Kel. 5 Penyakit Paru Akibat Kerja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Penyakit Paru Kerja (Pneumokoniosis, Fibrosis Paru, dan Kanker) Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja kelas A Dosen pengampu: Reny Indrayani, S.KM., M.KKK.



MAKALAH



Oleh: Kelompok 5



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS JEMBER 2017



Penyakit Paru Kerja (Pneumokoniosis, Fibrosis Paru, dan Kanker) Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja kelas A Dosen pengampu: Reny Indrayani, S.KM., M.KKK.



MAKALAH



Oleh: Kelompok 5 Rosa Anandia F.



142110101009



Laily Ida Arisa



142110101131



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS JEMBER 2017



i



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Penyakit Paru Kerja (Pneumokoniosis, Fibrosis Paru, dan Kanker)” dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Tujuan dari makalah ini untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit saluran pernafasan yang dapat muncul akibat bekerja serta mengetahui cara pencegahan dan penanggulangannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



Jember, 17 April 2017



Penyusun



DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM............................................................................i ii



KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1 1.3 Tujuan.............................................................................................................2 BAB 2. PEMBAHASAN........................................................................................3 2.1



Penyakit Paru Kerja....................................................................................3



2.2



Pneumokoniosis..........................................................................................3



2.2.1 Klasifikasi................................................................................................3 2.2.2 Nilai Ambang Batas.................................................................................7 2.2.3 Patofisiologi.............................................................................................9 2.2.4 Faktor Risiko........................................................................................10 2.2.5 Diagnosis..............................................................................................12 2.2.6 Tanda dan Gejala..................................................................................12 2.2.7 Pencegahan dan Pengendalian..............................................................13 2.3



Fibrosis Paru............................................................................................14



2.3.1



Penyebab Fibrosis Paru....................................................................14



2.3.2



Tanda dan Gejala..............................................................................15



2.3.3



Diagnosis..........................................................................................16



2.3.4



Pengobatan.......................................................................................17



2.3.5



Komplikasi Fibrosis Paru.................................................................19



2.3.6



Patofisiologis....................................................................................20



2.4



Kanker......................................................................................................20



2.4.1 Etiologi dan Faktor Risiko.....................................................................20 2.4.2 Klasifikasi..............................................................................................23 2.4.3 Tanda dan Gejala Klinis.........................................................................24 2.4.4 Diagnosis...............................................................................................25 iii



2.5 Langkah-Langkah Pengendalian..................................................................27 2.5.1 Eliminasi................................................................................................27 2.5.2 Substitusi................................................................................................28 2.5.3 Pengendalian Teknis..............................................................................28 2.5.4 Sistem Peringatan (Warning System).....................................................29 2.5.5 Pengendalian Administratif...................................................................30 2.5.6 Alat Pelindung Diri (APD)....................................................................30 BAB 3. PEMBAHASAN......................................................................................32 3.1 Studi Kasus...................................................................................................32 3.2 Analisis.........................................................................................................34 BAB 4. PENUTUP................................................................................................36 4.1 Kesimpulan...................................................................................................36 4.2 Saran.............................................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39



iv



1



BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya peraturan perundang-undangan mengenai penyakit akibat kerja merupakan hal penting dalam mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit yang disebabkan di tempat kerja. Salah satu peraturan perundangundangan yaitu Permenkes Nomor 56 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja, yang membahas mengenai upaya-upaya dalam melindungi pekerja dari berbagai masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja, dan perilaku pekerja yang berisiko meimbulkan penyakit akibat kerja. Namun, masih ada kejadian timbulnya penyakit akibat kerja walaupun pihak perusahaan dan pekerjanya telah berupaya menghindari penyebab timbulnya penyakit. Segala jenis penyakit yang timbul akibat kerja, saluran pernapasan dan organ paru adalah organ dan sistem tubuh yang paling sering terpapar oleh pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja. Penyakit paru-paru dan pernapasan menyumbang 8% kasus kematian terkait kerja (ILO, 2011) di seluruh dunia. Pada tahun 2003, ILO menyertakan penyakit paru akibat kerja ke dalam Major Occupational Illness dan pada daftar penyakit akibat kerja ILO revisi 2010. Pemerintah Indonesia dalam Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1993 mengakui kehadiran penyakit paru akibat kerja yaitu dengan menyertakan penyakit paru ke dalam penyakit akibat kerja (occupational diseases). Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang penyakit paru pneumokoniosis, fibrosis paru, dan kanker yang timbul di lingkungan kerja. Makalah ini akan membahas tentang ketiga penyakit tersebut beserta cara pencegahan dan penanggulangannya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pneumokoniosis? 2. Apa yang dimaksud dengan fibrosis paru?



2



3. Apa yang dimaksud dengan kanker? 1.3 Tujuan Untuk mengetahui penjelasan mengenai pneumokoniosis, fibrosis paru, dan kanker di tempat kerja.



3



BAB 2. PEMBAHASAN 2.1



Penyakit Paru Kerja Penyakit paru kerja merupakan rekasi pada paru akibat paparan debu, sehingga terjadi perubahan struktur (anatomi) paru. Pada umumnya, kelainan yang ditimbulkan bersifat permanen. Bagian paru yang mengalami perubahan struktur adalah parenkim, yaitu alveolus dan sekitarnya. Bentuk respons dari paru-paru bervariasi, tergantung pada jenis debu pemaparnya. Contoh penyakit paru kerja biasanya disebut pneumokoniosis, seperti silikosis, asbestosis, pneumokoniosis pada pekerja batu bara (coal worker pneumochoniosis) byysinosis, dan lain sebagainya, akibat paparan debu berilium, barium, besi, bijih timah putih. Apabila pekerja terpapar salah satu dari debu tersebut, dan dengan konsentrasi debu tertentu maka dapat timbul penyakit tertentu seperti kanker, pneumokoniosis pada pekerja batu bara, asma, asbestosis, pneumonitis hipersensitif, silikosis.



2.2



Pneumokoniosis Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa Yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan “konis” berarti debu. Pneumokoniosis merupakan segolongan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu-debu dalam paru-paru. Nama penyakitnya pun berlainan, tergantung dari jenis debu yang ditimbun. Beberapa pneumokoniosis yang banyak dikenal, yaitu asbestosis (disebabkan oleh debu asbes), silikosis (disebabkan oleh SiO 2 bebas), berryliosis (disebabkan oleh debu Be), dan lain-lain. Meskipun pneumokoniosis mempunyai banyak nama, tetapi pada hakikatnya semua pneumokoniosis adalah sama. 2.2.1 Klasifikasi Terdapat berbagai macam pneumoniokosis yang timbul di lingkungan kerja, diantaranya yaitu: a. Pneumokoniosis pada pekerja batu bara (black lung)



4



Pneumokoniosis jenis ini disebabkan oleh debu-debu batu bara, biasanya dijumpai di lokasi pertambangan batu bara. Berbeda dengan asbestosis dan silikosis maka pada pneumoniokosis yang disebabkan oleh batu bara jarang menimbulkan fibrosis. Tanda dan gejala yang timbul yaitu batuk dengan sputum yang berwarna abuabu atau hitam. Keluhan selanjutnya adalah sesak napas. Jika diperiksa, tampak suatu massa di paru-paru, terutama pada bagian atas paru. Keparahan dari penyakit ini tergantung dari lamanya kontaminasi terhadap debu-debu batu bara. b. Pneumokoniosis oleh karena Talk (Talkosis) Talk merupakan suatu magnesium silikat. Keparahan dari penyakit ini tergantung pada konsentrasi talk, ada atau tidaknya mineral lain yang terdapat di dalam talk (alumunium, besi, dan kalsium dalam konsentrasi yang berbeda-beda), ukuran talk, dan lamanya paparan. Di dalam industri biasanya digunakan talk yang mempunyai kemampuan fibrosis yang rendah. Pekerja yang paling banyak menderita



penyakit ini biasanya pekerja pabrik tepung



ataupun industri penerima talk. Untuk tanda dan gejala, sama seperti pneumokoniosis pada pekerja batu bara. c. Pneumokoniosis karena Logam Berat (pneumokoniosis kobalt) Logam berat yang terutama menyebabkan penyakit ini adalah kobalt. Tanda dan gejala klinis terjadi setelah 10 tahun bekerja, yaitu sesak napas, batuk, mengi, dermatitis, dan penyakit alergi lainnya. Terlihat infiltrat yang luas disertai bayangan sarang laba-laba pada bagian bawah paru. Contoh industri yang menggunakan kobalt yaitu tambang kobalt di Kongo, digunakan untuk baterai smartphone. d. Silikosis Penyakit ini biasanya terdapat pada para pekerja di perusahaan yang menghasilkan batu-batu untuk bangunan, di perusahaan granit, keramik, tambang timah putih, tambang besi,



5



batu bara, di perusahaan tempat menggurinda besi, di pabrik besi dan baja, dalam proses “sandblasting”, dan lain-lain. Disebabkan oleh debu silika yang terhirup masuk ke saluran pernapasan. Pada umumnya, masa inkubasi silikosis adalah 2 – 4 tahun. Silikosis biasanya dibagi menjadi 3 tingkat, berdasarkan tingkat kesakitan dari penyakit tersebut. 1) Tingkat pertama (tingkat ringan), sesak napas ketika bekerja, batuk kering. Keadaan umum penderita masih baik, gejalagejala klinis paru-paru sangat sedikit. Gangguan kemampuan bekerja sedikit sekali atau tidak ada. 2) Tingkat kedua (tingkat sedang), selalu ditemui menjadi penghambat kemampuan untuk bekerja. Selain itu, sesak dan batuk menjadi sangat terlihat, serta tanda-tanda kelainan paruparu juga tampak. 3) Tingkat ketiga (tingkat tinggi), sesak mengakibatkan kecacatan total. Dapat terlihat hipertrofi jantung kanan, dan tanda-tanda kegagalan jantung kanan. Apabila didapat pekerja yang menderita TBC paru-paru sekaligus menderita silikosis. Keadaaan tersebut dinamakan silikotuberkulosis. Untuk pengobatan, sampai saat ini masih belum ditemukan. e.



Antrakosis (pneumokoniosis karena debu-debu batu arang) Batu arang biasa dijumpai di pertambangan batu bara. Riwayat penyakit dari antrakosis mungkin bertahun-tahun. Kadang sakit tapi tidak memperlihatkan gejala-gejala. Timbul sesak napas dalam waktu yang lama dan batuk dengan dahak kehitaman.



f.



Asbestosis



6



Pneumokoniosis yang disebabkan oleh serat asbes. Serat asbes berupa batang dengan panjang hingga 200 mikron. Pekerjaan-pekerjaan dengan bahaya penyakit tersebut adalah pengolahan asbes, penenunan dan pemintalan asbes, reparasi tekstil yang terbuat dari asbes, dan lain-lain penggunaan asbes untuk keperluan pembangunan. g.



Byssinosis Merupakan penyakit pneumokoniosis yang penyebabnya yaitu debu kapas pada para pekerja dalam industri tekstil. Penyakit itu terutama berkaitan erat dengan pekerjaan karding dan blowing, tapi terdapat pula pada pekerjaan-pekerjaan lainnya, bahkan dari permulaan proses, yaitu pembuangan biji kapas, sampai kepada proses terakhir yaitu penenun. Masa inkubasi ratarata terpendek adalah 5 tahun.



h.



Stannosis Pekerja-pekerja yang terlalu banyak menghirup debu timah putih menderita pneumokoniosis yang tidak begitu berbahaya. Penyakit ini berkaitan dengan pengolahan bijih timbah atau industri-industri yang menggunakan timah putih, seperti pertambangan timah putih, industri gelas, kuningan dan perunggu, industri plating, dan lain-lain.



i. Siderosis Disebabkan oleh debu yang mengandung persenyawaan besi. Penyakit ini tidak begitu berbahaya dan tidak progresif. Siderosis terdapat pada para pekerja yang menghirup debu dari pengolahan bijih besi. Bijih besi biasa digunakan di industri tambang besi. Untuk



lebih



jelasnya,



beberapa



yang



dikategorikan



pneumokoniosis berdasarkan jenis debu dan penyebabnya.



7



Tabel 2.1 Beberapa jenis pneumokoniosis berdasarkan debu penyebabnya



Sumber: Susanto, Agus Dwi. 2011. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan: Pneumokoniosis. Vol. 61. No. 12



2.2.2 Nilai Ambang Batas Untuk debu kayu keras seperti debu kayu mahoni telah ditetapkan oleh Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 tentang Nilai Ambang Batas Debu Kayu di Udara Lingkungan Kerja adalah sebesar 5 mg/m3. Konsekuensi patologis dan klinis akibat eksposure terhadap debu sangat bervariasi dan tergantung dari sifat debu, intensitas dan durasi eksposure serta kerentanan dari individu. Bagian dari alat pernafasan yang terkena dan respon eksposure tergantung dari sifat kimia, fisika dan toksisitasnya. Selain debu-debu yang dapat menimbulkan PAK (penyakit akibat kerja), terdapat debu-debu yang hanya mengganggu kelancaran bekerja saja (nuisance dust). Debu-debu ini hanya berefek sangat



8



sedikit atau tidak sama sekali pada penghirupan normal. NAB dari jenis debu-debu ini adalah 10 mg/m 3 atau 30 jppmk (juta partikel per meter kubik udara) dengan syarat-syarat SiO2 kurang dari 1%. Sementara itu, berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2011, NAB untuk campuran debu-debu mineral yang menyebabkan pneumokoniosis yaitu debu logam sebesar 10 mg/m3, serbuk asbes sebesar 0,1 serat/ml, kapas (debu katun) sebesar 0,2 mg/m 3, debu bijih timah putih sebesar 2 mg/m3. Menurut SNI 19-0232-2005, NAB debu adalah sebagai berikut: a. Asbestos 1) Amosit (12172-75-5) 0,5 serat/ml ; A1 2) Krisotil (12001-29-5) 2 serat/ml ; A1 3) Krosidolit (12001-28-5) 0,2 serat/ml ; A1 4) Jenis lain-lain 2 serat/ml ; A1 b. Batu bara, debu 2(g,j) - 2 c. Batubara, tar, sebagai benzen terlarut (65996-93-2) 0,2 ; A1 – d. Berilium (7440-41-7) 0,002 ; A2 – e. Besi, garam-garam mudah larut sebagai Fe 1 – f. Besi oksida sebagai Fe (1309-37-1) 5(i) ; A4 - debu dan uap Fe2O3 g. Besi penta karbonil sebagai Fe (13463-40-6) 0,23 0,1 h. Grafit (7782-42-5) 2(j) - semua bentuk kecuali serat i. Talk 1) tidak mengandung serat asbes (14807-96-6) 2(j) ; A4 2) mengandung serat asbes : memakai NAB asbes j. Timah hitam, (7439-92-1) logam dan persenyawaan anorganik sebagai Pb 0,05 ; A3 - 659 k. Timah hitam arsenat (7784-40-9) sebagai Pb3(AsO4)2 0,15 –



9



l. Timah hitam kromat (7758-97-6), sebagai Pb 0,05 ; A2 – ; sebagai Cr 0,012 ; A2 – m. Timah putih (7440-31-5) 1) Logam



2-



2) oksida dan persenyawaan anorganik (kecuali SnH4), sebagai Sn



2-



3) persenyawaan organik sebagai Sn



0,1 ; (A4) – kulit



2.2.3 Patofisiologi Ketika pekerja menghirup udara yang mengandung debu, debu tersebut masuk ke dalam paru-paru. Terjadi proses yang berbeda di antara dua jenis debu yang mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu debu-debu berukuran di antara 5 – 10 mikron akan ditahan oleh saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3 – 5 mikron ditahan oleh bagian tengah saluran pernapasan. Partikelpartikel yang besarnya berkisar 1 hingga 3 mikron akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru. Debu-debu yang partikelpartikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir melainkan bergerak ke luar masuk alveoli. Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru-paru. Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu, waktu pajanan, rata-rata pernapasan, dan volume tidal. Konsentrasi debu yang berhubungan dengan pneumokoniosis diperkirakan > 5000˚/cc udara. a. Impaksi Merupakan kecenderungan partikel tidak dapat berubah arah pada percabangan saluran napas, seperti bronkus. Akibat hal tersebut banyak partikel tertahan di mukosa hidung, faring ataupun



percabangan



saluran



napas



besar.



Sebagian



10



besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di nasofaring.



b. Sedimentasi Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang, yaitu 1-5 mm. Pada umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada mukosa



bronkioli



respirabel)



akan



sedangkan langsung



ukuran ke



1-3



mikron



(debu



permukaan



alveoli



paru.



Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan pneumokoniosis. c. Difusi (gerak Brown) Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara. Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown). 2.2.4 Faktor Risiko Respons jaringan tubuh seseorang terhadap debu yang terhirup dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisik, sifat kimia, dan faktor pejamu (host). Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat pajanan debu. Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar debu rata-rata di udara dan waktu pajanan terhadap debu tersebut.



11



a. Sifat Fisik Keadaan fisik seperti bentuk partikel uap atau gas, ukuran dan



densitas



partikel,



bentuk



dan



kemampuan



penetrasi



mempengaruhi sifat migrasi dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh, contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan silika menyebabkan reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti mangan dan berrylium mempunyai efek sistemik. Gas dan uap yang relatif tidak larut seperti nitrogen oksida terinhalasi sampai saluran napas kecil sedangkan yang larut seperti amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di hidung dan



nasofaring.



Sifat



higroskopis



partikel



meningkatkan



ukurannya bila melalui saluran napas bawah. Sifat elektriksitas partikel



juga



menentukan



letak



deposisi



di



saluran



napas. b. Sifat Kimia Sifat asam atau basa suatu bahan berhubungan dengan efek toksik pada silia, sel-sel, dan enzim. Beberapa bahan mempunyai kecenderungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan jaringan. Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai efek



sistemik



sedangkan



komponen



fluorin



mungkin



mempunyai efek lokal dan sistemik. Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis) seperti batu bara, silika bebas, dan asbes. Contoh debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur, karbon, dan timah. Sifat antigenisitas merupakan sifat bahan untuk dapat merangsang antibodi, contohnya spora jamur bila terinhalasi dapat merangsang respons imunologi. c. Faktor Pejamu (Host) Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik akan mengganggu kerja silia, kecepatan bersihan, dan fungsi makrofag. Kecepatan dan rata-rata bersihan adalah



12



karakteristik bawaan. Gangguan sistem pertahanan paru didapat, contohnya karena obat-obatan, asap rokok, temperatur, dan alkohol mempengaruhi fungsi silia dan fungsi makrofag. Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru mempengaruhi pola pernapasan



yang



pada



akhirnya



mempengaruhi



deposisi



agen/bahan yang terhirup. Keadaan imunologi, contohnya alergi atau atopi mempengaruhi respons terhadap suatu agen. Secara rinci, faktor pejamu dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,



ras,



status



gizi,



kebiasaan



merokok,



kebiasaan



menggunakan alat pelindung diri (APD) di tempat kerja. 2.2.5 Diagnosis Dalam menegakkan diagnosis untuk penyakit paru kerja, harus ada riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dan menyebabkan pneumokoniosis, misalnya pernah atau sedang bekerja di pertambangan, pabrik keramik, dan lain sebagainya. Pemeriksaan tempat kerja harus menunjukkan adanya debu yang diduga menjadi sebab



penyakit



dilanjutkan



pneumokoniosis



dengan



biopsi



itu.



paru-paru,



Bila maka



pemeriksaan



akan



paru-paru



harus



menunjukkan kadar zat penyebab yang lebih tinggi dari pada kadar yang biasa. Diagnosa pneumokoniosis termasuk diagnosa yang sukar, karena sesungguhnya tidak ada orang yang tidak menimbun debudebu dalam paru-parunya. Terlebih jika hidup di kota atau tempat kerja yang sangat berdebu. Semakin bertambah usianya, maka semakin banyak pula debu yang ditimbun dalam paru-paru sebagai hasil penghirupan debu sehari-hari. Lebih-lebih pneumokoniosis tahap awal sangat sulit dipastikan diagnosanya.



13



2.2.6 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala yang timbul berbeda-beda tergantung dari banyaknya debu yang ditimbun dalam paru-paru. Semakin luas bagian paru-paru yang terkena, maka semakin parah tanda dan gejalanya. Tanda dan gejalanya antara lain, batuk-batuk kering, sesak napas, kelelahan umum, penurunan berat badan, banyak dahak, dan lain-lain. Gambaran Ro paru-paru menunjukkan kelainan dalam paru-paru, baik noduler, maupun yang lain. 2.2.7 Pencegahan dan Pengendalian Penanganan medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif dapat mengehentikan progresivitas pneumokoniosis. Apabila individu telah terpapar debu dan perlu dilakukan pengobatan, maka satu-satunya tindakan adalah memindahkan penderita ke pekerjaan yang kurang atau tidak mengandung debu-debu berbahaya. Dalam pemindahan tempat kerja, sebaiknya dengan memerhatikan umur penderita, jenis kelamin, dan beratnya penyakit. Dari faktor pejamu, sebaiknya menjaga kesehatan seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat jika diduga terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Untuk pencegahan, prinsipnya adalah meniadakan paparan atau menghindarkan orang berisiko tinggi terhadap paparan. Upaya yang



dapat



dilakukan,



yaitu



substitusi,



perancangan



teknik,



administratif, dan penggunaan alat pelindung diri. Substitusi, yaitu dengan mengganti bahan kimia berbahaya dengan yang tidak atau memiliki tingkat bahaya yang lebih rendah, contohnya seperti asbes diganti dengan fiber glass. Perancangan teknik, yaitu dengan menggunakan ventilasi lokal (local exhauster), agar debu yang dihasilkan saat produksi langsung disalurkan ke luar ruangan. Administrasi, yaitu dengan menjalankan program housekeeping,



14



menempatkan pekerja pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan keadaaan fisik atau mentalnya, hygiene individu, dan pemeriksaan secara berkala atau khusus. Penggunaan alat pelindung diri, yaitu dengan menggunakan masker atau respirator yang sesuai. 2.3



Fibrosis Paru Fibrosis paru adalah munculnya jaringan parut pada paru-paru yang menyebabkan kerusakan dan terganggunya fungsi paru-paru. Kerusakan ini menyebabkan jaringan di sekitar kantung udara di dalam paru-paru (alveolus) menebal dan kaku sehingga sulit bagi oksigen untuk masuk ke dalam darah. 2.3.1



Penyebab Fibrosis Paru Kerusakan paru-paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, termasuk terapi radiasi maupun dari obat-obatan tertentu. Walau penyebab pastinya masih belum diketahui, berikut adalah beberapa faktor utama dan faktor risiko yang bisa menjadi pemicu fibrosis paru. a. Kondisi medis. Fibrosis paru dapat berkembang dari beberapa penyakit



yang



dimiliki



seperti pneumonia, rheumatoid



oleh



seseorang,



arthritis, sarkoidosis,



dermatomyositis, dan berbagai penyakit jaringan ikat b. Obat-obatan tertentu. Beberapa obat-obatan yang dapat merusak jaringan di paru-paru, antara lain obat kemoterapi, penyakit jantung, antiinflamasi, dan antibiotik c. Pengobatan dengan menggunakan terapi radiasi. Pengobatan ini akan merusak paru-paru jika dilakukan dalam jumlah yang banyak, waktu yang lama, terdapat penyakit paru yang mendasari, dan digabung dengan kemoterapi. Tanda-tanda kerusakan paru dapat mulai terlihat berbulan-bulan hingga tahunan sejak penderita pertama terpapar radiasi.



15



d. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan pekerjaan atau okupasi. Lingkungan atau pekerjaan yang membuat seseorang terpapar zat beracun atau sumber polusi dalam jangka panjang juga dapat membahayakan paru-parunya. Beberapa zat dan pekerjaan yang berisiko, antara lain serbuk batu bara, asbes, silika, logam keras, butiran debu, kotoran hewan maupun burung, pekerja tambang, konstruksi, dan buruh tani. e. Usia dan jenis kelamin. Fibrosis paru lebih banyak dialami oleh pria lansia dan dewasa dibanding perempuan ataupun anak-anak. f. Faktor keturunan. Beberapa fibrosis paru diturunkan dalam keluarga sehingga faktor gen dapat menjadi faktor risiko dari kondisi ini. g. Kebiasaan merokok. Asap tembakau, perokok, maupun orang yang pernah merokok, serta penderita emfisema akan memiliki risiko terkena fibrosis paru lebih besar dibanding orang yang tidak merokok sama sekali. 2.3.2



Tanda dan Gejala Tanda dan gejala, serta tingkat keparahan fibrosis paru dapat berbeda-beda pada masing-masing penderita. Penderita yang satu dapat mengalami gejala yang berat dengan kondisi yang memburuk dengan cepat, sementara penderita lainnya hanya mengalami gejala yang sedang dengan perkembangan yang lebih lambat. Gejala fibrosis paru berkembang secara berkala, biasanya berlangsung selama lebih dari 6 bulan, dengan gejala yang paling sering dialami adalah sesak nafas dan batuk. Berikut adalah gejala fibrosis paru lainnya yang perlu diperhatikan: a. Nafas yang pendek hingga penderita mengalami kesulitan bernapas dengan baik (dyspnea), bahkan ketika melakukan aktivitas yang tergolong ringan, misalnya berpakaian. Tidak



16



sedikit orang yang menganggap gejala ini sebagai akibat dari b. c. d. e. f.



pertambahan usia atau kurangnya olahraga. Kelelahan Batuk kering Nyeri otot dan sendi Berkurangnya berat badan tanpa sebab yang jelas Ujung jari tangan dan kaki yang melebar dan membulat Penderita dengan gejala yang memburuk dalam hitungan



hari atau minggu akan memerlukan penanganan khusus dari dokter. Segera temui dokter jika Anda mengalami kesulitan bernapas selama beberapa waktu dan batuk yang berlangsung selama lebih dari 3 minggu. 2.3.3



Diagnosis Sebelum merekomendasikan pengobatan apa yang sesuai untuk penderita fibrosis paru, dokter akan melakukan proses diagnosis yang terdiri dari evaluasi riwayat penyakit pasien dan keluarga, pemeriksaan fisik, dan berbagai tes penunjang. Selain itu, dokter juga akan memeriksa gejala dan bertanya apakah pasien pernah terpapar zat-zat tertentu yang bisa menjadi pemicu penyakit ini. Pada pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa kemampuan paru-paru dengan mendengarkan pasien bernapas. Terdapat beberapa jenis tes penunjang yang mungkin harus dilalui penderita guna memastikan gejala dan diagnosis fibrosis paru, yaitu: a. Tes darah. Tes ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi hati dan ginjal dan sekaligus untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi kesehatan lainnya. b. Tes fungsi paru. Beberapa jenis tes yang mungkin dilakukan adalah spirometri, oksimeteri nadi, uji tekanan, dan analisa gas darah.



17



c. Tes pencitraan (pindai) tubuh. Beberapa jenis pemindaian tubuh yang mungkin dilakukan adalah x-ray dada, CT scan, dan ekokardiogram. d. Tes jaringan atau biopsi. Tes ini dilakukan dengan cara mengambil sebagian kecil jaringan paru-paru untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa jenis biopsi yang umumnya dilakukan adalah bronkoskopi dan biopsi melalui prosedur operasi. 2.3.4



Pengobatan Kerusakan paru-paru pada kondisi ini hanya dapat diperlambat dan dikurangi dampak dari gejalanya dengan pemberian obat-obatan dan melakukan rangkaian terapi. Apabila terapi konvensional dengan obat-obatan gagal, transplantasi paru mungkin akan direkomendasikan oleh dokter Anda. Berikut adalah beberapa metode pengobatan fibrosis paru yang umum dilakukan. a. Obat-obatan. Untuk memperlambat perkembangan fibrosis paru dan gangguan saluran pencernaan yang umumnya dialami oleh pemilik kondisi ini. Beberapa contoh obat-obatan, yaitu pirfenidone, nintedanib. Beberapa efek samping dari obatobatan ini, antara lain ruam, mual, dan diare. b. Rehabilitasi paru. Untuk mengurangi gejala dan menunjang fungsi tubuh, melatih ketahanan fisik, dan meningkatkan teknik pernapasan guna melatih efisiensi paru. c. Terapi oksigen. Untuk membuat latihan dan pernapasan itu sendiri menjadi lebih mudah, mengurangi risiko terjadinya komplikasi akibat kadar oksigen yang rendah, dan mengurangi tekanan darah di sisi kanan jantung. Terapi ini juga akan membantu memperbaiki kualitas tidur dan kesejahteraan hidup penderita. Terapi dapat diberikan ketika pasien tidur atau latihan, dan ada juga yang menggunakannya setiap saat.



18



d. Transplantasi paru. Selain manfaat baik dari transplantasi paru, dokter akan mendiskusikan juga risiko komplikasi berupa penolakan tubuh terhadap organ pengganti kepada pasien. Selain pengobatan yang bersifat medis, penderita fibrosis dapat juga mulai mengambil tindakan aktif dalam perawatan yang tengah dilaluinya untuk menjaga dan meningkatkan kesehatannya sendiri. Beberapa langkah yang bisa dilakukan, adalah: a. Ikuti rencana perawatan yang sedang dijalani, janji temu dengan dokter, instruksi dokter, jadwal minum obat, dan ikuti diet makanan maupun jadwal latihan yang telah dianjurkan. b. Menjaga makan dengan nutrisi yang berimbang dan lebih sering dengan porsi makanan yang lebih kecil. Langkah ini penting karena penderita fibrosis paru umumnya mengalami penurunan berat badan akibat kondisinya yang membuat tidak nyaman ketika bernapas juga ketika makan. Diskusikan pilihan menu makanan yang sesuai dengan kondisi Anda. c. Berhenti merokok. Jika mengalami kesulitan menghentikan kebiasaan ini, Anda dapat mendiskusikan program apa saja yang cocok untuk dijalani bersama dokter Anda. Hindari juga berada di dekat orang-orang yang merokok karena menghirup asap rokok juga dapat memengaruhi paru-paru. d. Olah tubuh rutin dapat membantu menjaga fungsi paru dan mengendalikan stres. Kegiatan seperti jalan kaki dan bersepeda bisa dilakukan namun akan membutuhkan waktu dan proses. Diskusikan dengan dokter jenis olahraga apa yang sesuai dengan kondisi Anda. e. Pastikan Anda memiliki waktu istirahat yang cukup dengan demikian Anda akan memiliki lebih banyak energi dan dapat mengurangi stres yang dirasakan akibat kondisi ini.



19



f. Pastikan Anda dan keluarga mendapatkan vaksin pneumonia dan flu tahunan agar terhindar dari infeksi saluran pernapasan yang bisa memperburuk kondisi fibrosis paru. Hindari juga bertemu dengan banyak orang di musim flu tengah merebak. Pada beberapa orang, perawatan fibrosis paru dapat membawa pengaruh yang baik sehingga mereka dapat tidak terganggu oleh gejala dari kondisi ini hingga bertahun-tahun lamanya. Namun ada juga yang kondisinya memburuk dengan cepat. Fibrosis paru memang termasuk salah satu jenis penyakit yang dapat bertambah parah seiring waktu. Menjadi aktif dan mempelajari mengenai penyakit ini dapat membantu Anda dan juga orang-orang di sekitar dalam melalui proses perawatan. Bersikap terbuka dengan dokter Anda juga dianjurkan khususnya ketika stres dan depresi menyerang. Dokter dapat merujuk Anda pada seorang ahli kesehatan mental atau menyarankan langkah alternatif lainnya untuk meringankan kondisi Anda. Pemantauan kesehatan rutin dapat membantu pasien mengetahui perkembangan penyakit ini dan kondisi kesehatannya. Seiring perkembangan kondisi, dokter mungkin akan mulai mendiskusikan perihal perawatan akhir hidup dan langkah-langkah lain yang harus dipersiapkan bersama pasien dan keluarga. 2.3.5



Komplikasi Fibrosis Paru Berikut adalah beberapa komplikasi yang mungkin berkembang jika fibrosis paru tidak segera diobati. a. Komplikasi paru, misalnya penggumpalan darah di paru-paru, infeksi paru-paru, atau paru-paru yang gagal berfungsi. b. Gagal pernapasan sebagai akibat penyakit paru yang parah, ketika kadar oksigen di paru-paru berada di level yang sangat rendah



20



c. Tekanan



darah



tinggi



dalam



paru-paru



atau hipertensi



pulmonal ketika jaringan parut memengaruhi pembuluh darah paru dan menyebabkan aliran darah terganggu. d. Gagal jantung sisi kanan atau cor pulmonale, yaitu disebabkan oleh ventrikel jantung sebelah kanan bawah yang bekerja terlalu keras memompa darah melalui pembuluh darah paru yang tersumbat. e. Kanker paru-paru yang berkembang dari fibrosis paru jangka panjang. 2.3.6



Patofisiologis Dapat menyebabkan hypoxemia yaitu defisiensi oksigenase darah



akibat



kurangnya



oksigen



yang



mencapai



darah,



menyebabkan Hyperventilation yang merupakan peningkatan ventilasi paru secara abnormal, menyebabkan penurunan tegangan karbondioksida yang jika berkepanjangan menimbulkan alkalosis, serta mengurangi volume paru menyebabkan Hypercapnea yaitu kelebihan karbondioksida dalam darah. 2.4



Kanker Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia. 2.4.1 Etiologi dan Faktor Risiko Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker



paru



belum



diketahui,



tapi



paparan



atau



inhalasi



21



berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006). Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor risiko penyebab terjadinya kanker paru: a. Merokok Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan



merokok,



dan



lamanya



berhenti



merokok



(Stoppler,2010). b. Perokok pasif Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005). Diduga ada 3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif (Stoppler, 2010). c. Polusi udara Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah



22



cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005). d. Paparan zat karsinogen Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kirakira sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok. e. Diet Beberapa penelitian



melaporkan



bahwa



rendahnya



konsumsi terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru (Amin, 2006). f. Genetik Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik



molekuler



memperlihatkan



bahwa



mutasi



pada



protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc) dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson, 2005). g. Penyakit paru Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).



23



2.4.2 Klasifikasi Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk di dalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan



(Wilson,



2005).



Adenokarsinoma,



memperlihatkan



susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala. Karsinoma



bronkoalveolus



dimasukkan



sebagai



subtipe



adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempattempat yang jauh. Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening



24



hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact” pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007). Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh (Wilson, 2005). Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa. 2.4.3 Tanda dan Gejala Klinis Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan tanda dan gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat: a. Lokal (tumor tumbuh setempat): Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis, hemoptisis, mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas, kadang terdapat kavitas seperti abses paru, ateletaksis. b. Invasi lokal: Nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke perikardium (terjadi tamponade atau aritmia), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent, sindrom Pancoast karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalis. c. Gejala Penyakit Metastasis: 1) Pada otak, tulang, hati, adrenal



25



2) Limfadenopati



servikal



dan



supraklavikula



(sering



menyertai metastasis) 3) Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala: a) Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam b) Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi c) Hipertrofi osteoartropati d) Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer e) Neuromiopati f) Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia) g) Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh h) Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormone i) Asimtomatik dengan kelainan radiologis j) Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi secara radiologis. k) Kelainan berupa nodul soliter. (Amin, 2006) 2.4.4



Diagnosis a. Anamnesis Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara pernafasan nyaring (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru. b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainankelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura. c. Pemeriksaan laboratorium



26



Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru (kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas), menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organ-organ lainnya, serta menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis. d. Radiologi Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer. e. Sitologi Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker f. Bronkoskopi Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. g. Biopsi transtorakal Biopsi aspirasi



jarum



halus



transtorakal



banyak



digunakan untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer h. Torakoskopi Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak. 2.5 Langkah-Langkah Pengendalian Dalam rangka pencegahan Penyakit Paru akibat Kerja diperlukan kerja-sama sinergis antara tenaga kerja, Departemen K3, dokter perusahaan



27



dan pihak manajemen perusahaan. Kegiatan pencegahan meliputi kegiatan Pengendalian Bahaya Di Tempat Kerja (HIRARKI). Hirarki pengendalian ini memiliki dua dasar pemikiran dalam menurunkan resiko yaitu melaui menurunkan probabilitas kecelakaan atau paparan serta menurunkan tingkat keparahan suatu kecelakaan atau paparan. Pada ANSI Z10: 2005, hirarki pengendalian dalam sistem manajemen keselamatan, kesehatan kerja antara lain: 2.5.1 Eliminasi Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis. Contoh-contoh eliminasi bahaya yang dapat dilakukan misalnya: bahaya jatuh, bahaya ergonomi, bahaya ruang terbatas, bahaya bising, bahaya kimia. 2.5.2 Substitusi Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah. Contohnya, yaitu asbes pada atap rumah yang menghasilkan



28



debu berbahaya dapat diganti dengan atap rumah berbahan fiber glass yang lebih ramah lingkungan. 2.5.3 Pengendalian Teknis Pengendalian secara teknis yakni pengendalian yang ditunjukan terhadap sumber bahaya atau lingkungan, seperti: a. Subtitusi yaitu menggantikan bahan-bahan yang berbahaya dengan bahan-bahan yang kurang atau tidak berbahaya sama sekali. b. Isolasi, yaitu memisahkan suatu sumber bahaya dengan pekerja, misalnya pengadaan ruang panel, larangan memasuki tempat kerja bagi yang tidak berkepentingan, menutup unit operasi yang berbahaya. c. Cara basah, dimaksudkan untuk menekan jumlah partikel yang mengotori udara karena partikel debu mengalami berat. d. Merubah proses, misalnya pada proses kering dirubah menjadi proses basah untuk menghindari debu. e. Ventilasi keluar setempat (lokal exhaust ventilation), yaitu suatu cara yang dapat menghisap bahan-bahan berbahaya sebelum bahan berbahaya tersebut masuk keudara ruang kerja. Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan. Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah adanya penutup mesin/machine guard, circuit breaker, interlock system, startup alarm, ventilation system, sensor, sound enclosure. Tempat kerja yang memproduksi barang berbahan debu berbahaya, dapat diberi ventilasi lokal (local exhaust) sehingga debu yang berterbangan langsung keluar dari tempat kerja dan tidak terhirup oleh pekerja. Selain itu, bahan yang menghasilkan debu dapat disiram terlebih dahulu sebelum digunakan agar tidak menghasilkan debu.



29



Pengendalian cemaran debu dapat dilakukan dengan cara pengadaan alat penyaring debu dengan menggunakan air, berguna untuk melindungi pekerja dari paparan debu. Fungsi dari sistem tersebut dapat dilihat dengan adanya air yang mengalir terus di samping pekerja, fungsi air tersebut untuk penyaring atau penangkap debu yang beterbangan, lalu debu yang tertangkap air tersebut akan jatuh ke selokan dan akan mengalir ke arah pembuangan air. 2.5.4 Sistem Peringatan (Warning System) Adalah pengendian bahaya yang dilakukan dengan memberikan peringatan, instruksi, tanda, label yang akan membuat orang waspada akan adanya bahaya dilokasi tersebut. Sangatlah penting bagi semua orang mengetahui dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada dilokasi kerja sehingga mereka dapat mengantisipasi adanya bahaya yang akan memberikan dampak kepadanya. Aplikasi di dunia industri untuk pengendalian jenis ini antara lain berupa alarm system, detektor asap, tanda peringatan (penggunaan APD spesifik, jalur evakuasi, area listrik tegangan tinggi, dan lain-lain). Lingkungan kerja yang menggunakan bahan yang menghasilkan debu berbahaya sebagai bahan produksinya, dapat memasang label atau tanda peringatan bahwa bahan tersebut berbahaya dan saran agar menggunakan APD dengan tepat. 2.5.5 Pengendalian Administratif Pengendalian secara



administratif



adalah



peraturan-peraturan



administrasi yang mengatur pekerja untuk membatasi waktu kontaknya (pemaparan) dengan faktor bahaya atau kontaminan. Kontrol administratif ditujukan pengandalian dari sisi orang yang akan melakukan pekerjaan, dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasi baku (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi prilaku, jadwal



30



kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, investigasi atau pemeriksaan kesehatan. 2.5.6 Alat Pelindung Diri (APD) Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja. APD dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak dapat dilakukan dengan baik. Namun pemakaian APD bukanlah pengganti dari kedua usaha tersebut, melainkan sebagai usaha akhir. Pemilihan



dan



penggunaan



alat



pelindung



diri



merupakan



merupakan hal yang paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya, karena APD hanya berfungsi untuk mengurangi seriko dari dampak bahaya. Karena sifatnya hanya mengurangi, perlu dihindari ketergantungan hanya mengandalkan alat pelindung diri dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. Tujuan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti: Melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak dapat dilakukan dengan baik, meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman. Alat pelindung diri yang cocok digunakan pekerja dengan bahaya debu, yaitu pelindung mata, masker untuk melindungi pernapasan, baju pelindung, sarung tangan, dan sepatu boots.



31



BAB 3. PEMBAHASAN 3.1 Studi Kasus Jakarta, Bekerja di pertambangan memang mengandung banyak risiko, terutama karena sering berada di bawah tanah atau ruang tertutup. Belum lagi dari asap pembuangan mesin yang dipergunakan di tambang. Salah satu yang sedang menjadi sorotan di Australia adalah paparan mesin berbahan bakar diesel pada pekerja tambang bawah tanah. Studi terbaru dari University of Western Australia menyatakan, pekerja tambang berisiko tinggi terkena



kanker



paru



akibat



paparan



pembuangan



mesin



ini.



Dengan menggunakan data dari Department of Mines and Petroleum dalam kurun tahun 2003-2015, peneliti berupaya menghitung rata-rata paparan polusi yang dihadapi pekerja tambang di berbagai situs di Australia Barat, kemudian memperkirakan jumlah kasus kematian akibat kanker paru yang



32



berkaitan



dengan



hal



ini.



Untuk saat ini, seorang pekerja tambang bawah tanah di Australia Barat terpapar polusi dari mesin diesel sebanyak 44 mikrogram/meter kubik. Dan bila dirata-rata, tingkat paparan pembuangan dari mesin diesel di tambang Australia Barat masih di bawah standar, yaitu 59 mikrogram/meter kubik selama Sejauh



12 ini



Australian



Institute



jam. for



Occupational



Hygienists



merekomendasikan agar paparan pembuangan mesin diesel pada pekerja tambang hanya dibatasi maksimal 100 mikrogram/meter kubik untuk 8 jam. "Tetapi karena jumlah kematian akibat kanker paru yang dikaitkan dengan kondisi ini belakangan semakin naik, maka kami merekomendasikan agar limit-nya diturunkan," kata ketua tim peneliti, Dr Susan Peters kepada ABC Australia. Misalnya pada pekerja tambang di permukaan tanah, yang tingkat paparannya hanya 14 mikrogram/meter kubik, dapat diperkirakan terjadi 5,5 kasus kematian akibat kanker paru dari 1.000 pekerja. Lantas apa kabar pekerja tambang



yang



paparannya



lebih



banyak?



Lagipula rekomendasi batasan paparan polusi di Australia rupanya masih terlalu tinggi untuk ukuran global. Pada bulan Desember tahun lalu, Finnish Institute of Occupational Health telah menurunkan batasan paparan untuk pekerja tambang hanya 20 mikrogram/meter kubik. Mereka juga meminta agar mesin-mesin berbahan bakar diesel diganti dengan mesin berdaya listrik yang



bebas



emisi.



Begitu juga di sejumlah negara lain seperti AS dan Jerman. Di Afrika Selatan, sudah banyak situs tambang yang berhenti menggunakan mesin diesel.



33



Ironisnya, Cancer Coucil Australia memperkirakan, 130 pekerja di Australia terserang kanker paru-paru akibat asap pembuangan mesin diesel tiap tahunnya. Bahkan mesin diesel diklaim sebagai penyebab kanker terbesar kedua di tempat kerja setelah paparan sinar ultraviolet atau UV. "Sayangnya, pemahaman pengelola tambang terhadap bahaya mesin diesel masih terbilang sangat rendah bila dibandingkan dengan agen pemicu kanker lainnya seperti asbestos," ungkap Melissa Ledger dari Cancer Coucil. Di samping kanker paru, gangguan kesehatan lain yang menghantui para pekerja tambang adalah pneumoconiosis atau lebih akrab disebut dengan paru-paru



hitam.



Seperti diberitakan detikHealth sebelumnya, ketua umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, dr Nusye E Zamsiar, MS, SpOk menyebut pekerja tambang batu bara termasuk paling rentan terhadap penyakit



ini.



Risiko penyakit yang sama juga dialami para pekerja yang terpapar debu lainnya, terutama silika. Debu silika banyak ditemukan di industri gerabah, keramik, dan bangunan. Selain itu, debu serat pada industri kapas serta debu asbestos juga berisiko memicu pneumokoniosis.(lll/vit) 3.2 Analisis Berdasarkan kasus tersebut, dapat diketahui bahwa banyaknya pekerja mengalami gangguan pada sistem pernafasan sehingga menimbulkan penyakit kanker paru hingga pneumokoniosis pada para pekerja itu disebabkan karna adanya paparan debu dari asap pembuangan mesin di pertambangan dan juga para pekerja sering berada ditempat tertutup atau dibawah tanah.



34



Salah satu yang sedang menjadi sorotan di Australia adalah paparan mesin berbahan bakar diesel pada pekerja tambang bawah tanah,sehingga pekerja tambang berisiko tinggi terkena kanker paru akibat paparan pembuangan mesin ini. Cara untuk mencegah kejadian kecelakaan kerja adanya paparan debu dari pembuangan mesin yaitu bisa dengan perusahaan perlu melaukan analisis resiko terhadap pekerjaan tersebut. Kemudian dilakukan pengendalian bahaya untuk mencegah dan meminimalisir kecelakanaan yang terjadi yang dapat menimbulkan kerugian. Bentuk pengendalian yaitu dengan membuat saluran pembuangan atau cerobong untuk sisa debu sehingga tidak sampai terpapar pada pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan, yang mana cerobong tersebut dilengkapi dengan alat untuk memfiltrasi asap, juga dengan mengecek secara rutin mesin diesel tersebut, pengecekan berkala kadar kontaminan sehingga tida melampaui nilai ambang batas, dan juga mewajibkan semua pekerja untuk menggunakan alat pelindung diri secara lengkap dan tepat, serta melakukan pemeriksaan kesehatan pada pekerja baik pada awal, berkala, dan khusus.



35



BAB 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Penyakit paru kerja merupakan rekasi pada paru akibat paparan debu, sehingga terjadi perubahan struktur (anatomi) paru. Contoh penyakit paru kerja biasanya disebut pneumokoniosis, seperti silikosis, asbestosis, pneumokoniosis pada pekerja batu bara (coal worker pneumochoniosis) byysinosis, dan lain sebagainya, akibat paparan debu berilium, barium, besi, bijih timah putih. Pneumokoniosis merupakan segolongan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu-debu dalam paru-paru. Terdapat berbagai macam pneumoniokosis yang timbul di lingkungan kerja, diantaranya yaitu pneumokoniosis pada pekerja batu bara, pneumokoniosis oleh karena talk, pneumokoniosis karena logam berat, silikosis, antrakosis, stannosis , dan siderosis. NAB dari jenis debu nuisance dust adalah 10 mg/m3 atau 30 jppmk



(juta partikel per meter kubik udara) dengan syarat-syarat SiO 2 kurang dari 1%. NAB untuk campuran debu-debu mineral yang menyebabkan pneumokoniosis yaitu debu logam sebesar 10 mg/m 3, serbuk asbes sebesar 0,1 serat/ml, kapas (debu katun) sebesar 0,2 mg/m 3, debu bijih timah putih sebesar 2 mg/m3. Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu, waktu pajanan, ratarata pernapasan, dan volume tidal. Beberapa mekanisme masuknya debu ke saluran tubuh manusia, yaitu impaksi, sedimentasi, dan difusi. Respons jaringan tubuh seseorang terhadap debu yang terhirup dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisik, sifat kimia, dan faktor pejamu (host). Tanda dan gejala yang timbul berbeda-beda tergantung dari banyaknya debu



36



yang ditimbun dalam paru-paru. Penanganan medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Untuk pencegahan, prinsipnya adalah meniadakan paparan atau menghindarkan orang berisiko tinggi terhadap paparan. Fibrosis paru adalah munculnya jaringan parut pada paru-paru yang menyebabkan kerusakan dan terganggunya fungsi paru-paru. Kerusakan paruparu dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, termasuk terapi radiasi maupun dari obat-obatan tertentu. Tanda dan gejala, serta tingkat keparahan fibrosis paru dapat berbeda-beda pada masing-masing penderita. Sebelum merekomendasikan pengobatan apa yang sesuai untuk penderita fibrosis paru, dokter akan melakukan proses diagnosis yang terdiri dari evaluasi riwayat penyakit pasien dan keluarga, pemeriksaan fisik, dan berbagai tes penunjang. Kerusakan paru-paru pada kondisi ini hanya dapat diperlambat dan dikurangi dampak dari gejalanya dengan pemberian obatobatan dan melakukan rangkaian terapi. Selain pengobatan yang bersifat medis, penderita fibrosis dapat juga mulai mengambil tindakan aktif dalam perawatan yang tengah dilaluinya untuk menjaga dan meningkatkan kesehatannya sendiri. Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan



tubuh,



genetik, dan lain-lain. Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan tanda dan gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan



fisik,



pemeriksaan



laboratorium,



radiologi,



sitologi,



bronkoskopi, biopsi transtorakal, dan torakoskopi. 4.2 Saran Saran yang dapat diberikan terkait studi kasus yang telah dipaparkan sebagi berikut:



37



1. Masyarakat, terutama pekerja yang bekerja di tempat yang berisiko, diberikan pengarahan terkait bahaya paparan debu. 2. Pemerintah membuat kebijakan mengenai penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh bahan kimia, serta penegasan sanksi jika industri melanggar kebijakan tersebut. 3. Untuk mengurangi paparan debu pada pekerja, dapat melakukan pencegahan dengan menerapkan housekeeping, substitusi bahan kimia, penambahan ventilasi, admininstrasi, dan penggunaan alat pelindung diri bagi pekerja.



DAFTAR PUSTAKA https://health.detik.com/read/2016/11/22/100306/3351127/763/sering-terpaparasap-diesel-ini-risiko-yang-dihadapi-pekerja-tambang tanggal 18 April 2017)



(diakses



pada



38



https://www.google.co.id/search?q=kanker%20paru %20pdf&rct=j#q=kanker+paru+pdf (diakes pada tanggal 16 April 2017) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011. 28 Oktober 2011. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Rab, Tabrani. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates. Suma'mur. 1986. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung Agung. Susanto, Agus Dwi. 2011, Desember. Pneumokoniosis. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. Vol. 61, hal. 503-510.