Makalah Marxism and Political Economy, Concept of Hegemony, The Frankfurt School, and Althusserianism [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Pop Culture “Marxism and Political Economy, Concept of Hegemony, the Frankfurt School, and Althusserianism”



Kelompok 5: Deranita Nurfitriani



(11617540)



Irene Oktavina



(12617962)



Rayhan Van A



(15617003)



3SA03



UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS SASTRA 2019/2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah serta ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan oleh Bapak Agung Prasetyo Wibowo. Di dalam pembuatan makalah ini kami mengalami beberapa kesulitan dalam pengumpulan data. Maka dari itu, kami memohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan, karena kami masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini, dan juga semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.



Depok, 11 November 2019



Penyusun



i



Daftar Isi Kata Pengantar..........................................................................................................i Daftar Isi..................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang..........................................................................................1-2



1.2



Rumusan Masalah........................................................................................2



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Marxisme dan Ekonomi Politik................................................................3-5



2.2



Konsep Hegemoni...................................................................................5-10 2.2.1



Resistensi Hegemoni Budaya.....................................................9-10



2.3



The Frankfurt School............................................................................11-14



2.4



Althusserianism..........................................................................................15



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan...........................................................................................16-17



DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “buddhayah”,



yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Jadi, pengertian Kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat serta setiap kecakapan, dan kebiasaan. Banyaknya budaya yang tercipta di dunia ini terpengaruhi oleh beberapa faktor pendorong seperti, niat masyarakat untuk melestarikan budayanya, adanya gererasi penerus yang mau meneruskan suatu budaya, adanya rasa cinta terhadap budaya di dalam diri manusia, keinginan masyarakat untuk menjaga kelestarian suatu budaya agar tidak hilang, terjadinya perubahan lingkungan hidup yang mendukung berkembangnya suatu budaya. Perubahan lingkungan hidup yang mendukung berkembangnya suatu budaya dari zaman ke zaman, pasti menciptakan suatu budaya tersendiri pada zamannya atau bisa juga disebut sebagai budaya populer. Menurut Wikipedia Budaya populer (dikenal juga sebagai budaya pop atau kultur populer) adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh kesepakatan informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.



1



Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan masyarakat. Budaya populer juga sering kali didekatkan dengan istilah “mass culture” atau budaya massa, yang diproduksi dan dikonsumsi secara masal juga. Oleh sebab itu, muncul-lah pemikiran-pemikiran konsep kebudayaan pada abad ke-20 melalui beberapa ahli, seperti adanya konsep Marxisme dan Ekonomi Poilitik, Konsep Hegemoni, Konsep The Frankfurt School, dan konsep Athusserianism.



1.2



Rumusan Masalah 1. Apa pengaruh Marxisme dan Ekonomi Politik terhaap kebudayaan ? 2. Bagaimana Konsep Hegemoni terhadap budaya ? 3. Bagaimana



konsep



Mazhab



The



Frankfurt



School



terhadap



kebudayaan ? 4. Bagaimana pemikiran Althusser dalam kebudayaan ?



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Marxisme dan Ekonomi Politik Pemikiran



khas



Karl



Marx



mengenai



kebudayaan



adalah



teori



antikebudayaan. Teori antikebudayaan adalah hasil renungan Marx terhadap kehidupan masyarakat yang diikat oleh ideologi liberal-kapitalisme. Dimana, kaum borjuis (pengusaha kelas menengah) mendapat keuntungan dari sistem ideologi ini, karena mereka memanfaatkan penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperluas pusat-pusat industri maupun pasar bisnisnya. Menurut Marx, masyarakat yang dikuasai proses-proses kehidupan ini akan mengubah ciri hidupnya yang ditandai dengan kebudayaan humanis menjadi semata-mata materialis dan pada gilirannya akan memunculkan kelas-kelas yang kontradiktif. Fenomena sistem liberal-kapitalis ini dibahas lebih dalam oleh MarxMuda dalam Economic and Philosophical Manuscript of 1844 (Paris Manuscript) yang membahas keterasingan manusia terhadap keberadaan dirinya sebagai manusia yang memiliki dimensi kemanusiaan yang utuh, yaitu kebebasan dan komunikasi (interaksi). Dalam bukunya tersebut, Marx menjelaskan bahwa dari keterasingan manusia sebagai manusia dan status dirinya sebagai pekerja atau buruh pabrik, mengakibatkan dampak budaya yang lebih parah, yaitu manusia sekedar menjadi buruh pabrik (proletar) yang semata-mata tidak lagi terasing dari dunia keberadaannya sebagai manusia, melainkan sekedar menjadi alat produksi, manusia buruh tidak lagi memiliki kesadarannya sebagai manusia. Dalam menghadapi hal ini, Marx menyimpulkan bahwa perubahan revolusioner bisa menuju kondisi ideal dimana masyarakat tanpa kelas yang kemungkinan hanya dilakukan oleh kaum proletar saja. 3



Tetapi pemikiran lain muncul yang kemudian membangun ajaran Marxisme secara lebih canggih, yaitu Lenin. Ajaran Marxisme-Leninisme inilah yang kemudian dilembagakan dalam negara Uni Sovyet, dimana dewan-dewan buruh dan prajurit bersatu dalam negara. Kebudayaan Marxisme-Leninisme diterapkan sebgai ideologi negara-negara komunis dan berada dibawah komando Uni Sovyet mengalami kehancuran total pada tahun 1980-an. Maka dari itu, mereka disebut sebagai para tokoh neo-Marxisme pada abad ke-20. Fenomens munculnya para intelektual akademis yang disebut sebagai tokoh neo-Marxisme abad ke-20 ini, justru bereaksi terhadap pemikiran Marx dan Marxisme-Ortodoks yang mengajukan doktrin umum bahwa problem kebudayaan bukan berasal dari dalam dirinya sendiri, melainkan karena penyimpangan material akibat hubungan produksi dalam kegiatan ekonomi kapitalisme belaka, yaitu basis struktur dan superstruktur dalam analisis materialisme historis. Adapun menurut Marxisme Klasik, media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti Teori Ekonomi Politik, Teori Kritis dan Teori Hegemoni Budaya.



4



Menurut Garnham, institusi/organisasi media dalam Marxisme Klasik harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik, kualitas pengatahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingankepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya jumlah sumber media yang independent, munculnya sikap apatis terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar besar.



2.2



Konsep Hegemoni Istilah hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah suatu “blok historis”



dari golongan kelas penguasa yang menerapkan “otoritas sosial” dan “kepemimpinan”



terhadap



kelas-kelas



subordinat



dengan



cara



merebut



persetujuan. Teori Hegemoni Gramsci muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang di dominasi oleh determinisme kelas (paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan) dan berasal dari penyempurnaan teori kelas Marx (ekonomi Marxisme tradisional) yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000: vi; Sugiono, 1999: 20). Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama “New Gramcian”.



5



Menurut Farauk (1999: 65), terdapat enam konsep kunci yang menunjukan inti dalam pemikiran Gramsci, yaitu: 1) Kebudayaan 2) Hegemoni 3) Ideologi 4) Kepercayaan populer 5) Kaum intelektual 6) Negara Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual (menyangkut persetujuan seluruh anggota yang terlibat). Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua, yaitu: 1) Intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus, seperti para ahli dibidang ilmu pengetahuan, bidang sastra, dan lain sebagainya. 2) Intelektual organik adalah mereka yang mengorganisasi dan memikirkan organisasi sosial tertentu (mereka tidak memiliki profesi tertentu, tetapi memiliki peran dalam menginspirasi dan mendorong dinamika sosial (Via Hoare, 1983: 3)



6



Konsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan rakyat (civil society) (Bocock, 1986). Melalui konsep hegemoni, Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan kekal membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja, yaitu: 1) Perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang menganut law enforcemant (pelaksanaan hukum). 2) Perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta badan-badan negara untuk taat kepada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga. Pada hakekatnya hegemoni adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976:244). Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam hubungan antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Menurut Gramsci, hegemoni terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) Hegemoni total (integral) Hegemoni total (integral) ditandai dengan hubungan massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual (akal) yang kokoh. Seperti hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. 2) Hegemoni yang merosot (decadent) Hegemoni yang merosot (decadent) adalah suatu kondidi hegemoni yang mengandung kontradiksi. Kontradiksi itulah yang mengakibatkan adanya pertentangan-pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. 7



3) Hegemoni yang minimum Tingkatan ketiga ini merupakan tingkatan hegemoni yang paling rendah dibanding dua tingkatan di atas. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual (akal) yang berlangsung bersamaan dengan kerenggangan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian kelompok-kelompok hegemoni tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan negara kelas lain dalam masyarakat. Dalam hegemoni terjadi proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (penguasa) (Barker 2005: 467). Alat-alat yang digunakan untuk melakukan hegemoni melalui politik kebudayaan bagi kelas penguasa tidak hanya dengan kekerasan, tetapi juga melalui berbagai ungkapan, kekuasaan intelektual, seni, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, alat-alat resistensi (kekuatan) bagi kaum “marginal” (ter-hegemoni) juga melalui ungkapan-ungkapan tradisional, cerita perlawanan, puisi, kesenian, permainan, arsitektur, media massa (surat kabar, majalah, TV, radio), dan sebagainya. Bagi Gramsci, budaya populer dan media massa adalah tempat di mana hegemoni diproduksi, direproduksi, dan diubah Sebagai reaksi hilangnya nilai, ruang, dan tempat-tempat kelas pekerja tradisional, berbagai subkultur orang muda berusaha mencipta ulang lewat penggayaan komunitas dan nilai-nilai kelas pekerja yang hilang (Barker 2005: 471).



8



2.2.2



Resistensi Hegemoni Budaya



Sumber: https://pawonpot.wordpress.com/2011/01/15/desain-budaya-dalam-tradisi-lisan/



Gambar diatas merupakan struktur gambar mengenai fungsi dan makna tradisi lisan dan naskah. Dalam konsep hegemoni, politik kebudayaan memiliki dua hal yang harus dipahami, yaitu pertama kelompok yang memiliki kekuatan atau otoritas “penguasa” yang menyatakan kebenaran dan menentukan kebenaran sekaligus menyatakan budaya imperium (istilah orientalisme), dan kedua yaitu kelompok yang dikuasai atau subordinat sebagai budaya yang ter-hegemoni. Meskipun konflik tidak muncul ke permukaan yang disebabkan oleh kondisi politik makro (besar).



9



Tetapi, kedua kelompok tersebut saling “bertempur” dalam putaran perubahan budaya. Budaya tradisi masih mempunyai akses penting dalam wilayah lokal, yang pertahannya melalui ranah tradisi lisan dan naskah, antara lain melalui ungkapan tradisional, permainan, cerita dongeng, dan arsitektur. Alat-alat tersebut



digunakan



sebagai kekuatan lokal untuk melakukan resistensi (kekuatan) terhadap derasnya politik kebudayaan kelas “penguasa”. Salah satu jalan untuk melawan kekuatan eksternal dan mempererat rasa solidaritas melalui politik identitas yaitu dengan menciptakan counter discourse atau wacana tanding. Dapat dibuktikan dengan adanya cerita-cerita perlawanan sebagai akibat perlawanan hegemoni kekuasaan waktu lampau yang tidak mungkin dilakukan dengan perlawanan fisik, seperti cerita pada puisi Chairil Anwar yang berjudul “Kerawang Bekasi”, yang mengisahkan cerita bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.



10



2.3



The Frankfurt School The frankfurt school merupakan julukan kepada sekelompok intelektual



Jerman yang tergabung dalam The Institute for Social Research in Frankfurt, yang didirikan pada tahun 1923. Pendirinya cenderung berasal dari kelompok Jerman sayap kiri (partai gerakan), cendekiawan Yahudi yang berasal dari kelas atas dan menengah masyarakat Jerman. Teor-teori maupun gejala apa saja yang mereka selidiki selalu diamati dari perspektif kritis suatu rasio dalam kaitan untuk menyingkap fenomena “rasionalitas-bertujuan” yang sebelumnya telah diselidiki secara sosiologis oleh Weber, yang dalam bentuk praktisnya berupa kultur birokratis yang rasional, konsumerisme, industri-industri kebudayaan, dan seterusnya. Di antara kegiatannya adalah pengembangan teori dan penelitian kritis. Karya ini bertujuan untuk mengungkap kontradiksi sosial yang mendasari masyarakat kapitalis yang muncul pada masa itu, dan ideologi khas mereka, sehingga dapat membangun kritik teoretis kapitalisme modern. Namun demikian, Smith sekurang-kurangnya merangkum minat kelompok ini ke dalam empat aspek utama, yaitu: 1. Dampak teknologi dalam kehidupan sosial terutama dalam memproduksi kebudayaan pop. 2. Dampak kebudayaan pop terhadap populasi massa. 3. Pengaruh teori Freud terhadap seksualitas manusia dan pembentukan kepribadiannya. 4. Kesadaran



manusia



yang



fragmentaris



dan



fatalis



sebagai



bentuk



ketidakmampuannya dalam menangkap kebebasan yang utuh dan tepat.



11



Para tokoh kelompok ini diantaranya adalah Thodor Adorno (1903-1969), Walter Benjamin (1892-1940), Erich Fromm, Max Horkheimer (1895-1973), Leo Lowenthal, Mannheim, dan Herbert Marcuse (1898-1979). Mereka ini sering disebut sebagai generasi pertama The Frankfurt School dan generasi kedua sebagai pewaris kelompok ini adalah Jurgen Habermas. Adapun Althusser sebagai seorang Marxis yang berhaluan strukturalis. Sebagai pelopor generasi pertama Madzhab Frankfurt, Horkheimer dan Adorno banyak bekerja dalam kajian-kajian kritis budaya. Kedua ilmuwan Jerman yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marxisme ini melihat identitas yang ada dalam masyarakat sebagai sesuatu yang palsu secara umum maupun khusus. Pemikiran Horkheimer dan Adorno bermaksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat dari struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan kebudayaan. Madzhab Frankfurt bermaksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Madzhab Frankfurt menjelaskan semua itu dengan bertolak dari pemahaman tentang rasio, yaitu rasio teknik instrumental (Horkheimer 1974). Mereka ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan susunan masyarakat yang sesungguhnya sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasio (Sunarto 2007, 96). Rumusan ulang Marxisme Adorno, Horkheimer, dan Marcuse berisi dua elemen penting, yaitu pertama, mereka menawarkan satu analisis tentang Dialektika Pencerahan untuk menjelaskan bagaimana positivisme telah menjadi mitologi dan kedua, mereka menawarkan konsep industri budaya (Horkheimer & Adorno 1972) untuk menjelaskan aspek ideologis dan manipulasi kultural (Agger 2008, 158).



12



Pada tahun 1944 Theodor Adorno dan Max Horkheimer menciptakan istilah “industri budaya” untuk menunjuk produk dan proses budaya massa. Produk-produk industri budaya, mereka klaim, dan ditandai oleh dua fitur: homogenitas, pertama yaitu film, radio dan majalah membentuk sistem yang seragam secara keseluruhan dan kedua, di setiap bagian, semua budaya massa identik prediktabilitas. Menurut Madzhab Frankfurt, industri budaya merupakan pemikiran konsolidasi (penggabungan) dari komoditas fetis (commodity fetishism) dan dominasi dari pertukaran nilai monopoli kapital (Dominic 1995). Komoditas yang diproduksi oleh industri budaya dibentuk dengan kesadaran penuh tentang sebesar apakahnya nilainya di pasar. Motif keuntungan sangat jelas hingga memerlukan standardisasi. Salah satu contohnya adalah sistem bintang di Hollywood (Dominic 1995). Dalam



Dialectic



of



Enlightenment,



Horkheimer



dan



Adorno



mengembangkan konsep industri budaya yang mereka kembangkan dalam karya empirik dan teoretik. Dalam konsep industri budaya, mereka mengacu kepada cara dimana hiburan dan media massa menjadi industri pada kapitalisme pascaPerang Dunia II, baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia. Budaya pop dalam hal ini menjadi mode ideologi kapitalis akhir yang tidak menawarkan doktrin yang terbantahkan atau tesis tentang keniscayaan dan rasionalitas masyarakat kini, namun hanya menyediakan narkotika jangka pendek yang mengalihkan perhatian orang dari masalah riil mereka dan mengidealisasikan masa kini dengan menjadikan pengalaman representasinya menyenangkan. Misalnya, menonton televisi yang menghabiskan banyak waktu orang, memecahkan masalah mereka di dunia nyata dengan gembira sebagaimana yang mereka dan kita seharusnya alami.



13



Dengan melihat orang fiktif ini hidup bahagia bersama, mengatasi dilema dalam waktu setengah atau satu jam di depan televisi, kita memproyeksikan hidup kita di dalam peran yang tengah ditayangkan dan kita lihat. Industri budaya pasca-Perang Dunia II, termasuk film blockbuster, jaringan televisi, perdagangan buku, koran dan majalah mainstream, dan radio menyerap budaya sedemikian rupa sehingga mengkhawatirkan teoritisi Frankfurt karena mereka meyakini bahwa budaya secara historis telah menjadi mandiri sebagai sarana pemahaman kritis. Dalam melakukan analisis, Madzhab Frankfurt berasumsi bahwa makna yang telah teridentikkan ditelan mentah-mentah oleh audiens. Inilah sebabnya mengapa Madzhab Frankfurt menuai kritik karena terlalu menekankan konstruksi estetis dan internal produk kultural, mengandaikan reaksi audien dari kritik pemikiran. Madzhab Frankfurt telah merintis jalan bagi perdebatan lebih jauh antara mereka yang menempatkan pembentukan makna pada level produksi (teks) dengan mereka yang memahaminya sebagai konsumsi (Barker 2009, 48).



14



2.4



Althusserianism Louis Althusser (1918-1990) adalah seorang strukturalis filsuf Perancis



yang berpendapat bahwa tulisan awal Marx tentang humanistik dan subjektivitas dan dia merasa perlu mengamankan fondasi filosofisnya. Sederhananya, tujuan Althusser adalah untuk menetapkan Marxisme sebagai ilmu dan untuk menyingkirkannya dari determinisme ekonomi. Althusser kemudian merasa kesulitan untuk menggunakan tradisi materialisme dialektik sebagai pisau analisis budaya. Maka, ia memutuskan untuk menggunakan pola strukturalis sebagai pemecahan. Struktur tersebut ia gambarkan yang terdiri atas sektor ekonomi sebagai dasar sebuah suprastuktur yang terdiri dari struktur legal dan politik. Suprastruktur berguna untuk memberi daya tahan terhadap kapitalis. Sederhananya, tujuan Althusser adalah untuk menetapkan Marxisme sebagai ilmu dan untuk menyingkirkannya dari determinisme ekonomi. Bagi Althusser, prinsip-prinsip pertama Marxisme sebagai ilmu dapat ditemukan dalam karya-karya Marx, Engels, Lenin dan Gramsci; ini harus diperiksa, diklarifikasi, disempurnakan dan diterapkan oleh ahli teori untuk menunjukkan kejujuran mereka. Althusser melihat dirinya meneruskan tradisi sains Marxis yang didirikan oleh Marx, dan berusaha menyelesaikan masalah teoretis, khususnya Marx, tidak terselesaikan, seperti ketiadaan teori ideologi. Mengenai ideologi, Althusser berpendapat bahwa ideologi adalah sebuah mekanisme yang digunakan oleh kaum borjuis untuk meproduksikan dominasi kelasnya. Althusser menghasilkan beberapa definisi ideologi, yaitu: 



Definisi pertama, yang tumpang tindih dalam beberapa cara.







Definisi kedua, adalah klaim bahwa ideologi - sebuah sistem (dengan logikanya sendiri dan kekakuan) dari representasi (gambar, mitos, ide atau konsep). 15



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan Budaya populer yang muncul pada budaya Barat di abad ke-20 yang juga



sering kali didekatkan dengan istilah “mass culture” atau budaya massa, yang diproduksi dan dikonsumsi secara masal juga. Oleh sebab itu, muncul-lah pemikiran-pemikiran konsep kebudayaan pada abad ke-20 melalui beberapa ahli, seperti adanya konsep Marxisme dan Ekonomi Poilitik, Konsep Hegemoni, Konsep The Frankfurt School, dan konsep Athusserianism. Menurut pemikiran khas Karl Marx kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ideologi-kapitalisme yang menyebabkan masyarakat yang dikuasai prosesproses kehidupan ini akan mengubah ciri hidupnya yang ditandai dengan kebudayaan humanis menjadi semata-mata materialis dan pada gilirannya akan memunculkan kelas-kelas yang kontradiktif. Adapun



menurut



Gramsci



“hegemoni”



atau



menguasai



dengan



“kepemimpinan moral dan intelektual”, yaitu agar yang dikuasai mematuhi penguasa,



yang



dikuasai



tidak



hanya



harus



merasa



mempunyai



dan



menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka.



16



The frankfurt school merupakan julukan kepada sekelompok intelektual Jerman yang tergabung dalam The Institute for Social Research in Frankfurt, yang didirikan pada tahun 1923 yang bertujuan untuk mengungkap kontradiksi sosial yang mendasari masyarakat kapitalis yang muncul pada masa itu, dan ideologi khas mereka, sehingga dapat membangun kritik teoretis kapitalisme modern. Madzhab Frankfurt bermaksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Louis Althusser (1918-1990) adalah seorang strukturalis filsuf Perancis yang berpendapat bahwa tulisan awal Marx tentang humanistik dan subjektivitas dan dia merasa perlu mengamankan fondasi filosofisnya. Sederhananya, tujuan Althusser adalah untuk menetapkan Marxisme sebagai ilmu dan untuk menyingkirkannya dari determinisme ekonomi. Mengenai ideologi, Althusser berpendapat bahwa ideologi adalah sebuah mekanisme yang digunakan oleh kaum borjuis untuk meproduksikan dominasi kelasnya.



17



DAFTAR PUSTAKA



Duija, I. N. (2005). Tradisi lisan, naskah, dan sejarah Sebuah catatan politik kebudayaan. Wacana, 7(2), 115-128. Heidy, A. (2013). Budaya Global dalam Industri Budaya: Tinjauan Madzhab Frankfurt Terhadap Iklan, Pop Culture, dan Industri Hiburan. GLOB AL & POLICY JOURNAL OF INTERNATIONAL RELATIONS, 1(2). Hasan,



K. (2014). MATERI SMKM-Aceh-POLITIK EKONOMI DAN



KAPITALISME MEDIA MASSA. Sutrisno Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131808675/penelitian/WUNY-2012.doc https://www.kompasiana.com/ahmadwazier/5516da4ca33311847aba7d57/konsephegemoni-dalam-kebudayaan-modern https://2bsomething.wordpress.com/2011/11/11/budaya-pop-pop-culture/ http://2112042indrianyrusmanto.blogspot.com/2015/03/kekuasaan-hegemoni-danideologi.html https://liarkanpikir.wordpress.com/2011/10/15/teori-hegemoni-menurut-gramsci/ https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_populer



18