Karakteristik Ragawi Manusia Indonesia Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ANTROPHOLOGI



KARAKTERISTIK RAGAWI MANUSIA INDONESIA



Disusun Oleh Makbruri Pembimbing dr. Rahmadini, M.Biomed



PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK KEKHUSUSAN ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2016



TINJAUAN PUSTAKA



I.



Latar belakang Data mentah untuk pembahasan tentang asal usul, penyebaran dan pemilahan populasi



masyarakat Indonesia saat ini diambil dari dua bidang ilmu yang berbeda dan terspesialisasi, yaitu genetika yang mengkaji penyebaran faktor-faktor penentu keturunan, dan antropologi biologis atau antropologi ragawi yang mengkaji berkaitan dengan analisis fenotipe terhadap makhluk hidup yang masih hidup maupun yang sudah berupa rangka atau fosil, seperti halnya tentang perdebatan homo erectus, perdebatan tentang asal-usul dan pemilahan manusia modern saat ini sangat menarik untuk dibahas. Populasi saat ini di kawasan Indo-Malaya khususnya Indonesia sangat beraneka ragam. Sebagaimana pada semua populasi manusia, keanekaragaman tercermin pada kelompok etnik, zona geografis dan akhirnya ke tingkat ras utama. Konsep ras menjadi penting ketika kita membicarakan hubungannya pada masa prasejarah. Definisi tentang ras sangat banyak. Buettner Janusch menyebutkan definisi tentang ras yaitu: “Satu ras Homo Sapiens adalah suatu populasi Mendelian, satu komunitas yang terdiri atas individu-individu yang reproduktif dan mempunyai kelompok gen yang sama. Semua anggota spesies kita termasuk dalam satu populasi Mendelian, dan namanya adalah Homo Sapiens. Populasi spesies mendelian yang besar ini bisa dibagi dalam populasi-populasi Mendelian yang lebih kecil untuk tujuan praktis dan jumlahnya amat banyak”. Kalimat terakhir Buettner-Janussch menjelaskan bahwa klasifikasi rasial pada dasarnya bersifat hierarkis dan luas, menimbulkan pengelompokan yang lebih kecil. Secara tradisional dikatakan bahwa populasi kepulauan Indonesia termasuk dalam dua ras utama yaitu ras AustroMelanesia ( Australoid) dan Mongoloid (Mongoloid Selatan). Pemisahan secara umum ini merupakan suatu pemisahan yang heuristik, berdasarkan pemikiran yang rasional dan berdasarkan data yang ada, karena populasi manusia pada semua jaman menunjukan ciri-ciri yang saling tumpang tindih dan perbedaaanya bernuansa (clinal), seperti halnya pada masa kini. Namun, pemilihan secara umum tersebut tidak dibuat dengan sederhana, melainkan melalui alasan biologis dan historis yang kuat untuk menunjukana bahwa salah satu kelompok ini (Mongoloid Selatan) telah berkembang sejak pada awal 10.000 tahun yang lalu, baik data genetik maupun penemuan rangka manusia mendukung pemikiran ini. Pemikiran tersebut



mengungkapkan geografi rasial saat ini di kawasan indo-malaya tidak seluruhnya disebabkan oleh evolusi lokal, dan juga bukan tanpa perpindahan populasi, semua populasi mengalami seleksi alamiah dan bila kelompok populasi jumlahnya sedikit maka mereka akan mengalami genetic drift yang mengakibatkan polimorfisme dan akan terbentuk kelompok yang mempunyai ciri genetik khusus. Bentuk pemisahan kelompok yang terjadi pada populasi yang terisolasi ini merupakan dasar bagi pembentukan ras dalam Homo sapiens. II.



Populasi Modern di Kawasan Indo-Malaysia Sebagian besar penduduk kawasan indo malaya termasuk dalam fenotipe mongoloid



selatan. Contoh kelompok terpenting dari populasi ini, yang sekarang mencapai lebih dari 250 juta orang dan akan terus bertambah adalah suku Melayu, Jawa, Bali, Dayak, dan Filipino. Jelas bahwa seluruh kepulauan ini sekarang menjadi bagian dari dunia mongoloid di Asia Timur yang juga meluas ke pulau Pasifik dan termasuk penduduk asli Amerika. Namun, ada populasi lain yang meskipun jumlahnya sedikit, besar artinya dalam sudut pandang sejarah. Populasi-Populasi ini antara lain adalah orang Negrito di Malaysia, Semenanjung Utara Sumatera, dan di Filipina , serta orang Melanesia yang menyebar ke barat dari kawasan inti mereka di sekitar papua nugini ke pulau-pulau bagian timur Indonesia. Mengikuti pandangan Coon, kedua populasi ini disebut sebagai keturunan Australoid (Australo-Melanesia). A. Negrito Populasi negrito bertubuh kecil terdiri atas negrito semenanjung Malaysia dan sumatera (Semang), yang mendiami kawasan pegunungan dari Pahang ke utara sampai ke perbatasan Muang Thai dan Negrito Filipina yang mendiami baik di daerah pantai maupun di pedalaman Luzon, Palawan bagian utara, panai, negros, dan Mindanao, di Indonesia terkenal orang Andaman yang diklasifikasikan sebagai kelompok Negrito (Gambar 1). Negrito Indonesia biasanya adalah pemburu dan pengumpul makanan di daerah hutan dan pantai,mereka memiliki perbedaan yang cukup banyak dengan tetangga mongoloid mereka dan memiliki karakteristik ; 1. Tubuhnya pendek , rata-rata sekitar 145-155 cm 2. Memiliki kulit yang gelap 3. Memiliki rambut keriting pekat (terkadang merah atau coklat) 4. Ciri-ciri wajah menyerupai orang Melanesia tetapi lebih kecil dan ramping Kesimpulan yang paling sederhana adalah mereka merupakan perwakilan tubuh pendek dari populasi Australomelanesia yang dulu tersebar luas dan mencakup beragam bangsa



di Australia dan Melanesia, tetapi saat ini telah diserap hampir seluruhnya ke dalam populasi Mongoloid yang jauh lebih banyak di Asia Tenggara. Kesimpulan yang sederhana tidak selalu merupakan kesimpulan yang tidak bisa digugat. Omoto (1987) atas dasar analisis Multivariat tentang frekuensi gen, mengemukakan bahwa orang negrito Filipino memperlihatkan hubungan dengan dengan orang Filipino mongoloid lainnya. Hal ini bukan merupakan hasil perkawinan campuran yang terjadi dalam waktu dekat ini. Harihara et al (1992) juga menegaskan bahwa Negrito Filipino (agta) memiliki frekuensi tinggi dalam hal delesi 9 alel dasar dalam genotype DNA Mitokondria. Penghapusan ini biasa terjadi dalam populasi Mongoloid Asia dan Orang Polinesia. Fosil Gigi dan tengkorak dapat membuktikan, Brace et Al (1991) mengajukan bukti yang tidak meragukan berdasarkan bentuk tengkorak dan wajah bahwa negrito Asia Tenggara paling dekat hubungannya dengan orang-orang Australia dan Melanesia. Baik Negrito maupun Mongoloid selatan tentunya pada tingkat tertentu mempunyai leluhur yang sama, seperti halnya semua manusia modern, tetapi mereka mempunyai sejarah pemisahan yang panjang dan disusul oleh hibridisasi yang kadang terjadi kira-kira mulai 4000 tahun terakhir ini.



Gambar 1. Orang Negrito di semenanjung Malaysia dan Indonesia Masih ada masalah lain yang harus dijelaskan, yaitu mengenai tubuh yang pendek. Perlu dicatat bahwa tidak ada bukti rangka yang mendukung gagasan bahwa orang-orang di kawasan Indonesia seluruhnya merupakan Negrito bertubuh kecil. Sebaliknya, gagasan bahwa mereka berkerabat dengan Australo-melanesia jauh lebih mudah didukung. Tubuh pendek tersebut mungkin semata-mata merupakan perkembangan mandiri yang bersifat lokal. Misalnya ada orang bertubuh kecil di dataran tinggi Papua yang tidak berbeda penampilannya dari para tetangga mereka, yaitu orang Melanesia yang bertubuh normal. Dalam kasus ini penjelasannya mungkin adalah seleksi alamiah yang dialami oleh sebagian kecil dari populasi yang pada umumnya bertubuh lebih tinggi. Tubuh kecil



mungkin mempunyai nilai adaptif yang besar dalam lingkungan hutan tropis pegunungan dengan sumber gizi terbatas (Gajdusek 1970, Howells 1973). Menurut Cavalli-Sforza (1986) ukuran tubuh kecil orang Pygmy Afrika mungkin juga membantu mengurangi panas dalam tubuh selama bergerak dalam iklim yang lembab panas, dan dengan demikian mengurangi keringat. Penelitian tentang orang pygmy afrika menunjukan bahwa mereka ternyata kurang mampu menghasilkan IGF-1, yaitu growth factor mirip Insulin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Merime et al.1981) ini salah satu factor yang mungkin menyebabkan tubuh mereka pendek. Tidak jelas kondisi lingkungan seperti apa yang mendorong kekurangan ini, tetapi diduga pasti ada tekanan seleksi yang kuat sehingga keadaan ini dapat langgeng, sementara itu kecenderungan orang mempunyai tubuh kecil di pedalaman pulau besar di Melanesia dapat ditemukan. Pandangan tentang adaptasi lokal mungkin menjelaskan mengapa kelompok-kelompok tertentu bertubuh pendek, tetapi pandangan ini belum menjelaskan mengapa semua orang Indonesia, Malaysia dan Filipina keturunan orang Australo-melansia (orang Negrito) relative bertubuh kecil. Satu penjelasan yang mungkin adalah mereka telah menempati lingkungan-lingkungan pedalaman atau terpencil yang mendorong pertumbuhan tubuh kecil ketika dominasi mongoloid di kepulauan tersebut mulai berkembang. Sebaliknya para tetangga yang bertubuh lebih besar dan hidup di kawasan yang berpotensi pertanian tinggi terserap ke dalam populasi masa kini. Sementara itu orang negrito, yang karena faktor kebetulan atau memang tempat tinggalnya tidak terjangkau sehingga tidak dapat berhubungan dengan kelompok lain, tetap terpencil sampai akhir ini. B. Keragaman Populasi di Indonesia Bagian Timur Penduduk kepulauan sunda kecil bagian timur (Nusa Tenggara) dan Maluku di sebelah bagian barat nugini menunjukan variasi yang besar.(Gambar 2) Hal ini merupakan hasil dari penghunian orang mongoloid selatan di batas wilayah barat yang berciri Melanesia. Proses penghunian ini berjalan secara bertahap dan banyak diantaranya baru terjadi pada masa post presejarah. Gambaran ciri rasial fenotipe disini tampak berkesinambungan dan hanya terdapat sedikit batas-batas yang tegas . Masyarakat di bagian timur kepulauan sunda kecil dari sumba sampai timor menunjukan perubahan yang berangsur-angsur baik dalam warna kulit, bentuk rambut. Pada dasarnya orang sumba di bagian barat merupakan sebagian dari orang Proto melayu yang semakin ke



arah timur lewat dari flores dan Timor semakin digantikan dominasinya oleh Populasi Melanesia, hal yang menarik lainnya di Timor dan pulau sekitarnya bahasa Papua dan Austronesia



digunakan



secara



berdampingan.



Karakteristik



ragawi



masyarakat



austromelanesia antara lain; 1. Memiliki kulit hitam, 2. Bibir tebal, 3. Rambut ikal atau bergelombang 4. Memiliki rahang yang besar dan lebar 5. Rahang lebih bersifat prognathism



Gambar 2. Variasi penduduk di Indonesia bagian timur C. Populasi Mongoloid Selatan Populasi Mongoloid Selatan di Indonesia saat ini jumlahnya lebih dominan daripada populasi Austromelanesia. Coon menuturkan dengan jelas ciri populasi ini yaitu (gambar 3) ; 1. Sebagian besar pendek dengan kaum prianya mempunyai tinggi rata rata 157-160 cm 2. Berperawakan sedang 3. Kulit kekuningan atau coklat 4. Sebagian besar berambut lurus 5. Jarang terdapat kelopak mata mongol 6. Bergigi besar seperti orang australoid 7. Mewakili campuran yang cukup seimbang antara unsur-unsur mongoloid dan Australoid dengan variasi-variasi lokal Ciri-ciri keturunan Australomelanesia lebih jelas terlihat pada populasi yang dikenal dengan Proto-Melayu, kelompok yang lebih dulu ada, kelompok ini dibedakan dengan Deutero-Melayu yang dianggap melakukan migrasi kedua setelah Proto-Melayu. Kelompok Proto-Melayu mencakup orang pedalaman dari pulau-pulau besar di Indonesia, terutama di kawasan Indonesia bagian timur. Karena aliran gen Mongoloid terus memasuki Indonesia sampai masa-masa sejarah, aliran gen ini menyebabkan timbulnya kelompok Deutero-Melayu, kelompok ini terdapat di populasi di daerah yang



terbuka lebih mudah didatangi, sehinggga mereka dapat melakukan banyak kontak dengan dunia Mongoloid Asia. Penyebaran populasi di Indonesia dapat digambarkan bahwa fenotipe mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara dan berangsur-angsur menurun populasinya di bagian timur. Indonesia bagian timur populasi Melanesia lebih dominan.



Gambar 3. Populasi Mongoloid Selatan di Indonesia D. Warna Kulit Populasi Mongoloid Selatan di Indonesia Dalam proses pewarisan genetik, ciri-ciri antroskopis sering kurang diketahui, tetapi diyakini banyak diantara ciri tersebut mempunyai dasar poligenik yang rumit, oleh karena itu, ciri tersebut tidak terpengaruh oleh perubahan cepat fenotip yang disebabkan oleh pergeseran genetik, pigmentasi kulit salah satu contohnya dan variasi yang ada telah berevolusi selama jangka waktu yang panjang melalui seleksi alam di lingkungan tertentu. Suatu hal yang wajar bahwa warna kulit pada populasi tertentu yang tidak tercampur dan hidup dalam lingkungan yang relative stabil akan tetap sama dalan kurun waktu yang sangat lama. Dari kasus tentang penyebaran populasi tampak bahwa proses seleksi alamiah yang menyebabkan pergantian warna kulit berlangsung lambat sekali, contohnya orang indian amerika di daerah tropis dilaporkan warna kulitnya tidak lebih gelap daripada orang-orang amerika asli lainnya di daerah non tropis, walaupun telah tinggal di daerah tropis kira-kira selama 15.000 tahun. Hal yang menarik untuk dikaji populasi mongoloid Selatan relatif berkulit terang di kawasan tropis IndoMalaysia dibandingkan dengan populasi yang mucul di kawasan lain di dunia lama (Afrika, India Bagian selatan, Melanesia, Australia bagian utara) yang mempunyai kulit lebih gelap Meskipun orang Mongoloid Selatan berwarna jauh lebih gelap daripada orang mongoloid utara dan secara geografis terdapat suatu perubahan berangsur-angsur dari warna kulit terang menjadi semakin gelap ke arah selatan, hal ini



terlihat jelas di kawasan asia tenggara termasuk Indonesia. Jika kelompok Indo-Malaysia seluruhnya berkembang dalam kepulauan Indonesia, maka seharusnya mempunyai kulit yang sama gelapnya dengan kelompok negroid dan Melanesia yang sama-sama hidup dikawasan garis lintang khatulistiwa . hal ini cukup menjelaskan bahwa terdapat pola yang tidak selalu mengikuti tuntutan seleksi alamiah jamgka panjang yang terjadi di suatu tempat, sama seperti kasus yang terjadi di kawasan tropis Amerika, meskipun banyak hal lain yang mempengaruhi. E. Implikasi terhadap alur migrasi (timbulnya golongan populasi dayakid) Protomalayid adalah morfotipe pertama yang menghuni Indonesia, menduduki seluruh Indonesia dari wilayah barat sampai ke timur. Migrasi kemudian adalah Dayakid yang berkembang khusus di wilayah Kalimantan. Dayakid terdesak karena masuknya migrasi Deuteromalayid. Dayakid berkembang di pedalaman Kalimantan. Diduga Dayakid berasal dari migrasi yang bermula dari Taiwan melalui Filipina masuk ke Kalimantan. Gelombang migrasi Deuteromalayid yang berasal dari daratan Asia masuk Indonesia melalui wilayah barat, berjalan menuju ke Timur dan Selatan. Gelombang migrasi Deuteromalayid yang lain masuk dari arah utara Indonesia terus berkembang menuju timur. Gelombang migrasi Deuteromalayid tampaknya terjadi bekali-kali sehingga mendominasi hampir seluruh populasi Indonesia. Dalam penelitian Jacob dikatakan bahwa migrasi Deuteromalayid tidak selalu melibatkan jumlah populasi yang besar tetapi migrasi yang bergelombang sehingga memungkinkan adanya hibridisasi dengan populasi asal. Wilayah Nusa Tenggara memberikan



kemungkinan



sebagai



tempat



pertemuan



ketiga



morfotipe



ini.



Deuteromalayid terus bergerak ke timur, sedangkan Dayakid bermigrasi dari arah Utara menuju Selatan. Di sisi lain Protomalayid bergerak sebagai arus balik dari Timur. Arus balik ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Eijkman yang menyatakan bahwa hasil analisa DNA dari berbagai etnis di Indonesia menunjukkan adanya arus balik dari Papua ke Nusa Tenggara. Hal ini ditunjang adanya percampuran antara populasi berbahasa Austroloid dan Austronesia. Secara fisik tampak pula bahwa populasi Alor menunjukkan kesamaan dengan populasi dari Papua. Penelitian lain yang mendasarkan pada analisis komposisi percampuran antara Australomelanesoid dan Mongoloid serta antikuitas temuan paleoantropologis menunjukkan hasil yang sama. Ada



indikasi arus balik Australomelanesoid dari Timur menuju ke Barat Indonesia. Kepulauan Mentawai menunjukkan indikasi suatu isolasi populasi, kemungkinan karena kondisi geografis. Tidak banyak pengaruh Deuteromalayid yang tercampur pada populasi Mentawai. Glinka mengungkapkan, bahwa Mentawai tidak atau kurang mengandung gen-gen Mongoloid. Penelitian Lembaga Eijkman akhir-akhir ini menguatkan dugaan ini. Hasil penelitian ini bahkan mengindikasikan dua kemungkinan: populasi Mentawai barangkali telah ada dan terisolasi dalam jangka waktu lama atau populasi Mentawai adalah sumber genetis populasi-populasi di Indonesia saat ini. III.



Data genetik dan tengkorak untuk pemilahan Populasi Indo-Malaysia Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi kemajuan yang begitu besar dalam kajian



asal usul nenek moyang ras manusia, terjadi perkembangan analisis runtutan nukleotida dalam DNA nukleus dan DNA Mitokondria, dengan demikian kita berada di ambang curahan data baru mengenai leluhur manusia. Penelitian ini mengalami kemajuan yang besar khususnya dalam identifikasi pola genetik yang spesifik untuk populasi tertentu melalui DNA mitokondria. Di Asia Tenggara, penelitian DNA Mitokondria yang dilakukan memperlihatkan arti penting Cina bagian selatan sebagai kawasan utama bagi penyebaran manusia dan bertahannya keturunan mtDNA



AustraloMelanesia



pada



sejumlah



orang



di



Indonesia.



Pemisahan



antara



AustraloMelanesia dan mongoloid ini benar terjadi (meskipun kemungkinan beberapa bagian zona secara geografis saling tumpang tindih) dengan data-data genetik yang menunjangnya. Sistem genetik yang paling banyak digunakan untuk melacak asal usul populasi dan hubungan manusia di masa purba tentunya adalah sistem genetik yang tidak rentan terhadap seleksi alam dan tetap bertahan dalam arus hanyutan genetik, dengan kata lain alel tunggal atau haplotipe dalam sistem ini dianggap cenderung tetap berada dalam satu populasi selama kurun waktu yang panjang maupun dalam proses migrasi yang jauh. Kini diketahui ada sejumlah polimorfisme genetik yang cukup stabil, tampaknya ini tidak berhubungan dengan ketahanan terhadap penyakit, yang memiliki variasi khusus sebagai penanda populasi tertentu. Penelitan yang berkaitan dengan polimorfisme pernah dikemukan oleh kirk (1982;1986) yang menunjukan bahwa mongoloid dan amerika (termasuk mongoloid Indonesia) dapat dibedakan dari orang Australia dan Melanesia berdasarkan ada tidaknya varian dalam sistem antigen sel darah merah diego, protein serum yang mengikat besi transferrin, immunoglobulin Gm (Kelly 1990) dan sistem protein serum Gc. Bukti ini mendukung



pandangan bahwa orang Australia dan Melanesia cukup dekat asal usulnya, namun keduanya cukup terpisah dari orang asia tenggara dilihat dari banyaknya ciri dalam system genetik darah yang berbeda. Schanfeld melaporkan pemisahan yang jelas antara orang mongoloid utara, Mongoloid selatan dan Melanesia yang menuturkan bahasa papua, tetapi hanya untuk lima lokus polimorfik. Beberapa kajian yang dilakukan telah menggunakan sampai 29 lokus (Nei dan Roychoudhury 1993) dan disini hasilnya tampak cocok, berikut hasil ringkasan penilitian tersebut; a. Orang Australia dan Melanesia berhubungan dengan lebih dekat satu sama lain daripada dengan orang mongoloid selatan. b. Orang Mongoloid Oceania (Mikronesia, Polinesia) berkelompok paling dekat dengan orang mongoloid selatan yang ada di kepulauan asia tenggara c. Orang Mongoloid Selatan seluruhnya cenderung berkelompok erat dengan Mongoloid Utara (cina,korea,jepang) daripada dengan orang Indian Amerika.



IV.



Antropometri Manusia Indonesia Pengamatan sehari-hari akan membawa kita kepada pengalaman bahwa manusia,



walaupun satu spesies,



tetap



bervariasi. Kenyataan ini mendorong orang untuk



melihat



perbedaan-perbedaan tersebut dengan teliti menggunakan metode yang paling tepat melalui suatu pengukuran sehingga diperoleh ketepatan dan objektivitas. Hal inilah yang mendorong lahirnya bidang ilmu yang disebut antropometri. Antropometri berasal dari kata athropos yang berarti man (orang) dan metron yang berarti measure (ukuran). Jadi antropometri merupakan pengukuran terhadap manusia. Antropometri meliputi penggunaan secara hati-hati dan teliti dari titik-titik pada tubuh untuk pengukuran, posisi spesifik dari subjek yang ingin diukur dan penggunaan alat yang benar. Pengukuran yang dapat dilakukan pada manusia secara umum meliputi pengukuran massa, panjang, tinggi, lebar, dalam, circumference (putaran), curvatur (busur), pengukuran jaringan lunak (lipatan kulit). Pada intinya pengukuran dapat dilakukan pada tubuh secara keseluruhan (contoh: stature) maupun membagi tubuh dalam bagian yang spesifik. Cara menentukan ras berdasarkan pemeriksaan antropometri memang agak sukar dan diperlukan pengalaman serta pengetahuan antropologi yang cukup. Pembagian ras yang ada dibedakan atas Eropa (Kaukasoid), Mongol, dan Negro. Ada dua tulang yang dapat dipercaya



untuk membedakan ras, yaitu tulang tengkorak dan pelvis. Menurut penelitian, tulang-tulang tengkorak dapat membedakan ras hingga 85-90% kasus, sedangkan pelvis hingga 70-75% (Kusuma, 2010). Perbedaan tengkorak ras Kaukasoid dan Mongoloid yakni pada Kaukasoid, batas bawah aperture nasalis berbatas jelas dan tajam. Menurut Amar Singh, penentuan ras dapat ditentukan dari



indeks



cephalicus, brachii index, crural index, intermembral index,



humerofemoral index (Kusuma, 2010). lndeks cephalic dikenalkan pertama kali oleh Retzius, ahli anatomi Swedia, lebih dari 100 tahun yang lalu dengan tujuan untuk mengklasifikasi populasi (Rahmawati, 2003). Indeks cephalic adalah ukuran rasio (dalam persen) dari panjang tulang tengkorak dengan lebar tulang tengkorak (Sarah, 2010). Sebagian besar ukuran kepala sama dengan ukuran tengkorak, walaupun teknik pengukurannya berbeda. Lebar kepala itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe seperti pada tabel 1



Tabel 1. Klasifikasi lebar kepala menurut Lebzelter/Saller



Panjang kepala diukur dari glabella sampai opisthion (g-op), yaitu ujung jarum kaliper ditempatkan pada glabella jarum yang lain digeser dari atas ke bawah pada garis sentral, dengan sekaligus memperhatikan skala (Herawati, 2011). Panjang kepala dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe seperti pada tabel 2.



Tabel 2. Klasifikasi panjang kepala menurut lebzelter/Saller



Penentuan suku di Indonesia berdasarkan indeks cephalic sebelumnya juga pernah dilakukan di Medan oleh Herawati (2011). Hasil pengukuran indeks cephalic dari beberapa suku dapat dilihat pada tabel 3.



Tabel 3. Pengukuran indeks Cephalic Beberapa suku di medan (Herawati,2011)



Indeks



chepalic



ditentukan berdasarkan deskriptif anatomi internasional.



Indeks



cephalic dapat menggambarkan bentuk kepala apakah lonjong, bulat atau di antaranya. Dari ukuran–ukuran bagian kepala dan



muka tersebut, dapat dibuat suatu indeks yang



menggambarkan bentuk kepala atau bagian-bagiannya (Herawati, 2011). Berdasarkan indeks kepala, bentuk kepala dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu, brakhisefalik, dolikosefalik dan mesosefalik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.



Tabel 4. Bentuk Kepala berdasarkan indeks cephalic



Nilai indeks kepala 81%. Bentuk kepala ini cenderung dimiliki oleh ras Mongoloid



dengan ciri-ciri apertura nasal yang membulat, sudut



bidang mandibula yang lebih rendahbentuk muka segiempat (square), profil wajah prognasi sedang, rongga orbita membulat, dan puncak kepala tinggi seperti kubah (Amikaramata, 2011). Penelitian mengenai penentuan indeks kepala dan wajah pernah di teliti di Indonesia yang dilakukan oleh Biljmer (1929) yang meneliti populasi yang ada di Nusa Tenggara dan Flores, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar orang- orang di Nusa Tenggara dan Flores mempunyai indeks cephalic antara 75-80. Beukering (1947) melakukan penelitian pada orang- orang Sipora di Kepulauan Mentawai yang mempunyai rerata indeks facial 88,0 (tipe muka sempit/ leptoprosop) dengan kisaran antara 81,9- 98,49. Glinka (1990) melakukan penelitian pada populasi Palue di Nusa Tenggara Timur mempunyai rata- rata indeks cephalic 76,5. Rahmawati et al (2003) melakukan studi perbandingan antara suku Jawa di Yokyakarta dan suku Naulu di pulau Seram, Maluku Tengah mempuyai bentuk kepala mesocephal, bentuk muka sempit (leptoprosop). Nini S. Winata, Walujo Wirjodiardjo dan Benny Perabuwijaya dengan menggunakan metode analisis sefalometri menyimpulkan bahwa secara umum profil wajah orang Indonesia baik profil skeletal dan jaringan lunak lebih cembung dibandingkan dengan ras atau etnis lain seperti ras Jepang, Cina, dan Kaukasia. Kecembungan wajah orang Indonesia ini kemungkinan berhubungan dengan retrusi wajah bagian tengah dan protrusi rahang atas, adanya iklinasi akar gigi anterior yang lebih protusif serta adanya resesi dari dagu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seksi antropologi ragawi FK Airlangga terdapat tiga morfotipe wajah dan kepala manusia Indonesia yaitu Protomalayid, Deuteromalayid dan Dayakid tiga morfotipe wajah diukur berdasarkan cephalix index, facial, index dan nasal index. Ditampilkan tabel dua adalah hasil perhitungan dengan memakai metode clustering yang dilakukan Glinka dengan membandingkan lebih dari pada 280 populasi di Indonesia dan wilayah sekitarnya. Pada clustering hanya dipergunakan nilai rata-rata populasi. Dengan clustering yang sama digunakan untuk memperjelas pembagian-pembagian morfotipe ini. Gambar empat menunjukkan cluster populasi yang menjelaskan tiga morfotipe di Indonesia. Kelompok pertama adalah elemen Protomalayid (cluster A dan B). Kelompok ke dua adalah C, D, E, F yang disebut elemen Deuteromalayid. Sedangkan cluster terakhir adalah Dayakid terdiri dari cluster G, H, I. Tabel tiga menjelaskan komposisi masing-masing morfotipe. Percampuran komposisi tiga



morfotipe terjadi di populasi Lombok dan Flores. Populasi lain yang mengalami percampuran dengan dominasi dari Protomalayid adalah Nordwest Alor, Kabir (Pantar), Nias C, Nias N, Slamet, dan Sumbawa. Dominasi Deuteromalayid terjadi pada populasi Mentawai, Flores O, Tapanuli, Sapit, Sembalun (Lombok) dan Java E. Sedangkan dominasi ciri Dayakid jelas terlihat pada populasi Lombok E. Secara umum Indonesia didominasi oleh Deuteromalayid. Seperti ditampilkan pada Gambar lima bahwa Deuteromalayid mendominasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari Bali hingga ke wilayah barat Indonesia terpengaruh Deuteromalayid dengan beberapa perkecualian seperti populasi dari Kintamani, Tengger dan Gunung Slamet. Di sisi lain hampir di seluruhwilayah timur Indonesia didominasi oleh Protomalayid yaitu sebagian besar wilayah Nusa Tenggara. Protomalayid juga tampak mendominasi kepulauan Mentawai di wilayah Barat Indonesia. Populasi lain yangmengalami percampuran dengan dominasi dari Protomalayid adalah NordwestAlor,Kabir (Pantar),NiasC,NiasN,Slamet, dan Sumbawa. Sedangkan dominasi ciri Dayakid jelas terlihat pada populasi Lombok E.Secara umum percampuran komposisi antara ke tiga morfotip terjadi di pulau Lombok dan Flores.



Tabel 5. Karakteristik Tiga tipe Morfotipe



Gambar 4. Cluster tiga morfotipe di Indonesia



Tabel 6. Variasi Morfotipe beberapa populasi di Indonesia



Gambar 5. Komposisi dan Penyebaran tiga tipe morfotipe di Indonesia



Penelitian pernah dilakukan pada mahasiswa universitas jember yang membedakan facial, upper facial dan orbital index dengan asal suku yang berbeda yaitu suku Batak, Klaten dan Flores, hasilnya menunjukan facial index suku yang berbeda semuanya tergolong hypereuryproscopic. Upper facial index populasi batak digolongkan dalam golongan hyperueryne, populasi flores dan klaten digolongkan dalam populasi euryne. Orbital index semua suku diklasifikasikan sebagai hypsiconch. V.



Manusia Prasejarah di Indonesia Menurut pakar anthropologi ragawi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta yaitu



Prof.Dr. Teuku Jacob, yang dinamakan manusia prasejarah atau manusia fosil adalah manusia yang telah memfosil (membatu). Meskipun masih memiliki kemiripan dengan binatang, namun yang menjadi ciri pokok untuk dapat dikatakan manusia adalah ia berdiri tegak dan memiliki volume otak yang besar. Penelitian tentang manusia prasejarah sebenarnya menjadi kajian



anthropologi ragawi (khususnya palaeoanthropologi). Di Indonesia fosil manusia prasejarah ditemukan di Jawa yang memiliki arti penting karena berasal dari segala zaman atau lapisan pleistosen. Jenis-jenis manusia prasejarah yang ditemukan di Indonesia antara lain 1. Meganthropus Meganthropus (mega:besar, antropo: manusia) atau manusia raksasa merupakan jenis manusia prasejarah paling primitif. Fosil dari jenis ini ditemukan di Sangiran (Jawa Tengah) oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 dan 1941. Von Koeningswald menamakan fosil temuannya ini dengan sebutan megathropus palaeojavanicus (raksasa dari Jawa). Fosil yang ditemukan adalah sebuah rahang bawah dan 3 buah gigi (1 gigi taring dan 2 gigi geraham) berasal dari lapisan pleistosen bawah (fauna Jetis). Meganthropus diperkirakan hidup antara 2-1 juta tahun yang lalu. Dari rahang dan gigi yang ditemukan terlihat bahwa makhluk ini adalah pemakan tumbuhan yang tidak dimasak terlebih dahulu (rahang dan giginya besar dan kuat). Belum ditemukan perkakas atau alat di dalam lapisan ini sehingga diperkirakan manusia jenis ini belum memiliki kebudayaan.



Gambar 6. Meganthropus Palaeojavanicus



Gambar 7. Koenigswald dan Rekontruksi Megantropus Paleojavanicus



2. Pithecanthropus



Pithecantropus merupakan jenis manusia praaksara yang jumlahnya paling banyak. Pada tahun 1890-1891 dalam penelitian di Trinil (Ngawi) seorang dokter tentara Belanda berkebangsaan Perancis Dr. Eugene Dubois menemukan rahang bawah, tempurung kepala, tulang paha, serta geraham atas dan bawah. Dr. Eugene Dubois menamakannya Pithecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak) dengan volume otak kira-kira 900 cc serta memiliki tinggi badan kurang lebih 165 cm. Jenis pithecanthropus yang lain adalah pithecanthropus robustus atau pithecanthropus mojokertenis yang ditemukan di Sangiran oleh Weidenreich dan Von Koeningswald pada tahun 1939. Jenis lainnya adalah pithecanthropus dubius yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1939 di Sangiran. Kedua fosil ini berasal dari lapisan pleistosen bawah.



Gambar 8. Rekonstruksi Pithecantropus Erectus



3. Homo Manusia jenis homo merupakan manusia paling maju bila dibandingkan dengan manusia prasejarah sebelumnya. Penemuan manusia jenis ini diawali oleh Von Rietschotten yang berhasil menemukan sebuah tengkorak dan rangka di Tulung Agung (Jawa Timur). Setelah diteliti oleh Dr. Eugene Dubois fosil manusia jenis ini dinamai Homo Wajakensis. Sementara itu Ter Harr dan Openoorth dalam penelitian di Ngondong berhasil menemukan tengkoran dan tulang betis dari lapisan pleisosen atas yang kemudian diberi nama Homo Soloensis. Homo merupakan jenis manusia yang paling maju dengan volume otak yang lebih besar dari jenis sebelumnya. Homo merupakan pendukung kebudayaan neolithikum yang berhasil dalam revolusi kehidupan. Van Koenigswald menyebutkan barangkali Homo Wajakensis termasuk jenis homo sapiens



(manusia cerdas) karena telah mengenal teknik penguburan. Diperkirakan jenis ini merupakan nenek moyang dari ras Austroloid dan menurunkan penduduk asli Australia sekarang ini. Penemuan fosil homo lainnya yaitu Homo Floresiensis, dibanding jenis lainnya, homo ini memiliki keistimewaan karena tubuhnya yang kerdil. Ditemukan oleh seorang pastur bernama Verhoeven pada tahun 1958 di goa Liang Bua Manggarai, Flores, dan baru di umumkan sebagai temuan yang menghebohkan pada tahun 2004. Diperkirakan hidup sekitar 30.000 –18.000 tahun yang lalu, telah mampu membuat peralatan dari batu, pemburu handaldan memasak dengan api, tetapi ukuran tangannya masih panjang. Manusia kerdilini memiliki tinggi tubuh sekitar 1m, dan ukuran tengkorak seperti anak kecil. Dari cerita rakyat setempat, masyarakat Flores menyebut manusia kerdil ini dengan nama Ebu Gogo.



Gambar 9. Fosil Homo Soloensis



Gambar 10. Rekontruksi bentuk kepala homo soloensis oleh Eugene Dubols



Gambar 11. Situs Manusia Flores di Goa Liang Bua Flores dan Ilustrasinya



REFERENSI 1. Bellwood P,



Manusia Indonesia pada 40.000 tahun terakhir; Dalam Prasejarah



Kepulauan Indo-Malaya 2000, 99-139. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama 2. Glinka J, Koesbardiati T. Morfotipe Wajah dan Kepala di Indonesia : Suatu usaha identifikasi variasi populasi. Jurnal Anatomi Indonesia 2007; 2:41-48 3. Novita M, Facial, upper facial, and orbital index in Batak, Klaten, and Flores students of Jember University. Dental Journal 2006; 39: 116-119 4. Artaria M, Glinka J, Koesbardiati T. Metode Pengukuran Manusia 2008,p59: Surabaya. Airlangga University Press 5. Elfiah U, Perdanakusuma DS, Koesbardiati T. Variasi Antropometri, Wajah Indonesia dan Sefalometri sebagai data dasar pada Rekonstruksi trauma maksilofacial. Journal of Emergency 2001; 1:6-12 6. Noor Y, Mansyur. Jenis-Jenis Manusia Pra Aksara Dalam Menelusuri Jejak-Jejak Masa Lalu Indonesia 2015; 85-87.Banjarmasin. Banjarmasin Press 7. Sudrajat. Kehidupan Bangsa Indonesia zaman prasejarah dalam diktat Kuliah Prasejarah Indonesia 2012 p.10-15. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta