Konflik Poso [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KONFLIK POSO Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sosiologi



Disusun oleh Muhamad Ardiansyah XI IPS 3



MADRASAH ALIYAH NEGERI CIPASUNG TASIKMALAYA 2016



KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Konflik Poso"yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.



i



DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................



i



KATA PENGANTAR ..............................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ..................................................................................



1



BAB II PEMBAHASAN A. Konflik Poso ..................................................................................................



2



1. Demografi Poso .......................................................................................



2



2. Kronologi Konflik Poso ..........................................................................



3



3. Tahap-Tahap Kerusuhan .........................................................................



4



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................



9



B. Saran ..............................................................................................................



9



DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN A.



LATAR BELAKANG Ketika menyebut “Poso”, hal yang terlintas dalam pikiran kita pertama kali



adalah memori konflik antar komunitas yang berkepanjangan. Kekerasan, pembantaian dan peristiwa berdarah yang begitu mencekam seakan sudah melekat dalam persepsi orang mengenai Poso. Sungguh menyedihkan identitas yang disandang Poso. Padahal, panorama alam di Poso sangatlah indah seperti Danau Poso, Tentena. Namun, kini sudah ternodai oleh hawa nafsu manusia yang haus akan darah, sehingga mereka tega menjadikan saudara sendiri sebagai mangsa. Sebenarnya konflik komunal sudah sejak lama terjadi di negeri tercinta ini baik pada masa pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan RI. Hal itu terjadi karena Indonesia merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai sukubangsa, ras, bahasa, kebudayaan, dan agama. Jauh sebelum konflik Poso bergulir, terjadi konflik antar suku di Kalimantan Barat sejak tahun 1950-an. Kemudian di masa Orde Baru terjadi Tragedi Sampit di Kalimantan Tengah. Selain itu, konflik pun merambah di daerah Jawa seperti, di Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, dan Madura. Kerusuhan Poso terjadi pada tahun 1998 mengguncang bangsa Indonesia. Banyak pertanyaan yang menggelitik muncul mengenai latar belakang kasus tersebut. Apakah kerusuhan Poso dipicu oleh sentimen keagamaan sebagai satusatunya faktor —seperti diklaim berbagai kalangan— ataukah terdapat faktor lain yang melanggengkan konflik di wilayah tersebut?



1



BAB II PEMBAHASAN A. Konflik Poso Konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama semakin meningkat pada era reformasi pada tahun 1998. Hal itu dalam tinjauan psikologis merupakan hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari ketidakadilan dalam proses politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak daerah yang tidak menikmati hasil pembangunan rakyat karena sistem yang sentralistik yang terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isuisu yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dari keberlangsungan konflik. Terlebih lagi isu-isu yang bergulir sengaja bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar. Isu tersebut dijadikan senjata untuk menyulut konflik karena ampuh menyentuh lubuk sanubari masyarakat menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang, dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena kawasan Indonesia Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat sebanyak 109 suku. 1.    Demografi Poso Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan. Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa berseteru sengit. 2



2.    Kronologi Konflik Poso Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda mabuk, sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama menjadi salah satu pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan representasi dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale, Parigi, dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona. Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum ada kesiapan sosial dari daerahdaerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit, Maluku, termasuk di Poso. Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi. Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki relasi karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan akan berimplikasi pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.



3



3. Tahap-Tahap Kerusuhan Kerusuhan Tahap I Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen. Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area masjid. Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib. Kembali ditinjau dari psikologis massa, permasalahan semakin rumit karena pemerintah daerah tidak menanggapi secara serius. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan sendiri sehingga situasi semakin menegang. Hal itu dikarenakan massa mulai melakukan tindakan destruktif. Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal, konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang beredar selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama. Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga 4



sesama Muslim di luar daerah mereka. Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya. Entah, apakah itu benar-benar motif sesungguhnya dari kerusuhan tahap pertama ini? Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa begitu mudah menuai konflik. Padahal, sebelumnya mereka hidup berdampingan penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya tragedi tersebut, rasa saling percaya yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan karena kecurigaan Muslim terhadap umat Kristiani, mereka menggunakan kata-kata sandi yakni, “Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso” yang berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani ke Poso, Dalam kajian sosiologis, kondisi demikian sebetulnya mencerminkan adanya sebuah realitas dari psikologi sosial yang tegang. Kerusuhan Tahap II Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid kedua berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah, parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan semangat yang membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat melerai perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel. Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut sengaja diperpanjang karena demi membela kesucian agama? Ataukah karena dendam yang dipupuk, hingga mereka tak kuasa memuntahkannya dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa makanan, obat-obatan, bahkan senjata. Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya. Tepatnya pada tanggal 22 Mei 200, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo dan 5



kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun, mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa musuhnya. Kerusuhan Tahap III Masyarakat



Kristen



mulai



merapatkan



barisan



dengan



melakukan



pengorganisasian yang intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama dan kedua. Upaya tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim. Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim dari lima penjuru kota Poso. Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu dikarenakan jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir. Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu dijatuhkan vonis mati. Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan, Tibo menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus 6



menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana pemerintah menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya konflik Poso. Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001. Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir : 1.



Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.



2.



Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.



3.



Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.



4.



Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.



5.



Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.



6.



Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.



7.



Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.



8.



Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.



7



9.



Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.



10.



Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya. Tapi, deklarasi itu tampaknya memang bukanlah lampu aladin yang sanggup



menyulap Poso dalam damai. Poso yang lepas dari teror dan kekerasan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, deklarasi itu seperti mengalami proses deregulasi. Dihancurkan sendi-sendinya dan konflik kembali mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan pada Jum’at, 10 Maret 2006 pukul 07.45 Wita ledakan bom terjadi lagi, kini di kompleks Pura Agung Jagadnata, Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi tengah. Komando Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso yang sudah beberapa waktu lalu dibentuk tak bisa melakukan antisipasi dini sehingga bom tetap meletus. Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Dari sinilah terlihat adanya pergeseran isu konflik, dari agama menuju konflik antara aparat dengan warga.



8



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konflik yang terjadi di poso pada tahun 1998 merupakan konflik yang sangat besar yang menewaskan 2 kubu yakni kelompok islam dan Kristen. Konflik ini disebabkan oleh politik yang memanas yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan individual atau kelompok tertentu agar menjadi pemenang dalam politik tersebut.hal ini sangat disayangkan sekali mengingat politik esensinya tidak boleh mengumbar atau mengatasnamakan agama untuk jalan pemenangan karena hal tersebut tentu saja bisa menimbulkan hal-hal yang membuat perpecahan. Akibat dari konflik tersebut poso sebagai kota imagenya menjadi kurang baik karena adanya konflik tersebut sehingga kota tersebut tidak lagi menjadi prioritas kunjungan wisatawan local maupun mancanegara. B. Saran Konflik poso memang sudah terjadi dan menjadi sejarah kelam bangsa ini, sekaligus mencoreng solidaritas Negara dan mencoreng toleransi antar agama di Indonesia. Maka dengan ini kelompok I sebagai pemakalah menyarankan agar kiranya rasa solidaritas dan toleransi tetap dijunjung tinggi. Serta pengusutan oleh pihak yang berwenang terus mempelajari kasus ini agar dikemudian hari tidak terjadi lagi.



9



DAFTAR PUSTAKA Basoeki Soeropranoto. H. Rachmat. Jangan Lupakan Poso. Mantan Napol Kasus Peledakan BCA 1984. Conolly (ed.), Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS. 2009. hal. 283. DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat. Kompas, 14-3-2006. Ghazali, Abd Moqsith. Poso. Manullang, A. C. Terorisme dan Perang Intelijen: Behauptung Ohne Bewes (Dugaan Tanpa Bukti). Jakarta: Manna Zaitun. Sangaji, Arianto. Masa Depan Poso Pasca-Koopskam, Kompas 17-7-2006. Sangaji, Arianto. Mengapa Poso Kembali Memanas? Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Kompas, 9-10-2006. Sianturi S.Si, Eddy MT. Konflik Poso dan Resolusinya. Puslitbang Strahan Balitbang Dephan.



10