoplasia Radiasi pegion Karsinogen Mutagen



Sel dengan mutasi atau kehilangan p53



Sel normal (p53 normal)



Kerusakan DNA



Hipoksia



Kerusakan DNA



p53 yang teraktifkan dan mengikat DNA



Gen yang dependen dengan p53 tidak teraktifkan Tidak terjadi perbaikan DNA, tidak terjadi senescence Sel mutan



Tidak ada penghentian siklus sel



Pengaruh pada target yang bergantung dan tidak bergantung pada transkripsi



Senescence



p21 (inhibitpor CDK)



GADD45 (perbaikan DNA)



Penghentian G1 Perbaikan berhasil



Sel normal



BAX (gen apoptosis)



Mutasi meluas dan bertambah



Perbaikan gagal



Apoptosis



Tumor ganas



Gambar 5-23 Peran p53 untuk mempertahankan integritas genom. Pengaktifan p53 normal oleh agen perusak DNA atau oleh hipoksia akan mengakibatkan siklus sel terhenti pada G1 dan terjadi induksi perbaikan DNA melalui peningkatan transkripsi gen dari inhibitor cyclindependent kinase CDKN I A (p2 I) dan gen GADD45. Perbaikan DNA yang berhasil memungkinkan sel meneruskan siklus sel; apabila perbaikan DNA gagal, p53 akan memicu apoptosis atau senescence. Pada sel yang kehilangan atau mengalami mutasi dari TP53, maka kerusakan DNA tidak akan menginduksi berhentinya siklus sel atau perbaikan DNA dan sel dengan kerusakan genetik akan tetap berproliferasi, untuk kemudian tumbuh menjadi neoplasma ganas.



tersebut bermanfaat, sebab sel mempunyai waktu untuk memperbaiki kerusakan DNA. Protein p53 juga menginduksi ekspresi gen perbaikan kerusakan DNA. Apabila kerusakan DNA berhasil diperbaiki, p53 akan mengatur lebih lanjut transkripsi, sehingga destruksi p53 dan penghambatan siklus sel ditiadakan. Apabila kerusakan tidak dapat diperbaiki, sel akan memasuki penghentian permanen yang dipicu p53 atau mengalami apoptosis yang diarahkan oleh p53. • Penghentian permanen yang dipicu p53 merupakan penghentian siklus sel yang permanen, ditandai dengan kelainan morfologi dan ekspresi gen yang khas yang dapat membedakannya dengan quiescence atau penghentian reversibel siklus sel. Penghentian permanen (senescence) membutuhkan pengaktifan p53 dan/ atau Rb dan ekspresi mediatornya, misalnya CDKI. Mekanisme penghentian permanen tidak jelas tetapi melibatkan perubahan kromatin menyeluruh, yang secara drastis dan permanen mengubah ekspresi gen.



• Apoptosis yang diinduksi oleh p53 pada sel dengan kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki lagi merupakan mekanisme terakhir untuk mencegah transformasi neoplastik. Hal ini terjadi akibat campur tangan beberapa gen proapoptotik misalnya BAX dan PUMA (akan dibicarakan kemudian). Sampai saat ini diperkirakan bahwa fungsi gen p53 yang dibantu secara eksklusif oleh gen yang mengaktifkan transkripsi yang berfungsi sebagai antiproliferasi, apoptosis dan penghentian permanen, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya. Tetapi hal ini menjadi tidak jelas, setelah diketahui bahwa p53 adalah bagian (subset) gen pro-proliferatif dan antiapoptotik. Bagaimana mungkin gen p53, suatu pengaktif transkripsi bisa melakukan fungsi represi? Jawaban didapat dari penemuan bahwa gen p53 dapat mengaktifkan transkripsi beberapa miRNA (orang kecil dengan kekuasaan besar). Sebagaimana akan dibahas pada Bab 6, miRNA dapat mencegah translasi gen targetnya. miRNA yang diaktifkan oleh p53 dapat menghambat translasi gen proproliferatif seperti siklin dan gen antiapoptotik misalnya BCL2.



Tanda Khas Kanker Sebagai kesimpulan, p53 akan diaktifkan oleh stres seperti kerusakan DNA dan membantu perbaikan DNA dengan menghentikan G1 dan menginduksi gen perbaikan DNA. Suatu sel dengan kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki akan diarahkan oleh p53 untuk memasuki penghentian permanen (senescence) atau terjadi apoptosis (Gambar 5-25). Berdasarkan aktivitas di atas, p53 disebut sebagai penjaga genom (guardian of the genome). Dengan hilangnya gen homozigot TP53, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, mutasi akan menetap pada sel yang sedang membelah, dan sel memasuki jalan satu arah menuju transformasi keganasan. Memastikan pentingnya TP53 dalam mengatur karsinogenesis, lebih dari 70% kanker manusia mempunyai defek pada gen ini, dan neoplasma lainnya mempunyai defek pada gen di hulu atau di hilir dari TP53. Kehilangan kedua alel gen TP53 sebenarnya dijumpai pada tiap kanker, termasuk karsinoma paru, usus besar, dan payudara—tiga penyebab kematian utama pada kanker. Pada sebagian besar kasus, mutasi pada kedua alel TP53 pada sel somatik tidak aktif. Agak jarang, beberapa pasien mewarisi satu alel mutan TP53; mengakibatkan suatu penyakit yang disebut sindrom LiFraumeni. Sebagaimana juga gen RB, pewarisan satu alel mutan akan mengakibatkan kecenderungan terjadinya tumor ganas karena hanya satu "hit" tambahan yang dibutuhkan untuk tidak mengaktifkan alel kedua, yang normal. Pasien dengan sindrom Li-Fraumeni mempunyai kemungkinan 25 kali lipat untuk terjadinya tumor ganas pada usia 50 dibanding dengan populasi umum. Berbeda dengan tumor yang terbentuk pada pasien yang mewarisi alel RB mutan, spektrum tumor yang terbentuk pada pasien dengan sindrom Li-Fraumeni beraneka ragam; tersering ialah sarkoma, kanker payudara, leukemia, tumor otak, dan karsinoma korteks adrenal. Dibandingkan dengan pasien yang didiagnosis tumor sporadik, pada pasien dengan sindrom Li-Fraumeni tumor akan muncul pada usia lebih muda dan dapat timbul tumor primer multipel. Seperti protein Rb, p53 normal bisa menjadi nonfungsional akibat virus DNA tertentu. Protein yang disandi HPV onkogen, virus hepatitis B (HBV), dan kemungkinan virus Epstein-Barr (EBV) dapat berikatan dengan p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Jadi virus DNA dapat menghilangkan dua dari supresor tumor yang paling dikenal, Rb dan p53.



RINGKASAN Gen TPS53: Penjaga Genom •







• •



Protein p53 merupakan monitor stres sentral pada sel dan dapat diaktifkan melalui anoksia, sinyal onkogen yang tidak tepat, atau kerusakan DNA. p53 yang telah diaktifkan mengatur ekspresi dan aktivitas gen yang terlibat dalam penghentian siklus sel, perbaikan DNA, penghentian permanen, dan apoptosis. Kerusakan DNA akan mengakibatkan pengaktifan p53 melalui fosforilasi. p53 yang teraktifkan akan menyebabkan transkripsi CDKNIA (p21), yang mencegah fosforilasi Rb, dengan akibat penghentian G1-S pada siklus sel. Penghentian ini memungkinkan sel memperbaiki kerusakan DNAnya. Apabila kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, p53 akan menginduksi penghentian permanen (senescence) sel atau apoptosis. Pada tumor manusia menunjukkan hilangnya 70% alel ganda pada TP53. Pasien dengan sindrom Li-Fraumeni mewarisi satu kopi detektif pada garis germinal dan



187



kehilangan yang kedua pada jaringan somatik: pada individu tersebut dapat timbul berbagai jenis tumor. • Seperti Rb, p53 tidak berfungsi apabila berikatan dengan protein yang telah disandi oleh virus DNA onkogenik seperti HPV.



Mengubah Jalur Faktor Pertumbuhan P Walaupun telah banyak yang diketahui tentang sistem penghentian siklus sel, namun molekul yang mentransmisi sinyal antiproliferatif pada sel agak kurang dikenal. Paling dikenal ialah TGF-β, salah satu dari keluarga faktor pertumbuhan dimerik termasuk protein morfogenetik tulang dan aktivin. Pada sebagian besar epitel, endotel, dan sel hematopoietik normal, TGF-β merupakan inhibitor proliferasi yang poten. TGF-β mengatur proses dalam sel dengan berikatan dengan kompleks yang terdiri atas reseptor I dan II TGF-β. Dimerisasi reseptor melalui ikatan ligan yang akan menimbulkan kaskade kejadian yang menghasilkan pengaktifan transkripsi CDKI berupa aktivitas supresi pertumbuhan dan juga represi gen pemicu pertumbuhan seperti MYC, CDK2, CDK4, dan gen yang menyandi siklin A dan E. Pada banyak jenis kanker, efek penghambat pertumbuhan pada jalur TGF-β diganggu oleh mutasi yang mengenai sinyal TGFβ. Mutasi ini akan mengubah reseptor TGF-β tipe II atau molekul SMAD yang bertugas untuk meneruskan sinyal antiproliferasi dari reseptor ke inti sel. Mutasi yang mengenai reseptor tipe II ditemukan pada kanker usus besar, lambung, dan endometrium. Inaktivasi mutasi pada SMAD4, 1 di antara 10 protein yang diketahui terlibat pada pemberian sinyal TGF-β, sering dijumpai pada kanker pankreas. Pada 100% kanker pankreas dan 83 % kanker usus besar, sedikitnya satu komponen dari jalur TGF-β mengalami mutasi. Namun, pada banyak kanker, hilangnya pengaturan pertumbuhan yang dipicu-TGF-β terjadi pada tingkat hilir dari jalur sinyal utama, contohnya, hilangnya p21 dan/ atau ekspresi MYC yang persisten. Sel tumor ini akan memakai elemen lain dari program yang dinduksi-TGF-β termasuk supresi sistem imun menghindari atau mempromosi angiogenesis, untuk memfasilitasi perkembangan tumor. Jadi, TGF-β dapat berfungsi untuk mencegah atau meningkatkan pertumbuhan tumor, tergantung pada status gen lain di dalam sel. Memang pada banyak tumor stadium akhir, sinyal TGF-β mengaktifkan transisi epitel ke mesenkim (EMT), suatu proses yang meningkatkan migrasi, invasi, dan metastasis, sebagaimana akan dibahas kemudian.



Inhibisi Kontak, NF2, dan APC Apabila dilakukan kultur pada sel non transformasi, akan terjadi proliferasi sehingga timbul satu lapisan sel yang saling berhubungan; kontak antar sel yang terjadi pada satu lapis ini akan menekan proliferasi selanjutnya. Penting diketahui bahwa, inhibisi kontak (contact inhibition) ini akan hilang pada sel kanker, sehingga sel bisa berada di atas sel yang lain. Mekanisme yang mengatur inhibisi kontak sekarang baru diketahui. Kontak antar sel pada berbagai jaringan dimediasi oleh interaksi homodimerik antara protein transmembran yang disebut kadherin. E-kadherin (E untuk epitel) melaksanakan mediasi kontak antar sel dilapisan epitel. Bagaimana E-kadherin mempertahankan inhibisi kontak normal belum semuanya diketahui. Satu mekanisme yang mempertahankan inhibisi kontak adalah dimediasi oleh gen tumor supresor NF2. Produksinya, neurofibromin-2, lebih sering disebut merlin, memfasilitasi pemicu kontak inhibisi E-kadherin. Hilangnya homozigot NF2 diketahui akan menyebabkan suatu jenis tumor saraf yang berhubungan dengan kondisi yang disebut neurofibromatosis.



188



BAB 5



Neoplasia



Ada mekanisme lain kegiatan regulasi E-kadherin. Salah satu mekanisme itu dipaparkan oleh penyakit herediter yang jarang yaitu adenomatous polyposis coli (APC). Karakteristik kelainan ini ialah pertumbuhan beberapa polip adenomatosa di usus besar dan mempunyai kecenderungan tinggi untuk bertransformasi menjadi kanker usus besar. Penyakit ini selalu menunjukkan hilangnya gen supresor tumor yang disebut APC (nama peyakit itu). Gen APC memberikan efek anti-proliferasi dengan cara yang berlainan dari biasanya. Gen itu akan menyandi protein sitoplasma yang fungsi utamanya adalah mengatur kadar β-katenin intrasel, suatu protein dengan banyak fungsi. Satu fungsi β-katenin ialah mengikat bagian sitoplasma E-kadherin; fungsi lain ialah mampu pindah ke inti sel dan mengaktifkan proliferasi sel. Perhatian terutama pada fungsi terakhir protein ini, βkatenin merupakan komponen penting dari yang disebut jalur sinyal WNT yang mengatur proliferasi sel (digambarkan pada Gambar 5-24). WNT merupakan faktor yang larut dalam air yang dapat menginduksi proliferasi sel. Hal ini bisa terjadi melalui ikatan dengan reseptor dan mentransmisi sinyal yang mencegah degradasi β-katenin, sehingga bisa pindah ke inti sel, dan akan bekerja sebagai pengaktif transkripsi bersama dengan dengan molekul lain, yang disebut TcF (Gambar 5-24, B). Pada sel yang tenang (quiescent), yang tidak terekspose dengan WNT, β-katenin sitoplasmik akan didegradasi oleh destruction complex,



di mana APC menjadi bagian integral (Gambar 5-24, A). Dengan hilangnya APC (pada sel ganas), degradasi β-katenin tidak terjadi, dan respons terhadap sinyal WNT diaktifkan secara tidak tepat tanpa adanya WNT (Gambar 5-24, C). Hal ini akan mengakibatkan transkripsi gen pemicu pertumbuhan, seperti siklin D1 dan MYC, juga regulator transkripsi, misalnya TWIST dan SLUG, yang akan melakukan represi ekspresi E-kadherin dan dengan demikian mengurangi inhibisi kontak. APC bersifat sebagai suatu gen supresor tumor biasa. Seorang yang lahir dengan satu mutan alel biasanya mempunyai ratusan hingga ribuan polip adenomatosa pada usus besarnya saat usia remaja hingga usia 20 travel; polip ini menunjukkan hilangnya alel APC lainnya. Hampir pasti, satu atau lebih polip akan mengalami transformasi keganasan, dan akan dibicarakan kemudian. Mutasi APC tampak 70% hingga 80% pada kanker usus besar jenis sporadik. Kanker usus besar yang mempunyai gen APC normal menunjukkan aktivitas mutasi β-katenin yang memberikan massa refrakter pada proses degradasi APC.



RINGKASAN Transforming Growth Factor-β dan Jalur APC-βKatenin • TGF-β menghambat proliferasi berbagai tipe sel dengan mengaktifkan gen penghambat pertumbuhan seperti CDKI dan menahan gen pemicu pertumbuhan seperti MYC dan gen yang menyandi siklin.



WNT



Reseptor WNT E-kadherin



APC Sinyal



Kompleks destruksi



b-Katenin



APC APC



b-Katenin



TCF



A



Tidak berproliferasi



b-Katenin



TFC



B



Proliferasi



TCF



C



Proliferasi



Gambar 5-24 A—C, Peran APC dalam mengatur stabilitas dan fungsi β-katenin. APC dan β-katenin merupakan komponen jalur sinyal WNT. Pada sel yang istirahat (tidak terpajan pada WNT), β-katenin membentuk kompleks makromolekul yang mengandungi protein APC. Kompleks ini menyebabkan destruksi β-katenin, dan kadar β-katenin intrasel rendah. Apabila sel dirangsang oleh sekresi molekul WNT, kompleks destruksi tidak diaktifkan, degradasi β-katenin tidak terjadi, sehingga kadar dalam sitoplasma meningkat. β-Katenin melakukan translokasi ke inti, dan akan mengikat TCF, suatu faktor transkripsi yang mengaktifkan beberapa gen yang terlibat dalam siklus sel.Apabila terjadi mutasi atau hilangnya APC, detruksi β-katenin tidak bisa terjadi. β-Katenin akan masuk ke inti dan terjadi pengaktifan gen yang memicu siklus sel, dan sel bertindak seperti selalu berada dalam stimulasi jalur WNT.



Tanda Khas Kanker •



• •







Fungsi TGF-β bisa bersahabat pada banyak tumor, karena terjadi mutasi pada reseptornya (usus besar, lambung, endometrium) atau karena terjadi mutasi pada gen SMAD sehingga kehilangan fungsinya sebagai penerus sinyal TGF-β (pankreas). E-kadherin mempertahankan inhibisi kontak, yang hilang pada sel ganas. Gen APC melaksanakan kegiatan antiproliferasi dengan mengatur destruksi protein sitoplasmik β-katenin. Dengan hilangnya APC, β-katenin tidak dirusak, dan akan terjadi translokasi ke inti sel, dan akan berfungsi sebagai faktor transkripsi pemicu pertumbuhan. Pada sindrom poliposis adenomatosa familial, pewarisan mutasi pada garis germinal gen APC dan hilangnya alel normal utama secara sporadik akan mengakibatkan timbulnya ratusan polip usus besar pada usia muda. Tidak dapat dihindarkan, satu atau lebih dari polip ini akan berkembang menjadi kanker usus besar. Hilangnya kedua alel gen APC secara somatik ditemukan pada 70% kanker usus besar.



FasL 1



Stres Radiasi Bahan kimia



Fas (CD95)



rADD



22 Kematian yang diinduksi oleh sekelompok sinyal



Kaspase-8



Kerusakan DNA



4 Respons p53



Prokaspase8



BID



BAX/BAK 3



Mitokondria



Menghindari Kematian Sel Sebagaimana sudah dibicarakan pada Bab 1, apoptosis, atau kematian sel terprogram, merupakan kegiatan merombak sel secara teratur menjadi bagian komponen komponen yang dapat dikonsumsi dan dikeluarkan oleh sel sekitarnya. Sekarang telah dapat dipastikan bahwa akumulasi sel neoplastik bisa terjadi bukan hanya oleh pengaktifan onkogen pemicu pertumbuhan atau menginaktifkan gen supresor tumor yang melakukan supresi petumbuhan tetapi juga bisa akibat mutasi gen yang mengatur apoptosis. Jalur apoptosis dapat dibagi dalam pengatur (regulators) di hulu dan pelaksana (effectors) hilir. Pengatur dibagi menjadi menjadi dua jalur utama, satu jalur menginterpretasi sinyal ekstrasel atau ekstrinsik dan jalur lainnya menginterpretasi sinyal intrasel. Stimulasi salah satu jalur akan mengaktifkan protease yang inaktif dalam keadaan normal (kaspase-8 atau kaspase-9), yang akan menginisiasi kaskade proteolitik termasuk kaspase executioner yang akan menghancurkan sel dengan cara teratur. Sisa-sisa sel akan dikonsumsi secara efisien oleh sel sekitarnya dan fagosit profesional, tanpa menimbulkan reaksi radang. Gambar 5-25 menunjukkan secara sederhana, urutan kejadian yang menuju pada apoptosis oleh sinyal melalui reseptor kematian, yang merupakan anggota keluarga reseptor TNF (jalur ekstrinsik), dan melalui kerusakan DNA dan stres lain (jalur intrinsik) • Jalur ekstrinsik (reseptor kematian) diinisiasi apabila reseptor TNF, seperti CD95 (Fas), melekat pada ligannya, CD95L, sehingga terjadi trimerisasi reseptor dan domain kematian sitoplasmik, yang akan mengikat protein adaptor intrasel FADD. Protein ini merekrut prokaspase-8 untuk membentuk kompleks sinyal induksi kematian. Prokaspase-8 diaktifkan oleh adanya pembelahan menjadi subunit yang lebih kecil, menghasilkan kaspase-8. Kaspase 8 kemudian mengaktifkan kaspases hilir seperti kaspase-3, suatu kaspase eksekutor yang memecah DNA dan substrat lain sehingga mengakibatkan kematian sel. • Jalur intrinsik (mitokondria) apoptosis dipicu oleh berbagai stimulus, termasuk hilangnya faktor ketahanan, stres, dan jejas. Pengaktifan jalur ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran luar mitokondria dan keluarnya molekul, seperti sitokrom c, yang menginisiasi apoptosis.



5



BCL-2 BCL-XL



Sitokrom c • APAF-1 Kaspase-9



Kaspase-3



IAP 6



Substrat kematian Apoptosis



Gambar 5-25 Skema sederhana dari apoptosis dan mekanisme yang dipakai oleh sel tumor untuk terhindar dari kematian sel yang dipicu oleh reseptor CD95 dan kerusakan DNA: I, Kadar CD95 yang turun. 2, Penginaktifan kompleks sinyal penginduksi kematian oleh protein FLICE. 3, Keluarnya sitokrom c dari mitokondria berkurang sebagai akibat dari peningkatan BCL2. 4, Kadar yang menurun dari pro-apoptotik BAX mengakibatkan hilangnya p53. 5, Hilangnya APAF- 1. 6, peningkatan dari inhibitor apoptosis.



Integritas membran luar mitokondria diatur oleh anggota keluarga pro-apoptotik dan anti-apoptotik protein BCL2. Protein pro-apoptotik BAX dan BAK dibutuhkan untuk apoptosis dan langsung meningkatkan permeabilitas mitokondria. Protein-protein ini akan dihambat oleh anggota anti-apoptotik dari kelompok ini yaitu BCL2 dan BCL-XL. Protein kelompok ketiga yang disebut protein hanya-BH3, yang meliputi BAD, BID, dan PUMA, berperan mengatur keseimbangan antara anggota pro dan anti-apoptotik dari keluarga BCL2. Proteinhanya-BH3 melakukan apoptosis dengan menetralkan kerja protein anti-apoptotik seperti BCL2 dan BCL-XL. Apabila ekspresi seluruh protein BH3 "sangat melebihi" rintangan protein anti-apoptotik BCL2/ BCLXL, maka BAX dan BAK akan diaktifkan dan membentuk pori pada membran mitokondria. Sitokrom c akan masuk ke dalam sitosol, dan akan berikatan dengan APAF-1 dan mengaktifkan kaspase-9. Seperti kaspase-8 dari jalur ekstrinsik, kaspase-9 akan membelah dan mengaktifkan eksekutor kaspase. Kaspase bisa dihambat oleh sekelompok protein penghambat apoptosis (IAP). Karena efek pro-



189



190



BAB 5



Neoplasia (misalnya kerusakan DNA), maka sel akan mengalami apoptosis atau autofagia yang diinduksi Beclin-1. Jadi autofagia, sebagai analog dengan apoptosis, ternyata mencegah pertumbuhan sel tumor. Kemudian, pada pertumbuhan tumor, autofagia bermanfaat untuk tumor. Metabolit yang dihasilkan oleh autofagia dapat menjadi bahan bangunan untuk pertumbuhan dan bertahan hidup pada lingkungan dengan nutrisi buruk di tempat tumor berada. Memang, autofagia dapat meningkatkan ketahanan hidup tumor pada lingkungan yang tidak menguntungkan atau selama pengobatan. Jadi autofagia bisa menjadi teman atau lawan, bergantung pada faktor internal dan eksternal lain.



apoptotik dari protein hanya-BH3, maka dilakukan upaya membuat obat mirip BH3 untuk meningkatkan kematian sel tumor. Dalam kerangka kerja ini, dimungkinkan untuk menggambarkan berbagai tempat di mana apoptosis diganggu oleh sel kanker (Gambar 5-25). Mungkin yang sudah diketahui dengan baik ialah peran BCL2 dalam melindungi sel tumor dari apoptosis. Sekitar 85% limfoma sel B jenis folikuler (Bab 11) membawa translokasi khas t(14;18) (q32;q21). Seperti sudah dibahas sebelumnya, 14q32, adalah lokus kromosom untuk gen imunoglobulin rantai berat yang juga berperan pada patogenesis limfoma Burkitt. Juxta posisi lokus yang aktif melakukan transkripsi dengan BCL2 (terletak di 18q21) menyebabkan ekspresi protein BCL2 berlebihan. Jumlah berlebihan ini kemudian akan mengakibatkan bufer terhadap BCL2/BCL-XL, sehingga limfosit terlindung dari apoptosis dan dapat bertahan untuk waktu panjang; sehingga terjadi akumulasi limfosit B, yang mengakibatkan limfadenopati dan infiltrasi pada sumsum tulang. Karena limfoma dengan ekspresi BCL-2 berlebihan timbul sebagian besar akibat menurunnya kematian sel dan bukan karena proliferasi sel yang berlebihan, maka sifatnya indolen (tumbuh lambat) dibandingkan dengan limfoma lain. Pada beberapa keadaan, penurunan jumlah CD95 dapat mengakibatkan tumor kurang peka terhadap apoptosis yang dilakukan oleh ligan Fas (FasL). Beberapa tumor mempunyai banyak FLIP, suatu protein yang dapat mengikat kompleks sinyal yang menginduksi kematian dan mencegah pengaktifan kaspase 8. Seperti dibahas sebelumnya, TP53 merupakan gen proapoptotik penting yang menginduksi apoptosis pada sel yang tidak berhasil memperbaiki kerusakan DNAnya. Demikian pula, kerja yang tidak terkendali dari gen pemicu pertumbuhan seperti MYC akan mengakibatkan apoptosis. Jadi, kedua jalur yang mengarah untuk jadi tumor (oncogenic) utama-ketidakmampuan untuk memperbaiki kerusakan DNA dan pengaktifan onkogen yang tidak tepat akan bersatu sebagai mesin apoptosis, dan akan menyebabkan kematian sel, atau berfungsi sebagai penghalang utama untuk terjadinya karsinogenesis



Autofagia Seperti dibahas pada Bab 1, autofagia merupakan proses katabolik utama yang akan membuat keseimbangan antara sintesa, degradasi, dan daur ulang produk sel. Selama autofagia, organel sel seperti ribosom dan mitokondria, akan dipisahkan dari bagian sel lainnya, melalui suatu membran (autophagosome) dan kemudian akan berfusi dengan lisosome, selanjutnya akan terjadi degradasi dan dimanfaatkan untuk pembentukan energi sel. Proses yang sama akan memberi sinyal sel akan mati apabila tidak dapat ditolong oleh organel daur ulang. Proses ini sangat ketat dan teratur berperan penting pada fungsi sel normal, dan dapat menolong sel yang kelaparan memindahkan nutrisi dari sel yang tidak memerlukan ke sel yang masih vital. Autofagi, seperti apoptosis, menyerupai mekanisme mesin yang teratur dan efektif. Komponen efektor terdiri atas protein yang akan membentuk autofagosome dan menunjukkan isinya ke lisosom. Tidak mengherankan, komponen regulator autofagia tumpang tindih dengan berbagai komponen sinyal yang mengatur apoptosis. Contohnya, protein, Beclin-1, dibutuhkan untuk autofagia, termasuk dalam domain BH3 mengandungi protein yang dibutuhkan untuk mengatur apoptosis. Apabila sel merasakan ada stres internal



RINGKASAN Menghindari Kematian Sel • • •



• •



Apoptosis dapat diinisiasi melalui jalur ekstrinsik atau intrinsik. Kedua jalur akan mengakibatkan pengaktifan kaskade proteolitik dari kaspase yang akan menghancurkan sel. Permeabilitas membran luar mitokondria diatur oleh keseimbangan antara molekul pro-apoptosis (misalnya BAX, BAK) dan molekul anti-apoptosis (BCL2, BCL-XL). Molekul BH3 hanya mengaktifkan apoptosis dengan mengubah keseimbangan sehingga menguntungkan molekul pro-apoptosis. Pada 85% limfoma sel B jenis folikuler, gen anti-apoptosis BCL2 diaktifkan oleh translokasi t(14;18). Stres bisa menginduksi sel untuk mengkonsumsi komponennya dalam proses yang disebut autofagia. Sel kanker mengakumulasi mutasi untuk menghindari autofagia, atau mengubah proses untuk memperoleh bagian bagi kelangsungan pertumbuhan.



Potensi Replikasi tanpa Batas Sebagai dibahas sebelumnya dalam kaitan penuaan sel (Bab 1) umumnya sel manusia normal mempunyai kapasitas penggandaan 60 hingga 70 kali. Sesudahnya sel kehilangan kemampuan untuk membelah dan masuk waktu penghentian permanen. Fenomena ini terjadi akibat pemendekan progresif telomer pada ujung kromosom. Konsekuensi dari pemendekan itu, akan memberi gambaran drastis: • Telomer yang pendek agaknya diketahui oleh mesin perbaikan DNA sebagai pecahnya untai ganda DNA, mengakibatkan berhentinya siklus sel dan penghentian permanen, dipicu oleh TP53 dan RB. Pada sel yang tempat pemeriksaannya tidak mampu bekerja akibat mutasi TP53 atau RB, maka jalur penghubung ujung nonhomolog akan diaktifkan sebagai tindakan terakhir untuk menolong sel, dengan penggabungan kedua ujung kromosom yang memendek. • Pengaktifan sistem perbaikan yang kurang tepat ini menghasilkan kromosom disentrik yang akan terpisah pada anafase, dan mengakibatkan pecahnya DNA untai ganda yang baru. Akibat tidak stabilnya genom oleh siklus bridgefusion-breakage yang berulang mengakibatkan bencana mitosis berupa apoptosis masif yang khas. Selanjutnya agar tumor bisa tumbuh tanpa batas, seperti yang biasanya terjadi, hilangnya penghambat pertumbuhan tidak mencukupi. Sel tumor harus juga berupaya untuk menghindari penghentian permanen dan bencana mitosis (Gambar 5-26)



Tanda Khas Kanker Apabila sel selama krisis mampu mengaktifkan telomerase, maka siklus bridge-fusion-breakage akan berhenti, dan sel mampu mencegah kematian. Namun, apabila gen-gen tidak stabil terjadi pengaktifan telomerase, bisa terjadi akumulasi sejumlah mutasi, yang mendorong sel menuju keganasan. Telomerase, yang aktif dalam sel punca normal, biasanya tidak dijumpai atau dijumpai dalam jumlah sedikit pada sebagaian besar sel somatik. Sebaliknya telomer selalu ditemukan pada hampir seluruh jenis kanker. Pada 85% hingga 95% kanker, hal ini terjadi karena upregulasi enzim telomerase. Beberapa tumor memakai mekanisme lain, yang disebut pilihan sementara pemanjangan telomer,yang kemungkinan bergantung pada rekombinasi DNA. Menarik perhatian, pada penelitian tentang perkembangan adenoma kolon menjadi karsinoma kolon, lesi awal menunjukkan gen-gen tidak stabil dan ekspresi telomerase rendah, sedangkan lesi ganas menunjukkan adanya kompleks kariotipe dengan aktivitas telomerase tinggi, konsisten dengan model tumorigenesis yang dipicu oleh telomer pada kanker manusia. Agaknya, pada model ini, proliferasi yang tidak teratur pada tumor yang baru jadi akan menuju pada pemendekan telomer, diikuti oleh tidak stabilnya kromosom dan akumulasi mutasi. Apabila telomerase kemudian diaktifkan lagi pada sel ini, telomer akan memanjang dan mutasi menjadi tetap, mengakibatkan tumor makin tumbuh. Beberapa mekanisme lain pada genom yang tidak stabil akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Kemampuan Membelah Tanpa Batas •











Pada sel normal, yang tidak mempunyai ekspresi telomerase, telomer yang memendek akibat pembelahan sel, akan mengaktifkan tempat pemeriksaan, mengakibatkan penghentian perkembangan permanen dan membatasi jumlah pembelahan sel yang dapat terjadi. Pada sel dengan tempat pemeriksaan yang tidak berfungsi, jalur perbaikan DNA akan diaktifkan secara tidak tepat oleh telomer yang telah menjadi pendek, dan akan mengakibatkan tidak stabilnya seluruh kromosom dan krisis mitosis. Sel tumor akan melakukan pengaktifan ulang telomerase, sehingga mencegah bencana mitosis dan sel menjadi tidak mati.



Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus Walaupun dengan kemudahan pertumbuhan sebagaimana dibahas sebelumnya, diameter tumor tidak dapat membesar lebih dari 2 mm, kecuali tumor tersebut memperoleh vaskularisasi (pertumbuhan pembuluh darah). Seperti jaringan normal, tumor juga membutuhkan oksigen dan nutrisi serta pengeluaran sisa metabolisme; zona sampai 2 mm agaknya menggambarkan jarak maksimal di mana oksigen, nutrisi dan sisa metabolisme dapat menyusup dari pembuluh darah. Sel kanker (dan tumor jinak yang besar) bisa



Metafase



Telomerase inaktif



Kromosom disentrik



Telomer yang memendek



—p53 Pengaktifan jalur penyelamatan dan penggabungan sisa dan ujung akhir yang non-homolog



Replikasi multipel (50-70)



+p53



Anafase



Siklus penghancuranpencampuranpenggabungan



Pengaktifan tempat pemeriksaan dan penghentian permanen



Patahan untai ganda baru —Telomerase



+Telomerase



Bencana mitosis



Sel diam permanen



191



KANKER



Gambar 5-26 Urutan kejadian pada timbulnya potensi replikasi yang tidak terkendali. Replikasi sel somatik, yang tidak mengekspresi telomerase, akan mengakibatkan telomer memendek. Adanya tempat pemeriksaan yang kompeten, maka sel akan mengalami saat berhenti dan memasuki keadaan senescence yang tidak bereplikasi. Apabila tidak ada tempat pemeriksaan, jalur perbaikan DNA diaktifkan secara tidak tepat, mengakibatkan terbentuknya kromosom desentrik. Pada mitosis, terjadi pemisahan kromosom desentrik, menimbulkan patahnya untai ganda secara acak, yang kemudian mengaktifkan jalur perbaikan DNA, dan menyebabkan hubungan kedua ujung untai ganda dan terbentuknya lagi, kromosom desentrik. Sel mengalami pengulangan siklus bridge—fusion—breakage, yang akan menghasilkan kromosom tidak stabil yang masif dan banyak mutasi. Apabila sel gagal melakukan reekspresi telomerase, akan terjadi bencana dalam mitosis dan kematian. Reekpresi dari telomerase memungkinkan sel menghindari siklus bridge—fusion—breakage, sehingga meningkatkan ketahanan dan tumorigenesis.



192



BAB 5



Neoplasia



merangsang pembentukan pembuluh darah baru berupa timbulnya tunas pembuluh darah dari kapiler yang telah ada, atau pada bebarapa kasus, terjadi vaskulogenesis, di mana sel endotel akan diperoleh dari sumsum tulang. Namun vaskularisasi tumor abnormal. Pembuluh darah mudah bocor dan melebar serta saling berhubungan secara tidak teratur. Neovaskularisasi mempunyai efek ganda pada pertumbuhan tumor: untuk suplai perfusi dibutuhkan nutrisi, dan oksigen, dan sel endotel yang baru terbentuk dapat merangsang pertumbuhan sel tumor didekatnya dengan mengeluarkan faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan mirip insulin, PDGF, dan faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag. Angiogenesis dibutuhkan tidak hanya untuk pertumbuhan tumor selanjutnya tetapi juga untuk masuk ke saluran pembuluh darah dan selanjutnya untuk metastasis. Angiogenesis merupakan korelasi biologis yang sangat dibutuhkan oleh neoplasia, baik jinak maupun ganas. Bagaimana cara tumor yang sedang berkembang membentuk cadangan darah? Paradigma yang muncul ialah bahwa angiogenesis diatur oleh keseimbangan antara faktor pro-angiogenik dan faktor inhibisi angiogenik. • Contoh penginduksi dan penginhibisi angiogenesis ialah faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan thrombospondin-1 (TSP-1). Pada awal pertumbuhan, sebagian besar tumor manusia tidak menginduksi angiogenesis. Tumor tetap kecil atau in-situ selama beberapa tahun sampai tombol pengatur angiogenesis mengakhiri masa tenang vaskular ini. P53 normal akan menginduksi sintesa TSP-1. • Dasar molekuler dari tombol angiogenesis meliputi produksi faktor angiogenik yang bertambah dan atau hilangnya inhibitor angiogenesis. Faktor ini mungkin diproduksi langsung oleh sel tumor sendiri atau oleh sel radang (misalnya makrofag) atau sel stroma lain yang berhubungan dengan tumor. • Protease, dihasilkan oleh sel tumor langsung atau dari sel stroma sebagai respons terhadap tumor, juga terlibat dalam pengaturan keseimbangan antara faktor angiogenik dan faktor anti-angiogenik. Banyak protease dapat melepaskan dasar FGF angiogenik yang tersimpan dalam matriks ekstraseluler (ECM); sebaliknya, tiga inhibitor angiogenesis poten yaitu—angiostatin, endostatin, dan vaskulostatin adalah—diproduksi oleh lepasnya plasminogen, kolagen, dan transthyretin, proteolitik. Sebaliknya TSP-1, dihasilkan oleh stroma fibroblas sendiri sebagai respons terhadap sinyal dari sel tumor. • Tombol angiogenik diatur oleh berbagai stimulus fisiologis, misalnya hipoksia. Kekurangan oksigen relatif akan merangsang produksi berbagai jenis sitokin proangiogenik, seperti faktor pertumbuhan endotel (VEGF), melalui pengaktifan hypoxia inducible factor-1α (HIF-1α), yang merupakan faktor transkripsi yang sensitif terhadap oksigen. HIF-1α selalu diproduksi, tetapi dalam situasi normotik protein von Hippel-Lindau (VHL) akan mengikat HIF-1α, mengakibatkan terjadinya destruksi HIF-1α. • Pada keadaan hipoksia, seperti misalnya tumor yang sangat besar, kekurangan oksigen mencegah pengenalan HIF-1α oleh VHL, dan tidak akan dirusak. Terjadi translokasi HIF-1α ke inti sel dan mengaktifkan gen target seperti VEGF. karena aktivitas ini, maka VHL berperan senagai gen supresor tumor dan mutasi pada dan gen VHL diasosiasikan dengan kanker sel ginjal



bawaan, feokromositoma, hemangioma dari sistem saraf pusat, angioma retina, dan kista ginjal (sindrom VHL). • VEGF juga meningkatkan ekspresi ligan yang mengaktifkan jalur sinyal Notch, yang mengatur percabangan dan densitas dari pembuluh darah baru. Karena peran angiogenesis penting pada pertumbuhan tumor, banyak perhatian ditujukan untuk terapi anti-angiogenesis. Memang, kini antibodi anti-VEGF telah disetujui untuk pengobatan berbagai jenis kanker.



RINGKASAN Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus • Vaskularisasi tumor penting untuk pertumbuhan dan diatur oleh keseimbangan antara faktor angiogenik dan antiangiogenik yang diproduksi oleh tumor dan sel stroma. • Hipoksia memicu angiogenesis melalui kerja HIF-Iα pada faktor pro-angiogenik VEGF. Karena kemampuan untuk mendegradasi HIF-Iα dan karena itu akan mencegah angiogenesis, VHL bekerja sebagai tumor supresor. Pewarisan mutasi garis germinal dari VHL menyebabkan sindrom VHL dengan karakterisasi berupa tumbuhnya berbagai jenis tumor. • Banyak faktor lain mengatur angiogenesis; contohnya, menginduksi merangsang p53 angiogenesis TSP- I inhibitor.



Kemampuan untuk Invasi dan Metastasis Penyebaran tumor merupakan proses kompleks, melibatkan serangkaian langkah sekuensial disebut kaskade invasimetastasis (Gambar 5-27). Langkah ini terdiri atas invasi lokal, intravasasi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe, transit melalui sistem pembuluh darah, ekstravasasi dari pembuluh darah, pembentukan mikrometastasis, dan pertumbuhan mikrometastasis menjadi tumor yang tampak secara makroskopi. Dapat diprediksi, sekuens ini bisa mengalami gangguan pada tiap stadium oleh faktor yang berkaitan dengan pejamu atau faktor yang berkaitan dengan tumor. Untuk diskusi, kaskade metastasis dibagi menjadi dua fase: (1) invasi ECM dan (2) diseminasi vaskular serta homing sel tumor.



Invasi Ke dalam Matriks Ekstrasel (ECM) Telah diketahui, bahwa jaringan tubuh manusia terorganisasi menjadi kompartemen yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh dua tipe ECM: membran basal dan jaringn ikat interstisium (Bab 2). Walaupun terorganisasi berbeda, masing-masing ECM terdiri atas kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Sel tumor harus berinteraksi pada beberapa stadium dengan ECM pada kaskade metastasis (Gambar 5-27). Karsinoma harus merusak membran basal di bawahnya, kemudian melalui jaringan ikat interstisium untuk mencapai sirkulasi dengan melakukan penetrasi membran basal pembuluh darah. Siklus ini diulangi bila terjadi ekstravasasi emboli sel tumor pada tempat yang jauh. Jadi agar terjadi metastasis, sel tumor harus menembus beberapa membran basalis, juga harus mencari jalan melalui sedikitnya dua jaringan interstisium. Invasi pada ECM merupakan proses aktif yang membutuhkan 4 langkah (Gambar 5-28):



Tanda Khas Kanker



TUMOR PRIMER



Sel yang berubah



Ekspansi klonal, pertumbuhan, diversifikasi, angiogenesis



A . LEPASNYA BATAS ANTAR SEL



Subklon yang bermetastasis



Membran basal



Adhesi dan invasi basal Aliran melalui ekstrasel Intravasasi



Kolagen tipe IV Kadherin



Laminin Membran basal



B. DEGRADASI



Kolagenas tipe IV



Pengaktif plasminogen



Interaksi dengan sel limfoid pejamu Limfosit pejamu Embolus sel tumor



Trombosit



Pecahan kolagen tipe IV



Matriks ekstrasel Adhesi ke membran basal



C.PERLEKATAN



Ekstravasasi Dposit metastik



TUMOR METASTATIK



Angiogenesis



Pertumbuhan



Kolagen tipe IV



Reseptor fibronektin Reseptor laminin



Laminin



D.MIGRASI



Gambar 5-27 Kaskade metastasis: Urutan langkah yang terjadi pada penyebaran tumor secara hematogen.



Faktor motilitas autokrin



Gambar 5-28 A-D, Urutan kejadian pada invasi membran basal epitel oleh sel tumor. Sel tumor melepaskan diri dari sesamanya karena terjadi penurunan adhesi, kemudian akan mensekresi enzim proteolitik, yang merusak membran basal. Kemudian terjadi ikatan dengan tempat yang terbentuk akibat oleh kegiatan proteolitik dan diikuti oleh migrasi sel tumor.



Fibronektin



193



194



BAB 5



Neoplasia



• Langkah pertama pada kaskade metastasis adalah lepasnya sel tumor. Seperti sudah dibahas terdahulu, Ekadherin berfungsi sebagai lem antar sel, dan bagian sitoplasma akan mengikat β-katenin (Gambar 5-24). Molekul E-kadherin yang berdekatan akan berupaya agar sel tetap bersama; dan sebagai tambahan, (sudah dibicarakan sebelumnya), E-kadherin bisa mengirimkan sinyal anti pertumbuhan dengan memecah β-katenin. Fungis E-kadherin hilang pada hampir semua kanker selbisa terjadi dengan menginaktifkan gen E-kadherin, nelalui pengaktifan gen β-katenin, atau dengan ekspresi yang tidak tepat oleh faktor SNAIL dan oleh factor transkripsi TWIST, yang menekan supresi ekspresi Ekadherin. • Langkah kedua pada invasi ialah degradasi membran basal dan jaringan ikat interstisium. Sel tumor akan mengeluarkan enzim proteolitik sendiri atau merangsang sel stroma (misalnya fibroblas dan sel radang) untuk menghasilkan protease. Berbagai kelompok protease yang berbeda, misalnya matriks metalloproteinase (MMP), katepsin D, dan aktivator plasminogen urokinase, terlibat dalam invasi sel tumor. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan mengubah bentuk ulang komponen yang tidak larut air dari membran basal dan matriks interstisium tetapi juga melepaskan faktor pertumbuhan ECM yang terasing. Memang produk pelepasan kolagen dan proteoglikan juga mempunyai pengaruh kemotaksis, angiogenik dan pemicu pertumbuhan. Sebagai contoh, MMP-9 merupakan suatu gelatinase yang memecah kolagen tipe IV dari epitel dan membran basal pembuluh darah dan juga merangsang lepasnya VEGF dari tempat ECM yang terpencil. Tumor jinak payudara, usus besar, dan lambung hanya menunjukkan aktivitas kolagenase tipe IV, yang terbatas sedangkan tumor ganas payudara mengekspresi enzim ini berlebihan. Pada saat itu, kadar inhibitor metalloproteinase berkurang sehingga keseimbangannya mendorong kearah degradasi jaringan. Memang, ekspresi MMP berlebihan dan protease lain telah banyak dilaporkan pada berbagai tumor. • Langkah ketiga pada invasi melibatkan perubahan pada perlekatan sel tumor dengan protein ECM. Sel epitel normal mempunyai reseptor, seperti integrin, untuk laminin pada membran basal dan kolagen yang terpolarisasi pada permukaan basal; reseptor ini akan membantu sel untuk tetap berada pada status istirahat, dan telah berdiferensiasi. Hilangnya perlekatan pada sel normal akan menginduksi apoptosis, sedangkan tidak mengherankan, sel tumor resisten terhadap bentuk kematian sel ini. Tambahan pula. matriks sendiri akan dimodifikasi sehingga memudahkan invasi dan metastasis. Contoh pemecahan protein membran basal, kolagen IV dan laminin, oleh MMP-2 atau MMP-9 menghasilkan tempat yang tepat untuk mengikat reseptor sel tumor dan menstimulasi migrasi. • Pergerakan merupakan langkah terakhir invasi, melemparkan sel tumor melalui membran basal yang telah rusak dan zona proteolisis matriks. Migrasi merupakan langkahlangkah proses yang kompleks, yang melibatkan banyak kelompok reseptor dan protein pemberi sinyal yang akan mengenai sitoskeleton aktin. Gerakan tersebut agaknya diperkuat dan diarahkan oleh sitokin dari sel tumor, seperti faktor motilitas autokrin. Juga, hasil pemecahan komponen matriks (misalnya kolagen, laminin) dan beberapa faktor pertumbuhan (misalnya faktor



pertumbuhan mirip insulin I dan II) mempunyai aktivitas kemotaksis terhadap sel tumor. Sel stroma juga menghasilkan efektor parakrin dari pergerakan sel, misalnya faktor pertumbuhan hepatosit/faktor penguraian (HGF/SCF), yang mengikat reseptor pada sel tumor. Konsentrasi HGF/SCF meningkat pada batas terjauh dari tumor otak yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme. Hal ini mendukung aturan pada pergerakan sel tumor. Akhir-akhir ini, terbukti bahwa sel stroma disekitar sel tumor tidak hanya merupakan barier statis agar sel tumor tidak dapat berpindah, tapi juga menimbulkan lingkungan yang variabel agar sinyal bolak balik antara sel tumor dan sel stroma akan meningkatkan atau mencegah tumorigenesis. Sel stroma yang berinteraksi dengan tumor termasuk sel imun bawaan dan sel imun adaptif (akan dibahas kemudian), juga fibroblas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa fibroblas yang terkait dengan tumor menunjukkan ekspresi gen yang berubah dari gen yang menyandi molekul ECM, protease, inhibitor protease, dan berbagai faktor perutumbuhan. Jadi sel tumor hidup dalam suatu kompleks dan lingkungan yang terus berubah terdiri dari ECM, faktor pertumbuhan, fibroblas, dan sel imun, dengan kontak silang antara semua komponen. Tumor yang paling berhasil ialah tumor yang dapat bekerja sama dan beradaptasi dengan lingkungan ini hingga saat akhir.



Diseminasi Vaskular dan Kembalinya (Homing) Sel Tumor Apabila berada dalam sirkulasi, sel tumor amat rentan terhadap destruksi oleh sel imun pejamu (akan dibahas kemudian). Dalam aliran darah, beberapa sel tumor membentuk emboli melalui penggumpalan dan perlekatan dengan leukosit yang beredar, terutama trombosit; sel tumor yang telah bergumpal akan terlindung dari sel efektor anti tumor pejamu. Namun sebagian besar sel tumor, berada dalam sirkulasi sebagai sel tunggal. Ekstravasasi dari sel tumor bebas atau sebagai emboli tumor melibatkan proses perlekatan pada endotel vaskular diikuti dengan keluarnya sel tumor dari membran basal untuk mencapai parenkim organ melalui mekanisme yang sama dengan proses invasi. Tempat ekstravasasi dan distribusi pada metastasis dapat diperkirakan melalui lokasi dari tumor primer dan aliran keluar dari darah dan cairan limfe. Banyak tumor bermetastasis ke organ dengan kelompok kapiler pertama yang dijumpai setelah memasuki sirkulasi. Namun, pada banyak kasus, jalur alamiah drainase tidak segera dapat menjelaskan distribusi metastasis. Sebagai dibahas sebelumnya, beberapa tumor (misalnya kanker paru), cenderung untuk menyebar ke adrenal, tetapi hampir tidak pernah menyebar ke otot skeletal. Tropisme organ seperti itu dapat dikaitkan dengan mekanisme berikut: • Ekspresi molekul adhesi oleh sel tumor yang ligannya terutama diekspresikan pada endotel organ target • Ekspresi kemokin dan reseptornya. Sebagaimana dibicarakan pada Bab 2, kemokin turut serta dalam arah gerakan leukosit (kemotaksis) dan agaknya sel kanker menggunakan hal tersebut untuk kembali pada jaringan tertentu. Sel kanker payudara manusia mengekspresikan banyak reseptor kemokin CXCR4 dan CCR7. Ligan untuk reseptor ini (misalnya kemokin CXCL12 dan CCL21) banyak diekspresikan hanya pada organ di mana kanker payudara bermetastasis. Atas dasar pengamatan ini, diperkirakan bahwa blokade reseptor kimokin akan membatasi terjadinya metastasis.



Tanda Khas Kanker • Segera setelah mencapai target, sel tumor harus dapat membentuk koloni di tempat tersebut. Faktor yang mengatur pembentukan koloni tidak diketahui dengan jelas. Namun, diketahui bahwa setelah ekstravasasi, sel tumor akan bergantung pada stroma yang sesuai untuk pertumbuhannya. Jadi, pada beberapa kasus, jaringan target mungkin mempunyai lingkungan yang tidak menunjang, daerah tandus, untuk pertumbuhan bibit tumor. Misalnya, walaupun vaskularisasi baik, otot skeletal jarang menjadi tempat metastasis. Walaupun dapat lepas dari lokasi asal tumor, sel tumor sangat tidak efisien dalam membentuk koloni pada organ yang jauh. Berjuta-juta sel tumor akan dilepaskan tiap hari dari tumor, walaupun ukurannya masih kecil. Sel ini dapat dideteksi pada aliran darah dan pada fokus kecil di sumsum tulang, pada pasien di mana lesi metastasis besar tidak terjadi. Memang pada konsep dormansi, mengacu pada ketahanan hidup yang lama pada pasien dengan mikrometastasis tanpa terjadi progresi, dijelaskan pada melanoma dan kanker payudara serta kanker prostat. Walaupun mekanisme molekuler mengenai terbentuknya kolonisasi baru diungkapkan pada tikus, satu hal yang konsisten ialah bahwa sel tumor mensekresi sitokin, faktor pertumbuhan dan protease yang beraksi pada penghuni sel stroma, yang suatu saat membuat tempat tersebut cocok untuk metastasis sel kanker. Dengan pengertian molekuler yang lebih baik, tentang mekanisme metastasis kemampuan klinikus untuk melakukan terapi target akan menjadi sangat meningkat. Walaupun adanya pemikiran terdahulu, bahwa penetapan tempat lokasi metastasis yang tepat sulit diperkirakan pada berbagai jenis kanker. Agaknya tumor itu belum membaca bab relevan pada buku teks patologi.



Genetik Molekuler pada Metastasis Teori lama yang dipertahankan tentang progresi tumor memperkirakan bahwa ketika tumor tumbuh, sel individu secara random akan mengakumulasi mutasi, membentuk subklon dengan kombinasi mutasi tertentu. Menurut hipotesa ini, hanya sebagian kecil subpopulasi sel tumor mengandungi semua mutasi yang dibutuhkan untuk metastasis. Penelitian terakhir menunjukkan, bahwa, ketika dilakukan profil gen untuk tumor primer dan metastasis, hipotesis ditolak. Contoh, suatu subset kanker payudara mempunyai tanda ekspresi gen mirip dengan yang dijumpai pada metastasis, walaupun tidak dijumpai tanda klinis adanya metastasis. Pada tumor ini, hampir semua sel mempunyai predileksi untuk penyebaran metastasis pada awal, atau pada saat karsinogenesis primer. Metastasis, menurut pandangan ini, tidak tergantung pada generasi "stochastic" subklon metastatik selama progresi tumor, tetapi merupakan sifat intrinsik yang terbentuk selama karsinogenesis. Perlu dicatat, bahwa analisis ekspresi gen seperti yang baru diungkapkan, tidak akan mendeteksi subset subklon metastasis dalam suatu tumor yang besar. Mungkin kedua mekanisme terjadi, di mana tumor agresif memerlukan gen yang ekspresinya untuk terjadinya metastasis pada awal tumorigenesis yang membutuhkan tambahan mutasi random untuk melengkapi fenotipe metastatik. Merupakan pertanyaan terbuka pada biologi kanker ialah apakah ada gen yang tugas utamanya pada tumorigenesis mengatur metastasis. Pertanyaan ini lebih merupakan kepentingan akademik, karena berbagai perubahan bentuk



195



gen akan memicu atau menghambat fenotipe metastasis, deteksi pada tumor primer dapat memberikan akibat pada prognosis dan terapi. Beberapa contoh yang diperkirakan merupakan onkogen metastasis ialah penyandi SNAIL dan TWIST, faktor transkripsi yang fungsi utamanya ialah memicu transisi epitel ke mesenkim (EMT). Pada EMT, sel karsinoma menurunkan (downregulate) beberapa petanda epitel (misalnya E-kadherin) dan meningkatkan (upregulate) beberapa petanda mesenkimal (misalnya vimentin, aktin otot polos). Perubahan molekul ini terjadi bersamaan dengan perubahan fenotipe seperti perubahan morfologi dari sel berbentuk epiteloid poligonal menjadi bentuk mesenkim spindel, bersama dengan produksi yang meningkat dari enzim proteolitik yang memicu migrasi dan invasi. Perubahan ini diperkirakan menunjang terjadinya fenotipe promigrasi yang penting untuk metastasis. Hilangnya ekspresi E-kadherin merupakan kunci penting pada EMT, SNAIL dan TWIST yang merupakan represor transkripsi memicu EMT melalui menurunkan (downregulating) ekspresi E-kadherin. Bagaimana ekspresi regulator transkripsi utama ini distimulasi pada tumor tidak jelas, namun penelitian memperkirakan adanya interaksi sel tumor dan sel stroma yang merupakan stimulus pada perubahan ini. Jadi akuisisi fenotipe metastasis tidak membutuhkan suatu set mutasi, tetapi merupakan tindakan darurat terjadi karena interaksi sel tumor dan stroma.



RINGKASAN invasi dan Metastasis • Kemampuan menginvasi jaringan, suatu tanda utama keganasan, terjadi melalui empat langkah: lepasnya hubungan antar sel, degradasi ECM, perlekatan pada komponen ECM, dan migrasi sel tumor. • Hubungan antar sel hilang melalui penginaktifan E-kadherin melalui beberapa jalur • Degradasi membran basal dan matriks interstisium dimediasi oleh enzim proteolitik yang disekresi oleh sel stroma, misalnya MMP dan katepsin. • Enzim proteolitik juga melepaskan faktor pertumbuhan terasing di ECM dan menghasilkan fragmen kemotaksis dan angiogenik melalui pemecahan glikoprotein ECM • Letak metastasis pada banyak tumor dapat diprediksi melalui lokasi tumor primer. Berbagai tumor akan berhenti pada tempat kelompok kapiler pertama yang dijumpai (tersering pada paru dan hati). • Beberapa tumor menunjukkan "tropism" organ, kemungkinan karena pengaktifan perlekatan atau reseptor kemokin di mana ligan terekspresi oleh sel endotel pada tempat metastasis.



Melakukan Program Ulang Metabolisme Energi Melakukan program ulang metabolisme energi merupakan hal biasa pada tumor dan dianggap sebagai tanda utama kanker. Walaupun pada keadaan dengan persediaan oksigen terbatas, kanker akan mengubah metabolisme glukosa menghindari mitokondria yang butuh oksigen tetapi efisien, menjadi glikolisis. Fenomena ini disebut efek Warburg dan juga dikenal sebagai glikolisis aerobik, telah dikenal beberapa tahun (Otto Warburg memperoleh hadiah Nobel untuk penemuannya tentang efek yang memakai namanya tahun 1931) tetapi agak terbengkalai sampai saat ini.



196



BAB



Neoplasia



Seperti telah diketahui, glikolisis aerobik kurang efisien dibandingkan dengan fosforilasi oksidatif mitokondria, yang meng-hasilkan 2 molekul ATP per molekul glukosa, dibandingkan dengan 36. Namun tumor yang mengadopsi glikolisis aerobik, misalnya limfoma Burkitt, merupakan tumor yang paling cepat berkembang di antara kanker pada manusia. Memang, untuk keperluan klinis, tumor yang "lapar glukosa" demikian dipergunakan untuk memvisualisasi tumor dengan scanning positron emission tomography (PET), di mana pasien disuntik dengan 18F-fluorodeoxyglucose, yang merupakan derivat glukosa yang tidak bisa dimetabolisme. Tumor pada umumnya adalah PET-positif, dan terutama jelas pada tumor yang cepat berkembang. Sekarang diketahui bahwa sel normal yang sedang membelah dengan cepat, seperti pada embrio, juga mengadopsi metabolisme Warburg, menyatakan bahwa jenis metabolisme ini dipilih apabila dibutuhkan pertumbuhan cepat. Bagaimana hal tersebut terjadi, padahal glikolisis aerobik menghasilkan ATP per molekul glukosa jauh lebih sedikit? Tambahan lagi pada penggandaan konten DNA sebelum pembelahan, suatu sel yang aktif membelah (baik normal maupun telah bertransformasi) harus juga menggandakan seluruh komponen lain, termasuk membran, protein dan organel. Tugas ini membutuhkan peningkatan pemasukan nutrisi, terutama glukosa dan asam amino. Penelitian tentang metabolisme menengah ini memperkirakan bahwa pada sel yang sedang berkembang cepat glukosa menjadi sumber utama untuk karbon yang dipakai untuk sintesa lipid (dibutuhkan untuk pembentukan membran) juga untuk metabolit lain yang dibutuhkan untuk sintesa asam nukleat. Pola penggunaan karbon glukosa ini diperoleh dengan melangsir piruvat ke jalur biosintesa melalui jalur fosforilasi okasidatif dan pembentukan ATP. Jadi metabolisme kanker dapat dilihat sebagai perspektif Darwin; sel tumor yang mengadaptasi perubahan metabolisme dapat membelah lebih cepat daripada sel tumor yang tidak mengikuti perubahan. Karena glikolisis aerobik terus berjalan pada tumor yang mendapat oksigen cukup, dapat diperkirakan bahwa mengubah metabolisme akan mengalami kesulitan pada sel tumor. Sekarang jelas bahwa onkogen dan tumor supresor yang mempertahankan pertumbuhan sel seperti TP53, PTEN, dan Akt (bentuk antara untuk pemberian sinyal RAS) merangsang penggunaan glukosa dengan mempengaruhi protein transporter glukosa dan memilih glikolisis aerobik. Memang efek Warburg agaknya penting untuk fenotipe kanker sehingga jalur ini dipakai sebagai target untuk terapi yang sedang dikembangkan.



Menghindari Sistem Imun Seperti dibicarakan sebelumnya, kemampuan tumor untuk menghindari sistem imun (seperti melakukan program ulang metabolisme energi) sekarang merupakan tanda utama kanker. Tumor terjadi pada pejamu yang imunokompeten; agar dapat berhasil tumbuh maka harus dapat mengelabui sistem imun sehingga sel tumor gagal diketahui keberadaannya atau gagal untuk disingkirkan. Ini harus terjadi karena tubuh mempunyai banyak pasukan sel yang mampu meniadakan infeksi atau mampu menolak transplantasi organ alogenik. Diskusi tentang hal ini akan ditunda pada



bab berikut, karena haruslah dimengerti terlebih dahulu tentang sifat antigen tumor dan bagaimana cara mengenalnya.



Instabilisitas Genom Memungkinkan Terjadinya Keganasan Bab yang lalu menetapkan delapan gambaran keganasan dan perubahan genetik yang memastikan sifat fenotipe sel kanker. Bagaimana timbulnya mutasi? Walaupun manusia dikelilingi berbagai agen lingkungan yang mutagenik (misalnya bahan kimia, radiasi, cahaya matahari), kanker relatif jarang terjadi pada orang yang terpapar. Hal ini terjadi karena kemampuan sel normal untuk memperbaiki kerusakan DNA. Pentingnya perbaikan DNA untuk mempertahankan integritas genome dikenal karena adanya beberapa kelainan yang diturunkan apabila gen yang menyandi protein yang terlibat pada perbaikan DNA mengalami defek. Seseorang yang lahir dengan mewarisi defek pada protein untuk perbaikan DNA mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker. Biasanya, instabilitas genome terjadi apabila kedua kopi gen hilang; namun penelitian terakhir menunjukkan bahwa paling sedikit sebagian daripada gen dapat menimbulkan kanker pada keadaan kekurangan haploid (haploinsufficient). Defek pada tiga jenis sistem perbaikan DNA perbaikan yang tidak cocok (mismatch), perbaikan eksisi nukleotida- dan perbaikan rekombinasi akan dibahas berikut. Walaupun diskusi akan menitikberatkan pada sindrom yang diwarisi, perlu untuk difahami bahwa kanker sporadik sering terjadi pada mutasi gen-gen tersebut, yang akan memungkinkan akumulasi mutasi pada gen lain dan kelainan fungsi ini merupakan tanda utama kanker.



Sindrom Kanker Kolon Nonpoliposis yang Diturunkan Peran gen perbaikan DNA pada orang yang cenderung terjadi kanker tertera jelas pada sindrom karsinoma kolon nonpoliposis yang herediter (Hereditary Nonpolyposis Colon Carcinoma/ HNPCC). Kelainan ini, yang ditandai dengan karsinoma keturunan pada kolon terutama mengenai sekum dan kolon proksimal (Bab 14), terjadi karena defek pada gen yang terlibat dalam perbaikan "mismatch" DNA. Apabila suatu untai (strand) DNA sedang diperbaiki, gen ini berfungsi sebagai pengawas ejaan ("spell checkers"). Contoh bila terbentuk pasangan yang salah G dengan T, dan bukan A dengan T, gen perbaikan mismatch akan mengkoreksi defek tersebut. Tanpa "proofreaders," akumulasi kesalahan akan cepat meningkat, disebut fenotipe pemutasi (mutator). Mutasi yang tidak cocok (mismatch) pada sedikitnya empat gen ditemukan dan mendasari terjadinya HNPCC (Bab 14). Pada tiap orang yang terkena mewarisi satu kopi yang salah dari satu atau beberapa gen perbaikan DNA yang salah dan membutuhkan "hit" kedua untuk membentuk sel epitel kolon. Jadi, gen perbaikan DNA mempengaruhi pertumbuhan sel secara tidak langsung—dengan membiarkan mutasi terjadi pada gen lain selama proses pembelahan sel normal. Temuan yang karakteristik pada genome pasien dengan defek perbaikan "mismatch" adalah adanya instabilitas mikrosatelit (MSI). Mikrosatelit ialah pengulangan berpasangan (tandem) dari satu hingga 6 nukleotide yang ditemukan pada seluruh genome. Pada orang normal, panjang mikrosatelit ini tetap sama. Sebaliknya pada pasien dengan HNPCC, satelit ini tidak stabil dan bertambah atau berkurang panjangnya. Walaupun HNPCC hanya dijumpai pada 2% hingga 4% dari semua kanker kolon, MSI dapat dideteksi pada sekitar 15% kasus kanker sporadik. Gen pengatur pertumbuhan yang mengalami mutasi pada HNPCC



Tanda Khas Kanker



Kanker yang Terjadi Karena Mutasi yang Diinduksi oleh Instabilitas Genom yang Teratur: Neoplasma Limfoid



HNPCC termasuk yang menyandi reseptor TGF-β tipe II, BAX, dan onkogen lain serta gen supresor.



Suatu kerusakan yang khas pada DNA memegang peran penting pada patogenesis tumor limfosit B dan T. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, imunitas adaptif bergantung pada kemampuan sel B dan T untuk melakukan pengalihan antigen gen reseptornya. Sel B dan T dini keduanya mengekspresikan sepasang produk gen yaitu RAG1 dan RAG2, yang membawa keluar segmen rekombinasi V(D)J, sehingga memungkinkan untuk pembentukan gen reseptor antigen fungsional. Kemudian, setelah menemukan antigen, sel B matur akan mengeksprresi suatu enzim khusus yang disebut "activation-induced cytosine deaminase" (AID), yang akan mengkatalisasi kedua tombol recombinasi dan hipermutasi somatic dari gen imunoglobulin. Kesalahan selama pembentukan gen reseptor antigen dan gen pengalihan akan berperan pada berbagai mutasi yang menyebabkan neoplasma limfoid, dibahas secara rinci pada Bab 11.



Xeroderma Pigmentosum Pasien dengan kelainan keturunan lain, xeroderma pigmentosum, mempunyai risiko tinggi untuk terbentuknya kanker pada kulit yang terpapar sinar matahari. Dasar kelainan ini ialah defek perbaikan DNA. Sinar ultraviolet (UV) pada sinar matahari mengakibatkan terjadinya ikatan silang residu pirimidine, sehingga mencegah replikasi DNA normal. Kerusakan DNA akan diperbaiki oleh sistem per-baikan dengan mengeksisi nukleotida. Beberapa protein terlibat pada perbaikan eksisi nukleotida, dan hilangnya salah satu protein pada pewarisan akan mengakibatkan xeroderma pigmentosum.



Penyakit dengan Defek pada Perbaikan DNA dengan Rekombinasi Homolog Sekelompok kelainan autosom resesif termasuk sindrom Bloom, ataxia-telangiectasia, dan anemi Fanconi ditandai dengan hipersensitif terhadap agen perusak DNA lain, misalnya radiasi pengion (pada sindrom Bloom dan ataxiatelangiectasia), atau pada unsur ikatan silang DNA, misalnya nitrogen mustard (pada anemia Fanconi). Fenotipenya kompleks dan termasuk selain kemudahan untuk terjadinya kanker, juga terjadi gejala saraf (pada ataxiatelangiectasia), anemia (pada anemia Fanconi), dan defek pertumbuhan (pada sindrom Bloom). Gen yang mengalami mutasi pada ataxia-telangiectasia ialah ATM, yang menyandi suatu kinase protein yang penting untuk mengenal kerusakan DNA yang diakibatkan oleh radiasi ion dan memicu pengaktifan p53. Bukti peran gen perbaikan DNA pada asalnya kanker diperoleh dari penelitian tentang kanker payudara herediter. Mutasi pada dua gen, BRCA1 dan BRCA2, ditemukan pada 50% kasus kanker payudara kekeluargaan. Disamping kanker payudara, wanita dengan mutasi BRCA1 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya kanker epitel ovarium, dan pria mempunyai risiko sedikit lebih tinggi untuk terjadinya kanker prostat. Juga, mutasi pada gen BRCA2 meningkatkan risiko kanker payudara pada pria dan wanita, demildan pula kanker ovarium, prostat, pankreas, saluran empedu, lambung, melanosit, dan limfosit B. Walaupun fungsi gen ini belum dapat diketahui secara lengkap, sel yang tidak mengandungi gen ini akan mengalami patahnya kromosom dan kromosom tidak lengkap (aneuploidi) yang berat. Agaknya kedua gen befungsi, walaupun sebagian, pada rekombinasi homolog jalur perbaikan DNA. Contohnya, BRCA1 membentuk kompleks dengan protein lain pada jalur rekombinasi homolog dan juga berhubungan dengan jalur ATM kinase. BRCA2 diidentifikasi sebagai salah satu gen yang bermutasi pada anemia Fanconi, dan protein BRCA2 selalu diketahui mengikat RAD51, suatu protein yang diperlukan untuk rekombinasi homolog. Sama dengan gen supresor tumor, kedua kopi BRCA1 dan BRCA2 harus diinaktifkan agar kanker dapat terbentuk. Walaupun hubungan antara BRCA1 dan BRCA2 dengan kanker payudara telah dipastikan, gen ini jarang diinaktifkan pada kanker payudara sporadik. Dalam hal ini, BRCA1 dan BRCA2 berbeda dengan gen supresor tumor lain, misalnya APC dan TP53, yang akan diinaktifkan pada kedua jenis kanker familial dan kanker sporadik.



197



RINGKASAN Instabilisitas Genom yang Memungkinkan Terjadinya Keganasan • •















Seorang yang mewarisi mutasi pada gen yang terlibat dalam sistem perbaikan DNA mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker. Pasien dengan sindrom HNPCC mempunyai defek pada sistem perbaikan "mismatch", dengan akibat terbentuknya kanker usus besar. Genom pasien tersebut menunjukkan MSI, ditandai dengan perubahan pada panjangnya urutan pengulangan pasangan (tandem) pendek mengulangi sekuens pada seluruh genom. Pasien dengan xeroderma pigmentosum mempunyai defek pada jalur perbaikan eksisi nukleotida dan mempunyai risiko meningkat untuk timbulnya kanker kulit yang terpaparsinar UV, karena ke tidak mampuan memperbaiki dimer pirimidine. Sindrom yang melibatkan defek pada rekombinasi homolog sistem perbaikan DNA meliputi sekelompok kelainan—Sindrom Bloom, ataxia-telangiectasia, dan anemia Fanconi—ditandai dengan hipersensitif terhadap agen perusak DNA, misalnya radiasi pengion. BRCA I dan BRCA2, yang mengalami mutasi pada kanker payudara familial, terlibat pada perbaikan DNA. Mutasi pada gen sel limfoid yang mengekspresikan produk yang menginduksi instabilitas genom (RAGI , RAG2, AID) merupakan penyebab penting terjadinya neoplasma limfoid.



Radang Pemicu Tumor Memungkinkan Terjadinya Keganasan Telah terbukti bahwa radang yang diperkirakan mempunyai respons protektif terhadap tumor, juga bisa berlawanan yaitu memungkinkan timbulnya keganasan. Hal ini terjadi pada dua situasi yang berbeda: • Radang kronik yang lama sebagai respons terhadap infeksi bakteri atau sebagai bagian dari reaksi autoimun. Hal ini dicontohkan dengan bertambahnya risiko terhadap kanker pada pasien dengan berbagai radang kronik saluran cerna. Termasuk esofagus pada penyakit Barrett, kolitis ulseratif, gastritis H. pylori, hepatitis B dan C, dan pankreatitis kronik. Sebagaimana juga pada penyebab jejas kronik jaringan, terjadi proliferasi sel sebagai kompensasi usaha untuk memperbaiki kerusakan. Proses regenerasi ini dibantu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, dan substansi bioaktif lain yang



198



BABA 5



Neoplasia



dihasilkan oleh kumpulan sel imun yang telah teraktifkan di tempat tersebut. Replikasi sel yang persisten dan apoptosis yang menurun pada keadaan ini mengakibatkan sel dapat mengalami mutasi pada satu atau lebih gen yang terlibat dalam karsinogenesis. Juga, sel radang seperti neutrofil dapat berperan pada karsinogenesis melalui sekresi spesies oksigen reaktif, yang selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan tambahan pada DNA sel yang sedang membelah dengan cepat. • Apabila radang terjadi akibat respons tumor. Dokter spesialis patologi telah mengetahui bahwa sel tumor diinfiltrasi oleh leukosit. Derajat radang berbeda, tetapi semua tumor mempunyai sel yang mempunyai komponen adaptif atau bawaan dari sistem imun. Pengetahuan konvensional ialah bahwa reaksi radang merupakan upaya perlindungan karena terjadi usaha untuk merusak tumor oleh pejamu. Memang hal tersebut menjadi tujuan dari reaksi radang, tetapi sel tersebut dapat mengeluarkan aktivitas yang memicu tumor dengan menghasilkan faktor pertumbuhan yang mengakibatkan kerusakan DNA seperti disebutkan di atas. Apa pun mekanisme sebetulnya, kaitan antara radang dan kanker mempunyai implikasi praktis. Contoh, ekspresi enzim cyclooxygenase-2 (COX-2), yang akan mengubah asam arachidonat menjadi prostaglandin (Bab 2), diinduksi oleh stimulus radang dan meningkat pada kanker usus besar dan tumor lainnya. Pemakaian inhibitor COX-2 untuk mencegah kanker dan pengobatan kanker merupakan bahan penelitian yang banyak dilakukan. Dampak klinis yang timbul setelah pembahasan tentang prinsip dan tanda khas kanker ialah: tanda penting kanker tersebut merupakan peta petunjuk untuk pengembangan agen terapi baru untuk pengobatan kanker (Gambar 5-29).



Anti-CTLA4 mAb yang diaktifkan oleh imun



Menghindari kerusakan oleh imun



Karsinogenesis Berjenjang dan Perkembangan Kanker Seperti dibahas sebelumnya, kemahiran tentang berbagai dasar kelainan merupakan prasyarat untuk perkembangan kanker. Dengan demikian, maka tiap kanker harus terjadi dari akumulasi mutasi yang majemuk. Contoh dramatik ialah adanya tambahan pengetahuan tentang fenotipe ganas yang didokumentasi pada penelitian tentang karsinoma usus besar. Lesi ini diperkirakan mempunyai deretan stadium morfologi yang dapat dikenal: hiperplasia epitel usus besar diikuti oleh pembentukan adenoma yang membesar dengan cepat dan akhirnya mengalami perubahan menjadi ganas (Bab 14). Penjelasan tentang perubahan molekuler urutan adenoma-karsinoma digambarkan pada Gambar 5-30. Menurut skema ini, pengaktifan gen supresor tumor APC terjadi lebih dahulu, kemudian diikuti oleh pengaktifan RAS dan selanjutnya, hilangnya gen supresor tumor pada 18q dan hilangnya TP53. Kejadian urutan mutasi sesaat dapat berbeda pada berbagai tumor yang berbeda.



ETIOLOGI KANKER: AGEN KARSINOGENIK Kerusakan genetik adalah jantung karsinogenesis. Agen ekstrinsik apa yang bisa menyebabkan hal tersebut? Tiga kelompok agen karsinogenik telah diketahui: (1) bahan kimia, (2) energi radiasi dan (3) agen mikroba. Bahan kimia dan energi radiasi telah didokumentasi sebagai penyebab kanker pada manusia dan virus onkogen terlibat dalam patogenesis tumor pada berbagai binatang percobaan dan pada beberapa tumor manusia. Pada diskusi berikut, tiap kelompok agen akan dibicarakan tersendiri, namun perlu dicatat bahwa beberapa hal dapat terjadi serentak atau berurutan untuk menghasilkan abnormalitas genetik multipel yang merupakan ciri khas sel neoplasma.



Menghindari penekanan pertumbuhan



Memungkinkan replikasi tidak mati



Mempertahankan sinyal



Inhibisi EGFR



Deregulasi sel energetik



Inhibitor glikolisis aerobik



Proapoptotik BH3 mimetik



Radanang yang dipicu tumor Pengaktifan invasi dan metastasis



Menghindari kematian sel



Inhibitor sinyal VEGF



Inhibitor kinase yang bergantung pada siklim1



Menginduksi angiogenesis



Gambar 5-29 Terapi target pada tanda khas kanker.



Instabilitas genom dan mutasi



(Dari Hanahan D,Welberg RA: The hallmarks of cancer: the next generation. CeII 144:646, 201 I. )



Inhibitor telomerase



Obat antiselektif



Inhibitor HGF/c-Met



Inhibitor PARP



Etiologi Kanker: Agen Karsinogenik GAMBARAN MORFOLOGIK



PERUBAHAN MULEKULER



199



Tabel 5-4 Karsinogen Kimia Utama



Karsinogen Bekerja Langsung Agen Pengalkil



Epitel normal Epitel hiperproliferatif



Hilangannya atau mutasi lokus APC pada kromosom 5q Hilangnya metilasi DNA



Adenoma dini Adenoma menengah Adenoma lanjut Karsinoma



Mutasi gen RAS pada kromosom 12p Hilangannya supresor tumor pada kromosom 18q Hilangannya gen p53 pada kromosom 17p



Gambar 5-30 Contoh evolusi molekul kanker kolorektal melalui urutan adenoma— karsinoma. (Data dari penehan Feoron ER,Vogelstetn B A genetic model of colorectol carcinogenesis. Cell 61:759, 1990 )



Karsinogen Kimia Lebih dari 200 tahun yang lalu, seorang ahli bedah di London, Sir Percival Pott menyatakan hubungan kanker kulit skrotum pada pembersih cerobong asap dengan paparan berkelanjutan dengan jelaga cerobong. Atas dasar observasi ini, pada pembersih cerobong asap, dibuat peraturan bahwa tiap anggota harus mandi tiap hari. Sebelumnya tidak ada peraturan kesehatan masyarakat yang berhasil sedemikian baik mengontrol suatu jenis kanker. Selanjutnya ditemukan ratusan zat kimia yang temyata bersifat karsinogen pada binatang Beberapa agen utama ditampilkan pada Tabel 5-4. Beberapa komentar disajikan kemudian.



β-Propiolakton Dimetil sulfat Diepoksibutan Obat anti kanker (siklofosfamid, klorambusil, nitrosourea, dan lainnya)



Agen Pengasil I -Asetil-imidazol Dimetilkarbamil klorida



Prokarsinogen yang Membutuhkan Pengaktifan Metabolit Hidrokarbon Aromatik Polisiklik dan Heterosiklik Benz (α) antrasena Benzo (α) pirena Dibenz (α,h) antrasena 3-Metilkolantrena 7, 12-Dimetilbenz(α)antrasena



Amina Aromatik, Amida, Zat Warna Azo 2-Naftilamin (β-naftilamin) Benzidin 2-Acetilaminofluorena Dimetilaminoazobenzena (kuning mentega)



Tumbuhan Alami dan Produk Mikroba Aflatoksin B, Griseofulvin Sikasin Safrol Buah pinang



Lainnya Nitrosamin dan amida Vinil klorida, nikel, kromium Insektisida, fungisida Bifenil poliklorina



Agen yang Bekerja Langsung Agen yang bekerja langsung tidak membutuhkan perubahan metabolit agar menjadi karsinogenik. Umumnya bersifat karsinogen lemah tetapi penting, karena beberapa di antaranya ialah obat kemoterapi kanker (misalnya agen alkilasi) dipakai pada regimen yang dapat menyembuhkan kanker tertentu (misalnya Limfoma Hodgkin), yang ternyata kemudian memicu timbulnya kanker jenis kedua, biasanya leukemia. Hal ini akan lebih tragis bila pemakaian sesuatu obat untuk kelainan bukan neoplastik, misalnya untuk artritis reumatika atau granulomatosis Wegener. Walaupun risiko timbulnya kanker rendah, namun kemungkinan terjadinya kanker harus selalu dipikirkan.



Agen yang Bekerja —Tidak Langsung Yang dimaksud dengan kerja tidak langsung ialah zat kimia yang membutuhkan perubahan metabolit agar menjadi karsinogen aktif Beberapa dari zat kimia sangat poten yang tidak langsung ialah hidrokarbon polisiklik, terdapat pada minyak fosil. Contohnya, benzo[a]pyrene dan karsinogen lain yang terbentuk pada pemanasan suhu tinggi tembakau pada pengisap rokok. Produk ini dikaitkan dengan penyebab kanker paru pada perokok. Hidrokarbon polisiklik juga dapat dibentuk dari lemak



hewan selama proses pengasapan daging dan dijumpai pada daging asap dan ikan. Produk aktif utama pada berbagai hidrokarbon ialah epoksida, yang akan membentuk produk tambahan dengan molekul pada sel, terutama DNA, tetapi juga RNA dan protein. Amin aromatik dan zat warna azo merupakan kelompok karsinogen lain dengan kerja tidak langsung. Sebelum sifat karsinogenya diketahui, β-naphthylamine mengakibatkan meningkatnya insidens kanker kandung kemih 50 kali lipat pada pekerja yang terpapar zat warna anilin dan industri karet. Berbagai karsinogen okupasional ditulis pada Tabel 5-2. Karena karsinogen yang bekerja tidak langsung membutuhkan pengaktifan metabolit untuk berubah menjadi agen perusak DNA-, maka banyak perhatian ditujukan pada jalur enzimatik yang terlibat, misalnya yang diatur oleh sitokrom P-450-yang bergantung kepada monooksigenase. Gen yang menyandi enzim ini polimorfik dan aktivitas enzimnya bervariasi pada orang yang berbeda. Diperkirakan bahwa kerentanan terhadap karsinogen kimia bergantung setidaknya pada bentuk dari bagian alel spesifik dari enzim yang diwarisinya. Jadi mungkin dikemudian hari, bisa dihitung risiko kanker pada seorang pasien dengan analisis genetik seperti polimorfisme enzim.



200



BAB 5



Neoplasia



Perlu dibahas beberapa agen lain. Aflatoxin penting karena merupakan agen yang diproduksi oleh beberapa strain Aspergillus, suatu jamur yang tumbuh pada gandum dan kacang yang penyimpanannya tidak baik. Suatu korelasi kuat ditemukan antara kadar diet makanan yang terkontaminasi dan insidens karsinoma sel hati pada beberapa daerah di Afrika dan Timur jauh. Demikian juga dengan, vinil klorida, arsen, nikel, kromium, insektisida, fungisida, dan "p l l ri e ip e ls merupakan karsinogen potensial pada tempat kerja dan sekitar rumah. Akhirnya, nitrit yang dipakai sebagai pengawet makanan menimbulkan kekhawatiran, karena menyebabkan nitrosilasi amin yang terdapat pada makanan. Nitrosamin yang terbentuk dicurigai merupakan zat karsinogen.



Mekanisme Kerja Karsinogen Kimia Karena perubahan keganasan terjadi akibat mutasi, tidak mengherankan bahwa karsinogen kimia umumnya bersifat mutagenik. Memang semua karsinogen langsung dan penting mengandungi kelompok elektrofil yang sangat reaktif yang membentuk komponen kimia yang berikatan dengan DNA, protein dan RNA. Walaupun tiap gen dapat menjadi target dari karsinogen kimia, onkogen yang telah mengalami mutasi demikian pula tumor supresor, seperti RAS dan TP53, merupakan target penting karsinogen kimia. Memang, karsinogen kimia spesifik, seperti aflatoxin B1, memproduksi mutasi karakteristik pada gen TP53, sehingga deteksi "sig ure u i " pada gen TP53 membuktikan bahwa aflatoxin adalah sebagai agen penyebab. Asosiasi ini membuktikan bahwa penelitian epidemiologik penting untuk karsinogenesis kimia. Sifat karsinogen beberapa zat kimia meningkat dengan ditambahkannya beberapa pr r (misalnya ester forbol, hormon, fenol, obat tertentu) yang apabila dipakai tersendiri tidak bersifat karsinogen. Agar efektif, paparan ke promotor diulang atau dipertahankan mengikuti pemakaian zat kimia mutagenik atau i i i r. Urutan inisiasi-promosi pada karsinogenesis kimia menimbulkan suatu pertanyaan penting: karena promotor tidak mutagenik, bagaimana dapat berkontribusi pada tumorigenesis? Walaupun pengaruh promotor tumor ialah bervariasi (plei r pi ), induksi proliferasi sel sama dengan promosi tumor. Agaknya yang paling mungkin ialah aplikasi inisiator akan mengaktifkan mutasi suatu onkogen seperti RAS, dan aplikasi selanjutnya dari promotor akan terjadi perkembangan klonal dari sel yang telah diinisiasi (telah mengalami mutasi). Karena dipaksa berproliferasi, klon sel yang telah diinisiasi mengakumulasi mutasi berikutnya dan, berkembang menjadi tumor ganas. Agaknya, konsep proliferasi sel yang dipertahankan meningkatkan risiko proses mutasi dan mendorong perubahan menjadi neoplasma, dan hal ini juga terjadi pada karsinogenesis pada manusia. Sebagai contoh, hiperplasia endometrium (Bab 18) dan aktivitas regenerasi yang meningkat yang terjadi bersamaan dengan jejas hati kronik dikaitkan dengan pertumbuhan kanker pada organ tersebut. Apabila tidak terjadi mekanisme perbaikan DNA seperti yang dibahas sebelumnya, maka insidens kanker yang diakibatkan zat kimia akan lebih tinggi. Telah dibicarakan sebelumnya, gangguan perbaikan DNA bawaan yang jarang, termasuk xeroderma pigmentosum, dikaitkan dengan meningkatnya risiko timbulnya kanker yang diinduksi oleh sinar UV dan zat kimia tertentu.



RINGKASAN Karsinogen Kimia • •











Karsinogen kimia mempunyai kelompok elektrofil reaktif yang tinggi, yang langsung akan merusak DNA, dengan menimbulkan mutasi dan kemudian terjadi kanker Agen yang bekerja langsung tidak membutuhkan perubahan metabolit untuk menjadi karsinogen, sedangkan agen yang bekerja tidak langsung, tidak akan aktif apabila belum diubah menjadi karsinogen melalui jalur metabolit endogen. Sehingga polimorfisme enzim endogen seperti sitokrom P-450 dapat mempengaruhi karsinogenesis. Setelah paparan suatu sel kepada suatu mutagen atau inisiator, tumorigenesis akan meningkat dengan paparan pada promotor, yang akan merangsang proliferasi sel yang telah mengalami mutasi. Contoh dari karsinogen manusia addalah agen yang bekerja langsung (misalnya agen alkilasi yang dipakai pada kemoterapi), agen yang bekerja tidak langsung (misalnya "benzopyrene", zat warna azo, aflatoksin), dan promotor atau agen yang menyebabkan hiperplasia endometrium atau aktivitas regenerasi pada hati.



Karsinogenesis karena Radiasi Radiasi, apa pun sumbernya (UV dari sinar matahari, sinar x, "nuclear fission radionuclides") merupakan karsinogen yang telah terbentuk. Pekerja tambang elemen radioaktif tanpa alat pelinding mempunyai insidens 10 kali lipat untuk kanker paru. Penelitian terhadap orang yang masih hidup sesudah bom atom Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan insidens kasus leukemia yang meningkat—terutama leukemia mielogenik—setelah suatu periode laten sekitar 7 tahun, juga peningkatan angka mortalitas pada karsinoma tiroid, payudara, usus besar dan paru. Musibah tenaga pembangkit nuklir di Chemobyl di negara yang dahulu termasuk Uni Soviet terus memberikan kerugian berupa insidens kanker yang tinggi pada daerah sekitarnya. Akhir ini, ditakuti adanya radiasi dari pembangkit tenaga nuklir yang rusak akibat gempa yang besar dan tsunami akan meningkatkan insidens kanker pada daerah geografi sekitarnya. Radiasi untuk pengobatan pada kepala dan leher akan mengakibatkan kanker tiroid papiler beberapa tahun kemudian. Peran radiasi ion yang dikaitkan dengan efek mutagenik, yaitu patahnya kromosom, translokasi, dan agak jarang mutasi titik (point mutation). Secara biologis, putusnya rantai ganda DNA merupakan kerusakan DNA terpenting akibat radiasi. Efek onkogenik sinar UV memerlukan perhatian khusus karena menonjolkan pentingnya perbaikan DNA pada karsinogenesis. Radiasi alami UV dari sinar matahari bisa menyebabkan kanker kulit (melanoma, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal). Risiko lebih tinggi terjadi pada orang dengan kulit putih yang tinggal di tempat seperti Australia dan Selandia Baru yang banyak terpapar dengan sinar matahari. Kanker kulit nonmelanoma dihubungkan dengan banyaknya dosis paparan radiasi UV, sedangkan melanoma dihubungkan dengan terpapar tidak terus menerus tetapi yang intens misalnya dengan berjemur di matahari. Sinar UV mempunyai berbagai efek biologis terhadap sel. Yang penting terhadap karsinogenesis ialah kemampuan merusak DNA dengan pembentukan dimer pirimidin. Jenis kerusakan DNA ini diperbaiki dengan jalur perbaikan eksisi nukleotida. Dengan paparan yang intensif pada sinar UV, sistem perbaikan akan kewalahan, dan terjadi kanker kulit. Sebagaimana



Etiologi Kanker: Agen Karsinogenik telah dibahas sebelumnya, penderita dengan penyakit keturunan xeroderma pigmentosum mempunyai defek pada jalur perbaikan eksisi nukleotida. Sehingga seperti diperkirakan, terjadi peningkatan predisposisi untuk kanker kulit pada kelainan ini.



RINGKASAN Karsinogenesis Radiasi • Radiasi ion mengakibatkan patahnya kromosom, translokasi dan agak jarang mutasi titik, mengakibatkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. Sinar UV menginduksi pembentukan dimer pirimidine • dalam DNA, mengakibatkan terjadinya mutasi. Sehingga sinar UV dapat menyebabkan karsinoma sel skuamosa dan melanoma kulit.



Onkogenesis oleh Virus dan Mikroba Berbagai virus DNA dan RNA terbukti bersifat onkogenik pada binatang seperti kodok dan primata. Walaupun dengan pemeriksaan lebih rinci, ternyata hanya beberapa virus yang sudah dikaitkan dengan kanker pada manusia. Diskusi berikut membahas peran virus onkogenik manusia dan juga membahas yang baru muncul dari bakteri H. pylori pada kanker lambung.



interaksi dengan beberapa faktor transkripsi seperti NF-κB, protein TAX dapat melakukan pengaktifan silang ekspresi gen yang menyandi sitokin, reseptor sitokin dan molekul kostimulasi. Ekspresi yang tidak tepat ini mengakibatkan lingkar sinyal autokrin dan peningkatan kaskade sinyal promitogenik Juga, TAX dapat mengatur melalui siklus sel dengan langsung berikatan dan mengaktifkan siklin. TAX juga dapat melakukan penekanan fungsi beberapa gen supresor yang mengatur siklus sel, termasuk CDKN2A/p16 dan TP53. Dari observasi ini dan lainnya, muncul skenario berikut (Gambar 5-31): Gen TAX mengaktifkan beberapa gen sitokin dan reseptornya (misalnya interleukin IL-2, IL-2R, IL-15 dan IL-15R), kemudian menyusun suatu sistem autokrin yang mengakibatkan proliferasi sel T. Dari berbagai jenis sitokin ini, IL-15 agaknya yang lebih penting, namun yang lainnya belum diketahui. Sebagai tambahan, jalur parakrin palalel diaktifkan melalui peningkatan produksi faktor stimulasi koloni granulositmakrofag, yang merangsang makrofag disekitarnya untuk memproduksi mitogen sel T lain. Semula, proliferasi sel T adalah poliklonal, sebab virus menginfeksi banyak sel, tetapi karena penginaktifan berdasar -TAX- pada gen tumor supresor seperti TP53, maka proliferasi sel T akan berisiko menyebabkan transformasi sekunder (mutasi), sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan populasi sel T monoklonal neoplastik.



HTLV-1 Sel T



Virus RNA Onkogenik Penelitian mengenai retrovirus onkogenik pada binatang memberikan wawasan baru pada dasar genetik kanker. Namun hanya satu retrovirus, yaitu virus limfotropik sel T manusia (human T cell lymphotropic virus-1 /HTLV-1), terbukti menyebabkan kanker pada manusia. HTLV-1 dikaitkan dengan leukemia/limfoma sel T yang endemik pada beberapa tempat di Jepang dan daerah Karibia tetapi hanya ditemukan secara sporadik di tempat lain, termasuk Amerika Serikat. Sama dengan virus imunodefisiensi manusia (HIV), HTLV-1 mempunyai kecenderungan mengenai sel T CD4+, dan subset sel T merupakan target utama untuk transformasi neoplastik. Untuk infeksi pada manusia dibutuhkan transmisi sel T yang telah terinfeksi melalui hubungan seksual, produk darah, atau menyusui. Leukemia terjadi hanya pada 3% hingga 5% orang yang terinfeksi setelah suatu periode laten yang lama yaitu 20 hingga 50 tahun. Tidak diragukan lagi bahwa infeksi HTLV-1 pada sel limfosit T dibutuhkan untuk leukemogenesis, tetapi mekanisme molekuler transmisinya tidak jelas. Genom HTLV-1 tidak mengandungi virus onkogen dan berbeda dengan retrovirus binatang tertentu, tidak dijumpai tempat integrasi tertentu pada onkogen sel. Agaknya, masa laten yang panjang antara infeksi awal dan perkembangan penyakit merupakan proses langkah multipel, di mana selama itu terjadi akumulasi mutasi onkogenik. Genom HTLV-1 disamping gen retrovirus mengandungi suatu bagian unik disebut pX. Bagian ini mengandungi beberapa gen, termasuk TAX. Protein TAX terbukti dibutuhkan dan cukup untuk transformasi sel. Melalui



201



Reseptor sitokin



Sitokin



GM-CSF Mitogen sel Proliferasi sel T poliklonal



Mutdsi baru Leukemia sel T monoklonal



Makrofag



Gambar 5-31 Patogenesis limfoma/leukemia sel T yang diinduksi oleh virus limfotropik sel T manusia (HTLV- I) menginfeksi banyak sel T dan awalnya mengakibatkan proliferasi poliklonal oleh jalur autokrin dan parakrin yang dipicu oleh gen TAX. Secara bersamaan, TAX menetralkan sinyal penghambat pertumbuhan pada gen TP53 dan CDKN2A/p16. Akibatnya akan terjadi leukemia/limfoma monoklonal sel T apabila satu sel T yang berproliferasi mengalami tambahan mutasi.



202



BAB 5



Neoplasia



RINGKASAN Virus RNA Onkogenik • HTLV-1 menyebabkan leukemia sel T yang endemik di Jepang dan daerah Karibia. • Genom HTLV- 1 menyandi protein virus TAX, yang akan mengaktifkan gen untuk sitokin dan reseptornya pada sel T yang telah terinfeksi. Hal ini akan mengakibatkan lingkar sinyal autokrin dan parakrin bekerja dan menstimulasi prolifrasi sel T. Walaupun proliferasi pada awalnya poliklonal, tetapi sel T yang berproliferasi merupakan risiko untuk terjadinya mutasi sekunder yang mengakibatkan pertumbuhan leukemia monoklonal.



Virus DNA Onkogenik Seperti virus RNA, beberapa virus DNA onkogenik yang mengakibatkan tumor pada binatang telah diketahui. Empat virus DNA — HPV, virus Epstein-Barr (EBV), Sarkoma Kaposi, virus herpes (KSHV, juga disebut virus herpes-8 [HHV-8] manusia), dan virus hepatitis B (HBV) — merupakan hal yang menarik karena berhubungan erat dengan kanker manusia. KSHV dan sarkoma Kaposi dibahas pada Bab 4. Lainnya dibahas di sini.



Virus Papiloma Manusia (Human Papillomavirus)



Berbagai tipe genetik HPV telah diketahui. Beberapa tipe (misalnya 1, 2, 4, dan 7) menyebabkan papiloma skuamosa jinak (kutil) pada manusia (Bab 18 dan 21). Kutil genital mempunyai potensi ganas rendah dan juga mempunyai risiko rendah terhadap HPV, terutama HPV-6 dan HPV-11. Sebaliknya, HPV berisiko tinggi (misalnya tipe 16 dan 18) untuk menyebabkan berbagai kanker, terutama karsinoma sel skuamosa leher rahim dan daerah anogenital. Sebagai tambahan sedikitnya 20% dari kanker orofaring, terutama yang timbul pada tonsil, dikaitkan dengan HPV. Potensi HPV sebagai onkogen dapat dikaitkan dengan produk dua gen virus terdahulu yaitu, E6 dan E7. Bersamasama akan berinteraksi dengan protein pengatur pertumbuhan yang disandi oleh protoonkogen dan gen supresor tumor. Protein E7 mengikat protein retinobla-stoma dan melepaskan faktor transkripsi E2F yang dalam keadaan normal dibuang oleh Rb, sehingga meningkatkan perkembangan melalui siklus sel. Menarik perhatian, protein E7 dari HPV tipe risiko tinggi mempunyai afinitas lebih tinggi untuk Rb dibandingkan dengan E7 dari HPV tipe risiko rendah. E7 juga menginaktifkan CDKI CDKN1A/p21 dan CDNK1B/p27. Protein E6 mempunyai efek tambahan. Protein tersebut mengikat dan membantu penurunan fungsi p53. Analog dengan E7, E6 dari HPV tipe risiko tinggi mempunyai afinitas lebih tinggi untuk p53 dibanding dengan E6 dari HPV tipe risiko rendah. Juga menarik pada kutil jinak genom HPV dipertahankan dalam bentuk episomal yang tidak terintegrasi, sedangkan pada kanker genom HPV secara acak berintegrasi dengan genom pejamu. Integrasi akan mengganggu virus DNA, menghasil-kan ekspresi berlebihan onkoprotein E6 dan E7. Selanjut-nya, sel di mana genom virus telah berintegrasi akan menunjukkan instabilitas genom dengan nyata. Sebagai ringkasan, peranan infeksi HPV tipe risiko tinggi akan menyerupai menghilangnya gen supresor tumor, mengaktifkan siklin, mencegah apoptosis dan melawan penghentian sel permanen. Jadi, jelas tanda kanker yang dibahas sebelumya terjadi akibat protein HPV. Namun,



infeksi dengan HPV saja tidak cukup untuk menimbulkan karsinogenesis. Contoh, apabila pada keratinosit manusia dimasukkan DNA dari HPV-16, -18, atau -31 in vitro, sel akan tetap hidup, tetapi tidak akan terbentuk tumor pada hewan percobaan. Apabila ditambahkan gen RAS yang telah mengalami mutasi maka akan menghasilkan transformasi keganasan lengkap. Data ini mendukung bahwa HPV, dalam kehidupan, bertindak bersama-sama dengan faktor lingkungan lain (Bab 18). Namun, pentingnya infeksi HPV sebagai penyebab kanker leher rahim terbukti dengan timbulnya perlindungan hampir sempurna terhadap kanker ini setelah pemberian vaksin anti-HPV.



Virus Epstein-Barr EBV merupakan virus pertama yang dikaitkan dengan tumor manusia, yaitu limfoma Burkitt. Namun pada 40 tahun terakhir, EBV ditemukan pada sel dari berbagai jenis tumor, termasuk limfoma sel B pada pasien dengan defek imunitas sel T (misalnya pada mereka yang terinfeksi HIV), subjenis limfoma Hodgkin, kanker nasofaring, subjenis limfoma sel T, karsinoma gaster, limfoma sel NK dan walaupun jarang pada sarkoma, terutama pada pasien dengan kekebalan rendah (imunosupresi). Limfoma Burkitt ditemukan endemik pada beberapa bagian dari Afrika dan dijumpai sporadik di tempat lain. Pada daerah endemik, sel tumor pada seluruh pasien yang terkena mengandungi genom EBV. Dasar molekuler untuk proliferasi sel B yang diinduksi EBV sangat kompleks. EBV menggunakan reseptor komplemen CD21 untuk melekat dan menginfeksi sel B. In vitro, infeksi tersebut menyebabkan proliferasi sel B poliklonal dan timbulnya sel dengan garis keturunan sel limfoblastoid B. Satu gen yang disandi EBV-, disebut LMP1 (protein membran laten 1) bertindak sebagai onkogen, dan ekspresinya pada mencit transgenik menginduksi limfoma sel B. LMP1 memicu proliferasi sel B dengan mengaktifkan jalur sinyal, seperti, NF-κB dan JAK/STAT, yang menyerupai pengaktifan sel B oleh molekul permukaan sel B CD40. LMP1 juga mencegah apoptosis dengan mengaktifkan BCL2. Jadi virus "meminjam" jalur pengaktifan sel B normal untuk melakukan replikasinya sendiri dengan menambahkan kelompok sel yang rentan terhadap infeksi. Suatu protein lain yang disandi EBV yaitu, EBNA2, melakukan pengaktifan pada beberapa gen pejamu, termasuk siklin D dan kelompok protoonkogen src. Juga, genom EBV mengandungi sitokin virus, vIL-10, yang diambil dari genom pejamu. Sitokin virus ini dapat mencegah makrofag dan monosit mengaktifkan sel T dan mematikan sel yang telah diinfeksi virus. Pada orang dengan status imunologi normal, proliferasi sel B poliklonal yang dipicu-EBV segera terkendali, dan pasien yang terkena tetap asimptomatik atau mengalami episode sembuh sendiri dari infeksi mononucleosis (Bab 11). Menghindari sistem imun merupakan langkah penting pada onkogenesis yang terkait-EBV. Pada kawasan di dunia, di mana limfoma Burkitt sudah endemik, infeksi serupa (endemik) malaria (atau infeksi lain) akan melemahkan kompetensi imun dan menyebabkan dipertahankannya proliferasi sel B. Menarik perhatian, walaupun LMP1 merupakan onkogen yang pertama yang di transformasikan pada genom EBV, onkogen ini tidak diekspresikan pada limfoma Burkitt yang terkait EBV, mungkin karena merupakan satu dari antigen virus utama yang dikenal oleh sistem imun. Sel yang terinfeksi dan mengekspresi antigen virus seperti LMP-1 diawasi oleh sistem imun. Sel linfoma akan muncul hanya apabila translokasi mengaktifkan onkogen MYC, suatu gambaran tetap pada tumor ini. MYC dapat menggantikan sinyal LMP1,



Etiologi Kanker: Agen Karsinogenik



menyandi onkoprotein virus, dan walaupun DNA HBV terintegrasi dengan genom manusia, tidak ada pola konsisten integrasinya dengan sel hati. Agaknya efek onkogenik HBV dan HCV adalah multifaktor, tetapi efek yang dominan ialah radang kronik yang dipicu oleh proses imunologi dengan kematian sel hepar yang mengakibatkan regenerasi dan kerusakan genom. Walaupun sistem imun diperkirakan bersifat protektif, penelitian terakhir menunjukkan bahwa dalam upaya menghilangkan radang kronik, seperti pada hepatitis virus, atau gastritis kronik oleh H. pylori (dibahas kemudian), respons imun menjadi salah adaptasi, dan dapat menimbulkan perkembangan tumor.



sehingga tumor dapat menurunkan kegiatan (downregulate) LMP1 dan menghindari sistem imun. Perlu diketahui, pada daerah non endemik, 80% tumor negatif terhadap EBV, tetapi semua tumor mengandungi translokasi MYC. Observasi ini menunjukkan kemungkinan bahwa walaupun limfoma Burkitt non-Afrika dipicu oleh mekanisme bukan EBV, tetapi kanker ini akan berkembang dengan jalur yang sama. Pada pasien dengan fungsi sel T yang kurang, termasuk pasien dengan HIV dan penerima transplantasi organ, sel B terinfeksi-EBV mengalami ekspansi poliklonal, menghasilkan sel mirip sel limfoblastoid. Sebaliknya dengan limfoma Burkitt, sel limfoblas B pada pasien dengan imunosupresi, mengekspresikan antigen virus, seperti LMP-1, yang akan dikenal oleh sel T. Proliferasi yang berpotensi letal ini akan berkurang apabila imunitas sel T bisa dipulihkan, dan juga dapat dicapai dengan penghentian obat imunosupresif pada penderita transplantasi. Kanker nasofaring dijumpai endemik di Cina Selatan dan beberapa daerah lain dan genom EBV dijumpai pada semua tumor. LMP-1 diekspresikan oleh sel karsinoma dan seperti pada sel B, akan mengaktifkan jalur NF-κB. Selanjutnya, LMP1 menginduksi ekspresi faktor pro-angiogenik seperti VEGF, FGF-2, MMP-9, dan COX-2, yang berperan dalam timbulnya onkogenesis. Bagaimana EBV memasuki sel epitel tidak jelas, sebab sel ini gagal mengekspresi protein CD21 yang berfungsi sebagai reseptor EBV pada sel B.



Apa pun penyebab jejas sel hati, infeksi virus kronik mengakibatkan proliferasi kompensasi sel hati. Proses regenerasi ditunjang dan dibantu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, dan substansi bioaktif yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktifkan akan yang memicu ketahanan sel, remodel jaringan, dan angiogenesis. Sel imun yang teraktifkan menghasilkan mediator lain, seperti spesies oksigen reaktif yang bersifat toksik terhadap gen dan menyebabkan mutasi. Langkah molekuler terpenting ialah pengaktifan jalur faktor inti-κB (NF-κB) pada sel hati oleh mediator dari sel imun yang teraktifkan. Pengaktifan jalur NFκB di dalam sel hati akan memblok apoptosis, sehingga sel hati yang sedang membelah mengalami stres toksik pada gen dan mengakumulasi mutasi. Walaupun ini diperkirakan merupakan mekanisme dominan pada patogenesis karsinoma sel hati yang diinduksi oleh virus, kedua HBV dan HCV juga mengandungi protein dalam genomnya yang bisa langsung memicu pertumbuhan kanker. Genom HBV mengandungi gen yang dikenal sebagai HBx, bisa menimbulkan kanker sel hati pada mencit transgenik. HBx dapat langsung atau tidak langsung mengaktifkan beberapa faktor transkripsi dan beberapa jalur sinyal transduksi. Sebagai tambahan, inte grasi virus bisa menyebabkan pengaturan kembali yang kedua dari kromosom, termasuk delesi multipel yang terdapat pada gen supresor tumor yang belum dikenal.



RINGKASAN Virus IDNA'Onkogenik • • •











HPV dihubungkan dengan kutil jinak, juga dengan kanker leher rahim. Onkogenitas HPV berhubungan dengan ekspresi dua onkoprotein virus, E6 dan E7; keduanya mengikat Rb dan p53, menetralkan fungsinya. E6 dan E7 dari strain HPV risiko tinggi (yang mengakibatkan kanker) mempunyai afinitas lebih tinggi untuk targetnya dibandingkan dengan E6 dan E7 dari strain HPV risiko rendah (yang mengakibatkan kutil jinak). EBV terlibat dalam patogenesis linfoma Burkitt, limfoma pada pasien dengan imunosupresi (infeksi HIV atau penerima transplantasi organ), beberapa bentuk limfoma Hodgkin, tumor sel T dan tumor sel NK yang jarang, karsinoma nasofaring, subset karsinoma lambung dan jarang pada sarkoma. Beberapa produk gen EBV berperan pada onkogenesis dengan menstimulasi jalur proliferasi sel B normal. Menurunnya (concomitant compromise) imunokompeten menimbulkan proliferasi sel B dipertahankan, mengakibatkan pertumbuhan limfoma, dengan timbulnya mutasi tambahan seperti t (8; 14) yang mengakibatkan pengaktifan gen MYC.



Walaupun bukan virus DNA, HCV juga berhubungan kuat dengan patogenesis kanker hati. Mekanisme molekuler pada HCV kurang dikenal dibandingkan dengan HBV. Disamping jejas sel hati kronik dan regenerasi kompensasi pada komponen genom HCV, (seperti protein inti HCV), HCV juga mungkin mempunyai efek langsung pada pembentukan tumor melalui pengaktifan jalur transduksi sinyal pemicu pertumbuhan.



RINGKASAN Virus Hepatitis B dan Hepatitis C • •



Virus Hepatitis B dan Hepatitis C Bukti epidemiologi menunjukkan adanya hubungan kuat antara infeksi kronik virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV) dengan karsinoma sel hati (Bab 15). Diperkirakan bahwa 70% hingga 85% kasus karsinoma sel hati di dunia terjadi karena infeksi HBV atau HCV. Namun kerja virus ini tidak jelas diketahui. Genom HBV dan HCV tidak



203







Di antara 70% dan 85% karsinoma sel hati di dunia, terjadi akibat infeksi HBV atau HCV. Efek onkogen HBV dan HCV adalah multifaktor, tetapi efek yang dominan ialah radang kronik yang dipicu secara imunologi, dengan akibat jejas sel hati, stimulasi proliferasi sel hati dan produksi spesies oksigen reaktif yang dapat merusak DNA. Protein HBx dari HBV dan protein inti HCV dapat mengaktifkan berbagai jalur sinyal transduksi yang juga berperan pada terjadinya kanker.



204



BAB



Neoplasia



Helicobacter Pylori H. pylori semula diperkirakan sebagai penyebab penyakit ulkus peptikum, sekarang diragukan sebagai bakteri pertama yang dikelompokkan sebagai karsinogen. Memang, infeksi H. pylori dilibatkan pada terjadinya adenokarsinoma lambung dan limfoma lambung Skenario timbulnya adenokarsinoma lambung mirip dengan HBV- dan HCV-pemicu kanker hati. H. pylori terlibat dalam proliferasi sel epitel dengan latar belakang radang kronik. Seperti pada hepatitis virus, daerah radang mengandungi banyak agen yang merupakan racun bagi genom, seperti spesies oksigen reaktif. Urutan perubahan histopatologis ialah diawali terjadinya radang kronik/gastritis, diikuti atrofia gaster, metaplasia intestinal sel permukaan, displasia dan kanker. Urutan ini membutuhkan waktu puluhan tahun untuk selesai dan hanya terjadi pada 3% pasien yang terinfeksi. Seperi HBV dan HCV, genom H. pylori juga mengandungi gen yang langsung terlibat dalam onkogenesis. Strains yang berkatian dengan adenokarsinoma lambung diketahui mempunyai bagian penyebab penyakit (pathogenicity island) yang mengandungi gen A, yang berhubungan dengan sitotoksin (CagA). Walaupun H. pylori tidak invasif, namun CagA yang disuntikkan ke epitel lambung, mempunyai berbagai efek, termasuk pemicu kaskade yang mirip stimulasi faktor pertumbuhan yang tidak diatur. Sebagaimana dibahas sebelumnya, H. pylori juga dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk timbulnya limfoma lambung. Limfoma gaster berasal dari sel B, dan karena sel B yang mengalami transformasi tumbuh dengan pola yang mirip dengan jaringan limfoid yang berasosiasi dengan mukosa normal (MALT), maka tumor tersebut disebut juga limfoma MALT (Bab 11). Patogenesis molekuler tidak jelas diketahui tetapi agaknya melibatkan faktor strain spesifik dari H. pylori, dan juga faktor genetik pejamu, misalnya polimorfisme pada promotor sitokin peradangan misalnya IL-1β dan faktor nekrosis tumor (TNF). Diperkirakan infeksi H. pylori akan mengaktifkan sel T yang reaktif pada H. pylori, dan kemudian akan menyebabkan proliferasi sel B poliklonal. Pada waktunya akan muncul sel B monoklonal di antara sel B yang sedang berproliferasi, mungkin akibat akumulasi mutasi pada gen pengatur pertumbuhan. Sesuai dengan model ini eradikasi H. pylori, pada awal penyakit, akan menyembuhkan limfoma dengan hilangnya stimulus antigen sel T.



RINGKASAN Helicobacter pylori • Infeksi H. pylori dikaitkan dengan adenokarsinoma lambung dan limfoma MALT. • Mekanisme kanker lambung yang diinduksi H. pylori adalah multifaktor, termasuk radang kronik yang dipicu faktor immunologi, stimulasi proliferasi sel lambung, dan produksi kelompok oksigen reaktif yang merusak DNA. Patogenitas gen H. pylori, seperti CagA, juga bisa berperan dengan merangsang jalur faktor pertumbuhan. • Diperkirakan infeksi H. pylori mendorong proliferasi sel B poliklonal dan suatu waktu timbul tumor sel B monoklonal (limfoma MALT) sebagai akibat akumulasi mutasi.



PERTAHANAN TUBUH TERHADAP TUMOR: IMUNITAS TUMOR Pemikiran bahwa tumor bukan seluruhnya mandiri (self) diajukan oleh Ehrlich, yang mengusulkan bahwa pengenalan sel tumor badan sendiri (autolog) yang dipicu oleh sistem imun merupakan "mekanisme positif" karena mampu menyingkirkan sel yang telah berubah. Selanjutnya, Lewis Thomas dan Macfarlane Burnet merumuskan konsep ini dengan memakai istilah pengawasan imun (immune surveillance) untuk melakukan pengenalan dan destruksi sel tumor yang baru jadi, yang dianggap benda asing oleh sistem pertahanan tubuh. Apabila terjadi kanker menandakan bahwa pengawasan imun tidak sempurna; lolosnya beberapa tumor dari kegiatan tersebut, tidak menghilangkan kemungkinan bahwa yang lain gagal. Bagian ini hanya membahas pertanyaan tentang imunitas tumor. Bagaimana sifat antigen tumor? Sistem pengenalan apa dari pejamu yang dapat mengenal sel tumor? Apakah imunitas tumor bermanfaat untuk neoplasma spontan?



Antigen Tumor Antigen yang menimbulkan respons imun telah ditunjukkan pada berbagai tumor hasil induksi pada percobaan dan beberapa pada kanker manusia. Pada awalnya, antigen-antigen ini diklasifikasi dalam dua kategori berdasarkan pola ekspresinya: antigen spesifik tumor (tumor-specific antigen), yang hanya ada pada sel tumor dan tidak dijumpai pada sel normal. dan antigen yang terkait tumor (tumor-associated antigens), yang ada pada sel tumor dan beberapa sel normal. Klasifikasi ini, sayangnya tidak sempurna, karena banyak antigen yang diperkirakan spesifik tumor ternyata diekspresi juga oleh sel normal. Klasifikasi modern antigen tumor didasarkan pada struktur molekuler dan sumbernya. Kemajuan penting pada imunologi tumor adalah pengembangan teknik utuk mengenali antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T sitotoksik (CIts),sebab CTL berperan pada mekanisme defensif imun terhadap tumor. Seperti dibahas pada Bab 4, CTL akan mengenali peptida yang berasal dari protein sitoplasma yang terikat dengan molekul kompleks histokompatibilitas utama kelas I (class I major histocompatibility complex (MHC) molecules) Berikut pembagian utama antigen tumor (Gambar 5-32).



Produk Onkogen yang Bermutasi dan Gen Supresor Tumor Transformasi neoplastik, sebagaimana dibicarakan sebelumnya, terjadi karena perubahan, sebagian terpapar sebagai antigen permukaan sel yang bisa dilihat sebagai bukan diri sendiri (nonself) oleh sistem imun. Antigen pada kategori ini berasal dari mutasi pada onkoprotein dan protein supresor tumor. Antigen tumor yang unik timbul dari β-katenin, RAS, p53, dan CDK4, di mana gen yang telah disandi sering mengalami mutasi dalam tumor. Karena gen mutan hanya dijumpai pada tumor, maka peptidanya akan diekspresi hanya di sel tumor. Karena banyak tumor mempunyai mutasi yang sama, maka antigen tersebut adalah andil bersama dari tumor yang berbeda. Walaupun CTL dapat dirangsang untuk melawan antigen tersebut, tidak terjadi respons protektif in vivo. Pada beberapa kasus, onkogen tidak bermutasi akan diekspresi berlebihan pada tumor. Contoh terbaik



Pertahanan Tubuh terhadap Tumor Imunitas Tumor



Sel pejamu normal menunjukkan berbagai antigen yang berhubungan dengan MHC



Sel T MHC kelas 1



Produk onkogen atau gen supresor yang telah bermutasi



Sel tumor mengekspresi berbagai tipe antigen tumor



CONTOH



Tidak ada respons sel T



Protein self normal



205



Protein diri akibat mutasi



Protein diri dengan ekspresi berlebihan atau tidak teratur



Virus onkogen



Sel T



CD8+ CTL



Produk onkogen: RAS bermutasi, protein fusi, BCR/ABL Produk gen supresor tumor: protein p53 yang bermutasi



Sel T



Berbagai protein mutan pada tumor binatang yang diinduksi karsinogen atau radiasi; berbagai protein mutan pada melanoma



Sel T



Ekspresi berlebihan dari: tirosinase, gp100 Mart pada melanoma Ekspresi tidak teratur: antigen kanker testis (MAGE, BAGE



Sel T



CD8+ CTL



Antigen virus spesifik untuk CTL CD8+



Protein virus papiloma manusia E6, E7 pada kanker serviks; protein EBNA pada limfoma yang diinduksi EBV



Gambar 5-32 Antigen tumor dikenal oleh sel T CD8+. (ModiPkasi dari Abbas Al, Lichtman AH: Cellular and Molecular Immunology, 5th ed. Philadelphia, WB Saunders, 2003. )



ialah onkogen HER2/NEU, di mana produknya diekspresi dalam jumlah tinggi pada suatu subjenis kanker payudara. Antibodi yang ditargetkan terhadap protein Her2/Neu dipakai di klinis untuk mengobati kanker payudara.



Produk dari Gen Lain yang Telah Bermutasi Karena instabilitas genetik sel tumor, banyak gen mengalami mutasi pada sel ini, termasuk gen yang produksinya tidak berkaitan dengan fenotipe yang telah mengalami transformasi dan fungsinya tidak diketahui. Produk gen yang telah bermutasi berpotensial menjadi antigen tumor. Antigenantigen ini sangat bervariasi, karena karsinogen yang menginduksi tumor sebenarnya dapat mengadakan mutasi secara acak pada tiap gen pejamu. Protein sel yang telah mengalami mutasi lebih sering terjadi pada tumor binatang yang diinduksi oleh karsinogen kimia atau radiasi dibandingkan dengan kanker manusia yang spontan. Protein-protein tersebut dapat menjadi target sistem imun, karena tidak diiterima oleh badan sendiri.



Ekspresi Protein Sel yang Berlebihan atau Menyimpang Antigen tumor dapat berupa protein sel normal yang diekspresikan secara abnormal pada sel tumor dan mendatangkan respons imun. Pada subtipe melanoma manusia, beberapa antigen tumor mempunyai struktur protein normal yang pada sel normal diproduksi dalam jumlah rendah sedangkan pada sel tumor mengalami



ekspresi berlebihan. Salah satu antigen tersebut ialah tirosinase, suatu enzim yang terlibat pada biosintesa melanin yang diekspresikan hanya pada melanosit normal dan melanoma. Sel T dari pasien dengan melanoma akan mengenali peptida yang berasal dari tirosinase, sehingga ada kemungkinan bahwa vaksin tirosinase dapat memicu reaksi tersebut pada melanoma; uji klinis terhadap vaksin ini sedang berlangsung. Adalah mengherankan bahwa pasien tersebut mampu bereaksi dengan antigen badan sendiri yang normal. Penjelasan yang dapat diberikan ialah secara normal tirosinase diproduksi dalam jumlah rendah dan hanya pada beberapa sel sehingga tidak dapat dikenali oleh sistem imun dan gagal menginduksi toleransi. Kelompok lain, yang disebut antigen kanker testis, yang disandi oleh gen yang tenang pada semua jaringan normal orang dewasa kecuali pada testis dan dikacau oleh sel kanker, sesuai dengan asal namanya. Walaupun protein tersebut dijumpai di testis, namun tidak ditampilkan pada permukaan sel dalam bentuk antigen, sebab sperma tidak menampilkan molekul MHC kelas I. Jadi untuk keperluan praktis, antigen ini bersifat spesifik tumor. Prototipe dari kelompok ini ialah kelompok gen MAGE (antigen gen melanoma/ melanoma antigen gene). Walaupun antigen ini spesifik tumor tetapi antigen MAGE tidaklah khas untuk tiap tumor. MAGE-1 diekspresikan pada 37% melanoma dan berbagai karsinoma paru, hati, lambung dan esofagus. Antigen serupa yang disebut GAGE, BAGE, dan RAGE telah ditemukan pada tumor lain. Beberapa antigen dari kategori ini sedang dipakai pada penelitian vaksin tumor.



206



BAB



Neoplasia



Antigen Tumor yang Diproduksi oleh Virus Onkogen Sebagaimana sudah dibahas terdahulu, beberapa virus dikaitkan dengan kanker. Tidak mengherankan, virus ini menghasilkan protein yang dianggap benda asing oleh sistem imun. Antigen yang paling poten adalah protein yang diproduksi oleh virus DNA laten; contohnya pada manusia ialah HPV dan EBV. Banyak bukti menunjukkan bahwa CTL mengenali antigen virus ini dan suatu sistem imun mampu berperan pada pengawasan terhadap tumor yang diinduksi virus karena kemampuannya untuk mengenali dan mematikan sel yang terinfeksi virus. Memang, vaksin terhadap antigen HPV telah berhasil efektif dalam mencegah kanker leher rahim pada gadis dan wanita muda.



berasal sel B karena ditemukannya marker permukaan yang khas untuk jenis ini, misalnya CD20. Antibodi terhadap CD20 dipakai untuk imunoterapi limfoma sel B tertentu. Antigen diferensiasi ini merupakan antigen badan sendiri yang normal, sehingga tidak akan merangsang reaksi imun pada pejamu yang terkena tumor ini



Mekanisme Efektor Antitumor Imunitas yang dipicu sel merupakan mekanisme anti tumor yang dominan in vivo. Walaupun antibodi bisa dibuat melawan tumor, tidak ada bukti mempunyai peran proteksi dalam kondisi fisiologis. Efektor sel yang akan menimbulkan kekebalan menengah telah dibicarakan sepenuhnya di Bab 4, sehingga di sini akan dibahas secara singkat.



Antigen Onkofetal



Limfosit T Sitotoksik



Antigen onkofetal atau antigen embrionik, seperti antigen karsinoembrionik (CEA) dan alfa fetoprotein, ditampilkan selama embriogenesis tetapi tidak pada jaringan dewasa normal. Penekanan gen yang menyandi antigen ini akan menyebabkan ditampilkan lagi pada usus besar dan kanker hati. Antibodi dapat dibuat dari antigen ini dan bermanfaat untuk mendeteksi antigen onkofetal. Walaupun, seperti yang akan dibicarakan kemudian, tidak seluruh antigen adalah spesifik tumor. Antigen yang khas dapat digunakan sebagai marker serum untuk kanker.



Peran limfosit T sitotoksik (CTL) yang tersensitifasi khusus pada binatang percobaan yang diinduksi tumor telah diketahui. Pada manusia, agaknya berperan protektif, terutama terhadap neoplasma yang terkait virus (misalnya Limfoma Burkitt yang diinduksi EBV, tumor yang diinduksi HPV). Adanya sel MHC yang hanya CD8+ (MHC-restricted CD8+) yang dapat mem-bunuh sel tumor autolog pada tumor manusia, maka diduga peran sel T dalam kekebalan melawan tumor agaknya lebih luas dari yang diperkirakan. Pada beberapa kasus, sel T CD8+ tidak terbentuk spontan in vivo tetapi dapat dibentuk dengan imunisasi memakai antigen tumor sel dendrit.



Perubahan Glikolipid dan Glikoprotein Permukaan Sel Sebagian besar tumor pada manusia dan hewan percobaan menampilkan glikoprotein dan glikolipid permukaan dengan kadar lebih tinggi atau bentuk yang tidak normal yang bisa dijadikan tanda diagnostik dan target pada pengobatan. Molekul yang berubah ini termasuk gangliosida, antigen golongan darah dan musin. Walaupun hampir seluruh epitop dikenal oleh antibodi untuk melawan antigen tersebut tidak khusus diekspresi pada tumor, tetapi ditemukan kadarnya lebih tinggi pada sel kanker dibanding sel normal. Kelompok antigen ini menjadi target untuk terapi kanker dengan antibodi spesifik. Beberapa jenis musin menarik perhatian dan menjadi fokus penelitian di bidang diagnostik dan terapi inti termasuk CA-125 dan CA-19-9, yang diekspresi pada kanker ovarium, dan MUC-1, diekspresi pada kanker payudara. Berbeda dengan banyak musin lain, MUC-1 merupakan protein membran integral yang normalnya diekspresi hanya dipermukaan apikal dari epitel duktus payudara, suatu tempat yang terlepas dari sistem imun. Namun, pada karsinoma duktal payudara molekul tersebut diekspresi dalam bentuk yang tidak terpolarisasi dan mengandungi karbohidrat spesifik tumor dan epitop peptida yang baru. Epitop tersebut menginduksi antibodi dan respons sel T pada pasien kanker dan karena itu merupakan kandidat untuk vaksin tumor.



Antigen Diferensiasi yang Khas Tipe Sel (Cell Type Specific Differentiation Antigens) Tumor akan menampilkan molekul yang pada keadaan normal terdapat pada sel asalnya. Antigen ini disebut antigen diferensiasi, karena spesifik untuk garis (lineage) tertentu atau stadium diferensiasi berbagai tipe sel. Kepentingannya ialah dapat merupakan target potensial untuk imunoterapi dan untuk mengidentifikasi asal jaringan tumor. Contoh, limfoma dapat didiagnosis sebagai tumor



Sel Pembunuh Alamiah (Natural Killer Cells) Sel NK merupakan limfosit yang mampu memusnahkan sel tumor tanpa didahului sensitisasi; dapat menjadi garis depan pertahanan melawan sel tumor. Setelah pengaktifan dengan IL-2, sel NK dapat menghancurkan banyak tumor manusia, termasuk banyak yang diperkirakan nonimunogenik untuk sel T. Sel T dan sel NK membentuk mekanisme antitumor yang saling mendukung. Tumor yang gagal mengekspresikan antigen MHC kelas I tidak dapat dikenal oleh sel T, tetapi tumor ini dapat memicu sel NK karena sel ini diinhibisi mengenal molekul autologous kelas I normal (Bab 4). Jadi tumor dapat downregulate MHC class I molecules untuk mencegah pengenalan oleh sel T, sehingga merupakan target utama untuk sel NK. Reseptor yang memicu pada sel NK sangat berlainan dan termasuk pada beberapa kelompok gen. Protein NKG2D yang diekspresikan pada sel NK dan beberapa sel T, adalah reseptor pengaktif penting. Akan mengenal antigen yang dipicu stres yang terekspresi di sel tumor dan pada sel yang mengalami kerusakan DNA dan berisiko mengalami transformasi keganasan.



Makrofag Makrofag dari tipe M1 yang diaktifkan secara klasik (Bab 2) menunjukkan sifat sitotoksis terhadap sel tumor in vitro. Sel T, sel NK, dan makrofag akan saling bantu dalam reaktivitas antitumor, sebab interferon-γ, suatu sitokin yang disekresi oleh sel T dan sel NK, merupakan aktivator kuat bagi makrofag. Makrofag yang telah diaktifkan akan membunuh tumor dengan mekanisme yang mirip dengan yang dipergunakan untuk mematikan mikroba (misalnya produksi metabolit oksigen reaktif) (Bab 2) atau melalui sekresi faktor nekrosis tumor (TNF).



Mekanisme Humoral Walaupun tidak ada bukti adanya efek protektif antibodi anti tumor terhadap tumor spontan, pemberian antibodi monoklonal terhadap sel tumor dapat merupakan terapi efektif. Suatu antibodi monoklonal terhadap CD20, merupakan suatu antigen permukaan sel B, dipakai secara luas untuk pengobatan limfoma non-Hodgkin tertentu.



Aspek Klinis Neoplasia



Pengawasan Imun dan Penghindaran Imun oleh Tumor Dari segi potensi mekanisme antitumor pejamu, apakah ada bukti bahwa terjadi kegiatan in vivo untuk mencegah timbulnya suatu neoplasma? Argumentasi terkuat tentang adanya pengawasan imunologi ialah meningkatnya frekuensi kanker pada pejamu dengan gangguan imunodefisiensi. Pada sekitar 50% orang dengan imunodefisiensi kongenital akan timbul kanker, suatu kejadian yang 200 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang tanpa gangguan imunodefisiensi. Sama dengan, penerima transplantasi dengan pengobatan imunosupresi dan pasien dengan sindrom imunodefisiensi yang didapat jumlah keganasannya yang meningkat. Sebaiknya dicatat, sebagian besar (bukan semuanya) dari neoplasma ini ialah limfoma, sering limfoma dari sel B yang diaktifkan. Menarik sebagai ilustrasi ialah gangguan limfoproliferatif X-linked. Apabila anak lakilaki mengalami infeksi EBV, infeksi tersebut tidak menjadi bentuk self-limited dari mononukleosis infeksiosa yang biasa terjadi tetapi berkembang menjadi bentuk fatal mononukleosis infeksiosa atau lebih buruk, menjadi limfoma malignum. Kanker umunya terjadi pada pasien yang tidak mempunyai gangguan imunodefisiensi yang jelas. Apabila pengawasan imun memang ada, bagaimana kanker dapat menghindari sistem imun pada pejamu yang imunokompeten? Berikut diajukan beberapa cara mekanisme untuk menghindar: • Pertumbuhan berlebihan dari varian antigen negatif secara selektif. Selama perkembangan tumor, subklon dengan imunogenik kuat akan dihilangkan. Hal ini ditunjang oleh penelitian di mana tumor yang timbul pada mencit dengan immunocompromised mengekspresi antigen yang dikenal, dengan akibat eliminasi tumor oleh sistem imun mencit normal, sedangkan tumor sama yang timbul pada mencit dengan immunocompetent bersifat non immunogenik. • Hilang atau berkurangnya ekspresi molekul histokompatibilitas. Sel tumor bisa gagal mengekspresi antigen leukosit manusia (HLA) kelas I, dalam kadar normal menghindari penyerangan oleh CTL. Namun sel tersebut, dapat memicu sel NK. • Imunosupresi. Banyak agen onkogenik (misalnya zat kimia, radiasi ion) menekan respons imun pejamu. Tumor atau produk tumor dapat juga bersifat menekan kekebalan. Contoh, TGF-β, disekresi dalam jumlah besar oleh banyak tumor, merupakan imunosupresan poten. Pada beberapa kasus, respons imun yang diinduksi tumor akan menghambat imunitas tumor. Beberapa mekanisme dari penghambatan tersebut telah dijelaskan. Contohnya, pengenalan sel tumor dapat mengikat reseptor inhibitor sel T, CTLA-4, atau mengaktifkan sel T yang bersifat mengatur yang akan menekan respons imun. Dapat pula terjadi lebih buruk, beberapa mengekspresi FasL, yang dapat mengikat Fas pada permukaan sel imun dan menginduksi sel imun untuk masuk proses apoptosis. • Antigen masking. Banyak tumor memproduksi lapisan yang lebih tebal dari molekul glycocalyx eksternal, asam mukopolisakarida mengandungi asam sialat dibanding sel normal. Lapisan tebal ini akan memblok akses sel



207



tumor ke molekul yang menyajikan antigen, sehingga mencegah pengenalan antigen dan melakukan kematian sel. • Mengurangi molekul yang membantu rangsangan (Downregulation of co-stimulatory molecules). Molekul pendamping (costimulatory) dibutuhkan untuk memicu respons sel T yang kuat. Banyak tumor mengurangi ekspresi molekul pembantu rangsangan tersebut.



RINGKASAN Pengawasan imun • • •



• •



Sel tumor dapat dikenal oleh sistem imun sebagai benda asing dan dirusak. Aktivitas antitumor dipicu terutama oleh mekanisme pemicu sel. Antigen tumor ditempatkan di permukaan sel oleh molekul MHC kelas I dan dikenal oleh CD8+ CTL. Berbagai kelas antigen tumor termasuk produk dari protoonkogen yang telah mengalami mutasi, gen supresor tumor, protein dengan ekspresi berlebihan atau ekspresinya menyimpang, antigen tumor yang dihasilkan virus onkogen, antigen onkofetal, perubahan glikolipid dan glikoprotein dan antigen sel dengan diferensiasi khusus (cell type-specific differentiation antigens). Pasien dengan imunosupresi mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker Pada pasien imunokompeten, tumor dapat menghindari sistem imun dengan beberapa mekanisme, termasuk pertumbuhan berlebihan selektif dari varian antigen negatif, hilang atau berkurangnya ekspresi antigen dengan histokompatibilitas dan imunosupresi yang dimediasi oleh sekresi faktor dari tumor (misalnya TG F-β).



ASPEK KLINIS NEOPLASIA Pentingnya neoplasma bergantung efeknya pada pasien. Walaupun tumor ganas lebih membahayakan daripada tumor jinak, morbiditas, dan mortalitas dapat dikaitkan dengan tumor apa pun termasuk juga dengan tumor jinak. Memang, kedua jenis tumor, baik jinak maupun ganas dapat menimbulkan masalah karena (1) lokasi dan akibatnya terhadap struktur sekitarnya, (2) aktivitas fungsional seperti sintesa hormon atau timbulnya sindrom paraneoplastik, (3) perdarahan dan infeksi bila tumor mengalami ulserasi ke jaringan permukaan sekitarnya, (4) simptom yang terjadi akibat ruptur atau infark dan, (5) kaheksia atau penyusutan tubuh. Diskusi berikutnya mengenai efek tumor pada pejamu, gradasi dan stadium klinis kanker, dan diagnosis laboratorium dari neoplasma.



Efek Tumor pada Pejamu Lokasi sangat penting pada kedua jenis tumor jinak dan ganas. Suatu tumor kecil (1cm) adenoma hipofisis dapat menekan dan merusak kelenjar normal disekitarnya dan mengakibatkan hipopituitarisme. Suatu leiomioma ukuran 0,5 cm pada dinding arteri renalis dapat menggangu suplai darah, mengakibatkan iskemia ginjal dan hipertensi. Suatu karsinoma ukuran kecil pada duktus biliaris dapat mengakibatkan obstruksi fatal saluran empedu. Produksi horman dijumpai pada neoplasma jinak dan ganas dari kelenjar endokrin. Adenoma dan karsinoma berasal dari sel beta pulau Langerhans pankreas akan menyebabkan hiperinsulinisme, kadang-kadang fatal. Sebagai analog, beberapa adenomas dan karsinoma korteks kelenjar adrenal menghasilkan kortikosteroid



208



BAB 5



Neoplasia



yang memberi pengaruh pada pasien (misalnya aldosteron, yang menginduksi retensi natrium, hipertensi, dan hipokalemia). Aktivitas hormon yang demikian lebih mungkin dijumpai pada suatu tumor jinak dibandingkan dengan karsinoma di kelenjar yang sama. Suatu tumor dapat mengalami ulserasi ke permukaan, dengan akibat perdarahan dan infeksi sekunder. Neoplasma jinak atau ganas yang tumbuh ke dalam lumen saluran cerna dapat terjebak gerakan peristaltik, dan menyebabkan intususepsi (Bab 14) dan obstrusi intestinum atau infark.



Kaheksia Kanker Banyak pasien kanker menderita kehilangan lemak tubuh dan jaringan massa tubuh secara progresif, disertai rasa lemah yang berat, anoreksia dan anemia suatu kondisi yang disebut kaheksia. Ada korelasi antara besar dan luasnya penyebaran kanker dengan beratnya kaheksia. Namun, kaheksia tidak diakibatkan oleh kebutuhan nutrisi tumor. Walaupun pasien kanker umumnya mengeluh anoreksia, bukti terakhir menunjukkan bahwa kaheksia terjadi karena kerja faktor yang larut air, misalnya sitokin yang diproduksi oleh tumor dan pejamu, dan bukan karena berkurangnya intake makanan. Pada pasien dengan kanker, kebutuhan kalori tetap tinggi dan metabolisme basal meningkat. Hal ini berlawanan dengan metabolisme yang menurun sebagai respons adaptif saat kelaparan. Dasar terjadinya abnormalitas metabolisme tidak sepenuhnya diketahui. Diperkirakan akibat TNF yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap sel tumor yang memicu kaheksia. TNF menekan nafsu makan dan mencegah kerja lipase lipoprotein, mencegah keluarnya asam lemak bebas dari lipoprotein. Juga, suatu faktor mobilisasi protein, yang disebut faktor yang menginduksi proteolisis, yang mengakibatkan pemecahan protein otot skeletal oleh jalur ubiquitin-proteosome, yang ditemukan pada serum pasien kanker. Molekul lain dengan kerja lipolitik juga telah ditemukan. Tidak ada pengobatan yang memuaskan untuk kaheksia kanker kecuali menghilangkan penyebabnya, yaitu tumor.



Sindrom Paraneoplasma Sekelompok gejala yang terjadi pada pasien kanker dan tidak dapat dijelaskan, apakah akibat penyebaran lokal atau penyebaran jauh atau elaborasi hormon yang tidak berasal dari jaringan asal tumor disebut sindrom paraneoplasma. Timbul pada 10% hingga 15% pasien kanker, dan pengenalan klinis penting karena beberapa hal: • Sindrom tersebut dapat menyatakan adanya manifestasi dini suatu neoplasma yang tersembunyi • Pada pasien yang terkena sindrom itu, perubahan patologis dapat diasosiasikan dengan penyakit klinis yang jelas dan dapat bersifat mematikan. • Kelompok gejala dapat menyerupai suatu penyakit yang bermetastasis, sehingga akan mengacaukan pengobatan.



Sindrom paraneoplasma beraneka-ragam dan dikaitkan dengan berbagai tumor yang berbeda (Tabel 5-5). Yang tersering dijumpai pada sindrom itu ialah hiperkalsemia, sindrom Cushing, dan endokarditis trombotik nonbakteri; neoplasma tersering yang dihubungkan dengan sindrom ini dan sindrom lain ialah kanker paru, payudara dan keganasan hematologi. Hiperkalsemia pada penderita kanker bersifat multifaktor, tetapi mekanisme terpenting ialah sintesa protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid (PTHrP) oleh sel tumor. Juga melibatkan faktor yang berasal dari tumor, misalnya TGF-α, faktor polipeptida yang mengaktifkan osteoklas, dan bentuk aktif vitamin D. Kemungkinan mekanisme lain timbulnya hiperkalsemia adalah penyakit metastastik osteolitik yang luas pada tulang; namun harap diperhatikan bahwa hiperkalsemia akibat metastasis pada tulang bukan merupakan merupakan sindrom paraneoplasma. Sindrom Cushing yang timbul sebagai fenomena paraneoplasma biasanya berhubungan dengan produksi ACTH ektopik atau polipeptida yang mirip ACTH oleh sel kanker, sebagaimana yang terjadi pada kanker paru jenis sel kecil. Kadangkadang satu tumor menginduksi beberapa sindrom bersamaan. Contoh, karsinoma bronkogenik dapat mengeluarkan produk yang identik atau mempunyai efek seperti ACTH, hormon antidiuretik, hormon paratiroid, serotonin, human chorionic gonadotropin, dan substansi bioaktif lain. Sindrom paraneoplasma dapat juga bermanifestasi seperti hiperkoagulabilitas, mengakibatkan trombosis vena dan endokarditis trombosit nonbakteri (Bab 10). Manifestasi lain ialah jarijari yang clubbing dan osteoartropati hipertrofi pada pasien dengan karsinoma paru (Bab 12). Hal lain akan dibahas pada kanker organ tubuh bersangkutan



Derajat Diferensiasi dan Stadium Kanker Metode untuk mengukur kemungkinan agresivitas sejumlah neoplasma secara klinis dan kuantitatif serta perluasan dan penyebaran pada seorang pasien, perlu untuk membuat prognosis yang akurat dan untuk membandingkan hasil akhir berbagai protokol pengobatan. Misalnya, hasil dari pengobatan adenokarsinoma tiroid yang kecil berdiferensiasi baik dan masih terbatas di kelenjar tiroid akan berbeda dengan hasil pengobatan karsinoma tiroid anaplastik yang telah menginvasi organ pada leher. Gradasi kanker ialah upaya untuk memperkirakan agresivitas atau derajat keganasan berdasarkan diferensiasi sitologi sel tumor dan jumlah mitosis yang dijumpai pada tumor. Kanker dapat diklasifikasi sebagai grade I, II, III, atau IV, sesuai dengan urutan beratnya anaplasia. Kriteria gradasi berbeda pada tiap jenis neoplasia dan tidak akan dibahas secara rinci di sini. Kesulitan untuk memastikan kriteria yang jelas menyebabkan kemudian dipilihnya cara karakterisasi deskriptif (misalnya adenokarsinoma berdiferensiasi baik tanpa invasi vaskular maupun limfatik atau sarkoma yang sangat anaplastik dengan invasi vaskular yang luas). Stadium kanker didasarkan pada besarnya lesi primer, penyebaran ke kelenjar getah bening regional dan ada atau tidaknya metastasis. Penilaian ini biasanya didasarkan pada pemeriksaan klinis dan radiografi (computed tomography and magnetic resonance imaging) dan pada beberapa kasus didasarkan atas eksplorasi bedah. Penetapan stadium sekarang dilakukan menurut dua metode: sistem TNM (T, tumor primer; N, keterlibatan kelenjar getah bening; M, metastasis) dan sistem AJC (American Joint Committee). Pada sistem TNM, T1, T2, T3 dan T4 menjelaskan



Aspek Klinis Neoplasia



207



Tabel 5-5 Sindrom Paraneoplastik



Sindrom Klinis



Jenis Utama Neoplasia



Mekanisme Penyebab/Agen



Sindrom Cushing



Karsinoma paru sel kecil Karsinoma pankreas Tumor saraf



ACTH atau zat mirip ACTH



Sindrom sekresi hormon antidiuretika tidak tepat



Karsinoma paru sel kecil; Neoplasma Intraktranial Karsinoma paru sel skuamosa Karsinoma payudara Karsinoma ginjal Leukimia/limfoma sel T dewasa Karsinoma ovarium Fibrosarkoma Sarkoma mesenkim lainnya Karsinoma sel hepar



Hormon antidiuretika atua hormon natriuretik atrial



Endokrinopati



Hiperkalsemia



Hipoglikemia



Protein yang terikat hormon paratiorid TGF-α, TNF, IL-I



Zat insulin atau mirip insulin



Sindrom karsinoid



Adenoma bronkus (karsinoid) Karsinoma pankreas Karsinoma lambung



Serotonin, bradikinin



Polisitemia



Karsinoma ginjal Hemangioma serebelum Karsinoma sel hepar



Eritropoiten



Karsinoma bronkus, timoma Karsinoma payudara, teratoma



Imunologi



Nigrikan Aknatosis



Karsinoma lambung Karsinoma paru Karsinoma uterus



Imunologi; sekresi faktor pertumbuhan epidermal



Dermatomiositis



Karsinoma bronkus dan karsinoma payudara



Imunologi



Sindrom Saraf dan Otot Miastenia Gangguan sistem saraf sentral dan perifer



Gangguan Kulit



Perubahan Tulang, Sendi dan Jaringan Ikat Osteoartropati hipertrofik dan jari tangan sangat penting



Karsinoma bronkus



Tidak diketahui



Trombosis vena ( Fenomena Trousseau)



Karsinoma pankreas Karsinoma bronkus Kanker lain



Produk tumor (musin yang mengaktifkan pembekuan)



Endokarditis trombotik non bakteri



Kanker lanjut Timoma



Hiperkoagulasi



Berbagai kanker



Antigen tumor, kompleks imun



Perubahan Vaskular dan Hematologik



Anemia



Imunologi



Lain Sindrom nefrotik



ACTH, adrenocorticotropic hormone; IL-1, interleukin-1; TGF-α, transforming growth factor-α; TNF, tumor necrosis factor.



tentang membesarnya ukuran lesi primer; N0, N1, N2, dan N3 menyatakan makin meluasnya secara progresif keterlibatan kelenjar getah bening; dan M0 dan M1 menyatakan ada atau tidak adanya metastasis jauh. Pada metode AJC, kanker dibagi dalam stadium 0 sampai IV, menyatukan ukuran lesi primer, adanya penyebaran pada kelenjar getah bening dan metas-tasis jauh. Contoh dari aplikasi kedua sistem akan dibahas pada bagian berikutnya. Harap diperhatikan, apabila dibandingkan dengan penentuan grade, maka stadium mempunyai nilai klinis yang lebih bermanfaat.



RINGKASAN Aspek Klinis Turnor • Kaheksia, didefinisikan sebagai kehilangan lemak tubuh secara progresif dan massa tubuh yang sangat kurus, disertai rasa sangat lemah, anoreksia dan anemia, yang terjadi akibat keluarnya sitokin oleh tumor atau pejamu. • Sindrom paraneoplasma, didefinisikan sebagai gejala sistemik yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya penyebaran tumor atau adanya hormon yang tidak sesuai dengan jaringan,tetapi disebabkan oleh produksi dan sekresi substansi bioaktif ektopik seperti ACTH, PTHrP, atau TGF-α.



210 •







BAB 5



Neoplasia



Gradasi tumor ditentukan oleh gambaran sitologi dan didasarkan pada pemikiran bahwa sifat berkaitan dengan diferensiasi seperti tumor dengan diferensiasi buruk akan mempunyai sifat lebih agresif. Stadium, ditentukan dengan pembedahan atau pencitraan yang, didasarkan pada ukuran, lokasi dan penyebaran pada kelenjar getah bening serta, metastasis jauh. Stadium mempunyai nilai klinis lebih dibandingkan dengan grade.



Diagnosis Laboratorium Kanker Metode Morfologi Pada umumnya, diagnosis laboratorium kanker tidak sukar. Dua ujung spektrum jinak dan ganas tidak menimbulkan masalah, tetapi yang berada ditengah, menjadi daerah tidak jelas jinak atau ganas, yang harus dipastikan dengan cermat. Klinikus mempunyai kecenderungan menganggap mudah kontribusinya untuk menentukan diagnosis neoplasma. Untuk diagnosis patologi yang optimum, data klinis dan radiologi belum cukup. Gambaran klinis perubahan yang disebabkan radiasi pada kulit atau mukosa dapat mirip dengan kanker. Sediaan yang diambil dari fraktur yang sedang menyembuh dapat mirip dengan osteosarkoma. Evaluasi laboratorium suatu lesi hanya dapat tepat, bila spesimen yang dikirimkan untuk pemeriksaan juga baik. Spesimen harus adekuat, representatif dan telah difiksasi dengan baik. Beberapa cara untuk mendapatkan sampel dapat dilakukan termasuk eksisi atau biopsi, aspirasi jarum halus dan sediaan hapusan sitologi. Apabila eksisi tidak dimungkinkan, pemilihan tempat biopsi suatu tumor yang besar harus tepat karena daerah tepi tidak representatif dan daerah tengah biasanya banyak nekrosis. Permintaan untuk diagnosis potong beku kadang-kadang sangat diperlukan, seperti misalnya untuk menentukan sifat lesi atau mengevaluasi kelenjar getah bening pasien kanker, untuk menentukan metastasis. Metode ini, di mana suatu sampel dibekukan terus dilakukan pemotongan, memungkinkan evaluasi histologis dalam beberapa menit. Oleh ahlinya yang kompeten, diagnosis potong beku akurat, tetapi ada beberapa keadaan, diperlukan pemeriksaan histologis lebih lanjut dengan waktu lebih banyak untuk mendiagnosis kelainan. Pada keadaan ini lebih baik menunggu beberapa hari, walaupun ada kekurangannya, daripada melakukan tindakan bedah yang tidak adekuat atau tidak perlu. Aspirasi jarum halus dari tumor merupakan cara yang banyak dipergunakan. Dilakukan aspirasi sel dari suatu massa, diikuti pemeriksaan sitologi sediaan apus. Prosedur ini biasanya dilakukan pada lesi yang mudah teraba pada payudara, tiroid, kelenjar getah bening dan kelenjar liur. Teknik pencitraan modern memungkinkan metode ini dilakukan untuk organ yang terletak lebih dalam, seperti hati, pankreas, dan kelenjar getah bening pelvis. Modalitas diagnosis ini mengurangi bahaya tindakan bedah dan risiko yang terkait. Walaupun adanya kesulitan, misalnya ukuran sampel yang kecil dan kesalahan pengambilan sampel, pada tangan yang ahli diperoleh hasil tepat, cepat dan bermanfaat. Sedian apus sitologi (Papanicolaou) merupakan metode lain untuk deteksi kanker. Sebelumnya, cara ini sudah digunakan untuk mendeteksi karsinoma leher rahim, sering pada stadium in situ, tetapi sekarang dipakai untuk memeriksa berbagai kelainan yang dicurigai keganasan, seperti karsinoma endometrium, karsinoma bronkogenik, tumor kandung kemih,



prostat dan karsinoma lambung; tumor abdomen, pleura, sendi dan cairan serebrospinal; dan agak jarang untuk evaluasi jenis neoplasma lain. Sel neoplasma kurang kohesif dibanding yang lain sehingga akan dikeluarkan melalui cairan atau sekresi (Gambar 5-33). Sel yang terlepas akan di evaluasi anaplasia dan tanda-tanda untuk menentukan asal tumor. Hasil yang mengesankan terhadap pengendalian kanker leher rahim merupakan contoh terbaik berhasilnya metode sitologik ini. Imunositokimia merupakan pemeriksaan penunjang untuk pemeriksaan histologi rutin. Deteksi sitokeratin dengan antibodi monoklonal yang di label peroksidase mengarahkan diagnosis sebagai karsinoma yang tidak berdiferensiasi dan bukan limfoma sel besar. Keadaan yang sama, yaitu deteksi antigen spesifik prostat (PSA) pada deposit metastasis, dengan pulasan imunohistokimia memungkinkan diagnosis pasti tumor primer prostat. Deteksi imunositokimia untuk reseptor estrogen memungkinkan untuk menentukan prognostis dan mengarahkan cara pengobatan pada kanker payudara. Flow cytometry dipakai secara rutin untuk klasifikasi leukemia dan limfoma. Pada metode ini, antibodi fluoresen terhadap antigen molekul sel permukaan dan antigen diferensiasi dipergunakan untuk menentukan fenotipe sel ganas.



A



B Gambar 5-33 A, Sediaan apus Papanicolaou normal dari leher rahim. Sel besar, pipih dengan inti kecil merupakan gambaran khas. B, Apusan abnormal mengandungi kumpulan sel ganas dengan inti besar hiperkromatik. Pleiomorfi inti mencolok, dan satu sel dalam keadaan mitosis.Tampak beberapa neutrofil, berukuran kecil dengan inti kompak berlobus. (Sumbangan dari Dr. Richard M. DeMay, Department of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois. )



Aspek Klinis Neoplasia



Petanda Tumor Uji biokimia untuk enzim yang berkaitan dengan tumor, hormon, dan petanda tumor di darah tidak dapat dipakai untuk diagnosis pasti kanker; namun, bermanfaat untuk menyaring dan pada beberapa keadaan untuk menentukan kualitas reaksi pengobatan atau mendeteksi kekambuhan. Aplikasi uji ini dipertimbangkan pemakaiannya untuk berbagai jenis neoplasma yang telah dibicarakan pada bab lain, hanya beberapa contoh akan dibicarakan di sini. PSA, dipakai untuk menentukan adanya adenokarsinoma prostat, merupakan petanda tumor yang paling sering dipergunakan dan bermanfaat untuk kepentingan klinis. Karsinoma prostat dapat dicurigai ketika peningkatan kadar PSA ditemukan di darah. Namun, skrening dengan PSA juga menimbulkan masalah seperti yang juga dijumpai pada petanda tumor lain. Walaupun kadar PSA sering meningkat pada kanker, namun kadar PSA juga meningkat pada hiperplasi prostat jinak (Bab 17). Juga tidak ada kadar PSA yang memastikan bahwa seseorang tidak menderita kanker prostat. Jadi tes PSA kurang sensitif dan kurang spesifik. Uji sangat bermanfaat untuk menentukan sisa penyakit atau kekambuhan setelah terapi untuk kanker prostat. Petanda umor lain yang sering dipakai untuk keperluan klinis ialah antigen karsinoembrionik (CEA), yang dihasilkan oleh karsinoma usus besar, pankreas, lambung, dan payudara serta alfafetoprotein yang diproduksi oleh karsinoma sel hepar, sisa yolk sac di gonad dan kadang-kadang teratokarsinoma serta karsinoma sel embrional. Namun seperti PSA, kedua petanda tumor ini dapat diproduksi pada berbagai kondisi non neoplastik. Jadi CEA dan uji alfafetoprotein tidak mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang dibutuhkan untuk deteksi dini kanker. Seperti pada skrening PSA, kedua petanda itu masih bermanfaat untuk deteksi kekambuhan setelah eksisi. Setelah tumor berhasil direseksi, petanda ini akan menghilang dari serum; timbulnya kembali menyatakan berita buruk, karena telah terjadi kekambuhan tumor. CEA akan dibahas lagi pada Bab 14 dan alfafetoprotein pada Bab 15. Diagnosi Molekuler Sekarang sejumlah teknik molekuler dipakai untuk diagnosis tumor dan untuk memprediksi sifatnya. • Diagnosis keganasan: karena sel T dan sel B mempunyai gen reseptor antigen dengan susunan kembali yang khas, deteksi berdasarkan polymerase chain reaction (PCR) dari reseptor sel T atau gen imunoglobulin memungkinkan untuk membedakan proliferasi monoklonal (neoplasma) dan poliklonal (reaktif). Berbagai neoplasma hematopoiesis, dan juga beberapa tumor solid, ditentukan dengan translokasi khusus, sehingga diagnosis dapat dibuat dengan mendeteksi translokasi tersebut. Contoh, hibridisasi in situ fluoresensi (FISH) atau analisis PCR (Bab 6) dapat dipakai untuk mendeteksi translokasi yang khas untuk sarkoma Ewing dan beberapa leukemia serta limfoma. Deteksi transkripsi BCRABL berdasarkan PCR memungkinkan diagnosis molekuler untuk leukemia mieloid kronik. • Prognosis dan sifat. Beberapa perubahan gen dihubungkan dengan prognosis buruk sehingga adanya perubahan ini menentukan terapi selanjutnya. Metode FISH dan PCR dapat dipakai untuk mendeteksi amplifikasi onkogen seperti HER2/NEU dan NMYC, yang akan memberikan informasi tentang prognosis dan terapi untuk kanker payudara dan neuroblastoma.



211



• Deteksi sisa minimal penyakit. Manfaat teknik molekuler yang baru muncul ialah mendeteksi sisa minimal penyakit setelah terapi. Contoh, deteksi dari transkripsi BCR-ABL dengan PCR menjelaskan tentang ukuran penyakti yang tersisa pada pasien yang diobati untuk leukemia mieloid kronik. Pengenalan hampir semua tumor yang telah lanjut, dihubungkan dengan sel tumor dan produk hasil tumor yang intake (misalnya DNA . tumor) telah menarik perhatian untuk mengikuti beratnya tumor melalui tes darah yang sensitif. • Diagnosis tentang kanker yang cenderung diturunkan. Mutasi alur sel benih (germline) dari beberapa gen supresor tumor, seperti BRCA1, meningkatkan risiko pasien untuk timbulnya jenis kanker tertentu. Jadi, deteksi dari alel yang mengalami mutasi akan memungkinkan pasien dan dokternya merencanakan suatu protokol agresif untuk skreening, dan juga kesempatan untuk bedah profilaksis. Selanjutnya, deteksi tersebut memungkinkan diadakan konseling genetik bagi keluarga yang berisiko. • Menentukan keputusan terapi. Terapi yang langsung mengenai target mutasi khusus sedang terus berkembang dan deteksi mutasi pada suatu tumor dapat mengarahkan perkembangan terapi target, seperti akan dibahas kemudian. Sekarang menjadi kenyataan bahwa mutasi yang akan menjadi target akan mengubah kategori morfologi. Contohnya, mutasi dari ALK kinase, yang tadinya dikelompokkan pada subset limfoma sel T, juga ditemukan dalam persentase kecil pada karsinoma bukan sel kecil dan neuroblastoma. Uji klinis menunjukkan bahwa kanker paru dengan mutasi pada ALK bereaksi dengan inhibitor ALK, sedang kanker paru lain tidak bereaksi, dan FDA telah menyetujui pemakaian inhibitor ALK untuk pasien kanker paru yang "telah mengalami mutasi ALK". Suatu contoh lain yang menarik ialah terapi pada melanoma dengan terapi molekuler terarah (molecularly "tailored") pada tumor dengan glutamat yang diganti valine pada asam amino 600 (V600E) dari serine/ threonin kinase BRAF, berespons baik dengan inhibisi BRAF, sedangkan melanoma tanpa mutasi ini tidak memberikan respons. Yang menarik perhatian juga ialah, mutasi V600E dijumpai juga pada subset kanker usus besar, kanker tiroid tertentu, 100% pada hairy cell leukemias, dan histiositosis sel Langerhans (Gambar 5-34). Tumor ini morfologinya berbeda dan mempunyai sel asal tersendiri, tetapi mempunyai lesi onkogen yang sama pada jalur pro pertumbuhan.



Penentuan Profil Molekul Tumor Pembentukan profil molekul dapat dilakukan pada tingkat mRNA dan pada pengaturan nukleotida. Masing-masing akan dibahas di bawah ini. Pembentukan Profil Ekspresi Teknik ini memerlukan pengukuran tingkat ekspresi ribuan gen secara bersamaan. Prinsip ini disebut teknik chip gen (gene chip) yang digambarkan pada Gambar 5-35 dan dibahas secara singkat berikut ini.



212



BAB 5



Neoplasia



PLX4032



Melanoma



Adenokarsinoma usus besar



Mutasi BRAF (V600E)



Karsinoma tiroid papiler



Histiositosis sel Langerhans



Leukemia sel berambut



Gambar 5-34 Berbagai tipe tumor yang mempunyai mutasi yang sama, BRAF (V600E), mungkin bisa direncanakan untuk mendapat pengobatan dengan obat yang sama, yang disebut PLX4032.



Seperti dapat dilihat, proses dimulai dengan ekstraksi mRNA sari dua sumber (misalnya normal dan ganas, normal dan preneoplastik, atau dua tumor dengan gambaran histologis yang sama). Salinan DNA pelengkap (cDNA) dari mRNA disintesis in vitro dengan nukleotida yang telah dilabel fluoresen. Untaian cDNA yang telah dilabel fluoresen dihibridisasikan dengan probe DNA yang urutannya khusus dan dihubungkan dengan penahan yang solid, seperti chip silikon. 1cm2 chip dapat mengandungi ribuan probe yang tersusun dalam kolom dan baris. Setelah hibridisasi, maka scan laser dengan resolusi tinggi akan mendeteksi sinyal fluoresen dari masing-masing titik. Intensitas fluorosen dari tiap titik adalah proporsional dengan nilai ekspresi mRNA asal yang dipakai untuk mensintesa cDNA yang telah dihibridisasi pada titik tersebut. Dengan demikian, untuk tiap sampel, diperoleh nilai ekspresi ribuan gen, dan dengan pemakaian alat bioinformatik, kadar relatif ekspresi gen pada sampel yang berbeda dapat dibandingkan. Pada dasarnya akan diperoleh profil molekuler untuk tiap jaringan yang dianalisis. Analisis semacam itu berhasil mengungkapkan bahwa fenotipe limfoma sel B yang identik (Bab 11) dari pasien yang berbeda adalah heterogen dalam kaitannya dengan ekspresi gen dan angka survival. Pendekatan yang sama sekarang sedang dicoba pada kanker lain, seperti kanker payudara dan melanoma.



Sekuensing Seluruh Genom Kemajuan dan perkembangan teknologi sekuensing generasi berikut, memberikan harapan besar untuk mampu menganalisis tumor lebih dalam. Kemajuan teknologi ini melampaui hukum Moore yang terkenal tentang mikroprosesor. Sekuensing seluruh genom, yang beberapa tahun lalu memerlukan waktu berbulanbulan dan jutaan dolar, sekarang hanya membutuhkan waktu beberapa hari dan hanya beberapa ribu dolar. Sekuen dari seluruh genom, apabila dibandingkan dengan genom normal dari pasien yang sama, dapat mengungkapkan semua perubahan somatik yang terjadi pada tumor. Hasil terakhir analisis genom suatu tumor menunjukkan bahwa tumor secara individu bisa mempunyai sekelompok



mutasi somatik (leukemia tertentu pada anak) sampai puluhan ribu mutasi, dengan tingkat mutasi tertinggi dijumpai pada kanker yang terkait dengan paparan mutagen, seperti kanker paru dan kanker kulit. Di antaranya ada dua tipe mutasi: (1) yang mengubah pengaturan normal dari proliferasi, diferensiasi dan homeostasis sel dan (2) yang tidak memberikan efek terhadap fenotipe sel. Set mutasi yang pertama disebut mutasi supit (driver mutations) sebab mutasi ini mengarahkan proses ke neoplasma dan dapat merupakan target pengobatan. Set mutasi lainnya, biasanya lebih banyak dari mutasi supir dan semuanya terletak pada daerah tanpa sandi pada genom atau mempunyai efek netral dalam petumbuhan, tidak memberikan keuntungan atau kerugian. Mutasi tersebut disebut mutasi penumpang (passenger mutations). Terjadi karena instabilitas genom sel kanker dan hanya menumpang kegiatan yang ada. Secara umum, mutasi supir terjadi berulang dan dijumpai pada beberapa persen pasien dengan kanker tertentu. Jadi, sebagai contoh, gen fusi BCR-ABL dijumpai pada seluruh kasus leukemia mieloid kronik, dan protein fusi merupakan target pengobatan sempurna. Namun, mutasi supir mungkin hanya dijumpai pada sekelompok jenis tumor tertentu. Contohnya, hanya sekitar 4% dari jenis kanker paru bukan sel kecil mengandungi gen fusi tirosin kinase EML4-ALK; dan seperti telah dibahas, pada keadaan yang jarang ini, pasien berespons sangat baik dengan penghambat ALK. Komplikasi tambahan ialah bahwa beberapa mutasi penumpang mempunyai peran penting pada resistensi obat. Contohnya, mutasi pada BCR-ABL yang memberikan resistensi terhadap imatinib pada leukemia mieloid kronik dijumpai sebagai mutasi penumpang pada kelompok (yang jarang) sebelum terapi dimulai. Karena memberikan keuntungan selektif, yang kuat, maka mutasi ini diubah dari penumpang menjadi supir dalam kaitannya dengan terapi obat; dan diperkirakan instabilitas genom pada sel kanker menumbuhkan benih resistensi melalui skenario yang sama pada berbagai tumor. Demikian pula, beberapa mutasi tertentu dan yang jarang dijumpai semua akan memakai jalur yang sama (misalnya resistensi terhadap apoptosis) dan melengkapi fenotipe kanker. Hal ini bermanfaat untuk mengelompokkan mutasi berdasarkan kemampuannya untuk menggiring sel ke jalur "tanda khas kanker".



Aspek Klinis Neoplasia mRNA yang diisolasi



JARINGAN TUMOR



JARINGAN NORMA



Dari anatomi...



...hingga target molekul



Otak (Crizotinib)



Paru Perubahan menjadi cDNA dan dilabel dengan molekul fluoresen



cDNA yang berlabel (merah)



cDNA yang berlabel (hijau)



Campur



Payudara Analisis genetik



Prostat



Hibridisasi dengan chip gen



Array chip gen Gen



A



B



C



Scan gelombang merah dan hijau Intensitas fluoresen Merah Hijau +++ ++ + –



+ ++ +++ –



EGFR (Erlotinib)



HER2/NEU (Trastuzumab)



Kolom



BRAF (PLX4032)



Otak



PIK3CA (BEZ235)



D



Hasil:



Gen A Gen B Gen C Gen D



213



Kesimpulan



Meningkat pada jaringan neoplastik Tidak berubah pada jaringan neoplastik Menurun pada jaringan neoplastik Tidak terekspresi pada kedua jaringan



Gambar 5-35 Analisis pelengkap DNA (cDNA) dengan microarray. Messenger RNA (mRNA) diekstraksi dari sampel, ditranskripsikan terbalik menjadi cDNA, dan dilabel dengan molekul fluoresen. Pada kasus yang diilustrasikan, molekul fluoresen merah dipakai untuk cDNA normal, dan molekul hijau dipakai untuk tumor cDNA. cDNA yang telah dilabel dicampur dan diaplikasikan pada chip gen, yang mengandungi ribuan probe cDNA mewakili gen yang telah diketahui. cDNA yang telah dilabel akan berhibridasi ke titik-titik yang mengandungi sekuens komplementer. Hibridisasi dideteksi oleh scan loser chip, dan hasilnya dibaca pada unit intensitas fluoresen merah atau hijau. Pada contoh di atas titik A mempunyai intensitas fluoresen merah yang tinggi, menyatakan bahwa banyak cDNA yang berasal sel neoplastik yang dihibridisasi pada gen A. Sehingga gen A tampaknya mengalami peningkatan pada sel tumor. (Sumbangan dari Dr. Robert Anders, Department of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois)



Hal ini bermanfaat untuk mengelompokkan mutasi berdasarkan kemampuannya untuk menggiring sel ke jalur "tanda khas kanker". Diharapkan pengenalan semua mutasi yang potensial mempunyai target pada tiap sel bisa menjadi fokus baru untuk terapi yang tadinya berdasarkan asal sel berubah menjadi berdasarkan lesi molekuler, sejalan dengan obat untuk target mutasi spesifik sedang dikembangkan (Gambar 5-36). Pendekatan ini menggambarkan perubahan paradigma pada klasifikasi dan



Gambar 5-36 Pergeseran paradigma: Klasifikasi kanker menurut target pengobatan dan bukan berdasarkan asal sel dan morfologi.



klasifikasi dan terapi tumor. Mungkin pada saat mendatang kelompok tumor yang mempunyai mutasi yang sama seperti BRAF akan diklasifikasi sebagai BRAF-oma (Gambar 5-34), dan bukan berdasarkan morfologi sel individu atau asal sel.



RINGKASAN Diagnosis Laboratorium Kanker • Untuk diagnosis tumor, ada beberapa cara pengambilan sampel seperti eksisi, biopsi aspirasi jarum halus dan apusan sitologi. • PeneIitian imunohistokimia dan flow cytometry membantu diagnosis dan klasifikasi tumor, karena pola ekspresi protein tertentu menggambarkan entitas yang berbeda. • Protein yang dikeluarkan oleh tumor ke dalam serum, seperti PSA, dapat dipakai untuk melakukan skreening populasi untuk kanker dan untuk memonitor timbulnya kekambuhan setelah terapi. • Analisis molekuler digunakan untuk menentukan diagnosis, prognosis, deteksi sisa penyakit yang minimal dan diagnosis adanya predisposisi herediter terhadap kanker. • Penentuan profil molekul tumor dengan cDNA arrays dan sekuensing dapat menentukan ekspresi segmen besar suatu genom dan katalog tentang susunan semua mutasi pada gen tumor dan yang mungkin penting untuk menentukan stratifikasi molekuler dari tumor yang morfologinya identik dan tumor dengan histogenesis tertentu yang mempunyai mutasi yang sama untuk kepentingan terapi dan penentuan prognostik.



214



BAB 5



Neoplasia



KEPUSTAKAAN Ahmed Z, Bicknell R: Angiogenic signalling pathways. Methods Mol Biol 467:3–24, 2009. [Discussion of many signaling pathways in angiogenesis.] Artandi SE, DePinho RA: Telomeres and telomerase in cancer. Carcinogenesis 31:9–18, 2010. [Review discussing the importance of telomeres and telomerase.] Barrallo-Gimeno A, Nieto MA: The Snail genes as inducers of cell movement and survival: implications in development and cancer. Development 132:3151–3161, 2005. [Discussion of the genes involved in epithelial-mesenchymal transition in cancer.] Berx G, van Roy F: Involvement of members of the cadherin superfamily in cancer. Cold Spring Harb Perspect Biol 1:a003129, 2009. [Review discussing the role of cadherins and contact inhibition in cancer.] Bierie B, Moses HL: Tumour microenvironment: TGFbeta: the molecular Jekyll and Hyde of cancer. Nat Rev Cancer 6:506–520, 2006. [Review discussing the tumor-suppressive and tumor-promoting effects of TGF-β.] Burkhart DL, Sage J: Cellular mechanisms of tumour suppression by the retinoblastoma gene. Nat Rev Cancer 8:671–682, 2008. [Review of Rb function.] Ciccia A, Elledge SJ: The DNA damage response: making it safe to play with knives. Mol Cell 40:179–204, 2010. [Review discussing the DNA damage response.] Coghlin C, Murray GI: Current and emerging concepts in tumour metastasis. J Pathol 222:1–15, 2010. [Discussion of current concepts in metastasis.] Collado M, Serrano M: Senescence in tumours: evidence from mice and humans. Nat Rev Cancer 10:51–57, 2010. [Update on mechanisms of senescence.] Feron O: Pyruvate into lactate and back: from the Warburg effect to symbiotic energy fuel exchange in cancer cells. Radiother Oncol



92:329–333, 2009. [An account of the reemergence and molecular pathways of reprogramming of energy metabolism in cancer.] Grivennikov SI, Greten FR, Karin M: Immunity, inflammation, and cancer. Cell 140:883–899, 2010. [A summary of the links between inflammation and the development of cancer.] Hanahan D, Weinberg RA: The hallmarks of cancer (2011): the next generation. Cell 144:646–674, 2011. [Reexamination of the hallmarks of cancer.] Junttila MR, Evan GI: p53—a jack of all trades but master of none. Nat Rev Cancer 9:821–829, 2009. [Update summarizing p53 function.] Kalluri R, Zeisberg M: Fibroblasts in cancer. Nat Rev Cancer 6:392– 401, 2006. [Review discussing the role of stroma in cancer.] Mathew R, Karantza-Wadsworth V, White E: Role of autophagy in cancer. Nat Rev Cancer 7:961–967, 2007. [A discussion of the mechanisms of autophagy.] Negrini S, Gorgoulis VG, Halazonetis TD: Genomic instability—an evolving hallmark of cancer. Nat Rev Mol Cell Biol 11:220–228, 2010. [Review on mechanisms of genomic instability, an enabler of malignancy.] Perona R: Cell signalling: growth factors and tyrosine kinase receptors. Clin Transl Oncol 8:77–82, 2006. [Update on signaling pathways in cancer.] Stratton MR, Campbell PJ, Futreal PA: The cancer genome. Nature 458:719–724, 2009. [Excellent summary of next-generation sequencing technologies and their application to cancer.] Willis SN, Adams JM: Life in the balance: how BH3-only proteins induce apoptosis. Curr Opin Cell Biol 17:617–625, 2005. [A review of the mechanisms of apoptosis.] Witsch E, Sela M, Yarden Y: Roles for growth factors in cancer progression. Physiology (Bethesda) 25:85–101, 2010. [An update on the role of growth factors in cancer.]



6 BAB



Penyakit Genetik dan Pediatrik DAFTAR ISI BAB PENYAKIT GENETIK 215 Sifat Kelainan Genetik yang Berpengaruh pada Penyakit



Manusia 216 Mutasi pada Gen Penyandi Protein 216 Perubahan pada Gen yang Menyandi Protein selain Mutasi 216



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel:



Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal 218 Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal 219 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen yang Menyandi Protein Struktural 220 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Reseptor atau Kanal-Kanal 222 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Enzim 227 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein yang Mengatur Pertumbuhan Sel 233



Kelainan Multigen Kompleks 234 Kelainan Sitogenetik 234



Abnormalitas Numerik 235 Abnormalitas Struktural 235 Gambaran Umum dari Kelainan Kromosom 236 Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom 237 Kelainan Sitogenetik yang Mengenai



Kromosom Seks 239 Kelainan Gen-Tunggal dengan



Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan) 241 Mutasi Pengulangan Triplet: Sindrom Fragile X 241 Penyakit Akibat Mutasi Gen Mitokondria 243 Penyakit Akibat Perubahan Daerah Jejak (imprinted Regions): Sindrom Prader-Willi dan Angelman 243 PENYAKIT PEDIATRIK 245 Anomali Bawaan (Kongenital) 245 Etiologi 247 Infeksi Perinatal 249 Prematuritas dan Keterbatasan Pertumbuhan Janin 249



Sindrom Kesulitan Pernapasan pada Bayi Baru Lahir 250 Enterokolitis Nekrotik (Necrotizing Enterocolitis/NEC) 252 Sindrom Kematian Bayi Mendadak 252 Hidrops Janin (Fetal Hydrops) 254 Hidrops Imun 254 Hidrops Non-Imun 255 Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak 257 Tumor Jinak 257



Tumor Ganas 258 Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks 263 Diagnosis Molekuler dari Abnormalitas Jumlah Kopi 263 Deteksi Langsung Mutasi DNA dengan Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) 264 Analisis Linkage dan Studi Asosiasi Genom yang Menyeluruh (Genome-Wide Association Studies) 266 Indikasi untuk Analisis Genetik 267



PENYAKIT GENETIK Penyelesaian proyek genom manusia merupakan kejadian penting pada penelitian penyakit pada manusia. Sekarang telah ditetapkan bahwa manusia memiliki hanya sekitar 25.000 gen yang menyandi protein, jauh lebih sedikit dari 100.000 yang diperkirakan sebelumnya dan hampir separuh jumlah gen pada tanaman beras yang tergolong rendah (Oryza sativa)! Pengungkapan "arsitektur genetik" ini menjanjikan untuk membuka rahasia baik penyakit yang diturunkan/ diwariskan maupun penyakit manusia yang didapat, karena akhirnya semua penyakit mengalami perubahan struktur gen atau ekspresinya. Teknologi yang canggih sekarang memungkinkan penggunaan urutan basa gen manusia untuk analisis penyakit manusia. Misalnya, proyek genom manusia menghabiskan sekitar 3 triliun dolar dan bertahun tahun untuk menyelesaikannya; teknologi penetapan urutan basa dengan kapasitas tinggi (high throughput sequencing) dapat melakukan pekerjaan yang sama dalam beberapa minggu hanya dengan biaya 10.000 dolar. Kecepatan dan biaya lebih rendah dalam



penetapan urutan-basa DNA sangat mendukung penerapan "personalized medicine" untuk pengobatan kanker dan penyakit lain yang memiliki unsur genetik. Oleh karena beberapa kelainan pediatrik memiliki asal genetik, maka penyakit tumbuh kembang dan pediatrik dibahas bersama dengan kelainan genetik dalam bab ini. Walaupun demikian, perlu dipikirkan bahwa tidak semua kelainan genetik terwujud dalam masa bayi atau masa anak-anak, sebaliknya banyak penyakit pediatrik yang tidak memiliki asal genetik. Termasuk dalam golongan yang kedua, penyakit yang disebabkan ketidakmatangan dalam sistem organ. Dalam kaitan tersebut, sangat berguna untuk menjelaskan tiga istilah yang lazim digunakan: herediter, familial, dan kongenital. Kelainan herediter, secara definisi, berasal dari salah satu orang tua, yang diteruskan di dalam gamet pada generasi selanjutnya, dan oleh karena itu merupakan kelainan familial. Istilah kongenital, secara sederhana berarti "ada pada saat lahir". Perlu dicatat, bahwa tidak semua kelainan kongenital bersifat genetik (contoh sifilis kongenital). Sebaliknya tidak semua kelainan genetik bersifat kongenital. Tampilnya



216



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



penyakit Huntington, misalnya, baru mulai pada dekade ketiga atau keempat kehidupan.



SIFAT KELAINAN GENETIK YANG BERPENGARUH PADA PENYAKIT MANUSIA Ada beberapa jenis kelainan genetik yang memengaruhi struktur dan fungsi protein, mengganggu homeostasis seluler dan berperan pada penyakit.



Mutasi pada Gen Penyandi Protein Seperti telah banyak dikenal, istilah mutasi berarti perubahan pada DNA yang menetap. Apa yang memengaruhi sel benih diteruskan pada progeni dan mungkin menimbulkan penyakit yang diturunkan. Mutasi pada sel somatik tidak diteruskan kepada progeni tetapi penting sebagai faktor penyebab kanker dan sebagian malformasi kongenital. Perincian mutasi spesifik dan pengaruhnya dibahas bersama dengan kelainan yang relevan di dalam buku ini. Dikutipkan di sini beberapa contoh yang lazim dari mutasi gen dan pengaruhnya: • Mutasi noktah terjadi dari substitusi basa nukleotida tunggal oleh basa yang berbeda, yang menghasilkan penggantian satu asam amino oleh yang lain pada produk proteinnya. Mutasi rantai globin-B dari hemoglobin yang menimbulkan anemi sel sabit adalah contoh paling baik dari mutasi noktah yang mengubah arti dari sandi genetik. Mutasi semacam itu kadang-kadang disebut mutasi yang salah-arti (missense mutation ). • Sebaliknya, mutasi noktah tertentu mungkin mengubah kodon asam amino menjadi kodon terminasi, atau kodon penutup (stop codon). Mutasi yang tidak mempunyai arti (nonsense) semacam itu mengganggu translasi, dan pada banyak kasus RNA cepat mengalami degradasi, suatu fenomena yang disebut peluruhan yang diperantarai keadaan "nonsense", sedemikian rupa sehingga protein dibentuk sedikit atau tidak dibentuk. • Mutasi karena pergeseran kerangka (frameshift mutation) terjadi apabila sisipan (insersi) atau kehilangan (delesi) satu atau dua pasangan basa mengubah kerangka pembacaan untai DNA. Mutasi dengan ulangan trinukleotida (trinucleotide repeat mutation) termasuk pada kategori khusus, karena mutasi ini ditandai amplifikasi urutan dari tiga nukleotida. Walaupun urutan nukleotida spesifik yang mengalami amplifikasi bervariasi pada kelainan yang berbeda, semua urutan yang dipengaruhi memiliki urutan nukleotida guanin (G) dan sitosin (C). Misalnya, pada sindrom X fragile, pada prototipe kelainan kategori ini, terdapat 200 sampai 4000 ulangan tandem (tandem repeats) dari urutan CGG dalam gen yang disebut FMRI. Pada populasi normal, jumlah ulangan kecil, berkisar 29. Ekspansi urutan trinukleotida mencegah ekspresi normal dari gen FMRI, sehingga menimbulkan retardasi mental. Perangai lain yang mencolok dari mutasi ulangan trinukleotida adalah sifatnya yang dinamik (contoh derajat amplifikasi meningkat selama gametogenesis). Perangai ini, dibahas kemudian lebih rinci di dalam bab ini, berpengaruh dalam pola pewarisan, manifestasi fenotipe dari penyakit yang disebabkan oleh jenis mutasi ini.



Perubahan pada Gen yang Menyandi Protein selain Mutasi Di samping perubahan pada urutan DNA, gen yang mengandungi sandi juga dapat mengalami variasi struktural, seperti perubahan jumlah kopi (amplifikasi atau delesi), atau translokasi, yang menghasilkan kesalahan berupa penambahan atau kehilangan (gain or loss) fungsi protein. Seperti halnya dengan mutasi, perubahan struktural mungkin terjadi pada tingkat galur sel benih (germline), atau didapat pada jaringan somatik. Pada banyak keadaan, perubahan patologis pada tingkat galur benih dapat mengenai bagian kromosom yang melebar tidak hanya suatu gen tunggal, seperti pada sindrom mikrodelesi 22q, yang dibahas kemudian. Dengan tersedianya secara luas teknologi array untuk penetapan variasi jumlah kopi DNA genom secara menyeluruh pada tingkat resolusi tinggi, perubahan struktural patologis telah ditemukan pada kelainan yang lazim seperti autisme. Kanker seringkali mengandungi perubahan struktural yang didapat secara somatik, termasuk amplifikasi, delesi dan translokasi. Apa yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia—suatu translokasi t (9;22) antara gen BCR dan ABL pada leukemia mieloid kronik (Bab 11) —adalah suatu contoh klasik.



Variasi Urutan dan Jumlah Salinan (Polimorfisme)



Suatu perubahan yang mengagumkan dari perkembangan mutakir di dalam studi genomik adalah bahwa rata-rata, tiap dua individu mempunyai kesamaan lebih dari 99,5% urutan DNA nya. jadi, keragaman yang mencolok dari manusia disandi pada kurang dari 0,5% DNA kita. Walaupun kecil apabila dibandingkan dengan urutan nukleotida keseluruhan, 0,5% tersebut mewakili sekitar 15 juta pasangan basa. Dua bentuk variasi DNA (polimorfisme) yang paling lazim dalam genom manusia adalah polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP) dan variasi jumlah salinan (copy number variation /CNV). • SNP merupakan variasi pada posisi nukleotida yang terpisah tunggal dan hampir selalu bersifat bialel (contoh satu dari hanya dua pilihan ada pada tempat tertentu di dalam populasi, seperti A atau T). Banyak upaya dikerahkan untuk membuat peta SNP dari genom manusia. Upaya ini telah menetapkan lebih dari 6 juta SNP pada populasi manusia, banyak di antaranya menunjukkan variasi yang luas dari kekerapan di dalam populasi yang berbeda. SNP mungkin terjadi di mana saja pada genom—di dalam exon, intron atau daerah antargen— tetapi kurang dari 1% SNP terjadi di dalam daerah yang bersandi. Variasi dari urutan yang bersandi ini penting, karena mereka dapat mengubah produk gen dan menjadi dasar untuk perbedaan fenotipe atau suatu penyakit. Walaupun demikian, lebih lazim terjadi, SNP adalah justru merupakan suatu petanda yang diwariskan bersama dengan gen yang terkait penyakit akibat kedekatan fisis. Cara lain menyatakan hal ini adalah bahwa SNP dan faktor kausal genetik berada di dalam linkage disequilibrium. Terdapat optimisme bahwa kelompok SNP dapat berfungsi sebagai petanda yang dapat dipercaya untuk risiko penyakit rumit yang bersifat multigen seperti diabetes tipe II dan hipertensi, yang dengan penetapan varian tersebut, strategi pencegahan penyakit dapat dikembangkan (dibahas kemudian). • CNV baru-baru ini ditetapkan sebagai bentuk variasi genetik yang terdiri atas jumlah yang berbeda dari rentangan DNA yang luas dari 1000 sampai jutaan pasangan basa. Pada sebagian keadaan, lokus-lokus ini adalah, seperti SNP, bersifak bialel dan sekadar duplikasi atau mengalami delesi pada suatu subset dari populasi.



Sifat Kelainan Genetik yang Berpengaruh pada Penyakit Manusia Pada keadaan lain terdapat pengaturan kembali materi genom yang rumit, berupa alel multipel pada populasi manusia. Perkiraan pada saat ini adalah bahwa CNV berperan pada terjadinya perbedaan urutan dari 5 sampai 24 juta pasangan basa antara tiap dua individu. Sekitar 50% CNV terlibat pada urutan gen yang bersandi; jadi, CNV mungkin mendasari sebagian besar dari keragaman fenotipe manusia. Terdapat representasi berlebihan yang bermakna dari keluarga gen tertentu yang terpengaruh oleh CNV; ini termasuk gen yang berperan pada sistem imun dan sistem saraf. Dianggap bahwa keragaman jumlah kopi DNA telah mengalami seleksi evolusi yang kuat, karena mereka dapat menunjang adaptasi manusia terhadap faktor lingkungan yang senantiasa berubah.



217



hambat translasi RNA sasaran ke dalam protein terkait. Non-aktivasi (silencing) postranskripsi dari ekspresi gen oleh miRNA tetap utuh pada semua bentuk hidup dari tanaman dan manusia dan oleh karena itu terdapat mekanisme dasar pengaturan gen. Karena kuatnya pengaruh dalam pengaturan gen, miRNA berfungsi penting dan sentral dalam upaya menjelaskan jalur perkembangan normal, demikian pula kondisi patologis, seperti kanker. Andrew Fire dan Craig Mello dianugerahi hadiah Nobel dalam fisiologi dan ilmu kedokteran pada 2006 untuk karya-nya tentang miRNA.



Gen miRNA



Perubahan Epigenetik Perubahan epigenetik adalah perubahan yang menyebabkan modulasi gen atau ekspresi protein tanpa perubahan urutan DNA (contoh mutasi) atau struktur gen yang bersandi. Pengaturan epigenetik sangat penting selama perkembangan, demikian juga pada homeostasis dari jaringan yang telah berkembang sempurna. Satu mekanisame sentral dari pengaturan epigenetik adalah melalui perubahan metilasi dari residu cytosin pada gen promotor-promotor yang padat metilasi tidak dapat dicapai oleh polimerase RNA-menyebabkan transkripsi tidak aktif (silencing). Metilasi promotor dan inaktivasi gen supresor tumor (Bab 5) lazim dijumpai pada banyak kanker, disertai pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali. Pemain utama lain pada pengaturan epigenetik dari transkripsi adalah protein histon, yang merupakan unsur dari struktur yang disebut nukleosom, yang menjadi poros untuk DNA melingkar (coiled). Protein histon mengalami berbagai modifikasi yang reversibel (contoh metilasi, asetilasi) yang memengaruhi struktur DNA sekunder dan tersier, demikian juga transkripsi gen. Seperti diharapkan, modifikasi abnormal dari protein histon banyak dijumpai pada penyakit yang didapat, seperti kanker, yang disertai deregulasi transkripsi. Inaktivasi (silencing) yang fisiologis pada perkembangan disebut imprinting, dan kelainannya akan dibahas kemudian.



pri-miRNA



Gen sasaran



pre-miRNA



Protein Pengeksport



pre-miRNA



Dicer



mRNA sasaran



miRNA Penguraian jalinan dupleks



Perubahan pada RNA yang Tidak Bersandi Perlu diperhatikan bahwa sampai akhir-akhir ini fokus utama perburuan gen adalah penemuan gen yang menyandi protein. Walaupun demikian, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa sangat banyak jumlahnya gen yang tidak menyandi protein. Sebagai gantinya, produk yang tidak disandi oleh gen-gen ini—yang disebut "RNA yang tidak bersandi/non-coding RNAs (ncRNAs)" — memainkan fungsi pengaturan yang penting. Walaupun terdapat banyak keluarga ncRNAs yang khas, di sini kita hanya membahas dua contoh: molekul RNA kecil yang disebut microRNAs (miRNAs), dan long non-coding RNAs (lncRNAs) (yang kedua menyangkut ncRNA yang panjangnya > 200 nukleotida). MikroRNA tidak seperti RNA penyampai pesan (messenger), tidak menyandi protein tetapi sebagai gantinya meng-



miRNA



Kompleks RISC Kecocokan tidak Sempurna Represi translasi



Pemecahan mRNA



Kecocokan sempurna mRNA sasaran



Ribosome NONAKTIVASI (SILENCING)GEN



Gambar 6-1 Pembentukan microRNA dan cara bekerjanya dalam pengaturan fungsi gen. pri-miRNA, primary microRNA transcript, pre-miRNA, precursor microRNA; RISC, RNA-induced silencing complex.



218



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Berdasarkan perkiraan yang sedang berjalan, terdapat sekitar 1000 gen pada manusia yang menyandi miRNA. Transkripsi gen miRNA menghasilkan primary miRNA transcript (pri-miRNA), yang diproses di dalam inti sel untuk membentuk struktur lain yang disebut pre-miRNA (Gambar 6-1). Dengan bantuan protein transporer yang khas, premiRNA dikirim ke sitoplasma. Pemotongan tambahan oleh suatu enzim, yang seyogianya disebut Dicer, menghasilkan miRNA yang matang yang panjangnya sekitar 21-30 nukleotida (sesuai sebutan micro-). Pada tahap ini, miRNA masih beruntai-ganda (doublestranded). Selanjutnya, miRNA terurai-jalinan, dan untai-tunggal dari dupleks ini tergabung ke dalam kompleks multiprotein yang disebut RNA-induced silencing complex (RISC). Pengaturan pasangan basa antara untai miRNA dan mRNA sasarannya mengarahkan RISC untuk menyebabkan pemecahan mRA atau menekan translasinya. Dengan cara ini, gen yang merupakan asal mRNA menjadi tidak aktif (silenced) (pada status pasca transkripsi). Karena jumlah gen miRNA jauh lebih sedikit daripada gen yang menyandi protein, maka miRNA tertentu dapat berfungsi non-aktivasi banyak gen sasaran. Semua mRNA mengandungi apa yang disebut urutan yang dapat bersemai (seed sequence) pada ujung 3' dari daerah yang tidak mengalamai translasi, untranslated region (UTR), yang menentukan spesifisitas dari ikatan miRNA dan sifat non-aktivasi gen. Spesies lain dari RNA yang bersifat non-aktivasi gen, disebut small interfering RNAs (siRNAs), bekerja dengan cara sangat mirip dengan miRNA. Walaupun demikian, tidak seperti miRNA, asal siRNA dimasukkan oleh peneliti ke dalam sel. Pemrosesan oleh Dicer dan fungsinya melalui RISC pada dasarnya mirip dengan yang diuraikan untuk miRNA. siRNA sintetik telah menjadi cara yang andal untuk mempelajari fungsi gen di laboratorium dan sedang dikembangkan potensinya sebagai bahan terapi non-aktivasi gen yang khusus, seperti onkogen, yang produknya berperan pada transformasi neoplastik. Penelitian mutakhir telah mengungkapkan lncRNA universal yang rumit (dengan sebagian kalkulasi jumlah lncRNA mungkin melebihi mRNA yang bersandi dengan kelipatan sepuluh kali sampai duapuluh kali), dan fungsi yang diperkirakan pada genom manusia mungkin dapat menjelaskan mengapa manusia berada pada puncak piramid evolusi walaupun jumlah gen yang bersandi tidak terlalu tinggi. lncRNA memodulasi ekspresi gen dalam banyak cara: misalnya, mereka dapat berikatan pada daerah kromatin, membatasi jangkauan polimerase RNA ke gen-gen yang bersandi yang tercakup di dalam daerah tersebut. Salah satu contoh terbaik dari lncRNA adalah XIST, yang mengalami transkripsi dari kromosom-X, dan memainkan peranan mendasar pada inaktivasi kromosom X secara fisiologis (lihat kemudian). XIST sendiri menghindari inaktivasi X, tetapi membentuk "cloak" represif pada kromosom X,akibat dari mutasi gen-tunggal dengan pengaruh besar. Akibat dari mutasi gen-tunggal dengan pengaruh besar. Sebagian dari keadaan ini adalah bersifat herediter dan familial. Kategori kedua termasuk sebagian dari kelainan yang paling lazim pada manusia, seperti hipertensi dan diabetes melitus. Pewarisan yang bersifat multifaktor atau rumit (kompleks), menggambarkan pengaruh baik faktor genetik maupun lingkungan pada ekspresi ciri-ciri fenotipe atau penyakit. Kategori ketiga termasuk kelainan yang merupakan akibat dari abnormalitas numerik atau struktur kromosom.



Ke dalam tiga kategori yang terkenal ini, perlu ditambahkan kelompok heterogen dari kelainan genetik yang, seperti kelainan jenis Mendel, yang mengenai gen tunggal tetapi tidak mengikuti hukum Mendel yang sederhana dari pewarisan gen. Kelainan gen-tunggal ini dengan pewarisan yang nonklasik termasuk yang merupakan akibat dari mutasi berulang jenis triplet, yang timbul akibat dari mutasi DNA mitokondria, dan yang penurunannya dipengaruhi oleh fenomena epigenetik yang disebut genomic imprinting. Masing-masing dari empat kategori ini dibahas terpisah.



KELAINAN BERDASARKAN HUKUM MENDEL: PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH CACAT GEN-TUNGGAL Cacat (mutasi) gen-tunggal mengikuti pola pewarisan jenis Mendel yang terkenal (Tabel 6-1 dan 6-2). Walaupun secara individu masingmasing jarang terjadi, bila digabung meliputi sekitar 1% dari semua penderita dewasa yang dirawat dirumah sakit dan kira-kira 6% sampai 8% dari semua penderita anak yang dirawat. Berikut diberikan daftar beberapa pegangan dan masalah yang terkait untuk mempertimbangkan kelainan jenis Mendel: • Mutasi yang mengenai gen tunggal mengikuti satu dari tiga pola pewarisan: dominan autosom, resesif autosom, atau terkait-X (Xlinked). • Mutasi gen-tunggal mungkin menyebabkan banyak pengaruh fenotipe (pleiotropy), dan sebaliknya, mutasi pada beberapa lokus genetik dapat menghasilkan trait yang sama (genetic heterogeneity). Tabel 6-1 Perkiraan Prevalensi Kelainan Jenis Mendel yang Terpilih di antara Bayi Lahir Hidup



Kelainan



Perkiraan Prevalensi



Pewarisan Dominan Autosom Hiperkolesterolemia familial



dalam 500



Penyakit ginjal polikistik



dalam 1000



Sferositosis herediter



dalam 5000 (Eropa Utara)



Sindrom Marfan



dalam 5000 dalam 10.000



Penyakit Huntington



Pewarisan Resesif Autoso Anemia sel sabit



1 dalam 500 (Amerika-Afrika di Amerika Serikat)*



Fibrosis kistik



1 dalam 3200 (Kaukasia di Amerika Serikat)



Penyakit Tay-Sachs



1 dalam 3500 (Yahudi Azkenazi Amerika Serikat; Kanada-Prancis)



Fenilketonuria



1 dalam 10.000



Mukopolisakridosis—semua jenis



1 dalam 25.000



Penyakit penimbunan glikogen— semua jenis



1 dalam 50.000



Galaktosemia



1 dalam 60.000



Pewarisan X-linked Distrofia muskular jenis Duchene



1 dalam 3500 (pria Amerika Serikat)



Hemofilia



dalam 5000 (pria Amerika Serikat)



*Prevalensi trait sel sabit heterozigot adalah 1 dalam 12 untuk Amerika Afrika di Amerika Serikat.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel:Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen



219



Tabel 6--2 Dasar Biokimiawi dan Pola Pewarisan untuk Kelainan Jenis Mendel yang Terpilih



Penyakit



Protein Abnormal



Jenis Protein/Fungsi



Pewarisan Dominan Autosom Hiperkolesterolemia familial



Reseptor lipoprotein densitas-rendah



Transpor reseptor



Sindrom Marfan



Fibrilin



Penunjang struktur: matriks ekstrasel



Sindrom Ehlers-Danlos*



Kolagen



Penunjang struktur: matriks ekstrasel



Sferositosis herediter



Spektrin, ankirin, atau protein 4:1



Penunjang struktur: membran sel darah merah



Neurofibromatosis, tipe 1



Neurofibromin-1 (NF- I ) Polikistin-1 (PKD-1)



Interaksi sel-sel dan sel matriks



Penyakit ginjal polikistik dewasa



Regulasi pertumbuhan



Pewarisan Resesif Autosom Fibrosis kistrik



Regulator transmembran fibrosis kistik



Kanal ion



Fenilketonuria



Fenilalanin hidroksilase



Enzim



Penyakit Tay-Sachs



Heksosaminidase



Enzim



Imunodefisiensi kombinasi parah



Adenosin deaminase



Enzim



Thalasemia-α dan -β†



Hemoglobin



Transpor oksigen



Anemia sel sabit†



Hemoglobin



Transpor oksigen



Pewarisan Resesif X-linked Hemofilia A



Factor VIII



Koagulasi



Distrofia jenis Duchene/Becker



Distrofin



Penunjang struktur: membran sel



Sindrom Fragile X



FMRP



Translasi RNA



**Beberapa varian sindrom Ehlers-Danlos mempunyai pola pewarisan resesif autosom. †Walaupun gejala full-blown memerlukan mutasi bialel, heterozigot untuk thalasemia dan anemia sel sabit mungkin tampil dengan penyakit klinis ringan. Jadi, kelainan ini kadang-kadang dikategorikan sebagai entitas "dominan autosom"



Misalnya, sindrom Marfan, yang merupakan akibat dari cacat dasar pada jaringan ikat, berhubungan dengan pengaruh yang meluas pada skeleton, mata dan sistem kardiovaskular, semuanya berpangkal dari mutasi pada gen yang menyandi fibrilin, suatu unsur jaringan ikat. Sebaliknya, retinitis pigmentosa, suatu kelainan yang diwariskan yang berhubungan dengan pigmentasi retina yang abnormal yang dapat disebabkan oleh beberapa jenis mutasi yang berbeda. Pengenalan heterogenitas genetik penting tidak hanya untuk pemberian nasihat tentang penyakit genetik (genetic counseling) tetapi juga untuk peningkatan pengertian patogenesis kelainan yang lazim, seperti diabetes melitus (Bab 19). • Sekarang telah terjadi peningkatan pengenalan dan bahkan pengetahuan tentang penyakit "gen-tunggal" yang dipengaruhi pewarisan pada lokus genetik lain, yang disebut gen yang menyebabkan perubahan (modifier). Seperti dibahas kemudian bagian tentang fibrosis kistik, lokus modifier ini dapat memengaruhi keparahan dan keluasan penyakit. • Penggunaan penapisan genetik proaktif pada populasi berisiko tinggi (contoh keturunan Yahudi Ashkenazi) telah menunrunkan angka kejadian (Tabel 6-1) dari kelainan genetik tertentu seperti penyakit Tay-Sachs.



Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal Kelainan Pewarisan Jenis Dominan Autosom Kelainan dengan pewarisan dominan autosom adalah manifestasi pada keadaan heterozigot, sehingga paling sedikit satu orangtua pada kasus indeks (penderita penyakit) biasanya terkena; baik pria maupun wanita terkena, dan kedua-duanya dapat menurunkan keadaan tersebut. Apabila individu yang terkena menikah dengan individu yang tidak terkena, tiap anak mempunyai satu dari dua kemungkinan (50%) untuk memperoleh penyakit tersebut. Perangai berikut juga merupakan ciri penyakit dominan autosom:



• Pada kelainan dominan autosom, sebagian penderita tidak mempunyai orangtua yang terkena. Penderita semacam itu memperoleh kemungkinan mutasi baru yang mengenai baik ovum atau sperma dari mana mereka berasal. Saudara kandungnya tidak terkena maupun tidak mengalami risiko yang meningkat untuk terkena penyakit. • Perangai klinis dapat berubah karena penetrasi yang berkurang dan ekpresifitas yang beragam. Sebagian individu mewarisi gen mutan tetapi normal secara fenotipe. Jenis ekspresi ini dikenal sebagai penetrasi yang berkurang (reduced penetrance). Variabel yang memengaruhi penetrasi tidak jelas dimengerti. Berlawanan dengan penetrasi, jika suatu trait secara konsisten berhubungan dengan gen mutan tetapi terekspresi berbeda di antara individu yang menyandang gen tersebut, fenomena ini disebut variable expressivity. Misalnya, manifestasi neurofibromatosis 1 berkisar dari bercak kecoklatan pada kulit sampai tumor multipel dan deformitas skelet. • Pada banyak keadaan, usia pada saat permulaan penyakit tertunda, dan gejala serta tanda penyakit tidak muncul sampai usia dewasa (seperti pada penyakit Huntington). • Pada kelainan dominan autosom, 50% reduksi dari produk gen normal berhubungan dengan tanda dan gejala klinis. Karena 50% kehilangan aktivitas enzim dapat mengalami kompensasi, gen yang terkena pada kelainan dominan autosom biasanya tidak menyandi protein enzim, dan sebagai gantinya terkait dalam dua kategori protein: 



Yang terkait dengan pengaturan jalur metabolit yang kompleks, seringkali terkait dengan kendali umpan balik (contoh reseptor membran, protein transpor). Contoh dari mekanisme pewarisan tersebut adalah hiperkolesterolemia familial, yang merupakan akibat dari mutasi gen reseptor lowdensity lipoprotein (LDL) (dibahas kemudian).



220 



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Protein struktural kunci, seperti kolagen dan unsur sitoskelet dari membran sel darah merah (contoh spektrin, abnormalitas menyebabkan sferositosis herediter). Mekanisme biokimiawi tentang reduksi 50% kadar protein semacam itu pada fenotipe abnormal tidak seluruhnya dimengerti. Pada sebagian kasus, terutama apabila gen menyandi satu subunit dari protein multimer, produk alel mutan dapat memengaruhi perakitan multimer yang berfungsi normal. Misalnya, molekul kolagen adalah trimer dengan tiga rantai kolagen tertata dalam konfigurasi heliks. Bahkan pada mutan tunggal dari rantai kolagen, trimer kolagen normal dapat dibentuk, sehingga terdapat defisiensi kolagen yang mencolok. Pada keadaan ini alel mutan disebut dominant negative, karena hal itu dapat mengganggu fungsi alel normal. Pengaruh ini digambarkan pada beberapa bentuk osteogenesis imperfeta (Bab 20).



Kelainan Pewarisan Jenis Resesif Autosom Kelainan pewarisan jenis resesif autosom membentuk kelompok yang paling besar dari kelainan jenis mendel. Mereka terjadi apabila kedua alel pada lokus gen tertentu adalah mutan; oleh karena itu kelainan semacam itu ditandai oleh perangai berikut: (1) ciri penyakit biasanya tidak menjangkiti orangtua, tetapi anak mungkin menunjukkan kelainan; (2) anak mempunyai satu dari empat kemungkinan untuk terkena (contoh risiko rekurens adalah 25% untuk tiap kelahiran); dan (3) jika gen mutan terjadi dengan frekuensi rendah pada populasi, terdapat kecenderungan kuat bahwa penderita yang terkena (proban) adalah hasil perkawinan sedarah (saudara sepupu dekat), consanguineous marriage. Berlawanan dengan perangai penyakit dominan autosom, perangai berikut biasanya ditemukan pada sebagian besar kelainan jenis resesif autosom: • Ekspresi cacat cenderung lebih seragam daripada kelainan kelainan jenis dominan autosom. • Penetrans lengkap adalah lazim. • Permulaan penyakit seringkali pada masa dini kehidupan. • Walaupun mutasi baru untuk kelainan resesif benar terjadi, mereka jarang ditemukan secara klinis. Karena individu yang terjangkiti adalah heterozigot tanpa gejala, beberapa generasi mungkin bertahan sebelum keturunan berikutnya kawin dengan heterozigot lain dan melahirkan anak. • Pada banyak kasus, protein enzim mengalami mutasi. Pada heterozigot, jumlah yang sama dari enzim yang normal dan yang cacat dibentuk. Biasanya batas keselamatan (marigin of safety) alami mendukung sel dengan separuh dari komplemen enzim berfungsi normal.



Kelainan yang Terkait-X (X-linked) Semua kelainan terkait-seks (sex-linked) adalah X-linked. Tidak ada penyakit yang X-linked yang diketahui. Unsur penentu yang mengatur diferensiasi pria terpelihara, ciri satu-satunya yang mungkin terletak pada kromosom Y adalah sifat untuk telinga yang berambut, yang tidak menjadi penderitaan. Sebagian besar kelainan X-linked adalah yang bersifat resesif dan ditandai oleh perangai berikut:



• Mereka diturunkan oleh pembawa sifat (carrier) wanita heterozigot hanya kepada anak laki, yang tentu saja bersifat hemizigot (separuh zigot) untuk kromosom X. • Wanita heterozigot jarang mengekspresikan perubahan fenotipe secara penuh, karena mereka mempunyai alel normal yang berpasangan; walaupun satu dari kromosom X pada wanita mengalami inaktivasi (lihat kemudian), proses inaktivasi ini bersifat acak (random), yang lazimnya memungkinkan munculnya cukup banyak sel dengan alel yang berekspresi normal. • Pria yang terjangkiti tidak menurunkan kelainan kepada anak laki, tetapi semua anak perempuan menjadi pembawa sifat (carrier). Anak laki dari wanita heterozigot mempunyai satu dari dua kemungkinan untuk menerima gen mutan.



RINGKASAN Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal • Kelainan dominan autosom ditandai oleh ekspresi pada status heterozigot; mereka mengenai pria dan wanita pada tingkat yang sama, dan kedua jenis kelamin dapat menurunkan kelainan tersebut. • Protein enzim tidak terpengaruh kelainan dominan autosom; sebagai gantinya, reseptor dan protein struktural berubah. • Penyakit resesif autosom terjadi apabila kedua kopi dari gen mengalami mutasi; protein enzim seringkali berubah. Pria dan wanita terkena pada tingkat yang sama. • Kelainan X-linked diturunkan oleh wanita heterozigot kepada anak laki, yang menunjukkan manifestasi penyakit. Pembawa sifat (carrier) wanita biasanya terlindungi karena inaktivasi yang bersifat acak dari kromosom X.



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen yang Menyandi Protein Struktural Sindrom Marfan Pada sindrom Marfan, kelainan jaringan ikat bersifat pewarisan dominan autosom, abnormalitas biokimiawi dasar adalah mutasi yang memengaruhi fibrilin. Glikoprotein ini, disekresikan oleh fibroblas, adalah unsur utama dari mikrofibril yang ditemukan pada matriks ekstrasel. Mikrofibril berfungsi sebagai penunjang (scaffold) untuk pengendapan tropoelastin, suatu unsur integral dari serabut-serabut elastik. Meskipun mikrofibril tersebar luas di dalam tubuh, mereka terutama banyak pada aorta, ligamen, dan zonula ciliar yang mendukung lensa okular; jaringan-jaringan tersebut sangat dipengaruhi pada sindrom Marfan. Fibrilin disandi oleh gen FBN1, yang terdapat pada lokus kromosom 15q21. Mutasi pada gen FBN1 ditemukan pada semua penderita sindrom Marfan. Walaupun demikian, diagnosis molekuler dari sindrom Marfan belum dapat dilakukan, karena lebih dari 600 mutasi penyebab penyakit yang berbeda di dalam gen FBN1 yang sangat besar telah ditemukan. Karena heterozigot mempunyai gejala klinis, maka protein fibrilin mutan harus berfungsi "dominant negative" dengan jalan mencegah perakitan mikrofibril normal. Prevalensi sindrom Marfan diperkirakan 1 per 5000.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Sekitar 70% sampai 85% kasus adalah familial, dan sisanya bersifat sporadik, akibat dari mutasi FBN1 de novo pada sel benih dari orangtua. Walaupun banyak abnormalitas sindrom marfan dapat dijelaskan berdasarkan kegagalan struktural dari jaringan ikat, sebagian, seperti kelebihan pertumbuhan tulang, sulit dihubungkan dengan sekadar kehilangan fibril. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kehilangan mikrofibril menimbulkan aktivasi abnormal dan berlebihan terhadap transforming growth factor-β (TGF-β), karena mikrofibril normal mencerna (sequestrasi) TGF-β dengan demikian bersifat mengendalikan sitokin tersebut. Pengiriman isyarat TGF-β yang berlebihan mempunyai pengaruh buruk pada perkembangan otot polos vaskular dan integritas matriks ekstrasel. Sebagai dukungan terhadap hipotesis ini, mutasi reseptor TGF-β tipe II menimbulkan sindrom terkait, yang disebut sindrom Marfan tipe 2 (MFS2). Perlu diperhatikan, bahwa obat angiotensin receptor blockers, yang menghambat aktivitas TGF-β telah dibuktikan memperbaiki fungsi aorta dan jantung pada model sindrom Marfan pada mencit dan pada saat ini sedang dievaluasi pada uji klinis.



MORFOLOGI Abnormalitas skelet merupakan perangai paling jelas dari sindrom Marfan. Penderita mempunyai habitus ramping, memanjang dengan ukuran panjang abnormal dari tungkai, lengan dan jari (araknodaktili); palatum yang tinggi-melengkung (high-arched); dan sendi yang bersifat hiperekstensibilitas. Berbagai deformitas spinal, seperti kiposkoliosis berat, mungkin juga ditemukan. Dada mengalami deformitas, menunjukkan baik pectus excavatum (contoh sternum yang tertekan ke dalam) atau deformitas dada-burung dara (pigeon-breast). Perubahan okular yang paling khas adalah dislokasi bilateral, atau subluksasi, dari lensa akibat kelemahan ligamen penggantung (ektopia lentis). Abnormalitas ini sangat tidak lazim pada individu yang tidak mempunyai penyakit genetik ini, sehingga penemuan ektopia lentis bilateral seharusnya menunjang penegakan diagnosis kemungkinan sindrom Marfan. Walaupun demikian, paling penting adalah terjangkitnya sistem kardiovaskular. Fragmentasi dari serabut-serabut elastik pada tunika media aorta merupakan predisposisi terjadinya dilatasi aneurisma dan diseksi aorta pada penderita yang terkena (Bab 9). Perubahan-perubahan ini, disebut sistik medionekrosis, tidak spesifik untuk sindrom Marfan. Lesi yang mirip terjadi pada hipertensi dan pada bertambahnya usia. Kehilangan penunjang medial menyebabkan dilatasi cincin kelep aorta, yang menimbulkan inkompetensi aorta. Kelep jantung, terutama kelep mitral mungkin mengalami pelebaran berlebihan dan regurgitasi (floppy valve syndrome), yang dapat menimbulkan prolaps kelep mitral dan kegagalan jantung kongestif (congestive heart failure) (Bab 10). Kematian dari ruptur aorta dapat terjadi pada setiap usia, ruptur aorta sebenarnya merupakan penyebab kematian paling lazim. Kurang lazim, kegagalan jantung adalah kejadian terminal. Walaupun lesi-lesi yang diuraikan tersebut adalah khas untuk sindrom Marfan, tetapi tidak dijumpai pada semua kasus. Terdapat banyak variasi dalam tampilan klinis, dan sebagian penderita mungkin menunjukkan lesi kardiovaskular secara predominan dengan perubahan skelet dan okular yang minimal. Tampilan yang bervariasi tersebut dianggap berkaitan dengan mutasi alel yang berbeda pada gen FBNI.



Sindrom Ehlers-Danlos Sindrom Ehlers-Danlos (EDS) adalah suatu kelompok penyakit yang ditandai oleh cacat sintesis kolagen atau strukturnya. Semua adalah kelainan gen-tunggal



221



tetapi cara pewarisannya meliputi baik pola dominan autosom maupun resesif autosom. Terdapat sekitar 30 jenis kolagen yang dapat dibedakan; semua mempunyai cara distribusi yang khas dan merupakan produk dari gen yang berbeda. Pada keadaan tertentu, heterogenitas klinis dari EDS dapat dijelaskan oleh mutasi pada gen kolagen yang berbeda. Paling sedikit dikenal enam varian klinis dan genetik dari EDS. Karena kolagen yang cacat adalah dasar untuk kelainan ini, perangai klinis tertentu lazim dijumpai pada semua varian. Seperti dapat diharapkan, jaringan yang banyak mengandungi kolagen, seperti kulit, ligamen, dan sendi, seringkali terkena pada sebagian besar varian EDS. Karena serabut kolagen abnormal tidak mem-punyai kekuatan daya tegang yang cukup, kulit bersifat daya regang tinggi (hiperekstensi) dan sendi bersifat daya gerak tinggi (hipermobil). Perangai ini memungkinkan gerakan kontorsi yang mengagumkan, seperti menekuk ibu jari sampai menyentuh lengan depan dan menekuk lutut keatas sampai membuat sudut mendekati sembilan puluh derajat. Sesungguh-nya, dianggap sebagian besar individu yang mampu melakukan gerakan kontorsi seperti di atas menderita satu dari EDS; walaupun demikian, predisposisi untuk terjadinya dislokasi sendi merupakan risiko untuk keistimewaan itu. Kulit mempunyai daya regang luar biasa, sangat rapuh, dan peka terhadap ruda-paksa (trauma). Jelas ringan menyebabkan cacat yang membuat celah, dan perbaikan dengan pembedahan atau intervensi pembedahan apa pun dapat dilak-sanakan dengan kesulitan tinggi karena kekurangan daya regang yang normal. Cacat dasar pada jaringan ikat mungkin menyebabkan penyulit interna yang parah, termasuk ruptur kolon dan arteri besar (EDS vaskular); fragilitas okular, dengan ruptur kornea dan lepasnya retina (EDS kyphoscoliotic); dan hemia diafragma (EDS klasik) di antara yang lainlain.Dasar-dasar molekuler untuk tiga dari varian yang lebih lazim adalah sebagai berikut: Dasar-dasar molekuler untuk tiga dari varian yang lebih lazim adalah sebagai berikut: • Defisiensi enzim lisil hidroksilase. Penurunan hidrok-silasi dari residu lisil pada kolagen jenis I dan III memengaruhi pembentukan ikatan-silang di antara molekul kolagen. Seperti dapat diharapkan, varian ini (EDS kyphoscoliotic) yang disebabkan oleh defisiensi enzim, diwariskan sebagai kelainan resesif autosom. • Cacat sintesis kolagen jenis III yang disebabkan oleh mutasi yang mengenai gen COL3A1. Varian ini, jenis vaskular, diwariskan sebagai kelainan dominan autosom dan ditandai oleh kelemahan jaringan yang mengandungi banyak kolagen jenis III (contoh pembuluh darah, dinding usus), yang mempunyai predisposisi untuk ruptur. • cacat sintesis kolagen jenis IV karena mutasi pada COL5A1 dan COL5A2 diwariskan sebagai kelainan dominan autosom dan menyebabkan EDS klasik.



RINGKASAN Sindrom Marfan • Sindrom Marfan disebabkan oleh mutasi pada gen FBN I yang menyandi fibrilin, yang diperlukan urituk integritas jaringan ikat. • Jaringan utama yang terkena adalah skelet, mata dan sistem kardiovaskular. • Perangai klinis mungkin mencakup postur badan jari-jari panjang, subluksasi lensa bilateral, prolaps katup mitral, aneurisma aorta, dan diseksi aorta. • Uji klinis dengan obat yang menghambat pengirirnan isyarat TGF-β seperti angiotensin receptor blocker sedang berjalan, karena hal ini telah ditunjukkan dapat memperbaiki fungsi aorta dan jantung pada mcdel binatang.



222



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Sindrom Ehiers-Danlos • Terdapat enam varian sindrom Ehlers-Danlos, seriva ditandai oleh cacat sintesis kolagen atau perakitannya. Masing-masing varian disebabkan oleh mutasi ying berbeda. • Perangai klinis mungkin meliputi kulit yang bersifat rapuh, hiperekstensif dan peka terhadap ruda-paksa (trauma), sendi bersifat hipermobil, dan ruptur yang mengenai kolon, kornea atau arteri besar. Penyembuhan luka buruk.



Ester kolesterol Trigliserida



B-100



ApoC VLDL



ApoE



Sel lemak



Sel hati



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Reseptor atau Kanal-Kanal



Lipolisis dari VLDL



Reseptor LDL



Hiperkolesterolemia Familial Hiperkolesterolemia familial adalah termasuk di antara kelainan jenis Mendel yang paling lazim; kekerapan kondisi heterozigot adalah 1 dalam 500 F ada populasi umum. Hal itu disebabkan oleh mutasi pada gen LDLR yang menyandi reseptor lipoprotein jenis densitas rendah, low-density lipoprotein (LDL), suatu bentuk yang menjadi wahana transpor 70% kolesterol plasma. Tinjauan singkat dari sintesis dan transpor kolesterol akan dibahas kemudian. Metabolisme Kolesterol Normal. Kolesterol mungkin berasal dari makanan yang dikonsumsi (diet) atau liari sintesis endogen. Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan yang dikonsumsi tergabung ke dalam kilomikron pada mukosa usus, yang bermuara ke dalam darah melalui saluran limfe usus. Kilomikron dihidrolisa oleh lipase lipoprotein endotel pada pembuluh kapiler dari otot dan lemak. Sisa kilomikron banyak mengandungi kolesterol, kemuc ian dikirim ke hati. Sebagian kolesterol memasuki penampungan metabolit (akan diuraikan), dan sebagian diekskresikan sebagai kolesterol bebas atau asam empedu ke dalam saluran empedu. Sintesis endoen dari kolesterol dan LDL mulai di hati (Gambar 6-2). Tahap pertama pada sintesis LDL adalah sek resi lipoprotein jenis densitas sangat rendah, very-low-density lipoprotein (VLDL) yang banyak mengandungi trigliserida, oleh hati ke dalam aliran darah. Pada pembuluh kapiler dari jaringan lemak dan otot, part kel VLDL mengalami lipolisis dan diubah menjadi intermediate-density lipoprotein (IDL). Dibandingkan dengan VLDL, kandungan trigliserida lebih rendah dan ester kolesterol lebih tinggi pada IDL, tetapi IDL mempertahankan dua dari tiga VLDL-associeted apolipoproteins B-100 dan E. Metabolisme selanjutnya terjadi pada dua jalur: sebagian besar partikel IDL diambil oleh hati melalui reseptor LDL yang akan diuraikan kemudian; yang lain diubah menjadi LDL yang kaya kolesterol oleh kehilangan yang lebih lanjut dari trigliserida dan apolipoprotein E. Di dalam sel hati IDL didaur ulang untuk menghasilkan VLDL. Dua pertiga dari hasil akhir partikel LDL dicerna melalui jalur reseptor LDL, dan sisanya dicerna oleh reseptor LDL yang teroksidasi (scavenger reseptor), yang akan diuraikan kemudian. Reseptor LDL berikatan dengan apolipoprotein B-100 dan E sehingga terlibat dalam transpor baik LDL dan IDL. Walaupun reseptor LDL tersebar luas, sekitar 75% terletak pada hepatosit, sehingga hati memainkan peranan sangat penting pada metabolisme LDL. Tahap pertama pada transpor LDL yang diperantarai reseptor mencakup ikatan kepada reseptor permukaan sel, diikuti oleh internalisasi endositotik di sebelah dalam yang disebut "clathrin-coated pits" (Gambar 6-3). Di dalam sel, vesikel endositik berfusi dengan lisosom, dan molekul LDL mengalami degradasi enzimatik yang akhirnya diikuti pelepasan kolesterol bebas ke dalam sitoplasma. Kolesterol tidak hanya digunakan untuk sintesis membran tetapi juga berperan pada homeostasis kolesterol intrasel melalui sistem pengelolaan umpan-balik yang rumit:



Pembersihan IDL diperantarai reseptor ApoE Pembersihan LDL deperantarai reseptor Pembersihan lain



LDL



B-100



B-100 IDL Koversi IDL ke LDL



Gambar 6-2 Metabolisme low-density lipoprotein (LDL) dan peranan hati pada sintesis dan pembersihan (clearance) —nya. Lipolisis very-low-density lipoprotein (VLDL) oleh lipase lipoprotein pada pembuluh kapiler melepaskan trigliserida, yang kemudian disimpan di dalam sel lemak dan digunakan sebagai sumber energi otot skelet. IDL (intermediate-density lipoprotein) tetap berada di dalam darah dan diserap oleh hati.



diambil oleh hati melalui reseptor LDL yang akan diuraikan kemudian; yang lain diubah menjadi LDL yang kaya kolesterol oleh kehilangan yang lebih lanjut dari trigliserida dan apolipoprotein E. Di dalam sel hati IDL didaur ulang untuk menghasilkan VLDL. • Hal itu menekan sintesis kolesterol dengan menghambat aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase (HMG-CoA reductase), yang merupakan enzim yang membatasi laju reaksi (rate limiting enzyme) pada jalur sintesis. • Hal itu merangsang pembentukan ester kolesterol untuk penyimpanan kelebihan kolesterol. • Hal itu mengatur penurunan sintesis reseptor LDL permukaan sel, sehingga melindungi sel dari penimbunan kolesterol yang berlebihan. Transpor LDL oleh reseptor scavenger, yang terjadi lebih dini, tampaknya berlangsung di dalam sel sistem fagosit-mononukleus dan mungkin di dalam sel lain juga. Monosit dan makrofag mempunyai reseptor untuk LDL yang mengalami modifikasi secara kimiawi (contoh asetilasi atau oksidasi). Jumlah yang mengalami katabolisme melalui jalur scavenger receptor berkaitan langsung dengan kadar kolesterol.



PATOGENESIS HIPERKOLESTEROLEMIA FAMILIAL Pada hiperkolesterolemia familial, mutasi pada protein reseptor LDL memengaruhi transpor dan katabolisme LDL,



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal yang menyebabkan akumulasi kolesterol LDL di dalam plasma. Di samping itu, tidak adanya reseptor LDL pada sel hati juga memengaruhi transpor LDL ke dalam hati, sehingga lebih banyak IDL plasma diubah menjadi LDL. Oleh karena itu, penderita dengan hiperkolesterolemia familial mengalami kelebihan kadar kolesterol serum sebagai akibat pengaruh gabungan dari penurunan katabolisme dan biosintesis yang berlebihan(Gambar 6-2). Dengan adanya hiperkolesterolemia semacam itu,terdapat peningkatan mencolok dari lalulintas kolesterol melalui dinding monosit-makrofag dan pembuluh darah yang diperantarai scavenger reseptor. Hal ini menjadi dasar timbulnya xantoma kulit dan aterosklerosis prematur. Hiperkolesterol familial adalah penyakit dominan autosom. Heterozigot menunjukkan peningkatan dua sampai tiga kali lipat kadar kolesterol plasma, sedangkan homozigot mungkin menunjukkan kelebihan kadar lima kali lipat. Walaupun kadar kolesterolnya meningkat sejak lahir, heterozigot tetap asimptomatik sampai masa dewasa, ketika mereka menderita pengendapan kolesterol (xantoma) sepanjang simpai tendon dan aterosklerosis prematur yang menyebabkan penyakit arteri koronaria. Homozigot terkena lebih parah, mengalami pembentukan xantoma pada masa anak-anak dan sering meninggal karena infark miokardium sebelum usia 20 tahun. Analisis gen reseptor LDL yang diklon menunjukkan bahwa lebih dari 900 mutasi yang berbeda dapat menimbulkan hiperkolesterolemia familial. Ini dapat dibagi ke dalam lima kategori. Mutasi kelas I adalah yang tidak lazim, dan mereka berhubungan dengan kehilangan lengkap dari sintesis reseptor. Mutasi kelas II, bentuk mutasi yang paling prevalen, protein reseptor diproduksi tetapi transpor dari retikulum endoplasmik ke aparat Golgi mengalami kelainan karena cacat pada pelipatan protein. Mutasi kelas III memproduksi reseptor dan dikirim kepermukaan membran tetapi gagal untuk berikatan dengan LDL secara normal. Mutasi kelas IV menghasilkan reseptor yang gagal mengalami internalisasi ke dalam celah clathrin setelah berikatan dengan LDL, sedangkan mutasi kelasV menyandi reseptor yang dapat berikatan dengan LDL dan mengalami internalisasi tetapi terperangkap di dalam endosom karena disosiasi reseptor dan LDL yang terikat tidak terjadi. Penemuan peranan khusus reseptor LDL di dalam homeostasis kolesterol menghasilkan rancangan rasional dari obat golongan statin yang sekarang digunakan secara luas untuk menurunkan kolesterol plasma. Mereka menghambat aktivitas reduktase HMG-CoA dan mendukung peningkatan sintesis reseptor LDL (Gambar 6-3).



RINGKASAN Hiperkolesterolemia Familial • Hiperkolesterolemia familial adalah kelainan dominan autosom yang menyebabkan mutasi pada gen yang menyandi reseptor LDL. • Penderita mengalami hiperkolesterolemia sebagai akibat gangguan transpor LDL ke dalam sel. • Pada heterozigot, peningkatan kolesterol serum sangat meningkatkan risiko aterosklerosis dan hasil akhir penyakit arteri koronaria; homozigot bahkan mengalami peningkatan kolesterol yang lebih tinggi dan mempunyai kekerapan lebih tinggi untuk penyakit jantung iskemik. Kolesterol juga mengendap sepanjang sarung tendon untuk menimbulkan xantoma.



223



Fibrosis Kistik Dengan angka kejadian 1 di antara 3200 kelahiran hidup di Amerika Serikat, fibrosis kistik/ cystic fibrosis (CF) merupakan penyakit genetik letal yang paling lazim mengenai populasi berkulit putih. Penyakit tersebut tidak lazim pada penduduk Asia (1 di antara 31.000 kelahiran hidup) dan penduduk Amerika asal Afrika (1 di antara 15.000 kelahiran hidup). CF mengikuti pewarisan resesif autosom yang sederhana, dan tidak mengenai karier heterozigot. Walaupun demikian, terdapat kumpulan yang mengherankan dari variasi fenotipe yang merupakan akibat mutasi yang beragam dari gen yang terkait dengan CF, yang akibatnya khas pada jaringan yang kehilangan fungsi gennya, dan berkembangnya pengaruh zat yang dapat mengubah penyakit yang baru dikenal. Pada dasarnya, hal ini merupakan kelainan transpor epitel yang memengaruhi sekresi cairan pada kelenjar eksokrin dan lapisan epitel dari saluran pernapasan, gastrointestinal dan reproduktif. Sesungguhnya, sekresi abnormal berupa mukus yang kental yang menyumbat saluran udara dan saluran pankreas merupakan penyebab dua manifestasi klinis yang paling penting: infeksi paru yang kronik dan berulang dan insufisiensi pankreas. Di samping itu, walaupun kelenjar keringat eksokrin strukturnya normal (dan tetap demikian sepanjang perjalanan penyakit ini), kadar natrium klorida yang tinggi di dalam cairan keringat adalah abnormalitas biokimiawi yang konsisten dan khas pada CF.



PATOGENESIS Cacat primer pada CF adalah fungsi protein kanal klorida yang abnormal pada epitel yang disandi oleh gen CF transmembran conductance regulator (CFTR) pada lokus kromosom 7q3.I .2. Perubahan pada mukus dianggap terjadi sekunder terhadap gangguan transpor ion klorida. Pada epitel normal, transpor ion klorida melewati membran sel melalui protein transmembran, seperti CFTR, yang membentuk kanal klorida. Mutasi pada gen CFTR menyebabkan membran epitel bersifat relatif impermeabel terhadap ion klorida (Gambar 6-4). Walaupun demikian, dampak dari cacat ini pada fungsi transpor bersifat khas jaringan. Fungsi utama protein CFTR pada saluran kelenjar keringat adalah reabsorbsi ion klorida di dalam lumen dan meningkatkan reabsorpsi natrium melalui kanal natrium epitel/epithelial sodium channel (ENaC). Oleh karena itu, pada saluran kelenjar keringat, kehilangan fungsi CFTR menyebabkan penurunan reabsorpsi natrium klorida dan produksi keringat yang hipertonik ("asin") (Gambar 6-4, atas). Hal sebaliknya dari yang terjadi pada kelenjar keringat ialah CFTR pada epitel saluran pernapasan dan intestinal yang berfungsi paling penting berupa sekresi klorida akif di dalam lumen. Pada tempat ini, mutasi CFTR menyebabkan kehilangan atau reduksi sekresi aktif klorida ke dalam lumen (Gambar 6-4, bawah). Absorpsi aktif natrium di dalam lumen melalui ENaC juga meningkat, dan kedua jenis ion ini mengubah peningkatan reabsorpsi pasif air dari lumen, yang menurunkan kadar air dari lapisan permukaan cairan yang melapisi sel mukosa. Jadi, tidak seperti saluran kelenjar keringat, tidak terdapat perbedaan kadar garam pada lapisan cairan permukaan yang melapisi sel mukosa saluran pernapasan dan intestinal pada individu normal dan pacia penderita CF.Sebagai penjelasan lain,patogenesis komplikasi pernapasan dan intestinal pada CF tampaknya sebagai akibat dari lapisan cairan permukaan yang isotonik tetapi volumenya rendah. Pada paru, dehidrasi ini menyebabkan cacat pergerakan mukosiliar dan penumpukan sekresi yang pekat dan kental, yang menyumbat aliran udara dan menjadi predisposisi infeksi berulang.



224



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik Protein Ester kolesterol ApoB-100



LDL



Reseptor LDL



Celah terlapisi Membrana plasma



Vesikel daur-ulang



Clathrin Vesikel terlapisi



Sintesis resptor LDL



Sintesis kolesterol



DNA Inhibits



Endosom



Reduktase HMG Coa



Lisosom



Inhibits



Asam amino



Kelebihan pasokan kolesterol



Kolesterol Stimulates



Membrana sel, hormon steroid, dan asam empedu



Penimbunana ester kolesteror



Gambar 6-3 Jalur reseptor LDL dan regulasi metabolisme kolesterol. Tanda panah kuning menunjukkan tiga fungsi regulasi dari kolesterol bebas: (I) penekanan sintesis kolesterol oleh penghambatatn reduktase HMG-CoA, (2) perangsangan penimbunan kelebihan kolesterol sebagai ester, (3) penghambatan sintesis reseptor LDL. Ht1G-CoA reductase, 3-hydroxy-3-methylglutaryi-coenzyme A reductase; LDL, low-density lipoprotein.



Sejak gen CFTR diklon pada tahun 1999, lebih dari 1300 mutasi yang menyebabkan penyakit sudah ditetapkan. Mereka dapat digolongkan sebagai berat atau ringan, bergantung kepada fenotipe klinis: mutasi berat berkaitan dengan kehilangan fungsi protein CFTR secara lengkap, sedangkan mutasi ringan apabila sebagian fungsi normal tersisa. Mutasi CFTR yang paling lazim adalah delesi tiga nukleotida yang menyandi fenilalanin pada posisi asam amino 508 (4F508). Ini menyebabkan pelipatan salah dan kehilangan total dari CFTR. Di seluruh dunia, mutasi AF508 dijumpai pada 70% penderita CF. Oleh karena CF adalah penyakit resesif autosom, individu yang terkena mengandungi mutasi pada kedua alel yang memengaruhi fenotipe secara keseluruhan, demikian juga manifestasi khas-organ. Walaupun CF tetap merupakan salah satu contoh yang paling dikenal dari aksioma "satu gen-satu penyakit" (one gene-one disease), terdapat bukti-bukti yang masih bertambah yang menunjukkan bahwa ada gen lain yang berperan memodifikasi kekerapan dan keparahan manifestasi khas-organ. Satu contoh dari pemodifikasi genetik adalah mannose-binding lectin, suatu efektor kunci dari imunitas alami/bawaan yang berperan pada fagositosis mikroorganisme. Pada keadaan CF, polimorfisme pada satu atau dua alel mannose-binding lectin yang menyebabkan penurunanan kadar protein yang beredar berkaitan dengan peningkatan risiko tiga kali lipat untuk penyakit paru stadium akhir, karena infeksi bakteri kronik.



MORFOLOGI Perubahan anatomik sangat bervariasi dan bergantung kepada kelenjar mana yang terkena dan keparahan pen; dkit. Abnormalitas pankreas terdapat pada 85% sampai 90% penderita CF. Pada kasus yang lebih ringan, mungkin hanya terjadi akumulasi mukus di dalam saluran kecil, dengan sebagian pelebaran kelenjar eksokrin. Pada kasus yang lanjut, biasanya dijumpai pada anak yang lebih tua atau pada usia remaja, saluran tersumbat penuh, yang menyebabkan atrofia kelenjar eksokrin dan fibrosis progresif (Gambar 6-5). Kehilangan lengkap dari sekresi eksokrin memengaruhi absorpsi lemak, sehingga avitaminosis A mungkin berperan pada metaplasia skuamosa lapisan epitel saluran pankreas, yang telah cedera karena sekresi mukus yang terhambat. Sumbatan mukus yang tebal dan kental mungkin juga ditemukan pada saluran intestinal pada bayi. Kadang-kadang ini menyebabkan obstruksi usus kecil, yang disebut ileus mekonium. Perubahan pulmonal merupakan komplikasi yang paling serius dari penyakit ini (Gambar 6-6). Perubahan ini akibat dari obstruksi dan infeksi saluran udara yang terjadi sekunder terhadap sekresi mukus yang kental dari kelenjar submukosa pada sistem pernapasan. Bronkiolus seringkali terregang oleh mukus yang tebal, terkait dengan perubahan pulmonal merupakan komplikasi



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal NORMAL CFTR



Na+



Cl–



ENaC



LUMEN SALURAN KERINGAT



SALURAN PERNAPASAN



NORMAL



219



FIBROSIS KISTIK Cl–



Na+



FIBROSIS KISTIK Mukus dengan dehidrasi



Mukus norma



Cl–



Na+



H 2O



Cl–



Na+



H 2O



Gambar 6-4 Atas, Pada fibrosis kistik (FK)/cystic fibrosis (CF), cacat kanal klorida pada saluran keringat menyebabkan peningkatan kadar klorida dan natrium dalam keringat. Bawah, Penderita dengan CF mengalami penurunan sekresi klorida dan peningkatan natrium dan reabsorpsi air pada saluran pernapasan, yang diikuti pelapisan sel selaput lendir, cacat pergerakan mukosiliar, dan sumbatan lendir. CFTR, cystic fibrosis tronsmembran conductance regulator; ENaC, epithelial sodium channel responsible for intracellular sodium conduction.



yang paling serius dari penyakit ini (Gambar 6-6). Perubahan ini akibat dari obstruksi dan infeksi saluran udara yang terjadi sekunder terhadap sekresi mukus yang kental dari kelenjar submukosa pada sistem per-napasan. Bronkiolus seringkali terregang oleh mukus yang tebal, terkait dengan adalah meningkatnya kekerapan infeksi oleh pseudomonas yang lain, Burkholderia cepacia. Bakteri oportunis-tik ini khususnya bersifat tangguh, dan infeksi oleh organisme ini berkaitan dengan penyakit beratifulminant ("sindrom cepacea"). Terkenanya hati mengikuti pola penyakit dasar. Kanalikuli empedu tersumbat oleh bahan musm, diikuti oleh proliferasi duktus dan inflamasi portal.



Gambar 6-6 Paru penderita yang meninggal karena fribrosis kistik. Sumbatan lendir yang ekstensif dan pelebaran saluran trakeobronkial tampak jelas. Parenkim paru menjadi padat oleh kombinasi baik sekresi maupun pnemonia; warna kehijauan adalah akibat infeksi Pseudomonas. (Penghargaan kepoda Dr. Eduardo Yunis, Children's Hospital of Pittsburgh, Pittsburgh, Pennsylvania)



Gambar 6-5 Perubahan ringan sampai sedang dari fibrosis kistik pada pankreas. Saluran melebar dan terisi oleh lendir eosinofilik, dan parenkim kelenjar atrofik dan digantikan oleh jaringan fibrotik.



226



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Steatosis hati lazim ditemukan pada biopsi hati. Dengan berjalannya waktu, terjadi perkembangan sirosis, yang menyebabkan pembentukan nodul hati yang difus. Kelainan hati yang parah itu dijumpai kurang dari 10% penderita. Azoospermia dan infertilitas ditemukan pada 95% penderita pria yang dapat mencapai usia dewasa; tidak terdapatnya vasa deferens bilateral sering ditemukan pada penderita. Pada sebagian pria hanya ada kelainan yang mungkin diduga karena mutasi CFTR.



Perjalanan Klinis Pada beberapa penyakit pada anak-anak terdapat manifestasi klinis yang khas seperti CF (Tabel 6-3). Tanda dan gejala pernyakit sangat bervariasi cLan berkisar dari ringan sampai berat, dapat ditemukan sejak lahir sampai permulaan penyakit beberapa tahun kemudian, dan dari jenis yang terbatas pada s,itu organ sampai jenis yang mengenai banyak organ. Sekitar 5% sampai 10% kasus dibawa ke klinis pada saat lahir atau segera sesudahnya karena serangan ilsus meconium. Insufisiensi eksokrin pankreas terjadi pada sebagian besar (85% sampai 90%) penderita dengan CF dan berkaitan dengan mutasi CFTR yang "berat" pada kedua alel (contoh AF508/AF508 ), sedangl.an 10% sampai 15% penderita dengan satu mutasi CFTR yang "berat" dan satu yang "ringan", atau dua mutasi CFTR yang "ringan", mempertahankan fungsi eksokrin pankreas yang cukup sehingga suplementasi enzim tidak diperlukan-fenotipe jenis pancreas-sufficient. Insufisiensi pankreas berhubungan dengan mengabsorpsi protein dan lemak dan kehilangan lewat feses yang meningkat. Manifestasi malabsor psi (contoh feses yang besar, berbau busuk; perut meregang, berat badan tidak cukup bertambah) tampak selama satu tahun pertama kehidupan. Absorpsi lemak yang tidak normal dapat menyebabkan defisiensi vitamin yang terlarut dalam lemak, yang diikuti manifestasi avitaminosis A, D atau K. Hipoproteinemia mungkin cukup parah menyebabkan edema menyeluruh. Diare yang menetap dapat menyebabkan prolaps rektum pada 10% anak-anak penderita CF



Fenotipe jenis pancreas-sufficient biasanya tidak berhubungan dengan komplikasi gastrointestinal lain, dan pada umumnya, penderita menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik. Pankreatitis kronik "idiopatik" terjadi pada subset penderita dengan CF jenis pancreas-sufficient, dan berhubungan dengan episode kekambuhan nyeri abdomen dengan komplikasi yang mengancam kehidupan. Komplikasi kardiorespirasi, seperti batuk kronik, infeksi paru yang menetap, penyakit paru obstruktif, dan cor pulmonale, merupakan penyebab kematian yang paling lazim (mencapai sekitas 80% kematian) pada penderita yang dirawat untuk tindak-lanjut pada sebagian besar pusat CF di Amerika Serikat. Menjelang usia 18 tahun, 80% penderita dengan CF klasik menderita infeksi P. aeruginosa, dan 3.5% B. cepacia. Karena penggunaan antibiotik untuk pencegahan Staphylococcus yang tidak spesifik, disayangkan terjadi peningkatan kembali infeksi galur Pseudomonas yang resisten pada banyak penderita. Polip sinonasal yang berulang dapat terjadi pada 10% sampai 25% penderita CF; seyogianya anak yang menunjukkan polip semacam itu harus diperiksa untuk abnormalitas klorida keringat. Penyakit hati yang bermakna terjadi lebih lambat pada riwayat penyakit CF yang alami dan terselubung oleh terjangkitnya paru dan pankreas; dengan harapan hidup yang meningkat, penyakit hati sekarang merupakan penyebab kematian ketiga yang paling lazim pada penderita CF (setelah penyulit kardiopulmonal dan yang terkait transplantasi). Pada sebagian besar kasus, diagnosis CF berdasarkan peningkatan konsentrasi elektrolit keringat yang menetap (seringkali ibu membuat diagnosis karena bayi "terasa asin"), penemuan klinis yang khas (penyakit sinopulmonal dan manifestasi gastrointestinal), atau riwayat penyakit pada keluarga. Penetapan urutan basa dari gen CFTR, tentu merupakan modalitas baku untuk diagnosis CF. Oleh karena itu pada penderita dengan temuan klinis atau riwayat penyakit pada keluarga (atau kedua-duanya), yang mengarah pada kelainan ini, dapat dianjurkan untuk dilakukan analisis genetik.



Tabel 6-3 Perangai Klinis dan Kriteria Diagnostik untuk Fibrosis Kistik



Perangai Klinis dari Fibrosis Kistik Penyakit sinopulmonal bermanifestasi sebagai Kolonisasi/infeksi yang menetap dengan patogen khas fibrois kistik, termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae yang tidak dapat ditetapkan tipenya, Pseudomonas aeruginosa tipe mukoid dan non-mukoid, Burkholderia cepacia Batuk kronik dan produksi sputum Abnormalitas radiografik dada yang menetap (contoh, brorkiektasis, atelektasis, infiltrat, hiperinflasi) d. Obstruksi jalan napas dengan manifestasi "wheezing" dan udara terperangkap Polip hidung; abnormalitas radiografik atau computed tomographic dari hidung f. "Clubbing" jari Abnormalitas gastrointestinal dan nutrisi, termasuk Intestinal: ileus mekonium, sindrom obstruksi intestinal distal, prolaps rektum Pankreatik: insufisiensi pankreas, pankreatitis akut berulang, pankreatitis kronik Hepatik: penyakit hati kronik dengan manifestasi bukti klinik atau histologis dari sirosis bilier fokal, atau sirosis multilobul, ikterus neonatal yang lama Nutrisional: failure to thrive (malnutrisi protein-kalori), hipoproteinemia, edema, komplikasi sekunder terhadap defisiensi vitamin yang larut dalam lemak Sindrom kehilangan garam: deplesi garam akut, alkalosis metabolit kronik 4. Abnormalitas urogenital pria yang menyebabkan azospermia obstruktif (vas deferens bilateral tidak terbentuk secara kongenital)



Kriteria untuk Diagnosis Fibrosis Kistik Satu atau lebih perangai fenotipe yang khas, ATAU riwayat fibrosis kistik pada satu "sibling" ATAU hasil uji penapisan bayi baru lahir positif DAN Peningkatan konsentrasi klorida keringat pada dua atau lebih kesernpatan, ATAU indentifikasi dua mutasi fibrosis kistik ATAU penemuan transpor ion epitel nasal abnormal transpor ion epitel nasal abnormal Disadur atas izin dari Rosenstein BJ, Cutting GR:The diagnosis of cystic fibrosi:: a consensus statement. J Pediatr 132:589, 1998.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Kemajuan penatalaksanaan CF menyebabkan peningkatan penderita yang bertahan hidup sampai usia dewasa; nilai tengah (median) harapan hidup sekarang adalah 36 tahun dan terus meningkat. Uji klinis dengan terapi gen pada manusia masih pada taraf dini tetapi memberikan harapan besar untuk berjuta-juta penderita CF di seluruh dunia.



RINGKASAN Fibrosis Kistik •



CF adalah penyakit jenis resesif autosom yang disebabkan oleh mutasi pada gen CFTR yang menyandi regulator transmembran CF.







Cacat pokok adalah transpor ion, yang menyebabkan konsentrasi garam yang tinggi di dalam keringat dan sekret yang kental pada lumen saluran pernapasan dan gastrointestinal.







Mutasi CFTR bisa berat/parah (ΔF508), yang menyebabkan terjadinya penyakit multisistem, atau ringan, yang menyebabkan perjalanan penyakit dan keparahan yang terbatas.







Penyulit kardiopulmonal merupakan penyebab kematian yang paling lazim; infeksi paru, terutama oleh pseudomonas yang resisten, seringkali terjadi. Bronkiektasis dan kegagalan jantung sisi kanan merupakan sekuela jangka panjang.







Insufisiensi pankreas sangat lazim terjadi; infertilitas yang disebabkan oleh tidak adanya vas deferens bilateral adalah penemuan yang khas pada penderita CF dewasa.







Penyakit hati, termasuk sirosis, meningkat karena daya tahan hidup yang membaik.



kekerapannya



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Enzim Fenilketonuria Terdapat beberapa varian fenilketonuria (FKU)/phenylketonuria, suatu kesalahan metabolisme sejak lahir yang mengenai 1 di antara 10.000 bayi lahir-hidup dari golongan kulit putih. Bentuk yang paling lazim, dikenal sebagai fenilketonuria klasik, sangat lazim pada orang keturunan Skandinavia dan tidak lazim ditemukan pada populasi Amerika asal Afrika dan Yahudi. Homozigot dengan kelainan resesif autosom secara klasik mempunyai kekurangan enzim fenilalanin hikroksilase (FAH), yang menyebabkan hiperfenilalaninemia dan FKU. Bayi yang terkena adalah normal pada saat lahir tetapi dalam beberapa minggu menunjukkan peningkatan kadar fenilalanin plasma, yang secara tidak langsung mengganggu perkembangan otak.



Fenilalanin + O2



Biasanya, menjelang 6 bulan kehidupan, secara mencolok terjadi keterlambatan mental yang parah; kurang dari 4% anak dengan fenilketonuria yang tidak diobati mempunyai intelligence quotients (IQs) lebih tinggi dari 50 atau 60. Sekitar sepertiga dari anak-anak ini tidak pernah dapat berjalan, dan dua pertiga tidak dapat berbicara. Serangan kejang, abnormalitas neurologik lain, penurunan pigmentasi rambut dan kulit, dan ekzema sering menyertai keterlambatan mental pada anak-anak yang tidak diobati. Hiperfenilalaninemia dan akibatnya berupa keterlambatan mental dapat dicegah dengan pembatasan konsumsi fenilalanin pada masa dini kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prosedur penapisan dilakukan secara rutin untuk mendeteksi FKU segera setelah lahir. Banyak penderita wanita dengan FKU yang menerima pengobatan gizi yang dimulai pada waktu dini kehidupan mencapai usia untuk dapat hamil dan secara klinis normal. Sebagian besar dari mereka mempunyai hiperfenilalanin yang berat, karena pengobatan gizi dihentikan setelah mereka mencapai masa dewasa. Antara 75% dan 90% anak-anak yang dilahirkan oleh wanita semacam itu menderita keterlambatan mental dan mikrosefalia, dan 15% menderita penyakit jantung kongenital, walaupun bayibayi tersebut adalah heterozigot. Sindrom ini disebut FKU maternal, akibat dari efek teratogen dari fenilalanin atau metabolitnya yang menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan organ-organ tertentu pada fetus. Adanya dan keparahan anomali fetus berhubungan langsung dengan kadar fenilalanin maternal, sehingga dianjurkan pembatasan gizi untuk fenilalanin pada ibu dimulai sebelum konsepsi dan dilanjutkan selama kehamilan. Abnormalitas biokimiawi pada FKU adalah ketidakmampuan untuk konversi fenilalanin menjadi tirosin. Pada anak normal, kurang dari 50% asupan fenilalanin pada makanan diperlukan untuk sintesis protein. Sisanya diubah menjadi tirosin oleh sistem fenilalanin hidroksilase (Gambar 6-7). Apabila metabolisme fenilalanin dihambat karena tidak ada enzim FAH, jalur alternatif minor akan bekerja, yang menghasilkanbeberapa zat perantara yang diekskresikan dalam jumlah besar di dalam urin dan keringat. Hal ini menyebabkan bau yang tidak menyenangkan pada bayi yang terkena. Dianggap bahwa kelebihan fenilalanin atau metabolitnya berperan terhadap kerusakan otak pada FKU. Tidak adanya tirosin yang bersamaan (Gambar 6-7), suatu prekursor melanin, berkaitan dengan terjadinya warna muda dari rambut dan kulit. Pada tingkat molekul, sekitar 500 alel mutan dari gen FAH telah ditetapkan, hanya beberapa yang menyebabkan defisiensi enzim yang parah. Bayi-bayi dengan mutasi yang menyebabkan tidak adanya aktivitas FAH tampil dengan perangai klasik FKU, sedangkan mereka yang mempunyai sekitas 6% aktivitas sisa tampil dengan penyakit yang lebih ringan.



Tetrahidrobiopterin (BH4)



NAD Reduktase dihidropteridin (DHPR)



Hidroksilase fenilalanin (PAH) Tirosin + H2O



227



Dihidrobiopterin (BH2)



NADH



Gambar 6-7 Sistem fenilalanin hidroksilase. NADH, nicotinamide adenine dinucleotide, yang tereduksi.



228



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Lebih lagi pada sebagian mutasi yang hanya menyebabkan peningkatan sedikit dari kadar FAH tidak disertai kerusakan neurologik yang terkait. Keadaan yang kedua ini, disebut sebagai hiperfenilalaninemia jinak, yang perlu dikenal, karena individu yang terkena mungkin hanya ditemukan positif pada uji penapisan tetapi tidak menunjukkan stigmata FKU. Karena banyak alel penyebab penyakit dari gen fenilalanin hidroksilase, maka diagnosis molekuler tidak dapat dilakukan, dan pengukuran kadar fenilalanin serum diperlukan untuk membedakan hiperfenilalaninemia jinak dari FKU; kadar tersebut pada kelainan yang kedua secara khas adalah lima kali (atau lebih) lebih tinggi daripada normal. Segera setelah diagnosis biokimiawi ditegakkan, mutasi spesifik yang menyebabkan FKU dapat ditentukan. Dengan informasi ini, uji pembawa sifat (carrier) dari keluarga penyandang risiko dapat dilakukan. Kasus FKU sebanyak 98% adalah terkait dengan mutasi pada FAH, dan sekitar 2% adalah akibat dari abnormalitas atau daur ulang dari kofaktor tetrahidrobiopterin (Gambar 6-7). Pengenalan klinis terhadap bentuk varian FKU ini penting, karena penderita tidak perlu diobati dengan pembatasan fenilalanin pada makanan.



Galaktosemia Galaktosemia adalah kelainan resesif autosom dari metabolisme galaktosa yang mengenai 1 di antara 60.000 bayi lahir-hidup. Pada keadaan normal, laktase memecah laktosa, karbohidrat utama dari susu mamalia, menjadi glukosa dan galaktosa di dalam mikrovili intestinal. Galaktosa kemudian diubah menjadi glukosa dalam beberapa tahap, pada satu di antaranya enzim galactose-1-phosphate uridyltransferase (GALT) diperlukan. Tidak adanya enzim ini, karena mutasi homozigot gen GALT yang menyandinya, berperan pada galaktosemia. Sebagai akibat dari defisiensi transferase ini, galaktose-1-fosfat dan metabolit lain, termasuk galaktitol, bertumpuk pada banyak jaringan, termasuk hati, limpa, lensa mata, ginjal, dan cortex cerebri. Hati, mata, dan otak menyandang akibat kerusakan. Hepatomegali yang terjadi dini disebabkan terutama karena perubahan perlemakan, tetapi sesuai dengan berjalannya waktu jaringan parut yang tersebar menyerupai sirosis yang disebabkan penggunaan yang salah terhadap alkohol mungkin lebih mencolok (Bab 15). Lensa berubah menjadi opak (katarak), mungkin karena lensa menyerap air dan membengkak ketika galaktitol, yang diproduksi oleh jalur metabolit alternatif, bertumpuk dan meningkatkan tonisitasnya. Perubahan nonspesifik tampak pada sistem saraf pusat (SSP), termasuk kehilangan sel saraf, gliosis dan edema. Masih belum terdapat pengertian yang jelas tentang mekanisme jejas pada hati dan otak. Hampir sejak lahir, bayi yang terkena gagal berkembang. Muntah dan diare terjadi dalam beberapa hari setelah minum susu. Ikterus dan hepatomegali biasanya dijumpai selama minggu pertama kehidupan. Penumpukan galaktosa dan galatosa-1 fosfat di dalam ginjal mengganggu transpor asam amino, yang menyebabkan aminoasiduria. Septikemia Escherichia coli yang hebat terjadi dengan kekerapan yang meningkat. Diagnosis galaktosemia dapat dicurigai dari terdapatnya gula yang bersifat mereduksi selain glukosa di dalam urin, tetapi uji yang langsung menetapkan defisiensi transferase pada leukosit dan sel darah merah lebih dapat dipercaya. Diagnosis antenatal mungkin dibuat dengan uji aktivitas GALT dalam sel cairan amnion yang dibiakkan atau penentuan kadar galaktitol pada supernatan cairan amnion. Banyak perubahan klinis dan morfologik dapat dicegah atau diperbaiki dengan penyingkiran galaktosa dari diet selama paling sedikit dua tahun pertama kehidupan.



Pengendalian yang dilakukan segera setelah lahir mencegah katarak dan kerusakan hati serta memungkinkan perkembangan yang hampir normal. Bahkan dengan pembatasan gizi sekarang diketahui pasti bahwa penderita yang lebih tua seringkali terkena kelainan bicara dan kegagalan gonad (terutama kegagalan ovarium prematur) dan yang kurang lazim, yaitu suatu keadaan ataksia.



RINGKASA Fenilketonuria • •







FKU adalah kelainan pewarisan resesif autosom yang disebabkan oleh tidak adanya enzim femilalanin hidroksilase dan di ikuti ketidakmampuan dalam metabolisme fenilalanin. Perangai klinis dari FKU yang tidak diobati mungkin termasuk keterlambatan mental, kejang, dan berkurangnya pigmen rambut dan kulit, yang dapat dihindari dengan pembatasan asupan fenilalanin dalam makanan. Penderita wanita dengan FKU yang tidak meneruskan pengobatan gizi dapat melahirkan anak dengan malformasi dan kelainan neurologik yang diakibatkan oleh metabolit fenilalanin yang menembus plasenta.



Galaktosemia •







Galaktosemia disebabkan oleh tidak adanya enzim GALT yang diwariskan, yang menyebabkan penumpukan galaktosa-I fosfat dan metabolitnya di dalam jaringan. Perangai klinis mungkin termasuk ikterus, kerusakan hati, katarak, kerusakan saraf, muntah dan diare, dan sepsis E. coli. Pembatasan galaktosa dapat mencegah paling sedikit sebagian dari penyulit yang parah.



Penyakit Penimbunan Lisosom dari luar sel melalui fagositosis. Dengan tidak adanya enzim lisosom yang diwariskan, katabolisme dari substratnya tetap tidak sempurna, yang menyebabkan penimbunan metabolit yang tidak terlarut dan mengalami degradasi parsial di dalam lisosom (Gambar 6-8). Sekitar 40 penyakit penimbunan lisosom telah diketahui, tiap penyakit menyebabkan tidak berfungsinya enzim khas lisosom atau protein yang berperan dalam fungsinya. Secara tradisional, kelainan penimbunan lisosom dibagi menjadi kategori yang luas berdasarkan sifat biokimiawi dari substrat dan metabolit yang tertumpuk, tetapi klasifikasi yang lebih bersifat mekanik berdasarkan kepada cacat molekuler yang mendasarinya (Tabel 6-4). Di dalam tiap kelompok terdapat beberapa entitas tiap jenis adalah akibat dari defisiensi enzim yang khusus. Walaupun merupakan hal yang rumit, perangai tertentu adalah lazim ditemukan pada sebagian besar penyakit pada kelompok ini: • Penularan/resesif autosom • Populasi penderita terdiri dari bayi dan anak yang muda



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal



Degradasi lisosom normal



Substrat kompleks



A



B



229



C



Produk akhir kecil yang dapat berdifusi



Defisiensi enzim lisosom



A



B



Produk yang tidak di cerna yang di timbul



Gambar 6-8 Patogenesis penyakit penimbunan lisosom. Pada contoh ini, substrat yang kompleks dalam keadaan normal dicerna oleh beberapa enzim lisosom (A, B, dan C) menjadi produk akhir yang terlarut. Apabila ada defisiensi atau malfungsi salah satu dari enzim (contoh, B), katabolisme tidak sempurna, dan hasilantara yang tidak larut berakumulasi di dalam lisosom.



• Penimbunan zat antara yang tidak terlarut dalam sistem fagosit mononukleus, menyebabkan hepatosplenomegali. • SSP sering terkena disertai kerusakan neuron • Disfungsi seluler, yang disebabkan tidak hanya karena penimbunan dari materi yang tidak tercerna tetapi juga oleh kaskade kejadian sekunder yang terpicu, misalnya, oleh aktivasi makrofag dan pelepasan sitokin. Korban yang potensial dari penyakit ini masih beruntung, karena sebagian besar dari keadaan ini sangat jarang, dan uraian yang rinci lebih baik diserahkan untuk naskah dan tinjauan pustaka



Hanya sedikit dari keadaan yang lazim dipertimbangkan di sini. Penyakit penimbunan glikogen tipe II (penyakit Pompe), juga suatu kelainan lisosome, diba has kemudian dalam bab ini. Penyakit Tay-Sachs (Gangliosidosis GM2: Defisiensi Subunit βHeksosaminidase)



Gangliosidosis ditandai oleh akumulasi gangliosid, terutama di otak, akibat dari defisiensi enzim kata bolik lisosom. Bergantung kepada gangliosid yang terkena, kelainan ini digolongkan dalam kategori GM1 dan GM2. Penyakit Tay-Sachs, selama ini merupakan yang paling lazim dari semua gangliosidosis, yang ditandai oleh mutasi pada dan akibat dari defisiensi β subunit dari enzim heksosaminidase A, yang perlu untuk mendegradasi GM2.



Tabel 6-4 Kelainan Penimbunan Lisosom



Kategori Penyakit



Penyakit



Defisiensi



Cacat hidrolase lisosom primer



Penyakit Gaucher GMi gangliosidosis Penyakit Tay-Sachs Penyakit Sandhoff Penyakit Fabry Penyakit Krabbe Penyakit Niemann-Pick tipe A dan B



Glukoserebrosida Gml-β-galaktosidase Heksosaminidase, subunit α Heksosaminidase, subunit β α- Galaktosidase A Galaktosilseramidase Sfingomielinase



Cacat pemrosesan post translasi dari enzim lisosom Reaksi tidak efisien dari hidrolase yang disintesis terhadap disintesis terhadaplisosom



Mukosulfatidosis (sulfatidosis juvenil)



Sulfatase multipel



Mukolipidosis tipe II dan III alfa/beta



N-asetilglukosamin- I - fosfotransferase



Cacat proteksi enzim lisosom



Galaktosialidosis



Protein protektif katepsin A (β-galaktosidase dan neuraminidase)



Cacat protein lisosom nonenzimatik yang terlarut



Defisiensi protein aktivator GM2, varian AB Defisiensi protein aktivator sfingolipid Penyakit Niemann-Pick tipe C (NPC) Penyakit Salla (penimbunan asam sialat bebas)



Protein aktivator GM2 Protein aktivator



Defisiensi protein (nonenzimatik) transmembran



NPC1 and NPC2 Sialin



Data dari Jeyakumar M, Dwek RA, Butters TD, Platt FM: Storage solutions: treating lysosomal disorders of the brain. Nat Rev Neurosci 6: , 2005.



230



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



A



B



Gambar 6-9 Sel ganglion pada penyakit Tay-Sachs. A, di bawah mikroskop cahaya. Suatu neuron besar mempunyai vakuolisasi lemak yang jelas. B, Bagian suatu neuron di bawah mikroskop elektron menunjukkan lisosom yang menonjol dengan konfigurasi pusaran. Bagian dari inti ditunjukkan di atas. (A, Penghargaan kepada Dr. Arthur Weinberg Deportment of Pothology, University orTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas. B, Penghargaan kepada Dr. Joe Rutledge, Children's Regional Medical Center, Seattle, Washington.)



Lebih dari 100 mutasi telah diuraikan; sebagian besar memengaruhi pelipa tan protein atau transpor intrasel. Otak adalah yang terutama, karena paling banyak terlibat pada metabolisme gangliosid. Penimbunan GM2 terjadi pada neuron, silinder akson saraf, dan sel glia diseluruh SSP. Sel yang terkena tampak membengkak dan kadang-kadang berbusa (Gambar 6-9, A). Gambaran dengan mikroskop elektron menunjukkan konfigurasi seperti pusaran di dalam lisosom yang terusun dari lapisan-lapisan yang menyerupai kulit bawang dari membran (Gambar 6-9, B). Perubahan patologis ini dijumpai diseluruh SSP (termasuk sumsum tulang belakang), saraf perifer dan sistem saraf autonom. Retina biasanya terkena juga, dengan kelainan berupa bercak pucat akibat pembengkakan sel ganglion di retina bagian perifer yang membentuk bercak kemerahan (cherry red) yang kontras dengan pusat makula yang tidak terkena. Dasar molekuler dari jejas neuron tidak sepenuhnya dimengerti. Karena pada banyak kasus protein mutan yang salah terlipat, maka hal itu menyebabkan disebut "reaksi protein yang tidak terlipat" (Bab 1). Apabila protein yang salah terlipat semacam itu tidak distabilkan oleh pengantar/ chaperone, mereka memicu apoptosis. Penemuan ini telah mendasari uji klinis terapi molekuler chaperone untuk penyakit ini dan penyakit penimbunan lisosom yang serupa. Terapi semacam itu menggunakan molekul kecil yang meningkatkan sintesis chaperone atau mengurangi degradasi protein yang salah terlipat oleh proteosom.



Pada tipe A, ditandai oleh defisiensi berat sfingomielinase, sehingga terjadi hambatan pemecahan sfingomielin menjadi ceramide, dan kelebihan sfingomielin berakumulasi pada semua sel fagosit dan di dalam neuron. Makrofag dipenuhi oleh butir-butir atau partikel kompleks lipid, yang memberikan gambaran vakuolisasi lembut atau seperti buih (Gambar 6-10). Dengan mikroskop elektron gambaran vakuol diperkuat sebagai lisosom sekunder yang sering berisi jisimjisim membran. sitoplasma yang gambarannya konsentrik dari mielin yang berlapis-lapis, kadang-kadang disebut "jisim-jisim zebra". Oleh karena banyaknya sel fagosit maka organ-organ yang paling parah terkena adalah limpa, hati, sumsum tulang, kelenjar getah bening, dan paru. Pembesaran limpa mungkin mencolok. Di samping itu, seluruh SSP, termasuk sumsum tulang belakang, ganglion, terkena pada proses yang tragis ini. Neuron yang terkena membesar dan mengalami vakuolisasi akibat penimbunan lipid. Varian ini terjadi pada masa bayi dengan visceromegali masif, dan kelainan neurologik yang parah.



Pada varian penyakit Tay-Sachs yang paling akut pada bayi, bayi tampak normal pada saat lahir, tetapi kelemahan motorik mulai terjadi pada usia 3 sampai 6 bulan, diikuti oleh kelainan neurologik, permulaan kebutaan, dan disfungsi neurologik yang lebih parah yang berjalan progresif. Kematian terjadi dalam 2 atau 3 tahun. Penyakit Tay-Sachs, seperti lipidosis lain, paling lazim ditemukan di antara kaum Yahudi Ashkenazi, yang menunjukkan kekerapan karier heterozigot sekitar 1 di antara 30. Karier heterozigot yakin dapat ditemukan dengan perkiraan kadar heksosaminidase di dalam serum atau dengan analisis DNA. Penyakit Niemann-Pick Tipe A dan B Penyakit Niemann-Pick Tipe A dan B merupakan kelainan yang berhubungan ditandai oleh defisiensi primer asam sfingomielinase dan hasil akumulasi sfingomielin.



Gambar 6-10 Penyakit Niemann-Pick pada hati. Hepatosit dan sel Kupffer mempunyai tampilan berbuih, bervakuola akibat dari pengendapan lipid (Penghargaan kepada Dr. Arthur Weinberg Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas)



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Kematian biasanya terjadi dalam tiga tahun kehidupan. Sebagai perbandingan, penderita dengan varian tipe B, mengalami organomegali tetapi tanpa kelainan neurologik. Perkiraan aktivitas sfingomielinase pada leukosit atau biakan fibroblas dapat digunakan untuk diagnosis kasus yang dicurigai, demikian juga untuk menemukan karier. Diagnosis antenatal dimungkinkan dengan teknik pemeriksaan enzim atau analisis menggunakan pelacak DNA



Penyakit Niemann-Pick Tipe C Walaupun sebelumnya dianggap terkait dengan penyakit NiemannPick tipe A dan tipe B, tetapi tipe C (NPC) sangat berbeda pada tingkat biokimiawi dan molekuler dan lebih sering daripada gabungan tipe A dan B. Mutasi pada gen yang terkait, NPC1 dan NPC2, dapat menimbulkan kelainan tersebut, dan NPC1 merupakan pemeran untuk sebagian besar kasus. Tidak seperti sebagian besar penyakit penimbunan lisosom, NPC disebabkan oleh cacat primer pada transpor lipid. Sel yang terkena menimbun kolesterol demikian juga gangliosid seperti GM1 dan GM2. Baik NPC1 maupun NPC2 berperan pada transpor kolesterol bebas dari lisosom ke sitoplasma. NPC secara klinis bersifat heterogen: bentuk yang paling lazim terjadi pada masa anak-anak dan ditandai oleh ataksia, kelumpuhan gerakan melirik yang bersifat supranuklear vertikal, distoni, disartria dan kemunduran psikomotor.



Penyakit Gaucher Penyakit Gaucher disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi glukoserebrosidase. Terdapat tiga varian resesif autosom dari penyakit Gaucher yang menghasilkan mutasi alel yang berbeda. Pada semua kasus ditemukan defisiensi aktivitas glukoserebrosidase yang pada keadaan normal memecah glukosa menjadi seramid. Kekurangan ini menyebabkan akumulasi glukoserebrosid, suatu zat Penyakit Gaucher disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi glukoserebrosidase. Terdapat tiga varian resesif autosom dari penyakit Gaucher yang menghasilkan mutasi alel yang berbeda. Pada semua kasus ditemukan defisiensi aktivitas glukoserebrosidase yang pada keadaan normal memecah glukosa menjadi seramid. Kekurangan ini menyebabkan akumulasi glukoserebrosid, suatu zat-Pada keadaan normal glikolipid berasal dari pemecahan sel darah yang mengalami penuaan dan selanjutnya didegradasikan oleh fagosit dari tubuh terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Pada penyakit Gaucher, degradasi berhenti pada tingkat glukoserebrosid, yang berakumulasi di dalam fagosit. Fagosit ini sel Gaucher-mengalami pembesaran.



A



231



Sebagian mencapai diameter sebesar 100 jim, karena akumulasi lisosom yang mengembang, dan membentuk gambaran sitoplamik yang patognomonik yang disebut sebagai "kertas tisu yang keriput" (Gambar 6-11). Tidak terdapat vakuolisasi yang jelas. Sekarang dibuktikan, bahwa penyakit Gaucher disebabkan tidak hanya karena penimbunan zat tetapi juga oleh aktivasi makrofag. Pada jaringan yang terkena, ditemukan sitokin yang berasal dari makrofag dalam kadar tinggi, seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF). Satu varian, tipe I, juga disebut bentuk non-neuropati kronik, merupakan 99% dari penyakit Gaucher. Varian tersebut ditandai oleh terkenanya tulang yang ditemukan secara klinis dan radiologik (osteopeni, lesi litik fokal, dan oeteonekrosis) pada 70% sampai 100% kasus. Perangai tambahan adalah hepatomegali dan tanpa terkenanya SSP. Limpa seringkali membesar sampai proporsi masif, mengisi seluruh abdomen. Sel Gaucher ditemukan pada hati, limpa, kelenjar getah bening dan sumsum tulang. Penggantian sumsum tulang dan erosi korteks dapat memberikan gambaran lesi sklelet radiografik, demikian juga reduksi unsur-unsur yang dibentuk di dalam darah. Perubahan tulang dianggap disebabkan oleh aktivitas sitokin yang berasal dari makrofag yang telah disebutkan terdahulu. Tipe I paling lazim pada kaum Yahudi Ashkenazi; tidak seperti varian lain, varian ini dapat hidup dalam jangka panjang. Varian Tipe II dan Tipe III, ditandai oleh gejala nerologik. Pada Tipe II, manifestasi ini tampak pada masa bayi, (bentuk nueronopatik infantil akut) dan lebih parah, sedangkan Tipe III, yang muncul kemudian dan lebih ringan (bentuk neuropati kronik). Walaupun hati dan limpa juga terkena, perangai klinis Tipe II dan Tipe III didominasi oleh gangguan neurologik, termasuk konvulsi dan kemunduran mental yang progresif. Kadar glukoserebrosid pada leukosit dan biakan fibroblas berguna untuk diagnosis dan penetapan karier heterozigot. Terapi yang sedang berjalan ditujukan untuk menggantikan enzim seumur hidup dengan infus glukoserebrosid rekombinan. Bentuk baru terapi menurunkan substrat (gluokoserebrosid) dengan pemberian obat oral yang menghambat gluokoserebrosid-sintase. Karena glukosilseramid berkurang, penimbunannya juga berkurang. Uji klinis paJa manusia akhir-akhir ini hasilnya sangat menjanjikan untuk menggunakan modalitas terapi ini dengan penurunan splenomegali dan



B



Gambar 6-11 Penyakit Gaucher yang mengenai sumsum tulang. A, Sel Gaucher dengan sitoplasma bergranula yang mengandungi lipid. B, Elektron-mikrograf dari sel Gaucher dengan lisosom yang terregang dan memanjang. (Penghargaan kepada Dr. Matthew Fries, Department of Pathology, Universfty of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas.)



232



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



perbaikan penyakit skelet. Saat ini sedang diteliti terapi gen glukoserebrosidase dengan cara infus sel purca hematopoietik autolog yang telah dilakukan transfeksi dengan gen normal.



RINGKASAN Penyakit Penimbunan Lisosom •



Mukopolisakaridosis Mukopolisakaridosis (MPS) ditandai oleh cacat degradasi (dan oleh karena itu terjadi penimbunan berlebihan) dari mukopolisakarida pada berbagai jaringan. Perhatikan bahwa mukopolisakarida membentuk bagian dari zat dasar dan disintesa oleh fibroblas jaringan ikat. Sebagian besar mukopolisakarida disekresikan ke dalam zat dasar, tetapi sebagian tertentu didegradasikan di dalam lisoso m. Banyak enzim berperan di dalam jalur katabolisme ini; tidak adanya enzimenzim ini menyebabkan akumulasi mukopolisakarida di dalam lisosom. Beberapa varian klinis dari MPS, yang digolongkan secara numerik dari MPS I sampai MPS VII, telah diuraikan, masing-masing akibat dari defisiensi satu enzim yang khas. Mukopolisakarida yang berakumulasi di dalam jaringan termasuk dermatan sulfat, heparin sulfat, keratin sulfat, dan (pada beberapa kasiis) kondroitin sulfat. Hepatosplenomegali, deformitas skelet, lesi katup jantung, dan endapan subendotel arteri, terutama pada arteri koronaria, dan lesi di otak, adalah ancaman ycng perjalanan penyakitnya melalui semua MPS. Pada banyak sindrom yang lebih berlangsung lama, lesi subendotel koronaria menyebabkan iskemia miokardium. Jadi, infark miokardium dan dekompensasi jantung adalah penyebab kematian yang penting. Sebagian besar kasus berhubungan dengan perangai wajah yang kasar, kornea berkabut, sendi kaku, dan keterlambatan mental. Ekskresi urin dari mukopolisakarida yang tertimbun biasanya meningkat. Dengan semua kelainan ini kecuali satu, cara pewarisan adalah resesif autosom; kecuali sindrom Hunter adalah penyakit resesif X-linked. Dari tujuh varian yang dikenal, hanya dua sindrom yang ciri-cirinya jelas dibahas secara singkat di sini. MPS tipe I, juga dikenal sebagai sindrom Hurler, disebabkan oleh defisiensi α- L-iduronidase. Pada sindrom Hurler, anak yang terkena mempunvai harapan hidup dari 6 sampai 10 tahun, dan kematian seringkali karena komplikasi jantung. Penimbunan dermatan sulfat dan heparin sulfat ditemukan pada sel-sel dari sistem fagosit mononukleus, fibroblas, dan dalam endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah. Sel yang terkena membengkak dan mempunvai sitoplasma yang jernih, akibat dari penimbunan yang positif pada pewarnaan asam periodat-Schiff di dalam lisosom yang menggelembung dan mengalami vakuolisasi. Jisim inklusi lisosom juga ditemukan pada neuron, yang menyebabkan keterlambatan mental. Varian lain yang ciri-cirinya jelas, MPS tipe II atau sindrom Hunter, berbeda dari sindrom Hurler pada cara pewarisannya (X-linked), tidak terdapat kornea yang berkabut, dan seringkali dengan perjalanan penyakit lebih ringan. Seperti pada sindrom Hurler, penimbunan mukopolisakarida pada sindrom Hunter adalah heparin sulfat dan dermatan sulfat, tetapi ini akibat dari defisiensi L-iduronate sulfatase. Walaupun berbeda dalam defisiensi enzim, penimbunan substrat yang identik terjadi karena pemecahan heparin sulfat dan dermatan sulfat memerlukan baik α-L-iduronidase maupun sulfatase; apabila salah satu tidak ada maka degradasi selanjutnya terhambat.



















Penyakit Tay-Sachs disebabkan oleh ketidakmampuan untuk metabolisme gangliosid GM2 karena tidak terdapat subunit Q dari heksosaminidase lisosom. Gangliosid GM2 berakumulasi di dalam SSP dan menyebabkan keterlambatan mental yang parah, kebutaan, kelemahan motorik, dan kematian menjelang usia 2 sampai 3 tahun. Penyakit Niemann-Pick tipe A dan B disebabkan oleh defisiensi sfingomielinase. Pada yang lebih berat, varian tipe A, penimbunan sfingomielin pada sistem saraf menyebabkan kerusakan neuron. Lipid juga disimpan di dalam fagosit di dalam hati, limpa, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening, yang menyebabkan pembesaran organ. Pada tipe B, kerusakan neuron tidak ditemukan. Penyakit Niemann-Pick tipe C disebabkan oleh cacat transpor kolesterol dan menghasilkan penimbunan kolesterol dan gangliosid pada sistem saraf. Anak yang terkena menunjukkan ataksia, disartri, dan kemunduran psikomotor. Penyakit Gaucher akibat dari tidak ada enzim lisosom glukoserebrosidase dan penimbunan glukoserebrosid di dalam sel fagosit mononukleus. Pada yang paling lazim, varian tipe I, fagosit yang terkena menjadi membesar (sel Gaucher) dan berakumulasi di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang, yang menyebabkan hepatosplenomegali dan erosi tulang. Tipe II dan III ditandai oleh berbagai kelainan neuron. Mukopolisakaridosis akibat dari penimbunan mukopolisakarida pada banyak jaringan termasuk hati, limpa, jantung, pembuluh darah, otak, kornea dan sendi. Penderita yang terkena pada semua bentuk mempunyai perangai wajah yang kasar. Manifestasi sindrom Hurler termasuk kornea yang berkabut, endapan pada arteri koronaria dan katup, dan kematian pada masa anak-anak. Sindrom Hunter berhubungan dengan perjalanan penyakit yang lebih ringan.



Penyakit Penimbunan Glikogen (Glikogenosis) Defisiensi yang diwariskan dari salah satu enzim yang terlibat dalam sintesis atau degradasi glikogen dapat menyebabkan penimbunan glikogen yang berlebihan atau sebagai bentuk yang abnormal dari glikogen pada berbagai jaringan. Jenis glikogen yang disimpan, lokasi intraselnya, dan distribusi sel yang terkena bervariasi bergantung kepada defisiensi enzim yang khas. Tidak bergantung kepada jaringan atau sel yang terkena, glikogen paling sering disimpan di dalam sitoplasma, atau kadang-kadang di dalam inti. Satu varian, penyakit Pompe, adalah bentuk penyakit pc.ambunan lisosom, karena enzim yang tidak ada terletak di dalam lisosom. Sebagian besar glikogenosis diwariskan sebagai penyakit resesif autosom, sebagai sindrom "kehilangan enzim" yang lazim. Kira-kira dua belas bentuk glikogenosis telah diuraikan dalam hubungan dengan defisiensi enzim yang khas. Berdasarkan penemuan patofisiologis, mereka dapat digolongkan dalam tiga kategori (Tabel 6-5): • Tipe hepatik. Hati mengandungi beberapa enzim yang mensintesa glikogen untuk disimpan dan juga memecahnya menjadi glukosa bebas. Jadi, suatu defisiensi enzim hepatik yang berperan pada metabolisme glikogen berhubungan dengan dua akibat klinis utama:



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal



233



Tabel 6-5 Subkelompok Utama dari Glikogenosis



Kategori Klinikopatologis



Tipe Spesifik



Defisiensi Enzim



Perubahan Morfologik



Tipe hepatika



Hepatorenal (Penyakit von Gierke, tipe 1



Glukosa-6fosfatase



Hepatomegali: akumulasi intrasitoplasma glikogen dan sedikit lipid; glikogen intranukleus Renomegali: akumulasi intrasitoplasma glikogen dalam sel epitel tubulus korteks



Pada penderita yang tidak diobati, gagal tumbuh (failure to thrive), pertumbuhan terhambat, hepatomegali, dan renomegali Hipoglikemia karena kegagalan mobilisasi glukosa, sering menyebabkan kejang Hiperlipidemia dan hiperurisemia akibat dari metabolisme glukosa yang tidak teratur; banyak penderita menunjukkan gejala pirai (gout) dan xantoma kulit Kecenderungan perdarahan karena disfungsi trombosit Dengan pengobatan (pemberian sumber glukosa terus menerus), sebagian penderita bertahan hidup dan mengalami komplikasi lambat (contoh, adenoma hati)



Tipe miopati



Sindrom McArdle (type V)



Fosforilase otot



Otot skelet saja: akumulasi glikogen predominan pada lokasi sarkolema



Kram dengan rasa nyeri terkait dengan aktivitas fisis keras Mioglobulinuria terjadi pada 50% kasus Permulaan pada usia dewasa (>20 tahun) Latihan otot gagal meningkatkan kadar laktat pada darah vena Selaras dengan masa hidup panjang yang normal



Tipe campuran



Glikogenolisis umum (Penyakit Pompe, tipe II)



Glukosidase lisosom (asam maltase)



Hepatomegali ringan: lisosom menggelembung dengan glikogen yang membentuk pola sitoplasma "lacy" Kardiomegali: glikogen di dalam sarkoplasma demikian juga terikatmembran



Perangai Klinis



Kardiomegali masif, hipotonia otot, dan gagal kardiorespirasi sebelum umur 2 tahun Bentuk dewasa muda dengan hanya otot skelet yang terkena, bermanifestasi sebagai miopati kronik



Otot skelet: mirip pada jantung (lihat atas tentang kardiomegali)



pembesaran hati karena penimbunan glikogen dan hipoglikemia karena kegagalan produksi glukosa (Gambar 6-12). Penyakit von Gierke (glikogenosis tipe I), akibat dari tidak adanya glukosa-6fosfatase, adalah contoh paling penting dari gliogenosis tipe hepatic (Tabel 6-5). • Tipe miopati. Pada otot lurik, glikogen adalah suatu sumber energi yang penting. Bukan hal yang mengejutkan, bahwa sebagian besar penyakit penimbunan glikogen memengaruhi otot. Apabila enzim yang terlibat pada gliokolisis kurang, maka penimbunan glikogen terjadi pada otot dan terjadi kelemahan otot karena kelainan produksi energi. Secara khas, bentuk miopati dari penyakit penimbunan glikogen ditandai oleh kejang (kram) otot setelah latihan fisis, mioglobinuria, dan latihan fisis tidak berhasil menginduksi peningkatan kadar laktat darah karena glikolisis terhambat. Penyakit McArcdle, (glikogenosis tipe V), akibat dari defisiensi fosforilase otot, adalah prototipe dari glikogenosis miopati. • Glikogenosis tipe II (Penyakit Pompe) disebabkan oleh defisiensi maltase asam lisosom dan oleh karena itu berhubungan dengan pengendapan glikogen pada hampir semua organ, tetapi kardiomegali yang paling menonjol. Sebagian besar penderita yang terkena meninggal dalam 2 tahun sejak permulaan penyakit karena kegagalan kardiorespiratorik. Terapi dengan enzim yang hilang (glukosidase) dapat memulihkan kerusakan otot jantung dan memperpanjang masa hidup sedikit lebih lama.



RINGKASAN Penyakit penimbunan Glikogen • Defisiensi yang diwariskan dari enzim yang berperan pada metabolisme glikogen dapat menyebabkan penimbunan glikogen normal atau abnormal pada semua jaringan, terutama pada hati atau otot. • Pada bentuk hepatik (penyakit von Gierke), sel hati menimbun glikogen karena tidak adanya glukosa-6 fosfatase hepatik. Terdapat beberapa bentuk miopati, termasuk penyakit McArdle, yang tanpa fosforilase otot sehingga menimbulkan penimbunan glikogen pada otot skelet dan kejang (kram) setelah latihan fisis. Pada penyakit Pompe yang tidak ada adalah maltase asam lisosom, sehingga semua organ terkena, tetapi jantung yang paling menonjol.



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein yang Mengatur Pertumbuhan SeI Seperti telah diuraikan pada Bab 5, dua kelas gen yaitu proto-onkogen dan gen supresor tumor, mengatur pertumbuhan sel normal dan diferensiasinya. Mutasi yang memengaruhi gen-gen ini, paling sering terjadi pada sel somatik yang terlibat dalam



234



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik diwariskan bersama (co-inhereted). Dua tambahan fakta penting telah muncul dari penelitian kelainan kompleks umum seperti diabetes tipe I:



NORMAL



Hati Glikogen



Berbagai jaringan



Glukosa Glukosa darah



Otot



Glukosa



Glikolisis Energi



Glikogen



PENYAKIT PENIMBUNAN GLIKOGEN-TIPE HEPATIK



Glikogen Glukosa Glukosa darah rendah



PENYAKIT PENIMBUNAN GLIKOGEN-TIPE MIOPATIK



Glukosa



Glikolisin



Glikogen



Luaran energi rendah



Gambar 6-12 Atas, Skema yang disederhanakan tentang metabolisme glikogen yang normal pada hati dan otot skelet. Tengah, Pengaruh defisiensi yang diwariskan dari enzim hepatik yang berperan pada metabolisme glikogen. Bawah, Akibat cacat genetik pada enzim yang mencerna glikogen pada otot skelet.



patogenesis tumor. Walaupun demikian, pada sekitar 5% sampai 10% dari semua kanker terjadi mutasi yang memengaruhi gen supresor tumor tertentu pada semua sel tubuh, termasuk sel benih dan oleh karena itu dapat diturunkan kepada anak. Gen mutan ini menyebabkan predisposisi anak untuk menderita tumor yang bersifat herediter, suatu topik yang dibahas lebih luas dan rinci pada Bab 5.



KELAINAN MULTIGEN KOMPLEKS Kelainan multigen kompleks-yang disebut kelainan multi faktor atau poligen disebabkan oleh interaksi antara berbagai varian gen dan faktor lingkungan. Varian gen yang mempunyai paling sedikit dua alel dan terjadi pada paling sedikit 1% populasi disebut polimorfisme. Menurut hipotesis penyakit umum varian umum maka kelainan multigen kompleks terjadi apabila banyak polimorfisme, masingmasing dengan pengaruh berderajat menengah dan penetrasi rendah,



• Apabila kelainan kompleks akibat dari pewarisan kolektif daribanyak polimorfisme, maka polimorfisme yang berbeda bervariasi dalam kemaknaannya. Misalnya, dari 20 sampai 30 gen yang ditemukan berperan pada diabetes tipe I, hanya 6 atau 7 yang paling penting, ditambah beberapa alel HLA yang menyumbang lebih dari 50% risiko (Bab 19). • Sebagian polimorfisme lazim terdapat pada banyak penyakit dari tipe yang sama, sedangkan yang lainnya adalah khas-penyakit. Observasi ini digambarkan dengan baik pada penyakit radang yang diperantarai reaksi imun (Bab 4). Beberapa ciri fenotipe normal diatur oleh pewarisan multigen, seperti warna rambut, warna mata, warna kulit, tinggi badan, dan inteligensia. Ciri-ciri ini (juga dikenal sebagai quantitative trait loci [QTLs]) menunjukkan variasi yang bersifat kontinu di dalam kelompok, demikian juga melintasi, semua kelompok populasi. Walaupun demikian, pengaruh lingkungan, secara bermakna mengubah paparan fenotipe dari 'trait' kompleks. Misalnya, diabetes melitus tipe 2 mempunyai banyak perangai dari kelainan multigenik kompleks. Diketahui dengan baik secara klinis bahwa individu yang terkena seringkali menunjukkan manifestasi klinis dari kelainan ini setelah berat badan bertambah. Jadi, obesitas demikian juga pengaruh lingkungan, mengelabui 'trait' genetik dari diabetes. Menetapkan suatu penyakit ke dalam pewarisan jenis ini harus dilakukan dengan hati-hati. Hal itu bergantung kepada banyak faktor tetapi pertama kali pada pengelompokan familial dan memisahkan penurunan penyakit menurut pola Mendel dan kromosom. Dengan memperhatikan rentang keparahan penyakit dapat dipikirkan kelainan multigen kompleks, tetapi seperti disebutkan sebelumnya, paparan yang beranekaragam dan berkurangnya penetrans dari gen tunggal mutan juga mungkin berpengaruh pada fenomena ini. Karena masalah-masalah ini, kadang-kadang sulit membedakan antara kelainan Mendel dan multifaktor.



KELAINAN SITOGENETIK Abnormalitas kromosom terjadi jauh lebih sering daripada yang umumnya dipikirkan. Diperkirakan sekitar 1 di antara 200 bayi baru lahir mempunyai sedikit bentuk abnormal pada kromosomnya. Angkanya jauh lebih tinggi pada fetus yang tidak bertahan hidup sampai masa kehamilan sempurna. Diperkirakan bahwa dalam 50% keguguran spontan trimester pertama, fetus mempunyai abnormalitas kromosom. Kelainan sitogenetik mungkin akibat perubahan jumlah atau struktur kromosom dan mungkin mengenai autosom atau kromosom seks. Sebelum memasuki pembahasan aberasi kromosom, perlu meninjau karyotyping sebagai teknik dasar ahli sitogenetik. Suatu karyotype adalah representasi fotografik dari metaphase yang terwarnai, yang tersebar dan untuk menganalisis kromosom diatur dalam urutan sesuai dengan panjang kromosom yang menurun. Berbagai teknik pewarnaan kromosom telah dikembangkan. Dengan penggunaan secara luas teknik pewarnaan Giemsa (G banding/ pemetaan G) tiap perangkat kromosom dapat dilihat berbeda pola berupa pergantian pita terang dan gelap dengan berbagai lebar (Gambar 6-13). Penggunaan teknik pemetaan kromosom memungkinkan untuk identifikasi dari tiap kromosom, dan dapat mendeteksi dan melokalisasi abnormalitas struktur yang cukup besar untuk menghasilkan perubahan pada pola pemetaan kromosom (dibahas kemudian).



Kelainan Sitogenetik Lengan Regio



Pita



235



Sub-pita



Kromosom-X



Gambar 6-13 Kariotipe dengan pemetaan-G dari pria normal (46,XY). Juga diperlihatkan pola pemetaan dari kromosom-X dengan nomenklatur dari lengan, daerah (regio), pita, dan sub-pita. (Kariotipe penghargaan kepada Dr. Stuart Schwartz, Departrnent of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois)



Abnormalitas Numerik Pada manusia, jumlah kromosom adalah 46 (contoh 2n = 46). Setiap kelipatan yang tepat dari jumlah haploid (n) disebut euploid. Jumlah kromosom seperti 3n dan 4n disebut poliploid. Poliploidi umumnya menyebabkan abortus spontan. Setiap jumlah yang tidak merupakan kelipatan tepat dari n disebut aneuploidi. Sebab utama dari aneuploidi adalah nondisjunction dari pasangan homolog kromosom pada pembelahan meiotik pertama atau kegagalan dari sister cromatid untuk berpisah selama pembelahan meiotik kedua. Yang kedua juga mungkin terjadi selama mitosis sel somatik, yang disertai produksi produksi dua sel aneuploid. Kegagalan kromosom untuk berpasangan diikuti oleh random assortment (anaphase lag) dapat juga menyebabkan aneuploidi. Apabila nondisjunction terjadi pada waktu meiosis, gamet yang terbentuk mempunyai satu kromosom ekstra (n + 1) atau kurang satu kromosom (n - 1). Fertilisasi dari gamet semacam itu oleh gamet normal akan menghasilkan dua tipe zigot: trisomik, dengan satu ekstra kromosom (2n + 1), atau monosomik (2n - 1). Monosomi yang mengenai autosom tidak mendukung kehidupan, sedangkan trisomi dari kromosom tertentu dan monosomi yang mengenai kromosom seks mendukung kehidupan. Ini, seperti akan kita lihat, berhubungan dengan berbagai derajat abnormalitas fenotipe. Mosaikisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya dua atau lebih populasi sel dengan komplemen yang berbeda dari kromosom pada individu yang sama. Dalam konteks jumlah kromosom, nondisjunction pada mitosis postzigot akan menghasilkan produksi sel hasil pembelahan yang bersifat



trisomik dan monosomik; keturunan dari sel-sel ini kemudian menghasilkan mosaik. Seperti dibahas kemudian, mosaikisme yang mengenai kromosom seks lazim terjadi sedangkan pada autosom tidak.



Abnormalitas Struktural Perubahan struktural pada kromosom biasanya akibat dari patahnya kromosom diikuti kehilangan atau pengaturan kembali (rearrangement) dari materi kromosom. Perubahan semacam itu dinamakan menggunakan kependekan sitogenetik, yaitu p (Bahasa Prancis, petit) menunjukkan lengan pendek dari kromosom, dan q, lengan panjang. Tiap lengan, dibagi dalam regio yang diberi nomor (1, 2, 3, dan seterusnya) dari arah sentromer keluar, dan dalam tiap regio pitapita diberi nomor berurutan (Gambar 6-13). Jadi, 2q34 menunjukkan kromosom 2, lengan panjang, regio 3, pita 4. Pola pengaturan kembali setelah patahnya kromosom (Gambar 6-14) adalah sebagai berikut: • Translokasi menunjukkan pemindahan suatu bagian dari satu kromosom ke kromosom lain. Proses tersebut biasanya timbalbalik (reciprocal) contoh fragmen-fragmen dipertukarkan antara dua kromosom). Pada singkatan genetik, translokasi ditunjukkan dengan t diikuti dengan kromosom yang terkait dalam urutan numerik-misalnya, 46,XX,t(2;5)(q31;p14). Cara penulisan ini akan menunjukkan suatu translokasi timbal-balik yang terkena lengan panjang (q) dari kromosom 2 pada regio 3, pita 1, dan lengan pendek kromosom 5, regio 1, pita 4. Apabila seluruh fragmen yang patah dipertukarkan, translokasi timbal-balik yang seimbang yang dihasilkan (Gambar 6-14) tidak berbahaya untuk penyandang, yang mempunyai jumlah kromosom normal dan materi genetik



236



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



TRANSLOKASI Timbal-balik seimbang



Fusi-sentrik Robertsonian



ISOKROMOSOM



Hilang DELESI



Fragmen



INVERSI



KROMOSOM CINCIN Parasentrik Fragmen



Perisentrik



Gambar 6-14 Berbaga jenis pengaturan-kembali kromosom.



berkomplemen penuh. Walaupun demikian, selama gametogenesis, dibentuk gamet abnormal (tidak seimbang), yang menghasilkan zigot abnormal. Suatu pola khusus translokasi yang mengenai dua kromosom akrosentrik disebut translokasi tipe fusi sentrik atau tipe Robertsonian. Patahan kromosom khas terjadi dekat sentromer, mengenai lengan pendek dari kedua kromosom. Pemindahan segmen diikuti dengan satu kromosom yang sangat besar dan satu kromosom yang terlalu kecil (Gambar 6-14). Fragmen yang pendek hilang, dan penyandang mempunyai 45 kromosom. Karena semua lengan pendek dari kromosom akrosentrik mengandungi gen-gen yang berlebihan/ redundant (contoh gen RNA ribosom), kehilangan semacam itu selaras dengan ketahanan hidup. Walaupun demikian, kesulitan timbul pada gametogenesis, yang menghasilkan pembentukan gamet yang tidak seimbang dan diikuti dengan perkembangan anak abnormal. • Isokromosom terjadi apabila sentromer membelah secara horizontal dan bukan secara vertikal. Satu dari dua lengan kromosom kemudian hilang, dan lengan yang tinggal berduplikasi, yang menghasilkan kromosom yang terdiri dari hanya dua lengan pendek atau hanya dua lengan panjang. Isokromosom yang paling lazim terjadi pada kelahiran hidup mengenai lengan panjang kromosom X, dan dinamakan i(Xq). Apabila terjadi fertilisasi oleh gamet yang mengandungi kromosom X normal, hasilnya adalah monosomi untuk gen pada Xp dan trisomi untuk gen padaXq. • Delesi melibatkan kehilangan suatu bagian dari kromosom. Suatu patahan tunggal dapat menyebabkan delesi suatu segmen terminal. Dua patahan interstisial, dengan penyambungan kembali (reunion) dari segmen proksimal dan distal, dapat menghasilkan kehilangan segmen pertengahan (intermedial). Fragmen yang terpisah, karena tidak mempunyai sentromer, hampir tidak pernah bertahan hidup, dan oleh karena itu banyak gen hilang.



• Inversi terjadi apabila terdapat dua patahan interstisial pada suatu kromosom, dan segmen bergabung kembali setelah perputaran proses lengkap. • Suatu kromosom cincin adalah varian dari delesi. Setelah kehilangan segmen dari tiap ujung kromosom, kedua lengan bergabung membentuk cincin.



Gambaran Umum dari Kelainan Kromosom • Kelainan kromosom mungkin berhubungan dengan tidak adanya (delesi, monosomi). Kelebihan (trisomi). Atau pengaturan (rearrangement) kembali abnormal (translokasi) dari kromosom. • Pada umumnya, kehilangan materi kromosom memproduksi cacat yang lebih parah daripada akibat penambahan materi kromosom. • Kelebihan materi kromosom dapat dihasilkan dari suatu kromosom lengkap (seperti pada trisomi) atau dari bagian suatu kromosom (seperti pada translokasi jenis Robertson). • Ketidakseimbangan dari kromosom seks (kelebihan atau kehilangan) diikuti toleransi lebih baik daripada ketidakseimbangan yang serupa pada autosom. • Kelainan kromosom seks seringkali memproduksi abnormalitas yang ringan, kadang-kadang tidak dideteksi pada saat kelahiran. Infertilitas, suatu manifestasi yang lazim, tidak dapat didiagnosis sampai masa remaja. • Pada sebagian besar kasus, kelainan kromosom akibat dari perubahan de novo (contoh orang tua normal, dan risiko rekurens pada anak-anak rendah). Suatu perkecualian yang lazim tetapi penting terhadap pegangan ini ditunjukkan oleh bentuk translokasi dari sindrom Down (diuraikan kemudian).



Kelainan Sitogenetik Beberapa contoh khas dari penyakit yang berdasarkan perubahan kariotipe disajikan kemudian.



Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom Tiga trisomi autosom (21, 18, 13) dan satu sindrom delesi (sindrom cri du chat), yang diakibatkan oleh delesi parsial dari lengan pendek kromosom 5, adalah abnormalitas kromosom pertama yang ditetapkan. Lebih akhir-akhir ini, beberapa trisomi tambahan dan sindrom delesi (seperti yang mengenai 22q) telah diuraikan. Sebagian besar dari kelainan ini sangat tidak lazim, tetapi perangai klinisnya seharusnya mudah dikenal (Gambar 6-15). Hanya trisomi 21 dan delesi 22q11.2 yang terjadi cukup sering untuk memperoleh pertimbangan lebih lanjut.



Trisomi 21 (Sindrom Down) Sindrom Down adalah kelainan kromosom yang paling lazim. Sekitar 95% dari individu yang terkena mempunyai trisomi 2, sehingga jumlah kromosomnya adalah 47. Seperti disebutkan sebelumnya, penyebab trisomi yang paling lazim, dan juga terjadi pada sindrom Down, adalah meiotic nondisjunction. Orang tua dari anak semacam itu mempunyai kariotipe normal dan normal dalam segala aspek. Usia ibu mempunyai pengaruh kuat pada angka kejadian sindrom Down. Kelainan tersebut terjadi pada 1 di antara 1550 kelahiran hidup pada wanita yang lebih muda dari 20 tahun, dan kontras terjadi pada 1 di antara 25 kelahiran hidup pada wanita yang lebih tua dari 45 tahun. Korelasi dengan usia maternal mengesankan bahwa pada sebagian besar kasus meiotic nondisjunction dari kromosom 21 terjadi pada ovum. Sesungguhnya, pada 95% kasus kromosom ekstra berasal dari ibu. Penyebab dari peningkatan kepekaan dari ovum untuk terjadi nondisjunction tidak sepenuhnya dimengerti. Tidak ditemukan pengaruh dari usia paternal pada kasus-kasus yang kromosom ekstranya berasal dari bapak. Pada sekitar 4% dari semua penderita dengan trisomi 21, materi kromosom ekstra bukan sebagai kromosom ekstra tetapi sebagai suatu translokasi dari lengan panjang kromosom 21 ke kromosom 22 atau 14. Kasus semacam itu seringkali (tetapi tidak selalu) bersifat familial, dan kromosom yang ditranslokasikan diwariskan dari salah satu dari orang tua, yang secara khas adalah penyandang translokasi tipe Robertson. Sekitar 1% dari penderita dengan trisomi 21 adalah mosaik, biasanya mempunyai campuran sel dengan kromosom 46 dan 47 Kasus-kasus ini akibat dari mitotic nondisjunction dari kromosom 21 selama tahap dini embriogenesis. Manifestasi klinis pada kasus semacam itu bervariasi dan lebih ringan, bergantung kepada proporsi sel abnormal. Perangai klinis yang bisa untuk diagnostik dari keadaan iniprofil wajah yang rata, fisura palpebral oblik, dan lipatan epikantus (Gambar 6-15)-biasanya jelas ditemukan, bahkan pada waktu lahir. Sindrom Down adalah penyebab utama keterbelakangan mental yang parah; kira-kira 80% dari mereka yang terkena mempunyai IQ 25 sampai 59. Sangat ironis, anak-anak yang sangat tidak beruntung ini mungkin mempunyai perilaku lemah-lembut, pemalu dan mungkin lebih mudah diarahkan daripada saudaranya yang normal yang lebih beruntung. Hal yang menarik, sebagian mosaik dengan sindrom Down mempunyai perubahan fenotipe ringan dan bahkan seringkali mempunyai inteligensia normal atau hampir normal. Sebagai tambahan dari abnormalitas fenotipe dan keterlambatan mental yang telah diuraikan, beberapa perangai klinis lain perlu disebutkan: • Sekitar 40% penderita mempunyai penyakit jantung kongenital, cacat paling lazim dari bantalan endokardium



237



(endocardial cushion), termasuk cacat sekat atrium, malformasi katup atrioventrikel, dan cacat sekat ventrikel (Bab 10). Masalah jantung merupakan faktor penting pada sebagian besar kematian pada masa bayi dan masa dini anak-anak. Beberapa malformasi kongenital lain, termasuk atresia dari esofagus dan usus kecil, juga lazim. • Anak-anak dengan trisomi 21 mempunyai 10- sampai 20- kali peningkatan risiko untuk perkembangan leukemia. Baik leukemia limfoblastik akut maupun leukemia mieloid akut terjadi (Bab 11). • Hampir semua penderita dengan trisomi 21 yang lebih tua dari usia 40 tahun mengalami perubahan neuropatologis khas penyakit Alzheimer, suatu kelainan degeneratif otak (Bab 22). • Penderita dengan sindrom Down menunjukkan reaksi imun abnormal yang menjadi predisposisi untuk infeksi yang parah, terutama pada paru, dan autoimunitas tiroid (Bab 19). Walaupun beberapa abnormalitas, yang terutama mengenai fungsi sel T, telah dilaporkan, namun dasar dari gangguan imunologi tidak jelas. Di samping semua masalah ini, perbaikan perawatan medik telah meningkatkan masa hidup individu dengan trisomi 21. Akhir-akhir ini nilai tengah (median) usia kematian adalah pada 47 tahun (meningkat dari 25 tahun pada 1983). Walaupun kariotipe sindrom Down telah diketahui sejak berpuluh-puluh tahun, namun dasar molekuler untuk penyakit ini masih bersifat ilusif. Data dari proyek genom manusia menunjukkan bahwa kromosom 21 mengandungi sekitar 500 gen yang terkait, termasuk 170 yang merupakan gen yang menyandi protein yang terkonservasi dan 5 miRNA. Tidak jelas apakah fenotipe sindrom Down terjadi sebagai akibat peningkatan dosis gen dari gen penyandi protein pada kromosom 21 sendiri atau karena efek ekspresi miRNA yang mengalami deregulasi pada gen sasaran yang terletak pada kromosom lain (seperti diuraikan terdahulu, miRNA bertindak melalui hambatan terhadap ekspresi gen sasaran). Dua kandidat gen kromosom 21, DYRKIA, yang menyandi serine-threonine kinase, dan RCAN1 (regulator dari calcineurin 1), yang menyandi protein penghambat enzim fosfatase sel yang kritis, yang disebut calcineurin, telah muncul sebagai "tersangka/pemeran utama (top culprits)" dalam patogenesis sindrom Down.



Sindrom Delesi 22q11.2 Sindrom delesi 22q11.2 meliputi suatu spektrum kelainan yang diakibatkan oleh delesi kecil pita 11 pada lengan panjang kromoson 22. Perangai klinis sindrom delesi ini termasuk penyakit jantung kongenital yang mengenai saluran aliran keluar, abnormalitas palatum, dismorfisme wajah, keterlambatan perkembangan, hipoplasia timus dengan kelainan imunitas sel T (Bab 4), dan hipoplasia paratiroid yang menyebabkan hipokalsemia (Bab 19). Sebelumnya, perangai klinis ini dianggap mencerminkan dua kelainan berbeda: sindrom DiGeorge dan sindrom velocardiofacial. Walaupun demikian, sekarang diketahui bahwa keduanya disebabkan oleh delesi 22q11.2. Variasi pada ukuran dan posisi delesi dipikirkan berperan terhadap perbedaan manifestasi klinis. Apabila imunodefisiensi sel T dan hipokalsemia merupakan perangai yang dominan, pada penderita yang dikatakan menderita sindrom DiGeorge, maka penderita dengan apa yang disebut sindrom velocardiofacial menunjukkan imunodefisiensi yang ringan tetapi dismorfologi yang parah dan cacat jantung. Sebagai tambahan untuk malformasi ini, penderita dengan delesi 22q11.2 khasnya berisiko tinggi untuk psikosis seperti skisofren dan kelainan bipolar. Dasar molekular sindrom ini tidak seluruhnya dimengerti. Regio yang terkena pada kromosom 11 mengandungi banyak gen. Di antaranya gen faktor transkripsi yang disebut TBX1 diduga berperan, karena kehilangannya tampaknya berhubungan dengan terjadinya sindrom DiGeorge.



238



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Keterbelakangan mental



Lipatan epikantus dan profil wajah datar



Kulit leher tebal



TRISOMI 21: SINDROM DOWN Simian crease



Insidens: 1 dalam 700 kelahiran Kariotipr: Jenis trisomi 21: 47,XX, +21 Jenis triosomi: 46,XX,der(14;21)(q10;q10),+21 Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +21



Cacat jantung kongentital Herniat tali-pusat



Stenosis Internal



Predisposisi Oksiput prominen Hipotin



Keterbelakangan mental



Mikrognatia Jarak antara jari kaki pertama dan kedua



Telinga letak rendah Leher pendek Jari-jari tumpung tindih



TRISOMI 18: SINDROM EDWARDS



Cacat jantung kongenital



Insidens: 1 dalam 8000 kelahiran Kariotipe Jenis trisomi: 47,XX, +18 Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +18



Malformasi ginjal Abduksi paha terbatas



Mikroftamia Polidaktili



Mikrosefali dan keterbelakangan mental



Bibir dan palatum sumbing



Telapak kaki-rocker



Cacat jantung Hernia tali pusat



Cacat ginjal



TRISOMi 13: SINDROM PATAU Insidens: 1 dalam 15,000 kelahiran Karyotypes: Jenis trisomi 13: 47,XX, +13 Jenis translokasi: 46,XX,+13,der(13;14)(q10;q10) Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +13



Telapak kaki-rocker



Gambar 6-15 Perangai klinis dan kariotipe dari tiga trisomi autosom yang paling lazim.



Kelainan Sitogenetik Diagnosis dari keadaan ini dapat dicurigai berdasarkan data klinis tetapi hanya dapat ditegakkan dengan deteksi delesi tersebut dengan teknik fluorescence in situ hybridization (FISH) (Gambar 6-37, B).



RINGKASAN Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom •



Sindrom Down berhubungan dengan suatu kopi gen ekstra pada kromosom 21, paling lazim karena trisomi 21 dan jarang karena translokasi materi kromosom ekstra yang berasal dari kromosom 21 ke kromosom lain atau karena mosaikisme.







Penderita sindrom Down menderita keterbelakangan mental yang parah, profil wajah merata, lipatan epikantus, malformasi jantung, risiko lebih tinggi untuk leukemia dan infeksi, dan perkembangan prematur penyakit Alzheimer.







Delesi gen pada lokus kromosom 22q11.2 menimbulkan malformasi yang mengenai wajah, jantung, timus dan paratiroid. Kelainan yang dihasilkan dikenal sebagai (1) sindrom DiGeorge (hipoplasia timus dengan penurunan imunitas sel T dan hipoplasia paraiyroid dengan hipokalsemia) dan (2) sindrom velocardiofacial (kelainan jantung kongenital yang mengenai saluran aliran keluar, dismorfisme wajah, dan keterlambatan perkembangan).



Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Kromosom Seks Sejumlah kariotipe abnormal yang mengenai kromosom seks, berkisar dari 45,X sampai 49,XXXXY, selaras dengan kehidupan. Sesungguhnya, pria yang secara fenotipe normal dengan dua dan bahkan tiga kromosom Y telah ditetapkan. Deviasi kariotipe yang mencolok semacam itu tidak dijumpai pada autosom. Pada sebagian besar keadaan, hal ini berhubungan dengan dua faktor: (1) lyonisasi kromosom X dan (2) sedikit informasi genetik yang dibawa oleh kromosom Y. Pemikiran tentang lyonisasi bermula dari Mary Lyon, yang pada 1962 mengusulkan bahwa pada wanita, hanya kromosom X yang secara genetik aktif. Inaktivasi X terjadi pada masa dini kehidupan, sekitar 16 hari setelah konsepsi: Apakah kromosom X paternal atau maternal secara acak akan mengalami inaktivasi pada tiap sel primitif yang menuju perkembangan embrio. Sekali teraktivasi, kromosom X yang sama tetap mengalami netralisasi pada semua 'progeni dari sel ini. Lagipula, semua kecuali satu kromosom X mengalami inaktivasi, sehingga wanita 48,XXXX, hanya mempunyai satu kromosom X yang aktif. Fenomena ini menjelaskan mengapa wanita normal tidak mempunyai dosis ganda (dibandingkan dengan pria) dari perangai fenotipe yang disandi oleh kromosom X. Hipotesis Lyon tersebut juga menjelaskan mengapa wanita normal pada kenyataannya adalah mosaik, mengandungi dua populasi sel: satu dengan kromosom X maternal yang aktif, dan yang lain dengan kromosom X paternal yang aktif.



239



Walaupun pada hakikatnya cermat, hipotesis Lyon selanjutnya sedikit dimodifikasi. Yang paling penting, anggapan permulaan bahwa semua gen pada kromosom X yang tidak aktif "dipadamkan" telah direvisi karena penelitian lebih mutakhir menunjukkan bahwa 21% gen pada Xp, dan sejumlah lebih sedikit (3%) pada Xq, lolos dari inaktivasi. Kemungkinan ini, mempunyai dampak pada kelainan monosomik kromosom X, atau sindrom Turner, seperti yang akan dibahas kemudian. Kromosom Y ekstra mudah diterima karena informasi yang diketahui disandang oleh kromosom Y tampaknya berkaitan dengan diferensiasi pria. Sebagai catatan, berapa pun jumlah kromosom X, adanya satu Y tetap menentukan fenotipe pria. Gen untuk diferensiasi pria (SRY, sex-determining region dari kromosom Y) terletak pada lengan pendek kromosom Y. Selanjutnya diuraikan secara singkat dua kelainan, sindrom Klinefelter dan sindrom Turner, yang merupakan akibat dari penyimpangan (aberration) kromosom seks.



Sindrom Klinefelter Sindrom klinefelter paling baik ditetapkan sebagai hipogonadisme pria yang berkembang apabila terdapat paling sedikit dua kromosom X dan satu atau lebih kromosom Y. Penderita yang paling sering terkena mempunyai kariotipe 47,XXY. Kariotipe ini dihasilkan dari nondisjunction pada kromosom seks selama meiosis. Kromosom X ekstra mungkin berasal dari paternal atau maternal. Usia maternal yang lanjut dan riwayat iradiasi pada salah satu orangtua mungkin menyumbangkan kesalahan meiotik yang menghasilkan keadaan ini. Sekitar 15% penderita menunjukkan pola mosaik, termasuk 46,XY/47,XXY, 47,XXY/48,XXXY, dan variasi yang sejenis. Adanya suatu galur 46,XY pada mosaik biasanya berhubungan dengan kondisi klinis yang lebih ringan. Sindrom klinefelter berhubungan dengan manifestasi klinis yang cakupannya luas. Pada sebagian individu hal itu mungkin dipaparkan sebagai hipogonadisme, tetapi sebagian besar penderita mempunyai habitus yang berbeda, penambahan dalam panjang antara telapak kaki dan tulang pubis, yang menciptakan penampilan suatu tubuh yang memanjang. Habitus tubuh eunukoidisme juga bersifat khas. Berkurangnya rambut di wajah, tubuh dan daerah pubis dan ginekomastia juga sering ditemukan. Ukuran testis sangat berkurang, kadang-kadang dimensi terbesar hanya 2 cm. Sesuai dengan atrofia testis, kadar testosteron serum lebih rendah dari normal, dan gonadotropin urin meningkat. Sindrom klinefelter paling lazim menyebabkan hipogonadisme pria. Jarang sekali penderita bersifat subur (fertile), dan mungkin individu semacam itu bersifat mosaik dengan sebagian besar merupakan sel 46,XY. Sterilitas disebabkan oleh kelainan spermato-genesis, kadangkadang sampai terjadi azospermia. Pemeriksaan histologis menunjukkan hialinisasi tubulus, yang tampak sebagai struktur menyerupai hantu pada sayatan jaringan. Sebaliknya, sel Leydig tampak prominen, karena hiperplasia atau tampaknya bertambah karena kehilangan tubulus. Walaupun sindrom klinefelter mungkin berhubungan dengan keterbelakangan mental, derajat kelainan intelek secara khas ringan, dan pada beberapa kasus tidak dapat ditemukan kekurangan. Penurunan inteligensia berhubungan dengan jumlah kromosome X ekstra. Sindrom klinefelter berhubungan dengan peningkatan kekerapan beberapa kelainan, termasuk kanker payudara (20 kali lebih tinggi daripada pria normal),



240



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



tumor sel benih ekstra gonad, penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik.



Sindrom Turner Sindrom Turner, ditandai oleh hipogonadisme primer pada fenotipe wanita, akibat dari monosomi parsial atau lengkap dari lengan pendek kromosom X. Dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, seluruh kromosom X tidak ditemukan pada 57% penderita, yang menghasilkan kariotipe 45,X. Penderita ini terkena paling parah, dan diagnosis seringkali dapat ditegakkan pada saat lahir atau pada masa dini anakanak. Perangai klinis yang khas yang berhubungan dengan sindrom turner 45,X termasuk keterbelakangan pertumbuhan yang bermakna, diikuti dengan tubuh pendek (di bawah persentil ketiga), pembengkakan leher bagian bawah, karena pelebaran pembuluh limfe (pada masa bayi), yang terlihat sebagai leher yang bersayap pada anak yang lebih besar; garis rambut belakang rendah; cubitus valgus (sudut penyangga lengan menaik); dada menyerupai perisai dengan puting susu berjarak lebih lebar; arkus palatum tinggi; limfedema tangan dan kaki, dan aneka ragam malformasi kongenital seperti ginjal tapal kuda, katup aorta bikuspid, dan koarktasi aorta (Gambar 6-16). Kelainan kardiovaskular adalah penyebab kematian paling lazim pada masa anak-anak. Pada masa remaja, gadis yang terkena gagal mengembangkan ciri seks sekunder yang normal; genitalia tetap infantil, perkembangan payudara minimal, dan rambut pubis tampak jarang. Sebagian besar penderita mengalami amenorea primer, dan pemeriksaan morfologik menunjukkan transformasi ovarium menjadi stroma berserabut berupa garis putih yang tidak mengandungi folikel. Status mental penderita biasanya normal, tetapi dapat ditemukan cacat ringan non-verbal, dan pemrosesan informasi visual-spatial. Sangat menarik perhatian, terjadinya hipotiroidisme yang disebabkan oleh autoantibodi, terutama pada wanita dengan isokromosom Xp. Sebanyak 50% penderita ini mengalami hipotiroidisme. Pada penderita dewasa, kombinasi tubuh pendek dan amenore primer harus segera dicurigai sebagai sindrom Turner. Diagnosis ditegakkan dengan penentuan kariotipe (karyotyping). Kira-kira 43% penderita sindrom Turner apakah mosaik (satu dari galur sel adalah 45,X) atau mempunyai abnormalitas struktur kromosom X. Yang paling lazim adalah delesi lengan pendek, yang menghasilkan pembentukan isokromosom lengan panjang, 46,X,i(X) (q10). Pengaruh akhir dari abnormalitas struktural adalah menghasilkan monosomi partial kromosom X. Kombinasi delesi dan mosaikisme telah dilaporkan. Adalah penting untuk menerima heterogenitas kariotipe terkait sindrom Turner karena hal itu berperan pada terjadinya variasi fenotipe yang bermakna. Berbeda dengan penderita dengan monosomi X, mereka yang merupakan mosaik atau mempunyai varian delesi mungkin mempunyai penampilan hampir normal dan hanya disertai amenore primer. Patogenesis molekuler sindrom Turner tidak seluruhnya dimengerti, tetapi hasil penelitian telah mulai mengungkapnya. Seperti disebutkan terdahulu, kedua kromosom X adalah aktif selama oogenesis dan penting untuk perkembangan normal dari ovarium. Selama perkembangan fetus, ovarium mengandungi sebanyak 7 juta oosit. Sel-sel telur tesebut lambat Iaun menghilang sehingga menjelang menarke jumlahnya berkurang sampai hanya 400.000 dan pada menopause tersisa kurang dari 10.000. Pada sindrom Turner, ovarium fetus berkembang secara normal pada masa dini embriogenesis, tetapi tanpa kromosom X kedua akan terjadi percepatan kehilangan oosit, yang berakhir menjelang usia 2 tahun.



Garis rambut belakang rendah Leher bawah lebar Dada lebar dan jarak Puting susu lebar



Tubuh pendek



Coractatio aortae



Cubitus valgus Ovarium fibrotik, infertilitas, amenor



Nevus pigmentosus



Limfedema perifer pada kelahiran SINDROM TURNER Insidens 1 dalam 3000 kelahiran wanita Kariotipe: 45,X Klasic: cacat kromosom-X 46,X,i(Xq) kedua: 46,XXq– 46,XXp– 46,X, r(X) Jenis mosaik: 45,X/46,XX



Gambar 6-16 Perangai klinis dan kariotipe dari sindrom Turner.



Oleh karena itu, seolah-olah "menopause terjadi sebelum menarke", dan ovarium mengecil menjadi jaringan ikat yang atrofik, tidak mengandungi ovum dan folikel (streak ovaries). Karena penderita sindrom Turner juga mempunyai kelainan nongonad lain, maka beberapa gen yang diperlukan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan jaringan somatik juga harus berada pada kromosom X. Di antara gen yang berperan pada fenotipe Turner adalah gen short stature homeobox (SHOX) pada Xp22.33. Ini adalah salah satu gen yang tetap aktif pada kedua kromosom X dan bersifat unik dengan homolog aktif pada lengan pendek kromosom Y. Jadi, baik pria maupun wanita normal mempunyai dua kopi dari gen ini. Satu kopi gen SHOX mengatur terjadinya tubuh pendek. Sesungguhnya, delesi SHOX terdapat pada 2% sampai 5% anak normal yang bertubuh pendek. Apabila satu kopi SHOX dapat menerangkan



Kelainan Gen-Tunggal dengan Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan) 241 cacat pertumbuhan sindrom Turner, hal itu dapat menerangkan perangai klinis lain seperti malformasi jantung dan abnormalitas endokrin. Jelaslah, beberapa gen yang terletak pada kromosom X juga berperan.



RINGKASAN Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Kromosom Seks • •







Pada wanita, satu kromosom X, maternal atau paternal, mengalami inaktivasi secara acak selama perkembangan (hipotesis Lyon). Pada sindrom Klinefelter, terdapat dua atau lebih kromosom X dengan satu kromosom Y sebagai hasil dari nondisjunction dari kromosom seks. Penderita mempunyai atrofia testis, sterilitas, pengurangan rambut tubuh, ginekomastia, dan habitus tubuh eunukoid. Kelainan tersebut merupakan penyebab paling lazim dari sterilitas pria. Pada sindrom Turner, terdapat monosomi parsial atau lengkap dari gen pada lengan pendek kromosom X, paling lazim karena tidak terdapat kromosom X (45,X) dan kurang lazim yang disebabkan oleh mosaikisme, atau karena delesi pada lengan pendek kromosom X. Tubuh pendek, leher yang melebar kebawah, cubitus valgus, malformasi kardiovaskular, amenore, tidak tampak ciri-ciri seks sekunder, dan ovarium fibrotik adalah perangai klinis yang khas.



KELAINAN GEN-TUNGGAL DENGAN POLA ATIPIK DARI KETURUNAN (PEWARISAN) Tiga kelompok penyakit yang disebabkan oleh mutasi yang mengenai gen-gen tunggal tidak mengikuti hukum pewarisan menurut Mendel: • Penyakit yang disebabkan oleh mutasi berulang triplet • Penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen mitokondria • Penyakit akibat perubahan daerah jejak (imprinted regions)



Mutasi Pengulangan Triplet: Sindrom Fragile X Sindrom Fragile X adalah prototipe penyakit yang disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada urutan basa panjang berupa dari pengulangan tiga nukleotida. Contoh lain dari penyakit yang terkait dengan mutasi pengulangan triplet adalah penyakit Huntington dan distrofia miotonik. Sekitar 40 penyakit sekarang diketahui disebabkan oleh jenis mutasi ini, dan semua kelainan yang ditemukan selama ini terkait dengan perubahan neurodegeneratif. Pada tiap keadaan, amplifilcasi perangkat tiga nukleotida yang spesifik di dalam gen mengganggu fungsinya. Perangai tertentu yang unik dari mutasi pengulangan triplet, diuraikan kemudian, menyebabkan pola atipik dari pewarisan penyakit terkait. Sindrom Fragile X disebabkan oleh mutasi pada gen FMR1, yang terpetakan pada kromosom Xq27.3. Sindrom tersebut memperoleh namanya dari penampilan kariotipe kromosom X pada cara diagnosis yang pertama kali:



biakan sel penderita pada medium yang tidak mengandungi folat secara khas menghasilkan pewarnaan yang tidak merata atau konstriksi pada lengan panjang dari kromosom X. Cara pemeriksaan ini telah digantikan oleh analisis berdasarkan DNA dari ukuran pengulangan triplet seperti dibahas kemudian. Dengan kekerapan penyakit 1 di antara 1550 untuk pria yang terkena atau 1 di antara 8000 untuk wanita yang terkena, sindrom fragile X adalah penyebab genetik yang kedua paling lazim dari keterbelakangan mental, setelah sindrom Down. Secara klinis pria yang terkena mempunyai kelainan mental tingkat menengah sampai berat. Fenotipe fisis yang khas termasuk wajah yang memanjang dengan mandibula besar, telinga lebar, dan testis besar (maroorchidisma). Walaupun khas sebagai sindrom fragile X, abnormalitas ini tidak selalu terdapat atau mungkin sangat ringan. Hanya mikroorkidisme yang merupakan abnormalitas fisis yang sangat berbeda yang dapat ditemukan pada paling sedikit pada 90% dari pria post puber yang mengalami sindrom fragile X. Seperti dengan semua penyakit X-linked, sindrom fragile X terutama mengenai pria. Namun, analisis beberapa silsilah (pedigree), menghasilkan pola transmisi yang tidak khas berkaitan dengan kelainan X-linked yang resesif (Gambar 6-17). Ini termasuk yang berikut: • Pria pembawa-sifat (carrier): Sekitar 20% pria yang berdasarkan analisis silsilah dan uji molekuler, diketahui mengandungi mutasi fragile X tetapi secara klinis dan sitogenetik normal. • Wanita yang terkena: Dari 30% sampai 50% wanita pembawa sifat (carrier) terkena sindrom fragile X (contoh keterbelakangan mental), suatu nilai yang jauh lebih tinggi daripada kelainan Xlinked yang resesif. • Antisipasi: Istilah ini berlaku untuk fenomena bahwa perangai klinis fragile X memburuk pada tiap generasi berikutnya, seolaholah mutasi menjadi lebih buruk karena diwariskan oleh seseorang kepada cucunya dan generasi di bawahnya. Perangai yang tidak lazim ini berhubungan dengan sifat dinamik dari mutasi. Pada populasi normal, jumlah pengulangan dari urutan basa CGG pada gen FMR1 adalah kecil, rata-rata sekitar 29, sedangkan individu yang terkena mempunyai 200 sampai 4000 pengulangan. Yang disebut mutasi penuh ini, dianggap timbul melalui tahap antara dari premutasi yang ditandai oleh 52 sampai 200 pengulangan CGG. Pria dan wanita pembawa sifat (carrier) mempunyai premutasi. Selama oogenesis (tetapi tidak pada spermatogenesis), premutasi dapat diubah menjadi mutasi penuh oleh amplifikasi lebih lanjut dari pengulangan CGG, yang kemudian dapat diwariskan baik kepada anak laki maupun anak perempuan dari wanita pembawa sifat. Observasi ini memberikan penjelasan mengapa sebagian pria pembawa sifat tidak terkena (mereka mempunyai premutasi), dan wanita pembawasifat terkena (mereka mewarisi mutasi penuh). Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa premutasi sesungguhnya tidak terlalu jinak. Sekitar 30% wanita yang mengandungi premutasi mempunyai kegagalan ovarium prematur (sebelum usia 40 tahun), dan sekitar sepertiga pria yang mengandungi premutasi menunjukkan sindrom neurodegeneratif yang progresif yang mulai pada dekade keenam. Sindrom ini, dikenal sebagai tremor ataksia terkait fragile X, ditandai oleh kecenderungan tremor dan ataksia serebelar dan mungkin berkembang ke sindrom Parkinson. Walaupun demikian, jelas bahwa abnormalitas pada pembawa sifat premutasi lebih ringan dan terjadi kemudian di dalam kehidupan.



242



BAB 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik PRIA PEMBAWA



Kromosom X Fenotipe



WANITA NORMAL



Premutasi



Normal



Normal



Normal WANITA PEMBAWA



WANITA PEMBAWA



TIDAK BERHUBUNGAN



Kromosom X



Normal



Premutasi/mutasi



Normal



Premutasi/mutasi



Normal



Fenotipe



Normal



Normal



Normal



Normal



Normal



Normal/mutasi penuh Normal Normal 50% dari wanita terkena, seringkali bersifat lebih Phenotype Terkena Normal Normal ringan Gambar 6-17 Pedigree dari Fragile X. Kromosom X dan Y ditunjukkp. Perhatikan bahwa generasi pertama, semua anak pria normal dan semua yang wanita adalah penyandang (carrier). Selama oogenesis pada penyandang wanita, premutasi berkembang menjadi mutasi penuh; jadi, pada generasi berikutnya, semua pria yang mewarisi kromosom X dengan mutasi penuh terkena.Walaupun demikian, hanya 50% dari wanita yang mewarisi mutasi penuh yang terkena, dan seringkali hanya bersifat ringan. X Chromosomes



Mutasi penuh



(Berdasarkan sketsa asli, atas budi baik Dr. Nancy Schneider, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas.)



PATOGENESIS Dasar molekuler untuk sindrom fragile X mulai dimengerti dan berhubungan dengan nonaktivasi produk gen FMRI, familial mental retardation protein (FMRP). Gen FMRI normal mengandungi CGG pada 5' untranslated region. Apabila jumlah pengulangan trinukleotida pada gen FMRI melebihi 230, DNA dari seluruh 5'regio dari gen menjadi termetilasi secara abnormal. Metilasi juga meluas kehulu ke dalam regio promotor gen, yang menyebabkan supresi transkripsi FMRI. Tidak adanya FMRP dianggap menyebabkan perubahan fenotipe. FMRP terpapar secara jelas pada jaringan-jaringan normal, tetapi kadar yang lebih tinggi ditemukan pada otak dan testis. Bukti mutakhir mengesankan bahwa FMRP adalah protein pengikat RNA yang ditransporasikan dari sitoplasma ke inti-sel, ditempat itu berikatan dengan MRNA spesifik dan membawanya ke akson dan dendrit (Gambar 6-18). Pada sinaps kompleks FMRP-mRNA melakukan peran kritik dalam pengaturan dan translasi mRNA yang khas. Tidak adanya fungsi "bolak-balik" (shuttle) yang terkoordinasi dengan baik merupakan penyebab sindrom fragile X. Seperti diketahui, di samping sindrom fragile X, banyak dikenal penyakit neurodegeneratif lain yang terkait dengan ekspansi pengulangan trinukleotida. Beberapa prinsip umum adalah seperti berikut: • Pada semua kasus, fungsi gen berubah karena ekspansi pengulangan, tetapi ambang-batas untuk konversi



DENDRIT



FMRP



Ribosom Komplrks FMRP-mRNA



Protein dendrit



Ribosom AKSON



Protein akson



Gambar 6-18 Suatu model dari peranan familial mental retardation protein (FMRP) pada neuron. FMRP memainkan peranan penting pada regulasi dan translasi protein akson dari RNA yang terikat. Protein yang diproduksi setempat ini, pada gilirannya, memainkan berbagai peranan pada lingkungan mikro dari sinaps. (Disadur dari Hin P, Warren ST: New insights into fragile X syndrome: from molecules toneurobehavior. Trends Biochem Sci 28:152, 2003.)



Kelainan Gen-Tunggal dengan Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan)



Penyakit Akibat Mutasi Gen Mitokonadria



premutasi menjadi mutasi penuh berbeda untuk tiap kelainan. • Ekspansi pada sindrom fragile X terjadi selama oogenesis, sedangkan pada kelainan lain seperti penyakit Huntington, premutasi mengalami konversi menjadi mutasi penuh selama spermatogenesis



Mitokondria mengandungi beberapa gen yang menyandi enzim yang terlibat pada fosforilasi oksidatif. Pewarisan dari DNA mitokondria berbeda dengan apa yang terjadi pada DNA nukleus, yaitu yang pertama berkaitan dengan pewarisan maternal. Sebab dari kekhususan ini adalah bahwa ovum mengandungi banyak mitokondria dalam sitoplasmanya, sedangkan spermatozoa mengandungi sedikit, bila ada mitokondria. Oleh karena itu, komplemen DNA mitokondria dari zygot seluruhnya berasal dari ovum. Jadi, hanya ibu yang meneruskan gen mitokondria ke semua anak, baik laki-laki maupun perempuan; namun, hanya anak perempuan yang meneruskam DNA lebih lanjut ke anaknya, sedangkan anak laki-laki tidak.



• Ekspansi mungkin melibatkan semua bagian dari gen, dan rentang kemungkinannya dapat dibagi ke dalam dua kategori yang luas: mereka yang mengenai daerah yang tidak mengalami translasi (seperti pada sindrom fragile X), atau daerah yang menyandi (seperti pada penyakit Huntington) (Gambar 6-19). Apabila mutasi mengenai daerah yang tidak menyandi, terjadi "kehilang-an fungsi", karena sintesis protein ditekan (contoh FMRP). Sebaliknya, mutasi yang melibatkan bagian yang mengalami translasi dari gen akan menimbulkan protein yang salah terlipat, yang memengaruhi fungsi protein normal (contoh penyakit Huntington). Banyak dari mutasi yang disebut mutasi yang memperoleh fungsi toksik mengenai pengulangan CAG yang mengkode jalur poliglutamin dan menghasilkan penyakit yang kadang-kadang disebut "penyakit poliglutamin" yang memengaruhi terutama sistem saraf. Akumulasi protein yang salah lipat dalam bentuk agregat di dalam sitoplasma adalah perangai yang lazim pada penyakit semacam itu.



Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen mitokondria adalah jarang. Karena DNA mitokondria menyandi enzim yang terlibat pada fosforilasi oksidatif, maka penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen tersebut memengaruhi organ yang paling bergantung kepada fosforilasi oksidatif (otot skelet, jantung dan otak). Neuropati optik herediter jenis Leber (Leber hereditary optic neuropathy) adalah prototipe kelainan dalam kelompok ini. Penyakit neurodegeneratif ini berwujud sendiri sebagai kehilangan penglihatan sentral bilateral yang progresif yang dalam perjalanan waktu menyebabkan kebutaan.



Penyakit Akibat Perubahan Daerah Jejak (Imprinted Regions): Sindrom Prader-Willi dan Angelman



RINGKASAN Sindrom Fragile-X •











Amplifikasi patologis dari pengulangan trinukleotida menyebabkan mutasi kehilangan fungsi (sindrom fragile X) atau mutasi yang meningkatkan fungsi (penyakit Huntington). Sebagian besar mutasi semacam itu menghasilkan kelainan neurodegeneratif. Sindrom fragile X disebabkan oleh kehilangan fungsi gen FMRI dan ditandai oleh keterbelakangan mental, makroorkidisme, dan perangai wajah abnormal. Pada populasi normal, terdapat sekitar 29 pengulangan CGG pada gen FMRI. Genom pembawa-sifat pria dan wanita mengandungi premutasi dengan 52 sampai 200 pengulangan yang dapat berkembang menjadi 4000 pengulangan (mutasi penuh) selama oogenesis. Apabila mutasi penuh diwariskan ke keturunan, maka terjadi sindrom fragile X. Promotor



UTR



243



Semua manusia mewariskan dua kopi dari tiap gen (kecuali, tentu saja, gen kromosom seks pada pria), yang dibawa pada kromosom maternal dan paternal yang homolog. Telah lama dianggap bahwa tidak ada perbedaan antara gen homolog normal yang berasal dari ibu dan yang berasal dari bapak. Sesungguhnya, hal ini benar untuk banyak gen. Sekarang telah ditetapkan, bahwa perbedaan fungsional terdapat di antara kopi paternal dan maternal dari gen yang sama. Perbedaan ini timbul dari proses epigenetik yang disebut genomic imprinting, yaitu gen tertentu mengalami "inaktivasi" yang berbeda selama gametogenesis paternal dan maternal. Jadi, maternal imprinting merupakan inaktivasi transkripsi alel maternal, sedangkan paternal imprinting merupakan inaktivasi alel paternal. Pada tingkat molekuler, imprinting berkaitan dengan metilasi dari gen promotor, seperti hal yang terkait dengan modifikasi protein histon pengikat DNA, yang pengaruh lengkapnya menyebabkan inaktivasi gen. Imprinting terjadi pada ovum dan sperma, dan kemudian diteruskan



Intron



Ekson



UTR



5'



3'



Ekspansi Urutan-basa CCCCGCCCCGCG 12 mer Penyakit



Epilepsi mioklonus*



Triplet CGG Sindrom Fragile-X



Triplet GAA



Triplet CAG



CTG triplet



Ataksia Friedreich



Penyakit Huntington



Distrofia miotonik



Gambar 6-19 Tempat ekspansi dan urutan-basa yang terkena pada penyakit yang terpilih yang disebabkan oleh mutasi ulangan nukleotida. UTR, untranslated region. * Walaupun bukan suatu penyakit ulangan-trinukleotida yang khusus, epilepsi mioklonus progresif disebabkan, seperti yang lain pada kelompok ini, oleh ekspansi DNA yang dapat diwariskan. Segmen yang terekspansi adalah daerah promotor dari gen.



244



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



kesemua sel somatik yang berasal dari zygot. Imprinting genom paling baik digambarkan dengan memikirkan dua kelainan genetik yang tidak lazim: sindrom Prader-Willi dan sindrom Angelman Sindrom Prader-Willi ditandai oleh keterbelakangan mental, tubuh pendek, hipotoni, obesitas, tangan dan kaki kecil, dan hipogonadisme. Pada 60% sampai 70% kasus, delesi interstisial pita q12 pada lengan panjang kromosom 15-del(15)(q11;q13)-dapat ditemukan. Pada banyak penderita tanpa abnormalitas genetik yang terdeteksi, analisis FISH menghasilkan delesi lebih kecil dalam daerah yang sama. Sangat menyolok bahwa pada semua kasus, delesi memengaruhi kromosom 15 yang berasal dari bapak. Kebalikan dari sindrom Prader-Willi, penderita dengan fenotipe sindrom Angelman yang jelas, dilahirkan dengan delesi dari regio kromosom yang sama yang berasal dari ibu. Penderita dengan sindrom Angelman juga mengalami keterbelakangan mental, tetapi disertai cara berjalan ataksia, kejang, dan reaksi tertawa yang tidak wajar. Oleh karena sikap tertawa dan ataksia, sindrom ini disebut sebagai sindrom boneka yang bahagia (happy puppet syndrome). Perbandingan kedua sindrom ini jelas menunjukkan pengaruh "asal-orang tua (parent-of-origin)" pada fungsi gen. Apabila semua gen paternal dan maternal yang dikandung di dalam kromosom 15 dipaparkan pada pola yang identik, perangai klinis yang dihasilkan dari delesi tersebut dapat diharapkan menjadi identik, tidak bergantung kepada asal orang tua dari kromosom 15. Dasar molekuler dari dua sindrom ini dapat dimengerti dalam kaitan dengan imprinting (Gambar 6-20). Seperangkat gen pada kromosom maternal pada 15q12 mengalami imprinting (dan oleh karena itu inaktif), sehingga alel fungsional yang ada diberikan oleh kromosom paternal. Apabila bagian tersebut hilang karena delesi (pada kromosom paternal), penderita mengalami sindrom



Prader-Willi. Sebaliknya, gen berbeda yang juga terletak pada daerah yang sama pada kromosom 15 mengalai imprinting pada kromosom paternal. Pada keadaan normal hanya alel yang berasal maternal yang aktif. Delesi gen maternal pada kromosom 15 ini menimbulkan sindrom Angelman. Penelitian molekuler dari penderita sindrom Prader-Willi yang secara sitogenetik normal melaporkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa kedua kopi kromosom 15 yang berstruktur normal berasal dari ibu. Pewarisan kedua kromosom dari suatu pasangan berasal dari satu orang tua disebut disomi uniparental. Hasil akhir pengaruhnya adalah sama (contoh penderita tidak mempunyai suatu perangkat gen dari kromosom 15 paternal yang tidak mengalami imprinting). Sindrom Angelman, seperti dapat diharapkan, juga dapat terjadi karena disomi uniparental pada kromosom 15. Gen sindrom Angelman (yang mengalami imprinting pada kromosom paternal) sekarang diketahui menyandi ligase yang mempunyai peranan pada jalur proteolisis ubiquitin-proteasom (Bab 1). Gen ini disebut, agak rumit, UBE3A, dipaparkan terutama oleh alel maternal pada regio spesifik dari otak normal. Pada sindrom Angelman, UBE3A tidak dipaparkan pada daerah otak sesuai dengan manifestasi neurologik. Sindrom Prader-Willi, tidak seperti sindrom Angelman, mungkin disebabkan oleh kehilangan fungsi beberapa gen yang terletak pada kromosom 15 di antara q11 dan q13. Gen-gen ini masih memerlukan karakterisasi yang lengkap.



MATERNAL PATERNAL (M) (P)



Gen Prader-Willi imprint Gen Angelman aktif



(M)



(P)



Gen Prader-Willi aktif Gen Angelman imprint



Delesi pada kromosom materal



Delesi pada kromosom paternal



Gen Prader-Willi aktif



Imprinted Prader-Willi genes



Tempat delesi



Gen Angelman imprint



SINDROM ANGELMAN



Gen Angelman aktif



(M)



(P)



Tempat delesi



SINDROM PRADER-WILLI



Gambar 6-20 Genetik sindrom Angelman dan Prader-Willi.



Anomali Bawaan (Kongenital)



RINGKASAN Imprinting Genomic







• Imprinting melibatkan inaktivasi transkripsi dari kopi paternal atau maternal dari gen selama gametogenesis. Untuk gen-gen semacam itu hanya satu kopi fungsional terdapat pada seseorang. Kehilangan alel fungsional (tidak mengalami imprinting) karena delesi menimbulkan penyakit.







245



Sindrom Prader-Willi akibat dari delesi regio 15q12 kromosom paternal dan ditandai oleh keterbelakangan mental, tubuh pendek, hipotoni, obesitas dan hipogonadisme. Sindrom Angelman akibat dari delesi regio 15q12 kromosom maternal dan ditandai oleh keterbelakangan mental, ataksia, kejang dan reaksi tertawa yang tidak wajar.



PENYAKIT PEDIATRIK Seperti disebutkan sebelumnya dan digambarkan dengan beberapa contoh, banyak penyakit pada masa bayi dan anak-anak disebabkan oleh faktor genetik. Yang lain, walaupun bukan genetik, tetapi bersifat unik untuk anak atau mempunyai bentuk yang dapat dibedakan di antara populasi penderita ini sehingga memerlukan penggolongan penyakit pediatrik. Selama tiap tahap perkembangan, penyakit pada bayi dan anak dapat digolongkan pada kelompok penyakit yang agak berbeda (Tabel 6-6). Jelaslah, penyakit pada bayi (contoh tahun pertama kehidupan) menghadapi risiko kematian paling tinggi. Selama fase ini, masa neonatus (empat minggu pertama kehidupan) tidak dapat dipungkiri merupakan waktu yang paling berbahaya. Apabila bayi bertahan hidup pada tahun pertama kehidupan, masa depannya diperkirakan akan cerah. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa di antara 1 tahun dan 14 tahun kehidupan, jejas akibat kecelakaan merupakan penyebab kematian yang utama. Tidak semua keadaan yang dicantumkan pada Tabel 6-6 diuraikan dalam bab ini; hanya beberapa yang terpilih untuk dipertimbangkan di sini. Walaupun prinsip umum penyakit neoplastik dan tumor-tumor yang khas dibahas dibagian tertentu, beberapa tumor pada anak diuraikan di sini, untuk menonjolkan perbedaan antara neoplasma pada anak dan dewasa.



ANOMALI BAWAAN (KONGENITAL) Anomali kongenital merupakan cacat struktural yang terdapat pada waktu lahir, walaupun sebagian, seperti cacat jantung dan anomali ginjal, mungkin tidak tampak jelas sampai beberapa tahun kemudian. Seperti akan jelas pada diskusi berikutnya, istilah kongenital tidak memasukkan atau menyingkirkan dasar genetik untuk cacat kelahiran. Diperkirakan sekitar 120.000 bayi dilahirkan dengan cacat kelahiran tiap tahun di Amerika Serikat, suatu insidens 1 di antara 33. Seperti ditunjukkan pada Tabel 6-6, anomali kongenital merupakan penyebab penting dari kematian pada masa bayi. Di samping itu, mereka selanjutnya merupakan penyebab bermakna dari kesakitan, kecacatan, dan kematian sepanjang tahun-tahun kehidupan dini. Sebelum memperhatikan etiologi dan patogenesis anomali kongenital, diperlukan membuat batasan beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesalahan dalam morfogenesis. • Malformasi adalah kesalahan primer dari morfogenesis. Dengan perkataan lain, terdapat suatu proses perkembangan abnormal yang intrinsik. Malformasi biasanya akibat multifaktor, bukan sebagai akibat cacat gen tunggal atau cacat kromosom. Mereka



Tabel 6-6 Penyebab Kematian Menurut Usia



Penyebab* Di bawah 1 tahun



Nilai/Kadar† 677,3



Malformasi kongenital, deformitas, dan anomali kelainan yang terkait gestasi pendek dan berat badan rendah Slindrom kematian bayi mendadak (SIDS) Bayi baru lahir yang dipengaruih oleh komplikasi kehamilan Bayi baru lahir yang dipengaruih oleh komplikasi plasenta, tali membran Slindrom kesulitan pernapasan pada bayi baru lahir kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Sepsi bakteri dari bayi baru lahir Hemoragi neonatal Penyakit sistem sirkulasi



1–4 Tahun Kecelakan (jelas yang tidak diinginkan) Malformalis kongentital, deformalis, dab abdominalis kromosom Serangan (pembunuh)



Penyebab* 1-4 Tahut-bersambung



Nilai/Kadar† 28,2



Neoplasama ganas Penyakit jantung‡



5–9 Tahun



13,6



Kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Neoplasma ganas Malformasi kongentinal, deformitas, dan abnormalitas Kromos Serangan (Pembunuh) Penyakit jantung



10–14 Tahun 28,2



Kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Neoplasama ganas Serangan (pembunuh) Mencederai di dengan sengaja (bunuh diri) Malformasi kongenital, deformasi, dan abnormalitas Kromosom



Data dari Heron MP, Sutton PD, Xu J, et al: Annual Summary of Vital Statistics: 2007. Pediatrics 125:4, 2010. * Penyebab disusun dalam urutan menurun frekuensi. Semua penyebab dan nilai/kadar adalah statistik final 2007 tNilai/kadar diberikan per 100.000 penduduk dari semua kasus dalam tiap kelompok usia. tDisingkirkan penyakit jantung kongenital.



16,7



246



B A B 6



A



Penyakit Genetik dan Pediatrik



B



C



Gambar 6-21 Keparahan pada malformasi manusia dapat berkisar dari insidental sampai letal. A, Polidaktili (satu atau lebih jari ekstra) dan sindaktili (fusi dari jari-jari), mempunyai konsekuensi fungsional apabila mereka terjadi secara terpisah. B, Hal yang mirip, bibir sumbing dengan atau tanpa terkait dengan palatum sumbing, adalah selaras dengan kehidupan apabila itu terjadi sebagai anomali yang terpisah; pada kasus ini, bagaimanapun juga, anak tersebut mempunyai sindrom malformasi (trisomi 13) yang mendasari dan meninggal karena cacat jantung yang berat. C, Lahir-mati (still birth) menggambarkan suatu malformasi yang parah dan sesungguhnya letal, yang disertai struktur pertengahan wajah berfusi atau tidak sempurna bentuknya; pada hampir semua kasus, derajat dismorfogenesis eksternal ini terkait dengan anomali interna yang parah seperti kelainan perkembangan otak dan cacat jantung.



(A dan C, penghargaan kepada Dr. Reade Quinton, Department of Pathology, University ofTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas. B, penghargaan kepada Dr. Beverly Rogers, Department of Pathology, University ofTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas)



Malformasi biasanya akibat multifaktor, bukan sebagai akibat cacat gen tunggal atau cacat kromosom. Mereka mungkin berwujud dalam beberapa pola. Pada sebagian penampilan, seperti penyakit jantung kongenital, mungkin hanya satu sistem tubuh yang terkena, sedangkan pada yang lain, malformasi ganda yang mengenai banyak organ dan jaringan mungkin terjadi bersamaan (Gambar 6-21). • Disrupsi adalah akibat dari destruksi sekunder dari suatu organ atau bagian tubuh yang sebelumnya normal dalam perkembangan; jadi bertentangan dengan malformasi, disrupsi timbul dari gangguan ekstrinsik dalam morfogenesis. Pita-pita amnion (amniotic bands), yang menunjukkan ruptur amnion dengan hasil pembentukan "pita-pita" yang mengelilingi, menekan, atau melekat ke bagian-bagian fetus yang sedang berkembang, merupakan contoh klasik dari disrupsi (Gambar 6-22). Berbagai bahan lingkungan dapat menyebabkan disrupsi (lihat bawah). Tentu saja, disrupsi tidak diwariskan, jadi tidak berhubungan dengan risiko kekambuhan pada kehamilan berikutnya. • Deformasi, seperti disrupsi, juga menggambarkan gangguan ekstrinsik dari perkembangan, bukan kesalahan intrinsik morfogenesis. Deformasi merupakan masalah yang lazim, mengenai hampir 2% dari bayi baru lahir sampai berbagai derajat. Dasar dari patogenesis deformasi adalah kompresi yang bersifat setempat atau umum terhadap fetus yang sedang tumbuh karena kekuatan biomekanik, yang dapat menimbulkan berbagai abnormalitas struktur. Penyebab paling lazim dari malformasi semacam itu adalah regangan uterus. Di antara 35 minggu dan 38 minggu gestasi, ukuran fetus meningkat cepat melebihi pertumbuhan uterus dan volume relatif cairan amnion (yang pada keadaan normal bertindak sebagai bantalan) juga menurun. Jadi, bahkan fetus normal juga menghadapi akibat dari regangan uterus. Walaupun demikian, ada beberapa variabel yang bisa meningkatkan kecenderungan menimbulkan kompresi berlebihan pada fetus, termasuk kehamilan pertama, uterus kecil, malformasi uterus (bicomu), dan leiomioma. Penyebab yang berkaitan dengan fetus juga mungkin terlibat seperti adalah adanya fetus multipel, oligohidramnion, dan presentasi fetus abnormal.



• Sekunder dari aberasi setempat yang tunggal dalam organogenesis. Kejadian permulaan mungkin suatu malformasi, deformasi atau disrupsi. Contoh paling baik adalah rangkaian oligohidramnion (Potter) (Gambar 6-23, A). Oligohidramnion, menunjukkan kurangnya cairan amnion, yang mungkin disebabkan oleh berbagai abnormalitas maternal, plasenta, atau fetus yang tidak berhubungan. Kebocoran kronik cairan amnion karena ruptur amnion, insufisiensi uteroplasenta akibat dari hipertensi maternal atau toksemia berat, dan agenesis ginjal pada fetus (karena urin fetus adalah unsur utama cairan amnion), semua merupakan penyebab potensial dari oligohidramnion. Kompresi fetus yang berkaitan dengan oligohidramnion yang bermakna kemudian menyebabkan fenotipe klasik pada bayi baru lahir, termasuk wajah yang merata, abnormalitas posisi dari tangan dan kaki



Gambar 6-22 Disrupsi terjadi pada perkembangan organ karena abnormalitas ekstrinsik yang memengaruhi morfogenesis normal. Pita-pita amnion (amniotic bands) merupakan penyebab yang sering dari disrupsi. Pada sediaan makroskopik diperlihatkan, plasenta di sebelah kanan diagram, dan pita amnion menjulur dari bagian atas dari kantong amnion dan melilit tungkai fetus. (Penghargaan kepada Dr. Theonio Boyd, Children's Hospital of Boston, Boston, Massachusetts.)



Anomali Bawaan (Kongenital) Agenesis ginjal Amnion nodosum



Amnion bocor



Lain-lain



OLIGOHIDRAMNION



KOMPRESI FETUS



Hipoplasia Perubahan Cacat wajah posisi dari paru kaki, tangan



A



Presentasi bokong



atau abnormalitas kromosom yang khas) yang pada waktu bersamaan memengaruhi beberapa jaringan. • Sebagai tambahan terhadap definisi global ini, beberapa istilah umum diterapkan untuk malformasi khas organ: agenesis, menggambarkan keadaan tidak adanya organ atau anlagenya sama sekali; sedangkan aplasia dan hipoplasia, masing-masing menunjukkan perkembangan tidak lengkap atau kurang berkembangnya suatu organ. Atresia menggambarkan tidak terbentuknya pembukaan, biasanya pada organ visera yang berongga atau saluran seperti usus dan saluran empedu.



Etiologi Penyebab yang diketahui dari kesalahan pada malformasi manusia dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama: genetik, lingkungan, dan multifaktor (Tabel 6-7). Penyebab tidak dapat ditetapkan untuk hampir separuh dari kasus-kasus yang dilaporkan.



10 cm



Penyebab genetik dari malformasi termasuk semua mekanisme penyakit genetik yang telah dibicarakan sebelumnya. Hampir semua sindrom kromosom berhubungan dengan malformasi kongenital. Contohnya adalah sindrom Down dan trisomi lain, sindrom Turner dan sindrom Klinefelter. Sebagian besar kelainan kromosom timbul selama gametogenesis dan oleh karena itu tidak bersifat familial. Mutasi gentunggal, yang ditandai oleh pewarisan jenis Mendel, mungkin mendasari malformasi utama. Sebagai contoh, holoprosensefalon adalah cacat perkembangan yang paling lazim dari otak depan dan wajah tengah pada manusia (lihat Bab 22); jalur pengisyaratan Hedgehog Tabel 6-7 Penyebab Malformasi Kongenital Pada Manusia



Penyebab Genetik Aberasi kromosom Pewarisan jenis Mendel



Frekuensi Malformations* (%) 10–15 2–10



Lingkungan



B Gambar 6-23 A, Patogenesis oligohidramnion (Potter) secara berurutan. B, Bayi dengan oligohidramnion (Potter). Perhatikan perangai wajah yang mendatar dan perubahan bentuk (deformasi) kaki (talipes equinovarus).



(Gambar 6-23, B). Panggul mungkin mengalami dislokasi. Pertumbuhan dinding dada dan paru yang di dalamnya juga menderita, kadang-kadang sampai mengganggu daya tahan hidup. Apabila hubungan embriologik antara cacat ini dan kejadian yang memulai tidak dikenal, rangkaian (sequence) bisa disalah artikan dengan sindrom malformasi. • Sindrom malformasi merupakan beberapa cacat yang tidak dapat diterangkan berdasarkan kesalahan permulaan yang bersifat tunggal dan setempat dalam morfogenesis. Sindrom yang paling sering biasanya timbul dari penyebab tunggal (contoh infeksi virus



247



Infeksi maternal/plasental Rubela Toksoplasmosis Sifilis Infeksi sitomegalovirus Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)



2–3



Status penyakit maternal Diabetes Fenilketonuria Endokrinopati



6–8



Obat dan zat kimia Alkohol Antagonis asam folat Androgen Fenitoin Talidomid Warfarin I 3-Cis-retinoic acid Yang lain



∼1



Penyinaran



~1



Multifaktor



20–25



Tidak diketahu



40–60



* Lahir hidup Data dari Stevenson RE, Hall JG, Goodman RM (eds): Human Malformations and Related Anomalies. New York, Oxford University Press, 1993, p 115.



248



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



memainkan peranan penting pada morfogenesis struktur ini, dan mutasi kehilangan fungsi dari komponen individu dalam jalur tersebut dilaporkan terjadi pada keluarga dengan riwayat holoprosensefalon yang berulang. Pengaruh lingkungan, seperti infeksi virus, obat, dan radiasi yang menyebabkan pajanan pada ibu selama kehamilan, dapat menyebabkan malformasi fetus (penyebutan "malformasi" dalam hal ini digunakan secara longgar, karena secara teknik, malformasi ini menggambarkan disrupsi). Di antara infeksi virus yang disebutkan dalam Tabel 6-7, rubela merupakan penyebab utama dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Untunglah, rubela maternal yang disertai embriopati rubela hampir seluruhnya tereliminasi di negara berkembang sebagai hasil vaksinasi. Berbagai obat telah diduga bersifat teratogen, tetapi mungkin kurang dari 1% malformasi kongenital yang disebabkan oleh zat ini. Daftar obat tersebut termasuk talidomid, alkohol, anti-kejang, warfarin (antikoagulan oral), dan 13-cisretinoic acid yang digunakan pada acne yang parah. Sebagai contoh, talidomid, suatu waktu pernah digunakan sebagai obat penenang di Eropa dan sekarang digunakan dalam pengobatan kanker tertentu, menyebabkan insidens tinggi (50% sampai 80%) malformasi anggota tubuh. Alkohol, mungkin merupakan zat yang paling luas digunakan sekarang, adalah teratogen lingkungan yang penting. Bayi yang terkena mengalami kelambatan pertumbuhan prenatal dan postnatal, anomali wajah (mikrosefali, fisura palpebra pendek, hipoplasia maksila) dan gangguan psikomotor. Gabungan perangai-perangai ini disebut sindrom alkohol fetus. Walaupun nikotin yang berasal dari asap rokok belum meyakinkan sebagai teratogen, terdapat insidens tinggi abortus spontan, kelahiran prematur, dan anomali plasenta pada ibu hamil yang perokok; bayi yang dilahirkan dari ibu perokok mempunyai berat badan rendah dan cenderung untuk mengalami sudden infant death syndrome (SIDS). Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut, sebaiknya mencegah pajanan nikotin sama sekali selama kehamilan. Di antara keadaan maternal yang disebutkan pada Tabel 6-7, diabetes melitus, adalah entitas yang lazim, dan walaupun terdapat kemajuan dalam pemantauan obstetrik dan pengelolaan glukosa, malformasi utama pada bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita diabetes mencapai 6% sampai 10% insidens pada sebagian besar laporan penelitian. Hiperinsulinemia fetus yang terinduksi oleh hiperglikemia maternal menyebabkan makrostomia fetus (organomegali dan peningkatan lemak tubuh dan massa otot), malformasi jantung, cacat neural tube, malformasi SSP lain, adalah beberapa malformasi utama yang terjadi pada embriopati diabetogenik. Multifaktor yang diwariskan, yang merupakan interaksi pengaruh lingkungan dengan dua atau lebih gen yang berpengaruh kecil, adalah penyebab genetik yang paling lazim dari malformasi kongenital. Dalam kategori ini termasuk beberapa malformasi yang relatif lazim, bibir sumbing dan palatum, dan cacat neural tube. Pentingnya kontribusi lingkungan pada malformasi multifaktor diperkecil oleh penurunan dramatik cacat neural tube karena konsumsi asam folat dalam diet pada masa perikonsepsi. Risiko kekambuhan dan cara pewarisan kelainan multifaktor ini telah diuraikan sebelumnya pada bab ini.



umum adalah relevan dan tidak bergantung kepada faktor etiologik: 1. Waktu rangsangan teratogen prenatal: mempunyai dampak penting pada terjadinya dan jenis anomali yang dihasilkan. Perkembangan intrauterin dari manusia dapat dibagi menjadi dua fase: (1) masa embrio, meliputi 9 minggu pertama kehamilan, dan (2) masa fetus, yang berakhir pada saat kelahiran. 







2. Interaksi yang rumit antara teratogen lingkungan dan cacat intrinsik dicontohkan oleh fakta bahwa perangai dismorfogenesis yang disebabkan oleh rangsangan lingkungan sering dapat direkapitulasi oleh cacat genetik dalam jalur yang menjadi sasaran teratogen ini. Beberapa contoh representatif sebagai berikut: 











PATOGENESIS Patogenesis anomali kongenital adalah rumit dan masih kurang dimengerti, tetapi dua prinsip



Pada masa dini embrio (3 minggu pertama setelah fertilisasi), zat yang mencederakan merusak baik sejumlah sel yang cukup untuk menyebabkan kematian maupun abortus atau hanya beberapa sel, yang dianggap memberi peluang bagi embrio untuk pulih tanpa mengalami cacat. Di antara minggu ketiga dan kesembilan embrio sangat rentan terhadap teratogenesis, dan puncak kerentanan selama masa ini terjadi antara minggu keempat dan kelima. Selama masa ini organ dikeluarkan dari lapisan benih. Masa fetus yang mengikuti organogenesis ditandai terutama oleh pertumbuhan dan maturasi lebih lanjut dari organ, dengan pengurangan banyak dari kerentanan terhadap faktor teratogenesis. Bila tidak, fetus peka terhadap keterlambatan pertumbuhan atau jejas terhadap organ yang telah terbentuk. Oleh karena itu, memungkinkan faktor tertentu menyebabkan anomali yang berbeda apabila pemajanan terjadi pada waktu yang berbeda dari gestasi.



Cyclopamine adalah teratogen tanaman. Beri-beri hamil yang memakan tanaman yang mengandungi cyclopamine melahirkan anak yang mengalami malformasi kraniofasial yang berat termasuk holoprosensefalon dan cyclopia (mata tunggal hasil fusi—sesuai asal julukan cyclopamine). Senyawa ini adalah inhibitor kuat untuk pengisyaratan Hedgehog pada embrio, dan seperti disebutkan sebelumnya, mutasi gen Hedgehog terdapat pada subset fetus dengan holoprosensefalon. Asam valproat adalah suatu anti-epilepsi dan dikenal sebagai teratogen. Asam valproat merusak paparan dari golonganprotein faktor transkripsi yang penting untuk perkembangan dan sangat terpelihara yang dikenal sebagai protein homeobox (HOX). Pada vertebrata protein HOX berperan untuk membentuk pola anggota tubuh, vertebra dan struktur kraniofasial. Tidak mengejutkan, mutasi dari gen golonganprotein HOX berperan pada anomali kongenital yang menyerupai perangai yang ditemukan pada embriopati asam-valproat. Derivat vitamin A (retinol) adalah derivat all-trans-retinoic acid penting untuk perkembangan dan diferensiasi, normal dan bila tidak-ada selama embriogenesis akan menyebabkan konstelasi malformasi yang bersifat ganda, termasuk mata, sistem genitourinaria, kardiovaskular, diafragma dan paru (lihat Bab 7 tentang defisiensi vitamin A pada masa post natal). Sebaliknya, pajanan berlebihan terhadap asam retinoat bersifat teratogen. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang diobati asam retinoat untuk acne yang parah akan mempunyai fenotipe yang dapat diramalkan (embriopati asam retinoat), meliputi SSP, jantung,



Prematuritas dan Keterbatasan Pertumbuhan Janin dan cacat kraniofasial, seperti sumbing bibir dan palatum. Entitas akhir terkait dengan peranan asam retinoat dalam deregulasi komponen jalur pengisyaratan transforming growth factor-Β (TGF-β). Mencit yang mengalami inaktivasi (knock-out) gen Tgfb3 seluruhnya mengalami bibir sumbing. Sekali lagi, ini mengecilkan hubungan fungsi antara pajanan teratogen dan jalur pengisyaratan dalam sebab-musabab anomali kongenital.



RINGKASAN Anomali Kongenital •



Anomali kongenital akibat dari abnormalitas intrinsik (malformasi) demikian juga gangguan ekstrinsik (deformitas, disrupsi).







Anomali kongenital dapat diakibatkan oleh faktor genetik (abnormalitas kromosom, mutasi gen), lingkungan (infeksi, obat, alkohol), dan penyebab multifaktor.







Waktu dari rangsangan in utero mempunyai pengaruh kuat pada luasnya anomali kongenital, dengan kejadian yang lebih dini biasanya menunjukkan dampak lebih besar.







Interaksi antara penyebab genetik dan lingkungan dari anomali ditunjukkan oleh fakta bahwa teratogen sering memengaruhi jalur pengisyaratan yang terkait mutasi sebagai penyebab anomali yang sama seperti yang sudah dilaporkan dalam penelitian.



INFEKSI PERINATAL Infeksi pada fetus dan neonatus mungkin diperoleh secara transserviks (infeksi asenden) atau transplasenta (infeksihematologik). • Infeksi trans-serviks, atau asenden, meliputi penyebaran infeksi dari kanal servikovagina dan mungkin diperoleh dalam uterus atau selama kelahiran. Sebagian besar infeksi bakteri (contoh infeksi streptokokus α- hemolitik) dan beberapa infeksi virus (contoh herpes simpleks) diperoleh dengan cara ini. Pada umumnya, fetus memperoleh infeksi dengan "inhalasi" cairan amnion yang terinfeksi ke dalam paru atau melewati jalan lahir yang terinfeksi selama persalinan. Infeksi fetus biasanya berkaitan dengan inflamasi membran plasenta (korioamnionitis) dan inflamasi tali pusat (funisitis). Infeksi ini khas untuk pneumonia dan, pada kasus berat, sepsis dan meningitis. • Infeksi transplasenta mempunyai hubungan ke aliran darah fetus dengan menyeberang plasenta melalui villi chorealis, dan mungkin terjadi pada tiap saat selama gestasi atau kadang-kadang, seperti pada kasus hepatitis B dan virus imunodefisiensi manusia (HIV), pada saat persalinan melalui transfusi maternalfetal. Sebagian besar parasit (contoh toksoplasma, malaria) dan infeksi virus dan beberapa infeksi bakteri (contoh Listeria dan Treponema), menunjukkan cara transmisi hematogen ini. Manifestasi klinis dari infeksi ini sangat bervariasi, sangat bergantung kepada masa gestasi dan mikroorganisme yang terlibat. Infeksi transplasenta yang paling penting dapat dengan mudah diingat melalui akronim TORCH. Unsur dari kompleks TORCH



249



adalah Toxoplasma (T), virus rubela (R), cytomegalovirus (C), virus herpes (H), dan mikroba lain, "other" (O) seperti Treponema pallidum. Mikroba ini dikelompokkan bersama karena mereka mungkin menimbulkan manifestasi klinis dan patologis yang mirip. Infeksi TORCH yang terjadi dini pada masa gestasi mungkin menyebabkan sekuela kronik pada anak, termasuk pertumbuhan terbatas, keterbelakangan mental, katarak, anomali jantung kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi lebih kemudian dalam kehamilan terutama menyebabkan jejas jaringan disertai inflamasi (ensefalitis, korioretinitis, hepatosplenomegali, pneumonia, dan miokarditis).



PREMATURITAS DAN KETERBATASAN PERTUMBUHAN JANIN Prematuritas adalah penyebab paling lazim kedua dari mortalitas neonatus (hanya yang kedua pada anomali kongenital), dan ditetapkan oleh usia gestasi kurang dari 37 minggu. Seperti dapat diharapkan, bayi yang dilahirkan sebelum kelengkapan gestasi juga mempunyai berat badan kurang dari normal (di bawah 2500 gr). Faktor risiko utama dari prematuritas termasuk ruptur membran prematur; infeksi intrauterin yang menyebabkan inflamasi membran plasenta (korioamnionitis); abnormalitas struktural uterus, serviks, dan plasenta; dan gestasi ganda (contoh kehamilan kembar). Telah dipastikan bahwa anak yang dilahirkan sebelum kelengkapan masa gestasi penuh menunjukkan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi daripada yang dilaporkan untuk bayi cukup umur (full-term). Imaturitas sistem organ pada bayi yang belum matang (preterm) menyebabkan mereka terutama rentan terhadap beberapa komplikasi yang penting: • Sindrom kesulitan pernapasan (respiratory distress syndrome/ RDS), juga disebut penyakit membran hialin • Enterokolitis nekrotik (necrotizing enterocolitis/NEC) • Sepsis • Perdarahan intraventrikel dan matriks germinal (Bab 22) • Sekuela jangka panjang, termasuk kelambatan perkembangan Walaupun berat badan rendah pada bayi preterm biasanya wajar bila disesuaikan terhadap usia gestasi. Sebaliknya, sebanyak sepertiga bayi dengan berat badan kurang dari 2500 g dilahirkan pada saat cukup bulan (at term) dan oleh karena itu lebih bersifat kurang-pertumbuhan daripada tidak-matang. Bayi-bayi dengan small-for-gestational-age (SGA) ini menderita keterbatasan pertumbuhan fetus. Pertumbuhan fetus yang terbatas dapat disebabkan oleh abnormalitas fetus, maternal atau plasenta, walaupun pada banyak kasus penyebab yang khas tidak diketahui. • Faktor fetus: kategori ini terdiri dari keadaan yang secara intrinsik mengalami pengurangan potensi pertumbuhan fetus, walaupun pasokan nutrient dari ibu cukup. Yang mencolok dari keadaan fetus semacam itu adalah kelainan kromosom, anomali kongenital dan infeksi kongenital. Abnormalitas kromosom dapat dideteksi sebanyak 17% pada fetus yang dinilai terhadap keterbatasan pertumbuhan fetus, dan sebanyak 66% pada fetus yang menunjukkan malformasi secara ultrasonografi. Infeksi fetus harus dipikirkan pada semua bayi yang mengalami keterbatasan pertumbuhan, dengan infeksi kelompok TORCH (lihat yang terdahulu) sebagai penyebab paling lazim. Apabila faktor penyebab bersifat intrinsik terhadap fetus, keterlambatan pertumbuhan bersifat



250



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



simetrik (contoh memengaruhi semua sistem organ secara sama). • Faktor plasenta: penyebab plasenta termasuk faktor apa pun yang mengganggu pasokan jalur uteroplasenta. Ini mungkin akibat dari placenta previa (implantasi plasenta rendah), abruptio placentae (pemisahan plasenta dari decidua oleh bekuan retroplasenta), atau infark plasenta. Dengan penyebab plasenta (dan penyebab maternal) pada keterbatasan pertumbuhan fetus, keterlambatan pertumbuhan bersifat asimetrik (otak terhindari dibandingkan dengan terkenanya organ visera seperti hati). • Faktor maternal: kategori ini meliputi sebagian besar penyebab paling lazim dari cacat pertumbuhan pada bayi SGA. Contoh penting adalah penyakit vaskular, seperti preeklamsia ("keracunan kehamilan"/" toxemia gravidarum") (Bab 18) dan hipertensi kronik. Daftar keadaan maternal lain terkait dengan keterbatasan pertumbuhan fetus adalah panjang, tetapi beberapa yang dapat dicegah adalah penyalahgunaan narkotik, konsumsi alkohol, perokok berat, (seperti diperhatikan sebelumnya, banyak penyebab yang sama berkaitan dengan anomali kongenital). Obat yang menyebabkan keterbatasan pertumbuhan fetus termasuk yang bersifat teratogen, yang sering digunakan sebagai anti kejang, seperti fenitoin (dilantin), demikian juga bahan yang non-teratogenik. Malnutrisi maternal (terutama, hipoglikemia yang berlangsung lama) juga dapat menghambat pertumbuhan fetus, tetapi hubungan antara keterbatasan pertumbuhan bayi dan status nutrisi ibu adalah rumit. Tidak hanya bayi yang terbatas pertumbuhannya mengalami cacat pada masa perinatal, tetapi kekurangannya menetap sampai masa anak-anak dan dewasa. Individu yang terkena jelas lebih cenderung mengalami disfungsi serebral, ketidakmampuan belajar, dan gangguan sensorik (contoh penglihatan dan pendengaran).



SINDROM KESULITAN PERNAPASAN PADA BAYI BARU LAHIR Terdapat banyak penyebab kesulitan pernapasan pada bayi baru lahir, termasuk karena sedasi berlebihan pada ibu, jejas kepala fetus selama persalinan, aspirasi darah atau cairan amnion, dan hipoksi sekunder terhadap kompresi karena lilitan tali pusat pada leher. Namun, penyebab paling lazim, adalah sindrom kesulitan pernapasan (respiratory distress syndrome/ RDS), juga dikenal sebagai penyakit membran hialin karena pembentukan "membran" pada rongga udara perifer yang terjadi pada bayi yang bertahan terhadap keadaan ini. Diperkirakan 24.000 kasus RDS dilaporkan tiap tahun di Amerika Serikat, dan perbaikan penatalaksanaan keadaan ini telah sangat mengurangi kematian karena insufisiensi pernapasan sebanyak 5000 per tahun satu dekade yang lalu sampai kurang dari 900 kasus tiap tahun.



dan persalinan dengan seksio-sesar (cesarean section). adalah suatu kompleks fosfolipid yang aktif dipermukaan, terutama dipalmitoylphosphatidylcholine (lecithin) dan paling sedikit dua kelompok protein yang terkait surfaktan. Pentingnya protein terkait surfaktan pada fungsi normal paru dapat digambarkan oleh terjadinya kegagalan pernapasan yang parah pada neonatus dengan defisiensi surfaktan karena mutasi pada gen yang bersangkutan. Surfaktan disintesis oleh pneumosit tipe II, dan dengan pernapasan pertama neonatus yang sehat, dengan cepat melapisi permukaan alveolus, mengurangi tegangan permukaan, sehingga mengurangi tekanan yang diperlukan untuk mempertahankan alveolus terbuka. Pada paru dengan defisiensi surfaktan, alveolus cenderung kolaps, dan diperlukan upaya pernapasan yang relatif lebih besar pada setiap pernapasan untuk membuka alveolus. Bayi cepat lelah bernapas dan diikuti atelektasis umum. Hipoksia yang dihasilkan akan memicu urutan kejadian yang menyebabkan kerusakan epitel dan endotel, dan selanjutnya terjadi pembentukan membran hialin (Gambar 6-24). Seperti dibahas kemudian, gambaran klasik defisiensi surfaktan ini sangat cepat dimodifikasi dengan pengobatan surfaktan. Sintesis surfaktan diatur oleh hormon. Kortikosteroid merangsang pembentukan lipid surfaktan



PREMATURITAS Penurunan sintesis, penimbunan, dan pelepasan surfaktan



Penurunan surfaktan alveolus



Peningkatan tegangan permukaan alveolus Atelektasis Hipoventilasi



Perfusi tidak merata



Hipoksemia + retensi CO2



Asidosis Vasokonstriksi paru Hipoperfusi paru



PATOGENESIS RDS pada dasarnya adalah penyakit pada bayi prematur. Penyakit tersebut terjadi pada sekitar 60% bayi yang dilahirkan pada waktu kurang dari 28 minggu kehamilan, 30% dari mereka yang dilahirkan antara 28 sampai 34 minggu kehamilan, dan kurang dari 5% dari mereka yang dilahirkan setelah 34 minggu kehamilan. Terdapat juga hubungan kuat walaupun tidak selalu dengan kelamin pria, diabetes maternal,



Kerusakan endotel



Plasma merembes ke dalam alveolus



Kerusakan epitel



Peningkatan perbedaan derajat difusi



Fibrin + sel nekrotik (membran hialin)



Gambar 6-24 Patofisiologi dari sindrom gagal pernapasan (respiratory distress syndrome) (lihat naskah).



Sindrom Kesulitan Pernapasan pada Bayi Baru Lahir dan protein terkait. Oleh karena itu, keadaan yang terkait dengan stres intrauterin dan keterbatasan pertumbuhan fetus yang meningkatkan pelepasan kortikosteroid menurunkan risiko perkembangan RDS. Sintesis surfaktan dapat ditekan oleh peningkatan kadar insulin darah yang terjadi secara kompensatoar pada bayi dari ibu diabetes, yang menangkal pengaruh kortikosteroid. Ini mungkin menjelaskan, sebagian, mengapa bayi dari ibu diabetes berisiko tinggi untuk mengalami RDS. Persalinan diketahui meningkatkan sintesis surfaktan; seyogianya seksio sesar yang dilakukan sebelum permulaan persalinan dapat berhubungan dengan peningkatan risiko untuk RDS.



MORFOLOGI Paru pada bayi dengan RDS berukuran normal tetapi berat dan relatif kurang mengandungi udara. Mereka berwarna keunguan berbercak-bercak, dan pada pemeriksaan mikroskopik jaringan tampak padat, kurang berkembang, alveolus secara umum kolaps (atelektasis). Apabila bayi meninggal dalam beberapa jam kehidupan, hanya terdapat debris sel yang nekrotik pada bronkiol terminal dan duktus alveolar. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, membran hialin eosinofilik secara khas melapisi bronkiol respirasi, duktus alveolus, dan alveolus random (Gambar 6-25). "Membran" ini mengandungi sel epitel nekrotik yang bercampur dengan protein plasma yang menembus keluar pembuluh.Terdapat sangat sedikit reaksi inflamasi neutrofil yang terkait dengan membran ini. Lesi dari penyakit membran hialin tidak pernah ditemukan pada bayi lahir mati (stillbom) atau pada bayi lahir hidup yang meninggal beberapa jam setelah lahir.Apabila bayi meninggal setelah beberapa hari, bukti perubahan reparatif, termasuk proliferasi pneumosit tipe II dan fibrosis interstisial, dapat ditemukan.



Gambaran Klinis Presentasi klinis yang klasik sebelum era pengobatan dengan surfaktan eksogen telah diuraikan lebih dahulu. Sekarang, perjalanan klinis yang sesungguhnya dan prognosis RDS neonatus bervariasi, bergantung kepada maturitas dan berat badan bayi dan kecepatan pemberian terapi. Pegangan utama untuk pengelolaan RDS berfokus pada prevensi



251



apakah dengan menunda persalinan sampai paru fetus mencapai maturitas atau menginduksi maturitas paru pada fetus yang berisiko. Hal yang penting pada tujuan ini adalah kemampuan untuk menilai maturitas paru secara cermat. Karena sekresi pulmonal dikeluarkan ke dalam cairan amnion, analisis fosfolipid cairan amnion memberikan perkiraan yang baik entang kadar surfaktan pada lapisan alveolus. 3emberian surfaktan eksogen pada saat kelahiran sebagai profilaksis terhadap bayi yang sangat prematur dilahirkan sebelum 28 minggu usia kehamilan) nenunjukkan hasil sangat berguna, sehingga sekarang idak lazim bayi meninggal karena RDS akut. Pada kasus-kasus tanpa penyulit, penyembuhan mulai terjadi dalam 3 atau 4 hari. Pada bayi yang terkena, diperlukan oksigen. Namun, penggunaan oksigen konsentrasi tinggi yang diberikan melalui ventilator untuk jangka lama, berhubungan dengan dua komplikasi yang terkenal: retrolental fibroplasia (juga disebut retinopathy of prematurity) pada mata dan bronchopulmonary dysplasia (BPD). • Retinopathy of prematurity mempunyai dua-fase patogenesis. Selama fase hiperoksik dari terapi RDS (fase I), pemaparan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang bersifat proangiogenik sangat berkurang, yang menyebabkan apoptosis sel endotel; kadar VEGF sangat meningkat (rebound) setelah kembali pada ventilasi udara kamar yang relatif hipoksik (fase II), yang menginduksi proliferasi pembuluh retina (neovaskularisasi) yang khas untuk lesi pada retina. • Abnormalitas utama pada BPD adalah penurunan mencolok pada penyekatan alveolus (berwujud sebagai struktur alveolus yang besar, menjadi sederhana), dan konfigurasi kapiler dismorfik. Jadi, pandangan sekarang adalah bahwa BPD disebabkan kerusakan yang bersifat reversibel dalam perkembangan septum alveolus pada apa yang disebut saccular stage. Faktor-faktor ganda-hiperoksemia, hiperventilasi, prematuritas, sitokin inflamasi, dan perkembangansalah susunan pembuluh-berkontribusi terhadap BPD dan mungkin bersifat aditif atau sinergistik untuk mendukung terjadinya jejas. Kadar dari berbagai sitokin pro-inflamasi (TNF dan interleukin IL-1β, IL-6, dan IL-8) meningkat pada alveolus bayi yang kemudian menderita BPS, yang mengesankan peranan sitokin ini dalam menghentikan perkembangan paru. Untunglah, kedua penyulit tersebut sekarang bercurang sangat bermakna sebagai hasil teknik ventilasi Tang lebih ringan (gentle), terapi glukokortikoid sntenatal, dan surfaktan eksogen profilaktik. Bayi yang sembuh dari RDS, juga berada pada risiko yang meningkat untuk terjadinya berbagai complikasi lain berkaitan dengan kelahiran "preterm";) paling penting di antaranya adalah patent ductus arteriosus, intraventricular hemorrhage, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Jadi, walaupun kemajuan teknologi nembantu menyelamatkan kehidupan banyak bayi Iengan RDS, hal itu juga menampilkan kerapuhan lari neonatus yang belum matang.



RINGKASAN Sindrom Kesulitan Pernapasan Neonatus •



Gambar 6-25 Penyakit membran hialine (pewarnaan hematoksilin-eosin). Gambaran atelektasis dan dilatasi yang terlihat silih berganti dari alveolus. Perhatikan membran hialin tebal yang bersifat eosinofilik yang melapisi alveolus yang melebar.



RDS pada neonates (penyakit membran hialin) adalah penyakit prematuritas; sebagian besar kasus terjadi pada neonatus yang dilahirkan sebelum 28 minggu usia kehamilan.



252 • • • •



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik dan besar dapat terkena. Segmen yang terkena secara khas mengalami distensi, rapuh, dan kongesti (Gambar 6-26), atau dapat menjadi gangren yang jelas; perforasi usus disertai dengan peritonitis dapat ditemukan. Pada pemeriksaan mikroskopik, nekrosis koagulatif mukosa atau transmural, ulserasi, kolonisasi bakteri, gelembunggelembung gas submukosa merupakan semua perangai yang berhubungan dengan NEC. Bukti perubahan reparatif, seperti jaringan granulasi dan fibrosis mungkin terlihat segera setelah resolusi dari episode akut.



Abnormalitas dasar pada RDS adalah insufisiensi surfaktan paru, yang mengakibatkan kegagalan paru untuk berkembang setelah lahir. Pola morfologik yang khas pada RDS adalah adanya membran hialin (terdiri atas sel epitel nekrotik dan protein plasma) yang melapisi saluran udara. RDS dapat dipulihkan dengan pemberian steroid secara profilaksis, terapi surfaktan, dan dengan teknik ventilasi yang diperbaiki. Sekuela jangka panjang yang berkaitan dengan terapi RDS termasuk retinopati karena prematuritas dan BPD; insidens kedua komplikasi menurun dengan perbaikan dalam penatalaksanaan RDS.



Perjalanan klinis cukup khas, dengan gejala permulaan berupa feses yang berdarah, distensi abdomen, dan timbulnya kolaps sirkulasi. Radiografi abdomen sering menunjukkan gas di dalam intestin (pneumatosis intestinalis), Apabila ditemukan dini, NEC dapat diobati secara konservatif, tetapi banyak kasus (60% sampai 80%) memerlukan intervensi operatif termasuk reseksi segmen usus yang nekrotik. NEC berkaitan dengan angka kematian perinatal yang tinggi; bayi yang bertahan hidup sering mengalami post-NEC striktur karena fibrosis yang disebabkan oleh proses penyembuhan.



ENTEROKOLITIS NEKROTIK (NECROTIZING ENTEROCOLITIS/NEC) Enterokolitis nekrotik (NEC) paling lazim terjadi pada bayi prematur, dengan insidens yang berbanding terbalik secara proposional terhadap usia gestasi. Hal itu terjadi pada sekitar 1 dari 10 bayi dengan berat sangat rendah (kurang dari 150 gr). Di samping prematuritas, sebagian kasus berkaitan dengan pemberian makan enteral, yang mengesankan bahwa beberapa rangsangan postnatal (seperti pajanan terhadap bakteri) menyebabkan berbagai tahap yang memuncak dengan destruksi jaringan. Sementara bahan infektif tampaknya memainkan peran pada patogenesis NEC ternyata tidak satupun patogen bakteri terkait dengan penyakit tersebut. Banyak mediator inflamasi telah dikaitkan dengan NEC. Satu mediator khusus, plateletactivating factor (PAF), dianggap dapat meningkatkan permeabilitas mukosa dengan menunjang apoptosis enterosit dan melemahkan sambungan-ketat intersel, sehingga seolah-olah "menambahkan minyak ke dalam api".



SINDROM KEMATIAN BAYI MENDADAK Sindrom kematian bayi mendadak (sudden infant death syndrome/ SIDS) adalah penyakit yang penyebabnya tidak diketahui. The National Institute of Child Health and Human Development menetapkan SIDS sebagai "kematian mendadak dari bayi di bawah umur 1 tahun yang masih tidak bisa dijelaskan setelah penelitian kasus yang cermat, termasuk dengan pelaksanaan autopsi yang lengkap, pemeriksaan cara kematian, dan tinjauan riwayat klinis." Suatu aspek dari SIDS yang tidak ditekankan pada definisi adalah bahwa bayi biasanya meninggal ketika sedang tidur-sehingga secara awam dikenal sebagai crib death (mati ditempat tidur) atau cot death. SIDS merupakan penyebab kematian utama pada usia antara 1 bulan sampai 1 tahun dari bayi di Amerika Serikat, dan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan dari kelompok usia tersebut, setelah anomali kongenital, penyakit prematuritas dan berat badan lahir rendah. Pada 90% kasus, bayi lebih muda dari 6 bulan; sebagian besar antara usia 2 bulan dan 4 bulan.



NEC secara khas mengenai ileum terminal, sekum, dan kolon kanan, walaupun tiap bagian dari usus kecil



A



B



Gambar 6-26 Enterokolitis yang nekrotik. A, Pada pemeriksaan postmortem dalam kasus yang parah, seluruh usus kecil sangat meregang dengan dinding yang sangat tipis (biasanya tampilan ini sesuai dengan kecenderungan perforasi). B, Bagian ileum yang terbendung sesuai dengan area infark hemoragik dan nekrosis transmural terlihat pada pemeriksaan mikroskopik. Gelembung-gelembung gas submukosa (pneumatosis intestinalis) dapat dilihat pada beberapa area (tanda panah).



Sindrom Kematian Bayi Mendadak 253



PATOGENESIS Keadaan sekitar SIDS telah dijajagi sangat rinci, dan konsensus umum adalah penyakit tersebut merupakan keadaan multi-faktor, dengan berbagai campuran penyebab yang menyokong pada kasus tertentu. Suatu model "risiko-tripel" dari SIDS yang diusulkan memberikan landasan berpikir (postulat) bahwa terjadi pengaruh silang dari tiga variabel yang tumpang-tindih: (1) bayi yang rentan, (2) masa perkembangan yang kritis pada pengelolaan homeostatik, dan (3) satu atau lebih stressor eksogen. Menurut model ini, beberapa faktor menyebabkan bayi rentan terhadap kematian mendadak selama masa perkembangan yang kritis (contoh 1 bulan sampai 1 tahun). Faktor kerentanan ini mungkin spesifik untuk orangtua atau bayi, sedangkan stressor eksogen berkaitan dengan lingkungan (Tabel 6-8). Walaupun banyak faktor telah diusulkan berperan pada bayi yang rentan, hipotesis yang paling berpengaruh adalah bahwa SIDS mencerminkan suatu kelambatan perkembangan dari pengendalian rangsangan dan kardiorespirasi. Daerah dari batang otak, terutama nukleus arkuata yang terletak di sebelah ventral permukaan medula, memainkan peranan penting pada reaksi perangsangan tubuh terhadap stimulus yang merugikan (noksius) seperti hiperkarbia, hipoksia, dan stres termal yang dialami selama tidur. Di samping itu, area ini mengatur pernapasan, denyut jantung, dan suhu tubuh. Pada bayi tertentu, karena penyebab yang belum diterangkan, mungkin terdapat perkembangan salah atau kelambatan maturasi regio ini, yang melemahkan reaksi terhadap perangsangan dari stimulus berbahaya. Varian polimorfi tertentu pada gen yang berkaitan dengan pengisyaratan serotonergik dan inervasi autonomik telah diketahui terjadi dengan kekerapan tinggi pada bayi-bayi SIDS daripada populasi umum, yang menyokong pendapat kemungkinan peranan faktor genetik sebagai predisposisi untuk bayi mengalami kelainan reaksi perangsangan. Di antara penyebab lingkungan yang potensial, posisi tidur telungkup, tidur pada permukaan yang lembut, dan stres termal mungkin merupakan faktor paling penting yang dapat mengubah faktor risiko SIDS. Posisi telungkup meningkatkan kerentanan bayi terhadap faktor berbahaya yang dikenal (hiperkarbia, hipoksia dan stres termal), selama tidur. Sebagai tambahan, posisi telungkup juga berhubungan dengan penurunan reaksi perangsangan dibanding dengan posisi telentang. Hasil penelitian dari Eropa, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat menunjukkan secara jelas peningkatan risiko SIDS pada bayi yang tidur pada posisi telungkup, sehingga American Academy of Pediatrics menyarankan untuk menempatkan bayi sehat pada punggungnya ketika membaringkan bayi untuk tidur. Gerakan "punggung untuk tidur" ini menghasilkan penurunan bermakna dari kematian terkait-SIDS sejak dimulai pada tahun 1994.



Tabel 6-8 Faktor Terkait dengan Sindrom Kematian Bayi (SIDS)



Parental Usia maternal muda (lebih muda dari 20tahun) Ibu merokok selama kehamilan Penggunaan salah obat pada salah satu orngtua-secara khas, marijuana paternal dan opiat/kokain maternal Jarak intergestasional pendek Pengawasan prental lambat atau tidak ada Kelompok sosioekonomi rendah Golongan etnis America Africa dan India America (? Faktor sosio-ekonomik)



Bayi Abnormalitas batang otak yang terkait dengan cacat perangsangan dan pengendalian kardiorespirasi Prematuritas dan/atau berat badan rendah Kelamin pria Produk dari kelahiran multipel SIDS pada ''sibling'' yang lebih dahulu lahir Infeksi respirasi sebelumnya Polimorfisme galur benih pada gen sistem saraf autonomi



Lingkungan Posisi tidur telungkup Tidur pada permukaan yang lunak Hiperterima Tidur dengan orangtua pada 3 bulan pertama kehidupan



Abnormalitas Postmortem yang Ditemukan pada Kasus Kematian Bayi Mendadak yang tidak Diharapkan* Infeksi Miokarditis virus Bronkopneumonia Anomali kongenital yang tidak diduga Stenosis aorta kongenital Anomali pangkal arteri koronaria kiri dari arteri pulmonal Trauma akibat kekerasan pada anak Sufokasi (tercekik) yang disengaja (felicide) Cacat genetik dan metabolit Sindrom QT memanjang (mutasi SCN5a dan KCNQ1) Kelainan oksidasi asam lemak (mutasi MCAD, LCHAD, SCHAD) Kardiomiopati histiositoid (mutasi MTCYB) Reaksi inflamasi abnormal (delesi parsial pada C4a dan C4b) * SIDS bukan penyebab satu-satunya dari kematian mendadak yang tidak diharapkan pada bayi; bila tidak, itu merupakan diagnosis eksklusif. Oleh karena itu, pelaksanaan autopsi mungkin menghasilkan penemuan yang dapat menerang-kan penyebab kematian mendadak yang tidak diharapkan. Kasus-kasus ini seharusnya tidak disebut SIDS. C4, complement component 4; KCNQ I, potassium voltage-gated channel; LCHAD, long-chain 3-hydroxyacyl coenzyme A dehydrogenase; MCAD, mediumchain ocyl coenzyme A dehydrogenase; MTCYB, mitochondrial cytochrome b; SCHAD, short-chain 3-hydroxyacyl coenzyme A dehydrogenase; SCNSA, sodium channel, yoltagegated.



MORFOLOGI Penelitian anatomik pada penderita menghasilkan penemuan histologis yang tidak mantap. Petekie multipel merupakan penemuan paling lazim pada autopsi SIDS yang khas (pada sekitar 80% kasus; ini biasanya terdapat pada timus, visera dan pleura parietal, dan epikardium. Pada pemeriksaan makroskopik, paru biasanya mengalami bendungan, dan sumbatan vaskular dengan atau tanpa edema paru yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan mikroskopik pada sebagian besar kasus. Penelitian morfometri yang rumit menghasilkan abnormalitas batang otak secara kwantitatif seperti hiperplasia nucleus arcuatus atau penurunan sedang dari populasi neuron batang otak pada beberapa kasus; namun observasi ini tidak uniform, dan penggunaan cara ini tidak dapat diterapkan pada prosedur autopsi yang rutin.



Perlu dicatat, bahwa SIDS bukan satu-satunya penyebab kematian mendadak yang tidak diharapkan pada masa bayi. Ternyata, SIDS adalah diagnosis ekslusif, yang memerlukan pemeriksaan hati-hati dari cara kematian, dan pemeriksaan postmortem yang lengkap. Yang tersebut kemudian dapat mengungkapkan penyebab kematian mendadak sebanyak 20% atau lebih dari bayi-bayi yang dianggap meninggal karena SIDS (Tabel 6-8). Infeksi (contoh miokarditis virus, bronkopneumonia) adalah penyebab paling lazim dari kematian mendadak yang "tidak diharapkan", diikuti oleh anomali kongenital yang tidak diduga. Sebagai hasil kemajuan diagnosis molekuler, beberapa penyebab genetik dari kematian mendadak yang "tidak diharapkan" pada bayi telah diungkapkan.



254



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Misalnya, kelainan oksidatif asam lemak, yang ditandai defisiensi enzim oksidatif asam lemak mitokondria, mungkin terjadi pada sebanyak 5% dari kematian mendadak pada masa bayi; di antaranya cacat dari rantai medium acyl-coenzyme A dehydrogenase adalah yang paling lazim. Analisis retrospektif pada kasus kematian bayi mendadak yang semula disebut SIDS juga menghasilkan mutasi dari kanal natrium dan kalium jantung, yang menyebabkan suatu bentuk aritmia jantung yang ditandai dengan perpanjangan interval QT; kasus-kasus ini meliputi tidak lebih dari 1% kematian karena SIDS. SIDS pada bayi yang terdahulu berhubungan dengan lima kali risiko relatif kekambuhan; pada keadaan ini kelainan akibat trauma pada anak harus disingkirkan secara hati-hati.



Tabel 6-9 Penyebab Utama dari Hidrops Janin*



Kardiovaskular Malformasi T akiaritmia Kegagalan high-output



Kromosomal Sindrom Turner Trisom 21, trisomi 18



Toraks Malformasi adenomatoid kistik Hernia diafragma



Anemia Janin



RINGKASAN Sindrom Kematian Bayi Mendadak • SIDS adalah kelainan dengan penyebab yang tidak diketahui, dan ditetapkan sebagai kematian mendadak dari bayi yang lebih muda dari 1 tahun yang masih tidak dapat dijelaskan walaupun setelah penelitian kasus yang cermat termasuk dengan melakukan autopsi. Sebagian besar kematian SIDS terjadi antara usia 2 dan 4 bulan. • Dasar yang paling mungkin untuk SIDS adalah keterlambatan perkembangan pada refleks perangsangan dan pengendalian kardiorespirasi. • Banyak faktor risiko telah diusulkan, yang menyatakan posisi tidur telungkup adalah yang paling diakui-sehingga keberhasilan program "punggung untuk tidur" diakui telah mengurangi insidens SIDS.



HIDROPS JANIN (FETAL HYDROPS) Hidrops janin (fetal) menggambarkan akumulasi cairan edema pada janin selama pertumbuhan di dalam uterus. Penyebab hidrops janin banyak; yang paling penting dicantumkan pada Tabel 6-9. Pada waktu lampau, anemia hemolitik yang disebabkan oleh ketidakcocokan golongan darah Rh Antara ibu dan janin (hidrops imun) adalah penyebab yang lazim, tetapi dengan profilaksis yang berhasil untuk kelainan ini selama kehamilan, penyebab hidrops non-imun timbul sebagai kendala utama. Perlu dicatat, akumulasi cairan intrauteri dapat sangat beragam, berbeda dalam derajat dari edema umum yang progresif dari janin (hidrops janin), suatu keadaan yang biasanya letal, sampai yang lebih terbatas dan proses pembengkakan kurang jelas, seperti efusi pleura dan peritoneum yang terbatas atau koleksi cairan postnukal (higroma kistik), yang seringkali tidak membahayakan kehidupan (Gambar 6-27). Mekanisme hidrops imun dibicarakan pertama kali, diikuti oleh penyebab-penyebab penting yang lain dari fetal hidrops.



Hidrops Imun Hidrops imun akibat dari penyakit hemolitik pada anak baru lahir yang diinduksi antibodi disebabkan oleh ketidakcocokan golongan darah antara ibu dan janin. Ketidakcocokan semacam itu terjadi hanya apabila fetus mewarisi penentu-antigen (antigenic determinant) sel darah merah dari bapak yang bersifat asing terhadap ibu. Antigen yang paling lazim yang menyebabkan hemolisis bermakna secara klinis adalah antigen Rh dan antigen golongan darah ABO.



Thalasemia- α homozigus Parvovirus B19 Hidrops imun (Rh dan ABO)



Gestasi Kembar Transfusi kembar-ke-kembar



Infeksi (kecuali parvovirus) Infeksi sitomegalovirus Sifilis Toksoplasmosis



Malformasi saluran genitourinari Tumor Kelainan genetik/metabolit * Penyebab hidrops janin mungkin"rdopatik" pada sebanyak 20% kasus. Dimodifikasi dari Machin GA: Hydrops, cystic hygroma, hydrothorax, pericardial effusions, and fetal ascftes.ln Gilbert-Bames E (ed):Potter's pathology of fetus and infant. St. Louis, Mosby, 1997.



Sel darah merah janin dapat mencapai sirkulasi maternal selama trimester akhir kehamilan, ketika sitotrofoblas tidak ada lagi sebagai penyangga (barrier), atau selama kelahiran anak sendiri (perdarahan fetomaternal). Ibu kemudian menjadi terangsang terhadap antigen asing dan memproduksi antibodi yang dapat bebas menerobos plasenta ke dalam janin, dan di tempat itu mereka menyebabkan destruksi sel darah merah. Dengan diawali dari hemolisis imun, terjadi anemia progresif pada janin yang menyebabkan iskemia jaringan, kegagalan jantung intrauteri, dan pengumpulan cairan (edema). Seperti dibahas kemudian, kegagalan jantung mungkin juga merupakan jalur akhir terjadinya edema pada banyak kasus dari hidrops nonimun. Beberapa faktor yang memengaruhi reaksi imun terhadap sel darah merah Rh-positif yang mencapai sirkulasi maternal: • Ketidakcocokan ABO yang terjadi bersamaan melindungi ibu terhadap imunisasi Rh, karena sel darah merah janin cepat dilapisi oleh isohemaglutinin (antibodi anti-A atau anti-B yang dibentuk sebelumnya) dan disingkirkan dari sirkulasi maternal. • Reaksi antibodi bergantung kepada dosis antigen yang mengimunisasi, sehingga penyakit hemolitik hanya berkembang jika ibu pernah mengalami perdarahan transplasenta yang bermakna (lebih dari 1 mL sel darah merah Rh-positif). • Isotipe dari antibodi adalah penting, karena antibodi imunoglobulin G (IgG) (tetapi tidak IgM) dapat menerobos plasenta. Pajanan permulaan terhadap antigen Rh menimbulkan pembentukan antibodi IgM, sehingga penyakit Rh sangat tidak lazim ditemukan pada kehamilan pertama.



Hidrops Janin (Fetal Hydrops) 225



A



B



Gambar 6-27 Hidrops fetal. A, Akumulasi cairan menyeluruh di dalam janin. B, Akumulasi cairan khususnya menonjol di jaringan lunak dari leher. Keadaan ini disebut higroma kistik. Higroma kistik dapat dilihat dengan ciri-ciri khas, tetapi tidak terbatas pada, anomali kromosom konstitusional seperti kariotipe 45,X. (Penghargaan kepada Dr. Beverly Rogers, Department of Pothology, Universay of Texas Southwestem Medical Center, Dallas, Texas)



Pajanan berikutnya selama kehamilan kedua atau ketiga umumnya menyebabkan reaksi IgG yang meningkat tajam. Apresiasi terhadap peranan sensitisasi sebelumnya pada patogenesis penyakit hemolitik-Rh pada anak baru lahir telah menghasilkan cara pengendaliannya untuk keperluan terapi. Sekarang, ibu-ibu Rh-negatif diberi suntikan globulin anti-D segera setelah kelahiran bayi Rhpositif. Antibodi anti-D menutupi tempat-tempat yang bersifat antigen pada sel darah merah, yang mungkin telah memasuki dalam sirkulasi maternal selama kelahiran bayi, sehingga mencegah sensitisasi yang berlangsung lama terhadap antigen Rh. Sebagai hasil dari keberhasilan yang mencolok yang dicapai dalam pencegahan hemolisis Rh, maka ketidakcocokan ABO fetomaternal akhir-akhir ini adalah penyebab paling lazim dari penyakit hemolitik imun dari bayi baru lahir. Walaupun ketidakcocokan ABO terjadi pada sekitar 20% sampai 25% kehamilan, hemolisis hanya berkembang pada sebagian kecil dari bayi yang dilahirkan berikutnya, dan pada umumnya penyakitnya lebih ringan daripada ketidakcocokan Rh. Penyakit hemolitik ABO terjadi hampir selalu (eksklusif) pada bayi dari golongan darah A atau B yang dilahirkan oleh ibu dengan golongan darah O. Isohemaglutinin anti-A dan anti-B yang normal pada ibu golongan O biasanya jenis IgM, oleh karena itu tidak menerobos plasenta. Walaupun demikian, untuk alasan yang tidak diketahui, wanita golongan O tertentu mempunyai antibodi IgG terhadap antigen golongan A atau B (atau kedua-duanya) bahkan tanpa sensitisasi sebelumnya. Oleh karena itu, bayi yang pertama lahir mungkin terkena. Untunglah, bahkan dengan antibodi yang didapat secara transplasenta, lisis dari sel darah merah bayi hanya minimal. Tidak ada cara yang efektif untuk mencegah penyakit hemolitik akibat ketidakcocokan ABO.



Hidrops Non-Imun Penyebab utama hidrops non-imun termasuk kelainan yang berkaitan dengan cacat kardiovaskular, anomali kromosom, dan anemia janin. Baik cacat kardiovaskular maupun abnormalitas fungsi (contoh aritmia) dapat menyebabkan kegagalan jantung intrauteri dan hidrops. Di antara anomali kromosom, kariotipe 45,X (sindrom Turner) dan trisomi 21 dan 18 berhubungan dengan hidrops; dasar untuk kelainan ini biasanya adalah adanya anomali struktur jantung yang mendasari, walaupun pada sindrom Turner mungkin terdapat abnormalitas aliran limfe dari leher yang menyebabkan akumulasi cairan postnukal (yang menyebabkan higroma kistik). Anemia janin karena penyebab lain dari ketidakcocokan Rh atau ABO juga dapat menyebabkan hidrops. Ternyata, pada beberapa bagian dunia (contoh Asia Tenggara), anemia janin parah yang disebabkan oleh homozygous α-thalassemia mungkin merupakan penyebab paling lazim dari hidrops janin. Infeksi transplasenta oleh parvovirus B19 lebih banyak dikenal sebagai penyebab penting dari hidrops janin. Virus dapat masuk ke dalam prekursor eritroid (normoblas), tempat mereka mengalami replikasi. Cedera sel yang terjadi menyebabkan kematian normoblas dan anemia aplastik. Inklusi intranuldeus parvovirus dapat dilihat di dalam prekursor eritroid yang beredar dan di sumsum tulang (Gambar 6-28). Dasar hidrops janin pada anemia imun dan non-imun adalah iskemia jaringan dengan disfungsi miokardium sekunder dan kegagalan sirkulasi.



256



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Gambar 6-28 Sumsum tulang dari bayi yang terinfeksi parvovirus B19. Tanda panah menunjukkan dua prekursor eritroid dengan inklusi intra nukleus yang homogen dan kelim sisa kromatin yang mengelilingi di sebelah luar.



Gambar 6-29 Banyak pulau-pulau hematopoiesis ekstramedula (sel biru kecil) tersebar di antara hepatosit pada sediaan histologis ini yang berasal dari seorang bayi dengan hidrops fetal non-imun.



Perjalanan Klinis Sebagai tambahan, kegagalan hati sekunder dapat terjadi, dengan kehilangan fungsi sintetik disertai hipoalbuminemia, penurunan tekanan osmotik plasma dan edema.



MORFOLOGI Penemuan anatomik pada janin dengan akumulasi cairan intrauteri beragam baik karena keparahan penyakit maupun kelainan etiologik yang mendasarinya. Seperti yang sebelumnya sudah diperhatikan, hidrops fetalis menggambarkan manifestasi yang paling parah dan menyeluruh (Gambar 6-27), serta edema derajat rendah, seperti koleksi cairan yang terbatas pada pleura, peritoneum dan postnukal dapat terjadi. Selayaknya, bayi masih dapat lahir-hidup (stillbom), dan meninggal dalam beberapa hari pertama, atau pulih sama sekali. Adanya perangai dismorfik, mengesankan abnormalitas kromosom konstitusional yang mendasari; pemeriksaan postmortem mungkin menemukan anomali jantung. Pada hidrops yang terkait anemia janin, baik janin maupun plasenta, tampak khas pucat; pada sebagian besar kasus hati dan limpa membesar, sebagai konsekuensi gagal jantung dan kongesti. Sebagai tambahan, sumsum tulang menunjukkan hiperplasia kompensatoar dari prekursor eritroid (anemia aplastik yang terkait parvovirus merupakan perkecualian yang perlu diperhatikan), dan hemopoiesis ekstramedula terdapat pada hati, limpa, mungkin juga jaringan lain, seperti ginjal, paru, kelenjar getah bening, dan bahkan jantung. Peningkatan aktivitas hematopoiesis berkaitan dengan terdapatnya normoblas dalam jumlah besar pada peredaran darah perifer, dan bahkan eritroblas yang lebih tidak matang (eritroblastosis fetalis) (Gambar 6-29). Terdapatnya hemolisis pada ketidakcocokan Rh atau ABO berkaitan dengan komplikasi tambahan akibat peningkatan bilirubin yang beredar yang berasal dari pemecahan sel darah merah. SSP mungkin mengalami kerusakan apabila hiperbitirubinemia mencolok (biasanya di atas 20 mg/dL pada bayi fullterm, tetapi sering kurang pada bayi prematur). Bilirubin yang tidak terkonjugasi yang beredar diserap oleh jaringan otak, yang menyebabkan pengaruh toksik. Ganglion basal dan batang otak cenderung mengalami pengendapan pigmen bilirubin, yang menyebabkan warna kuning khas pada parenkim (kemicterus) (Gambar 6-30).



Pengenalan dini dari akumulasi cairan intrauterin diharuskan, karena bahkan kasus yang parah kadang-kadang dapat diselamatkan dengan terapi yang ada sekarang. Hidrops janin yang diakibatkan ketidakcocokan Rh dapat sedikit banyak diramalkan secara cermat, karena keparahan berkorelasi dengan peningkatan yang cepat dari titer antibodi terhadap Rh pada ibu selama kehamilan. Cairan amnion yang diperoleh melalui amniosentesis mungkin menunjukkan kadar tinggi dari bilirubin. Uji anti-globulin manusia (uji Coombs) (Bab 11) menggunakan darah tali pusat janin menunjukkan hasil positif jika sel darah merah telah dilapisi oleh antibodi maternal. Transfusi pertukaran antenatal adalah bentuk terapi yang efektif. Pada waktu postnatal, fototerapi menolong, karena cahaya yang terlihat mengubah bilirubin menjadi dipirol yang siap untuk diekskresikan. Seperti yang telah dibahas, pada sebagian



Gambar 6-30 Kernikterus. Hiperbilirubinemia berat pada masa neonatus— misalnya, sekunder setelah hidrolisis imun–menyebabkan pengendapan pigmen bilirubin (tanda panah) pada parenkim otak. Ini terjadi karena sawar darah-otak (blood-brain barrier) kurang berkembang pada masa neonatus dibandingkan dengan pada masa dewasa. Bayi-bayi yang bertahan hidup mengalami gejala sisa (sequelae) neurologik.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak besar kasus pemberian globulin anti-D kepada ibu dapat mencegah terjadinya hidrops imun pada kehamilan berikutnya. Penyakit hemolitik golongan ABO lebih sulit untuk diramalkan tapi mudah diantisipasi dengan kesadaran tentang ketidakcocokan antara ibu dan ayah dan dengan penentuan hemoglobin dan bilirubin pada bayi baru lahir yang rentan. Pada kasus fatal dari hidrops janin, pemeriksaan postmortem yang menyeluruh dianjurkan untuk menentukan penyebab dan menyingkirkan penyebab kekambuhan yang potensial seperti abnormalitas kromosom.



RINGKASAN Hidrops Janin • • •



• •



Hidrops janin menggambarkan akumulasi cairan edema pada janin selama pertumbuhan intrauterus. Derajat akumulasi cairan beragam, dari hidrops janin yang menyeluruh sampai higroma kistik yang terbatas. Penyebab yang paling lazim dari hidrops janin adalah yang bersifat non-imun (kromosom abnormal, cacat kardiovaskular, dan anemia janin), sedangkan hidrops imun telah menjadi berkurang sebagai hasil profilaksis dengan antibodi Rh. Erythroblastosis fetalis (karena prekursor eritroid yang tidak matang di dalam sirkulasi) adalah penemuan khas dari hidrops yang terkait anemia janin. Hiperbilirubinemia yang diinduksi hemolisis dapat menyebabkan kernikterus pada ganglion basal dan batang otak, terutama pada bayi prematur.



257



Hamartoma, limfangioma, rabdomioma dari jantung, dan dari hati dipikirkan oleh beberapa peneliti sebagai hamartoma dan oleh yang lain sebagai neoplasma murni.



Tumor Jinak Hampir tiap tumor mungkin ditemukan pada kelompok umur anak, tetapi tiga—hemangioma, limfangioma, dan teratoma sakrokoksigeal — perlu disebut khusus di sini karena mereka lazim terjadi pada anakanak. Hemangioma adalah tumor yang paling lazim pada masa bayi. Baik hemangioma kavernosum maupun kapiler mungkin ditemukan (Bab 9), walaupun yang kedua sering lebih bersifat seluler dari-pada dewasa dan mungkin berpenampilan mencemaskan. Pada anak, sebagian besar hemangioma terletak pada kulit, terutama pada wajah dan kulit kepala, yang membentuk massa datar sampai menonjol, tidak teratur, berwarna merah-biru; lesi yang datar dan lebih besar disebut sebagai port wine stains. Hemangioma mungkin membesar ketika anak bertambah tua, tetapi pada banyak kejadian tumor ini mengalami regresi spontan (Gambar 6-31). Sebagian besar hemangioma superfisial tidak lebih bermakna kecuali kosmetik; jarang terjadi, dan mungkin merupakan manifestasi kelainan herediter yang terkait penyakit dalam organ dalam, sindrom von Hippel-Lindau dan SturgeWeber (Bab 9)



LESI TUMOR DAN LESI MIRIP TUMOR DARI BAYI DAN ANAK Neoplasma ganas merupakan penyebab kematian paling lazim pada anak antara usia 4 dan 14 tahun; angka kematian tertinggi karena kecelakaan. Tumor jinak bahkan lebih lazim daripada kanker. Sulit untuk memisahkan, tumor murni dari lesi menyerupai tumor pada bayi dan anak atas dasar morfologik. Dalam konteks ini, dua kategori khusus dari lesi menyerupai tumor harus dikenal:



A



• Heterotopia atau koristoma menggambarkan sel-sel normal secara mikroskopik atau jaringan yang terdapat pada lokasi abnormal. Contohnya adalah "sisa" jaringan pankreas yang ditemukan pada dinding lambung atau usus kecil dan massa kecil adrenal yang ditemukan di ginjal, paru, ovarium atau ditempat lain. Sisa heterotopia biasanya secara klinis bermakna kecil, tetapi berdasarkan penampilannya mungkin diduga sebagai neoplasma. • Hamartoma menggambarkan pertumbuhan pesat yang berlebihan tetapi bersifat fokal dari sel atau jaringan asli dari organ tempat terjadinya. Walaupun unsur selnya matang dan identik dengan selsel lain dari organ terkait, tetapi tidak membuat arsitektur normal dari jaringan sekitarnya. Hamartoma dapat dipikirkan sebagai suatu kaitan antara malformasi dan neoplasma. Garis demarkasi antara hamartoma dan neoplasma jinak seringkali tidak tegas, dan diinterpretasikan beragam.



B Gambar 6-31 Hemangioma kapiler kongenital pada saat lahir (A) dan pada usia 2 tahun (B) setelah lesi mengalami regresi spontan. (Penghargaan kepada Dr. Eduardo Yunis, Children's Hospital of Pittsburgh, Pittsburgh, Pennsylvania.)



258



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Suatu subset hemangioma kavernosum SSP dapat terjadi dalam pola familial; keluarga yang terkena mengalami mutasi satu dari tiga gen cerebral cavernous malformation (CCM). Limfangioma menggambarkan padanan limfatik dari hemangioma. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan rongga kistik dan kavernosum yang dilapisi sel endotel dan dikelilingi oleh agregat limfoid; rongga tersebut biasanya mengandungi cairan pucat. Tumor ini terjadi pada kulit tetapi, lebih penting, juga ditemukan pada daerah yang lebih dalam dari leher, aksila, mediastimum, retroperitoneum. Walaupun secara histologis jinak, tumor ini bisa membesar setelah lahir, dan mungkin mengelilingi struktur mediastinum atau sabut saraf di aksila. Teratoma sakrokoksigeal adalah tumor sel benih yang paling lazim pada masa anak-anak, meliputi 40% kasus atau lebih (Gambar 6-32). Berhubung terjadinya mekanisme yang tumpang-tindih antara teratogenesis dan onkogenesis, sangat menarik bahwa sekitar 10% dari teratoma sakrokoksigeal berkaitan dengan anomali kongenital, terutama cacat dari daerah usus belakang dan kloaka, serta cacat garis-tengah lain (contoh meningokel dan spina bifida), tidak dianggap pengaruh lokal dari tumor. Sekitar 75% dari tumor-tumor ini, secara histologis matang, dengan perjalanan klinis jinak, dan sekitar 12% jelas ganas dan letal (Bab 17). Sisanya, dikenal sebagai teratoma imatur (tidak matang), dan potensi ganasnya berhubungan dengan jumlah unsur jaringan imatur yang ada. Sebagian besar teratoma jinak ditemukan pada bayi yang lebih muda (usia 4 bulan atau lebih muda), sedangkan anak dengan lesi ganas cenderung berusia agak lebih tua.



Tabel 6-10 Neoplasma Ganas yang Lazim pada Masa Bayi dan Anak



Usia 0-4 tahun



Usia 5-9 Tahun



Usia 10-14 Tahun



Leukemia Retinoblastoma Neuroblastoma Tumor Wilms Hepatoblastoma Sarkoma jaringan lunak (terutama rabdomiosarkoma) Teratoma Tumor SSP



Leukemia Retinoblastoma Neuroblastoma Karsinoma Hepatoselurel Sarkoma jaringan Lunak Tumor Ewing Tumor SSP Limfoma



Karsinoma Hepatoseluler Sarkoma jaringan lunak Sarkoma osteogenik Karsinoma tiroid Penyakit Hodgkin



SSP, sistem saraf pusat.



Perbedaan utama adalah sebagai berikut: • Sering menunjukkan hubungan yang relatif dekat antara perkembangan abnormal (teratogenesis) dan induksi tumor (onkogenesis). • Prevalensi untuk abnormalitas genetik konstitusional atau sindrom yang menjadi predisposisi untuk kanker. • Kecenderungan keganasan pada janin dan neonatus untuk mengalami regresi spontan atau "diferensiasi" menjadi unsur-unsur yang matang. • Perbaikan daya tahan hidup atau penyembuhan banyak tumor pada masa anak-anak, sehingga sekarang diberikan perhatian lebih untuk memperkecil pengaruh buruk yang terjadi pada pemberian kemoterapi dan radioterapi pada kelompok yang bertahan hidup, termasuk perkembangan keganasan sekunder



Tumor Ganas Sistem organ yang paling lazim terlibat neoplasma ganas pada masa bayi dan anak-anak adalah sistem hematopoietik, jaringan saraf, dan jaringan lunak (Tabel 6-10). Distribusi ini sangat berbeda dengan yang terdapat pada orang dewasa, yaitu tumor paru, jantung, prostat dan kolon adalah bentuk yang paling lazim. Tumor ganas pada masa bayi dan anak-anak berbeda secara biologis dan histologis dari yang terdapat pada dewasa.



Banyak neoplasma ganas pediatrik secara histologis bersifat unik. Pada umumnya, tumor-tumor ini cenderung mempunyai komponen primitif (embrional) daripada penampilan pleiomorfik-anaplastik, dan seringkali mereka menampilkan perangai organo-genesis khas terhadap tempat asal tumor. Karena penampilan histologis yang primitif, banyak tumor anak yang secara kolektif disebut sebagai tumor sel kecil, bulat dan biru. Ini ditandai oleh lembaran sel dengan inti kecil dan bulat. Tumortumor dalam kategori ini termasuk neuroblastoma, limfoma, rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing (tumor neuroek-todermal perifer), dan beberapa tumor Wilms. Berbagai perangai yang dapat dibedakan biasanya ditemukan sehingga memungkinkan diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan histologis saja, tetapi apabila perlu, ditambahkan dengan penemuan klinis dan radiografik, digabung dengan penelitian tambahan (contoh analisis kromosom, pewarnaan imunoperoksidase, mikroskop elektron). Tiga tumor yang lazim-neuroblastoma, retinoblastoma dan tumor Wilms-diuraikan di sini untuk menegaskan perbedaan antara tumor-tumor pediatrik dan yang terdapat pada dewasa.



Neuroblastoma



Gambar 6-32 Teratoma sakrokoksigeal. Perhatikan ukuran lesi dibandingkan dengan besarnya bayi.



Istilah neuroblatik termasuk tumor-tumor dari ganglion simpatik dan medula adrenal yang berasal dari sel primordial neural crest yang menempati daerah ini; neuroblastoma adalah anggota paling penting dari kelompok ini. Tumor ini adalah keganasan padat kedua yang paling lazim pada anak, setelah tumor otak, meliputi 7% sampai 10% dari semua neoplasma pediatrik, dan sebanyak 50% dari keganasan yang didiagnosis pada masa bayi. Neuroblastoma menunjukkan beberapa perangai unik pada riwayat penyakitnya, termasuk regresi spontan dan maturasi yang diinduksi terapi.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak



259



Sebagian besar terjadi sporadik, tetapi 1% sampai 2% adalah familial, dengan transmisi dominan autosom, dan pada kasus semacam itu neoplasma mengenai kedua adrenal atau banyak tempat autonom primer. Mutasi galur-benih (germ-line) pada gen anaplastic lymphoma kinase (ALK) akhir-akhir ini ditetapkan sebagai penyebab utama predisposisi familial dari neuroblastoma. Mutasi somatik jenis dari ALK juga diteliti pada subset neuroblastoma jenis sporadik. Dapat dipertimbangkan bahwa neuroblastoma yang mengandungi baik mutasi ALK jenis galur-benih atau jenis somatik dapat diobati dengan menggunakan obat yang ditujukan terhadap aktivitas enzim kinase terkait.



MORFOLOGI Pada masa anak-anak, sekitar 49% neuroblastoma timbul di medula adrenal. Sisanya terjadi di mana saja sepanjang rantai simpatik, dengan tempat yang paling lazim adalah regio paravertebral dari abdomen (25%) dan mediastinum posterior (15%). Secara makroskopik, neuroblastoma berukuran beragam dari nodul yang sangat kecil (lesi in situ) sampai massa besar dengan berat lebih dari 1 kg. Neuroblastoma in situ dilaporkan 40 kali lebih sering daripada tumor yang mudah dideteksi. Hal yang sangat mengesankan dari lesi yang bersifat 'silent' ini adalah regresi spontan, meninggalkan bekas hanya berupa fokus fibrosis atau kalsifikasi pada orang dewasa. Beberapa neuroblastoma dibatasi secara tegas oleh pseudokapsul fibrosa, tetapi yang lain jauh lebih infiltratif dan menginfiltrasi stuktur sekitarnya. Termasuk ginjal, vena renalis dan vena kava, serta selubung aorta. Pada transeksi, tumor tersusun dari jaringan lunak, abu-abu kecoklatan menyerupai otak. Tumor yang lebih besar mempunyai area nekrosis, lembek bersifat kistik, dan perdarahan. Secara histologis, neuroblastoma klasik tersusun dari sel kecil, tampak primitif, dengan inti gelap, sitoplasma sedikit, dan batas sel tidak jelas tumbuh dalam lembaran-lembaran padat (Gambar 6-33, A). Aktivitas mitosis, kerusakan inti ("karyorexis") dan polimorfisme mungkin menonjol. Latar belakang sering-kali menunjukkan materi fibrilar eosinofilik lemah (neutrofil) yang sesuai dengan proses neuritik dari neuroblas primitif. Secara khas, apa yang disebut Homer-Wright pseudo-rosettes dapat ditemukan, yaitu sel tumor tersusun konsentrik di sekitar rongga ditengah yang diisi oleh neutrofil (tidak adanya lumen sentral mendasari sebutan "pseudo"). Perangai lain yang menolong adalah deteksi imunokimiawi dari neuron-specific enolase dan penemuan pada penelitian ultrastruktur yaitu granula bersekresi yang kecil, terikat pada membran, yang berisi katekolamin sitoplasmik. Beberapa neoplasma menunjukkan tanda maturasi, apakah spontan atau terinduksi terapi. Sel yang lebih besar mempunyai sitoplasma lebih banyak, dengan inti vesikular, dan nukleolus yang mencolok, yang merupakan sel ganglion pada berbagai tahap maturasi, mungkin ditemukan pada tumor yang tercampur dengan neuroblas primitif (ganglioneuroblastoma). Bahkan lesi yang berdiferensiasi lebih baik berisi lebih banyak sel besar menyerupai sel ganglion matang tanpa sisa neuroblas; neoplasma semacam ini layak disebut ganglioneuroma (Gambar 6-33, B). Maturasi neuroblas menjadi sel ganglion biasanya disertai tampilnya sel Schwann.



A



B Gambar 6-33 A, Neuroblastoma. Tumor ini tersusun dari sel-sel kecil yang tumbuh di dalam matriks fibril halus (neutrofil). Suatu pseudo-rosette HomerWright (sel tumor tersusun konsentrik di sekitar teras sentral dari neutrofil) terlihat disudut kanan atas. B, Ganglioneuroma, yang tumbuh dari maturasi spontan atau akibat terapi dari neuroblastoma, ditandai oleh kelompokan sel-sel besar dengan inti vesikular dan mengandungi banyak sitoplasma eosinofilik (tanda panah), yang menggambarkan sel ganglion neoplastik. Sel Schwann yang berbentuk kumparan terdapat di dalam stroma sebagai latar belakang.



Ternyata, adanya "stroma Schwann" yang tersusun dari proses neuritik, sel Schwann matur, dan fibroblas, adalah persyaratan histologis untuk penyebutan ganglio-neuroblastoma dan ganglioneuroma; sel-sel ganglion sendiri, baik yang ada maupun yang berasal dari tumor ini, tidak memenuhi kriteria untuk maturasi.



Perjalanan Klinis dan Prognosis



Banyak faktor yang memengaruhi prognosis, tetapi yang paling penting adalah stadium tumor dan usia penderita. • Penetapan stadium neuroblastoma (Tabel 6-11) merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan prognosis. Perhatian khusus harus diberikan pada stadium 4S (S berarti special), karena penampilan luar penderita baik sekali, walaupun penyakit telah menyebar. Seperti dicantumkan pada Tabel 6-11, tumor primer terklasifikasi sebagai stadium 1 atau 2 tetapi karena adanya metastasis, yang terbatas pada hati, kulit dan sumsum tulang, tanpa terkenanya tulang. Bayi dengan tumor 4S mempunyai prognosis baik sekali dengan terapi minimal, dan tidak jarang tumor primer atau metastatik mengalami regresi spontan. Dasar biologis dari perilaku menggembirakan ini tidak jelas.



260



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Tabel 6-11 Penetapan Stadium pada Neuroblastoma Stadium 1



Tumor setempat dapat dieksisi lengkap, dengan atau tanpa sisa penyakit mikroskopik; kelenjar getah bening ipsilateral, yang representatif, yang tidak melekat, negatif untuk tumor (kelenjar yang melekat pada tumor primer mungkin positif untuk tumor)



Stadium 2A



Tumor setempat yang direseksi tidak lengkap secara makroskopik; kelenjar getah bening ipsilateral yang representatif dan tidak melekat, negatif untuk tumor secara mikroskopik



Stadium 2B



Tumor setempat dengan atau tanpa eksisi lengkap secara makroskopik, kelenjar getah bening ipsilateral positif untuk tumor; kelenjar getah bening kontralateral membesar, yang negatif untuk tumor secara mikroskopik.



Stadium 3



Tumor unilateral yang tidak dapat direseksi yang menyebuk menerobos garis tengah dengan atau tanpa terjangkitnya kelenjar getah bening regional; atau tumor setempat unilateral dengan terjangkitnya kelenjar getah bening kontralateral.



Stadium 4



Tumor primer apa pun dengan penyebaran ke kelenjar getah bening yang jauh, tulang, sumsum tulang, hati, kulit, dan/atau organ lain (kecuali seperti ditetapkan untuk stadium 4S).



Stadium 4S*



Tumor primer setempat (seperti ditetapkan untuk stadium I, 2A, atau 2B) dengan penyebaran terbatas ke kulit, hati, dan/ atau sumsum tulang (10% terjangkitnya sumsum tulang dianggap sebagai stadium 4); stadium 4S terbatas untuk bayi yang lebih muda dari usia 1 tahun.



* S, special (khusus) Disadur dari Brodeur GM, Pritchard J, Berthold F, et al: Revisions of the international neuroblastoma diagnosis, staging, and response to treatment. J Clin Oncol I I :1 466, 1993



• Usia adalah faktor penting lain dari hasil pengobatan, dan tampilan luar penderita yang lebih muda dari 18 bulan lebih baik daripada yang lebih tua pada stadium penyakit yang dapat dibandingkan. Sebagian besar neoplasma yang didiagnosis pada anak selama 18 bulan pertama kehidupan adalah stadium 1 atau 2, atau stadium 4S (kategori risiko "rendah" pada Tabel 6-11), sedangkan neoplasma pada anak yang lebih besar termasuk kategori risiko menengah" (intermediate) atau "tinggi". • Morfologi adalah variabel prognostik yang tidak bergantung (independent) pada tumor neuroblastik, adanya stroma Schwann dan diferensiasi gangliositik merupakan indikasi pola histologis yang menguntungkan. • Amplifikasi onkogen NMYC pada neuroblastoma adalah kejadian molekuler yang mempunyai dampak kuat pada prognosis. Amplifiksi NMYC terdapat pada 25% sampai 30% dari tumor primer, sebagian besar pada stadium lanjut; lebih banyak jumlah kopi lebih buruk prognosisnya. Amplifikasi NMYC sekarang merupakan abnormalitas genetik paling penting yang digunakan untuk stratifikasi risiko tumor-tumor neuroblastik, dan langsung dipakai untuk penetapan suatu tumor golongan risiko "tinggi", tidak bergantung kepada stadium dan usia. • Delesi bagian distal lengan pendek kromosom 1, penambahan bagian distal lengan panjang kromosom 17, dan overekspresi telomerase semua adalah faktor prognosis buruk, sedangkan ekspresi TrkA, suatu reseptor dengan afinitas tinggi untuk faktor pertumbuhan saraf yang merupakan indikasi diferensiasi kearah galur ganglion simpatik, berhubungan dengan prognosis yang menguntungkan.



Anak di bawah usia dua tahun dengan neuroblastoma umumnya datang dengan abdomen menonjol akibat massa abdominal, demam, dan kehilangan berat badan. Pada anak yang lebih tua, neuroblastoma tetap tidak dapat dilihat jelas sampai metastasis yang menyebabkan hepatomegali, asites dan nyeri tulang. Neuroblastoma mungkin bermetastasis luas meliputi sistem hematogen dan limfatik, terutama hati, paru, tulang dan sumsum tulang. Pada neonatus, penyakit yang menyebar bermanifestasi sebagai metastasis pada kulit disertai kelainan berwarna biru-gelap (sesuai dengan julukan yang tidak menguntungkan "blueberry muffin baby"). Seperti telah disebutkan, banyak variabel dapat memengaruhi prognosis neuroblastoma, tetapi sebagai pedoman umum, stadium dan umur merupakan determinan paling penting. Tumor dari semua stadium yang didiagnosis pada 18 bulan pertama kehidupan, demikian juga tumor dengan stadium rendah pada anak yang lebih tua mempunyai prognosis menguntungkan, sedangkan tumor berstadium tinggi pada anak lebih tua dari 18 bulan mempunyai prognosis paling buruk. Sekitar 90% neuroblastoma, tidak bergantung kepada lokasi, memproduksi katekolamin (mirip dengan katekolamin yang terkait feokromositoma), yang menunjukkan perangai diagnostik yang penting, (contoh peningkatan kadar katekolamin dalam darah dan peningkatan metabolit katekolamin dalam urin seperti vanillylmandelic acid [VMA] dan homovanillic acid [HVA]). Walaupun ada pengaruh katekolamin, namun hipertensi sangat jarang dijumpai pada neoplasma ini dibandingkan dengan feokromositoma (Bab 19).



RINGKASAN Neuroblastoma •



Neuroblastoma dan tumor terkait timbul dari sel yang berasal dari neural crest pada ganglion simpatik dan medula adrenal.







Neuroblastoma tidak berdiferensiasi, sedangkan ganglioneuroblastoma dan ganglionueroma menunjukkan bukti diferensiasi (stroma Schwann dan sel ganglion). Homer-Wright pseudo-rosettes khas pada neuroblastoma.







Usia, stadium, dan amplifikasi NMYC adalah faktor prognostik paling penting; anak yang lebih muda dari 18 bulan biasanya mempunyai prognosis lebih baik daripada anak yang lebih tua, sedangkan anak dengan tumor berstadium tinggi atau amplifikasi NMYC mempunyai prognosis cukup buruk.







Neuroblastoma mensekresikan katekolamin, yang metabolitnya (VMA/HVA) dapat digunakan untuk penapisan penderita.



Retinoblastoma Retinoblastoma adalah keganasan intraokular primer yang paling lazim pada anak. Genetik molekuler dari retinoblastoma telah dibahas sebelumnya (Bab 5). Sekitar 40% dari tumor berhubungan dengan mutasi galur benih (germline) pada gen RB1 dan oleh karena itu bersifat diwariskan. Sisa yang 60% dari tumor berkembang secara sporadik, dan ini mempunyai mutasi somatik gen RB1. Walaupun nama retinoblastoma mungkin mengesankan asal dari sel retina primitif yang mampu berdiferensiasi menjadi baik sel glia maupun sel neuron, sekarang jelas bahwa sel asal retinoblastoma adalah dari neuron. Seperti disebutkan sebelumnya, pada sekitar 40% kasus, retinoblastoma terjadi pada individu yang mewarisi mutasi galur benih dari satu alel RB. Kasus-kasus familial secara khas berhubungan dengan perkembangan tumor multipel yang bersifat bilateral, walaupun masih mungkin unifokal dan unilateral.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak Semua yang sporadik, adalah tumor yang tidak diwariskan, unilateral dan unifokal. Penderita retinoblastoma familial juga mempunyai risiko untuk memperoleh osteosarkoma dan tumor jaringan lunak lain.



MORFOLOGI Retinoblastoma cenderung membentuk massa nodular, biasanya pada retina posterior, seringkali dengan persemaian satelit (Gambar 6-34, A). Pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, area yang tidak berdiferensiasi dari tumor ditemukan tersusun oleh sel kecil, bulat dengan inti hiperkromatik dan sitoplasma sedikit, menyerupai retinoblas yang tidak berdiferensiasi. Struktur yang berdiferensiasi ditemukan dalam banyak retinoblastoma, yang paling khas adalah Flexner-Wintersteiner rosettes (Gambar 6-34, B). Struktur ini terdiri dari kumpulan sel kuboid atau kolumnar pendek teratur sekitar lumen sentral (berlawanan dengan pseudo-rosettes dari neuroblastoma, yang tidak mempunyai lumen sentral). Inti terdorong jauh dari lumen, yang pada mikroskop cahaya tampak mempunyai membran pembatas menyerupai membran pembatas luar dari retina. Sel tumor mungkin menyebar keluar mata melalui nervus optikus atau rongga subaraknoidal. Tempat paling lazim metastasis jauh adalah SSP, tulang-kepala, tulang distal dan kelenjar getah bening.



Gambaran Klinis Nilai tengah (median) dari usia pada presentasi adalah 2 tahun, walaupun tumor mungkin terdapat pada saat lahir. Penemuan pada presentasi termasuk penglihatan kabur, strabismus, warna keputihan pada pupil ("refleks mata kucing"), dan nyeri tekan pada mata. Tumor yang tidak diobati biasanya fatal, tetapi setelah pengobatan dini dengan enukleasi, kemoterapi, dan radioterapi, dapat bertahan hidup. Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian tumor mengalami regresi spontan, dan penderita dengan retinoblastoma familial berada pada risiko meningkat untuk perkembangan osteosarkoma



261



dan tumor jaringan lunak lain.



Tumor Wilms Tumor Wilms, atau nefroblastoma, adalah tumor primer ginjal yang paling lazim pada anak. Sebagian besar kasus terjadi pada anak usia antara 2 dan 5 tahun. Tumor ini menggambarkan konsep penting dari tumor pada masa anak-anak: hubungan antara malformasi kongenital dan peningkatan risiko tumor, kemiripan histologis antara tumor dan organ yang berkembang, dan akhirnya, keberhasilan yang mencolok pada pengobatan tumor pada anak-anak. Masing-masing konsep ini terbukti pada pembahasan berikut. Ada tiga kelompok malformasi kongenital yang berhubungan dengan peningkatan risiko perkembangan tumor Wilms. Dari penderita dengan sindrom WAGR (contoh Wilms tumor, aniridia, genital abnormalitas, dan mental retardasi), kira-kira satu dari tiga akan berlanjut dengan perkembangan tumor ini. Suatu kelompok lain, yang disebut Denys-Drash syndrome (DDS), juga mempunyai risiko yang sangat tinggi (sekitar 90%) untuk perkembangan tumor Wilms. Kedua keadaan ini berhubungan dengan abnormalitas gen tumor Wilms 1 (WT 1) yang terletak pada 11p13. Namun, mekanisme aberasi genetik berbeda: penderita dengan sindrom WAGR menunjukkan kehilangan materi genetik (contoh delesi) gen WT1, dan individu dengan DDS mengandungi mutasi yang bersifat negatif dominan dan menyebabkan inaktivasi pada bagian yang kritik dari gen ini (mutasi dominan negatif memengaruhi fungsi alel-wild-type yang tersisa). Gen WT1 bersifat kritik untuk perkembangan ginjal dan gonad; oleh karena itu, tidak mengejutkan, bahwa inaktivasi konstitusional pada satu kopi dari gen ini menyebabkan abnormalitas genitourinaria pada manusia. Suatu kelompok penderita ketiga, yang menderita BeckwithWiedemann syndrome (BWS), juga berada pada risiko yang meningkat untuk perkembangan tumor Wilms. Penderita ini menampilkan pembesaran organ tubuh individu (contoh, lidah, ginjal atau hati), atau seluruh segmen tubuh (hemihipertrofi); pembesaran sel korteks adrenal (adrenal sitomegali), adalah perangai mikroskopik yang khas



B



A



Gambar 6-34 Retinoblastoma. A, Tumor retina dengan kohesi yang buruk tampak mengenai saraf penglihatan. B, Pandangan dengan pembesaran lebih tinggi menunjukkan roset Flexner-Wintersteiner (tanda panah) dan banyak gambaran mitosis.



262



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



mikroskopik yang khas. BWS adalah suatu contoh kelainan genomic imprinting (lihat yang terdahulu). Lokus genetik yang terkena pada penderita ini adalah pita p15.5 dari kromosom 11 distal terhadap lokus WT1. Walaupun lokus ini disebut "WT2" untuk lokus tumor Wilms yang kedua, tetapi gen yang terkena belum ditetapkan. Regio ini mengandungi paling sedikit 10 gen, yang pada keadaan normal dipaparkan dari hanya satu dari dua alel parental, dengan inaktivasi (silencing) transkripsi dari homolog parental lainnya, akibat metilasi regio promotor, yang terletak di hulu dari tempat permulaan transkripsi. Dari semua kandidat gen "WT2", abnormalitas imprinting dari insulin-like growth factor-2 (IGF2) mempunyai hubungan paling kuat untuk predisposisi tumor pada individu dengan BWS. IGF2 pada keadaan normal dipaparkan hanya dari alel paternal, sedangkan alel maternal mengalami imprinting (contoh inaktif/ silenced) karena metilasi. Pada beberapa tumor Wilms, kehilangan imprinting (contoh re-expres dari IGF2 oleh alel maternal) dapat ditunjukkan, yang menyebabkan overekspresi dari protein IGF2, yang dianggap menghasilkan pembesaran organ dan tumorigenesis. Jadi, hubungan ini mengesankan bahwa pada beberapa kasus, malformasi kongenital dan tumor menggambarkan manifestasi terkait dari lesi genetik yang mengenai gen tunggal atau gen yang sangat berkaitan. Sebagai tambahan untuk tumor Wilms, penderita dengan BWS juga berada pada risiko meningkat unruk perkembangan hepatoblastoma, tumor adrenokortikal, rabdomiosarkoma, dan tumor pankreas. Akhir-akhir ini, mutasi jenis gain-offunction dari gen yang menyandi β-katenin (Bab 5) telah ditunjukkan pada sekitar 10% dari tumor Wilms yang sporadik.



MORFOLOGI Seperti terlihat pada pemeriksaan makroskopik, tumor Wilms secara khas adalah suatu massa besar, soliter, tegas terpisah, dan hanya 10% bilateral atau multisentrik pada waktu diagnosis. Pada potongan jaringan, tumor berkonsistensi lunak, homogen, dan berwarna kecoklatan sampai abu-abu, disertai fokus hemoragik dibeberapa tempat, degenerasi kistik dan nekrosis (Gambar 6-35).



Pada pemeriksaan mikroskopik, tumor Wilms ditandai oleh gambaran upaya rekapitulasi stadium yang berbeda dari nefrogenesis. Kombinasi trifase yang klasik, dari sel jenis blastema, stroma dan epitel dapat diobservasi pada sebagian besar lesi, walaupun prosentase dari tiap komponen bervariasi (Gambar 6-36, A). Lembaran-lembaran dari sel kecil, biru, dengan beberapa perangai yang dapat dibedakan, menandakan komponen blastema. "Diferensiasi" epitel biasanya terlihat dari gambaran tubulus atau glomerulus yang abortif. Sel stroma biasanya tampak bersifat fibrokistik atau miksoid, walaupun "diferensiasi" otot skelet tidak jarang. Jarang, ditemukan unsur heterolog lain, termasuk epitel skuamosa atau musinosa, otot polos, jaringan lemak, tulang rawan, dan jaringan osteoid serta neurogenik. Sekitar 5% tumor mengandungi fokus anaplasia (sel dengan inti besar, hiperkromatik, pleomorfik dan mitosis abnormal) (Gambar 6-36, B). Adanya anaplasia berhubungan dengan adanya mutasi TP53 yang didapat, dan munculnya resistensi terhadap kemoterapi. Pola distribusi sel anaplastik dalam tumor primer (fokal versus difus) mempunyai implikasi penting untuk prognosis (lihat lebih jauh). Sisa nefrogenik adalah lesi prekursor dari tumor Wilms dan kadang-kadang terdapat pada parenkim ginjal didekat tumor. Sisa nefrogenik mempunyai spektrum penampilan histologis, dari massa yang ekspansif yang menyerupai tumor Wilms (sisa hiperplastik) sampai sisa sklerotik yang terdiri terutama dari jaringan fibrosa yang dibeberapa tempat bercampur dengan tubulus atau glomerulus imatur. Penting untuk mencatat adanya sisa nefrogenik pada spesimen reseksi, karena penderita ini berada pada risiko tinggi untuk perkembangan tumor Wilms pada ginjal kontralateral.



Perjalanan Klinis Keluhan penderita biasanya menggambarkan ukuran tumor yang sangat besar. Lazimnya, terdapat massa abdominal yang mudah diraba, yang mungkin menyeberangi garis tengah dan kebawah ke dalam pelvis. Jarang, penderita datang dengan demam, dan nyeri abdomen, hematuria atau kadang-kadang, dengan obstruksi usus sebagai akibat tekanan dari tumor. Prognosis tumor Wilms umumnya sangat baik, dan hasil yang sangat baik diperoleh dengan kombinasi nefrektomi dan kemoterapi. Anaplasia adalah suatu tanda untuk prognosis buruk, tetapi analisis yang hati-hati oleh National Wilms' Tumor Study group di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang anaplasia bersifat fokal dan terbatas di dalam spesimen reseksi nefrektomi, hasil pengobatan tidak berbeda dari tumor tanpa ditemukannya anaplasia. Sebaliknya, tumor Wilms dengan anaplasia difus, terutama yang menunjukkan penyebaran ekstra renal, mempunyai hasil akhir yang paling buruk, yang membutuhkan identifikasi cermat dari pola histologis ini.



RINGKASAN Tumor Wilms • Tumor Wilms adalah neoplasma ginjal yang paling lazim dari anak. • Penderita dengan tiga sindrom berada pada risiko meningkat untuk tumor Wilms: sindrom Denys-Drash, Beckwith-Wiedemann, dan tumor Wilms, aniridia, abnormalitas genitalia, dan Gambar 6-35 Tumor Wilms pada kutub bawah ginjal dengan warna khas kecoklatan sampai abu-abu dan berbatas tegas.



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks



A



263



B



Gambar 6-36 A, Tumor Wilms dengan sel-sel biru yang tersusun sangat padat sesuai dengan unsur blastema dan disusupi tubulus primitif, yang merupakan unsur epitelial.Walaupun terlihat gambaran mitosis banyak, tidak ada yang bersifat atipik pada lapangan ini. B, Anaplasia fokal terdapat pada area lain dalam tumor Wilms, ditandai oleh sel-sel dengan inti pleomorfi hiperkromatik dan mitosis abnormal.



keterbelakangan mental. •



Sindrom tumor Wilms, aniridia, abnormalitas genital, dan keterbelakangan mental dan Denysh-Drash berhubungan dengan inaktivasi WTI, sedangkan Beckwith-Wiedemann timbul melalui abnormalitas imprinting pada lokus WT2, yang pada dasarnya mengenai gen IGF2.







Komponen morfologik tumor Wilms termasuk blastema (sel kecil, bulat, biru) dan unsur epitel serta stroma.







Sisa nefrogenik adalah lesi prekursor dari tumor Wilms.



DIAGNOSIS MOLEKULER DARI KELAINAN JENIS MENDEL DAN KOMPLEKS Pada dekade yang lampau sedikit disiplin patologi yang telah melihat lonjakan baik "pasokan" maupun "kebutuhan" yang dapat dibandingkan dengan yang diobservasi untuk diagnostik molekuler. Dalam era sebelum tersedianya teknik diagnostik molekuler, menyebabkan diagnosis kelainan genetik bergantung kepada indentifikasi produk gen abnormal (contoh, hemoglobin mutan atau metabolit abnormal) atau pengaruh klinisnya, seperti keterbelakangan (contoh pada FKU). Bidang yang baru lahir dari diagnostik molekuler muncul dalam paruh kedua dari abad ke-20, dengan aplikasi pendekatan dengan luaran terbatas (rendah) seperti penentuan kariotipe konvensional untuk mengenal kelainan sitogenetik (contoh sindrom Down) dan teknik berbasis DNA seperti Southern blotting untuk diagnosis penyakit Huntington. Beberapa faktor telah memungkinkan ekspansi cepat diagnostik molekuler dari sifatnya yang terbatas sampai hampir berada di sekitar kita, baik di laboratorium patologi akademik maupun komersial (perkiraan mutakhir untuk "pasar dunia" mencapai puluhan 'milyaran' dolar). Faktor-faktor ini termasuk (1) penetapan urutan basa DNA dari genom manusia dan penyimpanan data ini di pangkalan data yang tersedia untuk umum; (2) tersedianya banyak perangkat "off the shelf' polymerase chain reaction (PCR) untuk identifikasi kelainan genetik yang khas; (3) tersedianya microarrays ("gene chips") resolusi



tinggi yang dapat melacak baik DNA dan RNA pada skala luas dari genom menggunakan landasan tunggal; dan akhirnya (4) munculnya teknologi penetapan urutan basa DNA generasi berikut ("Next-Gen") yang automatik dan berkemampuan sangat tinggi (high-throughput). Dua perkembangan yang terakhir khususnya berguna dalam kaitan dengan penelitian baru untuk mengungkapkan dasar genetik baik kelainan jenis Mendel maupun jenis kompleks. Walaupun pembahasan rinci diagnostik molekuler di luar lingkup buku ini, beberapa pendekatan yang diketahui lebih baik diperhatikan pada paragraf berikut. Satu celah penting dari hubungan ini adalah bahwa tidak bergantung pada teknik yang digunakan, aberasi genetik yang ditelusuri dapat baik pada galur benih (contoh terdapat pada masing-masing dan tiap sel dari individu yang terkena, seperti mutasi CFTR pada penderita CF (fibrosis kistik) maupun somatik (contoh terbatas kepada jenis jaringan atau lesi yang khas, seperti amplifikasi NMYC pada sel neuroblastoma). Pertimbangan ini akan menentukan jenis bahan pemeriksaan (contoh limfosit darah tepi, saliva, jaringan tumor) yang digunakan untuk teknik pemeriksaan terkait.



Diagnosis Molekuler dari Abnormalitas Jumlah Kopi Seperti telah dibahas dalam bab ini, berbagai penyakit dapat terjadi sebagai akibat abnormalitas jumlah kopi, pada tingkat apakah seluruh kromosom (trisomi 21), segmen kromosom (sindrom delesi 22q11), atau delesi intragenik submikroskopik (sindrom WAGR). Analisis kariotipe kromosom dengan pemetaan G tetap merupakan pendekatan klasik untuk menetapkan perubahan pada tingkat kromosom; namun seperti diharapkan, resolusi teknik ini cukup rendah. Agar supaya dapat menetapkan perubahan subkromosom, telah dikenal dengan baik analisis fokus regio kromosom dengan FISH maupun pendekatan global genom seperti comparative genomic hybridization (CGH).



264



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Fluorescence in Situ Hybridization (FISH) FISH menggunakan pelacak DNA yang mengenal urutan basa DNA yang khas untuk regio kromosom yang lebih besar dari 100 kilobase, yang menetapkan batas resolusi teknik ini untuk menetapkan perubahan kromosom. Pelacak semacam itu diberi petanda zat warna yang berfluoresensi dan direaksikan pada sebaran kromosom metafase atau interfase dari inti. Pelacak berhibridisasi dengan urutan basa DNA komplementer pada kromosom sehingga regio kromosom yang khas tertandai yang dapat dilihat di bawah mikroskop fluoresensi. Kemampuan FISH untuk melampaui kebutuhan menggunakan sel yang sedang membelah tidak dapat ditanggulangi apabila diagnosis cepat diperlukan (contoh, bayi dalam keadaan sakit berat yang diduga mempunyai kelainan genetik yang mendasarinya). Analisis semacam itu dapat dilakukan pada bahan pemeriksaan perinatal (contoh sel yang diperoleh dengan amniosentesis, biopsi vilus korealis, atau darah tali pusat), limfosit darah perifer dan bahkan potongan jaringan arsip (sediaan histopatologis). FISH telah digunakan untuk deteksi abnormalitas kromosom numerik (aneuploid) (Gambar 6-37, A); untuk menunjukkan mikrodelesi yang tidak jelas (Gambar 6-37, B), atau translokasi kompleks yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan kariotipe rutin; untuk analisis amplifikasi gen (contoh amplifikasi NMYC pada neuroblastoma); dan untuk pemetaan gen yang diteliti terhadap lokusnya pada kromosom.



Hibridisasi Genom Berbasis-Array Jelas dari pembahasan sebelumnya bahwa FISH memerlukan pengetahuan sebelumnya dari satu atau beberapa regio kromosom yang diduga berubah pada bahan pemeriksaan. Namun, abnormalitas kromosom dapat juga dideteksi tanpa pengetahuan sebelumnya dari aberasi yang mungkin terjadi, dengan menggunakan strategi global yang dikenal sebagai CGH berbasis-array. Di sini DNA yang diuji dan DNA rujukan (normal) diberi petanda dengan dua jenis zat warna fluoresen (paling lazim, Cy5 dan Cy3, yang masing-masing berfluoresensi merah dan hijau).



Bahan yang tertandai berbeda kemudian dihibridisasikan dengan suatu kumpulan (array) segmen DNA genom yang disebarkan dan difiksasi pada matriks padat dalam bentuk bercak-bulat (spot), biasanya kaca benda (glass slide) (Gambar 6-38, A). Segmen-segmen DNA ini mewakili genom manusia yang secara teratur dipisah dengan interval tertentu, dan meliputi 22 autosom dan kromosom seks (Gambar 6-38, A). Amplifikasi dan delesi pada bahan uji menghasilkan peningkatan atau penurunan isyarat relatif terhadap DNA normal yang dapat dideteksi sampai resolusi serendah 10 kilobase (kb) (Gambar 6-38, B). Generasi baru microarray yang menggunakan single-nucleotide polymorphisms (SNPs) (lihat lebih lanjut) bahkan memberikan resolusi lebih tinggi (dengan lebih dari 1 juta SNP dari genom manusia pada satu microarray tunggal!) dan pada saat ini sedang digunakan untuk mengungkapkan abnormalitas jumlah kopi pada berbagai penyakit dari kanker sampai autisme.



Deteksi Langsung Mutasi DNA dengan Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) Analisis PCR, yang menggunakan peningkatan jumlah (amplifikasi) secara eksponensial dari DNA, sekarang dipakai secara luas pada diagnosis molekuler. Jika RNA digunakan sebagai substrat, pertama kali dilakukan transkripsi-terbalik (reverse-transcription) untuk memperoleh cDNA (complementary DNA) dan kemudian diamplifikasi dengan PCR. Cara ini melalui tahap reverse transcription (RT) sering disingkat RT-PCR. Satu persyaratan untuk deteksi langsung adalah bahwa urutan basa DNA dari gen normal harus diketahui. Untuk deteksi gen mutan, dua primer dirancang yang mengikat pada ujung 3' dan 5' dari urutan basa DNA normal. Dengan menggunakan polimerase DNA dan perputaran suhu yang tepat, DNA sasaran akan diamplifikasi sebanyak mungkin, menghasilkan berjuta-juta kopi urutan basa DNA di antara kedua tempat primer. Kemudian dilakukan identifikasi selanjutnya dari abnormalitas urutan basa DNA dengan beberapa cara:



Gambar 6-37 Fluorescence in situ hybridization (FISH). A, Inti sel dalam interfase dari penderita pria dengan dugaan trisomi 18. Tiga pelacak fluoresen yang berbeda digunakan dalam "FISH cocktair; pelacak hijau berhibridisasi dengan sentromer kromosom X (satu kopi), pelacak merah dengan sentromer kromosom Y (satu kopi), dan pelacak aqua dengan sentromer kromosom 18 (tiga kopi). B, Metafase yang ditebar setelah direaksikan dengan pelacak, satu berhibridisasi dengan daerah kromosom 22q I 3 (hijau) dan yang lain berhibridisasi dengan daerah kromosom 22q11.2 (merah). Terdapat dua isyarat 22q13. Satu dari dua kromosom tidak terwarnai dengan pelacak untuk 22q1I.2, yang menunjukkan suatu mikrodelesi pada daerah ini. Abnormalitas ini menimbulkan sindrom delesi 22q1I.2 (sindrom DiGeorge). (Penghargaan kepada Dr. Nancy R Schneider and Jeff Doolittle, Cytogenetics Laborutory, University of Texas Southwestem Medical Center, Dallas, Texas)



A



B



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks



265



Genomic DNA



cy3



A



cy5 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0



B



0



20



40



60



80



100



120



140



Location in megabases



Gambar 6-38 Array comparative genomic hybridization (CGH) dilakukan dengan hibridisasi DNA uji yang dilabel fluoresen dan DNA kontrol pada kaca benda yang mengandungi ribuan pelacak yang sesuai dengan daerah-daerah kromosom diseluruh genom manusia. Resolusi dengan teknologi CGH paling mutakhir yang tersedia adalah pada nilai sekitar 10 kb. A, Pada lapangan pandang dengan kekuatan lebih tinggi array' menunjukkan aberasi jumlah kopi pada uji contoh yang dilabel Cy5 (merah), termasuk daerah amplifikasi (bercak-bercak dengan kelebihan isyarat merah) dan delesi (bercak-bercak dengan isyarat hijau); bercak-bercak kuning sesuai dengan daerah dari jumlah kopi normal (diploid). B, isyarat hibridisasi dibuat digital, yang menghasilkan kariotipe virtual dari genom contoh "uji". Pada contoh yang diberi ilustrasi, array; CGH dari galur sel kanker menetapkan suatu amplifikasi pada bagian distal lengan panjang dari kromosom 8, yang sesuai dengan peningkatan jumlah kopi dari onkogen MYC. (A, Dari Snijders AM, Nowak N, Segraves R et al:Assembly ofmicroarrays for genome-wide measurement of DNA copy number. Nat Genet 29:263, 2001;Web Figure A. Copyright 2001. Cetak ulang dengan seizin Macmillan Publishers Ltd.)



• DNA dapat ditetapkan urutan basanya untuk memperoleh gambaran urutan nukleotida, dan dengan membandingkan dengan urutan basa DNA rujukan normal (wild type), mutasi dapat ditetapkan. Sebagian besar alat DNA sequencing terautomatilasi dan menggunakan teknologi berbasis zat warna fluoresen yang diberi nama menurut penemunya, Frederick Sanger. Lebih mutakhir, "gene Chips" (microarray) juga telah tersedia, yang dapat digunakan untuk penetapan urutan basa gen atau bagian dari gen. Urutan basa DNA yang pendek (oligonukleotida) yang bersifat komplementer terhadap urutan basa wild-type dan terhadap mutasi yang dikenal diletakkan berdekatan satu dan yang lain pada "gene chips" , dan DNA-uji dihibridisasikan dengan array (Gambar 6-39). Sebelum hibridisasi, bahan pemeriksaan diberi petanda dengan zat warna fluoresen. Hibridisasi (dan, dengan sendirinya, isyarat fluoresensi dipancarkan) akan paling kuat terjadi pada oligonukleotida yang komplementer dengan urutan basa wild-type apabila tidak ada mutasi, sedangkan adanya mutasi akan menyebabkan hibridasi terjadi pada oligonukleotida mutan yang komplementer. Algoritme yang deprogram secara komputerisasi kemudian dapat membuka sandi ("decode") urutan basa DNA untuk beratus-ratus ribu pasangan basa dari urutan basa dengan pola hibridasi fluoresensi pada "chip", untuk menetapkan mutasi yang potensial. • Suatu pendekatan lain untuk menetapkan mutasi pada posisi nukleotida yang khas (misalnya, mutasi kodon 12 pada onkogen KRAS yang mengubah glisin [GGT] menjadi asam aspartat [GAT] akan menambahkan nukleotida C dan T yang diberi petanda



fluoresen ke dalam campuran reaksi PCR, yang masing-masing komplementer dengan urutan basa wild-type (G) atau mutan (A). Karena kedua nukleotida diberi petanda dengan fluorofor yang berbeda, fluoresensi yang dipancarkan oleh produk PCR dapat menimbulkan warna dari salah satu, bergantung apakah C atau T yang bergabung pada proses ekstensi primer (Gambar 6--40). Keuntungan dari strategi ekstensi khas-alel ini adalah karena dapat mendeteksi adanya DNA mutan bahkan dalam campuran heterogen dari sel normal dan abnormal (misalnya, dalam spesimen klinis yang diperoleh dari penderita uang diduga mengandungi keganasan.) Banyak variasi dari tema ini telah dikembangkan dan sekarang digunakan untuk mendeteksi mutasi baik di laboratorium maupun di klinis. • Dalam kaitan ini, seseorang dapat ketinggalan tidak menyebut teknologi penetapan urutan basa generasi kemudian ("NextGen"), disebut demikian karena Sanger sequencing yang disebut terdahulu sekarang dianggap "generasi pertama". Tersedianya teknologi squencing NextGen mempunyai potensi mengubah diagnosis molekuler secara radikal, dengan kemampuan (sheer volume) untuk mengolah data (lebih dari 1 giga pasangan basa atau 1.000.000.000 pasangan basa per hari!) dengan biaya relatif murah. Seluruh genom manusia mempunyai ukuran sedikit di atas 3 gigabase, sehingga "whole genome sequencing" yang benar-benar dapat dilakukan beberapa kali dalam hitungan hari. Berbeda dengan Sanger sequencing, teknologi NextGen sequencing menggunakan landasan yang memungkinkan penetapan urutan basa dari banyak fragmen dari genom manusia



266



BAB 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



A



C



A



A



T



T



T



C



G



C



T



G



A



A



A



G



C



A



Rujukan



A



C



A



A



T



T



T



C



G



G



T



G



A



A



A



G



C



A



Contoh uji



Gambar 6-39 Penetapan urutan-basa DNA berdasarkan microarray. Low-power digitized-scan dari "gene chip" yang tidak lebih besar dari suatu nikel tetapi mampu menetapkan urutan-basa ribuan pasangan basa DNA. High-throughput microarrays telah digunakan untuk penetapan urutan basa seluruh organisme (seperti virus), organel (seperti mitokondria), dan seluruh kromosom manusia. Panel kanan, pandangan resolusi tinggi dari chip gen menggambarkan pola hibridisasi sesuai dengan suatu baris urutan basa DNA. Secara khas, algoritme terkomputerisasi tersedia sehingga dapat melakukan konversi pola hibridisasi individual di seluruh chip menjadi data actual urutan basa dalam beberapa menit (teknologi penetapan urutan basa konvensional akan memerlukan berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk analisis semacam itu). Di sini, urutan basa di atas adalah rujukan (wild type), sedangkan yang di bawah sesuai dengan urutan basa contoh uji. Seperti diperlihatkan, algoritme yang terkomputerisasi telah menetapkan mutasi C—>G pada percontoh uji. (Disadur dari Maitra A, Cohen Y, Gillespie SE, et al: The Human MitoChip: a high-throughput sequencing microarray for mitochondrial mutation detection. Genome Res I 4:8 I 2, 2004.)



(DNA atau cDNA) dapat terjadi secara parallel ("massively parallel sequencing"), yang meningkatkan kecepatannya secara bermakna (Gambar 6-41). Nukleotida yang diberi petanda fluoresen diikatkan secara komplementer dengan template untai DNA, yang difiksasi pada fase padat, dengan satu nukleotida ditambahkan per template per siklus. Siklus diulang sampai dihasilkan panjang "pembacaan" urutan basa DNA cukup yang kemudian dapat dipetakan kembali terhadap genom manusia menggunakan bioinformatika yang canggih. Cara ini sekarang sedang digunakan untuk penetapan urutan basa DNA pada mutasi somatik pada beberapa jenis tumor yang paling lazim, sedangkan penetapan penetapan urutan basa



Mutasi titik DNA



G/A



Primer



T



C



T



C Nukleotida yang dilabel fluoresen



DNA mutal



DNA wild-type Campuran DNA wild-type dan mutan



Gambar 6-40 Analisis dengan polymerase chain reaction (PCR) jenis spesifik terhadap alel, untuk deteksi mutasi pada contoh heterogen yang mengandungi campuran DNA normal dan mutan. Nukleotida yang komplementer terhadap nukleotida mutan dan wild-type pada posisi basa yang dicari dilabel dengan fluorofor sehingga terjadi inkorporasi ke dalam produk PCR yang menimbulkan isyarat fluoresen dengan berbagai intensitas yang sesuai dengan rasio DNA mutan terhadap DNA wild-type yang ada.



DNA jenis galur benih telah mulai menetapkan dasar genetik yang belum diketahui pada kelainan jenis Mendel yang jarang.



Analisis Linkage dan Studi Asosiasi Genom yang Menyeluruh (Genome-Wide Association Studies) Diagnosis langsung mutasi hanya mungkin apabila gen yang berperan pada kelainan genetik diketahui dan urutan basa DNA-nya telah ditetapkan. Pada beberapa penyakit yang mempunyai dasar genetik, termasuk beberapa kelainan yang lazim, diagnosis genetik langsung tidak mungkin, baik karena gen penyebab belum ditetapkan atau karena penyakit bersifat multifaktor (poligenik) dan tidak terdapat gen tunggal yang terlibat. Pada keadaan semacam itu, dua jenis analisis dapat dilakukan untuk penetapan gen yang terkait penyakit tanpa bias: analisis linkage dan genome-wide association studies (GWASs). Pada kedua keadaan, petanda pengganti pada genom, juga dikenal sebagai lokus petanda (marker loci), harus digunakan untuk menetapkan lokus regio kromosom yang diminati, berdasarkan pada keterkaitannya kepada satu atau lebih gen penyebab penyakit yang diperkirakan. Petanda lokus menggunakan variasi yang terjadi secara alamiah pada urutan basa DNA yang dikenal sebagai polimorfisme. Polimorfisme DNA-SNP-yang paling lazim terjadi pada frekuensi sekitar satu nukleotida pada tiap 1000 pasangan basa dan ditemukan sepanjang genom (contoh, pada ekson dan intron dan urutan basa yang teratur). SNP bertindak sebagai cetakan fisis di dalam genom dan sebagai petanda genetik yang transmisinya dapat diikuti dari orangtua ke anakanak. Dua terobosan teknologi telah memungkinkan aplikasi SNP ke "gen hunting" dengan kemampuan tinggi (high-throughput): pertama penyempurnaan apa yang disebut proyek HapMap, yang telah memberikan pola linkage disequilibrium pada tiga kelompok etnorasial utama, berdasarkan pada pemetaan SNP genom secara luas. Seluruh genom manusia sekarang dapat dibagi ke dalam blok yang dikenal sebagai "haplotype", yang mengandungi berbagai jumlah SNP yang kontinu pada kromosom yang sama yang berada pada linkage disequilibrium sehingga diwariskan bersama sebagai kumpulan (cluster). Sebagai hasilnya, daripada mencermati tiap SNAP tunggal dalam genom manusia, informasi yang dapat dibandingkan tentang DNA yang terkait dapat diperoleh dengan mudah dengan melihat haplotipe yang dipunyai bersama, menggunakan SNP tunggal atau dalam jumlah kecil yang melacak atau menetapkan haplotipe yang khas. Kedua, sekarang



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks 267 C



G



C



A



A



A



T



C



G



T



Tambahkan semua empat A nukleotida, terlabel dengan zat warna berbeda



A



C



G



T



Cuci, empat-warna pencitraan



C



G



T



C G



Pecahkan zat warna dan gugusan terminasi, cuci



C A



B



C



G



G



T G



C



G A



G A



T



C G



T C



G A



T C



Ulang



Atas: CATCGT Bawah: CCCCCC



Gambar 6-41 Prinsip penetapan urutan basa generasi berikutnya. Beberapa pendekatan alternatif tersedia untuk penetapan urutan basa "NextGen", dan satu platform yang lebih lazim digunakan diberikan gambarannya. A, Fragmen pendek DNA genom ("template") dengan panjang antara 100 dan 500 pasangan basa di imobilisasikan pada platform fase padat seperti kaca benda, menggunakan primer penangkap yang universal yang bersifat komplementer terhadap adaptor yang telah ditambahkan sebelumnya ke ujung dari fragmen template. Penambahan nukleotida komplementer yang dilabel fluoresen, satu per DNA template per siklus, terjadi dalam reaksi paralel masif, pada jutaan template yang di-imobilisasikan pada fase padat pada waktu yang sama. Kamera dengan pencitraan empat warna menangkap fluoresensi yang memancar dari tiap lokasi template (sesuai dengan nukleotida yang terinkorporasi spesifik), mengikuti zat warna fluoresen yang dipecahkan dan dibersihkan, dan seluruh siklus diulang. B, Program komputasi yang canggih dapat menginterpretasi pencitraan untuk menghasilkan urutan basa yang komplementer terhadap DNA template pada akhir sekali "jalan", dan urutan basa ini kemudian dipetakan kembali terhadap rujukan urutan basa genom, agar supaya dapat menetapkan perubahan-perubahan. (Dicetok ulang dengan seizin dari Metzker M: Sequencing technologies—the next generation. Nat Rev Genet I 1:31-46, 2010, © Nature Publishhg Group)



mungkin untuk melakukan penetapan jenis gen serentak sebanyak beratus-ratus ribu sampai satu juta SNP pada satu waktu, secara "costeffective", dengan menggunakan teknologi chip high-density SNP. • Analisis linkage berhubungan dengan penilaian shared marker loci (contoh SNPs) pada anggota keluarga yang menampilkan penyakit atau trait yang diminati, dengan anggapan bahwa SNP dalam keadaan linkage disequilibrium dengan alel penyakit ditransmisikan melalui pedigree. Dengan perjalanan waktu dimungkinkan untuk menetapkan "haplotipe penyakit" berdasarkan suatu panel SNP, semuanya mengalami kosegregasi dengan alel penyakit yang diduga. Seyogianya, analisis linkage mendukung penetapan lokus dan cloning alel penyakit. Analisis linkage paling berguna pada kelainan jenis Mendel yang berkaitan dengan satu gen dengan pengaruh kuat dan mempunyai penetrasi tinggi. • Sekarang telah pasti bahwa beberapa penyakit manusia yang paling lazim, seperti hipertensi, diabetes, kelainan mental, dan asma, mempunyai dasar poligenik, dengan lokus genetik ganda yang berkontribusi pengaruh kecil yang tidak bergantung, yang menyebabkan fenotipe penyakit. Analisis linkage konvensional tidak mempunyai kekuatan statistik untuk deteksi varian genetik semacam itu. Pada GWAS, kohort yang besar dari penderita dengan atau tanpa penyakit (bukan hanya keluarga) diperiksa terhadap seluruh genom untuk varian SNP yang dapat disajikan berlebihan pada individu dengan penyakit. Ini menetapkan regio dari genom yang mengandungi gen varian atau gen yang berkaitan dengan kerentanan



penyakit. Varian yang bersifat penyebab dalam regio tersebut kemudian dapat ditetapkan dengan menggunakann pendekatan "candidate gene", yaitu gen dipilih berdasarkan tingkat keterkaitannya dengan penyakit dan apakah fungsi biologis lebih cenderung terlibat pada penyakit yang diteliti. Sebagai tambahan terhadap penyakit poligenik, GWAS juga dapat menetapkan lokus genetik yang memodulasi trait kuantitatif yang lazim pada manusia, seperti tinggi badan, massa tubuh, warna rambut dan mata, dan densitas tulang.



Indikasi untuk Analisis Genetik Pembahasan yang sebelumnya menguraikan beberapa dari banyak teknik yang tersedia sekarang untuk diagnosis penyakit genetik. Untuk penerapan cara-cara ini, penting untuk mengenal individu mana yang memerlukan uji genetik. Pada umumnya, uji genetik dapat dibagi menjadi analisis prenatal dan postnatal. Hal itu akan mencakup sitogenetik konvensional, FISH, diagnostik molekuler, atau kombinasi dari teknikteknik ini. Analisis genetik prenatal harus ditawarkan kepada semua penderita yang berada pada risiko untuk mempunyai keturunan abnormal secara sitogenetik. Hal itu dapat dilakukan pada sel yang diperoleh dengan amniosentesis, pada materi biopsi vilus korealis, atau pada darah talipusat. Beberapa indikasi penting adalah sebagai berikut: • Usia maternal yang lanjut (di atas 34 tahun), yang terkait dengan risiko lebih besar untuk trisomi. • Status pembawa sifat (carrier) yang terkonfirmasi untuk translokasi resiprokal seimbang, translokasi jenis Robertsonian, atau inversi



268



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



(pada kasus semacam itu, gamet mungkin tidak seimbang, sehingga keturunannya akan mempunyai risiko kelainan kromosom) • Abnormalitas kromosom yang mengenai anak sebelumnya • Penetuan kelamin janin apabila penderita atau pasangannya adalah pembawa sifat (carrier) kelainan genetik yang bersifat X-linked Analisis genetik postnatal biasanya dilakukan pada limfosit darah tepi. Indikasi adalah sebagai berikut: • Multiple congenital anomalies • Keterbelakangan mental yang tidak dapat dijelaskan dan atau keterlambatan perkembangan • Dugaan aneuploidi (contoh perangai sindrom Down) • Dugaan autosom tidak seimbang (contoh sindrom Prader-Willi) • Dugaan abnormalitas kromosom sex (contoh sindrom Turner) • Dugaan sindrom fragile-X • Infertilitas (untuk menyingkirkan abnormalitas kromosom) • Abortus spontan multipel (untuk menyingkirkan orang tua sebagai pembawa sifat translokasi seimbang, kedua orang tua harus diperiksa) Dalam kaitan ini dan penerapan klinis lain, suatu hal penting adalah bahwa kita sekarang hidup dalam era yang disebut ilmu kedokteran genomik. Tahun-tahun mendatang diharapkan bagaimana kemajuan dalam pengungkapan dasar genetik dari penyakit pada manusia akan memengaruhi diagnosis, pencegahan dan pengobatan.



KEPUSTAKAAN Bassell GJ, Waren ST: Fragile X syndrome: loss of local mRNA regulation alters synaptic development and function. Neuron 60:201, 2008. [Suatu tinjauan mutakhir tentang patogenesis molekuler dari sindrom fragile X, terutama dalam kaitan dengan akibat kehilangan fungsi FMRP.] Bojesen A, Gravholt CH: Klinefelter syndrome in clinical practice. Nat Clin Prac Urol 4:192, 2007. [Suatu tinjauan berorientasi klinis dari entitas ini.] Butler MG: Genomic imprinting disorders in humans: a mini-review. J Assist Reprod Genet 26:477, 2009. [Suatu tinjauan umum yang jelas dan sangat baik tentang dasar genetik dari kelainan imprinting, termasuk dua kelainan yang dibahas pada bab ini.] Collaco JM, Cutting GR: Update on gene modifiers in cystic fibrosis. Curr Opin Pulm Med 14:559, 2008. [Suatu tinjauan dari satu pakar dunia tentang fibrosis kistik tentang peranan pemodifikasi genetik di samping gen CTFR yang memengaruhi fenotipe.]



Feinberg AP: Epigenetics at the epicenter of modern medicine. JAMA 299:1345, 2008. [Suatu tinjauan yang luar biasa dari pakar dunia tentang imprinting, yang menyoroti peranan abnormalitas epigenetik pada patogenesis kanker dan penyakit manusia yang lain.] Hartl FU, Bracher A, Hayer-Hartl M: Molecular chaperones in protein folding and proteostasis. Nature 475:324, 2011. [Suatu tinjauan yang sangat baik dari proses salah-lipat protein dan terapi chaperone.] Janoueix-Lerosey I, Schleiermacher G, Delattre O: Molecular pathogenesis of peripheral neuroblastic tumors. Oncogene 29:1566, 2010. Judge DP, Dietz HC: Therapy of Marfan syndrome. Annu Rev Med 59:43, 2008. [Suatu tinjauan luar biasa yang ditulis oleh satu dari pakar dunia paling terkemuka tentang patogenesis sindrom Marfan, yang dipusatkan pada sasaran "yang dapat diobati" yang sedang dievaluasi secara klinis, terutama untuk pencegahan komplikasi jantung dan aorta.] Kinney HC, Thach BT: The sudden infant death syndrome. N Engl J Med 361:795, 2009. [Suatu tinjauan yang jelas tentang SIDS yang ditulis oleh kelompok yang menguraikan beberapa penemuan kunci dari kelainan neuropatologis dan abnormalitas neurotransmiter pada fenomena ini.] Kobrynski LJ, Sullivan KE: Velocardiofacial syndrome, DiGeorge syndrome: the chromosome 22q11.2 deletion syndromes. Lancet 370:1443, 2007. [Suatu tinjauan yang ditulis dengan baik tentang sindrom mikrodelesi 22q11.2, termasuk perangai klinis, diagnosis dan penatalaksanaan.] Ku CS, Loy EY, Pawitan Y, Chia KS: The pursuit of genome-wide association studies: where are we now? J Hum Genet 55:195, 2010. [Suatu "audit" selama lima tahun tentang status GWAS dan bagaimana hal ini telah memengaruhi pemahaman mengenai penyakit yang kompleks.] Lin PW, Nasr TR, Stoll BJ: Necrotizing enterocolitis: recent scientific advances in pathophysiology and prevention. Semin Perinatol 32:70, 2008. [Suatu tinjauan yang ditulis dengan baik tentang pengertian yang sedang berjalan dari patogenesis NEC dan kemungkinan pencegahan.] Loscalzo ML: Turner syndrome. Pediatr Rev 29:219, 2008. [Suatu tinjauan yang cukup luas yang meliputi baik dasar-dasar genetik maupun aspek klinis dari sindrom Turner.] Metzker M: Sequencing technologies - the next generation. Nat Rev Genet 11:31, 2010. [Suatu tinjauan mutakhir tentang landasan penetapan urutan basa DNA generasi kemudian yang sekarang tersedia dan penerapannya.] Patterson D: Molecular genetic analysis of Down syndrome. Hum Genet 126:195, 2009. [Suatu tinjauan yang mendalam tentang patogenesis molekuler dari sindrom Down.] Staretz-Chacham O, Lang TC, LaMarca ME, et al: Lysosomal storage disorders in the newborn. Pediatrics 123:1191, 2009.[Suatu pembahasan yang sangat baik dari golongan kelainan yang jarang ini, dengan penekanan khusus pada yang tampil dalam masa bayi baru lahir.] Sweetser DA, Grabowski EF: Pediatric malignancies: retinoblastoma and Wilms tumor. In Chung DC, Haber DA (eds): Principles of Clinical Cancer Genetics: A Handbook from the Massachusetts General Hospital. Springer, New York, 2010, pp 163-180. [Suatu bab buku yang ditulis dengan baik yang menyarikan perangai klinis, patogenesis molekuler, dan penatalaksanaan dua jenis tumor padat pada masa anak-anak.]



Croce CM: Causes and consequences of microRNA dysregulation in cancer. Nat Rev Genet 10:704, 2009. [Suatu tinjauan komperensif dari pemuka yang menemukan contoh pertama disregulasi mikroRNA pada kanker manusia.]



Wheeler DA, Srinivasan M, Egholm M, et al: The complete genome of an individual by massively parallel DNA sequencing. Nature 452:872, 2008. [Makalah yang mendasar yang menguraikan penetapan urutan basa DNA genom manusia yang lengkap untuk pertama kalinya - dari penemu-mitra sturktur DNA heliks ganda dan pemenang hadial Nobel, James D. Watson, menggunakan cara penetapan urutan basa DNA generasi kemudian.]



Farrell PM, Rosenstein BJ, White TB, et al: Guidelines for diagnosis of cystic fibrosis in newborns through older adults: Cystic Fibrosis Foundation consensus report. J Pediatr 153:S4-S14, 2008. [Suatu pernyataan konsensus dari kelompok pakar mengenai manifestasi protean dari fibrosis kistik, dan korelasi genotipefenotipe.]



Winter J, Jung S, Keller S, et al: Many roads to maturity: microRNA biogenesis pathways and their regulation. Nat Cell Biol 11:228, 2009. [Suatu tinjauan luar biasa tentang bagaimana miRNA disintesis dan diproses, dan pengetahuan yang muncul tentang bagaimana proses yang rumit ini diatur---bukan untuk mengecilkan hati!]



BAB



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



7



DAFTAR ISI BAB Efek Perubahan Iklim terhadap Kesehatan 269 Toksisitas Zat Kimia dan Fisis 271 Polusi Lingkungan 272



Polusi Udara 272 Logam sebagai Polutan Lingkungan 273 Pajanan Industri dan Pertanian 276



Efek dari Tembakau 277 Pengaruh Alkohol 280



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat 282 Kelainan Akibat Obat-Obat Terapeutik: Pengaruh Samping 282 Cedera oleh Zat Toksik Nonterapeutik (Drug Abuse/Penggunaan-salah Obat) 284 Cedera oleh Agen Fisis 287 Trauma Mekanik 287 Jejas Terma 288 Jejas Listrik 289



Banyak penyakit disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam arti luas lingkungan hidup meliputi berbagai lingkungan ruang terbuka ruang tertutup dan pekerjaan tempat manusia hidup dan bekerja. Pada tiap lingkungan ini udara pernapasan makanan dan air yang dikonsumsi dan zat toksik yang terpajan merupakan penentu utama untuk kesehatan. Faktor lingkungan yang lain berkaitan dengan individu (lingkungan pribadi) dan termasuk pemakaian tembakau peminum alkohol pengguna obat sebagai terapi dan "rekreasi", diet dan yang sejenis. Faktor-faktor lingkungan pribadi umumnya berpengaruh lebih besar pada kesehatan manusia daripada faktor lingkungan yang lain tetapi tanaman baru yang terkait dengan pemanasan bumi global (dijelaskan kemudian) dapat mengubah hal ini. Istilah penyakit lingkungan mengacu pada kelainan yang disebabkan paparan kimia atau zat fisis di lingkungan kerja dan pribadi, termasuk penyakit yang disebabkan oleh faktor gizi. Ternyata penyakit lingkungan cukup sering ditemukan. Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa jejas dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, membunuh 1,1 juta orang per tahun secara global - lebih dari kematian akibat gabungan kecelakaan di jalan dan perang. Sebagian besar masalah akibat pekerjaan disebabkan oleh penyakit daripada kecelakaan. Beban penyakit di populasi umum, disebabkan oleh pajanan bukan pekerja terhadap zat toksik, yang lebih sulit perkiraannya, sebagian besar disebabkan oleh zat-zat yang beraneka ragam dan kesulitan dalam pengukuran dosis serta masa pajanan. Berapa pun jumlahnya, penyakit lingkungan adalah penyebab sebagian besar dari cacat dan penderitaan, dan menyebabkan bebas finansial yang berat, terutama di negara berkembang. Penyakit lingkungan kadang-kadang merupakan akibat malapetaka seperti kontaminasi metal merkuri Teluk Minamata di Jepang pada tahun 1960, kebooran gas metil isotiosianat di Bhopal India, pada tahun 1984 dan kecelakaan nuklir Chernobil pada tahun 1986 dan



Jejas Akibat Radiasi Pengion 289



Penyakit Gizi 293



Malnutrisi 293 Malnutrisi Energi Protein (MEP) 294 Anoreksia Nervosa dan Bulimia 295 Defisiensi Vitamin 296 Obesitas302 Diet dan Penyakit Sistemik 306 Diet dan Kanker 306



kontaminasi dengan peptisida organofosfat sarin yang disasarkan pada kereta baah tanah di Tokyo tahun 1995. ntungnya ini adalah kejadian yang tidak biasa dan jarang. hal yang tidak begitu dramatik tetapi lebih sering terjadi adalah penyakit dan jejas akibat pajanan kronik kontaminan dengan dosis yang relatif rendah. Beberapa lembaga di Amerika Serikat menetapkan tingkat paparan yang diperbolehkan dari zat lingkungan yang dikenal berbahaya (misalnya tingkat maksimum karbon monoksida (CO) di udara yang tidak menederai atau tingkat paparan radiasi yang tidak berbahaya atau aman). Namun sejumlah faktor termasuk interaksi kompleks antar polutan menghasilkan efek ganda serta usia predisposisi genetik dan kepekaan jaringan yang berbeda pada orang yang terpajan membuat variasi luas dari sensitivitas individu. Namun tingkat "aman" seperti ini berguna untuk studi banding mengenai efek zat berbahaya antar populasi dan untuk perkiraan risiko penyakit pada orang dengan pajanan berat. Dari gambaran singkat tentang sifat dan besarnya masalah kita beralih ke pertimbangan mekanisma toksisitas dan kemudian beberapa bahaya lingkungan yang lebih penting.



EFEK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KESEHATAN Pengukuran suhu menunjukkan baha bumi telah menjadi semakin panas selama 50 tahun terakhir mungkin pada tingkat yang lebih tinggi daripada berbagai masa selama 1000 tahun sebelumnya. Sejak 1960 suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 0,6°C, dengan peningkatan terbesar di daratan antara 40°N dan 70°N. Perubahan ini disertai penyusutan tepat dari es glasial dan es laut ̀ yang menyebabkan prediksi bahan gletser dari Glacier National Park di Montana dan Gunung Kilimanjaro di Kenya akan



270



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



hilang pada tahun 2025, dan bahan samudera arktik akan benar-benar bebas es pada musim panas selambat-lambatnya pada tahun 2040. Meskipun politisi berdalih kalangan ilmuan umumnya menerima bahan perubahan iklim adalah akibat perbuatan manusia paling tidak sebagian kecil. Pelakunya adalah meningginya lapisan atmosfer dari gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan pembakaran bahan bakar fosil (Gambar 7-1, A) serta ozon (suatu polutan udara yang penting dibahas kemudian) dan metana. Gasgas ini bersama dengan uap air menghasilkan efek rumah kaca dengan menyerap energi yang terpancar dari permukaan bumi yang seharusnya dapat hilang ke ruang angkasa. Tingkat rata-rata tahunan CO2 atmosfer (sekitar 387 ppm) pada 2009 lebih tinggi daripada berbagai masa sekitar 650.000 tahun dan tanpa perubahan perilaku manusia diperkirakan akan meningkat menjadi 550-1200 ppm pada akhir abad ini tingkat yang tidak dialami selama puluhan juta tahun. Peningkatan ini tidak hanya berasal dari bertambahnya produksi CO2 tetapi juga dari penebangan hutan dan penurunan fiksasi karbon oleh



1959-2009 Koefisien Korelasi: 0.76903 Kadar CO2 (ppm) Mauna Loa



• Gastroenteritis kolera dan penyakit menular lain melalui air dan makanan akibat kontaminasi sebagai konsekensi banjir dan gangguan pasokan air bersih dan pengolahan limbah sesudah hujan deras dan bencana lingkungan lain.



380



360



• Penyakit infeksi yang ditularkan melalui vektor seperti malaria dan demam dengue disebabkan oleh perubahan jumlah vektor dan distribusi geografi yang berkaitan dengan peningkatan temperatur gagal panen dan variasi cuaca yang lebih ekstrem (misalnya lebih sering dan parahnya penyakit pada El Nino).



340



320



A 5 4 3



–0.2



0.2



0



0.4



0.6



Anomali temperatur (° C)



1 0 –1 1900



• Malnutrisi disebabkan oleh perubahan iklim lokal yang mengganggu produksi tanaman. Perubahan-perubahan seperti ini diperkirakan paling parah di daerah tropik yang rata-rata temperaturnya mungkin sudah sekitar tingkat suhu yang ditoleransi tanaman. Diperkirakan pada tahun 2080, produksi pertanian dapat turun 10%sampai 25%di beberapa negara berkembang, sebagai akibat perubahan iklim.



Anomali temperatur global (oC)



2



B



Konsekwensi kesehatan akibat perubahan iklim tergantung pada luas dan kecepatannya, keparahan konsekuensi berikutnya dan kemampuan manusia untuk mengurangi kerusakan. Bahkan dalam skenario kasus terbaik perubahan iklim diperkirakan akan memiliki dampak negatif yang serius terhadap kesehatan manusia dengan meningkatkan insidens sejumlah penyakit termasuk: • Penyakit-penyakit kardiovaskular serebrovaskular dan respirasi yang semuanya akan diperburuk oleh gelombang panas dan polusi udara.



400



300 –0.4



tanaman. Tergantung pada model komputer yang digunakan peningkatan kadar gas rumah kaca diperkirakan akan menyebabkan suhu global naik 2oC sampai 5°C pada tahun 2100 (Gambar 7-1, B). hal yang tidak pasti mengenai peningkatan suhu berasal dari pertanyaanpertanyaan mengenai derajat rangkaian umpan balik positif yang akan menyebabkan terjadinya proses yang berulang Contoh-Contoh dari rangkaian berulang yang menguata (self-reinforcing loops) adalah peningkatan absorpsi panas yang disebabkan oleh penyusutan es dan salju peningkatan uap air disebabkan oleh bertambahnya penguapan dari sungai danau dan lautan banyaknya CO2 dan metana yang dilepaskan dari bahan organik dalam penairan Arktik permafost dan hidrat metana kapal selam dan penurunan penyerapan CO2 di lautan disebabkan oleh penurunan pertumbuhan organisma seperti diatom yang berfungsi sebagai penyerap karbon.



1950



2000



2050



2100



Tahun



Gambar 7-1 Peruaahan iklim, dulu dan yang akan datang. A, Korelasi kadar CO2, yang diukur di Mauna Loa observatory di Hawai, dengan temperatur global rata-rata cenderung melebihi 50 tahun yang lalu. "Temperatur global" pada tahun manapun disimpulkan di Hadley Center (Inggris) dari pengukuran yang dibuat pada lebih dari 3000 kantor pengamat cuaca di seluruh dunia. B, Temperatur diperkirakan meningkat menjelang abad ke 2n. Model komputer lain mengantisipasi kenaikan temperatur global sebesar 2° C sampai 5°C menjelang tahun 2100. (A, Penghargaan kepada Dr. Richard Aster, Department o( Earth and Environmental Science, New Mexico Institute of Mining and Technology, Socorro, New Mexico.)



Di luar efek spesifik penyakit ini diperkirakan baha penairan es glasial ̀terutama di Greenland dan bagian lain belahan bumi utara yang digabungkan dengan ekspansi termal dan lautan yang memanas akan menaikkan permukaan laut sebanyak 2 sampai kaki (feet) pada tahun 2100. Sekitar 10% populasi dunia sekitar 600 juta orang tinggal di dataran rendah yang berisiko untuk banjir bahkan kalau permukaan lautan sedikit meninggi. Perpindahan penduduk akan mengganggu kehidupan dan perdagangan menciptakan kondisi yang baik untuk terjadinya kerusuhan politik perang dan kemiskinan vektor malnutrisi penyakit dan kematian. Baik negara maju maupun negara berkembang akan menderita akibat perubahan iklim tetapi beban terbesar adalah di negara berkembang yang paling sedikit kesalahannya dalam hal peningkatan gas rumah kaca sampai saat ini. Gambaran ini tepat berubah bagaimanapun akibat pertumbuhan ekonomi India dan Cina ̀yang akhir-akhir ini mela mpai Amerika Serikat menjadi penghasil CO2 terbesar di dunia.



Toksisitas Zat Kimia dan Fisis



271



Tantangan terbesar adalah mengembangkan sumber energi baru yang mengurangi produksi gas rumah kaca. Kalau tidak segera bertindak, perubahan iklim akan menjadi penyebab utama dari penyakit lingkungan dunia di abad 21 dan seterusnya.



TOKSISITAS ZAT KIMIA DAN FISIS Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu racun. Ilmu ini mempelajari distribusi, efek dan mekanisma aktivitas dari zat beracun. Lebih luas lagi, ilmu ini meliputi studi mengenai efek zat fisis, seperti radiasi dan panas. Sekitar 4 milyar pond racun kimiawi termasuk 72 juta pond karsinogen yang kita kenal, diproduksi di AS setiap tahun. Umumnya, hanya sedikit yang diketahui mengenai efek bahan kimia yang potensial terhadap kesehatan. Dari sekitar 100.000 bahan kimia yang digunakan di Amerika Serikat, kurang dari 1% yang telah diuji secara eksperimental terhadap efek kesehatan. Di Eropa jumlah bahan kimia yang tersedia kurang dari setengah dari Amerika, tapi banyak yang dilepaskan ke lingkungan sebagai produksi industri atau dibuang sebagai limbah manusia dan hewan. Kami sekarang mempertimbangkan beberapa prinsip dasar mengenai toksisitas dari bahan-bahan kimia eksogen dan obat-obatan.



Udara



• Bahan-bahan kimia dapat berefek pada tempat di mana bahan tersebut masuk atau dapat ditransportasikan ke tempat lain. Beberapa zat kimia tidak dimodifikasi pada saat masuk ke dalam tubuh. Namun, sebagian besar larutan dan obat-obatan akan mengalami pertukaran zat oleh tubuh menjadi produk yang larut dalam air (detoksifikasi) atau dapat juga teraktivasi menjadi metabolit yang toksik. • Kebanyakan larutan dan obat-obatan bersifat lipofilik, di mana di dalam tubuh mekanisma transpornya didukung oleh lipoprotein dalam sel darah merah dan melewati membran sel melalui komponen lipidnya. • Reaksi dalam pertukaran zat xenobiotik menjadi produk nontoksik atau mengaktivasi xenobiotik menjadi senyawa toksik (Gambar 7-3; lihat juga Gambar 7-2), terjadi dalam 2 fase. Pada reaksi fase 1, bahan-bahan kimia akan mengalami hidrolisis, oksidasi atau reduksi. Produk dari reaksi fase 1, seringkali akan mengalami pertukaran zat menjadi senyawa terlarut dalam air melalui reaksi fase 2, yaitu glukuronidasi, sulfasi, metilasi dan konyugasi dengan glutation (GSH). Senyawa terlarut dalam air sudah siap untuk diekskresikan. • Sistem enzim dalam sel yang terpenting yang terlibat dalam reaksi fase 1 adalah sistem sitokrom P-450 yang terutama terdapat pada retikulum endoplasma (RE) di hati, namun juga terdapat pada kulit,



Tanah



PAJANAN MANUSIA



Kulit



• Definisi dari racun adalah hal yang tidak mudah. Hal tersebut pada dasarnya tergantung pada jumlah kuantitatif dan dosis. Terdapat suatu ungkapan dari Paracelsus pada abad ke-16, bahwa "semua substansi adalah racun; dosis yang membedakan suatu racun dari obat". Pendapat tersebut mungkin menjadi lebih sahih saat ini, dari sudut pandang adanya proliferasi/produksi obat-obat terapi yang memiliki potensi efek yang berbahaya. • Xenobiotics adalah bahan kimia eksogen yang berada dalam lingkungan yang mungkin dapat diabsorpsi oleh tubuh melalui inhalasi, komsumsi makanan atau kontak pada kulit (Gambar 7-2). • Bahan-bahan kimia dapat diekskresikan di urin atau feses atau dieliminasi melalui udara pernapasan atau bahan-bahan tersebut dapat terakumulasi dalam tulang, lemak, otak atau jaringan tubuh lainnya.



Air



Saluran cerna



Paru



Penyerapan ke aliran darah



Toksisitas



Distribusi ke jaringan METABOLISMA



Tempat penyimpanan Ekskresi



Gambar 7-2 Pajanan manusia pada polutan. Polutan dalam udara, air dan tanah diserap melalui paru, saluran cerna dan kulit. Dalam tubuh, mereka mungkin berpengaruh terhadap tempat absorpsi, tetapi mereka umumnya dibawa melalui aliran darah ke berbagai organ, tempat mereka disimpan atau dimetabolisasi. Metabolisme xenobiotik mungkin mengakibatkan pembentukan senyawa yang larut dalam air, yang diekskresikan atau dalam aktivasi suatu bahan, membentuk metabolit beracun.



paru dan mukosa gastrointestinal atau secara praktis dalam setiap organ. Sistem tersebut berfungsi sebagai katalisator pada reaksireaksi yang dapat menyebabkan detoksifikasi xenobiotik atau aktivasi xenobiotik menjadi senyawa yang dapat merusak sel. Kedua tipe reaksi tersebut dapat memproduksi, sebagai produk tambahan yaitu ROS (Reactive Oxygen Species), yang dapat menyebabkan kerusakan sel, (dibahas pada Bab 1). Beberapa contoh aktivasi metabolit dari bahan-bahan kimia melalui sistem P-450 adalah konversi dari karbon tetra klorida menjadi bahan toksik triklorometil, yang merupakan radikal bebas dan pembuatan metabolit yang dapat berikatan dengan DNA dari BaP (benzo[α]pyrene), suatu karsinogen yang terdapat pada asap rokok. Sistem sitokrom P-450 juga berpartisipasi dalam metabolisme dari sejumlah besar obat-obat terapi yang sering digunakan, seperti asetaminofen, barbiturat dan antikonvulsan, serta dalam metabolisme alkohol (dibahas selanjutnya).



272



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Xenobiotik



Eliminasi Metabolit non toksik



Metabolit reaktif



Efek pada molekul selular (enzim, reseptor, membran, DNA)



Perbaikan molekular dan seluler Toksisitas (jangka pendek dan jangka panjang)



Gambar 7-3 Metabolisme xenobiotik. Xenobiotik dapat mengalami metabolisme menjadi metabolit non toksik dan disingkirkan dari tubuh (detoksifikasi). Tetapi, metabolisme mereka juga mungkin mengakibatkan aktivasi dari bahan-bahan kimia, menyebabkan pembentukan metabolit reaktif yang beracun untuk komponen seluler. Kalau perbaikan tidak efektif, terjadi jangka pendek dan jangka panjang.



(Dimodifikasi dari Hodgson E A Textbook of Modem Toxicology, 3rd ed, and Fig. 1-1. Hoboken, NJ, John Wiley & Sons, 2004.)







Enzim P-450 mempunyai aktivitas yang bervariasi pada setiap orang yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh polimorfisme gen yang menyandi enzim tersebut dan mempengaruhi interaksi obat-obatan yang mengalami pertukaran zat melalui sistem tersebut. Aktivitas enzim tersebut juga dapat menurun akibat puasa atau kelaparan, dan dapat meningkat akibat konsumsi alkohol dan merokok.



Los Angeles, Houston, Mexico City dan Sao Paulo. Mungkin polusi udara merupakan fenomena modern. Namun tidak berlaku untuk kasus ini; Seneca menulis dalam AD 61, bahwa ia merasakan perubahan disposisinya, segera setelah ia meninggalkan "uap wabah, jelaga dan udara berat di Roma". Hukum pertama untuk pengendalian lingkungan, diproklamasikan oleh Edward 1 pada tahun 1306 dan secara singkat: "Barangsiapa yang ditemukan bersalah karena pembakaran batubara, akan menderita kehilangan kepalanya". Yang telah berubah dalam zaman modern adalah sifat dan sumber polutan udara dan jenis peraturan yang mengendalikan emisinya. Dapat dikatakan bahwa manusia modern telah kehilangan kepalanya untuk menenggelamkan dirinya dalam polusi. Paru menanggung beban berat akibat polusi udara, tetapi polutan udara dapat mempengaruhi banyak sistem organ (efek keracunan timbal dan CO, dibahas kemudian). Kecuali beberapa komentar tentang rokok, dibahas kemudian di bab ini, penyakit paru akibat polutan dibahas di Bab 12. Yang dibahas di sini adalah pengaruh utama ozon, sulfur dioksida, partikel dan CO terhadap kesehatan (Tabel 7-1). Ozon adalah salah satu polusi udara yang paling luas dengan tingkat yang melebihi, standard EPA di banyak kota. Ini adalah gas, yang terbentuk oleh pengaruh cahaya matahari (sunlight-driven), termasuk nitrogen oksida, yang terutama dikeluarkan oleh knalpot mobil. Bersama dengan oksida dan bahan partikel halus, ozon membentuk kabut asap biasa (dari asap dan kabut).



Tabel 7–1 Pengaruh Polutan Udara Ruang Terbuka Terhadap Kesehatan



Polutan



Populasi Berisiko



Pengaruh



Ozon



Dewasa dan anak sehat



Fungsi paru menurun Reaktivitas sakuran napas meningkat inflamasiparu Kapasitas latihan fisis menurun Rawat inap meningkat Reaktivitas saluran napas meningkat Fungsi paru menurun Infeksi respirasi meningkat



Atlet, pekerja di ruang terbuka Pengidap asma Nitrogen dioksida



Dewasa sehat Pengidap asma Anak



Sulfur dioksida



Dewasa sehat



Asam aerosol



Dewasa sehat



POLUSI LINGKUNGAN Polusi Udara Udara yang kita hirup sehari-hari juga sering sarat dengan banyak penyebab penyakit yang berpotensi. Mikroorganisme yang ada di udara sudah sejak lama menjadi berbagai penyebab morbiditas dan kematian. Banyak bahan kimia dan polutan yang ditemukan dalam udara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bahayabahaya tertentu dapat ditemukan baik di luar maupun di dalam ruangan.



Polusi Udara di Tempat Terbuka Udara ambien di negara industri terkontaminasi dengan campuran polutan gas dan partikel, yang tidak baik, yang lebih berat di kota dan daerah dekat industri berat. Di Amerika Serikat, Environmental ProtectionAgency(EPA) memonitor dan menetapkan batas atas yang diizinkan untuk enam polutan, sulfur dioksida, CO, ozon, nitrogen dioksida, timbal dan partikel. Bersama-sama, beberapa zat ini, menghasilkan kabut asap yang diketahui kadang-kadang melumpuhkan kota-kota besar seperti Kairo,



Sindrom respirasi meningkat Pasien dengan penyakit Mortalitas meningkat paru kronik Rawat inap meningkat Pengidap asma Fungsi paru menurun



Anak Pengidap asma Partikel



Mekanisme pembersihan Mukosiliar berubah Infeksi respirasi meningkat Fungsi paru menurun Rawat inap meningkat



Anak



Infeksi respirasi bertambah Fungsi paru Pasien dengan penyakit menurun paru dan jantung Mortalisa berlebihan kronik Pengidap asma Serangan meningkat



Data dari Health effects of outdoor air pollution. Part 2. Committee of the Environmental and Occupational Health Assembly of the American Thoracic Society. Am J Respir Crit Care Med I 53:477, 1996.



Polusi Lingkungan Toksisitasnya berasal dari peranannya dalam reaksi kimia yang menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan jejas sel-sel yang melapisi traktus respirasi dan alveoli. Ozon pada tingkat rendah mungkin ditoleransi oleh orang sehat tetapi merugikan fungsi paru, terutama pada penderita asma atau emfisema dan kalau disertai polusi partikel. Celakanya, polutan jarang berada secara tunggal, tetapi dalam kombinasi untuk membuat witches brew benar. Sulfur dioksida, partikel dan asam aerosol dipancarkan oleh pembakaran batubara dan bahan bakar minyak dan proses pembakaran minyak tanah industri. Dari bahan-bahan ini, partikel (meskipun tidak khas kimia atau fisis), tampaknya merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian. Partikel yang diameternya kurang dari 10 µm sangat berbahaya, sebab kalau terhirup, partikelpartikel ini mengikuti semua aliran udara ke alveoli. Di sini, mereka difagositosis oleh makrofag dan neutrofil, menyebabkan pelepasan mediator-mediator dan memicu terjadinya reaksi inflamasi. Sebaliknya, partikel-partikel yang lebih besar akan disingkirkan dalam hidung atau akan terjebak dalam mukosilia dengan pergerakan silia yang dinamik (semacam escalator) sehingga efeknya tidak terlalu berbahaya. Karbon monoksida (CO) adalah gas yang bersifat tidak mengiritasi, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Gas tersebut diproduksi dari oksidasi bahan-bahan karbon yang tidak sempurna. Sumbernya dapat berasal dari mesin otomotif, industri yang menggunakan bahan bakar minyak bumi, bahan-bahan pembakaran rumah tangga dan asap rokok. Gas tersebut juga dapat ditemukan dalam kadar rendah pada udara sehari-hari dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan, tetapi tidak membahayakan jiwa. Namun, orang-orang yang bekerja pada lingkungan yang sering terpajan dengan gas dan asap tersebut, seperti pekerja-pekerja tambang dan pekerja terowongan bawah tanah dapat terkena keracunan kronik. CO dapat dimasukkan sebagai bahan polusi udara tetapi juga merupakan penyebab penting terjadinya kematian mendadak dan tidak direncanakan. Dalam ruang kecil dan tertutup, asap pembuangan dari mesin mobil dapat menyebabkan koma yang mematikan dalam 5 menit. CO merupakan bahan penyebab asfiksia sistemik yang dapat menyebabkan kematian dengan cara berikatan dengan Hb dan mencegah transpor 02. Hb mempunyai afinitas 200 kali lebih kuat terhadap CO dibandingkan dengan O2. Senyawa yang dihasilkan karboksihemoglobin, tidak mampu membawa oksigen. Hipoksia menyebabkan depresi sistem saraf pusat (SSP), yang berkembang sedemikian lambatnya, sehingga korban mungkin tidak menyadari memburuknya kondisi mereka dan tentu tidak mungkin menolong diri mereka sendiri. Hipoksia sistemik tampak, bila hemoglobin mengandungi CO dengan tingkat kejenuhan 20-30% dan ketidaksadaran dan kematian, mungkin terjadi pada tingkat kejenuhan 60-70%.



MORFOLOGI Keracunan kronik oleh CO terjadi sebab karboksihemoglobin yang sekali terbentuk akan sangat stabil. Akibatnya, pada pajanan yang persisten terhadap CO dengan konsentrasi rendah, karboksi hemoglobin, dapat terakumulasi dalam darah sampai ke konsentrasi yang mengancam nyawa. Perkembangan hipoksia yang lambat, dapat menyebabkan perubahan-perubahan iskemik luas di otak; perubahan-perubahan ini sangat jelas di ganglia basalis dan nuklei lentikuler. Dengan penghentian paparan terhadap CO, pasien biasanya sembuh, tetapi mungkin ada kerusakan neurologik yang permanen. Diagnosis keracunan CO, didasarkan pada deteksi tingginya konsentrasi karboksihemoglobin dalam darah. Keracunan akut oleh CO umumnya merupakan akibat dari paparan yang tidak sengaja atau usaha bunuh diri.



273



Pada orang berkulit putih, hal ini ditandai oleh warna merah cherry, yang khas, secara menyeluruh pada kulit dan selaput lendir, suatu warna yang ditampilkan oleh karboksihemoglobin. Kalau kematian terjadi dengan cepat, perubahan morfologis mungkin tidak terjadi, dengan kelangsungan hidup lebih lama, otak dapat mengalami edema ringan dan menunjukkan titik-titik perdarahan dan perubahan saraf akibat hipoksia. Perubahanperubahan ini tidak spesifik, mereka hanya menyatakan hipoksia sistemik. Pada korban yang selamat dari keracunan CO, dapat pulih sempurna, tetapi kadang-kadang gangguan memori, penglihatan, pendengaran dan bicara mungkin menetap.



Polusi Udara dalam Ruangan Karena rumah modern, semakin "tertutup" dan terpisah dari lingkungan, maka potensi polusi udara dalam ruangan meningkat. Polutan tersering adalah asap tembakau (dibahas kemudian) tetapi terdapat polutan lain ialah CO, nitrogen dioksida (sudah disebutkan sebagai polutan luar ruangan) dan asbes (dibahas di Bab 12). Beberapa ulasan tentang beberapa zat lain disajikan di sini. Asap kayu, mengandungi berbagai oksida dari partikel nitrogen dan karbon, yang merupakan iritan, sehingga orang yang terpajan lebih mudah terserang infeksi paru dan mungkin mengandungi karsinogen hidrokarbon polisiklik. Radon, suatu gas radioaktif, yang merupakan derivat dari uranium, terdapat luas di tanah dan rumah. Meskipun pajanan Radon dapat menyebabkan kanker pada pekerja tambang (terutama pada mereka yang merokok), dalam keadaan pajanan tingkat rendah, kronik, di rumah, tidak terjadi peningkatan risiko kanker, setidaknya untuk bukan perokok. Bioaerosol, mungkin mengandungi agen mikrobiologis yang patogen, seperti agen yang menyebabkan penyakit Legionnaires, pnemoni virus dan flu (common cold), serta alergen yang berasal dari bulu hewan peliharaan, kutu debu rumah dan jamur dan kapang, yang menyebabkan rinitis, iritasi mata dan bahkan asma.



RINGKASAN Penyakit Lingkungan dan Polusi Lingkungan •











Penyakit lingkungan adalah kondisi yang disebabkan oleh pajanan zat kimia atau fisis baik di tempat kerja maupun di lingkungan pribadi. Bahan kimia eksogen, yang dikenal sebagai zat xenobiotik, memasuki tubuh melalui inhalasi, makanan dan kontak kulit dan dapat di eliminasi atau terakumulasi di lemak, tulang, otak dan jaringan lain. Zat xenobiotik dapat diubah menjadi bahan-bahan non toksik atau diaktifkan menjadi senyawa toksik, melalui proses reaksi dua fase yang melibatkan sistem sitokrom P-450.







Polutan udara yang paling sering adalah ozon (yang dalam kombinasinya dengan oksida dan partikel membentuk asap), sulfur dioksida, aerosol asam dan partikel yang diameternya kurang dari 10 µ.m.







Karbon monoksida merupakan polusi udara dan penyebab kematian akibat kecelakaan dan bunuh diri; bahan ini mengikat hemoglobin dengan afinitas tinggi, menyebabkan asfiksia sistemik yang berhubungan dengan depresi SSP.



Logam sebagai Polutan Lingkungan Timbal, merkuri, arsenik dan kadmium, logam berat yang paling sering berhubungan dengan efek berbahaya pada manusia, dibahas di sini.



274



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Timbal Pajanan timbal terjadi melalui udara dan makanan. Pada sebagian besar abad ke-20, sumber utama timbal di lingkungan adalah cat rumah dan bensin. Meskipun penggunaan cat berbasis timbal dan gas bertimbal telah sangat berkurang, banyak sumber timbal bertahan di lingkungan, seperti pertambangan, pengecoran, baterai dan cat semprot, yang semuanya merupakan risiko pekerjaan. Namun, pengelupasan cat bertimbal di rumah-rumah tua dan kontaminasi pada tanah merupakan bahaya besar untuk anak-anak. Memang, sebuah chip tunggal 1-cm2 dari cat tua bertimbal (sebelum 1977) mengandungi sekitar 175 µg timbal, jumlah ini kalau dikonsumsi tiap hari dari waktu ke waktu, akan cepat mencapai kadar toksik timbal. Menurut sebuah laporan tahun 2008 dari Environmental Protection Agency (EPA), 0,9% anak-anak Amerika menunjukkan kadar timbal darah melebihi 10 µg/ dL (kadar maksimum yang diperbolehkan). Persentasi ini menunjukkan penurunan dari 4,4% pada awal tahun 1990. Walaupun demikian, pada anak-anak yang tinggal di rumah dengan cat berbasis timbal atau debu yang terkontaminasi timbal, umumnya kadar timbal darahnya lebih tinggi dari kadar maksimum yang diperbolehkan. Anak-anak mengabsorbsi lebih dari 50% timbal dari makanan, sedangkan orang dewasa mengabsobsi sekitar 15%. Sawar darah otak (blood-brain barrier) yang lebih permeabel pada anak membuat kerentanan kerusakan otak yang tinggi. Gambaran klinis utama dari keracunan timbal diperlihatkan pada Gambar 7-4. Sebagian besar dari timbal yang terserap (80%-85%), dibawa ke tulang dan gigi yang sedang tumbuh; bersaing dengan kalsium, mengikat fosfat dengan paruh waktu (a half life) di tulang adalah 20 sampai 30 tahun. Sekitar 5 sampai 10% timbal yang terserap tetap dalam darah, dan sisanya didistribusikan ke jaringan lunak. Timbal yang berlebihan, menyebabkan efek neurologik pada dewasa dan anak; neuropati perifer predominan pada dewasa, sedangkan efek sentral lebih sering pada anak. Efek paparan timbal yang kronik pada anak, meliputi kapasitas intelektual yang lebih rendah, bermanifestasi sebagai intelligence quotient (IQ) yang rendah, kelainan perilaku seperti hiperaktif dan rendahnya keterampilan organisasi. Neuropati perifer yang diinduksi oleh timbal, pada dewasa umumnya berkurang dengan eliminasi pajanan, tetapi kedua abnormalitas ini bersifat perifer dan SSP, pada anak biasanya tidak reversibel. Kelebihan timbal mengganggu "remodeling" kalsifikasi tulang rawan normal dan trabekula tulang primer di epifisis anak, menyebabkan densitas tulang meningkat, yang terdeteksi sebagai garis-garis timbal (Gambar 7-5). Garis timbal yang jenisnya berbeda dapat ditemukan di gusi, di sini kelebihan timbal menyebabkan hiperpigmentasi. Timbal menghambat penyembuhan fraktur dengan meningkatkan kondrogenesis dan memperlambat mineralisasi tulang dewasa. Ekskresi timbal adalah melalui ginjal dan pajanan akut dapat menyebabkan kerusakan tubulus proksimal. Timbal mempunyai afinitas tinggi terhadap gugus sulfhidril dan mengganggu dua enzim yang terlibat dalam sintesis heme, asam amino-levulinat dehidratasi dan delta ferokelatase. Masuknya besi ke heme terhambat, menyebabkan anemia. Timbal juga menghambat sodium - potassium- dependent ATPases di membran sel, suatu efek yang dapat meningkatkan fragilitas sel darah merah, menyebabkan hemolisis. Diagnosis keracunan timbal, memerlukan pengawasan yang terus menerus. Diagnosis dapat dicurigai berdasarkan kelainan neurologis atau anemia yang tidak jelas sebabnya, disertai bercak basophil (basophilic stippling) di sel darah merah. Peningkatan kadar timbal darah dan protoporfirin bebas eritrosit (lebih dari 50 µg/ dL) atau alternatif, kadar protoporfirin seng diperlukan untuk diagnosis definitif. Pada kasus-kasus dengan pajanan timbal yang lebih ringan, kelainannya mungkin hanya anemia.



OTAK Dewasa: Nyeri kepala, penurunan daya ingat Anak: Encefalopati, kemunduran mental GUSI Garis timbal DARAH Anemia, bintik-bintik basofilik (basophilic stippling) di sel darah merah SARAF PERIFER Dewasa: Demielinasasi GINJAL Penyakit tubulointerstitial kronik SALURAN GASTROINTESTINAL Nyeri abdomen



TULANG Anak: Endapan padat sinar (radiodense) pada epifisis



PEKERJAAN Cat semprot Pengecoran logam Penambahan dan penggalian timbal Pembakaran aki



SUMBER



BUKAN PEKERJAAN Pasokan air Debu dan kelupasan cat Asap kendaraan bermotor Tanah perkotaan



Gambar 7-4 Gambaran patologis dari keracunan timbal.



MORFOLOGI Sasaran anatomik utama pada toksisitas timbal adalah darah, sumsum tulang, sistem saraf, saluran cerna dan ginjal (Gambar 7-4). Kelainan darah adalah ciri yang paling dini dari akumulasi timbal dan khas, terdiri atas anemia mikrositik dan hipokromik, berkaitan dengan bercak basophil (basophilic stippling dengan gambaran titik) yang jelas pada eritrosit. Kelainan-kelainan darah ini, disebabkan oleh inhibisi sintesis heme di progenitor eritroid sumsum. Konsekwensi lain dari hambatan ini yang terbentuk



Polusi Lingkungan



275



Merkuri Manusia sepanjang sejarah telah menggunakan merkuri dengan berbagai cara, termasuk sebagai pewarna lukisan gua, kosmetik, obat sifilis dan komponen diuretik. Keracunan dari inhalasi uap merkuri telah lama dikenal dan berhubungan dengan tremor, ginggivitis dan perilaku aneh, seperti pada Mad Hatter dalam Lewis Carroll's Alice in Wonderland (dahulu merkuri digunakan dalam pembuatan topi). Saat ini, sumber utama dari pajanan merkuri adalah ikan yang tercemar dan amalgams gigi, yang melepaskan uap merkuri. Pada beberapa daerah di dunia, merkuri yang dipakai di pertambangan emas telah mencemari sungai dan anak sungai. Merkuri anorganik dari degassing kerak bumi alami atau dari kontaminasi industri diubah menjadi senyawa organik seperti metil-merkuri oleh bakteri. Metil merkuri masuk ke rantai konsumsi makanan dan ikan karnivora seperti ikan todak, hiu dan bluefish, kadar merkuri mungkin menjadi satu juta lebih tinggi daripada di air sekitarnya. Konsumsi ikan yang tercemar zat berasal dari pelepasan metil-merkuri di Teluk Minamata dan Sungai Agano di Jepang dan konsumsi roti yang mengandungi gandum yang diberi fungisida berbasis merkuri di Irak, menyebabkan morbiditas luas dan banyak kematian. Gambar 7-5 Keracunan timbal. Gangguan remodeling tulang rawan yang mengalami kalsifikasi di epifisis (tanda panah) pergelangan tangan, yang menyebabkan peningkatan radiodensitas yang mencolok, sehingga epifisis tampak radio-opak seperti tulang korteks. (Sumbangan dari Dr. G.W. Dietz, Department of Radiology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texos.)



adalah protoporfirin seng bukan heme. Dengan demikian, peningkatan kadar protoporfirin seng darah atau produknya ialah protoporfirin eritrosit bebas, merupakan indikator penting dari keracunan timbal. Kerusakan otak cenderung terjadi pada anak. Ini mungkin samar-samar, menghasilkan disfungsi ringan atau mungkin masif dan letal. Pada anak pernah dilaporkan, terjadi gangguan sensorik, motorik, intelektual dan psikologis, termasuk penurunan IQ, kesulitan belajar, keterlambatan perkembangan psikomotor dan pada kasus-kasus yang lebih berat, kebutaan, psikosis, kejang dan koma. Toksisitas timbal pada ibu hamil, dapat menyebabkan gangguan perkembangan otak janin. Perubahan anatomik yang mendasari defisit fungsional yang lebih samar tidak diketahui pasti, tetapi beberapa cacat mungkin menetap. Pada ujung spektrum yang lebih parah adalah edema otak, demielinisasi substansi putih otak besar dan kecil dan nekrosis neuron korteks yang disertai oleh proliferasi difus astrosit. Pada dewasa SSP lebih jarang terjangkiti, tetapi sering terjadi neuropati demielinisasi perifer, khas mengenai neuron motor yang mempersarafi sebagian besar otot-otot yang sering dipakai. Jadi, otot ekstensor dari pergelangan tangan dan jari-jari sering menjadi korban pertama, diikuti oleh paralisis otot peroneal (wristdrop dan footdrop). Traktus GI juga merupakan lokasi untuk manifestasi klinis utama. "Kolik" timbal ditandai oleh nyeri abdomen yang sangat hebat dengan lokasi yang tidak jelas. Ginjal dapat mengalami kerusakan tubulus proksimal dengan inklusi timbal intranukleus. Kerusakan ginjal kronik akhirnya menyebabkan fibrosis interstitium dan mungkin gagal ginjal dan ciri-ciri sugestif dari penyakit pirai/gout (saturnine gout). Perangai lain dari keracunan timbal diperlihatkan pada Gambar 7-4.



Kelainan-kelainan medik yang berhubungan dengan episode Minamata dikenal sebagai penyakit Minamata dan termasuk cerebral palsy, ketulian, kebutaan dan sebagian besar cacat SSP pada anakanak, yang terpajan semasa janin. Otak dalam masa perkembangan, sangat sensitif terhadap metil merkuri, oleh karena itu The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat merekomendasikan, agar wanita hamil menghindari konsumsi jenis ikan yang diketahui mengandungi merkuri. Telah banyak publikasi tentang kemungkinan hubungan antara thimerosal (suatu senyawa yang mengandungi etil merkuri, yang sampai saat ini digunakan sebagai pengawet beberapa vaksin) dan perkembangan autisma, tetapi beberapa penelitian besar telah gagal untuk mendeteksi hubungan ini.



Arsen (Arsenik) Arsen adalah racun yang terkenal di zaman Renaissance Italia, dan aplikasi ini digunakan oleh beberapa praktisi yang terlatih di antara kaum Borgia dan Medici. Saat ini jarang terjadi orang yang diracun, tetapi pajanan arsen merupakan masalah kesehatan yang penting di banyak daerah di dunia. Arsen, secara alami ditemukan di tanah dan air dan digunakan dalam pengawet kayu, herbisida dan produk pertanian lain. Ini dapat dilepaskan di lingkungan oleh industri pertambangan dan peleburan. Konsentrasi besar arsen anorganik terdapat di air tanah di negara-negara seperti Bangladesh, Chili dan Cina. Sebanyak 20 juta orang di Bangladesh minum air yang tercemar oleh arsen, merupakan salah satu risiko kanker akibat lingkungan, yang terbesar, yang belum teridentifikasi. Bentuk arsen yang paling beracun, adalah senyawa trivalen arsenik trioksida, natrium arsenit dan arsenik triklorida. Jika tertelan dalam jumlah banyak arsen menyebabkan toksisitas akut, dengan manifestasi sebagai gangguan gastrointestinal, kardiovaskular dan SSP yang parah, sering berakhir dengan kematian. Efek ini dapat dikaitkan dengan gangguan fosforilasi oksidatif mitokondria.



276



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Pajanan kronik arsen menyebabkan hiperpigmentasi dan hiperkeratosis pada kulit, yang dapat berkembang menjadi karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa (tetapi tidak melanoma). Tumor kulit yang diinduksi oleh arsen berbeda dengan yang diinduksi oleh sinar matahari, dengan lokasinya di telapak tangan dan kaki dan terjadi sebagai lesi multipel. Pajanan arsen juga berkaitan dengan peningkatan risiko karsinoma paru. Mekanisme dari karsinogenesis arsen pada kulit dan paru tidak pasti.



Kadmium Berbeda dengan logam yang sudah dibahas, kadmium adalah zat toksik yang relatif modern terutama digunakan dalam baterai nikelkadmium, yang umumnya dibuang sebagai limbah rumah tangga. Hal ini dapat mencemari tanah dan tanaman secara langsung atau melalui pupuk dan air irigasi. Makanan adalah sumber pajanan terpenting untuk masyarakat umum. Asupan kadmium yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif dan toksisitas ginjal, awalnya sebagai kerusakan tubulus, yang dapat berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir. Pajanan kadmium dapat juga menyebabkan kelainan tulang terkait dengan kehilangan kalsium. Air yang tercemar kadmium, yang dipakai untuk irigasi sawah di Jepang, menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai itai-itai (ouchouch), pada wanita menopause, kombinasi dari osteoporosis dan osteomalasia, yang berhubungan dengan penyakit ginjal. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 5% dari orang berusia 20 tahun dan lebih tua di Amerika Serikat memiliki tingkat kadmium urin, yang menurut data penelitian dapat mencederai ginjal secara samar dan meningkatkan hilangnya kalsium.



RINGKASAN Pengaruh Toksik dari Logam Berat •



Timbal, merkuri, arsenik dan kadmium adalah logam berat yang paling sering dikaitkan dengan efek toksik pada manusia.







Pada anak, absorbsi timbal yang tertelan, lebih besar daripada dewasa, sumber utama eksposur pada anak adalah cat yang mengandungi timbal.







Timbal yang berlebihan menyebabkan cacat SSP pada anak dan neuropati perifer pada dewasa. Timbal yang berlebihan bersaing dengan kalsium di tulang dan mengganggu remodelling tulang rawan,juga menyebabkan anemia.







Sumber utama pajanan merkuri adalah ikan yang tercemar. Otak dalam masa perkembangan, sangat sensitif terhadap metil merkuri, yang tertimbun di otak dan menyumbat saluran ion.



• Pajanan janin terhadap kadar merkuri yang tinggi di uterus dapat menyebabkan penyakit Minamata, yang ditandai oleh cerebral palsy, ketulian dan kebutaan. •



Arsen secara alami terdapat di tanah dan air dan merupakan komponen dari beberapa pengawet kayu dan herbisida. Kelebihan arsen mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan menyebabkan efek toksik di traktus GI, SSP dan sistem kardiovaskular, pajanan jangka panjang menyebabkan lesi kulit dan karsinoma.







Kadmium dari baterai nikel-kadmium dan pupuk kimia dapat mencemari tanah. Kelebihan kadmium menyebabkan penyakit paru obstruktif dan kerusakan ginjal.



Pajanan Industri dan Pertanian Lebih dari 10 juta kecelakaan kerja terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dan sekitar 65.000 orang meninggal sebagai akibat penyakit dan kecelakaan kerja. Pajanan industri terhadap zat toksik bervariasi seperti industri itu sendiri. Mereka berkisar dari hanya iritasi yang mengganggu di saluran respirasi oleh uap formalin atau amonia, sampai kanker paru yang fatal yang terjadi akibat pajanan pada pertambangan asbes, arsen atau uranium. Penyakit manusia yang berhubungan dengan pajanan pekerjaan tercantum pada Tabel 7-2. Selain logam beracun (yang telah dibahas), zat penting lain yang berkontribusi terhadap penyakit lingkungan, meliputi bahan-bahan berikut: • Pelarut organik banyak digunakan dalam jumlah besar di seluruh dunia. Beberapa seperti kloroform dan karbon tetraklorida, ditemukan dalam zat pelarut lemak dan dry cleaning dan pelarut cat. Pajanan akut terhadap uap zat-zat ini dengan kadar tinggi dapat menyebabkan pusing dan kebingungan, menyebabkan depresi SSP dan bahkan koma. Kadar yang lebih rendah bersifat toksik terhadap hati dan ginjal. Pajanan pekerja karet terhadap benzene dan 1,3butadin, meningkatkan risiko leukemia. Benzena di oksidasi menjadi suatu epoksida, melalui CYP2E1 hati, suatu komponen dari sistem enzim P-450 yang telah disebutkan. Epoksida dan metabolit lain mengganggu diferensiasi sel progenitor di sumsum tulang, menyebabkan aplasia sumsum dan leukemia mieloid akut. • Hidrokarbon polisiklik dapat dilepaskan selama pembakaran batubara dan gas, terutama pada temperatur tinggi, yang digunakan untuk pengecoran baja dan juga terdapat dalam tar dan jelaga (Pott mengidentifikasi jelaga sebagai penyebab kanker skrotum di cerobong asap pada 1775, seperti disebutkan di Bab 5). Hidrokarbon polisiklik merupakan salah satu karsinogen yang paling kuat dan pajanan industri telah berperan sebagai penyebab kanker paru dan kandung kemih. • Organoklorin (dan senyawa organik yang terhalogenisasi secara umum) adalah produk sintesis yang tahan terhadap degradasi dan bersifat lipofilik. Organoklorin penting yang digunakan sebagai peptisida adalah DDT (diklorodifenil trikloroetan) dan metabolitrtya dan zat-zat seperti lindan, aldrin dan dieldrin. Organoklorin nonpeptisida meliputi polychlorinated biphenyls (PCBs) dan dioxin (TCDD [2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin]). DDT sudah dilarang di Amerika Serikat sejak tahun 1973. Namun pada lebih dari setengah penduduk masih terdeteksi adanya kadar p,p'-DDE dalam serum yaitu metabolit DDT jangka panjang, termasuk orang-orang yang dilahirkan setelah DDT, dilarangpun masih terkena dampaknya. PCB dan TCDD juga terdapat dalam darah pada kebanyakan penduduk di Amerika Serikat. Keracunan DDT akut pada manusia dapat menyebabkan gangguan neurologis. Kebanyakan organoklorin menyebabkan gangguan endokrin, serta memiliki efek antiestrogenik atau anti androgenik pada hewan percobaan, namun efek jangka panjang pada kesehatan manusia belum dapat dipastikan. • Dioksin dan PCBs dapat menyebabkan kelainan kulit seperti folikulitis dan dermatosis acneiformis, yang dikenal sebagai chloracne, yang terdiri atas acne, kista-kista, hiperpigmentasi dan hiperkeratosis. Umumnya terdapat disekitar wajah dan di belakang telinga. Penyakit tersebut dapat disertai adanya kelainan pada hati dan SSP. Selain itu, karena PCB menginduksi sistem enzim P-450, pekerjapekerja yang terpajan terhadap zat tersebut dapat menunjukkan kelainan metabolisme obat.



Polusi Lingkungan



277



Tabel 7-2 Asosiasi Penyakit Manusia dan Pajanan Pekerjaan



Organ/Sistem Sistem kardiovaskular



Pengaruh Penyakit jantung



Sistem respirasi



Kanker hidung Kanker paru Penyakit paru obstruksi kronik Hipersensitivitas Fibrosis



Sistem saraf



Neuropati perifer Perilaku ataksik Depresi sistem saraf pusat Katarak Toksisitas Kanker kandung kemih Infertilitas pria Infertilitas Wanita Teratogenesis



Sistem urinaria Sistem reproduksi



Sistem hematopoietik Kulit



Leukemia Folikulitis dan dermatosis acneiform Kanker



Saluran cerna



Angiosarkoma hati



Bahan Toksik Karbon monoksida, timbal, pelarut, kobal, kadmium Alkohol isopropil, debu kayu Radon, asbes, silika, bis (klorometil) eter, nikel, arsenik, kromium, gas mustard Debu padi-padian, debu batubara, kadmium Berilium, isosianat Amonia, sulfur oksida, formaldehida Silika, asbes, kobal Pelarut, akrilamid, metal klorida, air raksa, timbal, arsenik, DDT Klordan, toluen, akrilamida, air raksa Alkohol, keton, aldehida, pelarut Radiasi ultraviolet Air raksa, timbal, eter glikol, pelarut Naftilamin, 4-aminobifenil, benzidin, produk karet Timbal, plastisiser ftalat Kadmium, timbal Air raksa, bifenil poliklorinat Benzena, radon, uranium Bifenil poliklorinat, dioksin, herbisida Radiasi ultraviolet Klorida vinil



DDT, diklorodifeniltrikloroetan. Data dari Leigh JP, Markowitz SB, Fahs M, et al: Occupational injury and illness in the United States. Estimates of costs, morbidity, and mortality, Arch Intem Med 157:1557, 1997; Mitchell FL: Hazardous waste. ln Rom WN (ed): Environmental ond Occupational Medicine, 2nd ed. Boston, Uttle, Brown, 1992, p 1275; and Levi PE: Classes of toxic chemicals. ln Hodgson E, Levi PE (eds): A Textbook of Modem Toxicology. Stamford, CT, Appleton & Lange, 1997, p 229.



Bencana alam di Jepang dan Cina pada akhir tahun 1960 disebabkan oleh konsumsi minyak nabati yang tercemar oleh PCB pada saat produksinya dan meracuni sekitar 2000 orang pada setiap episode. Manifestasi awal dari penyakit tersebut (yusho dalam bahasa Jepang, yu-cheng dalam bahasa Cina) adalah chloracne dan hiperpigmentasi pada kulit dan kuku.



Peningkatan risiko terjadinya kanker akibat paparan asbes, seringkali juga dapat terjadi pada anggota keluarga dari pekerja asbes dan orang-orang lain di luar tempat kerja. Pneumokoniosis serta patogenesisnya akan dibahas pada Bab 12.



• Bisphenol A (BPA) digunakan pada pembuatan wadah makanan dan minuman berkarbonasi dan epoxy resins, yang melapisi hampir semua kaleng dan botol; oleh karena itu, manusia seringkali terpajan dengan BPA. BPA sudah lama terkenal sebagai penyebab gangguan endokrin. Beberapa telaah retrospektif telah mempelajari hubungan antara peningkatan kadar BPA dalam urin disertai terjadinya penyakit jantung pada orang-orang dewasa. Selain itu, bayi yang minum dari botol-botol yang mengandungi BPA juga rentan terhadap efek endokrinnya. Pada tahun 2010, Kanada merupakan negara pertama yang memasukan BPA ke dalam daftar bahan beracun dan sebagai Negara pembuat botol-botol, cangkir sippy bayi terbesar, telah berhenti menggunakan BPA dalam proses produksinya. Namun, efek gangguan kesehatan jangka panjang pada manusia akibat BPA masih belum dapat dipastikan dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. • Pajanan terhadap vinil klorida yang digunakan dalam pembuatan barang-barang polivinil, dapat menyebabkan angiosarkoma pada hati, tumor yang jarang terdapat pada hati • Inhalasi debu mineral dapat menyebabkan penyakit paru kronik, non neoplastik, yang disebut sebagai pneumokoniosis. Kelompok penyakit ini meliputi penyakit-penyakit paru non neoplastik yang diinduksi oleh partikel-partikel organik dan anorganik serta asap dan uap bahan kimia. Pneumokoniosis paling sering disebabkan oleh pajanan terhadap debu mineral: debu batubara (dalam pertambangan), silika (dalam pemotongan batu dan kerikil), asbes (dalam pertambangan, pabrik dan pekerja isolasi) dan berilium (dalam pertambangan dan pabrik). Paparan terhadap bahan-bahan ini sering terjadi dalam tempat kerja tersebut.



Tembakau merupakan penyebab eksogen tersering pada penyakit kanker manusia, serta merupakan penyebab 90% penyakit kanker paru-paru. Penyebab utamanya adalah merokok, namun penggunaan tembakau dalam berbagai cara (menghisap atau mengunyah tembakau) juga dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan merupakan penyebab penting dari kanker mulut. Penggunaan produk tembakau tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun inhalasi pasif asap rokok dari lingkungan (second-hand smoke) juga dapat menyebabkan kanker paru pada orang-orang yang tidak merokok. Merokok sigaret global dapat menyebabkan lebih dari 4 juta kematian pertahun, umumnya disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, berbagai jenis kanker dan gangguan respirasi kronik. Diperkirakan akan terdapat 8 juta kematian per tahun yang berkaitan dengan tembakau menjelang tahun 2020, peningkatan sebagian besar terjadi pada negara-negara berkembang. Dari semua orang yang hidup saat ini, diperkirakan sekitar 500 juta orang akan meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan tembakau. Di Amerika Serikat, tembakau menyebabkan lebih dari 400.000 kematian setiap tahunnya, sepertiganya disebabkan oleh kanker paru.



EFEK DARI TEMBAKAU



Merokok merupakan salah satu sebab kematian yang dapat dicegah. Pemakaiannya dapat menurunkan ketahanan hidup. Sekitar 80% orang-orang yang tidak merokok hidup sampai usia 70, namun hanya sekitar 50% perokok yang hidup sampai usia tersebut (Gambar 7-6). Penghentian kebiasaan merokok dapat menurunkan risiko kematian akibat kanker paru, dan bahkan tetap memberikan sedikit pengaruh pada orang-orang yang berhenti merokok di usia 60. Pada tahun 1998-2007 di Amerika



278



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi Terbiasa merokok Kadangkadang merokok



100



Kanker rongga mulut Kanker laring



80



Persentasi hidup



Kanker esofagus Kanker paru



60



Bronkhitis kronik, emfisema Myocardial miokard



40



Ulkus peptik 20



Kanker pankreas



0 40



55



70



85



100



Aterosklerosis sistemik



Umur



Gambar 7-6 Pengaruh rokok pada kelangsungan hidup. Penelitian ini membandingkan angka kematian usia tertentu untuk mereka yang terbiasa merokok dengan mereka yang kadang-kadang merokok (British Doctors Study). Perbedaan kelangsungan hidup, diukur pada usia 75 tahun, antara perokok dan bukan perokok adalah 7,5 tahun.



Kanker kandung kemih



(Dimodifikasi dori Stewart BW, Kleihues P fecisi World Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



Serikat, insidens merokok menurun drastik, tetapi sekitar kurang lebih 20% orang-orang dewasa tetap merokok. Lebih parah lagi, merokok di negara yang paling banyak penduduknya, Cina lebih sering dilakukan daripada dihindari. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang di Cina meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Selanjutnya akan dibahas mengenai beberapa bahan yang terdapat dalam rokok dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pemakaian tembakau. Efek samping dari merokok pada berbagai sistem organ dapat dilihat pada Gambar 7-7. Jumlah bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok sangat banyak; pada Tabel 7-3 terdapat beberapa efek samping yang diakibatkan oleh bahan-bahan berbahaya tersebut. Nikotin, suatu alkaloid yang terdapat pada daun tembakau, tidak menyebabkan penyakit secara langsung, tetapi menyebabkan adiksi. Nikotin berikatan dengan reseptor-reseptor di otak dan melalui pelepasan katekolamin, dapat menyebabkan efek langsung akibat merokok seperti meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, serta meningkatkan kontraktilitas dan curah jantung. Penyakit yang paling sering disebabkan oleh rokok biasanya menjangkiti paru-paru yaitu: emfisema, bronkitis kronik dan kanker paru. Semuanya akan dibahas pada Bab 12. Mekanisme terjadinya penyakit akibat tembakau akan dibahas selanjutnya. • Bahan-bahan dalam asap rokok memiliki efek iritasi langsung pada mukosa trakeo-bronkial, menyebabkan inflamasi dan meningkatkan produksi mukus (bronkitis). Asap rokok juga menyebabkan datangnya leukosit ke paru-paru sehingga meningkatkan produksi elastase lokal dan menyebabkan kerusakan jaringan paru yang mengakibatkan terjadinya emfisema.



Gambar 7-7 Pengaruh samping rokok. Yang ditebalkan (boldface), lebih sering.



• Komponen-komponen asap rokok, terutama hidrokarbon polisiklik dan nitrosamin (Tabel 7-4), merupakan karsinogen yang potensial pada binatang dan mungkin terlibat dalam proses terjadinya karsinoma paru pada manusia (lihat Bab 12). Risiko terjadinya kanker paru berhubungan dengan intensitas pajanan rokok, umumnya diukur dengan sebutan "bungkus per tahun" (misalnya 1 bungkus per hari selama 20 tahun sama dengan 20 bungkus per tahun) atau jumlah batang rokok per hari (Gambar 7-8). Di samping itu, rokok melipat gandakan peningkatan risiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan Tabel 7-3 Pengaruh dari Konstituen Asap Rokok Tertentu



Zat



Pengaruh



Tar



Karsinogenesis



Hidrokarbon aromatik polisiklik Karsinogenesis Nikotin



Stimulasi dan depresi ganglion, promosi tumor



Fenol Benzopiren Karbon monoksida Formaldehida Oksida nitrogen Nitrosamine



Promosi tumor, iritasi mukosa Karsinogenesis Gangguan transpor dan pemakaian oksigen Toksisitas terhadap silia; iritasi mukosa Toksisitas terhadap silia, iritasi mukosa Karsinogenesis



Efek dari Tembakau



279



Sebagai salah satu contoh interaksi karsinogen-karsinogen yang dapat menyebabkan kanker laring diberikan pada bagan berikut ini Organ Karsinogen (Gambar 7-9). Paru, laring Hidrokarbon aromatik polisiklik Ibu dalam keadaan hamil yang merokok akan meningkatkan risiko • 4-(Metilnitrosoamino)- I -(3terjadinya abortus spontan dan kelahiran prematur, serta dapat piridil)- I -butanone (NNK) 210 Polonium menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (Bab 6); sedangkan berat badan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berhenti merokok Esofagus Nr-Nitrosonornikotine (NNN) Pankreas NNK (?) sebelum hamil adalah normal. • Pajanan terhadap asap tembakau di lingkungan (perokok pasif) 4-Aminobifenil, 2-naftilamin Kandung kemih juga dapat menimbulkan efek yang merugikan. Diperkirakan bahwa Rongga mulut: rokok Hidrokarbon aromatik polisiklik, risiko relatif terjadinya kanker paru pada nonperokok yang terpapar NNK, NNN asap rokok di lingkungan sekitar 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan Rongga mulut: dihisap NNK, NNN, dengan non-perokok yang tidak terpajan asap rokok. Di Amerika Data dari Szczesny LB, Holbrook JH: Cigarette smoking. ln Rom WH (ed): Environmental Serikat, sekitar 3000 kematian akibat kanker paru pada non-perokok and Occupational Medicine, 2nd ed. Boston, Little, Brown, 1992, p 121 I. di atas usia 35 tahun disebabkan oleh asap rokok di lingkungan. Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan risiko terhadap aterosklerosis arteri koroner dan infark miokard yang fatal. dengan karsinogen lain, sebagai contoh: insidens terjadinya karsinoma Penelitian melaporkan bahwa setiap tahun, 30.000-60.000 kematian paru meningkat 10 kali lipat pada pekerja yang terpajan asbes dan akibat penyakit jantung di Amerika Serikat berhubungan dengan pekerja tambang uranium yang merokok dibandingkan pekerja yang perokok pasif. Anak-anak yang tinggal di rumah dengan orang tua tidak merokok dan interaksi antara konsumsi tembakau dan alkohol yang merokok memiliki frekuensi yang lebih tinggi untuk menderita dalam meningkatnya risiko terjadinya kanker mulut akan dibahas gangguan pernapasan dan asma. Jumlah asap rokok yang terhisap kemudian. oleh orang-orang non-perokok dapat diperkirakan dengan mengukur • Aterosklerosis dan komplikasi utamanya infark miokard, sangat berkadar kotinin dalam darah yaitu suatu metabolit dari nikotin. Di hubungan dengan merokok. Mekanisme perjalanan penyakit mungkin Amerika Serikat, rata-rata kadar kotinin pada non-perokok telah berkaitan dengan beberapa faktor, termasuk peningkatan agregasi menurun sekitar lebih besar 60% dalam waktu 15 tahun akhir-akhir trombosit, penurunan asupan oksigen ke miokard (sebab penyakit ini disebabkan peraturan larangan merokok di tempat umum. paru-paru menyebabkan hipoksia dan berkaitan dengan gas CO pada Namun, perokok pasif yang berada di rumah tetap menjadi masalah asap rokok) disertai peningkatan kebutuhan oksigen pada miokard besar dalam masyarakat, terutama pada anak-anak. Jelaslah bahwa dan penurunan ambang untuk fibrilasi ventrikel. Hampir sepertiga dari kesenangan menghisap rokok yang sementara harus dibayar dengan semua serangan jantung berkaitan dengan merokok. Merokok dapat harga yang mahal dalam jangka waktu yang lama. melipatgandakan risiko terhadap penyakit, bila dikombinasikan dengan hipertensi dan hiperkolesterolemia. Tabel 7-4 Karsinogen Organ Tertentu dalam Asap Tembakau



• Selain kanker paru, asap tembakau juga dapat menyebabkan kanker rongga mulut, esofagus, pankreas dan kandung kemih. Pada Tabel 7-4 terdapat daftar karsinogen yang spesifik terhadap organ tertentu, yang terdapat dalam asap rokok



Menghisap tembakau (rokok/hari)



• Kombinasi pemakaian tembakau (dikunyah atau merokok) dan konsumsi alkohol dapat melipat-gandakan risiko terhadap kanker mulut, laring dan esofagus.



50



0–7



8–15



16–25



26+



40



Risiko relatif



20



Risiko relatif



15



10



30



20 120+ 10



5



0



41–80



0



1



10



20



40



60



Rokok yang dihisap/hari



Gambar 7-8 Risiko kanker paru ditentukan oleh jumlah rokok yang dihisap. (Data dari Stewart BW, Kleihues P teds]: Wodd Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



0 0–40



n



Ko



lko



si a



m su



81–120 ri) ha (g/ l ho



Gambar 7-9 Peningkatan multiplikatif dalam risiko kanker lainnya dari interaksi antara merokok dan konsumsi aikohol. (Data dari Stewart BVV, Kleihues P 1"eds]: World Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



280



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



RINGKASAN Pengaruh Tembakau pada Kesehatan •



Merokok merupakan salah satu penyebab kematian manusia yang dapat dicegah.







Asap tembakau mengandungi lebih dari 2000 bahan. Di antaranya adalah nikotin, salah satu bahan utama yang dapat menyebabkan adiksi rokok dan merupakan karsinogen yang berbahaya. Bahan lainnya hidrokarbon polisiklik aromatik, nitrosamin dan amin aromatik. sekitar kurang lebih 90% kanker paru terjadi pada perokok. Merokok juga berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap kanker pada rongga mulut, laring, esofagus, lambung, kandung kemih dan ginjal serta beberapa bentuk leukemia. Dengan berhenti merokok dapat mengurangi risiko terjangkit kanker paru. Pemakaian tembakau tanpa asap dapat menyebabkan kanker mulut. Konsumsi tembakau yang dikombinasi dengan alkohol dapat melipatgandakan risiko terhadap kanker mulut, laring dan esofagus dan peningkatan risiko terjangkit kanker paru pada pekerja-pekerja yang terpajan pada asbes, uranium dan bahan-bahan lainnya. Konsumsi tembakau merupakan faktor risiko penting untuk terjangkit aterosklerosis, infark miokard, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskular. Pada paru di samping menyebabkan kanker, juga merupakan predisposisi emfisema bronkitis kronik dan penyakit paru obstruksi kronik. Merokok dalam keadaan hamil, meningkatkan risiko terhadap abortus, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir rendah.



















PENGARUH ALKOHOL Bila etanol dikonsumsi dalam jumlah terbatas akan mengakibatkan perasaan menyenangkan pada seseorang, tidak mengganggu masyarakat dan tidak membahayakan. Tetapi bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, alkohol akan mengakibatkan kerusakan fisis dan psikologik. Selanjutnya akan dibahas mengenai kelainan-kelainan yang berhubungan langsung dengan penggunaan alkohol yang berlebihan. Terlepas dari semua perhatian yang diberikan pada obat-obat terlarang, penggunaan salah dari alkohol menimbulkan bahaya yang lebih luas dan mematikan. Lima puluh persen orang dewasa di negara barat minum alkohol dan sekitar 5%-10% merupakan alkoholisme kronik. Diperkirakan terdapat lebih dari 10 juta pecandu alkoholisme kronik di Amerika Serikat dan konsumsi alkohol menyebabkan lebih dan 100.000 kematian pertahun. Hampir 50% kematian tersebut adalah akibat kecelakaan yang disebabkan mengendarakan mobil dalam keadaan mabuk dan bunuh diri akibat alkohol dan sekitar 25% lainnya sebagai akibat sirosis hati. Setelah dikonsumsi, etanol diserab tanpa perubahan di lambung dan usus kecil, kemudian didistribusikan pada seluruh jaringan dan cairan tubuh sesuai dengan kadar dalam darah. Kurang dari 10% diekskresikan tanpa mengalami pertukaran zat ke dalam urin, keringat dan napas. Jumlah alkohol yang dihembuskan (ekshalasi) sebanding dengan kadarnya dalam darah dan digunakan sebagai dasar tes napas oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Konsentrasi sebanyak 80 mg/dL dalam darah merupakan batas legal bagi pengendara untuk digolongkan dalam keadaan mabuk pada banyak negara. Pada rata-rata orang, konsentrasi dengan jumlah demikian dapat dicapai setelah mengkonsumsi sekitar 8 botol bir (6-16 gr alkohol/botol), 12 gelas anggur (9-18 gr alkohol/ gelas) atau 6 gelas wiski (sekitar 11 gr alkohol/gelas).



Mabuk terjadi pada kadar 200 mg/dL, stupor pada kadar 300 mg/dL dan koma dengan kemungkinan berhenti bernapas pada kadar yang lebih tinggi. Kecepatan metabolisme mempengaruhi kadar alkohol dalam darah. Orang-orang dengan alkoholisme kronik dapat mentoleransi kadar setinggi 700 mg/dL, dapat disebabkan meningkatnya kecepatan metabolisme etanol akibat peningkatan induksi sistem sitokrom P-450 dalam hati, dibahas selanjutnya. Sebagian besar alkohol dalam darah mengalami pertukaran zat menjadi asetaldehid di dalam hati oleh tiga sistem enzim: alkohol dehidrogenase, isoenzim sitokrom P-450 dan katalase (Gambar 7-10). Di antara semua, enzim utama yang berperan dalam metabolisme alkohol adalah alkohol dehidrogenase yang terdapat dalam sitosol hepatosit. Pada kadar alkohol yang lebih tinggi dalam darah, sistem oksidasi etanol mikrosomal juga berperan penting. Sistem ini melibatkan enzim sitokrom P-450, sebagian dalam bentuk isoform CYP2E1 yang terdapat dalam retikulum endoplasma. Induksi enzim P-450 oleh alkohol menjelaskan peningkatan metabolisme senyawasenyawa lain oleh enzim yang sama pada pecandu alkohol, termasuk obat-obat (asetaminofen, kokain), anestesi, karsinogen dan bahanbahan industri. Sebagai catatan, ketika kadar alkohol tinggi dalam darah, alkohol akan berkompetisi dengan substrat CYP2E1 lainnya dan dapat menunda katabolisme obat-obat lain, sehingga meningkatkan pengaruh obat lain. Katalase juga memiliki sedikit peran, hanya sekitar 5% peran dalam metabolisme alkohol. Asetaldehid yang diproduksi dalam sistem tersebut akan diubah oleh asetaldehiddehidrogenase menjadi asetat yang kemudian dimanfaatkan dalam jalur pernapasan mitokondria. Beberapa efek toksik disebabkan oleh metabolisme etanol. Tercantum di sini, hanya yang terpenting: • Oksidasi alkohol oleh alkohol dehidrogenase menyebabkan penurunan nikotinamid adenine dinukleotida (NAD+) dan peningkatan NADH (bentuk reduksi dari NAD+). NAD+ diperlukan dalam oksidasi asam lemak dalam hati. Defisiensi enzim tersebut adalah penyebab utama dari penumpukan lemak dalam hati pada pecandu alkohol. Peningkatan rasio NADH/NAD+ pada pecandu alkohol dapat juga menimbulkan asidosis laktat. • Asetaldehid mempunyai banyak pengaruh toksik dan dapat menyebabkan pengaruh akut dari alkohol. Metabolisme asetaldehid berbeda pada setiap orang karena terdapat variasi genetik. Sekitar 50% orang Asia memiliki kekurangan asetaldehid dehidrogenase. Setelah mengkonsumsi alkohol, orang tersebut akan mengalami pelebaran pembuluh darah kulit dan tampak kemerahan (flushing), takikardia dan hiperventilasi akibat akumulasi asetaldehid. • Metabolisme etanol dalam hati oleh CYP2E1 menghasilkan spesies oksigen reaktif dan menyebabkan peroksidasi lemak dari membran sel. Namun, mekanisme yang tepat mengenai kerusakan sel akibat alkohol masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. • Alkohol dapat menyebabkan pelepasan endotoksin (lipopolisakarida), produk dari bakteri gram negatif dari flora di intestinal. Endotoksin dapat menstimulasi pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dan sitokin lain dari makrofag yang beredar atau dari sel Kupffer dalam hati, menyebabkan kerusakan sel. Pengaruh samping keracunan penggunaan salah dari etanol dapat digolongkan sebagai akut atau kronik. Keracunan alkohol akut berefek langsung pada SSP, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan hati dan lambung yang reversibel. Bahkan dengan asupan alkohol dalam jumlah sedang, butiran-butiran lemak dapat berakumulasi dalam sitoplasma hepatosit (fatty change atau steatosis hati).



Pengaruh Alkohol



281



NADP+, H2O



Mikrosom



OH CH3CH NADPH + H+ + O2



OH H2O



CYP2E1



Mitokondria Sitosol CH3CH2OH Etanol



ADH



O CH3C



NAD+



NADH +



H+



NAD+ ALDH



H Asetaldehid



NADH + H+ O CH3C



OH



Asam asetat



Peroksisoma



KATALASE H2O2



H 2O



Gambar 7-10 Metabolisme etanol: oksidasi etanol menjadi asetaldehida melalui tiga cara yang berbeda dan pembentukan asam asetat. Perhatikan bahwa oksidasi oleh alkohol dehidrogenase (ADH) terjadi di sitosol; sistem sitokrom P-450 dan CYP2E1 isoform terletak di ER (mikrosom) dan katalase terletak di perioksisom. Oksidasi aldehida oleh aldehida dehidrogenase (ALDH) terjadi di Mitokondria. (Data dari Parkinson A: Biotronsformation of xenobiotics. 1n Klassen CD red]: Casarett and Doull's Toxicology: The Basic Science of Poisons, 6th ed. New York, McGraw-Hill, 2001, p 133.)



Kerusakan lambung berupa gastritis akut dan ulserasi. Pada SSP, alkohol merupakan depresan, awalnya mempengaruhi struktur subkorteks yang memodulasi aktivitas korteks serebral. Akibatnya, terdapat stimulasi dan kelainan sistem korteks, perilaku motorik dan perilaku intelektual. Pada kadar yang lebih tinggi dalam darah, sarafsaraf korteks dan pusat meduler bawah akan terdepresi, termasuk pusat pengaturan respirasi. Sehingga dapat menyebabkan pernapasan berhenti. Alkoholisme kronik tidak hanya mempengaruhi hati dan lambung tetapi juga semua jaringan dan organ lain. Alkoholisme kronik menyebabkan morbiditas yang bermakna dan memperpendek umur, hal itu berkaitan dengan kerusakan pada hati, saluran cerna, sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular dan pankreas. • Hati merupakan tempat utama kerusakan kronik. Selain perlemakan hati yang telah disebutkan sebelumnya, alkoholisme kronik menyebabkan hepatitis dan sirosis hati alkoholik (dibahas dalam Bab 15). Sirosis dapat menyebabkan hipertensi portal dan peningkatan risiko terhadap karsinoma sel hati. • Pada saluran cerna, alkoholisme kronik dapat menyebabkan perdarahan masif akibat gastritis, ulkus gaster atau varises esofagus (berhubungan dengan sirosis), yang dapat berakibat fatal. • Defisiensi tiamin, sering ditemukan pada pasien dengan alkoholisme kronik. Kelainan yang dapat diakibatkan defisiensi tiamin yaitu neuropati perifer dan sindrom Wernicke-Korsakoff (lihat Tabel 7-9 dan Bab 22). Atrofia serebrum, degenerasi serebelum dan neuropati saraf optik juga dapat terjadi.



• Alkohol mempunyai beragam pengaruh pada sistem kardiovaskular. Kerusakan pada miokardium dapat menyebabkan kardiomiopati kongestif disertai dilatasi (kardiomiopati alkoholisme) akan dibahas pada Bab 10. Konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (satu gelas per hari) dilaporkan dapat meningkatkan kadar high-density lipoproteins (HDLs) dalam darah dan menghambat agregasi trombosit, sehingga dapat mencegah penyakit jantung koroner. Namun, konsumsi berlebihan dengan adanya kerusakan hati, berakibat penurunan kadar HDL, serta meningkatkan risiko terhadap penyakit jantung koroner. Alkoholisme kronik juga berhubungan dengan peningkatan insidens hipertensi. • Konsumsi alkohol yang berlebihan juga meningkatkan risiko pankreatitis akut dan kronik (Bab 16). • Konsumsi etanol selama kehamilan, pernah dilaporkan bahwa konsumsi dalam jumlah kecil pun dapat menyebabkan sindrom alkohol janin (fetal alcohol syndrome). Sindrom yang terdiri atas kelainan mikrosefali, hambatan pertumbuhan abnormalitas bentuk wajah bayi baru lahir dan penurunan fungsi mental pada anak-anak. Sulit menentukan jumlah konsumsi alkohol yang dapat menyebabkan sindrom alkohol janin, tetapi konsumsi alkohol saat trimester pertama kehamilan sangat berbahaya. • Konsumsi alkohol kronik berkaitan dengan meningkatnya insidens terjadinya kanker rongga mulut, esofagus,



282



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



hati dan mungkin payudara pada perempuan. Mekanisme efek karsinogeniknya masih belum dapat dipastikan. • Etanol merupakan salah satu substansi sumber energi, namun sering dikonsumsi sebagai pengganti makanan (tanpa kalori). Sehingga alkoholisme kronik sering berakibat malnutrisi dan defisiensi terutama vitamin B.



RINGKASAN Alkohol - Metabolisme dan Pengaruh pada Kesehatan • Penggunaan salah dari alkohol akut dapat menyebabkan mabuk pada kadar kurang lebih 200 mg/dL. Stupor dan koma terjadi pada kadar yang lebih tinggi. Alkohol dioksidasi menjadi asetaldehid dalam hati oleh alkohol • dehidrogenase oleh sistem enzim sitokrom P-450 dan oleh katalase, meskipun hanya mempunyai sedikit peran. Asetaldehid diubah menjadi asetat dalam mitokondria dan dimanfaatkan dalam jalur respirasi. • Oksidasi alkohol oleh alkohol dehidrogenase menurunkan NAD, sehingga terjadi penimbunan lemak pada hati dan asidosis metabolit. Pengaruh utama dari alkoholisme kronik antara lain: • perlemakan hati, hepatitis alkoholik dan sirosis yang dapat menyebabkan hipertensi portal dan peningkatan risiko terhadap karsinoma sel hati. • Alkoholisme kronik dapat menyebabkan perdarahan akibat gastritis dan ulkus gaster, neuropati perifer yang berhubungan dengan defisiensi tiamin dan kardiomiopati alkoholik dan peningkatan risiko terhadap pankreatitis akut dan kronik. • Alkoholisme kronik merupakan faktor risiko utama terhadap kanker rongga mulut, laring, dan esofagus. Risiko tersebut meningkat tinggi jika dikombinasi dengan merokok atau pemakaian tembakau cara lain.



KELAINAN AKIBAT OBAT-OBAT TERAPI DAN PENGGUNAAN SALAH OBAT Kelainan Akibat Obat-Obat Terapeutik: Pengaruh Samping Obat Pengaruh samping obat (adverse drug reactions/ADRs) merupakan pengaruh obat yang tidak diharapkan yang muncul pada dosis terapi. Reaksi ini sangat sering dijumpai pada praktik kedokteran sehari-hari dan dapat menyebabkan kurang lebih 7-8% pasien dirujuk ke rumah sakit. Sekitar 10% reaksi tersebut dapat berakibat fatal. Tabel 7-5 menunjukkan kelainan yang dijumpai pada ADR serta obat-obat yang terlibat. Seperti yang terlihat dalam tabel, banyak jenis obat yang dapat menimbulkan ADR, seperti: obat antineoplastik, yang berpotensi tinggi dan pengaruh samping obat tersebut sudah diperhitungkan untuk mencapai manfaat terapi yang maksimal. Umumnya, obat-obat yang sering digunakan, seperti: tetrasiklin jangka panjang yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk jerawat, dapat menyebabkan pengaruh lokal atau sistemik (Gambar 7-11). Karena sering digunakan, estrogen dan kontrasepsi oral (KB) akan dibahas lebih rinci pada bab berikutnya. Sebagai tambahan, asetaminofen dan aspirin yang merupakan obat-obat bebas tetapi merupakan penyebab penting dalam



A



B Gambar 7-11 Pengaruh samping minosiklin, derivat tetrasiklin yang berpengaruh lama. A, Pigmentasi biru-kelabu yang difus di lengan bawah, sekunder terhadap penggunaan minosiklin. B, Deposit partikel metabolit obat/besi/pigmen melanin di dermis. (A dan B, Penghargaan kepodo Dr Zsolt Argenyi, Department of Pathology, Unwersity of Washington, Seattle, Washington)



keracunan baik disengaja maupun tidak sehingga memerlukan pembahasan khusus.



Estrogen Eksogen dan Kontrasepsi Oral Estrogen Eksogen. Terapi eksogen, dahulu terutama digunakan untuk gejala-gejala menopause yang mengganggu (seperti gejala badan merasa panas/hot flashes), saat ini digunakan luas pada wanita menopause, dengan atau tanpa tambahan progestin, untuk mencegah atau memperlambat perkembangan osteoporosis (Bab 20) dan untuk mengurangi kemungkinan infark jantung. Terapi seperti ini disebut sebagai terapi sulih hormon (hormone replacement therapy/ HRT). Mengingat fakta bahwa hiperestrinisma endogen meningkatkan risiko terhadap kanker endometrium dan mungkin karsinoma payudara, sejak awal, dapat dimengerti bahwa ada kekhawatiran tentang penggunaan HRT. Fokus utama dari kontroversi ini adalah potensi manfaat HRT sebagai pelindung terhadap penyakit miokard iskemik. Data terbaru membenarkan bahwa pengaruh samping HRT pada endometrium dan kanker payudara tapi tidak mendukung pandangan bahwa HRT dapat mencegah penyakit jantung iskemik. Pengaruh samping HRT dapat disimpulkan sebagai berikut: • Hasil dari uji klinis terkelola secara acak (randomized control trials) menunjukkan bahwa HRT dengan estrogen saja akan meningkatkan risiko kanker



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat



283



Tabel 7-5 Beberapa Efek Samping Obat yang Sering Ditemukan dan Penyebabnya



Reaksi



Penyebab utama



Diskrasia Darah* Granulositopenia, anemia aplastik, pansitopenia Anemia hemolitik, trombositopenia



Obat antineoplastik, imunosupresif, dan kloramfenikol Penisilin, metildopa, quinidin



Kulit Urtikaria, makula, papula, vesikel, petekie, dermatitis eksfoliativa, erupsi obat, pigmentasi abnormal



Obat antineoplastik, sulfonamid, hidantoin, beberapa antibiotik dan banyak obat lain



Jantung Arrhythmias



Teofilin, hidantoin



Cardiomyopathy



Doksorubisin, daunorubisin



Ginjal Glomerulonefritis Nekrosis tubuler akut



Penisilamin Antibiotik aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B



Penyakit tubulointerstitial dengan nekrosis papilaris



Fenasetin, salisilat



Paru Asma



Salisilat



Pneumonitis akut



Nitrofurantoit



Fibrosis interstitium



Busulfan, nitrofurantoin, bleomisin



Hati Perlemakan



Tetrasiklin



Kerusakan hepatoseluler difus



Halotan, isoniasid, asetaminofen



Kolestasis



Klorpromazin, estrogen, obat kontraseptif



Sistemik Anaflaksis



Penisilin



Sindrom Lupus eritematosus (Lupus akibat obat)



Hidralasin, prokainamid



Sistem Saraf Pusat Berdengung dan pusing



Salisilat



Reaksi distonik akut dari sindrom Parkinson



Antipsikotik fenotiasin



Depresi respirasi Sedatif *Perangai dalam hampir separuh dari semua obat yang mungkin menyebabkan kematian



endometrium. Terapi estrogen meningkatkan risiko kanker endometrium 3-6 kali setelah penggunaan selama 5 tahun dan lebih dari 10 kali setelah 10 tahun, tapi risiko ini menurun drastis atau hilang bila progestin ditambahkan ke dalam regimen terapi. Namun, terapi HRT dengan estrogen dan progestin dalam waktu lama berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Penemuan ini menyebabkan penurunan resep HRT dari 16 juta pada tahun 2001 menjadi 6 juta pada tahun 2006, suatu penurunan yang diikuti oleh penurunan nyata jumlah kanker payudara baru yang terdiagnosis. Sangat menyedihkan untuk mencatat bahwa pada tindak lanjut (follow up) 3 tahun sesudah penghentian HRT estrogen progestin, perkembangan kanker payudara terus meningkat pada wanita penerima hormon ini. • HRT menggunakan estrogen, dengan atau tanpa progestin, meningkatkan beberapa kali risiko tromboembolisme, termasuk trombosis vena yang dalam, embolisme paru dan stroke. Peningkatan ini lebih mencolok pada 2 tahun pertama pengobatan dan berkaitan dengan faktor risiko lain seperti imobilisasi atau faktor V atau mutasi protrombin. • Estrogen dan progestin meningkatkan kadar high-density lipoprotein dan menurunkan kadar low-density lipoprotein darah. Berdasarkan data retrospektif epidemiologi,



dipikirkan bahwa HRT akan bermanfaat dalam proteksi terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik. Namun, studi prospektif besar dan terkontrol baik, tidak menunjukkan efek proteksi dari HRT terhadap infark miokard. Kontrasepsi Oral. Meskipun kontrasepsi oral (KO) telah digunakan lebih dari 35 tahun, terus terjadi ketidaksepakatan mengenai keamanan dan pengaruh sampingnya. Obat-obat ini hampir selalu mengandung estradiol sintetik dan progestin dalam jumlah yang bervariasi (KO kombinasi), tetapi beberapa obat hanya berisi progestin. Saat ini tersedia KO yang berisi estrogen lebih sedikit (kurang dari 50 ug/hari) dan jelas pengaruh sampingnya lebih jarang daripada kemudian sebelumnya. Oleh karena itu, hasil studi epidemiologik harus diinterpretasikan dalam konteks dosis. Bagaimanapun, cukup banyak bukti yang mendukung kesimpulan berikut: • Karsinoma payudara: Opini yang dianut ialah KO tidak menyebabkan peningkatan risiko kanker payudara. • Kanker endometrium dan kanker ovarium: KO mempunyai pengaruh protektif terhadap tumor ini.



284



BAB7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



• Kanker serviks: KO dapat meningkatkan risiko karsinoma serviks pada wanita yang terinfeksi human papillomavirus, meskipun tidak jelas, apakah peningkatan risiko ini akibat dari aktivitas seksual. • Tromboembolisme: Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa KO, termasuk preparat yang lebih baru dengan dosis rendah (kurang dari 50 µg estrogen), menyebabkan peningkatan tiga sampai enam kali lipat, risiko trombosis vena dan tromboembolis paru, akibat peninggian sintesis faktor pembekuan oleh hati. Risiko ini, bahkan lebih tinggi pada KO yang lebih baru "generasi ketiga", yang mengandungi progestin sintetik, terutama pada wanita, yang membawa mutasi faktor V Leiden. Walaupun demikian, untuk meletakkan komplikasi ini dalam konteks, risiko tromboembolisme akibat pemakaian KO adalah dua sampai enam kali lebih rendah daripada risiko tromboembolisme akibat kehamilan. • Penyakit kardiovaskular: Terdapat ketidakpastian mengenai risiko aterosklerosis dan infark miokard pada penggunaan KO. Tampaknya KO tidak meningkatkan risiko penyakit arteri koroner pada wanita berusia lebih muda dari 30 tahun atau pada wanita lebih tua, yang tidak merokok, tetapi risiko menjadi kira-kira 2 kali pada wanita yang lebih dari 35 tahun yang merokok. • Adenoma hepatik: Terdapat hubungan jelas antara pemakai KO dan tumor jinak hati yang jarang ini, terutama pada wanita yang lebih tua, yang menggunakan KO dalam jangka panjang. Tumor merupakan massa, berkapsul, soliter dan besar. Jelas, pro dan kontra KO, harus dipandang dalam konteks penerapan dan penerimaan luas, sebagai bentuk kontrasepsi, yang memproteksi ter-hadap kehamilan yang tidak diinginkan.



Aseta, Imofem (Asetaminophen) Pada dosis terapi, asetaminophen, pemakaian luas analgesik dan antipiretik tanpa resep, sebagian besar berkonjugasi dengan glukuronat atau sulfat di hati. Sekitar 5% atau kurang mengalami pertukaran zat menjadi NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinoneimine) melalui sistem P-450 hepatik. Walaupun demikian, dengan dosis yang sangat besar, NAPQI tertimbun, menyebabkan nekrosis sentrilobular hati. Mekanisme jejas yang dihasilkan oleh NAPQI, termasuk (1) ikatan kovalen pada protein hati dan (2) deplesi dari glutation tereduksi (GSH). Deplesi GSH menjadikan hepatosit lebih rentan terhadap kematian sel yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Jarak antara dosis terapi biasa (0,5 gr) dan dosis toksik (15 sampai 25 gr) adalah besar dan obat biasanya sangat aman. Namun, kecelakaan overdosis terjadi pada anakanak dan upaya bunuh diri dengan menggunakan asetaminofen tidak jarang, terutama di Inggris. Toksisitas dimulai dengan mual, muntah, diare dan kadang-kadang syok, diikuti oleh ikterus dalam beberapa hari. Dosis berlebihan dari asetaminofen dapat diobati pada stadium awal dengan pemberian N-asetilsistein (N-acetylcysteine), yang mengembalikan GSH. Pada dosis berlebihan yang berat, terjadi gagal hati dan nekrosis sentrolobuler, yang meluas ke seluruh lobulus, pasien sering memerlukan transplantasi hati untuk bertahan hidup. Beberapa pasien juga menunjukkan kerusakan ginjal secara bersamaan.



Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Dosis berlebihan aspirin dapat merupakan akibat tertelan tidak sengaja pada anak atau sebagai upaya bunuh diri pada dewasa. Konsekwensi utama yang tidak diinginkan adalah kelainan yang bersifat metabolit, dengan sedikit perubahan morfologik. Mula-mula terjadi alkalosis respirasi, diikuti oleh asidosis metabolit yang sering terbukti fatal. Dosis fatal, mungkin hanya 2 sampai 4 gr pada anak dan 10 sampai 30 gr pada dewasa, tetapi pernah dilaporkan pasien selamat setelah menelan dosis lima kali lebih besar. Toksisitas aspirin kronik (salisilisma) dapat terjadi pada mereka yang menggunakan 3 gr atau lebih per hari (dosis yang digunakan untuk mengobati penyakit peradangan kronik). Manifestasi salisilisma kronik, adalah nyeri kepala, pening, telinga berdengung (tinitus), kesulitan dalam mendengar, kekacauan mental, mengantuk, mual, muntah dan diare. Perubahan SSP dapat berkembang menjadi kejang dan koma. Akibat morfologik salisilisme kronik bervariasi. Yang paling sering adalah gastritis erosif akut (Bab 14), yang dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna yang samar ataupun nyata dan menyebabkan ulserasi. Mungkin terjadi kecenderungan perdarahan, bersamaan dengan toksisitas kronik, sebab aspirin menghambat siklooksigenase trombosit, secara tidak reversibel dan menghambat kemampuan tubuh untuk membentuk tromboxane A2, suatu aktivator agregasi kombosit. Perdarahan petekie dapat ditemukan di kulit dan visera dan perdarahan dari ulserasi lambung mungkin bertambah parah. Campuran analgesik paten aspirin dan fenasetin atau metabolit aktifnya, asetaminofen, kalau dikonsumsi selama bertahun-tahun, dapat menyebabkan nefritis tubulointerstitial dengan nekrosis papilar ginjal. Entitas klinis ini dikenal sebagai nefropati analgesik (Bab 13).



Cedera oleh Zat Toksik Nonterapeutik (Drug Abuse/Penggunaan-salah Obat) Penggunaan-salah obat umumnya termasuk penggunaan bahan-bahan yang mempengaruhi pikiran dengan dosis melebihi terapi atau norma sosial. Adiksi obat dan obat berlebihan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Obat-obat yang sering digunakan salah, tercantum di Tabel 7-6. Termasuk di sini adalah kokain, heroin dan ganja (marijuana) dengan penjelasan singkat dari beberapa obat lain.



Kokain Pada 2008, Survei National Penggunaan Obat dan Kesehatan, memperkirakan bahwa terdapat 1,9 juta pengguna kokain di Amerika Serikat, yang sekitar 15% sampai 20% adalah pengguna kokain crack. Pengguna paling tinggi pada dewasa 18 sampai 25 tahun, dari mereka 1,5% dilaporkan memakai kokain dalam bulan terakhir. Diekstrak dari daun tanaman koka, kokain biasanya disediakan dalam bentuk bubuk yang larut dalam air, kokain hidroklorida, tetapi kalau dijual di luar, bahan ini dicampur dengan bedak (talcum powder), laktose atau bahan lainnya yang mirip. Kristalisasi alkaloid murni dari kokain hidroklorida menghasilkan nuggets of crack (disebut demikian karena terjadi suatu popping, kalau dipanaskan). Aksi farmakologik kokain dan crack adalah sama, tetapi crack lebih kuat. Kedua bentuk ini dapat dihisap, dihisap sebagai rokok sesudah dicampur dengan tembakau, ditelan atau disuntikkan subkutis atau intravena. Kokain menghasilkan rasa euforia dan kewaspadaan mental kuat menjadikan obat ini sebagai salah satu zat yang paling adiktif.



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat



285



Tabel 7-6 Obat yang Sering Disalahgunakan



Kelas



Target Molekuler



Contoh



Narkotik opoid



Reseptor mu opioid (agonis)



Heroin, hidromorfon (Dilaudid) Oksikodon Metadon (Dolofin)



Hipnotik sedatif



Reseptor GABAA (agonis)



Barbiturat Etanol Metaqualon (Quaalude) Glutetimid (Doriden) Etklorvinol (Plasidil)



Stimulan psikomotor



Pemindah dopamin (antagonis) Reseptor serotonin (toksisitas)



Kokain Amfetamin 3,4-metilendioksimetamfetamin (MDMA) (contoh,ekstasi)



Obat serupa fensklidin



Saluran reseptor NMDA glutamat (antagonis)



Kanabinoid



Reseptor CBI kanabinoid (agonis)



Fensiklidin (PCP) (contoh,angel dust) Ketamin Marijuana Hasis



Nikotin



Reseptor asetikolin nikotin (agonis)



Produk tembakau



Halusinogen



Reseptor serotonin 5-HT2 (agonis)



Asam dietilamid lisergik (LSD) Meskalin Psilosibin



CBI, reseptor kanabinoid tipe I; GABA, y-amino-asam butirik: 5-HT2, 5-hidroksitriptamin; NMDA, N-metil-d-aspartat; PCP, I -(1-fenilsildoheksil)piperidin. Data dari Hyman SE:A 28-year-old man addicted to cocaine. JAMA 286:2586, 2001.



Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan kemampuan menekan tuas pengungkit lebih dari 1000 kali dan melupakan makan dan minum untuk mendapatkan obat ini. Pada pengguna kokain, meskipun ketergantungan fisis tampaknya tidak terjadi, ketergantungan psikologik jelas. Ketagihan berat yang sangat kuat terutama terjadi pada beberapa bulan pertama setelah penghentian obat dan dapat kembali sesudah beberapa tahun. Penggunaan salah secara akut menyebabkan kejang aritmia jantung dan pernapasan berhenti. Manifestasi penting dari toksisitas kokain, adalah sebagai berikut: • Pengaruh kardiovaskular. Pengaruh fisis yang paling sering dari kokain berhubungan dengan reaksi akutnya pada sistem kardiovaskular. Kokain adalah suatu zat simptomimetik (Gambar 7-12), keduanya di SSP, tempat kokain menghambat pengambilan (uptake) dopamin kembali dan pada ujung akhir saraf adrenergik, di mana obat ini menghambat pengambilan kembali baik epinefrin dan norepinefrin, yang disertai perangsangan terhadap pelepasan presinaptik dari norepinefrin. Pengaruh akhir adalah akumulasi neurotransmitter di sinapsis dan stimulasi yang berlebihan, dengan manifestasi takikardi, hipertensi dan vasokonstriksi perzfer. Kokain juga menginduksi iskemi miokard, yang dasarnya multifaktor. Zat tersebut menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner dan mendukung pembentukan trombus melalui agregasi trombosit. Merokok sigaret memperkuat penyempitan pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh kokain. Jadi dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard oleh reaksi simptomimetik dan pada saat yang sama mengurangi aliran darah koroner, kokain sering memicu iskemi miokard yang dapat menyebabkan miokard infark. Kokain juga dapat memicu aritmia letal, dengan menambah aktivitas simpatetik serta dengan mengganggu transpor ion normal (K+, Ca2+, Na+) di miokard. Pengaruh toksik ini tidak selalu berhubungan dengan dosis dan peristiwa fatal dapat terjadi pada pengguna pertama kali dengan dosis khusus untuk mengubah suasana hati.



• Pengaruh SSP. Gejala tersering dari SSP adalah hiperpireksia (diduga disebabkan oleh penyimpangan jalur dopaminergik yang mengendalikan suhu tubuh) dan kejang. • Efek pada janin. Pada wanita hamil, kokain dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta, menyebabkan hipoksia janin dan aborsi spontan. Perkembangan saraf dapat terganggu pada janin wanita hamil, pengguna kokain kronik. • Penggunaan kokain kronik. Penggunaan kronik dapat menyebabkan (1) perforasi dari septum nasal, pada individu penghirup kokain melalui lobang hidung secara kasar sampai bersuara keras seperti kuda atau babi (snorters), (2) penurunan kapasitas difusi paru, pada mereka yang menghirup asap kokain dan (3) teijadinya kardiomiopati disertai dilatasi.



Heroin Heroin adalah suatu opioid adiktif, derivat dari tanaman madat (poppy plant) dan berkaitan erat dengan morfin. Pengaruhnya, lebih berbahaya daripada kokain. Namun, diperkirakan bahwa hampir 4 juta penduduk di Amerika Serikat telah menggunakan heroin, setidaknya sekali dan bahwa pada tahun 2008, lebih dari 400.000 penduduk, menggunakan heroin beberapa kali dalam satu tahun. Pada heroin yang dijual di jalan, telah dikurangi (diencerkan) dengan bahan (sering talc atau kina), jadi dosisnya tidak hanya bervariasi tetapi juga tidak diketahui pembeli. Heroin bersama dengan zat-zat pencemarnya biasanya disuntikkan sendiri secara intravena atau subkutis. Pengaruhnya bervariasi dan meliputi euphoria halusinasi, mengantuk dan sedasi. Heroin mempunyai pengaruh samping fisis, yang luas, yang dapat digolongkan menurut etiologi menjadi (1) reaksi farmakologik dari zat, (2) reaksi zat pengencer atau pencemar kokain, (3) reaksi hipersensitivitas obat atau obat palsu dan (4) penyakit-penyakit akibat pemakaian alat suntik bersama. Beberapa pengaruh samping terpenting heroin, sebagai berikut:



286



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



SINAPSIS SUSUNAN SARAF PUSAT Akson prasinaptik



Dopamin



Dendrit pasca sinaptik Eforia, paranoia, hipertermi



ANTARMUKA NEURON SIMPATIS - SEL SASARAN Norefinefrin



• Penyakit paru. Komplikasi paru, meliputi edema, embolisme septik, abses paru, infeksi oportunis dan granuloma benda asing dari talk dan bahan palsu. Meskipun granuloma terutama terjadi di paru, kadang-kadang granuloma ditemukan juga di limpa, hati dan kelenjar getah bening, yang mengaliri ekstremitas atas. Penelusuran dengan sinar terpolarisasi sering menyoroti kristal talk yang terjebak, kadang-kadang tertutup dalam sel raksasa benda asing. • Infeksi. Komplikasi infeksi sering terjadi. Tempat yang paling sering terjangkit adalah kulit dan jaringan subkutis, katup jantung, hati dan paru. Dalam serangkaian penderita adiksi yang rawat inap di rumah sakit, lebih dari 10% menderita endokarditis. Yang sering berbentuk khas, yang menjangkiti katup jantung kanan, terutama trikuspid. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tetapi jamur dan banyak organisma lain juga terlibat. Hepatitis virus adalah infeksi yang paling umum di antara pecandu dan diperoleh melalui berbagi jarum yang tercemar. Di Amerika Serikat, praktik ini juga menyebabkan insidens infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV) yang tinggi pada penggunaan salah obat intravena • Lesi kulit. Lesi kulit mungkin merupakan ciri khas yang paling sering dari adiksi heroin. Perubahan-perubahan akut meliputi abses, selulitis dan ulserasi akibat suntikan subkutis. Pembentukan jaringan parut pada tempat suntikan, hiperpigmentasi di atas vena yang sering digunakan dan venavena dengan trombosis adalah sekuela yang dapat ditemukan pada inokulasi intravena berulang. • Masalah ginjal. Penyakit ginjal merupakan bahaya yang relatif umum. Kedua bentuk yang tersering dijumpai adalah amiloidosis (umumnya sekunder dari infeksi kulit) dan glomerulosklerosis fokal, keduanya menyebabkan proteinuria keras dan sindrom nefrotik.



Marijuana (Ganja)



Hipertensi,aritmia jantung, infark miokardium, perdarahan dan infark sereberum



Gambar 7-12 Pengaruh kokain pada transmisi saraf. Obat ini menghambat penyerapan ulang dopamin neurotransmitter dan norefinefrin di sistem saraf pusat dan perifer.



• Kematian mendadak. Kematian mendadak, biasanya berkaitan dengan kelebihan dosis, merupakan risiko yang selalu ada, karena kemurnian heroin umumnya tidak diketahui dan dapat berkisar dari 2% sampai 90%. Insidens kematian mendadak tahunan di kalangan pengguna kronik di Ameriksa Serikat diperkirakan antara 1% dan 3%. Kematian mendadak kadang-kadang disebabkan oleh hilangnya toleransi terhadap obat seperti sesudah suatu periode di penjara. Mekanisme kematian meliputi depresi respirasi berat, aritmia dan henti jantung dan edema paru.



Marijuana atau pot adalah obat ilegal yang paling luas digunakan. Seperti tahun 2008, diperkirakan bahwa lebih dari 100 juta orang di Amerika Serikat, telah menggunakan marijuana selama hidup mereka, dengan lebih dari 15 juta orang (6,1% dari penduduk), mengakui menggunakannya selama bulan terakhir. Bahan ini dibuat dari daun Cannabis sativa, yang mengandungi bahan psikoaktif ∆9tetrahydrocarmabinol (THC). Ketika merokok ganja, sekitar 5% sampai 10% dari isi THC diserap. Meskipun banyak penelitian, apakah obat tersebut memiliki efek fisis dan fungsional, yang merugikan secara persisten, tetapi belum terpecahkan. Beberapa efek samping anekdot mungkin alergi atau reaksi idiosinkratik atau mungkin berhubungan dengan kontaminasi dalam pembuatannya lebih daripada efek farmakologik marijuana.Disisi lain, efek yang menguntungkan dari THC meliputi kapasitasnya untuk menurunkan tekanan intraokuler pada glaukoma dan melawan mual yang sulit diobati akibat kemoterapi kanker. Konsekwensi marijuana terhadap fungsi dan organ SSP telah mendapat banyak perhatian. Penggunaan marijuana juga diakui mendistorsi persepsi sensorik dan merusak koordinasi motorik, tetapi efek akut ini biasanya hilang dalam 4 sampai 5 jam. Bila digunakan terus, perubahan-perubahan ini akan berkembang menjadi kerusakan kognitif dan psikomotor, seperti ketidakmampuan untuk menentukan waktu, kecepatan dan jarak. Pada remaja, kerusakan ini sering menyebabkan kecelakaan mobil.



Cedera oleh Agen Fisis Marijuana meningkatkan denyut jantung dan kadang-kadang tekanan darah dan ini dapat menyebabkan angina pada mereka yang menderita penyakit arteri koroner. Paru dipengaruhi oleh merokok marijuana secara kronik; laringitis, faringitis, bronkitis, batuk, suara serak dan gejala asma, seperti sudah dijelaskan, terjadi bersama obstruksi jalan napas secara ringan, tetapi bermakna. Merokok sebatang rokok ganja, dibandingkan dengan sebatang rokok tembakau, menyebabkan peningkatan inhalasi tar tiga kali lipat dan menetap di paru sebagai akibat inhalasi yang lebih dalam dan lebih lama menahan napas.



Berbagai obat telah dicoba oleh mereka yang mencari "pengalaman baru" (tertinggi, terendah, out -of-body experiences) menentang keyakinan. Obat-obat ini termasuk berbagai stimulan, depresan, analgesik dan halusinogen. Di antara obat-obat ini, PCP (1-(1phenylcyclohexyl) piperidine), atau fenilsiklidin, dan ketamin (berkaitan dengan zat anestesi); lysergic acid diethylamide (LSD), halusinogen yang dikenal paling kuat : "ekstasi" (3,4-methylenedioxymethamphetamine [MDMA]); and oxycodone (suatu candu). Tidak banyak diketahui tentang lamanya pengaruh kerusakan dari berbagai zat tersebut. Secara akut, LSD mempunyai pengaruh yang tidak dapat diramalkan terhadap suasana hati, perasaan dan pikiran, kadangkadang menyebabkan perilaku aneh dan membahayakan. Penggunaan ekstasi kronik, dapat menguras serotonin dari SSP, berpotensi menyebabkan gangguan tidur, depresi, anksietas dan perilaku agresif.



RINGKASAN Jejas karena Obat •



Jejas karena obat dapat disebabkan oleh obat untuk terapi (pengaruh samping obat) atau bukan obat untuk terapi (penggunaan salah obat).







Zat antineoplastik, tetrasiklin dengan aktivitas lama (long acting) dan antibiotik lain, obat-obat HRT dan kontrasepsi oral, asetaminofen dan aspirin adalah obat-obat yang paling sering sebagai penyebab. HRT meningkatkan risiko kanker endometrium dan payudara dan tromboembolisme, tetapi tidak







A



memproteksi penyakit jantung iskemik. Kontrasepsi oral memiliki efek proteksi terhadap kanker endometrium dan ovarium, tetapi meningkatkan risiko tromboembolisme dan adenoma hepatik. Asetaminofen dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan nekrosis sentrolobular hati, menyebabkan gagal hati. Pengobatan dini dengan agen yang memulihkan kadar GSH dapat membatasi toksisitas. Aspirin menghambat produksi tromboxan A2, yang dapat menyebabkan ulserasi lambung dan perdarahan.











Narkoba Lain



287



Obat yang biasa disalahgunakan termasuk hipnotiksedatif (barbiturate, etanol), stimulan psikomotor (kokain, amphetamin, ektasi), narkotik opium (heroin, metadon, oksikodon), halusinasi (LSD, mescalin) dan kanabinoid (marijuana, hasis).



CEDERA OLEH AGEN FISIS Cedera yang diinduksi oleh agen fisis, dibagi menjadi beberapa golongan berikut: trauma mekanik, jejas termal, jejas elektrik dan jejas akibat radiasi pengion. Setiap jenis akan dibahas terpisah.



Trauma Mekanik Kekuatan mekanik dapat menimbulkan berbagai jenis kerusakan. Jenis kerusakannya tergantung dari bentuk benda yang terlibat, besar energi yang dilepaskan pada saat berbenturan dan jaringan atau organ yang berbenturan. Jejas tulang dan kepala mengakibatkan kerusakan khas yang akan dibahas di tempat lain (Bab 22). Semua jaringan lunak bereaksi hampir sama terhadap kekuatan mekanik dan pola kerusakannya dapat dibagi menjadi abrasi, kontusio, laserasi, luka insisi dan luka tusuk (Gambar 7-13).



MORPHOLOGY Abrasi adalah luka akibat garukan atau gosokan permukaan kulit, merusak lapisan permukaan. Abrasi kulit tertentu hanya mengangkat lapisan epidermal. Kontusio atau memar adalah adalah luka yang biasanya disebabkan oleh benda tumpul dan ditandai oleh kerusakan dan ektravasasi darah ke jaringan.



B



Gambar 7-13 A, Laserasi kulit kepala:Tampak jembatan serabut-serabut jaringan ikat. B, Konstusio akibat trauma tumpul. Kulitnya utuh, tetapi pendarahan dari pembuluh-pembuluh darah subkutan menyebabkan perubahan warna yang luas. (A, B, Dan koleksi pendidikan Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



288



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Laserasi adalah robekan atau kerusakan jaringan oleh regangan yang disebabkan oleh benda tumpul dengan tenaga besar. Berbeda dengan insisi, hampir semua laserasi memiliki pembuluh darah penghubung yang utuh dan tepi luka yang tidak teratur, bergerigi. Luka insisi disebabkan oleh instrumen yang tajam. Pembuluh darah penghubung terputus. Luka tusuk adalah khas, disebabkan oleh alat yang panjang dan runcing dan disebut penetrasi, kalau alat menembus jaringan dan perforasi kalau alat menembus jaringan, sekaligus menimbulkan luka akut. Luka tembak adalah bentuk khusus dari luka tusuk yang memper-lihatkan gambaran khas yang penting untuk ahli Patologi Forensik. Sebagai contoh, suatu luka akibat peluru yang ditembakkan dari dekat, meninggalkan serbuk mesiu, sedangkan kalau ditembakkan dari jarak lebih dari 4 atau 5 kaki, tidak. Salah satu penyebab tersering dari jejas mekanik adalah kecelakaan lalu lintas. Jejas biasanya terjadi akibat dari (1) terbentur pada salah satu bagian interior kendaraan atau tertabrak oleh benda yang masuk ke ruang penumpang saat tabrakan, seperti bagian mesin; (2) terlepas dari kendaraan; atau (3) terperangkap di kendaraan yang terbakar. Pola jejas berkaitan dengan apakah satu atau ketiga mekanisme ini terjadi. Sebagai contoh, pada tabrakan "antar bagian depan kendaraan", pola jejas yang biasanya diderita oleh pengemudi yang tidak mengenakan sabuk pengaman adalah trauma kepala (menubruk kaca depan), dada (menubruk kemudi) dan lutut (menubruk dashboard). Pada kecelakaan seperti ini, cedera dada umumnya adalah fraktur sternum dan iga, kontusio jantung, laserasi aorta, dan (lebih jarang) laserasi limpa dan hati. Jadi, dalam merawat korban kecelakaan lalu lintas, perlu diingatkan bahwa abrasi, kontusio dan laserasi permukaan sering disertai luka organ dalam. Memang pada banyak kasus, kerusakan berat internal tidak disertai tanda eksternal.



Jejas Termal Panas dan dingin, yang berlebihan merupakan penyebab jejas yang penting. Luka bakar sangat sering terjadi dan merupakan pembahasan pertama, diikuti pembahasan singkat mengenai hipertermia dan hipotermia.



Luka Bakar Termal Di Amerika Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 10 kali rawat inap orang-orang tadi. Banyak korban adalah anak-anak yang sering mengalami pengelupasan kulit akibat tersiram air panas. Untunglah sejak 1970, terjadi penurunan tajam dari angka kematian dan lamanya rawat inap. Perbaikan ini dicapai berkat semakin dipahaminya pengaruh sistemik dari luka bakar yang luas dan penemuan cara yang lebih baik untuk mencegah infeksi luka dan mempercepat penyembuhan kulit. Dampak klinis luka bakar bergantung kepada faktor-faktor penting berikut: • Kedalaman • Persentasi luas luka bakar • Adanya jejas organ dalam akibat inhalasi asap panas dan toksik



• Kecepatan dan efektivitas terapi, terutama tatalaksana cairan dan elektrolit dan pencegahan atau pengendalian infeksi pada luka Luka bakar full-thickness menyebabkan destruksi total epidermis dan dermis, disertai apendiks kulit, yang seharusnya menyediakan sel untuk regenerasi. Luka bakar derajat tiga dan empat termasuk dalam kategori ini. Pada luka bakar partial-thickness, bagian dalam dari apendiks dermal tidak terkena. Luka bakar partial-thickness mencakup luka bakar derajat satu (hanya mengenai epitel) dan luka bakar derajat dua (mengenai epidermis dan dermis superfisial).



MORFOLOGI Pada pemeriksaan dengan mata biasa, luka bakar full-thickness berwarna putih atau gosong, kering, dan tidak terasa (sebagai akibat kerusakan ujung saraf), sedangkan luka bakar partialthickness bergantung kepada kedalaman, berwarna merah muda atau berbercak, dengan bula dan nyeri. Pemeriksaan histologis jaringan yang mati menunjukkan nekrosis koagulatif bersebelahan dengan jaringan yang masih hidup, yang segera disebuk oleh sel radang dan tampak eksudat yang nyata. Meskipun terus dilakukan penyempurnaan terapi, setiap luka bakar yang lebih dari 50% permukaan tubuh total, baik superfisial maupun dalam, berbahaya dan berpotensi kematian. Dengan luka bakar lebih dari 20% permukaan tubuh, terjadi pergeseran cepat cairan tubuh ke kompartemen interstitium, baik ditempat luka bakar maupun sistemik,sehingga dapat terjadi syok hipovolemik (Bab 3). Karena protein dari darah pindah ke jaringan interstitium, dapat terjadi edema generalisasi, yang parah termasuk edema paru. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah derajat jejas saluran napas dan paru. Jejas inhalasi sering terjadi pada mereka yang terperangkap di gedung yang terbakar dan dapat terjadi akibat efek langsung dari panas pada mulut, hidung dan saluran napas atas atau dari inhalasi udara panas dan gas yang terdapat dalam asap panas. Gas yang terlarut dalam air, seperti klorin, sulfur oksida dan amonia, dapat bereaksi dengan air, membentuk asam atau basa, terutama di saluran napas atas, sehingga terjadi peradangan dan pembengkakan, yang dapat menyebabkan obstruksi saluran napas parsial atau total. Gas yang teriarut dalam lemak, seperti nitrogen oksida dan produk pembakaran plastik lebih besar kemungkinannya, untuk mencapai saluran napas yang lebih dalam dan menyebabkan pneumonitis. Tidak seperti pada syok, yang terjadi dalam beberapa jam, manifestasi paru mungkin belum terjadi sampai 24 hingga 48 jam. Kegagalan organ sistemik akibat sepsis terus terjadi dan menyebabkan kematian pada pasien luka bakar. Tempat luka bakar merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme, serum dan debris menyediakan makanan dan cedera luka bakar menyebabkan gangguan aliran darah dan menghambat efektifitas respons peradangan. Bakteri yang paling sering adalah: Pseudomonas aeruginosa yang yang bersifat oportunis, tetapi galur bakteri resisten antibiotik yang ditularkan di rumah sakit, seperti S. aureus dan jamur, terutama spesies Candida juga mungkin terlibat. Selain itu pertahanan seluler dan humoral terhadap infeksi terganggu dan fungsi limfosit dan fagosit berkurang. Bakteriemia dan pelepasan zat beracun seperti endotoksin dari tempat infeksi dapat membahayakan. Pneumonia atau syok septik disertai gagal ginjal dan atau sindrom gawat pernapasan akut (acute respiratory



Cedera oleh Agen Fisis distress syndrome/ARDS) (Bab 12) merupakan sekuele serius yang tersering. Pengaruh patofisiologis lain yang sangat penting dari luka bakar adalah terjadinya keadaan hipermetabolit, disertai peningkatan panas yang dilepaskan dan peningkatan kebutuhan gizi. Diperkirakan kalau luas luka bakar lebih dari 40% permukaan badan, laju metabolisme pada keadaan istirahat dapat menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan keadaan normal.



Hipertermia Pajanan lama pada suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan heat cramps (kejang kram akibat panas), heat exhaustion (kelelahan akibat panas), atau heat stroke (stroke akibat panas). • Kejang kram akibat panas terjadi akibat dari kehilangan elektrolit melalui keringat. Kejang otot volunter, biasanya berkaitan dengan olah raga berat adalah tanda utamanya. Mekanisma pembuangan panas mampu mempertahankan suhu inti tubuh. • Kelelahan akibat panas mungkin adalah sindrom hipertermik yang paling sering terjadi. Gejala permulaan adalah mendadak, dengan rasa lelah dan kolaps dan hal ini terjadi akibat kegagalan sistem kardiovaskular untuk mengkompensasi hipovolemik, akibat deplesi air. Sesudah periode kolaps, yang biasanya sesaat, keseimbangan pulih spontan • Stroke akibat panas dikaitkan dengan suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Mekanisma termoregulasi gagal, keringat terhenti dan suhu inti tubuh meningkat. Secara klinis, suhu rektal 106°F atau lebih dianggap tanda prognosis buruk dan angka kematian untuk penderita seperti itu, lebih dari 50%. Mekanisma yang mendasari adalah vasodilatasi perifer generalisata yang mencolok disertai pengumpulan darah di perifer dan volume darah efektif yang beredar, berkurang. Nekrosis otot dari miokard dapat terjadi. Aritmia, koagulasi intravaskular diseminata dan efek sistemik lain sering terjadi. Individu berusia lanjut, individu dengan penyakit kardiovaskular dan individu sehat yang mengalami stres berat (seperti atlet muda dan calon tentara) adalah kandidat utama untuk stroke akibat panas. • Hipertermia ganas, meskipun terdengar serupa, tidak disebabkan oleh pajanan terhadap suhu tinggi. Ini adalah kondisi genetik akibat mutasi dalam gen seperti RYR1, yang mengendalikan tingkat kalsium dalam sel otot rangka. Pada individu yang terkena, paparan pada anestesi tertentu selama pembedahan dapat memicu peningkatan kadar kalsium dengan pusat di otot rangka, yang menyebabkan otot menjadi kaku dan meningkatkan produksi panas. Hipertermia yang dihasilkan memiliki angka mortalitas sekitar 80%, kalau tidak diobati, tetapi turun menjadi kurang dari 5%, kalau kondisi ini dikenal dan segera diberikan obat untuk relaksasi otot.



Hipotermia Pajanan lama ke suhu lingkungan yang rendah menyebabkan hipotermia. Kondisi ini sangat sering pada alkoholik yang tuna wisma, pada mereka pakaian basah atau tidak memadai dan dilatasi pembuluh darah superfisial terjadi akibat konsumsi alkohol, yang mempercepat turunnya suhu. Pada sekitar 90°F, terjadi kehilangan kesadaran,



289



diikuti oleh bradikardia dan fibrilasi atrium pada suhu inti tubuh yang lebih rendah. Pembekuan atau pendinginan sel dan jaringan menyebabkan cedera melalui dua mekanisme: • Pengaruh langsung mungkin diperantarai oleh gangguan fisis dalam sel dan konsentrasi garam sesaat yang tinggi serta kristalisasi air intra dan ekstraseluler. • Pengaruh tidak langsung adalah akibat dari perubahan sirkulasi, yang bervariasi, bergantung kepada kecepatan dan masa penurunan suhu. Pendinginan yang berlangsung lambat dapat menginduksi vasokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas, menyebabkan edema. Perubahan-perubahan seperti ini adalah khas pada trench foot. Kemudian dapat terjadi atrofia dan fibrosis. Pada keadaan lain, penurunan suhu yang mendadak, vasokonstriksi dan peningkatan viskositas darah setempat dapat menyebabkan jejas iskemik dan perubahan-perubahan degeneratif di saraf perifer. Pada situasi ini, cedera vaskular dan peningkatan permeabilitas dengan eksudasi, hanya jelas kalau suhu normal kembali. Kalau periode iskemik berlangsung lama, dapat mengakibatkan perubahan hipoksik dan infark jaringan yang terjangkit (misalnya gangren kaki atau jari kaki).



Jejas Listrik Jejas listrik, yang mungkin fatal, dapat disebabkan oleh arus tegangan rendah (misalnya: di rumah dan tempat kerja) atau arus tegangan tinggi dari kabel tegangan tinggi atau petir. Terdapat 2 jenis jejas : (1) luka bakar dan (2) fibrilasi ventrikel atau terhentinya pusat jantung dan respirasi akibat gangguan impuls listrik normal. Jenis jejas dan keparahan dan luas luka bakar bergantung kepada kuat arus listrik dan jalur arus listrik dalam tubuh. Tegangan dalam rumah tangga dan tempat kerja (120 atau 220 v) adalah cukup tinggi yang dengan resistensi rendah di lokasi kontak (seperti kalau kulit basah), cukup arus yang dapat melalui tubuh untuk menyebabkan jejas serius, termasuk fibrilasi ventrikel. Kalau arus berlanjut cukup lama, hal ini menghasilkan panas yang cukup untuk menghasilkan luka bakar pada tempat masuk dan keluar serta organ dalam. Ciri penting arus bolak balik yaitu jenis yang umumnya terdapat di rumah, adalah bahwa arus ini menyebabkan spasme otot tetanik, sehingga kalau seseorang memegang kawat atau tombol berarus listrik, maka gangguan tersebut mungkin akan semakin kuat, sehingga periode aliran arus semakin lama. Hal ini menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya luka bakar yang luas dan pada beberapa kasus, kejang otot dinding dada yang menyebabkan kematian akibat asfiksia. Arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan tinggi menyebabkan kerusakan serupa, namun, sebab besarnya arus yang dihasilkan besar kemungkinan terjadi paralisis pusat medula dan luka bakar luas. Tersambar petir adalah contoh klasik jejas akibat listrik tegangan tinggi.



Jejas Akibat Radiasi Pengion Radiasi adalah energi yang bergerak dalam bentuk gelombang atau partikel berkecepatan tinggi. Radiasi mempunyai berbagai jenis energi yang menjangkau spektrum elektromagnetik. Radiasi dapat dibagi radiasi bukan pengion (nonionizing) dan pengion (ionizing). Energi dari radiasi bukan pengion (nonionizing) seperti ultraviolet (UV)



290



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



dan cahaya infrared, microwave (gelombang mikro) dan gelombang suara, dapat memindahkan atom dalam molekul atau menyebabkan vibrasi, tetapi tidak cukup untuk memindahkan elektron dari atom. Sebaliknya, radiasi pengion (ionizing) mempunyai cukup energi untuk menyingkirkan elektron yang terikat erat. Benturan elektron-elektron bebas dengan atom lain, melepaskan elektron-elektron tambahan, dalam reaksi kaskade, yang disebut sebagai ionisasi. Sumber utama radiasi pengion adalah (1) x-ray dan sinar gamma, yang merupakan gelombang elektro magnet dengan frekwensi sangat tinggi dan (2) netron energi tinggi, partikel alpha (terdiri atas 2 proton dan 2 netron), dan partikel beta, yang pada dasarnya adalah elektron. Sekitar 18% dari total dosis radiasi pengion yang diterima oleh masyarakat Amerika Serikat, berkaitan dengan perawatan kesehatan yang sebagian besar berasal dari alat-alat medis dan radioisotop. Radiasi pengion sangat diperlukan pada praktik medis, tetapi aplikasi ini merupakan pedang bermata dua. Radiasi dalam bentuk ini digunakan dalam pengobatan kanker, dalam diagnostik pencitraan dan sebagai radioisotop terapeutik dan diagnostik. Tetapi, ini juga bersifat mutagenik, karsinogenik dan teratogenik. Istilah-istilah berikut digunakan untuk mengekspresikan eksposur, absorpsi dan dosis radiasi pengion: • Curie (Ci) merupakan disintegrasi per detik dari radionuklida (radioisotop) yang mengalami disintegrasi spontan. Satu Ci sama dengan 3.7 x 1010disintegrasi per detik. • Gray (Gy) adalah unit yang menggambarkan energi yang terserap oleh jaringan sasaran. Ini sesuai dengan penyerapan 104 ergs per gram jaringan. Satu sentigray (cGy), merupakan absorpsi 100 ergs per gram jaringan, setara dengan pajanan jaringan terhadap 100 rads (R) (dosis radiasi terserap). Nomenklatur cGy sekarang menggantikan rad dalam bahas medis. • Sievert (Sv) adalah unit dosis ekivalen, yang bergantung kepada pengaruh biologis, daripada pengaruh fisis radiasi (ini menggantikan unit yang disebut rem). Untuk dosis terserap yang sama, jenis radiasi yang bervariasi, berbeda dalam luas kerusakan, yang dihasilkan. Dosis ekuivalen mengendalikan variasi ini dan tersedia unit pengukuran yang uniform. Dosis ekivalen (dinyatakan dalam sieverts) sesuai dengan dosis terabsorpsi (dinyatakan dalam grays) dikalikan dengan derajat pengaruh biologis relatif dari radiasi. Efek biologis relatif bergantung kepada jenis radiasi, jenis dan volume jaringan yang terpajan, dan masa pajanan, serta faktor-faktor biologis lain (dibahas kemudian). Dosis efektif dari x-rays, computed tomography (CT), dan pencitraan lain dan prosedur kedokteran nuklir umumnya dinyatakan dalam millisieverts (mSv). Di samping sifat, fisis dari radiasi, efek biologisnya sangat bergantung kepada variabel-variabel berikut: • Kecepatan pemberian/penyinaran. Kecepatan penyinaran secara signifikan memodifikasi pengaruh biologis. Meskipun pengaruh energi radiasi adalah kumulatif, penyinaran dalam dosis terbagi memungkinkan sel memperbaiki sebagian dari kerusakan dalam masa jeda. Oleh karena itu, energi radiasi dalam dosis terfraksinasi, mempunyai pengaruh kumulatif hanya sampai perbaikan selama interval tidak sempurna. Radioterapi tumor memanfaatkan kapasitas sel normal untuk memperbaiki dirinya sendiri dan pulih lebih cepat dari sel tumor.



• Luas lapangan. Luas lapangan yang terpajan radiasi berpengaruh besar pada akibatnya. Tubuh dapat bertahan terhadap dosis radiasi yang relatif tinggi, kalau diberikan dalam lapangan kecil yang terlindung baik, sedangkan dosis yang lebih kecil, namun diberikan ke lapangan yang lebih luas mungkin bersifat letal. • Proliferasi sel. Karena radiasi pengion merusak DNA, sel yang cepat membelah lebih rentan terhadap cedera daripada sel yang sedang istirahat. Kecuali pada dosis yang sangat tinggi, yang mengganggu transkripsi DNA, kerusakan DNA masih memungkinkan kelangsungan hidup pada sel-sel yang tidak membelah, seperti neuron dan otot. Namun, pada sel yang membelah, kelainan kromosom dan jenis mutasi lain dikenal oleh mekanisme checkpoint siklus sel, yang menyebabkan pertumbuhan terhenti dan mengalami apoptosis. Oleh karena itu dapat dimengerti jaringan dengan pergantian sel yang cepat, seperti gonad, sumsum tulang, jaringan limfoid dan mukosa saluran cerna, sangat rentan terhadap radiasi dan jejas bermanifestasi secara dini setelah pajanan. • Hipoksia. Produksi senyawa oksigen reaktif (reactive oxygen species) oleh radiolisis air adalah mekanisme terpenting dari kerusakan DNA, oleh radiasi pengion. Hipoksia jaringan, seperti yang dapat terjadi pada bagian tengah tumor, dengan vaskularisasi buruk, tetapi dengan kecepatan tumbuh tinggi, sehingga mengurangi luasnya kerusakan dan efektivitas radioterapi terhadap tumor. • Kerusakan vaskular. Kerusakan sel-sel endotel, yang cukup sensitif terhadap radiasi, dapat menyebabkan penyempitan atau oklusi pembuluh darah, menyebabkan gangguan penyembuhan, fibrosis dan atrofia iskemik kronik. Perubahan ini dapat terjadi berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah paparan. Meskipun sensitivitas sel-sel otak terhadap radiasi rendah, kematian pembuluh darah sesudah radiasi dapat menyebabkan manifestasi lambat dari jejas radiasi pada jaringan ini.



Kerusakan DNA dan Karsinogenesis Target seluler tergantung dari radiasi pengion adalah DNA. Kerusakan DNA oleh radiasi pengion yang tidak diperbaiki secara tepat menyebabkan mutasi, yang manifestasinya dapat bertahun-tahun atau dekade sebagai kanker. Radiasi pengion dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan dalam DNA, termasuk kerusakan basa, untai tunggal dan untai ganda patah, dan ikatan silang antara DNA dan protein (Gambar 7-14). Pada sel yang bertahan hidup, cacat sederhana mungkin dapat diperbaiki oleh berbagai sistem perbaikan enzim, yang terdapat pada sel mamalia (lihat Bab 5). Sistem perbaikan ini terkait dengan regulasi siklus sel melalui protein seperti ATM (ataxiatelangiectasia mutated) yang memulai transduksi isyarat setelah kerusakan dan P53, yang sementara dapat memperlambat siklus sel untuk memungkinkan perbaikan DNA atau memicu apoptosis pada sel yang tidak dapat diperbaiki. Namun, untai ganda yang patah dapat bertahan tanpa perbaikan, atau perbaikan lesi mungkin tidak tepat (rawan kesalahan), menciptakan mutasi. Kalau checkpoints siklus sel tidak berfungsi (misalnya, karena suatu mutasi pada P53), sel-sel dengan genom abnormal dan tidak stabil bertahan dan mungkin berkembang sebagai klon yang abnormal untuk akhirnya membentuk tumor.



Fibrosis Konsekuensi umum dari radioterapi kanker adalah terjadinya fibrosis di daerah yang mengalami penyinaran (Gambar 7-15). Fibrosis mungkin terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah penyinaran,



Cedera oleh Agen Fisis



fibroblas adalah kontributor utama untuk terjadinya fibrosis yang diinduksi oleh radiasi.



RADIASI PENGION



EFEK TIDAK LANGSUNG



lonisasi



EFEK LANGSUNG



Pembentukan radikal bebas



Penguatan pada oksigen tegangan tinggi Kerusakan DNA



Perbaikan yang gagal



Hambatan pembelahan sel



Kematian sel



Perbaikan DNA dan rekonstitusi jaringan



Proses Perbaikan yang gagal atau menyimpang transformasi tambahan Janin atau sel germinativum: teratogenesis



Karsinogenesis



Gambar 7-14 Pengaruh radiasi pengion pada DNA dan akibatnya. Pengaruh pada DNA, dapat langsung atau, terpenting, yang tidak langsung, melalui pembentukan radikal bebas.



menyebabkan penggantian sel parenkim yang mati oleh jaringan ikat dan terbentuknya jaringan parut dan adhesi (lihat Bab 2). Seperti telah disebutkan, radiasi pengion menyebabkan kerusakan vaskular dan mengakibatkan iskemi jaringan. Kerusakan vaskular, pembunuhan sel pokok jaringan oleh radiasi pengion dan pelepasan sitokin dan kemokin, yang menunjang reaksi inflamasi dan aktivasi



MORFOLOGI Sel-sel yang bertahan hidup pada kerusakan akibat energi radiasi, menunjukkan berbagai perubahan struktural di kromosom, termasuk delesi, patah, translokasi, dan fragmentasi. Kumparan mitotik sering menjadi tidak teratur dan poliploidi dan aneuploidi mungkin ditemukan. Pembengkakan inti dan kondensasi dan penggumpalan kromatin mungkin tampak, pecahnya membran inti mungkin juga terjadi. Apoptosis dapat terjadi. Sel dengan morfologi inti yang abnormal mungkin diproduksi dan menetap selama bertahun-tahun, termasuk sel datia dengan inti pleomorfik atau lebih dari satu inti. Pada energi radiasi dengan dosis yang sangat tinggi, perangai yang mencerminkan kematian sel yang sedang terjadi, seperti piknosis inti, segera tampak. Selain mempengaruhi DNA dan inti, energi radiasi mungkin menginduksi berbagai perubahan sitoplasma, termasuk pembengkakan sitoplasma, distorsi mitokondria dan degenerasi dari reticulum endoplasmic (ER). Cedera membran plasma dan cacat fokal mungkin tampak. Konstelasi histologis dari pleomorfisma seluler, pembentukan sel datia, perubahan inti dan gambaran mitosis, menjadikan sel dengan jejas radiasi makin mirip dengan sel kanker merupakan masalah yang menyulitkan ahli patologi dalam evaluasi jaringan pasca-radiasi terhadap kemungkinan sel tumor yang menetap. Pada tingkat mikroskop cahaya, perubahan vaskular dan fibrosis interstitium adalah mencolok pada jaringan yang mengalami radiasi (Gambar 7-15). Selama masa segera sesudah radiasi, pembuluh darah mungkin hanya menunjukkan dilatasi. Kemudian atau dengan dosis lebih tinggi, berbagai perubahan degeneratif tampak, termasuk pembengkakan dan vakuolisasi sel endotel atau bahkan kehancuran dengan nekrosis total dinding pembuluh darah kecil seperti kapiler dan venula. Pembuluh darah yang terjangkiti



V



A



291



B



I



C



Gambar 7-15 Perubahan vaskular dan fibrosis kelenjar liur akibat terapi radiasi pada regio leher. A, Kelenjar liur normal; B, fibrosis akibat radiasi; C, fibrosis dan perubahan vaskular berupa penebalan fibrointima dan sklerosis arteriol.V, lumen pembuluh; I, intima yang menebal. (A—C, Sumbangan dari Dr. Melissa Upton, Department Pathology, University of Washington, Seattle, Washington)



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



mungkin pecah atau mengalami trombosis. Selanjutnya tampak yangproliferasi sel endotel dan hialinisasi kolagen dengan penebalan lapisan media pada pembuluh-pembuluh darah yang mengalami radiasi, mengakibatkan penyempitan, bahkan obliterasi lumen pembuluh darah. Pada saat ini, penambahan kolagen interstitium di daerah radiasi, menyebabkan pembentukan jaringan parut dan kontraksi, yang biasanya menjadi kenyataan.



Efek pada Sistem Organ Gambar 7-16 menggambarkan konsekuensi utama dari jejas radiasi. Seperti telah disebutkan, organ dan jaringan yang paling sensitif adalah gonad, sistem hematopoietik dan limfoid dan lapisan permukaan dari saluran gastro-intestinal. Perkiraan dosis ambang untuk efek akut pajanan radiasi pada berbagai organ tertera pada Tabel 7-7. Perubahan-perubahan dalam sistem hematopoietik dan limfoid bersama dengan kanker, yang diinduksi oleh pajanan lingkungan atau pajanan terkait pekerjaan terhadap radiasi pengion, diringkas sebagai berikut: • Sistem hematopoietik dan limfoid. Sistem hematopoietik dan limfoid sangat rentan terhadap jejas radiasi dan layak disebutkan secara khusus. Dengan tingkat dosis tinggi dan bidang pajanan luas, limfopenia berat mungkin tampak dalam hitungan jam setelah radiasi, bersama dengan pengerutan kelenjar getah bening dan limpa. Radiasi langsung menghancurkan limfosit, baik dalam sirkulasi darah maupun di jaringan (kelenjar getah bening, limpa, timus, usus). Dengan dosis radiasi subletal, regenerasi progenitor yang masih hidup adalah cepat, sehingga pemulihan jumlah limfoid dalam darah menjadi normal dalam beberapa minggu atau bulan. Jumlah granulosit dalam sirkulasi mula-mula mungkin meningkat, tetapi kemudian menurun menjelang akhir minggu pertama. Kadar mendekati nol, mungkin tercapai selama minggu kedua. Kalau penderita dapat bertahan hidup, pemulihan jumlah granulosit mungkin memerlukan waktu 2 sampai 3 bulan. Trombosit juga terjangkiti, dengan titik nadir hitung trombosit terjadi sedikit lebih lambat daripada granulosit, pemulihannya juga lebih lambat. Sel hematopoietik di sumsum tulang, termasuk prekursor eritrosit, juga sangat sensitif terhadap energi radiasi. Eritrosit adalah radioresisten, tetapi progenitornya tidak, akibatnya, anemia terjadi sesudah 2 sampai 3 minggu dan mungkin menetap untuk beberapa bulan. • Pajanan lingkungan dan perkembangan kanker. Setiap sel yang mampu membelah diri dan telah mengalami mutasi, berpotensi menjadi kanker. Jadi peningkatan insidens neoplasma mungkin terjadi pada tiap organ, sesudah terpajan radiasi pengion. Tingginya radiasi yang diperlukan untuk meningkatkan risiko



Tabel 7-7 Perkiraan Dosis Ambang untuk Pengaruh Radiasi Akut pada Organ Tertentu



Efek pada Kesehatan



Organ/Struktur



Dosis (Sv)



Sterilitas temporer



Testis



0.15



Depresi hematopoesis



Sumsum tulang



0.50



Efek kulit yang reversibel



Kulit



1.0–2.0



Sterilitas permanen



Ovarium



2.5–6.0



Rambut rontok temporer



Kulit



3.0–5.0



Sterilitas permanen



Testis



3.5



Katarak



Lensa Mata



5.0



OTAK • Dewasa - resisten • Mudigah - destruksi neurion dan sel glia (minggu sampai bulan) KULIT • Eritema, edema (dini) • Dispigmentasi (minggu sampai bulan) • Atrofi, kanker (bulan sampai tahun) PARU • Edema • SGNA • Fibrosis interstitium (bulan sampai tahun) KELENJAR GETAH BENING • Kehilangan jaringan akut • Atrofi dan fibrosis lanjut SALURAN CERNA



• Cederan mukosa (dini) • Ulserasi (dini) • Fibrosis dinding (lanjut)



GONAD • Testis (destruksi) Spermatogonia Spermatid Sperma • Ovarium (destruksi) Sel Germinativum Sel Granulosa • Atrofi dan fibrosis gonad (lanjut)



Dini



BAB 7



DARAH DAN SUMSUM TULANG • Trombositopenia • Granulositopenia • Anemia • Limfopenia



Dini



292



Gambar 7-16 Garis besar dari akibat morfologik utama pada jejas radiasi. Perubahan-perubahan dini terjadi dalam hitungan jam sampai minggu, perubahan-perubahan lanjut terjadi dalam hitungan bulan sampai tahun. SGNA, sindrom gawat napas akut.



perkembangan kanker, sulit ditentukan, tetapi terdapat sedikit keraguan bahwa eksposur akut atau yang berlangsung lebih lama, dosis 100 mSv mengakibatkan konsekuensi serius, termasuk kanker. Ini diperlihatkan oleh peningkatan insidens leukemia dan tumor pada berbagai lokasi (seperti tiroid, payudara dan paru) pada mereka yang bertahan hidup dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, peningkatan kanker tiroid pada mereka yang bertahan hidup pada kecelakaan Chernobil dan sering terjadinya "kanker kedua" pada penderita, terutama anak-anak, yang dirawat dengan radioterapi untuk penyakit neoplastik. Dikhawatirkan, bocornya radiasi dan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima di Jepang pasca tsunami tahun 2010 akan meningkatkan insidens kanker di daerah terkena.



Penyakit Gizi



293



Tabel 7-8 Pengaruh Radiasi Pengion pada Tubuh Total



0–1 Sv



2–10 Sv



10–20 Sv



Limfosit



Sumsum tulang



Usus halus



Otak



Ciri dan gejala utama







Leukopenia sedang



Leukopenia, perdarahan, rambut rontok, muntah



Diare, demam, elektrolit tidak seimbang, muntah



Ataksia, koma, kejang, muntah



Waktu







1 hari - 1 minggu



4-6 minggu



5-14 hari



1-4 jam



Kematian







Tidak ada



Variabel - Tidak tentu (0% sampai 80%)



100%



100%



Dikhawatirkan, bocornya radiasi dan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima di Jepang pasca tsunami tahun 2010 akan meningkatkan insidens kanker di daerah terkena. • Pajanan terkait pekerjaan dan perkembangan kanker. Radon adalah produk yang terdapat di sekeliling kita yang berasal dari peluruhan spontan uranium. Bahan karsinogenik adalah dua produk samping dari peluruhan radiasi (polonium-214 dan -218, atau "putri radon"), yang memancarkan partikel alfa dan memiliki waktu paruh yang pendek. Partikel ini mengendap di paru dan pajanan kronik pada penambang uranium mungkin menyebabkan kanker paru. Risiko juga terdapat di rumah-rumah, dengan kadar radon sangat tinggi, seperti pada daerah tambang. Namun, tidak ada atau sedikit bukti, yang menunjukkan bahwa radon mungkin menjadi kontributor dari risiko kanker paru pada rumah tangga umumnya.



Penyinaran Seluruh Tubuh Pajanan bagian tubuh yang luas terhadap radiasi bahkan dengan dosis sangat kecil, mungkin memberi pengaruh yang merugikan. Dosis di bawah 1 Sv memberi gejala minimal atau tanpa gejala. Tingkat eksposur yang lebih tinggi, berpengaruh terhadap kesehatan yang dikenal sebagai sindrom radiasi akut. Pada dosis lebih tinggi melibatkan sistem hematopoietik, sistem saluran cerna dan SSP. Sindrom yang terkait dengan pajanan seluruh tubuh terhadap radiasi pengion, diringkas pada Tabel 7-8.



RINGKASAN Jejas Radiasi • •



• •



>50 Sv



1–2 Sv



Tempat cedera utama Tidak ada



Radiasi pengion dapat menyebabkan jejas sel secara langsung atau tidak langsung dengan menghasilkan radikal bebas dari air atau molekul oksigen. Radiasi pengion merusak DNA, karena itu, sel-sel yang membelah dengan cepat, seperti sel benih dan sel-sel di sumsum tulang dan saluran gastro-intestinal sangat sensitif terhadap jejas radiasi. Kerusakan DNA, yang tidak cukup diperbaiki, mungkin mengalami mutasi, yang merupakan predisposisi untuk transformasi neoplastik. Radiasi pengion mungkin menyebabkan kerusakan vaskular dan sklerosis, menyebabkan nekrosis iskemik dari sel-sel parenkim dan digantikan oleh jaringan fibrosa.



PENYAKIT GIZI Jutaan orang yang hidup di negara berkembang menderita kelaparan atau hidup dengan upaya keras melawan kelaparan, sementara mereka yang hidup di negara maju berjuang untuk menghindari kalori dan obesitas atau takut makanan yang mereka makan dapat menyebabkan aterosklerosis dan hipertensi. Jadi baik kekurangan maupun kelebihan nutrisi merupakan keprihatinan utama dalam kesehatan.



Malnutrisi Gizi yang sehat menyediakan (1) energi yang cukup dalam bentuk karbohidrat, lemak dan protein, untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh sehari-hari; (2) asam amino esensial (juga non esensial) dan asam lemak, digunakan sebagai bahan baku (building blocks) untuk sintesis protein struktural dan fungsional dan lemak; dan (3) vitamin dan mineral-mineral, yang berfungsi sebagai koenzim atau hormon dalam jalur-jalur metabolit yang penting untuk kehidupan (vital) atau seperti pada kasus kalsium dan fosfat, merupakan komponen struktural penting. Pada malnutrisi primer, satu atau semua komponen ini tidak terdapat dalam diet. Sebaliknya, pada malnutrisi sekunder atau kondisional, asupan zat gizi dalam makanan mencukupi dan malnutrisi terjadi akibat malabsorpsi zat gizi, gangguan pada penggunaan atau penyimpanan, kehilangan yang berlebihan atau peningkatan kebutuhan. Penyebab malnutrisi sekunder dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori umum namun tumpang tindih: penyakit saluran gastro-intestinal, penyakit-penyakit kronik yang disertai penurunan berat badan (wasting disease) dan penyakit krisis akut. Malnutrisi telah tersebar luas dan mungkin jelas terlihat atau tersamar. Beberapa penyebab insufisiensi gizi adalah: • Kemiskinan. Para tunawisma, individu lanjut usia dan anak-anak miskin sering menderita malnutrisi energi protein (MEP), serta kekurangan zat gizi pendukung (trace nutrient). Di negara-negara miskin, kemiskinan, bersama dengan kekeringan, gagal panen dan kematian ternak, menciptakan keadaan kurang gizi pada anak dan dewasa. • Ketidaktahuan. Bahkan, yang kaya mungkin tidak tahu bahwa bayi, remaja dan wanita hamil, kebutuhan gizinya meningkat. Ketidaktahuan tentang kandungan gizi berbagai makanan juga berperan pada malnutrisi, sebagai berikut: (1) defisiensi zat besi sering terjadi pada bayi yang semata-mata hanya diberi susu buatan,(2) beras yang kulit arinya dibuang, yang digunakan makanan utama sehari-hari, mungkin kurang cukup mengandungi tiamin dan (3) yodium sering kurang dari makanan dan air di daerah yang jauh dari lautan, kecuali disediakan suplemen. • Alkoholisme kronik. Para alkoholik mungkin menderita MEP, tetapi lebih sering kekurangan beberapa vitamin, terutama tiamin, piridoksin, folat dan vitamin A, sebagai akibat defisiensi gizi, gangguan absorpsi saluran gastro-intestinal, penggunaan dan penyimpanan yang abnormal, kebutuhan metabolit yang meningkat dan peningkatan kehilangan zat gizi. Kegagalan pengenalan defisiensi tiamin pada penderita alkoholisme kronik mungkin berakibat kerusakan otak yang tidak reversibel (tidak dapat pulih kembali) (misalnya, psikosis Korsakoff, dibahas pada Bab 22). • Penyakit akut dan kronik. Tingkat metabolisme basal meninggi pada banyak penyakit (pada penderita luka bakar luas, mungkin dua kali lipat), menyebabkan peningkatan kebutuhan semua zat gizi seharihari. Kegagalan mengenal kebutuhan nutrisi ini, memperlambat penyembuhan.



294



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



MEP sering terjadi pada penderita kanker yang mengalami metastasis (dibahas kemudian). • Pembatasan diet sendiri. Anoreksia nervosa, bulimia dan gangguan makan terjadi pada populasi luas dari kelompok lebih memperhatikan citra bentuk tubuh atau mengalami kekhawatiran yang tidak wajar terhadap penyakit kardiovaskular, (anoreksia dan bulimia, dibahas dalam bagian yang terpisah, dalam bab ini). • Penyebab lain. Penyebab malnutrisi lain, termasuk penyakit saluran gastro-intestinal, sindrom malabsorpsi yang didapat dan yang diwariskan, terapi obat spesifik (yang menghambat penyerapan dan pemakaian zat gizi tertentu) dan nutrisi parenteral total. Sisa dari bagian ini menyajikan gambaran umum dari gangguan gizi. Perhatian khusus ditujukan untuk MEP, anoreksia nervosa dan bulimia, defisiensi vitamin dan mineral pendukung dan obesitas, dengan pembahasan singkat tentang hubungan diet dan aterosklerosis dan kanker. Zat gizi lain dan masalah gizi lain dibahas dalam kaitan dengan penyakit tertentu.



Malnutrisi Energi Protein (MEP) MEP berat adalah penyakit serius, sering mematikan. Hal ini lazim terjadi di negara miskin, yang sebanyak 25% anak mungkin terjangkiti dan merupakan kontributor utama pada tingginya angka kematian usia muda. Misalnya, di negara rawan kekeringan Nigeria, Afrika Barat, PBB pada 2009 memperkirakan bahwa 800.000 anak berusia di bawah 5 tahun menderita malnutrisi dan malnutrisi ini merupakan penyebab utama dari kematian pada masa bayi dan masa kanak-kanak pada populasi ini. MEP bermanifestasi sebagai beberapa sindrom klinis, semua akibat asupan protein dan kalori yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Kedua ujung spektrum sindrom, dikenal sebagai marasmus dan kwasiorkor. Dalam pembahasan kondisi ini, titik penting adalah dari sudut pandang fungsional, terdapat dua kompartemen protein di tubuh: kompartemen somatik, diwakili oleh protein di otot kerangka tubuh dan kompartemen viseral, diwakili oleh penyimpanan protein di organ viseral, terutama di hati. Kedua kompartemen ini bersifat berbeda, seperti yang diperinci selanjutnya. Kompartemen somatik terkena pengaruh lebih berat pada marasmus dan kompartemen viseral lebih parah pada kwasiorkor. Penilaian klinis undernutrition (kurang gizi), dibahas berikut ini, diikuti oleh deskripsi gambaran klinis marasmus dan kwasiorkor. Korban MEP yang paling sering di dunia adalah anak. Seorang anak, dengan berat badan kurang dari 80% dari normal dianggap malnutrisi. Diagnosis MEP menjadi jelas pada bentuk yang berat. Pada bentuk ringan sampai sedang, pendekatannya yang biasa adalah dengan membandingkan berat badan untuk tinggi badan tertentu terhadap tabel standar; parameter bantu lain adalah timbunan lemak, massa otot dan protein serum. Dengan kehilangan lemak, ukuran ketebalan lipatan kulit (yang meliputi kulit dan jaringan subkutan) berkurang. Kalau protein kompartemen somatik megalami katabolisma, maka pengurangan massa otot, tercermin pada pengurangan lingkar lengan bagian tengah. Pengukuran tingkat protein serum (albumin, transferin dan lainnya) dapat menunjukkan cukup tidaknya kompartemen protein viseral. (albumin, transferin dan lainnya) dapat menunjukkan cukup tidaknya kompartemen protein viseral.



Marasmus Seorang anak dianggap marasmus, bila berat badan turun mencapai 60% dari normal, dikaitkan dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur (Gambar 7-17, A). Seorang anak marasmus pertumbuhannya terhambat dan kehilangan massa otot, sebagai akibat katabolisma dan kehilangan protein kompartemen somatik. Hal ini agaknya merupakan bentuk penyesuaian terhadap asam amino sebagai sumber energi tubuh yang tersedia. Hal yang menarik, ialah kompartemen protein viseral, yang diperkirakan lebih berarti dan penting untuk bertahan hidup hanya berkurang sedikit, sehingga kadar albumin serum adalah normal atau berkurang sedikit. Di samping itu protein otot, lemak subkutan juga dimobilisasi dan digunakan sebagai bahan bakar. Produksi Leptin (dibahas kemudian dalam "Obesitas") adalah rendah. Hal ini mungkin menstimulasi poros hip otalamus-hipofisi-adrenal (axis hypothalamic-pituitary-adrenal) untuk menghasilkan kortisol kadar tinggi, yang berkontribusi pada lipolisis. Dengan kehilangan otot dan lemak subkutan seperti itu, ekstremitas hanya merupakan tulang dibalut kulit, sehingga kepala tampak terlalu besar dibandingkan badan. Tampak anemia dan manifestasi defisiensi dan terbukti adanya defisiensi imunitas, terutama imunitas yang diperantarai sel T. Oleh karena itu, infeksi lain, yang terjadi bersamaan biasanya menambah beban pada tubuh yang sudah lemah.



Kwasiorkor Kwasiorkor terjadi, kalau penurunan protein relatif lebih besar daripada reduksi kalori total (Gambar 7-17, B). Hal ini adalah bentuk paling lazim dari MEP pada anak di Afrika yang telah disapih terlalu dini dan kemudian makan, hampir secara eksklusif, diet karbohidrat (nama kwashiorkor, berasal dari bahasa Ga di Ghana, yang menggambarkan penyakit pada bayi, yang tampak sesudah kelahiran anak berikutnya). Prevalensi kwasiorkor juga tinggi di negara-negara miskin di Asia Tenggara. Bentuk yang kurang parah mungkin terjadi di seluruh dunia pada mereka yang dengan diare kronik, di mana protein tidak diabsorbsi atau pada mereka yang mengalami kehilangan protein (misalnya enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik atau sesudah luka bakar yang luas). Kasus kwasiorkor yang jarang adalah akibat diet cara sendiri atau penggantian susu dengan minuman berbasis beras telah dilaporkan di Amerika Serikat. Pada kwasiorkor, tidak seperti pada marasmus, kekurangan protein yang berat dikaitkan dengan kehilangan kompartemen protein viseral yang banyak dan akibatnya terjadi hipoalbuminemia, yang menimbulkan edema generaliata atau edema dependen (Gambar 7-17). Berat anak dengan kwasiorkor berat, biasanya adalah 60 sampai 80% dari normal. Namun, hilangnya berat badan yang sebenarnya, tersamar oleh meningkatnya retensi cairan (edema). Perbedaan lain dengan marasmus adalah bahwa lemak subkutis dan massa otot relatif tidak terpengaruh. Kehilangan ringan kompartemen ini juga dapat tersamar oleh edema. Anak-anak dengan kwasiorkor menunjukkan lesi kulit yang khas, dengan zona hiperpigmentasi selang-seling, desquamasi dan hipopigmentasi, memberi gambaran "cat yang terkelupas". "Perubahan rambut" termasuk kehilangan warna atau pita gelap dan pucat selang-seling, lurus, tekstur yang halus dan kurangnya daya lekat rambut ke kulit kepala. Gambaran lain, yang membedakan kwasiorkor dari marasmus adalah hati yang membesar, perlemakan hati (akibat penurunan sintesis



Penyakit Gizi



A



295



B



Gambar 7-17 Malnutrisi masa anak. A, Marasmus. Perhatikan hilangnya massa otot dan lemak subkutan; kepala tampak terlalu besar untuk tubuh yang kurus kering. B, Kwasiorkor. Bayi menunjukkan edema generalisata, tampak sebagai asites dan pembengkakan wajah, tangan dan kaki. (A, dari Clinic Barak Reisebericht Kenya.)



protein pengangkut komponen lipoprotein), dan kecenderungan menjadi apati, gelisah dan kehilangan nafsu makan. Seperti pada marasmus, defisiensi vitamin mungkin ada, serta cacat imunitas dan infeksi sekunder. Pada kwasiorkor, inflamasi akibat infeksi, menyebabkan keadaan katabolik yang memperburuk malnutrisi. Perlu dicatat, marasmus dan kwashiorkor merupakan dua ujung dari satu spektrum dan dapat terjadi tumpang tindih.



Malnutrisi Energi Protein Sekunder MEP sekunder sering terjadi pada penderita dengan penyakit kronik atau yang dirawat di rumah sakit. Suatu bentuk parah dari MEP sekunder disebut kaheksia, sering terjadi pada pasien dengan kanker stadium lanjut (Bab 5). Penurunan berat badan dan kondisi gizi tubuh (wasting) tampak sangat jelas dan sering merupakan ancaman kematian. Walaupun kehilangan nafsu makan, dapat menjelaskan hal ini, kaheksia dapat tampak, sebelum nafsu makan menurun. Mekanisma yang mendasarinya adalah kompleks, tampaknya meliputi cachectins seperti proteolysis-inducing factor, yang disekresi oleh sel tumor, dari sitokin, terutama TNF, yang dilaporkan sebagai bagian dari respons penderita terhadap tumor lanjut. Kedua jenis faktor langsung menstimulasi degradasi protein otot skelet dan sitokin seperti TNF, yang juga merangsang mobilisasi lemak dari tempat penyimpanan.



MORFOLOGI Perubahan anatomik yang khas pada MEP adalah (1) kegagalan pertumbuhan, (2) edema perifer padakwasiorkor dan (3) hilangnya lemak tubuh dan atrofia otot, yang lebih jelas pada marasmus. Hati pada kwasiorkor, membesar dan berlemak, tetapi tidak pada marasmus; jarang terjadi sirosis. Pada kwasiorkor (jarang pada marasmus), usus halus menunjukkan penurunan indeks mitosis di kripti kelenjar



yang menyebabkan atrofia mukosa dan hilangnya vilus dan mikro vilus. Pada kasus seperti ini, terjadi penurunan enzim usus halus, paling sering bermanifestasi sebagai defisiensi disakaridase. Sehingga, bayi dengan kwasiorkor mula-mula mungkin tidak toleran terhadap laktat dan mungkin tidak merespons baik terhadap diet berbasis susu murni. Dengan pengobatan, perubahan mukosa bersifat reversibel. Sumsum tulang pada keduanya, kwasiorkor dan marasmus mungkin hipoplastik, terutama sebagai akibat penurunan jumlah prekursor eritrosit. Berapa banyak dari kelainan ini, yang disebabkan oleh defisiensi protein dan folat dan berapa banyak karena penurunan sintesis transferin dan seruloplasmin, masih belum jelas. Karena itu, biasanya ditemukan anemia yang tersering bersifat hipokromik, mikrositik, tetapi defisiensi folat secara bersamaan dapat menyebabkan anemia campuran mikrositik-makrositik. Otak pada bayi yang lahir pada ibu yang malnutrisi dan menderita MEP selama I sampai 2 tahun pertama dari kehidupannya,oleh beberapa peneliti dilaporkan mengalami atrofia cerebrum, penurunan jumlah neuron dan gangguan mielinisasi substantia alba. Banyak perubahan lain yang mungkin ditemukan, termasuk (I) atrofia kelenjar timus dan limfoid (lebih nyata pada kwasiorkor daripada marasmus), (2) perubahan anatomik yang dipicu oleh infeksi berulang, terutama cacing endemik dan parasit lain dan, (3) defisiensi zat gizi lain yang dibutuhkan seperti yodium dan vitamin.



Anoreksia Nervosa dan Bulimia Anoreksia nervosa adalah keadaan kelaparan yang disengaja, yang berakibat penurunan berat badan yang mencolok; bulimia adalah kondisi, seorang pasien yang makan banyak, lalu memicu dirinya untuk muntah. Bulimia lebih sering daripada anoreksia nervosa



296



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



dan prognosisnya lebih baik. Diperkirakan terjadi pada 1% sampai 2% wanita dan 0,1% pria, dengan umur rata-rata permulaan penyakit pada usia 20 tahun. Anoreksia nervosa juga terjadi secara primer pada wanita muda, yang sebelumnya sehat, yang terobsesi untuk mencapai atau mempertahankan kelangsingan tubuh. Temuan klinis pada anoreksia nervosa umumnya serupa dengan MEP yang berat. Selain itu, pengaruh terhadap sistem endokrin menonjol. Amenorea, akibat dari penurunan sekresi hormon pelepas gonadotropin (gonadotropin-releasing hormone),dan sebagai akibatnya terjadi penurunan sekresi luteinin dan hormon perangsang folikel (follicle-stimulating hormones), terjadi sedemikian sering, sehingga hal ini merupakan perangai diagnostik. Temuan umum lainnya, terkait dengan penurunan pelepasan hormon tiroid, termasuk intoleransi dingin, bradikardi, konstipasi dan perubahanperubahan pada kulit dan rambut. Di samping itu dehidrasi dan abnormalitas elektrolit sering ditemukan. Kulit menjadi kering dan bersisik dan mungkin kekuningan akibat kelebihan karoten dalam darah. Rambut tubuh mungkin meningkat tapi biasanya halus dan pucat (lanugo). Densitas tulang menurun, kemungkinan besar akibat kadar estrogen rendah, yang mirip dengan akselerasi osteoporosis pasca menopause. Seperti pada MEP yang berat, mungkin ditemukan anemia, limfopenia dan hipoalbuminemia. Komplikasi utama dari anoreksia nervosa adalah peningkatan kerentanan terhadap aritmia jantung dan kematian mendadak, keduanya disebabkan oleh hipokalemia. Pada bulimia, pesta makan adalah normanya. Pasien makan dalam jumlah besar, terutama karbohidrat, tetapi diikuti muntah secara sengaja. Meskipun lazim terjadi ketidakteraturan haid, amenore terjadi pada kurang dari 50% pasien bulimia, mungkin karena berat dan kadar gonadotropin dipertahankan mendekati normal. Komplikasi medis utama berkaitan dengan muntah berulang dan penggunaan laksatif dan diuretik secara kronik. Hal ini termasuk (1) kadar elektrolit tidak seimbang (hipokalemia), yang merupakan predisposisi terhadap aritmia jantung; (2) aspirasi isi lambung ke dalam paru dan (3) ruptur esofagus dan lambung. Namun demikian, tidak ada tanda-tanda dan gejala khas sindrom ini, dan diagnosis harus berdasarkan pada penilaian psikologis penderita secara komprehensif.



Defisiensi Vitamin Sebelum kami meringkaskan fungsi dari setiap vitamin dan akibat defisiensinya, diberikan beberapa uraian secara umum. • Tigabelas vitamin adalah perlu untuk kesehatan; empat - A, D, E dan K bersifat larut dalam lemak dan sisanya larut dalam air. Perbedaan antara vitamin yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air adalah penting, meskipun yang larut lemak lebih mudah disimpan di tubuh, mereka mungkin sulit diserap pada kelainan malabsorpsi lemak, disebabkan oleh gangguan fungsi digestif (dibahas dalam Bab 14). • Vitamin-vitamin tertentu dapat disintesis secara endogen vitamin D dari perkursor steroid, vitamin K dan biotin oleh mikroflora dan niacin dari triptofan, suatu asam amino esensial. Meskipun terdapat sintesis endogen, asupan semua vitamin dari makanan, penting untuk kesehatan.



• Defisiensi satu vitamin saja, jarang ditemukan dan defisiensi satu atau beberapa vitamin mungkin tersamarkan kalau bersamaan dengan MEP. Pada bagian berikut, vitamin A, D dan C disajikan secara rinci sebab fungsinya yang beraneka ragam dan perubahan morfologik yang terjadi pada keadaan defisiensi. Hal ini diikuti oleh ringkasan dalam bentuk tabel tentang akibat utama dari defisiensi vitamin-vitamin lain E, K, dan B kompleks dan beberapa mineral esensial.



Vitamin A Vitamin A adalah nama generik untuk sekelompok bahan yang larut lemak, termasuk retinol, retinal dan asam retinoid, yang memiliki aktivitas biologis yang sama. Retinol adalah nama kimia untuk vitamin A. Ini adalah bentuk transpor dan ester retinol sebagai bentuk simpanan. Istilah yang sering digunakan, retinoid, mengacu pada zat kimia alami dan sistem yang secara struktural berkaitan dengan vitamin A, tetapi tidak harus memiliki aktivitas vitamin A. Makanan yang berasal dari hewan, seperti hati, ikan, telur, susu dan mentega adalah sumber makanan penting dari bentuk asal (pre-formed) vitamin A. Sayuran berwama kuning dan daun-daunan hijau, seperti wortel, labu dan bayam mengandungi banyak karotenoid, banyak di antaranya merupakan provitamin, yang mengalami metabolisme menjadi vitamin A aktif dalam tubuh. Karotenoid memberi kontribusi sekitar 30% vitamin A dalam diet manusia dan yang terpenting adalah (3-karoten, yang dikonversi secara efisien menjadi vitamin A. Dosis diet vitamin A yang direkomendasikan, dinyatakan dalam retinol equivalent, untuk keduanya, baik pre-formed vitamin A maupun β-karoten. Seperti dengan semua lemak, pencemaan dan absorpsi karoten dan retinoid memerlukan empedu dan enzim pankreas. Retinol (umumnya ditelan sebagai ester retinol) dan (β- karoten diserap melalui dinding usus, tempat (β- karoten diubah menjadi retinol (Gambar 7-18). Retinol kemudian diangkut dalam khilomikron, yang di bawa ke sel hati melalui reseptor apolipoprotein E. Lebih dari 90% cadangan vitamin A tubuh disimpan di hati, terutama di sel-sel stelata perisinusoidal (Ito). Pada orang sehat, yang mengkonsumsi diet adekuat, cadangan ini cukup untuk mendukung kebutuhan tubuh setidaknya untuk 6 bulan. Ester retinol yang disimpan di hati dapat dimobilisasi sebelum pelepasan, retinol terikat pada protein spesifik pengikat retinol (retinol-binding protein/RBP), yang disintesis di hati. Penyerapan retinol dan RBP di jaringan perifer tergantung reseptor RBP di permukaan sel. Sesudah diserap oleh sel, retinol dibebaskan dan RBP kembali ke darah untuk daur ulang. Retinol mungkin disimpan di jaringan perifer sebagai ester retinol atau dioksidasi membentuk asam retinoat. Fungsi. Pada manusia, fungsi utama vitamin A adalah sebagai berikut: • Mempertahankan penglihatan normal pada keadaan cahaya kurang • Memperkuat diferensiasi sel epitel khusus, terutama sel yang mensekresikan mukus • Meningkatkan imunitas terhadap infeksi, terutama pada anak dengan campak Di samping itu, retinoid, (β-karoten dan beberapa bahan yang terkait dengan karotenoid dapat berfungsi sebagai bahan fotoprotektif dan antioksidan. Retinoid memiliki pengaruh biologis yang luas, termasuk pengaruh terhadap perkembangan embrio, diferensiasi dan proliferasi sel dan metabolisme lemak.



SUMBER



Penyakit Gizi



Daging (pre-formed vitamin A)



Sayuran (karoten, pro-vitamin A)



Retinol



SEL USUS



TRANSPOR KE HATI



Retinol dalam khilomikron Reseptor apolipoprotein E



PENYIMPANAN HATI



TRANSPOR KE JARINGAN



JARINGAN PERIFER



Ester retinil



Retinol/protein pengikat retinol (PPR)



Retinol



Ester retinol



Oksidasi Asam retinoatacid



Gambar 7–18 Metabolisme Vitamin A.



• Proses penglihatan melibatkan empat bentuk pigmen yang mengandungi vitamin A: rodopsin, pigmen yang paling peka cahaya dan karena itu penting dalam keadaan kurang cahaya, yang terletak pada sel batang dan tiga iodopsin, yang masing-masing responsif terhadap warna tertentu pada cahaya terang, yang terletak di dalam sel kerucut. Sintesis rodopsin dari retinol melibatkan (1) oksidasi menjadi all-trans-retinal, (2) isomerasi menjadi 11-cisretinal dan (3) interaksi dengan opsin untuk membentuk rodopsin. Satu foton cahaya menyebabkan isomerisasi dari 11-cis-retinal menjadi all-trans-retinal, dan rangkaian perubahan konfigurasi di rodopsin, yang menghasilkan isyarat penglihatan. Dalam proses tersebut, terbentuk impuls saraf (oleh perubahan dalam tegangan membran) dan disalurkan melalui neuron dari retina ke otak. Selama adaptasi gelap, beberapa all-trans-retinal diubah kembali menjadi 11-cis retinal tetapi sebagian besar direduksi menjadi retinol dan hilang di retina, yang menjelaskan keperluan asupan retinol yang terus menerus.



297



• Vitamin A dan retinoid berperan penting dalam diferensiasi epitel yang mensekresikan mukus. Apabila terdapat keadaan defisiensi, epitel mengalami metaplasi skuamosa dan diferensiasi menjadi epitel yang menghasilkan keratin. All-trans-retinoic acid (ATRA), asam kuat turunan dari vitamin A, menunjukkan pengaruhnya dengan berikatan pada reseptor asam retinoat (RARs), yang mengatur diferensiasi sel-sel mieloid. Reaksi penggabungan ini merupakan dasar dari kemampuan penting dari ATRA untuk menghasilkan remisi dari lekemia promielosit akut (LPMA). Pada lekemia ini translokasi t (15:17) (Bab 11), mengakibatkan penggabungan (fusi) gen RARA yang mengalami kehilangn structural (truncated) pada kromosom 17 dengan gen PML pada kromosom 15. Gen fusi ini memberi sandi RAR abnormal, yang menghambat ekspresi gen yang dibutuhkan untuk diferensiasi sel mieloid. ATRA dalam dosis farmakologik, mengatasi hambatan ini, menyebabkan promielosit ganas, berdiferensiasi menjadi neutrofil dan mati. Kalau digabungkan dengan bahan kemoterapi konvensional atau garam arsenik, terapi ATRA sering menyembuhkan APML. Asam retinoat, perlu dicatat, tidak berefek pada penglihatan. • Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh tuan rumah (resistensi) terhadap infeksi. Suplemen vitamin A dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas untuk beberapa jenis diare. Serupa dengan itu, suplemen pada anak-anak balita dengan campak, khususnya mereka yang mengalami malnutrisi, dapat menurunkan mortalitas dan komplikasi penyakit, termasuk kerusakan mata dan kebutaan. Efek vitamin A pada infeksi, mungkin sebagian berasal dari kemampuannya untuk merangsang sistem imun melalui mekanisme yang belum jelas. Infeksi mungkin menurunkan ketersediaan biologis (bioavai-lability) vitamin A, mungkin dengan memicu respons fase akut, yang tampaknya menghambat sintesis RBP di hati. Penurunan kadar RBP di hati, menyebabkan pengurangan retinol dalam sirkulasi, yang mengu-rangi tersedianya vitamin A di jaringan. Efek vitamin A yang bermanfaat pada penyakit diare mungkin berkaitan dengan pemeliharaan dan perbaikan integritas dari epitel usus. Keadaan Defisiensi. Defisiensi vitamin A ditemukan di seluruh dunia sebagai akibat gizi yang buruk atau malabsorpsi lemak. Pada anak-anak, penyimpanan vitamin A, berkurang oleh infeksi dan absorpsi vitamin ini buruk pada bayi baru lahir. Pada dewasa, defisiensi vitamin A, berkaitan dengan penurunan vitamin larut lemak lain, mungkin menyebabkan sindrom malabsorpsi seperti penyakit celiac, penyakit Crohn dan colitis. Operasi Bariatrik dan penggunaan terus menerus obat pencahar minyak mineral juga dapat menyebabkan defisiensi. Pengaruh ganda dari kekurangan vitamin A akan dibahas selanjutnya. • Seperti telah dibahas, vitamin A adalah komponen dari rodopsin dan pigmen visual lain. Tidak mengherankan, salah satu manifestasi dini dari defisiensi vitamin A adalah gangguan penglihatan, terutama pada cahaya yang kurang (rabun senja). • Pengaruh lain dari defisiensi vitamin A, berkaitan dengan peran vitamin A dalam mempertahankan diferensiasi sel epitel (Gambar 7-19). Defisiensi yang menetap, menyebabkan suatu rangkaian perubahan yang melibatkan metaplasi epitel dan keratinisasi. Perubahan yang paling berat terjadi pada mata dan mengakibatkan entitas klinis yang disebut sebagai xeroftalmia (mata kering). Mulamula, terjadi kekeringan konjungtiva (xerosis conjunctivae)



298



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi DEFISIENSI VITAMIN A KELAINAN MATA



DIFERENSIASI SEL



Transisi



Normal



Metaplasia epitel



Keratinisasi pelvis Debris keratin Batu



Bercak Bitot Ulkus kornea Keratomalasia Metaplasia lanjut Meningkatkan kanker? Gambar 7-19 Defisiensi vitamin A: akibat utama di mata dan dalam produksi metaplasia keratin dari permukaan epitel tertentu, dan kemungkinan perannya dalam pembentukan metaplasia.Tidak disertakan rabun senja dan defisiensi imun.



sebab epitel yang mensekresikan mukus dan kelenjar lakrimal normal digantikan oleh epitel yang mengalami keratinisasi. Hal ini diikuti oleh tumpukan debris keratin dalam bentuk plak opak kecil (bercak Bitot) dan selanjutnya, erosi permukaan kornea yang kasar, menyebabkan pelunakan dan destruksi kornea (keratomalasia) dan kebutaan total. • Defisiensi vitamin A juga menyebabkan penggantian epitel permukaan saluran respirasi atas dan saluran kemih oleh sel skuamosa yang mengalami keratinisasi (metaplasia skuamosa). Hilangnya epitel mukosilia saluran napas mempermudah terjadinya infeksi paru dan deskuamasi debris keratin di saluran kemih yang mempermudah terjadinya batu di ginjal dan kandung kemih. Hiperplasi dan hiperkeratinisasi epidermis disertai penyumbatan pembuluh kelenjar adneksa mungkin menyebabkan dermatosis folikuler atau papular. • Akibat serius lain pada defisiensi vitamin A adalah defisiensi imun. Gangguan imunitas ini menyebabkan peningkatan angka mortalitas akibat infeksi yang lazim, seperti campak, pneumonia dan diare akibat infeksi. Di bagian dunia dengan prevalensi tinggi defisiensi vitamin A, suplemen gizi menurunkan angka mortalitas penyakit infeksi sebesar 20% sampai 30%. Toksisitas Vitamin A. Baik kelebihan vitamin A jangka pendek maupun jangka panjang, dapat menimbulkan manifestasi toksisitas - satu hal yang memprihatinkan, sebab sebagian pedagang suplemen, mempopulerkan megadosis. Akibat hipervitaminosis A yang akut, pertama kali diuraikan pada tahun 1597 oleh Gerrit de Veer, seorang tukang kayu kapal, yang terdampar di kutub Artica, yang mencatat di buku hariannya mengenai gejala-gejala serius, yang dialami sendiri dan awak kapal lain, setelah makan hati beruang kutub. Mengingat kisah yang mengandungi peringatan ini, petualang makan harus mencatat bahwa toksisitas akut vitamin A juga telah terjadi pada mereka yang makan hati ikan paus, hiu dan bahkan ikan tuna! Tanda dan gejala dari toksisitas akut termasuk sakit kepala, pusing, muntah, stupor dan penglihatan kabur - semua ini dapat dikacaukan dengan tanda-tanda tumor otak. Tanda dan gejala dari toksisitas akut termasuk sakit kepala,



pusing, muntah, stupor dan penglihatan kabur semua ini dapat dikacaukan dengan tanda-tanda tumor otak. Toksisitas kronik berkaitan dengan penurunan berat badan, anoreksia, mual, muntah dan nyeri sendi dan tulang. Asam retinoat memicu produksi dan aktivitas osteoklast, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang dan mengakibatkan peningkatan risiko patah tulang. Meskipun retinoid sintetik digunakan untuk terapi jerawat, tidak berkaitan dengan komplikasi ini, penggunaan retinoid pada kehamilan harus dihindari, sebab terdapat pengaruh teratogenik yang telah pasti dari retinoid.



Vitamin D Fungsi utama dari vitamin D yang larut lemak adalah mempertahankan kadar normal kalsium dan fosfor di plasma. Dalam kapasitas ini, vitamin ini dibutuhkan untuk mencegah penyakit tulang yang dikenal seperti rakhitis (pada anak, yang epifisisnya belum menutup), osteomalasia (pada dewasa) dan tetani hipokalsemik. Dalam kaitannya dengan tetani, vitamin D, mempertahankan konsentrasi yang benar dari ion kalsium di kompartemen cairan ekstrasel. Kalau terjadi defisiensi, turunnya kadar ion kalsium di cairan ekstrasel mengakibatkan eksitasi otot yang terus menerus (tetani). Perhatian kita dipusatkan kepada fungsi vitamin D dalam pengaturan kadar kalsium di dalam serum. Metabolisme. Sumber utama vitamin D untuk manusia adalah sintesis endogen di kulit melalui konversi fotokimia suatu prekursor, 7dehydrocholesterol, dibantu oleh energi matahari atau sinar UV artifisial. Iradiasi senyawa ini membentuk cholecalciferol,dikenal sebagai vitamin D3; pada pembahasan berikut, supaya sederhana, istilah vitamin D digunakan untuk senyawa ini. Dalam kondisi biasa sinar matahari, sekitar 90% dari vitamin D yang diperlukan, berasal endogen dari 7-dehydrocholesterol yang terdapat di kulit. Tetapi, orang kulit hitam, mungkin memiliki tingkat produksi vitamin D yang lebih rendah di kulit karena pigmentasi melanin kulit (mungkin dengan biaya murah untuk perlindungan terhadap kanker yang dipicu oleh UV). Sisanya sedikit berasal dari sumber makanan, seperti ikan dari laut dalam, tanaman dan biji-bijian. Dalam sumber tanaman, vitamin D, terdapat dalam bentuk prekursor, ergosterol, yang diubah menjadi vitamin D dalam tubuh.



Penyakit Gizi Metabolisme vitamin D dapat diberikan ringkasan sebagai berikut (Gambar 7-20): 1. Absorpsi vitamin D bersama lemak lain di usus atau sintesis dari prekursor di kulit. 2. 2Pengikatan ke α1-rglobulin plasma (protein pengikat vitamin D) dan pengangkutan ke hati. 3. Perubahan menjadi 25-hydroxyvitamin D (25-0H-D) oleh 25hidroksilase di hati. 4. Perubahan 25-OH-D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2-D] (secara biologis merupakan bentuk paling aktif dari vitamin D) oleh α1-hidroksilase di ginjal. A.METABOLISME VITAMIN D NORMAL



Iradiasi ultraviolet pada 7-dehidrokolesterol



Vitamin D dalam darah



Penyerapan dari sumber makanan di usus halus P



D-25-hidroksilase



25-OH-D



Ca



Ca P Mineralisasi tulang



Absorpsi Ca dan P



α-1-hidroksilase 1,25 (OH)2D



Kadar normal Ca (normokalsemia) dan P dalam serum



B. DEFISIENSI VITAMIN D 1



α-1 hidroksilase



2



1,25 (OH)2D



Produk Ca x P dalam serum



6b P P 7



Absorpsi Ca dan P



3



Mineralisasi tulang sangan kurang



P



6a



Ca



PTH



Produksi ginjal 1,25-(OH)2-D diatur oleh tiga mekanisma: • Hipokalsemia memicu sekresi hormon paratiroid (PTH), yang kemudian meningkatkan perubahan 25-OH-D menjadi 1,25- (OH)2-D dengan aktivasi α1−hidroksilase. • Hipofosfatemia langsung mengaktifkan α1-hidroksilase, sehingga meningkatkan pembentukan 1,25(OH)2-D. • Sebagai reaksi umpan balik, peningkatan kadar 1,25-(OH)2-D, menekan sintesis metabolit ini dengan menghambat aktivitas, arhidroksilase (penurunan 1,25-(OH)2-D mempunyai efek sebaliknya). Fungsi. Seperti retinoid dan hormon steroid, 1,25- (OH)2-D bekerja, dengan berikatan pada reseptor nukleus, yang berafinitas kuat, kemudian berikatan pada urutan basa DNA yang berfungsi regulasi, yang memicu transkripsi gen sasaran spesifik. Reseptor untuk 1,25(OH)2-D terdapat pada sebagian besar sel berinti pada tubuh, dan mereka menyampaikan isyarat, yang mengakibatkan berbagai aktivitas biologis, yang terlibat pada homeostasis kalsium dan fosfor. Walaupun demikian, fungsi vitamin D yang paling dipahami adalah yang berkaitan dengan mempertahankan kadar normal kalsium dan fosfor dalam plasma, yang melibatkan kerja usus, tulang dan ginjal (Gambar 7-20). Bentuk aktif vitamin D: • Merangsang penyerapan kalsium melalui peningkatan transpor kalsium pada enterosit. • Merangsang resorpsi kalsium di tubulus distal ginjal. • Bekerja sama dengan PTH untuk mengatur kalsium darah. Hal ini terjadi sebagian melalui peningkatan paparan ligan RANK pada osteoblas, yang kemudian mengaktifkan reseptor RANK pada prekursor osteoklast. Aktivasi RANK, menghasilkan isyarat yang meningkatkan diferensiasi osteoklas dan aktivitas resorpsi tulang (Bab 20). • Mendukung mineralisasi tulang. Vitamin D, dibutuhkan untuk mineralisasi matriks osteoid dan tulang rawan epifisis selama pembentukan tulang pipih dan panjang. Vitamin D memicu osteoblas untuk sintesis protein pengikat kalsium osteocalcin, yang mendukung pengendapan kalsium. Perlu dicatat, bahwa pengaruh vitamin D pada tulang, bergantung kepada kadar kalsium pada plasma: Pada satu pihak, pada keadaan hipokalsemik 1,25-(OH)2-D bersama dengan PTH meningkatkan resorpsi kalsium dan fosfor dari tulang untuk menunjang kadar dalam darah. Sebaliknya, pada keadaan normokalsemik vitamin D juga dibutuhkan untuk pengendapan kalsium di tulang rawan epifisis dan matriks osteoid.



Keadaan Defisiensi



P Mobilisasi Ca dan P Ca PTH



299



Ca and P Serum



4



5



Gambar 7-20 A, Metabolisme vitamin D normal. B, Defisiensi Vitamin D. Terdapat substrat yang tidak memadai untuk hidroksilase ginjal (I), menghasilkan defisiensi dari I ,25-(OH)2D (2), dan defisiensi absorpsi kalsium dan fosfor dari usus (3) dengan akibat turunnya kadar keduanya dalam serum (4). Hipokalsemia mengaktifkan kelenjar paratiroid (5), menyebabkan mobilisasi kalsium dan fosfor dari tulang (6a). Secara bersamaan, hormon paratiroid (parathyroid hormone/PTH), menyebabkan pengeluaran fosfat dalam urin (6b) dan retensi kalsium.Akibatnya, kadar kalsium serum normal atau hampir normal, tetapi fosfat rendah, sehingga mineralisasi terganggu (7).



Rakhitis pada anak yang sedang tumbuh dan osteomalasia pada orang dewasa merupakan penyakit tulang yang tersebar di seluruh dunia. Penyakit tersebut dapat terjadi akibat defisiensi kalsium dan vitamin D dalam makanan, tetapi mungkin yang lebih penting adalah terbatasnya pajanan matahari (misalnya pada wanita berbusana sangat tertutup, anak-anak yang lahir dari ibu yang sering hamil, diikuti masa menyusui, yang menyebabkan defisiensi vitamin D dan penduduk bagian utara bumi dengan sedikit sinar matahari). Lainnya, penyebab-penyebab yang tidak biasa dari rakhitis dan osteomalasia termasuk ginjal yang menyebabkan penurunan kadar atau deplesi fosfat dan gangguan malabsorpsi. Meskipun rakhitis dan osteomalasia jarang terjadi di



300



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



luar golongan risiko tinggi, bentuk yang lebih ringan yang lazim terjadi pada usia lanjut. Penelitian juga menunjukkan bahwa vitamin D, mungkin penting untuk mencegah demineralisasi tulang. Tampaknya, varian genetik tertentu dari reseptor vitamin D, berkaitan dengan percepatan kehilangan mineral tulang yang menyertai penuaan dan bentuk kelainan familial dari osteoporosis (Bab 20). Apa pun dasarnya, suatu defisiensi vitamin D, cenderung menyebabkan hipokalsemia. Hal ini pada gilirannya merangsang produksi PTH, yang (1) mengaktifkan α1-hidroksilase ginjal, yang meningkatkan jumlah vitamin D aktif dan absorpsi kalsium; (2) mobilisasi kalsium dari tulang; (3) menurunkan ekskresi kalsium ginjal; dan (4) meningkatkan ekskresi fosfat ginjal. Jadi, kadar kalsium serum, pulih mendekati normal, tetapi hipofosfatemia menetap, sehingga mineralisasi tulang terganggu atau terjadi pergantian tulang yang cepat. Pemahaman tentang perubahan morfologik pada rakhitis dan osteomalasia difasilitasi oleh ringkasan singkat mengenai pemeliharaan dan perkembangan tulang normal. Perkembangan tulang pipih pada kerangka tubuh, melibatkan osifikasi intramembran, sedangkan pembentukan tulang panjang tubuler diproses oleh osifikasi endokondral. Dengan pembentukan tulang intramembranosa, sel mesenkimal berdiferensiasi langsung menjadi osteoblas, yang mensintesis osteoid matriks kolagenosa, tempat pengendapan kalsium. Sebaliknya, dengan osifikasi endokondral, tulang rawan yang tumbuh di lempeng epifisis, untuk sementara mengalami mineralisasi dan kemudian secara progresif diserap kembali dan diganti oleh matriks osteoid yang mengalami mineralisasi untuk membentuk tulang (Gambar 7-21, A).



MORPHOLOGI Kelainan dasar baik pada rakhitis maupun pada osteomalasia adalah kelebihan matriks tulang yang tidak mengalami mineralisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tulang yang sedang tumbuh pada anak dengan rakhitis, dipersulit oleh kalsifikasi sementara



A



B



yang tidak memadai pada tulang rawan epifisis, sehingga pertumbuhan tulang endokondral terganggu. Rangkaian berikut terjadi pada rakhitis: • Pertumbuhan berlebihan tulang rawan epifisis akibat kalsifikasi sementara yang tidak adekuat (tidak cukup) dan gagalnya sel tulang rawan menjadi matang dan mengalami • Menetapnya massa tulang rawan yang distorsi dan iregular, yang banyak di antaranya menonjol ke sumsum tulang • Pengendapan matriks osteoid pada sisa tulang rawan, yang mineralisasinya tidak adekuat (tidak cukup) • Gangguan penggantian tulang rawan oleh matriks osteoid, disertai pembesaran dan ekspansi lateral dari sambungan osteokondrial (Gambar 7-21, B) • Pertumbuhan berlebihan yang abnormal dari kapiler dan fibroblas di zona yang tidak tertata akibat mikrofraktur dan tekanan pada tulang yang mineralisasinya tidak adekuat, lemah dan tulang tidak terbentuk dengan baik. • Deformasi kerangka tubuh akibat kehilangan rigiditas struktur tulang yang sedang tumbuh Perubahan-perubahan nyata pada kerangka tubuh bergantung kepada keparahan proses rakhitis, lamanya dan secara khusus, tekanan yang dialami setiap tulang. Selama fase non-ambulatorik pada masa bayi, kepala dan dada menahan stress (tekanan) yang paling besar.Tulang oksipital yang melunak dapat menjadi gepeng dan tulang parietal dapat melengkung ke dalam oleh tekanan; dengan hilangnya tekanan, recoil elastik mengembalikan tulang ke posisi semula (craniotabes). Osteoid yang berlebihan, menghasilkan frontal bossing dan penampakan kepala yang persegi. Deformasi dada terjadi akibat pertumbuhan berlebihan dari jaringan osteoid atau tulang rawan disambungan kostokondral, menghasilkan rosario rakhitis. Daerah metafisis iga, yang melemah mengalami tarikan dari otot respirasi, menyebabkan mereka melengkung ke dalam dan membentuk tonjolan anterior pada sternum (deformitas dada merpati). Tarikan ke dalam pada tepi diafragma, membentuk alur Harrison, membentuk "korset" rongga dada di batas bawah sangkar



C



Gambar 7-21 Rakitis. A, Taut kostokondral normal pada anak. Perhatikan susunan palisade tulang rawan dan transisi yang teratur dari tulang rawan ke tulang baru. B, Taut kostokondral rakhitis yang tidak menunjukkan susunan palisade.Trabekula yang lebih gelap adalah tulang yang terbentuk dengan baik, trabekula yang lebih pucat adalah osteoid yang tidak mengalami kalsifiksasi. C, Perhatikan kaki-kaki yang melengkung akibat pembentukan tulang yang sangat minim mineralisasinya pada anak dengan rakhitis. (B, Sumbangan don Dr. Andrew E. Rosenherg, Massachusetts General Hospital Boston, Massachusett)



Penyakit Gizi iga. Pelvis mungkin mengalami deformitas. Apabila anak yang dapat berjalan (masa ambulatoir) mengalami rakhitis, deformitas cenderung menjangkiti tulang belakang, panggul dan tulang panjang (misalnya, tibia), menyebabkan, yang paling jelas lumbar lordosis dan tungkai melengkung (Gambar 7-21, C). Pada dewasa, kekurangan vitamin D mengganggu remodeling normal tulang, yang terjadi seumur hidup. Matriks osteoid yang baru terbentuk oleh osteoblas, mineralisasinya tidak ade kuat menghasilkan kelebihan osteoid persisten, yang khas untuk osteomalasia. Meskipun bentuk tulang tidak terpengaruh, tulang menjadi lemah dan rentan terhadap fraktur makroskopik atau mikrofraktur, yang paling sering mengenai korpus vertebra dan collum femoris. Secara histologis, osteoid yang tidak termineralisasi, dapat tampak sebagai lapisan matriks yang menebal (yang berwarna merah jambu pada preparat hematoksilin eosin), terletak sekitar trabekula, yang mengalami mineralisasi normal dan berwarna lebih basofilik. Toksisitas. Pajanan lama terhadap sinar matahari normal, tidak menyebabkan kelebihan vitamin D, tetapi pemberian vitamin megadosis per oral dapat menyebabkan hipervitaminosis. Pada anak hipervitaminosis D dapat berbentuk kalsifikasi metastatik pada jaringan lunak seperti ginjal; pada dewasa, ini dapat menyebabkan nyeri tulang. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian, bahwa potensi toksik vitamin ini sangat besar sehingga dosis yang cukup tinggi merupakan rodentisida kuat.



Vitamin C (Asam Askorbat) Defisiensi vitamin C yang larut dalam air menyebabkan terjadinya scurvy (skorbut) yang pada dasarnya ditandai oleh penyakit tulang pada anak yang sedang tumbuh dan perdarahan dan gangguan penyembuhan pada anak dan dewasa. Pelaut-pelaut dari British Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris), dijuluki limeys, sebab pada akhir abad ke-18, Angkatan Laut mulai menyediakan air jeruk nipis dan lemon kepada mereka untuk mencegah scorbut selama perjalanan yang lama di laut. Tidak sampai 1932, asam askorbat



diidentifikasi dan disintesis. Tidak seperti vitamin D, asam askorbat tidak disintesis secara endogen dalam tubuh, karena itu seluruhnya tergantung pada diet untuk nutrisi ini. Vitamin C terdapat di susu dan beberapa produk hewan (hati, ikan) dan banyak dalam berbagai buah dan sayur mayur. Pada semua, kecuali diet yang sangat terbatas, tersedia vitamin C dalam jumlah yang adekuat (cukup). Fungsi. Asam askorbat bekerja dalam berbagai jalur biosintetik dengan mempercepat reaksi hidroksilasi dan amidasi. Fungsi vitamin C yang paling pasti adalah aktivasi prolil dan lisil hidroksilase dari prekursor inaktif, sehingga terjadi hidroksilasi prokolagen. Hidroksilasi prokolagen yang tidak adekuat, tidak dapat memperoleh konfigurasi heliks yang stabil atau mengalami ikatan silang yang adekuat, sehingga sedikit disekresikan oleh fibroblas. Molekul-molekul yang disekresikan kurang memiliki kekuatan tegangan, lebih mudah larut dan lebih rentan terhadap degradasi oleh enzim. Kolagen, yang secara normal, memiliki kandungan hidroksiprolin tinggi adalah yang paling sering terpengaruh, terutama dalam pembuluh darah, yang menjadi dasar sebagai predisposisi perdarahan pada scorbut. Selain itu, defisiensi vitamin C, memperlambat sintesis polipeptida kolagen, tidak bergantung kepada pengaruh hidroksilasi prolin. Vitamin C, juga memiliki sifat antioksidan. Vitamin C mampu membersihkan radikal bebas secara langsung dan ikut serta dalam reaksi metabolit, yang menimbulkan kembali bentuk antioksidan vitamin E. Keadaan Defisiensi. Akibat dari defisiensi vitamin C digambarkan pada Gambar 7-22. Untungnya, karena banyaknya asam askorbat dalam makanan, scorbut tidak menjadi masalah global lagi. Hal ini kadang-kadang ditemui, bahkan dalam populasi makmur sebagai defisiensi sekunder, terutama di antara individu usia lanjut orang-orang yang tinggal sendirian dan kelompok alkoholik kronik — kelompok yang sering bercirikan pola makan yang salah dan tidak adekuat. Kadang-kadang scorbut tampak pada penderita yang mengalami dialisis peritoneal dan hemodialisis serta di antara faddists makanan. Toksisitas. Anggapan popular, bahwa dosis besar vitamin C akan melindungi tubuh dari influenza atau



DEFISIENSI VITAMIN C GANGGUAN PEMBENTUKAN KOLAGEN Lemahnya jaringan penunjang pembuluh memudahkan terjadinya perdarahan



Efek lain



Osteoblas Gusi



Matriks osteoid Osteosit Kulit Periosteum dan sendi



301



Sinstesis osteoid yang tidak memadai



Gangguan penyembuhan luka



Gambar 7-22 Akibat utama dari defisiensi vitamin C, disebabkan oleh gangguan pembentukan kolagen; termasuk kondisi mudah berdarah, yang disebabkan oleh buruknya jaringan penunjang, pembentukan matriks osteoid dan gangguan penyembuhan luka.



302



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



paling sedikit meringankan gejala, tidak berasal dari penelitian terkontrol. Perasaan lebih ringan seperti itu mungkin disebabkan oleh pengaruh antihistamin ringan dari asam askorbat. Kelebihan dosis vitamin C, segera dikeluarkan melalui urin, tetapi mungkin menyebabkan urikosuria dan meningkatkan penyerapan besi, dengan potensi kelebihan besi. Vitamin lain dan beberapa mineral esensial tertera dan diuraikan secara singkat pada Tabel 7-9 dan 7-10. Asam folat dan vitamin B12 dibahas dalam Bab 11.



RINGKASAN Penyakit Gizi







Marasmus ditandai oleh emasiasi (kekurusan tubuh) akibat hilangnya massa otot dan lemak dengan serum albumin relatif baik. Hal ini disebabkan oleh diet yang sangat rendah dalam kalori - baik protein maupun non protein.







Anoreksia nervosa adalah kelaparan yang dibuat sendiri. Hal ini ditandai oleh amenore dan manifestassi ganda dari rendahnya kadar hormon tiroid. Bulimia adalah keadaan pesta makan bergantian dengan muntah buatan.







Vitamin A dan D adalah vitamin yang larut dalam lemak dengan aktivitas luas.Vitamin D dan anggota kelompok vitamin B bersifat larut air (Tabel 7-9 daftar fungsi vitamin dan sindrom defisiensi).



Obesitas



• MEP primer adalah penyebab yang lazim dari kematian anak di negara-negara miskin. Dua sindrom utama MEP adalah marasmus dan kwasiorkor. MEP sekunder terjadi pada penyakit kronik dan penderita kanker lanjut (sebagai akibat kaheksia). • Kwasiorkor ditandai oleh hipoalbuminemia, edema generalisata, perlemakan hati, perubahan kulit dan gangguan imunitas. Hal ini disebabkan oleh diet rendah protein tetapi jumlah kalori normal.



Di Amerika Serikat, obesitas telah mencapai proporsi epidemik. Prevalensi obesitas meningkat dari 13% sampai 34% antara 1960 dan 2008, dan pada 2009, 68% orang Amerika berusia antara 20 tahun dan 75 tahun kelebihan berat badan. Terdapat peringatan yang serupa, obesitas pada masa kanak-kanak, suatu prediktor kuat untuk obesitas pada dewasa, juga meningkat dua sampai tiga kali lipat selama masa yang sama. Penelitian terakhir, menunjukkan bahwa epidemik obesitas juga menyebar dengan cepat di negara berkembang seperti India. Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)



Table 7–9 Vitamins: Major Functions and Deficiency Syndromes



Vitamin



Fungsi



Sindrom Defisiensi



Komponen dari pigmen penglihatan Pemeliharaan epitel khusus Mempertahankan resistensi terhadap infeksi Memudahkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus dan mineralisasi tulang



Buta senja, xeroftalmia, buta Metaplasia skuamosa Rentan terhadap infeksi, terutama campak



Vitamin E



Anti oksidan utama; membersihkan radikal bebas



Degenerasi spinoserebelum



Vitamin K



Ko-faktor dalam karboksilasi hepatik dari prokoagulan – faktor II Perdarahan diatesis (protrombin) VII, IX dan X; dan protein C dan protein S



Fat-Soluble Vitamin A



Vitamin D



Rakhitis pada anak Osteomalasia pada dewasa



Larut Air Vitamin B1 (tiamin) Vitamin B2 (riboflavin)



Sebagai pirofosfat, yang adalah ko-enzim dalamreaksi dekarboksilasi Berubah menjadi ko-enzim flavin mononukleosid dan flavin adenin dinukleotida, ko-faktor untuk banyak enzim dalam metabolisme perantara



Beri-beri kering dan basah, sindrom Wernicke, sindrom Korsakoff Keilosis, stomatitis, glositis, dermatitis, vaskularisasi kornea



Niasin



Dimasukkan ke nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) dan NAD fosfat; terlibat dalam bermacam-macam reaksi oksidasi-reduksi (redoks)



Pelagra—"tiga Ds": demensia, dermatitis, diare



Vitamin B6 (pridoksin)



Derivatnya berlaku sebagai ko-enzim dalam banyak reaksi perantara



Kheilosis, glositis, dermatitis, neuropati perifer



Vitamin B12



Dibutuhkan untuk metabolisme folat normal dan sintesis DNA. Memelihara mielinisasi dari sumsum belakang



Gabungan penyakit sistemik (anemia megaloblastik dan degenerasi posterior lateral sumsum belakang)



Vitamin C



Bekerja dalam banyak reaksi redoks dan hidroksilasi kolagen Penting untuk transfer dan menggunakan satu unit karbon dalam sintesis DNA Dimasukkan dalam ko-enzim A Ko-faktor dalam reaksi karboksilasi



Scurvy 4 skorbut



Folat Asam pantotenik Biotin



Anemia megaloblastik, defek bumbung saraf (neural tube) Sindrom non eksperimental tidak dikenal Sindrom klinis yang pasti, tidak jelas



Penyakit Gizi



303



Tabel 7-10 Unsur Jejak (Trace Element) Tertentu dan Sindrom Defisiensi



Unsur



Fungsi



Dasar dari Defisiensi



Perangai Klinis



Seng



Komponen dari enzim, terutama oksidasi



Suplemen tidak adekuat dalam diet artifisial Gangguan absorpsi oleh bahan diet lain Gangguan metabolisme bawaan



Lesi kemerah-merahan sekitar mata, mulut, hidung dan anus, disebut akrodermatitis enteropatik Anoreksia dan diare Hambatan pertumbuhan pada anak Depresi fungsi mental Depresi penyembuhan luka dan respons imun Gangguan penglihatan malam Infertilitas



Besi



Komponen penting dari hemoglobin, seperti juga beberapa metal ko-enzim yang mengandungi besi Komponen dari hormon tiro d Komponen dari sitokrom c oksidasi, dopamin tirosinase, oksidasi lisil, dan enzim yang tidak dikenal, berperan dalam pembentukan ikatan silang kolagen



Diet tidak adekuat Kehilangan darah kronik



Anemia hipokromik, mikrositik



Asupan tidak adekuat dalam makanan dan air



Struma dan hipotiroidisme



Suplementasi tidak adekuat dalam diet artifisial Gangguan penyerapan



Kelemahan otot



Fluor



Mekanisme tidak diketahui



Kares gigi



Selenium



Komponen dari glutation peroksidase Anti oksidan bersama vitamin E



Asupan tidak adekuat dalam tanah dan air Suplementasi tidak adekuat Jumlahnya tidak adekuat, dalam tanah dan air



Yodium Tembaga



memperkirakan bahwa pada 2015, 700 juta individu dewasa akan mengalami obesitas. Penyebab epidemik ini adalah kompleks, tetapi jelas terkait dengan perubahan sosial dalam diet dan tingkat aktivitas fisis. Obesitas berkaitan dengan peningkatan risiko beberapa penyakit penting (misalnya, diabetes, hipertensi), sehingga menjadi keprihatinan kesehatan utama. Memang pada tahun 2009, diperkirakan bahwa biaya pelayanan kesehatan dari obesitas, menjadi $147 juta per tahun di Amerika Serikat, suatu label harga yang pasti secara ketat meningkat, karena membesarnya beban kolektif bangsa. Obesitas didefinisikan sebagai keadaan meningkatnya berat badan, akibat akumulasi jaringan lemak yang cukup besar untuk menghasilkan gangguan kesehatan. Bagaimana seseorang mengukur akumulasi lemak. Beberapa cara teknologi tinggi telah dirancang, tetapi untuk praktisnya, langkah-langkah berikut ini lazim digunakan: • Pernyataan berat dalam kaitannya dengan tinggi badan, seperti pengukuran yang disebut sebagai indeks massa tubuh (body mass index/BMI) = (berat dalam kg)/ (tinggi dalam meter)2,atau kg/m2 • Pengukuran ketebalan lipat kulit • Berbagai lingkar tubuh, terutama rasio lingkar pinggang-pinggul BMI mempunyai korelasi erat dengan lemak tubuh. BMI dalam kisaran 18.5 sampai 25 kg/m2 dianggap normal, sedangkan BMI antara 25 dan 30 kg/m2 identik dengan kelebihan berat badan, dan BMI yang lebih dari 30 kg/m2, adalah obesitas. Umumnya disepakati bahwa BMI, yang lebih dari 30 kg/m2 merupakan benih risiko kesehatan. Pada pembahasan berikut, untuk menyederhanakan istilah, obesitas digunakan baik untuk kelebihan berat badan maupun benar-benar obesitas. Pengaruh samping dari obesitas, tidak hanya berkaitan dengan berat badan total, tetapi juga dengan distribusi penyimpanan lemak. Sentral atau viseral, obesitas, yang lemaknya berakumulasi di badan dan rongga perut (di mesenterium dan sekitar visera), berkaitan dengan risiko lebih tinggi terhadap beberapa penyakit daripada banyak akumulasi lemak dengan distribusi merata di jaringan subkutan.



Defek neurologik Kelainan ikatan silang kolagen



Miopati Kardiomiopati (Penyakit Keshan)



Penyebab obesitas adalah kompleks dan belum seluruhnya dipahami. Yang terlibat adalah faktor genetik, lingkungan dan faktor psikologik. Namun, cukup disebut, obesitas adalah kelainan keseimbangan energi. Kedua sisi keseimbangan energi, asupan dan penggunaannya, diatur secara halus oleh mekanisme saraf dan hormon, sehingga berat badan dipertahankan dalam kisaran sempit selama bertahun-tahun. Rupanya, keseimbangan ini dikendalikan oleh suatu perangkat pengendali internal (set point internal) atau lipostat, yang memperkirakan jumlah energi yang tersimpan (jaringan lemak) dan mengatur asupan makanan dengan tepat, serta pengeluaran energi. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa gen obesitas telah ditetapkan. Seperti dapat diduga, mereka menyandi komponen molekul dari sistem fisiologis yang mengatur keseimbangan energi. Pemain utama dalam homeostasis energi adalah gen LEP dan produknya, leptin. Anggota unik dari kelompok sitokin ini, disekresi oleh sel lemak, mengatur kedua sisi dan persamaan energi, baik asupan makanan maupun pengeluaran energi. Seperti dibahas kemudian, pengaruh akhir dari leptin, adalah menurunkan asupan makanan dan menggalakkan penggunaan energi. Secara sederhana, mekanisma neurohumoral yang mengatur keseimbangan energi dan berat badan, dapat dibagi menjadi tiga komponen (Gambar 7-23): • Sistem perifer atau aferen menghasilkan isyarat dari berbagai tempat. Komponen utama adalah leptin dan adiponektin, yang di produksi oleh sel lemak, insulin dari pankreas, ghrelin dari lambung, dan peptida YY dari ileum dan kolon. Leptin mengurangi asupan makanan dan dibahas secara rinci selanjutnya. Sekresi ghrelin merangsang nafsu makan dan dapat berfungsi sebagai isyarat "mulai makan". Peptida YY yang dilepaskan pada postprandial oleh sel endokrin di ileum dan kolon, adalah isyarat kenyang. • Nukleus arkuatus di hipotalamus yang memproses dan mengintegrasikan isyarat perifer dan menghasilkan isyarat baru, yang ditransmisikan oleh (1) neuron POMC (pro-opiomelanocortin) dan CART (cocaine and amphetamine-regulated transcript); dan (2) neuron NPY (neuropeptide Y) dan AgRP (agouti-related peptide).



304



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi PEMROSESAN SENTRAL



Menghambat Sirkuit anabolik Hipotalamus



Aktivasi



Sirkuit katabolik



Isyarat adiposit Sel β pankreas



Insulin



Lambung Usus



Leptin



Penggunaan energi



Ghrelin PYY



Mengendalikan



Asupan makanan



Keseimbangan energi



Adiposit (simpanan energi) SISTEM AFEREN



SISTEM EFEREN



Gambar 7-23 Sirkuit pengendalian keseimbangan energi. Kalau energi yang disimpan di jaringan lemak cukup dan orang tersebut cukup makanannya, isyarat aferen deposit (insulin, leptin, ghrelin, peptide YY) disalurkan ke unit pengolahan di saraf pusat di hipotalamus. Kemudian isyarat adiposit menghambat sirkuit anabolik dan mengaktifkan sirkuit katabolik. Cabang efektor dari sentral sirkuit ini, kemudian mempengaruhi keseimbangan energi dengan menghambat asupan makanan dan memungkinkan pengeluaran energi. Inilah saat mengurangi simpanan energi dan isyarat pro-adiposit tidak sensitif. Sebaliknya, kalau simpanan energi kurang, sirkuit anabolik mengambil alih, menggantikan sirkuit katabolik, untuk membentuk simpanan energi dalam bentuk jaringan lemak.



NPY (neuropeptide Y) dan AgRP (agoutirelated peptide). • Sistem eferen, yang terdiri atas saraf hipotalamik, diatur oleh nukleus arkuatus. Saraf POMC/ CART mengaktifkan saraf eferen yang meningkatkan pengeluaran energi dan turunnya berat badan, sedangkan saraf NPY/ AgRP mengaktifkan saraf eferen, yang meningkatkan asupan makanan dan menambah berat badan. Isyarat yang ditransmisikan oleh saraf eferen juga berkomunikasi dengan pusat di otak depan (forebrain) dan otak tengah (midbrain), yang mengendalikan sistem saraf autonom. Selanjutnya dibahas tiga komponen penting dari sistem aferen yang mengatur nafsu makan dan rasa kenyang: leptin, jaringan lemak dan hormon usus.



Leptin ­



jaringan lemak. Sel-sel lemak memaparkan reseptor β3-adrenergik, yang jika dirangsang oleh norepinefrin, menyebabkan hidrolisis asam lemak dan juga menghentikan produksi energi dari tempat penyimpanan. Pada tikus dan manusia, mutasi jenis kehilangan fungsi (loss of function mutation) yang mempengaruhi unsur-unsur dari jalur leptin, menimbulkan obesitas yang masif. Mencit dengan mutasi yang menonaktifkan gen leptin atau reseptornya gagal untuk merasakan cukup tidaknya lemak, sehingga mereka berlaku, seolah-olah mereka kekurangan gizi, makan dengan rakus. Seperti pada mencit, mutasi gen leptin atau reseptor pada manusia dapat menyebabkan obesitas massif, meskipun jarang terjadi. Yang lebih sering adalah mutasi gen reseptor melanocortin-4 (MC4R), yang ditemukan pada 4% sampai 5% penderita obesitas masif. Bentuk monogenik ini menggaris bawahi pentingnya jalur leptin untuk mengendalikan berat badan dan mungkin pada obesitas akan ditemukan jenis cacat yang lebih lazim pada jalur ini. Sebagai contoh, banyak pengidap obesitas menunjukkan kadar leptin yang tinggi dalam darah, yang menginsyaratkan bahwa resistensi terhadap leptin dapat ditemukan pada manusia.



Jaringan Lemak Selain leptin, jaringan lemak menghasilkan mediator lain, seperti adiponektin, sitokin, kemokin dan hormon steroid, yang memungkinkan jaringan lemak berfungsi sebagai penghubung antara metabolisme lemak, nutrisi dan reaksi inflamasi. jumlah sel lemak total sudah terbentuk pada remaja dan lebih banyak pada mereka yang kegemukan semasa kanak-kanak, sehingga menjadi alasan lain untuk prihatin terhadap obesitas pada masa kanak-kanak. Meskipun pada dewasa sekitar 10% adiposit mengalamo penggantian setiap tahun, jumlah sel lemak tetap



Penyakit Gizi



305



sama, tidak bergantung kepada massa tubuh individual. Gagalnya diet, sebagian disebabkan kehilangan lemak dari adiposit. menyebabkan kadar leptin turun, merangsang nafsu makan dan menurunkan penggunaan energi.



• Steatohepatitis nonalkoholik biasanya berkaitan dengan obesitas dan diabetes tipe 2. Kondisi ini, disebut juga sebagai penyakit perlemakan hati non-alkoholik, yang dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis (Bab 15).



Hormon Usus



• Kolelitiasis (batu empedu) terjadi enam kali lebih lazim pada obesitas, daripada orang kurus. Mekanisma terutama adalah peningkatan kolesterol total tubuh, peningkatan pertukaran zat kolesterol dan percepatan ekskresi kolesterol melalui empedu, yang akhirnya memudahkan terbentuknya batu yang kaya kolesterol (Bab 15). • Sindrom hipoventilasi adalah konstelasi kelainan respirasi pada individu yang sangat gemuk. Sindrom ini disebut sindrom pickwickian, berdasarkan tokoh anak laki gemuk yang sering tertidur pada Pickwick Papers karya Charles Dickens. Hipersomnolens, baik malam hari, maupun siang hari, merupakan ciri khasnya dan sering disertai apnea sesaat dalam waktu tidur, polisitemia, dan dapat terjadi gagal jantung sisi kanan.



Hormon usus merupakan perintis yang bertindak cepat dan terminator dari keinginan makan. Contoh prototipiknya adalah ghrelin dan peptide YY (PYY).Ghrelin diproduksi di lambung dan merupakan satu-satunya peptide usus yang diketahui, yang meningkatkan asupan makanan. Hormon ini mungkin bekerja dengan merangsang saraf NPY/AgRP di hipotalamus. Kadar ghrelin normalnya naik sebelum makan dan turun 4 sampai 2 jam sesudahnya, tetapi penurunan ini berkurang pada orang yang mengalami obesitas. PYY disekresikan oleh sel-sel endokrin ileum dan kolon sebagai reaksi terhadap konsumsi makanan. Hormon ini mungkin bertindak merangsang saraf POMC/ CART di hipotalamus, sehingga mengurangi asupan makanan.



Akibat Klinis Obesitas Obesitas, terutama obesitas sentral, merupakan faktor risiko yang diketahui untuk beberapa kondisi termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular dan kanker. Obesitas sentral juga berdiri ditengah sekelompok perubahan yang dikenal sebagai sindrom metabolit, yang ditandai oleh kelainan metabolisme glukosa dan lemak terkait dengan hipertensi dan bukti dari keadaan sistemik proinflamasi. Mekanisma yang mendasari asosiasi ini sangat kompleks dan mungkin saling terkait. Asosiasi berikut ini, patut dicatat: • Obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia, perangai penting diabetes tipe 2 (dahulu dikenal sebagai non-insulin-dependent diabetes). Telah terjadi spekulasi bahwa insulin yang berlebihan, pada akhirnya, mungkin berperan dalam retensi natrium, ekspansi volume darah, produksi norefinefrin yang berlebihan dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda utama hipertensi. Apa pun mekanismenya, risiko mengalami hipertensi di antara orang yang semula normotensif meningkat sebanding dengan berat badan. • Individu dengan obesitas, umumnya disertai hipertrigliseridemia dan tingkat kolesterol HDL yang rendah, faktor-faktor yang meningkatkan risiko penyakit arteri koroner. Asosiasi antara obesitas dan penyakit jantung tidak langsung dan lebih berhubungan dengan diabetes terkait dan hipertensi daripada terhadap berat badan semata-mata (per se). • Terdapat peningkatan insidens kanker tertentu pada berat badan berlebih, termasuk kanker esofagus, tiroid, kolon dan ginjal pada pria dan kanker esofagus, endometrium, kandung empedu dan ginjal pada wanita. Secara keseluruhan, obesitas berkaitan dengan sekitar 20% dari kematian akibat kanker pada wanita dan 14 % kematian pada pria. Mekanisme yang mendasarinya tidak diketahui dan mungkin bersifat ganda. Suatu dugaan adalah hiperinsulinemia. Insulin meningkatkan kadar insulin-like growth factor-1 (IGF-1), yang dapat merangsang pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari banyak tipe sel kanker dengan mengaktivasi reseptor yang serumpun, IGF1R. Asosiasi obesitas dan kanker endometrium, mungkin tidak langsung: kadar estrogen yang tinggi berasosiasi dengan peningkatan risiko kanker endometrium (Bab 18) dan obesitas diketahui meningkatkan kadar estrogen. Dengan kanker payudara, datanya kontroversial.



• Kegemukan yang berlebihan merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit degeneratif sendi (osteoartritis). Bentuk artritis ini, biasanya timbul pada orang tua, terutama disebabkan oleh pengaruh kumulatif penggunaan dan kerusakan (wear and tear) pada sendi. Semakin besar beban lemak tubuh, semakin besar trauma pada sendi, seiring dengan waktu. • Petanda radang, seperti C-reactive protein (CRP) dan sitokin pro-inflamasi seperti TNF, sering meningkat pada individu dengan obesitas. Dasar inflamasi ini, tidak jelas; baik pengaruh proinflamasi langsung dari lemak berlebihan yang beredar maupun peningkatan sitokin yang dilepaskan dari isi sel lemak, telah diusulkan. Apa pun penyebabnya, diperkirakan bahwa inflamasi kronik dapat berperan dalam banyak komplikasi dari obesitas, termasuk resistensi insulin, gangguan metabolit, trombosis, penyakit kardiovaskular dan kanker.



RINGKASAN Obesitas •















Obesitas adalah gangguan regulasi energi. Hal ini meningkatkan risiko untuk sejumlah kondisi penting, seperti resistensi insulin, diabetes tipe 2, hipertensi dan hipertrigliserida, yang berkaitan dengan terjadinya penyakit arteri koroner. Regulasi keseimbangan energi sangat kompleks. Terdapat tiga komponen utama: (I) isyarat aferen, yang disediakan terutama oleh insulin, leptin, ghrelin dan peptide YY; (2) sistem hipotalamik sentral, yang berintegrasi dengan isyarat aferen dan memicu isyarat eferen dan (3) isyarat eferen, yang mengendalikan keseimbangan energi. Leptin berperan penting dalam keseimbangan energi. Produknya dari jaringan lemak diatur oleh banyaknya simpanan lemak. Ikatan leptin ke reseptornya di hipotalamus mengurangi asupan makanan dengan memicu saraf POMC/CART dan menghambat saraf NPY/ AgRP. Di samping diabetes dan penyakit kardiovaskular, obesitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko beberapa kanker, penyakit perlemakan hati non alkoholik dan batu empedu.



306



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Diet dan Penyakit Sistemik Masalah kekurangan - kelebihan gizi (nutrisi), seperti juga defisiensi gizi (nutrisi) yang spesifik, telah dibahas, tetapi, komposisi diet, bahkan tanpa adanya masalah di atas, dapat berperan bermakna dalam penyebab dan perkembangan sejumlah penyakit. Beberapa contoh disajikan di sini. Saat ini, salah satu masalah penting dan kontroversial adalah peran diet dalam aterogenesis. Pertanyaan utama ialah apakah modifikasi diet secara khusus, pengurangan konsumsi kolesterol dan lemak hewan jenuh (seperti telur, mentega, daging sapi) dalam makanan dapat menurunkan kadar kolesterol serum dan mencegah atau memperlambat pertumbuhan aterosklerosis (dari yang terpenting, penyakit jantung koroner). Orang dewasa di Amerika Serikat rerata mengkonsumsi banyak lemak dan kolesterol setiap hari dengan perbandingan asam lemak jenuh terhadap asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated) sekitar 3:1. Penurunan kadar jenuh ke kadar polyunsaturated menyebabkan penurunan 10% sampai 15% kadar kolesterol serum dalam beberapa minggu. Minyak nabati (seperti minyak jagung dan safflower) dan minyak ikan mengandungi asam lemak polyunsaturated dan sumber yang baik untuk lemak penurun kolesterol. Asam lemak minyak ikan termasuk dalam keluarga omega-3 atau n-3, memiliki ikatan rangkap lebih dari omega-6 atau n-6, yang terdapat dalam minyak nabati. Sebuah penelitian pada pria Belanda, yang makanan sehari-harinya mengandungi 30 mg ikan, mengungkapkan penurunan frekwensi-kematian akibat penyakit jantung koroner dibandingkan dengan kontrol sepadan, memberi harapan (tetapi belum terbukti dengan pasti) bahwa suplemen makanan dengan asam lemak omega 3 dapat mengurangi penyakit arteri koroner. Pengaruh spesifik diet lain pada penyakit, telah dikenal: • Hipertensi berkurang dengan pembatasan asupan natrium. • Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak serat dalam makanan atau roughage akan meningkatkan massa tinja dan ini berpengaruh untuk mencegah divertikulosis pada kolon. • Pembatasan kalori telah terbukti dapat meningkatkan harapan hidup pada hewan percobaan, termasuk monyet. Dasar dari hasil observasi yang mencolok ini belum jelas (Bab 1). • Bahkan bawang putih, telah menarik perhatian, untuk melindungi tubuh dari penyakit jantung (dan juga terhadap ciuman dan setan), meskipun riset masih perlu membuktikannya.



Diet dan Kanker Dalam kaitannya dengan karsinogenesis, tiga aspek makanan perlu mendapat perhatian (1) adanya karsinogen eksogen, (2) sintesis karsinogen endogen dari komponen makanan, dan (3) tidak adanya faktor protektif. • Contoh dari karsinogen eksogen adalah aflatoksin, yang merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma hepatoseluler, di daerah Asia dan Afrika. Pajanan terhadap aflatoksin menyebabkan mutasi spesifik (kodon 249) dalam gen P53 pada sel tumor. Mutasi ini dapat digunakan sebagai petanda molekuler tentang pajanan aflatoksin di penelitian epidemiologik. Karsinogenitas dari tambahan dalam makanan (food additives), pemanis buatan dan kontaminasi peptisida, masih diperdebatkan. Beberapa pemanis



buatan (siklamat dan sakarin) pernah diduga berperan dalam patogenesis kanker kandung kemih, tetapi belum dibuktikan dengan meyakinkan. • Keprihatinan tentang sintesis karsinogen atau promotor secara endogen dari komponen makanan terutama terkait dengan karsinoma lambung. Nitrosamin dan nitrosamida, diperkirakan, menyebabkan tumor ini pada manusia, karena mereka memicu kanker lambung pada hewan. Kedua senyawa ini dibentuk dalam tubuh dari nitrit dan amina atau amida yang berasal dari pencernaan protein. Sumber nitrit antara lain natrium nitrit, yang ditambahkan pada makanan sebagai pengawet dan nitrat yang terdapat pada sayuran yang tereduksi di usus oleh flora usus. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan produksi karsinogen secara endogen dari komponen makanan, yang mungkin berpengaruh pada lambung. • Asupan lemak hewan yang tinggi dengan asupan serat yang kurang, merupakan salah satu faktor penyebab kanker kolon. Penjelasan yang paling meyakinkan dari asosiasi ini adalah sebagai berikut: asupan lemak yang tinggi, meningkatkan kadar asam empedu di usus, yang kemudian memodifikasi flora usus dan memudahkan tumbuhnya bakteri mikroaerofilik. Asam empedu atau metabolitnya yang diproduksi oleh bakteri ini, mungkin berfungsi sebagai karsinogen atau promotor. Efek protektif dari diet tinggi serat mungkin berhubungan dengan (1) peningkatan massa tinja dan berkurangnya waktu transit, yang mengurangi pajanan mukosa usus dari zat yang dianggap merugikan (karsinogen) dan (2) kapasitas serat tertentu untuk mengikat karsinogen, sehingga melindungi mukosa. Upaya untuk mendokumentasikan teori ini secara klinis dan eksperimental, umumnya, menghasilkan data yang saling bertentangan. • Vitamin C dan E, β- caroten, dan selenium dianggap mempunyai pengaruh antikarsinogenik, oleh karena aktivitas sebagai antioksidan. Tetapi, sampai saat ini, belum ada bukti yang meyakinkan yang menunjukkan bahwa antioksidan bersifat sebagai bahan kemoprotektif. Seperti sudah dikatakan, asam retinoat mendukung diferensiasi epitel dan diyakini mengembalikan metaplasia skuamosa. Dengan demikian, meskipun banyak kecenderungan yang menggoda dan proklamasi oleh "guru diet", sampai saat ini tidak ada bukti pasti bahwa diet umumnya dapat menyebabkan atau melindungi terhadap kanker. Meskipun demikian, kekhawatiran tetap ada, bahwa karsinogen mengintai dalam hal-hal yang menyenangkan, seperti steak yang juicy dan es krim yang enak. KEPUSTAKAAN Bellinger DC: Lead. Pediatrics 113:1016, 2004. [Suatu tinjauan umum yang sangat baik tentang bidang tersebut.] Boffetta P, Hecht S, Gray N, et al: Smokeless tobacco and cancer. Lancet Oncol 9:667, 2009. [Suatu tinjauan tentang risiko kanker berkaitan dengan tembakau tanpa asap di dunia.] Centers for Disease Control and Prevention: Third National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals, 2005. [Suatu survey penting terhadap zat kimiawi lingkungan, dengan ulasan tentang pajanan dan kecenderungan risiko kesehatan.J Casals-Casas C, Desvergne B: Endocrine disruptors: from endocrine to metabolic disruption. Annu Rev Phys 73:135, 2011. [Suatu tinjauan mutakhir membahas ruang lingkup dan kemungkinan akibat pajanan pada manusia terhadap jenis zat kimiawi Clarkson TW, Magos L, Myers GJ: The toxicology of mercury — current exposures and clinical manifestations. N Engl J Med 349:1731, 2003. [Suatu tinjauan umum yang sangat baik tentang bidang tersebut.] Gregor MF, Hotamisligil GS: Inflammatory mechanisms in obesity. Annu Rev Immunol 29:445, 2011. [Suatu pembahasan singkat tentang pandangan sekarang tentang keadaan pro-inflamasi berkaitan dengan obesitas.] Heiss G, Wallace R, Anderson GL, et al: Health risks and benefits 3 years after stopping randomized treatment with estrogen and



Penyakit Gizi progestin. JAMA 299:1036, 2008. [Suatu makalah yang menguraikan peningkatan risiko kanker payudara yang menetap pada wanita 3 tahun setelah menghentikan HRT.] Hollick MF: Vitamin D deficiency. N Engl J Med 357:266, 2007. [Suatu tinjauan komprehensif tentang defisiensi vitamin D.] JJornayvaz FR, Samuel VT,Shulman GI: The role of muscle insulin resistance in the pathogenesis of atherogenic dyslipidemia and nonalcoholic fatty liver disease associated with the metabolic syndrome. Annu Rev Nutr 30:273, 2010. [Suatu perspekif yang menarik tentang sindrom metabolit dengan perhatian khusus pada peranan resistensi insulin pada otot skelet.] Manson JE, Hsia J, Johnson KC, et al: Estrogen plus progestin and the risk of coronary heart disease. N Engl J Med 349:523, 2003. [Suatu penelitian mendasar dari the Women's Health Initiatived Pope CA, Ezzati M, Dockery DW: Fine-particulate air pollution and life expectancy in the United States. N Engl J Med 360:376, 2009. [Suatu makalah yang menarik yang menghubungkan peningkatan harapan hidup di kotakota utama Amerika Serikat dengan penurunan dalam polusi partikel kecil udara]



307



Ravdin PM, Cronin KA, Howlader N, et al: The decrease in breastcancer incidence in 2003 in the United States. N Engl J Med 356:1670, 2007. [Suatu makalah penting yang mencatat penurunan kanker payudara yang mengikuti keterkaitannya dengan HRT.] Roberts DL, Dive C, Renehan AG: Biological mechanisms linking obesity and cancer risk: new perspectives. Annu Rev Med 61:301, 2010. [Suatu pembahasan tentang kemungkinan interaksi Antara obesitas dan risiko kanker.] Suzuki K, Simpson KA, Minnion JS, et al: The role of gut hormones and the hypothalamus in appetite regulation. Endocr J 57:359, 2010. [Suatu tinjauan yang sangat baik tentang interaksi antara usus dan hipotalamus dalam mengatur konsumsi makanan.] Tang X-H, Gudas LJ: Retinoids, retinoic acid receptors, and cancer. Annu Rev Pathol 6:345, 2011. [Suatu tinjauan tentang peranan retinoid pada kanker, dengan perhatian khusus pada tumor jenis padat.]



This page intentionally left blank



8 BAB



Patologi Umum Penyakit Infeksi DAFTAR ISI BAB Prinsip Umum Patogenesis Penyakit Akibat Mikroba 309 Golongan Agen Penyebab Infeksi 309



Teknik Khusus untuk Mengidentifikasi Penyebab Infeksi 314 Penyakit-penyakit Infeksi yang Berkembang dan Baru 314 Mikroba untuk Bioterorisme 315



Transmisi dan Diseminasi Mikroba 315 Pintu Masuk Mikroba 315 Penyebaran dan Perkembangan Mikroba dalam Tubuh 317 Pengeluaran dan Penyebaran Mikroba dari Tubuh 318



Cara Mikroorganisme Menyebabkan Penyakit 319



Bab ini akan membahas prinsip-prinsip umum patogenesis penyakit infeksi dan menjelaskan karakteristik perubahan histopatologis untuk berbagai kelompok penyakit. Infeksi-infeksi yang melibatkan organ spesifik akan dibahas pada bab lain pada buku ini.



PRINSIP UMUM PATOGENESIS PENYAKIT AKIBAT MIKROBA Penyakit infeksi tetap merupakan masalah utama di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya walaupun vaksin dan antibiotik sudah tersedia dan bisa digunakan secara efektif. Di Amerika Serikat, 2 di antara 10 penyebab utama kematian disebabkan oleh infeksi (pneumonia dan septikemia). Penyakit infeksi umumnya merupakan penyebab kematian terpenting pada orang tua, penderita dengan sindrom imunodefisiensi didapat/acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), penderita penyakit kronik dan pasien yang menerima obat imunosupressi. Di negara berkembang, kondisi hidup yang tidak bersih dan malnutrisi merupakan masalah terbesar timbulnya penyakit infeksi yang mematikan lebih dari 10 juta orang tiap tahun. Hal tragis yang terjadi adalah korban umumnya anak-anak dengan infeksi saluran napas dan diare.



Golongan Agen Penyebab Infeksi Penyebab-penyebab infeksi terdiri atas berbagai kelompok yang luas dan sangat berbeda dalam ukuran, mulai dari agregat protein prion berukuran di bawah 20 nm hingga cacing pita berukuran 10 m (Tabel 8-1).



Mekanisme Terjadinya Cedera Akibat Virus 319 Mekanisme Jejas oleh Bakteri 320 Efek Respons Imun Pejamu yang Merugikan 321



Cara Mikroba Menghidari Reaksi Imun 322 Spektrum Respons Radang terhadap Infeksi 323



Prion



Prion terdiri atas protein pejamu yang bentuknya abnormal yang disebut protein prion (PrP). Agen-agen ini menyebabkan ensefalopati spongiform yang dapat ditularkan, termasuk Kuru (dikaitkan dengan kanibalisme manusia), penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD), ensefalopati spongiform bovine (ESB) (lebih dikenal sebagai penyakit "sapi gila"), dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob (vCJD) (kemungkinan transmisi ke manusia terjadi melalui konsumsi daging dari hewan ternak yang terkena ESB). PrP normalnya dijumpai pada neuron. Penyakit terjadi apabila PrP mengalami perubahan penyesuaian untuk menghadapi resistansi terhadap protease. PrP yang resisten terhadap protease akan menyebabkan perubahan PrP sensitif protease yang normal menjadi bentuk abnormal, hal ini menjelaskan terjadinya infeksi pada penyakit ini. Akumulasi dari PrP abnormal akan mengakibatkan kerusakan neuron dan perubahan patologis spongiform tertentu di otak. Mutasi yang spontan dan diwariskan pada PrP yang membuat terjadinya resistensi pada protease dijumpai pada CJD sporatif dan familial. CJD dapat ditransmisi dari orang ke orang secara iatrogenik, melalui operasi, transplantasi organ, ataupun transfusi darah. Penyakit ini akan dibahas secara rinci pada bab 22.



Virus



Virus merupakan parasit yang hanya bisa hidup intrasel dan untuk kegiatan replikasinya bergantung pada proses metabolisme sel pejamu. Virus terdiri atas genom asam nukleat yang dikelilingi oleh pembungkus protein (disebut kapsid) dan kadang-kadang terbungkus di dalam membran lipid. Virus diklasifikasikan menurut genom asam nukleat (DNA atau RNA namun bukan keduanya), bentuk kapsid (icosahedral atau helical), ada atau tidak adanya



310



B A B 8



Patologi Umum Penyakit Infeksi



Tabel 8-1 Kelompok Agen Patogen Manusia



Kategori Taksonomik



Ukuran



Tempat Berkembang



Contoh



Penyakit



Prion



90% ∼90% ∼10% >90%



>80% ∼20% >50% >50%



Mutasi KRAS Mutasi EGFR



jarang Tidak ada



Penyusunan ulang ALK



Tidak ada



∼30% (adenokarsinoma) ∼20% (adenokarsinoma, bukan perokok, perempuan 4%-6% adenokarsinoma,bukanperokok, sering menunjukkanmorfologi signetring



Respons terhadap kemoterapi dan radioterapi



Sering ditemukan respons sempurna namun tetap saja/selalu rekuren.



Abnormalitas gen supresor tumor Delesi 3p Mutasi Rb Mutasi p i6/CDKN2A Mutasi P53 Abnormalitas onkogen yang dominan



Respons sempurna jarang



510



B A B 12



Paru



Perjalanan Klinis Karsinoma paru adalah lesi yang tenang, tidak terasa, dan pada banyak kasus telah menyebar sebelum menimbulkan gejala sehingga tidak dapat direseksi lagi. Pada beberapa contoh, batuk dan berdahak kronik menandakan penyakit masih lokal dan dapat direseksi. Ketika sudah terjadi suara serak, nyeri dada, sindrom vena kava superior, efusi perikardium atau pleura, atau atelektasis segmental persisten atau penumonitis, prognosis menjadi sangat buruk. Seringkali, tumor diketahui dengan adanya gejala yang berasal dari metastasis ke otak (perubahan mental atau neurologis), hepar, (hepatomegali), atau tulang (nyeri). Meskipun metastasis sudah mengenai hampir seluruh adrenal, namun jarang ditemukan, insufisiensi adrenal (penyakit Addison) karena masih ada pulau-pulau sel kortikal yang cukup untuk mempertahankan fungsinya. Secara umum, NSCLC memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan SCLC. Apabila NSCLC (karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma) terdeteksi sebelum metastasis atau penyebaran lokal, kesembuhan dapat terjadi dengan lobektomi atau pneumonektomi. Sebaliknya pada SCLC, biasanya, telah menyebar luas ketika pertama kali dideteksi, meskipun tumor primer itu tampak masih kecil dan terbatas. Dengan demikian, reseksi bukanlah pilihan pengobatan yang bisa dilakukan. Tumor ini sensitif terhadap kemoterapi namun sering sekali kambuh kembali. Median ketahanan hidup dengan pengobatan adalah 1 tahun. Diperkirakan sekitar 3% hingga 10% pasien dengan kanker paru secara klinis menderita sindrom paraneoplastik yang jelas. Sindrom tersebut mencakup (1) hiperkalsemia yang disebabkan oleh sekresi peptida yang terkait dengan hormon paratiroid (lesi osteolitik dapat juga menyebabkan hiperkalsemia, namun ini belum tentu merupakan sindrom paraneoplastik (Bab 5); (2) sindrom Cushing (dari produksi hormon adrenokortikotropik yang meningkat; (3) sindrom sekresi yang tidak tepat dari hormon antidiuretik; (4) sindrom neuromuskular, termasuk sindrom miastenia, neuropati perifer, dan polimiositis; (5) penggembunggan ujung jari (clubbing fingers) dan osteoartropati paru hipertrofik; dan (6) abnormalitas koagulasi, termasuk tromboflebitis migran, endokarditis nonbakteri, dan koagulasi intravaskular diseminata. Sekresi kalsitonin dan hormon ektopik lainnya, juga telah didokumentasikan oleh berbagai pemeriksaan, namun produk-produk ini biasanya tidak menyebabkan sindrom yang khas. Hiperkalsemia paling sering ditemukan pada neoplasma sel skuamosa, dan sindrom hematologik pada adenokarsinoma. Sindromsindrom lainnya lebih sering terkait dengan neoplasma sel kecil, namun dapat ditemukan pengecualian.



RINGKASAN Karsinoma Paru • •



Empat subtipe histologis utama adalah adenokarsinoma (paling sering), karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel besar, dan karsinoma sel kecil. Setiap entitas ini secara klinis dan genetik berbeda. SCLC paling baik diobati dengan kemoterapi, karena hampir semua sudah dengan kondisi metastasis saat datang ke dokter. Karsinoma yang lain, dapat disembuhkan oleh operasi jika terbatas di paru. Kombinasi kemoterapi juga tersedia dengan terapi anti-EGFR untuk adenokarsinoma dengan mutasi EGFR, dan inhibitor ALK untuk penyakit dengan mutasi ALK.



















Merokok adalah salah satu faktor risiko yang paling penting untuk kanker paru; pada perempuan dan bukan perokok, dengan adenokarsinoma adalah kanker yang paling sering terjadi. Lesi prekursor termasuk displasia skuamosa (untuk kanker skuamosa) dan atypical adenomatous hyperplasia serta adenokarsinoma in situ (sebelumnya disebut karsinoma bronkioloalveolar) (untuk beberapa adenokarsinoma). Tumor berdiameter 3 cm atau kurang ditandai oleh pertumbuhan yang murni dari struktur yang telah ada sebelumnya (pola lepidik) tanpa invasi ke stroma saat ini disebut sebagai adenokarsinoma in situ. Kanker paru, terutama SCLC, dapat menyebabkan sindrom paraneoplastik.



Tumor Karsinoid Tumor karsinoid adalah tumor ganas yang terdiri atas sel-sel yang mengandungi granula neurosekresi yang bagian tengahnya padat dalam sitoplasma dan, kadang-kadang, dapat mensekresi polipeptida yang aktif sebagai hormon. Tumor ini diklasifikasikan menjadi karsinoid tipikal (derajat rendah) dan atipikal (derajat menengah); keduanya seringkali dapat direseksi dan disembuhkan. Karsinoid kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom neoplasia endokrin multipel (multiple endocrine neoplasia syndrome MEN syndrome) (Bab 19). Karsinoid bronkus terjadi pada usia dini (rata-rata 40 tahun) dan merupakan sekitar 5% dari semua neoplasma paru.



MORFOLOGI Sebagian besar karsinoid berasal dari bronkus utama dan tumbuh dalam salah satu dari dua pola berikut: (1) massa polipoid, bulat, intraluminal yang bersifat obstruktif (Gambar 12-49, A); atau (2) plak mukosa yang menembus dinding bronkus dan memisahkan jaringan peribronkus disebut juga lesi kancing kerah (collarbutton lesion). Karena lesi yang mampu menembus jaringan paru ini mendorong daerah yang luas/besar (tidak skirus) maka bisa dimengerti, bahwa lesi ini berbatas cukup tegas. Karsinoid perifer jarang ditemukan. Meskipun sekitar 5% hingga 15% karsinoid ketika didiagnosis telah bermetastasis ke kelenjar getah bening hilus namun, metastasis jauh jarang ditemukan. Secara histologis, karsinoid tipikal, mirip dengan lesi serupa di saluran cerna, terdiri atas sarang-sarang sel uniform berinti bulat teratur dengan kromatin seperti "garam dan nnerica", mitosis tidak ada atau sulit ditemukan, dan sedikit pleomorfik/pleomorfik ringan (Gambar 12-49, B). Karsinoid atipikal menunjukkan tingkat mitosis yang lebih tinggi (namun lebih sedikit dibandingkan karsinoma sel kecil atau sel besar) dan nekrosis fokal. Karsinoid atipik memiliki insidensi metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan karsinoid tipikal. Tidak seperti karsinoid tipikal, subset atipikal menunjukkan mutasi TP53 pada 20% hingga 40% kasus. Karsinoid tipikal, karsinoid atipikal, dan karsinoma sel kecil dapat dianggap sebagai lesi yang meningkat secara berkelanjutan tentang agresivitas histologis dan potensi keganasan yang meningkat dalam spektrum neoplasma neuroendokrin paru.



Sebagian besar tumor karsinoid bermanifestasi dengan tanda dan gejala yang berkaitan dengan pertumbuhannya yang intraluminal (misalnya, menyebabkan batuk, hemoptisis, dan infeksi bronkus serta paru yang berulang). Tumor perifer seringkali asimptomatik, dan ditemukan secara kebetulan pada radiografi dada.



Lesi Pleura



A



511



B



Gambar 12-49 Karsinoid bronkus, A, Karsinoid yang tumbuh sebagai massa bulat, pucat (tanda panah) yang menonjol ke lumen bronkus. B, Tampilan histologis menunjukkan inti yang uniform, bulat, kecil, dan sitoplasma sedang. (Atas budi baik of Dr. Thomas Krausz, Department of Pathology, University of Chicago Pritzker School of Medicine, Chicago, Illinois.)



Jarang sekali tumor ini menginduksi sindrom karsinoid, yang ditandai oleh serangan diare berulang, rasa panas, dan sianosis. Kesintasan 5 tahun dan 10 tahun yang dilaporkan untuk karsinoid tipikal adalah di atas 85%, sedangkan angka ini menurun hingga 56% dan 35% untuk karsinoid atipikal. Hanya 5% pasien dengan tumor paru neuroendokrin agresif SCLC yang masih hidup setelah 10 tahun.



LESI PLEURA Kelainan patologis pleura merupakan, dengan pengecualian yang jarang, komplikasi sekunder dari suatu penyakit paru yang mendasarinya. Bukti infeksi sekunder dan adhesi pleura merupakan temuan yang sering pada otopsi. Penyakit primer yang penting adalah (1) infeksi bakteri intrapleura primer dan (2) neoplasma primer pleura yang dikenal sebagai mesothelioma maligna.



Efusi Pleura dan Pleuritis Pada efusi pleura (adanya cairan di rongga pleura) cairan dapat berupa transudat atau eksudat. Jika cairan tersebut transudat, kondisi ini disebut sebagai hidrotoraks. Hidrotoraks akibat gagal jantung kronik mungkin merupakan penyebab tersering akumulasi cairan di rongga pleura. Suatu eksudat yang ditandai oleh kandungan protein lebih besar dari 2,9 mg/dL dan, seringkali, sel radang, mengindikasikan kemungkinan pleuritis. Empat prinsip utama terjadinya eksudat pleura adalah (1) invasi mikroba melalui baik ekstensi langsung dari suatu infeksi paru atau melalui darah (pleuritis supuratif atau empiema); (2) kanker (karsinoma paru, neoplasma yang bermetastasis ke paru atau permukaan pleura, mesotelioma); (3) infark paru; dan (4) pleuritis virus. Penyebab efusi pleura eksudatif lain yang lebih jarang adalah lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, dan uremia, selain operasi dada sebelumnya. Efusi ganas secara khas banyak, dan seringkali berdarah (pleuritis hemoragic). Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan adanya sel-sel ganas dan sel radang. Apa pun penyebabnya, transudat dan eksudat serosum biasanya diresorpsi tanpa efek residual jika pemicunya dikontrol atau sembuh.



Sebaliknya, eksudat fibrinosa, perdarahan, dan supuratif dapat mengakibatkan organisasi fibrosa, menyebabkan adhesi atau penebalan pleura fibrosa, dan kadang-kadang kalsifikasi minimal hingga masif.



Pneumotoraks, Hemotoraks, dan Kilotoraks Pneumotoraks adalah keberadaan udara atau gas lain di rongga pleura. Kondisi ini dapat terjadi pada orang dewasa muda yang sehat, biasanya laki-laki tanpa penyakit paru yang diketahui (pneumotoraks simpleks atau spontan), atau sebagai akibat dari beberapa kelainan toraks atau paru (pneumotoraks sekunder), misalnya emfisema atau iga yang patah. Pneumotoraks sekunder adalah konsekuensi dari ruptur semua lesi paru yang terletak dekat dengan permukaan pleura dan memungkinkan udara yang terinspirasi mempunyai akses ke rongga pleura. Lesi paru tersebut antara lain emfisema, abses paru, tuberkulosis, karsinoma, dan banyak hal lain yang lebih jarang terjadi. Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi juga dapat memicu pneumotoraks sekunder. Terdapat beberapa kemungkinan komplikasi pneumotoraks. Kebocoran seperti katup bola (ball-valve) dapat menciptakan pneumotoraks bertekanan yang menggeser mediastinum. Bahaya pada sirkulasi paru dapat terjadi dan bisa fatal. Jika katup bocor dan paru tidak mengembang dalam beberapa minggu (baik spontan maupun melalui intervensi medis atau operasi), begitu banyak skar yang dapat terjadi sehingga paru tidak dapat mengembang penuh. Pada kasuskasus ini, cairan serosum akan terkumpul di rongga pleura, mengakibatkan hidropneumotoraks. Jika kolaps paru terjadi lama, paru menjadi rentan terhadap infeksi, begitu pula dengan rongga pleura apabila komunikasi antara kedua organ tersebut menetap. Empiema merupakan komplikasi penting dari pneumotoraks (piopneumotoraks). Hemotoraks, kumpulan darah utuh (berbeda dengan efusi yang mengandungi darah) di rongga pleura, merupakan komplikasi aneurisma aorta yang ruptur ke intratoraks dan hampir selalu fatal. Dengan hemotoraks, berlawanan dengan efusi pleura yang berdarah, darah membeku di dalam rongga pleura. Kilotoraks adalah kumpulan cairan limfe seperti susu di dalam pleura yang mengandungi mikroglobul lipid. Volume total cairan



512



B A B 12



Paru



mungkin tidak banyak, namun kilotoraks selalu bermakna karena memberi implikasi adanya obstruksi pada duktus limfatikus besar, biasanya akibat kanker intratorak (misalnya, neoplasma mediastinum primer atau sekunder, misalnya, limfoma).



Mesotelioma Maligna Mesotelioma maligna adalah kanker yang jarang terjadi yang berasal dari sel-sel mesotel, biasanya terjadi di pleura parietal atau viseral, meskipun juga dapat terjadi, dengan frekuensi lebih jarang, di peritoneum dan perikardium. Mesotelioma merupakan entitas yang penting karena kaitannya dengan pajanan asbes di udara tempat kerja. Sekitar 50% orang dengan kanker ini memiliki riwayat pajanan terhadap asbes. Mereka yang bekerja langsung dengan asbes (pekerja perkapalan, petambangan, insulator) mempunyai risiko terbesar, namun mesotelioma maligna juga telah ditemukan pada orang-orang yang pajanan satu-satunya adalah hidup di dekat pabrik asbes atau keluarga dari pekerja asbes. Periode laten untuk menimbulkan mesotelioma maligna cukup panjang, umumnya 25 tahun hingga 40 tahun pascapajanan asbestos, mengindikasikan bahwa terdapat berbagai kejadian genetik somatik yang dibutuhkan untuk mengubah sel mesotel menjadi neoplastik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kombinasi merokok dan pajanan asbes sangat meningkatkan risiko karsinoma paru, namun tidak meningkatkan risiko terjadinya mesotelioma ganas.



MORFOLOGI Mesotelioma ganas seringkali didahului oleh fibrosis pleura ekstensif dan pembentukan plak, yang dapat terlihat dengan computed-tomography scans (CT scan).Tumor-tumor ini diawali pada daerah yang terbatas, dan seiring waktu menyebar luas, baik dengan pertumbuhan berkelanjutan atau dengan tumbuh difus di permukaan pleura. Pada otopsi, paru yang terkena secara khas diselubungi oleh lapisan tumor kuning-putih, padat, dan kadang-kadang gelatinosa yang mengobliterasi rongga pleura (Gambar 12-50). Metastasis jauh jarang ditemukan. Neoplasma dapat secara langsung menginvasi dinding toraks atau jaringan paru subpleura. Sel mesotel normal bersifat bifasik, menciptakan sel-sel yang melapisi pleura dan jaringan ikat di bawahnya. Sehingga, secara histologi, mesotelioma dapat terjadi sebagai salah satu dari tiga pola berikut: (1) epitelial, yaitu sel-sel kuboid melapisi rongga-rongga tubulus dan mikrokistik, hingga projeksi atau tunas-tunas papiler kecil; pola ini yang paling sering dan juga yang paling sering disangka sebagai adenokarsinoma paru; (2) sarkomatosa, yaitu sel-sel spindel dan kadang-kadang mirip fibroblas yang tumbuh dalam lembaran yang tidak khas; dan (3) bifasik, yaitu dengan areaarea sarkomatosa dan epitelial. Asbes tidak dibuang maupun dimetabolisme di paru, sehingga serat-serat asbes tinggal di dalam tubuh seumur hidup. Dengan demikian, risiko seumur hidup pascapajanan tidak berkurang seiring waktu (tidak seperti merokok, yaitu risiko berkurang setelah berhenti merokok). Telah menjadi hipotesis bahwa serat-serat asbes berkumpul di dekat lapisan sel mesotel, dan memproduksi reactive oxygen species, yang menyebabkan kerusakan DNA disertai potensi mutasi onkogenik. Mutasi somatik dari dua gen supresor tumor (p16/ CDKN2A, di lokus kromosom 9p21, dan NF2, lokus kromosom 22q12) telah ditemukan pada mesotelioma ganas.



Gambar 12-50 Mesotelioma ganas. Perhatikan tumor pleura yang tebal, kenyal, putih yang menyelubungi paru yang dibelah dua ini.



LESI PADA SALURAN NAPAS ATAS Infeksi Akut Infeksi akut pada saluran napas atas adalah gangguan yang paling sering pada manusia, yang seringkali bermanifestasi sebagai "flu biasa/ common cold". Gambaran klinis diketahui dengan baik: hidung tersumbat disertai keluarnya cairan; bersin; gatal; nyeri tenggorokan kering; dan suhu tubuh yang sedikit meningkat yang lebih tinggi pada anak-anak. Patogen yang paling sering adalah rhinovirus, namun coronavirus, respiratory syncytial viruses, virus parainfluenza dan influenza, adenovirus, enterovirus, dan kadang-kadang bahkan streptococcus β hemolitikus grup A juga merupakan patogen. Pada sejumlah kasus (sekitar 40%), penyebabnya tidak dapat ditentukan; kemungkinan virus-virus baru telah ditemukan. Sebagian besar infeksi ini terjadi pada musim gugur dan musim dingin, dan self-limiting/ sembuh sendiri (biasanya selama seminggu atau kurang). Pada sebagian kecil kasus, flu dapat dipersulit dengan timbulnya otitis media atau sinusitis bakterialis. Selain flu biasa, infeksi saluran napas atas dapat memberikan gejala dan tanda lokal di faring, epiglotis, atau laring. Faringitis akut, bermanifestasi sebagai radang tenggorok, dapat disebabkan oleh sejumlah agen. Faringitis ringan dengan temuan fisis minimal biasanya menyertai flu dan merupakan bentuk tersering faringitis. Bentuk yang lebih berat dengan tonsilitis, berhubungan dengan hiperemia dan exudat yang nyata, terjadi pada infeksi streptokokus hemolitikus β dan adenovirus. Tonsilitis streptokokus penting untuk dikenali dan diterapi lebih dini, karena berpotensi terjadinya abses peritonsil (quinsy) atau berlanjut menjadi glomerulonefritis pascastreptokokus dan demam reuma akut infeksi Coxsackievirus A dapat mengakibatkan vesikel dan ulkus faring (herpangina). Mononukleosis infeksiosa, yang disebabkan



Lesi pada Saluran Napas Atas oleh virus Epstein-Barr (EBV), adalah penyebab penting faringitis dan diberi nama "penyakit ciuman/kissing disease" menunjukkan modus penularan yang sering terjadi pada orang yang sebelumnya tidak terpajan. Epiglotitis bakterialis akut adalah sindrom yang terutama mengenai anak-anak yang menderita infeksi pada epiglotisnya yang disebabkan oleh H. influenzae, dengan gejala utama nyeri dan obstruksi jalan napas. Awal penyakit terjadi tiba-tiba. Kegagalan dalam mempertahankan terbukanya jalan napas pada anak dengan kondisi ini dapat berakibat fatal. Vaksinasi terhadap H. influenzae telah sangat mengurangi insidens penyakit ini. Laringitis akut dapat terjadi akibat inhalasi iritan atau bisa disebabkan oleh reaksi alergi. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh agen yang menyebabkan flu biasa dan biasanya melibatkan faring dan saluran hidung serta laring. Perlu diketahui pula dua bentuk laringitis yang jarang namun penting: tuberkulosis dan difteria. Tuberkulosis juga hampir selalu merupakan akibat tuberkulosis aktif yang lama, yang dapat terjadi ketika sputum yang terinfeksi dibatukkan. Laringitis difteria untungnya menjadi jarang karena imunisasi anak terhadap toksin difteria. Setelah dihirup, Corynebacterium diphtheriae menempel pada mukosa jalan napas atas, tempat bakteri tersebut mengeluarkan eksotoksin kuat yang menyebabkan nekrosis epitel mukosa, disertai eksudat fibrinopurulen yang padat, serta menghasilkan pseudomembran di permukaan berwarna abu-abu kotor yang klasik pada difteria. Bahaya utama dari infeksi ini adalah pseudomembran yang lepas dan teraspirasi (menyebabkan obstruksi jalan napas besar) dan absorpsi eksotoksin bakteri (mengakibatkan miokarditis, neuropati perifer, atau jejas jaringan lain). Pada anak-anak, virus parainfluenza merupakan penyebab tersering laringotrakeobronkitis, atau yang sering disebut sebagai croup, namun agen lain seperti respiratory syncytial virus juga dapat memperberat kondisi ini. Meskipun sembuh sendiri, croup dapat menyebabkan stridor insipirasi yang menakutkan dan batuk persisten yang berat. Pada beberapa kasus, reaksi radang di laring bisa cukup menyempitkan jalan napas sehingga menyebabkan gagal napas. Infeksi virus pada saluran napas atas merupakan predisposisi terhadap infeksi bakteri sekunder, terutama oleh stafilokokus, streptokokus, dan H. influenzae.



Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring adalah neoplasma jarang yang patut dikomentari karena (1) bukti epidemiologi berkaitan kuat dengan EBV dan (2) frekuensi kanker tipe ini tinggi di antara etnis Cina, yang mengindikasikan kemungkinan terjadi onkogenesis oleh virus dengan latar belakang kerentanan genetik. Diperkirakan bahwa EBV setelah menginfeksi pejamu akan bereplikasi di epitel nasofaring dan kemudian menginfeksi sel B tonsil di dekatnya. Pada beberapa orang, hal tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi sel epitel. Tidak seperti kasus limforma Burkitt (Bab 11), tumor ini berhubungan dengan EBV lain, genom EBV ditemukan pada hampir semua karsinoma nasofaring, termasuk yang ditemukan di luar area endemik di Asia.



513



Ada tiga varian histologis yaitu karsinoma sel skuamosa berkeratin, karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, dan karsinoma tidak berdiferensiasi; yang terakhir adalah yang paling sering dan yang paling dekat kaitannya dengan EBV. Neoplasma tidak berdiferensiasi terdiri atas sel-sel besar dengan tepi sel tidak jelas (menunjukkan pertumbuhan sinsitial) disertai anak inti eosinofilik yang nyata. Sebagaimana dijelaskan di Bab 11, pada mononukleosis infeksiosa, EBV secara langsung menginfeksi limfosit B, dan setelahnya terdapat proliferasi keras limfosit T reaktif yang menyebabkan terjadi limfositosis atipik, sebagaimana terlihat di darah tepi, dan kelenjar getah bening yang membesar. Hal yang serupa, pada karsinoma nasofaring, influks limfosit matur yang banyak juga dapat ditemukan. Oleh karena itu, neoplasma ini kemudian disebut sebagai "limfoepitelioma" nama yang salah, karena limfosit di sini bukanlah bagian dari proses neoplastik, dan juga tumor tersebut tidak jinak. Keberadaan sel neoplastik berukuran besar dengan latar belakang limfosit reaktif dapat memberikan gambaran yang mirip dengan limfoma nonHodgkin, dan pewarnaan imunohistokimia mungkin dibutuhkan untuk membuktikan bahwa sel tersebut adalah sel epitelial ganas. Karsinoma nasofaring menginvasi secara lokal, dan menyebar ke kelenjar getah bening leher, dan kemudian bermetastasis ke tempat jauh. Tumor ini cenderung radiosensitif, dan tingkat ketahanan hidup 5 tahun yang dilaporkan mencapai 50% bahkan juga pada pasien dengan kanker yang lanjut.



Tumor Laring Berbagai lesi nonneoplastik, neoplasma jinak dan ganas yang berasal dari epitel dan mesenkim dapat timbul pada laring, namun hanya nodul pita suara, papiloma, dan karsinoma sel skuamosa yang perlu dibahas. Pada seluruh kondisi ini, gambaran klinis yang paling sering adalah suara serak.



Lesi Non-Maligna Nodul (polip) pita suara adalah tonjolan yang mulus, berbentuk setengah bola (biasanya berdiameter kurang dari 0,5 cm) dan terletak, paling sering, pada pita suara sejati. Nodul tersebut terdiri atas jaringan ikat yang ditutupi oleh mukosa sel skuamosa berlapis yang biasanya utuh namun dapat mengalami ulserasi akibat trauma berupa benturan dengan pita suara yang lain. Lesi ini terjadi terutama pada perokok berat atau penyanyi (benjolan penyanyi/singer's node), yang mengindikasikan lesi ini terjadi akibat iritasi kronik atau penggunaan yang berlebihan. Papiloma laring atau papiloma skuamosa laring adalah neoplasma jinak, biasanya terletak di pita suara sejati, yang membentuk pertumbuhan mirip buah trambusia yang lembut dan jarang sekali berdiameter lebih sari 1 cm. Secara histologis, papiloma terdiri atas tonjolan-tonjolan seperti jari yang banyak, dan langsing/kurus, disokong oleh stroma fibrovaskular yang terletak di tengah dan dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang teratur dan khas. Apabila papiloma terletak di tepi bebas pita suara, maka trauma bisa mengakibatkan ulserasi yang dapat disertai hemoptisis. Papiloma biasanya tunggal pada orang dewasa namun seringkali multipel pada anak-anak, dan kondisi tersebut disebut sebagai papilomatosis respirasi rekuren/recurrent respiratory papillomatosis (RRP), karena papiloma ini seringkali tumbuh lagi sesudah eksisi. Lesi ini disebabkan oleh virus papiloma manusia/humanpapillomavirus (HPV) tipe 6 dan 11, yang tidak menjadi ganas, dan seringkali regresi spontan pada masa pubertas. Transformasi ke arah kanker jarang terjadi.



514



B A B 12



Paru



Penyebab yang paling mungkin untuk terjadinya penyakit ini pada anak-anak adalah transmisi langsung dari ibu yang terinfeksi pada saat melahirkan. Dengan demikian, vaksin HPV yang baru-baru ini tersedia dan dapat melindungi perempuan usia reproduksi terhadap infeksi tipe 6 dan 11 juga memberikan kemungkinan pencegahan RRP pada anak-anak.



Karsinoma Laring Karsinoma laring mewakili hanya 2% dari seluruh kanker. Kanker paling sering terjadi setelah usia 40 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan (dengan rasio 7:1). Pengaruh lingkungan juga sangat penting dalam pembahasan etiologinya; hampir semua kasus terjadi pada perokok, dan alkohol disertai pajanan asbes juga dapat berperan. Virus papiloma manusia/ human papilloma virus (HPV) telah dideteksi pada sekitar 15% tumor yang cenderung memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan karsinoma lain. Sekitar 95% kanker laring merupakan karsinoma sel skuamosa yang khas. Adenokarsinoma jarang ditemukan, mungkin berasal dari kelenjar mukus. Tumor yang terbentuk langsung di pita suara (tumor glotis) sebanyak 60% hingga 75% kasus, sedangkan yang timbul di atas pita suara (supraglotis; 25% hingga 40%) dan di bawah pita suara (subglotis; kurang dari 5%). Karsinoma sel skuamosa laring diawali sebagai lesi in situ yang kemudian tampak sebagai plak abu-abu, berkerut di permukaan mukosa, yang akhirnya ulseratif dan menonjol (Gambar 12-51). Tumor glotis biasanya karsinoma sel skuamosa berkeratin berdiferensiasi baik hingga sedang; meskipun karsinoma tidak berkeratin berdiferensiasi buruk juga dapat ditemukan. Sebagaimana diperkirakan dengan lesi yang berasal dari pajanan berulang karsinogen lingkungan, mukosa di dekatnya mungkin dapat menunjukkan hiperplasia sel skuamosa dengan fokus-fokus displasia, atau bahkan karsinoma in situ. Karsinoma laring sendiri bermanifestasi secara klinis dengan suara serak yang menetap. Lokasi tumor di dalam laring mempunyai pengaruh besar terhadap prognosis. Sebagai contoh, sekitar 90% tumor glotis terbatas pada laring pada saat diagnosis. Pertama, sebagai akibat gangguan terhadap mobilitas pita suara, maka tumor ini sudah menimbulkan gejala di awal penyakit; kedua, regio glotis memiliki sedikit aliran limfe, dan penyebaran ke luar laring jarang terjadi. Sebaliknya, laring supraglotis kaya dengan saluran limfe, dan hampir sepertiga dari tumor ini bermetastasis ke kelenjar getah bening regional (leher).



Tumor subglotis cenderung tenang secara klinis, dan biasanya baru bermanifestasi apabila penyakit sudah lanjut. Dengan operasi, terapi radiasi, atau kombinasi pengobatan tersebut, banyak pasien dapat disembuhkan, namun sekitar sepertiga meninggal karena penyakit tersebut. Penyebab umum kematian adalah infeksi saluran napas distal atau metastasis luas dan kaheksia.



UCAPAN TERIMA KASIH



Kontribusi Anirban Maitra, MD, pada bab ini untuk diketahui dengan banyak ucapan terima kasih. KEPUSTAKAAN American Thoracic Society; European Respiratory Society: International Multidisciplinary Consensus Classification of the Idiopathic Interstitial Pneumonias. This joint statement of the American Thoracic Society (ATS) and the European Respiratory Society (ERS) was adopted by the ATS board of directors, June 2001 and by the ERS Executive Committee, June 2001. Am J Respir Crit Care Med 165:277, 2002. [Klasifikasi tentang pneumonia interstisialis dari dua perhimpunan paru trans Atlantik yang besar.] Baughman RP, Lower EE, du Bois RM: Sarcoidosis. Lancet 361:1111, 2003. [Kajian yang baik mengenai subjek ini, termasuk bukti peran polimorfisme genetik yang menentukan kerentanan terhadap sarkoidosis, dan pilihan pengobatan.] Beasley MB: Smoking-related small airway disease — a review and update. Adv Anat Pathol 17:270, 2010. [Kajian temuan histologis dan patogenesis penyakit jalan napas kecil pada penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rokok.] Collard HR, King TE Jr: Demystifying idiopathic interstitial pneumonia. Arch Intern Med 163:17, 2003. [Kajian tentang gambaran histopatologis dan klinis yang membedakan pneumonia interstisialis dari penyebab lain fibrosis paru, dengan penekanan khusus pada fibrosis paru idiopatik dan pentingnya mengenali pola ini.] Cosio MG, Saetta M, Agusti A: Immunologic aspects of chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 360:2445, 2009. [Kajian yang baik tentang mekanisme yang mengakibatkan PPOK.] Davies D, Wicks J, Powell RM, et al: Airway remodeling in asthma: new insights. J Allergy Clin Immunol 111:215, 2003. [Kajian tentang perubahan struktural yang melibatkan patogenesis asma, dan peran kandidat polimorfisme gen yang mungkin berpotensi terhadap kerentangan remodeling jalan napas dan asma.] Eramo A, Haas TL, De Maria R: Lung cancer stem cells: tools and targets to fight lung cancer. Oncogene 29:4625, 2010. [Kajian dari apa yang telah diketahui tentang sel punca kanker paru dan implikasi diagnostik, prognostik, dan terapeutik.] Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, et al: Tuberculosis. Lancet 362:887, 2003. [Suatu kajian klinis tentang kecenderungan global mengenai tuberkulosis, munculnya resistensi multiobat, dan mengukur pencegahan primer penyakit ini dari perspektif kesehatan masyarakat.] Hogg JC, Timens W: The pathology of chronic obstructive pulmonary disease. Annu Rev Pathol 4:435, 2009. [Kajian komprehensif tentang patogenesis PPOK, menekankan peran radang, perbaikan jaringan dan remodeling, dan penyakit jalan napas kecil pada PPOK.] Horowitz JC, Martinez FJ, Thannickal VJ: Mesenchymal cell fate and phenotypes in the pathogenesis of emphysema. COPD 6:201, 2009. [Diskusi yang baik tentang buktibukti yang muncul yang mendukung faktor genetik, faktor radang dan lingkungan, termasuk merokok, yang secara kolektif berkontribusi terhadap patogenesis emfisema.] Jones KD: An update on lung cancer staging. Adv Anat Pathol 17:33, 2010. [Kajian kriteria tumor-kelenjar getah bening-metastasis (TNM) untuk menentukan stadium kanker paru.] King PT: The pathophysiology of bronchiectasis. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 4:411, 2009. [Kajian patologi, kondisi yang memengaruhi, dan mikrobiologi bronkiektasis.] Meyers DA: Genetics of asthma and allergy: what have we learned? J Allergy Clin Immunol 126:439, 2010. [Suatu pembaharuan tentang pendekatan genetik untuk mengerti kerentanan dan derajat keparahan asma dan alergi.]



Gambar 12-51 Karsinoma sel skuamosa laring (tanda panah) yang timbul pada supraglotis (di atas pita suara sejati).



Noguchi M: Stepwise progression of pulmonary adenocarcinoma —clinical and molecular implications. Cancer Metastasis Rev 29:15, 2010. [Mengkorelasikan progresi adenokarsinoma dengan perubahan molekuler.]



Lesi pada saluran pernapasan bagian atas Rabinovitch M: Pathobiology of pulmonary hypertension. Annu Rev Pathol 2:369, 2007. [Konsep terkini tentang penyebab hipertensi paru.] Rimal B, Greenberg AK, Rom WN: Basic pathogenetic mechanisms in silicosis: current understanding. Curr Opin Pulm Med 11:169; 2005. [Kajian tentang bagaimana pajanan silikat mengakibatkan penyakit paru, termasuk diskusi tentang kontroversi di sekeliling peran karsinogenik debu mineral ini.] Runo J, Loyd J: Primary pulmonary hypertension. Lancet 361:1533, 2003. [Kajian yang komprehensif tentang genetik, patofisiologi, manifestasi klinis dan pilihan pengobatan untuk entitas ini.] Sekido Y, Fong KM, Minna JD: Molecular genetics of lung cancer. Annu Rev Med 54:73, 2003. [kajian yang luar biasa tentang abnormalitas yang mendasari kanker paru, terutama yang membedakan SCLC dari NSCLC.] Simonneau G, Robbins IM, Beghetti M, et al: Updated clinical classification of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol 30:54, 2009. [Ini adalah klasifikasi terkini berdasarkan mekanisme patofisiologis, tampilan klinis, dan pendekatan terapeutik.] Stewart S, Rassi D: Advances in the understanding and classification of pulmonary hypertension. Histopathology 54:104, 2009. [Menjelaskan hal-hal terbaru mengenai mekanisme genetik dan molekuler dan temuan histopatologis pada hipertensi paru.] Travis WD, Brambilla E, Noguchi M, et al: International Association for the Study of Lung Cancer/American Thoracic Society/ European Respiratory Society international multidisciplinary classification of lung adenocarcinoma. J Thorac Oncol 6:244, 2011. [Klasifilcasi baru adenokarsinoma yang menyertakan gambaran klinis, radiologik, histologis, molekuler, dan prognosis.]



515



Tsushima K, King LS, Aggarwal NR, et al: Acute lung injury review. Intern Med 48:621, 2009. [Mencakup definisi, insidens, luaran, patogenesis dan terapi jejas paru akut/sindrom distres pernapasan akut.] Varella-Garcia M: Chromosomal and genomic changes in lung cancer. Cell Adh Migr 4:1, 2010. [Kajian yang komprehensif tentang perubahan genomik yang memengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel dan jalur apoptosis pada kanker paru sertai aplikasinya dalam terapi target.] Walter MJ, Holtzmann MJ: A centennial history of research on asthma pathogenesis. Am J Respir Cell Mol Biol 32:483, 2005. [Ringkasan yang bagus yang menjelaskan batu-batu lompatan penting dalam riset selama 100 tahun tentang patogenesis asma.] Ware LB: Pathophysiology of acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome. Semin Respir Crit Care Med 27:337, 2006. [Pembahasan yang baik mengenai patogenesis ARDS.JAcknowledgment



Halaman ini sengaja dikosongkan



13 BAB



Ginjal dan Sistem Pengumpul DAFTAR ISI BAB Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal 517 Penyakit Glomerulus 518



Mekanisme Jejas dan Penyakit Glomerulus 519 Sindrom Nefrotik 523 Sindrom Nefritik 529 Glomerulonefritis Progresif Cepat 531



Penyakit-Penyakit yang mengenai Tubulus dan Interstisium 533 Nefritis Tubulointerstisialis 533



Jejas Tubulus Akut 537



Penyakit yang Menjangkiti Pembuluh Darah 538 Arterionefrosklerosis 539 Hipertensi Maligna 539 Mikroangiopati Trombotik 540



Penyakit Ginjal Kronik 541 Penyakit Ginjal Kistik 542



Kista Simpleks 542 Penyakit Ginjal Polikistik (Dewasa) Autosom Dominan 542



Ginjal merupakan organ yang memiliki struktur yang rumit dan telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi yang penting: ekskresi produk-produk sisa metabolisme, regulasi air dan garam tubuh, mempertahankan keseimbangan asam, dan sekresi berbagai hormon dan prostaglandin. Penyakit ginjal juga sama rumitnya dengan strukturnya, namun penelitiannya terbantu dengan membedakan penyakit-penyakit tersebut sesuai dengan empat komponen yang terjangkiti, yaitu: glomeruli, tubulus, interstisium, dan pembuluh darah. Pendekatan tradisional ini berguna karena manifestasi awal penyakit yang mengenai setiap komponen ini cenderung dapat dibedakan. Di samping itu, beberapa struktur agaknya lebih rentan terhadap bentuk tertentu jejas ginjal; misalnya, penyakit glomerulus seringkali diperantarai oleh reaksi imunologi, sedangkan kelainan tubulus dan interstisium lebih sering disebakan oleh bahan toksik atau infektif. Walaupun demikian, beberapa kelainan menjangkiti lebih dari satu struktur, dan struktur-struktur di dalam ginjal bersifat saling bergantung secara fungsional, berarti bahwa kerusakan terhadap satu komponen hampir selalu mempengaruhi yang lain secara sekunder. Jadi, kerusakan glomerulus yang berat mengganggu aliran melalui sistem vaskular peritubuler; sebaliknya, destruksi tubulus, oleh karena peningkatan tekanan intraglomerular dan induksi sitokin dan kemokin, dapat menyebabkan sklerosis glomerulus. Apa pun asalnya, terdapat kecenderungan bahwa penyakit ginjal kronik akhirnya merusak seluruh empat komponen ginjal, dan memuncak menjadi penyakit ginjal stadium akhir (end-stage renal disease). Karena alasan ini, tanda dan gejala awal penyakit ginjal penting untuk menentukan penyebab awal penyakit, oleh karena itu dirujuk di dalam pembahasan dari setiap penyakit. Cadangan fungsi ginjal sangat besar, sehingga banyak kerusakan dapat terjadi sebelum disfungsi ginjal menjadi nyata.



Penyakit Ginjal Polikistik Autosom Resesif (pada Anak-Anak) 544 Penyakit Meduler Disertai Kista 544



Obstruksi Aliran-Keluar Urin 545 Batu Ginjal 545 Hidronefrosis 545



Tumor 547



Tumor Ginjal 547



MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT GINJAL Manifestasi klinis penyakit ginjal dapat dikelompokkan ke dalam sindrom-sindrom yang dapat dibedakan dengan jelas. Beberapa bersifat khas untuk penyakit glomerulus dan yang lain dapat ditemukan pada beberapa kelainan ginjal. Sebelum kami berikan daftar sindrom, beberapa istilah harus dijelaskan. Azotemia adalah suatu peningkatan kadar urea nitrogen dan kreatinin dalam darah dan biasanya menunjukkan penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR). GFR dapat berkurang sebagai akibat penyakit ginjal intrinsik atau penyebab ekstrarenal. Azotemia pra-renal terjadi apabila terdapat hipoperfusi ginjal, yang mengurangi GFR tanpa kerusakan parenkim. Azotemia pasca-renal terjadi apabila aliran urin mengalami obstruksi pada daerah hilir setelah ginjal. Jika obstruksi hilang, maka diikuti oleh koreksi azotemia. Apabila azotemia menimbulkan manifestasi klinis dan abnormalitas biokimiawi sistemik, maka disebut sebagai uremia. Uremia ditandai tidak hanya oleh kegagalan fungsi ekskretorik ginjal namun juga sejumlah gangguan metabolit dan endokrin yang terjadi akibat kerusakan ginjal. Di samping itu, terdapat keadaan yang bersifat sekunder terhadap kelainan yang menjangkiti sistem gastrointestinal (misalnya, gastroenteritis uremik); neuromuskular (misalnya, neuropati perifer), dan kardiovaskular (misalnya, perikarditis fibrinosa uremik). Sekarang kita beralih kepada uraian singkat sindrom-sindrom ginjal yang utama: • Sindrom nefritik terjadi akibat jejas glomerulus dan didominasi oleh permulaan penyakit akut berupa hematuria yang biasanya dapat dilihat secara makroskopik (sel darah merah dan cast eritrosit di dalam urin), proteinuria derajat ringan hingga sedang, azotemia,



518







• •



















BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



edema, dan hipertensi; tampilan ini adalah tampilan klasik untuk glomerulonefritis akut pasca-streptokok. Sindrom nefrotik adalah sindrom glomerulus yang ditandai oleh proteinuria yang parah (ekskresi lebih dari 3,5 g protein/hari pada orang dewasa), hipoalbuminemia, edema yang parah, hiperlipidemia, dan lipiduria (lipid di dalam urin). Hematuria asimptomatik atau proteinuria non-nefrotik, atau kombinasi dari dua hal tersebut, biasanya merupakan manifestasi abnormalitas glomerulus yang tak terdeteksi atau ringan. Glomerulonefritis progresif cepat (rapidly progressive glomerulonephritis/RPGN) berhubungan dengan jejas glomerulus yang berat dan mengakibatkan kehilangan fungsi ginjal dalam waktu beberapa hari atau minggu. Gejala ini bermanifestasi dengan hematuria mikroskopik, sel darah merah dismorfik dan cast sel darah merah pada sedimen urin, disertai proteinuria ringan hingga derajat menengah. Jejas ginjal akut (acute kidney injury/AKI) didominasi oleh oligouria atau anuria (tidak ada aliran urin), dan azotemia yang baru terjadi. Kondisi ini dapat terjadi akibat jejas glomerulus (seperti glomerulonefritis progresif cepat), jejas interstisium, jejas pembuluh radah (seperti mikroangiopati trombotik), atau jejas tubulus akut. Penyakit ginjal kronik, ditandai oleh gejala dan tanda uremia yang memanjang dan merupakan akibat dari reaksi penyembuhan ginjal yang progresif akibat berbagai etiologi dan dapat mengakibatkan penyakit ginjal stadium akhir, yang membutuhkan dialisis atau transplantasi. Infeksi saluran kemih ditandai oleh bakteriuria dan pyuria (bakteri dan leukosit di dalam urin). Infeksi mungkin bersifat simptomatik atau asimptomatik, dan dapat mengenai ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) saja. Nefrolitiasis (batu ginjal) bermanifestasi sebagai kolik ginjal, hematuria (tanpa cast sel darah merah) dan pembentukan batu berulang



Di samping berbagai sindrom ginjal ini, obstruksi saluran kemih dan tumor ginjal juga sering muncul dengan tanda dan gejala yang berkaitan dengan disfungsi ginjal, dan dibahas kemudian.



PENYAKIT GLOMERULUS Kelainan yang mengenai glomerulus mencakup kategori penyakit ginjal yang penting secara klinis. Glomerulus terdiri atas jaringan kapiler yang beranastomosis yang diselubungi oleh dua lapis epitel. Epitel visera (terdiri dari podosit) merupakan bagian intrinsik dinding kapiler, sedangkan epitel parietal melapisi rongga Bowman (rongga urin), rongga berkumpulnya ultrafiltrasi plasma yang pertama. Dinding kapiler glomerular merupakan unit filtrasi dan terdiri dari struktur berikut (Gambar 13-1 dan 13-2): • Lapisan tipis sel endotel dengan fenestrasi (jendela), dan setiap fenestra berdiameter 70 hingga 100 nm. • Membran basal glomerulus (glomerular basement membran/GBM) dengan lapisan tengah yang tebal, dan padat elektron, lamina densa, serta lapisan perifer yang lebih tipis dan elektrolusen, lamina rara interna dan lamina rara eksterna. GBM terdiri atas kolagen (sebagian besar tipe IV), laminin, proteoglikan polianionik, fibronektin, dan beberapa glikoprotein yang lain.



• Podosit, yang secara struktural merupakan sel yang rumit yang memiliki prosesus (juluran sel) yang saling teranyam dan tertanam serta menempel pada lamina rara eksterna membran basal. Prosesus yang bersebelahan dipisahkan oleh celah filtrasi selebar 20 hingga 30 nm, yang dijembatani oleh diafragma celah yang tipis yang sebagian besar tersusun oleh nefrin (lihat selanjutnya). • Gelung glomerulus didukung oleh sel-sel mesangial yang terletak di antara kapiler. Matriks mesangial yang mirip dengan membran basal membentuk jaringan tempat sel-sel mesangial tersebar. Selsel ini, berasal dari mesenkim, bersifat kontraktil dan mampu berproliferasi, mampu membentuk kolagen dan komponen matriks lainnya, dan mensekresi sejumlah mediator yang aktif secara biologis. Pada keadaan normal, sistem filtrasi glomerulus sangat permeabel terhadap air dan zat terlarut yang kecil dan hampir sepenuhnya tidaki permeabel terhadap molekul dengan ukuran dan muatan seperti albumin (suatu protein berukuran 70.000 kDA). Permeabilitas selektif ini, disebut sebagai fungsi penyangga (barrier) glomerulus, membedakan berbagai molekul protein menurut ukuran (semakin besar semakin kurang permeabel), muatan (semakin bersifat kation, semakin permeabel), dan konfigurasi. Karakteristik penyangga yang normal bergantung kepada struktur yang rumit dari dinding kapiler, integritas GBM dan berbagai molekul yang bersifat anion yang ada di dalam dinding, termasuk proteoglikans yang bersifat asam pada GBM serta sialoglikoprotein dari lapisan sel epitel dan endotel. Podosit juga penting dalam mempertahankan fjngsi penyangga glomerulus. Diafragma celah podosit merupakan penyangga difusi yang penting terhadap protein plasma, dan podosit juga berperan besar dalam sintesis komponen GBM. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang telah dipelajari tentang arsitektur molekuler dari penyangga filtrasi glomerulus. Nefrin, suatu glikoprotein transmembran, merupakan komponen utama diafragma celah di antara prosesus podosit yang berdekatan. Molekul nefrin dari prosesus yang bersebelahan saling berikatan melalui jembatan disulfida di tengah-tengah diafragma celah. Bagian intraseluler nefrin berinteraksi dengan beberapa protein sitoskeleton dan protein pengisyarat (Gambar 13-1). Nefrin dan protein yang berhubungan, termasuk podosin, memiliki peran penting dalam mempertahankan permeabilitas selektif pada penyangga filtrasi glomerulus. Peran ini secara dramatis diilustrasikan oleh penyakit herediter yang jarang dengan mutasi nefrin atau pasangan protein berkaitan dengan kebocoran abnormal protein plasma ke urin, yang mengakibatkan sindrom nefrotik (didiskusikan kemudian). Observasi ini menunjukkan bahwa cacat yang didapat pada fungsi atau struktur diafragma celah merupakan mekanisme penting dari proteinuria, tanda utama dari sindrom nefrotik. Glomeruli dapat mengalami jejas oleh berbagai mekanisme dan pada sejumlah penyakit sistemik (Tabel 13-1). Penyakit yang diperantarai reaksi imunologi, seperti lupus eritematosus sistemik, penyakit pembuluh darah seperti hipertensi dan sindrom uremia hemolitik, penyakit metabolit seperti diabetes melitus, dan beberapa kondisi yang murni herediter seperti sindrom Alport seringkali mempengaruhi glomerulus. Kondisi in disebut penyakit glomerulus sekunder untuk membedakannya dari penyakit yang hanya atau secara predominan menjangkiti ginjal. Kondisi yang kedua



Penyakit Glomerulus



519



GLOMERULUS Relung pembuluh kapiler



Rongga urin Mesangium



Sel mesangium Sel darah merah



Matriks mesangium



Epitel parietal



Fenerstra (jendela) pada endotel



Tubulus proksimal Rongga urin



Lumen kapiler Epitel parietal Membran basal Epitel viseral (podosit)



Prosesuskaki Endotel



Membran basal DARAH



Endotel



Sel darah Prosesus-kaki merah



Membran basal Kompleks pengisyaratan dan protein kerangka sel



Prosesus-kaki podosit URIN Molekul nefrin dari prosesus-kaki podosit yang di dekatnya yang membentuk diafragma celah



Gambar 13-1 Diagram skematis lobus glomerulus normal.



tersebut mencakup beberapa tipe penyakit glomerulus primer, yang akan didiskusikan dalam bab ini. Perubahan glomerulus pada penyakit sistemik didiskusikan di tempat lain.



Mekanisme Jejas dan Penyakit Glomerulus Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang faktor etiologik atau kejadian yang menjadi pemicu, jelas bahwa mekanisme imunologi yang mendasari sebagian besar penyakit glomerulus primer dan banyak penyakit glomerulus sekunder. Pada kondisi eksperimental,



glomerulonefritis (GN) dapat dengan mudah diinduksi oleh antibodi, dan deposit imunoglobulin, seringkali disertai berbagai komponen komplemen, ditemukan pada penderita dengan GN. Mekanisme imunologi seluler juga dapat berperan dalam beberapa penyakit glomerulus. Dua jenis jejas yang berhubungan dengan antibodi telah diketahui: (1) jejas akibat pengendapan kompleks antigen-antibodi terlarut yang beredar pada glomerulus dan (2) jejas akibat antibodi yang bereaksi in situ di dalam glomerulus, baik dengan antigen yang tidak larut dan terikat (intrinsik) pada glomerulus atau



520



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



Gambar 13-2 Mikrograf elektron glomerulus tikus pada pembesaran rendah. B, membran basal; CL, lumen kapiler; End, endotel; Ep, sel epitel viseral (podosit) dengan prosesus-kaki; Mes, mesangium; US, ruang urin.



dengan molekul yang tertanam di dalam glomerulus (Gambar 13-3). Di samping itu, antibodi yang bereaksi terhadap komponen sel glomerulus dapat menyebabkan jejas glomerulus. Jalur-jalur reaksi patologis ini tidak bersifat masing-masing berlangsung tersendiri (eksklusif), dan pada manusia semua mungkin berperan terhadap jejas.



Glomerulonefritis Disebabkan oleh Kompleks Imun yang Beredar Patogenesis penyakit kompleks imun dibicarakan secara terperinci pada Bab 4. Di sini diberikan tinjauan singkat tentang perangai yang berkaitan dengan jejas glomerulus pada GN. Terkait penyakit yang diperantarai oleh kompleks imun yang beredar, glomerulus dapat dianggap sebagai "pendamping awam/ innocent bystander" karena glomerulus tidak menyulut reaksi. Antigen terkait bukan berasal dari glomerulus. Antigen tersebut Tabel 13–1 Penyakit-penyakit Glomerulus



Penyakit-Penyakit Glomerulus Primer Penyakit perubahan-minimal (minimal-change disease) Glomerulosklerosis fokal segmental Nefropati membranosa GN pasca-infeksi akut GN membrano-proliferatif Nefropati IgA



Glomerulopati Sekunder akibat Penyakit Sistemik Nefritis lupus (lupus eritematosus sistemik) Nefropati diabetes Amiloidosis GN sekunder akibat myeloma multipel Sindrom Goodpasture Poliangiitis mikroskopik Granulomatosis Wegener Purpura Henoch-Sch6nlein GN terkait endokarditis bakterialis Mikroangiopati trombotik



Kelainan Herediter Sindrom Alport Penyakit Fabry Mutasi protein podosit/diafragma-celah GN, glomerulonefritis; IgA, imunoglobulin A.



mungkin bersifat endogen, seperti pada GN yang berhubungan dengan lupus eritematosus sistemik, atau mungkin bersifat eksogen, seperti pada GN yang timbul setelah infeksi bakteri (streptokokus), virus (hepatitis B), parasit (malaria Plasmodium falciparum(, dan spirochaeta (Treponema pallidum(. Seringkali, antigen yang memicu tidak diketahui, seperti pada sebagian besar kasus GN membranoproliferatif (MPGN). Apa pun jenis antigennya, kompleks antigen-antibodi terbentuk in situ atau di dalam peredaran darah dan kemudian terperangkap di glomeruli, yang dapat mengakibatkan jejas, pada sebagian besar melalui aktivasi komplemen dan mendatangkan leugosit. Jejas juga dapat terjadi melalui ikatan reseptor Fc pada leukosit yang tidak bergantung kepada aktivasi komplemen, karena ikatan silang reseptor Fc dengan antibodi IgG juga mengakibatkan aktivasi leukosit dan degranulasi. Terlepas dari mekanismenya, lesi glomerulus biasanya terdiri atas infiltrasi leukosit (eksudasi) ke dalam glomeruli dan berbagai proliferasi endotel, mesangial dan sel epitel parietal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron menunjukkan adanya kompleks imun berupa endapan padat elektron (electron-dense) atau gumpalan yang terletak di salah satu dari tiga tempat: di mesangium, di antara sel endotel dan GBM (endapan subendotel), atau di antara permukaan luar GBM dan podosit (endapan subepitel). Endapan tersebut dapat terletak pada lebih dari satu tempat pada kasus tertentu. Adanya imunoglobulin dan komplemen pada endapan ini dapat dibuktikan dengan teknik imunofluoresensi dan dilihat dengan mikroskop fluoresensi (Gambar 13-4, A). Pola dan lokasi komplemen endapan kompleks imun dapat memnantu dalam memnedakan berbagai jenis Gr Setelah mengendap di ginjal, kompleks imun mungkin mengalami degradasi atau fagositosis, sebagian besar melalui sebukan leukosit dan sel mesangial, dan reaksi radang mungkin kemudian berkurang. Perjalanan penyakit yang demikan terjadi apabila pajanan terhadap antigen yang memicu hanya berlangsung dalam jangka pendek dan terbatas, seperti pada sebagian besar kasus GN pasca streptokok atau GN yang terkait infeksi akut. Walaupun demikian, jika pajanan terhadap antigen berlangsung selama beberapa waktu, dapat terjadi pembentukan kompleks imun yang berulang-kali, pengendapan, dan jejas kompleks imun, yang mengakibatkan GN kronik. Pada beberapa kasus, sumber pajanan antigen kronik dapat ditentukan, seperti virus pada infeksi virus hepatitis B dan antigen inti pada lupus eritematosus sistemik. Namun, pada kasus lain, antigen tidak diketahui. Pengendapan kompleks imun yang beredar sebagai mekanisme jejas telah diteliti dengan baik pada model hewan namun jarang ditetapkan pada penyakit manusia.



Glomerulonefritis yang Disebabkan oleh Kompleks Imun in Situ Pengendapan antibodi pada glomerulus adalah jalur utama dari jejas glomerulus. Telah disebutkan, antibodi pada bentuk jejas ini bereaksi langsung dengan antigen yang menetap atau tertanam di glomerulus. Reaksi imun in situ, terperangkapnya kompleks imun yang beredar, interaksi antara kedua kejadian ini serta hemodinamik lokal dan determinan struktural di glomerulus semuanya berperan pada morfologi dan perubahan fungsi pada GN. Antibodi juga dapat bereaksi in situ dengan antigen non-glomerular yang sebelumnya "tertanam", yang mungkin berada di ginjal dengan berinteraksi dengan berbagai komponen intrinsik glomerulus. Antigen yang tertanam mencakup kompleks nukleosom (pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik); produk bakteri, seperti endostroptosin, protein yang dipaparkan oleh streptokok grup A; protein agregat besar (misalnya, agregat imunoglobulin G [IgG] ) yang cenderung mengendap di mesangium;



Penyakit Glomerulus



YANG BEREDAR



521



IN SITU



PENGENDAPAN KOMPLEKS IMUN Prosesus-kaki Sel epitel podosit



ANTIBODI ANTI-GBM



ANTIBODI TERHADAP ANTIGEN GLOMERULUS (NEFROPATI MEMBRANOSA)



Endotel



Endapan subepiteliat Membran basal Endotel Kompleks imun yang beredar Endapan subendotel



A



Antibodi



Antigen



B



Antibodi



Antigen



C



Gambar 13-3 Jejas glomerulus yang diperantarai antibodi. Jejas dapat terjadi baik akibat endapan kompleks imun yang beredar atau akibat pembentukan kompleks in situ. A, Pengendapan kompleks imun yang beredar memberikan pola granuler pada imunofluoresensi, B, Glomerulonefritis antibodi anti-membran basal glomerulus (anti-GBM) ditandai oleh pola linear pada imunofluoresensi. C, Antibodi terhadap beberapa komponen endapan glomerulus dengan pola granuler.



dan kompleks imun itu sendiri, karena kompleks imun mengandungi daerah yang reaktif untuk interaksi selanjutnya dengan antibodi bebas, antigen bebas, atau komplemen. Sebagian besar antigen yang tertanam ini menginduksi endapan imunoglobulin dengan pola granuler yang terlihat di bawah mikroskop fluoresensi pada pemeriksaan dengan teknik imunofluoresensi. Faktor-faktor berikut mempengaruhi lokasi antigen, antibodi, atau kompleks imun pada glomerulus: muatan dan ukuran molekul reaktan; hemodinamik glomerulus; fungsi mesangium; dan integritas penyangga glomerulus yang selektif terhadap muatan. Lokasi antigen, antibodi, atau kompleks imun menentukan respons jejas glomerulus. Berbagai penelitian pada model eksperimental telah menunjukkan bahwa kompleks imun yang mengendap di endotel atau subendotel mengeluarkan reaksi radang di glomerulus disertai infiltrasi leukosit



dan proliferasi dari sel glomerulus setempat. Sebaliknya, antibodi terhadap regio subepitelial kapiler glomerulus umumnya noninflamatorik dan memperlihatkan lesi mirip dengan nefritis Heymann atau nefropati membranosa (dibahas kemudian).



Glomerulonefritis akibat Antibodi terhadap Membran Basal Glomerulus (Anti-Glomerular Basement Membrane) Penyakit yang paling baik dipelajari ciri-cirinya pada kelompok ini adalah GN kresentik klasik yang terjadi akibat antibodi terhadap GBM (Gambar 13-3, B). Pada jejas tipe ini, antibodi ditujukan terhadap antigen yang terikat pada GBM. Padanan model eksperimental penyakit nefritis telah dibuat pada hewan golongan rodent (hewan pengerat) yang disebut nefritis serul nefrotoksik. Penyakit ini dihasilkan dengan cara menyuntik tikus dengan antibodi anti-GBM yang



522



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



B



A



Gambar 13-4 Dua pola pengendapan kompleks imun yang dilihat dengan mikroskop imunofluoresensi. A, Granuler, khas untuk pengendapan kompleks imun yang beredar dan in situ. B, Linear, khas untuk anti membran basal glomerulus (anti GBM) yang klasik dari glomerulonefritis antibodi. (A, tas ̀ bui ̀ bak Dr ̀ J. Kowalewska, Department of Pothology, University of Washington, Seattle, Washington)



diproduksi dengan cara mengimunisasi kelinci atau spesies lain dengan ginjal tikus. Gu yang diperantarai antibodi pada manusia terjadi akibat pemfentuean autoantibodi terhadap Gno. Endapan antibodi ini menciptakan pola pewarnaan linear apabila antibodi yang terikat dilihat dengan mikroskop fluoresensi pada pemeriksaan dengan teknik imunofluoresensi, berlawanan dengan pola granuler yang dijelaskan untuk bentuk nefritis lain yang diperantarai oleh kompleks imun (Gambar 13-4, B). Perbedaan ini berguna dalam diagnosis penyakit glomerulus. Perubahan konformasi pada rantai α3 kolagen tipe IV pada GBM agaknya merupakan kunci dalam memicu autoimunitas. Kadang-kadang antibodi anti-GBM bereaksi silang dengan membran basal alveoli paru, mengakibatkan lesi paru dan ginjal yang simultan (sindrom Goodpasture). Meskipun GN yang diperantarai antibodi antiGBM mencakup kurang dari 1% kasus GN pada manusia, akibat dari penyakit ini dapat sangat serius. Beberapa contoh GN kresentik yang diperantarai antibodi anti-GBM ditandai oleh kerusakan berat glomerulus disertai nekrosis dan pembentukan "kresens/ rescents" dan perkembangan sindrom klinis GB progresif cepat (lihat di bawah).



NORMAL Celah filtrasi Prosesus-kaki podosit



Molekul adhesi



Endotel Membran basal



Antibodi Komplemen protein Sitokin Toksin



Mediator Jejas Imun Setelah reaktan imun terikat di glomerulus, bagaimana terjadinya kerusakan glomerulus? Jalur utama jejas yang dimulai oleh antibodi melibatkan aktivasi komplemen dan mendatangkan leukosit (Gambar 13-5). Aktivasi komplemen melalui jalur klasik mengakibatkan terjadi produksi zat kemotaksis (terutama C5a) untuk neutrofil dan monosit. Neutrofil melepaskan protease, yang menyebabkan degradasi GBM; radikal bebas yang berasal dari oksigen, yang menyebabkan kerusakan sel; dan metabolit asam arakhidonat, yang berperan terhadap reduksi GFR. Walaupun demikian, mekanisme ini berlaku hanya beberapa jenis GN karena banyak jenis menunjukkan hanya sedikit neutrofil pada glomerulus yang rusak. Pada kasus-kasus ini, jejas yang tidak terkait neutrofil namun berkaitan dengan komplemen dapat terjadi, kemungkinan disebabkan oleh kompleks serangan membran (Iembrane attace complex) C5b-C9, yang dibentuk di GBM dan dapat menginduksi jejas sel epitelial sublitik dan menstimulasi sekresi berbagai mediator



PEMENDEKAN/PENIPISAN DAN LEPASNYA PROSESUS-KAKI PODOSIT Pemendekan/ penipisan



Protein



Gambar 13-5 Jejas podosit. Urutan kejadian yang diperkirakan dipicu oleh antibodi terhadap antigen podosit, toksin, sitokin, atau faktor yang lain. Gambaran yang umum adalah jejas podosit yang mengakibatkan pemendekan /penipisan prosesus kaki dan berbagai derajat lepasnya podosit, dan degradasi membran basal. Cacat ini memungkinkan protein plasma menghilang ke dalam rongga urin.



Penyakit Glomerulus inflamasi dari sel mesangial dan epitel. Jalur alternatif dan jalur mannose finding lectin pada komplemen dapat diaktivasi oleh jejas sel atau apoptosis, yang akhirnya mengakibatkan jejas glomerulus (Gambar 13-5). Antibodi terhadap antigen sel glomerulus juga dapat secara langsung merusak sel glomerulus atau diafragma celah. Antibodi semacam itu diperkirakan terlibat dalam beberapa kelainan yang tidak mengandungi kompleks imun. Mediator kerusakan glomerulus yang lain mencakup: • Monosit dan makrofag yang menyebuk glomerulus dalam reaksi yang diperantarai oleh antibodi dan sel, dan, jika teraktivasi, melepaskan berbagai mediator. • Sel T yang tersensitisasi, yang terbentuk selama berlangsungnya reaksi imunologi seluar, dapat menyebabkan jejas glomerulus eksperimental. Pada beberapa bentuk GN eksperimental, penyakit dapat ditimbulkan melalui transfer sel T yang tersensitisasi. Jejas yang diperantarai oleh sel T mungkin berperan dalam GN yang tidak disertai endapan antibodi atau kompleks imun, atau endapan yang tidak berkorelasi dengan derajat keparahan dari kerusakan. Namun, sulit untuk menentukan peran sebab akibat untuk sel T atau reaksi imunologi seluler pada GN manusia. • Trombosit, yang beragregasi di glomerulus selama berlangsungnya jejas akibat reaksi imun dan melepaskan prostaglandin dan faktor pertumbuhan. • Sel glomerulus setempat (epitel, mesangial, dan endotel), yang dapat distimulasi untuk mensekresi mediator seperti sitokin (interleukin-1), metabolit asam arakhidonat, faktor pertumbuhan, oksida nitrat, dan endotelin. • Trombin, diproduksi sebagai akibat trombosis intraglomerulus, yang menyebabkan infiltrasi leukosit dan proliferasi sel glomerulus dengan cara memicu protease-activated receptors (PAR).



Kehilangan Nefron Apabila penyakit ginjal, glomerulus atau yang lain, menghancurkan cukup banyak nefron yang berakibat penurunan GFR menjadi 30% sampai 50% dari normal, progresi menuju penyakit ginjal stadium akhir berlanjut dan tidak dapat dihindari dengan kecepatan bervariasi. Orang yang terkena mengalami proteinuria, dan ginjal mereka menunjukkan glomerulosklerosis yang tersebar luas. Sklerosis yang progresif tersebut dapat diawali, setidaknya sebagian, oleh perubahan adaptif yang terjadi pada sisa glomeruli yang tidak dihancurkan oleh penyakit awal. Glomerulus yang tersisa mengalami hipertrofi untuk mempertahankan fungsi ginjal. Hipertrofi ini berkaitan dengan perubahan hemodinamik, termasuk peningktan GFR nefron tunggal, aliran darah, dan tekanan antar pembuluh kapiler (hipertensi kapiler). Perubahan ini akhirnya menjadi "maladaptif" dan kemudian mengakibatkan jejas endotel dan podosit, meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap protein, dan akumulasi protein dan lipid pada matriks mesangial. Hal tersebut diikuti oleh obliterasi pembuluh kapiler, peningkatan pengendapan matriks mesangial dan protein plasma, dan akhirnya diikuti oleh sklerosis segmental (sebagian) atau global (lengkap) dari glomerulus. SIderosis global mengakibatkan penurunan massa nefron dan siklus yang terus menerus (vicious circle) dari glomerulosklerosis.



RINGKASAN Jejas Glomerulus •







Pada dasarnya, hampir seluruh mediator yang diuraikan dalam pembahasan tentang inflamasi di Bab 2 dapat berperan pada jejas glomerulus.



Mekanisme lain Jejas Glomerulus Mekanisme lain berperan pada kerusakan glomerulus pada penyakit ginjal primer. Dua mekanisme yang patut disebut karena kepentingannya adalah jejas podosit dan kehilangan nefron.



Jejas Podosit Jejas podosit dapat diinduksi oleh antibodi terhadap antigen podosit; oleh toksin, seperti pada model eksperimental proteinuria yang diinduksi oleh racun ribosom yaitu puromisin; mungkin oleh beberapa sitokin; atau oleh faktor-faktor yang beredar yang belum diketahui ciri-cirinya, seperti pada beberapa kasus glomerulosklerosis fokal segmental (lihat berikutnya). Jejas podosit direfleksikan oleh perubahan morfologik yang mencakup pemendekan/penipisan prosesus, vakuolisasi, dan retraksi serta lepasnya sel dari GBM, dan secara klinis oleh proteinuria. Pada sebagian besar jejas glomerulus, kehilangan diafragma celah yang normal merupakan kunci dari terjadinya proteinuria (Gambar 13-5). Abnormalitas fungsional diafragma celah juga dapat terjadi akibat mutasi pada komponen strukturalnya, misalnya nefrin dan podosin yang terkait. Mutasi semacam itu menyebabkan bentuk herediter dari sindrom nefrotik yang jarang.



523











Jejas imun yang diperantarai oleh antibodi adalah mekanisme penting kerusakan glomerulus, terutama melalui jalur yang diperantarai oleh komplemen dan jalur yang diperantarai oleh leukosit. Antibodi juga dapat bersifat sitotoksik langsung terhadap sel-sel di glomerulus. Jenis yang paling lazim dari GN yang diperantarai oleh antibodi disebabkan oleh pembentukan kompleks-imun, apakah terjadi in situ atau melalui pengendapan kompleksimun yang beredar. Kompleks-imun ini dapat mengandungi antigen yang bersifat eksogen (misalnya, mikroba) di sirkulasi atau antigen yang bersifat endogen (misalnya, nefropati membranosa). Kompleks-imun menunjukkan pengendapan dengan pola granuler. Autoantibodi terhadap komponen GBM merupakan penyebab penyakit yang diperantarai oleh antibodi anti-GBM, seringkali berhubungan dengan jejas yang parah. Pola pengendapan antibodi adalah linear. Kompleks imun dan antibodi menyebabkan jejas melalui aktivasi komplemen dan reaksi mendatangkan leukosit, disertai pelepasan berbagai mediator, dan kadang-kadang melalui kerusakan podosit langsung.



Kita sekarang beralih kepada pemikiran tentang jenis GN yang spesifik dan sindrom glomerulus yang dihasilkan.



Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik mengacu pada kompleks/kumpulan gejala klinis yang mencakup: • Proteinuria masif, keadaan dengan kehilangan protein tiap hari di urin sejumlah 3,5 gram atau lebih pada orang dewasa • Hipoalbuminemia, keadaan disertai kadar albumin plasma kurang dari 3 g/ dL



524



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



• Edema di seluruh tubuh, manifestasi klinis yang paling nyata • Hiperlipidemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik memiliki berbagai sebab yang memiliki patofisiologi yang sama (Tabel 13-2). Pada semua etiologi tersebut, terdapat gangguan pada dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas terhadap protein-protein plasma. Peningkatan permeabilitas yang terjadi akibat perubahan struktur dan fisisokimia GBM memungkinkan protein keluar dari plasma ke filtrat glomerulus. Pada proteinuria yang berlangsung lama atau sangat berat, albumin serum berkurang, mengakibatkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan osmotik koloid plasma. Sebagaimana dibahas pada Bab 3, berkurangnya volume intravaskular dan aliran darah ginjal memicu peningkatan pelepasan renin dari sel yang berdekatan dengan glomerulus (juxta-glomerulus) ginjal. Renin akan menstimulasi poros angiotensin aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan air oleh ginjal. Kecenderungan ini diperburuk oleh menurunnya sekresi faktor natriuretik dari jantung. Dalam keadaan proteinuria yang berkelanjutan, perubahan-perubahan ini akan memperburuk edema dan jika tidak diperiksa akan mengakibatkan edema di seluruh tubuh (disebut sebagai anasarka). Pada waktu permulaan penyakit, terdapat sedikit atau tidak ada azotemia, hematuria, atau hipertensi. Terjadinya hiperlipidemia lebih membingungkan. Diperkirakan, hipoalbuminemia memicu peningkatan sintesis lipoprotein di dalam hepar atau proteinuria masif yang menyebabkan kehilangan inhibitor sintesis lipid. Terdapat juga transpor abnormal partikel lipid yang beredar dan gangguan pemecahan lipoprotein perifer. Lipiduria menunjukkan peningkatan permeabilitas GBM terhadap lipoprotein.



Tabel 13–2 Penyebab Sindrom Nefrotik



Penyebab



Penyakit Perubahan Minimal Minimal change disease atau penyakit perubahan minimal glomerulus, kelainan yang relatif jinak, merupakan penyebab tersering sindrom nefrotik pada anak-anak. Secara khas, glomeruli menunjukkan gambaran normal pada mikroskop cahaya, namun menunjukkan pemendekan/ penipisan (effacement) prosesus kaki podosit yang difus jika dilihat dengan mikroskop elektron. Meskipun dapat terjadi pada semua umur, kondisi ini paling sering di antara umur 1 dan 7 tahun. Patogenesis proteinuria pada penyakit kelainan minimal glomerulus masih sedang diteliti. Berdasarkan beberapa penelitian eksperimental, proteinuria mungkin disebabkan oleh faktor yang beredar, mungkin berasal dari sel T, yang menyebabkan kerusakan podosit dan pemendekan/penipisan prosesus kaki podosit. Namun, baik sifat alami faktor uang diduga, maupun peran sel T sebagai penyebab belum dipahami pada penyakit manusia.



MORFOLOGI



Prevalensi (%)* Anak-anak Orang Dewasa



Penyakit Glomerulus Primer Nefropati membranosa



Frekuensi relatif beberapa penyebab sindrom nefrotik bervariasi menurut usia (Tabel 13-2). Pada anak-anak berusia 1 hingga 7 tahun, misalnya, sindrom nefrotik hampir selalu disebabkan oleh lesi primer di ginjal, sedangkan pada orang dewasa, sindrom ini lebih sering disebabkan oleh manifestasi pada ginjal dari suatu penyakit sistemik. Penyebab sistemik yang paling sering dari sindrom nefrotik pada orang dewasa adalah diabetes, amiloidosis, dan lupus eritematosus sistemik. Lesi ginjal yang terjadi akibat kelainan-kelainan ini diuraikan pada Bab 4. Hal terpenting dari lesi glomerulus primer yang secara khas mengakibatkan sindrom nefrotik adalah glomerulosklerosis fokal dan segmental, dan penyakit perubahan minimal (minimal change disease). Yang tersebut kedua, lebih banyak ditemukan pada anakanak; glomerulosklerosis fokal segmental, pada orang dewasa. Dua lesi primer lain, nefropati membranosa dan glomerulonefritis membranoproliferatif, juga seringkali mengakibatkan sindrom nefrotik. Keempat lesi tersebut dibahas masing-masing berikut ini.



5



30



Penyakit perubahan minimal



65



10



Glomerulosklerosis fokal segmental



10



35



Glomerulonefritis membranoproliferatif



10



10



Nefropati IgA dan lain-lain



10



15



Penyakit Sistemik dengan Manifestasi Ginjal Diabetes melitus Amiloidosis Lupus eritematosus sistemik Ingesti obat (emas, penisilin, dan "heroin jalanan") Keganasan (karsinoma, melanoma) Lain-lain (alergi sengatan lebah, nefritis herediter) *Perkiraan prevalensi penyakit primer mencakup 95% pada orang dewasa dan pada anak-anak, 60% dari orang dewasa. Perkiraan prevalensi penyakit sistemik adalah 5% pada kasus anak-anak, 40% pada orang dewasa. HIV, human immunodeficiency virus.



Di bawah mikroskop cahaya, glomerulus tampak normal, sehingga dinamai sebagai "penyakit perubahan minimal glomerulus" (Gambar 13-4, A). Sel-sel pada tubulus proksimal seringkali mengandungi banyak endapan butir-kecil (droplet) protein dan lemak, namun hal tersebut terjadi sekunder akibat reabsorpsi tubulus terhadap lipoprotein yang melewati glomerulus yang sakit. Bahkan di bawah mikroskop elektron, GBM tampak normal. Satu-satunya abnormalitas glomerulus yang jelas adalah pemendekan/penipisan prosesus-kaki podosit yang seragam dan difus (Gambar 13-6, B). Sitoplasma podosit tampak gepeng/ mendatar pada aspek eksterna GBM, melenyapkan jaringan yang berkeluk-keluk antara podosit dan GBM. Ditemukan pula vakuolisasi sel epitel, pembentukan mikrovili, kadang-kadang podosit terlepas dari GBM, menggambarkan jejas podosit ringan. Dengan pemulihan perubahan-perubahan tersebut pada podosit (misalnya, sebagai respons terhadap kortikosteroid), proteinuria berkurang.



Perjalanan Klinis



Penyakit ini bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik yang terjadi perlahan pada anak yang sehat. Tidak ada hipertensi, dan fungsi ginjal masih baik pada sebagian besar penderita ini. Protein yang hilang biasanya terbatas pada protein plasma dengan ukuran kecil,



Penyakit Glomerulus



A Podosit dengan prosesuskaki yang memendek/ menipis



525



FSGS dapat bersifat primer (idiopatik) atau sekunder terhadap salah satu kondisi berikut: • Berkaitan dengan kondisi lain, seperti infeksi HIV (nefropati HIV) atau penggunaan salah heroin (nefropati heroin) • Sebagai kejadian sekunder dari bentuk GN yang lain (misalnya, nefropati IgA) • Akibat adaptasi yang salah (maladaptasi) terhadap kehilangan nefron (seperti dijelaskan sebelumnya) • Pada bentuk herediter atau kongenital. Bentuk dominan autosomal berkaitan dengan mutasi pada protein sitoskeleton dan podosin, yang keduanya dibutuhkan untuk integritas podosit. Selain itu, berbagai varian gen apolipo-protein L1 (APOL1) pada kromosom 22 tampaknya memiliki asosiasi kuat dengan peningkatan risiko FSGS dan gagal ginjal pada individu keturunan Afrika. FSGS primer mencakup sekitar 20% sampai 30% semua kasus dengan sindrom nefrotik. Penyakit ini merupakan penyakit yang saat ini semakin sering menyebabkan sindrom nefrotik pada orang dewasa dan masih menjadi penyebab yang sering pada anak.



PATOGENESIS



Membran basal normal



B Gambar 13-6 Penyakit perubahan minimal (minimal-change disease). A, Di bawah mikroskop cahaya, glomerulus yang dipulas dengan pulasan perak (silver methenamine) tampak normal, disertai membran basal yang lembut. B, Diagram skematik yang mengilustrasikan pemendekan/penipisan



terutama albumin (proteinuria selektif). Prognosis pada anak-anak dengan penyakit ini baik. Lebih dari 90% anak memberikan respons yang baik terhadap terapi kortikosteroid jangka pendek; namun, proteinuria dapat berulang pada lebih dari duapertiga pasien dengan respons baik, dan sebagian akan bergantung kepada steroid. Kurang dari 5% menderita penyakit ginjal kronik setelah 25 tahun, dan kemungkinan bahwa sebagian orang pada kelompok yang menjadi kronik ini menderita sindrom nefrotik yang disebabkan oleh glomerulosklerosis fokal segmental/focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) yang tidak ditemukan dengan biopsi. Karena respons terhadap terapi yang baik pada anak, penyakit perubahan minimal harus dibedakan dari penyebab lain sindrom nefrotik pada penderita yang tidak responsif. Orang dewasa dengan penyakit ini juga memiliki respons terhadap terapi steroid, namun respons tersebut lambat dan kekambuhan lebih lazim terjadi.



Glomerulosklerosis Fokal Segmental Glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS) ditandai secara histologis oleh sklerosis yang mengenai sebagian namun tidak semua glomerulus (keterlibatan fokal) dan melibatkan hanya satu atau beberapa segmen dari setiap glomerulus yang terkena (keterlibatan segmental). Gambaran histologis seringkali berhubungan dengan sindrom nefrotik.



Patogenesis FSGS̀ primer tidak diketahui. Beberapa peneliti telah memperkirakan baha FSGS dan penyakit perubahan minimal adalah suatu penyakit yang kontinuum dan penyakit perubahan minimal dapat bertransformasi menaji FSGS. Peneliti lain percaya bahwa kedua penyakit tersebut merupakan entitas yang berbeda secara klinikopatologis dari seak awal. Pada semua kasus jejas terhadap podosit diperkirakan mewakili kejadian yang memulai terjadinya FSGS primer. Mirip dengan penyakit perubahan minimal diperkirakan terdapat faktor yang meningkatkan permeabilitas yang diproduksi oleh limfosit. Endapan massa hialin di glomerulus menunjukkan terperangkapnya protein dan lipid plasma pada fokus-fokus jejas tempat terbentuknya sklerosis. IgM dan protein komplemen lazim terlihat pada lesi, juga dianggap sebagai akibat pemerangkapan nonspesifik pada glomerulus yang rusak. Kekambuhan proteinuria dan FSGS penyerta pada transplantasi, mendukung ide bahwa mediator yang beredar dalah penyebab kerusakan podosit pada bebrapa kasus.



MORFOLOGI Pada FSGS, penyakit ini pertama-kali mempengaruhi hanya beberapa glomerulus (sesuai dengan istilah fokal) dan pada kasus SGS primer permulaan hanya teradi pada glomerulus juxta-meduler (yang berdekatan dengan medula) Dengan perkembangan penyakit, akhirnya, semua tingkat dari korteks terjangkiti. Pada pemeriksaan histologis. FSGS ditandai oleh lesi yang teraji pada beberapa gelung di dalam glomerulus, dan yang lain tidak terjangkiti (sesuai dengan istilah segmental) Dengan demikian jangkitan penyakit bersifat baik fokal maupun segmental (Gambar 13-7). Glomeruli yang terkena menunjukkan matriks mesangial yang meningkat, lumen kapiler mengalami obliterasi, dan pengendapan massa hialin (hialinosis) dan butir-butir kecil lipid. Pada glomeruli yang terkena pemeriksaan dengan mikroskop imunofluoresensi seringkali menunjukkan terperangkapnya imunoglobulin nonspesifik, biasanya IgM, dan



526



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul Pada sisanya (nefropati membranosa sekunder), terjadi secara sekunder terhadap penyakit lain, termasuk: • • • • •



Infeksi (hepatitis B kronik, sifilis, skistosomiasis, malaria) Tumor ganas, terutama karsinoma paru dan kolon, dan melanoma Lupus eritematosus sistemik dan kelainan autoimun lain Pajanan terhadap garam anorganik (emas, merkuri) Obat-obatan (penisilamin, kaptopril, obat anti-inflamasi nonsteroid)



PATOGENESIS



Gambar 13-7 Pada pembesaran tinggi,tampilan glomerulosklerosis fokal dan segmental (pulasan periodic acid-Schiff), terlihat sebagai massa fibrosis, lumen kapiler mengalami obliterasi, disertai akumulasi materi matriks yang telah menggantikan sebagian dari glomerulus. (Atas budi bask Dr. H. Rennke, Department o( Pathology, Bngham and Women's Hospitat Boston, Massachusetts.)



komplemen pada area hialinosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, podosit menunjukkan pemendekan/ penipisan prosesus, seperti pada penyakit perubahan minimal. Dengan perjalanan waktu, perkembangan penyakit mengakibatkan sklerosis global dari glomerulus dengan atrofia tubuler dan fibrosis interstisialis yang mencolok. Gambaran penyakit yang bersifat lanjut ini sulit untuk dibedakan dari bentuk lain penyakit glomerulus kronik, yang akan dijelaskan kemudian. Varian morfologik yang disebut glomerulopati dengan reaksikolaps saat ini mulai banyak dilaporkan. Penyakit ini ditandai oleh reaksi kolaps gelung glomerulus dan hiperplasia podosit. Kondisi ini merupakan manifestasi FSGS yang lebih berat dan mungkin idiopatik atau berhubungan denga infeksi HIV, toksisitas akibat obat, dan beberapa jejas mikrovaskular. Varian ini memiliki prognosis yang buruk.



Perjalanan Klinis Pada anak-anak, penting untuk dibedakan FSGS sebagai penyebab sindrom nefrotik dari penyakit kelainan minimal, karena perjalanan klinisnya sangat berbeda. Insidensi hematuria dan hipertensi lebih tinggi pada orang dengan FSGS daripada penderita dengan penyakit perubahan minimal; proteinuria yang berkaitan dengan FSGS bersifat nonselektif; dan secara umum, respons terhadap terapi kortikosteroid buruk. Paling sedikit 50% penderita dengan FSGS mengalami penyakit ginjal stadium akhir dalam waktu 10 tahun setelah diagnosis. Orang dewasa biasanya mengalami keadaan yang tidak menguntungkan bahkan lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak.



Nefropati Membranosa Nefropati membranosa adalah penyakit yang progresif pelan, paling sering pada usia 30 sampai 60 tahun. Penyakit ini ditandai secara morfologik oleh adanya endapan subepitelial yang mengandungi imunoglobulin di sepanjang GBM. Pada awal penyakit, glomerulus dapat tampak normal pada mikroskopi cahaya, namun kasus yang telah bermanifestasi sempurna menunjukkan penebalan difus dinding pembuluh kapiler. Pada sekitar 85% kasus, nefropati membranosa disebabkan oleh autoantibodi yang mempunyai reaksi silang dengan antigen yang dipaparkan oleh podosit.



Nefropati membranosa adalah salah satu tipe glomerulonefritis kompleks imun yang kronik yang diinduksi oleh antibodi yang menyebabkan reaksi secara in situ terhadap antigen glomerulus endogen atau yang tertanam. Antigen podosit endogen, reseptor fosfolipase adalah antigen yang paling sering dikenal oleh autoantibodi penyebab. Model eksperimental nefropati membranosa adalah nefritis Heymann, yang diinduksi pada hewan dengan imunisasi protein brush border tubulus ginjal yang juga terdapat pada podosit. Antibodi yang diproduksi bereaksi dengan antigen yang terletak di dinding kapiler glomerulus, mengakibatkan endapan granuler (pembentukan kompleks imun in situ) dan proteinuria tanpa inflamasi berat. Aspek penyakit yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kompleks antigen-antibodi dapat menyebabkan kerusakan kapiler pada keadaan tanpa sel-sel radang. Jawaban yang mungkin adalah melalui aktivasi komplemen, yang biasanya terdapat pada lesi-lesi nefropati membranosa. Suatu hipotesis menyatakan bahwa aktivasi komplemen mengakibatkan perakitan kompleks serangan membran (membrane attack complex) C5b-C9, yang merusak sel mesangial dan podosit secara langsung, disertai rangkaian peristiwa yang menyebabkan kehilangan integritas penapis celah dan proteinuria.



MORPOLOGI Secara histologi, gambaran utama nefropati membranosa adalah penebalan difus dinding pembuluh kapiler (Gambar 13-8, A). Mikroskop elektron menunjukkan bahwa penebalan ini sebagian disebabkan oleh endapan subepitel, yang melekat pada GBM dan terpisah satu sama lain oleh tonjolan matriks GBM berukuran kecil mirip duri (spike) yang terbentuk sebagai reaksi terhadap endapan tersebut (pola spike and dome) (Gambar 13-8, B). Ketika penyakit berlanjut, spike ini menyelubungi endapan dan menyatukan endapan tersebut ke dalam GBM. Di samping itu, seperti juga penyebab sindrom nefrotik, podosit tersebut menunjukkan pemendekan/penipisan prosesus-kaki podosit. Selanjutnya, deposit yang terletak di dalam GBM tersebut dapat dipecah dan akhirnya menghilang, meninggalkan rongga-rongga di dalam GBM. Pengendapan terus menerus pada matriks membran basal mengakibatkan penebalan progresif dari membran basal. Dengan perkembangan penyakit lebih lanjut, glomerulus dapat menjadi sklerotik. Mikroskop imunofluoresensi menunjukkan deposit granuler yang khas dari imunoglobulin dan komplemen di sepanjang GBM (Gambar 13-4,A).



Penyakit Glomerulus



527



Glomerulonefritis Membranoproliferatif dan Penyakit Endapan Padat GN membranoproliferatif (MPGN) bermanifestasi secara histologis sebagai perubahan pada GBM dan mesangium dan melalui proliferasi sel glomerulus. Penyakit ini mencakup 5% sampai 10% kasus sindrom nefrotik idiopatik pada anak-anak dan orang dewasa. Beberapa penderita tampil hanya dengan hematuria atau proteinuria di luar/ di antara rentang non-nefrotik; penderita lain menunjukkan kombinasi gambaran nefrotik dan nefritik. Dua tipe utama MPGN (I dan II) telah dikenal berdasarkan temuan ultrastruktur, immunofluoresensi, mikroskopik, dan patogenik yang khas, namun saat ini telah dikenal sebagai entitas yang berbeda, yang disebut MPGN tipe I dan penyakit endapan padat (dense deposit disease) (sebelumnya MPGN tipe II). Dari kedua tipe ini, MPGN tipe I jauh lebih lazim (sekitar 80% kasus). endapan padat (dense deposit disease) (sebelumnya MPGN tipe II). Dari kedua tipe ini, MPGN tipe I jauh lebih lazim (sekitar 80% kasus).



A Podosit dengan prosesuskaki yang memendek/ menipis



Membran basal yang menebal



Endapan subepitelial



B



"Spike" (tonjolan)



Gambar 13-8 Nefropati membranosa. A, Penebalan difus membran basal glomerulus (pulasan periodic acid-Schiff). B, Diagram skematik yang mengilustrasikan endapan subepitelial, pemendekan/ penipisan prosesuskaki, serta ditemukannya spike (tonjolan) materi membran basal di antara endapan imun.



Perjalanan Klinis Sebagian besar kasus nefropati membranosa tampil dengan gambaran sindrom nefrotik yang berkembang lengkap (full-blown), biasanya tanpa penyakit yang mendahului; beberapa individu mungkin memiliki derajat proteinuria yang lebih rendah. Berlawanan dengan penyakit perubahan-minimal, proteinuria bersifat nonselektif, disertai kehilangan protein dari globulin hingga molekul albumin yang berukuran lebih kecil ke dalam urin, dan biasanya tidak menunjukkan reaksi terhadap terapi kortikosteroid. Penyebab sekunder nefropati membranosa harus disingkirkan. Nefropati membranosa memiliki perjalanan penyakit yang dikenal sangat bervariasi dan seringkali bersifat indolen. Secara keseluruhan, meskipun proteinuria menetap pada lebih dari 60% penderita dengan nefropati membranosa, hanya sekitar 40% mengalami penyakit progresif yang mengakibatkan gagal ginjal setelah 2 hingga 20 tahun. Sekitar 10% hingga 30% yang lain memiliki perjalanan penyakit yang jinak disertai remisi parsial dan total dari proteinuria.



PATOGENESIS Beberapa mekanisme patogenik yang berbeda terlibat dalam perkembangan MPGN dan dense deposit disease. • Beberapa kasus MPGN tipe I dapat disebabkan oleh kompleks imun yang beredar, mirip dengan serum sickness kronik, atau mungkin disebabkan oleh antigen yang tertanam dan diikuti oleh pembentukan kompleks imun in situ. Pada masing-masing kasus, antigen pemicu tidak diketahui. MPGN tipe I juga terjadi berkaitan dengan antigenemia hepatitis B dan C, lupus eritematosus sistemik saluran pengalih aliran (shunt) atrioentrikel yang terinfeksi, dan infeksi ekstrarenal disertai antigenemia persisten atau episodik. • Patogenesis dense deposit disease lebih tidak jelas. Abnormalitas mendasar pada dense deposit disease agaknyà merupakan aktivasi komplemen yang berlebihan. Beberapa penderita memiliki autoantibodi terhadap C3 konvertase, yaitu faktor nefritik C3, yang diperkirakan akan menstabilisasi enzim tersebut dan mengakibatkan pemecahan C3 yang tidak terkendali dan aktivasi jalur alternatif komplemen. Mutasi pada gen yang menyandi protein yang berperan untuk regulasi komplemen faktor H atau autoantibodi terhadap faktor H telah ditemukan pada beberapa pasien. Abnormalitas ini mengakibatkan aktivasi komplemen yang berlebihan. Hipokomplementemia, lebih nyata pada dense deposit disease, dihasilkan sebagian akibat konsumsi C3 berlebihan dan juga berkurangnya sintesis C3 oleh hati. Masih belum diketahui bagaimana abnormalitas komplemen menginduksi perubahan pada glomerulus.



MORFOLOGI Dengan mikroskop cahaya, MPGN tipe I dan banyak kasus dense deposit disease memiliki kemiripan. Glomerulus berukuran besar, dengan gambaran hiperlobulasi yang menonjol dan menunjukkan proliferasi sel mesangial dan endotel juga disertai sebukan leukosit (Gambar 13-9, A). menebal dan dinding kapiler glomerulus sering menunjukkan gambaran alur berlapis dua (double contour), atau "rel kereta/tram track", yang terlihat jelas dengan pewarnaan perak atau periodic acid-Schiff (PAS). "Pemecahan menjadi dua alur" dari GBM ini disebabkan oleh perluasan prosesus sel mesangium dan sel radang ke dalam relung pembuluh kapiler perifer dan pengendapan matriks mesangium (Gambar 13-9, B).



528



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul MPGN tipe I Prosesus sel mesangial yang menyelip (di antara endotel dan membran basal)



Endapan subendotel



A Endapan intra-membran Penyakit Endapan Padat (Dense deposit disease)



B Gambar 13-9 A, Glomerulonefritis membranoproliferatif/membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN), menunjukkan proliferasi sel mesangial, penebalan membran basal , infiltrasi leukosit, dan aksentuasi arsitektur lobular. B, Gambaran skematik pola dari kedua tipe MPGN. Pada tipe I ditemukan endapan subendotel; pada tipe II, sekarang disebut penyakit endapan padat (dense deposit disease), endapan padat yang khas intramembran ditemukan. Pada kedua tipe, interposisi mesangial memberikan gambaran membran basal yang terpisah ketika dilihat pada mikroskop cahaya.



MPGN tipe I ditandai oleh endapan ang padat elektron (eletron-dense) yang terletak subendotel (Gambar 13-9, B). Dengan mikroskop imunofluoresensi, C3 diendapkan dengan pola granuler yang ireguler, dan IgG serta komponen awal dari komplemen (C1q dan C4) seringkali juga ditemukan, sebagai petanda patogenesis berdasarkan kompleks imun. Sebaliknya, pada yang secara tepat dinamakan penyakit endapan padat (dense deposit disease), lamina densa dan rongga subendotel pada GBM berubah menjadi struktur yang ireguler, mirip pita, dan sangat padat-elektron, yang terjadi akibat endapan materi dengan komposisi tidak diketahui. C3 ditemukan pada fokus yang iregular, dan linear segmental pada membran basal dan mesangium. IgG dan komponen awal jalur komplemen klasik (C1q dan C4) biasanya tidak ditemukan.



Perjalanan Klinis Manifestasi klinis utama (pada sekitar 50% kasus) adalah sindrom nefrotik, meskipun MPGN atau penyakit endapan padat (dense deposit disease) dapat berawal sebagai nefritis akut atau proteinuria ringan. Prognosis MPGN tipe I umumnya buruk, Pada suatu penelitian, tidak satupun dari 60 penderita yang diikuti selama 1 hingga 20 tahun yang menunjukkan remisi sempurna. Empatpuluh persen berlanjut menjadi kegagalan ginjal stadium akhir, 30% memiliki berbagai derajat insufisiensi ginjal, dan 30% sisanya memiliki sindrom nefrotik persisten tanpa kegagalan ginjal. Penyakit endapan padat memberikan



prognosis yang lebih buruk, dan cenderung berulang lebih sering pada resipien transplan ginjal. MPGN tipe I dapat terjadi bersamaan dengan kelainan yang lain (MPGN sekunder), misalnya lupus eritematosus sistemik, hepatitis B dan C, penyakit ginjal kronik, dan infeksi bakteri kronik. Memang, banyak penyakit yang disebut kasus idiopatik dipercayai berkaitan dengan hepatitis C dan kryoglobulinemia.



RINGKASAN Sindrom Nefrotik •



Sindrom nefrotik ditandai oleh proteinuria, yang mengakibatkan hipoalbuminemia dan edema.







Jejas podosit merupakan mekanisme yang mendasari proteinuria, dan mungkin merupakan akibat dari penyebabpenyebab non-imun (seperti penyakit perubahan minimal dan FSGS) atau mekanisme imun (seperti nefropati membranosa).







Penyakit perubahan minimal adalah penyebab tersering sindrom nefrotik pada anak-anak: penyakit ini bermanifestasi sebagai proteinuria dan pemendekan/ penipisan prosesus podosit glomerulus tanpa ditemukan endapan antibodi; patogenesis belum diketahui; penyakit tersebut menunjukkan reaksi baik terhadap terapi steroid.







FSGS mungkin bersifat primer (jejas podosit akibat mekanisme yang belum diketahui) atau sekunder (misalnya, sebagai akibat glomerulonefritis sebelumnya, hipertensi, atau infeksi, misalnya pada HIV); glomerulus menunjukkan obliterasi lumen kapiler fokal dan segmental, serta hilangnya prosesus podosit; penyakit ini seringkali resisten terhadap terapi dan dapat berlanjut menjadi penyakit ginjal stadium-akhir.



Penyakit Glomerulus •







Nefropati membranosa disebabkan oleh reaksi autoimun, yang paling sering ditujukan terhadap reseptor fosfolipase A2 pada podosit; penyakit ini ditandai oleh endapan antibodi berbentuk granuler di subepitelial disertai penebalan GBM dan hilangnya prosesus podosit namun ditemukan hanya sedikit atau tanpa peradangan; penyakit ini seringkali resisten terhadap terapi steroid. MPGN dan penyakit endapan padat (dense deposit disease) saat ini dikenal sebagai entitas yang berbeda. MPGN disebabkan oleh endapan kompleks imun; penyakit endapan padat merupakan akibat dari disregulasi komplemen. Keduanya dapat tampil dengan perangai nefrotik dan/atau nefritik.



Sindrom Nefritik Sindrom nefritik adalah kompleks klinis, biasanya dengan awitan akut, yang ditandai oleh (1) hematuria disertai sel darah merah dismorfik, dan cast sel darah merah di urin; (2) oliguria dan azotemia sampai derajat tertentu; dan (3) hipertensi. Meskipun proteinuria dan bahkan edema juga dapat timbul, biasanya tidak seberat pada sindrom nefrotik. Lesi yang menyebabkan sindrom nefritik menunjukkan kesamaan dalam hal proliferasi sel di dalam glomerulus, seringkali disertai sebukan sel radang. Reaksi radang ini menyebabkan jejas yang parah pada dinding kapiler, memungkinkan darah keluar pembuluh dan masuk ke dalam urin dan menginduksi perubahan hemodinamik yang mengakibatkan penurunan GFR. Penurunan GFR ini secara klinis berwujud sebagai oliguria, retensi cairan, dan azotemia. Hipertensi mungkin merupakan akibat dari retensi cairan dan sedikit peningkatan pelepasan renin dari ginjal yang iskemik. Sindrom nefritis akut dapat terjadi akibat gangguan sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, atau dapat bersifat sekunder terhadap penyakit glomerulus primer. Contoh penyakit glomerulus yang dapat mengenai tubulus di antaranya adalah GN akut pascainfeksi



529



PATOGENESIS GN pasca-streptokokus adalah penyakit kompleks imun disertai jejas jaringan yang terutama disebabkan oleh aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Perangai khas penyakit kompleks imun, seperti hipokomplementemia dan endapan yang bersifat granuler dari IgG dan komplemen pada GBM dapat ditemukan. Antigen yang relevan mungkin merupakan protein yang berasal dari streptokokus. Antigen spesifik yang berperan dalam patogenesis penyakit ini termasuk eksotoksin B (Spe B) dari streptokokus dan GAPDH dari streptokokus. Keduanya mengaktivasi jalur komplemen alternatif dan memiliki afinitas terhadap protein glomerulus dan plasmin. Tidak jelas apakah kompleks imun terbentuk terutama di dalam sirkulasi atau in situ (antibodi berikatan dengan antigen bakteri yang"tertanam"pada GBM).



MORFOLOGI Dengan mikroskop cahaya, perubahan yang paling khas pada GN pasca-infeksi adalah peningkatan seluleritas gelung glomerulus yang mengenai hampir semua glomeruli sehingga disebut difus (Gambar 13-1, A). Seluleritas yang meningkat ini disebabkan oleh proliferasi dan pembengkakan sel endotel dan mesangium dan oleh sebukan neutrofil dan monosit. Kadang-kadang terdapat nekrosis pada dinding kapiler. Pada beberapa kasus, bagunan "bulan sabit/crescent" (dijelaskan kemudian) dapat ditemukan di dalam rongga urin, yang dibentuk sebagai reaksi terhadap jejas radang yang parah. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron menunjukkan kompleks imun yang mengendap tersusun pada daerah subendotel, intramembranosa, atau, sering, tonjolan membulat semacam punuk (hump) subepitel yang terkurung pada GBM (Gambar 13-1, B). Endapan pada mesangium kadangkadang juga ditemukan. Penelitian imunofluoresensi menunjukkan endapan granuler IgG dan komplemen di dalam dinding pembuluh kapiler dan beberapa daerah mesangium, sesuai dengan endapan yang terlihat pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Endapan-endapan ini biasanya menghilang dalam waktu 2 bulan.



Glomerulus Akut Pascainfeksi (Jenis Pasca-Streptokokus) GN akut pascainfeksi, salah satu dari kelainan glomerulus yang paling sering terjadi, disebabkan oleh pengendapan kompleks imun pada glomerulus yang mengakibatkan proliferasi sel glomerulus dan kerusakan terhadap sel glomerulus serta sebukan leukosit, terutama neutrofil. Antigen yang menyebabkan kejadian tersebut mungkin bersifat eksogen maupun endogen. Pola eksogen yang merupakan prototip terlihat pada GN jenis pasca-streptokokus. Infeksi oleh organisme lain di samping streptokokkus juga dapat berkaitan dengan GN pasca-infeksi. Hal ini mencakup beberapa infeksi pneumokokus dan stafilokokus tertentu, demikian juga beberapa penyakit virus yang lazim seperti parotitis epidemika, varicella, cacar air, dan hepatitis B dan C. Antigen endogen, misalnya pada lupus eritematosus sistemik, juga dapat menyebabkan GN proliferatif namun lebih lazim mengakibatkan nefropati membranosa (lihat sebelumnya) tanpa ditemukan sebukan neutrofil yang khas untuk GN pasca-infeksi. Kasus GN jenis pasca-streptokokus klasik ditemukan pada anakanak 1 hingga 4 minggu setelah sembuh dari infeksi streptokokus grup A. Hanya galur streptokokus beta hemolitik yang "nefritogenik" yang memicu penyakit glomerulus. Pada sebagian besar kasus, infeksi awal terbatas pada faring atau kulit.



Perjalanan Klinis Awitan penyakit ginjal cenderung mendadak, ditandai oleh malaise, agak demam, mual, dan sindrom nefritik. Pada kasus biasa, oliguria, azotemia, dan hipertensi terjadi dalam derajat ringan hingga sedang. Yang khas, ditemukan hematuria makroskopik, urin keruh kecokelatan bukan merah cerah. Proteinuria hingga derajat tertentu merupakan perangai yang selalu ditemukan pada penyakit ini, dan seperti telah disebutkan sebelumnya, kadang-kadang dapat cukup berat untuk mengakibatkan sindrom nefrotik. Kadar komplemen serum rendah selama fase aktif penyakit, dan titer antibodi anti-streptolisin O pada serum (ASTO) meningkat pada kasus-kasus pasca-streptokokus. Penyembuhan terjadi pada sebagian besar anak pada kasus-kasus epidemik. Beberapa anak mengalami GN yang progresif cepat (RPGN) akibat jejas yang sangat berat disertai pembentukan kresens/ crescents, atau penyakit ginjal kronik akibat fibrosis sekunder. Prognosis pada kasus-kasus sporadik kurang jelas. Pada orang dewasa, 15% hingga 50% pasien mengalami penyakit ginjal stadium akhir setelah beberapa tahun atau 1 hingga 2 dekade, bergantung kepada tingkat keparahan klinis dan histologis. Sebaliknya, pada anak-anak, prevalensi kronisitas setelah penyakit sporadik dari GN akut pascainfeksi jauh lebih rendah.



530



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



A



B



Gambar 13-10 Glomerulonefritis pasca—streptokokus. A, Hiperseluleritas glomerulus disebabkan oleh leukosit intrakapiler dan proliferasi sel-sel intrinsik glomerulus. Perhatikan bahwa terdapat cast sel darah merah di dalam tubulus. B, "Hump/tonjolan-membulat" (tanda panah) subepitel padat elektron dan endapan intramembran yang khas. BM, membran basal; CL, lumen kapiler; E, sel endotel; Ep, sel epitel viseral (podosit).



Nefropati IgA Kondisi ini biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda dan berawal sebagai episode hematuria makroskopik yang terjadi dalam waktu 1 hingga 2 hari dari infeksi saluran napas bagian atas yang nonspesifik. Secara khas, hematuria berlangsung selama beberapa hari kemudian berkurang, hanya kambuh setiap beberapa bulan. Kondisi ini dapat berkaitan dengan nyeri lokal. Nefropati IgA adalah salah satu penyebab paling lazim dari hematuria mikroskopik atau makroskopik rekuren dan merupakan penyakit glomerulus paling lazim yang ditemukan melalui biopsi ginjal di seluruh dunia. Penanda khas penyakit ini adalah endapan IgA pada mesangium. Beberapa peneliti telah mempertimbangkan bahwa nefropati IgA adalah varian yang bersifat terbatas dari Henoch-SchMlein purpura, yang juga ditandai oleh pengendapan IgA pada mesangium. Berlawanan dengan nefropati IgA, yang murni merupakan kelainan ginjal, Henoch-SchOnlein purpura adalah sindrom sistemik yang melibatkan kulit (ruam keunguan), saluran cerna (nyeri abdomen), sendi-sendi (artritis), dan ginjal.



pada mesangial mungkin disebabkan oleh terperangkapnya kompleks imun IgA, sedangkan tidak ditemukannya C I q serta C4 pada glomerulus menunjukkan aktivasi jalur komplemen alternatif. Sebagai rangkuman, semua bukti ini memberikan gagasan bahwa pada individu-individu yang memiliki kerentanan genetik, pajanan saluran napas atau saluran cerna terhadap antigen mikroba atau yang lain (misalnya, virus, bakteri, protein makanan) dapat mengakibatkan peningkatan sintesis IgA, yang sebagian mengalami glikosilasi abnormal, dan pengendapan IgA dan kompleks imun yang mengandungi IgA pada mesangium, tempat mereka mengaktivasi jalur komplemen alternatif dan memulai jejas glomerulus. Sebagai dukungan terhadap skenario ini, nefropati IgA terjadi dengan peningkatan frekuensi pada individuindividu dengan penyakit seliak (celiac disease), yaitu mereka yang memiliki cacat mukosa usus, dan pada penyakit hati, yang mengalami cacat pada pembersihan kompleks IgA melalui saluran hepatobiliaris (nefropati IgA sekunder).



PATOGENESIS Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa nefropati IgA ber- ̀ hubungan dengan abnormalitas produksi dan pembersihan IgA, demikian juga antibodi terhadap IgA yang mengalami glikosilasi abnormal. IgA imunoglobulin utama dalam sekret mukosa, meningkat pada 50% penderita dengan nefropati IgA akibat peningkatan produksi subtipe IgA I oleh sel plasma di dalam sumsum tulang. Di samping itu, kompleks imun yang mengandungi IgA yang beredar dapat ditemukan pada beberapa kasus. Kemungkinan terdapat pengaruh genetik diperkirakan oleh terjadinya kondisi ini pada anggota keluarga dan saudarakandung dengan HLA yang identik,dan peningkatan frekuensi genotip HLA dan komplemen tertentu pada beberapa populasi. Beberapa penelitian juga mendukung kemungkinan abnormalitas pada glikosilasi imunoglobulin IgA I yang mengurangi pembersihan plasma dan mengakibatkan pengendapan pada mesangium. IgA I yang abnormal ini juga dapat menimbulkan antibodi IgG yang spesifik terhadap glikan. Pengendapan IgA yang menonjol



MORPOLOGI Secara histologis, lesi pada nefropati IgA cukup bervariasi. Glomerulus dapat normal atau dapat menunjukkan pelebaran mesangial dan peradangan segmental yang terbatas pada beberapa glomerulus (GN proliferatif fokal); proliferasi mesangial difus (GN mesangioproliferatif); atau (jarang sekali) GN kresentik yang nyata. Gambaran imunofluoresensi yang khas adalah pengendapan IgA di mesangium, seringkali dengan C3 dan properdin dan sejumlah kecil IgG dan IgM (Gambar 13-11). Komponen awal jalur komplemen klasik biasanya tidak ditemukan. Pemeriksaan dengan mikrosop elektron memperkuat adanya endapan padat elektron pada mesangium. Endapan ini dapat meluas ke area subendotel pada dindang pembuluh kapiler di dekatnya pada sebagian kecil kasus, biasanya pada individu dengan proliferasi fokal. Temuan biopsi dapat membantu memprediksi apakah progresi atau respons terhadap intervensi yang akan terjadi.



Penyakit Glomerulus



531



Seiring dengan perkembangan penyakit, peningkatan glomerulosklerosis, sklerosis pembuluh darah, atrofia tubuler, dan fibrosis interstisium merupakan perubahan yang khas. Di bawah mikroskop elektron, membran basal glomerulus tipis dan melemah di awal penyakit. Pada tahap lanjut, GBM menunjukkan fokus-fokus ireguler berupa penebalan atau penipisan disertai terbelahnya GBM dengan sangat nyata serta laminasi/ berlapisnya lamina densa, menunjukkan penampilan "anyaman keranjang/basketweave".



Perjalanan Klinis



Gambar 13-11 Nefropati IgA. Pengendapan IgA yang khas pada pemeriksaan imunofluoresensi, terutama ditemukan di regio mesangial, dapat ditemui pada gambar ini. IgA, imunoglobulin A.



Perjalanan Klinis Penyakit ini paling sering mengenai anak-anak dan orang dewasa muda. Lebih dari separuh pasien dengan nefropati IgA datang dengan hematuria makroskopik pasca infeksi saluran napas atau, lebih jarang, saluran cerna atau saluran kemih; 30% hingga 40% hanya mengalami hematuria mikroskopik, dengan atau tanpa proteinuria, dan 5% hingga 10% mengalami sindrom nefritik akut yang khas. Hematuria biasanya berlangsung selama beberapa hari kemudian menjadi lebih ringan, hanya kambuh setiap beberapa bulan. Perjalanan penyakit selanjutnya sangat bervariasi. Banyak penderita mempertahankan fungsi ginjal normal selama beberapa dekade. Penyakit dapat berkembang secara perlahan menjadi kegagalan ginjal kronik pada 25% hingga 50% kasus dalam jangka waktu 20 tahun. Temuan pada biopsi ginjal dapat membantu menetapkan penderita dengan prognosis yang lebih buruk, yang ditunjukkan oleh proliferasi mesangial yang bersifat difus, sklerosis segmental, proliferasi endokapiler, atau fibrosis tubulointerstisial.



Nefritis Herediter Nefritis herediter mengacu pada sekelompok penyakit glomerulus yang disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi proteinprotein GBM. Entitas yang paling banyak diteliti adalah sindrom Alport, yaitu terjadinya nefritis disertai oleh tuli saraf dan berbagai kelainan mata, termasuk dislokasi lensa mata, katarak posterior, dan distrofia kornea.



PATOGENESIS GBM tersusun sebagian besar oleh kolagen tipe IV yang terdiri atas heterotrimer kolagen tipe IV α3, α4, dan α5. Bentuk kolagen tipe IV ini penting untuk fungsi normal lensa, kokhlea, dan glomerulus. Mutasi salah satu dari rantai α mengakibatkan cacat dalam perakitan heterotrimer, dan, akibatnya, timbul gejala-gejala penyakit dari sindrom Alport.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan histologis, glomerulus pada nefritis herediter agaknya tidak menunjukkan kelainan yang bermakna hingga menjelang akhir perjalanan penyakit, ketika mungkin terjadi sklerosis sekunder. Pada beberapa ginjal, sel-sel di interstisium menunjukkan gambaran sitoplasma berbuih sebagai akibat akumulasi lemak netral dan mukopolisakarida (sel buih) sebagai reaksi terhadap proteinuria yang berat.



Pewarisan penyakit ini heterogen, yang paling lazim adalah terkait kromosom-X (X-linked) sebagai akibat mutasi pada gen yang menyandi kolagen tipe IV α5. Oleh karena itu, pria cenderung lebih banyak terkena penyakit ini lebih berat dibandingkan dengan wanita, dan lebih rentan untuk mengalami kegagalan ginjal. Jarang sekali ditemukan, pewarisan berupa autosomal resesif atau dominan, yang terkait dengan cacat pada gen yang menyandi kolagen tipe IV α3 atau α4. Orang-orang dengan nefritis herediter datang dengan gejala hematuria makroskopik atau mikroskopik disertai proteinuria pada usia 5 hingga 20 tahun, dan kegagalan ginjal yang nyata terjadi pada usia antara 20 hingga 50 tahun. Wanita pembawa sifat (carrier) dari sindrom Alport terkait kromosom-X atau pembawa sifat dari bentuk autosom pada kedua jenis kelamin biasanya mengalami hematuria persisten, yang paling sering asimptomatik dan berhubungan dengan perjalanan klinis yang ringan/jinak. Pada penderita ini, spesimen biopsi hanya menunjukkan penipisan GBM.



RINGKASAN Sindrom Nefritik • Sindrom nefritik ditandai oleh hematuria, oliguria disertai azotemia, proteinuria, dan hipertensi. • Penyebab yang paling lazim adalah jejas glomerulus yang diperantarai oleh reaksi imunologi; lesi ditandai oleh perubahan proliferatif dan infiltrasi leukosit. • Glomerulonefritis akut pasca-infeksi biasanya terjadi setelah infeksi streptokokus pada anak-anak dan orang dewasa muda, namun dapat terjadi setelah mengalami infeksi oleh banyak organisme yang lain; penyakit ini disebabkan oleh endapan kompleks imun, terutama pada rongga subepitel, dengan banyak neutrofil dan proliferasi sel-sel glomerulus. Sebagian besar anak-anak yang terkena dapat sembuh; prognosis lebih buruk pada orang dewasa. • Nefropati IgA, ditandai oleh endapan kompleks imun yang mengandungi IgA pada mesangium, merupakan penyebab paling lazim dari sindrom nefritik di seluruh dunia; penyakit ini juga penyebab paling lazim dari hematuria yang berulang; penyakit ini umumnya mengenai anak-anak dan orang dewasa dan memiliki perjalanan penyakit yang sangat bervariasi. • Nefritis herediter (sindromAlport) disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi kolagen GBM; penyakit ini berwujud sebagai hematuria serta proteinuria yang berkembang secara perlahan-lahan dan penurunan fungsi ginjal; glomerulus tampak normal pada mikroskop cahaya hingga tahap lanjut perjalanan penyakit ini.



Glomerulonefritis Progresif Cepat Glomerulonefritis progresif cepat (RPGN) merupakan sindrom klinis dan bukan bentuk etiologik spesifik dari suatu GN. RPGN ditandai oleh kehilangan fungsi ginjal secara progresif,



532



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



temuan laboratorium khas untuk sindrom nefritik, dan seringkali disertai oliguria yang berat. Jika tidak diobati, kondisi ini akan mengakibatkan kematian karena kegagalan ginjal dalam jangka waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Temuan histologis yang khas berkaitan dengan RPGN adalah ditemukan gambaran bulan sabit/ kresen (GN kresentik/crescentic).



PATOGENESIS Glomerulonefritis kresentik dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, beberapa terbatas pada ginjal, yang lain bersifat sistemik. Meskipun tidak ada mekanisme tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus, hampir pasti bahwa pada sebagian besar kasus jejas glomerulus diperantarai oleh reaksi imunologi. Penyakit yang menyebabkan GN kresentik dapat berkaitan dengan suatu kelainan yang telah diketahui sebelumnya, atau mungkin bersifat idiopatik. Apabila penyebabnya dapat ditetapkan, sekitar 12% penderita mempunyai GN kresentik yang diperantarai oleh antibodi anti-GBM, dengan atau tanpa jangkitan pada paru; 44% menderita GN kompleks imun dengan kresens; dan 44% sisanya menderita GN kresentik tidak berdasarkan reaksi imunologi (pausi imun). Semua menderita jejas glomerulus yang parah.



Gambar 13-12 Glomerulonefritis (GN) kresentik (pulasan Jones silver methenamine). Perhatikan area nekrosis disertai ruptur relung pembuluh kapiler (tanda panah) dan destruksi struktur glomerulus yang normal, dan massa berbentuk bulan sabit (kresen/crescent) di dekatnya yang tersusun oleh sel-sel proliferatif dan leukosit mengisi rongga urin. Distribusi segmental GN nekrotikans dan kresentik merupakan gambaran khas GN kresentik yang berhubungan dengan ANCA (antineutrophil cytoplasmic antibody).



Glomerulonefritis Kresentik yang Diperantarai Antibodi Anti- Membran Basal Glomerulus



Glomerulonefritis Kresentik yang Diperantarai Kompleks Imun



GN kresentik diperantarai antibodi anti-GBM ditandai oleh endapan IgG yang bersifat linear dan, pada beberapa kasus, C3 pada GBM, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Pada beberapa penderita, antibodi anti-GBM juga berikatan dengan membran basal kapiler alveolus paru dan mengakibatkan gambaran klinis berupa perdarahan paru yang berhubungan dengan kegagalan ginjal. Penderita ini disebut mengidap sindrom Goodpasture, untuk membedakan kondisi mereka dari kasus-kasus idiopatik, yang disertai jangkitan pada ginjal tanpa disertai penyakit paru. Antibodi anti-GBM ditemukan dalam serum dan dapat membantu diagnosis. Penting untuk mengenal GN kresentik yang diperantarai antibodi anti-GBM, karena penderita tersebut dapat tertolong dengan plasmaferesis, yang membuang antibodi patogenik dari sirkulasi.



Kresens dapat merupakan komplikasi dari semua jenis nefritis yang disebabkan kompleks imun, termasuk GN pasca-streptokokus, lupus eritematosus sistemik, nefropati IgA, dan purpura Henoch-Schijnlein. Pada beberapa kasus, kompleks imun dapat ditemukan namun penyebab yang mendasarinya tidak dapat ditentukan. Temuan yang konsisten pada bentuk GN ini, karena penyebab apa pun, adalah pola granuler ("Iumpy bumpy" penebalan permukaan yang tidak teratur seperti bergelombang) yang khas pada pewarnaan imunoglobulin atau komplemen di GBM dan/atau mesangium dengan teknik imunofluoresensi. Kelainan ini biasanya tidak responsif terhadap plasmaferesis.



MORFOLOGI Ginjal membesar dan pucat, seringkali disertai perdarahan petekie pada permukaan korteks. Glomerulus menunjukkan nekrosis segmental dan kerusakan GBM, yang mengakibatkan proliferasi sel epitel parietal sebagai reaksi terhadap eksudasi protein plasma dan endapan fibrin di rongga Bowman. Lesi-lesi khas proliferasi ini disebut bulan sabit/kresens sesuai dengan bentuknya ketika mengisi rongga Bowman. Kresens terbentuk oleh proliferasi sel parietal dan migrasi monosit makrofag ke rongga Bowman (Gambar 13-1). Sejumlah kecil tipe leukosit yang lain juga dapat ditemukan. Bagian glomerulus yang tidak terlibat tidak menunjukkan proliferasi. Pemeriksaan imunofluoresensi secara khas menunjukkan pewarnaan linear kuat endapan IgG dan C3 di sepanjang GBM (Gambar 13-4, B). Antibodi-antibodi ini secara khas mengenal kolagen tipe IV. Karena distribusi kolagen tipe IV yang difus di glomerulus, densitas kompleks antibodi: antigen tidak cukup tinggi agar dapat terlihat pada mikroskop elektron. Mikroskop elektron dapat menunjukkan ruptur GBM yang jelas. Kresens akhirnya menyebabkan obliterasi (menghilangnya) rongga Bowman dan menekan glomerulus. Dengan perjalanan waktu, kresens dapat mengalami fibrosis, dan menimbulkan glomerulosklerosis.



MORFOLOGI Terdapat jejas yang parah dalam bentuk nekrosis segmental dan putusnya GBM yang mengakibatkan pembentukan kresens, sebagaimana telah dijelaskan. Namun, berlawanan dengan GN kresentik yang berkaitan dengan antibodi anti-GBM, segmen glomerulus yang tanpa nekrosis menunjukkan bukti terdapat GN yang didasari kompleks imun (misalnya, proliferasi difus dan eksudasi leukosit pada GN pasca infeksi atau lupus eritematosus sistemik, proliferasi mesangial pada nefropati IgA atau purpura Henoch-Schnein). Pewarnaan imunofluoresensi menunjukkan penyakit kompleks imun dengan pola granuler yang khas, dan mikroskop elektron menunjukkan deposit yang nyata.



Glomerulonefritis Kresentik Pausi-Imun GN kresentik jenis pausi imun didefinisikan oleh tidak ditemukannya antibodi anti-GBM atau endapan kompleks imun yang signifikan yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan imunofluoresensi dan mikroskop elektron. Antibodi antineutrofil sitoplasma (antineutrophil cytoplasmic antibodies/ ANCA) biasanya ditemukan dalam serum, yang seperti telah dijelaskan pada Bab 9 memiliki peran etiopatogenik pada beberapa vaskulitis.



Penyakit-penyakit yang Mengenai Tubulus dan Interstisium Oleh karena itu, pada beberapa keadaan, GN kresentik adalah komponen vaskulitis sistemik seperti, poliangiitis mikroskopik atau granulomatosis Wegener. Walaupun demikian, pada banyak kasus, GN kresentik pausi imun terbatas pada ginjal, dan oleh karena itu disebut idiopatik.



MORFOLOGI Glomerulus menunjukkan nekrosis segmental dan kerusakan GBM yang mengakibatkan pembentukan kresens (lihat sebelumnya). Segmen glomerulus yang tidak terjangkiti tampak normal tanpa proliferasi ataupun influks sel radang yang mencolok. Berlawanan dengan penyakit antibodi anti-GBM, pemeriksaan imunofluoresensi untuk imunoglobulin dan komplemen negatif, atau hampir negatif, dan tidak ada endapan yang dapat terdeteksi pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron.



Perjalanan Klinis Awitan RPGN sangat mirip sindrom nefritik, kecuali bahwa terjadi oliguria dan azotemia yang lebih parah. Proteinuria kadang-kadang mendekati rentang derajat nefrotik mungkin terjadi. Sebagian individu yang terkena dapat mengalami anuria dan membutuhkan dialisis jangka panjang atau transplantasi. Prognosis secara kasar dapat berhubungan dengan fraksi glomerulus yang terlibat: pada pasien dengan kresens ditemukan kurang dari 80% glomerulus memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka dengan presentase kresens yang lebih tinggi. Pertukaran plasma dapat menguntungkan penderita dengan GN antibodi anti-GBM dan penyakit Goodpasture, demikian juga pada beberapa penderita dengan GN kresentik pausi-imun yang berhubungan dengan ANCA.



533



Nefritis Tubulointerstisialis Nefritis tubulointerstisialis/ tubulointerstitial nephritis (TIN) mengacu pada sekelompok radang ginjal yang terutama menjangkiti interstisium dan tubulus. Glomerulus dapat tidak terjangkiti sama sekali atau terkena hanya pada tahap lanjut penyakit. Pada sebagian besar kasus TIN yang disebabkan oleh infeksi bakteri, pelvis renalis terjangkiti secara menonjol sehingga digunakan istilah yang lebih deskriptif pielonefritis/pyelonephritis (dari pyelo, "pelvis"). Istilah nefritis interstisialis umumnya dicadangkan untuk kasus-kasus TIN yang asalnya non-bakterial. Hal ini mencakup jejas tubuler akibat obat-obatan, gangguan metabolit seperti hipokalemia, jejas fisis seperti radiasi, infeksi virus dan reaksi imun. Berdasarkan gambaran klinis dan karakteristik eksudat radang, TIN, tidak bergantung kepada faktor etiologi, dapat dibagi menjadi kategori akut dan kronik. Berikutnya akan dibahas pielonefritis akut, yang selalu disebabkan oleh bakteri, diikuti oleh pertimbangan tentang yang lain, bentuk nonbakteria dari nefritis interstisialis.



Pielonefritis Akut Pielonefritis akut, suatu radang supuratif yang lazim pada ginjal dan pelvis renalis disebabkan oleh infeksi bakteri. Penyakit ini merupakan manifestasi penting dari infeksi saluran kemih/urinary tract infection (UTI) yang dapat menjangkiti traktus urinarius bagian bawah (sistitis, prostatitis, uretritis) atau bagian atas (pielonefritis), atau keduanya. Sebagaimana dapat kita lihat, sebagian besar kasus mielonefritis berkaitan dengan infeksi saluran kemih bagian bawah. Infeksi yang demikian dapat menyerang lokal tanpa meluas dan melibatkan ginjal. UTI mencakup masalah klinis yang sangat lazim.



PATOGENESIS RINGKASAN Glomerulonefritis Progresif Cepat • •







RPGN merupakan entitas klinis dengan gambaran sindrom nefritik dan kehilangan fungsi ginjal dengan cepat. RPGN seringkali berkaitan dengan jejas glomerulus berat dan kerusakan GBM dan diikuti proliferasi epitel parietal (kresens). RPGN dapat diperantarai oleh reaksi imunologi, seperti apabila autoantibodi terhadap GBM terbentuk pada penyakit antibodi anti-GBM atau apabila kelainan timbul sebagai akibat pengendapan kompleks imun; di samping itu dapat juga bersifat pausi imun, yang berkaitan dengan antibodi antineutrofil sitoplama.



PENYAKIT-PENYAKIT YANG MENGENAI TUBULUS DAN INTERSTISIUM Sebagian besar bentuk dari jejas tubuler juga menjangkiti interstisium, sehingga keduanya dibahas bersama. Pada bagian ini, dibahas penyakit-penyakit yang ditandai oleh (1) jangkitan reaksi radang pada tubulus dan interstisium (nefritis interstisialis) atau (2) jejas tubuler iskemik atau toksik, yang mengakibatkan gambaran morfologik jejas tubuler akut acute tubuler injury dan sindrom klinis jejas ginjal akut/ acute kidney injury (AKI).



Organisme penebab utama pada pielonefritis akut adalah bakteri enterik berbentuk batang gram-negatif. Escherichia coli hingga saat ini merupakan yang paling lazim. Organisme penting lain adalah Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas; organisme yang biasanya berkaitan dengan infeksi rekuren, terutama pada orang-orang yang mengalami manipulasi saluran kemih atau memiliki anomali kongenital atau didapat pada saluran kemih bawah (lihat kemudian). Stafilokokus dan Streptococcus faecalis juga dapat menyebabkan pielonefritis, namun mereka merupakan patogen yang tidak lazim pada kondisi ini. Bakteri dapat mencapai ginjal dari saluran kemih bawah (infeksi asenden) atau melalui aliran darah (infeksi hematogen) (Gambar 13-13). Infeksi asenden dari saluran kemih bawah merupakan jalur yang paling penting dan umum yang dilalui bakteri untuk mencapai ginjal. Adhesi bakteri ke permukaan mukosa diikuti oleh kolonisasi pada uretra distal (dan pada introitus vagina pada perempuan).Sifat-sifat yang ditentukan secara genetik baik pada urotelium maupun pada bakteri patogen dapat mendukung adhesi ke permukaan urotelium melalui fimbriae bakteri (protein yang berikatan pada reseptor di permukaan sel urotelium), mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi. Organisme tersebut kemudian mencapai kandung kemih, melalui pertumbuhan ekspansif koloni dan dengan cara bergerak melawan aliran urin. Hal ini dapat terjadi pada instrumentasi uretra, termasuk pemasangan kateter dan sistoskopi.



534



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



INFEKSI HEMATOGEN Kuman-kuman yang lazim: Staphylococcus E. coli Bakteremia



Aorta



Refluks intrarenal



Pielonefritis



Fokus-fokus pielonefritis



Refluks



Sambungan vesiko-ureter yang tidak teratur Bakteri memasuki kandung kemih Kolonisasi bakteri INFEKSI ASENDEN Zat-zat yang lazim: E. coli Proteus Enterobacter



Gambar 13-13 Jalur infeksi ginjal. Infeksi hematogen disebabkan oleh penyebaran melalui bakteremia. Lebih sering lagi adalah infeksi asenden, yang terjadi akibat kombinasi infeksi kandung kemih, refluks vesiko-ureter, dan refluks intrarenal.



Meskipun penyebaran hematogen jauh lebih jarang dibandingkan dua cara tersebut, pielonefritis akut dapat terjadi akibat bersemainya bakteri di ginjal setelah terjadinya septikemia atau endokarditis infektif. Tanpa adanya instrumentasi, UTI paling sering mengenai wanita. Karena dekatnya jarak antara uretra dan rektum pada wanita, kolonisasi oleh bakteri-bakteri enterik mudah terjadi. Lebih lagi, uretra yang pendek, dan trauma terhadap uretra selama hubungan seksual, memudahkan masuknya bakteri ke kandung kemih. Biasanya, urin dalam kandung kemih steril, sebagai akibat sifat-sifat antimikroba yang terdapat pada mukosa kandung kemih dan mekanisme pembilasan yang terjadi saat berkemih secara periodik. Dengan adanya obstruksi aliran keluar atau disfungsi kandung kemih, mekanisme pertahanan alami kandung kemih menjadi tidak berdaya, sehingga menciptakan kerentanan terhadap UTI. Pada kondisi stasis, bakteri yang masuk ke kandung kemih dapat berkembang biak tanpa terganggu, tidak dibilas atau dihancurkan oleh dinding kandung kemih. Dari urin kandung kemih yang terkontaminasi, bakteria naik di sepanjang ureter untuk menginfeksi pelvis renalis dan parenkim ginjal. Oleh karena itu, UTI sering ditemukan pada penderita dengan obstruksi saluran kemih, seperti pada hiperplasia prostat jinak dan prolapsus uteri. Frekuensi UTI juga meningkat pada diabetes karena peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan disfungsi kandung kemih neurogenik,yang menyebabkan predisposisi untuk stasis. Inkompetensi orifisium vesikoureter, mengakibatkan refluks vesiko ureter/vesicoureteral reflux (VUR),



merupakan penyebab penting infeksi asenden. Refluk ini memungkinkan bakteria naik ke ureter menuju pelvis. VUR ditemukan pada 20% hingga 40% anak-anak dengan UTI, biasanya sebagai konsekuensi cacat kongenital yang mengakibatkan inkompetensi katup uretero vesika. VUR juga bisa didapat (acquired) pada orangorang dengan kandung kemih yang lemah akibat jejas medula spinalis atau dengan disfungsi kandung kemih neurogenik sekunder akibat diabetes. VUR menghasilkan urin yang tersisa pasca pengosongan di dalam saluran kemih, yang mendukung pertumbuhan bakteri. Selain itu, VUR memberikan mekanisme bagi urin yang terinfeksi di dalam kandung kemih untuk terdorong ke atas ke pelvis renalis hingga lebih jauh lagi ke parenkim ginjal melalui duktus yang terbuka di ujung papil (refluks ntrarenal).



MORFOLOGI Salah satu atau kedua ginjal dapat terjangkiti. Ginjal yang terkena dapat berukuran normal atau membesar. eara khas abses ang berbatas tegas berwarna kekuningan agak menonjol dapat terlihat secara makroskopik pada permukaan ginal (Gambar 13-14). Absesabses ini dapat tersebar luas atau terbatas pada salah satu area ginjal, atau dapat bergabung dan membentuk area supurasi tunggal, yang besar. Gambaran histologis yang khas dari pielonefritis akut adalah nekrosis liquefaktif disertai pembentukan abses di dalam parenkim ginjal. Pada tahap awal, pembentukan pus (supurasi) terbatas pada jaringan interstisialis, namun kemudian abses mengalami ruptur ke tubulus. Sejumlah besar neutrofil intratubuler sering meluas di dalam nefron yang terlibat ke duktus pengumpul, membentuk cast sel darah putih yang khas dan ditemukan dalam urin. Biasanya, glomerulus tidak terpengaruh. Apabila obstruksi menonjol, pus mungkin saja tidak dapat mengalir keluar dan kemudian memenuhi pelvis renalis, kaliks, dan ureter, mengakibatkan pyonefrosis.



Gambar 13-14 Pielonefritis akut. Permukaan korteks ditaburi oleh absesabses fokal yang pucat, lebih banyak di regio kutub atas dan bagian tengah ginjal; kutub bawah relatif tidak terkena. Di antara abses terdapat kongesti gelap permukaan ginjal.



Penyakit-penyakit yang Mengenai Tubulus dan Interstisium Bentuk kedua (dan untungnya jarang) pielonefritis adalah nekrosis papil renal, yang disebut sebagai nekrosis papillaris. Terdapat tiga kondisi yang merupakan predisposisi penyakit ini ̀ diabetes, obstruksi saluran kemih, dan penggunaan analgesik yang tidak sesuai (penggunaan salah analgesik). Lesi ini terdiri atas kombinasi nekrosis iskemik dan supuratif di ujung piramida ginjal (papil renal). Gambaran makroskopik yang patognomonik pada nekrosis papilaris adalah nekrosis berbatas tegas berwarna abuabu putih hingga kekuningan di duapertiga puncak piramida. Satu papil atau beberapa atau semua papilae dapat terkena. Secara mikroskopik, ujung papil menunjukkan karakteristik nekrosis koagulatif, yang dikelilingi oleh sebukan neutrofil di sekitarnya. Ketika kandung kemih terlibat dalam UTI, seringkali, terjadi sistitis akut atau kronik. Pada kasus yang berlangsung lama berkaitan dengan obstruksi, kandung kemih dapat secara makroskopik menjadi hipertrofik, disertai trabekulasi dinding, atau dapat menipis dan sangat meregang akibat retensi urin.



Perjalanan Klinis



Pielonefritis akut seringkali berkaitan dengan beberapa kondisi predisposisi sebagaimana diuraikan sebelumnya pada pembahasan mekanisme patogenesis. Faktor-faktor ini mencakup: • Obstruksi saluran kemih, baik kongenital maupun didapat. • Pemasangan alat/instrumentasi pada saluran kemih, paling sering kateterisasi. • Refluks vesiko-ureter • Kehamilan – 4% hingga 6% wanita hamil mengalami bakteriuria suatu saat pada masa kehamilan, dan 20% hingga 40% di antaranya akan mengalami infeksi saluran kemih simptomatik jika tidak diobati. • Jenis kelamin wanita serta usia pasien. Setelah tahun pertama kehidupan (usia ketika anomali kongenital pada pria lazimnya mulai terlihat jelas) dan hingga sekitar usia 40 tahun, infeksi lebih sering ditemukan pada wanita. Seiring bertambahnya usia, insidens pada pria meningkat sebagai akibat terjadinya hiperplasia prostat, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar urin. • Lesi ginjal yang telah ada sebelumnya, menyebabkan fibrosis dan obstruksi intrarenal • Diabetes melitus, yang merupakan faktor predisposisi adalah infeksi dan disfungsi kandung kemih • Imunosupresi dan imunodefisiensi Awitan pielonefritis akut tanpa penyulit biasanya mendadak, disertai nyeri pada sudut kostovertebra dan bukti sistemik dari infeksi, seperti menggigil, demam, dan malaise, serta tanda dan tanda-tanda lokal di saluran kemih seperti nyeri waktu berkemih atau sulit berkemih (disuria), sering berkemih, dan tidak dapat menahan berkemih. Urin tampak keruh karena mengandungi pus (pyuria). Meskipun tanpa pengobatan antibiotik, penyakit ini cenderung jinak dan sembuh sendiri. Fase simptomatik penyakit biasanya bertahan tidak lebih dari seminggu, meskipun bakteriuria dapat persisten lebih lama. Penyakit biasanya unilateral, dan oleh karena itu orang yang terkena tidak mengalami kegagalan ginjal karena masih memiliki satu ginjal yang tidak terpengaruh. Pada kasus-kasus yang disertai faktor predisposisi, penyakit dapat menjadi rekuren atau kronik, khususnya apabila terdapat jangkitan bilateral. Terjadinya nekrosis papilaris berkaitan dengan prognosis yang jauh lebih buruk.



535



Pielonefritis Kronik dan Nefropati Refluks Pielonefritis kronik didefinisikan sebagai entitas morfologik apabila radang interstisium dan pembentukan jaringan parut (scarring) parenkim ginjal sebagai proses utama (predominan) berkaitan dengan pembentukan jaringan parut serta deformitas sistem pelviokaliks yang terlihat secara makroskopik. Pielonefritis kronik adalah penyebab penting kegagalan ginjal kronik. Penyakit ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pielonefritis obstruktif kronik dan pielonefritis terkait refluks yang bersifat kronik.



Pielonefritis Obstruktif Kronik



Sebagaimana telah dijelaskan, obstruksi membuat ginjal rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang yang bersifat menambah beban (superimposed) pada lesi obstruktif difus atau lokal mengakibatkan pengulangan proses peradangan dan pembentukan jaringan parut ginjal, yang akhirnya menyebabkan pielonefritis kronik. Penyakit ini dapat bersifat bilateral, seperti pada anomali kongenital pada uretra (misalnya, katup uretra posterior), mengakibatkan insufisiensi ginjal yang fatal, kecuali jika anomali tersebut diperbaiki, atau unilateral, seperti terjadi pada kalkuli (batu ginjal) dan lesi obstruktif unilateral pada ureter.



Pielonefritis Terkait-Refluks yang Bersifat Kronik (Nefropati Refluks)



Ini merupakan tipe yang lebih lazim dari pielonefritis kronik yang disertai fibrosis dan terjadi akibat UTI yang timbul pada refluks vesikoureter kongenital dan refluks intrarenal. Refluks dapat terjadi unilteral maupun bilateral; sehingga, resultan kerusakan ginjal dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan atrofia pada satu ginjal atau mungkin menjangkiti kedua-duanya, dengan potensi mengakibatkan insufisiensi ginjal kronik.



MORFOLOGI Satu atau kedua ginjal dapat terjangkiti, baik secara difus atau setempat-setempat. Bahkan apabila terdapat jangkitan bilateral, kedua ginjal tidak mengalami kerusakan yang sama, dan tidak mengalami pengerutan yang sama. Pembentukan jaringan parut yang tidak sama (uneven scarring) ini berguna untuk membedakan pielonefritis kronik dari pengerutan ginjal yang lebih simetris yang berhubungan dengan sklerosis pembuluh darah (sering kali disebut sebagai "nefrosklerosis jinak") dan GN kronik. Tanda utama pielonefritis kronik adalah pembentukan jaringan parut yang menjangkiti pelvis atau kaliks, atau keduanya, mengakibatkan penumpulan papil dan deformitas kaliks yang nyata (Gambar 13-15). Perubahan mikroskopik umumnya tidak spesifik, dan perubahan yang serupa juga dapat ditemukan dengan penyakit tubulointerstisialis kronik yang lain seperti nefropati analgesik. Parenkim menunjukkan perangai seperti berikut: • Fibrosis interstisialis yang tidak sama dan infiltrat sel radang yang terdiri atas limfosit, sel plasma dan kadang-kadang neutrofil. • Dilatasi atau kontraksi tubulus, disertai atrofia pada epitel pelapis. Banyak tubulus mengandungi cast mengkilat, merah muda kebiruan, positif PAS, yang disebut cast koloid, karena mirip dengan tampilan jaringan tiroid-maka disebut dengan deskripsi tiroidisasi. Seringkali, neutrofil ditemukan di dalam tubulus. • Infiltrasi sel radang kronik dan fibrosis yang melibatkan mukosa kaliks serta dinding. • Arteriolosklerosis yang berkaitan dengan hipertensi. • Glomerulosklerosis yang biasanya terjadi sebagai proses sekunder disebabkan oleh kehilangan nefron (suatu maladaptasi yang dibahas sebelumnya).



536



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul Kaliks yang menuMPUL Jaringan parut korteks



Jaringan parut korteks



Gambar 13-15 Jaringan parut kasar yang khas pada pielonefritis kronik yang berhubungan dengan refluks vesiko ureter. Jaringan parut biasanya terletak di kutub atas atau bawah ginjal dan berhubungan dengan kaliks yang menumpul.



Perjalanan Klinis



Banyak orang dengan pielonefritis kronik datang untuk pemeriksaan kedokteran pada tahap penyakit yang lanjut, karena awitan yang bersifat lambat laun dari insufisiensi ginjal atau karena tanda-tanda penyakit ginjal diketahui pada uji laboratorium rutin. Pada kasus yang lain, penyakit ginjal ditandai oleh terjadinya hipertensi. Pencitraan radiologik cukup khas: ginjal yang terkena mengalami pengerutan secara asimetris, dengan derajat tertentu penumpulan dan deformitas sistem kaliks (kaliektasis). Ada atau tidak ada bakteriuria yang bermakna khususnya tidak membantu secara diagnostik; ketiadaannya jelas tidak menyingkirkan pielonefritis kronik. Jika penyakit tersebut terjadi bilateral dan progresif, disfungsi tubuler terjadi disertai kehilangan kemampuan mengkonsentrasi urin, yang berwujud sebagai poliuria dan nokturia. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, beberapa orang dengan pielonefritis kronik atau nefropati refluks akhirnya mengalami glomerulosklerosis sekunder, yang berkaitan dengan proteinuria; akhirnya, jejas-jejas ini semua berperan pada penyakit ginjal kronik progresif.



dengan struktur yang mirip. Kadar IgE dalam serum juga meningkat pada beberapa orang, yang mendukung hipersensitivitas tipe I. Pada kasus yang lain, sifat infiltrat sel radang (dibahas di bawah) dan uji kulit positif terhadap obat-obatan mendukung reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel T (tipe IV). Urutan kejadian patogenik yang paling mungkin adalah sebagai berikut Obat-obat yang berfungsi sebagai hapten yang, selama sekresi oleh tubulus, berikatan secara kovalen dengan komponen sitoplasma atau ekstrasel dari sel tubulus dan menjadi imunogenik. Hasil akhir jejas tubulointerstisium adalah disebabkan oleh reaksi imun, yang diperantarai oleh IgE dan reaksi imunologi seluler, terhadap sel tubulus atau membran basal tubulus.



MORFOLOGI Abnormalitas pada nefritis akut yang diinduksi obat terletak di interstisium, yang menunjukkan edema yang nyata dan sebukan sel-sel mononuklear, terutama limfosit dan makrofag (Gambar 13-16). Eosinofil dan neutrofil dapat muncul, sering kali dalam jumlah besar. Terkait beberapa obat (misalnya, metisilin, tiazid, rifampin), dapat ditemukan granuloma non-nekrotikans interstisialis disertai sel datia. Glomerulus tampak normal kecuali pada beberapa kasus yang disebabkan oleh zat anti inflamasi nonsteroid, ketika reaksi hipersensitivitas juga dapat mengakibatkan pemendekan/penipisan prosesus-kaki podosit dan sindrom nefrotik.



Perjalanan Klinis



Penyakit ini mulai sekitar 15 hari (berkisar antara 2 hingga 40 hari) setelah pajanan terhadap obat dan ditandai oleh demam, eosinofilia (yang mungkin sementara), ruam kulit (pada sekitar 25% orang), dan abnormalitas ginjal. Temuan urin mencakup hematuria, proteinuria minimal atau tidak ada sama sekali, dan leukosituria (kadang-kadang disertai eosinofil). Kreatinin serum yang meningkat atau jejas ginjal akut disertai oliguria terjadi pada 50% kasus, terutama pada penderita yang berusia lebih tua. Pengenalan secara klinis jejas ginjal akibat obat sangatlah penting, karena penghentian obat penyebab akan diikuti oleh kesembuhan, meskipun kadang-kadang membutuhkan beberapa



Nefritis Interstisialis yang Diinduksi Obat Pada era penggunaan antibiotik dan analgesik yang luas, obatobatan telah muncul sebagai penyebab penting jejas ginjal. Nefritis tubulointerstisialis (TIN) akut yang diinduksi obat terjadi sebagai reaksi menyimpang terhadap sejumlah jenis obat yang macamnya selalu bertambah. TIN akut diinduksi obat berkaitan paling sering dengan penisilin sintetis (metisilin, ampisilin), antibiotik sintetis lainnya (rifampin), diuretika (tiazid), zat anti inflamasi nonsteroid, dan sejumlah jenis obat lain (fenindion, simetidin).



PATOGENESIS Banyak perangai penyakit ini memberikan gagasan mekanisme imun. Bukti-bukti klinis dari hipersensitivitas mencakup periode laten, eosinofilia dan ruam kulit, sifat idiosinkrasi dari reaksi obat (yaitu tidak terkait dosis), dan rekurensi hipersensitivitas pasca pajanan ulang terhadap obat yang sama atau bahan kimia lain



Gambar 13-16 Nefritis interstisialis yang diinduksi obat, disertai sebukan eosinofil yang menonjol dan mononuklear. (Atas budi baik Dr. H. Rennke, Department ot Pathology, Brigham and Women's Hospitat Boston, Massachusetts)



Penyakit-penyakit yang Mengenai Tubulus dan Interstisium



tidak berkaitan dengan jejas tubulus. Penyakit-penyakit lain yang melibatkan jejas ginjal akut ini didiskusikan pada bagian lain bab ini.



bulan agar fungsi ginjal kembali normal.



RINGKASAN Nefritis Tubulainterstisialis • TIN terdiri dari penyakit radang yang terutama melibatkan tubulus dan interstisium ginjal. • Pielonefritis akut merupakan infeksi bakteri yang disebabkan baik oleh infeksi asenden sebagai akibat refluks, obstruksi, dan abnormalitas saluran kemih yang lain, atau melalui penyebaran bakteria secara hematogen; yang ditandai oleh pembentukan abses pada ginjal, kadang-kadang disertai nekrosis papiler. Pielonefritis kronik biasanya berhubungan dengan obstruksi • atau refluks saluran kemih; yang mengakibatkan pembentukan jaringan parut (scarring) ginjal yang terjangkiti, dan insufisiensi ginjal secara beragsur-angsur. • Nefritis interstisialis yang diinduksi obat merupakan reaksi imun yang diperantarai oleh IgE dan reaksi seluler sel T terhadap obat; ditandai oleh radang interstisialis, seringkali dengan banyak eosinofil, dan edema.



Jejas Tubulus Akut Jejas tubulus akut/acute tubuler injury (ATI) adalah entitas klinikopatologis yang secara morfologik ditandai oleh rusaknya sel epitel tubulus dan secara klinis oleh penurunan fungsi ginjal secara akut, disertai cast granuler dan sel tubulus yang dapat ditemukan dalam urin. Spektrum perubahan ini, disebut sebagai jejas ginjal akut/acute kidney injury, secara klinis berwujud sebagai penurunan GFR. Apabila ATI disebabkan oleh jejas ginjal akut, dapat ditemukan oligouria (didefinisikan sebagai luaran urin kurang dari 400 mL/hari). Penyebab lain jejas ginjal akut mencakup (1) penyakit glomerulus berat yang secara klinis berwujud sebagai RPGN; (2) jejas tubulus akut yang disebabkan oleh penyakit vaskular ginjal yang difus, misalnya poliangiitis mikroskopik dan mikroangiopati trombotik; dan (3) nefritis interstisialis alergik akut yang diinduksi obat, yang seringkali Iskemia Nefrotoksin



(1)



537



Renin-angiotensin PGI2 dan NO Vasokonstriksi



ATI muncul dalam berbagai kondisi klinis, sehingga terjadi relatif sering. Sebagian besar kondisi klinis ini, berkisar dari trauma berat sampai pankreatitis akut sampai septisemia, memiliki ciri-ciri serupa yaitu periode aliran darah yang tidak adekuat ke semua organ atau daerah tertentu dari organ perifer seperti ginjal, kadang-kadang pada kondisi hipotensi berat dan syok. Pola ATI yang berhubungan dengan penurunan aliran darah baik secara umum maupun lokal disebut sebagai ATI iskemik. Transfusi darah yang tidak cocok (mismatched) dan krisis hemolitik lain, demikian juga mioglobinuria, juga mengakibatkan gambaran klinis yang mirip dengan ATI iskemik. Pola kedua, disebut ATI nefrotoksik, disebabkan oleh berbagai racun, termasuk logam berat (misalnya, merkuri); pelarut organik (misalnya, karbontetraklorida); dan berbagai macam obat seperti gentamisin, dan antibiotik lain, dan zat kontras radiografi. ATI seringkali reversibel, dan pengenalan dan manajemen yang tepat dapat memberikan manfaat berbeda, antara kesembuhan total.



PATOGENESIS Kejadian-kejadian penting baik pada ATI iskemik maupun pada ATI nefrotoksik antara lain: • Jejas tubulus. Sel-sel epitel tubulus terutama sensitif terhadap panoksia dan juga rentan terhadap toksin (Gambar 13-17). Beberapa faktor menjadi predisposisi jejas toksik pada tubulus, mencakup peningkatan konsentrasi berbagai molekul intrasel yang diresorpsi atau disekresi di sepanjang tubulus proksimal, demikian pula pajanan terhadap konsentrasi tinggi dari zat terlarut di dalam lumen yang menjadi pekat akibat resorpsi air dari filtrat glomerulus. • Gangguan aliran darah yang persisten dan berat mengakibatkan pengurangan pengiriman oksigen dan substrat ke sel-sel tubulus. Iskemia menyebabkan beberapa perubahan struktural pada sel-sel epitel. Kehilangan polaritas sel merupakan peristiwa dini yang reversibel. Peristiwa tersebut mengakibatkan terjadinya redistribusi protein membran (misalnya, Na+, Kerusakan tubular (Tubulus proksimal dan ascending thick limb)



(2) Obstruksi oleh area pembuangan Tekanan intratubular



(5) ? Efek glomerulus langsung



GFR



(3) Kebocoran tubular



(4) Inflamasi interstisial



Aliran cairan tubular



Oliguria



Gambar 13-17 Mekanisme patofisiologis pada cedera ginjal akut. Berbagai cedera secara langsung dapat merusak tubulus, yang pada gilirannya menurunkan GFR oleh beberapa mekanisme dan juga mendorong vasokonstriksi. Beberapa luka yang menyebabkan cedera tubular juga secara langsung mengurangi GFR dengan menurunkan aliran darah ginjal. NO, oksida nitrat; PGI2, prostaglandin I2 (prostasiklin). (Dimodifikasi dari Lameire N, et al: JASN 12: S20-S32, 2001.)



538



Bab 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



K+, -ATPase) dari basolateral ke permukaan lumen sel-sel tubulus, mengakibatkan penurunan reabsorpsi natrium oleh tubulus proksimal, dan akibatnya meningkatkan pengiriman natrium ke tubulus distal. Pengiriman tersebut, melalui sistem umpan balik tubuloglomerulus, berkontribusi pada vasokonstriksi arteriol preglomerulus. Redistribusi atau perubahan integrin yang melekatkan sel-sel tubulus mengakibatkan tercabutnya sel dari membran basal dan dilepaskan ke dalam urin. Jika terdapat debris tubulus yang bertumpuk maka dapt membendung aliran keluar urin (obstruksi oleh cast), dan meningkatkan tekanan intratubulus dan akibatnya mengurangi GFR. Di samping itu, cairan dari tubulus yang rusak dapat bocor ke interstisium (kebocoran balik/backleak), mengakibatkan peningkatan tekanan interstisialis dan tubulus mengalami kolaps. Sel-sel tubulus yang iskemik juga mengekspresikan kemokin, sitokin, dan molekul molekul adhesi seperti Pselektin yang mendatangkan leukosit dan dapat berpartisipasi dalam jejas jaringan (peradanganinterstisialis). Jejas ginjal iskemik juga ditandai oleh perubahan hemodinamik yang berat yang menyebabkan penurunan GFR. Salah satu perubahan mayor adalah vasokonstriksi intrarenal, yang mengakibatkan baik pengurangan aliran plasma glomerulus maupun pengurangan pengiriman oksigen ke tubulus di medula bagian luar (bagian tubulus asenden yang tebal dan segmen lurus dari tubulus proksimal) (Gambar 13-17). Meskipun sejumlah jalur vasokonstriktor telah dianggap berperan dalam fenomena ini (misalnya, renin-angiotensin, tromboksan A2, aktivitas saraf simpatik), opini yang ada saat ini adalah vasokonstriksi diperantarai oleh jejas endotel subletal, yang mengakibatkan peningkatan pelepasan vasokonstriktor endotel endotelin dan penurunan produksi oksida nitrat dan prostaglandin yang menyebabkan vasodilatasi. Akhirnya, beberapa bukti mengarah pada efek langsung iskemia atau toksin terhadap glomerulus, yang menyebabkan pengurangan permukaan filtrasi glomerulus yang efektif. Selain vasokonstriksi, patogenesis ATI dapat melibatkan apoptosis dan nekrosis sel tubulus. Sel-sel mati dapat mendatangkan reaksi radang (Bab 2) yang menyebabkan eksaserbasi jejas tubulus dan gangguan fungsi.



MORFOLOGI ATI iskemik ditandai oleh lesi pada bagian lurus tubulus proksimal dan bagian tubulus asenden berdinding tebal, namun tidak ada segmen tubulus proksimal maupun distal yang tersisa. Seringkali terdapat berbagai jejas tubuler, termasuk pelemahan jonjot mikro permukaan epitel (brush border) tubulus proksimal, yaitu jonjot mikro permukaan epitel melepuh dan mengelupas, vakuolisasi sel, dan lepasnya sel tubulus dari membran basal di bawahnya disertai rontoknya sel dan masuk ke dalam urin. Temuan tambahan yang mencolok adalah cast jenis protein pada tubulus distal dan duktus koligentes, yang terdiri dari protein Tamm-Horsfall (biasanya disekresi oleh epitel tubulus) disertai hemoglobin dan protein plasma yang lain. Jika jejas akibat trauma (crush injury) sampai mengakibatkan ATI, cast juga mengandungi mioglobin. Interstisium biasanya menunjukkan edema menyeluruh disertai sebukan sel radang ringan yang terdiri atas leukosit polimorfonuklear, limfosit, dan sel plasma.



Perangai histologis ATI toksik pada dasarnya mirip, dengan beberapa perbedaan. Nekrosis yang jelas paling menonjol pada tubulus proksimal, dan membran basal tubulus biasanya tidak terkena. Jika pasien selamat selama satu minggu, regenerasi epitel tampak jelas berupa tumbuhnya epitel kuboid rendah yang melapisi tubulus dan aktivitas mitosis pada sel epitel tubulus yang bertahan hidup. Jejas ginjal akut yang didasari oleh jejas tubulus akut dapat mengakibatkan fibrosis, bukan perbaikan, apabila selsel tubulus proksimal beristirahat pada fase G2/M siklus sel setelah jejas, karena fase istirahat ini melipat gandakan mediator profibrotik.



Perjalanan Klinis Perjalanan klinis ATI iskemik awalnya didominasi oleh kejadian medis, operasi atau obstetrik yang memicu kelainan. Penderita yang terkena seringkali datang dengan manifestasi jejas ginjal akut, termasuk oliguria, dan penurunan GFR. Tidak semua penderita dapat mengalami oliguria; beberapa mengalami anuria, dan pada penderita lain, terutama jika jejas lebih ringan, ATI mungkin bersifat non-oligourik. Selama jejas ginjal akut, gambaran klinis didominasi oleh abnormalitas elektrolit, asidosis dan tanda serta gejala uremia dan kelebihan cairan. Bergantung kepada tingkat keparahan dan sifat alami jejas yang mendasari serta kondisi komorbid, prognosis bervariasi. Tanpa adanya perawatan suportif yang hati-hati atau dialisis, pasien dapat meninggal. Apabila penyebab jejas ginjal akut adalah ATI, pemulihan dan regenerasi tubulus mengakibatkan perbaikan klinis secara berangsur-angsur. Dengan adanya perawatan penunjang, pasien yang tidak meninggal akibat masalah penyakit yang mendasarinya memiliki kesempatan yang baik untuk penyembuhan fungsi ginjalnya kecuali penyakit ginjal telah ada pada saat gangguan akut tersebut terjadi. Pada penderita dengan penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya penyembuhan total belum tentu terjadi, dan sayang sekali perkembangan sesuai dengan waktu menjadi penyakit ginjal tahap akhir terlalu sering terjadi.



RINGKASAN Jejas Tubuler Akut • •







ATI adalah penyebab paling lazim jejas ginjal akut; manifestasi klinisnya adalah abnormalitas elektrolit, asidosis, uremia, dan tanda-tanda kelebihan cairan, seringkali disertai oliguria. ATI terjadi akibat jejas iskemik atau toksik pada tubulus ginjal, dan berhubungan dengan vasokonstriksi intrarenal yang mengakibatkan menurunnya GFR dan pengurangan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel epitel tubuler. ATI secara morfologik ditandai oleh jejas atau nekrosis segmen tubulus (terutama tubulus proksimal), cast bersifat protein di tubulus distal, dan edema interstisialis.



PENYAKIT YANG MENJANGKITI PEMBULUH DARAH Hampir semua penyakit ginjal menjangkiti pembuluh darah ginjal secara sekunder. Penyakit pembuluh darah sistemik, seperti berbagai tipe vaskulitis, juga melibatkan pembuluh darah ginjal, dan seringkali



Penyakit yang Menjangkiti Pembuluh Darah



539



efeknya pada ginjal penting diketahui secara klinis (Bab 9). Ginjal terjangkiti secara akrab dalam patogenesis hipertensi esensial dan sekunder. Bagian ini mencakup lesi ginjal yang berkaitan dengan hipertensi jinak dan ganas.



Arterionefrosklerosis Arterionefrosklerosis adalah istilah yang digunakan untuk penebalan dan sklerosis dinding arteri dan perubahan pada ginjal yang berkaitan dengan hipertensi jinak. Perubahan morfologi yang khas melibatkan arteriol kecil dan disebut sebagai arteriolosklerosis hialin. Derajat tertentu arterionefrosklerosis, meskipun ringan, ditemukan pada otopsi banyak orang yang berusia lebih tua dari 60 tahun. Frekuensi dan keparahan lesi-lesi ini meningkat pada semua usia jika terdapat hipertensi.



PATOGENESIS Perlu dicatat, banyak penyakit ginjal menyebabkan hipertensi, yang kemudian ternyata berkaitan dengan arterionefrosklerosis. Dengan demikian, lesi ginjal ini seringkali menambah beban pada penyakit ginjal primer yang lain. Perubahan serupa pada arteri dan arteriol dapat dilihat pada individu-individu dengan mikroangiopati trombotik kronik. Apakah hipertensi menyebabkan arterionefrosklerosis, atau suatu jejas mikrovaskular primer di ginjal yang tak terdeteksi yang menyebabkan hipertensi, dan akibatnya meningkatkan terjadinya sklerosis, belum diketahui. Penelitianpenelitian terbaru menunjukkan mutasi pada gen apolipoprotein L 1 (gen yang sama yang diperkirakan berkaitan dengan peningkatan risiko FSGS) berhubungan erat dengan insidensi yang tinggi dari arterionefrosklerosis yang diobservasi pada penduduk Amerika keturunan Afrika. Mekanisme peningkatan risiko penyakit ginjal tidak diketahui, namun mutasi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit trypanosoma, sehingga prevalensinya mungkin dipengaruhi oleh seleksi alami.



MORFOLOGI Secara makroskopik, ginjal mengalami atrofia simetris, masingmasing memiliki massa I 10 sampai 130 gram. Biasanya permukaan ginjal menunjukkan granul-granul halus difus yang mirip titik-titik halus pada permukaan bahan kulit. Secara mikroskopik, perubahan anatomik yang mendasar adalah penebalan hialin pada dinding arteri dan arteriol kecil, yang disebut sebagai arteriolosklerosis hialin. Gambaran ini timbul sebagai penebalan hialin yang homogen, berwarna merah muda, yang tidak menguntungkan (menyebabkan penyempitan) lumen pembuluh darah, disertai kehilangan ciri-ciri sel yang mendasari (Gambar 13-18). Penyempitan lumen ini berakibat pada sangat penurunan aliran darah melalui pembuluh darah yang terkena, disertai akibat iskemia pada organ yang dialirinya. Semua struktur ginjal menunjukkan atrofia iskemik. Pada kasus lanjut arterionefrosklerosis, gelung glomerulus dapat mengalami sklerosis. Atrofia tubulus difus dan fibrosis interstisialis dapat ditemukan. Seringkali terdapat sebukan ringan limfosit di interstisium. Pembuluh darah yang lebih besar (arteri interlobaris dan arkuatus) menunjukkan reduplikasi lamina elastika interna di samping penebalan jaringan ikat media (hiperplasia fibroelastika) dan subintima. Perjalanan Klinis Lesi ginjal ini saja jarang menyebabkan kerusakan berat pada ginjal kecuali pada penderita dengan kerentanan genetik, seperti orang Amerika keturunan Afrika, pada mereka kelainan tersebut



Gambar 13-18 Nefrosklerosis jinak. Gambaran pada pembesaran tinggi dua arteriol dengan endapan hyalin, dinding yang sangat menebal, dan lumen yang sempit. (Atas budi baik Dr. M. A. Venkatachalam, Department of Pathology, University of Texas Health Sciences Center, San Antonio, Texas.)



dapat menyebabkan uremia dan kematian. Namun semua pasien dengan lesi ini biasanya menunjukkan sedikit gangguan fungsi, seperti kehilangan kemampuan memekatkan urin atau pengurangan GFR yang bervariasi. Proteinuria derajat ringan sering ditemukan.



Hipertensi Maligna Hipertensi maligna, didefinisikan sebagai tekanan darah lebih dari 200/120 mmHg, jauh lebih jarang di Amerika Serikat dibandingkan dengan yang disebut hipertensi "jinak/benigna" dan terjadi hanya pada sekitar 5% orang dengan peningkatan tekanan darah. Penyakit ini dapat timbul de novo (yaitu tanpa hipertensi sebelumnya, atau dapat muncul tiba-tiba pada orang dengan hipertensi ringan. Prevalensi hipertensi maligna lebih tinggi pada negara yang kurang maju/negara berkembang.



PATOGENESIS Dasar dari perburukan hipertensi tidaklah jelas, namun diajukan berbagai urutan kejadian sebagai berikut: Peristiwa awal agaknya suatu bentuk kerusakan vaskular terhadap ginjal. Kondisi ini paling lazim terjadi akibat hipertensi yang berlangsung lama, yang diikuti dengan jejas pada dinding arteriol. Hasilnya adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil terhadap fibrinogen dan plasma protein yang lain, jejas endotel, dan pengendapan trombosit. Hal ini mengakibatkan timbulnya nekrosis fibrinoid arteriol dan arteri kecil serta trombosis intravaskular. Faktor mitogenik dari platelet (misalnya, faktor pertumbuhan berasal dari trombosit/platelet-derived growth factor) dan plasma menyebabkan hiperplasia intima pada pembuluh darah, mengakibatkan arteriolosklerosis hiperplastik yang khas untuk jejas yang mengalami proses organisasi pada hipertensi maligna dan secara morfologik mirip degan mikroangiopati trombotik (lihat kemudian) serta penyempitan lumen lebih lanjut. Ginjal menjadi sangat iskemik. Dengan keterlibatan arteriol aferen ginjal yang berat,sistem reninangiotensin menerima stimulus yang kuat. Hal ini kemudian membentuk siklus yang mampu berjalan terus



540



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul hematuria mikroskopik, atau kadang-kadang makroskopik, tanpa perubahan signifikan fungsi ginjal. Namun, dengan segera, terjadi jejas ginjal akut. Sindrom ini mewakili gawatdarurat medis sejati yang membutuhkan terapi anti-hipertensi segera dan agresif sebelum terjadi lesi ginjal yang ireversibel. Sekitar 50% pasien bertahan hidup paling sedikit selama 5 tahun, dan masih dapat terjadi perbaikan. Sembilan puluh persen kematian disebabkan oleh uremia dan 10% lainnya oleh perdarahan otak atau kegagalan jantung.



menerus yaitu angiotensin 11 menyebabkan vasokonstriksi intrarenal dan iskemia yang ditimbulkannya mendukung sekresi renin. Kadar aldosteron juga meningkat, dan retensi garam yang diakibatkan menunjang peningkatan tekanan darah



MORFOLOGI Ginjal mungkin tetap berukuran normal atau agak mengecil, bergantung kepada jangka waktu dan tingkat keparahan penyakit hipertensi. Perdarahan petekie berupa bintik-bintik dapat ditemukan pada permukaan korteks akibat ruptur arteriol atau pembuluh kapiler glomerulus, memberikan gambaran ginjal yang khas, tampilan gigitan-kutu (flea-bitten appearance). Perubahan mikroskopik menunjukkan kejadian-kejadian patogenesis yang telah dijelaskan sebelumnya. Kerusakan pada pembuluh darah kecil bermanifestasi sebagai nekrosis fibrinoid pada arteriol (Gambar 13-19, A). Dinding pembuluh darah menunjukkan tampilan granuler eosinofilik homogen yang menyamarkan ciri-ciri yang ada di bawahnya. Pada arteri interlobularis dan arteriol yang agak besar, proliferasi sel-sel di intima pasca jejas akut menghasilkan tampilan kulit bawang (onion-skin appearance) (Gambar 13-19, B). Nama ini berasal dari susunan sel yang konsentrik yang dianggap berasal dari sel otot polos intima, meskipun gagasan ini dibuktikan secara tuntas. Lesi ini, disebut sebagai arteriolosklerosis hiperplastik, menyebabkan penyempitan parah dari arteriol dan arteri kecil, hingga dapat terjadi obliterasi total. Nekrosis juga dapat melibatkan glomerulus, disertai mikrotrombus di dalam glomerulus selain arteriol yang nekrotik. Lesi serupa juga dapat ditemukan pada mikroangiopati trombotik akut (diuraikan kemudian), dan pada penderita dengan skleroderma pada krisis ginjal.



Mikroangiopati Trombotik Sebagaimana diuraikan pada Bab 11, istilah mikroangiopati trombotik mengacu pada lesi yang terlihat pada berbagai sindrom klinis yang ditandai secara morfologik oleh trombosis yang terbar luas pada mikrosirkulasi dan secara klinis oleh anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopenia, dan pada beberapa keadaan, kegagalan ginjal. Penyebab yang lazim dari mikroangiopati trombotik mencakup: • Sindrom uremik hemolitik/hemolytic uremic syndrome (HUS) pada anak-anak Berbagai bentuk HUS pada orang dewasa • • Purpura trombositopenik trombotik/ thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) • Berbagai obat-obatan • Hipertensi maligna atau skleroderma



PATOGENESIS Faktor patogenetik mayor pada mikroangiopati trombotik adalah aktivasi endotel (abnormalitas yang dominan pada HUS) dan aktivasi serta agregasi trombosit (yang dominan di TTP). Keduanya dapat disebabkan oleh sejumlah pemicu eksternal dan mutasi yang diwariskan, dan bersama-sama dapat mengakibatkan banyak trombosis pembuluh darah kecil, tanda khas penyakit-penyakit ini.



Perjalanan Klinis Sindrom hipertensi maligna yang berlangsung sempurna (full-blown) ditandai oleh papiledema, ensefalopati, abnormalitas kardiovaskular, dan kegagalan ginjal. Paling sering ditemukan, gejala awal berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial dan mencakup sakit kepala, mual, muntah, dan gangguan visus, terutama pada perkembangan skotoma, atau "bintik-bintik" di depan mata. Pada awitan dari tekanan darah yang meninggi dengan cepat, terdapat proteinuria yang nyata dan



A



• HUS pada anak-anak paling baik dijelaskan pada sindrom ginjal yang berhubungan dengan mikroangiopati trombotik. Sebanyak 75% kasus terjadi sesudah infeksi usus oleh E. coli yang memproduksi toksin Shiga (Shiga toxin), seperti yang terjadi pada epidemi yang disebabkan oleh tertelannya daging giling (misalnya, dalam hamburger) yang terinfeksi dan infeksi oleh Shigella dysenteriae tipe I. Patogenesis



B



Gambar 13-19 Hipertensi maligna. A, Nekrosis fibrinoid arteriol aferen (pulasan periodic acid-Schiff). B, Arteriolosklerosis hiperplasik (lesi onionskin). (Atas bud baik Dr. H. Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women's Hospital, Boston, Massachusetts)



Penyakit Ginjal Kronik sindrom ini berhubungan dengan efek toksin Shiga, yang dibawa oleh neutrofil di dalam sirkulasi. Sel endotel glomerulus ginjal merupakan sasaran karena sel-sel tersebut memaparkan reseptor membran untuk toksin tersebut. Toksin itu memiliki banyak efek terhadap endotel, termasuk peningkatan adhesi leukosit, peningkatan produksi endothelin, dan kehilangan oksida nitrat endotel (keduanya mendukung vasokonstriksi), dan (dengan adanya sitokin, seperti tumor necrosis factor) kerusakan endotel. Toksin juga dapat masuk ke dalam sel dan secara langsung mengakibatkan kematian sel. Kerusakan endotel mengakibatkan trombosis, yang paling menonjol pada pembuluh kapiler glomerulus, arteriol aferen, dan arteri interlobularis, dan juga vasokonstriksi, yang mengakibatkan gambaran khas mikroangiopati trombotik. Sekitar 10% kasus HUS pada anak-anak tidak didahului oleh diare yang disebabkan oleh bakteri yang memproduksi toksin Shiga. Pada sebagian dari penderita ini, inaktivasi akibat mutasi pada protein yang berfungsi regulasi komplemen (misalnya faktor H) memungkinkan aktivasi komplemen yang tidak terkendali pasca jejas pembuluh darah minor. Kondisi ini mendorong pembentukan trombi.



Perjalanan Klinis



Biasanya, HUS pada anak-anak ditandai oleh awitan yang mendadak, biasanya setelah episode prodromal mirip flu atau gastrointestinal, manifestasi perdarahan (biasanya hematemesis dan melena), oliguria yang parah, hematuria, anemia hemolitik mikroangiopati, dan (pada beberapa orang) perubahan neurologik yang dominan. Penyakit ini adalah salah satu penyebab utama jejas ginjal akut pada anak-anak. Jika jejas ginjal akut ditangani dengan tepat dengan dialisis, sebagian besar pasien dapat sembuh dalam waktu beberapa minggu. Prognosis jangka panjang (sekitar 15 hingga 25 tahun) tidak selalu baik, karena sekitar 25% anakanak ini, akhirnya mengalami insufisiensi ginjal sebagai konsekuensi fibrosis sekunder. Meskipun HUS dan TTP memiliki beberapa perangai klinis yang tumpang tindih, misalnya anemia hemolitik mikroangiopati dan trombositopenia, TTP lebih sering memiliki jangkitan sistem saraf pusat yang dominan dan ginjal lebih jarang terjangkit



RINGKASAN Penyakit Pembuluh Darah Ginjal •



Arterionefrosklerosis: Kerusakan ginjal progresif dan kronik yang berhubungan dengan hipertensi. Gambaran khas adalah arteriosklerosis hialin dan penyempitan lumen pembuluh darah dan akhirnya mengakibatkan atrofia korteks. Hipertensi maligna: jejas ginjal akut berhubungan degan peningkatan tekanan darah yang parah. Arteri dan arteriol menunjukkan nekrosis fibrinoid dan hiperplasia sel otot polos; perdarahan petekie pada permukaan korteks. Mikroangiopati trombotik: Gangguan yang ditandai oleh trombi fibrin pada glomerulus dan pembuluh darah kecil yang mengakibatkan jejas ginjal akut. HUS pada anak-anak biasanya disebabkan oleh jejas endotel oleh toksin E Coli; TTP seringkali disebabkan oleh cacat pada faktor von Willebrand yang mengakibatkan trombosis yang berlebihan, disertai konsumsi/destruksi trombosit.



• HUS pada orang dewasa. Pada HUS tipikal khas (epidemik, klasik, positif diare), pemicu jejas dan aktivasi endotel biasanya adalah toksin mirip Shiga, sementara pada bentuk HUS atipikal yang diwariskan, penyebab jejas endotel tampaknya adalah aktivasi yang tidak tepat dan berlebihan dari komplemen. Banyak tipe lain pajanan dan kondisi, termasuk toksisitas obat, yang kadang-kadang dapat menimbulkan gambaran mirip HUS, kemungkinan juga dengan cara membuat jejas endotel.







• TTP seringkali disebabkan oleh cacat yang didapat dalam fungsi pemecahan proteolitik dari multimer faktor von Willebrand (vWF) akibat reaksi auto-antibodi, atau lebih jarang, cacat yang diwariskan seperti yang terlihat pada TTP familial (Bab 11). Autoantibodi patogenik, baik timbul dalam konteks autoimunitas atau diinduksi obat, secara khas bereaksi terhadap ADAMTS 13 (suatu disintegrin dan metalloprotease yang memiliki struktur/ motif mirip trombospondin), suatu protease plasma yang memecah multimer vWF menjadi ukuran yang lebih kecil. Ikatan autoantibodi terhadap ADAMTS 13 mengakibatkan kehilangan fungsi dan peningkatan kadar multimer vWF yang besar di dalam sirkulasi, yang kemudian dapat menyebabkan aktivasi trombosit secara spontan, mengakibatkan agregasi trombosit dan trombosis. Cacat genetik pada ADAMTS 13 mengakibatkan pola penyakit yang serupa.



PENYAKIT GINJAL KRONIK



MORFOLOGI Pada HUS pada anak-anak, terdapat lesi mikroangiopati trombotik klasik disertai thrombi fibrin yang terutama menjangkiti glomerulus, dan meluas hingga ke arteriol dan arteri besar pada kasus-kasus yang parah. Nekrosis kortikal dapat ditemukan. Perubahan morfologik pada glomerulus yang terjadi akibat jejas endotel, mencakup pelebaran rongga subendotel pada kapiler glomerulus, duplikasi atau pemisahan GBM, dan lisis sel mesangium disertai disintegrasi mesangium. Pada kondisi kronik, dapat terjadi fibrosis glomerulus.



541







Penyakit ginjal kronik terjadi akibat fibrosis yang progresif yang disebabkan oleh berbagai jenis penyakit ginjal. Perubahan dalam fungsi nefron utuh yang masih tersisa, akhirnya terjadi maladaptasi dan menyebabkan fibrosis yang lebih lanjut. Hal tersebut akhirnya mengakibatkan ginjal stadium-akhir ketika glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah mengalami sklerosis, tidak bergantung dari tempat utama dari jejas. Kecuali jika kondisi ini diobati dengan dialisis atau transplantasi, dapat terjadi



MORFOLOGI Secara klasik, ginjal mengerut secara simetris, dan permukaannya berwarna merah kecokelatan dan berperangai granuler difus apabila penyakit yang mendasarinya mengenai pembuluh darah atau glomerulus. Ginjal yang rusak akibat pielonefritis kronik biasanya terjangkit secara tidak merata dan memiliki jaringan parut yang dalam. Secara mikroskopik, perangai yang lazim pada semua kasus adalah pembentukan jaringan parut yang lanjut, kadang-kadang hingga sklerosis total (Gambar 13-20). Obliterasi glomerulus ini merupakan akhir dari berbagai penyakit, dan hampir tidak mungkin



542



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul • Penyakit-penyakit tersebut cukup lazim terjadi dan seringkali menimbulkan masalah diagnostik untuk klinisus, spesialis radiologi, dan spesialis patologi. • Beberapa bentuk, seperti penyakit polikistik dewasa, merupakan penyebab utama kegagalan ginjal kronik. • Kista simpleks kadang-kadang sukar dibedakan dari tumor ganas. Tema yang muncul akhir-akhir ini dalam patofisiologi penyakit kistik herediter adalah bahwa cacat yang mendasari terletak pada kompleks silia-sentrosom di dalam sel-sel epitel. Defek yang demikian dapat mengganggu absorpsi cairan atau maturasi sel yang mengakibatkan pembentukan kista. Ulasan singkat tentang kista simpleks, bentuk yang paling lazim akan dibicarakan berikut, diikuti oleh pembahasan yang lebih rinci tentang penyakit ginjal polikistik.



Gambar 13-20 Glomerulonefritis kronik. Sediaan dengan pulasan Masson trikrom ini menunjukkan hampir semua glomerulus telah digantikan secara lengkap oleh kolagen yang terpulas biru. (Atas budi baik Dr. M.A. Venkatachalam, Department of Pathology, University of Texas Heolth Sciences Center, Son Antonio, Texos.)



diketahui dari gambaran ginjal yang demikian, jenis penyakit awalnya. Ditemukan pula fibrosis interstisialis yang sangat nyata, berhubungan denga atrofia dan kerusakan tubulus ginjal di daerah korteks, serta pengurangan dan kehilangan dari bagian dari jaringan kapiler peritubuler. Arteri berukuran kecil dan medium seringkali berdinding tebal, dengan lumen yang menyempit, sekunder akibat hipertensi. Sebukan limfosit (dan, jarang, sel plasma) juga ditemukan pada jaringan interstisialis fibrotik. Karena kerusakan terhadap semua struktur berlanjut, maka sulit menentukan apakah lesi primer berasal dari lesi di glomerulus, pemuluh darah, tubulus atau interstisium. Ginjal yang telah sangat rusak seperti ini disebut sebagai ginjal stadium akhir.



Perjalanan Klinis Penyakit ginjal kronik kadang-kadang dapat terjadi perlahan-lahan dan baru ditemukan pada fase lanjut pexjalanan penyakit, setelah mulai terjadi insufisiensi ginjal. Seringkali, penyakit ginjal terdeteksi dengan ditemukannya proteinuria, hipertensi, atau azotemia pada pemeriksaan medis rutin. Temuan yang khas penyakit dapat mendahului penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit glomerulus yang mengakibatkan sindrom nefrotik, ketika glomerulus mengalami perubahan sklerotik, jalur lapang dari kehilangan protein berangsur-angsur tertutup, sehingga sindrom nefrotik menjadi lebih ringan seiring dengan perkembangan penyakit menjadi lebih parah. Proteinuria hingga derajat tertentu ditemukan pada hampir semua kasus. Hipertensi sangat sering, dan efeknya dapat mendominasi gambaran klinis. Meskipun hematuria mikroskopik biasanya ditemukan, darah yang banyak pada urin jarang ditemukan pada fase ini. Tanpa pengobatan, prognosis buruk; disertai progresivitas penyakit menjadi uremia dan kematian yang tidak dapat dihambat. Laju progresivitas penyakit sangat bervariasi.



PENYAKIT GINJAL KISTIK Penyakit ginjal kistik adalah kelompok heterogen yang terdiri dari kelainan-kelainan herediter, perkembangan dan yang didapat. Penyakit-penyakit ini penting untuk beberapa alasan:



Kista Simpleks Kista simpleks (kista sederhana) umumnya merupakan lesi yang tidak berbahaya yang timbul berupa rongga kistik multipel atau tunggal dengan ukuran bervariasi. Seringkali kista-kista ini berdiameter 1 hingga 5 cm; translusen (cerah); dilapisi oleh membran keabuan, mengkilat dan halus; dan berisi cairan jernih. Pada pemeriksaan mikroskopik, membran-membran ini terlihat tersusun oleh selapis epitel kuboid atau epitel kuboid yang memipih, yang pada banyak tempat mungkin mengalami atrofia yang menyeluruh. Kista-kista ini biasanya terbatas pada korteks. Jarang ditemukan, kista massif berukuran besar dengan diameter sampai 10 cm. Kista simpleks merupakan temuan pasca-kematian (postmortem) yang lazim dan tidak memiliki kemaknaan klinis. Kepentingan utamanya adalah membedakan kista ini dari tumor ginjal, ketika kista ini ditemukan baik secara insidental atau ketika evaluasi perdarahan dan nyeri. Pemeriksaan radiografik menunjukkan bahwa berlawanan dengan tumor ginjal, kista ginjal memiliki perangai permukaan yang halus/ rata, dan hampir selalu avaskular, dan memberikan isyarat cairan bukan jaringan padat pada pemeriksaan ultrasonografi. Kista yang didapat yang berkaitan dengan dialisis terjadi pada ginjal penderita dengan penyakit ginjal stadium akhir yang telah menjalani pengobatan dialisis dalam jangka lama. Kista-kista ini ditemukan baik di dalam korteks maupun medula, dan dapat berdarah, menyebabkan hematuria. Jarang, adenoma ginjal atau adenokarsinoma papiler dapat timbul pada dinding kista ini.



Penyakit Ginjal Polikistik (Dewasa) Autosom Dominan Penyakit ginjal polikistik dewasa ditandai oleh pembesaran kista-kista multipel yang mengenai kedua ginjal yang pada akhirnya menghancurkan parenkim di antaranya. Penyakit ini dapat ditemui kira-kira 1 pada 500 hingga 1000 orang dan mencakup 10% dari seluruh penyakit ginjal kronik. Penyakit ini secara genetik heterogen. Penyakit tersebut dapat diwariskan oleh salah satu atau kedua gen yang dominan autosomal dengan penetrasi (penetrance) yang sangat tinggi. Pada 85% hingga 90% keluarga, PKD1, yang terletak di lengan pendek kromosom 16, merupakan gen yang cacat. Gen ini menyandi kompleks protein terkait membran berukuran besar (460 kDa) yang disebut polycystin-1.



PATOGENESIS Molekul polycystin terutama terletak ekstaseluler dan memiliki regio yang homolog dengan protein yang terlibat dalam adhesi



Penyakit Ginjal Kistik sel ke sel atau sel ke matriks (misalnya, domain yang berikatan dengan kolagen, laminin, dan fibronektin). Protein ini juga memiliki beberapa domain yang lain termasuk domain yang dapat berikatan dengan reseptor tirosin fosfatase. Polycystin telah diketahui terletak di silia utama sel tutulus, mirip seperti nefrokistin (nephrocystin) yang terkait dengan penyakit kistik meduler yang akan dibahas kemudian, memberikan konsep penyakit kistik ginjal sebagai suatu jenis siliopati. Silia adalah organel seperti rambut yang menonjol ke lumen dari permukaan apeks sel tubulus, dan berfungsi sebagai mekanosensor aliran cairan. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa mutasi polycystin menghasilkan defek pada kemampuan mekanosensor. Kondisi ini mengubah kejadian pemberian isyarat kearah hilir yang melibatkan influks kalsium, kemudian menyebabkan disregulasi polaritas sel, proliferasi, dan adhesi sel ke sel serta sel ke matriks. Menarik untuk dicatat bahwa meskipun mutasi sel germinal gen PKD I ditemukan pada seluruh sel tubulus ginjal penderita, kista terbentuk hanya di beberapa tubulus. Kista terjadi kemungkinan disebabkan oleh lehilangan kedua alel PKDl. Sehingga, mirip seperti gen supresor tumor,"pukulan somatik/ somatic hit" yang kedua dibutuhkan agar penyakit terwujud. Gen PKD2, terdapat pada 10% hingga 15% kasus, terletak di kromosom 4 dan menyandi polycystin 2, protein yang lebih kecil berukuran I 10 kDa. Polycystin 2 diperkirakan berfungsi sebagai kanal membran yang permeabel terhadap kalsium, dan juga terpapar pada silia. Meskipun memiliki struktur yang berbeda, polycystin 1 dan 2 dipercaya bekerja bersama dengan membentuk heterodimer. Sehingga mutasi pada salah satu gen akan menimbulkan gambaran fenotip yang pada dasarnya sama, meskipun penderita dengan mutasi PKD2 memiliki laju penyakit yang lebih lambat dibandingkan dengan penderita yang menyandang mutasi PKDI .



MORPFOLOGI Pada penyakit ginjal polikistik dewasa autosom dominan, ginjal dapat mencapai ukuran yang sangat besar, dan pernah dicatat bahwa setiap ginjal dapat mencapai berat sampai 4 kg. Ginjal yang sangat besar tersebut dapat ditemukan pada palpasi



543



abdomen sebagai massa yang meluas hingga ke pelvis. Pada pemeriksaan makroskopik, ginjal tersebut agaknya murni terdiri dari massa kista-kista berbagai ukuran berdiameter 3 hingga 4 cm tanpa ditemukan parenkim di antaranya. Kista tersebut berisi cairan, yang mungkin bersifat jernih, keruh, atau hemoragik (Gambar 13-21). Kista dapat timbul pada setiap segmen nefron, dari tubulus hingga duktus koligentes, sehingga kista-kista tersebut memiliki lapisan yang bervariasi dan sering atrofik. Kadang-kadang, kapsula Bowman terjangkiti dalam pembentukan kista, dan pada kasuskasus ini gelung glomerulus dapat terlihat di dalam rongga kista. Tekanan kista yang membesar mengakibatkan atrofia iskemik pada parenkim ginjal yang terjepit di antaranya. Beberapa parenkim yang normal dapat ditemukan tersebar di antara kista-kista tersebut. Hipertensi atau infeksi yang menambah beban penyakit lazim ditemukan. Kista hati asimptomatik terjadi pada sepertiga dari penderita.



Perjalanan Klinis Penyakit ginjal polikistik pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala hingga dekade ke-empat kehidupan, yaitu ketika ginjal sangat membesar, meskipun kista-kista kecil mulai terbentuk pada usia remaja. Keluhan utama yang paling umum adalah nyeri pinggang atau sensasi berat, dan mengganggu. Distensi akut kista, bisa terjadi akibat perdarahan intrakista atau obstruksi, dapat menyebabkan nyeri yang sangat. Kadang-kadang perhatian yang pertama mengacu pada lesi yang ditemukan pada palpasi massa abdomen. Hematuria makroskopik yang bersifat intermiten lazim terjadi. Komplikasi yang paling penting, disebabkan karena efek buruk terhadap fungsi ginjal yang sebelumnya sudah kurang baik, adalah hipertensi dan infeksi urin. Hipertensi berbagai derajat terjadi pada sekitar 75% individu dengan kelainan ini. Aneurisme sakus di sirkulus Willis (Bab 22) ditemukan pada 10% hingga 30% penderita dan berhubungan dengan insidensi tinggi perdarahan subarakhnoid. Meskipun penyakit ini akhirnya fatal, tampilan perjalanan penyakit biasanya lebih baik dibandingkan dengan sebagian besar penyakit ginjal kronik. Kondisi ini cenderung relatif stabil dan berkembang sangat lambat.



Gambar 13-21 Ginjal polikistik pada dewasa yang bersifat autosom dominan (autosomal dominant adult polycystic kidney), terlihat dari permukaan luar (A) dan setelah dibelah (B). Ginjal sangat membesar (penggaris sentimeter ditunjukkan sebagai pembanding), dengan banyak kista berdilatasi.



544



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



Penyakit ginjal stadium akhir terjadi pada usia sekitar 50 tahun, namun terdapat variasi yang luas pada perjalanan penyakit ini, dan rentang hidup yang hampir normal telah dilaporkan. Pada penderita yang penyakitnya berlanjut hingga kegagalan ginjal diobati dengan transplan ginjal. Kematian biasanya terjadi akibat uremia atau komplikasi hipertensi.



Penyakit Ginjal Polikistik Autosom Resesif (pada AnakAnak) Penyakit ginjal polikistik pada anak-anak merupakan gangguan autosom resesif bersifat jarang, yang secara genetik berbeda dengan penyakit ginjal polikistik dewasa. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1 kali dari 20.000 kelahiran hidup. Subkategori perinatal, neonatal, infantil, dan juvenilis telah ditetapkan, bergantung kepada usia saat munculnya gejala dan keberadaan lesi hepar yang terkait. Semua jenis terjadi akibat mutasi gen PKHD1, yang menyandi protein reseptor membran yang disebut fibrocystin, yang terletak di lengan pendek kromosom 6 (6p). Fibrocystin ditemukan pada silia di sel epitel tubulus, namun fungsinya masih belum diketahui.



MORFOLOGI Pada penyakit ginjal polikistik jenis autosom resesif, terdapat banyak kista kecil di korteks dan medula memberikan penampilan ginjal seperti karet busa (spons). Kanal yang berdilatasi, memanjang dan terletak tegak lurus terhadap permukaan korteks menggantikan medula dan korteks secara menyeluruh. Kista-kista ini memiliki pelapis uniform terdiri dari sel-sel kuboid, yang menunjukkan asalnya dari tubulus koligentes. Penyakit ini biasanya bersifat bilateral. Pada hampir semua kasus, temuan juga mencakup banyak kista di hati yang dilapisi epitel dan proliferasi duktus biliaris di daerah portal.



Perjalanan Klinis



Tipe perinatal dan neonatal merupakan yang paling lazim; manifestasi serius biasanya ditemukan pada saat lahir, dan bayi dapat meninggal dengan cepat akibat kegagalan hati atau ginjal. Penderita yang dapat melewati masa bayi mengalami sirosis hati (fibrosis hati kongenital).



Penyakit Meduler Disertai Kista Terdapat dua tipe mayor penyakit kista yang mengenai medula: ginjal spons meduler, suatu kondisi yang relative lazim dan biasanya tidak terdeteksi, kadang-kadang berhubungan dengan nefrolitiasis, yang tidak akan dibahas lebih jauh, dan kompleks penyakit kistik nefronoftisismeduler, yang hampir selalu berhubungan dengan disfungsi ginjal. Kompleks penyakit kistik nefronoftisis meduler merupakan penyebab penyakit ginjal kronik yang belum banyak diketahui dan biasanya diawali pada masa anak-anak. Empat varian kompleks penyakit ini yang dikenal berdasarkan waktu awitan: infantil, juvenilis, serta penyakit kistik meduler dan nefronoftisis remaja yang terjadi kemudian pada masa dewasa. Tipe juvenilis yang paling lazim. Sekitar 15% hingga 20% anakanak dengan nefronoftisis memiliki manifestasi ekstrarenal, yang paling sering muncul sebagai abnormalitas retina, termasuk retinitis pigmentosa,



dan bahkan kebutaan awitan dini merupakan bentuk yang paling parah. Abnormalitas lain yang ditemukan pada beberapa orang mencakup apraksia okulomotor, retardasi mental, malformasi serebelum, dan fibrosis hepar. Secara keseluruhan, berbagai jenis nefronoftisis saat ini diperkirakan merupakan penyebab genetik yang paling lazim dari penyakit ginjal stadium akhir pada anak-anak dan dewasa muda. Paling sedikit terdapat 9 lokus gen (NHP1-NHP9) telah ditetapkan untuk bentuk autosom resesif dari kompleks nefronoftisis. Mayoritas gen ini menyandi protein yang merupakan komponen silia epitel, sebagaimana kasus denganjenis lain penyakit polikistik. Dua bentuk autosom menyebabkan penyakit pada orang dewasa; penyakit tersebut jauh lebih jarang.



MORFOLOGI Gambaran patologis penyakit kistik meduler mencakup ginjal kecil dan mengkerut. Banyak kista-kista kecil dilapisi oleh epitel gepeng atau kuboid yang ditemukan, biasanya pada sambungan kortiko meduler (corticomedullary junction). Perubahan-perubahan patologis lain tidak spesifik, namun paling jelas terlihat, mencakup nefritis tubulointerstisialis kronik disertai atrofia tubuler dan penebalan membran basal tubulus yang menebal dan fibrosis interstisialis progresif.



Perjalanan Klinis Manifestasi awal biasanya poliuria dan polidipsia, sebagai akibat pengurangan fungsi tubulus. Kelanjutan menjadi penyakit ginjal stadium akhir terjadi selama 5 hingga 10 tahun. Penyakit ini sulit didiagnosis karena tidak ada petanda serologik dan kista mungkin terlalu kecil untuk dilihat dengan pencitraan radiologik. Di samping kesulitan ini, kista mungkin terlihat pada biopsi ginjal jika sambungan kortikomeduler tidak terdapat pada contoh jaringan yang diperoleh. Riwayat keluarga yang positif dan gagal ginjal kronik yang tidak dapat dijelaskan pada pasien usia muda seharusnya mengarahkan kecurigaan pada nefronoftisis.



RINGKASAN Penyakit Kistik • Penyakit ginjal polikistik dewasa adalah penyakit autosom dominan yang diwariskan yang disebabkan oleh gen yang menyandi mutasi polycystin pada-1 atau -2. Penyakit ini mencakup 10% kasus gagal ginjal kronik; ginjal dapat berukuran sangat besar dan mengandungi banyak kista. • Penyakit ginjal polikistik autosom resesif (pada anak-anak) disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi fibrocystin. Penyakit ini lebih jarang dibandingkan jenis dewasa dan sangat berhubungan dengan kelainan hati; ginjal mengandungi banyak kista kecil. • Kompleks penyakit nefronoftisis-kistik meduler saat ini semakin dikenal sebagai penyebab penyakit ginjal kronik pada anak dan dewasa muda. Pewarisan secara resesif autosomal sehingga berhubungan dengan mutasi pada beberapa gen yang menyandi protein sel epitel yang disebut nefrokistin yang mungkin terlibat dalam fungsi silia; ginjal mengkerut dan mengandungi banyak kista-kista kecil.



Obstruksi Aliran-keluar Urin



OBSTRUKSI ALIRAN-KELUAR URIN Batu Ginjal Urolitiasis adalah pembentukan batu/kalkuli pada setiap tingkatan di dalam sistem pengumpulan air kemih (urin), namun paling sering kalkuli timbul di dalam ginjal. Batu tersebut seringkali terjadi, dan diperkirakan pada usia 70 tahun, 11% pria dan 5,6% wanita di Amerika Serikat akan mengalami kelainan batu ginjal simptomatik. Urolitiasis simptomatik lebih lazim pada pria dibandingkan wanita. Kecenderungan familial ke arah pembentukan batu telah diketahui sejak lama.



PATHOGENESIS Terdapat tiga jenis utama batu. • Sekitar 80% batu ginjal tersusun dari baik kalsium oksalat maupun kalsium oksalat yang bercampur dengan kalsium fosfat. • Sepuluh persen tersusun dari magnesium amonium fosfat. • Enam persen hingga 9% dapat berupa batu asam urat atau batu sistin. Pada semua kasus, suatu matriks organik mukoprotein ditemukan dan merupakan 2,5% dari berat batu (Tabel 13-3). Penyebab pembentukan batu seringkali tidak jelas, terutama pada kasus batu yang mengandungi kalsium. Kemungkinan yang terlibat adalah sejumlah kondisi predisposisi, termasuk konsentrasi zat yang terlarut, perubahan pada pH urin, dan infeksi bakteri. Penyebab yang paling penting adalah peningkatan konsentrasi urin yang mengandungi konstituen batu, sehingga melebihi kemampuan kelarutannya dalam urin (supersaturasi). Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 13-3, 50% penderita yang mengalami pembentukan batu kalsium menunjukkan hiperkalsiuria yang tidak berkaitan dengan hiperkalsemia. Sebagian besar dari kelompok ini menyerap kalsium dari usus secara berlebihan (hiperkalsiuria absorptif) dan dengan segera diekskresikan di urin, dan sebagian memiliki cacat ginjal primer untuk reabsorpsi kalsium (hiperkalsiuria ginjal). Penyebab jenis batu ginjal lainnya lebih dapat dimengerti. Batu magnesium amonium fosfat (struvite) hampir selalu timbul pada orang degan urin yang selalu



Penyebaran (%)



Kalsium oksalat dan/atau kalsium fosfat Hiperkalsiuria idiopatik (50%) Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria (10%) Hiperoksaluria (5%) Enterik (4.5%) Primer (0.5%) Hiperurikosuria (20%) Tidak ada kelainan metabolit yang diketahui (15% to 20%)



80



Struvite (Mg, NH3, PO4) Infeksi ginjal



10



Asam urat Berhubungan dengan hiperurisemia Berhubungan dengan hiperurikosuria Idiopatik (50% batu asam urat)



6–7



Sistin (Cystine)



1–2



Lain-lain atau belum diketahui



bersifat basa (alkali) akibat UTI. Terutama, infeksi akibat bakteri yang memecah urea, misalnya Proteus vulgaris dan stafilokokus, yang menjadi predisposisi urolitiasis. Selain itu, bakteri dapat berfungsi sebagai nidus partikulat pembentukan berbagai jenis batu. Pada avitaminosis A, sel-sel yang mengelupas (deskuamasi) dari epitel yang metaplastik pada lapisan sistem pengumpul yang berfungsi sebagai nidus. Penyakit pirai (gout) dan penyakit yang mengakibatkan pergantian sel dengan cepat, misalnya leukemia, mengakibatkan kadar asam urat tinggi dalam urin dan kemungkinan terbentuknya batu asam urat. Namun, sekitar separuh orang dengan batu asam urat tidak menderita hiperurisemia atau peningkatan urat pada urin, tetapi menunjukka kecenderungan yang tidak dapat dijelaskan untuk mengekskresi urin yang selalu bersifat asam (dengan pH kurang dari 5,5). pH yang rendah ini mendorong pembentukan batu asam urat berlawanan dengan pH yang tinggi yang mendorong pembentukan batu yang mengandungi kalsium fosfat. Batu sistin hampir selalu berkaitan dengan cacat genetik dalam transpor beberapa asam amino di ginjal, termasuk sistin. Seperti batu asam urat, batu sistin cenderung terbentuk ketika urin relatif bersifat asam. Urolitiasis juga dapat terjadi akibat kurangnya substansi yang secara normal menghambat presipitasi mineral. Penghambat pembentukan kristal dalam urin termasuk protein TammHorsfall, osteopontin, pyrofosfat, mukopolisakarida, difosfonat, dan glikoprotein yang disebut nefrokalsin, namun tidak ada defisiensi salah satu substansi ini yang secara konsisten ditemukan pada orang dengan urolitiasis.



MORFOLOGI Batu biasanya bersifat unilateral pada sekitar 80% pasien. Tempat pembentukan yang lazim adalah pelvis dan kaliks ginjal, dan kandung kemih. Seringkali, banyak batu yang ditemukan pada satu ginjal. Batu-batu ini biasanya kecil (rata-rata diameter, 2 hingga 3 mm) dan mungkin halus atau bergerigi. Kadangkadang, endapan garam yang progresif mengakibatkan pembentukan struktur-struktur bercabang yang disebut sebagai kalkuli staghom/ tanduk rusa, yang membentuk cast sistem pelvis dan kaliks ginjal. Batu yang sangat besar ini biasanya terdiri dari magnesium amonium fosfat.



Perjalanan Klinis



Tabel 13-3 Prevalensi Berbagai Jenis Batu Ginjal



Batu



545



Batu dapat terbentuk tanpa menimbulkan baik gejala maupun kerusakan ginjal yang signifikan. Hal ini terutama benar untuk batu yang besar yang tersangkut di pelvis ginjal. Batu-batu yang lebih kecil dapat berjalan ke ureter, dan dapat tersangkut, sehingga menimbulkan nyeri yang sangat khas yang disebut sebagai kolik ginjal atau ureter, yang ditandai oleh nyeri pinggang paroksismal/ tiba-tiba yang meluas hingga ke pangkal paha. Seringkali pada saat ini terdapat hematuria makroskopik. Kepentingan batu secara klinis terletak pada kemampuan mereka menyumbat aliran air kemih atau menimbulkan trauma yang cukup untuk menimbulkan ulserasi dan perdarahan. Pada setiap kasus, batu merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakteri pada penderita. Untungnya, pada sebagian besar kasus, diagnosis dapat ditegakkan secara radiologik.



Hidronefrosis ±1–2



Hidronefrosis mengacu pada dilatasi pelvis dan kaliks ginjal, disertai atrofia parenkim, yang disebabkan oleh obstruksi aliran air kemih ke luar. Obstruksi ini dapat terjadi tiba-tiba atau perlahan-lahan, dan



546



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



dapat terjadi pada semua tingkat saluran kemih, dari uretra hingga pelvis ginjal. Penyebab yang paling sering dikategorikan sebagai berikut: • Kongenital: atresia uretra, pembentukan katup di dalam salah satu di antara dua bangunan apakah ureter atau uretra, arteri renalis aberan yang menekan ureter, ptosis ginjal disertai torsi, atau lipatan ureter. • Didapat  Benda asing: kalkuli, papil nekrotik yang luruh  Lesi proliferatif hiperplasia prostat jinak, karsinoma prostat, tumor kandung kemih (papiloma dan karsinoma), penyakit ganas yang letaknya berdekatan (limfoma retroperitoneal, karsinoma serviks atau uterus)  Radang: prostatitis, ureteritis, uretritis, fibrosis retroperitoneal.  Neurogenik: kerusakan medula spinalis disertai paralisis kandung kemih  Kehamilan normal: ringan dan reversibel.



Hidronefrosis bilateral terjadi hanya jika obstruksi terletak di bawah tingkatan ureter. Jika penyumbatan terjadi pada ureter atau di atasnya, lesi terjadi unilateral. Kadang-kadang terjadi obstruksi bersifat lengkap, sehingga tidak ada urin yang dapat lewat; biasanya hal itu hanya bersifat parsial.



PATOGENESIS Meskipun dengan obstruksi yang lengkap,filtrasi glomerulus menetap selama beberapa waktu, dan filtrat akan berdifusi kembali ke interstisium ginjal dan rongga perirenal, dan akhirnya kembali ke sistem limfatik dan vena. Karena filtrasi yang terus menerus, kaliks dan pelvis yang terkena mengalami dilatasi, dan seringkali sangat melebar. Tekanan yang luar biasa tinggi muncul di pelvis renalis, demikian juga yang dialirkan kembali melalui duktus koligentes, menyebabkan kompresi pembuluh darah ginjal. Baik insufisiensi arteri dan stasis vena dapat terjadi, meskipun stasis vena agaknya lebih bermakna. Efek yang paling berat terlihat pada papil karena mereka terbebani oleh peningkatan tekanan yang paling besar. Seyogyanya, gangguan fungsional awal terutama bersifat tubuler,terutama berwujud gangguan kemampuan untuk memekatkan urin. Baru kemudian filtrasi glomerulus mulai berkurang. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa kerusakan ireversibel yang serius terjadi sekitar 3 minggu setelah obstruksi yang lengkap, dan 3 bulan pada obstruksi tidak lengkap. Selain perubahan fungsi, obstruksi juga memicu reaksi inflamasi interstisium, yang akhirnya mengakibatkan fibrosis interstisial.



MORFOLOGI Hidronefrosis bilateral (dan juga hidronefrosis unilateral jika ginjal yang lain telah rusak atau tidak ada) mengakibatkan kegagalan ginjal, dan awitan uremia cenderung menghentikan perjalanan alami lesi tersebut. Sebaliknya, jangkitan unilateral berkaitan dengan sejumlah perubahan morfologik, yang bervariasi sesuai dengan derajat dan kecepatan obstruksi. Dengan obstruksi subtotal atau intermitem, ginjal dapat sangat



Gambar 13-22 Hidronefrosis ginjal, disertai dilatasi yang sangat dari pelvis dan kaliks, dan penipisan parenkim ginjal.



membesar (panjangnya dapat berkisar pada 20 cm), dan organ tersebut dapat hampir seluruhnya terdiri atas sistem pelviokaliks yang melebar. Parenkim ginjal tertekan dan mengalami atrofia, dengan obliterasi papil dan pendataran piramid (Gambar 13-22). Sebaliknya, ketika obstruksi terjadi tiba-tiba dan lengkap, filtrasi glomerulus mengalami penurunan kemampuan relatif lebih dini, dan akibatnya fungsi ginjal dapat menghilang sedangkan dilatasi masih ringan. Bergantung kepada derajat obstruksi, salah satu maupun kedua ureter mungkin mengalami dilatasi (hidroureter). Pada pemeriksaan mikroskopik, lesi yang dini menunjukkan dilatasi tubulus, diikuti oleh atrofia dan penggantian epitel tubuler dengan jaringan fibrosis, sedangkan glomerulus relatif tidak terkena.Akhirnya, pada kasus-kasus yang parah, glomeruli juga dapat menjadi atrofik dan menghilang, seluruh ginjal berubah menjadi cangkang tipis dari jaringan ikat. Dengan obstruksi yang tiba-tiba dan lengkap, dapat ditemukan nekrosis koagulatif papil renalis, mirip dengan perubahan pada nekrosis papilaris. Pada kasus yang tidak disertai penyulit reaksi radang yang menyertai bersifat minimal. Walaupun demikian, lazim ditemukan pielonefritis yang terjadi bersamaan dan membebani (superimposed).



Perjalanan Klinis Obstruksi lengkap bilateral mengakibatkan anuria, yang segera memerlukan pelayanan kedokteran. Apabila obstruksi terjadi di bawah kandung kemih, gejala yang dominan merupakan gejala akibat distensi kandung kemih. Sebaliknya, obstruksi bilateral yang tidak lengkap menyebabkan poliuria, bukan oliguria, akibat dari cacat pada mekanisme tubulus dalam memekatkan urin, sehingga dapat mengaburkan sifat alami gangguan yang sebenarnya. Sayangnya, hidronefrosis unilateral dapat sepenuhnya tidak terdeteksi dalam jangka waktu lama kecuali jika ginjal yang lain, karena alasan tertentu, tidak berfungsi. Seringkali ginjal yang membesar ditemukan pada pemeriksaan fisis rutin. Kadang-kadang, penyebab yang mendasari hidronefrosis, misalnya kalkuli ginjal atau tumor yang menyumbat, mengakibatkan gejala yang secara tidak langsung mengarah pada hidronefrosis. Jika obstruksi disingkirkan, dalam waktu beberapa



Tumor minggu, fungsi dapat kembali seperti semula; walaupun demikian, dengan perjalanan waktu, perubahan yang terjadi dapat ireversibel.



TUMOR Banyak tumor jinak dan ganas dapat terjadi dalam saluran kemih. Secara umum, tumor jinak seperti adenoma papiler korteks yang berukuran kecil (berdiameter kurang dari 0,5 cm), yang ditemukan pada 40% orang dewasa tidak memiliki kemaknaan klinis. Tumor ganas yang paling sering terjadi di ginjal adalah karsinoma sel ginjal, diikuti oleh nefroblastoma (tumor Wilms) dan tumor primer di kaliks dan pelvis ginjal, dengan frekuensi yang lebih rendah. Tipe kanker ginjal yang lain jarang dan tidak perlu dibahas di sini. Tumor saluran kemih bawah hampir dua kali lebih lazim dibandingkan karsinoma sel ginjal. Tumor-tumor ini akan dijelaskan di akhir bagian ini.



Tumor Ginjal Onkositoma Onkositoma, tumor jinak yang muncul dari sel interkalasi dari duktus koligentes mewakili sekitar 10% tumor ginjal. Tumor ini berhubungan dengan beberapa perubahan genetik hilangnya kromosom 1, 14, dan Y yang membedakan tumor ini dari neoplasma ginjal lainnya. Onkositoma secara histologis ditandai oleh banyak mitokondria, yang memberikan warna kecokelatan pada sediaan makroskopik dan sitoplasma eosinofilik granuler halus pada gambaran histologis. Jaringan parut berbentuk bintang yang terletak di tengah, yang merupakan perangai lain dari onkositoma, memberikan penampilan khas pada pencitraan. Karena ukuran yang besar serta kemiripan perangai klinis dan radiologik dengan beberapa karsinoma sel ginjal, tumor ini diobati dengan nefrektomi, untuk mencegah komplikasi seperti perdarahan spontan dan untuk menegakkan diagnosis definitif.



Karsinoma Sel Ginjal Karsinoma sel ginjal berasal dari epitel tubulus ginjal dan oleh karena itu tumor ini terutama terletak pada korteks. Tumor ini merupakan 80% hingga 85% dari seluruh tumor ganas primer pada ginjal serta 2% hingga 3% dari seluruh kanker pada orang dewasa. Data ini merupakan 58.000 kasus per tahun di Amerika Serika; 40% penderita meninggal akibat penyakit ini. Karsinoma ginjal paling sering terjadi pada dekade keenam hingga ketujuh, dan jumlah pria yang menderita mencakup sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Risiko menderita tumor ini lebih tinggi pada perokok, penderita hipertensi atau kegemukan (obesitas), dan pasien dengan pajanan okupasional (yang dialami dalam pekerjaan) terhadap kadmium. Risiko menderita karsinoma sel ginjal meningkat 30 kali lipat pada orang yang menderita penyakit polikistik sebagai komplikasi dialisis kronik. Peran faktor genetik sebagai penyebab kanker-kanker ini akan dibahas kemudian. Karsinoma sel ginjal digolongkan berdasarkan morfologi dan pola pertumbuhan. Namun, beberapa kemajuan dalam pengertian dasar genetik karsinoma ginjal telah memunculkan klasifikasi baru yang memperhatikan mekanisma molekuler dari tumor-tumor ini. Tiga bentuk yang paling sering, dibahas kemudian, adalah karsinoma sel ginjal jenis sel jernih (karsinoma sel jernih), karsinoma sel ginjal jenis papilar, dan karsinoma sel ginjal jenis kromofob.



547



Karsinoma Sel Jernih Karsinoma sel jernih adalah jenis yang paling lazim dan mencakup sekitar 65% kanker sel ginjal. Secara histologis, karsinoma ini tersusun dari sel-sel dengan sitoplasma jernih. Meskipun sebagian besar sporadik, terdapat pula tipe familial yang berkaitan dengan penyakit von Hippel-Lindau (VHL). Penelitian tentang VHL yang justru telah memberikan gambaran molekuler tentang mekanisma penyebab karsinoma sel ginjal. Penyakit VHL diwariskan sebagai pembawa sifat (trait) autosom dominan dan merupakan predisposisi terhadap berbagai neoplasma, tetapi terutama terhadap hemangioblastoma pada serebelum dan retina. Beratus-ratus kista ginjal bilateral dan karsinoma sel jernih, seringkali multipel, bilateral terjadi pada 40% hingga 60% indivu yang terkena. Mereka dengan sindrom VHL mewarisi mutasi jenis galur sel benih (germ line mutation) gen VHL pada pita kromosom 3p25 dan kehilangan alel kedua melalui mutasi somatik. Dengan demikian, kehilangan kedua kopi gen supresor tumor ini adalah kunci terjadinya karsinoma sel jernih. Gen VHL juga terlibat pada sebagian besar karsinoma sel ginjal sporadik. Kelainan sitogenetik mengakibatkan kehilangan segmen kromosom 3p14 hingga 3p26 yang seringkali ditemukan pada karsinoma sel ginjal sporadik. Regio ini mencakup gen VHL (3p25.3). Alel kedua yang tidak mengalami delesi menjadi tidak aktif akibat mutasi somatik atau hipermetilasi pada 60% kasus sporadik. Sehingga, kehilangn yang bersifat homozigot dari gen VHL merupakan kelainan molekuler yang mendasari karsinoma sel ginjal, baik jenis sporadik maupun familial. Protein VHL menyebabkan degradasi faktor-faktor yang diinduksi keadaan hipoksia/hypoxia-induced factors (HIF), dan tanpa keberadaan VHL, HIF mengalami stabilisasi. HIF merupakan faktor transkripsi yang berperan dalam karsinogenesis dengan cara menstimulasi ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular/vascular endothelial growth factor (VEGF), suatu faktor angiogenik yang penting, sebagaimana sejumlah gen lain yang mendorong pertumbuhan sel tumor (Bab 5). Karsinoma sel jernih jenis familial yang jarang karena tidak berkaitan dengan penyakit VHL, juga berhubungan dengan kelainan sitogenetik yang melibatkan lengan pendek kromosom 3 (3p). Di samping itu, penetapan urutan basa yang lebih mendalam dari genom karsinoma sel ginjal telah menunjukkan sering terjadi mutasi jenis kehilangan fungsi (loss-of-function) pada SETD2, JARIR1C, dan UTX, yang semuanya menyandi protein yang berfungsi pada regulasi metilasi histon, yang memberikan gagasan bahwa perubahan pada "epigenom" memiliki peran sentral dalam terjadinya subtipe karsinoma ginjal.



Karsinoma Sel Ginjal Papilar Karsinoma sel ginjal papiler mencakup 10% sampai 15% dari semua kanker ginjal. Sebagaimana ditunjukkan oleh sebutannya, tumor ini menunjukkan pola pertumbuhan papilar. Tumor-tumor ini seringkali multifokal dan bilateral, dan muncul sebagai tumor stadium dini. Seperti karsinoma sel jernih, tumor ini memiliki tipe familial dan sporadik, namun tidak seperti karsinoma sel jernih, karsinoma ginjal papilertidak berkaitan dengan kelainan pada kromosom 3. Penyebab pada sebagian besar kasus karsinoma sel ginjal papilar adalah protoonkogen MET, yang terletak pada bagian dari pita kromosom 7q31. Gen MET merupakan reseptor tirosin kinase untuk faktor pertumbuhan yang disebut faktor pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growth factor). Dosis gen MET yang meningkat yang disebabkan oleh duplikasi kromosom 7 agaknya mendukung pertumbuhan abnormal sel epitel tubulus proksimal yang merupakan prekursor karsinoma papilar. Pada kasus-kasus familial, analisis genetik menunjukkan mutasi galur sel benih yang bersifat aktivasi terhadap gen MET, bersamaan dengan peningkatan kadar gen pada kanker. Mutasi yang bersifat aktivasi gen MET juga ditemukan pada sub-set dari



548



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



penderita dengan karsinoma sel ginjal papiler tipe sporadik.



Karsinoma Ginjal Kromofob Karsinoma ginjal kromofob merupakan yang paling jarang, mencakup 5% dari seluruh karsinoma sel ginjal. Tumor ini berasal dari sel interkalasi (intercalated cells) duktus koligentes. Namanya berasal dari pengamatan bahwa pewarnaan sel tumor lebih gelap (yaitu kurang jernih) dibandingkan dengan sel-sel pada karsinoma sel jernih. Tumor ini unik karena memiliki banyak kehilangan keseluruhan kromosom, termasuk kromosom 1, 2, 6, 10, 13, 17, dan 21 Oleh karena itu, tumor-tumor ini menunjukkan hipodiploidi yang ekstrem. Karena banyaknya kehilangan tersebut, "criticalhit" atau kunci yang menimbulkan pertumbuhan tumor belum dapat ditentukan. Secara umum, kanker ginjal kromofob memiliki prognosis yang baik.



MORFOLOGI Karsinoma sel jernih (jenis yang paling lazim dari karsinoma ginjal) biasanya soliter dan besar jika simptomatik (massa bulat berdiameter 3 hingga 15 cm), namun teknik radiografik beresolusi tinggi untuk pemeriksaan masalah-masalah yang tidak berkaitan kadang-kadang dapat mendeteksi lesi-lesi yang lebih kecil secara insidental. Kanker ini dapat muncul di manapun pada korteks. Permukaan potongan karsinoma sel ginjal jenis sel jernih berwarna kuning hingga kuning-kemerahan hingga abu-abu putih, dengan area kistik yang lembek, atau perdarahan, yang menonjol, baik segar maupun lama (Gambar 13-23).Tepi tumor berbatas tegas. Namun, seringkali ditemukan prosesus-prosesus kecil yang menonjol ke parenkim sekitarnya serta nodul-nodul satelit kecil ditemukan, memberikan bukti yang jelas keagresifan lesi ini. Ketika tumor membesar, tumor tersebut dapat membesar melalui dinding sistem pengumpul, meluas melalui kaliks dan pelvis sampai jauh sepanjang ureter. Lebih sering lagi, tumor menginvasi vena renalis dan tumbuh sebagai silinder solid di dalam pembuluh darah, kadang-kadang



Gambar 13-24 Gambaran rinci pada pembesaran tinggi dari subtipe pola sel jernih dari karsinoma sel ginjal.



meluas dengan pola seperti ular hingga vena kava inferior dan bahkan hingga sisi kanan jantung. Kadang-kadang, invasi langsung ke lemak perinefrik dan kelenjar adrenal dapat ditemukan. Bergantung kepada jumlah lemak dan glikogen yang ditemukan, sel tumor dari karsinoma sel ginjal jenis sel jernih tampak bervakuol atau mungkin bersifat padat (solid). Gambaran klasik bervakuol (mengandungi lemak), atau sel jernih, dibatasi hanya oleh sel membran. Inti biasanya kecil dan bulat (Gambar 13-24). Dari bentuk lain yang berbeda adalah sel yang bersifat granuler, mirip dengan epitel tubulus, yang memiliki inti kecil, bulat, reguler terletak di dalam sitoplasma granuler berwarna merah muda. Beberapa tumor sangat anaplastik, dengan banyak gambaran mitosis dan inti yang sangat membesar, hiperkromatik, pleomorfik. Di antara kedua jenis sel yang berbeda sel jernih dan padat, sel yang bersifat granuler, dan berbagai gradasi di antaranya dapat ditemukan. Susunan sel, juga, sangat bervariasi. Sel-sel tersebut dapat membentuk tubulus abortif atau dapat berkelompok dalam massa trabekular atau tidak terorganisasi. Stroma biasanya sangat sedikit namun mengandungi sangat banyak pembuluh darah. Karsinoma sel ginjal papiler menunjukkan berbagai derajat pembentukan papil dengan teras (core) bersifat fibrovaskular. Karsinoma ini cenderung bersifat bilateral dan multipel. Karsinoma tersebut dapat menunjukkan bukti makroskopik adanya nekrosis, perdarahan dan degenerasi kistik, namun warnanya kurang menyolok kekuningan seperti jeruk karena kandungan lemaknya lebih rendah. Sel-sel tersebut mungkin memiliki sitoplasma yang jernih, atau, lebih lazim, merah muda. Karsinoma sel ginjal tipe kromofob cenderung berwarna cokelat-gelap pada gambaran makroskopik. Sel-sel tersebut biasanya memiliki sitoplasma yang jernih, bercorak gumpalan seperti awan, dengan membran sel yang sangat jelas (prominent) dan nyata. Inti dikelilingi oleh "halo" sitoplasma yang jernih. Pada gambaran ultrastruktur, sejumlah besar makrovesikel yang khas dapat ditemukan.



Perjalanan Klinis



Gambar 13-23 Karsinoma sel ginjal: potongan melintang yang representatif menunjukkan neoplasma kekuningan, berbentuk sferis (lonjong), pada salah satu kutub ginjal. Perhatikan di dalam tumor terdapat vena renalis yang berdilatasi serta berisi trombus.



Karsinoma sel ginjal memiliki beberapa ciri-ciri klinis yang istimewa yang mengakibatkan kesulitan khusus dan memberikan tantangan dalam menegakkan diagnosis. Gejala dan tanda bervariasi, namun manifestasi yang paling sering ditemukan adalah hematuria, yang terjadi pada lebih dari 50% kasus. Hematuria makroskopik cenderung intermiten dan bersifat cepat dan sementara, terdapat bersamaan dan menambah beban pada hematuria mikroskopik yang tidak berubah menurut waktu. Kadang-kadang, tumor dapat menunjukkan dirinya hanya karena ukurannya, yang telah tumbuh cukup besar untuk menimbulkan



Tumor nyeri pinggang dan massa yang dapat dipalpasi. Karena penggunaan teknik pencitraan yang tersebar luas untuk berbagai kondisi, yang tidak berhubungan, bahkan tumor yang lebih kecil dapat terdeteksi. Efek ekstra ginjal mencakup demam dan polisitemia, yang, karena tidak spesifik, dapat ditafsirkan salah untuk sementara waktu sebelum dipikirkan hubungannya dengan tumor ginjal. Polisitemia dialami 5% hingga 10% pasien dengan penyakit ini. Kondisi ini terjadi akibat elaborasi eritropoietin oleh sel-sel kanker. Kadang-kadang, tumor-tumor ini menghasilkan substansi mirip hormon yang mengakibatkan hiperkalsemia, hipertensi, sindrom Cushing, atau feminisasi dan maskulinisasi. Gejala-gejala ini, sebagaimana ditulis dalam Bab 5, adalah sindrom paraneoplastik. Pada banyak penderita, tumor primer biasanya tetap tidak tumbuh/tak terdeteksi dan hanya ditemukan setelah terjadi gejala yang disebabkan oleh adanya metastasis. Lokasi yang sering untuk metastasis adalah paru dan tulang. Jelas bahwa karsinoma sel ginjal dapat memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi, sebagian tidak terlalu jelas, namun trias hematuria tanpa nyeri, massa abdomen yang dapat dipalpasi dan nyeri tumpul pinggang merupakan gejala yang khas.



RINGKASAN Karsinoma Sel Ginjal Karsinoma sel ginjal mencakup 2% hingga 3% dari semua kanker pada orang dewasa dan digolongkan menjadi tiga jenis: • Karsinoma sel jernih merupakan jenis yang paling lazim dan berhubungan dengan kehilangan yang bersifat homozigot dari protein supresor tumor VHL; tumor seringkali menginvasi vena ginjal. • Karsinoma sel ginjal papiler seringkali berhubungan dengan peningkatan ekspresi dan mutasi yang bersifat aktivasi dari onkogen MET; karsinoma ini cenderung bilateral dan multipel dan menunjukkan pembentukan papil yang bervariasi. •



Karsinoma sel ginjal kromofob jarang terjadi; sel tumornya tidak sejernih sel tumor pada jenis yang lain.



Tumor Wilms Meskipun tumor Wilms jarang terjadi pada orang dewasa, penyakit ini merupakan kanker organ ketiga yang paling lazim pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun. Tumor-tumor ini mengandungi berbagai komponen sel dan jaringan, semuanya berasal dari Meskipun tumor Wilms jarang terjadi pada orang dewasa, penyakit ini merupakan kanker organ ketiga yang paling lazim pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun. Tumor-tumor ini mengandungi berbagai komponen sel dan jaringan, semuanya berasal dari mesoderm. Tumor Wilms, seperti retinoblastoma, dapat terjadi sporadis atau familial, dengan kerentanan terhadap tumorigenesis yang diwariskan sebagai pembawa sifat (trait) secara autosom dominan. Tumor ini dibahas lebih rinci pada Bab 6 bersama dengan tumor-tumor lain pada masa anak-anak. Tumor dan lesi lain pada saluran kemih bawah (ureter, kandung kemih, dan uretra) diuraikan pada Bab 17 KEPUSTAKAAN Barratt J, Feehally J: IgA nephropathy. J Am Soc Nephrol 16:2088, 2005. [Suatu informasi terkini yang komprehensif tentang patogenesis, manifestasi klinis dan pengobatan penyakit ini.] Beck LH Jr, Bonegio RG, Lambeau G, et al: M-type phospholipase A2 receptor as target antigen in idiopathic membranous nephropathy. N Engl J Med 361:11, 2009. [Penelitian yang penting yang menjelaskan tentang ditemukannya antigen pada nefropati membranosa idiopatik.] D'Agati VD: The spectrum of focal segmental glomerulosclerosis: new insights. Curr Opin Nephrol Hypertens 17:271, 2008. [Tinjauan komprehensif tentang mekanisme yang berperan dalam berbagai tipe FSGS.]



549



Genovese G, Friedman DJ, Ross MD, et al: Association of trypanolytic ApoL1 variants with kidney disease in African Americans. Science 329:841, 2010. [Penelitian penting tentang seleksi alami, menghubungkan antara varian genetik apolipoprotein L1 pada orang Amerika keturunan Afrika terhadap perlindungan dari penyakit tidur, dan risiko terjadinya penyakit ginjal.] Guay-Woodford LM: Renal cystic diseases: diverse phenotypes converge on the cilium/centrosome complex. Pediatr Nephrol 21:1369, 2006. [Tinjauan yang sangat baik tentang patofisiologi penyakit ginjal kistik, dengan penekanan terhadap peran disfungsi silia pada sel epitel tubuler.] Gubler MC: Inherited diseases of the glomerular basement membran. Nat Clin Pract Nephrol 4:24, 2008. [Tinjauan yang luarbiasa tentang patofisiologi, tampilan klinis dan strategi uji diagnostik untuk sindrom Alport, penyakit "penyakit membran basal tipis", dan jenis lain nefritis herediter.] Harris PC: 2008 Homer W. Smith Award: Insights into the pathogenesis of polycystic kidney disease from gene discovery. J Am Soc Nephrol 20:1188, 2009. [Tinjauan tentang penemuan gen-gen utama yang mengakibatkan penyakit ginjal polikistik, disertai manifestasi fenotipe.] Knowles MA: Molecular subtypes of bladder cancer: Jekyll and Hyde or chalk and cheese. Carcinogenesis 27:371, 2006. [Tinjauan komprehensif perubahan molekuler pada berbagai jenis kanker kandung kemih.] Lionaki S, Jennette JC, Falk RJ: Anti-neutrophil cytoplasmic (ANCA) and anti-glomerular basement membran (GBM) autoantibodies in necrotizing and crescentic glomerulonephritis. Semin Immunopathol 29:459, 2007. [Rangkuman yang baik tentang mekanisme jejas dan manifestasi klinis pada ANCA dan penyakit yang diperantarai antibodi anti- GBM.] Mathieson PW: Minimal change nephropathy and focal segmental glomerulosclerosis. Semin Immunopathol 29:415, 2007. [Suatu tinjauan yang baik tentang gagasan baru mengenai patogenesis dan diagnosis MCD versus FSGS.] Miller O, Hemphill RR: Urinary tract infection and pyelonephritis. Emerg Med Clin North Am 19:655, 2001. [Tinjauan yang luar biasa tentang infeksi saluran kemih akut.] Murray PT, Devarajan P, Levey AS, et al: A framework and key research questions in AKI diagnosis and staging in different environments. Clin J Am Soc Nephrol 3:864, 2008. [Tinjauan yang sangat baik yang meringkas kemajuan-kemajuan terbaru dalam diagnosis dini dan konsekuensi jejas ginjal akut.] Nsar SH, Markowitz GS, Stokes MB, et al: Acute postinfectious glomerulonephritis in modern era: experience with 86 adults and review of the literature. Medicine 87:21, 2008. [Tinjauan kontemporer tentang glomerulonefritis pasca infeksi dengan penekanan terhadap korelasi klinikopatologis dan asosiasi epidemiologik.] Ronco P, Debiec H: Membranous glomerulopathy: the evolving story. Curr Opin Nephrol Hypertens 19:254, 2010. [Tinjauan yang sangat baik tentang gagasan terbaru tentang etiologi nefropati membranosa.] Schrier RW, Wang W, Poole B, et al: Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J Clin Invest 114:5, 2004. [Tinjauan yang penuh gagasan yang mencakup semua aspek kegagalan ginjal akut.] Tryggvason K, Patrakka J, Wartiovaava J: Hereditary proteinuria syndromes and mechanisms of proteinuria. N Engl J Med 354:1387, 2006. [Tinjauan yang sangat baik tentang patofisiologi dari cacat pada permeabilitas glomerulusd] Tsai HM: The molecular biology of thrombotic microangiopathy. Kidney Int 70:16, 2006. [Tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis HUS dan TTP] Wilson PD, Goilav B: Cystic disease of the kidney. Annu Rev Pathol 2:341, 2007. (Patobiologi kondisi yang sering mengenai ginjal.] Worcester EM, Coe FL: Calcium kidney stones. N Engl J Med 363:954, 2010. [tinjauan komprehensif tentang patofisologi dan manajemen jenis yang paling lazim dari batu ginjal.]



14 BAB



Rongga Mulut dan Saluran Cerna DAFTAR ISI BAB RONGGA MULUT 551 Lesi-Lesi Peradangan Rongga Mulut 552 Ulkus Aftosis (Canker Sores) 552 Infeksi Virus Herpes Simpleks 552 Kandidiasis Rongga Mulut (Thrush) 552 Lesi-Lesi Proliferatif dan Neopiastik pada Rongga Mulut 552 Lesi Proliferatif Fibrosa 552 Leukoplakio dan Eritroplakia 553 Karsinoma Sel Skuamosa 554 Penyakit Keienjar Liur 555 Xerostomia 555 Sialadenitis 555 Neoplasma 555 Kista dan Tumor Odontogenik 557 ESOFAGUS 558 Penyakit Obstruktif dan Vaskulor 558 Obstruksi Mekanik 558 Obstruksi Fungsional 558 Ektopia 558 Varises EsoFagus 559 Esofagitis 559 laserasi 559



Esofagitis Karena Infeksi dan Kimiawi 560 Esofagitis Refluks 560 Esofagitis Eosinofilik 561 Esofagus Barrett 561 Tumor Esofagus 562 Adenokarsinoma 562 Karsinoma Sel Skuamosa 563 LAMBUNG 564 Penyakit Peradangan Lambung 564 Gastritis Akut 564 Ulserasi Peptik Akut 565 Gastritis Kronik 566 Penyakit Ulkus Peptik 568 Penyakit Neoplasma Lambung 569 Polip Lambung 569 Adenokarsinoma Lambung 570 Limfoma 571 Tumor Karsinoid 571 Tumor Stromo Saluran Cerna 572 USUS HALUS DAN KOLON 573 Obstruksi Usus 573



Saluran cerna adalah suatu saluran kosong yang terdiri atas esofagus, lambung, usus kecil, kolon, rektum, dan anus. Setiap regio memiliki fungsi yang unik, saling melengkapi dan terintegrasi sehingga bersamasama dapat mengatur pemasukan, proses, dan absorbsi nutrien serta pembuangan produk akhir atau sisa. Usus juga merupakan Iokasi utama, tempat sistem imun berhadapan dengan berbagai antigen yang terdapat pada makanan dan mikroba usus. Oleh karena itu, usus



Penyakit Hirschsprung 573 Hernia Abdominal 574 Kelainan Vaskular Usus 574 Penyakit Usus lskemik 574 Hemoroid 576 Penyakit Diare 576 Diare Malabsorpsi 576 Enterokolitis karena Infeksi 580 Penyakit Inflamasi Usus 586 Divertikulitis Sigmoid 586 Penyakit Inflamosi Usus Besor 587 Poiip Kolon dan Penyakit Neoplasma 592 Polip Inflamosi 592 Polip Hamartoma 592 Polip Hiperplostik 593 Adenoma 593 Sindrom Famili 595 Adenokarsinoma 596 APENDIKS 600 Apendisitis Akut 600 Tumor-Tumor pada Apendiks 601



kecil dan kolon sering kali terlibat dalam proses infeksi dan inflamasi. Kolon merupakan Iokasi yang paling sering untuk terjadinya kanker saluran cerna di Negara Barat. Pada bab ini, akan dibahas penyakitpenyakit pada setiap bagian pada saluran cerna. Kelainan yang sering melibatkan lebih dari satu bagian seperti penyakit Crohn, akan dimasukkan ke dalam regio yang paling sering terkena.



RONGGA MULUT Kondisi patologis dalam rongga mulut secara umum dapat dibagi menjadi penyakit pada mukosa mulut, kelenjar Iiur dan rahang. Yang dibahas selanjutnya adalah mengenai keadaan-keadaan yang sering terjadi pada Iokasi tersebut. Meskipun sering ditemukan, kelainankelainan pada gigi dan struktur penunjangnya



tidak ikut dibahas. Acuan harus dibuat pada pembahasan tertentu. Kista dan tumor odontogenik (jinak dan ganas), yang berasal dari epitel dan atau



552



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



jaringan mesenkim yang berhubungan dengan perkembangan gigi, juga dibahas secara singkat.



LESI-LESI PERADANGAN RONGGA MULUT



mungkin membutuhkan terapi antivirus. Secara morfologis, lesi-lesi tersebut menyerupai lesi-lesi pada herpes esofagus (lihat Gambar 14-8) dan herpes genital (Bab 17). Sel-sel yang terinfeksi menjadi bengkak dan mengandungi badan inklusi intranukleus yang besar dan eosinofilik. Sel-sel yang berdekatan umumnya bergabung dan membentuk polikarion besar dan berinti banyak.



Ulkus Aftosis (Conker Sores) Ulserasi mukosa superfisial secara umum dapat terjadi pada 40% populasi. Kelainan tersebut sering dijumpai pada usia dekade kedua kehidupan, sangat nyeri dan sering kambuh. Meskipun penyebab ulkus aftosis tidak diketahui, kelainan tersebut Iebih sering terjadi pada keluarga tertentu dan mungkin berkaitan dengan penyakit seliak, penyakit inflamasi usus besar (IBD) dan penyakit Behcet. Lesilesi tersebut mungkin soliter atau multipel, umumnya berupa ulkus hiperemia yang dangkal ditutupi oleh eksudat tipis dan dibatasi oleh daerah eritema sempit (Gambar 14-1). Pada sebagian besar kasus, penyakit ini dapat sembuh spontan dalam sekitar 7 hari sampai 10 hari, tetapi dapat kambuh kembali.



Infeksi Virus Herpes Simpleks Sebagian besar infeksi herpes pada mulut dan wajah disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1), sedangkan tempat lainnya disebabkan oleh HSV-2 (herpes genital). Dengan adanya perubahan perilaku seksual, HSV-2 sering ditemukan pada mulut. infeksi primer umumnya terjadi pada anak usia 2 sampai 4 tahun dan biasanya tidak bergejala. Namun, pada 10%-20% kasus, infeksi primer dapat bermanifestasi sebagai gingivostomatitis herpes akut, ditandai dengan timbulnya vesikel dan ulkus yang mendadak pada rongga mulut. Kebanyakan orang dewasa membawa HSV-1 dalam keadaan laten dan virus tersebut dapat teraktivasi kembali, menyebabkan penyakit cold sore atau stomatrtis herpes berulang. Faktor-faktor yang berkaitan dengan reaktivasi HSV di antaranya: trauma, alergi, paparan sinar ultraviolet, infeksi saluran pernapasan bagian atas, kehamilan, menstruasi, imunosupresi dan paparan suhu yang ekstrem. Lesi-lesi berulang tersebut, yang terjadi pada lokasi inokulasi primer atau pada mukosa yang diinervasi oleh ganglion yang sama. Umumnya lesi tersebut berupa kelompok-kelompok vesikel yang berukuran kecil (1 mm sampai 3 mm). Bibir (herpes Iabialis), rongga hidung, mukosa bukal, gingiva, dan langitlangit rongga mulut merupakan lokasi yang paling sering. Meskipun lesi-lesi tersebut umumnya sembuh dalam 7 hari sampai 10 hari, tetapi dapat juga bertahan lama pada pasien-pasien dengan imunitas rendah, yang



Kandidiasis Rongga Mulut (Thrush) Kandidiasis merupakan infeksi jamur tersering pada rongga mulut. Candida albicans adalah bagian dari flora normal pada mulut dan hanya menyebabkan penyakit pada keadaan tertentu. Faktor-faktor yang memengaruhinya antara lain: • Imunosupresi • Famili C. albicans • Komposisi flora mikroba pada mulut (mikrobiota) Antibiotik spektrum luas yang mengubah mikroba normal dapat memicu terjadinya kandidiasis rongga mulut. Tiga gejala klinis utama dari kandidiasis rongga mulut yaitu: pseudomembran, eritema dan hiperplasia. Pseudomembran merupakan gejala tersering dan dikenal sebagai thrush. Kondisi ini dikarakterisasi oleh membran inflamasi superfisial yang berwarna putih keabuan, terdiri atas organismeorganisme yang terjerat dalam eksudat fibrinosupuratif yang dapat dengan mudah dilepaskan untuk memperlihatkan dasar eritema di bawahnya. Pada individu yang lemah atau dengan imunosupresi ringan, seperti diabetes, infeksi tersebut umumnya tetap superfisial. Namun, infeksi tersebut dapat menyebar ke lokasi-lokasi yang dalam, berkaitan dengan keadaan imunosupresi yang lebih berat, seperti pada pasien-pasien dengan transplantasi organ atau sel punca hematopoietik, juga pasien-pasien dengan neutropenia, imunosupresi akibat obat kemoterapi atau AIDS.



RINGKASAN Lesi-Lesi Peradangan Rongga Mulut • •







Ulkus aftosis adalah ulkus superfisial yang terasa nyeri dengan etiologi yang masih belum diketahui, mungkin berhubungan dengan penyakit sistemik. Virus herpes simpleks menyebabkan infeksi yang dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya berupa: vesikel (cold sores, fever blisters) yang dapat pecah dan sembuh tanpa bekas luka, tetapi sering meninggalkan virus dalam fase laten di ganglion saraf. Reaktivasi virus bisa terjadi. Kandidiasis rongga mulut dapat terjadi ketika mikroba mulut terganggu (contoh: setelah penggunaan antibiotik). Penyakit invasif dapat terjadi pada orangorang dengan imunosupresi.



LESI-LESI PROLIFERATIF DAN NEOPLASTIK PADA RONGGA MULUT Lesi Proliferatif Fibrosa Gambar 14-1 Ulkus aftosa.U1serasi tunggal dengan halo kemerahan di sekitar suatu membran fibrinopurulen yang kekuningan.



Fibroma (Gambar 14-2, A) adalah massa jaringan fibrosa nodular di submukosa yang terbentuk apabila terdapat iritasi kronik sehingga menyebabkan reaksi hiperplasia jaringan ikat. Kelainan



Lesi-Lesi Proliferatif dan Neoplastik pada Rongga Mulut



A



553



B



Gambar 14-2 Proliferasi fibrosa. A, Fibroma. Nodul eksofitik. merah jambu, halus pada mukosa pipi. B, Granuloma piogenik. Massa eksofitik merah hemoragik, timbul dari mukosa gusi.



ini sering terjadi pada mukosa bukal sepanjang garis gigitan dan diduga merupakan reaksi terhadap iritasi kronik. Pengobatannya adalah dengan pembedahan eksisi komplit dan menghilangkan sumber iritasi. Granuloma piogenik (Gambar 14-2, B) adalah massa menonjol yang biasanya ditemukan pada gingiva anak-anak, dewasa muda, dan wanita hamil. ini mengandungi banyak pembuluh darah dan khas terdapat ulkus yang berwarna merah keunguan. Pada beberapa kasus, pertumbuhannya bisa cepat dan menambah kecurigaan sebagai tumor ganas. Namun, pemeriksaan histologis menunjukkan adanya proliferasi pembuluh darah imatur yang padat sama dengan yang terlihat pada jaringan granulasi. Granuloma piogenik dapat mengalami regresi, maturasi menjadi massa jaringan ikat padat atau menjadi ossifying fibroma perifer. Pernbedahan eksisi komplit merupakan pengobatan definitif.



Leukoplakia dan Eritroplakia Leukoplakia didefinisikan oleh World Health Organization sebagai "lesi/plak berwarna putih yang tidak dapat dilepaskan dengan kerokan dan tidak dapat dikarakterisasi secara klinis maupun patologis sebagai penyakit tertentu lainnya". lstilah klinis ini digunakan untuk lesi-lesi yang terjadi pada rongga mulut tanpa adanya faktor etiologis yang diketahui (Gambar 14-3, A). Dengan demikian, plak keputihan yang disebabkan oleh iritasi yang jelas atau penyebab tertentu seperti: liken planus dan kandidiasis, tidak disebut sebagai leukoplakia. Sekitar kurang lebih 3% populasi dunia mempunyai lesi leukoplakia, di mana 5% sampai 25% adalah lesi pra kanker dan dapat mengalami progresi menjadi karsinoma seI skuamosa. Namun, selama masih belum dibuktzkan melalui pemeriksaan histologis, semua leukoplakia harus dianggap sebagai lesi prakanker. Lesi lainnya yang berhubungan tetapi jarang ditemukan adalah eritroplakia yaitu area kemerahan seperti beludru, kadang-kadang erosif yang datar atau sedikit lebih rendah daripada mukosa di sekitarnya. Eritroplakia berkaitan dengan risiko yang jauh lebih besar terhadap transformasi menjadi ganas dibandingkan leukoplakia. Leukoplakia dan eritroplakia dapat ditemukan pada orang dewasa segala usia, umumnya terjadi pada orang-orang berusia antara 40 tahun sampai 70 tahun, dengan perbandingan 2:1, antara pria dan wanita. Meskipun etiologinya multifaktor pemakaian tembakau (rokok, pipa, cerutu, dan rnengunyah tembakau) adalah faktor risiko tersering sebagai penyebab Ieukoplakia dan eritroplakia.



A



B Gambar 14-3 Leukoplakia. A, Penampilan klinis leukoplakia sangat bervariasi. Pada contoh ini, lesi permukaannya halus dengan tepi yang jelas dan sedikit meninggi. B, Gambaran histologis leukoplakia menunjukkan displasia, ditandai oleh pleomorfi inti dan sel dan hilangnya maturasi normal.



554



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



MORFOLOGI Leukoplakia mencakup beberapa gambaran histologis mulai dari hiperkeratosis yang meiapisi penebalan dan akantosis pada mukosa sampai displasia yang kadangkadang disertai dengan karsinoma in situ (Gambar 14-3. B). Perubahan displasia yang paling berat berkaitan dengan eritroplakia dan lebih dari 50% kasus tersebut mengalami transformasi ganas. Dengan meningkatnya displasia dan anaplasia maka sering terjadi infiftrat sel-sel radang seperti limfosit dan makrofag di bawahnya.



Karsinoma Sel Skuamosa Sekitar kurang lebih 95%, kanker rongga mulut adalah karsinoma sel skuamosa, sedangkan sisanya adalah adenokarsinoma dari kelenjar liur, seperti yang akan didiskusikan kemudian. Keganasan epitelial yang agresif ini merupakan neoplasma urutan ke-enam tersering di dunia saat ini. Sekalipun dengan berbagai pengobatan mutakhir, secara keseluruhan ketahanan hidup jangka panjang kurang dari 50% selama 50 tahun. Hasil yang buruk ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama bahwa kanker mulut sering didiagnosis pada stadium lanjut. Tumor primer multipel dapat ditemukan pada diagnosis awal, namun sering terdeteksi kemudian, dengan perkiraan rata-rata 3% sampai 7% per tahun, pasien yang bertahan hidup 5 tahun setelah didiagnosis tumor awal memiliki 35% kemungkinan timbul sedikitnya satu tumor primer baru selama jangka waktu tersebut. Pembentukan tumor sekunder tersebut dapat menjadi faktor perburukan pada orang-orang dengan lesi awal yang kecil. Dengan demikian, meskipun usia ketahanan hidup 5 tahun lebih besar dari 50% bagi pasien dengan tumor yang kecil, pasien-pasien ini sering meninggal karena tumor primer kedua. Oleh karena itu, pengawasan dan deteksi dini dari lesilesi prakanker baru sangat penting bagi ketahanan hidup jangka panjang pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa mulut. Peningkatan risiko dengan adanya penambahan tumor primer pada pasien ini mencetuskan konsep field cancerization. Hipotesis ini menduga bahwa tumor primer multipel terbentuk secara bebas sebagai akibat adanya paparan kronik mukosa terhadap karsinogen, seperti: alkohol atau tembakau (didiskusikan selanjutnya).



FATOGENESIS Karsinoma skuamosa dari orofaring terjadi melalui dua jalur patogenesis yang berbeda. Kelompok tumor pertama, terjadi dalam rongga mulut umumnya pada orang-orang dengan alkoholisme kronik dan tembakau (baik perokok dan pengunyah tembakau). Pemeriksaan lebih dalam terhadap kanker ini menunjukkan adanya mutasi pada daerah molekuler spesifik yang sesuai dengan paparan karsinogen dalam tembakau. Mutasi ini sering melibatkan TP53 dan gen-gen yang meregulasi diferensiasi sel-sel skuamosa, seperti p63 dan NOTCHI. Kelompok tumor kedua, sering terjadi pada kripta-kripta tonsil atau pada dasar lidah yang mengandungi varian onkogenik dari human papillomovirus (HPV), khususnya HPV- I 6.Tumor ini bisa terjadi dengan jumlah mutasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang berkaitan dengan paparan



tembakau dan sering terdapat ekspresi berlebihan dari p I 6, yaitu penghambat kinase yang bergantung pada siklin. Diperkirakan insidens terjadinya karsinoma sel skuamosa orofaring yang berkaitan dengan HPV akan melebihi jumlah kanker serviks pada dekade berikutnya. Hal ini juga dapat disebabkan karena lokasi anatomik tumor yaitu: kripta tonsil, dasar lidah dan orofaring belum dapat memiliki akses untuk pemeriksaan skrining sitologis (tidak seperti serviks). Sebagai catatan, prognosis pasien dengan tumor yang HPV positif lebih baik dibandingkan dengan tumor yang HPV negatif. Vaksin HPV, yang dapat memproteksi terhadap kanker serviks, diharapkan dapat menahan peningkatan frekuensi karsinoma sel skuamosa orofaring akibat HPV. Di lndia dan Asia Tenggara, mengunyah sirih dan gambir merupakan faktor risiko penting Gambir adalah "ramuan penyihir" (witch's brew) yang mengandungi kacang araca, kapur dan tembakau yang dibungkus daiam daun sirih. Diduga tumor dapat timbul dengan jalan yang mirip dengan tumor yang terjadi akibat tembakau di Negara Barat.



MORFOLOGI Karsinoma sel skuamosa dapat timbul pada area manapun dalam rongga mulut. Namun, lokasi terseringnya adalah permukaan ventral dari lidah, dasar mu4lut, bibir bawah, palatum lunak dan gingiva (Gambar 14-4, A). Pada stadium awal, kanker ini dapat berupa plak yang meninggi, kenyal, seperti mutiara atau penebalan mukosa yang tidak beraturan, kasar atau berbentuk verukosa. Kedua bentuk tersebut dapat saling tumpang tindih dengan latar belakang adanya leukoplakia atau eritroplakia. Lesilesi yang ukurannya membesar akan membentuk ulkus dan rnassa menonjol dengan batas tidak tegas serta indurasi atau tepinya menebal. Pemeriksaan histopatologis menunjukkan karsinoma sel skuamosa terbentuk dari lesi prekursor dengan displasia. Gambaran histologis bervariasi mulai dari karsinoma sel skuamosa berkeratin berdiferensiasi baik (Gambar 14-4, B) sampai tumor yang anaplastik, kadangkadang sarkomatoid. Namun demikian derajat diferensiasi histologis yang ditentukan oleh keratinisasi, tidak sepenuhnya berhubungan dengan perilaku biologis. Umumnya, karsinoma sel skuamosa oral akan menginfiltrasi secara lokal sebelum bermetastasis. Kelenjar getah bening leher merupakan tempat metastasis regional tersering, metastasis jauh biasanya melibatkan kelenjar getah bening mediastinum, paru dan hati.



RINGKASAN Lesi-Lesi pada Rongga Mulut • • • • •



Fibroma dan granuloma piogenik adalah lesi reaktif yang umum dijurnpai pada mukosa mulut. Leukoplakia adalah plak pada mukosa yang dapat mengalami transformasi ganas. Risiko terjadinya transformasi ganas lebih besar pada eritroplakia (dibandingkan leukoplakia). Sebagian besar kanker rongga mulut adalah karsinoma sel skuarnosa. Karsinoma sel skuamosa rongga mulut biasanya dikaitkan dengan penggunaan tembakau dan alkohol, namun saat ini insidens lesi-lesi yang berhubungan dengan HPV semakin meningkat.



Penyakit Kelenjar Liur



555



Rongga mulut dapat menunjukkan mukosa yang kering dan atau atrofia dari papil-papil lidah dengan fisura dan ulserasi, atau pada Sindrom Sjiigren dengan inflamasi yang menyebabkan pembesaran kelenjar liur. Komplikasi xerostomia, termasuk meningkatkan risiko karies gigi dan kandidiasis serta kesulitan dalam menelan dan berbicara.



Sialadenitis



A



B Garnbar 14-4 Karsinoma sel skuamosa rongga mulut. A, Penampilan klinis menunjukkan ulserasi dan indurasi mukosa rongga mulut. B, Gambaran histologis menunjukkan banyak sarang-sarang dan pulau-pulau sel keratin ganas menginvasi stroma jaringan ikat di bawahnya.



PENYAKIT KELENJAR LIUR Terdapat tiga kelenjar liur mayor parotis, submandibula, dan sublingual serta banyak sekali kelenjar liur minor yang tersebar sepanjang mukosa mulut. Penyakit inflamasi atau neoplasma dapat terjadi pada setiap kelenjar-kelenjar tersebut.



Xerostomia Xerostomia didefinisikan sebagai mulut kering, akibat menurunnya produksi saliva atau liur. Insidensnya bervariasi antar populasi, tetapi telah dilaporkan bahwa lebih dari 20% individu tersebut berusia di atas 70 tahun. Hal ini juga merupakan gejala utama dari penyakit autoimun, yang dikenal sebagai sindrom SjtSgren (SS) yang biasanya didampingi oleh mata kering (Bab 4). Berkurangnya sekresi liur juga merupakan komplikasi utama dari terapi radiasi. Namun, xerostomia paling sering ditemukan sebagai akibat dari banyaknya konsumsi obatobatan yang termasuk dalam jenis antikolinergik, antidepresan/ antipsikotik, diuretik, antihipertensi, sedatif, relaksasi otot, analgesik dan antihistamin.



Sialadenitis atau radang kelenjar liur dapat diinduksi oleh trauma, infeksi virus atau bakteri, atau penyakit autoimun. Bentuk tersering dari sialadenitis virus adalah gondong (mumps), yang dapat menyebabkan pembesaran semua kelenjar liur tetapi terutama melibatkan kelenjar parotis. Virus gondong adalah paramyxovirus yang masih berkaitan dengan virus influenza dan parainfluenza. Gondong menyebabkan radang interstisial yang ditandai oleh infiltrat radang mononuklear. Meskipun penyakit gondong pada anakanak seringkali merupakan kondisi ringan yang dapat sembuh sendiri, tetapi pada orang dewasa penyakit tersebut dapat menyebabkan pankreatitis atau orkitis. Orkitis terkadang menyebabkan steril. Mukokel merupakan lesi peradangan tersering dari kelenjarkelenjar liur dan disebabkan oleh sumbatan atau ruptur duktus atau saluran kelenjar liur, yang mengakibatkan kebocoran liur ke dalam stroma jaringan ikat sekitarnya. Mukokel terjadi paling sering pada anak-anak, dewasa muda dan orang usia tua dan khas bermarfifestasi sebagai pembengkakan yangberfluktuasi pada bibir bawah dengan ukuran yang dapat berubah, khususnya berkaitan dengan makan (Gambar 14-5, A). Pemeriksaan histologis menunjukkan ruang seperti kista yang dilapisi jaringan granulasi dan radang atau jaringan ikat yang penuh berisi musin dan sel-sel radang, khususnya makrofag (Gambar 14-5, B). Eksisi lengkap dari kista dan lobulus kelenjar liur minor merupakan pengobatan definitif. Sialadenitis bakterial adalah infeksi yang sering terjadi dan paling banyak melibatkan kelenjar liur mayor, khususnya kelenjar submandibula. Patogen yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus auretis dan Streptococcus viridans. Obstrulcsi duktus oleh batu (sialolithiasis) adalah kondisi yang mendahului terjadinya infeksi; kondisi tersebut juga dapat diinduksi oleh dampak debris makanan atau edema akibat luka. Dehidrasi dan menurunnya fungsi sekresi juga merupakan faktor predisposisi untuk invasi bakteri dan terkadang berkaitan dengan terapi phenothiazine jangka panjang, yang menekan sekresi liur. Dehidrasi sistemik dengan menurunnya sekresi liur dapat menjadi predisposisi untuk parotitis bakterial supuratif pada pasien usia tua setelah operasi besar pada toraks atau abdomen. Proses obstruksi ini dan invasi bakteri menyebabkan radang nonspesifik pada kelenjar yang terkena yang mungkin kebanyakan tipe interstisial atau jika diinduksi oleh stafilokokus atau piogen lain, dapat menyebabkan nekrosis supuratif dan pembentukan abses. Sialadenitis autoimun, juga disebut sebagai sindrom Sjogren, akan didiskusikan pada Bab 4.



Neoplasma Meskipun morfologinya relatif sederhana, kelenjar liur dapat menyebabkan sedikitnya 30 tumor dengan histologi yang berbeda. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14-1, lebih dari 90% tumor hanya



556



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



terdiri atas beberapa jenis tumor saja. Secara keseluruhan, tumor kelenjar liur relatif jarang, hanya mewakili kurang dari 2% dari semua tumor pada manusia. Sekitar 65% sampai 80% terjadi pada parotis, 10% pada kelenjar submandibula dan sisanya pada kelenjar liur minor, termasuk kelenjar sublingual. Sekitar 15% sampai 30% tumor pada kelenjar parotis adalah ganas. Sebaliknya, sekitar 40% pada submandibula, 50% pada kelenjar liur minor dan 70%-90% tumor sublingual adalah ganas. Dengan demikian agaknya tumor kelenjar liur yang ganas secara kasar berbanding terhalik dengan ukuran kelenjar. Tumor kelenjar liur umumnya terjadi pada orang dewasa, dengan sedikit lebih banyak pada wanita, tetapi sekitar 5% terjadi pada anakanak berumur kurang dari 16 tahun. Apa pun pola histologisnya, neoplasma kelenjar parotis menyebabkan pembengkakan di depan dan bawah telinga. Secara umum, ketika didiagnosis pertama kali baik Iesi jinak dan ganas umumnya berdiameter 4 cm sampai 6 cm dan bergerak bebas pada palpasi, kecuali pada kasus tumor ganas yang terabaikan. Tumor jinak bisa sudah dirasakan beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum datang ke klinis sedangkan kanker umumnya datang lebih cepat, kemungkinan karena tumbuh lebih cepat. Namun demikian, tidak ada kriteria yang dapat



A



Tabel 14-1 Klasifikasi Histopatologis dan PrevalensiTumor Kelenjar Liur Jinak dan Ganas Tersering



jinak



Ganas



Adenoma pleomorfik (50%) Tumor Warthin (5%) Onkositoma (2%) Kistadenoma (2%) Adenoma sel basal (2%)



Karsinoma mulsoepidermoid (15%) Karsinomaasinik (6%) Adenokarsinoma tanpa spesifikasi (6%) Karsinoma adenoid kistik (4%) Tumor campuran ganas (3%)



IN105, tanpa spe.sifikas. Data dari Ellis GLAuriair PLGriepp Dft Surgical PethoSogy of the Salivary Glaods, Vol 25: Mapar Problems in Path&oRr, Philadelpha WB Saunders, 1991-



diandalkan untuk membedakan lesi jinak dan ganas secara klinis sehingga evaluasi histopatologis menjadi sangat penting.



Adenoma Pieiomorfik Adenoma pleiomorfik merupakan massa berbatas tegas yang tidak sakit, tumbuh lambat dan bergerak bebas. Tumor tersebut mewakili sekitar 60% tumor di parotis, jarang pada kelenjar submandibula dan sangat jarang pada kelenjar liur minor. Adenoma pleiomorfik adalah tumor jinak yang terdiri atas campuran sel-sel duktal (epitelial) dan mioepitelial, sehingga tumor tersebut bisa berdiferensiasi sebagai tumor epitelial maupun tumor mesenkimal. Elemen atau unsur epitelial tersebar diseluruh matriks yang mengandung campuran yang bervariasi dari jaringan miksoid, hialin, kondroid (kartilago) dan bahkan tulang. Pada beberapa adenoma pleomorfik, unsur epitelial lebih banyak tetapi, pada yang lainnya unsur tersebut hanya terdapat pada fokus-fokus yang tersebar luas. Ketidakseragaman histologis ini menimbulkan nama alternatif lain tetapi kurang diminati yaitu tumor campur. Tumor ini secara konsisten memperlihatkan faktor transkripsi PLAG1, yang berlebihan, sering dikarenakan penyusunan ulang kromosom yang melibatkan gen PLAGI. Namun bagaimana PLAG1 berperan pada pertumbuhan tumor masih belum diketahui. Adenoma pleomorfik dapat timbul lagi bila eksisi tidak lengkap. Tingkat kekambuhannya mencapai 25% setelah enukleasi tumor secara sederhana, tetapi hanya sekitar 4% setelah reseksi Iuas. Pada kedua tindakan tersebut, rekurensi disebabkan oleh kegagalan mengetahui adanya ekstensi kecil dari tumor pada jaringan lunak sekitarnya. Karsinoma yang terjadi pada adenoma pleiomorfik dikenal sebagai karsinoma eksadenoma pleiomorfik atau tumor campur ganas. Insidens adanya transformasi ganas meningkat seiring waktu dari 2% pada tumor yang belum sampai 5 tahun dan hampir 10% pada tumor yang yang sudah lewat 15 tahun. Kanker tersebut umumnya berupa adenokarsinoma atau karsinoma tidak berdiferensiasi. Sayangnya, kanker ini salah satu neoplasma ganas yang paling agresif dari kelenjar liur dengan tingkat mortalitas 30% sampai 50% dalam 5 tahun.



MORFOLOGI



B Gambar 14-5 Mukokel. A, Lesi terisi cairan berfluktuasi pada bibir bawah sesudah trauma. B, Rongga seperti kista (karton) terisi materi musin dan dibatasi oleh jaringan granulasi dengan organisasi.



Adenoma pleomorfik khususnya bermanifestasi sebagai massa bulat dan berbatas tegas, yang ukuran terbesarnya jarang melebihi 6 cm dalam dimensi terbesar. Meskipun tumor tersebut bersimpai, namun pada beberapa lokasi (khususnya di palatum), simpai tersebut tidak sepenuhnya terbentuk dan pertumbuhan ekspansifnya menimbulkan tonjolan ke dalam jaringan sekitarnya. Penampang pada potongan, berwarna putih keabuan dan umumnya mengandungi area miksoid dan kondroid yang bening kebiruan (seperti kartilago). Gambaran histologis utama yang paling mencolok adalah karakteristik heterogenitasnya.



Kista dan Tumor Odontogenik



557



Gejala klinis dan prognosisnya tergantung pada derajat histologisnya. Tumor derajat rendah dapat menginvasi secara lokal dan kambuh pada sekitar 15% kasus tetapi metastasis jarang terjadi dan memiliki tingkat ketahanan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Sebaliknya, neoplasma derajat tinggi dan derajat yang lebih rendah, tumor derajat menengah bersifat invasif dan sulit dieksisi. Akibatnya, tumor tersebut kambuh pada 25% sampai 30% kasus dan sekitar 30% bermetastasis ke tempat jauh. Tingkat ketahanan hidup 5 tahun hanya 50%.



A



B



Gambar 14-6 Adenoma pleomorfik. A, Lapang pandang kecil menunjukkan tumor berbatas tegas dengan parenkim kelenjar liur normal di sebelahnya. B, Lapang pandang besar menunjukkan sel epitel, serta sel mioepitel dalam massa matriks kondroid



Unsur epitelial menyerupai duktus atau mioepitelial yang tersusun dalam duktus, asinus, tubulus yang iregular, pita atau bahkan lembaran. Berbagai bentuk tersebut secara khusus tersebar dalam latar belakang seperti mesenkim dari jaringan miksoid longgar yang mengandungi pulau-pulau kondroid dan sangat jarang fokus tulang (Gambar 14-6). Kadang-kadang sel-sel epitel membentuk duktus yang berkembang baik yang dilapisi oleh kuboid sampai kolumnar dan di bawahnya terdapat selapis sel mioepitel kecil yang hiperkromatik. Pada kasus lain mungkin terdapat pita-pita atau lembaran-lembaran sel-sel mioepitel. Pulau-pulau yang terdiri dari epitel skuamosa berdiferensiasi baik juga mungkin ada. Dalam banyak kasus. tidak ada displasia epitel atau aktivitas mitosis yang nyata. Tidak ada perbedaan dalam perilaku biologis yang diobservasi antara tumor yang tersusun sebagian besar oleh unsur epitel dan tumor-tumor yang tersusun sebagian besar oleh unsur mesenkim.



Karsinoma Mukoepidermoid Karsinoma mukoepidermoid tersusun dari berbagai variasi campuran dari sel-sel skuamosa, sel-sel dengan sekresi mukus dan sel-seI intermediate. Neoplasma ini mewakili sekitar 15% dari semua tumor kelenjar liur dan meskipun tumor tersebut terdapat terutama (60% sampai 70%) di parotis, tumor tersebut merupakan sebagian besar neoplasma kelenjar liur pada kelenjar lain, khususnya kelenjar liur minor. Secara keseluruhan, karsinoma mukoepidermoid adalah bentuk yang paling sering dijumpai pada tumor ganas primer kelenjar liur. Hal itu sering berkaitan dengan penyusunan ulang kromosom yang melibatkan MAML2, yaitu gen yang mengkode sinyal protein dalam jalur Notch.



MORFOLOGI Karsinoma mukoepidermoid dapat tumbuh sampai sebesar diameter 8 cm dan meskipun tumor tersebut tampaknya berbatas, tetapi tumor tersebut tidak berkapsul dan sering infrltratif. Penampang potongannya berwarna abu-abu pucat-putih dan sering menunjukkan kista kecil yang berisi musin. Pada pemeriksaan histologrs, tumor ini mengandungi sel yang tersusun seperti tali, lembaran atau kista yang dilapisi oleh sel skuamosa, sel mukus atau sel intermediate. Sei intermediate ini adalah sel tipe gabungan antara gambaran skuamosa dan vakuol berisi musin, yang mudah dideteksi dengan pewarnaan musin. Secara sicologik, sel-sel tumor dapat terlihat jinak atau sangat anaplastik dan tidak salah lagi ganas. Dengan dasar ini, karsinoma mukoepidermoid diklasifrkasikan sebagai derajat rendah, menengah, atau tinggi.



RINGKASAN Penyakit Kelenjar Liur • •







Sialadenitis (inflamasi kelenjar liur) dapat disebabkan oleh trauma, infeksi (seperti gondong) atau reaksi autoimun. Adenoma pleomorfik adalah neoplasma yang tumbuh lambat, terdiri atas campuran berbagai sel-sel epitel dan mesenkim. Karsinoma mukoepidermoid adalah neoplasma ganas dengan agresifitas biologisnya yang bervariasi dan terdiri dari campuran sel-sel skuamosa dan mukus.



KISTA DAN TUMOR ODONTOGENIK Berbeda dengan organ tubuh lainnya pada rahang sering ditemukan, kista berlapiskan epitel. Mayoritas kista-kista ini berasal dari sisa-sisa epitel odontogenik. Secara umum, kista-kista ini disubklasifikasi menjadi kista inflamasi atau kista pertumbuhan. Hanya lesi-lesi tersering saja yang dibahas di sini. Kista dentigerous berasal dari sekitar mahkota gigi yang tidak erupsi dan diduga merupakan akibat dari degenerasi folikel dental (jaringan primordial yang membuat permukaan enamel gigi). Pada evaluasi radiologis, lesi-lesi unilokular ini sering berhubungan dengan gigi geraham (molar) ke-tiga yang terjepit. Kista tersebut dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tipis yang umumnya disertai dengan infiltrat inflamasi kronik yang padat pada jaringan ikat di bawahnya. Pengobatannya dengan reseksi lengkap. Kista keratin odontogenik dapat timbul pada berbagai usia, tetapi paling sering pada orang-orang berusia antara 10 tahun sampai 40 tahun, lebih banyak pada laki-laki dan umumnya berlokasi di mandibula bagian posterior. Perbedaan antara kista keratin odontogenik dengan kista odontogenik lainnya penting karena bersifat lokal agresif dan angka rekurensinya lebih tinggi. Pada evaluasi radiologis, kista keratin terlihat sebagai gambaran radiolusen unilokular atau multilokular yang berbatas tegas. Pada pemeriksaan histologis, kista tersebut dilapisi oleh lapisan tipis dari epitel gepeng berlapis yang parakeratotik atau ortokeratotik dengan lapisan sel basal yang prominen dan epitel permukaan lumen yang berkerut. Pengobatannya membutuhkan reseksi agresif dan lengkap, tingkat kekambuhan mencapai 60% dan berhubungan dengan reseksi yang inadekuat. Kista keratin odontogenik multipel dapat terjadi, urnutrulya pada pasien dengan sindrom karsinoma sel basal nevoid (Sindrom Gorlin). Sebaliknya dengan kista pertumbuhan yang telah diuraikan, etiologi kista periapikal adalah inflamasi. Lesi ini sangat sering dijumpai pada apeks gigi sebagai



558



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



akibat dari pulpitis yang lama, yang dapat disebabkan oleh karies lanjut atau trauma. Nekrosis jaringan pulpa yang dapat melewati seluruh akar gigi dan keluar melalui apeks gigi ke sekitar tulang alveolar dapat menyebabkan abses periapikal. Selanjutnya bisa terjadi, jaringan granulasi (dengan atau tanpa lapisan epitel). Hal ini sering menyebabkan granuloma periapikal. Meskipun lesi ini tidak sesuai dengan inflamasi granulornatosa yang sebenamya namun, terminologi lama seperti kebiasaan buruk, sukar diubah. Lesi inflamasi periapikal tetap ada sebagai akibat adanya bakteri atau agen ofensif Iainnya di area tersebut. Pengobatan yang berhasil, memerlukan pengangkatan lengkap dari materi yang rusak diikuti oleh restorasi atau ekstraksi gigi tersebut. Tumor odontogenik merupakan gabungan berbagai lesi dengan berbagai gambaran histologis dan perilaku klinis. Beberapa kelainan adalah neoplasma, baik jinak atau ganas, sedangkan lainnya diperkirakan sebagai hamartoma. Tumor odontogenik berasal dari epitel odontogenik atau, ektornesenkim atau keduanya. Dua buah tumor yang paling sering dan secara klinis penting adalah ameloblastoma dan odontoma.



Ametoblastoma berasal dari epitel odontogenik dan tidak menunjukkan diferensiasi kondroid atau oseus (tulang). Lesi kistik khusus ini tumbuh lambat dan rneskipun bersifat invasif lokal tetapi, memiliki sifat indolen. Odontoma, adalah tumor odontogenik yang paling sering terjadi dan, berasal dari epitel tetapi menunjukkan banyak deposit enamel dan dentin. Odontomas dapat disembuhkan dengan eksisi lokal.



RINGKASAN Kista dan Tumor Odontogenik • • • •



Rahang merupakan lokasi paling sering terjadinya kista berlapiskan epitel yang berasal dari sisa odontogenik. Kista keratin odontogenik bersifat lokal agresif dengan tingkat rekurensi yang tinggi. Kista periapikal merupakan lesi inflamasi reaktif yang berkaitan dengan karies atau trauma dental. Tumor odontogenik yang tersering adalah ameloblastoma dan odontoma.



ESOFAGUS Esofagus terbentuk dari bagian kranial foregut. Esofagus adalah tabung muskular yang dapat sangat melebar yang memanjang dari epiglotis sampai batas esofagus dan lambung berlokasi tepat di atas diafragma. Penyakit yang didapat pada esofagus bervariasi dari kanker yang mematikan sampai "nyeri ulu hati" dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari penyakit kronik dengan rasa lemah, hingga yang sangat mengganggu.



PENYAKIT OBSTRUKTIF DAN VASKULAR Obstruksi Mekanik Atresia, fistula, dan duplikasi dapat terjadi pada berbagai bagian saluran cerna. Jika hal tersebut terjadi pada esofagus, kelainan tersebut akan diketahui segera setelah lahir, umumnya karena regurgitasi saat makan dan harus segera dikoreksi. Tidak adanya atau agenesis dari esofagus sangat jarang terjadi. Atresia, yaitu batang tipis tanpa saluran yang menggantikan segmen esofagus lebih sering terjadi. Atresia terjadi paling sering pada atau dekat percabangan trakea dan biasanya berkaitan dengan fistula yang menghubungkan kantung esofagus bagian atas atau bawah ke bronkus atau trakea. Hubungan abnormal ini dapat mengakibatkan aspirasi, sufokasi, pneumonia atau ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang berat. jalannya makanan dapat tersumbat oleh stenosis esofagus. Secara umum penyempitan tersebut disebabkan oleh penebalan jaringan ikat pada submukosa, atrofia dari muskularis propria dan kerusakan epitel sekunder. Stenosis paling sering sebagai akibat inflamasi dan jaringan parut yang dapat disebabkan oleh refluks gastroesofagus kronik, iradiasi atau cedera lainnya. Disfagia yang berhubungan dengan stenosis biasanya progresif dan kesulitan menelan makanan padat umumnya terjadi lama sebelum terjadi masalah dengan makanan cair.



Obstruksi Fungsional Penyaluran makanan dan cairan yang efisien ke lambung membutuhkan koordinasi gerakan kontraksi peristaltik. Dismotilitas esofagus mengganggu proses ini dan dapat terjadi beberapa bentuk, yang semuanya khas dengan kontraksi yang tidak terkoordinasi dan spasme muskularis. Karena hal ini meningkatkan tekanan pada dinding esofagus, spasme juga dapat menyebabkan pembentukan divertikel kecil. Peningkatan tonus sfingter esofagus bawah (LES atau lower esophageal sphincter) dapat merupakan akibat dari gangguan relaksasi otot polos, yang mengakibatkan obstruksi esofagus. Akalasia khas dengan triad yang terdiri atas relaksasi LES yang tidak lengkap, peningkatan tonus LES dan aperistaltik esofagus. Akalasia primer disebabkan oleh gagalnya neuron inhibisi esofagus distal dan dikenal dengan definisi, idiopatik. Perubahan degeneratif persarafan, baik yang intrinsik di esofagus, maupun dalam saraf vagus di luar esofagus ataupun nukleus motorik dorsal dari vagus, dapat juga terjadi. Akalasia sekunder mungkin terjadi pada penyakit Chagas, di sini terjadi infeksi Trypanosoma cruzi, yang menyebabkan destruksi pleksus mienterik, kegagalan relaksasi LES dan dilatasi esofagus. Penyakit Chagas dapat juga memberi efek pada pleksus mienterik duodenum kolon dan ureter. Penyakit yang menyerupai akalasia, dapat disebabkan oleh neuropati autonom pada diabetes, kelainan infiltratif seperti keganasan, amiloidosis atau sarkoidosis dan lesi nukleus motorik dorsal yang mungkin terjadi pada polio atau ablasi bedah.



Ektopia Jaringan ektopik (sisa perkembangan) sering ditemukan di saluran cerna. Lokasi tersering dari mukosa gastrik ektopik adalah di sepertiga atas esofagus, di sini disebut sebagai bercak pintu masuk (inlet patch). Meskipun adanya jaringan tersebut pada umumnya asimptomatik, namun asam yang dikeluarkan oleh mukosa lambung di esofagus, dapat menyebabkan



Esofagitis



559



disfagia, esofagitis, esofagus Barrett atau kadangkadang adenokarsinoma. Heterotopia gastrik, bercak kecil mukosa Iambung ektopik di usus halus atau kolon, mungkin bermanifestasi sebagai perdarahan tersamar, sekunder terhadap ulserasi peptik pada mukosa sekitarnya.



Varises Esofagus Darah vena tidak langsung balik ke jantung, darah vena dari saluran cerna, dialirkan ke hati, melalui vena porta, sebelum mencapai vena kava inferion PoIa sirkulasi ini bertanggung jawab untuk first pass effect, di sini obat dan materi lain yang diserap di usus diproses oleh hati sebelum memasuki sirkulasi sistemik. Penyakit-penyakit yang menghambat aliran ini menyebabkan hipertensi portal, yang dapat menyebabkan terjadinya varises esofagus, penyebab penting untuk perdarahan esofagus.



A



B



PATOGENESIS Satu di antara beberapa tempat, di mana sirkulasi vena sistemik dan splanknik dapat berkomunikasi adalah esofagus. Jacii, hipertensi portal menginduksi terjadinya saluran kolateral yang membiarkan darah portal masuk ke sistem kava. Akan tetapi, vena-vena kolateral ini melebarkan pleksus vena subepitelial dan submukosa di esofagus distal. Pembuluh-pembuluh ini disebut varises, terjadi di 90% pasien sirosis, paling sering berasosiasi dengan penyakit hati alkoholik. Di dunia, schistosomiasis hepatik, merupakan penyebab kedua tersering dari varises. Hal-hal yang lebih terperinci mengenai hipertensi portal dibahas dalam Bab 15.



MORFOLOGI Varises dapat dideteksi dengan angiografi (Gambar 14-7, A) dan tampak sebagai vena yang berkelok-kelok, berdilatasi, terletak terutama di submukosa esafagus distal dan lambung bagian proksimal. Varises mungkin tidak jelas pada inspeksi makroskopik pada spesimen bedah atau pasca mortem, sebab vena-vena ini kolaps kalau tidak ada aliran darah (Gambar 14-7, B). Mukosa di atasnya dapat utuh (Gambar 14-7, C) tetapi berulkus dan nekrotik, kalau terjadi ruptur.



Gambaran Klinis



Varises sering asimtomatik, tetapi rupturnya dapat menyebabkan hematemesis masif dan kematian. Karena itu ruptur varises dimasukkan dalam kedokteran darurat. Meskipun di intervensi, sebanyak separuh pasien mati akibat episode perdarahan pertama, baik sebagai akibat perdarahan langsung, ataupun oleh karena koma hepatik yang dipicu oleh banyaknya protein akibat perdarahan intraluminal dan syok hipovolemik. Di antara mereka yang bertahan hidup, setiap episode perdarahan tambahan berpotensi fatal, terjadi pada lebih dari 50% kasus. Sebagai akibat, lebih dari separuh kematian berasosiasi dengan sirosis lanjut adalah akibat ruptur varises.



C Gambar I 4-7 Varises esofagus. A, Angiogram menunjukkan beberapa varises esofagus yang berkelok-kelok. Meskipun angiogram menarik, endoskopi lebih sering digunakan untuk mengidentifikasi varises. B, Varises yang kolaps terdapat di spesimen postmortem sesuai dengan angiogram di A. Area polipoid adalah lokasi perdarahan varises, yang diikat dengan pita. C,Varises yang berdilatasi di bawah mukosa skuamosa yang utuh.



ESOFAGITIS Laserasi Laserasi esofagus yang paling sering adalah luka Mallory-Weiss, yang sering berasosiasi dengan retching atau muntah hebat, yang mungkin terjadi pada keracunan alkohol akut. Pada keadaan normal, refleks relaksasi otot gastroesofagus terjadi sebelum gelombang kontraksi antiperistaltik yang berasosiasi dengan muntah. Relaksasi ini diperkirakan gagal selama muntah berkepanjangan dengan akibat isi lambung mengisi kembali pintu masuk lambung dan menyebabkan dinding esofagus meregang dan pecah. Pasien sering mengalami hematemesis. Laserasi yang berbentuk garis kasar dari MalloryWeiss syndrome berorientasi Iongitudinal, panjangnya berkisar dari milimeter sarnpai beberapa sentimeter dan biasanya melewati batas gastroesofagus. Robekan ini superfisial dan umumnya tidak membutuhkan intervensi bedah, penyembuhan cenderung cepat dan lengkap. Sebaliknya Boerhaave syndrome, khas dengan luka esofagus yang transmural dan mediastinitis, jarang terjadi dan sangat berbahaya. Faktor-faktor



560



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



penyebab sindrom ini adalah mirip dengan luka Mallory-Weiss, tetapi lebih hebat.



Esofagitis Karena Infeksi dan Kimiawi Mukosa skuamosa berlapis dari esofagus mungkin rusak oleh berbagai iritasi, termasuk alkohol, asam atau basa korosif, cairan panas yang banyak dan perokok berat. Tablet obat mungkin tersangkut dan larut di esofagus, tidak lewat dan masuk ke lambung secara utuh, menyebabkan keadaan yang disebut esofagitis terinduksi tablet. Esofagitis akibat jejas zat kimia umumnya hanya menimbulkan nyeri yang berhenti sendiri, terutama odinofagia (nyeri waktu menelan). Perdarahan, striktur, atau perforasi mungkin terjadi pada kasus-kasus berat. Cedera esofagus iatrogenik mungkin disebabkan oleh kemoterapi yang sitotoksik, radioterapi atau penyakit graftversus-host. Perubahan morfologik adalah nonspesifik dengan ulserasi dan akumulasi neutrofil. Iradiasi menyebabkan penebalan pembuluh darah, yang menambah beberapa elemen cedera iskemia. Esofagitis karena infeksi dapat terjadi pada orang sehat, tetapi paling sering pada mereka yang lemah atau dengan imunosupresi. Pada pasien-pasien ini, sering terjadi infeksi esofagus oleh virus herpes simpleks, sitomegalovirus/cytomegalovirus (CMV) atau organisme jamur. Di antara jamur, kandida adalah yang paling patogen, meskipun mucormycosis dan aspergillosis mungkin juga terjadi. Esofagus dapat juga terlibat dalam penyakit kulit deskuamatif, seperti pemfigoid bulosa dan epidermolisis bulosa dan penyakit Crohn yang jarang. Infeksi jamur atau bakteri dapat primer atau merupakan komplikasi dari suatu ulkus. Bakteri rongga mulut yang nonpatogen sering ditemukan di dasar ulkus, sedangkan organisme patogen yang merupakan sekitar 10% dari kasus esofagitis karena infeksi, mungkin rnenginvasi lamina propria dan menyebabkan nekrosis mukosa di atasnya. Kandidiasis, dalam bentuk yang paling lanjut, khas dengan pseudornembran yang melekat, putih abu-abu yang terdiri atas hifa jamur yang padat dan sel radang, yang melapisi mukosa esofagus. Gambaran endoskopi sering memberi petunjuk untuk menentukan penyebab infeksi pada esofagitis virus. Virus herpes khas menyebabkan ulkus berbentuk punched-out (Gambar 14-8, A), dan analisis histopatologi menunjukkan inklusi virus dalam inti sel pada sel-sel epitel yang degeneratif pada tepi ulkus (Gambar 14-8, B). Sebaliknya, CMV menyebabkan ulkus yang dangkal dan khas inklusi inti dan sitoplasma pada endotel kapiler dan sel stroma (Gambar 14-8, C). Pewarnaan imunohistokimia untuk antigen virus dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan.



Esofagitis Refluks Epitel skuamosa berlapis dari esofagus, tahan terhadap abrasi makanan, tetapi sensitif terhadap asam. Kelenjar submukosa esofagus bagian proksimal dan distal, berkontribusi pada proteksi mukosa dengan sekresi musin dan bikarbonat. Lebih penting Iagi, tonus LES (lower esophageal spincter) yang konstan untuk mencegah refluks dari isi asam lambung, yang berada dalam tekanan positif. Refluks isi lambung ke esofagus bagian bawah adalah penyebab tersering dari esofagitis dan merupakan diagnosis tersering pada pasien rawat jalan saluran cerna di Amerika



B



C



A



Gambar 14-8 Esofagitis virus. A, Spesimen postmortem dengan ulkus herpetik di esofagus distal. B, Sel skuamosa berinti banyak terisi inklusi inti virus herpes. C, Sel endotel terinfeksi sitomegalovirus dengan inklusi inti dan inklusi sitoplasma.



Serikat. Kondisi klinis yang berasosiasi dengan ini disebut penyakit gastroesophageal reflux (GERD).



PATOGENESIS Refluks cairan lambung adalah sumber terjadinya cedera pada GERD. Dalam kasus berat, refluks empedu dari duodenum dapat memperburuk kerusakan. Kondisi yang menurunkan tonus LES atau meningkatkan tekanan abdomen, berkontribusi pada GERD, dan termasuk alkohol, penggunaan tembakau, obesitas, depresi sistem saraf pusat, kehamilan, hernia hiatal (dibahas kemudian), pengosongan lambung yang terlambat dan peningkatan volume lambung. Pada banyak kasus, penyebabnya tidak teridentifikasi.



MORPHOLOGY Hiperemia, sederhana tampak sebagai warna kemerahan pada pemeriksaan endoskopi, yang mungkin hanya satusatunya perubahan. Pada GERD yang ringan, gambaran histologis mukosa sering biasa-biasa saja. Dengan semakin jelasnya penyakit, eosinofil masuk ke dalam mukosa skuamosa, diikuti oleh neutrofil, yang biasanya berasosiasi dengan makin beratnya cedera (Gambar 14-9. A). Hiperplasia zona basal yang melebihi 20% dari total ketebalan epitel dan tampak pula perpanjangan papil lamina propria, yang menjulur ke sepertiga atas dari epitel.



Gambaran Klinis



GERD paling sering terjadi pada orang dewasa yang berumur lebih dari 40 tahun, walaupun juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Gejala-gejala yang sering dilaporkan adalah hearfburn, disfagia dan yang agak jarang menarik perhatian adalah regurgitasi isi lambung yang terasa asam. GERD kronik kadang-kadang ditandai oleh serangan nyeri



Esofagitis



A



B



561



Insidens esofagus Barrett meningkat, diperkirakan terjadi sebanyak 10% dari mereka dengan gejala GERD. Pria kulit putih paling sering terkena dan khas pada usia antara 40 tahun dan 60 tahun. Perhatian utama dalam esofagus Barrett adalah bahwa kelainan ini menyebabkan peningkatan risiko adenokarsinoma esofagus. Studi molekuler menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa epitel Barrett mungkin lebih mirip dengan adenokarsinoma daripada epitel esofagus normal, konsisten dengan pandangan bahwa esofagus Barrett adalah kondisi premalignan. Sehubungan dengan ini, epitel yang mengalami displasia, dianggap sebagai lesi preinvasif, berkembang dalam 0,2% sampai 1% dari penderita esofagus Barrett tiap tahun, insidensnya meningkat dengan durasi dari gejala dan peningkatan usia pasien. Meskipun sebagian besar adenokarsinoma esofagus berasosiasi dengan esofagus Barrett, perlu dicatat bahwa kebanyakan, orang dengan esofagus Barrett tidak menjadi kanker esofagus.



Gambar 14-9 Esofagitis. A, Esofagitis refluks dengan eosinofil intraepitel yang tersebar. B, Esofagius eosinofilik dengan banyak eosinofil intraepitel.



dada yang parah, yang dapat keliru dengan gejala penyakit jantung. Pengobatan dengan proton pump inhibitor mengurangi keasaman lambung dan khas mengurangi gejala. Sedangkan parahnya gejala tidak berhubungan erat dengan derajat kerusakan histologis, yang condong meningkat dengan lamanya penyakit. Komplikasi esofagitis refluks, termasuk ulkus esofagus, hematemesis, melena, terjadinya striktur dan esofagus Barrett. Hernia hiatal ditandai oleh pemisahan, krural diafragma dan protrusi Iambung ke rongga toraks, melalui celah yang terbentuk. Hernia hiatal kongenital ditemukan pada bayi dan anak, tetapi hernia yang didapat ditemukan pada usia selanjutnya. Hernia hiatal adalah asimtomatik pada lebih dari 90% kasus dewasa. jadi, gejala, yang mirip dengan GERD, sering diasosiasikan dengan penyebab lain dari ketidakmampuan LES.



MORFOLOGI Esofagus Barrett secara endoskopi tampak sebagai mukosa lidah atau seperti bercak beludru merah menjulur ke atas dari sambungan gastroesofagus. Mukosa metaplastik ini, berganti-ganti dengan sisa mukosa skuamosa esofagus proksimal yang halus, pucat dan berhadapan dengan mukosa distal kolumnar (gastrik) yang berwarna coklat muda (Gambar 14-10, A dan B). Endoskopi dengan resolusi tinggi meningkatkan sensitifitas deteksi esofagus Barrett.



Esofagitis Eosinofilik Insidens esofagitis eosinofilik meningkat tajam. Gejala pada orang termasuk pengaruh makanan dan disfagia dan pada anak-anak berupa intoleransi makanan atau gejala mirip GERD. Gambaran histologis utama adalah infiltrasi banyak eosinofil pada epitel, terutama di bagian permukaan (Gambar 14-9, B) dan ditempat yang jauh dari sambungan gastroesofagus. Jumlah yang banyak ini dapat membantu membedakan esofagitis eosinofilik dari GERD, penyakit Crohn dan penyebab-penyebab lain dari esofagitis. Karakteristik klinis tertentu, terutama kegagalan pengobatan dengan proton pump inhibitor dosis tinggi dan tidak adanya refluks asam, juga khas. Sebagian besar orang dengan esofagitis eosinofilik adalah atopik dan banyak di antaranya dengan dermatitis atopik, rinitis alergik, asma atau eosinofilia perifer saja. Perawatan termasuk pembatasan diet untuk mencegah pajanan terhadap alergen makanan, seperti susu sapi dan produk kedelai, dan kortikosteroid sistemik atau topikal.



A



B



C



Esofagus Barrett Esofagus Barrett adalah komplikasi dari GERD kronik, yang ditandai oleh metaplasia intestinal mukosa skuamosa esofagus.



Gambar 14-10 Esofagus Barrett. A, Perbatasan gastroesofagus normal. B, Esofagus Barrett Perhatikan pulau kecil mukosa skuamosa yang lebih pucat dalam mukosa Barrett. C, Gambaran histologis dari perbatasan gastroesofagus pada esofagus Barrett. Perhatikan transisi antara mukosa skuamosa esofagus (kiri) dan mukosa metaplastik yang mengandungi sel goblet (kanan).



562



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Kebanyakan penulis membutuhkan keduanya, baik gambaran endoskopi ialah mukosa abnormal di atas mengenai metaplasia intestinal atau gastrik untuk diagnosis esofagus Barrett. Sel goblet, yang memiliki vakuol mukus yang nyata, berwarna biru muda dengan HE berbentuk cawan anggur pada sitoplasma yang tersisa. menentukan metaplasia intestinal dan merupakan gambaran esofagus Barrett (Gambar 14-10, C). Displasia diklasifikasikan sebagai derajat rendah atau derajat tinggi berdasarkan kriteria morfologi. Karsinoma intramukosal ditandai oleh invasi sel epitel neoplastik ke lamina propria.



Gambaran Klinis



Diagnosis esofagus Barrett memerlukan endoskopi dan biopsi, biasanya akibat gejala GERD. Cara pengelolaan terbaik masih merupakan masalah perdebatan. Banyak peneliti berpendapat bahwa endoskopi berkala dengan biopsi, untuk mendeteksi adalah tepat karena ketidakpastian akan frekuensi terjadinya displasia dan apakah dapat regresi spontan, menyulitkan pengambilan keputusan klinis. Sebaliknya, karsinoma intramukosa memerlukan intervensi terapeutik. Pilihan pengobatan termasuk reseksi bedah (esofagetomi) dan modalitas yang lebih baru seperti terapi fotodinamik, ablasi laser dan mukosektomi endoskopik. Displasia derajat tinggi multifokal, yang membawa risiko progresif yang signifikan menjadi karsinoma intramukosa atau invasif, dapat diobati dengan cara yang sama seperti karsinoma intramukosa.



sekarang menjadi separuh dari semua kanker esofagus di Amerika Serikat.



PATHOGENESIS Studi molekuler menunjukkan bahwa perkembangan esofagus Barrett menjadi adenokarsinoma terjadi dalam jangka waktu lama dan melalui perubahan bertahap dari perubahan genetik dan epigenetik. Model ini didukung oleh observasi,bahwa klon epitel yang terdapat pada metaplasia Barrett yang non-displastik menetap dan terjadi akumulasi mutasi selama perkembangan menjadi displasia dan karsinoma invasif. Abnormalitas kromosorn dan mutasi TP53 sering ditemukan pada stadium awal dari karsinoma esofagus. Perubahan genetik lainnya dan juga inflamasi diperkirakan berkontribusi dalam perkembangan neoplasma.



MORFOLOGI Karsinoma esofagus biasanya terjadi pada sepertiga distal esofagus dan mungkin menginvasi kardia lambung yang berdekatan (Gambar 14-11,A). Sedangkan lesi dini mungkin tampak datar atau sebagai bercak yang menebal pada mukosa yang utuh, tumor dapat berbentuk massa besar yang eksofitik, menginfiltrasi secara difus atau berupa ulkus dan invasi dalam. Pada pemeriksaan mikroskopik, esofagus garrett sering tampak dekat tumor. Tumor khas memproduksi musin dan membentuk susunan keleniar (Gambar 14-11 , B).



Gambaran Klinis



TUMOR ESOFAGUS Dua varian morfologik tersering dari kanker esofagus: adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa. Di seluruh dunia, karsinoma sel skuamosa lebih sering, tetapi di Amerika Serikat dan negara barat lain adenokarsinoma sedang meningkat. Tumor lain yang jarang terjadi tidak dibahas di sini.



Meskipun adenokarsinoma esofagus kadang-kadang ditemukan selama evaluasi GERD atau pengawasan esofagus Barrett, mereka lebih sering bermanifestasi dengan



Adenokarsinoma Adenokarsinoma esofagus khas terjadi dengan latar belakang esofagus Barrett dan GERD yang berlangsung Iama. Risiko adenokarsinoma lebih besar pada pasien yang telah mengalami displasia dan selanjutnya meningkat dengan pemakaian tembakau, obesitas dan terapi radiasi sebelumnya. Sebaliknya penurunan risiko adenokarsinoma berasosiasi dengan diet kaya akan buah dan sayuran segar. Adenokarsinoma esofagus paling sering pada orang kulit putih dan menunjukkan perbedaan gender yang kuat, ialah tujuh kali lebih sering pada pria daripada wanita. Walaupun, insidensnya bervariasi bergantung pada 60 faktor di seluruh dunia, dengan tingkat tertinggi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan negeri Belanda dan terendah di Korea, Thailand, Jepang dan Ekuador. Di negara yang adenokarsinoma esofagusnya lebih sering, insidensnya meningkat tajam sejak 1970 dan lebih cepat daripada hampir semua kanker lain. Akibatnya, adenokarsinoma esofagus, yang kurang dari 5% kanker esofagus, sebelum 1970,



A



B



Gambar 14-11 Adenokarsinoma esofagus. A, Adenokarsinoma biasanya terjadi di distal dan seperti kasus ini, sering melibatkan cardia lambung. B, Adenokarsinoma esofagus tumbub sebagai "backto-back glands".



Tumor Esofagus



563



nyeri atau kesulitan menelan, penurunan berat badan yang progresif, nyeri dada atau muntah. Pada saat gejala dan ciri tampak, biasanya tumor sudah menyebar ke pembuluh-pembuluh limfe. Sebagai akibatnya penyakit baru terdiagnosis pada stadium lanjut, umumnya angka ketahanan hidup 5 tahun, kurang dari 25%. Sebaliknya ketahanan hidup 5 tahun, kira-kira 80%, pada beberapa pasien dengan adenokarsinoma yang terbatas pada mukosa atau submukosa.



Karsinoma Sel Skuamosa Di Amerika Serikat, karsinoma sel skuamosa esofagus khas terjadi pada usia lebih dari 45 tahun dan pada pria frekuensinya empat kali lebih sering daripada wanita. Faktor risiko termasuk penggunaan alkohol dan tembakau, kemiskinan, cedera kaustik pada esofagus, akalasia, insidens sindrom Plummer Vinson, sering mengkonsumsi minuman yang sangat panas dan terapi radiasi sebelurrtnya pada mediastinum. Hal ini hampir 6 kali lebih sering pada orang Afrika Amerika daripada orang kulit putih perbedaan risiko yang mencolok, yang tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam tingkat penggunaan alkohol dan tembakau. Insidens karsinoma sel skuamosa esofagus dapat berbeda lebih dari 100 kali lipat antar dan dalam negara, yang lebih sering di daerah pedesaan dan terbelakang. Negara dengan insidens tinggi ialah Iran, China Tengah, Hongkong, Argentina, Brazil, dan Afrika Selatan.



A



B



Gambar 14-12 Karsinoma sel skuamosa esofagus, A, Karsinoma sel skuamosa paling sering ditemukan di esofagus tengah, di sini biasanya menyebabkan striktur. B, Karsinoma sel skuamosa terdiri atas sarang-sarang sel ganas, yang sebagian memperlihatkan susunan stratifikasi epitel skuamosa.



PATOGENESIS Sebagian besar karsinoma sel skuamosa esofagus di Eropa dan Amerika Serikat, setidaknya sebagian disebabkan oleh penggunaan alkohol dan tembakau, yang efeknya bersinergi meningkatkan risiko. Tetapi, karsinoma sel skuamosa juga sering di beberapa daerah yang penggunaan alkohol dan tembakaunya jarang. jadi, defisiensi nutrisi serta hidrokarbon polisiklik, nitrosamin dan senyawa mutagenik lain, seperti yang ditemukan pada makanan yang terkontaminasi jamur, telah dianggap sebagai faktor yang mungkin berisiko. Infeksi HPV juga terlihat, di daerah dengan risiko tinggi karsinoma sel skuamosa, tetapi tidak di daerah dengan risiko rendah. Patogenesis molekuler dari karsinoma sal skuamosa esofagus masih belum pasti.



Hampir semua karsinoma sel skuarnosa berdiferensiasi baik sampai sedang (Gambar 14-12, B). Kadang-kadang tampak varian histologis, termasuk karsinoma sel skuamosa verukosa, karsinoma sel spindel dan karsinoma sel skuamosa basaloid. Apa pun bentuk histologisnya, gejala tumor baru tampak setelah tumor sangat besar dan telah menginvasi dinding esofagus. Banyaknya jaringan limfatik submukosa mempercepat penyebaran sirkumferensial dan longitudinal dan nodul tumor intramural dapat ditemukan sejauh beberapa sentimeter dari massa tumor primer. Tempat metastasis kelenjar getah bening, berbeda menurut lokasi tumor. Kanker di sepertiga atas esofagus lebih sering ke kelenjar getah bening leher; tumor di sepertiga tengah lebih ke kelenjar getah bening mediastinum, paratrakeal dan trakeobronkial dan tumor di sepertiga bawah menyebar ke kelenjar getah bening lambung dan celiac.



MORFOLOGI Berbeda dengan lokasi adenokarsinoma yang sebagian besar di bagian distai esofagus, karsinoma sel skuamosa terjadi di sepertiga tengah dari esofagus (Gambar 14-12, A). Karsinoma sel skuamosa mulai sebagai lesi in situ dalam bentuk displasia skuamosa. Lesi dini tampak sebagai penebalan plaque-fike kecil, putih abu-abu. Kelainan ini terdapat selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun sebelum tumbuh menjadi massa tumor yang mungkin polipoid dan menonjol ke lumen sampai menyumbat. Tumor lainnya bisa berupa lesi yang berulkus atau infiltratif difus yang tersebar dalam dinding esofagus. menyebabkan penebalan, kaku dan penyempitan lumen. Kankerkanker ini dapat menginvasi struktur sekelilingnya termasuk cabang-cabang saluran napas, menyebabkan pneumonia; aorta, menyebabkan bahaya perdarahan atau mediastinum dan perikardium.



Gambaran Klinis



Manifestasi klinis dari karsinoma sel skuamosa esofagus, pada awalnya tidak jelas dan termasuk disfagia, odinofagia (nyeri pada waktu menelan) dan obstruksi. Seperti pada bentuk obstruksi esofagus lain, pasien dapat secara tidak sengaja menyesuaikan diri dengan peningkatan obstruksi yang progresif dengan mengubah diet padat mereka menjadi makanan cair. Penurunan berat badan, kelemahan tubuh yang ekstrem, merupakan akibat gangguan nutrisi dart efek tumornya sendiri. Perdarahan dan sepsis dapat menyertai ulserasi tumor. Kadang-kadang gejala pertamanya berupa aspirasi makanan melalui fistula trakeoesofagus. Peningkatan pelaksanaan skrining endoskopi telah menghasilkan deteksi karsinoma sel skuarnosa yang lebih dini.



564



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Ketepatan waktu adalah penting, sebab angka 5 tahun ketahanan hidup pasien dengan karsinoma esofagus superfisial adalah 75%, sedangkan untuk pasien dengan tumor lanjut jauh lebih rendah. Metastasis kelenjar getah bening„ yang sering terjadi, berasosiasi dengan prognosis buruk. Angka ketahanan hidup 5 tahun, secara keseluruhan hanya 9%.



RINGKASAN Penyakit Esofagus •



Obstruksi esofagus mungkin terjadi akibat anomali mekanik atau fungsional. Sebab-sebab mekanik antara lain defek perkembangan, striktur fibrotik dan tumor-tumor.







Akalasia, khas dengan relaksasi LES yang tidak lengkap, meningkatnya tonus LES dan tidak adanya peristaltik esofagus, adalah bentuk yang sering pada obstruksi esofagus.







Esofagitis dapat merupakan akibat dari cedera mukosa oleh bahan kimia atau infeksi. Infeksi sangat sering terjadi pada orang dengan imunitas rendah.







Penyakit tersering dari esofagitis adalah gastroesophageal reflux disease (GERD), yang harus dibedakan dari esofagitis eosinofflik.







Esofagus Barrett, yang dapat terjadi pada pasien dengan GERD kronik, berasosiasi dengan meningkatnya risiko adenokarsinoma esofagus. Karsinoma sel skuamosa esofogus berhubungan dengan penggunaan alkohol dan tembakau, kemiskinan, cedera esofagus kaustik, akalasia, tilosis dan sindrom PlummerVinson.







LAMBUNG Kelainan lambung sering merupakan penyakit di klinis baik berupa lesi inflamasi maupun neoplasma. Di Amerika Serikat, gejala-gejala vang berkaitan dengan asam lambung menghabiskan hampir sepertiga dari seluruh pengeluaran kesehatan pada penyakit saluran cerna. Selain itu, meskipun penurunan insidens di tempat tertentu, antara lain Amerika Serikat, namun kanker lambung masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Lambung dibagi dalam empat regio anatomik utama yaitu: kardia, fundus, korpus dan antrum. Kardia terutama dilapisi oleh sel foveolar yang mensekresi musin, yang membentuk kelenjar dangkal. Kelenjar antrum mirip, tetapi juga mengandungi sel endokrin, seperti sel G yang melepaskan gastrin untuk merangsang sekresi asam luminal oleh sel parietal di fundus dan korpus lambung. Kelenjar yang terbentuk sempurna di korpus dan fundus juga mengandungi sel chief yang memproduksi dan mensekresi enzim pencernaan seperti pepsin.



PENYAKIT PERADANGAN LAMBUNG



pembentukan lapisan cairan yang tenang di atas epitel yang melindungi mukosa dan mempunyai pH netral sebagai akibat sekresi ion bikarbonat oleh sel epitel permukaan. Akhirnya, jaringan yang kaya akan pembuluh darah masuk ke mukosa lambung membawakan oksigen, bikarbonat dan nutrisi, sambil membersihkan asam, yang terdifusi kembali ke lamina propria. Gastritis kronik atau akut dapat terjadi sesudah salah satu mekanisme pelindung terganggu. Sebagai contoh, pengurangan sintesis musin pada usia tua diperkirakan sebagai salah satu faktor, yang menjelaskan peningkatan kerentanan pada gastritis. Obat anti inflamasi non steroids (NSAIDs) bisa mengganggu proses sitoproteksi yang biasanya dilakukan oleh sekresi prostaglandin atau pengurangan bikarbonat, kedua bahan ini meningkatkan kerentanan mukosa lambung terhadap cedera. Konsumsi bahan kimia keras, terutama asam atau basa, baik tidak sengaja ataupun sebagai usaha bunuh diri, juga mengakibatkan cedera lambung parah, terutama sebagai akibat kerusakan langsung pada sel epitel mukosa dan stroma. Cedera sel langsung juga terlihat pada gastritis akibat konsumsi alkohol yang berlebihan, NSAIDs, terapi radiasi dan kemoterapi.



Gastritis Akut Gastritis akut adalah proses peradangan mukosa sementara, yang mungkin tidak menimbulkan gejala atau menyebabkan berbagai derajat nyeri epigastrium, mual dan muntah. Pada kasus yang lebih parah, mungkin terdapat erosi mukosa, ulkus, perdarahan, hematemesis, melena atau kadang-kadang kehilangan darah masif.



PATOGENESIS Lumen lambung adalah sangat asam, dengan pH mendekati satu lebih dari satu juta kali daripada keasaman darah. Lingkungan yang keras ini berkontribusi dengan pencernaan tetapi juga berpotensi untuk merusak mukosa. Beberapa mekanisme telah tersusun untuk melindungi mukosa lambung (Gambar 14-13). Musin yang disekresikan oleh sel foveolar permukaan, membentuk lapisan mukus tipis yang mencegah partikel makanan yang besar untuk menyentuh epitel. Lapisan mukus juga mendorong



MORFOLOGI Pada pemeriksaan histologis, gastritis akut ringan sulit dikenali, sebab lamina propria hanya menunjukkan edema moderat dan kongesti vaskular ringan. Permukaan epitel utuh, meskipun mungkin ditemukan beberapa neutrofil yang tersebar. Sel-sel limfoid dan plasma lamina propria tidak mencolok. Adanya neutrofil di atas membran basal khususnya pada kontak langsung dengan sel epitel adalah abnormal pada seluruh bagian saluran cerna dan menandakan peradangan aktif. Dengan semakin parahnya kerusakan mukosa, dapat terjadi erosi, atau hilangnya epitel superfisial, menyebabkan terbentuknya infiltrat neutrofil mukosa dan eksudat purulen. Perdarahan juga dapat terjadi, bermanifestasi sebagai bercak gelap di antara mukosa yang hiperemik. Adanya erosi dan perdarahan disebut sebagai gastritis hemoragik erosif akut.



Penyakit Peradangan Lambung NORMAL Kekuatan yang Merusak: Keasaman lambung Enzim peptik



Mukus



JEJAS



565



ULKUS



Infeksi N. pylon NSAID Aspirin Sigaret Alkohol Hiperasiditas lambung Refluks duodenallambung



Mukosa



Muskularis mukosa



Submukosa



Kekuatan Pertahanan: Sekresi mukus permukaan Sekresi bikarbonat ke mukus Aliran darah mukosa Transpor membran permukaan apikal Kapasilas regenerasi epitel Elaborasi prostaglandin



PAPARAN YANG DAPAT MENCIDERAI ATAU PERTAHANAN YANG RUSAK



Iskernik Syok Pengosongan lambung yang terlambat Faklor tuan rumah



Debris (N) nekrotik Sel inflamasi akut



(I)



Jaringan granulasi



(G)



Fibrosis (S)



Gambar 14-13 Mekanisme jejas dan proteksi lambung. Diagram ini menggambarkan progresi jejas bentuk ringan atau u serasi, yang mungkin terjadi dengan gastritis akut dan kronik. Ulkus meliputi lapisan-lapisan nekrotik (N), Inflamasi (I), dan jaringan granulasi (G); jaringan parut fibrotik (S), yang terjadi secara lambat, hanya tampak pada lesi kronik.



Ulserasi Peptik Akut Cedera peptik akut fokal adalah kompIikasi yang sering terjadi pada terapi dengan NSAIDs, dennkian juga pada stres fisiologis yang parah. Lesi seperti itu, antara lain: • Ulkus stres, paling sering mengenai pasien yang sakit parah dengan syok, sepsis atau trauma berat. • Ulkus Curling, terjadi di duodenum proksimal dan berasosiasi dengan Iuka bakar atau trauma yang berat. • Ulkus Cushing, terjadi di lambung, duodenum atau esofagus pada mereka, dengan penyakit intrakranial, dan sering terjadi perforasi.



PATOGENESIS Patogenesis ulkus akut adalah kompleks dan belum dipahami benar. Ulkus akibat NSAID disebabkan iritasi bahan kimia langsung, atau bisa juga melalui inhibisi cydooxygenose, yang mencegah sintesis prostaglandin. Hal ini menghilangkan efek proteksi prostaglandin yang antara lain meningkatkan sekresi bikarbonat dan meningkatkan perfusi vaskular. Lesi yang berasosiasi dengan cedera intrakranial diperkirakan disebabkan oleh stimulasi langsung nukleus vagus, yang menyebabkan hipersekresi asam lambung. Asidosis sistemik, yang sering ditemukan pada pasien sakit berat, juga mungkin berkontribusi pada cedera mukosa dengan menurunkan pH intrasel dari sel mukosa. Hipoksia dan aliran darah yang berkurang disebabkan oleh vasokonstriksi splanchnic akibat stres, juga berkontribusi pada patogenesis ulkus akut.



MORFOLOGI Lesi yang digambarkan sebagai ulkus lambung akut kedalamannya berkisar dari erosi dangkal akibat kerusakan epitel superfisial sampai lesi yang lebih dalam, yang menembus mukosa. Ulkus akut bentuknya bulat dan khas, diameternya kurang dari I cm. Dasar ulkus sering berwarna coklat sampai hitam akibat sel darah merah ekstravasasi, tercerna oleh asam, dalam beberapa kasus berasosiasi dengan inflamasi transmural dan serositis lokal. Meskipun lesi ini bisa tunggal, tetapi lebih sering multipel daiam lambung dan duodenum. Ulkus stres akut, memiliki batas yang tegas, terhadap mukosa normal sekitarnya, meskipun dapat terjadi bercak-bercak darah mukosa dan submukosa dan beberapa reaksi inflamasi. Jaringan parut dan penebalan dinding pembuluh darah yang khas pada ulkus peptik kronik, tidak ada. Penyembuhan dengan reepitetisasi lengkap terjadi dalam beberapa hari sampai minggu sesudah faktor perusak ditiadakan.



Gambaran Klinis



Gejala ulkus lambung antara Iain mual, muntah dan hematemesis berwarna seperti kopi. Perdarahan dari ulkus atau erosi lambung superfisial, yang mungkin membutuhkan transfusi, terjadi pada 1% sampai 4% dari pasien-pasien ini. Kompikasi lain, antara lain, perforasi, juga dapat terjadi, Proton pump inhibitor atau yang lebih jarang dipakai histamin H2 reseptor antagonis, mungkin mengurangi dampak ulserasi stres, tetapi penentu hasil yang terpenting adalah keparahan kondisi yang mendasarinya.



566



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Gastritis Kronik Gejala-gejala dan ciri-ciri yang berasosiasi dengan gastritis kronik biasanya kurang parah, tetapi lebih lama daripada gejala atau gastritis akut. Mual dan rasa tidak enak di abdomen atas dapat terjadi kadang-kadang dengan muntah tetapi hematemesis jarang. Penyebab tersering dari gastritis kronik adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori. Gastritis autoimun, penyebab tersering dari gastritis atrofik, jumlahnya kurang dari 10% dari kasus gastritis kronik dan merupakan bentuk tersering dari gastritis kronik pada pasien tanpa infeksi H. pylori. Penyebab yang agak jarang antara lain cedera radiasi dan refluks empedu kronik.



Gastritis Helicobacter pylori Penemuan asosiasi antara H. pylori dan penyakit ulkus peptik merupakan revolusi dalam pengertian gastritis kronik. Bakteri berbentuk spiral atau koma dapat ditemukan pada spesimen biopsi lambung dari hampir semua pasien dengan ulkus lambung dan banyak pada mereka dengan ulkus lambung dan gastritis kronik. Infeksi H. pylori akut tidak memberi cukup gejala yang membutuhkan perhatian khusus pada kebanyakan kasus, sedangkan gastritis kronik menyebabkan mereka mencari pengobatan. Organisme H. pylori yang ditemukan pada 90% pasien dengan gastritis H. pylori dapat mengakibatkan penyakit ulkus peptik lambung atau duodenum, infeksi H. pylori juga meningkatkan risiko kanker lambung.



• Adhesin, yang meningkatkan perlekatan bakteri ke sel-sel permukaan foveola. • Toksin, seperti yang dikodekan oleh cytotoxin- assoaated gene A (GagA). yang mungkin terlibat terjadinya dalam ulkus atau kanker oleh mekanisme yang telah diketahui. Faktor-faktor ini memungkinkan H. pylori untuk menciptakan ketidakseimbangan antara mukosa gastroduodenum dan kekuatan yang merusak, yang mengalahkan pertahanan. Seiring dengan waktu, gastritis kronik antral H.pyiori dapat berkembang menjadi pangastritis, mengakibatkan gastritis atrofik multifokal, kurangnya sekresi asam, metaplasia intestinal dan peningkatan risiko adenokarsinoma iambung pada sebagian pasien. Kontribusi mekanisme yang mendasari perkembangan ini tidak jelas, tetapi interaksi antara sistem imun tubuh dan bakteri agaknya menjadi penting.



MORFOLOGI Spesimen biopsi lambung umumnya menunjukkan H. pylori pada orang-orang yang terinfeksi (Gambar 14-14, A). Organisme ini terkonsentrasi dalam mukus superfisial yang melapisi sel epitel



Epidemiologi



Di Amerika Serikat, infeksi H. pylori berasosiasi dengan kemiskinan, pemukiman padat, edukasi yang terbatas, etnik Afrika Amerika atau Meksiko Amerika, penduduk di daerah dengan sanitasi buruk dan kelahiran di luar Amerika Serikat. Tingkat kolonisasi melebihi 70% pada beberapa kelompok dan berkisar kurang dari 10% sampai lebih dari 80% di dunia. Daerah dengan prevalensi tinggi, infeksi sering diperoleh pada masa anak-anak dan kemudian bertahan beberapa dekade. Jadi insidens infeksi H. pylori berkorelasi erat dengan sanitasi dan kebersihan individu pada masa anak-anak.



A



B



C



D



PATOGENESIS Infeksi H. pylori paling sering bermanifestasi sebagai gastritis predominan antral dengan produksi asam yang tinggi, meskipun hipogastrinemia. Risiko ulkus duodenum meningkat pada pasien-pasien ini dan pada kebanyakan kasus, gastritis terbatas pada antrum. Organisme H. pylori telah menyesuaikan diri dengan ekologik pada cekungan dan mukus lambung. Meskipun H. pylori mungkin menginvasi mukosa lambung, kontribusi invasi pada patogenesis penyakit tidak diketahui. Empat fitur terkait dengan virulensi H. pylori: • Flagela, yang memungkinkan bakteri untuk bergerak dalam mukus kental. • Urease, yang menghasilkan amonia dari urea endogen, sehingga meninggikan pH lambung lokal sekeliling organisme dan melindungi bakteri dari pH asam lambung.



Gambar 14-14 Gastritis kronik. A, Basil Helicobacter pylori yang berbentuk spiral tampak mencolok pada pewarnaan perak Warthin-Starry. Organisme ini banyak dalam mukus permukaan. B) Pada intraepitelial dan lamina propria tampak banyak neutrofil. C) Agregasi limfoid dengan sentrum germinativum dan banyak sel plasma subepitel di lamina propria superfisial adalah ori dari gastritis H. pylori. D, Metaplasia intestinal, dikenal dengan adanya sel goblet di antara epitel faveola lambung, dapat berkembang dan merupakan faktor risiko teriadinya adenokarsinoma lambung.



Penyakit Peradangan Lambung permukaan dan bagian yang cekung. Reaksi inflamasi termasuk, neutrofil yang jumlahnya bervariasi dalam lamina propria, antara lain beberapa menyebrangi membran basalis masuk ke dalam lokasi intraepitel (Gambar 14-14, B) dan berakumulasi dalam lumen gastric pit membentuk abses pada pit. Lamina propria superfisial termasuk sejumlah besar sel plasma. sering dalam kelompok-kelompok atau lembaran-lembaran, demikian juga peningkatan jumlah limfosit dan makrofag. Kalau peradangan berat, infiltrat radang, dapat menyebabkan penebalan lipatan rugae, menyerupai lesi infiltratif.Agregasi limfoid, kadang-kadang dengan sentrum germinativum, sering tampak (Gambar 14-14, C) dan menunjukkan suatu bentuk induksi dari mucosaossociated iymphoid tissue (MALT) yang berpotensi untuk berubah menjadi limfoma. Metaplasia intestinal, khas dengan adanya sel goblet dan sel kolumnar absorptif (Gambar 14-14, D), juga dapat ditemukan dan berasosiasi dengan meningkatnya risiko adenokarsinoma lambung. H. pylori menunjukkan tropisme untuk epitel foveola dan umumnya tidak ditemukan di daerah metaplasia intestinal. mukosa penghasil asam dan korpus lambung atau epitel duodenum. Sehingga, biopsi antral lebih dipilih untuk evaluasi gastritis H. pylori.



• • • •



567



Penurunan tingkat serum pepsinogen I Hiperplasia sel endokrin antrum Defisiensi vitamin B12 Defek sekresi asam lambung (aklorhidria)



PATOGENESIS Gastritis autoimun berasosiasi dengan hilangnya sel parietal, yang mensekresi asam dan faktor intrinsik. Defisiensi produksi asam memicu pelepasan gastrin, mengakibatkan hipergascrinemia dan hiperplasia sel G, yang memproduksi gastrin di antrum. Tidak adanya faktor intrinsik, menyebabkan ileum tidak dapat mengabsorpsi vitamin B12 menyebabkan defisiensi vitamin B12, dan anemia megaloblastik (anemia pernisiosa); menurunnya konsentrasi pepsinogen 1 di serum, mencerminkan hilangnya sel chief. Meskipun H. pylori dapat menyebabkan hipoklorhidria, tetapi tidak berasosiasi dengan aklorhidria atau anemia pernisiosa, sebab kerusakan sel parietal dan sel chief tidak separah pada gastritis autoimun.



MORFOLOGI Gambaran Klinis



Ciri khas gastritis autoimun ialah kerusakan mukosa oxyntic difus (yang memproduksi asam) di korpus dan fundus. Ciri khas lainnya adalah tidak terdapat kerusakan antrum dan kardia atau hanya ringan saja. Dengan atrofia difus, mukosa oxyntic dari korpus dan fundus tampak jelas menipis dan lipatan rugalnya hilang. Neutrofil mungkin ada, tetapi infiltrat inflamasi lebih banyak terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma; berbeda dengan gastritis H. pylori, reaksi inflamasi paling sering jauh dari permukaan dan terpusat pada kelenjar. Hilangnya sel parietal dan chief dapat luas, dan dapat terjadi metaplasia intestinal.



Selain identifikasi histologis dari organisme, beberapa tes diagnostik telah dikembangkan antara lain tes serologi non invasif untuk antibodi anti H. pylori, deteksi bakteri fekal dan "urea breath test" berdasarkan pembentukan amonia oteh urease bakteri. Spesimen biopsi lambung juga dapat dianalisis melalui "rapid urease test", kultur bakteri atau polytnerase chain reaction (PCR) assay untuk DNA bakteri. Pengobatan efektif antara lain kombinasi antibiotik dan proton pump inhibitors. Pasien dengan gastritis H. pylori biasanya sembuh sesudah terapi, meskipun relaps dapat terjadi sesudah eradikasi tidak lengkap atau reinfeksi.



Gastritis Autoimun Frekuensi gastritis autoimun kurang dari 10% kasus gastritis kronik. Berbeda dengan yang disebabkan oleh H. pylori, gastritis autoimun khas tidak mengenai antrum dan menginduksi hipergastrinemia (Tabel 14-2). Gastritis autoimun ditandai dengan: • Antibodi terhadap sel parietal dan faktor intrinsik yang dapat dideteksi di serum dan sekresi lambung.



Gambaran Klinis



Antibodi terhadap sel parietal dan faktor intrinsik terdapat pada awal penyakit, tetapi anemia pernisiosa terjadi hanya pada sedikit pasien. Usia median waktu diagnosis adalah 60 tahun, dan terdapat predominan ringan pada wanita. Gastritis autoimun sering berasosiasi dengan penyakit autoimun lain tetapi tidak terkait dengan alel specific human leukocyte antigen (HLA).



Tabel 14-2 Ciri-Ciri Gastritis Autoimun dan Gastritis Terkait Heircobacter pylori



Gambaran



Lokasi Terkait N. pylon: Antrum



Autoimun: Badan



Infiltrat inflamasi



Neutrofil. sel plasma subepitel



Limfosit, makrofag



Produksi asam



Meningkat atau sedikit menurun



Menurun



Gastrin



Normal sampai menurun



Meningkat



Lesi lain



Pohp inflamasi/hiperplasia



Hiperplasia neuroendokrin



Serologi



Antibodi terhadap H. pylori



Sekuela



Ulkus peptik, adenokarsinoma, limfoma Status sosioekonomi rendah. kemiskinan, tempat tinggal di daerah pedesaan



Antibodi terhadap sel parietal (H+, K+ -ATPase, faktor intrinsik) Atrofia, anemia pernisiosa, adenokarsinoma. tumor karsinoid



Asosiasi



Penyakit autoimun; tiroiditis, diabetes melitus, penyakit Graves



568



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Penyakit Ulkus Peptik Penyakit ulkus peptik (PUP) paling sering berkaitan dengan infeksi H. pylori atau penggunaan NSAID. Di Amerika Serikat, NSAID ini menjadi penyebab tersering dari ulkus lambung, sebab infeksi H. pylori sangat jarang dan penggunaan aspirin dosis rendah pada populasi usia tua meningkat. PUP dapat terjadi pada setiap bagian saluran cerna, yang terpajan cairan asam lambung, tetapi paling sering pada antrum lambung dan bagian pertama duodenum. PUP juga mungkin terjadi di esofagus sebagai akibat GERD atau karena sekresi asam oleh mukosa ektopik lambung dan usus halus, sekunder terhadap heteropia lambung di divertikulum Meckel.



Epidemiologi PUP adalah penyebab yang umum dan tersering untuk kunjungan ke dokter di dunia. Hal ini menyebabkan pengobatan pada lebih dari 3 juta orang, 190.000 rawat inap dan 5000 kematian di Amerika Serikat setiap tahun. Risiko seumur hidup untuk terjadi ulkus adalah sekitar 10% untuk pria dan 4% untuk wanita.



PATOGENESIS Infeksi H. pylori dan penggunaan NSAID merupakan penyebab utama PUP. Ketidakseimbangan pertahanan mukosa dan daya rusak, yang menyebabkan gastritis kronik (Gambar 14-13) juga menyebabkan PUP. Dengan demikian, PUP umumnya terjadi dengan latar belakang gastritis kronik. Meskipun lebih dari 70% kasus PUP berasosiasi dengan infeksi H. pylori, hanya 5% sampai 10% dari orang terinfeksi H. pylori berkembang menjadi ulkus. Mungkin,faktor pejamu, juga berbagai strain H. pylori menentukan hasil klinis. Hiperasiditas lambung merupakan dasar dari patogenesis PUP. Asiditas, yang mendorong PUP, mungkin disebabkan oleh infeksi H. pylori, hiperplasi sel parietal, respons sekresi yang berlebihan atau rusaknya inhibisi dari mekanisme stimulasi seperti pelepasan gastrin. Sebagai contoh, sindrom ZollingerEllison, khas dengan ulkus peptik multipel di lambung, duodenum dan bahkan jejunum, disebabkan oleh pelepasan gastrin yang tidak terkendali oleh tumor dan mengakibatkan produksi asam yang masif. Kofaktor dalam ulserogenesis peptik, antara lain penggunaan NSAID kronik, seperti dicatat: rokok sigaret, yang mengganggu penyembuhan. Ulkus peptik lebih sering pada mereka dengan sirosis alkoholik, penyakit obstruksi paru kronik, gagal ginjal kronik dan hiperparatiroidisme. Pada kedua kondisi terakhir ini, hiperkalsemia menstimulasi produksi gastrin dan karena itu meningkatkan sekresi asam. Akhirnya, stres psikologik mungkin meningkatkan produksi asam lambung dan eksaserbasi PUP.



Ulkus peptik lebih dari 80%adalah soliter. Lesi yang diameternya kurang dari 0,3 cm cenderung dangkal, sedangkan yang lebih dari 0,6 cm, lebih dalam. Ulkus peptik klasik adalah bulat sampai oval, defek dengan tepi tegak lurus, tajam (Gambar 14-15, A). Dasar ulkus peptik licin dan bersih sebagai akibat pencernaan peptik eksudat dan pada pemeriksaan histologis terdiri atas jaringan granulasi kaya akan pembuluh darah (Gambar 14-15, B). Perdarahan yang lama dari dasar ulkus mungkin menyebabkan perdarahan yang mengancam kehidupan. Perforasi adalah komplikasi, yang memerlukan intervensi bedah segera.



Gambaran Klinis



Ulkus peptik adalah lesi kronik, berulang, yang terjadi paling sering pada usia pertengahan sampai dewasa tua, tanpa kondisi pencetus yang jelas, selain gastritis kronik. Sebagian besar ulkus peptik menjadi perhatian klinis setelah pasien mengeluh ada rasa nyeri terbakar atau nyeri epigastrium, meskipun suatu fraksi signifikan bermanifestasi dengan komplikasi seperti anemia defisiensi besi, perdarahan nyata, atau perforasi. Nyeri tersebut cenderung terjadi pada 1 sampai 3 jam setelah makan siang, lebih nyeri pada malam hari dan berkurang dengan alkali atau makanan. Mual,



A



MORFOLOGI Ulkus peptik terjadi empat kali lebih sering di duodenum proksimal daripada di lambung. Ulkus duodenum biasanya terjadi pada beberapa sentimeter di distal valvula pilorus dan mengenai dinding duodenum anterior. Ulkus peptik lambung, sebagian besar terletak dekat batas korpus dan antrum.



B Gambar 14-15 Perforasi akut lambung pada pasien menunjukkan udara bebas di bawah diafragma. A, Defek mukosa dengan tepi yang bersih. B, Dasar ulkus yang nekrotik (panah) terdiri atas jaringan granulasi.



Penyakit Neoplasma Lambung muntah, kembung dan bersendawa mungkin terjadi. Penyembuhan mungkin terjadi dengan atau tanpa terapi, tetapi kecenderungan menjadi ulkus di kemudian hari, tetap ada. Berbagai pendekatan bedah, dahulu digunakan untuk mengobati PUP, tetapi saat ini terapi ditujukan pada eradikasi H. pylori dengan antibiotik dan netralisasi asam lambung, biasanya melalui penggunaan proton pump inhibitors. Upaya ini nyata telah mengurangi kebutuhan tindakan bedah, yang dicadangkan terutama untuk pengobatan ulkus dengan perdarahan atau perforasi. PUP menyebabkan morbiditas lebih dari mortalitas.



RINGKASAN Gastritis Akut dan Kronik •



• •







• •



Spektrum gastritis akut berkisar dari penyakit asimtomatik sampai nyeri epigastrium ringan, mual dan muntah. Faktor penyebab termasuk tiap agen atau penyakit yang mengganggu proteksi mukosa lambung. Gastritis akut dapat berkembang menjadi ulkus lambung akut. Penyebab tersering dari gastritis kronik adalah infeksi H. pylori, sebagian besar dari kasus sisanya disebabkan oleh gastritis autaimun. Gastritis H. pylori khas mengenai antrum dan berasosiasi dengan peningkatkan produksi asam lambung. Mucosa associated lymphoid tissue (MALT) yang terinduksi dapat berubah menjadi limfoma. Gastritis autoimun menyebabkan atrofia gastric body oxyntic ghIncis, yang mengakibatkan penurunan produksi asam lambung, hiperplasi sel G antrum, aklorhidria dan defisiensi vitamin B12. Yang khas ditemukan ialah anti sel parietal dan anti antibodi faktor intrinsik. Metaplasia intestinal terjadi pada kedua bentuk gastritis kronik dan merupakan faktor risiko untuk terjadinya adenokarsinoma lambung. Penyakit ulkus peptik dapat disebabkan oleh gastritis kronik H. pylori dan merupakan akibat dari hiperkiorhidria dan penggunaan NSAID. Ulkus dapat terjadi di lambung atau duodenum dan biasanya sembuh setelah produksi asam lambung tertekan dan kalau ada eradikasi H. pylori.



PENYAKIT NEOPLASMA LAMBUNG Polip Lambung Polip, nodul atau massa yang menonjol di atas permukaan mukosa sekitarnya dan teridentifikasi sampai 5% dari endoskopi saluran cerna bagian atas. Polip dapat terjadi akibat hiperplasia epitel atau sel stroma, inflamasi, ektopia atau neoplasia. Meskipun dapat terjadi berbagai jenis polip di Iambung, yang dibahas di sini hanya polip hiperplasia dan polip inflamasi, polip kelenjar fundus dan adenoma.



Polip Inflamasi dan Hiperplasia Sekitar 75% dari semua polip lambung adalah polip inflamasi atau hiperplasia. Polip tersebut paling sering terjadi pada usia antara 50 tahun dan 60 tahun, biasanya terjadi dengan



569



latar belakang gastritis kronik, yang menginisiasi cedera dan reaksi hiperplasia, yang menyebabkan pertumbuhan polip. Apabila berasosiasi dengan gastritis H. pylori, maka polip dapat mengalami regresi sesudah eradikasi bakteri.



MORFOLOGI Pada lambung.polip inflamasi dan hiperplasia, pada dasarnya sama entitasnya, dengan perbedaan hanya berdasarkan tingkat inflamasinya. Polip sering multipel dan khas dengan bentuk oval, diameternya kurang dari 1 cm dan permukaannya halus. Pada pemeriksaan mikroskopik, polip menunjukkan kelenjar-kelenjar foveola yang iregular, berdilatasi kistik dan foveola memanjang. Lamina propria mengalami edema dengan berbagai tingkat inflamasi akut dan kronik serta dapat pula ditemukan erosi permukaan. Frekuensi displasia, suatu lesi prakanker in situ, yang terjadi pada polip inflamasi atau hiperplasia berkorelasi dengan ukuran; risikonya meningkat dengan signifikan pada polip yang lebih besar dari 1,5 cm.



Polip Kelenfor Fundus Polp kelenjar fundus terjadi sporadik dan pada mereka dengan familiai adenomatous polyposis (FAP) tetapi tidak berpotensi ganas. Bagaimanapun, polip ini patut disebut di sini sebab insidensnya meningkat tajam sebagai akibat penggunaan proton pump inhibitors. Hal ini agaknya merupakan akibat dari peningkatan sekresi gastrin, sebagai respons penurunan keasaman dan hiperplasia kelenjar yang dipicu oleh gastrin. Polip kelenjar fundus, mungkin asimtomatik atau berhubungan dengan mual, muntah atau nyeri epigastrium. Polip yang berbatas tegas ini, terjadi di lambung bagian korpus dan fundus, sering multipel dan terdiri atas kelenjar-kelenjar yang melebar kistik, tidak teratur dan dilapisi oleh sel parietal dan sel chief yang mendatar.



Adenoma Lambung Adenoma lambung terdapat sebanyak 10% dari semua polip lambung. Insidensnya meningkat seiring usia dan bervariasi di antara populasi yang berbeda, paralel dengan adenokarsinoma lambung. Pasien biasanya berusia antara 50 tahun dan 60 tahun dan pria tiga kali lebih sering daripada wanita. Mirip dengan bentuk Iain displasia lambung, adenoma hampir selalu ada pada latar belakang gastritis kronik dengan atrofia dan metaplasia intestinal. Risiko untuk menjadi adenokarsinoma pada adenoma lambung berkaitan dengan ukuran lesi dan sangat meningkat kalau diameter lesi lebih besar dari 2 cm. Secara umum, karsinoma mungkin ditemukan sampai 30% dari adenoma lambung.



MORFOLOGI Lokasi adenoma lambung paling sering di antrum dan biasanya terdiri atas epitel kolumner tipe intestinal. Menurut definisi, semua adenoma saluran cerna mengandungi displasia epitel, yang dapat diklasifikasikan sebagai derajat tinggi dan rendah. Kedua gradasi mungkin meliputi pembesaran, pemanjangan dan hiperkromasi inti sel epitel, epitel yang bertumpuk dan berlapis semu. Displasia derajat tinggi ditandai oleh lebih beratnya atipia sitologis dan arsitektur tidak teratur, meliputi giandular budding dan kelenjar dalam kelenjar atau struktur kribriform.



570



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Adenokarsinoma Lambung Adenokarsinoma adalah keganasan tersering di lambung, merupakan lebih dari 90% dari semua kanker lambung. Gejala awal mirip dengan gastritis kronik, meliputi dispepsia, disfagia, dan mual. Akibatnya, di negara yang insidensnya rendah, seperti di Amerika Serikat, kanker tersebut sering ditemukannya pada stadium lanjut, ialah pada waktu manifestasi klinis, seperti turunnya berat badan, perubahan kebiasaan defikasi, anemia dan perdarahan memicu evaluasi diagnosis.



Epidemiologi Tingkat kekerapan kanker lambung sangat bervariasi menurut geografi. Insidensnya sampai 20 kali lebih tinggi di Jepang, Chili, Costa Rica dan Eropa Timur daripada Amerika Utara, Eropa Utara, Afrika, dan Asia Tenggara. Program skrining endoskopi masal bisa berhasil di daerah dengan insidens tinggi, seperti Jepang, yang menemukan 35% dari kasus-kasus yang baru, adalah kanker lambung dini, atau tumor yang terbatas di mukosa dan submukosa. Sayangnya, biaya program skrining masal tidak murah untuk daerah yang insidensnya rendah dan kurang dari 20% kasus ditemukan pada stadium dini di Amerika Utara dan Eropa Utara. Kanker lambung lebih sering pada kelompok sosial ekonomi rendah dan pada orang dengan atrofia mukosa multifokal dan metaplasia intestinum. Penyakit ulkus peptic (PUP) tidak menyebabkan peningkatan risiko kanker lambung, kecuali pasien dengan gastrektomi parsial untuk PUP, memiliki risiko sedikit lebih tinggi untuk terkena kanker pada tunggul sisa lambung sebagai akibat dari hipoklorhidria, refluks empedu, dan gastritis kronik. Di Amerika Serikat, tingkat kanker lambung menurun dengan lebih dari 85% selama abad ke-20. Penurunan serupa tidak dilaporkan di banyak negara barat, mencerminkan pentingnya faktor lingkungan dan diet. Meskipun penurunan terjadi pada insidens adenokarsinoma secara keseluruhan namun, kanker kardia lambung cenderung naik. Kecenderungan ini mungkin berkaitan dengan peningkatan frekuensi esofagus Barrett dan dapat mencerminkan bertambahnya prevalensi GERD kronik dan obesitas.



di gen adenomatous polyposis coli (APC) memiliki peningkatan risiko kanker lambung jenis intestinal. Kanker lambung jenis intestinal sporadik berasosiasi dengan beberapa abnormalitas beberapa gen, termasuk mutasi 1-katenin yang didapat, suatu protein yang mengikat kedua protein β- kadherin dan protein APC; instabilitas mikrosatelit dan hipermetilasi gen, termasuk mutasi TGFPRII, BAX, IGFRII, dan p161 INK4a. TP53 yang terdapat pada mayoritas kanker lambung sporadik dari kedua jenis histologis. • H. pylori: gastritis kronik, paling sering disebabkan oleh infeksi H. pylori, mempercepat, perkembangan dan progresi kanker yang mungkin diinduksi oleh perubahan genetik yang berbedabeda (Bab 5). Seperti halnya dengan berbagai bentuk radang kronik, gastritis kronik akibat H. pylori berasosiasi dengan peningkatan produksi protein proinflamasi, seperti interleukinIβ (1L-1β) dan tumor nekrosis faktor (TNF). Karena itu, tidak mengherankan bahwa polimorfin yang terkait dengan peningkatan produksi sitokin, memberikan peningkatan risiko gastritis kronik yang berasosiasi dengan kanker lambung jenis intestinal pada keadaan dengan infeksi H.pylori • EBV: Sementara H. pylori paling sering diasosiasikan dengan kanker lambung sekitar 10% adenokarsinoma lambung diasosiasikan dengan infeksi Epstein-Borr virus (EBV). Meskipun peran EBV dalam perkembangan menjadi adenokarsinoma lambung belum benar-benar diketahui, dapat dicatat bahwa episome EBV di tumor ini sering bersifat clonal, menunjukkan bahwa transformasi neoplastik didahului oleh infeksi. Selanjutnya, mutasi TP53 tidak sering terjadi pada tumor lambung dengan EBV positif, menunjukkan bahwa patogenesis molekuler dari kanker ini berbeda dengan adenokarsinoma lambung lain. Secara morfologik, tumor dengan EBV positif condong terjadi pada lambung proksimal dan paling sering memiliki morfologi difus dengan sebukan limfosit nyata.



MORFOLOGI PATOGENESIS Kanker lambung secara genetik adalah heterogen, tetapi perubahan molekuler tertentu sering terjadi. Kami menganggap perubahan tersebut merupakan hal yang sama dengan peran H. pylori dalam menginduksi inflamasi kronik dan asosiasi suatu subset kanker lambung dengan infeksi EBV. • Mutasi: Pada umumnya kanker lambung tidak herediter,mutasi yang teridentifikasi pada kanker lambung familial telah memberi wawasan penting dalam mekanisme karsinogenesis pada kasus sporadik. Mutasi germline di CDHI, yang mengkode E-kadherin, suatu protein yang berkontribusi pada adhesi intersel epitel. berasosiasi dengan kanker lambung familial, biasanya tipe difus. Mutasi di CDHI, terdapat dalam sekitar 50% dari tumor lambung difus, sementara ekspresi E-chaderin menurun drastis selanjutnya, sering oleh metilasi promotor CDHI. Dengan demikian, hilangnya fungsi E-chaderin agaknya merupakan langkah kunci dalam perkembangan kanker lambung difus. Berbeda dengan CDHI. pasien dengan familial adenomatous polyposis (FAP), yang memiliki mutasi germline



Adenokarsinoma diklasifikasikan menurut lokasinya di lambung, gambaran makroskopik dan morfologi histologis. Klasifikasi Lauren, yang membagi kanker lambung menjadi tipe intestinal dan difus berkorelasi dengan pola perubahan molekul yang jelas, seperti didiskusikan di atas. Kanker tipe intestinal condong berukuran besar (Gambar 14-16, A) dan terdiri atas struktur kelenjar serupa dengan adenokarsinoma esofagus dan kolon. Adenokarsinoma tipe intestinal biasanya terjadi pada permukaan yang luas kohesif untuk membentuk massa eksofitik atau tumor yang berulkus. Sel-sel neoplastik sering berisi vakuol apikal musin. dan mungkin banyak musin terdapat di lumen kelenjar. Kanker lambung difus menunjukkan pola pertumbuhan infiltratif (Gambar 14-16, B) dan terdiri atas sel yang tidak kohesif dengan vakuol musin yang besar, yang mengisi sitoplasma dan mendesak inti ke tepi sel, membentuk morfologi sel cincin (signet ring cell) (Gambar 14-16, C). Sel-sel ini menginvasi mukosa dan dinding lambung secara individual atau dalam kelompok kecil. Pada kanker lambung, difus, mungkin tidak tampak massa, tetapi tumor infiltratif ini sering memicu reaksi desmoplastik, yang menjadikan dinding lambung kaku dan mungkin menyebabkan rugal mendatar secara difus dan dinding yang kaku dan menebal. Memberi gambaran "leather bottle", disebut Iinitis plastica.



Penyakit Neoplasma Lambung



571



ditemukan pada stadium lanjut di Amerika Serikat, umumnya ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 30%.



Limfoma Meskipun limfoma ekstranodal dapat terjadi pada jaringan apa pun, di saluran cerna paling sering terjadi di lambung. Pada sel punca alogenik hematopoietik dan penerima organ transplantasi, usus juga merupakan daerah yang paling sering terkena limfoproliferasi sel B dengan virus Epstein-Barr positif. Hampir 5% dari semua keganasan lambung adalah limfoma primer dan limfoma yang tersering adalah limfoma sel B tipe marginal zona ekstranodal yang tumbuh lambat. Pada usus, tumor sering disebut sebagai limfoma dari mucosaassociated lymphoid tissue (MALT), atau MALTomas. Entitas ini dan limforna primer kedua tersering di usus yaitu limfoma seI B besar difusa, didiskusikan di Bab 11.



A



Tumor Karsinoid



B



C



Gambar 14-16 Adenokarsinoma lambung. A, Adenokarsinoma jenis intestinal terdiri atas massa yang meninggi dengan tepi yang menebal dan ulserasi sentral. Bandingkan dengan ulkus pada Gambar 14-15, A. B, Linitis plastika. Dinding lambung jelas menebal dan lipatan rugae sebagian hilang. C, Sel berbentuk cincin dengan vakuol sitoplasma musin yang besar dan inti yang berbentuk bulan sabit, terdesak ke tepi.



Gambaran Klinis



Kanker lambung tipe intestinal terutama terjadi area berisiko tinggi dan berkembang dari lesi prekursor, termasuk displasia datar (flat dysplasia) dan adenoma. Usia rata-rata adalah 55 tahun dan rasio priawanita adalah 2:1. Sebaliknya insidens kanker Iambung difus yang relatif uniform di semua negara, tidak didahului lesi prekursor dan penyakit ini terjadi dengan frekuensi sama pada pria dan wanita. Dari catatan, penurunan nyata insidens kanker lambung, hanya terjadi pada tipe intestinal, yang paling erat asosiasinya dengan gastritis atrofik dan metapIasia intestinal. Akibatnya, insidens kanker lambung tipe intestinal dan difus, sekarang sama di beberapa daerah.



Dalamnya invasi dan terkenanya ketenjar getah bening serta metastasis jauh pada saat diagnosis tetap merupakan indikator prognostik yang paling kuat untuk kanker tambung. Invasi lokal ke duodenum, pankreas dan retroperitoneum juga khas. Kalau memungkinkan, reseksi bedah tetap merupakan pengobatan pilihan untuk adenokarsinoma lambung. Sesudah reseksi bedah tingkat ketahanan hidup 5 tahun untuk kanker lambung dini dapat melebihi 90%, bahkan walaupun terdapat metastasis kelenjar getah bening. Sebaliknya tingkat ketahanan hidup 5 tahun untuk kanker lambung lanjut hanya di bawah 20%, pada sebagian besar penderita, karena regimen kemoterapi saat ini efektifitasnya minimal. Karena kebanyakan kanker lambung



Tumor karsinoid berasal dari organ neuroendokrin (seperti pankreas endokrin) dan epitel saluran cerna dengan diferensiasi neuroendokrin (seperti sel G). Mayoritasnya ditemukan di saluran cema dan lebih dari 40% terjadi di usus halus. Cabang trakeobronkus dan paru adalah tempat kedua tersering. Karsinoid larnbung mungkin berasosiasi dengan hiperplasi sel endokrin, gastritis kronik atrofik dan sindrom ZollingerEllison. Tumor-tumor ini disebut karsinoid, karena tumbuhnya lebih lambat daripada karsinoma. Klasifikasi WHO terbaru, menuliskan ini sebagai tumor neuroendokrin gradasi rendah dan menengah. Gradasi ini didasarkan pada aktivitas mitosis dan fraksi sel yang secara imunohistokimia positif untuk Ki67, suatu petanda mitosis. Namun, adalah penting untuk mengetahui lokasinya di saluran cerna dan jauhnya invasi lokal, juga merupakan indikator prognostik penting (lihat kemudian). Tumor neuroendokrin gradasi tinggi, sering menunjukkan nekrosis dan pada saluran cerna, paling sering di jejunum.



MORFOLOGI Tumor karsinoid merupakan massa intramural atau submukosa, yang membentuk lesi polipoid kecil (Gambar 14-17,A).Tumor berwarna kuning atau coklat dan memicu reaksi desmoplastik yang kuat, yang menyebabkan usus terlipat (kinking) dan obstruksi. Pada pemeriksaan histologis, tumor karsinoid terdiri atas sel-sel yang uniform, yang tersusun sebagai pulau-pulau, trabekuta, tali, kelenjar atau lembaran dengan sedikit sitoplasma merah muda, granula dan inti bulat atau oval, berbintik-bintik (Gambar 14-17,B).



Gambaran Klinis



Insidens tertinggi dari tumor karsinoid ialah dekade ke-enam, tetapi tumor ini bisa ditemukan pada semua umur. Gejala ditentukan oleh hormon yang dihasilkannya. Sebagai contoh, sindrom karsinoid disebabkan oleh bahan vasoaktif yang disekresi oleh tumor, yang menyebabkan kulit kemerahan, berkeringat, spasrne bronkus, nyeri perut kolik, diare dan fibrosis katup jantung kanan.



572



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna tumor mesenkim tersering dari abdomen, dan lebih dari separuh tumor ini terjadi di lambung.



Epidemiologi



Secara keseluruhan, GIST sedikit lebih sering pada pria. Puncak insidens GIST lambung sekitar umur 60 tahun, dengan kurang dari 10% terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.



PATOGENESIS



A



B



Gambar 14-17 Tumor karsinoid usus (tumor neuroendokrin). A, Tumor karsinoid sering membentuk nodul submukosa, terdiri atas sel-sel tumor yang terletak dalam jaringan ikat padat. B, Dengan pembesaran tinggi, tampak sitologis biasa, yang khas pada tumor karsinoid. Struktur kromatin, halus dan kasar, sering memberi pola "salt and pepper". Meskipun gambarannya tidak ganas, karsinoid dapat agresif.



Kalau tumor terbatas di usus, zat vasoaktif yang dilepaskannya akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif oleh hati suatu efek first pass, yang mirip dengan obat-obat oral. Dengan demikian, sindrom karsinoid tampak pada kurang dari 10% pasien dan berkaitan erat dengan penyakit yang bermetastasis. Faktor prognostik terpenting untuk tumor karsinoid saluran cerna adalah lokasi: • Tumor karsinoid foregut, yang ditemukan di lambung, duodenum proksimal dari ligamen Treitz dan esofagus, jarang bermetastasis dan umumnya sembuh dengan reseksi. Meskipun jarang, tumor karsinoid duodenum penghasil gastrin, gastrinorna berasosiasi dengan terapi proton pump inhibitor. • Tumor karsinoid midgut timbul di jejunum dan ileum sering multipel, dan condong agresif. Pada tumor ini, invasi lokal yang lebih dalam, bertambahnya ukuran dan adanya nekrosis dan mitosis berasosiasi dengan prognosis yang buruk. • Karsinoid hindgut tumbuh di apendiks dan kolorektal yang khas ditemukan secara kebetulan. Tumor di apendiks, terjadi pada semua usia dan hampir selalu jinak. Tumor karsinoid rektum condong untuk memproduksi hormon polipeptida dan dapat bermanifestasi dengan nyeri abdomen dan menurunnya berat badan, tumor-tumor ini hanya kadang-kadang bermetastasis.



Tumor Stroma Saluran Cerna Berbagai macam neoplasma mesenkim dapat tumbuh di lambung. Banyak yang diberi nama sesuai dengan tipe sel yang pa]ing mirip, contoh: tumor otot polos disebut leiomioma atau leiomiosarkoma, tumor selubung saraf disebut schwannoma dan tumor-tumor yang mirip badan glomus di dasar kuku dan pada tempat lain disebut tumor glomus. Tumor-tumor ini jarang dan tidak dibahas di sini. Tumor stroma saluran cerna (gastrointestinal stromal tumor/GIST) adalah



Sekitar 75% sampai 80% dari semua GIST memiliki onkogen yang meningkatkan fungsi mutasi dari gen yang mengkode tirosin kinase c-KIT, yang merupakan reseptor dari faktor sel punca. GIST lainnya (8%) memiliki mutasi, yang mengaktifkan tirosin kinase terkait plateiet-derived growth factor receptor A (PDGFRA); dengan demikian mutasi di tirosin kinase yang aktif, ditemukan pada hampir semua GISTs.Tetapi, semua mutasi adalah cukup untuk tumorigenesis dan c-KiT maupun mutasi PDGFRA hampir tidak pernah ditemukan pada satu tumor. GIST tampaknya terjadi dari atau bagian dari sel punca biasa, sel interstisial Cajal, yang mengekspresikan c-KIT, berlokasi di muskularis propria dan berfungsi sebagai sel pacemaker untuk peristaltik usus.



MORFOLOGI GIST lambung primer biasanya berbentuk massa soliter pada submukosa, berbatas tegas, menyerupai daging. Metastasis mungkin berupa nodul kecil multipel pada serosum atau beberapa nodal besar di hati, tetapi penyebaran di luar abdomen jarang. GIST dapat terdiri atas sel-sel spindel yang tipis, memanjang atau sel epiteloid yang membulat. Petanda diagnostik yang berguna adalah c-KIT, konsisten dengan hubungan antara GISTs dan sel interstisial Cajal, yang secara imunohistokimia terdeteksi pada 95% dari tumor ini.



Gambaran Klinis



Gejala adanya GISTs dapat berupa efek adanya massa atau ulkus pada mukosa. Reseksi bedah lengkap adalah pengobatan primer untuk GIST lambung yang terlokalisasi. Prognosis berkaitan dengan ukuran, indeks mitosis dan lokasi, dan GISTs lambung bersifat kurang agresif daripada yang terjadi di usus halus. Kambuh atau metastasis jarang terjadi pada GISTs lambung yang diameternya kurang dari 5 cm, tetapi sering tumor yang lebih dari 10 cm aktif bermitosis. Pasien dengan penyakit yang tidak dapat direseksi, rekuren dan bermetastasis sering memberi respons pada imatinib, suatu inhibitor aktivitas tirosin kinase dari c-KIT dan PDGFRA, yang juga efektif dalam menekan aktivitas BCR-ABL di leukemia mielogenosus kronik (Bab 11). Sayangnya, GIST akhirnya menjadi resisten terhadap imatinib dan inhibitor kinase lain, sekarang sedang dievaluasi untuk penyakit yang resisten terhadap imatinib.



RINGKASAN Polip dan Tumor Lambung •



Polip hiperplasi don inflamasi adalah lesi reaktif, yang berasosiasi dengan gastritis kronik. Risiko displasia meningkat mengikuti ukuran polip.



Obstruksi Usus •



• •







Adenoma lambung terjadi dengan latar belakang gastritis kronik dan terutama terkait dengan metaplasia intestinal dan atrofia (kelenjar) mukosa. Adenokarsinoma sering terjadi pada adenoma lambung sehingga perlu eksisi lengkap dan pengawasan untuk mendeteksi kekambuhan. Insidens adenokarsinoma lambung sangat bervariasi dengan geografi dan juga lebih sering terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah. Adenokarsinoma lambung diklasifikasikan menurut lokasi dan makroskopik dan morfologi histologinya. Mereka dengan pola histologis intestinum condong untuk membentuk tumor besar dan mungkin berulkus, sedangkan tumor-tumor yang terdiri atas sel cincin (signet ring cells) biasanya menunjukkan pola pertumbuhan infiltratif difus, yang mungkin menebalkan dinding lambung (linitis plastica), tanpa membentuk massa yang jelas. Infeksi H. pylori adalah etiologi tersering untuk adenokarsinoma lambung, tetapi asosiasi lain, termasuk gastritis kronik atrofik dan infeksi EBV, agaknya kemungkinan terjadi beberapa jalur transformasi neoplastik.















573



aimfoma lambung primer paling sering berasal dari mucosaassociated lymphoid tissue yang perkembangannya di induksi oleh gastritis kronik. Tumor karsinoid timbul dari berbagai komponen dari sistem endokrin dan paling sering di saluran cerna, terutama usus halus. Faktor prognostik tunggal terpenting adalah lokasi. Tumor pada usus halus condong merupakan yang paling agresif, sedangkan yang di apendiks hampir selalu jinak. Gastrointestinal stromai tumor (GIS-1") adalah tumor mesenkim tersering dari abdomen, terjadinya paling sering di lambung. Tumor ini tumbuh dari sel pacemaker jinak, yang juga disebut sel interstisial Cajal. Mayoritas tumor memiliki mutasi yang teraktifkan baik di c-KIT maupun PDGFRA tirosin kinase dan respons terhadap inhibitor kinase.



USUS HALUS DAN KOLON Usus halus dan kolon merupakan bagian terpanjang dari saluran cerna dan merupakan tempat dari berbagai jenis penyakit, banyak di antaranya berefek pada nutrisi dan transpor air. Gangguan proses ini dapat menyebabkan malabsorpsi dan diare. Usus juga merupakan tempat utama, di mana sistem imun berhadapan dengan berbagai antigen yang terdapat di makanan dan mikroba usus. Bakteri usus sepuluh kali lebih banyak daripada sel eukariotik di tubuh manusia. Dengan demikian, tidak mengherankan, bahwa usus halus dan kolon sering terlibat dalam proses infeksi dan inflamasi. Akhirnya, kolon adalah tempat tersering dari neoplasma saluran cerna pada populasi negara Barat.



Pasien kembar memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena penyakit Hirschprung. Yang khas pada pasien adalah neonatus yang tidak segera mengeluarkan mekonium dalam periode postnatal, diikuti oleh konstipasi obstruktif. Ancaman utama pada kehidupan adalah Herniasi



Adhesi



OBSTRUKSI USUS Obstruksi saluran cerna mungkin terjadi pada berbagai tingkat, tetapi usus halus paling sering terlibat karena lumennya yang relatif sempit. Secara kolektif, hernia, adhesi usus, intususepsi dan volvulus merupakan 80% dari obstruksi mekanik (Gambar 14-18), sedangkan sebagian besar sisanya adalah tumor dan infark. Manifestasi klinis dari obstruksi usus antara lain nyeri abdomen dan distensi, muntah dan konstipasi sembelit. Biasanya dibutuhkan intervensi bedah pada kasus yang melibatkan obstruksi mekanik atau infark berat.



Penyakit Hirschsprung Penyakit Hirschsprung terjadi sekitar 1 dari 5000 kelahiran hidup dan disebabkan oleh defek inervasi kolon. Penyakit ini dapat merupakan abnormalitas tunggal atau terjadi bersama kelainan perkembangan lain. Penyakit ini lebih sering pada pria tetapi condong lebih berat pada wanita.



Volvulus



Intususepsi



Gambar 14-18 Obstruksi usus. Ke-empat penyebab mekanik utama dari obstruksi usus adalah ( I) herniasi suatu segmen di umbilikus atau regio inguinal, (2) adhesi antara "loops" usus, (3) volvulus, dan (4) intususepsi.



574



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



enterokolitis gangguan cairan dan elektrolit, perforasi dan peritonitis. Reseksi bedah dari segmen aganglionik dengan anastomosis dari kolon normal ke rektum adalah efektif, meskipun mungkin perlu beberapa tahun, agar usus dapat dikendalikan dan berfungsi normal.



PATOGENESIS Pleksus saraf enterik berkembang dari sel "neural crest", yang bermigrasi ke dinding usus selama embriogenesis. Penyakit Hirschsprung, disebut juga sebagai megakolon aganglionik kongenital, terjadi kalau migrasi normal dari "neural crest" dari sekum ke rektum terganggu. Hal tersebut, menyebabkan segmen distal tidak mempunyai kedua pleksus, submukosal Meissner dan mienterik Auerbach (agangbonosis). Kontraksi peristaltik tidak terkoordinasi dan selanjutnya terjadi obstruksi fungsional mengakibatkan dilatasi pada bagian proksimal dari segmen yang terkena. Sedangkan mekanisme yang mendasari gangguan migrasi sel neural crest tidak diketahui, mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi gen heterozygote pada reseptor kinase RET terjadi pada mayoritas kasus-kasus familial dan sekitarnya 15% pada kasus sporadik. Tetapi, mutasi juga terjadi pada gen lain, dan hanya beberapa di antaranya yang telah diidentifikasi serta modifikasi gen atau faktor lingkungan juga berperan.



Hernia Abdominal Setiap kelemahan atau defek pada dinding rongga peritoneum akan meningkatkan terjadinya penonjolan kantong peritoneum yang dilapisi serosum dan disebut kantong hernia. Hernia yang didapat, paling sering terjadi di anterior, melalui saluran inguinal dan femoral atau umbilikus atau di tempat jaringan parut akibat pembedahan. Hal ini terutama disebabkan oleh penonjolan viseral (herniasi eksternal). Hal ini terutama benar pada hemia inguinalis, yang condong memiliki lubang sempit dan kantong besar. Loop usus halus paling sering mengalami herniasi, tetapi bagian omentum atau usus besar juga menonjol dan semua ini dapat terperangkap. Tekanan pada leher kantong mungkin mengganggu aliran vena, menyebabkan stasis dan edema. Perubahan-perubahan ini meningkatkan massa dari loop hemia, menyebabkan perangkap atau inkarserata dan selanjutnya, arteri dan vena kompromasi atau strangulasi dapat mengakibatkan infark.



RINGKASAN Obstruksi Usus • •



MORFOLOGI Penyakit Hirschsprung selalu mengenai rektum, tetapi panjang segmen tambahan yang terlibat bervariasi. Kebanyakan kasus terbatas di rektum dan kolon sigmoid, tetapi penyakit yang berat dapat melibatkan seluruh kolon. Daerah aganglionik secara makroskopik normal atau tampak berkontraksi, sedangkan kolon proksimal, yang persarafannya normal, mungkin berdilatasi secara progresif, akibat dari obstruksi di bagian distal (Gambar 14-19). Diagnosis penyakit Hirschsprung harus menunjukkan tidak adanya sel ganglion pada segmen yang terkena.



Penyakit Hirschsprung adalah akibat dari defek migrasi sel neural crest dari sekum ke rektum. Hal tersebut menyebabkan obstruksi fungsional. Herniasi abdominal mungkin terjadi melalui setiap kelemahan atau defek di dinding rongga peritoneal, termasuk saluran inguinal dan femoral, umbilikus dan tempat jaringan parut akibat pembedahan.



KELAINAN VASKULAR USUS Sebagian besar saluran cerna mendapat aliran darah dari arteri celiac, mesenterik superior dan mesenterik inferior. Saat mereka mendekati dinding usus, arteri mesenterik superior dan inferior bercabangcabang, membentuk "arcade" mesenterik. Interkoneksi antara "arcade", juga kolateral mendapat pasokan dari sirkulasi celiac proksimal dan pudendal distal dan iliaca, yang memungkinkan kolon dan usus halus untuk toleran pada kehilangan pasokan darah yang lambat dari satu arteri. Sebatiknya terhentinya aliran darah secara akut dari salah satu pembuluh besar, dapat menyebabkan infark usus beberapa meter.



Penyakit Usus Iskemik



A



B



Gambar 14-19 Penyakit Hirschsprung. A, Studi enema barium preoperatif menunjukkan rektum yang konstriktif (bagian dasar dari gambar) dan kolon sigmoid yang berdilatasi. Sel ganglion tidak terdapat di rektum, tetapi terdapat di kolon sigmoid. B, Gambaran yang sesuai dengan intraoperatif pada kolon sigmoid yang berdilatasi. (Sumbangan dari Dr. Aliya Husain, The University of Chicago, Chicago, Illinois.)



Gangguan iskemik dinding usus dapat berkisar dari infark mukosa, yang jauhnya tidak lebih dalam dari muskularis mukosa, sampai infark mural dari mukosa dan submukosa, sampai infark transmural yang mengenai ketiga lapisan dinding. Sementara infark mukosal dan mural, sering sekunder dari hipoperfusi akut atau kronik, infark transmural umumnya disebabkan oleh obstruksi vaskular akut. Penyebab penting dari obstruksi arteri akut, termasuk aterosklerosis berat (yang sering prominen pada muara pembuluh mesenterik), aneurisma aorta, status hiperkoagulasi, penggunaan kontrasepsi oral dan ernboli dari vegetasi jantung atau aterom aorta. Hipoperfusi usus, dapat juga disebabkan oleh gagal jantung, syok, dehidrasi atau obat vasokon striksi. Vaskulitis sistemik, seperti poliarteritis nodosa, purpura Henoch-Schtinlein atau granulomatosa Wegener,



Kelainan Vaskular Usus juga dapat merusak arteri usus. Trombosis vena mesenterik juga dapat menyebabkan penyakit iskemik, tetapi jarang. Penyebab lain termasuk neoplasma yang invasif, sirosis, hipertensi portal, trauma atau massa abdomen yang menekan aliran portal.



PATOGENESIS Respons usus terhadap iskemia terjadi dalam dua fase. Cedera hipoksia awal yang terjadi pada permulaan terhentinya aliran darah dan walaupun terjadi beberapa kerusakan, tetapi sel epitel usus relatif resisten terhadap hipoksia ringan. Fase kedua yaitu, cedera reperfusi, dimulai oleh perbaikan pasokan darah dan berkaitan dengan kerusakan terbesar. Pada kasus-kasus berat dapat terjadi kegagalan multiorgan. Sedangkan dasar mekanisme dari cedera reperfusi, belum dipahami keseluruhannya, mereka melibatkan produksi radikal bebas, infiltrasi neutrofil dan pengeluaran mediator Inflamasi,seperti protein komplemen dan sitokin (Bab 10). Beratnya insufisiensi vaskular, jangka waktu gangguan tersebut dan pembuluh yang terkena merupakan variabel utama, yang menentukan beratnya penyakit usus iskemik. Dua aspek dari anatomi vaskular usus juga berperan dalam distribusi kerusakan iskemik: • Segmen usus pada ujung akhir pasokan masing-masing arteri rentan terhadap iskemia. Daerah watershed ini termasuk fleksura limpa, tempat sirkulasi arteri mesenterium superior dan inferior berakhir dan pada tingkat yang lebih rendah, kolon sigmoid dan rektum, tempat sirkulasi arteri mesenterium inferior, pudendus dan iliaca berakhir. Karena itu hipotensi atau hipoksemia umum, dapat menyebabkan cedera lokal dan penyakit iskemia harus dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis kolitis fleksura limpa atau kolon rektosigmoid. • Kapiler-kapiler usus berjalan bersama kelenjar dari kripta ke permukaan, sebelum membuat lekukan balik pada permukaan untuk diteruskan ke venula pascakapiler. Konfigurasi ini memungkinkan darah beroksigen memasuki kripta tetapi membiarkan epitel permukaan rentan terhadap cedera iskemik. Anatomi ini melindungi kripta yang mengandungi selsel punca epitel yang perlu untuk mengganti epitel permukaan. Dengan demikian atrofia sel permukaan atau nekrosis dengan akibat pengelupasan dengan kripta normal atau hiperproliferatif merupakan ciri morfologi dari penyakit usus iskemia.



575



Nekrosis koagulatif dari muskularis propria terjadi dalam 1 hari sampai 4 hari dan mungkin berasosiasi dengan serositis purulen dan perforasi. Pada trombosis vena mesenterium, darah arteri terus mengalir untuk sementara waktu, mengakibatkan transisi yang kurang jelas dari usus yang sakit dan normal. Tetapi propagasi trombus dapat menyebabkan keterlibatan daerah splanknik sekunder. Hasil utamanya mirip dengan yang dihasilkan oleh obstruksi arteri akut, sebab kerusakan drainase vena akhirnya mencegah masuknya darah arteri beroksigen. Pemeriksaan mikroskopik usus yang iskemia menunjukkan atrofia atau epitel permukaan yang terlepas (Gambar 14-20, A). Sebaliknya, kripta dapat mengalami hiperproliferasi. Mula-mula, infiltrat radang tidak ada pada iskemia akut, tetapi neutrofil direkrut dalam beberapa jam setelah reperfusi. Iskemia kronik disertai oleh lamina propria yang menyerupai jaringan parut fibrosa (Gambar 14-20, B) dan jarang terbentuk striktur. Pada fase akut kerusakan iskemia, super infeksi bakteri dan peIepasan enterotoksin mungkin mengi nduksi pembentukan pseudomembran, yang menyerupai kolitis pseudomembran, karena Clostridium difficile (dibahas kemudian)



Gambaran Klinis



Penyakit usus besar iskemia cenderung terjadi pada usia lebih tua bersamaan dengan penyakit jantung atau vaskular. Infark transmural akut khas manifestasinya mendadak, sakit dan nyeri abdomen hebat, kadang-kadang disertai mual, muntah, diare berdarah atau tinja kehitaman. Presentasi ini dapat berlanjut menjadi syok dan kolaps vaskular dalam beberapa jam, sebagai akibat kehilangan darah. Suara peristaltik berkurang atau hilang dan spasme muskular menjadikan dinding abdomen kaku seperti papan. Karena ciri-ciri fisis ini tumpang tindih dengan ciri-ciri penyakit darurat abdomen Iainnya, antara lain apendisitis akut, ulkus yang mengalami perforasi dan kolesistitis akut maka diagnosis infark usus, mungkin terlambat atau tidak terdiagnosis, dengan akibat yang berbahaya. Karena pertahanan mukosa rusak, bakteri masuk dalam sirkulasi dan terjadi sepsis sehingga angka mortalitas dapat melebihi 50%. Secara umum perkembangan enteritis iskemia tergantung pada dasar penyebabnya dan keparahan cederanya: • Infark mukosa dan mural saja, mungkin tidak fatal. Tetapi kelainan ini, dapat melanjut menjadi lebih luas sebagai infark transmural kalau asupan vaskular tidak pulih oleh koreksi kerusakan atau pada penyakit kronik oleh perkembangan asupan adekuat kolateral.



MORFOLOGI Meskipun terdapat peningkatan kerentanan di daerah watershed, infark mukosa dan mural dapat melibatkan tiap tempat di saluran cerna dari lambung sampai anus. Penyakit sering dalam bentuk segmen atau bercak, dan mukosa mengalami hemoragi serta sering berulkus. Dinding usus menebal oleh edema yang mungkin melibatkan mukosa atau meluas ke submukosa dan muskularis propria. Pada penyakit yang berat, perubahan patologis antara lain perdarahan dan nekrosis luas di mukosa dan submukosa, tetapi perdarahan serosum dan serositis biasanya tidak ada. Kerusakan lebih parah pada trombosis arteri akut dan infark transmural.Terjadi lendir dengan darah yang kebiruan atau akumulasi darah dalam lumen.



A



B



Gambar 14-20 Iskemia. A, Epitel vilus sebagian dilepaskan dan berkurang pada iskemia jejunum akut. Perhatikan sel-sel kripta yang proliferatif dan berinti hiperkromatik. B, Iskemia kolon kronik dengan epitel permukaan yang atrofik dan lamina propria fibrotik.



576



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



• eskemia kronik dapat tersamar sebagai penyakit peradangan usus dengan episode diare berdarah diselingi periode penyembuhan. • infeksi CMV menyebabkan penyakit iskemia saluran cerna, sebagai akibat tropisme virus dan infeksi sel endotel. Infeksi CMV dapat merupakan komplikasi dari terapi imunosupresif (Bab 8). • interokolitis radiasi terjadi kalau saluran cerna diradiasi. Selain kerusakan epitel, cedera vaskular akibat radiasi mungkin signifikan dan menyebabkan perubahan yang serupa dengan penyakit iskemia. Sebagai tambahan pada riwayat klinis pernah diradiasi, maka adanya fibroblas yang bizar di stroma, mungkin memberi ciri penting pada etiologi. Enteritis radiasi akut bermanifestasi sebagai anoreksia, kram abdomen dan diare malabsorpsi, sementara enteritis atau kolitis radiasi kranik sering lebih lambat dan dapat tampak sebagai kolitis inflamasi, • Enterokolitis nekrotik adalah kelainan akut pada usus halus dan usus besar, yang dapat mengakibatkan nekrosis transmural. Ini merupakan kelainan tersering dari kedaruratan saluran cerna yang didapat pada neonatus, terutama pada bayi prematur atau berat badan lahir rendah dan terjadi paling sering saat makanan oral dimulai (Bab 6). Cedera iskemia umumnya dianggap berperan dalam patogenesisnya. • Angiodisplasia ditandai oleh cacat pembuluh darah mukosa dan submukosa. Kelainan ini paling sering terjadi di sekum atau kolon kanan dan biasanya sesudah dekade ke-enam dari kehidupan. Meskipun prevalensi angiodisplasia kurang dari 1% pada populasi dewasa, kelainan ini merupakan 20%dari episode utama dari perdarahan usus distal; perdaraluin usus mungkin kronik dan intermiten atau akut dan masif. Patogenesisnya tidak diketahui.



Hemoroid Hemoroid terjadi pada sekitar 5% populasi umum. Secara sederhana, hemoroid adalah pembuluh darah kolateral anal dan perianal yang berdilatasi, yang menghubungkan sistem portal dan sistem vena kava untuk mengurartgi tekanan vena yang meninggi dalam pleksus hemoroid. Dengan demikian, meskipun keduanya lebih sering dan kurang serius dibandingkan dengan varises esofagus, patogenesis kedua Iesi ini serupa. Faktor-faktor yang merupakan predisposisi hemoroid adalah konstipasi dan berkaitan dengan mengedan, yang meningkatkan tekanan intra abdominal dan vena, stasis vena pada kehamilan dan hipertensi portal.



MORPHOLOGY Pembuluh kolateral dalam pleksus hemoroid inferior terletak di bawah garis anorektal dan disebut hemoroid eksterna, sedangkan pembuluh-pembuluh yang berdilatasi pada pleksus hemoroid superior di rektum bagian distal disebut hemoroid interna. Pada pemeriksaan histologis, hemoroid terdiri atas pembuluhpembuluh submukosa, berdinding tipis, berdilatasi,



yang menonjol di bawah anus atau mukosa rektum. Dalam posisi yang menonjoi itu, mereka mudah terkena trauma dan cenderung meradang, terbentuk trombus dan sesudah beberapa waktu bisa terjadi rekanalisasi. Dapat juga terjadi ulkus.



Gambaran Klinis



Hemoroid sering bermanifestasi sebagai nyeri dan perdarahan rektum, khas tampak darah merah segar pada tissue toilet. Kecuali pada wanita hamil, hemoroid jarang terdapat pada seseorang di bawah usia 30 tahun. Hemoroid juga dapat disebabkan oleh hipertensi portal, dalam hal ini implikasinya Iebih berat. Perdarahan hemoroid umumnya bukan kedaruratan medis, pilihan pengobatannya antara lain skleroterapi, ligasi pita karet dan koagulasi infrared. Pada kasus yang parah, hemoroid dapat diangkat dengan pembedahan, secara hemoroidektomi.



RINGKASAN Kelainan Vaskular pada Usus • •







Iskemia usus dapat terjadi sebagai akibat obstruksi arteri atau vena. Penyakit usus besar iskemia yang merupakan akibat dari hipoperfusi paling sering di fleksura lienatis, kolon sigmoid dan rektum, lokasi ini adalah zona watershed, tempat dua sirkulasi arteri berakhir. Penyakit-penyakit yaskultbs sistemik dan infeksi (contoh: infeksi CMV) dapat menyebabkan penyakit vaskular, yang tidak terbatas pada saluran cerna.







Angtothspiasia sering merupakan penyebab perdarahan berat saluran cerna bagian bawah pada usia tua.







Hemoroid adalah pembuluh kolateral yang terbentuk untuk memungkinkan resolusi hipertensi vena.



PENYAKIT DIARE Diare Malabsorpsi Diare adalah gejala yang sering ditemukan pada banyak penyakit usus, termasuk yang disebabkan oleh infeksi, inflamasi, iskemia, malabsorpsi dan defisiensi nutrisi. Bagian ini berfokus terutama pada malabsorpsi yang paling sering bermanifestasi sebagai diare kronik dan khas dengan defek absorpsi lemak, vitamin larut air dan lemak, protein, karbohidrat, elektrolit, mineral dan air. Gangguan lain berasosiasi dengan diare tipe sekretori dan tipe eksudatif (contoh: kolera dan penyakit usus inflamasi) dibahas di bagian yang terpisah.



Malabsorpsi kronik menyebabkan penurunan berat badan, anoreksia, distensi abdomen, borborigmus dan pengecilan otot. Ciri malabsorpsi adalah steatorea, ditandai dengan tinja banyak dan berlemak, berbusa, berrninyak, berwarna kuning atau seperti tanah liat. Kelainan malabsorpsi kronik yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat adalah insufisiensi pankreatik, penyakit celiac dan penyakit Crohn. Penyakit usus graft-versus-host adalah penyebab penting dari



Penyakit Diare malabsorpsi dan diare sesudah transplantasi seI punca hematopoietik alogenik. Enteropati lingkungan (dahulu dikenal sebagai tropical sprue) terdapat sangat banyak di beberapa komunitas dalam negara berkembang. Diare didefinisikan sebagai peningkatan massa tinja, frekuensi atau fluiditas, khas volumenya lebih dari 200 ml per hari. Pada kasus yang parah, volume tinja dapat melebihi 14 liter per hari, dan tanpa resusitasi cairan, berakibat kematian. Diare dengan nyeri, berdarah, volume kecil-kecil disebut disentri. Diare dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori utama: • Diare sekretori khas dengan tinja isotonik dan menetap selama puasa. • Diare osmotik, seperti yang terjadi dengan defisiensi laktase,akibat pengaruh tekanan osmotik yang disebabkan oleh zat terlarut yang tidak terserap. Cairan diare lebih dari 50 mOsm lebih pekat daripada plasma dan kondisi ini mereda dengan puasa. • Diare malabsorptif disebabkan oleh absorpsi nutrien yang tidak memadai, berasosiasi dengan steatorea dan membaik dengan puasa. • Diare eksudatif disebabkan oleh penyakit radang dan khas dengan tinja yang purulen, berdarah, yang terus terjadi selama berpuasa. Malabsorpsi merupakan akibat gangguan sekurang-kurangnya satu dari empat fase absorpsi nutrien: (1) pencernaan intraluminal, di sini protein, karbohidrat, dan lemak diuraikan menjadi bentuk yang dapat diserap, (2) pencernaan terminal, yang melibatkan hidrolisis karbohidrat dan peptida oleh disakaridase dan peptidase, masingmasing pada brush border dari mukosa usus halus, (3) transpor transepitel, di mana nutrien, cairan dan elektrolit di kirim melintasi dan diproses dalam epitel usus halus dan (4) transportasi limfatik dari lemak yang terserap. Pada banyak kelainan malabsorpsi, yang predominan adalah defek dari salah satu proses ini, tetapi biasanya lebih dari satu yang berkontribusi (Tabel 14-3). Akibatnya, sindrom malabsorpsi



577



mirip satu dengan yang lain. Gejala dan ciri, antara lain diare (dari malabsorpsi nutrien dan banyaknya sekresi usus), flatus, nyeri abdomen dan berat badan turun. Absorpsi vitamin dan mineral yang tidak adekuat dapat mengakibatkan anemia dan mukositis akibat defisiensi piridoksin, folat atau vitamin 1312; perdarahan akibat defisiensi vitamin K, osteopeni dan tetani akibat defisiensi kalsium, magnesium atau vitamin D atau neuropati akibat defisiensi vitamin A atau Bi2. Variasi gangguan endokrin dan kulit juga dapat terjadi.



Fibrosis Kistik Fibrosis kistik dibahas lebih rinci di tempat lain (Bab 6). Hanya malabsorpsi yang berasosiasi dengan fibrosis kistik dibahas di sini. Karena tidak adanya epithelial cystic fibrosis transmembran conductance regulator (CFTR), orang dengan fibrosis kistik memiliki defek dalam sekresi ion klorida di usus dan duktus pankreas. Abnormalitas ini menyebabkan gangguan sekresi bikarbonat, natrium dan air, sehingga mengakibatkan defek hidrasi lumen. Kegagalan hidrasi ini dapat mengakibatkan ileus mekonium, yang terdapat sampai 10% pada bayi baru lahir dengan fibrosis kistik. Pada pankreas, pengerasan intraduktal dapat mulai di uterus. Hal ini menyebabkan obstruksi, autodigestion kronik derajat rendah pankreas dan akhirnya insufisiensi pankreas eksokrin pada lebih dari 80% pasien. Akibatnya adalah kegagalan fase absorpsi nutrisi intralumen, yang pada kebanyakan pasien, dapat diobati secara efektif dengan suplemen enzim secara oral.



Penyakit Celiac Penyakit celiac/seltak, juga disebut sariawan celiac atau enteropati gluten sensitif, adalah enteropati imun yang dipicu oleh konsumsi sereal yang mengandungi gluten, seperti gandum atau barley, pada orang dengan predisposisi genetik. Di negara-negara yang populasinya terutama orang kulit putih keturunan Eropa, penyakit celiac adalah kelainan biasa, dengan perkiraan prevalensi 0,5%



Tabel 14-3 Defek dalam Malabsorpsi dan Penyakit Diare



Penyakit



Digesti dalam Lumen



Digesti Terminal



Transpor Transepitel



Penyakit celiac



+



+



"Tropical sprue"



+



+



Pankreatitis kronik



+



Fibrosis kistik



+



Malabsorpsi asam empedu primer



+



+



Sindrom karsinoid



+



Enteropati autoimun



+



Defisiensi disacharida



+



+



Penyakit Whipple



+



Abetalipoproteinemia



+



Gastroenteritis virus



+



+



Gastroenteritis bakteri



+



+



Gastroenteritis parasitik Penyakit usus inflamatori



Transpor Limfatik



+



+- Mengindkaskan bahwa proses adalah abnormal dalam penyakrt terindkas. Proses lain tidak terkena.



+



+



+



+



578



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



sampai 1%. Pengobatan utama untuk penyakit celiac adalah diet bebas gluten. Meskipun sulit mengikuti tantangan pola makan seperti itu, pada banyak pasien mengakibatkan perbaikan gejala.



PATHOGENESIS Penyakit celiac adalah reaksi imun usus terhadap gluten, protein utama dari gandum dan biji-bijian serupa. Gluten dicerna oleh enzim-enzim di lumen dan brush border menjadi asam amino dan peptida, antara lain 33-amino acid gliodin peptida, yang resisten terhadap degradasi oleh protease lambung, pankreas, dan usus (Gambar 14-21). Gliadin deamidated oleh transglutaminase jaringan dan kemudian dapat berinteraksi dengan HLA-DQ2 atau HLA-DQ8 pada sel berantigen dan diharapkan pada CD4+ sel T. Sel T ini menghasilkan sitokin yang agaknya berkontribusi pada kerusakan jaringan dan karakteristik histopatologi mukosa. Respons sel B karakteristik mengikutinya: hal ini termasuk produksi anti-tissue transglutaminase, anti-deamidated gliadin, dan mungkin sebagai akibat cross-reactve epitopes, antiendomysiol antibodies, yang berguna untuk diagnostik (lihat bawah). Tetapi, apakah antibodi ini berkontribusi dalam patogenesis penyakit celiac atau hanya petanda, masih kontroversi. Selain itu pada sel CD4+, terdapat akumulasi dari sel CD8+, yang tidak spesifik untuk gliadin. Sel CD8+ ini mungkin berperan mendukung terjadinya kerusakan jaringan. Diperkirakan bahwa peptida gliadin deamidated memicu sel epitel untuk memproduksi sitokin IL-15, yang kemudian memicu aktivasi dan proliferasi CD8+ limfosit intraepitel, yang dapat mengekspresikan MIC-A reseptor NKG2D. Limfosit ini menjadi sitotoksik dan mematikan enterosit, yang telah diinduksi oleh berbagai stres untuk mengekspresikan MIC-A, suatu class i-like protein, yang dikenal oleh NKG2D dan mungkin, protein epitel lain. Kerusakan yang disebabkan oleh mekanisme



imun ini, mungkin meningkatkan gerakan peptida gliadin seluruh epitel, yang deamidated oleh transgluminase jaringan, sehingga mengabadikan siklus penyakit. Sementara hampir semua orang makan biji-bijian dan terpajan gluten dan gliadin, sebagian besar tidak terkena penyakit celiac. Dengan demikian, faktor pejamu menentukan terjadinya penyakit. Di antaranya, protein HLA tanipaknya menjadi penting, karena hampir semua penderita penyakit celiac membawa class 11 alel HLA-DQ2 atau HLA-DQ8. Tetapi, lokus HLA bernilai untuk kurang dari separuh komponen genetik dari penyakit celiac. Kontributor genetik lain belum pasti.Terdapat juga asosiasi penyakit celiac dengan penyakit imun lain, termasuk diabetes tipe 1, tiroiditis dan sindrom Sjogren.



MORFOLOGI Spesimen biopsi dari duodenum bagian distal atau jejunum bagian proksimal, yang terpapar pada diet gluten dengan konsentrasi tinggi, umumnya adalah diagnostik pada penyakit celiac. Gambaran histopatologis adalah khas dengan peningkatan jumiah limfosit T CD8+ intraepitel, limfositosis intraepitel, hiperplasia kripta dan atrofia vilus (Gambar 14-22). Hilangnya bagian permukaan mukosa dan brush border menyebabkan malabsorpsi. Selain itu, peningkatan kecepatan pergantian sel, tercermin dengan peningkatan aktivitas mitosis di kripta, mungkin membatasi kemampuan enterosit absorptif untuk berdiferensiasi sempurna dan berkontribusi pada defek pencernaan akhir dan transpor transepitel.Gambaran lain dari penyakit celiac yang berkembang sempurna, termasuk peningkatan jumlah sel plasma, sel mast dan eosinofil, terutama dalam Iamina propria bagian atas. Dengan meningkatnya skrining serologik dan deteksi dini dari penyakit yang berasosiasi dengan antibodi, sekarang diperkirakan bahwa peningkatan jumlah limfosit intraepitel,



Gluten Gliadin



Hilangnya vili



T Meningkatkan IELs (intraepithelial lymphocytes) Peningkatan mitosis Pemanjangan kripta



Tissue transglu taminase (tTG) Deamidated gliadin APC



HLA (DQ2 atau DQ8)



T MIC-A



IL-15



IFNg



T



Reseptor sel T



B



NKG2D



Reseptor sel B



Anti-gliadin Anti-endomisium Anti-tTG



Gambar 14-21 Panel kiri, perubahan morfologis, yang mungkin terdapat pada penyakit celiac, termasuk atrofia vilus, peningkatan jumlah limfosit intraepitel (IELs), dan proliferasi epitel dengan pemanjangan kripta. Panel kanan, suatu model untuk patogenesis penyakit celiac. Perhatikan bahwa kedua mekanisme imun, baik bawaan maupun adaptif, terlibat dalam respons jaringan terhadap gliadin.



Penyakit Diare



T



T



T



T E E A



B



Gambar 14-22 Penyakit celiac. A, Kasus lanjut dari penyakit celiac memperlihatkan villi yang mendatar atau atrofia villi total. Perhatikan infiltrasi padat sel plasma di lamina propria. B, Inflitrasi limfosit T pada epitel permukaan, yang dapat dikenal dari intinya yang terwarnai pekat (berlabel T). Bedakan dengan inti yang memanjang, berwarna pucat (berlabel E).



terutama dalam vilus, adalah suatu petanda dari penyakit celiac ringan. Limfositosis intraepitel dan atrofia vilus tidak spesifik untuk penyakit celiac dan dapat merupakan gambaran dari kelainan lain, termasuk enteritis virus. Kombinasi penemuan histologis dan serologis adalah paling spesifik untuk diagnosis penyakit celiac.



Gambaran Klinis Pada orang dewasa, penyakit celiac paling sering terjadi antara umur 30 tahun dan 60 tahun. Namun, banyak kasus luput dari perhatian klinis untuk waktu lama karena presentasinya atipik. Beberapa pasien memiliki penyakit celiac tanpa gejala, disebut sebagai serologis positif dan atrofia vilus, tanpa gejala atau penyakit celiac laten, yang hasil serologis positif, tidak disertai oleh atrofia vilus. Penyakit celiac dewasa yang bergejala, sering disertai anemia (sebab defisiensi besi dan, defisiensi B12 dan folat yang agak jarang), diare, kembung dan kelelahan. Penyakit celiac anak-anak, yang mengenai anak laki-laki dan wanita sama banyak, mungkin menunjukkan gejala klinis, khas antara umur 6 bulan dan 24 bulan (sesudah introduksi gluten ke diet) dengan iritabel, distensi abdomen, anoreksia, diare, gagal tumbuh, berat badan turun atau otot mengecil. Anak-anak dengan gejala yang tidak klasik, cenderung menunjukkan keluhan nyeri abdomen, mual, muntah, kembung atau konstipasi pada usia lebih tua. Pruritus yang khas, lesi kulit melepuh, dermatitis herpetiform, juga tampak pada 10% pasien, dan insidens gastritis limfositik dan kolitis limfositik juga meningkat. Tes serologis non invasif umumnya dibuat sebelum biopsi. Tes yang paling sensitif adalah adanya antibodi IgA pada transglutaminase jaringan atau antibodi IgA atau IgG pada deamidated gliadin. Antiendomisial antibodi sangat spesifik, tetapi kurang sensitif dibandingkan antibodi lain. Tidak adanya HLA-DQ2 atau HLA-DQS berguna sebagai nilai prediksi negatif tinggi, tetapi adanya alel-alel ini, tidak membantu konfirmasi diagnosis.



579



Pasien dengan penyakit celiac menunjukkan angka keganasan lebih tinggi dari normal. Penyakit celiac yang tersering berasosiasi dengan kanker adalah yang enteropati berasosiasi dengan limfoma se! T, suatu tumor agresif dari limfosit T intraepitel. Adenokarsinoma usus halus juga lebih sering pada orang dengan penyakit celiac. Dengan demikian, kalau terdapat gejala nyeri abdomen, diare, dan berat badan berkurang, meskipun dilakukan diet bebas gluten ketat maka kanker atau sariawan yang refrakter, yang tidak ada respons terhadap diet bebas gluten, harus dipertimbangkan. Namun demikian, penting untuk mengenal, bahwa kegagalan untuk mernatuhi diet bebas gluten adalah penyebab tersering dari gejala-gejala rekuren dan bahwa sebagian besar penderita penyakit celiac yang melakukan restriksi diet dengan baik, meninggal oleh penyebab lain yang tidak terkait.



Enteropati Lingkungan (Tropikal) Istilah enteropati lingkungan merujuk pada suatu sindrom pertumbuhan terhambat dan fungsi usus yang terganggu, yang biasa terdapat di negara berkembang, termasuk banyak bagian dari Afrika sub-Sahara, seperti Gambia, populasi Aborigin di Australia Utara, dan beberapa kelompok di Amerika Serikat dan Asia, seperti warga masyarakat miskin di Brasil, Guatemala, India dan Pakistan. Danapak enteropati lingkungan, yang sebelumnya disebut enteropati tropis atau sariawan tropis, tidak berlebihan, seperti yang diperkirakan memengaruhi 150 juta anak di dunia. Meskipun malnutrisi berkontribusi pada patogenesis kelainan ini, juga disebut sebagai enteropati tropis, baik makanan suplemen, maupun suplemen vitamin dan mineral, tidak sepenuhnya meniadakan sindrom ini. Serangan diare berulang diderita dalam 2 tahun sampai 3 tahun pertama kehidupan, sangat erat kaitannya pada enteropati lingkungan. Banyak patogen adalah endemik pada masyarakat, tetapi tidak satu pun agen infeksi dikaitkan pada episode-episode diare ini. Spesimen biopsi usus diperiksa, hanya pada beberapa kasus dan dilaporkan gambaran histologisnya, lebih mirip dengan penyakit celiac daripada enteritis infektif. Satu hipotesis adalah bahwa diare rekuren membentuk satu siklus cedera mukosa, malnutrisi, infeksi, dan inflamasi. Namun, hal ini belum dipastikan sepenuhnya, sebab kriteria diagnostik yang diterima untuk enteropati Iingkungan kurang, karena entitas ini ditentukan terutama oleh penilaian epidemiologik mengenai pertumbuhan dan perkembangan fisis dan kognitif.



Defisiensi Laktase (Disakaridase) Disakaridase termasuk laktase, terletak di membran brush border apikal dari sel epitel absorptif vilus. Karena defeknya pada biokimia, biopsi umumnya biasa saja. Terdapat dua jenis defisiensi Iaktase: • Defisiensi laktase kongenital adalah kelainan autosom resesif yang disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode laktase. Penyakit ini jarang dan bermanifestasi sebagai diare yang eksplosif dengan feses seperti air, berbusa dan distensi abdomen sesudah konsumsi susu. Gejala mereda kalau pajanan terhadap susu dan produk susu dihentikan, sehingga laktase yang osmotik aktif tetapi tidak dapat diabsorpsi dari lumen dihilangkan. • Defisiensi lactase yang didapat, disebabkan oleh downregulation dari ekspresi gen laktase dan terutama sering di antara penduduk asli Amerika, Afrika Amerika dan Cina. Downregulation laktase terjadi dalam usus setelah masa anak-anak, mungkin mencerminkan fakta, bahwa, sebelum berternak binatang penghasil susu



580



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



laktase tidak diberikan setelah anak-anak berhenti minum air susu ibu (AS1). Onset kekurangan "acquired" laktase, kadangkadang berasosiasi dengan infeksi virus atau bakteri usus.



per lima kolonosit. Kolitis limfositik berasosiasi dengan penyakit celiac dan autoimun, termasuk tiroiditis, artritis dan gastritis autoimun atau limfositik.



Penyakit Graft-Versus-Host Abetalipoproteinemia Abetalipoproteinemia adalah penyakit autosom resesif yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk mensekresi lipoprotein kaya trigliserida. Meskipun ini jarang, hal ini dimasukkan di sini, sebagai contoh defek transportasi transepitel, yang menyebabkan malabsorpsi. Mutasi dalam microsornal triglyceride transfer protein membuat enterosit tidak mampu untuk mengekspor Iipoprotein dan asam lemak bebas. Akibatnya, monogliserida dan trigliserida terakumulasi dalam seI epiteI. Vakuol lernak di sel epitel usus halus tampak jelas di bawah mikroskop cahaya dan dapat diperkuat dengan pewarnaan khusus seperti oil red 0, khusus setelah makanan berlemak. Abetalipoproteinemia bermanifestasi pada bayi dan gambaran klinisnya didominasi oleh gagal tumbuh, diare dan steatorea. Kegagalan untuk absorpsi asam lemak esensial menyebabkan defisiensi vitamin-vitamin larut lemak dan defek lemak di membran plasma yang sering menyebabkan sel darah merah akantositik (spur cetts) di apusan darah perifer.



Penyakit graft-versus-host terjadi setelah transplantasi sel punca hematopoietik alogenik. Usus halus dan kolon terlibat pada kebanyakan kasus. Meskipun pada penyakit graft-versus-host antigen pada sel epitel penerima adalah target sekunder oleh sel T donor, infiltrat limfositik di lamina propria biasanya jarang. Apoptosis epitel, terutama sel kripta adalah temuan histologis yang paling sering. Penyakit graft-versushost, sering bermanifestasi sebagai diare seperti air.



RINGKASAN Diare Malabsorpsi • •







Irritable Bowei Syndrome Irritable bowel syndrome (IBS) ditandai oleh nyeri abdomen kronik dan berulang, kembung dan perubahan kebiasaan defekasi, termasuk diare dan konstipasi. Patogenesisnya tidak diketahui, tetapi melibatkan stres psikologi, diet dan motilitas usus yang abnormal. Meskipun gejalagejalanya jelas, pada kebanyakan pasien tidak ditemukan kelainan makroskopik ataupun mikroskopik. Dengan demikian, diagnosis tergantung pada gejala klinis. IBS biasanya bermanifestasi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun dan secara signifikan tampak predominan pada wanita. Kriteria diagnosis yang bervariasi menyulitkan penetapan insidens tetapi dilaporkan angka prevalensi di negara maju biasanya antara 5% sampai 10%. Pada pasien dengan diare, kolitis mikroskopik, penyakit celiac, giardiasis, intolerans laktosa, pertumbuhan bakteri Helikobakter usus, malabsorpsi garatn empedu, kanker kolon dan penyakit inflamasi usus harus dikeluarkan (meskipun IBS adalah biasa pada pasien IBD). Prognosis IBS berhubungan sangat erat dengan lamanya gejala. Gejala yang Iebih lama berkorelasi dengan berkurangnya perbaikan.



Kolitis Mikroskopik Kolitis mikroskopik mencakup dua entitas, kolitis kolagenosa dan kolitis limfositik. Kedua penyakit idiopatik ini bermanifestasi dengan diare kronik, tidak berdarah, seperti air tanpa penurunan berat badan. Temuan radiologik dan studi endoskopik adalah normal. Kolitis kolagenosa, yang terjadi terutama pada wanita setengah baya dan lebih tua, ditandai dengan adanya lapisan kolagen subepitel yang tebal, peningkatan jumlah Iimfosit intraepitel dan campuran infiltrat radang di lamina propria. Kolitis lirnfositik, secara histologi mirip, tetapi lapisan kolagen sub epitel ketebalannya normal dan peningkatan limfosit intra epitel mungkin lebih besar, sering melebihi satu limfosit T



• • •



Diare dapat bersifat sebagai sekretori, osmotik, malabsorpsi atau eksudatif Malabsorpsi berasosiasi dengan fibrosis kistik yang merupakan akibat insufisiensi pankreas (contoh: enzim pencernaan pankreas yang tidak adekuat) dan defisiensi penguraian nutrisi dalam lumen. Penyakit celiac adalah enteropati yang dimediasi oleh irnun, yang dipicu oleh konsumsi biji-bijian yang mengandungi gluten. Diare malabsorpsi pada penyakit celiac disebabkan oleh hilangnya brush border dan mungkin, defisiensi maturasi enterosit sebagai akibat dari kerusakan epitel yang dimediasi imun. Defisiensi laktase menyebabkan diare osmotik, karena ketidakmampuan untuk menguraikan atau mengabsorpsi laktose. irritable bowel syndrome (IBS) ditandai oleh nyeri abdomen kronik, berulang, kembung dan perubahan kebiasaan defekasi. Patogenesisnya belum diketahui. Dua bentuk kolitis mikroskopik, kolitis kolagenosa dan kolitis iimfositik, keduanya menyebabkan diare kronik yang seperti air. Usus secara makroskopik normal dan diidentifikasi oleh gambaran histologis yang khas.



Enterokolitis karena Infeksi Enterokolitis dapat bermanifestasi sebagai berbagai tanda dan gejala termasuk diare, nyeri perut, urgensi, rasa tidak nyaman perianal, inkontinens, dan perdarahan. Masalah global ini menyebabkan lebih dari 12.000 kematian per hari di antara anak-anak di negara berkembang dan separuh dari kematian ini terjadi di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia. Infeksi bakteri, seperti Escherichia coli, yang enterotoksigenik sering menjadi penyebab tetapi patogen, yang paling sering terjadi bervariasi dengan usia, nutrisi dan status imun pejamu, juga pengaruh lingkungan (Tabel 14-4). Sebagai contoh, wabah kolera sering terjadi di daerah dengan sanitasi buruk, sebagai akibat tidak memadainya ukuran kesehatan masyarakat atau sebagai konsekuensi bencana alam (misalnya gempa bumi Haiti, tahun 2010) atau perang. Diare akibat infeksi pada pediatrik, yang mungkin berakibat dehidrasi berat dan asidosis metabolit, biasanya disebabkan oleh virus enterik. Kesimpulan dari gambaran epidemiologi dan klinis dari penyebabpenyebab kolitis bakteri disajikan pada



India, Meksiko, Filipina



Eropa utara dan tengah



Demam Enterik (tifoid)



Yersinia spp.



SSP, sistem saraf p.usat SC, saluran cema



Seluruh dunia



Tidak diketahui



Tidak diketahui



Pedesaan > Perkotaan



Penyakit Whipple Infeksi Mikobakteri



Tidak diketahui



Manusia, rumah sakit Antibiotik memungkinkan pencetusan Tidak diketahui Tidak diketahui



Tidak diketahui



Keju, makanan lain air



Sapi, susu produksi



Seluruh dunia



Seluruh dunia



Negara berkembang



Kelompok kasus



Anak-anak, remaja, Wisatawan



Diare berdarah, demam,



Diare berdarah atau berair



Diare berdarah



Diare berdarah atau berair



Diare air berat



Gejala



Usus halus



Usus halus



Jarang Imunosupresi



Kolon



Kolon



Anak, dewasa, wisatawan Imunosupresi, Pengobatan antibiotik



Diare berdarah



Kolon



Anak muda



Dehidrasi, Kedtidaksamaan elektrolit Hemolitik-sindrom uremik Tidak diketahui



Autoimun, misalnya artritis reaktif



Infeksi kronik, status karier, ensefalopati, miokarditis



Sepsis



Artritis reaktif sindrom uremik hemolitik



Artritis, Sindrom Guillain-Barre



Dehidrasi, keseimbangan elektrolit



Komplikasi



Malabsorpi, diare, demam



Malabsorpi



Diare berair, demam



Pneumonia, infeksi di tempat lain



Artritis, penyakit SSP



Relaps, megakolon toksik



Diare tidak berdarah, Tidak jelas tidak dewasa



Diare berdarah



Sporadik dan epidemik Kolon



Diare berair berat



Ileum, apendiks, kolon Nyeri abdomen, kanan demam, diare



Usus halus



Makanan, tinjal-oral Bayi, remaja, wisatawan Usus halus



Babi, susu, air



Feses-oral, air



Anak-anak, orang tua



Daging, unggas, telur, susu



Kolon dan usus halus



Kolon kiri, ileum



Anak-anak



Tinjal-oral, makanan, air



Usus kecil



Daerah Usus yang Terkena Kolon



Sporadik, endemik, epidemik



Epidemiologi



Sporadik; anak-anak, wisatawan



Unggas, susu makanan lain



Tinja-oral, air



Transmisi



Kolitis Pseudomembran



Enteroagregatif (EAEC)



Babi



Manusia



Unggas, hewan ternak, reptil



Luas, termasuk ternak Tidak diketahui



Seluruh dunia



Salmonellosis



Manusia



Seluruh dunia



Negara berkembang



Shigellosis



Ayam, domba babi, sapi



Tidak diketahui



Negara maju



Cumpylobocter spp.



Kerang



Reservoir



Negara berkembang



India,Afrika



Kolera



Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC) Enterohemoragik (EHEC) Enteroinvasif (EIEC)



Geografi



Jenis Infeksi



Tabel I 4-4 Gambaran dari Enterokolitis Bakteri



Penyakit Diare 581



582



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Tabel 14-4. Beberapa enterokolitis yang disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit dibahas di bawah ini.



PATOGENESIS Patogenesis infeksi Campylobacter masih belum jelas. tetapi empat sifat virulensi utama yang berkontribusi: motilitas, adherens, produksi toksin dan invasi. Flagela memungkinkan Campylobacter bergerak. Hal ini menfasilitasi adherens dan kolonisasi, yang juga perlu untuk invasi mukosa. Sitotoksin, yang menyebabkan kerusakan epitel dan enterotoksin serupa toksin kolera juga dilepaskan oleh beberapa C. jejuni yang terisolasi. Disentri umumnya berasosiasi dengan invasi dan hanya terjadi pada sebagian kecil strain Campylobacter. Demam enterik terjadi bila bakteri berproliferasi di lamina propria dan kelenjar getah bening mesenterium. Infeksi Campylobacter dapat mengakibatkan artritis reaktif, terutama pada pasien dengan HIA-B27. Komplikasi ekstraintestinal lain,termasuk eritema nodosa dan sindrom Guillain-Barre, suatu paralisis fiaccid disebabkan oleh inflamasi yang di induksi oleh autoimun pada saraf tepi, tidak terkait HLA. Untungnya, sindrom terjadi pada 0,1% atau kurang dari mereka yang terinfeksi Campylobacter.



Kolera Organisme vibrio cholerae adalah bakteri berbentuk koma, gram negatif, yang menyebabkan kolera, yaitu suatu penyakit yang sudah endemik di lembah Sungai Gangga di India dan Bangladesh menurut sejarah yang tercatat. V. cholerae ditularkan terutama melalui air minum yang terkontaminasi. Namun, bakteri ini juga ditemukan dalam makanan dan jarang menyebabkan penyakit yang berasosiasi dengan makanan laut. Terdapat variasi musiman yang jelas karena pertumbuhan yang cepat dari bakteri Vibrio adalah pada suhu hangat; reservoir binatangnya hanya kerang dan plankton. Relatif beberapa serotipe V. cholera bersifat patogen, tetapi spesies Vibrio lain, juga dapat menyebabkan penyakit.



PATOGENESIS Meskipun diare berat, organisme Vibrio bersifat noninvasif dan tetap dalam lumen intestinum. Protein flagel, yang penting untuk motilitas dan perlekatan, diperlukan untuk kolonisasi bakteri yang efisien dan metaloproteinase yang disekresi, juga memiliki aktivitas hematoglutinin adalah penting untuk menemukan bakteri yang keluar bersama feses. Namun, yang menyebabkan penyakit adalah toksin kolera atau enterotoksin preformed. Toksin ini, yang terdiri atas lima subunit B yang langsung mengalami endositosis dan satu subunit aktif A, dialirkan ke retikulum endoplasmik dengan cara transportasi retrograde. Satu fragmen dari subunit A diangkut dari lumen endoplasmik retikulum ke sitosol, di sini terjadi interaksi dengan faktor ADP ribosilasi menjadi ribosilate dan mengaktifkan protein G G Hal ini menstimulasi siklase adenyiate dan mengakibatkan peningkatan adenosin monofosfat siklik intrasel/intracelfular cyclic adenosine monophosphate (cAMP) membuka regulator konduktan transmembran fibrosis kistik/cystic fibrosis transmembron conductance regulator (CFTR), yang melepaskan ion klorida ke lumen. Absorpsi natrium dan bikarbonat juga berkurang. Akumulasi ion-ion ini membentuk suatu gradien osmotik yang menarik air ke lumen, menyebabkan diare sekretori yang masif. Hebatnya, spesimen biopsi mukosa hanya menunjukkan perubahan morfologik minimal.



MORFOLOGI Campylobacter, Shigelia,Saimanelia, dan banyak infeksi bakteri lain, termasuk Yersinia dan E. coii, semua menyebabkan gambaran histopatologi yang mirip, disebut kolitis akut yang self-limited dan bakteri-bakteri ini tidak dapat dibedakan dari biopsi jaringan. Dengan demikian, diagnosis spesifik terutama dari biakan feses. Histologis dari kolitis akut self limited, termasuk infiltrasi neutrofil yang mencolok di lamina propria dan intraepitel (Gambar 14-23, A); kriptitis (infiltrasi neutrofil pada kripta) dan abses kripta (terjadi dengan akumulasi neutrofil di lumen), juga dapat tampak. Arsitektur kripta yang dipertahankan pada sebagian besar kolitis akut selflimited membantu membedakannya dari penyakit inflamasi usus (Gambar 14-23, B).



Gambaran Klinis



Sebagian besar orang tanpa gejala atau menderita hanya diare ringan. Mereka dengan penyakit berat, onsetnya mendadak berupa diare seperti air, dan muntah, sesudah masa inkubasi 1 hari sampai 5 hari. Banyaknya produksi feses diare dapat mencapai 1 liter per jam, menyebabkan dehidrasi, hipotensi, imbalans elektrolit, kram otot, anuria, syok, hilang kesadaran, dan kematian. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam pertama setelah presentasi. Meskipun angka kematian untuk kolera berat adalah 50% sampai 70%, apabila tanpa pengobatan, namun penggantian cairan dapat menyelamatkan pasien lebih dari 99%.



Enterokolitis Campylobacter Campylobacter jejuni adalah bakteri enterik patogen yang paling sering ditemukan di negara maju dan merupakan penyebab penting dari traveler's diarrhea. Sebagian besar infeksi berasosiasi dengan ingesti ayam yang dimasak kurang matang, tetapi wabah dapat juga disebabkan oleh susu yang tidak dipasteurisasi atau air yang terkontaminasi.



A



B



Gambar 14-23 Enterokolitis bakteri. A, Infeksi Campylobacter jejuni menyebabkan, kolitis akut yang "seif-limited". Neutrofil tampak di permukaan dan epitel kripta dan abses kripta tampak pada konon bawah. B, Infeksi Escherkhia coli enteroinvasjf sama seperti kolitis akut lainnya, "selflimited". Perhacikan arsitektur kripta dan jarak antar kripta tetap normal, meskipun banyak neutrofil intraepitel.



Penyakit Diare Gambaran Klinis



Ingesti sebanyak 500 organisme C. jejuni, dapat menyebabkan penyakit sesudah masa inkubasi sampai 8 hari. Diare seperti air, apakah akut atau dengan onset setelah gejala pendahuluan seperti influenza, adalah manifestasi utama dan disentri berkembang dalam 15% sampai 50% dari pasien. Pasien mungkin melepaskan bakteri untuk 1 bulan atau Iebih setelah resolusi klinis. Penyakit ini bersifat self limited dan karena itu umumnya tidak diperlukan terapi antibiotik. Diagnosis terutama berdasarkan biakan tinja, karena perubahan histologis tidak spesifik untuk Campylobacter.



Shigelosis Organisme Shigela adalah basil gram-negatif, yang tidak berkapsul, tidak bergerak, anaerob fakultatif. Meskipun manusia merupakan satu-satunya tempat hidupnya, Shigela masih merupakan satu di antara sebagian besar penyebab diare berdarah. Diperkirakan bahwa 165 juta kasus terjadi di dunia setiap tahun. Shigela sangat menular melalui rute fekal-oral atau melalui konsumsi makanan dan air yang terkontaminasi; dosis infektif lebih kecil dari 100 organisme dan setiap gram tinja mengandungi sebanyak 109 organisme selama fase akut penyakit. Di Amerika Serikat dan Eropa, anak-anak di tempat penitipan anak, pekerja migran, wisatawan ke negara berkembang dan penghuni rumah jompo paling sering terkena. Sebagian besar infeksi yang terkait Shigela dan kematian terjadi pada anak-anak, di bawah usia 5 tahun, di negara di mana Shigela endemik, hal ini terjadi sekitar 10% dari semua kasus dan penyakt diare pediatrik dan sebanyak 75% dari kematian karena diare.



PATOGENESIS Organisme Shigela resisten terhadap lingkungan asam kuat lambung, yang sebagian menjelaskan bahwa dosis infektif yang cukup rendah. Sekali dalam usus, organisme diambil oleh sel epitei M (microfold), yang khusus untuk pengambilan sampel dan antigen lumen. Sesudah proliferasi dalam sel, bakteri masuk ke lamina propria. Bakteri-bakteri ini lalu menginfeksi sel epitel usus kecil dan kolon melalui membran basolateral, yang merupakan reseptor bakteri. Atau, Shigela lumen dapat langsung mengatur epithelial tight junction untuk mengekspose reseptor bakteri basolateral. Yang terakhir ini sebagian dimediasi oleh protein virulen, beberapa di antaranya langsung dimasukkan ke sitoplasma pejamu oleh sistem sekresi tipe III. Beberapa serotipe Shigela dysenteride juga melepaskan toksin Shiga Stx, yang menghambat sintesis protein eukariotik dan menyebabkan kematian sel pejamu.



MORFOLOGI Infeksi Shigela paling menonjoi di kolon sebelah kiri, tetapi ileum mungkin juga terlibat, mungkin mencerminkan banyaknya sel epitel microfold (sel M) pada epitel yang melapisi plak Peyer's. Gambaran histologis pada kasuskasus dini adalah serupa dengan kolitis akut self-fimited. Pada kasus yang lebih berat, mukosa berulserasi dan hemoragik, dan dapat disertai



583



pseudomembran. Mungkin karena tropisme untuk sel M, ulkus aphtosa serupa dengan yang tampak pada penyakit Crohn dapat terjadi. Kemungkinan salah diagnosis dengan penyakit kronik inflamatori usus adalah penting, terutama kalau terdapat arsitektur distorsi kripta. Konfirmasi infeksi Shigela memerlukan biakan tinja.



Gambaran Klinis



Sesudah masa inkubasi 1 hari sampai 7 hari, Shigela menyebabkan penyakit self-limited yang ditandai oleh diare sekitar 6 hari, demam dan nyeri abdomen. Awal diare berair berkembang menjadi fase disentri pada sekitar 50% pasien dan gejala ini dapat bertahan selama 1 bulan. Penampilan subakut juga dapat terjadi pada sebagian kecil orang dewasa. Pengobatan antibiotik mempersingkat perjalanan penyakit dan mengurangi waktu penyebaran organisme dalam tinja, tetapi pengobatan dengan antidiare merupakan kontraindikasi, sebab keadaan itu akan memperpanjang lamanya gejala dengan menunda pembersihan bakteri. Komplikasi infeksi Shigela jarang terjadi seperti artritis reaktif, tiga serangkal artritis steril, uretritis, dan konjungtivitis, yang terutama terjadi pada mereka dengan HLA-B27 positif, berusia antara 20 tahun dan 40 tahun. Sindrom uremia hemolitik, yang khas berasosiasi dengan enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC), yang mensekresi toksin Shiga juga dapat terjadi setelah infeksi shigela.



Escherichia coli Escherichia coli adalah basil gram negatif, yang hidup disaluran cerna orang sehat, dan pada umumnya nonpatogen, tetapi sebagian bisa menyebabkan penyakit pada manusia. Yang terakhir ini, diklasifikasi menurut morfologi, mekanisme patogenesisnya dan perilakunya in vitro (Tabel 14-4). Di sini kami ringkaskan mekanisme patogennya: • Organisme enterotoxigenic E. coli (ETEC) adalah penyebab utama untuk diare traveler's dan menyebar melalui rute fecal-oral. Mereka mengeluarkan heat labile toxin (LT) yang serupa dengan toksin kolera dan toksin heat-stable toxin (ST) yang meningkatkan cGMP intrasel dengan efek serupa dengan peninggian cAMP oleh LT. • Organisme enterohemorrhagic E. coli (EHEC) digolongkan sebagai serotipe 0157:H7 dan bukan 0157:H7. Wabah E. coli serotipe 0157:H7 di negara maju telah diasosiasikan dengan konsumsi makanan berbahan daging, susu dan sayuran yang kurang adekuat masaknya. Kedua serotipe 0157:H7 dan bukan 0157:H7 menghasilkan toksin seperti Shiga dan dapat menyebabkan disentri. Mereka dapat juga menimbulkan sindrom uremia hemolitik (Bab 13). • Organisme enteroinvasive E. coli (EIEC) secara bakteriologik menyerupai Shigela, tetapi tidak menghasilkan toksin. Mereka menginvasi sel epitel usus dan menyebabkan diare berdarah. • Organisme enteroaggregative E. coli (EAEC) menempel pada enterosit oleh fimbriae pelekatan. Meskipun mereka menghasilkan LT dan toksin seperti Shiga, kerusakan histologinya minimal.



Solmonellosis



Spesies Salmonella, yang merupakan anggota dari keluarga Enterobacteriaceae dari basil gram negatif, dibagi menjadi



584



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



Salmonella typhi, agen penyebab demam tifoid (dibahas di bagian berikutnya) dan strain Salmonella nantifoid, yang menyebabkan gastroenteritis. Infeksi Salmonella nontifoid biasanya disebabkan oleh Salmonella enteritidis; lebih dari 1 juta kasus terjadi tiap tahun di Amerika Serikat, yang mengakibatkan 2000 kematian, prevalensinya lebih besar di banyak negara lain. Infeksi paling sering pada anak-anak yang muda dan orang tua, dengan insidens puncak pada musim panas dan gugur. Transmisi biasanya melalui makanan yang terkontaminasi, terutama daging yang mentah atau kurang matang, ayam, telur, dan susu.



membentuk ulkus oval, yang orientasinya mengikuti arah panjang ileum. Namun tidak seperti S. erzteritidis, S. typhi dan S. paratyphi dapat tersebar melalui saluran limfe dan darah. Hal ini menyebabkan hiperplasia reaktif dari kelenjar getah bening alirannya, di sini fagosit terisi bakteri terakumulasi. Pada anak-anak, limpa membesar dan lunak dengan pulpa merah yang pucat, tanda tersumbatnya folikel dan tampak hiperplasi fagosit yang mencolok. Fokusfokus kecil nekrosis parenkim dengan agregasi makrofag yang disebut nodul tifoid tersebar secara tidak teratur, dan nodul-nodul ini juga tampak di hati, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening.



Kolitis Pseudomembran PATOGENESIS Untuk menyebabkan infeksi, hanya diperlukan sangat sedikit organisme Salmonella hidup dan tidak adanya asam lambung, seperti pada mereka dengan gastritis atrofik atau terapi supresi asam. selanjutnya mengurangi suntikan yang dibutuhkan. Salmonella mempunyai gen virulen yang mengkode sistem sekresi tipe 111, yang mampu mentransfer protein bakteri ke sel M dan enterosit. Protein yang ditransfer ini, mengaktifkan sel Rho GTPases pejamu, sehingga memicu penataan ulang actin memasukkan bakteri ke fagosorn, di sini bakteri dapat tumbuh. Salmonella juga mensekresi molekul yang menginduksi epitel untuk melepaskan chemoattractant eicosanoid, yang menarik neutrofil ke lumen dan memperkuat kemungkinan kerusakan mukosa. Kultur tinja adalah penting untuk diagnosis.



Kolitis pseudomembran umumnya disebabkan oleh Ciostridium diffrcile, dikenal juga sebagai kolitis dengan asosiasi antibiotik atau diare dengan asosiasi antibiotik. Istilah yang terakhir digunakan pada diare yang terjadi selama atau sesudah terapi antibiotik dan mungkin disebabkan oleh C. difficile serta Salmonella, C. perfringens type A, atau S. aureus. Namun dua organisme terakhir memproduksi enterotoksin dan merupakan agen yang biasa pada keracunan makanan. Mereka tidak menyebabkan pseudomembran. Gangguan mikrobiota kolon normal oleh antibiotik memungkinkan C. difficile tumbuh berlebihan. Toksin yang dilepaskan oleh C. difficile menyebabkan ribosilasi dari GTpase kecil, seperti Rho, dan menyebabkan gangguan sitoskeleton epitel, hilangnya tight junction barrier, pengeluaran sitokin dan apoptosis.



MORFOLOGI Demam Tifaid Demam tifoid, juga disebut sebagai demam usus, disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Mereka mengenai sampai 30 juta orang tiap tahun di dunia. Infeksi oleh S. typhi lebth sering di daerah endemik, dan paling sering mengenai anak-anak dan remaja. Sebaliknya, S. paratyphi predominan pada wisatawan dan mereka yang tinggal di negara maju. Manusia merupakan reservoir tunggal untuk S. typhi dan S. paratyphi dan transmisi terjadi dari orang ke orang atau melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Kolonisasi kandung empedu mungkin berasosiasi dengan batu empedu dan status karier kronik. Infeksi akut diasosiasikan dengan anoreksia, nyeri abdomen, kembung, mual, muntah dan diare berdarah, diikuti fase pendek asimtomatik, yang memungkinkan terjadinya bakteremia dan demam dengan gejala seperti flu. Adalah seiama fase ini, deteksi organisme dengan biakan darah memungkinkan terapi antibiotik yang tepat dan mencegah perkembangan penyakit selanjutnya. Tanpa terapi seperti itu, fase demam diikuti oleh demam tinggi yang menetap sampai 2 minggu disertai sakit abdomen, yang mirip dengan apendisitis. Rose spots, lesi maculopapular erythematous kecil tampak di dada dan abdomen. Diseminasi sistemik mungkin menyebabkan komplikasi ekstraintestinal termasuk encephalopati, meningitis, kejang, endokarditis, miokarditis, pneumonia, dan kolesistitis. Pasien dengan penyakit sickle cell biasanya rentan terhadap osteomielitis Salmonella.



Seperti S. enteritidis, S. typhi dan S. paratyphi diambil oleh sel M dan kemudian ditelan oleh sel mononukleus dalam jaringan limfoid di bawahnya. Dengan demikian, infeksi menyebabkan bercak Peyer's di ileum terminale membesar merupakan dataran yang meninggi, dengan diameter sampai 8 cm. Terlepasnya mukosa



Kolitis terkait C. difficile yang berkembang sempurna atau penuh, disertai dengan pembentukan pseudomembran (Gambar 14-24, A), yang terdiri atas lapisan sel-sel radang dan debris, yang melekat pada mukosa kolon yang cedera. Epitel permukaan terlepas dan Iamina propria superfisial mengandungi infiltrat neutrofil padat dan kadang-kadang trombus fibrin di kapiler. Kripta yang rusak dan menonjol oleh eksudat mukopurulen, yang pecah ke permukaan memberi gambaran seperti gunung berapi (Gambar 14-24, B).



A



B



Gambar 14-24 Kditis clostridium difficile. A, Kolon dilapisi aleh pseudomembran dan terdiri atas neutrafil, sel epitel yang mati dan debris inflamasi (peradangan endoskopik). B, Pola khas dari memantarnya neutrofit dari kripta mengingatkan akan erupsi vulkanik.



Penyakit Diare Gambaran Klinis



Selain terhadap pajanan antibiotik, faktor risiko dari kolitis terkait C. difficile termasuk usia Ianjut, rawat inap dan imunosupresi. Organisme ini sangat Iazim di rumah sakit, sebanyak 20% dari pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit, mengandungi kolon C. difficile (pada tingkat 10 kali lebih tinggi daripada populasi umum), tetapi sebagian besar pasien dengan kolon C. difficile tidak sakit. Orang dengan kolitis terkait C. difficile menunjukkan demam, leukositosis, nyeri abdomen, kejang, hipoalbuminemia, diare berair dan dehidrasi. Leukosit dan darah samar pada tinja mungkin ditemukan, tetapi jarang terjadi diare yang jelas berdarah. Diagnosis kolitis C. diffcile lebih didukung oleh deteksi toksin C. diffictie, daripada biakan, dan didukung oleh temuan histopatologis yang khas. Regimen metronidazole atau vancomycin umumnya merupakan pengobatan yang efektif, tetapi strain C. diffictie yang resisten terhadap antibiotik dan hipervirulen, semakin bertambah sehingga infeksi mungkin berulang pada pasien yang berisiko.



Norovirus Norovirus, dulu dikenal sebagai virus Norwalk-like, adalah agen yang biasa pada gastroenteritis infeksius non bakteri. Norovirus menyebabkan sekitar separuh dari semua wabah gastroenteritis sporadik di negaranegara maju. Wabah setempat biasanya berkaitan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi, tetapi transmisi orang ke orang mendasari sebagian besar kasus-kasus sporadik. Infeksi mudah tersebar di sekolah, rumah sakit dan panti jompo dan terakhir di kapal pesiar. Sesudah masa inkubasi pendek, orang yang terkena, mengalami mual, muntah, diare berair dan nyeri abdomen. Morfologi biopsi tidak spesifik. Penyakit ini adalah self-limited.



Rotavirus Rotavirus berkapsul menginfeksi 140 juta penduduk dan menyebabkan 1 juta kematian tiap tahun, menjadikan rotavirus sebagai sebagian besar penyebab diare parah pada anak-anak dan diare terkait kematian di dunia. Anak berusia antara 6 bulan dan 24 bulan adalah yang paling rentan. Proteksi dalam 6 bulan kehidupan pertama, mungkin disebabkan oleh adanya antibodi terhadap rotavirus dalam air susu ibu sedangkan proteksi sesudah 2 tahun disebabkan oleh imunitas, yang didapat sesudah infeksi pertama. Wabah di rumah sakit dan pusat-pusat penitipan anak adalah biasa dan infeksi cepat menyebar, perkiraan inokulasi infektif minimal hanya 10 partikel virus. Rotavirus selektif menginfeksi dan menghancurkan enterosit matur (absorphf) usus kecil dan permukaan villus digantikan oleh sel-sel sekretori imatur. Perubahan kapasitas fungsional ini mengakibatkan hilangnya fungsi absorpsi dan fungsi pembatasan sekresi air dan elektrolit, disertai dengan diare osmotik akibat absorpsi nutrisi yang tidak sernpurna. Seperti norovirus, rotavirus menyebabkan infeksi klinis yang jelas sesudah masa inkubasi pendek, bermanifestasi dengan muntah dan diare berair untuk beberapa hari. Vaksin sekarang tersedia dan penggunaanya adalah mulai mengubah epidemiologi infeksi rotavirus. Vaksin rotavirus oral, kurang efektif di negara berkembang, di mana mereka paling dibutuhkan. Penyebabnya tidak diketahui.



585



Penyakit Parasit Meskipun virus dan bakteri adalah patogen usus yang predominan di Amerika Serikat, penyakit parasit dan infeksi patogen berefek pada lebih dari separuh populasi dunia secara kronik atau berulang. Usus halus dapat ditempati oleh sebanyak 20 spesies parasit, termasuk nematoda, seperti cacing gelang Ascaris dan Strongyloides; cacing tambang dan cacing keremi, cestodes, cacing pipih dan cacing pita, trematoda atau fIukus dan protozoa. • Ascaris lumbricoides. Nematoda ini menginfeksi lebih dari satu miliar orang di dunia sebagai akibat terkontaminasi fecal oral manusia. Telur yang tertelan, menetas di usus dan larva menembus mukosa usus. Dari sini larva bermigrasi melalui sirkulasi splanknik ke hati, membuat abses hati dan melalui sirkulasi sistemik ke paru, di sini mereka menyebabkan pneumonitis Ascaris. Pada kasus terakhir larva bermigrasi ke trakea, tertelan dan tiba lagi di usus untuk menjadi cacing dewasa. • Strongyloides. Larva Strongyloides hidup di tanah yang terkontaminasi tinja dan dapat menembus kulit utuh. Mereka bermigrasi melalui paru ke trakea, kemudian tertelan dan selanjutnya matang menjadi cacing dewasa di usus. Tidak seperti cacing usus lain, yang membutuhkan telur atau stadium larva di luar manusia, telur Strongyloides dapat menetas dalam usus dan melepaskan larva yang menembus mukosa membentuk lingkaran setan disebut sebagai autoinfeksi. Oleh karena itu, infeksi Strongyloides dapat menetap seumur hidup dan pada individu dengan imunosupresi infeksi dapat berkembang. • Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Cacing tambang ini menginfeksi 1 milyar orang di seluruh dunia dan menyebabkan morbiditas yang signifikan. Infeksi dimulai oleh larva yang menembus kulit. Sesudah perkembangan berikutnya di paru, larva bermigrasi ke trakea dan tertelan. Sekali di duodenum, larva matang dan cacing dewasa melekat di mukosa, mengisap darah dan bereproduksi. Cacing tambang adalah penyebab utama anemia defisiensi besi di negara berkembang. • Giardia lamblia. Protozoa berflagela ini disebut juga sebagai Giardia duodenalis atau Giardia intestinalis, yang merupakan sebagian besar infeksi parasit patogen pada manusia dan tersebar melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja. Infeksi dapat terjadi sesudah menelan sedikitnya 10 kista. Sebab kista resisten terhadap klorin, organisme Giardia adalah endemik di daerah yang suplai aimya tidak disaring. Pada lingkungan asam lambung, excystation terjadi dan trofozoit dilepaskan. Sekresi IgA dan respons IL-6 mucosal adalah penting untuk pembersihan infeksi Giardia, dan orang dengan imunosupresi, agammaglobulinemia, atau malnutrisi sering terinfeksi parah. Giardia menghindari pembersihan oleh imun melalui modifikasi yang terus menerus dari sebagian besar antigen permukaannya, variasi protein permukaan sehingga dapat menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun, sambil menimbulkan gejala intermiten. Infeksi Giardia mengurangi ekspresi enzim brush border, termasuk laktase, dan menyebabkan kerusakan mikrovilus serta apoptosis sel epitel usus halus. Trophozoit Giardia bersifat noninvasif dan dapat diidentifikasi pada spesimen biopsi duodenum dengan



586



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



bentuk yang khas seperti buah pear. Giardiasis secara klinis khas dengan diare akut atau kronik dan dapat mengakibatkan malabsorpsi.



MORFOLOGI Secara anatomik, divertikel koton adalah kecil, berupa kantung yang menonjol keluar seperti botol, biasanya diameternya 0,5 cm sampai 1 cm, yang terjadi dengan distribusi teratur antara taeniae coli (Gambar 14-25, A). Mereka paling sering di kolon sigmoid, tetapi bagian kolon lain dapat juga terkena pada kasus berat. Karena divertikel dapat ditekan, isi tinjanya mudah dikosongkan dan sering dikelilingi oleh fatcontaining epiploic appendices pada permukaan kolon, mereka mungkin terlewatkan pada pemeriksaan casual. Divertikel kolon berdinding tipis yang terdiri atas mukosa yang atrofik atau mendatar, submukosa yang tertekan dan muskularis propria yang lemah sering komponen ini hilang total (Gambar 14-30,B dan C). Sering tampak hipertrofi lapisan sirkuler muskularis propria pada segmen usus yang terkena. Obstruksi divertikel menyebabkan perubahanperubahan inflamas menghasilkan divertikulitis dan peridivertikulitis. Karena dinding divertikel hanya dilapisi oleh muskularis mukosa dan lapisan tipis jaringan lemak subserosuml,maka inflamasi dan peninggian tekanan dalam divertikel yang tertutup, dapat menyebabkan perforasi. Dengan atau tanpa perforasi,divertikulitis yang rekuren,mungkin menyebabkan kolitis segmental, penebalan fibrotik dalam dan sekitar dinding kolon atau pembentukan striktur. Perforasi dapat menyebabkan pembentukan abses perikolonik, pembentukan saluran sinus dan kadang-kadang peritonitis.



RINGKASAN Enterokolitis Infeksi • •















Vibrio cholerae mensekresi toksin yang pre-formed, yang menyebabkan sekresi ktorida masif. Air mengikuti hasil gradasi osmotik, menyebabkan diare sekretori. Campylobacter jejunum adalah bakteri patogen enterik yang pating sering di negara maju dan juga menyebabkan diare traveler. Kebanyakan isolate adalah non-invasif. Salmonella dan Shigella spp, adalah invasif dan berkaitan dengan diare berdarah eksudatif (disentri). lnfeksi Saimonella adalah penyebab biasa dari keracunan makanan. S. typhi dapat menyebabkan penyakit (demam tifoid). Kolitis pseudomembran sering dipicu oleh terapi antibiotik yang mengganggu mikroba normal dan memungkinkan C. diffcile untuk berkoloni dan tumbuh. Organisme melepaskan toksin yang mengganggu fungsi epitel. Respons inflamasi terkait, termasuk erupsi neutrofil yang khas menyerupai gunung api dari kripta kolon, yang menyebar membentuk pseudomembran mukopurulen. Rotavirus adalah penyebab tersering dari diare anakanak yang parah dan diare yang menyebabkan mortalitas di dunia. Diare adalah sekunder cerhadap hilangnya enterosit matur, berakibat dalam malabsorpsi serta sekresi. Infeksi parosit dan protozoa berpengaruh pada lebih dari separuh populasi dunia secara kronik dan berulang.



PENYAKIT INFLAMASI USUS



Gambaran Klinis



Kebanyakan orang dengan penyakit divertikel tetap asimtomatik selama hidupnya. Sekitar 20% dari yang terkena mengeluh seperti kejang otot intermiten, rasa tidak nyaman di abdomen bawah yang terus menurun,



Divertikulitis Sigmoid Secara umum, penyakit divertikel diartikan sebagai kantong yang menonjol keluar berupa pseudodivertikel yang didapat dari mukosa dan submukosa kolon. Divertikel kolon seperti ini jarang ditemukan pada usia kurang dari 30 tahun, tetapi prevalensinya mencapai 50% di negara barat, pada usia lebih dari 60 tahun. Divertikel umumnya multipel dan kondisi ini disebut sebagai divertikulosis Penyakit ini jarang ditemukan di Jepang dan negara-negara non industri, mungkin karena dietnya berbeda.



A



PATOGENESIS Divertikel kolon cenderung terjadi pada kondisi tekanan intralumen yang meninggi di kolon sigmoid. Hal ini dimungkinkan oleh struktur unik dari muskularis propria kolon yang saraf dan arteri vasa rekturn serta selubung jaringan ikatnya, menembus lapisan muskularis sirkuler sebelah dalam, sehingga terjadi diskontinuitas dinding otot Pada bagian lain dari usus, celah ini ditopang oleh lapisan muskularis propria eksterna, tetapi pada kolon, lapisan otot ini terputus-putus, berkumpul menjadi tiga pita, disebut taeniae coli. Tekanan lumen yang tinggi dapat dihasilkan oleh kontraksi peristaltik yang berlebihan, sehingga terjadi pemisahan spasmodik segmen usus, yang dapat diperberat oleh diet rendah serat. yang mengurangi massa tinja.



B



C



Gambar I4-25 Penyakit divertikular sigmoid. A, Divertikula terisi feses, tersusun teratur. B, Penampang menunjukkan "outpouching of mucoso" keluar muskularis propria. C, Dengan pembesaran kecil dari divertikula sigmoid menunjukkan penonjolan mukosa dan submukosa meialui muskularis propria.



Penyakit Inflamasi Usus konstipasi dan diare. Studi Iongitudinal menunjukkan bahwa sementara divertikel dapat regresi pada awalnya, mereka sering menjadi lebih banyak dan besar dari waktu ke waktu. Belurn jelas, apakah diet tinggi serat mencegah progres atau melindungi terhadap divertikulitis. Bahkan, kalau terjadi divertikulitis, hal ini sangat sering sembuh spontan atau setelah pengobatan antibiotik dari pasien yang memerlukan intervensi bedah, relatif sedikit.



RINGKASAN Divertikulitis Sigmoid •



Penyakit divertikel kolon sigmoid sering ditemukan pada populasi negara barat, sesudah usia 60 tahun. Faktor etiologi yang berkontribusi termasuk diet rendah serat, spasme kolon dan anatomi kolon yang unik. Inflamasi divertikel, divertikulitis, berefek pada sedikit orang dengan divertikulosis, tetapi dapat menyebabkan perforasi pada bentuk yang parah.



Gambaran



Kolitis Ulseratif



Regio usus yang terkena Ileum ± kolon



Hanya kolon



Keterlibatan rektum



Kadang-kadang



Selalu



Distribusi



Skip lesions



Difus



Striktur



Ya



Jarang



Tonjolanan dinding usus



Tebal



Tipis



Inflamasi



Transmularal



Terbatas di mukosa dan submukosa



Pseudopolip



Sedang



Banyak



Ulkus



Superfisial, dasarnya lebar



Reaksi limfoid



Dalam, seperti terpotong pisau Keras



Fibrosis



Keras



Ringan sampai tidak ada



Serositis



Keras



Tidak



Granuloma



Ya (∼35%) Ya



Tidak



Sedang



Tidak



Klinis



Penyakit inflamasi usus besar (infiammatory bowei disease/ IBD) adalah kondisi kronik akibat dari pengaktifan imun mukosa yang tidak tepat. IBD meliputi dua entitas besar, penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Sebagian besar perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn berdasarkan, pada distribusi daerah yang terkena dan ekspresi morfologik penyakit pada tempat-tempat itu (Gambar 14-26; Tabel 14-5). Kolitis ulseratif terbatas di kolon dan rekturn dan meluasnya hanya ke mukosa dan submukosa. Sebaliknya, penyakit Crohn,



ULSERATIF COLITIS



Fistula perianal



Ya (dalam penyakit Tidak kolon)



Malabsorpsi lemak/ vitamin



Ya



Berpotensi ganas



Dengan keterlibatan Ya kolon



Rekurens sesudah pembedahan



Biasa



Tidak



Megakolon toksik



Tidak



Ya



Ketertibatan kolon yang bersambungan, mulai dari rektum



Pseudopolip Ulkus Inflamasi transmural Ulserasi Fisura



Gambar 14-26 Distribusi lesi penyakit usus inflamasi. Perbedaan antara penyakit Crohn dan kolitis ulseratif terutama berdasarkan morfologi.



Tidak



PERHATIKAN: Trdak semua gambaran mungkin terdapat pada satu kasus.



yang juga telah disebut sebagai enteritis setempat (karena seringnya ileum terlibat), mungkin melibatkan setiap daerah saluran cerna dan sering transmural.



Epidemiologi



"Skip lesions" (lesi yang terlewati)



Penyakit Crohn



Makroskopik



Fistulas/sinus



Penyakit Inflamasi Usus Besar



PENYAKIT CROHN



Tabel 14-5 Gambaran yang Membedakan Antara Penyakit Crohn dan Kolitis LlIseratif



Kedua penyakit Crohn dan kolitis ulseratif lebih sering pada wanita dan sering terjadi selama remaja atau dewasa muda. Di negara industri barat, IBD paling sering pada orang kulit putih dan di Amerika Serikat, terjadi 3 sampai 5 kali lebih sering di antara orang Yahudi, Eropa Timur (Ashkenazi). Predileksi ini setidaknya sebagian disebabkan oleh faktor genetik, seperti selanjutnya dibahas dalam "Patogenesis". Distribusi geografik IBD sangat bervariasi, tetapi, yang paling sering di Amerika Utara, Eropa Utara dan Australia. lnsidens IBD di dunia terus meningkat dan menjadi lebih sering di daerah-daerah yang prevalensinya secara historis rendah. Hipotesis higienis memperkirakan bahwa perubahan-perubahan dalam insidens berkaitan dengan kondisi penyimpanan makanan yang lebih baik dan kontaminasi makanan yang berkurang. Secara spesifik, diperkirakan bahwa frekuensi infeksi usus yang berkurang oleh perbaikan higienis, merupakan hasil tidak memadainya perkembangan proses regulasi yang membatasi respons imun mukosa pada awal kehidupan. Akibatnya individu yang rentan pada mikroba yang biasanya tidak berbahaya, dalam kehidupan kemudian, memicu respons imun yang tidak seharusnya, yang mungkin tidak dapat diatur, akibat hilangnya fungsi barrier epitel usus. Meskipun banyak rincian yang



587



588



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



hilang, beberapa data, termasuk beberapa dari model hewan dan observasi pada manusia, bahwa suatu episode gastroenteritis infeksi akut meninggikan risiko terjadinya IBD adalah konsisten dengan hipotesis higiene.



PATOGENESIS Penyebab IBD masih belum jelas. Namun. umumnya para peneliti yakin bahwa IBD merupakan akibat dari kombinasi interaksi pejamu yang salah dengan mikroba usus, disfungsi epitel usus dan respons imun mukosa yang menyimpang. Pandangan ini disokong oleh studi epidemiologik. genetik dan klinisk serta data dari laboratorium model IBD (Gambar 14-27). • Genetik. Risiko penyakit meningkat, kalau terdapat anggota keluarga yang terkena dan pada penyakit Crohn, tingkat kesesuaian untuk kembar monozigot sekitar 50%. Sebaliknya, kesesuaian kembar monozigot untuk kolitis ulseratif hanya 16%, memberi kesan bahwa faktor genetik kurang dominan pada bentuk IBD ini. Analisis hubungan molekul keluarga penderita telah mengidentifikasi N0D2 (nucleotide oligomerization binding domain 2) sebagai gen yang rentan pada penyakit Crohn. NOD2 mengkode protein, yang terikat pada peptidoglycans bakteri intrasel dan kemudian mengaktifkan NF-KB. Telah dipostulasikan bahwa varian penyakit terkait NOD2 kurang efektif dalam mengenali dan memerangi mikroba lumen, yang kemudian dapat masuk ke lamina propria dan memicu reaksi inflamasi. Data lain menunjukkan bahwa NOD2 dapat mengatur respons imun untuk mencegah aktivasi yang berlebihan oleh mikroba luminal. Apa pun mekanisme yang disertai kontribusi N0D2 polimorfisme pada patogenesis



Defek barrier menyebabkan masuknya komponen bakteri



Bakteri



Komponene bakteri



Makrofag TNF



Sell dendrit



IL-8



CD4+ Sel T IL-23



IFNg



T IL-12



TH1



TH17 IL-17



TH2



IL-13



Neutrofil



Gambar 14-27 Model patogenesis dari "inflommatery bowel chsease" Aspek dari keduanya, penyakit Crohn dan kolius



penyakit Crohn, perlu diakui, bahwa penyakit terjadi pada kurang dari 10% dari orang pembawa mutasi NOD2 dan mutasi NOD2 jarang ditemukan pada pasien Afrika dan Asia dengan penyakit Chron. Dalam beberapa tahun terakhir, "genome-wide association studies" (GWAS) yang memiliki "singlenucleotide polymorphisms" telah digunakan untuk memperluas penelitian mengenai IBD-associated genes. Jumlah gen yang teridentifikasi oleh GWAS meningkat dengan cepat (jumlahnya sudah lebih dari 30), tetapi seiring dengan NOD2, dan penyakit Crohnterkait gen yang khusus menarik perhatian adalah "ATG I 6L I (autophagy-related 1 6—like- 1 )", suatu bagian dari jalur autophagosome yang penting pada respons sel pejamu terhadap bakteri intrasel dan IRGM (immunity related GTPase M), yang juga terlibat dalam autophagy dan pembersihan bakteri intrasel. N0D2, ATGI6LI, dan IRGM diekspresikan pada beberapa tipe sel dan peran sebenarnya dalam patogenesis penyakit Crohn belum pasti. Seperti NOD2, bagaimanapun ATGI6LI dan IRGM berkaitan dengan pengenalan dan respons terhadap patogen intrasel, menyokong hipotesis bahwa reaksi imun yang tidak memadai terhadap bakteri intralumen adalah penting dalam patogenesis IBD. Tidak satu pun dari gen-gen ini, terkait dengan kolitis ulseratif. • Respons imun mukosa. Meskipun mekanisme dengan kontribusi imunitas mukosa pada patogenesis kolitis ulseratif dan penyakit Crohn sedang dipelajari, agen imunosupresif dan imunomodulatori tetap merupakan terapi andalan IBD. Polarisasi sel T helper menjadi tipe THI di akui dalam penyakit Crohn, dan data yang baru memperkirakan bahhwa sel TH I 7 juga berkontribusi pada patogenesis. Konsisten dengan ini, reseptor polimorfisme IL-23 tertentu memberi proteksi dari penyakit Crohn dan kolitis ulseratif (IL-23 terlibat dalam pembentukan dan pemeliharaan sel TH17). Proteksi yang diberikan oleh reseptor polimorfisme IL-23, bersama dengan terapi anti-TNF yang dikenal efektif, pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif, agaknya menyokong peran sel THI dan TH 17. Beberapa data memperkirakan bahwa respons imun patogen pada kolitis ulseratif, antara lain komponen TH2 yang signifikan. Sebagai contoh, produksi IL-13 mukosa meningkat pada kolitis ulseratif dan pada tingkat yang lebih rendah, penyakit Crohn. Bagaimanapun, peran sel TH2 pada patogenesis IBD masih kontroversial. Polimorfisme gen IL- 1 0, serta IL-1 OR, gen reseptor IL-I0, telah dikaitkan dengan kolitis ulseratif, tetapi tidak penyakit Crohn, selanjutnya menekankan pentingnya signal imunoregulator pada patogenesis IBD. Secara keseluruhan, ada kemungkinan, bahwa beberapa kombinasi kekacauan, yang mengaktivasi imunitas mukosa dan menekan imunoregulasi berkontribusi dalam perkembangan baik kolitis ulseratif maupun penyakit Crohn. Peran relatif dari sifat bawaan dan adaptif dari sistem imun adalah subyek yang sedang diamati secara intens. • Defek epitel. Suatu variasi defek epitel sudah dijelaskan dalam penyakit Crohn, kolitis ulseratif atau keduanya. Sebagai contoh, defek pada fungsi barrier, tight junction epitel usus ditemukan pada pasien dengan penyakit Crohn dan merupakan bagian saudara dekat (first-degree) yang sehat. Disfungsi barrier ini turut memisahkan bersama penyakit spesifik terkait polimorfisme NOD2 dan model eksperimental menunjukkan bahwa disfungsi barrier dapat mengaktifkan



Penyakit Inflamasu Usus imunitas bawaan (innate) dan adaptif mukosa dan menjadikan subyek peka terhadap penyakit. Hal yang menarik adalah bahwa granul sel Paneth, yang berisi peptida antimikroba yang dapat memengaruhi komposisi mikroba luminal, yang abnormal pada pasien dengan penyakit Crohn dengan mutasi ATGI6LI sehingga memberikan satu mekanisme potensial, di mana umpan balik yang rusak antara epitel dan mikroba dapat berkontribusi pada patogenesis penyakit. • Mikroba. Jumlah organisme mikroba di lumen gastrointestinal sangat banyak, sebanyak 10 organisme/ mL dari massa tinja di kolon (50% dari massa tinja). Terdapat variasi signifikan antar individu dalam komposisi populasi mikroba, yang dirnodifikasi oleh diet dan penyakit. Meskipun data meningkat, yang menunjukkan bahwa mikroba intestinal berkontribusi dalam patogenesis IBD, peran sebenarnya masih belum pasti. Sehubungan dengan ini, beberapa antibiotik, seperti metronidazole, dapat membantu dalam pemeliharaan remisi pada penyakit Crohn. Studi yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa campuran yang tidak jelas berisi probiotik atau bermanfaat, bakteri juga, dapat memerangi penyakit dalam model eksperimental, serta beberapa pasien dengan IBD, meskipun mekanismenya tidak dimengerti dengan baik. Satu model, yang mempersatukan peran mikroba usus, fungsi epitel dan imunitas mukosa, menunjukkan sebuah siklus di mana aliran transepitel dari komponen bakteri luminal mengaktifkan respons bawaan dan adaptif. Pada pejamu yang secara genetik rentan, kemudian melepaskan TNF dan immunemediated lain memberi signal epitelial langsung untuk meningkatkan permeabilitas tight junction, yang selanjutnya meningkatkan aliran materi luminal. HaI ini mungkin membuat siklus self-amplifying, di mana stimulus pada setiap situs mungkin cukup untuk memulai IBD. Meskipun model ini membantu mengajukan pengertian patogenesis IBD, mutakhir, suatu variasi faktor-faktor, dikaitkan dengan penyakit untuk alasan yang tidak diketahui. Contoh, satu episode tunggal apendisitis dikaitkan dengan permanen risiko terjadinya kolitis ulseratif. Penggunaan tembakau merubah risiko IBD. Yang mengherankan, risiko penyakit Crohn meningkat akibat rokok, sedangkan kolitis ulseratif berkurang.



A



B



589



Penyakit Crohn



Penyakit Crohn, dikenal juga sebagai regional enteritis, mungkin terjadi pada tiap bagian dari saluran cerna.



MORFOLOGI Tempat tersering yang terkena penyakit Crohn adalah ileum terminal, volvulus ileosekal dan sekum. Penyakit yang terbatas pada usus halus saja, kira-kira 40% kasus; usus halus dan kolon, keduanya, terlibat dalam 30% pasien dan sisanya adalah khas hanya melibatkan kolon. Terdapatnya penyakit pada daerah yang multipel, terpisah, berbatas jelas sehingga terjadi ''skip lesions", adalah ciri khas penyakit Crohn dan dapat membantu membedakannya dari kolitis ulseratif. Striktur sering ditemukan (Gambar 14-28,A). Lesi awal, ulkus aftosa, dapat terjadi dan lesi multipel sering menyatu menjadi memanjang, ulkus serpentin berorientasi mengikuti sumbu usus. Edema dan hilangnya lipatan mukosa normal sering terjadi. Tersisanya mukosa normal di antara lesi, memberi tekstur kasar, gambaran cobblestone, yaitu permukaan jaringan yang sakit tertekan ke bawah permukaan mukosa normal (Gambar 14-28, B). Fisura sering terjadi di antara lipatan mukosa dan mungkin menjadi lebih dalam, menjadi perforasi atau saluran fistula. Dinding usus menebal sebagai akibat edema transmural, inflamasi, fibrosis submukosa dan hipertrofi muskularis propria, semua ini berkontribusi dalam pembentukan striktur. Pada kasuskasus dengan penyakit transmural luas, lemak mesenterik sering meluas sekitar permukaan serosum (creeping fat) (Gambar 14-28, C). Gambaran mikroskopis dari penyakit Crohn aktif, antara lain terdapat banyak neutrofil, yang menginfiltrasi dan merusak epitel kripta. Kelompok neutrofil dalam kripta, disebut sebagai abses kripta dan sering berkaitan dengan destruksi kripta. Ulkus sering ditemukan dan mungkin terdapat transisi yang mendadak antara mukosa ulkus dan normal. Berulangnya siklus destruksi kripta dan regenerasi menyebabkan distorsi arsitektur mukosa. yang pada keadaan normal kripta sejajar dan lurus menjadi bercabang-cabang tidak teratur bentuknya dan orientasinya tidak biasa (Gambar 14-29, A).



C



Gambar 14-28 Patologi makroskopis dari penyakit Crohn. A, Striktur usus halus. B, Ulkus mukosa finear dan dinding usus menebal. C, Creeping fat.



590



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna penyakit dapat dikaitkan dengan pemicu eksternal, antara lain keadaan fisis atau emosi, beberapa diet spesifik dan rokok. Anemia defisiensi besi mungkin terjadi pada orang dengan penyakit kolon, sementara penyakit usus halus yang luas mungkin mengakibatkan hilangnya protein serum dan hipoalbuminemia, malabsorpsi nutrisi umum, atau malabsorpsi vitamin B12 dan garam empedu. Striktur fibrosis, terutama pada ileum terminal, sering terjadi dan memerlukan reseksi bedah. Penyakit sering rekuren di tempat anastomosis dan sebanyak 40% pasien perlu reseksi tambahan dalam 10 tahun. Fistula terjadi antara Iingkungan usus besar dan mungkin juga melibatkan buli-buli, vagina dan kulit abdomen atau kulit perianal. Perforasi dan abses peritoneum sering terjadi.



A



Manifestasi penyakit Crohn ekstraintestinal termasuk uveitis, poliartritis migrans, sakroiliitis, spondilitis ankilosa, eritema nodosa dan clubbing finger, yang masing-masing kelainan ini dapat terjadi sebelum diketahui bahwa pasien menderita penyakit usus. Perikolangitis dan primary sclerosing cholangitis juga terjadi pada penyakit Crohn, tetapi lebih sering pada kolitis ulseratif. Seperti yang dibahas kemudian, risiko adenokarsinoma meningkat pada pasien yang menderita penyakit Crohn, untuk waktu lama.



Kolitis Ulseratif B



C



Gambar 14-29 Patologi mikroskopis dari penyakit Crohn. A, Bentuk kripta yang tidak beraturan adalah akibat dari cedera dan regenerasi yang berulang. B, Granuloma non kaseosa. C, Penyakit Crohn transmural dengan granulosa submukosa dan serosum (panah)



Kolitis ulseratif berkaitan erat dengan penyakit Crohn. Namun, kolitis ulseratif terbatas pada kolon dan rektum. Beberapa manifestasi ekstraintestinal kolitis ulseratif tumpang tindih dengan manifestasi penyakit Crohn, termasuk poliartritis, sakroiliitis, spondilitis ankilosa, uveitis, lesi kulit, perikolangitis, dan kolangitis sklerotik primer.



MORFOLOGI Metaplasia epitel, akibat berulangnya jejas kronik, sering mengambil bentuk menyerupai kelenjar antral lambung (pseudopyloric metaplosia). Metaplasia sel Paneth juga mungkin ditemukan di kolon kiri, di sini sel Paneth tidak ada pada keadaan normal. Perubahan arsitektur dan perubahan metaplasia dapat menetap, walaupun peradangan aktif telah teratasi. Penyakit yang bertahuntahun dapat mengakibatkan atrofia mukosa dengan hilangnya kripta. Granuloma nonkaseosa (Gambar 14-29, B), ciri penyakit Crohn, ditemukan sekitar 35% dari kasus dan mungkin tampak di daerah sakit yang aktif atau daerah yang tidak terlibat pada setiap lapisan dinding usus (Gambar 14-29, C). Granuloma juga mungkin ditemukan di kelenjar getah bening mesenterium. Granuloma kulit membentuk nodul, yang disebut (penemuan yang menyesatkan) sebagai penyakit Crohn metastatik. Tidak adanya granuloma tidak berarti bukan penyakit Crohn.



Gambaran Klinis



Manifestasi klinis penyakit Crohn sangat bervariasi. Pada kebanyakan pasien, penyakit dimulai dengan serangan diare ringan secara intermiten, demam dan nyeri abdomen. Sekitar 20% pasien menunjukkan nyeri bagian kanan bawah secara akut, demam dan diare berdarah, yang menyerupai apendisitis akut atau perforasi usus. Periode penyakit yang aktif, khas adalah di interupsi oleh waktu jeda/selingan selama beberapa minggu sampai bertahun-tahun. Keaktifan



Kolitis ulseratif selalu melibatkan rektum dan meluas ke proksimal secara berlanjut sehingga mengenai sebagian atau seluruh kolon. Lesi yang melompat biasanya tidak tampak (meskipun inflamasi fokal apendiks atau sekum kadang-kadang masih terjadi). Penyakit yang mengenai seluruh kolon disebut pankolitis (Gambar 14-30, A). Penyakit yang terbatas pada rektum atau rektosigmoid dapat disebut secara deskriptif sebagai proktitis ulseratif atau proktosigmoiditis ulseratif. Usus halus normal, meskipun inflamasi mukosa ringan di ileum distal, backwash ileitis, dapat terjadi pada kasus-kasus dengan pankolitis. Pada evaluasi makroskopis, mukosa kolon yang terlibat mungkin agak merah dan campak granuler atau menunjukkan ulkus luas yang dasarnya lebar. Transisi antara kolon yang sakit dan yang tidak sakit, dapat terlihat tegas (Gambar 14-30, B). Ulkus-ulkus terletak sejajar sumbu kolon tetapi khas tidak seperti ulkus serpentin pada penyakit Crohn. Pulau-pulau mukosa regenerasi yang terisolasi sering menonjoi ke lumen membentuk peninggian kecil disebut pseudopolip. Penyakit yang kronik dapat menyebabkan atrofia mukosa dan mukosa permukaan yang datar, halus, kehilangan lipatan normal. Tidak seperti penyakit Crohn, penebalan lapisan otot tidak ada, permukaan serosum normal dan tidak terjadi striktur. Namun, inflamasi dan mediator inflamasi dapat merusak muskularis propria dan mengganggu fungsi neuromuskular,



Penyakit Inflamasi Usus



Kolitis yang Tidak Menentu (Indeterminate)



menyebabkan dilatasi dan megakolon toksik, yang membawa risiko perforasi yang signifikan.



Tumpang tindih histopatologis dan klinis antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn sering ditemukan dan tidak mungkin membedakannya sampai 10% pasien IBD. Pada kasus-kasus seperti ini disebut kolitis tidak menentu, usus halus tidak terlibat dan pola kontinus penyakit kolon merupakan ciri dari kolitis ulseratif. Namun, penyakit berbercak, fisura, riwayat keluarga dengan penyakit Crohn, lesi perianal, onset setelah inisiasi merokok atau penemuan-penemuan yang tidak khas untuk kolitis ulseratif, mungkin menjadikan diagnosis tidak menentu. Sebab tumpang tindih yang luas dalam tatalaksana medis penyakit kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, pasien dengan diagnosis kolitis yang tidak menentu dapat diobati secara efektif. Namun demikian adalah lebih baik, kalau mungkin untuk mengkategorikan pasien secara pasti, sebab melibatkan terapi medik dan tatalaksana bedah yang berbeda untuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.



Gambaran histologis mukosa pada penyakit kolicis ulseratif mirip dengan mukosa pada penyakit Crohn, termasuk infiltrasi inflamasi, abses kripta, distorsi kripta dan metaplasia epitel. Namun, skip lesion tidak ada dan inflamasi umumnya terbatas di mukosa dan submukosa superfisial (Gambar 14-30, C). Pada penyakit yang parah, kerusakan mukosa dapat disertai ulkus, yang menjadi lebih dalam ke submukosa, tetapi muskularis propria jarang terlibat. Fibrosis submukosa, atrofia mukosa dan arsitektur mukosa yang distorsi tinggal sebagai sisa penyakit yang menyembuh, tetapi pola histologis dapat juga mendekati normal sesudah remisi lama. Granuloma tidak ditemukan.



Gambaran Klinis



Kolitis ulseratif adalah kelainan yang dapat kambuh, ditandai dengan serangan diare berdarah dengan mengeluarkan materi seperti tali yang mukoid dan nyeri abdomen bawah serta kram, yang membaik sementara oleh defekasi. Gejala ini mungkin menetap berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum mereda dan kadangkadang serangan awal cukup parah untuk menjadi kedaruratan medis atau bedah. Lebih dari separuh pasien memiliki penyakit ringan dan hampir semua sekurang-kurangnya mengalami relaps sekali dalam periode 10 tahun. Kolektomi menyembuhkan penyakit intestinal tetapi manifestasi ekstraintestinal mungkin menetap.



Faktor-faktor yang memicu kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi seperti disebutkan sebelumnya enteritis infeksi mendahului onset beberapa kasus. Pada kasus lain serangan pertama didahului oleh stres psikologis yang juga mungkin berkaitan dengan relaps selama remisi. Onset awal dari gejala-gejala juga tidak dilaporkan terjadi sesaat setelah penghentian rokok pada beberapa pasien, dan rokok mungkin meringankan sebagian gejala. Sayangnya penelitian nikotin sebagai agen terapi telah mengecewakan.



A



591



B



Neaplasia Terkait Kalitis Salah satu komplikasi jangka panjang yang paling ditakuti dari kolitis ulseratif dan penyakit Crohn adalah terjadinya neoplasia. Prosesnya mulai dengan displasia, yang serupa dengan yang terjadi pada esofagus Barrett dan gastritis kronik ialah merupakan tahap-tahap panjang menuju karsinoma yang sempurna (full blown). Risiko displasia berkaitan dengan beberapa faktor: • Risiko meningkat tajam 8 sampai 10 tahun setelah inisiasi penyakit. •



Pasien dengan pankolitis memiliki risiko lebih tinggi dari mereka yang hanya dengan penyakit pada sebelah kiri.



• Frekuensi yang lebih tinggi dan inflamasi aktif yang lebih parah (ditandai dengan adanya neutrofil) mungkin meningkatkan risiko. HaI ini adalah contoh lain dari kemungkinan efek inflamasi pada karsinogenesis (Bab 5). Untuk memfasilitasi deteksi dini neoplasia, pasien biasanya terdaftar dalam program penelitian sekitar 8 tahun sesudah diagnosis IBD. Pengecualian utama pada pendekatan ini adalah pasien dengan prirnary sderosing dwlangitis,



C



Gambar I4-3 Pacologi kolitis ulseratif. A, Kolekcomi total dengan pankolicis menunjukkan penyakit aktif dengan mukosa merah. granuler di sekum (kiri) dan mukosa yang halus. atrofik di distal (kanan). B, Batas tegas antara kolitis ulseratif aktif (dasar) dan normal (atas). C, Gambaran histologis dari potongan seluruh ketebalan dinding usus, menunjukkan bahwa penyakit terbatas pada mukosa. Bandingkan dengan Gambar I 4-28. C.



592



B A B 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



yang memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk perkembangan displasia dan umumnya terdaftar untuk surveillance pada saat diagnosis. Surveillance membutuhkan biopsi mukosa yang teratur dan luas, menjadikan praktik mahal. Pada banyak kasus, displasia terjadi pada daerah mukosa yang datar, yang pada evaluasi makroskopik tidak dikenal sebagai abnormal. Dengan demikian, teknik canggih pencitraan endoskopi mulai digunakan secara eksperimen untuk meningkatkan sensitivitas deteksi pada jaringan yang tampaknya normal. Displasia terkait IBD secara histologis diklasifikasikan sebagai derajat rendah dan derajat tinggi. Displasia derajat tinggi dapat dikaitkan dengan karsinoma invasif pada tempat yang sama atau tempat lesi lain di kolon dan karena itu sering segera dilakukan kolektomi terutama kalau terdapat perubahanperubahan multifokal. Displasia derajat rendah, mungkin diobati dengan kolektomi atau dimonitor ketat bergantung pada variasi faktor klinis. Adenoma kolon (dibahas kemudian) terjadi juga pada pasien dengan IBD dan pada beberapa kasus, adenoma ini mungkin sulit dibedakan dari fokus polipoid dan displasia terkait IBD.



RINGKASAN Penyakit Inflamasi Usus Besar (Inflammatory Bowel Disese) • • •



• •



Inflammatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum untuk penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Penyakit Crohn, umumnya mengenai ileum terminalis dan sekum, tetapi setiap area di saluran cerna dapat terlibat. skip lesion dan granuloma non kaseosa sering ditemukan. Kolitis ulseratif terbatas pada kolon, merupakan lesi kontinu dari rektum dan perluasannya berkisar hanya dari rektum sampai seluruh kolon, tidak tampak skip lesion ataupun granuloma. Keduanya, penyakit Crohn dan kolitis ulseratif dapat disertai manifestasi ekstraintestinal. Risiko displasia epitel kolon dan adenokarsinoma meningkat pada pasien, yang menderita IBD lebih dari 8 tahun sampai 10 tahun.



POLIP KOLON DAN PENYAKIT NEOPLASMA Polip paling sering ditemukan di kolon tetapi mungkin terjadi di esofagus, lambung atau usus halus. Polip tanpa tangkai disebut sesil. Pada polip sesil yang membesar, terjadi proliferasi sel-sel sekitar polip dan efek traksi pada tonjolan ke lumen, mungkin bersamasama membentuk tangkai. Polip dengan tangkai disebut polip bertangkai (pedunculated). Umumnya, polip intestinal dapat diklasifikasikan menjadi non neoplastik atau neoplastik. Polip neoplastik yang paling sering adalah adenoma, yang berpotensi berkembang menjadi kanker. Polip kolon non neoplastik dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi inflamasi, hamartoma atau hiperplastik.



Pasien menunjukkan triad klinis ialah perdarahan rektum, keluarnya lendir dan lesi inflamasi pada dinding anterior rektum. Penyebab yang mendasarinya adalah terganggunya relaksasi sfingter anorektal, membentuk sudut yang tajam pada permukaan rektum anterior. Hal ini menyebabkan abrasi berulang dan ulserasi pada mukosa rektum. Jejas kronik berulang dan penyembuhannya menghasilkan massa polipoid terdiri atas jaringan mukosa yang reaktif dan peradangan.



Polip Hamartoma Polip hamartoma terjadi secara sporadik dan sebagai komponen dari berbagai sindrom genetik tertentu atau sindrom yang didapat (Tabel 14-6). Seperti dijelaskan sebelum ini, hamartoma adalah pertumbuhan seperti tumor, tidak terorganisasi dan terdiri atas selsel matur yang pada keadaan normal dapat ditemukan pada tempat di mana polip berkembang. Sindrom poliposis hamartoma jarang terjadi tetapi penting untuk dikenal sebab terkait dengan usus dan dapat bermanifestasi ekstraintestinal serta perlunya skrining anggota keluarga.



Polip Anak-Anak (Juvenile) Polip juvenile adalah tipe yang paling sering di antara polip hamartoma. Mereka mungkin sporadik atau sindromik. Pada dewasa, bentuk sporadik kadang-kadang disebut juga sebagai polip injlamasi, terutama kalau terdapat infiltrat sel radang padat. Sebagian besar polip juvenile terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Polip juvenile khas terletak di rektum dan paling sering bennanifestasi dengan perdarahan rektum. Pada beberapa kasus, terjadi prolaps dan polip menonjol melalui sfingter anal. Polip juvenile sporadik biasanya soliter tetapi pada mereka dengan sindrom poliposis juvenile autosomal dominan jumlahnya bervariasi antara 3 sampai 100. Mungkin diperlukan tindakan kolektomi untuk membatasi perdarahan akibat ulserasi polip pada poliposis juvenile. Displasia terjadi pada sebagian kecil (sebagian besar terkait sindrom) polip juvenile dan sindrom juvenile poliposis berkaitan dengan peningkatan risiko untuk perkembangan adenokarsinoma kolon.



MORFOLOGI Sindrom polip juvenile dan sporadik sering sulit dibedakan. Mereka biasanya merupakan lesi yang menonjol dengan, permukaannya halus, kemerahan, diameternya kurang dari 3 cm dan menunjukkan rongga-rongga kistik yang khas pada pemotongan jaringan. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa rongga tersebut adalah kelenjar yang berdilatasi, terisi musin dan debris Inflamasi (Gambar 14-31, A). Beberapa data menunjukkan bahwa hiperplasia mukosa adalah awal dalam perkembangan polip dan mekanisme ini adalah sesuai dengan penemuan bahwa jalur mutasi yang mengatur pertumbuhan sel seperti sinyal transforming growth foctor-β (TGF-β), berkaitan dengan poliposis juvenile autosomal dominan.



Polip Inflamasi Polip yang merupakan bagian dari sindrom ulkus rektum soliter adalah contoh lesi inflamasi murni.



Peutz-JeghersSyndrome



Sindrom Peutz-Jeghers adalah kelainan autosomal dominan yang jarang, ditandai oleh adanya polip hamartoma multipel saluran



Polip Kolon dan Penyakit Neoplasma



593



Tabel 14-6 Saluran Cerna (SC) Sindrom Poliposis



Sindrom Sindrom Peutz-leghers



Roliposis juvenile



Sindrom Cowden, Sindrom BannayanRuvalcaba-Riley



Sindrom Cronkhite- Canada



Sklerosis tuberosa Poliposis adenomatosa familial (PAF) Klasik PAF PAF ringan Sindrom Gardner Sindrom Turcot



Umur Rata-Rata Presentasi (tahun)



Gen yang



Manifestasi Di luar Saluran Cerna Terpilih



Bermutasi



Lesi SC



LKE311ST



Polip yang bercabang-cabang usus halus > kolon > lambung: adenokarsinoma kolon