Makalah Bisnis, Lingkungan Hidup Dan Etika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ETIKA BISNIS “BISNIS, LINGKUNGAN HIDUP DAN ETIKA” Dosen Pengampu Drs. Ign. Agus Suryono, MM



Disusun oleh : 1. Raden Roro Ayunda Kusuma SW



(141170196)



2. Andi Setiawan



(141180009)



3. Ferdionsyah Herpratana



(141180124)



PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2020



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Dalam bisnis tidak bisa dipisahkan yang namanya etika dan lingkungan hidup. Aktivitas bisnis merupakan kegiatan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang disediakan oleh alam lingkungan. Sebab itu, relasi antara etika, bisnis dan lingkungan hidup sangat erat sekali. Hal ini mengandung pengertian, jika bisnis itu membutuhkan bahan baku dari alam, bagaimanapun alam itu harus diperlakukan secara layak tanpa merusak habitatnya. Ini semua merupakan tanggung jawab suatu perusahaan (pelaku bisnis) yang bersifat eksternal, bagaimana perusahaan mempunyai tanggung jawab dan sosial untuk memperbaiki dan melindungi lingkungan kearah yang lebih baik. Agar suatu bisnis tetap menjaga keseimbangan antara etika, bisnis dan lingkungan hidup, perlu adanya suatu aturan-aturan tertentu yang memuat ketentuan bagaimana mengelola dan mempergunakan sumber daya alam (nature resources) untuk bahan produksinya dengan baik dan tidak mengekploitasinya secara berlebihan. Dalam hal ini perusahaan perlu bersama-sama pelanggan (konsumen- stakeholder), pemasok dan pelaku bisnis lainnya menjalankan praktik bisnis yang berwawasan lingkungan. Perusahaan harus berupaya mengimplementasikan nilai-nilai etika dan hukum dalam praktik-praktik bisnis dan bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan demi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan manusia secara universal.



B. Rumusan Masalah 1. Apa itu krisis lingkungan hidup? 2. Bagaimana masalah lingkungan hidup sebagai tantangan global? 3. Apa itu lingkungan hidup dan ekonomi? 4. Bagaimana hubungan manusia dengan alam?



5. Apa dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkungan hidup? 6. Implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup? 7. Beberapa kasus lingkungan hidup!



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui krisis lingkungan hidup? 2. Untuk mengetahui masalah lingkungan hidup sebagai tantangan global? 3. Untuk mengetahui lingkungan hidup dan ekonomi? 4. Untuk mengetahui hubungan manusia dengan alam? 5. Untuk mengetahui dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkungan hidup? 6. Untuk mengetahui implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup? 7. Untuk mengetahui beberapa kasus lingkungan hidup!



BAB II PEMBAHASAN



A. Krisis Lingkungan Hidup Masalah sekitar lingkungan hidup baru mulai disadari sepenuhnya dalam tahun 1960-an. Sekaligus disadari bahwa masalah itu secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh bisnis modern, khususnya oleh cara berproduksi dalam industri yang berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Sejak permulaan industri akhir abad ke 18, sudah terdengar banyak keluhan tentang pengaruh negatif dari industri atas lingkungan hidup. Industri mengakibatkan timbulnya kota–kota yang suram dan kotor. Tempat penghunian yang ada disekitar pabrik–pabrik diasosiasikan dengan suasana asap, jelaga, dan bau tak sedap.Keadaan suram dan gelap didaerah industri pada waktu dulu sering dipertentangkan dengan keadaan romantis dikawasan pertanian dan perternakan. Di daerah pertanian bau pupuk alam kadang–kadang bisa menyengat hidung, faktor tersebut hanya bersifat sementara dan hilang dalam suatu suasana menyeluruh yang positif. Sekarang polusi yang disebabkan oleh industri mencapai tahap global dan tidak terbatas pada beberapa daerah industri saja. Cara berproduksi besar-besaran dalam industri modern dulu mengandaikan begitu saja dua hal yang sekarang diakui sebagai kekeliruan besar. Pertama bisnis modern mengandaikan bahwa komponen-komponen lingkungan seperti air dan udara merupakan barang umum sehingga boleh dipakai seenaknya saja. Kedua diandaikan pula bahwa sumber alam seperti air dan udara itu tidak terbatas, secara teoritis bahan bahan alami juga memiliki batas. Enam masalah dalam dimensi global : 1. Akumulasi bahan beracun Bahan sisa atau limbah suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun karena sifat (toxicity, framability, reactivity, dan corrosivity) dengan jumlah yang banyak dan secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan.



2. Efek rumah kaca Naiknya suhu permukaan bumi. Panas yang diterima bumi karena penyinaran



matahari



terhalang



oleh



partikel-partikel



gas



yang



dilemparkan dalam atmosfer oleh ulah manusia, sehingga tidak bisa keluar. Salah satu sebab utama adalah karbondioksida atau CO2. 3. Perusakan lapisan ozon Bumi di kelilingi lapisan ozon. O3 (ozon) memiliki peranan penting dalam melindungi kehidupan terhadap sinar ultraviolet dari matahari. Rupanya 80 persen penyinaran ultra violet dari matahari disaring olehnya. Kerusakan lapisan ozon mengakibatkan radiasi ultraviolet dari matahari bisa mencapai permukaan bumi, yang akan membawa pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kehidupan manusia pada umumnya di bumi. Perusakan lapisan ozon disebabkan beberapa sebab yang berbeda, namun yang paling berpengaruh adalah pelepasan bahan CFC (Clorofluorocarbon) ke dalam udara. 4. Hujan asam Asam dalam emisi industri bergabung dengan air hujan yang mencemari daerah yang luas, merusak hutan dan pohon pohon lain, mencemari air danau, merusak gedung gedung, dan sebagainya. Bagi manusia hujan asam bisa mengakibatkan gangguan saluran pernapasan dan paru paru. 5. Deforestasi dan penggurunan Kayu adalah barang yang sangat laris di dunia bisnis. Penggunaan kayu untuk berbagai keperluan telah mendorong penebangan hutan secara tak terkendali, yang mengakibatkan hutan semakin cepat berkurang, termasuk hutan tropis yang menghasilkan kayu kayu yang berkualitas tinggi. Penebangan hutan (deforestation) secara besar besaran mempunya dampak penting atas lingkungan hidup, karena dengan demikian maka salah satu fungsi hutan, yakni meresap karbon dioksida yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (industri, kendaraan bermotor)- suatu penyebab penting terjadinya efek rumah kaca- menjadi



terancam.



Erosi



tanah



dapat



mengakibatkan



juga



meluasnya



penggurunan (desertification), khususnya di negara negara di sekitar gurun sahara diperkirakan merambat ke arah selatan jauh 400 kilometer. Di banyak kota besar di seluruh dunia, termasuk juga Indonesia , tingkatan air tanah menurun terus karena dipompa oleh industri , hotel hotel dan rumah tangga untuk berbagai keperluan. penggunaan dan pemborosan air yang semakin tak terkendali telah mengakibatkan kualitas tanah semakin menurun. 6. Keanekaan hayati Jenis jenis kehidupan (species) yang ada di bumi. Keanekaan hayati sangat penting untuk segala aspek kehidupan manusia, seperti makanan, obat-obatan, dan lain-lain. Salah satu akibat besar dari kerusakan lingkungan adalah kepunahan semakin banyak spesies hidup. Dan spesies hidup yang punah akan hilang lenyap dari muka bumi untuk selamanya. Yang memiliki andil besar terhadap kemusnahan tersebut adalah penggunaan pestisida dan herbisida yang semakin intens.



B. Masalah Lingkungan Hidup sebagai Tantangan Global Dimensi global dari krisis lingungan hidup, sekarang tidak disangkal lagi. Selama beberapa dekade terkahir sudah diambil berbagai inisiatif untuk membahas dan menangani masalah masalah lingkungan pada taraf internasional. The United Nations Conference on the Human Environment pada 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Tanggal itu juga ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.



Kemudian, The United Nations Conference on Environment and



Development pada 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Pertemuan itu mengakui “the integral and interdependent nature of the earth, our home”. Konferensi PBB untuk pertama kali dalam sejarah berhasil mengumpulkan kepala negara dari 110 negara ini memberi kontribusi besar dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dan sekaligus juga mengeluarkan lima dokumen yang dengan persetujuan semua negara anggota PBB harus mengambil tindakan konkret untuk melindungi lingkungan hidup. Sebgai tindak lanjut Konferensi Rio de Janeiro ini pada tahun 1997 pada tahun 1997 disetujui



Protokol Kyoto yang bermaksud membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 dengan menetukan kouta yang boleh dikeluarkan oleh negara partisipan. Tujuannya adalah sekitar tahun 2010 emisi rumah kaca harus dikurangi 5%, dibandingkan dengan tahun 1990. Bulan Juni 2012 diadakan lagi Konferensi PBB di Rio de Janeiro dengan nama resmi United Nations Conference on Sustainible Development. Konferensi tersebut menyetujui dokumen jadul berjudul The future we want. Pada tahun 2012 di Doha (Dakar) diadakan konferensi PBB lagi tentang Climate Change yang diperlukan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto berakhir. Pertemuan Doha menyepakati pemberlakuan Protokol Kyoto delapan tahun lagi (hingga 2020). Dilihat dari belakang, usaha PBB untuk menangani lingkungan hidup sebagai masalah global gagal terus.Sudah dihassilkan ratusan dokumen tetapi komitment konkret dari negara negara PBB hampir tidak ada. Sebab utamanya adalah prioritas yang diberikan setiap negara kepada keadaan ekonominya saat ini. Di sini dunia mengalami buah simalakama. Walaupun masa depan tetap dinilai sangat penting, tidak ada negara yang bersedia mengorbankan (sekurangkurangnya sedikit) keadaan ekonominya sekarang kepada masa depan lingkungan hidup yang lebih baik.



C. Lingkungan Hidup dan Ekonomi 1. Lingkungan hidup sebagai “the Common” Sebelumny sudah kita lihat bahwa bisnis modern mengandaikan begitu saja status lingkungan hidup sebagai ranah umum. Dianggapnya di sini tidak ada pemilik dan tidak ada kepentingan pribadi. Tetapi, kita lihat juga pengandaian ini adalah keliru. Kekeliruan ini dapat kita mengerti lebih baik, jika kita membandingkan lingkungan hidup denga the commons. Sering kali the commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung sebagai tempat untuk mengembala ternaknya. Dalam zaman modern, dengan bertambahnya penduduk, sistem ini tidak bisa dipertahankan lagi dan ladang umum itu di privitasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan. Bagai



masyarakat bersangkutan kejadian ini merupakan suatu perubahan sosial ekonomi besar, antara lain karena menjadi awal mula kepemilikan tanah dalam kuantitas besar oleh orang kaya (the landlords). Tentu saja, dalam konteks lingkungan hidup tidak mungkin dipilih privatisasi sebagai jalan keluar bagi kesulitannya, seperti yang dilakukan pada padang rumput. Penggunaan air, udara dan sumber daya lain hrus dibatasi, supaya semua orang bisa hidup dengan pantas dan sehat. The tragedy of the commons dapat dipandang sebagai kebalikannya dari the invisible And menurut Adam Smith. Smith berpendapat bahwa kemakmuran umum dengan sendirinya akan terwujud, jika semua orang mengejar kepentingan diri di pasar bebas. Tetapi jika semua orang mengejar kepentingan diri masing-masing dalam konteks lingkungan hidup, tidak akan dihasilkan kemakmuran umum, melainkan justru kehancuran bersama. 2. Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas Dengan demikian serentak juga harus ditinggalkan pengandaian kedua tentang lingkungan hidup dan bisnis modern, yakni bahwa sumber-sumber daya alam itu tak terbatas. Mau tidak mau, perlu kita akui, lingkungan hidup dan komponen-komponen di dalamnya tetap terbatas, walaupun barangkali tersedia dalam kuantitas besar. Sumber daya alam pun ditandai kelangkaan. Jika para peminat berjumlah besar, maka air, udara, dan komponen-komponen lingkungan hidup lain menjadi barang langka dan karena itu tidak bisa dipakai lagi dengan gratis. Akibatnya faktor lingkungan hidup pun termasuk urusan ekonomi karena sumber daya alam pun merupakan barang langka dan harus diberi suatu harga ekonomis, komponen-komponen lingkungan hidup itu tidak lagi merupakan eksternalitas untuk ekonomi. 3. Pembangunan berkelanjutan Jika krisis lingkungan dipertimbangkan dengan serius, bagi ekonomi masih ada suatu konsekuensi lain yang sulit dihindarkan. Ekonomi selalu menekankan perlunya pertumbuhan. Ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang tumbuh. Makin besar pertumbuhan makin sehat pula kondisi ekonomi tersebut. Selanjutnya semakin disadari bahwa penghabisan sumber daya alam barangkali masih dapat diimbangi dengan ditemukannya teknologi baru. Karena itu



penghabisan sumber daya alam tidak merupakan masalah hidup atau mati. Masalah yang lebih mendesak adalah kerusakan lingkungan hidup yang sangat memperihatinkan. Yang secara mutlak harus dibatasi adalah tekanan semakin besar pada sistem-sistem ekologis karena efek-efek negatif dari kegiatan manusia. Kapasitas alam untuk menampung tekanan dari polusi udara dan air, degradasi tanah, dan sebagainya tidak diimbangi dengan teknologi baru.



D. Hubungan Manusia dengan Alam Masalah lingkungan hidup menimbulkan suatu cabang filsafat baru yang berkembang dengan cepat, yaitu filsafat lingkungan hidup. Perspektif baru karena dalam refleksi filosofis selama ini belum pernah terpikirkan. Etika lingkungan hidup terutama pergeseran paradigma dalam menyoroti hubungan antara manusia dan alam. Salah satu ciri khas dari manusia modern adalah usahanya untuk menguasai dan menaklukkan alam. Alam dipandang bagaikan binatang buas yang perlu dijinakkan oleh manusia. Tujuan itu tercapai dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan baru yang mulai berkembang dalam abad ke-16 dimengerti sebagai kesempatan istimewa untuk menguasai alam demi kemajuan umat manusia. Filsuf inggris, Francis Bacon (1561-1626), salah seorang pemikir utama yang merefleksikan implikasi-implikasi dari pengetahuan baru, sudah menekankan: knowledge is power. Dalam bukunya Novum Organum (1620) ia menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan baru akan membawakan “perbaikan kondidi manusia dan perluasan kekuasaannya atas alam”. Filuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650), dalam buku kecilnya, ulasan tentang metode (1637), mengungkapkan juga pandangan optimisnya bahwa dengan mengikuti metode dari ilmu pengetahuan baru “kita dapat menjadi penguasa dan pemilik alam” (maitres et possesseurs de la nature). Ilmu pengetahuan modern untuk selanjutnya selalu meneruskan proyek awal itu, yakni mau menguasai dan memanfaatkan alam. Manusia dilihat menurut oposisinya dengan alam. Manusia dipihak satu dan alam dipihak lain, yang kemudian diolah, dikerjakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan manusia. Cara mendekati alam ini disebut dengan sikap teknokratis. Berkat cara kerja



teknokratisnya manusia modern memang berhasil memperoleh banyak sekali manfaat. Bagi yang bisa membayar, hidup modern jauh lebih nyaman daripada hidup dijaman pramodern. Kita ingat saja pemakaian lemari es, alat penyejuk (AC), transportasi, telekomunikasi dan seribu satu fasilitas lain lagi yang dulu tidak mungkin dibayangkan. Secara khusus dapat kita ingat akan keberhasilan ilmu kedokteran. Memang benar apa yang ditandaskan filsuf inggris, Berrtand Russell (1872-1970): “perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya yang kini kadang kala masih menjadi objek nostalgia sementara orang”. Pada halaman yang dikutip tadi, Descartes pun sudah berbicara tentang peluang yang terbuka bagi ilmu kedokteran dengan munculnya metode ilmiah yang baru. Semua kemajuan yang setiap hari kita terima sebagai lumrah saja tentu tidak mau disangkal, jika sikap teknokratis itu sekarang banyak dikritik oleh para pemerhati lingkungan hidup. Pendekatan teknokratis terhadap alam tidak membawa berkat saja, tetapi membawa juga banyak faktor negatifyang tampak dengan jelas dalam masa krisis lingkungan ini.alam hanya dilihat sebagai instrumen saja. Alam didekati dengan kekerasan detruktif, dibingkar, digali, dirusak hanya untuk memperoleh yang dicari. Hutan ditebang untuk mendapat kayunya. Tempat lain dieksploitasi untuk mengambil batu bara, timah, atau bahan lain. Sekarang disadari bahwa kita harus meninjau kembali hubungan manusia dengan alam. Manusia tidak terpisah dari alam , apalagi bertentangan dengan alam, ia termasuk alam itu sendiri seperti setiap mahluk hidup lain. Pada dasarnya manusia adalah sebagian alam. Persatuannya dengan alam itu tidak pernah boleh dilupakan. Pandangan modern tentang alam adalah antroposentris, karena menempatkan manusia dalam pusatnya. Pandangan baru yang kita butuhkan bila kita ingin mengatasi krisis lingkungan, harus bersifat ekosentris, karena menempatkan alam dalam pusatnya. Aliran dalam filsafat lingkungan yang paling radikal mengemukakan pandangan ini adalah deep ecology. Gagasan deep ecology ini untuk pertama kali dikemukakan oleh filsuf Norwegia, Arne Naes, pada suatu kongres filsafat dan kemudian dipublikasikan dalam bentuk artikel. Deep Ecology sangat menekankan kesatuan alam. Semua mahluk hidup, termasuk manusia, tercantum dalam alam menurut relasi-relasi tertentu. Setiap mahluk hidup menjadi sebagaimana adanya,



karena interaksi dengan semua mahluk hidup lain dan dengan lingkungannya. Dari situ disimpulkan bahwa semua mahluk hidup mempunyai nilai tersendiri, karena yang satu tidak mungkin hidup tanpa yang lain. Hal itu kadang-kadang disebut biospherical egalitarianism, yang tentu menjadi kontroversial, bila dimaksud bahwa semua mahluk hidup mempunyai nilai yang sama. Deep ecology harus dibedakan dari shallow ecology, ekologi dangkal. Ecology dangkal itu tidak pernah sampai pada akar masalah-masalah lingkungan hidup. Akan berusaha melestarikan lingkungan, supaya bermanfaat terus untuk manusia instrumental dari alam. Buat ekologi dalam, alam mempunyai nilai instrinsik, artinya nilai sendiri, tak tergantung dari faktor luar. Dengan menekankan nilai instrinsik dari alam, ekologi dalam sudah menginjak wilayah etika. Dapat dimengerti juga, kalau ekologi dalam tidak membatasi diri pada teori saja, tapi mengajak para peminat untuk melibatkan diri dalam aksi yang kadang-kadang cukup radikal. Antara lain ada yang ingin berpegang teguh pada gagasan nature knows best, sehingga menolak dengan tegas setiap intervensi manusia dalam alam, khususnya manipulasi genetik. Sesudah dimulai oleh Ness timbul lagi banyak pandangan yang berbeda dalam gerakan ekologi dalam itu. Yang menarik banyak perhatian adalah 8 prinsip ekologi dalam yang dirumuskan oleh dua orang pengarang Amerika. Daftar 8 prinsip ini bisa dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh pendukung ekologi dalam : 1. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun kehidupan bukan manusiawi di bumi mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai ini tak tergantung dari bermanfaat tidaknya dunia bukan manusiawi untuk tujuan manusia. 2. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup menyumbangkan kepada terwujudnya nilai-nilai sendiri. 3. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya. 4. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan dengan dikuranginya secara substansial jumlah penduduk. Kehidupan bukan



manusiawi memerlukan dikuranginya jumlah penduduk itu. 5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan manusiawi kini terlalu besar dan situasi memburuk dengan pesat. 6. Karena itu kebijakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut struktur-struktur dasar dibidang ekonomis, teknologis dan ideologis. Keadaan yang timbul sebagai hasilnya akan berbeda secara mendalam dengan struktur-struktur sekarang. 7. Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan (artinya, manusia dapat tinggal dalam situasi situasi ang bernilai inheren) dan bukan berpegang pada standar kehidupan yang semakin tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan perbedaan antara big (=kuantitas) dan great (=kualitas). 8. Mereka yang menyetujui butir butir sebelumnya berkewajiban secara langsung dan tidak langsung untuk berusaha mengadakan perubahan perubahan yang perlu. Banyak pandangan ekologi dalam itu pantas dihargai secara positif. Menurut hemat kami, manusia memang bisa dianggap sebagai sebagian alam. Pandangan eksontris adalah benar, sejauh manusia tidak mungkin dilepaskan dari alam. Perlu diakui pula bahwa alam mempunyai nilai intrinsik, yang tidak tergantung pada manfaatnya untuk manusia. Dan gagasan ini pasti punya konsekuesi besar untuk etika. Khususnya etika bisnis harus memikirkan kedudukan alam sebagai stakeholder, disamping stakeholder lain yang sudah disebut sebelumnya. Tetapi dalam redensi ekologi-dalam itu rupanya mengarah terlalu jauh. Yang dimaksud terutama tempat manusia dalam alam. Pertama, seperti sudah digaris bawahi sebelumnya, pendekatan teknokratis membawa banyak manfaat yang tidak perlu dan bahkan tidak bisa dibuang lagi. Yang haris ditolak adalahsifat berat sebelahnya yang menjadi destruktif. Dengan tegas kita menentang tendensi sikap teknokratis untuk merusak alam dan tidak memeliharanya. Kedua, jika kita menerima ekosentrisme sebagai benar, tidak boleh kita jatuh dalam ekstrem lain, yakni ekofasisme, dimana manusia sebagai individu dikorbankan kepada alam sebagai keseluruhan.



Walaupun ekosentrisme memng merupakan suatu



pandangan holistik yang sah, kita tidak dapat membiarkan martabat khusus manusia tergilas oleh keagungan alam. Kesatuannya dengan alam tidak menghindarkan bahwa manusia menduduki tempat istimewa dalam alam. Hanya dalam diri manusia, alam menjadi sadar. Hanya manusia dapat mengatakan aku dan dengan demikian dia menjadi satu-satunya bagian alam yang berbicara dan berpikir. Karena itu manusia kita sebut persona, sebab mempunyai martabat khusus yang tidak dimiliki mahluk hidup lainnya. Biospherical egalitarianism tidak bisa dibenarkan, bila maksudnya adalah persamaan martabat semua mahluk hidup. Namun demikian, dengan mengenakan martabat istimewa kepada pribadi manusia, martabat alam tidak dikurangi sedikitpun tetaoi justru ditingkatkan. Karena itu pula manusia menjadi satu-satunya mahluk hidup yang mempunyai tanggung jawab moral. Melalui manusia, alam bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.



E. Dasar Etika Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup 1. Hak dan Deontologi Dalam sebuah artikel terkenal yang untuk pertama kali terbit pada 1974, William T. Blackstone mengajukan pikiran bahwa setiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik. Ia menyebutnya the right to to a livable environment. Lingkungan yang berkualitas tidak saja merupakan sesuatu yang sangat diharapkan, tetapi juga sesuatu yang harus direalisasikan karena menjadi hak setiap manusia. Blackstone menyisinyalir bahwa para politisi secara implisit maupun eksplisit mulai berbicara tentang hak serupa itu, jika mereka membahas permasalahan lingkungan hidup. Dari segi etka, cara berbicara itu dapat dibenarkan, karena ada alasan kuat untuk mengaku adanya hak itu. Hak moral ini baru sekarang tampil ke permukaan, tetapi di secara implisit selalu sudah ada. Tetapi kalau hak ini sungguh-sungguh ada, orang lain wajib memenuhinya,dan hal itu menjadi aktual dalam lingkungan sekarang. Manusia berhak atas lingkungan yang berkualitas karena mempunyai hak moral atas segala sesuatu yang perlu untuk hidup dengan pantas sebagai manusia, artinya yang memungkinkan dia memenuhi kesanggupannya sebagai



mahluk yang rasional dan bebas. Jika kita mempunyai hak atas lingkungan yang berkualitas, bisa saja hak-hak ini mengalahkan hak lain. Menurut Blackstone, hal itu kini menjadi aktual dengan hak-hak ekonomis yang didasarkan atas hak milik pribadi. Dalam konteks ekonomi pasar bebas, setiap orang berhak untuk memakai miliknya guna menghasilkan keuntungan. Tetapi hak atas lingkungan yang berkualitas bisa saja mengalahkan hak seseorang untuk memakai miliknya dengan bebas. Jika perusahaan memiliki tanah sendiri, tetap tidak boleh membuang limbah disitu, karena dapat mencemari lingkungan yang tidak pernah menjadi milik pribadi begitu saja. Dengan banyak cara lain lagi hak milik pribadi dari beberapa orang bisa dibatasi atau malah dikalahkan oleh hak seluruh masyarakat atau lingkungan berkualitas. Pandangan hak ini akhirnya berdasarkan teori deontologi yang menegaskan bahwa manusia selalu harus diperlakukan juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Jika kita bisa menyutujui hak atas lingkungan berkualitas ini pada taraf teori, maka pada taraf praktek masih tinggal banyak kesulitan. Tidak menjadi jrelas sejauh mana hak atas milik pribadi atau hak atas usaha ekonomis harus dibatasi. Ada etikawan yang amat yakin tentang adanya hak untuk generasigenerasi yang akan datang dan malah untuk binatang. Etikawan lain menolak dengan tegas hak-hak serupa itu. kami berpendapat bahwa istilah “hak” dipakai dalam arti kiasan saja,  bila orang berbicara tentang hak generas-generasi yang akan datang dan hak binatang. Hak dalam arti yang sebenarnya selalu mengandaikan subyek yang rasionaal dan bebas, jadi manusia yang hidup. Hanya saja jika menyangkal adanya hak hak in, kita tidak menangkal adanya kewajiban untuk mewariskan lingkungan hidup berkualitas kepada generasigenerasi yang akan datang dan kewajiban untuk memelihara keaneka rakaman hayati. Walaupun sering kali kewajiban dari pihak satu sepadan dengan hak dari pihak lain, disisni tidak demikian. Sumber bagi kewajiban kita di sini adalah tanggung



jawab



kita



terhadap



generasi-generasi



keanekaragaman hayti, bukan hak-hak mereka. 2. Utilitarisme



sesudah



kita



dan



Teori utilitarisme menyediakan dasar moral bagi tanggung jawab manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Bahkan teori ini bisa memberikan jalan keluar pada masalah atas hak lingkungan hidup. Teori utilitarisme menyebutkan bahwa suatu perbuatan atau aturan yang baik bila membawa keuntungan pada jumlah orang yang banyak dengan memaksimalkan manfaat. Sehingga sudah jelas bahwa pelestarian lingkungan hidup bermanfaat bagi banyak orang bahkan generasi yang selanjutnya. 3. Keadilan Dasar pada tanggung jawab melestarikan lingkungan juga adalah tuntutan etis yang mengharuskan keadilan. Dalam konteks lingkungan hidup yang digunakan adalah prinsip keadilan distributif dimana keadilan yang mewajibkan untuk saling membagi dengan adil. Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu: a. Persamaan Dalam sebagian besar kegiatan bisnis dapat kita lihat kesenjangan hasil yang didapat dalam sebuah bisnis. Dengan mengeksploitasi kekayaan alam para pemilik usaha bisa mendapat keuntungan banyak. Namun di sisi lain para orang kurang mampu justru mendapatkan kerugian dalam bisnis. Seperti masyarakat yang tinggal dalam lingkungan industri kimia, kerusakan lingkungan hidup akan banyak mereka rasakan. Hal inilah yang dianggap tidak adil. Pada konteks persamaan di keadilan distributif semua orang memiliki perlakuan yang sama.



Sehingga



lingkungan



hidup



harus



dilestarikan



dan



pemanfaatannya dengan menggunakan cara persamaan. b. Prinsip penghematan adil ”the just savings principle” artinya kita harus menghemat dalam memakai sumber daya alam, sehingga nantinya masih tersisa cukup untuk generasi-generasi yang akan datang. Keadilan hanya menuntut bahwa kita meninggalkan sumber-sumber energi alternatif bagi generasi yang akan datang. Dalam prinsip penghematan adil, kita wajib mewariskan lingkungan hidup seperti yang ada saat ini agar mereka bisa



hidup pantas seperti yang kita rasakan saat ini. Sehingga semua generasi akan menerima prinsip prnghematan adil sebagai cara yang adil untuk membagi. c. Keadilan sosial Keadilan



sosial



berbeda dengan



keadilan



individu



dimana



pelaksanaan keadilan tidak bergantung pada kemauan orang tertentu melainkan pada struktur-struktur yang ada dalam masyarakat. Seperti menggunakan sepeda atau berjalan kaki ke suatu tempat untuk mengurangi efek rumah kaca itu tidak membantu selama masih ada jutaan orang tetap menggunakan kendaraan bermotor. Permasalahan lingkungan tidak bisa diselesaikan hanya dalam lingkup individu, nasional, bahkan regional. Permasalahan ini telah mencapai global. Langkah-langkah sederhana memang tidak mempunai banyak arti dalam skala yang kecil, namun bila dilaksanakan bersama-sama akan mencapai kemajuan besar dalam memperbaiki dan melestarikan lingkunga hidup.



F. Implementasi Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup Apabila suatu kegiatan bisnis hanya bisa memberikan efek negatif, salah atu tindakan radikal yang bisa diambil adalah dengan melarang seluruh bentuk kegiatan bisnis terutama industri. Namun hal seradikal ini bisa jadi merupakan hal yang menentang suatu prinsip hak seseorang. Bahkan bila hak tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Sangat diperlukan tanggung jawab moral untuk melindungi lingkungan terhadap faktor-faktor lainnya. a. Siapa harus membayar? Terdapat dua jwaban untuk menjawab pertanyaan siapa yang harus membayar seluruh akibat dari pencemaran lingkungan: 1. The polluter pays. Yang dimaksud dengan si pencemar membayar adalah orang atau perusahaan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan harus menanggung biaya untuk membersihkan pencemaran hingga kembali seperti semula. Namun menentukan siapa yang membuat



pencemaran dan siapa yang mebuat pencemaran lebih banyak sangat sulit untuk ditentukan. Apalagi bila pencemaran sudah terjadi sebelumnya dan dilakukan oleh generasi sebelum kita. Kita akan sulit mengidentifikasi siapa yang harus menanggungnya. 2. Those who will benefit from environmental improvement should pay the cost. Yang dimaksud dengan yang ingin menikmati lingkungan bersih harus menanggung biayanya adalah orang-orang yang berusaha menikmati lingkungan yang bersih. Namun prinsip ini memiliki kesulitan apabila seseorang membayar, namun di lain pihak ada yang tidak



membayar



namun ikut



menikmatinya.



Prinsip ini



tidak



menghiraukan tanggung jawab dan dianggap tidak adilsehingga tidak boleh dibebankan pada orang lain saja. Dalam konteks lingkungan hidup yang global seperti saat ini, masing-masing Negara memiliki andil dan tanggung jawab dalam melaksanakan pelestarian lingkungan hidup tanpa terkecuali. Negara maju memiliki tanggung jawab terbesar dalam melestarikan karena mereka mengakibatkan pencemaran lingkungan lebih banyak dibanding negara lain. b. Bagaimana beban dibagi? Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk membayar akibat pencemaran lingkungan, kini muncul pertanyaan bagaimana pembayaran itu dibagi sehingga dapat adil pada seluruh negara terutama pada setiap industri. 1. Pengaturan. Cara pertama adalah membuat peraturan mengenai polusi dari industri. Peraturan itu bisa melarang membuang limbah beracun dalam air sungai atau laut dan menentukan denda bila peraturan itu dilanggar. Atau peraturan bisa menetukan tingginya cerobong dan kuantitas emisi beracun berapa boleh dibuang ke dalam udara melalui cerobongcerobong itu dan banyak hal lain lagi. Kekuatan pengaturan itu adalah bahwa pelaksanaannya dapat dipaksakan secara hukum. Bagi yang



melanggar ada sanksinya. Dipandang dari sudut moral, bisa dikatakan juga bahwa pengaturan ini cukup fair, karena diterapkan dengan cara yang sama kepada semua industri. Tetapi cara menangani masalah lingkungan ini mempunyai beberapa kelemahan yang dapat disingkatkan sebagai berikut. a. Pelaksanaan kontrol terhadap peraturan-peraturan macam itu menuntut tersedianya teknologi tinggi serta personel berkualitas dan karena itu menjadi mahal. Instansi pengontrolan pemerintah tidak mungkin menguasai seluk-beluknya begitu banyak industri yang berbeda. Karena itu mudah terjadi kesalahan, sehingga dari beberapa industri dituntut terlalu banyak, sedangkan industri lain barangkali lolos dari pengontrolan yang tepat. b. Pengontrolan efektif menjadi suatu kesulitan ekstra untuk negaranegara berkembang. Kalau negara industri maju sudah mengalami banyak kesulitan dengan mengontrol peraturan lingkungan, apalagi negara berkembang yang tidak cukup menguasai teknologi canggih. Karena alasan finansial pula tidak dapat diharapkan negara berkembang memiliki instansi pengontrolan yang efektif. c. Di satu pihak pengaturan tentang lingkungan dapat diterapkan dengan cara egalitarian untuk semua industri dan karena itu harus dianggap fair. Tetapi di lain pihak situasi semua industri dan lokasi tidak sama juga, sehingga penerapan norma-norma yang sama kadang-kadang menjadi tidak efektif. Misalnya, bisa saja bahwa cerobong-cerobong sebuah pabrik yang letaknya di pinggir laut hampir tidak mengganggu kualitas udara, sedangkan cerobong-cerobong dari seratus pabrik dekat tempat pemukiman padat sangat mencemari udara, walaupun emisi masing-masing pabrik hanya separuh dari pabrik pertama tadi. d. Pengaturan di bidang polusi industri dapat menimbulkan suatu sikap minimalistis pada bisnis. Mereka hanya berusaha untuk tidak melanggar peraturan (kalau pengontrolan memang efektif), tapi barangkali mereka bisa melakukan lebih banyak tanpa kerugian ekonomis. Melalui pengaturan, bisnis tidak mendapat motivasi kuat



untuk berusaha optimal bagi kualitas lingkungan. e. Kesulitan lain adalah bahwa pengaturan ketat bisa menimbulkan efek negatif untuk ekonomi. Pabrik-pabrik yang tidak mungkin memenuhi norma peraturan barangkali harus ditutup, sehingga akan mengakibatkan pengangguran dan masalah ekonomis lain untuk masyarakat bersangkutan. Bisa juga bisnis memindahkan industri yang mengakibatkan polusi ke negara lain yang tidak mempunyai peraturan tegas. Kalau begitu, pada taraf global tidak ada perbaikan lingkungan sama sekali. 2. Insentif Cara menangani biaya perbaikan lingkungan yang menemui lebih banyak simpati pada bisnis adalah memberikan insentif kepada industri yang bersedia mengambil tindakan khusus untuk melindungi lingkungan. Misalnya, dengan memberikan bersyarat lunak, subsidi, pengurangan pajak atau sebagainya, kepada industri yang memakai energi terbarukan seperti energi angin, surya, panas bumi dan lain-lain. Atau



insentif



berupa



penghargaan



bagi



perusahaan



yang



mempunyaijasa khusus dalam memperbaiki lingkungan. Kekuatan cara ini adalah bahwa peranan pemerintah dengan itu dapat dikurangi dan inisiatif bebas dari bisnis dimajukan. Bisnis tidak dipaksakan seperti dengan cara pertama. Dengan demikian bisa dihindarkan juga penutupan perusahaan atau pemindahan pabriknya ke tempat lain, karena tidak mampu memenuhi peraturan tentang polusi. Tetapi cara ini mempunyai juga beberapa kelemahan. a. Metode ini akan berjalan perlahan-lahan. Padahal, banyak masalah polusi yang disebabkan oleh industri harus segera diatasi dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. b. Cara ini menguntungkan para pencemar. Mereka yang sudah lama



memproduksi



barang



yang



ramah



lingkungan



tidak



memperoleh manfaat dari metode insentif ini. Apalagi, kontrol dari pihak pemerintah di sini agak sulit dijalankan, sehingga insentif ini



mudah disalahgunakan atau tidak diterapkan pada semua perusahaan dengan cara yang sama. 3. Mekanisme harga Mereka yang mementingkan ekonomi pasar bebas, cenderung memasang harga pada polusi yang disebabkan industri. Pabrik-pabrik yang menyebabkan polusi harus membayar sesuai dengan kuantitas emisi dan tingkatan pencemaran. Dengan kata lain, dipungut pajak lingkungan dari industri yang besarnya sesuai dengan polusi yang disebabkan. Dengan demikian mengakibatkan polusi menjadi sama dengan menambahkan biaya produksi, sehingga harga produk menjadi lebih mahal dan konkurensi dengan pesaing bertambah sulit. Secara otomatis bisnis akan berusaha agar biaya produksinya serendah mungkin dan karena itu akan berusaha pula agar polusi yang disebabkan oleh kegiatan ekonomisnya seminimal mungkin. Cara berproduksi yang paling bersih menjadi juga cara berproduksi yang paling murah. Mekanisme harga ini memungkinkan lagi beberapa variasi sesuai dengan situasi. Polusi di daerah di mana industri hanya sedikit, bisa dibebankan dengan harga lebih rendah ketimbang polusi di daerah industri padat. Dan di daerah industri padat di Eropa atau Amerika Serikat bisa dipasang harga polusi lebih tinggi waktu musim panas, ketimbang musim dingin, karena polusi waktu musim panas mempunyai dampak paling jelek atas lingkungan. Cara menangani biaya pencemaran ini mempunyai keuntungan bahwa yang harus membayar di sini adalah si pencemar. Banyak ekonom akan menyetujui cara ini, karena dengan demikian beban pada lingkungan tidak lagi dijadikan suatu eksternalitas ekonomis tetapi dimasukkan dalm biaya produksi. Secara teoritis, industri



bisa



diwajibakan membayar untuk setiap polusi yang disebabkannya. Suatu kesulitan adalah mengukur dengan persis kuantitas polusi dan tingkatan jeleknya suatu polusi. Tetapi kesulitan ini secara teknis bisa diatasi. Dibandingkan dengan para ekonom, para pejuang lingkungan (the environmentalists) pada umumnya tidak begitu antusias tentang metode



ini, terutama para penganut deep ecology. Mereka menekankan bahwa mengkalkulasikan biaya kerusakan lingkungan hidup ke dalam harga produk secara implisit tetap mengizinkan polusi dan perusakan lingkungan. Dengan demikian hanya toleransi ekonomis dari masyarakat dipertimbangkan, bukan “toleransi” alam atau kemampuan alam untuk membersihkan diri. c. Etika dan hukum lingkungan hidup Apa yang berlaku tentang etika bisnis pada umumnya, berlaku juga mengenai masalah lingkungan hidup. Pebisnis belum tentu memenuhi norma-norma etika, bila ia berpegang pada aturan-aturan hukum. Memang benar, sebagian besar hukum mempertegas norma-norma etika tetapi hal itu tidak berarti bahwa hukum menampung semua nilai dan norma etika. Etika secara logis mendahului hukum dan refleksi etis selalu harus mendampingi dan menilai hukum. Pebisnis juga belum tentu berlaku etis, bila ia berpegang pada semua aturan hukum tentang lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup hingga tidak bisa diperbaiki lagi selalu harus dianggap tidak etis, juga kalau tidak atau belum dilarang menurut hukum. Jika besok diberlakukan peraturan hukum yang melarang membuang limbah industri dalam sungai, perusahaan yang masih melakukannya hari ini tidak melanggar hukum. Tetapi dari segi etika bagaimana? Atau bila cara berproduksi yang tertentu dilarang menurut hukum di dalam negeri, perusahaan bisa memindahkan pabriknya ke negara lain di mana tidak ada peraturan hukum semacam itu. Menurut hukum perilaku seperti itu diperbolehkan saja, tetapi menurut etika bagaimana? Di sisi lain, jika satu perusahaan berlaku etis dengan tidak membuang limbah ke dalam sungai, sedangkan begitu banyak perusahaan lain membuang limbah seenaknya, sikap etisnya yang sangat terpuji itu sama sekali tidak efektif. Barangkali kita semua sepakat bahwa perilaku semua perusahaan kecuali yang satu itu tidak etis, namun mereka lakukan juga, karena dari segi ekonomis lebih menguntungkan. Bagi mereka motivasi untung lebih kuat daripada motivasi moral. Pada 1981 Presiden Ronald Reagan dari Amerika Serikat mengeluarkan executive order yang memerintahkan mencek semua peraturan



lingkungan



baru



dengan



cost-benefit



analysis



sebelum



diimplementasikan. Dengan itu ia menempatkan keuntungan bisnis di atas kepentingan lingkungan hidup. Kepatuhan pada norma etika tidak bisa dipaksakan. Karena itu terutama dalam konteks lingkungan hidup ini kita sangat membutuhkan peraturan hukum. Lingkungan hidup hanya bisa dilindungi dengan baik, jika tercipta peraturan hukum yang efektif dan lengkap demi tujuan itu. Mestinya bisnis bersedia membantu dalam membuat sistem peraturan hukum lingkungan yang baik. Sebab, menciptakan peraturan-peraturan itu tidak mudah, karena materinya sangat teknis dan canggih. Dalam hal ini bisnis mempunyai keahlian lebih banyak daripada pemerintah. Dan sistem hukum lingkungan yang baik adalah demi kepntingan semua pihak, termasuk bisnis sendiri. Harus dianggap tidak etis, bila bisnis dengan lobbying atau caralain mencoba menghambat terbentuknya peraturan hukum lingkungan, karena menyadari konsekuensi ekonomisnya yang berat. Dalam materi yang begitu penting seperti pelestarian lingkungan hidup, mereka seharusnya bersedia menempatkan kepentingan lingkungan di atas segala kepentingan lainnya. Kalau sudah ada sistem peraturan lingkungan yang baik, masalahnya belum selesai, sebab masih tinggal pelaksanaan. Justru karena segi teknisnya sering kali sangat kompleks, pengontrolan di bidng ini menjadi amat sulit. Pihak kepolisisan dan kejaksanaan kerap kali tidak mempunyai personel dan keahlian cukup untuk mengontrol polusi dengan efektif. Karena itu kans untuk ditangkap bila melanggar, bagi perusahaan barangkali tidak besar. Apalagi, denda acap kali relatif kecil, sehingga bagi perusahaan lebih menguntungkan membayar denda daripada membangun instalasi mahal untuk mengurangi polusi atau mengolah limbah. Karena itu setelah terbentuk sistem peraturan lingkungan yang baik, tetap diperlukan kemauan moral dari dunia bisnis untuk mewujudkan tujuannya. Malah pelaksanaan peraturan-peraturan hukum pda taraf nasional belum cukup. Polusi yang disebabkan industri tidak berhenti pada perbatasan negara. Peraturan hukum lingkungan harus dibuat pada taraf internasional dan dikontrol juga. Hal itu tentu lebih sulit lagi untuk dipaksakan dan hanya bisa dilaksanakan, bila negara-negara bersangkutan



menyetujui. Kini permulaannya sudah ada dengan Agenda 21 dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro (1992) walaupun sampai sekarang hasilnya sangat mengecewakan. Karena semua pertimbangan ini, kita tidak mungkin berhasil dalam upaya melestarikan lingkungan hidup, jika bisnis tidak ikut menegakkan etika dan hukum di bidang ini. Khusus dari sudut etika, perlu ditekankan bahwa bisnis mempunyai tanggung jawab moral untuk tidak merusak lingkungan hidup. Namun demikian, dalam konteks pelestarian lingkungan hidup, kami berpendapat bahwa tanggung jawab bisnis tidak terbatas pada segi negatif saja. Bisnis mempunyai juga tanggung jawab positif untuk mengajukan pelestarian lingkungan hidup. Bisnis wajib memberi kontribusi kepada perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, sejak permulaan industrialisasi bisnis telah merusak lingkungan. Selama satu abad lebih industri tidak memiliki wawasan lingkungan. Kita membutuhkan waktu lama, sebelum hal itu disadari dengan jelas. Kini bisnis wajib membantu mengoreksi tradisi lama yang buruk itu. Kedua, alam mempunyai nilai sendiri. Anggapan lama bahwa alam hanya merupakan



instrumen



untuk



dimanfaatkan



oleh



manusia,



harus



ditinggalkan. Jika alam mempunyai nilai sendiri, ia patut dihormati pula. Karena manusia termasuk alam, dengan menghormati dan memelihara alam manusia serentak juga menghormati masa depannya sendiri. Tetapi jika bisnis mempunyai tanggung jawab moral, dalam arti kewajiban positif untuk memajukan kepentingan lingkungan hidup, hal itu tidak berarti bahwa seluruh tanggung jawab harus dipikul oleh produsen saja. Produsen dan konsumen bersam-sam memikul tanggung jawab itu. Dalam



segala



pertimbangannya,



produsen



harus



menomorsatukan



kepentingan lingkungan hidup. Tentu saja tujuan mencari untung tidak pernah dapat dilepaskannya. Tetapi jika ia mempunyai pilihan antara cara berproduksi lebih beruntung dengan merugikan lingkungan dan cara berproduksi dengan untung lebih kecil tapi rmah lingkungan, ia wajib memilih kemungkinan kedua. Kepentingan lingkungan harus diberi



prioritas tinggi dalam segala rencana dan kegiatan produsen. Di sisi lain, dalam membeli produk, konsumen pun harus sadar lingkungan. Walaupun harga produk tertentu lebih murah daripada produk lain, ia harus memilih produk kedua, jika diketahui produk pertama merusak lingkungan. Kualitas lingkungan harus mendapat prioritas tinggi juga untuk konsumen. Ada tanda-tanda yang menunjukkan kesadaran lingkungan dari konsumen sudah mulai terbentuk, terutama di Eropa Barat. Salah satu contoh adalah pemakaian ecolabel. Label khusus ini dipasang pada produk yang dapat dipastikan tidak merusak lingkungan. Antara lain dipakai untuk produk kayu tropis. Jika produk itu dilengkapi dengan ecolabel, sudah terjamin produk itu dibuat dengan tidak merusak hutan tropis.Ecolabel itu dikeluarkan oleh suatu lembaga independen (bukan oleh produsen) yang mempergunakan kriteria



jelas dan ketat. Tentu saja, efisiensi label itu



seratus persen tergantung pada kredibilitas lembaga tersebut. Lembagalembaga konsumen juga bisa menilai produk dan jasa dari sudut pandang dampaknya terhadap lingkungan dan dalam hal ini memberi penyuluhan kepada anggotanya. Cara ampuh lain lagi yang dimiliki oleh konsumen adalah memboikot produk-produk dari perusahaan yang diketahui merusak lingkungan. Dengan memanfaatkan media komunikasi modern boikot seperti itu tidak sulit diselenggarakan. Sangat diharapkan, kesadarn lingkungan pada konsumen akan bertambah besar. Jumlah produsen dalam masyarakat sangat terbatas, sedangkan jumlah konsumen luas sekali, sehingga pengaruh mereka bisa besar pula.



G. Kasus Lingkungan Hidup 1. Musibah Reaktor Nuklir di Chernobyl Salah satu kecelakaan nuklir yang hingga kini diingat oleh masyarakat dunia adalah meledaknya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl.



Kecelakaan itu terjadi 34 tahun yang lalu tepatnya pada 26 April 1986 di Ukraina yang pada saat itu masih bergabung dengan Rusia. Saat itu, tepatnya pukul 01.23 dini hari, salah satu dari 4 modul reaktor Chernobyl meledak, sekitar 28 pekerja meninggal seketika akibat ledakan reaktor tersebut. Dari tragedi ini tentunya meninggalkan trauma yang besar bagi seluruh masyarakat dunia, khusunya para ilmuan yang menggeluti teknologi nuklir. Kecelakaan itu disebabkan oleh kesalahan manusia dalam hal ini operator yang melakukan suatu eksperimen pada daya tingkat rendah atau di bawah daya nominal sebelum reaktor dimatikan. reaktor chernobyl saat itu sudah dilengkapi dengan sistem otomatisasi. Namun, untuk kepentingan eksperimen, sistem otomatisasi yang menghambat penurunan daya dimatikan. Dengan matinya sistem otomatisasi, akhirnya dalam penurunan daya yang dilakukan secara manual tersebut melampaui batas keselamatan yang dipersyaratkan. Tidak lama kemudian terjadi lonjakan energi secara tiba-tiba yang tak terduga. Ketika operator mencoba mematikan secara darurat, terjadi lonjakan daya yang sangat tinggi yang menyebabkan tangki reaktor pecah dan diikuti serangkaian ledakan uap. Ledakan ini membahayakan bagi operator di sekitar reaktor karena radiasi alpha, beta, dan gamma yang memancar langsung dari pusat reaktor yang perisai radiasinya sudah rusak. Zat radioaktif yang terdapat di dalam teras reaktor dapat berupa gas, bahan yang mudah menguap (volatil) dan bahan yang tidak menguap (non volatil). Zat radioaktif yang berbentuk gas maupun volatil, dan kalau sampai masuk ke dalam tubuh manusia akan sangat membahaya



Critical Review Kasus Reaktor Nuklir Chernobyl Kecelakaan PLTN Chernobyl masuk level ke-7 (level paling atas) yang disebut major accident, sesuai dengan kriteria yang di tentukan INES (International Nuclear Event Scale). Di samping kesalahan operator yang mengoperasikannya di luar SOP, PLTN Chernobyl juga tidak memenuhi standar desain sebagaimana yang ditentukan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency). PLTN Chernobyl tidak mempunyai kungkungan reaktor sebagai salah satu persyaratan untuk menjamin keselamatan jika terjadi kebocoran radiasi dari reaktor. Apabila PLTN Chernobyl memiliki kungkungan maka walaupun terjadi ledakan kemungkinan radiasi tidak akan keluar kemana-mana dan terlindung oleh kungkungan. Atau bila terjadi kebocoran tidak akan separah jika dibandingkan dengan tidak memiliki kungkungan.



Secara terperinci, kecelakaan itu disebabkan : 1. Desain reaktor. Tidak mempunyai kungkungan reaktor (containment). Akibatnya, setiap kebocoran radiasi dari reaktor langsung ke udara dan menimbulkan berbagai macam polusi 2. Pelanggaran prosedur. Ketika melakukan tes hanya 8 batang kendali reaktor yang dipakai, yang semestinya minimal 30. Tes tersebut dilakukan tanpa memberitahukan kepada petugas yang bertanggungjawab terhadap operasi reaktor 3. Budaya keselamatan dan etika lingkungan hidup. Pengusaha instalasi tidak memiliki budaya keselamatan dan etika lingkungan hidup. Tidak mampu memperbaiki kelemahan desain dan tidak memikirkan dampak yang akan terjadi sebelum terjadinya kecelakaan.



2. “Aliran Lumpur Panas Lapindo Sampai ke Badan Air Sungai Porong dan Sungai Aloo” Bencana ekologis nasional lumpur panas yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur berupa semburan gas beracun dan lumpur panas di dekat sumur pengeboran Banjar Panji-1 milik kegiatan pengeboran PT Lapindo Brantas, Inc. yang



masih berlangsung hingga saat ini. Karena besarnya volume semburan menyebabkan air Lumpur tersebut dialirkan ke badan air Sungai Porong dan Sungai Aloo demi menjamin keselamatan jiwa masyarakat dan infrastruktur di sekitar lokasi semburan. Kandungan air Lumpur pada kolam penampungan dideteksi mengandung bahan kimia berbahaya yaitu senyawa Phenol yang secara fisik diidentifikasi sebagai senyawa berwarna merah muda. Dengan adanya pengaliran air lumpur yang mengandung Phenol tersebut maka dapat menimbulkan resiko kerusakan lingkungan badan air Sungai Porong dan Sungai Aloo. https://core.ac.uk/display/11716443



Critical Review : Kasus diatas relevan dengan teori yang ada didalam materi etika tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Setiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik, sama seperti masyarakat di sekitaran sungai porong dan dengan aloo. Mereka juga mempunyai hak untuk mempunyai air bersih yang tidak tercemar bahan kimia. Kasus diatas melanggar etika dalam berbisnis dimana perusahaan PT Lapindo Brantas, Inc. tidak menerapkan persamaan karena masyarakat yang tinggal di sekitaran sungai porong dan sungai aloo akan banyak merasakan kerusakan pada lingkungan hidup karena bahan kimia yang terdapat pada lumpur tersebut, hal inilah yang dianggap tidak adil.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Hubungan manusia dengan alamnya mengandung beberapa aspek, antara lain manusia tidak lepas dari interaksinya bersama sesama manusia juga dengan hewan, tumbuhan, lingkungan / alam. Aspek-aspek tersebut sangat berarti bagi manusia, dan manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, tanpa bantuan di sekitar lingkungan hidupnya. Dengan demikian, tujuan akhir pengelolaan sumber daya alam adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan tujuan antara seperti sumber devisa, pemenuhan



kebutuhan



manusia,



pelestarian



lingkungan,



pembangunan



daerah/masyarakat dan pemerataan. Dengan demikian pembangunan ekonomi yang mesti diterapkan adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan dalam arti tidak menguras sumber daya alam dan merusak lingkungan. Keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan dapat diringkas ke dalam tiga macam hubungan yang saling terkait yaitu terdapat hubungan positif antara jumlah dan kualitas barang sumber daya dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka kebutuhan akan sumber daya alam akan semakin meningkat.



DAFTAR PUSTAKA K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 322-325