Laporan Uji Absorpsi Obat Perkutan Secara in Vitro Fix-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL 5 ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO I. II.



TUJUAN Mempelajari absorpsi obat perkutan secara in vitro PRINSIP Prinsip praktikum ini adalah : 2.1 Absorpsi Berdasarkan absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul- molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologis 2.2 Derajat ionisasi Berdasarkan perbandingan jumlah mol zat yang terionisasi dengan jumlah mol zat mula-mula 2.3 Kecepatan transport obat Berdasarkan permeabilitas membran biologis terhadap suatu obat dapat di gambarkan oleh koefisien partisi dengan mempunyai hubungan linear dengan kecepatan transport atau kecepatan absorpsinya



III.



TEORI Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh



luar baik fisik atauoun kimia. kulit berfungsi sebagai system epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-substansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. meskipn kulit relative permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat di tembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang di aplikasikan ke permukaannya. kulit manusia merupakan organ terluas dari tubuh. berat total kulit manusia adalah 3 kg dengan luas permukaan 1,5-2 m2. kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan jaringan subkutan. juga terdapat komponen kulit seperti folikel rambut,



1



2



saluran keringat, kelenjar apokrin dan kuku. secara umum kulit berfungsi sebagai pelindung tubuh, pengatur suhu tubuh dan indera peraba. a) Sratum korneum Disebut juga non variable epidermis. merupakan lapisan kulit paling luar yang merupakan penghalang utama masuknya senayawa asing. ratarata ketebalan stratun korneum adalah 10-20 mm dengan struktur yang terdiri dari briek dan



mortor yang merupakan barrier pengontrol



kecepatan dalam absorpsi trnadermal. sebagian besar stratum korneum terdiri dari protein dan keratin sehingga daya absropsi besar terhadap air b)



dan bahan-bahan yang bersifat polar lainnya. Epidermis Bagian dari kulit yang berlapis-lapis dengan ketebalan 0.06 mm pada kelopak mata dan sekitar 0.08 mm pada telapak tangan dan kaki. tidak



c)



terdapat pembuluh darah dalam epidermis. Dermis Tebal sekitar 2.5 mm dan terdiri atas fibril kolagen sebagai penyangga dan plastic connective tissue yang menyediakan elastisitas dan fleksibilitas yang melekat dalam matriamucopoly saccharide. dermis menyediakan perlindungan saat terjadi permeasi oleh obat terapi dapat mengurangi permeasi ke dalam jaringan yang lebih dalam saat obat



d)



yang lipofilik masuk. Jaringan subkutan Terdiri dari lapisan sel lemak yang tersusun sebagai lobula dengan adanya kolagen yang saling berhubungan dan mastin fibers. fungsi utama jatingan subkutan yakni menyekat panas dan melindungi kulit



dari physical shock. jalur umum yang di lewati senyawa aktif untuk menembus kulit yakni melalui lapisan korneum. jalur intraseluler dan jaringan tambahan : a) Lapisan stratum korneum Jalur transseluler dimana obat obat menyebrangi kulit menyebrangi kulit secara langsung dengan melewati keuda fosfolipid membran dan b)



sitoplasma keratinosit mati yang merupakan stratum korneum. Jalur interseluler



3



Obat melintasi kulit dengan melewati ruang-ruang kecil di antara sel-sel kulit. Jalur tambahan Yakni folikel dan kelenjar Absorpsi perkutan Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau c)



senyawa eksternal. absopsi perkutan di pengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan pembawa serta kondisi kulit. pada pemakaian obat secara topical, obat berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan sebum) selanjutnya menembus epidermis. Kulit relative inpermeabel untuk sebaguan besar senyawa, untuk itu perlu banyak pertimbangan untuk pemberian obat-obatan nelalui kulit untuk efek sistemik. persyaratan untuk absorpsi obat transdermal obat yang dapat melintasi lapisan-lapisan dari epidermis dan masuk ke dalam jaringan yang terdapat di dermis, sehingga obat dapat mencapai kapiler pembuluh darah. Pengujian absorpsi perkutan secara in vitro menunjukkan bahwa stratum korneum merupakan merupakan sawar utama untuk banyak senyawa. stratum korneum impermeabel terhadap molekul-molekul hidrofilik dan sangat permeabel untuk molekul lipofilik. hal ini di karenakan sel-sel penyusun stratum korneum yang terdiri dari lemak dan protein keratin serta susunannya yang padat. Absorpsi perkutan dapat di definisikan sebagai absorpsi obat ke dalam stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutanya obat menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya obat masuk ke dalam sirkulasi darah. Penyerapan perkutan merupakan gabungan penembusan suatu senyawa dan lingkungan luar ke bagian kulit dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit menunjukkan bahwa proses penembusan terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Absorpsi perkutan suatu senyawa di ketahui dengan melakukan uji difusi in vitro dengan melibatkan sel difusi yang terdiri dari dua kompartemen yaitu kompartemen donor dan kompartemen akseptor yang di pisahkan oleh membran. studi permeasi in vitro menggunakan sel difusi karena dapat menguji obat dalam bentuk larutan, sediaan semipadat atau patchdermal. evaluasi yang di lakukan berupa transfer amssa menembus kulit dengan mengukur kadar obat dalam akseptor. uji



4



permeasi in vitro menggunakan sel difusi franz-cell harus memperhatikan kondisi penghantaran obat dapat bergantung pada kulit atau membran yang di gunakan. Uji Difusi In Vitro Pada Sediaan Transdermal Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Industri Vankel di awaltahun 1990.Sel difusi Franz adalah suatumetode yang sederhana untukpengujian sediaan semipadat. Alat



ini



terdirIdari



kompartemen



donor



yangberukurankecil,



kompartemen



penerimaberbentuk silinder yang dilengkapidengan magnet stir- bar. Metode ini digunakan untuk pengujian disolusi terhadap pe ningkat penetrasi secara in vitro.



Gambar Sel Difusi Franz



IV.



Alat dan Bahan IV.1 Alat Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu : Vial, Alat difusi Franz cell, Spektrofotometer UV-Vis, Membran filter, Spuit/suntikan, Water bath, Timbangan analitik. IV.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu : Kertas wathman, Asam salisilat, Aquadest, Dapar fosfat pH 7,4, Isopropil miristat, dan Barr stirrer.



5



V. V.1



PROSEDUR PERCOBAAN Pembuatan Kurva Baku Asam Salisilat. Kurva baku Asam Salisilat 500 ppm dibuat dengan cara, Asam Salisilat



ditimbang sebanyak 50 mg, lalu dilarutkan dengan air panas sampai larut dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas di dalam labu ukur 100 mL. Pengenceran dibuat dengan konsentrasi 75, 120, 125, 150, 175 dan 200 ppm dalam 10 mL, lalu dicek absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang 300nm. Data yang diperoleh dibuat grafik regresi linier. V.2 Pembuatan Larutan Sampel Asam Salisilat. Larutan sampel Asam Salisilat 1,5 mg/ml dibuat dengan cara, Asam Salisilat ditimbang sebanyak 150 mg, lalu dilarutkan dengan air panas sampai larut dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas di dalam labu ukur 100 mL. V.3 Penyiapan Membran Kulit Buatan Sebagai Membran Difusi. Kertas Whatman dipotong bentuk lingkaran seukuran dengan besar cincin penghubung antara kompartemen donor dan kompartemen aseptor pada Franz Cell, kemudian kertas tersebut direndam dengan Isopropil Miristat selama± 15 menit. Kertas Whatman diletakkan di atas kertas saring dan didiamkan selama ± 5 menit, kemudian kertas tersebut direndam lagi dalam dapar Fosfat pH 7,4 selama ± 30 menit. Kertas Whatman siap digunakan sebagai membran kulit buatan. V.4 Pelaksanaan Uji Difusi Menggunakan Franz Cell. Franz Cell ditempatkan di atas magnetic stirrer. Larutan dapar Fosfat pH 7,4 dimasukkan dalam kompartemen aseptor beserta dengan magnetic bar. Membran kulit buatan yang sudah disiapkan, diletakkan pada cincin penghubung antara kompartemen donor dan kompartemen aseptor, lalu mur yang ada dikencangkan. Larutan sampel Asam Salisilat 1,5 mg/ml dimasukkan pada kompartemendonor, kemudian magnetic stirrer dijalankan pada kecepatan 120 rpm pada suhu 37°C. Pengukuran difusi Asam Salisilat dari kompartemen donor ke aseptor dilakukan selama rentang waktu 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 dan



6



60 menit dengan pengambilan larutan pada kompartemen aseptor sebanyak 5 mL. Setiap kali pengambilan, dimasukkan dapar Fosfat pH 7,4 sebanyak 5 mL untuk menggantikan larutan kompartemenaseptor yang telah diambil, lalu larutan dicek menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.Data yang diperoleh dibuat profil hubungan antara persen terdifusi terhadap waktu dan flux. VI.



DATA PENGAMATAN Tabel 6.1 Data Absorbansi Larutan Induk Asam Salisilat 500 ppm Konsentrasi (ppm) 10 20 30 40 50 60 70 80



Absorbansi 0,207 0,43 0,769 0,936 1,189 1,419 1,586 1,858



Gambar 6.1 Kurva Baku Asam Salisilat 500 ppm Tabel 6.2 Data Pengamatan Difusi Asam Saliailat Dapar dalam Fosfar pH 7,4 Waktu (menit) 0 5



% Terdi fusi -0,054 0,055



7



10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60



0,21 0,278 0,305 0,354 0,39 0,471 0,548 0,702 0,815 0,872 1,008



Gambar 6.2 Grafik % Terdifusi Asam Salisilat dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Tabel 6.3 Data Pengamatan Fluks Asam Salisilat dalam Dapar Fosfat pH 7,4



Waktu (menit) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50



Fluks 0 0,000125 0,000251 0,000219 0,00018 0,000169 0,000151 0,000157 0,000161 0,000185 0,000191



8



55 60



0,000185 0,000199



Gambar 6.4 Grafik Fluks Asam Salisilat dalam Dapar Fosfat pH 7,4 VII.



PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi obat perkutan secara in



vitro terhadap suatu obat menggunakan alat Franz Cell tipe vertikal. Tipe horizontal digunakan untuk sediaan transdermal, sedangkan tipe vertikal digunakan untuk sediaan topikal. Prinsip kerja dari alat Franz Cell adalah dengan meletakkan membran semi permeabel di antara kompartemen donor dan reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang masuk ke dalam cairan reseptor diukur kadarnya menggunakan spektrofotometer UV/Vis. Pada pengujian ini kulit yang digunakan adalah kulit sintesis yaitu membran (kertas Whatmann) yang telah diimpregnasi dengan isopropil miristat di mana membran tersebut menggambarkan stratum korneum yang menjadi penghalang utama obat melewati kulit. Isopropil miristat ini digunakan sebagai enhancer agar obat dapat dengan mudah berpenetrasi. Namun kandungan atau kadar isopropil miristat ini harus tepat dikarenakan akan memengaruhi penetrasi obat, sehingga kelebihan isopropil miristat pada membran harus dihilangkan dengan cara menaruh membran di antara dua kertas saring.



9



Untuk mencapai tempat kerja suatu obat pada jaringan, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel pada kulit. Umumnya membran sel memiliki struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid yang semipermeabel. Obat yang diuji laju absorbsinya pada kulit adalah Asam Salisilat. Penggunaan utama Asam Salisilat adalah sebagai keratolitik pada penyakit kulit. Kelarutannya dalam air sangat buruk sehingga sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Hal ini lah yang menjadi alasan Asam Salisilat sering digunakan sebagai obat topikal, Asam Salisilat dapat diabsorbsi secara cepat karena sifatnya yang cenderung lipofilik. Bioavaibilitas absorbsi Asam Salisilat melalui kulit antara 11,8% - 30,7% (Lee, 2003). Pengujian difusi dan absorbsi Asam Salisilat dilakukan dengan alat Franz Cell, di mana pengujian dilakukan dengan metode difusi tipe vertikal. Franz Cell merupakan metode pengujian difusi secara in vitro, di mana kondisi pengujian disesuaikan dengan kondisi pada manusia, sehingga digunakan kulit sintetis dari kertas Whatman yang dibuat mirip dengan kondisi membran pada kulit manusia. Kompartemen reseptor berisi dapar fosfat pH 7,4. Pemilihan dapar fosfat pH 7,4 dimaksudkan untuk mengkondisikan cairan seperti pH tubuh normal, yaitu tubuh manusia normal mempunyai kisaran pH 7,35 sampai 7,45. Pengkondisian pH dan suhu sesuai dengan pH dan suhu manusia normal dimaksudkan untuk menghasilkan nilai pengukuran yang mendekati atau sama dengan bila pengujian dilakukan langsung terhadap tubuh manusia. Selain perlakuan dengan menggunakan dapar yang mengkondisikan pH cairan tubuh, alat difusi Franz Cell pun di simpan di atas magnetic stirrer dengan pengaturan suhu 370C yang dikondisikan seperti suhu tubuh manusia normal. Pada kompartemen aseptor juga ditambahkan magnetic bar dengan kecepatan 120 rpm, hal ini menggambarkan sirkulasi darah dalam tubuh yang terus mengalir. Obat yang menembus membran melalui pori-pori harus larut terlebih dahulu dan selanjutnya akan berdifusi meninggalkan membran dan masuk ke dalam media reseptor. Pada difusi pasif, digunakan fluks obat yang melewati membran sebagai fungsi perbedaan. Fluks ini merupakan kecepatan difusi persatuan waktu dan luas



10



permukaan membran serta jumlah (mg) terdifusi mempengaruhi kecepatan difusi, di mana jumlah (mg) terdifusi memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan fluks difusi yaitu semakin besar jumlah (mg) terdifusi maka semakin cepat pula fluks difusi yang dihasilkan dari obat tersebut. Kecepatan difusi memengaruhi terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Semakin luas permukaan membran semakin cepat obat tersebut menembus dan semakin banyak jumlah (mg) obat yang terdifusi semakin cepat berpenetrasi dan cepat menghasilkan efek terapeutiknya. Berdasarkan data pengamatan, difusi Asam Salisilat pada kulit buruk dikarenakan pada menit ke-60, persen terdifusi hanya mencapai 1,008% yang artinya hanya sebagian kecil Asam Salisilat masuk ke peredaran darah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kesalahan pada preparasi, sampling, ataupun absorbansi menit awal dari sampel tidak memasuki rentang absorbansi dari Asam Salisilat larutan baku. VIII.



KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan yang telah diakukan dapat disimpulkan bahwa



persentase difusi Asam Salisilat tidak tepat sebab tidak mencapai persentase difusi seluruhnya, yaitu 100% pada menit ke-30 pengujian. IX.



DAFTAR PUSTAKA Sinko. 2011. Farmasi Fisika Dan Ilmu Farmasetika. Jakarta: EGC Syukri. 2002. Kimia Dasar I. Bandung: ITB Watson,d. 2007. Analisis Farmasi. Jakarta: EGC



11