Konseptualisasi Penyelesaian Nusyuz Dalam Pandangan Hukum Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Konseptualisasi Penyelesaian Nusyuz Dalam QS. An Nisa’(4): 34 di Era Sekarang Menurut Pandangan Hukum Islam dan Ulama Tafsir Ahmad Lukman Al Muhyiddin (210201110019) Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected] Abstrak: Banyak dari kalangan masyarakat awam masih belum mengetahui dan memahami dengan tepat mengenai isi kandungan yang terdapat dalam QS. AnNisa’(4): 34 sebagai penyelesaikan permasalahan nusyuz. Hal tersebut dikarenakan maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasanya disebut dengan KDRT dengan menggunakan dalil tersebut. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah melalui penelitian yuridis normatif dengan metode studi kepustakaan melalui pencarian data sekunder belaka. Selain itu juga, dengan menggunakan metode tafsir maudhu’I melalui ilmu analisis munasabah, tafsir ayat dengan ayat, hadist dan sebagainya. Berdasarkan hasil dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa sebuah peristiwa pembangkangan atau kedurhakaan yang dilakukan istri kepada suaminya (Nusyuz) ialah perkara yang sudah pasti ada ketika menjalin hubungan suamiistri dan harus dihadapinya bersama-sama dengan bijaksana. Para ulama kontemporer menyatakan penyelesaian perirtiwa tersebut dalam QS. An Nisa’(4): 34 pada poin pemukulan sudah tidak mengalami korelasi atau tindakan yang tepat di zaman sekarang. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan agama dan pemahaman yang tepat dikalangan masyarakat sekarang, sehingga mereka menjadikannya sebagai dasar untuk memukul istri yang menyebabkan muculnya perselisihan atau pertengkaran (syiqaq). Dengan demikian, penyelesaian terakhir dengan mendatangkan hakamain dari kedua pihak. Kata Kunci: Penyelesaian Nusyuz; QS. An-Nisa(4): 34; Era Sekarang; Tafsir Maudhu’i. Pendahuluan Pernikahan merupakan sebuah ikatan perjanjian yang suci dan kokoh (Mitsaqan Ghalidan) dari perjanjian yang lain. Hal ini merupakan perbuatan sakral dan mulia1 yang memiliki nilai keagamaan untuk menciptakan keharmonisan, memperbaiki keturunan, rasa saling kasih sayang, melengkapi, dan ketentraman dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Dalam bahasa Al Qur’an terciptanya perkara tersebut dinamakan dengan sakīnah mawaddah wa rahmah.2 Sebagaimana dalam QS. Ar-Rūm (30): 21 sebagai berikut: 1



Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, 2001, hlm 3; Dr Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita: empat mazhab (Ahsan Publishing, 2017); Ghoffar;, Fikih Keluarga 2 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, ed. revisi(Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2005), h. 25



َ‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِك‬ َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل‬ َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬ ٍ ‫اَل ٰ ٰي‬ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”3 Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa sebuah pernikahan akan menjadikan hidup menjadi aman, tentram, dan timbul rasa saling kasih saying. Setiap orang juga pasti menginginkan hal yang sama dengan isi kandungan ayat Al Qur’an tersebut. Akan tetapi kehidupan bukanlah perjalanan yang terus melaju dengan baik-baik saja tanpa adanya sebuah rintangan. Begitu pula dengan menjalankan bahtera rumah tangga, sebuah realita pasti akan terdapat percikan-percikan api yang harus dihadapi dengan bermusyawarah, saling melengkapi, dan bijaksana. Selain itu, antara pasangan suami dan istri harus dapat memenuhi hak dan kewajiban satu sama lainnya. Hal ini mengingat bahwa banyak fakta-fakta yang menjadi faktor pemicu konflik dalam berumah tangga adalah adanya saling sikap acuh tak acuk dan mengabaikan hak serta kewajiban antara keduanya, atau dalam hukum Islam dinamakan dengan Nusyuz.4 Nusyuz biasanya disebut dengan keduharkaan atau pembangkangan yang dilakukan diantara suami dan istri. Adapun banyak hal yang dapat menimbulkan adanya nusyuz dalam berumah tangga, diantaranya: tidak mentaati perintah suami, tidak menuruti permintaan pasangan, dan tidak adanya kepuasan antar keduanya. Dari sini dapat dilihat bahwa nusyuz terdapat dua macam, yaitu nusyuz istri terhadap suami dan nusyuz suami terhadap istri. Adapun penjelaskan nusyuz istri terhadap suami dijelaskan dalam QS. An Nisa (4): 34 dan 128 yang akan dijelaskan secara rinci didalam pembahasan.



‫الرِّ جا ُل قَ َّواموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬ ٰ ۗ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫ض َل ُ بَع‬ َ ُ َِ ِ َ ٍ ‫ْضهُ ْم عَلى بَع‬ ٰ ٰ ٰ ْ ٰ ِّ ٌ ٌ ُ ٰ ٰ َ ْ ّ ‫ب بِ َما َحفِظَ هّٰللا ُ ۗ َو ٰالّتِ ْي تَخَافُوْ نَ نُ ُشوْ زَ ه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى‬ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ظ‬ ‫ف‬ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ِ ِ ِ ِ ‫فَال‬ ‫هّٰللا‬ ‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَاِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ْياًل ۗاِ َّن َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْيرًا‬ َ ‫ْال َم‬ Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”5 3



QS. Ar-Rum (30): 21 Mughniatul Ilma, “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, no. 1(2019): 48 5 QS. An Nisa’(4): 34 4



Adapun penjelasan nusyuz suami terhadap istri terdapat dalam QS. An Nisa’(4): 128



ْ َ‫َواِ ِن ا ْم َراَةٌ خَاف‬ ‫ت ِم ۢ ْن بَ ْعلِهَا نُ ُشوْ ًزا اَوْ اِ ْع َراضًا فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َمٓا اَ ْن يُّصْ لِ َحا بَ ْينَهُ َما ص ُْلحًا‬ ‫هّٰللا‬ ۗ ُ ُ ‫اْل‬ ُ ُ ‫ت ا َ ْنفسُ ال ُّش َّح َواِ ْن تُحْ ِسنُوْ ا َوتَتَّقوْ ا• فَاِ َّن َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملوْ نَ َخبِ ْيرًا‬ ِ ‫ض َر‬ ِ ْ‫ۗ َوالصُّ ْل ُح َخ ْي ٌر ۗ َواح‬ Artinya: “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”6 Dalam artikel ini akan membantu memaparkan dan menyelesaiakan permasalahan yang terdapat dikalangan masyarakat tentang banyaknya salah penafsiran mengenai penyelesesaian nusyuz istri terhadap suaminya (‫) َواضْ ِربُوْ ه ُّن‬ yang terkandung dalam QS. An Nisa’(4): 34. Adapun tujuannya supaya terhindang dari kesalahpahaman yang terus-menerus ditengah maraknya kasus perceraian diakibatkan KDRT dengan metode tafsir maudhu’i. Sehingga dapat menganggap bahwa konsep nusyuz merupakan bagian dari hukum islam yang tidak menyeleweng dari cita hukum positif di Indonesia khususnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mengingat bahwa diIndonesiaa juga memiliki Undang-Undang mengenai perkara Kekerasan dalam umah Tangga, yaitu UU No. 23 Tahun 2004 pasal 1 yang menyatakan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah ”setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman untuk perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.7 Selain itu juga Hukum Islam memiliki sifat yang universal dan dinamis sehingga dapat beradaptasi terhadap segala kondisi dan situasi. Hal ini dianggap mampu untuk menyelesaikan dan mengakomodir setiap permasalahan hukum yang terjadi di kalangan maasyarakat disetiap zamannya. Sebagaimana pernyataan dari Al-Jauziyah:8



‫تغيرالفتاوي واختالفه بحسب تغيراالزمنة واالمكنة واالحوال والعواع‬ Tafsir maudhu’ terdiri dari dua kata, yaitu tafsir yang diambil dari kata alfash (menjelaskan, menyingkap dan memperlihatkan makna yang logis). Secara bahasa tafsir adalah menerangkan menjelaskan, mengungkapkan sesuatu yang belum atau belum jelas maknanya. Adapun menurut Tafsir maudhu’I menurut Ibn ‘Asyur (w. 1976 M) adalah ilmu yang membahas tentang penjelasan dari maknamakna ayat yang ada didalam Al Qur’an, dengan mengambil hikmah darinya, baik secara ringkas maupun luas. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr metode tafsir maudhu’ juga sebagai metode al-taukhidy, yaitu metode tafsir yang berusaha untuk mencari cawaban dari Al Qur’an dengan cara mengumpulkan ayar-ayat dari Al Qur’an yang memiliki tujuan yang satu, bersama-sama membahas topik 6



QS. An Nisa’(4): 128 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 8 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 1'lam al-Muwaqqiin an Rab al-Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), III: 14 7



tertentu, dan menertibkan dengan menyesuaikan masa turun dan sebab-sebab turunnya, yang kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan beberapa penjelasan, keterangan, dan hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, setelah itu mengishtinbatkan hukum-hukum tersebut. Sedangkan menurut Ziyad Khalil Muhammad al-Daghawin adalah proses dengan melakukan penghimpunanterhadap ayat-ayat Al Qur’an yang mempunyai maksud sama dan meletakkan dalam satu tema atau satu judul. 9 Adapun cara pengaplikasian penafsiran Al Qur’an dalam menggunakan metode maudhu’i: (1) Mengumpulkan ayat-ayat yang ada kesamaan atau berkenaan dengan satu maudhu’ tertentu dengan melakukan memperhatikan masa dan sebab turunnya. (2) Mempelajari ayat-ayat tersebut dengan cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjukkan pada permasalahan yang dibicarakan. Akhirnya, secara induktif secara kesimpulan dapat dimajukan yang ditopang oleh dilalah ayat-ayat itu.10 Sudah diketahui bahwasannya umat islam zaman dahulu selalu berusaha untuk menerapkan secara langsung undang-undang islam, dengan alasan semua yang termaktub dalam Al Qur’an adalah Syariah yang tidak bisa diubah-ubah dan dingaggu gugat. Mungkin hal seperti ini, menjadikan islam tidak akan berkembang dan lebih progredif dalam menjawab tantangan zaman yang terus berkembang. Secara fungsional, metodetafsir maudhu’I adalah untuk menjawab permasalahn-permasalahn yang ada dalam kehidupan manusia. Sehingga dari sini sudah terlihat bahwa, tafsir maudhu’I memiliki peranan yang sangat penting dan adanya pengaruh besar dalam kehudipan manusia supaya terbimbing dengan mengikuti jalan yang benar dan lurus sesuai dengan maksud diturunkannya Al Quran. Oleh karena itu, metode tafsir ini, perlu dimiliki dan dikuasai oleh para ulama (khususnya para mufassir) agar dapat memberikan kontribusi dalam menuntun kehidupan kejalan yang benar dan selamat dunia akhirat. Pada hakikatnya, Tafsir maudhu’I ini muncul karena adanya kebutuhan dan keinginan yang timbul ditengah-tengah masyarakat untuk memaparkan islam dan pemahaman-pemahaman Al Qur’an secara teoritis yang mencakup dasardasar agama yang menjadi sumber bagi seluruh perincian dari perkara-perkara syariat. Pembahasan Nusyuz Perspektif Antara Ulama Tafsir, Fiqh Klassik, dan Kontemporer Terdapat beberapa perbedaan redaksi dari kalangan para mufassir dalam menjelaskan tentang nusyuz. Ibnu Katsir menyatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa “Nusyuz merupakan perbuatan pertentangan atau sikap tinggi diri, sehingga ketika seorang istri telah melakukan perbuatan tersebut seperti melakukan penentangan terhadap suaminya, tidak mentaati perintahnya, berpaling 9



Fauzan, Imam Mustofa, and Masruchin. "Metode Tafsir Maudu’Ī (Tematik): Kajian Ayat Ekologi." Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits, no.2 (2019): 198. 10 Muh Tulus Yamani, "Memahami Al-Qur’an dengan metode tafsir maudhu’I," J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam , no. 2 (2015): 276-278 https://doi.org/10.18860/jpai.v1i2.3352



dari suaminya serta kebencian dapat dikatakan sebagai nusyuz.11 Sedangkan menurut Imam At Thabari dalam kitab tafsirnya, Nusyuz:



‫ والخالف عليهم فيما‬،‫ وارتفاعهن عن فـُرُشهم بالمعصية منهن‬،‫استعال َءهن على أزواجهن‬ ّ ‫ضا• عنهم‬ ً ‫ بغضًا منهن وإعرا‬،‫لزمهن طاعتهم فيه‬ Terjemahannya: “Sikap meninggi seorang perempuan terhadap suaminya, bangkit/ meninggalkan tempat tidur karena maksiat (durhaka), menyalahi suaminya pada hal-hal yang harus dia taati, benci dan berpaling dari mereka”12 Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Wahbah Al-Zuhaili, beliau mengatakan dalam kitabnya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh), bahwa nusyuz merupakan perlakuan ketidakpatuhan atau kebencian seorang suami terhadap istrinya dari perkaraperkara yang seharusnya untuk dipatuhi begitupun sebaliknya. 13 Sedangkan menurut AlBaghawi, nusyuz adalah keduharkaan dan sikap meninggi diri. 14 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam penjelasan yang terdapat dalam kitab Fiqh al-Sunnah adalah sebagai kedurhakaan dan ketidaktaatan istri terhadap suami termasuk perkara keluar rumah tanpa izin seorang suami dan menolak ajakan suami untuk tidur bersamaan. 15



Dalam pernyataan dari beberapa ulama kontemporer, yaitu pertama, M Quraish Shihab,beliau memberikan pengertian nusyuz dalam Tafsir Al-Mishbah ysitukeangkuhan dan pembangkangan.16 Dan menurut pendefinisian Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, yaitu rasa ketidak takutan terdahap Allah saw dan suami.17 Dari sekian pengertian nusyuz menurut beberapa ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa nusyuz adalah sikap tinggi diri, pembangkangan, tidak mentaati, serta sombong, berpaling dari suaminya yang dilakukan oleh istri kepada suaminya, dan meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah. Fokus Ayat Nusyuz dan Penjelasan Makna Kata Kunci Dalam artikel ini, akan menelusuri secara eksplisit pada QS. An Nisa’(4): 34 diatas mengenai cara menyelesaiakan nusyuz.



‫الرِّ جا ُل قَ َّواموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬ ٰ ۗ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫ض َل ُ بَع‬ َ ُ َِ ِ َ ٍ ‫ْضهُ ْم عَلى بَع‬ ٰ ‫هّٰللا‬ ٰ ٰ ٰ ّ ْ ُ ٰ ِّ ُ ُ َ ٌ ٌ ُ ُ َ ٰ ٰ ْ َّ َّ َّ ّ ‫فَال‬ ‫ب بِ َما َحفِظ ُ ۗ َوالتِ ْي تَخَافوْ نَ نشوْ زَ هُن ف ِعظوْ هُن َواه ُجرُوْ هُن فِى‬ ِ ‫صلِحت قنِتت حفِظت لل َغ ْي‬ ‫هّٰللا‬ ‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَاِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ْياًل ۗاِ َّن َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْيرًا‬ َ ‫ْال َم‬ Dalam ayat tersebut menjelesankan nusyuznya istri terhadap suami. Dalam artikel ini, akan menelusuri secara eksplisit pada QS. An Nisa’(4): 34 diatas mengenai cara menyelesaiakan nusyuz. Dalam ayat tersebut mengandung penjelasan bahwa ketika seorang istri melakukan sebuah pembangkangan terhadap suaminya, maka sudah dikategorikan sebagai perbuatan nusyuz. Karena seorang istri seharusnya 11



Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-“Azhim, Riyadh : Dar Thayyibah, juz V h. 170 Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Riyadh : Dar Thayyibah, juz 8 h. 299.4 A 13 Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Dar- al-Fikri 1409 H/1989 M) 14 Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, Riyadh : Dar Thayyibah, 1997, juz II h. 108. 15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Madinah: al-Fath Li I’lami al-‘Araby, 1990), II: 314. 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 430. 17 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 60. 12



mematuhi perintah seorang suami yang menjadi pemimpin dalam berumah tangga sebagai penyeimbang atas kewajiban seorang suami kepada istrinya, sebagaimana dalam hadist berikut:



‫ال الَّتِي تَسُرُّ هُ ِإ َذا‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأيُّ النِّ َسا ِء َخ ْي ٌر ق‬ َ ِ ‫ قِي َل لِ َرسُو ِ•ل هَّللا‬:‫عن أبى هريرة قال‬ ُ‫نَظَ َر َوتُ ِطي ُعهُ ِإ َذا َأ َم َر َواَل تُخَالِفُهُ فِي نَ ْف ِسهَا َو َمالِهَا بِ َما يَ ْك َره‬ Dari Abu Hurairah berkata, Nabi saw ditanya, “wanita manakah yang terbaik ? Nabi menjawab, “wanita yang menyenangkan jika dipandang oleh suaminya, patuh jika diperintah, dan tidak melakukan tindakan yang tidak disukai suaminya, baik terhadap dirinya maupun hartanya”.18 Akan tetapi yang akan dibahas dalam artikel ini mengenai salah satu cara penyelesaian nusyuz yang terdapat dalam ayat 34 diatas. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk mengambil tindakan terhadap nusyuznya istri terhadapnya, yaitu dengan menasihati, memisah ranjang, dan memukulnya. Ketiga cara tersebut dilakukan dengan cara bertahap, dalam artian apabila pada poin sebelumnya masih belum menunjukkan perubahan tabiat maka diperbolehkan melakukan poin setelahnya dan seterusnya. Dari ketiga tahapan tersebut, terdapat salah satu poin masih menjadi perbincangan dan perdebatan dalam masyarakat yaitu ‫ َواضْ ِربُوْ ه َُّن‬. Secara eksplisit perbuatan tersebut sering dijadikan sebagai legitimasi terhadapnya kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa disebut dengan KDRT. Dalam ayat tersebut terdapat sebuah hubungan dengan tema yang sudah ditentukan sebagai bahan penafsiran yang tersistem dan dapat dipahami dengan baik. Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa artikel ini bermaksud memberikan sedikit pemikiran mengenai konseptualisasi penyelesaian nusyuz menurut pandangan hukum Islam, ulama klassik dan kontemporer dengan menggunakan metode maudhu’I. Adapun yang menjadi kata kunci dalam ayat tersebut adalah pada ٰ potongan ayat ‫اج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل‬ َ ‫َوالّتِ ْي تَخَافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى ْال َم‬ ِ ‫ض‬ ‫تَ ْب ُغ••وْ ا َعلَ ْي ِه َّن َس •بِ ْياًل‬. Artikel ini akan merinci maksud yang tersimpan dalam ayat tersebut dengan perkatanya. Mengingat yang sudah dijelaskan diatas, bahwa banyak dikalangan masyarakat yang mempunyai pemikiran menyimpang. Beberapa kata yang akan di jelaskan adalah:



َ َ‫ ت‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Kata َ‫خافُوْ ن‬ Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 4 (empat) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An Nisa’ (4): 34, QS. Al An’am (6): 81, QS. Al Anfal (8): 26, QS. Al Fath (48): 27.19 Dalam kata tersebut yang dimaksud adalah kekhawatiran, yaitu suami khawatir terhadap nusyuznya istri dalam artian adanya pembangkangan istri serta tidak mentaati suaminya. Kata َ‫ ْو َزهُن‬6 ‫ش‬ ُ ُ‫ ن‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 34.20 Dalam kata tersebut yang dimaksud adalah kekhawatiran suami terhadap (nusyuz) pembangkangan seorang istri dengan 18



Al Nasa’I, Sunan An Nasa’I, vol. 6, 68. Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqiy, Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim Hadist 20 Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqiy, Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim, 207 19



bersikap sombong dan tidak mau mengikuti perintah suami. Kata ini terdapat kaitannya dengan kata sebelumnya ( َ‫ )تَخَافُوْ ن‬sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.



َّ ُ‫ فَ ِعظُوْ ه‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Kata ‫ن‬ Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 34. Dalam kata tersebut yang dimaksud adalah tentang seorang suami yang memberikan nasihat kepada mereka (istrinya) yang bernusyuz kepadanya (Suami), dimana didalamnya terdapat cara yang baik dalam memberikan nasihat agar dapat diterima dengan baik, yaitu dengan cara lemah lembut dan pada saat yang tepat, tidak pada sembarang waktu. َّ ُ‫ َوا ْه ُجرُوْ ه‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Kata ‫ن‬ Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 34. Dalam kata tersebut yang dimaksud adalah tentang seorang suami yang dapat memisahkan ranjang tidur dengan istrinya. Dalam hal ini, yang digarisbawahi yaitu ketika istri tersebut masih memperlihatkan sikap pembangkangan atau tinggi diri terhadap suami َّ ُ‫)فَ ِعظُوْ ه‬. sebagaimana yang terdapat kaitannya dengan kata diatas (‫ن‬ َّ ُ‫ اضْ ِربُوْ ه‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Kata ‫ن‬ Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 34.21 Dalama kata tersebut yang dimaksud adalah tentang pukulan (ringan) seorang suami kepada istrinya dengan catatan tidak parah atau fatal dan tidak melukainya ketika seorang istri itu tidak menampakkan perbaikan pada dirinya. Dalam maksud dari pemukulan ini yaitu sebagai ajaran adab, adanya rasa kasih sayang, serta memperbaiki perilakunya. Kata ‫ اَطَ ْعنَ ُك ْم‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 3422 dalam kata tersebut yang dimaksud adalah masih ada kaitannya dengan kata sebelumnya, bahwa apabila seorang istri itu kembali ke perilaku baik (taat kepada suami), maka bagi suami hindarilah dari perbuatan yang dzalim (Nusyuz) Kata ‫ تَ ْب ُغوْ ا‬menurut Al- Mu’jam Al- Mufahras Li Alfadhil Qur’anil Karim digunakan dalam Al Qur’an sebayak 1 (satu) kali dalam Al Quran yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 3423 dalam kata tersebut yang dimaksud adalah masih terdapat kaitan dengan lafad sebelumnya berupa suatu larangan terhadap suaminya untuk mencari-cari alasan supaya bisa menyusahkannya baik dengan mencerca atau mencaci maki mereka. Dari semua penjelasan dari kata per kata dapat diambil kesimpulan bahwa Nusyuz termasuk persoalan yang dikhawatirkan dalam menjalankan kehidupaan suami-istri dan ini bisa terjadi salah satunya dengan adanya sikap dari salah satu 21



Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqiy, Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim, 207 Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqiy, Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim, 207 23 Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqiy, Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim 22



suami atau istri melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan seperti tidak adanya sifat qawwam (kepemimpinan) yang dimiliki oleh suami sehingga istri membangkang dan tidak turut kepada suaminya untuk melakukan kewajibannya dan untuk menyelesaikan hal tersebut maka seorang suami dengan ( ‫ )فَ ِعظُوْ هُ َّن‬memberikan nasihat kepada istrinya dengan cara lemah lembut dan sebaik-baiknya terlebih dahulu dan waktu yang tepat, apabila masih melakukan nusyuz maka (‫ع‬ َ ‫ ) َوا ْه ُجرُوْ هُ َّن فِى ْال َم‬dengan pisah ranjang, jika masih belum ِ ‫ضا ِج‬



َّ ُ‫ ) َواضْ ِربُوْ ه‬pukullah dengan ringan dengan tanpa melukainya berubah maka (‫ن‬ dengan niatan sebagai mendidik karena adanya rasa kasih sayang, apabila seorang istrinya sudah mentaati mengenai apa yang dikehendaki oleh suami, maka bagi suami ( ‫سبِ ْياًل‬ َ ‫ ) فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْي ِه َّن‬untuk tidak mencari gara-gara dalam artian menari jalan untuk memukul dengan aniaya sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut. Tafsir Ayat Dengan Ayat



Tafsir merupakan sebuah salah satu alat untuk memahami dan menerangkan sebuah makna dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran. Penafsiran Al Quran pasti mengalami perputaran metode tafsir seiring berkembangnya zaman dari masa ke masa. Banyak macam dalam menafsirkannya mulai dari pendekatan hermeunitik, semiotik, dan juga semantik, bahkan dalam zaman sekarang banyak menggunakan penfsiran kontemporer sampai banyak pendekatan lainnya yang up to date yang digunakan menafsirkan Al Quran. Tafsir ayat dengan ayat juga banyak pembagiannya, diantaranya metode tafsir tahlili, ijmali, muqarin, ma’stur, dan juga dapat dikatakan dengan metode dalam penafsiran maudhu’i. metode penafsiran ini masih sering digunakan dizaman sekarang yang menjadi salah satu sarana yang dapat merelevansi pesan Allah yang ada dalam Al Quran dengan kondisi dan perkembangan zaman ini. 24 Sehingga tafsir ayat dengan ayat dapat diartikan sebagai penafsiran Al Quran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al Quran yang memiliki pembahasan dan tujuan yang sama yang kemudian ditafsirkan secara terperinci dan tuntas yang didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah, baik argument yang berasal dari Al Quran, Hadist, dan pemikitan rasional. 25 Adapun dalam mengaplikasikan metode tersebut, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu: 1) Menetapkan permasalahan yang akan dijadikan topik untuk menyelesaikannya. 2) Mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat yang memiliki topik pembahasan dan tujuan yang sama mengenai masalah yang sedang dihadapi. 3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya yang disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya. 4) Memahami korelasi ayat-ayat yang sedang dikaji dalam surahnya masing-masing. 5) Menyusun pembahasan dalam pembahasan yang sempurna (out-line). 5) Melengkapi dengan hadist-hadist yang memiliki ketersambungan (relevansi) dengan pokok pembahasan. 6) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau atau mengkompromikan antara yang 24



Zulaiha, Eni, Restu Ashari Putra, dan Rizal Abdul Ghani. “Selayang Pnadang Tafsir Liberal di Indonesia.” Jurnal Imam dan Spiritualitas, no. 2(2021). 25 Abdul Hayy Al-Farmawi, Al Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’I, 49



‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.26 Ketika sudah melakukan akad nikah dengan sah dan memiliki kekuatan hukum maka mulai detik itulah hak-hak seorang suami istri jatuh sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, termasuk juga konsekuensinya. 27 Setiap seorang suami pasti ingin memiliki istri shalihah yang cakap agama, akan tetapi tidak semua wanita memiliki sifat mulia tersebut, sehingga mereka bisa sewenangwenang yang muncul sifat ketidaktaatan suami. Semua peristiwa tersebut, tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Dengan demikian Al Quran memberikan perhatian yang besar mengenai masalah kehidupan rumah tangga yang kemudian diberikan sebuah tuntutan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Dari nini, maka artikel ini akan mengkaji ayat yang berkaitan dengan peristiwa tersebut secara rinci. Fokus ayat yang akan dikaji dalam artikel ini adalah menjelaskan tentang nusyuznya istri terhadap suami pada QS. An Nisa’(4): 34 yang berbunyi:



‫الرِّ جا ُل قَ َّواموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬ ٰ ۗ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫ض َل ُ بَع‬ َ ُ َِ ِ َ ٍ ‫ْضهُ ْم عَلى بَع‬ ٰ ‫هّٰللا‬ ٰ ٰ ٰ ّ ْ ُ ٰ ِّ ُ ُ َ ٌ ٌ ُ ‫صلِ ٰح‬ ّ ‫فَال‬ ‫ب بِ َما َحفِظ ُ ۗ َوالتِ ْي تَخَافوْ نَ نُشوْ زَ ه َُّن فَ ِعظوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى‬ ِ ‫ت قنِتت ٰحفِظت لل َغ ْي‬ ‫هّٰللا‬ ً ‫اًل‬ ُ َ ‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَاِ ْن اَط ْعنَك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ْي ۗاِ َّن َ َكانَ َعلِيّا َكبِ ْيرًا‬ َ ‫ْال َم‬ Dalam ayat tersebut terdapat keterhubungan dengan ayat lain yang menerangkan tentang nusyuz suami terhadap istri yang terdapat dalam QS. An Nisa’(4): 128 yang berbunyi:



ْ َ‫َواِ ِن ا ْم َراَةٌ خَاف‬ ‫ت ِم ۢ ْن بَ ْعلِهَا نُ ُشوْ ًزا اَوْ اِ ْع َراضًا فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َمٓا اَ ْن يُّصْ لِ َحا بَ ْينَهُ َما ص ُْلحًا‬ ‫هّٰللا‬ ۗ ‫ت ااْل َ ْنفُسُ ال ُّش َّح َواِ ْن تُحْ ِسنُوْ ا َوتَتَّقُوْ ا• فَاِ َّن َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ َخبِ ْيرًا‬ ِ ‫ض َر‬ ِ ْ‫ۗ َوالصُّ ْل ُح َخ ْي ٌر ۗ َواُح‬ Dari dua ayat diatas, keduanya memiliki pembahasan topik yang sama, yaitu mengenai nusyuz dan penyelesaiannya. Akan tetapi dalam ayat pertama (QS. An Nisa’(4): 34 tentang nusyuz istri terhadap suami dan dalam ayat kedua (QS. An Nisa’(4): 128 tentang nusyuznya suami terhadap istri. Dalam artian keduanya ketersambungan yang berupa ‫ المتصلة‬yaitu mengenai nusyuz dan penyelesaiannya serta memiliki ketersambungan yang berupa ‫ المضدة‬yaitu subyek dari kenusyzan tersebut. Dalam ayat yang pertama (QS. An Nisa’(4): 34 menjadi sebuah dalil yang digunakan dalam penyelesaian nusyuz istri terhadap suami, walaupun tidak dijelaskan awal terjadinya peristiwa perbuatan nusyuz istri serta batasanbatasannya yang jelas. Namun hanya mengandung sebuah tuntutan bagi suami menghadapi hak tersebut (nusyuz istri) tanpa batasan-batasan yang jelas. Dengan demikian, terkadang ayat ini dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan alasan berbuat nusyuz. Sehingga disini akan merinci dari kandungan kata kunci yang sedang dikaji supaya ayat tersebut tidak 26



Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).. hlm. 114 – 115. 27 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah jil. 2 terj. Asep Sobari, dkk (Jakarta: Al-Itishom, 2010), hlm: 323



dikesampingkan dan mendapatkan pemahaman yang tepat. 28 ayat diatas dalam tafsir klassik dan pertengahan dijadikan sebuah justifikasi untuk menggambarkan superioritas laki-laki dan perempuan. Para ulama klassik menafsirkan al-Rijal sebagai nama laki-laki yang menjadi bentuk plural dari kata al-rajul. Adapun lawaannya adalah al- nisa’, yang bermakna wanita dan menjadi bentuk plural dari kata mara’ah.29 Adapun asbabun nuzulnya adalah diawali sebuah peristiwa yang dialami oleh Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair dengan suaminya yang bernama Sa’ad bin Rabi’ bin ‘Amr. Sa’ad, ia merupakan salah satu dari pemuka golongan kaum ansor. Suatu ketika pada waktu itu, Habibah ditampar oleh suaminya karena telah dianggap durhaka. Kemudian habibah mengajak ayahnya untuk mengadu kepada Rasulullah SAW, beliaupun bersabda:



‫لتقتص من زوجها‬ Artinya: “Hendaknya dia mengqishas suaminya”. Kemudian Habibah dan ayahnya kembali untuk mengqishas Sa’as. Akan tetapi Rasulullah kemudian memanggil mereka kembali dan memberitahukan kepada mereka bahwa Jibril telah memberi wahtu QS. An Nisa’(4): 34. Dengan itu, kemudian Rasulullah bersabda:



‫ والذي اراد هللا خير‬,‫ وهللا اراد امرا‬,‫اردنا امرا‬ Artinya: “Kita memilikikehendak tentang suatu perkara, Allah pun memilikikehendak tentang suatu perkara. Sedangkan kehendak Allah adalah lebih baik”. Dengan adanya wahyu tersebut, akhirnya perintah untuk mengqidhah dicabut oleh Rasulullah SAW.30 Dari peristiwa tersebut, para imam madzhab mengemukakan pendapat mengenai beberapa perbuatan istri yang masuk dalam kategori nusyuz. Adapun dalam madzhab Hanafiyah yaitu istri yang selalu menutup dirinya dari suami dan istri yang keluar rumah tanpa izin dari pihak suami. Adapun dalam madzhab Syafi’iyah yaitu istri yang durkaha kepada suaminya dan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan istri untuk melakukan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT. Sementara dalam madzhab Malikiyah, perbuatan yang dikategori perbuatan nusyuz ialah istri yang melakukan pelanggaran kepada suami (tidak mentaatinya), menolak suami untuk menggaulinya, menutup pintu dan tidak mengizinkan suami untuk masuk ke kamarnya, meninggalkan kewajiban terhadap Allah seperti shalat, mandi besar, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut pandangan madzhab Hanbaliyah yaitu pelanggaran istri terhadap hak-haknya yang wajib dilakukannya selama menikah. 31 Dan untuk 28



Suryani, Zurifah Nurdin, “"Kebolehan Suami Memukul Istri Karena Nusyuz (Studi Terhadap Pemahaman Masyarakat Tentang Surat al-Nisa’ayat 34 di Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu)," El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, no.1 (2020): 145 29 Abdurrahman, Kepemimpinan Wanita dalam Islam dalam al-Qur’an dan Isu Kontemporer, (Yogyakarta: eISAQ Press, 2011), h. 340 30 Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayat, II: 278-279 31



Shaleh bin Ghanim as-Sadlani, Nusyūz , Konflik Suami Isteri, h. 26-27



melihat perbuatan nusyuz yang dilakukan seorang istri yaitu dengan melihat kebiasaan sehari-harinya. Ayat ‫ َو ٰالّتِ ْي تَخَافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن‬menjelaskan runtutan langkah penyelesaian suami ketika tatkala terdapat nusyuz istri. Ketiga langka tersebut adalah menasihati, pisah ranjang, dan memukul. Adapun riciannya: Menasihati (‫)فَ ِعظُوْ ه ُّن‬. Jumhur ulama sepakat bahwa menasihati merupakan langkah yang cukup penting, sehingga cara ini ditempatkan pada posisi yang paling awal karena didalamnya mengandung sebuah edukatif dan persuasive terhadap istri. Adapun caranya dengan berbicara face to face secara terbuka dengan pihak istri untuk dapat menyelesaikannya dengan jalan damai. Dalam sebuah nasihat, diharapkan mengingat kembali atri dari sebuah perkawinan yang harus dijaga Bersama dan menyampaikan damapk buruk lahir batin yang dilakukan apabila kesalahannya terus dilakukannya.32 Dari kata potongan ayat tersebut, dapat dikatakan sebuah nasihat menjadikan dan mengantarkan permasalahan cepat kondusif dan cepat menciptakan relasi kembali. Selain itu, dalam kehidupan berumah tangga perlu adanya sebuah komunikasi yang baik untuk mengambil keputusan dari semua masalah yang terjadi. Pisah ranjang (‫)فَ ِعظُ••••وْ ه َُّن‬. Secara etimologi hajr memiliki makna meninggalkan, memisahkan, dan tidak berhubungan dengan obyek yang berkaitan. Kata tersebut, bukan hanya digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi juga mengandung dua hal. Pertama, sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak baik, dan kedua, ia ditinggalkan untuk menuju ke tempat yang lebih baik.33 Cara ini dilakukan ketika pada tahap penasihatan belum membawa hasil bagi istri untuk berubah. ْ ‫) َو‬. Bagian dari konsep nusyuz yang mengundang Memukuk (‫اض•• ِربُوْ ه َُّن‬ banyak polemik dan perhatian dari ulama klassik serta kontemporer. Ayat ini dianggap mendiskreditkan perempuan karena term pemukulan yang dapat dikategorikan dalam tindak kekerasan. Karena pemaknaan ayat tersebut seringkali melupakan historis-faktual turunya ayat tersebut. Jika dilihat dari asbabun nuzul-nya yang sudah diijelaskan diawal, ayat ini diturunkan sebagai solusi penyelesaian yang justru bermaksud mengendalikan kekerasan seorang suami terhadap istri dan anjuran untuk berdaptasi dengan masyarakat yang didominasi laki-laki. Ayat ini seolah-olah membenarkan dengan adanya pemukulan terhadap istri untuk menyelesaikannya. Akan tetapi menurut S.T Lokhandwala dalam The Position of Women Under Islam yang dikutip oleh Asghar Ali Engineer, Q.S. an-Nisa’ ayat 34 tidak dapat dipisahkan dari sifatnya yang kontekstual pada saat itu. Ayat ini bukanlah mendorong untuk melakukan peemukulan terhadap istri, akan tetapi tujuannya sebagai pencegah dan



32



Shalih bin Ghanim as-Sadlani, Nusyuz Konflik Suami Istri, h. 46 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,Vol. 2(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 430 33



penghapus perbuatan nusyuz secara bertahap. Oleh sebab itu, izin pemukulan terhadap istri diletakkan pada tempat yang paling akhir.34 Bila dikaitkan dengan konteksual pada zaman sekarang, maka terdapat dua langkah untuk menghadapi kenusyuzan istri, yaitu menasihati dan pisah ranjang yang keduanya masih bisa diterima dan dibenarkan dikalangan masyarakat sekarang, namun untuk langkah ketiga (terakhir) yaitu pemukulan, merupakan langkah penyelesian yang masih membutuhkan pemaknaan yang lebih jelas dan diulang. Mengingat banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan atau istri dengan menggunakan legitimasi nash yang pemaknaannya tidak kontekstual lagi di zamannya. Walaupun langkah pemukulan terdapat dalam ayat nusyuz, akan tetapi tujuannya bukan untuk kekerasan atau menyakiti, melainkan untuk memberi pelajaran dan Pendidikan. Dan dalam ayat kedua (QS. An Nisa’(4): 128, ayat ini menjadi sebuah dasar yang menjelaskan bahwa suami juga tedapat perubatan nusyuz terhadap suaminya. Kategori kenusyuzan suami itu ketika ia sudah merasa bosan, tidak senang, dan merasa benci terhadap istrinya. Dalam artian, ketika suami sudah tidak lagi mendekatinya, memberikan nafkah, memberi kasing sayang, dan menggauli istrinya dengan kasar tidak dengan mu’syarah bil ma’ruf (pergaulan yang diperkenankan) sebagaimana pergaulan suami isteri. Kategori terakhir mengandung banyak pemaknaan diantaranya: berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental isteri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. Hal ini dikarenakan suami kurang dapat memahami ayat yang terkandung dalam QS. An Nisa’(4): 34 yang menjelaskan bahwa suami sebagai pemimpin (Qawwam) diperbolehkan untuk memukul istrinya. Untuk mengatasi peristiwa seperti ini, maka diperlukan dari pihak suami untuk mengajak perdamaian demi tercapainya kemaslahatan dalam berumah tangga.35 Sebagaimana sesuai dengan penjelasan yang terkandung dalam ayat tersebut. Sehingga inti dari relasi yang didapatkan dari hubungan dua ayat diatas ( QS. An Nisa’(4): 34 dan 128) adalah memiliki kandungan yang sama mengenai perbuatan nusyuz yang dilakukan antara suami atau istri dengan menggunakan jalan penyelesaian perdamaian atau dapat memalui hakamain dalam konteks pada zaman sekarang untuk menghindari perselisihan dan pertengkaran. Sebagaimana sesuai dengan QS. AN Nisa’(4): 35 yang berbunyi:



َ ‫َواِنْ ِخ ْف ُت ْم شِ َق‬ ‫اق َب ْين ِِه َما َفا ْب َع ُث ْوا َح َكمًا مِّنْ اَهْ لِهٖ َو َح َكمًا مِّنْ اَهْ لِ َها ۚ اِنْ ي ُِّريْدَ آ اِصْ اَل حً ا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫ان َعلِ ْيمًا َخ ِبيْرً ا‬ َ ‫ي َُّو ِّف ِق ُ َب ْي َن ُه َما ۗ اِنَّ َ َك‬ Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan 34



Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Pentj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf(Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), h. 72-76. 35



M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993, hlm. 86



perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ ayat 35)36 Ayat ini menjelaskan bahwa jika usaha yang sudah diajarkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak dapat meredakan sengketa yang dialami oleh sebuah rumah tangga, maka lakukanlah tuntunan yang diberikan oleh ayat ini. Dan jika kamu khawatir akan terjadi syiqaq atau persengketaan yang kemungkinan besar membawa perceraian antara keduanya, maka kirimlah kepada suami istri yang bersengketa itu seorang juru damai yang bijaksana dan dihormati dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai yang juga bijaksana dan dihormati dari keluarga perempuan. Jika keduanya, baik suami istri, maupun juru damai itu, bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik jalan keluar kepada suami-istri itu. Tafsir Ayat dengan Hadist Al Quran merupakan wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada Rasulullah melalui Malaikan Jibril yang mempunyai nilai ibadah ketika membacanya. Sejak diturunkannya Al Quran oleh Allah, Al Quran selalu menjadi rujukan pertama bagi umat muslim yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi sumber inspiratif dan menjadi pedoman umat islam hingga sekarang.37 Oleh karena itu umat islam harus dapat memahami isi kandunagnnnya dengan benar dan tepat. Terkadang teks-teks al-Qur`an yang tidak dapat difahami secara gamblang sehingga harus dijelaskan dan ditadabburi makna-mananya dengan pentadaburan yang lebih mendalam. Dengan demikian sunnah (haidts) memiliki kedudukan yang urgensi dalam memahami Al Quran, ia menjadi sumber primer dalam ilmu tafsir. Tidak ada seorang mufasir pun yang pandai dalam penafsiran kecuali dia memiliki ilmu yang memadai tentang alSunnah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tafsir ayat dengan hadist merupakan sebuah pencarian analisis maksud perkara yang masih memiliki makna lain yang terkandung dalam Al Quran dengan menggunakan sunnah/ hadist Nabi SAW dengan tujuan tercapainya sebuah permasalahan yang dengan hadapi dengan pemahaman yang tepat dan benar. Hadist tentang nusyuz sebenarnya selalu berkenaan hak dan kewajiban seorang istri. Hal tersebut dikarenakan pengertian dari nusyuz sendiri adalah perbuatan durhaka, pembangkangan, meninggalkan kewajibannya sebagai pasangan suami-istri. Hadist yang berkaitan dengan nusyuz biasanya lebih banyak mengenai nusyuznya istri ketika diajak suaminya untuk berhubungan seksual.38 Dengan demikian, terdapat hadist yang mengawalinya dengan hadistnya Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a sebagai berikut: 36



QS. An Nisa”(4): 35 Ahmad Syauri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur`an kontemporer, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), Lihat dalam halaman pengantar buku ini oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 38 Saleh bin Ganim Al-Saldani. (2004). Nusyuz. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 25- 26 37



‫َعا الرَّ ُج ُل‬ َ ‫ "ِإ َذا د‬:‫صلَّى هللاُ َع َلي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ َقال َرسُو ُل‬:‫ َقال‬.‫ير َة‬ َ ‫َعنْ َأ ِبي ه َُر‬ َ ‫ َف َب‬،ِ‫ َف َل ْم َتْأ ِته‬،ِ‫امْرَأ َت ُه ِإ َلى ف َِراشِ ه‬ "‫ َل َع َن ْت َها ْالمَالِئ َك ُة َح َّتى ُتصْ ِب َح‬،‫ان َع َلي َها‬ َ ‫ات غَضْ َب‬ َ ‫ كان الذي في ساخطاعليها حتى يرضى‬:‫ ولمسلم‬.‫ واللفظ للبخاري‬,‫متفق عليه‬ ‫عنه‬. Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mengajak isterinya tidur (untuk melakukan hubungan badan), lalu isteri menolak mendatangi suaminya, lalu suaminya marahpada malam itu, maka para malaikat melaknat si isteri sampai waktu pagi.”(Muttafaq ‘alaihi dan lafaz hadith menurut riwayat al-Bukhari). Menurut riwayat Muslim disebutkanbahawa makhluk yang ada dilangit murka kepada isteri sampai suaminya memaafkannya.39 Status Hadist Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau memiliki nama lengkap, yaitu abu Abdurrah ad dausi al yamani (ada juga yang mengatakan bahwa nama asli beliau adalah Abdurrahman bin sakhr) thabaqah 1 golongan sahabat. Beliau wafat pada tahun 57 H. Akan tetapi ada yang mengatakan juga beliau wafat pada tahun 58/59 H. Adapun murid beliau ialah abu hazm al asja’I, abu ayub al maraghi, yahya bin ya’mar al basri, Abdurrah bin ka’ab al qardi, Abdurrah bin umar, Abdurrah bin Abdurrahman dan lain-lain. Menurut Ibnu Hajar beliau termasuk golongan sahabat. Dan menurut Az Zihbi beliau merupakan sahabat yang hafidz mutsabbitan, cerdas, mufti, ahli puasa dan sholat malam. Penjelasan Hadist Ketika dilihat secara universal, hadist tersebut menunjukkan bahwa ketika seorang suami meminta kepada istrinya untuk berhubungan intim (wath’i) 40, maka sikap istri tidak boleh menolaknya karena hal tersebut sudah menjadi kewajibannya dalam melayani suami dan merupakan hak didapatkan oleh suami, meskipun pada dasarnya hubungan intim merupakan sesuatu perkara yang dibutuhkan bersama, tidak mesti itu hak suami atau istri, melaikan keduanya juga memiliki hak untuk hal tersebut. Apabila seorang istri tersebut enggan atau menolak ajakan suaminya, maka malaikan melaknatnya sampai subuh.41 ‫اش • ِه‬ ِ ‫ ))ِإ َذا َد َع••ا ال َّر ُج• ُل ا ْم َرَأتَ •هُ ِإلَى فِ َر‬Ibn Abu Jamrah dalam Fathul Bari, berpendapat bahwasanya kata ‫اش ِه‬ ِ ‫ فِ َر‬kinayah dari kata jima’. Kemudian dari kata ( ُ‫ل َعنَ ْتهَا ْال َمالِئ َكة‬ ‫) َحتَّى تُصْ بِ َح‬Ibn Abu Jamrah menjelaskan bahwa laknat yang dimaksud dalam hadist tersebut bukan hanya penolakan hubungan intim dimalam hari, akan tetapi juga 39



Syakh Abu Abdullah bin Abd al-Salam Allusy, Terj. Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, Ibanatul Ahkam Syarah Bulug Al-Maram, 412. 40



Ahmad Al-Kurdi Al-Hajj. (1990). Hukum-Hukum Wanita dalam Fiqih Islam, DIMAS. Semarang: DIMAS. hlm 63. 41 Abi Daud Sulaiman ibn As-Yas AsySyajastani. (1994). Sunan Abi Daud, "Kitab anNikah", "Bab fi haqqi az-Zawj 'ala al-Mar'ah. Beirut: Dar al-Fikr. hlm. 212.



berlaku di siang hari. Apapun pada lafadz ‫ )) َحتَّى تُصْ بِ َح‬hanya menunjukkan bahwa biasanya hubungan intim hanya dilakukan pada malam hari. Sehingga jika seorang istri menolak pada siang hari juga dapat dikatakan nusyuz. Pada kata( َ‫فَبَات‬ ‫)غَضْ بَانَ َعلَيهَا‬masih dalam Kitab Fathul Bari, menjelaskan bahwa adanya laknat bagi istri karena terdapat keadaan marah seorang suami, karena akibat kemaksiatan istrinya. Sehingga jika kemarahan ini tidak ada, maka laknatpun juga tidak ada. Dalam syarah sunan Abu Daud di kitab ‘aun Al-Ma’bud menjelaskan bahwa hadist ini bukan menggambarkan seorang istri yang melakukan maksiat terhadap suaminya akan tetapi tidak patuh terhadap suami. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa hadist yang dimaksud dalam kitab ini, yaitu membedakan antara ketidakpatuhan dan kemaksiatan, akan tetapi dua hal tersebut masih dalam kategori nusyuz juga.



ُ :‫ عن ابيه قال‬, ‫وعن حاكيم بن معاوية‬ ُّ ‫ ما ح‬،‫ يا رسول• هللا‬:‫قلت‬ :‫ق زوجة أحدنا عليه؟ قال‬ ‫ وال تهجُرْ إال‬، ْ‫ وال تُقبِّح‬،َ‫ب الوجه‬ ِ ‫َضر‬ ِ ‫ وال ت‬، َ‫ وتك ُس َوها إذا اكت َسيت‬، َ‫(أن تُط ِع َمها• إذا طَ ِع ْمت‬ ,‫ وصححه‬,‫ وعلق البخاري بعضه‬,‫ وابن ماجه‬,‫ والنساءى‬,‫ أبو داود‬,‫في البيت)؛ رواه احمد‬ ‫ والحاكم‬,‫ابن حبان‬ Artinya: Daripada Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya, beliau berkata:“Sayabertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak seorang isteri di antara kami kepada suaminya?” Baginda menjawab: “Kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberinya pakaian apabila kamu berpakaian, jangan memukul bahagian wajah, jangan menjelek-jelekkan dan jangan menemanitidur melainkan tetap di dalam rumah.”42 Dari hadist diatas yang menjelaskan tentang nusyuznya seorang istri ketika menolak dari ajakan untuk hubungan intim. Kemudian perspektif hadist mengenai penyelesaian dari nusyuz dalam kitab Sunan Ibn Majjah yang berbunyi:



‫َح َّدثَنَا ابو بكر بن ابي شيبة حدثنا الحسين بن علي عن زائدة عن سبيل لن غرقدة البارقي• عن‬ ‫ أنه شهد حاجة الوداع مع رسول• هللا صلى هللا‬،‫سليمان بن عمرو نب االحوص حدثنى أبي‬ ‫ استوصوا• بالنساء ميرا فإنهن عندكم‬:‫عليه وسلم فحمد هللا وأثنى عليه وذكر• ووعظ ثم قال‬ ‫عنوان ليس تملكون منهن شيئا غير ذلك إال أن يأتين بفاحشة مبينة فان فعلن فاهجروهن في‬ ‫المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرح فان أطعنكم فال تبغوا عليهن سبيال ان لكم من‬ ‫نسائكم• حقا ولنسائكم• عليكم حقا فأما حقكم على نسائكم• فال يوطئن فرشكم• من تكرهون وال‬ ‫يأذن في بيوتكم• لمن تكرهون أال وحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن في كسوتهن وطعامهن‬ “Hendaklah kalian berwasiat baik-baik kepada perempuan. Karena mereka ini ibarat tawanan di tanganmu. Kamu tidak berkuasa kepada mereka sedikitpun lebih dari itu, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka berbuat demikian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah dengan pukulan yang tidak keras. Jika mereka taat kepada kalian, maka janganlah mencari-cari alasan (kesalahan) terhadap mereka. Sesungguhnya kalian punya hak terhadap istri-istri kalian, dan mereka punya hak 42



Syakh Abu Abdullah bin Abd al-Salam Allusy, Terj. Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, Ibanatul Ahkam Syarah Bulug Al-Maram, Jilid. 3, (Selangor Darul Ehsan: Al-Hidayah Publication, 2010), h. 407.



terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah, mereka tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke dalam rumah. Dan hak mereka kepada kalian adalah, kalian memberi pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik.” (H.R AlBukhari dan Muslim) Kata ‫ فاحش••••ة مبينة‬para ulama menyatakan sebagai sebuah tindakan penyelewengan istri terhadap suaminya atau yang disebut dengan nusyuz (perbuatan yang tercela dan menyakiti hati suami). Dalam runtutan hadist diatas menjelaskan bahwa jika melakukan ‫ فاحش••ة مبينة‬maka cara mengatasinya dengan melakukan pisah ranjang. Para mufassir dalam mengartikan ini juga seperti pernyataan Ibnu Abbas bahwa maksudnya jangan menyetubuhinya, jangan tidur dekatnya, atau belakangi dia sewaktu tidur. Jika tidak terdapat perubahan dari sikap istri, maka seorang suami berhak atau diperkenankan untuk memukul tapi dengan pukulan ringan atau tidak membekas (melukai). Dalam hadist lain menyatakan bahwa tidak kena wajah atau bagian kepala. Memang untuk saat ini permasalahan “pukulan” dalam nusyuz ini menjadi kontroversial karena sudah dianggap kontaproduktif untuk melunakkan istri. Tafsir Ayat dengan Pendapat Ulama Tafsir Tafsir Al Quran (Ayat) adalah sebuah penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat Al Quran yang ingin dijadikan topik dalam melakukan penafsiran. Tafsir sendiri memiliki makna untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut dari berbagai aspek, baik dari konteks historis-nya atau asbabun nuzul-nya, dengan menggunakan pernyataan atau ungkapan yang dapat membeda makna yang dikehendari secara jelas dan terang (Abdullah az Zarkashi, 1957: 13). Sedangkan qoul sahabat adalah perkataan yang keluar atau disampaikan oleh para sahabat. Dalam artian para sahabat ialah orang yang menemui atau hidup pada zamannya Nabi Muhammad SAW sekaligus mereka mengimaninya sebagai rasul (utusan Allah). Sehingga apabila ada seseorang yang hidup (bertemu atau berkumpul) pada zaman Nabi SAW dalam keadaan beriman, kemudian ia murtad maka dia ridak digolongkan sebagai sahabat. Sebab ketika meninggal dalam keadaan murtad (Sayyid Abi Bakar, tt: 6). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian dari tafsir ayat dengan qoul sahabat adalah setiap penjelasan, perkataan, atau pernyataan yang disampaikan oleh para sahabat (orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman sampai meninggal) tentang penjelasan Al Quran baik berupa makna kata, asbabul nuzul yang terdiri dari konteks historisnya dan sebab turunnya, makna yang masih mujmal serta semua makna yang terdapat dalam Al Quran yang meliputi penjelasan aqidah, fiqih, ibadah, dan segara aturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Ketika dilihat dari pertumbuhan historis dari tafsir Al Quran dengan qaul sahabat, maka termasuk dalam kategori tafsir klassik ((Mustaqim, 2011: 34). Sebelum ditafsirkan oleh para sahabat, Nabi Muhammad SAW sudah melakukan penafsiran sekaligus sebagai orang pertama kali yang menafsirkan Al Quran. Para sahabat telah bersepakat bahwa beliau adalah mufassir awwal Al Quran, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai apakah keseluruhan ayat



dijelaskan semuanya atau sebagian saja, sesuai kebutuhan sahabat pada waktu itu. Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa rasul telah menafsirkan kepada para sahabatnya seluruh lafadz dan makna al Quran (Anshari, 2010: 45). Setelah wafatnya Nabi SAW, tradisi penafsiran diteruskan oleh para sahabat, seperti: Abdullah Ibnu Abbas, Abdullah ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Diantara beberapa sahabat, Abdullah Ibnu Abbas termasuk orang yang dianggap mumpuni dalam bidang penafsiran al Quran (Abdullah bin al Khudari, 1999: 374). Dalam penafsiran era sahabat masih menggunakan riwayat. Kemudian periwayatan tersebut diaplikasikan dalam tafsir yang akan mereka jelaskan. Sebagaian ulama menghukumi penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat adalah hadist marfu’. Apaun pengertian dari hadist marfu’ adalah hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa uacapan, perbuatan, dan taqrir; baik yang menyandarkannya para sahabat, tabi’in, atau yang lain; baik sanad hadist tersebut tersambung atau sudak terputus (Shalah, 1986: 46). Maka dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa derajat penafsiran oleh sahabat adalah sama halnya dengan hadits marfu’ dan mauquf. Meskipun tafsir sahabat masuk dalam peringkat mauquf, akan tetapi penafsiran itu harus kita terima, karena para sahabat merupakan orang=orang yang ahli dalam ilmu Bahasa arab dan nahwu sehingga sangat menunjang terhadap kebenaran daripada Al Quran. Selain itu mereka juga mengetahui situasi dan kondisi yang berhubungan dengan suatu ayat ketika diturunkan.43 Dalam artikel ini akan memaparkan kenusyuzan dan cara penyelesaian nusyuz sesuai dengan tema yang sudah dirancang dengan menggunakan ulama tafsir. Berikut beberapa penafsiran para ualama mengenai QS. An Nisa(4): 34. Dalam ayat tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer terdapat beberapa ata kunci, yaitu awwâm, qânitât, nusyûz, idhribûhunna, dan sebagainya.44 Menurut Muhammad Ali As-Shabuni yang merujuk terhadap tafsir al-Kasyâf45, al-Qurthubi46 dan al-Alûsi mendifinisikan dari kata qowwam adalah bentuk mubalaghah dari kata melakukan suatu urusan yang berarti pula memelihara dan menjaganya. Maka dari itu, laki-laki adalah penguasa atas istri-sitrinya sebagaimana halnya seorang pemimpin yang menjadi penguasa dari para rakyatnya, baik dari segi perintah, larangan, penjagaan, dan 43



Aftonur Rosyad, "qawaid tafsir: telaah atas penafsiran al-qur’an menggunakan qaul sahabat." ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, no. 2 (2015): 251-254. 44 Lebih lanjut Asghar Ali Engineer membandingkan penafsiran yang digunakan Maulana Fateh Muhammad Jalandhari -yang mewakili penafsiran ulama ortodoks-, dengan cara baca Muhammad Asad dan Ahmed Ali yang menerjemahkannya secara berbeda. Lihat Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essay on Liberative Elements in Islam, terj. Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 174-178. 45 Abû al-Qâsim al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid 1(Kairo: Syarkah Mathba’ah Mushthafâ al-Babi al-Halabi wa Aulâduh, t.th.), h. 525. 46 Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân (Bairût: Mansyurât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973), h. 110



pemeliharaan.47 Selanjutnya dalam ayat tersebut menjelaskan tentang istri-istri yang baik yaitu mereka yang selalu taat kepada Allah SWT dan menjaga dirinya ketika dirinya tidak berada pada sisi suami, dalam artian duami tidak berada di dekatnya. maka dalam potongan ayat berikutnya disebutkan tentang istri yang melakukan nusyuz. Menurut pandangan para ulama tafsir klassik otoritatif mengenai nusyuz, seperti Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî 48, Abû Abdullah Muhammad al-Qurthubî49, Fakhruddîn Muhammad ibn ‘Umar alRâzî50 dan lain-lain yaitu keduharkaan atau pembangkan seorang istri terhadap suami. Hal ini ketika seorang istri melakukan beberapa perbuatan yang sudah dijelaskan diatas. Jika seorang istri telah melakukan sebuah pembangkangan terhadap suami, maka suami boleh melakukan tindakan untuk menyelesaikan hal tersebut sebagaimana sesuai dengan bunyi teks ayat diatas yaitu dengan memberikannya nasihat, apabila belum memperlihatkan perubahan maka dengan melakukan pisah ranjang, dan apabila masih tetap juga maka dengan memukulnya. Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad al-Mâwardî dalam al-Nukat wa al-‘Uyûn; Tafsîr al-Mâwardî mengemukakan beberapa pandangan tentang potongan ayat wahjurûhunna fi al-madhâji’. Menurut pandangan Abû Ja’far al-Thabarî mengenai potongan ayat wahjurûhunna fi al-madhâji’ adalah mengikat istri dengan menggunakan tambang untuk dipaksa untuk berhubungan seksual. 51 Sedangkan Muhammad ibn Yûsuf atau yang masyhur dengan sebutan Abû Hayyân al-Andalusîy dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, menyatakan beberapa pandangan langkah-langkah yang harus diambil oleh suami ketika istri melakukan nusyuz, diantaranya: pendapat al-Râzî, yaitu Pertama, menasihatinya dengan kata-kata yang lembut; kedua, dengan ucapan atau kata-kata yang kasar (keras); ketiga, pisah ranjang. Dalam artian membiarkannya sendirian tanpa digauli dan memberika interaksi; keempat, memukul dengan cambuk, apabila upaya-upaya tersebut tidak juga membawa perubahan.52 Bahkan sebagian ulama ada yang membolehkan langsung untuk memukulnya dengan beberapa kasus tertentu. Tafsir Al Quran meruakan inti sari utnuk membuka perkaraa yang tersimpan didalam Al Quran. Dalam membaca teks, Asghar Ali menyatakan seseorang harus mengambil ayat-ayat secara kontekstual, ia harus memahaminya dalam konteks masyarakat termasuk di dalamnya status perempuan. Selaras dengan hal tersebut, Nashr Hamid Abu Zaid, menyatakan bahwa tidaklah tercipa 47



Muhammad Alî al-Shabûnî, Rawâi’ al-Bayân; Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qurân (Bairût: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 463. 48 Abû Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qurân, Jilid 4(Bairût: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 64. 49 Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, h. 112. 50 Fakhruddîn Muhammad ibn ‘Umar al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghayb, Jilid 4 (Bairût: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 73. 51 Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad al-Mâwardî, al-Nukat wa al-‘Uyûn; Tafsîr al-Mâwardî, Juz 1 (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah dan Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, t.th.), h. 482. 52 Muhammad ibn Yûsuf Abû Hayyân al-Andalusîy, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, Juz 3 (Bairût: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 252.



dalam kehampaan sejarah, melainkan selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh realitas; mencakup faktor-faktor sosiologis, ekonomi, politik dan kultural tertentu. Demikian juga berlaku pada penafsiran-penafsiran para ulama terdahulu yang merupakan hasil pemikiran atau hasil ijtihad mereka yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.53 Terkait dengan hak suami memukul istri, gan hak suami memukul istri, Syaikh Muhammad bin ‘Asyûr (1879-1973), mengatakan bahwa peristiwa tersebut ketika pada keadaan zaman arab dimana menganggap seorang suami memuliki hak penuh untuk memndidik dan meluruskannya, sekalipun dengan cara pemukulan. Hal ini dengan tujuan untuk Pendidikan akhlak, pembenaran, dan pengembalianpada komitemn awal untuk hidup bersama. Tetapi ketika ada masyarakat lain atau individu yang tidak demikian, atau realitas kehidupan memang telah berubah, di mana ‘pemukulan’ tidak lagi bisa menjadi solusi untuk mengembalikan keharmonisan rumah tangga, maka ia bisa menjadi tidak diperkenankan, bahkan bisa haram. Apalagi, kalau secara nyata ‘pemukulan’ mengakibatkan kerusakan-kerusakan terhadap pribadi perempuan, baik fisik maupun mental54 Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr secara tegas menyatakan: Apabila pemerintah melihat para suami ternyata menyimpang dalam menggunakan hak untuk mendidik isteri-isteri mereka, maka pemerintah berhak melarang penggunaan hak tersebut. Pemerintah bisa membuat undang-undang untuk menghukum orang yang memukul isterinya, agar tidak menjadi kebiasaan, apalagi ketika ‘kesadaran.55 Upaya lain agar dapat memahami ayat ini dengan jelas yaitu dengan takwil atau tafsur (Bahasa/semiotic), dan para ulama juga membenarkan cara ini sepanjang masa selama tidak menyalahi kaidah yang berlaku. Cara ini menyatakan bahwa pemaknaan ata sebuah teks Bahasa tidaklah selalu tunggal, akan tetapi memiliki makna ganda. Di samping itu, bahasa juga mengalami proses perkembangan. Kalimat “wadhribuhunna” di atas, tidak hanya memiliki makna “pukullah mereka,” karena “dharaba” tidak hanya memiliki satu makna. Al-Râghib al-Isfihâni dalam Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ān mengungkapkan sejumlah makna “dharaba” yang terdapat dalam Alquran. Beberapa di antaranya adalah bermakna “menempuh perjalanan” (QS. alNisâ’/4: 101), “membuat”, seperti membuat contoh/perumpamaan (QS. alTahrîm/66: 10; Yâsîn/36: 13; al- Baqarah/2: 26, Ibrâhîm/14: 25), atau membuat jalan (QS. Thâhâ/20: 77), “menutupi,” seperti “menutupi wajahnya dengan kerudung” (QS. an-Nûr/24: 31), “ditimpakan/diliputi,” misalnya: 53



Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Quran (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 1. 54 Isma’il al-Hasani, Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind al-Imâm Muhammad ibn ‘Asyûr, (USA: Herndon-Virginia, 1999), h. 207-210. 55 Isma’il al-Hasani, Nazhariyyat al-Maqâshid, h. 210. Lihat juga al-Imâm Muhammad ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Juz 5, h. 44.



“Mereka ditimpakan kehinaan” (QS. al-Baqarah/2: 61). Al Qur-an juga menggunakan kata “dharaba” untuk makna menutup, misalnya : “Maka, Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu” (QS.al-Kahfi/18: 11). Ibn Qutaibah menerjemahkan (menafsirkan) ayat ini dengan “Kami menidurkan mereka”. Katanya: “Jika anda memaknai (ayat ini) secara harfiyah, anda tidak akan dapat memahaminya.56 Dengan demikian, Ahmad Ali (seorang modernis penerjemah Alquran) dan menurut Asghar Ali Engineer menolak cara pandang ulama tafsir klassik tentang pemukulan terhadap istri. Beliau menjelaskana bahwa dalam AL Quran, sesungguhnya tidak ada penyeruan untuk melakukan atau mengizinkan pemukulan terhadap istri. Dengan merujuk pada al-Râghib al-Isfihâni di atas, ia mengatakan bahwa makna kalimat “wadhribûhunna” adalah “pergilah ke tempat tidur dengan mereka.”57 Tafsir Ayat dengan Ilmu Munasabah Secara etimologi kata munasabah memiliki pemaknaan yang sama dengan Al-Musyakalah (persesuaian) dan (kedekatan)58 Lafad Munasabah berasal dari kata “Naasaba-Yunaasibu-Munaasabatan” fiil Tsulasi Mazid dengan ketambahan satu huruf berupa alif antara Fa’fill dan ain fill tsulasi mujarrad. Sedangkan ketika ditinjau dari segi terminologinya adalah ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat/surat dengan ayat/surat yang lain, dimana apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘Am dan Khosnya, atau antara abstrak dan kongkrit, atau antara sebab akibat, atau antara Illat dan mu’lulnya atau antara rasional dengan irasionalnya atau bahkan antara dua hal yang kontraksi sekalipun.59 Menurut asy-Syuthi berarti al-Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan). Menurut Ibnu al-Arabi, Munasabah merupakan sebuah keterikantan antara ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah menjadi sebuah ungkapan antara satu dengan yang lainnya yang mempunyai satu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.60 Atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha kemampuan pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia ilahi, sekaligus sanggahannya, bagi mereka yang meragukan keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu.61 Ilmu munasabah itu sangat urgensi untuk dikaji dan dipelajari karena dapat membantu kita untuk mengetahui dengan tepat tentang adanya hubungan ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain, serta membantu dalam menafsirkan al56



57 58



Ibn Qutaibah, Takwil Musykil al Qur’ān (Mesir: Dr al-Fikr al-‘Arabi, 1968), h. 21. Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, h. 174-178. 68



Ahmad Syadzali, Ahmad Rifai, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 168 Al-Suyuti, Al-Itqon Fie Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, tt.), 108 60 Hairul Anwar & Maulana Yusuf, Ilmu Munasabah, www.maulana2008.co.cc 61 Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 50 59



Qur’an, sehingga tidak terjadinya kesalahan yang fatal tentang isi Al Qur’an. Adapun Menurut As-Suyuti terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam menemukan ilmu munasabah yaitu pertama, memperhatikan tujuan pembahasan dari suatu surat yang akan menjadi objek atau topik pencarian, kedua, memperhatikan uraian dari runtutan ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat, ketiga, menentukan tingkatan uraian-uraiannya, apakah terdapat hubungan keduanya atau tidak ada, keempat, hendaknya dalam mengambil keputusan, memperhatikan ungkapan-ungkapan dengan benar dan tidak berlebihan.62 Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu munasabah merupakan suatu ilmu yang mampu dan dapat mengetahui korelasi-korelasi yang terdapat dalam antara ayat dengan ayat, surat dengan surat. Maka dengan demikian, tidak sembarang orang dapat mengkorelasikan ayat-ayat, akan tetapi dengan mematuhi dan memenuhi ketentuan yang sudah berlaku yaitu jika ayat itu ternyata memang satu persambungan. Seandaainya ayat itu datang karena berbagai sebab, sedangkan disitu tidak ada korelasi, maka seandainya terdapat orang yang mengkorelasikan akan terkesan memaksa. Hal ini sebagai mana dikatakan oleh Izzudin Ibn Abd Salam. Adapun dalam artikel ini akan menggunakan ilmu munasabah ayat dengan ayat, yaitu ayat pertama diathofkan dengan ayat yang setelahnya. Sesuai dengan tujuan dari artikel ini, akan mengkorelasikan ayat yang terdapat dalam QS. An Nisa’(4): 34 dan 35 yang berbunyi:



‫اَلرِّ جا ُل قَ َّوام ۡونَ َعلَى النِّسٓاء بما فَ َّ هّٰللا‬ ٰ ؕ ۡ‫ض َّوبِ َم ۤا اَ ۡنفَقُ ۡوا ِم ۡن اَمۡ َوالِ ِهم‬ َ ‫ض َل ُ بَ ۡع‬ َ ُ َِ ِ َ ٍ ‫ضهُمۡ عَلى بَ ۡع‬ ٰ ‫هّٰللا‬ ۡ ٰ ٰ ۡ ‫ب بِ َما َحفِظَ ُ ؕ َوالّتِ ۡى تَخَافُ ۡونَ نُ ُش ۡوزَ ه َُّن فَ ِعظُ ۡوه َُّن َو‬ ٌ ‫ت ٰحفِظ‬ ٌ ‫ت قنِ ٰت‬ ُ ‫صلِ ٰح‬ ّ ٰ ‫فَال‬ ‫اه ُجر ُۡوه َُّن‬ ِ ‫ت لِّلغ َۡي‬ ‫هّٰللا‬ ۡ ‫اج ِع َو‬ 4:34﴿‫اض ِرب ُۡوه َُّن ۚ فَاِ ۡن اَطَ ۡعنَ ُكمۡ فَاَل ت َۡب ُغ ۡوا َعلَ ۡي ِه َّن َسبِ ۡياًل ؕاِ َّن َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ۡيرًا‬ َ ‫﴾فِى ۡال َم‬ ِ ‫ض‬ “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”



ۡ ِ‫ق بَ ۡينِ ِه َما فَ ۡاب َعثُ ۡوا َح َك ًما ِّم ۡن اَ ۡهلِ ٖه َو َح َك ًما ِّم ۡن اَ ۡهلِهَا ۚ اِ ۡن ي ُِّر ۡيد َۤا ا‬  ُ ‫ـق هّٰللا‬ َ ‫َواِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ ِشقَا‬ ِ ِّ‫صاَل حًا ي َُّوف‬ 4:35﴿ ‫﴾بَ ۡينَهُ َما ؕ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ۡي ًما َخبِ ۡيرًا‬ “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga 62



Alaluddin as-Suyuti as-Syafi’i, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Jilid II, (Bairut: Dar alFikr, 1979), hlm. 108-111



perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” Faedah dari munasabah dengan athaf ini adalah untuk menjadi dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (an-nadhirain) antara ayat yang pertama (34) dan (35) yang memberikan tiga hal penjelasan yang saama: 1) Menjelaskan tentang kepemimpinan dan menejemen seorang suami dalam mengatur skala mikto yang terjadi dalam semua kehidupan keluarga. 2) Menjadi motivasi dalam menjaga eksistensi keutuhan keluarga. 3) Menjelaskan sebuah metode atau mekanisme dalam menyelesaikan atau mengatasi konflik yang terjadi diinternal keluarga. Adapun untuk hubungan atau korelasi QS. An Nisa’(4): 33 dan 34 tidak dapat dikorelasikan, karena dalam ayat 33 menjelaskan tentang kewarisan sedangan dalam ayat 34 menjelaskan tentang nusyuz, sehingga apabila tetapi dikorelasikan maka akan terkesan memaksakan. Tafsir Ayat dengan Ra’yu Berdasarkan pengertian secara etimologinya, tafsir bi ra’yi ialah, keyakinan, analogi, dan ijtihad. Sedangkan secara terminologinya, yang dimaksud dengan ra’yi adalah ijtihad. Dengan demikian tafsir bi al-ra‟yi, sebagaimana didefinisikan oleh al-Dzahabi ialah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hokum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzuldan nasikh wal al-mansukh (alDzahabi, 1976: 272). Sedangkan menurut Al Farmawi menafsirkan Al Quran dengan ijtihad setelah terlebih dahulu mengetahui kosa kata bahasa arab ketika digunakan berbicara beserta muatan-muatan artinya63 Selain itu juga tafsir bi ra’yi juga dapat dikatakan pendapat atau akal. Para ulama juga terjadi perbedaan pendapat mengenai tafsir bi ra’yi ini, terdapat sekelompok yang membolehkana dan ada juga yang mengharamkan. Perbedaan terssebut terletak pada seorang mufasir dalam menafsirkan Al Quran berdasarkan pendapat (ra’yu) tanpa disetai dalil dan hujah atau karena seseorang dalam menafsirkan Al Quran tanpa didasari dengan pengetahuan pokok-pokok hukum agama dan menguasi kaidah bahasa Arab atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikkan makna Al Quran.64 Adapun sekelompok yang membolehkan untuk dapat melakukan tafsir bi Ra’yi, diantaranya karena Mereka yang berargumen bahwa Al Quran banyak didapati penjelasan tentang perintah untuk melakuka perenungan-perenungan 63



Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27 64



Subhi As- Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), cet. VIII, h. 386



terhadap ayay-ayat Al Quran; seandainya tafsir bi ra’yi tidak diperbolehkan, maka ijtihadpun dilarang sehingga akan berimplikasi pada vakumnya hokum-hukum Allah SWT. Tentu saja vakumnya hokum Allah itu dilarang, karena Rasulullah sendiri belum pernah menafsirkan semua Al Quran dan belum pernah menjelaskan semua hokum yang ada dalam Al Quran; Rasulullah penah mendoakan Ibnu Abbas agar ia pandai dalam ilmu agama ta’wil. Kalau makna ta’wil dalam do’a tersebut terbatas pada periwayatan saja, maka tidak akan ditemukan esensi pengkhususan terhadap Ibnu Abbas agar pandai ilmu ta’wil. dengan demikian ta’wil yang di maksud dalam do’a tersebut tafsir bi al-ra’yi wa al-ijtihad.65; andaikan tafsir bi ra’yi dilarang, maka para sahabat sudah melakukan perbuatan yang dilarang juga dan itu tidak mungkin terjadi. Adapun sekelompok yang melarang (mengharamkan) untuk dapat melakukan tafsir bi Ra’yi, diantaranya karena mereka yang beranggapan bahwa tafsir bi ra’yi merupakan usaha dalam menafsirkan Al Quran tanpa didasari ilmu yang pasti dan merekaa mneghukum hal tersebut haram, sehingga tidak boleh digunakan; Allah telah memerintahkan kepada rasulnya untuk menjelaskan dan menafsirkan Al Quran, dengan demikian tidak boleh seorangpun (selain rasul) mempunyai kewenangan dalam menafsirkanmereka yang memb Al Quran. Allah berfirman:



َ‫اس َما نُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫ َواَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْي‬66 ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ Mereka yang memperbolehkan yaitu dengan dalil benar Rasul diperintahkan untuk menjelaskan makna Al-Qur’an, tapi realitanya Rasul telah wafat dan beliau belum menjelaskan seluruhnya, maka hal-hal yang belum dijelaskan oleh Rasul menjadi tugas para ulama; adanya ucapan atau sikap dari para ulama dan tabiin yang menunjukkan bahwa menafsirkan Al Quran adalah sesuatu yang berat dan mereka enggan untuk menafsirkannya dengan menggunakan akal.67 Menurut pandangan saya setelah melihat dan menganalisis dari penafsiranpernafsiran para sahabat, tabi’ tabiin, sampai ke ulama kontemporer baik dari Indonesia atau luar indonesia, bahwa ayat ini dimulai dengan pernyataan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Muhammad Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa Allah memberikan hak kepemimpinan (qowwamah) laki-laki atas wanita karena dua alasan, yaitu pemberian (wahabi) dan usaha (kasabi). Ungkapan dengan sighat mubalaghah ‫ قوام•••ون على النس•••اء‬bermaksud dengan menunjukkan kesempurnaan kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam artian bahwa seorang suami memiliki hak untuk, memerintah, melarang, mengatur, dan juga mendidik, namun juga memiliki tanggungjawab yang sempurna untuk memelihara, menjaga, dan mengayomi. Semua tanggungjawab ini ada karena Allah telah memberikan kelebihan kepada seorang laki-laki dengan akal, ketegasan, tekad dan kekuatan fisik, nabi dari kalangan lakilaki, mengumandangkan azan, khutbah, pemimpin, menjadi saksi dalam perkara 65



Pembahasan tersebut, penulis ambil dari beberapa kitab yaitu: al-Itqan karya alSuyuti, vol. IV, hal. 183-185, Manahil al-‘Irfan karya al-Zarqani, vol.III, hal. 60 66 QS. An Nahl(16): 44 67 Ahmad Zainuddin, “Tafsir bi Ra’yi,” Mafhum, no.1 (2016): 74-79



pidana, qisas, kelebihan dalam warisan, menjadi wali nikah, dan hubungan nasab.68 Nusyuz merupakan sikap yang dilarang untuk dilakukan dalam menjalankan bahtera rumah tangga, baik itu dari pikah istri maupun suami karena sejatinya seseorang itu memiliki watak dan karakter yang berbeda-beda. Nusyuz yang terkandung dalam QS An Nisa”(4): 34 ini menerangkan tentang nusyuznya istri terhadap suami dengan melakukan pembangkana, keangkuhan , sombong, dan sikap untuk berusaha tinggi diri melebihi dari posisi suami sebagai imam dan pemimpin di keluarga. Dan yang dimaksud dari pembangkangan ini adalah ketika dalam urusan “hablun min Allah” yaitu hubungan antara hamba dengan tuhannya, tidak dengan yang lainnya. Contoh seperti ketika suami yang menyuruh untuk melakukan sholat, akan tetapi istrinya menolak. Dengan diberikannya banyak kelebihan kepada seorang laki-laki, maka ketika menjadi seorang suami harus mampu dalam menjalankan tanggungjawabnya dengan dapat memberikan dan melakukan sesuatu yang di anggap layak dan butuh untuk menjaga keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Namun dalam menjalankan bahtera rumah tangga tidak seterusnya mulus, akan tetapi pasti akan adanya percikan bara api, bahkan juga faktor eksternal yang menyebabn]kan adanya nusyuz baik yang dilaukan oleh suami dan istri. Maka dengan adanya hal ini Al Qiran sudah menjelaskan secara eksplisit yang akan saya jabarkan dengan berdasarkan pada pendapat atau pandanagn para sahabat dan ulama, diberikan penangannya sesuai dengan tingkat situasi yang diahdapinya. Adapun penanganan menurut Al Quran ada tiga tingkatan: Mengajari dan menasihati Disini yang dimaksud yaitu dengan menakut-nakuti istri akan nyatanya adzab dan laknah dari Allah swt atas kedurhakaannya karena Allah mewajibkan istri utnuk taat sebagai hak suami dan wajib melarangnya. Dalam sabda Rasulullah “Andaikan aku boleh menyuruh orang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan para isteri sujud kepada suaminya karena Allah telah menetapkan hak atas mereka” Dalam memberikan sebuah nasihat atau pengajaran kepada istri hendaknya dengan cara yang bijaksana, tidak bosan, dan pengajaran yang baik (mau’izhoh hasanah) tapi jangan nyinyir, sebab keutuhan itu berada pada bagaimana suami dalam memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang tepat dan mengerti waktu yang tepat, apalagi bagi istri yang sedang nusyuz. Karena hal tersebut merupakan salah satu hal yang dapat menjadikan hubngan antara suami dan istri tentram. 69 Menurut Abu Bakar Ibn Al-Arabi, menasehati isteri adalah dengan mengingatkannya kepada Allah, dengan memberi motivasi bahwa ada pahala di sisi Allah, tapi juga menakut-nakuti karena disisi Allah juga ada hukuman atau azab, serta memperkenalkan kepadanya adab yang baik dalam pergaulan yang 68



Muhammad Ali al-Shabuni, ibid, h. 466-467. Muhammad Ali al-Shabuni, Op-cit, h. 469, lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura : Pustaka Nasional, 2003, cet. V, h. 1198. 69



indah, menyempurnakan ikatan persahabatan, menegakkan kewajiban taat kepada suami, mengakui derajat yang dimiliki suami atas isterinya.70 Berpisah Tempat Tidur Para mufassir berbeda-beda pendapat tentang pengertian wahjuruhunna fil madhoji’, yang terbagi kepada empat pendapat : (1) Menurut Ibn Abbas, jangan disetubuhi, jangan tidur didekatnya atau mengarahkan punggung kepada isteri di atas ranjang. (2) Menurut Ikrimah dan Abu al-Dhuha, jangan diajak bicara dan jangan ditegur meskipun masih dicampuri. (3) Menurut Ibrahim, al-Sya’bi, Qatadah dan al-Hasan, tidak berkumpul dengannya dan suami tidur di ranjang sendiri hingga isteri kembali kepada hal yang diinginkan suami. (4) Menurut Sufyan, tetap diajak bicara dan tetap menggaulinya tetapi dengan kata-kata keras, kasar dan meninggi.71 Pisah ranjang yang ideal dan kamar tidur secara hakiki, yaitu dengan tidak saling berbicara (gerakan tutup mulut) dan tidak bergaul walaupun suami tidak meninggalkan tempat tinggal bersama. Sikap mendiamkan isteri, sebenarnya sangat ampuh mengetuk pintu kesadaran isteri agar segera menyadari kesalahannya dan kembali menuruti perintah suaminya. Karena bagaimanapun, isteri di rumah tangga pasti membutuhkan suaminya untuk bertukar pikiran, curhat, musyawarah untuk memecahkan problematika rumah tangga. Dengan suami bersikap diam dan menjauh akan membuat isteri bingung, hilang ketenangan dan merasa kesepian. Namun karena memang ada model wanita yang sulit diatur, diberi nasihat malah melawan, makin didiamkan makin menjadi-jadi, maka penanganannya tentu lebih keras. Memukul Dasar dari memukul merupakan perbuatan yang bersifat kekerasan. Dalam Islam, memukul itu dilarang oleh agama, bahkan dapat diqishas. Persoalan memukul ini termasuk problematika rumah tangga yang dapat merusak hubungan mesra suami isteri, namun kadang menjadi suatu kemestian, dimana seorang isteri baru berhenti dari nusyuznya apabila sudah kena pukul. Oleh karena itu memukul merupakan penyelesaian terakhir jika proses komunikasi dan pisah ranjang menjadi gagal. Menurut Al-Alusi, suami boleh memukul isteri tentu memiliki beberapa syarat, antara lain : Meninggalkan bersolek sementara suami menginginkannya; Tidak memenuhi panggilan suami ketempat tidur; Malas sholat dan mandi; Keluar rumah tanpa seizin suami, kecuali ada alasan syar’i.72 Ibn Abbas menegaskan persyaratan memukul ini, yaitu tidak menyebabkan isteri menderita, dan memukulnya dengan sikat gigi (kayu siwak). Meskipun memukul isteri ini dibolehkan sebagai alternatif terakhir dalam menangani kasus nusyuz, namun Rasulullah juga mengingatkan agar jangan segera menggauli (jima’) isteri setelah memukulnya, 70



Abu Bakar Muhammad ibn Abdillah Ibn al-Arabi selanjutnya disingkat Ibn al- Arabi,, Ahkam alQur’an, Beirut : Dar al-Fikri, 533 71 Ibid, Lihat juga Ibn Kasir, Op-cit, h. 171, Lihat juga Hamka, Op-cit, h. 1198. 72 Syihab al-Din Mahmud ibn Abdllah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’u al-Matsani, bab 34, juz iv, h. 44.



‫ " قال رسول• اهللا صلى اهللا‬: ‫أخرجه الشيخان وجماعة عن عبد اهللا بن زمعة قال‬ ‫ أيضرب أحدكم امرأته كما يضرب العبد ثم يجامعها في آخر اليوم " وأخرج عبد‬: ‫عليه وسلم‬ ‫ «أما يستحي أحدكم أن يضرب امرأته كما‬: ‫الرزاق• عن عائشة رضي• اهللا تعالى عنها بلفظ‬ ‫يضرب العبد يضربها أول النهار ثم يجامعها آخره‬ Al-Sya’rani menyatakan, bila seorang laki-laki memukul isterinya, selayaknya ia tidak bersegera berhubungan badan dengan isterinya setelah memukul itu.73 Larangan ini secara fsikologis untuk memberi kesempatan kepada isteri mengobati luka dan sedih hatinya setelah kena pukul, atau agar hubungan suami isteri mesra kembali sehingga tidak terkesan suami berbuat semaunya tanpa menghiraukan perasaan isterinya, walaupun dipukul karena alasan nusyuz. Kesimpulan Adapun dari penjabaran artikel diatas, dapat disimpulkan bahwa penafsirang Al Quran dengan menggunakan metode tafsir maudhu’I dapan memudahkan kita dalam prosesnya untuk menemukan dan mengetahui maksud dari kandungan ayat atau surat yang benar dan tepan, tanpa menyelewengkannya. Nusyuz merupakan suatu perkara yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat karena dalam menjalankan sebuah bahtera rumah tangga pasti tidak semuanya berjalan dengan baik dan harmonis, akan tetapi terdapat percikanpercikan api yang harus dihadapi dan diselesaikan bersama demi menjaga keutuhan dan kesucian ikatan pernikahan. Nusyuz didalam Al Quran dibagi menjadi dua yaitu nusyuz istri terhadap suami yang terkandung dalam QS. An Nisa’(4): 34 dan nusyuz suami terhadap istri yang terkandung dalam QS. An Nisa’(4): 128, akan tetapi disini terjadi ketidaksetaraan gender dimana nusyuznya istri sering menjadi permasalahan dalam masyarakat, padahal seorang suami juga memiliki kenusyuzan. Dalam mengambil langkah untuk menyelesaikan nusyuz baik suami maupun istri, terdapat beberapa langkah, diantaranya: dengan menasihatinya dengan kata-kata yang baik serta menakutnakuti akan adanya adzab dari Allah SWT; kedua, dengan pisah ranjang dengan tujuan untuk menjadikan dia sadar atas perbuatan yang telah dilakukannya; ketiga dengan memukulnya. Dikalangan masyarakat sekarang masing beranggapan bahwa memukul merupakan KDRT yang dilakukan oleh seorang suami. Oleh karenanya, artikel ini menemukan sebuah penyelesaian supaya tidak salah pemahaman mengenai ayat tersebut yang menjadi dasar perbuatan KDRT. Pertama, masyarakat harus lebih bisa memahami kembali atau mengkaji makna yang terkandung dalam QS. An Nisa’(4): 34,35, dan 128. Kedua, ketika dikorelasikan atau dihubungkan dengan zaman sekarang, memang sebagian ulama kontemporer tidak memberlakukan lagi penyelesaian nusyuz yang berupa ‘Pemukulan’ karena hal tersebut rawan untuk dijadikan dasar pemukulan seorang suami sebagai perbuatan KDRT. Selain itu juga kurangnya pengetahuan agama. Keempat, karena point ketiga tidak digunakan lagi sebab factor perkembangan zaman, maka cara terakhir yaitu dengan mendatangkan hakim dari kedua belah pihak suami dan istri agar terciptanya suasana yang aman 73



Syihab al-Din al-Alusi, Op-cit, h. 43



dan tentram, tanpa keributan yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran. Hal ini sebagaimana yang termuat dalam QS. An Nisa’(4): 35. Terkait dengan hal-hal yang terdapat di pembahasan makalah ini, diharapkan kalian bisa memahami dan mendapatkan inti dari pembahasannya sehingga bisa menambah ilmu pengetahuan bagi yang membacanya. Saya sebagai penulis disini menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak untuk direvisi. Tentunya penulis sangat membutuhkan kritikan dan saran dari anda semua yang membacanya mengenai artikel ini. Sehingga penulis bisa terus memperbaiki karya ilmiah ini yang didasari dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Daftar Pustaka Abdurrahman. Kepemimpinan Wanita dalam Islam dalam al-Qur’an dan Isu Kontemporer. Yogyakarta: eISAQ Press, 2011. Abû al-Qâsim al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid 1(Kairo: Syarkah Mathba’ah Mushthafâ al-Babi al-Halabi wa Aulâduh, t.th.), h. 525. Al-Baqiy, Muhammad Fuad ‘Abd. Al Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al Qur’an Al-Karim, 1364. Al-Farmawi, Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i. Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). Al-Farmawi, Abdul Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'iy (Terj.) Cet. II. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada. (1996). Ali Ash Shabuni, Shaikh Muhammad. "Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukum” Terj. Moh. Zuhri dan M. Qodirun Nur. (Jilid II, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993). Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I'lam al-Muwaqqiin an Rab al-Alamin. (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz. III: 14. Al-Khasyt, Muhammad Utsman. Fikih Wanita: empat mazhab. Bandung: Ahsan Publishing, 2017. Al-Kurdi, Ahmad Al-Hajj. hukum-hukum wanita dalam fiqih Islam. Terj. =Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. (Dina Utama, Semarang, 1995). Al-Mâwardî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad. al-Nukat wa al-‘Uyûn; Tafsîr al-Mâwardî, Juz 1 (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah dan Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, t.th.), h. 482. Al-Qaththân, Mannâ’. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân. (Bairût: Mansyurât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973), h. 110 Al-Râzî, Fakhruddîn Muhammad ibn ‘Umar. al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh alGhayb. Jilid 4. (Bairût: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 73. Al-Saldani, Saleh bin Ganim. Nusyuz. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Al-Thabarî, Abû Ja’far Muhammad bin Jarir , Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl alQurân, Jilid 4(Bairût: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 64. Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Riyadh : Dar Thayyibah, juz 8. As- Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al- Quran. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001.



As-Syafi’I, Alaluddin as-Suyuti. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Jilid II, (Bairut: Dar alFikr, 1979). AsySyajastani, Abi Daud Sulaiman ibn As-Yas. Sunan Abi Daud, "Kitab anNikah". Beirut: Dar al-Fikr, (1994). Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998. Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam, Pentj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994. Fauzan, Fauzan, Imam Mustofa, and Masruchin Masruchin. "Metode Tafsir Maudu’Ī (Tematik): Kajian Ayat Ekologi." Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits, no. 2 (2019): 195-228. Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz V. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Ilma, Mughniatul. "Kontekstualisasi Konsep Nusyuz Di Indonesia." Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 30.1(2019): 47-74. Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’an al-“Azhim, Juz. 4. Riyadh : Dar Thayyibah, 1999. Nasution, Khoiruddin. "Hukum perkawinan I." Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, (2005). Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rosyad, Aftonur. "Qawaid tafsir: telaah atas penafsiran al-qur’an menggunakan qaul sahabat." ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, no. 2(2015): 249-264. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Juz. II. Madinah: al-Fath Li I’lami al-‘Araby, 1990. Sadlani, Shaleh bin Ghanim As-.Nusyūz , Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya, terj. Muhammad Abdul Ghafar.Jakarta: Pustaka alKautsar, 1993. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Suryani, Suryani, and Zurifah Nurdin. "Kebolehan Suami Memukul Istri Karena Nusyuz (Studi Terhadap Pemahaman Masyarakat Tentang Surat alNisa’ayat 34 di Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu)." El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, no. 1(2020): 142-165. Syadzali, Ahmad, dan Ahmad Rifai. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Syakh Abu Abdullah bin Abd al-Salam Allusy, Terj. Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, Ibanatul Ahkam Syarah Bulug Al-Maram, Jilid. 3, Selangor Darul Ehsan: AlHidayah Publication, 2010. Syauri Saleh, Ahmad. Metodologi Tafsir al-Qur`an kontemporer. Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007. Thaib, Hasballah, dan Marahalim Harahap. "Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam." Medan: Universitas Dharmawangsa, (1983). Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII. Cet. III. Beirut: Dar- al-Fikri 1409 H/1989 M. Yamani, Muh Tulus. "Memahami Al-Qur’an dengan metode tafsir maudhu’i." JPAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam no. 2(2015) https://doi.org/10.18860/jpai.v1i2.3352



Zaid, Nasr Hamid Abu. Isykaliyyat, al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil. Terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Quran (Yogyakarta: LKiS, 2002). Zulaiha, Eni, Restu Ashari Putra, and Rizal Abdul Gani. "Selayang Pandang Tafsir Liberal di Indonesia." Jurnal Iman dan Spiritualitas Volume 1 No. 2(2021).