K2 Geo Kota Pendekatan Ekologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Geografi Perkotaan Struktur Tata Ruang Kota : Pendekatan Ekologi Dosen Pengampu : Dra. Sri Agustin Sutrisnowati, M.Si.



Disusun Oleh : 1. Shinta Agis Setyani



(18405241001/A)



2. Siti Nur Naafiah



(18405241022/A)



3. As’ak Arif



(18405241035/A)



4. Barir Adzkiya



(18405244016/A)



Tahun Ajaran 2019/2020



Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta



Kata Pengantar Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin, rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul “Struktur Tata Ruang Kota : Pendekatan Ekologi” ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas untuk mata kuliah Geografi Perkotaan. Melalui makalah ini, kami berharap agar kami dan pembaca mampu mengenal lebih jauh mengenai struktur tata ruang perkotaan dengan pendekatan ekologi. Selama proses penulisan dan penyelesaian makalah ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dorongan yang tiada henti itu rasanya sulit bagi kami untuk menyelesaikannya. Untuk itu dalam sebuah karya yang sederhana ini kami menyampaikan terima kasih kepada: 1.



Ibu Dra Sri Agustin Sutrisnowati, M.Si selaku Dosen pengampu mata kuliah Geografi Perkotaan yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan dalam penyelesaian makalah ini.



2.



Bapak, Ibu, dan keluarga tercinta yang dengan penuh cinta dan kasih sayangnya telah banyak memberikan doa, dukungan dan motivasi secara materiil maupun moril guna kelancaran penyelesaian makalah ini.



3.



Dan rekan-rekan seperjuangan Pendidikan Geografi Angkatan 2018, terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian semua. Semoga amal, bantuan bimbingan dan doa yang telah diberikan, mendapat balasan dari



Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat di harapkan demi kesempurnaan makalah ini. akhirnya penulis berharap semoga apa yang telah penulis selesaikan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



Yogyakarta, 7 Februari 2020



ii



Daftar Isi Halaman Judul..................................................................................................................... i Kata Pengantar..................................................................................................................... ii Daftar Isi.............................................................................................................................. iii Daftar Gambar..................................................................................................................... iv Bab I Pendahuluan............................................................................................................... 1 A. Latarbelakang Masalah................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 1 C. Tujuan............................................................................................................................. 2 Bab II Pembahasan.............................................................................................................. 3 A. Definisi dari struktur tata ruang dengan pendekatan ekologi......................................... 3 B. Teori Struktur tata ruang kota dengan pendekatan ekologi............................................ 3 a) Teori Konsentris...................................................................................................... 4 b) Teori Ketinggian Bangunan..................................................................................... 9 c) Teori Sektor............................................................................................................. 12 d) Teori Konsektoral : Tipe Eropa............................................................................... 16 e) Teori Konsektoral : Tipe Amerika Latin................................................................. 17 f) Teori Poros.............................................................................................................. 23 g) Teori Pusat Kegiatan Banyak.................................................................................. 24 h) Teori Ukuran Kota................................................................................................... 30 i) Teori Historis........................................................................................................... 31 j) Teori struktural........................................................................................................ 32 Bab III Penutup.................................................................................................................... 33 A. Kesimpulan..................................................................................................................... 33 B. Saran............................................................................................................................... 33 Daftar Pustaka...................................................................................................................... 34



iii



Daftar Gambar



Gambar 1.1 Teori Konsentris oleh Burgess (1925)........................................................... 4 Gambar 1.2 Hubungan antara penggunaan lahan dan ketinggian bangunan..................... 10 Gambar 1.3 Hubungan antara penggunaan lahan dan ketinggian lebih detail................... 10 Gambar 1.4 Teori Sektoral oleh Hoyt (1930).................................................................... 13 Gambar 1.5 Teori Sektoral................................................................................................. 16 Gambar 1.6 Teori Konsektoral Tipe Eropa........................................................................ 17 Gambar 1.7 Struktur keruangan kota-kota di Amerika Latin............................................ 19 Gambar 1.8 Model Teori Poros (Babcock) 1932, Quoted from Brian Goodall, (1971).... 23 Gambar 1.9 Struktur keruangan teori kegiatan banyak / inti berganda.............................. 26 Gambar 1.10 Struktur Kota Menurut Teori Historis.......................................................... 32



iv



BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Suatu kota dengan segla aktivitas yang ada di dalamnya akan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Aktivitas sosial, ekonomi, budaya dan politik di suatu kota dapat mempengaruhi bentuk dan struktur kota yang telah lama terbentuk. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan membutuhkan lahan. Penggunaan lahan sangat perlu diperhatikan dalam pembentukan struktur tata ruang kota. Apabila suatu kota dibangun tanpa perencanaan yang baik maka penggunaan lahan tersebut secara langsung akan mengakibatkan perubahan bentuk dan struktur kota yang baru yang tentunya akan berpengaruh pada aktivitas dan aspek-aspek yang terdapat dalam kota tersebut. Perkotaan sebagai pusat permukiman dan pusat kegiatan terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah sekitar (hinterland) akan memiliki suatu struktur tata ruang tertentu dalam rangka penyesuaian terhadap fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan. Pertambahan penduduk di wilayah perkotaan yang terus meningkat



menimbulkan



permasalahan



dalam



pembangunan.



Selain



itu,



meningkatnya kebutuhan lahan, permukiman, perindustrian serta kegiatan lainnya. Penggunaan lahan akan semakin meningkat pula sehingga menimbulkan kerusakan pada lingkungan alam sekitar. Untuk itu dibutuhkan perencanaan tata ruang yang matang tidak hanya sebagai aspek procedural dalam penyelenggaraan pembangunan kota tetapi juga menunjang tercapainya berbagai tujuan pembangunan kota. Dengan mewujudkan mekanisme yang tepat dan efektif terutama dalam penggunaan lahan untuk kepentingan penduduk kota. Oleh karena itu, perencanaan kota B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan struktur tata ruang dengan pendekatan ekologi ? 2. Apa saja teori yang terdapat dalam struktur tata ruang dengan pendekatan ekologi ? 3. Bagaimana penjelasan dari teori-teori tersebut ?



C. Tujuan 1



1. Untuk mengetahui definisi dari struktur ruang dengan pendekatan ekologi. 2. Untuk megetahui teori yang terdapat dalam strktur tata ruang dengan pendekatan ekologi. 3. Untuk mengetahui penjelasan dari teori-teori yang terdapat dalam struktur tata ruang dengan pendekatan ekologi.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Struktur Tata Ruang Kota Pendekatan Ekologi Menurut Suparmini (2012 : 23) Kota merupakan pusat berbagai kegiatan, seperti kegiatan ekonomi, pemerintahan, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti ini umumnya dilakukan di daerah inti kota (core of city), dan disebut Daerah Pusat



Kegiatan (DPK), atau Central Business Districts



(CBD).DPK berkembang, terus meluas ke arah daerah di luarnya, terbentuk daerah Selaput Inti Kota. Adanya berbagai kegiatan di pusat kota, akan menimbulkan adanya pengelompokan (segregasi) dan penyebaran jenis-jenis kegiatan. Hal ini dipengaruhi oleh bebrapa faktor, seperti: a. Ketersediaan ruang dalam kota; b. Jenis-jenis kebutuhan warga kota; c. Tingkat teknologi yang ada; d. Perencanaan pembangunan perkotaan; e. Faktor geografis setempat. Mengingat kota yang mempunyai fungsi



sebagai pusat kegiatan,maka



penataan ruangnya harus melalui perencanaan yang cermat, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Perencanaan penataan ruang perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1) Aspek sosial seperti,kependudukan, sosial budaya, pendidikan, agama, status sosial, struktur sosial masyarakat; 2) Aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, produksi, perdagangan, pertambangan dll; 3) Aspek fisik seperti relief, tanah dll. (Suparmini, 2012 : 23). Menurut McKenzie (1925) dalam Yunus (2015 : 3) suatu studi hubungan spasial dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh



kekuatan, selektif, distributif dan akomodatif



daripada lingkungan.



3



B. Teori Struktur Tata Ruang Kota Dengan Pendekatan Ekologi 1. Teori Konsentris Menurut Yunus (2015 : 4-5) para pemerhati ekologi Chicago melihat adanya pola keteraturan dalam penggunaan lahan sebagai interaksi antara elemen-elemen yang terdapat di wilayah kota. Teori konsentris dikemukakan pertama kali oleh B.W Burgess pada tahun 1925. Menurut pengamatan dari Burgess, suatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masingmasing zona ini sekaligus mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda.



Gambar 1.1 Teori Konsentris oleh Burgess (1925) Dari gambar diatas terlihat bahwa dalam perkotaan terdiri dari 5 zona melingkar berlapis-lapis yang terdiri dari (1) daerah pusat kegiatan (central business district), (2) zona peralihan (transition zone), (3) zona permukiman para pekerja (zone of working men’s homes), (4) zona permukiman yang lebih baik (zone of better residences), dan (5) zona para penglaju (zone of commuters). Daerah pusat kegiatan (Central Business District) merupakan pusat kehidupan social, ekonomi, budaya dan politik dalam suatu kota sehingga pada zona ini terdapat bangunan utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pada zona ini memiliki aksesibilitas yang tinggi dan terdapat banyak pendatang. Banyaknya pendatang yang terdapat di CBD diakibatkan oleh adanya penduduk atau kegiatan yang terdapat pada zona tertentu mulai mengekspansi pengaruhnya di zona lain dan makin lama semakin mendominasi zona tersebut dan tergantikan oleh adanya pendatang. 4



 Deskripsi Anatomis Teori Konsentris Menurut Yunus (2015 : 9) sejalan dengan perkembangan masyarakat maka berkembang pula jumlah penduduk dan jumlah struktur yang dibutuhkan masyarakat dalam menunjang kehidupannya. Sementara itu, proses segregasi dan diferensiasi terus berjalan, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah. Daerah permukiman dan instusi akan berpindah dari zona satu ke zona lain secara sentrifugal dan business akan semakin terkonsentrasi pada lahan yang paling baik di kota atau dengan kata lain sektor berpotensi ekonomi kuat akan merebut lokasi strategis dan sector yang berpotensi skonomi lemah akan tersingkirkan ke lokasi yang aksesibilitasnya jauh lebih rendah dan kurang bernilai ekonomi (jelek). Menurut Burgess, apabila tidak ada counteracting factors (factor penangkal) terhadap proses ekologis yang berkembang, kotakota di Amerika akan terbentuk dalam 5 zona melingkar yang konsentris. Dengan



kata



lain,



apabila



lanskapnya



datar



sehingga



aksesibilitas



menunjukkan nilai sama ke segala penjuru dan persaingan bebas untuk mendapatkan ruang, maka penggunaan lahan sesuatu kota cenderung berbentuk konsentris dan berlapis-lapis mengelilingi titik pusat (Hebert, 1973). Karakteristik masing-masing zona dapat diuraikan sebagai berikut : 



Zona 1 : Daerah Pusat kegiatan (CBD) Daerah ini merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain



politik, sosial budaya, ekonomi, dan teknologi. Zona ini terdiri dari 2 bagian yaitu bagian paling inti (the heart of areas disebut RBD (Retail Business District). Kegiatan yang dominan di bagian ini antara lain department store, smartshops, office building, clubs, banks, hotels, theaters and headquarters of economic, social, civic and political life. Pada kota-kota yang relatif kecil hal tersebut tidak berfungsi sebagaimana mesti dan membaur satu dengan yang lain. Sedangkan pada kota yang besar sangat terlihat fungsinya dan menunjukkan diferensiasi yang nyata seperti perbankan, perbioskopan serta salon kecantikan, dll. Bagian luarnya disebut WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang besar seperti pasar, pergudangan (warehouse), gudang peyimpan barang supaya tahan lebih lama (storage building). 5



 Zona 2 : Zona Peralihan (TZ) Zona ini merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan yang terus-menerus semakin berkurang. Penyebabnya adalah adanya pembauran antara permukiman dengan bangunan yang bukan diperuntukkan untuk permukiman (gedung perkantoran,dll). Selain itu perdagangan dan industri ringan di zona 1 (CBD) banyak menggeser permukiman yang ada di zona ini.  Zona 3 : Zona Perumahan para pekerja yang bebas Zona ini paling banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja baik pekerja pabrik, industri dll. Diantaranya adalah pendatang-pendatang baru dari zona 2 yang menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Kondisi permukimannya lebih baik dibandingkan pada zona 2 meskupun sebagian besar penduduk termasuk ke dalam kategori (low medium status/ menengah ke bawah).  Zona 4 : Zona Permukiman yang lebih baik (ZBR) Zona ini dihuni oleh penduduk yang berstatus ekonomi menengah tinggi, walaupun tidak berstatus ekonomi sangat baik, namun mereka mengusahakan sendiri bisnis kecil-kecilan. Para professional, para pegawai dll. Kondisi ekonomi umumnya stabil sehingga lingkungan permukimannya menunjukkan derajat keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas permukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.  Zona 5 : Zona Para Penglaju Timbulnya



penglaju



merupakan



suatu



akibat



adanya



proses



desentralisasi permukiman sebagai dampak sekunder dari aplikasi teknilogi di bidang transportasi dan komunikasi. Di daerah pinggiran kota mulai bermunculan permukiman baru yang berkualitas tinggi. Kecenderungan penduduk yang oleh Turner (1970) disebut sebagai (status seeker) ini memang didorong oleh kondisi daerah asal yang dianggap tidak nyaman dan tertarik oleh kondisi lingkungan zona 5 yang lebih menjanjikan kenyamanan hidup.  Reaksi-reksi terhadap teori konsentis



6



Teori konsentris mendapatkan reaksi yang bermacam-macam dari para peneliti tetapi tidak semua bereaksi negatif atau menolak. Para peneliti terbagi dalam tiga golongan yaitu a. Kelompok yang sama sekali menolak teori konsentris Terdapat 4 alasan kelompok ini menolak teori konsentris ini yaitu -



Adanya pertentangan antara “gradeints” dengan “zonal boundaries” Kritik ini mulai timbul dari Davie (1937, 1961, 1966) yang menyatakan bahwa gambaran konsentris sempurna seperti itu tidak sesuai dengan kenyataan. Adanya gradasi perubahan variable-variabel dari pusat pusat kearah timur ternyata tidak jelas terlihat dari zona satu ke zona yang berikutnya. Kalau seandainya “zonal boundaries” itu betul mestinya batas antar zona dapat dilihat, dan dilacak dengan mudah. Menurut Davie (1937) dalam Yunus (2015 : ) ada 5 kenyataan yang tidak sesuai dengan teori konsentris yaitu:  Bentuk CBD mempunyai bentuk yang tidak teratur dan kebanyak berbentuk persegi panjang dan bukan bulat.  Penggunaan lahan perdagangan meluas dari CBD ke arah luar secara menjari searah dengan rute transortasi dan terkonsentrasi pada tempat-tempat yang strategis.  Industri-industri terletak dekat jalur transportasi baik transportasi air maupun jalur kereta api.  Perumahan kelas rendah juga dapat terletak pada daerah industry dan daerah rute transportasi.  Perumahan yang lebih baik dapat terdapat di setiap zona dan tidak selalu dekat dengan CBD malah kebanyakan berada dekat daerah industry dan pada lahan-lahan milik lembaga transportasi (Slums/squatter).



-



Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan Sanggahan pertama kali dikemukan oleh Hatt (1946)  Wilayah alami sebagai unit spasial yang dibatasi oleh batas-batas alami yang melingkupi populasi yang homogen dengan tatanan moral yang khas. 7



 Area alami sebagai unit spasial yang dihuni oleh populasi yang disatukan berdasarkan hubungan simbiosis Dalam kenyataannya bahwa keseragaman yang dikemukakan yang dikemukakan oleh Burgess terhadap populasi masing-masing zona tidak terlihat dan di dalam tiap zona justru terlihat variasi internal yang sangat besar. Dengan demikian, jastifikasi ekologis untuk mengenali larakteristik zona yang ada tidak dapat dipertanggungjawabkan dan perlu dicari kerangka pendekatan yang lain untuk mempelajari kehidupan perkotaan yang sangat kompleks. -



Skema yang anakronik/out of date Oleh karena itu pada dekade yang sama saja teorinya tidak dapat dipertahankan apalagi digunakan untuk menganalisis model keruangan kota di dunia dengan latarbelakang spasial dan temporal yang bervariasi.



-



Teorinya kurang bersifat universal Burgess dikemukakan bahwa teorinya hanya berlaku pada kota-kota industri di Amerika yang sedang berkembang dengan cepat, namun kenyataannya telah diangkat sebagai suatu dasar analisis untuk semua kota-kota secara umum. Berdasarkan kajian dari berbagai kota-kota lain, khususnya diluar Amerika, ternyata peranan kondisi politik, ekonomi, social, budaya, teknologi terhadap pembentukan pola keruangan kotanya sangat besar, sebagai contohnya kota-kota yang terdapat di Indonesia (khususnya kota-kota yang berlatar belakang kerajaan). Sanggahan terhadap teori dari Burgess ini didasarkan pada 2 landasan yaitu teori hanya berlaku pada kondisi yang sangat terbatas baik waktu, tempat dan kondisi



politik,



ekonomi,



social,



budaya



teknologi



tertentu,



ketidakcocokan antara ide zona yang ada dengan ide gradient. b. Kelompok yang menganggap bahwa teori konsentris masih lemah dan perlu menambahkan faktor-faktor lain Menurut Menurut Yunus (1999 : 16) beberapa ahli menganggap bahwa teori Burgess masih lemah dan memerlukan penambahan variabel. Meskipun lemah tetapi telah menggugah pihak-pihak lain untuk memikirkan serta mengembangkannya dan akan mendorong terciptanya teori-teori baru 8



mengenai pola penggunaan lahan kota yang diilhami oleh teori Burgess. Terdapat 7 jenis variabel yang dirasa cukup berbobot untuk pengenalan terhadap pola penggunaan lahan yaitu variabel building height, variabel sector, variabel transportasi, variabel nucleus, variabel size, variabel history dan variabel structure. Dari usulan variabel menghasilkan teori-teori baru sebagai penyempurna teori konsentris. c. Kelompok yang menyanjung bahwa untuk suatu teori yang umum, dan tercetus pertama perlu mendapat acungan jempol, dengan catatan bahwa proses historisnya dikesampingkan terlebih dahulu. 2. Teori Ketinggian Bangunan Menurut Yunus (2015 : 16-17) teori ini diusulkan oleh Bergel (1955) dengan memperhatikan variabel ketinggian bangunan (building height). Variabel ini memang menjadi perhatian yang cukup besar untuk negara maju, karena menyangkut antara hak seorang untuk menikmati sinar matahari, menikmati keindahan alam dari tempat tertentu batas kepadatan bangunan, kepadatan penghuni dan pemanfaatan lahan dengan aksesibilitas fisik yang tinggi. Dalam teori konsentris, kota hanya semata-mata dianggap sebagai dua dimensi, sedangkan secara vertikal tidak diperhatikan. Perluasan ruang secara vertikal, pada kenyataannya mampu mengakomodasikan kegiatan-kegiatan penduduk kota maupun ruang tinggal. Hubungan variasi kenginggian bangunan dnegan penggunaan lahan hendaknya diperhatikan pula dalam merumuskan pola pola penggunaan lahan yang tercipta.



9



Gambar 1.2 Hubungan antara penggunaan lahan dan ketinggian bangunan



Gambar 1.3 Hubungan antara penggunaan lahan dan ketinggian lebih detail Menurut Hendrojogi (2008 : 64-65) TB atau building elevated merupakan jumlah lantai penuh dalam satu bangunan dihitung mulai lantai dasar sampai puncak atap suatu bangunan, yang dinyatakan dalam meter; atau TB adalah angka yang membatasi ketinggian suatu bangunan yang dapat berupa lapis/tingkat bangunan, atau dalam satuan ketinggian (meter). Pengaturan ketinggian bangunan selain dapat membentuk terciptanya kesan 10



klimaks dan antiklimaks, juga bertujuan untuk menciptakan skyline kawasan, agar tercipta kesan dinamis. Kecenderungannya adalah makin dekat dengan pusat kota atau pusat kegiatan, maka bangunan akan semakin rapat dan tinggi, yang mencerminkan intensitas kegiatan yang kian tinggi pula. Pada prinsipnya, bangunan bertingkat hanya diizinkan pada penggunaan lahan yang menuntut intensitas penggunaan ruang yang tinggi, seperti lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa komersial. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengaturan dan pengendalian ketinggian bangunan adalah : • Daya dukung lahan, yakni kemampuan lahan di wilayah perencanaan dalam mendukung konstruksi bangunan-bangunan di atasnya. • Daya tampung lahan, yakni ketersediaan lahan yang terbatas di wilayah perencanaan, yang menuntut pembangunan fisik secara vertikal. • Faktor keselamatan terhadap bangunan dan pemakai bangunan itu sendiri. • Estetika kawasan dan lingkungan di sekitarnya. Pengaturan ketinggian bangunan diharapkan : • Terjadi pemanfaatan lahan secara optimal agar tercipta keamanan dan kenyamanan lingkungan. • Terjadi pembangunan yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lahan. • Landmark kawasan dapat menonjol. • Terjadi keserasian bangunan dan lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung menjelaskan bahwa ketinggian bangunan meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. Ketinggian bangunan tidak boleh mengganggu lalu lintas udara. Selain itu, penetapan ketinggian dan kepadatan bangunan harus mempertimbangkan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/ lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.



11



3. Teori Sektor Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor pertama kali dikemukakan oleh Hoyt (1939) dalam tesisnya berjudul “The Structure and Growth of residential neighbourhoods in American Cities”. Tulisannya tersebut adalah sebagai hasil penelitiannya mengenai pola pola sewa rumah tinggal di 25 kota kota di Amerika Serikat Dengan menuangkan hasil penelitiannya pada pola konsentris yang dikemukakan Burgess, ternyata pola sewa tempat tinggal pada kota kota di Amerika cenderung terbentuk sebagai “pattern of sectors” (pola sektor-sektor). Persebaran pola sewa terlihat sejalan dengan sektor-sektor tertentu dengan kekhasan tertentu. Hal ini yang menyebabkan terkenalnya teori Homer Hyot sebagai teori sector (Yunus, 2015: 20-23). Penelitiannya menemukan 10 kenampakan yang mempunyai peran sangat besar dalam pembentukan sektor permukiman bernilai tinggi, yaitu : •



HRRA cenderung berkembang dari titik titik tertentu menuju daerah lain sepanjang



jalur



komunikasi/transportasi



ke



arah



wilayah



pusat



perdagangan atau kompleks pertokoan •



HRRA berkembang pada daerah yang relatif lebih tinggi dari kanan kirinya,



bebas



dari



risiko



banjir



dan



dari



pencemaran



dan



pemandangannya indah •



HRRA cenderung berkembang ke arah bagian-bagian dari kota yang terbuka untuk pengembangan lebih lanjut dan tidak terdapat penghalang fisikal baik alami maupun artifisial.







HRRA cenderung berkembang ke arah tempat tinggal pemuka-pemuka masyarakat







HRRA cenderung berkembang ke arah komplek bangunan-bangunan perkantoran, bank, pertokoan yang tertata apik.







HRRA cenderung berkembang sepanjang jalur-jalur transportasi cepat yang ada







HRRA cenderung berkembang pada arah yang sama selama periode waktu yang lama.



12







HRRA yang berkualitas “luxurious” cenderung berkembang dekat dengan pusat-pusat kegiatan pada daerah permukiman lama







HRRA dapat berkembang ke arah yang sesuai dengan inisiatif promotor “real estate”







HRRA tidak berkembang acak-acakan tetapi berkembang mengikuti jalurjalur tertentu pada salah satu atau beberapa sektor dalam kota yang bersangkutan. Yang sangat pokok dari idenya adalah bahwa elemen arah (directorial



element) akan lebih menentukan penggunaan lahannya daripada elemen jarak (distance), sehingga struktur internal kotanya akan bersifat sektoral (Yunus, 2015: 24-25). Teori Sektoral (sektor theory) menurut Homer Hyot (1930). Menurut teori ini struktur ruang kota cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor daripada berdasarkan lingkaran-lingkaran konsentrik. DPK atau CBD terletak di pusat kota, namun pada bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang bentuknya menyerupai irisan, kue bolu. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor geografi seperti bentuklahan dan pengembangan jalan sebagai sarana komunikasi dan transportasi. (Maryani dan Waluya, 2008: 29).



Gambar 1.4 Teori Sektoral oleh Hoyt (1930) Menurut Homer Hyot, struktur ruang kota berkembang sebagai berikut. 1. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri atas bangunan bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan. 13



2. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan 3. Dekat pusat kota dan dekat sektor diatas yaitu bagian sebelah menyebelahnya terdapat sektor murbawisma yaitu tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh 4. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan terletak sektor madyawisma 5. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas. (Suparmini, 2012: 26-27) Teori sektoral berkembang dari kegiatan suatu kota yang berkembang di bagian-bagian tertentu. Dalam teori ini, pengelompokan penggunaan lahan kota dilakukan secara menjulur seperti irisan kue. Para ahli Geografi menyimpulkan bahwa pola persebaran sektoral sangat berhubungan dengan kondisi geografis kota dan rute transportasi. Di daerah datar, sangat mungkin dilakukan pembuatan jalan, rel kereta api, dan kanal dengan biaya murah. Pertimbangan ini membuat penggunaan lahan tertentu, seperti pembangunan kawasan industri dibangun memanjang. Wilayah kota dengan lereng tertentu menyebabkan pembangunan perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng. (Mintarjo dan Sulistyowati, 2018: 53). Hoyt meneliti kota Chicago dengan maksud mendalami ciri-ciri CBD yang menempati pusat kota; sehubungan itu ia berpendapat bahwa pengelompokan tata guna tanah menjulur seperti irisan kur tart . Bersama itu terjadilah perbedaan kawasan kota berdasarkan jenis pergedungan ataupun kelompok penduduk tanpa keterangan latar belakang kejadiannya. Hoyt menemukan bahwa pajak tanah dan bangunan berbeda-beda berdasarkan sektor-sektor kota, jadi tak berarti bahwa pajak tertinggi harus kedapatan di dekat pusat kota seperti halnya pada teori Burgess yang konsentris. Selanjutnya ditemukan pula bahwa makin ke dalam kota, dalam sektor yang sama, bangunan gedung atau atau perumahan makin kuno; juga bahwa makin ke pusat kota fungsi industri makin berkurang atau makin mengalami perubahan. Sebaliknya perindustrian berkembang pesat di pinggiran kota yang lebar sektornya memang membesar (Daldjoeni, 2014: 164-166).



14



Menurut Utami dan Kurniawati (2018: 24), Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris. 1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan. 2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan. 3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh. 4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma. 5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat. Hoyt



berkesimpulan



bahwa



proses



pertumbuhan



kota



lebih



berdasarkan sector sektor daripada sistem gelang atau melingkar sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang terletak di pusat kota. Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti irisan kue tar. Sebenarnya



teori



sektoral



merupakan



salah



satu



teori



yang



berhubungan dengan tata kota atau tata daerah. Menurut teori sektoral ini adalah unit- unit kegiatan di perkotaan tidak mengikuti zona- zona teratur secara konsentris, namun membantuk sektor- sektor yang memiliki sifat lebih bebas. Menurut teori ini, struktur ruang kota cenderung berkembang berdasarkan



sektor-



sektor



daripada



berdasarkan



lingkaran-lingkaran



konsentrik. Dalam teori ini, PDK atau Pusat Daerah Kegiatan atau yang biasa disebut dengan CBD (Central Bussiness District) berada di wilayah pusat kota, sementara di sekitarnya berkembang sektor- sektor lainnya, termasuk juga kawasan industri dan pemukiman penduduk, Pemukiman penduduk pun juga dibagi menjadi tiga golongan, yaitu kaum buruh, kaum menengah dan juga kaum elit. Asumsi Teori Sektoral 1. Daerah-daerah dengan harga jual atau sewa tanah tinggi biasanya terletak di luar kota 15



2. Daerah-daerah dengan harga jual atau sewa tanah rendah merupakan jalurjalur yang memanjang dari pusat ke perbatasan kota 3. Zona pusat sebagai daerah pusat kegiatan



Gambar 1.5 Teori Sektoral Susunan Ruang Kota Teori Sektoral 1. Zona I: Pusat Kota (Central District Business), meliputi perkantoran, pusat perbelanjaan, dan lain-lain 2. Zona 2: Daerah Manufaktur, terdapat Kawasan industri ringan dan perdagangan 3. Zona 3: Permukiman Kelas Rendah, berada di dekat pusat kota dan terdapat kawasan murbawisma (tempat tinggal kaum buruh) 4. Zona 4: Permukiman Kelas Menengah, berada agak jauh dari pusat kota atau sektor industri dan terdapat kawasan madyawisma (tempat tinggal kaum menengah) 5. Zona 5: Permukiman Kelas Atas, terdapat kawasan adiwisma (tempat tinggal kaum atas) 4. Teori Konsektoral : Tipe Eropa Validitas teori sektor yang dikemukakan oleh Hyot ternyata didukung alat Peter Mann (1965). Teori Hyot memang lebih dikenal sebagai “teori sektor”, walaupun pola konsentrisnya tidak hilang sama sekali karena 16



penonjolan persebaran sektoral dari penggunaan lahannya jauh lebih kuat daripada sifat konsentrisnya. Sementara itu Mann (1965) juga menggabungkan antara pandangan konsentris dan pandangan sekoral, namun penekanan konsentrisnya jauh lebih menonjol. Modelnya diciptakan atas dasar penelitannya pada kota-kota madya di Inggris.



Gambar 1.6 Teori Konsektoral Tipe Eropa Menurut Mann (1965) kota-kota di Inggris secara hipotesis menunjukkan diferensiasi penggunaan lahan yang cukup mencolok. Apabila arah angin regional yang dominan dari arah tertentu, maka pada bagian kotanya yang menghadap arah angina ini akan didominasi oleh klas permukiman yang lebih baik, sedangkan pada bagian belakangnya akan dihuni oleh klas permukiman yang jelek. Hal ini sangat berhubungan dengan kenyamanan tempat tinggal yang dikaitkan dengan “fresh air” yang “free from pollution” (Yunus, 2015: 31-33) 5. Teori Konsektoral : Tipe Amerika Latin Griffin-Ford (1980) dalam artikelnya Geographical Review, (1980: 70) menunjukkan model struktur keruangan internal untuk kota-kota di Amerika Latin. Oleh karena letak negara-negara Amerika Latin relatif dekat dengan negara



Amerika



Serikat,



maka



perkembangan



kota-kotanya



banyak 17



dipengaruhi oleh kota-kota di Amerika Serikat ini, seperti proses industrialisasi perkembangan CBD, perkembangan sistem transportasinya, besarnya jumlah migran ke kota-kota, munculnya golongan penduduk menengah yang besar dan meledaknya pemilikan mobil. Namun demikian karena negara-negara Amerika Latin mempunyai latar belakang historis, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi yang berbeda dengan apa yang terdapat di USA maka model organisasi keruangan penggunaan lahannya juga berbeda dan membentuk gambaran yang spesifik (Yunus, 2015: 34). Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan, dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut (Utami dan Kurniawati, 2018: 25). 1.5.1. Tinjauan Historis Kota-Kota Amerika Latin Yunus (2015: 25) menyampaikan bahwa negara-negara Amerika Latin dahulunya dijajah oleh Portugis dan Spanyol sehingga kota-kota yang terbentuk pada awalnya banyak mengacu pada perkembangan kota-kota di Spanyol dan Portugis. Ciri-ciri kota yang mengacu pada Spanyol dan Portugis : - Perancangan jaringan jalan dengan “grid pattern” yang mempunyai orientasi timur barat dan utara selatan - “Central plaza” berada ditengah-tengah jaringan jalan - Daerah yang berbatasan dengan “Central plaza” ditempati oleh bangunan khusus seperti gereja dan rumah orang kaya - Semakin ke arah luar maka status sosial ekonomi penduduk semakin menurun (distant decay principle) Kota-kota yang masih mengikuti corak tradisional ini memang menyulitkan daerah-daerah yang ada di sektor yang mengitarinya dan ini kebanyakan menandai kota-kotanya sampai 30-an. Setelah masa ini kota-kota di Amerika Latin mulai berkembang dan banyak dipengaruhi oleh “Anglo American Style”. Khususnya daerah CBD mengalami perubahan drastic dari bentuk-bentuk kuno menjadi bentuk-bentuk modern, seperti : jalan diperlebar, 18



bangunan kuno diganti baru, bangunan pencakar langit dikembangkan, “Shopping malls” dikembangkan, tempat hiburan, terminal, hotel, restaurant bermunculan. Perbedaan CBD di Amerika Latin dengan Amerika Serikat dan Kanada yaitu, industri yang ada di CBD Amerika Latin jenisnya tidak bervariasi karena persediaan air dan listrik yang terbatas menjadikan industri lain tidak memiliki kemungkinan untuk berkembang jika dibangun di CBD (Yunus, 2015: 36) 1.5.2. Diskripsi Anatomis Model Konsektoral : Tipe Amerika Latin



Gambar 1.7 Struktur keruangan kota-kota di Amerika Latin Yunus (2015: 38-42) menyampaikan keterangan model konsektoral Amerika Latin sebagai berikut: 1. Central Business Distrect Tempat utama untuk perdagangan, hiburan-hiburan dan lapangan pekerjaan yang ditunjang dengan sentralisasi sistem transportasi dan sebagian besar penduduk kota masih tinggal dibagian dalam kota. Daerah-daerah yang berbatasan dengan CBD masih banyak tempat yang longgar dan digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti pasar dan pertokoan masyarakat ekonomi rendah dan tempat tinggal imigran. 2. Zona Perdagangan (Commercial Spine/Sector) Jalur ini terletak menjari dari pusat kota (CBD) kearah luar dan dikelilingi oleh daerah permukiman elite. Pada dasarnya, sektor perdagangan 19



ini merupakan perluasan daripada CBD dan dizona ini terdapat banyak urban, fasilitas perkotaan, rumah-rumah penduduk kelas menengah-atas.



Dengan



demikian di zona ini banyak fasilitas berkelas tinggi seperti : major tee-lined boulevards, golf-courses, major parks, museiums, zoos, best theatres, restaurants, office buildings. 3. Zona permukiman kelas elite Zona permukiman kelas elite terletak di kanan kini zona perdagangan yang memanjang sampai daerah pinggiran kota. Peraturan “Zoning and land use control” berlaku sangat ketat disini. “Filtering down process” juga berlaku disini. Apabila golongan penduduk kelas tinggi pindah kea rah pinggiran kota untuk memperoleh tempat tinggal yang lebih modern dengan halaman yang lebih luas, maka rumah yang ditinggalkan akan diisi oleh golongan penduduk kelas dibawahnya. Gejala pertumbuhan golongan atas ini telah mendorong tumbuhnya banyak sekali perumahan yang cukup baik di daerah pinggiran kota. 4. “Zone of Maturity”/ Permukiman yang lanjut perkembangannya Zona ini termasuk daerah permukiman yang kondisinya cukup baik. Memang pada kota-kota yang sudah cukup tua, zona ini banyak mempunyai rumah-rumah tradisional dan fasilitas kota cukup lengkap. Penghunipenghuninya pada umumnya berusaha untuk meng-“upgrade” tempat tinggalnya, khususnya bagi mereka yang tidak mampu menjangkau permukiman kelas elite. Daerah ini ditandai penghuni-penghuni berumur lebih tua, jumlah anak lebih sedikit dibandingkan dengan daerah pinggiran. Pertumbuhan penduduknya relative lebih lambat dibandingkan dengan daerah pinggiran. 5. Zone of “in situ accreation” / daerah berkembang secara setempat Zona ini ditandai kualitas hunian yang sederhana, mulai menunjukkan gejala peralihan ke zona dewasa, zona ini juga dicirikan variasi tipe dan ukuran hunian sehingga tercipta kesan kompleks perumahan yang semrawut,



20



pembangunan perumahan dan lingkungan sangat dinamis dan cepat, fasilitas permukimannya tidak selengkap zona 4. 6. Zone of Peripheral Squatter Settlements / permukiman liar Daerah ini merupakan daerah yang paling buruk kondisi perumahan dan fasilitasnya. Para migran pada umumnya menuju daerah ini yang hanya menuntut biaya akomodasi jauh lebih murah dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Kehidupan penduduknya sangat marginal. Permukiman liar mendominasi daerah ini. Ahli yang menyampaikan teori konsektoral tipe Amerika Latin adalah Griffin-Ford (1980). Amerika Latin letaknya berdekatan dengan Amerika Serikat sehingga perkembangan kotanya banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat, misalnya tentang perkembangan CBD, perkembangan transportasi, kepemilikan mobil, fenomena migrasi, dll. Namun terdapat perbedaan keruangan kota di Amerika Serikat dengan Amerika Latin, perbedaan tersebut terletak pada penggunaan lahan dan organisasi keruangannya. Perbedaan ini disebabkan karena Amerika Latin memiliki latar belakang historis, politik, sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dengan Amerika Serikat. Mengenai salah satu latar belakang perbedaan dengan Amerika Serikat yakni faktor sejarah. Amerika Latin dahulunya dijajah oleh Portugis dan Spanyol sehingga kota-kota yang terbentuk pada awalnya banyak yang mengacu pada perkembangan kota di Portugis dan Spanyol. Ciri-cirinya yaitu : perancangan jaringan jalan dengan orientasi timur barat dan utara selatan, pusat perbelanjaan berada ditengah-tengah jaringan jalan, di dekat pusat perbelanjaan dibangun rumah orang kaya dan gereja, semakin keluar status ekonomi penduduknya semakin rendah. Setelah tahun 1930’an kota-kota di Amerika Latin mulai berkembang dan mengikuti perkembangan Amerika Serikat. Khusunya daerah CBD mengalami perubahan drastic dari bentuk-bentuk kuno menjadi bentuk-bentuk modern, seperti : jalan diperlebar, bangunan kuno diganti baru, bangunan pencakar langit dikembangkan, “Shopping malls” dikembangkan, tempat 21



hiburan, terminal, hotel, restaurant bermunculan. Perbedaan CBD Amerika Latin dengan CBD Amerika Serikat yaitu industri di CBD Amerika Latin jenisnya tidak bervariasi, hal itu dikarenakan persediaan air dan listrik di Amerika Latin terbatas sehingga industri-industri lain yang membutuhkan air dan listrik banyak tidak memiliki kemungkinan untuk dikembangkan dengan baik. Berikutnya deskripsi mengani struktur keruangan kota-kota di Amerika Latin. Secara umum struktur keruangan pada teori ini berbentuk lingkaran yang dibagi menjadi enam zona. Zona pertama merupakan CBD/DPK atau Daerah Pusat Kegiatan. Zona 1 ini merupakan pusat perdagangan, hiburan, lapangan pekerjaan yang ditunjang dengan transportasi memadai. Zona 2 adalah zona perdagangan bentuknya menjari memanjang dari zona 1 CBD dan ini merupakan zona perpanjangan dari CBD juga. Pada zona 2 ini terdapat perkampungan elite, fasilitas perkotaan berupa taman, museum, kebun binatang, gedung pertunjukan, restoran, kantor-kantor, dll. Zona berikutnya adalah zona 3 yang merupakan zona permukiman kelas elite. Zona ini terletak di kanan dan kiri zona perdagangan yang memanjang sampai daerah pinggiran kota. Zona berikutnya merupakan zona 4 “Zone of Maturity”/ Permukiman yang lanjut perkembangannya. Zona ke-4 ini merupakan daerah permukiaman yang cukup baik kondisinya. Zona ini berisi rumah-rumah tradisional yang berumur tua, meski demikian fasilitas yang ada cukup lengkap. Para penghuninya hanya berusaha memperbarui tempat tinggalnya, khususnya bagi mereka yang tidak mampu menjangkau kawasan perumahan elite. Kemudian tingkat pertumbuhan penduduk disini relative lebih lambat dibandingkan dengan daerah pinggiran. Berikutnya zona 5 Zone of “in situ accreation” / daerah berkembang secara setempat. Zona 5 ini ditandai dengan kualitas hunian yang sederhana dan memiliki ciri dan tipe hunian yang bervariasi sehingga tercipta kesan kompleks perumahan yang semrawut. Kemudian fasilitas yang ada juga tidak sebaik di zona 4. Yang terakhir adalah zona 6 permukiman liar. Seperti pada namanya daerah ini merupakan daerah yang paling buruk kondisi perumahan dan fasilitasnya. Para migran pada umumnya 22



menuju daerah ini yang hanya menuntut biaya akomodasi jauh lebih murah dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Kehidupan penduduknya sangat marginal. Permukiman liar mendominasi daerah ini. 6. Teori Poros Teori ini menekankan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Ide ini pertama kali dikemukakan oleh Babcock (1932) sebagai suatu ide penyempurnaan teori konsenstris. Teorinya dikenal sebagai teori poros. Dalam teori konsentris terdapat asumsi bahwa mobilitas penduduk mempunyai intensitas yang sama dalam konfigurasi relief kota yang seragam. Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya. Keberadaan poros transportasi akan mengakibatkan perubahan pola konsentris karena sepanjang rute transportasi tersebut berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi (Yunus, 2015: 42). Teori poros menitikberatkan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyai intensitas yang sama dan topografi kota seragam. Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya (Utami dan Kurniawati, 2018: 26).



Gambar 1.8 Model Teori Poros (Babcock) 1932, Quoted from Brian Goodall, (1971) Perkembangan zona-zona yang ada pada daerah sepanjang poros transportasi akan terlihat lebih besar dibandingkan dengan zona-zona diantara dua poros transportasi.Tetapi jika dilihat berdasarkan “time cost”nya daerah 23



yang lebih dekat dengan CBD yang tanpa dilayani poros transportasi dengan baik juga akan bisa bersaing dengan daerah yang jauh dari CBD tetapi berada disepanjang/ditepi poros (Yunus, 2015: 44). Teori



ini



disampaikan



oleh



Babcock



(1932)



sebagai



ide



penyempurnaan dari teori konsentris. Teori poros ini menekankan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Pada teori konsentris disampaikan bahwa mobilitas penduduk mempunyai intensitas yang sama dalam konfigurasi relief kota yang seragam. Sedangkan teori poros menyampaikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi mobilitas penduduk adalah poros transportasi. Keberadaan poros transportasi akan merubah pola konsentris karena sepanjang jalur tranportasi akan berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi, sehingga pola keruangannya akan memanjang mengikuti poros transportasi. Kemudian perkembangan zona-zona di sepanjang jalur transportasi akan lebih besar dibandingkan dengan zona-zona diantara dua poros transportasi. 7. Teori Pusat Kegiatan Banyak Teori inti berganda/teori kegiatan banyak merupakan bentuk kritikan terhadap teori konsentriknya Burgess, dimana pola keruangannya tidak konsentris dan seolah-olah merupakan inti yang berdiri sendiri. Struktur ruang kota tidaklah sesederhana dalam teori konsentris karena tidak ada urutan yang teratur sebab dalam suatu kota dimana terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan kota tersebut (Maryani dan Waluya, 2008: 29). C.D Harris dan F.L. Ullman (1945) dalam artikelnya yang berjudul “The Nature of Citites” menyampaikan bahwa kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh sederhana yang ditandai dengan satu pusat kegiatan saja (unicentered theory) namun terbentuk sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut terus menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (multi centered theory). Lokasi zona-zona yang terbentuk tidak dipengaruhi oleh faktor jarak dari CBD serta membentuk persebaran zona-zona yang teratur, namun



24



berasosiasi dengan sejumlah faktor dan pengaruh faktor-faktor ini akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas (Yunus, 2015: 44-45). Harris Ulman menjelaskan secara khusus bahwa pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat menjadi ruwet bentuknya. Ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub pertumbuhan/nucleus. Di sekeliling nucleus-nucleus baru itu akan mengelompok tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional (Daldjoeni, 2014: 166). Nukleus kota merupakan titik atau pusat kegiatan, umumnya berupa perguruan tinggi, bandara, komplek industri, terminal ataupun pelabuhan (Mintarjo dan Sulistyowati, 2018: 53). 1.7.1



Faktor-faktor Penyebab Aglomerasi/Disaglomerasi Fungsi Yunus (2015: 45-47) menyampaikan beberapa faktor penyebab



aglomerasi/disaglomerasi, yaitu : 1) Fasilitas-fasilitas yang khusus tertentu (specialized facilities) Menurut



pendapatnya



kegiatan-kegiatan



tertentu



membutuhkan



fasilitas-fasilitas tertentu, sebagai contoh daerah-daerah pengecer/retail membutuhkan aksebilitas yang maksimal. 2) Faktor ekonomi eksternal (external economies) Seperti di kota-kota besar, adanya pengelopokan fungsi-fungsi yang sejenis menimbulkan keuntungan tersendiri. Pengelompokan akan berarti peningkatan konsentrasi pelanggan-pelanggan potensial dan memudahkan dalam membandingkan satu sama lain. 3) Faktor saling merugikan antar fungsi yang tidak serupa Pertentangan



antara



aglomerasi/pengelompokan



dua dan



fungsi



tidak.



wilayah



Misalnya



bisa



membuat



pertentangan



antara



pengembangan pabrik-pabrik dengan pengembangan permukiman kelas tinggi. Konsentrasi mobil-mobil di daerah retail/pengecer sangat bertentangan dengan pemusatan fasilitas transportasi kereta api dan daerah bongkat muat barang di wilayah industri. 4) Faktor kemampuan ekonomi fungsi yang berbeda Sering terjadi bahwa fungsi tertentu justru tidak menempati lokasi yang sebenarnya ideal karena tidak kemampuan ekonomi.



Misalnya 25



permukiman kelas rendah tidak dapat menempati lahan yang nyaman dengan pemandangan yang indah karena tingginya sewa lahan. Adanya persaingan bebas akan menempatkan permukiman kelas tinggi pada lokasi lahan tersebut karena mampu membayar sewa yang tinggi dan permukiman kelas rendah terlempar ke lokasi yang jelek dan identic dengan sewa murah. 1.7.2 Model Pusat Kegiatan Banyak (Multiple Nuclai Model)



Gambar 1.9 Struktur keruangan teori kegiatan banyak / inti berganda Yunus (2015: 48-49) menyampaikan disamping menggabungkan ideide yang dikemukakan teori konsentris dan teori sektor, teori pusat kegiatan banyak ini masih menambahkan unsur lain. Yang perlu diperhatikan adalah “nucleus” yang mengandung perngertian semua unsur yang menarik fungsifungsi antara lain permukiman, perdagangan, industri , dll. oleh karenanya teri ini mempunyai struktur keruangan yang berbeda dengan teori konsentris dan teori sektor. Suparmini (2012 : 28) menyampaikan sinonim dari zona-zona teori inti berganda. Kemudian Yunus (2015 : 49-52) menjelaskan zona-zona keruangan teori kegiatan banyak dijelaskan sebagai berikut :



26



 Zona 1 : Central Business District (CBD) / Pusat kota Zona ini berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, perbankan, theater, dll.  Zona 2 : Wholesale light manufacturing / Kawasan niaga dan industri ringan Oleh karena keberadaan fungsi ini sangat membutuhkan jasa angkutan besar maka fungsi ini banyak mengelompok sepanjang jalan kereta api dan dekat dengan CBD. Selain itu zona ini juga membutuhkan transportasi yang baik, ruang yang memadai, dekat dengan pasar dan tenaga kerja.  Zona 3 : Daerah permukiman kelas rendah / murbawisma Zona ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk permukiman sehingga penghuninya umumnya dari golongan rendah dan permukimannya juga relative lebih jelek dari zona 4. Zona ini dekat dengan pabrik-pabrik, jalan kereta api dan drainasenya jelek.  Zona 4 : Daerah permukiman kelas menengah / madyawisma Zona ini tergolong lebih baik daripada zona 3 baik dari segi fisik maupun penyediaan fasilitas kehidupannya. Penduduk yang tinggal di sini pada umumnya mempunyai penghasilan lebih tinggi dibandingkan penduduk yang tinggal di zona 3.  Zona 5 : Daerah permukiman kelas tinggi / adiwisma Zona ini mempunyai kondisi paling baik untuk permukiman dalam segi fisik maupun penyediaan fasilitas. Lokasinya relative lebih jauh dari CBD, Industri berat, industri ringan, namun untuk memenuhi kebutuhannya dibangun Business District baru yang fungsinya tak kalah dengan CBD. Pusatpusat baru ini seperti kampus, pusat rekreasi, taman-taman, dll.  Zona 6 : Heavy Manufacturing / pusat industri berat Zona ini merupakan konsentrasi pabrik-pabrik besar. Berdekatan dengan zona ini biasanya mempunyai berbagai permasalahan lingkungan 27



seperti pencemaran, kebisingan, kemacetan, sehingga tidak nyaman untuk tempat tinggal, namun di daerah ini lapangan kerja banyak. sehingga wajar apabila kelompok berpenghasilan rendah bertempat tinggal di dekat zona ini.  Zona 7 : Business District lainnya / pusat niaga / perbelanjaan lain di pinggiran Zona ini muncul untuk memenuhi kebutuhan penduduk zona 4 dan 5 sekaligus akan menarik fungsi-fungsi lain untuk berada di dekatnya.  Zona 8 : Zona tempat tinggal di daerah pinggiran / upakota untuk kawasan madyawisma dan adiwisma Zona ini membentuk komunitas atau lokasi tersendiri. Penduduk di sini mayoritas bekerja di pusat-pusat kota dan zona ini semata-mata digunakan untuk tempat tinggal. Makin lama akan makin berkembang dan menarik fungsi-fungsi lain juga, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dsb.  Zona 9 : Zona industri di daerah pinggiran Sebagaimana



perkembangan



industri-industri



lainnya



unsur



transportasi selalu menjadi prasyarat untuk hidupnya fungsi ini. Walaupun terletak di daerah pinggirann zona in dijangkau jalur transportasi yang memadai. Teori ini disampaikan oleh Harris dan Ullman (1945) sebagai bentuk kritikan terhadap teori konsentriknya Burgess. Menurut Harris dan Ullman struktur keruangan kota tidaklah sesederhana teori konsentris karena tidak ada urutan yang teratur sebab dalam suatu kota dimana terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan kota tersebut. Harris Ulman menjelaskan secara khusus bahwa pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat menjadi ruwet bentuknya. Ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub pertumbuhan/nucleus. Di sekeliling nucleus-nucleus baru itu akan mengelompok tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional. Nukleus kota merupakan titik atau pusat kegiatan, umumnya berupa perguruan tinggi, bandara, komplek industri, terminal ataupun pelabuhan 28



Pembahasan berikutnya mengenai struktur keruangan teori pusat kegiatan banyak / inti berganda. Teori ini secara umum bentuknya tidak simetris, tidak seperti bentuk teori lainnya, hal ini karena teori inti berganda memiliki pusat kegiatan atau nucleus yang ganda. Pembagian zona di teori inti berganda dibagi menjadi Sembilan zona. Untuk zona 1 CBD merupakan pusat kegiatan yang berisi fasilitas transportasi memadai, perbankan, teater, pusat perbelanjaan dll. Zona 2 adalah kawasan niaga dan industri ringan, zona ini membutuhkan



fasilitas



tranportasi



sehingga



bentuknya



mengelompok



sepanjang jalan kereta api maupun jalan raya yang berada di dekat CBD. Zona 3 merupakan daerah permukiman kelas rendah/murbawisma yang memiliki drainase buruk, zona 3 ini dihuni oleh masyarakat golongan rendah, di zona ini berdekatan dengan pabrik-pabrik, jalan kereta api juga. Zona 4 merupakan daerah permukiman kelas menengah. Zona 4 ini tergolong lebih baik dibandingkan zona 3, baik dari segi fisik maupuan fasilitasnya. Struktur ruang kota teori inti berganda yang ke-5 adalah zona permukan kelas tinggi. Zona ini merupakan permukiman yang kondisinya paling baik dibandingkan zona permukiman lainnya. Zona 5 letaknya jauh dari CBD, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan didekat zona ini dibangun Business District yang baru dan fungsinya hampir sama dengan CBD, misalnya seperti kampus, pusat rekreasi, taman, dll. Kemudian zona 6 dalam teori ini adalah zona pusat industri berat. Zona ini merupakan tempat konsentrasi pabrik-pabrik besar. Sehingga zona yang berdekatan dengan zona 6 memiliki permasalahan lingkungan seperti pencemaran, kebisingan, kemacetan, dll.



namun demikian karena lapangan kerja banyak maka



kelompok masyarakat berpenghasilan rendah banyak yang memilih tinggal di dekat zona ini. Zona ke-7 dalam teori inti berganda adalah zona pusat niaga. Zona ini muncul untuk memenuhi kebutuhan penduduk kelas menengah dan kelas atas. Kemudian zona ke-8 adalah zona tempat tinggal di daerah pinggiran. Zona ini membentuk komunitas lokasi tersendiri yang ada di pinggiran. Zona 8 ini semata-mata digunakan untuk tempat tinggal dan lama kelamaan juga berkembang fasilitas lain seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan di dekat 29



zona ini. Kemudian zona yang terakhir yakni zona 9 berupa zona industri di daerah pinggiran. Meskipun berada di daerah pinggiran, zona ini tetap mendapat layanan jalur transportasi yang memadai sebab transportasi merupakan prasyarat perkembangan industri pada umumnya. 8. Teori Ukuran Kota Menurut Taylor (1949) ada 5 tingkatan pertumbuhan kota, yaitu: (1)“infantile Towns”; dicirikhasi oleh distribusi toko-toko dan rumah-rumah yang semarwut dan belum ada pabrik-pabrik (2)“Juvenile Towns”, ditandai adanya gejala diferensiasi zone dan toko-toko mulai terpisah (3)“adolescent



Towns”,



mulai



memiliki



pabrk-pabrik,



tetapi



belum



menunjukan adanya rumah-rumah klas tinggi. (4)“Early Mature Towns”, menunjukan adanya segregasi yang jelas tentang rumah-rumah klas tinggi (5)“Mature Towns” menunjukan adanya pemisahan daerah perdagangan dan industry dan zone-zone perumahan yang berbeda-beda kualitasnya. Deskripsi kualitatif yang dikemukakan oleh Taylor ini sulit dideskripsikan, namun dalam beberapa hal mempunyai arti penting dalam kaitanya dengan teori konsentris tersebut.  Pendapat yang menyokong teori Burgess sebagai suatu teori dedukatif Karena teori Burgess bersifat deduktif, memang mudah dipahami asalkan ada beberapa premise yang harus dekemukakan terlebih dahulu. Beberapa pendukung ide Burgess antara lain: 1) Pendapat Schnore (1965) Menurutnya ada 5 asumsi yang dapat mendukung berlakunya tesis Burgess: 1. Berkaitan dengan heterogenitas penduduk yang tinggal pada kota yang bersangkutan 2. Berkaitan dengan kegiatan ekonomi utama kota. 3. Berkaitan dengan nilai-nilai ekonomi budaya. 4. Berhubungan dengan bentuk geometris dari ruang. 30



5. Berkaitan dengan pola penghunian (accupany patern). Sebagai suatu teori deduktif dengan beberapa asumsi diatas, paling tidak akan mengarahkan seseorang untuk dapat menerimajalan pemikiran Burgess(1925) dalam membangun sebuah model prganisasi keruangan kota. Setuju tidak setuju bahwa teori yang telah dikemukakan Burgess ini telah memacu dan memicu munculnya model-model baru untuk analisis ke-ruangan kota. 2) Pendapat William Alonso (1964) Dalam artikelnya “The Historis and Structural Theories of Urban Form” dan dimuat oleh majalah Land Economic 40 (1964) pp. 227 – 231, sebagian besar diketahui oleh teori Buegess. Pendapat tentang Alonso juga didasarkan pada ide dari Burgess yang mengemukakan bahwa perkembangan pola penggunaan lahan kota ke arah pinggiran melalui prosesinvasi – suksesi ternyata gayut pula dengan pola pertumbuhan kota-kota. Teori yang dikemukakan oleh Alonso tidak menekankan pada proses mekanistik daripada peetumbuhan zone-zone yang ada tetepi mendasarkannya pada perubahan structural tentang selera, keinginan, dan gaya hidup. Untuk menjelaskan dinamika mengenai elemen-elemen diatas, Alonso kemudian menghubungkannya dengan zona-zona konsentris yang Burgess telah kemukakan dimana zona 1 =CBD, zona 2 = zona of transition, zona 3= zone of lowstatus, zona 4= zone of midle status, dan zona 5= zone of high status. 9. Teori Historis Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal dalam kota. Dalam perubahan tempat tinggal ini ternyata menunjukan karakteristik yang cukup menarik dikaitkan dengan “ageing structure, sequent occupany, population growth and available land” dan zona-zona konsentris pada kota



31



Gambar 1.10 Struktur Kota Menurut Teori Historis 10. Teori Struktural Dalam teori ini lebih ditekankan pada mobilitas tempat tinggal yang ikaitkan dengan “taste, preferences dan life style” pada suatu kota, seperti teori historis diatas, dalam hal ini Alonso mengemukakan pembagian zona konsentris yang telahBurgess kemukakan untuk menjelaskan “spatial distribution residential mobility”.



32



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kota merupakan pusat dari permukiman, pelayanan dan kegiatan seperti ekonomi, sosial, budaya, politik,dll. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di daerah pusat kegiatan (DPK/CBD) yang merupakan inti dari kota tersebut. Yang lamakelamaan akan mengalami perkembangan dan menyebar ke wilayah lain. Penduduk akan melakukan perpindahan ke daerah pusat kota yang merupakan pusat kegiatan utama. Berbagai permasalahan timbul akibat dari pertambahan penduduk serta perkembangan kota. Hal tersebut akan menimbulkan perubahan pada penggunaan lahan dan dapat merusak lingkungan alami sekitar kota. Selain itu, bentuk dan juga struktur tata ruang kota akan terpengaruh dengan adanya perkembangan kota. Para ahli telah megkaji mengenai bentuk dan struktur tata ruang dengan pendekatan ekologi, yang dipelopori oleh Burgess dengan teori Konsentrisnya yang memicu teoriteori baru muncul. Yang seluruhnya dapat menjadi acuan atau pedoman dalam merencakan struktur tata ruang kota yang diseuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat kota yang ada. B. Saran Seperti yang telah kita ketahui bahwa fungsi kota sangatlah penting bagi penduduk sebagai pusat dari berbagai kegiatan maka perlu dilakukan perencanaan yang matang agar tidak menimbulkan permasalahan bagi penduduk kota serta lahan. Dengan adanya teori-teori mengenai struktur tata ruang kota khususnya dengan pendekatan



ekologi



dapat



digunakan



sebagai



acuan



dalam



merencanakan



pembangunan kota yang berorientasi pada penggunaan lahan yang efisien.



33



Daftar Pustaka Daldjoeni. 2014. Geografi Desa Dan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Hendrojogi, Windriarti. 2008. Arahan Pengaturan Dan Pengendalian Bangunan Di Kecamatan Pinang Kota Tangerang.Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 10 No. 1 Hlm. 62-70. Maryani Enok dan Bagja Waluya. 2008. Geografi Desa Kota. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Mintarjo Sri dan Eka Susi Sulistyowati. 2018. Desa dan Kota. Klaten: Cempaka Putih Peraturan



Menteri Pekerjaan Umum No.29 Tahun 2006 Tentang Pedoman



Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Suparmini. 2012. Pola Keruangan Desa Dan Kota. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. Utami, Wiwik Sri dan Aida Kurniawati. 2018. Wilayah Perkotaan. Jakarta: Ristekdikti. Yunus, Hadi Sabari. 2015. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



34