Makalah Ayat Ayat Tentang Akhirat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AYAT AYAT TENTANG AKHIRAT DISUSUN OLEH : SELAMI 1042019013 FIRDA 1042019021 DOSEN PEMBIMBING : Dr. RAZALI, MM



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Ayat-Ayat Tentang Akhirat” Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta. Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif. Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati. Langsa April 2020



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGENTAR.....................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1 A. Latar Belakang.................................................................................1 B. Rumusan Masalah............................................................................1 BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2 A. Penafsiran Dalam Surat Al-Hijr Ayat 39-42....................................2 B. Penafsiran Dalam Surat Qãf Ayat 19-23.........................................4 C. Penafsiran Dalam Surat Al-A’la Ayat 14-17...................................7 D. Penafsiran Dalam Surat Al-Hadid Ayat 20......................................10 BAB III PENUTUP.........................................................................................16 A. Kesimpulan........................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................17



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia merupakan perjalanan panjang, melelahkan, penuh liku-liku, dan melalui tahapan demi tahapan. Berawal dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzakh, sampai pada alam akhirat yang berujung pada tempat persinggahan terakhir bagi manusia, yaitu surga atau neraka. Al-Qur’an dan as- Sunnah telah menceritakan setiap fase dari perjalanan panjang manusia itu. Percaya kepada adanya kehidupan akhirat merupakan rukun iman yang kelima. Akhirat adalah suatu alam yang hakikatnya masih ghoib, namun sebagai orang yang beriman kita wajib mempercayainya. Orang yang ingkar atau tidak percaya kepada akhirat maka dia tergolong kafir. Maka dari itu, perlu kita mengkaji hal-hal yang berkenaan dengan akhirat, karena itulah tujuan akhir dari hidup kita ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penafsiran dalam Surat Al-Hijr ayat 39-42? 2. Bagaimana penafsiran dalam Surat Qãf Ayat 19-23? 3. Bagaimana Penafsiran dalam surat al-A’la Ayat 14-17? 4. Bagaimana penafsiran dalam surat al-hadid ayat 20?



1



BAB II PEMBAHASAN A. Penafsiran Dalam Al-Hijr Ayat 39-42 1. Ayat 39-40 a. Ayat dan Artinya



ُ َ‫ض َوأَل ُ ْغ ِويَنَّهُ ْم أَجْ َم ِعين‬ ِ ْ‫قَا َل َربِّ بِ َمٓا أَ ْغ َو ْيتَنِى[ أَل زَ يِّن ََّن لَهُ ْم فِى ٱأْل َر‬ َ‫صين‬ ِ َ‫إِاَّل ِعبَادَكَ ِم ْنهُ ُم ْٱل ُم ْخل‬ Artinya; 39. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, 40. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka" b. Munasabah Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa iblis berada dalam barisan malaikat, namun Allah Swt mengusir dan melaknat Iblis karena menentang perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam. Ayat ini menjelaskan, setelah Iblis diusir oleh Allah Swt, ia berjanji akan menyesatkan umat manusia. Namun demikian, Iblis tidak akan bisa menyesatkan orang-orang yang disebut Allah dengan sebutan mukhlas, yaitu mereka yang dibersihkan dan dijaga oleh Allah Swt dari perbuatan dosa. c. Tafsir Setelah Allah menyampaikan bahwa iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya hingga waktu tertentu, ia berkata “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu terhadap diriku, yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti aku akan memperindah bagi mereka, yakni menjadikan mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka, yakni yang Engkau pilih karena mereka telah menyerahkan diri secara penuh kepada-Mu 2



Dalam ayat ini disebutkan bahwa setan menyesatkan pikiran dan perbuatan manusia dengan memoles dan membungkus perbuatan maksiat agar terlihat indah. Karena, ketika manusia melihat perbuatan maksiat sebagai keburukan, secara alamiah ia tidak akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Namun ketika manusia melihat keburukan sebagai kebaikan dan kemungkaran sebagai makruf, maka dengan mudah ia akan melakukan perbuatan maksiat. Dengan kata lain, setan tidak pernah memaksa manusia melakukan maksiat, karena setan hanya memoles dosa dengan kebaikan dan manusia sendirilah yang melakukan dosa tersebut. Setan menyandarkan kesesatannya kepada Allah dengan mengatakan, "Ya Tuhanku, Engkaulah yang telah menyesatkanku." Hal tersebut merupakan tindakan keliru dan tanpa dasar, karena Allah Swt tidak pernah menyesatkan siapapun. Ketika seseorang memilih jalan yang salah, Tuhan tidak pernah menghalangi dan menutup jalannya. Sebab hal tersebut bertentangan dengan sunatullah yang memberikan ikhtiar dan kebebasan memilih kepada manusia dan jin. Iblis dengan pilihannya sendiri menentang perintah Allah. Demikian pula Allah memperlakukan para pendosa. 2. Ayat 41-42 a. Ayat dan Artinya ‫ى ُم ْستَقِي ٌم‬ َ َ‫ق‬ َّ َ‫ص ٰ َرطٌ َعل‬ ِ ‫ال ٰهَ َذا‬ َ‫ك ِمنَ ْال ٰغ ِو ْين‬ َ ‫ك َعلَ ْي ِه ْم س ُْل ٰط ٌن اِاَّل َم ِن اتَّبَ َع‬ َ َ‫ْس ل‬ َ ‫اِ َّن ِعبَا ِديْ لَي‬ Artinya : 41. Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya) 42. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. b. Munasabah Ketika setan mengatakan dirinya akan menyesatkan semua manusia dan hanya sedikit yang terjaga dari tipuannya, Allah Swt memberikan ketenteraman kepada orang-orang mukmin. Di ayat ini Allah Swt berfirman bahwa kaum mukminin tidak perlu khawatir atas godaan Iblis.



3



c. Tafsir Ayat ini menunjukan bahwa iblis sama sekali tidak mempunyai kemampuan dari dirinya sendiri. Firman Allah swt. Yang ditunjukan-Nya kepada iblis itu merupakan bantahan yang sangat tegas. Nabi Adam , Malaikat , Manusia ataupun Iblis dan Jin, tidak ada yang berhak menyombongkan diri atau takabbur, sifat takabbur adalah sifat Allah , lalu Allah melanjutkan sabdanya kepada iblis. “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka,” dan dengan sifat sombong Allah berfirman “kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat”. B. Penafsiran Surat Qãf Ayat 19-23



ِّ ‫ت بِ ۡال َحـ‬ ‫ َونُفِخَ فِى الصُّ ۡو ِر ؕ ٰذ لِكَ يَ ۡو ُم‬ ﴾50:19﴿  ‫قؕ ٰذلِكَ َما ُك ۡنتَ ِم ۡنهُ تَ ِح ۡي ُد‬ ِ ‫َو َجٓا َء ۡت َس ۡك َرةُ ۡال َم ۡو‬ ٌ ِ‫س َّم َعهَا َسٓائ‬ ‫لَقَ ۡد ُك ۡنتَ فِ ۡى غ َۡفلَ ٍة ِّم ۡن ٰه َذا‬ ﴾50:21﴿ ‫ق َّو َش ِه ۡي ٌد‬ ٍ ‫ َو َجٓا َء ۡت ُكلُّ ن َۡف‬ ﴾50:20﴿ ‫ۡال َو ِع ۡي ِد‬ َّ ‫ال قَ ِر ۡيـنُهٗ ٰه َذا َما لَ َد‬ 50:23﴿ ؕ ‫ى َعتِ ۡي ٌد‬ [َ ‫ص ُر‬ َ ‫﴾فَ َك َش ۡفنَا ع َۡن‬ َ َ‫ َوق‬ ﴾50:22﴿ ‫ك ۡاليَ ۡو َم َح ِد ۡي ٌد‬ َ َ‫ك ِغطَٓا َءكَ فَب‬ Artinya : “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari [19]. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari yang diancamkan [20]. Dan datanglah setiap orang bersama dengannya (malaikat) penggiring dan (malaikat) saksi [21]. Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam [22]. Dan (malaikat) yang menyertainya berkata, Inilah (catatan perbuatan) yang ada padaku[23]”. Isi Kandungan ayat Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menjelaskan tentang anggapan orang-orang kafir yang menyatakan bahwa kebangkitan untuk memperoleh balasan tidaklah mungkin terjadi, maka Allah membantah anggapan mereka dengan membuktikan kekuasaannya-Nya dan ilmu-Nya. Kemudian Allah memberitahukan pula kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan ْ ‫َو َج[ ا َء‬ kebenaran ketika datang maut dikala terjadinya hari kiamat. ‫ت‬ ِ ْ‫ت َس[ ْك َرةُ ْال َم[[و‬ ِّ ‫بِ ْال َح‬ Pada konteks ayat ini Allah berfirman: Dan datanglah sakaratul maut, saat ‫ق‬



4



ruh akan meninggalkan badan, kedatangannya itu dengan haq (pasti datang). Ini berarti setiap orang_bahkan setiap yang bernyawa_akan mengalami sakaratul maut. Dan penderitaan ketika mati itu menyingkapkan bagimu keyakinan yang telah kamu dustakan bahwa kebangkitan adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi. ُ‫ذلِكَ َما ُك ْنتَ ِم ْنهُ ت َِح ْيد‬  Kebenaran yang kamu hindari itu benar-benar telah datang kepadamu, maka tidak ada tempat berlari dan tidak ada tempat berpaling, tidak ada tempat menghindar dan tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri. Dijelaskan dalam al-Qur’an, bagaimana rasa sakit yang dirasakan oleh seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut : ]٩٣ : ‫[األنعام‬ ‫ت َو ْال َملئِ َكةُ بَا ِسطُوْ ا أَ ْي ِد ِه ْم‬ ِ ْ‫ت ْال َمو‬ ِ ‫َولَوْ تَرى إِ ِذ الظّلِ ُموْ نَ فِى َغ َم َرا‬ Artinya : “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orangorang yang zhalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat



memukul



dengan



tangannya” (QS.



Al-An’am:93).[3] Penyifatan



kehadiran sakaratul maut dengan al-haq dipahami oleh Sayyid Quthub sebagai isyarat tentang keadaan jiwa manusia pada saat terjadinya sakaratul maut itu. Yakni ketika itu dia akan melihat kebenaran dengan sangat sempurna. Dia melihatnya tanpa tirai penghalang dan dia mengetahui apa yang tadinya dia tidak ketahui serta apa yang tadinya ia ingkari, hanya saja itu semua setelah terlambat dan tidak bermafaat lagi. Kemudian, Allah SWT berfirman : ‫ك يَوْ ُم ْال َو ِع ْي ِد‬ َ ِ‫َونُفِخَ فِى الصُّ وْ ِر ذل‬ Dan setelah



tiba



Israfil sangkakala untuk



masa



kebangkitan, ditiuplah oleh



membangkitkan



manusia



dari



malaikat



kubur. Itulah



hari



ancaman serta hari terpenuhinya janji. Ayat ini menyifati hari peniupan sangkakala dengan hari terlaksananya ancaman, dan hari terpenuhinya janji. Ketika Allah SWT telah memberi izin untk menetapkan kematian atas semua makhluk, dan menetapkan batas akhir bagi segala urusan dunia, maka Dia akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup sangkakala. Pada saat malaikat israfil meniup sangkakala itu, maka matilah segala yang hidup (baik yang di langit maupun yang di bumi), kecuali yang memang



5



dikehendaki oleh-Nya, kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Namun, menurut hemat penulis yang paling terpenting dan yang wajib diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa ada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT_yang tidak satu makhluk pun mengetahui kapan datangnya_dimana manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan amal masingmasing, lalu menerima balasan dan ganjarannya. Selanjutnya Allah berfirman; ‫ك ْاليَوْ َم َح ِد ْي ٌد‬ َ ‫ص ُر‬ َ ‫لَقَ ْد ُك ْنتَ فِ ْي َغ ْفلَ ٍة ِم ْن ه َذا فَ َك َش ْفنَا َع ْنكَ ِغطَآ َء‬ َ َ‫ك فَب‬ Ketika kematian menjemput seseorang, dikatakan kepadanya: Demi Allah, sungguh, kamu ketika hidup di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai tentang (peristiwa) yang sedang kamu lihat ini, maka sekarang Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. Dengan demikian kamu benar-benar yakin. Akan tampak oleh manusia segala sesuatu yang tidak tampak olehnya dalam kehidupan dunia, ketika segala kesibukan dunia itu telah lepas dari mereka, maka akan tampak olehnya seluruh perbuatannya, sehingga ia tidak melihat satu keburukan pun, melainkan ia akan merasakan penyesalan yang amat sangat, karena keburukannya itulah yang menyeretnya tenggelam kedalam neraka. Pada saat itulah dikatakan kepada mereka; “wakafa binafsika al-yauma hasiba” (cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.) Allah SWT menjadikan kelalaian bagai tutup yang menutupi seluruh jasad manusia atau sebagai selaput yang menutupi kedua mata manusia, sehingga ia tidak dapat melihat suatu apapun. Maka apabila hari kiamat terjadi, sadarlah manusia dan hilanglah kelalaian yang menutupi dirinya sehingga ia dapat melihat kebenaran yang dahulu ia tidak dapat melihatnya. Ayat ini menunjukkan bahwa kelak di hari Kemudian akan nampak hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam kehidupan dunia ini. Kalau di dunia seseorang belum melihat malaikat, maka disana ia akan dapat melihatnya. Kalau disini banyak yang menduga sebab-sebab lahiriah adalah faktor yang menghasilkan sesuatu, maka disana ia akan menyadari bahwa secara penuh bahwa



6



Allah adalah penyebab semua sebab. “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan apa yang kamu tidak lihat.” (QS. al-Haqqah:38-39). C. Penafsiran Dalam Surat Al-A’la Ayat 14-17



‫ َواآْل ِخ َرةُ َخ ْي ٌر‬ ○‫بَلْ تُ ْؤثِرُونَ ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا‬ ○‫صلَّ ٰى‬ َ َ‫ َو َذ َك َر ا ْس َم َربِّ ِه ف‬ ○‫ح َم ْن تَ َز َّك ٰى‬ َ َ‫قَ ْد أَ ْفل‬ ‫ُف إِب َْرا ِهي َم َو ُمو َس ٰى‬ ُ ○ ِ ‫صح‬ Artinya : “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri[14]. Dan



mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat[15].  Namun, kamu (orang-orang) mengutamakan kehidupan dunia [16]. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal [17] Isi Kandungan ayat Menurut Ibnu Manzhur, secara etimologi ‫اَ ْفلَ َح‬ berarti al-fawz wa annajâh wa al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan, dan kelanggengan dalam nikmat). Sihabuddin al-Alusi mengartikannya najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ yarjûhu (selamat dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang



diharapkan). Dalam



konteks



ayat



ini,



al-Jazairi



memaknainya



sebagai fâza (berhasil); selamat dari azab dan bahagia dengan surga. Ditegaskan ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang ‫تَ َز َّكى‬. Kata ‫تَزَ َّكى‬ berasal dari kata zakâ. Secara bahasa, kata az-Zakâ’ berarti anNamû (tumbuh).



Oleh



dengan memperbanyak



karena takwa.



itu,



al-Zujaj



Alasannya,



menafsirkan



frasa



ini



kata zâkî berartian-nâmî



al-



katsîr (yang tumbuh banyak). Dalam tafsir al-Mishbah‫تَ [ َز َّكى‬ yakni “bersungguhsungguh menyucikan diri”, bukannya mengeluarkan zakat fitrah. Abu Hayyan alAndalusi memaknai  ‫تَزَ َّكى‬  dengan tathahhara (membersihkan diri). Dalam beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama, seperti QS alBaqarah:



232



dan



at-Taubah:



103.



Ibnu



‘Abbas_dalam



suatu



riwayat_memaknainya sebagai orang yang membersihkan diri dari syirik. [7]



 Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas_dalam riwayat lain_berpendapat bahwa orang yang



membersihkan diri adalah orang yang mengatakan kalimat lâ ilâha illal-Lâh.[8]



7



Menurut Qatadah, membersihkan diri itu adalah dengan amal shalih. Dalam



al-Quran



ada



beberapa



amal



shalih



yang



disebutkan



berguna



membersihkan manusia. Zakat, misalnya, disebut dapat membersihkan dan menyucikan



pelakunya.  Menahan



pandangan



dan



memelihara



kemaluan



dinyatakan dapat membuat pelakunya lebih suci. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya dari akhlak yang buruk dan mengikuti apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Asy-Syaukani juga menafsirkannya, orang yang membersihkan diri dari syirik seraya mengimani Allah SWT dan beramal dengan syari’ah-Nya. Secara keseluruhan, dijelaskan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini mengandung pengertian; “Sungguh telah menang dan memperoleh apa yang diinginkan orang yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat kepada Allah, mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, dan menunaikan berbagai kewajiban.” Hemat penulis, semua penafsiran tersebut saling melengkapi. Intinya, orang



yang



menuai



kesuksesan



dan



kemenangan



adalah



orang



yang



membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan, seraya mengimani aqidah islam dan beramal shalih dengan menta’ati syariah-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya dan itu semua dilakukan ikhlas semata karena Allah SWT. ْ ‫و َذ َك[ َر‬ “dan Selain itu, orang tersebut juga; ‫ص[لّى‬ mengingat nama َ َ‫اس[ َم َربِّه ف‬ َ Tuhannya, lalu menunaikan shalat.” Dijelaskan al-Biqa’i dan az-Zuhaili, bahwa dzikir kepada Allah ini meliputi hati dan lisannya. Dzikir hanya kepada Allah satu-satunya, tidak disertai kepada yang lainnya yang menjadi sekutu bagi-Nya. Itu dilakukan dalam seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan minum; tidur maupun bangun; dalam shalat maupun di luar shalat; berupa tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam frasa ‫صلّى‬ َ َ‫ف‬  adalah shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas. Pendapat yang sama juga dikemukakan az-Zamakhsyari.



8



Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, namun juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat tersebut meliputi semua shalat yang syar’iyyah. Sebab, shalat merupakan dzikir yang paling agung. Shalat juga merupakan ibadah badan paling agung, sebagaimana zakat merupakan ibadah harta paling agung. Dalam QS. al-Mukminun: 1-2 diberitakan bahwa di antara orang yang mendapatkan al-falâh adalah orang-orang yang khusuk dalam shalatnya. Penjelasan cukup menarik disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurutnya, ada tiga tingkatan amal bagi orang mukallaf, dan ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat ini;  ·         Pertama: menghilangkan aqidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan diri) pada frasa     ‫ َم ْن تَ[[[[ َز َّكى‬. Pengertian membersihkan diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan oleh ayat sebelumnya, yakni membersihkan dari kekufuran.  ·         Kedua: menghadirkan ma’rifatullâh beserta dzat, sifat, dan asma’-Nya. Inilah ْ ‫ َو َذ َك[ َر‬. Sebab, dzikir dengan hati tidak bisa yang dimaksudkan oleh frasa ‫اس[ َم َربِّه‬ dilakukan kecuali dengan ma’rifah. ·         Ketiga: menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada-Nya. Ini ditunjukkan oleh frasa ‫صلّى‬ َ َ‫ف‬.  Shalat merupakan ungkapan tawaduk dan khusuk. Allah SWT berfirman: ‫بَلْ تُ ْؤثِرُوْ نَ ْال َحيَوةَ ال[ ُّد ْنيَا‬ “Namun, kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” Kata  ْ‫بَ[[[ل‬ berfungsi sebagai idrâb, yakni memalingkan dari kalimat sebelumnya. Artinya, kalian tidak melakukan tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan itu. Namun sebaliknya, ُ‫ت‬  dengan ْ justru  َ‫[[[[[[[ؤثِرُوْ ن‬



kehidupan



dunia.



Menurut



al-Jazairi



juga



memaknainya: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat. Pilihan tersebut jelas salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik



dan



abadi. Perhatikan



firman Allah



SWT



selanjutnya: ٌ‫َواأْل ِخ َرةُ َخيْ[[[[[ر‬



‫ َّواَ ْبقَى‬ “Padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” Menurut



al-Qurthubi,



kata ٌ‫خَ يْ[[[[[[[[ر‬ berarti afdhal (lebih



utama),



sedangkan ‫اَ ْبقَى‬ berarti adwamu min ad-Dun-yâ (lebih kekal daripada dunia).



9



Semua telah maklum, kehidupan dunia merupakan kehidupan fana. Ketika manusia dibangkitkan di akhirat kelak, manusia merasakan singkatnya hidup di dunia ini. Demikian singkatnya hingga menurut mereka hidup di dunia itu hanya sehari atau setengah hari, hanya sesore atau sepagi hari atau bahkan hanya sesaat saja di sing hari. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dan at-Tirmidzi, Rasulullah SAW mengumpamakan kehidupan dunia dibandingkan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang dicelupkan di laut; air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia. Yang lebih baik dan lebih kekal itu bisa dimaknai pahalanya sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir. Menurutnya, maksud ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada kehidupan yang kekal dan langgeng? Oleh karena itu, ayat ini memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat daripada dunia. Menurut penulis, hal yang demikian sejalan dengan pendapat akal yang sehat dan petunjuk syara’. D. Penafsiran dalam surat al-Hadid ayat 20



‫ٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا أَنَّ َما ْٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ْنيَا لَ ِعبٌ َولَ ْه ٌو َو ِزينَةٌ َوتَفَا ُخ ۢ ٌر بَ ْينَ ُك ْم َوتَ َكاثُ ٌ[ر فِى ٱأْل َ ْم ٰ َو ِل َوٱأْل َوْ ٰلَ ِ[د ۖ َك َمثَ ِل‬ ‫اخ َر ِة َع َذابٌ َش ِدي ٌد‬ ٍ ‫َغ ْي‬ َ ‫ث أَ ْع َج‬ ِ ‫ب ْٱل ُكفَّا َر نَبَاتُ ۥهُ ثُ َّم يَ ِهي ُج فَتَ َر ٰىهُ ُمصْ فَ ًّرا ثُ َّم يَ ُكونُ ُح ٰطَ ًما ۖ َوفِى ٱلْ َء‬ ِ‫َو َم ْغفِ َرةٌ ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو ِرضْ ٰ َو ٌن ۚ َو َما ْٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ْنيَٓا إِاَّل َم ٰتَ ُع ْٱل ُغرُور‬ Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanamtanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” Isi Kandungan Ayat



10



Ayat di atas merupakan gambaran hakikat dunia dan bagaimana menghadapinya. Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ayat tersebut, di antaranya: 1. Allah SWT memberitahukan tentang hakikat dunia yang sebenarnya, dan menjelaskan tentang puncak tertinggi dari kehidupan dunia beserta penghuninya. Maksud sebenarnya dari ayat ini adalah merendahkan keadaan dunia dan mengagungkan keadaan akhirat. Yaitu Allah berfirman, “..dunia adalah permainan dan sendagurauan yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan..“. Tidak diragukan lagi bahwa semua ini adalah perkara yang hina. Adapun akhirat maka di sana ada adzab yang keras yang terusmenerus dan juga disana ada keridhaan Allah yang selamanya dan ini adalah merupakan suatu yang agung. 2. Dunia mempunyai 5 (lima) sifat, yaitu: a.



ٌ‫لَ ِعب‬ (Permainan), yaitu permainan badan dan ini adalah bagaikan perbuatan anak-anak yang menjadikan diri mereka sangat capek dan lelah, kemudian setelah permainan tersebut selesai tidak ada faedah yang didapatkan.



b.



‫لَهْو‬ (Sesuatu yang melalaikan/senda gurau), yaitu yang membuat hati lalai dan ini adalah perbuatan orang tua yang kebanyakan setelah perbuatan yang melalaikan itu selesai maka tidak tersisa kecuali penyesalan, yang demikian itu dikarenakan orang yang berakal setelah melakukan perbuatan yang melalaikan dia melihat bahwa hartanya hilang, umurnya berkurang (pergi) dan kelezatannya habis, sementara nafsu/jiwa semakin rindu dan haus akan hal tersebut, namun nafsu tidak mendapatkannya, sehingga terkumpul dampak buruk dan berkesinambungan (tidak pernah puas).



c.



ٌ‫ز ْينَ[[[ة‬ (Perhiasan), yaitu berhias dalam hal pakaian, makanan, ِ minuman, kendaraan, rumah, istana, kedudukan, dll.



d.



Saling berbangga di antara kamu terhadap sifat-sifat yang fana dan pasti hilang, yakni boleh jadi berbangga-bangga dengan nasab, kekuasaan, kekuatan, bala tentara dan sebagainya, yang semuanya



11



itu pasti lenyap. Dan saling berbangga di antara kamu yaitu masingmasing dari penduduk dunia ingin membanggakan atas yang lain dan ingin supaya dia menjadi pemenang dalam semua urusannya dan ingin



mendapatkan



ketenaran



(popularitas)



dalam



semua



keadaannya. e.



Berbangga-bangga tentang harta dan anak, yaitu masing-masing menginginkan lebih banyak dari yang lainnya dalam hal harta dan anak. Semua ini hanya terjadi pada diri si pecinta dunia dan yang merasa



damai



dengan



dunia.



Hasan



Al-



Bashri rahimahullah berkata; “Apabila kamu melihat orang yang mengalahkanmu dalam perkara dunia, maka kalahkan dia dalam hal akhirat.” 3. Allah memberikan perumpamaan dunia; ‫ث‬ ٍ ‫ َك َمثَ ِل َغ ْي‬ “seperti hujan” yang turun ke bumi sehingga menjadikan bumi itu subur yang kemudian menumbuhkan tanaman yang segar, hijau, subur dan sangat menarik lagi indah, yang menyebabkan ُ‫ب ْال ُكفَّا َرنَبَاتُ[[ه‬ َ ‫اَ ْع َج‬ “yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” merasa kagum terhadapnya karena pandangan (obsesi) mereka hanya terbatas pada dunia. “Kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Lalu, tiba-tiba datanglah hukum Allah yang menjadikan semua tanaman itu musnah, kering dan hancur, sehingga seakan-akan tidak pernah ada keindahan dan pemandangan yang menarik sebelumnya. Demikianlah hakikat dunia, mula-mula penampilannya indah lalu berubah menjadi buruk. Mula-mula anak kecil lalu tumbuh menjadi remaja, dewasa sampai kemudian menjadi tua renta. Mula-mula kuat lalu menjadi lemah, bahkan tidak mampu banyak bergerak dan tidak kuasa lagi kecuali sedikit saja, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an ; ُ ُ‫ض ْعفًا َّو َش ْيبَةً يَ ْخل‬ ‫ق َما يَ َشا ُء َوهُ َو‬ ٍ ‫ضع‬ ٍ ‫ضع‬ َ ‫ْف قُ َّوةً ثُ َّم َج َع َل ِم ْن بَ ْع ِد قُ َّو ٍة‬ َ ‫ْف ثُ َّم َج َع َل ِم ْن بَ ْع ِد‬ َ ‫أهللُ الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن‬ ‫ْال َعلِ ْي ُم ْالقَ ِد ْي ُر‬ Artinya :  "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia



12



menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (QS. ar-Rum:54) Musnahnya dunia pasti akan terjadi, tidak mungkin tidak. Dan akhirat itu pasti ada, tidak mugkin tidak. Maka Allah SWT mengingatkan agar kita mewaspadai kehidupan dunia dan menanamkan kecintaan kebaikan di dalamnya. Allah berfirman; “Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras atau ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya....” maksudnya keadaan di akhirat tidak terlepas dari dua perkara ini yakni; 1.



Adzab yang keras di neraka dengan belenggunya, rantainya dan semua kedahsyatannya bagi orang-orang yang menjadikan dunia sebagai citacita dan puncak tujuannya sehingga dia berani berbuat maksiat, mendustakan ayat-ayat Allah serta kufur atas nikmat-nikmat-Nya.



2.



Ampunan dari Allah SWT terhadap kesalahan-kesalahannya, dihilangkan semua hukuman dan mendapat keridhaan dari Allah. Lalu tinggal di ْ ‫ َو َم‬ “ Dan kehidupan dunia tidak ُ ‫اال َحيَوةُ ال ُّد ْنيَآ اِالَّ َمتَا‬ dalam surga-Nya.‫ع ْال ُغرُوْ ر‬ lain hanyalah kesenangan yang palsu.” Semua kesenangan di dunia hanyalah kesenangan yang bersifat fana, yang menipu siapa saja yang cenderung kepadanya. Dan sesungguhnya segala kerlap-kerlip keindahan dan kesenangan dunia ini hanyalah sesaat dan sangat kecil dibandingkan alam akhirat. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah



SAW bersabda:  ْ ‫ َو َم‬ :‫ض ُع َسوْ ِط فِى ْال َجنَّ ِة َخ ْي ٌر ِمنَ ال ُّد ْنيَا َو َما فِ ْيهَا ’ إِ ْق َرأُوْ ا‬ ُ ‫اال َحيَوةُ ال ُّد ْنيَآ اِالَّ َمتَا‬ ‫ع ْال ُغرُوْ ِر‬ ِ ْ‫َمو‬ “Satu tempat sepanjang cambuk di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya, bacalah: Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” Namun, pada kehidupan dunia juga ada hikmahnya dan tidak semua tercela, karena itulah Allah berfirman kepada malaikat tentang hikmah dunia dan manusia di dunia. Jika sekiranya dunia tidak ada hikmahnya dan tidak ada benarnya maka tidak mungkin Allah berfirman seperti itu. Hal ini dikarenakan



13



kehidupan juga merupakan ciptaan Allah sebagaimana firman-Nya dalam QS. AlMulk: 2 dan Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang sia-sia sebagaimana dalam QS. Al-Mukminun: 115. َ‫اَفَ َح ِس ْبتُ ْم اَنَّ َما خَ لَ ْقن ُك ْم َعبَثًا َّواَنَّ ُك ْم اِلَ ْينَا الَتُرْ َجعُوْ ن‬. Artinya : “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kapada Kami?” Penulis cendrung memahaminya menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah_sesuai dengan konteks ayat tersebut. Tentu saja kehidupan dunia tidak demikian bagi yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Buat mereka, kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan bathin, dunia dan akhirat, karena hidup bukan hanya disini dan sekarang tetapi ia bersinambungan sampai ke akhirat. Selanjutnya karena apa yang diperoleh di akhirat, diukur dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan dunia ini, maka kehidupan dunia sangat berarti bahkan berharga. Jangan mencercanya apalagi mengabaikannya, karena dunia adalah arena kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat dan jalan kebahagiaan bagi yang memahaminya. Dunia adalah arena kekayaan bagi yang menggunakannya untuk bekal perjalanan



menuju



keabadian dan aneka



pelajaran



bagi



yang



merenung serta memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya. Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdo’a para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi dan tempat curahan rahmat bagi yang taat. Sa’id bin Jubair ra, berkata; “Dunia yang dikatakan sebagai kesenangan yang menipu adalah yang membuatmu lalai dari mencari akhirat. Adapun yang tidak membuatmu lalai maka bukanlah kesenangan yang menipu akan tetapi kesenangan yang menyampaikan kepada apa yang lebih baik daripadanya.” Hal ini berarti bahwa seseorang tidak dilarang mencari dan menikmati kehidupan dunia, namun jangan melalaikan akhirat. Hal lain yang perlu dicatat, bahwa jika seseorang hanya mementingkan kehidupan dunia, maka yang ia peroleh hanyalah kehidupan dunia itu saja. Sedangkan jika ia mementingkan



14



kehidupan akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia dan akhirat. Sebab untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat ia harus mencapai kehidupan dunia. Orang yang bersedekah atau berinfak dijalan Allah misalnya ia harus memiliki harta. Demikian pula yang akan menjalankan ibadah haji, juga harus memerlukan harta benda. Sebuah maqalah berasal dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi; َ ‫طُوْ بى لِ َم ْن تَ َر‬ َ ْ‫ك ال ُّد ْنيَا قَ ْب َل تَ ْت َر َكهُ َوبَنى قَب َْرهُ قَبْل أَ ْن يَ ْد ُخلَهُ َوأَر‬ ُ‫ قَب َْل أَ ْن يَ ْلقَاه‬ ُ‫ضى َربَّه‬ “Sungguh amat beruntung orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, orang yang membangun kuburan sebelum ia memasukinya, dan orang yang ridha terhadap Tuhannya sebelum ia menemuiNya.”[16] Maksud dari maqalah ini adalah sungguh beruntung orang yang membelanjakan harta kekayaannya dalam bermacam-macam kebaikan sebelum ia meninggal dunia, memperbanyak amalan ukhrawi untuk bekal di alam kubur dan akhirat nanti, dan menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi laranganlarangan-Nya sebelum ia mati. Semua yang telah disebutkan di atas adalah menjadi dalil bahwa kehidupan dunia ini tidak semuanya tercela. Oleh karena itu, bersegeralah menuju kepada kebaikan dengan mengerjakan keta’atan dan meninggalkan berbagai larangan yang dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, dan mendapatkan pahala serta derajat yang tinggi untuk bekal kita di alam selanjutnya (akhirat) karena kehidupan dunia ini hanya bersifat sementara (fana) dan alam akhirat itu pasti datang dan sudah dekat juga kekal adanya.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Akhirat adalah kehidupan alam baka (kekal) setelah kematian atau sesudah dunia berakhir. Percaya kepada adanya kehidupan akhirat merupakan rukun iman



15



yang kelima. Akhirat adalah suatu alam yang hakikatnya masih ghoib, namun sebagai orang yang beriman kita wajib mempercayainya. Perjalanan hidup manusia di dunia akan berakhir dengan kematian. Namun demikian, kematian bukanlah akhir kesudahan manusia, bukan pula tempat istirahat yang panjang. Tetapi, kematian adalah akhir dari kehidupannya di dunia dengan segala yang telah dipersembahkannya dari amal perbuatan, untuk kemudian melakukan rihlah atau perjalanan hidup berikutnya. Perjalanan kehidupan setelah kematian dimulai dari alam kubur, hari kiamat, padang mahsyar, dan seterusnya berturut-turut sampai pada ditempatkannya manusia di surga atau neraka. Surga beserta segala kenikmatannya diperuntukkan bagi hamba yang bertaqwa, sedangkan neraka dengan segala kehinaannya disediakan bagi hamba yang kufur. Allah SWT memberitahukan kepada kita hamba-hamba-Nya bahwa janganlah lengah atau tertipu oleh gemerlap hiasan duniawi yang menggiurkan, karena itu tidaklah lain hanyalah permainan yang sia-sia. Apa yang dihasilkan tidak lain hanyalah hal-hal yang menyenangkan hati saja juga bisa menghabiskan waktu dan pada akhirnya mengantarkan kepada kelengahan. Maka Allah SWT menyuruh kepada kita supaya tidak berlebihan dalam   perhiasan, bermegahmegah,  juga berbangga tentang banyaknya harta dan sukses anak keturunan diantara manusia, karena itu bisa menimbulkan sifat dengki dan iri hati dan juga kesombongan yang mengakibatkan persaingan tidak sehat diantara umat manusia.



DAFTAR PUSTAKA



Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Syaamil Cipta Media, 2005) Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra)



16



Abdul Latief Ahmad Asyur, Menyingkap Misteri Alam Akhirat, (T.T: Insan Cemerlang, 2003), Cet I M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan dan Keserasian AlQur’an, Volume 13, (Jakarta:Lentera Hati,2002) Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,  vol.24 (Beirut: Muassasah alRisalah, 2000) Asy-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol.15, Kairo: Markaz Hijr, 2003) Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol.4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000) Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, t.th), hal.403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol.30 (Dar al-Fikr, 1996) Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.5, hal.557. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.8,



17