ISRAILIYAT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

ISRAILIYAT [PDF]

JADAL DALAM AL-QUR’AN Dipresentasikan Pada Seminar Matakuliah ‘Ulumul Qur’an Dosen Pembimbing Prof. Dr. H. Nurwadjah Ahm

7 0 210 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

JADAL DALAM AL-QUR’AN Dipresentasikan Pada Seminar Matakuliah ‘Ulumul Qur’an Dosen Pembimbing Prof. Dr. H. Nurwadjah Ahmad EQ. M.A.



Disusun Oleh : Euis Sumirah Nim. 086.1379



PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2009



ISRAILIYAT A. Pendahuluan Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pemisah antara yang hak dan yang batil (QS 2: 185) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Realitas sejarah memaparkan bahwa sampai hari ini urgensi Al-Qur’an masih menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia, bahkan tidak henti-hentinya menjadi inspirator, pemandu dan pemadu berbagai gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.1 Sebagai petunjuk, tentunya Al-Quran harus dipahami, dihayati, dan di amalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami Al-Quran, bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan makna kosa katanya. Tidak jarang, mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud Firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.2 Karena itu, Rasulullah mengemban tugas untuk menjelaskan (mubayyin) maksud Firman Allah itu (QS 16: 44). Di zaman Rasulullah masih hidup, umat Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami “petunjuk” guna mengarungi kehidupannya sebab mana kala mereka menemukan kesulitan dalam satu ayat, misalnya mereka akan langsung bertanya kepada Rasulullah. Dan, kemudian, beliau menjelaskan kandungan maksud ayat tersebut.3 Akan tetapi, sepeninggal Rasulullah, umat Islam banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab Al-Quran terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh sebab itu, mereka pun membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan mengantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat Seperti itu.4 Langkah pertama yang mereka ambil ialah menengok pada Hadis Rasulullah, karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah.5 Di samping itu, mereka mengambil langkah dengan cara 1 Quraish Shihab, “Membumikan”Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, hIm. 83. Lihat juga Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa AI-Yasarfi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuli, Mesir, 1989. 2 Quraish Shihab, ibid.. hIm. 75. Lihat juga Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Dar Al-Kutub AI-Hadits, Mesir, 1976, Jilid I, hIm. 59. 3 Al – Dzahabi, Ibid. hal 45 4 Dr. S. Ahmad Khalil , Dirasat fi Al-Qur’an. Dar Al- Ma’arif, Mesir, 1972, hal.111 5 Ibid. hlm. 111



menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya dan gaya penafsiran semisal ini kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma‘tsur.6 Langkah selanjutnya yang mereka tempuh ialah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut.7 Dan manakala mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi (hadits) atau sahabat, yang memahami betul konteks posisi ayat itu, mereka terpaksa melakukan ijtihad dan lantas berpegang pada pendapatnya sendiri,8 khususnya mereka yang mempunyai kapasitas intelektual mumpuni seperti ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, ‘Ubay ibn Ka’ab, dan Ibn Mas’ud.9 Selain bertanya kepada para sahabat senior sebagai sumber informasi bagi penafsiran AlQuran, mereka juga bertanya kepada orang- orang Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam Al-Quran memiliki persamaan dengan yang ada dalam kitab suci mereka, terutama berbagai tema yang menyangkut umat-umat terdahulu.10 Penafsiran seperti itu terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi AlQuran sebagai “petunjuk” bagi kehidupannya sedemikian sampai-sampai tanpa disadari bercampurlah hadis-hadis sahih dengan Israiliyat. 11 Kehadiran Israiliyat dalam penafsiran Al-Quran itulah yang menjadi ajang polemik di kalangan para ahli tafsir Al-Quran.. Karenanya, tulisan ini akan mendiskusikan tema Israiliyat, perkembangan dan keberadaannya dalam tafsir, pengaruh dan alternatif jalan-keluarya yang mungkin bisa dikemukakan, serta beberapa kesimpulan yang akan mengakhiri tulisan ini.



B. Pembahasan 1. Pengertian Israiliyat



6 Ibid. 7 Ibid. Lihat juga Al-Dzahabi, op.cit., hal. 52 8 Al-Dzahabi op.cit., hlm. 45 9 Quraish Shihab, op.cit.hlm. 71 10 Al-Dzahabi, op.cit.hlm.61 11 Quraish Shihab, op.cit.hlm. 46



Secara etimologis, Israiliyat adalah bentuk jamak dan kata tunggal Jsrailiyyah, yakni bentuk kata yang dinisbatkan.12 pada kata Israil yang berasal dan bahasa Ibrani,13 Isra yang berarti hamba, dan Ii yang bermakna Tuhan.14 Dalam perspektif historis, Israil berkaitan erat dengan Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim a.s. di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu disebut Bani Israil.15 Secara terminologis, Israiliyat merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadis di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber dan Yahudi dan Nasrani,16 baik menyangkut agama mereka atau tidak.17 Dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dan berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke jazirah Arab yang dibawa oleh orang-orang Yahudi setelah kembali dan “luar negeri”18 pada masa jahiliyah. Formulasi tentang Israiliyat19 di atas terus berkembang di kalangan para pakar tafsir AlQuran dan Hadis sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia. Bahkan, di kalangan mereka ada yang berpendapat bahwa Israiliyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam “manuskrip” kuno dan hanya sekadar sebuah manipulasi yang dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan Hadis untuk merusak akidah umat Islam dari dalam.20 Meskipun Israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi Israiliyat ini. Hanya saja, dalam hal ini kaum Yahudi lebih populer dan lebih dominan. Karenanya, kata Yahudi lebih “dimenangkan” 21 lantaran selain kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam22 di kalangan mereka banyak juga yang masuk Islam. 12 Untuk mengetahui lebih rinci cara menisbatkan kata, lihat Mushthafa AI-Ghilayani, Jami Al-Durus Al ‘Arabiyyah, Maktabah ‘Ashriyah, Beirut, 1989,11, hIm. 71. 13 Khalaf Muhammad Al-Husayni, Al-Yahudiyah bayn Al-Masihiyah wa Al-Islam, AI-Mu’as sasah Al-Mishriyyah, Mesir, 1964 14 Muhammad Farid Wajdi, Da ‘irah Al-Ma ‘arif I, Beirut, 1964, hlm. 14. 15 Al- Dzahabi ,Israiliyyat At-Tafsir wa Al-Hadits, Majma’ AI-Buhuts AI-IsIamiyyah, Kairo, 1971, hIm 19. 16 Ibid., hlm. 20. 17 Dr. S. Ahmad KhaIil, op. cit., hlm. 113 18 Amin Khuli Manahij Al- Tajdid Dar AI-Ma’rjfah, Kairo, 1961, hlm. 177. 19 Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari taurat dan orang Nasrani mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak orang Yahudi dan Nasrani bernaung dibawah panji-panji Islam sejak Islam lahir sedang merreka tetap memelihara pengetahuan keagamaan itu. ( lihat Manna' Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-qur'an, Diterjemahkan oleh Mudzakir A.S., Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, 2007, hlm. 491). 20 Al-Dzahabi A1-Israiliyat, hIm. 20 21 Al-Dzahabi ,Al-Tafsir, hlm. 165 22 Loc. cit., hIm. 25.



2. Latar-belakang Muncul dan Berkembangnya Israiliyat Infiltrasi kisah Israiliyat dalam tafsir Al-Quran dan juga dalam Hadits tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang Israiliyat telah lama masuk ke dalam benak pikiran keseharian mereka sehingga tidak bisa dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi Jazirah Islam itu.23 Sejak tahun 70 M, kaum Ahli Kitab yang mayoritas orang-orang Yahudi itu telah berimigrasi secara besar-besaran ke Jazirah Arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh Nitus,24 seorang panglima Romawi. Dan mereka juga sering mengadakan perjalanan, baik ke arah barat maupun timur. Dengan demikian, peradaban mereka banyak mempengaruhi orang-orang Timur dan begitu pula sebaliknya.25 Sementara itu, bangsa Arab di zaman Jahiliyah juga banyak melancong ke negeri lain. AlQur’an menginformasikan bahwa orang-orang Quraisy mempunyai dua waktu perjalanan musim dingin ke negeri Yaman dan musim panas ke negeri Syam yang kebetulan kedua negeri itu banyak didiami oleh kaum Ahli Kitab, terutama orang-orang Yahudi. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga Islam lahir dan berkembang di Jazirah Arab.26 Kondisi dua kebudayaan itu - Yahudi dan Muslim - melahirkan pemikiran - pemikiran yang berbeda hingga tidak jarang terjadi dialog antara keduanya. Mereka saling bertukar pikiran ihwal masalah - masalah keagamaan. Bahkan, Rasulullah sendiri sering dihujani pertanyaan oleh kaum Yahudi, terutama menyangkut keabsahan beliau sebagai Nabi dan Utusan. 27 Akan tetapi, karena keabsahan nubuwwah dan risalah agama Islam berikut Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya dapat dibuktikan secara kongkret, maka Rasulullah dapat menarik mereka masuk ke dalam agama Islam, semisal Ka’ab Al-Akhbar, ‘Abd Allah ibn Shuriya, dan ‘Abd Allah ibn Salam. Nama yang disebut terakhir ini adalah “Nabi” kaum Yahudi yang telah banyak menangkap adanya indikasi nubuwwah Muhammad dalam kitab Taurat. Pengetahuannya yang 23 Loc. cit.. hlm. 25. Bandingkan dengan ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, hlm. 490-49 1 24 AI-Dzahabi, A I-Israiliyat, hIm. 24. 25 Ibid., lihat Juga Amin Khuli. op. cit.. hIm. 277. 26 AI-Dzahabi, Israiliyat, hIm 24. 27 Ibid. hlm. 24.



mendalam tentang agama Yahudi menjadikan dirinya menduduki posisi penting dan terpandang, baik di kalangan kaum Yahudi maupun - sesudah masuk Islarn - di kalangan kaum Muslim. 28 Pada era Rasulullah, informasi dari kaum Yahudi - yang dikenal sebagai Israi1iyat tidak banyak berkembang dalam penafsiran Al-Quran, sebab hanya beliaulah satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran. Umpamanya saja, apabila Para sahabat menemukan kesulitan mengenai pengertian sebuah ayat Al-Quran, baik makna atau kandungannya, mereka pun langsung bertanya kepada Rasulullah. Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam “green light” pada umat Islam untuk menerima informasi atau menyebarkan informasi dari Bani Israil. Hal ini tampak dari hadist beliau: “Sampaikanlah apa yang datang dariku walaupun satu ayat. Dan ceritakanlah (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan (hal itu) tidak ada salahnya. Dan barang siapa berdusta atasku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di Neraka. ,, 29 Demikian juga, dalam hadis lain, beliau bersabda, “Jangalah kamu benarkan orang-orang Ahli Kitab dan janganlahpula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami...30 Dari hadis-hadis di atas, Rasulullah juga memberikan peluang atau kebebasan pada umatnya untuk mengambil riwayat dari kaum Ahli Kitab. Hadis pertama boleh jadi mengandung petuah atau suri teladan, sedangkan hadis kedua merupakan penangguhan pengakuan maupun penolakan atas cerita kaum Ahli Kitab untuk tidak dterima begitu saja sebelum diteliti. Dari abstraksi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Israiliyat Sebenarnya sudah muncul dan lama berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah lahir, yang kemudian terus bertahan pada era Rasulullah. Hanya saja, pada waktu itu, ia belum menjadi khazanah apalagi merembes dalam penafsiran Al-Quran. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bahwa sepeninggal Rasulullah, tidak seorang pun berhak menjadi penjelas (mubayyin) wahyu Allah. Karena itu, jalan yang ditempuh oleh para sahabat ialah dengan ekstra hati-hati meIakukan ijtihad sendiri, 31 manakala kemudian mereka menjumpai masalah tersebut, seperti kisah-kisah Nabi atau umat terdahulu. Hal mi tenjadi mengingat kadang-kadang ada persamaan antara Al-Quran, Taurat, dan Injil. Hanya saja, 28 Ibid. 29 Al-Dzahabi, Al-Tafsir.hal.171 30 Ibid. hlm. 171 31 Ibid.,hlm.51



Al-Quran terkadang berbicara secara ringkas padat (ijaz), sementara Taurat dan Injil berbicara secara panjang-lebar (ithnab).32 Sumbersumber Israiliyat yang terkenal di kalangan Yahudi adalah: ‘Abd Allah ibn Salam, Ka’ab Al-Akhbar, Wahb ibn Munabbih, dan ‘Abd Al-Malik ibn ‘Abd Al-’Aziz ibn Juraij; sementara di kalangan para Sahabat adalah: Abu Hurayrah, Ibn ‘Abbas, dan ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn ‘Ash Mereka ini adalah nara sumber kedua.33 Pada era Sahabat inilah kisah Israiliyat mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja, dalam menerima riwayat dan kalangan Yahudi dan Nasrani, pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi pada sekitar kisah-kisah dalam Al-Quran yang diterangkan secara global, dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka mengenai kisah-kisah tersebut. 34 Di samping itu, mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsisten dan konsekuen pada ajaran yang diterima dan Rasulullah, Sehingga ketika mereka menjumpai kisah-kisah Israiliyat yang bertentangan Syariat Islam mereka langsung menentangnya. Sebaliknya, apabila kisah-kisah Israillyat itu benar, maka mereka pun menerimanya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihkan keberadaannya, mereka menangguhkannya (mawquf).35 Para Sahabat menerima kisah-kisah Israillyat, karena adanya legitimasi dan Al-Quran maupun hadis Nabi, di samping keinginan mereka untuk mengetahui dan memperluas nuansanya dalam menafsirkan Al-Quran. Dan, lagi pula, “ruh” Al-Quran itu sendiri mempunyai kesamaan dengan dengan kitab-kitab samawi sebelumnya. Oleh karena itu, Al-Quran tidak menghapus secara total ajaran kitab-kitab samawi yang ada, melainkan hanya meluruskan kembali kitabkitab itu yang banyak diselewengkan oleh pengikut-pengikutnya, sebagaimana disebutkan dalam pernyataan Al-Quran di dalam surah Al-Nisa’, ayat 46 dan Al-Baqarah, ayat 75. Dan disini dapat kita nyatakan bahwa tidak semua kisah Israiliyat itu ditolak mentahmentah tanpa alasan, asalkan sudah memenuhi kriteria yang telah mujma’ alayhi (disepakati) oleh para ulama dibidang tafsir Al-Quran paling tidak sesuai dengan “ruh” Al-Quran, jalur periwayatan (sanad)-nya sahih serta diterima oleh akal sehat secara objektif dan rasional.36 Namun, yang paling disayangkan adalah pada periode Tabi’in, di mana seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian bahwa banyak periwayatan hadis 32 Ibid.,hlm. 169 33 Al-Dzahabi, A1-Tafsir. hlm. 183, dan Al-Israiliyat, hIm. 96. 34 Al-Dzahabi, Al-Israiliyat, hIm. 92-93. 35 Ibid. 36 Bandingkan dengan Al- Dzahabi, ibid.. hlm. 81.



tidak melalui jalur “kode etik metodologi penelitian” ilmu-ilmu hadis, dengan tanpa menuliskan sanadnya secara lengkap.37 Akibatnya, banyak muncul periwayatan dalam penafsiran Al-Quran yang terkena infiltrasi (tasarrub) Israiliyat.38 Tokoh penting yang banyak meriwayatkan Israiliyat pada periode ini, di antaranya, adalah:Ka’ab A1-Akhbar dan Wahb ibn Munabbih.39



3. Israiliyat dalam Kitab Tafsir Pada perkembangan selanjutnya, era pasca Tabi’in merupakan era pen-tadwi-an tafsir AlQuran dalam suatu edisi khusus (tanpa dikaitkan dengan pembukuan hadis Nabi yang dipelopori Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd Al’Aziz).40 Banyak karya tafsir dihasilkan oleh para ulama dalam periode ini. Di antaranya adalah: Tafsir Al-Muqatil (w. 150 H), Tafsir Al-Farra’ (w. 207 H), Tafsir Al-Thabari (w. 310 H), Tafsir Al-Tsa’labi (w. 427 H), Tafsir Ibn KatSir (w. 774 H), dan lain-lain. Namün, karena tafsir-tafsir itu tidak mencantum secara tegas maka bercampu-baurlah antara riwayat yang sahih dan yang tidak sahih. 41 Dalam kondisi seperti inilah akhirnya banyak kitab tafsir yang memuat kisah-kisah Israiliyat itu. Keberagaman kitab tafsir yang memuat Israiliyat itu berbeda kuantitas dan kualitasnya antara satu kitab dengan kitab lainnya. Ada yang memberikan komentar dan ada juga yang tidak memberikan komentar.42 Dalam hal ini, A1-Dzahabi.43 telah mengklasifikasikan kitab tafsir yang ‘memunculkan” kisah- kisah Israiliyat itu sebagai berikut: 1; Kitab yang meriwayatkan Israillyat lengkap dengan sanad, tapi ada sedikit kritikan terhadapnya. Kitab yang termasuk dalam kiasifikasi ini adalah tafsir Al-Thabari (w. 310 H) yang berjudul Jami’ Al-Bayanfi Tafsir Al-Quran.



37 AI-Dzahabi, Al-Israiliyat, hIm. 31. 38 Ibid., hIm. 124. 39 Ibid., hIm. 125 40 Ibid., hIm. 32 41 Ibid., hIm. 34 42 Ibid., hIm. 159 43 Ibid.,



2; Kitab yang meriwayatkan Israiliyat lengkap dengan sanad, tapi kemudian menjelaskan kebatilan yang ada dalam sanad tersebut. Termasuk dalam kiasifikasi ini adalah tafsir Ibn Katsir (w. 774 H) yang bernama Tafsir Al-Qur ‘an Al- ‘Azhim. 3; Kitab yang meriwayatkan Israiliyat, dengan “menghidangkan”-nya begitu saja, tanpa menyebut sanad ataupun memberi komentar (tidak mengkritiknya) atau tidak menjelaskan mana riwayat yang benar dan mana yang salah. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Tafsir Muqatil ibn Sulayman (w. 150 H). 4; Kitab yang meriwayatkan Israiliyat tanpa sanad, dan kadang-kadang menunjukkan kelemahannya



atau



menyatakan



dengan



tegas



ketidaksahihannyn,



tapi



dalam



meriwayatkan, terkadang tidak memberikan kritik sama sekali kendati riwayat yang dibawakannya itu bertentangan dengan Syariat Islam. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir Al-Khin (w. 741 H) yang berjudul Lubab Al-Ta ‘wilfi Ma ‘ant Al- Tanzil 5; Kitab yang meriwayatkan Israiliyat tanpa sanad dan bertujuan menjelaskan kepalsuan atau kebatilannya. Tafsir ini sangat pedas mengkritik Israiliyat Kitab yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir Al-Alusi yang bernama Ruh Al-Ma'ani Fi Tafsir AlQur'an wa al-sab' al-matsani. 6; Kitab tafsir yang menyerang dengan pedas para mufasir yang “menghidangkan” Israiliyat dalam tafsirnya. Dan pedasnya serangan mereka, pengarang kitab ini berani melontarkan tuduhan yang tidak selayaknya pada pembawa kisah Israiliyat ini, walaupun mereka terdiri dan sahabat-sahabat terpilih dan para Tabi’in. Meskipun demikian, pengarang kitab mi juga terperangkap dalam situasi serupa, dalam artian bahwa tanpa disadari dia menampilkan kisah Israiliyat dalam tafsirya. Termasuk dalam kiasifikasi ini adalah tafsir susunan Rasyid Ridha (w. 1354 H) yang bernama Tafsir Al-Manar. Demikianlah keberadaan Israiliyat.44 serta klasifikasi tafsir yang memuatnya. Kalsifikasi mi diambil dan hasil penelitian Al-Dzahabi yang selayaknya mengundang para pakar tafsir untuk mengkajinya lebih intensif. Hal itu perlu dilakukan mengingat pengaruh yang ditimbulkan oleh masuknya kisah-kisah Israiliyat ini besar sekali. 4. Pengaruh Israiliyat 44 Untuk mengetahui Iebih banyak mengenai contoh Israiliyat, lihat Dr. Muhanimad Abu Shihab, Al-Israiliyat Wa A1-Mawdhu‘at AI Kutub Al-Tasir, Maktabah Al-Sunnah, Kairo, 1408 H.



Sudah barang tentu, infiltrasi Israiliyat ke dalam penafsiran Al-Quran terutama yang bertentangan dengan prinsip asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Di antaranya adalah: 1; Merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Muqatil ataupun Ibn Jarir tentang kisah Nabi Dawud a.s. dengan istri panglima (Uria) dan kisah Nabi Muhammad dengan Zaynab binti Jahsyi, yang keduanya mendiskreditkan pribadi Nabi yang ma’shum serta menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual.45 2; Memberi kesan bahwa Islam itu agama khurafat, takhayul, dan menyesatkan. 46 Hal ini tampak pada riwayat Al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah: “... para malaikat pemikul ‘arsy dan yang di sekitarnya sama-sama bertasbih memuji Tuhannya...” (QS 40: 7) dengan mengatakan, ‘Kaki malaikat pemikul ‘arsy itu berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke ‘arsy.’47 3; Riwayat-riwayat tersebut hampir-hampir menghilangkan rasa kepercayaan pada sebagian ulama salaf, baik dan kalangan Sahabat Tabfin, seperti Abu Hurayrah, ‘Abd Allah ibn Salam dan Wahb ibn Munabbih.48 4; Mema1ingkan perhatian umat Islam dalam mengkaji soal-soal keilmuan Islam. Dengan larutnya umat Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-klsah Israiliyat, mereka tidak lagi antusias memikirkan hal-hal yang makro, seperti sibuk dengan nama dari anjing Ash hab Al-Kahfi, jenis kayu dan tongkat Nabi Musa as., nama binatang yang diikutSertan dalam perahu Nabi Nuh as., dan sebagainya. 49 di mana peninciafl itu tidak diutamakan dalam Al-Quran karena memang tidak bermanfaat. Sekiranya bermanfaat, Al-Quran tentu akan menjelaskannya. 50 Dan yang paling memprihatinkan ialah bahwa pengaruh Israiliyat dalam penafsiran Al-Quran menimbulkan sikap apriori peminat ilmu tafsir pada kitab tafsir, lantaran khawatir bahwa semua kitab itu berasal dan sumber yang sama.51 45 Al-Dzahabi. Al-Israiliyat. hlm. 48. 46 Ibid., hIm. 53. 47 Ibid., hlm. 53-54. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Qur ‘an. Dar Al-Kutub AI Arabi, Kairo, 1967, 1, hlm. 217. 48 Ibid.. hIm. 54. Bandingkan dengan lgnaz Goldziher, Madzahib Al-Tafsir Al-Islamiy, Maktab AI-Khanji, 1955. hlm. 87. 49 Al-Dzahabi, op.cit.,hal.55 50 Akhmad Syakir, Umdat Al Tafsir ‘an Hafizh Ibn Katsir. Dar Al-MA’ARIF, Mesir,1956 hlm 15-16 51 Al-Dzahabi, Al Tafsir ,1,hlm.178-179



5. Alternatif Pemecahan Masalah Untuk menghilangkan sikap apriori tersebut, maka dirasa perlu adanya langkah-langkah alternatif pemecahan masalah (problem solving) menghadapi realitas di atas. Paling tidak, pemecahan masalah tersebut mencakup pada dua masalah: 1. Untuk orang yang menqfsirkan Al-Quran Bagi orang yang hendak menafsirkan Al-Quran, maka yang harus diperhatikan adalah: a; Harus kritis dan selektif tenhadap riwayat Israiliyat, sehingga dapat mengkategorikan mana riwayat yang sesuai dengan ‘ruh’ Al-Quran. dan mana yang sesuai dengan kriteria periwayatan yang sah dan diterima oleh akal sehat,52 b; Riwayat yang sesuai dengan ‘ruh’ Al-Quran itu boleh diambil sekadarnya sesuai dengan kebutuhan, atau bisa dipakai sebagai argumentasi menghadapi ‘polemik’ yang dilancarkan kaum Yahudi dan Nasrani.53 c; Ke-mujmalan Al-Quran yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw. (berdasarkan hadis sahih) seperti putra yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Ismail as., maka tidak boleh bagi mufassir mencarinya lagi dari sumber Yahudi atau sumber lain yang pro Yahudi yang mengatakan bahwa putra Nabi Ibrahim a.s. yang dikorbankan adalah Nabi Ishaq a. s.54 d; Terhadap riwayat Israiliyat yang oleh Ibn Taymiyah. 55 dan Ibn Katsir termasuk dalam kategori maskut ‘anhu.56 sebaiknya dihindari, karena akan menimbulkan kesan seakanakan riwayat tersebut merupakan penjelas terhadap makna firman Allah SWT, atau merupakan pemerinci terhadap kemujmalannya.57 52 Al-Dzahabi, Al Israiliyat, hlm,277 53 Ibid, hlm.278 54 Al-Dzahabi, Al Israiliyat, hlm,277-278 55 Beliau adalah guru Ibn Katsir, nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abd Al-Halim’ bin Abd Al-Salam bin Abdullah bin Abi Qasim, Al-Harani Al-Dimasyqi Al-Hanbali, Abu Al’Abbas Taqiyuddin ibn Taymiyah (661-728 H/l263-1328 M). Lihat Khayr Al-Din, A1-A’Iam Qamus 56 Keduanya rnengklasifikasikan kisah Israilliyat menjadi tiga: Pertama, yang sesuai dengan ruh Al-Quran. Kedua, yang bertentangan dengan ,ruh Al-Quran. Ketiga, yang maskut ‘anhu (tidak dikomentari) atau hukumnya ,masih ditangguhkan. Lihat Ahmad Khalil, Dirasat fi Al_Qur an, hlm, 116; Al—Dzahabi, icc. cit.. hIm. 89-90, 57 A1-Dzahabi, icc. cit.. hlm 281; Ahmad Syakir, op. cit, hIm. 16.



2. Menyeleksi kitab-kitab tafsir dari pengaruh atau susupan kisah Israiliyat yang berbahaya Langkah ini sebenarnya berat sekali untuk kita kerjakan. Oleh karena itu kami mencoba menyederhanakan permasalahan bahwa langkah ini bukan bermaksud melenyapkan atau mengecilkan arti kitab-kitab tafsir yang ada, apalagi kitab tafsir tersebut merupakan khazanah intelektual ulama yang mengangkat harga diri Islam dalam pentas sejarah. Dan sampai sekarang kitab tersebut terus menjadi rujukan para ulama dan pemikir Islam tatkala menghadapi kemusykilan tentang arti ayat atau kandungannya. Dan bahkan belum kita jumpai seorang ulama yang mampu menulis sebuah tafsir Al-Quran tanpa merujuk kepada pendapat para ulama terdahulu. Namun, kita juga menyadari bahwa apa yang terdapat dalam kitab tafsir itu bukan sesuatu yang sakral, yang luput dari kesalahan sesuai dengan kedhaifan manusia, mereka adalah manusia biasa, tidak ma’shum, dan berkemungkinan berbuat kesalahan juga. Hanya mereka telah mengerahkan segala kemampuannya lahir batin (ber ijtihad) terhadap disiplin ilmu yang digelutinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Abdullah Al-Saman dalam buku Nahwu wa Al-Qur’an:58 Memang benar bahwa tafsir-tafsir itu telah memberikan sumbangan yang banyak sekali terhadap ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu-ilmu bahasa Arab, yang paling utama di antaranya adalah tauhid, fiqih, hadis, dan bahasa. Dan memang benar pula bahwa mereka yang tampil dan terjun menafsirkan Al-Quran adalah orang-orang yang alim yang mempunyai kedudukan terpandang pada masanya. Namun demikian, hal ini tidaklah menghalangi’ kemungkinan diperbaharuinya penelitian terhadap pendapat mereka pada masa yang manapun, untuk diambil pendapat yang memang perlu diambil, dan untuk menolak pendapat yang memang perlu ditolak.. Kalau kita sudah merasa ‘sreg’ mempunyai celah-celah untuk menyeleksi kitab.kitab tafsir yang ‘kesusupan’ kisah Israiliyat yang berbahaya itu, pertanyaan selanjutnya adalah mampukah kita melakukan hal itu? Sebab paling tidak, kita harus memiliki hal-hal berikut ini. Pertama, Kita memiliki kemauan yang kuat, keinsafan, kesadaran dan itikad yang baik untuk melangkah pada yang terbaik.



58 Abdullah A1-Saman,Nahwu wa Al-Qur‘an. Silsilah Al- Tsaqafah AI-lslamiyah, Kairo, 1964, hIm’44-45.



Kedua, kita mempunyai kemampuan yang tinggi, baik intelektualitas dalam arti mampu berijtihad dengan persyaratan yang telah disepakati ulama salaf atau khalaf—maupun finansial yang tidak sedikit jumlahnya. Ketiga, kita memiliki kesempatan dalam arti perlu waktu yang relatif lama dan ketekunan yang tinggi. Di samping itu, harus ada pengakuan dari Dunia Islam. Menurut hemat penulis, langkah-langkah inovatif di atas bisa dilakukan dengan cara ,Itihad jama‘ty (ijtihad kolektif) cendikiawan Muslim seluruh dunia. Oleh karena itu perlu koordinasi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang bertaraf intemasional seperti: Majlis A’la ‘Alam Islami (MAT), Rabithah ‘Alam Islami (RAT), Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan lain-lain. Di antaranya dengan langkah berikut: 1; Masing-masing negeri Islam diserahi sejumlah kitab tafsir dengan menugaskan para ahlinya untuk mensterilkan tafsir tersebut dari kisah Israiliyat yang bath, kemudian kitab yang telah disteril tersebut dicetak dengan biaya negeri itu sendiri atau bekerja sama dengan Badan Internasional Islam yang ada.59 2; Para ahli di masing-masing negeri Islam diserahi tugas untuk memberi komentar dan penilaian terhadap berbagai kitab tafsir dengan memberikan pernilaian terhadap riwayat Israiliyat yang ada dalam kitab tersebut, kemudian hasilnya diseminarkan di majma’ albuhuts pada waktu yang telah ditentukan. Kemudian hasil seminar tersebut dicetak dengan pembiayaan seperti cara yang disebutkan di atas.60 3; Menyerahi sekelompok ulama pakar tafsir untuk menulis tafsir Al-Quran yang ‘bersih’ dan Israiliyat atau riwayat batil, kemudian mempublikasikannya ke seluruh dunia. 4; Membentuk komite khusus yang terdiri atas para ahli yang andal dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir untuk mengadakan studi secara intensif dan komprehensif terhadap kitabkitab tafsir dengan menyingkap riwayat-riwayat Israliliyat secara objektif, argumentatif kemudian hasil studi tersebut diterbitkan dalam suatu edisi khusus dengan pembiayaan seperti di atas. Kemudian kitab tersebut dipublikasikan ke seluruh dunia. Langkah ini tampaknya agak praksis dan Iebih memungkinkan Untuk dilaksanakan.



59 KeIemahannya adalah, akan membuang sebagian isinya yang akan mengurangi prestise kitab tafsir sebagai khazanaI lntelektual Muslim, dan dokumen historis, 60 Langkah ini tidak mengurangi, nilai-niIai hystoris, namun memerlukan tenaga dan dana Yang tidak sedikit



C. Kesimpulan Pertama, Israiliyat adalah riwayat yang menyerap ke dalam tafsir atau hadis yang bersumber dari Yahudi atau Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak. Kedua, munculnya Israiliyat tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab praIslam yang telah lama berinteraksi dengan budaya Yahudi. Selanjutnya Nabi sendiri memberi ‘lampu hijau’ untuk meriwayatkan sesuatu dari Ahli Kitab. Oleh karena itu, tidak semua Israiliyat mengandung hal yang batil. Ketiga, berkembangnya Israiliyat mulai pada era sahabat dan tabi’in Namun disayangkan, pada era ini banyak periwayatan yang tidak dibarengi dengan aspek metodologisnya, sehingga tidak jarang terjadi penyerapan Israiliyat yang berbahaya (batil). Oleh karena itu, perlu dicarikan langkah - langkah pemecahan yang mungkin dapat dilaksanakan. Keempat, langkah alternatif bagi pemecahan di atas, dilaksanakan oleh orang yang hendak menafsirkan Al-Quran, atau dengan cara menyeleksi kitab-kitab tafsir dan pengaruh Israiliyat yang berbahaya itu.



DAFTAR PUSTAKA AI-Ghilayani Mushthafa, 1989, Jami Al-Durus Al ‘Arabiyyah, Maktabah ‘Ashriyah, Beirut. Al-Husayni Khalaf Muhammad, 1964, Al-Yahudiyah bayn Al-Masihiyah wa Al-Islam, AI-Mu’as sasah Al-Mishriyyah, Mesir. Al-Dzahabi Muhammad Husayn, 1976, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Dar Al-Kutub AI-Hadits, Mesir.



-----------------1971, Israiliyyat At-Tafsir wa Al-Hadits, Majma’ AI-Buhuts AI-IsIamiyyah, Kairo. Abu Shihab Dr. Muhanimad , 1408 H, Al-Israiliyat Wa A1-Mawdhu‘at AI Kutub Al-Tasir, Maktabah Al-Sunnah, Kairo. Al-Qurthubi, 1967. Al-Jami li Ahkam Al-Qur ‘an. Dar Al-Kutub AI Arabi, Kairo. Al-Qattan Manna' Khalil, 2007, Studi Ilmu-ilmu Al-qur'an, Diterjemahkan oleh Mudzakir A.S., Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor. A1-Saman Abdullah, 1964, Nahwu wa Al-Qur‘an. Silsilah Al- Tsaqafah AI-lslamiyah, Kairo. Hanafi. Hasan Prof. Dr, 1989. Al-Yamin wa AI-Yasarfi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuli, Mesir. Khalil. Ahmad, Dr. S. 1972, Dirasat fi Al-Qur’an. Dar Al- Ma’arif, Mesir Khuli Amin, 1961, Manahij Al- Tajdid. Dar AI-Ma’rjfah, Kairo. Syakir Akhmad, ,1 956, Umdat Al Tafsir ‘an Hafizh Ibn Katsir. Dar Al-Ma'arif, Mesir. Shihab Quraish, 1992, “Membumikan”Al-Quran, Mizan, Bandung. Wajd Muhammad Faridi, 1964, Da ‘irah Al-Ma ‘arif , Beirut. .