Makalah MPR [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK PRESENTASI HUKUM TATA NEGARA KELAS 2 F



Ketua: Roy Darwin



1111143007 Anggota:



Ahmad Tedy Permana



1111140506



Nuri Fajriati



1111141198



Nurjaman



1111140976



Prasetio Perwito



1111141319



Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2014



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Peranan Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari peranan Pancasila dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sejarah. Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.



Serang, 27 November 2014



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................



i



DAFTAR ISI ......................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN .................................................................................



1



A. Latar Belakang ........................................................................................



1



B. Rumusan masalah....................................................................................



1



C. Tujuan penulisan .....................................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................



3



A. Pancasila Sebagai Etika Politik ...............................................................



3



B. Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi ......................................



11



C. Sosialisasi dan Pembudayaan Realisasi nilai-nilai Pancasila ................



17



D. Sejarah Perkembangan Pancasila ............................................................



24



BAB III PENUTUP ...........................................................................................



32



A. Kesimpulan .............................................................................................



32



B. Saran ......................................................................................................



33



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................



34



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Indonesia menunjukan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Melestarikan kesaktian Pancasila itu, perlu usaha secara nyata dan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki peran dan fungsi sebagai dasar sekaligus tujuan dari berbagai bidang kehidupan yang terus berkembang seirama dengan perkembangan aspirasi masyarakat dan perubahan zaman dari masa ke masa.



B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan Pancasila dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya? 2. Bagaimana sejarah perkembang Pancasila?



C. Tujuan Makalah Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami hal-hal di bawah ini: 1. Mengetahui peranan Pancasila dalam etika politik, sosial, ekonomi dan budaya.



2. Mengetahui sejarah perkembangan Pancasila.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. SEJARAH MPR (MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT) DARI MASA KE MASA Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. 



Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.







Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah



dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan,



dimana



setiap



anggota



Panitia



Perancang



keluarga



dapat



memberikan



pendapatnya. 



Dalam



rapat



Undang-Undang



Dasar,



Soepomo



menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).



Masa Orde Lama (1945-1965) 



Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan



Rakyat,



Dewan



Perwakilan



Rakyat



dan



Dewan



Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. 



Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahanperubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.







Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal



dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar. 



Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan UndangUndang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.







Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan : 1. Pembubaran Konstituante, 2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950, 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).







Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut : 1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. 2. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden. 3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya. 4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden. 5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.







Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.







Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.







Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.







Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.







Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai



“Nawaksara”



beserta



pelengkapnya



berpendapat



bahwa



“Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.







Dalam



kaitan



itu,



MPRS



mengadakan



Sidang



Istimewa



untuk



memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat



Letnan



Jenderal



Soeharto sebagai



Pejabat



Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.



Masa Reformasi (1999-sekarang) 



Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan



ulang posisi



lembaga-lembaga



negara



terutama



mengubah



kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal. 



Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.







Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar



mempunyai



keterkaitan



yang



erat



seiring



dengan



perkembangan



ketatanegaraan Indonesia.



B. TUGAS DAN WEWENANG MPR Perubahan terhadap kedudukan MPR secara otomatis berpengaruh terhdap tugas dan wewenangnya, terutama berkaitan dengan tugas dan wewenang dalam kaitannya dengan kedudukan presiden. Jika kedudukan presiden merupakan wewenang penuh MPR, dalam arti yang mengangkat dan memberhentikan. Maka dengan dipilihnya langsung presiden oleh rakyat, kewenangan ini tidak lagi dimiliki oleh MPR. Secara jelas Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan tugas majelis yaitu:1 a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Ayat 1); b) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Ayat 2); c) Memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya menurut UUD (Ayat 3).2 Selanjutnya menurut Pasal 11 UU Nomor 12 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menetapkan bahwa selain keempat hal tersebut MPR memiliki tugas dan wewenang antara lain:3 a) Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau wapres dalam masa jabatannya;



1



Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm 190-191. 2 Bandingkan dengan pasal sebelum amandemen yang menyatakan, bahwa majelis menetapkan GBHN, memilih, dan mengangkat Presiden/Mandaris dan Wakil Presiden untuk membantu presdiden serta memberikan mandat kepada presiden untuk melaksanakan GAris-Garis Besar Haluan Negara dan ketetapan najelis lainnya. 3 Titik Triwulan Tutik, Op.cit., hlm 190-191.



b) Melantik



wapres



menjadi



presiden



apabila



mangkat,



berhenti,



diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; c) Memilih wapres dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wapres; d) Memilih presiden dan wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya; e) Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.



C. HAK DAN KEWAJIBAN MPR Anggota MPR mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap anggota MPR. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebagai berikut: 1. Hak-hak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 



Mengajukan usul perubahan pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945







Menetukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan







Memilih dan dipilih







Membela diri







Imunitas







Protokoler







Keuangan dan administrasi



2. Kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 



Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila







Melaksanakan UUD NRI Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan







Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan NKRI







Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan







Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah



D. KEDUDUKAN MPR Dalam masa demokrasi Pancasila berdasarkan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 jo. UU No. 15 Tahun 1969 jo. UU No. 4 Tahun 1975b tentang Pemilu jo. UU No. 6 TAHUN 1969 jo. UU No. 5 Tahun 1975 tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR; kedaulatan belum di tangan rakyat dan belum dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Oleh karena MPR hanya terdiri dari lebih kurang 40% dari hasil kedaultan rakyat dari pemilu dan lebih 60% hasil pengangkatan. Menurut Ismail Suny,4 “proses pengangkatan oleh presiden adalah tindakan melanggar undang-undang dasar (inskonstitusional).” Dalam masa reformasi (awal) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, walaupun nama undang-undang itu jelas menyebut “kedudukan”, tetapi tidak satu pasal pun yang mengatur Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dalam undang-undang tersebut. Menurut Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1999 jumlah anggota MPR adalah 700 orang dengan perincian: (1) Anggota DPR sebanyak 500 orang; (2) Utusan daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 (lima) orang dari setiap Daerah Tingkat I; dan (3) Utusan golongan sebanyak 65 orang.



4



Ismail Suny, “Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-amandemen 1945”, Kertas Kerja, Seminar Pemerintahan Indonesia Pasca-amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI Provinsi Jawa Timur dengan Fak. Hukum Unair, Surabaya: 9-10 Juni 2004, hlm 1.



Untuk benar-benar melaksanakan demokrasi, maka UUD 1945 pascaamandemen dalam Psal 2 ayat (1) UUD, 1945 menetapkan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.5 Selanjutnya mengenai kedudukan MPR Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan MPR DPR DPD dan DPRD menetapkan:



MPR



merupakan



lembaga



permusyawaratan



rakyat



yang



berkedudukan sebagai lembaga Negara.6 Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen tersebut, maka susunan majelis terdiri dari seluruh anggota DPR ditambah dengan anggota yang dipilih melalui pemilihan umum menurut aturan yang ditetapkan dengan UU. Dengan komposisi yang demikian itu diharapkan majelis dapat benar-benar mencerminkan



pengejawantahan



seluruh



golongan



dan



seluruh



lapisan



masyarakat. Hali ini sangat esensial karena MPR merupakan lembaga perwakila rakyat yang mendapat amanah dari seluruh rakyat Indonesia. Kemudian ditetapkan dalam pasal 2 ayat 2 bahwa majelis akan bersidang sedikit-dikitnya 5 tahun sekali. Ketentuan “sedikit-dikitnya” itu mengandung kemungkinan mengadakan siding lebih dari satu kali dalam lima tahun. Keterangan mengenai ketentuan ini adalah sebagai berikut. Sebagaimana diketahui, MPR bertugas dan berwenang untuk menetapkan garis-garis dari pada haluan Negara dan memberhentikan presiden dan wakli presiden untuk lima tahun berikutnya. Untuk itu harus mengadakan siding setiap lima tahun. Apabila ada keperluan yang istimewa, maka MPR tidak perlu bersidang lebih dari satu kali dalam lima tahun.



5



Bandingkan dengan ketentuan sebelumnya (menurut UUD 1945 sebelum amandemen) yang menyebutkan bahwa keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan-utusan golongan yang diangkat, misalnya ABRI, utusan daerah dan utusan golongan minoritas dan profesi. Hal ini mengandung arti bahwa keanggotaan MPR tersebut kurang representatif karena ada anggota yang dipilih tanpa pemilu yaitu mereka yang berasal dari utusan golongan, dengan kata lain penunjukan mereka berrdasarkan kekuasaan dan keentingan politik semata. 6 Bandingkan dengan pasal sebelum amandemen yang menyatakan, bahwa sebgai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat, MPR adalah pemegang kekuasaan Negara tertinggi dan pelaksanaan dari kedaulatan rakyat tersebut.



Menurut UUD 1945 keperluan yang istimewa itu adalah apabila DPR mengundang MPR untuk mengadakan persidangan istimewa dalam rangka meminta pertanggungjawaban presiden, karejna DPR menganggap presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berup penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau/wapres berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.



F. PUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Putusan majelis permusyawaratan rakyat republic Indonesia terdiri atas : perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar, Ketetapan dan keputusan. Berdasarkan keputusan MPR RI Nomor 7 /MPR/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI Sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI sebagaimana telah diubah dengan keputusan MPR RI N omor 13/MPR/2004 tentang Perubahan peraturan tata tertib MPR RI, jenis putusan majelis ada 3 (tiga), yaitu:7 1. Perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar: Perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar adalah Putusan Majelis: a. Mempunyai kekuatan hukum sebagai Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia b. Tidak menggunakan nomor putusan Majelis



2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat: Ketetapan majelis Permusyawaratan rakyat adalah putusan majelis: a. Berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking); b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan keluar Majelis, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan 2002; c. Menggunakan nomor putusan Majelis.



3. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Putusan Majelis: a. Birisi aturan/ketentuan intern Majelis; 7



MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005, hlm 7-8.



b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis; c. Menggunakan nomor putusan Majelis. Sebagaimana dijelaskan di atas, jenis Putusan MPR yang harus dilakukan “peninjauan” adlah terutama mengenai materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR sebelum adanya perubahan UNdang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini tidak berarti bahwa MPR tidak dapat lagi membuat sebuah Ketetapan karena dalam keadaan tertentu MPR dapat mengeluarkan Ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking) yaitu:8 a. Menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mengikat, berhenti, diberhentikan, atau dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; b. Memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden; c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.



G. KEDUDUKAN TAP MPR SETELAH AMANDEMEN Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, “Oleh karena Majelis 8



Ibid, hlm 8.



Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari”. Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah “sunset clouse”, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai “Sapu Jagat”, yakni TAP MPR yang menyapu semua TAP MPR(S) yang pernah ada untuk diberi status baru. Puncak dari agenda “sunset clouse” dan “sapu jagat” ini adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum. Namun apakah tidak dimasukkannya TAP MRP dalam undangundang tersebut, berarti roh dan keberadaan TAP MPR benar-benar hilang sama sekali dalam sistem perundang-undangan Indonesia? Tidak. Eksistensi TAP MPR seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda. Mengutip pendapat Mahfud MD, bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai sumber hokum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber hokum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hokum seperti halnya nilai-nilai



keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya bangsa dan lain-lain.



BAB III KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA



Triwulan Tutik, Titik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2005, Materi Sosialisasi Putusan, Majelis Permusyawartaan rakyat Republik Indonesia Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undanganindonesia/ http://beritasepuluh.com/2014/10/08/sejarah-mpr-majelis-permusyaratan-rakyatdari-masa-ke-masa/ http://tunas63.wordpress.com/2009/09/30/hak-dan-kewajiban-anggota-mpr/