Kti Morbus Hirschsprung Ajeng Putri Pramestu (11001) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK R DENGAN MORBUS HIRSCHSPRUNG POST OPERASI COLOSTOMY LOOP SIGMOID DI LANTAI III UTARA IRNA TERATAI RSUP FATMAWATI JAKARTA



MAKALAH ILMIAH PENUGASAN AKHIR



AJENG PUTRI PRAMESTU 11001



AKADEMI KEPERAWATAN FATMAWATI JAKARTA JUNI 2014



ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK R DENGAN MORBUS HIRSCHSPRUNG POST OPERASI COLOSTOMY LOOP SIGMOID DI LANTAI III UTARA IRNA TERATAI RSUP FATMAWATI JAKARTA



MAKALAH ILMIAH PENUGASAN AKHIR



Sebagai salah satu syarat memperoleh sebutan profesional Ahli Madya Keperawatan pada Program Diploma III Keperawatan



AJENG PUTRI PRAMESTU 11001



AKADEMI KEPERAWATAN FATMAWATI JAKARTA JUNI 2014



LEMBAR PERSETUJUAN Makalah llmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” ini telah diterima dan disetujui untuk diujikan pada Ujian Sidang dihadapan Tim Penguji.



Jakarta, 17 Juni 2014 Pembimbing



Ayuda Nia Agustina, S.Kep.,Ns



Mengetahui, Direktur Akper Fatmawati Jakarta



Ns. DWS Dewi Arga, SKM, M.Kep, Sp.Kep.MB



LEMBAR PENGESAHAN Makalah llmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” ini telah diujikan dan dinyatakan “Lulus” dalam Ujian Sidang dihadapan Tim Penguji pada tanggal 17 Juni 2014.



Jakarta, 17 Juni 2014 Penguji I



Ayuda Nia Agustina, S.Kep.,Ns



Penguji II



Hj. Yetty Kusmayati, SKp, M.Kes



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah ini dengan judul ”Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” dengan sebaik-baiknya. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk melengkapi salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan pendidikan Ahli Madya Keperawatan Program Diploma III Keperawatan Fatmawati Jakarta. Dalam penulisan makalah ilmiah ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ilmiah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Untuk itu izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An, selaku Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. 2. Ns. DWS Dewi Arga, SKM, M.Kep, Sp.Kep.MB selaku Direktur Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta. 3. Ns. Umi Aisyiyah, M.Kep, Sp. Kep.MB selaku Kepala IRNA Teratai Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. 4. Ayuda Nia Agustina, S.Kep.,Ns selaku Penguji I dan Pembimbing Makalah Ilmiah dari Institusi Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta. 5. Hj. Yetty Kusmayati, SKp, M.Kes selaku Penguji II dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. 6. Ns. Ria Ulina, S.Kep selaku Wali Kelas Angkatan XIV Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta. 7. Ns. Tjahjanti Kristianingsih, M.Kep, Sp.Kep. J selaku Pembimbing Akademik Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta.



8.



Dra. Naimah Sudarmi, M.Kes selalu dosen Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan saran terhadap makalah.



9.



Seluruh dosen pengajar beserta staf Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta.



10. Kedua orang tua tercinta dan seluruh keluarga besar sebagai pemberi dukungan moril, materil dan spiritual kepada penulis. 11. Teman-teman Mahasiswa/I Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta Angkatan XIV. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Penulis mengucapkan terimakasih atas segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ilmiah ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Penulis berharap makalah ilmiah ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai proses pelaksanaan asuhan keperawatan.



Jakarta, 17 Juni 2014



Penulis



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x BAB I



PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Tujuan Penulisan ......................................................................... 4 C. Ruang Lingkup ............................................................................ 5 D. Metode Penulisan ........................................................................ 5 E. Sistematika Penulisan ................................................................. 5



BAB II



TINJAUAN TEORI A. Pengertian.................................................................................... 7 B. Etiologi ........................................................................................ 7 C. Patofisiologi ................................................................................ 8 1. Proses Perjalanan Penyakit .................................................... 8 2. Manifestasi Klinis .................................................................. 9 3. Komplikasi ............................................................................. 10 4. Klasifikasi .............................................................................. 10 D. Penatalaksanaan .......................................................................... 11 1. Terapi Medis .......................................................................... 11 2. Tindakan Medis...................................................................... 12 E. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia 3 tahun........................... 13 F. Dampak Hospitalisasi pada Anak Usia 3 tahun .......................... 15



H. Pengkajian Keperawatan ............................................................. 16 I.



Diagnosa Keperawatan................................................................ 20



J.



Perencanaan Keperawatan .......................................................... 21



K. Pelaksanaan Keperawatan ........................................................... 25 L. Evaluasi Keperawatan ................................................................. 25 BAB III



TINJAUAN KASUS A. Pengkajian Keperawatan ............................................................. 27 B. Diagnosa Keperawatan................................................................ 43 C. Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Keperawatan ............... 43



BAB IV



PEMBAHASAN A. Pengkajian Keperawatan ............................................................. 60 B. Diagnosa Keperawatan................................................................ 64 C. Perencanaan Keperawatan .......................................................... 68 D. Pelaksanaan Keperawatan ........................................................... 71 E. Evaluasi Keperawatan ................................................................. 73



BAB V



PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 76 B. Saran............................................................................................ 78



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



DAFTAR SINGKATAN ADL



: Activity Daily Living



ANC



: Antenatal Care



ASI



: Air Susu Ibu



BAB



: Buang Air Besar



BAK



: Buang Air Kecil



BB



: Berat Badan



BJ



: Bunyi Jantung



BBI



: Berat Badan Ideal



BCG



: Bacilus Calmette Guerin



cc



: cubic centimetre



DPT



: Difteri Pertusis Tetanus



Gr



: Gram



HB0



: Hepatitis B0



IDAI



: Ikatan Dokter Anak Indonesia



IRNA



: Instalasi Rawat Inap



IV



: Intravena



KB



: Keluarga Berencana



KEMENKES : Kementrian Kesehatan Kg



: Kilogram



KJS



: Kartu Jakarta Sehat



Kkal



: Kilo Kalori



LD



: Lingkar Dada



LK



: Lingkar Kepala



LLA



: Lingkar Lengan Atas



LP



: Lingkar Perut



m



: Meter



mg



: Miligram



ml



: Mililiter



mmol



: Millimoles



N



: Nadi



NGT



: Naso Gastric Tube



o



: Derajat Celcius



C



RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar RR



: Respiratory Rate



RS



: Rumah Sakit



RSUP



: Rumah Sakit Umum Pusat



RT



: Rukun Tetangga



RW



: Rukun Warga



S



: Suhu



SD



: Sekolah Dasar



SMART



: Specific, Measurable, Achievable, Reliable, Timeable



Syr



: Sirup



SWT



: Subahanahu Wataala



TB



: Tuberculosis



TT



: Tetanus Toxoid



TTV



: Tanda-tanda vital



WHO



: World Health Organization



WIB



: Waktu Indonesia Barat



x



: Kali



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1



Web Of Causation (WOC) Morbus Hirschsprung



Lampiran 2



Satuan Penyuluhan Perawatan Kolostomi



Lampiran 3



Satuan Penyuluhan Cara Mencuci Tangan



Lampiran 4



Proposal Terapi Aktivitas Bermain



Lampiran 5



Discharge Planning



Lampiran 6



Power Point Morbus Hirschsprung



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan potensi bangsa bagi pembangunan nasional. Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai



generasi



penerus



bangsa



memiliki



kemampuan



yang



dapat



dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10-20% dari kematian janin dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Kematian pada neonatus merupakan kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun (WHO, 2004). Kelainan bawaan merupakan penyebab kematian tersering ketiga setelah prematuritas dan gizi buruk (WHO,2004). Di negara maju, 30% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri dari penderita kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya (Effendi, 2006 dalam IDAI 2008). Salah satu penyakit kongenital yang dapat berakibat lanjut pada kematian yaitu penyakit hirschsprung. Penyakit hirschsprung merupakan penyakit kongenital yang ditandai tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada sebagian kolon (dan kadang-kadang pada ileum) (Speer, 2007). Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rektosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (total colonic aganglionois). Keadaan aganglionosis ini mengakibatkan kurangnya peristalsis pada segmen usus yang terkena, yang biasanya menyebabkan obstruksi dan kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses) (Speer, 2007).



Pasien dengan penyakit hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi baru dipublikasikan oleh Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. Patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 2004). Insidens penyakit hirschsprung di dunia adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Di Amerika dan Afrika penyakit hirschsprung terjadi pada satu kasus setiap 54007200. Di Eropa Utara, insidens penyakit ini adalah 1,5 dari 10000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8 per 10000 kelahiran hidup. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 4:1, di Jakarta perbandingan ini adalah 3:1. Di Asia Tenggara, jumlah penderita kelainan bawaan cukup tinggi yaitu mencapai 5%. Di Indonesia prevalensi kelainan bawaan mencapai angka 5 per 1.000 kelahiran. Beberapa faktor risiko dari kelainan kongenital diantaranya yaitu faktor umur ibu, hormonal, radiasi dan gizi, faktor janin dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalam waktu 24 jam pertama, sedangkan pada lebih dari 90% kasus penyakit hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Secara radiografis distensi abdomen terjadi pada 95,3% (82/86) kasus penyakit hirschsprung. Tanda edema, bercak-bercak kemerahan pada sekitar umbilikus, punggung dan sekitar genetalia ditemukan bila terdapat komplikasi peritonitis, angka kejadian komplikasi peritonitis pada 2,3% (4/175) kasus (Kartono, 2004). Berdasarkan data yang diperoleh dari medical record di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta pada tahun 2013, jumlah penderita penyakit



hirschsprung dari rentan usia kurang dari 1 tahun sebanyak 32 kasus atau sekitar 40,5 %, usia 1-4 tahun sebanyak 45 kasus atau sekitar 56,9%, usia 5-14 tahun sebanyak 2 kasus atau sekitar 2,5%. Mortalitas anak dengan diagnosis penyakit hirschsprung menurun dengan adanya peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tehnik pembedahan dan diagnosis serta penatalaksanaan penyakit hirschsprung dengan enterokolitis. Penyakit hirschsprung apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian akibat terjadinya enterokolitis dan perforasi usus. Perawat merupakan komponen utama dalam pelayanan kesehatan khususnya dalam melakukan asuhan keperawatan yang komprehensif yang meliputi berbagai aspek yaitu promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ditinjau dari aspek



promotif



yaitu



perawat



berperan



dalam



mempertahankan



dan



meningkatkan derajat kesehatan agar menikah di atas usia 24 tahun, mempunyai anak sebelum usia 35 tahun, memberikan pengetahuan kepada pasangan usia subur



yang



sedang



mempersiapkan



kehamilannya



tentang



pentingnya



pemeriksaan kehamilan secara teratur ke pelayanan kesehatan, menerapkan pola hidup sehat, pola makan yang bernilai gizi seimbang, meningkatkan faktor lingkungan dengan sanitasi yang baik. Peran dari aspek prefentif memberikan promosi kesehatan kepada keluarga untuk tetap memberikan nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan klien dan mempersiapkan keluarga untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi pada klien yang berhubungan dengan penatalaksanaan penyakit hirschsprung. Peran dari aspek kuratif perawat dapat berperan sebagai pelaksana yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan dalam mempersiapkan klien untuk prosedur pembedahan, mencegah terjadinya injury pada pelaksanaan pembedahan, melakukan perawatan pada klien pasca pembedahan dan tindakan kolaborasi seperti perawatan kolostomi, pemasangan infus, pemberian therapy, pemasangan NGT.



Sedangkan dari aspek rehabilitatif yaitu menganjurkan orang tua untuk memberikan makan diit seimbang tinggi serat, melakukan perawatan kolostomi dirumah, mendampingi anak pada saat bermain supaya anak tidak merasa malu, memperhatikan tumbuh kembang anak dirumah dan melakukan kunjungan ulang atau kontrol secara teratur. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas dan memahami pelaksanaan “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” dalam bentuk laporan makalah ilmiah. B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada Anak dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan makalah ilmiah ini adalah diharapkan mahasiswa/i mampu: a. Melakukan



pengkajian



keperawatan



pada



anak



dengan



morbus



hirschsprung. b. Menentukan



masalah



keperawatan



pada



anak



dengan



morbus



keperawatan



pada



anak



dengan



morbus



hirschsprung. c. Merencanakan



asuhan



hirschsprung. d. Melaksanakan rencana asuhan keperawatan pada anak dengan morbus hirschsprung. e. Melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan morbus hirschsprung. f. Mengidentifikasi kesenjangan antara teori dan kasus.



g. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung, penghambat serta mencari solusi atau alternatif penyelesaian masalah. h. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada anak dengan morbus hirschsprung. C. Ruang Lingkup Dalam menyusun makalah ilmiah ini, penulis membahas tentang “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” yang dilaksanakan dari tanggal 02 sampai dengan 03 Juni 2014. D. Metode Penulisan Metode penulisan makalah ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif dan metode studi kepustakaan. Dalam metode deskriptif, pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dimana penulis mengelola satu kasus dengan menggunakan proses keperawatan, sedangkan metode studi kepustakaan yaitu menggunakan berbagai sumber literatur yang mencakup masalah yang dialami sehingga dapat membandingkan antara teori dan kasus. Adapun teknis pengumpulan data dalam penyusunan makalah ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Wawancara Mengumpulkan data dengan cara tanya jawab dengan keluarga secara terarah dan sistematika sesuai tujuan. 2. Observasi Melakukan pengamatan langsung dan melakukan pemeriksaan fisik secara head to toe. 3. Studi Dokumentasi Membaca catatan baik perawat atau tim kesehatan lain, hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang dari buku status pasien. 4. Studi Literatur Menggunakan literatur dari berbagai sumber yang mencakup masalah yang dialami sehingga dapat dibandingkan antara teori dan kasus.



E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan makalah ilmiah ini terdiri dari lima bab yaitu: BAB I



PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.



BAB II



TINJAUAN TEORI Terdiri dari konsep dasar morbus hirschsprung yang mencakup pengertian, etiologi, patofisiologi (proses perjalanan penyakit, manifestasi klinik, komplikasi dan klasifikasi), penatalaksanaan keperawatan dan medis, konsep tumbuh kembang anak usia 3 tahun, konsep hospitalisasi pada anak usia 3 tahun, pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.



BAB III TINJAUAN KASUS Terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan. BAB IV PEMBAHASAN Terdiri dari pembahasan mengenai kesenjangan antara teori dan kasus di seluruh tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan serta adanya faktor pendukung, faktor penghambat dan saran. BAB V



PENUTUP Terdiri dari kesimpulan dan saran.



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



BAB II TINJAUAN TEORI    



A. Pengertian Morbus Hirschsprung Penyakit morbus hirschsprung (megakolon aganglionik kongenital) merupakan obstruksi mekanis yang disebabkan oleh ketidakadekuatan motilitas bagian usus (Wong, 2008). Menurut Speer (2007), penyakit morbus hirschsprung yang juga dikenal sebagai megakolon aganglionik adalah penyakit kongenital yang ditandai dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatis pada sebagian kolon dan kadang-kadang pada ileum. Sementara menurut Suriadi (2006), penyakit morbus hirschsprung disebut juga kongenital aganglionosis atau megakolon (aganglionik megakolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rektum dan sebagian tidak ada dalam kolon. Dari beberapa pengertian menurut para ahli dapat disimpulkan, penyakit morbus hirschsprung merupakan suatu kelainan kongenital dengan tidak adanya sel ganglion di dalam rektum sehingga dapat menyebabkan obstruksi dan kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses. B. Etiologi Morbus Hirschsprung Menurut Wong (2008), etiologi penyakit morbus hirschsprung belum diketahui. Pemahaman perkembangan embriologis normal sistem saraf enterik diperlukan untuk mengetahui terjadinya penyakit morbus hirschsprung. Diduga penyakit morbus hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel krista neural, sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan mulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal. 1. Ketiadaan sel-sel ganglion Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (meissner) dan pleksus mienterik (auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk penyakit hirschsprung, hal ini disebabkan karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural dari esophagus ke anus pada minggu kelima, pada



minggu ketujuh sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu ke dua belas masa kehamilan (Kartono, 2004). 2.



Mutasi pada RET proto-oncogene Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi ganglion enterik.



3.



Kelainan dalam lingkungan Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel neural normal ataupun diferensiasinya.



4. Matriks protein ekstraseluler Kadar glikoprotein laminin dan kolagen tipe IV yang tinggi dalam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural dan memiliki peranan dalam etiologi penyakit morbus hirschsprung. C. Patofisiologi Morbus Hirschsprung 1. Proses perjalanan penyakit Morbus Hirschsprung Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit morbus hirschsprung diperlukan pemahaman yang mendalam perihal perkembangan embriologis sistem saraf intestinal. Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistem saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang membentuk sistem saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial pada kolon (Kartono, 2004). Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk



agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan sel body saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus meissner dan bagian luar disebut pleksus mienterikus auerbach. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel krista neuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit morbus hirschsprung (Kartono, 2004). Segmen yang aganglionik hampir selalu meliputi rektum dan bagian proksimal usus besar. Kadang-kadang dapat terjadi segmen yang terlewatkan atau aganglionosis usus total. Kurangnya enervasi menyebabkan defek fungsional yang mengakibatkan tidak adanya gerakan mendorong atau peristaltik sehingga isi usus bertumpuk dan terjadi distensi usus di sebelah proksimal defek atau megakolon (Kartono, 2004). Di samping itu, ketidakmampuan sfingter ani internal untuk melakukan relaksasi turut menimbulkan manifestasi klinik obstruksi karena keadaan ini mencegah evakuasi kotoran yang berbentuk padat, cair atau gas. Distensi intestinal dan iskemia dapat terjadi karena distensi dinding usus yang ikut menyebabkan terjadinya enterokolitis (inflamasi usus halus dan kolon) yaitu penyebab utama kematian anak yang menderita morbus hirschsprung (Wong, 2008). 2. Manifestasi klinik Morbus Hirschsprung Menurut Wong (2008) manifestasi klinik penyakit morbus hirschsprung bervariasi sesuai dengan usia, dengan manifestasi klinik usia sebagai berikut: a.



Periode bayi baru lahir (neonatus) Ada trias manifestasi klinik yang sering dijumpai yakni sekitar 94% penderita akan gagal mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam pertama kelahiran dan 57% pada 48 jam pertama kelahiran. Disamping itu penderita mengalami muntah-muntah, distensi abdomen dan sulit untuk mengkonsumsi cairan.



b.



Pada usia bayi Pada usia ini bayi akan mengalami kegagalan tumbuh kembang, konstipasi, distensi abdomen, diare yang disertai vomitus yang sering ditandai dengan adanya enterokolitis dimana diare menyerupai air dan menyemprot yang menyebabkan dehidrasi berat dan syok serta kehilangan elektrolit yang menyebabkan demam dan akan memperburuk keadaan umum.



c.



Usia anak-anak Pada usia anak-anak gejala yang timbul biasanya menyerupai konstipasi, feses mirip tambang dan berbau busuk. Distensi abdomen yang merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan kelainan yang lain seperti atresia ileum. Peristaltik yang terlihat, massa feses yang mudah diraba, anak biasanya tampak malnutrisi dan anemik.



3. Komplikasi Morbus Hirschsprung Menurut Corwin (2009) komplikasi potensial penyakit morbus hirschsprung meliputi: a.



Obstruksi usus Persarafan parasimpatis yang tidak sempurna pada segmen usus aganglion akan menyebabkan pergerakan peristaltik abnormal sehingga terjadi konstipasi dan obstruksi usus.



b.



Enterokolitis Distensi intestinal dan iskemia dapat terjadi karena distensi dinding usus yang ikut menyebabkan terjadinya enterokolitis (inflamasi usus halus dan kolon). Enterokolitis dapat terjadi mulai pada awal kehidupan neonatal dengan penyakit morbus hirschsprung dan dapat juga timbul pada setiap usia, baik sebelum ataupun sesudah pembedahan. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak yang menderita morbus hirschsprung (Kartono, 2004).



c.



Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Penderita morbus hirschsprung mengalami muntah-muntah, distensi abdomen, diare yang menyebabkan dehidrasi berat dan syok serta kehilangan elektrolit.



4. Klasifikasi Morbus Hirschsprung Menurut Kartono (2004) penyakit morbus hirschsprung diklasifikasikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang terkena, dengan klasifikasi penyakit morbus hirschsprung sebagai berikut: a.



Ultra short segment Pada tipe ultra short segment ini ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rektum.



b.



Short segment Pada tipe short segment ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari kolon.



c.



Long segment Pada tipe long segment ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.



d.



Very long segment Pada tipe very long segment ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum, kadang sebagian usus kecil.



D. Penatalaksaaan Morbus Hirschsprung 1. Penatalaksanaan medis Morbus Hirschsprung Pembedahan pada penyakit morbus hirschsprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau dauble barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi antara 6 dan 12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan menganastomosiskan usus yang berganglion ke rektum dengan jarak 1 cm dari anus. Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun.



Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon beganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfingterotomi dilakukan pada bagian posterior. Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling banyak dilakukan untuk mengobati penyakit morbus hischsprung. Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal dan ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa (Betz, 2002). 2. Penatalaksanaan keperawatan Morbus Hirschsprung Menurut Wong (2008) perawatan pada penderita setelah terdiagnosis penyakit morbus hirschsprung yaitu dibagi menjadi tiga perawatan: a. Perawatan pra bedah Perawatan pra bedah bagi anak bergantung pada usia dan kondisi klinisnya. Seorang anak yang menderita malnutrisi mungkin tidak mampu bertahan terhadap pembedahan sebelum kondisi jasmaninya diperbaiki. Kerap kali perbaikan ini meliputi tindakan simtomatik dengan pemberian enema, diet tinggi kalori tinggi protein dengan kandungan serat yang rendah dan pada situasi gizi yang sangat buruk pemberian nutrisi parenteral total. Persiapan fisik pra bedah mencakup tindakan sebagaimana lazim dilakukan pada setiap pembedahan. Pada bayi baru lahir yang ususnya masih steril tidak diperlukan persiapan tambahan. Akan tetapi, persiapan untuk operasi pull-through pada anak yang lebih besar meliputi pengosongan usus dengan pemberian enema salin yang berulang dan



pengurangan jumlah flora bakteri lewat pemberian antibiotik sistemik serta irigasi kolon yang dapat menggunakan larutan antibiotik. b. Perawatan pasca bedah Bila kolostomi merupakan bagian pembedahan korektif, perawatan stoma menjadi tugas utama keperawatan. Untuk mencegah kontaminasi luka abdomen oleh urin pada bayi, popoknya harus dipakaikan di bawah kasa pembalut. Kadang-kadang digunakan kateter Folley dalam periode perawatan pasca bedah untuk mengalihkan aliran urin menjauhi daerah abdomen. c. Perawatan saat pulang Setelah pembedahan, orang tua memerlukan petunjuk-petunjuk mengenai perawatan kolostomi. Kendati masih berada pada usia pra sekolah, anak dapat dilibatkan dalam perawatan tersebut dengan menyerahkan barang yang diperlukan untuk perawatan kolostomi kepada orang tuanya, dengan menggulung kantong penampung kolostomi yang sudah kosong atau dengan mengoleskan salep pelindung pada kulit di sekitar kolostomi. E. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia 3 Tahun Pertumbuhan adalah bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000 dalam Hidayat, 2005). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000 dalam Nursalam dkk, 2005). Pada tahap pertumbuhan usia 3 tahun, mengalami penambahan berat badan umunya 1,8 sampai 2,7 kg, rata-rata berat badan 14,6 kg. Penambahan tinggi



badan umumnya 7,5 cm, rata-rata tinggi badan 95 cm. Telah mencapai kontrol malam hari terhadap usus dan kandung kemih (Wong, 2002). Pada tahap perkembangan motorik kasar, anak mampu mengendarai sepeda roda tiga, melompat dari langkah dasar, berdiri pada satu kaki untuk beberapa detik, menaiki tangga dengan kaki bergantian, dapat tetap turun dengan menggunakan kedua kaki untuk melangkah, melompat panjang dan mencoba berdansa, tetapi keseimbangan mungkin tidak adekuat. Perkembangan motorik halus, anak mampu membangun menara dari 9 atau 10 kotak, membangun jembatan dengan 3 kotak, secara benar memasukkan biji-bijian dalam botol berleher sempit, dalam menggambar anak dapat meniru lingkaran, meniru silangan, menyebutkan apa yang telah digambarkan, dapat membuat lingkaran dengan gambaran wajah (Wong, 2002). Pada tahap perkembangan bahasa, anak mempunyai perbendaharaan kata ± 900 kata, menggunakan kalimat lengkap dari 3 sampai 4 kata, bicara tanpa henti tanpa peduli apakah seseorang memperhatikannya, mengulang kalimat dari 6 suku kata, mengajukan banyak pertanyaan. Perkembangan sosialisasi, anak mampu berpakaian sendiri hampir lengkap bila dibantu dengan kancing belakang dan mencocokan sepatu kanan atau kiri, mengalami peningkatan rentang perhatian, makan sendiri sepenuhnya, dapat menyiapkan makan sederhana, seperti sereal dan susu dingin, dapat membantu mengatur meja, merasa takut khususnya pada kegelapan dan pergi tidur, mengetahui jenis kelamin sendiri dan orang lain (Wong, 2002). Pada tahap perkembangan kognitif, anak egosentrik dalam berfikir dan perilaku, mulai memahami waktu, menggunakan banyak ekspresi yang berorientasi waktu, mengalami perbaikan konsep tentang ruang seperti di tunjukan dalam pemahaman tentang preposisi dan kemampuan untuk mengikuti perintah langsung (Wong, 2002).



Perkembangan hubungan keluarga, anak berusaha untuk menyenangkan orang tua dan menyesuaikan diri dengan permintaan mereka, kecemburuannya



terhadap saudara kandung yang lebih muda sudah berkurang; dapat menjadi waktu yang tepat untuk melahirkan saudara tambahan, menyadari hubungan keluarga



dan



fungsi



peran



jenis



kelamin,



anak



laki-laki



cenderung



mengidentifikasi lebih banyak dengan ayah atau figur pria lain, kemampuan berpisah dengan mudah dan nyaman dari orang tua untuk jangka waktu yang pendek telah meningkat (Wong, 2002). Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget, anak berada pada tahap praoperasional dengan perkembangan kemampuan sebagai berikut anak belum mampu mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat egosentrik, seperti dalam penelitian Piaget anak selalu menunjukan egosentrik seperti anak akan memilih sesuatu atau ukuran yang besar walaupun isi sedikit (Hidayat, 2005). Tahap perkembangan psikosexual anak menurut Freud, anak berada pada tahap anal dengan perkembangan sebagai berikut kepuasan pada fase ini adalah pada pengeluargan tinja, anak dapat menunjukan keakuanya dan sikapnya sangat narsistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri dan sangat egoistik, mulai mempelajari struktur tubuhnya. Pada fase ini tugas yang dapat dilaksanakan anak adalah latihan kebersihan (Hidayat, 2005). Tahap perkembangan psikososial anak menurut Erikson, anak berada pada tahap mandiri vs malu dan ragu-ragu dengan perkembangan anak sebagai berikut anak sudah mulai mencoba dalam mandiri dalam tugas tumbuh kembang seperti motorik dan bahasa, anak sudah mulai latihan jalan sendiri, berbicara dan pada tahap ini anak akan merasakan malu apabila orang tua terlalu melindungi atau tidak memberikan kemandirian atau kebebasan anak dan menuntut tinggi harapan anak (Nursalam dkk, 2005). Tahap perkembangan psikomoral anak menurut Kohlberg, anak berada pada tahap tingkat prakonvensional mempunyai perkembangan sebagai berikut anak peka terhadap peraturan yang berlatar budaya, menghindari hukuman dan patuh



pada hukum, bukan atas dasar norma pada peraturan moral yang mendasarinya (Hidayat, 2005). F. Konsep Hospitalisasi anak usia 3 tahun Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak. Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stress akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan serta anak-anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor atau kejadiankejadian yang menimbulkan stress. Stressor utama dari hospitalisasi antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau hospitalisasi seperti keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada (Wong, 2008). Reaksi terhadap penyakit pada anak usia 3 tahun biasanya ditemukan berkenaan dengan respon verbal anak terhadap penyakit atau rasa takut terhadap cedera tubuh. Anak pada usia pra sekolah biasanya lebih mudah untuk berespon terhadap nyeri dengan respon tubuh yang umum termasuk menangis keras dan beberapa mimik wajah. Sedangkan reaksi terhadap dampak hospitalisasi anak pra sekolah usia 3-6 tahun tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan mudah terhadap orang lain atau orang asing, perasaan tidak percaya dan ketakutan akan meningkatkan resiko, menjadikan hubungan antara perawat dan anak menjadi lebih sulit (Wong, 2008). G. Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pada pengkajian semua data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini dan harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual (Asmadi, 2008).



Data dasar pengkajian terdiri dari informasi subjektif dan objektif yang meliputi berbagai masalah keperawatan yang diuraikan dalam daftar diagnosis keperawatan terbaru yang dikembangkan oleh NANDA. Pengkajian pada klien dengan penyakit morbus hirschsprung meliputi: 1. Identitas Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 2005). 2. Riwayat keperawatan a. Keluhan utama Obstipasi merupakan tanda utama. Selain itu feses mirip tambang dan berbau busuk, distensi abdomen, massa feses mudah diraba, anak biasanya tampak malnutrisi dan anemik (Wong, 2008). b. Riwayat penyakit sekarang Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Anak sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa obstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi. c. Riwayat penyakit dahulu Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit morbus hirschsprung. d. Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.



e. Riwayat kesehatan lingkungan Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan. f. Imunisasi Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit morbus hirschsprung. g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan. 3. Pemeriksaan fisik a. Sistem kardiovaskuler Tidak ada kelainan. b. Sistem pernapasan Sesak napas, distress pernapasan, takipnea. c. Sistem pencernaan Umumnya konstipasi, perut kembung/tegang, diare berulang, muntah, tinja berbau busuk, distensi abdomen, adanya feses yang menyemprot pada colok dubur. d. Sistem genitourinarius Tidak ada kelainan. e. Sistem saraf Persarafan parasimpatik rektum dan anus berasal dari cabang anterior saraf sakralis ke dua, tiga dan empat. Persarafan preganglion ini membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk organ-organ intrapelvis. Di dalam rektum, serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus aganglion auerbach. f. Sistem muskuloskeletal Gangguan rasa nyaman. g. Sistem endokrin Tidak ada kelainan. h. Sistem integumen Akral teraba hangat.



i. Sistem pendengaran Tidak ada kelainan. 4. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang Morbus hirschsprung menurut Kartono (2004), yaitu: a. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit morbus hirschsprung secara dini pada neonatus. Keberhasilan pemeriksaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping tehnik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk menegakan diagnosis. b. Foto polos abdomen Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan pada penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis



nekrotikans



neonatal.



Foto



polos



abdomen



dapat



menyingkirkan diagnosis lain, seperti peritonitis intrauterin atau perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran massa feses lebih jelas dapat terlihat. c. Biopsi rektal Dengan mengunakan metode biopsi hisap untuk menemukan ada tidaknya sel ganglion di submukosa dan pleksus saraf intermuskular, dengan atau tanpa peningkatan jumlah sarat saraf yang dapat mendiagnosa adanya megakolon. Biopsi dilakukan tidak lebih dari 1 cm dari garis pectinate karena secara normal sel ganglion paling banyak terdapat di rektum distal dan kanal anal. Biopsi hisap juga dapat



memeriksa



aktivitas



enzim



asetilkolinesterase



(pada



penyakit



hirschcprung, terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase). d. Barium enema Merupakan standar dalam menegakkan diagnosa morbus hirschsprung dimana akan dijumpai: 1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi 2) Terdapat daerah transisi di proksimal daerah penyempitan kearah daerah dilatasi 3) Terdapatnya daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi 4) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit 5) Entrokolitis pada segmen yang melebar 6) Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam. e. Foto retensi barium Retensi barium 24 sampai 48 jam setelah enema merupakan tanda penting penyakit morbus hirschsprung, khususnya pada masa neonatal. Gambaran barium tampak membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi barium pada pasien dengan obstipasi kronik yang bukan disebabkan penyakit morbus hirschsprung terlihat semakin ke arah distal, menggumpal didaerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto pada waktu enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda khas penyakit morbus hirschsprung. f. Manometri anorektal Mempunyai 2 komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro serta sistem pencatat seperti polygraph atau komputer. Cara kerjanya yaitu dengan memasukkan balon ke dalam rektum. Tes ini menggambarkan respon



reflek tekanan spingter interna oleh distensi balon. Pada kondisi normal, terjadi relaksasi spingter interna dan diikuti kontraksi spingter eksterna. Tapi pada penderita morbus hirschsprung spingter eksternal dapat berkontraksi tapi spingter internalnya gagal berelaksasi. Hasil yang spesifik bagi penderita morbus hirschsprung: Hiperaktivitas bagian yang dilatasi, tidak dijumpai kontaksi peristaltik pada bagian yang aganglionik, sampling reflek tidak berkembang, janin dengan kelainan morbus hirschsprung tidak dapat dideteksi melalui USG. g. Pemeriksaan patologi anatomik biopsi isap rektum Biopsi isap mukosa dan submukosa rektum dengan mempergunakan alat Rubin atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana, aman dan dilakukan tanpa anastesi umum. Pada spesimen biopsi dalam parafin dilakukan potongan seri dan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Diagnosis ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner dan ditemukan penebalan serabut saraf. h. Pemeriksaan colok anus Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan. i. Biopsi seluruh tebal dinding rektum Biopsi ini dikerjakan bila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan biopsi isap diragukan. Swenson tidak menganggap biopsi seluruh tebal dinding rektum suatu yang rutin untuk penegakan diagnosis. H. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien, baik aktual



maupun potensial yang ditetapkan berdasarkan analisa dan interpretasi data dari hasil pengkajian (Asmadi, 2008). Menurut Speer (2007) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita penyakit morbus hirschsprung post operasi yaitu: 1. Konstipasi yang berhubungan dengan aganglionosis 2. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan asupan, mual dan muntah, atau peningkatan permukaan absorptif usus yang distensi 3. Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit dan terapi yang diprogramkan 4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan terpajannya feses dikulit 5. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif I.



Perencanaan Keperawatan Perencanaan keperawatan adalah tindakan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut serta ditentukan prioritas masalah. Setelah merumuskan diagnosa keperawatan spesifik, perawat menggunakan keterampilan berfikir kritis untuk menetapkan prioritas diagnosa dengan membuat peringkat dalam urutan kepentingannya. Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan ketika klien mempunyai masalah atau perubahan (Carpenito, 1995 dalam Potter, 2005). Adapun rencana keperawatan yang dapat disusun pada penderita penyakit morbus hirschsprung yang sesuai dengan masalah keperawatan pre opersai dan post operasi yaitu sebagai berikut: 1. Konstipasi berhubungan dengan aganglionosis. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan defekasi klien dapat kembali normal dan teratur. Kriteria hasil: Distensi abdomen berkurang, rasa tidak nyaman berkurang, aliran balik enema atau irigasi rektum jernih.



Rencana keperawatan: a. Lakukan enema atau irigasi rektum sesuai program. Rasional: Evakuasi usus meningkatkan tingkat rasa nyaman anak dan mengurangi risiko perforasi usus akibat obstruksi. b. Evaluasi bising usus dan abdomen anak setiap hari Rasional: Pengkajian yang demikian diperlukan untuk memastikan fungsi usus dengan benar dan terapi yang diberikan tepat. c. Ukur lingkar abdomen anak Rasional: Pengukuran lingkar abdomen mendeteksi abdomen. 2. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan asupan, mual dan muntah atau peningkatan permukaan absorptif usus yang distensi. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan klien kembali adekuat sesuai dengan kebutuhan. Kriteria hasil: Haluaran urin 1 sampai 2 mm/kg/jam, waktu pengisian kapiler kurang dari 3 detik, turgor kulit baik dan membran mukosa lembab. Rencana keperawatan: a. Timbang berat badan anak setiap hari Rasional: Menimbang berat badan setiap hari dan pemantauan cermat terhadap asupan dan haluaran cairan mengindikasikan status cairan anak. b. Kolaborasi pemberian cairan intravena sesuai program. Rasional: Anak mungkin membutuhkan cairan intravena jika anak mengalami dehidrasi atau berisiko mengalami dehidrasi.



c. Gunakan larutan salin atau antibiotic untuk irigasi rektum. Rasional: Air biasa dapat menyebabkan intoksikasi air akibat peningkatan permukaan absorptif bila terjadi distensi abdomen. 3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan terpajannya feses di kulit. Tujuan: Setelah dilakuan tindakan keperawatan diharapkan integritas klien kembali utuh. Kriteria hasil: Anak tidak akan memperlihatkan tanda-tanda kerusakan kulit yang ditandai oleh kulit tetap utuh sekitar tempat kolostomi atau area ileostomi yang bebas dari kemerahan atau iritasi. Rencana keperawatan: a. Ganti kantong kolostomi kapanpun kantong bocor atau diduga bocor. Rasional: Kebocoran



menyebabkan



feses



dapat



bersentuhan



dengan



kulit



meningkatkan risiko kerusakan kulit. b. Kosongkan kantong kolostomi kapanpun kantong penuh Rasional: Membiarkan kantong terisi penuh meningkatkan risiko kebocoran karena sifat berat feses dapat menarik perekat dari kulit. 4. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi. Kriteria hasil: Insisi pada anak akan memulih dengan normal yang ditandai dengan tidak ada tanda atau gejala eritema, indurasi atau drainase dan suhu tubuh kurang dari 37,8°Celcius.



Rencana keperawatan: a. Ganti kolostomi bag segera jika bocor atau diduga bocor. Penggantian ini penting khususnya jika barier kulit atau kolostomi bag menutupi area insisi. Rasional: Mengganti kolostomi bag mencegah kontak yang lama antara insisi dan feses sehingga membantu mencegah kerusakan kulit. b. Lakukan perawatan kolostomi Rasional: Bentuk stoma yang bertambah ukuran menjadi besar yang disertai dengan adanya drainase purulen dan pembengkakan indikasi terjadinya infeksi pada stoma. 5. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit dan terapi yang diprogramkan. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan orang tua mengalami penurunan cemas. Kriteria hasil: Orang tua mengalami penurunan rasa cemas ditandai dengan mengungkapkan pemahaman tentang penyakit dan terapi yang diprogramkan. Rencana keperawatan: a. Jelaskan kepada orang tua dengan menggunakan istilah sederhana tentang anatomi dan fisiologi saluran cerna yang normal serta sifat penyakit anak. Tambahkan penjelasan dengan informasi tertulis dan diagram atau ilustrasi. Rasional: Memahami fungsi normal sistem saluran cerna membantu orang tua memahami keseriusan kondisi anak dan kebutuhan terapi. Peningkatan kesadaran terhadap situasi dapat mengurangi kecemasan.



b. Beritahu orang tua jadwal pemeriksaan diagnostik. Rasional: Mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan, dapat mengurangi rasa cemas dan ketakutan pada orang tua. c. Beri informasi kepada orang tua tentang pembedahan kolostomi atau ileostomi. Jelaskan penampilan dan fungsi kolostomi atau ileostomi. Gunakan alat bantu visual misalnya mengenai kantong ostomi jika dibutuhkan. Jelaskan bahwa kolostomi atau ileostomi bersifat sementara. Rasional: Informasi yang demikian dapat mengurangi kecemasan orang tua dan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam perawatan anak mereka. d. Jelaskan kepada orang tua aktivitas yang diharapkan dan peristiwa selama periode pasca operasi (misalnya kebutuhan cairan intravena, status puasa, pemeriksaan



laboratorium,



sinar-X,



pemberian



obat-obatan



nyeri,



penggantian balutan dan pengisapan dengan menggunakan selang naso gastric tube). Gunakan alat bantu visual misalnya tentang peralatan sampel jika tersedia. Rasional: Memahami



tindakan yang akan dilakukan pasca operasi dapat



menghilangkan kecemasan orang tua karena mereka telah siap menghadapi kondisi anak setelah pembedahan. Penjelasan yang demikian juga menekankan pentingnya intervensi pembedahan serta perlunya kerja sama orang tua dan keterlibatan mereka dalam perawatan pasca operasi. J.



Pelaksanaan Keperawatan Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Selain itu, implementasi mengacu pada rencana tindakan keperawatan, bertujuan agar klien mempunyai kemampuan kognitif (mengetahui, memahami dan menyadari), afektif (mau dan bersedia) dan psikomotor (memperagakan, melakukan dan melaksanakan). Implementasi keperawatan dilakukan sesuai



dengan intervensi keperawatan yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisi klien. K. Evaluasi Keperawatan Apabila setelah dilakukan evaluasi, tujuan tidak tercapai maka perlu ditinjau kembali, yaitu tujuan tidak realities, tindakan keperawatan yang tidak bisa diatasi. Kriteria akan memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang tidak tetap yang memberikan petunjuk bahwa tujuan telah tercapai dan standar menunjukkan tingkat pelaksanaan yang diinginkan untuk membandingkan dengan pelaksanaan yang sebenarnya. 1. Konstipasi teratasi 2. Resiko kekurangan volume cairan tidak terjadi 3. Gangguan integritas kulit teratasi 4. Resiko infeksi tidak terjadi 5. Kecemasan pada orang tua teratasi.



BAB III TINJAUAN KASUS Pada bab ini penulis akan menggambarkan mengenai kasus kelolaan yaitu “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta”. Asuhan keperawatan ini dimulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan yang dilakukan selama dua hari yaitu pada tanggal 02 sampai dengan 03 Juni 2014. A. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada hari Senin tanggal 02 Juni 2014 pada pukul 08.00 WIB. Klien masuk rumah sakit pada hari Selasa tanggal 27 Mei 2014 pukul 10.15 WIB, dengan nomor register 1287005 dengan diagnosa medis Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta. 1. Data biografi Klien bernama Anak R, nama panggilan Anak R, tempat tanggal lahir Tangerang, 15 Desember 2010. Usia anak 3 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam, suku Sunda, bangsa Indonesia, pendidikan belum sekolah. Ibu klien bernama Ny. E usia 22 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, agama Islam, suku Sunda, bangsa Indonesia. Ayah klien bernama Tn. F usia 28 tahun pendidikan terakhir SMA, pekerjaan sebagai Pegawai Swasta, agama Islam, suku Sunda, bangsa Indonesia. Alamat rumah Ps. Cibitung kolon Kp. Ciasepan RT 03 RW 05 Kabupaten Bogor Jawa Barat. Sumber biaya BPJS. 2. Resume Anak R usia 3 tahun berjenis kelamin laki-laki datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati Jakarta di rujuk dari Rumah Sakit Ciawi Bogor pada hari Selasa tanggal 27 Mei 2014 pukul 10.15 WIB dengan tidak bisa BAB sejak 2 minggu yang lalu, kembung, semakin lama perut semakin



membesar dan sakit. Keluhan dirasakan anak sejak 1 ½ tahun yang lalu. Sebelumnya Anak R sudah dilakukan spoding di RSCM dan menurut ibu, feses keluar muncrat dan keluar secara terus menerus selama 3 hari. Dari hasil pengkajian didapatkan data sebagai berikut: keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis, TTV: N 110 x/menit, S 36,3°C, pernapasan 24 x/menit irama teratur suara napas vesikuler, pengisian kapiler kurang dari 3 detik, akral hangat, turgor kulit elastis, mukosa mulut lembab. Hasil pemeriksaan fisik: Inspeksi: perut tampak buncit. Palpasi: perut terasa tegang. Perkusi: abdomen kembung. Auskultasi: bising usus melemah 3x/menit. Klien di diagnosa medis Morbus Hirschsprung pada awal masuk dengan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Mei 2014 yaitu Hematologi: hemoglobin 13,2 g/dl, hematokrit 39 %, leukosit 10,8 ribu/ul, trombosit 584 ribu/ul, eritrosit 5,17 juta/ul, basofil 0 %, eosinofil 4 %, netrofil 48 %, limfosit 4 %, monosit 4 %, Luc 3 %. Pemeriksaan elektrolit: natrium 141 mmol/l, kalium 3,24 mmol/l, klorida 111 mmol/l. Masalah keperawatan yang muncul diruangan adalah nyeri, resiko kekurangan nutrisi, resiko infeksi, resiko injury dan gangguan eliminasi bowel. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan sampai tanggal 02 Mei 2014 baik secara mandiri maupun kolaborasi yaitu monitor keadaan umum, observasi tanda-tanda infeksi, observasi status nutrisi, pasang penghalang tempat tidur, berikan lingkungan yang nyaman, puasakan anak, konsul dokter spesialis dan sub spesialis anak. Tindakan kolaborasi dalam pemasangan infus KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit, lakukan perawatan kolostomi, pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, elektrolit, rontgen thorak, pemeriksaan colon inloop, memberikan obat therapy yaitu Cefotaxime 2 x 500 mg melalui IV secara bolus pukul 18.00 WIB dan 06.00 WIB, Farmadol 3 x 150 mg melalui IV secara bolus pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB dan 02.00 WIB. Evaluasi



secara umum masalah keperawatan yaitu nyeri sudah teratasi, resiko kekurangan nutrisi sudah teratasi, resiko infeksi sudah teratasi, resiko injury teratasi sebagian dan gangguan eliminasi bowel belum teratasi. 2. Riwayat kesehatan masa lalu a. Riwayat kesehatan masa lalu dapat dikaji melalui riwayat kehamilan dan kelahiran yang secara berurutan, data diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan Ibu klien: 1) Antenatal Pada masa kehamilan, ibu tidak mengalami hiperemesis gravidarum, perdarahan pervagina, penyakit infeksi, pre eklamsi/eklamsi. Ibu pernah mengalami anemia pada saat kehamilannya sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi obat penambah darah. Dahulu pada saat hamil ibu selalu memeriksakan kehamilannya secara teratur diperiksa oleh Bidan ditempat praktek Bidan Wasmih, hasil pemeriksaan kehamilan normal, keadaan janin baik, terdapat gerakan janin, mendapatkan imunisasi tetatus toxoid 2 (dua) kali pada saat usia kehamilan 4 bulan dan 8 bulan dan selama hamil mengkonsumsi obat penambah darah. 2) Masa natal Anak R lahir pada usia kehamilan 36 minggu 9 hari, cara persalinan normal pervaginam ditolong oleh Bidan, Anak R lahir dalam keadaan sehat, langsung menangis, tidak ada kelainan atau kecacatan, berat badan 3400 gram, panjang badan dan lingkar kepala anak saat lahir Ibu lupa, tidak ada pengobatan yang didapatkan selama masa persalinan. Pengobatan yang didapat yaitu HB0 dan Vit K. 3) Neonatal Pada masa neonatal, Anak R tidak mengalami ikterus, kejang, paralisis, perdarahan, trauma persalinan, penurunan berat badan (BB) dan pemberian ASI dari lahir hingga usia 1 ½ tahun.



b. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Anak R berusia 3 tahun dengan berat badan saat ini 13 kg, dengan tinggi badan 98 cm, lingkar kepala 47 cm, lingkar dada 56 cm, lingkar lengan atas 14 cm. Anak tampak rewel dan mengangis saat diruang perawatan, mampu tersenyum saat diberikan stimulus, mengenal bagian tubuhnya. Ibu mengatakan pada saat dirumah anak selalu BAB di celana, jika ingin BAK memberitahu ibunya, BAK sendiri ke kamar mandi tetapi bila tidak dilihat anak tidak cebok, tidak ngompol pada malam hari. c. Penyakit-penyakit yang pernah diderita Belum pernah menderita penyakit yang lain. d. Pernah dirawat di rumah sakit Sebelumnya Anak R pernah dirawat di Rumah Sakit Ciawi Bogor pada tahun 2011 dengan keluahan yang sama. e. Obat-obatan Pernah memakai obat Microlac. f. Tindakan (misalnya operasi) Ini merupakan operasi yang pertama kali bagi Anak R. g. Alergi Anak R tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, minuman, obatobatan dan lingkungan. h. Kecelakaan Belum pernah mengalami kecelakaan. i. Imunisasi Anak R sudah mendapatkan imunisasi HB0 saat setelah lahir, BCG, Polio, DPT, Campak. Imunisasi anak sudah lengkap. j. Kebiasaan sehari-hari (keadaan sebelum dirawat) 1) Pola pemberian nutrisi ASI diberikan sejak lahir sampai dengan usia 1 ½ tahun, susu formula (susu bendera) sampai usia 2 tahun. ASI diberikan kapanpun Anak R mau dengan frekuensi sering, tidak ada kesulitan pada saat pemberian ASI. Makanan padat sudah mulai diberikan saat anak berusia 1 tahun.



Vitamin Curcuma diberikan pada saat anak berusia 2 tahun. Pola makan diberikan 3x/hari dengan frekuensi sering, jenis makanan padat seperti nasi, sayur sop dan daging ayam, makanan yang disenangi anak sop, makanan alergi tidak ada, anak kadang makan sendiri tetapi didampingi oleh Ibu, waktu makan pada pagi pukul 08.00 WIB, siang pukul 13.00 WIB dan malam pukul 19.00 WIB. Jumlah minum perhari ± 800 cc dengan frekuensi sering. 2) Pola tidur Tidur siang kurang lebih 1 sampai 2 jam sedangkan tidur pada malam hari 8 jam. Tidak ada kelainan waktu tidur. Kebiasaan anak menjelang tidur sering memainkan payudara. 3) Pola aktivitas Anak R berusia 3 tahun, aktivitas dirumah senang bermain dengan teman-temannya. 4) Pola kebersihan diri Pola kebersihan diri Anak 2x/hari, mandi menggunakan sabun, mandi dibantu dengan ibu. Oral hygiene dilakukan 2x/hari pada pagi dan sore, oral hygiene sendiri dan menggunakan pasta gigi. Mencuci rambut 3x/minggu menggunakan sampo dan dalam berpakaian anak mampu sendiri. 5) Pola eliminasi Ibu klien mengatakan Anak R BAB tidak teratur, kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali dengan waktu yang tidak tentu, warna feses kecoklatan berbau busuk dengan konsistensi cair.



Anak



sulit



BAB,



perut



kembung



dan



membuncit.



Menggunakan obat pencahar Microlac, tidak ada kebiasaan pada waktu BAB. BAK 4-5 x/hari berwarna kuning, tidak ada keluhan pada saat BAK, tidak ada kebiasaan ngompol. 6) Kebiasaan lain Tidak memiliki kebiasaan menggigit jari dan kuku, menghisap jari, ataupun memainkan genital dan tidak mudah marah.



7) Pola asuh Anak R diasuh bersama keluarga dengan penuh kasih sayang. 3. Riwayat kesehatan keluarga a. Susunan keluarga 3 generasi



Ny. E (22 Thn)



Tn. F (28 Thn)



An. R (3 Thn)



Keterangan genogram: = Laki-laki



= Perempuan



= Hubungan keluarga



= Tinggal serumah



= Klien



Keterangan Genogram: Ayah klien bernama Tn. F berusia 28 tahun berpendidikan SMA dan Ibu klien bernama Ny. E berusia 22 tahun berpendidikan SMA. Anak R tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayah klien bekerja sebagai pegawai swasta, untuk berobat anak dibantu oleh BPJS. b. Riwayat penyakit keluarga Dalam keluarga tidak ada yang memiliki penyakit yang sama seperti Anak R. Dalam saudara kandung dari ibu, anaknya menderita Morbus Hirschsprung dan ibu mertua menderita TB Paru. c. Koping keluarga Keluarga mengatakan bila ada masalah selalu diselesaikan secara bersamasama dengan musyawarah untuk mengambil keputusan.



d. Sistem nilai Tidak memiliki kepercayaan yang bertentangan dengan agama/moral dan norma budaya. e. Spiritual Keluarga tampak selalu mendoakan kesehatan Anak R dan mengatakan selalu menjalankan ibadah sholat 5 waktu. 4. Riwayat kesehatan lingkungan Dalam riwayat kesehatan lingkungan risiko bahaya kecelakaan tidak ada. Kemungkinan bahaya akibat polusi disekitar lingkungan rumah tidak ada ditandai dengan ibu mengatakan tinggal jauh dari polusi dan limbah pabrik. Kebersihan rumah dan lingkungan sekitar bersih ditandai dengan ibu mengatakan setiap hari rumah dibersihkan dengan cara disapu dan dirapihkan. 5. Riwayat kesehatan sekarang a. Riwayat kesehatan sekarang Anak R mulai sakit yaitu pada tanggal 27 Mei 2014 pukul 10.15 WIB. Dengan keluhan tidak bisa BAB sudah 2 minggu yang lalu, perut membuncit dan kembung. Keluhan dirasakan sejak anak usia 1 ½ tahun sampai usia 3 tahun. Upaya untuk mengurangi, keluarga membawa Anak R ke RSUP Fatmawati Jakarta untuk berobat. Saat pengkajian pada hari Senin tanggal 02 Juni 2014 anak telah dilakukan operasi Colostomy Loop Sigmoid post operasi hari ketiga. b. Pengkajian fisik secara fungsional 1) Data klinik Data subjektif: Tidak terkaji. Data objektif: Tingkat kesadaran compos mentis, TTV: nadi 110 x/menit kualitas denyut nadi kuat dan teratur, pernapasan spontan 24 x/menit, suhu 36,3°C. Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga.



2) Nutrisi dan metabolisme Data subjektif: Ibu mengatakan anaknya mau makan sedikit demi sedikit, tidak mengetahui apakah anaknya mengalami penurunan dan peningkatan berat badan, diit bubur, intake minum ± 800 cc, mual, muntah, dysphagia tidak ada. Data objektif: Mukosa mulut lembab, berwarna merah muda, bibir lembab dan kelainan palatum tidak ada, bibir dan gusi klien normal, lidah bersih dan normal, tidak ada pembengkakan pada gusi, gigi sudah tumbuh lengkap, karang dan karies tidak ada, warna kulit tampak kemerahan, integritas kulit terdapat luka operasi kolostomi pada bagian abdomen kuadaran kiri bawah, turgor kulit elastis, tekstur kasar, klien tidak menggunakan alat bantu NGT untuk makan. 3) Respirasi/sirkulasi Data subjektif: Tidak terkaji. Data objektif: Suara nafas vesikuler, ronchi tidak ada, wheezing tidak ada, batuk berdahak tidak ada, batuk darah tidak ada, ikterus dan sianosis tidak ada, penggunaan otot bantu napas tampak pada abdomen, pernapasan cuping hidung tidak tampak, temperatur suhu hangat dan pengisian kapiler kurang dari 3 detik. 4) Eliminasi Data subjektif: Ibu mengatakan perut An. R sering kembung, BAB berwarna coklat dengan konsistensi cair, ibu mengganti pempers Anak 2 x/hari.



Data objektif: Post operasi colostomy loop sigmoid hari ketiga, abdomen lemas, kembung, lingkar perut 51 cm, bising usus ada namun melemah 3 x/menit, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dempul dengan jumlah ± 50 cc, memakai pempers diganti 2x/hari, bau khas urin. Pada rektum tidak ditemukan iritasi, atresia ani dan prolaps. 5) Aktivitas/latihan Data subjektif: Kebutuhan sehari-hari selalu dibantu keluarga dan perawat. Data objektif: Sesudah operasi, Anak R tampak takut dalam berjalan karena terdapat kolostomi, tangan kanan dan kiri kuat untuk menggenggam, bentuk kaki normal, otot kaki baik, anak tidak mengalami kejang ataupun kelelahan. Kekuatan otot baik anak mampu bergerak sesuai dengan batas dan kemampuan sesuai dengan usianya saat ini. 6) Sensori persepsi Data subjektif: Pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan anak normal. Data objektif: Saat diberikan rangsangan, anak dapat merespon terhadap rangsangan yang diberikan seperti saat diraba tangannya anak tidak langsung menjauhkan tangannya dari sumber rangsangan tersebut, pupil isokor, konjungtiva merah muda, pendengaran baik, tidak terdapat serumen pada kedua telinga dan penglihatan normal. 7) Konsep diri Data subjektif: Anak berusia 3 tahun.



Data objektif: Kontak mata ada, postur tubuh sesuai dengan masa pertumbuhan, perilaku sesuai dengan usia. 8) Tidur/istirahat Data subjektif: Anak berusia 3 tahun. Data objektif: Tidak ada tanda-tanda kurang tidur seperti mata merah, kantong mata hitam, namun anak tampak gelisah dan rewel. 9) Seksualitas/reproduksi Data subjektif: Anak berusia 3 tahun. Data objektif: Tidak ditemukan kelainan anatomi dan fisiologi seperti kelainan skrotum, hiposphadia dan fimosis. c. Dampak hospitalisasi 1) Pada anak Anak R usia 3 tahun, reaksi terhadap penyakit berespon terhadap nyeri dengan respon tubuh menangis keras dan beberapa mimik wajah seperti menyeringai, tampak takut bila di dekati oleh perawat. 2) Pada keluarga Ibu klien mengatakan ikhlas menerima penyakit yang diderita oleh anaknya. d. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan saat ini Pertumbuhan Anak R berusia 3 tahun dengan berat badan saat ini 13 kg, dengan tinggi badan 98 cm, lingkar kepala 47 cm, lingkar lengan atas 14 cm dan gigi sudah tumbuh lengkap, perkembangan bahasa anak takut dan malu bila mengajukan pertanyaan kepada orang yang tidak dikenal, sedangkan untuk perkembangan motorik Anak R sudah mampu



berdiri, mengendarai sepeda roda tiga, menaiki tangga, menggambar. Perkembangan sosialisasi Anak R sudah mampu berpakaian sendiri, makan sendiri menggunakan sendok, mencari perhatian dan berbagi apa yang anak punya. 6. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Mei 2014 Darah Lengkap



Hasil



Nilai Rujukan



Hemoglobin



13,2 g/dl



10,8 – 15,6



Hematokrit



39 %



35 – 43



Leukosit



10,8 ribu/ul



6,0 – 17,0



Trombosit



594 ribu/ul



217 – 497



Eritrosit



5,17 juta/ul



3,60 – 520



VER



75,8 fl



73,0 – 101,0



HER



25,6 pg



23,0 – 31,0



KHER



33,7 g/dl



23,0 – 34,0



RDW



12,7 g/dl



11,5 – 14,5



Basofil



0%



0-1



Eosinofil



4%



1–3



Netrofil



48 %



50- 70



Limfosit



41 %



20 – 4



Monosit



4%



2-8



Luc



3%



< 4,5



SGOT



36 U/l



0-34



SGPT



21 U/l



0-40



Ureum



32 mg/dl



0-48



Kreatinin



0,4 mg/dl



0,0-0,9



GDS



141 mg/dl



60-100



Natrium



141 mmol/l



135-147



Kalium



3,24 mmol/l



3,10-5,10



Klorida



111 mmol/l



95-108



b. Pemeriksaan Colon Inloop Dilakukan pemeriksaan barium enema dengan kontras barium sulfat pada tanggal 17 Maret 2014 dengan hasil: Pada foto pre tindakan, tampak dilatasi usus dengan fekal material yang prominen. Dimasukan kontras barium melalui kateter foley no. 18 ke dalam rektum. Tampak kontras lancar mengisi rektum sampai dengan sigmoid. Kaliber sigmoid tampak melebar dengan gambaran cone shape, dinding reguler. Kaliber rektum distal sempit, dengan pelebaran segmen rektum proksimal. Tak ada filling defek atau additional shadow. Kesan



: Gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal.



c. Laporan operasi Telah dilakukan operasi pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2014, waktu mulai operasi pukul 13.45 WIB. Nama ahli bedah



: dr. Nanok Sp.B, Sp.BA



Nama asisten



: dr. Rian/dr. David



Nama ahli anestesi



: dr. Badar Sp.TA



Nama Perawat



: Rokib



Diagnosis sebelum operasi



: Morbus Hirschsprung



Diagnosis post operasi



: Morbus Hirschsprung



Nama macam operasi



: Colostomy Sigmoid



Dengan laporan operasi sebagai berikut: 1) Pasien pada posisi supine di meja operasi 2) Dilakukan anastesi dan antisepsis 3) Insisi tranversal pada Kouter Mc. Burney menembus kulit dan subkutis jaringan, otot peritoneum



4) Identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru 5) Colon dibuka, keluarkan udara dan feses 6) Pasang stoma bag 7) Selesai 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan therapy obat parenteral: a. Cefotaxime 2 x 500 mg melalui IV pada pukul 18.00 WIB, 06.00 WIB. Fungsi



: Cefotaxime adalah antibiotik golongan sefalosporin



generasi ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil terhadap hidrolisis beta latamease, maka digunakan sebagai alternatif pertama pada bakteri yang resisten terhadap penisilin. Efek samping



: Radang pada tempat suntikkan, sakit, demam,



eosinofilia, urtikaria, anafilaksis. b. Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB dan 02.00 WIB. Fungsi



: Digunakan sebagai analgesik (bekerja dengan



menghilangkan rasa sakit) seperti sakit kepala, sakit gigi, dan antipiretik (menurunkan demam). Efek samping



: Penggunaan jangka lama dan dosisi besar dapat



menyebabkan kerusakan hati. c. Terpasang cairan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit d. Terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc. e. Ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali. 8. Data fokus Berikut ini merupakan data fokus dari hasil pengkajian pada Anak R berusia 3 tahun dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga dan saat ini sedang dirawat di Lantai III Utara IRNA Teratai,



tanggal masuk Rumah Sakit hari Selasa 27 Mei 2014 pukul 10.15 WIB, tanggal pengkajian pada hari Senin 02 Juni 2014 pukul 08.00 WIB, No. Rekam Medik 1287005. a. Data subjektif Ibu klien mengatakan bila dilakukan tindakan anak menangis, belum mengetahui bagaimana cara perawatan kolostomi dirumah, anak rewel bila petugas kesehatan datang, anak dirumah sering BAB dicelana, dirumah jika ingin BAK selalu memberitahu ibunya, BAK sendiri, bila tidak dilihat ibunya anak tidak cebok, tidak ngompol pada malam hari, menderita penyakit ini sejak anak berusia 1 ½ tahun, sudah dilakukan operasi Colostomy Loop Sigmoid tanggal 30 Mei 2014. Anak mengatakan gatal di daerah sekitar kolostomi.



b. Data objektif Anak R usia 3 tahun tampak sedang dirawat dilantai III utara dengan diagnosa medis saat ini Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga, kesadaran saat pengkajian compos mentis, tampak terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc, bising usus ada namun melemah 3 kali/menit, TTV: nadi 110 x/menit kualitas denyut nadi kuat dan teratur, suhu 36,3°C, akral hangat, pengisian kapiler kurang dari 3 detik, terpasang cairan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000/24 jam. Berat badan saat ini 13 kg, tinggi badan 98 cm, lingkar lengan atas 13 cm, lingkar perut 51 cm, lingkar dada 56 cm, lingkar kepala 47 cm, konjugtiva merah muda, tampak lemas, turgor kulit elastis, kulit tampak kering, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah dengan kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, dengan diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik.



Perawatan kolostomi sudah dilakukan pada tanggal 01 Juni 2014, kolostomi diganti setiap 3 hari sekali, kondisi kolostomi tampak kotor, anak mau makan. Anak tampak rewel, gelisah, takut bila didekati oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya, menangis bila dilakukan tindakan, ibu klien selalu menemai anaknya, sudah tumbuh gigi lengkap, sudah bisa bicara, mampu menunjuk objek yang diminta, belum mampu mengontrol bila ingin BAB, anak selalu bergantung dengan ibunya. Laporan operasi sebagai berikut: pasien pada posisi supine di meja operasi, dilakukan anastesi dan antisepsis, insisi tranversal pada



Kouter Mc.



Burney menembus kulit dan subkutis jaringan, otot peritoneum, identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru, colon dibuka, keluarkan udara dan feses, pasang stoma bag, selesai. Hasil pemeriksaan colon inloop: Gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal. Hasil laboratorium pada tanggal 14 Mei 2014: Hb 13,2 g/dl, Ht 39 %, leukosit 10,8 rb/ul, trombosit 584 rb/ul, eritrosit 5,17 rb/ul, VER 75,8 fl, HER 25,6 pg, KHER 33,7 g/dl, RDW 12,7%, basofil 0%, eosinofil 4%, netrofil 48%, limfosit 41%, monosit 4%, Luc 3%, SGOT 36 U/l, SGPT 21 U/l, ureum 32 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl, GDS 141 mg/dl, natrium 141 mg/dl, kalium 3,24 mmol/l, klorida 111 mmol/l. 9. Analisa data Berikut ini merupakan analisa data pada Anak R berusia 3 tahun dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga dan saat ini sedang dirawat di Lantai III Utara IRNA Teratai, tanggal pengkajian pada hari Senin 02 Juni 2014 pukul 08.00 WIB, No. Rekam Medik 1287005. No 1



Data Data subjektif: a. Ibu klien mengatakan sudah dilakukan operasi Colostomy Loop



Masalah Resiko Infeksi



Etiologi Pertahanan barier kulit



tidak efektif



Sigmoid pada tanggal 30 Mei 2014 b. Anak mengatakan gatal didaerah dekat stoma.



2



Data objektif: a. Kesadaran compos mentis b. Terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadran kiri bawah, produksi ada dengan konsistensi cair berwarna coklat dengan jumlah ± 50 cc c. Tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm d. Kolostomi terfiksasi dengan baik e. Sudah dilakukan perawatan kolostomi pada tanggal 01 Juni 2014 f. Kolostomi diganti setiap 3 hari sehari g. Kolostomi tampak kotor a. Anak tampak menggaruk-garuk di daerah dekat kolostomi. h. TTV: Nadi 110 x/menit, suhu 36,30C, akral hangat i. Pemeriksaan lab pada tanggal 14 Mei 2014: Leukosit : 10,8 rb/ul Eosinofil : 4% Limfosit : 41% Data subjektif: a. Ibu klien mengatakan belum mengetahui cara perawatan kolostomi. Data objektif: Anak tampak a. Kesadaran compos mentis b. Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga c. Terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan



Perubahan pola eliminasi bowel



Post kolostomi



3



konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc d. Bising usus ada namun melemah 3 kali/menit e. Tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm f. Hasil pemeriksaan colon inloop pada tanggal 17 Maret 2014 : gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal. g. Laporan operasi sebagai berikut: pasien pada posisi supine di meja operasi, dilakukan anstesi dan antisepsis, insisi tranversal pada Kouter Mc. Burney menembus kulit dan subkutis jaringan, otot peritoneum, identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru, colon dibuka, keluarkan udara dan feses, pasang stoma bag. Data subjektif: Ibu klien mengatakan a. Anak dirumah sering BAB dicelana. b. Jika ingin BAK memberi tahu kepada ibunya. c. BAK sendiri ke kamar mandi, tetapi bila tidak dilihat oleh ibunya anak tidak cebok. d. Menderita penyakit ini sejak anak berusia 1 ½ tahun. Data objektif: Anak tampak a. Anak berusia 3 tahun b. BB sekarang 13 kg c. TB 98 cm d. Post Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga



Resiko gangguan tumbuh kembang



Penyakit yang serius



4



e. Sudah tumbuh gigi lengkap f. Sudah bisa bicara g. Anak mampu menunjuk objek yang di minta h. Belum mampu mengontrol bila ingin BAB i. Anak selalu bergantung dengan ibunya. Data subjektif: Ibu klien mengatakan a. Anak rewel dan takut bila perawat dan petugas lainnya datang. b. Anak menangis bila dilakukan tindakan oleh perawat atau petugas kesehatan lainnya.



Cemas pada anak



Dampak hospitalisasi



Data objektif: a. Anak rewel dan gelisah bila perawat datang b. Anak menangis bila sedang dilakukan tindakan c. Ibu selalu menemani anaknya B. Daftar Diagnosa Keperawatan Berikut merupakan daftar diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas masalah pada Anak R yang ditemukan pada hari Senin tanggal 02 Juni 2014: 1. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif. 2. Perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi. 3. Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit yang serius. 4. Cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi. C. Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Keperawatan Setelah penulis memprioritaskan masalah keperawatan, kemudian penulis mencoba menyusun rencana keperawatan mandiri maupun kolaboratif yang dilaksanakan selama dua hari yang dimulai pada tanggal 02 sampai dengan 03 Juni 2014 pada Anak R berusia 3 tahun dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga dan saat ini sedang dirawat di



Lantai III Utara IRNA Teratai adalah sebagai berikut beserta pelaksanaan dan evaluasi keperawatannya: 1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif yang ditandai dengan: Data subjektif: Ibu klien mengatakan sudah dilakukan operasi Colostomy Loop Sigmoid pada tanggal 30 Mei 2014, anak mengatakan gatal didaerah dekat stoma. Data objektif: Kesadaran compos mentis, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadran kiri bawah, produksi ada dengan konsistensi cair berwarna coklat dengan jumlah ± 50 cc, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik, anak terlihat menggarukgaruk di daerah sekitar kolostomi, sudah dilakukan perawatan kolostomi pada tanggal 01 Juni 2014, kolostomi diganti setiap 3 hari sekali, kolostomi tampak kotor, tanda-tanda vital: nadi 110 x/menit, suhu 36,30C, akral hangat, pemeriksaan lab pada tanggal 14 Mei 2014: leukosit: 10,8 rb/ul, eosinofil: 4%, limfosit: 41%. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi. Kriteria hasil: Tidak terjadi tanda-tanda infeksi pada area stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa, pus dan perdarahan), kolostomi bag selalu dalam keadaan bersih, tidak ada kontaminasi feses pada area stoma, produksi kolostomi sesuai dengan intake, tidak rewel, gatal di sekitar kolostomi tidak ada, keluarga mampu mendemonstrasikan tehnik mencuci tangan dengan benar, tanda-tanda vital dalam batas normal (nadi: frekuensi 90-140 x/menit dengan kualitas kuat dan teratur, suhu: 36,5-37,5°C, akral hangat),



pemeriksaan laboratorium hematologi: leukosit,0-17,0 rb/ul, eosinofil 1-3%, limfosit 20-40%. Perencanaan keperawatan: a. Observasi tanda-tanda infeksi pada area sekitar stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa, pus dan perdarahan). b. Ukur tanda-tanda vital klien setiap 6 jam. c. Ganti alat tenun setiap hari dan pertahankan laken tetap kering. d. Mandikan anak 2x sehari dengan wash lap air hangat. e. Anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. f. Beri informasi kepada keluarga klien cara mencegah infeksi dengan mencuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar. g. Lakukan perawatan kolostomi: ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali. h. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium: leukosit, eosinofil, limfosit. i. Kolaborasi dalam pemberian therapy Cefotaxime 2 x 500 mg melalui IV pada pukul 18.00 WIB dan 06.00 WIB, Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB, 02.00 WIB dan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit. Pelaksanaan keperawatan Hari Senin dan Selasa, 02 – 03 Juni 2014 pukul 07.00 – 06.00 WIB. Pukul 07.00 WIB mencuci tangan sebelum kontak dengan lingkungan anak, respon: tangan tampak bersih, bebas dari kuman pathogen, siap kontak dengan lingkungan klien. Pukul 07.30 WIB mengganti laken tempat tidur anak, respon: tempat tidur tampak rapih dan bersih. Pukul 08.00 WIB mengobservasi tanda infeksi pada area sekitar stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa), respon: ibu mengatakan sebelumnya sudah dilakukan perawatan kolostomi pada tanggal 01 Juni 2014, kondisi kolostomi saat ini tampak kotor, kalor tidak ada, dolor tidak ada, tumor tidak ada, rubor ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada. Pukul 08.25



WIB merubah posisi klien sesuai dengan kebutuhan, respon: anak tampak tenang, nyaman dan tidak rewel dengan posisi supine. Pukul 08.35 WIB mengukur tanda-tanda vital anak setiap 6 jam sekali, hasil: nadi 110 x/menit, suhu 36,30C, RR 24 x/menit. Pukul 09.00 WIB membantu memandikan anak dengan wash lap air hangat, respon: setelah dimandikan, anak masih terlihat menggaruk-garuk badannya. Pukul 09.25 WIB menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge, respon: ibu mengatakan selalu memberikan anak makan sedikit dengan sesering mungkin, anak terlihat mau makan, mual tidak ada, muntah tidak ada. Pukul 11.00 WIB beri informasi kepada keluarga cara mencegah infeksi dengan mencuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar, respon: keluarga mengatakan mengerti dengan anjuran perawat, keluarga mampu menyebutkan 5 moment cuci tangan yaitu sebelum kontak dengan klien, sebelum melakukan tindakan, setelah terkena cairan tubuh klien, setelah kontak dengan klien, setelah kontak dengan lingkungan klien, keluarga mampu mendemonstrasikan tehnik mencuci tangan dengan benar. Pukul 14.00 WIB mengukur tanda-tanda vital anak setiap 6 jam sekali, hasil: nadi 108 x/menit, suhu 36,50C, RR 23 x/menit. Pukul 15.30 WIB membantu memandikan anak dengan menggunakan wash lap, respon: anak terlihat bersih, anak terlihat nyaman setelah dimandikan, masih sering menggarukgaruk badannya. Pukul 18.00 WIB bekerja sama dengan perawat ruangan dalam memberikan obat antibiotik Cefotaxime 500 mg melalui IV bolus klien tampak tenang dan tidak rewel, respon: obat dapat diberikan melalui IV bolus dengan lancar, setelah 15 menit kemudian tidak tampak tanda-tanda alergi terhadap obat pada klien. Pukul 20.00 WIB berkerja sama dengan perawat ruangan untuk mengukur tanda-tanda vital anak setiap 6 jam sekali, hasil: nadi 112 x/menit, suhu



36,50C, RR 25 x/menit. Pukul 23.00 WIB bekerja sama dengan perawat ruangan dalam memberikan therapy KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit, respon: tetesan infus lancar, emboli tidak ada, hematom tidak ada. Pukul 06.00 WIB bekerja sama dengan perawat ruangan dalam memberikan obat antibiotik Cefotaxime 500 mg melalui IV bolus klien tampak tenang dan tidak rewel, respon: obat dapat diberikan melalui IV bolus dengan lancar, setelah 15 menit kemudian tidak tampak tanda-tanda alergi terhadap obat pada klien. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 07.00 WIB Subjektif



: Ibu mengatakan sebelumnya sudah dilakukan perawatan kolostomi pada tanggal 01 Juni 2014, mampu menyebutkan 5 moment cuci tangan yaitu sebelum kontak dengan klien, sebelum melakukan tindakan, setelah terkena cairan tubuh klien, setelah kontak dengan klien, setelah kontak dengan lingkungan klien, selalu memberikan anak makan sedikit dengan sesering mungkin.



Objektif



: Kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari keempat, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah dengan kondisi stoma kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, dengan diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik, perawatan kolostomi sudah dilakukan pada tanggal 01 Juni 2014, saat ini kondisi kolostomi tampak kotor, anak terlihat mau makan, mual tidak ada, muntah tidak ada, mampu menyebutkan 5 moment mencuci tangan dan mampu mendemonstrasikan tehnik mencuci tangan dengan benar, therapy obat diberikan Cefotaxime 500 mg pada pukul 18.00 WIB, 06.00 WIB melalui IV bolus.



Analisa



: Masalah infeksi belum teratasi



Perencanaan: Lanjutkan intervensi 1. Observasi tanda-tanda infeksi pada stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa, pus dan perdarahan). 2. Ukur tanda-tanda vital klien 6 jam. 3. Ganti alat tenun setiap hari dan pertahankan laken tetap kering. 4. Berikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. 5. Lakukan perawatan kolostomi: ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali. 6. Terapkan cuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar. 7. Kolaborasi: lanjutkan therapy antibiotik: Cefotaxime 2 x 500 mg pada pukul 18.00 WIB dan 06.00 WIB, Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB dan 02.00 WIB dan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit, periksa ulang laboratorium darah lengkap hematologi: lekosit, eosinofil, limfosit. Pelaksanaan keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 07.00 – 14.00 WIB. Pukul 07.00 WIB mencuci tangan sebelum kontak dengan lingkungan anak, respon: tangan tampak bersih, bebas dari kuman pathogen, siap kontak dengan lingkungan klien. Pukul 07.30 WIB mengganti laken tempat tidur anak, respon: tempat tidur tampak rapih dan bersih. Pukul 07.45 WIB mengukur tanda-tanda vital anak setiap 6 jam sekali, hasil: nadi 114 x/menit, suhu 360C, RR 23 x/menit. Pukul 10.45 WIB mengobservasi tanda-tanda infeksi pada area sekitar stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa), respon: kondisi kolostomi saat ini tampak kotor, kalor tidak ada, dolor tidak ada, tumor tidak ada, rubor



ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, belum dilakukan perawatan kolostomi sejak tanggal 01 Juni 2014. Pukul 11.30 WIB lakukan perawatan kolostomi, respon: kondisi stoma tidak ada tanda infeksi seperti kalor tidak ada, dolor tidak ada, tumor tidak ada, rubor ada, fungsiolaesa ada, dengan diameter stoma ± 3 cm,



setelah



dibersihkan stoma tampak bersih, kolostomi terfiksasi adekuat, anak menangis kuat pada saat dilakukan perawatan kolostomi. Pukul 14.00 WIB mengukur tanda-tanda vital anak setiap 6 jam sekali, hasil: nadi 108 x/menit, suhu 36,50C, RR 25 x/menit. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 16.00 WIB Subjektif



: -



Objektif



: Kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari keempat, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah, sudah dilakukan perawatan kolostomi, dengan kondisi stoma kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, dengan diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik, anak menangis kuat pada saat dilakukan perawatan kolostomi, therapy obat diberikan Cefotaxime 500 mg pada pukul 18.00 WIB, 06.00 WIB melalui IV bolus.



Analisa



: Masalah infeksi belum teratasi.



Perencanaan:Lanjutkan intervensi 1. Terapkan cuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar. 2. Berikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. 3. Lakukan perawatan kolostomi dirumah.



4. Ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali. 5. Patuh minum obat secara teratur Cefixime syr 2 x sdm dan Paracetamol 3 x 120 mg melalui oral sesudah makan. 6. Kontrol kembali ke poliklinik bedah anak di lantai 1 di depan poli jantung pada tanggal 09 Juni 2014 dan patuh kunjungan ulang sesuai anjuran dokter. 2. Perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi yang ditandai dengan: Data subjektif: Ibu klien mengatakan belum mengetahui cara perawatan kolostomi. Data objektif: Kesadaran compos mentis, Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc, bising usus ada namun melemah 3 kali/menit, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm. Hasil pemeriksaan colon inloop pada tanggal 17 Maret 2014: gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal, laporan operasi sebagai berikut: pasien pada posisi supine di meja operasi, dilakukan anstesi dan antisepsis, insisi tranversal pada Kouter Mc. Burney menembus kulit dan subkutis jaringan, otot peritoneum, identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru, colon dibuka, keluarkan udara dan feses, pasang stoma bag, selesai. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan eliminasi bowel anak kembali normal secara bertahap.



Kriteria hasil: Mampu defekasi secara spontan dan normal ditandai dengan produksi kolostomi dengan bentuk feses sesuai intake, warna sesuai, bau khas dan haluaran feses dalam jumlah batas normal, bising usus ada kuat dalam rentang batas normal (6 sampai 12 kali permenit), kembung tidak ada, keluarga mengerti bagaimana cara perawatan kolostomi. Perencanaan keperawatan a. Evaluasi pola eliminasi bowel klien. b. Auskultasi bising usus setiap jam post operasi. c. Observasi dan ukur produksi kolostomi bag. d. Ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses. e. Posisikan kolostomi dengan aman, cegah terjadinya kebocoran kolostomi bag. f. Ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih. g. Berikan edukasi dan ajarkan kepada keluarga mengenai cara melakukan perawatan kolostomi bag. Pelaksanaan keperawatan Hari Senin dan Selasa, 02 – 03 Juni 2014 pukul 08.00 – 06.00 WIB Pukul 08.00 WIB melakukan pengkajian dan pemeriksaan fisik pada klien, respon: kesadaran klien compos mentis, Post operasi kolostomi Loop Sigmoid hari ketiga, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc. Pukul 08.15 WIB melakukan auskultasi abdomen pada klien, respon: bising usus ada namun melemah 3 kali/menit. Pukul 08.30 WIB memposisikan kolostomi dengan aman, respon: posisi kolostomi berada disamping, tidak ada kebocoran, fiksasi adekuat. Pukul 09.45 WIB mengganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses, respon: ibu mengatakan mengganti popok 2x/hari atau diganti pada saat sudah penuh, popok diganti, popok bersih dan tidak ada



kontaminasi feses. Pukul 14.10 WIB bekerjasama dengan keluarga untuk mengobservasi dan mengukur produksi kolostomi, respon: produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 20 cc. Pukul 20.00 WIB bekerjasama dengan keluarga untuk mengobservasi dan mengukur produksi kolostomi, respon: produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 20 cc. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pada pukul 07.00 WIB Subjektif



: Ibu klien mengatakan anaknya sudah bisa BAB, BAB cair, mengganti popok 2x/hari atau diganti pada saat sudah penuh.



Objektif



: Kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari keempat, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dempul dengan jumlah ± 90 cc/24 jam, bising usus ada namun melemah 3 kali/menit, popok bersih dan tidak ada kontaminasi feses, anak tampak gelisah dan rewel, kolostomi terfiksasi dengan baik, kuat dan tidak bocor, terdapat udara di dalam kolostomi bag.



Analisa



: Perubahan pola eliminasi bowel belum teratasi.



Perencanaan : Lanjutkan intervensi 1. Auskultasi bising usus setiap hari. 2. Observasi dan ukur produksi kolostomi bag. 3. Ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses. 4. Lepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih. 5. Pertahankan fiksasi kolostomi adekuat. 6. Posisikan kolostomi dengan aman. 7. Berikan edukasi dan ajarkan kepada keluarga cara melakukan perawatan kolostomi bag.



Pelaksanaan keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 07.15 – 15.00 WIB Pukul 07.15 WIB mengobservasi keadaan umum klien, respon: kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari empat, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dempul dengan jumlah ± 40 cc. Pukul 08.15 WIB melakukan auskultasi abdomen pada klien, respon: bising usus ada dengan frekuensi 6 kali permenit. Pukul 09.45 WIB mengganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses, respon: ibu mengatakan belum mengganti popok anak karena masih kering. Pukul 11.40 WIB mengajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih, respon: keluarga mengatakan mengerti dengan anjuran perawat dan akan mengikuti anjurannya. Pukul 15.00 WIB menjelaskan pada keluraga tentang cara perawatan kolostomi dengan menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami keluarga, respon:



ibu



klien



mengerti



dengan



penjelasan



perawat,



mampu



mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi. Evaluasi Hari Selasa, 03 Juni 2014 pada pukul 15.00 WIB Subjektif



:Ibu mengatakan mengerti dengan penjelasan perawat cara perawatan kolostomi, belum mengganti popok anak karena masih kering.



Objektif



: Kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari empat, produksi kolostomi bag ada dengan konsistensi cair warna coklat dempul dengan jumlah ± 40 cc, bising usus ada dengan frekuensi 6 kali permenit, popok kering tidak ada feses, anak menangis kuat pada saat dilakukan perawatan kolostomi, kolostomi terfiksasi dengan baik,



kuat



dan



tidak



bocor,



keluarga



mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi.



mampu



Analisa : Perubahan pola eliminasi bowel belum teratasi. Perencanaan :Lanjutkan intervensi 1. Ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses. 2. Lepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih. 3. Posisikan kolostomi dengan aman. 4. Kontrol kembali ke poliklinik bedah anak dilantai 1 di depan poli jantung pada tanggal 09 Juni 2014 dan patuh kunjungan ulang sesuai dengan anjuran dokter. 3. Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit yang serius ditandai dengan: Data subjektif: Ibu klien mengatakan anak dirumah sering BAB dicelana, anak dirumah jika ingin BAK memberi tahu kepada ibunya, BAK sendiri ke kamar mandi, tetapi bila tidak dilihat oleh ibunya anak tidak cebok, pada malam hari anak tidak ngompol, menderita penyakit ini sejak anak berusia 1 ½ tahun. Data objektif: Anak berusia 3 tahun, BB sekarang 13 kg, TB 98 cm, Post Colostomy Loop Sigmoid, sudah tumbuh gigi lengkap, sudah bisa bicara, anak mampu menunjuk objek yang di minta, belum mampu mengontrol bila ingin BAB, anak selalu bergantung dengan ibunya. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, anak menunjukan peningkatan tumbuh kembang secara bertahap. Kriteria hasil: Anak mampu mengontrol bila ingin BAB, kemampuan untuk berpisah dengan mudah dan nyaman dari orang tua untuk jangka waktu yang pendek telah meningkat.



Perencanaan keperawatan a. Jelaskan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugastugas perkembangan sesuai usia anak. b. Pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang. c. Anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering. d. Anjurkan keluarga melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training). e. Libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak. f. Berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia. g. Berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak. h. Kolaborasi dengan tim ahli tumbuh kembang anak. Pelaksanaan keperawatan Hari Senin dan Selasa, 02 – 03 Juni 2014 pukul 09.25 – 06.00 WIB Pukul 09.25 WIB menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering, respon: ibu mengatakan selalu memberikan anak makan sedikit dengan sesering mungkin, anak terlihat mau makan, mual tidak ada, muntah tidak ada. Pukul 10.00 WIB menjelaskan kepada orang tua klien tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas perkembangan sesuai usia anak, respon: ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan ibu klien juga mengatakan seharusnya Anak R dengan usianya sekarang sudah bisa mengontrol untuk BAB. Pukul 10.30 WIB memotivasi keluarga untuk selalu menstimulus Anak R seperti BAK ke kamar mandi respon: ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan akan mengikuti anjuran tersebut. Pukul 10.45 WIB melibatkan ibu klien dalam memantau tumbuh kembang Anak R, respon: Anak R terlihat mampu menunjuk objek yang diminta perawat, Anak berusia 3 tahun, BB sekarang 13 kg, TB 98 cm, sudah



tumbuh gigi lengkap, sudah bisa bicara, belum mampu mengontrol bila ingin BAB, terpasang kolostomi di abdomen bagian kuadran kiri bawah, anak selalu bergantung dengan ibunya (sulit ditinggal dalam waktu singkat) mampu makan sendiri, takut dan malu bila mengajukan pertanyaan kepada orang yang tidak dikenal, apabila duduk dan berdiri dibantu oleh ibunya karena saat ini anak masih terlihat lemas dan takut karena terdapat kolostomi. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 07.00 WIB Subyektif



: Ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan selalu memberikan anak makan sedikit dengan sesering mungkin.



Objektif



: Mampu menunjuk objek yang diminta perawat, anak berusia 3 tahun, BB sekarang 13 kg, TB 98 cm, sudah tumbuh gigi lengkap, sudah bisa bicara, belum mampu mengontrol bila ingin BAB, terpasang kolostomi di abdomen bagian kuadran kiri bawah, anak selalu bergantung dengan ibunya (sulit ditinggal dalam waktu singkat) mampu makan sendiri, takut dan malu bila mengajukan pertanyaan kepada orang yang tidak dikenal, apabila duduk dan berdiri dibantu oleh ibunya karena saat ini anak masih terlihat lemas dan takut karena terdapat kolostomi, anak terlihat mau makan, mual tidak ada, muntah tidak ada.



Analisa



: Resiko gangguan tumbuh kembang belum teratasi.



Perencanaan:Lanjutkan intervensi 1. Berikan anak makan sedikit tapi sering. 2. Pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang. 3. Libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak. 4. Berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia.



Pelaksanaan keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 13.00 – 14.30WIB Pukul



13.00



WIB



menganjurkan



keluarga



untuk



memperhatikan



pertumbuhan dan perkembangan Anak R, respon: ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan ibu klien juga mengatakan akan mengikuti anjuran dari perawat. Pukul 13.15 WIB mempertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang, respon: keluarga mengerti dengan anjuran perawat dan akan mengikuti anjuran perawat. Pukul 13.30 WIB memotivasi keluarga untuk selalu menstimulus Anak R seperti melatih turun dari tempat tidur, duduk dan berjalan kemudian selalu mengajaknya untuk berbicara, respon: ibu klien terlihat memperagakan apa yang dianjurkan oleh perawat dengan mengajak Anak R duduk ditempat tidur klien kemudian berdiri, selain itu ibu klien tampak sering mengajak Anak untuk berbicara. Pukul 14.30 WIB melibatkan ibu klien dalam memantau tumbuh kembang Anak R, respon: Anak R terlihat mampu duduk dengan bersandar bantal. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 14.30 WIB Subyektif



: Ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan akan mengikuti anjurannya untuk memantau tumbuh kembang anak.



Objektif



: Ibu klien terlihat memperagakan apa yang dianjurkan oleh perawat dengan mengajak Anak R duduk ditempat tidur klien kemudian berdiri, selain itu ibu klien tampak sering mengajak Anak R untuk berbicara, Anak R terlihat mampu duduk dengan bersandar bantal.



Analisa



: Resiko gangguan tumbuh kembang belum teratasi.



Perencanaan:Lanjutkan intervensi 1. Berikan anak makan sedikit tapi sering. 2. Pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang. 3. Latih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training). 4. Libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak. 5. Berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak. 6. Berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia. 4. Cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi yang ditandai dengan: Data subjektif: Ibu klien mengatakan anak rewel dan takut bila perawat dan petugas lainnya datang, anak menangis bila dilakukan tindakan oleh perawat atau petugas kesehatan lainnya. Data objektif: Anak rewel dan gelisah bila perawat datang, anak menangis bila sedang dilakukan tindakan, ibu selalu menemani anaknya. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam, cemas pada anak berkurang atau hilang. Kriteria hasil: Ekspresi wajah rileks atau tidak tegang, anak tidak menangis ketika didekati perawat atau tim kesehatan lainnya, tidak takut dengan orang yang baru dikenal.



Perencanaan keperawatan a. Kaji tingkat kecemasan anak. b. Lakukan pendekatan dengan berbincang-bincang dengan anak. c. Libatkan keluarga dan jelaskan dalam setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan. d. Berikan kesempatan pada anak untuk bermain. e. Dampingi anak pada saat bermain. f. Ajarkan anak untuk sholat dan mengaji. g. Anjurkan keluarga untuk selalu mengunjungi anak. Pelaksanaan keperawatan Hari Senin dan Selasa, 02 – 03 Juni 2014 pukul 10.15 – 06.00 WIB. Pukul 10.15 WIB mengkaji tingkat kecemasan pada klien, respon: klien terlihat menangis ketika didekati, ibu klien mengatakan Anak R takut dan gelisah jika didekati oleh orang yang belum dikenalnya dan menangis bila akan dilakukan prosedur tindakan. Pukul 11.55 WIB mengajak Anak R bermain, respon: anak terlihat mulai menerima keberadaan perawat dan tidak menangis saat diajak bermain, anak mau di ajak bicara dengan perawat, anak mampu menebak nama hewan seperti kucing, jerapah, monyet, ular, dan gajah, sesekali anak rewel. Pukul 14.30 WIB melibatkan ibu klien dalam mengajak Anak R berbicara dan berkomunikasi, respon: Anak R terlihat gelisah dan rewel. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 07.00 WIB Subyektif



: Ibu klien mengatakan Anak R menangis jika didekati orang yang baru dikenal dan bila akan dilakukan prosedur tindakan.



Objektif



: Anak mau di ajak bicara dengan perawat, anak mampu menebak nama hewan seperti kucing, jerapah, monyet, ular, dan gajah, sesekali anak rewel.



Analisa



: Cemas pada anak belum teratasi.



Perencanaan : Lanjutkan intervensi 1. Kaji tingkat kecemasan anak. 2. Lakukan pendekatan pada anak dengan berbincangbincang dengan anak. 3. Libatkan keluarga dalam setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan. 4. Berikan kesempatan pada anak untuk bermain. 5. Dampingi anak pada saat bermain. 6. Ajarkan anak untuk sholat dan mengaji. 7. Anjurkan keluarga untuk selalu mengunjungi anak. Pelaksanaan keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 09.50 – 13.50 WIB Pukul 09.50 WIB menganjurkan keluarga (ayah dan kakak klien) untuk sering menjenguk Anak R, respon: ibu klien mengatakan bahwa ayahnya jarang mengunjungi anaknya dikarenakan bekerja. Pukul 13.40 WIB meluangkan waktu bersama Anak R, respon: anak rewel dan takut didekati oleh perawat dan tidak mau diajak bermain. Pukul 13.50 WIB melibatkan ibu klien dalam mengajak Anak R berbicara dan berkomunikasi, respon: anak terlihat tidak menangis. Evaluasi keperawatan Hari Selasa, 03 Juni 2014 pukul 16.00 WIB Subyektif



: Ibu klien mengatakan bahwa ayahnya jarang mengunjungi anaknya dikarenakan bekerja, anak masih rewel dan takut bila perawat dan petugas kesehatan lainnya datang, menangis bila dilakukan tindakan.



Objektif



: Anak rewel dan takut didekati oleh perawat dan tidak mau diajak bermain.



Analisa



: Cemas pada anak belum teratasi.



Perencanaan : Lanjutkan intervensi 1. Lakukan pendekatan pada anak dengan berbincangbincang dengan anak. 2. Ajarkan anak untuk sholat dan mengaji. 3. Beri kesempatan anak untuk bermain. 4. Dampingi anak pada saat bermain.



BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas keterkaitan dan kesenjangan antara teori dengan kasus yang ditemukan pada kasus “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta”. Pembahasan ini menggambarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan dengan membandingkan tinjauan teori dan membuat faktor pendukung, penghambat serta solusi alternatif pemecahan masalahnya. Uraian pembahasan ini disesuaikan berdasarkan tahapan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian Keperawatan Pengkajian pada kasus Anak R dilakukan pada hari Senin tanggal 02 Juni 2014 pukul 08.00 WIB, dalam pengkajian ditemukan data etiologi yang sesuai antara teori dan kasus seperti penyebab dari penyakit morbus hirschsprung belum dapat diketahui secara pasti. Tetapi ada dua kemungkinan etiologi yang terjadi pada Anak R yaitu dari faktor ibu yang menikah terlalu muda di usia 18 tahun, selain itu dari faktor janin yaitu kegagalan mutasi sel-sel krista neural sampai pada minggu ke 12 masa kehamilan. Untuk mencegah terjadinya kelainan kongenital, diperlukan imunisasi TT pada ibu hamil, rutin memeriksakan kehamilan ke pelayanan kesehatan (ANC), pola makan yang sehat dan seimbang. Etiologi yang ada pada teori tetapi tidak ditemukan pada kasus yaitu diduga penyakit hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis mienterik dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan mulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal, ketiadaan sel-sel ganglion, mutasi pada RET proto-oncogene, kelainan dalam lingkungan, matriks protein ekstraseluler (Wong, 2008).



Manifestasi klinik yang sesuai antara teori dan kasus adalah sebelum masuk rumah sakit Anak R mengalami tidak bisa BAB sejak 2 minggu yang lalu, perut kembung dan semakin lama semakin membesar, BAB kadang seminggu sekali atau sebulan sekali, BAB cair dan berbau busuk, di rumah sering BAB di celana. Manifestasi klinik yang ada pada teori tetapi tidak ditemukan pada kasus yaitu adanya gerakan peristaltik, massa feses yang mudah diraba, malnutrisi dan anemik. Gejala dan tanda obstipasi timbul mulai usia 2 tahun atau lebih. Pasien tidak dapat defekasi selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan tidak defekasi normal, feses keluar sedikit demi sedikit karena desakan massa feses dari proksimal, terjadi pengotoran (soilling) celana oleh feses. Keadaan ini disebut over incontinence. Umumnya pasien tampak sehat, tetapi memperlihatkan perilaku menarik diri dari pergaulan. Penyelesaian obstipasi psikogenik dilakukan melalui toilet training dan penyelesaian masalah kejiwaan oleh psikolog (Kartono, 2004). Menurut Corwin (2009), komplikasi potensial penyakit hirschsprung meliputi: obstruksi usus, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan enterokolitis. komplikasi yang terjadi dan sesuai antara teori dan kasus pada Anak R adalah terjadi obstruksi usus karena persarafan parasimpatis yang tidak sempurna pada segmen usus aganglion akan menyebabkan pergerakan peristaltik abnormal sehingga terjadi obstuksi usus dan enterokolitis menampilkan distensi abdomen dengan disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan. Komplikasi yang ada pada teori tetapi tidak ada pada kasus yaitu gangguan keseimbangan elektrolit, karena pada saat pengkajian anak tidak mengalami muntah-muntah, diare yang menyebabkan dehidrasi berat dan syok serta kehilangan elektrolit. Selain itu dari pemeriksaan fisik anak tidak menunjukan adanya gangguan keseimbangan elektrolit.



Klasifikasi sudah sesuai antara teori dengan kasus. Pada kasus ini Anak R termasuk ke dalam klasifikasi short segment. Pada tipe short segment, tidak ada ganglion pada rektum dan sebagian kecil dari kolon. Penatalaksanaan medis yang sudah sesuai antara kasus dan teori pada Anak R yaitu pembedahan Colostomy Loop Sigmoid yang di lakukan pada tanggal 30 Mei 2014. Tindakan pembedahan kolostomi ini merupakan tindakan pembedahan sementara di kolon berganglion normal yang paling distal. Tindakan pembedahan ini untuk menghilangkan obstruksi usus serta mencegah terjadinya enterokolitis. Dengan tindakan kolostomi ini, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3-6 bulan. Penatalaksanaan medis yang belum sesuai antara kasus dan teori yaitu tindakan pembedahan definitif, biasanya dilakukan ketika berat badan anak mencapai kurang lebih 9 kg. Ada beberapa prosedur pembedahan yang dapat dilakukan dan prosedur tersebut meliputi prosedur Swenson, Duhamel, Boley serta Soave (Kartono, 2004). Penatalaksanaan keperawatan pada kasus yang sesuai pada teori yaitu perawatan pada Anak R pasca bedah kolostomi seperti melakukan perawatan stoma. Perawatan stoma ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi dan gatal akibat kontaminasi dengan pajanan feses di kulit. Selain itu, popok anak harus di ganti apabila sudah penuh. Perawatan saat anak pulang setelah pembedahan, penulis memberikan informasi mengenai perawatan kolostomi di rumah, seperti hal-hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan perawatan kolostomi, nutrisi: diit seimbang tinggi serat, tumbuh kembang Anak R sesuai dengan usia 3 tahun, dampingi anak pada saat bermain, minum obat yang teratur dan kontrol kembali ke rumah sakit sesuai anjuran dokter. Pemeriksaan penunjang pada kasus yang dilakukan dan sesuai dengan teori adalah pemeriksaan barium enema dengan kontras barium sulfat pada



tanggal 17 Maret 2014 dengan hasil: Pada foto pre tindakan, tampak dilatasi ususdengan fekal material yang prominen. Dimasukan kontras barium melalui kateter foley no. 18 ke dalam rektum. Tampak kontras lancar mengisi rektum sampai dengan sigmoid. Kaliber sigmoid tampak melebar dengan gambaran cone shape, dinding reguler. Kaliber rektum distal sempit, dengan pelebaran segmen rektum proksimal. Tak ada filling defek atau additional shadow. Kesan: Gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 14 Mei 2014 dengan hasil Hb 13,2 g/dl, Ht 39%, leukosit 10,8 rb/ul, trombosit 594 rb/ul, eritrosit 5,17 jt/ul, VER 75,8 fl, HER 25,6 pg, KHER 33,7 g/dl, RDW 12,7 g/dl, basofil 0%, eosinofil 4%, netrofil 48%, limfosit 41%, monosit 4%, Luc 3%, SGOT 36 U/l, SGPT 21 U/l, ureum 32 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl, GDS 141 mg/dl, natrium 141 mmol/l, kalium 3,24 mmo/l, klorida 111 mmol/l. Didapatkan data dari hasil pengkajian dan pemeriksaan fisik pada Anak R di masa pertumbuhan dan perkembangan pada usia 3 tahun. Dimana pada masa pertumbuhan Anak R berusia 3 tahun dengan berat badan saat ini 13 kg, dengan tinggi badan 98 cm, lingkar kepala 47 cm, lingkar lengan atas 14 cm dan gigi sudah tumbuh lengkap. Anak salam tahap toilet training. Ditinjau dari hasil pengkajian perkembangan kemampuan motorik kasar Anak R mampu berdiri, berlari, mengendarai sepeda roda tiga, melompat. Kemampuan motorik halus Anak R mampu menggambar dan meniru serta menyebutkan apa yang digambar. Dalam perkembangan bahasa Anak R mampu menggunakan kalimat 3 sampai 4 kata, tidak terlalu banyak pertanyaan. Perkembangan sosialisasi Anak R mampu memakai pakaian sendiri, makan sendiri menggunakan sendok, mencari perhatian, berbagi apa yang anak punya. Dampak hospitalisasi pada kasus yang sudah sesuai dengan teori yaitu reaksi terhadap penyakit pada Anak R usia 3 tahun ditemukan berkenaan dengan respon verbal anak terhadap penyakit atau rasa takut terhadap cedera tubuh. Pada Anak R tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan mudah terhadap



orang lain atau orang asing, perasaan tidak percaya dan ketakutan dengan perawat, menangis apabila akan dilakukan tindakan menjadikan hubungan antara perawat dan anak menjadi lebih sulit. Faktor pendukung yang penulis dapatkan adalah Anak R mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter spesialis anak dengan sub spesialis bedah anak, selain itu Anak R juga mendapatkan perawatan yang komprehensif dan berkesinambungan dari tenaga kesehatan mulai dari dokter, residen, coas, perawat dan mahasiswa, data yang lengkap pada catatan rekam medik memudahkan penulis untuk melakukan pengkajian secara menyeluruh dan penulis dapat melakukan pengamatan serta perawatan pada anak dengan intensif, dengan adanya format pengkajian yang lengkap sehingga memudahkan dalam melakukan pengkajian secara sistematis dan terarah. Faktor penghambat yang penulis temukan adalah keterbatasan penulis dalam memvalidasi data yang diperoleh dari keluarga. Solusi yang penulis lakukan yaitu untuk melengkapi data yang kurang lengkap dan efisienkan waktu pengkajian penulis melihat kembali buku catatan rekam medik klien. B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang terdapat pada teori yaitu gangguan eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan aganglionosis. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan asupan, mual dan muntah atau peningkatan permukaan absorptif usus yang distensi. Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit dan terapi yang diprogramkan. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terpajan dari feses sekunder akibat kolostomi atau ileostomi. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif (Speer, 2007). Diagnosa keperawatan yang sesuai antara kasus dan teori adalah diagnosa keperawatan yang pertama yaitu resiko infeksi berhubungan dengan



pertahanan barier kulit tidak efektif yang ditandai dengan: Ibu klien mengatakan sudah dilakukan operasi Colostomy Loop Sigmoid pada tanggal 30 Mei 2014, anak mengatakan gatal didaerah dekat kolostomi, kesadaran compos mentis, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadran kiri bawah, produksi ada dengan konsistensi cair berwarna coklat dengan jumlah ± 50 cc., anak terlihat menggaruk-garuk daerah dekat kolostomi Tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik, sudah dilakukan perawatan kolostomi pada tanggal 01 Juni 2014, kolostomi diganti setiap 3 hari sekali, kolostomi tampak kotor, tanda-tanda vital: Nadi 110 x/menit, suhu 36,30C, akral hangat, pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Mei 2014: leukosit: 10,8 rb/ul, eosinofil: 4%, limfosit: 41%. Menurut Paula Kristanty (2009), gawat darurat adalah kondisi yang timbul berhadapan dengan keadaan yang dapat segera mengancam kehidupan atau beresiko kecacatan. Diagnosa ini diangkat menjadi masalah keperawatan prioritas oleh penulis karena pasien dengan pasca pembedahan akan rentan terhadap terjadinya infeksi. Salah satu tempat masuknya kuman yaitu melalui kulit. Apabila pertahanan barier kulit tidak efektif akan menjadi tempat mudah masuknya kuman dan akan menghambat proses penyembuhan. Sehingga membutuhkan tindakan untuk mencegah terjadinya infeksi. Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus tetapi tidak ada pada teori adalah diagnosa keperawatan kadua yaitu perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi diagnosa ini diangkat berdasarkan data yang ditemukan yaitu ibu klien mengatakan belum mengetahui cara perawatan kolostomi, kesadaran compos mentis, Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga, terpasang kolostomi bag pada abdomen bagian kuadaran kiri bawah produksi ada dengan konsistensi cair warna coklat dengan jumlah ± 50 cc, bising usus ada namun melemah 3 kali/menit, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah kondisi stoma: kalor tidak ada, dolor ada,



rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, diameter stoma ± 3 cm. Hasil pemeriksaan colon inloop pada tanggal 17 Maret 2014: gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal, laporan operasi sebagai berikut: pasien pada posisi supine di meja operasi, dilakukan anstesi dan antisepsis, insisi tranversal pada



Kouter Mc. Burney menembus kulit dan



subkutis jaringan, otot peritoneum, identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru, colon dibuka, keluarkan udara dan feses, pasang stoma bag, selesai. Diagnosa ini diangkat menjadi masalah keperawatan kedua oleh penulis karena penulis mengutamakan kebutuhan dasar manusia pertama menurut Maslow yaitu kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis ini terdiri dari kebutuhan oksigenasi, cairan, makanan, istirahat tidur, aktivitas, temperatur, bebas dari nyeri, seksual, eliminasi, explorasi dan manipulasi (Alimul, 2006). Pada normalnya manusia mengeluarkan feses melalui anus, tetapi pada anak dengan hirschsprung mengeluarkan feses melalui lubang yang dibuat menyerupai anus di abdomen bagian kuadran kiri bawah atau yang disebut stoma. Setelah 3-6 bulan stoma akan ditutup dan buang air besar dengan normal melalui anus. Sistem tubuh yang memiliki peran dalam proses eliminasi alvi (buang air besar) adalah sistem gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejenum dan ileum berfungsi sebagai tempat absorbsi elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO3, dan kalsium. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung dari saluran pencernaan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke dubur (anus) (Alimul, 2006). Produk buangan yang memasuki usus besar adalah berupa cairan. Setiap hari saluran anus menyerap sekitar 800-1000 ml cairan. Penyerapan inilah yang menyebabkan feses mempunyai bentuk dan berwujud setengah padat. Jika penyerapan tidak baik, produk buangan cepat melalui usus besar, feses itu lunak



dan berair. Jika feses terlalu lama dalam usus besar, maka akan terlalu banyak air yang diserap sehingga feses menjadi kering dan keras. Kolon sigmoid mengandung feses yang sudah siap untuk dibuang dan diteruskan ke dalam rektum (Alimul, 2006). Gerakan peristaltik yang kuat dapat mendorong feses ke depan. Gerakan ini terjadi 1-4 kali dalam waktu 24 jam. Peristaltik sering terjadi sesudah makan. Biasanya 1/2-1/3 dari produk buangan hasil makanan dicernakan dalam waktu 24 jam, dibuang dalam feses dan sisanya sesudah 24-48 jam berikutnya. Makanan yang diterima oleh usus dari lambung dalam bentuk setengah padat, atau dikenal dengan nama chyme, baik berupa air, nutrien, maupun elektrolit kemudian akan diabsorpsi (Alimul, 2006). Usus akan mensekresi mukus, kalium, bikarbonat dan enzim. Secara umum, kolon berfungsi sebagai tempat absorpsi, proteksi, sekresi dan eliminasi. Proses perjalanan makanan dari mulut hingga rektum membutuhkan waktu selama 12 jam. Proses perjalanan makanan, khususnya pada daerah kolon, memiliki beberapa gerakan, di antaranya haustral suffing atau mengabsorpsi air, kontraksi haustral atau gerakan mendorong zat makanan/air pada daerah kolon dan gerakan peristaltik, yaitu gerakan maju ke anus (Alimul, 2006). Pada pasien morbus hirschsprung, feses yang cair terjadi apabila kecepatan kontraksi peristaltik berlangsung dengan cepat secara abnormal, waktu untuk absorbsi air berkurang sehingga feses menjadi encer. Apabila kontraksi peristaltik melambat, air akan terus di absorbsi sehingga terbentuk feses yang keras, mengakibatkan konstipasi (Potter, 2005). Feses cair, berbau busuk dan distensi abdomen menandakan komplikasi enterokolitis (Kartono, 2004). Selanjutnya diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit yang serius diagnosa ini diangkat berdasarkan data yang ditemukan yaitu ibu klien mengatakan anak dirumah sering BAB dicelana, anak dirumah jika ingin BAK memberi tahu kepada ibunya, BAK sendiri ke kamar mandi, tetapi bila tidak dilihat oleh



ibunya anak tidak cebok, pada malam hari anak tidak ngompol, menderita penyakit ini sejak anak berusia 1 ½ tahun. Anak berusia 3 tahun, BB sekarang 13 kg, TB 98 cm, Post Colostomy Loop Sigmoid hari ketiga, sudah tumbuh gigi lengkap, sudah bisa bicara, anak mampu menunjuk objek yang di minta, belum mampu mengontrol bila ingin BAB, anak selalu bergantung dengan ibunya. Diagnosa ini diangkat menjadi masalah keperawatan ketiga oleh penulis karena tumbuh kembang anak pada usia 3 tahun yang seharusnya sudah sampai waktunya anak dilatih untuk buang air besar atau buang air kecil pada tempatnya (toilet training). pada masa ini, anak perlu dibimbing dengan akrab dan penuh kasih sayang tetapi juga tegas sehingga anak tidak mengalami kebingungan. Jika orang tua mengenal kebutuhan anak, maka anak akan berkembang perasaan otonominya sehingga anak dapat mengendalikan otot-otot dan rangsangan dari lingkungan. Nutrisi yang baik dan seimbang akan memicu tumbuh kembang anak ke arah yang lebih baik sesuai dengan usia anak. Selanjutnya diagnosa keperawatan yang keempat yaitu cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi, diagnosa ini diangkat berdasarkan data yang ditemukan yaitu ibu klien mengatakan anak rewel dan takut bila perawat dan petugas lainnya datang, anak menangis bila dilakukan tindakan oleh perawat atau petugas kesehatan lainnya. Anak rewel dan gelisah bila perawat datang, anak menangis bila sedang dilakukan tindakan, Ibu selalu menemani anaknya. Diagnosa ini diangkat menjadi masalah keperawatan keempat oleh penulis karena kecemasan anak terhadap dampak hospitalisasi sangat rewel dan takut dengan perawat dan petugas kesehatan yang lainnya dan menangis bila sedang dilakukan tindakan oleh perawat sehingga menjadikan hubungan antara perawat dan anak menjadi lebih sulit. Diagnosa keperawatan yang ada pada teori tetapi tidak ada pada kasus yaitu kecemasan (orang tua) berhubungan dengan dampak hospitalisasi pada keluarga terhadap anak dengan penyakit kronik, diagnosa ini tidak



diangkat oleh penulis karena orang tua sudah menerima keadaan anaknya, selalu merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dan mendampingi anaknya. Sebagai manusia khususnya orang tua harus bersikap sabar dalam menghadapi semua berbagai masalah, seperti pada tafsir Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 153 “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Di sepanjang hidup manusia sering kali menghadapi berbagai kesulitan. Jika ia tidak memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menghadapinya, maka ia akan terpaksa menghadapinya, maka ia akan terpaksa mengalami Mukmin, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini, bersandar kepada dua hal. Yang pertama kesabaran dan istiqamah, dan yang kedua adalah shalat dan hubungan dengan Allah. Dengan dua hal itu, seorang Mukmin bersandar kepada dirinya sendiri (kesabaran) sekaligus bertawakal kepada kekuatan ilahi yang tak terbatas (shalat). Allah sendiri menjanjikan bahwa ia akan menolong hambanya yang taat melakukan shalat dan bersabar dan akan selalu bersama mereka. Kebersamaan Allah inilah yang merupakan pendukung terbesar bagi seorang manusia dalam menghadapi segala macam kesulitan. Selanjutnya diagnosa keperawatan risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan asupan, mual dan muntah, atau peningkatan permukaan absorptif usus yang distensi, diagnosa ini tidak diangkat karena penulis tidak menemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan, seperti anak tidak mual dan muntah, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Mei 2014 dengan hasil natrium 141 mmol/l, kalium, 3,24 mmol/l, klorida 111 mmol/l. Anak terpasang infus dengan cairan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit. Indikasi dari KAEN 1B yaitu diberikan pada pasien pasca pembedahan kurang dari 24 jam dan belum dilakukan pemeriksaan laboratorium elektrolit ulang sehinnga belum diketahui status dehidrasi pasien, dengan



komposisi Na+ = 38,5 mEq/l, Cl- = 38,5 mEq/L, Dekstrosa = 37,5 gr/L. Sedangkan indikasi KCL yaitu kation positif yang terpenting dalam cairan intraseluler yang sangat esensial untuk mengatur keseimbangan asam basa serta isotonis sel. Apabila pasien puasa karena akan dilakukan prosedur pembedahan, untuk diagnosis seperti ini tidak ada tindakan keperawatan mandiri untuk mencegah dan mengatasi sisi lain dari pernyataan tersebut, sehingga memerlukan program medis untuk terapi intravena (NANDA, 2011). Faktor pendukung dalam merumuskan diagnosa ini adalah diperolehnya data yang



lengkap



pada



pengkajian



sehingga



memudahkan



penulis



untuk



merumuskan diagnosa dan adanya status rawat inap. Faktor penghambat dalam merumuskan diagnosa adalah keterbatasan pengetahuan penulis dalam mengelompokan data-data yang sesuai dalam diagnosa keperawatan. Solusi yang dilakukan penulis yaitu bekerjasama dengan perawat ruangan dan tim kesehatan lain untuk melengkapi data-data dan lebih banyak membaca literatur terkait dengan kasus kelolaan, browsing internet dan bekerjasama dengan perawat ruangan yang memiliki pengalaman praktik lapangan dalam merawat klien, untuk menambah pengetahuan tentang kasus kelolaan. C. Perencanaan Keperawatan Perencanaan keperawatan yang disusun mengacu pada tinjauan teori dan disesuaikan dengan kondisi klien, intervensi ini disusun dengan memiliki tujuan dan kriteria hasil yang berdasarkan SMART (specific, measurable, achievable, reliable, timeable), rencana keperawatan yang dapat disusun pada klien dengan morbus hirschsprung post operasi colostomy loop sigmoid. Diagnosa pertama yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif intervensi pada kasus yang sudah sesuai dengan teori diantaranya Observasi tanda-tanda infeksi pada area sekitar stoma seperti (kalor,



dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa, pus dan perdarahan), ukur tanda-tanda vital klien setiap 6 jam, ganti alat tenun setiap hari dan pertahankan laken tetap kering, mandikan anak 2x sehari dengan wash lap air hangat, anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. Beri informasi kepada keluarga klien cara mencegah infeksi dengan mencuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar, lakukan perawatan kolostomi: ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium: leukosit, eosinofil, limfosit, kolaborasi dalam pemberian therapy Cefotaxime 2 x 500 mg melalui IV pada pukul 18.00 WIB dan 06.00 WIB, Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB, 02.00 WIB dan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit. Intervensi keperawatan mandiri maupun kolaborasi ini penulis susun berdasarkan dengan kondisi anak saat ini post operasi colostomy loop sigmoid hari ketiga dengan keadaan stoma yang rentan terhadap infeksi maka intervensi diatas perlu disusun guna mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan intervensi mandiri keperawatan yang ada pada kasus tetapi tidak ada pada teori yaitu mandikan anak 2x sehari dengan menggunakan wash lap air hangat, ganti alat tenun setiap hari dan pertahankan laken tetap kering dan anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. Pertumbuhan adalah bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur (Whalley & Wong, 2000 dalam Hidayat, 2005). Untuk mempercepat proses pertumbuhan, mencegaah terjadinya infeksi dan penyembuhan anak penulis memberikan informasi kepada keluarga untuk berikan anak makanan tinggi serat seperti buah dan sayuran segar untuk membantu memastikan feses yang keluar lebih padat. Makanan tinggi serat yang menimbulkan masalah meliputi daging berserabut, jamur, popcorn, buah-buahan



seperti buah ceri, dan beberapa makanan laut, seperti udang dan kepiting (Potter, 2005). Pasien dengan kolostomi harus menghindari makanan yang menghasilkan pengeluaran gas, bau, pedas, asam, makanan yang meliputi brokoli, bunga kol, buncis kering dan toge. Apabila terdapat masalah eliminasi berupa diare, perawat dapat merekomendasikan makanan yang mengandung rendah serat dan melarang konsumsi makanan yang umumnya menimbulkan gangguan diare yang disebabkan oleh penyakit dapat sangat melemahkan klien (Potter, 2005). Intervensi keperawatan yang ditemukan pada kasus tetapi tidak ada pada teori pada diagnosa keperawatan kedua yaitu perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi masalah ini tidak ada pada teori tetapi intervensi ini disusun karena anak yang dirawat dengan post operasi colostomy loop sigmoid akan mengalami perubahan eliminasi bowel, maka penulis menyusun intervensi sebagai berikut guna mengatasi potensial masalah keperawatan yang mungkin muncul yaitu evaluasi pola eliminasi bowel klien, auskultasi bising usus setiap jam post operasi, observasi dan ukur produksi kolostomi bag, ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses, posisikan kolostomi dengan aman, cegah terjadinya kebocoran kolostomi bag, ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih, berikan edukasi dan ajarkan kepada keluarga mengenai cara melakukan perawatan kolostomi bag. Sedangkan intervensi mandiri keperawatan yang ada pada kasus tetapi tidak ada pada teori yaitu ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih. Intervensi selanjutnya pada diagnosa ketiga yaitu resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit yang serius masalah ini tidak ada pada teori tetapi ditemukan pada kasus sehingga intervensi ini disusun karena anak yang dirawat dengan pasca pembedahan mengalami resiko gangguan pada tumbuh kembang anak, maka penulis menyusun intervensi sebagai berikut guna



mengatasi potensial masalah keperawatan yang mungkin muncul yaitu jelaskan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas perkembangan sesuai usia anak, pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang, anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering, anjurkan keluarga melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training), libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak, berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia, berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak, kolaborasi dengan tim ahli tumbuh kembang anak. Sedangkan intervensi mandiri keperawatan yang ada pada kasus tetapi tidak ada pada teori yaitu anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering dan berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak. Perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000 dalam Hidayat, 2005). Dalam mencapai kesempurnaan fungsi alat tubuh anak membutuhkan nutrisi yang seimbang. Nutrisi yang baik dan seimbang akan memicu tumbuh kembang anak ke arah yang lebih baik sesuai dengan usia anak. Sehingga penulis merencanakan intervensi anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering yang diberikan kepada Anak R pada intervensi di diagnosa resiko gangguan tubuh kembang untuk membantu dalam proses perkembangan anak sesuai usia. Pada usia 3 tahun yang seharusnya sudah sampai waktunya anak dilatih untuk buang air besar atau buang air kecil pada tempatnya (toilet training). Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk membimbing anak dengan akrab dan penuh kasih sayang tetapi juga tegas sehingga anak tidak mengalami kebingungan. Sehingga penulis memberikan informasi kepada orang tua untuk melakukan latihan toilet training, supaya anak dapat mengontrol apabila mempunyai keinginan untuk buang air kecil dan buang air besar.



Sekolah TPA/PAUD sangat dibutuhkan untuk anak usia prasekolah. Kebanyakan anak dengan penyakit morbus hirschsprung mengalami harga diri rendah



karena



secara



fisik



berbeda



dengan



teman-temannya.



Untuk



meningkatkan rasa percaya diri anak, berikan anak kegiatan sosial seperti sekolah TPA/PAUD yang dapat membantu perkembangan sosialisasi anak supaya anak dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, bermain, belajar, dan tidak minder. Intervensi selanjutnya pada diagnosa kempat yaitu cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi yaitu masalah ini tidak ada pada teori tetapi ada pada kasus sehingga intervensi ini disusun karena anak yang dirawat dengan pasca pembedahan mengalami dampak hospitalisasi, maka penulis menyusun intervensi sebagai berikut guna mengatasi potensial masalah keperawatan yang mungkin muncul yaitu kaji tingkat kecemasan anak, lakukan pendekatan dengan berbincang-bincang dengan anak, libatkan keluarga dan jelaskan dalam setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan, berikan kesempatan pada anak untuk bermain, dampingi anak saat bermain, ajarkan anak untuk sholat dan mengaji, anjurkan keluarga untuk selalu mengunjungi anak. Sedangkan intervensi mandiri keperawatan yang ada pada kasus tetapi tidak ada pada teori yaitu ajarkan anak untuk sholat dan mengaji. Faktor pendukung yang memudahkan dalam penulisan intervensi adalah adanya komputerisasi dalam dokumentasi keperawatan diruangan sehingga membantu penulisan dalam menentukan intervensi, keterampilan perawat dalam menggunakan komputerisasi sehingga perawat dengan mudah menentukan intervensi dan adanya standar asuhan keperawatan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta sehingga memudahkan perawat dalam menyusun intervensi keperawatan dan adanya literatur yang mendukung dalam penulisan intervensi keperawatan. Faktor penghambat yang penulis temukan yaitu penulis kesulitan dalam menentukan intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa.



D. Pelaksanaan Keperawatan Implementasi mengacu pada rencana tindakan keperawatan, bertujuan agar klien mempunyai kemampuan kognitif (mengetahui, memahami dan menyadari), afektif (mau dan bersedia) dan psikomotor (memperagakan, melakukan dan melaksanakan). Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisi klien. Pada diagnosa pertama yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif, semua intervensi keperawatan mandiri sudah dapat diimplementasikan. Sedangkan intervensi kolaboratif yang tidak dapat atau belum dapat diimplementasikan pada diagnosa pertama yaitu pemeriksaan laboratorium: leukosit, eosinofil, limfosit, pemberian therapy Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB, 02.00 WIB. Intervensi kolaborasi ini belum dilakukan selama penulis melaksanakan implementasi diruangan karena anak tidak demam dan belum ada instruksi dari dokter untuk pemeriksaan laboratorium. Implementasi keperawatan dalam melakukan perawatan kolostomi 3 hari sekali dilakukan untuk mempertahankan keadaan luka dan kulit disekitar luka, mencegah luka, mencegah infeksi dan meningkatkan kenyamanan. Tujuan lainnya yaitu menjaga agar stoma tetap dalam kondisi yang baik, tidak terjadi infeksi serta menjaga agar daerah sekitar stoma tetap bersih serta tidak terjadi iritasi kulit dan terhindar dari penyakit yang mungkin dapat disebabkan oleh kuman atau bakteri yang mungkin terdapat di dalam kotoran pasien jika tidak terjaga kebersihannya selain itu efisiensi biaya. Ayah dari Anak R bekerja sebagai buruh di pabrik dekat rumahnya dan ibu dari Anak R sebagai ibu rumah tangga, sehingga untuk biaya pengobatan anaknya tidak mencukupi. Dengan penuh kasih sayang dalam merawat anak, hati yang ikhlas dan doa orang tua yang selalu dipanjatkan, sehingga Allah SWT memberikan kemudahan kepada hambanya untuk biaya pengobatan Anak R seperti biaya operasi, perawatan di Rumah Sakit dan rawat jalan yang dibantu dengan jaminan kesehatan BPJS.



Pada diagnosa kedua yaitu perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi, pada dasarnya semua intervensi keperawatan mandiri sudah dapat diimplementasikan. Penulis bekerjasama dengan perawat ruangan dalam melakukan perawatan kolostomi: mengganti kolostomi bag, memberikan edukasi kepada keluarga mengenai perubahan eliminasi bowel klien, mengajarkan pada keluarga cara melakukan perawatan kolostomi bag. Penulis melakukan dan mengajarkan tehnik melepas kolostomi bag kepada keluarga dengan menggunakan minyak kayu putih karena dapat mempermudah pelepasan kolostomi bag dari kulit anak dan memberikan rasa nyaman karena hangat. Orang tua dari Anak R termasuk ke dalam pasangan usia subur. Usia ibu dari Anak R 22 tahun dan usia ayah dari Anak R 28 tahun. Anak R merupakan anak pertama dari pasangan usia subur Ny. E dengan Tn. F, usia Anak R saat ini 3 tahun. Untuk meningkatkan derajat kesehatan, penulis menghimbau kepada pasangan usia subur agar menikah di atas usia 24 tahun dan mempunyai anak sebelum usia 35 tahun karena pada usia ini seseorang sudah siap mental, fisik, biologis dan psikologis. Saat ini Ny. E menggunakan KB suntik 1 bulan. Orang tua Anak R belum mempunyai keinginan untuk mempunyai anak lagi karena sedang berfokus dalam merawat Anak R yang sedang sakit. Suntik KB 1 bulan adalah suntikan kombinasi yang mengandung hormon esterogen dan progesteron, yang diberikan satu bulan sekali. Menurut Suratun dkk (2008) cara kerja KB suntik untuk mencegah lepasnya sel telur dari indung telur wanita, mengentalkan lendir mulut rahim, sehingga menghambat spermatozoa (sel mani) masuk ke dalam rahim, menipiskan endometrium, sehingga tidak siap untuk kehamilan. Menurut Suratun dkk (2008) keuntungan suntik KB yaitu sangat praktis efektif dan aman, tidak pengaruh terhadap hubungan suami istri, tidak mempengaruhi ASI, cocok digunakan untuk ibu menyusui, dapat menurunkan kemungkinan anemia. Kerugiannya yaitu harus kembali ke pelayanan kesehatan, permasalahan



berat badan, ketidakteraturan masalah haid, mual, sakit kepala, nyeri payudara ringan dan keluhan seperti ini akan hilang setelah suntikan kedua atau ketiga. Pada diagnosa keperawatan ketiga yaitu resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit yang serius, semua intervensi keperawatan sudah dapat diimplementasikan. Sedangkan intervensi kolaboratif yang tidak dapat atau belum dapat diimplementasikan pada diagnosa ketiga yaitu kolaborasi dengan tim ahli tumbuh kembang anak. Intervensi kolaborasi ini belum dilakukan selama penulis melaksanakan implementasi diruangan karena belum ada instruksi dari dokter penanggung jawab. Pada diagnosa keempat yaitu cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi, semua intervensi yang sudah disusun dapat diimplementasikan. Pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan pada Anak R adalah pemeriksaan barium enema dengan kontras barium sulfat pada tanggal 17 Maret 2014 dengan hasil: Pada foto pre tindakan, tampak dilatasi usus dengan fekal material yang prominen. Dimasukan kontras barium melalui kateter foley no. 18 ke dalam rektum. Tampak kontras lancar mengisi rektum sampai dengan sigmoid. Kaliber sigmoid tampak melebar dengan gambaran cone shape, dinding reguler. Kaliber rektum distal sempit, dengan pelebaran segmen rektum proksimal. Tak ada filling defek atau additional shadow. Kesan: Gambaran Morbus Hirschsprung dengan zona transisi di rektum distal. Penatalaksanaan medis yang sudah dilakukan yaitu pembedahan Colostomy Loop Sigmoid yang di lakukan pada tanggal 30 Mei 2014. Tindakan pembedahan kolostomi ini merupakan tindakan pembedahan sementara di kolon berganglion normal yang paling distal. Tindakan pembedahan ini untuk menghilangkan obstruksi usus serta mencegah terjadinya enterokolitis. Dengan tindakan kolostomi ini, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3-6 bulan. Rencana tindakan operasi kedua tutup kolostomi 6 bulan yang akan datang.



Laporan operasi Anak R sebagai berikut: pasien pada posisi supine di meja operasi, dilakukan anastesi dan antisepsis, insisi tranversal pada Kouter Mc. Burney menembus kulit dan subkutis jaringan, otot peritoneum, identifikasi colon sigmoid tampak colon sigmoid dilatasi dibuat Loop Colostomy dengan menjahitkan pada 8 penjuru, colon dibuka, keluarkan udara dan feses, pasang stoma bag, selesai. Perawatan dirumah setelah pembedahan yaitu penulis memberikan informasi kepada keluarga mengenai perawatan kolostomi di rumah seperti ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali, ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih, berikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge. Anjurkan keluarga melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training), berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak, pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang, ajarkan anak untuk sholat dan mengaji, patuh minum obat secara teratur Cefixime syr 2 x sdm dan Paracetamol 3 x 120 mg melalui oral, bila berobat jangan lupa membawa kartu berobat, hasil rongten dan kartu jaminan kesehatan BPJS, kontrol kembali ke poliklinik bedah anak di lantai 1 didepan poli jantung pada tanggal 09 Juni 2014 dan patuh kunjungan ulang sesuai anjuran dokter. Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan perawatan kolostomi seperti penampilan stoma dan kulit harus merah muda dan mengkilat, tidak kemerahan dan infeksi, hubungi pelayanan kesehatan jika terjadi perdarahan dari stoma lebih dari biasanya pada saat membersihkan stoma, perdarahan dari kulit sekitar stoma, perubahan pola defekasi, perubahan ukuran stoma, suhu demam di atas 38ºC. Faktor pendukung yang penulis dapatkan selama melakukan tindakan keperawatan adalah antara keluarga pasien dan perawat sudah terjalin hubungan



kekeluargaan, keseriusan keluarga dalam pengobatan dan perawatan klien selama di rumah sakit, adanya kerjasama yang baik antara penulis dan perawat ruangan dan keluarga yang kooperatif. Faktor penghambat yang penulis temukan yaitu kurangnya waktu praktik sehingga intervensi keperawatan yang telah dibuat, kesulitan dalam melakukan implementasi kepada anak dikarenakan anak selalu menangis bila sedang dilakukan tindakan keperawatan dan dalam hal implementasinya masih dirasakan belum maksimal. Solusi yang penulis lakukan adalah dengan melihat catatan perkembangan di status klien yang telah ditulis oleh perawat yang berdinas dan penulis juga melibatkan keluarga (orang tua) dalam melakukan implementasi. E. Evaluasi Keperawatan Setelah melakukan asuhan keperawatan selama 2



kali 24 jam dan menilai



apakah tindakan keperawatan yang dilakukan sudah efektif dan efisien. Pada diagnosa pertama yaitu masalah infeksi belum teratasi ditandai dengan kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari keempat, tampak stoma pada abdomen bagian kuadran kiri bawah, sudah dilakukan perawatan kolostomi, dengan kondisi stoma kalor tidak ada, dolor tidak ada, rubor ada, tumor tidak ada, fungsiolaesa tidak ada, pus tidak ada, perdarahan tidak ada, dengan diameter stoma ± 3 cm, kolostomi terfiksasi dengan baik, anak menangis kuat pada saat dilakukan perawatan kolostomi, therapy obat diberikan Cefotaxime 500 mg pada pukul 18.00 WIB, 06.00 WIB melalui IV bolus. Perencanaan selanjutnya yaitu anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge, anjurkan kepada keluarga untuk menerapkan cuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar, anjurkan kepada keluarga untuk lakukan



perawatan kolostomi dirumah, ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali, patuh minum obat secara teratur Cefixime syr 2 x sdm dan Paracetamol 3 x 120 mg melalui oral, kontrol kembali ke poliklinik bedah anak di lantai 1 didepan poli jantung pada tanggal 09 Juni 2014 dan patuh kunjungan ulang sesuai anjuran dokter. Pada diagnosa kedua yaitu perubahan pola eliminasi bowel belum teratasi ditandai dengan ibu mengerti dengan penjelasan perawat cara perawatan kolostomi, kesadaran klien compos mentis, Post operasi Colostomy Loop Sigmoid hari empat, produksi kolostomi bag ada dengan konsistensi cair warna coklat dempul dengan jumlah ± 40 cc, bising usus ada kuat dengan frekuensi 8 kali permenit, anak menangis kuat pada saat dilakukan perawatan kolostomi, kolostomi terfiksasi dengan baik, kuat dan tidak bocor, keluarga mampu mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi. Perencanaan selanjutnya yaitu anjurkan keluarga untuk selalu ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses, ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih, posisikan kolostomi dengan aman, kontrol kembali ke poliklinik bedah anak dilantai 1 di depan poli jantung pada tanggal 09 Juni 2014 dan patuh kunjungan ulang sesuai dengan anjuran dokter. Pada



diagnosa



ketiga



yaitu



resiko



gangguan



tumbuh



kembang



berhubungan dengan belum teratasi ditandai dengan ibu klien mengatakan mengerti dengan penjelasan yang disampaikan oleh perawat dan akan mengikuti anjurannya untuk memantau tumbuh kembang anak, ibu klien terlihat memperagakan apa yang dianjurkan oleh perawat dengan mengajak Anak R duduk ditempat tidur klien kemudian berdiri, selain itu Ibu klien tampak sering mengajak Anak untuk berbicara, Anak R terlihat mampu duduk dengan bersandar bantal. Perencanaan selanjutnya yaitu anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering, pertahankan kontak antara orang tua dengan



anak dengan penuh kasih sayang, anjurkan keluarga melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training), libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak, berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak, berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia. Pada diagnosa keempat yaitu cemas pada anak belum teratasi, ditandai dengan ibu klien mengatakan bahwa ayahnya jarang mengunjungi anaknya dikarenakan bekerja, anak masih rewel dan takut bila perawat dan petugas kesehatan lainnya datang, menangis bila dilakukan tindakan, anak rewel dan takut didekati oleh perawat dan tidak mau diajak bermain. Perencanaan selanjutnya yaitu anjurkan kepada keluarga untuk selalu lakukan pendekatan pada anak dengan berbincang-bincang dengan anak, ajarkan anak untuk sholat dan mengaji, beri kesempatan anak untuk bermain, dampingi anak pada saat bermain. Faktor pendukung sangat mempengaruhi keberhasilan asuhan keperawatan adalah adanya bimbingan yang optimal dan terarah oleh pembimbing institusi dan pembimbing lahan yang begitu luar biasa sabarnya menuntun penulis, selain itu adanya kerjasama yang baik antara penulis dengan tim kesehatan lain sehingga kebutuhan dan penatalaksanaan pada klien dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan klien, selain itu keluarga yang kooperatif turut mendukung pelaksanaan implementasi, adanya pendokumentasian yang lengkap sehingga mempermudah dalam melakukan evaluasi. Faktor penghambat dalam melakukan evaluasi yaitu keterbatasan waktu penulis dalam melakukan tindakan keperawatan. Solusi yang penulis lakukan adalah kolaborasi dengan perawat ruangan yang berdinas sore dan malam untuk melakukan evaluasi setiap hari dan melibatkan serta mengalih tugaskan setiap intervensi yang disusun kepada orang tua.  



BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan “Asuhan Keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung Post Operasi Colostomy Loop Sigmoid di Lantai III Utara IRNA Teratai RSUP Fatmawati Jakarta” sejak tanggal 02 sampai dengan 03 Juni 2014, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: dalam pengkajian ditemukan data etiologi yang sesuai antara teori dan kasus seperti penyebab dari penyakit hirschsprung belum dapat diketahui secara pasti. Etiologi yang ditemukan pada kasus yaitu ada dua kemungkinan etiologi yang terjadi pada Anak R yaitu dari faktor ibu yang menikah terlalu muda di usia 18 tahun, selain itu dari faktor janin yaitu kegagalan mutasi sel sampai pada minggu ke 12 masa kehamilan. Manifestasi klinik yang ditemukan pada kasus yaitu sebelum masuk rumah sakit Anak R tidak bisa BAB sudah 2 minggu, perut kembung dan semakin lama membesar, BAB kadang seminggu sekali atau sebulan sekali, BAB cair dan berbau busuk, dirumah sering BAB dicelana. Komplikasi yang ditemukan pada kasus yaitu obstruksi usus dan gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan enterokolitis. Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada Anak R yaitu post operasi colostomy loop sigmoid pada tanggal 30 Mei 2014. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Anak R yaitu pemeriksaan barium enema dengan kontras barium sulfat pada tanggal 17 Maret 2014. Diagnosa keperawatan yang penulis jadikan masalah yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan barier kulit tidak efektif, perubahan pola eliminasi bowel berhubungan dengan post kolostomi, resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penyakit serius, cemas pada anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi.



Intervensi keperawatan yang sudah dilakukan pada Anak R yaitu pada diagnosa pertama yaitu intervensi pada kasus yang sudah sesuai dengan teori diantaranya observasi tanda-tanda infeksi pada area sekitar stoma seperti (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolaesa, pus dan perdarahan), ukur tanda-tanda vital klien setiap 6 jam, beri informasi kepada keluarga klien cara mencegah infeksi dengan mencuci tangan 5 moment dengan tehnik cuci tangan yang benar, lakukan perawatan kolostomi: ganti kolostomi bag setiap 3 hari sekali, kolaborasi dalam pemberian therapy Cefotaxime 2 x 500 mg melalui IV pada pukul 18.00 WIB, Farmadol 3 x 150 mg melalui IV pada pukul 10.00 WIB, 18.00 WIB, 02.00 WIB dan 06.00 WIB dan KAEN 1B + KCL 10 mEq 1000 cc/24 jam 4 tetes/menit. Pada diagnosa kedua yaitu evaluasi pola eliminasi bowel klien, auskultasi bising usus setiap jam post operasi, observasi dan ukur produksi kolostomi bag, ganti popok yang kering untuk menghindari kontaminasi feses, lakukan perawatan kolostomi: ganti kolostomi bag jika sudah penuh, posisikan kolostomi dengan aman, cegah terjadinya kebocoran kolostomi bag, berikan edukasi dan ajarkan kepada keluarga mengenai cara melakukan perawatan kolostomi bag. Pada diagnosa ketiga yaitu jelaskan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas perkembangan sesuai usia anak, pertahankan kontak antara orang tua dengan anak dengan penuh kasih sayang, anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan sedikit tapi sering, libatkan keluarga dalam memantau tumbuh kembang anak, berikan stimulus atau rangsangan pada anak sesuai dengan usia. Pada diagnosa keempat yaitu kaji tingkat kecemasan anak, lakukan pendekatan dengan berbincang-bincang dengan anak, libatkan keluarga dan jelaskan dalam setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan, berikan kesempatan pada anak untuk bermain, dampingi anak saat bermain, anjurkan keluarga untuk selalu mengunjungi anak.



Intervensi yang ada pada kasus tetapi tidak ada pada teori mandikan anak 2x sehari dengan menggunakan wash lap air hangat, ganti alat tenun setiap hari dan pertahankan laken tetap kering, anjurkan kepada keluarga untuk memberikan anak makan tinggi serat dan hindari makanan yang pedas, asam, mengandung gas dan bau, makanan tersebut meliputi brokoli, bunga kol, buncis dan toge, ajarkan kepada keluarga tehnik melepas kolostomi bag menggunakan minyak kayu putih, berikan kegiatan kepada anak untuk belajar di TPA/PAUD dan dampingi anak, anjurkan keluarga melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet training), ajarkan anak untuk sholat dan mengaji. Pelaksanaan intervensi kolaborasi yang belum dilakukan yaitu therapy Farmadol 3 x 150 mg, kolaborasi dalam pemeriksaan Laboratorium: leukosit, eosinofil, limfosit, kolaborasi dengan tim ahli tumbuh kembang anak. Pada tahap evaluasi, penulis dapat menyimpulkan pada diagnosa pertama resiko infeksi belum teratasi. pada diagnosa kedua yaitu perubahan pola eliminasi bowel belum teratasi. Diagnosa ketiga yaitu resiko gangguan tumbuh kembang belum teratasi. Diagnosa keempat yaitu cemas pada anak belum teratasi. Adapun faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan asuhan keperawatan pada Anak R dengan Morbus Hirschsprung post operasi colostomy loop sigmoid hari ketiga. Faktor pendukukngnya yaitu data yang lengkap pada catatan rekam medik memudahkan penulis untuk melakukan pengkajian secara menyeluruh, adanya literatur yang mendukung, selama melakukan tindakan keperawatan antara keluarga pasien dan perawat sudah terjalin hubungan kekeluargaan, adanya kerjasama yang baik antara penulis dan perawat ruangan dan keluarga yang kooperatif, adanya bimbingan yang optimal dan terarah oleh pembimbing institusi dan pembimbing lahan. Faktor Penghambatnya yaitu keterbatasan penulis dalam memvalidasi data yang diperoleh dari keluarga, keterbatasan pengetahuan penulis dalam



mengelompokan data-data yang sesuai dalam diagnosa keperawatan, kurangnya waktu praktik sehingga intervensi keperawatan yang telah dibuat, kesulitan dalam melakukan implementasi kepada anak dikarenakan anak selalu menangis bila sedang dilakukan tindakan keperawatan dan dalam hal implementasinya masih dirasakan belum maksimal, keterbatasan waktu penulis dalam melakukan tindakan keperawatan. B. Saran 1. Bagi Mahasiwa/i a.



Mahasiswa/i lebih tekun dan bersungguh-sungguh dalam memperluas ilmu pengetahuan mengenai penyakit Morbus Hirschsprung dan teori yang terkait.



b.



Mahasiswa/i dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari di institusi untuk diterapkan secara langsung kepada pasien melalui asuhan keperawatan secara mandiri dan memanfaatkan waktu praktik seoptimal mungkin agar tercapai tujuan asuhan keperawatan.



c.



Mahasiswa/i mampu meningkatkan kemampuan dalam membina kerjasama dan komunikasi dengan tim kesehatan lain seperti perawat ruangan, coas, residen dan dokter.



2. Bagi perawat Adapun saran untuk perawat ruangan yaitu agar para perawat ruangan tetap mempertahankan kerja tim yang solid, tingkatkan komunikasi yang terapeutik terhadap pasien, keluarga pasien dan tim kesehatan yang lain. Diharapkan perawat juga dapat melakukan mentoring kepada mahasiswa/i sehingga dapat melakukan pertukaran informasi dari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga pengetahuan dan keterampilan perawat dan mahasiswa/i bertambah. 3. Bagi institusi Agar pihak institusi memperbanyak buku-buku literatur di perpustakaan, sehingga memudahkan mahasiswa/i yang masih menempuh program pembelajaran di Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta.



DAFTAR PUSTAKA Alimul, H.A.A. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Betz, C.L. (2002). Buku saku keperawatan pediatri. (Jan Tambayong, penerjemah). Edisi ketiga. Jakarta: EGC. Kartono, D. (2004). Penyakit hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto. Hidayat, A.A. (2005). Pengantar ilmu keperawatan. Edisi pertama. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam, dkk. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak (untuk perawat dan bidan). Edisi pertama. Jakarta: Salemba Medika. Potter, P.A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses dan praktik. (Renata Komalasari, penerjemah). Edisi keempat. Jakarta: EGC. Suratun, dkk. (2008). Pelayanan keluarga berencana & pelayanan kontrasepsi. Jakarta: EGC. Suriadi and Yuliani, R. (2006). Asuhan keperawatan anak. Jakarta: Sagung Seto. Speer, K.M. (2007). Rencana asuhan keperawatan pediatrik dengan Clinical Pathways. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. Wilkinson, J.M. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. (Esty Wahyuningsih, penerjemah). Edisi kesembilan. Jakarta: EGC. Wong, D.L. (2003). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. (Monica Ester, penerjemah). Edisi keempat. Jakarta: EGC. Wong. D.L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik. Edisi keenam. Jakarta: EGC.