LAPORAN FARM Laporan Praktikum Toksikologi Antidotum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

I.



DASAR TEORI Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada (Donatus, 2001). Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001). Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti natrium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN) (Utama, 2006).Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006). Antidotum Sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi utamanya, yaitu : detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianatyang lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung. Pengobatan pasti dari intoksikasi sianida berbeda pada beberapa negara, tetapihanya satu metode yang disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat. Keamanandan kemanjuran dari tiap-tiap antidotum masih menjadi perdebatan



yangsignifikan. Dan tidak terdapat konsensus antar seluruh negara untuk pengobatanintoksikasi sianida (Meredith, 1993). Natrium nitrit merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan sianida. Dosis awal standart adalah 3% larutan natrium nitrit 10 ml, memerlukan waktu kira-kira 12 menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat menyebabkan hipoksia atau hipotensi, untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikotrol. Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan glukosa-6fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena dapat menyebabkan reaksi hemolisis yang serius (Meredith, 1993). Sedangkan natrium nitrit bekerja dengan mekanisme penghambatan distribusi. Natrium nitrit akan menyebabkan pembentukan methemoglobin. Natrium nitrit akan mengoksidasi sebagian hemoglobin, sehingga di aliran darah akan terdapat ion ferri, yang oleh ion sianida akan diikat menjadi sianmethemoglobin. Hal ini akan menyebabkan enzim pernafasan yang terblok (tidak dapat digunakan) akan beregenerasi lagi. Reaksi : Nitrit+Hemoglobin



Methemoglobin + Sianida



Sianmethemoglobin Natrium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida. Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin (Olson, 2007). Natrium tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25 % larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat, namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan dan disfungsi pada SSP (Meredith, 1993). Natrium tiosulfat merupakan senyawa kimia yang bekerja dengan mekanisme percepatan eliminasi. Dalam tubuh sulfur persulfida akan berikatan dengan sianida



diubah menjadi senyawa yang tidak toksik yaitu tiosianat. Kemudian tiosianat akan diekskresikan melalui urin. Reaksi : Na2S2O3 + CNII.



Na2SO3 + SCN-



PEMBAHASAN Pada praktikum ini bertujuan untuk memahami tujuan, sasaran dan strategi terapi antidot Natrium Nitrit dan Natrium Tiosulfat dalam menawarkan racun sianida. Tujuan terapi antidotum sendiri ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidotum meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran pemejanannya. Pada praktikum kali ini zat beracun yang digunkan adalah sianida. Keracunan sianida sendiri berarti meningkatkan keberadaan zat beracun sianida di sel sasaran, di mana terjadi translokasi sianida dari jalan masuk ke tempat reseptornya. Hal ini menyebabkan perubahan sianida menjadi produk aktif yang stabil, sehingga dapat menimbulkan gejala efek toksik mulai dari jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang bahkan sampai kematian. Akibat yang ditimbulkan oleh racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan rute pemejanan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Dalam tubuh, kalium sianida akan bereaksi dengan sejumlah enzim yang mengandung logam seperti enzim sitokrom oksidase. Sianida akan mengikat bagian aktif dari enzim sitikrom oksidase sehingga mengakibatkan terhentinya metabolisme sel secara aerobik. Metabolisme aerobik tergantung pada sistem enzim ini, karena enzim sitokrom oksidase merupakan katalis utama yang berperan pada penggunaan oksigen dalam jaringan. Akibatnya selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan oleh jaringan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk. Keadaan ini mengakibatkan



gejala efek toksik. Dari hasil pengamatan pada kontrol positif (sianida 0.026 mg/g BB), ketoksikan akut sianida mengakibatkan efek toksik jantung berdebar, hilang kesadaran, kejang dan pada akhirnya efek mematikan. Ada tujuh perlakuan terhadap hewan uji (tikus) dalam percobaan percobaan ini, antara lain : 1.



Pada kelompok I mencit diberikan perlakuan dengan menyuntikan sianida secara subcutan ,larutan antidotum setelah mencit tersebut sudah mengalami sianosis, hilangnya kesadaran ,kejang , kegagalan pernafasan.



2.



Pada kelompok II mencit diberikan perlakuan dengan menyuntikan sianida secara subkutan dan natrium nitrit secara peritoneal yaitu pada rongga perut.



3.



Pada kelompok III mencit diberikan perlakuan dengan menyuntikan sianida secara subkutan, setelah menimbulkan gejala sianosis mencit langsung disuntikan larutan natrium nitrit secara peritoneal yaitu pada rongga perut .



4.



Pada kelompok IV mencit diberikan perlakuan dengan menyuntikan sianida secara subkutan dan natrium thiosulfat secara peritoneal yaitu pada rongga perut.



5.



Pada kelompok V mencit diberikan perlakuan dengan menyuntikan sianida secara subkutan , setelah menimbulkan gejala sianosis mencit langsung disuntikan larutan natrium thiosulfat secara peritoneal yaitu pada rongga perut. Yang pada kelompok mencit tersebut kami ingin membandingkan bagaimana



kerja dari kedua antidotum (natrium tiosulfat dan natrium nitrit) sebagai penawar racun dalam fase distribusi. Dari hasil pengamatan pada tabel diperoleh hasil untuk kontrol negatif yaitu hanya diberikan sianida saja tanpa antidotum, dan dari hasil pengamatan ditemukan 3 mencit mati dan 1 mencit yang masih hidup. Seharusnya jika yang diberikan sianida saja maka persentase hewan uji untuk tetap hidup sangatlah rendah, namun pada hasil pengamatan yang kami lakukan hasilnya berbeda. Data selanjutnya ditemukan bahwa 4 mencit mati (semua mencit mati) pada pemberian Na Nitrit yang diberikan langsung setelah pemberian sianida. Sedang pada pemberian Na Nitrit yang diberikan setelah mencit mengalami kejang didapatkan jumlah mencit yang mati sebanyak 2, dan ada 2 mencit yang masih hidup. Hal ini menunjukan bahwa Na nitrit dapat menolong keracunan dalam fase distribusi karena untuk menentukan perbedaan antara sianosis dan kejang sangat tipis sekali. Sehingga sianida yang diperkirakan masih dalam tahap absobsi ternyata sudah memasuki tahap distribusi sehingga Na Nitrit menjadi tidak berguna lagi. Pada kedua mencit yang



hidup ini hanya satu mencit yang mengalami gejala toksik berupa kegagalan pernapasan (sesak napas) sedangkan mencit yang satunya tidak mengalami gejala apaapa. Pada pemberian antidotum Na Thiosulfat yang diberikan langsung setelah pemberian sianida, hasilnya 3 mencit mati dan 1 mencit masih bertahan hidup. Pada mencit yang masih hidup tersebut sempat mengalami gejala toksik berupa gagal pernafasan, kejang, hilang kesadaran, namun mencit tersebut masih dapat bertahan hidup. Sedangkan pada pemberian antidotum Na Thiosulfat yang diberikan setelah mencit mengalami kejang, hasilnya semua mencit mati. Semakin cepat penanganan pemberian antidotum maka akan meningkatkan prosentase kehidupan. Seharusnya pemberian antidotum sesaat setelah terjadi keracunan lebih efektif meningkatkan prosentase kehidupan dibandingkan dengan pemberian antidotum setelah muncul efek kejang. Namun pada hasil praktikum kami malah pemberian antidotum yang setelah efek kejang memiliki persentase yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pemberian antidotum sesaat setelah pemberian sianida. Hal yang menyebabkan data tidak valid bisa berupa penyuntikan yang tidak tepat, pengambilan volume yang tidak pas, penentuan gejala efek yang tidak pas serta faktor fisiologis dan daya tahan dari hewan uji yang kita pakai itu sendiri. Kalium sianida dosis 200 mg/Kg BB pada manusia menyebabkan keracunan akut yang berakibat pada kematian artinya pada dosis yang sama dengan konversi berat badan mencit, dengan dosis 0.026 mg/g BB juga menyebabkan kematian pada mencit. Dari hasil penelitian didapatkan rata-rata waktu yang dibutuhkan dari efek ketoksikan sampai efek mematikan mencit tanpa diberikan antidotum adalah sebesar 215 detik. Dengan adanya antidotum natrium tiosulfat, sianida akan mengikat sianida membentuk tiosianat yaitu suatu senyawa yang tidak toksik. Selain itu, tiosianat berbentuk ion sehingga dapat lebih mudah untuk diekskresikan. Setelah adanya percepatan eliminasi maka waktu eliminasinya menjadi lebih cepat (kurva eliminasi bergeser ke kiri) dan toksisitasnya juga menjadi berkurang (daerah di atas KTM menjadi lebih kecil). Antidotum natrium nitrit bekerja dengan mekanisme hambatan bersaing (penghambatan distribusi). Natrium nitrit menghambat distribusi sianida dengan pembentukan produk sian methemoglobin yang kurang toksik dengan cara hambatan bersaing proses metabolisme sianida sehingga dapat mengaktifkan kembali aliran



oksigen. Tetapi memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan dan disfungsi pada sistem saraf pusat. Penggunaan mencit dalam praktikum kali ini harus diseragamkan, baik jenis kelaminnya maupun bobotnya, supaya variabel-variabel yang mempengaruhi hasil dapat di kendalikan dari awal. Hewan uji juga harus dipuasakan minimal 18 jam supaya penyerapan sianida maupun antidotum yang diberikan dapat optimal dan tidak dipengaruhi faktor makanan.



III.



KESIMPULAN Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 



Gejala-gejala keracunan sianida yang teramati pada hewan uji adalah sianosis, gagal nafas, kejang, hilang kesadaran, mati.







Semakin cepat penanganan pemberian antidotum maka akan semakin meningkatkan prosentase kehidupan dari hewan uji.







Antidotum Natrium nitrit lebih efektif dalam menawarkan racun sianida dibandingkan dengan antidotum natrium tiosulfat







Natrium nitrit dapat berfungsi sebagai antidotum yang efektif pada praktikum ini karena terdapat 2 mencit yang masih hidup meskipun telah diberikan sianida.



IV.



DAFTAR PUSTAKA BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik indonesiaNo 7. Jakarta. Depkes. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Depkes RI. Donatus, I.A. 2001. Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Laboratotium Farmakologi danToksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Loomis, I.A., 1978, Essentiale of Toxycologi, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus,Toksikologi Dasar, Edisi III, IKIP Semarang Press, Semarang. Ningsih dwi, yane DK, sunarti. 2016. Buku Petunjuk Praktikum Toksikologi. Universitas Setia Budi.