Kasus Swamedikasi New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH FARMASI KOMUNITAS



TEMA : SWAMEDIKASI NYERI



DISUSUN OLEH : KELAS E Aprizka Sari 18344121 Febi Nurul Fadilah 18344086 Ira Nurmalasari 18344094 Syifa Nabilah 18344097



INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL PROGRAM STUDI APOTEKER



JAKARTA 2019



BAB I PENDAHULUAN



Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut World Health Organization (WHO), swamedikasi atau self-medication merupakan pemilihan dan penggunaan obat tanpa resep dokter oleh seorang individu untuk mengatasi gangguan atau gejala yang dialami. Obat yang digunakan tidak sebatas obat sintetis melainkan juga obat herbal dan produk tradisional. Menurut penelitian yang berjudul ‘Tingkat pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga apotek kota panyabungan’, keluhan yang paling banyak dialami respondennya adalah nyeri 51,2%. Nyeri yang dialami responden seperti sakit kepala, sakit gigi, pegal-pegel dan nyeri haid. (Harahap et al, 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Villako et al., (2012) tentang Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pembelian Dan Konseling Obat Resep Dan Obat Tanpa Resep Di Tallin Estonia menunjukkan bahwa obat tanpa resep yang dibeli konsumen selama 12 bulan paling banyak adalah golongan analgesik (38%), diikuti obat batuk dan flu (21%) (Villako et al., 2012). seringkali penggunaan obat untuk swamedikasi tidak sesuai dengan kriteria penggunaan obat yang rasional, sehingga akan menyebabkan terjadinya keamanan yang kurang atau pengeluaran biaya yang tinggi (Kristina et al., 2012). Swamedikasi muncul didasari pemikiran pada masyarakat bahwa pengobatan sendiri dapat menyembuhkan penyakit ringan tanpa melibatkan tenaga kesehatan (Kartajaya, 2011). Alasan lainnya adalah karena keterbatasan biaya untuk berobat ke dokter, ketiadaan waktu untuk ke dokter, dan akses ke pelayanan kesehatan yang minim (Atmoko dan Kurniawati, 2009). Untuk melakukan swamedikasi dengan baik dan benar, masyarakat perlu mengetahui informasi yang jelas dan terpecaya mengenai obat-obat yang digunakan. Swamedikasi bermanfaat dalam pengobatan penyakit atau gejala penyakit ringan dan hanya jika dilakukan dengan benar dan rasional dan berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang obat yang digunakan dan kemampuan mengenali penyakit atau gejala yang timbul.. Dalam makalah ini akan dibahas tentang swamedikasi nyeri, dimana bertujuan memberikan pengetahuan dan informasi tentang pengobatan sendiri atau swamedikasi yang dapat dilakukan untuk keluhan nyeri sehingga dihaarapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



I.



Patofisiologi Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional dan tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial ,nyeri terjadi bersama proses penyakit atau bersama dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. (smelltzer,2001) Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot. Contoh : nyeri karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-lain. Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain : a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan lain-lain. b. Proses infeksi atau peradangan Penanggulangan dengan terapi non obat adalah: Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda c. Kompres hangat pada nyeri otot d. Gunakan obat penghilang nyeri e. Bila nyeri berlanjut hubungi dokter Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri, antara lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes RI,2007). Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multiple yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas. Nyeri disebabkan oleh rangsangan kimiawi atau fisis dapat menyebaabkan kerusakan jaringan. Sel-sel jaringan yang rusak akan melepaskan mediator nyeri. Mediator nyeri menimbulkan rangsangan pada reseptor nyeri yang terdapat pada ujung-ujung saraf perifer. Rangsangan nyeri akan diteruskan di pusat nyeri di otak. Kerusakan jaringan akan membebaskan histamine dan serotonin menyebabkan pembentukan leukotriene bradikinin dan prostaglandin. Mediator nyeri penting adalah amin histamine yang bertanggung jawab untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino)yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat. Menurut perkiraan zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung-saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini berkhasiat vasodilatasi kuat dan



meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan udema. Berhubung kerjanya serta inaktivasinya pesat dan bersifat local, maka juga dinamakan hormon lokal. Mungkin sekali zat-zat ini juga bekerja sebagai mediator demam (Collins, 2000). Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Ganong, 2003). Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejangkejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otaktengah. Dari thalamus impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007). Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentuyang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan danorgan tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tan Hoan,1964). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007). Penanganan rasa nyeri Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapacara,yakni :  Merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri pada perifer dengan analgetika perifer.



 



II.



Merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika local. Blockade pusat nyeri di ssp dengan analgetika sentral (narkotika) atau dengan anestetika umum. (Tan Hoan,1964)



Tatalaksana Terapi Nyeri a. Terapi Farmakologi Terapi secara farmakologis pada nyeri yang utama adalah analgesik non-opioid dan OAINS (Obat Antiinflamsi Non Steroid), analgesika opioid, dan analgesika adjuvan. i. Analgerik Non-Opioid dan Obat Anti-Inflamasi Non Steroid Analgesik harus dimulai dengan agen analgesik yang paling efektif dan memiliki efek samping paling sedikit. Acetaminophen, asam asetilsalisilat (aspirin), dan OAINS sering lebih disukai daripada opiat dalam pengobatan nyeri ringan sampai sedang (Tabel 1). Obat-obat ini (dengan pengecualian asetaminofen) mencegah pembentukan prostaglandin yang diproduksi dalam menanggapi rangsangan berbahaya, sehingga mengurangi jumlah impuls nyeri yang diterima oleh SSP. OAINS mungkin sangat berguna dalam pengelolaan nyeri tulang terkait kanker. (DiPiro JT et al, 2008) ii. Analgesik Opioid Analgesik Opioid adalah obat yang menyerupai peptida opioid endogen dan menyebabkan aktivasi reseptor opioid yang memanjang (biasanya reseptor µ) (Neal MJ, 2008). Secara umum, opioid lebih efektif untuk mengobati sakit parah dibandingkan analgesik nonopioid seperti OAINS. Opioid umumnya direkomendasikan untuk nyeri dengan intensitas sedang hingga parah dan digunakan dalam sindrom nyeri kronis yang sukar disembuhkan dengan agen dari kelas-kelas lain (Koda-Kimble MA et al, 2009). Opioid menghasilkan analgesia oleh tiga mekanisme utama: • Presynaptically, opioid mengurangi pelepasan di pemancar peradangan (misalnya, tachykinin, asam amino rangsang, dan peptida) dari terminal aferen C- neuron serat setelah aktivasi reseptor opioid. • Opioid juga dapat mengurangi aktivitas neuron output, interneuron, dan dendrit di jalur neuronal dengan cara hyperpolarization postsynaptic. • Opioid juga menghambat aktivitas neuron melalui GABA dan enkephalin neuron di substansia gelatinosa. Opioid seringkali adalah langkah logis berikutnya dalam manajemen nyeri akut dan nyeri kronis yang berhubungan dengan kanker. Opioid juga merupakan pilihan pengobatan yang efektif dalam pengelolaan nyeri kronis nonkanker; Namun, ini terus menjadi agak kontroversial (DiPiro JT et al, 2008).



iii. Analgesik ajuvan Obat analgesik seringkali diresepkan bersamaan dengan obat lain untuk meningkatkan analgesia atau untuk mengobati eksaserbasi nyeri. analgesik adjuvan adalah agen farmakologis dengan karakteristik individu yang membuatnya berguna dalam manajemen nyeri tapi itu biasanya tidak diklasifikasikan sebagai analgesik. Obatobat ajuvan paling sering digunakan dalam manajemen nyeri kronis, terutama ketika dosis analgesik utama telah dioptimalkan atau ketika kondisi yang mendasarinya telah berkembang dan tidak lagi memadai dikendalikan oleh agen analgesik utama. b.



Terapi Non-farmakologi



Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai terapi non-farmakologi saat menderita nyeri: a. Istirahat dan Pengaturan Posisi Kebanyakan nyeri neuromuskuloskeletal dapat dikurangi dengan pengaturan posisi yang optimal. Nyeri akan bertambah parah apabila posisi yang ada pada penderita tidak dalam posisi kesejajaran. Istirahat pada saat nyeri merupakan hal yang pertama dilakukan saat sedang nyeri. Pengaturan posisi secara fisiologis sangat membantu dalam menurunkan rasa nyeri. Pengaturan fisiologis akan membantu meningkatkan aliran darah pada jaringan yang nyeri, baik akibat iskemia jaringan atau sebab lain (Muttaqin A, 2008). b. Teknik Relaksasi Teknik relakasasi yaang dapt dilakukan untuk meredakan nyeri yaitu relaksasi otot skeletal dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri dan relaksasi napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama(Muttaqin A, 2008). c. Kompres Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan. pemberian kompres dingin dalam bentuk kantong es (ice pack) yakni sebuah kompres es yang dikemas dengan menggunakan sarung tangan karet yang diisi batu es dan dibungkus dengan sesuatu yang bersih seperti kain lap sekali pakai atau handuk sekali pakai. Nyeri dapat mereda karena ice pack mengurangi prostaglandin yang memperkuat reseptor nyeri, menghambat proses inflamasi, merangsang pelepasan endorfin sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui diameter serabut C yang mengecil serta mengaktivasi transmisi serabut saraf sensorik A -beta yang lebih cepat dan besar(Wenniarti, 2016). Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit(Muttaqin A, 2008). d. Pijat Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok area tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan. e. Penggunaan Aromaterapi



Aromaterapi selalu dihubungkan dengan hal-hal menyenangkan agar membuat jiwa, tubuh dan pikiran merasa relaks. III. SWAMEDIKASI Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat,seperti demam nyeri,pusing,batuk,influenza,sakit maag,cacingan,diare, penyakit kulit dan lain lain (Depkes RI, 2007). Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan jika mengikuti aturan memakainya. Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983). a. Obat-obat Sintetik (Wijoyo, 2011) Penatalaksanaan terapi nyeri dan demam dapat dilakukan swamedikasi dengan obat sintetik berikut: 1.



Metampiron / Metamizole/Antalgin Indikasi : Metampiron sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang ringan hingga sedang, seperti misalnya sakit kolik abdomen, nyeri haid, sakit kepala, sakit gigi, sakit akibat kecelakaan, peradangan atau inflamasi, hingga manajemen nyeri setelah operasi. Kontraindikasi : Metampiron tidak boleh diberikan kepada individu dengan kondisi sebagai berikut: 



Orang yang memiliki alergi terhadap derivat pirazolon.







Memiliki



kelainan bawaan



berupa



defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-



dehidrogenase (G6PD). 



Penderita yang hipersensitif atau yang juga memiliki riwayat alergi terhadap obat-obat golongan NSAID lain seperti aspirin, parasetamol, dan sebagainya.







Bayi yang berusia dibawah 4 bulan atau bayi yang memiliki berat badan di bawah 5 kg.







Ibu hamil terutama 3 bulan pertama dan 6 minggu terakhir.







Bagi yang memiliki tekanan darah rendah di bawah 100 mmHg. Karena metampiron memiliki efek menurunkan tekanan darah.



Dosis Metampiron



:



Dosis pada dewasa untuk menghilangkan rasa sakit atau nyeri adalah 500 mg sekali minum, dan dapat diminum setiap 8 jam artinya 3 kali sehari. Pada anak-anak yang memiliki berat badan setengah dari berat badan dewasa (20-30 kg) dapat menggunakan antalgin dengan dosis setengah dari dosis dewasa di atas, yaitu 3×250 mg sehari tiga kali. Jangan menggunakan obat ini dalam jangka waktu yang panjang, karena dapat menimbulkan efek samping yang merugikan kesehatan. Jadi, apabila rasa sakit tak kunjung reda atau hilang timbul, maka sebaiknya periksakan kondisi Anda ke dokter. Efek Samping : Obat antalgin ini dapat menimbulkan beberapa efek samping, terutama apabila diminum secara berlebihan dan dalam jangka waktu yang panjang. Beberapa efek samping antalgin antara lain: 



Radang lambung rasa perih atau sakit pada uluhati (gastritis) alias sakit maag







Hiperhidrosis keringat berlebih







Retensi cairan dan garam dalam tubuh







Reaksi alergi bagi mereka yang rentan atau sensitif, berupa gatal pada kulit, kemerahan atau edema angioneurotik.



Pada pemakaian metampiron dalam jangka waktu panjang secara teratur, metampiron dapat menimbulkan kasus agranulositosis. Untuk mendeteksi masalah ini, diperlukan pemeriksaan darah secara teratur. Jika hal ini terjadi, maka penggunaan obat ini harus segera dihentikan. Perhatikan juga bahwa walaupun antalgin adalah obat pereda nyeri, namun obat ini tidak untuk mengobati rasa nyeri otot pada gejala-gejala flu dan tidak untuk mengobati kondisi rematik, lumbago, sakit punggung, bursitis, dan sindroma bahulengan. Harus hati-hati menggunakan antalgin pada penderita yang pernah mengalami masalah pada pembentukan darah ataupun kelainan pada darah, juga hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.



Apabila metampiron ini digunakan dalam jangka waktu yang panjang, maka perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan darah untuk deteksi dini masalah efek samping yang mungkin berbahaya.



2.



Ibuprofen (Depkes RI, 2007) Kegunaan obat Menekan rasa nyeri dan radang, misalnya dismenorea primer (nyeri haid), sakit gigi, sakit kepala, paska operasi, nyeri tulang, nyeri sendi, pegal linu dan terkilir. Hal yang harus diperhatikan • Gunakan obat dengan dosis tepat • Hati-hati untuk penderita gangguan fungsi hati, ginjal, gagal jantung, asma dan bronkhospasmus atau konsultasikan ke dokter atau Apoteker • Hati-hati untuk penderita yang menggunakan obat hipoglisemi, metotreksat, urikosurik, kumarin, antikoagulan, kortiko-steroid, penisilin dan vitamin C atau minta petunjuk dokter. • Jangan minum obat ini bersama dengan alkohol karena meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna. Kontra Indikasi Obat tidak boleh digunakan pada: • Penderita tukak lambung dan duodenum (ulkus peptikum) aktif • Penderita alergi terhadap asetosal dan ibuprofen • Penderita polip hidung (pertumbuhan jaringan epitel berbentuk tonjolan pada hidung) • Kehamilan tiga bulan terakhir Efek Samping • Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare, konstipasi (sembelit/susah buang air besar), nyeri lambung sampaipendarahan. • Ruam kulit, bronkhospasmus, trombositopenia • Penurunan ketajaman penglihatan dan sembuh bila obat dihentikan • Gangguan fungsi hati • Reaksi alergi dengan atau tanpa syok anafilaksi • Anemia kekurangan zat besi Bentuk sediaan • Tablet 200 mg • Tablet 400 mg Aturan pemakaian • Dewasa : 1 tablet 200 mg, 2 – 4 kali sehari,. Diminum setelah makan • Anak : 1 – 2 tahun : ¼ tablet 200 mg, 3 – 4 kali sehari



3 – 7 tahun : ½ tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari 8 – 12 tahun : 1 tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari tidak boleh diberikan untuk anak yang beratnya kurang dari 7 kgDosis lazim pediatric untuk rheumatoid arthritis Usia 6 bulan – 12 tahun : 20 – 40 mg / kg bb / hari dibagi 3 atau 4 x pemberian. Maksimum : 2,4 g / hari



3. Aspirin/asetosal/asam asetil salisilat (Depkes RI, 2007) Indikasi: Aspirin sering digunakan sebagai antipiretik, analgesik, pada demam reumatik akut, artritis reumatoid. Selain itu, aspirin juga digunakan untuk mencegah thrombus koroner bila digunakan pada dosis yang lebih kecil. Mekanisme kerja: Mekanisme kerja aspirin berhubungan dengan sistem biosintesi prostaglandin. Obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi menjadi asam arakhidonat terganggu. Aspirin terutama menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin 530 dari COX-1. Kontraindikasi: Aspirin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang diterapi antikoagulan. Penderita hemofilia, trombositopenia, cacar air, dan gejala flu, hipersensitif terhadap salisilat. Penderita alergi (termasuk asma), tukang lambung. Efek samping: Efek samping dari penggunaan aspirin adalah iritasi lambung, pendarahan lambung / tukak lambung (terutama pemakaian lama), mual, muntah, reaksi hipersensivitas (sesak napas, reaksi kulit), dapat terjadi berkurangnya jumlah trombositopenia. Dosis: Dewasa : 500mg setiap 4 jam Anak : 2 – 3 tahun : ½ - 1 ½ tablet 100mg, setiap 4 jam 4 – 5 tahun : 1 ½ - 2 tablet 100mg, setiap 4 jam 6 – 8 tahun : ½ - ¾ tablet 500mg, setiap 4 jam 9 – 11 tahun : ¾ - 1 tablet 500mg, setiap 4 jam > 11 tahun : 1 tablet 500mg, setiap 4 jam



4. Paracetamol/para amino fenol/acetaminofen (Depkes RI, 2007) Indikasi: Parasetamol digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang dari sakit kepala, nyeri otot, periode menstruasi, pilek dan sakit tenggorokan, sakit gigi, sakit punggung, dan reaksi terhadap vaksinasi (suntikan), dan untuk mengurangi demam. Parasetamol juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat osteoartritis (artritis yang disebabkan oleh kerusakan pada selaput sendi). Parasetamol adalah termasuk kelas obat yang disebut anal gesik (penghilang nyeri) dan antipiretik (penurun panas). Obat ini bekerja dengan mengurangi rasa sakit dan menurunkan suhu tubuh. Kontraindikasi: Parasetamol tidak boleh diberikan pada orang yang alergi terhadap obat antiinflamasi non-steroid (AINS), menderita hepatitis, gangguan hati atau ginjal, dan alkoholisme. Pemberian parasetamol juga tidak boleh diberikan berulang kali kepada penderita anemia dan gangguan jantung, paru, dan ginjal. Efek samping: Efek samping parasetamol jarang ditemukan. Efek samping dapat berupa gejala ringan seperti pusing sampai efek samping berat seperti gangguan ginjal, gangguan hati, reaksi alergi dan gangguan darah. Reaksi alergi dapat berupa bintik – bintik merah pada kulit, biduran, sampai reaksi alergi berat yang mengancam nyawa. Gangguan darah dapat berupa perdarahan saluran cerna, penurunan kadar trombosit dan leukosit, serta gangguan sel darah putih. Penggunaan parasetamol jangka pendek aman pada ibu hamil pada semua trimester dan ibu menyusui. Dosis: Dewasa : 1 tablet (500mg) 3-4 kali sehari (setiap 4-6 jam) Anak : 0 – 1 tahun : ½ - 1 sendok teh sirup, 3-4 kali sehari 1 – 5 tahun : 1 – 1 ½ sendok the sirup, 3-4 kali sehari 6 – 12 tahun : ½ - 1 tablet (250-500 mg), 3-4 kali sehari



5. Asam Mefenamat Indikasi : Nyeri dan Inflamasi, Obat ini diindikasikan untuk penderita nyeri ringan sampai sedang dan penyakit dengan peradangan, umumnya nyeri gigi, nyeri menstruasi, nyeri otot atau sendi, dan nyeri setelah melahirkan. Kontra Indikasi : Hipersensitivitas terhadap asam mefenamat, aspirin atau NSAID lainnya. Penderita penyakit pasien radang usus, ulkus aktif atau peradangan kronis pada saluran pencernaan atas atau bawah, gagal ginjal. Sejarah reaksi asma, urtikaria, alergi tipe. Pengobatan nyeri perioperatif dalam pengaturan operasi CABG. Dosis dan Penggunaan : Dewasa: 500 mg tiga kali sehari. Anak> 6 bulan : 25 mg/kgBB sehari dalam dosis terbagi hingga 7 hari. Harus diberikan bersama dengan makanan. Efek Samping : CHF, hipertensi, takikardia, sinkop, aritmia, vaskulitis, hipotensi, palpitasi; sakit perut, muntah, dispepsia, konstipasi, diare, mual, mulas, GI perforasi, ulkus peptikum, perut kembung; penurunan hematokrit, trombositopenia, anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis, leukopenia, eosinofilia; sakit kepala, pusing, gugup, mengantuk, insomnia, kegelisahan, kecemasan, kebingungan, tremor, vertigo; penglihatan kabur, konjungtivitis, tinnitus, gangguan pendengaran; fungsi abnormal ginjal, edema, proteinuria, sistitis; LFT ditinggikan, urtikaria, ruam, pruritus, alopecia, keringat, photosensitivity, resp depresi, pneumonia, demam, infeksi. Berpotensi Fatal: Reaksi anafilaktoid, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, MI, stroke, perdarahan GI, penyakit kuning dan hepatitis fulminan, nekrosis hati, dan gagal hati, toksisitas ginjal. Perhatian



:



Pasien dengan penyakit kardiovaskular atau faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular, riwayat perdarahan gastrointestinal atau tukak lambung, retensi



cairan atau gagal jantung. Ginjal dan penurunan fungsi hati. Kehamilan dan menyusui. Interaksi Obat : Penggunaan bersamaan isoenziminhibitor CYP2C9 dapat mengubah keamanan dan kemanjuran asam mefenamat. Dapat meningkatkan toksisitas methotrexate. Mengurangi respon tekanan darahpada penggunaan inhibitor ACE atau antagonis reseptor angiotensin II. Peningkatan risiko kejadian GI serius dengan aspirin. Dapat mengurangi efek natriuretik furosemide atau diuretik thiazide. Mengurangi klirens lithium ginjal dan kadar lithium plasma meningkat. Dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin.



BAB III STUDI KASUS Gambaran Swamedikasi Analgesik Pada Lansia Dengan Nyeri Sendi Di Pelayanan Komunitas Analgesik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan secara swamedikasi oleh pasien lansia. Keluhan yang mendorong pasien lansia menggunakan anlgesik secara swamedikasi adalah nyeri sendi. Mengingat pentingnya swamedikasi analgesik yang tepat pada nyeri sendi yang dialami oleh lansia, maka penelitian ini dilakukan sebagai penelitian pendahuluan untuk memperoleh profil penggunaan analgesik dan gambaran pasien lansia yang melakukan swamedikasi anlagesik pada nyeri sendi. Penelitian ini dilakukan di salah satu apotek swasta di Denpasar yang memiliki pelayanan khusus konsultasi, informasi dan edukasi obat bagi lansia selama bulan April-Juni 2018. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang menggunakan lembar observasi untuk pengumpulan data. Penelitian ini melibatkan 87 sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyeri sendi lebih sering terjadi pada pasien lansia yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 63,2% dengan rata-rata frekuensi swamedikasi 13,31 kali per bulan. Pasien lansia yang tidak sekolah sebesar 35,5% melakukan swamedikasi analgesik dengan rata-rata frekuensi swamedikasi 15,87 kali per bulan Pasien lansia yang tinggal sendiri melakukan swamedikasi analgesik pada nyeri sendi sebesar 56,35% dengan rata-rata frekuensi swamedikasi 12,76 kali per bulan. Golongan analgesik yang digunakan adalah analgesik kombinasi non-steroid antiinflammantory drugs (NSAID) dan non-NSAID (58%) dengan jenis NSAID terbanyak yaitu natrium diklofenak (28,7%) dan non-NSAID terbanyak yaitu dexamethasone (31%) untuk mengatasi nyeri pada asam urat (72,4%). Diskusi: Penelitian ini memberikan gambaran swamedikasi analgesik pada lansia dengan nyeri sendi tanpa melihat dan menganalisa kekuatan hubungan yang mempengaruhi setiap parameter. Gambaran Analgesik yang Dibeli Pasien Lansia di Apotek



Tabel diatas menunjukkan gambaran analgesik yang dibeli pasien lansia di apotek untuk mengatasi nyeri sendi. Sebagian besar pasien lansia membeli analgesik di apotek dengan keluhan asam urat (72,4%) yang mana penegakkan diagnosa tersebut cenderung melalui pemeriksaan mandiri (66,7%). Golongan analgesik yang cenderung digunakan adalah analgesik kombinasi non-steroid antiinflammantory drugs (NSAID) dan non-NSAID (58%) dengan jenis NSAID terbanyak yaitu natrium diklofenak (28,7%) dan non-NSAID terbanyak yaitu dexamethasone (31%). Gambar 1 menunjukkan sumber informasi swamedikasi analgesik yang diperoleh pasien lansia cenderung diperoleh dari kerabat/ 5 keluarga (44,8%). Walaupun pasien lansia yang melakukan swamedikasi analgesik untuk nyeri sendi cenderung tinggal sendiri, namun untuk memperoleh informasi masih cenderung bertanya pada kerabat/keluarga. Sebagain besar pasien lansia pada penelitian ini membeli analgesik kombinasi (NSAID dan nonNSAID). Pada saat membeli, pasien cenderung menggunakan kombinasi natrium diklofenak dan dexamethasone. Sebagian besar pasien lansia tersebut mengetahui informasi tersebut dari kerabat/keluarganya. Pasien lansia yang membeli kombinasi kedua obat tersebut mengeluh mengalami nyeri sendi akibat asam urat tanpa adanya bukti pemeriksaan laboratorium. Pasien lansia tersebut cenderung melakukan pemeriksaan mandiri seperti melakukan pemeriksaan kadar asam urat secara instan pada pelayanan kesehatan seperti apotek. Hal tersebut



disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan pentingnya penegakkan diagnosa sebelum menentukan pilihan terapi. Berdasarkan penatalaksanaan asam urat yang dirilis oleh American Collage of Rheumatology, untuk mengatasi nyeri sendi pada penderita asam urat harus diketahui terlebih dahulu tingkat nyeri yang dialami oleh pasien melalui pemeriksaan kadar asam urat yang akurat dan pemeriksaan fisik lainnya. Nyeri sendi yang bersifat ringan dapat digunakan terapi tunggal NSAID atau kortikosteroid sistemik (Prednisone 0,5 mg/ kg berat badan per hari) atau kolkisin oral. Pada keadaan nyeri sendi yang berat dapat digunakan kombinasi kolkisin oral dan NSAID atau kolkisin oral dan kortikosteroid (Khanna et al., 2012). Pada penelitian ini, pasien cenderung menggunakan kombinasi NSAID dan kortikosteroid (dexamethasone). Penggunaan dexamethasone untuk mengatasi nyeri bukan merupakan pilihan yang tepat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan Prednisone merupakan pilihan utama dari golongan kortikosteroid yang terbukti memiliki efektivitas yang tinggi untuk mengatasi nyeri sendi pada penderita asam urat (Khanna et al., 2012; Xu, Liu, Guan, & Xue, 2016).



Contoh pelayanan swamedikasi di Apotek : 1. Ny. Lia berusia 65 tahun membeli obat ke apotek untuk mengatasi nyeri sendinya, beliau mendapatkan obat Natrium diklofenak. Beliau mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan lebih. Setelah itu, beliau mengeluhkan perih pada lambung, mual dan muntah. Apa yang terjadi? Mengapa beliau mengeluh sakit dan perih pada lambung? Pembahasan : Pada kasus ini, pasien mendapatkan obat yang merupakan golongan NSAID. Obat-obat ini digunakan untuk terapi penyakit inflamasi dan nyeri. Namun cara kerja obatobat NSAID tidak selektif dengan mengambat enzim COX-1 dan COX-2, dimana enzim ini erperan dalam reaksi pembentukan prosaglandin. Karena enzim COX-1 berperan pda pemeliharaan fungsi lambung dengan cara membentuk bikarbonat dan lendir dihambat maka terjadi efek samping yaitu gangguan pada lambung. Maka, sebaiknya obat-obat pereda nyeri tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama. 2. Seorang ibu berumur 27 tahun datang ke apotek dengan mengeluh nyeri pada bagian gigi dan gusi. Dirasakan sangat nyeri dan sakit bila mengunyah makanan dan meminum minuman dingin. Apa yang anda sarankan? Pembahasan : Pertama tanyakan apakah sedang mengkonsumsi obat lain, ada riwayat alergi, atau punya gangguan lambung dll. Jika tidak, maka salah satu obat yang dapat digunakan adalah Ibuprofen karena merupakan obat OWA, jadi bisa digunakan untuk swamedikasi. Dosis



yang digunakan ialah 200 – 400 mg secara oral setiap 4 – 6 jam atau bila diperlukan. Jikasakit berlanjut segera hubungi dokter. 3. Adik perempuan anda, mengeluhkan sakit perut bagian bawah, terasa kram yang timbul hilang pada saat yang bersamaan, ia menjadi sembelit. Terkadang juga merasa mual. Saat ditanya, ia sedang menstruasi. Pengobatan apa yang anda pilih? Pembahasan : Plihannya adalah obat NSAID yakni : ibuprofen, asam mefenamat, kalium diklofenak, ketoprofen, ketorolak. Karena dismenore disebabkan karena adanya peradangan pada dinding rahim sat proses peluruhan ovum atau menstruasi. Selain pengobatan dengan terapi farmakologi, dapat juga ditambahkan dengan terapi nonfarmakologi salah satunya ialah dengan metode kompress menggunakan ice pack dibagian bawah perut. Nyeri dapat mereda karena ice pack mengurangi prostaglandin yang memperkuat reseptor nyeri, menghambat proses inflamasi, merangsang pelepasan endorfin sehingga menurunkan transmisi nyeri. 4. Seorang laki-laki datang ke apotek, dengan keluhan nyeri dikepala dan sakit di tenggorokan. Dan suhu tubuh laki-laki tersebut adalah 38oc. Pengobatan apa yang bisa diberikan kepada pasien tersebut? Pembahasan : Pemberian obat Acetaminophen (Paracetamol) dirasa merupakan pilihan obat yang tepat untuk mengurangi nyeri serta menurunkan panas. Dimana indikasi dari paracetamol adalah dapat meringankan rasa nyeri dan menurunkan panas. Untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam, dosis parasetamol dewasa 325 – 650 mg setiap 4 jam atau 500 mg setiap 8 jam.



BAB IV PEMBAHASAN



Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan pemberian terapi nonfarmakologi (tanpa obat) dan terapi farmakologi (menggunakan obat-obat). Penatalaksanaan terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan sendiri oleh penderita nyeri atau dengan bantuan dan dukungan dari keluarga dekat yaitu istirahat dan pengaturan posisi, teknik relaksasi, kompres, pijat, dan penggunaan aromaterapi.Penatalaksanaan nyeri dengan terapi farmakologi dapat dilakukan dengan penggunaan analgesik. Analgesik merupakan obat-obat yang diperuntukkan dalam meredakan rasa nyeri tanpa mengakibatkan hilangnya kesadaran. Golongan analgesik yang cenderung digunakan adalah analgesik kombinasi non-steroid antiinflammantory drugs (NSAID), namun keluhan yang paling sering dialami adalah nyeri pada lambung hal ini merupakan efeksamping dari NSAID. Untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), tidak semua obat-obatan tersebut dapat digunakan. Obat-obat yang dapat diperoleh dan digunakan dalam swamedikasi hanya yang tergolong dalam obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras yang masuk dalam daftar obat wajib apoteker/ OWA(obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker yang disertai dengan penjelasan).



BAB V KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Nyeri merupakan suatu perasaan tidak nyaman bagi individu dan merupakan mekanisme protektif bagi tubuh apabila terdapat kerusakan jaringan. Mengakibatkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri tersebut. Nyeri digolongkan ke dalam tiga jenis utama yaitu, tertusuk, terbakar dan pegal. 2. Penatalakasanaan nyeri dapat dilakukan dengan cara non-farmakologi dan farmakologi. Terapi non-farmakologi dapat dilakukan dengan istirahat dan pengaturan posisi, teknik relaksasi, kompres, pijat, dan penggunaan aromaterapi. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan menggunaan obat-obatan analgetik. 3. Swamedikasi dapat dilakukan oleh pasien dengan informasi yang telah di dapatkan dari apoteker. Dan dilakukan dengan metode yang tepat. 4. Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri yaitu golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek 5. Masalah dalam penggunaan obat pada swamedikasi antara lain meliputi penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis. Masalah tersebut biasanya dikenal dengan istilah penggunaan obat yang tidak rasional



DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang 36 pasal 1 tahun 2009 tentang kesehatan



2. World Health Organization. The role of the pharmacist in self-care and self-medication contents. Netherlands: The Hague; 1998. 3. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapan Edisi 5. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2012. 4. Smelltzer, Suzanne C.2001 keperawatan medical bedahbrunnerdansuddart.edisi 8 vol 2. Jakarta:buku kedokteran. 5. Mutmainah, Armirauf. Makalah analgetik dan antipireutik. Universitas Hasanuddin. Makassar. 2016. 6. DepKes RI, 1983. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas, Jakarta. 7. Villako, P., Volmer, D., dan Raal, A., 2012. Factors influencing purchase of and counselling about prescription and OTC medicines at community pharmacies in Tallinn, Estonia. Acta Pol Pharm, 9: 335–340. 8. Atmoko, W. dan Kurniawati, I., 2009, Swamedikasi: Sebuah Respon Realistik Perilaku Konsumen Di Masa Kritis. Bisnis dan Kewirausahaan, 2 (3): 233–247. 9. Mutaqin A. Buku ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Penerbit Salemna Medika. Jakarta. 2008. 523-527 10. Wenniarti, Muharyani PW, Jaji. Pengaruh Terapi Ice Pack Terhadap Perubahan Skala Nyeri Pada Ibu Post Episiotomi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.3 No. 1, Januari 2016 : 377-382 11. Wijoyo Y. Penggolongan Obat. Penerbit Citra Aji PArama. Yogyakarta. 2011 12. Depkes RI. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. 2017 13. Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 1964. Obat-Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta: PT. Gramedia. 14. Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting . Jakarta; PT Elex Media Komputindo. 15. Collins, S.L, et.al. 2000. Antidepressants and Anticonvulsants. PharmWkbl. 16. Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari 17. DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies. USA. 2008 18. Koda-Kimble MA, Young LY, Alldrege BK, Corelli RL, Guglielmo BJ, Kradjan WA, Williams BR. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, Ninth Edition. Lippincott Williams & Wilkins, USA. 2009.