Makalah Hukum Adat Melayu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM ADAT MELAYU



Dosen Pengampu : M. Rohiq S.S, M.A



DISUSUN OLEH : SEPTIYANI PUTRI FAHLEFI NIM. I1D115012



PRODI SENI DRAMA TARI DAN MUSIK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS JAMBI 2017 KATA PENGANTAR



Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Adat Melayu. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendalakendala yang penulis hadapi teratasi. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.



Jambi,



Mei 2017 Penyusun



2



DAFTAR ISI Kata Pengantar ........................................................



ii



Daftar Isi .................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... B. Rumusan Masalah ..............................................................



1 1



BAB II PEMBAHASAN A. B. C. D.



Pengertian Manusia, Kebudayaan dan Hukum ................... Hubungan Manusia dengan Kebudayaan ........................... Hubungan Manusia dengan Hukum ................................... Hubungan Kebudayaan dan Hukum ..................................



2 3 4 5



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ B. Saran .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA



3



11 11



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terkenal dengan keragaman budayanya. Manusia dan kebudayaan adalah satu hal yang tidak bisa di pisahkan karena di mana manusia itu hidup dan menetap pasti manusia akan hidup sesuai dengan kebudayaan yang ada di daerah yang di tinggalinya. Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain dan melakukan suatu kebiasaan-kebiasaan yang terus mereka kembangkan dan kebiasaan-kebiasaan tersebut akan menjadi kebudayaan. Setiap manusia juga memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, itu disebabkan mereka memiliki pergaulan sendiri di wilayahnya sehingga manusia di manapun memiliki kebudayaan yang berbeda masing-masing. Perbedaan kebudayaan disebabkan karna perbedaan yang dimiliki seperti faktor Lingkungan, faktor alam, manusia itu sendiri dan berbagai faktor lainnya yang menimbulkan Keberagaman budaya tersebut Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonesia diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kebudayaan masing-masing daerah, karena kebudayaan merupakan jembatan yang menghubungkan dengan manusia yang lain. Dari latar belakang di atas, maka dalam makalah ini penulis ingin memaparkan tentang pengertian manusia, hukum dan kebudayaan, serta hubungan antara ketiganya. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian manusia, kebudayaan dan hukum? 2. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan? 3. Bagaimana hubungan manusia dengan hukum? 4. Bagaimana hubungan kebudayaan dengan hukum?



1



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Manusia Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia adalah makhluk yang luar biasa kompleks. Kita merupakan paduan antara makhluk material dan makhluk spiritual. Dinamika manusia tidak tinggal diam karena manusia sebagai dinamika selalu mengaktivisasikan dirinya. Berikut ini adalah pengertian dan definisi manusia menurut beberapa ahli: 1. Nicolaus D. & A. Sudiarja Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani akan tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu barang. 2. Abineno J. I Manusia adalah “tubuh yang berjiwa” dan bukan “jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana”. 3. Upanisads Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik. 4. Sokrates Manusia adalah makhluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar. 5. Kees Bertens Manusia adalah suatu makhluk yang terdiri dari 2 unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan.



2



6. I Wayan Watra Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan trias dinamikanya, yaitu cipta, rasa dan karsa. 7. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany Manusia adalah makhluk yang paling mulia, manusia adalah makhluk yang berfikir, dan manusia adalah makhluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan. 8. Erbe Sentanu Manusia adalah makhluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dibilang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. 9. Paula J. C & Janet W. K Manusia adalah makhluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan. B. Pengertian Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata budh—> budhi—> budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsure jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia (Supartono, 2001; Prasetya, 1998). Dari definisi-definisi kebudayaan dapat dinyatakan bahwa inti pengertian kebudayaan mengandung beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut : a. Kebudayaan itu beraneka ragam.



3



b. Kebudayaan itu diteruskan melalui proses belajar. c. Kebudayaan itu terjabarkan dari komponen biologi, psikologi, d. e. f. g. C.



sosiologi, dan eksistensi manusia. Kebudayaan itu berstruktur. Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek. Kebudayaan itu dinamis. Nilai-nilai dalam kebudayaan itu relatif Hubungan Antara Manusia dan Kebudayaan Secara sederhana hubungan antara manusia dan



kebudayaan adalah : manusia sebagai perilaku kebudayaan, dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Tetapi apakah sesederhana itu hubungan keduanya? Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya bahwa walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dengannya. Tampak bahwa keduanya akhirnya merupakan satu kesatuan. Contoh sederhana yang dapat kita lihat adalah hubungan antara manusia dengan peraturan-peraturan kemasyarakatan. Pada saat awalnya peraturan itu dibuat oleh manusia, setelah peraturan itu jadi maka manusia yang membuatnya harus patuh kepada peraturan yang dibuatnya sendiri itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri. Apa yang tercakup dalam satu kebudayaan tidak akan jauh menyimpang dari kemauan manusia yang membuatnya. Dari sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis, maksudnya saling terkait satu sama lain. Proses dialektis ini tercipta melalui tiga tahap yaitu :



4



1. Eksternalisasi, yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia 2. Obyektivasi, yaitu proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian masyarakat dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia. 3. Intemalisasi, yaitu proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan .baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat. Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, dia akan menjadi terasing atau teralinasi (Berger, dalam terjemahan M.Sastrapratedja, 1991; hal : xv) Manusia dan kebudayaan, atau manusia dan masyarakat, oleh karena itu mempunyai hubungan keterkaitan yang erat satu sama lain. Pada kondisi sekarang ini kita tidak dapat lagi membedakan mana yang lebih awal muncul manusia atau kebudayaan. Analisa terhadap keberadaan keduanya harus menyertakan pembatasan masalah dan waktu agar penganalisaan dapat dilakukan dengan lebih cermat. D. Hubungan Manusia dengan Hukum Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “ Ubi societas ibi jus ” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat



5



sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum. Manusia, disamping bersifat sebagai makhluk individu, juga berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah muncul interdependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha pewujudan hakekat sosialnya di atas, manusia membentuk hubungan sosio-ekonomis di antara sesamanya, yakni hubungan di antara manusia atas landasan motif eksistensial yaitu usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial ( social order ) yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta. Untuk menciptakan keteraturan maka dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur maka perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui kesewenangwenangan ataupun dengan penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini, terdapat adagium



6



yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.” Komponen hukum yang pertama adalah substansi atau isi hukum yang bersangkutan. Suatu hukum agar benar-benar mampu menciptakan keadilan bagi masyarakat, maka isi dari hukum itu sendiri harus benar-benar berfungsi sebagai manifestasi nilai-nilai dan rasa keadilan serta nilai-nilai normatif yang diidealkan masyarakat. Disamping itu, agar hukum tersebut dapat berjalan, substansi hukum tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan substansi hukum lain yang telah ada. Sehingga suatu hukum agar dapat bekerja, maka ia harus bersifat koheren dengan keseluruhan sistem norma sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Komponen yang kedua adalah struktur, yaitu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum. Sebuah hukum, sebaik apapun substansi yang dikandungnya tidak akan mampu berjalan jika tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut. Lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum ini terdiri dari setiap subyek yang memiliki kewenangan untuk itu, mulai dari instansi penyidik seperti aparat kepolisian, instansi penuntut umum seperti kejaksaan, dan pengadilan. Komponen yang ketiga sekaligus yang terakhir adalah komponen kultur atau budaya dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Suatu hukum yang ideal adalah hukum yang merupakan produk langsung dari budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga sistem nilai yang diusung oleh produk hukum tersebut akan sesuai (karena merupakan manifestasi) dengan kesadaran nilai ( value consciousness ) yang dimiliki masyarakat. Dari penjabaran ini, maka diketahui bahwa kerja hukum sebagai alat pengaturan masyarakat adalah bersifat sistemis.



7



Yakni kerja sinergis yang sempurna antara komponen- komponen yang dibutuhkan agar tujuan hukum dapat terlaksana dan mencapai sasarannya (memberikan keadilan bagi individuindividu dalam masyarakat) yang satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: substansi hukum yang baik, struktur hukum yang kokoh (memiliki kekuatan dan berintegritas), serta kultur yang kondusif (kesesuaian ideologi hukum dengan budaya masyarakat yang bersangkutan) untuk penegakan hukum tersebut. Pada akhirnya, bagaimana hukum itu dibuat dan untuk apa hukum itu ditujukan berpulang sepenuhnya pada kesadaran (kehendak) manusia yang bersangkutan itu sendiri. Hukum dapat bersifat membebaskan umat manusia dari ketertindasan, namun sebaliknya hukum juga dapat juga digunakan sebagai sarana penindasan. Karena hukum hanyalah berfungsi sebagai alat ( tool ), yaitu alat manusia untuk menciptakan keteraturan dengan pewujudan keadilan atas interaksi antar manusia tersebut, dan di atas dunia ini tidak ada satu alat pun yang tidak dapat disalah gunakan. Begitu pula dengan hukum. Kemudian masyarakat membentuk suatu system yang disebut dengan masyarakat hukum. Kemudian membentuk budaya hukum. Maksud disini yaitu untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan didalam suatu masyarakat. Dengan masyarakat yang sadar akan hukum,persamaan dan kesadaran akan tinggi guna menjunjung tinggi rasa keadilan dan menghargai orang lain. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum Negara, serta kesatuan-kesatuan lainnya sedangkan alat yang dipergunakan untuk mengatur hubungan antar kesatuan hukum tersebut itu disebut hukum, yaiut suatu kesatuan system hukum



8



yang tersusun atas berbagai komponen serta diakui oleh suatu Negara sebagai pengesahannya tersebut. E. Hubungan Kebudayaan Dengan Hukum Manusia ketika terlahir didunia telah lebih dulu bergaul dengan manusia-manusia lainnya, pada awalnya dia berhubungan dengan orang tua dan keluarganya, semakin bertambah dan bertambah usianya semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lainnya, dengan begitu secara perlahan-lahan ia mulai sadar bahwa kebudayaan dan perilaku yang dialaminya merupakan hasil pengalaman masamasa lampau, semakin bertambahnya usia manusia tersebut mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan orang lain dari masyarakat dia bebas namun dia tidak boleh berbuat semaunya, sehingga dalam hal ini untuk membatasi perbuatan manusia yang cenderung semaunya tersebut adalah dengan adanya pembentukan aturan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan hukum. Bila kita berbicara tentang hukum tentu semuanya sudah mengetahui bahwa hukum tersebut dibuat untuk keperluan mengatur tingkah laku manusia, karena memang pada dasarnya perilaku ataupun tingkah laku manusia memiliki sifat yang beragam, untuk sekedar mengikat tingkah laku manusia dibentuklah apa yang dinamakan hukum, dengan adanya hukum tersebut maka pada konsepnya tingkah laku manusia dapat dikontrol dan dapat dikendalikan, perilaku manusia ini pada dasarnya memang tidak terlepas dari pola pikir dan wujud budaya manusia itu sendiri, dalam arti bahwa segala yang dilakukannya adalah berdasarkan budaya yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Hukum positif yang ada di Indonesia saat ini memang mengakui adanya hukum adat, dimana hukum adat tersebut



9



merupakan kelanjutan atau dapat diartikan muncul karena suatu kebudayaan, misalnya dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Soerjono soekanto, S.H, M.A yang berjudul pokok-pokok sosiologi hukum, ada suatu kebudayaan yang berkaitan dengan perkawinan bahwa seorang laki-laki yang telah beristri tidak boleh memiliki istri lagi, misalnya seperti itu, kemudian misalnya lagi tentang pembagian warisan didaerah Tapanuli mengatakan bahwa seorang janda bukanlah merupakan ahli waris bagi suaminya, karena janda dianggap orang luar (keluarga suaminya), garis yang semacam ini merupakan pencerminan dari nilai-nilai budaya masyarakat setempat, ada lagi yang juga tentang perkawinan, bahwa disebutkan di kalangan orang-orang Kapauku Irian Barat, melarang seorang laki-laki untuk mengawini seorang wanita dari klan yang sama, dan statusnya termasuk satu generasi dengan laki-laki yang bersangkutan, peraturan semacam ini juga merupakan pencerminan dari nilai-nilai sosialbudaya suatu masyarakat. Nah lama kelamaan kebudayaan tersebut dalam perkembangannya dapat berubah menjadi suatu kepatuhan yang melekat pada setiap masyarakat tersebut, dan bisa berkembang lagi menjadi suatu aturan dan dinamakan hukum adat. Fredrich Karl Von Savigny seorang tokoh hukum terkemuka penganut madzab sejarah dan kebudayaan mengatakan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum tersebut timbul, hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat dan semua hukum tersebut berasal dari adat istiadat dan kepercayaan. Dari sini memang membenarkan bahwa kebudayaan atau yang lebih dikenal dengan hukum adat merupakan cikal bakal terjadinya hukum, karena memang hukum tersebut timbul dengan menyesuaikan keadaan masyarakat setempat, perilaku masyarakatnya seperti apa, kebiasaannya



10



seperti apa dan pada akhirnya hukum yang menyesuaikannya, sehingga hukum yang dibentuk sesuai dan tidak bersebarangan dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat. Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya budaya yang berkembang dalam masyarakat yang sekiranya bertentangan dengan norma kesopanan dan asusila misalnya, dengan demikian bila tadi kita berbicara bahwa budaya atau hukum adat adalah salah satu cikal bakal hukum positif di indonesia maka dalam hal ini hukum tersebut ada kalanya melihat atau dalam arti memilah milah, mana yang sesuai dengan norma yang berlaku mana yang berseberangan. Dalam hal ini kedudukan hukum adat di Indonesia secara resmi diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Sehingga secara umum hubungan yang terjadi antara hukum dengan sosial-budaya atau kebudayaan adalah bahwa budaya lahir dari kebiasaan masyarakat yang memiliki interaksi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, dan menimbulkan adanya kepatuhan dan menjadi aturan (hukum adat) dan pada perkembangannya hukum adat tersebut menjadi salah satu referensi bagi hukum positif Indonesia. Sir Henry maine seorang tokoh hukum terkemuka mengatakan bahwa hubungan-hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat modern dan kompleks. Sehingga dari pemikiran Maine tersebut dapat dikatakan dengan semakin berkembangnya jaman, pola pikir masyarakat, maka hukum yang mengendalikannya pun pada konsepnya memang harus menyesuaikan, masyarakat sudah mulai berubah dari masyarakat sederhana menjadi masyarakat yang modern dan kompleks, sehingga tidak mungkin hukum yang sederhana atau dapat dikatakan untuk masyarakat sederhana diberlakukan



11



terhadap masyarakat yang lebih modern dan kompleks, malah bisa-bisa hukum yang dikendalikan oleh individu bukan individu yang dikendalikan oleh hukum.



12



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Untuk menciptakan keteraturan maka dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur maka perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Manusia pastinya harus memiliki suatu hukum yang mengatur manusia itu sendiri, bisa bersifat memaksa dan tegas, lalu hukum tersebut pastinya mengatur moral manusia itu sendiri karena pada dasarnya hukum dibuat untuk mendidik manusia agar berprilaku adil terhadap semua. Secara sederhana hubungan manusia dan kebudayaan adalah sebagai perilaku kebudayaan dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Dalam ilmu sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwi tunggal yang berarti walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan setelah kebudayaan tercipta maka kebudayaan mengatur kehidupan manusia yang sesuai dengannya. Manusia hidup karena adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadang kala disadari atau tidak manusia merusak kebudayaan. B. Saran



13



Sebaiknya dalam membuat suatu hukum diperhatikan berbagai aspek, kemudian tidak membuat masyarakat bingung akibat hukum tersebut, sehingga masyarakat bisa menerapkan hukum tersebut tanpa adanya tafsir ganda atau ada seseorang yang mempermainkan hukum tersebut.



14



DAFTAR PUSTAKA



Djahir, Yulia dkk.2010.Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.Indralaya.Universitas Sriwijaya. Rasjidi,Lili dkk. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. BandungMandar Maju. http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07/manusia-danhukum1.pdf



15