Kompre Pajak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERPAJAKAN 1



PERTEMUAN 1 DASAR-DASAR PERPAJAKAN



DISUSUN OLEH : 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN 1



Dasar-Dasar Perpajakan A. Definisi dan Unsur Pajak 1. Definisi dan Unsur Pajak a. Definisi pajak Menurut UU No. 16 Th 2009, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.



2. Unsur Pajak Pajak memiliki unsur-unsur : 1) Iuran dari rakyat kepada negara. 2) Berdasarkan UU. 3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk. 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.



B. Fungsi Pajak 1. Fungsi Anggaran (Budgeter): Keperluan penerimaan negara 2. Fungsi Mengatur: Mengatur Perekonomian dan Sosial



C. Syarat Pemungutan dan Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak 1. Prinsip Pemungutan Pajak a. Pemungutan pajak harus adil; ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN 1 b. Berdasarkan Undang-undang; c. Tidak mengganggu perekonomian; d. Pemungutan pajak harus efisien; e. Pemungutan pajak harus sederhana.



2. Teori yang mendukung Pemungutan Pajak a. Teori Asuransi, Pemerintah berperan melindungi masyarakat b. Teori Kepentingan, Masyarakat berkepentingan terhadap pemerintah. c. Teori Daya Pikul, Pemungutan pajak berdasarkan kemampuan masyarakat. (Besar penghasilan Kebutuhan Materiil) d. Teori Bakti, Masyarakat berbakti kepada negara melalui pembayaran pajak pada negara e. Teori Asas Daya Beli, Menarik daya beli masyarakat ke negara. Kemudian negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemelihataan kesejahteraan masyarakat.



D. Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil 1. Hukum



Pajak Materiil, norma-norma



yang menerangkan keadaan



perbuatan. a. Terkait dengan Objek Pajak: keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak. b. Subyek Pajak : Siapa yang dikenai pajak. c. Tarif Pajak : Berapa besarnya pajak yang dikenakan. d. Timbul dan hapusnya hutang pajak. e. Hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. 2. Hukum Pajak Formil, bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan. a. Tata cara penetapan hutang pajak b. Pengawasan oleh fiscus terhadap Wajib Pajak. c. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN 1



E. Pengelompokan Pajak 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, pajak yang harus dipikul sendiri oleh WP dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain. Contoh: PPh b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan pada pihak lain. Contoh: PPN



2. Menurut sifatnya a. Pajak subjektif, pajak yang berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri WP. Contoh: PPh b. Pajak objektif, pajak yang berdasarkan objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri WP. Contoh: PPN; PPN-Bm



3. Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh Pem-Pus dan digunakan untuk membiayai belanja negara. Contoh: PPh, PPN-Bm, PPN, PBB, dan Bea Materai b. Pajak daerah, pajak yang dipungut oleh Pemda dan digunakan belanja daerah. Pajak daerah terdiri dari: 1) Pajak provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Kab/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.



F. Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak a. Stelsel Nyata (Real Stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemugutan pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, setelah penghasilan riilnya diketahui. b. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misal penghasilan tahun ini dianggap sama dengan penghasilan tahun lalu.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN 1 c. Stelsel Campuran, Kombinasi antara Stelsel Nyata dan Stelsel Anggapan, pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. WP dapat menambah maupun meminta kembali pajaknya tergantung lebihkurangnya penyesuaian tersebut.



2. Azas Pemungutan Pajak a. Asas Domisili, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan WP yang bertempat tinggal di wilayahnya. b. Asas Sumber, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan penghasilan WP yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal WP. c. Asas Kebangsaan, Pengenaan pajak berhubungan dengan kebangsaan suatu negara.



3. Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assesment System b. Self Assesment System c. Withholding System



G. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak 1. Timbulnya Hutang Pajak a. Ajaran Formil: Timbulnya hutang pajak dikarenakan adanya penetapan oleh fiscus. b. Ajaran Materil: Timbul karena berlakunya undang-undang.



2. Hapusnya Hutang Pajak a. Pembayaran; b. Kompensasi; c. Daluwarsa; d. Pembebasan dan penghapusan.



H. Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi: ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN 1



1. Perlawanan pasif Masyarakat enggan membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan baik.



2. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.



I. Tarif Pajak 1. Tarif Sebanding; 2. Tarif Tetap; 3. Tarif Progressif; 4. Tarif Degressif.



Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,



tetapi



orang



bodoh



menghina hikmat dan didikan.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN 1



PERTEMUAN 2 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN 1



BAB 1 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan A. Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha (PMK 182/PMK.03/2015 jo. PER-20/PJ/2013 Jo. PER-38/PJ/2013)



1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas. 2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak. 3. Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha wajib pajak. Penyampaian secara tertulis dilakukan ; 



secara langsung







melalui pos; atau







melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir



4. Dalam hal permohonan dinyatakan diterima secara lengkap, maka KPP atau KP2KP memberikan Bukti Penerimaan Surat kepada Wajib Pajak. 5. Permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat oleh KPP atau KP2KP, maka pihak KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar Paling Lama 1 (satu) hari kerja.



B. Pembukuan dan Pencatatan 1.



Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan 1. Wajib Pajak (WP) Badan; 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN 1



2. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan 1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 , dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan; 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.



3. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan 1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. 4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan. 5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.



4. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan Pencatatan harus menggambarkan antara lain : a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN 1 b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. c. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. d. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.



5. Tujuan



Penyelenggaraan



Pembukuan/Pencatatan



adalah



untuk



mempermudah: 1. Pengisian SPT; 2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak; 3. Penghitungan PPN dan PPnBM; Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.



C. Pembayaran Pajak Pada saat melakukan pembayaran kita akan diberikan bukti pembayaran atau penyetoran pajak (Surat Setoran Pajak) yang telah di lakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. SPP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.



1. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak 1. Bank ditunjuk oleh Menteri Keuangan 2. Kantor Pos



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN 1



2. Jangka Waktu Pembayaran atau Penyetoran Pajak Jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak diatur sebagai berikut: a. Pembayaran Masa Batas Pembayaran No.



1.



Jenis Pajak



PPh pasal 4 (2) setor sendiri



(Paling Lambat...)



Batas pelaporan



(Pasal 2 PMK



Undang-Undang di



242/PMK.03/2014)



bidang Perpajakan



Tgl 15 bulan berikutnya



Tgl 20 bulan berikutnya



2.



PPh pasal 4 (2) pemotongan



Tgl 10 bulan berikutnya



Tgl 20 bulan berikutnya



3.



PPh paal 15 setor sendiri



Tgl 15 bulan berikutnya



Tgl 20 bulan berikutnya



4.



5.



6.



7.



PPh pasal 15 pemotongan



PPh pasal 21



PPh pasal 23/26



PPh pasal 25



Tgl 10 bulang



Tgl 20 bulan



berikutnya



berikutnya



Tgl 10 bulang



Tgl 20 bulan



berikutnya



berikutnya



Tgl 10 bulang



Tgl 20 bulan



berikutnya



berikutnya



Tgl 15 bulan berikutnya



Tgl 20 bulan berikutnya



8.



PPh pasal 22 impor setor sendiri



Saat penyelesaian



(dilunasi bersamaan dg bea masuk,



dokumen PIB



PPN, PPnBM) 9.



PPh pasal 22 impor yang pemungutan oleh BC



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1 hari kerja berikutnya



Hari kerja terakhir minggu berikutnya



5



PERPAJAKAN 1 10.



PPh pasal 22 pemungutan oleh



Hari yang sama dg



14 hari setelah masa



bendaharawan



pembayaran atas



pajak berakhir



penyerahan barang 11.



PPh pasal 22 migas



Tgl 10 bulan berikutnya



Tgl 20 bulan berikutnya



12.



PPh pasal 22 pemungutan oleh WP



Tgl 10 bulan berikutnya



badan tertentu 13.



PPN & PPnBM



Tgl 20 bulan berikutnya



Akhir bulan berkutnya



Akhir bulan



setelah masa pajak



berikutnya setelah



berakhir & sebelum SPT



masa pajak berakhir



masa PPN disampaikan 14.



15.



16.



PPN atas kegiatan membangun



Tgl 15 bulan berikutnya



Akhir bulan



sendiri



setelah masa pajak



berikutnya setelah



berakhir



masa pajak berakhir



PPN atas pemamfaatan BKP tidak



Tgl 15 bulan berikutnya



Akhir bulan



berwujud dan/atau JKP dari Luar



setelah terutangnya



berikutnya setelah



Daerah Pabean



pajak



masa pajak berakhir



PPN & PPnBM Pemungutan



Tgl 7 bulan berikutnya



Akhir bulan



Bendaharawan



berikutnya setelah masa pajak berakhir



17.



PPN dan/atau PPnBM pemungutan



Harus disetor pada hari



oleh Pejabat Penandatanganan



yang sama dengan



Surat Perintah Membaya sebagai



pelaksanaan



Pemungut PPN



pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah melalui KPPN



18.



PPN & PPnBM Pemungutan selain



Tgl 15 bulan berikutnya



Akhir bulan



bendaharawan



setelah Masa Pajak



berikutnya setelah



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN 1 berakhir



masa pajak berakhir



PPh 25 WP kriteria tertentu yang



Harus dibayar paling



20 hari setelah



dapat melaporkan beberapa Masa



lama pada akhir Masa



berakhirnya Masa



Pajak dalam satu SPT Masa (Pasal 3



Pajak Terakhir



Pajak terakhir



Pembayaran masa selain PPh 25



Harus dibayar paling



20 hari setelah



WP kriteria tertentu yang dapat



lama sesuai dengan



berakhirnya Masa



melaporkan beberapa Masa Pajak



batas waktu untuk



Pajak terakhir



dalam satu SPT Masa. (Pasal 3 ayat



masing-masing jenis



(3B) UU KUP)



pajak



19.



ayat (3B) UU KUP) 20.



b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta



Putusan Peninjauan Kembali, yang



menyebabkan jumlah pajak yanh harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT PPh harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.



D. Pelaporan Pajak Selain berguna sebagai sarana untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak terutang, SPT juga berfungsi untuk melaporkan pembayaran/pelunasan pajak dan melaporkan harta serta kewajiban. Pelaporan pajak semestinya disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) tempat wajib pajak terdaftar.



1.



Pelaporan Pajak Menggunakan e-Filing



Perkembangan teknologi juga merambah ke dunia perpajakan. Guna mempermudah masyarakat dalam menuntaskan kewajiban perpajakan mereka, kini SPT sudah bisa disampaikan melalui aplikasi e-Filing.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN 1



2. Keterlambatan Pelaporan Pajak Terhadap pelaporan pajak yang telat disampaikan, wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda. Berikut ini daftar denda yang dibebankan kepada wajib pajak yang telambat melakukan pelaporan pajak: - Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa PPN, dikenakan denda sebesar Rp500.000. - Terlambat pelaporan pajak untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp100.000. - Terlambat pelaporan pajak untuk SPT tahunan PPh orang pribadi dikenakan denda sebesar Rp100.000. - Terlambat pelaporan pajak SPT tahunan PPh badan dikenakan denda sebesar Rp1.000.000.



E. Pemeriksaan Pajak Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. 1. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah: - Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; - Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



8



PERPAJAKAN 1 Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; - Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan; - Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; - Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; - Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan. 2. Hak-hak Wajib Pajak dalam pemeriksaan antara lain: - Meminta Surat Perintah Pemeriksaan - Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa - Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan - Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT - Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.



F. Ketetapan Pajak 1. Definisi



Berdasarkan UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pasal 1 ayat 15 “Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.”



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



9



PERPAJAKAN 1



Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)



Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)



Surat Ketetapan Pajak



Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)



Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)



1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan hanya terhadap kasus–kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap WP tertentu yang nyata–nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material. Ketentuan SKPKB diatur dalam Pasal 13 UU KUP. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang sudah di terbitkan sebelumnya). Sesuai dengan Pasal 15 UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutang pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terhutang, setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. SKPKBT baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru yang menyebabkan penambahan pajak yang terhutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu setelah SKPLB diterbitkan sebagai akibat telah lewat waku 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP, SKPKBT diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



10



PERPAJAKAN 1 yang semula belum terungkap, dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan atau data baru yang diketahui kemudian oleh fiskus SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi. 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang. Sesuai dengan Pasal 17 UU KUP, SKPLB ini terbit dalam hal setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terhutang. SKPLB diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB. 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT Kurang Bayar, maupun SPT Lebih Bayar.



2. Kapan SKP diterbitkan?



Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.



3. Fungsi Surat Ketetapan Pajak a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan. b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan. c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak. d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar. ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



11



PERPAJAKAN 1 e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.



4. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar  Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.  Permohonan pengurangan atua pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan.  Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan pajak..  Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.  Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan



pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan maka permohonan dianggap diterima.



G. Penagihan Pajak 1. Definisi Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak lainnya sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU KUP, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.



2. Fungsi STP 1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak, 2. Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda. 3. Sarana untuk menagih pajak.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



12



PERPAJAKAN 1



3. Penyebab Dikeluarkannya STP 



Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;







Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;







Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;







Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN tetapu tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;







Pengusaha yang tidak dikukuhkan sbg. PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha telah dikukuhkan sbg. PKP tetapi tidak membuar faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.



4. Sanksi Administrasi terkait STP



1. Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika Wajib Pajak tidak atau terlambat penyampaian SPT Masa dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan. 2. Sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP atau Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha te1ah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak. 3. Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPTnya, dimana hasil pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar. 4. Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak terlambat/ tidak membayar



pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya. 5.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



13



PERPAJAKAN 1



H. Upaya Administrasi 1. Keberatan a. Ruang Lingkup Keberatan 1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), 4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), 5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), 6. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak. Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.



b. Syarat Pengajuan Keberatan a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan; c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak; d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



14



PERPAJAKAN 1 pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan; e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal: o surat ketetapan pajak dikirim; atau o pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak; f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.



c. Alur Penyelesaian Keberatan a. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk: o meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data dan informasi; o meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan; o meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga; o meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



15



PERPAJAKAN 1 o melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan; o Surat panggilan dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan. o Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan. o melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan. b. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim. c. Apabila sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan: o surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau o surat permintaan keterangan yang kedua. d. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua



paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dikirim.



d. Jangka Waktu Penyelesaian Keberatan a. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. o Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



16



PERPAJAKAN 1 b. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. c. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak



memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.



e. Pecabutan Pengajuan Keberatan a. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal b. Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: o permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan; o surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus; o surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak. c. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan berupa surat persetujuan atau surat penolakan. d. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



17



PERPAJAKAN 1 e. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. f. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang



masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP.



f. Ketentuan Tambahan Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan: 1. pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; 2. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau 3. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa: o penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau o pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil



Verifikasi dengan Wajib Pajak.



2. Pasal 36 Ayat 1



Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



18



PERPAJAKAN 1 d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: 1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau



2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.



I. Upaya Hukum ( Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali) 1. Banding 1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. 2. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. 3. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.



2. Gugatan i.



Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.



ii.



Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka waktunya adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat.



iii.



Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka waktunya adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



19



PERPAJAKAN 1 iv.



Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan Gugatan.



v.



Gugatan disertai dengan alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.



3. Peninjauan Kembali a. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. b. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. c. Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU Pengadilan Pajak.



Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak Amsal 6:6



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



20



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 3 Pemotongan dan Pemungutan PPh



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



Pemotongan dan Pemungutan PPh A. Definisi Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara lain penghasilan dari gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadiah, dan penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya dalam 1 (satu) tahun pajak. PPh yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak harus dilunasi pembayarannya oleh Wajib Pajak dan Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur cara pelunasan PPh yang terutang oleh Wajib Pajak, yaitu dengan cara membayar sendiri dan melalui pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak lain. Pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sebesar pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan pembayaran atau gaji terhadap penerima gaji atau pegawainya. Pihak pembayar penghasilan atau gaji memiliki tanggung jawab penuh atas pemotongan, penyetoran, hingga pelaporan pajak yang dilakukan pada pegawainya. Pemungutan pajak adalah kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah besarnya jumlah pembayaran atas perolehan barang. Meski begitu, ada juga beberapa kasus dimana pemungutan diakukan oleh pihak pembayar dengan mekanisme yang sama dengan pemotongan pajak. PPh yang dipotong dan/atau dipungut melalui pihak lain lebih dikenal dengan istilah PPh Potput. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh, PPh Potput terdiri atas PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Objek PPh Potput terdiri atas berbagai macam penghasilan, antara lain penghasilan dari pekerjaan, pemberian jasa, sewa bangunan, dan dividen.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I



B. Jenis-jenis Pemotongan dan Pemungutan PPh 1. Dari Sisi Jenis Pajak 



Pemotongan digunakan untuk PPH pasal 21, pasal 23, pasal 26 dan PPh Final pasal 4 ayat 2.







Pemungutan digunakan untuk PPh pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)



2. Dari Sisi Subjek Pajak 



Pemotongan dilakukan oleh subjek yang tidak spesifik dan biasanya hanya disebut dengan pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan. Dalam hal ini bisa diartikan sebagai pihak perusahaan atau organisasi yang melakukan pembayaran.







Pemungutan dilakukan oleh pihak yang diberikan kewenangan secara jelas.



3. Dari Sisi Objek Pajak 



Pemotongan umumnya dikenakan atas penghasilan atau pendapatan yang memang akan menjadi hak dari wajib pajak (gaji, dividen, bunga);







Pemungutan dikenakan atas penghasilan yang belum tentu akan jadi penghasilan bagi semua penerima uang. Hal ini dikarenakan objeknya bisa penjualan maupun pembelian ( misalnya impor atau pengenaan pungutan atas pembelian bahan bakar minyak).



4. Dari Sisi Pengisian SSP 



Pemotong, dalam pengisian SPP pada kolom NPWP diisi dengan NPWP milik pemotong.







Pemungut, dalam pengisian SPP kolom NPWP diisi dengan NPWP yang dipungut pajaknya.



C. Pemotong dan Bukan Pemotong PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan PPh Pasal 21 antara lain dilakukan oleh :



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I  Pemberi kerja, termasuk cabang, perwakilan atau unit yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan,  Bendahra pemerintah  Dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan  Penyelenggara kegiatan. Bukan pemotong PPh Pasal 21 meliputi : 



Kantor perwakilan Negara Asing.







Organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf C UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan tersebut, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.







Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata memperkejakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal dibedakan menurut penerima penghasilannya



antara lain pegawai, pensiunan, peserta kegiatan dan bukan pegawai.



D. Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21 Berikut jenis penghasilan yang terkena pemotongan PPh Pasal 21 : 



Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik penghasilan teratur maupun tidak teratur.







Penghasilan yang diperoleh pensiunan secara teratur seperti uang pensiun.







Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua yang dibayarkan sekaligus dalam jangka waktu lewat dari 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja,







Penghasilan pekerja lepas (freelance) seperti upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah bulanan.







Imbalan yang diberikan pada bukan pegawai seperti honorarium, komisi, fee, atau imbalan sejenisnya yang diberikan karena jasayang dilakukan.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I 



Imbalan peserta kegiatan seperti uang saku, uang representasi, hadiah atau imbalan dalam bentuk apapun.







Imbalan atau honorarium uang sifatnya tidak teratur yang diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang bukan atau tidak merangkap pegawai tetap di perusahaan yang sama.







Penghasilan seperti jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau jenis imbalan lain yang sifatnya tidak teratur yang diperoleh mantan pegawai.







Penghasilan yang merupakan penarikan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri keuangan oleh peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai.



E. Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 Yang tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang dipotong PPh 21 antara lain : 



Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal dengan mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaan tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik,







Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf c UU Pajak Penghasilan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.



F. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan : 1.



Pegawai,



2.



Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I 3.



Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.



4.



Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain : 



Peserta perlombaan dalam segala bidang,







Peserta rapat, konferensi dll,







Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu,







Peserta pendidikan, pelatihan atau magang,







Peserta kegiatan lainnya.



G. Komponen Penting dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP. Sedangkan penghasilan neto dihitung seluruh penghasilan dikurangi penghasilan bruto dikurangi dengan : a. Biaya jabatan; b. Iuran terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menkeu Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut : PPh Pasal 21 = (Penghasilan netto-PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh = (Penghasilan bruto - biaya jabatan – iuran pensiun dan iuran



THT/JHT yang dibayar sendiri - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh



Kekuatan itu tidak datang dari kepastian fisik Tetapi datang dari kemauan



yang gigih - dsunnyzen



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 4 Menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



Menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap



A. PPh Pasal 21 Pegawai Tetap Perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Perhitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja; 2.



Perhitungan kembali sebagai dasar pengisisan Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa pegawai tetap berhenti bekerja : 



Bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja







Bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender.



Perhitungan masa atau bulanan selain Masa Pajak Desember atau masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja 1. Perhitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur Bagi pegawai tetap



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I a. Terlebih dahulu menghitung bruto yang diterima selama sebulan meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya. b. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS, JKK, JK, dan JPK dibayar oleh pemberi



kerja



merupakan



penghasilan



bagi



pegawai



ketentuan



sama



diberlakukan juga bagi premi asuransi yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaann asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21 premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. c. Lalu menghitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut :  Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4  Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26 Selanjutnya dihitung penghasilan neto selama setahun yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12. Apabila seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah januari maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bula desember. d. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 UU PPh yakni sebesar Penghasilan neto setahun dikurangi PTKP. e. Lalu menghitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara yaitu sebesar :  Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12; atau  Jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali dalam hal Wajib Pajak mulai bekerja setelah bulan Januari. f. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 26.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I g. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rape; tersebut adalah : A. Rapel dibagi dengan banyak bulan perolehan rapel tersebut B. Hasil pembagian ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 C. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan D. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.



2. Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur bagi pegawai tetap Adapun cara menghitung PPh Pasal 21 sebagai berikut : a. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya. b. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi dan sebagainya. c.



Selisih antara PPh Pasal 21 menurut perhitungan a dan b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya.



Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari maka PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana di atas dengan memperhatikan ketentuan mengenai perhitungan PPh Pasal 21 bulanan atas penghasilan tidak teratur.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I Dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap perlu diperhatikan rumus penghitungannya, yaitu sebagai berikut: Penghasilan Bruto setahun Rp xxxxxx Pengurang Penghasilan Bruto ( Rp xxxxxx ) Penghasilan Neto setahun



Rp xxxxxx



Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ( Rp xxxxxx ) Penghasilan Kena Pajak (PKP)



Rp xxxxxx



PPh Pasal 21 yang dipotong: PKP x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh = PPh Pasal 21 setahun PPh Pasal 21 setahun : 12 bulan = PPh Pasal 21 sebulan



pengurang penghasilan bruto bagi Pegawai Tetap terdiri dari: a)



biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggitingginya Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun;



b)



iuran dana pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua kepada dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.



besarnya PTKP per tahun adalah: a)



Rp24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;



b)



Rp2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin



c)



Rp2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh :



B. PPh Pasal 21 Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja



Perhitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut : 1.



Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kelender yang bersangkutan baik penghasilan yang teratur maupun tidak teratur.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN I a. Pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan dengan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak. b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak seubjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan. 2.



PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerj sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.



3.



Dalam PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotongan pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.



Contoh : Dimas, karyawan senior di PT. Harapan Jaya dengan status menikah dan memiliki lima putra. Selama tahun 2016 menerima gaji per bulan sebesar Rp 7.500.000,- dan menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 5.000.000. Perusahaan membayar iuran JKK, JKM sebesar 0,5% dan 0,3% dari gaji. Dimas membayar sendiri iuran pensiun sebesar Rp.100.000 per bulan ke Dana Pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan. Di akhir bulan September 2016, Dimas berhenti bekerja. Hitunglah PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan Dimas Tahun 2016.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN I Gaji



7,500,000



Tunjangan Kinerja



5,000,000



Premi JKK dibayar perusahaan



37,500



Premi JKM dibayar perusahaan



22,500



Penghasilan Bruto



12,560,000



Pengurang Penghasilan Bruto Biaya Jabatan



500,000



Iuran pensiun yang dibayar sendiri



100,000



Jumlah Pengurang Penghasilan Bruto



600,000



Penghasilan Neto Sebulan Penghasilan Neto Disetahunkan



11,960,000 143,520,000



PTKP (K/3)



72,000,000



Penghasilan Kena Pajak



71,520,000



PPh terutang setahun 5% x Rp50.000.000



2,500,000



15%x Rp21.520.000



3,228,000 5,728,000



PPh Pasal 21 sebulan



477,333



Berhenti bekerja (dihitung ulang) Gaji



7,500,000



Tunjangan Kinerja



5,000,000



Premi JKK dibayar perusahaan



37,500



Premi JKM dibayar perusahaan



22,500



Penghasilan Bruto



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



12,560,000



8



PERPAJAKAN I Pengurang Penghasilan Bruto Biaya Jabatan



500,000



Iuran pensiun yang dibayar sendiri



100,000



Jumlah Pengurang Penghasilan Bruto Penghasilan Neto Sebulan



600,000 11,960,000



Penghasilan Neto Setahun (x9)



107,640,000



PTKP (K/3)



72,000,000



Penghasilan Kena Pajak



35,640,000



PPh terutang setahun 5% x Rp35.640.000



1,782,000



1,782,000 PPh 21 yang sudah dipotong



4,296,000



PPh 21 yang lebih dipotong



(2,514,000)



Jadikannlah cibiran mereka sebagai semangat mu. Buktikan bahwa kamu lebih dari mereka



Patahkan cibirannya dengan prestasi mu ^^dsunnyzen ^^



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



9



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 5 PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap, Bukan Pegawai, Peserta Kegiatan, dan PPh Pasal 21 final



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



Pertemuan 5



A. PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila: 1. Pegawai yang bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja; 2. Bekerja berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan; atau 3. Penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Upah tidak dikenakan potongan apabila tidak melebihi Rp 450.000 /hari, untuk upah yg diterima harian, mingguan, upah satuan, upah borongan. Jika jumlah kumulatif upahnya melebihi Rp.4.500.000 maka menggunakan PTKP sehari Rp54.000.000 : 360 = Rp 150.000 Contoh Mekanisme Perhitungan Pajak Pegawai Tidak Tetap : 1. Upah Harian Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2017 bekerja sebagai buruh harian PT CMS. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp450.000,00 Jawab : No. 1. 2. 3.



Keterangan



Jumlah



Upah Sehari PTKP Sehari PKP Sehari



450.000 450.000 0



Pada hari ke 11 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.950.000,- berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 11? Berapa upah yang diterima Nurcahyo? Jawab : No.



Keterangan



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



Jumlah 2



PERPAJAKAN I 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Upah 11 hari PTKP 11 hari = 11 x Rp 54 jt: 360 PKP 11 hari PPh 21 terutang hari ke 11 : 5% x 3.300.000 PPh 21 yang dipotong hari ke 10 Upah yang diterima pada hari ke 11 : 450.000 - 165.000



4.950.000 1.650.000 3.300.000 165.000 0 285.000



Berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 12? Berapa upah yang diterima Nurcahyo? Jawab : No. 1. 2. 3. 4. 5.



Keterangan



Jumlah



Upah hari ke 12 PTKP sehari = Rp 54 jt: 360 PKP hari ke 12 PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x 300.000 Upah yang diterima pada hari ke 12 : 450.000 - 15.000



450.000 150.000 300.000 15.000 435.000



1. Nanang H dengan status belum menikah pada bulan Maret 2017 bekerja sebagai buruh harian PT CMS. la menerima upah harian sebesar Rp650.000,Jawab : No. 1. 2. 3. 4.



Keterangan



Jumlah



Upah Sehari PTKP Sehari PKP Sehari PPh 21 Sehari = 5% x 200.000



650.000 450.000 200.000 10.000



Pada hari ke 7 jumlah kumulatif upah yang diterima menjadi Rp 4.550.000,- berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 7 bulan Maret 2017? Jawab : No. 1. 2. 3. 4.



Keterangan Upah 7 hari PTKP 7 hari = 11 x Rp 54 jt: 360 PKP 7 hari PPh 21 terutang hari ke 7 : 5% x 3.500.000



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



Jumlah 4.550.000 1.050.000 3.500.000 175.000 3



PERPAJAKAN I 5. 6. 7.



PPh 21 yang dipotong hari ke 6 PPh 21 yang harus dipotong pada hari ke 7 Upah yang diterima pada hari ke 7 : 650.000 -115.000



60.000 115.000 535.000



Berapa PPh 21 yang dipotong pada hari ke 8 bulan Maret 2017? Jawab : No. 1. 2. 3. 4. 5.



Keterangan



Jumlah



Upah hari ke 8 PTKP sehari = Rp 54 jt: 360 PKP hari ke 8 PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x 500.000 Upah yang diterima pada hari ke 12 : 650.000 - 25.000



650.000 150.000 500.000 25.000 625.000



2. Upah Satuan Rizal F (belum menikah) bekerja sebagai perakit TV pada perusahaan elektronik, menerima upah sebesar Rp 125.000,00 per unit satuan, pembayaran perminggu. Dalam seminggu (6 hari) Rizal dapat merakit sebanyak 24 TV, dengan upah Rp. 3.000.000,- Berapa besarnya PPh yang dibayar dalam 1 Minggu? Jawab : No. 1. 2. 3. 4.



Keterangan Upah per hari : 3.000.000/6 hari PTKP sehari PKP per hari PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x (6 hari x 50.000)



Jumlah 500.000 450.000 50.000 15.000



3. Upah Borongan Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp950.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari. Brp PPh Pasl 21 yang harus dipotong? Jawab : No. 1.



Keterangan Upah per hari : 950.000/2 hari



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



Jumlah 475.000 4



PERPAJAKAN I 2. 3. 4.



PTKP sehari PKP per hari PPh 21 terutang hari ke 12 : 5% x (2 hari x 25.000)



450.000 25.000 2.500



4. Upah harian yang dibayar bulanan Bagus (menikah belum punya anak) bekerja pada perusahaan elektronik, dengan dasar upah harian yang dibayar bulanan. Januari 2018 bekerja selama 20 hari menerima upah sebesar Rp 250.000,- perhari Jawab : No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Keterangan Upah Januari : 20 x 250.000 Upah Satuan : 12 x 5.000.000 PTKP Setahun (WP Sendiri dan Status Kawin) (54.000.000 + 4.500.000) PKP PPh terutang setahun 5% x 1.500.000 PPh Pasal 21 Bulan Januari 75.000/12 bulan



Jumlah 5.000.000 60.000.000 58.500.000 1.500.000 75.000 6.250



B. PPh Pasal 21 Bukan Pegawai Bagi yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak 20% lebih besar, misalnya : Tarif yang memiliki NPWP : 5% Bilamana ia tidak memiliki NPWP : 120% x 5% = 6%



1. Penghasilan berkesinambungan PPh 21 terutang = Dasar Pengenaan Pajak(DPP) x Tarif Pajak = ((50% x Penghasilan Bruto) - PTKP per bulan) x Tarif Pajak Contoh Soal :



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I



ER adalah petugas dinas luar asuransi PT. TL. Suaminya bekerja pada PT K dan memiliki NPWP, dan telah menyampaikan FC NPWP, surat nikah dan KK ke pemotong pajak. ER tidak mempunyai penghasilan lain, dan telah membuat surat pernyataan. Penghasilan ER selama 2017 adalah sebagai berikut:



Hitung PPh Pasal 21 terutang tiap bulannya. Jawab : (dalam ribuan) Bulan



P. Bruto



DPP : PTKP 50% dari P. Bruto



Jan Feb Mar



45.000 45.000 48.000



22.500 22.500 24.000



4.500 4.500 4.500



Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov



52.000 55.000 58.000 58.000 62.000 65.000 66.000 68.000



26.000 27.500 29.000 29.000 31.000 32.500 33.000 34.000



4.500 4.500 4.500 4.500 4.500 4.500 4.500 4.500



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



PKP



18.000 18.000 14.000 5.500 21.500 23.000 24.500 24.500 26.500 28.000 28.500 18.000



PKP Kumulat if



Tarif Pasa l 17



PPh terutang



18.000 36.000 50.000 55.500 77.000 100.000 124.500 149.000 175.500 203.500 232.000 250.000



5% 5% 5% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15%



900 900 700 825 3.225 3.450 3.675 3.675 3.975 4.200 4.275 2.700 6



PERPAJAKAN I 11.500 30.500



261.500 292.000



25% 25%



2.875 Des 70.000 35.000 4.500 7.625 Total 692.000 346.000 43.000 Note : Bilamana ia tidak memiliki NPWP, maka tarif pasal 17 nya dikalikan dengan 120%.



2. Penghasilan tidak berkesinambungan (50% x Penghasilan Bruto) x Tarif pajak Contoh Soal : a. Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp. 5.000.000,- Hitung PPh Pasal 21 nya. Jawab : 5% x 50% x Rp. 5.000.000 = Rp. 125.000 Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP, maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar : 5% x 120% x 50% x Rp. 5.000.000 = Rp. 150.000 b. Toga Marolop Simanjuntak adalah seorang pengacara, dalam menangani kasusnya ia mendapatkan fee sebesar Rp. 450.000.000 dari PT Manja Manja. Hitung besarnya PPh Pasal 21. Jawab : DPP = 50% x Rp. 450.000.000 = Rp. 225.000.000 Besarnya PPh : 5% x Rp. 50.000.000 15% x Rp. 175.000.000



= Rp. 2.500.000 = Rp. 26.250.000 = Rp. 28.750.000 Dalam Hal Toga Marolop Simanjuntak tidak memiliki NPWP, maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar : 5% x 120% x Rp. 50.000.000 = Rp. 3.000.000 15% x 120% x Rp. 175.000.000 = Rp. 31.500.000 = Rp. 34.500.000



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN I



C. PPh Pasal 21 Peserta Kegiatan Mekanisme penghitungan = Penghasilan Bruto dikali tarif pasal 17 Contoh : A Ginting adalah atlet bulu tangkis professional Indonesia yang bertempat tinggal di Jakarta. la menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00 PPh pasal 21 nya : 5% x Rp. 50.000.000 15% x Rp. 150.000.000



= Rp. 2.500.000 = Rp. 22.500.000 = Rp. 25.000.000



D. PPh Pasal 21 yang Bersifat Final Ketentuannya :



1. Untuk Honorarium kepada PNS yang menjadi beban APBN atau APBD, PNS Gol II dikenai tarif 0%, Gol III dikenai tarif 5%, dan Gol IV dikenai tarif 15%. 2. Untuk Pesangon dari Pemberi Kerja, 0-50jt dikenai tarif 0%, 50-100jt dikenai tarif 5%, 100-500jt dikenai tarif 15%, dan diatas 500jt dikenai tarif 25%. Mekanisme penghitungannya : Penghasilan Bruto dikalikan tarif pasal 17. Contoh Soal : Budi adalah PNS golongan III/d, pada bulan Maret 2016 menerima honorarium sebagai narasumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp.5.000.000,- Hitung PPh Pasal 21 Final yang terutang. Jawab : 5% x Rp. 5.000.000 = Rp.250.000



Balas dendam terbaik adalah



menjadikan dirimu lebih baik. - Ali bin Abi Thalib -



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



8



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 6 PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



Pertemuan 6 A. Pengertian PPH Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari bunga, dividen, royalty, hadiah, sewa, dan penyerahan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.



B. Pemotong PPh Pasal 23 Pihak-pihak yang membayarkan penghasilan 1. Badan Pemerintah 2. Subjek Pajak badan dalam negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk Usaha Tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 6. Orang Pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh pasal 23.



C. Objek dan Tarif PPh Pasal 23 1. Tarif 15% a. Dividen; b. Bunga termasuk



premium, diskonto,



dan



imbalan



karena



jaminan pengembalian utang; c. Royalti; d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I



2. Tarif 2% a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan b. Imbalan sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21. *Dalam hal WP yang memperoleh penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan lebih tinggi 100% dari yang memiliki NPWP. Mekanisme Penghitungan : Tarif PPh pasal 23 x Jumlah Bruto Contoh Soal : 1) PT. Solusindo membayarkan dividen kepada



CV Perkasa sebesar Rp.



200.000.000,Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT. Solusindo = 15% x Rp. 200.000.000 = Rp. 30.000.000 2) PT Karya Utama membayar bunga atas pinjaman kepada PT Indo Jaya sebesar Rp. 80.000.000 Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT Karya Utama = 15% x Rp. 80.000.000 = Rp. 12.000.000 3) CV Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Sulastri atas pemakaian merek Ayam Goreng “Bu Lastri” sebesar Rp. 30.000.000,- Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong CV Selera Makan = 15% x Rp. 30.000.000 = Rp. 4.500.000 Bila Ny. Sulastri tidak memiliki NPWP, maka = 200% x 15% x Rp. 30.000.000 = 30% x Rp. 30.000.000 = Rp. 9.000.000 ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I 4) CV Perdana



mendapat



hadiah sebuahmobil senilai Rp.



200.000.000,-



sebagai distributor terbaik dari PT Artha Raya. Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT Artha Raya =15% x Rp. 200.000.000 =Rp. 30.000.000 5) PT Sejahtera Raya menyewa sebuah traktor milik Susanto dengan nilai sewa sebesar Rp. 10.000.000,- Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya =2% x Rp. 10.000.000,=Rp. 200.000 Bila Susanto belum memiliki NPWP, maka PPh pasal 23 nya =4% x Rp. 10.000.000 =Rp. 400.000 6) PT Pilar Utama yang baru berdiri meminta jasa dari CV Konsultindo untuk membuat sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp. 11.000.000,(termasuk PPN Rp. 1.000.000). Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT Pilar Utama =2% x (11.000.000 - 1.000.000) =2% x Rp. 10.000.000 =Rp. 200.000



D. Pengertian PPh Pasal 26 PPh yang dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT, atas penghasilan dari modal dan dari usaha jasa apapun yang diperolehnya dari sumber di Indonesia.



1. Pemotong PPh Pasal 26 WP Dalam Negeri, seperti : a. Badan Pemerintah; b. Subjek Pajak Dalam Negeri; c. Penyelenggara Kegiatan; d. BUT; e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; atau f. OP yang ditunjuk.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I 2. Objek dan Tarif PPh Pasal 26 a. Atas penghasilan yang berupa : 1) Dividen; 2) Bunga termasuk premium, diskonto, dan



imbalan



karena jaminan



pengembalian utang; 3) Royalti, 4) Sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 5) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; 6) Hadiah dan penghargaan; 7) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; 8) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 9) Keuntungan karena pembebasan uang. PPh Pasal 26-nya = Penghasilan Bruto x 20% b. Atas penghasilan yang berupa : 1) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia; 2) Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri; Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. PPh pasal 26 nya = (Penghasilan bruto x Perkiraan Penghasilan neto) x 20% Besarnya Perkiraan : 1) 50% atas Premi dibayar



tertanggung kepada



perusahaan



asuransi Luar Negeri; 2) 10% atas Premi dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi Luar Negeri; 3) 5% atas Premi dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi Luar Negeri. c. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham. PPh Pasal 26 nya = (Penghasilan Bruto x Perkiraan Penghasilan Neto) x 20% *Perkiraan Penghasilan Neto-nya adalah 25% dari harga jual



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I d. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut tidak ditanamkan kembali di Indonesia. PPh Pasal 26 nya = (PKP - PPh Terutang) x 20% Contoh Soal : Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April 2017, Mike memperoleh gaji US$ 5.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp. 13.500 per US$ 1. Hitung PPh Pasal 26. Jawab : Perhitungan PPh Pasal 26 : Penghasilan bruto sebulan = 5.000 x 13.500 = Rp. 67.500.000,- Penerapan Tarif = 20% x Rp. 67.500.000 = Rp. 13.500.000,-



Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik. - Ali bin Abi Thalib -



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 7 Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 22



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 A. Definisi PPh Pasal 4 ayat 2 atau biasa disebut juga dengan PPh Final adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongannya bersifat final. Pasal 4 ayat 2 UU PPh menyatakan bahwa : “Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya,



penghasilan transaksi saham dan sekuritas lainnya dibursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tentu lainnya, pengenaan pajaknya diaur dengan Peraturan Pemerintah.”



B. Pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 PPh Pasal 4 ayat 2 disini bersifat final, artinya atas pajak ini tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun pajak. Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan individu, dimana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka PPh Pasal 4 ayat 2 ditanggung oleh perusahaan sebagai pihak yang menerima hasil. Jika transaksi terjadi diantara 2 perusahaan maka pembayaran (perusahaan yang satu) harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak. Bukan si penerima. Sementara, penghasilan (perusahaan yang lain) bebas dari kewajiban PPh Pasal 4 ayat 2. Pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan yang diterima ataupun diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu sesuai dengan jenis objek pajaknya, baik itu dipotong oleh pihak lain atau disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I Penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dihitung PPh nya seperti tahunan untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lainnya. Terkait dengan omset atas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 tidak dimasukkan ke dalam omset usaha, namun dimasukkan ke dalam penghasilan yang sudah dipotong PPh Finalnya. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Wajib pajak badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat 2 dan wajib pajak pribadi tidak. Namun, apabila yang memberi penghasilan adalah orang pribadi dan wajib pajak menerima penghasilan beruba objek PPh Pasal 4 ayat 2 maka wajib pajak itu harus menyetor sendiri PPh tersebut. Pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 adalah : 



Koperasi







Penyelenggara kegiatan







Otoritas bursa







Bendaharawan



C. Objek dan Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) a) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan, serta diskonto Seritifikat Bank Indonesia i. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dollar AS yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank. Tarifnya : 1. 10% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan. 2. 7.5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan. 3. 2.5% dari jumlah bruto dengan jangka waktu 6 bulan. 4. 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan. ii. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank. Tarifnya : 1. 7.% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan. 2. 5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan. ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I 3. 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan. iii. Atas bunga dari tabungan dan diskonto SBI, serta bunga dari deposito selain dari deposito sebagaimana dimaksud i dan ii. Tarifnya : 1. 20% dari jumlah bruto terhadap WP Dalam Negeri dan BUT. 2. 205 dari jumlah bruto, atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku pada WP Luar Negeri b) Penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi. i. Atas bunga obligasi dengan kupon sebesar : 1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT. 2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindar Pajak Berganda yang berlaku , pada WP Luar Negeri. Dari jumlah bruto bunga sesuai dengan kepemilikan obligasi. ii. Atas dikonsto obligasi dengan kupon sebesar : 1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT. 2. 20% atau dengan tarif sesuai dengan ketentuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, pada WP Luar Negeri Dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi. iii. Atas diskonto obligasi tanpa bunga sebesar : 1. 15% bagi WP Dalam Negeri dan BUT, 2. 20% atau dengan tarif sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, pada WP Luar Negeri. Dari selisih harga jual atau nominal di atas harga perolehan obligasi. iv. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar : 1. 5% untuk tahun 2014 s.d 2020 2. 10% untuk tahun 2021 dst. c) Penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bengunan PPh Final = 10% x penghasilan bruto d) Penghasilan dari pengalihan hak atas dan/atau bangunan i. 2.5% untuk selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I ii. 1% untuk rumah sederhana atau rumah susun sederhana iii. 0% untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, BUMN yang mendapatkan penugasan khusus dari pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah. e) Usaha jasa kontruksi i.



2% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.



ii. 4% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. iii. 3% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud i dan ii. iv. 4% untuk perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha. v. 6% untuk perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. f) Hadiah undian  25% dari jumlah bruto hadiah undian g) Penghasilan



dari



transaksi



derivatif



berupa



kontrak



berjangka



yang



diperdagangkan di bursa  2.5% dari margin awal. Contoh soal : 1) Ahmad menempatkan dananya dalam tabungan mudharabah di Bank Amal Syariah sebesar Rp 100.000.000,00. Nisbah/bagi hasil yang disepakati adalah 70% untuk bank dan 30% untuk nasabah. Pada bulan September 2013, Bank Amal Syariah memperoleh keuntungan sebesar Rp 100.000.000.000,00 dari total dana nasabah yang dikelola Rp 2,5 triliun. Pada tanggal 8 Oktober 2013 Bank Amal Syariah membayarakan bagi hasil sebesar Rp 1.200.000,00 kepada Ahmad. Bagaimana perlakuan PPh atas pembayaran bagi hasil tersebut? Jawab : PPh Pasal 4 ayat 2 = 20% x 1.200.000 = Rp 240.000



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I 2) Pada tanggal 1 juli 2013, PT Mekar Sejahter menerbitkan obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities) sebagai berikut: 



Nilai nominal Rp 10.000.000,00 per lembar







Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 30 Juni 2018)







Bungan tetap (fixed rate) sebesar 18% per tahun. Jatuh tempo buna setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember.



Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Bank Koes & Dian merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. PT Batavia Sentosa pada saat penerbitan perdana membeli 20 lembar obligasi dengan



harga



dibawah



nilai



nominal



(at



dicount)



yaitu



sebesar



Rp9.000.000/lembar. Bagaimana kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2013? Jawab : Bunga obligasi = (6/12 x 18%x 10.000.000) x 20 lembar = Rp 18.000.000 PPh Pasal 4 (2) = 15% x 18.000.000 = Rp 2.700.000



D. Pengertian PPh Pasal 22 Menurut UU PPh Nomor 36/2008, PPh Pasal 22 adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.



E. Pemungutan PPh Pasal 22 a. Bank Devisa dan DJBC, pada aktivitas perdagangan internasioanl seperti Impor dan Ekspor barang; b. Bendahara Pemerintah dan KPA pada Pempus, Pemda, Instansi dan Lembaga Pemerintah atas pembelian barang; c. Bendahara Pengeluaran pada pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP); d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau PPSPM yang diberikan delegasi oleh KPA, pada pembayaran ats pembeliaan barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran Langsung (LS);



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN I e. Badan Usaha Tertentu seperti BUMN dan Badan Usaha Tertentu yang dimiliki secara langsung seperti oleh BUMN; f. Badan Usaha yang bergerak di bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomatif, dan industri farmasi atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri; g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri; h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas; i. Badan usaha industri atau ekportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, pertenakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industrinya atau ekspornya; j. Badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral, logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan; atau k. Badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan batangan di dalam negeri.



F. Objek dan Tarif PPh Pasal 22 *Nilai impor  nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost, Insurance, and Freight (CIF), ditambah Bea Masuk dan Pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. *API  Angka Pengenal Impor *diatur pada PMK Nomor 34/PMK.010/2017 Tarif PPh Pasal 22 atas Impor No



Barang



Tarif



1.



Barang pada Lampiran I, Barang Kiriman dalam jumlah tertentu



10% dari nilai impor, baik dengan API atau tidak



2.



Barang pada Lampiran II



7.5% dari nilai impor, baik dengan API atau tidak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN I 3.



Barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebagaimana tercantum dalam Lampiran III



0,5% x nilai impor dengan menggunakan API



4.



Barang selain barang sebagaimana dimaksud pada no. 1, 2, dan 3.



2.5% x nilai impor dengan menggunakan API



5.



Barang sebagaimana dimaksud pada no. 3 dan 4.



7.5% x nilai impor bagi yang tidak menggunakan API



6.



Barang tidak dikuasai



7.5% x Harga Jual Lelang



Tarif PPh Pasal 22 atas Ekspor No.



Barang Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tartf/ Harmonized System (HS) sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.



1.



Tarif 1.5% dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Ekspor.



Tarif PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Bendahara Pemerintah, KPA, Bendahara Pengeluaran, Badan Usaha Tertentu. No. 1.



Barang Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



Tarif 1,5% x harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.



8



PERPAJAKAN I



Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan BBM No.



Barang



Tarif



1.



Penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina



0,25% x penjualan, tidak termasuk PPN



2.



Penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina



0,3% x penjualan, tidak termasuk PPN.



3.



Penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2.



0,3% x penjualan, tidak termasuk PPN.



Tarif PPh Pasal 22 atas Gas dan Pelumas No.



Barang



Tarif



1.



Bahan Bakar Gas



0,3% x penjualan, tidak termasuk PPN



2.



Pelumas



0,3% x penjualan, tidak termasuk PPN.



Tarif PPh Pasal 22 atas Hasil Produksi ke Distributor Dalam Negeri No.



Barang



Tarif



1.



Penjualan semua jenis semen



0,25% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



2.



Penjualan kertas



0,1% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



3.



Penjualan baja



0,3% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



9



PERPAJAKAN I 4.



Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk alat berat



0,45% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



5.



Penjualan semua jenis obat



0,3% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



Tarif PPh Pasal 22 atas... (Lain-lain) No.



Barang



Tarif



1.



Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat.



0,45% x Dasar Pengenaan Pajak PPN



2.



Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir.



0,25% x Harga Pembelian, tidak termasuk PPN



3.



Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industii atau badan usaha.



1.5% x Harga Pembelian, tidak termasuk PPN



4.



Penjualan emas batangan



0,45% x Harga Jual Emas Batangan



Don’t be sad. Don’t be mad and Don’t give up. Kunci kesuksesan dan kebahagian ada pada dirimu bukan pada orang lain. - dsunnyzen



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



10



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 9 PPN



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



PPN A. Sejarah PPN merupakan pengganti dari Pajak Penjualan dikarenakan Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, Antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan pajak. Berikut perjalanan pemungutan pajak pertambahan nilai di Indonesia :



1. Pajak Pembangunan I Pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan Pajak Pembangunan I (PPb l) pada 1 Juli 1947 yang dikenakan atas usaha rumah makan, penginapan, dan penyerahan jasa di rumah makan. Sebelumnya pajak ini berstatus pajak pusat, namun sejak tahun 1957 berubah menjadi pajak daerah.



2. Pajak Peredaran Tahun 1950 Yang berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia yang dipungut secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi dan berlaku sejak 1 Oktober 1951. Pajak ini dikenakan tariff 2,5%. UU yang mengatur pajak peredaran adalah UU Darurat No. 19/1951 tentang Pajak Peredaran, namun pajak ini tidak berlaku lama karena telah digantikan dengan pajak penjualan.



3. Pajak Penjualan Pajak Penjualan diatur di dalam UU No. 35/1953 tentang Penetapan UU Darurat No.19/1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (Lembaran Negara No.94/1951). UU inilah yang menjadi dasar hokum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951.



4. PPN Pajak Penjualan akhirnya direformasikan dengan timbulnya UU No.8/1953 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disahkan



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I pada 1 April 1985. Hingga saat ini sudah 3x perubahan UU PPN di Indonesia. Berikut perubahan UU PPN kedua dan ketiga di Indonesia: a. Perubahan Kedua: Perubahan kedua ini disebut sebagai UU No.18/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. b. Perubahan Ketiga : Perubahan ketiga adalah UU No.42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan tujuan untuk semakin meningkatkan kepastian hokum dan keadilan, menciptakan system perpajakan yang lebih sederhana serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.



1. Daerah Pabean  wilayah RI meliputi darat, perairan dan udara serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan landasan kontinen yang di dalamnya berlaku UU yang mengatur mengenai kepabeanan. 2. Ekspor BKP berwujud  setiap kegiatan mengeluarkan BKP berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. 3. Ekspor JKP  kegiatan penyerahan JKP ke luar Daerah Pabean. 4. Pajak Masukan  PPN yang seharusnya sudah dbayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau perolehan JKP dan atau pemnafaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan atau impor BKP. 5. Pajak Pengeluaran  PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP,JKP, ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP tidak berwujud dan atau ekspor JKP.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I



B. Karakteristrik 1. Merupakan pajak atas konsumsi dibebakan kepada konsumen yang membeli BKP dan tidak untuk dijual kembali. 2. Merupakan pajak tidak langsung  dibebakan kepada konsumen akhir BKP yang ada (berbeda Antara penyetor dan pembyarannya). 3. Merupakan pajak objektif  dikenakan dengan tariff yang sama tanpa melihat subjek tetapi sesuai dengan BKP dan JKP yang terjadi. 4. Penggunaan tarif tunggal 5. PPN adalah pajak atas konsumsi BKP/JKP di dalam negeri  impor, 6. Berisfat multi Stage Levy  dikenakan atau dipungut pada setiap tahap jalur produksi



dan



distribusi



tidak



bersifat



pemungutan



double



karena



mekanismenya yang menganut pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. 7. Indirect Subtraction Method  sebagai PKP dapat mengkreditkan pajak masukan atas BKP dan JKP yang berbeda.



C. Mekanisme PPN UU PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BPK atau JKP oleh PKP. PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak). Mekanisme pengenaan PPN digambarkan sebagai berikut :



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I



1. Saat membeli/memperoleh BKP/JKP, PPN akan dipungut oleh PKP Penjual. Disisi pembeli PPN yang dipungut merupakan pembayaran pajak dimuka (Pajak Masukan) dan pihak pembeli berhak mendapatkan bukti faktur pemungutan faktur pajak. 2. Saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual PPN merupakan Pajak Pengeluaran, sebagai bukti PKP berhak membuat faktur pajak. 3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu takwim), jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara. 4. Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusikan atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. 5. Pelaporan



perhitungan



PPN



dilakukan



setiap



masa



pajak



dengan



menggunakan SPT Masa PPN. Contoh : transaksi perusahan sepanjang bulan Maret : 1. Membeli bahan baku seharga 100.000.000 (dipungut PPN sebesar 10.000.000) 2. Menjual produknya seharga 200.000.000 (memungut PPN sebesar 20.000.000) Perhitungan PPN : Jumlah pajak keluaran



20.000.000



Jumlah pajak masukan



(10.000.000)



PPN kurang bayar



10.000.000



Jumlah PPN kurang bayar sebesar 10.000.000 harus disetorkan ke kas negara.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I



D. Dasar Hukum PPN UU yang mengatur PPN dan PPnBM adalah UU No.8/1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.42/2009; UU ini disebut dengan UU PPN 1984.



E. Objek PPN dikenakan atas :



1. Penyerahan BKP di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syaratnya adalah : 



Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP.







Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud.







Penyerahan yang dilakukan di dalam Daerah Pabean.







Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya



2. Impor BKP. 3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dengan syarat : 



Jasa yang dilakukan merupakan JKP.







Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.







Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN I



4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor BKP berwujud oleh PKP 7. Ekspor BKP Tidak berwujud oleh PKP 8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. 9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan oleh PKP, kecuali atas aktivas yang Pajak Masuknya tidak dapat dikreditkan. PKP sebagai subjek PPN merupakan pihak atau pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 kemudian menyetorkan PPN dan melaporkan perhitungan pajak. Pihak yang dapat disebut PKP adalah pengusaha yang memiliki penghasilan bruto lebih dari Rp. 4,8 miliar. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabla sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah perederan bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan yakni Rp. 4,8 miliar. Pengusaha wajib melaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah perederan bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas pengusaha kecil. PKP dapat memohon pencabutan pengukuhan PKP apabila jumlah peredaran atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditetapkan kepada KPP tempat pengusaha dikukuhkan PKP paling lambat satu bulan sejak berakhirnya tahun buku Berikut komponen :  BKP ( Barang Kena Pajak)



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN I Merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud, yang dikenai pajak berdasarkan UU 1984. Yang dimaksud dengan BKP tidak berwujud adalah : a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta. b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan industry, komersial atau ilmiah. c.



Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang industrial, komersial, teknikal, atau ilmiah.



d. Pemberian bantuan atau pelengkap sehubungan denga penggunaan atau hak menggunakan berdasarkan huruf a,b dan c, berupa : 1. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau suara atau keduanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic atau teknologi serupa. 2. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau suara atau untuk siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optic, atau teknologi serupa. 3. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum radio komunikasi. e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup atau pita video untuk siaran televise atau pita suara untuk siaran radio. f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau



pemberian



hak



kekayaan



intelektual/industrial



atau



hak-hak



lain



sebagaimana disebut diatas.



 Pengecualian BKP Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok barang sebagai berikut :



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



8



PERPAJAKAN I a. Hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. b. Kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya baik dikonsumsi ditempat atau di bawak pulang termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering. d. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)



 JKP Setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.  Pengecualian JKP Jenis yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa pelayanan kesehatan medis; b. Jasa di bidang pelayanan social; c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. Jasa keuangan; e. Jasa asuransi; f. Jasa di bidang keagamaan; g. Jasa pendidikan; h. Jasa kesenian dan hiburan; i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. j. Jasa angkutan umum darat atau udara baik dalam negeri maupun luar negeri yang tidak dapat dipisahkan k. Jasa tenaga kerja ; 1. Jasa tenaga kerja 2. Jasa penyediaan tenaga kerja 3. Jasa penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



9



PERPAJAKAN I l. Jasa perhotelan ; 1. Jasa penyewa kamar; 2. Jasa penyewa ruangan. m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dakam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. n. Jasa penyediaan tempat parkir. o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam baik diselenggarakan oleh pihak pemerintah/swasta. p. Jasa pengiriman uang menggunakan wesel pos. q. Jasa boga/catering.  Penyerahan BKP Merupakan setiap kegiatan penyerahan BKP. Yang termasuk kedalam penyerah BKP adalah : i. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian. ii. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). iii. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang. iv. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP. v. BKP (persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan tidak untuk diperjual belikan), yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan. vi. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya, dan atau penyerahan BKP serta cabang. vii. Penyerahan BKP secara konsinyasi. viii.



Penyerahan BKP oleh PKP dalm rangka perjanjian pembiayaan yang



dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP ke pada pihak yang membutuhkan BKP. Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam kategori penyerahan BKP adalah : 



Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab UU Hukum Dagang.







Penyerahan BKP untuk jaminan hutang.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



10



PERPAJAKAN I 



Penyerahan BKP antarcabang/pusat ke cabang dalam hal PKP melakuakn pemusatan tempat pajak terutang.







Pengalihan



BKP



dalam



rangka



penggabungan,



peleburan,



pemekaran,



pemecahan, dan pengambil alihan usaha dengan syarat pihak yang melakuakn pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP. 



BKP merupakan aktiva tetap yang menurut tujuan semual untuk tidak diperjual belikan, yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan dan yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.



No matter what they say, No matter what they do. Wo Going To RESONATE -NCT 2020 (sf) (sg)



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



11



PERPAJAKAN I



PERTEMUAN 10 PPN Bagian 2



Disusun oleh: 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN I



PPN bagian 2 A. Subjek PPN Yang disebut subjek PPN ialah orang pribadi dan badan, yang berdasarkan peraturan per UU, melakukan kegiatan penyerahan dan menerima BKP/JKP. Yang diatur di dalam UU No. 42/2009 Pasal 4 Ayat 1 huruf b dan e serta Pasal 16C. Jika diklasifikasikan subjek PPN terbagi menjadi 2 yakni; 



PKP, dimana PPN dipungut oleh PKP dalam;  Melakukan penyerahan BKP/JKP  Melakukan ekspor BKP/BKPTB/JKP







Non-PKP, dimana PPN akan tetap terutang meski yang melakukan kegiatan bukanlah berstatus PKP, dalam hal : 1. Mengimpor BKP; 2. Memanfaatkan BKPBT dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; 3. Dan atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 4. Melakukan kegiatan membangun sendiri



B. Pengusaha Kecil Merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari; a. Sebelum 1 Januari 2014 = 600.000.000 b. Setelah 1 Januari 2014 = 4.800.000.000 Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila sampai suatu bulan dalm tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan yang paling lama dilaporkan akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas pengusaha kecil. Beberapa hal perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil; i. Dilarang membuat faktur pajak. ii. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN;



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN I iii. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan; iv. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.



C. Kewajiban PKP PKP berkewajiban antara lain untuk :



1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP; 2. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang; 3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayarkan dalam hal Pajak Keluaran lebih



besar daripada Pajak Masukan



yang dapat



dikreditkan serta



menyetorkan PPnBM; 4. Melaporkan perhitungan pajak.



D. Saat Terutang PPN Pajak terutang pada saat : 1. Penyerahan BKP atau JKP. 2. Impor BKP. 3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean. 5. Ekspor BKP berwujud. 6. Eskpor BKP tidak berwujud. 7. Ekspor JKP. 8. Pembayaran yang diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean.Tempat Terutang PPN



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN I



E. Tempat Terutang PPN 1. Untuk penyerahan BKP/JKP : a. Tempat tinggal, b. Tempat kedudukan, c. Tempat kegiatan usaha, dan d. Tempat lain.



2. Dalam hal impor terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui DJBC. 3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha. 4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan.



F. Cara Menghitung PPN PPN =DPP x Tarif Pajak



Contoh :



1. PKK A menjual tunai BKP kepada PKP B dengan harga jual 25.000.000, PPN yang terutang; 25.000.000 x 10% = 2.500.000 PPN sebesar 2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh PKP A. sedangkan PKP B, PPN tersebut merupakan merupakan Pajak Masukan.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN I



2. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor 15.000.000, PPN yang dipungut melalui DJPBC = 10% x 15.000.000 = 1.500.000



G. Tarif PPN Tariff yang berlaku untuk saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas : a. Ekspor BKP Berwujud atau tidak berwujud. b. Ekspor JKP. Pengenaan tariff 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masuknya yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Pemerintah diberikan wewenang dalam mengubah tariff pajak PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinfsip tarif tunggal yang dilakukan untuk pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan yang dikemukakan oleh pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN I



H. DPP Yang menjadi DPP adalah :



1. Harga jual  nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. 2. Penggantian  nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayarkan atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 3. Nilai Impor  nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk di tambah dengan pemungutan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan PerUU yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN 1984. 4. Nilai Ekspor  nilai berupa uang termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengekspor. 5. Nilai Lain  diatur di dalam PMK NO. 567/KMK.04/2000 Untuk kegiatan Membangun sendiri DPP nya adalah 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah . Ayo jadi Neo Generation. Tak ada yang tidak bisa!!  Dsunnyzen  ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN 1



PERTEMUAN 11 FAKTUR PAJAK DAN PENGKREDITAN PM



DISUSUN OLEH : 1. Dhiya Septi Wulan Suri 2. Indriani Novita Sari 3. Togi Marito Simanjuntak



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



1



PERPAJAKAN 1



BAB 1 FAKTUR PAJAK DAN PENGKREDITAN PM A. Faktur Pajak 1. Pengertian dan Fungsi Faktur Pajak a. Pengertian Faktur Pajak dalam administrasi PPN di Indonesia didefinisikan sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP (Pasal 1 angka 23 UU PPN 1984). Pemungut PPN adalah penjual atau yang menyerahkan BKP/JKP. Penerbitan Faktur Pajak menandakan Pemungutan Pajak sebagai konsekuensi mekanisme indirect substraction method yang dianut Indonesia.



b. Fungsi Faktur Pajak a) Sudut pandang PKP yang menjual/menyerahkan BKP/JKP. Faktur Pajak merupakan bukti bahwa pungutan pajak b) Sudut pandang pembeli/penerima BKP/JKP: 1. Bukti pembayaran PPN 2. Bukti beban pajak, dalam hal PPN yang tercantum belum dibayar 3. Sebagai sarana pengkreditan PM



2. Saat Pembuatan Faktur Pajak a) Penyerahan/Ekspor BKP termasuk penyerahan 16D (PKP penjual atau yang menyerahkan BKP/JKP) b) Penyerahan/Ekspor JKP



3. Bentuk dan Isi Faktur Pajak Bentuk Faktur Pajak ada dua yaitu: a. Elektronik, berupa file yang digunakan saat objek PPN berupa penyerahan BKP/JKP dan penyerahan terkait pasal 16D. Di Indonesia, untuk menerbitkan FP berbentuk elektronik harus melalui persetujuan ortoritas pajak dengan melalui kanal penerbitan berupa: 1) Aplikasi dekstop e-Faktur Pajak ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



2



PERPAJAKAN 1 2) Web base atau aplikasi online yang disediakan otoritas pajak 3) Host to Host (langsung dari sistem PKP ke DJP atau melalui ASP) b. Kertas, beruba cetakan faktur diatas kertas yang digunakan disemua transaksi atau peristiwa hukum yang diwajibkan menerbitkan Faktur Pajak seperti Penyerahan BKP/JKP dan Ekspor BKPB/BKPTB/JKP. Untuk penyerahan BKP/JKP defaultnya harus diterbitkan secara elektronik. Namun, bisa menggunakan FP kertas berupa struk swalayan (FP Pedagang Eceran) MARI KITA TELUSURI JENIS-JENIS FAKTUR PAJAK a. Faktur Pajak sesuai Pasal 13 ayat 5 UU PPN FP ini memuat keterangan atas penyerahan BKP/JKP yang paling sedikit berisi: 1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP/JKP 2. Nama,alamat,NPWP yang membeli BKP/JKP 3. Jenis BKP/JKP, jumlah harga jual/penggantian, dan potongan harga 4. PPN yang dipungut 5. PPnBm yang dipungut 6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP 7. Nama dan tanda tangan yang berhal menandatangani FP b. Faktur Pajak Gabungan FP Gabungan menggabungkan beberapa transaksi pada 1 bulan kalander yang sama atas pembeli yang sama dalam satu FP. c. Faktur Pajak Pedagang Eceran Hanya dapat diterbitkan oleh WP yang kategori Pedagang Eceran. Perbedaan antara FP-Pedagang eceran dan FP standar adalah di dalam FPPedagang eceran hanya memuat 5 konten FP dari 7 yang diatur pada aturan yang berlaku dengan tidak mencantumkan nama,NPWP, dan alamat pembeli dan juga tandatangan penerbit FP. Nomor seri FP-Pedagang eceran diatur sendiri oleh PKP PE sedangkan FP standar nomor seri diajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak oleh PKP ke otoritas pajak. d. Dokumen Tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan FP 1. Surat Perintah Penyerahan Barang



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



3



PERPAJAKAN 1 2. Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi 3. Tiket,tagihan, Surat Muatan Udaea atau delivery bill yang di buat untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri 4. Nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluakan untuk penyerahan jasa kepelabuhan 5. Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik 6. Bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air minum 7. Bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perantara efek 8. Bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perbankan 9. Dokumen yang digunakan untuk pemesanan pita cukai hasil tembakau 10. Pemberitahuan ekspor barang yang dilampiri nota pelayanan ekspor, invoice dan bill of lading 11. Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud, untuk ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud 12. PIB 13. SSP e. Faktur Pajak Khusus (VAT Refund for Tourist) Turis asing yang membawa Barang Bawaan, dapat meminta kembali PPN yang dia bayar atas pembeliaan BKP di Indonesia dengan syarat nilai PPN yang diminta paling sedikit RP500.000 dan pembelian barang bawaan dilakukan 1 bulan sebelum keberangkatan ke luar daerah pabean.



4. Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Kode faktur terdiri dari tiga digit dimana dua digit pertama adalah kode transaksi dan 1 digit berikutnya adalah kode status sedangkan nomor seri faktur pajak terdiri dari 13 digit dimana 3 digit pertama dan digit ke-6 hingga digit terakhir adalah nomor urut FP secara nasional dan digit ke 4 dan ke 5 adalah kode tahun penerbitan Nomor Seri Faktur Pajak. Untuk kode status, berupa ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



4



PERPAJAKAN 1 angka 0 yang bermakna Faktur Pajak Normal atau Faktur yang pertama kali dibuta, dan angka 1 jika Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak Pengganti atau telah ada penggantian informasi pada Faktur Pajak.



5. Saat Pembuatan Faktur Pajak Prinsip dasarnya adalah saat terjadi penyerahan atau ekspor, namun dilakukan juga saat pembayaran terlebih dahulu dterima sebelum penyerahan barang. Jadi terdapat beberapa kategori saat pembuatan FP, yaitu: a. Pada saat penyerahan BKP/JKP b. Pada saat penerimaan pembayaran jika terjadi sebelum penerimaan pembayaran c. Pada saat penerimaan pembayaran termin d. Pada saat lain yang diatur MenKeu Untuk FP-Gabungan dibuat pada akhir bulan dilakukan penyerahan.



B. Pengkreditan Pajak Masukan 1. Prinsip Pengkreditan Dasar Pengenaan Pajak  Nilai jual barang tersebut PPN yang dikenakan adalah sebesar 10% dikali Dasar Pengenaan Pajak (DPP).Dalam administrasi PPN di Indonesia, ada beberapa Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diringkas pada gambar berikut:



Berikut beberapa pengertian Dasar Pengenaan Pajak:



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



5



PERPAJAKAN 1 a. Harga Jual dan Penggantian Kata kuncinya adalah “Harga Jual” berhubungan dengan BKP dan “Harga Penggantian” berkaitandengan JKP atau BPKTB. Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pembeli seperti biaya pengangkutan, biaya asuransi,biaya bantuan teknik, biaya pemeliharaan, biaya pengiriman, biaya garansi, biaya pendidikan. Perlu dicatat, bahwa harga jual tidak ada unsur PPN dan PPnBM.



Harga Jual/Penggantian = Nilai BKP/JKP berupa uang + semua biaya – potongan harga b. Nilai Impor Diartikan sebagai nilai yang dijadikan dasar perhitungan bea masuk ditambah dengan pungutan-pungutan yang ada di dalamnya, sesuai aturan yang berlaku khususnya aturan kepabean dan cukai untuk BKP tanpa PPN.



Nilai Impor = CIF + Bea Masuk c. Nilai Ekspor Nilai Ekspor merupakan nilai berupa uang (termasuk biaya) yang diminta atau yang seharunya diminta oleh eksportir d. Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain sebagai DPP digunakan jika nilai seperti Nilai Jual tidak diketahui. Namun, untuk menggunakan suatu nilai menjadi DPP, harus diatur dalam aturan. Ketentuan Umum Pengkreditan Pajak Masukan a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama b. Pajak Masukan tidak perlu dipilah-pilah berdasarkan objek pajaknya c. Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat dibagi per tahun berdasarkan masa manfaat d. Pajak Masukan atas barang modal sebelum berproduksi e. Berhubungan dengan kegiatan usaha Syarat-Syarat Pengkreditan Pajak Masukan a. Memenuhi persyaratan formal dan materiil b. Belum dibebankan sebagai biaya atau dilakukan pemeriksaan c. Pengkreditan PM tidak pada Masa Pajak yang sama



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



6



PERPAJAKAN 1



2. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan a. Pajak Masukan yang didapat sebelum PKP dikukuhkan atas penyerahan BKP/JKP,Impor BKP, atau atas pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP b. Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP/JKP yang tidak berhubunganlangsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidakmemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atautidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang KenaPajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Secara ringkas adalah PM yang Faktur Pajaknyatidak lengkap e. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajakdari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan terkaitdokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak. f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagihdengan penerbitan ketetapan pajak g. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidakdilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukanpada waktu dilakukan pemeriksaan h. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelumPengusaha Kena Pajak berproduksi. i. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang atas penyerahannya tidak terutang, atau dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan.



3. Pengkreditan dalam Hal Terdapat Penyerahan yang Terutang dan Tidak Terutang PPN Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada PKP.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



7



PERPAJAKAN 1 Pedoman Pengkreditan PM ini tidak dapat dimanfaatkan oleh PKP yang telah ditetapkan untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan dengan menggunakan Norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) UU PPN (PKP dengan jumlah peredaran bruto tidak melebihi jumlah tertentu) dan PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu (dalam hal ini Pedagang Kendaraan Bermotor Bekas Secara Eceran).



4. Pajak Masukan Atas PKP yang Menggunakan DPP Nilai Lain Untuk beberapa usaha yang menggunakan DPP Nilai Lain sebagai dasar pengenaan PPN, maka atas Pajak Masukan yang digunakan untuk penyerahan BKP/JKP terkait tidak dapat dikreditkan antara lain: a. Jasa pengiriman paket; b. Jasa biro perjalanan wisata; c. Penyerahan emas perhiasan; dan d. Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan oleh Pengusaha pengurusan transportasi Variasi Kasus: a. Pengkreditan PM atas Pemakaian Sendiri Secara sederhana, saat terjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumsi atau untuk



tujuan



produksi



jasa/barang



yang



tidak



terutang



PPN.memajaki



pemakaian sendiri atas kegiatan produktif yang menghasilkan BKP/JKP yang terutang PPN adalah pekerjaan yang sia-sia dan menambahi beban administrasi Contoh: (Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang tidak terutang PPN) PT I memiliki klinik perusahaan untuk kepentingan karyawan. Untuk operasional klinik, PTI menggunakan komputer dari persediaan yang ada. Misalkan komputernya sama denganyang digunakan untuk bagian manajemen, maka atas pemakaian sendiri PT I membuat Faktur Pajak dengan nilai PPN Rp 10.000.000. Ingat klausul “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang atas penyerahannya tidak terutang, tidak dipungut atau ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



8



PERPAJAKAN 1 dibebaskan PPN dapat dikreditkan”? karena komputer digunakan di klinik, maka PM atas komputer tersebut tidak dapat dikreditkan. Diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut: PK :Rp 10.000.000 PM :



Rp 0



PPN : Rp 10.000.000 b.



Pengkreditan PM atas Pemberian Cuma-Cuma Pajak Masukan atas barang yang diberikan cuma-cuma dapat dikreditkan Contoh: PT J merupakan pedagang besar garmen melakukan pemberian cuma-cuma



berupa Selimut, Air Mineral, dan Beras. Pajak Masukan yang berkaitan dengan Selimut dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan atas pembelian air mineral tidak dapat dikreditkan (karena tidak sesuai dengan kegiatan usahanya dan tidak masuk definisi pemberian cuma-cuma). c.



Pengkreditan Sebelum Produksi Walaupun kewajiban pengusaha menjadi PKP terjadi saat omzet atas



penyerahan BKP/JKPnya di atas Rp4,8 miliar, terkadang ada pengusaha mengukuhkan diri menjadi PKP sebelum terjadi penyerahan. Untuk PKP yang belum ada Pajak Keluaran di Masa Pajak tertentu, maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan.Karena PKP belum memiliki PK namun memiliki PM, maka PKP dapat melakukan restitusi atas PM yang dimiliki. d.



Gagal Produksi Jika PKP memutuskan mengkreditkan PM atas barang modal sebelum



berproduksi, terdapat konsekuensi, yaitu, jika PKP gagal berproduksi dalam jangka waktu 3 tahun sejak PM dikreditkan, maka PM tersebut harus dibayarkan kembali. Kapan PKP harus mengembalikan PM tersebut? Paling lama akhir bulan berikutnya saat gagal produksi. Jika PKP tidak membayarkan kembali PM tersebut, maka akan ditagih dengan menggunakan STP beserta sanksi administrasi sebesar 2% perbulan sejak tanggal penerbitan SKPLB hingga penerbitan STP.



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



9



PERPAJAKAN 1



5. PKP dengan Omzet Tertentu PKP (badan atau orang pribadi) yang mempunyai peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 miliar. Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah: • Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar 60% dari PK dan dapat disimpulkan PPN terutang adalah 4% dari peredaran usaha setiap bulannya untuk penyerahan JKP. • Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar 70% dari PK dan dan dapat disimpulkan PPN terutang adalah 3% untuk penyerahan BKP.



6. PKP dengan Kegiatan Usaha Tertentu PKP (badan atau orang pribadi) yang melakukan kegiatan usaha tertentu, yaitu: 1. PKP yang mempunyai kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas, dengan persentase 90% dari pajak keluaran atau PPN terutangnya 1% dari peredaran usaha. 2. PKP yang mempunyai kegiatan usaha yang semata-mata melakukan secara eceran penyerahan emas perhiasan secara eceran, dengan persentase 80% dari pajak keluaran atau PPN terutangnya 2% dari peredaran usaha setiap bulannya. Penghitungan yang dianggap pajak masukan tersebut dengan menggunakan persentase seperti norma di dalam menentukan penghasilan netto untuk penghitungan pajak wajib pajak orang pribadi di SPT Tahunan.



C. Pengenalan Fasilitas Tidak Dipungut dan Dibebaskan 1. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dikenakan Pungutan PPN Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN diberikan pada barang dan jasa yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini dimungkinkan, meski sejatinya barang dan jasa yang beredar di masyarakat merupakan BKP/JKP dan untuk itu ada pungutan PPN. Pasalnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh khalayak umum. Oleh karena itu, kegiatan penyerahan dan perolehan barang dan jasa yang dimaksud tidak dikenakan pungutan PPN.



2. Fasilitas PPN Berupa Pembebasan PPN Fasilitas PPN berupa pembebasan PPN merupakan pembebasan kewajiban memungut PPN kepada orang pribadi atau badah usaha yang melakukan kegiatan penyerahan:



ADHIRAYAKTA X PANDA HIMAS 2020



10



PERPAJAKAN 1 1. BKP bersifat strategis, yang merupakan barang masuk kategori BKP namun memiliki nilai strategis berdasarkan pertimbangan pemerintah. Sehingga atas BKP strategis ini diberikan fasilitas PPN dibebaskan. 2. BKP tertentu, yang meliputi yang diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan nasional yang dikelola oleh unit-unit pemerintah. 3. JKP tertentu, yang terdiri atas jasa yang diserahkan kontraktor untuk pemborong bangunan, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan serta jasa yang diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional. 4. Penyerahan BKP/JKP kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya dengan asas timbal balik 5. Jasa kebandarudaraan tertentu, yang meliputi pelayanan jasa penerbangan; pelayanan jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara, pelayanan jasa konter, pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, pos



3. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dipungut PPN Pemberian fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-transaksi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.



Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean. Penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu. Impor BKP tertentu. Pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 5. Pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 6. Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-transaksi seperti yang disebutkan di atas, yang dilakukan di/ke kawasan bebas dan kawasan berikat. Selain itu, transaksi tidak dipungut PPN apabila yang melakukan kegiatan merupakan PKP yang menjalankan pengolahan pada kawasan berikat.



D. Perhitungan PPN Terutang pada suatu Masa Pajak a. Dibandingkan antara PM dengan PK-nya b. Jika PM>PK, maka lebih bayar (dapat dikompensasikan di bulan berikutnya < 3 bulan atau direstitusi c. Jika PM 2 triliun s/d 4 triliun, masa angsuran 2 tahun b. > 4 triliun s/d 6 triliun, masa angsuran 3 tahun c. > 6 triliun s/d 8 triliun, masa angsuran 4 tahun d. > 8 triliun, masa angsuran 5 tahun



53



Pajak Penghasilan Badan



PERLAKUAN AKTIVA TETAP SETELAH DIREVALUASI Aktiva tetap setelah direvaluasi akan memiliki nilai buku sesuai dengan harga pasar. Harga pasar tersebut merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada tahun pajak dilakukannya revaluasi. Penyusutan atas aktiva tetap yang telah ndirevaluasi dimulai pada bulan dilakukannya revaluasi. Masa manfaat aktiva menjadi kembali mulai nol tahun atau seolah-olah belum pernah disusutkan. Tambahan masa manfaat menurut penilai akan menentukan kelompok dan tarif penyusutan yang baru. Aktiva yang telah direvaluasi tersebut tidak boleh dialihkan sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru (nilai sisa buku fiskal menjadi nihil), kecuali dalam hal (Pasal8 ayat (2) UU PPh jo. PMK-79/PMK.03/2008) : a. pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan b. pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan c. penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi apabila terjadi pengalihan (di luar yang dikecualikan), maka akan dikenakan sanksi tambahan 20% tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya dan terutang pada saat pengalihan dilakukan. Aturan ini diterapkan mengingat aktiva yang sudah direvaluasi sangat berpotensial menyebabkan kerugian jika dijual (karena nilai bukunya sudah disamakan dengan harga pasar). Kerugian karena pengalihan aktiva tetap adalah deductible expense yang akan mengurangi PPh terutang pihak penjual. Contoh Kasus Pada tanggal 1 Januari tahun 2008 PT X melakukan penilaian kembali beberapa aktiva perusahaannya. Posisi aktiva perusahaan pada tanggal tersebut adalah sebagai berikut Aktiva Tetap Nilai Buku FiskalNilai Pasar Selisih Lebih Tanah 2.000 juta 2.500 juta 500 juta Bangunan 200 juta 450 juta 250 juta Mesin 1.000 iuta 8.000 juta 7.000 iuta 3.200 juta 10.950 juta 7.750 juta Untuk tahun 2008 PT memperoleh laba sebesar Rp. 200 juta. Tahun-tahun sebelumnya PT X mencatatkan kerugian sebagal berikut : 2002 rugi 3.000 juta 2005 rugi 200 juta 2003 rugi 250 juta 2006 rugi 100 juta 2004 rugi 2.000 juta Pertanyaan: Berapakah PPh Final atas revaluasi aktiva tetap yang harus dibayar ? Jawaban: Terlebih dahulu PT X mengkompensasikan laba tahun 2008 sebesar 200 juta dengan rugi tahun 2003 sebesar 300 juta sehingga sisa rugi tahun 2003 adalah Rp. 2.800 juta. Kemudian selisih revaluasi di kompensasikan dengan urutan sebagai berikut : Selisih Lebih Kompensasi Kerugian Sisa Selisih Iebih Rp. 7.750juta Tahun 2002 Rp.2800 juta Rp. 4.950juta Rp. 4.950 juta Tahun 2003 Rp. 250 juta Rp. 4.700 juta Rp. 4.700 juta Tahun 2004 Rp. 2.000 juta Rp. 2.700 juta Rp. 2.700 juta Tahun 2005 Rp. 200 juta Rp. 2.500 juta Rp. 2.500 juta Tahun 2006 Rp. 100 juta Rp. 2.400 juta PPh Revaluasi aktiva tetap = 10% x 2.400 juta = Rp 240 juta (Final) Apabila Revaluasi tersebut dilakukan dalam rangka pengabungan usaha (merger atau konsolidasi) maka PPh Final sebesar Rp. 300 juta dapat diangsur sampai 5 tahun minimal 20 % per tahun



54



BAB XII RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN PENGANTAR Pada bab Revaluasi Aktiva Tetap telah dibahas salah satu cara untuk meningkatkan nilai perusahaan yaitu dengan meningkatkan nilai buku aktiva tetap. Langkah revaluasi biasanya akan dilanjutkan dengan Restrukturisasi perusahaan melalui penggabungan usaha (merger atau konsolidasi) atau pemekaran usaha. Apabila perusahaan peserta merger atau konsolidasi terlebih dahulu direvaluasi maka perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi akan memiliki nilai aset yang jauh lebih besar dibandingkan jika tidak direvaluasi terlebih dahulu. Kombinasi 2 langkah tersebut didukung sepenuhnya oleh pajak dengan berbagai fasilitas perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut hanya diberikan bagi perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi yang terlebih dahulu melakukan revaluasi. Apakah fasilitas-fasilitas perpajakan tersebut? Bagi anda yang berminat merestrukturisasi perusahaan sebaiknya mengikuti pembahasan dibawah ini terlebih dahulu. RESTRUKTURISASI MENURUT AKUNTANSI Dikenal 3 macam bentuk restrukturisasi perusahaan yaitu 1. Penggabungan Usaha (Merger: A + B = A) Merupakan penggabungan usaha dimana satu perusahaan tetap berdirinya dan melikuidasi badan usaha lain yang ikut menggabungkan diri Contoh Bank Duta dimerger dengan Bank Danamon kemudian Bank Duta dilikuidasi 2. Peleburan Usaha (Konsolidasi: A + B = C) Merupakan penggabungan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung Contoh PT Bank Exim, PT Bapindo, dli melakukan konsolidasi membentuk badan baru yaitu PT Bank Mandiri 3. Pemekaran Usaha (A = A + B) Pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru tanpa melakukan likuidasi badan usaha lama. Contoh Divisi Distribusi PT Kalbe Farma menjadi perusahaan sendiri yaitu PT Enseval. Pada dasarnya merger, konsolidasi atau pemekaran usaha adalah pengalihan harta dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Tetapi harta yang dialihkan bukan hanya 1 atau 2 buah melainkan seluruh harta dan hutang perusahaan (aktiva bersih). Nilai perolehan harta yang dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha harus dicatat berdasarkan Harga Pasar. Selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan (capital gain ). Tetapi apabila nilai perolehan harta yang dialihkan dicatat berdasarkan Nilai Buku maka selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan besarnya nihil. Oleh karena itu akuntansi mengenal 2 macam metode pencatatan nilai perolehan harta dalam rangka restrukturisasi yaitu a. Metode Pembelian ( Purchase method) Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Harga Pasar. b. Metode Penyatuan kepemilikan (Pooling of Interest) Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Nilai Buku. 55



Pajak Penghasilan Badan



RESTRUKTURISASI MENURUT PAJAK Pada bab Penilaian Harta Perusahaan dibahas bahwa nilai perolehan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan Harga Pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh). Pengecualian tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa penggabungan usaha dengan nilai buku (metode Pooling of Interest) dapat digunakan untuk kepentingan pajak dalam hal a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud diatas adalah PMK-43/PMK.03/2008 Untuk dapat menggunakan nilai buku dalam kedua hal diatas, Wajib Pajak harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Apabila WP tidak dapat memenuhi prosedur, maka pengalihan harta untuk 2 (dua) tujuan diatas harus tetap menggunakan nilai pasar. Pengalihan harta selain untuk kedua tujuan diatas tetap harus menggunakan nilai pasar (metode purchase). Contohnya pengalihan harta dalam rangka likuidasi atau pengambil-alihan usaha (akuisisi) harus menggunakan nilai pasar serta mengakui capital gain. Khusus untuk WP yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dalam rangka ―Go Public‖, dalam jangka waktu 1 tahun setelah pemekaran sudah harus menyerahkan pernyataan pendaftaran efektif dari Bapepam dan dalam waktu 3 tahun sudah harus melakukan penjualan saham perdana (Initial Public Offering). Apabila jangka waktu tersebut dilampaui maka pengalihan harta harus menggunakan nilal pasar. Dalam rangka IPO, Wajib Pajak yang telah menerima pengalihan harta dengan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha tanpa melakukan revaluasi aktiva tetap, dapat menerima pengalihan rugi fiskal dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan melakukan kompensasi rugi fiskal, setelah terlebih dahulu mendapat izin Menteri Keuangan dan melakukan revaluasi atas seluruh aktiva tetap dengan harga pasar saat penggabungan/peleburan. FASILITAS PAJAK RESTRUKTURISASI MENGGUNAKAN NILAI BUKU Diperbolehkannya penggunaan nilai buku (metode pooling of interest) merupakan fasilitas perpajakan dari pemerintah karena dengan metode ini tidak akan ada capital gain (dalam bentuk negative goodwill ) sehingga Wajib Pajak tidak dikenakan tambahan pajak. Selain itu masih terdapat fasilitas perpajakan lain yang dapat dinikmati bila penggabungan atau pemekaran usaha memenuhi syarat yaitu a. Pemekaran usaha dengan pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama (PMK-43/PMK.03/2008) b. Atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat memberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 50 % atas pengalihan tanah dan atau bangunan dalam rangka merger (KEP-221/PJ.2002). c. WP yang mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan dibebaskan dan PPh atas pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan PP 48 tahun 1994 Jo PP 27 tahun 1996 Jo PP 79 tahun 1999 jo PP 71 Tahun 2009 (SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999) d. Hak-hak WP yang mengalihkan harta akan dilimpahkan ke WP yang menerima pengalihan harta. Contohnya permohonan restitusi, fasilitas-fasilitas pajak serta kredit pajak-kredit pajak WP yang mengalihkan harta menjadi hak WP yang menerima pengalihan harta. Namun untuk pengalihan



56



fasilitas pajak, WP yang menerima pengalihan harus mengajukan permohonan pengalihan fasilitas ke DitJen Pajak. PROSEDUR RESTRUKTURISASI MENGGUNAKAN NILAI BUKU Untuk dapat melakukan restrukturisasi menggunakan nilai buku, WP harus memenuhi serangkaian prosedur dibawah ini. Mengingat kegagalan memenuhi prosedur ini akan mengakibatkan pengalihan harta harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoeh dikenakan PPh, maka sebaiknya prosedur dibawah ini anda pahami. a. Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat pemohon terdaftar, selambat-Iambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dilakukan. dalam hal penggabungan atau peleburan usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta. dalam hal pemekaran usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. b. Melunasi seluruh utang pajak dan tiap badan usaha yang terkait, termasuk cabang/perwakilan yang terdaftar di KPP-KPP lokasi c. Laporan Keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik. d. Apabila permohonan Wajib Pajak sudah Iengkap, Kakanwil DJP menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Jika batas waktu 1 bulan telah lewat maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan. Setelah permohonan penggabungan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku disetujui, maka berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini : Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan harta tadi dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan : a. PPh pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dan jumlah PPh pasal 25 dan pihak-pihak yang mengalihkan. b. Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dipindahkan bukukan menjadi pembayaran, pemungutan/pemotongan PPh dan Wajib Pajak yang menerima pengalihan. Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka : a. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, berakhir sampai dengan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha. b. kewajiban formal penyampajan SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di KPP setelah pendirian badan usaha baru.



57



Pajak Penghasilan Badan



BAB XIII KREDIT PAJAK WP BADAN PENGHASILAN NETO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR/DIPOTONG/ TERUTANG DI LUAR NEGERI Dimungkinkan warga negara Indonesia mempunyal usaha dan penghasilan dari luar negeri (Investasi, bunga, istri bekeria di luar negeri dan sebagainya). Penghasilan dari luar negeri tersebut dilaporkan dengan cara : 1.



Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan



2.



a.



Istri yang telah hidup berpisah



b.



Istri yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;



Mengajukan permohonan kredit pajak luar negeri. (Pasal 24, 4 UU PPh jo. Kep.Men.Keu.No.640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 jo KMK-164/KMK.03/2002) Permohonan kredit pajak luar negeri harus dilampiri dengan a.



Laporan Keuangan dan penghasilan yang berasal dan hasil usaha negeri diluar Negeri,



b.



Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri,



c.



Fotokopi dokumen pembayaran pajak di luar negeri.



Penghasilan yang telah dipotong Pajak Penghasilan di luar negeri tersebut dapat dikreditkan (dikurangkan dari PPh terutang) melalui mekanisme pengkreditan PPh Pasal 24 yaitu dengan cara memilih antara penghasilan yang telah dipotong di luar negeri dengan kredit pajak yang dihitung dari penghasilan neto. Yang diperbolehkan dikreditkan adalah yang paling kecil antara PPh yang telah dipotong di luar negeri dengan perhitungan dari penghasilan neto luar negeri dibandingkan dengan total penghasilan tersebut (Lihat contoh soal). Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat dikurangkan maka perhitungan penghasilan neto adalah setelah kompensasi kerugian tersebut. Dalam hal penghasilan dalam negeri lebih kecil dan penghasilan luar negeri maka maksimal kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan adalah sebesar pajak atas Penghasilan Kena Pajak. Contoh : Penghasilan Dalam Negeri menyatakan Rugi Rp. 400 juta sedangkan penghasilan luar negeri menyatakan untung Rp. 500 juta. Pajak yang telah dibayar diluar negeri sebesar Rp. 150 juta. Penghitungan PPh 24 yang dapat dikreditkan Jawab Penghitungan PPh terutang Penghasilan Dalam Negeri Rugi



(Rp.



Penghasilan Luar Negeri untung



Rp. 500 juta



Penghasilan Kena Pajak



Rp. 100 juta



58



400 juta)



PPh Terutang



10 % x Rp. 50 juta



Rp.



15 % X Rp. 50 juta



= Rp.



7,5 juta



= Rp.



12,5 juta



Jumlah



5



juta



Kredit Pajak PPh 24 yang dapat dikreditkan Rumus umum PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan = penghasilan LN X PPh Terutang pengh. kena pajak = Rp. 500.000.000 x Rp. 12.500.000 Rp. 100.000.000 = Rp. 62.500.000 Tetapi karena Penghasilan Luar Negeri Iebih besar dari penghasilan dalam negeri, maka maksimal PPh 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar PPh atas Penghasilan Kena Pajak yaitu Rp. 12.500.000,(Bandingkan dengan PPh yang sebenarnya dipotong sebesar Rp.150.000.000)



59



Pajak Penghasilan Badan



BAB XIV ANGSURAN PPH PASAL 25 BAGI WP TERTENTU PENGANTAR Sistem perpajakan kita menganut asas convenience to pay yang berarti bahwa Wajib Pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip ini mengandung arti bahwa pembayaran pajak dapatlah mencapai win-win solution baik bagi negara maupun bagi Wajib Pajak. Dengan adanya pembayaran pajak dimuka maka Wajib Pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara. Pelunasan pajak dalam Tahun Pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap PPh yang. terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. Untuk pelunasan pajak yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dengan PPh terutang. ANGSURAN PPh PASAL 25 Pada prinsipnya besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada SPT Tahunan PPh tahun yang lalu. Perhitungan masih mempertimbangkan prinsip penghitungan angsuran PPh 25 sebagaimana diulas dalam Modul PPh Orang Pribadi dengan menggunakan lapisan tarif pasal 17 UU PPh tahun 2000. Namun demikian dengan pertimbangan lainnya ditetapkan bahwa angsuran Wajib Pajak Tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam KMK No. 522/ KMK. 04/2000 jo. KMK-394/KMK.03/2001 jo. KMK-84/KMK.03/2002 jo. PMK255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009. Berikut ini beberapa mekanisme penghitungan angsuran PPh 25 : 1.



Wajib Pajak Baru Wajib Pajak baru adalah badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Besarnya angsuran PPh pasal 25-nya ditetapkan sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan netto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). Penghasilan netto tersebut diperoleh dari a.



dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan pembukuannya.



b.



dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan dan tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan.



60



2.



Wajib Pajak Bank dan SGU dengan Hak Opsi. Besarnya angsuran PPh pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas aba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan Wajib Pajak baru, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba/rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).



3.



Wajib Pajak BUMN dan BUMD, kecuali Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23, serta 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal RKAP belum disahkan, maka angsuran PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.



PENGHITUNGAN ANGSURAN Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-537/PJ./2000, ada beberapa hal tertentu yang mempengaruhi penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan. Hal-hal tertentu itu antara lain A.



Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian



Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU No. 7 Tahun 1983 stdd UU No. 17 Tahun 2000 sttdd UU No 36 Tahun 2008. 1.



Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan. a. Kerugian habis dikompensasi dengan Penghasilan Neto Contoh 1 : Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2012 Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Kompensasi atas kerugian tahun 2011 Rp. 20.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 88.000.000,00 b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasi untuk tahun berikutnya Contoh 2 : Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Sisa kerugian tahun 2003 Rp. 150.000.000,00 dikompensasi Rp. 100.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL



61



Pajak Penghasilan Badan



Catatan Masih terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2003 setelah dikompensasi sebesar Rp 50.000.000,00, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasi dengan penghasilan Neto Tahun Pajak 2009 karena telah lewat waktu 5 (lima) tahun. Apabila Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 tahun pajak 2008 Rp 3.250.000,00, maka perhitungan PPh Pasal 25 tahun Pajak 2009 untuk contoh 1 dan 2 adalah sebagai berikut : Penghasilan Neto Tahun Pajak 2012 Rp 100.000.000,00 Kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp. 0,00 Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00 PPh Terutang (asumsi tarif tanpa fasilitas (tarif 25%) = 25% x 100.000.000 Rp. 25.000.000



2.



3.



62



Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 Rp 3.250.000,00 Pajak Penghasilan Kurang (Lebih) Bayar Rp 21.750.000 Angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013: 1/12 x Rp 25.000.000 = Rp. 2.083.000,00 Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya. Apabila penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan Iebih kecil dan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak benikutya adalah NIHIL. Contoh: Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2010 Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Kerugian thn ’06 Rp. 250.000.000,00 dikompensasi Rp. 100.000.000,00 Penghasilan Neto seteiah kompensasi NIHIL Catatan : Misal terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang belum dikompensasi sebesar Rp 200.000.000 Maka atas sisa kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2011. Penghitungan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2011 adalah sebagai berikut : Penghasilan Neto Tahun Pajak 2010 Rp 100.000.000,00 Sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang masih dapat dikompensasi Rp 100.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 0,00 Penghasilan Kena Pajak Rp. 0,00 PPh Terutang Rp. 0,00 PPh yang harus dibayar sendiri Rp 0,00 Angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2009 1/12 x Rp. 0,00 NIHIL



B.



Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur. Yang termasuk penghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs dan utang/piutang dalam mata uang asing (pokok utang piutangnya saja dan digabung antara keuntungan selisih kurs dan kerugian selisih kurs) serta keuntungan dan pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dan kegiatan usaha pokok, serta penghasilan Iainnya yang bersifat insidentil.



C.



SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan. Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang IaIu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulal batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang IaIu dan bersifat sementara.



D.



Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan. Besanya PPh pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampalan SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya dengan PPh pasal 25 menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat penyampaian SPT Tahunan Sementara. Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut : a.



Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh Pemotongan Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang bersangkutan.



b.



Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh 25 dihitung menurut contoh-contoh diatas.



c.



Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh pasal 25 yang lebih besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2 % sebulan terhitung mulai dan bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut.



Contoh SPT Tahunan Sementara PPh tahun 2011 disampaikan pada tanggal 19 Februari 2012, dengan menyampaikan perhitungan sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak Rp 400.000.000 PPh Terutang (tanpa fasilitas) Rp 100.000.000 PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000 PPh yang dibayar sendiri Rp 57.500.000



63



Pajak Penghasilan Badan



WP diberikan izin perpanjangan penyampalan SPT Tahunan 2011 sampai tanggal 30 Juni 212, dan diketahui angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2011 adalah Rp. 4.000.000. Pada tanggal 5 Juni 2012, WP menyampaikan SPTTahunan dengan perhitungan sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000 PPh Terutang (Tarif Pasal 17) Rp 125.000.000 PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000 PPh yang dibayar sendiri Rp 82.500.000 Maka Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2012 adalah sebagai berikut a. Bulan Januari dan Februari 2009 besarnya adalah Rp. 4.000.000.



b.



E.



F.



64



Bulan Maret s.d. April 2009 besar angsuran masing-masing adalah (1/12 x Rp 57.500.000= Rp. 4.791.667) c. Besar angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret s.d. Desember 2012 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan yang disampaikan tanggal 5 Juni 2010, yaitu (1/12 X Rp. 82.500.000 = Rp. 6.875.000) d. Atas kekurangan setor angsuran bulan Maret s.d. April 2012 yang masing-masing sebesar Rp. 2.083.333 harus disetor lagi dan terutang 2% Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran berialan Iebih besar dan angsuran bulanan sebelum pembetulan. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan. Apabila wajib pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a. PPh pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPTTahunan tersebut b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutng bunga 2 % per bulan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran (akan ditagih dengan STP) c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyempaian SPT tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya, dengan cara pemindahbukuan Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak adalah penurunan atau peningkatan usaha. Contoh : PT ANDI yang bergerak di bidang produksi benang pada tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp. 18.000.000,-. Dalam bulan Juli 2009 pabrik milik PT ANDI terbakar sehingga Ditjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulal Juli 2009 angsuran PPh-nya disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp. 18.000.000,-. Sebaliknya bila PT ANDI mengalami peningkatan usaha misalnya ada peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya melebihi 150 % dibanding tahun



G.



H.



sebelumnya, maka angsuran PPh pasal 25-nya juga harus disesuaikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Apabila setelah 3 ( tiga ) bulan atau Iebih dalam satu tahun pajak WP dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun tersebut kurang dan 75% PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, WP dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh pasal 25 kepada Kepala KPP setempat 2. Permohonan diajukan secara tertulis 3. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang diterima/diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dan tahun pajak yang bersangkutan 4. Kepala KPP yang bersangkutan akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap. Apabila dalam jangka waktu satu bulan belum diberikan keputusan berarti permohonan dikabulkan. 5. Apabila dalam suatu tahun pajak WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut Iebih dari 150 dari PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, maka PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dalam tahun pajak yang bersangkutan dihitung kembali berdasarkan perkiraan PPh yang terutang di tahun tersebut Wajib Pajak termasuk dalam Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir atau eceran barang-barang yang dijual Iangsung ke konsumen akhir melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dari jumlah peredaran per bulan dan masing-masing tempat usaha Wajib Pajak (KMK No. 84/KMK.03/2002 jo. KEP171/PJ./2002 jo PMK 255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009). Apabila Ada Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Tahun Sebelumnya Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang IaIu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Tersebut, dimana perubahan angsuran berlaku mufai bulan berikutnya setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Contoh Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang disampaikan bulan Maret 2009, perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp. 1.480.000,-. Dalam bulan Juli 2009 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menghasilkan besaran angsuran PPh pasal 25 setiap bulan menjadi sebesar Rp. 2.500.000,-. Berdasarkan perhitungan tersebut, besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai bulan Agustus 2007 adalah Rp. 2.500.000. Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, Iebih besar atau Iebih kecil dan angsuran sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan.



65



Pajak Penghasilan Badan



BAB XV SURAT PEMBERITAHUAN PENGANTAR Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT masa dan SPT Tahunan, dimana SPT masa (PPh 25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan bentuk umum (formulir 1771) adalah Wajib Pajak Badan yang meliputi PT, CV, perseroan Iainnya, BUMN, koperasi, yayasan, dll. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang diwajibkan pula untuk mengisi SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan adalah : a.



Orang pribadi yang berstatus sebagai BUT



b.



Wajib Pajak Badan yang memperoleh atau menerima penghasilan semata-mata dan penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final.



c.



Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif (KIK)



d.



Wajib Pajak Badan Iainnya. Mulai Tahun Pajak 2000 diperkenalkan bentuk SPT baru yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak



Badan (formulir 1771-$), yaitu SPT yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan dalam rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri, yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat. BENTUK DAN ISI SPT TAHUNAN PPh WP Badan PT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajk Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (formulir 1771/$) terdiri dan Induk SPT dan lampiran-lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Kode Formulir



No. 1771



Nama Formulir



Keterangan



1.



1771



1771-$ 1771/$



2.



1771-I



1771-I/$



Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal



Lampiran I



3.



1771-II



1771-II/$



Lampiran II



4.



1771-III



1771-III/$



Perincian Harga Produksi, biaya usaha lainnya dan biaya dari luar usaha Kredit Pajak DN



5.



1771-IV



1771-IV/$



Lampiran IV



6.



1771-V



1771-V/$



PPh Final dan penghasilan bukan objek pajak Daftar pemegang saham/pemilik modal dan



66



SPT Tahunan PPh bagi WP Badan



Induk SPT



Lampiran III



Lampiran V



7.



1771-VI



1771-VI/$



jumlah deviden yang dibagikan, Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris Daftar penyerahan modal pada perusahaan Afiliasi, Daftar Pinjaman dari/kepada Pemegang Saham dan/atau Perusahaan Afiliasi



Lampiran VI



KELENGKAPAN SPT TAHUNAN PPh a. Sesuai dengan pasal 3 ayat (6) UU KUP, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir) 1771) yang disampaikan kepada KPP/Kapenpa dinyatakan lengkap apabila telah dilampiri dengan : 1) Seluruh lampiran yang telah dibakukan (yaitu formulir 1771-I s.d. 1771-VI) harus diisi walaupun nihil. 2) Neraca dan Laporan Rugi Laba tahun pajak yang bersangkutan. 3) Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya untuk Wajib Pajak tertentu 4) SSP lembar ke-3 tahun pajak yang bersangkutan apabila SPT menunjukkan kurang bayar. 5) Surat kuasa khusus dalam hal SPT ditandatangani oleh bukan pengurus atau bukan direksi. 6) Daftar penghitungan penyusutan/amortisasi. 7) Penghitungan Objek PPh pasal 26 ayat (4) bagi Wajib Pajak BUT yang penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final. 8) lampiran lainnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Wajib Pajak dapat menyampaikan lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak CONTOH KASUS PT. INTl LOGGING dengan NPWP : 01.937.654.2. 031.000, JI. S. Parman Kav. 26 Jakarta Barat, bergerak di bidang perkayuan. WP memiliki kerugian fiskal yang masih dapat kompensasi sebesar Rp. 159 juta. Data-data pembukuan tahun 2011 adalah sbb : Penjualan bersih Rp. 23.200.000.000,00 Harga Pokok Penjualan Rp 17.900.000.000,00 Biaya Operasi: Gaji dan upah PPh 21 dibayar perusahaan Biaya penyusutan Biaya rekreasi/piknik pegawai Biaya HP Biaya Astek/Jamsostek Biaya penyisihan piutang ragu-ragu Biaya perjalanan dinas Biaya bunga bank Biaya bunga leasing Biaya royalti Biaya pemeliharaan inventaris Biaya representasi Biaya PPN Biaya makan minum dan seragam Biaya alat tulis kantor Biaya Listrik, Telpon, Air Biaya perawatan forklift dan dump-truck



Rp. 1.256.400.000,00 56.600.000,00 1.285.000.000,00 22.600.000,00 24.000.000,00 60.600.000,00 98.600.000,00 301.000.000,00 180.000.000,00 20.000.000,00 125.000.000,00 230.400.000,00 132.500.000,00 9.500.000,00 400.000.000,00 163.800.000,00 36.000.000,00 10.000.000,00 67



Pajak Penghasilan Badan



Biaya Fiskal LN 21.000.000,00 Biaya Profesional fee 59.700.000,00 Biaya lain-lain 25.800.000,00 Penghasilan I Beban lain: Bunga deposito Rp. 10.000.000,00 Laba penjualan gudang 100.000.000,00 Pendapatan Sewa Forklift & dump-truck 150.000.000,00 Laba Selisih kurs 99.200.000,00 Rugi Penjualan wisma (80.000.000,00) Laba anak Perusahaan 200.000.000,00 Keterangan lain: a. PT INTl LOGGING memiliki kebijakan untuk menanggung PPh 21 semua karyawannya berapapun jumlahnya dalam bentuk PPh 21 ditanggung perusahaan, bukan berbentuk tunjangan PPh (gross-up). b. Biaya penyusutan untuk fiskal dan komersial dihitung dengan cara yang sama oleh WP yaitu sebesar Rp.1.285.000.000,00 ( metode garis lurus ). Demikian juga dengan penentuan masa manfaat dan nilai sisa. Tetapi WP belum menyesuaikan penghitungan biaya penyusutan HP dinas sebesar Rp. 4.000.000,- per tahun dan biaya penyusutan mobil sedan dinas sebesar Rp. 50.000.000,- per tahun dengan KEP-220/PJ./2002. c. Dalam biaya penyusutan termasuk juga biaya penyusutan atas aktiva finance lease sebesar Rp. 150.000.000,- dan biaya penyusutan wisma sampai saat wisma tersebut dijual sebesar Rp. 10.000.000,d. Biaya HP adalah pengeluaran untuk pembayaran pulsa HP para direksi. e. Biaya Astek /Jamsostek adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pembayaran premi asuransi kecelakaan kerja karyawan. f. Dalam perjalanan dinas, para Direksi sesekali membawa keluarga mereka, ternyata setelah diperinci terdapat sejumlah Rp. 55.000.000,00 yang merupakan pengeluaran untuk keperluan keluarga direksi. Disamping itu terdapat juga biaya pemberian tiket pesawat terbang untuk para pejabat sejumlah Rp. 64.000.000,00 g. Biaya bunga bank sebesar Rp. 180.000.000,- terjadi karena hutang PT.INTI LOGGING kepada Bank Buana Indonesia sebesar rata-rata setahun Rp. l.000.000.000,- dengan tingkat bunga pinjaman rata-rata 18 % p.a. h. Perusahaan menyewa alat-alat berat dan United Tractor secara Finance Lease dengan pembayaran SGU tiap bulan Januari dan Juli sebesar Rp.100.000.000,- dengan perincian bunga tetap Rp. 10.000.000 dan cicilan pokok leasing Rp. 90.000.000. Selama tahun 2004 perusahaan telah membayar cicilan leasing 2 kali yang terdiri dan pembayaran bunga Rp. 20.000.000 dan pembayaran pokok Rp. 180.000.000,I. Perusahaan membayar biaya royalti teknologi pemotretan udara ke Blitz Gmbh Germany sebesar Rp. 125.000.000,-. Jumlah tersebut termasuk Rp. 25 juta yang merupakan PPh pasal 26 yang ditanggung oleh PT Inti Logging j. Dalam biaya Perbaikan/reparasi terdapat biaya perbaikan mobil sedan perusahaan yang digunakan oleh Direktur Utama PT. INTl LOGGING sejumlah Rp. 18.000.000,00 dan biaya perawatan wisma perusahaan di Puncak sebesar Rp. 10.000.000,k. Biaya jamuan untuk relasi yang lengkap dengan perincian ( daftar nominatif) dan bukti-buktinya ada hanya sejumlah Rp. 101.000.000,00 I. Biaya PPN adalah PPN Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena faktur pajak yang diterima dan penjual cacat.



68



m.



n. o. p.



q.



r.



s.



t.



u.



v.



w. x.



Perusahaan menanggung makan minum dan seragam seluruh pegawainya dengan menyediakan kantin di kantor dan di lokasi HPH serta membelikan seragam. Total biaya makan minum Rp.360 juta sedangkan biaya seragam sebesar Rp.40 juta. Biaya perawatan forklift dan dump-truck adalah biaya perawatan forklift dan dumptruck yang disewakan. Biaya Fiskal Luar Negeri adalah pembayaran Fiskal Luar Negeri atas nama perusahaan untuk kepergian para direktur ke Amerika dan Singapura dalam rangka dinas. Biaya Profesional fee adalah biaya jasa audit dan appraisal. Dari total biaya tersebut sebesar Rp. 19.700.000,- adalah biaya audit anak perusahaan yaitu PT NUSANTARA PLYWOOD Perincian biaya lain-lain adalah : · Bantuan bea siswa dalam rangka GN-OTA sebesar Rp. 12.500.000,00 · Sumbangan Amal Bhakti Muslim Pancasila Rp. 3.300.000,00 · Iuran keanggotaan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rp. 10.000.000 Penghasilan bunga deposito adalah bunga deposito Bank Mandiri sebesar Rp.10.000.000,dan telah dipotong pajak sebesar 20% yaitu Rp. 2.000.000,-. Rata-rata besarnya deposito PT. INTI LOGGING di bank tersebut selama setahun adalah Rp.100.000.000,Perusahaan menjual gudang dengan nilai sisa buku sebesar Rp.900.000.000,- seharga Rp.1.000.000.000,- Atas penjualan gudang ini perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 50.000.000,Perusahaan juga menyewakan forklift serta dump-trucknya kepada perusahaan sesama pemegang HPH yaitu PT HUTRINDO di lokasi usaha. Atas jasa sewa ini perusahaan telah dipotong pajak sebesar 6% yaitu Rp. 9.000.000,Pada akhir tahun 2010 perusahaan menjual wisma perusahaan di Puncak dengan harga Rp. 400.000.000.- karena kesulitan likuiditas. Nilai buku wisma tersebut pada saat dijual adalah Rp. 480.000.000. Perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 20.000.000,-. Sebelum dijual wisma tersebut beberapa kali disewakan dengan penghasilan sewa setahun Rp. 50.000.000 dan telah dipotong PPh oleh penyewa Rp. 5.000.000,PT Inti Logging memiliki anak perusahaan yang bergerak dibidang kayu lapis yaitu PT NUSANTARA PLYWOOD (kepemilikan 40%). Selama tahun 2008 PT NUSANTARA PLYWOOD mengumumkan laba setelah pajak sebesar Rp. 500 juta tapi tidak membagi deviden. PT Inti Logging mengakuinya dengan mencatat kenaikan nilai investasi dan laba dari anak perusahaan sebesar Rp. 200 juta. Perusahaan mengimpor alat-alat berat (truk, traktor dll) dan telah dipotong pajak PPh 22 oleh Ditjen Bea Cukai sebesar Rp. 46.000.000,Selama tahun 2010 perusahaan telah membayar PPh pasal 25 Rp. 209.000.000



Diminta 1. Buatlah rekonsiliasi fiskal yang diperlukan guna menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Pajak Penghasilan terutang tahun 2008 dan PT. INTI LOGGING. 2. Masukkan hasil rekonsiliasi fiskal tersebut ke dalam SPT tahunan PPh Badan. 3. Hitung angsuran PPh 25 tahun 2009



69



Pajak Penghasilan Badan



PT Inti Logging Rekonsiliasi Fiskal Dalam Ribuan LK No.



Uraian



Lk Koreksi



Komersial



Positif



Negatif



Fiskal



1



Penjualan



23.200.000



-



-



23.200.000



2



Harga pokok penjualan



17.900.000



-



-



17.900.000



3



Laba bruto



4



Biaya operasi



5



Gaji dan upah



6



PPh 21 dibayar Perusahaan



7



Biaya penyusutan



8



5.300.000 1.256.400



5.300.000 -



1.256.400



56.600



56.600



-



1.285.000



187.000



1.098.000



Biaya rekreasi/piknik peawai



22.600



22.600



-



9



Biaya HP



24.000



12.000



12.000



10



Biaya Askes/Jamsostek



60.600



-



60.600



11



Biaya penyisihan piutang ragu-



98.600



98.600



-



ragu



70



12



Biaya perjalanan dinas



301.100



119.000



182.100



13



Biaya bunga Bank



180.000



18.000



162.000



14



Biaya bunga Leasing



20.000



-



20.000



15



Biaya angsuran Leasing



16



Biaya royalty



125.000



25.000



100.000



17



Biaya pemeliharaan inventaris



230.400



19.000



211.400



18



Biaya representasi



132.500



31.500



101.000



19



Biaya PPN



20



-



180.000



180.000



9.500



-



9.500



Biaya makan dan minum



400.000



-



400.000



21



Biaya alat tulis kantor



163.800



-



163.800



22



Biaya listrik, air dan telepon



36.000



-



36.000



23



Biaya forklif dan dump truck



10.000



-



10.000



24



Biaya Profesional fee



59.700



19.700



40.000



25



Biaya lain-lain



25.800



3.300



22.500



26



Jumlah biaya operasi



27



Laba operasi



28



Penghasilan/beban lain-lain



29



Bunga deposito



30



Laba penjualan gudang



100.000



100.000



31



Pendapatan forklift dan truck



150.000



150.000



32



Laba kurs



99.200



99.200



33



Rugi penjualan wisma



34



Pendapatan sewa wisma



35 36



4.497.600



633.300



180.000



802.400



1.396.700



10.000



(80.000)



3.903.300



10.000



(80.000)



-



-



50.000



50.000



-



Laba anak perusahaan



200.000



200.000



-



Jumlah penghasilan/beban lain



529.200



349.200



37



Laba bersih



38



Kompensasi kerugian



39



Penghasilan kena pajak



40



PPh terutang



41



Kredit pajak dipotong pihak



1.331.600



1.745.900



159.000



159.000 1.586.900 355.684



lain 42



PPh pasal 22



46.000



43



PPh pasal 23



3.000



45



Kredit pajak yg dibayar sendiri



46



Pasal 25



47



PPh kurang bayar



209.000 97.684



Soal Latihan:



Soal 1 PT. SR adalah Wajib Pajak yang mempunyai usaha sebagai pabrikan sepatu, pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut : 1. Peredaran bruto Rp 53.000.000.000 Harga pokok (Rp 49.500.000.000) Rp 3.500.000.000 Biaya Operasional (Rp 2.300.000.000) Penghasilan neto fiskal Rp 1.200.000.000 2. Kompensasi kerugian (tahun 2009 dan 2010) Rp 700.000.000 3. Pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain a. PPh pasal 22 Rp 42.000.000 b. PPh pasal 23 Rp 67.500.000 c. PPh pasal 4(2) Rp 12.000.000 4. Pajak yang telah dibayar sendiri a. PPh pasal 25 Rp 19.000.000 b. STP PPh pasal 25 (pokok) Rp 2.400.000 c. Pajak Pengalihan atas Tanah dan Bangunan Rp 3.000.000 Pertanyaan : 1. Hitung PPh Kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan Hitung PPh pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya ! 2. Hitung PPh kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan hitung PPh pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya apabila kompensasi kerugian untuk tahun pajak 2009 dan 2010 menjadi Rp1.500.000.000 . Soal 2 PT. YMA adalah Wajib Pajak yang masuk dalam kategori sebagai pengusaha mikro, kecil dan menengah. Pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut :



71



Pajak Penghasilan Badan



Peredaran usaha (fiskal) Harga Pokok Penjualan (fiskal) Biaya-biaya (fiskal)



Rp 8.000.000.000 Rp 4.700.000.000 Rp 2.000.000.000



Pajak-pajak 1. PPh pasal 21 yang telah dipotong dan disetor oleh Wajib Pajak Rp 19.400.000 2. PPh pasal 22 atas impor yang dipotong oleh Bea cukai Rp 31.200.000 3. PPh pasal 25 yang telah dibayar oleh Wajib Pajak Rp 120.000.000 Pertanyaan : 1. Berapa PPh yang kurang/lebih dibayar 2. Berapa PPh pasal 25 untuk tahun pajak



72



LAMPIRAN I



PERATURAN MENTERI KEUANGAN 96/PMK.03/2009 JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN



JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 1 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan. b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya. c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video recorder, televisi dan sejenisnya. d. Sepeda motor, sepeda dan becak. e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan. f. Dies, jigs, dan mould. g. Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler dan sejenisnya. 2 3 4 5 6 7



Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu kehutanan, dan lain-lain. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, minuman pengering, pallet, dan sejenisnya. Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum. Pergudangan Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker. Jasa Persewaan Peralatan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Ropes, Mooring Tambat Air Dalam Accessoris. Jasa telekomunikasi selular Base Station Controller



JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 2 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya. b. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya. c. Container dan sejenisnya. 2



3



Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan



a.



Industri makanan dan minuman



a.



b.



b.



c. d.



Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan . Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapioka. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala



73



Pajak Penghasilan Badan jenis. 4 5



Industri mesin Perkayuan, kehutanan



6 7



Konstruksi Transportasi Pergudangan



8



Telekomunikasi



9



Industri konduktor



10



11



Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air). a. Mesin dan peralatan penebangan kayu. b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang kehutanan. Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya. dan a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan sejenisnya; b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT; e. Kapal balon. a. b.



Perangkat pesawat telepon; Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.



semi Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester. Jasa Persewaan Spoolling Machines, Metocean Data Collector Peralatan Tambat Air Dalam Jasa Telekomunikasi Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register. Authentication Seluler Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antena



JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 3 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Pertambangan Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah selain minyak dan produk pelikan. gas 2 Permintalan, a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun, pertenunan dan sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kainpencelupan kain bulu, tule). b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya. 3



4



74



Perkayuan



Industri kimia



a. b.



Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.



a.



Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri



b.



5



Industri mesin



6



Transportasi Pergudangan



7



Telekomunikasi



yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan sinematografi. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit mentah).



Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin kapal). dan a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barangbarang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT. b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT. c. Dok terapung. d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT. e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis. Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.



JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 4 Nomor Jenis Usaha Jenis Harta 1 Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi 2 Transportasi dan a. Lokomotif uap dan tender atas rel. Pergudangan b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga listrik dari sumber luar. c. Lokomotif atas rel lainnya. d. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus dibuat dan diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan. e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barangbarang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT. f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT. g. Dok-dok terapung.



75