LP Moderate Head Injury Terbaruuu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Telah disetujui pembimbing klinik



Telah disetujui pembimbing Akademik



Hari/Tanggal:



Hari/Tanggal:



Tanda Tangan:



Tanda Tangan:



KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PROGRAM PROFESI NERS



NAMA: M. Irvan Adinata, S. Kep



Laporan Pendahuluan Moderate Head Injury Di Rungan HCU Kemuning Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung



PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES DEHASEN BENGKULU TA 2017-2018



A. Konsep teori 1. Pengertian Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan dikepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis. Trauma kepala adalah trauma yang disebabkan oleh kekuatan fisik eksternal yang dapat menimbulkan atau merubah tingkat kesadaran. Hal tersebut dapat berupa kerusakan atau gangguan kegiatan sehari-hari (Carpenito, 2000) Cedera kepala sedang (Moderat Head Injury) Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturned atau stupor. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang. 2. Anatomi dan Fisiologi Otak Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak didalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang mengandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Hudak dan Gallo, 2002). Otak dibagi dalam beberapa bagian: a. Serebrum (otak besar) Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis media. b. Batang otak (trunkus serebri) Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak.



3. Etiologi Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu: a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya. b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.



4. Klasifikasi Cedera Kepala Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut: a. Cedera kepala ringan (mild HI) Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala b. Cedera kepala sedang (moderat HI) Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang. c. Cedera kepala berat (severe HI) Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial. 5. Patofisiologi Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik. Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.



Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup. Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi. Pathway



7. Komplikasi Kompilkasi yang dapat terjadi sebagai berikut : a) Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya meningitis (biasanya pneumokok). b) Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen. c) Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. d) Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial atau fraktur depresi. 8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan diagnostik a. CT Scan mengidentifikasi hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak b. MRI Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras c. Angiografi serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma d. EEG Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis e. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi kortexs dan batang otak g. PET (Position Emission Tomography) Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak



Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Data-data dalam pengkajian ini meliputi: 1. Identitas a. Identitas klien Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa medis dan alamat. b. Identitas penanggung jawab Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat. 2. Riwayat kesehatan a. Alasan masuk Rumah Sakit Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga. b. Keluhan utama saat dikaji Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasideselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam. c. Riwayat kesehatan dahulu Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang. d. Riwayat kesehatan keluarga Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.



3. Pemeriksaan fisik a. Sistem pernafasan Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes,ataxia breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada. b. Sistem kardiovaskuler Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan intra kranial. c. Sistem pencernaan Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan. d. Sistem perkemihan Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. e. Sistem muskuloskeletal Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal. f. Sistem integumen Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan dimeningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris. g. Sistem persyarafan Test fungsi serebral 4. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh: a. Gangguan/ kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata b. Adanya obstruksi trakeobronkial Tujuan: Pola nafas efektif dalam batas normal



Kriteria evaluasi: 1. Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk dewasa) dan iramanya teratur 2. Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing 3. Tidak ada pernafasan cuping hidung 4. Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi 5. Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu: pH darah: 7,35-7,45 PaO2: 80-100 mmHg PaCO2: 35-45 mmHg HCO3: 22-26 mEq/ L BE: -2,5 - +2,5 Saturasi O2: 95-98% Intervensi



Rasional



1. Monitor kecepatan, kedalaman, Perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian frekuensi, irama dan bunyi nafas berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luas-nya bagian otak yang terkena Dengan menempatkan pasien posisi semi fowler 2. Atur posisi pasien dengan posisi maka akan mengurangi penekanan isi rongga perut semi fowler (150 – 450) terhadap diapraghma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu. Kepala ditinggikan dengan tempat tidur (tanpa bantal) untuk cegah hiperekstensi/ fleksi 3. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural



Dengan dilakukannya penghisapan lendir maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi dari sekret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif. Penghisapan dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya iritasi saluran nafas dan refleks vagal



4. Berikan posisi semi prone lateral/ miring. Bila tidak ada kejang dan setelah 4 jam pertama, ubah posisi miring atau prone (telentang) tiap 2 jam



Posisi semi prone dapat membantu keluarnya sekret dan mencegah aspirasi sehingga dapat membuka jalan nafas. Mengubah posisi dapat berguna untuk merangsang mobilisasi sekret di saluran pernafasan



5. Apabila pasien sudah sadar, Latihan nafas dalam berguna untuk melatih anjurkan dan ajak latihan nafas dalam complain paru 6. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan terapi oksigen dan komplikasi yang mungkin timbul



Pemberian oksigen terapi tambahan dapat meningkatkan oksigenisasi otak untuk mencegah hipoksia. Monitor pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya pemberian oksigen yang berlebihan, iritasi saluran nafas Analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respiratori, keseimbangan asam basa dan



7. Lakukan kolaborasi dengan tim kebutuhan terapi medis dalam melaksanakan analisa gas darah



2. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh: a. Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak b. Kelainan sirkulasi serobrospinal c. Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik Tujuan: Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi Kriteria evaluasi: Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti tekanan darah meningkat, denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, hipertermia, pupil melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif, kesadaran bertambah buruk, nilai GCS < 1 Intervensi



Rasional



1. Monitor status neurologis Hasil dari pengkajian dapat diketahui secara dini yang berhubungan dengan tanda- adanya tanda-tanda dan peningkatan tekanan intra tanda TTIK terutama GCS. kranial sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya penurunan nilai GCS menandakan adanya TTIK 2. Monitor tanda-tanda vital: Dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda TTIK tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal setiap jam sampai keadaan pasien stabil Dengan posisi kepala 150-450 dari badan dan kaki 3. Naikkan kepala dengan maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran sudut 150-450, tanpa bantal balik darah vena kepala sehingga mengurangi (tidak hiperekstensi dan fleksi) kongesti serebrum, edema dan mencegah terjadinya dan posisi netral (dari kepala TTIK. Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi hingga daerah lumbal dalam garis dapat mencegah penekanan pada saraf medula spinalis lurus) yang menambah TTIK.



4. Monitor asupan haluaran setiap 8 jam sekali



5.



Kolaborasi



dengan



dan



Tindakan ini untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi TTIK



Manitol atau gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler (sel) ke ekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk tim meningkatkan ekskresi natrium dan air yang



medis dalam pemberian obat- diinginkan, untuk mengurangi edema otak. obatan anti edema seperti Demam menandakan gangguan hipotalamus. manitol, gliserol dan lasix Peningkatan kebutuhan metabolik karena demam dan 6. Monitor suhu dan atur suhu suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan lingkungan sesuai indikasi. Batasi TTIK pemakaian selimut, kompreslah Mengurangi hiposemnia yang dapat meningkatkan bila suhunya tinggi (demam) vasodilatasi serebri, volume darah dan tekanan intra 7. Berikan oksigen sesuai kranial. program terapi dengan saluran Aktifitas seperti itu dapat meningkatkan tekanan pernafasan yang lancar intratorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan 8. Bantu pasien untuk TTIK. menghindari/ membatasi batuk, muntah atau mengedan seperti pada saat BAB



3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus Tujuan: Cairan elektrolit tubuh seimbang Kriteria evaluasi: a. Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan haluaran urin 1-2 cc/ KgBB/ jam b. Turgor kulit baik c. Nilai elektrolit tubuh normal: Intervensi



Rasional



1. Monitor asupan-haluaran setiap Monitor asupan-haluaran untuk mendeteksi 8 jam sekali dan timbang berat badan timbulnya tanda-tanda kelebihan atau setiap hari dapat dilakukan kekurangan cairan yang dapat dibuktikan pula dengan penimbangan berat badan (BB) Berguna untuk menghindari peningkatan 2. Berikan cairan setiap hari tidak cairan di ruang ekstra seluler yang dapat boleh lebih dari 2000 cc menambah edema otak Dapat membantu kelancaran pengeluaran 3. Pasang dower kateter dan urin sehingga terjadi urin statis. Monitor monitor warna urin, bau urin dan kualitas dan kuantitas urin untuk mencegah komplikasi. aliran urin Lasix



dapat



membantu



meningkatkan



4. Kolaborasi dengan tim medis dalam ekskresi urin pemberian Lasix Pada trauma kepala dengan pemakaian 5. Kolaborasi dengan tim analis untuk manitol dan obat-obatan diuretik dapat pemeriksaan kadar elektrolit tubuh mengalami ketidakseimbangan elektrolit hiponatremia dan hipokalemia. Untuk itu perlu pemeriksaan elektrolit setiap hari.



4. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan yang disebabkan oleh: a. Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran b. Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau menelan c. Hipermetabolik d. Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan Tujuan: Kekurangan nutrisi tidak terjadi Kriteria evaluasi: 1. Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100)) 2. Tanda-tanda malnutrisi tidak ada 3. Nilai-nilai hasil laboratorium normal: Intervensi



Rasional



1. Monitor kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk dan cara mengeluarkan sekret



Dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan, karena pasien harus dilindungi dari bahaya aspirasi



2. Auskultasi bising usus dan catat Fungsi gastro-intestinal harus tetap bila terjadi penurunan bising usus dipertahankan pada penderita trauma kepala. Perdarahan lambung akan 3. Timbang berat badan menurunkan peristaltik (bising usus 4. Berikan makanan dalam porsi lemah). Bising usus perlu diketahui untuk sedikit tapi sering, baik melalui menentukan pemberian makanan dan mencegah komplikasi Nasogastrik tube (NGT) maupun oral berat badan dapat 5. Tinggikan kepala pasien dari Penimbangan badan ketika makan dan buat posisi mendeteksi perkembangan berat badan miring dan netral/ lurus setelah makan Memudahkan proses pencernaan dan 6. Lakukan kolaborasi dengan tim toleransi pasien terhadap nutrisi kesehatan (analis) untuk pemeriksaan, protein global, globulin, albumin dan



Hb



Mencegah regurgitasi dan aspirasi



7. Berikan makanan melalui oral, NGT atau IVFD



Untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi fungsi organ dan respon nutrisi, serta menen-tukan pemberian hiperalimentasi karena protein yang banyak keluar dari cairan serebrospinal Pemberian makanan dapat disesuaikan dengan kondisi pasien



5. Gangguan mobilisasi fisik, sehubungan dengan : a. Imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring b. Menurunnya kekuatan/ kemampuan motorik Tujuan: Mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living), Tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi Kriteria evaluasi: a. Pasien mampu dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan fungsi gerak b. Tidak terjadi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni c. Mampu mempertahankan keseimbangan tubuh d. Mampu melakukan aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL) pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan



Intervensi



Rasional



1. Koreksi tingkat kemampuan Untuk menentukan tingkat aktifitas dan mobilisasi dengan skala 0-4 bantuan yang diberikan 2. Atur posisi pasien dan ubahlah secara teratur tiap 2 jam sekali bila tidak ada kejang atau setelah 4 jam pertama. Ubah posisi dengan mempertahankan posisi netral sewaktu membalikkan tubuh pasien terutama bila ada trauma spinal



Mengubah posisi pasien secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. Pasien dengan kejang tidak boleh banyak dirangsang dengan gerakan-gerakan motorik karena akan merangsang terjadinya kejang. Posisi netral akan 3. Bantu pasien melakukan gerakan- mencegah trauma lebih berat pada daerah gerakan sendi secara psif bila kesadaran saraf spinal dan mencegah bertambahnya menurun dan secara aktif bila pasien TTIK kooperatif Mempertahankan fungsi sendi dan 4. Observasi/ kaji terus kemampuan mencegah penurunan tonus dan kekuatan gerakan motorik, keseimbangan, otot dan mencegah kontraktor koordinasi gerakan dan tonus otot 5. Buat posisi seluruh persendian dalam letak anatomis dengan memberi Untuk melihat penurunan atau peningkatan penyanggah pada lekukan-lekukan fungsi sensoris-motoris (fungsi neurologis) sendi, telapak tangan dan kaki 6. Lakukan massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenuin Untuk mencegah kontraktur sendi bersih dan kering 7. Lakukan perawatan mata dengan memberi cairan aira mata buatan dan tutup mata dengan kasa steril lembab Meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit sesuai indikasi. 8. Bantu pasien seluruhnya dalam Untuk mencegah iritasi mukosa mata memenuhi kebutuhan ADL bila karena kekeringan dan mencegah trauma pada mata yang tidak dapat tertutup karena kesadaran belum pulih kembali penurunan kemampuan gerakan kelopak 9. Observasi BAB dan bantu BAB mata secara teratur, periksa feses yang mengeras dan terjepit di anus. Kolaborasi dengan dokter pemberian Bantuan yang diberikan akan mampu supositoria dan pengeluaran feses secara memenuhi kebutuhan ADL manual bila ada kesukaran BAB



10. Berikan motivasi dan latihan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya sesuai kebutuhan pada tahap rehabilitasi 11. Anjurkan keluarga pasien untuk Tidak lancarnya BAB akan menyebabkan turut membantu melatih dan memberi distensi abdomen dan terjepitnya feses pada anus akan merangsang refleks vagal motivasi yang dapat menambah TTIK. Tidak 12. Lakukan kolaborasi dengan tim lancarnya BAB dapat disebabkan karena kesehatan lain (fisioterapi) dan pekerja kurangnya mobilisasi sosial dalam terapi fisik dan pekerjaan Motivasi ini diberikan untuk meningkatkan semangat hidup pasien agar lebih mandiri dalam memenuhi ADL. Hal ini untuk menghindari ketergantungan pasien pada orang lain. Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam memberikan dukungan moril pasien sehingga pasien akan optimis dalam keterbatasannya Dengan memberikan terapi fisik dan pekerjaan akan melatih pasien untuk belajar mandiri setelah pulang ke rumah



6. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh: a. Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis) b. Penurunan daya penangkapan sensoris Tujuan: Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/ normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi Kriteria evaluasi: 1. Tingkat kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5 2. Fungsi alat-alat indra baik 3. Pasien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu



Intervensi



Rasional



1. Monitor respon sensoris terhadap Informasi yang didapat melalui pengkajian raba/ sentuhan, panas/ dingin, tajam/ sangat penting untuk mengetahui tingkat tumpul dan catat perubahan-perubahan kegawatan dan kerusakan otak yang terjadi 2. Monitor persepsi pasien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan Hasil pengkajian dapat menginformasikan pasien berorientasi terhadap orang, penurunan fungsi otak yang terkena dan membantu intervensi selanjutnya tempat dan waktu 3. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembali- Stimulus dapat merangsang kembalinya nya fungsi persepsi yang maksimal kemampuan persepsi sensoris, tingkat seperti: mengajak bicara (walau tanpa kesadaran dan memori pasien jawaban), taktil dengan memberikan sentuhan dan pendengaran dengan musik atau bunyi-bunyian. 4. Berbicaralah pada pasien dengan tenang, lembut menggunakan kalimat yang sederhana. Tunggu respon pasien/ jawaban dengan sabar baik melalui verbal,



Membantu pasien berkomunikasi untuk merangsang kondisi pasien, perhatian dan pemahaman kembali ke arah normal (semaksimal mungkin)



isyarat atau tulisan Gangguan persepsi sensoris dan buruknya 5. Berikan keamanan pasien dengan keseimbangan dapat meningkatkan resiko pengaman sisi tempat tidur, bantu terjadinya injuri latihan jalan dan lindungi dari cedera



DAFTAR PUSTAKA



Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Carpenito, L.J. 2000. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Doenges, M.E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hudak dan Gallo. 2002. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. Mosby. Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. Mosby. NANDA. 2005. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia: North American Nursing Diagnosis Association.