KHULU' [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

KHULU' [PDF]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks (libido

7 0 186 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks (libidoseksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia, maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat manusia yakni melalui perkawinan. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawaddah warahmah. Kamus besar Indonesia mengartikan kata “Nikah” sebagai : 1.



Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri



(dengan resmi). 2.



Perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna



tersebut, disamping secara majazi diartikannya dengan”hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebayak 23 kali. Secara bahasa, pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti ”berhimpun” Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadi transaksi (akad nikah). Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak sebagai suami dalam keluarga. Begitu pula seseorang perempuan yang menjadi istri memperoleh hak sebagai istri dalam keluarga. Di samping keduanya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain.1 1



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1



Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami.2 Suami istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram. Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan tentram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Al- Qur’an mengajurkan kerja sama diantara mereka. Di dalam nas al- Qur’an menyebutkan, bahwa seorang suami dan istri itu agar bergaul dengan (secara) yang baik, dalam istilah makruf sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al- Qur’an An-Nisa’ (4): 19.



                                    Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An-Nisa’ (4): 19) Dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir, MA, bahwa yang dikatakan menggauli istri yang ma’ruf adalah: 2



Sugeng Harahab, Majalah Sunnah, Edisi 121, 2005. hal.45-56



1.



Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan



yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama,akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan. 2.



Melindungi dan menjaga nama baik istri



3.



Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri. Hajat biologis adalah pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib



memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan istri disebabkan perasaan kecewa dalam hal ini. Hukum positif Indonesia telah menentukan bahwa nafkah atau pemenuhan hidup keluarga menjadi kewajiban suami. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa suami berkewajiban memberi segala keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian ketentuan tersebut dipertegas oleh Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (Inpres



Nomor



1



Tahun



1991)



yang



menyebutkan,”sesuai



dengan



penghasilannya suami menanggung: 1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri dan anak. 2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengibatan bagi istri dan anak. 3. Biaya pendidikan bagi anak”. Sedangkan perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh antara suami dan istri, karena dalam berumah tangga sudah tidak ada keharmonisan lagi. Walaupun demikian sebelum mengambil keputusan antara suami istri sebelumya harus memikirkan dampak yang akan terjadi dalam perceraian. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan, perkara tersebut dapatmenimbulkan persoalan hukum yang baru, karena ketidakpuasan seksual segabagai alasan perceraian tidak diatur dalan ketentuan hukum tersebut. Demikian terkadang terjadi anomali-anomali dari apa yang ada (das



sain) dengan apa yang semestinya (das sollen) itu berlaku, akan tetapi dalam realitasnya tidak sama. Alasan perceraian yang demikian haruslah mendapat perhatian yang cermat dari Pengadilan Agama, karena perkara tersebut pelik dan membutuhkan pertimbangan hukum yang komprehensif. Penyusun memilih judul tersebut karena adanya persolan yang harus di selesaikan persoalannya. Sedangkan penyusun memilih tahun 2005 karena hannya pada tahun ini di temukan putusan perkara ketidakpuasan seksual dan penyusun memilih satu kasus karena hannya terdapat satu putusan. B. Rumusan Masalah Bagi orang yang hendak mengadakan suatu penelitian ilmiah, hal pertama yang harus dilakukan bagaimana ia mampu mengumpulkan masalah masalah yang berkaitan dengan suatu hal yang hendak diteliti, apa yang menjadi permasalahan harus dirumuskan sejelas-jelasnya dan sebaik mungkin serta disusun dalam bentuk pertanyaan. Merumuskan suatu permasalahan bukanlah suatu persoalan yang mudah, karena tidak dapat dirumuskan dalam waktu sekali jadi, melaikan melalui suatu proses yang dilakukan secara intensif, misalnya dalam bentuk diskusi-diskusi ilmiah, seminar atau melalui lokakarya (Dr. Suharsimi Arikuto 1993 : 40) Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam dan yang akan di kaji dalam makalah ini adalah: 1.



Apa pengertian gugatan cerai menurut bahasa dan istilah?



2.



Bagaimana hukumnya jika istri menggugat cerai suami?



3.



Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara



perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian? 4.



Bagaimanakah



tinjauan



hukum



Islam



ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian?



terhadap



perkara



C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan merupakan factor yang sangat vital yang berfungsi sebagai arah yang hendak dicapai oleh penulis itu sendiri. Pada umumnya kita mengenal adanya rumusan-rumusan formal tentang tujuan penulisan dimana tujuan yang lebih umum di jabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus namun tetap mengarah pada pencapain tujuan yang lebih khusus namun tetap mengarah pada pencapaian tujuan umum tersebut. (DR. Suharsimi Arikunto, 1993 : 63) 1.



Tujuan a.



Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan



putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian dengan melihat pertimbangan hukum yang diberikan hakim di Pengadilan Agama. b.



Untuk mengetahui masalah tersebut dilihat dari



hukum Islam. 2.



Adapun kegunaan penulisan ini a.



Terapan



Makalah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi



para



hakim



di



lingkungan



Pengadilan



Agama



dalam



menyelesaikan perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian b.



Ilmiah



Makalah ini diharapkan mampu manambah pengembangan pemikiran hukum Islam bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas terutama terkait perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian. D. Metode Penulisan 1. Jenis Penulisan Penulisan ini menggunakan library research (penelitian kepustakaan) yaitu menggunakan data, dan informasi dari berbagai materi



yang di peroleh dari perpustakaan. Penekanan penulisan ini pada kajian teori-teori, kazanah ilmu, konsep, paradikma, prinsip hokum, postulat dan asumsi keilmuan yang relevan dengan masalah yang dibahas. (IKIP Malang, 1992 : 29) 2. Pendekatan Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan referensi (kepustakaan) yang menggunakan paradikma penelitian kualitatif. Kemudian dipertegas oleh Koendjaraningrat bahwa: “penelitian kualitatif adalah penelitian dalam bidang social dan kemanusiaan dengan aktifitas berdasarkan disiplin ilmu untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan menafsirkan fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dalam usaha mencapai hal-hal tersebut.” (kendjaraningrat, 1991 : 44) 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan makalah ini sebagaimana diungkap Sanapiah Faisol (1992:59) adalah data prime, yaitu data dari pengamatan yang menyaksikan secara langsung peristiwa, seperti teks ilmiah, majalah, surat kabar, bulletin dan telivisi. Data sekunder, yairu pengamatan yang menyaksikan secara tidak langsung tetapi melaporkan apa yang diuraikan dari peristiwa. Adapun sumber data yang digunakan Dalam penulisan makalah ini adalah buku yang berkaitan dengan pembahasan yang dimaksud dan beberapa karya lain, sebagai referensi penunjang. 4. Teknik Penulisan a. Teknik pemikiran deduktif Teknik pemikiran deduktif adalah suatu analisa yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai kejadian yang khusus. b. Teknik pemikiran induktif



Teknik pemikiran induktif adalah suatu analisa yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa khusus kongkrit itu generilisasi yang mempunyai sifat umum. (Hadi, 1993 : 42) Library research : Penelitian pada buku-buku yang ada hubunganya dengan penulisan makalah ini. Deduktif



: Mengumpulkan data-data yang bersifat umum, kemudian menyimpulkan dari data tersebut.



E. Keterbatasan Penulisan Dalam hal ini kami ingin mengungkapkan bahwa keterbatasan ysng paling dominan terletak pada ruang lingkup kami yang berada di lingkungan pesantren, dimana ruang gerak yang ada disibukkan dalam kegiatan kepesantrenan. Tentunya dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Penyusunan semata selaku manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan lupa. Karena keterbatasan penyusun dalam mengumpulkan literatur-literatur, sehingga informasi yang diperoleh sangat jauh dari yang diharapkan dan juga karena keterbatasan dana serta waktu dalam penyusunan makalah. Akan tetapi kami tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tetap mendapatkan informasi atau literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan makalah kami, baik buku-buku tentang metode-metode pendidikan. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan makalah ini, penulis mencantumkan sistematikan penulisan guna mempermudah bagi si pembaca sebagaimana berikut : 1. Pada Bab I Pendahuluan berisi; a.Latar Belakang Masalah b.Rumusan Masalah c.Tujuan Masalah d.Keterbatasan Penulisan



e.Metode Penulisan f. Sistematika penulisan 2. Pada Bab II Pembahasan berisi Tentang : a. Kajian Dalil 1)



Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’)



2)



Syarat Sah Khulu’



3)



Hukum Al-Khulu’



4)



Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’



5)



Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit



Isterinya b. Fenomena c. Analisa Masalah 3. Bab III Penutup a. Kesimpulan b. Saran-saran 4. Daftar Pustaka



BAB II PEMBAHASAN



A. KAJIAN DALIL 1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’) Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata AlKhulu dengan didhommahkan hurup kha’-nya dan disukunkan huruf Lamnya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.



       Artinya : “Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” [Al-Baqarah : 187] Sedangkan menurut pengertian syari’at, para Ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.3 Adapaun Syaikh AlBassam berpendapat, Al-Khulu ialah “Perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” 1.



Secara Bahasa; Melepaskan



2.



Secara Istilah; Tuntutan cerai



yang diajukan oleh istri dengan mengembalikan mahar yang diberikan kepadanya .



3



Kitab Fathul Bari



2. Syarat Sah Khulu’ Jika persengketaan



antara suami isteri kian parah dan tidak



mungkin lagi diambil langkah-langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai dengannya, Allah SWT berfirman :



                                                       Artinya : ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (AlBaqarah:229). Hadits nabi :



Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276). Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut : a. Hendaknya masing-masing pasangan merasa rela . b. Hendaknya istri merupakan objek yang sah untuk menjatuhkan thalaq kepadanya . c. Hendaknya khulu’ dijatuhkan oleh suami sah yang berhak menjatuhkan thalaq dan dia adalah suami yang memenuhi syarat kelayakan . d. Hendaknya lafal yang diucapkan menggunakan kata khulu’/ sesuatu yang memiliki pengertian yang sama, seperti lafal Pembebasan dan Tebusan . e. Hendaknya khulu’ terjadi dengan tebusan yang diberikan oleh pihak istri . 3. Hukum Al-Khulu’ a. Makruh b. Wajib c. Haram d. Sunah Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah SWT.



               



                                   Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’” [AlBaqarah : 229] Sabda Rasulullah Saw., dalam hadits Ibnu Abbas r.a. Artinya : “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari] Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah4, Ibnu Taimiyyah5, AlHafizh Ibnu Hajar6, Asy-Syaukani7, dan Syaikh Abdullah Al-Basam8, 4



Majmu Fatawa, hal. 282. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H 6 Fathul Bari, hal. 9/315 7 Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, hal. 6/260 8 Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, hal. 5/468 5



Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. 4. Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’ Khulu’ diperbolehkan apabila pihak istri memintanya, ataupun pihak suami sudah menjatuhkan thalaq,dan keduanya memandang bahwa pernikahannya sudah tidak dapat lagi menjalankan Hukun Allah SWT dalam QS.Al-Baqarah : 228 .



                                               Jamhur ulama berpendapat bahwa Khulu’ termasuk thalaq ba’in . Artinya; suami istri tidak boleh rujuk kecuali keduanya memutuskan untuk menikah dengan orang lain lalu keduanya bercerai tanpa ada faktor kesengajaan dan diadakan pernikahan ulang . Lafal Khulu’ dibagi menjadi dua : secara sharih dan Secara kinayah. Tebusan Khulu’ besarnya tidak ditentukan oleh pengadilan agama melainkan keputusan dari kedua belah pihak baik suami ataupun istri. Apabila seorang wanita mengkhulu’ suaminya maka ia wajib



mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh suaminya . Seorang istri dapat menjatuhkan Khulu’ apabila suaminya tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami . Apabila seorang suami meninggalkan istrinya selama satu bulan atau lebih dan tidak meminta izin terlebih dahulu kepada istriya maka istri boleh menjatuhkan Khulu’ kepada suaminya . Khulu’ seorang wanita bisu dapat dilaikukan dengan isyarat ataupun dengan tulisan . Apabila seorang istri baru mengetahui bahwa suaminya mempunyai penyakit kelamin atau sejenisnya maka istri dapat menjatuhkan Khulu’ dan suami pun harus mengerti apa yang istri inginkan.9 5. Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya Manakala seorang suami tidak senang kepada isterinya dan benci kepadanya karena suatu hal, maka hendaklah mentalaknya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Ia tidak boleh manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri. Allah SWT berfirman :



                                    9



Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t. h. 238



                Artinya : ”Dan apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (AlBaqarah:231). Dan, Allah SWT berfirman :



                                     Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu



mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19). Dari Tsauban r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda : Artinya : “Setiap wanita yang mau talak kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium seberbak surga.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah I:662 no:20555 dan Tirmidzi II:329 no:1199). Darinya (Tsauban) r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda: Artinya : “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329 no:1198). B. FENOMENA Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan. Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan



dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah). Sedangkan fenomena yang pernah aku lihat di lapangan ada sebuah putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian No. 451/Pdt.G/2005/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman yang dilihat dalam undang-undang tidak termasuk dalam alasan yang sah untuk melakukan perceraian, maka bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengambil putusan dan bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian.10 Dalam penyusunan makalah ini, penggunaan metode yang penyusun gunakan adalah metode-induktif. Maka pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan normatif-yuridis dan pengkajian buku yang berkaitan erat dengan masalah tersebut, pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji apakah sesuai dengan norma dan kebutuhan masyarakat yang didasarkan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil dari penelitin ini adalah bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara perceraian yang alasannya tidak atau kurang jelas dalam peraturan hokum di Indonesia, hakim dalam pertimbangan putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai alasan



perceraian



mengembalikan



perkara



tersebut



ke



akibat



dari



ketidakpuasan seksual dan dalam tinjauan hukum Islam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut telah sesuai dalam aturan hukum Islam.



C. ANALISA MASALAH 10



Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260



Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya. Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut; ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.11 1. Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah. 2. Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. 3. Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah). Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga.12 Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada 11



Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t h. 30 12



Ibid, hal. 40



dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229). Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman :



                                Artinya : ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230). Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukumhukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para



shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).13 Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam, maka dikatakan bahwa”Ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. ”Selaras dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keutuhan ketuhanan Yang Maha sa. Sehingga setiap usaha yang menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya dibenci oleh Islam karena kehancuran keluarga yang disebabkan oleh pecah belah perkawinan akan dirasakan bukan saja oleh individu-individu dalam keluarga itu melainkan akan tercemin keguncangan di dalam masyarakat. Rasullulah SAW bersabda: Abghodu al-halal ila Allahi ta'ala at-thalaq Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa itu kandas di tengah jalan. Kadang-kadang pasangan suami istri karena kesibukannya masing-masing lupa menerapkan petunjuk Allah SWT. dan tergelincir kelembah pertengkaran yang hebat diantara mereka. keadaan tersebut tidak dapat diselesaikan atau didamaikan bahkan menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran terus-menerus. Seperti ini maka Allah SWT menganjurkan, hendaklah ditunjuk seorang penengah. Allah SWT. Berfirman dalam surat an-Nisa (4):35.



                       Terjemah : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka 13



Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby, 1957, h. 23



kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Berangkat dari suatu pemikiran bahwa perkawinan yang sah menimbulkan akibat hukum, mempunyai implikasai bahwa suami istri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Di antara kewajiban suami adalah memenuhi nafkah keluarga. Adapun nas al-Qur’an yang berbicara tentang kewajiban suami memberi nafkah dalam keluarga. Perundang-undangan Indinesia juga telah mengatur kewajiban pemenuhan hidup keluarga atau nafkah. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, ”Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala



sesuatu



keperluan



hidup



rumah



tangga



sesuami



dengan



kemampuannya.” kemudian dipertegas oleh ketentuan Kompilasi Hukum Islam, “sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: 1.



Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri



2.



Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi



istri dan anak 3.



Biaya pendidikan anak Undng-undang Nomor 1 Tahun 1974



tentang Perkawinan menerangkan, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal yang lain disebutkan bahwa perceraian hannya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri Adapun alasan-alasan perceraian yang cukup alasan (sah) disebutkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Penjelasan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 Tahun (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang



sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukumyang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mengalami kekejaman atau penganiayaan yang sangat berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau istri. 6. Antar suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Adapun alasan perceraian yang cukup alasan (sah) dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 116 yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hokum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mengalami kekejaman atau penganiayaan yang sangat berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 6. Antar suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. karena melanggar takliq- talaq 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia, terlihat bahwa ketidakpuasan seksual tidak termasuk alasan perceraian dalam ketentuan hukum. Untuk itu, bangunan pemikiran penyusunan Makalah ini adalah menggunakan teori pemenuan hukum (rechtsvinding) dan metode tematik Jika ditarik ke pokok masalah makalah, maka teori penemuan hokum digunakan untuk mencari jawaban atas sikap yang diberikan hakim terhadap permasalahan yang tidak diatur dalam ketentuan hukum. Metode tematik digunakan untuk melakukan pemahaman terhadap nas yang menekankan pada pembahasan berdasarkan tema yaitu ketidakpuasan seksual sebagai alas an



perceraian. Teori dan metode tersebut dapat digunakan untuk melakukan pemahaman secara menyatu dan terpadu terhadap ketentuan-ketentuan normatif dan yuridis yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama Sleman terhadap putusan perkara No.451/Pdtr.G/2005/PA.Smn Selanjutnya, dalam memeriksa dan mengadili perkara maka hakim wajib untuk melakukan 3 (tiga) tindakan secara bertahap yaitu: 1. Mengkonstatiring, artinya mengecek kebenaran fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak. Fakta ialah keadaan atau peristiwa yang pernah terjadi atau perbuatan yang dilakukan dalam dimensi ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dinyatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, di mana dan bagaimana terjadinya berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut cara-cara dalam hukum permbuktian. Bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu fakta yang diajukan oleh pihak-pihak memang benar-benar terjadi. 2. Mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan hukum terhadap peristiwa suatu kegiatan yang umumnya bersifat logis. 14 Tetapi dalam kenyataannya, menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Terlebih lagi jika peraturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas pula. 3. Mengkontituir, yaitu menetapkan hukumnya yang kemudian dituangkan dalam amar putusan. Hal yang harus di pertimbangkan oleh hakim dalam putusan adalah demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, jangan sampai terdapat salah satu pihak yang merasa tertekan dan dirugikan, seperti disebutkan dalam kaidah fiqh berikut ini: dar u al-mafasid muqaddamun 'ala al-jalbi al-mashalih.



14



H. Abdurrahman, S.H, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hadits Rasululllah Saw, “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai)”. Namun, bila kondisinya darurat (terpaksa), maka jalan tersebut (cerai) diperbolehkan. Ada beberapa kemungkinan dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian. Salah satunya adalah adanya nusyuz yang bermakna kedurhakaan. Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri, tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami, nusyuz hanya datang dari pihak istri. Kemungkinan suami nusyuz dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.



                                 Terjemah : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.



Firman Allah SWT. di atas menganjurkan perdamaian. Istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu agar perceraian tidak terjadi. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat, jika suami melalaikan kewajiban dan istrinya berulangkali mengingatkannya, namun tetap tidak ada perubahan baik, maka taklik talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita. Jadi, gugat cerai atau khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri, dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suami. Secara tekstual dalam Al-Qur’an, istilah gugat-cerai tidak ditemukan. Namun, QS. An-Nisa’/4: 128 di atas dipahami oleh sebagian ulama dibolehkan untuk melakukan gugat-cerai terhadap suami jikaa berorientasikan pada kebaikan (mashlahat). Wallahu a’lam bissawab. Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia, terlihat bahwa ketidakpuasan seksual tidak termasuk alasan perceraian dalam ketentuan hukum. Untuk itu hal demikian inilah yang perlu dipertimbangkan dalam upaya lebih mengkaji lagi serta perlunya enterpretasi masa kini. Menurut pendapat penulis, khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui khulu’ maupun fasakh. B. SARAN-SARAN Dalam penulisan makalah ini, masih banyak koreksi yang perlu adanya pembenahan dikemudian hari. Antara lain adalah sebagai berikut : 1.



Bagaimana nantinya teman-teman mahasiswa dapat mengkonstruk



kajian hukum secara universal dan individual terhadap kompilasi hukumhukum Negara Indonesia dalam bidang, hukum nikah. 2.



Berdasarkan alasan penceraian dalam hukum positif di Indonesia



terlihat ketidakpuasan seksual menjadikan suatu pijakan dalam problem khulu', untuk itu diperlukan hukum yang menangani studi kasus tersebut. Karna pada dasarnya alasan penceraian dalam kaitannya ketidak puasan seksual belum tersedia dalam hukum yang ada diindonesia.



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................i KATA PENGANTAR ............................................................................................ii DAFTAR ISI...........................................................................................................iii BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1 A........................................................................Latar Belakang Masalah ................................................................................................................1 B.................................................................................Rumusan Masalah ................................................................................................................4 C...................................................................................Tujuan Penulisan ................................................................................................................5 D..................................................................................Metode Penulisan ................................................................................................................5 E..........................................................................Keterbatasan Penulisan ................................................................................................................7 F............................................................................Sistematika Penulisan ................................................................................................................7 BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................9 A...........................................................................................Kajian Dalil ................................................................................................................9 1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’).................................................9 2. Syarat Sah Khulu’..........................................................................10 3. Hukum Al-Khulu’ .........................................................................11 4. Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’ ........................................12 5. Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya..........................................................................................13 B..............................................................................................Fenomena ..............................................................................................................15 C....................................................................................Analisa Masalah



..............................................................................................................17 BAB III : PENUTUP.................................................................................................................23 A............................................................................................Kesimpulan ..............................................................................................................23 B............................................................................................Saran-saran ..............................................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................25



DAFTAR PUSTAKA



 Abdurrahman, H, S.H, 2004, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo.  Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il, Shahih AlBukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t.  Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t  Sabiq, Sayyid, 1404 H, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham AlUsrah al-Hudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV. 



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974



 Yusuf Al-Qardhawi, 1978, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami, Beirut.  Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, 1957, Al-Ahwal AlSyakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby.  pasal 1



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,



 Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih AlBukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, Libanon, t.t. h. 238  Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal AlSyakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby, 1957, h. 23  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t h.  Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham Al-Usrah alHudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV, 1404 H, h 85  Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami, Beirut, 1978, h. 181