LP (Pertimbangan Anestesi) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Pertimbangan Anestesi 1. Definisi Anestesi Anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman pasien, dan rasa lain yang tidak diharapkan. Anestesiologi adalahi lmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien selama mengalami “kematian” akibat obat anestesia (Mangku, 2010). Anestesi atau disebut dengan keadaan tidak peka terhadap rasa sakit, sangat berguna untuk melakukan suatu tindak pembedahan karena agar hewan tidak menderita dan demi efisiensi kerja, karena hewan menjadi diam sehingga suatu tindak pembedahan dapat dikerjakan dengan lancar dan aman. Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak dan “Aesthesis” yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa tetapi bersifat sementara dan akan kembali kepada keadaan semula, karena hanya merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan syaraf baik lokal maupun umum (Sudismadkk, 2006). Dalam Anestesiologi dikenal Trias Anestesi “The Triad of Anesthesia” yaitu sedasi (kehilangan kesadaran), Analgesia (mengurangi rasa sakit), dan Relaksasi otot (Kurnia dkk., 2010). Secara umum anestesi berarti kehilangan perasaan atau sensasi. Tujuan penggunaan anestesi pada dasarnya adalah untuk membuat agar hewan tidak merasakan rasa sakit atau tidak sanggup bergerak. Anelgesia yang memadai (analgesia) adalah sebuah syarat mutlak untuk teknik pembedahan dalam menyelesaikan tujuan dilakukan pembedahan (Sudisma, 2006). 2. Jenis Anestesi a. General Anestesi Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak



dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan tubuh. Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi (Royal College of Physicians (UK), 2011). Anestesi umum meliputi: 1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia) 2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intraena (TIVA=Total Intravenous Anesthesia). Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas menurut Perry & Potter (2006).



b. Regional Anestesi Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013). Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk, 2011). Tujuan Spinal Anestesi Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal anestesi dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik. Kontra indikasi Spinal Anestesi Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia yang belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan hipotensi berat. Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 yaitu :



1) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup 2) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera. 3) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan. c. Lokal Anestesi Anestesi local adalah suatu upaya untuk menghilangkan berbagai macam sensasi seperti rasa nyeri untuk sementara waktu yang terjadi pada beberapa bagian tubuh tanpa diikuti dengan hilangnya kesadaran (Simangunsong, 2015). Bahan anestesi lokal yang digunakan dengan kadar yang cukup dapat menghambat penghantaran impuls ke ujung saraf bebas dengan menghasilkan blokade gerbang sodium yang akan menurunkan sensasi rasa sakit pada sebagian tubuh tanpa merusak serabut atau sel saraf dan bersifat reversible (Nasution, 2014). Anestesi lokal bersifat ringan dan hanya digunakan untuk tindakan yang memerlukan waktu singkat, karena efek yang diberikan bahan anestesi local hanya dapat bertahan selama kurun waktu sekitar 30 menit setelah diinjeksikan. 3. Teknik Anestesi Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan dari ibu, keselamatan bayi, kenyamanan ibu serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi tersebut. Pada sectio caesarea terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anethesta (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spainal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi sescgera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra. Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA apabila waktu bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal dan RA epidural lebih



disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada sebagian kasus sectio caesarea. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA. Selain itu, GA juga meningkatkan kebutuhan resusitasi pada neonatus. General Anestesi Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA) : a. Intubasi Trakhea (ETT) Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasiotrakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. ETT pipa endotrakheal terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm(Latief, 2007). Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut (Latief, 2007): 1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain 2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.



Kotraindikasi ETT, menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain: 1) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom 2) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis 3) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial 4) Benda asing 5) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher 6) Obesitas 7) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing, halo tractionh. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi moncong. b. Laryngeal Mask Airway (LMA) LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di hipofaring berupa balon yang jika dikembangkan akan membuat daerah sekitar laring tersekat sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun ventilasi tekanan positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus (Dorsch, 2009). LMA memberikan strategi baru dalam pelaksanaan jalan napas kerena cara pemasangan yang mudah, memerlukan sedikit latihan dan dapat dilakukan oleh seseorang dengan pengalaman anesthesia bervariasi. LMA menyediakan akses yang berbeda ke berbagai fungsi dari saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Bentuk anatomi pipa jalan napas berbentuk bulat panjang melengkung dan kaku, pada pipa saluran pernapasan dengan diameter 15 mm yang pangkalnya terdapat konektor yang berfungsi sebagai sambungan ke sirkuit mesin anestesi dan pada ujungnya berposisi di laring proximal. Pada saluran pipa satunya berujung pada pangkal saluran pencernaan berfungsi sebagai saluran ke saluran pencernaan berposisi di depan sphinter esophagus. Terlihat pada saat dimasukkan dengan rekomendasi teknik insersi (The Laryngeal Mask Company Limited, 2007). Indikasi penggunaan LMA, yaitu :



1) Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi mengalami kegagalan. 2) Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat diperkirakan. 3) Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri. 4) Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisinya terlentang. Kontraindikasi LMA, yaitu : 1) Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung. 2) Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam jangka waktu yang lama. 3) Pada operasi daerah mulut. 4) Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan, karena cuff pada LMA yang bertekanan rendah akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi yang tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Regional Anestesi Terdapat tiga jenis teknik RA yang digunakan dalam sectio caesarea, diantaranya spinal, epidural, dan kombinasi spinal-epidural. Masing-masing teknik tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Komplikasi seperti hipotensi, gagal nafas, kejang akibat kerusakan sistem sampai gagal jantung kemungkinan dapat terjadi. Anestesi Spinal Apabila kateter epidural belum siap, maka anestesi spinal dapat digunakan untuk sectio caesarea yang tidak gawat darurat. Dibandingkan dengan epidural, tipe anestesi ini dapat memblokade neuroaksial dengan cepat dan lebih mudah. Tetapi kemungkinan terjadinya hipotensi yang signifikan lebih banyak terjadi pada teknik anestesi spinal dibandingakan dengan anestesi epidural.Anestesi spinal yang biasa disebut dengan Blokade SubArachnoid merupakan suatu teknik anestesi RA yang melibatkan injeksi agen anestesi lokal ke dalam rongga subaraknoid dan biasanya menggunakan jarum yang halus berukuran 9 cm. Efek yang ingin dicapai adalah memblokade transmisi sinyal saraf aferen dari nosiseptor perifer sehingga apabila sinyal sensori terblokade maka rasa nyeri akan menghilang.



Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah. Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satusatunya kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan tekanan intrakranial. Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat tusukan (misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi yang waktunya belum bisa diperkirakan. Local Anestesi Teknik anestesi lokal berdasarkan basis anatominya dapat dibedakan menjadi anestesi topikal, anestesi regional atau sering disebut anestesi blok, anestesi intraligamen, dan anestesi infiltrasi (Darma, 2015). a.



Teknik Anestesi Topikal Anestesi topikal adalah obat bius lokal yang digunakan untuk mematikan permukaan bagian tubuh saja. Anestesi topikal dilakukan dengan cara memberikan bahan anestesi lokal tertentu pada daerah kulit atau membran mukosa yang dapat dipenetrasi oleh bahan untuk menganestesi bagian ujung-ujung saraf superfisial. Semua bahan anestesi lokal dapat menganestesi sedalam 2-3 mm dari permukaan jaringan dan dapat memberikan efek anestesi selama 10 menit apabila digunakan dengan tepat (Amalia, 2008). Bahan anestesi topikal tersedia dalam bentuk gel dan dalam bentuk aerosol yang memiliki bahan aktif Lignokain Hidroklorida 10% yang biasa disebut dengan etil klorida. Etil klorida digunakan dengan menggunakan kapas kecil yang kemudian diletakan pada daerah kerja dan biarkan sekitar 1 menit hingga mukosa kering dan berwarna pucat. Etil klorida dapat diaplikasikan langsung ke daerah kerja apabila digunakan untuk melakukan insisi abses (Amalia, 2008; Darma, 2015).



b.



Teknik Anestesi Infiltrasi Anestesi infiltrasi adalah teknik yang paling umum untuk anestesi lokal pada rahang atas. Teknik infiltrai merupakan teknik anestesi yang relatif mudah oleh karena itu



memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Suntikan subperiosteal harus dihindari untuk pencabutan gigi lebih dari satu, biopsi jaringan lunak, atau prosedur tindakan lainnya karena jaringan periosteum dari tulang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang akan menyebabkan darah berpenetrasi ke dalamtulang, dan dapat menyebabkan hematoma subperiosteal serta nyeri pasca operasi yang berkepanjangan. Suntikan subperiosteal akan memberikan anestesi lokal yang lebih baik ketika metode supraperiosteal tidak efektif (Muthmainnah, 2014).Teknik anestesi infiltrasi diindikasikan untuk anestesi pulpa pada gigi maksila yang melibatkan tidak lebih dari satu atau dua gigi, anestesi jaringan lunak apabila akan dilakukan perawatan pembedahan pada area yang terbatas. Kontraindikasi infiltrasi local yaitu apabila terdapat peradangan akut atau terdapat infeksi pada area yang akan dilakukan injeksi, apeks gigi yang berada pada tulang padat (Malamed, 2013). Anestesi infiltrasi digunakan untuk menunjukkan tempat dalam jaringan dimana larutan anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf yang berhubungan dengan periosteum bukal dan labial. Pada anak, bidang alveolar labio-bukal yang tipis umumnya banyak terdapat saluran vascular dari pembuluh darah, maka teknik infiltrasi ini dapat digunakan dengan lebih efektif untuk mendapat efek anestesi pada gigi-gigi susu atas dan bawah. Infiltrasi 0,5 –1,0 ml larutan anestesi lokal cukup untuk menganestesi pulpa dari kebanyakan gigi anak. Teknik ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan insersi jarum yang terlalu dalam kejaringan (Amalia, 2008). c.



Teknik Anestesi Regional/Blok Jenis anestesi regional atau blok adalah anestesi yang dilakukan dengan mendeposisikan larutan anestesi berdekatan pada badan saraf utama. Deposit pada teknik ini akan menyebabkan penghambatan impuls saraf dari lokasi injeksi hingga ke distal sehingga memblok sensasi yang datang dari susunan saraf pusat. Injeksi blok saraf ini perlu berhati-hati karena pembuluh vena dan arteri yang berdekatan dengan saraf ini dapat terjadi cedera (Pasaribu, 2008; Malamed, 2013).



d.



Teknik Anestesi Intraligamen Anestesi intraligamen yang nama lainnya anestesi ligamen periodontal adalah suatu teknik penyuntikan anestesi lokal dengan menyuntikan bahan anestesi melalui



ligamen periodonsium. Bahan anestesi lokal akan mencapai saraf pada pulpa gigi melalui tulang spongiosa dengan cara perforasi alamiah pada dinding soket. Jadi bahan anestesi lokal tidak mengalir di sepanjang ligamen periodonsium menuju foramen apikal gigi (Johan, 2012; Muthmainnah, 2014). Anestesi intraligamen dilakukan dengan injeksi yang diberikan di dalam periodontal ligamen. Injeksi ini menjadi populer setelah adanya syringe khusus untuk tujuan tersebut. Injeksi intraligamen dapat dilakukan dengan jarum dan syringe konvensional, tetapi lebih baik dengan syringe khusus, karena lebih mudah memberikan tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikannya ke dalam ligamen periodontal. Teknik ini umumnya menggunakan syringe konvensional yang pendek dan lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk tujuan tersebut, seperti Ligmaject, Rolon atau Peripress, yang diguankan bersama jarum 30 gauge (Muthmainnah, 2014). Anestesi intraligamen memiliki keuntungan meliputi dosis yang diperlukan lebih sedikit, teknik anestesi intraligamen dapat membantu apabila anestesi konvensional gagal, jaringan lunak yang teranestesi terbatas, dan teknik ini dapat digunakan pada pasien yang memiliki kelainan darah. Kerugian anestesi intraligamen adalah dapat menimbulkan bakterimia, bahan anestesi dan vasokonstriktor dapat masuk dengan cepat ke pembuluh darah, rasa tidak nyaman peri dan pasca injeksi, kerusakan jaringan periodonsium, kerusakan pulpa, kerusakan gigi yang belum erupsi, dan alat suntik yang dapat rusak (Johan, 2012). 4. Rumatan Anestesi a. Menggunakan oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa pelumpuh otot atau rumatan dengan obat intravena kontinyu, menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan. b. Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama prosedur tindakan. c. Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi. d. Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan. Dapat dikombinasi dengan anestesi regional sesuai kebutuhan, setelah dilakukan anestesi umum. e. Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi endotrakheal tube selama operasi berlangsung secara berkala.



f. Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan pada saat prosedur tindakan. g. Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi. h. Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan. 5. Risiko a. Cedera Jalan Nafas Cedera pada struktur saluran napas selalu menjadi fokus perhatian untuk berlatih menjadi ahli anestesi. Insersi pipa endotrakeal, laryngeal mask airways, oral/nasal airways, gastric tubes, transesophageal echocardiogram (TEE) probes, esophageal (boogie) dilators, dan emergency airways semua menyebabkan risiko kerusakan struktur saluran napas. Morbiditas umum yang terjadi seperti sakit tenggorokan dan disfagia biasanya terbatas tetapi bisa juga terjadi komplikasi nonspesifik yang tidak menyenangkan. Cedera saluran napas menetap yangpaling umum adalah trauma gigi. Dalam kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas yang paling sering mengalami cedera. Trauma gigi terjadi lebih sedikit dibandingkan oral airways. Faktor risiko utama terjadinya trauma gigi adalah intubasi trakea, gigi yang buruk yang sudah ada sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berhubungan dengan manajemen jalan nafas yang sulit (termasuk gerakan leher terbatas, pembedahan pada kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasisulit). Jenis cedera saluran nafas yang jarang terjadi adalah cedera temporomandibular joint (TMJ), cedera laring terutama termasuk kelumpuhan pita suara, granuloma, dislokasi arytenoid, cedera trakea. Beberapa cedera terjadi pada prosedur yang nampaknya mudah dan pada intubasi rutin. Mekanisme yang menyebabkan meliputi gerakan tube yang berlebihan dalam trakea, nekrosis oleh karena tekanan yang berlebihan, dan penggunaan relaksasi yang tidak memadai. Perforasi esofagus menyebabkan kematian pada 5 dari 13 pasien, yang paling sering dilaporkan adalah oleh karena emfisema subkutan atau pneumotoraks. Akhirnya, perforasi pharyngoesophageal jelas berhubungan dengan intubasi sulit, usia di atas 60 tahun, dan jenis kelamin perempuan. b. Cedera Saraf Perifer



Cedera saraf perioperatif merupakan komplikasi yang terjadi pada anestesi regional dan umum. Cedera saraf perifer sering terjadi, dan sering menyebabkan masalah kelemahan, Dalam kebanyakan kasus, cedera ini sembuh dalam 6-12 minggu, tetapi beberapa bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Karena neuropati perifer umumnya terkait dengan posisi pasien, melihat kembali mekanisme dan pencegahan sangat diperlukan. Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnaris. Menariknya, gejala awal muncul pada 24 jam setelah prosedur pembedahan dan terjadi ketika pasien masih dirawat di rumah sakit. Faktor risiko termasuk jenis kelamin laki-laki, perawatan di rumah sakit lebih dari 14 hari, dan terjadi pada pasien yang sangat kurus atau obesitas. Lebih dari 50% pasien pulih secara penuh fungsi motorik dan sensoriknya dalam waktu 1 tahun. Teknik anestesi tidak terlibat sebagai faktor risiko, 25% dari pasien dengan neuropati ulnaris yang dirawat terjadi dengan teknik regional dilakukan pada ekstremitas bawah. Hal ini menimbulkan keraguan bahwa peregangan atau mekanisme kompresi menyebabkan cedera, karena pasien kemungkinan terjaga dan menanggapi ketidaknyamanan. c. Cedera Mata Berbagai kondisi dari abrasi kornea sederhana sampaikebutaan telah dilaporkan. Abrasi kornea adalah cedera mata jauh (ketidakmampuan melihat jarak jauh) yang paling umum dan bersifat sementara. Laporan ASA dikatakan penyebabnya jarang teridentifikasi (20%) dan kejadian cedera permanen adalah rendah (16%). Meskipun penyebab abrasi kornea tidak jelas, namun mengamankan mata dengan tape setelah pasien kehilangan kesadaran tetapi sebelum dilakukan intubasi selama anestesi umum dan menghindari kontak langsung dengan masker oksigen, tirai, garis, dan bantal (terutama selama perawatan monitoring anestesia, dalam transportasi, dan dalam posisi nonsupine) dapat membantu meminimalkan kemungkinan cedera. d. Henti Kardiopulmoner Pada Spinal Anestesia Serangan jantung mendadak pada saat melakukan spinal anestesi merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun jika terjadi merupakan bahaya besar. Insufisiensi pernapasan subklinis dengan hiperkarbia akibat obat penenang yang dianggap sebagai faktor kontribusi. Waktu rata-rata dari pemberian obat sampai terjadinya henti kardiopulmoner adalah 36 ± 18 menit, dan dalam semua



kasus henti kardiopulmoner didahului oleh penurunan bertahap dari denyut jantung dan tekanan darah hingga 20% di bawah nilai dasar. Tanda-tanda sebelum henti kardiopulmoner yang paling umum adalah bradikardia, hipotensi, dan sianosis. Pengobatan terdiri dari bantuan ventilasi, efedrin,atropin, resusitasi Jantung Paru (dengan durasi 10,9 menit), dan akhirnya epinefrin (rata-rata diberikan 5 menit sebelum terjadinya henti kardiopulmoner). e. Reaksi Alergi Hipersensitivitas (atau alergi) reaksi yang berlebihan merupakan respon kekebalan terhadap rangsangan antigenik pada orang yang sebelumnya peka. Antigen, atau alergen, mungkin protein, polipeptida, atau molekul yang lebih kecil yangterikat dengan protein pembawa. Selain itu, alergen mungkin zat itu sendiri, metabolit, atau produk pemecahan. Pasien dapat terkena antigen melalui hidung, paru-paru, mata, kulit, dan saluran pencernaan, serta parenteral (intravena atau intramuskular) dan transperitoneal. f. Reaksi anafilaktik Anafilaksis merupakan respon berlebihan terhadap alergen (misalnya, antibiotik) yang dimediasi oleh tipe I reaksi hipersensitivitas. Sindrom ini muncul dalam beberapa menit setelah paparan antigen tertentu pada orang yang peka dengan ditandai gangguan pernapasan akut, syok, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi karena sesak napas atau syok sirkulasi ireversibel. Insiden reaksi anafilaksis selama anestesi diperkirakan 1:5000 sampai 1:25.000 anestesi. Antibiotik adalah penyebab paling umum dari reaksi anafilaksis, namun lateks juga menjadi penyebab yang semakin penting.(6,9,10)Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien, BK-A, dan platelet-activating factor. Mereka meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos. H1-reseptor aktivasi kontraksiotot polos bronkus, sedangkan H2-reseptor aktivasi vasodilatasi, sekresi lendir berlebihan, takikardia, dan peningkatan kontraktilitas miokard. BK-A memotong bradikinin dari kininogen, bradikinin meningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Aktivasi faktor Hageman dapat memicukoagulasi intravaskular pada beberapa pasien. ECF-A, NCF, dan leukotriene B4 menarik sel inflamasi yang memediasi cedera jaringan bertambah.



Angioedema dari faring, laring dan trakea menghasilkan obstruksi saluran udara bagian atas, sedangkan bronkospasme dan edema mukosa menyebabkan obstruksi saluran napas bagian bawah. Histamin menyababkan kontriksi saluran udara besar, sedangkan leukotrien mempengaruhi saluran udara kecil. Transudasi cairan ke dalam kulit (angioedema) dan viscera menghasilkan hipovolemia dan syok, sedangkan vasodilatasi arteriol menurunkan resistensi vaskular sistemik. Hipoperfusi koroner dan hipoksemia menyebabkan aritmia dan iskemia miokard. Leukotriene dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme koroner. Memperpanjang syok sirkulasi mengakibatkan asidosis laktat progresif dan kerusakan iskemik pada organ vital lainnya.