Jurnal Dispepsia Fungsional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Continuing Medical Education



The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia Ahmed Madisch, Viola Andresen, Paul Enck, Joachim Labenz, Thomas Frieling, Michael Schemann



RINGKASAN Latar belakang : Dispesia fungsional merupakan salah satu penyakit fungsional yang sering dengan prevalensi 10 – 20 %, mengenai traktus gastrointestinal. Metode : Artikel ini berdasarkan tinjauan publikasi yang diseleksi dari PubMed dengan perhatian spesial terhadap artikel uji kontrol, pedoman klinis dan review artikel. Hasil: Gejala dispepsia fungsional yang khas adalah nyeri epigastrik, sensasi tekanan dan penuh pada epigastrium, mual, dan rasa cepat kenyang. Etiologi gangguan ini heterogen dan multifaktorial. Penyebabnya meliputi gangguan motilitas, hipersensitivitas visceral, permeabilitas mukosa yang meningkat, dan gangguan sistem saraf otonom dan enterik. Belum ada pengobatan secara kausal untuk dispepsia fungsional. Penanganannya harus dimulai dengan edukasi intensif pasien mengenai sifat gangguan yang jinak dan dengan pembentukan pakta terapeutik menegnai pengobatan jangka panjang. Karena tidak adanya pengobatan secara kausal, maka obat-obatan untuk mengobati dispepsia fungsional harus diberikan tidak lebih dari 8-12 minggu. Obat Proton-pump Inhibitor, fitoterapi, dan eradikasi Helicobacter pylori merupakan pengobatan yang berbasis bukti. Untuk kasus-kasus berat, antidepresan trisiklik dan psikoterapi adalah pilihan pengobatan yang lebih efektif. Kesimpulan: Gangguan kualitas hidup pasien dengan dispepsia fungsional menandakan perlunya penegakan diagnosis yang pasti yang diikuti dengan pemberian pengobatan simtomatik selama fase simtomatik .



PENDAHULUAN Istilah dispepsia berasal dari bahasa Yunani “dys” [buruk], “pepsis” [pencernaan]) digunakan untuk spektrum gejala yang terlokalisis pada daerah epigastrium (antara pusar dan proses xiphoideus) dan pelvis. Gejalanya yaitu nyeri epigastrium dan rasa terbakar (60 hingga 70%), perasaan kembung setelah makan (80%), rasa cepat kenyang (60 hingga 70%), distensi di daerah epigastrium (80%), Mual (60%), dan muntah (40%). Gejala dispepsia dapat bersifat akut misalnya pada gastroenteritis atau kronis. Untuk kasus lebih lanjut, bisa didasari dari kelainan organik, seperti ulkus, refluks, penyakit pankreas, penyakit jantung dan otot atau faktor-faktor fungsional lain mungkin bertanggung jawab. Pada pemeriksaan diagnostik, 20 hingga 30% pasien dengan dispepsia ditemukan memiliki penyakit lain yang mencetuskan gejala-gejalanya (1, 2). Dispepsia fungsional (sinonim: sindrom lambung iritasi) muncul setiap kali dilakukan pemeriksaan diagnostik rutin dan endoskopi tidak mengidentifikasi adanya kelainan struktural atau biokimia (1-6). Temuan seperti batu empedu, hiatus hernia, erosi gaster, atau "gastritis" tidak serta merta menjelaskan gejalanya dan dengan demikian tidak bertentangan dengan diagnosis dispepsia fungsional. Terhadap latar belakang pengalaman profesional kami, kami melakukan pencarian selektif literatur di PubMed. Kriteria inklusi, yaitu sebagai berikut:  Teks lengkap dalam bahasa Inggris atau Jerman.  Jenis studi: "uji klinis," "uji klinis terkontrol secara acak," "meta analisis," "Tinjauan sistematis”, "" pedoman praktik klinik, "" pedoman, "" Tinjauan pustaka”. Target Pembelajaran. Setelah menyelesaikan artikel ini, pembaca harus:  Mengetahui definis dispepsia fungsional sesuai dengan pedoman saat ini.  Memahami kriteria manifestasi klinis dispepsia fungsional.  Mampu melakukan langkah-langkah umum penatalaksanaan primer dan telah memperoleh pengetahuan tentang pilihan penatalaksanaan medis yang terbukti efektif terhadap dispepsia fungsional.



Definisi dispepsia fungsional Menurut kriteria Roma IV yang baru-baru ini direvisi (1), dispepsia fungsional didefinisikan:  Dispepsia persisten atau berulang selama lebih dari 3 bulan dalam 6 bulan terakhir.  Tidak ditemukan penyebab organik dari pemeriksaan endoskopi.  Tidak ada tanda bahwa gejala dispepsia hanya berkurang setelah buang air besar atau hubungannya dengan feses iregulitas. Kriteria terakhir ini diperkenalkan untuk menyingkirkan diagnosis Irritable Bowel Syndrome (IBS) dengan gejala yang sama, meskipun sekitar 30% pasien dengan dispepsia fungsional juga memiliki IBS. Kriteria Roma IV saat ini (1) membagi dispepsia fungsional menjadi dua subkelompok sesuai dengan gejala cardinal (Gambar 1):  Sindrom nyeri epigastrium (EPS) – Gejala dominan nyeri atau sensasi terbakar pada epigastrium.  Postprandial distress syndrome (PDS) — Gejala dominan rasa penuh pada epigastrium atau rasa cepat kenyang.



Gambar 1. Definisi Dispepsia Fungsional Berdasarkan Kriteria Rome IV (1)



Epidemiologi dan Riwayat Alami Penyakit Gejala dispepsia umum dan mengakibatkan banyak dampak langsung, seperti kunjungan ke dokter, obat-obatan, dll dan juga khususnya biaya tidak langsung (cuti kerja) (3). Sekitar 18 hingga 20% orang Jerman mengeluh perut kembung, mulas, dan diare (6). Dalam prospektif Studi Surveilans Gastro Enterologi Internasional (DIGEST), survei terhadap lebih dari 5500 orang menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari orang normal yang diwawancarai melaporkan gejala dispepsia, termasuk dispepsia akut sebesar 6,5% dan dispepsia kronis sebesar 22,5% kasus (7, 8). Hanya 10 hingga 25% dampak sosial dari gejala yang dirasakan cukup besar bagi mereka untuk berkonsultasi dengan dokter (3). Namun, seperti halnya penelitian Anglo-Amerika, Dispepsia mengambil biaya sebesar beberapa miliar EUR setiap tahun. Biaya-biaya ini bisa langsung disebabkan oleh tuntutan layanan kesehatan, atau tidak langsung, melalui cuti dan pensiun dini (7, 9). Penyakit ini menampilkan perjalanan periodik, fase dengan sedikit atau tanpa gejala bergantian dengan periode keluhan intensif. Hanya 20% pasien dengan dispepsia fungsional yang pernah bebas dari gejala dalam jangka panjang (1, 2, 5, 6) Patogenesis Dispepsia Fungsional Penyebab dispepsia fungsional heterogen dan multifaktorial. Dalam beberapa dekade terakhir banyak penelitian patofisiologis sistematis yang membandingkan pasien dispepsia fungsional dengan populasi sehat , hasilnya menunjukkan bahwa dispepsia fungsional adalah gangguan organik meskipun faktor patofisiologis yang relevan dibahas lebih lanjut dari artikel ini saat ini, namun masih tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinis rutin (5, 10-13). Dispepsia gangguan



motilitas, disfungsi



sensorimotor



yang dihubungkan



termasuk dengan



hipersensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan kimia, aktivasi imun, peningkatan permeabilitas mukosa di usus kecil proksimal, dan gangguan sistem saraf otonom dan enterik (Tabel 1) (12) Seperti halnya banyak penyakit, hubungan sebab akibat antara perkembangan gejala dan gangguan organik belum diklarifikasi. Kelainan tidak terjadi pada semua pasien dan bahwa perubahan



motilitas dan sensitivitas tidak terbatas pada lambung. Selain itu, tidak ada penelitian yang dilakukan untuk menentukan faktor mana yang terjadi bersama atau terpisah satu sama lain. Tabel 1 . Kelainan Fungsional dan Patofisiologinya pada Dispepsia Fungsional



Pasien dengan dispepsia fungsional mengalami gangguan akomodasi pada gaster proksimal baik setelah dilatasi pada lambung maupun setelah makan (14). Hal ini ditunjukkan dalam kedua kasus dengan relaksasi fundus yang tidak adekuat. Hasilnya adalah didapatkan distribusi dispropional isi lambung dengan volume antrum lebih besar daripada di fundus (15). Tingkat ekspansi antrum telah ditemukan terkait dengan peningkatan keparahan gejala (skor total dari gejala kejenuhan awal, nyeri epigastrium, kembung, dan mual atau muntah) (14, 15). Selain itu, pasien dengan dispepsia fungsional juga menunjukkan relaksasi fundus yang terganggu setelah ekspansi duodenum (16). Baik dengan perut kosong atau setelah makan, pasien dengan dispepsia fungsional menderita hipersensitivitas visceral ketika fundus lambung mengalami ekspansi (17, 18). Proporsi pasien yang ditemukan memiliki



hipersensitivitas ini tergantung pada kriteria diagnostik dan pada apakah hipersensitivitas didefinisikan sebagai proyeksi nyeri abnormal, allodynia, dan / atau hiperalgesia. Dalam setiap kasus hipersensitivitas berhubungan dengan keparahan gejala (19). Bahkan pasien dengan akomodasi fundus normal dapat bereaksi secara hipersensitif terhadap ekspansi lambung (20), dan beberapa pasien dengan dispepsia fungsional juga bereaksi terhadap ekspansi duodenum, jejunum, atau rektum (21). Temuan ini menunjuk ke generalisasi daripada sensitisasi visceral lokal dari nervus enterik eferen atau aferen atau saraf sensorik yang menghubungkan usus dengan sistem saraf pusat (sumbu GIT-otak). Hipersensitivitas setelah ekspansi lambung diperbaiki dengan menghambat tonus kolinergik tetapi tidak dengan relaksasi otot aktif melalui nitrogliserin NO (22). Hal ini menunjukkan adanya peran dominan dari persarafan enterik kolinergik dari asal hipersensitivitas. Gejala dispepsia fungsional muncul setelah injeksi asam ke dalam duodenum (23) dan mungkin akibat dari sensor peka pH atau pemindahan asam yang tidak memadai karena gangguan fungsi motorik duodenum proksimal (24). Ini sesuai dengan sensitivitas yang meningkat terhadap capsaicin (25). Capsaicin adalah agonis TRPV1 (reseptor transien potensial saluran subfamili anggota V 1) yang distimulasi oleh di antara faktor-faktor lain yaitu penurunan pH. Adanya lemak dalam duodenum memicu gejala dispepsia fungsional akibat aksi saraf langsung, peningkatan sensitivitas sel enteroendokrin, peningkatan konsentrasi kolesistokinin sistemik atau lokal, dan / atau peningkatan sensitivitas reseptor kolesistokinin-A (26). Peran Faktor Mental dalam Patogenesis Meskipun dispepsia fungsional berbeda dari IBS (27), selain faktor mental dalam patogenesis, diagnosis, dan pengobatan ada lebih banyak kesamaan daripada perbedaan antara kedua penyakit. Pada skala tes psikometri, pasien dengan dispepsia fungsional memiliki skor lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki gejala gastrointestinal untuk depresi, kecemasan, dan somatisasi yang lebih kuat terkait dengan penurunan kualitas hidup daripada gejala klinis itu sendiri



(13). Hal ini menunjuk pada pemrosesan sentral dari rangsangan visceral yang “patologis”, misalnya, meningkatkan kewaspadaan sensasi spesifik dari saluran pencernaan. Peningkatan kewaspadaan ini dapat timbul dalam konteks sensitisasi pasca infeksi. Hubungan yang sering antara dispepsia fungsional dengan penyakitpenyakit usus dan ekstraintestinal lainnya juga mengindikasikan suatu “gangguan somatisasi” yang serupa dengan IBS. Faktor-faktor biopsikososial yang mungkin ini ditampilkan sebagai kategori berbeda pada Tabel 1. Konfirmasi Dispepsia Fungsional Konfirmasi diagnosis dispepsia fungsional berdasar pada :  Gejala tipikal dan riwayat pasien.  Eksklusi penyakit saluran pencernaan bagian atas lain yang mungkin memiliki gejala yan sama dengan dispepsia (1, 4, 6). Gejala yang menyertai nongastrointestinal adalah gejala vegetatif umum seperti pengeluaran keringat meningkat, nyeri kepala, gangguan tidur, ketegangan otot, gejala jantung fungsional, dan iritabel kandung kemih. Saat ditanyai, pasien biasanya melaporkan riwayat keluhan yang panjang, gejala bervariasi tanpa perkembangan yang jelas, nyeri difus lokasi bervariasi, tidak adanya penurunan berat badan, dan ketergantungan gejala pada stres. Satu-satunya instrument pemeriksaan diagnostik yang dianggap cukup akurat adalah esophagogtroduodenoscopy termasuk untuk pemeriksaan Helicobacter pylori, selain itu ultrasonografi abdomen disertai dengan adanya gejala tambahan IBS dengan pemeriksaan endoskopi colon. Pemeriksaan ini diindikasikan dalam kasus-kasus di mana riwayat medis dan gejala tipikal dan tes laboratorium awal seperti blood count, elektrolit, dan fungsi hati dan ginjal, serta laju sedimentasi eritrosit atau CRP dan parameter tiroid eral dalam rentang normal (Gambar 2) (1, 28).



Gambar 2. Prosedur Diagnostik Pasien Dispepsia (1, 28). H.p., Helicobacter pylori; EGD, Esophagogastroduodenoscopy. Pada pasien yang gagal berespon dengan pengobatan, prosedur diagnostik khusus harus dilakukan. Adanya gejala refluks yang menyertai, pemantauan 24 jam pH esofagus / impedans mungkin bermanfaat (29). C breath tests dan skintigrafi pengosongan lambung dapat mendeteksi gangguan pengosongan lambung atau gastroparesis. Pada kasus dengan gejala perut kembung berat, dilkaukan breath tests lebih lanjut untuk intoleransi karbohidrat dan kolonisasi bakteri abnormal mungkin berguna. Pasien dengan gejala yang tidak berespon dengan pengobatan harus dilakukan skrining gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan stres (13, 3032). Pemeriksaan diagnostik sering mengungkapkan temuan yang dikaitkan secara endoskopi, dan juga secara histologis mengarah ke gastritis. Pasien yang benarbenar mengalami dispepsia fungsional sering ditegakkan diagnosisnya dengan "gastritis" berdasarkan hasil endoskopi dan histologis. Istilah "gastritis" sebagai diagnosis klinis harus dihindari dalam mendukung dispepsia fungsional, terutama karena temuan endoskopi dan histologis gastritis tidak sesuai dengan gejala pasien



(13, 33). Investigasi dan konfirmasi diagnostik yang tepat tidak boleh diikuti dengan pemeriksaan berulang. Hanya jika gejalanya berubah atau dalam kasus refraktori maka perlu dilakukan evaluasi ulang atau pemeriksaan lanjutan yang diperlukan. Pilihan Pengobatan untuk Dispepsia Fungsional Ukuran Umum Ketika dispepsia fungsional telah dikonfirmasi, salah satu pengobatan pertama adalah edukasi pasien lengkap mulai dari diagnosis dan konsekuensinya (28, 34). Sangat penting untuk keberhasilan pengobatan menjelaskan esensi diagnosis kepada pasien secara sederhana, komprehensif, dan menekankan bahwa dispepsia fungsional adalah penyakit jinak tetapi organik yang mungkin timbul dari berbagai gangguan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, pasien harus diinformasikan tentang pilihan pengoabatan. Tindakan umum non medisinal berikut saat ini direkomendasikan, meskipun kemanjurannya belum teruji secara klinis (34):  Penjelasan tentang diagnosis dengan interpretasi temuan yang ada (yakinkan bahwa gejalanya tidak disebabkan oleh kanker).  Penjelasan tentang sifat dan penyebab gejala.  Resolusi konflik dalam domain psikososial.  Mendorong pasien untuk bertanggung jawab.  Latihan relaksasi.  Aliansi pengobatan untuk perawatan jangka panjang.  Pilihan psikoterapi. Diet hanya memainkan peran kecil dalam pengobatan dispepsia fungsional. Pasien harus memperhatikan makanan apa yang tidak bisa dia toleransi dan harus dihindari. Untuk tujuan ini, bisa menyimpan buku harian gejala, terutama dalam fase diagnostik. Makan teratur, menghindari makan terlalu banyak, mengunyah lama dan tidak terburu-buru adalah rekomendasi umum yang juga dapat membantu pengobatan dispepsia fungsional.



Pengobatan Medisinalis Pengobatan medis dianjurkan sebagai tindakan suportif dalam interval simtomatik (1, 4-6, 10, 13). Karena tidak adanya terapi kausal, maka durasi pengobatan dibatasi (mis., Periode 8-12 minggu) dan selalu berorientasi pada gejala utama, terutama karena tingkat keberhasilan plasebo bisa sangat tinggi yaitu hingga 60%. Pasien menyetujui tujuan perawatan yang realistis dengan penekanan pada pengurangan gejala dengan aplikasi sistematis dari berbagai pilihan pengobatan. Berikut ini kategori pengobatan medis dan nonmedisinal berbasis bukti : (lihat Gambar 3 untuk algoritma pengobatan):  Proton pump inhibitors  Pengobatan eradiksi Helicobacter pylori  Phytotherapy  Antidepressants  Psychotherapy



Gambar 3. Algoritma Pengobatan Dispepsia Termodifikasi (1)



Obat Penekan Asam Lambung Sejumlah uji coba terkontrol multinasional acak dari proton pump inhibitors (PPI) telah menunjukkan dampak signifikan terhadap pengoabatan dispepsia fungsional dibandingkan dengan plasebo (35). Satu meta-analisis menunjukkan dampak pemberian PPI 10 hingga 20% lebih tinggi daripada plasebo (RRR 10,3%; interval kepercayaan 95% [2,7; 17,3]) dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati (NNT) yaitu 14,7 pasien (35) . Dalam analisis subkelompok dampak pemberian PPI terbatas pada sindrom nyeri epigastrium (RRR 12,8% [1,8; 34,3]) atau gejala dispepsia dengan refluks yang menyertainya (RRR 19,7% [1,8; 34,3]), sedangkan gejala dismotilitas pada sindrom dispepsia postprandial tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian PPI (RRR 5,1% [10,9; 18,7]), untuk itu perlu diberikan pendekatan terapi yang berbeda (1, 28, 35). Meskipun data penelitian positif, pemberian PPI belum disetujui sebagai pengobatan dispepsia fungsional di Jerman. Dalam konteks diskusi publik baru-baru ini mengenai efek samping potensial PPI, dapat dinyatakan bahwa ketika diberikan sesuai dengan indikasi obat maka PPI sangat aman, terutama karena PPI tidak diberikan untuk pengobatan jangka panjang dispepsia fungsional ( 36) Eradikasi Helicobacter pylori pada Dispepsia Fungsional Dampak pengobatan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional telah menjadi subyek dari sejumlah uji klinis besar terkontrol plasebo. Meta analisis dari semua studi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan (OR 1,38 [1,18; 1,62]; p